21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kejang Demam 1. Demam a. Definisi demam Demam didefinisikan bila suhu tubuh lebih dari normal sebagai akibat peningkatan pusat pengatur suhu di hipotalamus yang di pengaruhi oleh interkulin-1(IL-1) (Sumarmo et al, 2008), dan pengaturan suhu dalam keadaan sehat atau demam merupakan keseimbangan antara produksi dan pelepasan panas (Guyton, 1981; Sumarmo et al, 2008). Demam merupakan peningkatan suhu tubuh diakibatkan oleh ketidak seimbangan antara produksi dan pengeluaran panas IL-1 pada keadaan ini tidak terlibat. Pusat pengaturan suhu di hipotalamus berada dalam keadaan normal (Lukmanto,1990; Sumarmo et al,2008) Pirogen adalah suatu sat yang mentebabkan demam. Terdapat 2 pirogen yang menimbulkan demam, yaitu pirogen ekstrogen dan endogen. Pirogen ekstrogen berasal dari luar tubuh dan berkembang merangsang IL-1, sedangkan pirogen endogen berasal dari dalam tubuh, yang mempunyai kemampuan untuk merangsang demam dengan mempengaruhi pusat pengatur suhu di hipotalamus, sedangkan yang termasuk pirogen endogen adalah IL-1, tumor nekrosis faktor (TNF) dan interferon (INF) (Lukmanto, 1990; Sumarmo et al, 2008)
22
Batas
peningkatan
suhu
pada
demam
dari
beberapa
kepustakaan bervariasi, demam didefinisikan bila suhu aksila lebih dari 37.2 oC (Morley et al, 1992), 37.4 oC (Whaybrew et al, 1998). Brayden dkk (2007) dalam Curren Diagnosis And Treatment In Pediatric mendefinisikan demam sebagai peningkatan suhu tubuh dimana suhu aksilanya lebih dari 37 oC atau pengukuran suhu rectal lebih dari 38 oC hiperpireksia adalah suhu tubuh 41 oC atau lebih (Sumarmo et al, 2008). Demam merupakan salah satu gejala dari suatu penyakit dan salah satu keluhan utama yang sering disampaikan orang tua saat membawa anaknya ke tempat pelayanan kesehatan atau dokter, demam sangat berhubungan dengan kemampuan tubuh dalam menghadapi kuman atau penyebab penyakit demam pada umumnya tidak berbahaya, tetapi bila demam tinggi atau yang disebut hyperpireksia akan menyebabkan kerusakan jaringan otak yang kemungkinan terjadi kejang demam. b. Etiologi demam Demam disebabkan kenaikan set poin atau tidak adanya keseimbangan antara produksi dan pengeluaran panas. Beberapa penyakit yang dapat meningkatkan set point adalah: 1). Penyakit infeksi, meliputi infeksi bakteri , virus ricketsia, clamydia atau parasit. 2) Trauma mekanis oleh karena kerusakan jaringan demam yang disebabkan trauma mekanis biasanya muncul 1 sampai 2 hari setelah kejadian. 3) Tumor pankreas, paru, hati, tulang. Tumor yang berasal dari retikulo endotel seperti hogkin limfoma, non hodgin limfoma, acul
23
lymphocytic leukemia. 4) Kelainan hematologi, seperti anemia hemolitik. 5) Kelainan vasculer, seperti infak pada jantung , paru dan otak. 6) Penyakit imonologi, seperti Syndroma Lupus Erymatrosus, drug fever. 7) Kelainan metabolik, seperti gout, hiperglikemia, krisis tiroid, addisian (Prinscis 2005). c. Fisiologi demam Manusia adalah makhluk homeotermal, dimana suhu tubuh manusia relatif tetap sekitar 37 oC. Sebagai makhluk homeotermal, manusia
mampu
mengatur
keseimbangan
pembentukan
dan
pengeluaran panas. Ditempat dingin pembentukan panas bertambah dan pengeluaran panas berkurang. Sebaliknya ditempat panas pengeluaran panas akan di tingkatkan (Guyton, 1981; Sumarmo et al, 2008). Suhu tubuh diatur oleh organ susunan saraf pusat yaitu hipotalamus melalui sistem umpan balik yang rumit. Informasi suhu dari bagian luar tubuh yang diterima dari respon panas pada kulit diteruskan melalui saraf aferen ke hipotalamus. Pembentukan dan pengeluaranya sesuai dengan set point (Guyton, 1981; Sumarmo et al. 2008) saraf aferen dari hipotalamus terdiri dari saraf somatif dan otonom, sehingga hipotalamus dapat mengukur aktifitas otot kelenjar keringat,
peredaran
darah
dan
ventilasi
paru
(Guyton,1981;
Ismoejianto, 2000) Hipotalamus posterior merupakan pusat pengaturan suhu tubuh yang bertugas meningkatkan produksi panas dan pengeluaran panas.
24
Bila hipotalamus posterior menerima informasi suhu luar lebih rendah dari suhu tubuh, maka pembentukan panas ditambah dengan peningkatan metabolisme dan aktivitas otot rangka dalam bentuk menggigil dan pengeluaran panas dikurangi dengan vasokontriksi kulit dan pengeluaran produksi keringat, dengan demikian suhu tubuh tetap dipertahankan agar normal (Guyton, 1981; Sumarmo et al, 2008 ) Sebaliknya hipotalamus anterior merupakan pusat pengaturan suhu yang bertugas mengeluarkan panas. Bila hipotalamus anterior menerima informasi suhu lebih tinggi dari suhu tubuh, maka pengeluaran panas ditingkatkan dengan vasodilatasi kulit dengan menambah produksi keringat dengan demikian suhu tubuh tetap dipertahankan normal (Guyton, 1981; Pusponegoro, 1999) d. Patofisiologi demam Demam ditimbulkan oleh beberapa senyawa yang dinamakan pirogen, dikenal ada dua jenis pirogen yaitu pirigen eksogen dan endogen. Pirogen eksogen merupakan senyawa yang berasal dari luar tubuh penjamu dan sebagian dari produk microba, toksin atau mikroba itu sendiri. Pirogen eksogen menginduksi pelepasan senyawa di dalam tubuh pejamu yang dinamakan pirogen endogen. Pirogen endogen tersebut diproduksi oleh berbagai jenis sel didalam tubuh pejamu terutama sel monosit dan makrofag. Senyawa yang tergolong pirogen endogen ialah sitokin. Pirogen endogen yang dihasilkan oleh sel monosit, makrofak dan sel tertentu lainnya secara langsung dengan perantara pembuluh darah masuk ke sistem sirkulasi dan dibawa ke
25
hipotalamus.
Pusat
pengendali
suhu
tubuh
pirogen
endogen
menimbulkan perubahan metabolik, antara lain sintesis postaglandin yang mempengaruhi pusat pengendalian suhu tubuh sehingga set point untuk suhu tersebut ditingkatkan untuk suatu suhu tubuh yang lebih tinggi. Pusat ini kemudian mengirim impuls ke pusat produksi panas untuk meningkatkan aktivitasnya dan ke pusat pelepasan panas untuk mengurangi aktivitasnya sehingga suhu tubuh meningkat atau terjadi demam (Sumarmo et al, 2008). e. Manifestasi klinis demam Pada demam yang disebabkan oleh peningkatan set point hipotalamus, baik yang berhubungan dengan pirogen endogen maupun eksogen, peningkatan pembentukan panas dan pengeluaran panas, penderita merasa dingin, piloerection, menggigil, ektrimitas dingin, keingat tidak ada atau sedikit sekali (Guyton, 1981; Pusponegoro, 1999; Sumarmo et al, 2008). Pada
keadaan
dimana
se t
point
hipotalamus
normal,
pembentukan panas meningkat dan mekanisme pengeluaran panas normal, penderita, merasa panas, tidak ada piloeraction, ektrimitas panas, keringat banyak. Bila pembentukan panas normal tetapi mekanisme pengeluaran panas tidak baik penderita merasa panas, ekstrimitas merasa panas dan keringat sedikit (Guyton, 1981; Pusponegoro, 1999; Sumarmo et al, 2008) Apabila pusat pengatur suhu di hipotalamusnya sudah rusak, penderita tidak dapat mempertahankan suhu tubuhnya terhadap
26
perubahan suhu disekitarnya, suhu tubuh akan menetap, tidak dapat naik turun.kerusakan jaringan terjadi bila suhu tubuh lebih tinggi dari 41,0 oC. Jaringan yang paling mudah terkena adalah susunan saraf pusat dan otot. Gejala akibat kerusakan susunan saraf pusat dapat berupa koma, kejang, kelumpuhan dan edema otak, sedangkan kerusakan
ot ot
berupa
rambbdomiolis
umum
dengan
akibat
mioglobinemia. Penderita yang mengalami kerusakan di batang otak, dengan pemberian antipiretik dan kompres tidak akan ada manfaatnya (Guyton,1981; Sumarmo et al, 2008) f. Pendekatan diagnostik Untuk mencari etiologi demam seorang harus mempunyai wawasan
luas
dan
pendekatan
yang
terorganisasi
dengan
mempertimbangkan umur anak, tipe demam, daerah tinggal atau pernah berpergian kedaerah endemis penyakit tertentu. Menurut Behman memuat beberapa tahapan algoritmik dalam penatalaksanaan demam yaitu: 1) Tahap pertama, anamesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium tertentu setelah itu dievaluasi untuk menentukan apakah ada gejala dan tanda spesifik atau tidak. 2) Tahap kedua, dapat dibagi dua kemungkinan yaitu: a) Bila ditemukan tanda dan gejala fokal tertentu maka dilakukan pemeriksaan tambahan yang lebih spesifik yang mengarah pada penyakit yang dicurigai.
27
b) Bila tidak ada tanda dan gejala fokal maka dilakukan pemeriksaan ulang darah lengkap. 3) Tahap tiga, terdiri dari pemeriksan yang lebih komplek dan terarah. Lorinn dan feigin dalam Sumarmo et al (2008), menulis tentang petunjuk diagnosis pada anak dengan FUO. Untuk menegakan diagnosis
didasarkan
pada
anamesis,
pemeriksaan
f i si s
da n
laboratorium. Sebagian besar (50%) demam yang terjadi pada anak disebabkan oleh infeksi virus dan hanya sekitar 2 % saja yang disebabkan infeksi bakterial (Mccarthy & Dolan, 1976) umur anak dapat memberikan petunjuk tentang penyebab demam oleh karena infeksi bakterial. Penyebab demam bayi yang sering adalah streptococcus group –b dan bakteri gram negatif. Pada bayi berumur 3 sampai 6 bulan yang paling sering karena haemophilus influenza tipeb, sepsis lebih sering terjadi pada bayi kecil. Setelah anak berumur 3 bulan lebih jarang terjadi meningitis karena ia telah mempunyai kekebalan alami. Demam yang sering dijumpai pada usia ini disebabkan faringitis atau infeksi virus termasuk demam berdarah (Pusponegoro, 1999) Pemeriksaan laboratorium sederhana dapat membantu untuk mengetahui etiologi demam. Jumlah lekosit lebih dari 15.000/µl dengan pergeseran ke kiri, laju endap darah (LED) lebih dari 30 mm/jam pada anak dengan demam lebih dari 40 oC menunjukan resiko
28
5 kali lipat mengalami bakterimia dibandingkan anak dengan suhu 40oC tanpa peningkatan lekosit dan LED ( Pusponegoro, 1999). g. Tatalaksana demam Demam yang tinggi melebihi 39 oC menyebabkan anak merasa gelisah dan tidak enak, seringkali kehilangan nafsu makan dan minum sehingga mengurangi masukan makanan dan minuman yang sangat diperlukan anak. Demam menyebabkan anak tidak dapat tidur sehingga tidak dapat beraktifitas keesokan harinya. Orang tua juga merasa sangat cemas pada keadaan anaknya. Demam dapat juga mengakibabkan kejang demam dengan segala resiko ( Darmowandoyo, 2002 ).
Penatalaksanaan demam dapat dilakukan dengan obat anti piretik, fisik atau kombinasi keduanya 1) Penatalaksanaan medik (pemberian obat antipiretik) Keadaan
demam
yang
diindikasikan
penggunaan
antipiretik antara lain: 1) Demam lebih dari 39
o
C yang
berhubungan dengan gejala nyeri atau tidak nyaman. 2) Demam lebih dari 40,5oC. 3) Demam berhubungan dengan peningkatan metabolisme, seperti pada keadaan gizi buruk, penyakit jantung, luka bakar atau operasi paska operasi. 4) Anak dengan riwayat kejang demam atau dilirium (Lukmanto, 1990; Pusponegoro,
29
1999; Sumarmo et al, 2008) Meskipun indikasi pemberian antipiretik masih merupakan kontroversi dengan pendapat masingmasing, sampai saat ini antipiretik masih diberikan apabila demam. Hampir semua dokter memilaih 38,5 - 39 oC untuk memberikan pengobatan dengan tujuan mengurangi ketidaknyamanan anak dan kegelisahan orang tua, serta mencegah kejang demam. Anak yang tidak terlihat nyaman dan orang tua menyetujui sebetulnya hanya sedikit bukti yang menyokong manfaat pemberian antipiretik tersebut. Rasa tidak nyaman ringan dan mialgia sebetulnya lebih bermanfaat dengan meminimalkan aktifitas sehingga energi yang tersedia dialihkan untuk digunakan dalam reaksi biokimia selama demam. Aktivitas yang berlebihan juga dapat menaikan suhu tubuh. Pendidikan seorang ibu diperlukan untuk kerja samanya mengatasi rasa takut terhadap demam (Sumarmo et al, 2008) Pada dasarnya pemberian anti piretik tidak diberikan secara otomatis, tetapi
memerlukan
pertimbangan,
pemberian
antipiretik
berdasarkan kenyamanan anak, bukan dari suhu yang tetera pada angka termometer, saat ini pemberian. Resep antiperetik telalu berlebihan, antipiretik diberikan demi keuntungn orang tua dari pada anak.pendidikan bagi orang tua diperlikan untuk kerjasama mengatasi rasa takut mereka terhadap demam (misalnya demam dapat meningkat bila tidak diperiksa) dan biasanya tidak ada informasi pada orang tua bahwa demam barmanfaat dalam pejalanan penyakit.
30
2) Penatalaksanaan non medis (kompres) Penelitian meningkatkan
membuktikan efek
obat
bahwa antipiretik.
kompres
air
Kompres
t i da k hanya
direkomendasikan pada kasus dengan demam yang sangat tinggi (40 oC) atau lebih dari 40oC apabila demam tidak respon dengan obat antipiretik. Apabila mengunakan kompres, berikan setelah pemberian antipiretik untuk memastikan penurunan suhu tubuh oleh pusat pengatur suhu di hipotalamus. Apabila anak menggigil, suhu air kompres harus dinaikan (Lukmanto, 1990; Sumarmo 2008) Pengunaan kompres dingin atau es merupakan kontra indikasi.
Hal ini
bertentangan
dengan
peningkatan
pusat
pengaturan suhu hipotalamus secara fisiologik, yang akan berakibat menggigil, suatu keadaan yang kontra produktif dan berakibat peningkatan suhu tubuh.vasokontriksi akibat kompres dingin juga akan meningkatkan suhu tubuh. Kompres alkohol juga tidak dianjurkan karena alkohol akan diabsobsi melalui kulit dan pernafasan dan menyebabkan toksisitas. Kompres yang dianjurkan adalah kompres hangat. Pada saat air menguap akan terjadi penurunan
demam
dan
tidak
menyebabkan
menggigil
(Pusponegoro, 1999; Sumarmo, 2008) Menurut penelitian Tri rejeki (2002), tentang perbandingan pengaruh kompres hangat dan kompres dingin untuk menurunkan demam anak menunjukan bahwa kompres hangat pada anak
31
demam lebih banyak menurunkan suhu tubuh dibandingkan kompres dingin dan secara statistik bermakna. Anak perlu minum banyak untuk mencegah dehidrasi. Anak perllu tidur cukup untuk mengurangi metabolisme tubuhnya, membuka pakaian atau mantel yang berlebihan, memperhatikan aliran udara di dalam ruangan (Sumarmo et al, 2008) 2. Kejang Demam a. Definisi kejang demam Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 0C) yang disebabkan oleh proses ektrakranial (Pusponegoro, 2006; Soetomenggolo, 1999; Lumbantobing, 2002). Menurut consensus statement on febrile seizures, kejang demam adalah kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan sampai 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau keadaan tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk kejang demam. Derajat tingginya demam yang dianggap cukup untuk diagnosis kejang demam (Soetomenggolo, 1999). Kejang demam terjadi pada 2-4 anak berumur antara 6 bulan sampai dengan 5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur
32
kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam (Pusponegoro, 2006). b. Angka kejadian /insiden kejang demam Kejang demam merupakan kelainan terbanyak diantara penyakit saraf pada anak. Kurang lebih 3 % anak berumur antara 6 bulan sampai dengan 5 tahun pernah menderita satu kali atau lebih serangan kejang demam (Goodridge, 1987; Lumbantobing, 2002). Menurut Maeda dkk (1993), di Jepang insiden kejang demam lebih tinggi, yakni didapatkan angka 9,7 % (pada pria 10,5% dan pada wanita 8,9%), sedangkan Tsuboi (1986) mendapatkan angka sekitar 7% (Lumbantobing, 2002). Kejang demam umumnya dijumpai pada bayi dan anak. Kejang demam jarang terjadi pada anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun. Lumbantobing (1975) mendapatkan dari 297 penderita kejang demam yang detelitinya, insidensi tertinggi berkisar antara usia 6 bulan sampai 1 tahun, yaitu sekitar 30% atau 89 kasus dari keseluruhan 297 kasus) (Lumbantobing, 2002). Anak laki-laki sering menderita kejang demam dibandingkan dengan anak perempuan dengan perbandingan berkisar antara 1.4: 1 dan 1.2 : 1. Miyake dkk (1992) mendapatkan dari 122 penderita kejang demam yang diteliti, 60 anak laki-laki dan 52 anak perempuan. Milichap (1968) mendapatkan dari 403 penderita kejang demam, perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 1.4 : 1. Sedangkan Lumbantobing (1975) mendapatkan perbandingan anak laki-laki dan
33
perempuan adalah 1.2:1 dari 297 penderita kejang demam yang ditelitinya, 165 anak adalah laki-laki dan 132 anak wanita (Lumbantobing, 2002). c. Klasifikasi kejang demam Kejang demam pada umumnya dibagi menjadi 2 golongan. Kriteria penggolongan ini dikemukakan oleh berbagai pakar. Dalam hal ini terdapat beberapa perbedaan kecil dalam penggolongan terebut, menyangkut jenis kejang, tingginya demam, usia penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran rekaman otak dan lainya (Konsensus penatalaksanaan kejang demam, 2006). Prichard dan Mc Greal (1958) membagi kejang demam menjadi 2 golongan, yaitu: 1) Kejang demam sederhana, 2) Kejang demam tidak khas. Ciri-ciri kejang demam sederhana adalah: 1) Kejang bersifat simetris, artinya akam terlihat lengan dan tungkai kiri yang kejang sama seperti kanan. 2) Usia penderita antara 6 bulan sampai 4 tahun. 3) Suhu 100 oF (37,78 oC atau lebih). 4) Lamanya kejang kurang dari 30 menit. 5) Keadaan neurologi (fungsi saraf) normal dan setelah kejang juga tetap normal. 6) EEG (Elektro Ence Phalographyrekaman otak) yang dibuat setelah tidak demam adalah normal. Kejang demam yang tidak memenuhi butir diatas oleh Prichard dan Mc
Greal
digolongkan
sebagai
kejang
demam
tidak
khas
(Lumbantobing, 2002). Livingston (1954) juga membagi kejang demam menjadi 2 golongan, tetapi dengan ciri-ciri yang sedikit berbeda dibanding
34
dengan penggolongan menurut Prichard dan Mc Greal. Penggolongan kejang demam menurut livingston adalah: 1) Kejang demam sederhana. 2) Epilepsi yang dicetuskan oleh demam. Ciri-ciri kejang demam sederhana adalah: a) Kejang bersifat umum. b) Lamanya kejang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit). c) Usia waktu kejang demam pertama muncul kurang dari 6 tahun. d) Frekuensi serangan 1 - 4 kali dalam satu tahun. e) EEG normal. Kejang yang tidak sesuai dengan ciri-ciri tersebut di atas oleh Livingston disebut sebagai epilepsi yang dicetuskan oleh demam. Contoh epilepsi yang dicetuskan oleh demam menurut Livingston adalah: a). Kejang berlangsung lama atau bersifat fokal /setempat. b). Usia waktu serangan kejang demam pertama muncul lebih dari usia 6 tahun. c). Frekuensi serangan kejang melebihi 4 kali dalam satu tahun. d). Gambaran EEG yang dibuat setelah tidak demam lagi adalah abnormal. Bila butir diatas ditemukan pada anak dengan kejang demam maka ia digolongkan sebagai penderita epilepsi yang dicetuskan oleh demam (Lombantobing, 2002). Fukuyama (1981) juga membagi kejang demam menjadi 2 golongan yaitu: 1). Kejang demam sederhana. 2). Kejang demam kompleks. Menurut Fukuyama, kejang demam sederhana harus memenuhi semua kriteria berikut yaitu: a). Dikeluarga penderita tidak ada riwayat epilepsi. b). Sebelumnya tidak ada riwayat cedera otak oleh penyebab apapun. c). Serangan kejang demam yang pertama terjadi antara usia 6 bulan sampai 6 tahun. d). Lamanya kejang demam
35
berlangsung tidak lebih dari 20 menit. e). Kejang tidak bersifat fokal. f). Tidak didapatkan gangguan atau abnormalitas paska kejang. g). Sebelumnya juga tidak didapatkan abnormalitas neurologis atau abnormalitas perkembangan. g). Kejang tidak berulang dalam waktu singkat. Bila kejang demam tidak memenuhi kriteria diatas, oleh Fukuyama
digolongkan
sebagai
kejang
demam
kompleks
(Lumbantobing, 2002). Konsensus
penatalaksanaan
kejang
demam
(2006)
mengklarifikasikan kejang demam menjadi 2 golongan yaitu: 1). Kejang demam sederhana dan 2). Kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam merupakan 80% diantara seluruh kejang demam. Kejang demam kompleks adalah kejang demam dengan salah saru ciri berikut ini: a) kejang lama lebih dari 15 menit, b) kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial, c) berulang atau lebih dari satu kali dalam 24 jam. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi
36
pada
16%
diantara
a na k
yang
mengalami
kejang
demam
(Pusponegoro, 2006). d. Etiologi kejang demam Semua jenis infeksi yang bersumber diluar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam. Infeksi saluran pernafasan akut merupakan penyebab tersering, sedang gastroentritis
terutama
yang
disebabkan
oleh
Shigella
atau
Campylobacter dan infeksi saluran kemih merupakan penyebab yang lebih jarang. Roseola infantum merupakan penyebab yang langka namun klasik. Sebuah penelitian menyebutkan keterlibatan infeksi virus ada 86% dari seluruh kasus (Moe, 2007). Kejang demam adalah kejang yang timbul pada suhu badan yang tinggi (demam) Demamnya sendiri dapat disebabkan oleh berbagai sebab, terutam infeksi. Pernah dilaporkan bahwa infeksi tertentu lebih sering desertai kejang demam dari pada infeksi lainya. Sekitar 4,8% - 45% penderita gatroenteristis oleh kuman Shigella mengalami kejang demam dibanding gastroentritis oleh kuman penyebab lainya dimana angka kejadian kejang demam hanya sekitar 1%. Laht dkk (1984) mengemukakan bahwa tingginya angka kejadian kejang demam pada shigellosis dan salmonellosos mungkin berkaitan dengan efek toksik akibat racun yang dihasilkan kuman yang bersangkutan. Menurut Millichap (1968), ada beberapa faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang demam, misalnya : a). demam itu sendiri, b). Efek produk toksik mikroorganisme (kuman
37
atau virus) terhadap otak, c) respons alergik atau keadaan umun yang abnormal oleh infeksi, d). perubahan keseimbangan cairan atau elektrolik, e). ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan yang tidak diketahui atau ensefalopati toksik sepintas, f). gabungan semua faktor tersebut diatas (lumbantobing,2002). Faktor yang penting pada kejang demam adalah demam, umur, genetik, prenatal dan perinatal. Demam sering disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang paling tinggi, kadang- kadang demam yang tidak terlalu tinggi sudah dapat menyebabkan kejang. Bila kejang terjadi pada demam yang tidak tinggi, anak mempunyai resiko tinggi untuk berulang kejang (Soetomenggolo, 1999). e. Manifestasi klinis kejang demam Umumnya kejang berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonik klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti oleh hemiparasis sementara (Hemiparasis Todd) yang barlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparasis yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama (Soetomenggolo,1999).
38
f. Faktor resiko kejang demam Faktor risiko adalah faktor-faktor atau keadaan-keadaan yang mempengaruhi perkembangan suatu penyakit atau status kesehatan tertentu. 1) Pada tingkat individual dikenal dua macam faktor risiko yaitu: a) Faktor risiko intrinsik. Faktor resiko insintrik ialah: berupa tingkat suseptibilitas individu terhadap suatu penyakit. Individu yang suseptibel terhadap suatu penyakit berarti lebih peka atau mudah terjangkit penyakit tersebut. Keadaan sussptibel ini dipengaruhi oleh faktor faktor antara lain genetik, maupun lingkungan. Secara genetik kejang demam sering ditemui familial, kira-kira 10 % orang tua penderita kejang demam pernah mengalaminya pada masa kanak-kanak, dari saudara yang lebih muda didapatkan 9% akan mengalami kejang dengan sedikitnya satu kali. Penurunan penyakit kejang demam tidak secara mendel tapi secara poligenik. Poligenik adalah banyak gen yang mendasari penyakit, hal tersebut dipacu banyak gen untuk menghasilkan fenotipe akhir (Prince. 2005). Riwayat keluarga dengan kejang demam sudah banyak diteliti sebagai salah satu faktor resiko kejang demam, kejang demam diturunkan secara dominan autosal (Lumbantobing, 2002). Dominan autosal diekspresikan baik heterozigot maupun homozigot, laki-laki dan perempuan sama-sama mampu dan
39
mewariskan suatu alel dominan autosomal. Tranmisi vertikal jelas dari orang tua ke anaknya. Karakteristik dominan autosal adalah bahwa semua keturunan dari pasien penyakit dominan autosal akan memiliki probalitas 50% terkena penyakit yang sama, secara dominan autosal kejang demam dapat dipengaruhi oleh kemungkinan adanya enzim tertentu yang menyebabkan maturitas otak terlambat. Secara analisis kimia reaksi rantai polikinase terhadap cairan dan jaringan memberi arti penting bagi pranatal. Reaksi polikinase merupakan DNA yang diperoleh darah atau jaringan (Princes, 2005). Menurut penelitian Nawawi (1996) tentang faktor resiko kejang demam pada anak didapat hasil bahwa riwayat prematur, berat badan bayi lahir rendah, trauma persalinan, asfiksia neonatorum dan penyakit perinatal diduga juga sebagai faktor resiko kejang demam. b) Faktor resiko eksrtrinsik. Faktor resiko ekstrinsik ialah faktor-faktor lingkungan yang memudahkan individu terjangkit suatu penyakit. Faktor risiko ekstrinsik dapat berupa keadaan fisik, kimiawi, biologik, psikologik, maupun sosial budaya (Pratiknyo, 1986). Contoh lingkungan yang mungkin mempengaruhi perubahan pengaturan suhu dan atau timbulnya demam adalah keadaan hipotermia, hipertermia, suhu lingkungan yang terlalu panas, heat stroke.
40
Dan
sebagainya
(Guyton,
1981)
penting
sekali
penyesuaian terhadap peningkatan suhu tubuh yang ekstrim, orang yang terkena panas selama beberapa jam setiap hari sambil bekerja berat akan timbul toleransi yang tinggi terhadap panas. Serta dapat menyebakan kerusakan jaringan termasuk jaringan otak, perubahan fisiologis yang penting adalah peningkatan volume plasma dan pengurangan kehilangan garam dalam keringat dan urin. Hal tersebut akibat peningkatan sekresi aldoteron. Sedangkan efek kimia dan obat-obatan yang merupakan benda asing bila dimasukan ke dalam tubuh dapat menyebab peningkatan suhu tubuh yaitu mereka bersifat pirogenik, bakteri, serbuk, debu. Vaksin semua pirogenik karena protein yang dikandung. Kondisi heat stroke dengan dehidrasi mempunyai efek langsung pada hipotalamus untuk menempatkan termostat pada tingkat yang tinggi, selain efek mengurangi keringat secara drastis, sehingga penting penting untuk mempertahankan intake cairan dan natrium clorida yang adekuat pada lingkungan yang panas untuk menghindari heat stroke. Perubahan pengaturan suhu tubuh tidak hanya pada kondisi panas tinggi, suhu yang terlalu rendah juga dapat menyebabkan gangguan sirkulasi serta kerusakan jaringan. Faktor resiko diatas merupakan faktor resiko dari individu atau pasien yang menyebabkan kejang demam. Selain itu ada faktor resiko dari luar individu atau pasien yang
41
juga memberi kontribusi menyebabkan kejang dari faktor pengetahuan, sikap, perilaku orang tua dalam penanganan demam. 2) Faktor perilaku orangtua Perilaku orang tua tidak terlepas dari perilaku kesehatan dimana perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus atau obyek yang berkaitan dengan sakit, penyakit, sistim pelayanan,
serta
lingkungan
(Notoatmojo,
2003).
Dalam
memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik beberapa faktor. Faktor-faktor resiko atau keadaan yang mempengaruhi perkembangan suatu penyakit atau status kesehatan tertentu dapat memberikan kontribusi timbulnya suatu penyakit. Perilaku orang tua mencakup respon terhadap sakit dan pengetahuan terhadap tanda dan gejala penyakit, hal tersebut mendorong orang tua untuk mencari dan menggunakan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan, perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat anaknya menderita penyakit. Pemahaman orang tua merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas seseorang yang merupakan pengaruh oleh beberapa faktor, dengan kata lain perilaku manusia sangatlah komplek menurut Notoadmodjo (2003) membagi perilaku manusia kedalam tiga ranah dominan yaitu: a) Pengetahuan (knowledge) Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan pengamatan terhadap suatu
42
obyek tertentu (Notoatmojo, 2003) atau segala sesuatu yang diketahui. Pengideraan terjadi melalui panca indera manusia, yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan diperoleh melalui belajar yang merupakan suatu proses mencari tahu, yang tadinya tidak tahu menjadi tahu. Biasanya dalam proses mencari tahu ini mencakup berbagai metode dan konsep baik melalui proses pendidikan maupun pengalaman. Pengetahuan bisa diperoleh dari pengalaman, selain juga dari guru, orang tua, teman, buku dan media masa (Notoatmojo, 2003). Dalam
kaitanya
dengan
pengetahuan
ini
maka
pengetahuan (cognitive) mempunyai enam tingkatan yaitu : 1). Tahu (know) sebagai tindakan yang paling rendah. Tahu diartikan sebagai kemampuan untuk mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Untuk mengukur bahwa seseorang dikatakan tahu terhadap apa yang pernah dipelajari sebelumnya adalah dengan melihat kemampuan menyebukan, menguraikan, mendifinisikan, menyatakan dan lain sebagainya, 2). Memahami (comprehension) adalah kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Untuk mengukur bahwa seseorang dikatakan paham pada suatu obyek tertentu
adalah
bahwa
mereka
dapat
menjelaskan,
menyimpulkan atau meramalkan tentang hal-hal yang berkaitan
43
dengan materi yang telah dipelajari, 3). Aplikasi (aplication) adalah kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya, 4). Analisi (analysis) adalah kemampuan untuk menjabarkan materi/ obyek kedalam komponen- komponen, 5). Sintesis (synthesis) adalah kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian ke dalam suatu keseluruhan yang baru ataupun menyusun formulasi baru dari materi-materi yang sudah ada, 6). Evaluasi (evaluation) adalah kemapuan untuk melakukan penilaian/justifikasi terhadap suatu materi atau obyek tertentu (Notoadmodjo, 2003). Sebelum seseoang mengadopsi perilaku (berperilaku baru), ia harus tahu lebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya, menurut totoadmojo (2003), indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan atau kesadaran terhadap kesehatan tentang sakit dan penyakit meliputi penyebab penyakit, gejala atau tanda-tanda penyakit, bagaimana cara pencegahanya, dan sebaainya. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dangan wawancara atau angket yang menanyakan tantang isi materi yang ingin diukur dari subyek peneliltian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan diatas.
44
Hasil penelitian Purwoko menunjukan bahwa ibu yang mengatahui definisi demam akan lebih khawatir dibandingkan dengan yang tidak mengetahui definisi demam. Menurut Eigly & Chaiken (1984) yang menyatakan bahwa pengetahuan terhadap objek yang positif akan bertindak yang positif pula, dimana persepsi seseorang dipengaruhi oleh faktor personal dan stimulasi, semakin tinggi ibu mendapat stimulasi tentang demam semakin tahu tentang demam dan akan merasa lebih khawatir bila anaknya demam. b) Sikap (attitude) Sikap manusia atau untuk singkatnya kita sebut sikap, telah didefinisikan dalam berbagai versi oleh para ahli. Menurut Barkowlz (1972) yang kutip oleh Azwar (1998), menemukan adanya lebih dari tiga puluh definisi sikap. Puluhan definisi dan pengertian itu pada umumnya dapat dimasukan kedalam tiga pikiran. Pertama adalah kerangka pikir yang diwakili oleh Louis Thrustone (1928), Rensislikert (1932) dan Carles Osgood. Menurut mereka sikap merupakan bentuk evaluasi atau reaksi perasaan, sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada obyek tersebut.
45
Kelompok pemikir kedua diwakili oleh para ahli seperti: Chave (1928), Bogardus (1931), Lapiere (1934) yang dipersepsikan mereka mengenai sikap lebih komplek. Menurut kelompok pemikiran ini, sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Dapat dikatakan bahwa kesiapan yang dimaksud merupakan kecenderungan potensi untuk berreaksi dengan cara tertentu bi l a
individu
dihadapkan
pada
suatu
stimulus
yang
menghendaki adanya respon. Kelompok pemikiran yang ketiga adalah kelompok yang berorientasi pada skema triadik (triadic scheme). Menurut kerangka pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif, yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek. Menurut Azwar (1998), ada beberapa faktor yang mendasari pembentukan sikap yaitu :1) pengalaman pribadi; 2) pengaruh orang lain yang dianggap penting; 3) pengaruh kebudayaan 4) media masa; 5) lembaga pendidikan dan lembaga agama; 6) pengaruh faktor emosional. Sikap merupakan reaksi atau respon yang yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Menurut Allport (1954), sikap mempunyai tiga komponen pokok yaitu : 1) kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek; 2) kehidupan emosional atau emosional
46
atau evaliasi terhadap suatu objek; 3) kecenderungan untuk bertindak
(tend
to
behave).
Ketiga
komponen
i ni
secarabersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitute). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, sikap, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Menurut
Notoatmojo
(2003),
seperti
halnya
pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan yaitu :1) menerima (receving) yaitu diatikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek) 2). Merespon (responding) yaitu memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan tugas, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap karena dengan satu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut; 3) menghargai (valuing) yaitu mengajak orang lain untuk mengerjakan
a ta u
mendiskusikan
suatu
masalah;
4)
bertanggung jawab (responsible) yaitu bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak
langsung
dapat
dinyatakan
bagaimana
pendapat
ditanyakan bagaimana pendapat atau pertanyaan responden terhadap suatu objek. Menurut Notoatmojo (2003), sikap terhadap sakit atau penyakit adalah bagaimana penilaian atau
47
pendapat seseorang terhadap gejala atau tanda-tanda penyakit, cara penularan penyakit, cara pencegahan penyakit dan sebagainya. Umumnya orang tua membawa anaknya kerumah sakit setelah anak mengalami serangan kejang, jarang orang tua dirumah yang mempunyai perhatian untuk mengambil suhu tubuh anaknya yang sedang kejang atau segera setelah kejang.mereka umumnya bingung dan mengetahui anaknya demam melalui rabaan saja. c) Praktek atau tindakan (practice) Psikologi
memandang perilaku manusia
(human
behavior) sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun bersifat komplek (Azwar, 1998). Sikap selalu dikaitkan dengan perilaku yang berada dalam batas kewajaran dan kenormalan yang merupakan respon atau reaksi terhadap stimulus lingkungan sosial. Salah satu karakteristik reaksi perilaku manusia yang menarik adalah sifat definisinya. Maksudnya, satu stimulus dapat menimbulkan lebih dari satu respon yang berbeda dan beberapa stimulus yang berbeda dapat saja menimbulkan satu respon yang sama (Azwar, 1998). Untuk tidak sekedar memahami tapi juga memprediksi perilaku, Ajzen dan Fishbein mengemukakan teori tindakan beralasan (theory of reasonet action) dengan mencoba melihat anteseden penyebab perilaku volision (perilaku yang dilakukan
48
atas kemauan sendiri. Teori ini didasarkan pada asumsi-asumsi a). bahwa manusia umumnya melakukan sesuatu dengan caracara yang masuk akal, b). bahwa manusia mempertimbangkan semua informasi yang ada, dan c). bahwa secara eksplisit m a upun
implisit
manusia
memperhitungakan
implikasi
tindakan mereka. Teori tindakan beralasan mengatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan, dan dampaknya terbatas hanya ada tiga hal. Pertama, perilaku tidak banyak tidak ditentukan oleh sikap umum tapi oleh sikap yang spesifik terhadap sesuatu. Kedua, perilaku dipengaruhi oleh sikap umum tapi juga oleh norma-norma subyektif yaitu keyakinan kita mengenai apa yang orang lain inginkan agar kita perbuat. Ketiga, sikap terhadap suatu perilaku bersama-sama norma subyektif membentuk suatu intensitas atau niat untuk berlaku tertentu. Secara sederhana teori ini mengatakan bahwa seseorang akan melakukan sesuatu perbuatan apabila ia memandang perbuatan itu positif dan bila ia dipercaya bahwa orang lain ingin agar ia melakukanya. Teori perilaku beralasan kemudian diperluas dan di modifikasi oleh Ajzen (1998). Modifikasi ini dinamai teori perlaku terencana (theory pf planned behavior). Kerangka pemikiran teori perilaku terencana dimaksudkan untuk
49
mengatasi masalah kontrol volisional yang belum lengkap dalam teori terdahulu. Inti perilaku terencana tetap berada pada faktor intense perilaku namun determinan intensi tidak hanya dua (sikap terhadap perilaku yang bersangkutan dan normanorma subyektif) melainkan tiga dengan diikutsertakanya aspek kontrol perilaku yang dihayati (percieved behavioral control). Menurut mengetahui
Notoatmojo
stimulus
atau
(2003), objek
setelah
seseorang
kesehatan,
kemudian
mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktekkan apa yang diketahui atau apa yang disikapinya (dinilai baik), yang disebut praktek (practice) kesehatan, atau dapat juga dikatakan perilaku kesehatan (over behavior). Perilaku kesehatan sehubungan dengan penyakit mencakup; 1) pencegahan penyakit; 2) penyembuhan penyakit, misalnya minum obat sesuai petunjuk dokter, melakukan anjuran-anjuran dokter, berobat kefasilitas-fasilitas kesehatan yang tepat, dan sebagainya. Untuk memperoleh data perilaku yang paling akurat adalah melalui pengamatan (observasi), namun dilakukan juga dilakukan melalui wawancara dengan pendekatan recell atau mengingat kembali perilaku yang telah dilakukan oleh responden beberapa waktu yang lalu. Menurut Purwoko tindakan pertama yang dilakukan orang tua apabila anaknya demam ditangani sendiri dirumah
50
dan dibawa keluar rumah. Tindakan pertama yang terbanyak dilakukan orang tua dirumah adalah diberi antipiretik, kompres dan obat tradisional. Alasan orang tua memakai antipiretik pada penelitian ini karena obat tersebut mudah didapat warung atau toko obat. Orangtua biasanya juga melakukan kompres. menurut Purwoko 41% orang tua masih memakai kompres dingin, untuk menurunkan demam anaknya, sedangkan yang memakai kompres hangat hanya 16%. Padahal menurut Abdoelrrahman (2002) pemberian kompres yang dianjurkan adalah dengan kompres hangat bukan kompres dingin. Sesuai penelitian
yang
dilakukan
Tri
Rejeki
(2002)
tentang
perbandingan pengaruh kompres hangat dan kompres dingin untuk menurunkan suhu tubuh anak kompres dingin justru akan meningkatkan pusat pengatur suhu di hipotalamus secara fisiologi yang berakibat menggigil, kompres dingin juga mengakibatkan vasokontriksi yang akan meningkatkan suhu dihipotalamus, selain itu anak juga tidak merasa nyaman apabila kompres yang dipakai kompres dingin atau es (Abdoerahman, 2002). Menurut Rosentoke & Beker (1974), dimana seseorang dalam melakukan tindakan ditentukan oleh pengetahuan tentang tindakan tersebut. g. Penatalaksanaan kejang demam Beberapa pendapat dikemukakan oleh pakar atau konsensus. Penatalaksanaan kejang demam umumnya digolongkan menjadi 3
51
yaitu : 1). Upaya mengatasi kejang saat terjadi serangan atau pengobatan fase akut, 2). Mencari dan mengobati penyebab, 3). Upaya pencegahan
supaya
tidak
terjadi
kejang
(kekambuhan)
atau
pengobatan profilaksis. Pengobatan profilaksis dibagi menjadi 2 yaitu: a). profilaksis intermittent pada waktu demam dan b). profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari (Soetomenggolo, 1999). Konsensus penatalaksanaan kejang demam (2006) membagi penatalaksanaan kejang demam menjadi penatalaksanaan saat kejang, pemberian obat saat demam dan pemberian obat rumat (Pusponegoro, 2006).
52
B. Kerangka Teori
Faktor instrinsik
1. Genetic 2. Deficit enzim 3. Riwayat keluarga
Faktor ekstrinsik
1. Keadaan f i si k 2. Kimiawi 3. Biologic 4. Psikologik 5. Sosial budaya
Faktor individu
Faktor resiko kejang demam
Pengetahuan orang tua Faktor orang tua
Sikap orang tua Practek atau tindakan orang tua
Gambar 2.1: Kerangka Teori Sumber, lumbantobing ( 2002 ),Notoatmodjo (2003 ), Pusponegoro ( 2006 )
D. Kerangka Konsep
53
Risiko (Apakah ada faktor pengetahuan, sikap dan praktek atau tindakan yang buruk
Ditelusur retrospektif r
Pengetahuan, sikap dan praktek atau tindakan buruk
Penelitian dimulai disini
Kasus (kelompok anak dengan kejang demam)
Perilaku, sikap dan praktek atau tindakan baik
Pengetahuan, sikap dan praktek atau tindakan buruk
Pengetahuan, sikap dan praktek atau tindakan baik
Gambar 2.2: Kerangka Konsep
E. Hipotesis penelitian
Kontrol (kelompok anak demam tanpa kejang )
54
Berdasar latar belakang dan tinjauan pustaka dapat dinyatakan hipotesis sebagai berikut : 1. Anak yang demam dari kelompok orang tua yang memiliki pengetahuan buruk memiliki kemungkinan yang lebih besar terjadi kejang demam dibanding dengn anak dari kelompok orang tua yang mempunyai pengetahuan baik. 2. Anak yang demam dari kelompok orang tua yang memiliki sikap buruk memiliki kemungkinan yang lebih besar terjadi kejang demam dibanding dengan anak dari kelompok orang tua yang mempunyai sikap baik. 3. Anak yang demam dari kelompok orang tua yang memiliki perilaku buruk memiliki kemungkinan yang lebih besar terjadi kejang demam dibanding dengan anak dari kelompok orang tua yang mempunyai perilaku baik.