EFEKTIVITAS ANESTESI BERULANG KETAMIN PADA LANDAK MINI (Atelerix albiventris)
INTAN MARIA PARAMITA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efektivitas Anestesi Berulang Ketamin pada Landak Mini (Atelerix albiventris) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2015 Intan Maria Paramita NIM B04110015
ABSTRAK INTAN MARIA PARAMITA. Efektivitas Anestesi Berulang Ketamin pada Landak Mini (Atelerix albiventris). Dibimbing oleh RIKI SISWANDI dan HUDA SHALAHUDIN DARUSMAN. Penelitan ini bertujuan untuk menerangkan hasil evaluasi anestesi berulang dilihat dari parameter onset, durasi serta tahapan anestesi pada landak mini (Atelerix albiventris) dengan menggunakan ketamin intramuskular. Empat ekor landak mini (Atelerix albiventris) dianestesi dengan ketamin dosis 80 mg/kg BB di m. gluteus. Pengulangan injeksi dilakukan dengan penyuntikan anestesi berulang tiga kali dengan selang waktu empat hari. Hasil menunjukkan bahwa penggunaan ketamin pada landak mini memiliki onset 3 menit 53 detik ± 57 detik, dengan durasi anestesi 13 menit 52 detik ± 58 detik dan waktu pemulihan 30 menit 48 detik ± 6 menit 8 detik. Ketamin berulang menunjukkan kecenderungan percepatan onset, peningkatan durasi dan waktu pemulihan. Pengulangan mengakibatkan durasi anestesi menjadi lebih lama secara signifikan pada pengulangan pertama dan ketiga (P<0.05). Waktu pemulihan menjadi lebih lama seiring dengan dilakukan pengulangan namun tidak berbeda nyata. Pengulangan memengaruhi beberapa gejala klinis menjadi lebih cepat terjadi baik periode induksi maupun pemulihan. Refleks okular menunjukkan refleks yang berbeda beda yang ditandai dengan penekanan refleks pupil di semua individu namun penekanan refleks kornea dan palpebra hanya pada setengah total individu. Ketamin memiliki efek samping menyebabkan hipersalivasi dan peningkatan tonus otot sehingga diperlukan penggunaan premedikasi dan kombinasi obat.
Kata kunci: anestesi, anestesi berulang, ketamin, landak mini
ABSTRACT INTAN MARIA PARAMITA. The Effectiveness of Ketamin Repeated Anaesthesia in African Pigmy Hedgehog (Atelerix albiventris). Supervised by RIKI SISWANDI and HUDA SHALAHUDIN DARUSMAN. The aim of this research was to explain the result of repeated anaethesia evaluation using onset, duration and observed clinical signs in African pigmy hedgehog (Atelerix albiventris) using intramuscular ketamine. Four hedgehogs (Atelerix albiventris) were anaesthetized using 80 mg/kg ketamine in musculus gluteus. Repeat anesthesia was done by injecting ketamine three times at intervals of four days. The result showed that the used of ketamine in hedgehog had 3 minutes 53 seconds ± 57 seconds in onset, the duration of anaethesia was 13 minutes 52 seconds ± 58 seconds and recovery time was 30 minutes 48 seconds ± 6 minutes 8 seconds. Repeated ketamine showed a tendency in accelerated onset, increased duration and recovery time. Repetition resulted in a significantly longer duration of anesthesia in the first and third repetition (P <0.05). The recovery time was longer due to repetition, but not significantly different. Repetition showed faster clinical symptoms occur both induction and recovery periods. Ocular reflex showed different reflex in some parts characterized by an emphasis of pupillary reflex in all different individuals but the emphasis of corneal and palpebral reflexes only in a half individual. Ketamine has side effects caused hypersalivation and increased muscle tone that is necessary to use premedication and drug combinations.
Keywords: anaesthesia, hedgehog, ketamine, repeated anaesthesia
EFEKTIVITAS ANESTESI BERULANG KETAMIN PADA LANDAK MINI (Atelerix albiventris)
INTAN MARIA PARAMITA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Judul Skripsi : Efektivitas Anestesi Berulang Ketamin pada Landak Mini (Atelerix albiventris) Nama : Intan Maria Paramita NIM : B04110015
Disetujui oleh
Drh Riki Siswandi, MSi Pembimbing I
Drh Huda S Darusman, MSi, PhD Pembimbing II
Diketahui oleh
Drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah “Efektivitas Anestesi Berulang Ketamin Pada Landak Mini (Atelerix albiventris)”. Terimakasih penulis ucapkan kepada ayahanda Alm Bambang Suyadi, ibunda Sutitah Rahaju, dan kakak terkasih Novin Maria Purwanita beserta kakak ipar Samsul Arifin atas segala bentuk dukungan dan kasih sayang yang berlimpah kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Drh. Riki Siswandi, MSi dan Bapak Drh. Huda S Darusman, MSi, PhD selaku pembimbing yang selalu sabar dan bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih kepada Bapak Dr. Drh. H. Akhmad Arif Amin selaku dosen pembimbing akademik atas dukungan, bimbingan, dan kasih sayangnya. Terimakasih Bapak Mardikanto dan Ibu Ninut terkasih yang selalu memberikan dukungan dan nasihat selama menempuh masa studi. Sahabat yang selalu mendampingi di kala suka dan duka, Melpa, Zahra, Cerelia, Faisal, Fiqi, Keluarga Cempaka 13, Keluarga Paguyuban Karya Salemba Empat IPB, Tim Panitia Pemeriksa Hewan dan daging Kurban, serta Tim pecinta hewan eksotik Rifky, dan Kenda. Kakak kakak yang selalu menyemangati, Kak Hiro, Kak Putra, Kak Talitha, dan Kak Kukuh. Tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada keluarga besar Ganglion FKH 48 atas segala dukungan moril yang telah diberikan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis terbuka atas saran yang diberikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun bagi pembaca.
Bogor, September 2015 Intan Maria Paramita
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
x
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
BAHAN DAN METODE
5
Waktu dan Tempat Penelitian
5
Alat dan Bahan
5
Metode Penelitian
5
Prosedur Analisis Data
6
HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Klinis Anestesi Periode Induksi Gejala Klinis Anestesi pada Periode Pemulihan SIMPULAN DAN SARAN
6 8 12 14
Simpulan
14
Saran
14
DAFTAR PUSTAKA
15
LAMPIRAN
17
RIWAYAT HIDUP
23
DAFTAR TABEL 1 Nilai rataan onset anestesi, durasi anestesi, dan waktu pemulihan anestesi antar pengulangan 2 Gejala klinis anestesi pada landak mini 3 Nilai raataan onset gejala klinis induksi mata membesar, inkoordinasi, refleks pupil hilang 4 Nilai raataan onset gejala klinis induksi refleks pupil hilang, refleks penegakan tubuh, pili recti hilang 5 Nilai raataan onset gejala klinis induksi pili recti hilang, refleks kornea hilang, nyeri hilang 6 Nilai raataan onset gejala klinis pemulihan nyeri timbul, pili recti timbul, refleks kornea kembali 7 Nilai raataan onset gejala klinis pemulihan refleks kornea kembali, refleks palpebrae kembali, relaksasi kaki depan 8 Nilai raataan onset gejala klinis pemulihan relaksasi kaki depan, mata mengecil, refleks pupil kembali 9 Nilai raataan onset gejala klinis pemulihan refleks pupil kembali, refleks penegakan leher, refleks penegakan tubuh
7 8 9 10 10 12 12 13 13
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5
Landak Mini Metode Pengekangan Landak Mini (Hudelson 2008) Struktur kimia ketamin HCl C13H16ClNO.HCl Urutan onset gejala klinis pembiusan tahap induksi Urutan onset gejala klinis pemulihan anestesi
3 3 4 11 14
DAFTAR LAMPIRAN 1. Hasil uji ANOVA onset, durasi, dan pemulihan anestesi 2. Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode induksi (Mata membesar, Inkoordinasi, Refleks pupil hilang) 3. Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode induksi (Refleks pupil hilang, Refleks Penegakan tubuh hilang, Pili recti) 4. Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode induksi (Pili recti, Refleks Kornea hilang, Nyeri hilang) 5. Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode pemulihan (Nyeri timbul, Pili recti, Refleks kornea) 6. Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode pemulihan (Refleks kornea, Refleks palpebrae, Relaksasi kaki depan) 7. Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode pemulihan (Relaksasi kaki depan, Mata mengecil, Refleks pupil) 8. Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode pemulihan (Refleks pupil kembali-Refleks penegakan leher-Refleks penegakan tubuh)
17 18 18 19 20 20 21 22
PENDAHULUAN Latar Belakang Hewan eksotik adalah hewan liar yang dijadikan hewan kesayangan karena memiliki karakteristik bentuk yang unik dan langka sehingga orang memelihara hewan tersebut untuk kesenangan atau kepuasan yang memelihara. Indonesia memiliki peningkatan jumlah pemelihara hewan eksotik yang tinggi. Salah satu hewan eksotik yang dipelihara adalah landak mini. Landak mini terdiri dari berbagai macam spesies, namun yang sering dipelihara hanya dua spesies. Landak mini Eropa (Erinaceus europaeus) dan landak mini Afrika (Atelerix albiventris) yang lebih kecil. Landak mini di Indonesia lebih banyak berasal dari Afrika dengan ciri khas warna putih pada rambut halus di wajah dan abdomen. Sedangkan landak mini Eropa (Erinaceus europaeus) memiliki ciri khas warna hitam di rambut halusnya (Santana et al. 2010). Landak mini dengan durinya bukan hewan yang mudah ditangani. Landak mini memiliki kebiasaan menggulung seperti bola dan mengeluarkan suara khas hissing dan huffing sebagai suara peringatan yang dihasilkan dari hidung saat merasa terganggu (Hoefer 1992). Kebiasaan ini dapat menyulitkan ketika melakukan tindakan medis. Tindak restraint kimiawi adalah salah satu cara pengendalian hewan dengan menggunakan prinsip meniadakan kesadaran, refleks, dan rasa nyeri (Dugdale 2012). Dengan menggunakan teknik serta sediaan anestesi yang tepat, seekor hewan dapat ditangani dengan lebih baik. Landak mini memiliki perilaku khas self-anointing dan hibernasi. Selfanointing adalah pengeluaran saliva berlebih yang dibalurkan ke seluruh tubuh terjadi saat landak mini bertemu dengan hal baru. Hibernasi atau tidur panjang dilakukan saat landak mini berada di lingkungan yang dingin dan langka makanan (Mori dan O‟Brien 1997). Self-anointing dapat memicu terjadinya pneumonia aspirasi bila tidak menggunakan agen anestetikum yang mempertahankan refleks menelan. Hibernasi landak mini dapat menurunkan fungsi kardiovaskular, sehingga penting melakukan pemilihan sediaan depresan sistem syaraf pusat yang mampu mempertahankan refleks menelan dan menjaga fungsi kardiovaskular. Salah satu agen yang dapat digunakan untuk aplikasi pada satwa eksotik adalah ketamin. Belum banyak studi dan literatur terkait anestesi pada landak mini. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai efektivitas anestesi berulang ketamin pada landak mini sehingga dapat diterapkan dalam penanganan landak mini.
Perumusan Masalah Landak mini adalah hewan eksotik yang dipelihara di Indonesia, ketersediaan literatur tentang landak mini dan data-data sederhana untuk pemeriksaan pada landak mini belum banyak diteliti. Seringkali landak menderita penyakit dan jarang praktisi mampu memberikan cara pengekangan yang tepat pada landak mini. Untuk dapat melakukan pengambilan gambar ultrasonografi, tindak bedah serta tindakan medis lainnya diperlukan teknik anestesi yang tepat.
2 Periaku landak mini seperti menggulung badan, dan self-anointing saat bertemu orang baru dan hibernasi mengharuskan pemilihan anestetikum yang aman dalam menghadapi perlaku khas tersebut. Salah satu anestetikum yang disarankan adalah sediaan ketamin. Penggunaan anestesi berulang sering kali digunakan pada operasi radikal atau pada operasi multi penyakit. Efek dari penggunaan ketamin dengan dosis berulang masih belum banyak dilaporkan terutama pada dunia kedokteran hewan.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menerangkan hasil evaluasi anestesi dilihat dari parameter onset, durasi serta tahapan anestesi pada landak mini (Atelerix albiventris) dengan menggunakan ketamin intramuskular. Anestesi berulang bertujuan menerangkan ada tidaknya perubahan potensi dan keamanan anestetikum ketamin pada landak mini.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pengaruh ketamin pada hewan eksotik seperti landak mini. Selain itu diharapkan dapat digunakan sebagai modal bagi penelitian selanjutnya, serta referensi dalam upaya pembelajaran penanganan hewan eksotik untuk pengambilan tindakan medis selanjutnya.
TINJAUAN PUSTAKA Landak Mini (Atelerix albiventris) Indonesia Landak mini adalah hewan yang berbeda dengan landak hutan (Hystrix javanica). Landak mini (erinaceines) adalah mamalia kecil berduri, hidup nokturnal di Eurasia dan Afrika. Habitat landak mini tersebar dari padang pasir hingga daerah tropis. Landak mini memiliki kebiasaan hibernasi saat cuaca menjadi dingin. Kebiasaan ini juga dilakukan saat jumlah makanan berkurang. Kekerabatan terdekat dari landak mini adalah tikus hutan (He et al. 2002). Atelerix albiventris (gambar 1) adalah salah satu dari empat anggota genus Atelerix. Hewan ini merupakan pemakan serangga. Hewan ini dapat dibedakan jenis kelaminnya dengan mudah. Hewan ini tidak termasuk dalam spesies yang dilindungi, sehingga banyak yang menjadikan hewan ini sebagai peliharaan. Selain dipelihara, di Amerika hewan ini banyak digunakan sebagai hewan coba dalam penelitian biomedik (Santana et al. 2010).
3
Gambar 1 Landak Mini (Dokumen pribadi) Landak mini adalah hewan yang memiliki kebiasaan menggulung badannya ketika ketakutan atau bertemu orang baru. Hewan ini mengandalkan duri duri di tubuhnya sebagai bagian dari upaya perlindungan diri saat merasa terancam. Tingkah laku ini dapat menyulitkan dalam melakukan tindakan medis seperti menyuntik dan mengamati bagian abdomen. Cara yang baik untuk mengekang landak mini tanpa menimbulkan trauma adalah dengan meletakkan bagian wajah ke arah bawah. Posisi ini akan memancing landak mini membuka gulungan dan menyentuh meja atau alas lainnya. Saat kaki depan landak terbuka, kaki belakang landak segera di jepit diantara telunjuk dan ibu jari (gambar 2).
Gambar 2 Metode Pengekangan Landak Mini (Hudelson 2008)
Ketamin Hidroklorida (HCl) Ketamin hidroklorida (HCl) dengan rumus 2-(0-chlorophenil)-2(Methylamino)-cyclohexanone merupakan gologan phencyclidine (gambar 3). Ketamin merupakan anestetikum disosisatif yang mempunyai sifat analgesik, anestetik, dan kataleptik dengan kerja singkat. Disosiasi sering disertai dilatasi pupil, salivasi, lakrimasi, gerakan refleks kaki, dan peningkatan tonus otot. Ketamin mampu menjaga kestabilan hemodinamik selama anestesi sebagai akibat dari efek stimulasi nervus simpatis melawan efek depresan (Demirkan et al.
4 2002). Ketamin HCl larut dalam air dan lemak sehingga cepat disalurkan ke organ yang mengandung banyak vaskularisasi, termasuk otak dan jantung (Gunawan et al. 2009).
Gambar 3 Struktur kimia ketamin HCl C13H16ClNO.HCl (Erhardt et al. 1984) Ketamin berikatan dengan reseptor kompleks N-metil-D-aspartat (NMDA) yang terletak di kanal ion. Ikatan ini menyebabkan kerja ketamin antagonis terhadap reseptor NMDA. Agonis endogen dari reseptor ini adalah asam amino seperti asam glutamat, asam aspartat dan glisin. Aktivasi reseptor ini akan membuka gerbang kanal dan membentuk depolarisasi neuron. Ketamin diharapkan mampu menghambat dan mengganggu pemasukan sensor di pusat sensoris otak (Dugdale 2012). Ketamin berperan dalam menghambat sentisisasi sentral. Salah satu neurotransmiter eksitatori yang berperan adalah glutamat. Melekatnya glutamat di membran post synaps akan menyebabkan terjadinya transmisi impuls saraf dan menyebabkan saraf turun ambang nyerinya. Ketamin akan menduduki reseptor NMDA menggantikan glutamat, sehingga menghambat penyampaian impuls, mengurangi fase awal dari sensitisasi sentral (Stoelting & Hillier 2006). Ketamin memiliki sedikit efek depresan pada organ respirasi. Ketamin HCl untuk anestesi umum pada bedah veteriner sering digunakan pada hampir semua jenis hewan. Pertimbangan pemakaian ketamin HCl antara lain tingkat keamanan yang relatif tinggi, interval dosis efektif yang luas dan teknik pemberian yang mudah. Keuntungan ini menjadikan ketamin banyak diaplikasikan di satwa liar dan eksotik baik tunggal maupun kombinasi contohnya pada rakun (Bigler dan Haff 1974), singa gunung (Logan et al. 1986), linsang (Fernandes-Moran et al. 2001), tupai dan musang (Jalanka dan Roeken 1990). Salah satu efek samping yang ditimbulkan oleh ketamin adalah meningkatkan tekanan arterial yang akan menyebabkan peningkatan tekanan intraokuler (Yudaniayanti et al. 2012) Lepore et al. (2000) menyatakan bahwa onset didefinisikan sebagai lamanya waktu induksi obat hingga obat tersebut bekerja. Dalam anestesi, onset diamati sejak anestetikum disuntikkan hingga muncul hilangnya kesadaran dan rasa nyeri. Durasi adalah lamanya obat bekerja dalam tubuh, dihitung sejak kesadaran dan rasa nyeri hilang hingga kedua gejala kembali hadir. Waktu pemulihan merupakan waktu setelah nyeri hadir hingga tubuh benar benar pulih.
5
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Divisi Bedah dan Radiologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada bulan Juli 2014.
Alat dan Bahan Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah empat ekor landak mini (Atelerix albiventris) berjenis kelamin jantan. Landak mini dengan kondisi normal secara fisiologis berusia 5 bulan sampai 1 tahun. Anestetikum yang digunakan adalah ketamin HCL 10% (Ilium Ketamil© 100, Troy). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan hewan kecil, syringe insulin 0,5 ml (Ultra-Fine™) dengan jarum 29 gauge, stetoskop, penlight, rat tooth tissue forceps, kapas beralkohol, dan kamera digital.
Metode Penelitian Tahap Persiapan Empat ekor landak mini diletakkan dalam kandang individu berukuran 40 cm x 25 cm x 27 cm. Adaptasi hewan dilakukan selama satu minggu. Selama proses adaptasi, masing-masing feses hewan diperiksa keberadaan parasitnya melalui pemeriksaan natif menggunakan mikroskop. Pengambilan Data Pengambilan data dilakukan dari tahap induksi, anestesi hingga pemulihan. Variabel yang diamati yaitu onset, durasi, dan tahapan anestesi. Tahap pertama, hewan ditimbang bobot badannya dan dipastikan tidak mengalami kelainan melalui pemeriksaan fisik dan pengamatan tingkah laku. Landak mini adalah hewan nokturnal yang aktif pada malam hari. Landak mini yang dipelihara akan terbiasa bermain di siang hari. Landak mini yang sehat, pada malam hari akan aktif memutari kandang atau mencari makan, sedangkan pada siang hari cenderung tidur. Namun jika dibangunkan landak mini akan aktif berjalan didalam kandang lalu tidur kembali. Dengan mengetahui kebiasaan ini dapat ditentukan individu yang tidak mengalami kelainan. Hewan diinjeksi ketamin dengan dosis 80 mg/kg BB (Robinson dan Routh 1999) secara intramuskuler (IM) di musculus gluteus. Bagian yang akan diinjeksi, dibersihkan terlebih dahulu dengan alkohol 70%. Setelah kaki belakang dikekang dengan benar, ketamin segera diinjeksi. Pengamatan dilakukan dari tahap induksi, tercapai stadium anestesi, hingga tahap pemulihan. Hilangnya refleks penegakan tubuh, dan rasa nyeri menjadi indikator tercapainya stadium anestesi. Durasi anestesi dihitung dari hilangnya refleks nyeri dan refleks
6 penegakan tubuh hingga hewan mampu merespons nyeri. Respon nyeri diamati dengan menjepitkan rat tooth tissue forcep di jari landak mini. Waktu pemulihan adalah sejak respons nyeri muncul sampai hewan mampu mengembalikan refleks penegakan tubuh. Pengamatan pasca induksi dilakukan dengan metode focal animal sampling. Focal animal sampling adalah teknik pengamatan langsung yang digunakan untuk mengamati semua penampakan aksi spesifik dari satu individu atau kelompok individu tertentu berdasarkan periode waktu yang telah ditentukan (Altman 1973). Perilaku yang diamati adalah seluruh perilaku yang dilakukan secara naluri tanpa ada gangguan. Penentuan keamanan dan perubahan potensi anestesi pada landak mini selama pengulangan dilakukan dengan penyuntikan anestesi berulang tiga kali. Landak mini yang sudah dianestesi pada hari pertama diinduksi lagi menggunakan ketamin dengan dosis yang sama pada hari keempat dan ketujuh. Pengamatan dilakukan hingga landak mini pulih dari fase pemulihan anestesi. Variabel yang diamati yaitu onset, durasi dan gejala anestesi setiap pengulangan. Seluruh pengamatan direkam dengan kamera digital dan diamati dengan ketelitian satuan detik.
Prosedur Analisis Data Data parameter onset dan durasi diolah menggunakan IBM SPSS Statistics 20 dan Microsoft Excel 2013. Hasil pengukuran dinyatakan dalam rata-rata dan simpangan baku. Data hasil pengamatan perilaku antar pengulangan dan antar gejala diuji secara statistika menggunakan analisis ragam (Analyse of Variant/ ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Tukey Honestly Significant Difference (HSD) pada selang kepercayaan 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pemakaian ketamin untuk anestesi umum pada bedah veteriner sering digunakan pada hampir semua jenis hewan karena memiliki tingkat keamanan yang relatif tinggi, interval dosis efektif yang luas dan teknik pemberian yang mudah (Yudaniayanti et al. 2012). Pertimbangan ini digunakan dasar dalam memilih anestetikum yang digunakan untuk landak mini. Landak mini sebelum disuntik menunjukkan keadaan tanpa kelainan. Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata onset anestesi penyuntikan pertama pada landak mini adalah 3 menit 53 detik ± 57 detik. Pengulangan injeksi menyebabkan onset menjadi lebih cepat walaupun tidak secara signifikan. Ketamin memiliki onset yang cepat karena sifat larutan ketamin yang sangat larut dalam lemak, sehingga memudahkan ketamin menembus jaringan otak. Namun dengan rute intramuskuler, ketamin membutuhkan waktu beberapa menit lama daripada rute intravena untuk menembus otak (McKelvey dan Hollingshead 2003). Hal ini yang menyebabkan onset ketamin pada landak mini terjadi pada menit ketiga pasca induksi.
7
Tabel 1 Nilai rataan onset anestesi, durasi anestesi, dan waktu pemulihan anestesi antar pengulangan Parameter Pengulangan I Pengulangan II Pengulangan III Onset 3‟53” ± 57”a 3‟20” ± 1‟7”a 3‟39” ± 46”a a ab Durasi 13‟52” ± 58” 17‟35” ± 3‟20” 19‟22” ± 44”b a a Waktu Pemulihan 30‟48” ± 6‟8” 42‟23” ± 16‟18” 39‟20” ± 10‟7”a Keterangan: Huruf superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama menyatakan ada perbedaan yang nyata (P<0.05) antar pengulangan. ‟ = satuan menit; ” = satuan detik.
Nilai rataan durasi anestesi menunjukkan waktu yang semakin lama pada setiap pengulangan dengan nilai rataan durasi penyuntikan pertama adalah 13 menit 52 detik ± 58 detik. Secara umum pengulangan injeksi mengakibatkan meningkatnya waktu durasi. Wai et al. (2012) menyatakan bahwa penggunaan ketamin dalam jangka waktu lama dan berulang mengakibatkan kerusakan hati yang signifikan berupa degenerasi lemak dan fibrosis. Kerusakan ini yang diduga mengakibatkan terjadinya perpanjangan durasi pengulangan pertama dan ketiga akibat hati lambat memetabolisme ketamin dalam tubuh. Gejala perpanjangan durasi ini mirip dengan gejala yang terjadi pada pecandu alkohol yang dianestesi. Kerusakan berbagai organ akibat alkohol akan memperpanjang durasi anestesi (Keilty 1969; Lee et al. 1964). Perlu dilakukan pengujian histopatologi dan pengulangan kembali dalam frekuensi yang lebih banyak untuk dapat memastikan kerusakan hati yang terjadi akibat pengulangan ketamin. Hedenqvist et al. (2000) menyatakan bahwa efek anestesi berulang sangat kompleks dan berbeda tergantung dari jenis hewan dan agen anestesi. Pada tikus yang diinduksi dengan ketamin dan buprenorfin berulang mengalami penurunan sleep time dan durasi anestesi yang berbeda nyata. Tikus yang diinduksi menggunakan ketamin berulang tanpa buprenorfin mengalami peningkatan sleep time namun tidak mengalami perubahan durasi yang signifikan. Sleep time adalah durasi hilangnya refleks penegakan tubuh. Bree et al. (1967) melakukan penelitian mengenai keamanan dan toleransi monyet terhadap anestesi berulang dengan agen ketamin. Monyet menunjukkan kecenderungan penurunan sleep time dan durasi anestesi setelah pengulangan injeksi ketamin. Waktu pemulihan pada landak mini adalah 30 menit 48 detik ± 6 menit 8 detik pada pengulangan pertama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengulangan mengakibatkan waktu pemulihan menjadi semakin lama walapun tidak berbeda nyata. Kruse-Elliott (2008) menyatakan bahwa ketamin yang digunakan tanpa obat lain memiliki kualitas pemulihan yang sangat buruk. Pengaruh rute juga dapat menjadi penyebab lamanya waktu pemulihan yang dibutuhkan. Ketamin dengan rute intramuskuler membutuhkan dosis dua hingga tiga kali lebih besar daripada rute intravena. Ketamin yang diberikan melalui rute intramuskuler memiliki waktu pemulihan yang lama karena tubuh membutuhkan waktu untuk memetabolisme ketamin dengan dosis yang besar melalui rute ini (McKelvey dan Hollingshead 2003).
8 Gejala Klinis Anestesi Periode Induksi Pengamatan gejala klinis menjadi hal yang perlu dilakukan untuk dapat mengevaluasi kedalaman anestesi dan kerja obat pada reseptor. Pengamatan gejala klinis dapat dilakukan dengan pengamatan menggunakan panca indera. Data pengamatan terhadap gejala klinis periode induksi disajikan dalam tabel 2. Tabel 2 Gejala klinis anestesi pada landak mini Gejala klinis
Hasil pengamatan
Definisi
Mata membesar
Mata landak mini membesar melebihi ukuran normal setelah diinduksi menggunakan ketamin.
Inkoordinasi
Landak mini kehilangan keseimbangan tubuh dalam berjalan namun masih dapat mengembalikan tubuh ke keadaan semula. Menunjukkan kondisi tonus otot.
Refleks pupil hilang
Pupil tidak mampu berkontraksi menanggapi rangsang datangnya cahaya yang berlebihan sehingga pupil tetap berdilatasi
Refleks penegakan tubuh
Landak mini benar-benar tidak mampu mengembalikan posisi tubuhnya seperti semula.
Pili recti hilang
Duri landak mini tidak menanggapi rangsang sentuhan. Duri ini menjadi tidak berdiri ketika disentuh.
Hipersalivasi
Landak mini memproduksi saliva secara berlebihan dilihat dari adanya gelembung pada daerah mulut.
9 Discharge hidung
Landak mini mengeluarkan cairan dari hidung, diduga akibat dari saliva yang mengalir melalui hidung karena posisi landak dalam keadaan dorsoventral.
Onset gejala klinis induksi adalah waktu yang dihitung sejak injeksi ketamin hingga gejala tertentu muncul. Mata adalah organ yang penting diamati karena menunjukkan refleks yang berbeda beda terhadap anestetikum. Mata membesar dan palpebrae mata tidak menutup ketamin diinjeksikan. Membesarnya mata diduga akibat terjadinya peningkatan tekanan intra okuler. Salah satu efek negatif yang ditimbulkan oleh ketamin adalah meningkatnya tekanan arterial yang akan menyebabkan peningkatan tekanan intra okuler (Yudaniayanti et al. 2012). Efek ketamin ini dapat menjadi buruk pada pasien yang menderita glaukoma karena akan menambah tekanan pada bola mata yang menyebabkan nyeri sehingga dibutuhkan kombinasi anestetikum. Gejala mata membesar dan inkordinasi mengalami percepatan onset pada setiap pengulangan walaupun tidak berbeda nyata namun onset refleks pupil semakin lama hilang. Pada pengulangan ketiga, satu individu tidak menunjukkan gejala hilangnya refleks pupil. Hilang tidaknya refleks pupil merupakan refleksi dari kedalaman anestesi (tabel 3). Kemampuan pupil berkontraksi menanggapi rangsang datangnya cahaya akan berkurang seiring dengan meningkatnya kedalaman anestesi (McKelvey dan Hollingshead 2003). Hasil penelitian ini menunjukkan ada penurunan kemampuan agen anestesi dalam menekan refleks pupil akibat pengulangan injeksi. Tabel 3 Nilai rataan onset gejala klinis induksi mata membesar, inkoordinasi, reflex pupil hilang Parameter Pengulangan I Pengulangan II Pengulangan III Mata membesar 1‟20” ± 12”ax 1‟1” ± 56”ax 59” ± 17” ax Inkoordinasi 1‟20” ± 39”ax 1‟9” ± 25”ax 49” ± 33”ax ax ax Refleks pupil hilang 1‟23” ± 17” 1‟30” ± 1‟3” 2‟53” ± 1‟18”ay* Keterangan: Huruf superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) antar pengulangan. Huruf superscript berbeda (x,y) pada kolom yang sama menyatakan ada perbedaan nyata (P<0.05) antar gejala klinis. (*)= Gejala ditemukan pada ¾ individu; ‟ = satuan menit; ” = satuan detik.
Tabel 4 menunjukkan bahwa refleks pupil dapat ditekan hampir pada semua landak, namun tidak pada refleks palpebrae dan refleks kornea. Refleks pupil hilang jauh lebih awal daripada hilangnya refleks kornea dan palpebrae. Refleks pupil dipengaruhi oleh adanya cahaya yang datang. Refleks ini melibatkan jalur aferen dan eferen. Jalur aferen merupakan bagian dari penerimaan cahaya memasuki mata, sedangkan jalur eferen merupakan bagian dari syaraf kranial parasimpatis III. Stimulasi terhadap syaraf kranial ketiga ini menyebabkan pupil kontraksi (Messonnier 2000). Ketamin merupakan obat yang bersifat simpatomimetik yang bekerja menghambat saraf parasimpatis pada sistim saraf otonom (Katzung 2002). Kerja ketamin menghambat saraf parasimpatis jalur
10 eferen dari refleks pupil sehingga pupil tidak berkontraksi saat diberikan cahaya dalam masa anestesi. Tabel 4 Nilai rataan onset gejala klinis induksi refleks pupil hilang, refleks penegakan tubuh, pili recti hilang Parameter Pengulangan I Pengulangan II Pengulangan III Refleks pupil hilang 1‟23” ± 17”ax 1‟30” ± 1‟3”ax 2‟53” ± 1‟18”ax* ax ax 1‟35” ± 33” 1‟47” ± 23”ax Refleks penegakan tubuh 2‟14” ± 40” ax ax Pili Recti hilang 2‟38” ± 51” 2‟17” ± 1‟10” 1‟18” ± 24”ax Keterangan: Huruf superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) antar pengulangan. Huruf superscript berbeda (x,y) pada kolom yang sama menyatakan ada perbedaan nyata (P<0.05) antar gejala klinis. (*)= gejala ditemukan pada ¾ individu; ‟ = satuan menit; ” = satuan detik
Refleks kornea diuji dengan menyentuhkan benda steril ke permukaan kornea. Refleks dapat berupa menutupnya kelopak mata, atau tertariknya mata ke fossa orbita. Refleks ini menguji keadaan anestesi yang terlalu dalam dan biasanya hilang pada anestesi fase ketiga hingga keempat (McKelvey dan Hollingshead 2003). Ketamin hanya menekan setengah total populasi pada pengulangan pertama dan ketiga, dan tidak menekan refleks kornea pada pengulangan kedua (tabel 5). Keadaan ini diduga akibat kedalaman anestesi berada pada taraf ringan hingga sedang, sehingga dosis ini aman digunakan pada landak mini. Berdasarkan gejala, kedalaman anestesi agen disosiasi dapat dibedakan menjadi tiga yaitu ringan, sedang, dan berat. Gejala paling akurat dalam mengamati kedalaman anestesi adalah melalui pengamatan pada mata dan tonus rahang. Refleks palpebrae dapat teramati pada anestesi ringan, sedangkan kelembaban kornea teramati hingga anestesi sedang (Moens dan Coppens 2007). Wanamaker dan Massey (2009) menyatakan refleks oral, okular dan laring tetap terpelihara pada penggunaan ketamin tunggal kecuali pada dosis yang sangat tinggi. Gejala ini merupakan suatu kelebihan dari agen anestetikum ketamin. Terpeliharanya refleks oral dan laring akan mencegah hewan mengalami slik pneumonia bila agen anestetikum memiliki efek hipersalivasi dan muntah. Tabel 5 Nilai rataan onset gejala klinis induksi pili recti hilang, refleks kornea hilang, nyeri hilang Parameter Pengulangan I Pengulangan II Pengulangan III Pili Recti hilang 2‟38” ± 51”ax 2‟17” ± 1‟10”ax 1‟18” ± 24”ax * Refleks kornea hilang 1‟36” ± 14” 4‟5” ± 18”* ax ax Nyeri hilang 3‟53” ± 57” 3‟20” ± 1‟7” 3‟39” ± 54”ay Keterangan: Huruf superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) antar pengulangan. Huruf superscript berbeda (x,y) pada kolom yang sama menyatakan ada perbedaan nyata (P<0.05) antar gejala klinis. (*)=gejala ditemukan pada ½ individu; (-)=gejala tidak muncul; ‟ = satuan menit; ” = satuan detik.
Refleks palpebrae teramati pada beberapa individu setelah nyeri hilang. Refleks palpebrae melibatkan syaraf sensoris (nervus trigeminus) dan syaraf
11 motoris (nervus fascialis) yang menggerakkan kelopak mata. Ketika stimulus diberikan pada kelopak mata, sinyal diolah dan dikembalikan melalui nervus fascialis yang menginervasi musculus orbicularis oculi. Otot ini juga berada dibawah kendali nervus occulomotor. Refleks palpebrae menandakan kedalaman anestesi. Hilangnya refleks palpebrae bervariasi tergantung agen anestetikum (McKelvey dan Hollingshead 2003). Gejala hipersalivasi pada masa anestesi ditandai dengan adanya busa-busa saliva pada mulut. Posisi landak mini yang berbaring dorsoventral diduga menyebabkan saliva mengalir menuju rongga hidung membentuk discharge hidung. Gejala ini kurang menguntungkan sehingga perlu dilakukan pemberian premedikasi. Wanamaker dan Massey (2009) menyatakan bahwa ketamin meningkatkan produksi saliva dan dapat dicegah dengan menggunakan atropin atau glycopyrolat. Selama masa anestesi, landak mini mengalami kekakuan otot ditandai dengan kembalinya ekstremitas ke posisi semula saat dilakukan manipulasi gerakan seperti tarikan. Kruse-Elliott (2008) menyatakan ketamin kurang memberikan efek relaksasi pada otot sehingga otot menjadi kaku pada saat anestesi. Gejala ini merupakan efek samping pemakaian ketamin tunggal sehingga diperlukan kombinasi dengan obat lainnya untuk mengurangi efek buruk tersebut. Secara umum tiga tabel onset gejala induksi dirangkum dalam gambar 4. Gejala yang pertama terlihat adalah pembesaran mata, dilanjutkan dengan hilangnya refleks gerak dan timbulnya kekakuan otot yang ditandai dengan adanya inkoordinasi. Ketamin mempengaruhi ikatan neurotransmitter di bagian frontal otak yang menghambat pengaturan dan pemasukan sensor di pusat sensoris otak. Keadaan ini akan menghambat kemampuan motoris otot, mempengaruhi thalamus yang mengatur sistem limbik dan aktivasi retikular serta hipotalamus yang mengatur aktivitas somatik (Dugdale 2012). Pengulangan mengakibatkan kedua gejala ini mencul lebih cepat. Gejala yang hilang selanjutnya adalah refleks pupil, refleks penegakan tubuh, pili recti dan refleks kornea. Hilangnya refleks kornea tidak terjadi pada semua individu sehingga tidak dapat digunakan sebagai indikator dimulainya fase anestesi. Gejala hilangnya respon pili recti terjadi sebelum hilangnya nyeri walaupun tidak signifikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hilangnya pili recti dapat menjadi penanda awal dimulainya fase anestesi.
Gambar 4 Urutan onset gejala klinis pembiusan tahap induksi. Keterangan: (+) = Gejala hilang pada individu tertentu setelah pengulangan ketiga. (*) = Gejala ditemukan pada beberapa individu tertentu.
12
Gejala Klinis Anestesi pada Periode Pemulihan Periode pemulihan dicatat sejak respon nyeri timbul hingga gejala klinis muncul. Setelah nyeri hadir, gejala yang timbul adalah pili recti lalu diikuti refleks kornea. Nilai negatif pada onset timbulnya pili recti menunjukkan bahwa gejala tersebut terjadi sebelum nyeri hadir (tabel 6). Gejala ini adalah akibat dari penggunaan anestesi berulang. Tabel 6 Nilai rataan onset gejala klinis pemulihan nyeri timbul, pili recti timbul, refleks kornea kembali Parameter Pengulangan I Pengulangan II Pengulangan III Nyeri timbul 0” ± 0”ax 0” ± 0”ax 0” ± 0”ax ax ax Pili recti timbul 2‟24” ± 3‟14” -48” ± 1‟49” -1‟26” ± 2‟23”ax ax* Refleks kornea 3‟7” ± 21” 10” ± 5‟18”ax* kembali Keterangan: Huruf superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) antar pengulangan. Huruf superscript berbeda (x,y) pada kolom yang sama menyatakan ada perbedaan nyata (P<0.05). (*)=gejala ditemukan pada ½ individu; (-)=gejala tidak muncul; ‟ = satuan menit; ” = satuan detik.
Tabel 7 menunjukkan refleks kornea kembali setelah pili recti muncul dan dilanjutkan dengan munculnya refleks palpebrae. Pengulangan anestesi mengakibatkan refleks kornea kembali lebih lama sedangkan refleks palpebrae cepat kembali dan kedalaman anestesi menjadi berkurang. Relaksasi kaki depan menjadi awal relaksasi otot setelah ketamin membuat tonus otot meningkat selama anestesi. Tabel 7 Nilai rataan onset gejala klinis pemulihan refleks kornea kembali, refleks palpebrae kembali, relaksasi kaki depan Parameter Pengulangan I Pengulangan II Pengulangan III Refleks kornea kembali 3‟7” ± 21”* 10” ± 5‟18”* * Refleks palpebrae kembali 3‟11” ± 19” 1‟34” ± 0”** a a Relaksasi kaki depan 5‟51” ± 5‟14” 29” ± 19” 33” ± 45”a Keterangan: Huruf superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) antar pengulangan. (*)=gejala ditemukan pada ½ individu; (**)=gejala ditemukan pada ¼ individu; (-)=gejala tidak muncul; ‟ = satuan menit; ” = satuan detik.
Mata mengecil terjadi setelah relaksasi kaki depan (tabel 8). Pada fase ini, tekanan intra okuler sudah mulai menurun sehingga mata kembali dalam posisi semula, walaupun tetap dalam keadaan terbuka. Mata yang terus terbuka selama anestesi dapat menyebabkan kekeringan sehingga perlu dipersiapkan tetes mata steril.
13 Tabel 8 Nilai rataan onset gejala klinis pemulihan relaksasi kaki depan, mata mengecil, refleks pupil kembali Parameter Pengulangan I Pengulangan II Pengulangan III Relaksasi kaki depan 5‟51” ± 5‟14”ax 29” ± 19”ax 33” ± 45”ax ax axy Mata mengecil 6‟52” ± 1‟51” 5‟16” ± 5‟13” 4‟17 ± 2‟40”ax ax az Refleks pupil kembali 5‟33” ± 2‟25” 16‟30” ± 15‟37” 5‟16” ± 2‟52”ax Keterangan: Huruf superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) antar pengulangan. Huruf superscript berbeda (x,y) pada kolom yang sama menyatakan ada perbedaan nyata (P<0.05) antar gejala klinis. „ = satuan menit; “ = satuan detik.
Tabel 9 menunjukkan kembalinya tonus otot yang dimulai dengan kembalinya relaksasi kaki depan, refleks penegakan leher lalu refleks penegakan tubuh. Refleks penegakan tubuh merupakan gejala khas pada landak mini. Refleks ini menandakan landak benar benar telah pulih.
Tabel 9 Nilai rataan onset gejala klinis pemulihan refleks pupil kembali, refleks penegakan leher, refleks penegakan tubuh Parameter Pengulangan I Pengulangan II Pengulangan III ax ax Refleks pupil kembali 5‟33” ± 2‟25” 16‟30” ± 15‟37” 5‟16” ± 2‟52”ax Refleks penegakan leher 15‟11” ± 8‟5”ax 5‟6” ± 4‟33”ax 10‟25” ± 2‟29”ax ay ay Refleks penegakan tubuh 30‟47” ± 6‟8” 42‟23” ± 16‟18” 39‟20” ± 10‟8”ay Keterangan: Huruf superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) antar pengulangan. Huruf superscript berbeda (x,y) pada kolom yang sama menyatakan ada perbedaan nyata (P<0.05) antar gejala klinis. ‟ = satuan menit; ” = satuan detik.
Urutan gejala klinis pemulihan anestesi secara umum digambarkan dalam Gambar 5. Proses pemulihan dimulai dengan munculnya respons nyeri diikuti dengan respons pili recti. Gejala selanjutnya adalah kembalinya refleks kornea dan refleks palpebrae pada beberapa individu. Kemudian refleks gerak muncul dilanjutkan dengan mengecilnya mata, kembalinya refleks pupil, reflek penegakan leher dan refleks penegakan tubuh. Gejala refleks pili recti tidak dapat dijadikan penanda dimulainya fase pemulihan, karena gejala ini sering dimulai dengan hilangnya rasa nyeri. Pengulangan mengakibatkan beberapa refleks seperti refleks pili recti, refleks pada mata, mengecilnya mata, dan relaksasi kaki depan memiliki onset yang semakin cepat namun dengan waktu pemulihan yang semakin lama walaupun tidak berbeda signifikan.
14
Gambar 5 Urutan onset gejala klinis pemulihan anestesi. Keterangan: (*) = Gejala ditemukan pada beberapa individu tertentu.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Ketamin intramuskuler pada dosis 80 mg/kg bobot badan memberikan efek anestesi ringan yang ditandai dengan onset yang cepat dan durasi sedang. Ketamin berulang menunjukkan kecenderungan percepatan onset, peningkatan durasi dan waktu pemulihan. Pengulangan mengakibatkan durasi anestesi menjadi lebih lama secara signifikan pada pengulangan pertama dan ketiga secara berbeda nyata. Waktu pemulihan menjadi lebih lama seiring dengan dilakukan pengulangan namun tidak berbeda nyata. Pengulangan juga memengaruhi beberapa gejala menjadi lebih cepat dalam periode induksi dan pemulihan. Ketamin memberikan efek berbeda-beda terhadap refleks okular. Refleks pupil hilang terjadi pada seluruh landak, berbeda dengan refleks kornea dan palpebrae yang hanya terjadi pada setengah total landak mini. Penggunaan ketamin tunggal memiliki efek samping yaitu hipersalivasi dan peningkatan tonus otot sehingga mutlak diperlukan penggunaan premedikasi dan kombinasi obat. Ketamin intramuskuler memiliki potensi menjadi anestetikum pada landak mini. Saran Saran yang diajukan berdasarkan hasil penelitian ini adalah penggunaan agen anestetikum lain untuk mengevaluasi pengaruh agen anestesi pada landak mini. Pengaruh penggunaan anestesi berulang belum banyak ditemukan khususnya di dunia medik veteriner sehingga diperlukan penelitian mengenai pengulangan anestesi pada hewan lain. Kajian mengenai histopatologi perlu dilakukan untuk mengetahui kerusakan organ yang terjadi akibat penggunaan ketamin berulang. Anestetikum disosiatif memberikan efek samping hipersalivasi dan peningkatan tonus otot, untuk menanggulangi efek tersebut perlu penggunaan premedikasi dan kombinasi obat.
15
DAFTAR PUSTAKA Altman J. 1973. Observational Study of Behavior: Sampling Methods. Chicago (US): University of Chicago. Bigler WJ, Haff GL. 1974. Anesthesia of raccoons with ketamine hydrochloride. The Journal of Wildlife Management. 38(2):364-366. Bree M, Feller I, Corssen G. 1967. Safety and tolerance of repeated anesthesia with CI 581 (ketamine) in monkeys. Anesthesia and Analgesia. 46(5):596-600. Demirkan I, Atalan G, Gokce H, Ozaydin I, Celebi F. 2002. Comparative study of butorphanol-ketamin HCl and xylazine-ketamin HCl combinations for their clinical and cardiovascular/respiratory effects in healthy dogs. Turkish Journal of Veterinary and Animal Sciences. 26:1073-1079. Dugdale A. 2012. Veterinary Anaesthesia : Principles to Practice. West Sussex (UK): Blackwell Publishing Ltd. Erhardt W, Hebestedt A, Aschenbrenner G, Pichotka B, Blumel G. 1984. A comparative study with various anesthetics in mice (pentobarbitone, ketaminexylazine, carfentanyl-etomidate). Research in Experience Medicine. 184(3):159-169. Fernandes-moran J, Peres E, San-martin M, Saavedra D, Manteca-vilanova X. 2001. Reversible immobilization of eurasian otter with combination of ketamine and medetomidine. Journal of Wildlife Disease. 37(3):561-565. Gunawan G, Rianto S, Elysabeth. 2009. Farmakologi dan Terapi. Jakarta (ID): UI Pr. He K, Chen J, Gould G, Yamaguchi N, Ai H, Wang YX, Zhang YP, Jiang XL. 2002. An Estimation of Erinaceidae Phylogeny: A combined analysis approach. PloSONE. 7(6):1-14. doi:10.1371/journal.pone.0039304 Hedenqvist P, Roughan J, Flecknell P. 2000. Effects of repeated anaesthesia with ketamine/medetomidine and of pre-anaesthetic administration of buprenorphine in rats. Laboratory Animals, 34, 207-211. Hoefer H. 1992. Hedgehogs. Veterinary Clinical North America: Small Animal Practices. 24(1):113–20. Hudelson SK. 2008. Exotic Companion Medicine Handbook for Veterinarians. Florida (UK): Zoological Education Network. Jalanka HH, Roeken BO. 1990. The use of medetomidine, medetomidineketamine combinations, and atipamezole in nondomestic mammals: A review. Journal of Zoo and Wildlife Medicine. 21(3):259-282. Katzung B. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Bagian Farmakologi Kedokteran Universitas Airlangga. Keilty SR. 1969. Anesthesia for the alcoholic patient. Anesthesia and Analgesia. 48(24):659-664. Kruse-Elliott K. 2008. Induction Agents and Total Intravenous Anesthesia. Di dalam: Carrol G. Small Animal Anesthesia and Analgesia. Iowa (US): Blackwell Publishing. Lee PK, Cho MH, Dobkin AB. 1964. Anaesthetic effects of alcoholism, morphinism, and barbiturate resistance on induction and maintenance of general anaesthesia. Canadian Anaesthesia Society Journal. 11:354-381.
16 Lepore M, Pampanelli S, Fanelli C, Porcellati F, Bartocci L, Vincenzo AD, Cordoni C, Costa E, Brunetti P, Bolli GB et al. 2000. Pharmacokinetics and pharmacodynamics of subcutaneous injection of long-acting human insulin analog glargine, NPH insulin, and ultralente human insulin and continuous subcutaneous infusion of insulin lispro. Diabetes. 49:2142-2148. Logan KA, Thome T, Irwin LL, Skinner R. 1986. Immobilizing wild mountain lions with ketamin hydrochloride and xylazine hydrochloride. Journal of Wildlife Disease. 22(1):97-103. McKelvey D, Hollingshead K. 2003. Veterinary Anesthesia and Analgesia. Missouri (US): Mosby Inc. Messonnier S. (2000). Veterinary Neurology. Texas (US): Butterwort Heinemann. Moens Y, Coppens P. 2007. Patient Monitoring and Monitoring Equipment. Di dalam Chris Seymour dan Tanya Duke-Novakovski (editor). BSAVA Manual of Canine and Feline Anaesthesia and Analgesia. Ed ke-2. Waterwells (GB): British Small Animal Veterinary Association. Mori M, O'Brien SE. 1997. Husbandry and medical management of African hedgehogs. Iowa State University Veterinarian. 59(2):64--72. Robinson I, Routh A. 1999. Veterinary care of the hedgehog in practice. Journal of Veterinary Post Graduate Clinical Study. 21(3):128-137. Santana E, Jantz H , Best T. 2010. Atelerix albiventris (Erinaceomorpha: Erinaceidae). Mammalian Species. 42(1):99-110. Stoelting R, Hillier S. 2006. Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice. 4th Ed. Philadephia (US): Lippincott Williams & Wilkins. Wai M, Chan W, Zhang A, Wu Y,Yew D. 2012. Long-term ketamine and ketamine plus alcohol treatments produced damaged in liver and kidney. Human and Experience Toxicology. 31(9):877-886. doi:10.1177/096032711 2436404 Wanamaker B, Massey K. 2008. Applied Pharmacology for Veterinary Technicians. Columbia (NY): Saunders. Yudaniayanti I, Yusuf D, Setyono H, Arifin M, Tehupuring B, Tjitro H. 2012. Profil tekanan intra okuler penggunaan kombinasi ketamin-xylazin dan ketamin midazolam pada kelinci. VetMedika Jurnal Klinik Veteriner. 1(1):3338.
17
LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil uji ANOVA onset, durasi, dan pemulihan anestesi
Onset Between Groups Durasi Between Groups Pemulihan Between Groups
Sum of Squares 2126,000
df
Mean Square
F
Sig.
2
1063,000
,324
,731
225898,167
2
112949,083
7,467
,012
1040260,667
2
520130,333
1,067
,384
Duncan Post hoc Test untuk Onset anestesi Pengulangan N Subset for alpha = 0.05 1 2 4 200,25 Tukey 3 4 218,75 HSDa 1 4 232,75 Sig. ,711 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Duncan Post hoc Test untuk Durasi anestesi Pengulangan N Subset for alpha = 0.05 1 2 1 4 832,25 Tukey 2 4 1055,25 1055,25 HSDa 3 4 1161,50 Sig. ,071 ,471 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Duncan Post hoc Test untuk Pemulihan anestesi Pengulangan N Subset for alpha = 0.05 1 1 4 1847,25 Tukey 3 4 2360,25 a HSD 2 4 2542,75 Sig. ,377 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
18
Lampiran 2 Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode induksi (Mata membesar, Inkoordinasi, Refleks pupil hilang)
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 33175.576 45493.167 78668.743
df
Mean Square 8 4146.947 26 1749.737 34
F 2.370
Sig. .046
Duncan Post hoc Test untuk gejala induksi mata membesar, inkoordinasi, refleks pupil hilang Gejala N Subset for alpha = 0.05 1 2 Inkoordinasi 3 4 49,25 Mata membesar 3 4 58,75 Mata membesar 2 4 61,00 Inkoordinasi 2 4 78,75 78,75 Mata membesar 1 4 79,75 79,75 Tukey HSDa,b Inkoordinasi 1 4 79,75 79,75 Refleks pupil 1 4 83,00 83,00 Refleks pupil 2 4 89,75 89,75 Refleks pupil 3 3 172,67 Sig. ,908 ,087 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,857. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. Lampiran 3 Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode induksi (Refleks pupil hilang, Refleks Penegakan tubuh hilang, Pili recti)
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 34503.969 59209.917 93713.886
df
Mean Square 8 4312.996 26 2277.304 34
F 1.894
Sig. .104
19 Duncan Post hoc Test untuk gejala induksi refleks pupil hilang refleks penegakan tubuh, pili recti Gejala N Subset for alpha = 0.05 1 2 Pili recti 3 4 78,00 Refleks pupil1 4 83,00 Refleks pupil 2 4 89,75 Righting refleks 2 4 94,75 Tukey Righting refleks 3 4 106,50 HSDa,b Righting refleks 1 4 133,75 Pili recti 2 4 136,50 Pili recti 1 4 157,50 Refleks pupil 3 3 172,67 Sig. ,178 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,857. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. Lampiran 4 Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode induksi (Pili recti, Refleks Kornea hilang, Nyeri hilang)
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 89930.107 54348.750 144278.857
df
Mean Square 7 12847.158 20 2717.438 27
F 4.728
Sig. .003
Duncan Post hoc Test untuk gejala induksi pili recti, refleks kornea hilang, nyeri hilang Gejala N Subset for alpha = 0.05 1 2 3 Pili recti 3 4 78,00 Refleks kornea 1 2 96,00 96,00 Pili recti 2 4 136,50 136,50 136,50 Pili recti 1 4 157,50 157,50 157,50 Tukey Nyeri hilang 2 4 200,25 200,25 200,25 HSDa,b Nyeri hilang 3 4 218,75 218,75 Nyeri hilang 1 4 232,75 232,75 Refleks kornea 3 2 244,50 Sig. ,111 ,056 ,205 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,200. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
20
Lampiran 5 Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode pemulihan (Nyeri timbul, Pili recti, Refleks kornea)
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 185336.714 311512.250 496848.964
df
Mean Square 7 26476.673 20 15575.612 27
F 1.700
Sig. .166
Duncan Post hoc Test untuk gejala pemulihan nyeri timbul, pili recti, refleks kornea Gejala N Subset for alpha = 0.05 1 2 Pili recti 3 4 -85,75 Pili recti 2 4 -48,25 Nyeri 1 4 ,00 Nyeri 2 4 ,00 Tukey Nyeri 3 4 ,00 HSDa,b Refleks kornea 3 2 10,00 Pili recti 1 4 144,25 Refleks kornea 1 2 187,00 Sig. ,160 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,200. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. Lampiran 6 Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode pemulihan (Refleks kornea, Refleks palpebrae, Relaksasi kaki depan) Sum of df Mean Squares Square Between Groups 315341.750 5 63068.350 Within Groups 404232.250 12 33686.021 Total 719574.000 17 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
F 1.872
Sig. .173
21 Duncan Post hoc Test untuk gejala pemulihan refleks kornea, refleks palpebrae, relaksasi kaki depan Gejala N Subset for alpha = 0.05 1 Refleks kornea 3 2 10,00 Relaksasi kaki depan 2 4 29,00 Relaksasi kaki depan 3 4 32,75 Tukey Refleks kornea 1 2 187,00 HSDa,b Refleks palpebrae 1 2 190,50 Relaksasi kaki depan 1 4 350,50 Sig. ,329 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,667. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. Lampiran 7 Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode pemulihan (Relaksasi kaki depan, Mata mengecil, Refleks pupil) Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
2506209.993 3465328.750 5971538.743
df 8 26 34
Mean Square 313276.249 133281.875
F 2.350
Sig. .047
Duncan Post hoc Test untuk gejala pemulihan relaksasi kaki depan, mata mengecil, refleks pupil Gejala N Subset for alpha = 0.05 1 2 Relaksasi kaki depan 2 4 29,00 Relaksasi kaki depan 3 4 32,75 Mata mengecil 3 4 257,00 257,00 Mata mengecil 2 4 315,75 315,75 Refleks pupil 3 3 316,00 316,00 Tukey a,b Refleks pupil 1 4 332,75 332,75 HSD Relaksasi kaki depan 1 4 350,50 350,50 Mata mengecil 1 4 412,25 412,25 Refleks pupil 2 4 989,75 Sig. ,864 ,167 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,857. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
22 Lampiran 8 Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode pemulihan (Refleks pupil kembali-Refleks penegakan leher-Refleks penegakan tubuh)
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 2.460E7 8136729.750 3.274E7
df
Mean Square 8 26 34
3075015.731 312951.144
F 9.826
Sig. .000
Duncan Post hoc Test untuk gejala pemulihan refleks pupil, refleks penegakan leher, refleks penegakan tubuh Gejala N Subset for alpha = 0.05 1 2 3 Neck righting refleks 2 4 306,00 Refleks pupil 3 3 316,00 Refleks pupil 1 4 332,75 Neck righting refleks 3 4 625,00 625,00 Tukey Neck righting refleks 1 4 911,00 911,00 HSDa,b Refleks pupil 2 4 989,75 989,75 Righting refleks 1 4 1847,25 1847,25 Righitng refleks 3 4 2360,25 Righting refleks 2 4 2542,75 Sig. ,743 ,103 ,726 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,857. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
23
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 26 Mei 1993 di Bondowoso. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan Bapak (Alm) Bambang Suyadi dan Ibu Sutitah Rahaju. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN Dabasah V pada tahun 2005. Pendidikan menengah pertama diselesaikan di SMPN 2 Bondowoso pada tahun 2008 dan pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2011 di SMAN 2 Bondowoso. Penulis melanjutkan pendidikan perguruan tinggi di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri Undangan (SNMPTN Undangan) di tahun yang sama. Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis menjabat sebagai penanggung jawab Cluster Wild Aquatic Himpro Satwaliar periode kepengurusan 2013-2014. Penulis juga aktif menjadi ketua divisi Pengelolaan Sumber Daya Masyarakat Paguyuban Karya Salemba Empat IPB tahun kepengurusan 2014-2015. Penulis aktif menjadi asisten praktikum beberapa mata kuliah, antara lain Anatomi Veteriner I dan II, Anatomi Topografi, Histologi, Ilmu Bedah Umum Veteriner, Ilmu Bedah Khusus Veteriner I dan Higiene Pangan. Kegiatan magang yang pernah penulis ikuti selama menjadi mahasiswa IPB antara lain, magang liburan di Ocean Dream Samudera Ancol, dan magang liburan di Veterinary Teaching Hospital Kasetsart University Thailand dalam bidang bedah dan klinik hewan eksotik. Penulis pernah mengikuti kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa dan didanai oleh DIKTI pada tahun 2014. Penulis pernah menerima beasiswa reguler dari Karya Salemba Empat Foundation pada tahun 2012-2015. Penulis juga berkesempatan menjadi panitia lokal dalam acara internasional yaitu kongres International Veterinary Student Association (IVSA) ke 63 di Jakarta.