EFEK BERBAGAI JENIS PAKAN KEDELAI (Glycine max L. Merrill) TERHADAP PRODUKSI HORMON ESTROGEN PADA TIKUS Sprague Dawley BETINA
ELSA MAY SUSANTI
DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ABSTRAK ELSA MAY SUSANTI. Efek Berbagai Jenis Pakan Kedelai (Glycine max L. Merrill) terhadap Produksi Hormon Estrogen pada Tikus Sprague Dawley Betina. Dibimbing oleh ANNA PRIANGANI ROSWIEM dan EDY DJAUHARI PURWAKUSUMAH. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman yang mengandung komponen gizi tinggi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kedelai memiliki kandungan fitoestrogen yang tinggi yaitu isoflavon. Penelitian bertujuan mengukur pengaruh pemberian pakan kedelai yang mengandung isoflavon dengan tingkat konsentrasi berbeda terhadap kadar hormon estrogen tikus Sprague Dawley betina. Terdapat 7 kelompok (tiap kelompok 4 ekor tikus) perlakuan yang terdiri atas kelompok kontrol negatif dengan pakan kasein (KN), 3 kelompok pakan serbuk kacang kedelai dengan konsentrasi 100% (K1), 50% (K2), dan 10% (K3) serta 3 tiga kelompok lainnya diberi pakan isolat protein kedelai dengan konsentrasi 100% (IPK1), 50% (IPK2), dan 10% (IPK3). Konsentrasi hormon estrogen dalam serum darah diukur dengan metode ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay). Hasil penelitian jika dibandingkan dengan kelompok pakan kasein (kontrol) menunjukkan sumber isoflavon dan tingkatan protein yang berbeda berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar hormon estrogen tikus betina untuk perlakuan pakan kedelai dan tidak berbeda nyata (p>0,05) untuk perlakuan pakan isolat protein kedelai. Konsentrasi hormon estrogen tikus meningkat pada perlakuan pakan kedelai 10% (K3), isolat 10% (IPK3), isolat 50% (IPK2), dan isolat 100% (IPK1). Konsentrasinya berturut turut 1455 ± 942,15 pg/mL, 939 ± 430,30 pg/mL, 869,44 ± 685,38 pg/mL, dan 850 ± 46,39 pg/mL. Kata kunci : hormon estrogen, isoflavon, isolat protein kedelai, kedelai, tikus betina
ABSTRACT ELSA MAY SUSANTI. The Effects of Various Types of Soybean (Glycine max L. Merrill) Feed in Estrogen Hormone Procurement of The Sprague Dawley Female Rats. Under the direction of ANNA PRIANGANI ROSWIEM and EDY DJAUHARI PURWAKUSUMAH. Soybean (Glycine max L. Merrill) is a plant that contains high nutritional components. Researchs suggested that soybean contains high phytoestrogens, called isoflavones. This study aimed to measure the effect of soy feed contained isoflavones with three different concentration through the estrogen hormone level of Sprague Dawley female rats. There are 7 groups treatment (each group of 4 rats) which consists of a negative control group with feed casein (KN), 3 groups of feed with soybean powder 100% concentration (K1), 50% (K2), and 10% (K3) and 3 three other groups were given feed with soy protein isolate 100% concentration (IPK1), 50% (IPK2), and 10% (IPK3). The concentration of the hormone estrogen in the blood serum was measured by ELISA method (EnzymeLinked Immunosorbent Assay). Results showed the source of isoflavones and the different protein levels were significantly different (p <0.05) the levels of the hormone estrogen of female mice with soybean powder treatment and not significantly different (p> 0.05) for soy protein isolate treatment. The concentration of the hormone estrogen increased as fed treatment soy 10% (K3), isolate 10% (IPK3), 50% (IPK2), and 100% (IPK1). Its concentration is 1455 ± 942.15 pg/mL, 939 ± 430.30 pg/mL, 869.44 ± 685.38 pg/mL, and 850 ± 46.39 pg/mL. Key word : hormone estrogen, isoflavone, soy protein isolate, soybean, female rats
EFEK BERBAGAI JENIS PAKAN KEDELAI (Glycine max L. Merrill) TERHADAP PRODUKSI HORMON ESTROGEN PADA TIKUS Sprague Dawley BETINA
ELSA MAY SUSANTI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Biokimia
DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Efek Berbagai Jenis Pakan Kedelai (Glycine max L. Merrill) terhadap Produksi Hormon Estrogen pada Tikus Sprague Dawley Betina Nama : Elsa May Susanti NIM : G84070021
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Anna P. Roswiem, MS Ketua
Drs. Edy Djauhari PK. M. Si Anggota
Diketahui
Dr.Ir. I Made Artika, M.App.Sc. Ketua Departemen Biokimia
Tanggal Lulus :
PRAKATA Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah berkehendak atas segala sesuatu yang terjadi di alam semesta sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Mei 2011 sampai Desember 2011 yang bertempat di Laboratorium Biokimia FMIPA IPB, Pusat Studi Biofarmaka (PSB) IPB, dan SHIGETA dengan judul Efek Berbagai Jenis Pakan Kedelai terhadap Produksi Hormon Estrogen pada Tikus Sprague Dawley Betina. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Anna P. Roswiem, MS. selaku pembimbing utama dan Drs. Edy Djauhari PK, M.Si. selaku pembimbing kedua yang telah memberikan saran, bimbingan, dan masukan-masukannya. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Bina Pertamasari, Danio Ardi Susilo, Kurnia Eka Putri, Eka Wati, Rezana Falachi, Rama Andhita Setiawan, Fina Fifin Tryani, Muhammad Iqbal A Mutaqin, dan teman-teman Biokimia 44 atas dukungan, bantuan, dan semangatnya selama pengumpulan data. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada ayah, ibu, dan seluruh keluarga yang senantiasa memberikan dukungan dan doa-doanya. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi Departemen Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB, penulis pada khususnya, dan semua pihak pada umumnya. Bogor, Februari 2013
Elsa May Susanti
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sungai Penuh, Kerinci pada tanggal 7 November 1989 dari Drs. Meilizar dan Ir. Yasfinar Endri. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Kota Solok, Sumatera Barat dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih program mayor Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) dan minor Ilmu Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian (FATETA). Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan, diantaranya penulis aktif di Himpunan Profesi BiokimiaCommunity Research and Education Biochemistry’s Student (CREBs) sebagai staf pada divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) periode 2008/2009 dan sebagai bendahara divisi Creativity Core (C-Core) periode 2009/2010, penulis juga terlibat aktif menjadi pengurus Forum Silaturrahim Mahasiswa Alumni ESQ IPB (FOSMA IPB), pada divisi Sosial Kemasyarakatan periode 2007/2008, pengurus FOSMA Bogor pada divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) periode 2007/2008, pengurus Fosma Bogor divisi Dana Usaha (Danus) periode 2009/2010 serta organisasi daerah (OMDA) Padang, yakni Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Minang (IPMM) dan OMDA tingkat dua, Ikatan Keluarga Mahasiswa Solok (IKMS). Selain itu, penulis juga aktif mengikuti beberapa acara kepanitiaan, di antaranya Training ESQ untuk Mahasiswa baru IPB angkatan 47, Sport Competition and Art Festival on MIPA Faculty (SPIRIT) 2010, Biokimia Expo 2010, Seminar Kanker 2009, kepanitiaan Masa Perkenalan Departemen 2009, dan meet Biokimia 2009. Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Struktur Fungsi Subseluler pada tahun ajaran 2010/2011, mata kuliah Biokimia Umum, Metabolisme, dan Keteknikan Asam Nukleat pada tahun ajaran 2011/2012. Selain itu juga, penulis pernah melakukan Praktik Lapangan di Laboratorium Biologi Molekuler Balai Besar Penelitian dan Bioteknologi Pengembangan dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB-Biogen) dengan judul Identifikasi Molekular DNA Tanaman Padi Transgenik Trans-Activator Facilitated Enhancer Trap (TAFET) turunan ketiga (T2) dan turunan keempat (T3).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... x PENDAHULUAN ................................................................................................ 1 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... Kedelai ....................................................................................................... Fitoestrogen ................................................................................................ Isoflavon ..................................................................................................... Estrogen ..................................................................................................... Enzyme-Linked Immunosorbent Assay ....................................................... Tikus Putih sebagai Hewan Coba ..............................................................
2 2 3 3 5 6 8
BAHAN DAN METODE ..................................................................................... 8 Alat dan Bahan ........................................................................................... 8 Metode Penelitian....................................................................................... 8 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 10 Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot Badan dan Kondisi Hewan Coba ..... 10 Pengaruh Pakan terhadap Kadar Hormon Estrogen Tikus Sprague Dawley Betina ......................................................................................................... 14 SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 17 Simpulan ................................................................................................... 17 Saran .......................................................................................................... 18 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 18 LAMPIRAN .......................................................................................................... 22
DAFTAR TABEL Halaman 1 Komposisi Zat Gizi Kedelai dalam 100g Bahan Kering ......................................... 2 2 Kadar Isoflavon pada Berbagai Bahan Makanan ..................................................... 5
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Struktur Dasar Isoflavon .............................................................................................. 4 2 Biosintesis isoflavon ..................................................................................................... 4 3 Struktur Senyawa Isoflavon Kedelai dan Hormon 17 β- estradiol ......................... 5 4 Struktur Estrogen .......................................................................................................... 6 5 Jalur Pembentukan Estrogen dari Kolesterol sebagai Prekursor ............................ 7 6 ELISA reader ....................................................................................................... 8 7 Rerata Kenaikan Bobot Badan Tikus untuk 7 Kelompok Perlakuan pada Tahap Awal Perlakuan, Awal Adaptasi, Sesaat Sebelum Dikawinkan, dan Sesaat Sebelum Nekropsi ....................................................................................... 11 8 Rerata Konsumsi Pakan oleh Hewan Coba Selama Perlakuan ............................ 14 9 Kadar Hormon Estrogen Tikus Sprague Dawley Betina Tiap Perlakuan ................................................................................................................. .....15
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Diagram Alir Penelitian ............................................................................................. 23 2 Komposisi Bahan untuk Pembuatan Pakan Berdasarkan AOAC Recommendation dan Analisis Proksimat Pakan Perlakuan ................................. 24 3 Analisis Estrogen ........................................................................................................ 25 4 Bobot Badan Tikus Betina Saat Adaptasi dan Selama Perlakuan..................... 26 5 Rerata Bobot Badan Hewan Coba dan Peningkatannya Selama Perlakuan ........ 27 6 Pakan yang Dikonsumsi saat Perlakuan oleh Tikus Betina .................................. 28 7 Kandungan Isoflavon (Daidzin dan Genistein) Bebas dan Total dalam Pakan Perlakuan …..................................................................................................................29 8 Hasil Pengukuran Absorbansi Standar Hormon Estrogen …................................30 9 Kadar Hormon Estrogen Tikus Betina untuk Tiap Perlakuan ..............................31
1
PENDAHULUAN Data empiris dan penelitian epidemiologi menunjukkan beberapa penyakit seperti sindrom menopause, osteoporosis, jantung koroner, kanker payudara di negara Eropa dan Amerika meningkat pada angka yang tinggi. Hal ini disebut juga dengan penyakit daerah barat (Western disease) (Rose et al. 1986). Namun penelitian lainnya menunjukkan hal yang berbeda di Negara Asia, penyakit yang sama memiliki angka yang menurun secara drastis akibat tingginya konsumsi terhadap diet yang mengandung fitoestrogen (Bustamam 2008). Hal ini menimbulkan dugaan bahwa fitoestrogen menimbulkan efek proteksi sehingga banyak dilakukan penelitian baik secara klinis maupun biomolekular terhadap fitoestrogen (Tempfer et al. 2007). Menurut Cornwell et al. (2004) gejala menopause seperti meningkatnya resiko jantung koroner, osteoporosis, berkurangnya kepadatan tulang, kanker, dan perkembangan aterosklerosis salah satu penyebabnya adalah berkurangnya jumlah atau kadar estrogen yang terdapat di dalam tubuh. Berbagai upaya telah dilakukan dengan tujuan menjaga kadar hormon estrogen agar tetap pada jumlahnya. Oleh karena itu diperlukan suatu cara untuk mengatasi masalah kekurangan hormon estrogen pada tubuh. Salah satu cara yang telah dilakukan adalah terapi penggantian hormon estrogen (hormon replacement therapy, HRT). Namun cara ini selain membutuhkan biaya yang cukup besar juga memiliki efek samping yang membahayakan salah satunya kanker payudara (Badziad 2003). Penggunaan bahan alami yang mengandung hormon atau fitohormon saat ini telah banyak digunakan. Salah satu fitohormon yang digunakan adalah fitoestrogen. Fitoestrogen merupakan suatu substrat dari tumbuhan yang memiliki aktivitas mirip estrogen (Glover & Assinder 2006). Menurut Jefferson (2002) fitoestrogen merupakan dekomposisi alami yang ditemukan pada tumbuhan yang memiliki banyak kesamaan dengan estradiol, bentuk alami estrogen yang paling potensial. Penggunaan fitoestrogen memiliki efek keamanan yang lebih baik dibandingkan dengan estrogen sintesis atau obat-obat hormonal pengganti (Achdiat 2003). Pada tanaman dikenal ada beberapa kelompok fitoestrogen yaitu isoflavon, lignan, kumestan, triterpen, glikosida, dan senyawa lain yang berefek estrogenik seperti flavon,
diterpenoid, triterpenoid, dan coumarin (Achdiat 2003). Kelompok isoflavon merupakan senyawa yang banyak dimanfaatkan, dikarenakan kandungan fitoestrogen yang cukup tinggi (Achdiat 2007). Senyawa isoflavon merupakan senyawa metabolit sekunder yang banyak disintesis oleh tanaman. Tanaman golongan Leguminoceae, khususnya pada tanaman kedelai mengandung senyawa isoflavon yang cukup tinggi. Selain pada tanaman kedelai, senyawa isoflavon dapat ditemukan terutama produk-produk olahannya, seperti tahu, tempe, tauco, dan kecap, juga ditemukan pada buahbuahan dan teh hijau (Achdiat 2003). Isoflavon secara hormonal terbukti memiliki efek estrogenik. Hal ini dibuktikan dengan aktivitas estrogenik dari isoflavon yang sama dengan dietilstilbestrol (Safrida 2008). Dietilstilbestrol merupakan obat yang memiliki sifat estrogenik (Prawiroharsono 2007). Isoflavon yang merupakan salah satu jenis fitoestrogen, memiliki struktur yang serupa dengan estrogen. Isoflavon dapat berikatan dengan reseptor estrogen sehingga berpotensi menggantikan fungsi dari estrogen (Safrida 2008). Namun interaksi ikatan antara isoflavon dengan reseptor estrogen cenderung lemah dibandingkan dengan estrogen endogenous sehingga dibutuhkan jumlah isoflavon yang relatif banyak dibandingkan dengan estrogen endogenous. Penelitian mengenai potensi isoflavon sebagai estrogen eksogenus telah diteliti sebelumnya oleh isoflavon kedelai meningkatkan pembentukan tulang dan penurunan penyerapan tulang (Setchell & Oslen 2003). Selain itu penelitian Cornwell et al. (2004) menyatakan bahwa isoflavon kedelai berperan sebagai fitoestrogen yang dapat menggantikan peran estrogen endogenus (estrogen agonis). Potensi isoflavon yang terdapat dalam kedelai pada penelitian sebelumnya telah banyak dilakukan. Namun, penelitian mengenai pengaruh berbagai macam pakan isoflavon kedelai (serbuk kacang kedelai dan isolat protein kacang kedelai) dengan berbagai tingkatan kandungan protein (100%, 50%, 10%) terhadap kadar estrogen belum dilakukan. Penelitian ini bertujuan mengukur pengaruh pemberian pakan mengandung isoflavon kedelai terhadap produksi hormon estrogen tikus Sprague-Dawley betina. Hipotesis penelitian ini adalah isoflavon yang terkandung dalam pakan kedelai memiliki pengaruh dalam produksi hormon estrogen. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang isoflavon yang terdapat
2
dalam pakan yang berpotensi sebagai fitoestrogen sehingga dapat diketahui efek estrogenik dari isoflavon tersebut. Selain itu, data dapat digunakan untuk penerapan dan pengembangan dalam Ilmu kedokteran, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dalam bidang farmasi.
TINJAUAN PUSTAKA Kedelai Kedelai termasuk dalam kingdom Plantae, subkingdom Traceobionta, superdivisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, subkelas Rosidae, ordo Fadales, family Fadaceae, genus Glycine, spesies G. Max L. Merrill (USDA 2007). Kedelai berasal dari daerah Manshukuo Cina Utara. Kedelai di Indonesia dibudidayakan mulai abad ke-17 sebagai tanaman makanan dan pupuk hijau. Penyebaran tanaman kedelai ke Indonesia berasal dari daerah Manshukuo menyebar ke daerah Mansyuria, Jepang (Asia Timur) dan ke negara-negara lain di Amerika dan Afrika. Kedelai dibedakan berdasarkan umur dan warna biji (Suprihatin 2008). Berdasarkan umurnya kedelai dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu kedelai berumur genjah yang memiliki umur 75-85 hari, kedelai berumur pertengahan yang memiliki umur 85-95 hari, dan kedelai berumur lebih dari 95 hari. Berdasarkan warna bijinya, kedelai dibedakan menjadi biji warna kuning, hijau, hitam, dan coklat (Suprapto 1988; Budisantoso 1994; Koswara 1995; Suprihatin 2008). Kedelai kaya protein, lemak, karbohidrat, mineral, vitamin dan lainnya (Tabel 1). Kedelai mengandung sekitar 40% protein, 35% karbohidrat, dan 20% lemak pada berat kering (Agostoni et al. 2006), serta sejumlah vitamin, yakni tiamin, niasin, B-komplek, karoten (Fafioye et al. 2005), mineral seperti kalsium, tembaga, besi, magnesium, mangan, kalium, natrium, seng (Ibrahim et al. 2008), dan serat. Protein yang terkandung dalam kedelai lebih tinggi jika dibandingkan dengan protein yang terdapat pada daging serta kandungan lemak yang lebih rendah, sehingga kedelai dapat dijadikan pengganti protein jika tidak mengkonsumsi daging. Vitamin A dan vitamin B yang terkandung dalam kedelai memiliki kadar yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kacang-kacangan yang lainnya (Cahyadi 2007).
Tabel 1 Komposisi zat gizi kedelai dalam 100 gram bahan kering (Cahyadi 2007) Zat gizi Abu Protein Lemak Karbohidrat Serat Kalsium Fosfor Besi Vitamin B1 Riboflavin Niasin Asam pantotenat Piridoksin Vitamin B12 Biotin Asam amino esensial
Kedelai 6,1 g 46,2 g 19,1 g 28,2 g 3,7 g 254 mg 781 mg 11 mg 0,48 mg 0,15 mg 0,67 mg 430 mkg 180 mkg 0,2 mkg 35 mkg 17,7 g
Kedelai saat ini sangat populer untuk semua kalangan. Namun kedelai yang dikenal tidak hanya dalam bentuk kedelai tetapi sudah dikonversi menjadi berbagai bahan olahan dengan mengubah beberapa nilai gizi yang terkandung dalam kedelai (Muchtadi 1989). Kedelai dikonversi menggunakan mikroorganisme untuk miso (makanan yang ditambahkan ke sup dan minuman di Jepang), pasta kedelai (Korea) dan tempe dengan tekstur seperti daging di Indonesia. Kecap adalah produk olahan kedelai dan dibuat dengan hidrolisis asam atau dengan fermentasi. Protein dan lipid dalam kedelai yang diekstraksi dengan air mendidih untuk membentuk susu kedelai, alternatif penting untuk ibu menyusui di negara-negara dengan tingginya insiden insufisiensi laktase. Isolat protein kedelai/Soy Protein Isolate (SPI) merupakan hasil ekstraksi kedelai yang paling murni dibandingkan dengan tepung atau konsentrat protein kedelai. SPI pada umumnya banyak digunakan sebagai tambahan makanan. SPI ditambahkan ke sup dan minuman (Jepang), pasta kedelai (Korea) dan tempe dengan tekstur seperti daging di Indonesia. Kandungan protein minimum pada SPI sebesar 95% sehingga hampir bebas dari karbohidrat, serat dan lemak. Kadar protein yang lebih murni menyebabkan sifat fungsional SPI lebih baik daripada tepung atau konsentrat protein kedelai (Koswara 1995). Kedelai mengandung isoflavon yang tinggi dibandingkan dengan jenis tanaman yang lainnya. Kandungan isoflavon dalam kedelai sebesar 5,1-5,5 mg/g protein kedelai (Heinnerman 2003). Isoflavon yang terdapat
3
dalam kedelai terdiri atas empat bentuk diantaranya glikosida (daidzin, genistin, glisitin), asetil glikosida (6-0 asetil daidzin, ge -nestin, -glisitin), malonil glikosida (6-0 malonildaidzin, -genistin, -glisitin), dan aglikon (daidzein, genistein, glisitein). Bentuk isoflavon yang paling dominan yang terdapat dalam kedelai adalah glikosida yaitu daidzin dan genistin (Coward et al. 1993). Begitu juga dengan produk olahan kedelai, juga terdapat kandungan isoflavon dengan kadar yang berbeda satu sama lainnya. Isoflavon memiliki struktur yang mirip dengan estrogen endogenus sehingga memiliki sifat yang mirip estrogen (Hidayati 2003). Fitoestrogen Fitoestrogen merupakan senyawa hasil metabolisme sekunder yang berasal dari tanaman. Fitoestrogen secara struktural dan fungsional serupa dengan 17 β-estradiol. Fitoestrogen mendapat perhatian khusus dalam penelitian karena berpotensi memiliki efek agonis serta antiestrogen ketika berikatan dengan reseptor estrogen (Kariyil 2010). Fitoestrogen berasal dari kata phyto, estrogen, dan gen (Barret 1996). Phyto berarti tanaman, estrogen berarti estrus yaitu periode subur untuk mamalia betina serta gen berarti hasil, sehingga fitoestrogen merupakan senyawa yang dihasilkan tanaman yang serupa dengan senyawa yang dihasilkan oleh hewan mamalia betina saat estrus. Fitoestrogen pertama kali diteliti pada tahun 1926 tetapi hal tersebut belum dapat membuktikan efek yang ditimbulkan fitoestrogen terhadap metabolisme pada hewan atau manusia. Tahun 1940 ditemukan pertama kali efek estrogenik yang ditimbulkan oleh fitoestrogen yang terdapat dalam semanggi merah (red clover) terhadap fertilitas dari domba (Kariyil 2010). Mekanisme kerja fitoestrogen serupa dengan 17β-estradiol. Estradiol merupakan salah satu jenis estrogen yang terdapat di dalam tubuh, jenis estrogen lainnya yaitu estron dan estriol (Bustamam 2008). Estradiol yang disekresikan ke dalam darah akan berikatan dengan globulin dan albumin atau dalam bentuk bebas yang akan berikatan dengan reseptor estrogen. Reseptor estrogen terdiri atas dua bentuk yaitu reseptor α dan reseptor β (Tempfer et al. 2007). Fitoestrogen yang memiliki bentuk yang serupa dengan 17β-estradiol akan berikatan dengan reseptor β. Fitoestrogen memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor β tetapi menimbulkan efek estrogenik yang rendah (kemampuan untuk
berikatan dengan reseptor estrogen dan menimbulkan respon) 1/100 lebih kecil daripada estrogen endogen (Barret 1996). Fitoestrogen bersifat paradoksal ketika berikatan, hal ini berarti dapat menimbulkan efek estrogenik dan antiestrogenik (antagonis dengan estrogen) (Kariyil 2010). Ketika kadar estrogen tinggi, fitoestrogen akan tetap berikatan dengan reseptor estrogen meskipun daya ikatnya lemah dibandingkan dengan estradiol. Hal ini menyebabkan ikatan antara estradiol dan reseptornya terhalang (antiestrogenik). Begitu juga sebaliknya, ketika kadar estrogen rendah, fitoestrogen dominan dan akan berikatan dengan reseptor estrogen yang kosong sehingga menimbulkan efek estrogenik (Bustamam 2008; Barret 1996). Fitoestrogen terdiri atas tiga kelas besar yaitu isoflavon, lignan, dan coumestan (Rishi 2002). Isoflavon terdiri atas genistein, daidzein, dan glicetein (Rishi 2002). Kelompok isoflavon banyak ditemukan pada kacang kedelai, buncis, dan kacang panjang (Bustamam 2008). Lignan dimetabolisme oleh mikroflora usus menjadi enterodiol dan enterolakton (Rishi 2002). Lignan banyak ditemukan pada padi, sereal, bawang putih, brokoli, wortel, jeruk, dan apel. Coumestan banyak ditemukan pada kecambah, kacangkacangan, dan biji bunga matahari (Bustamam 2008). Isoflavon Isoflavon termasuk golongan senyawa metabolit sekunder flavonoid yang memiliki 15 atom C, dicirikan oleh percabangan dari kerangka C6-C3-C6 yang terdapat pada tanaman tingkat tinggi dan melimpah jumlahnya pada tanaman polongan (Savitri 1999; Gueven 2011). Struktur dasar dari isoflavon serupa dengan flavon yang terdiri atas dua cincin benzena dan terikat pada cincin C piran heterosiklik, tetapi orientasinya berbeda (Messina & Bennink 1998). Flavon memiliki cincin B yang terikat dengan atom C nomor dua dari cincin tengah C, sedangkan isoflavon memiliki cincin B yang terikat dengan atom C nomor tiga dari cincin C (Gambar 1). Isoflavon disintesis dari L-fenilalanin. Lfenilalanin bereaksi dengan malonil-KoA sehingga terbentuk 4-hidroksisinnamoil-KoA. Kalkon sintase mengkatalisis reaksi intermediat dengan tiga molekul malonil-KoA untuk membentuk isoliquiritigenin atau kalkon naringenin. Kalkon isomerase mengkatalisis penutupan cincin dari cincin heterosiklik. Isoflavon sintase memasukkan 2 kelompok hidroksilnya yang selanjutnya diha-
4
Gambar 1 Struktur dasar isoflavon (Schmild & Labuza 2000). pus oleh 2-dehidratase sehingga menghasilkan daidzein dan genistein (Barnes 2010). Sintesis isoflavon ditunjukkan pada Gambar 2. Kedelai dan produk olahannya merupakan sumber isoflavon dan hanya terdapat dalam jumlah kecil pada tanaman lainnya (Tabel 2). Beberapa penelitian melaporkan di dalam kedelai terkandung 0,25 % (b/v) isoflavon (Savitri 1999 ; Taher 2003 ; Sarjono 2004 ; Handayani 2005). Isoflavon yang terdapat dalam kedelai diantaranya daidzein (7,4dihidroksiisoflavon), genistein (5,7,4trihidroksiisoflavon), biochanin A (5,7dihidroksi-4-metoksiisoflavon), serta formononetin (7-hidroksi-4-metoksiisoflavon) (Gambar 3) (Handayani 2005). Isoflavon
tersebut memiliki struktur dan aktivitas yang mirip dengan hormon gonadal 17β-estradiol. Isoflavon tersebut memiliki aktivitas 10-2 hingga 10-4 dari aktivitas 17 β-estradiol (Murphy 1982). Isoflavon telah dilaporkan memiliki khasiat farmakologi, diantaranya menurunkan kadar kolesterol serum pada hiperkolesterolemia, menurunkan resiko kanker payudara, menghambat perkembangan aterosklerosis sehingga mencegah penyakit kardiovaskular. Beberapa data melaporkan bahwa untuk mengurangi resiko yang ditimbulkan setelah menopause seperti hot flushes (semburat panas), kekeroposan tulang (osteoporosis), jantung koroner, dan keriput kulit dapat dilakukan dengan pemberian Isoflavon dari kedelai dengan dosis 40-50 mg per hari (Howe 1990 ; Yamakashi 1999 ; Friedman 2001). Bioaktivitas fisiologis senyawa isoflavon telah banyak diteliti dan ternyata menunjukkan berbagai aktivitas berkaitan dengan struktur senyawanya. Aktivitas suatu senyawa ditentukan pula oleh struktur dan gugus fungsi senyawa tersebut. Isoflavon memiliki dua gugus hidroksil (-OH) dengan jarak 11,0 hingga 11,5 A0 dari intinya, struktur ini serupa dengan estrogen (Sarjono 2004).
Gambar 2 Biosintesis isoflavon (Barnes 2010).
5
Tabel 2 Kadar isoflavon pada berbagai bahan makanan (Wirakusumah 2007) Produk
Isoflavon (µg/100g)
Kacang kedelai Biji bunga matahari Kacang tanah
863 396 161
Gandum
490
Beras Jagung Bawang putih Asparagus Wortel
297 230 407 374 346
Ubi jalar Kembang kol
295 146
Gambar 3 Stuktur senyawa isoflavon kedelai dan hormon 17β-estradiol (Taher 2003). Para peneliti sepakat bahwa jarak 11 A0 dan gugus hidoksil (-OH) ini yang menjadi struktur pokok suatu zat agar mempunyai efek estrogenik, yaitu memiliki kemampuan berikatan dengan reseptor estrogen. Dalam tubuh setelah mengalami pencernaan, isoflavon dihidrolisis oleh glukosidase usus yang kemudian melepaskan aglikon, daidzein, genistein, dan glisitein. Senyawa inimengalami metabolisme lanjut sehingga dihasilkan metabolik spesifik (Sarjono 2004). Daidzein mengalami metabolisme membentuk isoflavon equol (estrogenik) atau odismetilangolensin (nonestrogenik), sedangkan genistein mangalami metabolisme membentuk fenol p-etil yang nonestrogenik (Xu et al. 1995). Kemampuan isoflavon meniru estrogen pada sisi tertentu di dalam tubuh, banyak memberikan manfaat kesehatan yang membantu untuk menghindari berbagai penyakit (Hidayati 2003).
Estrogen Hormon estrogen merupakan salah satu hormon steroid kelamin yang mempunyai struktur kimia berintikan siklopentanoperhid rofenantrena. Secara fisiologi sebagian besar diproduksi oleh kelenjar endokrin sistem produksi wanita. Pria juga memproduksi estrogen tetapi dalam jumlah yang sangat sedikit. Fungsi utamanya berhubungan erat dengan fungsi alat kelamin primer dan sekunder wanita. Estrogen dihasilkan oleh sel teka interna dan sedikit oleh korpus luteum, plasenta, korteks adrenal, dan testis kemudian estrogen diekskresikan dari tubuh melalui urin (Safrida 2008). Zat yang sebetulnya dihasilkan ovarium adalah estradiol (Suherman 1995). Tahun 1926, Loewe dan Frank pertama kali melaporkan adanya aktivitas estrogen dalam darah manusia, sedangkan Frank dan Goldberger pada tahun yang sama berhasil menemukan keadaan double peak selama siklus menstruasi normal dengan menggunakan teknik bioassay. Tahun 1935, Mac Corquodale pertama kali menemukan kristal estradiol dari cairan folikel ovarium serta estron, tetapi hanya dalam jumlah kecil (Jones & Jones 1981). Estrogen alamiah terdapat dalam tiga bentuk yaitu estradiol (E2), estron (E1), dan estriol (E3) (Gambar 4). Secara biologis bentuk estrogen yang paling aktif adalah estradiol atau dapat juga disebut estrogen utama (Guyton 1996). Potensi estrogenik estradiol 12 kali kekuatan estron dan 80 kali kekuatan estriol (Safrida 2008). Perbandingan khasiat dari ketiga bentuk hormon ini secara biologis E2 : E1 : E3 sebesar 10 :5 : 1 (Badziad 2003). Fungsi utama dari estrogen adalah menimbulkan proliferasi sel dan pertumbuhan jaringan organ kelamin dan jaringan lain yang berkaitan dengan reproduksi (Safrida 2008). Estradiol yang dianggap sebagai estrogen utama bertanggungjawab terhadap timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder pada hewan betina. Hormon ini akan menyebabkan timbulnya estrus, merangsang kontraksi uterus, merangsang pelepasan symphysis pubis pada waktu partus, menekan pertumbuhan sistem saluran kelenjar ambing, dan mempercepat osifikasi epifise tulang tubuh (Safrida 2008). Hormon estrogen yang disintesis dalam ovarium terutama berasal dari kolesterol yang ada dalam darah dan dalam jumlah kecil berasal dari asetil koenzim A. Selama sintesis berlangsung, progesteron dan testosteron akan disintesis pertama kali, kemudian sebelum hormon tersebut keluar dari ovarium, sebagian
6
memiliki kadar estradiol di bawah 10 pg/mL dan kadar estron di bawah 30 pg/mL. Pria juga memiliki kadar estradiol dan kadar estron, sebagai perbandingan pria memiliki kadar estradiol berkisar antara 15-25 pg/mL dan kadar estron 40-75 pg/mL (Jones & Jones 1981 ; Malley et al. 1991). Gambar 4 Struktur estrogen (Guyton 1996). besar progesteron dan testosteron diubah menjadi estrogen (Guyton 1994). Kolesterol merupakan prekursor dari hormon estrogen. Jalur biosintesis estrogen melibatkan pembentukkannya dari androgen, selain itu juga berlangsung aromatisasi androstenedion di dalam sirkulasi (Safrida 2008). Berdasarkan hipotesis 2 sel yang dikemukakan oleh Ryan dan Smith tahun 1995, mekanisme sintesis hormon steroid dalam ovarium melibatkan kerja sama antara sel teka interna dan sel granulosa serta beberapa kerja sama enzimatik diantaranya enzim aromatase (Johnson & Everitt 1984 ; Badziad 2003). Aromatase merupakan enzim yang mengkatalisis perubahan androstenedion menjadi estron serta testosteron menjadi estradiol. Sel-sel teka interna banyak memiliki reseptor Luiteinizing Hormon (LH) dan LH bekerja melalui cAMP untuk meningkatkan perubahan kolesterol menjadi androstenedion. Sebagian besar androstenedion diubah menjadi estradiol dan masuk ke dalam sirkulasi. Sel teka interna juga memberikan androstenedion kepada sel granulosa. Sel granulosa memberikan estradiol jika mendapatkan androgen. Sel granulosa memiliki banyak reseptor Follicel Stimulating Hormon (FSH) dan FSH akan meningkatkan sekresi estradiol dari sel granulosa. Selanjutnya melalui cAMP meningkatkan aktivitas aromatase. Sel granulosa apabila telah matang juga memiliki reseptor LH, dan LH juga berperan dalam merangsang pembentukan estradiol (Ganong 2003). Mekanisme terbentuknya estradiol dan estron dari kolesterol ditunjukkan dalam Gambar 5. Estrogen beredar terikat dalam plasma darah dan proses pengikatannya terjadi di dalam hati (Safrida 2008). Kadar estradiol mencapai puncak saat dua hari sebelum ovulasi dengan kadar mencapai 150-400 pg/mL (Wibowo 1994 ; Badziad 2003). Kadar estradiol dalam darah berkisar antara 200-500 pg/mL dan estron 50-400 pg/mL. Estradiol pada wanita masa reproduksi diproduksi sebesar 0,009-0,25 mg/hari, estron sebesar 0,11-0,26 mg/hari. Wanita menopause
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) merupakan suatu teknik deteksi dengan metode serologis berdasarkan reaksi spesifik antara antigen dan antibodi. Metode ELISA pertama kali digunakan pada tahun 1971 oleh Peter Perlmann dan Eva Engvall untuk menganalisis adanya interaksi yang terjadi antara antibodi dan antigen dengan enzim sebagai indikatornya (Lequin 2005). Metode ELISA merupakan uji kuantitatif untuk antibodi yang pada umumnya terbagi antara dua jenis yaitu competitive assay dan non-competitive assay. Metode ELISA dibagi menjadi dua, yaitu secara direct (langsung) dan indirect (tak langsung). Competitive assay merupakan jenis ELISA dengan menggunakan konjugat antigen-enzim atau konjugat antibodi-enzim sedangkan non-competitive assay merupakan jenis ELISA yang menggunakan dua antibodi (Lequin 2005). Prinsip teknik ELISA adalah mereaksikan antigen (Ag) dalam sampel dengan antibodi (Ab) yang dilabel enzim (AbE). Kompleks AgAbE yang terbentuk kemudian dipisahkan dari Ag dan Ab yang bebas, lalu diinkubasikan dengan substrat kromogenik yang semula tidak bewarna, tetapi kemudian menjadi bewarna apabila dikatalisis oleh enzim. Intensistas warna yang terbentuk dapat diukur dan merupakan parameter untuk Ag yang diuji (Kresno 1991). Teknik dalam ELISA meliputi metode kompetitif dan nonkompetitif serta sandwich (Kresno 1991). Warna yang timbul dapat ditentukan secara kualitatif dengan visualisasi warna yang terbentuk atau kuantitatif dengan pembacaan nilai absorbansi (OD) pada ELISA reader (Burgess 1995). ELISA reader (Gambar 6) adalah jenis spektrofotometer khusus. Berbeda dengan spektrofotometer konvensional yang membaca pada berbagai panjang gelombang, ELISA reader memiliki filter atau kisi-kisi difraksi yang membatasi rentang panjang gelombang, umumnya antara 400-750 nm. Beberapa pembaca beroperasi dijangkauan ultraviolet dan melakukan analisis antara 340-700 nm. Sistem optik yang banyak digunakan adalah serat optik untuk memasok cahaya ke sumur microplate berisi sampel.
7
Gambar 5 Jalur pembentukan estrogen dari kolesterol sebagai prekursor (Wibowo 1994).
8
Gambar 6 ELISA reader. Beberapa ELISA reader juga menggunakan sistem cahaya berkas ganda. Sampel uji diletakkan di plate khusus. Plate umumnya terdiri atas 8 kolom dengan 12 baris dengan total 96 sumur. Ada juga plate dengan jumlah sumur yang lebih banyak. Lokasi dari sensor optik ELISA reader bervariasi, ada yang terletak di atas plate sampel atau langsung di bawah sumur plate (WHO 2009). Enzim yang dapat digunakan dalam ELISA diantaranya fosfatase alkalin, βgalaktosidase, dan lain sebagainya. Keuntungan dari teknik analisis ini adalah tingkat sensitivitas dan spesifivitas yang tinggi dengan menggunakan antibodi, waktu analisis cepat, pengerjaan yang relatif sederhana dan ekonomis. Reagen relatif murah, dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama, dapat memeriksa beberapa parameter sekaligus, peralatan mudah didapat, dan tidak menggunakan zat radiasi. Kerugian metode ELISA adalah pemeriksaan menggunakan enzim sebagai label cukup kompleks karena aktivitas enzim dipengaruhi oleh berbagai faktor (Asihara dan Kasahara 2001). Penelitian ini menggunakan teknik ELISA competitive assay dengan metode langsung. Tikus Putih sebagai Hewan Coba Tikus digolongkan ke dalam kelas Mamalia, bangsa Rodentia, suku Muridae, dan marga Rattus (Meehan 1984). Tikus atau rat (Rattus sp.) merupakan hewan coba yang biasa digunakan dalam penelitian. Penelitian yang dilakukan biasanya meliputi pengujian toksisitas obat, toksisitas kosmetik, potensi suatu unsur untuk rekayasa embrio, metabolisme, dan tingkah laku. Penggunaan tikus sebagai hewan coba atau hewan laboratorium dinilai lebih ekonomis dan efisien karena tidak memerlukan tempat yang luas, siklus reproduksinya tidak panjang, mampu menghasilkan keturunan yang cukup banyak, dan mudah dipelihara. Tikus yang sudah banyak digunakan untuk penelitian di laboratorium berasal dari Asia Tengah (Albino Norwey Rat). Terdapat
beberapa varietas atau galur tikus yang memiliki kekhususan tertentu diantaranya galur Sprague Dawley yang ditandai dengan warna albino putih, kepala kecil dan ekornya lebih panjang dari badannya; galur Wistar ditandai dengan kepala besar dan ekor lebih pendek; dan galur Long-Evans yang lebih kecil daripada tikus putih dan memiliki warna hitam pada kepala dan tubuh bagian depan (Susanti 2002 ; Juwaihar 2002). Galur Sprague Dawley merupakan galur paling banyak digunakan dalam penelitian (Juwaihar 2002). Tikus dapat hidup lebih dari tiga tahun dan produktif untuk berbiak selama lebih dari sembilan bulan hingga satu tahun. Tikus yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus galur Sprague Dawley betina. BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat kandang tikus, kamera digital, mikroskop, alat bedah, sarung tangan, masker, spuit, alat gelas, tabung reaksi, freezer, tabung Eppendorf, mikropipet, sentrifus klinis, vortex, neraca analitik, timbangan, dan ELISA reader. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini tikus putih galur Sprague Dawley betina masing-masing sebanyak 28 ekor berumur 2 bulan yang diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka, pakan tikus yang terdiri atas tiga jenis yaitu kasein, serbuk kacang kedelai, dan serbuk isolat protein kedelai, serbuk kayu, serum tikus untuk analisis, akuades, air deionisasi, estrogen ELISA kit (Cat#CSB-E07280m). Metode Penelitian Pernyiapan Pakan Standar dan Pakan Perlakuan Pakan standar dan pakan perlakuan yang akan digunakan terdiri atas beberapa komposisi yang berbeda. Pakan standar disiapkan selama tikus berada dalam masa adaptasi (selama dua minggu), sedangkan pakan perlakuan disiapkan ketika tikus masuk ke tahap perlakuan. Pakan standar dibuat berdasarkan NA-DFC recommendation. Pakan berbentuk pelet dengan komposisi protein 18-23%, lemak 8%, serat 4%, campuran mineral dan vitamin. Pakan perlakuan terdiri atas tiga jenis yaitu kasein, serbuk kacang kedelai dan serbuk isolat protein kedelai, kemudian masing-masing jenis dicampur dengan minyak jagung, mineral, vitamin, maizena, dan air. Semua
9
bahan pakan diaduk hingga homogen kemudian dilakukan pemadatan hingga bentuk akhir pakan menjadi bentuk pelet. Pakan perlakuan dibuat berdasarkan rekomendasi AOAC (1995) (Lampiran 2). Persiapan Hewan Coba Hewan coba berupa tikus putih disiapkan sebanyak 28 ekor betina. Tiap tikus ditempatkan dalam kandang plastik 50×30×10 cm dengan tutup terbuat dari kawat ram dan di dalam kandang dialasi serbuk kayu. Tikus ditempatkan dalam kandang individual. Pakan berupa pelet yang dibuat berdasarkan NADFC recommendation dan air minum diberikan ad libitum. Lingkungan kandang dibuat tidak lembab, sirkulasi udara yang cukup serta penyinaran yang cukup. Semua tikus diadaptasikan di lingkungan kandang percobaan selama 15 hari. Setelah diadaptasi semua tikus diberikan perlakuan dengan pakan perlakuan selama lima bulan. Kandang percobaan bertempat di Animal Laboratory SHIGETA, Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) IPB. Rancangan Perlakuan Tikus betina masing-masing dibagi ke dalam tujuh kelompok percobaan, masingmasing kelompok terdiri atas empat ekor. Perlakuan yang diberikan adalah perlakuan pakan. Kelompok 1 adalah kelompok kontrol negatif yang diberi pakan kasein (protein susu, tidak mengandung isoflavon). Enam kelompok lainnya merupakan kelompok yang diberi pakan dengan kandungan protein dan isoflavonnya bersumber dari kedelai (serbuk kacang kedelai) atau isolat protein kedelai. Keenam kelompok tersebut terdiri atas tiga kelompok dengan pakan serbuk kacang kedelai konsentrasi 100% (K1), 50% (K2), dan 10% (K3), sedangkan tiga kelompok perlakuan lainnya dengan pakan isolat protein kedelai konsentrasi 100% (IPK1), 50% (IPK2), dan 10% (IPK3). Pemberian pakan dan minum untuk semua kelompok percobaan dilakukan secara ad libitum. Komposisi pakan per kelompok dapat dilihat pada Lampiran 2. Pakan perlakuan pada hewan coba diberikan selama lima bulan (masa perlakuan) dan selama perlakuan konsumsi pakan dan berat feses ditimbang dan diamati setiap harinya. Pengamatan Kondisi Tikus Perlakuan dilakukan lima bulan dan selama perlakuan dilakukan penimbangan bobot badan selama satu minggu sekali, penimbangan sisa pakan yang dikonsumsi dan
feses yang dikeluarkan setiap hari, dan pengamatan terhadap tingkah laku, keadaan mata, kondisi rambut serta keadaan feses. Pengambilan Darah Tikus Pengambilan darah dilakukan melalui pembuluh darah vena ekor. Sebelum pengambilan darah suhu tubuh tikus ditingkatkan terlebih dahulu misalnya dengan tikus ditempatkan di bawah terik matahari. Hal ini membantu untuk melebarkan pembuluh darah sebelum perdarahan. Namun tidak boleh terlalu panas, karena dapat menyebabkan dehidrasi dan hipertemia. Ekor tikus dibersihkan dengan alkohol 70%. Alkohol berfungsi sebagai desinfeksi ekor (Joslin 2009). Ujung ekor dipotong dengan menggunakan gunting. Jika dibutuhkan penambahan darah, ekor dapat dipotong kembali hanya 2-3 mm. Pemotongan ekor terlalu pendek dapat menyebabkan trauma pada tulang rawan (Hoff 2002). Ekor tikus diurut hingga darah menetes. Tetesan darah ditampung dalam tabung reaksi kecil. Darah kemudian didiamkan 15 menit, disentrifus pada 3000 g selama 30 menit, lapisan atas sebagai serum diambil dan dipindahkan ke dalam tabung Eppendorf. Serum yang telah diambil diinkubasi pada -20oC dan siap digunakan untuk analisis kadar estrogen. Analisis Kadar Hormon Estrogen dengan Menggunakan Metode ELISA Konsentrasi estrogen dalam serum diukur dengan metode ELISA menggunakan estrogen ELISA kit (Cat#CSB-E07280m). Metode ini menggunakan teknik immunoassay yang didasarkan pada kerja enzim secara inhibisi kompetitif. Prinsip kerja dari ELISA ini adalah interaksi antara antigen (standar ataupun sampel) dengan antibodi spesifik yang teradsorbsi secara pasif pada permukaan fase padat dengan menggunakan konjugat antibodi atau antigen yang dilabel enzim. Penelitian ini menggunakan kit dengan konjugat berupa Horseradish Peroksidase (HRP). Reaksi yang terjadi akan menghasilkan perubahan warna yang diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang tertentu. Pengukuran dilakukan menggunakan ELISA reader. Kadar estrogen pada sampel dapat diketahui dengan membandingkan absorban yang didapat tiap sampel dengan kurva standar. Standar yang digunakan dalam analisis estrogen memiliki konsentrasi masingmasingnya 20 pg/ml, 60 pg/ml, 200 pg/ml, 500 pg/ml, dan 1000 pg/ml serta air deionisasi
10
sebagai blanko. Standar dan sampel masingmasing dibuat duplo. Standar dan sampel dimasukkan ke dalam well yang telah disiapkan sebanyak 50 µl, kemudian ditambahkan 50 µl HRP-conjugate ke dalam tiap well kecuali blanko. Setelah itu dilanjutkan dengan penambahan antibodi untuk tiap well sebanyak 50 µl, dicampur merata kemudian diinkubasi pada 37oC selama dua jam. Setelah inkubasi, ke dalam tiap well ditambahkan wash buffer sebanyak 250 µl, dilakukan pencucian sebanyak tiga kali selama 10 menit. Setelah pencucian, plate dikeringkan. Kemudian ditambahkan 59 µl substrat A dan substrat B pada tiap well, inkubasi pada 37oC selama 15 menit. Proses ini dilakukan dalam keadaan gelap. Kemudian ditambahkan larutan penghenti sebanyak 50 µl. Perubahan warna yang terjadi diukur absorbansinya pada panjang gelombang 450 nm ± 2 nm dengan menggunakan ELISA reader (Lampiran 3) Analisis Data (Mattjik & Sumertajaya 2006) Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap. Model persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut: Yij= µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Keterangan: Yijk=respon percobaan terhadap unit percobaan karena pengaruh taraf ke-j faktor β dan taraf ke-i faktor α pada ulangan ke-k µ =rataan umum αi =pengaruh dari taraf ke-i faktor α (kelompok pakan) βj =pengaruh dari taraf ke-j faktor β (tingkatan protein) (αβ)ij=pengaruh galat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j εijk =pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j Hasil pengukuran kadar estrogen dibuat rataannya dan dihitung simpangannya dengan menggunakan standar deviasi (rataan ± SD), kemudian data dianalisis menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf α = 0,05. Uji lanjut yang digunakan adalah uji Duncan pada selang kepercayaan 95%, taraf α = 0,05. Semua data dianalisis dengan program COSTAT.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot Badan dan Kondisi Hewan Coba Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus putih Sprague Dawley berjenis kelamin betina dengan rerata bobot badan 125,58 ± 14,17 g dan berumur dua bulan. Kondisi hewan coba sehat dan memenuhi syarat untuk digunakan sebagai objek percobaan. Parameter yang digunakan untuk menguji pengaruh pakan perlakuan terhadap tikus diantaranya peningkatan bobot badan serta kondisi dari hewan coba. Perubahan bobot badan tikus dan kondisi hewan coba diamati dalam 2 tahap yaitu masa adaptasi dan masa perlakuan. Bobot Badan Hewan Coba Masa Adaptasi Hewan coba pada penelitian ini diadaptasikan pada lingkungan selama 15 hari (2 minggu). Hewan coba selama adaptasi diberi pakan standar berdasarkan NA-DFC recommendation. Selama masa adaptasi dilakukan penimbangan bobot badan secara berkala, sekali dalam satu minggu. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk menyeragamkan pola makan hewan coba, pola hidup dan mengurangi timbulnya resiko stres selama berada di lingkungan kandang. Selama masa adaptasi, secara keseluruhan semua tikus dalam kelompok perlakuan masing-masing mengalami kenaikan bobot badan seiring dengan bertambahnya usia hewan coba. Rerata bobot badan pada awal adaptasi adalah 125,58 ± 14,17 g yang tidak berbeda nyata (Fhit
11
KN
K1
K2
K3
IPK1
IPK2
IPK3
Gambar 7 Rerata bobot badan tikus untuk 7 kelompok perlakuan pada tahap awal adaptasi ( awal perlakuan ( ), sesaat sebelum dikawinkan ( ), dan akhir perlakuan ( ). badan pada tahap adaptasi dipengaruhi oleh tingkat konsumsi pakan dan umur tikus yang berada pada masa pertumbuhan (mature point) yaitu kurang dari 6 bulan. Peningkatan bobot badan menunjukkan tikus dalam keadaan sehat, tidak terdapat gangguan dalam pertumbuhan, kalori yang tercukupi, dan tidak adanya zat toksik dalam pakan yang dikonsumsi (Lu 2006). Kesehatan hewan coba merupakan faktor yang penting sehingga galat dalam percobaan dapat diperkecil ketika memasuki masa perlakuan. Bobot Badan Hewan Coba Masa Perlakuan Setelah masa adaptasi, tikus dikondisikan pada masa perlakuan selama lima bulan (20 minggu). Hal ini dilakukan karena tikus betina memiliki siklus estrus. Pengamatan perubahan bobot badan selama masa perlakuan dibagi dalam dua rentang waktu yaitu rentang awal perlakuan hingga sesaat sebelum dikawinkan selama 4 minggu, dan rentang sesaat dikawinkan hingga sebelum dinekropsi selama 16 minggu. Selama masa perlakuan, hewan coba diberi pakan berbeda untuk tiap kelompok. Pakan yang diberikan terdiri atas tiga jenis pakan berbeda dengan konsentrasi yang berbeda. Selama masa perlakuan, secara keseluruhan semua tikus dalam kelompok perlakuan masing-masing mengalami kenaikan bobot badan. Kenaikan dapat dibandingkan dari bobot badan tikus pada awal perlakuan hingga akhir perlakuan (Gambar 7). Rerata bobot badan tikus pada awal perlakuan sebesar 137,53 ± 15,74 g. Peningkatan bobot badan tertinggi ditunjukkan oleh kelompok K1 sebesar 51,46%. Peningkatan bobot badan selanjutnya berturut-turut hingga kelompok terendah adalah kelompok K3 (45,65%), kelompok IPK2 (37,34%), kelompok IPK1 (30,67%),
),
kelompok IPK3 (26,25%), kelompok K2 (13,29%), dan kelompok KN (10,94%). Hasil uji statistik menunjukkan pakan perlakuan berpengaruh nyata terhadap bobot badan dalam rentang awal hingga akhir perlakuan (p<0,05). Uji lanjut Duncan menunjukkan peningkatan bobot badan tikus untuk semua kelompok perlakuan tidak berbeda nyata dengan kelompok KN (tanpa perlakuan isoflavon) (Lampiran 5). Kenaikan dan penurunan bobot badan tikus selama masa perlakuan yang terdiri atas dua rentang, terjadi secara fluktuatif untuk beberapa kelompok perlakuan tapi dibandingkan dengan masa adaptasi, semua kelompok mengalami peningkatan bobot badan. Peningkatan bobot badan yang tinggi pada rentang akhir perlakuan diduga kondisi tikus betina dalam rentang perlakuan ini mengalami masa bunting sehingga berpengaruh pada konsumsi pakan, nafsu makan dan kondisi fisik dan bobot badan tikus. Pakan yang mengandung isoflavon (kecuali KN) yang berperan sebagai fitoestrogen pada penelitian ini berpengaruh terhadap bobot badan tikus. Namun fitoestrogen yang terkandung dalam pakan tidak berpengaruh secara langsung tapi berpengaruh pada fungsi estrogen pada tikus betina sehingga berdampak pada kenaikan bobot tubuh. Hal ini juga disampaikan dalam penelitian Hardjopranjoto (1995) bahwa pada metabolisme tubuh estrogen meningkatkan sintesis dan sekresi hormon pertumbuhan, sehingga dapat menstimulasi pertumbuhan sel-sel dalam tubuh, mempercepat pertambahan bobot badan dan merangsang kelenjar korteks adrenal untuk meningkatkan metabolisme karena adanya retensi nitrogen yang meningkat. Peningkatan bobot badan oleh fitoestrogen juga pernah dilaporkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Ruhlen
12
(2008) yang menyatakan bahwa fitoestrogen dalam makanan dapat meningkatkan kadar estradiol serum mencit dan mengakibatkan fetal estrogenization syndrome dan obesity. Fetal estrogenization syndrome merupakan kondisi janin ketika terjadinya peningkatan estradiol dalam uterus sehingga meningkatkan kadar estradiol pada serum keturunan dari individu tersebut. Hal ini ditandai dengan kondisi puberitas dini dan tingginya respon uterus terhadap estrogen pada keturunan betina dan mengecilnya ukuran alat reproduksi pada keturunan jantan serta pada keturunan jantan dan betina akan mengalami kondisi obesitas karena meningkatnya kadar leptin pada serum. Peningkatan bobot badan tikus yang berbeda diduga juga terjadi karena kandungan sumber karbohidrat, protein, dan lemak yang berbeda untuk tiap pakan perlakuan dengan konsentrasi dan jumlah berbeda pula. Hal ini dapat dilihat dari komposisi pakan perlakuan dan analisis proksimat dari pakan perlakuan (Lampiran 2). Sumber energi dalam makanan yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami sejumlah reaksi metabolisme sesuai dengan jalurnya masing-masing. Metabolisme merupakan aktivitas sel yang sangat terkoordinir yang memiliki empat fungsi spesifik yaitu untuk memperoleh energi kimia dari degradasi sari makanan yang kaya energi dari lingkungan, untuk mengubah molekul nutrien menjadi unit pembangun, menggabungkan unit-unit pembangun dan untuk membentuk dan mendegradasi biomolekul yang diperlukan (Lehninger 1982). Tingkatan penguraian (katabolisme) dan pembentukan (anabolisme) ini yang menjadi salah satu pengaruh perbedaan bobot badan tikus untuk tiap perlakuan. Kelompok KN (kasein) memiliki peningkatan bobot badan paling kecil dibanding kelompok perlakuan. Peningkatan bobot badan sebesar 10,98% terjadi karena energi yang digunakan untuk beraktivitas semua diperoleh dari maizena yang terkandung dalam pakan sedangkan yang dapat disimpan sebagai cadangan dalam tubuh hanya protein (kasein) dan sedikit lemak (minyak jagung). Hal yang sama juga terjadi pada kelompok perlakuan pakan kedelai dan isolat protein kedelai. Kelompok perlakuan kedelai dengan tiga konsentrasi berbeda yaitu K1 (100%), K2 (50%), dan K3 (10%) mengalami peningkatan bobot badan yang berbeda pula sesuai dengan sumber energi yang terkandung dalam pakan (Lampiran 2). Rerata kenaikan bobot badan
ketiga kelompok tersebut berturut-turut adalah 51,46%, 13,29%, dan 45,65%. Adapun sumber energi yang terkandung pada ketiga pakan tersebut adalah minyak jagung dan maizena (K1), minyak jagung, kasein, dan sampel protein (K2 dan K3). Sumber energi yang cenderung digunakan untuk beraktivitas berasal dari karbohidrat (maizena) dan lemak (minyak jagung) sedangkan kasein dan sampel protein cenderung digunakan sebagai cadangan makanan. Jika dibandingkan, kenaikan bobot badan pada K1 lebih kecil dibanding kelompok K3. Hal ini diduga disebabkan sumber cadangan makanan yang diperoleh, kelompok K2 hanya memperoleh cadangan makanan berupa protein sedangkan kelompok K3 memperoleh cadangan makanan dari protein dan lemak. Kelompok isolat protein kedelai yang mengalami kenaikan bobot badan tertinggi adalah kelompok IPK2 dilanjutkan kelompok IPK1 dan IPK3. Kenaikan bobot badan sebesar 37,34% (IPK2), 30,67% (IPK1), dan 26,25% (IPK3). Persentase kenaikan bobot badan ini disebabkan cadangan makanan diperoleh dari komposisi pakan berupa sampel protein sebagai protein, minyak jagung sebagai lemak, dan maizena sebagai karbohidrat (IPK 1 dan IPK3) serta penambahan kasein sebagai sumber protein (IPK2). Penambahan kasein pada IPK2 cenderung sebagai cadangan makanan sehingga berperan dalam kenaikan badan ini. Hal ini berbeda pada kelompok penambahan non kasein, yakni kelompok IPK1 dan IPK3. Penelitian oleh Safrida (2008) juga menyatakan bahwa kedelai memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dan zatzat yang mudah dicerna dibandingkan dengan kasein sebagai kontrol. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Cahyadi (2007) bahwa kedelai memiliki nilai protein tinggi. Hal ini terlihat pada kelompok perlakuan kedelai yang memiliki kenaikan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok KN (kasein). Kenaikan yang lebih kecil diduga kedelai menghambat pembentukan lemak bagi tubuh. Penelitian Arjmandi et al. (1996) menyatakan bahwa peningkatan bobot badan tikus yang diberi pakan kedelai mengalami penurunan. Hal ini disebabkan kandungan isoflavon bersifat agonis sehingga mempengaruhi metabolisme lemak. Kedelai yang mengandung zat antinutrisi yang menghambat absorsi kalsium dan besi sehingga mengakibatkan penurunan pada bobot badan hewan coba. Hal yang sama juga terjadi pada perlakuan pakan isolat protein kedelai. Hasil
13
ini didukung oleh penelitian Hafez et al. (2000) yang menyatakan estrogen memiliki efek pada metabolisme tubuh, mensintesis dan mensekresikan hormon pertumbuhan sehingga dapat menstimulir pertumbuhan sel-sel dalam tubuh, mempercepat pertambahan bobot badan, dan merangsang korteks adrenal untuk lebih banyak meningkatkan metabolisme protein karena adanya retensi nitrogen yang meningkat. Kondisi Hewan Coba Masa Adaptasi Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus putih Sprague Dawley berjenis kelamin betina dengan bobot 100-168 g yang berumur dua bulan. Kondisi hewan coba sehat dan memenuhi syarat untuk digunakan sebagai objek percobaan. Parameter yang digunakan untuk mengukur keadaan hewan coba diantaranya keadaan rambut, mata, perilaku atau keaktifan, dan kondisi feses. Hewan coba pada penelitian ini diadaptasikan selama 15 hari. Selama masa adaptasi diberi pakan standar berdasarkan NA-DFC recommendation. Keadaan hewan coba yang meliputi keadaan mata, rambut, perilaku atau keaktifan, dan kondisi feses dari setiap kelompok perlakuan pada umumnya tidak menunjukkan perbedaan jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan 1 (kontrol negatif). Kondisi hewan coba pada umumnya normal. Kondisi Hewan Coba Masa Perlakuan Keadaan hewan coba meliputi keadaan mata, rambut, perilaku atau keaktifan, dan kondisi feses dari setiap kelompok perlakuan memasuki masa perlakuan tetap diamati. Keadaan hewan coba menimbulkan perbedaan pada kelompok K1 dan kelompok IPK1 dalam hal keadaan rambut. Keadaan rambut pada kedua kelompok ini tipis dan sedikit rontok pada 2 minggu pertama setelah pemberian pakan perlakuan. Hal ini dimungkinkan terjadi karena kondisi stres pada tikus sebagai hewan coba sehingga menyebabkan kerontokan rambut pada tikus dan tikus berada pada akhir masa estrusnya. Hal ini berarti kadar hormon estrogen menurun. Namun setelah dua minggu rambut tumbuh kembali. Menurut Niyama dalam Sawitri et al. 2009, kerontokan rambut terjadi karena adanya rasio antara estrogen dan androgen, lebih tepatnya dihidtrotestosteron (DHT). Hormon ini akan mempengaruhi folikel rambut yang sensitif terhadap androgen. Ketika terjadi asupan estrogen maka terjadi perubahan mekanisme metabolisme androgen terhadap folikel
rambut. Hal ini akan meningkatkan aktivitas enzim aromatase untuk mengkonversi tertosteron menjadi estradiol sehingga rambut akan tumbuh kembali. Pengamatan keadaan hewan selanjutnya adalah keadaan feses hewan coba. Feses tikus berwarna hitam dan bertekstur padat.Keadaan feses hewan coba normal jika dibandingkan dengan kontrol kecuali feses kelompok K1. Setelah pemberian perlakuan fesesnya terlihat lembek, berwarna hijau tua, lebih berbau, dan jumlah fesesnya juga banyak. Hal ini diduga tikus kelompok K1 terkena penyakit diare atau pengaruh langsung dari pakan kedelai dengan konsentrasi yang tinggi (100%). Diare adalah suatu penyakit yang ditandai dengan meningkatnya frekuensi feses disertai adanya perubahan bentuk, dan konsistensi feses (Harianto 2004), feses menjadi lembek atau cair pada diare (Adnyana et al. 2004). Hal ini dapat ditunjukkan dari Gambar 7 bahwa bobot badan tikus kelompok K1 mengalami penurunan pada awal perlakuan hingga sesaat sebelum dikawinkan dibandingkan kelompok perlakuan lainnya termasuk kontrol negatif (kasein), tapi pada rentang akhir perlakuan keadaan feses tikus perlakuan ini tidak terlalu lembek dibandingkan sebelumnya dan dibuktikan dari bobot badan tikus yang meningkat hingga akhir perlakuan. Pemberian pakan kedelai 100% memberikan pengaruh penyakit diare pada tikus secara tidak langsung. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan kedelai mengandung serat yang tinggi sehingga akan memperbesar volume tinja yang dikeluarkan. Menurut Santoso (2005) bahwa kulit kedelai mengandung 87 % serat makanan (dietary fiber), 40 - 53 % selulosa kasar, 14 - 33 persen hemiselulosa kasar dan 1 - 3 persen serat kasar. Serat kedelai adalah bukan kulit atau sekam kedelai, tetapi produk kedelai yang tidak berbau, tawar dan bentuknya dapat disesuaikan dengan tujuan penggunaannya, yang terutama sebagai sumber serat makanan. Efek biologis dari serat ini salah satunya meningkatkan volume feses, sehingga mempercepat waktu transit makanan (waktu yang diperlukan sejak dimakan sampai dikeluarkan berupa feses) tetapi tidak berdampak negatif terhadap retensi mineral (penyerapan mineral). Kondisi hewan coba selanjutnya yang diamati adalah keadaan mata. Warna mata tikus adalah merah dan untuk semua perlakuan keadaan mata normal jika dibandingkan kontrol. Hal ini membuktikan
14
pakan perlakuan tidak berpengaruh pada keadaan mata hewan coba. Kondisi berikutnya yang diamati adalah perilaku tikus perlakuan. Tikus terlihat lebih aktif pada rentang perlakuan kedua. Hal ini diduga terjadinya peningkatan hormon reproduksi ketika betina dan jantan ditempatkan di kandang yang sama. Menurut Hardjopranjoto (1995) keadaan perilaku tikus betina setelah dikawinkan akan lebih aktif setelah melahirkan keturunan pertama. Selain itu, tikus betina cenderung berperilaku kanibal dengan memakan anak-anak keturunannya. Kondisi kandang yang bertambah populasi dengan anak-anak tikus menimbulkan kondisi stres bagi induk tikus. Hal ini juga disampaikan dalam Veterinary Laboratory (1996) bahwa tikus harus dihindarkan dari kondisi bising dan stres karena dapat memakan anak-anaknya. Selain itu menurut Malole dan Pramono (1989) adanya perlakuan kasar, perlakuan stres, dan kekurangan nutrisi akan menyebabkan tikus memakan anaknya. Pakan yang Dikonsumsi Hewan Coba Hewan coba pada penelitian ini diadaptasikan pada lingkungan selama 15 hari. Hewan coba selama adaptasi diberi pakan standar berdasarkan NA-DFC recommendation. Setelah masa adaptasi hewan coba diberi pakan perlakuan berdasarkan AOAC recommendation. Pemberian pakan dilakukan secara ad libitum sebanyak 20 g tiap harinya. Konsumsi pakan mempengaruhi pertambahan bobot badan tikus. Hubungan antara konsumsi pakan oleh hewan coba dengan bobot badan hewan coba berbanding lurus. Semakin tinggi konsumsi pakan maka bobot badan hewan coba juga akan besar (Farida et al. 2008). Semakin besar konsumsi pakan maka bobot badan hewan coba makin bertambah. Konsumsi pakan oleh hewan coba ditunjukkan pada Gambar 8. Konsumsi rerata pakan oleh hewan coba tertinggi ditunjukkan oleh kelompok K1 sebesar 13,91 ± 6,50 g. Kemudian diikuti oleh kelompok K2, K3, IPK3, IPK1, KN, dan IPK2
KN
K1
K2
(Lampiran 8). Kenaikan bobot badan tikus didukung oleh konsumsi pakan tikus yang juga mengalami kenaikan, walaupun fluktuatif. Peningkatan bobot badan kelompok IPK1 ternyata tidak diiringi dengan konsumsi pakan yang meningkat. Namun penurunan konsumsi pakan kelompok perlakuan ini kecil. Bobot badan yang tetap meningkat tanpa disertai konsumsi pakan yang meningkat ini dapat terjadi karena tikus masih dalam masa pertumbuhan (<6 bulan) (Meutia 2011). Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan bahwa pakan perlakuan berpengaruh terhadap konsumsi pakan (p<0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan kelompok pakan perlakuan kedelai dan isolat protein kedelai dengan tiga jenis konsentrasi yaitu 100%, 50%, dan 10% berbeda nyata dengan kontrol negatif (KN) kecuali pakan isolat protein kedelai 50% (Lampiran 6). Namun isoflavon pada pakan kedelai 100%, kedelai 50%, kedelai 10%, isolat 100%, dan isolat 10% meningkatkan nafsu makan tikus sedangkan isoflavon pada pakan isolat 50% menyebabkan penurunan nafsu makan (Gambar 8). Jenis makanan yang dikonsumsi mempengaruhi konsumsi pakan. Tikus percobaan lebih menyukai pakan kedelai dengan tiga jenis konsentrasi dibandingkan pakan isolat protein kedelai dan kasein. Pengaruh Pakan terhadap Kadar Hormon Estrogen Tikus Sprague Dawley Betina Hasil pengukuran konsentrasi hormon estrogen serum darah pada tikus betina setelah pemberian pakan dengan jenis dan konsentrasi berbeda ditunjukkan oleh Gambar 9. Konsentrasi hormon estrogen pada serum tikus betina didapatkan dari hasil konversi persamaan linier pada kurva standar estrogen yang menggunakan 5 standar dengan konsentrasi yang berbeda. Standar estrogen yang digunakan dalam pembuatan kurva standar memiliki konsentrasi berturut-turut sebesar 20pg/mL, 60 pg/mL, 200 pg/mL, 500 pg/mL, dan 1000 pg/mL. Persamaan garis yang didapatkan dari kurva standar memiliki
K3
IPK1
IPK2
IPK3
Kelompok perlakuan Gambar 8 Rerata konsumsi pakan perhari oleh hewan coba selama masa perlakuan.
15
KN
K1
K2
K3
IPK1
IPK2
IPK3
Kelompok Perlakuan Gambar 9 Konsentrasi hormon estrogen tikus tiap kelompok perlakuan. nilai regresi sebesar 86,20%. Nilai regresi ini menyatakan kurva standar yang didapatkan kurang bagus jika digunakan untuk pengukuran kadar estrogen dalam serum darah tikus. Hal ini disebabkan pembacaan absorbansi blanko tidak dimulai dari titik 0. Absorbansi yang didapatkan dari hasil analisis menunjukkan intensitas warna yang dihasilkan dari hasil hidrolisis enzim terhadap substrat. Penelitian ini menggunakan metode inhibisi kompetitif. Serum tikus yang merupakan antigen berikatan dengan antibodi yang terdapat dalam kit yang sebelumnya telah ditambahkan antiimunoglobulin yang dilabel enzim kemudian diinkubasi dan kelebihannya dicuci. Enzim yang digunakan dalam penelitian ini adalah enzim HRP (Horseradish Peroxidase). Proses pencucian bertujuan menghilangkan antibodi dan atau antigen yang tidak terikat, sehingga yang terdapat dalam sumur analisis hanya kompleks Ag-Ab-antiIgE. Langkah selanjutnya pemberian substrat kromogenik pada tiap sumur analisis. Substrat yang ditambahkan akan berikatan dengan enzim yang terdapat pada sumur hasil pencucian langkah sebelumnya. Reaksi antara substrat dan enzim mengakibatkan perubahan warna yang akan diukur absorbansinya. Banyaknya substrat yang dihidrolisis sesuai dengan banyaknya enzim yang terdapat pada kompleks, sehingga hal ini digunakan sebagai parameter kadar antibodi dalam spesimen. Namun dalam pembuatan kurva standar ini konsentrasi dari standar diduga terlalu pekat sehingga absorbansi yang terbaca tidak sejalan dengan konsentrasi standar. Absorbansi yang terbaca untuk nilai standar yang lebih besar yaitu 200 pg/mL, 500 pg/mL, dan 1000 pg/mL bernilai negatif dibanding standar yang lain dengan konsentrasi yang lebih kecil. Hal ini dimungkinkan telah terjadi penyimpangan hukum Lamber-Beer pada pengukuran absorbansi dari ketiga standar tersebut.
Berdasarkan hasil konversi dengan menggunakan kurva standar, konsentrasi hormon estrogen untuk tiap kelompok perlakuan dapat diukur untuk tiap perlakuan termasuk kelompok perlakuan kontrol negatif (kasein). Kadar hormon estrogen yang terukur dari kadar hormon tertinggi hingga terendah dari kelompok perlakuan secara berturut-turut yaitu kelompok K3, IPK3, IPK2, IPK1, KN (kasein), K2, dan K1. Besar konsentrasi hormon estrogen untuk tiap perlakuan ditunjukkan pada Lampiran 9. Hasil uji Analysis of Variance (ANOVA) menunjukkan perlakuan memiliki pengaruh terhadap produksi hormon estrogen tikus betina. Selanjutnya, hasil uji lanjut Duncan menunjukkan perlakuan dengan pakan kedelai 10%, 50%, dan 100% terhadap produksi hormon estrogen berbeda nyata (p<0,05) sedangkan isolat protein kedelai dengan tiga jenis konsentrasi yaitu 10%, 50%, dan 100% terhadap produksi hormon estrogen tidak berbeda nyata (p>0,05) jika dibandingkan kontrol negatif (Lampiran 9). Konsentrasi hormon estrogen untuk semua tikus dalam kelompok perlakuan meningkat dibanding kelompok KN kecuali kelompok K1 dan K2 lebih rendah (Gambar 9). Hal ini diduga karena konsentrasi isoflavon yang terkandung pada pakan tiap perlakuan dan siklus hormonal tiap tikus yang berbeda dari awal tikus diberi perlakuan. Berdasarkan hasil yang didapatkan, pakan perlakuan memiliki pengaruh terhadap produksi hormon estrogen pada tikus betina. Hal ini disebabkan tiap pakan perlakuan selain mengandung isoflavon juga mengandung senyawa yang merupakan prekursor yang dapat mempengaruhi jalannya biosintesis estrogen dalam tubuh tikus. Komposisi dari pakan untuk semua kelompok terdiri atas kasein, maizena, minyak jagung, vitamin, mineral, serat, dan air. Sumber dalam pakan ini yang dapat dijadikan prekursor untuk sintesis hormon estrogen adalah minyak jagung (sumber lemak) dan maizena
16
(karbohidrat) yang mengalami metabolisme lemak dan karbohidrat yang dalam jalur metabolisme masing-masingnya diubah menjadi asetil Ko-A kemudian menjadi kolesterol yang merupakan prekursor dari sintesis hormon estrogen. Hal ini yang menyebabkan pada kelompok KN hormon estrogen tetap dapat dihasilkan dan dapat diukur. Begitu juga dengan kelompok perlakuan pakan kedelai dan isolat protein kedelai, selain mengandung sumber yang sama dalam komposisi pakannya (minyak jagung dan maizena) juga mengandung sampel protein yang didalamnya terkandung isoflavon. Kandungan sampel protein (sumber isoflavon) untuk tiap pakan perlakuan yang berbeda menghasilkan konsentrasi hormon estrogen terukur yang berbeda. Kedelai dan isolat protein kedelai mengandung isoflavon yang berpengaruh terhadap pengadaan hormon estrogen dalam tubuh tikus yaitu genistein dan daidzein (Fanti et al. 1999). Genistein dan daidzein pada tumbuhan terutama terdapat dalam bentuk glikosida yang tidak aktif yaitu genistin dan daidzin. Namun, ketika residu gula terputus melalui dekonjugasi oleh bakteri dalam usus, genistin dan daidzin akan berubah menjadi bentuk aglikon yang aktif yaitu genistein dan daidzein (Pan et al. 2008). Genistein menyumbang sekitar 50% dari total isoflavon kedelai, sedangkan daidzein sekitar 40%. Isoflavon ini dibandingkan dengan 17β-estradiol untuk berikatan dengan reseptor estrogen (ER) lebih rendah kekuatannya. Isoflavon kedelai memiliki sekitar 1/1000 dan 1/3 dari afinitas 17βestradiol masing-masing untuk ERα dan ERβ. Genistein telah terbukti memiliki afinitas pengikatan untuk ERα dan ERβ sebesar masing-masing 4% dan 87%, sedangkan daidzein memiliki afinitas pengikatan masing masing 0,1% dan 0,5% untuk ERα dan ERβ (Rimbach et al. 2008). Semakin tinggi kadar isoflavon maka kadar hormon estrogen juga akan meningkat. Hal ini juga didukung oleh penelitian Astuti (1999) bahwa kedelai, isolat protein kedelai mengandung isoflavon genistein dan daidzein yang paling dominan. Menurut King (1998), isoflavon genistein dan daidzein memiliki potensi untuk kesehatan tubuh. Kedelai memiliki kandungan genistein paling besar dibandingkan dengan daidzein, selain itu genistein berfungsi sebagai fitoestrogen yang memiliki sifat estrogenik 100 % lebih besar dibandingkan dengan
daidzein (Zhang et al. 1999). Isoflavon ini akan berikatan dengan reseptor estrogen di dalam tubuh. Menurut Settchell dan Cassidy (1999), isoflavon genistein memiliki kemiripan dengan estrogen endogen tubuh sehingga jika dikonsumsi akan berperilaku mirip dengan estrogen, berikatan dengan reseptor estrogen. Kemampuan isoflavon untuk berikatan dengan reseptor estrogen SHBG (Sex Hormone Binding Globulin) menyebabkan meningkatnya hormon estrogen dan mengedarkan hormon tersebut melalui pembuluh darah (Setchell 1998). Isoflavon juga berpengaruh pada efek laju rangsangan transkripsi SHBG dan secara tidak langsung berdampak pada sirkulasi estrogen dalam pembuluh darah (Aldercreutz 2002). Namun hasil analisis konsentrasi hormon estrogen yang didapatkan berbanding terbalik dengan teori yang dikemukakan pada penelitian sebelumnya. Hasil analisis menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik antara kandungan isoflavon dalam pakan dengan konsentrasi hormon estrogen yang terukur (untuk pakan sama tapi konsentrasi berbeda). Hasil analisis untuk tiap pakan perlakuan kecuali pakan kasein (kontrol negatif) menunjukkan konsentrasi hormon tertinggi terdapat pada pakan dengan konsentrasi 10% dilanjutkan dengan 50% dan yang terendah 100%. Hal ini terjadi pada pakan kedelai dan isolat protein kedelai. Asupan isoflavon yang sedikit pada pakan memiliki kekuatan yang sangat kecil bahkan tidak berikatan dengan reseptor estrogen dalam tubuh hewan coba sehingga yang berikatan dengan reseptor tetap estrogen yang dihasilkan oleh hewan coba dan keadaan inilah yang terukur saat pengukuran konsentrasi hormon estrogen. Begitu juga sebaliknya, jika asupan isoflavon terlalu tinggi maka isoflavon tersebut menghalangi terjadinya ikatan antara estrogen tubuh dengan reseptornya. Kondisi ini menghasilkan ikatan yang terjadi antara isoflavon dengan reseptor tetapi hasil interaksi ini sangat lemah sehingga konsentrasi hormon estrogen yang terukur rendah akibat lemahnya kekuatan interaksi antara isoflavon dengan reseptor. Hal ini juga dijelaskan dalam penelitian Winarsi (2005) yang menyatakan isoflavon berinteraksi dengan reseptor estrogen membentuk ikatan ligan yang berfungsi sebagai mediator untuk memicu kerja reseptor estrogen saat kadar estrogen endogen rendah dan menghambat kerja reseptor estrogen endogen ketika kadar estrogen tinggi. Hal yang sama juga disampaikan oleh Persky et
17
al. (2002) bahwa isoflavon dapat bersifat antagonis (menghambat) kerja estrogen endogen ketika kadar tinggi dan bersifat agonis (memicu) ketika kadar estrogen rendah. Hafez et al. (2000) menyatakan bahwa estrogen memiliki aksi umpan balik positif dan negatif. Namun jika dibandingkan dengan kelompok KN, kelompok K2 dan K1 memiliki kadar hormon estrogen yang lebih rendah. Hal ini dimungkinkan dalam serum darah tikus saat pengambilan darah hanya terdapat sedikit hormon estrogen yang beredar dalam darah. Kinerja hormon yang langsung bekerja di sel target dan langsung menghilang jika proses pada sel target selesai juga mempengaruhi pengukuran konsentrasi hormon. Kandungan isoflavon pada kedelai dibanding dengan isolat protein kedelai lebih tinggi (Lampiran 7) sehingga konsentrasi hormon estrogen yang dihasilkan dengan pemberian pakan kedelai lebih tinggi untuk konsentrasi yang sama. Hal ini didukung oleh penelitian Winarsi (2005) yang menyatakan kedelai memiliki nilai isoflavon yang tinggi, selain itu potensi dan aktivitas isoflavon dalam tubuh dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya konsentrasi dan lama konsumsi, jaringan sasaran yang spesifik, dan usia saat konsumsi (Winarsi 2005; Wood et al. 2006). Konsentrasi hormon estrogen untuk tiap perlakuan jika dikaitkan dengan konsumsi pakan memiliki korelasi. Kelompok pakan kedelai yang memiliki konsumsi pakan tertinggi adalah kelompok K1, dilanjutkan oleh K2, dan K3. Konsumsi pakan menunjukkan asupan isoflavon (genistein dan daidzein) yang masuk ke dalam tubuh hewan coba, dan asupan ini membuktikan adanya hubungan berbanding terbalik antara isoflavon yang dikonsumsi dengan konsentrasi hormon estrogen yang terukur. Konsentrasi hormon tertinggi untuk pakan kedelai adalah kelompok K3. Isoflavon yang terkandung dalam pakan kedelai perlakuan K3 bersifat agonis (memicu) terhadap kerja hormon estrogen selain itu kadar estrogen endogen lebih tinggi dari pada estrogen eksogen. Hal ini yang menyebabkan reseptor lebih mudah berikatan dengan dengan estrogen endogen dan konsentrasi hormon yang terukur tinggi pada kelompok K3 sedangkan isoflavon yang terkandung dalam pakan perlakuan K1 dan K2 bersifat antagonis (menghambat) terhadap kerja hormon estrogen sehingga kadar hormon estrogen yang terukur rendah.
Konsumsi pakan kelompok isolat protein kedelai berbanding lurus dengan konsentrasi hormon estrogen yang terukur. Konsentrasi hormon estrogen tertinggi untuk pakan isolat protein kedelai adalah kelompok IPK3 dan konsumsi pakan tertinggi juga pada kelompok yang sama. Isoflavon yang terkandung dalam pakan isolat protein kedelai masuk ke dalam tubuh dalam jumlah banyak dan berikatan dengan reseptor tetapi banyak yang berinteraksi dengan reseptor lebih banyak dibandingkan pakan kedelai. Isoflavon pada pakan isolat protein kedelai 10% bersifat agonis (memicu) terhadap kerja hormon estrogen dan konsentrasi hormon estrogen terukur kelompok ini tinggi dibandingkan kelompok KN. Pakan kelompok IPK1 dan IPK2 memiliki sifat antagonis (menghambat) kerja estrogen dengan reseptor sehingga konsentrasi hormon yang terukur lebih rendah dibanding IPK3.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pemberian pakan perlakuan kedelai dan isolat protein kedelai dengan konsentrasi berbeda pada tikus Sprague Dawley betina memiliki pengaruh terhadap produksi hormon estrogen tikus Sprague Dawley betina. Konsentrasi hormon estrogen tikus meningkat ketika diberi pakan kedelai 10% (K3), isolat protein kedelai 10% (IPK3), isolat protein kedelai 50% (IPK2), dan isolat protein kedelai 100% (IPK1) jika dibanding dengan kontrol negatif sedangkan pakan kedelai 50% dan 100% menurunkan konsentrasi hormon estrogen. Konsentrasi hormon estrogen untuk kelompok K1, K2, K3, IPK1, IPK2, dan IPK3 bertutur-turut sebesar 58,33 ± 587,07 pg/mL, 86,11 ± 529,83 pg/mL, 1455,56 ± 942,15 pg/mL, 850 ± 46,39 pg/mL, 869,44 ± 685,38 pg/mL, dan 938,89 ± 430,30 pg/mL. Konsentrasi hormon estrogen tertinggi untuk perlakuan pakan kedelai adalah kelompok K3 sebesar 1455 ± 942,15 pg/mL dan IPK3 sebesar 939 ± 430,30 pg/mL untuk pakan isolat protein kedelai. Walaupun demikian, peningkatan dan penurunan terhadap konsentrasi hormon estrogen berbeda nyata (p<0,05) pada perlakuan pakan kedelai sedangkan perlakuan pakan isolat protein kedelai secara statistik tidak berbeda nyata (p>0,05) jika dibandingkan dengan kontrol negatif (kasein).
18
Saran Perlu dilakukan penelitian ulangan untuk menguji potensi kedelai dan isolat protein kedelai sebagai fitoestrogen tetapi menggunakan tikus ovariektomi sehingga dapat diketahui pengaruh yang ditimbulkan terhadap konsentrasi hormon estrogen tikus betina. Saran yang diajukan diantaranya ulangan perlakuan perlu diperbanyak untuk memperkecil nilai keragaman. Lama masa perlakuan pakan juga perlu diperpanjang untuk mengetahui efek dari tiap pakan pada waktu yang optimal sehingga potensi pakan kedelai dan isolat protein kedelai terhadap pengadaan hormon estrogen dapat diketahui lebih jelas. Kondisi lingkungan kandang yang tidak bising dan gaduh juga harus diadakan sehingga tikus sebagai hewan coba tidak stress dan tidak bertindak kanibal. Pengambilan serum darah perlu dilakukan tahap awal dan akhir perlakuan sehingga kadar estrogen dari hewan coba dapat dibandingkan. Sebagai perbandingan perlu menambahkan kelompok hewan coba yang diberikan suplemen estrogen sintetik (kontrol positif) seperti dietilstilbestrol. Selain itu, perlu dilakukan juga pengukuran kadar hormon estrogen dengan metode RIA (Radioimmunoassay) karena lebih sensitif.
DAFTAR PUSTAKA Ace
Animal. 2006. Sprague Dawley. [terhubung berkala]. http://www.aceanimal.com/SpragueDa wley.htm. [2 Oktober 2011].
Achdiat CM. 2003. Fitoestrogen untuk wanita menopause. Medika.406-408. Achdiat CM. 2007. Fitoestrogen untuk wanita menopause. Medikamentosa 11 (6): 494. Adnyana et al. 2004. Efek ekstrak daun jambu biji daging buah putih dan jambu biji daging buah merah sebagai antidiare. Acta Pharmaceutica Indonesia 29(1): 19-27. Agostoni C et al. 2006. Medical position paper soy protein infant formulae and follow-on formulae: a commentary by the ESPGHAN committee on nutrition. Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition 42:352-361.
Aldercreutz H. 2002. Ptytoestrogens and breast cancer. Loncet Oncol 3: 364. [AOAC]. 1995. Association of Official Analytical Chemists. 1984. Official methods of analysis. Washington DC: [AOAC]. Arjmandi BH et al. 1996. Dietary soybean protein prevent bone loss in ovariectomized rat model of osteoporosis. J. Nutr. 126 : 161-167. Asihara Y, Kasahara Y. 2001. Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods. Philadelphia: WB Saunders Company. Astawan M. 2009. Sehat dengan Hidangan Kacang & Biji-Bijian. Jakarta: Penebar Swadaya. Astuti S. 1999. Pengaruh tepung kedelai dan tempe dalam ransum fertilitas tikus percobaan. [tesis]. Bogor : Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Badzaid A. 2003. Endokrinologi ginekologi, edisi ke-2. Jakarta : KSERI. Barnes S. 2010. The biochemistry, chemistry and physiology of the isoflavones in soybeans and their food products. Lymphatic Research Biology 8(1):8998. Barrett J. 1996. Phytoestrogens: friends or foes? Environmental Health Perspectives 104 : 478-482. Budisantoso H. 1994. Susu dan Yogurt Kedelai. Yogyakarta : Kanisius. Burgess GW. 1995. Prinsip Dasar ELISA dan Variasi Konfigurasinya, Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian. Wayan T. Ariana, penerjemah. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Bustamam N. 2008. Fitoestrogen dan kesehatan tulang. Bina Widya 19 (3) : 146-150. Cahyadi W. 2007. Kedelai Khasiat dan Teknologi. Jakarta : Bumi Aksara. Coward L, Barnes NC, Setchell KDR, Barnes S. 1993. Genestein and daidzen and their β-glukoside conjugate : antitumor isoflavon in soybean food from America and asia diet. J. Agri. Food Chem 41: 1961-1967.
19
Cornwell T, Cohick W, Raskin I. 2004. Dietary phytoestrogens and health. Phytochemistry 65 : 995-1016. Fafioye OO, Fagade SO, Adebisi AA, JenyoOni, Omoyinmi GAK. 2005. Effects of dietary soybeans (Glycine max (L.) Merr.) on growth and body composition of african catfish (Clarias gariepinus, Burchell) fingerlings. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 5: 11-15. Fanti P, Sawaya BP, Custer LJ, Franke AA. 1999. Serum Levels and Metabolic Clearance of the Isoflavones Genistein and Daidzein in Hemodialysis Patients. J Am Soc Nephrol 10: 864–871. Farida et al. 2008. Konsumsi dan penggunaan pakan pada tarsius (Tarsius bancanus) betina di penangkaran. Biodiversitas 9(2): 148-151. Friedman M . 2001. Nutritional and healthbanafits of soy protein. J. Agric Food Chem. 49 : 1069-1086. Ganong WF. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi ke-20. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. Glover A, Assinder SJ. 2006. Acute exposure of adult male rats to dietary phytoestrogen reduces fecundity and alters epididymal steroid hormone receptor expression. Jour. Endoc 189 : 565-573. Gueven A. 2011. Isoflavonoid production by soy plant callus suspension culture. Journal of Food Engineering 103:237–243.
bromelin serta evaluasi nilai gizi proteinnya secara biologi. [tesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hardjopranjoto S. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Airlangga University Press : Surabaya. Harianto. 2004. Penyuluhan penggunaan oralit untuk menanggulangi diare di masyarakat. Majalah Ilmu Kefarmasian 1(1): 27 – 33. Heinnerman J. 2003. Peran Isoflavon untuk Kesehatan dan Teknologi. Jakarta : Bumi Aksara. Hidayati. 2003. Peran isoflavon untuk kesehatan reproduksi wanita. Cermin Dunia Kedokteran. 193. Hoff J. 2000. Methods of blood collection in the mouse. Lab Animal 29(10): 4753. Howe GE. 1990. Dietary factors and risk as breast cancer. Journal NCI. 82 (7) : 561-569. Ibrahim KA, Elsheikh EAE, Babiker EE. 2008. Minerals composition of soybean (Glycine max L.) seeds as influenced by Bradyrhizobium inoculation and chicken manure or sulphur fertilization. Pakistan Journal of Nutrition 7 (6): 793-800. Jefferson. 2002. Assessing estrogenic activity of phytochemicals using transcriptional action and immature mouse uterotrophic responses. J Chromatgr B Analyt Technol Biomed Life Sci 777 : 179. Johnson M, Everitt B. 1984. Essential Reproduction. London : Blackwell Scientific Publisher.
Guyton AC. 1994. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit Edisi ke-3. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Jones HW, Jones GS. 1981. Novaks Textbook of Gynaecology 10th ed. Baltimore : The Williams and Wilkins Company.
Guyton AC. 1996. Fisiologi Kedokteran bagian III Edisi ke-7. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Joslin JO. 2009. Blood collection techniques in exotic small mammals. Journal of Exotic Pet Medicine 18: 117–139.
Hafez ESE, Jainudeen MR, Rosnina Y. 2000. Hormones growth factor and reproduction. Reproduction in Farm Animals 3 : 31-54.
Juwaihar. 2002. Efek estrogenic isoflavon dalam tepung tahu terhadap bobot badan dan uterus tikus ovariektomi. [skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Handayani CA. 2005. Pembuatan tepung kedelai kaya isoflavon melalui ekstraksi asetonitril dan hidrolisis
20
Kariyil BJ. 2010. Phytoestrogen in animal origin foods. Veterinary World. 1 : 4345. King RA. 1998. Daidzein conjugates are more bioavailable than genistein conjugates in rats. Am J Clin Nutr 68 : 1496S1499S. Kresno SB. 1991. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
L.) pada tikus putih Sprague-Dawley [skripsi]. Bogor: Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Muchtadi D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. PAU Pangan dan Gizi. IPB Bogor. Murphy PA. 1982. Phytoestrogen content of processed soybean product. Food Tech. 36.
Koswara S. 1995. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadikan Makanan Bermutu. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Pan et al. 2008. Exposure of juvenile rats to the phytoestrogen daidzein impairs erectile function in a dose-related manner in adulthood. Journal of Andrology 29(1): 55-62.
Lehninger. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Edisi ke-2. Thenawidjaya M, penerjemah; Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Principles of Biochemistry.
Persky VW, Turyk ME, Light W, Freels, Barnes S. 2002. Effect of soy protein on endogenous in postmenopausal women. Am J. Clin. Nutr. 75 : 145-153.
Lequin RM. 2005. Enzyme Immunoassay (EIA), Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Clinical Chemistry 51 (12): 2415–2418.
Prawiroharsono S. 2007. Benarkah tempe sebagai anti kanker. Jurnal Kedokteran dan Farmasi MEDIKA. 12 (24) : 815817.
Lu F. 2006. Toksikologi Dasar: Asas, Organ sasaran, dan Penilaian Risiko. Nugroho, penerjemah. Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari: Toxicology, Fundamental, Target Organs, and Risk Assesment.
Rimbach G et al. 2008. Dietary isoflavones in the prevention of cardiovascular disease:a molecular perspective. Food and chemical toxicology 46(4):1308-1319.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan MINITAB. Bogor : IPB Press. Malley et al. 1991. Reproductive Endocrinology 3th ed. Philadelpia : WB Saunders Company. Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Pengguanan Hewan Hewan Percobaan di Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Bogor : IPB Press. Meehan AP. 1984. Rats and Mice. East Grinstead : Rentokil Limited. Messina M, Bennink M. 1998. Soy foods, isoflavon and risk of colonic cancer : A review of the in vitro and in vivo data. Bailliere’s Clin. Endocrinol and Metab. 12 (4) : 707-728. Meutia F. Aktivitas hepatoprotektor ekstrak metanol daun kari (Muraya koenigii
Rishi RK. 2002. Phytoestrogen in health and illness. Indian Journal of Pharmacology. 34 : 311-320. Rose DP, Boyar AP, Wynder EL. 1986. International comparison of mortality rates for cancer of the breas, ovary, prostate, and colon and percapita food consumption. Cancer 58 : 2363-2371. Ruhlen RL. 2007. Low phytoestrogen levels in feed increase fetal serum estradiol resulting in the fetal estrogenization syndrome and obesity in cd-1 mice. Environ Health Perspect. 116(3): 322– 328. Safrida. 2008. Perubahan kadar hormon estrogen pada tikus yang diberi tepung kedelai dan tepung tempe. [tesis]. Bogor : Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Santoso. 2005. Teknologi Pengolahan Kedelai (Teori dan Praktek). Universitas Widyagama Malang. Sarjono PR. 2004. Potensi isoflavon asal limbah tahu sebagai anti kanker dalam
21
Savitri
penghambatannya terhadap enzim tirosin kinase. [tesis]. Bogor : Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Tempfer CB et al. 2007. Phytoestrogen in clinical practice : a review of literature. Fertile Steril. 87 : 1243-1249.
C. 1999. Potensi antiaterogenik suplemen kombinasi isoflavon-vitamin E terhadap lesi arteri koroner pada monyet ekor panjang (Macaca fascularis) yang hiperkolesteromik. [tesis]. Bogor : Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
[USDA] United State Department of Agriculture. 2007. Glycine max (L) Merr soybean. http : //plants.usda.gov/tools.html [30 Mei 2007].
Sawitri EI, Fauzi N, Widyani R. Kulit dan menopause manifestasi dan penatalaksanaan. Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin 1 (21) : 48-55 Schmild MK, Labuza TP. 2000. Essential of Functional Foods. Gaithersburg : Aspen Publisher. Setchell KDR. 1998. Absorption and metabolism of isoflavon. The Soy Connection Newsletter 6 : 2. Setchell KDR, Cassidy. 1999. Phytoestrogen : the biochemistry, physiology, and implications or human helth of soy isoflavones. Am J. Clin. Nutr. 68 : 1333S-1346S. Setchell KDR, Oslen LE. 2003. Dietary phytoestrogens and their effect on bone : evidence from in vitro and in vivo, human observational, and dietary intervention studies. Am. J. Clin. Nutr. I 78 : 593S-609S. Suherman KS. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi ke-4. Jakarta: Bagian Farmakologi FK-UI. Suprapto HS. 1988. Bertanam Kedelai. Jakarta : PT Penebar Swadaya. Suprihatin. 2008. Optimalisasi kinerja reproduksi tikus betina setelah pemberian tepung kedelai dan tepung tempe pada usia prapubertas. [tesis]. Bogor : Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Susanti F. 2002. Efek estrogenic isoflavon dalam tepung tempe terhadap bobot badan dan uterus tikus ovariektomi. [skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Taher A. 2003. Peran fitoestrogen kedelai sebagai antioksidan dalam penanggulangan aterosklerosis. [tesis]. Bogor : Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Veterinary Library. 1996. The Laboratory rat. http : //www.animalz.co.nz/library/smallpet/r ats. [WHO]. World Health Organization. 2009. Maintenance Manual for Laboratory Edupment, 2nd ed. Geneva: [WHO]. Wibowo B. 1994. Ilmu Kandungan Edisi ke-2. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono. Winarsi H. 2005. Isoflavon Berbagai Sumber, Sifat, dan Manfaatnya pada Penyakit Degenaratif. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Wirakusumah ES. 2007. Mencegah Osteoporosis. Depok: Penebar Swadaya. Wood CE, Register TC, Franke AA, Anthony MS, Cline JM. 2006. Dietary soy isoflavon inhibit estrogen effect in the postmenopausal breast. Cancer Res. 66 (2) : 1241-1249. Xu et al. 1995. Bioavailability of soybeans isoflavons depend on gut microflora in women. J. Nutr. 125 : 2307-2315. Yamakashi J. 1999. Isoflavon aglicon-rich extract wiyhout soy attenuates atherosclerosis development in cholesterol – fed rabbits. J. Nutr. 130 : 1887-1893. Zhang Y, Song TT, Cunnick JE, Murphy PA, Hendric HS. 1999. Daidzein and genistein glucuronides in vitro are weakly estrogenic and active human natural killer cell at nutrionally relevant concentration. J. Nutr. 129 : 399-405.
22
LAMPIRAN
23
Lampiran 1 Diagram alir penelitian 28 ekor tikus jantan (F0)
28 ekor tikus betina (F0)
Adaptasi
Adaptasi
Perlakuan Pakan
Perlakuan Pakan
F0 jantan x F0 betina Pengambilan serum darah dan nekropsi F0 jantan
F1
F1 disapih dari F0 betina
Pengambilan serum darah dan nekropsi F0 betina
F1 Jantan
F1 Betina
Perlakuan Pakan
Perlakuan Pakan
Pengambilan serum darah dan nekropsi F1 jantan
Analisis Androgen
Keterangan: Dilakukan peneliti Tidak dilakukan peneliti
Pengambilan serum darah dan nekropsi F1 Betina
Analisis Estrogen
24
Lampiran 2 Komposisi bahan pembuatan pakan berdasarkan AOAC recommendation (1995) dan analisis proksimat pakan perlakuan Komposisi bahan untuk pembuatan pakan berdasarkan AOAC recommendation (1995) Kelompok
Sampel (kg)
Jenis pakan
KN
Kontrol
K1
Kasein (kg)
Minyak jagung (kg)
Mineral (kg)
Serat (kg)
Vitamin (kg)
Maizena (kg)
Air (kg)
0
11,315
3,9582
2,071
0,5
0,5
29,71825
1,93765
Serbuk kacang kedelai 100%
28,7687
0
0,332
1,194
0,5
0,5
18,7457
0
K2
Serbuk kacang kedelai 50%
14,3843
5,6574
2,145
1,633
0,5
0,5
24,23195
0,9987
K3
Serbuk kacang kedelai 10%
2,8769
10,183
3,5955
1,963
0,5
0,5
28,621
1,73985
IPK1
Isolat protein kedelai 100%
14,2491
0
3,8732
1,730
0,5
0,5
27,0091
1,98845
IPK2
Isolat protein kedelai50%
7,1245
5,6574
1,976
0,5
0,5
IPK3
Isolat protein kedelai10%
1,425
10,183
3,94965
2,052
0,5
0,5 0,5
1,96305
28,3637 29,44735
1,94275
Analisis proksimat pakan perlakuan Sampel
Karbohidrat (%db)
Protein (%db)
Lemak (%db)
Kadar Abu (%db)
Kadar Air (%db)
Serbuk kedelai
33,22
38,13
13,98
4,98
9,69
Isolat protein kedelai
18,28
72,7
0,92
4,5
3,59
25
Lampiran 3 Analisis estrogen 50 µL sampel standar dimasukkan ke dalam sumur microtiter plate
50 µL enzim konjugat (HRP-conjugate) ditambahkan pada tiap sumur kecuali blanko 50 µL antibodi ditambahkan pada tiap sumur Diaduk selama 10 menit Diinkubasi selama 2 jam pada 37oC
Sumur dicuci 3 kali dengan wash solution (250 µL tiap sumur) selama 10 menit Sumur-sumur diletakkan terbalik pada kertas absorben 50 µL substrat A dan substrat B ditambahkan pada tiap sumur
Diinkubasi selama 15 menit pada 37oC 50 µL stop solution ditambahkan pada tiap sumur Ditunggu 10 menit OD dibaca pada λ= 450 ± 2 nm dengan menggunakan microtiter plate reader
26
Lampiran 4 Bobot badan tikus betina saat adaptasi dan selama perlakuan Kelompok
Ulangan
KN
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
K1
K2
K3
IPK1
IPK2
IPK3
Awal Adaptasi 143 ± 12,68 132 ± 12,68 124 ± 12,68 113 ± 12,68 128 ± 7,34 122 ± 7,34 113 ± 7,34 129 ± 7,34 147 ± 15,67 128 ± 15,67 120 ± 15,67 110 ± 15,67 153 ± 19,37 128 ± 19,37 120 ± 19,37 107 ± 19,37 133 ± 13,62 125 ± 13,62 118 ± 13,62 101 ± 13,62 134 ± 12,12 133 ± 12,12 118 ± 12,12 109 ± 12,12 155 ± 21,93 133 ± 21,93 120 ± 21,93 103 ± 21,93
Awal Perlakuan 158 ± 9,29 148 ± 9,29 152 ± 9,29 136 ± 9,29 124 ± 8,22 126 ± 8,22 124 ± 8,22 141 ± 8,22 150 ± 10,50 160 ± 10,50 156 ± 10,50 136 ± 10,50 146 ± 12,53 142 ± 12,53 152 ± 12,53 123 ± 12,53 153 ± 12,96 147 ± 12,96 141 ± 12,96 123 ± 12,96 154 ± 19,72 140 ± 19,72 132 ± 19,72 107 ± 19,72 163 ± 18,02 134 ± 18,02 143 ± 18,02 120 ± 18,02
Bobot Badan ± SD (gram) Sesaat Sebelum Dikawinkan 159 ± 7,51 144 ± 7,51 152 ± 7,51 143 ± 7,51 127 ± 12,82 139 ± 12,82 119 ± 12,82 148 ± 12,82 198 ± 22,98 158 ± 22,98 150 ± 22,98 150 ± 22,98 150 ± 9,07 163 ± 9,07 153 ± 9,07 141 ± 9,07 168 ± 10,47 153 ± 10,47 164 ± 10,47 145 ± 10,47 167 ± 16,07 152 ± 16,07 150 ± 16,07 128 ± 16,07 178 ± 22,25 151 ± 22,25 141 ± 22,25 125 ± 22,25
Akhir 162 ± 34,36 128 ± 34,36 211 ± 34,36 158 ± 34,36 223 ± 24,45 200 ± 24,45 190 ± 24,45 164 ± 24,45 190 ± 25,21 174 ± 25,21 184 ± 25,21 134 ± 25,21 235 ± 22,64 208 ± 22,64 195 ± 22,64 182 ± 22,64 174 ± 21,61 214 ± 21,61 185 ± 21,61 164 ± 21,61 185 ± 16,83 184 ± 16,83 202 ± 16,83 161 ± 16,83 184 ± 32,06 210 ± 32,06 180 ± 32,06 133 ± 32,06
Keterangan : KN = kontrol negatif, K1 = kedelai 100%, K2 = kedelai 50%, K3 = kedelai 10%, IPK1 = isolat protein kedelai 100%, IPK2 = isolat protein kedelai 50%, IPK3 = isolat protein kedelai 10%, dan SD = standar deviasi .
26
27
Lampiran 5 Rerata bobot badan hewan coba dan peningkatannya selama perlakuan Rerata bobot badan hewan coba saat adaptasi dan selama perlakuan Kelompok perlakuan
Rerata Bobot Badan Tikus (g/minggu) awal adaptasi
awal perlakuan
a
KN
128 ± 12,68
K1
123 ± 7,35a
148,5 ± 9,29
a
128,25 ± 8,22a a
149,5 ± 7,51
a
133,25 ± 12,82ab
164,75 ± 34,36a 194,25 ± 24,45ab 170,5 ± 25,21ab
126,25 ± 15,67
K3
127 ± 19,37a
140,75 ± 12,53a
151,75 ± 9,07ab
205 ± 22,64ab
IPK1
119,25 ± 13,62a
141 ± 12,96a
157,75 ± 10,47ab
184,25 ± 21,61ab
IPK2
123,5 ± 12,12a
133,25 ± 19,72a
149,25 ± 16,07ab
183 ± 16,83ab
IPK3
127,75 ± 21,93
140 ± 18,02
a
164 ± 22,98
ab
Akhir
K2
a
150,5 ± 10,50
a
sesaat sebelum kawin
148,75 ± 22,25
abc
176,75 ± 32,06ab
Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0,05). KN = kontrol negatif, K1 = kedelai 100%, K2 = kedelai 50%, K3 = kedelai 10%, IPK1 = isolat protein kedelai 100%, IPK2 = isolat protein kedelai 50%, IPK3 = isolat protein kedelai 10%, dan SD = standar deviasi. Peningkatan bobot badan hewan coba dari awal hingga akhir perlakuan Kelompok Perlakuan
Peningkatan Bobot Badan ± SD (g)
Persentase peningkatan (%) 10,94
KN K1 K2
16,25 ± 33,29 65,6 ± 31,63 20 ± 18,11
K3
64,21 ± 19,10
51,46 13,29 45,65
IPK1
43,25 ± 18,84
30,67
IPK2 IPK3
49,75 ± 16,46 36,75 ± 18,00
37,43 26,25
Keterangan : seperti pada tabel sebelumnya
27
28
Lampiran 6 Pakan yang dikonsumsi perhari saat perlakuan oleh tikus betina Perlakuan KN
K1
K2
K3
IPK1
IPK2
IPK3
Ulangan 1 2
pakan rerata (g/hari) 10,794 11,442
3
10,654
4
11,461
1
13,970
2
13,813
3
12,738
4
15,107
1
14,8562
2
12,370
3
12,555
4
14,872
1
12,744
2
11,838
3
12,464
4
13,085
1
11,037
2
11,534
3
11,849
4
12,234
1
11,741
2
10,936
3
10,384
4
10,405
1
12,718
2
11,427
3
12,368
4
10,944
Keterangan : seperti pada Lampiran 5
Pakan yang dikonsumsi ± SD (g/hari) 11,09 ± 3,80abcd
13,91 ± 6,50a
13,66 ± 6,08ab
12,53 ± 5,37ab
11,66 ± 5,12abc
10,87 ± 5,36abcd
11,86 ± 5,34ab
29
Lampiran 7 Kandungan isoflavon (daidzin dan genistein) bebas dan total dalam pakan perlakuan Daidzin Kelompok
kadar daidzin bebas(mg/kg)
kadar daidzin total(mg/kg)
KN K1 K2 K3 IPK1 IPK2 IPK3
0 0,002834907 0,001417448 0,000283494 0,012074538 0,006037227 0,00120753
0 0,151864736 0,075932104 0,015186632 0,132984631 0,066491849 0,013299303
Keterangan : seperti pada Lampiran 5 Genistein kelompok
kadar genistein bebas(mg/kg)
kadar genistein total(mg/kg)
KN K1 K2 K3 IPK1 IPK2 IPK3
0 0,00442684 0,002213412 0,000442689 0,033246931 0,016623349 0,003324903
0 0,148804665 0,074402074 0,014880622 0,347066468 0,173532016 0,034708839
Keterangan : seperti pada Lampiran 5
30
Lampiran 8 Grafik pengukuran absorbansi standar hormon estrogen
Data pengukuran absorbansi standar hormon estrogen Standar
absorbansi 1
Absorbansi absorbansi 2
rerata absorbansi
STD1
0,044
0,036
0,04
STD2
0,06
0,025
0,0425
STD3
-0,004
0,008
0,002
STD4
-0,046
-0,039
-0,0425
STD5
-0,065
-0,05
-0,0575
31
Lampiran 9 Konsentrasi hormon estrogen tikus betina untuk tiap perlakuan Perlakuan
Ulangan
KN
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
K1
K2
K3
IPK1
IPK2
IPK3
Kadar estrogen ± SD (pg/mL)
Absorbansi
Rerata Absorbansi
Absorbansi 1
Absorbansi 2
0,053 0,118 0,047 0,065 0,076 0,055 0,001 0,114 -0,102 0,164 0,032 0,05 0,045 0,043 0,015 0,052 0,043 0,073 0,09 0,036 0,061
0,078 -0,068 0,045 -0,105 -0,103 0,033 0,071 -0,1 0,047 0,141 0,071 0,066 0,052 0,065 0,086 0,028 -0,006 0,123 0,072 0,023 0,056
0,0655 0,025 0,046 -0,02 -0,0135 0,044 0,036 0,007 -0,0275 0,1525 0,0515 0,058 0,0485 0,054 0,0505 0,04 0,0185 0,098 0,081 0,0295 0,0585
[estrogen] (pg/mL) 1091,667 416,667 766,667 -333,333 -225 733,333 600 116,667 -458,333 2541,667 858,333 966,667 808,333 900 841,667 666,667 308,333 1633,333 1350 491,667 975
SD 337,57
758,33 ± 337,57ab
587,07
58,33 ± 587,07b
529,82
86,11 ± 529,83b
942,15
1455,56 ± 942,15a
46,398
850 ±46,39ab
685,37
869,44 ± 685,38ab
430,30
938,89 ± 430,30ab
Keterangan : seperti pada Lampiran 5
31
32
Contoh perhitungan: Perlakuan 1 ulangan 1 Persamaan garis y = -6E-05x + 0,000 Y = Aterkoreksi x = [estrogen] = -6E-05x + 0,000 0,0655 X = (0,0655-0,000)/ -6E-05 X = 1091,667 pg/mL.