EFEK PROTEKTIF ANDROGRAFOLID TERHADAP KEJADIAN KARDIOTOKSISITAS PASCA APLIKASI DOKSORUBISIN PADA TIKUS
SRI WAHYUNI SALAM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efek Protektif Andrografolid terhadap Kejadian Kardiotoksisitas Pasca Aplikasi Doksorubisin pada Tikus adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2016 Sri Wahyuni Salam NIM B351140011
RINGKASAN SRI WAHYUNI SALAM. Efek Protektif Andrografolid terhadap Kejadian Kardiotoksisitas Pasca Aplikasi Doksorubisin pada Tikus. Dibimbing oleh AGUS SETIYONO dan VETNIZAH JUNIANTITO. Doksorubisin (DXR) merupakan antibiotik spektrum luas golongan antrasiklin dan obat kemoterapi yang digunakan dalam pengobatan berbagai penyakit kanker seperti leukemia akut, limfoma, dan kanker payudara. Efek samping terpenting yang membatasi penggunaan obat doksorubisin adalah kejadian kardiotoksisitas, yang dapat teramati pada dosis kumulatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi efek protektif andrografolid (Andro) sebagai agen antiinflamasi dan antioksidan terhadap kejadian kardiotoksisitas yang diinduksi oleh doksorubisin. Penelitian ini menggunakan sebanyak tiga puluh ekor tikus jantan Sprague Dawley umur 6-8 minggu dengan bobot badan 80-100 g. Tikus tersebut dibagi ke dalam empat kelompok perlakuan yang terdiri dari: (a) Kelompok kontrol, tikus diberikan natrium klorida 0.9 % secara intraperitoneal (IP), (b) Kelompok DXR, tikus diinjeksikan doksorubisin 4 mg/kg BB secara IP, sekali seminggu selama 4 minggu, (c) Kelompok DXR+Andro20, tikus diinjeksikan doksorubisin dan andrografolid dosis rendah 20 mg/kg BB setiap hari selama empat minggu, dimulai 24 jam setelah pemberian doksorubisin, dan (d) Kelompok DXR+Andro100, tikus diinjeksikan doksorubisin dan andrografolid dosis tinggi 100 mg/kg BB setiap hari selama empat minggu, dimulai 24 jam setelah pemberian doksorubisin, Pemberian andrografolid dilarutkan dengan carboxymethylcellulose (CMC) 0.5 % dalam natrium klorida 0.9 %. Setelah masa perlakuan berakhir, seluruh tikus dieuthanasi dan dilakukan koleksi organ jantung dan difiksasi dalam buffered neutral formalin (BNF) 10 % untuk pengamatan histologi dan imunohistokimia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian andrografolid dosis rendah (20 mg/kg BB) dapat menekan efek penurunan bobot badan dan bobot jantung akibat penggunaan doksorubisin, bila dibandingkan dengan tikus pada kelompok DXR. Secara histopatologi, kelompok kontrol menunjukkan struktur miokardium yang kompak dan tidak ditemukan adanya lesio. Analisis histopatologi pada kelompok DXR menunjukkan peradangan yang parah dan fibrosis jantung, sedangkan pada kelompok DXR+Andro20 menunjukkan morfologi jantung yang hampir normal. Kelompok DXR+Andro100 tidak menunjukkan efek protektif terhadap doksorubisin dan bahkan semakin memperparah peradangan miokardium bila dibandingkan dengan kelompok DXR. Pengamatan imunohistokimia menunjukkan terjadinya peningkatan ekspresi α-SMA (miofibroblas), ED1 (penanda makrofag), dan galectin-3 (regulator fibrogenesis) pada kelompok DXR dan DXR+Andro100 bila dibandingkan dengan kelompok kontrol dan DXR+Andro20. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa andrografolid dosis rendah dapat memberikan perlindungan terhadap efek toksisitas akibat pemberian doksorubisin. Kata kunci: andrografolid, doksorubisin, kardiotoksisitas, imunohistokimia, tikus
SUMMARY SRI WAHYUNI SALAM. Protective Effect of Andrographolide on DoxorubicinInduced Cardiotoxicity in Rat. Supervised by AGUS SETIYONO dan VETNIZAH JUNIANTITO. Doxorubicin (DXR), a broad spectrum anthracycline antibiotic and chemotherapeutic drug, is widely used for the treatment of various malignancies such as acute leukemia, lymphoma and breast cancer. The most important side effect that limits the usage of doxorubicin is cardiotoxicity, which is observed at cumulative doses. The aim of this study was to explore the potential protective effect of andrographolide (Andro) that is known to have antioxidant and antiinflammatory effects against cardiotoxicity induced by doxorubicin. A total of thirty adult, male Sprague Dawley rats (80-100 g) were divided into four groups as follows: (a) Control group, rats were administered 0.9 % sodium chloride intraperitoneally (IP) (b) DXR group (4 mg/kg of doxorubicin IP were made weekly for four weeks), (c) DXR+Andro20 (low dose; 20 mg/kg of andrographolide IP were made daily for four weeks, 24 hours after DXR), (d) DXR+Andro100 (high dose; 100 mg/kg of andrographolide IP were made daily for four weeks, 24 hours after DXR). Andrographolide dissolved in 0.5 % carboxymethylcellulose (CMC) and administered with 0.9 % sodium chloride Furthermore, at the end of experimental period, all rats were euthanized and hearts were collected and fixed in 10 % buffered neutral formalin (BNF) for histological and immunohistochemical analysis. The results showed that andrographolide treatment (20 mg/kg) augmented the detrimental effects of DXR such as decreased body weight and decreased heart weight, as compared with those in DXR-treated rats. Histopathologically, heart tissue from control group showed compact myocardial architecture without any noticeable lesions. Histopathological analysis from DXR group showed severe inflammation and fibrosis, whereas DXR+Andro20 group showed almost normal heart morphology. Andrographolide at a dosage of 100 mg/kg did not show protective effects against doxorubicin, and even aggravates myocardial inflammation, as compared with DXR-treated rats. Immunohistochemically, heart tissue from DXR and DXR+Andro100 groups, showed an increase of α-SMA (myofibroblasts) expression, ED1 (macrophage marker), and galectin-3 (fibrogenesis regulator) as compared with control and DXR+Andro20 groups. These results indicate that low dose of andrographolide compromised detrimental effects of doxorubicin toxicity. Key words: andrographolide, doxorubicin, cardiotoxicity, immunohistochemistr, rat .
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EFEK PROTEKTIF ANDROGRAFOLID TERHADAP KEJADIAN KARDIOTOKSISITAS PASCA APLIKASI DOKSORUBISIN PADA TIKUS
SRI WAHYUNI SALAM
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Biomedis Hewan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Drh Wiwin Winarsih, Msi APVet
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa karena atas rahmat dan segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Karya ilmiah berjudul Efek Protektif Andrografolid terhadap Kejadian Kardiotoksisitas Pasca Aplikasi Doksorubisin pada Tikus, dilaksanakan dari bulan November 2015 sampai April 2016. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof Drh Agus Setiyono, MS PhD APVet dan Bapak Drh Vetnizah Juniantito, PhD APVet selaku dosen pembimbing yang telah bersedia memberikan bimbingan dan arahan dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh dosen dan staf di Departemen KRP atas ilmu dan segala bantuan yang diberikan selama pendidikan berlangsung. Penghargaan yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada ayah Drs Abdul Salam dan ibu Dra Sohrah Hamzah MPd, suami tercinta Drh Alimansyah Putra, dan saudara-saudara saya M. Ridha Salam, SPd MPd, Dewi Sartika Salam, SSi MPd dan Reskiwati Salam SPd MPd yang tidak hentihentinya memberikan doa, semangat, dan kasih sayangnya kepada penulis. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak Yayasan Bakrie Center Foundation yang telah memberikan beasiswa selama pendidikan pascasarjana di IPB. Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan banyak manfaat kepada penulis dan semua pembaca. Bogor, Agustus 2016 Sri Wahyuni Salam
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
xi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Kardiotoksisitas Doksorubisin Andrografolid Hewan Model Tikus Putih (Rattus norvegicus) 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Hewan Percobaan Material Penginduksi Kardiotoksisitas Andrografolid Desain Penelitian Pembuatan Preparat Histopatologi Pewarnaan Hematoksilin-Eosin Pewarnaan Masson’s Trichrome Pewarnaan Imunohistokimia Parameter dalam Penelitian Analisis Data 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Badan dan Bobot Jantung Pemeriksaan Histopatologi Jantung Luas Jaringan Ikat di Jantung Pemeriksaan Imunohistokimia terhadap Antibodi α-SMA Pemeriksaan Imunohistokimia terhadap Antibodi ED1 Pemeriksaan Imunohistokimia terhadap Antibodi Galectin-3 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
1 1 2 2 2 3 3 3 4 6 8 9 9 9 9 9 10 11 11 11 12 13 13 13 13 16 17 19 20 22 24 24 24 24 30 32
DAFTAR TABEL 1 Data rataan bobot badan tikus setiap kelompok perlakuan 2 Data persentase tikus hidup dan rasio bobot jantung terhadap bobot badan pada hari ke-28
14 15
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5
6
7
8
9
10
11
Struktur kimia (a) Daunorubicin (DNR), (b) Doksorubisin (DXR) Andrographis paniculata (a) Struktur kimia andrografolid (b) Bagan alur penelitian pada setiap kelompok perlakuan Perbandingan ukuran tubuh tikus pada hari ke-28 Foto mikrografi jantung (a) Kontrol, menunjukkan struktur miokardium yang normal, (b) DXR, (c) DXR+Andro20, (d) DXR+Andro100. Tanda panah pada kelompok DXR dan DXR+Andro100 menunjukkan fokus nekrotik ditandai dengan infiltrasi sel radang interstitial, hilangnya inti sel, dan atropi sel otot jantung (Pewarnaan HE) Foto mikrografi jantung (a) Kontrol, (b) DXR, (c) DXR+Andro20, (d) DXR+Andro100. Tanda panah pada kelompok DXR dan DXR+Andro100 menunjukkan deposit kolagen berwarna biru (Pewarnaan MT) Luas jaringan ikat. (A) Kontrol, (B) DXR, (C) DXR+Andro20, (D) DXR+Andro100. Superscripts berbeda menunjukkan adanya perbedaan signifikan (p<0.05; n=6). Error bar menunjukkan standar deviasi (a) Kontrol, (b) DXR, (c) DXR+Andro20, (d) DXR+Andro100. Tanda panah menunjukkan sel miofibroblas yang imunoreaktif terhadap antibodi α-SMA (Pewarnaan IHK) Jumlah sel positif α-SMA, kelompok perlakuan: (A) Kontrol, (B) DXR, (C) DXR+Andro20, (D) DXR+Andro100. Superscripts berbeda menunjukkan adanya perbedaan signifikan (p<0.05; n=6). Error bar menunjukkan standar deviasi (a) Kontrol, (b) DXR, (c) DXR+Andro20, (d) DXR+Andro100. Tanda panah menunjukkan sel makrofag yang imunoreaktif terhadap antibodi ED1 (Pewarnaan IHK) Jumlah sel positif ED1, kelompok perlakuan: (A) Kontrol, (B) DXR, (C) DXR+Andro20, (D) DXR+Andro100. Superscripts berbeda menunjukkan adanya perbedaan signifikan (p<0.05; n=6). Error bar menunjukkan standar deviasi.
4 7 10 14
16
18
18
19
20
21
22
12 (a) Kontrol, (b) DXR, (c) DXR+Andro20, (d) DXR+Andro100. Tanda panah menunjukkan sel makrofag dan atau sel miofibroblas yang imunoreaktif terhadap antibodi galectin-3 (Pewarnaan IHK). 23 13 Jumlah sel positif galectin-3, kelompok perlakuan: (A) Kontrol, (B) DXR, (C) DXR+Andro20, (D) DXR+Andro100. Superscripts berbeda menunjukkan adanya perbedaan signifikan (p<0.05; n=6). Error bar menunjukkan standar deviasi. 23
DAFTAR LAMPIRAN 1 Persetujuan atas perlakuan etik (ethical approval) 2 Sertifikat analisis produk andrografolid
30 31
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Kardiotoksisitas merupakan suatu kondisi terjadinya kelainan fungsi atau kerusakan jantung akibat senyawa kimia yang bersifat toksik. Kejadian kardiotoksisitas paling banyak disebabkan oleh penggunaan obat-obatan kemoterapi (Siahaan et al. 2007). Kejadian kardiotoksisitas dalam beberapa dekade terakhir terus mengalami peningkatan seiring dengan meningkatkan pengunaan kemoterapi untuk mengatasi kanker. Menurut studi yang dilakukan oleh Lotrionte et al. (2013), penggunaan obat kemoterapi golongan antrasiklin terbukti menimbulkan kasus kardiotoksisitas klinis dan subklinis masing-masing sebanyak 6 % dan 18 %. Laporan lainnya oleh Martha et al. (2007) menyebutkan bahwa prevalensi kasus kardiotoksisitas pada penggunaan obat kemoterapi golongan antrasiklin mencapai 86.8 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa kasus kardiotoksisitas akibat penggunaan kemoterapi cukup tinggi. Salah satu obat golongan antrasiklin komersial yang dapat menyebabkan terjadinya kardiotoksisitas adalah doksorubisin (Tacar et al. 2013). Doksorubisin merupakan antibiotika antitumor golongan antrasiklin yang sering digunakan untuk kemoterapi berbagai jenis kanker seperti leukemia, limfoma, kanker payudara, kanker paru-paru, kanker tiroid, dan kanker ovarium (Tacar et al. 2013). Selain itu, penggunaan doksorubisin belakangan ini telah banyak dilaporkan memiliki efek samping yang berbahaya yaitu bersifat toksik pada berbagai organ terutama pada organ jantung (Fadillioglu et al. 2003). Mekanisme terjadinya kardiotoksisitas akibat induksi doksorubisin masih menjadi kontroversi. Beberapa laporan menyebutkan kerusakan jantung oleh doksorubisin disebabkan oleh pembentukan reactive oxygen species (ROS) yang diperantarai proses metabolisme zat besi dan peningkatan stres oksidatif miokardium (Peng et al. 2005). Mekanisme stres oksidatif merupakan mekanisme yang paling sering mengakibatkan kerusakan jantung akibat penggunaan antibiotika golongan antrasiklin (Siahaan et al. 2007). Adapun manifestasi kardiotoksisitas akibat penggunaan doksorubisin meliputi terjadinya proses patologis seperti inflamasi, nekrosis, dan pada tahap lanjut adalah munculnya fibrosis jantung (Arozal et al. 2014). Kisseleva dan Brenner (2008) menyatakan bahwa proses kejadian fibrosis (fibrogenesis) memiliki kemiripan walaupun terjadi pada organ yang berbeda, proses ini dibagi menjadi beberapa tahap yaitu inflamasi, proliferasi/aktivasi fibroblas yang ditandai oleh deposisi kolagen, dan pembentukan jaringan parut. Proses inflamasi pada jaringan fibrosis ditandai oleh adanya infiltrasi sel radang terutama makrofag, yang menghasilkan sitokin-sitokin fibrogenik seperti yang mengaktifkan sel miofibroblas untuk mensintesis kolagen. Salah satu sitokin fibrogenik yang merupakan regulator utama fibrogenesis adalah galectin-3 yang mengatur proses deposisi kolagen pada miofibroblas (Henderson et al. 2008; Juniantito et al. 2013). Penelitian terdahulu oleh Schulke et al. (2013) dengan menggunakan mencit yang diinduksi doksorubisin dosis 4 mg/kg BB sekali seminggu selama 4 minggu
2 secara IP menunjukkan peningkatan fibrosis jantung bila dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan doksorubisin. Akibat efek kardiotoksisitas yang disebabkan doksorubisin tersebut, maka diperlukan suatu senyawa aktif yang berperan dalam melindungi jantung (kardioprotektif). Senyawa kardioprotektif terhadap doksorubisin diharapkan memiliki kemampuan sebagai antiinflamasi dan antioksidan yang baik. Andrografolid merupakan senyawa aktif dan konstituen utama yang terdapat dalam tanaman sambiloto (Andrographis paniculata) (Widyawati 2007). Senyawa ini memiliki sifat sebagai agen antiinflamasi, antioksidan, antitrombotik, agen antivirus, antineoplastik, dan antibakteri (Jayakumar et al. 2013). Efektivitas andrografolid sebagai bahan antiinflamasi dan antioksidan bermanfaat untuk mengurangi kerusakan jaringan akibat inflamasi, sehingga membantu proses regenerasi sel (Abu-Ghefreh et al. 2009). Berbagai macam kegunaan andrografolid tersebut kemungkinan bermanfaat pada efek kardioprotektif andrografolid pada proses kardiotoksisitas dan fibrosis jantung pasca aplikasi doksorubisin.
Perumusan Masalah Doksorubisin merupakan antibiotika antitumor yang banyak digunakan untuk kemoterapi berbagai jenis kanker. Potensi doksorubisin tersebut menyebabkan masih tingginya penggunaan obat doksorubisin sampai saat ini. Penggunaan doksorubisin belakangan ini diketahui memiliki efek samping berupa toksisitas pada beberapa organ terutama pada organ jantung. Tantangan penggunaan doksorubisin yang timbul saat ini yaitu bagaimana mengurangi efek toksik yang ditimbulkan terhadap jantung, sementara efek obat terhadap kanker tidak berkurang. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk pencegahan kardiotoksisitas yaitu dengan pemberian doksorubisin bersamaan dengan suatu senyawa yang dapat berperan sebagai kardioprotektif. Oleh karena itu diperlukan suatu kajian untuk mencari senyawa yang dapat berperan sebagai kardioprotektif.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek protektif andrografolid terhadap kejadian kardiotoksisitas terutama fibrosis jantung pasca aplikasi doksorubisin pada tikus.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bahwa senyawa andrografolid yang banyak ditemukan pada tanaman sambiloto dapat digunakan sebagai obat alternatif untuk mencegah kejadian kardiotoksisitas terutama fibrosis jantung akibat aplikasi doksorubisin pada tikus.
3 Hipotesis Penelitian H0: Pemberian andrografolid tidak dapat mencegah atau mengurangi keparahan toksisitas jantung pasca aplikasi doksorubisin pada tikus. H1: Pemberian andrografolid dapat mencegah atau mengurangi keparahan toksisitas jantung pasca aplikasi doksorubisin pada tikus.
2 TINJAUAN PUSTAKA Kardiotoksisitas Kardiotoksisitas adalah suatu bentuk kejadian toksisitas yang mempengaruhi kondisi organ jantung. Kejadian kardiotoksisitas menyebabkan penurunan fungsi jantung dan efisiensi dalam memompa darah keseluruh tubuh menjadi berkurang. Kejadian kardiotoksisitas memiliki relevansi yang erat dengan meningkatnya manajemen penggunaan obat-obatan anti kanker (Kerkela et al. 2006). Seiring dengan meningkatnya pengunaan obat-obatan untuk kanker, prevalensi kasus kardiotoksik juga mengalami peningkatan (Brana dan Tabernero 2010). Efek kardiotoksisitas dapat bersifat akut ataupun kronis, pada kejadian akut efek kardiotoksik timbul cepat umumnya terjadi selama pemberian kemoterapi atau dalam tahun pertama pemberian kemoterapi, sedangkan pada kondisi kronis efek kardiotoksik timbul lambat, paling tidak satu tahun setelah kemoterapi selesai. Pada penggunaan antibiotik golongan antrasiklin untuk kemoterapi, dampak kardiotoksik akut lebih sedikit dibandingkan kardiotoksik kronik. Umumnya pada kejadian kronis ditemukan dengan gejala subklinis, kelainan struktur, dan fungsi ventrikel kiri (Siahaan et al. 2007). Efek kardiotoksisitas yang timbul akibat penggunaan obat anti kanker golongan antrasiklin, dalam hal ini doksorubisin sangat dipengaruhi oleh dosis kumulatif penggunaannya. Beberapa faktor lain yang juga mempegaruhi kejadian kardiotoksisitas tersebut diantaranya jadwal pemberian obat, usia pasien yang terlalu tua atau dibawah umur empat tahun saat menerima terapi, kondisi hipertensi, penyakit jantung yang telah dialami sebelumnya, kromosom yang abnormal, dan gangguan fungsi hati (Jones et al. 2006). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Martha et al. (2007), dosis kumulatif terendah doksorubisin sebesar 110-130 mg/m2 sudah dapat menimbulkan gangguan fungsi diastolik ventrikel kiri jantung, sedangkan dosis kumulatif hingga 500 mg/m2 menyebabkan kejadian kardiotoksisitas dengan gejala congesti heart failure (CHF). Proses kardiotoksik disebabkan oleh adanya pembentukan radikal bebas pada proses metabolisme obat kemoterapi, gangguan fungsi adrenergik, terbentuknya peroksida lipid, gangguan transportasi Ca dalam sarcollemma, dan terlepasnya TNF-α dan interleukin-2, serta sitokin terbebas dari jaringan tumor. Dari semua faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kardiotoksisitas, diduga faktor radikal bebas atau stres oksidatif memiliki peranan yang cukup besar untuk menyebakan kondisi tersebut. Kondisi kardiotoksisitas akibat penggunaan doksorubisin terjadi melalui beberapa tahapan proses. Pertama doxorubisin akan berikatan dengan zat besi dan membentuk chelate melalui ikatan oksigen. Pada proses ini terjadi reaksi reduksi
4 oleh flavin dependent reduktase yang merubah bentuk quinone antrasiklin menjadi bentuk semiquinone. Bentuk semiquinone tersebut merupakan bentuk radikal bebas. Bila terdapat oksigen, semiquinone akan memberikan elektron yang tidak berpasangan ke molekul oksigen sehingga terbentuklah superoxide anion O2. Superoxide anion O2 melalui proses enzimatik oleh superoxide dismutase akan membentuk molekul oksigen dan hidrogen peroksida (H2O2). Eliminasi H2O2 merupakan tahapan yang penting, karena H2O2 mampu memicu pembentukan radikal hidroksil suatu oksidan yang sangat reaktif dan destruktif. Hidrogen peroksida diinaktivasi oleh dua enzim, yaitu katalase dan glutation peroksidase. Katalase mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen, sedangkan glutation peroksidase memakai glutation untuk mereduksi hidrogen peroksida menjadi air dan glutation teroksidasi (Siahaan et al. 2007). Pada organ jantung, jumlah enzim katalase yang dimiliki sangat sedikit sehinga proses inaktivasi hidrogen peroksida lebih banyak bergantung pada glutation peroksidase dalam menetralisir efek antrasiklin dan radikal bebas yang terbentuk. Hal inilah yang menerangkan mengapa jantung lebih rentan mengalami toksisitas bila dibanding dengan organ lain. Bagian jantung yang paling banyak mengalami kerusakan adalah mitokondria dan retikulum sarkoplasma. Kerusakan organel sel akan mengakibatkan kerusakan dan disfungsi miokardium (Siahaan et al. 2007).
Doksorubisin Doksorubisin merupakan antibiotika glikosida golongan antrasiklin yang diisolasi dari bakteri Streptomyces peucetius var. caesius (Arcamone et al. 2000). Doksorubisin merupakan turunan daunorubicin dan mempunyai cincin tetrasiklin yang dapat dilihat pada Gambar 1 (Malla et al. 2010). Doksorubisin telah digunakan dalam kemoterapi berbagai jenis kanker ganas selama lebih dari tiga puluh tahun karena potensi antineoplastik yang dimilikinya. Pada manusia penggunaaan doksorubisin sebagai kemoterapi banyak digunakan pada berbagai kasus kanker seperti leukimia dan limfoma, kanker payudara, kanker paru-paru, kanker tiroid, kanker ovarium, dan beberapa jenis kanker dan tumor lainnya (Tacar et al. 2013). Di dunia kedokteran hewan, penggunaan doksorubisin pada hewan kecil anjing dan kucing berguna dalam pengobatan berbagai karsinoma dan sarkoma (Plumb 2015).
Gambar 1. Struktur kimia (a) Daunorubicin (DNR), (b) Doksorubisin (DXR) (Malla et al. 2010).
5 Doksorubisin juga berikatan dengan beberapa target molekul seperti enzim topoisomerase I dan II, menyebabkan terjadinya efek sitotoksik bersamaan dengan antiproliferatif sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan DNA (Hilmer et al. 2004). Mekanisme lain dari doksorubisin yaitu generasi radikal bebas yang menyebabkan kerusakan DNA lebih lanjut, penghambatan produksi makromolekul, pemisahan DNA, dan peningkatan alkilasi. Doksorubisin menstabilkan kompleks topoisomerase II setelah mematahkan rantai DNA untuk replikasi, mencegah DNA heliks ganda, dan dengan demikian akan menghentikan proses replikasi. Interkalasi doksorubisin juga dapat menginduksi hilangnya histone dari kromatin, akibatnya terdapat respon kerusakan DNA, epigenomik, dan transkriptomik yang dideregulasi dari sel yang terpapar doksorubisin (Tacar et al. 2013). Secara umum efek biologis yang ditimbulkan oleh penggunaan doksorubisin yaitu terjadinya apoptosis, nekrosis, dan autofagi (Tacar et al. 2013). Mekanisme kerja dari doksorubisin dapat dijelaskan oleh penggunaan doksorubisin secara intravena terdistribusi di tubuh dalam waktu 3-5 menit, dan dapat beredar hingga 24-36 jam dalam aliran darah. Doksorubisin dan metabolit utama doksorubisinol akan diikat oleh protein plasma, kemudian memasuki sel melalui difusi pasif dengan afinitasnya yang tinggi untuk berikatan dengan proteasome sitoplasma. Doksorubisin memiliki afinitas yang tinggi pada nuklear DNA sewaktu melekat pada proteasome (Buchholz et al. 2002). Hal tersebut memungkinkan doksorubisin untuk memisahkan diri dari proteasome dan berikatan pada DNA. Doksorubisin kemudian melakukan interkalasi/menyisip dan stabil pada replikasi DNA. Kemampuan doksorubisin untuk menyisip tidak hanya pada nuklear DNA tetapi juga pada mitokondria DNA (Minotti et al. 2004). Doksorubisin yang berinteraksi dengan DNA menyebabkan penghambatan biosintesis makromolekul. Kejadian apoptosis dipicu ketika adanya usaha untuk memperbaiki kerusakan DNA dan pertumbuhan seluler dihambat pada fase G1 dan G2 (Minotti et al. 2004). Doksorubisin juga mengakibatkan kejadian autofagi, merupakan sitoprotektif sebagai respon terhadap kerusakan DNA. Aktivasi Nuclear enzyme (poly (ADP-ribose) polymerase-1) (PARP-1) merupakan peristiwa penting yang memutuskan apakah sel akan mengalami autofagi atau tidak. Stres genotoksik dapat menyebabkan PARP-1 menjadi hiperaktif, sel kemudian akan kehilangan energi dan menginduksi kematian sel secara ireversibel. Peran PARP-1 pada doksorubisin yang menginduksi autofagi dijelaskan dalam pengujian defisiensi sel PARP-1, dimana doksorubisin dengan konsentrasi cukup tinggi tidak dapat meginduksi kematian sel. Biasanya, ketika doksorubisin mengaktifkan PARP-1 secara berlebihan, sel akan mengalami kematian yang menunjukkan karakteristik autofagi dan nekrosis (Minotti et al. 2004). Hal tersebut menunjukkan bahwa kejadian yang memicu sel untuk autofagi yaitu kekurangan energi seluler sebagai akibat dari hiperaktivasi PARP-1. Penghambatan PARP-1 mencegah kekurangan energi seluler dan melindungi sel dari nekrosis dan penundaan autofagi yang sering mengakibatkan apoptosis akibat induksi doksorubisin. Tacar et al. (2013) menjelaskan bahwa aktivasi PARP-1 menjadi regulator penting pada sel, hal tersebut karena PARP-1 dapat memperbaiki lesio yang diakibatkan oleh pengobatan doksorubisin. Oleh karena itu, PARP-1 membutuhkan keseimbangan antara energi sel dan kerusakan DNA yang dipengaruhi oleh dosis doksorubisin yang diberikan dan aktivasi PARP-1.
6 Penggunaan doksorubisin menyebabkan ketidakseimbangan diantara radikal bebas dan antioksidan serta terjadinya oksidasi protein yang berakibat pada kerusakan sel dan jaringan (Karaman et al. 2006). Doksorubisin berperan dalam menstimulasi produksi Nitric Oxide (NO) secara langsung atau tidak langsung dan berkonsekuensi pada peningkatan radikal bebas dan menginduksi toksisitas pada berbagai organ (Radi et al. 1991). NO merupakan gas radikal bebas yang bertindak sebagai sitoprotektif atau sebagai agen sitotoksik yang dihasilkan oleh enzim endothelial nitric oxide synthase (eNOS) atau inducible nitric oxide synthase (iNOS). Dalam hal ini, mitokondria menjadi target subselular kerusakan yang diinduksi oleh doksorubisin. Radikal bebas bertanggung jawab atas efek samping berbahaya yang ditimbulkan oleh doksorubisin. Penggunaan doksorubisin dapat menimbulkan beberapa efek samping diantaranya kerontokan pada rambut, mielosupresi (penurunan kemampuan sumsum tulang untuk memproduksi sel-sel darah baru), alopesia, stomatitis, esofagitis, gastroenteritis, reaksi peradangan berupa pembengkakan dan kemerahan di tempat obat diberikan, reaksi hipersensitivitas juga terlihat ditandai dengan urtikaria, wajah bengkak, muntah, aritmia, dan atau hipotensi (Plumb 2015). Selain karena efektivitas sebagai anti kanker yang sangat baik, penggunaan doksorubisin sebagai kemoterapi dalam lingkup luas juga terbatas karena adanya efek toksisitas pada berbagai organ seperti jantung, ginjal, paru-paru, testicular, dan hematologi (Fadillioglu et al. 2003). Ibrahim et al. (2009) dalam penelitiannya menggunakan tikus yang diinduksi dengan doksorubisin dosis 2.5 mg/kg BB sebanyak 6 kali pemberian menyebabkan terjadinya kardiotoksisitas dan nephrotoksisitas. Penggunaan doksorubisin dapat menimbulkan efek yang cukup serius berupa adanya proliferasi fibroblas dan inflitrasi histiosit di daerah miokarditis. Lesio histopatologi yang ditimbulkan pada organ jantung berupa adanya vakuolisasi kardiomiosit pada atrium dan ventrikel jantung, vakuolisasi meningkat seiring dengan akumulasi dosis dan durasi perlakuan. Selain itu penggunaan doksorubisin dalam dosis 3 mg/kg/hari selama 12 hari menyebabkan terjadinya penurunan fungsi jantung (Shafik et al. 2011).
Andrografolid Andrografolid merupakan senyawa diterpenoid lakton bisiklik yang dikategorikan dalam kelompok trihidroksilakton. Senyawa andrografolid memiliki rumus molekul C20H30O5 yang ditunjukkan pada Gambar 2. Nama kimia andrografolid ialah 3α, 14, 15, 18-tetrahydroxy-5β, 9βH, 10α-labda-8, 12-dien16-oic acid γ-lactone. Andrografolid merupakan senyawa aktif dan konstituen utama yang diisolasi dari tanaman sambiloto (Andrographis paniculata). Tanaman sambiloto tergolong dalam famili Acanthaceae dan telah banyak digunakan sebagai ramuan obat herbal selama berabad-abad dalam pengobatan tradisional di seluruh dunia. Tanaman sambiloto secara luas telah digunakan dalam pengobatan Ayuverda, Yunani, dan Siddha untuk pengobatan berbagai jenis penyakit dalam pengobatan suku di India dan beberapa negara lainnya (Niranjan et al. 2008).
7 Andrografolid memiliki efek farmakologis yang luas dan sangat berpotensi sebagai agen antiinflamasi, antitrombotik, agen antivirus, anti stres oksidatif, dan neuroprotektif (www.abcam.com). Laporan lainnya menyebutkan bahwa senyawa andrografolid memiliki aktivitas sebagai hepatoprotektif, efek perlindungan terhadap flu, antipiretik, antimikroba, antidiare, aktivitas kardiovaskular, antikanker, dan aktivitas imunomodulator (Maiti et al. 2006).
a
Gambar 2
b
Andrographis paniculata Nees (a) Struktur kimia andrografolid (b) (Jayakumar et al. 2013).
Penelitian tentang aktivitas andrografolid secara in vitro membuktikan bahwa mekanisme antiinflamasi andrografolid terjadi melalui berbagai jalur, diantaranya melalui inhibisi ekspresi protein iNOS pada sel RAW 264.7 (Chiou et al. 2000). Inhibisi produksi radikal oksigen pada sel neutrofil manusia (Shen et al. 2002). Inhibisi aktivasi Nuclear Factor-kappa Beta (NF-κβ) pada sel embryonic 293; CRL- 1573, sel promyeloid HL-60; CCL-240, dan sel fibroblas mencit NIH3T3; CRL-1658 (Xia et al. 2004). Serta inhibisi ekspresi siklooksigenase pada sel fibroblas manusia (Levita et al. 2010). Kajian tentang aktivitas andrografolid secara in vivo pada tikus menunjukkan bahwa penggunaan andrografolid pada tikus dapat menyebabkan adanya peningkatan efek antiinflamasi dengan cara mengurangi produksi NO dan produksi Prostaglandin E2 (PGE) (Dai et al. 2011). Penelitian lainnya juga menyebutkan bahwa andrografolid bekerja sebagai antiinflmasi dengan menghambat produksi sitokin inflamasi TNF-α (Abu-Ghefreh et al. 2009). Manfaat tanaman sambiloto pada kardiovaskular juga telah banyak dilaporkan. Zhao & Fang (1990) melaporkan bahwa bubuk tanaman sambiloto yang diberikan pada anjing satu jam setelah pengembangan infark miokardium secara eksperimental, menunjukkan terjadinya penurunan kerusakan yang terjadi pada otot jantung, selain itu efek lain dari ekstrak sambiloto yaitu aktivasi fibrinolisis, memberikan efek antihipertensi berupa relaksasi pada otot polos dinding pembuluh darah (Huang 1987). Selain itu ekstrak sambiloto juga menunjukkan efek hipotensi dan vasorelaksasi pada aorta dan atrium kanan tikus
8 (Yoopan et al. 2007). Neha et al. (2007) menyebutkan bahwa efek antioksidan dari andrografolid dikarenakan kemampuannya untuk mengaktifkan enzim antioksidan yang mengkatalisis pengurangan oksidan. Penggunaan ekstrak sambiloto maupun senyawa andrografolid sangat aman untuk digunakan. Beberapa penelitian telah melaporkan keamanan penggunaannya dalam berbagai dosis, diantaranya yaitu Guo et al. (1988) melaporkan penggunaan andrografolid 10 mg/kg secara IV tidak menunjukkan adanya respon abnormal pada kardiovaskular, hasil tes enzim pada hati, jantung, ginjal, dan limpa menunjukkan hasil yang normal. Mencit yang diberikan ekstrak sambiloto 10 mg/kg sekali sehari selama tujuh hari menunjukkan hasil yang aman dan tidak ada kematian pada hewan yang digunakan. Zhu et al. (2013) dalam studinya yang menginduksi fibrosis paru-paru pada mencit dengan menggunakan bleomycin, melaporkan aktivitas andrografolid dalam menurunkan total sel radang, neutrofil, limfosit, dan makrofag bila dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberikan bleomycin. Sementara itu, secara signifikan andrografolid dengan dosis 10 mg/kg dapat menekan terjadinya inflamasi dan fibrosis paru-paru dengan cara menekan aktivasi NF- κB p65. Efek protektif Andrographis paniculata dan andrografolid terhadap cyclophosphamide yang menginduksi toksisitas urothelial juga dilaporkan oleh Sheeja & Kuttan (2006). Pemberian ekstrak Andrographis paniculata 10 mg/dosis/hewan dan andrografolid 500 µg/dosis/hewan pada mencit secara signifikan dapat mengurangi efek toksik pada vesika urinaria akibat cyclophosphamide. Gambaran morfologi vesika urinaria hampir normal, serta adanya penurunan level protein urinari dan level urea N2 bila dibandingkan pada kelompok yang hanya diberikan cyclophosphamide.
Hewan Model Tikus Putih (Rattus norvegicus) Tikus putih (Rattus norvegicus) merupakan hewan pengerat (rodensia) yang termasuk dalam golongan mamalia, hewan ini termasuk dalam famili Muridae dan Genus Rattus. Tikus putih merupakan hewan laboratorium yang banyak dimanfaatkan sebagai hewan model untuk peneltian pengaruh bahan kimia atau obat-obatan pada manusia. Pada penelitian yang berkaitan tentang psikologis, kecerdasan, dan penggunaan obat, Rattus norvegicus dianggap cukup relevan karena memiliki tingkat kecerdasan, keagresifan, dan adaptasi yang cukup baik (Barrnet 2001). Umumnya hewan ini banyak digunakan untuk penelitian yang berhubungan dengan penyakit kardiovaskuler, gangguan metabolisme (seperti diabetes mellitus), gangguan neurologis dan perilaku (seperti kelainan fungsi motorik, pendengaran, penglihatan, pembelajaran, dan penelitian epilepsi), penyakit autoimun, kanker, dan penyakit ginjal (Hedrich 2006). Tikus putih dianggap cukup efisien dan ekonomis karena mudah dipelihara serta tidak membutuhkan tempat yang luas. Hewan ini merupakan hewan yang memiliki sifat cenderung tenang dan kurang menggigit, tidak mudah stress, dan lebih produktif. Dibandingkan dengan mencit (Mus musculus), tikus putih (Rattus norvegicus) memiliki keunggulan karena ukuranya lebih besar. Dengan ukuran yang besar hewan ini akan memiliki organ yang lebih besar, sehingga pengamatan pada organ akan lebih mudah dilakukan (Hedrich 2006).
9 Penggunaan tikus putih pada penelitian kardiovaskular cukup relevan. Hal ini dimungkinkan karena bentuk anatomi sistem kardiovaskular tikus dan manusia memiliki kesamaan (Hofstetter et al. 2006). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tikus putih dapat dijadikan model pada kasus gagal jantung. Hayward dan Hydock (2007) melaporkan bahwa penggunaan doksorubisin pada tikus dapat menginduksi terjadinya kerusakan pada jantung. Ada berbagai strain tikus putih yang biasa digunakan sebagai hewan laboratorium, antara lain Wistar, Lewis, Dark Agouti, Sprague Dawley, Winstras, dan Long Evans. Strains Sprague Dawley baik digunakan dalam penelitian bidang toksikologi, reproduksi, farmakologi, dan penelitian tingkah laku (Wilkinson et al. 2000).
3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2015 sampai April 2016. Pelaksanaan penelitian bertempat di Rumah Sakit Hewan Pendidikan (RSHP) Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan di Laboratorium Histopatologi, Bagian Patologi Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi-FKH IPB. Hewan Percobaan Penelitian ini menggunakan sebanyak tiga puluh ekor tikus jantan SpragueDawley, umur 6-7 minggu dengan bobot badan 80-100 g. Setiap kelompok perlakuan terdiri atas 6-8 ekor tikus. Material Penginduksi Kardiotoksisitas Antibiotik Doksorubisin Actavis® 50 mg Injeksi (doksorubisin hidroklorida 50 mg, Actavis Indonesia). Doksorubisin dilarutkan dalam 25 ml NaCl fisiologis sehingga diperoleh konsentrasi 2 mg/ml. Sebanyak 4 mg/kg bobot badan (BB) perekor diinjeksikan secara intra peritoneal (IP), sekali seminggu selama empat minggu (Schulke et al. 2013). Andrografolid Bahan aktif andrografolid dengan purifikasi ≥ 90 % (Plamed, Xi’an, China) dilarutkan dalam carboxy methyl cellulose (CMC) 0.5 %. Andrografolid diberikan dengan dosis rendah 20 mg/kg BB dan dosis tinggi 100 mg/kg BB secara IP setiap hari selama empat minggu (Lee et al. 2014).
10 Desain Penelitian Semua metode yang dilakukan dalam penelitian ini telah mendapatkan persetujuan atas perlakuan etik dari Komisi Pengawasan Kesejahteraan dan Penggunaan Hewan Percobaan, Rumah Sakit Hewan Pendidikan FKH-IPB, Nomor 15-2015 RSHP FKH-IPB. Penelitian ini terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahap persiapan, perlakuan, dan pengamatan histopatologi. Pada tahap persiapan, tikus diadaptasikan dengan lingkungan kandang selama satu minggu dan diberikan obat-obatan pra perlakuan (berupa dosis tunggal anthelmintik pirantel pamoat 10 mg/kg BB, antibiotik amoxicillin 20 mg/kg BB selama 5 hari, dan antiprotozoa metronidazole 20 mg/kg BB selama 3 hari). Setelah masa aklimatisasi selesai, dilanjutkan dengan tahap perlakuan yang berlangsung selama empat minggu dan merupakan modifikasi dari metode peneliti sebelumnya (Schulke et al. 2013; Lee et al. 2014). Pada penelitian ini sebanyak 30 ekor tikus dibagi menjadi empat kelompok. Kelompok tersebut antara lain: a. Kelompok kontrol, tikus diinjeksikan NaCl fisiologis (IP) sekali seminggu selama empat minggu b. Kelompok DXR, tikus diinjeksikan doksorubisin (DXR) 4 mg/kg BB (IP) sekali seminggu selama empat minggu c. Kelompok DXR+Andro20, tikus diinjeksikan DXR 4 mg/kg BB (IP) sekali seminggu selama empat minggu dan Andrografolid (Andro) dosis rendah 20 mg/kg BB (IP) setiap hari selama empat minggu, kecuali pada hari pemberian doksorubisin d. Kelompok DXR+Andro20, tikus diinjeksikan DXR 4 mg/kg BB (IP) sekali seminggu selama empat minggu dan Andrografolid (Andro) dosis tinggi 100 mg/kg BB (IP) setiap hari selama empat minggu, kecuali pada hari pemberian doksorubisin Tahapan selanjutnya, tikus diterminasi di bawah anasthesi ketamin HCl dan dieksanguinasi pada aorta abdominalis. Selanjutnya dilakukan koleksi organ jantung dan difiksasi dalam buffered neutral formalin (BNF) 10 % selama ± 48 jam untuk pembuatan preparat histopatologi dan imunohistokimia. Evaluasi jaringan jantung dilakukan terhadap pewarnaan hematoksilin-eosin (HE), Masson’s Trichrome (MT), dan imunohistokimia (IHK) terhadap antibodi α–smooth muscle actin (α-SMA), ED1, dan galectin-3. Berikut merupakan bagan yang menggambarkan tahapan penelitian yang telah dilakukan (Gambar 3).
Gambar 3 Bagan alur penelitian pada setiap kelompok perlakuan
11 Pembuatan Preparat Histopatologi Sampel organ jantung yang telah difiksasi kemudian dipotong (trimming) dengan ketebalan ± 5 mm menggunakan cutter. Hasil potongan jantung kemudian dimasukkan ke dalam tissue cassette dan diproses dalam automatic tissue processor untuk proses dehidrasi, penjernihan (clearing), dan infiltrasi. Proses dehidrasi dilakukan dengan perendaman dalam larutan alkohol 70 %, alkohol 80 %, alkohol 90 %, alkohol 95 % I, alkohol 95 % II, etanol absolut I, etanol absolut II, dan etanol absolut III. Proses clearing pada larutan silol I, silol II, dan proses infiltrasi pada parafin I dan parafin II pada suhu 58 ºC. Setiap perendaman dilakukan selama ± 2 jam. Tahapan selanjutnya yaitu pencetakan (embedding), potongan organ dimasukkan ke dalam alat pencetak paraffin embedding console yang telah terisi sedikit parafin cair. Potongan organ diatur sehingga posisinya berada ditengah cetakan kemudian ditambahkan parafin cair hingga cetakan penuh. Parafin kemudian dibiarkan mengeras dan berbentuk blok parafin. Tahapan selanjutnya yaitu pengirisan dengan alat mikrotom putar dengan ketebalan 5 µm. Hasil irisan yang berbentuk pita (ribbon) diletakkan diatas waterbath dengan suhu ± 45 0C. Hasil potongan kemudian diangkat dari permukaan air menggunakan gelas objek, selanjutnya dimasukkan ke dalam inkubator (60 0C) selama 1 hari. Pewarnaan Hematoksilin-Eosin Pewarnaan rutin Mayer’s Hematoksilin dan Eosin (HE) digunakan untuk melihat lesio histopatologi yang ada pada organ sehingga dapat dideskripsikan. Adapun prosedur pewarnaan HE diawali dengan proses deparafinisasi dan rehidrasi. Selanjutnya dilakukan pewarnaan dengan merendam gelas objek pada pewarna Mayer’s hematoksilin selama 8 menit lalu dibilas dengan air mengalir selama 30 detik. Selanjutnya direndam dalam litium karbonat selama 15-30 detik dan dibilas dengan air mengalir selama 2 menit. Selanjutnya gelas objek direndam ke dalam pewarna Eosin selama 2-3 menit dan dibilas dengan air mengalir 30-60 detik. Tahap terakhir adalah dehidrasi dengan mencelupkan gelas objek secara berturut-turut ke dalam alkohol 95 % (±10 celupan), alkohol absolut I (±10 celupan), alkohol absolut II selama 2 menit. Selanjutnya dilanjutkan dengan clearing pada silol I dan silol II masing-masing 2 menit. Selanjutnya penutupan gelas objek dengan zat perekat Permount® dan ditutup dengan cover glass lalu dibiarkan beberapa saat hingga perekat kering. Preparat histopatologi yang telah jadi kemudian diamati dengan menggunakan mikroskop untuk melihat gambaran struktur organ secara umum. Pewarnaan Masson’s Trichrome Pewarnaan Masson’s Trichrome (MT) dimulai dengan proses deparafinisasi kemudian dibilas dengan akuades selama beberapa detik. Selanjutnya gelas objek direndam dalam larutan mordant selama 40 menit dan dicuci dengan akuades beberapa detik. Kemudian dilanjutkan dengan perendaman dalam pewarna Carrazi’s hematoksilin selama 40 menit dan dicuci kembali dengan akuades.
12 Tahapan berikutnya yaitu perendaman pada pewarna orange G 0.75 % selama 2 menit. Gelas objek kemudian dimasukkan ke dalam asam asetat 1 % selama beberapa detik, kemudian dimasukkan ke dalam pewarna ponceau xylidine fuchsin selama 15 menit dan dibilas kembali pada asam asetat 1 % selama beberapa detik sambil digoyangkan. Gelas objek kemudian direndam pada larutan asam fosfotungstat 2.5 % selama 10 menit, kembali direndam pada asam asetat 1 % beberapa detik. Selanjutnya dimasukkan ke dalam pewarna aniline blue selama 15 menit dan kembali direndam pada asam asetat 1 %. Selanjutnya preparat direndam dalam alkohol 95 % selama 3 menit. Proses selanjutnya yaitu dehidrasi, kemudian gelas objek diberi perekat dan ditutup dengan cover glass. Preparat yang diwarnai kemudian diamati menggunakan mikroskop untuk mengetahui struktur kolagen yang terbentuk. Warna biru kehijauan menunjukkan kolagen (jaringan ikat), warna merah menunjukkan otot dan elastin, sedangkan warna ungu menunjukkan adanya fibrin dan akumulasi kalsium. Pewarnaan Imunohistokimia Pewarnaan dimulai dengan proses deparafinisasi kemudian dibilas dengan destilated water (DW) sebanyak 3 kali masing-masing selama 3 menit. Selanjutnya dilakukan antigen retrieval untuk membuka epitop dari agen yang akan dideteksi dengan pemanasan menggunakan DW selama 25 menit menggunakan microwave. Preparat kemudian dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali masing-masing 3 menit. Tahapan selanjutnya, dilakukan blocking endogenus peroxidase menggunakan susu skim 5 % dalam PBS selama 30 menit di suhu ruang. Selanjutnya dilakukan inkubasi dengan antibodi primer yang telah dilarutkan dalam susu skim pada suhu 4 ºC selama satu malam. Antibodi primer yang digunakan yaitu ED1 (mengekspresikan CD68 tikus) sebagai penanda makrofag (monoklonal, Millipore, Bedford, Massachusetts; 1:300), α–smooth muscle actin (α-SMA) untuk mendeteksi miofibroblas (monoklonal, clone IA4; DAKO, Carpinteria, California; 1:500), dan galectin-3 untuk mendeteksi makrofag dan miofibroblas (poliklonal, sc-20157; Santa Cruz Bioteknologi, Santa Cruz, California; 1: 300). Tahapan selanjutnya, preparat dibilas dengan PBS sebanyak tiga kali dan dilanjutkan dengan perendaman dalam H2O2 0.5 % selama 30 menit. Preparat kemudian dicuci dengan PBS dan diinkubasi dengan menggunakan antibodi sekunder V-Histofine® (universal imuno-peroxidase polymer anti mouse and anti rabbit) selama 30 menit pada suhu ruang. Setelah visualisasi reaksi positif menggunakan 330-diaminobenzidin (DAB; VHistofine®), dilakukan counterstain dengan Mayer’s Hematoksilin selama 10 detik dan dicuci pada air mengalir selama 20 menit dan dilanjutkan DW. Tahap akhir dilakukan dehidrasi, clearing, dan mounting. Hasil pewarnaan imunohistokimia dinyatakan imunoreaktif apabila terdapat warna cokelat spesifik pada jaringan (Juniantito et al. 2013).
13 Parameter dalam Penelitian 1.
Bobot badan, selama masa perlakuan dilakukan penimbangan bobot badan setiap empat hari sekali selama masa perlakuan berlangsung. Penimbangan bobot badan dimulai pada hari ke-0 sampai hari ke-28 perlakuan. 2. Bobot jantung, penimbangan bobot jantung dilakukan diakhir masa perlakuan, sesaat setelah tikus dieuthanasi. 3. Lesio histopatologi jaringan jantung yang dianalisis dari preparat histopatologi dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin. 4. Persentase luas jaringan ikat jantung yang dianalisis dari preparat histopatologi dengan pewarnaan Masson’s Trichrome. 5. Jumlah sel yang imunoreaktif terhadap antibodi α-SMA, galectin-3, dan ED1 yang dianalisis dari preparat histopatologi dengan pewarnaan imunohistokimia. Seluruh pengamatan mikroskopik dalam penelitian ini dilakukan pada 25 lapang pandang pada masing-masing kelompok perlakuan dengan perbesaran 40 × lensa objektif dengan luas setiap lapang pandang yaitu 0.056 mm2. Semua parameter mikroskopik dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak Image J® (NIH, Maryland, USA; http://rsbweb.nih.gov/ij/).
Analisis Data Seluruh data kuantitatif dianalisis menggunakan perangkat lunak SPSS® 16.0 dengan metode analisis ragam one-way ANOVA dan disajikan dalam bentuk rataan dan standar deviasi. Selanjutnya digunakan uji lanjut Duncan (p<0.05) untuk melakukan perbandingan antar kelompok perlakuan. Data kualitatif disajikan secara deskriptif.
4
HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Badan dan Bobot Jantung
Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh, kelompok kontrol menunjukkan pertambahan bobot badan yang sangat besar setiap harinya hingga akhir perlakuan. Berbeda dengan kelompok kontrol, kelompok lainnya yang diberikan injeksi doksorubisin 4 mg/kg BB sekali seminggu selama empat minggu menunjukkan adanya penghambatan terhadap pertambahan bobot badan. Kelompok DXR menunjukkan pertambahan bobot badan yang paling kecil setiap harinya, sedangkan kelompok DXR+Andro20 menunjukkan pertambahan bobot badan yang lebih baik dan berbeda secara signifikan dibandingkan kelompok DXR dari hari ke-4 sampai hari ke-28. Kelompok DXR+Andro100 pada hari ke-4 sampai hari ke-16 menunjukkan pertambahan bobot badan yang lebih baik dan berbeda signifikan dibandingkan kelompok DXR, selanjutnya setelah hari ke-16 hingga akhir perlakuan terjadi penurunan bobot badan. Data rataan bobot badan
14 tikus setiap kelompok perlakuan disajikan pada Tabel 1, sedangkan perbandingan ukuran tubuh tikus dapat dilihat pada Gambar 4. Tabel 1 Data rataan bobot badan tikus setiap kelompok perlakuan Kelompok Perlakuan Kontrol DXR DXR+Andro20 DXR+Andro100 0 97.00±2.34a 91.40±4.33a 92.60±6.34a 96.60±2.79a 4 114.40±3.28a 94.40±8.01b 108.20±5.54a 1 07.20±4.14a 8 123.60±7.53a 101.60±8.98c 112.20±7.15b 109.20±5.49bc 12 147.40±8.01a 106.40±8.41b 114.40±3.57b 114.20±7.25b 16 172.00±8.51a 109.00±12.94c 125.20±4.32b 124.60±3.64b 20 191.20±13.98a 114.00±16.50c 131.20±4.65b 111.20±9.65c 24 213.80±13.62a 117.80±27.63c 143.80±5.80b 115.25±14.17c 28 228.40±15.19a 113.60±21.27c 147.40±6.30b 118.60±16.19c Perbedaan huruf pada baris yang sama menunjukkan perbedaan signifikan (p<0.05; n=6). Hari Ke-
Gambar 4 Perbandingan ukuran tubuh tikus pada hari ke-28 Pengamatan terhadap persentase tikus hidup dan rasio bobot jantung terhadap bobot badan pada hari ke-28 disajikan pada Tabel 2. Terlihat bahwa pada kelompok yang diberikan injeksi doksorubisin menunjukkan adanya angka kematian hewan coba, dengan angka kematian tertinggi ditunjukkan oleh kelompok DXR+Andro100. Kelompok kontrol menunjukkan persentase tikus hidup sebesar 100 %, sedangkan persentase tikus hidup pada kelompok DXR+Andro100 hanya sebesar 50 % sampai akhir pengamatan. Data bobot jantung pada kelompok DXR menunjukkan bobot yang paling rendah dan berbeda signifikan dibandingkan kelompok kontrol dan DXR+Andro20. Kelompok DXR menunjukkan penurunan bobot jantung sebesar 45.65 % bila dibandingkan kelompok kontrol. Kelompok DXR+Andro20 dan kelompok DXR+Andro100 masing-masing menunjukkan penurunan bobot jantung sebesar 19.56 % dan 30.39 %. Rasio bobot jantung terhadap bobot badan pada kelompok DXR dan DXR+Andro20 tidak berbeda secara signifikan bila dibandingkan kelompok kontrol. Kelompok DXR+Andro100 menunjukkan nilai rasio bobot jantung terhadap bobot badan yang tinggi dan berbeda secara signifikan bila dibandingkan kelompok kontrol.
15
Tabel 2
Persentase tikus hidup dan rasio bobot jantung terhadap bobot badan pada hari ke-28 Kelompok Perlakuan
Kontrol DXR DXR+Andro20 DXR+Andro100 Tikus hidup (%) 100 87.5 87.5 50 Bobot Badan/BB (g) 228.40±15.19a 113.60±21.27c 147.40±6.30b 118.60±16.19c Bobot Jantung/BJ (mg) 920.00±83.66a 500.0±141.42c 740.0±167.33b 640.33±54.77bc BJ/BB (mg/g) 4.16±0.26a 4.85±1.36ab 4.54±1.12ab 5.77±1.03b Ket: Perbedaan huruf pada baris yang sama menunjukkan perbedaan signifikan (p<0.05; n=6).
Penurunan bobot badan dan bobot jantung pada kelompok yang diberikan injeksi doksorubisin disebabkan oleh aktivitas doksorubisin yang menginduksi kematian sel secara apoptosis dan nekrosis, serta terbentuknya radikal bebas secara bersamaan. Tacar et al. (2013) melaporkan efek biologis yang ditimbulkan akibat penggunaan doksorubisin yaitu terjadinya proses apoptosis, nekrosis, dan autofagi pada sel dan jaringan normal. Apoptosis merupakan mekanisme penting yang menyebabkan hilangnya sel-sel miokardium dan disfungsi jantung (Nakamura et al. 2000). Molekul p53 memiliki peranan penting dalam kejadian kardiotoksisitas dan pembentukan stress oksidatif yang diinduksi doksorubisin, p53 merupakan regulator penting yang mengatur kematian dan pembentukan sel (Shizukuda et al. 2005). Andrografolid dosis rendah 20 mg/kg BB pada kelompok DXR+Andro20, dapat menghambat efek penurunan bobot badan dan bobot jantung akibat doksorubisin. Apoptosis dan radikal bebas yang distimulasi oleh DXR kemungkinan dihambat oleh aktivitas antioksidan andrografolid. Neha et al. (2007) melaporkan andrografolid memiliki efek antioksidan yang kuat dengan meningkatkan enzim katalase, superoksida dismutase, dan glutathione-S transferase yang akan mengkatalisis pengurangan tingkat oksidasi yang bermanfaat dalam pemulihan kerusakan sel. Kelompok perlakuan yang diberikan injeksi doksorubisin umumnya menunjukkan kematian hewan coba yang terjadi pada minggu ketiga dan empat setelah pemberian doksorubisin. Kelompok DXR+Andro100 menunjukkan tingkat kematian hewan coba paling tinggi dibandingkan kelompok lainnya. Hal tersebut diduga akibat efek toksisitas yang diakibatkan oleh pemberian doksorubisin dan semakin diperparah dengan pemberian andrografolid dosis tinggi. Diduga dosis andrografolid yang diberikan melebihi dosis terapeutik, sehingga dapat menyebabkan terjadinya respon hipersensitivitas hingga menyebabkan kematian pada hewan coba. Huojun et al. (2007) telah melaporkan adanya reaksi hipersensitivitas (shok anafilaksis) pada manusia akibat injeksi andrografolid pada 87 kasus di Cina.
16 Pemeriksaan Histopatologi Jantung Analisis histopatologi jaringan jantung terhadap pewarnaan Hematoksilin Eosin, kelompok kontrol menunjukkan struktur miokardium yang kompak dengan serabut otot yang jelas dan tidak ditemukan adanya lesio. Kelompok DXR dan kelompok DXR+Andro100 menunjukkan lesio berupa multifokal nekrotik yang ditandai dengan peradangan interstitial berupa infiltrasi sel radang makrofag, selain itu ditemukan juga hemoragi, degenerasi hingga nekrotik sel, serta atropi miokardium. Pada kelompok DXR+Andro20 ditemukan lesio dengan tingkat keparahan yang lebih ringan bila dibandingkan kelompok DXR dan kelompok DXR+Andro100. Lesio yang ditemukan tersebar pada miokardium baik pada vetrikel kiri mapupun ventrikel kanan jantung. Foto mikrografi jaringan jantung dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5
Foto mikrografi jantung (a) Kontrol, menunjukkan struktur miokardium yang normal, (b) DXR, (c) DXR+Andro20, (d) DXR+Andro100. Tanda panah pada kelompok DXR dan DXR+Andro100 menunjukkan fokus nekrotik ditandai dengan infiltrasi sel radang interstitial, hilangnya inti sel, dan atropi sel otot jantung (Pewarnaan HE).
Aplikasi DXR menunjukkan efek kardiotoksisitas yang ditunjukkan dengan lesio histopatologi pada Gambar 5. Temuan serupa dilaporkan oleh Arozal et al. (2014) yaitu terjadinya inflamasi interstitial yang ditandai dengan infiltrasi sel limfosit dan makrofag, fokus nekrotik, dan kejadian fibrosis di daerah perivaskular dan interstitial jantung pada kelompok tikus yang diberikan doksorubisin dengan dosis total 15 mg/kg BB. Tacar et al. (2013), doksorubisin menyebabkan peningkatan ekspresi nuclear factor-Kappa Beta (NF-κB) sehingga terjadi peningkatan inflamasi dan nekrosis jaringan jantung, pada tahap lanjut dapat terjadi kardiomiopati. Pemberian doksorubisin juga menyebabkan
17 peningkatan level ROS dan teraktivasinya cascade apoptosis oleh cytochrome c sehingga terjadi apoptosis kardiomiosit (Childs et al. 2002). Hamza et al. (2008) lebih lanjut telah melaporkan terjadinya peningkatan jumlah sel yang mengalami apoptosis setelah pemberian doksorubisin dosis tunggal 10 mg/kg BB secara IP. Kelompok doksorubisin menunjukkan peningkatan secara signifikan jumlah sel apoptosis dan mencapai empat kali lipat dari jumlah sel apoptosis pada kelompok kontrol. Perhitungan jumlah sel yang mengalami apoptosis tersebut dilakukan dengan menghitung jumlah sel yang positif terhadap TUNEL (terminal deoxynucleotidyl transferase mediated dUTP nick end labelling). Pemberian andrografolid dosis rendah 20 mg/kg BB menunjukkan adanya efek protektif terhadap kardiotoksisitas akibat doksorubisin. Hal tersebut terlihat dari perubahan histopatologi yang ditimbulkan lebih ringan dibandingkan kelompok DXR dan DXR+Andro100. Efek protektif andrografolid dimungkinkan karena aktivitas andrografolid sebagai agen antiinflamasi dan antioksidan, sehingga kerusakan jantung dapat ditekan. Aktivitas antiinflamasi andrografolid dilakukan dengan menekan aktivasi NF-κB pada sel endothelial yang terstimulasi (Xia et al. 2004). Selain itu andrografolid juga dilaporkan dapat menekan apoptosis sel dengan menghambat produksi sitokin interferon gamma (IFN-γ) dan interleukin-2 (IL-2) (Burgos et al. 2005). Penghambatan apoptosis sel oleh andrografolid juga dilakukan dengan menekan produksi ROS (Shen et al. 2002). Aktivitas andrografolid sebagai antioksidan juga telah dilaporkan oleh (Batran et al. 2013) pemberian andrografolid dosis 10 dan 20 mg/kg BB pada tikus, secara signifikan dapat meningkatkan enzim antioksidan superoxide dismutase (SOD) dan glutathione peroxidase (GPx) bila dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberikan andrografolid. Pemberian andrografolid dosis tinggi 100 mg/kg BB dalam studi ini menunjukkan hasil yang kurang baik bila dibandingkan dengan dosis 20 mg/kg BB. Zhonghui et al. (2009) melaporkan injeksi andrografolid dosis tinggi dalam waktu singkat dapat menyebabkan nephrotoksisitas, hal tersebut berhubungan dengan potensi toksisitas atau reaksi alergi yang ditimbulkan andrografolid. Konsentrasi tinggi andrografolid yang dikombinasikan dengan obat yang menyebabkan nephrotoksisitas dapat menyebabkan gagal ginjal. Zhang et al. (2014) lebih lanjut telah melaporkan kejadian acute kidney injury pada 26 kasus dimanusia yang diberikan andrografolid dosis tinggi secara intravena. Berdasarkan pemaparan diatas, maka kejadian serupa diduga juga dapat terjadi pada organ jantung penelitian ini. Luas Jaringan Ikat di Jantung Pengamatan terhadap luas jaringan ikat jantung dilakukan dengan pewarnaan Masson’s Trichrome. Akumulasi jaringan ikat (fibrosis) ditunjukkan dengan adanya deposit kolagen secara abnormal yang ditunjukkan dengan warna biru pada Gambar 6. Deposit kolagen ditemukan di daerah interstitial dan perivaskular baik pada ventrikel kiri maupun ventrikel kanan jantung. Deposit kolagen tersebut banyak dijumpai pada kelompok perlakuan DXR dan DXR+Andro100 yang ditunjukkan dengan tanda panah.
18
Gambar 6 Foto mikrografi jantung (a) Kontrol, (b) DXR, (c) DXR+Andro20, (d) DXR+Andro100. Tanda panah pada kelompok DXR dan DXR+Andro100 menunjukkan deposit kolagen berwarna biru (Pewarnaan MT). Secara kuantitatif, analisis terhadap persentase luas jaringan ikat jaringan jantung pada setiap kelompok perlakuan disajikan pada Gambar 7. Terjadi peningkatan luas jaringan ikat jantung secara signifikan pada kelompok DXR dan DXR+Andro100 bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kelompok DXR+Andro20 menunjukkan persentase luas jaringan ikat jantung yang tidak berbeda signifikan bila dibandingkan kelompok kontrol.
Gambar 7 Luas jaringan ikat. (A) Kontrol, (B) DXR, (C) DXR+Andro20, (D) DXR+Andro100. Superscripts berbeda menunjukkan adanya perbedaan signifikan (p<0.05; n=6). Error bar menunjukkan standar deviasi.
19 Peningkatan luas jaringan ikat yang terbentuk pada kelompok DXR dan DXR+Andro100 disebabkan akibat stres oksidatif jantung yang memicu terjadinya fibrosis dengan meningkatkan ekspresi transforming growth factor-beta 1 (TGF-β1), kemudian meningkatkan proliferasi miofibroblas dan sintesis kolagen jantung, serta menekan degradasi kolagen (Zhao et al. 2008). Pemberian andrografolid dosis rendah 20 mg/kg BB efektif dalam menekan terbentuknya jaringan ikat dan fibrosis jantung. Zhu et al. (2013) melaporkan adanya efek protektif andrografolid dalam menekan terjadinya fibrosis dengan menekan produksi TGF-β1 dan α-SMA mRNA, epithelial mesenchymal transition, serta inaktivasi NF-κB. TGF-β1 merupakan sitokin profibrotik yang memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan fibrosis jantung (Leask 2007). Pemeriksaan Imunohistokimia terhadap Antibodi α-SMA Antibodi α-SMA digunakan untuk mendeteksi keberadaan sel miofibroblas. Sel miofibroblas berperan dalam menghasilkan kolagen pada proses pembentukan fibrosis (Hinz et al. 2007). Pada studi ini, sel yang imunoreaktif terhadap antibodi α-SMA ditunjukkan dengan warna cokelat berbentuk oval hingga memanjang, dan banyak diamati pada daerah nekrotik dan fibrotik. Pemeriksaan imunohistokimia terhadap antibodi α-SMA dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 (a) Kontrol, (b) DXR, (c) DXR+Andro20, (d) DXR+Andro100. Tanda panah menunjukkan sel miofibroblas yang imunoreaktif terhadap antibodi α-SMA (Pewarnaan IHK). Secara kuantitatif, jumlah sel yang imunoreaktif terhadap antibodi α-SMA disajikan pada Gambar 9. Terlihat bahwa kelompok DXR dan kelompok DXR+Andro100 menunjukkan jumlah sel yang imunoreaktif terhadap antibodi αSMA lebih tinggi dan berbeda signifikan bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kelompok DXR+Andro20 menunjukkan terjadinya sedikit penigkatan
20 jumlah sel imunoreaktif terhadap α-SMA, namun tidak berbeda secara signifikan dibandingkan kelompok kontrol.
2.44±1.22a
Gambar 9 Jumlah sel positif α-SMA, kelompok perlakuan: (A) Kontrol, (B) DXR, (C) DXR+Andro20, (D) DXR+Andro100. Superscripts berbeda menunjukkan adanya perbedaan signifikan (p<0.05; n=6). Error bar menunjukkan standar deviasi. Desmouliere et al. (1993) melaporkan bahwa pemberian TGF-β1 secara subkutan pada tikus dapat menyebabkan peningkatan ekspresi miofibroblas yang mengekspresikan α-SMA. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pemberian injeksi doksorubisin menyebabkan terjadinya peningkatan ekspresi TGF-β1. Pemberian andrografolid dosis rendah pada kelompok DXR+Andro20 terbukti dapat menekan jumlah sel imunoreaktif terhadap antibodi α-SMA. Hal tersebut dikarenakan aktivitas andrografolid dalam menekan produksi sitokin fibrogenik TGF-β1. Pemeriksaan Imunohistokimia terhadap Antibodi ED1 Pemeriksaan jaringan jantung menggunakan antibodi ED1 dilakukan untuk mengetahui aktivitas fagositosis oleh makrofag. Antibodi ED1 (anti CD-68) merupakan antibodi spesifik untuk mengidentifikasi makrofag tipe eksudatif (Yamate et al. 2002). Sel yang imunoreaktif terhadap antibodi ED1 ditunjukkan dengan warna cokelat dengan bentuk sel yang bulat dan oval dengan sitoplasma yang bergranul. Sel makrofag yang terdeteksi dengan antibodi ED1 ditemukan tersebar pada miokardium dan terkonsentrasi pada daerah-daerah nekrotik. Pemeriksaan imunohistokimia terhadap antibodi ED1 dapat dilihat pada Gambar 10. . Peningkatan ekspresi ED1 menunjukkan adanya aktivitas makrofag dalam memfagosit sel-sel yang telah mengalami apoptosis dan sel-sel debris pada awal kejadian inflamasi. Aktivasi makrofag mengindikasikan adanya respon inflamasi (Pincott dan Burch 2011). Makrofag yang teraktivasi terlibat dalam berbagai
21 proses patologis penyakit seperti fibrosis organ, asma, dan penyakit granulomatosa (MacKinnon et al. 2008). Makrofag dilaporkan mampu menghasilkan TGF-β1 dalam jumlah besar pada area luka dan fibrosis (Yamate et al. 2002). Selain itu, makrofag CD68+ juga menginduksi miofibroblas melalui TGF-β1 (Yamamoto dan Nishioka 2002). Makrofag memegang peranan yang penting dalam semua tahapan proses inflamasi seperti fibrosis, perbaikan dan penyembuhan jaringan. Sekresi sitokin proinflamasi oleh makrofag distimulasi oleh lipopolisakarida yang menginduksi inducible NO synthase (iNOS) dan menyebabkan peningkatan produksi nitric oxide (NO). Pada studi ini, pemberian andrografolid dosis rendah dapat menekan aktivasi dan migrasi makrofag pada kondisi peradangan, hal tersebut ditunjukkan dengan pemberian andrografolid dapat menekan jumlah sel yang imunoreaktif terhadap ED1. Efektivitas andrografolid sebagai antiinflamasi dilakukan dengan menghambat lipopolisakarida dalam menginduksi diproduksinya NO dan ekspresi protein iNOS pada makrofag murine (Chiou et al. 2000).
Gambar 10
(a) Kontrol, (b) DXR, (c) DXR+Andro20, (d) DXR+Andro100. Tanda panah menunjukkan sel makrofag yang imunoreaktif terhadap antibodi ED1 (Pewarnaan IHK).
Secara kuantitatif, jumlah sel yang imunoreaktif terhadap antibodi ED1 disajikan pada Gambar 11. Terlihat bahwa pada kelompok perlakuan yang diberikan injeksi doksorubisin terjadi peningkatan jumlah sel yang imunoreaktif terhadap antibodi ED1 dan berbeda secara signifikan bila dibandingkan kelompok kontrol. Jumlah sel imunoreaktif terhadap ED1 yang tertinggi ditunjukkan pada kelompok DXR+Andro100, sedangkan pada kelompok DXR+Andro20 menunjukkan nilai yang paling mendekati kelompok kontrol. Keberadaan makrofag memiliki berkontribusi besar terhadap inflamasi dan fibrosis jantung yang diinduksi oleh doksorubisin. Pemberian injeksi doksorubisin menyebabkan teraktivasinya sel inflamasi makrofag, kemudian makrofag bermigrasi menuju fokus peradangan, mensintesis dan mensekresikan berbagai
22 sitokin, mediator peradangan, protease, dan ROS (Todd at al. 2013). Teraktivasinya mediator peradangan tersebut menyebabkan proliferasi sel miofibroblas dan peningkatan produksi kolagen dalam jaringan sehingga terbentuk fibrosis jantung (Zhu et al.2013). Pengembangan fibrosis jantung yang terjadi pada studi ini, dapat diakibatkan oleh adanya interaksi antara makrofag dan sel miofibroblas.
7.32±2.98c
Gambar 11 Jumlah sel positif ED1, kelompok perlakuan: (A) Kontrol, (B) DXR, (C) DXR+Andro20, (D) DXR+Andro100. Superscripts berbeda menunjukkan adanya perbedaan signifikan (p<0.05; n=6). Error bar menunjukkan standar deviasi.
Pemeriksaan Imunohistokimia terhadap Antibodi Galectin-3 Galectin-3 merupakan karbohidrat β-galaktosida yang berikatan dengan protein lectin, terlibat dalam proses peradangan dan digunakan untuk mendiagnosis fibrosis jantung (Sharma et al. 2004). Galectin-3 memainkan peranan yang sangat penting dalam pengembangan fibrosis di jantung, terbentuknya fibrosis jantung dikarenakan galectin-3 mampu mengaktivasi berbagai faktor profibrotik, proliferasi dan transformasi fibroblas, serta produksi dan deposit kolagen I (Li et al. 2014). Pembentukan fibrosis dapat menyebabkan disfungsi ventrikel jantung dan terkait dengan peningkatan risiko gagal jantung (Ho et al. 2012; Sharma et al. 2004). Juniantito et al. (2012) lebih lanjut melaporkan bahwa galectin-3 yang merupakan faktor fibrogenik TGF-β1 diekspresikan oleh miofibroblas dan makrofag CD68+, CD 163+, dan MHC class II+. Galectin-3 dilaporkan memiliki korelasi yang tinggi (r=0.9065, P<0.05) dengan sel makrofag CD68+ pada proses penyembuhan luka (Juniantito et al. 2011). Galectin-3 diduga mengalami peningkatan saat terjadinya diferensiasi sel monosit menjadi makrofag dan sewaktu proses fagositosis berlangsung (Seno et al. 2003). Pemeriksaan imunohistokimia terhadap antibodi ED1 dapat dilihat pada Gambar 12,
23
Gambar 12
(a) Kontrol, (b) DXR, (c) DXR+Andro20, (d) DXR+Andro100. Tanda panah menunjukkan sel makrofag dan atau sel miofibroblas yang imunoreaktif terhadap antibodi galectin-3 (Pewarnaan IHK).
Penggunaan antibodi galectin-3 pada pewarnaan imunohistokimia imunoreaktif terhadap sel makrofag dan miofibroblas. Pada studi ini, sel yang imunoreaktif terhadap galectin-3 ditunjukkan dengan sel berwarna cokelat dengan bentuk bulat, oval, hingga memanjang. Sel yang mengekspresikan galectin-3 terdistribusi di interstitial sel otot jantung dan banyak ditemukan pada fokus nekrotik dan area fibrosis terutama pada kelompok DXR dan DXR+Andro100. Analisis jumlah sel yang imunoreaktif terhadap ED1 disajikan pada Gambar 13.
Gambar 13 Jumlah sel positif galectin-3, kelompok perlakuan: (A) Kontrol, (B) DXR, (C) DXR+Andro20, (D) DXR+Andro100. Superscripts
24 berbeda menunjukkan adanya perbedaan signifikan (p<0.05; n=6). Error bar menunjukkan standar deviasi. Berdasarkan data pada Gambar 13 diketahui ekspresi galectin-3 pada kelompok DXR+Andro20 tidak berbeda secara signifikan dengan kelompok kontrol. Pada kelompok DXR dan DXR+Andro100 menunjukkan ekspresi galectin-3 yang lebih besar dan berbeda secara signifikan dengan kelompok kontrol. Kim et al. (2007) melaporkan bahwa pada tikus normal, keberadaan galectin-3 di organ jantung, otak, dan pankreas sangat sedikit, sebaliknya galectin3 ditemukan banyak pada organ limpa, paru-paru, uterus, dan ovarium. Peningkatan konsentrasi galectin-3 pada jantung berhubungan dengan tingginya risiko kejadian gagal jantung hingga kematian (Sharma et al. 2004). Peningkatan ekspresi dan sekresi galectin-3 menunjukkan terjadinya aktivasi alternative macrophage, sebaliknya aktivasi classical macrophage akan menghambat ekspresi dan sekresi galectin-3 (MacKinnon et al. 2008).
5
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
1.
2.
Studi ini menunjukkan bahwa pemberian andrografolid dosis rendah (20 mg/kg BB) dapat berperan sebagai kardioprotektif terhadap efek toksik doksorubisin. Penggunaan andrografolid dosis tinggi (100 mg/kg BB) tidak memberikan efek protektif dan cenderung memperparah kerusakan jaringan jantung pasca aplikasi doksorubisin. Saran
Diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui dosis optimum penggunaan andrografolid dalam menangani kondisi kardiotoksisitas akibat pengunaan doksorubisin.
DAFTAR PUSTAKA Abu-Ghefreh AA, Canatan H, Ezeamuzie CI. 2009. In vitro and in vivo antiinflammatory effects of andrographolide. Int Immunopharmacol. 9(3):313318.
25 Arcamone F, Cassinelli G, Fantini G, Grein A, Orezzi P, Pol C, Spaila C. 2000. Andriamycin, 14-hydroxydaunomycin, a new antitumor antibiotic from S. Peucetius var. Caesius. Biotech Bioengineer. 67(6): 704-713. Arozal W, Suyatna FD, Juniantito V, Rosdiana DS, Amurugam S, Aulia R, Monayo ER, Siswandi R. 2014. The effects of mangiferin (Mangifera indica L) in doxorubicin-induced cardiotoxicity in rats. Drug Res. 64:1-7. Barnett SA. 2001. The story of rats: their impact on us, and our impact on them. Adelaide (AU): Griffin Pr. hlm 14-21. Batran RA, Al-bayaty F, Al-Obaidi J, Abdulla MA. 2013. Acute toxicity and the effect of andrographolide on Porphyromonas gingivalis- induced hyperlipidemia in rats. BioMed Res Int. 10:1-7. Brana I, Tabernero J. 2010. Cardiotoxicity. Annals Oncolog. 21(7):173-179. Buchholz, Thomas A, David S, James S, Mark A, Jeffrey B, Lajos P. 2002. Global gene expression changes during neoadjuvant chemotherapy for human breast cancer. Cancer J. 8(6):488. Burgos RA, Seguel K, Perez M, Meneses A, Ortega M, Guardo MI, Loaiza A, Hancke JL. 2005. Andrographolide inhibits IFN-γ and IL-2 cytokine production and protects against cell apoptosis. Planta Med. 71(5):429-434. Childs AC, Phaneuf SL, Dirks AJ, Phillips T, Leeuwenburgh C. 2002. Doxorubicin treatment in vivo causes cytochrome c release and cardiomyocyte apoptosis, as well as increased mitochondrial efficiency, superoxide dismutase activity, and Bcl-2:bax ratio. Cancer Res. 62:45924598. Chiou WE, Chen CF, Lin JJ. 2000. Mechanisms of suppression of inducible nitric oxide synthase (iNOS) expression in RAW 264.7 cells by andrographolide. J Pharmacol. 129(8):1553-1560. Dai GF, Zhao J, Jiang ZW, Zhu LP, Xu HW, Ma WY, Chen XR, Dong RJ, Li WY, Liu HM. 2011. Anti-inflammatory effect of novel andrografolid derivatives through inhibition of NO and PGE2 production. Int Immunopharmacol. 11(12):2144-2153. Desmouliere A, Geinoz A, Gabbiani F, Gabbiani G. 1993. Transforming growth factor-β-1 induces α-smooth muscle actin expression in granulation tissue miofibroblasts and in quiescent and growing cultured fibroblasts. J Cell Biol. 122(1):103-111. Fadillioglu E, Erdogan H, Sogut S, Kuku I. 2003. Protective effects of erdosteine against doksorubisin-induced cardiomyopathy in rats. J Appl Toxicol. 23(1):71-74. Guo SY, Li DZ, Li WS, Fu AH, Zhang LF. 1988. Study of the toxicity of andrografolid in rabbits. J Beijing Med Univ. 5:422-428. Hamza A, Amin A, Daoud S. 2008. The protective effect of a purified extract of withania somnifera against doxorubicin-induced cardiac toxicity in rats. Cell Biol Toxicol. 24:63-73. Hayward R, Hydock DS. 2007. Doksorubisin cardiotoxicity in the rat: an in vivo characterization. J Am Assoc Lab Anim Sci. 46(4):20-32. Hedrich HJ. 2006. Taxonomy and Stocks and Strains in The Laboratory Rat (Second Edition). Suckow MA, Weisbroth SH, Franklin CL, edior. San Diego (US): Elsevier Pr. hlm 71-91.
26 Henderson NC, MacKinnon AC, Farnworth SL, Kipari T, Haslett C, Iredale P, Liu FT, Hughes J, Sethi T. 2008. Galectin-3 expression and secretion links macrophages to the promotion of renal fibrosis. Am J Pathol. 172(2):288298. Hilmer SN, Cogger VC, Muller M, David G, Le Couteur. 2004. The hepatic pharmacokinetics of doksorubisin and liposomal doksorubisin. Drug Metab Dispos. 32:794-799. Hinz B, Phan SH, Thannickal VJ, Galli A, Piallat MLB, Gabbiani G. 2007. The miofibroblas: one function, multiple origins. Am J Pathol. 170(6):18071816. Ho JE, Liu C, Lyass A, Courchesne SP, Pencina MJ, Vasan RS,Larson MG, Levy D. 2012. Galectin-3, a Marker of cardiac fibrosis, predicts incident heart failure in the community. J Am Coll Cardiol. 60:1249-1256. Hofstetter J, Suckow MA, Hickman DL. 2006. Morphophysiology The Laboratory Rat 2nd Edition. Suckow MA, Weisbroth SH, Franklin CL, editor. San Diego (US): Elsevier academic Pr. hlm 94-120. Http://www.abcam.com/Andrografolid-ab120636.html. Huang LY. 1987. The effects of andrografolids on experimental blood deficiency of cardiac muscle. Chinese Herb Med. 18:26-28. Huojun Z, Jianyun Y. 2007. Literature analysis of allergic reactions caused by lianbizhi injection in 87 cases. CNKI. 9:25-27. Ibrahim MA, Ashour OM, Ibrahim YF, Bitar HI, Gomaa W, Abdel-Rahim SR. 2009. Angiotensin-converting enzyme inhibition and angiotensin AT1receptor antagonist quality improve doxorubicin-induced cardiotoxicity and nephrotoxicity. Pharmacol Res. 60:373-381. Jayakumar T, Hsieh CY, Lee JJ, Sheu JR. 2013. Experimental and clinical pharmacology of Andrographis paniculata and its major bioactive phytoconstituent andrografolid. Evid-Based Complemen Alt Med. 10:1-16. Jones RL, Swanton C, Ewer MS. 2006. Anthracycline cardiotoxicity. Expert Opin Drug Saf. 5:791–809. Juniantito V, Izawa T, Yamamoto E, Murai F, Kuwamura M, Yamate J. 2011. Heterogeneity of macrophage populations and expression of galectin-3 in cutaneous wound healing in rats. J Comp Pathol. 145:378-389. Juniantito V, Izawa T, Yuasa T, Ichikawa C, Yano R, Kuwamura M, Yamate J. 2012. Immunophenotypical characterization of macrophages in rat bleomycin-induced scleroderma. Vet Pathol. 50(1):76-85. Karaman A, Fadillioglu E, Turkmen E, Tas E, Yilmaz Z. 2006. Protective effects of leflunomide against ischemia reperfusion injury of the rat liver. Ped Surgery Int. 22(5):428–434. Kerkela R, Grazette L, Yacobi R, Iliescu C, Patten R, Beahm C, Walters B, Shevtsov S, Pesant S, Clubb FJ, et al. 2006 Cardiotoxicity of the cancer therapeutic agent imatinib mesylate. Nat Med. 12(8):908–916. Kim H, Lee J, Hyun JW, Park JW, Joo H, Shin T. 2007. Expression and immunohistochemical localization of galectin-3 in various mouse tissues. Cell Biol Int. 31:655-662. Kisseleva T, Brenner DA. 2008. Fibrogenesis of parenchymal organs. Am Thoracic Soc. 5(3):338–342.
27 Leask A. 2007. TGFβ, cardiac fibroblasts, and the fibrotic response. Cardio Res. 74:207-212. Lee TY, Chang HH, Wen CK, Huang TH, Chang YS. 2014. Modulation of thioacetamide-induced hepatic inflammations, angiogenesis and fibrosis by andrographolide in mice. J Ethnopharmacol. 158:423-430. Levita J, Nawawi A, Mutholib A, Ibrahim S. 2010. Andrografolid inhibits COX-2 expression in human fibroblast cells due to its interaction with arginine and histidine in cyclooxygenase site, J Applied Sci. 10(14):1481-1484. Li LC, Li J, Gao J. 2014. Functions of galectin-3 and its role in fibrotic diseases. J Pharm Exp Ther. 351:336–343. Lotrionte M, Zoccai BD, Abbate A, Lanzetta G, D'Ascenzo F, Malavasi V, Peruzzi M, Frati G, Palazzoni G. 2013. Review and meta-analysis of incidence and clinical predictors of antrasiklin cardiotoxicity. Am J Cardiol. 112(12):1980–1984. MacKinnon AC, Farnworth SL, Hodkinson PS, Henderson NC, Atkinson KM, Leffler H, Nilsson UJ, Haslett C, Forbes SJ, Sethi T. 2008. Regulation of alternative macrophage activation by galectin-3. J Immunol. 180:2650-2658. Maiti K, Gantait A, Mukherjee K, Saha PB, Mukherjee KP. 2006. Therapeutic potentials of andrographolide from andrographis paniculata. J Natur Remed. 6(1):1-13. Malla S, Niraula NP, Liou K, Sohng JK. 2010. Improvement in doksorubisin productivity by overexpression of regulatory genes in Streptomyces peucetius. Res Microbiol. 161(2):109-117. Martha JW, Surianata S, Santoso A. 2007. Gambaran fungsi diastolik ventrikel kiri pada penderita keganasan yang mendapat kemoterapi doksorubisin. JKI. 28(5):320-326. Minotti G, Menna P, Salvatorelli E, Cairo G, Gianni L. 2004. Antrasiklins: molecular advances and pharmacologic developments in antitumor activity and cardiotoxicity. Pharmacol Rev. 56(2):185–229. Nakamura T, Ueda Y, Juan Y, Katsuda S, Takahashi H, Koh E. 2000. Fasmediated apoptosis in andriamycin-induced cardiomyopathy in rats. JAHA. 102:573-578. Neha P, Trivedi, Rawal UM, Patel BP. 2007. Hepatoprotective effect of andrographolide against hexachlorocyclohexane-induced oxidative injury. Integr Cancer Ther. 6(3):271-280. Niranjan A, Tewari SK, Lehri A. 2010. Biological activities of kalmegh (Andrographis paniculata Nees) and its active principles. IJNPR. 1(2):125135. Peng X, Chen B, Lim CC, Sawyer DB. 2005. The cardiotoxicity of antrasiklin chemotherapeutic: translating molecular into preventive medicine. Mol Interv. 5(3):163-171. Pincott ES, Burch M. 2011. New biomarkers in heart failure. Progress Pediatric Cardiol. 31:49-52. Plumb DC. 2015. Plumb’s Veterinary Drug Handbook: Pocket 8th Edition. Weshington (US): Wiley-Blackwell Pr. Hlm 280-282. Radi R, Beckman JS, Bush KM, Freeman BA.1991. Peroxynitrite oxidation of sulfhydryls: the cytotoxic potential of superoxide and nitric oxide. J Biol Chem. 266(7):4244–4250.
28 Schulke KJ, Coyle L, Merrill GF, Denhardt DT. 2013. Acetaminophen attenuates doxorubicin-induced cardiac fibrosis via osteopontin and GATA4 regulation: reduction of oxidant levels. J Cell Physiol. 228:2006–2014. Seno H, Hsu DK, Apgar JR, Yu L, Sharma BB, Kuwabara I, Izui S, Liu FT. 2003. Critical role of galectin-3 in phagocyosis by macrophages. J Clin Invest. 112(3):389-397. Shafik AN, Khodeir MM, Fadel MS. 2011. Animal study of antrasiklin-induced cardiotoxicity and nephrotoxicity and evaluation of protective agents. J Cancer Sci Ther. 3(5):96-93. Sharma UC, Pokharel S, van-Brakel TJ, van-Berlo JH, Cleutjens JP, Schroen B, Andre´ S, Crijns HJ, Gabius HJ, Maessen J, Pinto YM. 2004. Galectin-3 marks activated macrophages in failure-prone hypertrophied hearts and contributes to cardiac dysfunction. Circulation. 110:3121-3128. Sheeja K, Kuttan G. 2006. Protective effect of Andrographis paniculata and andrografolid on cyclophosphamide-induced urothelial toxicity. Integr Cancer Ther. 5(3):244-251. Shen YC, Chen CF, Chiou WF. 2002. Andrographolide prevents oxygen radical production by human neutrophils: possible mechanism involved in its antiinflammatory effect. Br J Pharmacol. 135:399-406. Shizukuda Y, Matoba S, Mian OY, Nguyen T, Hwang PM. 2005. Tergeted disruption of P53 attenuates doxorubicin-induced cardiac toxicity in mice. Mol Cell Biochem. 273:25-32. Siahaan IH, Tobing TC, Rosdiana N, Lubis B. 2007. Dampak kardiotoksik obat kemoterapi golongan antrasiklin. Sari Pediatri 9(2):151-156. Singha PK, Roy S, Dey S. 2007. Protective activity of andrografolid and arabinogalactan proteins from Andrographis paniculata Nees. against ethanol-induced toxicity in mice. J Ethnopharmacol. 111(1):13-21. Tacar O, Sriamornsak P, Dass CR. 2013. Doksorubisin: an update on anti cancer molecular action, toxicity and novel drug delivery systems. J Pharm Pharmacol. 65:157-170. Todd NW, Scheraga RG; Galvin JR, Iacono AT, Britt EJ, Luzina IG, Burke AP, Atamas SP. 2013. Lymphocyte aggregates persist and accumulate in the lungs of patients with idiopathic pulmonary fibrosis. J Inflamm Res. 6:63– 70. Widyawati T. 2007. Aspek Farmakologi Sambiloto (Andrographis paniculata Nees). M Ked Nus. 40(3): 216-222. Wilkinson JM, Halley S, Towers PA. 2000. Comparison of male reproductive parameters in three rat strains: Dark Agouti, Sprague-Dawley and Wistar. Lab Anim. 34(1):70-75. Xia YF, Ye BQ, Li YD, Wang JG, He XJ, Lin X, Yao X, Ma D, Slungaard A, Hebbel P, Key NS, Geng JG. 2004. Andrographolide attenuates inflammation by inhibition of NF-Κb activation through covalent modivication of reduced cysteine 62 of p50. J Immunol. 173:4207-4217. Yamamoto T, Nishioka K. 2002. Animal model of sclerotic skin V: increased expression of alpha-smooth muscle actin in fibroblastic cells in bleomycininduced scleroderma. Clin Immunol. 102(1):77-83.
29 Yamate J, Sato K, Ide M. 2002. Participation of different macrophage populations and miofibroblasic cells in chronically developed renal interstitial fibrosis after cisplatin-induced renal injury in rats. Vet Pathol. 39:322-333. Yoopan N, Thisoda P, Rangkadilok N, Sahasitiwat S, Pholphana N, Ruchirawat S, Satayavivad J. 2007. Cardiovascular effects of 14-deoxy-11, 12-didehydroandrografolid and Andrographis paniculata extracts. Planta Med. 73:503511. Zhang W, Zhang Z, Zhang Z,Wang Y, Zhou W. 2014. Andrographolide induced acute kidney injury: analysis of 26 cases reported in China literature. Nephrology. 19:21-26. Zhao H, Fang W. 1990. Protective effects of Andrographis paniculata Nees on post-infarction myocardium in experimental dogs. J Tongji Med Univ. 10(4):212-217. Zhao W, Zhao T, Chen Y, Ahokas RA, Sun Y. 2008. Oxidative stress mediates cardiac fibrosis by enhancing transforming growth factor-beta1 in hypertensive rats. Moll Cell Biochem. 317:43-50. Zhonghui H, Quanjun Q, Mingyang L. 2009. Nephrotoxicity of andrographolide injection and its safe use. ADRJ. 11(1):28-30. Zhu T, Zhang W, Xian M, Chen H, Jin H. 2013. Protective role of andrografolid in bleomycin-induced pulmonary fibrosis in mice. Int J Mol Sci. 14:2358123596.
30 Lampiran 1 Persetujuan atas perlakuan etik (ethical approval)
31 Lampiran 2 Sertifikat analisis produk andrografolid
32 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Makassar pada tanggal 29 Maret 1990 sebagai anak ketiga dari pasangan Drs Abdul Salam dan Dra Suhrah Hamzah, MPd. Penulis menempuh pendidikan menengah atas di SMA N 2 Makassar dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan Pendidikan sarjana di Fakultas Kedokteran Hewan IPB melalui jalus SNMPTN dan lulus pada tahun 2012. Penulis kemudian mengambil Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan di Institusi yang sama dan lulus pada Tahun 2014. Pada tahun 2014, penulis kembali diterima di Program Studi Ilmu Biomedis Hewan pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2016. Selama mengikuti program pascasarjana, penulis menjadi anggota aktif sekaligus pengurus pada organisasi Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB Asal Sulawesi Selatan (RUMANA IPB SUL-SEL). Beasiswa yang didapatkan oleh penulis selama pendidikan pascasarjana diperoleh dari Yayasan Bakrie Center Foundation 2015. Sebuah artikel ilmiah dengan judul Efek Protektif Andrografolid terhadap Kejadian Kardiotoksisitas Pasca Aplikasi Doksorubisin pada Tikus diterbitkan pada Jurnal Sain Veteriner FKH UGM, Vol. 34 No.2, Desember 2016.