EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN DIKJASORKES TIDAK DIPENGARUHI LATAR BELAKANG GURU PEMULA? Bayu Budi Prakoso Guru adalah seorang pendidik yang berperan sebagai penyandang profesi dalam melaksanakan pengajaran harus mampu tampil sebagai seseorang yang profesional, sehingga tidak sembarang orang bisa menyandang profesi. Memerlukan pendidikan profesi untuk bisa menyandang sebuah profesi khususnya guru agar pembelajaran yang diciptakan berkualitas. Kualitas pembelajaran ditunjukkan oleh efektivitas pembelajaran yang dapat diamati dari persiapan, pelaksanaan pembelajaran oleh guru dan aktivitas siswa selama pembelajaran mengggunakan instrumen pengamatan kelas dikjasor oleh tiga pengamat. Selain itu juga dapat diungkap dari hasil, kemauan, metode, dan kerjasama dari pendapat siswa menggunakan angket formative class evaluatian (FCE). Faktanya pelaksanaan pembelajaran dikjasorkes masih belum dilaksanakan secara profesional, buktinya masih dilaksanakan oleh guru dari berbagai latar belakang pendidikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui informasi nyata tentang perbandingan dan besar perbedaan efektivitas pembelajaran dikjasorkes ditinjau dari latar belakang guru pemula. Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimen jenis perbandingan dengan pendekatan deskriptif kuantitatif. Sebjek penelitiannya adalah 18 mahasiswa program studi S-1 Penjaskesrek dan 25 mahasiswa S-1 Penkepor program pengalaman lapangan (PPL) II yang bertindak sebagai guru pemula di sekolah mitra Unesa sebanyak 13 tempat SMA dan SMK se kota Surabaya. Dari hasil penelitian secara umum dapat menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan nilai efektivitas pembelajaran dikjasorkes ditinjau dari latar belakang guru pemula yang dibuktikan dengan hasil hitung x2hitung < x2tabel dari kedua instrumen yang digunakan yaitu dari data FCE sebesar 0,0588 < 3,841 dan dari hasil observasi sebesar 1,044 < 3,841. Angka rata-rata dari kedua instrumen menunjukkan perbedaan sebesar 0,38% dengan instrumen FCE dan sebesar 2,11% dengan instrumen observasi. Kata kunci: latar belakang guru pemula, efektivitas pembelajaran dikjasorkes. PENDAHULUAN Guru merupakan sebuah profesi yang mulia karena berperan sebagai tenaga pendidik, menempati posisi terdepan sebagai perangkat pelaksana pembangunan manusia Indonesia seutuhnya melalui pendidikan. Diperlukan pendidikan yang berkualitas agar tercipta manusia Indonesia seutuhnya. 1
Pendidikan yang berkualitas dapat terlaksana dengan hadirnya pendidik berkualitas. Guru sebagai pendidik yang berperan sebagai penyandang profesi, dalam melaksanakan pengajaran harus mampu tampil sebagai seseorang yang profesional. Fakta di lapangan profesi guru masih belum mendapatkan perhatian yang serius dari penyandang profesi sendiri. Hal ini terjadi pada pelaksanaan pembelajaran pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan (dikjasorkes) yang masih banyak menggunakan guru dari non-dikjasorkes bahkan dari non-pendidik. Dikjasorkes merupakan mata pelajaran yang tidak bisa dipisahkan dari pendidikan secara keseluruhan (Mahardika, 2010: 219). Garapan berupa tiga tujuan secara umum yaitu peningkatan potensi fisik, membudayakan nilai-nilai sportivitas dan pola hidup sehat (Permendiknas No. 22/2006). Untuk menuju tujuan tersebut diperlukan guru dikjasorkes yang berkualitas karena guru yang berkualitas akan menghadirkan pembelajaran yang berkualitas (Maksum, 2010) sehingga hasil dari pembelajaran pun sesuai dengan tujuan pembelajaran. Guru yang berkualitas adalah guru yang profesional mempunyai empat kompetensi dasar yaitu kompetensi profesional, pedagogi, kepribadian, dan sosial (UURI No. 14/2005). Untuk mendapatkan keempat kompetensi tersebut maka perlu profesionalisasi pendidikan keprofesian. Pendidikan keprofesian dilaksanakan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) sebagai penyedia tenaga kependidikan. Salah satu LPTK di Jawa Timur sebagai tempat belajar calon guru, khususnya guru dikjasorkes adalah Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Calon guru dikjasorkes menempuh pendidikan profesi di Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) jurusan pendidikan olahraga dalam program studi S-1 pendidikan jasmani kesehatan dan rekreasi (prodi S-1 Penjaskesrek) dengan gelar lulusan sebagai sarjana pendidikan. Dari prodi inilah diharapkan muncul lulusan guru dikjasorkes berkualitas yang dapat membawa siswa menuju tujuan dikjasorkes. Selain itu, FIK juga melaksanakan pendidikan profesional untuk calon pelatih keolahragaan di program studi S-1 Pendidikan Kepelatihan Olahraga (prodi S-1 Penkepor) yang diharapkan dapat lahir pelatih-pelatih profesional masa depan. Pelaksanaan program pengalaman lapangan (PPL) oleh Unesa melalui Unit Pelaksana Teknis Pusat Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan (UPT-
2
P4) khusus untuk prodi pendidikan dilaksanakan di sekolah mitra Unesa sebagai guru dikjasorkes. Hal ini sesuai dengan tujuan PPL sebagai implementasi kompetensi utama mahasiswa prodi S-1 Penjaskesrek sebagai calon guru dikjasorkes. Kegiatan ini dikatakan sesuai bagi mahasiswa S-1 Penjaskesrek karena telah dibekali dengan ilmu kependidikan 113 SKS dan 30 SKS ilmu pendukung (Tim Penyusun, 2009/2010: 43-44). Berbeda dengan prodi S-1 Penjaskesrek, prodi S-1 Penkepor dengan tujuan lulusan sebagai sarjana pendidikan mempunyai kompetensi utama sebagai pelatih keolahragaan di sekolah. Pelaksanaan PPL fokus pada kompetensi pendukung sebagai guru dikjasorkes di sekolah sehingga untuk praktek nyata implementasi ilmu kompetensi utama berupa pelatih keolahragaan belum dilaksanakan.
Seharusnya
pelaksanaannya
dilakukan
mengarah
pada
pengembangan dan pendalaman ilmu terkait kompetensi utama sebagai pelatih keolahragaan. Sehingga fakta di lapangan lulusannya oleh pemerintah diangkat sebagai guru dengan tugas pokok dan fungsi bukan sebagai guru kepelatihan olahraga (Mahardika, 2009). Padahal jika kembali pada kurikulum, pengkajian ilmu kependidikan sebanyak 26 SKS jauh lebih sedikit dibandingkan dengan ilmu kepelatihan olahraga sebanyak 112 SKS (Tim Penyusun, 2009/2010: 69-70). Fakta di depan menunjukkan bahwa terjadi kesenjangan antara visi dan misi dengan lulusan karena dalam penyusunan kurikulum yang belum tepat sasaran. Seharusnya setiap prodi mampu menyusun kurikulum yang dapat mengantarkan mahasiswa pada tujuan lulusan setiap prodi. Berdasarkan kurikulum prodi S-1 Penjaskesrek mengkaji 74,83% dari jumlah keseluruhan SKS ilmu tentang kependidikan dan hanya 19,87% dari jumlah keseluruhan SKS tentang ilmu kepelatihan sehingga meluluskan mahasiswa sebagai guru dikjasorkes. Tetapi prodi S-1 Penkepor mengakaji 76,71% dari jumlah keseluruhan SKS tentang ilmu kepelatihan olahraga dan hanya 17,81% dari jumlah keseluruhan SKS tentang ilmu kependidikan sesuai dengan kompetensi utama maka dapat meluluskan mahasiswa sebagai pelatih keolahragaan di sekolah.
3
LATAR BELAKANG GURU PEMULA Guru pemula yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang belajar di FIK Unesa dari dua prodi yang berbeda yaitu prodi S-1 Penjaskesrek dan S-1 Penkepor yang sama-sama melaksanakan program pengalaman lapangan (PPL) di tahun 2012. Kegiatan ini dilakukan sebagai praktek ajar nyata untuk mengaplikasikan seluruh kajian ilmu kependidikan dan keguruan yang didapat selama masa perkuliahan. Tujuan utama dari program ini adalah mahasiswa memiliki kompetensi utama sebagai seorang pendidik/ guru. Mahasiswa merupakan peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu (PPRI 60/1999 bab I pasal 1). Mahasiswa sebagai peserta didik mempunyai hak untuk belajar dalam sebuah pendidikan tinggi mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki. Sehingga mahasiswa setelah lulus dari pendidikan tinggi kembali ke masyarakat sudah siap dengan berbagai ilmu yang berhasil dikaji melalui pendidikan tinggi. S-1 Penjaskesrek adalah salah satu jenjang program studi yang ada di FIK Unesa yang merupakan tempat belajarnya calon-calon guru dikjasorkes yang unggul dalam skill akademik, pembelajaran, olahraga dan memiliki kecakapan hidup. Lulusan dari prodi ini sesuai dengan Kepmendiknas RI 178/U/2001 mendapatkan gelar sarjana pendidikan (S.Pd.). Sesuai Kepmendiknas No. 45/U/2002 yang menyatakan bahwa “Kompetensi hasil didik suatu program studi terdiri atas: (1) kompetensi utama; (2) kompetensi pendukung; (3) kompetensi lain yang bersifat khusus dan gayut dengan kompetensi utama.” Prodi S-1 Penjaskesrek menyusun kurikulum tahun 2009/2010 diringkas sebagai berikut: Tabel 1 Kompetensi Lulusan Prodi S-1 Penjaskesrek NO
KOMPETENSI KATEGORI
JENIS
SKS
1 Utama
Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan
2 Pendukung
Pendukung Pembelajaran Dikjasorkes
3 Lain
Massage Olahraga
2
Pengembangan Fitness
2
Spa Therapy
2
Jurnalistik Olahraga
2
4
113 30
Berdasarkan tabel 1 di depan maka dapat dijelaskan bahwa lulusan S-1 Penjaskesrek benar-benar disiapkan menjadi tenaga pendidik profesional sebagai guru dikjasorkes. Sehingga lulusan S-1 Penjaskesrek mendapatkan gelar sarjana pendidikan (S.Pd.) yang bertindak sebagai tenaga ahli dalam pembelajaran dikjasorkes. Berbeda dengan prodi S-1 Penjaskesrek, prodi S-1 Penkepor adalah program studi yang ada di FIK Unesa yang merupakan tempat calon-calon pelatih keolahragaan yang nantinya diharapkan mampu menerapkan, mengembangkan dan atau memperkaya IPTEK kepelatihan olahraga. Prodi ini menyusun kurikulum tahun 2009/2010 dengan ringkasan sebagai berikut: Tabel 2 Kompetensi Lulusan Prodi S-1 Penkepor NO
KOMPETENSI KATEGORI
JENIS
SKS
1 Utama
Kepelatihan Olahraga
112
2 Pendukung
Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan
3 Lain
Massage Olahraga
2
Pengembangan Fitness
2
Spa Therapy
2
Jurnalistik Olahraga
2
26
Berdasarkan tabel 2 di depan jelas bahwa lulusan S-1 Penkepor memiliki kompetensi utama sebagai guru kepelatihan olahraga dengan kompetensi pendukung sebagai guru penjaskes, disamping kompetensi lain (Mahardika, Vol. 4, No. 1, April 2009: 1). Dari kedua prodi yang identik tersebut, pendidikan tinggi sebagai tempat belajar mahasiswa melalui prodi masing-masing, berusaha menyusun kurikulum yang sesuai dengan kompetensi yang diharapkan pada setiap lulusan. Pendidikan tinggi dalam menyusun kurikulum sebagai wujud usahanya mempersiapkan mahasiswa harus berpedoman pada empat kaidah sesuai dengan PP RI 60/1999 bab II pasal 2yaitu “(a) tujuan pendidikan nasional; (b) Kaidah, moral
dan etika ilmu pengetahuan;
(c)
Kepentingan masyarakat;
(d)
Memperhatikan minat, kemampuan dan prakarsa pribadi”. Sehingga diharapkan dengan menggunakan empat kaidah tersebut tujuan pendidikan tinggi akan
5
tercapai. Tujuan pendidikan tinggi menurut PPRI No. 60/1999 bab II pasal 2 yaitu menyiapkan peserta didik untuk menjadi anggota masyarakat yang dapat mengembangkan
kemampuan
akdemik
dan
profesionalismenya
dengan
menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian dam mengupayakan peningkatan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional. Sudah jelas bahwa pendidikan tinggi mencetak tenaga profesional sebagai penyandang profesi. Untuk itu dalam pelaksanaan pembelajaran harus memunculkan inovasi atau program pembelajaran demi tercapainya amanat tersebut. Khusus pada prodi yang mempersiapkan tenaga pendidikan, dibuat sebuah program pengalaman lapangan (PPL) sebagai wujud respon pendidikan tinggi kepada UURI 14/2005 tentang guru dan dosen untuk membekali mahasiswa dengan empat kompetensi utama sebagai guru. PPL di Unesa dilaksanakan melalui Unit Pelaksana Teknis Pusat Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan (UPT-P4) yang terdiri dari PPL I dan PPL II. PPL I dilaksanakan di masing-masing prodi sebagai upaya pembekalan mahasiswa melalui dosen pembimbing untuk mempersiapkan PPL II. Puncak dari kegiatannya adalah microteaching yang diakhiri dengan kegiatan pelaksanaan praktek ajar pada siswa yang didatangkan dari sekolah. Kelanjutan dari PPL I adalah PPL II. Kegiatan ini dilaksanakan langsung di sekolah-sekolah mitra Unesa. Kegiatan ini dilakukan sebagai praktek ajar nyata untuk mengaplikasikan kajian ilmu kependidikan dan keguruan yang didapat selama masa pekuliahan. Tujuan utama dari program ini adalah mahasiswa memiliki kompetensi utama sebagai seorang pendidik/ guru. Sehingga mahasiswa yang sudah terjun ke sekolah mitra Unesa menjalankan tugas ajar disebut dengan guru pemula (Tim Penyusun, 2012: 23).
EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN DIKJASORKES Efektivitas dalam bahasa inggris yaitu effectiveness merupakan kata benda dari efektif yaitu berdaya guna (effective) yang berarti keefektifan yang diartikan
sebagai
keberhasilan
dari
suatu
tindakan
(KBBI
dari
http://ebsoft.web.id). Dalam dunia pendidikan proses pembelajaran yang efektif hanya mungkin terwujud apabila dilaksanakan oleh guru profesional atau didasari
6
jiwa profesionalisme yang tinggi (Wardani, 2005: 2.41). Pembelajaran yang efektif berarti pembelajaran yang berdaya guna mencapai tujuan pembelajaran. Dengan tercapainya sebuah tujuan pembelajaran maka sebuah pengajaran dikatakan berkualitas. Menurut Lutan dkk (2002: 76) kualitas pengajaran mencakup dua aspek yaitu proses dan hasil, mutu proses yang melibatkan faktor guru, siswa, lingkungan dan tugas ajar sedangkan hasil berkenaan dengan derajat pencapaian tujuan. Guru sebagai subjek yang menciptakan pembelajaran untuk siswa adalah seseorang yang bertanggung jawab atas kualitas pengajaran di sekolah. Khususnya pada pembelajaran dikjasorkes di sekolah kualitas guru sangat menentukan kualitas pengajaran karena “tidak ada pendidikan jasmani berkualitas tanpa kehadiran guru yang berkualitas” (Maksum, 2010). Kualitas pengajaran di sekolah dapat ditunjukkan dengan efektivitas pembelajaran. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian oleh Suherman dan Rink (dalam Maksum, 2010) yang menunjukkan bahwa guru yang berkualitas berpengaruh besar terhadap efektivitas pembelajaran. Sehingga pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) berupaya meningkatkan kualitas guru dengan melaksanakan sertifikasi terhadap guru pegawai negeri sipil maupun non pegawai negeri sipil dengan harapan efektivitas pembelajaran di sekolah dapat meningkat. Menurut KBBI (http://ebsoft.web.id) pembelajaran adalah “proses, cara, perbuatan menjadikan orang atau makhluk hidup belajar”. Belajar adalah suatu
proses
perubahan
individu
akibat
pengalaman
interaksi
dengan
lingkungannya (Wardani, 2005: 2.4). Interaksi siswa dengan lingkungan ini berupa proses belajar mengajar yang didalamnya terdapat dua komponen yaitu siswa dan guru sehingga terjadi interaksi antara siswa dan guru. Tugas siswa sebagai objek yang diajar
diharapkan belajar sesuai
dengan tuntunan guru. Guru bertugas mengajar berusaha membuat lingkungan belajar yang memungkinkan dapat menghasilkan perubahan dalam diri siswa secara permanen. Perubahan yang diharapkan berupa keterampilan, nilai sikap dan pengetahuan yang merupakan wujud dari hasil aktivitas pembelajaran. Untuk mendapatkan hasil pembelajaran yang optimal, menurut Siedentop (dalam Wijaya dan Astono, 2006: 3) guru harus memperhatikan 3
7
variabel yaitu: “(a) Proses membelajarkan siswa oleh guru (b) Proses belajar siswa (c) Hasil belajar siswa.” Proses membelajarkan siswa oleh guru merupakan wewenang guru dalam menciptakan suasana belajar untuk siswa agar dapat belajar dengan nyaman, senang dan tidak membosankan. Hal ini berkaitan dengan metode, pendekatan, penggunaan media pembelajaran yang merupakan cerminan kemampuan guru dalam mengajar. Proses belajar siswa berkaitan dengan aktualisasi diri siswa dalam mendapatkan hasil belajar yang optimal dengan mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh siswa. Hasil belajar berkaitan dengan pengalaman dan pengetahuan yang didapatkan siswa selama belajar. Selain itu, menurut Suroto (2005: 1) ada empat faktor yang menunjukkan sebuah kualitas pembelajaran yaitu hasil, kemauan, metode, dan kerjasama. Hasil merupakan hal yang didapat oleh siswa setelah mengikuti pembelajaran yaitu pengalaman gerak baru, pemahaman materi secara kognisi, psikomotor dan perilaku. Kemauan merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah pembelajaran karena dengan kemauan yang tinggi maka siswa akan bergerak lebih aktif tanpa terpaksa bahkan melakukan aktivitas gerak dengan merasa senang. Metode berkaiatan dengan cara guru membelajarkan siswa terkait materi yang diajarkan. Sehingga membangkitkan rasa kerjasama antar siswa yang akan membuat pembelajaran semakin bermakna. Seluruh proses di depan merupakan kegiatan yang diadakan dalam lingkungan belajar yang diciptakan oleh guru sebagai organisator dan fasilitator demi berlangsungnya belajar siswa. Diharapkan dengan hasil berupa pengalaman dan pengetahuan setelah proses belajar mengajar maka siswa mengalami perubahan psiko dan fisik ke arah yang lebih baik.
Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan (Dikjasorkes) Dikjasorkes merupakan salah satu mata pelajaran yang ada dalam kurikulum satuan pendidikan mulai dari SD, SMP dan SMA dengan fokus pelaksanaan pembelajaran melalui gerak. Kegiatan gerak ini dilaksanakan bukan semata-mata untuk mengasah keterampilan gerak yang bertujuan pada prestasi olahraga (Nurhasan dkk, 2005: 2), akan tetapi melalui gerak akan didapat
8
perkembangan individu secara menyeluruh yang mencakup perkembangan psikomotor, kognitif dan afektif. Pada dasarnya dikjasorkes merupakan sebuah pelaksanaan perencanaan yang sistematis melalui kurikulum untuk mengembangkan psiko dan fisik siswa di sekolah melalui pembelajaran yang berdasarkan kurikulum sekolah. Menurut Roji (dalam Prasojo, 2010: 13) pendidikan jasmani dilakukan melalui perencanaan yang sistematik untuk mengembangkan dan meningkatkan individu secara organik, neuromuskuler, perseptual, kognitif dan emosional. Kurikulum yang sesuai dengan visi dan misi sekolah juga mengacu pada tujuan pendidikan nasional sehingga dapat mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sesuai dengan Permendiknas No. 22/2006 tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah menyebutkan bahwa kelompok mata pelajaran jasmani olahraga dan kesehatan mempunyai cakupan berupa peningkatan potensi fisik; menanamkan (SD), membudayakan (SMP/SMA) nilai-nilai sportivitas; dan kesadaran (SD/SMP), membudayakan (SMA) hidup sehat. Pendidikan yang berkualitas akan muncul dari guru yang berkualitas. Guru yang berkualitas adalah guru yang profesional yang dapat menciptakan pembelajaran yang membawa siswa pada tujuan pendidikan. Pembelajaran yang dapat membawa siswa pada tujuan pendidikan adalah pembelajaran yang efektif. Keefektifan pembelajaran ditunjukkan oleh efektivitas pembelajaran. Efektivitas pembelajaran adalah keberhasilan pembelajaran yang diciptakan oleh guru sehingga bermanfaat untuk mencapai tujuan pembelajaran sebagai hasil perubahan siswa akibat interaksi dengan lingkungan belajar yang diciptakan oleh guru berupa keterampilan, nilai sikap dan pengetahuan siswa. Efektivitas pembelajaran dapat diketahui dengan cara meminta pendapat siswa tentang proses pembelajaran yang baru saja berlangsung. Pendapat siswa dihimpun dengan menggunakan angket FCE. Angket FCE Merupakan kuesioner yang digunakan untuk mengukur efektivitas proses pembelajaran dikjasorkes dari sisi pendapat siswa. Selain itu, efektivitas pembelajaran dapat diketahui dengan observasi dengan menggunakan pedoman observasi kelas dikjasorkes.
9
METODE Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimen menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif dengan membandingkan 2 kelompok sampel. Sehingga penelitian ini disebut dengan penelitian perbandingan. Penelitian ini akan mencari suatu perbedaan dari dua kelompok yang berbeda dengan adanya perbedaan yang alami tanpa ada perlakuan sebelumnya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan efektivitas pembelajaran dikjasorkes di sekolah yang diciptakan oleh mahasiswa prodi S-1 Penjaskesrek dan S-1 Penkepor pada waktu melaksanakan PPL II sebagai guru pemula. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 28 Agustus – 15 September 2012 di SMA dan SMK mitra Unesa se kota Surabaya sebagai tempat praktik program pengalaman lapangan mahasiswa prodi S-1 Penjaskesrek dan S-1 Penkepor dengan jumlah sekolah sebanyak tiga belas sekolah. Dengan jumlah mahasiswa dari prodi S-1 Penjaskesrek sebanyak 18 mahasiswa dan S-1 Penkepor sebanyak 25. Pengumpulan data dilakukan oleh kelompok observer sejumlah 16 orang yang terlebih dahulu mendapatkan pembekalan terkait tata cara pengambilan data dan menggunakan instrumen penelitian oleh pakar dikjasorkes sebelum pengambilan data. Data dikumpulkan menggunakan instrumen angket yaitu Formative Class Evaluation (FCE) dan pedoman observasi kelas dikjasor oleh kelompok observer yang setiap kelompoknya berjumlah 3 orang. Analisis data menggunakan Chi Square koreksi Yates sebagai uji beda dengan taraf signifikansi 5%.
HASIL Hasil penelitian menunjukkan bahwa, tidak ada perbedaan nilai efektivitas pembelajaran dikjasorkes ditinjau dari latar belakang guru pemula. Sesuai analisis data FCE dihitung menggunakan chi square koreksi Yates sebesar x2hitung 0,0588 < nilai x2tabel 3,841. Sedangkan dari hasil observasi menggunakan pedoman observasi kelas dikjasorkes sebesar x2hitung 1,044 < nilai x2tabel 3,841. Angka rata-rata dari kedua instrumen menunjukkan perbedaan sebesar 0,38% dengan instrumen FCE dan sebesar 2,11% dengan instrumen observasi.
10
PEMBAHASAN Efektivitas pembelajaran yang pertama adalah dilihat dari tanggapan siswa terhadap proses pembelajaran yang diciptakan oleh guru melalui pengisian angket FCE. Angket FCE memuat empat komponen indikator efektivitas pembelajaran berupa komponen hasil, kemauan, metode dan kerjasama yang dijabarkan melalui sembilan butir pertanyaan. Dari seluruh tanggapan siswa nilai efektivitas pembelajaran dikjasorkes dapat dilihat pada grafik 1 berikut ini. 5
4
4
4
4 4 3
3
3
3
4
4
3 Efektivitas Penjaskesrek
2
Efektivitas Penkepor
1 0 Hasil
Kemauan
Metode
Kerjasama Nilai Akhir
Grafik 1 Efektivitas Pembelajaran Berdasarkan Angket FCE Dari grafik 1 di depan dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan antara nilai efektivitas pembelajaran dari kedua prodi yaitu nilai 3 berarti sedang dan nilai 4 berarti baik. Kondisi yang demikian sudah barang tentu merupakan ironi. Lazimnya, prodi S-1 Penjaskesrek dengan muatan kurikulum yang mengkaji 74,83% dari jumlah keseluruhan SKS ilmu tentang kependidikan mampu menciptakan pembelajaran dengan nilai efektivitas masuk dalam kategori baik sebagai bukti bahwa prodi tersebut benar-benar mencetak guru dikjasorkes profesional. Tetapi kenyataan dari hasil penelitian masih ada komponen nilai yang mendapatkan nilai sedang. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah SKS tersebut masih belum mampu membuat calon lulusan menciptakan pembelajaran dengan nilai efektivitas pembelajaran masuk dalam kategori baik. Bahkan dapat disamai oleh prodi S-1 Penkepor yang hanya mengakaji 17,81% dari jumlah keseluruhan SKS ilmu tentang kependidikan. Efektivitas pembelajaran dikjasorkes yang kedua adalah dilihat dari hasil observasi oleh kelompok oberver menggunakan pedoman observasi kelas dikjasor. Hal yang diamati oleh kelompok observer dalam proses pembelajaran dikjasorkes adalah persiapan guru, pelaksanaan pembelajaran oleh guru dan aktivitas siswa. Persiapan guru diamati mulai dari penggunaan RPP, silabus, guru
11
dalam mempersiapkan lapangan dan peralatan. Selain itu juga diamati penggunaan alokasi waktu dengan mencatat jam memulai dan mengakhiri pembelajaran sehingga didapat jumlah alokasi waktu yang digunakan oleh guru pemula untuk pembelajaran. Dalam proses pembelajaran ada tiga kegiatan guru yang dicatat frekuensi kemunculannya yaitu tugas gerak, feed back, dan evaluasi. Untuk aktivitas siswa ada empat aktivitas yang diamati yaitu belajar, gerak, kegembiraan, dan kerjasama. Hal yang pertama yang diamati adalah persiapan yaitu penggunaan RPP dan silabus yang dapat dilihat pada grafik 2 berikut ini. 100,00% 80,00%
88,00%
72,22% 68,00%
60,00%
55,56% 44,44%
32,00%
40,00%
27,78%
Penjaskesrek
12,00%
20,00%
Penkepor
0,00% Ada
Tidak Ada
Ada
Tidak Ada
RPP
Silabus
Grafik 2 Guru Pemula Menggunakan Skenario Pembelajaran Dapat dilihat bahwa peran guru sebagai planner dan organisator masih belum dilaksanakan oleh guru pemula dari prodi S-1 Penkepor yang mayoritas masih belum menggunakan RPP dan silabus sebagai perangkat pembelajaran sebagai
skenario
acara
pembelajaran.
Keadaan
guru
pemula
dalam
mempersiapkan peralatan dan lapangan dapat dilihat grafik 3 berikut ini. 53,00% 52,00% 51,00% 50,00% 49,00% 48,00% 47,00% 46,00%
52,00% 50,00%
50,00% 48,00%
Penjaskesrek Penkepor
Iya
Tidak Lapangan dan Peralatan
Grafik 3 Guru Pemula dalam Mempersiapkan Lapangan dan Peralatan 12
Dari grafik 2 dan 3 di depan menunjukkan bahwa skenario pembelajaran sangat penting digunakan agar pembelajaran menggunakan bentuk lapangan dan peralatan yang sesuai dengan jenis materi yang tentunya sudah tertera dan disiapkan didalam RPP dan silabus. Jika RPP dan silabus tidak digunakan maka kecil kemungkinan untuk guru dapat mempersiapkan lapangan dan peralatan sesuai dengan materi yang akan diajarkan. Selanjutnya sebagai tolok ukur sebuah keberhasilan pembelajaran dikjasorkes adalah penggunaan waktu pembelajaran digunakan secara penuh oleh siswa untuk aktif bergerak. Semakin banyak waktu yang digunakan untuk siswa berpartisipasi dalam gerak maka semakin bagus pembelajaran yang diciptakan oleh guru. Dalam bagian ini hanya diungkap bagaimana guru mengorganisir waktu untuk pembelajaran yaitu waktu memulai dan mengakhiri pembelajaran sudah sesuai atau belum dengan jadwal yang sudah ditentukan oleh sekolah. Berdasarkan hasil pengamatan pada guru pemula didapat gambaran guru pemula dalam memulai pembelajaran seperti pada grafik 4 berikut ini. 80,00% 70,00% 60,00% 50,00% 40,00% 30,00% 20,00% 10,00% 0,00%
76,00% 55,56% 44,44% Kelas Dimulai Penjeskesrek 24,00%
Kelas Dimulai Penkepor
0,00% 0,00% lebih Awal
tepat
mundur
Grafik 4 Guru Pemula Dalam Memulai Pembelajaran Dengan guru mengundurkan waktu pembelajaran dapat dipastikan waktu untuk pembelajaran akan semakin pendek sekaligus waktu untuk siswa perpastisipasi dalam gerak juga singkat. Hal ini akan lebih parah lagi jika waktu mengakhiri pembelajaran juga lebih awal. Dari grafik 4 di depan dapat dilihat bahwa guru pemula dari prodi S-1 Penkepor mayoritas dalam memulai pembelajaran selalu mundur dari jadwal yang sudah ditentukan oleh sekolah. Dalam pembelajaran antara memulai dan mengakhiri pembelajaran juga harus diperhatikan karena jika tidak, maka akan mengganggu waktu pelajaran
13
yang lainnya. Guru harus mampu memperkirakan waktu yang dibutuhkan untuk siswa ganti baju dan istirahat setelah melakukan aktivitas gerak. Grafik 5 berikut ini akan memperlihatkan waktu guru pemula dalam mengakhiri pembelajaran. 80,00%
72,00% 55,56%
60,00% 40,00%
33,33%
Kelas Berakhir Penjeskesrek 20,00%
20,00%
11,11% 8,00%
Kelas Berakhir Penkepor
0,00% lebih awal
tepat
mundur
Grafik 5 Guru Pemula Dalam Mengakhiri Pembelajaran Jika hal yang terlihat dalam grafik 4 dan 5 dijelaskan maka jelaslah waktu untuk gerak siswa sangat pendek. Seharusnya guru harus datang sebelum jam pelajaran dimulai sehingga dalam mempersiapkan lapangan dan peralatan dapat sesuai dengan skenario pembelajaran. Sehingga memulai dan mengakhiri pembelajaran bisa tepat sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan di RPP dan silabus yang seharusnya memberikan waktu untuk siswa ganti baju dan istirahat. Hal di depan menunjukkan bahwa, mundurnya waktu adalah berdasarkan jadwal sekolah, dan setiap guru pemula mengakhiri jam pelajaran lebih awal dari yang dijadwalkan di RPP dan silabus, karena rata-rata dari guru yang menggunakan RPP dan silabus mereka mengalokasikan waktu sebanyak 90 menit tanpa menyisihkan waktu untuk ganti baju dan istirahat. Dari kedua kejadian tersebut maka dapat digambarkan alokasi waktu yang digunakan oleh guru pemula pada grafik 6 berikut ini. 100,00%
88,00%
80,00%
66,67%
60,00% 40,00% 20,00%
Durasi Waktu Penjeskesrek 27,78%
Durasi Waktu Penkepor
4,00%
5,56%
8,00%
0,00% sesuai alokasi
lebih pendek
lebih panjang
Grafik 6 Alokasi Waktu Untuk Pembelajaran 14
Hanya sedikit dari jumlah guru pemula yang memanfaatkan alokasi waktu sesuai dengan jumlah waktu yang tertera pada RPP dan silabus dan juga yang sudah dijadwalkan oleh sekolah. Sebagian besar guru menggunakan alokasi waktu lebih pendek dari jadwal yang ditentukan. Hal ini diakibatkan tidak tertatanya acara pembelajaran sesuai dengan skenario pembelajaran yang dibuat oleh guru, terutama oleh guru pemula dari prodi S-1 Penkepor yang sudah terbukti bahwa sebagaian besar dari mereka sebanyak 68,00% tidak menggunakan RPP dan 88,00% tidak menggunakan silabus. Dengan semakin pendeknya waktu yang digunakan untuk pembelajaran maka siswa akan kurang aktif bergerak sehingga kebugaran sebagai tujuan pembelajaran akan sulit dicapai. Setelah membahas tentang persiapan guru pemula selanjutnya akan dibahas tentang pelaksanaan pembelajaran sebagai nilai efektivitas pembelajaran yang dapat dilihat pada grafik 7 berikut ini. 67,17%
68,00% 66,00% 64,00%
64,63% 64,39% 62,22%
63,97% 61,32%
62,00% 58,95%
60,00%
60,20%
Efektivitas Penjaskesrek Efektivitas Penkepor
58,00% 56,00% 54,00% Awal
Inti
Penutup
Nilai Akhir
Grafik 7 Efektivitas Pembelajaran Berdasarkan Observasi Melihat jumlah SKS yang dimuat dalam kurikulum prodi S-1 Penkepor hasil di depan sesuai. Dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan dari setiap acara pembelajaran yang diciptakan oleh guru pemula. Perbedaan yang paling besar adalah pada acara penutup pembelajaran sebesar 5,47%. Berdasarkan olah hasil observasi, sebanyak 16,00% guru pemula dari prodi S-1 Penkepor tidak memberikan kegiatan dalam acara penutup. Padahal secara umum menurut Winarno (2006: 86) setiap proses pembelajaran terdapat 3 acara pembelajaran yaitu awal, inti dan penutup. Dengan terorganisirnya ketiga acara tersebut diharapkan pembelajaran dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan pembelajaran.
15
SIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian secara umum dapat menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan nilai efektivitas pembelajaran dikjasorkes ditinjau dari latar belakang guru pemula yaitu guru pemula dari S-1 Penjaskesrek dan S-1 Penkepor. Dari hasil dan pembahasan pada penelitian ini, maka diberikan tiga saran sebagai berikut: (1) Upaya sertifikasi guru melalui PLPG atau PPG (yang akan dilaksanakan?)
adalah
upaya
pemerintah
untuk
mempertinggi
kualitas
pembelajaran, kualitas pembelajaran diwujudkan oleh efektivitas pembelajaran, untuk itu setiap prodi harus benar-benar mampu membekali mahasiswanya dengan keilmuan yang sesuai dengan tujuan setiap prodi khususnya prodi S-1 Penjaskesrek sebagai pencetak guru dikjasorkes. (2) Arah pelaksanaan PPL harus disesuaikan dengan bidang keilmuan dan tujuan setiap prodi yang ada di Unesa, sehingga diharapkan mampu mempertegas jati diri lulusan sebuah prodi untuk menentukan langkah menuju lapangan pekerjaan yang sesuai dengan bidang kajian sebagai jalan mendapatkan tujuan setiap prodi khususnya untuk prodi S-1 Penkepor sebagai pencetak calon pelatih keolahragaan di sekolah. (3) Monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan PPL harus semakin ditingkatkan, hal ini agar mahasiswa dapat lebih disiplin dan sungguh-sungguh serta mendapatkan pengarahan dan perbaikan selama melaksanakan PPL agar tujuan dari kegiatan ini benar-benar didapatkan. Karena bimbingan dari guru pamong dirasa masih belum cukup, mengingat begitu banyaknya kegiatan guru sehingga didapati guru pamong yang belum optimal memberikan bimbingan kepada guru pemula.
Daftar Rujukan Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi 2010. Jakarta: Rineka Cipta. Kepmendiknas RI No. 045/U/2002 Tentang Kurikulum Inti Perguruan Tinggi. (online) tersedia di: http://www.dikti.go.id pada 10 maret 2012. Kepmendiknas RI No. 178/U/2001 Tentang Gelar dan Lulusan Perguruan Tinggi. (online) tersedia di: http://www.dikti.go.id pada 10 maret 2012. Lutan, Rusli, dkk. 2002. Supervisi Pendidikan Jasmani: Konsep dan Praktik. Jakarta: Depdiknas Ditjenpendasmen Dirjenor. Mahardika, I Made Sriundy. 2009. Program Pengalaman Lapangan (PPL) S-1 Penkepor Upaya Mempertegas Jati Diri Lulusan. (jurnal online) Vol. 4, No. 1, April 2009. (online) tersedia di: http://kepor-jurnal.unesa.ac.id pada 10 maret 2012.
16
Mahardika, I Made Sriundy. 2010. Pengantar Evaluasi Pengajaran. Surabaya: Unesa University Press. Maksum, Ali. 2007. Buku Ajar Matakuliah Statistik dalam Olahraga. (diktat) Surabaya: FIK Unesa. Maksum, Ali. 2009. Metodologi Penelitian dalam Olahraga. (diktat) Surabaya: FIK Unesa. Maksum, Ali. 2010. Kualitas Guru Pendidikan Jasmani di Sekolah: Antara Harapan dan Kenyataan. Makalah dipresentasikan dalam forum penelitian Balitbang Depdiknas. Nurhasan dkk. 2005. Petunjuk Praktis Pendidikan Jasmani (Bersatu Membangun Manusia yang Sehat Jasmani dan Rohani). Surabaya: Unesa University Press. Permendiknas No. 22/2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. (online) tersedia di www.dikti.go.id pada 10 maret 2012. PP RI No. 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi. (online) tersedia di: http://www.isi-dps.ac.id/wp-content/uploads/2009/03/pp60-th1999.pdf pada 10 maret 2012. PPRI No. 19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. (online) tersedia di: http://www.presidenri.go.id/DokumenUU.php/104.pdf pada 10 maret 2012. Prasojo, Cahyo Adi. 2010. Efektivitas Model Pembelajaran Lompat Jauh Kelas XI dengan Media Audio Visual. Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya: JPO FIK Unesa. Salinan Kepmendiknas RI No. 232/U/2000 Tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi Dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa. (online) tersedia di: http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/Kepmen232-U2000PenyusunanKurikulum.pdf pada 10 maret 2012. Satori, Djam’an dkk. 2007. Profesi Keguruan. Jakarta: Universitas Terbuka. Sudjana. 2005. Metoda Statistika (edisi ke- 6). Bandung: Tarsito Bandung. Suroto. 2005. Examining The Relationship Among Students’ Physical Activity Level, Students’ Learning Behaviors, and Students’ Formative Class Evaluation During Elementary School Physical Education Classes. Dissertation. Doctoral Program of Health and Sport Sciences. University of Tsukuba. Tim Penyusun. 2009/2010. Buku Pedoman Universitas Negeri Surabaya (Unesa). (tidak diterbitkan) Surabaya: FIK Unesa. Tim Penyusun. 2012. Buku Pedoman Program Pengalaman Lapangan (PPL). (tidak diterbitkan) Surabaya: Unesa UPT – P4. UURI No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. (online) tersedia di: http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_guru_dosen.htm pada 10 maret 2012. Wahyudin, Dinn dkk. 2007. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka. Wardani, I. G. A. K. 2005. Psikologi Belajar. Jakarta: Universitas Terbuka. Wijaya, Made Agus dan Astono. 2006. Hibah Penelitian Asisten Deputi Olahraga Pendidikan Deputi bidang Pemberdayaan Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia. (laporan akhir) Surabaya: Unesa Pasca Sarjana Prodi Pendidikan Olahraga. Winarno, M.E. 2006. Pengembangan Pembelajaran Pendidikan Jasmani. Jurnal IPTEK Olahraga. Asisten Deputi IPTEK Olahraga.
17