Ervika Keibuan…
Efektivitas
Pelatihan
Perilaku
EFEKTIVITAS PELATIHAN PERILAKU KEIBUAN GUNA MEMPERBAIKI GANGGUAN KELEKATAN Eka Ervika P. S. Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Intisari Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pelatihan perilaku keibuan guna memperbaiki gangguan kelekatan pada anak. Subjek penelitian adalah ibu yang memiliki anak yang mengalami gangguan kelekatan. Ada 14 orang subjek penelitian yang terdiri dari ibu-ibu yang berdomisili di kota Medan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode purposive sampling. Proses pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan skala kelekatan yang disusun oleh peneliti, lembar catatan harian, lembar target, lembar evaluasi, observasi, dan wawancara. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang dilakukan dengan memberikan perlakuan berupa pelatihan perilaku keibuan pada kelompok eksperimen. Disain yang digunakan adalah pretest-posttest group design. Metode analisis data yang digunakan adalah statistik nonparametrik, dengan menggunakan uji Mann-Whitney U Test dan Wilcoxon T –Test untuk membandingkan penurunan skor gangguan kelekatan pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil uji Mann-Whitney U test menunjukkan bahwa pelatihan perilaku keibuan secara nyata tidak efektif dalam memperbaiki gangguan kelekatan dari kategori tinggi dan sedang menjadi kategori rendah (p= 1.000 saat pretest; p= 0.805 saat posttest). Hasil uji Wilcoxon T-Test pada kelompok eksperimen juga menunjukkan bahwa tidak terjadi penurunan gangguan kelekatan secara signifikan (p=0.092). Secara umum pemberian perlakuan berupa pelatihan perilaku keibuan pada kelompok eksperimen tidak mampu mengubah status gangguan kelekatan yang dialami anak. Kata kunci: Pelatihan perilaku keibuan, Gangguan kelekatan. Abstract The research is intended to examine the effectiveness of maternal behavior training in order to decrease attachment disorder of children. Subject of study is mother who has children with attachment disorder. There were 14 subject consisted of mother were recruited from Medan city The collecting data is based on purposive sampling. The process of data collecting done by using attachment scale that maked by researches, diary sheets, target sheets, evaluation sheets, observation and interview. The study is carried out by experimental by giving treatment maternal behavior training to experimental group. Design of research which is used is pretestposttest control group design. Data analysis technique which is used is non parametric analysis by using of T test Wilcoxon and U Mann-Whitney to compare experimental and control group decrease of attachment disorder.
7
PSIKOLOGIA, Volume 2, No. 1, Juni 2006: 1 – 6
The result of the Mann-Withney U Test showed that maternal behavior training was not significantly effective in order to decrease attachment disorder from high and fair category into poor category (p= 0.209 in pretest ; p= 0.902 in post test). The result of Wilcoxon T-Test to experimental group showed that the decrease of attachment disorder were not significant (p=0.865). Overall treatment given (maternal behavior training) to experimental group did not make any significant change in attachment disorder of children. Keywords: Maternal behavior training, Attachment disorder of children. Akhir-akhir ini masyarakat dikejutkan dengan banyaknya peristiwa kriminal yang melibatkan anak-anak. Anak tidak saja menjadi korban tindak kejahatan namun juga menjadi pelaku tindak kejahatan tersebut. Selama tahun 2004-2005 saja tercatat beberapa kasus bunuh diri yang dilakukan anak dibawah umur. Peristiwa yang mungkin cukup mengejutkan adalah percobaan bunuh diri seorang siswa SD berusia 12 tahun berinisial H di daerah Garut, Jawa Barat (Rokan, 2004). Percobaan bunuh diri ini disebabkan oleh rasa malu karena tidak mampu membayar iuran di sekolah, yang hanya sebesar Rp 2500). 25 April 2005, kasus kedua menyusul EH (15 tahun), siswa SD Kepunduan 1 Kramat, Kabupaten Tegal juga bunuh diri dengan jalan menggantung diri. EH malu karena menunggak SPP selama 10 bulan. Beruntung, jiwanya tertolong dan kini dirawat di rumah sakit. Sebulan kemudian, J (16 tahun) siswa kelas 3 SMP PGRI 7 Jatiroto Kabupaten Wonogiri juga memilih mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Motifnya diduga karena ia telah menghabiskan uang SPP (Suara Pembaharuan Daily, 2005). Terpaut dua hari setelah kasus J, Sabtu (14/5) RS murid TK di Kelurahan Tempelan, Kecamatan Kota Blora, Kabupaten Blora, juga nekat gantung diri. Bocah berusia lima tahun sembilan bulan itu sebelumnya dimarahi oleh orang tuanya karena tak mau mandi untuk pergi ke sekolah. Sebelum ditemukan tewas, korban sempat dimarahi orang tuanya. Selain itu diduga penyebabnya adalah karena malam harinya korban sempat tak diizinkan ikut salah seorang kakaknya untuk pergi ke acara ulang tahun temannya (Suara Pembaharuan Daily, 2005). Hal lain yang juga cukup penting untuk mendapat perhatian adalah meningkatnya permasalahan sosial anak yang juga sangat berpengaruh terhadap kesehatan
8
khususnya perbaikan gizi seperti meningkatnya jumlah anak terlantar. Menurut data yang dikumpulkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2002 terdapat anak terlantar usia 5 -18 tahun sebanyak 3.488.309 anak di 30 provinsi. Adapun balita yang terlantar berjumlah 1.178.82 orang, dan anak jalanan tercatat ada 94.674 anak. Anak nakal 193.155. Anak yang membutuhkan perlindungan khusus sekitar 6.686.936 anak, dan yang potensial terlantar sebanyak 10.322.674 anak. Meskipun data populasi kenakalan anak di Indonesia masih berkisar 193.115 anak, namun ibarat fenomena gunung es, diduga angka kenakalan dan permasalahan sosial lainnya yang sebenarnya sekitar 10 kali lipat. (Tambunan, 2003). Munculnya kasus kriminal dengan subjek maupun objek anak-anak memang perlu mendapatkan kajian khusus. Apa sebetulnya yang melatarbelakangi dan bagaimana dinamikanya. Bila kita berbicara mengenai anak tentu saja kita berbicara mengenai kondisi anak itu sendiri, orang tua dan keluarga serta lingkungan. Keluarga memiliki tanggung jawab pertama untuk menjaga pertumbuhan dan perkembangan anak. Seorang anak akan mencapai pertumbuhan dan perkembangan optimal jika kebutuhan dasarnya terpenuhi, misalnya kebutuhan fisik (sandang, pangan, papan) dan kebutuhan psikologis berupa perhatian dan kasih sayang. Namun ironisnya keluarga justru menjadi sumber ancaman dan ketidaktentraman anak, karena perlakuan salah yang sering diterima anak dari keluarga, khususnya orang tua. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh Putra (dalam Andayani, 2001) melalui penelitiannya “A Focused on Child Abuse in Six Selected Provinces in Indonesia”, menemukan bahwa hasil-hasil perlakuan salah (maltreated)
Ervika Keibuan…
terhadap anak yang terjadi dalam ranah publik dan domestik ternyata sebagian besar dilakukan oleh orang tua mereka. Koordinator Komnas Perlindungan Anak Seto Mulyadi (Suara Pembaharuan Daily, 2005) berdasarkan pengalamannya menemukan bahwa penyebab anak mengalami masalah berat justru berasal dari orang tua. Seto menyatakan bahwa kesalahan terbesar orang tua adalah menganggap anak, sebagai anak kecil yang belum mengerti apa-apa. Orang tua selalu memandang, stres itu tidak dialami anak-anak sehingga tidak pernah diantisipasi. Padahal bila kondisi stres ini dibiarkan, anak akhirnya terdesak dan cenderung melakukan tindakan nekat atau jalan pintas yang tidak disadari efeknya akan jauh sekali. Hubungan anak dengan orang tua merupakan sumber emosional dan kognitif bagi anak. Hubungan tersebut memberi kesempatan bagi anak untuk mengeksplorasi lingkungan maupun kehidupan sosial. Hubungan anak pada masa-masa awal dapat menjadi model dalam hubungan-hubungan selanjutnya. Hubungan awal ini dimulai sejak anak terlahir ke dunia, bahkan sebetulnya sudah dimulai sejak janin berada dalam kandungan (Sutcliffe, 2002). Klaus dan Kennel (dalam Bee, 1981) menyatakan bahwa masa kritis seorang bayi adalah 12 jam pertama setelah dilahirkan. Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa kontak yang dilakukan ibu pada satu jam pertama setelah melahirkan selama 30 menit akan memberikan pengalaman mendasar pada anak. Hal senada juga dikemukakan oleh Sosa (dalam Hadiyanti, 1992) bahwa ibu yang segera didekatkan pada bayi seusai melahirkan akan menunjukkan perhatian 50% lebih besar dibandingkan ibu-ibu yang tidak melakukannya. Peran ibu dalam hal ini tentulah sangat besar, selain mengandung dan melahirkan ibu juga berperan sebagai pengasuh. Bagaimana perlakuan ibu terhadap anak akan sangat menentukan perkembangan anak selanjutnya. Bayi lebih banyak menggunakan tangisan untuk mengkomunikasikan kebutuhannya pada masa-masa awal kehidupannya. Tangisan digunakan untuk menyatakan rasa
Efektivitas
Pelatihan
Perilaku
lapar, sakit, takut atau terancam. Ibu yang baik adalah ibu yang cepat memberikan respons atas tanda-tanda yang diberikan bayi (responsif). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang responsif terhadap tangis bayi pada usia 3-6 bulan akan membantu mengurangi tangisan bayi pada usia 6-9 bulan (Levy dkk., 1984). Selain kecepatan dibutuhkan pula ketepatan respons. Hal ini berarti bahwa ibu dapat memperlakukan bayi dengan tepat, misalnya bila bayi menangis karena takut, maka tidak akan menjadi diam bila disuapi susu. Perilaku ini menunjukkan bahwa sikap sensitif ibu menjadi faktor penting. Bila ibu selalu memberikan respons secara cepat dan tepat secara terus menerus maka bayi akan mengembangkan rasa percaya (trust). Erickson (dalam Ervika, 2000) menyatakan bahwa pada usia dua tahun pertama bayi diharapkan memperoleh kepastian arah dari situasi kritis di mana kepercayaan dasar (basic trust) berhadapan dengan kecurigaan dasar (basic mistrust). Bentuk yang diharapkan adalah basic trust, didapatkan anak dari kehangatan dan rasa aman serta kontak fisik dalam jumlah waktu yang memadai. Menurut Ainsworth (dalam Belsky, 1988) hubungan kelekatan berkembang melalui pengalaman bayi dengan pengasuh ditahun-tahun awal kehidupannya. Intinya adalah kepekaan ibu dalam memberikan respons atas sinyal yang diberikan bayi, sesegera mungkin atau menunda, respons yang diberikan tepat atau tidak. Kelekatan adalah suatu hubungan emosional atau hubungan yang bersifat afektif antara satu individu dengan individu lainnya yang mempunyai arti khusus. Hubungan yang dibina akan bertahan cukup lama dan memberikan rasa aman walaupun figur lekat tidak tampak dalam pandangan anak. Sebagian besar anak telah membentuk kelekatan dengan pengasuh utama (primary care giver) pada usia sekitar delapan bulan dengan proporsi 50% pada ibu, 33% pada ayah dan sisanya pada orang lain (Sutcliffe, 2002). Kelekatan bukanlah ikatan yang terjadi secara alamiah. Ada serangkaian proses yang harus dilalui untuk membentuk kelekatan tersebut.
9
PSIKOLOGIA, Volume 2, No. 1, Juni 2006: 7 – 15
Berdasarkan kualitas hubungan anak dengan pengasuh, maka anak akan mengembangkan konstruksi mental atau internal working model mengenai diri dan orang lain yang akan menjadi mekanisme penilaian terhadap penerimaan lingkungan (Bowlby dalam Pramana 1996). Anak yang merasa yakin terhadap penerimaan lingkungan akan mengembangkan kelekatan yang aman dengan figur lekatnya (secure attachment) dan mengembangkan rasa percaya tidak saja pada ibu juga pada lingkungan. Hal ini akan membawa pengaruh positif dalam proses perkembangannya. Beberapa penelitian membuktikan bahwa anak yang memiliki kelekatan aman akan menunjukkan kompetensi sosial yang baik pada masa kanak-kanak (Both dkk. dalam Parker dkk., 1995) serta lebih populer dikalangan teman sebayanya di prasekolah (La Freniere dan Sroufe dalam Parker dkk., 1995). Anak-anak ini juga lebih mampu membina hubungan persahabatan yang intens, interaksi yang harmonis, lebih responsif dan tidak mendominasi (Parke dan Waters dalam Parker dkk., 1995). Sementara itu Grosman dan Grosman (dalam Sutcliffe, 2002) menemukan bahwa anak dengan kualitas kelekatan aman lebih mampu menangani tugas yang sulit dan tidak cepat berputus asa. Sebaliknya pengasuh yang tidak menyenangkan akan membuat anak tidak percaya dan mengembangkan kelekatan yang tidak aman (insecure attachment). Kelekatan yang tidak aman dapat membuat anak mengalami berbagai permasalahan yang disebut dengan gangguan kelekatan (attachment disorder). Kelekatan yang tidak aman dapat menjadi faktor risiko (risk factor) timbulnya gangguan, sedangkan kelekatan yang aman dapat menjadi faktor protektif (protective factor) dari faktor risiko lain yang diasosiasikan dengan psikopatologi, misalnya temperamen sulit anak dan kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan. Telah disebutkan di atas bahwa gangguan kelekatan terjadi karena anak gagal membentuk kelekatan yang aman dengan figur lekatnya. Hal ini akan membuat anak mengalami masalah dalam hubungan sosial. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak yang
10
mengalami gangguan kelekatan memiliki orang tua yang juga mengalami masalah yang sama dimasa kecilnya (Sroufe dalam Cicchetty dan Linch, 1995). Hal ini menjadi sebuah lingkaran yang tidak akan terputus bila tidak dilakukan perubahan. Setelah membaca uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ibu sebagai pengasuh utama anak memegang peranan penting dalam penentuan status kelekatan anak, apakah anak akan membentuk kelekatan aman atau sebaliknya. Status kelekatan ini berhubungan dengan gangguan kelekatan dan perkembangan anak di masa selanjutnya. Kelekatan yang aman berhubungan dengan perilaku keibuan yang responsif, sensitif, konsisten dan mampu memberikan perawatan fisik yang baik. Beberapa penelitian membuktikan bahwa kualitas hubungan jauh lebih penting dibandingkan kuantitasnya. Bila ibu berperan sebagai pengasuh, memenuhi kebutuhan fisik anak, namun tidak melibatkan emosi yang positif maka tidak akan dipilih anak sebagai figur lekat, sebaliknya bila ibu tidak mengasuh anak secara penuh namun selama interaksi dapat memberikan kepuasan pada anak maka ia akan tetap dipilih sebagai figur lekat. Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa masalah dalam pengasuhan anak muncul karena sebagian besar ibu belum dapat menjalankan fungsinya dengan cara yang tepat. Ada beberapa bentuk perlakuan yang salah yang membuat kualitas hubungan ibu dan anak terganggu. Sebagian masalah berawal dari penerapan pola pengasuhan tradisional yang banyak didasarkan pada mitosmitos yang salah, misalnya pandangan bahwa anak jangan terlalu sering digendong karena nanti akan “bau tangan” (menjadi kebiasaan), padahal sesungguhnya semakin banyak anak mendapatkan kontak fisik dengan ibu akan semakin baik pengaruhnya bagi kualitas kelekatannya. Porter dan Hernacki (1999) mengatakan bahwa anak-anak rata-rata menerima 460 komentar negatif atau kritik dan 75 komentar positif atau dukungan setiap harinya. Dapat dibayangkan betapa orang tua berperan dalam membentuk konsep diri negatif pada anak-anaknya. Selain itu ada beberapa faktor risiko yang membuat ibu
Ervika Keibuan…
perlu mendapatkan intervensi, misalnya: kemiskinan, keterbatasan pendidikan, isolasi sosial, mengalami masalah dengan keluarga dan masalah dalam hubungan dengan anak (Lieberman dalam Cichetti dan Toth 1998). Berdasarkan pertimbanganpertimbangan di atas maka disusunlah suatu program yang bertujuan mengajarkan pada ibu-ibu suatu ketrampilan pengasuhan yang efektif. Program ini diberi nama “Pelatihan Perilaku Keibuan”, ditujukan pada ibu-ibu yang anaknya mengalami gangguan kelekatan atau memiliki kualitas kelekatan tidak aman (insecure attachment). Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah pelatihan perilaku keibuan efektif dalam memperbaiki gangguan kelekatan yang dialami anak. METODE PENELITIAN Penelititan ini merupakan penelitian eksperimen yang dilakukan dengan metode Control Group-Experimental Group PretestPosttest Design dan Sugiyanto (1995) Subjek penelitian ini berjumlah 14 orang yang terdiri dari tujuh orang kelompok eksperimen dan tujuh orang kelompok kontrol. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan skala kelekatan, lembar catatan harian dan lembar target, lembar evaluasi, observasi dan wawancara. Hasil uji validitas dan reliabilitas terhadap 60 aitem skala kelekatan menghasilkan 23 aitem yang lolos dengan konsistensi internal berkisar 0,2640,539 dan reliabilitas alpha 0.815.
Efektivitas
Pelatihan
Perilaku
Pelatihan perilaku keibuan dilakukan dengan menggunakan prinsip experiential learning (Johnson dan Johnson, 2000). Adapun waktu yang dihabiskan berjumlah 615 menit (10 jam 25 menit) terdiri dari tiga kali pertemuan dan 16 sesi. Metode yang digunakan adalah Ceramah, Diskusi, Simulasi dan Tugas Rumah. Materi yang digunakan dalam proses pelatihan berupa Bahan Ceramah, Kartu Simulasi, Lembar Tugas. Secara keseluruhan pelatihan mengajarkan bentuk perilaku sensitive, responsive, konsisten dan pemeliharaan fisik. Hasil uji U Mann Whitney terhadap data penelitian gangguan kelekatan saat pretest menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan (p= 0,209) antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen (Tabel 5). Hasil uji U Mann Whitney terhadap data posttest juga menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan (p= 0,902) antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen (Tabel 5). Hasil uji Wilcoxon T-Test pada kelompok eksperimen mempertegas tidak adanya perbedaan gangguan kelekatan yang signifikan (p= 0,865) antara kondisi pretest dan post-test (Tabel 3). Disamping itu hasil uji Wilcoxon T-Test terhadap kelompok kontrol juga menunjukkan tidak adanya perbedaan gangguan kelekatan yang signifikan (p= 0,128) antara kondisi pretest dan post-test (Tabel 3). Skor rata-rata posttest kelompok eksperimen (Mean = 60,142) lebih rendah
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Tabel 1. Statistik Deskriptif Kelompok Eksperimen N SD Mean 7 61,000 7,681 Pretest 7 60,142 9,371 Posttest
Minimum 54,000 48,000
Maksimum 73,000 75,000
Tabel 2 Statistik Deskriptif Kelompok Kontrol N Mean Pretest 7 63,571 Posttest 7 59,000
Minimum 59,00 51,00
Maksimum 68,00 69,00
SD 3,552 6,807
11
PSIKOLOGIA, Volume 2, No. 1, Juni 2006: 7 – 15
Tabel 3 Hasil Uji Wilcoxon T-Test terhadap data Penelitian Pretest –Posttest Gangguan Kelekatan Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol No Kelompok z p Kesimpulan Mean Pretest Mean Posttest 1 Eksperimen 61,000 60,142 -,170 0,865 Nirsignifikan 2 Kontrol 65,571 59,000 -1,542 0,128 Nirsignifikan Keterangan z : Transformasi Distribusi Normal p : Tingkat kesalahan Tabel 4. Statistik Deskriptif Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol N SD Minimum Mean 14 62,286 5,902 54,000 Pretest 14 59,571 7,891 48,000 Posttets Kelompok 14 1,50 0,519 1,00 Tabel 5. Hasil Uji U Mann-Whitney terhadap data Penelitian Kelompok Kontrol Pretest dan Posttest Gangguan Kelekatan No Tes p Mean 1 62,286 0,209 Pretest 2 59,571 0,902 Posttest
dibandingkan dengan skor rata-rata gangguan kelekatan saat pretest (Mean=61,000), namun hasil uji Wilcoxon T-Test menunjukkan bahwa perbedaan gangguan kelekatan antara kondisi pretest dan post-test kelompok eksperimen tersebut tidak signifikan (p= 0,865) (Tabel 3). Berdasarkan data yang diperoleh di atas dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa Pelatihan Perilaku Keibuan Efektif dalam Meningkatkan Kualitas Kelekatan atau Kualitas Kelekatan Anak setelah Ibu mengikuti Pelatihan Perilaku Keibuan Meningkat dibandingkan sebelum Ibu mengikuti Pelatihan Perilaku Keibuan tidak terbukti (ditolak). Pembahasan Berdasarkan Gambar 1 diketahui bahwa skor mean kelompok eksperimen saat posttest lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun perbedaan skor mean ini tidak menunjukkan perbedaan yang berarti karena
12
Kelompok
Maksimum 73,000 75,00 2,00 Eksperimen dan
Kesimpulan Nirsignifikan Nirsignifikan
hasil analisis statistik dengan menggunakan tes U Mann- Whitney menyatakan bahwa tidak adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dalam tingkat gangguan kelekatan (p= 0,902). Hal tersebut berarti bahwa pemberian perlakuan berupa Pelatihan Perilaku Keibuan pada kelompok eksperimen tidak efektif dalam memperbaiki gangguan kelekatan yang dialami anak. Ada beberapa faktor yang menyebabkan pemberian Pelatihan Perilaku Keibuan pada ibu-ibu yang menjadi kelompok eksperimen tidak memberikan dampak pada penurunan gangguan kelekatan yang dialami anak, antara lain: a). Intensitas perlakuan Perlakuan yang diberikan pada kelompok eksperimen berupa Pelatihan Perilaku Keibuan hanya diberikan selama tiga kali pertemuan dengan jumlah waktu selama 615 menit (10 jam 25 menit)
Ervika Keibuan…
Efektivitas
Pelatihan
Perilaku
Skor
Grafik Perbandingan Mean Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol 65 64 63 62 61 60 59 58 57 56
64
61
Kelompok Eksperimen
60 59
Pretest
Kelompok Kontrol
Postest
Gambar 1. Grafik Perbandingan Mean Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
dan terdiri dari 16 sesi. Berdasarkan penelitian terdahulu di Universitas California (Renninger, 1998) dibuat suatu program yang dinamakan “Program Pelayanan Perkembangan Keluarga” (The Family Development Service Program) yang mendapatkant hasil yang berbeda. Program ini disusun dengan menggunakan pendekatan behavioral kognitif. Berdasarkan hasil pengukurannya, diketahui bahwa program tersebut teruji efektif setelah diberikan selama satu tahun. Bila melihat dan membandingkan The Family Development Service Program dengan Pelatihan Perilaku Keibuan yang diberikan pada kelompok eksperimen dalam penelitian ini, dapat diketahui bahwa terdapat kesenjangan yang cukup tinggi dalam intensitas pemberian perlakuan. b). Perlakuan bersifat kuratif Pelatihan perilaku keibuan yang diberikan pada kelompok eksperimen dalam penelitian ini lebih bersifat kuratif (penyembuhan), maksudnya adalah perlakuan diberikan pada ibu-ibu yang anaknya telah terbukti mengalami gangguan kelekatan. Penelitian-penelitian terdahulu membuktikan bahwa perlakuan yang bersifat preventif (pencegahan) jauh lebih efektif dibandingkan dengan perlakuan yang bersifat kuratif. Hal ini dibuktikan oleh Lieberman dan Paul (dalam Renninger, 1998) yang melihat program yang dilaksanakan oleh General Hospital, San Fransisco yang dinamakan
Infant-Parent Psychoteraphy. Program tersebut ditujukan pada ibu-ibu yang dianggap memiliki risiko tinggi dalam pemeliharaan anak. Perlakuan diberikan pada ibu-ibu yang dicurigai kurang mampu melakukan pengasuhan yang efektif atau dapat dikatakan memiliki kualitas perilaku keibuan yang rendah. Sejalan dengan penelitian tersebut, Egeland dan Erickson (dalam Renninger, 1998) juga membuktikan bahwa program yang bersifat preventif terbukti efektif dalam memperbaiki gangguan kelekatan. STEEPS (Steps Toward Effective Enjoyable Parenting) adalah program yang dilaksanakan di Minnesota University. Program ini diberikan pada ibu-ibu yang baru hamil. Program dimulai dengan membangun relasi yang empatik sejak ibu hamil. Sebelumnya ibu diprediksi tidak mampu berperan menjadi ibu yang baik. c). Subjek tunggal Subjek tunggal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah yang menerima perlakuan hanyalah ibu yang anaknya mengalami gangguan kelekatan. Beberapa penelitian terdahulu membuktikan bahwa pemberian perlakuan akan lebih efektif bila diberikan secara komprehensif, maksudnya perlakuan diberikan pada ibu dengan melibatkan seluruh anggota keluarga, yaitu ayah, ibu dan anak serta anggota keluarga lainnya atau dikenal dengan istilah family therapy (Carr, 2000).
13
PSIKOLOGIA, Volume 2, No. 1, Juni 2006: 7 – 15
d). Ibu bukan merupakan figur lekat utama anak Anak-anak yang diukur gangguan kelekatannya dalam penelitian ini sebagian besar memiliki kecenderungan untuk lebih dekat dengan ayah dibanding ibu. Hal ini tentunya akan mempengaruhi efektivitas pemberian perlakuan. Ainsworth (dalam Hustiantie, 2002) menyatakan bahwa jika ikatan antara anak dengan figur lekatnya telah terbentuk maka figur lekat akan sulit digantikan oleh orang lain. Selain itu yang dipilih anak menjadi figur lekat adalah seseorang yang memiliki responsifitas dan sensitifitas yang tinggi terhadap kebutuhan anak. Berkaitan dengan hal tersebut Bowlby (1981) mengatakan bahwa seorang anak akan memilih seseorang yang responsif terhadap kebutuhannya, walaupun tidak terlalu banyak terlibat dalam pemeliharaan fisik anak. e). Informasi yang minimal dan kurang tepat Secara umum sebagian besar subjek penelitian mendapatkan informasi tentang cara mendidik anak dari orang tua atau teman yang telah berkeluarga. Meskipun telah berusaha mencari informasi tentang bagaimana cara mendidik anak, sumber informasi yang dirujuk belum sepenuhnya tepat. Informasi yang didapat dari orang tua seringkali berhubungan dengan pola pengasuhan tradisional yang berhubungan dengan berbagai macam mitos. Renninger (1998) menyatakan bahwa kondisi tersebut di atas berhubungan dengan pola pengasuhan tradisional yang harus diubah atau diperbaiki. Permasalahan yang dihadapi adalah budaya masyarakat kita yang cenderung menerapkan pola pengasuhan ganda. Adapun yang dimaksud dengan pengasuhan ganda adalah pengasuhan yang dilakukan oleh orang banyak atau dikenal dengan multi caretakers (Haditono, 2000). Permasalahan yang seringkali dihadapi pada pengasuhan ganda di masayarakat Indonesia adalah tidak jelasnya struktur yang diterapkan. Hal ini menimbulkan dampak negatif karena anak mengalami kebingungan menghadapi situasi yang tidak konsisten.
14
f). Masalah yang dialami ibu Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Belsky (1988) ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi kualitas perilaku keibuan, yang dalam penelitian ini diasumsikan berpengaruh terhadap tidak efektifnya pelatihan, yaitu: 1. Adanya perbedaan pandangan dan tanggung jawab pemeliharaan anak dan urusan rumah tangga dengan suami. 2. Perbedaan pandangan tentang gaya pengasuhan (responsif atau protektif). 3. Saat anak berusia di atas dua tahun kemampuan motorik dan mobilitasnya meningkat, hal ini membuat keinginannya untuk mengeksplorasi lingkungan juga meningkat, namun hal ini sering dianggap sebagai bentuk kenakalan sehingga anak bukannya mendapatkan stimulasi tapi dihambat dengan membatasi gerak anak. 4. Anak mulai mengalami pengalaman emosi seperti frustrasi, marah dan perasaan terancam. Ibu merasa kesulitan dan menganggap ekspresi emosi tersebut tidak penting sehingga tidak membuat anak merasa nyaman dan menemukan cara untuk mengekspresikan perasaannya. 5. Sejarah masa kecil yang tidak menyenangkan. 6. Lembar target tidak efektif. Berdasarkan hasil wawancara dan lembar tugas rumah diketahui bahwa semua subjek mengalami kesulitan dalam mengisi lembar target. Bila mengamati kondisi ini berdasarkan prinsip experiential learning (Johnson dan Johnson, 2000) dapat dikatakan bahwa subjek belum mampu merumuskan dan menerapkan action theory terhadap pengalaman pribadi yang mereka alami bersama anak. Meskipun hasil uji statistik menunjukkan bahwa pelatihan perilaku keibuan tidak efektif dalam memperbaiki gangguan kelekatan, berdasarkan hasil wawancara ditemukan bahwa pelatihan ini secara individual mampu memperbaiki gangguan kelekatan dari tingkat tinggi dan sedang ke tingkat rendah pada dua orang subjek penelitian.
Ervika Keibuan…
KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Secara umum pelatihan perilaku keibuan yang diberikan pada ibu-ibu yang anaknya mengalami gangguan kelekatan ternyata tidak efektif memperbaiki gangguan kelekatan yang dialami. Kondisi ini terbukti dengan tidak terjadinya perubahan yang signifikan antara kondisi pretest dan posttest subjek penelitian. 2. Secara khusus terdapat dua orang subjek penelitian yang mengalami penurunan gangguan kelekatan setelah mendapatkan pelatihan perilaku keibuan. Terjadi penurunan peringkat dari kategori sedang menjadi kategori rendah pada subjek C dan F. Skor yang diperoleh dua subjek ini saat pretest dan posttest berada di bawah mean kelompoknya. SARAN-SARAN Berdasarkan beberapa hasil yang diperoleh dalam penelitian ini maka diajukan saran sebagai berikut: 1. Bagi orang tua (ibu dan ayah) a) Status sebagai ibu yang telah melahirkan anak dan berpengalaman dalam menghadapi anak ternyata tidak terbukti mampu menghasilkan pola pengasuhan yang baik, untuk itu orang tua khususnya ibu diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan mengenai cara mendidik anak dengan mencari informasi dari sumber yang tepat. Pemahaman yang tepat mengenai konsep pendidikan dan pemeliharaan anak juga mampu menghindarkan orang tua dari mitos-mitos yang salah. Selain ibu, ayah juga dituntut memiliki pengetahuan mengenai cara mengasuh dan mendidik anak, hal ini disebabkan peran ayah yang tidak kalah penting dan banyak dipilih sebagai figur lekat utama anak. b) Sebaiknya ayah dan ibu menegakkan disiplin secara konsisten dan tepat serta menghindari hukuman fisik
Efektivitas
Pelatihan
Perilaku
(seperti memukul, mencubit atau menjewer) saat anak melakukan kesalahan. Orang tua juga diharapkan tidak menggunakan kata-kata kasar atau makian pada anak. Selain itu orang tua diharapkan mampu mengkomunikasikan maksud dan tujuan diterapkannya suatu aturan dengan alasan yang rasional. Kebiasaan menggunakan alasan yang irasional seperti menakut-nakuti atau mengancam anak sebaiknya dihindari. c) Bagi orang tua yang melibatkan pengasuh lain (multi caretaker), sebaiknya mengkomunikasikan aturan yang akan diterapkan pada anak sehingga tidak terjadi perbedaan pendapat. Hal ini guna menciptakan konsistensi dan keseragaman perlakuan antara orang tua dan pengasuh lain. 2. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat melakukan penelitian lanjutan dengan terlebih dahulu mengatasi kelemahan-kelemahan dalam penelitian ini, antara lain: a) Sebaiknya melakukan seleksi figur lekat utama anak. Hal ini dilakukan untuk menghindari perbedaan efek perlakuan ibu terhadap anak. b) Menambah intensitas pemberian Pelatihan Perilaku Keibuan. c) Intervensi tidak hanya diberikan pada ibu tetapi juga diberikan pada anggota keluarga yang lain, khususnya ayah, pengasuh lain dan anak yang mengalami gangguan kelekatan. d) Pelatihan sebaiknya diberikan pada ibu-ibu yang dicurigai memiliki risiko kurang mampu memelihara dan mendidik anak dengan baik. Pelatihan yang bersifat prevensi diasumsikan akan memberikan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan pelatihan yang bertujuan kurasi. e) Melakukan penyempurnaan modul yang meliputi materi ceramah dan materi simulasi kasus. Materi hendaknya difokuskan pada bentukbentuk ketrampilan yang lebih konkrit dan bersifat operasional. Selain itu
15
PSIKOLOGIA, Volume 2, No. 1, Juni 2006: 7 – 15
perlu dibuat instruksi yang lebih jelas mengenai cara menentukan perilaku target. f) Mengeksplorasi lebih lanjut penelitian ini dengan melibatkan variabelvariabel lain yang mempengaruhi timbulnya gangguan kelekatan yang dialami anak seperti: kontribusi anak dan kontribusi lingkungan DAFTAR PUSTAKA Andayani,T.R., 2001. Perlakuan Salah Terhadap Anak (Child Abuse) Ditinjau dari Nilai Anak dan Tingkat Pendidikan Orang Tua. Tesis. Yogyakarta: Program Studi Psikologi Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Bee, H. 1981. The Developing Child. Third edition. New York. Harper International Belsky, J. (Ed) 1988. Infancy, Childhood and adollescene. Clinical Implication of Attachment. Lawrence Erlbaum Associate Bowlby, J., 1981. Attachment and Loss. Vol 1. Attachment. Harmondsworth, England; Penguin Books Carr, A., 2001. Family Therapy; Concept, Process and Practice. West Sussex: John Willey and Sons Ltd Cicchetti, D & Toth, S.L., 1995. Developmental Psychopatology and Disorder of Affect dalam Cicchetty, D & Cohen, D.J., Developmental Psychopatology Volume 2. Risk Disorder and Adaptation. Halaman 369-420. John Willey and Sons Inc Ervika, Eka, 2000. Kualitas Kelekatan dan Kemampuan Berempati pada Anak. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Haditono, S.R., 2000. Peran Psikologi di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Pembina Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Hadiyanti, F.N.R., 1992. Perkembangan Perilaku Adaptif Pada Anak ditinjau dari Perilaku Ibu saat Bersama Anak dan Lama Anak Menerima ASI. Tesis. Yogyakarta: Program Studi Psikologi Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
16
Hustiantie, A., 2002. Hubungan antara Tipe Kelekatan dengan Perilaku Agresi Anak Prasekolah. Tesis. Yogyakarta: Program Studi Psikologi Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Johnson, D.W. & Johnson, F.P., 2000. Joinning Together, Group Theory and Group Skills. Seven Edition. Boston: Allyn and Bacon Levy, M.R, Dignan, M. Shirreffs, J.H., 1984. Life and Health. Random House New York Parker, J.G., Rubin, K.H., Price, J.M., DeRosier, E.M., 1995. Child Development and Adjustment: A developmental Psychology Perspective dalam Cicchetty,D & Cohen, D.J., Developmental Psychopatology Volume 2. Risk Disorder and Adaptation. Halaman 96-161. John Willey and Sons Inc Pramana, W, 1996. The Utility of Theories of Parenting, Attachment, Stress and Stigma in Predicting Adjustment to Illness. Disertasi. Departement of Psychology the University Of Queensland. Porter, B. & Hernacki, M., 1999. Quantum Learning. Bandung: Kaifa Rokan, A.K., 2004. Bocah-Bocah Bunuh Diri. Online. Internet. Available http://www. sinarharapan.co.id/berita/0308/3d/fea 02.html Suara Pembaharuan Daily, 2005. Online Internet. Available http://www.suarapembaharuan.com/N ews/2005/05/22 Sugiyanto. 1995. Rancangan Eksperimen. Modul kuliah. Yogyakarta: Program Studi Psikologi Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Sutcliffe, J., 2002. Baby Bonding, Membentuk Ikatan Batin dengan Bayi. Jakarta: Taramedia & Restu Agung Tambunan,A.S.,2003. Cermin Buram Anak Indonesia. Online. Internet. Available http://www.icmi.or.id/berita_240707.h tm