TESIS (TM 092501)
PENGARUH TIPE ABRASIF DAN PARAMETER PROSES GERINDA TERHADAP GAYA POTONG, INTEGRITAS PERMUKAAN BENDA KERJA (IPBK) DAN MODE PEMBENTUKAN GERAM (MPG) PADA PROSES GERINDA PERMUKAAN BAJA PERKAKAS SKD-11
FIPKA BISONO NRP 2112201004
Dosen Pembimbing Ir. Bobby Oedy P. Soepangkat, M.Sc., Ph.D Ir. Hari Subiyanto, M.Sc
PROGRAM MAGISTER BIDANG KEAHLIAN SISTEM MANUFAKTUR JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2014
THESIS (TM 092501)
EFFECTS OF ABRASIVE TYPE AND GRINDING PARAMETER TO GRINDING FORCE, SURFACE INTEGRITY AND CHIP FORMATION OF SURFACE GRINDING ON SKD-11 TOOL STEEL
FIPKA BISONO NRP 2112201004
Advisor Ir. Bobby Oedy P. Soepangkat, M.Sc., Ph.D Ir. Hari Subiyanto, M.Sc
MASTER PROGRAMME FIELD STUDY OF MANUFACTURING SYSTEM DEPARTEMENT OF MECHANICAL ENGINEERING FACULTY OF INDUSTRIAL TECHNOLOGY SEPULUH NOPEMBER INSTITUTE OF TECHNOLOGY SURABAYA 2014
PENGARUH TIPE ABRASIF DAN PARAMETER PROSES GERINDA TERHADAP GAYA POTONG, INTEGRITAS PERMUKAAN BENDA KERJA (IPBK) DAN MODE PEMBENTUKAN GERAM (MPG) PADA PROSES GERINDA PERMUKAAN BAJA PERKAKAS SKD11 Nama Mahasiswa NRP Pembimbing I Pembimbing II
: : : :
Fipka Bisono 2112201004 Ir. Bobby Oedy P. Soepangkat, M.Sc., Ph.D Ir. Hari Subiyanto, M.Sc
ABSTRAK Proses gerinda permukaan adalah suatu proses manufaktur yang penting dan digunakan untuk membentuk benda kerja sesuai dengan persyaratan geometri, dimensi dan toleransi. Proses ini digunakan sewaktu persyaratan keakurasian dan kualitas permukaan benda kerja tidak dapat dipenuhi oleh proses-proses pemesinan yang lain, seperti proses bubut dan freis. Pemilihan tipe abrasif dan variabel proses gerinda permukaan (kecepatan makan dan kedalaman potong) yang tidak tepat dapat memberikan dampak yang merugikan terhadap gaya potong, integritas permukaan benda kerja (IPBK), seperti kekasaran permukaan benda kerja, surface burning dan kepadatan retakan, serta mode pembentukan geram (MPG). Suatu penelitian dilakukan untuk mempelajari pengaruh tipe abrasif, kecepatan makan dan kedalaman potong terhadap gaya potong, IPBK dan mode pembentukan geram pada proses gerinda permukaan baja perkakas SKD11. Rancangan eksperimen yang digunakan pada penelitian ini adalah faktorial 2 x 3 x 3 dan pendingin yang dipakai adalah soluble oil. Pengukuran gaya potong dilakukan dengan menggunakan dinamometer, kekasaran permukaan diukur dengan menggunakan surftest, serta penentuan kepadatan retakan dan bentuk geram dilakukan dengan menggunakan scanning electron microscope (SEM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel proses gerinda permukaan yang berpengaruh signifikan terhadap gaya potong adalah kedalaman potong dan jenis abrasif, sedangkan terhadap kekasaran permukaan adalah kedalaman potong dan kecepatan makan. Variabel proses gerinda permukaan yang berpengaruh signifikan terhadap kepadatan retakan adalah tipe abrasif dan kedalaman potong. Penggunaan tipe abrasif green silicone akan menyebabkan gaya potong, derajat burning dan kepadatan retakan bertambah rendah. Peningkatan kecepatan makan akan menyebabkan kekasaran permukaan dan derajat burning berkurang. Peningkatan kedalaman potong akan menyebabkan peningkatan dari kekasaran permukaan, gaya potong, kepadatan retakan dan derajat burning. Proses gerinda permukaan dengan menggunakan kedalaman potong yang rendah menghasilkan geram dengan bentuk lamellar dan leafy, sedangkan dengan menggunakan kedalaman potong yang tinggi menghasilkan geram dengan bentuk leafy, spherical, lamellar dan irregular. Kata kunci: abrasif, gaya potong, gerinda permukaan, integritas permukaan benda kerja (IPBK), mode pembentukan geram (MPG)
iv
EFFECT OF ABRASIVE TYPE AND GRINDING PARAMETERS TO GRINDING FORCE, SURFACE INTEGRITY AND CHIP FORMATION OF SURFACE GRINDING ON SKD11 TOOL STEEL Student Name NRP Advisor I Advisor II
: : : :
Fipka Bisono 2112201004 Ir. Bobby Oedy P. Soepangkat, M.Sc., Ph.D Ir. Hari Subiyanto, M.Sc
ABSTRACT Surface grinding is an important manufacturing process and used to form the workpiece in accordance with the requirements of geometry, dimensions and tolerances. This process is used when the requirements of accuracy and surface quality of the workpiece cannot be met by the others machining processes, such as turning and milling. Improper selection of abrasive type and surface grinding parameters (such as feeding speed and depth of cut) can give adverse impact on grinding force, surface integrity, such as surface roughness, surface burning and crack density. Performance of surface grinding can also be evaluated from chip formation. An experiment was conducted to study the effect of the abrasive type, feeding speed and depth of cut on grinding forces, surface integrity and chip formation of surface grinding process on SKD11 tool steel. Experimental design used in this study was a 2 x 3 x 3 factorial. This experiment use soluble oil as coolant. Grinding force measurement performed by using a dynamometer, surface roughness was measured by using surftest, and the determination of crack density and chip formation conducted by using a scanning electron microscope (SEM). The results of the experiment showed that surface grinding parameters that significantly influence grinding force were depth of cut and abrasive type. Surface roughness was affected by depth of cut and feeding speed. Surface grinding parameters that significantly influenced crack density were abrasive type and depth of cut. The use of green silicone abrasive type will reduce grinding force, burning and crack density. Increasing feeding speed will reduce surface roughness and burning. Increasing depth of cut will lead to an increase of surface roughness, grinding force, crack density and burning. Surface grinding process using a small depth of cut produced chip with lamellar and leafy shape, while using a high depth of cut produced chip with leafy, spherical, lamellar and irregular shape. Keywords: abrasive, grinding force, surface grinding, surface integrity, chip formation
v
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT., karena atas Rahmat dan Kuasa-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Teknik pada Program Studi Sistem Manufaktur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak atas segala bantuan, dukungan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan tesis ini. Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Ir. Bobby O. P. Soepangkat, M.Sc, Ph.D. dan Bapak Ir. Hari Subiyanto, M.Sc. sebagai dosen pembimbing. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Wajan Berata, DEA dan Ibu Dr. Ir. H.C. Kis Agustin, DEA sebagai dosen penguji tesis. 3. Ibu, Bapak dan Adik tersayang, Kartini, Budi Bisono dan Rahayu, yang telah banyak memberikan dukungan, semangat dan serta doa restunya. 4. Eva Lailatul Qodriyah, yang selalu memberi semangat. 5. Seluruh staf dan karyawan Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri dan Program Pascasarjana ITS atas bantuan dan dukungannya. 6. Teman-teman mahasiswa S2 Sistem Manufaktur angkatan 2012. 7. Segenap keluarga besar Teknik Mesin ITS yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Penulis mengharapkan agar tesis ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca dan penelitian selanjutnya. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan sehingga tesis ini bisa lebih sempurna.
Surabaya, Juli 2014
Penulis
vi
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL INDONESIA........................................................................... i HALAMAN JUDUL INGGRIS................................................................................ ii LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................... iii ABSTRAK................................................................................................................. iv ABSTRACT............................................................................................................... v KATA PENGANTAR............................................................................................... vi DAFTAR ISI.............................................................................................................. vii DAFTAR GAMBAR................................................................................................. ix DAFTAR TABEL...................................................................................................... xi
BAB I
PENDAHULUAN.................................................................................... 1.1 Latar Belakang.................................................................................... 1.2 Rumusan Masalah............................................................................... 1.2.2. Batasan Masalah...................................................................... 1.2.3. Asumsi Penelitian.................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian................................................................................ 1.4 Manfaat Penelitian...............................................................................
1 1 3 3 3 3 4
BAB II
DASAR TEORI........................................................................................ 5 2.1 Proses Pemesinan Abrasif (Abrasive Machining) .............................. 5 2.2 Proses Pemesinan Gerinda Permukaan ................................................. 5 2.3 Mekanisme Pembentukan Geram ...................................................... 7 2.4 Roda Gerinda .................................................................................... 10 2.5 Balancing dan Dressing ..................................................................... 13 2.6 Cairan Pendingin ............................................................................... 14 2.7 Integritas Permukaan (Surface Integrity) Benda Kerja...................... 15 2.7.1 Retak Mikro .............................................................................. 15 2.7.2 Surface Burning ....................................................................... 16 2.7.3 Kekasaran Permukaan Benda Kerja ......................................... 17 2.8 Keausan Dalam Proses Gerinda Permukaan ..................................... 20 2.9 Metode Faktorial ................................................................................ 22 2.10Desain Eksperimen ............................................................................ 23 2.9.1 Tahap Perencanaan ................................................................... 23 2.9.2 Tahap Pelaksanaan .................................................................... 25 2.9.3 Tahap Analisis .......................................................................... 25
BAB III METODOLOGI PENELITIAN............................................................ 29 3.1 Tahapan Penelitian.............................................................................. 29 3.2 Variabel-variabel dalam Penelitian..................................................... 30 3.3 Bahan dan Peralatan Penelitian.......................................................... 32 vii
3.3.1 Bahan Penelitian........................................................................ 3.3.2 Peralatan Penelitian................................................................... 3.4 Prosedur Penelitian............................................................................. 3.5 Pengukuran dan Pengambilan Data.................................................... 3.5.1 Pengamatan Surface Burning .................................................. 3.5.2 Pengukuran Gaya Penggerindaan ............................................ 3.5.3 Pengukuran Kekasaran Permukaan ......................................... 3.5.4 Pengambilan Foto Kepadatan Retakan ................................... 3.5.5 Pengambilan Foto Bentuk Geram ........................................... 3.6 Rancangan Percobaan .......................................................................
32 33 38 39 39 40 40 41 41 41
BAB IV ANALISIS` DATA DAN PEMBAHASAN ......................................... 43 4.1 Data Hasil Eksperimen ..................................................................... 43 4.2 Pengaruh Variabel Proses Terhadap Gaya Potong ........................... 44 4.3 Pengaruh Variabel Proses Terhadap Kekasaran Permukaan ............. 50 4.4 Pengaruh Variabel Proses Terhadap Surface Burning ....................... 55 4.5 Pengaruh Variabel Proses Terhadap Kepadatan Retakan .................. 61 4.6 Pengaruh Variabel Proses Terhadap Bentuk Geram .......................... 66 4.7 Diskusi dan Pembahasan .................................................................... 70 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 73 5.1 Kesimpulan ........................................................................................ 73 5.2 Saran ................................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
viii
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 2.6 Gambar 2.7 Gambar 2.8 Gambar 2.9 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 3.3 Gambar 3.4 Gambar 3.5 Gambar 3.6 Gambar 3.7 Gambar 3.8 Gambar 3.9 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5 Gambar 4.6 Gambar 4.7 Gambar 4.8 Gambar 4.9 Gambar 4.10 Gambar 4.11 Gambar 4.12 Gambar 4.13
Proses Gerinda Permukaan .......................................................................... Tiga Tipe Aksi Dari Butiran Abrasif ........................................................... Mekanisme Pembentukan Geram ................................................................ Lingkaran Gaya Pemotongan ...................................................................... Struktur Roda Gerinda ................................................................................ Foto SEM Retakan pada Baja AISI D2 Hasil Proses Gerinda Permukaan Parameter Dalam Profil Permukaan ............................................................ Keausan Adhesif ........................................................................................ Two Body Abrasion ..................................................................................... Diagram Alir Metodologi Penelitian............................................................ Benda Kerja ................................................................................................. Mesin Gerinda Permukaan Model KGS818AHD ....................................... Scanning Electron Microscope (SEM) EVO MA10 ……………………... Mitutoyo Surftest 301 …………………...................................................... Dinamometer KISTLER tipe 9272 ............................................................. DAQ Kistler tipe 567A ………………………………............................... Charge Amplifier tipe 5070A ...................................................................... Skema dan Arah Proses Penggerindaan dan Pengukuran Kekasaran ......... Gaya Normal (Fz) yang Terjadi pada Proses Gerinda Permukaan .............. Gaya Tangensial (Fx) yang Terjadi pada Proses Gerinda Permukaan ......... Grafik Pengaruh Kedalaman Potong Terhadap Gaya Potong ..................... Histogram Hubungan Tipe Abrasif, Kecepatan Makan dan Kedalaman Potong Terhadap Gaya Potong .................................................................... Grafik Pengaruh Kedalaman Potong Terhadap Kekasaran Permukaan pada Kecepatan Makan 250 mm/s .............................................................. Histogram Hubungan Tipe Abrasif, Kecepatan Makan dan Kedalaman Potong Terhadap Kekasaran Permukaan ..................................................... Morfologi Permukaan Benda Kerja yang Menunjukkan Celah .................. Foto SEM Globules Pada Permukaan Benda Kerja .................................... Surface Burning pada Proses Gerinda Permukaan dengan Tipe Roda Gerinda Aluminum Oxide ............................................................................ Surface Burning pada Proses Gerinda Permukaan dengan Tipe Roda Gerinda Green Silicone ............................................................................... Hasil Foto SEM Retak Mikro pada Permukaan Benda Kerja ..................... Hasil Foto SEM Retak Mikro pada Permukaan Benda Kerja dengan Kedalaman Potong yang Berbeda ............................................................... Hasil foto SEM Retak Mikro pada Permukaan Benda Kerja dengan Tipe Abrasif yang Berbeda .................................................................................
ix
6 8 9 10 12 15 17 21 21 29 32 34 34 35 35 37 37 40 45 45 48 48 52 53 54 55 56 57 61 65 66
Gambar 4.14 Gambar 4.15 Gambar 4.16 Gambar 4.17 Gambar 4.18 Gambar 4.19
Foto SEM Geram dengan Tipe Abrasif Aluminum Oxide dan Kedalaman Potong 0.01 mm .......................................................................................... Foto SEM Geram dengan Tipe Abrasif Aluminum Oxide dan Kedalaman Potong 0.03 mm .......................................................................................... Foto SEM Geram dengan Tipe Abrasif Aluminum Oxide dan Kedalaman Potong 0.06 mm .......................................................................................... Foto SEM Geram dengan Tipe Abrasif Green Silicone dan Kedalaman Potong 0.01 mm .......................................................................................... Foto SEM Geram dengan Tipe Abrasif Green Silicone dan Kedalaman Potong 0.03 mm .......................................................................................... Foto SEM Geram dengan Tipe Abrasif Green Silicone dan Kedalaman Potong 0.06 mm ..........................................................................................
x
67 67 68 69 69 70
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 2.4 Tabel 2.5 Tabel 2.6 Tabel 2.7 Tabel 2.8 Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 3.3 Tabel 3.4 Tabel 3.5 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7 Tabel 4.8 Tabel 4.9 Tabel 4.10 Tabel 4.11 Tabel 4.12 Tabel 4.13 Tabel 4.14 Tabel 4.15
Contoh Kodifikasi Roda Gerinda Berdasarkan ISO ................................... Ukuran Grit ................................................................................................. Nilai Kekerasan Roda Gerinda ................................................................... Jenis Bahan Pengikat .................................................................................. Angka Kekasaran dan Panjang Sampel Standar ......................................... Nilai Kekasaran yang Dicapai oleh Beberapa Pengerjaan........................... Susunan Data Untuk Sebuah Rancangan Faktorial Tiga Faktor ................ Tabel Analisis Variansi (ANAVA) Dua Arah............................................. Komposisi Kimia SKD 11 .......................................................................... Sifat Mekanik SKD 11 ................................................................................ Spesifikasi Roda Gerinda ........................................................................... Spesifikasi Dinamometer Kistler 9272 ....................................................... Isian Rancangan Percobaan ........................................................................ Data Gaya Potong Hasil Eksperimen ......................................................... Data Kekasaran Permukaan Hasil Eksperimen........................................... Analisis Variansi (ANAVA) Variabel Proses pada Gaya Potong .............. Hasil Uji Tukey pada Tipe Abrasif ............................................................ Hasil Uji Tukey pada Kecepatan Makan ................................................... Hasil Uji Tukey pada Kedalaman Potong ................................................. Analisis Variansi (ANAVA) Variabel Proses pada Kekasaran Permukaan Hasil Uji Tukey pada Tipe Abrasif ............................................................ Hasil Uji Tukey pada Kecepatan Makan ................................................... Hasil Uji Tukey pada Kedalaman Potong ................................................. Klasifikasi Derajat Burning ....................................................................... Data Derajat Burning Hasil Eksperimen ................................................... Hasil Pengukuran Kepadatan Retakan ...................................................... Analisis Variansi (ANAVA) Faktor pada Kepadatan Retakan ................. Pengaruh Kedalaman Potong Terhadap Bentuk Geram ............................
xi
11 11 12 13 19 20 23 26 32 33 33 36 42 43 44 46 47 47 47 50 51 51 51 58 59 62 63 70
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Gerinda permukaan (surface grinding) adalah salah satu proses finishing
untuk menghasilkan permukaan yang datar dan halus sesuai dengan ketelitian dimensi dan bentuk yang dikehendaki. Proses gerinda permukaan menghasilkan akurasi dimensi yang tinggi, kekasaran permukaan yang rendah dan dapat diaplikasikan untuk material yang telah dikeraskan (heat-treated). Oleh karena itu proses ini sering digunakan ketika geometri, dimensi dan toleransi dari benda kerja tidak dapat dicapai dengan proses pemesinan yang lain, seperti proses bubut, freis maupun sekrap. Material untuk alat-alat potong seperti pahat, dies dan punch biasanya dipilih berdasarkan sifatnya yang keras dan tahan aus. Salah satu material yang sering dipakai adalah SKD11 yang telah dikeraskan. Karena persyaratan geometri, dimensi dan kualitas permukaan untuk peralatan-peralatan tersebut umumnya sangat ketat, maka proses gerinda biasanya digunakan untuk memenuhi spesifikasi-spesifikasi yang disyaratkan (Kopack, 2006). Tetapi ada hal yang perlu diperhatikan dalam proses gerinda permukaan, karena proses ini menghasilkan gaya-gaya dan panas yang dapat menimbulkan pengaruh negatif terhadap integritas permukaan benda kerja (IPBK) dari alat-alat potong yang telah disebutkan diatas apabila tidak dikendalikan dengan benar. Proses ini juga menghasilkan kecepatan penghasilan geram yang rendah, karena hanya mungkin dilakukan dengan kedalaman potong (depth of cut) yang tipis, sehingga jika tidak dikendalikan dengan benar waktu untuk penggerindaan akan semakin lama. Pemilihan jenis, bentuk dan dimensi dari roda gerinda yang dipakai juga perlu mendapat perhatian supaya proses gerinda dapat dilaksanakan dengan efisien. Kualitas permukaan benda kerja berhubungan dengan kualitas dari permukaan yang diproses (Shaw, 1994). IPBK adalah kondisi permukaan benda kerja setelah mengalami proses pemesinan. Ada dua karakteristik dari IPBK, yaitu karakteristik topografi dan karakteristik lapisan permukaan. Karakteristik topografi terdiri dari kekasaran permukaan, gelombang dan kesalahan bentuk,
1
sedangkan karakteristik lapisan permukaan yang dapat berubah selama proses pemesinan antara lain deformasi plastis, tegangan sisa, surface burning dan retak mikro. Alat-alat potong yang telah disebutkan harus memiliki sifat-sifat permukaan yang baik. Proses gerinda permukaan juga harus mampu membuat permukaan dari alat-alat potong tersebut memiliki ketahanan terhadap korosi (Demir, 2003). Proses gerinda permukaan menghasilkan berbagai macam bentuk geram. Bentuk geram tergantung pada material benda kerja, jenis proses pemesinan dan kondisi pemotongan yang digunakan. Performansi dari proses gerinda bisa dievaluasi berdasarkan mekanisme pembentukan geram, dengan melakukan pengamatan dan analisis terhadap geram yang terbentuk. Geram hasil proses penggerindaan biasanya berbentuk lamellar, spherical, leafy, tidak teratur dan blocky particles. Bentuk geram yang terjadi utamanya dipengaruhi oleh material benda kerja, ukuran butir-butir abrasif (grain) roda gerinda, kecepatan makan dan metode pendinginan yang digunakan (Dhar dkk., 2006). Seperti halnya dengan proses-proses pemesinan lainnnya dimana pahat potong memegang peranan utama, maka roda gerinda harus dipilih dengan seksama, baik bentuk, dimensi, maupun jenisnya. Jenis roda gerinda beragam tergantung pada kebutuhan proses gerinda. Serbuk abrasif merupakan bagian yang aktif yang berfungsi sebagai mata potong yang tersebar diseluruh permukaan roda gerinda. Saat ini ada empat macam serbuk gerinda yang umum dipakai, yaitu jenis oksida aluminium, karbida silikon, karbida, dan intan. Jenis roda gerinda juga berpengaruh pada grindability dan tegangan sisa. Dengan menggunakan material roda gerinda jenis oksida aluminium yang diproduksi dengan teknik sol gel (SG), maka grindability akan meningkat dan tegangan sisa akan menurun jika dibandingkan dengan material roda gerinda jenis oksida aluminium yang diproduksi dengan cara konvensional (Fathallah dkk., 2009). Selain jenis roda gerinda, kedalaman potong juga berpengaruh terhadap kakasaran permukaan. Semakin besar kedalaman potong yang digunakan, maka tingkat kekasaran permukaan benda kerja juga akan meningkat (Nguyen, 2003).
2
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka rumusan masalah
pada tesis ini adalah bagaimana pengaruh dari tipe abrasif dan variabel proses gerinda permukaan (kecepatan makan dan kedalaman potong) terhadap gaya potong, IPBK dan MPG.
1.2.1 Batasan Masalah Batasan masalah yang diberlakukan agar penelitian dapat berjalan secara fokus dan terarah, serta dapat mencapai tujuan yang diinginkan adalah sebagai berikut: 1.
Tidak membahas komponen biaya pada proses pemesinan.
2.
Tidak membahas getaran pada poros gerinda.
3.
Tidak membahas pengaruh cairan pendingin secara kimiawi.
4.
Material yang digunakan belum mengalami proses perlakuan panas.
5.
Foto retakan pada permukaan benda kerja diambil secara acak.
1.2.2 Asumsi Penelitian Asumsi-asumsi yang diberlakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Variabel-variabel proses/faktor–faktor yang tidak diteliti dianggap konstan dan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap hasil penelitian. 2. Faktor interaksi tidak digunakan dalam penelitian ini. 3. Sifat mekanik dan komposisi kimia material yang digunakan adalah homogen. 4. Mesin bekerja dalam kondisi baik selama proses pemesinan. 5. Alat ukur yang digunakan selama proses pemesinan layak dan terkalibrasi.
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian berdasarkan rumusan masalah adalah mengetahui
bagaimana pengaruh dari tipe abrasif dan variabel-variabel proses gerinda permukaan (kecepatan makan dan kedalaman potong) terhadap gaya potong, IPBK dan MPG. 3
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Sebagai
bahan
referensi
bagi
penelitian
selanjutnya
untuk
mengembangkan hubungan antara tipe abrasif dan variabel-variabel proses gerinda permukaan (kecepatan makan dan kedalaman potong), terhadap gaya potong, IPBK dan MPG pada proses penggerindaan baja perkakas SKD11. 2.
Meningkatkan pengetahuan tentang teknologi proses pemesinan gerinda permukaan untuk pembuatan komponen-komponen pemesinan yang presisi.
4
BAB II DASAR TEORI 2.1 Proses Pemesinan Abrasif (Abrasive Machining) Proses manufaktur seringkali tidak bisa menghasilkan benda kerja dengan akurasi dimensi atau tingkat kekasaran tertentu. Ada banyak factor yang menjadi penyebabnya, misalnya material yang dikerjakan terlalu keras atau terlalu getas. Salah satu proses yang umum digunakan untuk menghasilkan benda kerja dengan karakteristik tertentu diatas adalah dengan abrasive machining. Abrasive machining adalah proses pemesinan dimana pelepasan material dari benda kerja menggunakan partikel abrasif. Proses pemesinan ini bekerja dengan cara menggesekkan partikel abrasif ke permukaan benda kerja mirip dengan proses pemesinan konvensional seperti freis atau bubut, karena masing-masing dari partikel abrasif bertindak seperti miniatur pahat potong. Tetapi geometri dan orientasi dari miniatur pahat potong yang berupa partikel ini tidak didefinisikan dengan baik. Hal ini menghasilkan panas yang tinggi (Groover, 2010). Proses abrasif dapat dibagi menjadi dua kategori berdasarkan tipenya, yaitu: 1. Proses abrasif berikat (Bonded abrasive processes) dimana partikel abrasif direkatkan antara satu dengan yang lain dengan menggunakan perekat tertentu. 2. Proses abrasif lepas (Loose abrasive processes) dimana tidak ada struktur yang merekatkan partikel abrasif satu dengan yang lain.
2.2 Proses Pemesinan Gerinda Permukaan Proses gerinda adalah salah satu tipe dari abrasive machining yang digunakan untuk proses finishing. Proses ini merupakan proses pelepasan material dengan menggunakan pahat yang berupa roda gerinda berbentuk piringan (grinding wheel/disk), yang dibuat dari campuran serbuk abrasif dan bahan pengikat dengan komposisi dan struktur tertentu (Rochim, 1993). Dengan menggunakan proses gerinda maka kekasaran permukaan produk yang rendah dan toleransi geometrik yang sempit dapat dicapai dengan cara yang mudah, serta
5
dapat digunakan untuk menghaluskan dan meratakan benda kerja yang telah dikeraskan. Secara garis besar proses gerinda digolongkan menjadi 2 jenis, tergantung pada bentuk permukaan yang dihasilkan (Rochim, 1993), yaitu : 1. Gerinda silindrik (cylindrical grinding) untuk menghasilkan permukaan silindrik. 2. Gerinda permukaan (surface grinding) untuk menghasilkan permukaan rata/datar. Pelepasan material pada proses gerinda terjadi karena kondisi cutting antara roda gerinda dengan permukaan benda kerja. Permukaan benda kerja mendapat tekanan yang akan menimbulkan konsentrasi tegangan di daerah sekitar titik penekanan mata potong pahat. Hal ini menyebabkan terjadi deformasi plastis yang menggeser dan memutuskan benda kerja diujung pahat pada suatu bidang geser. Proses
gerinda
permukaan
dipengaruhi
o leh
pemotongan seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Proses gerinda permukaan (Rochim, 1993)
6
beberapa
parameter
Dengan: lt
: jarak gerak melintang; (mm)
lw
: panjang penggerindaan benda kerja; (mm)
ln
: panjang langkah pengakhiran; (mm)
lv
: panjang langkah pengawalan; (mm)
v
: kecepatan makan tangensial; (mm/s)
fa
: gerak makan aksial; (mm/langkah)
fr
: gerak makan radial; (mm/langkah)
D
: diameter roda gerinda; (mm)
bs
: lebar roda gerinda; (mm)
ns
: putaran roda gerinda; (r/min)
V
: kecepatan periferal roda gerinda; (m/s)
d
: kedalaman potong; (mm)
w
: lebar benda kerja; (mm)
Roda gerinda yang dipasang pada poros utama berputar dengan kecepatan periferal tertentu tergantung pada diameter roda gerinda dan putarannya. Kecepatan periferal pada tepi roda gerinda dapat dihitung dengan rumus berikut (Rochim, 1993),
=
60000
/
(2.1)
Dengan: vs
: kecepatan periferal roda gerinda; (m/s)
ds
: diameter roda gerinda; (mm)
ns
: putaran roda gerinda; (r/min)
2.3 Mekanisme Pembentukan Geram Mekanisme pembentukan geram dalam proses gerinda permukaan sama seperti mekanisme pembentukan geram pada proses pemesinan konvensional yang lain. Pada proses pemesinan gerinda permukaan, masing-masing butiran
7
abrasif dari roda gerinda bertindak seperti miniatur pahat potong. Geometri dan orientasi dari butiran abrasif ini bersifat acak dan ketika proses gerinda permukaan berlangsung tidak semua butiran abrasif memotong benda kerja. Dalam proses gerinda permukaan ada tiga tipe aksi dari butiran abrasif yaitu, cutting, plowing dan rubbing. Cutting adalah kondisi dimana butiran abrasif cukup panjang untuk menyentuh benda sehingga memungkinkan proses pemotongan terjadi. Plowing adalah kondisi dimana butiran abrasif menyentuh benda kerja tetapi tidak cukup panjang. Hal ini mengakibatkan permukaan benda kerja terdeformasi, tetapi tidak terjadi pemotongan. Rubbing adalah kondisi dimana butiran abrasif menyentuh permukaan benda kerja. Permukaan benda kerja tidak terdeformasi dan tidak terjadi pemotongan. Dalam kondisi ini butiran abrasif dan permukaan benda kerja hanya bergesekan. Ilustrasi ketiga kondisi tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Tiga tipe aksi dari butiran abrasif: (a) Cutting (b) Plowing (c) Rubbing (Groover, 2010) Ketika kondisi cutting pada proses gerinda permukaan terjadi, permukaan benda kerja mendapat tekanan yang akan menimbulkan konsentrasi tegangan di daerah sekitar titik penekanan mata potong pahat. Tegangan pada benda kerja tersebut mempunyai orientasi yang kompleks dan pada salah satu arah akan terjadi tegangan geser yang maksimum. Apabila tegangan geser ini melebihi yield point benda kerja, maka akan terjadi deformasi plastis yang menggeser dan memutuskan benda kerja diujung pahat pada suatu bidang geser. Sudut geram pada butiran abrasif roda gerinda bersifat acak dan tersebar diseluruh permukaan roda gerinda. Ilustrasi pembentukan geram pada proses gerinda permukaan dengan bebarapa sudut geram ditunjukkan pada Gambar 2.3.
8
(a)
(b)
(c)
Gambar 2.3 Mekanisme pembentukan geram pada proses gerinda permukaan, (a) sudut geram positif, (b) sudut geram 90o, (c) sudut geram negatif Sistem gaya pada proses gerinda permukaan mempunyai prinsip yang sama dengan proses pemesinan konvensional yang lain. Berdasarkan teori Merchant, sistem gaya dipandang hanya pada satu bidang, sehingga gaya total dapat diuraikan menjadi dua komponen gaya yang saling tegak lurus. Penguraian gaya dalam hal ini dapat dikemukakan dalam tiga cara (Rochim, 1993), yaitu: 1.
Gaya total (F), ditinjau dari proses deformasi material, dapat diuraikan menjadi dua komponen, yaitu: Fs
: gaya geser yang mendeformasikan material pada suatu bidang geser sehingga melampaui batas elastis.
Fsn
: gaya normal pada bidang geser yang menyebabkan pahat tetap menempel pada benda kerja.
2.
Gaya total (F) dapat diketahui arah dan besarnya dengan menggunakan dinamometer. Komponen gaya yang diukur adalah:
3.
Fx
: gaya tangensial, searah dengan sumbu X.
Fz
: gaya normal, searah dengan sumbu Z.
Gaya total (F) yang bereaksi pada bidang geram, dapat diuraikan menjadi dua komponen, yaitu: F
: gaya gesek pada bidang geram.
Fn : gaya normal pada bidang geram. Karena berasal dari satu gaya, yaitu gaya total (F), maka Merchant membuat suatu ilustrasi dimana gaya-gaya tersebut dilukiskan pada suatu lingkaran dengan
9
diameter yang sama dengan gaya total. Gambar 2.4. menunjukkan lingkaran gaya pemotongan pada sudut geram positif.
Gambar 2.4 Lingkaran gaya pemotongan 2.4 Roda Gerinda Seperti halnya dengan proses pemesinan yang lain dimana pahat memegang peranan utama sebagai media potong, maka untuk proses gerinda yang berfungsi sebagai media potong adalah roda gerinda. Roda gerinda harus dipilih dengan seksama berdasarkan bentuk, dimensi dan jenisnya supaya proses gerinda dapat dilaksanakan dengan efisien. Untuk membantu pemilihan roda gerinda maka International Organization for Standardization (ISO) merekomendasikan pemakaian jenis roda gerinda yang telah distandarkan (ISO 525-1999). Berdasarkan ISO setiap roda gerinda memiliki kode tertentu yang berisi informasi mengenai spesifikasi dari roda gerinda dalam bentuk serangkaian huruf dan angka. Bentuk umum dari kodifikasi roda gerinda berdasarkan ISO dapat dilihat pada Tabel 2.1.
10
Tabel 2.1 Contoh Kodifikasi Roda Gerinda Berdasarkan ISO Contoh kodifikasi
51
A
36
L
5
V
23
50
0
1
2
3
4
5
6
7
Urutan spesifikasi
Dengan: 0 : Spesifikasi serbuk abrasif: sesuai dengan klasifikasi lebih lanjut dari pabrik pembuat. 1 : Jenis serbuk abrasif: dimana jenis serbuk abrasif yang sering dipakai adalah aluminum oxide, silicon carbide, cubic boron nitride (CBN) dan diamond (Boothro yd, 2006). 2 : Ukuran grit: dimana angka yang besar menunjukkan bahwa ukuran serbuknya kecil. Berdasarkan ISO, ukuran grit dapat dilihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Ukuran Grit Macrogrits
Microgrits
Coarse
Medium
Fine
Very fine
4
30
70
230
5
36
80
240
6
40
90
280
7
46
100
320
8
54
120
360
10
60
150
400
12
180
500
14
220
600
16
800
-
20
-
1000
22
1200
24
-
Sumber: ISO 525-1999
11
3 : Nilai kekerasan roda gerinda atau kekuatan ikatan serbuk abrasif: dimana nilai kekerasan diidentifikasikan oleh urutan huruf dari A hingga Z secara berurutan dengan tingkat kekerasan makin tinggi. Berdasarkan ISO, nilai kekerasan roda gerinda dapat dilihat pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Nilai Kekerasan Roda Gerinda A
B
C
D
Extremely soft
E
F
G
-
Very soft
H
I
J
K
Soft
L
M
N
O
Medium
P
Q
R
S
Hard
T
U
V
W
Very hard
X
Y
Z
-
Extremely hard
Sumber: ISO 525-1999 4 : Struktur roda gerinda: yang menyatakan kerapatan atau konsentrasi serbuk abrasif persatuan luas. Struktur dalam roda gerinda terdiri dari butiran abrasif, bahan pengikat dan pori-pori. Struktur tersebut diidentifikasikan dengan menggunakan angka 0 sampai 30. Angka yang kecil menunjukkan bahwa roda gerinda mempunyai kerapatan serbuk yang tinggi. Ilustrasi struktur dari roda gerinda dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Struktur roda gerinda (Groover, 2010) 5 : Jenis bahan pengikat serbuk abrasif: berdasarkan ISO jenis bahan pengikat diidentifikasikan pada Tabel 2.4 sebagai berikut:
12
Tabel 2.4 Jenis Bahan Pengikat V
Vitrified bond
R RF B
Rubber bond Reinforced rubber bond Resinoid and other thermosetting organic bonds
BF Resinoid bond fiber reinforced E Shellac bond MG Magnesite Bond PL Plastic Bond Sumber: ISO 525-1999 6 : Spesifikasi bahan pengikat: yang berupa angka dan hanya dicantumkan bila perlu, sesuai dengan jenis dan modifikasi yang dilakukan oleh pabrik pembuat. 7 : Kecepatan periferal maksimum roda gerinda: dengan satuan m/s.
2.5 Balancing dan Dressing Pelepasan material pada proses gerinda terjadi karena gesekan antara roda gerinda dengan benda kerja. Proses ini terjadi pada putaran yang tinggi. Hal yang perlu diperhatikan dalam proses gerinda adalah keseimbangan dari roda gerinda itu sendiri. Roda gerinda yang tidak seimbang dapat pecah ketika berputar dengan kecepatan tinggi dan bisa mengakibatkan cedera, terhadap operator maupun kerusakan terhadap benda kerja (Black, 2004). Roda gerinda yang tidak seimbang juga akan menghasilkan permukaan akhir yang buruk dan dapat menyebabkan keausan pada bantalan poros. Roda gerinda yang tidak seimbang bisa disebabkan oleh campuran perekat dan abrasif yang tidak merata maupun sebagian roda gerinda basah karena oli atau air, sehingga diperlukan proses balancing terhadap roda gerinda sebelum digunakan. Balancing adalah proses penyeimbangan roda gerinda dengan penambahan dua atau tiga bobot penyeimbang, sehingga roda gerinda tidak berat pada satu titik. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam proses gerinda permukaan adalah tumpulnya sisi potong pada roda gerinda. Dalam hal ini diperlukan dressing untuk menghilangkan butiran abrasif yang sudah tumpul,
13
sehingga muncul sisi potong yang baru yang membuat kemampuan potong menjadi optimal lagi.
2.6 Cairan Pendingin Proses pemesinan gerinda permukaan menghasilkan panas yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan proses pemesinan yang lain. Hal ini mengakibatkan kerusakan pada permukaan benda kerja (surface burning dan retakan). Panas yang tinggi ini disebabkan oleh geometri butiran-butiran abrasif yang tidak beraturan. Hal ini menciptakan kondisi sumber-sumber panas seperti kondisi plowing, rubbing dan rake angle negatif yang besar. Cairan pendingin yang diberikan pada benda kerja pada saat proses gerinda permukaan akan berfungsi sebagai penyerap panas, sehingga tingkat distribusi panas yang terjadi selama proses gerinda permukaan berkurang. Cairan pendingin juga berfungsi sebagai pelumas yang dapat mengurangi gesekan antara roda gerinda dengan geram maupun dengan permukaan benda kerja. Selain sebagai pelumas dan penyerap panas, cairan pendingin dalam beberapa kasus mampu menurunkan gaya potong dan memperhalus permukaan material. Fungsi lain dari cairan pendingin adalah sebagai pembersih atau pembilas geram pada waktu proses gerinda permukaan. Cairan pendingin yang biasa dipakai dalam proses pemesinan dapat diklasifikasikan dalam empat jenis utama, yaitu: a.
Cairan Sintetik (Synthetic Oils) Cairan sintetik adalah cairan jernih yang dibuat dengan melarutkan borat,
nitrit, nitrat atau f osfat ke dalam air. Larutan ini tidak bersifat melumasi dan dipakai untuk penyerapan panas yang tinggi. Cairan sintetik merupakan cairan dengan penyerapan panas yang terbaik diantara semua cairan pendingin. b.
Cairan Emulsi (Soluble Oils) Cairan emulsi adalah cairan minyak dengan unsur pengemulsi yang
dicampur dengan air. Cairan emulsi mempunyai daya lumas dan penyerapan terhadap panas yang baik. Unsur pengemulsi yang dipakai adalah sabun yang berupa amine soaps, rosin soaps atau naphthenic acids.
14
c.
Cairan Semi Sintetik (Semi Synthetic Oils) Cairan semi sintetik adalah cairan pendingin kombinasi antara cairan
sintetik dan cairan emulsi, sehingga memiliki karakteristik keduanya. Cairan semi sintetik mempunyai daya pendingin yang baik dan bahan dasar pembentuknya dapat bercampur dengan air. d.
Minyak Murni (Straight Oils) Minyak murni adalah cairan pendingin yang dibuat dari minyak. Cairan ini
tidak dapat diemulsikan dan digunakan pada proses pemesinan dalam bentuk yang sudah diencerkan. Cairan minyak dapat berupa
salah satu atau gabungan
minyak bumi, minyak hewani dan minyak nabati. Viskositas dari minyak murni dapat bermacam-macam, dari yang encer sampai dengan yang
kental
tergantung dari pemakaiannya.
2.7 Integritas Permukaan (Surface Integrity) Benda Kerja 2.7.1 Retak Mikro Retak mikro merupakan salah satu aspek dari surface integrity. Gambar 2.6 menunjukkan foto SEM retakan yang terjadi pada baja AISI D2.
(a)
(b)
Gambar 2.6 Foto SEM retakan pada baja AISI D2 hasil proses gerinda permukaan (a) retakan yang terjadi pada benda kerja yang menggunakan roda gerinda alluminum oxide (b) retakan yang terjadi pada benda kerja yang menggunakan roda gerinda sol-gel (Fathallah dkk., 2009). Adanya retakan akan menyebabkan peralatan-peralatan hasil proses gerinda permukaan tidak dapat berfungsi dengan baik. Pada proses pemesinan gerinda
15
permukaan, retakan yang terjadi pada benda kerja disebabkan oleh faktor kedalaman potong (Fathallah dkk., 2009). Selain itu, tipe abrasif, metode pendinginan yang digunakan dan konduktivitas termal yang dimiliki oleh roda gerinda juga mempengaruhi terjadinya retakan. Jika suatu material diamati lebih lanjut, maka morfologi permukaan menunjukkan bahwa parameter-parameter proses gerinda permukaan yang berbeda menyebabkan kepadatan-kepadatan retakan permukaan yang berbeda. Retakan permukaan adalah salah satu sumber yang potensial untuk terjadinya kegagalan komponen, sehingga diperlukan pengkualifikasian derajat dari retakan dengan menggunakan standar yang bersifat objektif. Pengkualifikasian dengan cara mengestimasi lebar, panjang atau kedalaman retakan atau bahkan jumlah dari retakan, tidak mudah untuk dilakukan. Oleh karena itu, Lee dan Tai (2003) mendefinisikan suatu kepadatan retakan permukaan sebagai rasio antara panjang retakan keseluruhan di penampang yang diamati dengan luas penampang yang diamati, untuk mengevaluasi seberapa parah keretakan yang terjadi. Dengan demikian, kepadatan retakan permukaan (KRP) dapat dirumuskan sebagai berikut: KRP =
[
]
[
]
(2.2)
2.7.2 Surface Burning Surface burning merupakan salah satu kerusakan termal yang terjadi selama proses gerinda permukaan. Hal ini terjadi pada area gesekan antara roda gerinda dengan permukaan benda kerja dimana pada area ini temperatur naik sangat tinggi. Surface burning ditandai dengan perubahan warna dari permukaan benda kerja hasil proses gerinda. Secara visual perubahan warna yang terjadi adalah warna biru kemerah-merahan. Perubahan warna yang terjadi ini seringkali terjadi tanpa disertai adanya kerusakan secara metalurgi. Tetapi hal ini merupakan indikator bahwa kerusakan termal telah terjadi dan jika tidak dikendalikan dengan benar maka akan terjadi kerusakan permukaan yang lebih lanjut. Surface burning disebabkan karena lapisan permukaan yang tipis pada benda kerja teroksidasi dan juga metode pendinginan yang kurang tepat. Selain itu, komposisi kimia, perlakuan panas dan bentuk dari material juga berpengaruh terhadap fenomena surface burning.
16
2.7.3 Kekasaran Permukaan Benda Kerja Kekasaran permukaan didefinisikan sebagai ketidakteraturan konfigurasi permukaan pada suatu benda atau bidang. Hal ini terjadi karena terjadinya berbagai penyimpangan selama proses pemesinan, sehingga permukaan yang mempunyai bentuk sempurna tidak dapat dibuat. Posisi Ra, bentuk profil, panjang sampel dan panjang pengukuran yang dibaca oleh alat ukur kekasaran permukaan dapat dilihat pada Gambar 2.7
Gambar 2.7 Parameter dalam profil permukaan (Rochim, 2001) Keterangan Gambar 2.7 adalah sebagai berikut: a.
Profil Geometris Ideal (Geometrically Ideal Profile) Profil ini merupakan profil dari geometris permukaan yang ideal yang tidak mungkin diperoleh karena banyaknya faktor yang mempengaruhi dalam proses pembuatannya. Bentuk dari profil geometris ideal ini dapat berupa garis lurus, lingkaran dan garis lengkung.
b.
Profil Referensi/Acuan/Puncak (Reference Profile) Profil ini digunakan sebagai acuan untuk menganalisis ketidakteraturan konfigurasi permukaan. Profil ini dapat berupa garis lurus atau garis dengan bentuk sesuai dengan profil geometrik ideal, serta menyinggung puncak tertinggi tertinggi profil terukur dalam suatu panjang sampel.
c.
Profil Terukur (Measured Profile) Profil terukur adalah profil dari suatu permukaan terukur.
17
d.
Profil Alas (Root Profile) Profil alas adalah profil referensi yang digeserkan ke bawah (arah tegak lurus terhadap profil geometrik ideal pada suatu panjang sampel) sehingga menyinggung pada titik paling terendah profil terukur.
e.
Profile Tengah (Center Profile) Profil tengah merupakan profil referensi yang digeserkan ke bawah (arah tegak lurus terhadap profil geometrik ideal pada suatu panjang sampel) sedemikian rupa sehingga jumlah luas bagi daerah-daerah diatas profil tengah sampai profil terukur sama dengan jumlah luas daerah-daerah dibawah profil tengah sampai profil terukur. Berdasarkan profil-profil yang diterangkan diatas, dapat didefinisikan
beberapa parameter permukaan, yaitu yang berhubungan dengan dimensi pada arah tegak dan arah memanjang/ mendatar. Untuk dimensi arah tegak dikenal beberapa parameter, yaitu: a. Kekasaran Total (Rt) Kekasaran total adalah jarak antara profil referensi dengan profil alas. b. Kekasaran Perataan (Rp) Kekasaran perataan adalah jarak rata-rata antara profil referensi dengan profil terukur. l
Rp =
1 yi dx l 0
(2.3)
c. Kekasaran Rata-rata Aritmatik (Ra) Kekasaran rata-rata aritmatik adalah harga rata-rata jarak antara profil terukur dengan profil tengah. Secara umum Ra dirumuskan: l
Ra =
1 hi dx l 0
(2.4)
Harga Ra tersebut dapat didekati oleh persamaan: Ra =
1 n hi l i 1
(2.5)
Ra =
h1 h2 h3 ... hn l
(2.6)
18
Dengan: Ra : nilai kekasaran aritmatika. hn : tinggi atau dalam bagian-bagian profil hasil pengukuran jarum peraba. n
: frekuensi pengukuran.
l
: panjang sampel yang telah ditentukan. Dari bermacam-macam parameter permukaan yang disebutkan diatas,
parameter Ra relatif lebih banyak digunakan untuk mengidentifikasikan permukaan.
Hal
ini disebabkan
harga
Ra
lebih
sensitif terhadap
perubahan/penyimpangan yang terjadi pada proses pemesinan. Dengan demikian, jika ada tanda-tanda kenaikan kekasaran maka pencegahan dapat cepat dilakukan. ISO telah mengklasifikasikan nilai kekasaran rata-rata aritmetik (Ra) menjadi 12 tingkat kekasaran seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.5. Angka kekasaran permukaan ini bertujuan untuk menghindari kemungkinan terjadinya kesalahan dalam menginterpretasikan satuan harga kekasaran permukaan. Dengan adanya satuan harga ini, kekasaran permukaan dapat dituliskan langsung dengan menyatakan harga Ra atau dengan menggunakan tingkat kekasaran ISO. Tabel 2.5 Angka Kekasaran dan Panjang Sampel Standar Ra (µm)
Angka kelas
Panjang sampel
kekasaran
(mm)
50
N12
25
N11
12,5
N10
6,3
N9
3,2
N8
1,6
N7
0,8
N6
0,4
N5
0,2
N4
0,1
N3
0,05
N2
0,025
N1
8
Keterangan Sangat kasar
2,5
Kasar
0,8
Normal
0,25
Halus
0,08
Sangat halus
Sumber: Rochim, 2001
19
Beberapa nilai contoh kekasaran yang dapat dicapai oleh beberapa cara pengerjaan ditunjukkan pada Tabel 2.6 (Rochim, 1993). Tabel 2.6 Nilai Kekasaran yang Dicapai Oleh Beberapa Pengerjaan
Keterangan: Kasar
: nilai kekasaran permukaan yang dicapai dengan pengerjaan kasar.
Normal : nilai kekasaran permukaan yang dicapai dengan pengerjaan normal. Halus
: nilai kekasaran permukaan yang dicapai dengan pengerjaan khusus.
2.8 Keausan Pada Proses Gerinda Permukaan Pada proses gerinda permukaan, keausan merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari. Keausan terjadi baik terhadap roda gerinda maupun material benda kerja. Ada beberapa jenis keausan yang terjadi selama proses gerinda permukaan, antara lain: a. Adhesive Wear Keausan adhesif adalah salah satu jenis keausan yang disebabkan oleh terikat dan berpindahnya partikel dari suatu permukaan material yang lunak ke material yang lebih keras. Proses ini bermula ketika benda dengan kekerasan yang lebih
20
tinggi menyentuh permukaan yang lunak dan diikuti dengan terjadinya pengikatan. Pengikatan ini terjadi secara spontan dan pada suhu yang rendah. Ilustrasi dari keausan adhesif dapat dilihat pada Gambar 2.8 berikut:
Gambar 2.8 Keausan adhesif (Syafaat, 2008)
b. Abrasive Wear Keausan abrasif disebabkan oleh hilangnya material dari permukaan benda kerja oleh material lain yang lebih keras. Ada dua kategori keausan ini, yaitu:
Two body abrasion Keausan ini disebabkan oleh hilangnya material karena proses cutting
oleh material yang keras terhadap material yang lunak. Hal ini menyebabkan material yang lunak akan terabrasi. Pada proses pemesinan sering terjadi keausan jenis ini, seperti terlihat pada Gambar 2.9 berikut:
Gambar 2.9 Two body abrasion (Syafaat, 2008)
21
Three body abrasion Keausan jenis ini disebabkan oleh adhesive wear, sehingga serpihan hasil
gesekan yang terbentuk (debris) mengeras serta ikut berperan dalam hilangnya material karena proses gesekan yang terjadi secara berulang-ulang. Jadi pengertian three body disini adalah dua material yang saling bergesekan dan sebuah benda serpihan hasil gesekan. Debris berasal dari serpihan logam yang teradhesi pada permukaan pahat potong, kemudian serpihan ini akan menggaruk permukaan pelat, sehingga terjadilah keausan secara abrasif. c. Surface fatigue wear Keausan lelah pada permukaan pada hakikatnya bisa terjadi baik secara abrasif atau adhesif. Tetapi keausan jenis ini terjadi secara berulang-ulang dan periodik. Hal ini akan berakibat pada meningkatnya tegangan geser. d. Tribo chemical wear Keausan kimiawi merupakan kombinasi antara proses mekanis dan proses termal yang terjadi pada permukaan benda serta lingkungan sekitarnya. Sebagai contoh, proses oksidasi yang terjadi pada sistem kontak luncur (sliding contact) antar logam. Proses ini lama kelamaan akan menyebabkan perambatan retak dan akan menyebabkan korosi pada logam.
2.9 Metode Faktorial Dalam statistika, eksperimen faktorial adalah percobaan yang terdiri dari 2 faktor atau lebih yang masing-masing faktor mempunyai level tertentu. Setiap unit percobaan mengambil semua kemungkinan kombinasi pada tiap-tiap level setiap faktor. Dalam pelaksanaannya percobaan faktorial harus dilakukan secara acak untuk mengurangi bias pada hasil. Metode ini pertama kali digunakan oleh John Bennet Lawes dan Joseph Henry Gilbert pada abad 19 pada percobaan stasiun Rothamsted. Percobaan yang didasarkan pada rancangan faktorial memungkinkan peneliti untuk mempelajari pengaruh setiap faktor terhadap variabel respon, serta efek dari interaksi antara faktor-faktor pada variabel respon. Tabel 2.7 menunjukkan percobaan faktorial dengan dua replikasi. Percobaan ini mencangkup tiga faktor dengan satu faktor memiliki dua level dan dua faktor yang lain memiliki tiga level. 22
Tabel 2.7 Susunan Data Untuk Sebuah Rancangan Faktorial Tiga Faktor Faktor B
A
Level 1
Level 1
Level 2
Level 3
Level 1
Level 2
Level 2
Level 3
C Level 1 Level 2 Level 3 Level 1 Level 2 Level 3 Level 1 Level 2 Level 3 Level 1 Level 2 Level 3 Level 1 Level 2 Level 3 Level 1 Level 2 Level 3
Respon Replikasi 1 Replikasi 2 Y1111 Y1112 Y1121 Y1122 Y1132 Y1131 Y1211 Y1212 Y1221 Y1222 Y1231 Y1232 Y1311 Y1312 Y1321 Y1322 Y1331 Y1332 Y2111 Y2112 Y2121 Y2122 Y2131 Y2132 Y2211 Y2212 Y2221 Y2222 Y2231 Y2232 Y2311 Y2312 Y2321 Y2322 Y2331 Y2332
2.10 Desain Eksperimen Desain eksperimen adalah proses mengevaluasi dua faktor atau lebih secara serentak terhadap kemampuannya untuk mempengaruhi rata-rata atau variabilitas hasil gabungan dari karakteristik produk atau proses tertentu (Soejanto, 2009). Untuk mencapai hal tersebut secara efektif, maka faktor dan level faktor dibuat bervariasi. Hasil dari kombinasi eksperimen tertentu diamati dan dianalisis. Hasil analisis ini kemudian digunakan untuk menentukan faktor-faktor yang berpengaruh. Secara umum, desain eksperimen faktorial dibagi menjadi tiga tahap utama (JMP, 2010), yaitu: 2.9.1 Tahap Perencanaan Langkah-langkah pada tahap ini adalah sebagai berikut: a. Perumusan Masalah Perumusan masalah harus didefinisikan secara spesifik. Perumusan masalah harus jelas secara teknis sehingga dapat dituangkan ke dalam eksperimen yang akan dilakukan.
23
b. Penentuan Tujuan Eksperimen Tujuan yang melandasi eksperimen harus dapat menjawab masalah yang telah dinyatakan pada perumusan masalah. c. Penentuan Variabel Tak Bebas/Variabel Respon Faktor/variabel respon memiliki nilai yang tergantung pada faktorfaktor lain. Dalam desain eksperimen faktorial, respon adalah karakteristik kualitas yang terdiri dari dua kategori, yaitu: 1) Karakteristik yang dapat diukur, yaitu semua hasil akhir yang dapat diukur dengan skala kontinyu. Contohnya adalah temperatur, berat, tekanan, dan lain-lain. 2) Karakteristik atribut, yaitu semua hasil akhir yang tidak dapat diukur dengan skala kontinyu, tetapi dapat diklasifikasikan secara berkelompok. Contohnya adalah retak, jelek, baik, dan lain-lain. d. Pengidentifikasian Faktor/Variabel Bebas Faktor/variabel bebas adalah variabel yang perubahannya tidak tergantung pada variabel lain. Pada langkah ini akan dipilih faktorfaktor yang akan diselidiki pengaruhnya terhadap respon yang bersangkutan. Dalam suatu eksperimen, tidak semua faktor yang diperkirakan mempengaruhi respon harus diselidiki. Dengan demikian, eksperimen dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. e.
Pemisahan Faktor/Variabel Kontrol dan Faktor/Variabel Gangguan Faktor-faktor yang diamati dapat dibagi menjadi faktor kontrol dan faktor gangguan. Dalam desain eksperimen faktorial, keduanya perlu diidentifikasi dengan jelas sebab pengaruh antar kedua faktor tersebut berbeda. Faktor kontrol adalah faktor yang nilainya dapat dikendalikan, sedangkan faktor gangguan adalah faktor yang nilainya tidak dapat dikendalikan.
f.
Penentuan Jumlah Level dan Nilai Level Faktor/Variabel Pemilihan jumlah level akan mempengaruhi ketelitian hasil dan biaya pelaksanaan eksperimen. Semakin banyak level yang diteliti, maka hasil eksperimen yang diperoleh akan semakin akurat, tetapi biaya yang harus dikeluarkan akan semakin banyak.
24
2.9.2 Tahap Pelaksanaan Tahap
pelaksanaan
meliputi
penentuan
jumlah
replikasi
dan
randomisasi pelaksanaan eksperimen. a.
Jumlah Replikasi Replikasi adalah pengulangan perlakuan yang sama dalam suatu percobaan untuk mendapatkan ketelitian yang lebih tinggi. Replikasi ditujukan untuk mengurangi tingkat kesalahan pada eksperimen dan memperoleh harga taksiran dari kesalahan sebuah eksperimen.
b.
Randomisasi Dalam sebuah eksperimen, ada pengaruh faktor-faktor lain yang tidak diinginkan atau tidak dapat dikendalikan, seperti kelelahan operator, fluktuasi daya mesin dan lain-lain. Pengaruh tersebut dapat diperkecil dengan menyebarkan faktor-faktor tersebut melalui randomisasi (pengacakan) urutan percobaan. Secara umum, randomisasi dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1) Meratakan pengaruh dari faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan pada semua unit eksperimen. 2) Memberikan kesempatan yang sama pada semua unit eksperimen untuk menerima suatu perlakuan, sehingga ada kehomogenan pengaruh dari setiap perlakuan yang sama. 3) Mendapatkan hasil eksperimen yang bebas satu sama lain. Jika replikasi bertujuan untuk memungkinkan dilakukannya uji signifikansi, maka randomisasi bertujuan untuk memberikan validasi terhadap uji signifikansi tersebut dengan menghilangkan sifat bias.
2.9.3 Tahap Analisis Tahap analisis meliputi pengumpulan data, pengaturan data dan perhitungan serta penyajian data dalam suatu tampilan tertentu yang sesuai dengan desain yang dipilih. Selain itu, juga dilakukan perhitungan dan pengujian data statistik pada data hasil eksperimen. a. Analisis variansi (ANAVA) Analisis variansi digunakan untuk menganalisis data yang telah disusun dalam desain secara statistik. Analisis ini dilakukan dengan menguraikan
25
seluruh variansi atas bagian-bagian yang diteliti. Pada tahap ini akan dilakukan pengklasifikasian hasil eksperimen secara statistik sesuai dengan sumber variasi sehingga dapat mengidentifikasi kontribusi faktor. Dengan demikian akurasi perkiraan model dapat ditentukan. Analisis variansi pada matriks ortogonal dilakukan berdasarkan perhitungan jumlah kuadrat untuk masing-masing kolom. Analisis variansi (ANAVA) dua arah digunakan untuk menganalisis data percoban yang terdiri dari dua faktor atau lebih dengan dua level atau lebih. Tabel ANAVA dua arah terdiri dari perhitungan derajat kebebasan (db), jumlah kuadrat (sum of square, SS), kuadrat tengah (mean of square, MS) dan Fhitung seperti ditunjukkan pada Tabel 2.8. Tabel 2.8 Tabel Analisis Variansi (ANAVA) Dua Arah Sumber Variasi
Sum of Square (SS)
Faktor A
SS = n (A − )
Faktor B
Degree of Freedom (υ)
kA – 1
kB – 1
SS = n (B − )
Error
=
Total
SS =
−
−
(y − )
υe = υT – υA – υB 2
N–1
Sumber: Ross, 2008 Keterangan: kA
= banyaknya level pada faktor A
kB
= banyaknya level pada faktor B
nA
= banyaknya replikasi faktor A
nB
= banyaknya replikasi faktor B
N
= jumlah total percobaan
26
Mean Square (MS)
FRatio (F0)
MS =
SS k −1
MS MS
MS =
SS k −1
MS MS
MS =
SS k k (n − 1)
b.
Uji Distribusi F
Pengujian uji distribusi F dilakukan dengan cara membandingkan variansi yang disebabkan oleh masing-masing faktor dan error. Variansi error adalah variansi dari setiap individu dalam pengamatan yang timbul karena faktorfaktor yang tidak dapat dikendalikan (Soejanto, 2009). Secara umum, hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini untuk faktor yang tidak diambil secara random (fixed) adalah: H0 : μ1 = μ2 = μ3 = … = μk H1 : sedikitnya ada satu pasangan μ yang tidak sama Kegagalan menolak H0 mengindikasikan tidak adanya perbedaan rata-rata dari nilai respon yang dihasilkan pada perlakuan yang berbeda, sedangkan penolakan H0 mengindikasikan adanya perbedaan rata-rata dari nilai respon tersebut. Selain itu, karena respon pada setiap eksperimen dapat dimodelkan dalam bentuk (Montgomery, 1991): Yijk = μ + τi + βj + εijk
(2.7)
maka hipotesis yang juga dapat digunakan dalam pengujian ini adalah: Untuk taraf faktor A → H0 : τ1 = τ2 = τ3 = … = τk = 0 H1 : paling sedikit ada satu τi ≠ 0 Untuk taraf faktor B → H0 : β1 = β2 = β3 = … = βk = 0 H1 : paling sedikit ada satu βj ≠ 0 Kegagalan menolak H0 mengindikasikan tidak adanya pengaruh faktor A dan faktor B terhadap respon serta tidak ada interaksi antara faktor A dengan faktor B, sedangkan penolakan H0 mengindikasikan adanya pengaruh faktor A dan faktor B terhadap respon serta adanya interaksi antara faktor A dengan faktor B. Kegagalan menolak atau penolakan H0 berdasarkan pada nilai Fhitung yang dirumuskan: Untuk taraf faktor A → Fhitung =
MS A MS E
(2.8)
Untuk taraf faktor B → Fhitung =
MS B MS E
(2.9)
27
Kegagalan menolak H0 pada masing-masing kasus dilakukan jika mengalami kondisi berikut: Untuk taraf faktor A → Fhitung < F , A , E
(2.10)
Untuk taraf faktor B → Fhitung < F , B , E
(2.11)
Bila menggunakan perangkat lunak statistik, kegagalan menolak H0 dilakukan jika Pvalue lebih besar daripada α (taraf signifikansi). Kegagalan menolak H0 bisa juga dilakukan apabila nilai Fhitung > 2 (Park, 1996).
28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1
Tahapan Penelitian Langkah-langkah penelitian yang dilakukan pada penelitian ini mengikuti
diagram alir yang ditunjukkan oleh Gambar 3.1 sebagai berikut: Mulai
Identifikasi masalah Studi pustaka Perumusan masalah Rancangan eksperimen: Material: SKD 11 yang belum mengalami perlakuan panas Pendingin: Soluble oil (20% emulsi dan 80% air) Variabel Proses: - Tipe abrasif (A46HV dan GC46HV) n = 3000 rpm Dimensi roda gerinda = 200 mm x 32 mm x 25 mm - Kedalaman potong (0.01 mm, 0.03 mm, 0.06 mm) - Kecepatan makan (150 mm/s, 200 mm/s, 250 mm/s) Variabel Respon: - Gaya Potong - Integritas Permukaan Benda Kerja (surface burning, kekasaran permukaan, kepadatan retakan) - Mode Pembentukan Geram Rancangan Percobaan: - Faktorial 2 x 3 x 3
-
Persiapan percobaan : Mesin gerinda permukaan Dinamometer Peralatan SEM Peralatan uji kekasaran Material benda kerja (40 mm x 10 mm x 5 mm) Alat ukur Jig
A Gambar 3.1 Diagram alir metodologi penelitian
29
A
Pelaksanaan eksperimen dan pengambilan data: - Gaya potong - Surface burning - Kekasaran permukaan - Kepadatan retakan - Bentuk geram
Analisis gaya potong
Analisis surface burning
Analisis kekasaran permukaan
Analisis kepadatan retakan
Analisis bentuk geram
Visual check
Mitutoyo surftest
SEM
SEM
Analisis pengaruh variabel proses dan perbedaan tipe abrasif terhadap respon
Penarikan kesimpulan dan pemberian saran
Selesai
Gambar 3.1 Diagram alir metodologi penelitian (lanjutan) 3.2 Variabel-variabel dalam Penelitian Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data primer yang diperoleh dari hasil eksperimen. Faktor-faktor yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
30
a.
Faktor/Variabel Kontrol Faktor kontrol merupakan variabel yang dapat dikendalikan dan nilainya
dapat ditentukan berdasarkan tujuan dari penelitian yang dilakukan dan pertimbangan yang lain. Faktor kontrol yang digunakan pada penelitian ini adalah: a. Tipe abrasif (A46HV dan GC46HV). b. Kedalaman potong (0.01 mm, 0.03 mm, 0.06 mm). c. Kecepatan makan (150 mm/s, 200 mm/s, 250 mm/s). Variabel Respon
b.
Variabel respon merupakan respon yang akan diamati dalam penelitian. Variabel respon pada penelitian ini adalah: a. Gaya potong. b.
Integritas permukaan benda kerja (surface burning, kekasaran permukaan, kepadatan retakan).
c. Mode pembentukan geram. c.
Faktor/Variabel Konstan Faktor konstan merupakan faktor yang tidak diteliti dalam penelitian.
Nilai faktor ini dijaga selalu konstan agar tidak berubah selama percobaan, sehingga tidak mempengaruhi hasil penelitian secara signifikan. Faktor-faktor yang menjadi faktor konstan pada penelitian ini adalah: a. Metode pendinginan menggunakan soluble oil dengan persentase emulsi 20% dan air 80%. b. Putaran roda gerinda 3000 rpm. d.
Faktor Noise Faktor noise adalah faktor gangguan yang memiliki pengaruh terhadap
respon, tetapi sangat sulit untuk dikendalikan. Faktor-faktor yang mungkin menjadi noise dalam penelitian ini adalah temperatur cairan pendingin dan konsentrasi geram dalam cairan pendingin. Faktor-faktor ini tidak dimasukkan ke dalam rancangan percobaan, sehingga pengambilan data dilakukan dengan replikasi untuk mengatasi pengaruh faktor noise pada hasil penelitian.
31
3.3 Bahan dan Peralatan Penelitian Bahan dan peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 3.3.1 Bahan Penelitian 1. Benda Kerja Material yang digunakan adalah baja perkakas SKD-11 yang memiliki kekerasan sebesar 32 HRC dengan dimensi 40 mm x 10 mm x 5 mm. Gambar 3.2 menunjukkan material benda kerja yang digunakan.
Gambar 3.2 Benda Kerja Komposisi kimia dan sifat mekanik dari SKD-11 dapat dilihat pada Tabel 3.1 dan Tabel 3.2 sebagai berikut, Tabel 3.1 Komposisi Kimia SKD 11 (AISI D2) Jenis Kimia Carbon Silicon Manganese Phosphorus Chromium Nickel Molybdenum Sulphur Copper Vanadium
Persentase (%) 1.59 0.38 0.35 0.024 11.68 0.36 0.67 0.015 0.03 0.39
Sumber: Fathallah dkk., 2009
32
Tabel 3.2 Sifat Mekanik SKD 11 (AISI D2) Properties Ultimate Tensile (MPa) Yield Strength (MPa) Elongation (%) Sumber: Fathallah dkk., 2009
Nilai 1850 1530 3.6
2. Roda Gerinda Penelitian ini menggunakan roda gerinda dengan tipe abrasif yang berbeda. Spesifikasi roda gerinda pada penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 3.3. Tabel 3.3 Spesifikasi Roda Gerinda Kodifikasi
A46HV
GC46HV
Jenis Ukuran grit Dimensi:
Alluminum Oxide 46
Green Silicone 46
Diameter luar (mm)
200
200
Diameter dalam (mm)
32
32
Tebal (mm)
25
25
3350
3200
Maksimum putaran (RPM) 3.3.2
Peralatan Penelitian Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah mesin gerinda
permukaan, peralatan ukur dan peralatan bantu. Peralatan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Mesin Gerinda Permukaan Mesin gerinda permukaan yang digunakan pada penelitian ini adalah mesin gerinda permukaan yang berada di Laboratorium Proses Manufaktur Jurusan Teknik Mesin ITS, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.3. Mesin tersebut memiliki spesifikasi sebagai berikut: Jenis Mesin
: Surface Grinding
Model
: KGS818AHD
Dimensi meja kerja
: 200 x 500 mm
Kecepatan putaran
: 3000 rpm 33
Secara detil, spesifikasi mesin gerinda permukaan model KGS818AHD dapat dilihat pada Lampiran A.
Gambar 3.3 Mesin gerinda permukaan model KGS818AHD 2. Peralatan Ukur a. Scanning Electron Microscope (SEM) Pengamatan kepadatan retakan pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan SEM EVO MA10 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.4. Alat ini digunakan untuk mengamati partikel dengan perbesaran sampai 150.000 kali dengan resolusi kedalaman 3-100 nanometer.
Gambar 3.4 Scanning electron microscope (SEM) EVO MA10
34
b. Surface Roughness Tester Pengukuran angka kekasaran permukaan pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Mitutoyo Surftest 301 seperti ditunjukkan oleh Gambar 3.5. Alat ini memiliki kecermatan sebesar 0,01 μm.
Gambar 3.5 Mitutoyo surftest 301 c.
Dinamometer Dinamometer
yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
dinamometer merek Kistler tipe 9272 yang memiliki sensor piezoelectric. Dinamometer ini digunakan untuk pengukuran gaya normal dan gaya tangensial (Fz dan Fx) pada saat proses penggerindaan. Dinamometer Kistler 9272 ditunjukkan pada Gambar 3.6, sedangkan spesifikasi dari dinamometer Kistler 9272 dapat dilihat pada Tabel 3.4.
Gambar 3.6. Dinamometer KISTLER tipe 9272. (Instruction Manual Kistler 9272)
35
Tabel 3.4 Spesifikasi dinamometer Kistler 9272 Spesifikasi
Simbol
Satuan
Ukuran
Fx, Fy
kN
+5
Fz
kN
-5…20
Mz
N.m
+200
Fx, Fy
pC/N
-7.8
Fz
pC/N
-3.5
Mz
pC/N.cm
-1.6
fnx, fny
kHz
3.1
fnz
kHz
6.3
fn (Mz)
kHz
4.2
o
0…70
Tinggi
Mm
70
Diameter
Mm
100
Diameter dalam
Mm
15
Berat
Kg
4.2
Jarak Pengukuran
Sensitifitas
Frekuensi Pribadi
Temperatur pengukuran
C
Sumber: Instruction Manual Kistler 9272
d.
Data Acquisition System (DAQ) DAQ yang digunakan dalam penenelitian ini adalah DAQ Kistler tipe 5697A yang digunakan bersama dengan perangkat lunak DynoWare dan dihubungkan ke komputer lewat USB. DAQ ini dapat mengolah dan memperbesar sinyal dan memiliki 8 channel output dengan resolusi yang tinggi. DAQ ini juga dapat mengukur sampel hingga frekuensi 125 kS/s, sehingga dapat dilakukan pengukuran pada proses dinamis. DAQ Kistler tipe 5697A ditunjukkan pada Gambar 3.7.
36
Gambar 3.7 DAQ Kistler tipe 567A ( www.kistler.com)
e.
Charge Amplifier Charge Amplifier tipe 5070A ini memiliki 8 channel input yang digunakan
untuk
pengukuran
gaya
penggerindaan
dengan
dinamometer Kistler. Charge Amplifier tipe 5070A ini ditunjukkan pada Gambar 3.8.
Gambar 3.8 Charge Amplifier tipe 5070A (www.kistler.com)
f.
Komputer Komputer digunakan untuk menampilkan data hasil pengukuran gaya gerinda. Komputer juga dilengkapi dengan perangkat lunak DynoWare. Spesifikasi minimum komputer untuk pengambilan data
37
ini adalah Pentium II 500 MHz, RAM 64 Mb, Harddisk 100 Mb, CD Room dan 1 slot USB untuk DAQ. g.
Peralatan Bantu Peralatan bantu yang digunakan pada penelitian ini adalah: Mistar ingsut Alat ini digunakan untuk mengukur dimensi benda kerja. Alat ini mempunyai kecermatan sebesar 0,05 mm. Meja rata Meja rata digunakan untuk meletakkan spesimen uji pada saat pengukuran kekasaran permukaan.
3.4 Prosedur Penelitian Langkah-langkah percobaan yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Persiapan spesimen dengan dimensi 40 mm x 10 mm x 5 mm.
2.
Balancing dan dressing terhadap roda gerinda.
3.
Persiapan
komputer
dan
melakukan
instalasi perangakat
lunak
DynoWare. 4.
Pasang kabel konektor USB dan kabel power untuk DAQ, serta pasang juga kabel analog dan kabel power untuk charge amplifier.
5.
Nyalakan DAQ dan charge amplifier selama 30 menit untuk warming up.
6.
Masukkan data sensitifitas sesuai dengan data kalibrasi berdasarkan sertifikat kalibrasi.
7.
Pasang dinamometer pada meja mesin gerinda permukaan tanpa menggunakan elektromagnet, tetapi digantikan dengan jig.
8.
Pasang spesimen pada jig yang sudah dipasang pada dinamometer.
9.
Hidupkan mesin gerinda permukaan dan menseting faktor-faktor yang telah ditetapkan sesuai dengan rancangan eksperimen.
10. Lakukan proses penggerindaan dengan mode plunge surface grinding down cut dengan satu kali pemakanan.
38
11. Selama proses penggerindaan dilakukan pengukuran gaya normal dan gaya tangensial (Fx dan Fz) berdasarkan seting faktor yang telah ditentukan dengan menggunakan dinamometer. 12. Lakukan dressing pada roda gerinda pada setiap penggantian spesimen. 13. Kumpulkan geram hasil percobaan pada setiap pergantian variabel proses ke dalam cawan. 14. Keluarkan dan keringkan benda kerja setelah proses pemotongan selesai. 15. Ukur kekasaran permukaan dengan menggunakan surface roughness tester. 16. Amati dan ambil data surface burning yang terbentuk pada permukaan benda kerja 17. Persiapkan alat foto SEM. 18. Tempatkan benda kerja hasil proses gerinda permukaan pada meja alat foto SEM. 19. Amati dan ambil gambar morfologi permukaan benda kerja dengan alat foto SEM. 20. Ukur kepadatan retakan yang ada di permukaan benda kerja pada hasil foto SEM dengan menggunakan perangkat lunak AutoCAD. 21. Tempatkan geram hasil proses gerinda permukaan pada meja alat foto SEM. 22. Amati dan ambil gambar geram dari tiap kombinasi variabel proses. 23. Lakukan analisis dari data yang sudah didapat.
3.5 Pengukuran dan Pengambilan Data 3.5.1 Pengamatan Surface Burning Surface burning adalah salah satu fenomena yang terjadi pada proses gerinda permukaan, yaitu hasil permukaan yang tampak hangus akibat kesalahan pemilihan parameter proses gerinda. Pengamatan surface burning pada penelitian ini dilakukan dengan cara visual check. Benda kerja setelah selesai proses penggerindaan diletakkan diatas meja dengan penerangan yang cukup kemudian diamati secara visual dan dicatat muncul tidaknya fenomena surface burning beserta kuantitas besar kecilnya surface burning.
39
3.5.2 Pengukuran Gaya Penggerindaan Gaya penggerindaan yang terjadi selama proses gerinda permukaan selalu berubah setiap saat. Pengukuran gaya penggerindaan pada penelitian ini menggunakan dinamometer Kistler tipe 9272 dan dari hasil data gaya yang didapatkan diambil rata-ratanya. Gaya yang terjadi pada proses gerinda permukaan adalah gaya normal (Fz) dan gaya tangensial (Fx). Dari data gaya yang dihasilkan dinamometer maka selanjutnya dilakukan penjumlahan vektor gaya Fx dan vektor gaya Fz. Persamaan 3.1 menunjukkan cara mendapatkan gaya resultan (F) yang terjadi pada proses gerinda permukaan. =
(3.1)
+
3.5.3 Pengukuran Kekasaran Permukaan Angka kekasaran permukaan yang diamati adalah kekasaran aritmatika (Ra) yang dinyatakan dalam μm. Permukaan benda kerja yang merupakan hasil proses gerinda permukaan diukur kekasaran permukaannya dengan arah tegak lurus terhadap arah penggerindaan benda kerja. Pengukuran dilakukan tiga kali yaitu pada awal, tengah dan akhir penggerindaan untuk setiap spesimen dengan panjang pengukuran 5 mm. Skema pengukuran kekasaran permukaan yang dilakukan ditunjukkan oleh Gambar 3.9.
Lebar = 10 mm
5 mm
Arah penggerindaan
Arah pengukuran kekasaran permukaan
Gambar 3.9 Skema dan arah proses penggerindaan dan pengukuran kekasaran.
40
3.5.4 Pengambilan Foto Kepadatan Retakan Sebelum kepadatan retakan diukur, benda kerja diamati terlebih dahulu dengan menggunakan SEM. Pengambilan foto retakan pada permukaan benda kerja dilakukan secara acak. Setelah retakan tersebut terlihat pada monitor, kemudian diambil foto pada masing-masing spesimen dan disimpan. Selanjutnya pengukuran kepadatan retakan dilakukan pada setiap foto dengan menggunakan perangkat lunak AutoCAD dengan cara menghitung rasio kepadatan retakan permukaan (KRP). Perhitungan KRP pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan persamaan 2.2.
3.5.5 Pengambilan Foto Bentuk Geram Proses pemesinan gerinda permukaan, seperti halnya proses pemesinan yang lain, juga menghasilkan geram sebagai material yang terbuang. Perbedaan parameter proses pemesinan gerinda menghasilkan bentuk geram yang berbedabeda. Geram hasil percobaan tiap variabel proses diambil dan dimasukkan kedalam cawan dan dikeringkan, selanjutnya geram dibersihkan dari debu roda gerinda dengan cara menggesekkan magnet pada geram. Setelah bersih selanjutnya geram diamati dengan SEM dan diambil foto tiap variabel proses.
3.6 Rancangan Percobaan Rancangan percobaan faktorial pada penelitian ini yang mencangkup tiga faktor dimana salah satu faktor terdiri dari dua level dan dua faktor yang lain terdiri dari tiga level, atau disebut faktorial 2 x 3 x 3. Gaya penggerindaan, surface burning, kekasaran permukaan, kepadatan retakan dan bentuk geram menjadi respon dari hasil percobaan. Rancangan percobaan ini juga melakukan 2 kali replikasi pada gaya potong dan kekasaran permukaan. Tabel 3.5 merupakan tabel isian untuk percobaan yang akan dilaksanakan.
41
Tabel 3.5 Isian Rancangan Percobaan Variabel proses Tipe abrasif
Kecepatan makan (mm/s)
150
A46HV
200
250
150
GC46HV
200
250
Respon Kedalaman potong (mm)
Kekasaran permukaan
Gaya Rep. 1
Rep. 2
0.01 0.03 0.06 0.01 0.03 0.06 0.01 0.03 0.06 0.01 0.03 0.06 0.01 0.03 0.06 0.01 0.03 0.06
42
Rep. 1
Rep. 2
Surf. burn
Kepadatan retakan
Bentuk geram
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
4.1
Data Hasil Eksperimen Pelaksanaan eksperimen dilakukan dengan mengkombinasikan variabel-
variabel proses yang terdapat pada mesin gerinda permukaan. Variabel-variabel proses tersebut adalah tipe abrasif, kecepatan makan dan kedalaman potong. Ketiga variabel proses tersebut diduga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap gaya potong, integritas permukaan benda kerja yang meliputi kekasaran permukaan benda kerja, kepadatan retakan dan surface burning, serta mode pembentukan geram. Pengambilan data untuk gaya potong pada proses gerinda permukaan dilakukan replikasi sebanyak dua kali masing masing untuk gaya normal dan gaya tangensial. Resultan gaya dihitung dengan persamaan 3.1. Tabel 4.1 menunjukkan data gaya potong yang diperoleh selama eksperimen. Tabel 4.1 Data Gaya Potong Hasil Eksperimen Respon
Variabel proses Tipe Abrasif
Kecepatan Makan (mm/s)
150 Aluminum Oxide
200
250
150 Green Silicone
200
250
Kedalaman Potong (mm)
0.01 0.03 0.06 0.01 0.03 0.06 0.01 0.03 0.06 0.01 0.03 0.06 0.01 0.03 0.06 0.01 0.03 0.06
Gaya (N) Fz
Resultan Gaya (N) F
Fx
Replikasi 1
Replikasi 2
Replikasi 1
Replikasi 2
Replikasi 1
Replikasi 2
Rata-rata
110.4 208.9 338.3 101.4 204.7 387.5 112.4 235.8 367.4 92.26 180.4 295.4 75.69 171.4 312.9 87.41 180.9 279.9
113 209.6 339.2 102 195.5 365.4 113.2 232 365.9 92.64 190.6 302.8 84.2 172.3 316.1 83.01 176.7 272.2
45.73 86.29 129 44.33 83.71 140.9 48.14 93.97 133.7 36.19 69.84 108.6 30.38 66.92 116.1 31.7 72.15 107.2
45.39 86.08 129 46.55 85.54 137 44.87 94.27 132.2 35.44 74.03 104.6 34.76 67.71 114.4 33.59 70.59 105.8
119.50 226.02 362.06 110.67 221.15 412.32 122.28 253.83 390.97 99.10 193.45 314.73 81.56 184.00 333.74 92.98 194.76 299.73
121.78 226.59 362.90 112.12 213.39 390.24 121.77 250.42 389.05 99.19 204.47 320.36 91.09 185.13 336.16 89.55 190.28 292.04
120.63 226.30 362.48 111.39 217.26 401.28 122.01 252.13 390.01 99.14 198.96 317.53 86.33 184.56 334.95 91.25 192.52 295.88
43
Pengambilan data untuk kekasaran permukaan benda kerja juga dilakukan replikasi sebanyak dua kali. Pengukuran tiap spesimen dilakukan tiga kali, yaitu pada posisi awal, tengah dan akhir dari pemakanan. Data hasil pengukuran kekasaran permukaan ditunjukkan pada Tabel 4.2. Rincian data kekasaran permukaan hasil dari eksperimen dapat dilihat pada Lampiran B. Tabel 4.2 Data Kekasaran Permukaan Hasil Eksperimen
Tipe Abrasif
Aluminum Oxide
Green Silicone
4.2
Variabel proses Kecepatan Kedalaman Makan Potong (mm/s) (mm) 0.01 0.03 150 0.06 0.01 200 0.03 0.06 0.01 250 0.03 0.06 0.01 0.03 150 0.06 0.01 200 0.03 0.06 0.01 250 0.03 0.06
Respon Kekasaran Permukaan (µm) Replikasi 1 Replikasi 2 0.44 0.44 0.54 0.55 0.67 0.68 0.43 0.42 0.56 0.54 0.66 0.69 0.38 0.37 0.51 0.51 0.70 0.69 0.36 0.40 0.54 0.54 0.70 0.70 0.39 0.39 0.52 0.50 0.69 0.69 0.40 0.32 0.50 0.52 0.65 0.70
Rata-rata 0.44 0.55 0.68 0.42 0.55 0.68 0.38 0.51 0.69 0.38 0.54 0.70 0.39 0.51 0.69 0.36 0.51 0.68
Pengaruh Variabel Proses Terhadap Gaya Potong Gaya potong yang terjadi selama proses gerinda permukaan selalu berubah
setiap saat. Pengukuran gaya potong yang terjadi selama proses gerinda permukaan pada penelitian ini menggunakan dinamometer Kistler tipe 9272. Replikasi dilakukan dua kali. Hal ini dilakukan karena adanya variabel proses gangguan yang tidak dimasukkan kedalam rancangan percobaan. Proses dressing dilakukan sebelum eksperimen untuk setiap spesimen, sehingga butiran abrasif yang sudah tumpul hilang dan muncul sisi potong yang baru. Pada setiap eksperimen dilakukan tiga kedalaman potong yang berbeda untuk setiap tipe abrasif dan selama proses gerinda permukaan pendingin dijaga konstan. Gaya
44
yang terjadi pada proses gerinda permukaan adalah gaya potong normal (Fz) dan gaya potong tangensial (Fx). Dari data gaya yang dihasilkan dinamometer maka selanjutnya dilakukan penjumlahan vektor gaya Fx dan vektor gaya Fz. Gambar 4.1 dan Gambar 4.2 menunjukkan hasil pengukuran gaya normal (Fz) dan gaya tangensial (Fx) selama proses gerinda permukaan.
Waktu (s)
Gambar 4.1 Gaya normal (Fz) yang terjadi pada proses gerinda permukaan dengan tipe abrasif aluminum oxide, kecepatan makan 150 mm/s dan kedalaman potong 0.01 mm.
Waktu (s)
Gambar 4.2 Gaya tangensial (Fx) yang terjadi pada proses gerinda permukaan dengan tipe abrasif aluminum oxide, kecepatan makan 150 mm/s dan kedalaman potong 0.01 mm.
45
Analisis variansi (ANAVA) digunakan untuk mengetahui variabel proses/variabel proses yang memiliki pengaruh secara signifikan terhadap gaya potong. Tabel analisis variansi (ANAVA) untuk gaya potong yang disusun berdasarkan perhitungan ditunjukkan pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Analisis Variansi (ANAVA) Variabel Proses pada Gaya Potong Source
DF
SS
A B C
1 2 2
17989 59 362813
Error
30
8180
Total
35
389041
MS
F
17989 65.97 30 0.11 181407 665.30
ρ - value 0.000 0.898 0.000
273
Sumber: Hasil perhitungan P-value menunjukkan variabel proses mana yang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap gaya potong. P-value yang lebih kecil dari level of significant () mengindikasikan bahwa variabel proses tersebut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap respon. Dalam penelitian ini yang dipakai bernilai 5%. Penarikan kesimpulan menggunakan p-value untuk gaya potong adalah sebagai sebagai berikut: 1.
Untuk variabel proses A (tipe abrasif) P-value = 0 < = 0.05, maka ada pengaruh variabel proses tipe abrasif terhadap gaya potong.
2.
Untuk variabel proses B (kecepatan makan). P-value = 0.898 > = 0.05, maka tidak ada pengaruh variabel proses kecepatan makan terhadap gaya potong.
3.
Untuk variabel proses C (kedalaman potong). P-value = 0 < = 0.05, maka ada pengaruh variabel proses kedalaman potong terhadap gaya potong. P-value diatas menunjukkan tipe abrasif dan kedalaman potong
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap gaya potong, sedangkan kecepatan makan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap gaya potong.
46
Untuk mengetahui level dari tipe abrasif, kecepatan makan dan kedalaman potong yang memberikan pengaruh yang berbeda terhadap gaya potong, maka dilakukan uji Tukey. Tabel 4.4 sampai dengan Tabel 4.6 menunjukkan hasil uji Tukey pada tipe abrasif, kecepatan makan dan kedalaman potong. Rincian uji Tukey dari variabel proses terhadap gaya potong ditunjukkan pada Lampiran C. Tabel 4.4 Hasil Uji Tukey pada Tipe Abrasif Tipe Abrasif
N
Mean
Aluminum Oxide
18
244.8
Green Silicone
18
200.1
Grouping A B
Tabel 4.5 Hasil Uji Tukey pada Kecepatan Makan Kecepatan makan (mm/s)
N
Mean
Grouping
150
12
224.0
A
200
12
222.6
A
250
12
220.8
A
Tabel 4.6 Hasil Uji Tukey pada Kedalaman Potong Kedalaman Potong (mm)
N
Mean
Grouping
0.01
12
350.4
A
0.03
12
212.0
0.06
12
105.1
B C
Hasil uji Tukey pada Tabel 4.4 menunjukkan bahwa gaya potong yang dihasilkan berbeda pada dua tipe abrasif yang dipakai dalam penelitian ini. Tabel 4.5 menunjukkan bahwa perbedaan kecepatan makan pada proses gerinda permukaan menghasilkan gaya potong yang sama. Tabel 4.6 menunjukkan bahwa gaya potong yang dihasilkan berbeda pada ketiga level kedalaman potong pada proses gerinda permukaan.
47
Secara grafik, hubungan antara kedalaman potong dengan gaya potong pada proses gerinda permukaan dengan dua tipe abrasif yang berbeda ditunjukkan pada Gambar 4.3 dan Gambar 4.4. 400
Gaya Potong (N)
350 300 250 200 A46
150
GC46
100 50 0 0.01
0.03
0.06
Kedalaman potong (mm)
Gambar 4.3 Grafik pengaruh kedalaman potong terhadap gaya potong pada kecepatan makan 150 mm/s.
Gambar 4.4 Histogram hubungan tipe abrasif, kecepatan makan dan kedalaman potong terhadap gaya potong.
48
Gambar 4.3 dan Gambar 4.4 menunjukkan bahwa pada kecepatan makan yang sama gaya potong akan naik dengan bertambahnya kedalaman potong. Grafik diatas juga menunjukkan bahwa penggunaan tipe abrasif green silicone menghasilkan gaya potong yang lebih rendah daripada tipe abrasif aluminum oxide. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa variabel proses kedalaman potong mempengaruhi gaya potong. Kedalamanan potong yang tinggi menyebabkan bidang geser bertambah lebar. Hal ini membuat gaya potong semakin besar. Kedalaman
potong
yang
tinggi
juga
menyebabkan
temperatur
daerah
penggerindaan naik. Kenaikan temperatur daerah penggerindaan berpengaruh pada ketajaman butiran abrasif. Jika temperatur tinggi maka adhesi geram pada butiran abrasif akan mudah terjadi. Hal ini menyebabkan mata potong butiran abrasif menjadi tumpul, sehingga menyebabkan gaya potong semakin besar. Selain kenaikan temperatur, kedalaman potong yang tinggi menyebabkan pematahan butiran abrasif pada roda gerinda. Dalam kondisi ini aksi dari butiran abrasif
akan
didominasi
oleh
proses
plowing
dan rubbing,
sehingga
mengakibatkan gaya potong bertambah besar. Variabel proses kedua yang mempengaruhi gaya potong adalah tipe abrasif. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa dengan penggunaan roda gerinda dengan tipe abrasif green silicone, gaya potong berkurang sebesar 12% - 25% jika dibandingkan penggunaan roda gerinda dengan tipe abrasif aluminum oxide. Rincian perhitungan dari penurunan gaya potong tersebut ditunjukkan pada Lampiran D. Penurunan gaya potong ini disebabkan oleh kekerasan roda gerinda dengan tipe abrasif green silicone lebih rendah dibandingkan kekerasan roda gerinda dengan tipe abrasif aluminum oxide. Dengan kekerasan yang lebih rendah maka butiran abrasif pada tipe abrasif green silicone akan mudah lepas daripada butiran abrasif pada tipe aluminum oxide. Sebaliknya, dengan kekerasan yang lebih tinggi maka butiran abrasif tidak mudah lepas tetapi akan aus, sehingga membuat gaya potong bertambah besar.
49
4.3
Pengaruh Variabel Proses Terhadap Kekasaran Permukaan Parameter kekasaran permukaan yang dipakai dalam penelitian ini adalah
Ra. Parameter ini banyak digunakan untuk mengidentifikasikan permukaan. Hal ini disebabkan harga Ra lebih sensitif terhadap perubahan yang terjadi pada proses pemesinan. Dengan demikian, jika ada tanda-tanda kenaikan kekasaran maka pencegahan dapat cepat dilakukan. Analisis variansi (ANAVA) digunakan untuk mengetahui variabel proses/variabel proses yang memiliki pengaruh secara signifikan terhadap respon. Tabel analisis variansi (ANAVA) untuk kekasaran permukaan yang disusun berdasarkan perhitungan ditunjukkan pada Tabel 4.7. Tabel 4.7 Analisis Variansi (ANAVA) Variabel proses pada Kekasaran Permukaan Source
DF
SS
MS
F
ρ - value
A B C
1 2 2
0.00126 0.00343 0.52155
0.00126 0.00171 0.26077
2.52 3.41 519.24
0.123 0.046 0.000
Error
30
0.01507
0.00050
Total
35
0.54131
Sumber: Hasil perhitungan P-value menunjukkan variabel proses mana yang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kekasaran permukaan. P-value yang lebih kecil dari level of significant () mengindikasikan bahwa variabel proses tersebut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap respon. Dalam penelitian ini yang dipakai bernilai 5%. Penarikan kesimpulan menggunakan p-value untuk kekasaran permukaan adalah sebagai sebagai berikut: 1.
Untuk variabel proses A (tipe abrasif) P-value = 0.123 > = 0.05, maka tidak ada pengaruh variabel proses tipe abrasif terhadap kekasaran permukaan.
2.
Untuk variabel proses B (kecepatan makan). P-value = 0.046 < = 0.05, maka ada pengaruh variabel proses kecepatan makan terhadap kekasaran permukaan.
50
3.
Untuk variabel proses C (kedalaman potong). P-value = 0 < = 0.05, maka ada pengaruh variabel proses kedalaman potong terhadap kekasaran permukaan. P-value diatas menunjukkan kecepatan makan dan kedalaman potong
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kekasaran permukaan, sedangkan tipe abrasif tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kekasaran permukaan. Untuk mengetahui level dari tipe abrasif, kecepatan makan dan kedalaman potong yang memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kekasaran permukaan, maka dilakukan uji Tukey. Tabel 4.8 sampai dengan Tabel 4.10 menunjukkan hasil uji Tukey pada tipe abrasif, kecepatan makan dan kedalaman potong. Rincian uji Tukey variabel proses terhadap kekasaran permukaan ditunjukkan pada Lampiran E. Tabel 4.8 Hasil Uji Tukey pada Tipe Abrasif Tipe Abrasif
N
Mean
Grouping
Aluminum Oxide
18
0.5430
A
Green Silicone
18
0.5311
A
Tabel 4.9 Hasil Uji Tukey pada Kecepatan Makan Kecepatan makan (mm/s)
N
Mean
150
12
0.5478
A
200
12
0.5392
A
250
12
0.5242
Grouping
B B
Tabel 4.10 Hasil Uji Tukey pada Kedalaman Potong Kedalaman Potong (mm)
N
Mean
Grouping
0.01
12
0.3942
A
0.03
12
0.5283
0.06
12
0.6886
51
B C
Hasil uji Tukey pada Tabel 4.8 menunjukkan kekasaran permukaan yang dihasilkan sama pada dua tipe abrasif yang dipakai dalam penelitian ini. Tabel 4.9 menunjukkan kekasaran permukaan yang dihasilkan berbeda pada kecepatan makan 150 mm/s dengan 250 mm/s. Tabel 4.9 juga menunjukkan bahwa kecepatan makan 200 mm/s menghasilkan kekasaran permukaan yang sama dengan kecepatan makan 150 mm/s dan 250 mm/s. Hal ini berarti rentang antara kecepatan makan 150 mm/s dengan 200 mm/s atau rentang kecepatan makan 200 mm/s dengan 250 mm/s kurang lebar. Tabel 4.10 menunjukkan kekasaran permukaan yang dihasilkan berbeda pada ketiga level kedalaman potong pada proses gerinda permukaan. Secara grafik, hubungan antara kedalaman potong dengan kekasaran permukaan pada proses gerinda permukaan dengan dua tipe abrasif yang berbeda ditunjukkan pada Gambar 4.5. 0.75 Kekasaran Permukaan (µm)
0.70 0.65 0.60 0.55 0.50
A46
0.45
GC46
0.40 0.35 0.30 0.01
0.03
0.06
Kedalaman potong (mm)
Gambar 4.5 Grafik pengaruh kedalaman potong terhadap kekasaran permukaan pada kecepatan makan 250 mm/s. Grafik diatas menunjukkan bahwa pada kecepatan makan yang sama kekasaran permukaan akan naik dengan bertambahnya kedalaman potong. Grafik diatas juga menunjukkan bahwa penggunaan tipe abrasif green silicone menghasilkan kekasaran permukaan yang sama dengan tipe abrasif aluminum
52
oxide. Hubungan antara kedalaman potong, tipe abrasif dan kecepatan makan terhadap kekasaran permukaan dapat juga ditunjukkan lewat histogram pada Gambar 4.6.
Gambar 4.6 Histogram hubungan tipe abrasif, kecepatan makan dan kedalaman potong terhadap kekasaran permukaan. Hasil analisis data eksperimen, secara statistik menunjukkan bahwa nilai dari kekasaran permukaan yang dihasilkan sama untuk tipe abrasif yang berbeda, tetapi menghasilkan nilai kekasaran permukaan yang berbeda pada kedalaman potong dan kecepatan makan yang berbeda. Kekasaran permukaan naik dengan bertambahnya kedalaman potong. Kedalaman potong yang
kecil membuat
butiran abrasif yang terdapat di permukaan roda gerinda sedikit bergesekan dengan benda kerja. Gesekan yang sedikit ini menyebabkan permukaan hasil penggerindaan mempunyai celah yang sempit, sehingga kekasaran permukaan benda kerja juga rendah. Akan tetapi, dengan pemakaian kedalaman potong yang besar, maka butiran abrasif yang terdapat di permukaan roda gerinda akan lebih banyak bergesekan dengan benda kerja, sehingga menyebabkan permukaan hasil
penggerindaan mempunyai celah yang lebar. Hal ini menyebabkan
53
kekasaran permukaan semakin tinggi. Gambar 4.7a dan b menunjukkan morfologi permukaan benda kerja yang dilihat alat foto SEM dengan perbesaran 1000x. Arah penggerindaan
Arah penggerindaan
Celah yang lebar pada permukaan benda kerja
Celah yang sempit pada permukaan benda kerja
(b)
(a)
Gambar 4.7 Morfologi permukaan benda kerja yang menunjukkan celah pada permukaan benda kerja. (a) kedalaman potong 0.01 mm, (b) kedalaman potong 0.06 mm. Variabel proses lain yang mempengaruhi kekasaran permukaan adalah temperatur daerah penggerindaan. Pada kedalaman potong yang besar, temperatur daerah penggerindaan juga akan bertambah tinggi. Hal ini mengakibatkan pelunakan pada permukaan benda kerja. Sebagian geram hasil gesekan yang terbentuk akan menempel pada roda gerinda karena proses adhesi. Selama proses pelepasan material benda kerja yang berulang-ulang, geram yang menempel pada roda gerinda ikut berperan juga dalam proses pelepasan material benda kerja. Hal ini juga mengakibatkan kenaikan temperatur daerah penggerindaan selama proses gerinda permukaan berlangsung. Dengan adanya temperatur yang tinggi, maka sebagian geram yang menempel pada roda gerinda dan sebagian geram hasil gesekan akan menyatu kembali dengan permukaan benda kerja. Hal ini menyebabkan terbentuk globules pada permukaan benda kerja, sehingga kekasaran permukaan semakin tinggi. Gambar 4.8 menunjukkan globules pada permukaan benda kerja.
54
Arah penggerindaan
globules
Gambar 4.8 Foto SEM globules pada permukaan benda kerja Aplikasi cairan pendingin
pada proses
gerinda permukaan akan
mengurangi kenaikan temperatur. Panas yang terjadi selama proses gerinda permukaan akan terserap oleh benda kerja, roda gerinda dan juga oleh cairan pendingin. Dengan terserapnya panas oleh cairan pendingin maka temperatur akan berkurang dan sebagian cairan pendingin akan menguap. Cairan pendingin juga berfungsi untuk mengurangi gesekan antara roda gerinda dengan benda kerja dan menghilangkan geram dari area penggerindaan. Hal ini akan mempertahankan ketajaman butiran abrasif selama proses gerinda permukaan, sehingga pelepasan material akan didominasi oleh proses cutting. Kegagalan pendinginan juga akan mengakibatkan kekasaran permukaan meningkat.
4.4
Pengaruh Variabel Proses Terhadap Surface Burning Surface burning merupakan salah satu jenis dari kerusakan termal yang
terjadi selama proses gerinda permukaan. Hal ini terjadi pada area gesekan antara roda gerinda dengan permukaan benda kerja dimana pada area ini temperatur naik sangat tinggi. Dalam penelitian ini burning terjadi hampir pada seluruh spesimen dengan kuantitas yang berbeda-beda. Pengamatan terhadap burning dilakukan secara visual dengan pencahayaan yang cukup terhadap spesimen yang diletakkan pada alas yang datar. Gambar 4.9 sampai Gambar 4.10 menunjukkan derajat
55
burning yang terjadi pada proses gerinda permukaan. Proses gerinda permukaan tiap spesimen dilakukan dengan satu kali pemakanan dengan menggunakan tipe abrasif yang berbeda.
0.01
0.03
0.01
0.06
(a)
0.03
0.06
(b)
0.01
0.03
0.06
(c) Gambar 4.9 Surface burning pada proses gerinda permukaan dengan tipe abrasif aluminum oxide, (a) kecepatan makan 150 mm/s, (b) kecepatan makan 200 mm/s, (c) kecepatan makan 250 mm/s.
56
0.01
0.03
0.06
0.01
0.03
(a)
0.06
(b)
0.01
0.03
0.06
(c) Gambar 4.10 Surface burning pada proses gerinda permukaan dengan tipe abrasif green silicone, (a) kecepatan makan 150 mm/s, (b) kecepatan makan 200 mm/s, (c) kecepatan makan 250 mm/s.
Pada penelitian ini derajat burning diklasifikasikan dalam Tabel 4.11. Pada kedalaman potong yang rendah, burning muncul dalam kuantitas yang sangat kecil bahkan hampir tidak ada burning. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan kedalaman potong yang rendah maka temperatur yang terjadi juga rendah. Data derajat burning hasil eksperimen ditunjukkan pada Tabel 4.12.
57
Tabel 4.11 Klasifikasi Derajat Burning
Derajat Burning No Burning
Simbol N
Pengertian Tidak terjadi burning pada spesimen Burning terjadi pada sebagian kecil spesimen, tampak
L
secara visual, dengan kuantitas burning kurang dari ¼ bagian spesimen dan warna sedikit kecoklatan.
Light
Burning terjadi pada sebagian kecil spesimen, tampak L1
secara visual, dengan kuantitas burning kurang dari 1/8 bagian spesimen dan warna sedikit kecoklatan Burning terjadi lebih besar daripada light, tampak secara
Medium
M
visual, dengan kuantitas lebih dari ¼ bagian spesimen dan kurang dari ½ bagian spesimen, warna coklat yang lebih pekat dari light. Burning terjadi pada ¾ bagian spesimen sampai seluruh
S
bagian spesimen, tampak secara visual, warna biru kemerah merahan. Burning terjadi pada seluruh bagian, tampak secara
Severe
S1
visual, warna biru kemerah merahan yang lebih pekat dari S. Burning terjadi pada seluruh bagian, tampak secara
S2
visual, warna biru kemerah merahan yang lebih pekat dari S1.
58
Tabel 4.12 Data Derajat Burning Hasil Eksperimen
Tipe Abrasif
Aluminum Oxide
Green Silicone
Variabel proses Kecepatan Kedalaman Makan Potong (mm) (mm/s) 0.01 150 0.03 0.06 0.01 200 0.03 0.06 0.01 250 0.03 0.06 0.01 0.03 150 0.06 0.01 200 0.03 0.06 0.01 250 0.03 0.06
Respon Derajat Burning M S S2 L M S1 L M S L M S L1 M M N L1 L
Surface burning pada permukaan benda kerja ditandai dengan perubahan warna dari permukaan benda kerja hasil proses gerinda. Secara visual perubahan warna yang terjadi adalah warna coklat dan berangsur-angsur pekat hingga menjadi warna biru kemerah-merahan. Perubahan warna ini merupakan indikator bahwa kerusakan termal telah terjadi dan jika tidak dikendalikan dengan benar maka akan terjadi kerusakan permukaan yang lebih lanjut. Dari hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa kedalaman potong sangat berpengaruh terhadap terjadinya burning. Makin besar kedalaman potong, maka derajat burning juga meningkat. Hal ini ditunjukkan oleh Gambar 4.9a. Kedalaman potong yang kecil membuat butiran abrasif yang terdapat di permukaan roda gerinda sedikit bergesekan dengan benda kerja. Gesekan yang sedikit ini menyebabkan temperatur yang rendah, sehingga derajat burning juga semakin kecil. Akan tetapi, dengan pemakaian kedalaman potong yang besar, maka butiran abrasif yang terdapat di permukaan roda gerinda akan lebih banyak bergesekan dengan benda kerja. Sebagai akibatnya temperatur naik menjadi sangat tinggi, sehingga derajat burning menjadi semakin meningkat juga.
59
Variabel proses kedua yang berpengaruh pada derajat burning adalah kecepatan makan. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 4.9a, b, c, dan pada Gambar 4.10 a, b dan c. Semakin tinggi kecepatan makan, maka derajat burning semakin berkurang, karena waktu kontak pada saat gesekan yang terjadi antara roda gerinda dengan benda kerja semakin singkat, sehingga tidak cukup waktu untuk timbulnya temperatur yang tinggi. Variabel proses ketiga yang berpengaruh terhadap derajat burning adalah tipe abrasif dari roda gerinda. Hal ini dapat kita amati dengan membandingkan derajat burning yang terjadi pada Gambar 4.9c dengan derajat burning yang terjadi pada Gambar 4.10c. Dalam penelitian ini roda gerinda dengan tipe abrasif green silicone yang ditujukan untuk penggerindaan material yang tidak tahan panas menghasilkan derajat burning yang lebih rendah jika dibandingkan dengan roda gerinda dengan tipe abrasif aluminum oxide yang ditujukan untuk penggerindaan secara umum. Hal ini disebabkan oleh kekerasan roda gerinda tipe green silicone lebih rendah dibandingkan kekerasan roda gerinda tipe aluminum oxide. Dengan kekerasan yang lebih rendah maka butiran abrasif pada tipe abrasif green silicone akan lebih mudah lepas daripada butiran abrasif pada tipe abrasif aluminum oxide. Sebaliknya, dengan kekerasan yang lebih tinggi maka butiran abrasif tidak mudah lepas, tetapi akan aus, sehingga membuat penggerindaan didominasi oleh proses plowing dan rubbing. Kondisi ini menyebabkan temperatur daerah penggerindaan bertambah tinggi. Temperatur daerah penggerindaan yang bertambah tinggi akan menyebabkn derajat burning bertambah tinggi juga. Selain variabel-variabel proses yang sudah disebutkan diatas, variabel proses lain yang berpengaruh terhadap burning adalah aplikasi cairan pendingin. Kegagalan pendinginan pada waktu proses gerinda permukaan akan menghasilkan gesekan yang tinggi yang mengakibatkan temperatur bertambah tinggi. Temperatur yang tinggi pada area gesek antara roda gerinda dan permukaan benda kerja akan disalurkan ke permukaan benda kerja dan butiran abrasif. Hal ini menyebabkan terjadi burning pada permukaan benda kerja.
60
4.5
Pengaruh Variabel Proses Terhadap Kepadatan Retakan Pengukuran kepadatan retakan yang terjadi pada permukaan benda merupakan
salah satu cara untuk mengevaluasi kinerja dari proses gerinda permukaan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa variabel-variabel proses gerinda permukaan tidak hanya berpengaruh pada gaya potong, kekasaran permukaan dan surface burning benda kerja saja, tetapi juga mempengaruhi terjadinya retakan pada benda kerja. Retakan ini terjadi pada permukaan benda kerja sebagai akibat dari temperatur dearah penggerindaan yang terlalu tinggi. Ukuran dari retakan pada permukaan benda kerja ini sangat kecil dalam satuan mikrometer, sehingga diperlukan alat pembesar untuk mengamati retakan ini. Dalam penelitian ini digunakan alat foto SEM tipe EVO MA 10. Benda kerja hasil proses gerinda permukaan dibersihkan dari geram maupun cairan pendingin yang menempel, kemudian diletakkan dalam alat foto SEM untuk diamati. Gambar 4.11 menunjukkan foto SEM retak mikro yang ada pada permukaan benda kerja hasil proses gerinda permukaan dengan perbesaran 5000x. Semakin padat retakan pada permukaan benda kerja berarti perbedaan temperatur yang terjadi semakin besar dan tegangan sisa yang terjadi juga semakin besar.
Arah penggerindaan
Retak mikro
Gambar 4.11 Hasil foto SEM retak mikro pada permukaan benda kerja hasil proses gerinda permukaan dengan tipe abrasif aluminum oxide, kecepatan makan 200 mm/s dan kedalaman potong 0.03 mm.
61
Retakan permukaan adalah salah satu sumber yang potensial untuk terjadinya kegagalan komponen, sehingga diperlukan pengkualifikasian derajat dari retakan dengan menggunakan standar yang bersifat objektif. Pengkualifikasian dengan cara mengestimasi lebar, panjang atau kedalaman retakan atau bahkan jumlah dari retakan, tidak mudah untuk dilakukan. Oleh karena itu, Lee dan Tai (2003) mendefinisikan suatu kepadatan retakan permukaan sebagai rasio antara panjang retakan keseluruhan di penampang yang diamati dengan luas penampang yang diamati, untuk mengevaluasi seberapa parah keretakan yang terjadi. Tabel 4.13 menunjukkan kepadatan retakan yang terjadi pada penelitian ini. Pengukuran kepadatan retakan pada penelitian ini menggunakan bantuan perangkat lunak AutoCAD. Tabel 4.13 Hasil Pengukuran Kepadatan Retakan Kombinasi ke
TPR
P
Ɩ
(µm)
(µm)
(µm)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
18.42 50.27 84.45 33.16 39.65 82.92 25.60 32.55 71.73 15.52 28.63 37.24 12.26 22.15 33.24 4.52 24.14 32.16
51.2 51.2 51.2 51.2 51.2 51.2 51.2 51.2 51.2 51.2 51.2 51.2 51.2 51.2 51.2 51.2 51.2 51.2
38.4 38.4 38.4 38.4 38.4 38.4 38.4 38.4 38.4 38.4 38.4 38.4 38.4 38.4 38.4 38.4 38.4 38.4
Luas penampang yang diamati (µm²) 1966.08 1966.08 1966.08 1966.08 1966.08 1966.08 1966.08 1966.08 1966.08 1966.08 1966.08 1966.08 1966.08 1966.08 1966.08 1966.08 1966.08 1966.08
KRP (µm/µm²) 0.0094 0.0256 0.0430 0.0169 0.0202 0.0422 0.0130 0.0166 0.0365 0.0079 0.0146 0.0189 0.0062 0.0113 0.0169 0.0023 0.0123 0.0164
Sumber: Hasil pengukuran Keterangan: TPR = Total panjang retakan keseluruhan di penampang yang diamati (µm)
62
p
= Panjang penampang (µm)
Ɩ
= Lebar penampang (µm)
KRP = Kepadatan retakan penampang yang diamati Analisis variansi (ANAVA) digunakan untuk mengetahui variabel proses/variabel proses yang memiliki pengaruh secara signifikan terhadap kepadatan retakan. Tabel analisis variansi (ANAVA) untuk kepadatan retakan yang disusun berdasarkan perhitungan ditunjukkan pada Tabel 4.14. Tabel 4.14 Analisis Variansi (ANAVA) Variabel proses pada Kepadatan Retakan Source
DF
SS
MS
F
A B C
1 2 2
0.0007529 0.0000447 0.0011858
0.0007529 29.20 0.0000224 0.87 0.0005929 22.99
Error
12
0.0003095
0.0000258
Total
17
0.0022930
ρ - value 0.000 0.445 0.000
Sumber: Hasil perhitungan P-value menunjukkan variabel proses mana yang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kepadatan retakan. Penarikan kesimpulan menggunakan p-value untuk kepadatan retakan adalah sebagai sebagai berikut: 1.
Untuk variabel proses A (tipe abrasif) P-value = 0 < = 0.05, maka ada pengaruh variabel proses tipe abrasif terhadap kepadatan retakan.
2.
Untuk variabel proses B (kecepatan makan). P-value = 0.445 > = 0.05, maka tidak ada pengaruh variabel proses kecepatan makan terhadap kepadatan retakan.
3.
Untuk variabel proses C (kedalaman potong). P-value = 0 < = 0.05, maka ada pengaruh variabel proses kedalaman potong terhadap kepadatan retakan. P-value diatas menunjukkan tipe abrasif dan kedalaman potong
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kekasaran permukaan, sedangkan kecepatan makan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kekasaran permukaan. Variabel proses tipe abrasif dan kedalaman potong sama-sama
63
mempunyai p-value = 0. Untuk mengetahui hubungan antara tipe abrasif dan kedalaman potong terhadap kepadatan retakan, maka dilakukan regresi. Rincian dari analisis regresi ditunjukkan pada Lampiran F. Dari analisis regresi yang dilakukan didapatkan persamaan sebagai berikut: C4 = 0.0218 - 0.0129 C1 - 0.00186 C2 + 0.00984 C3
Dengan, C1
: tipe abrasif
C2
: kecepatan makan
C3
: kedalaman potong
C4
: kepadatan retakan
Persamaan regresi diatas menunjukkan bahwa tipe abrasif berpengaruh mengurangi kepadatan retakan, sedangkan kedalaman potong berpengaruh menambah kepadatan retakan. Tabel 4.13 menunjukkan bahwa nilai dari kepadatan retakan setiap spesimen berbeda. Semakin besar nilai kepadatan retakan, maka retakan pada permukaan benda kerja semakin banyak/panjang. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penggunaan kedalaman potong yang besar, retakan yang terjadi pada permukaan benda kerja akan semakin banyak/panjang. Dari analisis regresi dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan bertambahnya kedalaman potong, maka nilai dari kepadatan retakan akan semakin besar. Kondisi ini ditunjukkan oleh hasil eksperimen kombinasi 1, 2 dan 3 pada Tabel 4.15. Gambar 4.12a, b dan c menunjukkan pengamatan SEM dari retakan yang terjadi pada permukaan benda kerja. Jumlah retakan yang terjadi pada spesimen di Gambar 4.12a lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah retakan yang terjadi pada spesimen di Gambar 4.12b dan Gambar 4.12c. Tipe abrasif yang digunakan adalah aluminum oxide dan kecepatan makan yang digunakan adalah sebesar 150 mm/s. Kedalaman potong yang digunakan sebesar 0.01 mm, 0.03 mm dan 0.06 mm. Perbesaran dilakukan pada 6000x. Garis kuning pada gambar menunjukkan retak mikro yang dibuat dengan menggunakan perangkat lunak AutoCAD.
64
retak mikro
retak mikro
(a)
(b)
retak mikro
(c) Gambar 4.12 Hasil foto SEM retak mikro pada permukaan benda kerja hasil proses gerinda permukaan dengan tipe abrasif aluminum oxide, kecepatan makan 150 mm/s. (a) kedalaman potong 0.01 mm. (b) kedalaman potong 0.03 mm. (c) kedalaman potong 0.06 mm.
Dari data kepadatan retakan pada Tabel 4.11, maka pemilihan tipe abrasif dari roda gerinda juga berpengaruh terhadap kepadatan retakan. Penggunaan roda gerinda tipe green silicone dapat menurunkan kepadatan retakan pada permukaan benda kerja. Hal ini berarti bahwa dengan penggunaan roda gerinda tipe green silicone, temperatur daerah penggerindaan menjadi lebih rendah. Perbedaan temperatur yang rendah pada waktu pemanasan dan pendinginan menyebabkan tegangan sisa yang terjadi menjadi lebih kecil, sehingga retakan juga lebih sedikit. Gambar 4.13a menunjukkan kepadatan retakan hasil proses gerinda permukaan dengan roda gerinda aluminum oxide dan Gambar 4.13b menunjukkan kepadatan
65
retakan hasil proses gerinda permukaan dengan roda gerinda green silicone dengan perbesaran 6000x.
Retak mikro
Retak mikro
(a)
(b)
Gambar 4.13 Hasil foto SEM retak mikro pada permukaan benda kerja hasil proses gerinda permukaan dengan kecepatan makan 200 mm/s dan kedalaman potong 0.06 mm. (a) tipe abrasif aluminum oxide, (b) tipe abrasif green silicone.
4.6
Pengaruh Variabel Proses Terhadap Bentuk Geram Pengamatan bentuk geram dilakukan dengan menggunakan SEM untuk
mengetahui morfologi bentuk geram yang dihasilkan dari proses gerinda permukaan. Geram yang diambil untuk diamati adalah geram hasil proses gerinda permukaan dengan satu kali pemakanan dan menggunakan cairan pendingin soluble oil. Sebelum pengamatan dengan SEM dilakukan, geram hasil proses gerinda permukaan dikumpulkan dan dikeringkan. Geram yang sudah kering Kemudian ditempel dengan magnet untuk memisahkan geram dari butiran abrasif. Pengamatan SEM untuk bentuk geram dilakukan dengan pembesaran 800x. Kedalaman potong proses gerinda permukaan mempengaruhi bentuk geram. Peningkatan kedalaman potong juga akan meningkatkan besarnya gaya potong dan
menaikkan
temperatur
daerah
penggerindaan.
Temperatur
daerah
penggerindaan yang tinggi akan menyebabkan perubahan bentuk pada geram. Gambar 4.14 sampai dengan Gambar 4.16 menunjukkan geram hasil proses gerinda permukaan dengan tipe abrasif aluminum oxide, pada kecepatan makan
66
150 mm/s. Kedalaman potong Gambar 4.14 sampai dengan Gambar 4.16 adalah 0,01 mm, 0,03 mm dan 0,06 mm.
Leafy
Lamellar
Gambar 4.14 Foto SEM geram dengan tipe abrasif aluminum oxide, kecepatan makan 150 mm/s dan kedalaman potong 0.01 mm.
lamellar leafy
spherical irregular
Gambar 4.15 Foto SEM geram dengan tipe abrasif aluminum oxide, kecepatan makan 150 mm/s dan kedalaman potong 0.03 mm.
67
lamellar
leafy
irregular
spherical
Gambar 4.16 Foto SEM geram dengan tipe abrasif aluminum oxide, kecepatan makan 150 mm/s dan kedalaman potong 0.06 mm.
Geram yang dihasilkan pada proses gerinda permukaan mempunyai bentukbentuk lamellar ( panjang), leafy (daun), spherical (bulat) dan irregular (tidak teratur). Gambar 4.14 menunjukkan bahwa dengan kedalaman potong rendah, geram yang terbentuk didominasi oleh bentuk leafy dan lamellar. Dengan kedalaman potong yang lebih tinggi pada Gambar 4.15 dan Gambar 4.16, maka bentuk geram mulai berubah menjadi spherical dan irregular. Pada kedalaman potong 0.03 mm juga terlihat adanya geram yang berupa patahan kecil-kecil. Hal ini menunjukkan ada proses fracturing pada proses gerinda permukaan. Bentuk lamellar menunjukkan adanya proses cutting dan geram yang terbentuk tidak mengalami pendinginan secara cepat. Bentuk leafy menunjukkan adanya keausan pada roda gerinda yang diakibatkan oleh pematahan butiran abrasif pada roda gerinda. Geram dengan bentuk spherical terjadi karena adanya pemanasan yang berlebih dan oksidasi eksotermis. Pemilihan tipe abrasif tidak berpengaruh terhadap mode pembentukan geram. Hal ini terlihat pada Gambar 4.17 sampai Gambar 4.19. Pada kedalaman potong rendah bentuk geram masih didominasi oleh bentuk leafy dan lamellar. Dan pada kedalaman potong yang tinggi mulai muncul bentuk geram spherical.
68
lamellar
leafy
irregular
Gambar 4.17 Foto SEM geram dengan tipe abrasif green silicone, kecepatan makan 150 mm/s dan kedalaman potong 0.01 mm.
irregular spherical leafy
lamellar
Gambar 4.18 Foto SEM geram dengan tipe abrasif green silicone, kecepatan makan 150 mm/s dan kedalaman potong 0.03 mm.
69
spherical leafy
irregular
lamellar
Gambar 4.19 Foto SEM geram dengan tipe abrasif green silicone, kecepatan makan 150 mm/s dan kedalaman potong 0.06 mm.
Pengaruh kedalaman potong terhadap bentuk geram pada penelitian ini ditunjukkan oleh Tabel 4.15 Tabel 4.15 Pengaruh Kedalaman Potong Terhadap Bentuk Geram Variabel proses 0.01 Kedalaman Potong (mm)
4.7
0.03
0.06
Tipe Abrasif Aluminum Oxide
Green Silicone
Lamellar, leafy
Lamellar, leafy
Lamellar, leafy,
Lamellar, leafy,
spherical, irregular
spherical, irregular
Lamellar, leafy,
Lamellar, leafy,
spherical, irregular
spherical, irregular
Diskusi dan Pembahasan Berdasarkan hasil eksperimen dan analisis yang telah dilakukan pada penelitian ini maka pengaruh-pengaruh dari variabel proses terhadap variabel respon adalah sebagai berikut: a. Pemilihan tipe abrasif yang tepat untuk proses gerinda permukaan merupakan hal yang penting. Tipe abrasif dengan kekerasan yang tinggi
70
membuat butiran abrasif tidak mudah patah, tetapi aus. Hal ini mengakibatkan gaya potong bertambah besar. Hal ini menyebabkan temperatur
daerah
penggerindaan
naik,
sehingga
menyebabkan
mengakibatkan derajat burning bertambah tinggi, menimbulkan tegangan sisa peyebab retakan pada permukaan benda kerja meningkat. b. Kecepatan makan yang tinggi menyebabkan kekasaran permukaan yang rendah dan derajat burning berkurang. Kekasaran permukaan yang rendah disebabkan karena kecepatan makan yang tinggi membuat waktu kontak pada saat gesekan antara roda gerinda dengan benda kerja menjadi singkat, sehingga tidak cukup waktu untuk tercipta temperatur yang tinggi. Hal ini menyebabkan tidak terbentuk globule pada permukaan benda kerja serta derajat burning berkurang. c. Kedalaman potong yang tinggi membuat gaya potong, kekasaran permukaan, derajat burning bertambah besar. Peningkatan gaya potong disebabkan oleh bidang geser yang bertambah lebar. Peningkatan kekasaran permukaan disebabkan karena pada kondisi ini butiran abrasif yang terdapat di permukaan roda gerinda akan lebih banyak bergesekan dengan
benda
kerja.
Hal
ini
menyebabkan
permukaan
hasil
penggerindaan mempunyai celah yang lebar. Selain itu, kedalaman potong yang tinggi juga menyebabkan temperatur daerah penggerindaan meningkat. Hal ini menyebabkan terbentuk globule pada permukaan benda kerja, menyebabkan derajat burning meningkat dan menimbulkan tegangan sisa penyebab retakan pada permukaan benda kerja meningkat. Proses gerinda permukaan dengan menggunakan kedalaman potong yang rendah menghasilkan geram dengan bentuk lamellar dan leafy. Hal ini mengindikasikan bahwa mekanisme pembentukan geram pada kedalaman potong yang rendah didominasi oleh proses cutting. Proses gerinda permukaan dengan menggunakan kedalaman potong yang tinggi menghasilkan geram dengan bentuk leafy, spherical, lamellar dan irregular. Hal ini mengindikasikan bahwa pada kedalaman potong yang tinggi mekanisme pembentukan geram terdiri dari proses cutting, rubbing, plowing dan fracturing.
71
Halaman ini sengaja dikosongkan
72
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil eksperimen dan analisis yang telah dilakukan pada
penelitian yang berjudul Pengaruh Tipe Abrasif dan Parameter Proses Gerinda Terhadap Gaya Potong, Integritas Permukaan Benda Kerja (IPBK) dan Mode Pembentukan Geram (MPG) Pada Proses Gerinda Permukaan Baja Perkakas SKD-11, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1.
Variabel-variabel proses yang berpengaruh signifikan terhadap gaya potong adalah kedalaman potong dan tipe abrasif. Pengaruh-pengaruh dari variabel proses terhadap gaya potong adalah sebagai berikut: a. Kedalaman potong yang tinggi mengakibatkan gaya potong bertambah besar. b. Tipe abrasif dengan kekerasan yang tinggi mengakibatkan gaya potong bertambah besar.
2.
Variabel-variabel proses yang berpengaruh signifikan terhadap kekasaran permukaan adalah kedalaman potong dan kecepatan makan. Pengaruhpengaruh dari variabel proses terhadap kekasaran permukaan adalah sebagai berikut: a. Kedalaman potong yang tinggi menyebabkan kekasaran permukaan benda kerja bertambah tinggi. b. Kecepatan makan yang tinggi menyebabkan kekasaran permukaan benda kerja makin rendah.
3.
Derajat burning pada proses gerinda permukaan dipengauhi oleh kedalaman potong, kecepatan makan dan tipe abrasif. Pengaruh-pengaruh dari variabel proses terhadap derjat burning adalah sebagai berikut: a. Kedalaman potong yang tinggi menyebabkan derajat burning meningkat. b. Kecepatan makan yang tinggi menyebabkan derajat burning berkurang. c. Tipe abrasif dengan kekerasan yang tinggi menyebabkan derajat burning bertambah.
73
4.
Variabel-variabel proses yang berpengaruh signifikan terhadap kepadatan retakan adalah tipe abrasif dan kedalaman potong. Pengaruh-pengaruh dari variabel proses terhadap kepadatan retakan adalah sebagai berikut: a. Tipe abrasif dengan kekerasan yang tinggi menyebabkan retakan pada permukaan benda kerja bertambah banyak. b. Kedalaman potong yang tinggi menyebabkan retakan pada permukaan benda kerja bertambah banyak.
5.
Proses gerinda permukaan dengan menggunakan kedalaman potong yang rendah menghasilkan geram dengan bentuk lamellar dan leafy.
6.
Proses gerinda permukaan dengan menggunakan kedalaman potong yang tinggi menghasilkan geram dengan bentuk leafy, spherical, lamellar dan irregular.
5.2 Saran Untuk melengkapi penelitian yang telah dilakukan ini, disarankan untuk juga melakukan pengukuran temperatur. Hal ini perlu dilakukan agar dapat dilakukan analisis yang lebih jauh yang berhubungan dengan kerusakan termal maupun kerusakan metalurgi terhadap benda kerja. Analisis yang dapat dilakukan antara lain adalah transformasi fasa, pelunakan (tempering) dari lapisan permukaan, tegangan sisa, retakan dan penurunan ketahanan material terhadap kelelahan.
74
DAFTAR PUSTAKA Fathallah, B. B., Fredj, N. B., Sidhom, H., Braham, C. dan Ichida, Y. (2009), “Effects of Abrasive Type, Cooling Mode and Peripheral Grinding Wheel Speed on the AISI D2 Steel Ground Surface Integrity,” Int. J. of Mach. Tools & Manufacture, Vol. 49, pp. 261-272. Dhar, N. R., Siddiqui, A. T., dan Rashid, M. H. (2006), “Effect of High-Pressure Coolant Jet On Grinding Temperature, Chip and Surface Roughness In Grinding AISI-1040 Steel,” ARPN Journal of Engineering and Applied Sciences, Vol 1: 22-28. Kopac, J. dan Krajnick, P. (2006), “High Performance Grinding-a Review,” Journal of Materials Processing Technology, Vol. 175, pp. 278-284. Nguyen, T. dan Zhang, L. C. (2003), “An Assessment of the Applicability of Cold Air and Oil Mist in Surface Grinding,” Journal of Materials Processing Technology, Vol 140 pp. 224–230. Paul, S., Bandyopadhyay, P.P. dan Chattopadhyay, A.B. (1993), “Effects of CryoCooling in Grinding Steels,” Journal of Materials Processing Technology, Vol 37 pp. 791-800. Demir, H., Gullu, A., Chiftci, I. dan Seker, U. (2010), “An Investigation into the Influences of Grain Size and Grinding Parameters on Surface Roughness and Grinding Forces when Grinding ,” Journal of Mechanical Engineering, Vol. 56, pp. 447-454. Demir, H. (2003), “Investigation of the Influences of Cutting Tool Rake Angle on Forces during Metal Cutting,” MSc Thesis, Gazi University Institute of science and technology, Ankara, Turkey. Demir, H., and Gullu, A. (2006), “Design and Construction of a Dynamometer for Measurement of Grinding Forces during Surface Grinding Operation,” Journal of Materials Processing Technology, Vol. 9, pp. 111-118. Demir, H., and Gullu, A. (2001), “The Effect of Parameters in the Grinding,” Journal of Engineering Science, Vol. 7, pp. 189-198. Shaw,
M.C. (1994). “A Production Engineering Approach to Grinding Temperatures,” Journal of Materials Processing Technology, Vol. 44, pp. 59-69.
Rowe, W.B. (2009), Principles of Modern Grinding Technology, William Andrew Publications, pp. 74-76. Black, B. J. (2004), Workshop Processes, Practices and Materials, 3rd edition, Elsevier Science & Technology. Park, S. H. (1996), Robust Design and Analysis for Quality Engineering, 1st edition, Chapman & Hall, London. Groover, M. P. (2010), Fundamentals of Modern Manufacturing, Materials, Processes, and Systems, 4th edition, John Wiley & Sons, Inc., New York. Montgomery, D. C. (1991), Design and Analysis of Experiment, John Wiley & Sons, Inc., New York. Rochim, T. (1993), Proses Pemesinan, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Rochim, T. (2001), Spesifikasi, Metrologi & Kontrol Kualitas Geometrik, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Soejanto, I. (2009), Desain Eksperimen dengan Metode Taguchi, Graha Ilmu, Yogyakarta. Ross, P. J. (2008), Taguchi Techniques for Quality Engineering, 7 th edition, McGrawHill International Editions. Lee, H. T. dan Tai, T. Y. (2003), “Relationship between EDM Parameters and Surface Crack Formation,” Journal of Materials Processing Technology, Vol. 142, hal. 676-683. Ritchie, K.T. (1996), “Investigation of Wheel Wear and Its Effect on Forces Encountered in Grinding of Silicon Nitride,” Thesis Report, University of Maryland. Ben, F.N., Braham, C. dan Sidhom, H. (2006), “ Ground Surface Improvement of the Austenitic Stainless Steel AISI304 Using Cryogenic Cooling, Surface & Coatings Technology,” pp. 4846–4860. Chen, X., dan Brian, W. (1996), “Analysis and Simulation of the Grinding Process, part II: Mechanics of Grinding,” International Journal of Machine Tool & Manufacture, Vol. 36, pp. 883-896.
Lampiran A
SPESIFIKASI MESIN GERINDA PERMUKAAN MODEL KGS818AHD
L-1
Lampiran B HASIL PENGUKURAN KEKASARAN PERMUKAAN Tabel B-1 Hasil Pengukuran Kekasaran Permukaan Replikasi 1 Kombinasi
Pengukuran Pengukuran Pengukuran
ke-
1
2
3
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
0.36 0.54 0.65 0.41 0.55 0.63 0.36 0.49 0.72 0.31 0.55 0.7 0.34 0.5 0.66 0.42 0.45 0.67
0.46 0.58 0.68 0.42 0.57 0.64 0.39 0.5 0.68 0.42 0.57 0.71 0.42 0.52 0.73 0.39 0.54 0.69
0.51 0.51 0.68 0.45 0.55 0.71 0.39 0.53 0.69 0.35 0.51 0.69 0.4 0.53 0.69 0.38 0.51 0.6
Rata-rata
0.44 0.54 0.67 0.43 0.56 0.66 0.38 0.51 0.70 0.36 0.54 0.70 0.39 0.52 0.69 0.40 0.50 0.65
Tabel B-2 Hasil Pengukuran Kekasaran Permukaan Replikasi 2 Kombinasi
Pengukuran Pengukuran Pengukuran
ke-
1
2
3
1 2 3 4 5 6 7 8 9
0.35 0.55 0.75 0.39 0.53 0.65 0.36 0.51 0.67
0.47 0.58 0.66 0.44 0.54 0.67 0.37 0.53 0.71
0.49 0.52 0.64 0.42 0.56 0.75 0.38 0.5 0.68
L-2
Rata-rata
0.44 0.55 0.68 0.42 0.54 0.69 0.37 0.51 0.69
Tabel lanjutan: 10 11 12 13 14 15 16 17 18
0.41 0.49 0.72 0.36 0.49 0.61 0.3 0.52 0.71
0.37 0.58 0.68 0.39 0.51 0.73 0.3 0.56 0.68
0.42 0.56 0.7 0.43 0.5 0.72 0.36 0.49 0.72
0.40 0.54 0.70 0.39 0.50 0.69 0.32 0.52 0.70
Lampiran C
UJI TUKEY DARI VARIABEL PROSES TERHADAP GAYA POTONG
Uji Tukey faktor tipe abrasif terhadap gaya potong
Grouping Information Using Tukey Method and 95.0% Confidence C1 1 2
N 18 18
Mean 244.8 200.1
Grouping A B
Tukey Simultaneous Tests Response Variable C4 All Pairwise Comparisons among Levels of C1 C1 = 1 subtracted from:
C1 2
Difference of Means -44.71
SE of Difference 5.504
T-Value -8.122
Adjusted P-Value 0.0000
Uji Tukey faktor kecepatan makan terhadap gaya potong
Grouping Information Using Tukey Method and 95.0% Confidence C2 3 2 1
N 12 12 12
Mean 224.0 222.6 220.8
Grouping A A A
Means that do not share a letter are significantly different. Tukey Simultaneous Tests Response Variable C4 All Pairwise Comparisons among Levels of C2 C2 = 1 subtracted from:
C2 2 3
Difference of Means 1.787 3.126
SE of Difference 6.741 6.741
T-Value 0.2651 0.4637
Adjusted P-Value 0.9621 0.8887
L-3
C2 = 2
C2 3
subtracted from:
Difference of Means 1.339
SE of Difference 6.741
T-Value 0.1986
Adjusted P-Value 0.9785
Uji Tukey faktor kedalaman potong terhadap gaya potong
Grouping Information Using Tukey Method and 95.0% Confidence C3 3 2 1
N 12 12 12
Mean 350.4 212.0 105.1
Grouping A B C
Tukey Simultaneous Tests Response Variable C4 All Pairwise Comparisons among Levels of C3 C3 = 1 subtracted from:
C3 2 3
Difference of Means 106.8 245.2
C3 = 2
C3 3
SE of Difference 6.741 6.741
T-Value 15.85 36.38
Adjusted P-Value 0.0000 0.0000
T-Value 20.53
Adjusted P-Value 0.0000
subtracted from:
Difference of Means 138.4
SE of Difference 6.741
Lampiran D PENURUNAN GAYA POTONG DENGAN PENGGUNAAN TIPE ABRASIF YANG BERBEDA Tabel D Hasil Perhitungan Penurunan Gaya Normal dari Tipe Abrasif Aluminum Oxide dengan Green Silicone Aluminum Oxide 120.63 226.30 362.48 111.39 217.26 401.28 122.01 252.13 390.01
Green Silicone 99.14 198.96 317.53 86.33 184.56 334.95 91.25 192.52 295.88
L-4
Penurunan Gaya 17.81% 12.08% 12.40% 22.50% 15.05% 16.53% 25.21% 23.64% 24.13%
Lampiran E
UJI TUKEY DARI VARIABEL PROSES TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN
Uji Tukey faktor tipe abrasif terhadap kekasaran permukaan
Grouping Information Using Tukey Method and 95.0% Confidence C1 1 2
N 18 18
Mean 0.5430 0.5311
Grouping A A
Means that do not share a letter are significantly different. Tukey Simultaneous Tests Response Variable C5 All Pairwise Comparisons among Levels of C1 C1 = 1 subtracted from:
C1 2
Difference of Means -0.01185
SE of Difference 0.007470
T-Value -1.587
Adjusted P-Value 0.1231
Uji Tukey faktor kecepatan makan terhadap kekasaran permukaan
Grouping Information Using Tukey Method and 95.0% Confidence C2 1 2 3
N 12 12 12
Mean 0.5478 0.5392 0.5242
Grouping A A B B
Means that do not share a letter are significantly different.
Tukey Simultaneous Tests Response Variable C5 All Pairwise Comparisons among Levels of C2 C2 = 1 subtracted from:
C2 2 3
Difference of Means -0.00861 -0.02361
C2 = 2
C2 3
SE of Difference 0.009149 0.009149
T-Value -0.941 -2.581
Adjusted P-Value 0.6190 0.0387
T-Value -1.640
Adjusted P-Value 0.2451
subtracted from:
Difference of Means -0.01500
SE of Difference 0.009149
L-5
Uji Tukey faktor kedalaman potong terhadap kekasaran permukaan
Grouping Information Using Tukey Method and 95.0% Confidence C3 3 2 1
N 12 12 12
Mean 0.6886 0.5283 0.3942
Grouping A B C
Means that do not share a letter are significantly different. Tukey Simultaneous Tests Response Variable C5 All Pairwise Comparisons among Levels of C3 C3 = 1 subtracted from:
C3 2 3
Difference of Means 0.1342 0.2944
C3 = 2
C3 3
SE of Difference 0.009149 0.009149
T-Value 14.66 32.18
Adjusted P-Value 0.0000 0.0000
T-Value 17.52
Adjusted P-Value 0.0000
subtracted from:
Difference of Means 0.1603
SE of Difference 0.009149
Lampiran F
ANALISIS REGRESI KEPADATAN RETAKAN Regression Analysis: C4 versus C1, C2, C3 The regression equation is C4 = 0.0218 - 0.0129 C1 - 0.00186 C2 + 0.00984 C3
Predictor Constant C1 C2 C3
Coef 0.021757 -0.012935 -0.001857 0.009844
S = 0.00489684
SE Coef 0.005414 0.002308 0.001414 0.001414
R-Sq = 85.4%
T 4.02 -5.60 -1.31 6.96
P 0.001 0.000 0.210 0.000
R-Sq(adj) = 82.2
L-6
BIODATA PENULIS
Fipka Bisono, lahir di Kabupaten Ponorogo pada tanggal 8 Juli 1988, penulis adalah putra pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Budi Bisono dan Ibu Kartini. Pendidikan dasar ditempuh di SDN Tonatan 2 Ponorogo, lulus pada 2001. Pendidikan menengah pertama ditempuh di SMPN 1 Ponorogo, lulus pada 2004. Pendidikan menengah atas ditempuh di SMAN 1 Ponorogo, lulus tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya dengan mengambil Jurusan Teknik Desain dan Manufaktur. Gelar Sarjana Sains Terapan diperoleh setelah menamatkan pendidikan pada tahun 2011. Pada tahun 2012 penulis melanjutkan studi di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya tepatnya di Jurusan Teknik Mesin Program Studi Sistem Manufaktur. Apabila pembaca ingin berkorespondensi dengan penulis dapat melalui email:
[email protected].