EFEKTIVITAS DAN PERUMUSAN STRATEGI KEBIJAKAN BERAS NASIONAL
Oleh : PURDIYANTI PRATIWI A14104107
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN Purdiyanti Pratiwi. Efektivitas dan Perumusan Strategi Kebijakan Beras Nasional. Di bawah bimbingan Muhammad Firdaus. Beras adalah komoditas yang strategis secara ekonomi dan politis di Indonesia. Secara ekonomi, lebih dari 90 persen penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai makanan pokoknya. Industri industri beras juga menjadi penggerak perekonomian dengan menyediakan lapangan pekerjaan bagi lebih dari 12.5 juta rumah tangga petani dan sebagai salah satu sumber penerimaan GDP pertanian. Secara politis, ketersedian beras akan mempengaruhi kondisi politik dan kestabilan keamanan negara. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya campur tangan pemerintah dalam menjaga kondisi perberasan nasional. Campur tangan pemerintah terhadap ekonomi beras dilakukan melalui berbagai kebijakan dan lembaga pemerintahan seperti Deptan, BULOG dan Depdag. Tingginya konsumsi beras rata-rata penduduk (139,15kg/kap/th) membuat Indonesia menjadi salah satu negara net importer beras tertinggi dunia (rataan konsumsi dunia 80-90kg/kap/th). Besarnya konsumsi sangat dipengaruhi jumlah penduduk, makin luasnya wilayah konsumsi dan gagalnya diversifikasi pangan. Periode 1996-1997 rasio ketergantungan impor beras mencapai 3,0 persen dan meningkat secara signifikan pada periode 1998-1999 hingga mencapai 11,7 persen (impor beras sebesar 4,8 juta ton). Pada waktu itu, rasio swasembada turun hingga mencapai 88 persen atau terendah sejak tahun 1990. Upaya pemenuhan kebutuhan dapat dari produksi dalam negri maupun impor. Produksi dalam negri telah diupayakan melalui berbagai cara, namun produksi tetap stagnan. Sebenarnya impor dapat sangat membantu jika dalam jumlah dan waktu yang tepat terlebih karena harga beras dunia lebih rendah dari harga domestik. Namun pada tingkat berlebih, dapat mengganggu kemandirian pangan. Terlebih lagi, pasca ratifikasi WTO (1994), Indonesia wajib mematuhi semua kesepakatan yang tercantum didalamnya termasuk kesepakatan penurunan tarif impor antarnegara yang tertuang dalam Agreement on Agriculture (AoAWTO). AoA-WTO terdiri atas tiga pilar utama yaitu 1) Akses Pasar (Market Access); 2) Subsidi Domestik (Domestic Support); 3) Subsidi Ekspor (Export Subsidies yang dinilai disinsentif untuk negara berkembang karena terdistorsi kebijakan negara maju melalui berbagai subsidi dalam blue box, green box dan amber box. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perkembangan kebijakan beras yang telah dilakukan oleh pemerintah, mengevaluasi hasil kebijakan yang sudah berjalan serta merumuskan strategi dan program kebijakan perberasan nasional. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan melalui wawancara dan penyebaran kuesioner dengan responden terpilih. Terdapat dua kelompok responden yaitu kelompok pengambil kebijakan dan kelompok ahli perberasan independen. Untuk data sekunder, berupa data deret waktu (time series) selama 30 tahun (1978-2007). Jenis data yang digunakan meliputi data produksi padi dan beras, luas areal panen, tingkat produktivitas, konsumsi per kapita, jumlah impor, HPP gabah dan beras, NTP dan volume perdangangan beras dunia. Metode analisis menggunakan metode deskriptif dan kuantitatif. Analisis kuantitatif menggunakan semantic differential scale untuk
membuat Diagram Ular (Snake Diagram), Pembobotan menggunakan paired-wise comparison, Matriks SWOT dan QSPM untuk menentukan prioritas strategi. Sedangkan untuk menentukan prioritas program peningkatan produksi padi menggunakan Proses Hierarki Analitik (PHA). Pengolahan data menggunakan Microsoft Excel 2007 dan Expert Choice 2000. Melalui Inpres No. 3 Tahun 2007 tentang Kebijakan Perberasan, pemerintah terus berusaha agar Ketahanan Pangan Nasional terjaga sesuai dengan amanat UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan. Kebijakan perberasan nasional meliputi kebijakan produksi, impor, harga dan distribusi. Kebijakan produksi dilaksanakan melalui intensifikasi dengan meningkatkan produktivitas dan Indeks Pertanaman. Sedangkan ekstensifikasi dilakukan dengan memperluas area panen terutama di luar Jawa. Program peningkatan produksi padi (P4) dimulai dengan Padi Sentra (1959), Bimas (1965), Insus (1979) dan P2BN (2007). Kebijakan Impor dilakukan melalui penerapan tarif impor spesifik Rp 450/kg (30% Ad Valorem), hambatan nontarif, Tariff Rate Quota (TRQ) dan red line. Pengenaan tarif ini justru mendorong terjadinya penyelundupan (under invoice) karena tingginya disparitas harga harga. Akhirnya tahun 2004 pemerintah mengeluarkan SK Menperindag No.9/MPP/Kep/1/2004 tentang importasi beras, juga dengan mengembalikan Bulog sebagai State Trading Enterprise (STE) yang mengatur impor, harga dan distribusi beras melalui SK Mendag No.1109 Th 2007. Untuk melindungi petani, pemerintah mengeluarkan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Tujuannya adalah memberikan jaminan harga bagi petani. Sedangkan untuk konsumen adalah pagu harga (ceilling price), Operasi Pasar Murni dan Raskin. Kebijakan distribusi dilakukan dengan menunjuk Bulog untuk mengelola Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sebesar 1-1,5 juta ton beras untuk menjaga ketersediaan pangan sepanjang tahun. CBP terdiri dari stok operasi, buffer stock dan pipe line stock. Hasil analisis diagram ular menggunakan semantic differential scale menunjukkan bahwa kebijakan distribusi dinilai paling efektif dengan nilai total rata-rata indikator sebesar 2,4. Hal ini karena spesifiknya wilayah kerja Bulog, hanya mengelola CBP melalui pengadaan dalam negeri, koordinasi antarwilayah dan hak istimewanya sebagai STE sehingga stok CBP dan penyaluran Raskin terjaga. Kemudian diikuti dengan kebijakan harga dengan skor total rataan indikator sebesar 2,4. Meskipun nilainya sama dengan kebijakan distribusi, namun responden menilainya tidak efektif. Rasionalisasai HPP belum bisa menutup kenaikan biaya produksi sehingga pendapatan petani tetap rendah. Penerapan ceilling price, OPM dan Raskin sebagai bentuk transfer pendapatan justru mendistorsi harga domestik, terlebih dengan kondisi pasar yang asimetris. Kebijakan impor juga dianggap tidak efektif dengan skor rataan 2,35. Penetapan tarif impor justru memicu penyelundupan akibat tingginya paritas harga domestik dengan harga impor, meski jumlah impor turun. Ketidakefektifan tarif juga tercermin dari perbedaan data antara The Rice Trader dengan data BPS. Kebijakan produksi dinilai paling tidak efektif (2,25) karena pemerintah tidak mampu menahan laju konversi, banyak irigasi rusak dan menurunnya kualitas DAS membuat produktivitas stagnan dan IP rendah, sementara percetakan sawah baru sangat mahal dan lama. Ditambah dengan kegagalan diversifikasi pangan. Hasil semua kebijakan itu tercermin dari fluktuasi Nilai Tukar Petani (NTP) sebagai indikator pengukur kesejahteraan petani.
Analisis faktor internal diperoleh bahwa total bobot kekuatan sebesar 0,523 dan total bobot kelemahan sebesar 0,477. Artinya dalam pelaksanaan strategi perberasan, kekuatan memberikan pengaruh lebih besar terhadap kesuksesan daripada kelemahan. Faktor Program P2BN dan G4PG memiliki bobot terbesar (0,073) dan Bulog kembali memonopoli impor dan menggendalikan harga sebesar 0,055 (terendah). Elemen kelemahan, bobot tertinggi adalah faktor tertinggalnya pengembangan infrastruktur produksi dan pascapanen (0,079) dan terendah adalah kegagalan program diversifikasi pangan (0,057). Analisis faktor eksternal diperoleh bobot rataan peluang adalah 0,527 dan bobot rataan ancaman 0,475. Pengembangan teknologi produksi, pascapanen dan pengolahan produk memiliki bobot tertinggi pada elemen peluang yaitu 0,120. Sedangkan bobot terendah (0,093) diberikan pada kesepakatan negara Kelompok G-33. Untuk elemen ancaman, perubahan iklim dan bencana alam mendapat bobot tertinggi (0,104) dan terendah untuk elemen ancaman adalah pada faktor berbagai bentuk subsidi pertanian oleh negara maju (0,088). Berdasar analisis SWOT, diperoleh delapan strategi pengembangan perberasan. Berdasarkan analisis matriks QSP diperoleh bahwa strategi prioritasnya adalah mengkombinasikan kebijakaan protektif (pengenaan tarif dan nontarif) dengan kebijakan promotif melalui peningkatan produksi padi dengan Total Attractive Score (TAS) sebesar 5,575. Sedangkan prioritas terakhir dengan TAS terendah diberikan pada strategi Reformasi Agraria dengan nilai 4,102. Analisis menggunakan Proses Hierarki Analitik (PHA) bertujuan menentukan prioritas program peningkatan produksi padi. Ada empat faktor pertimbangan utama keberhasilan produksi yaitu: jumlah luas lahan, tingkat produktivitas, Indeks Pertanaman dan lembaga penunjang. Masing-masing faktor juga dipengaruhi oleh berbagai sub faktor pertimbangan utama. Analisis horizontal faktor pertimbangan utama menunjukkan bobot tertinggi diberikan pada faktor jumlah luas lahan (0,419); produktivitas (0,323); IP (0,163) dan lembaga penunjang (0,094) dengan Rasio Inkonsistensi 0.02. Sedangkan dari analisis vertikal diperoleh bahwa prioritas alternatif program adalah dengan membangun saluran irigasi berkoordinasi dengan Pemda terkait (bobot 0,387); mengadopsi teknologi baru sesuai dengan kondisi wilayah dan sumber daya lokal (bobot 0,351) dan terakhir adalah memperketat aturan alih fungsi lahan dan insentif bagi pemilik (0,262) dengan Rasio inkonsistensi 0,02. Langkah awal dalam mengembangkan ekonomi perberasan dapat dilaksanakan dengan melakukan studi komperehensif untuk meningkatkan akurasi data perberasan, melakukan koordinasi yang terintegrasi antarinstansi, meningkatkan komitmen dari seluruh otoritas pengambil kebijakan baik pusat maupun daerah dan melakukan pengawasan pelaksanaan kebijakan agar terlaksana secara efektif dan efisien. Saran penelitian selanjutnya dapat menganalisis secara kuantitatif indikator-indikator kebijakan beras.
EFEKTIVITAS DAN PERUMUSAN STRATEGI KEBIJAKAN BERAS NASIONAL
Oleh: PURDIYANTI PRATIWI A14104107
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Skripsi
: Efektivitas dan Perumusan Strategi Kebijakan Beras Nasional
Nama
: Purdiyanti Pratiwi
NRP
: A14104107
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Muhammad Firdaus, Ph.D NIP. 132 158 758
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN
INI
BERJUDUL
SAYA
MENYATAKAN
“EFEKTIVITAS
DAN
BAHWA
SKRIPSI
PERUMUSAN
YANG
STRATEGI
KEBIJAKAN BERAS NASIONAL” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHANBAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor,
Mei 2008
Purdiyanti Pratiwi A14104107
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Purdiyanti Pratiwi, dilahirkan di Banjarnegara pada tanggal 20 November 1986. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Sukardi dan Marwati. Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Wanakarsa 2, Banjarnegara. Kemudian tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SLTPN Wanadadi 1, Banjarnegara dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMAN 4 Jogjakarta pada tahun 2004. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) tahun 2004 sebagai mahasiswa program studi Manajemen Agribisnis, Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas pertanian. Pada tahun yang sama, penulis juga telah menjadi mahasiswa di Universitas Gajah Mada (UGM) di Jogjakarta. Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis aktif diberbagai organisasi kemahasiswaan dan LSM seperti Koperasi Mahasiswa IPB (2004-2006), Uni Konservasi Fauna IPB (2004-sekarang) dan sebagai volenter WALHI (20062007). Penulis juga aktif mengikuti kompetisi tingkat perguruan tinggi dan berhasil memperoleh beberapa penghargaan tingkat nasional.
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah Yang Maha Kuasa atas anugerah, berkat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi penelitian yang berjudul “Efektivitas dan Perumusan Strategi Kebijakan Beras Nasional” dengan baik. Skripsi ini ditulis sebagai persyaratan menyelesaikan Program Sarjana pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan kebijakan perberasan, menganalisis efektivitas kebijakan perberasan yang telah berjalan, merumuskan strategi pengembangan kebijakan perberasan dan merumuskan program kebijakan peningkatan produksi padi nasional dalam upaya mewujudkan swasembada pangan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan ini masih terdapat kekurangan dan jauh dari sempurna, karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna penyempurnaan skripsi ini. Namun dengan segala keterbatasan yang ada, skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak dalam usaha memajukan ekonomi perberasan di Indonesia.
Bogor, Mei 2008
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan petunjuk dan hidayah-Nya, skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak , Ibu, Adikku dan Kakakku serta penghargaan pada berbagai pihak yang telah membantu dalam persiapan, pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini baik berupa bimbingan, dukungan dan masukan, terutama kepada: 1.
Muhammad Firdaus, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi, atas semua masukan, bimbingan dan kesabarannya.
2.
Ir. Lukman M Baga, MEc, selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas perhatian dan saran-saranya selama perkuliahan maupun saat penyusunan skripsi.
3.
Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku dosen penguji utama dan responden penelitian atas segala kritik dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini.
4.
Eva Yolynda A, SP, MM selaku dosen penguji komisi pendidikan atas pelbagai perbaikan dalam penyempurnaan skripsi ini.
5.
Yeka Hendra Fatika, SP dan Ibu Etriya, SP atas bimbingan, masukan, saran baik selama perkuliahan maupun selama penulisan skripsi serta bantuannya dalam menyebar kuesioner.
6.
Keluarga besar Mbah Atmo dan Mbah Sambudi atas doa, kasih sayang dan perhatiannya selama ini.
7.
Teman-teman di Nusakambangan dan teman-teman AGB 41, terima kasih atas dukungan, bantuan, persahabatan, perhatian dan kepedulianya.
8.
Ir. Ning Pribadi, MS dan Dr. Kaman Nainggolan, MsC, Ir. Deshaliman, MM; Dr. M. Fahri, MS, Ibu Handewi P. Saliem, MS, Ir. Bubun Subroto, Prof. Dr. Andi Hasanuddin selaku responden dan seluruh staf Deptan dan staf Departemen Agribisnis atas bantuannya selama pengambilan data
9.
Semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini maupun semasa kuliah yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ...................................................................................................... i DAFTAR TABEL .............................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... v I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ....................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ................................................................................ 7 1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................... 10 1.4. Kegunaan Penelitian ............................................................................... 10 1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ......................................... 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Produksi Beras ........................................................................................ 2.2. Konsumsi Beras ...................................................................................... 2.3. Konsep Ketahanan Pangan ..................................................................... 2.4. Penelitian mengenai Permintaan dan Penawaran Beras ......................... 2.5. Penelitian Mengenai Kebijakan Impor ................................................... 2.6. Penelitian Mengenai Kebijakan Harga ................................................... 2.7. Penelitian Mengenai Kebijakan Distribsi ...............................................
13 14 15 17 18 18 19
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis.................................................................. 3.1.1 Teori Permintaan dan Penawaran ................................................. 3.1.2 Teori Perdagangan Internasional .................................................. 3.1.3 Kebijakan Perdagangan Internasional........................................... 3.1.4.Perjanjian Perdagangan Internasional ........................................... 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ..........................................................
20 20 21 24 28 31
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 4.2. Jenis dan Sumber Data ........................................................................... 4.3. Metode Penarikan Sampel ...................................................................... 4.4. Metode Analisis dan Pengolahan Data ................................................... 4.4.1 Pembobotan Faktor Internal dan Eksternal ................................... 4.4.2 Matriks SWOT .............................................................................. 4.4.3 Matriks QSP .................................................................................. 4.4.4 Diagram Ular ................................................................................ 4.4.5 Proses Hierarki Analitik................................................................
32 32 33 35 36 39 40 43 45
ii
V. PERKEMBANGAN KEBIJAKAN BERAS NASIONAL 5.1. Kebijakan Produksi ................................................................................ 5.2. Kebijakan Impor ..................................................................................... 5.3. Kebijakan Pengendalian Harga .............................................................. 5.4. Kebijakan Distribusi ..............................................................................
52 56 57 60
VI. EFEKTIVITAS KEBIJAKAN BERAS DI INDONESIA 6.1. Indikator-Indikator Efektivitas Kebijakan.............................................. 6.1.1. Kebijakan Produksi ...................................................................... 6.1.2. Kebijakan Impor .......................................................................... 6.1.3. Kebijakan Harga .......................................................................... 6.1.4. Kebijakan Distribusi .................................................................... 6.2. Penilaian Efektivitas Kebijakan Beras Nasional .................................... 6.3. Dampak Kebijakan Perberasan Terhadap Kesejahteraan Petani ............
61 63 72 74 78 82 99
VII. PRIORITAS STRATEGI KEBIJAKAN PERBERASAN 7.1. Identifikasi Faktor Strategis Internal ...................................................... 106 7.1.1. Kekuatan ...................................................................................... 106 7.1.2. Kelemahan ................................................................................... 112 7.2. Identifikasi Faktor Strategis Eksternal ................................................... 117 7.2.1. Peluang......................................................................................... 117 7.2.2. Ancaman ...................................................................................... 120 7.3. Pembobotan Faktor Internal dan Eksternal ............................................ 125 7.3.1. Pembobotan Faktor Internal......................................................... 125 7.3.2. Pembobotan Faktor Eksternal ...................................................... 127 7.4. Matriks SWOT ....................................................................................... 130 7.5. Analisis Matriks QSP (Quantitative Strategic Planning) ...................... 135 VIII. PRIORITAS PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI PADI 8.1. Identifikasi Faktor dan Sub Faktor Pertimbangan Utama Penyusun Program Peningkatan Produksi Padi...................................................... 138 8.1.1. Luas Lahan ................................................................................... 139 8.1.2. Tingkat Produktivitas ................................................................... 141 8.1.3. Indeks Pertanaman ....................................................................... 144 8.1.4. Lembaga Penunjang ..................................................................... 146 8.2. Analisis Model Pemilihan Alternatif Program Peningkatan Produksi ... 148 8.3. Analisis Hasil Pengolahan Horizontal .................................................... 150 8.4. Analisis Hasil Pengolahan Vertikal ........................................................ 154 IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan ............................................................................................. 156 9.2. Saran ....................................................................................................... 158 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 159 LAMPIRAN ....................................................................................................... 163
iii
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi Tahun 1999-2007.................. 2 2. Jumlah Produksi, Konsumsi dan Impor Beras Periode 1995-2004 ............... 5 3. Produksi Beras Dunia Tahun 2003-2007 ...................................................... 7 4. Ringkasan Jenis Data, Sumber Data dalam Penelitian .................................. 33 5. Pembobotan Faktor Internal .......................................................................... 37 6. Pembobotan Faktor Eksternal ....................................................................... 38 7. Penilaian Bobot Indikator Keberhasilan Beras Nasional .............................. 38 8. Matriks Perencanaan Strategi Kuantitatif (QSPM) ....................................... 42 9. Nilai Skala Banding Berpasangan ................................................................. 47 10. Program Peningkatan Produksi Padi dan Paket Teknologi Anjuran ............. 54 11. Konversi Lahan Sawah Selama Tahun 2000-2002 ....................................... 64 12. Produksi Padi Beberapa Provinsi Sentra Beras Nasional (Ton).................... 69 13. Produksi Beras dan Tanaman Pangan Utama Lainnya (000 ton) .................. 71 14. Harga Rata-Rata Beras di Tingkat Konsumen di Kota Besar ....................... 77 15. Nilai Rata-Rata Penilaian Indikator Kebijakan Perberasan........................... 83 16. Impor Beras dari Berbagai Sumber Periode 1996-2005 (Ton) ..................... 93 17. Perlindungan Impor Beras pada Berbagai Negara ........................................ 95 18. Perkembangan Produksi dan Perdagangan Beras Dunia Periode 1995-2006 (000 ton) ...................................................................................... 123 19. Pembobotan Faktor Internal .......................................................................... 127 20. Pembobotan Faktor Eksternal ....................................................................... 129 21. Matriks SWOT Kebijakan Beras ................................................................... 134 22. Rataan Matrik QSP Menurut Keempat Responden ....................................... 137 23. Urutan Prioritas Faktor Pertimbangan Utama yang Mempengaruhi Program Peningkatan Produksi Padi ............................................................................ 150 24.Urutan Prioritas Sub faktor Pertimbangan Utama Program Peningkatan Produksi Padi terhadap Faktor Luas Lahan ................................................... 151 25.Urutan Prioritas Sub faktor Pertimbangan Utama Program Peningkatan Produksi Padi terhadap Faktor Produktivitas ................................................ 152 26.Urutan Prioritas Sub faktor Pertimbangan Utama Program Peningkatan Produksi Padi terhadap Faktor Indeks Pertanaman ....................................... 153 27.Urutan Prioritas Sub faktor Pertimbangan Utama Program Peningkatan Produksi Padi terhadap Faktor Lembaga Penunjang ..................................... 153 28. Urutan Prioritas Alternatif Program Peningkatan Produksi Padi .................. 154 29.Urutan Prioritas Alternatif Program Peningkatan Produksi Padi dari Hasil Pengolahan Vertikal ...................................................................................... 155
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Keseimbangan dalam Perdagangan Internasional ......................................... 23 2. Kerangka Pemikiran Operasional .................................................................. 29 3. Matriks SWOT .............................................................................................. 40 4. Contoh Quesioner Semantic Differential Scale ............................................. 44 5. Skema Diagram Ular ..................................................................................... 45 6. Matriks Pendapat Individu ............................................................................ 48 7. Matriks Pendapat Gabungan.......................................................................... 48 8. Perkembangan Luas Areal Tanam Padi Tahun 1978-2007 ........................... 65 9. Dampak Kumulatif Konversi Sawah Terhadap Masalah Pangan ................. 66 10. Perkembangan Produktivitas Padi Tahun 1978-2007 ................................... 68 11. Perkembangan Jumlah Impor Beras Tahun 1986-2006 (ton) ...................... 73 12. Perkembangan Harga Pembelian Pemerintah Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling di Tingkat Petani Periode 2000-2007..................................... 76 13. Realisasi Pengadaan Beras Dalam Negri oleh Bulog (ton) ........................... 79 14. Pola Distribusi Beras Dalam Negri Tahun 2004 ........................................... 80 15. Perkembangan Realisasi Raskin Dari Tahun 2000-2007 .............................. 82 16. Penilaian Keberhasilan Kebijakan Beras Menurut Responden di Bidang Keahlian Ekonomi Pertanian, Teknologi dan Budidaya Pertanian ............... 84 17. Diagram Ular Kebijakan Beras Menurut Responden Peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian ............................................. 85 18. Perkembangan Konsumsi Per Kapita Beras 1978-2006 (Ton)...................... 89 19. Perkembangan Produksi, Konsumsi Padi dan Beras 1987-2007 (Ton) ........ 91 20. Perkembangan Nilai Nilai Tukar Petani Padi Periode 1992-2007 ................ 101 21. Perkembangan Harga Gabah dan Beras Rill Tahun 1993-2007.................... 103 22. Struktur Hierarki Program Kebijakan Peningkatan Produksi Padi ............... 149
v
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Data Produksi, Luasan Panen dan Produktivitas Padi di Indonesia ............. 164 2. Data Impor, Konsumsi dan Tarif Impor Beras .............................................. 165 3. Data Perkembangan NTP Agregat di 14 Provinsi di Indonesia Tahun 1994-2006 (1993=100) .................................................................................. 166 4. Harga Dasar Gabah dan Harga Rata-Rata Gabah di Tingkat Produsen Tahun 2000-2007 .......................................................................................... 167 5. Realisasi Raskin Tahun 2000-2007 ............................................................... 168 6. Realisasi Pengadaan Dalam Negri Tahun 200-2007 (ton setara beras) ........ 169 7. Pembobotan Rata- Rata Faktor Strategis Internal ......................................... 170 8. Pembobotan Rata- Rata Faktor Strategis Internal ......................................... 170 9. Hasil Analisis QSPM..................................................................................... 171 10. Hasil Pengolahan Horizontal dengan Expert Choice 2000 ........................... 176 11. Hasil Pengolahan Vertikal dengan Expert Choice 2000 ............................... 177 12. Data Responden dalam penelitian ................................................................. 178 13. Kuesioner Efektivitas Kebijakan Perberasan di Indonesia............................ 181 14. Kuesioner QSPM ........................................................................................... 182 15. Kuesioner Proses Hierarki Analitik (PHA) ................................................... 190
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Beras merupakan komoditi strategis dan penting bagi rakyat Indonesia. Selain karena lebih dari 90 persen penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai makanan pokoknya (staple food), beras juga menjadi industri yang strategis bagi perkonomian nasional. Sawit (2005) menyatakan bahwa sumbangan industri beras terhadap GDP pertanian mencapai 28,8 persen pada tahun 2005, penyerapan tenaga kerja mencapai 28,79 persen dari total penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian (agriculture employment) atau setara dengan 12,05 juta orang. Jumlah ini adalah jumlah terbesar dibandingkan industri lain di tanah air. Selain bernilai strategis dari sisi ekonomi, beras juga penting sebagai instrumen untuk menjaga kestabilan keamanan pangan rakyat Indonesia. Sejarah telah membuktikan bahwa ketidakstabilan persediaan pangan khususnya beras telah memicu terjadinya kerusuhan dan tindak kriminal pada periode awal reformasi. Hal ini mengingatkan kita betapa pentingnya peran dan campur tangan pemerintah dalam menjaga ketersediaan beras sepanjang tahun, distribusi yang merata dan harga yang stabil. Karena itu beras diperlakukan sebagai komoditi yang strategis secara politis. Selama
beberapa
dekade
terakhir,
pemerintah
Indonesia
telah
mengeluarkan berbagai kebijakan perberasan agar ketahanan pangan dapat tercapai sesuai yang diamanatkan dalam UU No.7 tahun 1996 tentang Pangan. Campur tangan pemerintah dilakukan melalui berbagai lembaga yang memiliki otoritas dalam ekonomi perberasan seperti Departemen Petanian, Departemen
2
Perdagangan serta Badan Urusan Logistik (Bulog). Konsep ketahanan pangan tidak hanya meliputi ketersediaan pangan dalam jumlah cukup, tetapi juga mutu dan gizi yang seimbang, aman dikonsumsi serta dapat dijangkau oleh individu. Kebijakan perberasan di Indonesia meliputi kebijakan produksi, distribusi, impor dan pengendalian harga domestik dalam rangka menjaga ketahanan pangan nasional. Kebijakan produksi pangan, terutama padi, telah dituangkan melalui Inpres No. 9 Tahun 2002 tentang dukungan dalam rangka meningkatkan produktivitas padi di Indonesia. Sebelumnya pemerintah juga telah mengeluarkan berbagai paket teknologi seperti Bimbingan Masal (Bimas) tahun 1965, Intensifikasi Khusus (Insus) tahun 1979 dan Supra Insus tahun 1987. Sehingga tahun 1984 Indonesia mencapai swasembada beras. Namun kondisi tersebut hanya berlangsung sementara karena setelah itu Indonesia harus mengimpor beras untuk memenuhi kebutuhannya. Tabel 1. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi dari Tahun1999-2007 Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007*
Luas Produktivitas Panen (Ha) (Ton/Ha) 11730325 4,197 11963204 4,252 11793475 4,401 11499997 4,388 11521166 4,469 11488034 4,538 11922974 4,536 11839060 4,574 11786430 4,620 12165607 4,689
Produksi Padi (Ton) 50866387 49236692 51898852 50460762 51489694 52137604 54088468 54151097 54454937 57048558
Sumber: BPS (2007), diolah Keterangan: *) ARAM III Konversi gabah ke beras adalah 63,2% (BPS)
Produksi Beras (Ton) 32045824 31019116 32696277 31790280 32438507 32846691 34075735 34075735 34306610 35940591
Pertumbuhan Produksi Beras (%) 3,02 -3,20 5,40 -2,80 2,04 1,26 3,74 0,43 0,24 4,76
3
Dari Tabel 1 terlihat bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir telah terjadi peningkatan produksi padi, meskipun cenderung fluktuatif. Tingkat pertumbuhan produksi beras rata-rata sekitar 2,08 persen per tahun atau setara dengan satu juta ton beras. Penurunan produksi yang terjadi pada tahun 1999 sebesar 3,20 persen disebabkan oleh bencana El-Nino tahun 1998 sehingga berpengaruh terhadap jumlah panen tahun berikutnya. Penurunan produksi juga disebabkan oleh penurunan luas panen akibat konversi, pengunaan input yang kurang berkualitas, degradasi kualitas lahan, penurunan rendemen beras dan teknologi pascapanen yang kurang tepat. Penurunan rendemen padi menjadi determinan yang penting dalam produksi beras di Indonesia. Hal ini disebabkan karena setiap penurunan rendemen beras sebesar 1 persen, berarti produksi beras akan hilang sebesar 0,5 juta ton beras. Nilai ini menjadi penting untuk diperhatikan mengingat Indonesia merupakan net importer beras dunia dengan jumlah penduduk yang besar. Setelah tahun 2002, produksi padi terus meningkat secara positif meskipun pertumbuhannya sangat fluktuatif. Peningkatan produksi didorong dengan adanya peningkatan luas areal tanam dan peningkatan produktivitas. Pascakrisis ekonomi tahun 1998, produktivitas terus meningkat dengan pertumbuhan rata-rata 4,46 persen per tahun. Kenaikan yang cukup besar terjadi pada tahun 2007 yaitu 4,76 persen. Hal ini didorong oleh adanya kebijakan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) pada awal tahun 2007. Selain itu, pertumbuhan produksi juga dipicu oleh adanya kebijakan harga, baik Harga Dasar ataupun Harga Pengadaan Pemerintah (procurement price) yang bertujuan untuk mengurangi kerugian produsen padi akibat tingginya biaya produksi.
4
Dilihat dari jumlah produksinya, Indonesia merupakan salah satu negara produsen padi terbesar di dunia dengan produksi beras mencapai 34 juta ton per tahun. Namun tingginya tingkat konsumsi beras nasional yang tidak diimbangi dengan peningkatan produksi yang memadai membuat Indonesia menjadi salah satu net importer beras terbesar di dunia sejak tahun 1998. Kariyasa (2003) mencatat bahwa Indonesia mengimpor hampir 50 persen dari stok total beras dunia atau rata-rata sebesar 1,5 juta ton per tahun selama periode tahun 1990-99. Konsumsi rata-rata beras per kapita rakyat Indonesia adalah 139 kg/kapita/tahun. Nilai ini jauh lebih tinggi daripada konsumsi ideal yaitu sebesar 80-90 kg/kapita/tahun (Kariyasa, 2003). Faktor utama yang mendorong tingginya konsumsi adalah jumlah penduduk yang besar. Ditambah lagi dengan semakin meluasnya wilayah yang mengkonsumsi beras sebagai makanan utamanya. Jika pada tahun 90-an hanya ada tiga provinsi yang mengkonsumsi beras, kini hampir seluruh wilayah Indonesia telah berubah menjadi konsumen beras. Tingginya tingkat konsumsi ini membuat ketergantungan Indonesia akan beras impor semakin meningkat karena ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan domestik. Besarnya kebutuhan beras juga didorong oleh meningkatnya industri pangan dan ditambah dengan gagalnya program diversifikasi pangan pokok. Kegagalan diversifikasi pangan menjadi persoalan tersendiri bagi bangsa Indonesia karena dipicu pola budaya makan rakyat Indonesia yang merasa belum makan jika belum mengkonsumsi nasi, meskipun kebutuhan karbohidratnya sudah dipenuhi dari makanan lain.
5
Tabel 2. Jumlah Produksi, Konsumsi dan Impor Beras Periode 1995-2006 Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Produksi Beras (Ton) 32333691 32193949 31107544 32045824 31019116 32696277 31790280 32438507 32846691 33456854 34075735 34306610
Impor Beras (Ton) 1807875 2149753 349681 2895118 4751398 1355666 644733 1805380 1428506 236867 189617 438108
Konsumsi Total (Ton) 29315000 31328000 27721000 25330000 25468000 25572000 25714000 25888000 25985000 26247000 29251000 31627628
Sisa Stok ( Ton)* 4826566 3015702 3736225 9610942 10302514 8479943 6721013 8355887 8290197 7446721 5014352 3117090
Sumber: BPS dari berbagai tahun. *) Sisa Stok = Produksi Beras + Impor Beras – Konsumsi Total Jumlah impor beras dalam kurun waktu 1995-1999 relatif lebih tinggi daripada periode 2000-2006. Pada periode 1996-1997 rasio ketergantungan impor beras mencapai 3,0 persen dan meningkat secara signifikan pada periode 19981999 hingga mencapai 11,7 persen. Nilai ini setara dengan 15 persen total volume perdagangan beras di pasar dunia. Pada waktu itu, rasio swasembada turun hingga mencapai 88 persen atau terendah sejak tahun 19901. Pascakrisis jumlah impor beras ke Indonesia terus mengalami penurunan. Penurunan ini dipicu oleh kebijakan tarif impor beras spesifik (Ad valorem) pada Januari tahun 2000. Selain pengenaan hambatan tarif, masuknya beras impor juga dikenai inspeksi fisik yang ketat (red line) untuk mengefektifkan adanya tarif impor. Pengenaan tarif impor sebesar Rp.430/kg terbukti mampu mengurangi jumlah beras impor (Tabel 2), meskipun pada sisi lain pengenaan tarif
1
justru menimbulkan penyelundupan
Husein Sawit dan Lokollo (2007) dalam artikel Usulan Kebijakan Beras dari Bank Dunia: Resep Yang Keliru.
6
(under invoice) beras ke Indonesia akibat tingginya disparitas harga beras impor terhadap harga beras domestik. Akibat adanya berbagai kesulitan penerapan tarif, akhirnya pada Januari 2004 pemerintah mengeluarkan SK Menperindag No.9/MPP/Kep/1/2004 tentang larangan dan aturan importasi beras ke Indonesia. Disparitas harga beras terjadi karena harga beras di pasar dunia jauh lebih rendah daripada harga beras domestik. Jumlah beras impor yang masuk terlalu besar akan dapat merusak keseimbangan harga beras domestik yang akibatnya berpengaruh terhadap pendapatan petani padi dalam negeri. Karena itu untuk meningkatkan harga jual dan melindungi petani, pemerintah kemudian menggunakan
kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG) yang kemudian diganti
menjadi Harga Pembelian Pemerintah (procurement price) sebagai instrumennya. Namun kebijakan ini ternyata juga memiliki dampak negatif bagi petani sendiri dan konsumen karena sebagian besar petani padi di Indonesia juga menjadi konsumen beras. Karena itu, jika terjadi peningkatan harga di tingkat produsen maka daya beli masyarakat (petani dan konsumen) akan menurun yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat kesejahteraan petani. Berdasarkan penelitian, disebutkan bahwa hubungan antara harga produksi pertanian di tingkat konsumen dan di tingkat petani bersifat asimetri (Simatupang, 1989)2. Itu artinya peningkatan harga beras di tingkat konsumen ditransmisikan tidak sempurna dan lambat ke petani. Sedangkan penurunan harga beras di tingkat konsumen ditransmisikan secara sempurna dan cepat ke petani. Begitu pun dengan perubahan harga gabah. Mekanisme ini terjadi akibat struktur pasar beras
2
Simatupang dalam Husein Sawit (2007), artikel Usulan Kebijakan Beras dari Bank Dunia: Resep Yang Keliru
7
dunia yang bersifat oligopoli dan kurang efektifnya peranan Bulog sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap mekanisme distribusi dan impor beras. 1.2. Perumusan Masalah Sebagai negara produsen terbesar ketiga di dunia (USDA,2007), Indonesia seharusnya mampu memenuhi kebutuhan konsumsi domestiknya. Mengingat beras merupakan bahan makanan pokok bagi hampir seluruh penduduk yang memenuhi lebih dari 52 persen total kebutuhan kalori per hari (Sawit, 2005). Adapun usaha pemenuhan kebutuhan konsumsi dapat ditempuh melalui dua cara yaitu melaui produk domestik dan impor. Tabel 3. Produksi Beras Dunia Tahun 2003-2007 (juta ton)3 Negara
China India Indonesia Bangladesh Vietnam Thailand Nyamnar Lainnya Total Dunia
2003
112,462 88,530 35,024 26,152 22,082 18,011 10,730 78,752 391,743
2004
125,363 83,130 34,830 25,600 22,716 17,360 9,570 82,457 401,026
2005
126,414 91,790 34,959 28,758 22,772 18,200 10,440 84,723 418,056
2006
127,800 92,760 33,300 29,000 22,894 18,250 10,600 83,441 418,045
2007*
129,500 92,000 34,000 29,000 23,261 18,400 10,660 84,336 421,157
Sumber: USDA ( 2007), diolah *) Perhitungan hingga bulan November tahun 2007 Pemenuhan dari produksi domestik telah dilakukan dengan berbagai cara dan melalui berbagai kebijakan, tetapi hasilnya masih kurang optimal. Produksi beras relatif stagnan meskipun pemerintah telah mendorong melalui mekanisme harga dasar sebagai insentif untuk memacu petani berproduksi dan meningkatkan pendapatan. Menurut Malian (2004), rendahnya pertumbuhan produksi juga 3
World Rice Production, Consumption and Stock. www.usda.gov. [20 November 2007]
8
dipengaruhi berbagai faktor, antara lain: 1) Penurunan tingkat rendemen padi menjadi 63.2 persen pada tahun 2004 akibat penerapan teknologi yang tidak sesuai anjuran dan penggunaan rice milling unit (RMU) yang sudah tua. Malian mencatat bahwa dalam kurun waktu 50 tahun telah terjadi penurunan rendemen padi sebesar 7,5 persen karena pada tahun 50-an tingkat rendemen padi mencapai 70 persen. 2) Minimnya modal yang dimiliki oleh petani, sedangkan pascakrisis semua harga input seperti pupuk, pestisida dan biaya tenaga kerja mengalami peningkatan.
Akibatnya
produktivitas
cenderung
menurun.
3)
Adanya
kecenderungan lahan-lahan produktif di Indonesia, terutama di pulau jawa sudah pada tahap pelandaian (levelling off). Ditambah lagi meningkatnya konversi lahan pertanian ke nonpertanian akibat pertumbuhan penduduk dan industrialisasi sehingga pemenuhan kebutuhan beras dari produksi dalam negeri kurang dapat diandalkan. Sumber pemenuhan lain yaitu melalui impor. Kebijakan impor beras sebenarnya sangat membantu jika jumlah dan waktunya tepat. Mengingat dari sisi ekonomi, harga beras impor jauh lebih murah dibanding harga beras domestik. Namun pada tingkatan berlebih akan mengganggu kemandirian pangan suatu negara sehingga perlu kebijakan-kebijakan untuk mengurangi dampak negatif adanya impor. Kebijakan pengenaan tarif spesifik dan berbagai hambatan nontarif pada komoditi pertanian termasuk beras merupakan salah satu upaya pemerintah mengurangi ketergantungan impor. Akan tetapi kebijakan ini juga menimbulkan masalah baru yaitu meningkatnya penyelundupan beras ke Indonesia yang dapat merusak harga pasar dalam negeri.
9
Selain dari dalam negeri, tantangan juga datang dari luar negeri. Pengenaan tarif impor mendapat tekanan dari negara-negara maju melalui kerangka kesepakatan-kesepakatan multilateral (misalnya: adanya Agreement on Agriculture, WTO) dengan dalih melanggar kesepakatan perdagangan bebas yang telah disepakati sebelumnya. Meskipun menurut Sawit (2005), rendahnya harga beras impor di pasar internasional disebabkan karena terdistorsi berbagai kebijakan proteksi, subsidi ekspor dan subsidi domestik negara maju melalui green box, blue box dan amber box. Sehingga petani Indonesia tidak mampu bersaing di pasar beras dunia, karena harga yang terjadi di pasar tidak mencerminkan biaya produksi. Tingginya volume impor juga secara langsung akan berpengaruh terhadap harga beras domestik. Sesuai dengan konsep permintaan dan penawaran, semakin banyak jumlah impor maka semakin rendah harga beras domestik. Pada kondisi ini diperlukan kebijakan pengendalian harga yang mampu melindungi kepentingan produsen dan konsumen secara adil. Mekanisme kebijakan harga melalui harga dasar yang selama ini dilakukan ternyata belum mampu memberikan insentif yang sesuai pada petani padi. Berbagai kebijakan perberasan yang telah dikeluarkan pemerintah sebenarnya bertujuan akhir untuk mensejahterakan rakyat. Akan tetapi kebijakankebijakan tersebut juga sangat dipengaruhi mekanisme perdagangan internasional dan berbagai perubahan pada lingkungan internal maupun eksternal Indonesia. Oleh karena itu perlu disusun kebijakan baik kebijakan produksi, impor, distribusi dan pengendalian harga yang mampu memberi rasa keadilan bagi seluruh pelaku ekonomi melalui sebuah mekanisme perdagangan.
10
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah perkembangan hasil kebijakan beras yang pernah dilaksanakan di Indonesia? 2. Apakah pelaksanaan kebijakan beras yang sudah berjalan sudah mencapai sasaran yang diharapkan? 3. Bagaimanakah strategi dan program kebijakan untuk mengembangkan perberasan nasional? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan beras nasional. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan perkembangan kebijakan beras nasional. 2. Mengevaluasi hasil kebijakan beras nasional yang sudah berjalan. 3. Merumuskan strategi dan program kebijakan perberasan nasional. 1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai berbagai kebijakan perberasan yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan. Dapat menjadi bahan masukan bagi para pengambil kebijakan perberasan di Indonesia agar dapat merumuskan kebijakan yang mampu memberikan perlindungan bagi petani produsen maupun konsumen
11
secara adil. Selain itu juga sebagai bahan masukan dalam pengambilan keputusan kebijakan perdagangan beras internasional agar tercapai perdagangan beras yang adil (fair trade) di pasar internasional. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi berbagai pihak yang terkait dalam industri beras untuk menyiapkan langkahlangkah yang dapat mengingkatkan produksi dan produktivitas padi agar kemandirian dan kecukupan pangan Indonesia segera tercapai. Sedangkan untuk para akademisi, semoga penelitian ini dapat menjadi bahan informasi, perbandingan dan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya. 1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini merupakan suatu kajian kritis mengenai efektivitas kebijakan beras yang ada di Indonesia. Kebijakan yang dianalisis meliputi kebijakan produksi beras nasional, kebijakan impor, kebijakan pengendalian harga dan kebijakan distribusi beras. Ruang lingkup yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala nasional. Bahasan mengenai kebijakan produksi lebih menekankan pada berbagai kebijakan yang telah dilakukan pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan beras dalam negri. Aspek produksi yang dikaji adalah luas areal tanam, tingkat produktivitas dan jumlah produksi beras. Kebijakan impor akan membahas berbagai perubahan pada mekanisme impor yang dipengaruhi oleh perubahan aturan dalam perjanjian perdagangan internasional WTO. Aspek utamanya adalah tarif impor dan berbagai jenis restriksi nontarif. Kebijakan pengendalian harga meliputi penerapan harga dasar pembelian pemerintah (HPP) dan berbagai jenis operasi pasar dalam rangka melindungi produsen dan konsumen. Sedangkan
12
untuk kebijakan distribusi meliputi mekanisme distribusi beras yang dilakukan Bulog dalam rangka menjamin ketahanan pangan rakyat dan keamanan stok pangan nasional. Keterbatasan penelitian ini terletak pada penggunaan data yaitu penggunaan data tahunan sehingga fluktuasi bulanan (seperti harga) tidak dapat diidentifikasi secara nyata. Beberapa faktor kritis juga tidak dimasukkan dalam penelitian seperti inflasi, perubahan politik dan penguasa pemerintahan meskipun beras diperlakukan sebagai komoditi
politik. Penelitian ini hanya membahas
beras dari sudut pandang sebagai barang ekonomi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Produksi Beras Produksi adalah suatu proses mengubah input menjadi output melalui mekanisme sistem produksi baik berupa barang maupun jasa. Produksi beras berarti proses perubahan input produksi hingga menjadi beras yang siap dimanfaatkan oleh konsumen. Jumlah produksi beras di Indonesia sangat dipengaruhi oleh jumlah luasan panen dan tingkat produktivitas. Semakin luas areal panen dan semakin tinggi produktivitas maka semakin besar jumlah produksi. Selain kedua hal tersebut, produksi beras juga dipengaruhi oleh tingkat konversi dari gabah ke beras. Di Indonesia, tingkat konversi (rendemen) gabah sebesar 63,2 persen (BPS, 2007) dengan jumlah produksi beras berkisar antara 34 juta ton per tahun atau setara dengan 54 juta ton gabah kering giling (GKG). Nilai rendemen ini menjadi penting karena untuk setiap penurunan sebesar 1 persen, Indonesia akan kehilangan produksi beras sebesar 0,5 juta ton. Meskipun
terdapat
kecenderungan
peningkatan
produksi
dan
produktivitas, tetapi Indonesia belum mampu menyediakan kebutuhan pangan domestiknya sendiri (swasembada). Hal ini disebabkan karena pertumbuhan konsumsi beras nasional belum mampu diimbangi oleh pertumbuhan produksinya. Stagnansi produksi beras juga dipengaruhi oleh sifat produksi padi yang musiman, stagnansi produktivitas, penggunaan input yang kurang berkualitas, semakin meluasnya alih fungsi lahan produktif, lemahnya penguasaan teknologi produksi maupun pascapanen oleh petani dan pengaruh perubahan cuaca dan iklim yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan panen.
14
Perubahan cuaca dan iklim dapat berpengaruh negatif maupun positif terhadap produksi. Bila iklim mendukung, produksi padi pada suatu wilayah biasanya akan meningkat. Tetapi bila iklim sedang tidak bersahabat, produksi di wilayah tersebut akan menurun drastis. Selain itu padi juga merupakan salah satu produk pertanian yang sangat rentan terhadap kerusakan (perishable). Karena itu jumlah penawaran dan permintaan beras di pasar internasional sangat berfluktuasi tergantung kondisi alam pada wilayah tersebut. 2.2. Konsumsi Beras Konsumsi adalah proses menghabiskan barang atau jasa untuk memuaskan keinginan (Lipsey, 1996). Konsumsi beras di Indonesia termasuk tertinggi di dunia yang mencapai 32 juta ton beras pada tahun 2006 dengan konsumsi per kapita sekitar 139,15 kg/tahun (BPS, 2007). Indonesia juga menjadi net importer beras dunia meskipun menjadi produsen beras terbesar ketiga dunia setelah China dan India dengan produksi sebesar 8 persen dari total produksi dunia pada tahun 20074. Tingginya jumlah konsumsi dipengaruhi oleh tingginya jumlah penduduk Indonesia yang makanan pokoknya beras. Tercatat lebih dari 90 persen penduduk Indonesia mengkonsumsi beras. Jumlah ini semakin bertambah seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Selain jumlah penduduk, meningkatnya permintaan beras nasional dipengaruhi oleh beberapa faktor lain diantaranya meningkatnya pendapatan masyarakat, stabilnya harga beras di pasaran, berubahnya pola makanan pokok sebagian penduduk dari pangan nonberas
4
World Rice Trade. www.usda.gov [28 Desember 2007]
15
menjadi beras. Masyarakat Madura merubah pola konsumsinya dari jagung menjadi beras, masyarakat Papua dari umbi-umbian menjadi beras. Hal ini membuat semakin bertambahnya tingkat permintaan beras nasional. Selain itu, permintaan beras juga didorong dengan semakin berkembangnya industri yang memanfaatkan beras sebagai bahan bakunya. 2.3. Konsep Ketahanan Pangan Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996 memberikan definisi ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Sementara USAID (1992) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai satu kondisi dimana masyarakat pada satu yang bersamaan memiliki akses yang cukup baik secara fisik maupun ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dietary dalam rangka untuk peningkatan kesehatan dan hidup yang lebih produktif. Perbedaan mendasar dari dua definisi ketahanan pangan tersebut yaitu pada UU No 7/1996 menekankan pada ketersediaan, rumah tangga dan kualitas (mutu) pangan. Sedangkan pada definisi USAID menekankan pada konsumsi, individu dan kualitas hidup5. FAO (1997) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai situasi di mana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dan di mana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut. Hal ini berarti konsep ketahanan pangan mencakup ketersediaan yang memadai, stabilitas dan akses 5
Achmad Suryana dan Sudi Mardianto. 2003. Apa itu Ketahanan Pangan. www.suarapembaharuandaily .com [21 Mei 2008]. Penulis adalah Kepala Litbang Badan Ketahanan Pangan, Deptan dan Peneliti PSE-KP.
16
terhadap pangan-pangan utama. Determinan dari ketahanan pangan dengan demikian adalah daya beli atau pendapatan yang memadai untuk memenuhi biaya hidup (FAO, 1996). Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu: 1. kecukupan ketersediaan pangan; 2. stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun. 3. aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta 4. kualitas/keamanan pangan Keempat indikator ini merupakan indikator utama untuk mendapatkan indeks ketahanan pangan. Ukuran ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dihitung bertahap dengan cara menggambungkan keempat komponen indikator ketahanan pangan tersebut, untuk mendapatkan satu indeks ketahanan pangan. Ketersediaan pangan dalam rumah tangga mengacu pada pangan yang cukup dan tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga diukur berdasarkan kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan anggota rumah tangga dalam sehari. Satu rumah tangga dikatakan memiliki stabilitas ketersediaan pangan jika mempunyai persediaan pangan diatas cutting point (240 hari untuk Provinsi Lampung dan 360 hari untuk Provinsi NTT) dan anggota rumah tangga dapat makan 3 kali sehari sesuai dengan kebiasaan makan penduduk di daerah tersebut. Indikator aksesibilitas dalam ketahanan pangan di tingkat rumah tangga
17
dilihat dari kemudahan rumahtangga memperoleh pangan, yang diukur dari pemilikan lahan serta cara rumah tangga untuk memperoleh pangan. Ukuran kualitas pangan seperti ini sangat sulit dilakukan karena melibatkan berbagai macam jenis makanan dengan kandungan gizi yang berbeda-beda., sehingga ukuran keamanan pangan hanya dilihat dari ada atau tidaknya bahan makanan yang mengandung protein hewani atau nabati yang dikonsumsi rumah tangga6. 2.4. Penelitian Mengenai Permintaan dan Penawaran Beras Rini Andriana (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa jumlah penawaran impor beras dunia terhadap Indonesia semakin meningkat seiring dengan meningkatnya produksi beras dunia. Peningkatan tersebut juga dipicu dengan dukungan pemerintah negara eksportir pada petani melalui pemberian insentif untuk meningkatkan produksi secara berkelanjutan. Selain itu dari segi harga, harga beras impor relatif lebih rendah dibanding dengan harga beras domestik. Dari sisi permintaan beras, yang dicerminkan dengan impor, jumlah impor beras Indonesia cenderung menurun karena adanya peningkatan produksi dalam negeri dan menurunnya konsumsi beras per kapita Berbagai kebijakan perberasan sebenarnya telah ditetapkan oleh pemerintah untuk melindungi petani maupun konsumen beras. Kebijakan untuk melindungi petani seperti kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP), namun selama ini kebijakan tersebut belum berjalan secara efektif. Kebijakan untuk melindungi konsumen melalui Operasi Pasar Murni (OPM), Operasi Pasar Khusus (OPK) dan Raskin juga belum efektif karena tidak mampu menstabilkan harga.
6
Tim Puslit Kependudukan LIPI. 2005. Ketahanan Rumah Tangga.www.lipi.go.id [21 Mei 2007]
18
Sedangkan untuk kebijakan impor relatif sudah lebih baik dari sebelumnya dengan diterapkannya tarif impor, pengaturan ijin, tatalaksana impor yang ditujukan untuk melindungi produsen dan konsumen beras di Indonesia. 2.5. Penelitian Mengenai Kebijakan Impor Tahun 2005, Lubis meneliti tentang kebijakan impor beras dan kaitannya dengan diversifikasi pangan menggunakan data sekunder (time series) periode tahun 1978-2002. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Model Pendekatan Simulasi Kebijakan (ATPSM - Agriculture Trade Policy Simulation Model) dengan analisis regresi berganda. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa jumlah impor beras dipengaruhi oleh harga di tingkat pedagang dan krisis yang terjadi. Pada kondisi ini, kebijakan yang paling efektif untuk mengurangi impor adalah quota tariff (out of quota tariff). Jumlah konsumsi dipengaruhi jumlah penduduk, harga terigu, tingkat pendapatan dan harga beras di tingkat konsumen. Menurut Lubis, kombinasi kebijakan peningkatan produksi beras dan subtitusinya akan mengakibatkan bertambahnya variasi pangan pokok. Jika ini dilakukan dengan pengurangan impor melalui quota tarif akan menurunkan ketersediaan pangan dan mendorong diversifikasi pangan. 2.5. Penelitian Mengenai Kebijakan Harga Pada tahun 2004, Ritonga meneliti keefektifan kebijakan harga dasar beras menggunakan model ekonometrika permintaan dan penawaran beras dalam bentuk persamaan simultan. Data yang digunakan adalah data sekunder (time series). Dalam penelitiannya, Ritonga menyatakan bahwa faktor-faktor yang
19
mempengaruhi jumlah permintaan dan penawaran beras secara signifikan adalah harga gabah di tingkat petani, teknologi yang digunakan, sarana produksi, tingkat konversi lahan, harga beras eceran, pendapatan per kapita dan populasi penduduk. Kebijakan peningkatan harga dasar memang meningkatkan pendapatan petani di satu pihak, namun di pihak lain kenaikan harga dasar akan diikuti dengan kenaikan harga beras eceran sehingga menurunkan kesejahteraan konsumen. Secara agregat kebijakan tersebut telah menurunkan agregasi kesejahteraan rakyat. 2.6. Penelitian Mengenai Distribusi Beras Evy (2007) menyatakan bahwa adanya perbedaan jumlah permintaan dan penawaran beras antarwaktu dan wilayah sebagai proses mekanisme pasar telah mendorong perlunya distribusi yang baik antarwilayah. Hal ini juga terjadi di wilayah DKI Jakarta yang merupakan salah satu wilayah defisit beras. Untuk memenuhi kebutuhan penduduk, pemerintah daerah harus mendatangkan beras dari daerah sekitarnya seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian kecil dari luar Jawa. Tercatat pada tahun 2006 produksi padi lokal hanya 7.239 ton sedangkan kebutuhan beras setiap hari mencapai 3000 ton. Sehingga sepanjang tahun, DKI Jakarta mengalami defisit sekitar 1 juta ton beras. Untuk itu Pemda DKI membangun PIC untuk mengatur arus distribusi beras dari dan ke Jakarta. Dari hasil chow test model pertama diketahui bahwa faktor yang berpengaruh nyata terhadap masuknya beras ke DKI Jakarta adalah tingkat pendapatan daerah dan jumlah penduduk karena dapat mendorong meningkatnya permintaan. Faktor daerah tujuan pemasaran, biaya transportasi antarwilayah, tingkat produksi dan populasi daerah pemasok tidak berpengaruh nyata.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Permintaan dan Penawaran Permintaan adalah jumlah barang atau jasa yang rela dan mampu dibeli oleh konsumen selama periode tertentu (Pappas dan Hirschey, 1995). Sedangkan menurut Lipsey et al. (1995), permintaan adalah hubungan menyeluruh antara kuantitas komoditas tertentu yang akan dibeli oleh konsumen selama periode waktu tertentu dengan harga tertentu. Faktor–faktor yang mempengaruhi jumlah permintaan suatu komoditas adalah harga komoditas itu sendiri, harga komoditas lain, tingkat pendapatan, selera dan jumlah penduduk. Faktor-faktor tersebut dapat digambarkan dalam sebuah fungsi, yaitu: QD
= f (Px, Py, I, S, Pop, ...) dimana:
QD
= Jumlah komoditi yang diminta
Px
= Harga komoditi X
Py
= Harga komoditi Y
I
= Pendapatan
Pop
= Jumlah populasi Sedangkan penawaran adalah jumlah suatu komoditas yang rela dan
mampu dijual oleh produsen dalam jangka waktu tertentu (Pappas dan Hirschey, 1995). Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penawaran adalah harga komoditas itu sendiri, harga komoditas lain, harga input, tingkat penggunaan teknologi, pajak dan subsidi serta tujuan perusahaan. Asumsi yang digunakan dalam teori ini adalah ceteris paribus atau jika faktor lain dianggap tetap. Faktor-
21
faktor yang mempengaruhi penawaran dapat digambarkan dalam sebuah fungsi, yaitu: QS
= f (Px, Py, Pi, r, T, ...) dimana:
QS
= Jumlah komoditi yang ditawarkan
Px
= Harga komoditi X
Py
= Harga komoditi Y
Pi
= Harga input
r
= Biaya modal
T
= Pajak Teori ini diharapkan mampu menjelaskan keterkaitan faktor-faktor yang
mempengaruhi jumlah permintaan dan penawaran terhadap produksi dan konsumsi beras dalam negeri. 3.1.2. Teori Perdagangan Internasional Teori perdagangan internasional digunakan untuk menganalisa dasar terjadinya perdagangan internasional dan keuntungannya. Terdapat dua kelompok teori mengenai perdagangan internasional yaitu teori klasik dan teori modern. Teori klasik terdiri dari Teori Keunggulan Absolut dari Adam Smith dan Teori Keunggulan Komparatif dari David Ricardo. Sedangkan teori modern salah satunya adalah Teori Faktor Proporsi dari Hecksher-Ohlin (Hady, 2001). 1. Teori Keunggulan Absolut Dasar teori ini adalah bahwa suatu negara akan memperoleh manfaat perdagangan internasional (gain from trade) karena melakukan spesialisasi produksi
dan mengekspor barang jika negara tersebut memiliki keunggulan
mutlak dan akan mengimpor barang jika negara tersebut tidak memiliki
22
keunggulan absolut terhadap jenis barang tersebut. Inti dari teori ini adalah adanya efisiensi penggunaan input, seperti tenaga kerja, akan sangat menentukan keunggulan suatu negara dalam perdagangan. Sehingga bila hanya satu negara yang memiliki keunggulan absolut untuk dua jenis produk, tidak akan terjadi perdagangan yang saling menguntungkan (Tambunan dalam Hady, 2003). 2. Teori Keunggulan Komparatif Kelemahan pada teori Adam Smith kemudian diperbaiki oleh David Ricardo dengan Teori Keunggulan Komparatif. Pada teori ini, meskipun suatu negara kurang efisien dalam memproduksi dua jenis produk, namun negara tersebut masih dapat melakukan perdagangan internasional yang menguntungkan pada produk yang memiliki biaya relatif lebih kecil dibanding produk lainnya. Menurut David Ricardo, perdagangan antarnegara akan terjadi bila masing-masing negara memiliki biaya relatif yang terkecil untuk jenis barang yang berbeda. Perbedaan relatif harga-harga atas berbagai komoditi antara dua negara merupakan pencerminan keunggulan komparatif
yang menjadi dasar
hubungan dagang agar dapat saling menguntungkan (Salvatore,1997). 3. Teori Hecksher-Ohlin (H-O) Teori ini menjelaskan bahwa pedagangan antara dua negara dapat terjadi karena perbedaan kepemilikan sumber daya. Negara yang memilki sumber daya yang relatif banyak akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barangnya. Sedangkan negara lain akan mengimpor barang yang sumber daya yang relatif langka/mahal dalam memproduksinya. Misalnya, Perdagangan antara Indonesia dan Jepang. Indonesia memiliki jumlah tenaga kerja yang besar, lahan yang luas dan sumber daya yang melimpah dibanding Jepang. Sedangkan Jepang
23
memiliki modal yang lebih banyak dari Indonesia. Struktur ini terbukti mampu menciptakan perdagangan yang saling menguntungkan (Hady, 2001). Pada dasarnya perdagangan antar negara dapat terjadi karena adanya perbedaan jumlah permintaan dan penawaran suatu komoditas. Kelebihan penawaran (excess supply) suatu negara dapat menjadi permintaan impor negara lain yang mengalami kekurangan (excess demand). Selain jumlah permintaan dan penawaran domestik, ekspor juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti harga komoditas itu sendiri, harga barang subtitusi, dan berbagai hambatan perdagangan (Salvatore, 1997). Px/Py PB
Px/Py Ekspor
Px/Py
SA
EB
S*
P*
SB
E*
PA
EA
D* X
0
X 0
Pasar Negara A
Impor
DA X
0 Pasar Internasional
Pasar Negara B
Gambar 1. Keseimbangan dalam Perdagangan Internasional Sumber: Salvatore, 1997 Gambar di atas menunjukkan proses terjadinya perdagangan internasional antara negara A dan B. DA dan SA adalah tingkat permintaan dan penawaran di Negara A dengan harga pada titik PA, sedangkan DB dan SB pada negara B dengan harga pada titik PB. Di negara A terjadi kelebihan penawaran suatu komoditas (excess supply) sedangkan di negara B terjadi kelebihan permintaan suatu komoditas (excess demand) karena tidak tercukupinya produksi dalam negeri.
24
Perdagangan kedua negara terjadi di pasar internasional dicerminkan pada kondisi D* dan S* dengan tingkat harga P*. Harga pada tingkat P* lebih tinggi daripada harga di pasar negara A yaitu sebesar P*-PA, sedangkan harga di negara B lebih tinggi dari pasar internasional sebesar PB – P*. Karena itu negara B akan memenuhi kelebihan permintaan dengan cara mengimpor dari negara A melalui perdagangan internasional. 3.1.3. Kebijakan Perdagangan Internasional Kesepakatan perdagangan bebas (free trade) dalam kerangka kerjasama internasional seharusnya dapat meningkatkan keuntungan setiap negara yang terlibat didalamnya. World Trade Organization (WTO) sebagai organisasi perdagangan internasional seharusnya mampu menciptakan mekanisme yang adil dalam perdagangan sehingga tidak ada negara yang dirugikan akibat terjadinya distorsi pasar melalui berbagai mekanisme hambatan. Distorsi pasar terjadi akibat masih banyaknya negara yang menerapkan berbagai jenis hambatan terutama negara-negara maju dengan dalih pengenaan kebijakan perdagangan (trade policy) atau kebijakan komersil (commercial policy). Hambatan ini berlaku terutama pada perdagangan produk-produk pertanian. Hambatan perdagangan terdiri dari hambatan tarif dan hambatan nontarif. 1. Hambatan Tarif (tariff barrier) Tarif adalah pajak atau cukai yang dikenakan untuk suatu komoditi yang diperdagangkan melewati lintas batas teritorial. Tarif terdiri dari tarif ekspor (export tariff ) dan tarif impor (import tariff). Menurut Salvatore (1997), tarif impor adalah pajak yang dikenakan untuk setiap komoditi yang diimpor dari
25
negara lain. Pengenaan tarif impor akan berdampak pada penurunan konsumsi domestik dan mendorong kenaikan produksi domestik. Berkurangnya volume impor akan meningkatkan penerimaan dalam bentuk pajak serta terjadinya redistribusi pendapatan dari konsumen ke produsen. Sedangkan tarif ekspor adalah pajak yang dikenakan pada suatu komoditi yang akan diekspor. Menurut Handono et.al (2004), berdasarkan tujuannya, penetapan tarif terdiri atas: a. Tarif Proteksi, yaitu pengenaan tarif bea masuk yang tinggi untuk mencegah atau membatasi impor atas barang tertentu. b. Tarif Revenue, yaitu pengenaan tarif bea masuk yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara. Karena itu Hamdy (2000) menyebutkan bahwa fungsi adanya bea masuk adalah untuk mengatur perlindungan kepentingan ekonomi dalam negri (fungsi regulend), sebagai sumber penerimaan negara (fungsi budgeter) dan fungsi pemerataan distribusi pendapatan nasional. Menurut Kariyasa (2003), ada tiga jenis tarif
yang diberlakukan di
Indonesia dilihat dari cara penghitunganya, yaitu: • Tarif ad valorem (ad valorem tariff) adalah pajak yang dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor. Misalnya, Indonesia mengenakan tarif 25 persen atas nilai impor beras dari Thailand. • Tarif Spesifik (specific tariff) adalah pajak yang dikenakan sebagai beban tetap unit barang yang diimpor, misalnya pungutan sebesar Rp.430/kg beras impor. • Tarif Campuran adalah gabungan dari tarif ad valorem dan tarif spesifik.
26
2. Hambatan Nontarif (nontariff barrier) Biasanya hambatan nontarif merupakan wujud campur tangan pemerintah dalam memproteksi industri domestiknya. Berikut adalah bentuk-bentuk restriksi perdagangan internasional: • Kuota Impor (Quota Impor) Kindleberger dan Lindert dalam Sawit (1978) menyatakan bahwa quota adalah “a limit on the total quantity of import allowed into a country each year”. Melalui quota dilakukan pembatasan jumlah impor terhadap suatu komoditi. Biasanya pemerintah memberikan lisensi terhadap kelompok tertentu untuk mengimpor yang jumlahnya sudah dibatasi. Menurut Irawan (2004), terdapat beberapa alasan diberlakukanya quota impor di suatu negara. a. Sebagai jaminan terhadap kemungkinan naiknya pengeluaran impor akibat persaingan perdagangan luar negri yang memburuk. b. Quota memberikan kekuatan dan fleksibilitas administrasi pada pemerintah. Jika dilihat dari sisi ekonomi, penerapan quota tidak memberikan nilai tambah kepada pemerintah karena tidak mempengaruhi penerimaan negara. Sehingga penerapan kebijakan ini lebih bersifat protektif terhadap pihak tertentu. • Subsidi Ekspor dan Impor Subsidi ini dapat berupa pengurangan biaya ekspor/impor maupun berbagai kemudahan lain seperti kemudahan administrasi, pemberian modal dan pembangunan infrastruktur. • Persyaratan-persyaratan Kesehatan Persyaratan-persyaratan tertentu yang sengaja dibuat untuk mengurangi laju impor suatu komoditi ke negara tersebut. Misalnya, Amerika selalu
27
mengangkat isu kesehatan manusia untuk menjatuhkan harga komoditas pertanian yang akan masuk ke negara tersebut. • Pajak Perbatasan Pajak perbatasan adalah pajak tidak langsung yang dikenakan kepada pengekspor (di luar tarif) untuk meringankan kewajiban pajak bagi importir domestik. • Dumping Dumping adalah ekspor dari suatu komoditas yang harganya jauh di bawah harga pasar, harga luar negeri lebih rendah daripada harga dalam negeri. Dumping dibagi menjadi tiga yaitu: dumping terus-menerus, dumping predator dan dumping sporadis. Pembukaan perdagangan internasional beberapa komoditi pertanian oleh pemerintah melalui impor merupakan salah satu bentuk liberalisasi perdagangan. Sejarah telah mencatat bahwa setelah tahun 1998 pemerintah Indonesia telah melakukan liberalisasi berbagai produk pertanian termasuk beras yang notabene produk terpenting pertanian nasional. Peranan Bulog sebagai State Trading Enterprise (STE) dicabut, tarif impor beras dibebaskan hingga 0 persen dan pencabutan berbagai kebijakan subsidi serta liberalisasi tataniaga pupuk. Terlebih lagi jika ini dikaitkan dengan berbagai perjanjian internasional yang ikut disepakati pemerintah Indonesia seperti ratifikasi Agreement on Agriculture (WTO) yang bertujuan untuk mereduksi berbagai hambatan perdagangan antarnegara dalam rangka liberalisasi pasar. Sebagian
ahli
berpendapat
bahwa
pelaksanaan
liberalisasi
akan
memberikan manfaat bagi perkonomian dan pembangunan pertanian Indonesia.
28
Namun untuk mencapai manfaat liberalisasi perdagangan secara optimal diperlukan Undang-undang yang mengatur persaingan yang sehat dan melarang praktek monopoli. Selain itu, setiap negara yang terlibat harus memiliki kemampuan sumber daya yang sama sehingga tidak ada negara yang akan dirugikan. Meskipun terdapat sebagian pihak yang mendukung dilakukannya liberalisasi perdagangan pada komoditi pertanian Indonesia, namun ada juga sebagian pihak yang tidak setuju karena liberalisasi menimbulkan dampak negatif bagi pertanian Indonesia. Hal ini disebabkan daya saing produk pertanian Indonesia belum sebanding dengan negara importir sehingga hanya akan merugikan petani kecil. Selain itu berbagai jenis proteksi yang dilakukan negara maju terhadap sektor pertanian melalui kebijakan harga (price support), subsidi langsung (direct payment) dan bantuan pasokan (supply managemnet program) telah menyebabkan distorsi perdagangan internasional produk pertanian dunia. Rendahnya harga dunia hanya menyebabkan harga di negara pengimpor menjadi tidak kompetitif sehingga kondisi persaingan menjadi tidak sehat. 3.1.4. Perjanjian Perdagangan Internasional Pasca penandatangan ratifikasi pembentukan World Trade Organization (WTO) melalui UU No.7 Tahun 1994, Indonesia berkewajiban mematuhi semua perjanjian yang ada didalamnya termasuk Perjanjian Pertanian (Agreement on Agriculture/AoA). Perjanjian ini bertujuan untuk melancarakan liberalisasi perdagangan dunia termasuk produk pertanian. Dalam perjanjian ini terdapat tiga pilar utama yaitu: 1) Akses Pasar (Market Access); 2) Subsidi Domestik
29
(Domestic Support); 3) Subsidi Ekspor (Export Subsidies) 7 . Di samping itu terdapat perlakuan khusus dan berbeda untuk komoditi tertentu, sehingga keberadannya perlu dimanfaatkan dalam pembangunan pertanian Indonesia. Sejak awal banyak negara berkembang yang meragukan akan manfaat AoA-WTO karena adanya berbagai kelemahan dan bersifat disinsentif bagi kebijakan pertanian negara berkembang seperti Indonesia. Kelemahannya antara lain: 1) Sulitnya akses pasar negara berkembang ke negara maju karena sejak awal tingkat tarifnya jauh lebih tinggi. 2) Banyaknya subsidi ekspor dan subsidi domestik yang dilakukan negara maju untuk mendorong ekspor dari surplus produksi yang tidak bisa dilakukan negara berkembang. 3) Tidak fleksibelnya pengenaan tarif bagi negara
berkembang untuk menyesuaikan dengan
perkembangan keadaan pada negara itu dalam menghadapi liberalisasi. Perundingan mengenai liberalisasi sebenarnya telah dimulai pasca penandatanganan Putaran Uruguay tahun 1986. Tujuanya adalah untuk mencegah meningkatnya proteksionisme negara maju. Hasil perundingan itu antara lain kesepakatan dilaksanakannya liberalisasi perdagangan dan setiap negara harus menyusun tingkat tarif yang akan diterapkan dan melakukan konversi hambatan nontarif ke dalam ekuivalen tarif. Hasil kesepakatan tersebut kemudian di terapkan melalui: 1) Pengurangan hambatan pasar dengan cara penurunan tarif rata-rata 36 persen untuk setiap jenis tarif di negara maju selama enam tahun, sedangkan di negara berkembang hanya 24 persen selama sepuluh tahun. Selain itu negara berkembang wajib memberikan minimum akses 5 persen dari konsumsi domestiknya untuk kuota impor. 2) Adanya pengurangan subsidi domestik, 7
Agreement on Agriculture. www.wto.org, [29 Desember 2007]
30
dimana negara maju wajib mengurangi subsidinya sebesar 20 persen tanpa batas waktu dan negara berkembang sebesar 13,3 persen dalam 10 tahun. 3) Pengurangan subsidi ekspor harus dilakukan sebesar 36 persen dalam enam tahun untuk negara maju, sedangkan negara berkembang sebesar 20 persen dalam 10 tahun (Malian, 2004). Perubahan kebijakan juga terjadi di Indonesia terutama mengenai liberalisasi perdagangan pasca kesepakatan Putaran Uruguay yang di tetapkan melalui AoA. Dalam
perkembanganya,
negara-negara
maju
belum
sepenuhnya
melaksanakan kesepakatan dalam AoA-WTO. Mereka masih memberikan subsidi dan proteksi yang besar terhadap produk pertaniannya. Duncan et al dalam Malian (2004) mencatat bahwa pada tahun 1999, Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang dan Korea Selatan masih memberikan proteksi rata-rata sebesar 116,2% – 463,4%. Hingga sekarang pun besaran proteksinya belum berubah signifikan sehingga membuat harga di pasar dunia terdistorsi. Hal inilah yang membuat liberalisasi menjadi tidak adil bagi negara berkembang karena negara berkembang hanya menjadi pemain kedua dan hanya menjadi pasar, seperti Indonesia. Sawit (2003) mencatat bahwa pascakrisis 1998, tingkat ketergantungan impor meningkat dua kali dibanding sebelum 1998. Ketergantungan impor beras mencapai 10 persen, jagung 20 persen, kedelai 55 persen dan gula 50 persen. Hal ini tentu saja berpengaruh buruk selain terhadap ketahanan pangan nasional juga terhadap kemandirian ekonomi dan politik bangsa. Mengingat bahan makanan pokok, khususnya beras diperlakukan sebagai komoditas politik dan sosial.
31
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Konsumsi beras per kapita Indonesia tinggi
Pemerintah mengeluarkan kebijakan perberasan - Kebijakan Produksi - Kebijakan Harga - Kebijakan Distribusi - Kebijakan Impor
Adanya berbagai hambatan pelaksanaan kebijakan
Analisis deskriptif
Analisis kuantitatif
Indikator keberhasilan kebijakan
Analisis lingkungan internal dan eksternal
Diagram ular SWOT Evaluasi hasil kebijakan beras
QSPM
Prioritas strategi kebijakan pengembangan beras
AHP
Prioritas program kebijakan produksi
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi Pengambilan dan Waktu Analisis Data Penelitian mengenai efektivitas kebijakan perberasan dilakukan di Indonesia. Pengambilan data dilakukan di Jakarta dan Bogor. Lokasi dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan kedekatan dengan narasumber dan instansi yang memiliki otoritas pengambilan kebijakan perberasan nasional seperti Badan Ketahanan Pangan, Direktorat Budidaya Serealia, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dan Kebijakan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Pusat Logistik dan Institut Pertanian Bogor. Waktu analisis data mulai bulan Februari hingga April 2008. 4.2. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dan penyebaran kuesioner dengan pihak yang memiliki otoritas pengambil kebijakan beras seperti Departemen Pertanian sebagai otoritas dan pelaksana kebijakan produksi, Badan Pusat Logistik sebagai otoritas kebijakan impor dan distribusi serta para ahli independen diberbagai bidang pertanian. Sedangkan untuk data sekunder, merupakan data deret waktu (time series) selama 30 tahun dari tahun 1977 hingga tahun 2007. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data produksi, konsumsi, jumlah impor, harga dasar gabah/beras dan data nilai tukar petani sebagai indikator keberhasilan kebijakan beras dan berbagai data pendukung lainnya. Selain itu juga digunakan data mengenai perdagangan beras Indonesia
33
dan negara-negara Asia lain di pasar internasional. Data-data ini diinterpretasikan baik melalui analisis deskriptif maupun secara grafis. Tabel 4. Ringkasan Jenis Data, Sumber Data dalam Penelitian Tujuan Jenis Data Sumber Data Menganalisis perkembangan Data Sekunder Deptan,Bulog, Depdag, kebijakan beras nasional Bea Cukai, Jurnal, Artikel ilmiah dan buku Menganalisis Efektivitas Data Primer dan Data Statistik Deptan, BPS, kebijakan beras Sekunder (Produksi, Bea Cukai, Bulog, luas lahan, HPP,NTP, USDA, Kuesioner dan produktivitas, impor, wawancara konsumsi, tarif impor, stok dunia, raskin dan pengadaan Menganalisis prioritas strategi Data Primer dan Data Kuesioner, Wawancara, kebijakan perberasan Sekunder USDA, Deptan dan Jurnal Menentukan prioritas program Data Primer dan Data Kuesioner, BPS, Jurnal kebijakan pengingkatan Sekunder dan laporan penelitian produksi padi
4.3. Metode Penarikan Sampel Penarikan
sampel
dilakukan
secara
sengaja
(purposive)
dengan
menggunakan teknik non probability sampling. Menurut Natzir (2003), teknik ini juga dinamakan judgement sampling karena pengambilan sampel dari populasi dilakukan berdasarkan atas pertimbangan pribadi yang ditentukan oleh peneliti. Sampel dalam penelitian ini terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok pengambil kebijakan dan kelompok ahli perberasan independen yang terkait dengan perberasan Indonesia. Kelompok pengambil kebijakan adalah pihak yang terkait secara langsung dengan pengambilan keputusan kebijakan beras nasional karena mereka memiliki otoritas didalamnya. Pada penelitian ini terdapat lima pakar yang menjadi
34
responden penelitian. Pakar tersebut adalah Kepala Bidang Program dan Evaluasi, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP); Kepala Pusat Distribusi Pangan, Badan Ketahanan Pangan DEPTAN; Kepala Sub Bidang Padi Irigasi dan Rawa, Direktorat Budidaya Serealia; dan Kepala Sub Divisi Pengamatan Harga dan Pasar, BULOG melalui wawancara dan pengisian kuesioner. Wawancara juga dilakukan dengan Kepala Badan Ketahanan Pangan, DEPTAN dan beberapa peneliti yang termasuk dalam kelompok responden kedua. Kelompok ahli independen adalah pihak diluar otoritas dengan berbagai bidang keahlian yang terkait secara tidak langsung dengan kebijakan perberasan. Responden adalah ahli ekonomi pertanian, ahli budidaya pertanian, ahli teknologi pertanian, peneliti perberasan dan kebijakan pertanian serta para akademisi di Institut Pertanian Bogor yang telah memenuhi syarat tertentu sebagai calon responden. Jumlah responden independen adalah 50 responden yang telah dipilih sebelumnya. Pertimbangan pemilihan responden adalah min berpendidikan S2 atau pakar perberasan untuk mengurangi bias pemahaman mengenai kebijakan beras. Responden dari bidang Ekonomi Pertanian sebanyak 15 orang, 9 orang diantaranya berpendidikan S3; 5 orang S1; 1 orang S1. Pengecualian ini terjadi karena meskipun responden berpendidikan S1 namun beliau adalah pakar perberasan dan menjadi anggota Komisi Pengawas Kebijakan Beras, Deptan. Responden bidang Teknologi
Pertanian sebanyak 5 orang, seluruhnya S3
(seluruhnya Profesor). Bidang Budidaya Pertanian sebanyak 7 orang, seluruhnya berpendidikan S3 (2 orang adalah Profesor). Para peneliti terdiri atas peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi (PPSE) dan Peneliti Pusat Pengembangan dan Penelitian Tanaman Pangan. Dari 11 peneliti PSE, terdiri atas
35
delapan orang S3 (4 diantaranya Professor) dan 3 orang S2. Sedangkan diantara 12 peneliti Pusbalitpa, 8 orang S3 (5 orang Profesor) dan 4 orang S2. Rincian keahlian seluruh responden penelitian ada pada Lampiran 12. Responden dari pengambil kebijakan diharapkan mampu mengevaluasi sejauh mana tingkat keberhasilan kebijakan–kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah dari sudut pandang internal. Selain itu, berdasar input yang didapat dari responden terpilih diharapkan dapat dirumuskan suatu strategi kongkrit untuk memperbaiki kondisi perberasan Indonesia. Sedangkan penilaian dari responden independen bermanfaat sebagai evaluasi dari sudut pandang eksternal yang menilai kinerja pemerintah melalui berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan dalam rangka mencapai ketahanan pangan nasional. 4.4. Metode Analisis dan Pengolahan Data Metode analisis yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif dan metode
kuantitatif.
Metode
deskriptif
digunakan
untuk
menganalisis
perkembangan perubahan kebijakan perberasan yang terjadi di Indonesia dan dampaknya terhadap ekonomi beras nasional selama beberapa tahun terakhir. Metode ini juga untuk menganalisis pengaruh perubahan kebijakan perdagangan internasional terhadap kondisi perberasan Indonesia dalam kerangka WTO. Metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis efektivitas dan keberhasilan kebijakan beras meliputi kebijakan produksi, kebijakan impor, kebijakan distribusi dan kebijakan pengendalian harga. Sebelum dilakukan analisis kuantitatif, terlebih dahulu ditentukan indikator-indikator keberhasilan kebijakan beras melalui wawancara mendalam dengan responden. Indikatorindikator tersebut ditentukan berdasarkan kebijakan yang telah ditetapkan dengan
36
mempertimbangkan faktor-faktor internal maupun eksternal kondisi ekonomi beras di Indonesia. Selanjutnya disusun strategi pengembangan perberasan berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan para pengambil kebijakan yang telah dilakukan sebelumnya. Analisis kuantitatif menggunakan tiga metode yang berbeda. Untuk melihat tingkat efektivitas dan keberhasilan implementasi kebijakan dari sudut pandang eksternal digunakan snake diagram (diagram ular) dengan menggunakan sematic differential scale. Sedangkan untuk menyusun strategi pengembangan kebijakan perberasan dikuantifikasikan dengan Quantitive Strategic Planning Matrix. Matriks ini bermanfaat untuk mencari suatu strategi yang paling menarik unuk dimplementasikan. Data kuantitatif diolah dengan menggunakan software Microsoft Exel 2007 dan alat hitung lainnya. Kemudian hasilnya disajikan dalam bentuk tabel, diagram dan gambar untuk memudahkan interpretasi bagi pembaca. Sedangkan untuk menentukan prioritas program peningkatan produksi padi digunakan metode Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarchy Process/AHP) yang hasilnya diolah dengan software Expert Choice 2000. 4.4.1. Pembobotan Faktor Internal dan Ekstenal Tahap ini bertujuan untuk menilai bobot faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap keberhasilan kebijakan perberasan nasional. Faktor internal terdiri atas elemen kekuatan (sthrengths) dan kelemahan (weaknesess). Dalam hal ini adalah kondisi perberasan Indonesia secara makro dari sisi permintaan (demands) maupun penawaran (supply). Selain itu juga berbagai faktor pendukung lain seperti kondisi ekonomi, sosial budaya, politik dan lingkungan alam. Faktor eksternal terdiri atas elemen peluang (opportunities)
37
dan ancaman (threats) kebijakan perberasan. Dalam hal ini adalah pertumbuhan produksi dan konsumsi dunia, perubahan harga dunia dan
perubahan
kesepakatan-kesepakatan perdagangan internasional. Faktor-faktor untuk setiap elemen dimasukan dalam kolom pertama. Penentuan bobot setiap elemen dalam penelitian ini dilakukan dengan metode matriks banding berpasangan (paired-wise comparison). Paired-wise Comparison merupakan metode untuk membandingkan secara bersamaan dua faktor (vertikal-horizontal) berdasar tingkat kepentingan dan pengaruhnya terhadap kebijakan beras (Kinnear, 1991). Penilaian dilakukan dengan memberikan nilai numerik dengan skala 1 sampai 3, dimana: Nilai 1: jika indikator horizontal kurang penting daripada indikator vertikal. Nilai 2: jika indikator horizontal sama penting dengan indikator vertikal. Nilai 3: jika indikator horizontal lebih penting daripada indikator vertikal. Nilai hasil pembobotan dimasukkan pada kolom dua. Bobot yang diberikan pada suatu faktor akan menunjukkan tingkat kepentingan relatif antarfaktor. Faktor yang paling berpengaruh terhadap kinerja kebijakan diberikan bobot paling tinggi dan jumlah seluruh bobot harus sama dengan 1,0. Ilustrasi pembobotan terdapat Tabel 4 dan 5. Tabel 5. Pembobotan Faktor Internal Faktor Strategis Internal Kekuatan Kelemahan Total
Bobot
38
Tabel 6. Pembobotan Faktor Eksternal Faktor Strategis Eksternal Peluang Ancaman Total
Bobot
Perbandingan berpasangan merupakan proses kuantifikasi hal-hal yang bersifat kualitatif sehingga pembobotan tidak dapat diberikan semata-mata berdasar paremeter secara simultan. Akan tetapi dengan persepsi pembandingan atau perbandingan yang diskalakan secara berpasangan. Ilustrasi pemberian bobot indikator kebijakan beras nasional dapat dilihat pada Tabel 7. Bobot dapat diperoleh dengan membagi total nilai setiap faktor terhadap jumlah nilai keseluruhan faktor dengan rumus:
α1 =
xi n ∑ xi i =1
Keterangan: α 1 = Bobot variabel ke-i xi = nilai variabel ke-i i = 1, 2, 3, … n = jumlah variabel
Tabel 7. Penilaian Bobot Indikator Keberhasilan Kebijakan Beras Nasional Faktor Penentu Strategis A B C D …… Bobot rata-rata A B C D …………… Total Sumber: Kinnear, 1991
39
4.4.2. Matriks SWOT Setelah mengidentifikasi faktor internal dan eksternal, tahap selanjutnya adalah tahap pencocokkan (Matching Stage). Tahap ini akan dilakukan dengan analisis SWOT. Analisis SWOT adalah proses mengidentifikasi berbagai faktor untuk merumuskan strategi organisasi (David, 2004). Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, tetapi secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. Menurut David (2004), Matriks Kekuatan-Kelemahan-Peluang-Ancaman (Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats) atau Matriks SWOT adalah alat untuk mencocokan yang penting untuk membantu pengambil keputusan mengembangkan empat tipe strategi, yaitu: Strategi SO (Strengths-Weaknesses), Strategi WO (Weaknesses-Opportunities), Strategi ST (Strengths-Threats) dan Strategi WT (Weaknesses-Threats). Mencocokkan faktor eksternal dengan faktor internal merupakan bagian tersulit dalam pengembangan matriks SWOT karena membutuhkan penilaian objektif dan tidak ada pencocokan terbaik. Strategi S-O disusun dengan menggunakan kekuatan internal organisasi untuk memanfaatkan peluang eksternal. Strategi W-O bertujuan untuk memperbaiki kelemahan internal dengan memanfaatkan peluang eksternal organisasi. Strategi S-T disusun dengan menggunakan kekuatan organisasi untuk menghindari atau mengurangi pengaruh dari ancaman eksternal. Sedangkan strategi W-T adalah suatu taktik defensif yang diarahkan untuk mengurangi kelemahan internal dan menghindari ancaman eksternal.
40
Langkah-langkah dalam menyusun matrik SWOT: 1. Menuliskan peluang dan ancaman eksternal kunci organisasi 2. Menuliskan kekuatan dan kelemahan internal kunci organisasi 3. Mencocokkan kekuatan internal dengan peluang eksternal masukkan hasil strategi S-O pada sel yang telah ditentukan. 4. Mencocokkan kelemahan internal dengan peluang eksternal masukkan hasil strategi W-O pada sel yang telah ditentukan 5. Mencocokkan kekuatan internal dengan ancaman eksternal, masukkan hasil strategi S-T pada sel yang telah ditentukan. 6. Menocokkan kelemahan internal dengan ancaman eksternal, masukkan hasil strategi W-T pada sel yang telah ditentukan. WEAKNESS (W)
STRENGTHS (S) 1. 2.
1. 2. (Faktor Kekuatan Internal)
3. OPPORTUNITIES (O) 1. 2.
(Faktor Kelemahan Internal) 3.
STRATEGI SO
STRATEGI WO
STRATEGI ST
STRATEGI WT
(Faktor Peluang Eksternal) 3.
THREATS (T) 1. 2. (Faktor Ancaman Eksternal) 3
Gambar 3. Matriks SWOT Sumber: David, 2004 4.4.3. Matrik QSP Tahap selanjutnya dalam analisis data penelitian ini adalah tahap keputusan. Pada tahap ini, teknik yang digunakan untuk menentukan daya tarik relatif dari alternatif tindakan yang layak adalah Matriks Perencanaan Strategi
41
Kuantitatif (Quantitative Strategic Planning Matrix-QSPM). Teknik ini dapat secara objektif mengindikasikan strategi mana yang terbaik karena menggunakan input dari tahap-tahap sebelumnya. QSPM merupakan alat yang memungkinkan penyusun strategi untuk mengevaluasi alternatif strategi secara objektif berdasarkan faktor keberhasilan kunci internal dan eksternal yang telah diidentifikasi sebelumnya. Penilaian intuitif yang baik sangat diperlukan pada teknik ini. Secara konsep, QSPM menentukan daya tarik relatif berbagai strategi berdasarkan seberapa jauh faktor keberhasilan tersebut dimanfaatkan atau diperbaiki. Daya tarik relatif masingmasing strategi dalam satu set alternatif dihitung dengan menentukan pengaruh kumulatif masing-masing faktor keberhasilan. Jumlah alternatif strategi bisa berapa saja tetapi hanya strategi dalam set yang sama yang dapat dievaluasi satu sama lain (David, 2004). Beberapa komponen QSPM yaitu: Alternatif Strategi, Faktor Keberhasilan Kunci, Bobot, Nilai Daya Tarik (Attractiveness Score-AS), Total Nilai Daya Tarik (Total Attractiveness Score-TAS) dan Penjumlahan Total Nilai Daya Tarik (Sum Total Attractiveness Score-STAS). Matriks QSP dapat dilihat pada Tabel 7. Menurut David (2004), langkah-langkah mengembangkan matriks QSPM adalah: 1. Membuat daftar peluang/ancaman eksternal dan kekuatan/kelemahan internal pada kolom kiri matriks QSPM. Informasi ini harus diambil langsung dari identifikasi faktor internal dan eksternal sebelumnya. 2. Memberikan bobot pada masing-masing faktor internal maupun eksternal. 3. Mengevaluasi matriks pada tahap 2 untuk mengidentifikasi alternatif-alternatif strategi yang harus dipertimbangkan organisasi untuk dilaksanakan.
42
Tabel 8. Matriks Perencanaan Strategi Kuantitatif (QSPM) Faktor Keberhasilan Kunci Bobot
Alternatif Strategi Strategi 1 Strategi 2 Strategi 3 TAS AS TAS AS TAS AS
Peluang Ancaman Kekuatan Kelemahan Total
Sumber: David, 2004 4. Tentukan Nilai Daya Tarik (Attractiveness Score-AS). AS didefinisikan sebagai angka yang mengindikasikan daya tarik relatif dari masing-masing strategi dalam set alternatif tertentu. Nilai ini ditentukan dengan memeriksa masing-masing faktor sambil mengajukan pertanyaan, “Apakah faktor ini berpengaruh terhadap pilihan strategi yang dibuat?” Nilai daya tarik harus diberikan pada masing-masing strategi untuk menunjukkan daya tarik relatif strategi satu terhadap strategi lainnya. Jangkauan nilai daya tarik adalah: 1 = tidak berpengaruh , 2 = agak berpengaruh, 3 = berpengaruh, 4 = sangat berpengaruh. 5. Hitung Total Nilai Daya Tarik (TAS). TAS adalah hasil dari perkalian bobot dengan nilai daya tarik (AS) dalam masing-masing baris. Semakin tinggi total nilai daya tarik maka semakin berpengaruh terhadap alternatif strategi 6. Total Nilai Daya Tarik dihitung dengan menambahkan semua total nilai daya tarik pada masing-masing kolom strategi dari QSPM. Penjumlahan ini akan menunjukkan strategi mana yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan. Semakin besar nilai penjumlahan maka strategi tersebut makin dapat diprioritaskan.
43
Sebagai salah satu alat analisis, matrik QSP memiliki beberapa keunggulan dibandingkan alat analisis lain yaitu: alternatif strategi dapat dievaluasi secara bertahap atau bersama-sama dalam berbagai tingkatan struktur organisasi. Kelebihan lainnya adalah matriks ini membutuhkan penyusun strategi untuk mengintegrasikan faktor internal dan eksternal yang relevan dalam proses keputusan. Sedangkan kelemahannya adalah selalu membutuhkan penilaian intuitif dan asumsi yang berdasar serta hanya dapat digunakan sebagai informasi pendahuluan dan analisis pencocokkan yang mendasari penyusunannya. 4.4.4. Diagram Ular (Snake Diagram) Menurut Churchil (1992) dan Kinnear (1991), ada tiga metode yang paling populer untuk mengukur sikap, persepsi dan preferensi melalui self-report techniques. Melalui teknik ini, responden diminta secara langsung untuk memberikan penilaian dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan pada kuesioner. Biasanya penilaian diinterpretasikan menggunakan skala angka agar mudah diukur hasilnya. Metode tersebut meliputi Summated Rating Scale, Semantic Differential Scale dan Staple Scale. Summated Rating Scale lebih dikenal dengan sebutan Skala Likert, yaitu skala yang digunakan untuk mengukur tingkat kesetujuan/ketidaksetujuan atau kesukaan/ketidaksukaan pada pernyataan yang terdapat di kuesioner. Semantic Differential Scale yaitu teknik pengukuran sikap dimana responden memberikan penilaian diantara sifat yang bertentangan seperti sangat buruk hingga sangat baik dan sangat berhasil hingga sangat tidak berhasil. Sedangkan Staple Scale merupakan modifikasi dari Semantic Differential Scale. Penelitian ini menggunakan Semantic Differential Scale untuk mengukur efektivitas kebijakan perberasan di Indonesia. Teknik ini sangat populer dan
44
mudah diadaptasi untuk berbagai jenis pengukuran sikap, selain itu juga mudah dikembangkan menurut subjeknya. Menurut penemunya, Charles Osgood, Semantic Differential Scale memiliki tiga dimensi dasar untuk menentukan reaksi responden terhadap objek yaitu: 1) Dimensi penilaian, ditunjukkan dengan adanya dua sikap seperti baik dan buruk. 2) Dimensi potensi, ditunjukkan dengan sifat seperti berpengaruh dan tidak berpengaruh, kuat dan lemah. 3) Dimensi aktivitas, ditunjukkan dengan sifat seperti cepat dan lambat. Pada umumnya penilaian menggunakan lima hingga tujuh skala. Namun dalam penelitian kali ini hanya menggunakan empat skala untuk menghindari central tendency jawaban responden. Uraian
Skala Baik Buruk
Sangat Baik A B C D … Gambar 4. Contoh Kuesioner Semantic Differential Scale
Sangat Buruk
Analisis data dilakukan dengan pendekatan analisis profil yaitu dengan cara memetakan rata-rata jawaban responden dari setiap pertanyaan pada skala yang telah ditentukan sebelumnya. Kemudian jawaban masing-masing pertanyaan dihubungkan dengan garis lurus untuk melihat kecenderungan jawaban responden. Hasil jawaban inilah yang biasanya disebut dengan Snake Diagram (diagram ular). Menurut Churchill (1992), diagram ini disebut demikian karena bentuknya yang menyerupai ular. Diagram Ular adalah diagram yang menghubungkan ratarata penilaian responden dengan garis lurus pada sekelompok pernyataan mengenai objek.
45
Uraian
Sangat Baik
Baik
: A : B : C : D … Gambar 5. Skema Diagram Ular Sumber: Kinnear dan Taylor, 1991
Buruk : : : :
Sangat Buruk : : : :
4.4.5. Proses Hierarki Analisis (PHA) Untuk
memperoleh
program
yang
komperehensif
dalam
rangka
pelaksanaan strategi kebijakan perberasan, maka sebelum analisis PHA seluruh data dan informasi akan dianalisis terlebih dahulu dengan melihat data produksi dan konsumsi beras. Kemudian faktor-faktor tersebut akan menjadi acuan penyusunan program kebijakan perberasan. Seluruh data dan informasi yang sudah diperoleh akan diolah dan dianalisis untuk menterjemahkan angka-angka yang didapat dari hasil penelitian di lapangan. Analisis diperlukan untuk memudahkan peneliti menjawab tujuan penelitian. Analisis data penelitian menggunakan Metode Proses Hierarki Analitik (PHA). Alasan penggunaan Proses Hierarki Analitik (PHA) sebagai alat analisis adalah: 1) Proses Hierarki Analitik merupakan suatu proses yang sederhana untuk menganalisis masalah yang komplek, dapat memodelkan masalah yang tidak terstruktur pada masalah pemasaran. 2) Proses Hierarki Analitik menunjukan prioritas untuk suatu kriteria yang diturunkan dari hasil perbandingan berpasangan dengan cara mengiterpretasikan konsistensi dari penilaian kualitatif ke kuantitatif. 3) Proses Hierarki Analitik menghargai adanya subjektivitas pendapat responden.
46
Penelitian ini dimulai dengan melakukan pengumpulan data dari responden melalui wawancara dan kuesioner dengan pihak yang kompeten. Selanjutnya adalah penyusunan struktur hierarki. Kemudian seluruh data hasil ditabulasikan dan di proses dengan program komputer Expert Choice Version 2000. Berikut adalah langkah kerja utama dalam PHA (Saaty, 1993): 1. Mendefinisikan persoalan dan merinci pemecahan persoalan yang diinginkan. Penguasaan peneliti terhadap masalah secara mendalam mutlak diperlukan pada tahap ini. Pemilihan tujuan, kriteria, kreativitas, dan elemen-elemen yang menyusun struktur hierarki ditentukan oleh peneliti tergantung pada permasalahan yang sedang dikaji. 2. Membuat struktur hierarki dari sudut pandang pengambil kebijakan secara keseluruhan. Penyusunan hierarki berdasarkan pada jenis keputusan yang akan diambil. Setiap set elemen akan menduduki suatu tingkat pada hierarki dan di tingkat puncak hanya akan ada satu elemen yang disebut fokus, yaitu sasaran keseluruhan yang bersifat luas. Tingkat berikutnya dapat terdiri dari beberapa elemen yang dibagi dalam kelompok yang homogen untuk dapat diperbandingkan dengan tingkat sebelumnya. 3. Menyusun matriks banding berpasangan. Dalam matriks ini, pasangan elemen akan dibandingkan dengan kriteria di tingkat yang lebih tinggi untuk melihat kontibusi dan pengaruh setiap elemen terhadap kriteria yang setingkat di atasnya. Dimulai dari puncak hierarki untuk fokus, yang merupakan dasar untuk melakukan perbandingan berpasangan antarelemen yang terkait di bawahnya. Kemudian dilanjutkan pada elemen berikutnya. Model struktur hierarki dapat dilihat pada pembahasan.
47
4. Mengumpulkan semua pertimbangan yang diperlukan dari hasil perbandingan berpasangan antar elemen pada langkah 3. Pada langkah ini dilakukan perbandingan berpasangan antarelemen pada kolom ke-i dengan setiap elemen pada baris ke-j yang berhubungan dengan fokus G. Pembandingan dilakukan dengan mengajukan pertanyaan: ”Seberapa kuat elemen baris ke-i dipengaruhi oleh fokus G dibandingkan dengan elemen kolom ke-j?”. Untuk mengisi matriks ini digunakan skala banding yang dapat dilihat pada Tabel 9. 5. Memasukan nilai-nilai kebalikannya beserta bilangan 1 sepanjang diagonal utama, dan dibawah diagonal utama diisi dengan nilai-nilai kebalikanya. Angka 2 sampai 9 digunakan bila Fi lebih mendominasi/berpengaruh terhadap sifat G dibanding sifat Fj. Bila sifat Fi kurang berpengaruh dibanding Fj, maka gunakan angka kebalikanya. Tabel 9. Nilai Skala Banding Berpasangan NILAI SKALA 1
DEFINISI Kedua elemen sama pentingnya
PENJELASAN Dua elemen dipengaruhi sama kuat pada sifat itu 3 Elemen yang satu sedikit lebih Pengalaman sedikit membantu satu penting daripada lainnya elemen diatas lainnya. 5 Elemen yang satu jelas lebih penting Pengalaman atau pertimbangan dibanding elemen lainnya. didorong dengan kuat dan dominasinya terlihat dalam praktik 7 Suatu elemen mutlak lebih penting Satu elemen dengan didukung dan dibanding lainnya dominasinya terlihat dalam praktek 9 Satu elemen mutlak lebih penting Dukungan elemen yang satu atas dibandingkan elemen lainya. yang lain memiliki tingkat penegasan yang tertinggi 2,4,6,8 Nilai-nilai diantara dua Kompromi diperlukan diantara dua pertimbangan yang berdekatan pertimbangan. Kebalikan Bila nilai diatas dianggap membandingkan antara elemen A dan B, maka nilai-nilai nilai kebalikanya (1/2, 1/3, 1/4,....,1/9) digunakan untuk membandingkan di atas kepentingan B terhadap A.
Sumber: Saaty, 1993 6. Melaksanakan langkah 3, 4, 5, untuk semua elemen pada setiap tingkat keputusan. Ada dua matriks perbandingan yang dipakai dalam PHA, yaitu:
48
a. Matriks Pendapat Individu/MPI (Gambar 7), merupakan matriks hasil perbandingan
yang
dilakukan
oleh
individu,
dimana
elemennya
disimbolkan dengan aij, yaitu matriks pada baris ke-i dan kolom ke-j. Nilai yag dihasilkan dapat diubah-ubah oleh individu yang bersangkutan. Tetapi, bila ada MPI yang tidak memenuhi persyaratan rasio inkonsistensi maka MPI tidak dimasukkan dalam analisis. G A1 A2 A3 A11 A12 A13 A1 A2 A21 A22 A23 A3 A31 A23 A33 ... ... ... ... ... ... ... ... An An1 An2 An3 Gambar 6. Matriks Pendapat Individu (MPI) Sumber: Saaty (1993).
... ... ... ... ... ... ...
An A1n A2n A3n ... ... Ann
b. Matriks Pendapat Gabungan (MPG), pada gambar, merupakan matriks baru yang elemennya Gij. Berasal dari rata-rata geometrik pendapat yang rasio inkonsistensinya lebih kecil atau sama dengan 0,1. G G1 G2 G3 ... ... Gn
G G11 G21 G31 ... ... Gn1
G2 G12 G22 G23 ... ... Gn2
G3 G13 G23 G33 ... ... Gn3
... ... ... ... ... ... ...
Gn G1n G2n G3n ... ... Gnn
Gambar 7. Matriks Pendapat Gabungan (MPG) Sumber: Saaty, 1993 Rumus matematikanya untuk mencari rata-rata geometrik adalah: m
Gij =
m
C ( a )k ij
k =1
49
Dimana: Gij
= elemen MPG baris ke-i kolom ke-j
(aij) k
= elemen baris ke-i kolom ke-j dari MPI ke-k
k
= Indeks MPI dari individu ke-k memenuhi syarat
m
= jumlah MPIyang memenuhi syarat
m m
C
= perkalian elemen ke-k sampai ke-m.
k =1
7. Penilaian prioritas untuk melakukan pembobotan faktor-faktor prioritas. Menggunakan komposisi secara hierarki untuk membobotkan vektor-vektor prioritas dengan bobot kriteria-kriteria dan menjumlahkan semua nilai prioritas terbobot yang bersangkutan dengan nilai prioritas dari tingkat bawah berikutnya, dan seterusnya. Pengolahan kedua matriks terdiri atas dua tahap, yaitu: a. Pengolahan horizontal, untuk melihat prioritas suatu elemen terhadap tingkat yang persis berada satu tingkat di atasnya. Terdiri tiga bagian yaitu: penentuan vektor prioritas (Rasio Vektor Eigen), uji konsistensi dan revisi MPI dan MPG yang memiliki rasio inkonsistensi tinggi. Penghitungan yang dilakukan pada tahap ini adalah: • Perkalian baris (Z) atau Vektor Eigen (VE) dengan rumus: n
zi =
n
∏a
ij
(i,j = 1,2,..,n)
k =1
• Perhitungan vektor prioritas (VP) atau Rasio Vektor Eigen adalah: n n
VP =
Ca
ij
n n
n
∑ Ca n
i =1
k =1
VP = (VPi), untuk i = 1,2,3,...n ij
50
• Perhitungan nilai Eigen Maks (λmaks), dengan rumus: VA = (aij) x VA
dengan VA = (Vai)
VB = VA
dengan VB = (Vbi)
VPi n
λ maks = 1/ n
∑ vb
i
untuk i = 1, 2, 3, ..n
i =1
•
Perhitungan Indeks Rasio Inkonsistensi (CI) dengan rumus:
CI = •
λ maks − n n −1
Perhitungan Rasio Inkonsistensi (CR) adalah: CR =
CI RI
RI = indeks acak Nilai rasio inkonsistensi yang lebih kecil atau sama dengan 10 persen merupakan nilai yang mempunyai tingkat konsistensi yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan. CR menjadi tolak ukur bagi konsisten atau tidaknya suatu hasil perbandingan berpasangan dalam suatu matriks pendapat. b. Pengolahan Vertikal, yaitu menyusun prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hierarki keputusan tertentu terhadap fokus. Bila CVij didefinisikan sebagai nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat ke-i terhadap sasaran utama, maka: CVij =
Σ CHij (t,i – 1) x VWt (i-1)
Untuk :
i = 1, 2, 3,...,n j = 1, 2, 3,...,n t = 1, 2, 3,...,n
51
dimana : CHij (t,i – 1) = nilai prioritas pengaruh elemen ke-i terhadap elemen ke-t pada tingkat diatasnya (i-1), yang diperoleh dari pengolahan horizontal. VWt (i-1)
= nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat ke (i-1) terhadap sasaran utama yang diperoleh dari hasil perhitungan horizontal.
P
= jumlah tingkat hierarki keputusan
r
= jumlah elemen pada tingkat ke-i
s
= jumlah elemen pada tingkat ke (i-1)
8. Mengevaluasi konsistensi untuk seluruh hierarki. Tahap ini dilakukan dengan mengalikan setiap indeks konsistensi dengan prioritas kriteria bersangkutan dan menjumlahkan hasil kalinya. Hasil ini dibagi dengan pernyataan sejenis yang menggunakan indeks konsistensi acak, yang sesuai dengan dimensi masingmasing matriks. Setelah itu, setiap indeks konsistensi acak juga dibobot berdasarkan prioritas kriteria yang bersangkutan dan hasilnya dijumlahkan. Jika rasio inkonsistensinya lebih besar dari sepuluh persen, maka mutu informasi harus diperbaiki. Perbaikan dapat dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan pada saat menyusun matriks banding berpasangan atau melakukan pengisian ulang kuesioner.
V. PERKEMBANGAN KEBIJAKAN BERAS NASIONAL
Kebijakan adalah suatu peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan, misalnya mempengaruhi pertumbuhan baik besaran maupun arahnya pada masyarakat umum. Kebijakan berguna sebagai alat pemerintah untuk campur tangan dalam mempengaruhi perubahan secara sektoral dalam masyarakat termasuk didalamnya kebijakan pada sektor pertanian. Pada dasarnya ada dua tipe kebijakan pemerintah di bidang pertanian yaitu Development
Policy
dan
Compensating
Policy
(Hardono
et.al, 2004).
Development policy bertujuan mendorong produksi dan peningkatan pendapatan
petani. Compensating policy bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani tetapi dengan kecenderungan menekan produksi. Kebijakan pertanian Indonesia sendiri terdiri atas kebijakan produksi, impor, pengendalian harga dan distribusi. Development policy banyak dilakukan di negara yang defisit produk pertanian
seperti Indonesia. Sedangkan compensating policy banyak dilakukan di negara yang surplus produk pertanian dan sulit memasarkannya. Kebijakan harga dasar gabah (HDG) dan kebijakan subsidi pupuk merupakan contoh development policy. Tujuan akhir kebijakan ini adalah peningkatan produksi padi dan peningkatan pendapatan petani padi. 5.1. Kebijakan Produksi Dalam rangka mencukupi kebutuhan beras dalam negeri sepanjang tahun, pemerintah terus berupaya meningkatkan produksi beras nasional melalui berbagai kebijakan produksi sesuai dengan amanat UU No.7 Th.1996 tentang
53
Pangan. Kebijakan ini dilakukan melalui dua cara yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dilakukan dengan cara meningkatkan produktivitas tanaman dan Indeks Pertanaman (IP). Indeks Pertanaman adalah jumlah intensitas penanaman padi dalam satu tahun pada luasan lahan tertentu. Sedangkan ekstensifikasi lebih ditekankan pada peningkatan luas areal panen terutama pada wilayah Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Melalui Departemen Pertanian, pemerintah terus menginisiasi berbagai program peningkatan produksi beras. Program Peningkatan Produksi Padi nasional (P4) diawali dengan dikeluarkanya Program Padi Sentra tahun 1959. Program ini dilakukan melalui dua paket teknologi yaitu bantuan alat dan bahan (hard technology) dan pendekatan sosial individu (soft technology). Akan tetapi program ini kurang berhasil sehingga pemerintah terus melakukan perubahan kebijakan dalam upaya meningkatan produksi padi. Kemudian tahun 1965, pemerintah mengeluarkan Program Bimbingan Masal (Bimas) dan Program Intensifikasi Khusus (Insus) melalui SK Mentan No. 003 Tahun 1979. Hingga akhirnya Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan pada tahun 1984 melalui teknologi Panca Usahatani. Program peningkatan produksi padi juga terus menerus dievaluasi sesuai dengan perubahan lingkungan baik alam maupun sosial ekonomi. Kebijakan produksi yang berlaku saat ini dikenal dengan sebutan Program Peningkatan Beras Nasional (P2BN) yang dimulai sejak awal tahun 2007. Target dari program ini adalah peningkatan produksi 2 juta ton beras atau tumbuh sekitar 5 persen
GKG untuk pengadaan beras dalam negri. Selain itu juga untuk
mendorong penurunan ketergantungan impor dalam rangka mencapai target
54
swasembada beras pada tahun 2015. Secara ringkas perubahan kebijakan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Program Peningkatan Produksi Padi dan Paket Teknologi Anjuran Program Padi Sentra
Bimbingan Masal
Tahun Hard Technology 1959 Varietas Si Gadis, Jelita, Dara dan Bengawan 1965 Sama dengan Padi Sentra
Intensifikasi Masal
1968
Bimas Gotong Royong Intensifikasi Khusus Supra Intensifikasi Khusus SUTPA
1969
1995
INBIS
1997
Gema Palagung Corporate Farming
1998
1979 1987
2000
Proyek 2000 Ketahanan Pangan Pengelolaan 2001 Tanaman & Sumberdaya Terpadu Program 2007 Peningkatan Beras Nasional
Soft Technology Evaluasi Komando Operasi Tidak berhasil, Gerakan Makmur kurang partisipasi petani Perbaikan Varietas unggul kelembagaan dan meluas kredit Pengenalan varietas Sama dengan Padi Gagal karena PB5 dan PB8 Sentra, tanpa kredit masalah pendanaan (IRRI) Penggunaan Penguatan Munculnya varietas PB5 dan kelembagaan modal Koperasi Unit Desa PB8 swasta (KUD) Panca Usahatani Pembentukan Swasembada beras kelompok tani tahun 1984 Sapta Usahatani Penguatan Kurang berhasil, kelompok tani produksi stagnan
Varietas Cibodas dan Membramo Varietas Cibodas dan Membramo Sapta Usahatani
Diversifikasi pertanian Pendampingan petani Kredit Usaha Tani (KUT) Varietas Cibodas Konsolidasi petani dan Membramo sehamparan
Tidak Berhasil
Gagal karena ElNino Kurang berhasil, kredit macet Gagal karena kesalahan persepsi petani Varietas Cibodas Bantuan dana Kurang berhasil, dan Membramo langsung petani sulit dimonitor Perpaduan Kelompok usaha Kurang berhasil, sumberdaya agribisnis dan tekanan kerjasama penguatan modal LN Bantuan benih, pupuk bersubsidi, pupuk organik, perbaikan irigasi
Pengendalian OPT, Berhasil manajemen pasca meningkatan panen dan produksi 2.6 juta kelembagaan ton GKG8
Keterangan: SUTPA : Sistem Usahatani Berbasis Padi dengan Orientasi Agribisnis INBIS : Intensifikasi Berwawasan Agribisnis Gema Palagung: Gerakan Mandiri Padi, Kedelai dan Jagung 8
Berdasarkan Berita Resmi BPS tanggal 3 Maret 2008 di www.bps.go.id.
55
Melalui berbagai kebijakan tersebut, produksi padi nasional terus mengalami peningkatan akibat peningkatan produktivitas dan luas areal. Menurut BPS, selama 30 tahun terakhir rata-rata produtivitas padi mencapai 4,13 ton/ha dengan produksi padi rata-rata sekitar 44 juta ton. Pada tahun 2006 saja, produksi padi nasional telah mencapai 54,5 juta ton dengan produktivitas 4,62 ton/ha. Selain melalui berbagai progam di atas, pemerintah juga mendorong peningkatan produksi dengan cara memberi kepastian harga jual gabah melalui penetapan HPP sebagai insentif yang memadai bagi petani untuk berproduksi. Beberapa kendala yang menghambat peningkatan produksi padi nasional antara lain seperti rendahnya penerapan teknologi produksi dan pascapanen. Teknologi produksi seperti sarana irigasi yang memadai, input yang berkualitas, pengaturan pola tanam, pemupukan dan penggunaan pestisida secara berimbang belum dikuasai sepenuhnya oleh petani karena kualitas sumber daya petani yang masih rendah. Selain itu juga sering terjadi serangan hama penyakit yang menurunkan produksi. Teknologi pascapanen juga masih rendah seperti banyak gabah yang hilang pada saat perontokkan di sawah dan banyak mesin penggilingan yang sudah tua, akibatnya rendemen padi rendah. Dari sisi permodalan juga mengalami hambatan karena sebagian besar petani kita adalah petani kecil dengan kemampuan modal yang sangat terbatas. Selain itu juga hambatan yang berasal dari alam seperti bencana banjir dan kekeringan yang mempengaruhi produksi beras. Seperti pada tahun 1998 saat terjadi bencana ElNino yang menyebabkan produksi turun drastis.
56
5.2. Kebijakan Impor Tujuan dari kebijakan ini ialah menekan jumlah dan mengurangi tingkat ketergantungan impor beras Indonesia. Kebijakan ini diimplementasikan melalui dua instrumen pokok yaitu hambatan tarif dan restriksi nontarif. Pasca penandatanganan perjanjian pertanian WTO tahun 1995, ekonomi beras Indonesia cenderung makin terpuruk karena membanjirnya impor. Liberalisasi perdagangan beras dilakukan dengan pembebasan bea masuk impor (0%), pencabutan Bulog sebagai State Trading Enterprice (STE), pencabutan subsidi input dan liberalisasi tataniaga pupuk pada tahun 1998. Selain itu, paritas harga yang terlalu tinggi menyebabkan harga beras dalam negri menjadi tidak kompetitif dibandingkan beras impor. Hal ini sangat menyengsarakan petani, terutama para petani kecil. Pada tahun 2000, pemerintah melakukan kebijakan protektif dengan menetapkan tarif impor spesifik sebesar Rp 430/kg (30% ad valorem). Nilai tarif ini (applied tariff) ternyata jauh lebih kecil daripada tariff line yang telah dicatatkan di WTO yaitu sebesar 40 persen, kecuali untuk beras (bound rate 160%) dan gula (95%) untuk periode 1995-2004. Kemudian nilai tarif tersebut dikoreksi kembali pada akhir tahun 2004 menjadi sebesar Rp 450/kg yang berlaku mulai awal tahun 2005. Ternyata pengenaan tarif spesifik sebesar Rp 430/kg ataupun Rp 450/kg tidak efektif mengangkat harga dalam negri dan justru mendorong terjadinya penyelundupan (under invoice) beras ke Indonesia. Sawit (2005) menyatakan bahwa selama tahun 2000-2003, tidak kurang dari 50 persen beras yang masuk ke Indonesia ilegal. Akhirnya pada tahun 2004 pemerintah mengeluarkan Ketentuan Impor Beras dalam SK Menperindag No. 9/MPP/Kep/1/2004. SK ini menyatakan
57
bahwa impor beras hanya dapat dilakukan oleh importir yang telah mendapat pengakuan sebagai Importir Produsen Beras (IP), impor juga dilarang selama 1 bulan sebelum panen raya, selama panen raya dan 2 bulan setelah panen raya (sekitar bulan Januari-Juni) dan beras hanya boleh dibongkar di pelabuhan yang telah disetujui pemerintah. Proteksi nontarif juga dilakukan melalui quota tariff (Tariff Rate Quota/TRQ)
dan
pengawasan
jalur
perdagangan.
Tarif
quota
banyak
dimanfaatkan negara maju maupun berkembang untuk melindungi industri domestiknya. Tarif ini relatif transparan sehingga tidak bertentangan dengan ratifikasi AoA yang tercantum dalam green box dan blue box. Akan tetapi Indonesia juga memiliki kewajiban untuk membuka akses pasar minimum (minimum market acess) sebesar 70.000 ton beras atau minimal 5 persen dari total kebutuhan domestiknya untuk impor, sesuai dengan kesepakatan AoA (1995). Sebenarnya impor dapat menjadi solusi yang tepat untuk menjaga ketahanan pangan jika dilakukan pada waktu yang tepat dan dengan jumlah yang tepat. Sehingga impor tidak berakibat menekan harga domestik. Selama ini yang terjadi justru harga beras impor mendikte harga beras dalam negri. Karena itu pemerintah akhirnya mengembalikan kedudukan Bulog sebagai STE pada pertengahan 2003 dan menugaskan lembaga ini sebagai satu-satunya pengendali impor dan harga beras dalam negri dengan harapan sentralisasi akan memudahkan pengaturan dan pengawasan impor dan stabilisasi harga. 5.3. Kebijakan Pengendalian Harga Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi petani dan konsumen beras melalui mekanisme stabilisasi harga. Untuk melindungi petani, sejak tahun 1970
58
pemerintah mengeluarkan kebijakan harga dasar (floor price) gabah dan beras. Tujuan diberikannya harga dasar adalah untuk memberikan jaminan pada para petani bahwa hasil produksinya akan dibeli sesuai harga yang ditetapkan pemerintah atau perusahaan yang ditunjuk. Kebijakan ini juga berfungsi sebagai perangsang untuk meningkatkan produksi. Untuk melindungi konsumen, pemerintah menetapkan harga maksimum (ceilling price), yaitu harga tertinggi yang boleh diterapkan pedagang kepada konsumen. Pagu harga atau ceilling price ditetapkan berbeda antarwilayah untuk mendorong distribusi perdagangan antar daerah produsen (surplus) ke daerah konsumen (minus). Ceilling price juga digunakan untuk menjamin agar harga pasar masih dalam jangkauan daya beli konsumen sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat mengakses beras. Pemerintah menunjuk Perum Bulog melalui SK Mendag No.1111 Tahun 2007 untuk menjaga stabilisasi harga beras dalam negeri melalui penerapan HPP dan ceilling price. Hal ini juga sesuai dengan Inpres No.2 Tahun 2005 yang kemudian diperbaharui melalui Inpres No.3 Tahun 2007 tentang Kebijakan Perberasan. Keluarnya SK Mendag No.1109 Tahun 2007 yang berlaku efektif sejak bulan Agustus menyatakan bahwa Bulog memonopoli kembali pengendalian harga dan impor beras telah membuka wewenang Bulog menjadi pengendali kebijakan impor. Karena itu, agar kebijakan impor efektif, Bulog telah menetapkan berbagai kebijakan penunjang seperti operasi buffer stock, pengaturan impor, kredit lunak untuk mitra Bulog, subsidi input produksi dan mekanisme khusus. Pengaturan impor perlu dilakukan karena selama beberapa tahun terakhir, harga beras impor terus mendistorsi harga beras domestik. Hal ini disebabkan
59
karena harga beras di pasar internasional lebih rendah dari harga domestik sehingga memicu terjadinya penyelundupan (under invoice) beras ke Indonesia. Melalui Inpres No. 9 Tahun 2002, pemerintah dengan sangat halus merubah istilah Harga Dasar Gabah (HDG) menjadi Harga Dasar Gabah Pembelian Pemerintah (HDPG) atau lebih dikenal dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Perubahan ini sekilas tidak terlalu berbeda, akan tetapi sebenarnya sangat mendasar. Dengan kebijakan HDPG/HPP pemerintah hanya menjamin harga gabah pada tingkat tertentu di lokasi yang telah ditetapkan, tidak lagi menjamin harga dasar gabah minimum di tingkat petani. HDPG juga berlaku di gudang BULOG, bukan di tingkat petani sebagaimana kebijakan HDG. Karena itu peningkatan harga dasar yang terjadi tahun 2002 menjadi Rp 1725/kg atau setara dengan Rp 2.790/kg beras tidak berdampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan petani. Selain itu, berubahnya status Bulog dari lembaga pemerintah nondepartemen menjadi perusahaan umum (Perum) juga memiliki konsekuensi lain terhadap orientasi perlindungan terhadap petani padi. Bentuk price policy yang lain pada beras yang masih berlaku hingga saat ini adalah Operasi Pasar Murni (OPM) dan Operasi Pasar Khusus (OPK). OPM merupakan bagian dari general price subsidy yang digunakan pada saat harga beras terlalu tinggi akibat excess demand di pasar. OPM dilakukan dengan cara pemotongan harga sekitar 10-15 persen di bawah harga pasar. Sedangkan OPK merupakan implementasi dari targeted price subsidy. Tujuan awal OPK adalah penyaluran bantuan pangan pada masyarakat miskin yang rawan pangan saat krisis tahun 1998 akibat tidak efektifnya OPM. OPK masih terus dilakukan Bulog hingga sekarang dengan target masyarakat miskin. Tahun 2002, OPK dirubah
60
namanya menjadi Raskin (Beras untuk Keluarga Miskin). Program Raskin juga masih terus dilakukan sebagai salah satu jaring pengaman sosial yang volumenya semakin meningkat dari tahun ke tahun karena adanya kecenderungan kenaikan harga beras di tingkat konsumen. 5.4. Kebijakan Distribusi Distribusi beras mutlak diperlukan dalam menjaga ketahanan pangan karena beras memiliki ciri membutuhkan waktu dalam penyediaannya. Lag penyediaan beras terjadi karena produksi padi sangat tergantung musim tanam. Karena itu pada bulan-bulan tertentu, terutama saat musim panen raya (Februari– Mei), pasokan beras melimpah. Sedangkan pada musim paceklik (AgustusSeptember) pasokan beras cenderung berkurang, bahkan sering terjadi kerawaan pangan pada daerah-daerah tertentu. Persediaan beras antardaerah tidak merata karena kemampuan produksi antarwilayah yang tidak sama. Sehingga pengaturan distribusi pangan yang baik sangat diperlukan. Tujuan kebijakan distribusi adalah untuk menjamin ketersediaan pangan sepanjang tahun secara merata dan terjangkau seluruh lapisan masyarakat. Karena itu sejak tahun 1967 pemerintah menunjuk Bulog untuk mengatur penyediaan beras dalam negri dan menstabilkan harga. Menurut Abu Bakar (2007), Perum Bulog memiliki setidaknya 4 tugas publik yang terkait dengan beras, yaitu; (i) jaminan harga pembelian pemerintah untuk gabah dan beras, (ii) stabilisasi harga, (iii) pengelolaan raskin, dan (iv) cadangan atau stok pangan nasional 9 . Sesuai dengan PP No. 7 Tahun 2003 dan Inpres No. 2 Tahun 2005 tentang kebijakan
9
Orasi Ilmiah Direktur BULOG di Kampus IPB. www.ipb.ac.id. [26 November 2007]
61
perberasan, keempat tugas publik Bulog harus dilakukan secara bersama-sama karena tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Tugas pembelian gabah secara nasional bertujuan memberikan harga yang wajar pada petani terutama pada saat panen raya melalui HPP sebagai sumber pengadaan dalam negri. Kemudian gabah dan beras hasil pengadaan dari dalam negri akan menjadi persediaan yang tersimpan dalam gudang-gudang (Divre) di seluruh tanah air sebagai Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sebesar 1-1,5 juta ton (buffer stock) yang dapat digunakan pemerintah sebagai sumber bantuan sosial, operasi pasar, keperluan darurat dan suplai pasar tertentu. Dibandingkan dengan jumlah konsumsi total, besarnya CBP tersebut belum merepresentasikan pengaruh Bulog terhadap distribusi beras dalam negeri. Sebagian besar distribusi beras di Indonesia (lebih dari 90%) melalui mekanisme pasar. Untuk menjaga kualitas dan kuantitas CBP, pemerintah menugaskan Bulog untuk mendistribusikanya kepada keluarga miskin melalui Raskin. Apabila dalam penyaluran beras terjadi kekurangan stok yang tidak dapat dipenuhi dari produksi dalam negri, maka Perum Bulog dapat melakukan impor agar cadangan pangan nasional tercukupi. Seperti yang pernah dilakukan pada pertengahan tahun 2007, impor dilakukan karena pada saat itu stok beras di gudang Bulog hanya sekitar 600 ribu ton sehingga tidak cukup untuk menjaga stok aman cadangan pangan selama minimal 3 bulan ke depan 10 . Jumlah ini juga tergolong rawan karena masih dibawah buffer stock yang minimal 1 juta ton beras. Karena itu, pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengimpor beras sebesar 250 ribu ton
10
Wawancara langsung dengan Kepala Sub Divisi Pengamatan Harga dan Pasar, BULOG
62
dari Vietnam. Tetapi akibat besarnya protes dari berbagai pihak, hanya sekitar 100 ribu ton beras yang diimpor Indonesia dari Vietnam. Proses distribusi beras di Indonesia sendiri dilakukan dengan dua cara yaitu melalui Bulog dan mekanisme pasar. Bulog hanya menguasai sekitar 10 persen market share beras, sedangkan sisanya melalui mekanisme pasar. Bulog juga hanya berperan sebagai stabilitator harga untuk pengadaan beras dalam negeri, bukan sebagai penentu harga pasar beras secara keseluruhan. Karena itu pengenaan HPP sering kali menjadi kurang efektif dalam menstabilkan harga, terlebih lagi terkena dampak distorsi harga beras impor. Sedangkan untuk mencegah terjadinya kerawanan pangan, Bulog mendistribusikan berasnya pada gudang-gudang (divre dan subdivre) di seluruh provinsi di Indonesia.
VI. EFEKTIVITAS KEBIJAKAN BERAS DI INDONESIA
6.1. Indikator-Indikator Efektivitas Kebijakan Berdasarkan Impres No. 2/2005 tentang Kebijakan Perberasan, kebijakan beras di Indonesia terbagi menjadi Kebijakan Produksi, Kebijakan Harga, Kebijakan Distribusi dan Kebijakan Impor. Keempat kebijakan tersebut saling terkait sehingga perubahan peraturan pada salah satu kebijakan akan mempengaruhi kinerja kebijakan yang lainnya. Dalam rangka mengukur keberhasilan dan efektivitas kebijakan terlebih dahulu perlu disusun indikatorindikator keberhasilannya. Indikator keberhasilan inilah yang nantinya akan menjadi tolak ukur penilaian keberhasilan kebijakan yang telah berjalan. 6.1.1. Kebijakan Produksi 1. Meningkatnya luas areal panen secara berkelanjutan Luas areal panen merupakan salah satu determinan utama peningkatan produksi padi nasional di samping tingkat produktivitas tanaman. Karena itu perlu peningkatan yang berkelanjutan agar dapat mengimbangi laju pertumbuhan penduduk. Di Indonesia, pertumbuhan luas areal menjadi masalah yang serius karena terhalang oleh pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, industrialisasi dan pembangunan infrastruktur publik. Faktor-faktor tersebut telah mendorong terjadinya konversi lahan pertanian ke nonpertanian terutama lahan-lahan produktif di Pulau Jawa. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian tahun 2003, selama tahun 2000-2002 total lahan sawah yang dikonversi menjadi lahan nonpertanian rata-rata seluas 187,7 ribu ha/tahun. Sedangkan luas percetakan sawah baru rata-
64
rata hanya seluas 48,4 ribu ha/tahun. Sehingga luas lahan sawah rata-rata berkurang seluas 141,3 ribu ha/tahun. Tabel 11. Konversi Lahan Sawah Selama Tahun 2000-2002 Wilayah Jawa
Konversi Lahan Sawah (000ha/th) Luas Area % Terhadap Sawah
55,72 (24,73) Luar 132,01 Jawa (75,27) Total 187,72 (100,00) Sumber: Deptan (2003) Ket: ( ) = Persentase (%)
Alokasi Penggunaan (000ha/th) Nonpertanian Pertanian nonsawah
1,68 2,98 2,42
43,60 (78,25) 66,56 (50,42) 110,16 (58,68)
12,12 (21,75) 65,44 (49,58) 77,56 (41,32)
Berdasarkan data BPS, pertumbuhan luas areal panen relatif stagnan, hanya sekitar 0,01 persen per tahun hingga tahun 2006 atau rata-rata 11 juta hektar. Meskipun berbagai kebijakan sudah ditetapkan oleh pemerintah. Reformasi Agraria yang telah ditetapkan pun belum berjalan efektif karena masih banyak kendala di lapangan. Namun pertumbuhan luas areal panen relatif tinggi terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 338,4 ribu hektar (2,87%) di seluruh Indonesia. Di luar pulau Jawa luas areal bertambah seluas 372,04 ribu hektar (6,10%), sedangkan di pulau Jawa sendiri mengalami penurunan sebesar 32,64 ribu hektar (0,57%) 11 dari tahun sebelumnya. Itu artinya, luasan lahan sawah produktif di pulau Jawa terus menurun karena meningkatnya pembangunan ekonomi. Ditengarai, jumlah ini didorong dengan adanya kebijakan Program Peningkatan Beras Nasional (P2BN) pada awal tahun 2007. Di negara lain, konversi lahan telah menjadi isu yang sangat serius dan mendapat perhatian lebih oleh pemerintah karena berhubungan langsung dengan
11
www.agrinewsonline.go.id, Diakses tanggal 26 Maret 2008
65
ketahanan pangan suatu negara. Sementara itu, pemerintah kita justru terkesan kurang peduli terhadap dampak konversi terhadap pembangunan pertanian. Padahal konversi lahan yang berlebih dapat berakibat buruk bagi ketahanan pangan karena sifatnya yang laten.
Gambar 8. Perkembangan Luas Areal Tanam Padi Tahun 1978-2007 Sumber: BPS, 2007 (diolah) Sifat konversi lahan terhadap masalah pangan di Indonesia menurut Irawan (2005) adalah: a. Dampak konversi lahan bersifat permanen. Berbagai masalah dalam proses produksi ada yang bersifat temporer dan bersifat permanen. Serangan hama dan penyakit, bencana alam dan fluktuasi harga bersifat temporer karena hanya muncul ketika masalah itu terjadi. Tetapi pada kasus konversi lahan, akibat yang ditimbulkan bersifat permanan dan jangka panjang. Artinya sekali konversi lahan terjadi, akibat yang ditimbulkan tidak berhenti pada saat itu juga tetapi akan terus terjadi sesudahnya karena
66
luasan lahan yang sudah dikonversi tidak dapat kembali lagi menjadi areal persawahan. Ada tiga faktor yang menyebabkan dampak konversi lahan tidak dapat segera dipulihkan yaitu: a) Lahan sawah yang sudah dikonversi ke lahan nonpertanian tidak akan kembali menjadi lahan pertanian (bersifat irreversible). b) Upaya pencetakan lahan sawah baru dalam rangka pemulihan produksi membutuhkan waktu yang panjang. Asyik dalam Irawan (2005) mengatakan bahwa diperlukan waktu lebih dari sepuluh tahun untuk membuat sawah baru dapat berproduksi secara optimal. c) Sumber daya lahan yang potensial untuk produksi pertanian terutama di Pulau Jawa semakin terbatas akibat cepatnya pertumbuhan penduduk dan proses industrialisasi b. Dampak konversi lahan bersifat kumulatif Pengurangan luas sawah yang bersifat permanen akan menyebabkan terjadinya masalah pangan selama periode tertentu (t0–tn) yang bersifat kumulatif. Ilustrasinya adalah sebagai berikut: Produksi, Permintaan dan Impor QD = Q S M1 = dk1 M2 = dk1+ dk2
QS1
dk2 QS2 Tahun t0
t1
t2
tn
Gambar 9. Dampak Kumulatif Konversi Sawah Terhadap Masalah Pangan Sumber: Irawan, et.all, 2000
67
Dari gambar di atas dapat diilustrasikan jika pada tahun ke-0 (t0), jumlah permintaan dan penawaran beras diasumsikan sama dan digambarkan dengan garis lurus QS = QD . Asumsi lain yang digunakan adalah tidak ada konversi sawah dan pencetakan sawah baru pada periode itu. Garis QD berhimpit dengan garis QS, jika diasumsikan tidak terjadi perubahan permintaan dan penawaran pada periode tersebut maka pada t0 tidak diperlukan impor. Tapi jika tahun t1 terjadi konversi maka produksi akan turun menjadi QS1, sedangkan QD tetap. Pemerintah harus mengimpor sebesar M1 pada t1. Jumlah impor pada t1 pada dasarnya adalah dampak konversi (dk1) atau selisih QD – QS1. Begitu juga seterusnya, jika terus terjadi konversi pada tahun ke-2 maka jumlah impor akan semakin besar karena merupakan penjumlahan dari dk1 + dk2 = M2. Begitu pula dengan Indonesia, jika Indonesia tidak mampu menekan laju konversi maka di tahun-tahun mendatang ancaman ketergantungan impor akan semakin meningkat. c. Dampak konversi bersifat progresif Luasnya konversi setiap tahun cenderung meningkat karena sifat konversi lahan yang menular. Artinya jika di suatu titik dibangun sebuah lokasi aktivitas ekonomi, maka permintaan lahan di sekitarnya akan meningkat sebagai wilayah penyangga. Karena itu luasan lahan yang dikonversi akan semakin besar. Melihat besarnya dampak konversi yang begitu besar, sudah sepatutnya pemerintah segera memberikan perhatian lebih dan mengeluarkan kebijakan yang dapat mengurangi laju konversi sawah di Indonesia dan melakukan upaya pencetakan sawah baru terutama pada lahan-lahan yang belum termanfaatkan di luar pulau Jawa.
68
2. Meningkatnya produktivitas padi secara berkelanjutan Tingkat
produktivitas
padi
juga
menjadi
penentu
keberhasilan
implementasi kebijakan produksi. Hal ini disebabkan peningkatan luas areal dan produktivitas akan menentukan produksi total padi di Indonesia. Peningkatan produktivitas dipengaruhi oleh input produksi, teknik budidaya, kondisi lahan dan iklim. Kondisi lahan dan iklim wilayah Indonesia sangat mendukung untuk budidaya, hanya saja faktor input produksi dan teknik budidaya masih perlu terus diperbaiki, mengingat sebagian besar petani Indonesia adalah petani kecil dan miskin dengan kemampuan permodalan dan pendidikan yang masih tergolong rendah. Input yang sangat mempengaruhi produksi terutama adalah bibit unggul dan faktor pemupukan.
Gambar 10. Perkembangan Produktivitas Padi Tahun 1978-2007 Sumber: BPS, 2007 (diolah) Pada tabel di atas terlihat bahwa terdapat kecenderungan kenaikan produktivitas dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Namun sejak tahun 1978, kenaikannya cenderung stagnan. Banyak ahli yang berpendapat bahwa stagnansi
69
ini terjadi karena lahan-lahan di Indonesia ini sudah pada tahap pelandaian produksi (levelling off). Sehingga produktivitas rata-ratanya hanya 4,34 ton/ha. Tahun 1998-1999 terjadi penurunan produktivitas sekitar 0,24 ton/ha dari tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan adanya bencana El-Nino dan La-Nina yang merusak sebagian besar areal persawahan beberapa provinsi sentra padi. Akibatnya produksi tahun 1999 turun sekitar 3,2 persen dibanding sebelumnya. Selama ini, Pulau Jawa merupakan penyumbang terbesar produksi padi di Indonesia. Sejak swasembada beras tahun 1984, sumbangan Pulau Jawa tidak pernah kurang dari 50 persen dari total produksi nasional, meskipun terdapat kecenderungan terus menurun. Tahun 2006 Pulau Jawa mampu menyumbang sekitar 55 persen produksi padi nasional. Beberapa provinsi penyumbang produksi padi terbesar dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Produksi Padi Beberapa Provinsi Sentra Beras Nasional (Ton) Provinsi 2003 2004 2005 2006 2007 Sumut Sumbar Sumsel Lampung Jabar Jateng Jatim Banten Kalsel Sulsel Jawa Luar Jawa Indonesia % Jawa
3403075 1823739 1977345 1966293 8776889 8123839 8914995 1691923 1410141 4003079 28167484 23970120 52137604 54,02%
3418782 1875188 2260794 2091996 9602302 8512555 9002025 1812495 1519432 3552835 29635840 24452628 54088468 54,79%
3447394 1907390 2320110 2124144 9787217 8424096 9007265 1861776 1598835 3390397 29764392 2438675 54151097 54,96%
3007636 1889489 2456251 2129914 9418572 8729291 9346947 1751468 1636840 3365509 29960638 24494299 54454937 55,02%
3204441 1982487 2726728 2303491 9900660 8632210 9501432 1879766 1811284 3675252 30631496 26417062 57048558 53,69%
Sumber: BPS, 2007 (diolah) Beberapa faktor yang mendukung tingginya produksi dan produktivitas padi di Pulau Jawa antara lain: kesesuaian lahan dan iklim untuk tanaman padi,
70
sarana irigasi yang lebih baik dibandingkan wilayah di luar Jawa, penerapan teknologi yang lebih baik dan penyebaran informasi teknik budidaya yang lebih cepat melalui berbagai penyuluhan di daerah. Berbagai upaya untuk meningkatkan produktivitas perlu terus dilakukan, mengingat pertumbuhan penduduk yang terus meningkat. Produktivitas lahan di luar pulau Jawa masih tergolong rendah, yaitu rata-rata 3,69 ton/ha pada tahun 2006 dan meningkat menjadi 3,74 ton/ha tahun 2007. Produktivitas ini tentu masih dapat ditingkatkan jika didukung dengan berbagai terobosan terutama inovasi teknologi pertanian yang selama ini lambat dirasakan petani di luar Jawa. 3. Meningkatnya produksi pangan pokok nonberas Pada dasarnya, pemenuhan kebutuhan energi tidak hanya dapat dipenuhi melalui konsumsi beras saja. Berbagai bahan pangan lain juga memiliki kandungan energi yang cukup seperti jagung, ubi jalar, ubi kayu, kentang dan gandum. Tetapi hingga saat ini, beras masih menjadi makanan pokok (staple food) bagi lebih dari 95 persen penduduk Indonesia dengan konsumsi per kapita sekitar 133,15 kg/kapita/tahun. Tingkat konsumsi ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara konsumen beras terbesar di dunia. Berbagai kebijakan untuk mengurangi konsumsi beras sebenarnya sudah dirintis sejak tahun 60-an dengan konsep menganekaragamkan dan meningkatkan mutu gizi bahan pangan sehari-hari sesuai dengan kebijakan diversifikasi pangan. Namun, berbagai kelebihan beras seperti rasa beras yang lebih enak serta mudah diolah, budaya makan penduduk serta tingginya suplai beras justru membuat posisi beras semakin kuat di semua provinsi. Pangan lokal seperti jagung, umbiumbian dan sagu mulai ditinggalkan masyarakat, sebaliknya pangan global seperti
71
mi instan justru semakin digemari. Jika produksi beras semakin meningkat, produksi tanaman pangan lain justru semakin menurun atau cenderung stagnan. Hal ini disebabkan semakin menurunnya minat penduduk baik di kota maupun di desa untuk mengonsumsi bahan pangan nonberas. Rendahnya kebutuhan pangan nonberas secara ekonomi akan menurunkan insentif petani untuk berproduksi karena rendahnya tingkat permintaan konsumen. Terlihat pada Tabel 13, selama enam tahun terakhir, hanya jagung yang cenderung meningkat. Sedangkan komoditas lain justru mengalami penurunan produksi. Umumnya komoditas lain seperti ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah dan kedelai hanya dimanfaatkan sebagai bahan makanan sampingan sehari-hari dan sebagai bahan baku industri pangan. Jumlah kebutuhan kedelai nasional sebenarnya sangat tinggi sehingga kita harus mengimpor untuk memenuhi kebutuhan. Tetapi potensi peningkatan kedelai nasional memang kurang dikembangkan dibanding dengan produksi padi. Selain karena input yang kurang memadai, juga karena masih rendahnya insentif bagi petani untuk berproduksi tanamanan kedelai. Tabel 13. Produksi Beras dan Tanaman Pangan Utama Lainnya (000 ton) Jenis Tanaman 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Padi 51490 52138 54089 54151 54455 57049 Jagung 9654 1088 11225 12524 11609 13280 Ubi Kayu 16913 18524 19425 19321 19987 18950 Ubi Jalar 1772 1992 1902 1857 1854 1874 Kacang Tanah 718 786 838 836 838 789 Kedelai 637 672 724 808 748 608 Sumber: Statistik Deptan, 2007
72
6.1.2. Kebijakan Impor 1. Penetapan hambatan tarif dan nontarif efektif Selain melalui pengenaan tarif, upaya untuk memproteksi perdagangan dilakukan melalui restriksi nontarif. Sejak tahun 2000, Indonesia mengenakan tarif spesifik untuk beras sebesar Rp 430/kg (30% Ad valorem) kemudian direvisi menjadi Rp 450/kg pada tahun 2005 (efektif mulai 1 Januari 2005). Tujuan utama dikenakanya tarif adalah mengurangi jumlah impor ke Indonesia. Selama ini impor beras Indonesia tergolong tinggi dibandingkan negara berkembang lain dengan rataan 1,5 juta ton pada periode 1995-2000. Proteksi ini juga tergolong transparan dan masih dapat diterima oleh negara maju mengingat harga beras dunia cenderung lebih rendah dari harga beras domestik, nilai tarif impor masih berada dibawah 160 persen bound rate untuk beras, dan Indonesia masih membuka akses pasar untuk impor. Nilai tarif ini diharapkan mampu menutupi paritas harga beras dunia terhadap harga beras dalam negri yang cenderung lebih rendah selama beberapa tahun terakhir sehingga harga beras dalam negri menjadi lebih stabil. Kebijakan tarif impor juga dikombinasikan dengan berbagai retriksi nontarif agar lebih efektif seperti pengenaan quota impor, lisensi importir, pengaturan waktu impor sesuai SK. Mendag No. 9 Tahun 2004, pengenaan pajak perbatasan, subdidi ekspor dan impor dan persyaratan kesehatan. Selain itu juga dilakukan pengawasan ketat selama pelayaran dan pemeriksaan barang dan karantina pada saat memasuki wilayah Indonesia (red line). Berbagai hal tersebut bertujuan untuk menjamin keamanan beras impor saat dikonsumsi dan mengurangi terjadinya penyelundupan beras selama masa impor.
73
2. Penurunan Jumlah Impor Beras Salah satu indikator keberhasilan kebijakan impor adalah menurunnya jumlah impor beras ke Indonesia. Penurunan impor ini dapat disebabkan karena dua hal yaitu: penurunan konsumsi beras penduduk Indonesia atau peningkatan produksi beras dalam negeri. Selama ini, meskipun terus terjadi peningkatan produksi beras nasional melalui intensifikasi dan ekstensifikasi, peningkatan tersebut belum mampu mencukupi kebutuhan domestik. Sehingga Indonesia masih harus mengimpor. Perkembangan impor beras Indonesia dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Perkembangan Jumlah Impor Beras Tahun 1986-2006 (ton) Sumber: BPS, 2007 (diolah) Dari grafik di atas terlihat bahwa impor beras tertinggi terjadi pada periode 1995-2000. Pada tahun 1999, impor beras bahkan mencapai 4,8 juta ton (BPS, 2007). Krisis ekonomi tahun 1997 menyebabkan produksi padi nasional menurun secara drastis karena kondisi ekonomi, politik dan keamanan yang kurang kondusif. Berbagai tindak kerusuhan dan penjarahan terjadi pada masa itu juga didorong adanya kekhawatiran kurangnya stok pangan pokok di pasar. Selain itu,
74
tingginya jumlah impor juga disebabkan oleh bencana El-Nino pada tahun1998 yang merusak sebagaian areal pertanian produktif di wilayah sentra beras. Produktivitas padi turun hingga menyebabkan produksi beras turun sekitar 2 juta ton, sementara jumlah penduduk terus meningkat. Selain itu pemerintah juga melakukan liberalisasi perdagangan dengan membebaskan tarif impor hingga 0 persen akibat tekanan IMF dan WTO. Akibatnya tingkat ketergantungan impor beras Indonesia semakin meningkat. Pascakrisis, jumlah impor beras cenderung terus menurun. Hal ini disebabkan semakin baiknya kebijakan peningkatan produksi padi nasional dan diberlakukanya kebijakan tarif impor beras kembali tahun 2000. Berbagai insentif juga diberikan kepada petani sebagai pendorong untuk berproduksi. Karena itu, selama lima tahun terakhir, produksi beras terus mengalami peningkatan. Jika beberapa tahun terakhir Indonesia masih terus mengimpor, hal itu lebih disebabkan untuk kebutuhan Raskin dan menjaga stok aman dalam negri terutama pada musim paceklik. 6.1.3. Kebijakan Harga 1. Harga beras di tingkat petani layak Instrumen kebijakan harga yang digunakan untuk melindungi petani domestik adalah melalui Harga Pembelian Pemerintah (HPP). HPP adalah harga gabah/beras yang ditentukan pemerintah untuk menjamin penerimaan petani produsen gabah/beras. Bulog bersama mitranya akan membeli gabah/beras petani sesuai HPP. Berdasarkan Inpres No. 3 Th 2007 tentang Kebijakan Perberasan, disebutkan bahwa harga pembelian GKP dalam negri dengan
kadar air
maksimum 25 persen dan kadar hampa maksimum 10 persen adalah Rp 2000/kg
75
di tingkat petani atau Rp 2.035/kg di penggilingan. Harga GKP dengan kualitas kadar air maksimum 14 persen dan kadar hampa 3 persen adalah Rp 2.575/kg di tingkat petani atau Rp 2.600/kg di gudang Bulog. Sedangkan harga beras dengan patahan 20 persen adalah Rp 4.000/kg di gudang Bulog. Besarnya HPP dihitung dari komponen biaya produksi, biaya input seperti pupuk, obat, benih, tenaga kerja, biaya pascapanen seperti penjemuran dan penggilingan, nilai tukar dan inflasi menggunakan rumus R/C rasio. Karena itu, untuk mendorong peningkatan pendapatan petani padi, besarnya HPP terus mengalami rasionalisasi. Idealnya, besarnya HPP harus mampu menutupi biaya produksi yang dikeluarkan petani sehingga petani mendapatkan keuntungan dari usahatanianya. Besarnya HPP tidak lagi ditentukan oleh Bulog, tetapi oleh pemerintah dengan pertimbangan usulan dari Bulog setelah perubahan status Bulog menjadi Perum pada tahun 2003. Tahun 2003 istilah Harga Dasar diganti menjadi HPP, perggantian istilah ini ternyata memuat perubahan substansial mengenai pembelian gabah petani. Jika dengan kebijakan harga dasar, pemerintah wajib membeli seluruh kelebihan panen petani dengan harga dasar di tingkat petani. Maka melalui HPP, pemerintah hanya berkewajiban membeli gabah petani sesuai dengan tingkat kebutuhan pengadaan dalam negri sebesar HPP di gudang Bulog, bukan di tingkat petani lagi. Perkembangan HPP dapat dilihat pada Gambar 12.
76
Gambar 12. Perkembangan Harga Pembelian Pemerintah Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling di Tingkat Petani Periode 2000-2007 Sumber: BULOG, 2007 (diolah) Dari grafik terlihat bahwa dalam kurun waktu 2000-2007, baik HPP GKP maupun GKG terus mengalami peningkatan. Untuk GKG riil tahun 2003-2004, rata-ratanya di bawah HPP karena terjadinya over supply. Bulog tidak mampu menyerap seluruh kelebihan panen petani sehingga harga jatuh sepanjang tahun berjalan. Sedangkan untuk Harga GKP, pada periode tersebut cenderung sama dengan HPP GKP di tingkat petani. Sepanjang tahun 2006-2007, baik harga riil GKP maupun GKG rata-rata berada di atas HPP. Hal ini didorong peningkatan kebutuhan beras dalam negri baik untuk pangan maupun untuk industri. 2. Harga beras di tingkat konsumen terjangkau Perlindungan terhadap konsumen beras dilakukan melalui kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET). Pemerintah akan menetapkan pagu harga (ceilling price) terutama komoditas pangan utama seperti beras. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar komoditas pangan pokok masih dalam jangkauan daya beli konsumen,
77
terlebih golongan ekonomi bawah. Idealnya, harga beras di tingkat konsumen harus mampu di akses oleh seluruh golongan masyarakat dengan harga yang sesuai untuk setiap jenis dan kualitas beras. Selain itu, harga di pasar seharusnya memberikan keuntungan bagi petani produsen maupun konsumen yang membeli. Jika terjadi kerawanan pangan, Bulog sebagai stabilitator harga beras akan melakukan OPM di wilayah yang mengalami kelangkaan dan kerawanan pangan. Beras yang dijual melalui OPM berasal dari CBP dan dijual lebih rendah sekitar 10-15 persen dibanding harga pasar. Sedangkan untuk kelompok masyarakat miskin, Bulog akan mendistribusikan Raskin sebagai bentuk perlindungan konsumen akibat peningkatan harga beras. Tabel 14. Harga Rata-Rata Beras di Tingkat Konsumen di Kota Besar No Kota 2003 2004 2005 2006 2007 Pertumbuhan 06-07 1 Jakarta 3.436 3.374 3.671 4.840 5.095 5,26% 2 Bandung 2.720 2.700 3.132 4.129 4.375 5,96% 3 Semarang 3.047 3.011 3.417 4.361 4.664 6,29% 4 Jogjakarta 2.709 2.722 3.291 4.361 4.664 6,97% 5 Surabaya 2.637 2.647 3.643 4.284 4.123 -3,76% 6 Medan 5.355 7 Makasar 4.126 Sumber: Statistik Pertanian, Deptan (2007) Sejak tahun 2007, kota pengamatan ditambah dengan Medan dan Makasar Harga rata-rata beras di semua kota pengamatan terus mengalami peningkatan. Penyebab peningkatan harga adalah meningkatnya biaya produksi seperti harga pupuk, benih unggul, obat-obatan dan biaya tenaga kerja. Selain itu juga dipengaruhi meningkatnya harga BBM, harga barang kebutuhan pokok lain dan tingkat inflasi yang secara agregat akan mendorong terjadinya peningkatan harga barang dalam negeri termasuk beras.
78
6.1.4. Kebijakan Distribusi 1. Kecukupan stok beras sepanjang tahun Beras merupakan pangan pokok rakyat Indonesia yang dibutuhkan sepanjang tahun. Namun pengadaanya membutuhkan waktu karena bergantung pada musim tanam. Bulan-bulan tertentu saat panen raya (Februari-Mei), pasokannya melimpah, tetapi saat paceklik, sering terjadi kerawanan pangan di beberapa daerah. Padahal jika dilihat dari total produksi dan konsumsi beras per tahun, produksi dalam negeri sebenarnya sudah mampu mencukupi kebutuhan, tetapi karena belum lancarnya proses distribusi menyebabkan kerawanan pangan sering terjadi. Bulog merupakan lembaga yang mengatur distribusi beras ke seluruh wilayah Indonesia. Pengadaan beras dalam negri yang dibeli dari petani disimpan dan didistribusikan pada gudang-gudang Bulog (divre/subdivre). Saat ini terdapat lebih dari 1500 gudang Bulog di seluruh provinsi dengan kapasitas total ± 3,9 juta ton beras12. Selain berfungsi sebagai Cadangan Beras Pemerintah (CBP), beras yang disimpan di gudang Bulog juga digunakan sebagai beras Raskin, bantuan sosial, operasi pasar dan untuk keadaan darurat. CBP terdiri atas stok operasi, stok penyangga (buffer stock) dan pipe line stock. Pemerintah mewajibkan Bulog untuk menjaga stok penyangga aman sepanjang tahun sebesar 1-1,5 juta ton beras. Jika jumlah ini berkurang, maka kewajiban Bulog untuk segera mengisinya kembali baik melalui pengadaan beras dalam negeri maupun melalui impor.
12
Wawancara dengan Kepala Sub Divisi Pengamatan Harga dan Pasar, BULOG [3 April 2008]
79
Gambar 13. Realisasi Pengadaan Beras Dalam Negri oleh Bulog (ton) Sumber: BULOG, 2007 (diolah) Kecukupan persediaan beras di tingkat provinsi perlu diperhatikan karena wilayah Indonesia yang sangat luas dan berbentuk kepulauan. Untuk menghindari kerawanan pangan, beras pemerintah disimpan di berbagai tempat. Sejak tahun 2003, fungsi Bulog lebih diutamakan pada pengadaan dan pendistribusian pangan pokok golongan masyarakat tertentu melalui Raskin. Jumlah beras yang dikuasai oleh Bulog sangatlah kecil dibandingkan dengan jumlah yang beredar di pasar, hanya sekitar 10 persen. Karena itu sebenarnya manajemen stok dan distribusi beras Bulog hanya berpengaruh kecil dan lebih sebagai upaya antisipasi terhadap kerawanan pangan nasional. Pola distribusi beras di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 14. Bulog membeli beras dari petani melalui beberapa cara yaitu melalui KUD dan pedagang rekanan Bulog dengan harga sesuai HPP yang berlaku. Tetapi sebagian besar beras untuk pengadaan dalam negeri dibeli Bulog dari pedagang. Seharusnya, Bulog langsung membeli beras ke tingkat petani agar harga jual di tingkat petani meningkat. Untuk meningkatkan efesiensi, Bulog dapat
80
memberdayakan kembali peranaan KUD. Keberadaan KUD dalam distribusi beras sangat strategis bagi petani untuk mendapatkan harga sesuai ketentuan pemerintah, khususnya saat panen raya. Beras yang sudah terkumpul kemudian disimpan di gudang Bulog, yang kemudian disalurkan ke pasar melalui grosir. KUD juga harus mengikuti pergerakan harga beras di pasar agar ketika harga gabah di pasar lebih tinggi dari HPP, petani tidak lebih memilih untuk menjual ke pedagang pengumpul dengan harga lebih tinggi. Petani/Produsen KUD
Pedagang Pengumpul Desa
Pengumpul Kec/ Penggilingan
Pedagang Antar Daerah
SUB DOLOG
Pedagang Antar Daerah
GROSIR
Pedagang Antar Pulau
Pengecer
Pengecer
Konsumen
Konsumen
Gambar 14. Pola Distribusi Beras Dalam Negeri Tahun 200413 2. Penyaluran beras untuk rakyat miskin terjamin Sesuai dengan Inpres No. 3 Th 2007 tentang Kebijakan Perberasan, salah satu tugas Bulog adalah sebagai penyalur beras kepada golongan masyarakat tertentu melalui program Raskin. Raskin merupakan penyempurnaan program Operasi Pasar Khusus (OPK) yang telah dilakukan sejak pertengahan 1998. 13
Distribusi Beras. www.bulog.co.id. Diakses tanggal 2 Januari 2008
81
Tujuan utama program ini adalah untuk menjamin kecukupan pangan bagi rakyat miskin di seluruh nusantara. Beberapa pertimbangan mengapa bantuan pangan ini diberikan dalam bentuk beras, antara lain karena beras merupakan pangan pokok mayoritas penduduk yang porsi pengeluarannya sekitar 30 persen bagi penduduk miskin14. Model bantuan lainnya yaitu dalam bentuk uang tunai, namun pola ini dirasa cukup rawan terhadap penyimpangan. Melalui Raskin, diharapkan kelompok masyarakat miskin masih dapat mengakses beras yang bermutu. Penyaluran raskin dilakukan melalui KUD dan biasanya biaya transportasi dibebankan kepada penerima bantuan. Namun di berbagai daerah ditemukan kasus penyelewengan program ini seperti pembagian beras yang tidak tepat sasaran atau beras Raskin dimanfaatkan oleh oknum desa untuk dijual kembali. Kelemahan lain program ini adalah kualitas beras yang kurang memenuhi standar terutama beras yang dari pengadaan impor. Karena itu dalam penyalurannya perlu pengawasan dari semua pihak agar target program tepat sasaran dan berjalan baik. Dari grafik terlihat bahwa selama lima tahun terakhir, jumlah relalisasi Raskin maupun RTM penerima terus mengalami penurunan. Realisasi Raskin tertinggi terjadi pada tahun 2002 yaitu sebesar 2,4 juta ton untuk 14,4 juta RTM. Menurut data BPS, jumlah KK miskin meningkat sekitar 3 juta RTM pada periode 2006-2007 menjadi sekitar 19,1 juta RTM, tetapi pada tahun 2007 pagu yang dialokasikan hanya 1,74 juta ton dengan alokasi penerima berjumlah 16,7 juta RTM. Artinya beras yang diterima RTM semakin sedikit dibanding sebelumnya.
14
Ashari dan Mewa Ariani. 2003. Arah, Kendala dan Pentingnya Diversifikasi Konsumsi Pangan di Indonesia. FAE Vol.21.No.2
82
Gambar 15. Perkembangan Realisasi Raskin Dari Tahun 2000-2007* Sumber: BULOG, 2007 Ket: RTM = Rumah Tangga Miskin 2007* = Realisasi hingga Oktober 2007 Tahun 1998-2005, data miskin menggunakan versi BKKBN. Tahun 2006-2007 menggunakan versi BPS 6.2. Penilaian Efektivitas Kebijakan Beras Nasional Penilaian efektivitas kebijakan beras di Indonesia dilakukan oleh responden yang memahami perkembangan perberasaan di Indonesia. Penilaian diukur dengan menggunakan rentang skala 1 - 4, dimana skala 1 adalah sangat buruk, 2 adalah buruk, 3 adalah baik dan 4 adalah sangat baik. Penggunaan empat skala ini bertujuan untukmengurangi central tendency jawaban responden. Skala ini digunakan untuk menilai indikator-indikator keberhasilan masing-masing komponen kebijakan perberasan. Setiap indikator disusun berdasarkan tujuan akhir pencapaian setiap kebijakan perberasan. Nilai rata-rata penilaian dari setiap kelompok responden dapat dilihat pada Tabel 15.
83
Tabel 15 . Nilai Rata-Rata Penilaian Indikator Kebijakan Perberasan Indikator
Ekonomi Pertanian 2
Budidaya Pertanian 2,1
Teknologi Pertanian 2,6
Peneliti PPSE 2,5
Peneliti Balitan 2,1
Ratarata 2,3
2,1
2,1
2,6
2,6
2,4
2,4
2,0
1,9
1,8
2,1
2,3
2,0
2,4
2,1
2,4
3,0
2,0
2,4
Penetapan tarif, quota, hambatan nontarif
2,0
2,0
2,6
2,7
2,4
2,3
Harga beras di tingkat konsumen terjangkau Harga beras di tingkat produsen layak OPM dapat menstabilkan harga Kecukupan stok Bulog Penyaluran Raskin terjamin
2,3
2,3
2,4
2,1
2,4
2,4
2,4
2,4
2,6
2,5
2,5
2,4
2,2
2,2
2,8
2,2
2,2
2,4
2,4
2,4
3,2
2,8
2,3
2,6
2,0
2,1
2,2
2,5
2,0
2,2
Meningkatanya luas areal panen Peningkatan Produktivitas Padi secara kontinyu Bertambahnya pangan pokok nonberas Jumlah impor beras menurun
Dari nilai rata-rata yang telah dihitung sebelumnya, kemudian akan disajikan dalam bentuk diagram ular. Diagram ini digunakan untuk melakukan penilaian sikap responden terhadap pencapaian kebijakan beras di Indonesia. Diagram Ular juga memudahkan penilaian secara visual karena diagram ini menghubungkan nilai rata-rata setiap indikator dengan sebuah garis lurus. Hasil penilaian sikap setiap kelompok responden dapat dilihat pada Gambar 16 dan 17.
84
Gambar 16. Penilaian Keberhasilan Kebijakan Beras Menurut Responden di Bidang Keahlian Ekonomi Pertanian, Teknologi Pertanian dan Budidaya Pertanian. Instrumen Kebijakan 1 2 3 4 Meningkatanya luas areal panen Peningkatan Produktivitas padi secara kontinyu Bertambahnya pangan pokok nonberas Jumlah impor beras menurun Penetapan tarif, quota tarif dan hambatan nontarif Harga beras di tingkat konsumen terjangkau Harga beras di tingkat produsen layak Pelaksanaan OPM dapat menstabilkan harga Kecukupan stok Bulog sepanjang tahun Penyaluran beras ke rakyat miskin terjamin Keterangan: : Ahli Ekonomi Pertanian : Ahli Teknologi Pertanian
1 2 3 4
: Ahli Budidaya Pertanian : Sangat Buruk : Buruk : Baik : Sangat Baik
85
Gambar 17. Diagram Ular Kebijakan Beras Menurut Responden Peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Indikator Skala Instrumen Kebijakan 1 2 3 4 Meningkatanya luas areal panen Peningkatan Produktivitas padi secara kontinyu Bertambahnya pangan pokok nonberas Jumlah impor beras menurun Penetapan tarif, quota tarif dan hambatan nontarif Harga beras di tingkat konsumen terjangkau Harga beras di tingkat produsen layak Pelaksanaan OPM dapat menstabilkan harga Kecukupan stok Bulog sepanjang tahun Penyaluran beras ke rakyat miskin terjamin Keterangan: : Peneliti Pusbalitan : Peneliti PSE-KP Pada kebijakan produksi, tiga indikator utama yaitu peningkatan luas areal panen, produktivitas yang kontinyu dan pertambahan pangan pokok nonberas dinilai buruk dengan total nilai rata-rata indikator kebijakan produksi adalah 2,25. Indikator peningkatan luas panen dinilai buruk oleh responden dengan nilai ratarata 2,3. Hanya kelompok responden teknologi pertanian dan peneliti PSE yang memberi penilaian agak baik dengan rata-rata penilaian 2,6 dan 2,5. Buruknya penilaian ini disebabkan karena menurut responden kinerja pemerintah dalam
86
mengurangi konversi lahan terutama di pulau Jawa belum optimal. UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 yang selama ini berlaku belum dilaksanakan secara benar. Fragmentasi lahan terus terjadi akibat sistem waris yang telah mendorong konversi lahan pertanian. Menurut BPS, pada tahun 2007 terjadi peningkatan luas areal panen sebesar 2,87 persen atau sebesar 338,4 ribu hektar. Peningkatan luas panen terutama terjadi di Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi sebesar 372,04 ribu ha. Tetapi luas panen di pulau Jawa justru mengalami penurunan sebesar 32,64 ribu ha dibanding tahun sebelumnya. Penurunan luas lahan diduga akibat tingginya konversi lahan pertanian produktif untuk perumahan dan kegiatan ekonomi. Upaya percetakan sawah baru juga terus mengalami hambatan. Selain karena mahalnya biaya percetakan lahan baru, juga karena lamanya waktu yang dibutuhkan agar lahan tersebut mampu berproduksi optimal. Akibatnya, luas areal panen padi fluktuatif (Gambar 8) baik untuk lahan sawah irigasi maupun lahan kering. Menurut Kasubid Padi Irigasi dan Rawa, Deptan, menurunnya jumlah lahan irigasi disebabkan banyaknya infrastruktur irigasi yang rusak dan menurunnya debit air sungai akibat kerusakan daerah serapan air. Dari sekitar 5,5 juta saluran irigasi, hanya sekitar 4,5 juta yang kondisinya masih baik sedangkan sisanya rusak berat. Karena itu antara tahun 2000-2006, kenaikan luas lahan hanya terjadi pada tahun 2001 dan 2004, masing-masing 0,01 persen dan 0,04 persen. Tahun 2000-2002, total konversi sawah mencapai 187,7 ribu ha/th dengan percetakan sawah baru rata-rata hanya 48,4 ribu ha/th. Sedangkan penurunan lahan kering didorong konversi lahan menjadi area perkebunan terutama di luar
87
Jawa. Peningkatan lahan kembali terjadi tahun 2007 karena adanya program P2BN sebagai upaya peningkatan produksi padi nasional. Pertumbuhan penduduk yang tinggi juga membuat luas areal per kapita terus menurun. Hal ini akibat laju pertumbuhan percetakan lahan baru lebih kecil daripada pertumbuhan jumlah penduduk. Karena itu, salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan produksi padi dalam negri adalah dengan cara mengingkatkan Indeks Pertanaman (IP). Menurut Mentan (2007), IP padi nasional rata-rata 1,6 per tahun. Nilai ini bahkan lebih rendah di luar Jawa. Jika nilai IP ini dapat ditingkatkan menjadi 2,0 per tahun maka secara agregat produksi padi nasional dapat meningkat sekitar 13,5 juta ton padi. Kebijakan peningkatan produktivitas dinilai buruk oleh responden dengan nilai rata-rata 2,4. Hanya responden dari bidang teknologi pertanian dan peneliti PSE yang menilai agak baik dengan nilai 2,6. Responden berpendapat bahwa selama lima tahun terakhir peningkatan produktivitas cenderung satgnan. Peningkatan produktivitas rata-rata hanya 0,01 persen per tahun. Stagnansi ini oleh beberapa ahli diduga karena lahan pertanian yang sudah jenuh (levelling off) karena penggunaan input terutama pupuk yang tidak sesuai dengan kesesuaian tanah dan rendahnya inovasi teknologi yang dikembangkan lembaga penelitian dalam negri. Dilihat dari Gambar 10, selama tiga dekade terakhir memang terjadi peningkatan produktivitas dari rata-rata 3,9 ton/ha pada tahun 80-an menjadi 4,3 ton/ha pada tahun 90-an dan meningkat menjadi 4,5 ton/ha mulai tahun 2000. Berbagai kebijakan intensifikasi yang dikeluarkan pemerintah seperti Bimbingan Massal, Insus dan Supra Insus dengan paket teknologi Panca Usahatani bahkan berhasil membuat Indonesia mencapai swasembada beras tahun 1984.
88
Menurut beberapa responden, sebenarnya produktivitas padi Indonesia relatif sama dengan China, Thailand dan Vietnam, tetapi petani Indonesia kalah pada beberapa aspek, diantaranya: - Penerapan teknologi yang rendah, baik teknologi produksi maupun pascapanen. Di negara lain, saluran irigasinya relatif lebih baik dan ada sepanjang tahun. Selain itu, pola tanam padi dilakukan secara bergilir sehingga ketersediaan pangan ada sepanjang tahun. Tetapi biasanya muncul masalah baru yaitu serangan hama dan penyakit, sehingga hama dan penyakit harus dikelola dengan baik. Sedangkan di Indonesia, banyak sekali saluran irigasi yang telah rusak, cara pemanenan yang masih tradisional sehingga persentase gabah yang hilang tinggi (menurut Bulog sekitar 20 persen), dan mesin penggilingan tua. - Penyuluhan petani oleh Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) mengenai produksi masih sangat kurang sehingga petani berproduksi dengan pengetahuan seadanya, terlebih lagi di daerah terpencil yang sukar dijangkau. Saat ini terdapat 44.000 orang PPL yang tersebar di seluruh nusantara. Jumlah ini masih sangat kurang bila dibanding dengan jumlah petani yang mencapai 21 juta RTP. - Penggunaan input yang kurang berkualitas. Umumnya benih yang dipakai petani bukan benih unggul melainkan benih dari hasil panen sebelumnya. Selain itu juga penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebih sehingga lahan menjadi jenuh dan hama menjadi resisten. - Modal petani yang kecil. Karena sebagian besar petani kita adalah petani miskin, maka perlu komitmen lebih dari pemerintah dalam rangka mendorong peningkatan produksi padi.
89
Indikator peningkatan bahan pangan nonberas dinilai buruk oleh semua kelompok responden dengan nilai rata-rata 2,0. Responden menilai selama ini kebijakan diversifikasi pangan masih dalam skala wacana sehingga meskipun gerakan diversifikasi sudah digalakkan melaui Inpres No. 20 Tahun 1979, namun hasilnya belum optimal. Konsumsi beras per kapita penduduk Indonesia masih tetap tinggi yaitu 139,15 kg/kapita/tahun dengan konsumsi totalnya mencapai 32 juta ton (BPS,2007). Perkembangan konsumsi beras per kapita dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18. Perkembangan Konsumsi Per Kapita Beras 1978-2006 (Ton) Sumber: BPS, 2007 (diolah) Tingginya konsumsi beras dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya: rasa beras/nasi yang lebih enak dan mudah diolah dibanding bahan pangan lain, kandungan gizi beras, konsep makan (merasa belum makan jika belum mengkonsumsi beras/nasi), rendahnya pengembangan teknologi pengolahan dan promosi/sosialisasi pangan nonberas, pendapatan masyarakat yang masih rendah, kebijakan impor gandum promosi mie instan yang gencar, dan kebijakan pemerintah yang tumpang tindih (Ashari, et all. 2003).
90
Konsep ketahanan pangan dalam bentuk menyediakan pangan pokok dengan harga
murah telah membuat kebijakan diversifikasi pangan gagal.
Berbagai bentuk perlindungan harga dan kecukupan ketersediaan membuat beras menjadi komoditas superior yang ketersediaannya melimpah dengan harga murah. Operasi pasar dan program Raskin juga turut mendistorsi efektifitas kebijakan diversifikasi pangan. Harga yang murah membuat masyarakat enggan untuk mengkonsumsi pangan nonberas, bahkan wilayah yang dulunya mengonsumsi pangan lokal seperti jagung dan umbi-umbian pun kini beralih ke beras. Menurut Sawit (1996), konsep diversifikasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu: 1) Pengendalian konsumsi beras dengan mensubtitusinya dengan komoditas penghasil
karbohidrat
lain.
2)
Memperbaiki
mutu
gizi
dengan
menganekaragamkan jenis makanan yang dikonsumsi. Konsep pertama gagal karena dilihat dari elastisitas silang beras yang rendah dan masih sangat terbatasnya pangan alternatif yang setara dengan beras. Sedangkan konsep yang kedua terhambat oleh rendahnya tingkat pendapatan masyarakat terutama masyatakat bawah sehingga tidak mampu untuk membeli bahan pangan yang beraneka ragam. Karena itu dalam upaya mengurangi konsumsi beras, beberapa karakter seharusnya dipenuhi oleh pengganti beras, diantaranya: 1) Memiliki kandungan protein dan karbohidrat yang cukup tinggi, 2) Ketersediaan yang cukup di masyarakat, 3) Kemudahan pengolahan menjadi makanan pokok, dan 4) Dari segi selera, pangan alternatif dapat diterima oleh lidah masyarakat Indonesia. Meskipun dari ketiga indikator kebijakan produksi, responden menilai belum efektif (skor rataan indikator 2,3), tetapi responden mengapresiasi peningkatan kinerja pemerintah dalam rangka meningkatkan produksi beras
91
nasional. Hal ini terlihat dari semakin meningkatnya produksi beras nasional selama tiga dekade. Perkembangan produksi padi dan beras dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19. Perkembangan Produksi, Konsumsi Padi dan Beras 1987-2007 (Ton) Sumber: BPS, 2007 (diolah) Selama 30 tahun terakhir, produksi beras terus mengalami peningkatan hingga dua kali lipatnya dibanding tahun 1978. Produksi padi tahun 2007 bahkan mencapai 57.052 juta ton, meningkat sekitar 4,76 persen atau 2,6 juta ton GKG dari tahun 2006. Peningkatan ini merupakan keberhasilan dari program P2BN yang dicanangkan Presiden SBY awal 2007 dengan target peningkatan produksi sebesar 2 juta ton beras. Paket kebijakan ini sangat komperehensif karena relatif terintegrasi dari praproduksi hingga pascapanen melalui berbagi skim pembiayaan, subsidi benih unggul dan perlindungan harga jual melalui HPP dan program LUEP. Meskipun realisasi distribusi benih bersubsidi baru tercapai sekitar 30 persen dan banyaknya bencana banjir di berbagai daerah, namun pemerintah mampu mendekati target peningkatan produksi padi yang telah ditetapkan.
92
Untuk kebijakan impor, baik indikator penetapan tarif, quota tarif dan hambatan nontarif maupun indikator penurunan jumlah impor beras dinilai buruk oleh responden dengan nilai masing-masing 2,3 dan 2,4. Sehingga nilai total rataan indikator kebijakan impor adalah 2,35 atau buruk. Hanya responden dari peneliti PSE yang memberikan penilaian agak baik terhadap efektivitas kebijakan impor dengan nilai 3,0. Menurut responden, kebijakan tarif yang dikenakan pada beras pada satu sisi memang dapat mereduksi tingkat impor beras. Akan tetapi tingginya disparitas harga beras impor terhadap harga beras dalam negri selama beberapa tahun terakhir justru mendorong berbagai penyelundupan yang dapat mendistorsi harga pasar. Sawit (1999) mencatat bahwa selama tahun 1998 beras impor ilegal yang masuk ke Indonesia tidak kurang dari 6 juta ton. Umumnya penyelundupan dilakukan dengan pemalsuan dokumen kepabeanan dan masuk ke Indonesia melalui perdagangan antarpulau, terutama di perairan Sulawesi dan Semenanjung Malaka. Tujuan penerapan tarif spesifik adalah untuk mengurangi resiko penyelewengan penentuan harga beras yang berbeda karena perbedaan kualitasnya. Namun para importir memanfaatkan hal tersebut dengan cara melaporkan jumlah impor lebih sedikit dari volume sebenarnya (under invoice). Akhirnya pemerintah menambah perlindungan dengan inspeksi fisik ketat (red line) pada beras. Akan tetapi hal tersebut sulit untuk memberantas penyelundupan
karena beberapa faktor, yaitu: 1) Infrastruktur yang kurang memadai, jumlah kapal penjaga pantai sangat terbatas dan tua; 2) Terbatasnya biaya anggaran APBN untuk operasional di perbatasan terutama kawasan perairan; 3) Rendahnya gaji dan insentif pelaksana pengamanan sehingga mudah sekali untuk disuap
93
(moral hazard) dan 4) Banyaknya celah perairan untuk jalur keluar masuk barang selundupan. Ketidakefektifan tarif impor juga dapat dilihat secara tidak langsung dari perbedaan data jumlah impor beras dari negara eksportir dengan data BPS yang berasal dari laporan Bea Cukai. Data impor dari The Rice Trader dalam bentuk The Rice Report jauh lebih tinggi dari laporan Bea Cukai. Perbedaan ini
disebabkan karena TRR mencatat seluruh beras yang diekspor ke Indonesia di tingkat eksportir. Sedangkan Bea Cukai hanya mencatat impor beras yang dilaporkan secara resmi. Semakin tinggi paritas harga beras dunia dibanding harga beras dalam regri maka semakin tinggi insentif untuk penyelundupan. Pada periode 1998-1999, laporan BPS lebih rendah 25 persen dari data TRR dan meningkat menjadi 44 persen pada periode 2000-2003. Hal inilah yang menyebabkan semakin buruknya penilaian responden terhadap efektivitas kebijakan impor. Tabel 16. Impor Beras dari Berbagai Sumber Periode 1996-2005 (Ton) Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
BPS 1.469.572 351.992 2.900.550 4.751.850 1.375.498 649.488 1.811.988 1.437.472 246.256 195.015
TRR 1.173.014 781.604 6.076.542 4.182.774 1.500.611 1.404.051 3.707.037 2.775.328 633.756 446.678
% Perbedaan (BPS/TRR) 25 -55 -52 14 -9 -54 -51 -48 -61 -56
Sumber: BPS dan TRR dalam Sawit dan Lokollo (2007) Tingginya impor beras ke Indonesia juga akibat tekanan organisasi dunia seperti WTO dan IMF pasca penandatangan kesepakatan AoA WTO. WTO secara lugas sangat mendorong Indonesia membuka akses pasarnya untuk impor
94
minimum 5 persen dari kebutuhan domestik. Pasca liberalisasi tahun 1998, Bulog dibatasi perannya, bahkan setahun kemudian perannya sebagai STE dicabut. Akibatnya rataan impor beras meningkat hingga 1,5 juta ton per tahun. Sebenarnya tingkat tarif impor Indonesia masih di bawah tariff line yang dicatatkan di WTO yaitu sebesar 40 persen Ad Valorem dengan bound rate 160 persen. Tarif impor dan ekivalen tarif yang terapkan negara maju untuk produk pertanian seperti Amerika dan Uni Eropa, Australia, Jepang dan Korea Selatan umumnya lebih tinggi dengan nilai masing-masing 116,2 persen; 2,4 persen; 352,7 persen (Duncan et al. dalam Malian, 1999). Tetapi berbagai usulan untuk meminta fleksibilitas tarif bagi negara-negara berkembang (G33) selalu mendapat tentangan dari negara maju. Indonesia adalah negara yang perlindungan impornya sangat lemah baik dari tingkat tarif maupun nontarif. Indonesia belum memanfaatkan perlindungan dari market acces, domestic support dan export subsidies seperti Safeguard, Phytosanitary, TRQ, pajak perbatasan dan proteksi lain, tidak seperti negara lain
yang mengikat berbagai peraturan impor. Perlindungan melalui special product untuk mendapatkan Special Safeguard Mechanism (SSM) WTO juga belum dimanfaatkan untuk melindungi petani. Menurut beberapa peneliti, rendahnya harga beras dunia sebenarnya tidak mencerminkan biaya produksi yang sebenarnya, karena banyak negara maju yang memberikan berbagai subsidi dan kemudahan untuk petani di negaranya seperti kredit lunak untuk pertanian, subsidi input, kemudahan ekspor dan berbagai insentif perdagangan sehingga mendistorsi harga beras dunia. Sehingga beras
95
negara-negara berkembang seperti Indonesia tidak dapat bersaing di pasar dunia. Berbagai jenis proteksi impor beberapa negara dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Perlindungan Impor Beras pada Berbagai Negara Negara China
Tarif, TRQ
Akses Pasar nontarif, quota,
Korea
Tarif, nontarif, quota, countervailing duty, anti dumping, safeguard
Jepang
Tarif, larangan dan lisensi, quota, countervailing duty, anti dumping, safeguard Tarif, safeguard, quota
Thailand
Vietnam
Bound tariff, izin impor, quota, phytosanitary, safeguard
Dukungan Domestik Bantuan khusus produk yang berhubungan dengan pertanian R n D daerah, subsidi impor
Tax break, interest loan
Price support, paddy pledging scheme, soft loan, green border, subsidi input Subsidi pertanian, perlindungan hak cipta, iklim baik untuk investasi
Subsidi Ekspor -
Reverse for export losess, pengurangan pajak untuk perusahaan DN, voluntary export resistant. Skim pembiayaan ekspor, asuransi, jaminan dan duty drawbook Subsidi transport internal, external freight cost, pajak produk Lisensi ekspor, pajak internal
Sumber: Siregar dan Lubis, 2003 Pada kebijakan Pengendalian Harga, total nilai rata-rata seluruh indikator adalah 2,4 atau buruk. Harga di tingkat petani (HPP) dinilai buruk oleh responden dengan nilai rata-rata indikator sebesar 2,4. Meskipun HPP terus meningkat tetapi peningkatannya belum menutup biaya produksi sehingga pendapatan petani kecil tetap rendah. Hal ini disebabkan karena banyaknya skala produksi petani padi yang belum mencapai skala ekonomis. Dari kelima kelompok responden, hanya responden peneliti PSE dan Teknologi Pertanian yang memberi penilaian mendekati baik yaitu 2,7 dan 2,6. Sejak tahun 1998, HGD sudah tidak efektif karena unsur penopang kebijakan telah dicabut seperti: 1) Insulasi pasar domestik, dicabutnya monopoli impor Bulog dan disubtitusi dengan tarif impor sebesar Rp 430/kg, 2) Captive
96
market Bulog dihilangkan sehingga kemampuan Bulog menyerap beras petani
turun, 3) Dana KLBI dicabut sehingga Bulog harus menggunakan dana komersial untuk pengadaan beras, 4) Pencabutan berbagai subsidi input oleh pemerintah. Akibatnya secara teknis, Indonesia tidak mungkin lagi menerapkan HDG dan menggantinya dengan HPP (Kariyasa, 2007). Sama dengan kebijakan HGD sebelumnya, penerapan HPP juga tidak sepenuhnya efektif. Berdasarkan kajian PPSE, sepanjang tahun 2004 HPP tidak efektif karena petani mendapatkan harga di bawah HPP (Gambar 13). Tahun 2005, dari kajian di tiga sentra produksi padi (Jatim, Sulsel, Sumut), rata-rata petani hanya menerima sekitar Rp 1500/kg GKP (86.7%) dari harga HPP. Rasionalisasi HPP menjadi tidak efektif karena tidak menghitung berbagai biaya seperti biaya transportasi. HPP umumnya ditetapkan di wilayah yang mudah dijangkau transportasi. Petani yang ada di sekitar area itu akan mendapatkan harga gabah sesuai HPP karena mereka tidak mengeluarkan biaya transportasi. Tetapi petani yang berada jauh dari titik pembelian akan mendapat harga yang jauh lebih rendah dengan alasan pemotongan biaya transportasi. Karena itu untuk mengefektifkan HPP perlu kebijakan perberasan yang komperehensif dan terintegrasi dengan kebijakan lainnya sesuai dinamika ekonomi perberasan. Selain rendahnya insentif HPP, lemahnya akses informasi petani, terutama di daerah, mengenai HPP menyebabkan banyak petani yang menjual panennya ke tengkulak, meskipun dengan harga lebih rendah dari HPP. Sistem panen tebas sehamparan dan ijon juga semakin merugikan petani. Petani tidak mempunyai banyak pilihan karena biasanya mereka terjerat utang pada waktu musim tanam dan membutuhkan uang untuk hidup.
97
Dalam rangka melindungi konsumen, pemerintah melakukan berbagai kebijakan seperti penerapan harga eceran tertinggi, operasi pasar murni (OPM) program Raskin. Baik penerapan HET maupun OPM dinilai buruk oleh responden (nilai rata-rata 2,4). Penerapan berbagai kebijakan tersebut, di satu sisi memang menguntungkan konsumen tetapi di sisi lain justru sangat merugikan petani. Konsep ketahanan pangan kita yang menganut ketersediaan pangan murah, telah mendorong pemerintah menekan harga dengan alasan agar beras dapat dijangkau semua golongan ekonomi. Bulog sebagai stabilitator akan segera melakukan operasi pasar ketika harga di pasar domestik melambung tinggi. Bahkan jika stok dalam negri tidak mencukupi, Bulog diizinkan untuk mengimpor beras sesuai kebutuhan. Akan tetapi OPM ternyata lebih banyak dinikmati oleh konsumen berpendapatan menengah ke atas karena perbedaan kemampuan daya beli. Kemudian pemerintah mengeluarkan program Raskin sebagai bentuk transfer pendapatan kepada masyarakat kalangan bawah. Namun kebijakan seperti ini justru dianggap mendistorsi harga pasar domestik. Malian (2004), menyatakan bahwa OPM dan Raskin telah merusak mekanisme pasar beras dalam negri karena tidak mencerminkan harga sebenarnya. Pada kondisi demikian, upaya peningkatan produksi dengan peningkatan HPP dan penerapan tarif impor menjadi tidak efektif. Dari sisi ekonomi, adanya HET dapat dikatakan berhasil karena dapat menjaga kestabilan harga beras meskipun cenderung tejadi kenaikan akibat inflasi. Pengendalian harga oleh Bulog juga membuat beras dapat diakses oleh seluruh masyarakat. Namun hal ini semakin menguatkan persepsi bahwa pemerintah cenderung lebih membela konsumen dibanding petani. Terlebih lagi, keterkaitan harga produksi di tingkat produsen dan konsumen bersifat asimetri.
98
Keberhasilan Bulog dalam menstabilkan harga beras ternyata memiliki dampak negatif bagi ekonomi perberasan Indonesia, antara lain: 1) Biaya yang sangat mahal. Pemerintah harus mengeluarkan biaya yang sangat besar terutama untuk pembelian dan biaya penyimpanan gabah/beras. Sawit mencatat periode 1998-1999, Bulog mensubsidi harga beras sebesar 14 Triliun dengan menjual beras murah di bawah harga border. 2) Proteksi yang tidak tepat sasaran. Konsep harga yang stabil dan murah ternyata lebih memihak konsumen karena produsen terpaksa menjual beras/gabah untuk hidup karena mahalnya biaya simpan tidak tertutupi pergerakan harga musiman (Pakpahan,et all,1992). 3) Margin pemasaran tipis. Intervensi pemerintah melalui OPM dan Raskin membuat kondisi pasar tidak sempurna sehingga harga pasar bebas tertekan lebih rendah. Akibatnya pasar menjadi tidak efisien dan margin pelaku pasar turun. 4) Perubahan pola konsumsi dari nonberas ke beras. Harga yang murah membuat konsumen enggan mengkonsumsi pangan nonberas, sehingga program diversifikasi pangan gagal. Hal inilah yang menyebabkan besarnya pengeluaran pemerintah untuk membiayai kebijakan subsidi untuk beras. Pada kebijakan distribusi, total nilai rata-rata seluruh indikator sebesar 2,4 atau buruk. Responden menilai kecukupan stok Bulog sudah baik (rata-rata 2,6). Namun untuk penyaluran Raskin, responden menilai buruk (2,2). Baiknya distribusi beras didukung oleh terbatasnya intervensi Bulog terhadap distribusi beras nasional (kurang dari 10% dari pangsa pasar), gudang yang tersebar di seluruh Indonesia, koordinasi yang baik antarwilayah dan hak istimewa yang dimiliki Bulog sebagai STE dan stabilitator harga. Jika CBP berada di bawah stok
99
aman maka Bulog akan segera mengimpor untuk menutup kekurangan stok. Sehingga buffer stock beras nasional tetap terjaga. Penyaluran Raskin dinilai buruk oleh responden dengan rata-rata nilai 2,2. Menurut responden, kebijakan ini hanya semakin membuat penduduk enggan mendiversifikasikan pangannya dan menambah beban subsidi negara. Raskin juga tidak efektif karena tidak dapat merangsang peningkatan pendapatan penerima program. Seharusnya kebijakan subsidi lebih ditekankan dalam bentuk pemberdayaan masyarakat miskin dan bersifat produktif. Berbagai bentuk penyelewengan juga sering terjadi pada penyaluran Raskin seperti penjualan beras Raskin kembali oleh penerima dan pengurangan jatah penerima oleh aparat desa. Karena itu sebaiknya pemerintah segera mengurangi kebijakan Raskin dan menggantinya dengan kebijakan yang lebih produktif sehingga masyarakat lebih sejahtera. Dari keempat kebijakan, kebijakan distribusi adalah kebijakan yang dinilai paling efektif dibandingkan kebijakan lainnya. Menurut responden, meskipun nilai total rata-rata indikator kebijakan distribusi sama dengan kebijakan harga namun dampak distorsi kebijakan distribusi relatif kecil dibanding dengan dampak distorsi kebijakan harga. Kebijakan yang dinilai paling buruk adalah kebijakan produksi dengan total nilai rata-rata indikator terkecil. Buruknya penilaian responden terhadap kinerja pemerintah disebabkan oleh kegagalan pemerintah dalam mengembangkan determinan utama peningkatan produksi padi nasional. 6.3. Dampak Kebijakan Perberasan Terhadap Kesejahteraan Petani Kompleksitas masalah ekonomi perberasan di Indonesia membuat pemerintah harus lebih berhati-hati dalam menentukan kebijakan pangan baik
100
kebijakan produksi, impor, pengendalian harga maupun kebijakan distribusi beras. Besarnya rumah tangga yang bergantung pada komoditas beras sebagai sumber pendapatanya dari hulu hingga hilir menyebabkan setiap perubahan kebijakan dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan rakyat. Untuk mengetahui keberhasilan kebijakan perberasan, selain dilihat dari data tingkat pertumbuhan PDB pertanian, juga diperlukan data pengukur tingkat kesejahteraan penduduk khususnya petani. Salah satu indikator tingkat kesejahteraan petani dan keadaan perekonomian pedesaan adalah nilai tukar petani (NTP). NTP merupakan nilai pengukur kemampuan tukar (term of trade) barang/produk pertanian yang dihasilkan petani terhadap barang dan jasa yang diperlukan untuk konsumsi rumah tangga dan kebutuhan dalam memproduksi hasil pertanian. Dengan kata lain, NTP adalah alat ukur daya beli petani. NTP diperoleh dari persentase rasio indeks harga yang diterima petani (IT) dengan indeks harga yang dibayar petani (IB). NTP > 100 menunjukkan kemampuan/daya beli (kesejahteraan) petani lebih baik dibandingkan keadaan pada tahun dasar (1993). NTP = 100 berarti kemampuan/daya beli petani sama dengan keadaan pada tahun dasar. NTP < 100 menunjukkan kemampuan daya beli petani menurun dibanding tahun dasar.
101
Gambar 20. Perkembangan Nilai NTP-Padi Periode 1992-2007 Sumber: BPS, berbagai tahun (diolah). Pada Gambar 20 terlihat bahwa pada periode sebelum dan saat krisis ekonomi, nilai rata-rata cenderung berfluktuasi setiap tahun. Penurunan secara signifikan terjadi pada tahun 2000, pada saat memasuki masa pemulihan pascakrisis. Penurunan NTP salah satunya disebabkan karena kondisi ekonomi dan situasi politik yang belum kondusif. Tingginya inflasi dan depresiasi rupiah terhadap dollar juga memicu harga-harga barang dalam negri meningkat tajam. Petani yang umumnya berpendapatan kecil tidak mampu membeli kebutuhan pokok, terlebih lagi input pertanian. Penurunan produksi pada selama periode 1997-1999 juga menjadi salah satu faktor penyebabnya. Pada periode tersebut, Indonesia juga mengimpor beras dengan jumlah sangat besar sehingga terjadi over supply di dalam negri. Harga di tingkat petani semakin jatuh dan secara agregat
kesejahteraan petani kecil semakin menurun. Dibandingkan pada tahun dasar (1993 = 100) maka, secara umum kesejahteraan petani padi tidak meningkat atau
102
dapat dikatakan bahwa petani padi Indonesia lebih miskin dibandingkan sebelumnya. Periode 2000-2007, nilai NTP terus berfluktuasi sepanjang tahun. NTP akan cenderung menurun pada saat panen raya dan kembali meningkat sesudahnya. Selain berfluktuasi, nilai tukar petani padi juga lebih kecil dari nilai tukar petani komoditas lain seperti perkebunan yaitu sebesar 195 (Outlook Perkebunan, 2006). Kondisi ini mengindikasikan bahwa secara eksplisit, petani komoditas perkebunan relatif lebih sejahtera daripada petani tanaman pangan. Fluktuasi ini dipengaruhi oleh harga komoditas tersebut di pasar, fluktuasi harga barang konsumsi, biaya produksi pertanian dan penambahan barang modal (BPS, 2004). Rendahnya nilai NTP petani padi sangat terkait dengan kebijakan harga tanaman pangan. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang paling dilematis bagi pemerintah. Pada satu sisi, pemerintah harus meningkatkan kesejahteraan petani melalui peningkatan HPP dan di sisi lainya pemerintah harus menjaga kestabilan harga beras di tingkat konsumen agar tidak melebihi kemampuan daya beli riil masyarakat. Jika dilihat dari data realisasi HPP, sepanjang tahun 2006-2007, harga GKP rill berada di atas HPP. Akan tetapi oleh beberapa peneliti dan petani, tingkat HPP masih dianggap terlalu rendah bahkan belum mampu menutupi biaya pupuk selama produksi 15 . Petani berharap pemerintah merasionalisasi kembali tingkat HPP agar lebih sesuai. Sebaliknya konsumen juga sering merasa bahwa harga beras masih terlalu tinggi. Sepanjang tahun 2007 harga beras cenderung 15
Wawancara dengan Beberapa Peneliti PPSE dan Pusbalitan serta beberapa petani di Karawang
103
meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Akibatnya kebijakan harga dianggap tidak berpihak pada petani dan tidak melindungi konsumen. Salah satu penyebab tidak efektifnya kebijakan harga adalah besarnya disparitas harga di tingkat petani dan konsumen. Besarnya disparitas harga disebabkan belum efisiennya tataniaga beras dan ditambah dengan kondisi pasar yang bersifat asimetris. Alur tataniaga yang panjang membuat margin pemasaran petani sangat kecil. Banyak pedagang sekaligus berperan sebagai pemilik penggilingan sehingga sering mengambil kesempatan untuk memainkan harga. Pedagang juga sering memanfaatkan isu menjelang impor dengan mengurangi pembelian dari petani. Maka saat beras impor datang terjadi over supply di pasar, harga di tingkat petani turun. Pada saat tersebut banyak pedagang besar yang membeli gabah petani dengan harga murah untuk disimpan di gudang.
4000 3500 3000
Harga riil Eceran
2500 2000 1500
Harga riil GKP
1000 500
Harga riil HPP
0
Gambar 21. Perkembangan Harga Gabah dan Beras Rill Tahun 1993-2007 Sumber: Statistik Pertanian, Deptan 2007 Sifat pasar beras yang asimetris terjadi karena lemahnya posisi tawar (bargaining position) petani. Menurut Simatupang, petani lebih banyak menjadi penerima harga (price taker), sementara penentuan harga lebih dominan dilakukan pedagang. Sehingga ketika harga naik di tingkat konsumen, kenaikan itu
104
ditransmisikan tidak sempurna dan lambat ke petani tetapi tidak berlaku sebaliknya. Pedagang umumnya tidak terlalu menerima dampak negatif dari fluktuasi harga di pasar karena dapat dengan mudah menyesuaikan marjinnya. Kelemahan lain petani kecil adalah lebih banyak menjual gabah dalam bentuk GKP daripada GKG ataupun beras. Harga GKP
relatif lebih rendah
dibandingkan harga GKG/beras dan sangat mudah rusak karena perubahan lingkungan. Sepanjang bulan Maret 2008, harga GKG dan beras cenderung meningkat melebihi HPP namun harga GKP jatuh di pasar. Kondisi ini sangat merugikan petani, padahal rentang waktu tersebut belum memasuki panen raya. Jatuhnya harga GKP disebabkan beberapa faktor yaitu: 1) Panen terjadi pada bulan basah karena anomali iklim sehingga kadar air tinggi; 2) Kapasitas dryer Rice Milling Unit (RMU) terbatas sehingga membeli gabah petani dalam jumlah
terbatas; 3) Buruknya manajemen pascapanen seperti perontokan yang tidak sesuai dan panen yang terlalu dini; 4) Sistem penjualan melalui ijon dan tebasan ke tengkulak karena ingin mendapat uang tunai dengan cepat16. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani, usaha yang paling relevan adalah melalui peningkatan produksi diiringi dengan efisiensi produksi dan tataniaga. Beberapa peneliti juga berpendapat bahwa untuk meningkatkan pendapatan, petani harus dilibatkan lebih luas dalam penanganan pascapanen hingga tingkat penggilingan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi dominasi RMU. Pemberdayaan kelembagaan seperti KUD harus dioptimalkan kembali sebagai sarana bagi petani untuk meningkatkan posisi tawar.
16
Wawancara dengan Kepala Sub Bidang Pengamatan Harga dan Pasar, BULOG
105
Efisiensi produksi dan tataniaga menuntut peran pemerintah baik melalui regulasi maupun bantuan dana. Insentif untuk mendorong produksi padi juga harus terus diperbaiki agar pendapatan petani meningkat, mengingat sebagian besar petani Indonesia adalah petani kecil dan miskin yang tidak memiliki kemampuan bersaing dengan petani negara lain yang sarat akan proteksi dan subsidi. Menurut Sugema (2006), ada empat hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan efisiensi produksi dan tataniaga yaitu: 1) Pembangunan sarana infrastruktur fisik pertanian dan pedesaan. Selama ini infrastruktur irigasi, jalan desa dan kecamatan terus mengalami kemerosotan. Akibatnya disparitas harga di tingkat petani dan konsumen tinggi. Membaiknya infrastruktur terutama jalan diperdesaan akan mengurangi biaya produksi dan tataniaga. 2) Mengadopsi bibit unggul sehingga produktivitas dapat ditingkatkan. Dalam hal ini terdapat dua masalah yaitu: a. Dana riset terutama untuk pemuliaan tanaman yang terbatas; b. Tingkat adopsi petani yang rendah terhadap teknologi baru. Karena itu, dalam hal riset sebaiknya kita mencontoh Thailand yang memberikan perhatian penuh terhadap riset pertanian. 3) Perlunya reformasi agararia yang fokus
pada
pemanfaatan lahan tidur dan tidak produktif. 4) Rekayasa ulang kelembagaan pangan Indonesia17. Desentralisasi dan euforia otonomi daerah membuat program pembangunan pertanian menjadi terpecah-pecah dan tergantung pada kebijakan pemerintah daerah. Sehingga pencapaian target produksi sulit dicapai. Sebaiknya masalah pangan tetap dipegang oleh pemerintah pusat dengan dikoordinasikan ke pemerintah daerah agar seluruh program dapat berjalan dengan baik. 17
Imam Sugema. Krisis Kebijakan Beras. www.kompas.com [26 November 2007]
VII. PRIORITAS STRATEGI KEBIJAKAN PERBERASAN
7.1. Identifikasi Faktor Strategis Internal Tahap ini bertujuan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan internal dari ekonomi perberasan di Indonesia. Kekuatan dan kelemahan ini ditinjau dari semua elemen kebijakan baik kebijakan produksi, impor, pengendalian harga dan kebijakan distribusi. Dari hasil identifikasi akan dapat diketahui potensi dan rumusan strategi pengembangan kebijakan perberasan yang tepat di masa mendatang dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Semua faktor, baik internal maupun eksternal ditentukan dengan mengacu pada indikatorindikator efektivitas kebijakan beras. 7.1.1. Kekuatan 1. Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) dan Gerakan Penanganan Pascapanen dan Pemasaran Gabah (G4PG). P2BN merupakan program yang dikeluarkan pemerintah tahun 2007 dalam rangka meningkatkan produksi padi nasional. Target program ini adalah peningkatan 3,6 juta ton GKP atau setara 2 juta ton beras. Paket kebijakan ini terdiri dari 4 strategi yang sangat komprehensif yaitu peningkatan produktivitas,
perluasan
areal
panen,
pengamanan
produksi
serta
pemberdayaan kelembagaan dan dukungan pembiayaan. Sedangkan G4PG adalah program pemerintah dalam rangka mengurangi kehilangan pasca panen. Menurut Mustafa (2007), tingkat kehilangan pascapanen kita sekitar 20 persen, sehingga bila dapat dikurangi maka produksi akan meningkat.
107
Dalam rangka mencapai target, pemerintah melengkapi paket kebijakan ini melalui berbagai program penunjang seperti: 1) Subsidi input (benih unggul
nonhibrida seperti varietas Ciherang, Cibogo, Ciliwung,
Mekongga dan Situbagendit, benih hibrida serta subsidi pupuk); 2) Perbaikan jaringan irigasi, pemanfaatan lahan kering, lahan kurang produktif, percetakaan sawah baru dan hujan buatan; 3) Program pengendalian hama terpadu (PHT); 4) Revitalisasi dan penerapan manajemen pascapanen untuk mendukung G4PG; 5) Pemberdayaan kelompok tani dan penyuluhan pertanian (PPL); 6) Bantuan peralatan melalui berbagai skim pembiayaan pertanian seperti Kredit Ketahanan Pangan (KKP), Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3) dan Dana Penguatan Modal-Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP)
18
. Berbagai skim kredit ini bertujuan untuk
mendorong petani berproduksi agar meningkatkan pendapatan. Berkat paket kebijakan ini, tahun 2007 produksi padi nasional mencapai 57,052 juta ton GKG atau naik 4,77 persen (2,60 juta ton) dibanding produksi tahun 200619. Meskipun belum mencapai target, tetapi pemerintah terus melakukan perbaikan agar Indonesia dapat mencapai swasembada beras pada tahun 2015. 2. Kebijakan tarif impor dan hambatan nontarif seperti quota, harga impor minimum, lisensi dan Tarif Rate Quota Proteksi beras dalam negri juga dilakukan dengan penerapan berbagai hambatan impor baik melalui pengenaan tarif, restriksi nontarif, penerapan quota impor, dan penerapan Tariff Rate Quota (TRQ). Tarif impor spesifik mulai dikenakan Indonesia sejak tahun 2000 sebesar Rp 430/kg yang kemudian 18 19
Pedoman Gerakan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN), Deptan 2007 BPS: Produksi Padi 2007 Naik 4,77%, NTP 108,63; www.agrinewsonline.go.id [26 Maret 2008]
108
dirasionalisasi menjadi Rp 450/kg tahun 2005. Hal ini disebabkan karena pasca liberalisasi beras, ekonomi perberasan Indonesia menjadi tidak kondusif. Insentif petani untuk berproduksi sangat rendah karena serbuan beras impor dan penetapan HPP menjadi tidak efektif untuk mengangkat harga beras di tingkat petani. Meskipun berbagai kajian menunjukkan bahwa pengenaan tarif impor belum efektif karena dari hasil perhitungan masih ada perbedaan sekitar Rp 200/kg antara harga gabah dalam negri dangan harga paritas impor (setelah tarif) dalam equivalen gabah dengan asumsi harga beras impor US$ 300/ton20. Karena itu selain tarif spesifik, pemerintah kemudian memperketat impor dengan mengenakan berbagai hambatan nontarif seperti quota, red line dan memberi dukungan melalui lisensi impor. TRQ merupakan bentuk hambatan perdagangan, tetapi relatif transparan karena bukan sebagai quantitative restriction karena tetap membuka pasar dan menerapkan tarif (tarif lebih rendah di dalam quota dan lebih tinggi di luar qouta). Untuk beras Indonesia, akses minimumnya sebesar 70.000 ton (tarif 90%) dan di luar quota sebesar 160 persen (bound rate). TRQ juga masih ditoleransi oleh WTO karena masih membuka pasar dan Indonesia merupakan negara berkembang sehingga penurunan tarif hingga 0 persen menjadi lebih lama. Semua kebijakaan ini dilakukan untuk melindungi beras domestik dari serbuan beras impor serta mengurangi tingkat ketergantungan impor Indonesia karena dapat mengancam ketahanan negara dan menghabiskan devisa negara.
20
Hermanto (Kepala Pusat Pengembangan Distribusi Pangan, BKP, Deptan) dalam artikel Implementasi Kebijakan Perberasan Nasional; www.suarapembaharuan.com [26 November 2007]
109
3. SK Menperindag No. 9 Tahun 2004 tentang Importasi Beras. Selain melalui hambatan tarif dan nontarif, mekanisme impor beras di Indonesia juga diatur melalui SK Menperindag No. 9 Th.2004 tentang aturan Importasi Beras. Dalam SK ini, tertuang bahwa impor beras dilarang selama 1 bulan sebelum panen raya, selama panen raya dan 2 bulan setelah panen raya. Impor beras juga hanya diperbolehkan untuk importir yang telah diakui sebagai Importir Produsen Beras (IP Beras) dan telah ditunjuk sebagai Importir Terdaftar (IT). Pelaksanan importasi oleh IT hanya dapat dibongkar di pelabuhan tujuan yang telah ditetapkan Dirjen Perdagangan Luar Negri. Sedangkan beras yang diimpor oleh IP hanya boleh digunakan sebagai bahan baku produknya saja, tidak diperbolehkan untuk diperdagangkan kembali. Sedangkan periode di luar panen raya, beras impor dapat masuk dengan pengaturan jumlah, tempat (pelabuhan), kualitas dan waktu. SK ini merupakan salah satu kebijakan yang komprehensif untuk memproteksi beras dalam negri. Karena itu perlu koordinasi dari berbagai elemen agar kebijakan ini dapat berfungsi secara optimal melindungi petani. 4. BULOG kembali memonopoli impor dan mengendalikan harga. Faktor strategis lain dari kebijakan beras nasional adalah diakuinya kembali Bulog sebagai STE oleh WTO mulai bulan Agustus tahun 2003. Status ini memberikan peluang baru Indonesia untuk dapat memproteksi dan menstabilkan ekonomi perberasan dalam negri. Selain itu Bulog juga kembali memonopoli impor dan mengendalikan harga beras di Indonesia sejak 2007 melalui Surat K eputusan Mendag No.1109 tahun 2007. Diharapkan jika beras
110
dimonopoli oleh STE, sistem kontrolnya akan lebih mudah. Namun kebijakan ini menuai banyak kritik karena dikhawatirkan sarat akan praktek KKN sehingga perlu pengawasan dari semua pihak. 5. Beberapa Pelabuhan aktif untuk ekspor impor dan distribusi dan adanya Cadangan Beras Pemerintah Untuk memperlancar proses distribusi beras ke seluruh tanah air, di Indonesia juga terdapat beberapa pelabuhan aktif untuk ekspor impor dan ratusan pelabuhan untuk perdagangan antar pulau. Kemudahan lalu lintas transportasi sangat penting mengingat kondisi wilayah Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau. Sedangkan untuk menjaga ketersediaan pangan sepanjang tahun, pemerintah menerapkan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) minimal 1 juta ton di gudang Bulog. CBP terdiri dari stok operasional, stok penyangga (buffer) dan pipeline stock. CBP dipenuhi dari pengadaan dalam negri dan digunakan sebagai insulasi HPP. Berdasar prognosa awal tahun 2008, kebutuhan beras Bulog dari pengadaan dalam negri sebesar 2,7-3 juta ton setara beras. CBP dapat digunakan sewaktu-waktu terutama untuk keadaan darurat dan sebagian didistribusikan sebagai beras Raskin agar kualitas beras Bulog tetap terjaga. 6. Kebijakan HPP dan Harga Eceran Tertinggi Harga Pembelian Pemerintah mulai digunakan sebagi instrumen untuk melidungi petani sejak tahun 2003. Sebelumnya, HPP lebih dikenal sebagai Harga Dasar (HD). HPP sendiri terdiri atas Harga Gabah Kering Panen (GKP), Harga Gabah Kering Giling (GKG) dan Harga Beras. Penetapan HPP telah
111
tertuang dalam Inpres No.9 Tahun 2002 dan terus dirasionalisasi seiring dengan perubahan harga input, inflasi dan harga beras internasional. Kebijakan HPP bertujuan untuk melindungi pertani dengan cara menetapkan harga pembelian gabah maupun beras untuk pengadaan dalam negri terutama pada saat panen raya. Berdasarkan data Bulog, sepanjang tahun 2006 hingga pertengahan 2007, harga GKP maupun GKG berada di atas harga HPP yang ditetapkan oleh pemerintah. Sedangkan Harga Eceran Tertinggi (HET) bertujuan untuk melindungi konsumen. Pemerintah akan menetapkan pagu harga ketika harga beras melambung tinggi sehingga masih berada di kisaran daya beli masyarakat. 7. Operasi Pasar Murni dan program Raskin Selain melalui HPP dan HET, perlindungan harga juga dilakukan melalui Operasi Pasar Murni (OPM) pada saat harga beras di pasar melambung tinggi baik yang disebabkan over demand maupun kelangkaan stok. Umumnya OPM ditetapkan lebih rendah sebesar 10-15 persen dari harga pasar. Bulog juga akan melepas stok berasnya agar jumlah penawaran beras naik sehingga harga turun. Sedangkan untuk melindungi rakyat miskin, pemerintah juga melakukan Program Raskin sejak tahun 1997 sebagai bentuk perlindungan agar rakyat miskin tetap dapat mendapatkan pangan yang layak dalam jumlah cukup sesuai dengan Inpres No. 9 Tahun 2002 dan Inpres No.3 Tahun 2007. 8. Adanya berbagai kredit pertanian dan program DPM-LUEP Untuk mendukung efektivitas kebijakan perberasan, pemerintah juga mengeluarkan berbagai skim kredit pertanian untuk membantu petani mangatasi permasalahan permodalan. Bantuan peralatan dikucurkan melalui
112
berbagai skim pembiayaan pertanian seperti Kredit Ketahanan Pangan (KKP) sebesar Rp 387 Miliar dan Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3) sebesar Rp 1 Triliun. Hingga September 2007, realisasi KKP untuk tanaman pangan baru mencapai 62, 61 persen dari plafon yang disediakan pemerintah. Sedangkan untuk mempermudah penyaluran KKP, pemerintah menunjuk 10 bank sebagai penyalur kredit pada petani. Bank tersebut adalah Bank BRI, BNI, BCA, Mandiri, Bukopin, Agro, Niaga, BII, Danamon dan BPD. Selain memberikan kredit pertanian, pemerintah juga membentuk Dana Penguatan Modal-Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP) sejak tahun 2005. Program DPM-LUEP bertujuan untuk mengamankan kebijakan HPP sehingga petani mendapatkan harga sesuai ketentuan pemerintah terutama di
wilayah
yang
tidak
dijangkau
Bulog.
Tahun
2007,
pemerintah
menganggarkan dana sebesar Rp 223 Miliar21. Program ini diharapkan dapat mengangkat harga di tingkat petani dan meningkatkan posisi tawar petani dari srtuktur pasar yang oligopsoni yang selama ini lebih dikendalikan oleh para tengkulak dan pedagang besar. 7.1.2. Kelemahan 1. Penguasaan lahan sempit dan tingginya konversi lahan Beberapa kelemahan yang harus diperbaiki dalam pembangunan pertanian Indonesia antara lain penguasaan lahan yang sempit menyebabkan pendapatan petani tidak mencukupi kebutuhan hidup jika hanya dari usahataninya saja. Rata-rata penguasaan lahan petani kurang dari 0,3 ha/RTP22. Karena itu sebagian petani padi selain menjadi produsen juga menjadi net 21 22
Pedoman Gerakan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN), Deptan 2007 Wawancara dengan Kepala Badan Ketahanan Pangan, Deptan [14 April 2007].
113
consumer beras. Sempitnya pengusahaan lahan, terutama di Jawa terjadi karena
sistem warisan yang turun temurun dan tingginya konversi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian. Sistem warisan yang membagi rata lahan pertanian kepada keturunan menyebabkan terjadinya fragmentasi lahan yang akhirnya mendorong terjadinya konversi dengan alasan ekonomi. Jika konversi tidak segera ditanggulangi maka dalam jangka panjang jumlah lahan produktif terutama di Pulau Jawa akan semakin berkurang, padahal selama ini Pulau Jawa selalu mensuplai lebih dari 50 persen total produksi padi nasional. 2. Infrastruktur produksi dan teknologi pascapanen yang masih tertinggal serta rendemen padi yang menurun Tertinggalnya penerapan teknologi produksi dan pascapanen juga menjadi kelemahan tersendiri bagi peningkatan produksi padi. Selain terkait dengan kualitas sumber daya petani yang umumnya masih rendah juga karena minimnya inovasi teknologi lembaga-lembaga penelitian dalam negri. Sarana infrastruktur produksi seperti sarana irigasi banyak yang rusak dan peralatan produksi masih sangat sederhana dibanding negara lain. Dari hasil inventarisasi Dirjen Pengairan, Dinas Pekerjaan Umum tahun 1999, dari sekitar 6,7 juta ha total jaringan irigasi sekitar 1,4 juta ha rusak ringan dan 126 ribu ha rusak berat. Jumlah ini pun diperkirakan akan semakin bertambah
mengingat
semakin
minimnya
anggaran
pemerintah
dan
desentralisasi. Teknologi pascapanen juga masih tertinggal. Karena itu sebagian besar petani menjual gabah dalam bentuk GKP dengan harga rendah. Selain itu sebagian besar mesin pemanen, perontok, penggiling (RMU) maupun pengering
di
Indonesia
menggunakan
mesin-mesin
yang sudah
tua
114
(Malian,2004). Akibatnya rendemen padi terus menurun dari 70 persen pada tahun50-an menjadi 63,2 persen saat ini. Karena efisiensi dan optimalisasi produksi tidak tercapai. 3. Indeks Pertanaman masih rendah terutama di luar Jawa Minimnya infrastuktur juga menyebabkan produksi padi tidak dapat dilakukan sepanjang tahun karena terkendala masalah pengairan. Rata-rata Indeks Pertanaman Indonesia sekitar 1,5-1,6 per tahun. Nilai IP di luar Jawa bahkan cenderung lebih rendah karena banyaknya lahan yang kurang produktif, lahan yang tidak sesuai dan kurangnya saluran irigasi. Jika IP nasional dapat ditingkatkan menjadi 2,0 per tahun, Indonesia berpeluang menambah produksi lebih dari 13,5 juta ton GKG atau setara 9 juta ton beras akan semakin terbuka23. 4. Mahalnya harga input yang berkualitas seperti bibit jenis unggul, pupuk dan obat-obatan. Mahalnya harga input yang berkualitas disebabkan sebagian besar input terutama obat-obatan dan bibit unggul masih diimpor dari luar negri. Selain itu juga adanya ketergantungan petani terhadap penggunaan pupuk buatan dan pestisida anorganik. Sehingga pada saat pemerintah mencabut subsidi pupuk pada tahun 1998, produksi padi kita menurun drastis. Apalagi ditambah dengan kemampuan modal petani kecil yang sangat terbatas untuk mengakses input. Berbagai upaya efisiensi produksi sebenarnya telah dilakukan, tetapi hasilnya belum efektif karena semua elemen berkerja sendiri-sendiri dan kurang terkoordinasi. Pengembangan bibit unggul sebenarnya banyak 23
BPS: Produksi Padi 2007 Naik 4,77%, NTP 108,63; www.agrinewsonline.go.id [26 Maret 2008]
115
dilakukan oleh lembaga riset dalam negeri. Tetapi karena minimnya dukungan dana pemerintah maka sebagian besar masih pada tahap laboratorium. 5. Kegagalan program diversifikasi pangan pokok Tingkat ketergantungan konsumsi beras rakyat Indonesia yang tinggi menyebabkan kegagalan program diversifikasi pangan pokok. Bahkan terdapat kecenderungan masyarakat yang dulunya tidak mengkonsumsi beras saat ini beralih untuk mengkonsumsi beras. Kegagalan program ini juga didorong oleh tumpang tindihnya kebijakan pemerintah seperti kampanye swasembada beras dan impor gandum yang mendistorsi kebijakan diversifikasi. Padahal di Indonesia terdapat berbagai jenis sumber karbohidrat nonberas seperti ubi kayu, ubi jalar, kentang, jagung, talas, sagu dan umbi-umbian lainya. Berbagai kelebihan beras dan kemudahan teknologi pengolahan juga membuat masyarakat enggan untuk berpindah pada bahan pangan lain. Ketersedian beras dalam jumlah banyak di pasar dan murah membuat masyarakat semakin menyukai beras. Selain itu juga ada anggapan bahwa jika mengkonsumsi makanan pokok selain beras akan menurunkan prestise konsumennya. Faktor inilah yang membuat posisi beras sukar digantikan. Berdasarkan wawancara dengan Kasubid Pengamatan Harga dan Pasar, Bulog (2008), saat ini pemerintah sedang menyusun rencana untuk mendiversifikasi CBP sehingga tidak hanya dalam bentuk beras saja. Rencananya bantuan Raskin juga akan didiversifikasi dengan bahan pangan pokok lain seperti tepung dan gandum. Pemerintah juga sedang membahas aturan bahwa pabrik makanan tidak boleh menggunakan tepung terigu seluruhnya tetapi harus dicampur dengan tepung lokal. Hal ini bertujuan untuk
116
mengurangi ketergantungan impor gandum dan meningkatkan konsumsi pangan lokal. Permasalahanya adalah apakah sumber daya Indonesia mampu untuk menghasilkan tepung lokal dalam jumlah besar. Rata-rata konsumsi beras nasional mencapai 2,7 juta ton/bulan (prognosa Bulog 2008). Jika 10 persen saja total konsumsi diganti dengan tepung lokal, berarti harus memproduksi tepung lokal sekitar 270 ribu ton per bulan. 6. Sering terjadinya kelangkaan beras di saat paceklik dan fluktuasi harga akibat ulah spekulan Meskipun secara agregat jumlah produksi beras dapat mencukupi kebutuhan nasional sepanjang tahun tetapi masih sering terjadinya kelangkaan beras di pasar terutama pada saat paceklik, mengingat pengadaan beras yang membutuhkan waktu. Pada saat itu, harga beras akan meningkat tajam dan hal ini sering dipicu ulah spekulan dan pedagang besar yang menahan beras di gudang. Spekulan juga sering memanfaatkan isu impor beras untuk membuat shock petani dan konsumen sehingga harga beras di pasar fluktuatif. Kebijakan
perlindungan harga yang ditetapkan oleh pemerintah cenderung menjadi tidak efektif dan petani yang merupakan konsumen beras semakin menderita karena harus membeli beras dengan harga yang tinggi. 7. Fluktuasi Nilai Tukar Petani pascakrisis ekonomi Pascakrisis ekonomi, Nilai Tukar Petani (NTP) terus berfluktuasi. NTP merupakan salah satu indikator untuk mengukur daya beli petani melalui nilai tukar produk pertanian terhadap produk nonpertanian lain. Selama periode 1994-1998 rata-rata NTP sebesar 106 per tahun dan mengalami peningkatan menjadi 107 periode tahun 1999-2007. Stagnansi NTP ini menunjukkan bahwa
117
kesejahteraan petani padi terus menurun pascakrisis ekonomi bila dilihat dari pengaruh inflasi dan nilai tukar sepanjang waktu. Penurunan NTP tentu menjadi suatu kelemahan pemerintah karena mengindikasikan bahwa berbagai upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani gagal. 7.2. Identifikasi Faktor Strategis Eksternal Analisis faktor eksternal bertujuan untuk mengidentifikasi peluang dan anaman pengembangan kebijakan perberasan Indonesia. Peluang maupun ancaman ini dapat datang dari perubahan lingkungan ekonomi, politik, teknologi perkembangan lembaga internasional dan berbagai kerjasama multilateral. Faktor eksternal dapat berpengaruh positif maupun negatif sehingga perlu diidentifikasi terlebih dahulu pengaruhnya terhadap kebijakan perberasan nasional. 7.2.1. Peluang 1. Nilai tukar rupiah terhadap dollar relatif stabil Beberapa peluang yang dapat pemerintah Indonesia manfaatkan dalam mengembangkan kebijakan perberasan Indonesia di masa mendatang antara lain semakin stabilnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Semakin menguat (apresiasi) nilai tukar rupiah terhadap dollar, maka harga produk impor akan relatif semakin murah. Perkembangan nilai tukar sangat penting karena Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor beras terbesar dunia. Apresiasi nilai rupiah akan menentukan besarnya devisa negara yang harus dikeluarkan untuk impor beras. Menurut Hadi dan Wiryono (2005), harga beras impor tercermin pada harga impor (CIF) di pelabuhan Indonesia dalam mata uang rupiah dapat dihitung dengan rumus:
118
PWR = PWD * ER
dimana:
PWR = Harga impor di pelabuhan Indonesia dalam rupiah (Rp/kg) PWD = Harga impor di pelabuhan Indonesia (CIF) dalam dollar ($US/kg) ER = Nilai tukar (Rp/$US) Sedangkan harga paritas impor di tingkat grosir (PMG) diperoleh melalui perkalian PWR dengan bilangan 1.08 (biaya adminsistrasi dan bongkar muat di pelabuhan Indonesia umumnya sekitar 8%), maka: PMG = 1.08 * PWR Jadi semakin tinggi nilai tukar rupiah terhadap dollar maka semakin murah harga beras impor sehingga akan semakin menghemat devisa negara. 2. Pengembangan bibit unggul dan padi hibrida Peluang lainnya adalah pengembangan benih padi varietas unggul dan padi hibrida oleh berbagai lembaga penelitian. Lembaga-lembaga penelitian baik lokal maupun internasional seperti International Rice Research Institute (IRRI) terus mengembangkan benih padi varietas unggul dan tahan hama penyakit. Pengembangan padi hibrida juga membuka peluang peningkatan produksi karena varietas ini memiliki produktivitas yang jauh lebih tinggi daripada varietas nonhibrida. China adalah contoh negara yang telah berhasil memanfaatkan padi hibrida sehingga menjadi salah satu produsen padi terbesar dunia dan mampu mencukupi kebutuhan penduduknya yang besar. 3. Kesepakatan kerjasama antar negara G33 untuk mengurangi dampak perdagangan bebas Terkait dengan ratifikasi WTO mengenai perdagangan internasional, semakin
sulit
bagi
negara
berkembang
untuk
memproteksi
produk
119
pertaniannya. Terlebih lagi dengan kemampuan dana
negara berkembang
terbatas. Untuk itu negara-negara berkembang sepakat untuk bekerjasama mengurangi dampak perdagangan bebas yang dirasakan lebih menguntungkan negara maju. Kelompok ini dikenal dengan kelompok G-33. Tujuan dari G-33 adalah mendesak negara maju dan negara berkembang tertentu agar menurunkan subsidi domestik dan subsidi ekspornya secara signifikan. 4. Pengembangan teknologi produksi, pascapanen dan pengolahan hasil pertanian Berbagai jenis teknologi produksi, pascapanen, dan pengolahan produk pertanian juga terus dikembangkan untuk mengefisienkan produksi dan meningkatkan nilai tambah produk. Mekanisasi sektor pertanian telah dimulai dari praproduksi, pemeliharaan tanaman, panen, perontokan hingga siap untuk dikonsumsi. Berbagai peralatan pendukung yang dapat membantu petani berproduksi seperti traktor, mesin penyemai, mesin penabur pupuk, mesin perontok (huller), dryer, mesin penggilingan dan berbagai jenis teknik budidaya padi terus diperbaiki untuk meningkatkan produksi. Selain itu, berbagai teknologi pengolahan hasil pertanian seperti mesin-mesin juga terus dikembangkan untuk meningkatkan nilai tambah beras hingga dapat dikonsumsi dalam berbagai jenis dan bentuk pangan. 5. Adanya Special Product dan Special Safeguard Mechanism berdasarkan Agreement on Agriculture (AoA) Beberapa
negara
berkembang,
termasuk
Indonesia
sedang
mengupayakan agar produk pertanian strategis seperti beras dan gula dapat dimasukkan dalam Special Product (SP) WTO. Special Product merupakan
120
salah satu kelonggaran yang tercantum dalam Agreement on Agriculture (AoA) WTO karena produk yang sudah mendapat pengakuan Special Product secara otomatis akan mendapatkan Special Safeguard Mechanism (SSM)24. SSM disebut sebagai salah satu pasal pengecualian dalam Agreement on
Safeguard
(AoS)
WTO
yang
memungkinkan
negara
penerima
memproteksi produk pertanianya secara fleksibel dari serbuan impor dengan cara meningkatkan tarif sementara di atas bound tariff atau membatasi impor (import restriction). Namun penggunanya harus memenuhi persyaratan AoSWTO dan Article XIX GATT 1994. Saat ini Indonesia hanya mencatatkan produk turunan susu (10 jenis) dan cengkeh (3 jenis) yang mendapatkan SSM. Hingga tulisan ini ditulis, Indonesia masih terus memperjuangkan agar beras dan gula mendapatkan SSM-WTO bersama kelompok G-33 lainnya pada sidang-sidang Komite Pertanian. Berbagai peluang yang ada terutama yang berkaitan dengan WTO harus dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah sebelum Indonesia mampu melindungi produk pertanian melalui blue box dan green box.
7.2.2. Ancaman 1. Kesepakatan penurunan tarif impor antarnegara sesuai AoA Kesepakatan perdagangan bebas WTO juga memberikan ancaman tersendiri bagi negara berkembang. Hal ini terjadi akibat perbedaan penguasaan sumber daya antarnegara dan kepemilikan modal. Dalam perundingan Putaran Uruguay (1995) di bidang pertanian, terdapat tiga aspek yang telah disepakati bersama yaitu: 1) Penurunan hambatan akses pasar melalui penurunan tarif 24
Agreement on Agriculture. www.wto.org [3 Desember 2007]
121
rata-rata sebesar 36 persen untuk negara maju selama 6 tahun dan 24 persen untuk negara berkembang selama 10 tahun; 2) Pengurangan subsidi domestik sebesar 20 persen untuk negara maju tanpa batas waktu dan untuk negara berkembang sebesar 13,3 persen dalam 10 tahun; 3) Pengurangan subsidi ekspor sebesar 36 persen dari seluruh nilai ekspor dalam 6 tahun dan untuk negara berkembang sebesar 20 persen selama 10 tahun (Malian, 2004). Meskipun terdapat perbedaan tingkat maupun waktu penurunan untuk tarif dan subsidi antara negara berkembang dengan negara maju, tetapi menurut banyak pengamat mekanisme ini tidak efektif. Ketidakefektifan tersebut karena besarnya perbedaan tingkat pembangunan ekonomi, teknologi, infrastruktur dasar serta kualitas sumber daya manusia sehingga negara berkembang tidak dapat bersaing secara seimbang. Keberadaan WTO juga lebih banyak didominasi negara maju yang lebih banyak memperhatikan akses pasar dibandingkan dua pilar yang lain. Posisi dan hak negara berkembang yang relatif tidak setara dengan negara maju dalam WTO juga menjadikan liberalisasi perdagangan yang terjadi saat ini memberikan manfaat yang tidak sama antara negara berkembang dengan negara maju. Kerugian negara berkembang semakin nyata, karena ternyata pertumbuhan ekonomi negara berkembang tidak berkorelasi kuat dengan liberalisasi perdagangan, tidak seperti yang terjadi di negara maju. Produk negara berkembang tidak dapat berkompetisi secara adil dengan produk negara maju di pasar dunia karena telah terdistorsi oleh berbagai bentuk subsidi ekspor, bantuan domestik, dan berbagai rintangan perdagangan.
122
2. Adanya subsidi oleh negara maju terhadap produk pertanianya. Menurut Malian (2004), negara maju seperti Amerika dan Uni Eropa memproteksi lebih dari 110 persen untuk beras dan dan produk susu. Jepang dan Korea Selatan bahkan mencapai 310-350 persen untuk beras dan kacangkacangan. Berdasarkan penelitian Oxfam dalam Lokollo (2007), pemerintah Amerika dan Uni Eropa masing-masing mengeluarkan sekitar US$ 50.7 M dan € 50 M per tahun untuk subsidi domestik melalui green box. Hal ini memicu terjadinya praktek dumping termasuk pada beras, akibatnya harga dunia tidak mencerminkan besarnya biaya produksi. Negara maju juga memberikan berbagai kemudahan pembiayaan dan subsidi ekspor untuk memperluas pasar. Selain itu juga berusaha merintangi masuknya produk pertanian dari negara berkembang dengan mengajukan berbagai jenis persyaratan kesehatan seperti sanitary dan phyosanitary.
3. Harga beras di pasar dunia lebih rendah dengan struktur pasar oligopoli. Rendahnya harga beras internasional selama ini telah terdistorsi oleh berbagai bentuk subsidi negara maju sehingga rendahnya harga tersebut tidak memcerminkan besarnya biaya produksi. Dalam satu dekade terakhir harga rata-rata beras dunia cenderung menurun antara US$ 150-250 per ton. Harga ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga beras domestik yang rata-rata mencapai US$ 350-500 per ton25.
25
Wawancara dengan Kepala Badan Ketahanan Pangan RI, Deptan [14 April 2008]
123
Tabel 18. Perkembangan Produksi dan Perdagangan Beras Dunia Periode 1995-2006 (000 ton)26 Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Rataan
Produksi 371.432 380.157 386.821 394.082 408.392 396.894 392.823 381.240 391.636 400.777 418.002 416.565 394.902
Perdagangan Dunia 20.800 19.700 18.818 27.670 24.941 22.846 24.414 27.813 27.550 27.116 27.716 28.985 24.864
Persentase (%) 5,60 5,18 4,86 7,02 6,11 5,76 6,22 7,30 7,03 6,77 6,63 6,95 6,29
Sumber: USDA, 2007 (diolah) Tingginya ketergantungan rakyat Indonesia terhadap beras membuat Indonesia juga menjadi salah negara importir beras terbesar dunia. Padahal, jumlah beras yang diperdagangkan di pasar dunia sangatlah tipis (thin market), hanya sekitar 5-7 persen dari produksi dunia dengan struktur pasar oligopoli. Negara produsen utama beras dunia antara lain Amerika Serikat, Pakistan, Myanmar, Thailand, China dan Vietnam. Kondisi ini sangat riskan terutama pada saat terjadi kenaikan harga beras dunia seperti saat ini. Bulan Februari 2008, harga beras dunia mencatatkan nilai tertinggi selama 34 tahun terakhir yaitu US$ 700 per ton27. Kenaikan ini dipicu oleh kenaikan harga minyak dunia dan konversi lahan pertanian untuk bahan baku bioetanol di Amerika. Tingginya harga beras dunia saat ini juga membuat negara-negara pengekspor lebih suka menyimpannya untuk stok dalam negri karena muncul kekhawatiran dunia akan terjadinya krisis pangan. 26 27
World Rice Production and International Trade, www.usda.gov [2 Januari 2008] Wawancara dengan Kepala Sub Divisi Pengamatan Harga dan Pasar, BULOG [3 April 2008]
124
4. Tingginya penyelundupan akibat tarif impor tidak mampu menutup disparitas harga. Besarnya perbedaan harga beras domestik dengan beras dunia telah mendorong oknum importir mengambil keuntungan pribadi. Banyak importir yang menyelundupkan beras ke Indonesia karena tingginya disparitas harga impor melalui pemalsuan dokumen (under invoice) maupun penyelundupan antarpulau di perbatasan. Pengenaan tarif ternyata belum mampu menutupi paritas harga beras. Sedangkan untuk menaikan tarif impor sangatlah sulit. Di samping akan mendapat kecaman dari negara-negara maju karena dianggap melanggar kesepakatan AoA, kenaikan tarif juga akan mengakibatkan terjadinya pengingkatan harga beras di tingkat konsumen. Banyaknya penyelundupan terjadi karena luasnya wilayah Indonesia dan banyaknya
celah perairan yang dapat digunakan sebagai titik
penyelundupan. Lemahnya patroli pengamanan perairan karena keterbatasan anggaran juga salah satu pendorong lainnya. Permasalahan ini harus segera diatasi karena banyaknya beras impor yang masuk akan mendikte harga beras domestik dan akhirnya hanya akan menyengsarakan rakyat. 5. Perubahan iklim yang tidak menentu dan seringnya terjadi bencana alam. Selain berbagai faktor diatas, acaman terhadap keberhasilan kebijakan perberasan juga dipengaruhi oleh iklim. Perubahan iklim yang tidak menentu sering mengganggu penentuan masa tanam padi. Akibatnya siklus hama menjadi tidak terputus karena masa tanam tidak serempak dalam satu daerah. Pemanasan global (Global warming), juga diduga sebagai salah satu penyebab sering terjadinya kemarau panjang dan bencana banjir disepanjang tahun 2007.
125
Bencana banjir yang terjadi di berbagai daerah sentra produksi padi seperti di provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Sulawesi selatan dapat mempengaruhi produksi padi dan mengancam ketahanan pangan nasional. 7.3. Analisis Faktor Internal dan Eksternal Setelah mengidentifikasi faktor-faktor strategis internal dan eksternal kebijakan perberasan nasional, kemudian data yang diperoleh dari responden diinterpretasikan dalam tabel. Faktor internal terdiri dari kekuatan (Strengths) dan kelemahan (Weaknesess) kebijakan beras. Sedangkan faktor eksternal terdiri atas peluang (Opportunities) dan ancaman (Threaths) dari lingkungan luar. Analisis tersebut bertujuan menilai sejauh mana faktor-faktor strategis berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan strategi perberasan mendatang. 7.3.1. Analisis Faktor Internal Hasil analisis diperoleh bahwa total bobot elemen kekuatan sebesar 0,523 dan total bobot elemen kelemahan sebesar 0,477. Artinya dalam pelaksanaan strategi kebijakan perberasan, elemen kekuatan memberikan pengaruh lebih besar terhadap kesuksesan kebijakan daripada elemen kelemahan. Pada elemen kekuatan, Program P2BN dan G4PG memiliki bobot rata-rata terbesar yaitu 0,073. Meskipun target kedua program tersebut belum tercapai secara optimal, namun keempat responden sepakat bahwa program tersebut mampu meningkatkan produksi padi nasional hingga 2,6 juta ton GKG. Jumlah yang sangat sulit dicapai selama beberapa tahun terakhir meski pemerintah terus melakukan berbagai perbaikan kebijakan baik dari sisi permodalan, penerapan teknologi maupun subsidi input untuk petani.
126
Sedangkan bobot terendah terdapat pada faktor Bulog kembali memonopoli dan impor dan menggendalikan harga yaitu sebesar 0,055. Nilai tersebut menunjukkan bahwa menurut responden faktor pengendalian harga dan monopoli impor berpengaruh paling kecil terhadap kesuksesan pelaksanaan strategi kebijakan perberasan karena hanya mempengaruhi jumlah pelaksana impor dan mekanisme pengontrolan. Untuk elemen kelemahan, bobot terbesar diberikan pada tertinggalnya pengembangan sarana infrastruktur produksi dan pascapanen sehingga tingkat rendemen padi terus menurun. Nilai bobot rata-ratanya adalah 0,079. Responden menggangap penurunan rendemen padi merupakan masalah yang sangat penting karena berpengaruh secara langsung terhadap produksi beras nasional. Penurunan kualitas infrastruktur produksi dan tekonlogi pascapanen terjadi akibat minimnya anggaran dana pemerintah untuk pemeliharaan dan pembangunan infastruktur baru pascakirisis. Sebagian besar petani kita adalah petani miskin yang kemampuan modalnya sangat terbatas. Sehingga sangat sulit untuk mendorong pembangunan infrastruktur pertanian secara swadaya. Hasil akhir analisis pembobotan faktor internal dapat dilihat pada Tabel 19. Bobot terendah untuk elemen kelemahan adalah pada faktor kegagalan program diversifikasi pangan pokok dengan bobot 0,057. Rendahnya bobot menunjukkan bahwa faktor ini dianggap paling kurang berpengaruh terhadap kebijakan perberasan Indonesia. Untuk faktor-faktor yang nilai bobotnya berada diantaranya berarti berdasar penilaian responden, tingkat pengaruhnya terhadap keberhasilan kebijakan di masa mendatang semakin kecil.
127
Tabel 19. Pembobotan Faktor Internal No 1 2 3 4 5 6 7 8
1
FAKTOR STRATEGIS INTERNAL KEKUATAN Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) dan Gerakan Penanganan Pascapanen dan Pemasaran Gabah (G4PG) Berbagai kredit pembiayaan pertanian dan Program DPM- LUEP Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) bagi produsen dan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk konsumen Adanya Operasi Pasar Murni (OPM) dan program Raskin Kebijakan tarif impor dan hambatan nontarif seperti quota, harga impor minimum, dan lisensi serta Tariff Rate Quota (TRQ) Keluarnya SK Menperindag No.9 Th.2004 tentang aturan Importasi Beras Terdapat beberapa pelabuhan aktif untuk distribusi dan adanya Cadangan Beras Pemerintah Bulog kembali memonopoli impor dan mengendalikan harga beras di Indonesia. Total KELEMAHAN
6
Sarana infrastruktur produksi dan teknologi pascapanen yang tertinggal sehingga tingkat rendemen padi terus menurun Mahalnya harga input yang berkualitas seperti bibit unggul, pupuk dan obat-obatan serta sering terjadinya kelangkaan pupuk Penurunan kesejahteraan petani padi, ditandai dengan fluktuasi NTP pascakrisis ekonomi Penguasaan lahan yang sempit oleh petani dan tingginya konversi lahan pertanian terutama di pulau Jawa. Sering terjadinya kelangkaan beras di pasar pada saat paceklik dan fluktuasi harga akibat ulah spekulan Tingkat Indeks Pertanaman (IP) yang rendah terutama di luar Jawa
7
Kegagalan program diversifikasi pangan pokok
2 3 4 5
Total
Bobot Rataan 0,073 0,071 0,070 0,067 0,066 0,063 0,058 0,055 0,523 Bobot 0,079 0,078 0,073 0,072 0,059 0,059 0,057 0,477
7.3.2. Analisis Faktor Eksternal Dari hasil analisis diketahui bahwa bobot rataan elemen peluang lebih besar daripada bobot rataan elemen ancaman. Nilai bobot rataan peluang adalah 0,527 dan bobot rataan ancaman adalah 0,475. Artinya dalam pelaksanakan
128
kebijakan perberasan dimasa mendatang dapat memanfaatkan peluang dalam menghadapi ancaman dari luar yang dapat mempengaruhi ekonomi perberasan. Pengembangan teknologi produksi, pascapanen dan pengolahan hasil produk pertanian memiliki bobot tertinggi pada elemen peluang yaitu 0,120. Menurut responden, dikembangkanya berbagai teknologi pertanian akan membuka peluang peningkatan produksi padi. Lambatnya adopsi teknologi oleh petani membuat produksi padi kurang optimal karena banyak yang hilang pada saat panen dan pascapanen. Bobot terendah untuk peluang dengan nilai 0,093 diberikan pada faktor kesepakatan negara Kelompok G-33. Kecilnya penilaian responden terhadap faktor ini karena pengaruh adanya kerjasama terhadap Indonesia tidak signifikan. Berbagai perundingan pada Konferensi Pertanian WTO yang meminta fleksibilitas pengenaan tarif impor bagi negara berkembang belum berhasil karena selalu mendapat tekanan negara maju dengan alasan akan mengurangi efisiensi liberalisasi perdagangan. Terlebih lagi lemahnya posisi negara berkembang dalam WTO dibandingkan negara-negara maju. Hasil akhir analisis Matriks EFE dapat dilihat pada Tabel 20. Untuk elemen ancaman, perubahan iklim yang tidak menentu dan seringnya bencana alam mendapat respon tertinggi dari responden dengan bobot rataan 0,104. Perubahan iklim sangat sukar diprediksi dan terjadinya bencana alam sangat sukar untuk dicegah. Kita hanya bisa melakukan upaya preventif, itupun juga sulit karena teknologi pendeteksi dini untuk bencana alam masih sangat tertinggal. Bencana alam seperti banjir dapat merusak lahan pertanian secara permanen dan akan menurunkan produksi padi jika terjadi pada wilayah
129
yang luas seperti pada tahun 2007. Iklim yang tidak menentu juga akan mengganggu penentuan musim tanam padi dan memicu terjadinya ledakan hama. Tabel 20. Pembobotan Faktor Eksternal No 1 2 3 4 5
FAKTOR STRATEGIS EKSTERNAL PELUANG
Pengembangan teknologi produksi, pascapanen dan pengolahan hasil produk pertanian Pengembangan benih padi varietas unggul dan padi hibrida oleh berbagai lembaga penelitian Nilai tukar rupiah terhadap dollar yang relatif stabil Adanya Special Product (SP) dan Special Safeguard Mechanism sesuai kesepakatan WTO Kesepakatan kerjasama antarnegara berkembang (G-33) untuk mengurangi dampak perdagangan bebas
Bobot Rataan 0,120 0,118 0,099 0,097 0,093
Total ANCAMAN
1 2 3 4 5
0,527 Bobot Perubahan iklim yang tidak menentu dan seringnya terjadi 0,104
bencana alam seperti banjir dan kemarau panjang Tingginya penyelundupan beras ke Indonesia akibat tingkat tarif impor yang tidak mampu menutupi paritas harga Kesepakatan penurunan tarif impor produk pertanian antarnegara sesuai Agreement on Agriculture (AoA) Harga beras di pasar dunia yang lebih rendah daripada harga beras domestik dengan struktur pasar oligopoli Berbagai bentuk subsidi dilakukan oleh negara maju pada produk pertanianya, sehingga mendistorsi harga pasar dunia Total
0,095 0,095 0,093 0,088 0,475
Bobot rataan terendah elemen ancaman adalah pada faktor berbgai bentuk subsidi pertanian oleh negara maju dengan nilai 0,088. Walaupun faktor ini berpengaruh terhadap harga beras domestik, namun dibandingkan dengan penyelundupan, kesepakatan penurunan tarif bagi anggota WTO dan rendahnya harga dunia, pengaruhnya masih bisa diatasi dengan berbagai restriksi impor dan peningkatan produksi nasional. Apabila produksi nasional mampu mencukupi
130
kebutuhan maka fluktuasi beras dunia tidak akan begitu berpengaruh terhadap kondisi perberasan dalam negeri. 7.4. Matriks SWOT Setelah dianalisis, tahap selanjutnya yaitu tahap pemaduan (matching stage) seluruh elemen dengan menggunakan matriks SWOT. Tujuan tahap ini
adalah untuk merumuskan alternatif strategi untuk mengembangkan kebijakan perberasan di masa mendatang berdasarkan faktor strategis internal dan eksternal sebelumnya. Empat strategi utama dalam matriks SWOT adalah Strategi SO, ST, WO dan WT. Beberapa alternatif strategi daalam matriks SWOT adalah sebagai berikut: 1. Strategi Strengths-Opportunities (S-O) Strategi ini disusun dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang diusulkan adalah: a. Menerapkan Tariff Rate Qouta (TRQ) sebagai upaya melindungi beras domestik serta bekerjasama dengan negara berkembang agar segera memasukkan beras dalam special product untuk mendapatkan Special Safeguard Mechanism (SSM) WTO. Meskipun dalam bentuk hambatan, TRQ
masih diperbolehkan oleh WTO karena bukan termasuk hambatan jumlah (quantitive restriction). TRQ masih membuka pasar dan menetapkan tarif (inout quota) sehingga tidak bertentangan dengan konsep market access WTO.
Terlebih lagi pasca notifikasi Bulog sebagai STE oleh WTO. Sebagai STE, Bulog memiliki peluang untuk mendapatkan hak yang sama dengan STE negara lain dalam mengatur kebijakan impornya. Bulog harus pandai
131
memanfaatkan celah-celah aturan WTO untuk melindungi beras domestik dari dampak negatif perdagangan internasional (S 2,3,4 & O 1,2,5). 2. Strategi Weaknesses-Opportunities (W-O) Strategi ini disusun untuk mengurangi kelemahan kebijakan perberasan Indonesia dengan memanfaatkan peluang yang ada. Strategi W-O terdiri dari: a. Perbaikan infrastruktur, penerapan teknologi budidaya, pascapanen, pengolahan (penggilingan) yang tepat dan informasi pemasaran yang terintegrasi melalui pemberdayaan kelompok tani. Pemerintah memiliki andil besar dalam rangka perbaikan infrastruktur dan induksi teknologi karena dana yang dibutuhkan sangat besar. Sebagai pendukung, penambahan jumlah dan optimalisasi fungsi PPL di daerah juga harus ditingkatkan untuk mempercepat adopsi teknologi. Pemerintah juga dapat bekerja sama dengan berbagai perguruan tinggi dalam penyebaran teknologi ke petani. Sedangkan untuk memperluas akses informasi dan posisi tawar petani harus dilakukan reformasi kelembagaan dan pemberdayaan kelompok tani. KUD harus dikembalikan pada tujuan awalnya dengan cara merekrut pihak luar sebagai pengelola disertai pemberian insentif yang memadai. Hal ini untuk mengurangi kecenderungan KKN seperti yang terjadi sebelumnya (W1,2,4 & O 3,4). b. Memperbaiki mekanisme pemberian kredit untuk mendorong produksi padi secara optimal. Mengingat sebagian besar petani kita adalah petani miskin, maka perlu adanya skim pembiayaan yang dapat membantu petani mengatasi permasalahan modal. Selama ini pemerintah memang terus meningkatkan plafon kredit pertanian. Tetapi pada pelaksanaanya masih belum optimal
132
bahkan sering menyulitkan petani. Tahun 2007, hanya sekitar 62.61% yang terealisasi dari 585.135 M (W3,4,8 & O 3,4). c. Pengembangan teknologi benih dan input lain di dalam negri melalui sistem kemitraan dengan swasta agar harga input lebih kompetitif. Selama ini pengembangan teknologi benih hanya dilakukan oleh pemerintah saja sehingga bila terjadi keterbatasan anggaran maka riset akan terhambat. Karena itu diperlukan kerjasama dengan pihak swasta agar dapat menghasilkan benih dan input lain dengn harga yang kebih kompetitif (W3 & O3). d.Pengembangan
diversifikasi
pangan
berbasis
pangan
lokal
dengan
pemberdayaan teknologi pengolahan pangan disertai pemberian insentif bagi masyarakat
lokal.
mengkonsumsi
Salah
pangan
satu
nonberas
alasan adalah
mengapa karena
masyarakat minimnya
enggan teknologi
pengolahannya. Untuk mendukung diversifikasi, pangan nonberas harus dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menarik untuk dikonsumsi. Setelah itu, upaya promosi kepada masyarakat harus digalakkan disertai dengan insentif bagi penduduk berupa subsidi untuk bahan pangan lain (S 5, 7 & O 4). 3. Strategi Strengths-Threats (S-T) Strategi ini disusun dengan menggunakan peluang untuk menghindari ancaman. Strategi yang terpilih diantaranya: a. Kombinasi kebijakan protektif melalui pengenaan tarif dan nontarif seperti quota, pengaturan impor dan pengawasan jalur pelayaran dengan kebijakan promotif melalui peningkatan produksi dalam negri sebelum negara eksportir bersedia mengurangi subsidi ekspor dan subsidi domestiknya. Kombinasi kebijakan ini harus segera dilakukan untuk menekan dampak perdagangan
133
bebas secara terkoordinasi. Sebenarnya proteksi sudah lama dilakukan oleh pemerintah, tetapi masih parsial dan kurang koordinasi antara berbagai instansi terkait sehingga sering dimanfaatkan untuk kepentingan golongan tertentu saja (S 1, 2, 5 & T 1, 2, 3, 4). 2. Pengawasan semua pihak terhadap kinerja dan transparansi Bulog sebagai badan pengelola cadangan
beras pemerintah,
pengendali harga
dan
memonopoli impor beras. Notifikasi Bulog STE oleh WTO dan sebagai monopoli impor serta pengendali harga beras sejak 2007 membuat Bulog memiliki kewenangan penuh dalam pelaksanaan kebijakan impor. Karena itu, untuk menjaga kinerja lembaga tersebut perlu pengawasan semua pihak agar kecurigaan bahwa Bulog dapat kembali menjadi kendaraan politis dan bisnis pengusaha besar tidak terjadi (S 5,6,7 & 1,2). 4. Strategi Weaknesses-Threats (W-T) Strategi ini diperoleh untuk meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman perberasan Indonesia. Strategi tersebut adalah: a. Penegakan peraturan mengenai pemanfaatan lahan (Reformasi Agraria) untuk mencegah semakin luasnya konversi lahan produktif dengan disertai adanya insentif dan disinsentif bagi pelaksananya. Konversi lahan pertanian merupakan masalah laten yang akibatnya baru dirasakan dalam jangka panjang. Karena itu perlu upaya pencegahan sejak dini. Reformasi Agraria dapat dilakukan melalui peraturan pemerintah mengenai
larangan fragmentasi lahan produktif dan
sistem kepemilikan lahan sehamparan untuk menghambat konversi. Kebijakan ini juga harus dilengkapi dengan insentif bagi pemilik seperti pembebasan
134
pajak tanah pertanian seperti yang dilakukan oleh pemerintah Vietnam. (S1 & T 5). Hasil analisis matriks WOT dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Matriks SWOT Kebijakan Beras
PELUANG
KEKUATAN
KELEMAHAN
1. Program P2BN dan G4PG 2. Kebijakan tariff, hambatan nontarif dan Tarif Rate Quota 3. SK Menperindag No.9 th 2004 tentang aturan importasi beras. 4. BULOG memonopoli impor dan mengendalikan harga. 5. Beberapa Pelabuhan aktif distribusi dan Cadangan Beras Pemerintah 6. HPP dan Harga Eceran Tertinggi 7. Operasi Pasar Murni dan Raskin 8. Berbagai kredit pertanian dan DPMLUEP STRATEGI SO
1.Penguasaan lahan sempit dan tingginya konversi lahan 2.Infrastruktur produksi,pascapanen yang tertinggal dan penurunan rendemen padi 3.Mahalnya harga input yang berkualitas 4.Rendahnya Indeks Pertanaman terutama di luar Jawa 5.Terjadinya kelangkaan beras dan fluktuasi harga akibat ulah spekulan 6.Kegagalan program diversifikasi pangan 7.Fluktuasi Nilai Tukar pascakrisis STRATEGI WO
1.Nilai tukar rupiah terhadap 1. Penerapan TRQ sebagai upaya 1. Perbaikan infrastruktur, penerapan dollar relatif stabil melindungi harga beras domestic serta teknologi budidaya, pascapanen, bekerjasama dengan negara pengolahan yang tepat dan pemasaran 2.Kesepakatan kerjasama negara berkembang agar segera memasukan yang terintegrasi melalui G33 untuk mengurangi dampak beras dalam special product untuk pemberdayaan kelompok tani (W1,2,4 perdagangan bebas mendapatkan SSM (S 2,3,4 & O 1,2,5) & O 3,4) 2. Memperbaiki mekanisme pemberian 3.Pengembangan bibit unggul kredit untuk mendorong produksi dan padi hibrida padi secara optimal (W3,4,8 & O 3,4) 3.Pengembangan teknologi benih dan 4.Pengembangan teknologi input lain di dalam negri melalui produksi, pascapanen dan sistem kemitraan dengan swasta agar pengolahan hasil pertanian harga input lebih kompetitif (W3 & O3) 5.Adanya Special Product dan 4.Pengembangan diversifikasi pangan Special Safeguard Mechanism. berbasis bahan baku tanaman pangan lokal dengan pemberdayaan teknologi pengolahan pangan disertai pemberian insentif bagi masyarakat lokal (S 5, 7 & O 4) ANCAMAN STRATEGI ST STRATEGI WT 1.Tingginya penyelundupan peraturan mengenai akibat tinginya paritas harga 1. Kombinasi kebijakan protektif melalui 1. Penegakan pemanfaatan lahan (Reformasi pengenaan tarif dan nontarif seperti impor. Agraria) untuk mencegah semakin quota, pengaturan impor dan 2.Kesepakatan penurunan tarif luasnya konversi lahan produktif pengawasan jalur pelayaran dengan impor antarnegara sesuai AoA dengan disertai adanya insentif dan kebijakan promotif melalui 3.Harga beras dunia lebih rendah disinsentif bagi pelaksananya (S1 & T peningkatan produksi dalam negri dengan struktur pasar 5) sebelum negara eksportir bersedia oligopoli. mengurangi subsidi ekspor dan subsidi 4.Subsidi oleh negara maju domestiknya (S 1, 2, 5 & T 1, 2, 3, 4) terhadap produk pertanianya. 5.Perubahan iklim yang tidak 2.Pengawasan semua pihak terhadap kinerja dan transparansi BULOG menentu dan terjadinya sebagai badan pengelola cadangan bencana alam. beras pemerintah, pengendali harga dan memonopoli impor beras (S 5,6,7 & 1,2).
135
7.5. Analisis Matriks QSP (Quantitative Strategic Planning) Berdasarkan analisis matrik SWOT, strategi yang diusulkan dalam rangka peningkatan efektivitas kebijakan perberasan nasional antara lain: 1. Menerapkan Tariff Rate Qouta (TRQ) sebagai upaya melindungi beras
domestik serta bekerjasama dengan negara berkembang agar segera memasukkan beras dalam special product untuk mendapatkan Special Safeguard Mechanism (SSM) WTO (S 2,3,4 & O 1,2,5).
2. Perbaikan
infrastruktur,
penerapan
teknologi
budidaya,
pascapanen,
pengolahan yang tepat dan informasi pemasaran yang terintegrasi melalui pemberdayaan kelompok tani (W1,2,4 & O 3,4). 3. Memperbaiki mekanisme pemberian kredit untuk mendorong produksi padi secara optimal (W3,4,8 & O 3,4). 4. Pengembangan teknologi benih dan input lain di dalam negri melalui sistem kemitraan dengan swasta agar harga input lebih kompetitif (W3 & O3). 5. Pengembangan
diversifikasi
pangan
berbasis
pangan
lokal
dengan
pemberdayaan teknologi pengolahan pangan disertai pemberian insentif bagi masyarakat lokal (S 5, 7 & O 4). 6. Kombinasi kebijakan protektif melalui pengenaan tarif dan nontarif seperti quota, pengaturan impor dan pengawasan jalur pelayaran dengan kebijakan promotif melalui peningkatan produksi dalam negri sebelum negara eksportir bersedia mengurangi subsidi ekspor dan domestiknya (S 1, 2, 5 & T 1, 2, 3, 4). 7. Pengawasan semua pihak terhadap kinerja dan transparansi Bulog sebagai badan pengelola cadangan beras pemerintah, pengendali harga dan memonopoli impor beras (S 5,6,7 & 1,2).
136
8. Penegakan peraturan mengenai pemanfaatan lahan (Reformasi Agraria) untuk mencegah semakin luasnya konversi lahan produktif dengan disertai adanya insentif dan disinsentif bagi pelaksananya (S1 & T 5). Tahap selanjutnya dari formulasi strategi adalah tahap pengambilan keputusan (decision making) dengan menggunakan matrik QSP. Analisis ini bertujuan untuk menentukan prioritas strategi yang dapat dilakukan oleh pengambil kebijakan perberasan Indonesia menurut keempat responden. Prioritas dalam analisis QSPM dilihat dari total nilai Total Attractiveness Score (TAS). Nilai TAS merupakan hasil dari perkalian antara bobot dengan Attractive Score (AS). Nilai TAS yang paling besar akan menjadi prioritas utama kebijakan. Dari hasil analisis QSPM terlihat bahwa strategi yang menjadi prioritas utama dalam mengingkatkan efektivitas kebijakan perberasan adalah strategi ke-6 dengan Total Attractiveness Score (TAS) sebesar 5,575 yaitu strategi “Kombinasi kebijakan protektif melalui pengenaan tarif dan nontarif seperti quota, pengaturan impor dan pengawasan jalur pelayaran dengan kebijakan promotif melalui peningkatan produksi dalam negri sebelum negara eksportir bersedia mengurangi subsidi ekspor dan subsidi domestiknya”. Hasil rata-rata TAS menurut keempat responden dapat dilihat pada Tabel 22. Prioritas strategi disusun berdasarkan nilai TAS tertinggi hingga TAS terendah. Adapun prioritas strateginya adalah sebagai berikut: 1. Kombinasi kebijakan protektif melalui pengenaan tarif dan nontarif seperti quota, pengaturan impor dan pengawasan jalur pelayaran dengan kebijakan promotif melalui peningkatan produksi dalam negri sebelum negara eksportir bersedia mengurangi subsidi ekspor dan subsidi domestiknya (5,575)
137
2. Menerapkan Tariff Rate Qouta (TRQ) sebagai upaya melindungi beras domestik serta bekerjasama dengan negara berkembang agar segera memasukan beras dalam special product untuk mendapatkan Special Safeguard Mechanism (SSM) WTO (4,876)
3. Pengembangan
diversifikasi
pangan
berbasis
pangan
lokal
dengan
pemberdayaan teknologi pengolahan pangan disertai pemberian insentif bagi masyarakat lokal (4,857). 4. Pengembangan teknologi benih dan input lain di dalam negri melalui sistem
kemitraan dengan swasta agar harga input lebih kompetitif (4,813). 5. Perbaikan
infrastruktur,
penerapan
teknologi
budidaya,
pascapanen,
pengolahan yang tepat dan informasi pemasaran yang terintegrasi melalui pemberdayaan kelompok tani (4,692). 6. Memperbaiki mekanisme pemberian kredit untuk mendorong produksi padi
secara optimal (4,540). 7. Pengawasan semua pihak terhadap kinerja dan transparansi Bulog sebagai
badan pengelola CBP, pengendali harga dan memonopoli impor beras (4,380). 8. Penegakan peraturan mengenai pemanfaatan lahan (Reformasi Agraria) untuk mencegah semakin luasnya konversi lahan produktif dengan disertai adanya insentif dan disinsentif bagi pelaksananya (4,102). Tabel 22. Rataan Matriks QSP Menurut Keempat Responden S6 S1 S5 S4 S2 S3 Responden Pakar 1 5,791 5,631 5,817 5,813 5,783 5,545 Pakar 2 6,307 4,570 4,384 4,657 3,757 3,952 Pakar 3 5,214 4,581 4,197 4,115 4,795 4,222 Pakar 4 4,989 4,523 5,031 4,669 4,435 4,439 Prioritas 5,575 4,876 4,857 4,813 4,692 4,540 Keterangan: S1 = Strategi 1
S7 5,854 3,757 3,795 4,112 4,380
S8 5,363 3,551 3,522 3,971 4,102
VIII. PRIORITAS PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI PADI
Tujuan pada tahap ini adalah untuk merumuskan program peningkatan produksi padi nasional. Selama ini produksi padi nasional cenderung stagnan, padahal jumlah penduduk terus meningkat. Sehingga perlu dicari upaya untuk meningkatkan kemandirian pangan Indonesia di masa mendatang. Metode yang digunakan pada tahap ini adalah Proses Hierarki Analitik (PHA) untuk mencari prioritas program yang dapat dilakukan mengingat kompleksnya masalah perberasan nasional. Untuk itu, sebelumnya perlu dilakukan indentifikasi faktorfaktor dan sub faktor pertimbangan utama yang mempengaruhi peningkatan produksi padi nasional. Penentuan prioritas program peningkatan produksi dilakukan oleh dua responden dari kelompok pengambil kebijakan beras yaitu Kepala Pusat Distribusi Pangan, Badan Ketahanan Pangan dan Kepala Sub Bidang Pengamatan Harga dan Pasar, Bulog. Penilaian dilakukan melalui wawancara mendalam dan pengisian kuesioner. 8.1. Identifikasi Faktor dan Sub Faktor Pertimbangan Utama Penyusun Program Peningkatan Produksi Padi Sebagai tindak lanjut dari pemilihan strategi kebijakan perberasan, maka diperlukan rancangan program kebijakan perberasan dalam upaya mewujudkan swasembada pangan. Salah satu aspek yang sangat esensial adalah mengenai upaya meningkatkan produksi padi nasional. Hal ini disebabkan karena tingkat produksi padi dalam negri akan mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan
139
perberasan pada saat tersebut. Untuk itu perlu diidentifikasi faktor-faktor dan subfaktor pertimbangan utama yang mempengaruhi produksi padi dalam negeri. Ada empat determinan utama yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan produksi yaitu: jumlah luas lahan sawah, tingkat produktivitas padi, Indeks Pertanaman dan parsitipasi lembaga penunjang. Keempat faktor tersebut akan saling mempengaruhi sehingga untuk mengkaji kebijakan peningkatan produksi padi tidak dapat dipisahkan satu sama lain. 8.1.1. Luas Lahan Jumlah luas areal tanaman padi pada lahan basah (sawah) dan lahan kering merupakan faktor andalan bagi produksi beras. Data statistik menunjukkan bahwa 95 persen produksi padi dihasilkan dari lahan sawah dan sisanya (5%) dihasilkan pada lahan kering. BPS mencatat bahwa pada tahun 2006, dari total luas areal panen ( 11,7 juta ha), luas areal panen padi sawah mencapai 10,71 juta ha dan luas areal panen padi ladang baru mencapi 1,07 juta ha. Luas ini meningkat sekitar 0,65 juta ha dalam kurun waktu 10 tahun atau rata-rata hanya meningkat sekitar 65.000 ha per tahun. Lambatnya peningkatan areal panen padi disebabkan beberapa sub faktor pertimbangan utama yaitu: 1. Status Kepemilikan Sebagian dari petani padi di Indonesia terutama petani kecil tidak memiliki lahan garapan sendiri. Umumnya mereka mengerjakan lahan melalui beberapa sistem, diantaranya melalui sewa lahan, gadu dan bagi hasil dengan pemilik. Status kepemilikan ini menjadi masalah tersendiri karena membuat petani kurang memiliki hak dalam pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan lahannya.
140
Di beberapa wilayah perdesaan, banyak petani yang mengerjakan sawah milik orang lain dengan sistem bagi hasil. Biasanya, petani pekerja adalah bekas pemilik lahan terdahulu. Selain itu juga banyak ditemukan petani yang menyewakan sawah miliknya pada petani lain atau menjadi pekerja pada petani penyewa karena terbatasnya permodalan. Perubahan status kepemilikan tersebut membuat proses alih fungsi lahan dari lahan sawah menjadi nonsawah maupun non pertanian menjadi lebih mudah terjadi. Selain itu juga membuat kesejahteraan petani semakin menurun karena petani tidak lagi menjadi pemilik lahan melainkan hanya sebagai pekerja atau beralih pada mata pencaharian lain. 2. Konversi Lahan Konversi lahan pertanian adalah salah satu persoalan laten dalam pengembangan pertanian Indonesia. Seiring dengan kemajuan ekonomi dan pertumbuhan jumlah penduduk, banyak lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi area industri maupun pemukiman penduduk. Seharusnya pembangunan pemukiman diarahkan untuk ke atas, bukan ke arah samping. Seperti yang telah dilakukan banyak negara maju dalam upaya mengurangi konversi lahan produktif. Sifat dampak konversi yang bersifat permanen, kumulatif, progresif dan baru terlihat dalam jangka panjang. Menurut data BPS, tahun 2007 terjadi konversi sawah sebesar 32,64 ribu ha di pulau Jawa. Penurunan ini bisa berdampak negatif cukup besar, karena sebagian besar padi dihasilkan di Pulau Jawa. Tingginya konversi lahan juga dipicu ketidakefektifan UU Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 dan UU Pelestarian Lahan karena tidak dilaksanakan secara konsisten.
141
Fragmentasi lahan juga menjadi penyebab konversi lahan. Pergantian pemilik membuat kepemilikan lahan petani semakin sempit sehingga semakin mudah untuk dikonversi. Seharusnya pemerintah segera mengefektifkan UU Agraria dan mengatur secara ketat proses pengalihan fungsi lahan terutama di pulau Jawa jika ingin swasembada pangan segera tercapai. Peraturan ini juga tidak boleh serta merta diterapkan karena akan melanggar hak pemilik. Peraturan ini harus disertai insentif yang memadai agar petani mempertahankan lahan miliknya. 3. Pencetakan Lahan Baru Lambatnya peningkatan luas lahan sawah juga disebabkan karena lambatnya pencetakan sawah baru. Dengan kondisi keuangan negara saat ini, tidak mungkin untuk mencetak lahan sawah dan sarana irigasinya dalam jumlah besar meskipun potensi lahan yang dapat dijadikan area persawahan cukup besar. Selain mahal juga membutuhkan waktu yang sangat lama (sekitar 10 tahun) agar sawah baru dapat berproduksi secara optimal. Pada dekade terakhir, percetakan lahan sawah rata-rata hanya sekitar 48.000 ha/tahun (Sensus Pertanian, 2003). 8.1.2. Tingkat Produktivitas Ditinjau dari tingkat produktivitasnya, padi yang dibudidayakan di Indonesia relatif sama dengan produktivitas padi negara lain seperti Vietnam dan Thailand. Produktivitas rata-rata nasional tahun 2007 adalah 4,77 ton/ha. Jumlah ini menunjukkan telah terjadi kenaikan produktivitas padi sekitar 0,7 ton/ha selama 20 tahun terakhir. Tingkat produktivitas menjadi sangat penting karena semakin terbatasnya lahan produktif untuk menanam padi akibat tingginya konversi sawah. Selama ini tingkat produktivitas di pulau Jawa relatif lebih tinggi
142
yaitu 5,37 ton /ha daripada di luar Jawa yaitu 4,08 ton/ha sehingga untuk wilayah di luar Jawa masih berpotensi untuk terus ditingkatkan. Untuk dapat berproduksi secara optimal, tingkat produktivitas padi dipengaruhi oleh beberapa sub-faktor pertimbangan utama, antara lain: 1. Kualitas Input Kualitas input yang digunakan petani sangat menentukan produktivitas padi selanjutanya. Semakin berkualitas input maka potensi produktivitas yang optimal semakin besar. Input produksi padi terdiri atas varietas benih unggul, pupuk, obat-obatan. Semuanya harus dicukupi sesuai kebutuhan tanaman untuk mendapat hasil yang optimal. Kendala terutama petani adalah modal untuk membeli input yang berkualitas. Untuk benih, umumnya petani banyak menggunakan benih dari hasil panen sebelumnya sehingga produktivitas terus menurun. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir produksi benih berlabel nasional hanya meningkat sebesar 9.900,54 ton atau menjadi 120.884,69 ton. Kecilnya peningkatan produksi benih disebabkan masih sedikitnya penangkar benih resmi dan masih rendahnya permintaan benih berlabel oleh petani. Selain benih, kualitas pupuk dan obatobatan juga mempengaruhi produktivitas padi. Umunnya petani padi sangat bergantung pada pupuk anorganik untuk menyuburkan tanaman. 2. Teknik Budidaya Hal lain yang mempengaruhi produktivitas adalah teknik budidaya yang meliputi proses persiapan lahan, pengolahan tanah, persemaian, pemupukan, pengaturan air, teknik menanam, pengendalian hama dan pemanenan. Kualitas
143
input yang baik disertai dengan teknik budidaya yang tepat akan mendorong produksi lebih optimal. Tantangan dalam adopsi soft technology pertanian di Indonesia adalah masih rendahnya kualitas SDM petani sehingga mereka tidak mudah menerima pengetahuan baru yang disampaikan PPL. Terlebih jika mereka masih beranggapan bahwa pertanian yang mereka usahakan sebagai tradisi turuntemurun. Seringkali petani juga tidak mematuhi aturan budidaya padi dan cenderung menggunakan insting atau berdasarkan pengalaman. Misalnya untuk penggunaan pupuk, seharusnya dihitung dahulu berdasar luas lahan dan hanya digunakan tiga kali selama produksi. Namun di lapangan, petani sering kali menggunakan pupuk melebihi dosis. Begitu juga dengan penggunaan obat-obatan, petani belum mampu mengukur sejauh mana daya lenting lingkungan terhadap hama. Setiap ada hama, langsung disemprot dengan bahan-bahan kimia yang melebihi dosis. Dampak dari keduanya adalah produksi justu menurunkan produksi karena lahan telah jenuh (levelling off) dan hama menjadi resisten. Selama ini Pengendalian Hama Terpadu (PHT) belum berjalan dengan baik dan penggunaan pupuk organik juga masih sedikit. Padahal keduanya dapat meningkatakan produksi karena tidak merusak keseimbangan tanah. Selain itu juga tidak membebani petani karena petani dapat menggunkan bahan-bahan di sekitar sebagai bahan baku obat dan pupuk organik. 3. Kesesuaian Lahan Kesesuaian lahan berpengaruh terhadap produktivitas karena tidak semua varietas padi dapat ditanam di semua jenis tanah. Untuk jenis tertentu seperti varietas IR 64 cocok untuk tanah yang lembab dan banyak air seperti di pulau
144
Jawa, sedangkan varietas Mekongga cocok untuk tanah merah dan relatif kering seperti di Sulawesi. Mengingat wilayah Indonesia yang sering dilanda banjir dan kekeringan, maka untuk wilayah-wilayah yang sering dilanda banjir sebaiknya menggunkan varietas padi tahan banjir dan varietas tahan kering untuk wilayah yang sering kekeringan seperti Nusa Tenggara Timur. Hal ini dilakukan sebagai wujud antisipasi kegagalan panen. 8.1.3. Indeks Pertanaman Pada tahun 2005, luas sawah irigasi dan tadah hujan yang ditanami padi adalah 6,84 juta ha, dengan rataan indeks pertanaman (IP) 1,61. Angka ini menunjukkan masih adanya potensi untuk meningkatkan produksi padi melalui peningkatan indeks pertanaman. Peningkatan IP merupakan kebijakan strategis sebagai kompensasi dari konversi lahan. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat IP padi di Indonesia adalah: 1. Perubahan Iklim Iklim menjadi determinan penting dalam produksi padi karena padi membutuhkan air dalam jumlah cukup sepanjang produksi. Anomali iklim akan mempengaruhi IP karena sebagian besar sawah petani masih mengandalkan hujan sebagai sumber pengairan. Jumlah saluran irigasi yang sangat terbatas membuat produksi kurang optimal. Anomali iklim yang tidak menentu pada awal MT ke-3 tahun 2007 membuat petani terlambat menanam padinya karena sulitnya penentuan masa tanam. Meskipun iklim tidak dapat dikendalikan manusia, sebenarnya kita masih dapt melakukan tindakan preventif dengan cara mendeteksi dini untuk bencana
145
alam terutama bencana banjir. Sehingga dampak peristiwa El-Nino dan La-Nina seperti tahun 1997 tidak terjadi lagi. Namun upaya ini memerlukan komitmen dan dukungan dari pemerintah, selain karena minimnya dana petani juga karena upaya deteksi dini untuk produksi juga membutuhkan teknologi dan keahlian tersendiri. 2. Sarana Irigasi Pada tahun 2005 luas lahan sawah (diluar lahan pasang surut) yang ditanami padi di Indonesia sekitar 6,84 juta ha. Dari lahan sawah seluas itu, sekitar 3,23 juta ha diantaranya berada di Jawa dan 3,61 juta ha di luar Jawa. Berdasarkan sistem pengairan, 2,19 juta dari lahan tersebut beririgasi teknis, sekitar
0,99
juta
beririgasi
setengah
teknis,
1,58
juta
ha
irigasi
sederhana/perdesaan, dan 2,09 juta ha sawah tadah hujan (BPS, 2006). Sedangkan berdasarkan intensitas tanam, sekitar 2,64 juta ha ditanami padi sekali dan 4,20 juta ha ditanami padi dua kali dalam setahun. Dengan demikian rata-rata indeks IP-padi adalah 1,61. Angka ini mengindikasikan adanya potensi dan peluang untuk meningkatkan produksi melalui peningkatan efisiensi pemanfaatan lahan. Terbatasnya irigasi membuat IP relatif stagnan karena ketersediaan air tidak merata sepanjang tahun. IP-padi untuk lahan irigasi teknis adalah 1,4 sedangkan untuk sawah tadah hujan 1,25. Dari nilai tersebut, kita sudah dapat menyimpulkan bahwa pembangunan irigasi sangat perlu dalam rangka meningkatkan produksi melalui peningkatan IP. Sementara tidak mungkin hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah karena keterbatasan dana negara untuk membangun saluran irigasi. Karena itu diperlukan kemitraaan maupun upaya swadaya dari petani dalam membangun irigasi.
146
8.1.4. Lembaga Penunjang Beberapa lembaga penunjang yang diperlukan dalam upaya peningkatan produksi padi adalah: 1. Lembaga Permodalan Minimnya permodalan yang dimiliki petani membuat petani sulit mendapatkan input yang berkualitas dan mengintroduksi teknologi maju. Kebutuhan akan dana tunai yang cepat mendorong petani meminjam atau menjual hasil panennya ke tengkulak dan pedagang pengumpul meskipun dengan harga rendah. Namun dalam hal ini, kita tidak dapat menyalahkan petani karena minimnya sumber daya ekonomi yang dimiliki petani. Terlebih lagi peranan lembaga keuangan perdesaan seperti KUD yang sebenarnya diharapkan mampu melindungi petani melalui pengimpunan dana dari petani sekitar tidak berjalan. Beberapa skim kebijakan pembiayaan sebenarnya telah dikeluarkan pemerintah melalui Kredit Ketahanan Pangan (KKP), SP3 serta bantuan lain seperti subsidi input dan bantuan alat pascapanen. Hingga September 2007, realisasi KKP baru mencapai 366.337 Miliar dari plafon 585.135 Miliar. Bantuan ini sendiri disalurkan melalui berbagai bank baik pemerintah maupun swasta. Namun skim kredit seperti ini masih sulit didapatkan petani karena sulitnya mekanisme pengajuan kredit dan proses yang sangat panjang. Akibatnya sebagian petani lebih suka meminjam dana pada tengkulak dan renternir. 2. Insulator Harga Bulog adalah insulator harga yang ditunjuk pemerintah untuk melindungi dan mengendalikan harga padi dan beras. Perlindungan dilakukan melalui HPP agar petani mendapat kepastian harga jual. Selain itu, mulai tahun 2005
147
pemerintah juga mengeluarkan program Dana Penguatan Modal-Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (DPM-LUEP) yang bertujuan untuk membeli gabah/beras dari petani dengan berpatokan pad HPP. Tujuan lain program DPM-LUEP sebenarnya juga untuk mengurangi dominasi tengkulak di daerah. Secara ekonomi, bertambahnya jumlah pelaku pasar akan membuat petani memiliki lebih banyak pilihan dalam menjual padinya melalui peningkatan posisi tawar. 3. Lembaga Riset Di Indonesia hanya terdapat beberapa lembaga riset yang khusus menangani masalah padi. Padahal keberadaan lembaga riset sangat penting untuk terus mengembangkan teknologi yang dapat meningkatkan produksi. Untuk pengembangan benih, baru LIPI dan lembaga penelitian Deptan yang mengembangkan varietas benih unggul. Seharusnya lembaga riset melakukan rekayasa paket teknologi spesifik lokasi mengingat keragaman wilayah Indonesia. Salah satu temuan terbaru IRRI adalah varietas padi tahan banjir. Varietas ini merupakan turunan varietas IR 64 yang diberi nama IR 64 Sub-1. LIPI juga sedang menggembangkan varietas padi tahan kering. Berbagai inovasi tersebut membuka peluang peningkatan produksi ke depan. Hanya saja, ketergantungan lembaga penelitian terhadap dana pemerintah harus segera di kurangi karena jika tidak akan menyebabkan kemunduran penemuan teknologi baru. Berdasarakan faktor dan sub faktor pertimbangan utama program kebijakan peningkatan produksi padi, maka disusunlah beberapa alternatif program yang dapat dilakukan oleh otoritas kebijakan perberasan. Alternatif tersebut antara lain:
148
1. Alternatif I yaitu memperketat aturan alih fungsi lahan dan pemberian insentif bagi pemilik lahan. 2. Alternatif II yaitu mengadopsi teknologi sesuai dengan kondisi wilayah dan sumber daya lokal. 3. Alternatif III yaitu membangun saluran irigasi berkoordinasi dengan Pemda terkait.
8.2. Analisis Model Pemilihan Alternatif Program Peningkatan Produksi Penetapan prioritas terhadap alternatif-alternatif program dapat menjadi pertimbangan bagi pengambil kebijakan perberasan karena merupakan hasil penilaian dari pemegang otoritas. Prioritas program diperoleh dengan metode Proses Hierarki Analitik (PHA). Bentuk model hierarki keputusan program dapat dilihat pada Gambar 23. Tingkat 1 adalah Fokus (Goal) dari model yaitu program peningkatan produksi padi nasional. Tingkat 2 adalah faktor pertimbangan utama yaitu luas lahan, tingkat produktivitas, Indeks Pertanaman dan lembaga penunjang. Tingkat 3 adalah sub-faktor pertimbangan utama program yang mempengaruhi faktor pertimbangan utama. Sedangkan tingkat 4 adalah alternatif-alternatif yang dapat dilakukan dalam rangka mengingkatkan produksi padi dalam jangka pendek.
Alternatif Program
Pertimbangan Utama
Sub Faktor
Pertimbangan Utama
Faktor
Fokus
Mengadopsi teknologi sesuai dengan kondisi wilayah dan sumber daya lokal
Sarana Irigasi
Perubahan Iklim
Indeks pertanaman
Gambar 22. Struktur Hierarki Program Peningkatan Produksi Padi
Memperketat aturan alih fungsi lahan dan insentif bagi pemilik
Kesesuaian Lahan
Teknik Budidaya
Kepemilikan Konversi Sawah Percetakan Lahan Baru
Kualitas Input
Produktivitas
Status
Luas Lahan
Program Peningkatan Produksi Padi
Membangun saluran irigasi berkoordinasi dengan Pemda terkait
Lembaga Riset
Insulator Harga
Lembaga permodalan
Lembaga Penunjang
149
150
8.3. Analisis Hasil Pengolahan Horizontal Analisis Horizontal bertujuan untuk melihat bersarnya pengaruh faktor maupun sub faktor pertimbangan utama terhadap satu faktor diatasnya. Berdasarkan pengolahan data hasil penilaian yang dilakukan oleh kedua responden, diperoleh hasil analisis sebagai berikut. Tabel 23.Urutan Prioritas Faktor Pertimbangan Utama yang Mempengaruhi Program Peningkatan Produksi Padi. Faktor Pertimbangan Utama Pembobotan Prioritas Jumlah luas lahan 0,419 1 Tingkat produktivitas 0,323 2 Indeks Pertanaman 0,163 3 Lembaga Penunjang 0,094 4 Rasio Inkonsistensi 0,02 Dari Tabel 23 diketahui bahwa prioritas terbesar dimiliki oleh faktor luas lahan dengan nilai 0,419, kemudian tingkat produktivitas dengan bobot 0,323. Luas lahan menjadi prioritas utama karena jumlahnya yang terbatas. Keterbatasan lahan pertanian ini dipengaruhi oleh semakin meningkatnya jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah nusantara, dan konversi lahan pertanian menjadi area industri dan pemukima terutama di Jawa. Untuk mengurangi dampak negatif akibat terus menurunnya jumlah lahan dilakukan secara preventif melalui regulasi maupun peningkatan produktivitas dan peningkatan IP. Peningkatan produktivitas dan IP merupakan kompensasi dari penurunan luas lahan. Jika produktivitas dapat ditingkatkan menjadi 6 ton/ha dan IP-padi dapat dinaikkan menjadi 200 persen maka produksi padi akan meningkat. Peranan lembaga penunjang mendapatkan prioritas terendah dari responden karena selama ini keberadaan lembaga penelitian dan permodalan
151
kurang dapat menyentuh petani kecil. Banyak hasil penelitian yang potensial dikembangkan tetapi masih dalam skala laboratorium sehingga manfaatnya kurang dirasakan petani. Sedangkan untuk permodalan, rumitnya mengakses permodalan baik dari swasta atau dari pemerintah membuat petani tidak mendapat manfaatnya secara optimal. Hasil pengolahan horizontal sub faktor pertimbangan utama yang mempengaruhi peningkatan produksi padi terhadap faktor luas lahan adalah: Tabel 24. Urutan Prioritas Sub faktor Pertimbangan Utama Program Peningkatan Produksi Padi terhadap Faktor Luas Lahan Sub Faktor Pertimbangan Utama Pembobotan Prioritas Konversi lahan 0,455 1 Percetakan lahan baru 0,430 2 Status kepemilikan 0,114 3 Rasio Ikonsistensi 0,00 Dari Tabel 24 diketahui bahwa sub faktor yang paling berpengaruh terhadap luas lahan adalah konversi lahan dengan bobot 0,455, kemudian percetakan lahan baru dengan bobot 0,430. Konversi menjadi prioritas utama karena menurut responden dampak konversi bersifat laten dan baru terlihat dalam jangka panjang. Sifat jumlah lahan yang statis membuat semua pihak seharusnya mengefisienkan penggunaan lahan dan menjaga kelestarianya. Ditambah lagi dengan terbatasnya kemampuan pemerintah mencetak sawah baru. Karena itu, salah satu upaya yang harus segera dilakukan adalah mengoptimalkan lahan-lahan kurang produktif dan lahan tidur terutama di pulau Jawa serta memperketat pengaturan perpindahan kepemilikan lahan yang dapat mempercepat konversi.
152
Tabel 25. Urutan Prioritas Sub faktor Pertimbangan Utama Program Peningkatan Produksi Padi terhadap Faktor Produktivitas Sub Faktor Pertimbangan Utama Pembobotan Prioritas Teknik budidaya 0,481 1 Kualitas Input 0,405 2 Kesesuain lahan 0,114 3 Rasio Ikonsistensi 0,03 Pada Tabel 25 terlihat bahwa prioritas yang mempengaruhi produktivitas adalah teknik budidaya dengan bobot 0,481 dan kualitas input dengan bobot 0,405. Penerapan teknik budidaya sangat terkait dengan kualitas sumber daya petani dalam menyerap teknologi baru. Meskipun kualitas inputnya baik, jika pengetahuan petani sangat minim maka produksi akan stagnan, begitu pula sebaliknya. Untuk itu perlu dilakukan perbaikan secara bersama-sama. Peningkatan kualitas SDM dapat dilakukan dengan memperbanyak penyuluhan di lapangan agar informasi dan teknologi dapat segera diadopsi petani. Petani juga harus diberi arahan bagaimana menghitung penggunaan input agar lahan tidak jenuh yang dapat berakibat menurunkan produksi. Selain itu, petani juga harus dibekali pengetahuan melihat kesesuaian lahan yang dimiliknya sehingga dapat mengurangi kesalahan penggunaan input terutama untuk benih. Sub faktor yang menjadi prioritas utama terhadap Indeks Pertanaman adalah ketersediaan sarana irigasi dengan bobot 0,833. Perubahan iklim mendapat prioritas kedua dengan bobot 0,167. Hasil pembobotan dapat dilihat pada Tabel 26. Sarana irigasi merupakan faktor penting dalam produksi padi karena ketersediaan air akan secara langsung mempengaruhi hasil panen. Keterbatasan dana pemerintah membuat pembangunan infrastrukur produksi seperti jalan desa dan saluran irigasi berjalan lambat.
153
Tabel 26. Urutan Prioritas Sub faktor Pertimbangan Utama Program Peningkatan Produksi Padi terhadap Faktor Indeks Pertanaman Sub Faktor Pertimbangan Utama Pembobotan Prioritas Sarana irigasi 0,833 1 Perubahan iklim 0,167 2 Rasio Ikonsistensi 0,00 Selama ini, sebagian besar area panen padi masih menggunakan irigasi sederhana yang tergantung sumber mata air di sekitarnya. Ketersedian air tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas hujan dan resapan air tanah. Sehingga ketika musim hujan, jumlah air berlimpah. Sedangkan ketika musim kemarau terjadi kekeringan. Ditambah lagi dengan semakin tidak menentunya perubahan iklim akibat fenomena global warming. Kondisi inilah yang menyebabkan sebagian besar lahan terutama di luar Jawa hanya bisa ditanami satu kali dalam setahun (IP=100). Untuk membangun irigasi membutuhkan dana yang besar, karena itu perlu dukungan dan komitmen dari pemerintah dalam pelaksanaanya. Petani dan Pemda juga perlu dilibatkan secara langsung agar pembangunan irigasi lancar. Berdasarkan analisis, sub faktor yang menjadi prioritas pertama terhadap lembaga penunjang adalah insulator harga dengan bobot 0,639. Urutan prioritas dapat dilihat pada Tabel 27. Kepastian harga merupakan insentif terbesar petani untuk berproduksi. Adanya HPP telah menjadi solusi yang digunakan pemerintah untuk menggendalikan harga selama 30 tahun. Tabel 27. Urutan Prioritas Sub faktor Pertimbangan Utama Program Peningkatan Produksi Padi terhadap Faktor Lembaga Penunjang Sub Faktor Pertimbangan Utama Pembobotan Prioritas Insulator Harga 0,639 1 Lembaga permodalan 0,259 2 Lembaga riset 0,102 3 Rasio Ikonsistensi 0,03
154
Lembaga permodalan mendapat prioritas kedua karena selama ini berbagai skim pembiayaan yang diberikan pemerintah kurang efektif. Adanya skim permodalan diharapkan dapat mendorong petani untuk berproduksi lebih optimal. Sebenarnya jika ketiga lembaga penunjang bekerja secara sinergis maka kendala mengenai pengembangan teknologi, pembiayaan pertanian dan didorong kepastian harga dari pemerintah akan dapat diatasi. Untuk hasil pembobotan sub faktor pertimbangan utama terhadap alternatif program dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28. Urutan Prioritas Alternatif Program Peningkatan Produksi Padi Sub Faktor Pertimbangan Utama Alternatif RI I II III Status kepemilikan 0,160 0,276 0,03 0,564 Konversi lahan 0,266 0,147 0,00 0,586 Percetakan sawah baru 0,402 0,114 0,03 0,484 Kualitas input 0,082 0,272 0,05 0,646 Teknik budidaya 0,114 0,430 0,00 0,445 Kesesuaian lahan 0,082 0,254 0,02 0,663 Perubahan iklim 0,112 0,353 0,00 0,535 Sarana irigasi 0,130 0,222 0,00 0,649 Lembaga penunjang 0,111 0,326 0,03 0,563 Insulator harga 0,184 0,241 0,02 0,574 Lembaga riset 0,130 0,204 0,01 0,666
8.4. Analisis Hasil Pengolahan Vertikal Analisis Vertikal bertujuan untuk menghitung pengaruh seluruh elemen terhadap pencapaian tujuan melalui penilaian prioritas alternatif. Hasil pengolahan data pembobotan secara vertikal melalui PHA untuk program peningkatan produksi padi diperoleh bahwa prioritas program yang harus dilakukan pemerintah adalah membangun saluran irigasi berkoordinasi dengan Pemda terkait (bobot 0,387). Kerjasama bertujuan untuk mengatasi kendala pendanaan dan mempercepat pelaksanaan program. Program ini juga harus melibatkan petani
155
dan lembaga pembiayaan baik pemerintah maupun swasta. Keberadaan kelompok tani maupun gabungan kelompok tani (Gapoktan) dapat juga menjadi sarana penghimpunan modal yang dapat dimanfaatkan oleh anggotanya. Tabel 29. Urutan Prioritas Alternatif Program Peningkatan Produksi Padi dari Hasil Pengolahan Vertikal Alternatif Pembobotan Prioritas Membangun saluran irigasi berkoordinasi dengan 0,387 1 Pemda terkait Mengadopsi teknologi baru sesuai dengan kondisi 0,351 2 wilayah dan sumber daya lokal Memperketat aturan alih fungsi lahan dan insentif 0,262 3 bagi pemilik Rasio Ikonsistensi 0,02 Alternatif kedua yaitu mengadopsi teknologi baru sesuai dengan kondisi wilayah dan sumber daya lokal menjadi prioritas kedua dengan nilai 0,351. Pengembangan teknologi juga menjadi tanggung jawab semua pihak, tidak hanya pemerintah melainkan juga petani dan swasta. Semua elemen harus bekerja secara kooperatif dalam rangka meningkatkan produksi. Lembaga pembiayaan mendorong melalui skim kredit lunak, lembaga penelitian terus mengembangkan teknologi dan teknik budidaya tepat guna dan petani juga harus mau belajar dan mengaplikasikan teknologi yang dapat meningkatkan produksi agar berbagai hasil penelitian yang telah ditemukan tidak sia-sia. Alternatif ketiga juga perlu segera dilakukan untuk mengurangi dampak konversi lahan. Pemerintah harus mempertegas pelaksanaan UU Pokok Agraria dan UU Kelestarian lahan. Kita dapat mencontoh upaya China dan Vietnam dalam melindungi lahan petanian. Vietnam melakukan pembebasan pajak tanah pertanian untuk petani kecil dan miskin untuk mengurangi beban biaya produksi dan sebagai insentif bagi petani mempertahankan lahan pertanian miliknya.
IX. KESIMPULAN DAN SARAN
9.1. Kesimpulan 1. Kebijakan peningkatan produksi dintervensi pemerintah melalui berbagai program peningkatan produksi padi (P4) seperti program Bimas (1965), Insus (1798) dan Program P2BN (2007). Pelaksanaan program dilakukan melalui dua paket teknologi yaitu bantuan alat dan bahan serta pendekatan sosial. Kebijakan impor dilakukan melalui penetapan tarif spesifik, kuota tarif dan red line untuk menekan jumlah impor beras. Kebijakan harga dilakukan dengan menetapkan HPP untuk produsen, OPM, Raskin dan menetapkan pagu harga untuk konsumen. Sedangkan kebijakan distribusi dilakukan dengan menunjuk Bulog sebagai pengelola Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sekaligus sebagai penyalur Raskin. Keempat kebijakan tersebut dalam pelaksanaanya mengalami berbagai hambatan baik yang berasal dari internal maupun eksternal sehingga belum mencapai sasaran yang diharapkan. 2. Dari empat kebijakan, kebijakan distribusi adalah kebijakan yang paling efektif dibandingkan kebijakan lainnya. Baiknya distribusi beras didukung oleh spesifiknya intervensi Bulog terhadap distribusi beras nasional. Bulog hanya menguasai kurang dari 10 persen pangsa pasar beras dan hanya digunakan sebagai CBP melalui pengadaan dalam negri. Selain itu juga didukung dengan gudang yang tersebar di seluruh Indonesia, koordinasi yang baik antarwilayah dan hak istimewa yang dimiliki Bulog sebagai State Trading Enterprise (STE) dan stabilitator harga. Kebijakan harga dinilai tidak efektif karena kecenderungan pemerintah melindungi konsumen melalui ceiling price, OPM
157
dan Raskin justru medistorsi harga pasar beras karena sarat subsidi. Kebijakan impor juga dinilai tidak efektif karena tarif impor justru memicu tingginya penyelundupan yang akibatnya merusak harga beras domestik. Selain itu juga tercermin dari perbedaan data jumlah impor antar instansi. Kebijakan produksi adalah kebijakan yang dinilai paling tidak efektif karena kegagalan pemerintah mengurangi konversi, mendiversifikasi pangan dan produktivitas yang stagnan. 3. Prioritas strategi kebijakan pengembangan perberasan nasional adalah mengkombinasikan kebijakan protektif dengan kebijakan promotif untuk melindungi beras dalam negri. Strategi kebijakan lainnya adalah menerapkan TRQ, mengembangkan diversifikasi berbasis pangan lokal, mengembangkan input dan teknologi melalui kemitraan, memperbaiki infrastruktur dan teknologi budidaya, memperbaiki mekanisme kredit, mengawasi kinerja dan transparansi Bulog serta melakukan reformasi agraria. Pelaksanaan kebijakan tersebut harus saling terintegrasi mengingat kompleksitas masalah perberasan. 4. Prioritas pertama program peningkatan produksi padi adalah dengan membangun sarana irigasi berkoordinasi dengan Pemda terkait. Hal ini karena masih tingginya potensi peningkatan produksi di masa mendatang tetapi ketersediaan sarana irigasi sangat terbatas. Prioritas kedua adalah mengadopsi teknologi sesuai dengan kondisi wilayah dan sumber daya lokal dan yang terakhir adalah memperketat aturan alih fungsi lahan dan pemberian insentif bagi pemilik lahan sehingga tingkat konversi lahan pertanian dapat dikurangi.
158
9.2. Saran 1. Meningkatkan akurasi data perberasan nasional melalui studi yang komprehensif dengan meningkatkan kerjasama antarinstansi terkait agar perbedaan data dapat dinimimalkan. Selama ini, salah satu penyebab ketidakefektifan kebijakan beras adalah ketiadaan data yang akurat tentang perberasan nasional. 2. Meningkatkan koordinasi yang terintegrasi dan komitmen yang tinggi dari seluruh otoritas pengambil kebijakan baik tingkat pusat maupun daerah, mengingat kompleksnya masalah perberasan. Hal ini untuk mengurangi tumpang tindih kebijakan beras yang akibatnya hanya mendistorsi kebijakan satu sama lain. Selain itu, pengawasan dan pemantauan pelaksanaan kebijakan harus dilakukan semua pihak agar terlaksana secara efektif, tepat sasaran dan sesuai kebutuhan serta aspirasi petani. 3. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya diversifikasi pangan bagi ketahanan pangan nasional melalui pendidikan pangan dan penyebaran informasi yang berkelanjutan. 4. Saran untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan menganalisis keefektifan kebijakan dengan menghitung secara kuantitatif indikatorindikator kebijakan beras. Misalnya menggunakan analisis regresi berganda untuk menghitung nilai tarif yang dapat menutupi paritas impor atau penggunaan data beras bulanan sehingga pengaruh fluktuasi data dapat dihitung secara akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Azziz, A. A. 2007. Analisis Impor Beras Serta Pengaruhnya Terhadap Harga Beras Dalam Negeri. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Ashari. 2003. Tinjauan Tentang Alih Fungsi Lahan Sawah Ke Non Sawah dan Dampaknya di Pulau Jawa. FAE.Vol.21 No.2,Desember 2003:83-98. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. -------- dan Mewa Ariani. 2003.Arah, Kendala dan Pentingnya Diversifikasi Konsumsi Pangan Indonesia. FAE.Vol.21 No.2,Desember 2003:99-112. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor Adriana, R. 2007. Penawaran Beras Dunia dan Permintaan Impor Beras Indonesia Serta Kebijakan Perberasan di Indonesia. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Badan Pusat Statistik.2007. Statistik Indonesia, Statistic Yearbook of Indonesia. Dari berbagai tahun. BPS. Jakarta. Badan Ketahanan Pangan.2007. Instruksi Presiden No.3 Tahun 2007 Tentang Kebijakan Perberasan. Badan Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian. Churchill Jr, G. A. 1992. Basic Marketing Research. 2th Edition. Dryden Perss. United State of America. David, F. R. 2004. Strategic Management 10th Edition. Prentice Hall. New Jersey. USA. Departemen Pertanian. 2007. Statistik Pertanian 2007. Departemen Pertanian. Jakarta. Direktorat Jendral Tanaman Pangan. 2007. Pedoman Gerakan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Departemen Pertanian. Jakarta. Erfansjah, H. 2007. Pengelolaan Kebijakan Perangsang Berproduksi. Majalah Warta Intra Bulog Edisi Mei, No.5. Bulog. Jakarta FAO. 2007. WTO Rules for Agriculture Compatible with Development. Trade and Market Division, FAO. Rome. Gafar, S.. 2007. Surplus Beras Kok Impor?. Kreasi Wacana. Jakarta. Hady, H. 2001. Ekonomi Internasional, Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional. Ghalia Indonesia. Jakarta.
160
Handono, et.all. 2004. Liberalisasi Perdangangan: Sisi Teori, Dampak Empirik dan Perspektif Ketahanan Pangan. FAE. Vol.22. No.2. Desember 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Hadi, P. U. dan Budi Wiryono. 2005. Dampak Kebijakan Proteksi terhadap Ekonomi Beras di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi. Vol.23 No.2, Oktober 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola Pemanfaatan dan Faktor Determinan. FAE. Vol.23 No.1. Juli 2005:1-18. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Jamal,E. et all. 2007. Beras dan Jebakan Kepentingan Jangka Pendek. AKP. Vol.5 No.3, September 2007: 224-238. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Kinnear, T. C. dan James R. Taylor. 1991. Marketing Research, An Applied Approach. 4th Edition. McGraw-Hill, Inc. United State of America. Kariyasa, K. 2003. Dampak Tarif Impor dan Kinerja Kebijakan Harga Dasar Serta Implikasinya Terhadp Daya Saing Beras Indonesia di Pasar Dunia. AKP. Vol.1 No.4, Desember 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. --------------------. 2007. Usulan HET Pupuk Berdasarkan Tingkat Efektivitas Harga Pembelian Pemerintah. AKP. Vol 5.No.1, Maret 2007: 72-85. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Lubis, A.D. 2005. Analisis Kebijakan Impor Beras Dan Kaitanya Dengan Diversifikasi Pangan Pokok. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor Malian, A. H. 2004. Kebijakan Perdagangan Internasional Komoditas Pertanian Indonesia. AKP. Vol. 2. No.2, Juni 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Naibaho, S. 2007. Analisis Dampak Impor Beras Terhadap Keragaab Beras Indonesia. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Nurmalina, R. 2007. Model Neraca Ketersediaan Beras Yang Berkelanjutan Untuk Ketahanan Pangan Nasional. Desertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor Natzir, M. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Pappas, L dan Mark Hirschey.1995. Ekonomi Manajerial. Jilid 1. Daniel Wirajaya, penerjemah. Binarupa Aksara. Jakarta.
161
Pusat Data dan Informasi Pertanian. 2005. Outlook Komoditi Pertanian Tanaman Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta. Pusat Data dan Informasi Pertanian. 2006. Outlook Komoditi Perkebunan. Departemen Pertanian. Jakarta. Robinson, S, El-Said, M, dan San, N. 1998. Rice Policy, Trade, and Exchange Rate Changes In Indonesia : A General Equilibrium Analysis. Journal of Asian Economics. JAI Press Inc. Ritonga, T. C. E. 2004. Analisis Keefektifan Kebijakan Harga Dasar Beras. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor Pakpahan, A. et all. 1992. Ketahanan Pangan Masyarakat Berpendapatan Rendah. Laporan Penelitian. PPSE. Bogor. Salvatore, D.1996. Ekonomi Internasional. Erlangga. Jakarta Siregar, H dan A.D Lubis. 2003. Rangkuman Kebijakan Pertanian. Working Paper 7. Kerjasama Direktorat Pangan dan Pertanian Bapenas dengan Lembaga Penelitian IPB. Jakarta. Sawit, M. H. 2003. Indonesia Dalam Perjanjian Pertanian WTO: Proposal Harbinson. Analisis Kebijakan Pertanian Vo.1 No.1, Maret 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. ------------------------. 2005. Melindungi Industri Padi/Beras: Menerapkan Tarif Quota dan Memerankan STE. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol.3 No.4, Desember 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Simatupang, P dan Wahyuning K. Sejati. 2004. Isu Kontemporer Kebijakan Pembangunan Pertanian 2000-2004: Pandangan Peneliti. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor ---------------------, dkk. 2005. Evaluasi Kebijakan Harga Gabah Tahun 2004. AKP. Vol.3. No.1, Maret 2005:1-11. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. ---------------------, dkk. 2005. Evaluasi Pelaksanaan Harga Gabah Pembelian Pemerintah Tahun 2005 dan Perspektif Penyesuaianya Tahun 2006. AKP. Vol.3. No.3, September 2005:187-200. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Survei Sosial Ekonomi Nasional. 2006. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2006. BPS. Jakarta. Syaifullah, A. 2007. Cadangan Beras Pemerintah. Dalam Majalah Warta Intra. Bulog. Jakarta.
162
Tabor, S.R. dan M. Husein Sawit. 2005. RASKIN: A Macro-Program Assessment. Review Kebijakan. Bulog. Umar, H. 2005. Strategic Management in Action. Gramedia. Jakarta. Wahyuni, S dan Kurnia S I. 2003. Dinamika Program dan Kebijkan Peningkatan Produksi Padi. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Vol.21.No.2. Desember 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Winniasri, E. F. 2007. Analisis Distribusi Spasial dan Aliran Perdagangan Beras Dari dan Ke DKI Jakarta. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor
163
LAMPIRAN
164
Lampiran 1. Data Produksi, Luasan Panen dan Produktivitas Padi Indonesia. Tahun 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007*
Luas Panen Produktivitas (ha) (ton/ha) 8929169 2.886 8803564 2.985 9005065 3.293 9381839 3.493 8988455 3.736 9162469 3.853 9763580 3.906 9902293 3.942 9988453 3.977 9922594 4.039 10138155 4.111 10531207 4.247 10502357 4.302 10281519 4.346 11103317 4.345 11012776 4.375 10733830 4.345 11438764 4.349 11569729 4.417 11140594 4.432 11730325 4.197 11963204 4.252 11793475 4.401 11499997 4.388 11521166 4.469 11488034 4.538 11922974 4.536 11839060 4.574 11786430 4.62 12165607 4.77
Produksi Padi Konversi (ton) 25771570 0.65 26282663 0.65 29651905 0.65 32774176 0.65 33583677 0.65 35303106 0.65 38136446 0.65 39032945 0.65 39726761 0.65 40078195 0.65 41676170 0.65 44725582 0.65 45178751 0.65 44688247 0.65 48240009 0.65 48181087 0.65 46641524 0.65 49744140 0.65 51101506 0.65 49377054 0.63 50866387 0.63 49236692 0.63 51898852 0.63 50460762 0.63 51489694 0.63 52137604 0.63 54088468 0.63 54151097 0.63 54454937 0.63 57048558 0.63
Sumber: BPS dari berbagai tahun * Angka sementara (ARAM III)
di
Produksi Beras (ton) 17524668 17872211 20163295 22286440 22836900 24006112 25932783 26542403 27014197 26050827 27089511 29071628 29366188 29047361 31356006 31317707 30316991 32333691 32193949 31107544 32045824 31019116 32696277 31790280 32438507 32846691 34075735 34075735 34306610 35940591
165
Lampiran 2. Data Impor, Konsumsi dan Tarif Impor Beras Tahun 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007*
Produksi Beras (Ton) 17524668 17872211 20163295 22286440 22836900 24006112 25932783 26542403 27014197 26050827 27089511 29071628 29366188 29047361 31356006 31317707 30316991 32333691 32193949 31107544 32045824 31019116 32696277 31790280 32438507 32846691 33456854 34075735 34306610 35940591
Impor Beras (Ton) 1841500 1922900 2011400 538300 309600 1168800 414300 33800 27756 54982 32730 268321 49577 170994 611679 24317 633048 1807875 2149753 349681 2895118 4751398 1355666 644733 1805380 1428506 236867 189617 438108 -
Konsumsi Total (ton) 17325000 17865000 18486000 19050000 19568000 22707000 23346000 23485000 24407000 25045000 26075000 27670000 28037000 28220000 29962000 27245000 28779000 29315000 31328000 27721000 25330000 25468000 25572000 25714000 25888000 25985000 26247000 29251000 31627628 -
Sumber: BPS dari berbagai tahun * Angka sementara (ARAM III) - ) Belum ada data
Konsumsi per Kapita (kg/kap/th) 0.1234 0.1234 0.12341 0.12382 0.1244 0.14521 0.1402 0.14316 0.14736 0.14238 0.15003 0.1536 0.14424 0.14115 0.16105 0.14405 0.14972 0.15213 0.15795 0.13765 0.1351 0.13261 0.13804 0.14086 0.14234 0.14329 0.14787 0.1363 0.13927 0.13915
Tarif impor
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 430 430 430 430 430 450 450 450
Sisa Stok (ton) 2041168 1930111 3688695 3774740 3578500 2467912 3001083 3091203 2634953 1060809 1047241 1669949 1378765 998355 2005685 4097024 2171039 4826566 3015702 3736225 9610942 10302514 8479943 6721013 8355887 8290197 7446721 5014352 3117090 35940591
Sumber: Statistik Pertanian, Deptan 2007
105
103
107
108
109
104
109
110
109
112
102
103
103
Rataan
Pasca Krisis
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 103 98 97 95 85 88 92 90 98 122 136 108 100 88 90 87 86 81 86 89 93 98 101 94 95 93 108 115 109 122 108 104 95 86 89 91 82 68 74 104 121 99 105 122 106 93 76 73 73 108 119 137 88 89 79 76 73 79 80 80 76 74 90 107 106 102 106 101 104 101 108 105 109 125 133 131 112 116 100 101 109 104 95 101 92 102 113 124 118 92 97 108 109 111 115 131 125 116 126 128 133 126 122 126 102 106 107 113 105 102 104 114 111 121 115 92 94 111 112 118 120 128 150 128 144 159 147 134 117 121 103 113 116 116 143 113 87 89 86 87 72 57 48 94 99 107 106 107 130 118 112 112 105 99 83 90 95 96 98 102 94 116 144 192 152 92 153 161 143 105 108 113 115 124 135 111 109 117 118 106 95 97
Saat Krisis
Provinsi Nangroe Aceh D Sumatra Utara Sumatra Barat Sumatra Selatan Lampung Jawa Barat Jawa Tengah D I Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Kalimantan Selatan Sulawesi Utara Sulawesi Selatan
Sebelum Krisis
Lampiran 3. Data Perkembangan NTP Agregat di 14 Provinsi di Indonesia Tahun 1994-2006 (1993=100)
166
1500.00
GKG
1730.00
2250.00
GKG
2250.00
GKG
GKP
1730.00
1740.00
GKG
GKP
1330.00
1725.00
GKG
GKP
1230.00
1725.00
GKG
GKP
1230.00
1725.00
GKG
GKP
1230.00
1519.00
GKG
GKP
1095.00
GKP
2895.70
2671.09
2357.35
2038.66
1665.00
1433.22
1665.00
1433.22
1614.17
1313.88
1680.56
1278.10
1678.50
1396.13
1417.26
1035.64
1206.25
996.00
Jan
2909.53
2750.37
2356.46
2066.52
1793.98
1565.69
1793.98
1473.78
-
1228.20
1552.14
1296.28
1604.17
1320.59
1422.50
1014.21
1200.00
970.79
Peb
2924.09
2559.26
2500.69
1837.14
1885.63
1435.55
-
-
1725.00
1138.52
-
1257.92
1429.65
1177.79
1367.00
1119.00
1250.00
883.41
Mar
Wilayah I: Jawa, Bali, NTB, Sulsel, Sultra, Sumsel
Sumber: BPS (diolah)
2007
2006
2005
2005
2004
2003
2002
1095.00
GKP
2001
1400.00
GKG
Wil I
1020.00
HD
GKP
Kelompok
Wil I
2000
Tahun
-
-
2240.00
1899.94
1920.67
1393.68
-
-
1557.71
1188.68
1554.50
1195.41
1474.17
1209.22
1545.21
1075.95
1221.67
885.01
Apr
-
-
2328.95
2052.33
1898.18
1393.42
-
-
1690.00
1260.99
1581.43
1243.89
1592.14
1253.58
1435.00
1119.15
1337.80
982.60
Mei
-
-
2384.48
2140.07
1777.81
1468.26
-
-
1715.00
1262.37
-
1217.66
1532.33
1216.88
1516.08
1109.57
1293.00
975.11
Jun
-
-
2437.83
2051.45
1657.50
1482.54
-
-
1852.50
1230.64
1510.00
1174.21
1563.77
1210.59
1480.00
1124.05
-
1017.68
Jul
-
-
2394.42
2163.31
1747.50
1552.09
-
-
1325.00
1235.77
1725.00
1268.28
1547.50
1228.13
1575.00
1153.74
-
998.90
Ags
-
-
2433.20
2134.07
1793.33
1666.92
-
-
-
1255.64
1702.86
1272.32
1580.00
1224.46
1545.00
1195.87
1206.25
970.90
Sep
Lampiran 4. Harga Dasar Gabah dan Harga Rata-Rata Gabah di Tingkat Produsen Tahun 2000-2007
-
-
2461.41
2148.48
1767.78
1762.61
-
-
-
1310.13
-
1272.86
1553.33
1249.53
1491.89
1249.20
-
980.40
Okt
-
-
2431.51
2247.92
2027.50
1807.82
-
-
-
1325.75
1572.50
1253.47
1596.43
1295.84
1490.45
1252.91
-
955.38
Nov
-
-
2634.95
2429.31
1850.21
-
-
1534.00
1349.21
1566.67
1261.60
1570.56
1282.84
1529.00
1245.40
1200.00
960.49
Des
2909.77
2660.24
2413.44
2100.77
1812.26
1567.67
1729.49
1453.50
1626.67
1258.31
1605.07
1249.33
1560.21
1255.46
1484.53
1141.22
1239.37
964.72
Rataan
167
% KK
6 % Real thd Alokasi
7 Penerima manfaat % PM thd KK 8 sasaran % PM thd KK 9 Miskin
a.
Catatan:
Sumber: Bulog (2007)
1.353.248
ton
145,80 68,34
% %
10.934.861
100,24
1.350.000
ton
46,88
7.500.000
16.000.000
2000
4 Pagu Alokasi Realisasi 5 Penyaluran
%
KK
2 KK Sasaran KK Sasaran Thd 3 Total
Satuan KK
Tahun
1 Jumlah KK Miskin
No
Lampiran 5. Realisasi Raskin Tahun 2000-2007
78,72
135,72
11.807.316
94,84
146,63
14.355.227
95,13
2.235.141
1.481.829 98,70
2.349.600
64,68
9.790.000
15.135.561
2002
1.501.274
58,00
8.700.000
15.000.000
2001
75,14
137,91
11.832.897
98,27
2.023.664
2.059.276
54,49
8.580.313
15.746.843
2003
74,07
135,77
11.664.050
99,92
2.060.198
2.061.793
54,56
8.590.804
15.746.843
2004
70,35
133,85
11.109.274
99,96
1.991.131
1.991.897
52,56
8.300.000
15.791.884
2005
89,55
128,19
13.882.731
99,97
1.624.089
1.624.500
69,86
10.830.000
15.503.295
2006
87.45
105.84
16,703,158
87.54
1,519,632
1,736,007
82.62
15,781,884
19,100,905
2007
168