PENGARUH PENAMBAHAN MOROMI, ENZIM PAPAIN DAN LAMA FERMENTASI TERHADAP MUTU KECAP IKAN DARI EKSTRAK IKAN TUNA Hardoko"' ABSTRACT Precooking step in tuna fish canning process produces a byproduct which is called fish extract. This byproduct can be avery potential sources of food product. Research on the usage of tuna fish extract to make fish sauce by adding papain enzyme and moromi in the fermentation process was invertigated. The result showed that 0.0%
the best treatment is obtained by using
6.0 % (w/w) papain enzyme and
moromi during 6 day fermentation period. The product scored 6.61 for
preference of taste, 6.58 for smell / aroma, 6.52 color, 6.27 for viscosity preference, 7.45 for protein hydrolisis value, 5.34 for pH value. Letter on, this product gave viscosity value of 1.601 dPa.s, TVB value of 52.00 mg N/100 g and TPC log value of 5.69 colony/ml. Key words : Moromi, Enzim Papain, Ikan Tuna
PENDAHULUAN Ekstrak ikan tuna (Tuna Fish exstract) merupakan salah satu hasil samping dari tahap proses precooking pada pengalengan ikan tuna yang berbentuk cairan kental berwarna coklat tua, berasa asin, dan berbau khas ikan tuna. Selama ini ekstrak ikan tersebut pemanfaatannya masih terbatas sebagai pakan ternak. Padahal ekstrak ikan tuna tersebut memunyai komposisi gizi yang cukup baik yaitu mengandung protein 7.29%, lemak 2.95%, abu 8.92%, air 58.89%, dan kadar garam 13.02% (PT ATI, 2001). Dengan demikian ada peluang untuk memanfaatkan ekstrak ikan tersebut menjadi produk lain. Melihat penampilan fisik, kondisi proses dan kandungan gizi dari ekstrak ikan tuna sebenarnya cukup layak untuk diproses menjadi makanan manusia. Salah satu altematif yang dapat dilakukan adalah memprosesnya menjadi kecap ikan. Meskipun kecap ikan sebenarnya kurang populer dan kurang berkembang di Indonesia, serta terdapat beberapa kelemahan seperti proses fermentasinya lama (4-12 bulan) (Mackie etal., 1971) dan sangat asin serta beraroma tajam (Tranggono, 1991). Oleh karena itu perlu dicarikan jalan keluar agar waktu fermentasi bisa diperpendek dan rasa, aroma, serta penampilan kecap ikan lebih disukai masyarakat Indonesia. *) Dosen Unibraw dan Dosen Jurusan Teknologi Pangan UPH Jumal llmu dan Teknologi Pangan Vol1, No.1, Oktober2003
39
Beberapa hal yang diduga dapat memperpendek masa fermentasi dan mengurangi bau atau aroma yang tajam adalah dengan menambahkan starter berupa moromi (kecap kedelai mentah) dan enzim proteolitik dari luar seperti enzim papain. Hal ini didasarkan pada adanya bermacam-macam mikroba / bakteri tahan garam (halofilik) pada moromi (Enie, 1980) dan laporan Miyazawa et al. (1979) bahwa penambahan koji pada fermentasi kecap ikan dapat mengurangi aroma / bau yang tajam dari kecap ikan, serta menurut Susanto (1993) terdapat beberapa keuntungan dalam penggunaan enzim papain, seperti tidak bersifat toksik, tidak ada efek samping, pada konsentrasi rendah bias berfungsi baik, mudah didapat, dan sudah banyak digunakan dalam proses pengempukan daging. Selain itu, menurut Van Veen (1965) bahwa waktu fermentasi yang lama disebabkan terbatasnya enzim proteolotik yang ada pada ikan dan mikroba yang tumbuh selama fermentasi berlangsung. Untuk meningkatkan tingkat kesukaan masyarakat Indonesia (popularitas) terhadap kecap ikan dapat dilakukan dengan mengubah penampilan dan menyesuaikan dengan selera lidah masyarakat Indonesia. Menurut Rukmana dan Yuniarsih (2001) kecap yang lebih diminati untuk dikonsumsi masyarakat Indonesia adalah kecap yang berasa manis. Dengan demikian perlu dilakukan pembuatan kecap ikan yang berasa manis dan berpenampilan seperti kecap kedelai. Oleh karena itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk membuat kecap ikan yang berasa manis dan beraroma / bau yang ringan. Dalam hal ini penelitian lebih ditekankan untuk mempelajari pengaruh penambahan moromi dan enzim papain dalam fermentasi kecap dari ekstrak ikan tuna terhadap mutu kecap yang dihasilkan. BAHAN DAN METODE Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan baku dan bahan pembantu. Bahan bakunya berupa ekstrak ikan tuna, moromi, dan enzim papain. Ekstrak ikan diperoleh dari hasil samping proses precooking pada pengalengan ikan tuna di PT. Aneka Tuna Indonesia, sedangkan moromi berasal dari hasil fermentasi kedelai selama satu bulan dari perusahaan pembuatan kecap tradisional di Singosari Malang. Adapun enzim papain yang digunakan adalah merk Paya yang diproduksi oleh International Golden Trophy dengan aktivitas sebesar 6.059 mg tirosin / gram enzim. 40
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan Vol1, No.1, Oktober2003
Bahan pembantu yang digunakan meliputi Na-benzoat, garam dan bumbu-bumbu seperti gula kelapa, air, garam, pekak atau adas, gula pasir, bawang putih, ketumbar, lengkuas, kayu manis, kluwek, sereh, daun salam. Metode Pada tahap awal dilakukan penelitian pendahuluan melalui dua percobaan yakni percobaan untuk menentukan jumlah moromi yang baik dalam fermentasi dan percobaan untuk menentukan jumlah enzim papain yang sesuai dalam fermentasi kecap ikan berdasarkan organoleptik hedoniknya. Pada percobaan pertama dilakukan penambahan moromi 5.0, 10.0, 15.0 dan 20.0% (w/w) dengan lama fermentasi 2 minggu pada 37°C. Dari percobaan tersebut diperoleh bahwa penambahan moromi 15.0% menghasilkan kecap ikan yang paling disukai konsumen.
Ditimbang fish exstract 400 g Dimasukkan dalam wadah tertutup Ditambahkan 6 % Enzim Papain + 0 % atau 15 % moromi (b/b) dari fish exstract Dimasukkan dalam oven dengan suhu 37 °C Difermentasi selama 3 hari, 6 hari dan 9 hah
I Diuji formol titrasi, pH, viskositas, TVB dan uji TPC \ Proses pemasakan dan penambahan bumbu Kecap ikan manis
I
Diuji organoleptik hedonik dan uji asam amino Gambar 1. Diagram pelaksanaan penelitian
Pada percobaan kedua dilakukan penambahan enzim papain 6.0, 10.0, dan 14.0% (w/w) dari ekstrak ikan tuna dan difermentasi selama 6 hari pada 37°C.
Jumal llmu dan Teknologi Pangan Vol1, No.1, Oktober 2003
41
Dari percobaan ini diperoleh bahwa kecap ikan yang paling disukai adalah kecap yang ditambahkan enzim papain 6.0% dalam fermentasinya. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan (percobaan pertama dan percobaan kedua) dilakukan penelitian utama dengan perlakuan : A1) enzim papain 6.0% + 0.0% moromi; A2) enzim papain 6.0% + 15.0% moromi; dan lama fermentasi (B) 3, 6, dan 9 hari pada suhu 37°C. Garis besar prosedur penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Parameter yang diamati mencakup formol tertitrasi (Sudarmadji et al, 1997), pH (Tranggono, 1991), Viskositas, TVB (Tranggono, 1991), TPC (Fardiaz, 1992) dan Organoleptik hedonik, serta Asam amino dengan HPLC. HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Hi dro Iis is Protein (%) Tingkat hidrolisis protein ditentukan berdasarkan metode titrasi formol (Sudarmadji et al, 1997). Dari hasil analisis statistik terhadap data tingkat hidrolisis protein kecap ikan diperoleh bahwa tingkat hidrolisis protein ikan oleh enzim papain dipengaruhi oleh jumlah moromi yang ditambahkan dan lama fermentasi serta interaksi keduanya (p<0.05) seperti terlihat pada Gambar2.
(A
1
8.00
2 Co- 6.00 H I
^
4.00 •
1 £ 2.00CD
,E
0.00 *
Lt Lama Fermentasi (hari) E. papain 6.0%+Moromi 0.0% E. papain 6.0%+Moromi 15%
Ketercmgctn : huruf dibelcikcing angkct memmjukkan beda nyata x = 0.05 Gambar 2. Histogram Tingkat hidrolisis protein kecap ikan yang dalam fermentasinya ditambahkan enzim papain dan moromi
42
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan Vol1, No.1, Oktober2003
Dari Gambar 2. terlihat bahwa tingkat hidrolisis protein oleh enzim papain pada kecap yang ditambah moromi lebih rendah daripada yang tidak ditambah moromi (p<0.05). Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa penambahan moromi pada proses fermentasi dengan enzim papain tidak meningkatkan proses hidrolisis, tetapi justru menghambat. Hal ini barangkali terkait dengan kandungan garam pada moromi yang mencapai 17.27 % yang dapat menghambat kerja enzim papain. Hadiwiyoto (1994) menyatakan bahwa sampai konsentrasi tertentu kadar garam dapat meningkatkan aktivitas enzim, tetapi bila kadar garamnya terlalu tinggi justru akan menurunkan aktivitasnya. Selain itu, juga terlihat bahwa tingkat hidrolisis protein terus meningkat sampai hah ke 6 dan menurun kembali pada hah ke 9. Ini menunjukkan bahwa tingkat hidrolisis protein optimal tercapai pada fermentasi hari ke 6. Keadaan ini ditunjang oleh Winarno (1983) bahwa semakin lama waktu inkubasi akan menyebabkan daya kerja enzim untuk melakukan proses hidrolisa semakin panjang, dan suatu saat akan tercapai keadaan yang konstan.
Nilai pH Hasil analisis statistik terhadap nilai pH kecap ikan diperoleh bahwa penambahan moromi 15.0% pada proses pembuatan kecap ikan dengan enzim papain 6.0% selama fermentasi berpengaruh pada nilai pH kecap (p<0.05%), demikian juga interaksi keduanya. Pengaruh tersebut terlihat pada Gambar 3.
5.60-1 I 5.40o. 5.205.00-
tf 1— ,,,
s
< /
•
1
3
«£ *>
/ 1
1
6
Lama Fermentasi (hari) IE. papain 6.0%+Moromi 0.0% DE. papain 6.0%+Moromi 15%
Gambar 3. Histogram pH kecap ikan yang dalam fermentasinya ditambah enzim papain dan moromi
Jurnal ilmu dan Teknologi Pangan Vol1, No.1, Oktober 2003
43
Pada Gambar 3 terlihat bahwa nilai pH akan cenderung lebih rendah dengan adanya penambahan konsentrasi moromi 15 % dibandingkan dengan tanpa penambahan moromi. Hal ini diduga karena kondisi awal dari moromi sudah memiliki pH yang lebih rendah dan kandungan karbohidratnya, serta kandungan mikrobanya yang dapat menurunkan pH lebih rendah. Pendapat tersebut didukung oleh Zubaidah (1998) bahwa pertumbuhan mikroorganisme yang berperan pada kecap akan lebih baik pada kondisi asam atau pH rendah. Nilai pH terus menurun dengan selama fermentasi sampai lama fermentasi 9 hari. Hal ini dijelaskan oleh Istianah. era/., (2001) bahwa semakin lama fermentasi proses pembentukan asam-asam hidrolisa akan semakin banyak sehingga menyebabkan pH turun, disamping adanya senyawa nitrogen yang mudah menguap juga mempengaruhi penurunan pH. Viskositas (dPa.s) Hasil analisis statistik nilai viskositas kecap dipengaruhi secara nyata oleh penambahan moromi dan dan lama fermentasi (p<0.05), tetapi tidak terdapat interaksi diantara keduanya. Hasil analisis lebih lanjut tergambar pada Gambar 4 dan Gambar 5. In 2 •S. <» 5
2.00 T 1.50 1.00 0.50-
8 o.ooSt
>
Keterungan : liuruf dihelakang angka menunjukkan beda nyata &=0.05
Gambar 4. Histogram perbedaan viskositas kecap ikan yang dibuat dengan enzim papain dan atau tanpa moromi Pada Gambar 4 terlihat bahwa penambahan moromi 15 % dalam proses fermentasi mengakibatkan viskositas kecap ikan lebih rendah daripada yang tidak ditambah moromi. Hal ini diduga terkait dengan kandungan air dari moromi yang mencapai 70.28% yang dapat menurunkan viskositas kecap ikan.
Jumal llmu dan Teknologi Pangan Vol1, No.1, Oktober2003
Namun apabila dilihat dari lama fermentasinya (Gambar 5) terlihat bahwa semakin lama fermentasi maka viskositas kecap makin kental. Hal ini dikarenakan dengan semakin lamanya fermentasi akan memberikan kesempatan enzim untuk memecah substrat menjadi senyawa yang lebih sederhana lebih banyak, seperti yang diungkapkan Martasasmita. Et al. (1975) bahwa semakin lama fermentasi kesempatan bagi enzim untuk bekerja memecah komponen kompleks akan semakin banyak dan soluble solid semakin tinggi sehingga semakin kental. 1,38d
1,25c
3. 6. Lama Fermentasi (hari) Keterangan : humf dibelakang angka menunjukkan beda nyata oc =0.05
Gambar 5. Histogram Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Viskositas Kecap Ikan TVB (Total Volatile Base) Niali TVB (Total Volatile Base) dari kecap ikan dengan penambahan enzim papain 6.0% ternyata tidak dipengaruhi oleh penambahan moromi dan lama fermentasi, demikian juga interaksi keduanya (p>0.05), seperti terlihat re ra O
DU.UU l
r
-
T"
I-
£ 20.00-
I
£ CO
z 4o.oo- J ^ 2 - , |> 0 00 J ^
'
"
£
CO
£>
B^h ,—^B
N
a I
§
m~\ 1 ,—^
a. M l
in './
m~~ 1—. ^ B -
1—r-
3 6 Lama Fermentasi (hari) IE. papain 6.0%+Moromi 0.0% • E. papain 6.0%+Moromi 15% Jurnal llmu dan Teknologi Pangan Vol1, No.1, Oktober2003
45
Keterangan : liuruf dibelakung angku menunjukkan bet/a nyata <x = 0.05
Gambar 6. Histogram TVB Kecap Ikan yang dalam fermentasinya ditambah enzim dan moromi pada Gambar 6. Meskipun demikian terlihat ada pola yang mirip dengan nilai tingkat hidrolisis protein dimana tercapai optimal pada fermentasi hari ke 6. Keadaan ini barangkali terkait dengan pernyataan Sanyoto (1993) bahwa waktu inkubasi merupakan hal yang penting dalam proses pembuatan kecap ikan, karena semakin lama waktu inkubasi maka semakin banyak hasil hidrolisis yang diperoleh, tetapi pada batas tertentu hasil hidrolisis menjadi konstan dan cenderung menurun. Proses hidrolisis dapat menguraikan protein menjadi asam-asam amino dan senyawa-senyawa basa volatile seperti NH3 dan H2S, dll . Hal lain yang terkait dengan penurunan tingkat hidrolisis protein dan nilai TVB pada hari ke-9 adalah diduga karena adanya penurunan aktifitas enzim dan jumlah mikroba (TPC). Sehingga pada hari ke-9 pengurai protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana yang dilakukan oleh enzim papain dan mikroba semakin menurun dan cenderung akan konstan. Dengan semakin menurunnya aktifitas enzim tersebut akan berpengaruh terhadap nilai TVB yang semakin menurun pula. TPC (log koloni/ml) Dari hasil analisis statistik terhadap nilai TPC pada pembuatan kecap ikan dengan enzim papain 6.0% menunjukkan bahwa penambahan moromi dan lama fermentasi berpengaruh nyata, begitu pula untuk interaksinya (p<0.05) (Gambar 7). Dari Gambar 7 terlihat semakin lama fermentasi sampai hari ke 6 jumlah bakteri cenderung meningkat dan menurun pada hari ke 9. Hal ini didukung oleh pendapat Kumalaningsih (1986) bahwa peningkatan jumlah bakteri pada lama fermentasi sampai hari ke 6 disebabkan pada hari ke 6 tersebut umumnya bakteri mengalami fase stasioner. Selanjutnya semakin lama fermentasi (sampai hari ke 9) jumlah bakteri cenderung mengalami penurunan.
46
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan Vol1, No.1, Oktober2003
Hal ini diduga terkait dengan perubahan kondisi lingkungan dan jumlah nutrien zat-zat esensial pada substrat cenderung berkurang. Selain itu, dari Gambar 7 juga terlihat bahwa jumlah TPC pada kecap yang ditambah moromi lebih tinggi dari pada yang tidak ditambah moromi. Hal ini disebabkan karena dalam moromi terdapat bakteri-bakteri yang diharapkan dapat menjadi starter dalam fermentasi kecap.
01
|
7.00-1
o 6.50•* 6 . 0 0 O)
£ 5.50 £ 5.00-
ra
vr in
rg to
«
NT
o
m
r^
CO
CD
u O)
JD
CD
in
I
CD
•
CO
6 Lama Fermentasi (hari) IE. papain 6.0%+Moromi 0.0% DE. papain 6.0%+Moromi 15%
Keterangan : hitruf dibetakang angka memmjukkan beda nyata <x =0.05
Gambar 7. Histogram jumlah mikroba pada kecap ikan yang dalam proses fermentasinya ditambah enzim papain dan moromi
Uji Organoleptik Hedonik Kecap Kecap yang dinilai tingkat kesukaannya (organoleptik hedonik) adalah produk kecap ikan yang telah dibumbui menjadi kecap ikan manis. Adapun atribut yang dinilai meliputi hedonik rasa, bau (aroma), warna, dan kekentalan dengan menggunakan skore penilaian 1 - 9 ( 1 = amat sangat tidak suka, 5 = netral, 9 = amat sangat suka). Berdasarkan analisis statistiknya diperoleh bahwa hanya pada tingkat kesukaan terhadap rasa dari kecap yang berbeda nyata (p<0.05), sedangkan tingkat kesukaan terhadap bau (aroma), warna, dan kekentalan tidak berbeda nyata (p>0.05). Gambaran tingkat kesukaan terhadap rasa kecap dapat dilihat pada Gambar 8, sedangkan tingkat kesukaan terhadap bau, warna, dan kekentalan, masing-masing dapat dilihat pada Gambar 9, Gambar 10, dan Gambar 11.
Jumal llmu dan Teknologi Pangan Vol1, No. 1, Oktober 2003
47
Dari Gambar 8 terlihat kecap ikan yang dibuat dengan enzim papain 6.0% tanpa penambahan moromi ternyata rasanya lebih disukai daripada yang ditambah moromi. Ini menunjukkan bahwa peran moromi yang diharapkan dapat memunculkan flavor-falvor alami kecap kurang sinergis dengan enzim papain. Selain itu juga terlihat bahwa kecap yang paling disukai rasanya adalah kecap yang difermentasi dengan enzim papain 6.0% dan tanpa penambahan moromi, serta difermentasi selama 6 hah. Kecap ini mencapai tingkat kesukaan rasa 6.61 (suka). Menurut Yokotsuka (1960), rasa kecap sebenarnya dihasilkan oleh senyawa-senyawa aromatis serta asam amino glutamat yang bersenyawa dengan garam dapur (NaCI) menjadi Monosodium Glutamat yang menyebabkan rasa gurih pada kecap. Perlakuan pemberian gula dan bumbu-bumbu juga mempengaruhi rasa kecap. Dalam hal ini, menurut Kumalaningsih (1986) rasa suatu bahan pangan dapat berasal dari bahan pangan itu sendiri dan apabila telah mendapat perlakuan pengolahan, maka rasanya dipengaruhi oleh bahan-bahan yang ditambahkan selama proses pengolahan. Dari Gambar 9, Gambar 10, dan Gambar 11 terlihat bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap bau (aroma), warna, dan kekentalan kecap ikan tidak dipengaruhi oleh perlakuaannya. Dengan kata lain tingkat kesukaan panelis terhadap aroma, warna, dan kekentalan kecap sama yakni mencapai nilai rata-rata kesukaan aroma 6.46 (suka), warna 6.47 (suka), dan kekentalan 6.23 (agak suka). Menurut Kumalaningsih (1982) selama fermentasi, terjadi hidrolisis protein oleh enzim proteolitik yang memecah protein menjadi asam amino bebas dan peptida-peptida yang akan digunakan sebagai substrat untuk diubah atau disintesa menjadi senyawa-senyawa pembentuk aroma.
Lama Fermentasi (hari) IE. papain 6.0%+Moromi 0.0% DE. papain 6.0%+Moromi 15%
48
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan Vol1, No. 1, Oktober 2003
Keterangan : humf dibelakang angka menunjukkan beda nyata x = 0.05
Gambar 8. Histogram organoleptik hedonik rasa kecap ikan yang dalam proses fermentasinya ditambah papain dan moromi
ro en
3
ro CO
7.00
jj|
6.00
•o
5.00
'c o CD
X
CO
rO
co
ro rr
4.00
CD I-
3.00 o 2.00 l_ 3
6
9
Lama Fermentasi (hari) • E. papain 6.0%+Moromi 0.0% D E. papain 6.0%+Moromi 15%
Keterangan : huruf dibelakang angka menunjukkan beda nyata cc =0.05
Gambar 9. Histogram organoleptik hedonik bau kecap ikan yang dalam
§
6.00 -
£ fe 5.00 £
4.00 -
CO
3.00 o nn -
6,43a
6,61a
6,42a
6,52a
6,36a
7.00 i
6,48a
proses fermentasinya ditambah enzim papain dan moromi
111 3
6
9
Lama Fermentasi (hari) • E. papain 6.0%+Moromi 0.0% DE. papain 6.0%+Moromi 15%
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan Vol1, No. 1, Oktober 2003
49
Keterangan : hum/ dibelakang angka menimjakkan becla nyata /J = 0.05
Gambar 10. Histogram organoleptik hedonik warna kecap ikan yang dalam proses fermentasinya ditambah papain dan moromi
Lama Fermentasi (hari) IE. papain 6.0%+Moromi 0.0% DE. papain 6.0%+Moromi 15%
Keterangan : Iniruf dibelakang angka menunjiikkan beda nyata x =0.05
Gambar 11. Histogram organoleptik hedonik kekentalan kecap ikan yang dalam proses fermentasinya ditambah papain dan moromi Pada umumnya panelis sulit untuk membedakan warna kecap ikan karena perlakuan penambahan gula dan bumbu-bumbu adalah sama. Menurut Yokotsuka (1960) sebenarnya warna kecap disebabkan karena adanya reaksi browning antara asam amino dan gula reduksi yang terbentuk selama fermentasi berlangsung. Tetapi karena pada proses pembuatan kecap ditambahkan gula karamel, maka warna kecap relatif sulit dibedakan. Selain itu menurut (Kokro, 1987) warna kecap juga dipengaruhi penambahan gula merah dan penambahan bumbu. Profil Asam Amino Profil asam amino dari ekstrak ikan tuna dan kecap ikan manis yang dianalisis SO
menggunakan
HPLC dapat dilihat pada Tabel 1.
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan Vol1, Wo. 7, Oktober2003
Dari Tabel 1 terlihat adanya profil yang sama dari bahan baku kecap ikan (ekstrak ikan tuna) dan produk kecap ikannya, yakni terdapat 18 jenis asam amino dan satu NH3, serta satu asam amino (sistein) tidak terdeteksi karena proses preparasinya menggunakan HCI. Asam amino yang terlihat dominan adalah asam glutamat, glisin, histidin, dan prolin, dimana persentase (kadar) pada ekstrak ikan lebih tinggi dari yang ada pada kecap ikan manis. Perbedaan kadar ini disebabkan oleh penambahan gula dan bumbu-bumbu yang mencapai sekitar 65% dari berat kecap. Tabel 1. Profil Asam Amino Pada Kecap Ikan Manis dan Tuna Fish Exstract Jenis Asam Amino Asam Aspartat Treonin Serin Asam Glutamat Glisin Alanin Sistein Valin Metionin Isoleusin Leusin Tyrosin Fenilalanin Hidroksilin Lisin NH3 Histidin Argin in Hypoprolin Prolin Total Jumlah Keterangan: - : Tidak
(Fish Exstract) (%)
Kecap Ikan Manis (%)
1,157 0,804 0,808 3,111 4,098 1,314 0,654 0,009 0,398 0,845 0,149 0,531 0,171 1,238 0,402 2,901 1,711 1,546 2,163
0,186 0,085 0,090 0,790 0,465 0,245 0,075 0,001 0,046 0,093 0,016 0,057 0,016 0,104 0,082 0,221 0,151 0,164 0,231
24,01
3,119
Terdeteksi
Dominasi asam glutamat dan glisin pada bahan dan produk kecap ikan dapat mempengaruhi khususnya rasa dari kecap ikan. Hal ini disebabkan asam glutamat merupakan flavor enhancer dan glisin secara individual berasa Jumal llmu dan Teknologi Pangan Vol1, No. 1, Oktober 2003
manis. Dominasi histidin dan prolin pada bahan dan kecap terkait dengan daging ikan tuna yang termasuk dalam kelompok Scombtidae. KESIMPULAN Penambahan enzim papain dan moromi dalam fermentasi kecap ikan dari ekstrak ikan tuna mempengaruhi mutu kecap yang dihasilkan. Kecap ikan yang paling disukai konsumen adalah yang dibuat dengan menambahkan enzim papain 6.0% dan tanpa penambahan moromi (moromi 0.0%) yang difermentasi selama 6 hari. Kecap ini mempunyai nilai mutu hedonik rasa 6.61, bau 6.58, warna 6.52, kekentalan 6.27, tingkat hidrolisis protein 7.45 %, pH 5.34, nilai viskositas 1.60 d Pa.s, nilai TVB 52.00 mg N/100 g, nilai log TPC 5.69 koloni/ml. Asam-amino yang terdapat pada kecap ikan didominasi oleh asam glutamat, glisin, histidin, dan prolin seperti pada bahan bakunya (ekstrak ikan tuna). DAFTAR PUSTAKA Enie, B. 1980. Fermentasi Kedelai dan Kacang Tanah. Departemen Perindustrian Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Bogor. Bogor. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hadiwiyoto, 1994. Laporan Penelitian: Pengaruh KadarGaram NaCI Dalam Substrat Terhadap Aktivitas Enzim Protease. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gajah Mada.Yogyakarta. Istianah, A. Sudarminto. Susanto, T. 2001. Seminar Nasional Makanan Tradisional. Penggunaan Enzim Papain Pada Pembuatan Kecap Kupang Merah. Kokro, F. 1987. Pembuatan Kecap Ikan dengan Cara Kombinasi Hidrolisa dan Fermentasi . Skripsi Fateta. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kumalaningsih, S. 1982. Fermentasi Kecap Ikan Lemuru (Sardinella sp.) Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. . 1986. Pemanfaatan Enzim dan Bakteri Proteolitik Pada Fermentasi Kecap Ikan Lemuru (Sardinela sp). Desertasi. Universitas Brawijaya. Malang.Unpublished. Mackie, I.M.R. Hardy, and G. Hobbs. 1971. Fermented Fish Products. F.A.O.U.N.O. Rome. Fisheries Reports. Martassamita, S. Winarno, FG. dan Kristiaty, D. 1975. Buletin Penelitian Teknologi Hasil Pertanian Institut Pertanian Bogor. Pengaruh Jenis Kapang, Waktu Fermentasi dan Varietas Kedelai Terhadap Mutu Kecap. 52
Jumal llmu dan Teknologi Pangan Vol1, No. 1, Oktober 2003
Miyazawa, K. Van Le.C. Iro.K. Matsumoto, F. 1979. Studies on Fish Sauce. J. Fac. Appl. Biol.Sci. Hirosima University. PT. ATI. 2001. Hasil Analisis Kimia Tuna Fish Extract. PT. Aneka Tuna Indonesia. Pandaan, Jawa Timur. (Tidak dipublikasikan). Rukmana, R dan Y. Yuniarsih. 2001. Membuat Kecap: Kecap Busuk, Nira, Air Kelapa. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Sanyoto, A. 1993. Studi Kelayakan Pembuatan Kecap dari Daging Sapi Secara Hidrolisa Enzimatis Tinjauan dari Suhu dan Lama Inkubasi. Skripsi Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. Sudarmadji, S. Haryono, B. Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan Dan Pertanian. Edisi Keempat. Liberty. Yogyakarta. Susanto.T 1993. Pengantar Pengolahan Hasil Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. Tranggono.1991. Petunjuk Laboratorium Analisa Hasil Perikanan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Van Veen, A. G. 1965. Fermented and Driet Seafood Pruducts In South East Asia. In: Borgstorm, G. (ed). Fish as Food Vol. 2. Academic Press. London. Yokotsuka, T. 1960. Aroma and Flavour of Japanese Soy Sauce. Dalam Steikraus 1983. Zubaidah, E. 1998. Teknologi Pangan Fermentasi. Jurusan Teknologi hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan Vol1, No.1, Oktober2003
S3