EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS DI ERA OTONOMI
Oleh:
Syamsul Gusri A015010245
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir ”Efektivitas Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Bengkalis di Era O tonomi” adalah benar karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam dafta r pustaka dibagian akhir tugas akhir ini.
Bogor, Desember 2005
Syamsul Gusri NRP. A 015010245
ABSTRAK
SYAMSUL GUSRI. Efektivitas Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Bengkalis di Era Otonomi. Dibimbing oleh Hermanto Siregar dan Dedi Budiman Hakim. Otonomi daerah telah memberikan banyak perubahan pada pengelolaan daerah dan pengelolaan keuangan daerah. Perubahan ini merupakan implikasi disahkannya Undang-Undang Nomor 22 dan 25 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan pembagian keuangan antar pusat dan daerah. Perubahan pada keuangan daerah sangat dirasakan terutama bagi daerah yang mendapatkan bagi hasil yang lebih besar dengan adanya otonomi daerah. Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu daerah yang mendapatkan dana bagi hasil yang cukup besar dari migas. Pendapatan yang besar tidak selalu berbanding lurus dengan percepatan pembangunan bahkan bisa menimbulkan konflik di daerah. Dengan dasar inilah penulis melakukan kajian “Efektivitas Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Bengkalis di Era Otonomi” dengan tujuan: (1) menganalisis efektivitas pengelolaan keuangan daerah setelah otonomi, (2) menganalisis kontribusi setiap mata anggara n pada APBD kabupaten Bengkalis, (3) menganalisis keadilan alokasi anggaran setelah otonomi daerah, (4) menganalisis perencanaan pengelolaan keuangan daerah dalam mendukung program pembangunan daerah, (5) merumuskan alternatif penggunaan anggaran yang memberikan manfaat optimal kepada masyarakat. Sesuai dengan judul, lokasi kajian ini adalah Kabupaten Bengkalis, dengan sumber data sekunder dirangkum dari APBD Kabupa ten Bengkalis dan laporan pertanggungjawaban Bupati Kabupa te n Bengkalis tahun anggaran 1998/1999 – 2003. Metode kajian ini menggunakan analisa rasio dan konversi anggaran. Hasil kajian menyimpulkan bahwa selama otonomi pengelolaaan keuangan daerah Kabupaten Bengkalis belum dikelola dengan efektif dan alokasi anggaran yang belum berpihak kepada masya rakat (adil) serta belum inovatifnya pemerintah daerah dalam mengelola keuangan (dilihat dari pendapatan, belanja dan pembiayaan). Hasil kajian ini membenarkan kesimpulan awal bahwa pendapatan daerah yang besar tidak berbanding lurus dengan usaha percepatan pembangunan daerah. Terakhir, dari kajian ini dibuat rancangan strategi membangun keuangan daerah yang dilihat dari tiga aspek keuangan daerah yaitu: (1) pendapatan, (2) belanja dan (3) pembiayaan, yang melahirkan tiga strategi membangun keuangan daerah yaitu: (1) membangun sistem keuangan daerah, (2) mengoptimalkan dana luar dan (3) audit internal.
© Hak cipta milik Syamsul Gusri, tahun 2005 Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang me ngutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya
Judul Tugas Akhir
: Efektivitas Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Bengkalis di Era Otonomi.
Nama
: Syamsul Gusri
NIM
: A 015010245
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Ketua
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc
Tanggal Ujian: 24 Oktober 2005
Tanggal Lulus:
EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS DI ERA OTONOMI
SYAMSUL GUSRI
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
PRAKATA Tiada kalimat yang paling tepat untuk diucapkan selain puja dan syukur ke hadapan Allah SWT sang pencipta semesta alam, yang mengetahui setiap langkah dan gerakan kita, mengetahui yang disembunyikan dan di zahirkan, yang tidak pernah lelah mengawasi hambanya, menunjukkan kepada jalan yang benar, yang telah memberikan kekuatan bagi penulis untuk merampungkan tugas akhir ini. Shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW, qudwah yang tertinggi, contoh yang tiada tandingnya, guru sekalian alam dan rujukan yang terbaik bagi seluruh umat manusia yang ingin mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Hermanto Siregar M.Ec. yang selalu memberikan motivasi dalam penyelesaian tugas akhir ini dan bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim M.Ec. yang telah memeriksa de ngan teliti tugas akhir ini, sehingga tulisan ini bisa diselesaikan. Terima kasih tak lupa kami sampaikan kepada bapak Dr. Ir. Yusman Syaukat M.Ec sebagai ketua program studi dan Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc. sebagai dekan Sekolah Pascasarjana dan teristimewa kepada semua dosen Magister Manajemen Pembangunan Daerah yang tidak tersebutkan satu persatu pada tulisan ini. Penulis sangat menyadari semakin dipelajari makin sedikit ilmu yang miliki. Semoga tulisan ini akan dapat memberikan kontribusi dalam kajian pembangunan daerah, amin!
Bogor, Desember 2005
Syamsul Gusri
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Syamsul Gusri bin Syukur, dilahirkan di Padang pada tanggal 5 Agustus 1965 dari Ibu Hj. Rasyi’ah dengan Ayah H. Syukur Rajo nan Kayo. Penulis merupakan anak ke 10 dari empat belas bersaudara. Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan di SDN 49 Padang ditamatkan pada tahun 1979, Sekolah Menengah Tingkat Pertama di SMPN 05 Padang ditamatkan tahun 1982, Sekolah Menengah Tingkat Atas di SMAN 03 Padang ditamatkan tahun 1985 dan Universitas Riau pada Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen ditamatkan tahun 1992 dengan mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi. Selanjutnya pada tahun 2002 penulis diterima pada Program Studi Magister Manajemen Pembangunan Daerah, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan biaya sendiri. Penulis pada saat diterima diamanatkan sebagai anggota DPRD Kabupaten Bengkalis dari Partai Keadilan yang berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera priode 1999 – 2004 dan sekarang bergabung dengan XSYS International, Konsultan sektor publik berkantor pusat di Jakarta. Menikah 05 Pebruari tahun 1993 dengan Hj. Arlina istri yang sangat dicintai dan telah diamanahkan lima orang putri yang tersayang yaitu Rumaisha ’Afifatul Hafizah, Yaumiyatul Furqoni, Shofiyah Salsabila, Khansa’ Al Qodisiyah dan Shafura.
Bogor, Desember 2005 Syamsul Gusri
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Perumusan Masalah 1.3. Tujuan dan Manfaat
........................................................................ 1 ........................................................................ 5 ....................................................................... 10
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6. 2.7. 2.8.
Kewenangan, Partisipas dan Korupsi Dalam Era Otonomi Daerah....... 11 Perencanaan Pembangunan Daerah ................................................ 14 Anggaran Daerah ........................................................................ 18 Keuangan Daerah Sebelum Otonomi ................................................ 22 Keuangan Daerah Setelah Otonomi ................................................ 25 Perbedaan Keuangan Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi. ............ 30 Analisa Keuangan Daerah ............................................................ 38 Keadilan Pembangunan Daerah ............................................................ 39
III. METODOLOGI 3.1. Subjek Kajian ........................................................................ 42 3.2. Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 42 3.3. Metode Analisis ........................................................................ 42 3.4 . Konversi ........................................................................ 46 3.5. Rancangan Program dan Strategi ................................................ 46 3.6. Kerangka Pemikiran ........................................................................ 47 IV. EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 4.1. 4.2. 4.3. 4.4.
Efektivitas Pengelolaan Keuangan Daerah .................................... 49 Keadilan Alokasi Keuangan Daerah .................................... 73 Analisa Perencanaan Keuangan Daerah .................................... 80 Konversi Anggaran Sebelum dengan Sesudah Otonomi Daerah........... 84
V. RANCANGAN STRATEGI KEUANGAN DAERAH .................................. 88
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………… 98 6.1. Kesimpulan 6.2. Saran DAFTAR PUSTAKA
.................................................................................... 98 .................................................................................... 99 .................................................................................... 101
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1.1.
Ringkasan APBD Kabupaten Bengkalis Tahun 1998/1999 sampai dengan Tahun 2003 .................................................................................... 6
2.1.
Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah Menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999. .................................... 26
2.2.
Pembagian Keuangan Antara Pemerintahan Propinsi dan Kabupaten/kota Menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999. ............ 26
2.3.
Perbedaan Keuangan Daerah Sebelum dan Setelah Otonomi
4.1.
Rasio Efektivitas Anggaran Tahun 1998/1999 – 2000
4.2.
Rasio Efektivitas Angga ran Tahun 2001 -2003
4.3.
Tingkat Pertumbuhan Realisasi Anggaran Kab. Bengkalis Tahun 1998/1999 – 2003 ........................................................................ 57
4.4.
APBD Berdasarkan Rencana Aktual Pengeluaran Pembangunan Daerah
4.5.
Trend Kenaikan APBD Kab. Bengkalis Tahun 1998/1999 – 2003 ............ 62
4.6.
Rasio Vertikal dengan Pendapatan
............................................................ 67
4.7.
Rasio Vertikal dua Anggaran
............................................................ 73
4.8.
Alokasi Pengeluaran Pemerintah Kab. Bengkalis Berdasarkan Rencana Tahun 2002 -2003 ........................................................................ 78
4.9.
Alokasi Pengeluaran Pemerintah Kab. Bengkalis Berdasarkan Realisasi Anggaran Tahun 2001 – 2003 ............................................................ 79
4.10.
Konversi Anggaran Berdasarkan Rencana Pendapatan
........................ 85
4.11.
Konversi Anggaran Berdasarkan Realisasi Pendapatan
........................ 85
............ 36
........................ 52
.................................... 53
60
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
3.1. Kerangka Berfikir
....................................................................... 48
4.1. Trend Kenaikan PAD
....................................................................... 62
4.2. Trend Dana Perimbangan
........................................................... 63
4.3. Trend Pengeluaran Rutin
........................................................... 64
4.4. Trend Aktual Pengeluaran Pembangunan
................................... 65
4.5. Trend Pengeluaran Pembangunan Terserap
................................... 66
5.1. Rancangan Strategi Pembangunan Daerah
................................... 89
5.2. Alur Pikir Rancangan Program 5.3. Strategi Keuangan Daerah
............................................... 90 ........................................................... 92
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran
Halaman
1. Ringkasan APBD Kabupaten Bengkalis Tahun 1998/1999
................ 104
2. Ringkasan APBD Kabupaten Bengkalis Tahun 1999/2000
................ 105
3. Ringkasan APBD Kabupaten Bengkalis Tahun 2000
............................ 106
4. Ringkasan APBD Kabupaten Bengkalis Tahun 2001
........................... 107
5. Ringkasan APBD Kabupaten Bengkalis Tahun 2002
............................ 108
6. Ringkasan APBD Kabupaten Bengkalis Tahun 2003
............................ 109
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan landasan pelaksanaan desentralisasi di bidang politik, administrasi, dan fiskal dalam rangka mewujudkan Otonomi Daerah. Undang-Undang Nomor 22 berintikan pembagian kewenangan dan fungsi (power sharing) antara pemerintah pusat dan daerah. Sementara Undang-Undang Nomor 25 mengatur pembagian sumber -sumber daya keuangan (financial sharing) antara pusat-daerah sebagai konsekwensi pembagian kewenangan tersebut (Simanjutak, 2001; Suharyo, 2000). Kedua undang-undang ini menekankan bahwa pengembangan otonomi daerah diselenggarakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, partisipasi masyarakat, pemerataan, keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman sumber daya daerah. Selain itu undang-undang ini juga telah memberi kejelasan arah yang ingin dicapai dan memberi keleluasaan bagi daerah melebihi apa yang ada di masa sebelumnya. Pelaksanaan otonomi daerah yang efektif dilaksanakan pada bulan Januari 2001 telah membuat perubahan-perubahan yang mendasar dalam pelaksanaan dan pembiayaan pembangunan wilayah di masing-masing daerah Kabupaten/Kota. Perubahan tersebut khususnya terlihat pada daerah-daerah yang mempunyai bagi hasil sumberdaya alam, dimana pendapatan daerah mereka mengalami kenaikan yang sangat besar dibandingkan sebelum masa otonomi. Kondisi ini dapat terjadi
2
karena otonomi daerah telah memberi kewenangan yang sangat luas kepada setiap daerah dalam mengatur pembangunan daerah dan kewenangan fiskal. Sehingga setiap daerah memiliki keleluasaan untuk mengembangkan potensi penerimaan daerah pada satu sisi, dan keleluasaan untuk menyusun program dan prioritas pembangunan di sisi lainnya. Sesuai dengan semangat dan jiwa dari kedua undang-undang diatas berarti otonomi diharapkan mempunyai dampak positif kepada daerah berupa: 1. Terjadinya daerah-daerah pertumbuhan baru di kabupaten/kota, menggantikan pembangunan terpusat yang selama ini telah dianggap oleh banyak kalangan sebagai penyebab lambannya pembangunan di daerah dan semakin memperbesar ketimpangan pembangunan antar daerah. 2. Terjadinya percepatan pembangunan daerah, sehingga daerah yang selama ini lambat untuk berkembang akan mampu untuk memacu ketinggalannya. Melalui otonomi daerah ini diharapkan juga akan terjadi persaingan antar daerah yang sehat, sehingga memacu masing-masing daerah untuk memperkuat daya saingnya sebagai pemicu dan penentu keberhasilan pembangunan di daerah tersebut. Pembangunan wilayah yang hanya mengejar pertumbuhan tinggi dengan mengandalkan keunggulan komparatif semata berupa kekayaan alam yang berlimpah, upah tenaga kerja murah, dan posisi strategis, saat ini sulit untuk dipertahankan lagi. Daya saing tidak dapat diperoleh dari misalnya faktor upah rendah atau tingkat bunga rendah, tetapi harus pula diperoleh dari kemampuan untuk melakukan perbaikan dan inovasi secara berkesinambungan. Oleh karena itu sangat pe nting sekali untuk menyusun rencana program pembangunan guna menciptakan atau menaikkan daya saing wilayah.
3
Pada saat melihat fakta kondisi yang ada, maka kepentingan tiap program dapat bersifat (1) harus segera dilaksanakan segera,
(2) dapat dilakukan di saat
yang lain, dan (3) dapat dilakukan pada tahap selanjutnya. Sementara bila dilihat dari karakteristiknya, program satu dengan program lainnya dapat bersifat (1) komplementer, output yang ada menjadi input bagi yang lain atau (2) tidak terkait langsung satu sama lain. Atas dasar semua kondisi ini, maka daftar program yang tersusun perlu disusun urutan prioritasnya, yang berarti mengenali lebih dalam urgensi dan karakteristik tiap program yang ada dikaitkan denga n keberadaan program yang lain. Keperluan untuk menentukan prioritas program dalam perencanaan pembangunan daerah semakin terasa penting jika dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah saat ini. Salah satu ciri utama otonomi daerah, sebagaimana yang tersirat dalam UU Nomor 25 Tahun 1999, adalah daerah otonom memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakannya sendiri untuk pembiayaan pembangunan daerah. Kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri bertujuan antara lain adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, dan memudahkan masyarakat untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sejalan dengan kewenangan tersebut, Pemerintah Daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pendapatan lainnya untuk percepatan
4
pembangunan daerah. Tuntutan peningkatan PAD semakin besar seiring dengan semakin banyaknya kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada daerah disertai pengalihan personil, peralatan, pembiayaan dan dokumentasi (P3D) ke daerah dalam jumlah besar. Sementara, sejauh ini dana perimbangan yang merupakan transfer keuangan oleh pusat kepada daerah dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah, meskipun jumlahnya relatif memadai yakni sekurang-kurangnya sebesar 25 persen dari Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN, namun daerah harus lebih kreatif dalam meningkatkan pendapatannya untuk
meningkatkan
akuntabilitas
dan
keleluasaan
dalam
pembelanjaan
APBD-nya. Sumber -sumber penerimaan daerah yang potensial harus digali secara maksimal, namun tentu saja di dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk diantaranya adalah pajak daerah dan retribusi daerah yang memang telah sejak lama menjadi unsur PAD yang utama (Sidik, 2002). Dalam perspektif sumber pembiayaan, pembangunan daerah itu dapat dibagi ke dalam tiga kelompok. Pertama, pembangunan yang menjadi kewajiban pemerintah daerah, yaitu pembangunan yang harus dibiayai oleh APBD yang bersumber pada pendapatan asli daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan, pinjaman daerah dan sisa lebih anggaran tahun sebelumnya. Kedua, pembangunan yang merupakan kewajiban pemerintah pusat tetapi pelaksanaannya oleh pemerintah daerah. Biaya pembangunan diambil dari APBN yang kemudian ditransfer ke APBD. Ketiga, pembangunan yang dibiayai APBN dan langsung dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat dengan mengambil lokasi pada daerah (Kunarjo, 2002). Berdasarkan ketiga perspektif ini maka sangat penting sekali bagi suatu daerah untuk bisa melaksanakan efektivitas
5
pengelolaan keuangan daerah, yang dilakukan bukan hanya untuk menggali sumber-sumber penerimaannya saja namun juga termasuk bagaimana mengatur pengeluarannya. Tidak efektifnya pengelolaan keuangan daerah dapat dipastikan akan menyebabkan pelaksanaan pembangunan daerah tidak optimal. Beranjak dari konsep pemikiran ini, maka menarik sekali untuk diangkat suatu isu yakni bagaimana tingkat efektivitas pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Bengkalis, khususnya dalam era otonomi daerah ini.
1.2. Perumusan Masalah Kabupaten Bengkalis sangat beruntung dengan adanya otonomi daerah, terutama sekali bila ditinjau dari bagi hasil minyak. Hal ini dibuktikan dari peningkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan kelipatan yang sangat besar dibandingkan sebelum pelaksanaan Otonomi Daerah (lihat Tabel 1.1). Peningkatan ini berasal dari bagi hasil minyak bumi yang merupakan 15 persen bagian daerah dan 85 persen bagi pusat. Dari yang 15 persen itu, 6 persen untuk daerah penghasil, 6 persen untuk daerah bukan penghasil dan 3 persen bagian propinsi. Perubahan lain yang prinsip adalah dalam perencanaan keuangan daerah, yang dimulai dari bagaimana pemerintah mengoptimalkan sumber pendapatan dan pembelanjaan, penjaringan aspirasi sampai anggaran diajukan ke DPRD untuk dilakukan pembahasan.
Walaupun terjadi perubahan yang mendasar dalam
pengelolaan keuangan daerah, pemerintah daerah diberikan waktu menyesuaikan antara anggaran sebelum otonomi dengan setelah otonomi. Tiga tahun anggaran bisa digunakan untuk melakukan penyesuaian yaitu tahun anggaran 2000, 2001
6
dan 2002. Pada tahun 2003 sudah harus melaksanakan anggaran dengan berbasis kinerja. Tapi kenyataannya kabupaten Bengkalis baru melaksanakan anggaran berbasis kinerja pada tahun anggaran 2005. Belum dilaksanakannya pengelolaan anggaran berbasis kinerja tentu juga berdampak dalam pengalokasian anggaran yang tidak mempunyai ukuran tingkat keberhasilan.
Tabel 1.1. Ringkasan APBD Kab. Ben gkalis Tahun 1998/1999 s/d 2003 (milyar rupiah) No
Uraian
A
PENDAPATAN
I
Sisa Perhitungan Tahun Lalu
II
PAD
III
Dana Perimbangan
IV V
Bagian Pinjaman Pemda Bagian Penerimaan lain
B
1998/1999 Rencana Realisasi
1999/2000 Rencana Realisasi
2000 Rencana Realisasi
150.18
160.78
176.32
195.63
140.30
168.36
5.05
5.05
11.73
11.73
14.75
32.90
16.99
18.63
16.56
21.67
7.47
18.51
125.31
135.14
148.03
162.23
118.07
116.95
2.83
1.95
-
-
-
-
PENGELUARAN
150.18
149.04
176.32
162.73
140.30
114.53
I
Pengeluaran Rutin
66.69
71.14
111.85
106.80
62.61
69.51
II
Pengeluaran Pembangunan
83.49
77.91
64.47
55.93
77.68
45.02
No
Uraian
2001 Rencana Realisasi
2002 Rencana Realisasi
2003 Rencana Realisai
1,017.80
1,047.07
1,433.68
1,469.57
1,413.93
1,482.74
A
PENDAPATAN
I
Sisa Perhitungan Tahun Lalu
53.84
53.84
450.57
450.57
332.89
336.08
II
PAD
20.51
24.75
24.15
48.87
46.56
42.29
III
Dana Perimbangan Bagian Pinjaman Pemda
943.45 -
968.48
IV
-
958.96 -
970.14 -
914.08 -
1,016.08 -
V
Bagian Penerimaan lain
-
-
-
-
120.40
88.30
B
PENGELUARAN
1,433.68
1,133.49
1,413.93
1,291.10
I
Pengeluaran Rutin
231.61
237.99
405.18
371.72
489.99
456.31
II
Pengeluaran Pembangunan
786.19
358.52
1,028.50
761.77
923.94
834.78
Sumber: APBD Kab. Bengkalis
1,017.80
596.50
7
Semua perbedaan ini menuntut kerja pemerintah yang lebih profesional agar anggaran yang diterima menjadi efektif penggunaannya. Namun seiring berjalannya otonomi pengelolaan keuangan yang diharapkan ini belum berjalan sebagaimana yang menjadi ketentuan perundang-undangan. Ini merupakan suatu indikasi bahwa pemerintah belum sungguh-sungguh untuk melaksanakan amanah perundang-undangan tentang pemerintahan dan otonomi daerah. Apakah ini juga merupakan petunjuk belum siapnya pemerintah dengan sistem dan perangkatnya, yang terbukti dari banyaknya anggaran luncuran yang terjadi setelah pelaksanaan otonomi daerah? Bahkan pada awal otonomi daerah tahun 2001 tidak cukup setengah dari anggaran pembangunan yang mampu dila ksanakan pada tahun tersebut. Pada sisi lain setelah otonomi berlangsung, dari tahun ke tahun anggaran pembangunan cenderung mengalami penurunan jumlahnya. Walaupun sepintas nampak mengalami kenaikan dari 2001 ke 2002 tapi kenaikan itu lebih diakibatkan luncuran anggaran pembangunan pada tahun 2001.
Hal yang
sebaliknya terjadi pada pengeluaran rutin (belanja aparatur) yang terus mengalami kenaikan pada tahun 2001, 2002 dan 2003. Kenaikan yang sangat jelas adalah antara anggaran sebelum dan sesudah otonomi daerah. Dimana pada tahun anggaran 1999/2000 total pendapatan daerah adalah 195,63 milyar rupiah, kemudian melonjak tinggi pada tahun 2001 menjadi 1,047 Triliun rupiah. Melalui peningkatan anggaran yang sangat besar tersebut diharapkan akan terjadi percepatan pembangunan daerah, peningkatan pendapatan masyarakat serta pengurangan pengangguran, angka kemiskinan, perbaikan kesehatan masyakat dan pendidikan. Semua ini dapat terjadi apabila anggaran
8
dalam jumlah yang besar setelah otonomi tersebut dikelola secara optimal. Dalam kenyataannya, setelah empat tahun perjalanan otonomi, masyarakat sepertinya masih belum merasakan perubahan yang berarti dalam kehidupan mereka. Ini ditandai dengan banyaknya tuntutan masyarakat untuk pemekaran karena merasa tidak menda patkan keadilan alokasi anggaran setelah otonomi daerah. Tuntutan itu berakibat pada timbulnya konflik vertikal dan horizontal. Konflik vertikal karena ketidakpuasan dengan pemerintah, sedangkan konflik horizontal dengan munculnya pro dan kontra di tengah masyarakat. Ketidakpuasan ini juga menimbulkan tuntutan yang secara terus -menerus bagi masyarakat untuk melakukan pemekaran, terutama kecamatan yang mempunyai pendapatan yang besar. Apalagi Kabupaten Bengkalis dilihat secara geografis mempunyai wilayah yang cukup luas (11 ribu km 2) yang terletak di daratan Sumatera dan daerah kepulauan yang sebaran penduduknya berjauhan. Dengan kondisi geografis seperti ini tentu saja pelayanan kepada masyarakat juga sangat jauh dari ibukota kabupaten menambah ketidakpuasan mereka. Ketidakpuasan ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila pemerintah mau dan mampu mengakomodir kepentingan masyarakat dengan mengalokasikan sumber dana yang besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memberikan pelayanan publik yang baik. Apabila ini dilakukan oleh pemerintah, pada prinsipnya masyarakat tidak akan menuntut lebih banyak. Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu berotonomi yaitu terletak pada kemampuan keuangan daerah. Artinya, daerah otonom harus memilik i kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai
9
untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. (Sidik, 2002).
Semestinya sumber keuangan daerah tersebut harus disesuaikan dengan fiscal potentials yang merupakan obyek pajak sesungguhnya sehingga penerimaan daerah dapat dijangkau secara optimal. Dalam kenyataannya selama ini Kabupaten Bengkalis selalu menargetkan besarnya penerimaan daerah hanya berdasarkan incre mental potentials yang menyebabkan realisasi penerimaan tampak selalu di atas target. Situasi ini bukan hanya terlihat pada pencapaian sumber-sumber
penerimaan
saja,
tetapi
juga
kelihatan
dalam
realisasi
pengeluaran. Sehingga Kabupaten Bengkalis seakan-akan sudah mencapai optimalisasi pengelolaan keuangan daerah. Padahal dalam konsep efektivitas pengelolaan keuangan daerah tidak pernah sekalipun terpikirkan adanya pencapaian realisasi di atas target. Dengan demikian, fakta bahwa Kabupaten Bengkalis selama ini mampu meraih realisasi selalu di atas target belumlah menggambarkan pengelolaan keuangan daerah yang terjadi selama ini dikatakan efektif. Beranjak dari semua konsep pemikiran ini, maka dapat disampaikan beberapa permasalahan yang diangkat dalam penelit ian sebagai berikut: 1. Sejauh manakah efektivitas pengelolaan keuangan daerah setelah otonomi. 2. Bagaimana kontribusi pendapatan dan pengeluaran daerah kabupaten Bengkalis sebelum dan sesudah diberlakukannya otonomi daerah. 3. Sejauh manakah keadilan pembangunan ditinjau dari segi keuangan daerah. 4. Bagaimana perencanaan anggaran daerah setelah otonomi daerah.
10
1.3. Tujuan dan Manfaat Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, dapat disampaikan beberapa tujuan dari penelitian ini yakni : 1. Menganalisis efektiv itas pengelolaan keuangan daerah setelah otonomi. 2. Menganalisis kontribusi setiap mata anggaran pada APBD kabupaten Bengkalis. 3. Menganalisis keadilan alokasi anggaran setelah otonomi daerah.. 4. Menganalisis perencanaan pengelolaan keuangan daerah dalam mendukung program pembangunan daerah. 5. Merumuskan alternatif pengelolaan anggaran yang memberikan manfaat optimal kepada masyarakat. Hasil dari kajian studi pembangunan daerah ini merupakan masukan bagi pemerintahan daerah Kabupaten Bengkalis, khususnya dalam menetapkan kebijakan anggaran, mendorong terwujudnya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah serta mengefektifkan pengelolaan keuangan daerah. Sementara dalam konteks keilmuan, studi ini mempunyai
kontribusi dalam
pengembangan kajian pembangunan daerah, terutama untuk institusi IPB. Pada akhirnya, hasil dari pengkajian studi ini diharapkan dapat membantu penulis dalam menjalankan tugas politis dan profesi untuk berperan aktif terhadap daerah secara khusus dan masyarakat secara umum.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kewenangan, Partisipasi dan Korupsi dalam Era Otonomi Daerah Dalam Undang-undang nomor 22 tahun 1999 disebutkan bahwa Otonomi Daerah itu adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dua hal yang prinsip dari otonomi ini adalah kewenangan dan partisipasi (aspirasi) masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan daerah. Dari kedua prinsip otonomi tersebut (kewenangan dan partisipasi), yang lebih sering dituntut oleh daerah adalah kewenangan. Dimana tuntutan itu tampaknya berlebihan
dengan menerjemahkannya menjadi kekuasaan yang
berlebihan. Sedangkan kekuasan yang berlebihan cendrung menimbulkan korupsi yang berlebihan (Power tends to corupts, the absolute power corupts absolutely). Pada sisi lain partisipasi sering kali diabaikan dalam proses pembangunan di masa otonomi
yang
akhirnya
menimbulkan
ketimpangan
dalam
pelaksanaan
pembangunan di daerah. Pemerintah kurang melibatkan masyarakat sehingga masyarakat tetap termarginalkan dalam pelaksanaan proses pembangunan. Upaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat
tidak saja untuk
membangun kepercayaan baru pada institusi pemerintah dan politik, tapi yang lebih penting lagi adalah sebagai metode untuk mencapai visi daerah. Dengan partisipasi yang benar akan tercipta ruang bagi masyarakat untuk ikut serta dan bertanggungjawab dalam proses kemajuan suatu daerah, sehingga potensi masyarakat akan lebih optimal dimanfaatkan sebagai subjek pembangunan.
12
Partisipasi masyarakat sebagai subjek pembangunan sekaligus akan membuat keadaan yang lebih adil dan akuntabel, yang nantinya dapat memperbaiki kegagalan-kegagalan yang terjadi pada instansi peme rintahan di masa lalu. Pemerintah seharusnya berfungsi sebagai agen pembangunan untuk memajukan masyarakat dan bangsa, bukan sebaliknya menjadi penghalang bagi masyarakat dalam mengembangkan potensi dirinya dan keikusertaan dalam pelaksaan proses pembangunan sebagaimana terjadi dalam pembangunan dimasa lalu. Desentralisasi
seharusnya
bisa
membuka
ruang
partisipasi
yang
demokratis, dalam artian dapat terjadi penyerahan kewenangan sampai ke unit terendah pemerintahan yang dapat diakses semua pihak, sehingga masya kat dapat merasakan hak politik dan kebebasan. Kewenangan dan partisipasi dalam otonomi daerah tentu saja menuntut be rjalannya pemerintahan yang baik (good governance), sehingga otonomi berjalan sesuai dengan aturannya. Singkatnya dapat dikatakan, good governance dapat tercipta apabila dua kekuatan saling mendukung yakni pemerintahan yang terbuka, tanggap, mau mendengar, mau melibatkan (inklusif) dengan warga yang bertanggung jawab, aktif dan memiliki kesadaran. Dalam konsep partisipatif terdapat keyakinan bahwa pemerintah tidak dapat mengatur dirinya sendiri, tapi harus dikontrol dan diimbangi dengan kondisi masyarakat yang aktif dan terorganisir. Secara eksplisit pandangan ini percaya bahwa kepemerintahan yang baik (good governance) tidak akan terjadi tanpa adanya civil society yang kuat. Civil society yang kuat ini merupakan salah satu modal pembangunan yang sangat berharga selain finansial dan fisik. Perhatian
13
yang lebih fokus pada good governance ini adalah bentuk keberpihakan bagaimana pengelolaan pemerintahan tersebut dapat terhindar dari praktekpraktek korupsi. Masalah korupsi telah menjadi permasalahan tersendiri yang menyedot perhatian banyak pihak, bukan hanya masyarakat lokal tapi juga internasional akibat dari bad government. Tumbuh suburnya korupsi di Indonesia saat ini telah menimbulkan keraguan dan ketidakpercayaan banyak pihak terhadap kemampuan pemerintah daerah pasca orde baru dalam mengatasi persoalan korupsi yang sistemik dan sudah merasuk ke dalam tubuh birokrasi sehingga menjadi warisan yang lebih parah lagi bagi generasi mendatang di setiap daerah setelah adanya otonomi. Otonomi sebenarnya diciptakan sebagai salah satu upaya untuk mengurangi tingkat korupsi dengan sistem pemerintahan daerah yang lebih baik serta pengaturan sistem ke uangan yang lebih efektif dan transparan. Pengelolaan keuangan daerah tidak lagi dengan sistem keuangan tradisional tapi menggunakan anggaran berbasis kinerja. Sayangnya, dalam beberapa tahun perjalanan otonomi daerah ini masih banyak daerah yang belum melaksanakan anggaran berbasis kinerja tersebut. Korupsi yang besar akan menjatuhkan perekonomian suatu daerah dan menurunkan pendapatan masyarakat. Karim (2002) menyebutkan bahwa korupsi sebagai wasteful spending yang dapat menurunkan pendapatan masyarakat. Menurutnya ada dua faktor yang sangat mempengaruhi pendapatan masyarakat jika dikaitkan dengan permasalahan korupsi yaitu korupsi dari penerimaan dan korupsi dari pembiayaan. Faktor korupsi penerimaan bisa berasal dari pajak, retribusi dan penerimaan lainnya, sedangkan dari pembiayaan yaitu korupsi
14
terhadap alokasi dan pelaksanaan anggaran proyek yang mengakibatkan alokasi anggaran menjadi lebih kecil dari yang seharusnya diberikan kepada masyarakat. Menurut konsep makro keseimbangan umum dari pendapatan agregat dicapai melalui rumusan : Y = G + C + I + (X – M). Dimana G merupakan pengeluaran pemerintah yang sepenuhnya akan dibiayai oleh penerimaan pemerintah (pajak), sehingga terjadi keseimbangan G = T. Misalkan korupsi proyek pembangunan dinotasikan á dan korupsi pe nerimaan pajak dinotasikan â, maka keseimbangan berubah menjadi G = T – á – â. Sehingga pendapatan agregat dapat ditulis kembali yakni Y = (T – á – â) + C + I + (X – M). Disamping itu korupsi juga akan menurunkan pendapatan dan menggeser kurva penawaran ke kiri. Dengan bergesernya kurva penawaran ke kiri akan menggeser titik equilibrium ke kiri atas yang menyebabkan kenaikan harga, yang mengurangi kesejahteraan masyarakat. 2.2. Perencanaan Pembangunan Daerah Banyak pendapat yang diutarakan mengenai konsep perencanaan, namun sampai sekarang belum ada kesepakatan yang baku tentang makna perencanaan itu sendiri. Meskipun demikian secara umum dapat dikatakan perencanaan merupakan alat dan cara untuk mencapai tujuan, target dan strategi yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam bab pembahasan nantinya perencanaan yang dimaksudkan lebih spesifik pada perenca naan keuangan daerah. 1. Fungsi Perencanaan Sebelum melanjutkan pembahasan ada baiknya dilihat sepintas tentang fungsi-fungsi perencanaan, sebagai berikut :
15
(a). Sarana komunikasi bagi semua stakeholder. Dengan adanya perencanaan, masyakat dan stakeholder lainnya dapat mengetahui mau dibawa kemana pembangunan suatu daerah. Melalui komunikasi, pemerintah akan mendapat dukungan dan legitimasi dari masyarakat. Namun, jika pemerintah tertutup, akan banyak protes berdatangan dari masyarakat. (b). Dasar dalam mengatur sumberdaya dan sumberdana.
Seperti diketahui
bahwa daerah memiliki keterbatasan dana atau dikenal dengan budgetconstraints, sehingga dengan perencanaan yang baik sumberdaya yang terbatas bisa dioptimalkan. (c). Menjadi tolok ukur keberhasilan fungsi pengendalian.
Setiap pekerjaan,
apalagi pekerjaan sektor publik harus terukur, sehingga keberhasilannya juga bisa dipertanggungjawabkan ke hadapan publik, disamping juga sebagai alat kendali. (d). Alat untuk melakukan evaluasi. Dengan adanya perencanaan bisa dilakukan perbaikan terus -menerus dengan melakukan evaluasi yang teratur. Ini bisa dilakukan karena pekerjaan itu terukur. Pada prinsipnya semua daerah itu telah melakukan perencanaan daerah, oleh karena hal itu merupakan suatu kewajiban tiap daerah. Namun ya ng sering terjadi perencanaan itu hanya tersimpan di arsip dokumen, dengan segala macam alasan. 2. Beberapa Ciri-Ciri Perencanaan yang Baik Perencanaan pembangunan daerah dikatakan berjalan baik bila memenuhi ciri-ciri sebagai berikut:
16
(a). Punya target yang jelas. Satu daerah dengan daerah lain mempunyai target yang berbeda yang tercantum dalam renstra daerah masing-masing. Perencanaan yang baik apabila dari target yang dimiliki mempunyai langkah-langkah yang jelas untuk melaksanakannya. (b). Konsisten dan realistis. Yang sering terjadi adalah berbeda antara apa yang direncanakan dengan apa yang dikerjakan sehingga pekerjaan tidak sesuai lagi denga n perenc anaan yang dibuat dan disetujui bersama. Perencanaan juga harus mengukur sumberdaya yang dimiliki, sehingga perencanaan yang dibuat bukanlah yang tidak mungkin dilaksanakan. (c). Mempunyai pengawasan yang kontinu. Dengan alur dan sistem yang jelas sehingga perenca naan akan me njadi alat kontrol yang kontinu. (d). Jelas target fisik dan pembiayaannya. Perencanaan harus mempunyai target pencapaian apa yang dikerjakan termasuk kualitas dan persyaratan secara fisik lainnya. Disamping itu perencanaan juga jelas target anggarannya. (e). Terukur. Sehingga dalam pelaksanaanya memudahkan menentukan indikator keberhasilannya. (f). Ada batas waktu yang jelas dari setiap pekerjaan. 3. Proses Perencanaan Perencanaan itu tidak muncul dengan sendirinya, tetapi harus disusun secara sistematis melalui beberapa proses yakni : (a). Penentuan tujuan (goal setting). Tujuan merupakan akhir dari sebuah rencana. Tujuan mempunyai lima hal yang dikenal dengan SMART (Specific, Measurable, Achievable, Realitic, Timely)
17
(b). Penentuan target. Target merupakan serangkaian kegiatan dari tujuan. Misalnya tujuan dari suatu daerah adalah meningkatkan kesejahteraan masyara kat, maka targetnya bisa berupa; penurunan angka kemiskinan, penurunan angka pengangguran, meningkatkan investasi, pengurangan laju inflasi dan seterusnya. (c). Mengetahui posisi awal perencanaan. Mengetahui posisi dimana, berapa sumberdaya yang dimiliki, kekuatan pendukung, tantangan, peluang, dst. (d). Punya alternatif. Perencanaan tidak boleh hanya ada satu. Karena kondisi sosial ekonomi yang selalu berubah. Oleh karena itu harus selalu ada pilihan pada kondisi tertentu atau terjadinya perubahan variabel ekonomi. (e). Menyusun rangkaian langkah untuk mencapai tujuan. Dalam model-model perencanaan pembangunan, dikenal juga ada model pengeluaran agregat dengan persama an Y = C + I + G + X – M. Melalui persamaan ini pendapatan dapat dilihat dari dua sisi yakni : 1. Permintaan efektif atau permintaan akhir (Y). Permintaan efektif dikenal juga sebagai permintaan agregat (aggregate demand) yang ter diri atas konsumsi dan tabungan (Y= C + S) yang kemudian ditambah dengan pengeluaran pemerintah (G) dan net ekspor (X – M). 2. Penawaran efektif atau penawaran agregat (aggregate supply ) yang disebut nilai tambah suatu produksi atau jumlah pembayaran untuk faktor primer dari suatu produksi Setelah otonomi daerah, dalam melaksanakan perencanaan pembangunan setiap daerah diberi wewenang lebih besar untuk menentukan arah pembangunan daerah masing masing. Dulu daerah sangat tergantung dengan perencanaan
18
nasional yang dirancang oleh BAPPENAS namun setelah otonomi, daerah diberikan keluwesan dalam melakukan perencanaan pembangunan daerah walaupun harus tetap mengacu pada program pembangunan nasional. Menyusun perencanaan pembangunan menjadi suatu hal yang wajib bagi daerah, sehingga ada istilah ”rencanakan pekerjaan dan kerjakan rencana”. Ada daerah yang mampu melakukan perenca naan dengan baik tapi tidak mampu atau mau melaksanakan rencananya, sehingga perencanaan hanya menjadi dokumen yang tidak mempunyai makna. Begitu juga dengan pembangunan daerah banyak perenca naan
daerah
yang
dilakukan
namun
tidak
konsisten
dalam
menjalankannya. Pada
dasarnya
perencanaan
pembangunan
mempunyai
beberapa
persyaratan sebagai berikut (Kunarjo, 2002) : (a). Perenca naan harus didasari dengan tujuan pembangunan. (b). Perencanaan harus konsisten dan realistis. (c). Perencanaan harus dibarengi dengan dengan pengawasan yang kontinu. (d). Perencanaan harus mencakup aspek fisik dan pembiayaan. (e). Para perencana an harus memahami be rbagai perilaku dan hubungan dan hubungan antar variabel ekonomi. (f). Perenca naan harus mempunyai koordinasi 2.3. Anggaran Daerah Anggaran daerah yang merupakan anggaran publik berisi rencana kegiatan yang dipresentasikan dalam bentuk rencana pendapatan dan belanja dalam satuan moneter. Atau sering juga disebut anggaran publik yang merupakan suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan suatu organisasi yang meliputi
19
informasi mengenai pendapatan, belanja dan pembiayaan. Dalam pelaksanaan pembangunan daerah, anggaran tersebut memiliki banyak fungsi yang dapat dijaba rkan sebagai berikut : (a). Anggaran sebagai Alat Perencanaan Anggaran daerah merupakan alat perencanaan untuk mencapai tujuan daerah yang digunakan untuk: 1. Merumuskan tujuan serta sasaran kebijakan agar sesuai dengan visi yang ditetapkan. 2. Merencanakan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi serta merencanakan alternatif sumber pembiayaannya. 3. Mengalokasikan dana pada berbagai program dan kegiatan yang telah disusun. 4. Menentukan indikator kinerja dan tingkatan pencapaian serta strategi pencapaian. 5. Menjadi sumber informasi kepada pelaku ekonomi untuk melakukan investasi di suatu daerah. (b). Anggaran Sebagai Alat Pengendali Anggaran memberikan rencana detail atas pendapatan dan pengeluaran pemerintah agar pembelanjaan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Oleh karena itu anggaran harus dirancang sedemikian rupa untuk menjadi alat kendali keuangan daerah. Dengan demikian anggaran akan mampu mengendalikan pengeluran secara tepat, sehingga menghindari pemborosan, pengeluaran yang tidak bermanfaat dan juga korupsi. Sebagai alat pengendalian manajerial, anggaran digunakan untuk menjelaskan dan meyakinkan ketersediaan sejumlah uang untuk pembangunan
20
dan memenuhi kewajiban pemerintah. Pengendalian ini bisa dilakukan denga n cara (1) sebagai alat pembanding antara yang dianggarkan dengan aktual, (2) menghitung selisih antara rencana dan realisasi, (3) mencari dan menemukan penyebab terjadinya suatu varians, (4) Alat ukur perencanaan tahun berikutnya. (d). Anggaran Sebagai Alat Kebijakan Fiskal Dari anggaran dapat diketahui arah dan kebijakan pemerintah dan prediksi-prediksi ekonomi yang dilakukan. Sebagai kebijakan fiskal juga bisa digunakan untuk pengendalian ekonomi untuk mencapai tujuan ekonomi daerah. (e). Anggaran Se bagai Alat Politik Anggaran digunakan untuk memberikan prioritas pembangunan daerah dan merupakan komitmen politik antara eksekutif dan legislatif dalam penentuan porsi anggaran sekaligus juga menjadi alat pengikat dalam pelaksanaan anggaran. Sebagai political tools anggaran harus terbuka dan dikontrol penuh oleh publik dan pelaku politik, sehingga dalam aplikasinya tepat sasaran untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagai alat politik anggaran tidak boleh liar menjadi alat kepentingan politik penguasa (elit) atau kepentingan politik lain (seperti luar negeri, kekuatan parpol besar dan kekuatan lainnya). (f). Anggaran Sebagai Alat Koordinasi dan Komunikasi Anggaran sebagai alat koordinasi dan komunikasi merupakan fungsi yang harus dibuat sedemikian rupa dan membentuk sistem sehingga mampu mengkoordinasikan antar sektor dan mengkomunikasikan antar satuan kerja. Ini sering menjadi kendala tersendiri dalam pelaksanan keuangan daerah sehingga kurangnya sinergi antar sektor dan satuan kerja. Akibat lebih jauh dengan gap ini
21
adalah ego sektoral dan ego satuan kerja dengan pola pikir yang masih terbingkai dengan target projek bukan dengan target strategi bersama yang telah ditetapkan. Dua kendala yang sering muncul di daerah yaitu komitmen politik da n koordinasi antar sektor dan satuan kerja menjadikan fungsi anggaran yang lepas kendali. Disamping itu anggaran juga merupakan alat komunikasi kepada semua stakeholder seperti masyarakat, LSM, dunia usaha dan pengambil kebijakan daerah. Bagi semua stakeholder anggaran mempunyai manfaat yang berbeda satu sama lainnya. Untuk masyarakat dan LSM anggaran akan dilihat terutama sejauh mana kepentingan publik terakomodir dalam anggaran yang dibuat pemerintah. Bagi dunia usaha menjadi sebuah indikator perkembangan ekonomi dan sektor ekonomi yang menjanjikan untuk melakukan investasi. Bagi pengambil kebijakan (pemerintah dan DPRD) tentu saja ini merupakan salah satu alat untuk mengukur tingkat keberhasilan dan proyeksi anggaran untuk yang akan datang. Jadi anggaran harus dibuat transparan sehingga semua pihak bisa mengetahui, mengontrol dan ikut berpartisispasi dalam pembangunan daerah. (g). Anggaran Sebagai Alat Penilaian Kinerja Anggaran sebagaimana yang disebutkan diatas adalah komitmen yang dilaksanakan oleh pemerintah yang merupakan amanah dari masyakat daerah yang bersangkutan melalui wakilnya di DPRD telah menentukan arah kebijakan, visi, misi serta target dari anggaran, sekaligus juga menentukan penilaian kinerja anggaran. Dengan demikian implementasi dari pemerintah dan seluruh perangkatnya terukur dengan target yang telah ditetapkan.
22
(h). Anggaran Sebagai Alat Motivasi Anggaran sebagai alat motivasi dapat dilakukan dengan target yang telah ditentukan masing-masing satuan kerja dengan penilaian secara periodik atau berkala sehingga mampu mendorong kinerja masing-masing unit untuk mencapai target yang lebih tinggi. 2.4. Keuangan Daerah sebelum Otonomi Daerah 2.4.1. Pendapatan Pengelolaan keuangan daerah sebelum otonomi daerah diatur berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1974. Menurut undang-undang tersebut pemerintah pusat membagi bantuan (walaupun istilah ini sangat tidak cocok, karena makna membagi bantuan bisa bermakna daerah yang perlu dikasihani bukan daerah dianggap punya kemampuan) keuangan ke daerah didasarkan pada dua kategori, pendapatan yang diserahkan kepada pemerintah daerah dan subsidi kepada pemerintah daerah. Alokasi keuangan ke daerah tersebut bertujuan agar daerah otonom dapat mengurus rumah tangganya sendiri dengan sebaik-baiknya. Namun tidak semua sumber pembiayaan dapat diserahkan kepada pemerintah daerah. Maka daerah otonom diwajibkan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian maka pemerintah daerah otonom dapat merencanakan anggaran pendapatan dan belanja daerahnya sendiri sesuai dengan kebijaksanaan dan inisiatif dalam melaksanakan urusan rumah tangga daerah. Dalam pasal 55 Undang-undang nomor 5 tahun 1974 disebutkan mengenai sumber pendapatan daerah otonom yaitu: (a). Pendapatan asli daerah
23
1. Hasil Pajak Daerah 2. Hasil Retribusi Daerah 3. Hasil Perusahaan Daerah 4. Lain-lain Usaha Daerah yang Sah (b). Pendapatan yang berasal dari pemerintah pusat 1. Sumbangan dari Pemerintah Pusat 2. Sumbangan-sumbangan lain yang diatur de ngan perundang-undangan. (c). Lain-lain pendapatan yang sah. Seperti sumbangan pihak ketiga dan lain -lain (d). Alokasi dana sektoral ini biasa digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang dilaksanakan oleh dinas-dinas propinsi dibawah pengawasan pemerintah pusat. Alokasi dana sektoral tidak masuk ke dalam APBD. 2.4.2. Pengeluaran Dalam anggaran sebelum otonomi kita mengenal dua jenis pengeluaran yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Sistem yang dianut yaitu anggaran berimbang, dimana jumlah pendapatan dan jumlah pengeluaran selalu sama. Sistem ini sering juga disebut dengan anggaran tradisional. Anggaran tradisional merupakan pendekatan yang banyak digunakan beberapa negara berkembang dewasa ini. Beberapa ciri anggaran tradisional. 1. Struktur anggaran yang bersifat line-item, yaitu perencanaan yang anggaran yang didasarkan pos anggaran yang telah ada sebelumnya. Dengan siste m seperti ini tidak memungkinkan pemerintah daerah untuk menghilangkan pos anggaran yang dianggap tidak dibutuhkan atau menambah pos baru yang dibutuhkan.
24
2. Penyusunan anggaran dengan pendekatan incrementalism, yaitu menambah atau mengurangi anggaran yang telah ada berdasarkan satu atau lebih variabel pada tahun sebelumnya. 3. Cenderung sentralistik, sehingga daerah kurang diberikan kesempatan untuk mengembangkan inovasi anggaran, karena semua sudah ditentukan dari pusat. 4. Prinsip anggaran bruto, yaitu hanya menghitung angka kasar sehingga sangat sulit mengukur tingkat keberhasilan kualitas anggaran. Struktur anggaran tradisiona l dengan ciri-ciri di atas tak mampu mengungkapkan besarnya dana yang dikeluarkan untuk setiap pendapatan. Oleh karena itu anggaran tradisional memiliki beberapa kelemahan yaitu : 1. Cenderung
terjadinya
pos -pos
anggaran
tertentu
yang
sulit
dipertanggungawabkan karena anggaran tidak diteliti secara menyeluruh efektivitas penggunaannya, tapi hanya merupakan gambaran umum. 2. Lebih berorientasi kepada input dari pada output sehingga anggaran tradisional sulit untuk memantau kinerja. Anggaran dinilai sejauh mana telah dikerjakan sesuai dengan aturan bukan kepada bermanfaat dan dampak ekonomi dari sebuah anggaran. 3. Sekat antar unit kerja yang cenderung kaku sehingga sulit untuk mencapai visi bersama dan koordinasi antar unit kerja. 4. Proses anggaran yang terpisah antara pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan.
25
2.5. Keuangan Daerah Setelah Otonomi Daerah 2.5.1. Pendapatan Berdasarkan Undang-undang nomor 25 tahun 1999 (sekarang diganti dengan Undang-undang nomor 33 tahun 2004) tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, pendapatan dapat dikelompokan menjadi : (a). Pendapatan Asli Daerah 1. Pajak daerah 2. Retribusi daerah 3. Hasil Usaha Daerah 4. Lain-lain penerimaan yang sah (c). Dana Perimbangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah 1. Bagian daerah dari PBB 2. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 3. Penerimaan Sumberdaya Alam 4. Dana Alokasi umum (DAU) 5. Dana Alokasi Khusus (DAK) (d). Pinjaman Daerah (e). Lain pendapatan daerah yang sah Bila ditabulasikan dana perimbangan
antara pusat dan daerah, serta
pembagian propinsi dengan kabupaten/kota akan nampak seperti pada Tabel 2.1 dan Tabel 2.2. di bawah ini
26
Tabel 2.1.
Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah Menurut UU Nomor 25 tahun 1999 Sumber Pendapatan
Pem. Pusat (%) Pem. Daerah (%)
A
Pajak
1
PBB
10
90
2
BPHTB
20
80
B
Sumberdaya Alam Minyak
85
15
Gas Alam
70
30
Pertambangan Umum
20
80
Hutan
20
80
Reboisasi
60
40
Perikanan
20
80
DAU
75
25
C
D DAK Sumber: Mardiasmo (2002)
Tabel 2.2. Pembagian Keuangan antara Pemerintahan Propinsi dan Kab/Kota Menurut UU nomor 25 tahun 1999 (%) Sumber Pendapatan
A 1 2 B 1 2 C 1 2 D
PBB BPHTB Pertambangan Minyak Bumi Gas Alam Pertambangan Umum Iuran Tetap Iuran Eksplorasi dan Eksplotasi Kehutanan Iuran Hak Pengusahaan Hutan Provisi Hasil Hutan Perikanan
Sumber: Mardiasmo (2002) ** 9% sisanya untuk biaya pemungutan
Propinsi
Kab/Kota Penghasil
Kab/Kota Lainnya
16,2 16
64,8 64
**
3 6
6 12
6 12
16 16
64 32
32
16 16 -
64 32 50
32 50
27
2.5.2. Pengeluaran dan Peng elolaan Anggaran di era otonomi ini lebih dikenal dengan anggaran berbasis kinerja (perfomance budgeting).
Secara umum anggaran berbasis kinerja ini
sudah harus diterapkan di daerah paling lambat dua tahun setelah diberlakukannya otonomi anggaran daerah. Pendekatan anggaran berbasis kinerja disusun untuk mengatasi kelemahan dalam sistem anggaran tradisional, khususnya kelemahan karena tidak adanya tolok ukur yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja. Anggaran berbasis kinerja sangat menekankan pada konsep value for money dan pengawasan atas kinerja output. Pendekatan ini juga mengutamakan prioritas tujuan serta pendekatan yang sistematis dan rasional dalam pengambilan keputusan. Sistem anggaran kinerja pada dasarnya merupakan sistem yang mencakup kegiatan penyusunan program dan tolok ukur kinerja sebagai instrumen untuk mencapai tujuan dan program. Penerapan sistem anggaran kinerja dalam penyusunan anggaran dimulai dengan perumusan visi, misi dan program keseluruhan dan unit kerja masing-masing. Berdasarka n struktur, pengeluaran tersebut terdiri dari atas (1) belanja aparatur, (2) belanja publik, (3) belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, dan (4) belanja tidak tersangka, yang dapat dijelaskan masing-masing sebagai berikut. Belanja aparatur terdiri dari belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan serta belanja modal yang dilokasikan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat atau dampaknya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat.
28
Belanja publik, ialah bagian belanja yang berupa belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan serta belanja modal yang dialokasikan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dampaknya secara langsung dirasakan oleh masyarakat. Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan. Belanja bagi hasil unt uk kabupaten bisa berupa bagi hasil pajak atau retribusi ke desa penghasil sedangkan bantuan keuangan adalah bantuan kepada pemerintah yang lebih rendah seperti desa. Belanja tidak tersangka yang digunakan untuk (1) kejadian-kejadian luar biasa seperti bencana alam, (2) hutang priode sebelumnya yang belum diselesaikan atau yang tersedia anggaran untuk tahun yang bersangkutan, dan (3) pengembalian penerimaan atau kelebihan penerimaan. Anggaran daerah disusun berdasarkan pendekatan kinerja, yaitu siste m anggaran yang mengutamakan kepada upaya pencapaian hasil kerja atau output dari alokasi biaya dari input yang ditetapkan. Anggaran belanja yang disusun dengan pendekatan kinerja juga harus memuat keterangan sebagai berikut: 1. Sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja. 2. Standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan. 3. Persentase dari jumlah pendapatan yang membiayaan belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan dan belanja modal. Adapun rangkaian penyusunannya dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Penyusunan AKU (arah dan kebijakan umum) APBD. 2. Penyusunan strategi dan prioritas (dengan SK Bupati).
29
3. Penyususn rencana program dan kegiatan. 4. Penerbitan surat edaran. 5. Penyusunan pernyataan anggaran. 6. Penyusunan RAPBD. Draft yang disampaikan eksekutif kepada legislatif harus disusun dengan menggunakan Standar Analisis Belanja (SAB) yang merupakan penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya terhadap suatu kegiatan (sebagian besar kabupaten/kota dan propinsi di Indonesia belum menyusun anggaran dengan menggunakan SAB ini, termasuk kabupaten Bengkalis). Tujuan dari pada pembuatan SAB adalah : 1. Meningkatkan kemampuan unit kerja (dinas, badan, kantor, dan lain-lain) menyusun anggaran berdasarkan skala prioritas. 2. Mencegah tumpang tindih anggaran karena harus sesuai dengan TUPOKSI (tugas pokok dan fungsi) masing-masing unit kerja. 3. Menjamin kesesuaian antara anggaran dan arah kebijakan pembangunan daerah. 4. Efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan daerah. Adapun manfaat yang diberikan dari penggunaan SAB sewaktu menyusun anggaran daerah adalah : 1. Kewajaran biaya sesuai dengan TUPOKSI 2. Meminimalkan pengeluaran yang kurang jelas. 3. Menghindari tumpang tindih pengeluaran rutin dan pembangunan. 4. Anggaran dengan tolok ukur kinerja. 5. Keluwesan unit kerja dalam menentukan anggaran sendiri.
30
2.6. Perbedaan Keuangan Daerah sebelum dan sesudah otonomi Setelah terjadinya reformasi dan desakan terus menerus dari masyarakat untuk melakukan perbaikan pengelolaan pemerintah maka, dikeluarkanlah Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undangundang nomor 25 tahun 1999 tentang pembagian keuangan antara pusat dan daerah. Dari dua undang-undang inilah lahirnya otonomi daerah sekaligus perbaikan pengelolaan keuangan daerah. Seperti yang disebutkan sebelumnya otonomi bukan hanya memberikan kewenangan tapi sekaligus merupakan perubahan sistim kemasyarakat dengan memberikan peran yang lebih besar kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan.
Berkaitan dengan keuangan daerah disamping
Undang-undang nomor 22 dan 25 tahun 1999 ditambah dengan Peraturan Pemerintah nomor 105 dan 108 tahun 2000 dan kepmendagri nomor 29 tahun 2002 untuk teknis pelaksanaan keuangan daerah, menjadikan peran dan partisipasi masyarakat yang lebih besar dalam menunjang pembangunan daerah. Partisipasi ini tercantum dengan tegas dalam produk perundang-undangan tersebut dengan kewajiban penjaringan aspirasi masyarakat, merupakan salah satu rangkaian dalam proses pembuatan APBD. Ini sangat berbeda dengan perundang-undangan sebelum otonomi yang memberikan ruangan yang sangat sempit pada masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam proeses pembangunan. Berikut ini akan kita lihat lebih detail perbedaan antara kedua anggaran tersebut. (1). Kewenangan anggaran a. Sebelum Otonomi,
dikenal dengan beberapa kewenangan.
Desentralisasi seperti yang disebutkan diatas.
Pertama
Kedua Dekonsentrasi yaitu
31
pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah. Dan Ketiga Tugas Pembantuan yaitu penugasan dari pemerintah kepada
daerah
dan/desa
dengan
kewajiban
melaporkan
mempertanggungjawabkan pelaksanaan kepada yang menugaskan.
dan Setiap
kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat mempunyai implikasi terhadap keuangan atau tersedia anggaran untuk itu. Sebelum otonomi semua anggaran tidak ada pemisahan dan tergabung dalam bantuan dari pemerintahan yang lebih tinggi. b. Setelah Otonomi. Semua belanja keuangan terdesentralisasi dalam bentuk bagi hasil, antara pemer intah pusat dan daerah, sehingga pemerintah daerah mempunyai kewenangan dalam mengalokasikan anggaran secara optimal. Disamping itu setelah otonomi ada beberapa hal yang disusun dalam keuangan daerah yang tidak ditemukan sebelum masa otonomi yaitu: (a). Standar Analisa Belanja (SAB), yaitu perkiraan jumlah pengeluaran (alokasi dana) untuk unit kerja pemerintah, program kerja dan atau unit kegiatan Pemerintah Daerah yang dibutuhkan
untuk menghasilkan suatu
tingkat pelayanan publik tertentu, sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Dengan SAB ini akan dimungkinkan munculnya identifikasi kebutuhan dana yang lebih akurat baik untuk belanja aparatur maupun belanja publik. SAB merupakan penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya terhadap suatu kegiatan. (b). Tolok Ukur Kinerja, kerja daerah.
yaitu ukuran keberhasilan yang dicapai setiap unit
Tolok ukur digunakan melihat sejauh mana satuan kerja
mampu melaksanakan pekerjaan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi
32
(Tupoksi). Tolok ukur kinerja mengukur besarnya input, untuk menghasilkan output, outcome, benefit, impact. (c). Standar Biaya, yang merupakan ukuran satuan biaya barang yang disusun oleh pemerintah daerah s ebagai patokan dalam menetapkan harga. (2). Azas penyusunan APBD yang digunakan Sebelum otonomi kita mengenal anggaran berimbang dan dinamis yaitu berimbang antara pendapatan dan pengeluaran walaupun pada prinsipnya belum tentu berimbang karena adanya sisa anggaran. Sedangkan setelah otonomi kita mengenal anggaran defisit atau surplus. Dengan pendekatan ini memberikan peluang untuk daerah berinovasi untuk mengoptimalkan sumber dana yang dimiliki apabila surplus maupun defisit. (3). Pendekatan Penyusunan a. Sebelum Otonomi
anggaran mempunyai beberapa karakteristik yang
menunjukkan perbedaan anggaran sebe lum otonomi dengan setelah otonomi. Secara struktur anggaran-anggaran sebelum otonomi: (1). Line-item. Yaitu perencanaan yang anggaran yang didasarkan pos anggaran yang telah ada sebelumnya. Dengan siste m seperti ini tidak memungkinkan pemerintah daerah untuk menghilangkan pos anggaran yang dianggap tidak dibutuhkan atau menambah pos baru yang dibutuhkan. (2). Penyusunan
anggaran
dengan
pendekatan incremantalism .
Yaitu
menambah atau mengurangi anggaran yang telah ada berdasarkan satu atau lebih variabel pada tahun sebelumnya.
33
(3). Berorientasi pada input sehingga keberhasilan anggaran sulit untuk diukur. (4). Terfragmented antara satuan kerja sehingga mengalami kesulitan dalam koordinasi dan mengukur kerja satuan. b. Setelah Otonomi, pendekatan penyusunan anggaran adalah berbasis kinerja, ada standar pelayanan, berorientasi pada proses dan hasil serta terintegrasi satu sama lainnya.
Dengan penyusunan anggaran seperti satuan kerja harus
melihat anggaran berdasarkan visi bersama, karena setiap satuan kerja menyusun visi, misi, tujuan dan program masing-masing satuan kerja sendiri berdasarkan visi bersama. (4). Struktur Sebelum otonomi kita mengenal dengan istilah anggaran berimbang dengan struktur: 1)
Pendapatan,
2) Pengeluaran Rutin dan 3) Pengeluaran
Pembangunan. Setelah Otonomi strukturnya adalah, 1) Pendapatan, 2) Belanja dan 3) Pembiayaan (5). Pinjaman Sebelum otonomi pinjaman merupakan pendapatan setelah otonomi pinjaman merupakan pembiayaan. (6). Transfer Dana Dari Pusat Sebelum otonomi sumber dana dari pusat dike nal berupa sumbangan, subsidi dan ganjaran. Dengan konsep ini menunjukan bahwa daerah itu tidak ada apa -apanya dan tanpa kewenangan.
Daerah tinggal menunggu sumbangan,
subsidi atau ganjaran dari pusat. Setelah otonomi transfer dana dari pusat atau dengan kata yang lebih tepat dana/hak daerah yang dititipkan di pusat, karena
34
pemungutannya wewenang dari pemerintah pusat yang kemudian ditransferkan kembali ke daerah, yang dikenal dengan dana perimbangan.
Ini juga
mengga mbarkan bahwa daerah mempunyai kewenangan. (7). Proses Penyusunan Anggaran Dalam proses penyusunan anggaran juga terlihat perbedaan yang sangat jelas, sebelum otonomi proses penyusunan sangat ditentukan dari pemerintah pusat, berbentuk Keputusan Menteri Dalam Negeri. Karena itu tidak dikenal dengan proses penyusunan kebijakan anggaran. Setelah otonomi dalam proses penyusunan dengan beberapa langkah: (a). Penyusunan kebijakan umum pembangunan daerah, yang disusun oleh pemerintah yang diajukan ke DPRD untuk dilakukan pembahasan bersama sampai disetujui, yang merupakan komitmen operasional dalam menyusun anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). (b). Setelah persetujuan arah kebijakan umum yang lebih dikenal dengan AKU pemerintah melalui melalui surat keputusan menyusun strategi dan prioritas pembangunan daerah. (8). Perhitungan Anggaran Dalam perhitungan anggaran sebelum otonomi lebih terfokus pada aspek administrasi dari pada aspek kelayakan, sehingga suatu projek bisa saja tidak layak namun apabila telah memenuhi syarat administrasi, proyek tersebut bisa diterima. Setelah otonomi tingkat keberhasilan sebuah proyek sangat ditentukan oleh standar pencapaian kinerja atau output dari suatu projek. Disamping proyek akan lebih efisensi karena adanya standar anggaran belanja dan standar biaya dalam penentuannya.
35
Dalam dokumentasi APBD sebelum otonomi terdiri dari Nota perhitungan APBD, Laporan perhitungan anggaran (rincian) dan rancangan Perda yang diajukan ke DPRD sedangkan setelah otonomi lebih menuju ke sebuah laporan keuangan yang lengkap, sehingga harus ada neraca dan arus kas. Yang terakhir perbedaan keduanya adalah adanya audit pihak BPK dalam laporan akhir tahun pemerintah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara dan daerah. Bila ditabulasikan akan terlihat pada Tabel 2.3. (9). Hal lain yang berkaitan perbedaan kedua anggaran Secara prinsipil tidak ada perbedaan dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga dapat dikatakan bahwa sudah ada kewenangan fiskal diberikan pusat ke daerah sebelum masa otonomi. Hanya setelah otonomi, euforia otonomi menyebabkan makin beragamnya jenis pajak daerah dan retribusi daerah. Walaupun ini bisa berdampak positif maupun negatif. Apabila pemda memaksakan peragaman pendapatan daerah dengan cara yang tidak tepat akan menjadi biaya tambahan bagi sektor swasta dan bahkan bisa menurunkan sektor- sektor usaha yang produktif masyarakat. Adapun perbedaan yang prinsip dalam hal pengelolaan keuangan sebelum dan sesudah otonomi adalah pada perhitungan APBD, yakni: 1. Pada pe rhitungan APBD sebelumnya berlakunya Undang-undang otonomi menggunakan perhitungan anggaran berimbang. Sedangkan pada anggaran setelah otonomi menggunakan anggaran defisit/surplus.
36
Tabel 2.3.
Pebedaan Keuangan Daerah Sebelum dan Setelah Otonomi
Sebelum Otonomi Tidak memisahkan belanja desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan Azas berimbang dan dinamis Pendekatan penyusunan • Line-item budget • Incremental • Orientasi pada input • Fregmented Struktur Anggaran • Pendapatan • Pengeluaran o Rutin o Pembangunan Pinjaman dicatat sebagai pendapatan daerah Transfer dana dari pusat • Sumbangan • Subsidi • Ganjaran Proses penyusunan anggaran tanpa kebijakan anggaran
Sesudah Otonomi Semua belanja desentralisasi
Anggaran defisit/surplus Pendekatan Penysunan • Performance budget • Standar pelayanan • Orientasi output-outcome • Integrated Struktur Anggaran • Pendapatan • Belanja • Pembiayaan
Pinjaman dicatat sebagai jenis pembiayaan Transfer dana dari pusat • Dana perimbangan yang terdiri dari: PBB, PPH, BPHTB, SDA, DAU, DAK Proses penyusunan anggaran berdasarkan • Arah kebijakan umum • Strategi • Prioritas Perhitungan anggaran Perhitungan anggaran • Fokus pada • Standar pencapaian Kinerja pertanggungjawaban • Standar analisa belanja administrasi • Standar biaya • Dokumen terdiri dari • Dokumen terdiri dari: o Nota perhitungan APBD o Nota perhitungan o Laporan perhitungan APBD anggaran o Laporan perhitungan o Rancangan perda anggaran melibatkan ekternal • Tidak o Neraca auditor o Arus kas o Rancangan perda • Diperiksa ekternal auditor Sumber: Data olahan dari Undang-undang Otda
37
2. Pada anggaran setelah otonomi memberikan ruangan yang lebih lebih besar kepada pemerintahan daerah untuk melakukan pembiayaan apabila APBD defisit atau surplus. Kedua hal di atas menjadi suatu yang penting dalam kajian keuangan daerah karena pemerintah daerah diberikan peran yang lebih besar untuk mencari sumber pembiayaan yang lebih baik.
Namun ini yang belum banyak
dimanfaatkan oleh kebanyakan pemerintahan daerah. Misalnya kapan pemerintah menetapkan anggaran defisit dan surplus Ada beberapa peluang yang bisa dimanfaatkan pemerintah daerah dengan anggara n defisit/surplus diantaranya: 1. Apabila anggaran surplus maka surplus anggaran bisa digunakan untuk investasi di sektor-sektor ekonomi produktif, misalnya berupa bentuk penyertaan modal. 2. Bila defisit juga merupakan peluang mencari langkah-langkah pembiayan yang mendukung pembangunan daerah. Beberapa alternatif bisa dilakukan seperti melakukan peminjaman (utang) kepada lembaga keuangan seperti bank. Dari pinjaman ini bisa digunakan untuk usaha produktif masyarakat (seperti perkebunan, pertanian dll). Untuk kabupaten Bengkalis usaha produktif ini bisa dilakukan seperti sawit dan karet yang merupakan usaha yang telah berkembang di tengah masyarakat, atau kakao yang menjadi alternatif. Berdasarkan aturan pe rundang-undangan anggaran defisit juga bisa dibiaya denga obligasi pemerintah yang sampai sekarang masih digodok PP nya oleh pemerintah pusat.
38
Sebagai sebuah bandingan tahun 2004 dan 2005 di Kabupaten Bengkalis telah menggunakan anggaran defisit dilihat da ri hitungan angkanya. Namun penyelenggaraan anggaran defisit ini salah kaprah, karena anggara n defisitnya justru karena adanya kelebihan sisa anggaran pembangunan tahun lalu yang belum selesai ditahun yang bersangkutan sehingga menjadi anggaran luncuran untuk tahun anggaran yang bersangkutan. Secara prinsip keuangan, ini kurang tepat karena dengan siste m anggaran baru tidak dikenal dengan proyek luncuran. Secara hitungan anggara n defisit namun cecara prinsip sama dengan anggaran berimbang. 2.7. Analisa Keuangan Daerah 2.7.1. Analisa Perbandingan Antar Perkiraan Analisa ini mencoba melakukan perbandingan antar perkiraan dalam APBD, sehingga mendapat gambaran bagaimana sumber dan penggunaan APBD. Ada beberapa metoda untuk menganalisis perbandingan perkiraan diantaranya: (a). Metoda Analisis Horizontal. Metoda ini mencoba menganalisa dengan membandingkan angka -angka didalam perkiraan dalam dua laporan yang berbeda. Analisa ini juga bisa dilakukan dengan membandingkan data laporan selama lebih dari satu periode pelaporan sehingga akan menampilkan perubahan yang cukup besar pada perkiraan-perkiraan selama priode tersebut. Ada dua metoda yang termasuk dalam analisis horizontal: 1. Comparative Analysis, yang menampilkan laporan selama dua periode atau lebih, kenaikan dan penurunan tiap perkiraan, serta persentase perubahan terhadap periode sebelumnya.
39
2. Trend Analysis , yang membandingkan data laporan, yaitu perkiraan-perkiraan dalam suatu laporan tertentu selama beberapa tahun, biasanya 5 sampai 10 tahun atau 20 ta hun. Jika dinyatakan dalam persentase satu periode sebagai periode dasar. (b). Metoda Analisis Vertikal Metoda ini adalah metoda analisis yang membandingkan perkiraanperkiraan dalam suatu laporan keuangan yang sama sehingga menampakan persentase suatu perkiraan terhadap perkiraan lainnya. Ada beberapa cara analisa metoda ini: 1. Common-size Financial Statement, yang menunjukan perkiraan-perkiraan dalam laporan keuangan sebagai persentase dari perkiraan dasar (perkiraan dengan nilai 100 persen). Misalnya membandingkan PAD dengan total pendapatan. 2. Rasios, yang menunjukan hubungan antara dua perkiraan, diperoleh dengan membagi angka satu perkiraan dengan angka perkiraan lainnya. Misalnya membandingan antara dana PAD dengan dana perimbangan. Kelebihan dari metode analisa vertikal ini adalah : (1) dapat membandingkan kontribusi masing-masing perkiraan terhadap total dari suatu perkiraan, dan (2) dapat melihat besarnya kontribusi suatu perkiraan terhadap seluruh laporan keuangan. 2.8. Keadilan Pembangunan Daerah Pembahasan masalah keadilan dalam pembangunan adalah pembahasan krusial yang tidak pernah putus dilakukan oleh para ahli. Berbagai macam kajian juga telah dibuat berkenaan dengan keadilan pembangunan ini. Istilah lain
40
menyebut keadilan dengan equity. Usaha untuk menuju keadilan dengan pemerataan distribusi sumberdaya ekonomi
merupakan salah satu dari peran
pemerintah yaitu fungsi distribusi disamping peran lainnya seperti fungsi alokasi dan stabilisasi. Apabila dalam fungsi alokasi sumber -sumber
ekonomi
dialokasikan secara efisien, maka fungsi lain dari pemerintah adalah sebagai alat distribusi pendapatan atau kekayaan. Distribusi pendapatan dan kekayaan yang ditimbulkan melalui mekanisme pasar mungkin menimbulk an ketidak adilan bagi sebagian masyarakat. Karena dengan mekanisme pasar secara murni adalah konsep kapitalisme murni, yang cenderung menimbulkan penumpukan modal pada sebagian orang yang disebut dengan kapitalis. Distribusi pendapatan tergantung dari kepemilikan faktor produksi, permintaan dan penawaran faktor produksi dan kemampuan memperoleh pendapatan. Makin besar kepemilikan faktor produksi maka akan makin besar pendapatan yang diperoleh. Kapitalis adalah orang yang memiliki faktor produksi yang lebih banyak bahkan menumpukan faktor produksi pada beberapa kapitalis. Fungsi distribusi yang dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan distribusi pendapatan secara adil melalui kebijakan baik fiskal maupun moneter. Pemerintah dapat merubah distribusi pendapatan secara langsung dengan pajak progresif, yaitu beban pajak yang lebih besar kepada mereka yang mempunyai pendapatan yang lebih besar. Pemerintah juga bisa melakukan fungsi distribusi secara tidak langsung, misalnya melalui subsidi kepada kelompok masyarakat yang mempunyai pendapatan yang lebih rendah, sebagai contoh subsidi pupuk untuk petani. Cara
41
lain pemerintah bisa melakukan keadilan dalam pembangunan dengan mengalokasikan anggaran pembangunan yang lebih besar kepada masyarakat yang lebih miskin, atau pada sektor pembangunan yang terdapat kantong-kantong kemiskinan. Sebagai contoh sektor pertanian yang menyerap tenaga kerja yang banyak, tapi di masyarakat petani juga banyak terdapat kantong-kantong kemiskinan. Kantong kemiskinan lain pada usaha informal. Pemerintah melalui mekanisme yang dimilikinya dapat memacu pertumbuhan sektor informal ini sehingga tidak terlalu jauhnya jarak antara pemilik faktor produksi yang banyak dengan yang kurang menguasai faktor produksi. Perhatian pada masalah keadilan juga telah dilakukan oleh para ulama dalam ilmu ekonomi sejak berabad-abad yang lalu, maka terdapat beberapa kaidah fiqih yang dapat membantu merealisasikan kesejahteraan bagi semuanya dalam keadaan yang adil dan seimbang. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut (Chapra, 2001): 1. Pengorbanan atau kerugian pribadi mungkin diharuskan untuk mengamankan pengorbanan atau kerugian publik, dan manfaat yang lebih kecil mungkin harus dikorbankan demi merealisasikan manfaat yang lebih besar (kaidah 26). 2. Kerugian yang lebih besar mungkin dapat dicegah dengan kerugian yang lebih kecil (kaidah 27). Kepentingan mayoritas yang lebih besar harus diutamakan dari pada kepentingan minoritas yang lebih kecil; kepentingan publik lebih utama dari kepentingan pribadi (kaidah 28). 3. Menghilangkan kesusahan dan penderitaan harus lebih diutamakan dari pada upaya untuk meraih manfaat (kaidah 30). 4. Penderitaan harus dihilangkan sedapat mungkin (kaidah 31).
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Subjek Kajian Subjek kajian ini adalah APBD kabupaten Bengkalis yang terdiri dari perencanaan dan realisasi APBD kabupaten Bengkalis selama tahun anggaran 1998/1999 sampai dengan tahun 2003. Kajian ini dilakukan dengan alasan bahwa Kabupaten Bengkalis adalah salah satu kabupaten yang cukup beruntung dengan adanya otonomi daerah sehingga mendapatkan bagi hasil daerah yang sangat mempengaruhi naiknya total pendapatan APBD Kabupaten Bengkalis. Subyek kajian berikutnya adalah mengenai efektivitas pengelolaan pengeluaraan yang dibiayai oleh pendapatan daerah yang dapat menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat sebagai pemilik dari anggara n tersebut. 3.2. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam kajian ini yaitu data sekunder yang dikumpulkan
dari Laporan APBD kabupaten Bengkalis dan Laporan
pertanggungjawaban Bupati kabupaten Bangkalis selama tahun anggaran 1998/1999 sampai tahun 2003 3.3. Metode Analisis Secara garis besarnya metode analisis yang digunakan dalam kajian studi ini terbagi atas dua bagian yakni analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif merupakan penelitian terhadap masalah keuangan daerah yang berupa fakta -fakta terkini dari laporan keuangan yang ada. Tujuannya adalah untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan current status dari subjek yang diteliti. Opini yang berkembang di masyarakat yang selalu mengatakan
43
bahwa kabupaten Bengkalis adalah kabupaten yang terkaya setelah adanya otonomi dengan kenaikan anggaran pembangunan 8 kali lipat dibanding sebelum otonomi. Namun banyak orang meragukan apakah hasil pembangunan juga mempunyai implikasi 8 kali lipat dibanding dengan pengeluaran pemerintah yang dilakukan, apalagi dengan tingginya tingkat kemiskinan dan terjadinya beberapa kasus busung lapar di tahun 2005 di kabupaten ini, masyarakat berharap dengan pemerintahan yang berkuasa hari ini akan mampu merubah kehidupan masyarakat yang banyak terbelit kemiskinan ini. Analisis kuantitatif yaitu menggunakan rasio untuk menjawab keefe ktivan pengelolaan keuangan daerah, kontribusi tiap anggaran dan keadilan alokasi anggaran kabupaten Bengkalis tahun 1998/1999 sampai tahun 2003 dan kesesuaian perencanaan pembangunan dengan pelaksanaan. Adapun pendekatan yang dilakukan dalam kajian ini adalah pendekatan induksi dan deduksi. Pendekatan Induksi dengan melihat fakta yang ada kemudian melakukan analisis dengan dukungan teori yang ada untuk menguraikan dan mengambil kesimpulan dari argumentasi yang diberikan. Fakta yang ada seperti, ketidakpuasan masyarakaat, pembangunan yang kurang tepat sasaran dan fakta lain yang coba diuraikan. Pendekatan deduksi melihat dari argumentasi yang diberikan untuk mendapat suatu rumusan dan rancangan program strategi pembangunan daerah sebagaimana yang menjadi tar get dari perkuliahan magister pembangunan daerah yang disampaikan. Dalam penelitian ini akan dianalisis laporan keuangan baik yang direncanakan maupun yang terealisasi secara horizontal dan vertikal, sehingga
44
akan mendapatkan fakta efektivitas pengelolaan keuangan daerah. Alat analisis yang digunakan yaitu sebagai berikut: 3.3.1. Metode Analisis Horizontal Metoda ini mencoba me nganalisis dengan membandingkan angka -angka di dalam perkiraan dua laporan yang berbeda. Analisis ini juga bisa dilakukan dengan membandingkan data laporan selama lima tahun pelaporan sehingga akan menampilkan perubahan yang cukup besar pada perkiraan-perkiraan selama tahun tersebut. Ada dua metoda yang termasuk dalam analisis horizontal yaitu: comparative analysis dan trend analysis. Dengan ala t analisis ini akan member ikan jawaban pada tujuan petama yaitu efektivitas pengelolaan keuangan daerah setelah otonomi. (a). Comparative Analysis Analisis ini menampilkan laporan selama lima tahun, kenaikan dan penurunan tiap perkiraan pada pendapatan dan pengeluaran, serta persentase perubahan terhadap periode sebelumnya. Analisis ini terdiri dari: Realisasi Anggaran Rasio Efektivitas
= Rencana Anggara n
Realisasi tahun sekarang - Realisasi tahun lalu Rasio Pertumbuhan = Realisasi tahun lalu (b). Analisis Kecenderungan (Indeks Implisit) Analisis ini membandingkan data laporan, yaitu perkiraan pendapatan dan pengeluaran dalam suatu laporan selama 5 tahun. Jika dinyatakan dalam persentase satu periode sebagai periode dasar.
45
Anggaran Tahun Sekarang Analisis Kecenderungan
= Anggaran Tahun Dasar
3.3.2. Metode Analisis Vertikal Metode
ini
merupakan
suatu
metoda
analisis
yang
mencoba
membandingkan perkiraan pendapatan dan pengeluaran dalam suatu laporan keuangan yang sama sehingga akan menunjukkan persentase suatu perkiraan terhadap perkiraan lainnya. Dengan alat analisis ini akan memberikan jawaban untuk tujuan kedua dan ketiga , yaitu menganalisis kontribusi setiap mata anggaran pada APBD dan keadilan alokasi anggaran. Ada beberapa teknik pengukuran yang dapat dilakukan dengan menggunakan metoda ini, yaitu sebagai berikut: (a). Common-size Financial Statement Analisis ini menunjukan perkiraan-perkiraan dalam laporan keuangan sebagai persentase dari perkiraan dasar (perkiraan dengan nilai 100 persen). Misalnya membandingkan PAD dengan total pendapatan. Perbandingan antara satu anggaran dengan pendapatan dapat diterapkan untuk beberapa rasio yang meliputi: 1. Rasio PAD/Pendapatan 2. Rasio Dana Perimbangan/Pendapatan 3. Rasio Pengeluaran rutin/Pendapatan 4. Rasio Pengeluaran Pembangunan/Pendapatan (b). Ras io Dua Anggaran Analisis ini menunjukan hubungan antara dua perkiraan, diperoleh dengan membagi angka satu perkiraan dengan angka perkiraan lainnya. membandingan
antara
dana
PAD
dengan
dana
Misalnya
perimbangan
yang
46
menggambarkan dominan anggaran. Beberapa rasio yang dapat dihasilkan dari perbandingan dua mata anggaran ini adalah : 1. Rasio PAD/Perimbangan 2. Rasio Pengeluaran Rutin/Ril Pengeluaran Pembangunan. 3. Rasio Rutin/Pengeluaran Pembangunan Terserap 4. Rasio Pengeluaran Pembangunan Terserap/Ril Pengeluaran Pembangunan 3.4. Konversi Konversi merupakan alat analisis yang mencoba melakukan pemindahan dari laporan anggaran sebelum otonomi dengan penyusunan anggaran setelah otonomi. Dari konversi dicoba melakukan perencanaan anggaran daerah, yang merupakan jawaban dari tujuan keempat. 3.5. Rancangan Program dan Strategi Dari hasil analisis akan dibuat rancangan strategi keuangan daerah yang merupakan rumusan dari ketiga aspek keuangan yaitu pendapatan, belanja dan pembiayaan. Rancangan ini dibuat untuk merumuskan strategi keuangan yang bisa diaplikasi dalam pembangunan daerah. Rancangan program dibuat dengan tujuan : •
Mengoptimalkan pendapatan daerah dengan tetap memperhatikan aspek ekonomi, dan tidak menimbulkan ekonomi berbiaya tinggi.
•
Mengoptimalkan Belanja Daerah untuk mencapai tujuan pembangunan daerah dengan mengefisienkan biaya pembangunan.
•
Mengoptimalkan dana pihak ketiga dalam mendorong perputaran ekonomi dengan pembiayaan anggaran defisit.
47
Rancangan program ini juga akan memberikan jawaban terhadap tujuan kelima yaitu merumuskan alternatif pengelolaan anggaran yang memberikan manfaat optimal kepada masyarakat. Pendekatan yang dilakukan pada metode Rancangan Program ini adalah dari rumusan masalah, hasil analisis yang didukung dengan teori dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3.6. Kerangka Pemikiran Dalam kajian ini peneliti mencoba melakukan analisis terhadap pengelolaan keuangan da erah pada saat diberlakukannya otonomi daerah, karena ada suatu fenomena tersendiri dalam keuangan daerah setelah pelaksanaan otonomi tersebut yakni terjadi perubahan yang cukup mendasar dalam hal pengelolaan keuangan daerah. Secara konstitusi perubahan it u dapat dilihat pada perubahan Undang-undang nomor 5 tahun 1974 menjadi Undang-undang nomor 25 tahun 1999. Perubahan ini terutama sangat terasa karena adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Disamping perimbangan keuangan ini juga merupakan kesempatan bagi daerah untuk memacu perkembangan daerah, karena daerah diberikan wewenang yang lebih luas terutama dilihat dari dua hal yaitu: (1) kewenangan fiskal, dan (2) kewenangan dalam pengelolaan dan mengalokasikan sumberdaya keuangan daerah. Titik fokus dari perubahan itu adalah meningkatnya pendapatan daerah yang sangat besar, bagi daerah penghasil migas. Kabupaten Bengkalis adalah salah satu kabupaten yang mendapat keberuntungan dengan adanya otonomi ini. Dengan dana yang cukup besar apabila dibanding sebelum otonomi tentu memerlukan suatu ukuran bahwa dana itu juga terkelola secara efektif. Maka dalam analisis ini peneliti mencoba melakukan penilaian melalui beberapa hal:
48
1. Analisis rasio untuk melihat: (a). Efektivitas pengelolaan keuangan daerah dan. (b). Kontribusi setiap anggaran terhadap pendapatan (c). Keadilan pengelolaan keuangan daerah. 2. Konversi anggaran untuk melakukan perencanaan anggaran. Hasil dari analisis ini diharapkan dapat menjadi salah alat ukur kedepan untuk menetapkan program pengelolaan keuangan daerah, yang efektif dan efisien serta terukur, dan juga menjadi acuan dalam membuat rancangan strategi pembangunan daerah. Secara skematis hal terse but dapat diurai pada Gambar 3.1.
•UUNomor Nomor55 •UU Tahun 1974 Tahun 1974 •PP 5 dan •PP 5 dan 66 Tahun1975 1975 Tahun
•UU •UU25 25Tahun Tahun99 99 •PP •PP105 105dan108 dan108 Tahun Tahun2000 2000
Partisipatif Partisipatif&& Akuntabilitas Akuntabilitas
Sebelum Sebelumdan danSetelah Setelah Otonomi Otonomi Efektivitas EfektivitasKEUDA KEUDA (Perumusan (PerumusanMasalah) Masalah)
Metode MetodeAnalisa AnalisaHorizontal Horizontal Efektivitas EfektivitasAnggaran Anggaran Metode Analisa Vertikal Metode Analisa Vertikal Kontribusi Kontribusiper per Mata MataAnggaran Anggarandan dan Keadilan KeadilanAlokasi Alokasi Anggaran Anggaran Konversi Perencanaan Konversi PerencanaanAnggaran Anggaran
Gambar 3.1. Kerangka Berpikir
Pembangunan Pembangunan Partisipatif Partisipatif
Rancangan RancanganProgram Program Dan Strategi Dan Strategi
IV. EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
4.1. Efektivitas Pengeloaan Keuangan Daerah Efektivitas pengelolaan keuangan daerah merupakan salah satu masalah yang sangat esensial dalam otonomi daerah. Amanat mengenai demokratisasi dan partisipasi masyarakat, keadilan dan pemerataan, tidak cukup hanya dijadikan sebagai wacana publik, tetapi kita harus mulai mewujudkannya dari sekarang. Mengefektifkan pengelolaan keuangan daerah dalam rangka melaksanakan pembangunan daerah bukanlah masalah pemerintah sendiri, tetapi menjadi masalah seluruh agen-agen pembangunan dan masyarakat bersama. Pemerintah daerah jangan berpikir sendiri dan merencanakan dari atas, tetapi gagasan untuk menciptakan efektivitas pengelolaan keuangan daerah harus mulai dari bawah sehingga
benar-benar
melahirkan
suatu
kesepakatan
bersama
untuk
mendinamisasi pembangunan daerah Bengkalis. Efektivitas pengelolaan keuangan daerah menjadi sangat penting untuk di evaluasi, karena efektivitas tersebut mampu menggambarkan apakah pengelolaan anggaran daerah dapat menghasilkan benefit sosial yang maksimal bagi masyarakat atau tidak. Adapun untuk mengukur efektivitas tersebut dibutuhkan beberapa parameter mendasar yang dapat dihasilkan melalui cara : 1. Membandingkan laporan yang ada atas dasar perencanaan dan realisasi untuk setiap tahun anggaran. 2. Menghitung pendapatan dari pendapatan tanpa sisa anggaran yang diterima pada tahun yang bersangkutan dengan mengeluarkan sisa anggaran tahun lalu.
50
Karena pada prinsipnya sisa anggaran tahun yang lalu bukanlah termasuk pendapatan. 3. Memasukkan hitungan anggaran Pengeluaran Pembangunan Aktual dengan mengurangkan sisa anggaran pembangunan tahun yan lalu. 4. Menghitung pengeluran pembangunan yang terserap tahun itu dengan melihat anggaran aktual yang terlaksana tahun itu. Keempat komponen dasar perhitungan efektivitas di atas dapat kita telusuri dengan menggunakan beberapa metode analisis, yang akan dijabarkan satu persatu seperti di bawah ini. 4.1.1. Analisis Horizontal Metoda ini menganalisis perbandingan angka-angka di dalam perkiraan dua laporan tahunan anggaran yang berbeda. Analisis ini juga bisa dilakukan dengan membandingkan data laporan selama lebih dari satu periode pelaporan sehingga akan menampilkan perubahan yang cukup besar pada perkiraanperkiraan selama periode tersebut. Ada dua metoda yang termasuk dalam analisis horizontal tersebut. Pertama comparative analysis. Analisis ini menampilkan laporan selama dua periode atau lebih mengenai kenaikan dan penurunan tiap perkiraan, serta persentase perubahan terhadap periode sebelumnya. (1). Rasio Efektivitas Rasio ini membandingkan mata anggaran yang sama antara rencana dan realisasi. Dari perbandingan akan kelihatan anggaran yang mendekati target atau yang jauh dari target.
Kegunaan alat analisis ini adalah untuk mengetahui
pencapaian target masing-masing mata anggaran. Dengan diketahui tingkat
51
pencapaian maka pemerintah daerah dapat mengetahui kelemahan dan antisipasinya, serta perencanaan tahun berikutnya. Sebenarnya angka ini tidak pernah mencapai 100 persen apabila perencanaan yang dibuat berdasarkan potensi yang dimiliki. Bila angka mencapai lebih dari 100 persen menunjukkan sebuah mata anggaran yang direncanakan kurang tepat atau under -estimate , atau bisa juga anggaran ini jauh dari target yang menunjukkan pemerintah over-estimate dalam menetapkan anggaran. Beberapa komponen keuangan daerah di Kabupaten Bengkalis dapat diukur rasio efektivitasnya sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 4.1 dan Tabel 4.2. a. Rasio Efektivitas PAD Pencapaian target PAD di Kabupaten Bengkalis selama lima tahun terakhir ini rata-rata di atas seratus persen. Paling tinggi adalah realisasi tahun 2002 yang mencapa i 202 persen. Sedangkan yang terendah pada tahun 2003, hanya sebesar 91 persen. Besarnya pencapaian realisasi di atas target tersebut mungkin saja disebabkan penetapan target yang dilakukan sangat rendah sehingga target mudah tercapai (under-estimate). Ini bisa terjadi karena pemerintah daerah selama ini menetapkan target tidak pernah berdasarkan potensi fiskal (fiscal potential) tapi menurut perhitungan tahun lalu (incremental). Selain kondisi tersebut, adanya under-estimate bisa juga disebabkan dari akumulasi penerimaan yang belum termasuk pada tahun sebelumnya seperti pajak daerah penerangan non PLN. b. Dana Perimbangan Perolehan dana perimbangan juga kelihatan melewati target. diketahui dana perimbangan baru masuk dalam pos penerimaan
Seperti
daerah pada
tahun 2001 pada masa otonomi. Kabupaten Bengkalis memperoleh dana
54
Tabel 4.1. Rasio Efektivitas tahun 1998/1999 – 2000 1998/1999 No Uraian Rencana Realissasi A
PENDAPATAN
I
Sisa Perhitungan th Lalu
II
PAD
III
Dana Perimbangan
IV V
1999/2000 Rasio
Rencana
Realisasi
2000 Rasio
Rencana
Realisasi
Rasio
150.18
160.78
1,07
176.32
195.63
1,11
140.30
168.36
1,20
5.05
5.05
1,00
11.73
11.73
1,00
14.75
32.90
2,23
16.99
18.63
1,10
16.56
21.67
1,31
7.47
18.51
2,48
125.31
135.14
1,08
148.03
162.23
1,10
118.07
116.95
0,99
Bagian Pinjaman Pemda
2.83
1.95
0,69
-
-
-
-
-
-
Bagian Penerimaan lain
0.00
0.00
-
-
-
-
-
-
-
Pendptn Tanpa sisa angg.
145.13
155.72
1,07
164.58
183.90
1,12
125.54
135.46
1,08
B
PENGELUARAN
150.18
149.04
0,99
176.32
162.73
0,92
140.30
114.53
0,82
I
Pengeluaran Rutin
66.69
71.14
1,07
111.85
106.80
0,95
62.61
69.51
1,11
II
P eng. Pembangunan
83.49
77.91
0,93
64.47
55.93
0,87
77.68
45.02
0,58
Sumber: APBD Kab. Bengkalis
52
55
Tabel 4.2. Rasio Efektivitas tahun 2001 - 2003 No
Uraian
A
PENDAPATAN
I
2001
2002
Rencana
Realisasi
1,017.80
1,047.07
Sisa Perhitungan T h. Lalu
53.84
53.84
1,00
450.57
450.57
1,00
II
PAD
20.51
24.75
1,21
24.15
48.87
III
Dana Perimbangan
943.45
968.48
1,03
958.96
970.14
IV
Bagian Pinjaman Pemda
-
-
-
-
-
-
V
Bagian Penerimaan lain
-
-
-
-
-
-
Pendptn Tanpa sisa angg.
Rasio
Rencana
Realisasi
1,03 1,433.68
1,469.57
2003 Rasio
Rencana
Realisasi
1,03 1,413.93
1,482.74
1,05
332.89
336.08
1,01
2,02
46.56
42.29
0,91
1,01
914.08
1,016.08
1,11
-
Rasio
-
-
120.40
88.30
0,73
963.96
993.23
1,03
983.11
1,019.00
1,04 1,081.04
1,146.66
1,06
1,133.49
0,79 1,413.93
1,291.10
0,91
B
PENGELUARAN
1,017.80
596.50
0,59 1,433.68
I
Pengeluaran Rutin
231.61
237.99
1,03
405.18
371.72
0,92
489.99
456.31
0,93
II
Peng. Pembangunan
786.19
358.52
0,46 1,028.50
761.77
0,74
923.94
834.78
0,90
Sumber: APBD Kab. Bengkalis
53
54
perimbangan lebih dari 90 persen dari total penerimaan daerah yang berasal dari bagi hasil minyak bumi. Pada tahun 2003 pencapaiannya melonjak hingga 10 persen dari tahun 2002 yang diakibatkan terjadi kenaikan harga minyak dan kenaikan harga dolar sehingga berimbas pada pendapatan bagi hasilnya. Pencapaian dana perimbangan yang melebihi 100 persen pada tahun 2001 bisa dianggap sebuah kewajaran karena baru pertama kali daerah memperoleh dana perimbangan sehingga
tidak mempunyai angka pembanding untuk
melakukan perhitungan. Tapi pada tahun 2002 dan 2003 hal sama juga terjadi sehingga menimbulkan pertanyaan, yang bisa ditafsirkan dalam banyak makna, dan salah satunya kemungkinan perhitungan target yang under -estimate. Adanya
under-estimate
dari
target
pendapatan
mengakibatkan
perencanaan pembangunan untuk tahun berjalan lebih rendah dari yang sebenarnya bisa diangga rkan.
Akibatnya adalah tingkat perputaran uang dan
pembangunan lebih rendah dari yang bisa dilakukan Dengan kata lain pengelolaan keuangan daerah tidak optimal, karena dilakukan tidak efektif. c. Pengeluaran Rutin Realisasi pengeluaran rutin Kabupaten Bengkalis sepanjang periode 1998/1999–2003 rata-rata mendekati target, bahkan untuk tiga tahun anggaran pencapaiannya dapat melampaui target yaitu tahun 1998/1999 sebesar 107 persen, 2000 sebesar 111 persen dan 2001 sebesar sebesar 103 persen. Kelebihan ini umumnya karena terjadi peningkatan belanja pegawai seperti tunjangan PNS dan perjalanan dinas. Penilaian pengeluaran rutin seharusnya dilihat secara kebalikan dari penilaian rasio yang lain. Karena efektivitas nya tidak terletak pada pencapaian
55
target atau melebihi target. Makin jauh dari target makin bagus, yang berarti terjadi penghematan pengeluaran biaya. Apabila melebihi target berarti terjadi pembengkakan biaya. Misalkan pada tahun 2001 awal masa otonomi daerah pengeluaran rutin di Kabupaten Bengkalis melebihi dari yang dianggarkan, berarti pemerintah daerah saat itu tidak berhasil menghemat pengeluaran. d. Pengeluaran Pembangunan Sepanjang periode pengamatan, pencapaian belanja pembangunan di Kabupaten Bengkalis rata-rata sangat jauh dari target. Kondisi ini diseba bkan oleh dua hal yakni : (1) terjadinya penghematan pengeluaran karena harga tender lebih rendah dari harga yang direncanakan, dan (2) tidak terlaksananya anggaran pada tahun yang bersangkutan. Ini bisa dilihat dari sisa anggaran tahun itu. Selain dua faktor utama di atas, pencapaian target yang sangat rendah dari yang ditetapkan tersebut sebagian besar karena tidak terlaksananya anggaran tahun yang bersangkutan, sehingga menjadi anggaran luncuran pada tahun berikutnya. Keadaan yang para h terjadi tahun 2001, ketika awal diberikannya anggaran perimbangan. Belanja pembangunan tampak meningkat sangat besar, namun tingkat pencapaiannya hanya 46 persen atau tidak cukup setengah dari yang dianggarkan. Beberapa masalah struktural yang menyebabkan hal tersebut terjadi adalah: 1. Ketidaksiapan instansi di daerah untuk mengelola dana yang lebih besar. 2. Kekurangsiapan pemerintah untuk memenej SDM yang tersedia, sehingga dana yang besar tidak terserap banyak bagi pembangunan tahun yang berjalan. 3. Rata-rata pelaksanaan proyek kurang dari satu tahun, karena anggaran baru disahkan menjelang pertengahan tahun. Padahal anggaran setelah otonomi
56
berlaku tahun takwim dan pengajuan anggaran pada bulan oktober tahun sebelumnya, sehingga anggaran seharusnya bisa disahkan paling lambat pada bulan Januari setiap tahunnya. Dari rasio keempat mata anggaran diatas terlihat bahwa pengelolaan anggaran daerah Kabupaten Bengkalis belum efektif dengan alasan: Pertama, pendapatan (PAD dan Dana Perimbangan) dihitung dengan under-estimate sehingga aktivitas pembangunan tahun itu lebih rendah dari potensi yang dimiliki. Kedua, pengeluaran rutin yang melebihi target juga menunjukkan pemerintah tidak mampu melakukan penghematan anggaran tahun itu. Ketiga, Pengeluaran pembangunan
yang
jauh
dari
capaian
yang
menyebabkan
perputaran
pembangunan menjadi sangat lambat. (2). Rasio Pertumbuhan Rasio ini diperoleh dengan cara mengurangi anggaran tahun berjalan dengan tahun sebelumnya dan membaginya dengan anggaran tahun sebelumnya, sehingga kita mendapatan angka pertumbuhan suatu anggaran. Kegunaan analisis ini sesuai dengan namanya untuk mengetahui tingkat pertumbuhan masingmasing anggaran. Berikut ini disajikan tabel perbandingan kenaikan atau penurunan anggaran baik sebelum otonomi maupun sesudah otonomi, berdasarkan angka realisasi anggaran. Berdasarkan Tabel 4.3 tampak jelas terjadi kenaikan yang cukup nyata pada hampir semua anggaran masa sebelum otonomi dibandingkan dengan otonomi. Perbedaan yang begitu menyolok terlihat untuk perbandingan anggaran antara tahun 1999/2000 dengan tahun anggaran 2001. Persentase kenaikan pendapatan daerah bisa mencapai 440,1 persen yang disumbangkan oleh
57
kenaikan dana perimbangan (sebelum otonomi item ini bernama sumbangan dari pemerintahan yang lebih tinggi) sebesar 496,99 persen. Begitu juga dengan anggaran pembangunan naik lebih tinggi hingga mencapai 541 persen pada tahun 2001 dibanding tahun 1999/2000. Pembengkakan anggaran pembangunan sebesar ini seiring dengan adanya perolehan anggaran perimbangan yang melonjak tinggi dari minyak bumi untuk Kabupaten Bengkalis kurang lebih sebesar 700 milyar rupiah.
Tabel 4.3. Tingkat Pertumbuhan Realisasi Anggaran Kabupaten Bengkalis tahun 1999/2000 – 2003 (%) No
Uraian
1999/2000
2001
2002
2003
A
PENDAPATAN
18.09
440.10
2.59
12.53
I
Sisa Perhitungan
132.25
358.80
736.88
-25.41
II
PAD
16.31
14.21
97.44
-13.46
III
Dana Perimbangan
20.04
496.99
0.17
4.74
IV
Bagian Pinjaman Pemda
V
Bagian Penerimaan lain
B
PENGELUARAN
9.18
266.56
90.02
13.90
1
Pengeluaran Rutin
50.14
122.84
56.19
22.76
2
Pengeluaran Pembangunan
-28.21
541.01
112.48
9.59
Sumber : APBD Kabupaten Bengkalis (data diolah)
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) PAD Kabupaten Bengkalis mengalami kenaikan yang cukup berarti pada tahun 2001 sebesar 14,1 persen dan mengalami lompatan yang lebih tinggi lagi sebanyak 97,44 persen pada tahun 2002. Kenaikan yang menyolok ini karena ada item baru yang mengalami peningkatan cukup tinggi yaitu penerimaan pajak
58
penerangan non PLN dari perusaha an migas yang dibayarkan untuk beberapa tahun sebelumnya (terakumulasi pada tahun itu). Penurunan PAD terjadi pada tahun 2003 sebesar -13,46 persen, yang menggambarkan adanya ketergantungan PAD terhadap pendapatan di luar hasil pemungutan langsung dari Dinas Pendapatan daerah. Berdasarkan kecenderungan PAD Kabupaten Bengkalis selama ini, sebagaimana yang disajikan dalam ulasan sebelumnya, diperkirakan PAD yang akan datang kembali mengalami unpredictable. Oleh karena itu Dispenda dalam mengoptimalkan PAD perlu mengambil dua langkah utama sebagai berikut: 1. Melakukan pengkajian potensi PAD. 2. Melakukan pemisahan PAD yang bisa diproyeksikan dan yang tidak. b. Dana Perimbangan Dana perimbangan adalah anggaran yang paling dominan setelah masa otonomi yang sangat mempengaruhi semua anggaran daerah.
Kenaikan tahun
2001 sebesar 496,9 persen sehingga mempengaruhi kenaikan pendapatan sebesar 440,1 persen. Namun demikian, pertumbuhan dana ini sangat kecil pada dua tahun berikutnya (tahun 2002) hanya sebesar 0,17 persen dan tahun 2003 sebesar 4,74 persen. Berdasarkan angka-angka pertumbuhan selama ini, bisa jadi pada tahuntahun berikutnya dana perimbangan Kabupaten Bengkalis tidak akan begitu besar, bahkan bisa mengalami pertumbuhan negatif. Ada beberapa alasan kenapa hal tersebut diutarakan yakni:. 1. Kecenderungan terjadinya penurunan produksi minyak juga akan berpengaruh pada pendapatan dari dana perimbangan.
59
2. Kalau terjadi kenaikan anggaran ini juga sangat sporadis berkaitan dengan harga minyak dunia dan naiknya harga US dolar terhadap rupiah. c. Pengeluaran Rutin (Belanja Aparatur) Pada anggaran ini terjadi pertumbuhan pada setiap tahunnya. Pertumbuhan yang sangat besar dari
1999/2000 ke 2001 merupakan kenaikan yang sangat
logis karena beban gaji pegawai negeri sipil yang selama ini terpusat dibayarkan di daerah dengan dana DAU. Tapi pertumbuhan ini juga terus terjadi setelah otonomi. Artinya kenaikan pendapatan juga merangsang kenaikan belanja aparatur. Bahkan pada tahun 2002 mengalami pertumbuhan yang sa ngat berarti dibanding dengan tahun 2001 yaitu sebesar 56,19 persen dan kenaikan 22,76 persen pada tahun 2003 dibanding tahun 2002. Ini bisa menjadi suatu indikator tidak terjadinya efisie nsi dalam pembangunan daerah. Ke naikan ini tentu saja akan menurunkan pengeluaran pembangunan. Pemerintah harus antisipatif bagaimana dengan pertumbuhan yang besar ini melakukan efisiensi pengeluaran.
Apabila pemerintah tidak mampu
melakukan efisiensi jelas akan mempengaruhi pengeluaran pembangunan yang menyentuh langsung pada persoalan kemasyarakatan. d. Pengeluaran Pembangunan (Belanja Publik) Pengeluaran pembangunan juga mengalami kenaikan yang sangat besar setelah otonomi yaitu sebesar 222,6 persen tahun 2001 dan terus mengalami kenaikan pada tahun berikutnya. Namun jumlah ini bila dibandingkan dengan kenaikan pendapatan sangat jauh. Pendapatan naik 440,1 persen. Ini berarti besarnya dana tersedot untuk pengeluaran rutin yang menjadi biaya daerah. Angka ini semua terutama pengeluaran pembangunan belum merupakan penge luaran
60
aktual yang ada pada tahun yang bersangkutan karena setiap tahun terjadi sisa anggaran
pembangunan
yang
cukup
besar
sehingga
jumlah
anggaran
pembangunan berikutnya menjadi membengkak terutama tahun 2002 dan tahun 2003. Tabel 4.4 berikut menyajikan Rencana APBD tahun 1999/2000 sa mpai 2003 berdasarkan angka Aktual Pengeluaran Pembangunan. Yang dimaksud dengan Aktual Pengeluaran Pembangunan yaitu, pengeluaran pembangunan setelah dikurangi sisa anggaran tahun lalu ((Rencana Pengeluaran Pembangunan tahun ini – (Rencana Pengeluaran Pembangunan tahun lalu – Realisasi pengeluaran pembangunan tahun lalu)). Sebagaimana diketahui pengeluaran pembangunan setiap tahunnya termasuk luncuran anggaran pembangunan tahun sebelumnya. Sehingga komponen ini bila ditambahkan terjadi pembengkakan pengeluaran pembangunan dan juga membengkaknya total APBD. Tabel 4.4. APBD Kabupaten Bengkalis Berdasarkan Rencana Aktual Pengeluaran Pembangunan (milyar rupiah) N o
Uraian
99/00
2000
2001
2002
176.32
140.30
1,017 .80
2003
I
PENDAPATAN
1,433.68
1,413.93
1
Sisa Perhitungan Tahun Lalu
11.73
14.75
53.84
450.57
332.89
2
PAD
16.56
7.47
20.51
24.15
46.56
3
Dana Perimbangan
148.03
118.07
943.45
958.96
914.08
4
Bagian Penerimaan lain
-
-
-
-
120.40
II
PENGELUARAN
170.73
131.76
985.13
1,006.01
1,147.19
1
Pengeluaran Rutin
111.85
62.61
231.61
405.18
489.99
2 Aktual Peng. Pembangunan 58.88 Sumber: Data Olahan APBD kab. Bengkalis
69.15
753.52
600.83
657.20
Dari tabel di atas ter lihat terjadi penurunan pengeluaran pembangunan tahun 2002 dibanding dengan tahun 2001 yakni dari 753,52 milyar rupiah menjadi 600,83 milyar rupiah.
61
Dari rasio pertumbuhan dapat disimpulkan beberapa hal: Pertama, dari sisi pendapatan pemerintah daerah belum mampu memprediksi pendapatan pada tahun berikutnya sehingga aktivitas pembangunan lebih rendah dari yang seharusnya bisa dilakukan, disamping itu ini juga menunjukkan tingginya ketergantungan daerah pada anggaran dari pusat. Kedua, pada sisi pengeluaran terlihat bahwa pemerintah daerah belum mampu melakukan efisiensi biaya pembangunan dan mengoptimalkan pengeluaran pembangunan dengan rendahnya aktual pengeluaran pembangunan. (3). Analisis Kecenderungan (Trend) Analisis kecenderungan yang dimaksudkan ini adalah mengamati perkembangan time series data laporan, yaitu perkiraan-perkiraan dalam suatu laporan tertentu selama enam tahun. Kegunaan dari analisis ini adalah untuk mengetahui fluktuasi naik atau turunnya suatu anggaran. Misalnya, apabila pendapatan cenderung mengalami penurunan harus ada antisipasi untuk mengatasinya.
Begitu juga
apabila terus mengalami kenaikan bagaimana mengoptimalkan penggunaan sehingga mempunyai nilai ekonomi yang lebih besar. Berikut ini akan disajikan tabel dan grafik evaluasi kecenderungan tahun anggaran 1998/1999 sampai tahun anggaran 2003. Pada tabel ini ditambahkan satu anggaran yaitu Pengeluaran Pembangunan Terserap. Angka ini diperoleh dengan cara: Aktual Pengeluaran Pembangunan dikurangi sisa anggaran pembangunan tahun itu. Angka ini merupakan angka perkiraan yang mencoba melihat berapa Pengeluaran Pembangunan yang dialokasikan betul-betul terpakai untuk tahun tersebut. Pendekatan ini ini dilakukan dengan alasan bahwa tidak semua anggaran yang dialokasikan pada tahun yang bersangkutan bisa terpakai pada tahun itu, sehingga
62
terjadi proyek luncuran. Dengan siste m keuangan setelah otonomi tidak dikenal lagi dengan istilah proyek luncuran, karena semua proyek yang dianggarkan harus selesai satu periode anggaran kecuali untuk hal tertentu. Tabel 4.5. Trend Kenaikan APBD Kabupaten Bengkalis tahun 1998/1999 s/d 2003 (milyar rupiah) No
Uraian
1
Realisasi PAD
2
98/99
99/00
2000
2001
2002
2003
18.63
21.67
18.51
24.75
48.87
42.29
Realisasi Perimbangan
135.14
162.23
116.95
968.48
970.14
1016.08
4
Jumlah Pendapatan
153.77
183.90
135.46
993.23
1,019.00
1,060.28
5
Realisasi Pengeluaran Rutin
71.14
106.80
69.51
237.99
371.72
456.31
6
Aktual Peng. Pembangunan
0
58.88
69.15
753.52
600.83
657.20
7
Pengeluaran Pemb. Ters erap
0
50.35
36.48
325.85
334.10
568.05
Sumber: Data Olahan APBD Bengkalis Catatan: Pengeluaran pembangunan terserap adalan Aktual Peng. Pembangunan dikurangi sisa anggaran tahun itu.
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kecenderungan perkembangan PAD Kabupaten Bengkalis sepanjang periode 1998/1999-2003 cukup fluktuatif dan secara rata-rata mengalami kenaikan. Beberapa keadaan yang dapat dijadikan sebagai indikator penyebab fluktuasi dari perkembangan PAD selama itu adalah:
Jumlah (milyar Rupiah)
Trend Kenaikan PAD 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 98/99
99/00
2000
2001
Tahun
Gambar 4.1. Kecenderungan PAD
2002
2003
63
1. Terjadinya pemekaran kabupaten yang efektif tahun 2000 yaitu Kabupaten Siak dan Kabupaten Rokan Hilir, sehingga menyulitkan dalam memperkirakan PAD karena sebagian PAD beralih ke Kabupaten Rokan Hilir dan Kabupaten Siak. 2. Tidak tersedianya data potens i PAD sehingga hanya memperkirakan kenaikan secara incremental. 3. Adanya pendapatan yang terakumulasi pada tahun tertentu yaitu Pajak daerah penerangan non PLN, yang perhitungannya sebagian tetap melalui departemen keuangan/Departemen pertambangan dan energi berkaitan dengan penggunaan listrik oleh perusahaan perminyakan. b. Dana Perimbangan
Jumlah (milyar rupiah)
Trend Dana Perimbangan 1200.00 1000.00 800.00 600.00 400.00 200.00 0.00 98/99
99/00
2000
2001
2002
2003
Tahun
Gambar 4.2. Trend Dana Perimbangan
Anggaran perimbangan ini merupakan berkah bagi Kabupaten Bengkalis sebagai daerah penghasil, terutama dari minyak bumi setelah adanya otonomi daerah. Kenaikannya sangat besar yaitu 828.1 persen pada tahun 2001, dan terus
64
mengalami kenaikan pada tahun 2002 dan 2003 meskipun pada taraf kenaikan yang kecil. Diharapkan dengan kenaikan ini akan mampu memacu pembangunan ekonomi kabupaten Bengkalis secara Agregat. c. Pengeluaran Rutin Kecenderungan pengeluaran rutin juga mengalami kenaikan yang cukup tajam, terutama sekali pada tahun 2001 yang melonjak tinggi hingga 342,4 persen. Kondisi ini terjadi karena setelah otonomi gaji pegawai ne geri yang selama ini masuk anggaran negara dilimpahkan pembayarannya ke daerah.
Jumlah (milyar rupiah)
Trend Pengeluaran Rutin 500.00 400.00 300.00 200.00 100.00 0.00 98/99
99/00
2000
2001
2002
2003
Tahun
Gambar 4.3. Trend Pengeluaran Rutin Kemudian tahun 2002 juga mengalami kenaikan tinggi sebanyak 156,2 persen, serta tahun 2003 sebesar 122.8 persen. Angka pertumbuhan sebesar ini patut diwaspadai karena menunjukkan semakin cenderungnya belanja aparatur meningkat setelah otonomi daerah. Apakah ini sebuah euforia dari otonomi juga, yang diterjemahkan dengan menaikan gaji,
tunjangan pegawai negeri dan
pengeluaran aparatur lainnya karena naiknya pendapatan ?
65
d. Aktual Pengeluaran Pembangunan Pengeluaran pembangunan mempunyai kecenderungan yang meningkat tajam seiring dengan naiknya pendapatan daerah, terutama setelah otonomi daerah tahun 2001. Akan tetapi pada tahun 2002, kecenderungan menurun. Padahal saat bersamaan pendapatan daerah meningkat. Kondisi perlu menjadi perhatian pemerintah daerah pada masa-masa berikutnya.
Jumlah (milyar rupiah)
Trend Aktual Pengeluaran Pembangunan 800 700 600 500 400 300 200 100 0 98/99
99/00
2000
2001
2002
2003
Tahun
Gambar 4.4. Trend Aktual Pengeluaran Pembangunan e. Pengeluaran Pembangunan Terserap Seperti yang disebutkan diatas Pengeluaran Pembangunan Terserap adalah pengeluaran pembangunan yang terpakai pada tahun itu. Angkanya diperoleh dengan mengurangi Aktual Pengeluaran Pembangunan dengan sisa anggaran pembangunan tahun itu. Melihat trend ini terus mengalami kenaikan. Mungkin belajar dari pengalaman tahun sebelumnya sehingga terjadi perbaikan pada tahun 2002 dan 2003, walaupun nasih jauh dari pencapaian targetnya. Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari grafik adalah: Pertama, PAD yang fluktuatif memperkuat analisis sebelumnya, dan ini juga terjadi karena tidak tersedianya data potensi PAD sehingga menyulitkan dalam perhitungan PAD.
66
Kedua, pengeluaran rutin yang terus mengalami kenaikan yang cukup tajam dari tahun ke tahun juga memperkuat analisis sebelumnya. Ketiga, Aktual Pengeluaran Pembangunan juga mengalami penurunan setelah otonomi.
Jumlah (milyar rupiah)
Trend Pengeluaran Pemb. Terserap 600 500 400 300 200 100 0 98/99
99/00
2000
2001
2002
2003
Tahun
Gambar 4.5. Trend Pengeluaran Pemb. Terserap 4.1.2. Analisis Vertikal Yang dimaksud dengan analisis vertikal adalah metoda analisis yang membandingkan perkiraan-perkiraan dalam suatu laporan keuangan yang sama sehingga menampakan persentase suatu perkiraan terhadap perkiraan lainnya. Dari rasio ini juga akan terlihat anggaran yang dominan di tahun itu. Kegunaan analisis ini ialah untuk mengetahui besarnya kontribusi suatu pe rkiraan terhadap total perkiraan atau antar perkiraan.
Hasilnya digunakan untuk mengukur
besarnya pengaruh perkiraan terhadap suatu permasalahan, yang bisa digunakan dasar kebijakan untuk mengalokasikan sumber dana yang dimiliki suatu daerah untuk mendapa tkan output yang optimal.
67
(1). Common-size Financial Statement Merupakan suatu analisis yang menunjukkan perkiraan-perkiraan dalam laporan keuangan sebagai persentase dari perkiraan dasar (perkiraan dengan nilai 100 persen). Pada analisis ini perbandingan dilakukan dengan total pendapatan. Tabel 4. 6. Rasio Vertikal Dengan Pendapatan No 1 2 3 4
Uraian Realisasi PAD Realisasi Perimbangan Pinjaman Pendapatan Lain Pinjaman dan Pend lain-lain
PAD/Pendapatan Perimb./Pendapatan
98/99 18.63 135.14
99/00 21.67 162.23
2000 18.51 116.95
2001 24.75 968.48
2002 48.87 970.14
2003 42.29 1016.08
1.95 88.30 1.25%
7.70%
11.97% 86.78%
11.78% 88.22%
13.67% 86.33%
2.49% 97.51%
100% Jumlah Pendapatan 155.72 5 Pengeluaran Rutin 71.14 6 Aktual Peng. Pembangunan 7 Pengeluaran Pemb.Terserap PR/Pendapatan APP/Pendapatan PPT/Pendapatan Sumber: Data olahan APBD kab.Bengkalis
100% 183.90 106.80 58.88 50.35 58.08% 32.02% 27.38%
100% 135.46 69.51 69.15 36.48 51.31% 51.05% 26.93%
100% 993.23 237.99 753.52 325.85 23.96% 75.87% 32.81%
4.80% 95.20%
3.69% 88.61%
100%
100%
1019.00
1146.66
371.72 600.83 334.10 36.48% 58.96% 32.79%
456.31 657.20 568.05 39.79% 57.31% 49.54%
a. Perbandingan PAD dengan Pendapatan Daerah Jika kontribusinya dibandingkan pada masa sebelum otonomi dan setelah otonomi tampak mengalami penurunan yang cukup berarti yaitu dari rata -rata sekitar belasan persen menjadi rata-rata tiga persenan.
Hal ini wajar karena
adanya peningkatan pendapatan Bagi Hasil Daerah yang cukup besar membuat kontribusi PAD makin kecil. Keadaan ini juga menggambarkan tingginya ketergantungan daerah untuk sumber pembiayaan pembangunan dari bagi hasil. Pemerintah harus inovatif untuk mencari sumber pembiayaan lain sehingga dapat mengurangi ketergantungan dari dana perimbangan yang suatu saat akan terus
68
mengalami penurunan seiring dengan terus menurunnya produksi minyak di Riau secara umum dan Kabupaten Bengkalis secara khusus. Kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah di Kabupaten Bengkalis semenjak diberlakukan otonomi daerah melorot tajam dibandingkan periode sebelumnya. Pada masa sebelum otonomi daerah kontribusinya rata -rata bisa mencapai 11-13 persen, kemudian setelah pelaksanaan otonomi daerah kontribusinya menurun drastis hingga 3 persen per tahun. Nilai kontribusi ini sangat jauh di bawah rata -rata nasional yang mencapai 12-15 persen (Mardiasmo, 2002). b. Perbandingan Dana Perimbangan dengan Pendapatan Kontribusi dana perimbangan ini sangat besar baik sebelum maupun sesudah otonomi. Sebelum otonomi rata-rata kontribusi diatas 86 persen dan setelah otonomi diatas 90 persen. Sebagian besar anggaran daerah dibiayai dana perimbangan. Situasi ini juga menunjukan tingginya ketergantungan daerah kepada dana bagi hasil tersebut. c. Perbandingan Pengeluaran Rutin dengan Pendapatan Sebelum
otonomi
angka
rata-rata
pengeluaran
rutin
terhadap
pembangunan diatas 50%, yang menandakan sebagian besar pendapatan dibelanjakan untuk keperluan aparatur pemerintah. Setelah otonomi angka ini menjadi beragam. Tahun 2001 sebesar 23,96 persen, tahun 2002 sebesar 36,48 persen dan tahun 2003 sebesar 39,8 persen. Pada saat otonomi sebagian besar pendapatan tidak lagi digunakan untuk belanja aparatur.
Namun demikian perkembangan belanja aparatur terus
69
mengalami kenaikan yang cukup berarti dari tahun ke tahun, yang merupakan indikasi makin besarnya Pengeluaran Rutin daerah. d. Perbandingan Aktual Pengeluaran Pembangunan dengan Pendapatan Sebelum otonomi angkanya rata -rata dibawah 50 persen. Ini berarti tidak cukup setengah dari pendapatan daerah digunakan untuk anggaran pembangunan. Setelah otonomi dengan peningkatan pendapatan yang cukup besar angka ini otomatis mengalami kenaikan.Tahun 2001 rasio perbandingan riil pengeluaran pembangunan denga n pendapatan 75,87 persen. Kemudian tahun 2002 menurun menjadi 58,96 persen. Dan menurun kembali pada tahun 2003 namun dengan kadar yang lebih kecil yaitu 57,31 persen. Walaupun kelihatan rasio Aktual Pengeluaran Pembangunan dengan pendapatan daerah selalu melebihi 50 persen, tetapi karena ada kecenderungan terus menurun dengan laju yang cukup cepat diantara tahun 2002-2003 dapatlah diartikan bahwa porsi biaya pembangunan untuk masyarakat semakin kecil seiring dengan makin membesarnya belanja aparatur. Dengan demikian secara tidak langsung terjadi transfer payment dari masyarakat untuk pelayanan aparatur negara. e. Perbandingan Pengeluaran Pembangunan Terserap dengan Pendapatan Kecenderungan rasio perbandingan kedua komponen anggaran tersebut baik itu selama masa sebelum dan sesudah otonomi cukup menyedihkan, karena terindikasi perkembangan dana yang dianggarkan sangat kecil terserap untuk biaya pembangunan setiap tahunnya. Sebelum otonomi, tahun 1999/2000 dana yang terserap adalah 27,38 persen, sedangkan yang dianggarkan sebesar 32,02
70
persen. Kemudian di tahun 2000 dana terserap menurun menjadi 26,93 persen, sedangkan yang dianggarkan naik cukup banyak sebesar 51,05 persen. Setelah otonomi daerah, tahun 2001 dana terserap adalah 32,81 persen sedangkan yang dianggarkan sebesar 75,87 persen. Tahun 2002 dana terserap adalah 32,79 persen sedangkan yang dianggarkan sebesar 58,96 persen. Dan tahun 2003 dana terserap adalah 49,54 persen sedangkan yang dianggarkan sebesar 57,31 persen. Dari serangkaian angka rasio ini terlihat bahwa tidak semua anggaran yang direncanakan dapat terpakai semuanya, dimana sisa anggaran tahun berjalan tersebut akhirnya menjadi proyek luncuran untuk tahun berikutnya. Fenomena ini menunjukkan efektivitas pengelolaan keuangan daerah masih rendah. (2). Ras io Perbanding Dua Anggaran Perbandingan
dua
anggaran
merupakan
suatu
metode
untuk
membandingkan dua pos anggaran yang berbeda. Seperti antara PAD dengan Dana Perimbangan, Pengeluaran Rutin dengan Aktua l Pengeluaran Pembangunan, Pegeluaran Rutin dengan Pengeluaran Pembanguna Terserap, Pengeluaran Pembangunan Terserap dengan Aktual Pengeluaran Pembangunan. Melalui metode ini akan ditemukan pos pengeluaran mana yang mendominasi total pengeluaran daerah a. Rasio PAD dengan dana Perimbangan Sebagaimana analisis sebelumnya jauhnya
jarak penerimaan PAD
dibanding dengan Dana Perimbangan yang terlihat dari kecilnya rasio yang dimiliki. Sebelum otonomi rasio ini adalah sekitar 14 persen sedangkan setelah otonomi rata -rata 3-5 persenan. Ini berati 95 persen anggaran sangat tergantung
71
pada dana perimbangan. Tentu saja dengan angka ini pemerintah perlu melakukan evaluasi, yaitu (1) adanya potensi yang belum tergarap, dan (2) adanya kemungkinan dana yang besar tapi tidak masuk kedalam kas negara. b. Rasio Pengeluaran Rutin dengan Aktual Pengeluaran Pembanguan Sebelum otonomi angka ini didominasi oleh Pengeluaran Rutin. Sesuatu yang bisa dipahami, karena kecilnya anggaran pembangunan dari APBN terhadap daerah. Tapi sete lah otonomi dengan adanya dana perimbangan anggaran menjadi relatif cukup besar. Tahun 2001 perbandingan Pengeluaran rutin dengan pengeluaran pembangunan adalah
31,58 persen. Tahun 2002 perbandingan
Pengeluaran Rutin dengan Pengeluaran Pembangunan adalah sebesar 61,87 persen.
Tahun 2003 perbandingan Pengeluaran rutin dengan Pengeluaran
Pembangunan adalah
69,43 persen.
Angka ini terus meningkat yang
menunjukkan dominasi Pengeluaran Rutin semakin besar setelah otonomi. Apabila kecenderungan ini terus mengalami kenaikan maka sebagian besar anggaran
akan
lebih
banyak
digunakan
untuk
belanja
aparatur
yang
mengakibatkan belanja pembangunan semakin kecil sehingga tidak mampu secara optimal mendorong pertumbuhan ekonomi. c. Rasio Pengeluaran Rutin dengan Pengeluaran Pembangunan Terserap Angka ini menunjukkan perbandingan antara Pengeluaran Rutin dengan Pengeluaran Pembangunan yang terealisasikan pada tahun yang bersangkutan. Kalau pada rasio perbandingan antara Pengeluaran Rutin dengan Riil Pengeluaran Pembangunan melihat rasio semua jumlah yang dialokasikan sedangkan pada rasio ini hanya melihat dari yang dianggarkan terserap atau terealisasikan untuk
72
pembangunan tahun itu, yaitu dengan mengeluarkan anggaran luncuran dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2001 perbandingan pengeluran rutin dengan pengeluaran pembangunan terserap ialah sebesar 73,04 persen. Pada tahun 2002 perbandingan pengeluaran rutin dengan pengeluaran pembangunan terserap ialah sebesar 112,26 persen. Pada tahun 2003 perbandingan pengeluaran rutin dengan pengeluaran pembangunan terserap ialah sebesar 80,33 persen. Dalam rasio ini menunjukkan bahwa tahun kedua otonomi, Pengeluaran Rutin mendominasi Pengeluaran Pembangunan Terserap. Walaupun anggaran Pengeluaran Pembangunan pada prinsipnya lebih besar dari pengeluaran rutin namun yang bisa terlaksana sangat jauh dari yang ditargetkan. d. Rasio Pengeluaran Pembangunan Terserap dengan Aktual Pengeluaran Pembangunan Melalui rasio ini kita akan mencoba melihat perbandingan antara pengeluaran pembangunan yang dianggarkan dan yang mampu diserap untuk tahun berjalan. Pada tahun 2001 perbandingan pengeluaran pembangunan terserap dengan riil pengeluaran pembangunan adalah 43,24 persen. Pada tahun 2002 rasio perbandingannya mengalami peningkatan hingga mencapai 55,61 persen. Selanjutnya tahun 2003 meningkat lebih tajam lagi menjadi 86,43 persen. Ada suatu perbaikan dari angka ini tahun ke tahun dengan rasio yang makin besar. Namun pada sisi lain seperti pada rasio perbandingan pengeluaran rutin de ngan pengeluaran pembangunan aktual juga mengalami peningkatan. Ini juga menunjukkan angka perbaikan ini terjadi dengan semakin kecilnya persentase alokasi anggaran pembangunan. Ini berarti pemerintah daerah belum begitu siap mengelola anggaran yang besar, yang terlihat dari rasio diatas yang
73
menunjukan makin kecil pengeluaran pembangunan makin besar kemampuan pemerintah untuk merealisasikannya. Tabel 4.7. Analisis Ras io Vertikal Dua Anggaran Uraian
98/99
Realisasi PAD Realisasi Perimbangan PAD/Perimbangan Jumlah Realisasi Pengeluaran Rutin
99/00
2000
2001
2002
2003
18.63
21.67
18.51
24.75
48.87
42.29
135.14
162.23
116.95
968.48
970.14
1016.08
13.79
13.36
15.83
2.56
5.04
4.16
155.72
183.90
135.46
993.23
1019.00
1146.66
71.14
106.80
69.51
237.99
371.72
456.31
58.88
69.15
753.52
600.83
657.20
181.38
100.52
31.58
61.87
69.43
50.35
36.48
325.85
334.10
568.05
212.13
190.54
73.04
111.26
80.33
85.50
52.76
43.24
55.61
86.43
Aktual Peng. Pembangunan P. Rutin/AP P Pengeluaran Pemb. Terserap P. Rutin/PPT PPT/A PP Sumber: Data Olahan APBD Kab. Bengkalis
4.2. Keadilan Alokasi Keuangan Daerah Dalam perekonomian modern, peranan pemerintah dapat dipilah dan ditelaah menjadi empat macam kelompok peran yakni (1) peran alokatif, (2) peran distributif, (3) peran stabilisatif, dan (4) peran dinamisatif. Dalam pembahasan ini kita lebih memfokuskan kepada peran distributif yakni kemampuan pemerintah untuk mengalokasikan sumber daya ekonomi yang ada agar pemanfaatannya bisa optimal dan efisien. Kedua hal ini, optimal dan efisiensi, dapat dinilai dengan mengamati dan menganalisis bagaimana upaya pemerintah dalam menyediakan pelayanan kepada masyarakat apakah telah sepadan atau adil antara kewajiban masyarakat untuk membayarnya (misalkan melalui pajak dan retribusi) dengan hak pelayanan yang harus diterimanya. Jelas yang dikatakan optimal dan efisien jika pelayanan yang diberikan pemerintah dapat memberi benefit sosial yang lebih tinggi kepada masyarakat. Oleh karena benefit sosial dalam sekelompok atau
74
beberapa kelompok masyarakat sangat sulit diukur, akhirnya pendekatan efisiensi dan keadilan dari penggunaan dana masyarakat bisa dengan mudah ditinjau dari aspek pengeluarannya saja yaitu dengan cara membandingkan antara pengeluaran pembangunan dan anggaran yang dihabiskan untuk belanja aparatur (pengeluaran rutin). Sebagaimana disebutkan dalam bab dua berkaitan keadilan pembangunan, pemerintah bisa melakukan keadilan pembangunan dengan instrumen yang dimiliki. Instrumen itu adalah distribusi pendapatan pada masyarakat yang membutuhkan atau kegiatan ekonomi yang mendorong tumbuhnya kegiatan ekonomi masyarakat secara luas. Konsep keadilan ini lebih dipertajam lagi dari konsep Umer Chapra dari kaidah yang dibuat para ulama. Dari kaidah tersebut beberapa aspek utama yang dimaksud dengan keadilan adalah: 1. Mendahulukan kepentingan mayoritas masyarakat daripada kepentingan minoritas. 2. Mendahulukan kepentingan publik daripada kepentingan pribadi. 3. Mengorbankan manfaat yang lebih kecil untuk merealisasikan manfaat yang lebih besar. 4. Menghilangkan penderitaan lebih diutamakan daripada meraih manfaat. Berkaitan dengan kebijakan keuangan pemerintah maka pada kajian ini lebih memfokuskan pada cara kedua.
Ini dilihat dari seberapa besar alokasi
keuangan yang berkaitan langsung dengan perkembangan ekonomi masyarakat, dengan membandingkan antara pengeluaran pembangunan dan anggaran yang dihabiskan untuk belanja aparatur (pengeluaran rutin).
75
Pada Gambar 4.3 dan Gambar 4.4, serta Tabel 4.6 sebelumnya terjadi kecenderungan yang menaik terus menerus pada belanja rutin selama tahun 20012003, yaitu 237,99 milyar rupiah pada tahun 2001, 371,72 milyar rupaiah pada tahun 2002 dan 456,31 milyar rupiah pada tahun 2003. Sementara pada Gambar 4.4 tampak jelas juga terjadi kecenderungan yang menurun pada anggaran pembangunan selama era otonomi daerah (2001-2003) dengan rata-rata sebesar 6 persen per tahun. Kecenderungan lainnya yang bisa kita lihat adalah rasio perbandingan antara pengeluaran pemerintah dengan pendapatan sepanjang masa otonomi daerah sebagai berikut: 1. Tahun 2001 Pengelua ran Rutin dibanding pendapatan 23,96 persen, sedangkan Pengeluaran Pembangunan dibanding pendapatan 75,87 persen. 2. Tahun 2002 Pengeluaran Rutin dibanding pendapatan 36,84 persen, sedangkan Pengeluaran Pembangunan dibanding dengan pendapatan 58,96 persen. 3. Tahun 2003 Pengeluaran Rutin dibanding dengan pendapatan 39,79 persen, sedangkan Pengeluaran Pembangunan dibanding pendapatan 57,31 persen. Angka rasio ini apabila diukur dengan dana riil yang terserap dibanding dengan pendapatan pada tahun itu akan jauh lebih kecil lagi yaitu tahun 2001 sebesar 32,81 persen, tahun 2002 sebesar 32,79 persen dan tahun 2003 sebesar 49,54 persen. Dari angka-angka ini terlihat jelas beberapa indikator ketidak adilan sebagai berikut:
76
Pertama, meningkatnya pengeluaran rutin mengakibatkan berkurangnya pengeluaran pembangunan, yang berarti alokasi dana untuk masyarakat menjadi lebih kecil dan menandakan alokasi sumber daya tidak efisien. Kedua, berkurangnya anggaran untuk masyarakat secara langsung mengurangkan faktor produksi untuk peningkatan ekonomi masyarakat. Ketiga, sebagaimana yang disebut dalam kaidah kedua dalam konsep keadilan pada bab dua menyebutkan ” Kepentingan mayoritas yang lebih besar harus diutamakan dari pada kepentingan minoritas yang lebih kecil; kepentingan publik lebih utama dari kepentingan pribadi”. Melihat kecenderungan alokasi anggaran ini jelas terlihat pemerintah lebih mementingkan yang lebih kecil dari pada yang lebih besar atau kepentingan publik. Sisi lain menunjukkan bahwa kelompok masyarakat yang lebih besar itu terdapat kantong-kantong kemiskinan. Ini baru dilihat dari satu sisi alokasi perbandingan belum lagi apabila dilihat dari penggunaan anggaran publik yang berkurang tadi yang betul mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan efektif dalam pelaksanaannya. Keempat, anggaran yang ideal untuk belanja aparatur seharusnya tidak lebih dari 12,5 persen atau 1/8 dari pendapatan daerah. Ini dinisbatkan pada konsep zakat bahwa pengelola tidak boleh mengambil bagiannya melebihi seperdelapan (1/8) dari pendapatan. Tentu saja seperdelapan ini tidak serta merta bisa diterapkan, tapi memerlukan proses secara berangsur yang apabila dilakukan secara sungguh-sungguh akan mendekati angka seperdelapan. Kelima, apabila angka seperdelapan di atas diterapkan berarti dituntut pemerintah bekerja dengan efisien dan profesional serta mengurangi aparatur yang nganggur. Logikanya adalah apabila anggaran untuk publik lebih diutamakan dan
77
pemerintahan berjalan efisien maka akan memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Tumbuhnya
ekonomi
jelas
akan
meningkatnya
pendapatan
pemerintah. Ini akan bergulir terus menerus maka angka seperdelapan tersebut akan tercapai. Keenam , apabila suatu negara atau daerah semakin maju maka salah satu ukuran efisiensi adalah dengan menetapkan belanja aparatur yang lebih efisien. Makin kecil angkanya dari seperdelapan maka pemerintahan tersebut makin efisien. Ini sesuai dengan prioritas pembangunan daerah Kabupaten Bengkalis yang ditetapkan dalam Rencana Strategi Pembangunan Daerah yang terdiri dari empat komponen utama yaitu: 1. Pembangunan Ekonomi Kerakyatan. 2. Pembangunan Sumberdaya Manusia. 3. Pembangunan Infrastruktur. 4. Pembangunan Lingkungan dan Pendukung Lainnya. Berdasarkan keempat komponen di atas kita juga melihat bahwa ada perbedaan yang kontras anta ra yang ditetapkan dengan yang dilaksanakan. Tabel 4.7 dan Tabel 4.8 menyajikan rincian anggaran selama masa otonomi, khususnya yang menyangkut alokasi anggaran per sektor berdasarkan rencana anggaran, dan alokasi anggaran berdasarkan realisasi anggaran Dari anggaran pembangunan yang dialokasikan, sebagian dari anggaran itu juga dialokasikan untuk kegiatan aparatur yang terdapat pada sektor 18 yang jumlahnya dari angka realisasi tahun 2001 sebesar10,24 persen, tahun 2002 berjumlah sebesar 7,38 persen dan tahun 2003 sebesar 6,74 persen.
78
Tabel 4.8. Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkalis Berdasarkan Rencana Anggaran Tahun 2001-2003 No
Uraian
I
Belanja Rutin
1
2001
2002
2003
231.61
22.76%
405.18
28.26%
489.99
34.65%
Belanja Pegawai
86.48
8.50%
146.48
10.22%
170.28
12.04%
2
Belanja Barang
61.31
6.02%
95.30
6.65%
126.24
8.93%
3
Belanja Pemeliharaan
7.27
0.71%
12.26
0.86%
17.26
1.22%
4
Belanja Perjalanan Dinas
7.28
0.72%
10.81
0.75%
12.73
0.90%
5
Belanja Lain-lain
36.31
3.57%
73.70
5.14%
87.00
6.15%
6
Angsuran Pinj. Hutang dan Bunga
0.35
0.03%
0.34
0.02%
1.76
0.12%
7
Ganjaran Subsidi dan Sumbangan
0.10
0.01%
-
0.00%
-
0.00%
8
Peng. Tak Termasuk Bagian Lain
30.22
2.97%
62.74
4.38%
72.55
5.13%
9
Peng. Tak Tersangka
2.28
0.22%
3.54
0.25%
2.17
0.15%
II
Pengeluaran Pembangunan
786.19
77.24%
1,028.50
71.74%
923.94
65.35%
1
Sektor Industri
19.23
1.89%
12.91
0.90%
7.60
0.54%
2
Sektor Pertanian
43.01
4.23%
36.91
2.57%
28.42
2.01%
3
Sektor Sumberdaya Air dan Irigasi
5.96
0.59%
13.98
0.97%
7.37
0.52%
4
Sektor Tenaga Kerja
1.43
0.14%
3.40
0.24%
1.51
0.11%
5
Sektor Perdagangan, Peng. Usaha,keu,kop
35.72
3.51%
31.37
2.19%
59.61
4.22%
6
Sektor Transportasi
186.62
18.34%
361.37
25.21%
332.20
23.49%
7
Sektor Pertambangan dan Energi
23.06
2.27%
43.23
3.01%
81.50
5.76%
8
Sektor Pariwisata dan Telekomunikasi
3.90
0.38%
8.26
0.58%
19.79
1.40%
9
Sektor Pemb. Daerah dan Pemukiman
137.77
13.54%
84.05
5.86%
10.55
0.75%
10
Sektor Ling. Hidup dan Tata Ruang
1.86
0.18%
13.61
0.95%
5.28
0.37%
11
Sektor Pddk, Kebud Nasional, O Raga……
124.49
12.23%
161.16
11.24%
120.70
8.54%
12
Sektor Kependudukan dan KB
0.06
0.01%
0.69
0.05%
0.95
0.07%
13
Sektor Kesehatan, Kesos,wanita,remaja
22.96
2.26%
36.87
2.57%
64.32
4.55%
14
Sektor Perumahan dan Pemukiman
40.91
4.02%
43.45
3.03%
35.65
2.52%
15
Sektor Agama
36.01
3.54%
63.05
4.40%
45.15
3.19%
16
Sektor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
4.72
0.46%
1.73
0.12%
-
0.00%
17
Sektor Hukum
0.42
0.04%
0.60
0.04%
0.31
0.02%
18
Sektor Ap. Pemerintah Dan Pengawasan
95.46
9.38%
109.40
7.63%
95.85
6.78%
19
Sektor Pol. Pen. Kom. Media Masa
2.51
0.25%
1.62
0.11%
6.99
0.49%
20
Sektor Keamana dan Ketertiban Umum
0.08
0.01%
0.85
0.06%
0.21
0.01%
1,017.80
100%
1,433.68
100%
1,413.93
100%
Jumlah
Sumber: APBD kab. Bengkalis
79
Tabel 4.9. Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkalis Berdasarkan Realisasi Anggaran Tahun 2001-2003 No
Uraian
I
Belanja Rutin
1
2001
2002
2003
237.99
39.90%
371.72
32.79%
456.31
35.34%
Belanja Pegawai
99.11
16.61%
121.00
10.67%
149.69
11.59%
2
Belanja Barang
58.21
9.76%
92.71
8.18%
122.88
9.52%
3
Belanja Pemeliharaan
6.66
1.12%
11.88
1.05%
15.83
1.23%
4
Belanja Perjalanan Dinas
6.41
1.07%
10.05
0.89%
11.65
0.90%
5
Belanja Lain-lain
35.41
5.94%
70.31
6.20%
83.57
6.47%
6
Angsuran Pinj. Hutang dan Bunga
0.00
0.00%
0.00
0.00%
0.00
0.00%
7
Bagian Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan
0.06
0.01%
0.00
0.00%
0.00
0.00%
8
Peng. Tak Termasuk Bagian Lain
29.86
5.01%
62.63
5.53%
72.55
5.62%
9
Peng. Tak Tersangka
2.28
0.38%
3.16
0.28%
0.15
0.01%
II
Pengeluaran Pembangunan
358.52
60.10%
761.77
67.21%
834.78
64.66%
1
Sektor Industri
12.83
2.15%
11.08
0.98%
7.43
0.58%
2
Sektor Pertanian
34.75
5.83%
27.98
2.47%
21.47
1.66%
3
Sektor Sumberdaya Air dan Irigasi
1.99
0.33%
8.94
0.79%
7.02
0.54%
4
Sektor Tenaga Kerja
1.16
0.20%
1.71
0.15%
0.56
0.04%
5
Sektor Perdagangan, Peng. Usaha
0.00
0.00%
0.00
0.00%
0.00
0.00%
Daerah, Keu Daerah Dan koperasi
29.07
4.87%
17.97
1.59%
58.55
4.53%
6
Sektor Transportasi
47.13
7.90%
263.34
23.23%
291.37
22.57%
7
Sektor Pertambangan dan Energi
3.06
0.51%
25.23
2.23%
81.40
6.30%
8
Sektor Pariwisata dan Telekomunikasi
1.31
0.22%
7.14
0.63%
19.78
1.53%
9
Sektor Pemb. Daerah dan Pemukiman
61.24
10.27%
82.60
7.29%
10.30
0.80 %
10
Sektor Ling. Hidup dan Tata Ruang
1.85
0.31%
10.04
0.89%
3.39
0.26%
11
Sektor Pddk, Kebud Nasional, Keperc.
0.00
0.00%
0.00
0.00%
0.00
0.00%
Pada Tuhan YME, Pemuda dan O.Raga
63.70
10.68%
110.71
9.77%
106.23
8.23%
12
Sektor Kependudukan dan KB
0.06
0.01%
0.69
0.06%
0.95
0.07%
13
Sektor Kesehatan dan Kesos.
0.00
0.00%
0.00
0.00%
0.00
0.00%
Peranan Wanita anak dan Remaja
8.74
1.46%
31.28
2.76%
61.59
4.77%
14
Sektor Perumahan dan Pemukiman
12.50
2.10%
32.51
2.87%
30.41
2.36%
15
Sektor Agama
10.43
1.75%
42.21
3.72%
39.82
3.08%
16
Sektor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
4.66
0.78%
1.73
0.15%
0.00
0.00%
17
Sektor Hukum
0.42
0.07%
0.59
0.05%
0.31
0.02%
18
Sektor Ap. Pemerintah Dan Pengawasan
61.07
10.24%
83.63
7.38%
87.08
6.74%
19
Sektor Pol. Pen. Kom. Media Masa
2.47
0.41%
1.61
0.14%
6.94
0.54%
20
Sektor Keamanan dan Ketertiban Umum
0.08
0.01%
0.78
0.21
0.02%
596.50
100%
1133.49
1291.10
100%
Jumlah
Sumber: APBD kab. Bengkalis
0.07% 100%
80
Disamping pada belanja rutin pada belanja pembangunan juga terdapat belanja kegiatan aparatur. Berdasarkan alokasi antar sektor maka sektor dengan alokasi yang paling besar yaitu sektor transportasi dan pemukiman. Ini disebabkan karena minimnya Rasio infrastrukur jalan di kabupaten Bengka lis. Oleh karena itu dengan alokasi dana yang yang besar ini, pemerintah harus punya target dalam menuntaskan pembangunan sektor ini, karena mempunyai efek yang cukup besar dalam memacu sektor lainnya. Pada sisi pemukiman yang perlu diperhatikan adalah prioritas pemukiman seperti apa yang langsung bersentuhan dengan masyarakat.
4.3. Analisis Perencanaan Keuangan Daerah Perencanaan keuangan daerah di era otonomi mengacu kepada Peraturan Pemerintah 108 tahun 2000. Dalam Peraturan pemerintah disebutkan kewajiban pemerintah daerah membuat rencana strategi pembangunan daerah.
Rencana
strategi ini disahkan dalam bentuk peraturan daerah. Dalam analisis ini yang dibahas bukan perencanaan dalam artian keseluruhan perencanaan daerah tapi perencanaan anggaran daerah sebagai sala h satu fungsi dari anggaran. Dari sisi anggaran perencanaan bisa dilihat dari aspek historis yaitu dengan melihat perkembangan keuangan daerah masa lalu untuk perencanaan tahun ke tahun, dan juga bisa dilihat dengan memperbandingkan setiap mata anggaran berdasarkan analisis rasio yang telah dibahas diatas, atau berdasarkan prioritas pengalokasian anggaran. Dalam pembahasan masalah perencanaan keuangan ini, penulis tidak melakukan pembahasan secara global tapi sesuai
81
dengan fokus pembahasan pada tulisan ini terbatas melalui analisis keuangan yang ada. Seperti diketahui bahwa analisis keuangan ini bisa digunakan dari berbagai aspek, tergantung sejauh mana kedalaman pembahasannya. Oleh karena itu analisis keuangan juga bisa menjadi alat dalam membuat suatu keputusan untuk masa yang akan datang yaitu dengan data yang ada untuk melakukan proyeksi. Dengan data historis yang dimiliki bisa melihat trend, rasio, perbandingan antara anggaran dan lain -lain. Meskipun demikian kita juga jangan terjebak dengan cara berpikir incremental dalam melakukan perencanaan keuangan. Sebagaimana yang tercantum dalam tinjauan pustaka, fungsi anggaran yang pertama adalah sebagai alat perencanaan, yang dijabarkan kedalam beberapa aspek yaitu: 1. Merumuskan tujuan serta sasaran kebijaka n agar sesuai dengan visi yang ditetapkan. 2. Merencanakan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi serta merencanakan alternatif sumber pembiayaannya. 3. Mengalokasikan dana pada berbagai program dan kegiatan yang telah disusun. 4. Menentukan indikator kinerja dan tingkatan pencapaian serta strategi pencapaian. 5. Menjadi sumber informasi kepada pelaku ekonomi untuk melakukan investasi di suatu daerah. Ini berarti semua komponen anggaran yang ada dalam struktur pembiayaan pemerintah harus mencakup kelima aspek fungsi anggaran di atas. Seandainya satu aspek saja tidak tercapai, maka pengalokasian anggaran gagal
82
berfungsi sebagai alat perencanaan. Oleh karena itu sangat penting sekali untuk melakukan antisipasi lebih dini bila ditemukan permasalahan-permasalahan dalam perencanaan anggaran khususnya yang terkait dengan pos Penerimaan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pengeluaran Rutin dan Pengeluaran Pembangunan. Terkait dengan semua ini, maka penting sekali untuk melakukan analisis pemecahan masa lah yang dihadapi Kabupaten Bengkalis dalam perencanaan anggarannya, yang dapat dijelaskan sebagai berikut. Penerimaan Asli Daerah (PAD). Berdasarkan analisis sebelumnya, kita telah mendapat gambaran tentang kondisi aktual pengelolaan PAD di Kabupaten Bengkalis (lihat Tabel 4.9) yaitu: 1. Adanya under-estimate terhadap PAD karena penetapan tidak berdasarkan potensi yang dimiliki. 2. Kecilnya kontribusi PAD terhadap pendapatan. 3. Mempunyai trend yang fluktuatif sehingga cenderung unpredictable. 4. Rasio yang rendah te rhadap Dana Perimbangan. Merujuk kepada semua indikator di atas, maka alternatif perencanaan yang dianggap mampu mengoptimalkan PAD Kabupaten Bengkalis adalah 1. Mendata kembali PAD yang berdasarkan pada potensi yang dimiliki. 2. Memisahkan PAD yang potensial dengan yang kurang potensial. Apabila ada PAD yang tidak potensial dan memerlukan biaya besar dalam pemungutan, maka bisa saja salah satu pungutan itu dihapuskan, sehingga tidak memberatkan masyarakat. Dan sebaliknya PAD yang potensial tapi belum optimal penagihannya, maka ini bisa menjadi fokus pemungutan.
83
3. Memisahkan PAD mana yang predictable dan unpredictable , sehingga memudahkan untuk melakukan proyeksi terhadap PAD. Dana Perimbangan. Berdasarkan analisis rasio dan kecenderungan dana perimbangan sebelumnya kita memperoleh dua kondisi aktual yaitu (1) terjadi kenaikan yang sangat besar dari sebelum otonomi ke otonomi. Kenaikan ini juga terus terjadi setelah otonomi walaupun dengan persentase yang kecil, dan (2) mempunyai kontribusi yang sangat be sar yaitu diatas 90% setelah otonomi. Untuk lebih mengoptimalkan dana perimbangan ini pemerintah daerah perlu menghitung angka sesungguhnya pendapatan bagi hasil dengan cara: 1. Menghitung produksi migas yang merupakan bagian kabupaten. 2. Menghitung dari kenaikan harga minyak, karena kenaikan harga minyak akan memperbesar bagi hasil untuk daerah. 3. Menghitung dari menguatnya nilai dolar terhadap rupiah karena juga menambah pendapatan dari bagi hasil minyak. Pengeluaran Rutin. Telah ditunjukkan dalam pembahasan sebelumnya bahwa ada beberapa indikator perkembangan pengeluaran rutin yang kita jumpai pada Kabupaten Bengkalis yakni: 1. Terus terjadi kenaikan yang cukup tajam pada belanja ini. 2. Persentase terhadap pendapatan juga terus mengalami kenaikan setelah otonomi yang memberatkan anggaran daerah. 3. Rasio yang sangat besar dibanding anggaran pembangunan. Untuk keadaan obyektif seperti di atas, pemerintah daerah dapat melakukan beberapa perencanaan keuangan daerah seperti:
84
1. Membuat satuan anggaran belanja yang benar sehingga mempunyai ukuran yang jelas dalam menetapkan besarannya. 2. Melakukan efisiensi dengan pengawasan adanya pemborosan dan kebocoran yang selama ini dikenal sangat besar pada pengeluaran ini. 3. Membuat prioritas kerja yang jelas. Pengeluaran Pembangunan. Keadaan perkembangan pos pengeluaran ini sangat kontras bila dibandingkan dengan pengeluaran rutin, dimana ditemukan bahwa (1) ada kecenderungan pengeluaran pembangunan yang terus menurun pada masa otonomi daerah, dan (2) kecilnya anggaran pembangunan yang terserap setiap tahunnya, walaupun angka ini terus mengalami kenaikan. Guna memecahkan permasalahan di atas, maka langkah perencanaan yang bisa dilakukan pemerintah daerah adalah: 1. Membuat prioritas dan komitmen yang jelas terhadap pembangunan daerah. 2. Harus ada keberpihakan yang jelas dari pemerintah kepada masyarakat. 3. Evaluasi program pembangunan secara nyata dan terus menerus. 4. Mengefektifkan pelaksanaan program pembangunan yang ada.
4.4. Konversi Anggaran Antara Sebelum dengan Sesudah Otonomi Daerah Pada kesempatan ini akan dicoba melakukan konversi dari laporan anggaran sebelum otonomi dengan penyusunan anggaran setelah otonomi. Konversi adalah salah satu cara yang dilakukan dengan memindahkan laporan keuangan sebelum otonomi dan setelah otonomi. Walaupun konversi ini tidak selalu tepat, karena input dan proses penyusunan anggaran serta satuan anggaran belanja yang ditetapkan, namun secara umum ini sudah mendekati, dengan
85
asumsi:
Pengeluaran Rutin sama dengan Belanja Aparatur dan Pengeluaran
Pembangunan sama dengan Belanja Publik. Dengan analisis konversi ini akan melengkapi analisis perencanaan keuangan daerah. Ada dua pendekatan konversi yang digunakan dalam studi ini yaitu (1) konversi berdasarkan rencana pendapatan, dan (2) konversi berdasarkan realisasi pendapatan. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan angka yang sesungguhnya terjadi. Seperti yang disebutkan dalam analisis sebelumnya bahwa pendapatan sering direncanakan dengan under-estimate, maka itu perlu dibuat dua konversi tersebut. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.10 dan Tabel 4.11.
Tabel 4.10. Konversi Anggaran Berdasarkan Rencana Pendapatan Uraian 99/00 2000 2001 2002
2003
PENDAPATAN
164.58
125.54
963.96
983.11
1081.04
PENGELUARAN
170.73
131.76
985.13
1006.01
1147.19
Belanja Aparatur
111.85
62.61
231.61
405.18
489.99
Belanja Publik
58.88
69.15
753.52
600.83
657.20
Surplus/defisit
-6.15
-6.22
-21.17
-22.90
-66.15
Sumber: data olahan APBD kab. Bengkalis
Tabel 4.11. Konversi Anggaran Berdasarkan Realisasi Pendapatan Uraian 1999/ 2000 2000 2001 2002 Jumlah Pendapatan
183.90
135.46 993.23
Belanja Aparatur
106.80
69.51
Belanja Publik
58.88
69.15
Jumlah Belanja
165.68
Surplus/Defisit
18.22
2003
1019.00
1146.66
237.99
371.72
456.31
753.52
600.83
657.20
138.66 991.51
972.55
1113.52
46.45
33.15
-3.20
1.72
Sumber: data olahan APBD Bengkalis
Pada konversi pertama yang terjadi adalah anggaran defisit dan konversi kedua terjadi anggaran surplus. Apabila perhitungan pendapatan dibuat dengan tepat maka a kan terjadi surplus anggaran selama masa otonomi daerah.
86
Surplus anggarannya yaitu: 1. Tahun 2001 surplus anggaran sebanyak 1,72 Milyar rupiah. 2. Tahun 2002 surplus anggaran sebanyak 46,45 Milyar rupiah. 3. Tahun 2003 surplus anggaran sebanyak 33,15 milyar rupiah. Bila konversi yang kedua dipakai memperkuat analisis terdahulu tidak efektifnya pemerintah dalam mengelola keuangan daerah. Dengan surplus anggaran selama otonomi ini menunjukan bahwa: 1. Pemerintah masih bisa meningkatkan anggaran pembangunan untuk mendorong tumbuhnya sektor ril. 2. Bila surplus anggaran ini digunakan untuk pembiayaan yang produktif maka akan mampu menaikan PAD tahun berikutnya. 3. Surplus anggaran juga bisa mengakibatkan adanya dana yang nganggur (idle fund) yang menyebabkan ekonomi tidak produktif dan tidak mendorong sektor ril untuk berkembang. Dalam kondisi seperti ini pemerintah dihadapkan pada beberapa pilihan dalam memanfaatkan surplus anggaran yaitu: 1. Bila target adalah peningkatan PAD maka pemerintah bisa melakukan investasi pada sektor produktif seperti penyertaan modal daerah. 2. Bila pemerintah ingin mempercepat pembangunan ekonomi masyarakat maka surplus anggaran bisa digunakan untuk belanja publik. Pada prinsipnya poin pertama juga akan mencapai target nomor dua apabila investasi yang dilakukan produktif yang bisa memperbesar pendapatan tahun berikutnya pada akhirnya juga bisa digunakan untuk belanja publik.
87
Akhirnya dalam perencanaan pembangunan ini perlu adanya komitmen dan kesepakatan pemerintah dalam dua ha l yaitu: (1) membuat suatu sistem insentif yang fair te rhadap aparatur pemerintah yang menjadi bagian dari anggaran, dan (2) pencapaian kinerja tertentu yang berhak mendapatkan rewards yang lebih besar. Dari semua ini dapat kita tarik rumusan bagaimana pemerintah seharusnya menerapkan value for money dalam anggaran sehingga pembangunan bisa berjalan efektif dan efisien.
V. RANCANGAN STRATEGIK MEMBANGUN KEUANGAN DAERAHKABUPATEN BENGKALIS Beranjak dari hasil analisis akan dirancang suatu konsep strategi pembangunan keuangan daerah. Rancangan ini dibuat secara umum yang merupakan strategi rancangan pembangunan daerah, yang kemudian dari rancangan umum akan difokuskan pada rancangan strategis pembangunan keuangan daerah yang terdiri atas 3 Strategi Dasar, yang kemudian diturunkan menjadi 9 Langkah Strategi Pembangunan Daerah dengan 1 Evaluasi dan Kontrol secara terus menerus yang terintegrasi menjadi suatu bagian yang tidak boleh dipisahkan juga bermakna sinergi. Dalam ilmu ekonomi dan manajemen sinergi adalah penggabungan yang mempunyai nilai kelipatan yang melebihi dari hasil hitung. Pemerintah daerah dengan satuan kerja atau unit yang dimiliki harus mampu bersinergi satu sama lainnya. Hal kebalikan yang sering terjadi, pada pemerintahan daerah bukannya sinergi bahkan ada yang menyebabkan saling meniadakan karena lemahnya faktor koordinasi atau ego sektoral. Tentu saja ini mempunyai dampak yang sangat besar terhadap publik dan kemajuan pembangunan daerah. Cara inilah yang harus dirobah secara mengakar, sehingga apabila pemerintahan daerah dikelola secara profesional faktor peniadaan itu diganti dengan faktor sinergi yang mampu mengakselerasi pembangunan daerah. Tiga strategi dasar ini mempunyai langkah-langkah strategi masingmasing yang menjadikannya 9 strategi yang terpadu yang saling berkaitan. Tiga strategi dasar itu digambarkan sebagai berikut: 1) Strategi Keuangan, 2) Strategi SDM dan 3) Strategi Operasional.
89
Op
er
M
as
D
io
S
na
l
Evaluasi dan Kontrol
Pembangunan Partisipatif
Keuangan
Gambar 5.1. Tiga Strategi Dasar dan Evaluasi Hal ini perlu disampaikan secara sepintas, karena pembahasan keuangan daerah tidak pernah terlepas dari pembangunan daerah secara holis tic, dan pembahasan keuangan merupakan salah satu dari sistem pemerintahan daerah. Dari ketiga strategi dasar itu dikerucutkan, dengan mengambil satu strategi yaitu strategi keuangan yang akan menjadi topik bahasan dalam rancangan ini. Alur pikir untuk rancangan ini sebagaimana tercantum dalam Gambar 5.2, merupakan suatu rangkaian yang bermula dari perumusan masalah, kemudian dilakukan analisis untuk mendapat hasil pembahasan, yang bermuara lahirnya sebuah rancangan program ”strategi membangun keuangan daerah”. Rancangan ini dalam pembahasannya tidak lepas dari tiga aspek keuangan daerah yaitu pendapatan, belanja dan pembiayaan. Dari sisi pendapatan bagaimana pemerintah daerah mencari sumber pendapatan untuk membiayai pembangunan yang kadang pendapatan itu ada disekeliling pemerintah.
Tapi
90
pemerintahan yang tidak akuntabel potensi yang dimiliki ditengah masyarakat tidak mampu didayagunakan untuk kepentingan publik. Oleh karena itu kunci utama dalam pembangunan daerah terletak pada pemerintahan yang akuntabe l dan kepercayaan publik pada pemerintahan.
Perumusan PerumusanMasalah Masalah
•Efektivitas •Efektivitas •Kontribusi •Kontribusi anggaran anggaran •Keadilan •Keadilanalokasi alokasi •Perencanaan •Perencanaankeu keu
Analisis Analisisdan danHasil Hasil
22Aspek AspekKajian Kajian •Pendapatan •Pendapatan Ketergantungan Ketergantunganpada pada Bagi Bagihasil hasilyang yangtinggi tinggi •Belanja •Belanja Belanja Belanjayang yang Belum Belumefisien efisiendan dan Optimal Optimal
Rancangan RancanganProgram Program
33Strategi Strategi Pembangunan Pembangunan Keuangan KeuanganDaerah Daerah •Membangun •Membangun sistim sistim •Manfaatkan •Manfaatkandana danaluar luar •Audit •Auditinternal internal
Gambar 5.2. Alur Pikir Rancangan Program Dari aspek belanja bagaimana pemerintah mengalokasikan dana secara tepat yang mampu mengangkat tumbuhnya sektor ril dan usaha -usaha produktif masyarakat.
Ini berarti bahwa sebuah pengeluaran pemerintah (G) harus
dilakukan pada sektor yang mempunyai multiplier effect yang lebih besar dan menghindari pengeluaran (G) yang sia-sia (wastefull spending). Pada sisi pembiayaan yang dituntut disini adalah kreativitas pemerintah, apabila melakukan anggaran surplus ataupun defisit. Sebagaimana dalam analisis sebelumnya dalam konsep value for money bukan hanya sebagai fungsi dalam anggaran tapi adalah kelipatan dari pada uang yang dikeluarkan.
91
Keuangan dalam pemerintahan daerah ibaratkan darah dalam tubuh manusia. Apabila tubuh pemerintahan tersebut kekurangan darah, maka tubuh tidak akan bisa tumbuh dengan baik dan bahkan seperti manusia yang berjalan dengan loyo tanpa semangat
karena kekurangan darah.
Oleh karena itu
pemerintah daerah yang kekurangan dana juga akan mengalami pembangunan yang loyo yang tidak akan mampu meningkatkan daya saing daerah dan kemajuan daerah. Demikian juga walupun tubuh itu cukup darah tapi bila selalu terjadi pendarahan kar ena pengelolaan keuangan yang tidak optimal dan akuntabel serta banyaknya terjadi kebocoran dan korupsi, juga menyebabkan terjadinya kekurangan darah pembangunan daerah. Oleh karena itu pemerintahan daerah yang baik di era otonomi ialah. 1. Apabila daerah mempunyai inovasi bagaimana mencari sumber dana untuk pembiayaan pembangunan daerah.
Kepala daerah dimasa otonomi harus
merubah pola fikir yang selama ini mengalokasikan sumber keuangan yang ada, maka sekarang adalah bagaimana mencari sumber keuangan secara cerdas tanpa membebani masyarakat dan mengalokasikan keuangan dengan efektif dan adil sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 2. Bisa mengelola keuangan daerah dengan cara yang terukur dan bisa dipertanggungjawabkan kepada publik. 3. Kompensasi yang diterima sesuai dengan kinerja yang diberikan. Seorang kepala daerah ”seperti CEO”(chief excecutive officer) dalam ”perusahaan” besar yang bernama daerah. Ia tidak boleh menetapkan kompensasi untuk dirinya sendiri dengan sesuka hati tanpa ukuran keberhasilan kinerja yang jelas.
92
4. Oleh karena itu tindakan korup dengan segala macam cara adalah perbuatan haram yang harus dijauhi karena akan berpengaruh terhadap kesejahteran seluruh masyarakat yang ada di daerah. Korupsi disamping mengurangi faktor G juga akan meningkatkan ICOR (incremental capital output rasio). Kabupaten Bengkalis mempunyai ICOR 3,7 (Renstra Kabupaten Bengkalis) menunjukkan bahwa untuk meningkat 1 rupiah PDRB memerlukan investasi sebesar 3,7 rupiah. Berarti semakin besar wastefull spending aka n makin
dit Au
Inv es tor
memperbesar ICOR.
Keuangan
Sistim Keuangan
Gambar 5.3. Strategi Keuangan Daerah Strategi keuangan mempunyai tiga kaki yang saling mengokohkan. Dalam pembahasan strategi keuangan daerah ini tidak terlepas dari tiga tinjauan yaitu pendapatan, belanja dan pembiayaan yang akan menjadi yang akan menjadi pembahasan berikutnya.
93
Strategi ke 1: Membangun Sistem Keuangan Daerah Dalam mengoptimalkan keuangan daerah, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah adalah: 1. Pengelolaan keuangan yang harus bertumpu pada kepentingan publik. Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya porsi pengalokasian anggaran
untuk
kepentingan publik, tapi juga terlihat pada besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan keuangan daerah. 2. Kejelasan misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan anggaran daerah pada khususnya. 3. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran stake-holder terkait dalam pengelolaan anggaran. 4. Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi dan pengelolaan uang berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi dan akuntabilitas. 5. Kejelasan tentang biaya aparatur termasuk kedudukan keuangan DPRD, Bupati, pejabat PNS Daerah, baik rasio maupun dasar pertimbangannya. 6. Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja dan anggaran multi tahun. 7. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih professional. 8. Prinsip akuntansi pemerintahan daerah, laporan keuangan, peran DPRD dan akuntan publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran dan transparansi informasi anggaran kepada publik.
94
9. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi dan peran anggota masyarakat guna mengembangkan profesionalisme aparat pemerintah daerah. 10. Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah daerah terhadap penyebarluasan informasi sehingga memudahkan pelaporan dan pengendalian, sehingga mempermudah mendapatkan informasi. 11. Sistem keuangan yang on-line yang bisa diakses semua stake-holder sehingga partisipasi, koordinasi dan pengawasan lebih mudah (baik oleh lembaga resmi maupun oleh masyarakat). 12. Menggunakan teknologi informatika dalam siste m akuntansi keuangan daerah sehingga sangat memudahkan dalam pengoperasian dan pengontrolan. 13. Menggunakan jasa perbankan yang ada untuk mengintermediasi antara wajib pajak dengan pemerintah, sehingga lebih mudah melakukan kontrol pendapatan setiap saat, serta membangun kepercayaan wajib pajak akan sampainya uang yang mereka serahkan ke kas daerah. Ini juga akan merangsang
naiknya
partisipasi
wajib
pajak
untuk
melaksanakan
kewajibannya. 14. Sistem keuangan daerah yang memberi ruang semua stake-holder dalam menetapkan anggaran (Pemerintahan, Swasta dan Masyarakat) sehingga penentuan keuangan berdasarkan kebutuhan yang realistis tanpa hanya ditentukan sepihak oleh Eksekutif dan Legislatif. Dalam pelaksanaannya juga memerlukan kontrol yang saling membangun antara semua stake-holder yang bisa dipertanggungjawabkan (akuntabilitas).
95
Pengelolaan keuangan daerah sebagai suatu sistem berarti mempunyai keterkaitan satu sama lainnya yang tidak oleh terpisahkan. Ini juga berarti penetapan keuangan daerah harus dipandang secara holistic yang melibatkan semua kepentingan bukan hanya kepentingan sepihak yang berkuasa. Strategi ke 2: Mengoptimalkan Investor Lokal, Baru Keluar Sering kali pemerintah mene ropong pembangunan dari satu sudut pemerintah, sehingga terlupakan besarnya pote nsi yang ada di masyarakat termasuk potensi pendanaan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Begitu juga ketika pemerintah memandang investasi dalam artian hanya investor yang mampu melakukan investasi dalam jumlah yang besar. Mind-trap ini membawa pola pemikiran pemerintah hanya pada satu sisi pengembangan daerah. Contoh ringan mind-trap cara berfikir tentang investasi, dengan menawarkan investasi pada pihak luar dengan menunju kkan potensi daerah yang dimiliki, padahal investasi lokal apabila pemerintah jeli memandangnya akan bisa datang lebih besar dan perputaran pasar yang lebih cepat. Ini sangat tergantung pada beberapa hal: 1. Memudahkan pelayanan. Sehingga memberikan rangsangan masyarakat lokal untuk berinvestasi. Pelayanan ini bisa berupa, memberantas para calo PNS dalam pengurusan surat menyurat, terutama surat-menyurat yang berkaitan dengan izin usaha dengan serentetan peraturan lainnya. Bahkan bila perlu menggratiskan segala macam izin usaha kecuali yang berkaitan dengan retribusi dan pajak daerah. Sehingga muncul sebuah istilah, Belum berusaha saja telah mengeluarkan modal, apalagi berusaha akan banyak lagi modal yang dikeluarkan dengan segala macam pungutan liar terhadap pengusaha.
96
2. Persyaratan yang tidak berbelit-belit sehingga merangsang orang untuk berinvestasi di daerah. 3. Menyebarkan informasi kemudahan investasi dan usaha, sehingga pemerintah yang selama ini bersifat menunggu harus merubah sistem dengan jemput bola yang merangsang masarakat untuk berinvestasi dan berusaha. Apabila investasi dan usaha daerah hidup secara langsung maupun tidak langsung akan memberikan kontribusi yang besar untuk pendapatan daerah dari pajak daerah dan retribusi daerah. Pelaksanaan yang sering muncul selama ini pemerintah bukannya menghidupkan investasi dan usaha di daerah tapi lebih sering sebagai penghambat berkembangnya usaha -usaha produktif masarakat dengan perizinan yang berbelit dan berbagai macam pungutan liar (kanibalisme ekonomi). Aspek sosial lain berdampak positif dengan cara ini ialah: 1. Menghindari kecemburuan sosial antara pendatang dengan penduduk lokal seperti yang terjadi selama otonomi ini di kabupaten Bengkalis, karena kesenjangan sosial ekonomi. 2. Masyarakat akan berlomba pada usaha yang produktif. Strategi ke 3: Audit Kinerja Internal Audit internal in i terutama diperankan oleh Banwasda menjadi suatu keharusan oleh pemerintah daerah sehingga pemerintah bisa mengukur dan meneropong kemajuan yang telah dilalui. Ada beberapa hal positif yang bisa dilakukan berkaitan denga pengawasan internal ini: 1. Merubah visi Banwasda yang selama ini bekerja lebih banyak atas pesanan dan perintah Bupati dengan bekerja sesuai dengan visi dan target yang dimiliki.
97
2. Memiliki tenaga auditor dan akuntan yang profesional untuk mendukung pekerjaan pengendalian keuangan pemerintah daerah.
Bila belum punya
tenaga profesional, bisa saja mengambil/bekerjasama dengan tenaga profesional dari luar. 3. Melakukan review terhadap siste m pengendalian internal dan sistem akuntansi pemerintahan
daerah,
sehingga
tercapainya
akuntabilitas
pengelolaa n
keuangan daerah. 4. Mempunyai standar keberhasilan sebagaimana sistim anggaran berbasis kinerja, sehingga pengawasan pembangunan, dapat terukur sesuai dengan indikator kinerja. 5. Menertibkan adaministrasi pemerintahan daerah sampai level terbawah (kelurahan), sehingga memudahkan untuk melakukan pengontrolan terutama pengontrolan keuangan dan administrasi. 6. Membuat aturan main yang jelas dan tegas terutama segi penerimaan dan pengeluaran. Termasuk penerimaan yang langsung berkaitan dengan masyarakat sehingga tidak menambah beban ekonomi masyarakat (high cost economy). 7. Melakukan pengawasan jalur keluar masuk dana termasuk didalamnya sistem penerimaan daerah yang seperti terabaikan selama ini dari pengawasan internal. Tentu dengan efektifnya audit internal, disamping kemampuan meningkatkan kinerja pemerintah juga mengantisipasi aparat pemerintah yang korup yang telah merusak tatanan dan sendi kehidupan bernegara.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 1.
Secara umum pengelolaan keuangan daerah di kabupaten Bengkalis kurang berjalan efektif. Ini dilihat dari beberapa indikator. Pertama, pendapatan dibuat dengan kurang perencanaan dan tanpa data potensi, sehingga pendapatan under-estimate yang berdampak lebih jauh pada alokasi penggunaan anggaran yang kurang sesuai dan terjadinya idle-fund. Kedua, pengeluaran rutin yang melebihi target juga menunjukkan pemerintah tidak mampu melakukan penghematan anggara tahun itu. Ketiga, Pengeluaran Pembangunan yang jauh di bawah target menyebabkan perputaran pembangunan ekonomi menjadi sangat lambat.
2.
Kecilnya kontribusi PAD terhadap pendapatan dan besarnya kontribusi anggaran perimbangan pada pendapatan menunjukkan tingginya ketergantungan daerah terhadap pendapatan bagi hasil. Meningkatnya pengeluaran rutin dan cenderung menurunnya
pengeluaran
pembangunan
makin
memperkecil
kontribusi
pembangunan daerah terhadap pembangunan ekonomi masyarakat secara langsung. 3.
Pada sisi pengeluaran cenderung menaiknya anggaran rutin dan semakin mengecilnya pengeluaran untuk pembangunan/publik, secara makro tidak mampu mendorong percepatan pembangunan ekonomi daerah. Ini bertentangan dengan citacita otonomi, yaitu ingin terjadinya percepatan pembangunan daerah dan mendorong pembangunan nasional.
Secara fungsi pemerintah ini juga menggambarkan
gagalnya pemerintah memberikan keadilan dalam pembangunan dan keberpihakan kepada publik.
99 4.
Dengan sistem anggaran defisit, pemerintah mengoptimalkan perencanaan dalam tiga hal. Pertama, bagaimana pemerintah mengoptimalkan sumberdaya internal yang dimiliki untuk mengurangi ketergantungan pada dana perimbangan dengan melakukan pemetaan dan penataan pendapatan daerah. Kedua, pemerintah harus menyusun prioritas pembangunan daerah sehingga jelas pengalokasiannya sesuai konsep value for money. Ketiga, prinsip anggaran defisit (maupun surplus) pemerintah untuk inovatif agar setiap pos pengeluaran mampu mendorong kegiatan ekonomi produktif. Dengan anggaran defisit pemerintah bisa melakukan beberapa langkah alternatif seperti mengoptimalkan dana pihak ketiga (bank atau investor) untuk mempercepat perkembangan ekonomi daerah. Defisit ini dilakukan pada kondisi transisi untuk keluar dari krisis setelah perekonomian membaik, harus menjalankan anggaran berimbang.
5.
Sistem keuangan yang integral merupakan alternatif bagi pemerintah untuk mengoptimalkan pendapatan, belanja dan pembiayaan pembangunan daerah. Dengan sistem ini setiap pendapatan dan pengeluaran akan terukur, yang pada akhirnya menciptakan pemerintahan yang akuntabel dan transparan.
6.2. Saran 1. Sudah saatnya pemerintah membangun sistem keuangan daerah yang online mulai dari penerimaan, belanja dan pembiayaan sehingga akan memudah melakukan evaluasi setiap pencapaian target dan melakukan perbaikan jika timbul kendala dalam tahun berjalan.
100 2. Menerapkan anggaran yang partisipatif dan transparan, sehingga semua stakeholder bisa mengakses informasi anggaran sekaligus memberikan masukan bagi pemerintah dalam mengelola keuangan daerah. 3. Membuat sistem informasi anggaran terpadu yang bisa mengoptimalkan potensi internal yang dimiliki dan merangsang investasi luar untuk masuk ke daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Bastian, I. 2003. Audit Sektor Publik. Visi Global Media. Jakarta. Bator, W. (1997), ‘The anatomy of market failure’, Quarterly Journal of Economics 72, 351 - 379 Booth, A. (1989). Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia. Dalam Nick Devas, Dkk. (1989). Keuangan Pemerintah Daerah Di Indonesia. Penerjemah Masri Maris. Penerbit UI-Press. Chapra U. M. 2001. The Future of Economics: An Islamic Perspective Lanscape baru perekonomian masa depan. Penterjemah, Amdiar Amir et al Editor. SEBI. Terjemahan dari, The Future of Ec onomics: An Islamic Perspective. Jakarta. Devas, N. (1989). Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia Sebuah Tinjauan Umum. Penerbit. UI-Press. Jakarta. Gede, E.P. 2005. Penyusunan dan Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah; Penerbit Andi. Yogyakarta. Gemmell, N, (1994). Editor. Ilmu Ekonomi Pembangunan Beberapa Survey. LP3ES. Jakarta. Goodpaster, G. dan Ray, D. (2000), "Trade and Citizenship Barriers and Decentralization," The Indonesian Quarterly, Vol. 28, No. 3 (Third Quarter), pp. 266-284. Ihyaul Ulum. 2005. Akuntansi sektor Publik Sebuah Pengantar. UMM press. Malang Jhingan, M.L. 2004. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Rajawali Pers; Jakarta. Karim, A. A. 2002. Ekonomi Islam Suatu Kajian Ekonomi Makro. International Instutute of Islamic Thought. Jakarta.
The
Kristiadi, J.B. (1985). Masalah Sekitar Peningkatan Pendapatan Daerah. Prisma. No. 12. LP3ES. Jakarta. Kunarjo. 2002. Perencanaan dan Pengendalian Program Pembangunan. UI press. Jakarta Lembaga Adminis trasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. 2000. Pedoman Penyususunan Pelaporan akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. LAN. Jakarta
102
Mangkoesoebroto. G. 1999. Ekonomi Publik. Edisi 3. BPFE. Yogyakarta. Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Penerbit Andi. Yogyakarta Mubyarto.2000. Membangun sistim ekonomi. Jakarta. Musgrave, A. Richard dan Musgrave, B. Peggy. (1993). Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek. Edisi Kelima. Penerbit Erlangga. Jaka rta. Peraturan Daerah Kabupeten Bengkalis Nomor 1 Tahun 2002 tentang Rencana strategi pembangunan daerah kabupaten Bengkalis tahun 2001 – 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 2000. tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan daerah dalam Rangka Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 2000. tentang Tata Cara Pertangungjawaban Kepala Daerah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2001, tentang dana perimbangan. Peraturan Pemerinta h Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2001, tentang pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan daerah. Sidik, M. 2002. Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah. Ma kalah disampaikan dalam Acara Orasi Ilmiah dengan Thema “Strategi Meningkatkan Kemampuan Keuangan daerah Melalui Penggalian Potensi Daerah Dalam Rangka Otonomi Daerah” Acara Wisuda XXI STIA LAN Bandung Tahun Akademik 2001/2002 - di Bandung. Simanjunta k, R.A. Pungli, Ekonomi Biaya Tinggi dan Otonomi Daerah. Kompas 19 Agustus 2002 Soeharto, Imam. 1999. Manajemen Proyek. Erlangga. Jakarta. Suharyo, W.I. 2000. Voices From The Regions:A Participatory Assesment of The New Decentralization Laws in Indonesian. Journal of United Nation Support Facilities For Indonesian Recovery (UNSFIR). Jakarta Suparmoko. 2002. Ekonomi Publik untuk keuangan dan pembangunan daerah. Penerbit Andi. Yogyakarta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003, Tentang Keuangan Negara.
103
Undang-Undang Republik Indonesia Pemerintahan Daerah.
Nomor
22
Tahun
1999,
Tentang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999, Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat Dan Daerah.
Lampiran 1
RINGKASAN APBD KABUPATEN BENGKALIS TAHUN 1998/1999 No A I II
III
IV
V
B I 1 2 3 4 5 6 7 8 9 II 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 III
Uraian Pendapatan Sisa Perhitungan Ang. Th Lalu Pendapatan Asli Daerah a. Pajak Daerah b. Retribusi Dearah c. Bagian Laba BUMD d. Penerimaan Lain-lain Pendapatan Yang Berasal Dari Pemberian Pemerintaha dan atau Instansi yang Lebih Tinggi (Dana Perimbangan) a. Bagi Hasil Pajak b. Bagi Hasil Bukan Pajak / SDA c. Subsidi Daerah Otonom / DAU d. Bantuan Pembangunan / DAK Bagian Pinjaman Pemda a. Pinjamam dari Pemerintah Pusat b. Pinjaman dari Lembaga Keuangan Bagian Penerimaan lain yang Sah a. Penerimaan dari Pemerintah b. Penerimaan dari Propinsi c. Penerimaan dari Kab/Kota lain d. Penerimaan Lain-lannya Jumlah Bagian Urusan Kas dan Perhitungan
1998/1999 Rencana
Realisasi
5,052,533,683.59 16,987,096,608.46 8,075,000,000.00 1,909,500,000.00 68,652,395.00 6,933,944,213.46
5,052,533,683.60 18,632,254,482.31 8,964,203,694.63 1,675,134,699.55 274,721,210.00 7,718,194,878.13
125,311,182,036.69 25,808,000,000.00 2,580,000,000.00 44,630,788,000.00 52,292,394,036.69 2,831,396,000.00
135,138,886,267.95 29,131,807,800.00 4,323,189,847.26 51,437,354,389.00 50,246,534,231.69 1,951,764,039.00
2,831,396,000.00
1,951,764,039.00
150,182,208,328.74 7,836,356,142.00
160,775,438,472.86 9,517,795,349.00
Pengeluaran Belanja Rutin 66,691,987,525.05 71,135,102,746.00 Belanja Pegawai 41,967,088,000.00 47,429,502,200.00 Belanja Barang 9,539,581,700.00 9,064,756,535.00 Belanja Pemeliharaan 1,635,996,500.00 1,604,203,693.00 Belanja Perjalanan Dinas 1,551,200,000.00 1,476,990,150.00 Belanja Lain-lain 5,375,516,420.00 5,868,101,450.00 Angsuran Pinj. Hutang dan Bunga 30,000,000.00 30,000,000.00 Ganjaran Subsidi dan Sumbangan/Bagian Bagi Hasil 2,114,830,000.00 dan Bantuan Keuangan 1,343,248,000.00 Peng. Tak Termasuk Bagian Lain 3,917,791,350.00 3,913,006,538.00 Peng. Tak Tersangka 559,983,555.05 405,294,180.00 Pengeluaran Pembangunan 83,490,220,803.69 77,905,777,806.17 Sektor Industri 577,085,000.00 573,451,000.00 Sektor Pertanian 9,092,537,200.00 7,269,713,076.48 Sektor Sumberdaya Air dan Irigasi 1,342,126,000.00 1,320,233,500.00 Sektor Tenaga Kerja 170,060,000.00 170,060,000.00 Sektor Perdagangan, Peng. Usaha Daerah, Keu Daerah Dan koperasi 969,592,395.00 956,462,395.00 Sektor Transportasi 16,278,962,390.00 15,717,509,440.00 Sektor Pertambangan dan Energi 438,500,000.00 437,632,000.00 Sektor Pariwisata dan Telekomunikasi 110,200,000.00 42,500,000.00 Sektor Pemb. Daerah dan Pemukiman 22,650,424,000.00 22,108,550,457.00 Sektor Ling. Hidup dan Tata Ruang 715,768,000.00 715,346,000.00 Sektor Pddk, Kebud Nasional, Keperc. Pada Tuhan YME, Pemuda dan O.Raga 11,040,741,100.00 10,872,641,600.00 Sektor Kependudukan dan KB 191,796,250.00 190,586,600.00 Sektor Kesehatan dan Kesos. Peranan Wanita anak dan Remaja 2,323,666,000.00 2,320,215,000.00 Sektor Perumahan dan Pemukiman 10,226,279,887.00 9,244,486,806.00 Sektor Agama 1,004,450,000.00 761,885,000.00 Sektor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 326,250,000.00 266,181,000.00 Sektor Hukum 97,500,000.00 97,500,000.00 Sektor Ap. Pemerintah Dan Pengawasan 4,444,662,945.00 3,351,254,295.00 Sektor Pol. Pen. Kom. Media Masa 239,619,636.69 239,569,636.69 Sektor Keamana dan Ketertiban Umum 100,000,000.00 100,000,000.00 Subsidi Pemb. Kepada Dearah Bawahan 1,150,000,000.00 1,150,000,000.00 Jumlah 150,182,208,328.74 149,040,880,552.17 Bagian Urusan Kas dan Perhitungan 7,836,356,142.00 9,517,795,349.00
Sumber: APBD Kab. Bengkalis
Lampiran 2
RINGKASAN APBD KAB. BENGKALIS TAHUN 1999/2000 No A I II
III
IV
V
B I 1 2 3 4 5 6 7 8 9 II 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 III
Uraian Pendapatan Sisa Perhitungan Ang. Th Lalu Pendapatan Asli Daerah a. Pajak Daerah b. Retribusi Dearah c. Bagian Laba BUMD d. Penerimaan Lain-lain Pendapatan Yang Berasal Dari Pemberian Pemerintaha dan atau Instansi yang Lebih Tinggi (Dana Perimbangan) a. Bagi Hasil Pajak b. Bagi Hasil Bukan Pajak / SDA c. Subsidi Daerah Otonom / DAU d. Bantuan Pembangunan / DAK Bagian Pinjaman Pemda a. Pinjamam dari Pemerintah Pusat b. Pinjaman dari Lembaga Keuangan Bagian Penerimaan lain yang Sah a. Penerimaan dari Pemerintah b. Penerimaan dari Propinsi c. Penerimaan dari Kab/Kota lain d. Penerimaan Lain-lannya Jumlah Bagian Urusan Kas dan Perhitungan
1999/2000 Rencana 11,734,557,920.69 16,556,509,944.78 10,470,000,000.00 1,622,000,000.00 1,238,161,944.78 3,226,348,000.00
148,026,273,445.23 59,056,379,773.39 2,895,397,191.84 71,433,982,480.00 14,640,514,000.00
176,317,341,310.70 11,926,871,523.00
Pengeluaran Belanja Rutin 111,850,483,250.00 Belanja Pegawai 70,250,507,480.00 Belanja Barang 14,936,663,000.00 Belanja Pemeliharaan 2,965,649,250.00 Belanja Perjalanan Dinas 2,205,000,000.00 Belanja Lain-lain 9,255,655,620.00 Angsuran Pinj. Hutang dan Bunga 30,000,000.00 Ganjaran Subsidi dan Sumbangan/Bagian Bagi Hasil dan 3,158,750,000.00 Bantuan Keuangan Peng. Tak Termasuk Bagian Lain 7,715,925,500.00 Peng. Tak Tersangka 1,332,332,400.00 Pengeluaran Pembangunan 64,466,858,059.85 Sektor Industri 861,791,000.00 Sektor Pertanian 9,294,567,500.00 Sektor Sumberdaya Air dan Irigasi 545,100,000.00 Sektor Tenaga Kerja 153,000,000.00 Sektor Perdagangan, Peng. Usaha Daerah, Keu Daerah Dan koperasi 3,498,156,974.00 Sektor Transportasi 19,627,731,500.00 Sektor Pertambangan dan Energi 532,250,000.00 Sektor Pariwisata dan Telekomunikasi 67,500,000.00 Sektor Pemb. Daerah dan Pemukiman 4,448,552,522.85 Sektor Ling. Hidup dan Tata Ruang 663,690,000.00 Sektor Pddk, Kebud Nasional, Keperc. Pada Tuhan YME, Pemuda dan O.Raga 7,715,566,050.00 Sektor Kependudukan dan KB 74,587,800.00 Sektor Kesehatan dan Kesos. Peranan Wanita anak dan Remaja 1,885,058,000.00 Sektor Perumahan dan Pemukiman 4,462,833,013.00 Sektor Agama 2,262,800,000.00 Sektor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 1,014,237,500.00 Sektor Hukum 82,000,000.00 Sektor Ap. Pemerintah Dan Pengawasan 6,885,836,200.00 Sektor Pol. Pen. Kom. Media Masa 124,900,000.00 Sektor Keamana dan Ketertiban Umum 266,700,000.00 Subsidi Pemb. Kepada Dearah Bawahan Jumlah 176,317,341,309.85 Bagian Urusan Kas dan Perhitungan 11,926,871,523.00
Sumber: APBD Kab. Bengkalis
Lampiran 3
RINGKASAN APBD KABUPATEN BENGKALIS TAHUN 2000 No A I II
III
IV
V
B I 1 2 3 4 5 6 7 8 9 II 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 III
Uraian Pendapatan Sisa Perhitungan Ang. Th Lalu Pendapatan Asli Daerah a. Pajak Daerah b. Retribusi Dearah c. Bagian Laba BUMD d. Penerimaan Lain-lain Pendapatan Yang Berasal Dari Pemberian Pemerintaha dan atau Instansi yang Lebih Tinggi (Dana Perimbangan) a. Bagi Hasil Pajak b. Bagi Hasil Bukan Pajak / SDA c. Subsidi Daerah Otonom / DAU d. Bantuan Pembangunan / DAK Bagian Pinjaman Pemda a. Pinjamam dari Pemerintah Pusat b. Pinjaman dari Lembaga Keuangan Bagian Penerimaan lain yang Sah a. Penerimaan dari Pemerintah b. Penerimaan dari Propinsi c. Penerimaan dari Kab/Kota lain d. Penerimaan Lain-lannya Jumlah Bagian Urusan Kas dan Perhitungan
2000 Rencana
Realisasi
14,753,050,348.17 7,474,683,509.16 3,366,000,000.00 238,100,000.00 794,456,013.60 3,076,127,495.56
32,903,043,726.59 18,511,549,871.55 15,182,847,176.25 800,021,987.90 972,283,248.00 1,556,397,459.40
118,068,029,000.00 42,866,828,000.00 510,000,000.00 27,396,590,000.00 47,294,611,000.00
116,949,931,766.31 33,074,707,233.81 1,296,414,828.50 35,743,957,037.00 46,834,852,667.00
140,295,762,857.33 1,810,148,600.00
168,364,525,364.45 2,589,403,653.00
Pengeluaran Belanja Rutin 62,612,116,782.71 69,509,359,927.00 Belanja Pegawai 26,341,651,000.00 34,586,443,704.00 Belanja Barang 14,092,910,000.00 13,659,464,096.00 Belanja Pemeliharaan 1,906,650,000.00 1,879,186,452.00 Belanja Perjalanan Dinas 1,727,455,000.00 1,642,101,200.00 Belanja Lain-lain 5,503,016,375.71 5,246,053,466.00 Angsuran Pinj. Hutang dan Bunga Ganjaran Subsidi dan Sumbangan/Bagian Bagi Hasil dan Bantuan 4,991,546,407.00 Keuangan 4,565,720,000.00 Peng. Tak Termasuk Bagian Lain 7,773,888,000.00 7,688,532,130.00 Peng. Tak Tersangka 275,000,000.00 241,858,879.00 Pengeluaran Pembangunan 77,683,646,074.46 45,016,492,447.69 Sektor Industri 1,380,145,000.00 1,356,920,000.00 Sektor Pertanian 5,165,004,500.00 5,072,633,850.00 Sektor Sumberdaya Air dan Irigasi 733,000,000.00 727,505,000.00 Sektor Tenaga Kerja 90,301,000.00 90,301,000.00 Sektor Perdagangan, Peng. Usaha Daerah, Keu Daerah Dan koperasi 909,380,000.00 878,196,000.00 Sektor Transportasi 26,334,074,848.61 9,595,488,414.69 Sektor Pertambangan dan Energi 406,500,000.00 404,525,000.00 Sektor Pariwisata dan Telekomunikasi 646,453,000.00 57,950,000.00 Sektor Pemb. Daerah dan Pemukiman 4,470,268,764.85 3,249,053,211.00 Sektor Ling. Hidup dan Tata Ruang 780,000,000.00 775,058,000.00 Sektor Pddk, Kebud Nasional, Keperc. Pada Tuhan YME, Pemuda dan O.Raga 7,460,223,500.00 4,309,280,350.00 Sektor Kependudukan dan KB 26,596,250.00 26,596,250.00 Sektor Kesehatan dan Kesos. Peranan Wanita anak dan Remaja 1,324,085,000.00 1,320,662,110.00 Sektor Perumahan dan Pemukiman 19,016,801,761.00 9,686,398,912.00 Sektor Agama 1,679,968,950.00 1,079,805,950.00 Sektor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 821,661,500.00 818,077,500.00 Sektor Hukum 66,000,000.00 66,000,000.00 Sektor Ap. Pemerintah Dan Pengawasan 6,194,182,000.00 5,323,253,400.00 Sektor Pol. Pen. Kom. Media Masa 117,000,000.00 116,787,500.00 Sektor Keamana dan Ketertiban Umum 62,000,000.00 62,000,000.00 Subsidi Pemb. Kepada Dearah Bawahan Jumlah 140,295,762,857.17 114,525,852,374.69 Bagian Urusan Kas dan Perhitungan 1,810,148,600.00 2,589,403,653.00
Sumber: APBD Kab. Bengkalis
Lampiran 4
RINGKASAN APBD KABUPATEN BENGKALIS TAHUN 2001 No A I II
Uraian
2001 Rencana
Pendapatan Sisa Perhitungan Ang. Th Lalu 53,838,672,989.76 Pendapatan Asli Daerah 20,509,513,031.00 a. Pajak Daerah 5,642,000,000.00 b. Retribusi Dearah 674,600,000.00 c. Bagian Laba BUMD 642,913,031.00 d. Penerimaan Lain-lain 13,550,000,000.00 III Pendapatan Yang Berasal Dari Pemberian Pemerintaha dan atau Instansi yang Lebih Tinggi (Dana Perimbangan) 943,451,683,547.00 a. Bagi Hasil Pajak 70,906,397,333.00 b. Bagi Hasil Bukan Pajak / SDA 665,827,269,214.00 c. Subsidi Daerah Otonom / DAU 206,718,017,000.00 d. Bantuan Pembangunan / DAK IV Bagian Pinjaman Pemda a. Pinjamam dari Pemerintah Pusat b. Pinjaman dari Lembaga Keuangan V Bagian Penerimaan lain yang Sah a. Penerimaan dari Pemerintah b. Penerimaan dari Propinsi c. Penerimaan dari Kab/Kota lain d. Penerimaan Lain-lannya Jumlah 1,017,799,869,567.76 Bagian Urusan Kas dan Perhitungan 6,639,044,310.00 B Pengeluaran I Belanja Rutin 231,609,610,256.95 1 Belanja Pegawai 86,481,065,539.00 2 Belanja Barang 61,305,778,000.00 3 Belanja Pemeliharaan 7,273,238,000.00 4 Belanja Perjalanan Dinas 7,281,450,000.00 5 Belanja Lain-lain 36,312,730,913.00 6 Angsuran Pinj. Hutang dan Bunga 352,087,451.00 Ganjaran Subsidi dan Sumbangan/Bagian Bagi Hasil dan Bantuan100,000,000.00 Keuangan 7 8 Peng. Tak Termasuk Bagian Lain 30,219,754,000.00 9 Peng. Tak Tersangka 2,283,506,353.95 II Pengeluaran Pembangunan 786,190,258,310.81 1 Sektor Industri 19,232,404,000.00 2 Sektor Pertanian 43,007,083,500.00 3 Sektor Sumberdaya Air dan Irigasi 5,963,018,000.00 4 Sektor Tenaga Kerja 1,429,231,000.00 5 Sektor Perdagangan, Peng. Usaha Daerah, Keu Daerah Dan koperasi 35,724,583,436.00 6 Sektor Transportasi 186,620,219,085.81 7 Sektor Pertambangan dan Energi 23,063,550,000.00 8 Sektor Pariwisata dan Telekomunikasi 3,895,937,000.00 9 Sektor Pemb. Daerah dan Pemukiman 137,769,271,479.00 10 Sektor Ling. Hidup dan Tata Ruang 1,857,400,000.00 11 Sektor Pddk, Kebud Nasional, Keperc. Pada Tuhan YME, Pemuda dan O.Raga 124,489,830,150.00 12 Sektor Kependudukan dan KB 62,000,000.00 13 Sektor Kesehatan dan Kesos. Peranan Wanita anak dan Remaja 22,958,657,000.00 14 Sektor Perumahan dan Pemukiman 40,912,011,660.00 15 Sektor Agama 36,012,779,000.00 16 Sektor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 4,717,389,000.00 17 Sektor Hukum 422,500,000.00 18 Sektor Ap. Pemerintah Dan Pengawasan 95,462,894,000.00 19 Sektor Pol. Pen. Kom. Media Masa 2,507,000,000.00 20 Sektor Keamana dan Ketertiban Umum 82,500,000.00 21 Subsidi Pemb. Kepada Dearah Bawahan Jumlah 1,017,799,868,567.76 III Bagian Urusan Kas dan Perhitungan 6,639,044,310.00 Sumber: APBD Kab. Bengkalis tahun 2000
Realisasi 53,838,672,989.76 24,750,888,403.33 13,022,588,452.88 1,946,375,283.10 731,894,416.15 9,050,030,251.20
968,482,344,031.44 57,989,406,809.39 699,132,212,852.80 211,360,724,369.25
1,047,071,905,424.53 6,639,044,310.00 237,986,405,122.73 99,108,804,892.00 58,208,800,134.00 6,657,283,377.00 6,406,312,100.00 35,412,854,571.73 58,720,000.00 29,856,170,358.00 2,277,459,690.00 358,517,711,118.75 12,828,963,389.00 34,747,456,383.00 1,987,832,350.00 1,164,243,605.70 29,072,918,586.00 47,129,350,539.69 3,061,111,000.00 1,305,911,277.00 61,235,603,279.75 1,850,401,000.00 63,701,649,983.80 62,000,000.00 8,735,688,754.81 12,498,398,012.00 10,434,096,756.00 4,655,177,786.00 419,753,000.00 61,071,705,416.00 2,472,950,000.00 82,500,000.00 596,504,116,241.48 6,639,044,310.00