EFEKTIVITAS ASAM DAN ENZIM PAPAIN DALAM MENGHASILKAN KOLAGEN DARI KULIT IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning)
IKA ASTIANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Efektivitas Asam dan Enzim Papain dalam Menghasilkan Kolagen dari Kulit Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning)” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tingi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2016 Ika Astiana C351130071
RINGKASAN IKA ASTIANA. Efektivitas Asam dan Enzim Papain dalam Menghasilkan Kolagen dari Kulit Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning). Dibimbing oleh NURJANAH dan TATI NURHAYATI. Kulit ikan ekor kuning merupakan salah satu komoditi yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku penghasil kolagen. Kolagen dapat diekstraksi secara kimiawi maupun kombinasi antara proses kimiawi dan enzimatis. Ekstraksi kolagen secara kimiawi dapat dilakukan dengan proses asam yang menghasilkan kolagen larut asam (ASC) atau ekstraksi enzimatis dengan penambahan enzim tertentu dalam proses ekstraksi. Enzim yang umum digunakan dalam ekstraksi kolagen adalah enzim pepsin. Enzim pepsin komersil memiliki kelemahan yaitu berasal dari babi sehingga tidak dapat digunakan oleh umat muslim berkaitan dengan kehalalannya, sedangkan enzim pepsin yang berasal dari sapi sulit dicari dan mahal. Enzim papain merupakan salah satu jenis enzim proteolitik yang dapat digunakan untuk mengekstrak kolagen selain pepsin. Enzim papain komersil harganya murah dan mudah didapatkan di pasaran serta berlabel halal karena sumber bahan bakunya yang berasal dari buah pepaya. Kolagen yang diekstrak menggunakan papain disebut kolagen larut papain (PaSC). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi dan waktu optimum ekstraksi dan karakter kolagen larut asam dan papain dari kulit ikan ekor kuning. Metode ekstraksi kolagen kulit ikan ekor kuning dibagi menjadi tiga tahap yaitu preparasi bahan baku, deproteinasi menggunakan NaOH, dan ekstraksi menggunakan asam asetat (ASC) dan campuran asam dengan enzim papain (PaSC). Preparasi bahan baku dilakukan dengan membersihkan kulit dari daging dan sisik kemudian dipotong-potong dengan ukuran 0.5x0.5 cm2. Proses deproteinasi dengan NaOH dilakukan pada konsentrasi 0.05; 0.1; dan 0.15 M sampai 10 jam dan setiap 2 jam larutan diganti untuk diuji kelarutan proteinnya dengan uji biuret. Tahap ketiga yaitu ekstraksi menggunakan asam asetat pada konsentrasi 0.3; 0.5; dan 0.7 M selama 1, 2, dan 3 hari untuk pembuatan kolagen ASC dan penambahan enzim papain pada konsentrasi 0-25.000 U/mg/g kulit untuk pembuatan kolagen larut papain (PaSC). Hasil kolagen ASC dan PaSC kulit ikan ekor kuning kemudian diuji karakter fisikokimianya yaitu rendemen, asam amino, berat molekul, stabilitas suhu, dan struktur permukaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan NaOH dengan konsentrasi 0.05 M dengan waktu perendaman 8 jam mampu melarutkan protein non kolagen dalam jumlah yang optimal. Kombinasi perlakuan asam asetat dengan konsentrasi 0.3 M selama 3 hari dan penggunaan enzim papain dengan konsentrasi 5,000 U/mg/g kulit mampu menghasilkan kelarutan kolagen yang tertinggi. Rendemen kolagen ASC yang dihasilkan adalah 18.4±1.49% (bk) sedangkan rendemen kolagen PaSC adalah 33.28±2.74% (bk). Penggunaan enzim papain mampu meningkatkan rendemen kolagen. Penggunaan konsentrasi enzim yang tepat akan memutus ikatan silang (cross-linked) pada bagian telopeptida kolagen sehingga meningkatkan jumlah kolagen yang terlarut. Komposisi asam amino yang dominan pada kolagen ASC adalah glisina (25.09±0.003%), alanina (13.71±0.075%), dan prolina (12.15±0.132%) dan pada PaSC adalah glisina (26.17±0.029%), alanina (13.56±0.025%), dan prolina (12.34±0.048%). Glisina,
prolina, dan alanina merupakan tiga asam amino utama penyusun kolagen. Kolagen PaSC memiliki kandungan asam amino yang lebih tinggi dibandingkan ASC. Kolagen ASC dan PaSC dari kulit ikan ekor kuning memiliki struktur protein α1, α2, β dan γ. Bobot molekul ASC adalah 133 (α1), 117 (α2), 194-212 (β), dan 251 (γ) KDa. Bobot molekul PaSC adalah 122 (α1), 112 (α2), 186-203 (β), dan 251 (γ) KDa. Kolagen PaSC memiliki stabilitas suhu yang lebih tinggi (77.05oC) dibandingkan kolagen ASC (67.69oC) karena mengandung asam amino prolin yang lebih tinggi sehingga kestabilannya terhadap suhu semakin tinggi. Struktur permukaan kolagen ASC berdasarkan analisis SEM memiliki serat-serat putih pada permukaannya sedangkan pada kolagen PaSC tidak ada. Hal ini disebabkan karena enzim papain mampu memecah protein dan serat-serat tersebut. Penggunaan enzim papain mampu meningkatkan hasil rendemen, asam amino, dan kestabilan suhu kolagen dibandingkan dengan kolagen ASC, serta tidak merusak struktur α1, α2, β dan γ yang menjadi ciri khas kolagen, dan dapat memecah serat-serat kolagen menjadi lebih kecil. Kata kunci: alkali, asam asetat, ekstraksi, NaOH
SUMMARY IKA ASTIANA. Effectiveness of Acid and Papain Enzyme to Produce Collagen from Fusilier Fish Skin (Caesio cuning). Supervised by NURJANAH and TATI NURHAYATI. Fusilier fish skin is one of the commodities that can be used as feed stock for collagen production. Collagen can be extracted by chemical or the combination of chemical and enzymatic processes. Extraction of collagen chemically is acid process producing acid soluble collagen (ASC) and enzymatic extraction with the addition of enzymes in the extraction process. Pepsin is a common enzyme to be used in the extraction of collagen. Commercial pepsin have some disadvantageous that are derived from porcine that can not be used by Muslims with regard to halal, whereas pepsin that derived from cow's difficult to find and expensive. The papain enzyme is one types of proteolytic enzymes that can be used to extract collagen to subtitute pepsin. Commercial papain is cheap and easily available in the market and labeled as halal because the source of the raw materials derived from the papaya fruit. Collagen is extracted using papain known as papain soluble collagen (PaSC). This study aimed to determine the optimum concentration, extraction time and the character of the acid soluble collagen and papain soluble collagen from fusilier fish skin. The steps of extracting fusilier fish skin collagen were divided into three stages as follows preparation of raw materials, deproteinization using NaOH, and extraction using acetic acid (ASC) and the acid mixture with the enzyme papain (PaSC). Preparation of raw materials was carried out by cleaning the skin from the meat and scales then cut to the size to 0.5x0.5 cm2. NaOH deproteinization process performed at the concentration of 0.05; 0.1; and 0.15 M to 10 hours and every 2 hours the solution was replaced for testing the solubility of the protein by the biuret test. The third stage was extraction using acetic acid at a concentration of 0.3; 0.5; and 0.7 M for 1, 2, and 3 days to produce collagen ASC and the addition of papain at concentrations of 0 - 25,000 U/mg/g of skin to make collagen soluble papain (PaSC). ASC and PaSC fusilier fish collagens were analyzed the physicochemical character including yield, amino acids, molecular weight, temperature stability, and surface structure. The results of this study was using concentration of 0.05 M NaOH and 8 hours soaking time could dissolve non-collagen protein optimally. Treatment combination of acetic acid at a concentration of 0.3 M for 3 days with the addition papain at a concentration of 5,000 U/mg/g skin produced the highest solubility. The yield of the PaSC (33.28±2.74% (db)) was higher than ASC (18.4±1.49% (db)). The use of the papain increased the yield of collagen. The cross-links molecules in the telopeptide region of collagen were most likely cleaved, resulting in the increased collagen extraction by enzyme. The dominant amino acids in the ASC collagen were glycine (25.09±0.003%), alanine (13.71±0.075%), and proline (12.15±0.132%) and the PaSC were glycine (26.17±0.029%), alanine (13.56±0.025%), and proline (12.34±0.048%). Glycine, proline, and alanine were the three main constituent amino acids of collagen. The amino acid content of PaSC was higher than ASC. ASC and PaSC of fusilier fish skin had the α1, α2, β and γ protein structure with the molecular weight of 133 (α1), 117 (α2), 194-212
(β), and 251 (γ) KDa for ASC and PaSC were 122 (α1), 112 (α2), 186-203 (β), and 251 (γ) KDa. PaSC had the higher temperature stability (77.05oC) than ASC (67.69oC). The higher of proline in collagen can increased the temperature stability. ASC surface structure by SEM analysis had white fibers on the surface while the collagen PaSC not. That was because the papain enzyme able to breaking down proteins and fibers. The use of the papain enzyme was able to improve the results of yield, amino acids, and temperature stability of collagen compared to collagen ASC, but did not damage the structure of α1, α2, β and γ which was character of collagen, and can break down collagen fibers become smaller. Keywords: alkali, acetic acid, extraction, NaOH
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindingi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EFEKTIVITAS ASAM DAN ENZIM PAPAIN DALAM MENGHASILKAN KOLAGEN DARI KULIT IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning)
IKA ASTIANA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Eng Uju, SPi, MSi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segenap limpahan karunia dan hidayah-Nya, sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan judul Efektivitas Asam dan Enzim Papain dalam Menghasilkan Kolagen dari Kulit Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning). Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains di Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Nurjanah, MS dan Dr Tati Nurhayati, SPi, MSi. sebagai komisi pembimbing, Dr Asadatun Abdullah, SPi, MSM, MSi selaku GKM, Dr Eng Uju, SPi, MSi selaku dosen penguji dan Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan serta Dr Ir Wini Trilaksani, MSc selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Departemen Teknologi Hasil Perairan, atas bimbingan, arahan, dan masukan sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Terimakasih penulis ucapkan kepada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Ditjen Dikti yang telah memberikan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negri (BPP-DN) kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Departemen Teknologi Hasil Perairan, IPB. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua, adik, staf administrasi, laboran, sahabat, dan teman-teman atas segala doa dan dukungannya. Kesempurnaan tesis ini tidak terlepas dari segala kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi civitas IPB dan masyarakat. Bogor, September 2016 Ika Astiana
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Hipotesis Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 2 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian BahandanAlat Metode Penelitian Karakterisasi dan Preparasi Bahan Baku Deproteinasi Kulit Ikan Ekor Kuning Ekstraksi Kolagen Larut Asam (ASC) Kulit Ikan Ekor Kuning Ekstraksi Kolagen Larut Papain (PaSC) Kulit Ikan Ekor Kuning Karakterisasi Fisik dan Kimia Kolagen Larut Asam dan Larut Papain Kulit Ikan Ekor Kuning Pengamatan Analisis kadar air (AOAC 2005) Analisis kadar abu (AOAC 2005) Analisis kadar protein (AOAC 2005) Analisis kadar lemak (AOAC 2005) Analisis logam berat Uji biuret (Gornall et al. 1949) Rendemen (Shyni et al. 2014) Analisis asam amino (AOAC 1995) Analisis termal (Liu et al. 2015) Analisis berat molekul (Singh et al. 2011) Analisis morfologi dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) (modifikasi Siddiqui et al. 2013) Rancangan Percobaan dan Analisis Data 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Morfologi Ikan Ekor Kuning Proporsi Kulit Ikan Ekor Kuning Komposisi Kimia Kulit Ikan Ekor Kuning Kandungan Logam Berat Kulit Ikan Ekor Kuning Konsentrasi Protein pada Larutan NaOH Hasil Perendaman Kulit Ikan Ekor Kuning Ekstrak Kolagen Larut Asam Kulit Ikan Ekor Kuning Ekstrak Kolagen Larut Papain Kulit Ikan Ekor Kuning
1 3 3 3 3 4 5 5 5 5 5 6 6 6 8 8 8 8 9 9 10 10 10 11 12 12 12 14 14 15 16 17 18 20
Karakter Fisikokimia Kolagen Kulit Ikan Ekor Kuning Rendemen Kolagen Kulit Ikan Ekor Kuning Asam Amino Kolagen Kulit Ikan Ekor Kuning Berat Molekul Kolagen Kulit Ikan Ekor Kuning Stabilitas Termal Kolagen Kulit Ikan Ekor Kuning Struktur Permukaan Kolagen Kulit Ikan Ekor Kuning
21 21 23 25 27 28
4 SIMPULAN DAN SARAN
30
5 DAFTAR PUSTAKA
31
LAMPIRAN
37
RIWAYAT HIDUP
43
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6
Komposisi kimia beberapa jenis kulit ikan Kandungan logam berat pada kulit ikan ekor kuning Rendemen kolagen ASC dan PaSC kulit ikan ekor kuning Kandungan asam amino kolagen ASC dan PaSC kulit ikan ekor kuning (residu per 1.000 total asam amino) Berat molekul kolagen dari beberapa jenis ikan Suhu transisi gelas kolagen dari beberapa jenis ikan
15 17 22 24 26 27
DAFTAR GAMBAR 1 Deproteinasi kulit ikan ekor kuning 2 Alur pembuatan kolagen ASC 3 Alur pembuatan kolagen PaSC 4 Ikan ekor kuning (Caesio cuning) 5 Proporsi bagian tubuh ikan ekor kuning 6 Konsentrasi protein dalam larutan NaOH perendaman kulit ikan ekor 7 Kolagen terlarut hasil perendaman kulit ikan ekor kuning pada asam asetat 8 Kolagen terlarut hasil perendaman kulit ikan ekor kuning dengan asam Asetat dan perlakuan konsentrasi enzim papain 0-25.000 U/mg/g kulit 9 Kandungan asam amino kolagen ASC dan PaSC 10 Elektroforesis kolagen kulit ikan ekor kuning 11 Struktur permukaan kolagen ASC dan PaSC 12 Struktur permukaan kolagen komersial
7 7 8 14 15 17 19 20 23 25 29 29
DAFTAR LAMPIRAN 1 Pembuatan larutan standar Bovine Serum Albumin (BSA) konsentrasi 0-1,5 mg/ml
38
2 Kurva regresi linier standar BSA untuk uji biuret larutan NaOH sisa perendaman kulit ikan ekor kuning 3 Hasil uji anova konsentrasi protein larutan NaOH sisa perendaman kulit ikan ekor kuning 4 Hasil uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pengaruh waktu terhadap nilai konsentrasi protein larutan NaOH sisa perendaman kulit ikan ekor kuning 5 Hasil uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pengaruh konsentrasi terhadap nilai konsentrasi protein larutan NaOH sisa perendaman kulit ikan ekor kuning 6 Hasil uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) untuk pengaruh interaksi waktu perendaman dan konsentrasi NaOH terhadap nilai konsentrasi protein larutan NaOH sisa perendaman kulit ikan ekor kuning 7 Hasil uji anova kolagen terlarut perendaman kulit ikan ekor kuning pada asam asetat 8 Hasil uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) untuk pengaruh lama perendaman pada asam asetat terhadap kolagen terlarut kulit ikan ekor kuning 9 Hasil uji anova kolagen terlarut perendaman kulit ikan ekor kuning pada asam asetat dan enzim papain konsentrasi 0 – 25.000 U/mg/g kulit ikan ekor kuning 10 Hasil uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) untuk pengaruh konsentrasi enzim papain 0 –25.000 U/mg/g kulit terhadap kolagen terlarut kulit ikan ekor kuning 11 Pembuatan separating gel 7,5% 12 Pembuatan stacking gel 3% 13 Nilai Rf marker Pre-stained Protein Markers (Broad Range) for SDS-PAGE dari Nacalai Tesque 14 Kurva regresi linier antara RF dan log BM marker Pre-stained Protein Markers (Broad Range) for SDS-PAGE dari Nacalai Tesque 15 Peak analisis DSC kolagen ASC kulit ikan ekor kuning 16 Peak analisis DSC kolagen PaSC kulit ikan ekor kuning
38 38
39
39
39 40
40
40
40 41 41 41 41 42 42
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kolagen memegang peranan penting dalam industri biomedis, farmasi, makanan, dan kosmetik (Kim dan Mendis 2006). Kolagen memiliki fungsi biologis dalam pembentukan jaringan dan organ serta terlibat dalam pembelahan, pertahanan, dan diferensiasi sel. Fungsi biologis tersebut yang menyebabkan penggunaan kolagen dalam industri, khususnya dalam bidang medis, berkembang sangat pesat. Aplikasi kolagen pada bidang farmasi banyak digunakan untuk implantasi, pengobatan kanker, dan penghantar obat (Bareil et al. 2010). Pemanfaatan kolagen dalam bidang kosmetik digunakan untuk perawatan antipenuaan dini (Silva et al. 2013), produk perawatan kulit dan make up dalam bentuk lotion, gel, maupun bubuk (Secchi 2008). Kolagen memiliki kemampuan untuk memberikan sifat elastis pada kulit dan dapat mengurangi keriput yang terjadi sebagai efek dari penuaan. Kolagen pada kosmetik jika digunakan pada kulit wajah akan mampu menahan air sehingga membuat kulit wajah tetap dalam keadaan lembab (Bareil et al 2010; Kumar et al. 2011; Secchi 2008). Kolagen memiliki karakter yang mudah diserap dalam tubuh, memiliki sifat tidak beracun, afinitas dengan air tinggi, biocompatible, biodegradable, relatif stabil, dapat disiapkan dalam berbagai bentuk sesuai kebutuhan, dan mudah dilarutkan sehingga pemanfaatannya dalam bidang industri berkembang pesat (Lee et al. 2001). Kolagen merupakan salah satu protein yang banyak terdapat pada kulit, tulang, dan gigi makhluk hidup. Kolagen merupakan protein struktural utama dari jaringan ikat pada tubuh hewan vertebrata dengan kandungan mencapai 30% dari total protein tubuh (Friess 1998). Kolagen terdiri dari tiga rantai polipeptida besar dan berulang. Komposisi asam amino dari kolagen didominasi oleh glisina, prolina, hidroksiprolina, dan alanina. Komposisi asam amino dan karakter fisikokimia kolagen sangat bervariasi dan tergantung pada jaringan (Hema et al. 2013). Kolagen merupakan komponen struktural utama jaringan ikat putih (white connective tissue) yang meliputi hampir 30% total protein pada tubuh. Kolagen yang telah diidentifikasi ada 21 tipe, yaitu tipe I sampai XXI (Gelse et al. 2003). Tipe kolagen yang teridentifikasi pada ikan hanya tipe I dan V. Kolagen tipe I terdapat pada kulit, tulang, dan sisik ikan (Nagai dan Suzuki 2000), sementara kolagen tipe V terdapat pada jaringan ikat dalam kulit, tendon dan otot ikan yang juga mengandung kolagen tipe I (Sato et al. 1989). Ikan merupakan salah satu biota yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku penghasil kolagen. Kolagen yang bersumber dari kulit dan tulang ikan memiliki struktur molekul yang lebih kecil dibandingkan dengan kolagen yang terbuat dari sapi atau babi sehingga lebih mudah untuk diserap (Kumar et al. 2011). Limbah dari organisme perairan yaitu tulang, jeroan, dan sisik ikan diketahui banyak mengandung kolagen. Limbah yang dihasilkan pada saat pengolahan ikan dapat mencapai 20-60% dari bahan baku. Limbah berupa kulit dan tulang ikan mencapai 30% dari limbah tersebut dengan kandungan kolagen yang tinggi (Guillen et al. 2002). Pemanfaatan limbah industri perikanan menjadi suatu produk yang bernilai jual akan meningkatkan pendapatan serta mengurangi
2
limbah industri. Berdasarkan penelitian Wang et al. (2008) limbah perikanan berupa kulit memiliki kandungan kolagen yang lebih tinggi dibandingkan limbah lain yaitu tulang dan sisik. Kulit ikan dilaporkan mengandung kolagen dengan nilai rendemen yang bervariasi antara 5–30% tergantung dari jenis ikan, bahan pengekstrak, dan teknik ekstraksi kolagen (Friess 1988; Potaros et al. 2009; Singh et al. 2011). Kolagen dari tulang dan sisik ikan berkisar antara 0,3% sampai 10% (Matmaroh et al. 2011; Wang et al. 2008; Wang et al. 2013). Setiap ikan memiliki kandungan kolagen dan sifat fisikokimia yang berbeda-beda berdasarkan sumber dan cara ekstraksi. Karim dan Bhat (2009) menyatakan bahwa kolagen dapat diekstrak secara kimiawi maupun kombinasi antara proses kimiawi dan enzimatis. Ekstraksi kolagen secara kimiawi dapat dilakukan dengan proses asam. Proses asam cocok digunakan untuk bahan baku yang memiliki sedikit ikatan silang, misalnya babi dan kulit ikan. Asam organik yang banyak digunakan dalam ektraksi kolagen adalah asam asetat. Asam asetat memiliki kemampuan mengekstrak kolagen yang tinggi (Liu et al. 2015). Enzim yang sering digunakan dalam ekstraksi kolagen adalah enzim pepsin. Enzim pepsin memiliki kelemahan yaitu enzim pepsin komersial yang beredar di pasaran berasal dari babi sehingga tidak dapat digunakan oleh umat muslim berkaitan dengan kehalalannya, sedangkan enzim pepsin yang berasal dari sapi sulit dicari dan mahal. Enzim papain merupakan salah satu jenis enzim proteolitik yang dapat digunakan untuk mengekstrak kolagen selain pepsin. Enzim papain komersil murah dan mudah didapatkan di pasaran serta berlabel halal karena sumber bahan bakunya yang berasal dari buah pepaya. Berdasarkan penelitian Jamilah et al. (2013), penggunaan enzim papain dapat mengekstrak kolagen dari kulit ikan kakap dengan rendemen sebesar 44% (bk) sedangkan menggunakan enzim pepsin menghasilkan rendemen sebesar 43.6% (bk). Rendemen kolagen kulit ikan menggunakan asam berbeda-beda jumlahnya tergantung jenis ikan. Rendemen kolagen larut asam kulit ikan patin (Pangasianodon hypophthalmus) sebesar 5.1% (bb) (Singh et al. 2011), ikan nila hitam (Oreochromis niloticus) sebesar 5.96% (bb) (Putra et al. 2013), ikan rainbow trout (Onchorhynchus mykiss) sebesar 9.48% (bb) (Tabarestani et al. 2012), tuna (Thunnus alalunga) sebesar 13.97% (bb), hiu (Scoliodon sorrakowah) sebesar 8.96% (bb), dan ikan rohu (Labeo rohita) sebesar 4.13% (bb) (Hema et al. 2013). Proses ekstraksi yang berbeda akan menghasilkan kolagen dengan karakter yang berbeda sesuai dengan kelarutannya. Penelitian dilakukan untuk mempelajari metode ekstraksi yang sesuai untuk menghasilkan kolagen yang terbaik serta mengidentifikasi karakter fisikokimia berdasarkan metode ekstraksi yang berbeda. Karakter fisiko kimia akan menentukan kualitas dari kolagen. Salah satu bahan kulit ikan yang berpotensi digunakan sebagai sumber kolagen adalah kulit ikan ekor kuning (Caesio cuning). Penelitian mengenai kandungan kolagen dari kulit ikan ekor kuning sampai saat ini belum dilaporkan. Ikan ekor kuning merupakan ikan laut yang hidup di perairan hangat di wilayah Indo-Pasifik dengan hamparan terumbu karang (Carpenter 1987). Ikan ekor kuning merupakan salah satu komoditi utama di Indonesia. Berdasarkan KKP (2014) ikan ekor kuning termasuk kedalam 17 besar hasil tangkapan terbesar pada tahun 2013. Volume produksi ikan ekor kuning selama kurun waktu tahun 2008 sampai 2013 mengalami peningkatan sebesar 7.41% yaitu dari 56.040 ton pada
3
tahun 2008 menjadi 77.071 ton pada tahun 2013 (KKP 2014). Daging ikan ekor kuning banyak dipasarkan dalam bentuk fillet maupun sebagai bahan dasar dalam pembuatan bakso, nugget, maupun makanan olahan lainnya. Limbah kulit ikan ekor kuning ini biasanya digunakan sebagai bahan baku pembuatan kerupuk atau penyamakan. Pengolahan kulit ikan ekor kuning untuk menjadi kolagen merupakan salah satu alternatif dalam pemanfaatan limbah. Perumusan Masalah Ekstraksi kolagen biasa dilakukan menggunakan asam asetat, akan tetapi rendemen hasil ekstraksi lebih kecil dibandingkan menggunakan kombinasi asam asetat dan enzim. Kandungan dan karakter kolagen berbeda-beda sesuai dengan jenis ikan, bahan pengekstrak, dan metode ekstraksi. Belum ada penelitian mengenai optimasi konsentrasi enzim papain dalam pembuatan kolagen dari kulit ikan ekor kuning. Penggunaan konsentrasi yang tidak tepat dapat menurunkan kualitas dari kolagen yang dihasilkan. Penelitian mengenai optimasi waktu dan konsentrasi ekstraksi kolagen menggunakan asam dan kombinasi antara asam dan enzim papain perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil terbaik. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menentukan waktu dan konsentrasi pretreatment NaOH, asam asetat, dan konsentrasi enzim papain yang optimal serta menentukan rendemen, karakter fisikokimia kolagen terbaik dari kulit ikan ekor kuning. Hipotesis
1. 2. 3. 4.
Hipotesis dari penelitian ini adalah: Kulit ikan ekor kuning dapat dimanfaatkan sebagai sumber kolagen. Perbedaan konsentrasi dan waktu perendaman NaOH berpengaruh terhadap eliminasi protein non kolagen. Perbedaan metode ekstraksi berpengaruh terhadap rendemen, sifat fisik dan kimia kolagen. Penambahan enzim papain akan meningkatkan rendemen dan mutu kolagen dari kulit ikan ekor kuning. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini diantaranya: 1. Memberikan solusi bagi permasalahan limbah industri pengolahan. 2. Memberikan nilai tambah limbah industri pengolahan terutama untuk jenis ikan ekor kuning. 3. Memberikan informasi mengenai rendemen, serta karakter fisikokimia kolagen larut asam dan larut enzim papain dari ikan ekor kuning.
4
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini meliputi empat tahap penelitian, yaitu: 1. Preparasi kulit ikan ekor kuning, proporsi kulit, analisis kualitas bahan baku berupa uji logam berat dan uji proksimat. 2. Optimasi deproteinase protein non kolagen kulit ikan ekor kuning dengan NaOH. 3. Optimasi ekstraksi kolagen kulit ikan ekor kuning dengan asam asetat dan kombinasi asamasetat dan enzim papain. 4. Karakterisasi sifat fisiko kimia dan rendemen kolagen larut asam dan kolagen larut papain.
5
2 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2015 sampai bulan Januari 2016. Preparasi dan pembuatan kolagen dilakukan di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan IPB, Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Laboratorium Bidang Botani dan Mikrobiologi LIPI Cibinong; analisis asam amino di Laboratorium Saraswanti Indo Genetech; analisis berat molekul dengan SDS-PAGE di Laboratorium Terpadu Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB; analisis termal di Laboratorium Pengolahan Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB; dan analisis struktur permukaan dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) di Laboratorium Pasca Panen Bogor. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah kulit ikan ekor kuning yang diperoleh dari Muara Angke Jakarta Utara. Bahan-bahan yang digunakan untuk ekstraksi kolagen terdiri dari NaOH serbuk (Merck), asam asetat (CH3COOH) (Merck), enzim papain dengan aktivitas 30,000 USP-U/mg (Merck), dan akuades. Bahan-bahan lain meliputi bahan untuk analisis karakter kolagen. Peralatan yang digunakan untuk ekstraksi kolagen yaitu spektrofotometer UV-VIS (Hitachi U-2800), sentrifuse (Himac CR 21G), stirrer (Mag-Mixer Yamato Scientific. Co. Ltd Tokyo Japan), dan freeze dryer (Eyela FDU-1200 Japan). Alat-alat yang digunakan untuk analisis yaitu Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) (AA6300 Shimadzu Japan), High Performance Liquid Chromatography (HPLC) (Water Coorporation USA), Scanning Electron Microscopy (SEM) (JEOL JSM-6360-LA), dan Differential Scanning Calorimetry (DSC) (Shimadzu Japan). Metode Penelitian Karakterisasi dan Preparasi Bahan Baku Kulit ikan ekor kuning yang digunakan dikarakterisasi terlebih dahulu dengan melakukan pengukuran morfologi untuk mendapatkan bahan baku yang seragam, perhitungan rendemen, analisis komposisi kimia berupa kadar air, abu, lemak, protein, dan analisis logam berat. Sampel yang digunakan dalam ekstraksi kolagen dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan kotoran yang menempel. Kulit ikan ekor kuning dipotong kecil-kecil dengan dimensi 0.5 x 0.5 cm2. Deproteinasi Kulit Ikan Ekor Kuning Proses deproteinasi bertujuan untuk menghilangkan protein non kolagen menggunakan NaOH. Kulit ikan ekor kuning direndam dalam larutan NaOH 0.05; 0.1; 0.15 M dengan perbandingan 1:10 (w/v) pada waktu perendaman sampai 10 jam. Larutan alkali diganti setiap 2 jam pada suhu 10oC (Modifikasi Tabarestani et al. 2012). Sampel kemudian dicuci dengan air dingin hingga pH netral. NaOH
6
sisa perendaman kulit ikan diuji kandungan protein non kolagennya dengan uji biuret untuk menentukan konsentrasi dan waktu terbaik untuk perendaman kulit. Ekstraksi Kolagen Larut Asam (ASC) Kulit Ikan Ekor Kuning Sampel yang telah dideproteinasi diekstrak menggunakan asam asetat (CH3COOH). Ekstraksi kolagen larut asam dilakukan dengan merendam sampel yang telah dideproteinasi dengan asam asetat 1:30 (b/v) dengan konsentrasi 0.3; 0.5; dan 0.7 M selama 24, 48, dan 72 jam (Modifikasi Tabarestani et al. 2012). Sampel disaring menggunakan saringan kain. Supernatan kemudian diendapkan menggunakan NaCl 2.6 M. Hasil presipitasi dengan NaCl 2.6 M dipisahkan dengan sentrifugasi kecepatan 20,000 g selama 1 jam. Pelet hasil sentifugasi dilarutkan ke dalam asam asetat 0.3 M 1:2 (w/v) kemudian didialisis menggunakan kantong dialisis 12 KDa terhadap akuades. Pelet selanjutnya dikeringkan dengan freeze dryer untuk memperoleh kolagen dalam bentuk serbuk dan dihitung rendemennya. Ekstraksi Kolagen Larut Papain (PaSC) Kulit Ikan Ekor Kuning Hasil ekstraksi dari perlakuan asam asetat terbaik digunakan dalam metode ekstraksi enzim papain. Sampel yang telah dideproteinasi, dihidrolisis menggunakan asam asetat 1:30 (b/v) dengan konsentrasi dan waktu perendaman terbaik kemudian ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi 0; 5,000; 10,000; 15,000; 20,000; dan 25,000 U/mg/g kulit, kemudian dilanjutkan dengan konsentrasi enzim papain 0; 3,000; 5,000; 7,000; 9,000 U/mg/g kulit (Modifikasi Jamilah et al. 2013). Supernatan kemudian diendapkan menggunakan NaCl 2.6 M. Hasil presipitasi dengan NaCl 2,6 M dipisahkan dengan sentrifugasi kecepatan 20,000 g selama 1 jam. Pelet dilarutkan kedalam asam asetat 0.3 M 1:2 (w/v), kemudian didialisis menggunakan kantong dialisis 12 KDa terhadap akuades. Pelet selanjutnya dikeringkan dengan freeze dryer untuk memperoleh kolagen dalam bentuk serbuk dan dihitung rendemennya. Alur proses ekstraksi kolagen dari kulit ikan ekor kuning dapat dilihat pada Gambar 1. Karakterisasi Fisik dan Kimia Kolagen Larut Asam dan Larut Papain Kulit Ikan Ekor Kuning Karakterisasi kolagen dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui mutu fisiko-kimia kolagen yang dihasilkan. Karakter fisik yang diamati antara lain analisis termal dengan Differential Scanning Calorimetry (DSC) (Liu et al. 2015) dan struktur permukaan dengan SEM (modifikasi Siddiqui et al. 2013) sedangkan karakter kimia yang diamati meliputi asam amino dengan HPLC (AOAC 1995), dan berat molekul dengan SDS-PAGE (Singh et al. 2011)
7
Morfologi Rendemen kulit Proksimat Logam berat
Kulit ikan ekor kuning Pemotongan 0.5 x 0.5 cm2 Deproteinasi dalam larutan NaOH dengan rasio 1:10 (w/v), konsentrasi NaOH 0.05; 0.1; 0.15 M sampai 10 jam*, setiap 2 jam larutan diganti
Kulit sisa perendaman
Larutan NaOH sisa perendaman
Uji biuret
Pencucian sampai dengan pH netral Kulit hasil deproteinasi
Gambar 1 Deproteinasi kulit ikan ekor kuning (modifikasi Tabarestani et al. 2012*) Kulit hasil deproteinasi
Ekstraksi dalam larutan CH3COOH dengan rasio 1:30 (w/v), konsentrasi CH3COOH 0.3; 0.5; dan 0.7 M selama 24, 48, dan 72 jam*
Penyaringan dengan saringan kain
Residu
Presipitasi dengan NaCl 2.6 M
Sentrifugasi 20,000 g selama 1 jam
Supernatan
Pelet dilarutkan dalam 0.3 M asam asetat 1:2 (b/v), didialisis dengan kantong dialisis 12 kDa terhadap akuades
Kolagen larut asam
Rendemen Asam amino Berat molekul Analisis termal SEM
Gambar 2 Alur pembuatan kolagen ASC (modifikasi dari Tabarestani et al. 2012*)
8
Kulit hasil deproteinasi
Hidrolisis CH3COOH konsentrasi dan waktu terbaik rasio 1:30 (w/v) dan enzim papain dengan konsentrasi 0; 1,000; 3,000; 5,000; 7,000; 9,000; 10,000; 15,000; 20,000; dan 25,000 U/mg/g kulit**
Penyaringan dengan saringan kain
Residu
Presipitasi dengan NaCl 2.6 M
Sentrifugasi 20,000 g selama 1 jam
Supernatan
Pelet dilarutkan dalam 0.3 M asam asetat 1:2 (b/v), didialisis dengan kantong dialisis 12 kDa terhadap akuades Kolagen larut papain
Rendemen Asam amino Berat molekul Analisis termal SEM
Gambar 3 Alur pembuatan kolagen PaSC (modifikasi dari Tabarestani et al. 2012*)
Pengamatan Rendemen (Shyni et al. 2014) Rendemen kulit diperoleh dari perbandingan berat kulit (yang telah dibersihkan dari sisa daging dan sisik) dengan berat total tubuh ikan (Shyni et al. 2014). Rendemen dapat diperoleh dengan rumus:
Analisis kadar air (AOAC 2005) Cawan porselin yang sudah dioven dengan suhu 105oC selama satu jam dimasukkan dalam desikator (30 menit) dan ditimbang (A). Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan A. Cawan berisi sampel dimasukkan dalam oven dengan suhu 105oC selama 5-6 jam. Cawan dimasukkan dalam desikator (30 menit) kemudian ditimbang (C). Kadar air dihitung dengan rumus:
9
Keterangan:
A = Berat cawan kosong (g) B = Berat cawan yang diisi dengan sampel (g) C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (g)
Analisis kadar abu (AOAC 2005) Cawan porselin yang sudah dioven dengan suhu 105oC selama satu jam dan dimasukkan dalam desikator (30 menit) ditimbang (A). Sampel sebanyak 5 g (C) dimasukkan ke dalam cawan A. Cawan berisi sampel dibakar sampai tidak berasap dan dimasukkan ke dalam tanur dengan suhu 600 oC selama 7 jam. Cawan hasil pengabuan dimasukkan dalam desikator (30 menit) kemudian ditimbang (B). Kadar abu dihitung dengan rumus:
Keterangan:
A = Berat cawan abu porselen kosong (g) B = Berat cawan abu porselen + sampel setelah dikeringkan (g) C = Berat sampel (g)
Analisis kadar protein (AOAC 2005) Sampel sebanyak 0,5 g dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl, dan ditambah sebutir kjeltab dan 10 mL H2SO4. Labu yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410oC dan ditambahkan air 10 mL. Proses ini dilakukan sampai larutan menjadi jernih. Larutan yang telah jernih didinginkan, kemudian ditambahkan 50 mL akuades dan 20 mL NaOH 40% dan didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer berisi 25 mL asam borat (H3BO3) 2% yang mengandung indikator campuran dari bromcresol green 0.1% dan methyl red 0.1% dengan perbandingan 2:1. Destilasi dilakukan dengan menambahkan 50 mL larutan NaOH-Na2S2O3 ke dalam alat destilasi hingga tertampung 40 mL, destilat di dalam erlenmeyer dengan hasil destilat berwarna hijau kebiruan. Destilat yang dihasilkan dititrasi dengan HCl 0.1004 N sampai warna larutan menjadi merah muda. Volume titran dicatat. Perhitungan kadar protein adalah sebagai berikut:
% Protein = % Nitrogen x faktor konversi (6.25) Analisis kadar lemak (AOAC 2005) Labu lemak yang digunakan dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 oC, dimasukkan dalam desikator (30 menit) dan ditimbang (W1). Sampel sebanyak 5 g (W2), dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (sokhlet) yang telah berisi pelarut heksan. Proses reflux dilakukan sampai larutan dan pelarut yang ada di dalam labu lemak berwarna jernih. Pelarut didestilasi sampai habis selanjutnya labu lemak hasil ekstraksi dioven pada suhu 105ºC
10
hingga beratnya konstan, dimasukkan dalam desikator dan ditimbang (W3). Kadar lemak dihitung dengan rumus:
Keterangan:
W1 = Berat labu lemak kosong (g) W2 = Berat sampel (g) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (g)
Analisis logam berat Kandungan logam berat (Hg, Pb, dan As) dianalisis menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). Metode analisis logam berat didasarkan pada SNI 01-2354.6-2006 untuk Hg (BSN 2006a), SNI 01-2354.7-2006 untuk Pb (BSN 2006b), dan SNI 01-4866-1998 untuk As (BSN 1998). Penentuan kandungan logam berat terbagi atas tiga tahap, yaitu destruksi, pembacaan absorban contoh, dan perhitungan kandungan logam berat. a. Tahap destruksi Sampel sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 100 mL, kemudian ditambahkan 5 mL HNO3, dan kemudian didiamkan selama 1 jam pada suhu ruang di ruang asam. Sampel dipanaskan di atas hot plate dengan temperatur rendah selama 4-6 jam, kemudian dibiarkan 24 jam dengan kondisi tertutup. Sampel ditambah dengan 0.4 mL H2SO4 dan dipanaskan kembali selama 1 jam diatas hot plate sampai larutan berkurang (lebih pekat). Selama proses pemanasan berlangsung ditambahkan 2-3 tetes larutan HClO4 : HNO3 (2:1) ke dalam sampel sampai terjadi perubahan warna dari coklat menjadi kuning tua dan menjadi kuning muda. Pemanasan masih terus dilajutkan sekitar 10-15 menit setelah terjadi perubahan warna. Sampel diangkat dan didinginkan, kemudian ditambah 2 mL akuades dan 0.6 mL HCl. Sampel dipanaskan kembali selama 15 menit. Sampel disaring dengan kertas saring untuk memisahkan endapan yang terbentuk. Sampel siap untuk dianalisis kandungan logam beratnya dengan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). b. Pembacaan absorban Pembacaan absorbansi logam berat Hg dilakukan dengan spektrofotometer penyerapan atom pada panjang gelombang 253.7 nm, logam berat Pb ditentukan dengan spektrofotometer graphite furnace-argon pada panjang gelombang 228.8 nm dan logam berat As ditentukan dengan lampu katode As dengan panjang gelombang 193.7 nm. Absorbansi larutan blanko dan larutan standar untuk masing-masing logam berat juga diukur dengan cara yang sama. c. Perhitungan Konsentrasi logam berat sampel dihitung berdasarkan kurva regresi linier dari standar masing-masing logam berat. Selanjutnya kadar logam berat dihitung dengan rumus: Keterangan: D : kadar contoh μg/L dari hasil pembacaan AAS E : kadar blanko contoh μg/L dari hasil pembacaan AAS W : berat contoh (g)
11
V Fp
: volume akhir larutan contoh yang disiapkan (mL) : faktor pengencer
Uji biuret (Gornall et al. 1949) Uji biuret dilakukan untuk menentukan konsentrasi protein suatu sampel dengan Bovine Serum Albumin (BSA) sebagai standar. Pereaksi biuret yang digunakan dibuat dengan mencampurkan sebanyak 3 g CuSO4.5H2O, 9 g Na-Ktartat, dan 5 g KI dalam 1,000 mL larutan NaOH 0.2 M. Sampel sebanyak 4 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan pereaksi Biuret sebanyak 6 mL dan dibiarkan pada suhu kamar selama 30 menit atau diinkubasi pada suhu 37oC selama 10 menit sampai warna ungu terbentuk sempurna. Pengukuran absorbansi campuran dilakukan pada panjang gelombang 520 nm. Prosedur pengukuran absorbansi larutan standar BSA dilakukan dengan cara yang sama seperti larutan sampel dengan konsentrasi BSA 0-1.5 mg/mL dari larutan stok BSA 5 mg/mL. Nilai absorbansi yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam kurva standar untuk menentukan konsentrasi protein yang terkandung dalam sampel uji. Rendemen (Shyni et al. 2014) Rendemen kolagen diperoleh dari perbandingan berat kering kolagen yang dihasilkan dengan berat bahan kulit (yang telah dibersihkan dari sisa daging dan sisik) (Shyni et al. 2014). Rendemen dapat diperoleh dengan rumus:
Analisis asam amino (AOAC 1995) Komposisi asam amino ditentukan dengan High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Analisis asam amino menggunakan HPLC terdiri atas 4 tahap, yaitu (1) pembuatan hidrolisat protein; (2) pengeringan; (3) derivatisasi; dan (4) injeksi serta analisis asam amino. a. Tahap pembuatan hidrolisat protein Sampel ditimbang sebanyak 0.2 g dihancurkan. Larutan sampel ditambah HCl 6 N sebanyak 5-10 mL, dipanaskan dalam oven pada suhu 100oC selama 24 jam. Proses pemanasan dilakukan untuk menghilangkan gas atau udara yang ada pada sampel agar tidak mengganggu kromatogram yang dihasilkan dan untuk mempercepat reaksi hidrolisis. b. Tahap pengeringan Hidrolisat protein ditambah dengan 30 μL larutan pengering. Larutan pengering dibuat dari campuran antara metanol, natrium asetat, dan trietilamin dengan perbandingan 2:2:1. Proses pengeringan dibantu menggunakan gas nitrogen untuk mempercepat pengeringan dan mencegah oksidasi. c. Tahap derivatisasi Sebanyak 30 μL larutan derivatisasi ditambahkan pada hasil pengeringan. Larutan derivatisasi dibuat dari campuran antara larutan metanol, pikotiosianat, dan trietilamin dengan perbandingan 3:3:4. Proses derivatisasi dilakukan agar detektor mudah untuk mendeteksi senyawa yang ada pada sampel, derivate diencerkan dengan cara menambahkan 10 mL asetonitril 60% atau buffer fosfat
12
0.1 M lalu dibiarkan selama 20 menit. Hasil pengenceran disaring kembali menggunakan milipor berukuran 0.45 mikron. d. Injeksi ke HPLC Hasil saringan diambil sebanyak 20 μL untuk diinjeksikan ke dalam HPLC. Penghitungan konsentrasi asam amino dilakukan dengan cara membandingkan kromatogram sampel dengan standar. Pembuatan kromatogram standar menggunakan asam amino yang mengalami perlakuan yang sama dengan sampel. Kandungan masing-masing asam amino pada bahan dapat dihitung dengan rumus:
Keterangan: C : konsentrasi standar asam amino FP : faktor pengenceran BM : bobot molekul dari masing-masing asam amino Kondisi alat HPLC saat berlangsungnya analisis asam amino: Merek : waters coorporation, USA Kolom : accqtag column (3.9 x 150 mm) Temperatur : 37 oC Fase gerak : acetonitril 60% - Accqtag Eluent A, sistem komposisi gradien Laju alir : 1 mL per menit Detektor : fluorescense, eksitasi = 250 nm, emisi = 395 nm Volume penyuntikan : 5 μL Nama standar : Amino acid standard produksi Thermo Scientific Analisis termal (Liu et al. 2015) Analisis termal menggunakan Differential Scanning Colorimetry (DSC) yang terlebih dahulu dikalibrasi pada suhu dan entalpi menggunakan indium. Kolagen dilarutkan dalam asam asetat 0.05 M dengan ratio antara kolagen dan larutan asam asetat 1:40 (w/v) pada suhu 4oC. Sampel direhidrasi (10±0,5 mg) dan ditutup rapat dan discan dari suhu 20-200oC pada tingkat pemanasan 10oC/menit. Suhu transisi maksimum (T max) terlihat dari termogram, sedangkan total denaturasi entalpi (ΔH) ditentukan dengan mengukur daerah DSC termogram. Analisis berat molekul (Singh et al. 2011) Sampel kering sebanyak 2 mg dilarutkan dalam 1 ml Sodium Dodecyl Sulfate (SDS) 5% dan campuran diinkubasi pada suhu 85oC selama 1 jam dalam water bath yang suhunya terkontrol. Campuran disentrifugasi pada 4,000 g selama 5 menit pada suhu kamar. Supernatan yang diperoleh dicampur dengan bufer (Tris HCl 60 mM, pH 6.8 mengandung 2% SDS dan 25% gliserol) dengan rasio 1:1 (v/v) dan mengandung 10% β-merkaptoetanol (β-ME). Campuran dipanaskan dalam air mendidih selama 2 menit. Sebanyak 5 μL sampel dimasukkan ke dalam gel polyacrylamide yang terdiri dari 7.5% running gel dan 3% stacking gel dan dielektroforesis pada arus konstan 15 mA/gel selama 3 jam. Setelah elektroforesis selesai, gel distaining dengan 0.05% (b/v) coomassie blue R-250 dalam 15% (v/v) metanol dan 5% (v/v) asam asetat selama 3 jam, kemudian sampel destaining dengan campuran 30% (v/v) metanol dan 10% (v/v) asam asetat selama 2 jam.
13
Berat molekul protein sampel diperkirakan berdasarkan berat molekul marker. Marker yang digunakan adalah Pre-stained Protein Markers (Broad Range) for SDS-PAGE dari Nacalai Tesque dengan berat molekul 8.8 KDa sampai 192 KDa. Analisis morfologi dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) (modifikasi Siddiqui et al. 2013) Sampel diletakkan pada specimen holder yang dilapisi double sticky tape, kemudian dibersihkan dengan hand blower untuk menghilangkan debu-debu pengotor. Sampel selanjutnya dimasukkan ke dalam specimen chamber pada mesin SEM untuk dilakukan pemotretan pada perbesaran 50 kali sampai 1.000 kali dengan jarak kerja 6-10 mm pada 4.0-5.0 kV. Sumber elektron dipancarkan menuju sampel untuk memindai permukaan sampel, kemudian konduktor akan memantulkan elektron ke detektor pada mikroskop SEM. Hasil pemindaian akan diteruskan ke lensa detektor. Rancangan percobaan dan analisis data Rancangan percobaan yang digunakan pada tahap deproteinasi dengan larutan NaOH dan proses hidrolisis dengan asam asetat (CH3COOH) menggunakan Rancangan Acak Lengkap in Time (RAL in Time) dan enzim papain menggunakan Rancangan Acak Lengkap. Adapun model Rancangan Acak Lengkap in Time adalah sebagai berikut: Yijk = μ + τi + βj+ (τ β)ij + εijk Keterangan: Yijk = respon pengaruh perlakuan konsentrasi asam asetat ke-i dan lama perendaman ke-j pada ulangan ke-k μ = nilai tengah umum τi = pengaruh konsentrasi asam asetat ke-i βj = pengaruh lama waktu perendaman ke-j (τβ)ij = pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi asam asetat ke-i dengan lama waktu perendaman ke-j εijk = faktor galat Adapun model Rancangan Acak Lengkap adalah sebagai berikut: Yij = μ + τi + εij Keterangan: i = 1,2,3 ; j = 1,2,3 Yij = respon pengaruh perlakuan ke-i ulangan ke-j μ = nilai tengah umum τi = pengaruh perlakuan ke-i εij = pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j Data hasil penelitian yang diperoleh akan dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA) dan jika terdapat beda nyata antara taraf perlakuan maka dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kepercayaan 95%.
14
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Morfologi Ikan Ekor Kuning Ikan ekor kuning (Caesio cuning) merupakan ikan laut yang hidup di perairan hangat di wilayah Indo-Pasifik dengan hamparan terumbu karang. Jenis ikan ini dikenal sebagai perenang cepat dan termasuk ikan diurnal. Ikan ekor kuning biasanya membentuk kelompok yang besar dan dapat ditemui di kedalaman 1-60 m (Carpenter 1987). Ciri morfologi dari ikan ini menurut Saanin (1984) yaitu memiliki bentuk badan memanjang, melebar, dan gepeng. Memiliki warna perak pada badannya, warna kuning pada punggung sampai ekor, serta warna kemerahan di bagian perut. Ikan ini memiliki sisik yang menutupi tubuhnya. Sirip punggung memiliki 10 jari-jari keras dan 15 jari-jari lemah. Sirip dubur memiliki 3 jari-jari keras dan 11 jari-jari lemah. Ikan ekor kuning disajikan pada Gambar 2. Klasifikasi ikan ekor kuning menurut Saanin (1984) yaitu: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii Orde : Perciformes Famili : Caesionidae Genus : Caesio Spesies : Caesio cuning
Gambar 4 Ikan ekor kuning (Caesio cuning) Ikan ekor kuning yang digunakan pada penelitian ini memiliki size 3-4. Size 3-4 ini menunjukkan bahwa dalam 1 kg terdapat 3-4 ekor ikan. Berat ratarata ikan yang digunakan yaitu 292.03±16.21 g dengan panjang rata-rata 27.07±0.78 cm dan lebar rata-rata 8.93±0.35 cm. Proporsi Kulit Ikan Ekor Kuning Ikan ekor kuning merupakan ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Ikan ini banyak dipasarkan dalam bentuk utuh maupun dalam bentuk fillet. Bagian tubuh yang dapat dimanfaatkan dari ikan ini adalah daging, kulit, jeroan, tulang, dan sisik. Ikan ekor kuning yang digunakan pada penelitian ini hanya bagian kulitnya saja. Proporsi bagian tubuh ikan ekor kuning disajikan pada Gambar 3.
15
daging 49 2.05%
lain-lain 48 2.07%
kulit 3 0.13%
Gambar 5 Proporsi bagian tubuh ikan ekor kuning Proporsi digunakan untuk memperkirakan bagian dari bobot tubuh yang dapat dimanfaatkan. Proporsi ini merupakan parameter penting untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektivitas suatu produk sebagai bahan baku. Perhitungan proporsi didapatkan dengan membandingkan berat masing-masing bagian tubuh dengan bobot totalnya. Proporsi daging, kulit, dan lain-lain (tulang, sisik, dan jeroan) dari ikan ekor kuning yang digunakan berturut-turut adalah 49±2.05%; 3±0.13%; dan 48±2.07%. Hal ini menunjukkan bahwa dalam 1 kg ikan, kulit ikan yang dapat dimanfaatkan untuk sumber bahan baku kolagen adalah 30 g. Proporsi kulit ikan dibandingkan dengan daging, jeroan serta tulang dan sisik memiliki presentase yang paling kecil, akan tetapi memiliki nilai ekonomis yang tinggi apabila diolah dengan tepat. Proporsi kulit ikan ekor kuning ini lebih rendah dari kulit ikan nila 5.12% (Eryanto 2006), kulit ikan lele dumbo 6.06% (Erlangga 2009), dan kulit serta sisik ikan kakap 4% (Jacoeb et al. 2015). Proporsi kulit ikan berbeda-beda sesuai dengan karakternya. Kulit ikan tidak bersisik memiliki proporsi kulit yang lebih besar dibandingkan kulit ikan bersisik sebagai perlindungan tubuh dari lingkungan. Komposisi Kimia Kulit Ikan Ekor Kuning Bahan baku memiliki komposisi kimia tertentu yang menyusunnya. Jumlah komposisi kimia pada bahan baku perlu diketahui untuk pemanfaatan dan pengembangan bahan makanan tersebut serta menentukan metode ekstraksi yang tepat. Komposisi kimia kulit ikan ekor kuning dapat dilihat pada Tabel 1. Ikan dikenal sebagai sumber protein yang tinggi. Kolagen merupakan produk turunan dari protein sehingga kandungan protein di dalam kulit ikan sangat penting. Kadar protein kulit ikan ekor kuning adalah 17.87± 0.14%. Nurjanah dan Abdullah (2010) menyatakan bahwa nilai protein yang terkandung dalam ikan berkisar antara 15-25%. Kandungan protein dari kulit ikan ekor kuning ini lebih rendah dibandingkan kulit ikan hiu, kulit ikan rohu, kulit ikan tuna, kulit ikan mata besar, kulit ikan balon, dan kulit ikan nila (Hema et al. 2013; Huang et al. 2011; Kittiphattanabawon et al. 2005; Muyonga et al. 2004). Kulit ikan ekor kuning memiliki kandungan lemak sebesar 1.17±0.05%. Kandungan lemak kulit ikan ekor kuning lebih tinggi dibandingkan kulit ikan hiu dan kulit ikan balon tetapi lebih kecil dibandingkan kulit ikan rohu, kulit ikan tuna, kulit ikan mata besar, dan kulit ikan nila (Hema et al. 2013; Huang et al.
16
2011; Kittiphattanabawon et al. 2005; Muyonga et al. 2004). Sun (2006) mengelompokkan ikan berdasarkan kandungan lemaknya yaitu ikan berlemak rendah dengan kandungan lemak kurang dari 2%, ikan lemak sedang dengan kandungan lemak antara 2-5%, dan ikan berlemak dengan kandungan lemak diatas 5%. Berdasarkan pengelompokan ini, kulit ikan ekor kuning termasuk ke dalam ikan berlemak rendah. Kandungan air dalam bahan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan itu. Kadar air pada hewan diikat oleh protein otot. Kadar air dari kulit ikan ekor kuning adalah 68.5±0.28%. Kadar air ini tidak jauh beda dengan kadar air kulit ikan hiu, kulit ikan tuna, kulit ikan rohu, kulit ikan mata besar, kulit ikan balon, dan kulit ikan nila (Hema et al. 2013; Huang et al. 2011; Kittiphattanabawon et al. 2005; Muyonga et al. 2004). Unsur mineral disebut sebagai zat anorganik. Pembakaran akan menghilangkan bahan-bahan organik, tetapi zat anorganik tetap utuh (Winarno 2008). Kadar abu merupakan analisis untuk mengetahui kandungan mineral kasar pada suatu bahan. Kadar abu dari kulit ikan ekor kuning adalah 0.74±0.002%. Kadar abu kulit ikan ekor kuning ini lebih rendah dibanding kulit ikan hiu, kulit ikan rohu, kulit ikan tuna, kulit ikan mata besar, kulit ikan balon, dan kulit ikan nila (Hema et al. 2013; Huang et al. 2011; Kittiphattanabawon et al. 2005; Muyonga et al. 2004). Tabel 1 Komposisi kimia beberapa jenis kulit ikan Komposisi kimia rata-rata (%) Kulit ikan ekor kuning Kulit ikan hiu (Scholiodon sorrakowah)1 Kulit ikan rohu (Labeo rohita)1 Kulit ikan tuna (Thunnus alalunga)1 Kulit ikan balon (Diodon holocanthus)2 Kulit ikan mata besar (Priacanthus tayenus)3 Kulit ikan nila (Oreochromis niloticus)4 Sumber:
1 4
Protein (%)
Lemak (%)
Air (%)
Abu (%)
17.87±0.14
1.17±0.05
68.5±0.28
0.74±0.002
27.73
0.16
68.38
4.19
18.84
2.93
76.54
2.03
20.54
18.32
56.64
4.39
21.95
0.73
62.23
6
32
0.98
64.08
3.23
21.6
6.8
68.4
6
Hema et al. (2013), Muyonga et al. 2004
2
Huang et al. (2011),
3
Kittiphattanabawon et al. (2005),
Kandungan Logam Berat Kulit Ikan Ekor Kuning Logam berat merupakan salah satu zat pencemar yang sangat mempengaruhi kualitas air untuk kehidupan organisme perairan. Keberadaan logam berat dapat terakumulasi dalam tubuh ikan dan akan berbahaya apabila dikonsumsi. Keberadaan logam berat, misalnya merkuri (Hg), timbal (Pb), dan arsen (As) dalam bahan pangan dapat membahayakan kesehatan jika jumlahnya melebihi ambang batas yang ditentukan. Tingkat toksisitas logam berat terhadap kesehatan adalah Hg>Pb>As (Widowati et al. 2008).
17
Analisis kandungan logam berat pada kulit ikan ekor kuning dilakukan agar produk kolagen yang dihasilkan terjamin keamannnya dari cemaran logam. Berdasarkan hasil uji, kandungan logam berat Pb, Hg, dan As pada kulit ikan ekor kuning (Tabel 2) masih berada dibawah ambang batas kandungan logam berat untuk ikan dan hasil olahannya yang ditetapkan oleh SNI 8076:2014 yaitu 0.4 mg/kg (Pb); 0.5 mg/kg (Hg); dan 1 mg/kg (As). Hal ini menunjukkan bahwa kulit ikan ekor kuning aman untuk digunakan sebagai sumber bahan baku kolagen. Tabel 2 Kandungan logam berat pada kulit ikan ekor kuning Logam berat Timbal (Pb) (mg/kg) Merkuri (Hg) (mg/kg) Arsen (As) (mg/kg)
Kulit ikan ekor kuning Tidak terdeteksi (<0.009) Tidak terdeteksi (<0.004) Tidak terdeteksi (<0.008)
SNI kolagen sisik ikan* Maks 0.4 Maks 0.5 Maks 1
*Sumber: (BSN 2014) Konsentrasi Protein pada Larutan NaOH Hasil Perendaman Kulit Ikan Ekor Kuning Kulit ikan yang akan diolah menjadi kolagen terlebih dahulu direndam menggunakan larutan NaOH. Tahap ini bertujuan untuk menghilangkan protein non kolagen pada kulit, sehingga protein kolagen mudah larut pada saat ekstraksi selanjutnya. Penggunaan NaOH biasa digunakan dalam proses deproteinasi ekstraksi kolagen karena mampu meminimalkan kehilangan kolagen serta secara signifikan menyebabkan pembengkakan pada kulit apabila dibandingkan dengan larutan alkali lain (Liu et al. 2015). Jaswir et al. (2011) menambahkan bahwa selama perendaman dalam NaOH terjadi sedikit pembengkakan kulit sehingga memungkinkan masuknya air dan menyebabkan protein non kolagen yang terjebak dalam matrik kolagen menjadi lebih mudah dilepaskan. 1,8 Kadar protein (mg/mL)
1,6 1,4
a b
c
1,2
1,0 0,8 ef e
0,6 0,4
d f gh
g ij jk jk
0,2
jk k
ih
0,0 2
4
6
8
10
Waktu perendaman (jam)
Gambar 6 Konsentrasi protein dalam larutan NaOH perendaman kulit ikan ekor kuning ( ) NaOH 0.05 M; ( ) NaOH 0.1 M; dan ( ) NaOH 0.15 M.
18
Kandungan protein dari larutan NaOH sisa perendaman kulit pada 2 jam pertama menunjukkan kandungan protein yang tinggi dan semakin menurun seiring penambahan waktu perendaman (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa protein non kolagen pada kulit ikan sudah banyak dilepaskan pada 2 jam pertama perendaman sehingga jumlah protein non kolagen dalam kulit semakin berkurang yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya nilai konsentrasi protein dalam larutan NaOH sisa perendaman kulit pada pengamatan berikutnya. Perendaman NaOH selama 2, 4, 6, dan 8 jam berpengaruh nyata terhadap konsentrasi protein yang terlarut (p<0.05) akan tetapi pada jam ke 10 tidak berpengaruh nyata (p>0.05). Perendaman 8 jam dipilih sebagai waktu terbaik untuk deproteinasi kulit ikan ekor kuning. Konsentrasi protein yang terlarut pada jam ke 10 lebih tinggi dibandingkan pada jam ke 8. Hal ini dimungkinkan karena protein kolagen mulai terlarut pada NaOH. Perendaman kulit ikan ekor kuning pada konsentrasi NaOH 0.05 M dan 0.1 M pada 8 jam perendaman tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap pelepasan protein non kolagen, akan tetapi konsentrasi 0,15 M berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap kadar protein non kolagen terlarut. Konsentrasi 0.15 M melarutkan protein yang paling tinggi dari jam ke-2 sampai ke-10. Hal ini memungkinkan kolagen ikut terlarut dalam NaOH. Liu et al. (2015) menyatakan bahwa penggunaan NaOH 0.05 dan 0.1 M dapat melarutkan protein non kolagen tanpa menyebabkan kehilangan kolagen pada kulit, sedangkan penggunaan NaOH diatas 0.1 M secara signifikan menyebabkan kehilangan kolagen pada kulit. Kelebihan konsentrasi OH - akan mengakibatkan terputusnya sebagian ikatan kovalen dalam struktur kolagen. Hal ini selaras pendapat Jaswir et al. (2011) yang mengatakan bahwa NaOH memiliki peranan dalam pemisahan untaian dari batang-batang serat kolagen. Yoshimura et al. (2000) melaporkan bahwa basa menyerang terutama wilayah telopeptida dari struktur kolagen selama proses pretreatment sehingga dapat menyebabkan kelarutan kolagen. Wilayah telopeptida ini merupakan ujung-ujung dari rantai triple helixs yang terbuka dan berperan dalam pembentukan ikatan kovalen crosslinking (Gelse et al. 2003). Konsentrasi 0.05 M pada jam ke-8 adalah kombinasi pretreatment yang dipilih karena dapat melarutkan protein non kolagen secara optimal. Ekstrak Kolagen Larut Asam Kulit Ikan Ekor Kuning Kulit hasil perendaman dengan NaOH dengan perlakuan terbaik kemudian direndam dalam larutan asam asetat. Kulit hasil rendaman NaOH dicuci terlebih dahulu menggunakan air destilat hingga pH nya mendekati normal untuk mengurangi sisa basa pada kulit sehingga tidak mempengaruhi pH dari larutan asam asetat. Asam asetat diperlukan untuk mengubah struktur serat kolagen dan melarutkannya. Asam organik misalnya asetat, asam sitrat, dan asam laktat dapat digunakan dalam ekstraksi kolagen. Asam anorganik misalnya asam hidroklorik juga dapat digunakan dalam ekstraksi kolagen tetapi tidak sefektif asam organik. Asam asetat banyak dipilih sebagai pelarut dalam ekstraksi kolagen karena dapat mengekstrak kolagen lebih baik dibanding pelarut yang lain (Liu et al. 2015). Kasim (2013) menyatakan bahwa jumlah kolagen yang terekstrak menggunakan asam asetat lebih tinggi dibandingkan menggunakan asam sitrat dan asam klorida.
19
Asam asetat mampu melarutkan kolagen yang tidak berikatan silang maupun yang berikatan silang (Liu et al. 2015). Perendaman dalam asam akan menyebabkan pengembangan kulit karena masuknya air dalam serat kolagen. Jaswir et al. (2011) menyatakan bahwa masuknya air ke dalam serat kolagen disebabkan terjadinya gaya elektrostatik antara gugus polar pada serat kolagen dengan H+ dari asam atau terbentuknya ikatan hidrogen antara gugus non polar pada serat kolagen dengan H+ dari asam. Pengembangan kulit ini akan merusak struktur serat kolagen karena terganggunya ikatan non kovalen sehingga akan melarutkan kolagen pada larutan asam asetat. Penambahan asam asetat akan mempengaruhi pH media dan menambah densitas kolagen yang akan berpengaruh terhadap interaksi elektrostatik dan struktur kolagen sehingga dapat larut pada media (Liu et al. 2015). Perlakuan asam asetat terbaik dipilih berdasarkan banyaknya kolagen terlarut yang dihasilkan setelah perendaman asam asetat. Proses pengendapan kolagen ini dilakukan dengan penambahan NaCl 2.6 M. Penambahan garam dengan konsentrasi tinggi akan menyebabkan salting out yaitu garam mengikat air dan menyebabkan agregasi pada protein sehingga molekul protein akan mengalami presipitasi. Hal tersebut disebabkan kekuatan ionik garam lebih tinggi dibandingkan protein sehingga mudah mengikat air. Penurunan jumlah air yang terikat pada protein menyebabkan gaya tarik menarik antara molekul protein lebih besar daripada gaya tarik antara protein dan air sehingga terjadi pengendapan protein (Winarno 2008). 7
Rendemen (%)
6 5
b a
a
b
b
c
c
c
a
4 3
2 1 0 1
2
3
Waktu Perendaman pada Asam Asetat (hari)
Gambar 7 Kolagen terlarut hasil perendaman kulit ikan ekor kuning pada asam asetat: 0.3 ( ); 0.5 ( ); dan 0.7 M ( ) selama 1 hari, 2 hari, dan 3 hari. Konsentrasi asam asetat 0.3; 0.5; dan 0.7 M tidak berpengaruh (p>0,05) terhadap kolagen yang terlarut sedangkan perlakuan lama waktu perendaman 1 hari, 2 hari, dan 3 hari berpengaruh nyata (p<0,05) (Gambar 5). Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu perendaman akan meningkatkan jumlah air yang diserap oleh kulit sehingga serat kolagen menjadi lebih mudah untuk dipisahkan dan memudahkan proses ekstraksi. Waktu terbaik yang dipilih adalah 3 hari karena mampu melarutkan kolagen dengan jumlah terbesar. Rahmayanti
20
(2014) menyatakan bahwa perendaman kulit dengan asam asetat selama 24 jam belum mampu melarutkan kolagen dari kulit ikan sepenuhnya. Hal ini karena kolagen memiliki tingkat kelarutan yang rendah yang disebabkan adanya cross linking oleh ikatan kovalen melalui kondensasi gugus aldehid pada daerah telopeptida molekul kolagen (Zhang et al. 2007). Daerah telopeptida ini merupakan ujung-ujung dari rangkaian triple helix dari kolagen yang terbuka (non-helix) sehingga mamudahkan dalam berikatan silang dengan intra- dan intermolekul lain (Gelse et al. 2003). Konsentrasi asam asetat 0.3; 0.5; dan 0.7 M tidak berpengaruh (p>0,05) terhadap kolagen yang terlarut, oleh karena itu konsentrasi 0.3 M dipilih sebagai konsentrasi terefisien dalam ekstraksi kolagen dari kulit ikan ekor kuning. Liu et al. (2015) menyatakan bahwa penambahan asam asetat diatas 0.5 M tidak berpengaruh terhadap hasil kolagen yang didapat. Nurhayati et al. (2013) menyatakan bahwa penggunaan asam asetat diatas 0.5 M akan menurunkan komposisi asam amino pada kolagen yang dihasilkan. Hal itu terjadi karena penggunaan asam dengan konsentrasi yang lebih tinggi dapat memicu terjadinya subtitusi ion negatif pada garam dengan ion positif pada asam lebih cepat, sehingga dapat memutuskan struktur protein. Ekstrak Kolagen Larut Papain Kulit Ikan Ekor Kuning Enzim merupakan protein yang memiliki aktivitas katalis untuk menurunkan energi aktivasi suatu reaksi sehingga konversi substrat menjadi produk dapat berlangsung lebih cepat. Enzim papain (EC 3.4.22.2) terdiri atas 212 residu asam amino yang tersusun dalam suatu rantai polipeptida tunggal. Enzim papain merupakan golongan endopeptidase yang memutus ikatan peptida pada bagian tengah rantai protein (Grzonka et al. 2007). Aktivitas katalis papain berlangsung pada sisi-sisi aktif papain yang terdiri atas gugus histidin dan sistein (Wong 1989). Penelitian ini menggunakan enzim komersil dengan unit aktivitas 30,000 U/mg. Aktivitas ini menunjukkan bahwa 1 mg protein enzim papain mampu mengkonversi 30,000 μmol substrat protein. Proses ekstraksi menggunakan enzim papain ini merupakan campuran antara penggunaan asam dan enzim. Song et al. (2014) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pH maksimum dalam ekstraksi kolagen menggunakan enzim papain adalah 3. Semakin tinggi pH mendekati netral, maka hasil ekstraksi kolagen semakin rendah. Hasil penelitian pada konsentrasi enzim papain dari 0–25,000 U/mg/g kulit menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi enzim papain diatas 5,000 U/mg/g kulit tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap hasil kolagen terlarut (Gambar 6). Oleh karena itu, perlakuan konsentrasi papain diturunkan menjadi 0 – 9,000 U/mg/g (Gambar 7). Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas enzim sebesar 5.000 U/mg/g kulit menghasilkan kolagen terlarut yang paling tinggi dan berbeda nyata (p<0,05) terhadap akitivitas enzim dengan konsentrasi 0; 1,000; 3,000 U/mg/g kulit sedangkan penambahan enzim pada konsentrasi 7,000 dan 9,000 U/mg/g kulit tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap hasil kolagen terlarut. Molekul enzim papain yang semakin banyak akan memperbesar peluang terjadinya reaksi hidrolisis substrat oleh enzim papain hingga mencapai titik dimana peningkatan konsentrasi enzim tidak berpengaruh nyata. Song et al. (2014) dalam
21
penelitiannya menyatakan bahwa hasil ekstraksi kolagen akan meningkat dengan semakin bertambahnya konsentrasi enzim papain sampai pada titik maksimum dan akan menurun apabila konsentrasi enzim terus ditambahkan. Enzim papain merupakan enzim yang sangat kuat. Penambahan konsentrasi enzim papain sebesar 20,000 U/g kulit akan merusak ikatan peptida kolagen sehingga tidak hanya bagian telopeptidanya saja yang akan terputus tetapi juga bagian tropokolagennya. Pemecahan bagian tropokolagen ini akan menyebabkan protein memiliki berat molekul yang rendah dan kehilangan struktur β (Jamilah et al. 2013). Penggunaan konsentrasi enzim yang tepat hanya akan memutus ikatan silang (cross-linked) pada bagian telopeptida kolagen tanpa menyebabkan kerusakan pada struktur molekulnya sehingga meningkatkan jumlah kolagen yang terlarut (Di et al. 2014). 12 c
Rendemen (%)
10
de
d
d
e
e
de
de
b
8 6
a
4 2 0 0
1,000 3,000 5,000 7,000 9,000 10,000 15,000 20,000 25,000 Konsentrasi enzim (U/mg/g kulit)
Gambar 8 Kolagen terlarut hasil perendaman kulit ikan ekor kuning dengan asam asetat dan perlakuan konsentrasi enzim papain 0-25,000 U/mg/g kulit
Karakter Fisikokimia Kolagen Kulit Ikan Ekor Kuning Rendemen Kolagen Kulit Ikan Ekor Kuning Rendemen kolagen merupakan persentase banyaknya kolagen yang dihasilkan dari bahan baku mentah. Semakin tinggi rendemen, maka semakin tinggi pula nilai ekonomisnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kolagen yang diekstrak menggunakan enzim papain dapat menghasilkan rendemen kolagen yang lebih tinggi dibandingkan kolagen yang hanya diekstrak menggunakan asam saja. Hasil rendemen kolagen ASC dan PaSC kulit ikan ekor kuning dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil rendemen ASC yang rendah dikarenakan masih adanya ikatan silang pada bagian telopeptida kolagen antara aldehide dengan lisina dan hidroksilisina yang menyebabkan kolagen sulit larut (Di et al. 2014). Enzim papain merupakan salah satu enzim proteolitik non spesifik yang dapat memecah protein. Enzim mampu memutus ikatan silang pada bagian telopeptida kolagen dan melarutkannya sehingga dapat meningkatkan hasil ekstraksi kolagen (Di et al. 2014; Song et al. 2014). Rendemen kolagen dari kulit ikan ekor kuning dihitung berdasarkan basis kering dengan membandingkan berat kolagen setelah di-freeze dry dengan basis kering bobot awal kulit ikan sebelum diproses. Hasil rendemen kolagen ASC kulit
22
ikan ekor kuning adalah 18.4±1.49% (bk). Jamilah et al. (2013) melaporkan bahwa kulit ikan kakap yang diekstrak menggunakan asam asetat memiliki rendemen sebesar 8.1% (bk). Rendemen kolagen kulit ikan ekor kuning juga lebih tinggi dibandingkan kulit ikan balon yaitu 4% (bk) (Huang et al. 2011). Rendemen kolagen ASC kulit ikan ekor kuning apabila dihitung berdasarkan basis basah adalah 5.79±0.47% (bb). Hasil rendemen kolagen ASC (bb) kulit ikan ekor kuning ini lebih besar dibandingkan kolagen dari kulit ikan rohu (4.13%) dan patin (5.1%), akan tetapi lebih rendah dibandingkan kolagen ASC kulit ikan kakap (9%), hiu (8.96%), dan mata besar (10.94%) (Hema et al. 2013; Jongjareonrak et al. 2005; Kittiphattanabawon et al. 2005; Singh et al. 2011). Perbedaan hasil rendemen kolagen ini disebabkan oleh perbedaan kandungan protein pada kulit ikan. Kulit ikan ekor kuning yang digunakan memiliki kandungan protein lebih rendah dibandingkan kulit ikan rohu, hiu, tuna, dan mata besar pada penelitian Hema et al. (2013) dan Kittiphattanabawon et al (2005). Hal lain yang dapat menyebabkan perbedaan hasil rendemen adalah kondisi saat pretreatment dan ekstraksi yang berbeda. Tabel 3 Rendemen kolagen ASC dan PaSC beberapa jenis ikan Bahan baku Kulit ikan ekor kuning (Caesio cuning) Kulit ikan ekor kuning (Caesio cuning) Kulit ikan kakap (Lates calcarifer)1 Kulit ikan balon (Diodon holocanthus)2 Kulit ikan mata besar (Priacanthus tayenus)3 Kulit ikan kakap (Lutjanus vitta)5 Kulit ikan hiu (Scoliodon sorrakowah)4 Kulit ikan rohu (Labeo Rohita)4 Kulit ikan patin (Pangasianodon hypophthalmus)6 Kulit ikan ayam-ayaman (Aluterus monoceros)7 1
ASC (%)
PaSC (%)
Pepsin Soluble Collagen (PSC) (%)
18.4±1.49 (bk)
33.28±2.74 (bk)
-
5.79±0.47 (bb)
10.48±0.86 (bb)
-
8.1 (bk)
43.9 (bk),
-
4 (bk)
-
19.5 (bk)
10.94 (bb)
-
-
9 (bb)
-
4.7 (bb)
8.96 (bb)
-
7.68 (bb)
4.13 (bb)
-
3.68 (bb)
5.1 (bb)
-
7.7 (bb)
-
8.48 (bb)
2
3
Sumber: Jamilah et al. (2013), Huang et al. (2011), Kittiphattanabawon et al. (2005), 4Hema et al. (2013), 5Jangjareonrak et al. (2005), 6Singh et al. (2011), 7Ahmad dan Benjakul (2010)
Rendemen kolagen PaSC kulit ikan ekor kuning sebesar 33.28±2.74% (bk). Jamilah et al. (2013) melaporkan bahwa kulit ikan kakap yang diekstrak menggunakan enzim papain memiliki rendemen sebesar 43.9% (bk). Rendemen kolagen PaSC kulit ikan ekor kuning lebih tinggi dibandingkan kolagen PSC dari ikan balon (19.5%) (bk). Perbedaan hasil rendemen disebabkan oleh karakter
23
kulit, proses ekstraksi, dan konsentrasi enzim papain yang berbeda yaitu 5,000 U/mg/g kulit pada PaSC kolagen kulit ikan ekor kuning dan 20,000 U/g kulit pada PSC kolagen ikan kakap penelitian Jamilah et al. (2013). Rendemen kolagen PaSC kulit ikan ekor kuning apabila dihitung berdasarkan basis basahnya adalah 10.48±0.86% (bb). Rendemen kolagen PaSC ini lebih besar dibandingkan rendemen kolagen yang diekstrak menggunakan pepsin Pepsin soluble collagen (PSC) kulit ikan ayam-ayaman (8.48%), hiu (7.68%), kakap (4.7%), rohu (3.68%), dan patin (7.7%) (Ahmad dan Benjakul 2010; Hema et al. 2013; Jongjareonrak et al. 2005; Kittiphattanabawon et al. 2005; Singh et al. 2011), akan tetapi lebih rendah dibandingkan rendemen PSC kulit ikan balon yaitu 19.5% (Huang et al. 2011). Hal ini menunjukkan bahwa enzim papain mampu mengekstrak kolagen dengan baik dan dapat menggantikan penggunaan enzim pepsin dalam menghasilkan kolagen. Asam Amino Kolagen Kulit Ikan Ekor Kuning
Kadar asam amino (mg/g)(b/v)
Kualitas suatu protein dapat dinilai berdasarkan kandungan asam amino yang menyusun protein tersebut (Suryaningrum et al. 2010). Kolagen terdiri dari tiga rantai polipeptida besar dan berulang. Komposisi asam amino dari kolagen cenderung didominasi oleh glisina, prolina, hidroksiprolina dan alanina (60%) (Bae et al. 2008). Kolagen dengan kandungan asam amino tinggi sangat baik digunakan sebagai bahan baku dalam industri karena memiliki kestabilan suhu yang tinggi (Jamilah et al. 2013). Komposisi asam amino kolagen kulit ikan ekor kuning dapat dilihat pada Gambar 8. 12 10 8 6 4 2 0
Asam Amino
Gambar 9 Kandungan asam amino kolagen ASC ( ) dan PaSC ( ) kulit ikan ekor kuning Kolagen yang diekstrak dengan penambahan enzim papain (PaSC) memiliki kandungan asam amino total lebih tinggi dibandingkan yang hanya diekstrak dengan asam (ASC) dengan kandungan masing-masing sebesar 3.80±0.033 % dan 2.80±0.062 % (b/v). Kandungan protein dari kolagen PaSC dan ASC kulit ikan ekor kuning lebih tinggi dibandingkan kolagen komersial Atelo Helogen yang memiliki total protein 1.05% (b/v) dan CLR Collagen 0.28% (b/v)
24
akan tetapi lebih rendah dibandingkan kolagen komersil Collasol yaitu 4% (b/v) (Peng et al. 2004). Kolagen PaSC dari kulit ikan ekor kuning memiliki kandungan asam amino lebih tinggi dibandingkan kolagen ASC (Gambar 8). Kolagen PaSC memiliki kandungan asam amino glisina 9.97 mg/g; prolina 4.7 mg/g; dan alanina 5.17 mg/g dan kolagen ASC memiliki kandungan asam amino glisina 7.11 mg/g; prolina 3.45 mg/g; dan alanina 3.89 mg/g berdasarkan berat basah (b/v). Rantai asam amino yang dihubungkan dengan ikatan peptida akan membentuk protein dengan beragam struktur yang komplek dan khas. Papain mampu memutus ikatan silang pada telopeptida kolagen sehingga kolagen PaSC memiliki kandungan asam amino lebih tinggi dibanding kolagen ASC. Tabel 4 Kandungan asam amino kolagen ASC dan PaSC kulit ikan ekor kuning (residu per 1,000 total asam amino) Asam Amino ASC PaSC ASC kulit ikan PSC kulit ikan kakap* kakap* Glisina 250.94±0.03 261.75±0.29 252 235 Prolina 121.59±1.32 123.48±0.48 131 135 Alanina 137.15±0.75 135.64±0.25 143 142 Glutamat 124.9±0.29 115.17±0.91 81 79 Arginina 101.27±1.64 102.76±0.34 65 68 Lisina 59.07±0.32 56.37±0.14 33 34 Aspartat 59.54±0.42 52.45±0.64 50 49 Treonina 34.12±0.17 37.04±0.29 29 30 Leusina 28.7±0.31 29.27±0.30 24 24 Serina 28.4±0.21 29.34±0.34 37 39 Fenilalanina 17.35±0.60 19.53±0.39 15 16 Valina 14.85±0.09 15.55±0.65 18 17 Isoleusina 8.64±0.35 8.31±0.13 7 8 Metionina 13.4±0.19 13.29±0.54 15 14 *Sumber: Jongjareonrak et al. (2005) Komposisi asam amino dari kolagen kulit ikan ekor kuning baik diekstrak menggunakan asam (ASC) maupun enzim papain (PaSC) didominasi oleh glisina, prolina, dan alanina. Kolagen ASC dan PaSC dari kulit ikan ekor kuning memiliki kandungan glisina sebesar 25.43% dan 26.52% dari total asam amino kolagen. Hal ini menunjukkan bahwa glisina merupakan asam amino yang paling dominan pada kolagen dan menempati sekitar 1/3 dari total asam amino. Hal ini sesuai dengan penelitian Jongjareonrak et al. (2005) yang menyatakan bahwa kolagen kulit ikan kakap memiliki kandungan glisina 1/3 dari total asam amino yaitu 25.5% pada ASC dan 23.5% pada PSC (Pepsin Soluble Collagen). Kittiphattanabawon et al. (2005) juga menyatakan bahwa glisina merupakan asam amino utama pembentuk kolagen yang meliputi 30% dari total asam amino. Hal ini karena glisina terdapat di setiap tiga residu asam amino pada kolagen dan menempati posisi sentral pada rantai α. Glisina juga berperan dalam pembentukan rantai α triple helix pada kolagen (Bae et al. 2008). Glisina adalah asam amino yang paling sederhana, karena tidak memilliki isomer optik dan hanya memiliki gugus H pada rantai cabang R (Scauhmann et al. 2013).
25
Asam amino utama pembentuk kolagen yang lain adalah prolina dan alanina. Persentase kandungan prolina dan alanina pada ASC adalah 12.32% dan 13.9% sedangkan pada PaSC adalah 12.5% dan 13.7%. Kandungan prolina dan alanina kolagen ASC dan PaSC dari kulit ikan ekor kuning tidak jauh berbeda dengan kolagen dari kulit ikan kakap. Persentase kandungan prolina dan alanina kolagen dari kulit ikan kakap adalah 13.1% dan 14.3% pada ASC serta 13.5% dan 14.2% pada PSC (Jongjareonrak et al. 2005). Bae et al. (2008) menyatakan bahwa kandungan prolin kolagen adalah 10-12% dan kandungan alanin sebesar 10-13%. Prolina dan hidroksiprolina merupakan asam amino yang berfungsi dalam meningkatkan stabilitas kolagen (Wong 1989). Tamilmozhi et al. (2013) menyatakan bahwa prolin merupakan asam amino yang unik pada kolagen karena berperan dalam menjaga integritas struktural kolagen. Prolina berperan dalam pembentukan rantai triple helix pada kolagen. Cincin pirolidin dari prolina menjaga kestabilan rantai polipeptida protein sehingga tidak mudah berubah menjadi struktur sekunder dan membantu dalam memperkuat rantai triple helix (Bae et al. 2008). Asam amino prolina rata-rata memiliki 50% residu grup hidroksil dan karena adanya proses prolyl-hidroxylation dengan bantuan prolyl 3hydroxylase dan prolyl 4-hydroxylase maka akan membentuk hidroksiprolina. Hidroksiprolina sangat berperan dalam ikatan hidrogen intramolekul dan membantu dalam mempertahankan stabilitas termal pada struktur triple helix (Gelse et al. 2003). Asam amino alanina termasuk ke dalam tipe asam amino alifatik dengan CH3 sebagai gugus R nya. Asam amino ini banyak berperan dalam sintesis glukosa (Mahan dan Stump 2008). Berat Molekul Kolagen Kulit Ikan Ekor Kuning Berat molekul kolagen dari kulit ikan ekor kuning diukur menggunakan Sodium Dodecyl Sulfate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-Page). SDSPAGE merupakan suatu teknik pemisahan protein berdasarkan berat molekulnya. Protein berukuran kecil akan bergerak lebih cepat melintasi gel dibandingkan protein berukuran besar sehingga protein dengan berat molekul rendah memiliki jarak tempuh (Rf) yang lebih panjang dibandingkan protein dengan berat molekul tinggi (Bollag dan Edelstein 1991). Hasil SDS-Page kolagen kulit ikan ekor kuning yang diekstrak menggunakan asam dan enzim papain dapat dilihat pada Gambar 9.
M 1 2 Gambar 10 Elektroforesis kolagen dari kulit ikan ekor kuning. (M) marker, (1) kolagen ASC, dan (2) kolagen PaSC
26
Tabel 5 Berat molekul kolagen dari beberapa jenis ikan Sumber kolagen α1 (KDa) Kulit ikan ekor kuning (ASC) 133 Kulit ikan ekor kuning (PaSC) 122 Kulit ikan patin >116 (Pangasianodon hyphothalmus)1 Kulit ikan Siganus fuscescens, Kyphosus bigibbus, Myliobatis tobijei, 120 Dasyatis akajei, Dasyatis laevigata 2 Sumber: 1Singh et al. (2011), 2Bae et al. (2008)
α2 (KDa) 117 112
β (KDa) 194-212 186-203
γ (KDa) 251 251
116
220
>220
112-114
-
-
Kolagen yang berasal dari kulit ikan memiliki struktur identik α1 dan α2 yang termasuk dalam golongan struktur kolagen tipe I. Struktur triple helix dari kolagen tipe I terbentuk atas heterotrimer dari dua rantai α1 dan satu rantai α2 (Gelse et al. 2003). Struktur β (α chain dimers) dan γ (α chain trimers) menunjukkan adanya ikatan silang kovalen pada molekul kolagen (Chi et al. 2014). Kolagen dari kulit ikan ekor kuning baik yang diekstrak menggunakan asam maupun enzim papain memiliki struktur kolagen tipe I yang mengandung struktur identik α1, α2, β dan γ. Berat molekul α1, α2, β, dan γ pada kolagen ASC dan PaSC kulit ikan ekor kuning hampir sama dengan kolagen yang bersumber dari kulit ikan patin (Singh et al. 2011) dan beberapa ikan laut (Bae et al. 2008) (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa kolagen ASC dan PaSC yang dihasilkan belum berubah menjadi produk turunannya yaitu gelatin. Gelatin memiliki kisaran berat molekul lebih rendah daripada kolagen (Karim dan Bhat 2009). Karim dan Bhat (2009) menyatakan bahwa gelatin mengandung campuran komponen dengan berat molekul berkisar dari 80 250 kDa. Hermanto et al. (2013) juga menyatakan bahwa gelatin babi memiliki protein dengan berat molekul 28.6 KDa dan 36.2 KDa. Struktur α1, α2 dan β pada kolagen PaSC memiliki berat molekul sedikit lebih rendah dibandingkan kolagen ASC. Hal ini dimungkinkan karena enzim papain mampu memecah beberapa ikatan-ikatan peptida pada kolagen menjadi struktur yang lebih kecil. Ekstraksi kolagen dengan konsentrasi enzim yang terlalu tinggi akan merusak bagian telopeptida dan tropokolagennya sehingga memiliki berat molekul yang lebih rendah dibandingkan kolagen pada umumnya. Jamilah et al. (2013) menyatakan bahwa ekstraksi kolagen dengan konsentrasi enzim papain sebesar 20,000 unit/g kulit ikan memiliki bobot molekul protein sebesar 37-75 KDa. Hal ini menunjukkan bahwa ekstraksi kolagen PaSC dari kulit ikan ekor kuning dengan konsentrasi enzim papain 5,000 U/mg/g kulit mampu memecah molekul kolagen lebih kecil dibandingkan kolagen ASC akan tetapi masih dapat mempertahankan struktur α1, α2, β, dan γ kolagen. Kolagen ASC dan PaSC dari kulit ikan ekor kuning memiliki komponen dengan berat molekul tinggi yaitu struktur β dan γ. Komponen β dan γ menunjukkan adanya molekul kolagen yang mengalami cross linking dari rantai α yang membentuk dimers dan trimers. Ketebalan intensitas pita protein struktur β
27
menunjukkan tingginya jumlah kolagen yang mengalami cross linking (Singh et al. 2011). Struktur α1, α2, dan β pada PaSC memiliki pita lebih tebal dibandingkan ASC, sedangkan struktur γ pada ASC memiliki pita lebih tebal dibandingkan PaSC. Jamilah et al. (2013) menyatakan bahwa kolagen yang diekstrak dengan enzim papain memiliki berat molekul yang lebih rendah karena protease menghidrolisis pita peptida menjadi pita-pita yang memiliki berat molekul lebih rendah. Hal ini yang menyebabkan struktur γ pada PaSC lebih tipis dibanding ASC dan menghidrolisisnya menjadi pita-pita yang lebih rendah berat molekulnya yaitu struktur α1, α2, dan β. Singh et al. (2011) dan Song et al. (2014) menyatakan bahwa dengan penambahan enzim pepsin (PSC), komponen struktur γ kolagen yang mengandung telopeptida terdegradasi menjadi struktur α1 dan α2 sehingga intensitas pita α1 dan α2 meningkat pada PSC. Singh et al. (2011) menyatakan bahwa cross linking pada intra dan inter molekul kolagen pada ASC lebih tinggi dibanding PSC. Stabilitas Termal Kolagen Kulit Ikan Ekor Kuning Analisis termal dengan metode Differential Scanning Colorimetry (DSC) dilakukan dengan mengukur perbedaan aliran panas pada sampel dan standar (referensi). Teknik ini biasa digunakan untuk mengukur fase-fase transisi, yaitu transisi gelasi (Tg) dan titik leleh (Tm). Suhu transisi gelas ini merupakan suhu terputusnya ikatan hidrogen yang mengarah pada pembentukan polimer amorf yaitu gelatin (Karim dan Bhat 2009). Hasil analisis DSC dari pemanasan kolagen ASC pada rentang suhu 20 C 300 C dengan laju pemanasan 10 C/menit diperlihatkan pada Tabel 6. Tabel 6 Suhu transisi gelas kolagen dari beberapa ikan Sumber kolagen Kulit ikan ekor kuning (ASC) Kulit ikan ekor kuning (PaSC) Kulit ikan kakap (Lutjanus vitta)1 Kulit belut laut (Evenchelys macrura)2 Sisik ikan kambing-kambing (Parupeneus heptacanthus)3 Kulit ikan pari (Pastinachus solocirostris)4 Kulit ikan cumi-cumi (Sepiella inermis)5 Kulit ikan gabus (Canna striata)6
Suhu transisi gelas (oC) 67.69 77.05 31.52 39.00 41.58 86.75 75.93 78.55
Sumber: 1Jangjareonrak et al. (2005), 2Veeruraj et al. (2013), 3Matmaroh et al. (2011), 4Nuraenah (2013), 5Shanmugam et al. (2012), 6Wulandari et al. (2015)
Suhu transisi gelas kolagen PaSC kulit ikan ekor kuning lebih tinggi dibandingkan kolagen ASC. Hal ini menunjukkan bahwa kolagen PaSC lebih stabil terhadap suhu dibandingkan kolagen ASC. Suhu transisi gelas kolagen kulit ikan ekor kuning adalah 77.05 C (PaSC) dan 67.69oC (ASC). Pemanasan dengan suhu diatas 40 C menyebabkan hancurnya ikatan hidrogen dan terpotongnya sejumlah ikatan kovalen yang menstabilkan struktur triple heliks menghasilkan konversi kolagen menjadi gelatin yang larut (Karim dan Bhat 2009). Suhu transisi gelas kolagen ASC dan PaSC dari kulit ikan ekor kuning lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kolagen yang bersumber dari kulit ikan kakap, kulit belut laut, dan sisik ikan kambing-kambing akan tetapi lebih rendah dibandingkan
28
kolagen yang bersumber dari kulit ikan pari, kulit cumi-cumi, dan kulit ikan gabus (Tabel 5). Zhang et al. (2007) menyatakan bahwa stabilitas termal kolagen dipengaruhi oleh kandungan asam amino prolina dan hidroksiprolina. Semakin tinggi kandungan asam amino prolina dan hidroksiprolina, maka akan semakin stabil suatu kolagen terhadap suhu. Hal ini sesuai dengan penelitian Kittiphattanabawon et al. (2010) tentang stabilitas termal kolagen dari kulit ikan hiu dimana kolagen PSC memiliki stabilitas termal lebih tinggi dari ASC karena kolagen PSC memiliki kandungan asam amino prolina dan hidroksiprolina lebih tinggi daripada ASC. Begitu pula dengan penelitian Singh et al. (2011) terhadap stabilitas termal kolagen kulit ikan patin. Asam amino prolina dan hidroksiprolina memiliki cincin pirolidin dan ikatan hidrogen pada grup hidroksil berfungsi menjaga kestabilan rantai polipeptida protein kolagen sehingga tidak mudah berubah menjadi struktur sekunder (Zhang et al. 2007). Kolagen PaSC yang dihasilkan dari kulit ikan ekor kuning diketahui memiliki kandungan asam amino prolina yang lebih tinggi dibandingkan kolagen ASC (Gambar 8) yang menyebabkan kolagen PaSC lebih stabil terhadap suhu dibandingkan kolagen ASC. Yan et al. (2008) menyatakan bahwa stabilitas termal kolagen juga dipengaruhi oleh lingkungan dan suhu tubuh. Kolagen yang berasal dari ikan tropis akan memiliki stabilitas termal lebih tinggi dibandingkan ikan-ikan subtropis. Kittiphattanabawon et al. (2010) menyatakan bahwa kolagen yang berasal dari spesies yang hidup di lingkungan dingin mengandung prolina dan hidroksiprolina yang lebih rendah dibandingkan dengan kolagen dari ikan yang hidup dalam lingkungan yang lebih hangat sehingga kolagen yang berasal dari spesies yang hidup di lingkungan dingin memilki titik lebur dan stabilitas termal lebih rendah daripada kolagen yang berasal dari spesies yang hidup di lingkungan hangat. Struktur Permukaan Kolagen Kulit Ikan Ekor Kuning Scanning Electron Microscopy (SEM) merupakan jenis mikroskop elektron yang memanfaatkan berkas elektron untuk menerangi sampel sehingga menghasilkan gambar sampel. Analisis SEM perlu dilakukan untuk mengetahui struktur permukaan dari kolagen yang dihasilkan. Hasil analisis SEM pada kolagen yang diekstrak dengan asam dan papain dapat dilihat pada Gambar 10. Hasil pengamatan SEM dengan perbesaran 1,000 kali pada hasil kolagen ASC dan PaSC menunjukkan bahwa struktur permukaan dari kolagen PaSC lebih halus dibandingkan dengan ASC. Kolagen ASC pada perbesaran 1,000 kali memiliki serat-serat putih pada permukaannya sedangkan pada kolagen PaSC tidak ditemukan. Serat-serat putih pada permukaan kolagen ASC diduga merupakan protein yang saling berikatan silang. Berdasarkan analisis berat molekul, kolagen ASC memiliki pita struktur γ yang lebih tebal dibandingkan PaSC (Gambar 10). Struktur γ merupakan pita-pita kolagen yang mengalami crosslinking membentuk trimer rantai α kolagen. Hal inilah yang memungkinkan struktur permukaan pada kolagen ASC memiliki serat-serat putih pada permukaannya. Enzim papain dimungkinkan mampu memecah protein dan memutuskan ikatan silang antar protein kolagen sehingga struktur permukaan pada kolagen dengan enzim papain tidak memiliki serabut-serabut putih pada permukaannya (Di et al. 2014).
29
Struktur permukaan kolagen ASC dan PaSC dari kulit ikan tidak berbeda jauh dengan struktur permukaan kolagen komersil penelitian Peng et al. (2004). Kolagen Atelo Helogen memiliki struktur permukaan yang halus. Kolagen Collasol memiliki banyak serabut-serabut kolagen pada permukaannya, sedangkan CLR Collagen memiliki struktur berpori.
(a) (b) Gambar 11 Struktur permukaan kolagen ASC dan PaSC kulit ikan ekor kuning: (a) ASC perbesaran 1,000x; (b) PaSC perbesaran 1,000x
Gambar 12 Struktur permukaan kolagen komersial: 1. Atelo Helogen, 2. Collasol, dan 3. CLR Collagen (Peng et al. 2004)
30
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pretreatment NaOH terbaik yaitu perlakuan konsentrasi 0.05 M dan lama waktu perendaman 8 jam. Perlakuan asam asetat dengan konsentrasi 0.3 M selama 3 hari merupakan kombinasi terbaik dalam menghasilkan kolagen ASC. Dosis enzim papain terbaik yang digunakan dalam pembuatan kolagen PaSC adalah 5,000 U/mg/g kulit. Kolagen yang diekstrak menggunakan enzim papain memiliki rendemen, kandungan asam amino, dan stabilitas terhadap suhu yang lebih baik dibandingkan kolagen yang diekstrak dengan asam saja. Kolagen dari kulit ikan ekor kuning baik ASC maupun PaSC memiliki pita kolagen dengan struktur yang sama yaitu α1, α2, β dan γ. Struktur permukaan kolagen PaSC lebih halus dibandingkan dengan ASC yang memiliki serabut-serabut pada permukaannya. Saran Saran yang dapat disampaikan dari hasil penelitian ini yaitu perlu adanya efisiensi waktu perendaman kulit menggunakan enzim papain dan mekanisme enzim papain dalam meningkatkan rendemen kolagen, serta pengujian karakter lanjutan kolagen PaSC yaitu uji alergi, pembuatan nanokolagen dan pengukuran besar partikel.
31
DAFTAR PUSTAKA Ahmad M, Benjakul S. 2010. Extraction and characterization of pepsin soluble collagen from the skin of unicorn leatherjacket (Aluterus monocerous). Food Chemistry. 120:817-824. Andarwulan N, Kusnandar F, Herawati D. 2011. Analisis Pangan. Jakarta: Dian Rakyat. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methods of Analysis. Washington: The Association of Official Analytical Chemist. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Methods of Analysis (18 Edn). Mayland: Association of Official Analytical Chemist Bae I, Osatomi K, Yoshida A, Osako K, Yamaguchi A, Hara K. 2008. Biochemical properties of acid-soluble collagens extracted from the skins of underutilized fishes. Food Chemistry. 108: 49-54 Bareil RP, Gauvin R. Berthod F. 2010. Collagen based biomaterials for tissue engineering applications. Materials. 3: 1863-1887. Bollag DM, Edelstein SJ. 1991. Protein Methods. New York: Wiley-Liss [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1998. Standar Nasional Indonesia 01-4866.1998. Cara uji cemaran arsen dalam makanan. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. [BSNa] Badan Standarisasi Nasional. 2006. Standar Nasional Indonesia 012354.6-2006. Cara uji kimia-Bagian 6: Penentuan kadar logam berat merkuri (Hg) pada produk perikanan. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. [BSNb] Badan Standarisasi Nasional. 2006. Standar Nasional Indonesia 012354.7-2006. Cara uji kimia-Bagian 7: Penentuan kadar logam berat timbal (Pb) pada produk perikanan. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2014. Standar Nasional Indonesia 8076:2014. Kolagen kasar dari sisik ikan–Syarat mutu dan pengolahan. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. Carpenter KE. 1987. Revision of the Indo-Pacific fish family Caesionidae (Lutjanoidea), with descriptions of five new species. Indo-Pacific Fishes. 15: 1-56 Chi CF, Cao ZH, Wang B, Hu FY, Li ZR, Zhang B. 2014. Antioxidant and functional properties of collagen hydrolysates from spanish mackerel skin as influenced by average molecular weight. Molecules. 19: 11211-11230. Di Y, Feng CC, Bin W, Fang DG, Rui LZ. 2014. Characterization of acid and pepsin soluble collagens from spines and skulls of skipjack tuna (Katsuwonus pelamis). Chinese Journal of Natural Medicines. 12(9): 712720. Eryanto I. 2006. Karakteristik surimi fillet ikan nila (Oreochromis sp.) yang disimpan pada suhu dingin. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
32
Erlangga. 2009. Kemunduran mutu fillet ikan lele dumbo Clarias gariepinus pada penyimpanan suhu chilling dengan perlakuan cara kematian. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Friess W. 1998. Collagen – biomaterial for drug delivery. European Journal of Pharmaceutics and Biopharmaceutics. 45:113-136. Gelse K, Poschl E, Aigner T. 2003. Collagens-structure, function, and biosynthesis. Advanced Drug Delivery Reviews. 55: 1531-1546. Gornall AG, Bardawill CJ, David MM. 1949. Determination of serum proteins by means of the biuret reaction. Journal Biological Chemistry. 177(2): 751766 Grzonka Z, Kasprzykowski F, Wiczk. 2007. Cysteine Proteases. Di dalam: Polaina J, MacCabe AP, editor. Industrial Enzymes: Structure, Function and Application. Netherlands: Springer. Guillen MC, Gomez JT, Fernandez MD, Ulmo N, Lizarbe MA, Montero P. 2002. Structural and physical properties of gelatin extracted from different marine species: a comparative study. Food Hydrocolloids. 16:25-34. Hema GS, Shyni K, Mthew S, Ananda R, Ninan G, Lakshmanan PT. 2013. A simple method for isolation of fish skin collagen-biochemical characterization of skin collagen extracted from albacore tuna ((Thunnus alalunga), dog shark (Scoliodon sorrakowah), and Rohu (Labeo rohita). Annals of Biological Research. 4(1): 271-278. Hermanto S, Sumarlin LO, Fatimah W. 2013. Differentiation of bovine and porcine gelatin based on spectroscopic and electrophoretic analysis. Journal of Food and Pharmacetical Sciences. 1: 68-73 Jacoeb AM, Suptijah P, Kristantina WA. 2015. Komposisi asam lemak, kolesterol, dan deskripsi jaringan fillet ikan kakap merah segar dan goreng. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 18(1): 98-107 Jamilah B, Hartina UMR, Hashim MD, Sazili AQ. 2013. Properties of collagen from patin (Lates calcarifer) skin. International Food Research Journal. 20(2): 835-842. Jongjareonrak A, Benjakul S, Visessanguan W, Nagai T, Tanaka M. 2005. Isolation and characterisation of acid and pepsin-solubilised collagens from the skin of Brownstripe red snapper (Lutjanus vitta). Food Chemistry. 93: 475-484. Jaswir I, Monsur HA, Salleh HM. 2011. Nano-structural analysis of fish collagen extracts for new process development. African Journal of Biotechnology. 10(81):18847-18854. Karim AA, Bhat R. 2009. Fish gelatin: properties, challenges, and prospects as an alternative to mammalian gelatins. Food Hydrocolloids. 23:563-576. Kasim S. 2013. Pengaruh variasi jenis pelarut asam pada ekstraksi kolagen ikan pari (Himantura gerrardi) dan ikan tuna (Thunnus sp.). Majalah Farmasi dan Farmakologi. 17(2): 35-38.
33
[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2014. Statistik Kelautan dan Perikanan 2014. Jakarta: KKP. Kim SK, Mendis E. 2006. Bioactive compounds from marine processing byproducts- A review. Food Research International. 39: 383-393. Kittiphattanabawon P, Soottawat Benjakul S, Visessanguan W, Nagai T, Tanaka M. 2005. Characterisation of acid-soluble collagen from skin and bone of bigeye snapper (Priacanthus tayenus). Food Chemistry. 89:363-372. Kittiphattanabawon P, Benjakul S, Visessanguan W, Kishimura H, Shahidi F. 2010. Isolation and characterisation of collagen from the skin of brownbanded bamboo shark (Chiloscyllium punctatum). Food Chemistry. 119: 1519-1526. Kumar MH, Spandana V, and Poonam T. 2011. Extraction and determination ofcollagen peptide and its clinical importance from tilapia fish scales (Oreochromis niloticus). International Research Journal of Pharmacy 2(10):97-99. Lee CH, Singla A, Lee Y. 2001. Biomedical applications of collagen. International Journal of Pharmaceutics. 221:1-22. Liu D, Wei G, Li T, Hua J, Lu J, Regenstein JM, Zhou P. 2015. Effects of alkaline pretreatments and acid extraction conditions on the acid-soluble collagen from grass carp (Ctenopharyngodonidella) skin. Food Chemistry. 172:836–843. Mahan LK, Stump SE. 2008. Krause’s Food and Nutrition Therapy. International Edition 12. Missouri: Elsevier. Matmaroh K, Benjakul S, Prodpran T, Encarnacion AB, Kishimura H. 2011. Characteristics of acid soluble collagen and pepsin soluble collagen from scale of spotted golden goatfish (Parupeneus heptacanthus). Food Chemistry. 129: 1179-1186 Muyonga, JH, Cole CGB, Duodu KG. 2004. Characterisation of acid soluble collagen from skins of young and adult Nile perch (Lates niloticus). Food Chemistry. 85: 81-89. Nagai T, Suzuki N. 2000. Isolation of collagen from fish waste material skin,bone and fins. Food Chemistry. 68:277-281. Nalinanon S, Benjakul S, Kishimura H, Osaka K. 2011. Type I collagen from the skin of ornate threadfin bream (Nemipterus hexodon): Characteristics and effect of pepsin hydrolysis. Food Chemistry. 125:500–507. Nur’aenah N. 2013. Ekstraksi dan karakterisasi kolagen dan nanopartikel kolagen dari kulit ikan pari (Pastinachus solocirostris) sebagai bahan baku kosmetik. [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Nurhayati, Tazwir, Murniyati. 2013. Ekstraksi dan karakterisasi kolagen larut asam dari kulit ikan nila (Oreochromis niloticus). Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. 8(1): 85-92
34
Nurjanah, Abdullah A. 2010. Cerdas Memilih Ikan dan Mempersiapkan Olahannya. Bogor: IPB Press. Peng Y, Glattauer V, Werkmeister J, Ramshaw JAM. 2004. Evaluation for collagen products for cosmetic application. Journal of Cosmetic Science. 55: 327-341. Potaros T, Raksakulthai N, Runglerdkreangkrai J, Worawattanamateekul W. 2009. Characteristics of collagen from nile tilapia (Oreochromis niloticus) skin isolated by two different methods. Kasetsart Journal. 43(3): 584-593. Putra ABN, Sahubawa L, Ekantari N. 2013. Ekstraksi dan karakterisasi kolagen dari kulit ikan nila hitam (Oreochromis niloticus). Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. 8(2): 171-180. Rahmayanti AR. Ekstraksi kolagen dari kulit ikan gabus (Channa striata) serta aplikasinya untuk skrining dan karakterisasi kolagenase bakteri asal Indonesia. [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Roy VK. Kumar NS, Gurusubramanian G. 2012. Proteins – structure, properties and their separation by SDS-polyacrilamide gel electrophoresis. Science Vision. 4: 170-181. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kuntji Identifikasi Ikan. Bogor: Binatjipta. Sato K, Yoshinaka V, Itoh Y, Sato M. 1989. Molecular species of collagen in the intramuscular connective tissue of fish. Food Chemistry. 92: 87–91. Secchi G. 2008. Role of protein in cosmetics. Clinics in Dermatology. 26: 321325. Shanmugam V, Ramasamy P, Subhapradha N, Sudharsan S, Seedevi P, Moovendhan M, Krishnamoorthy J, Shanmugam A, Srinivasan A. 2012. Extraction, structural and physical characterization of type I collagen from the outer skin of Sepiella inermis (Orbigny, 1848). African Journal of Biotechnology. 11 (78): 14326-14337. Shyni K, Hema GS, Ninan G, Mathew S, Joshy CG, Lakshmanan PT. 2014. Isolation and characterization of gelatin from the skins of skipjack tuna (Katsuwonuspelamis), dog shark (Scoliodonsorrakowah), and rohu (Labeorohita). Food Hydrocolloids. 39:68-76. Siddiqui YD, Arief EM, Yusoff A, Hamid SSA, Norani TY, Abdullah MYS. 2013. Extraction, purification and physical characterization of collagen from body wall of sea cucumber Bohadschia bivitatta. Health and Environment Journal. 4 (2): 53-65. Silva MR, Celem LR, Silva SR, Costa APF. 2013. Anti aging cosmetics: Facts and controversies. Clinics in Dermatology. 31: 750-758. Singh P, Benjakul S, Maqsood S, Kishimura H. 2011. Isolation and characterization of collagen extracted from the skin of striped catfish (Pangasianodon hyphothalmus). Food Chemistry.124: 97-105. Song W, Chen W, Yang Y, Li C, Qian G. 2014. Extraction optimization and characterization of collagen from the lung of soft-shelled turtle Pelodiscus
35
sinensis. International Journal of Nutrition and Food Sciences. 3(4): 270278. Sun DW. 2006. Thermal Food Processing: New Technologies and Quality Issues. Boca Rason: CRC Press Taylor and Francis Group. Tabarestani S, Maghsooudlou Y, Motamedzadegan A, Mahoonak SAR, Rostamzad H. 2012. Study on some properties of acid-soluble collagens isolated from fish skin and bones of rainbow trout (Onchorhynchus mykiss). International Food Research Journal.19(1): 251-257. Tamilmozhi S, Veeruraj A, Arumugam M. 2013. Isolation and characterization of acid and pepsin-solubilized collagen from the skin of sailfish (Istiophorus platypterus). Food Research International. 54: 1499-1505. Veeruraj A, Arumugam M, Balasubramanian T. 2013. Isolation and characterization of thermostable collagen from the marie eel-fish (Evenchelys macrura). Process Biochemistry. 48: 1592-1602. Wang L, Liang Q, Chen T, Wang Z, Xu J, Ma H. 2014. Characterization of collagen from the skin of Amur sturgeon (Acipenser schrenckii). Food Hydrocolloids. 38:104-109. Wang B, Wang YM, Chi CF, Luo HY, Deng SG, Ma JY. 2013. Isolation and characterization of collagen and antioxidant collagen peptides from scales of croceine croaker (Pseudosciaena crocea). Marine Drugs. 11: 46414661. Wang L, An X, Yang F, Xin Z, Zhao L, Hu Q. 2008. Isolation and characterization of collagens from skin, scale, and bone of deep-sea redfish (Sebastes mentella). Food Chemistry. 108(2): 616-623. Widowati W, Sastiono A, Jusuf R. 2008. Efek Toksik Logam: Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran. Yogyakarta: Andi. Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Wong DWS. 1989. Mechanism and Theory in Food Chemistry. New York: Van Nostrand Reinhold. Wulandari, Suptijah P, Tarman K. 2015. Efektivitas pretreatment alkali dan hidrolisis asam asetat terhadap karakteristik kolagen dari kulit ikan gabus. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 18(3): 288-302. Yan M, Li B, Zhao X, RenG, Zhuang Y, Hou H, Zhang X, Chen L, Fan Y. 2008. Characterization of acid soluble collagen from the skin of walleye Pollock (Theragra chalcogramma). Food Chemistry. 107:1581-1586. Yoshimura K, Terashima M, Hozan D, Shirai K. 2000. Preparation and dynamic viscoelasticity characterization of alkali-solubilized collagen from shark skin. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 48:685-690. Zang Y, Liu W, Li G, Shi B, Miao Y, Wu X. 2007. Isolation and partial characterization of pepsin-soluble collagen from the skin of grass carp (Ctenopharyngodon idella). Food Chemistry. 103: 906-912.
36
37
LAMPIRAN
38
Lampiran 1 Pembuatan larutan standar Bovine Serum Albumin (BSA) konsentrasi 0-1.5 mg/mL Konsentrasi BSA (mg/mL) 0 0.02 0.04 0.12 0.4 0.8 1 1.5
Volume larutan stok BSA (mL) 0 0.04 0.08 0.24 0.8 1.6 2 3
Volume akuades (mL) 4 3.96 3.92 3.76 3.2 2.4 2 1
Volume pereaksi biuret (mL) 6 6 6 6 6 6 6 6
Absorban
Lampiran 2 Kurva regresi linier standar BSA untuk uji biuret larutan NaOH sisa perendaman kulit ikan ekor kuning
0,45 0,4 0,35 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0
y = 0,259x + 0,033 R² = 0,999
0
0,5
1
1,5
2
Konsentrasi BSA
Lampiran 3 Hasil uji Anova konsentrasi protein larutan NaOH sisa perendaman kulit ikan ekor kuning Sumber keragaman Konsentrasi Jam Interaksi Galat Total
db 2 4 8 30 45
Jumlah kuadrat 1.921 45.502 0.877 0.383 108.334
Kuadrat tengah 0.961 11.375 0.110 0.13
F hitung
P-value
75.304 891.622 8.589
0.000 0.000 0.000
39
Lampiran 4 Hasil uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pengaruh waktu terhadap nilai konsentrasi protein larutan NaOH sisa perendaman kulit ikan ekor kuning Jam ke-
N
8 10 6 4 2
Notasi D 0.1076 0.1231
9 9 9 9 9
C
B
A
0.3341 0.5697 1.4996
Lampiran 5 Hasil uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pengaruh konsentrasi NaOH terhadap nilai konsentrasi protein larutan NaOH sisa perendaman kulit ikan ekor kuning Konsentrasi (M) 0.05 0.1 0.15
N
Notasi A 0.4852 0.4805
9 9 9
B
0.6131
Hasil uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) untuk pengaruh interaksi waktu perendaman dan konsentrasi NaOH terhadap nilai konsentrasi protein larutan NaOH sisa perendaman kulit ikan ekor kuning
Lampiran 6
Waktu Jam ke2
4
6
8
10
Konsentrasi (M) 0.05 0.1 0.15 0.05 0.1 0.15 0.05 0.1 0.15 0.05 0.1 0.15 0.05 0.1 0.15
N
Rata-rata
Notasi
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
1.49421 1.38095 1.61519 0.49550 0.55598 0.65766 0.25097 0.29987 0.45174 0.07979 0.09266 0.15058 0.10553 0.07336 0.19048
B C A EF E F GH G F JK JK JI JK K HI
40
Lampiran 7 Hasil uji Anova kolagen terlarut perendaman kulit ikan ekor kuning pada asam asetat Sumber keragaman Hari Konsentrasi Interaksi Galat Total Lampiran 8
db
Jumlah kuadrat 12.301 0.832 0.789 0.753 14.674
2 2 4 18 27
Kuadrat tengah
F hitung
P-value
6.154 0.416 0.197 0.041
15.065 1.018 0.483
0.000 0.381 0.748
Hasil uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) untuk pengaruh lama perendaman pada asam asetat terhadap kolagen terlarut kulit ikan ekor kuning
Waktu
N
1 hari 2 hari 3 hari
Notasi B
A 4.5803
9 9 9
C
5.3837 5.9837
Lampiran 9 Hasil uji Anova kolagen terlarut perendaman kulit ikan ekor kuning pada asam asetat dan enzim papain konsentrasi 0 – 25,000 U/mg/g kulit ikan ekor kuning Sumber keragaman Konsentrasi Galat Total
db
Jumlah kuadrat 50.900 0.555 51.455
9 20 29
Kuadrat tengah
F hitung
P-value
5.656 0.032
17.256
0.000
Lampiran 10 Hasil uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) untuk pengaruh konsentrasi enzim papain 0 –25,000 U/mg/g kulit terhadap kolagen terlarut kulit ikan ekor kuning Konsentrasi
N
Rata-rata
Notasi
0
3
5.749
A
1,000
3
8.266
B
3,000
3
9.666
C
5,000
3
10.496
DE
7,000
3
10.020
E
9,000
3
10.050
E
10,000
3
10.533
D
15,000
3
10.500
D
20,000
3
10.266
DE
25,000
3
10.216
DE
41
Lampiran 11 Pembuatan separating gel 7.5% Bahan-bahan
Volume
dH2O
7.2 mL
30% acrylamid
3.8 mL
1.5 M Tris HCl (pH 8.5)
3.75 mL
10% SDS
150 µL
10% APS
150 µL
TEMED
15 µL
Lampiran 12 Pembuatan stacking gel 3% Bahan-bahan
Volume
dH2O
7.2 mL
30% acrylamid
1 mL
0.5 M Tris HCl (pH 6.8)
1.25 mL
10% SDS
100 µL
10% APS
100 µL
TEMED
10 µL
Lampiran 13 Nilai Rf marker Pre-stained Protein Markers (Broad Range) for SDS-PAGE dari Nacalai Tesque BM (kDa) 192 112 85 60 47
Jarak Tracking 14 25 33 39 48
Log BM 2.28330123 2.04921802 1.92941893 1.77815125 1.67209786
Rf 0.245614035 0.438596491 0.578947368 0.684210526 0.842105263
Rf
Lampiran 14 Kurva regresi linier antara RF dan log BM marker Pre-stained Protein Markers (Broad Range) for SDS-PAGE dari Nacalai Tesque 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0
y = -0,952x + 2,408 R² = 0,989
0
0,5
1
1,5 Log BM
2
2,5
42
Lampiran 15 Peak analisis DSC kolagen ASC kulit ikan ekor kuning
Lampiran 16 Peak analisis DSC kolagen PaSC Kulit Ikan Ekor Kuning
43
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kendal, Jawa Tengah pada tanggal 28 Mei 1990. Penulis merupakan anak pertama dari 3 bersaudara dari pasangan Bapak Ir. Agus Hasto Yuwono M.Si. dan Ibu Isnindyah S.Pd. Penulis telah menempuh jalur pendidikan SDN 1 Patukangan lulus pada tahun 2002, SLTPN 2 Kendal lulus pada tahun 2005, SMAN 1 Kendal lulus pada tahun 2008, dan Program Sarjana di Institut Pertanian Bogor, Departemen Teknologi Hasil Perairan yang lulus pada tahun 2012. Penulis telah melaksanakan penelitian dengan judul “Peranan Enzim Papain dalam Menghasilkan Kolagen dari Kulit Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dibawah bimbingan Prof Dr Ir Nurjanah, MS. dan Dr Ir Tati Nurhayati, SPi, MSi.