Edisi I - Juli 2015
Rp. 25.000
edisi khusus hut kota manado
Special Report
3
Bersolek di 392 Tahun Setelah putaran jaman
TAHUN ini tepatnya 14 Juli 2015 Manado merayakan HUT yang ke 392.Bentang usia yang terbilang matang menjejeri perputaran jaman. Terlepas dari masih beragamnya kisah sejarah seputar kota ini, tak menggerus napaktilas peradaban kota yang diklem sebagai terbesar di jazirah utara Sulawesi itu. Secara kepemerintahan kota, sampai dengan periode terakhir Manado mencatat suksesi kepemimpinan wali kota yang ke-19 . Saat majalah ini sampai ke tangan pembaca, Manado tengah memasuki pentahapan pemilihan wali kota ke-20 dengan periode baru 2015-2020. Di rentang usia 392 tahun Manado bersolek menjadi sebuah kota majemuk yang dinamis, metro-style, full bisnis, wisata entertain tumbuh mekar. Jumlah penduduk mencapai lima ratusan ribu jiwa. Kendaraan berbagai merek melintasi sejumlah ruas jalan perkotaan, menyajikan efek kemacetan yang oleh sebagian pemerhati dianggap sebagai indikator kekuatan ekonomi. Kuncinya di mata akademisi Kota Manado Dr Ir Veronica Kumurur MSc, butuh manajemen tata kelola perkotaan guna mengurai buhul kepentingan yang mendera ibu kota Provinsi Sulut ini. Walau begitu sang Wali Kota Dr Ir GS Vicky Lumentut sumringah dengan fakta capaian Kota Manado saat ini. Manado era 2000-an adalah metamorfosa dari bentang labirin waktu sebelumnya, melintasi berbagai rekam jejak jaman, mengakumulasi berbagai epos dan legenda tentang muasal kota ini. Hari ini segenap kita mau merefleksikan napak tilas dengan berbagai capaian, juga kekurangannya. E X P O S E
the pride of an identity
E X P O S E
the pride of an identity
6
Destination
Debar Dive Site
molas shipwreck Foto-foto : Rocky Wowor
E X P O S E
the pride of an identity
Destination
7
E X P O S E
the pride of an identity
8
Destination
1 YA Sulut tak hanya Bunaken. EXPOSE MANADO mengulas sebuah objek wisata bawah laut di pesisir pantai Molas. Molas Ship Wreck menjadi sebuah Dive Site yang memiliki keunikan tersendiri. Mendebarkan berada di sekitaran reruntuhan bangkai kapal yang diperkirakan tenggelam sekira tahun 1942 silam itu. Site dive tersebut ditemukan tak jauh dari pesisir Kelurahan Molas, berupa kerangka kapal Belanda yang tenggelam tahun 1942. Karena sudah tenggelam begitu lama, bangkai ini menjadi seperti terumbu raksasa. Terbenam di kedalamam 15 meter saat surut, bangkai ini terlihat kelam menghitam. Rongga kabin dan mesin serta ruang-ruang kosong menghadirkan tantangan tersendiri bagi setiap penyelam yang berinteraksi. Munculnya sejumlah organisme yang memanfaatkan substrat raksasa ini ikut menambah daya tarik dive site yang masih sedikit tereskploitasi penyelam ini. Dosen senior FPIK Unsrat Ir BoykeToloh MSc mengatakan semua substrat apa saja yang tenggelam akan menjadi media settlement bagi sejumlah organisme, seperti kerang-kerang dan sebagainya. E X P O S E
the pride of an identity
1 Bagian Luar Bangkai Kapal yang telah diselimuti terumbu karang
2 ‘’Ya, Wreck Molas sudah kami observasi juga, memang secara ilmu biologi laut, bangkai itu menjadi media bagi organisme laut, apalagi kondisi perairan dan lamanya waktu sejak kapal karam sangat mendukung terciptanya kehidupan laut di situ. Sebagai lokasi dive site bagus juga, namun harus tetap berhati-hati,’’ ujar Toloh yang juga adalah Direktur DPTNB ini
Sebuah tulisan di blog khusus Bunaken Resort menginformasikan, eskploitasi mula-mula objek ini dikenalkan oleh pihak Nusantara Diving Club (NDC). Dokumen tertulis menyebut 1974, NDC yang merupakan salah satu klub selam tertua di Indonesia melakukan ekspedisi pencarian lokasi destinasi selam di kawasan perairan seluruh Indonesia.
2 Bangkai kapal menjadi habitat ikan-ikan 3,4,5 Bagian dalam kapal yang menjadi lokasi favorit para divers
Destination
9
3
4 ’’Wreck Molas menjadi subsrat dan media bagi organisme laut, sebagai lokasi dive site bagus juga, namun harus tetap berhati-hati ’’– Ir Boyke Toloh MSc, akademisi FPIK Unsrat
NDC ikut melakukan survei pemetaan wilayah serta kekayaan biota laut di kawasan perairan Bunaken. Tim ekspedisi NDC bahkan menemukan habitat ikan duyung di area Arakan (Minsel), hingga populasi kima raksasa yang sangat langka di dunia. Tak lama berselang tepatnya di tahun 1976, informasi keindahan surga Bunaken telah tercium oleh salah satu media wisata Internasional yang turut pula berjasa mempopulerkan Bunaken di mata dunia Internasional, khususnya bagi mereka para pencinta selam. Prof Randall dari Bishop Museum yang pernah melakukan kajian studi banding untuk lokasi selam di dunia pada tahun 1978 turut menyimpulkan bahwa perairan Teluk Manado memiliki habitat ekosistem biota laut yang padat, lengkap, dan subur di dunia. Sementara saat dilakukan data pemetaan jumlah area dive spot di sekitar perairan Bunaken ditemukanlah 24 titik lokasi yang sangat ideal untuk para peselam. Ini belum termasuk temuan Wreck atau kapal karam pada periode 1982-1983 sebagai salah satu alternatif dive site yang bisa ditemui di Bunaken. (erkaem/*)
5 E X P O S E
the pride of an identity
10
Special Report
Selayang Jejak Sejarah Metamorfosa Menembus Tabir Legenda
KAMIS (28/06), siang terik di langit Kota Manado. Kawasan Pusat Kota 45 dipenuhi kumpulan massa. Mereka telah menyemut sejak pagi hari sebelum semua aktivitas terjaga di titik sentral itu. Naiknya jumlah ‘pengunjung’ saat itu ada kaitan dengan agenda nasional, melawatnya Presiden Jokowi untuk kali petama setelah terpilih sebagai kepala negara, bersama dengan sejumlah menteri. Di kawasan ini salah satu proyek besar E X P O S E
the pride of an identity
diresmikan pemerintah. Ya, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani akhirnya meresmikan Jembatan Soekarno, Kamis (28/5). «Saya ditugaskan Presiden Joko Widodo meresmikan Jembatan Soekarno, bersama dengan Menteri PU Basuki Hadimuljono,» kata Puan Maharani usai peresmian jembatan itu. Jembatan Soekarno kini berdiri megah, bahkan belakangan menjadi trilogy ‘BPJS’
sebagai objek ber-selfie warga melengkapi dua yang ada sebelumnya yang Blue Carpet Mapanget, Pantai Pall Marinsouw. Jembatan Soekarno hanyalah salah satu tonggak fisik pembangunan Manado saat ini. Jauh sebelumnya, kota ini memiliki catatan yang panjang dalam rentang pembangunan kota plus peradaban manusianya. Cukup banyak catatan yang menguak sejarah mula-mula kota ini, keberagaman literatur berikut perspektif yang melatarinya, semua
Special Report
11
2
menunjukkan kekuatan histori kawasan cikal bakal Kota Manado saat ini. Dari sisi sejarah, menurut Raymond Frans pemerhati sejarah budaya, nama Manado berasal dari bahasa Tombulu tua, yakni Manoir yang sepadan dengan Maharor, Maerur atau Maherur dalam bahasa yang sama yang berarti berkumpul untuk berunding. Konon lokasi ini dahulu adalah Pahawinaroran ni Tasikela, yang artinya tempat berkumpul orang-orang Spanyol. Maksudnya suatu tempat dimana orang Minahasa dan orang Spanyol bertemu dan berkumpul untuk melangsungkan suatu perundingan.
3 1 Pulau Manado Tua. Foto : Carlo
2 Foto udara manado Tahun 1949. Foto Koleksi: Tropen Museum 3
Menukil Gidion Yuris Triawan, Kota Manado merupakan pengembangan dari sebuah negeri yang bernama Pogidon. Kota Manado diperkirakan telah dikenal sejak abad ke16. Menurut sejarah, pada abad itu jugalah Kota Manado telah didatangi oleh orangorang dari luar negeri. Nama «Manado» daratan mulai digunakan pada tahun 1623 menggantikan nama «Pogidon» atau «Wenang».
1
Foto Kota Manado dari Udara tahun 2015. Foto : Baso Affandi 4 Jembatan Soekarno. Foto: Kementrian PU
Kata Manado sendiri merupakan nama pulau di sebelah pulau Bunaken. Kata ini berasal dari bahasa daerah Minahasa yaitu Mana rou atau Mana dou yang dalam bahasa Indonesia berarti «di jauh». Pada tahun itu juga, tanah Minahasa-Manado mulai dikenal dan populer di antara orang-orang Eropa dengan hasil buminya. Hal tersebut tercatat dalam dokumen-dokumen sejarah.
4
Penelusuran lapangan serta studi literatur yang dilakukan wartawan EXPOSE MANADO menunjukkan masih ada banyak informasi yang mengihkwal sejarah mula-mula Kota Manado. Seperti apa sesungguhnya konstruksi mula-mula, waktu terus bernapaktilas, dimaui atau tidak sampai dengan saat Manado jelang berusia 392 tahun, kota ini menjadi wadah sebuah entitas yang heterogen,multikultur dan terus mengalami modernisasi corak. (eRKa eM) E X P O S E
the pride of an identity
12
Special Report
Pasar 45 Bendar Perdagangan Tua
Manado. Kota paling utara di jazirah Sulawesi ini sulit terlepas dari rangkaian cerita panjang perdagangan di Nusantara. Memiliki Pasar 45 sebagai saksi sejarah. Manado yang kini berusia 392 tahun sedikit banyak lahir dari aktivitas perdagangan. Interaksi antar manusia melalui perdagangan, juga dalam prosesnya mendorong munculnya pusat-pusat perdagangan, yang perlahan terbentuk menjadi kota. Proses itu juga yang melahirkan Manado.
1
Pasar 45. Entah apa yang mendasari sehingga kawasan pusat kota di Manado itu disebut demikian. Yang pasti, Pasar 45 merupakan pusatnya perdagangan di Manado, yang telah menyatu dengan kawasan pecinan atau Kampung Cina. Pasar 45 adalah titik nol Kota Manado— ditandai dengan tugu Zero Point di persimpangan masuk ke kawasan itu. Bukan tanpa sebab bila Pasar 45 menjadi titik nol Manado. Hal ini merujuk pada sejarahnya sebagai pusat dari wilayah pertama yang dihuni manusia. Menurut sejarah, ini terjadi pada 1600-an ketika masyarakat asli Minahasa mulai menempati daratan di Teluk Manado. Beberapa dekade silam kawasan ini dikenal dengan sebutan ‹Bendar› atau ‹Bandar›. Orang tua-tua kita, atau mereka yang berusia di atas setengah abad, dan pernah datang ke Manado, pasti akan menyebutnya Bendar. Menurut sejarah, hingga sekitar 1830-an, di Manado wilayah yang dihuni hanya terpusat di sekitar Pelabuhan Manado dan Pasar 45, yang memang berdekatan. Bendar tidak hanya menjadi tempat pertemuan pedagang dari wilayah sekitar jazirah Sulawesi, tapi juga pedagang dunia dari Cina, Arab, dan Eropa. Dan waktu terus berputar, kawasan yang jadi saksi sejarah Kota Manado itu pun terus berubah.(*) E X P O S E
the pride of an identity
2
Titik Konsentrasi Angkot Di awal-awal 1950-an, Pasar 45 memang menjadi pusat segala aktivitas warga di Manado. Sejak masa itu pula kawasan itu menjadi terminal angkutan umum dalam kota. Tak mengherankan bila hingga kini Pasar 45 tetap menjadi pusat konsentrasi angkutan kota di Manado, dari berbagai sudut Kota Manado. Angkutan umum yang umum dimanfaatkan warga Manado dan sekitarnya adalah mikrolet—mobil penumpang mini bus yang bisa menampung 9 penumpang. Dan boleh dikata, Manado menjadi surganya angkutan umum jenis mikrolet itu. Jangan heran bila mobil-mobil BMW (biru muda warnanya) itu mewarnai seluruh jalanan di Kota Manado. Jangan heran pula di waktu-waktu tertentu,
dan tempat tertentu, mikrolet seperti memenuhi ruas jalan. Anda penasaran? Silahkan Anda menikmatinya dari tugu Zero Point. Hampir sejauh mata memandang, pasti BWM mendominasi. Eksistensi mikrolet ini sulit dihapuskan dari sejarah Kota Manado. Sudah beberapa kali berevolusi: dari bemo, naik jadi Suzuki ST-20, berubah lagi menjadi angkutan ‘Kaca Bok’ (didasari pada bentuk kaca di ladbak tertutup untuk penumpang yang melengkung), hingga kini mikrolet dengan cat biru muda. Angkutan ini tetap saja jadi pilihan bagi mereka yang belum memiliki kendaraan sendiri, atau ingin nyaman tanpa menyetir sendiri. Dan, Pasar 45 adalah pusat pusarannya.(*)
1 Pertokoan di Pasar 45 Tahun 1954. Sumber foto :
Citra Sulawesi Utara Dalam Arsip - ANRI 2 Pasar 45 tahun 2015. Tampak Taman Alex Kawilarang. Foto: YHB
Special Report
1 1 Pesisir Pantai Manado Tahun 1948. Sumber Foto : Tropen Museum 2 Jalan Utama di Manado Tahun 1920. Sumber Foto : Tropen Museum 3 Pelabuhan Manado Tahun 1948. Sumber Foto : Tropen Museum 4 Perkampungan Manado Tahun 1948. Sumber Foto : Tropen Museum 5 Pusat Kota Manado Tahun 1973. Foto : Manaf Asrar
13
2
3
4
5
Sebuah Besluit dan Trilogi Tiga Peristiwa Heroik
BAGAIMANA kerangka kepemerintahan mula-mula sebuah kota. Data yang dinukil media ini mendapati gambaran jika keberadaan kota Manado dimulai dari adanya besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 1 Juli 1919. Dengan besluit itu, Gewest Manado ditetapkan sebagai Staatsgemeente yang kemudian dilengkapi dengan alat-alatnya antara lain Dewan gemeente atau Gemeente Raad yang dikepalai oleh seorang Walikota (Burgemeester). Pada tahun 1951, Gemeente Manado menjadi Daerah Bagian Kota Manado dari Minahasa sesuai Surat Keputusan Gubernur Sulawesi tanggal 3 Mei 1951 Nomor 223.
Tanggal 17 April 1951, terbentuklah Dewan Perwakilan Periode 1951-1953 berdasarkan Keputusan Gubernur Sulawesi Nomor 14. Pada 1953 Daerah Bagian Kota Manado berubah statusnya menjadi Daerah Kota Manado sesuai Peraturan Pemerintah Nomor
42/1953 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 15/1954. Tahun 1957, Manado menjadi Kotapraja sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957. Tahun 1959, Kotapraja Manado ditetapkan sebagai Daerah Tingkat II sesuai Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959. Tahun 1965, Kotapraja Manado berubah status menjadi Kotamadya Manado yang dipimpin oleh Walikotamadya Manado KDH Tingkat II Manado sesuai UndangUndang Nomor 18 Tahun 1965 yang disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Hari jadi Kota Manado yang ditetapkan pada tanggal 14 Juli 1623, merupakan momentum yang mengemas tiga peristiwa bersejarah sekaligus yaitu tanggal 14 yang diambil dari peristiwa heroik yaitu peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946, dimana putra daerah ini bangkit dan menentang penjajahan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, kemudian bulan Juli
yang diambil dari unsur yuridis yaitu bulan Juli 1919, yaitu munculnya Besluit Gubernur Jenderal tentang penetapan Gewest Manado sebagai Staatgemeente dikeluarkan dan tahun 1623 yang diambil dari unsur historis yaitu tahun dimana Kota Manado dikenal dan digunakan dalam surat-surat resmi. Dinukil dari catatan Gidion Yuris Triawan, berdasarkan ketiga peristiwa penting tersebut, maka tanggal 14 Juli 1989, Kota Manado merayakan HUT-nya yang ke-367. Sejak saat itu hingga sekarang tanggal tersebut terus dirayakan oleh masyarakat dan pemerintah Kota Manado sebagai hari jadi Kota Manado.(eRKa eM/*) E X P O S E
the pride of an identity
14
Special Report
E X P O S E
the pride of an identity
Special Report
s u k i m o K i s a r i Sumber Insnpg Terlupakan Belanda ya
Foto : @Motulz
15
Orang mengenal namanya Bioskop Benteng Manado. Warga Sulawesi Utara memiliki nostalgia yang amat lekat dengan salah satu bangunan tua di Manado itu.
at mik itu sang atas kedua ko er et P lih u. pi yang di asa lampa Indonesia m ng berjejer pa -rupa bara kental dengan ru ng n ga ga da an ag g tidak Lapak pe karangan. D rtinya meman r sebuah pe Dongen sepe diletakkan tuk n ja un di balik paga va sa un er ak et am P tid ki lima itu eka Indonesia. N an di n al na en su e, rk di Su te pedagang ka ya. terlalu komik in seperti biasan nopi g penggemar di atas meja batas atap ka berapa oran ga be gai komikus ng hi ba se an l ng na tu i sangat dike lapak PK L di tas bergelan in n a ta m re na a ceritanya de m i menutup engambil te coklat yang anda yang m el gambarnya B a . ay itu G . o ad mpo doeloe te sia Pasar 45 Man ne i, seperti do In mik Tintin in a di balik as seperti ko hw kh perjalanan ba ng e hu m ya ta tis ng buah roman se luruh Tak banyak ya se an lonial rik up ut be en mem yaitu masa ko k yang m asa lampau, deretan lapa ada bangunan m ut ke eb tu rs ak te w rangan da. bagian peka Itulah Bioskop Hindia Belan , bersejarah. Ya . ah ar ej rs di era be n ke be ongen juga ng ado, ya a Peter van D Benteng Man mampu Bioskop mas am berkar ya n. al -a berupa kartu D 0 k, 9 ic m 19 angunan itu m ga nial bangunan -b semacam gi lo tektur yang si ko at us 1970 -an hing ar a bu lig in as ka sa em m se m de , tarik memiliki r bangunan menjadi daya an ksi sejarah kolonial yang ng bergamba aw di sa ya ja at s is tu en w sa po m h ra la ng pa jadi sa stalgia, bagi Salah satu ya . no sia di ne khas, itu men ng do te o . In di op Ben rti Peter n Kota Manad adalah Biosk Belanda, sepe pertumbuha perhatiannya an ng teng algia de Bioskop Ben Manado. memiliki nost Kini bangunan ma sti takkan Mereka yang ko na pa to ri i itu ga be co ba em se de m ya ar t ang ihfungsikan rnya, Peter em al ba ut di m m ur na ga bangunan ga en , re m am , ka an Dal ol. Tapi mah mak lagi bioskop, enjadi Capito toko kecil, ru memungkiri n menemukan bioskop ini m a rekaannya rah tak bisa ny ja gunannya pu ha se an pi itu B a Ta n. . m lo a na dan sa sudah tiada enteng , agian dari nostalgi B B er, ternyata . an op et at gi P sk w io ba ra B te itu unan linya adalah nampak tidak bahwa bang tumbuh dan mbar lama, saja. Nama as dah tertutup yang pernah ri sebuah ga a da ek n an er ka m uk depannya su ah m gi B . te ba n. ia ua -a an ng 0 9 aw ya di tepi jalan. K 19 i di Bum ak pedagang anda, tahun pun el ny n, B ba ge di on berkembang ya D un n va tent itu tertutupi anda, Peter Romantisme kali ng kini se ya Komikus Bel ak an ny un ba ng a (* **) badikan ba Memang ad deretan PK L. ciptaannya: ‘rela’ menga bergaya ar t Sebenarnya dalam komik an Belanda itu un s ng ”. ru es ba ru n te eb un la el tak lagi peningga terawat nam ampokan C Java” dan“R ado. Ada yang “Rampokan deco di Man kan. Padahal ar nt lu yang ditela rla ga te ju ak ak tid ny g ba l itu meman tema dan judu Kedua komik sia. Namun, ne do In di r popule
E X P O S E
the pride of an identity
16
Citizen Jurnalism
Kota merupakan hasil karya dan pemikiran manusia dari waktu ke waktu, dalam keanekaan kehidupan yang dipengaruhi beragam budaya dan teknologi. Ditunjang budaya masyarakat setempat, tiap-tiap kota memiliki kekuatan sejarah dan karakter masing-masing. Karakter kota adalah paduan pusaka budaya dan alam yang tidak dapat tergantikan. Pada periode Pemerintahan Kolonial Belanda (1700-1900), terdapat hampir 200 area perkotaan didirikan. Keresidenan Manado adalah salah satu dari kota-kota tersebut. Seperti yang diakui oleh Parengkuan dkk (1986), pada tahun 1824, Manado dibentuk dan ditata oleh pemerintah Kolonial agar mampu mendukung fungsinya sebagai pusat administrasi pemerintah keresidenan. Area pusat kota lama Manado merupakan salah satu lokasi kegiatan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Indonesia Timur ketika itu. Wajah bangunan-bangunan yang dibangun pada masa itu sangat dipengaruhi oleh gaya arsitektur kolonial Belanda. Bangunan-bangunan ini dirancang dan dibangun pada periode 1910 – 1950an, oleh arsitek-arsitek Belanda yang menerapkan konsep-konsep lokal pada rancangannya. Kawasan kota lama Manado hingga ini masih berfungsi sebagai pusat kegiatan kota. Masih terlihat bangunanbangunan tua bersejarah ada di kawasan ini, baik bangunan umum dan bangunan milik pribadi. Berikut diantaranya :
Kapel Biara Santo Yosep Keuskupan Manado Kapel Biara Santo Yosep adalah bangunan doa yang menempel pada bangunan persekolahan Susteran Manado (dahulu Meer Uitgebreid Lager Onderwijs/MULO),sekolah (Gambar 2). Bangunan tua bergaya arsitektur kolonial Belanda pada masa peralihan tahun 1890-1915, didirikan pada permulaan tahun 1922 oleh biarawati JMJ pimpinan Mooder Aldegonda (Stigter dalam Muskens 1972-1974). Sekolah suster Manado didirikan oleh suster-suster Kongregasi Jesus, Maria, Joseph (JMJ) yang berlokasi
E X P O S E
the pride of an identity
Penulis : Veronika Kumurur Gereja Santu Ignatius Don Bosco
di kecamatan Wenang tepatnya di Jln Sam Ratulangi.Sekolah pertama yang didirikan adalah TK. St. Theresia Manado (1912) yang sekarang berusia 102 tahun.Berdasarkan wawancara dengan suster Bernadette (4 Maret 2015) bahwa bangunan Kapel ini dirancang/disain oleh para biarawati JMJ dan dibangun pada tahun 1911/1912. Para biarawati JMJ ini, juga adalah arsitek bangunan Rumah Sakit Lembean (dibangun tahun 1940) (Gambar 3) dan bangunan Rumah Sakit Gunung Maria (rumah sakit peninggalan Belanda Mariaheuvel Ziekenhuis) yang didirikan pada 11 Februari 1930.
Bangunan Gereja Santu Ignatius yang bergaya Arsitektur Kolonial Moderen (1915-1940), hingga saat ini masih digunakan sebagai rumah ibadah oleh umat Katolik. Bangunan gereja ini berada dalam satu area dengan persekolahan Don Bosco di Jalan Sudirman. Bentuk bangunan bergaya arsitektur kolonial Belanda yang sudah menyesuaikan dengan kondisi Kota Manado yang beriklim tropis ini terlihat masih utuh. Meski bangunan lama persekolahan Don Bosco disebelahnya sudah dibongkar. Persekolahan di samping gereja ini didirikan pada tahun 1928/1929
dengan bangunan normaalschool beton (Stigter dalam Muskens 1972-1974). Kemudian dibuka sekolah lanjutan atas, yaitu SMA Katolik Frater Don Bosco Manado pada tahun 1950 dengan nama AMS (Algemene Middelbar School). Pemerintah mengakui status sekolah ini dengan mengeluarkan SK Nomor : II tanggal 28 Januari 1951. Periode tahun 1951-1974, SMA Katolik Frater Don Bosco Manado dipimpin oleh fraterfrater dari Belanda yang mengemban misi dari Kongregasi Frater CMM. Kepala Sekolah yang pertama adalah Fr. Hendrikus Schoon.
Citizen Jurnalism
Bank Indonesia, dahulu Javasche Bank
Bangunan Bank Indonesia yang memiliki gaya bangunan Arsitektur kolonial Peralihan (1890-1915), kini masih berdiri meski telah diselimuti bangunan baru. Namun, pihak Bank Indonesia akan menampilkan kembali bentuk bangunan aslinya. Sejarah bangunan Bank Indonesia di Manado berawal sejak dihapuskannya pembatasan wilayah operasi De Javasche Bank (DJB) berdasarkan Octrooi Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal 1 April 1860, yang sebelumnya hanya sebatas «Pulau Jawa». DJB kemudian melakukan ekspansi di luar wilayah Jawa, khususnya di Sulawesi dan kantor cabang DJB Manado merupakan kantor kedua untuk Sulawesi, setelah kantor cabang DJB Makassar yang didirikan pada tanggal 21 Desember 1904. Pembangunan gedung Bank Indonesia adalah gagasan Zeilinga, ketika melakukan perjalanan dinas ke Sulawesi dan kepulauan di sebelah timurnya, khususnya untuk
melakukan penelitian setempat mengenai kemungkinan didirikannya suatu kantor cabang di daerah Sulawesi Utara pada medio September 1909- Februari 1910). Pada tanggal 13 Januari 1910 Zeilinga langsung mengirimkan telegram kepada direksi yang menyarankan agar pembukaan kantor cabang di Manado bisa direalisir secepatnya. Selain itu juga disarankan agar melakukan pemesanan 2 lemari besi ke Fa. Lips di Dortrech, Belanda dengan model yang sama dengan yang sudah dikenakan oleh kantor-kantor cabang lainnya. Rencana pembukaannya pada akhir bulan Juni 1910. Untuk gedung kantor, Zeilinga berkeinginan untuk membeli rumah bekas tempat tinggal notaris Van Os van Delden yang ditawarkan sekitar f15.000 ataupun dengan cara kontrak. Alternatif kedua yaitu sebidang tanah milik negara seluas 105 x 55 dengan sebuah bangunan seluas 30 x 20 m yang digunakan sebagai kantin tentara.
17
Bangunan Ex Bioskop Benteng
Bioskop Benteng adalah bangunan milik pribadi dari warga Manado keturunan Tionghoa bernama Oei Hong Hie yang pembangunannya dimulai pada tahun 1952. Bangunan ini bergaya arsitektur kolonial Moderen (1915-1940), dibuat atas nama seorang kerabat mereka yang bernama bapak Hong Imbar, yang juga adalah seorang pemborong/kontraktor pada waktu itu dengan perjanjian akan diberikan saham sebesar 25%. Seiring berjalannya waktu pada tahun 1975 saham tersebut dibeli kembali oleh anak-anak dari Oei Hong Hie. Studio Benteng atau lebih dikenal saat ini sebagai Bioskop Benteng merupakan salah satu bangunan jaman dulu yang masih ada sampai saat ini. Bangunan ini memiliki desain arsitektur yang khas bergaya Art Deco dan difungsikan sebagai bioskop di lantai 1, sedangkan di lantai 2 dijadikan hunian tempat tinggal pemilik. Tahun 1960an–1990an bangunan ini dipertahankan fungsinya sebagai bioskop. Kemudian pada tahun 1999 beralih fungsi sebagai diskotik. Tahun 2004 - 2007 bangunan ini kembali beralih fungsi menjadi gudang dan bengkel. Dan saat ini Bioskop Benteng berfungsi sebagai toko-toko kecil, rumah makan dan salon.
Bangunan Minahasa Raad Bangunan Minahasaraad atau bangunan Dewan Perwakilan Rakyat Minahasa yang dirancang oleh Fredrik Hendrik Willem Johan Rijken Logeman pada tanggal 8 Februari 1919. Namun, gedung yang bergaya arsitektur kolonial peralihan (1890-1915), ini baru dimulai pembangunannya pada tahun 1930 dan selesai pada tahun 1933. Menurut Prof. W.J. Waworuntu, biaya pembangunan gedung Minahasaraad ini diusahakan oleh DR. G.S.S.J Ratulangi, sewaktu beliau menjadi anggota Volksraad tahun 1928-1937. Beliau mendapatkan bantuan dari Sultan Kutai di Kalimantan berupa sejumlah uang untuk pembangunan gedung. Sultan menyetujui pinjaman sebesar 11.000 gulden untuk pembangunan gedung dengan syarat pengembalian dicicil 1000 gulden pertahun. Pemanfaatan gedung secara utuh justru terjadi pada tahun 1945-1946. Awalnya gedung ini dimanfaatkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Minahasa Sementara (Voorlopige Minahassaraad) semasa NICA.
Kemudian dilanjutkan oleh dewan Minahasa pasca pengakuan kedaulatan RI tahun 1949. Pada masa pergolakan Permesta tahun 19581961 penggunaan gedung tidak maksimal karena beberapa anggota dewan ikut terlibat Permesta. Tahun 1962, Pemerintah Daerah Minahasa pindah dari Manado ke Tondano. Gedung Minahassaraad kemudian dijual kepada Penguasa Perang Daerah (Peperda), dalam hal ini TNI-AL seharga Rp 9.000.000,-. Kurang lebih 20 tahun gedung ini dijadikan Markas Komando TNI-AL Daerah IV sebelum berpindah ke Kairagi. Dengan berpindahnya Markas Komando TNI-AL ke Kairagi maka gedung Minahassaraad disewakan sebagai tempat kursus, rumah makan, usaha kecil, dan lain-lain. Kondisi bangunan kemudian menurun kerena dindingnya dibobol sesuka hati oleh penyewanya. Atas desakan masyarakat dan sejumlah LSM, pemerintah Provinsi Sulawesi Utara kemudian bersedia
mengambil alih dengan melakukan tukar guling dengan asset Pemprov seharga nilai jual gedung ini, yaitu senilai Rp 10.000.000.000,Bulan November 2007 diadakan nego tukar guling Pemprov dengan TNI-Al senilai total Rp. 8.082.700.000,-. Harga jual ini telah disesuaikan dengan Nilai Jual Objek Pajak tahun 2006. Awal tahun 2008 gedung ex-Minahassaraad dikosongkan dari para penyewa untuk direnovasi.Saat ini kondisi gedung sudah lebih baik dengan harapan dapat menjadi museum sekaligus ikon sejarah perjalanan demokrasi bangsa Minahasa khususnya dan masyarakat Sulawesi Utara umumnya.
E X P O S E
the pride of an identity
18
Citizen Jurnalism
Tahun 1511 adalah awal dari munculnya Bangsa Barat di wilayah Indonesia,bahkan juga di seluruh belahan timur dunia—mulai dari China sampai Pasifik. Pada tahun itu Portugis merebut Malaka dan pada tahun itu juga terjadi beberapa hal penting yang memiliki kaitan dengan asal-usul Manado. Pertama, dalam pertempuran merebut Malaka, Portugis berhasil merebut sebuah peta dari salah seorang nakhoda Jawa yang kapalnya dikalahkan. Peta yang dikatakan ‘berukuran besar’itu memang akhirnya hilang setelah kapal yang hendak membawanya ke Eropa tenggelam. Tapi bagianbagian tertentunya sempat disalin dan legendanya juga sempat diterjemahkan. Kedua, Portugis tidak berhenti di Malaka. Masih dalam tahun itu juga, mereka sudah mengirim suatu ekspedisi kecil dengan tugas antara lain menemukan Banda, pulau yang menghasilkan pala. Mereka kemudian berhasil mencapai pulau itu, bahkan sebagian awak kapal juga melanjutkan perjalanan hingga ke Ternate, pulau yang menghasilkan cengkeh. Di antara awak kapal yang ikut, terdapatlah seorang kartografer muda bernama Fransisco Rodrigues. Dia memang tak berlayar sampai ke Ternate karena sesudah Banda dia kembali ke Malaka. Tapi dalam pelayaran itu dia membawa salinan peta yang dirampas dari pelaut Jawa itu. Karena dalam pelayaran itu Portugis juga menyewa beberapa pemandu lokal—termasuk seorang bernama Ismael yang ikut sejak dari Malaka—bukan tidak mungkin, selama pelayaran tersebut Rodrigues juga berkesempatan menyempurnakan atau menambahkan catatan disana-sini pada peta salinan itu. Hasilnya adalah sebuah peta yang antara lain berisi informasi tentang kawasan Maluku. Karena salinan itu sekarang masih ada, informasi paling awal mengenai daerah Maluku dan sekitarnya bisa kita temukan dalam peta itu. Kami akan menyebut peta salinan itu ‘peta Rodrigues’ dan mengenai hal ini harus diingat bahwa tentu tidak semua tempat yang ada dalam peta itu sudah dilihat oleh orang Portugis. Ketiga, menyusul penaklukan Malaka yang sebelumnya didahului oleh gerak maju Portugis dari pantai-pantai India ke Malaka, sejumlah penulis telah mengumpulkan informasi dari pelaut-pelaut lokal yang mereka jumpai, dan menulis beberapa risalah tentang daerah-daerah yang baru mereka temukan, termasuk Maluku. Dua di antaranya yang patut disebutkan disini yaitu Tome Pires dan Duarte Barbosa. Pires menulis karya yang sekarang dikenal dengan judul Suma Oriental, sedangkan Barbosa menulis A Description of the Coasts of East Africa. Kedua buku ini, bersama-sama dengan peta-peta Rodrigues serta penjelasannya—sekarang dibukukan di bawah judul Book of Rodrigues—menjadi sumber informasi pertama tentang Indonesia. E X P O S E
the pride of an identity
Persoalannya,keterangan terkait Manado dalam sumber-sumber di atas tersebut tidak selalu terang benderang. Malah beberapa di antaranya membingungkan. Di sebelah barat Ternate, mereka bertiga sepakat bahwa ada tempat-tempat yang bernama Celebe dan Vdama. Celebe mungkin bukan persoalan, karena sekarang kita masih mengenal nama Celebes. Tapi Vdama membingungkan. Rodrigues menggambarkan Vdama sebagai sebuah pulau tipis di sebelah barat dari pulau Ternate, yang memanjang dari arah timur-laut ke barat-daya. Di atas gambar pulau ini dia menuliskan keterangan: Ilha Vdama & tem ssamdollo atau ‘Pulau Vdama & memiliki kayu cendana’. Pires mendaftar Vdama dan Celebe bersama-sama dengan beberapa tempat yang lain termasuk Makasar, dan mengatakan bahwa tempattempat ini berdagang dengan Malaka.Sementara uraian Barbosa memberi kesan bahwa Celebe terdiri dari sekelompok pulau dan penduduknya berkulit putih. Terkait Manado, keterangan Barbosa akan saya abaikan karena deskripsinya lebih cocok untuk Sulawesi Selatan. Saya akan beralih ke Vdama. Oleh Armando Cortesaoyang menerjemahkan Suma Oriental ke bahasa Inggris, Vdama diduga sebagai semenanjung Sulawesi Utara. Dia juga menduga bahwa kata asal Vdama adalah ‘Manado’. Tapi dugaan ini, oleh beberapa ahli belakangan, termasuk Sollewijn Gelpke, ditolak. Gelpke justru menduga bahwa Vdama terkait dengan kata Udama yang terdapat dalam kitab Nagarakertagama, karya prosa Majapahit yang ditulis sekitar 160 tahun sebelumnya. Kata lengkapnya dalam karya itu adalah Udamakatraya, dan menurut Gelpke ini tidak menunjuk ke Manado. Tentu saja dengan pendapat itu, bukan maksud Gelpke untuk mengatakan bahwa Rodrigues atau Pires telah memperoleh kata Vdama langsung dari Nagarakertagama. Tapi maksudnya mungkin kata itu mungkin telah diperoleh dari sumber-sumber yang berbahasa Jawa, entah ketikaRodrigues menyalin ‘peta besar’ milik nakhoda Jawa yang disebutkan di atas, entah ketika Pires menyalinnya dari Rodrigues atau mendengarnya secara lisan dari seorang informan Jawa. Yang patut juga diingat disini, penggunaan huruf ‘v’ untuk bunyi ‘u’ dalam naskah-naskah Eropa abad 16 dan 17sebenarnya hal yang umum. Dugaan Gelpke nampaknya masuk akal. Sayangnya, dugaan ini justru membawa kita menjauh dari Manado. Saat ini apa maksud kata Udamadalam Nagarakertagama masih diperdebatkan oleh sejumlah ahli bahasa Jawa Kuno. Mula-mula kata ini diduga menunjuk kepulau-pulau Talaud. Tapi belakangan muncul dugaan bahwa kata ini menunjuk ke sebuah tempat di wilayah Sulawesi
Memikirk Mengenai Nama M
Tentang penemuan Ma
awal untuk sejarah per
bagian dunia yang dike
itu, di Perancis sudah te
Manado. Mengapa bis
hingga ke saat pertam Selatan. Apapun itu, dugaan-dugaan itu ternyata tidak menunjuk ke Manado. Selain itu, jika Pires benar bahwa penduduk Vdama berdagang dengan Malaka, Vdama jelas bukan Manado. Sejauh ini kita tidak punya bukti meyakinkan bahwa penduduk Sulawesi Utara pernah berdagang langsung dengan Malakapada masa prasejarah.Sayangnya, pendapat Cortesao yang mengaitkan Vdamadengan Manado justru dikutip oleh sebuah buku sejarah Minahasa yang cukup terkenal. Di tahap tahap awal penemuan Maluku, Portugis kelihatannya belum begitu tertarik dengan wilayahwilayah yang ada di sebelah barat Maluku termasuk Manado. Selama lebih dari sepuluh tahun pertama, informasi mengenal wilayah Manado dan sekitarnya lebih banyak didasarkan pada keterangan yang belum dikonfirmasi langsung, termasuk yang berasal daripeta Jawa tersebut.Untuk mencapai Maluku (dari Malaka), kapal-kapal Portugis masih menggunakan ‘rute selatan’, yaitu rute yang melalui Laut Jawa dan Flores.Rute ini, selain panjang, juga didominasi oleh padagang-pedagang Muslim yang
Citizen Jurnalism
kan Ulang i Asal-usul Manado Penulis : Herman Teguh
anado Tua. Tahun 1541 termasuk tahun yang sangat
rpetaan orang Eropa. Pada tahun itu baru sedikit
etahui dan dipetakan oleh mereka. Tapi pada tahun
erbit sebuah peta dunia yang mencantumkan nama
sa begitu? Latar belakangnya ternyata harus dilacak
ma Maluku ditemukan oleh Bangsa Eropa.
tak disukai Portugis.Jadi bukan tidak mungkin kalau keinginan untuk menemukan rute yang lain sudah sejak awal ada di benak orang Portugis. Tapi keinginan itu nampaknya baru diwujudkan setelah terjadi suatu peristiwa yang tak terduga-duga. Pada akhir tahun 1521, dua kapal pengeliling dunia Spanyol (ex-Magelhaens) yang dipimpin oleh Juan Sebastian del Canomendadak memasuki perairan Sulawesi Utara dari arah Mindanau. Mereka sempat mencatat beberapa nama pulau yang belum diketahui Portugis ketika menyusuri gugusan Kepulauan Sangihe dan Talaud, tapi beruntung ketika berada di sekitar Tagulandang mereka langsung berbelok ke timur dan menuju ke Tidore. Kalau saja mereka sedikit melenceng ke selatan, mereka akan menjadi orang Eropa pertama yang melihat Manado. Kemunculan Spanyol di Tidore itu tentu saja mengejutkan Portugis. Ini nampaknya memicu keinginan untuk menyelidiki daerah-daerah di sebelah barat Ternate, sekaligus mungkin bercampur
dengan keinginan untuk menemukan rute lain dari Maluku ke Malaka. Rute itu, mau tidak mau, harus melewati ujung utara pulau Sulawesi. Untuk itu beberapa ekspedisi dilaksanakan, salah satunya adalah yang dilakukan dalam bulan Mei 1523 di bawah pimpinan seorang nahkoda yang bernama Simao D’Abreu. Dalam ekspedisi inilah Manado ditemukan. Menarik disini bahwa yang melaporkan temuan Manado ini bukan D’Abreu. Laporan itu ditulis oleh orang lain, yaitu mantan Gubernur Portugis di Maluku yang bernama Antonio Galvao,dalam buku yang berjudul Tratado.Tapi buku ini terbit tahun 1555, yaitu 32 tahun setelah D’Abreu melihat Manado.Menariknya lagi, 15 tahun sebelum buku ini terbit, nama Manado justru muncul dalam sebuah peta dunia yang terbit di Perancis (1541). Mengapa bisa begitu? Menurut kami kemungkinannya sebagai berikut. Setelah penemuan oleh D’Abreu (1523),informasi tentang Manado sudah beredar di kalangan pelaut-pelaut Portugis, dan ini yang sampai ke telinga para pembuat peta di Perancis itu. Ini semua terjadi mendahului terbitnya Tratado. Tentang munculnya nama Manado pertama kali dalam sebuah peta. Munculnya nama Manado dalam sebuah peta terbitan Perancis tidak mungkin dibicarakan tanpa membicarakan Dieppe, sebuah kota di daerah Normandy yang terkenal dalam sejarah kartografi. Selama abad 16, dari kota ini telah terbit tiga seri peta dunia buatan tangan yang berukuran besar yang pembuatannya dilakukan di bawah arahan beberapa petinggi Eropa. Peta yang mencatumkan nama Manado termasuk dalam seri yang pertamanya, yaitu yang terbit tahun 1540-an. Pembuatnya adalah Nicholas Desliens, seorang kartografer yang tak begitu dikenal. Timbul pertanyaan disini, mengapa harus Perancis. Mengapa bukan Portugis(atau Spanyol) yang pernah berlayar ke Manado. Selain itu juga mengapa informasi milik Portugis itu bisa bocor ke Perancis padahal Portugis menerapkanPolitica de sigilio— yaitu politik yang merahasiakan informasi-informasi temuan mereka di ‘dunia baru’ agar tidak diketahui oleh bangsa Eropa yang lain. Kemungkinannya disini adalah Nicolaas Desliens telah menyuap informan-informan Portugis untuk memperoleh data rahasia tentang Maluku termasuk Manado, atau informasi mengenai Manado ini memang bukan lagi rahasia di Eropa. Jawaban pastinya tidak kami ketahui. Tentang asal kata Manado. Menarik untuk dipertanyakan disini adalah asal kata dari Manado. Manado adalah kata nama tempat yang penggunaannya sekarang kita warisi dari dokumendokumen bangsa Eropa, khususnya Belanda— mereka tak hanya menggunakan Manado tapi juga
19
Menado. Tapi memang, sebagaimana uraian di atas, Portugislah yang lebih dulu menggunakannya. Sesudah penemuan D’Abreu yang mencatat nama Manada, aktifitas Portugis di Sulawesi Utara nampaknya menurun. Aktifitas nanti meningkat lagi setelah Maluku didatangi oleh misionarismisionaris Katolik khususnya Fransiscus Xaverius tahun 1546. Karena Manado menjadi salah satu sasaran misi Katolik, namanya disebut dalam sejumlah laporan Misi. Disini penulisannya bervariasi, di antaranya yaitu Manado, Manada, dan Manade. Kembali ke penemuan pertamanya, ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi. Dalam Tratado penemuan pulau Manado dicatat dengan satu kalimat pendek: ‘Ouueram vista das ylhas de Manada...’ artinya, ‘Mereka melihat pulau Manada...’ Jadi Manada adalah sebuah pulau, dan pulau itu tentu bukan Sulawesi (atau salah satu bagiannya yang dianggap pulau) karena pada waktu itu orang Portugis sudah mengetahui keberadaan Sulawesi walaupun masih samar-samar. Dengan begitu maka pulau Manada pastilah pulau Manado Tua yang sekarang, sebuah pulau kecil yang letaknya di lepas pantai kota Manado. Mengapa Manado Tua yang dicatat, mengapa bukan pulau yang lain di dekatnya—Bunaken, Nain, Bangka, atau misalnya kota Manado yang sekarang? Alasannya kami kira karena situasi pulau Manado Tua sendiri. Cerita-cerita lisan memberi indikasi bahwa sebelum kedatangan bangsa Barat, pulau ini adalah salah satu pusat politik dan ekonomi lokal yang cukup penting di Sulawesi Utara. Jika pada waktu itu seseorang berlayar dari Ternate ke arah Sulawesi Utara, maka pusat aktifitas lokal pertama yang akan dijumpai adalah pulau ini. Penduduk atau penguasanya nampaknya memiliki hubungan yang erat dengan penduduk di pusat-pusat serupa baik di Kepulauan Sangihe maupun dan di beberapa tempat di pesisir utara semenanjung Sulawesi Utara, dan ini nampaknya yang membuat pulau ini ‘ramai’ dikunjungi orang. Sebagai contoh, misionaris Katolik pertama yangmengunjungi pulau ini beberapa puluh tahun setelah D’Abreu, mencatat adanya seorang raja dari pulau Siau yang sedang tinggal disitu. Kontras dengan itu, kota Manado yang sekarang, yang oleh penduduk Minahasa disebut ‘wenang’, pada waktu itu bisa dipastikan belum memiliki aktifitas manusia yang berarti. Hal lain yang juga perlu ditekankan disini yaitu bahwa D’Abreu tidak menginjakkan kaki di pulau ini. Catatan Tratado yang mengatakan bahwa ‘mereka melihat pulau itu’, menurut kami harus diartikan bahwa mereka hanya melihat dari atas kapal. Ini masuk akal karena pelayaran D’Abreu itu mungkin masih bersifat eksplorasi, dengan tujuan bisa mencapai sejauh mungkin daerah-daerah yang E X P O S E
the pride of an identity
20
Citizen Jurnalism
terletak di sebelah baratnya. Jika pendapat kami benar, pendapat ini akan bertentangan dengan pendapat beberapa penulis sejarah Minahasa bahwa D’Abreu telah singgah di Manado Tua.
Berdasarkan nama-nama itu, seandainya D’Abreu tidak salah mendengar dan Galvao tidak salah mencatat, maka sebutan yang paling dekat dengan Manadaadalah monadou, namayang dipakai oleh orang-orang yang berbahasa Bolaang Mongondow. Timbul prasangka jangan-jangan penunjuk jalan yang menyertai D’Abreu itu adalah seorang pelaut Bolaang. Saya sebenarnya tidak berani mengatakan begitu, tapi sejarah lisan menunjukkan bahwa di sekitar abad 17 peran orang-orang Bolaang atas perairan di sekeliling Minahasa cukup tinggi. Bukan mustahil,peran itu adalah warisan dari abadabad sebelumnya, dan ketika orang-orang Portugis mulai muncul di daerah ini, peran itu masih tinggi.
Pada sisi yang lain, Nicolaas Graafland, pendeta sekaligus penulis buku tentang Minahasa yang terkenal, juga berani menyimpulkan kalau penduduk Manado Tua (bersama-sama dengan pulau-pulau yang lain di lepas pantai utara Minahasa) adalah perompak laut yang tidak berkerabat dengan orang Minahasa. Dengan begitu, jelas sulit untuk diterima bahwa sebuah pulau yang terletak di lepas pantai Minahasa telah memperoleh namanya dari penduduk Minahasa yang memiliki akses yang terbatas ke pulau itu, lalu nama itu dipergunakan oleh suku-suku pelaut yang lebih akrab dengan pulau itu.Yang umum terjadi di Indonesia adalah sebaliknya. Nama untuk pegunungan Arfak di Kepala Burung Papua adalah contohnya. Nama ini berasal dari orang Biak, suku pelaut yang tinggal di seberang lautan. Sementara penduduk asli yang tinggal di pegunungan Arfak sendiri menyebut pegunungan Arfak dengan nama Ndon.
Lalu bagaimana D’Abreu bisa mengetahui bahwa pulau itu bernama Manada? Jawaban yang paling masuk akal adalah seorang penunjuk jalan lokal telah memberikan nama itu kepadanya. Dalam sejarah eksplorasi laut Portugis dan Spanyol, penggunaan penunjuk jalan lokal untuk memandu mereka di perairan yang belum dikenal adalah hal yang lumrah. Kapal-kapal yang dikirim D’Alburqueque untuk menemukan Maluku misalnya, telah menggunakan penunjuk-penunjuk jalan yang berasal dari Malaka dan Jawa. Dalam catatan perjalanan Magelhaens juga disebutkan Aspek lain dari nama Manado adalah asalmengenai seorang penunjuk jalan yang mungkin usul linguistik-nya. Sayangnya informasi yang karena ketakutan telah melompat dari kapal dalam tersedia minim sekali. Satu-satunya informasi perjalanan dari Filipina ke Maluku. Para penunjuk terkait,diberikan oleh Johann G.F. Riedel, anak dari jalan seperti ini memiliki peran yang besar dalam Tentu saja kita tidak bisa mengesampingkan misionaris J.F. Riedel. Dalam sebuah artikel yang soal supply informasi mengenai daerah-daerah yang kemungkinan bahwa Pulau Manado Tua memiliki ditulis pada tahun 1869, dia mengatakan bahwa belum diketahui oleh para pelaut Eropa. Informasi nama tersendiri di kalangan orang Minahasa. kata Manado berasal dari kata kerja Tombulu tua, itu biasanya dicatat dalam buku harian kapal, dan Bagimanapun juga pulau ini adalah pulau yang manaror atau maharor.Dengan pernyataan ini— ini menjadi sumber berharga bagi kita sekarang. cukup menyolok terlihat dari beberapa tempat apapun arti kata-kata tersebut—Riedel hendak Cuma memang, tergantung dari apa di pedalaman Minahasa. Tidak nama yang digunakan penduduk mungkin kalau orang Minahasa Kemungkinan bahwa asal-usul nama Manado berada di lokal waktu itu, apa yang terdengar tidak punya sebutan untuknya. Tapi menurut telinga pencatatnya, serta nama dimaksud itu menurut kami salah satu suku pelaut tetangga Minahasa, sebenarnya bisa mungkin faktor-faktor subjektif bukan Manarou. Nama asli itu, yang lain, beberapa dari nama itu jika memang benar ada, menurut bertolak dari fakta bahwa hubungan genealogis-historis terdengar asing bagi kita sekarang, kami pasti sudah lenyap terganti beberapa di antaranya bahkan dengan nama Manarou. Hal seperti antara suku-suku tersebut dengan pulau ini sangat kuat. membingungkan. Karena nama ini misalnya terjadi dengan pulau yang didengar oleh D’Abreu (dan dicatat oleh Lembeh. Pulau ini memiliki nama Minahasanya mengatakan bahwa yang memberi nama Manado Galvao) adalah ‘manada’, kami tertarik untuk yaitu ‘punten ni rumoyongporong’. Tapi nama adalah orang Minahasa. Jadi, asal-usul nama mengetahui dari suku mana penunjuk jalan itu ini sekarang telah hilang, dan nama Lembeh yang manarou, monadou, dan moladudalam bahasaberasal. menggantikannya nampaknya bukan dari Minahasa. bahasa Sangihe, Bolaang, dan Gorontalojuga ada di Minahasa. Sayangnya ini sulit diterima. Sebagaimana disinggung di atas, nama ‘manado’ Menurut kami, nama Manarou telah dipinjam oleh adalah nama yang sebenarnya menunjuk ke sebuah pulau kecil di lepas pantai kota Manado sekarang. Nama ini mendapat tambahan kata ‘tua’ di belakangnya setelah penggunaannya dialihkan dari pulau tersebut ke sebuah lokasi di daratan pulau Sulawesi, yaitu di salah satu bagian kota Manado yang sekarang, yang oleh orang-orang di pedalaman Minahasa disebut ‘Wenang’. Di kalangan suku-suku yang ada di Sulawesi Utara, nama yang menujuk ke Manado memang bervariasi. Orang Sangihe, Minahasa, Bolaang dan Gorontalo misalnya, masing-masing menyebutnya manaro, manarou, monadou, dan moladu.Dewasa ini, nama-nama ini memang menunjuk ke kota Manado yang di daratan Sulawesi (Manado-Wenang), tapi aslinya pasti menunjuk ke Pulau Manado Tua.
E X P O S E
the pride of an identity
Riedel dalam hal ini telah mengabaikan beberapa hal. Pertama tentang keterisolasian penduduk Minahasa di masa yang lalu. Sebelum berkenalan dengan Bangsa Barat, penduduk Minahasa— termasuk orang-orang yang berbahasa Tombulu— adalah penduduk yang relatif terisolasi di pedalaman,dan dengan kontak-kontak dengan dunia luar yang terbatas. Selama periode yang cukup panjang ini, tidak ada catatan yang bisa menunjukkan bahwa orang Minahasa telah terlibat atau memiliki pengaruh terhadap situasi di pulaupulau dilepas pantai Minahasa (dengan pengecualian Lembeh, pulau di sebelah timur Kota Bitung). Selain Lembeh, pulau-pulau ini rata-rata terpisah dari daratan Minahasa oleh laut yang cukup lebardimana untuk mencapainya diperlukan teknologi dan alat berlayar yang cukup. Ini merupakan hal yang tidak ada pada penduduk Minahasa dahulu.
orang Minahasa dari tetangga-tetangganya yang pelaut, tapi Riedel kemudian berusaha mengaitkan asal-usulnya dengan kata Tombulu tua manaror atau maharor. Ini adalah pendapat yang masih bisa diperdebatkan.
Kemungkinan bahwa asal-usul nama Manado berada di salah satu suku pelaut tetangga Minahasa, sebenarnya bisa bertolak darifakta bahwa hubungan genealogis-historis antara suku-suku tersebut dengan pulau ini sangat kuat. Orang Siau percaya bahwa tokoh Lokongbanua lahir di pulau ini; Orang Sangihe percaya bahwa tokoh Gumangsalangit pernah singgah di pulau ini; Orang Babontehu disebut-sebut pernah berkerajaan di pulau ini; dan seorang raja dari Bolaang Mongondow, Dodi Mokoagouw, katanya pernah menyerang pulau ini
Citizen Jurnalism
karena alasan hak waris. Ini adalah hal yang tidak kita jumpai di kalangan orang Minahasa.Di daerah Tanawangko, bagian Minahasa yang terletak di sebelah selatan pulau Manado Tua, memang pernah dicatat kepercayaan sebagian penduduknya bahwa asal-usul mereka terkait dengan yaki-yaki yang hidup di pulau Manado Tua. Tapi informasi yang berasal dari Pendeta Graafland ini kelihatannya direkam dari penduduk bukan Minahasa. Sayangnya, dongeng-dongeng yang menyiratkan hubungan erat dengan Manado Tua tersebut, tak satupun yang bercerita tentang asal-usul nama Manado. Pengalihan penggunaan nama Manado dari pulau Manado Tua ke daratan Minahasa oleh Belanda nampaknya menjadi salah satu faktor yang menyebabkan lenyapnya dongeng-dongeng seperti itu. Masih terkait dengan nama Manado, maka yang cukup menarik adalah orang Sangihe. Orang Sangihe mempunyai dua sebutan yang menunjuk ke Manado Tua; manaro dan bena. Sebutan Bena memang jarang kita dengar karena ini adalah sebutan dalam bahasa Sasahara atau bahasa rahasia mereka. Tapi kata ini menarik karena memiliki kemiripan bunyi dengan kata wenang dalam bahasa-bahasa Minahasa, padahal kata wenang sendiri oleh orang Minahasa menunjuk ke lokasikota Manado yang sekarang (di darat). Hal ini menurut kami bukan kebetulan. Bahasa Sasahara adalah bahasa rahasia yang konon dipakai orang Sangihe untuk mengelabui setansetan yang hendak mendatangkan celaka di laut. Jadi ada kemungkinan bahwa di masa yang lalu, ketika orang Sangihe berlayar ke Manado Tua, mereka tidak menyebut tujuannya dengan nama yang sebenarnya, manaro, tapi menyamarkannya dengan nama Bena agar setan-setan terkecoh. Terlepas dari benar tidaknya hal ini, sebutan bena mungkin saja menjadi petunjuk bahwa orangorang Sangihe sebenarnya sudah mengenal tempat bernama Wenang sejak jaman purbakala, yaitu melalui kontak-kontak dengan orang Minahasa yang ada di situ. Sebagaimana diketahui, ceritacerita lisan Minahasa (yang dikumpulkan Riedel) mengatakan bahwa di daerah Wenang orang Minahasa sudah membuka kampung tak lama setelah Rapat Pinabetengan. Orang Sangihe mungkin mengetahui nama itu dari penduduk Wenang, tapi mereka menggunakan nama itu untuk pulau Manado Tua. Sebuah nama dari ‘bahasa’ Babontehu? Orang Babontehu disebut-sebut sebagai penduduk asli pulau Manado Tua, dan mereka memiliki sejarah yang terpisah dari daratan Minahasa.
21
Kami menduga orang Babontehu adalah sebuah etnis tersendiri yang menggunakan sebuah bahasa tersendiri, walaupun, laporan-laporan awal mengenai bahasa-bahasa Sulawesi Utara tidak menyinggung keberadaan bahasa ini. Jika benar Babontehu adalah sebuah etnis sendiri dengan
wilayah kedudukan Manado Tua
Menurut sejarah lisan, mereka pernah berkerajaan di Manado Tua dan raja-raja mereka seperti Lumentut, Makarompis Pertama, dan Manirika konon telah memerintah dengan gagah berani. Tapi rupanya mereka mengalami sejarah yang tragis. Sejarawan Herzevien Taulu mengatakan bahwa setelah serangan Kerajaan Bolaang Mongondow (sekitar akhir abad 16?) mereka langsung terpencar ke pulau-pulau Sangihe dan Talaud. Belanda yang datang kemudian menemukan mereka yang tinggal di Manado Tua hanya sekitar 40 orang dengan kondisi yang buruk. Mereka kemudian dipindahkan oleh Belanda ke daerah Sindulang, Manado Utara sekarang. Tapi kepindahan itu, meski kemudian diikuti oleh sebagian saudara mereka yang mengungsi ke Sangihe dan Talaud, rupanya menjadi akhir dari keberadaan mereka. Berangsur-angsur mereka menghilang dari panggung sejarah dan kita yang sekarang kebanyakan tak lagi mengenal nama Babontehu. Kami menduga orang Babontehu adalah sebuah etnis tersendiri yang menggunakan sebuah bahasa tersendiri, walaupun, laporan-laporan awal mengenai bahasa-bahasa Sulawesi Utara tidak menyinggung keberadaan bahasa ini. Jika benar Babontehu adalah sebuah etnis sendiri dengan wilayah kedudukan Manado Tua, kami kira sudah selayaknya jawaban atas teka-teki asal-usul nama Manado dicari di dalam bahasa mereka. Kami bahkan curiga, penunjuk jalan yang mendampingi D’Abreuitu adalah seorang dari mereka, dan kata manada adalah kata milik mereka. Bahwa kata manada mirip atau dekat dengan kata monadou dalam bahasa Bolaang, jangan-jangan ini menunjukkan bahwa antara etnis Babontehu dan Bolaang ada kaitannya, tidak hanya dalam soal klaim-mengklaim atas pulau Manado Tua, tapi juga dalam soal linguistik. Sayangnya, dugaan ini memiliki ganjalan yaitu bahwa saat ini -sejauh yang bisa kami lacak- kata Babontehu tidak dikenal oleh orang Bolaang Mongondow. Sebaliknya, oleh Taulu, kata ‘babontehu’ dikatakan berasal dari kata orang Minahasa. Sebagaimana asal-usul kata Manarou-nya Riedel, pendapat Taulu ini juga masih bisa diperdebatkan. Menutup tulisan ini, saya mengajak pembaca
untuk mempertimbangkan apa yang dicatat oleh para pendeta-pendeta Belanda pertama yang mengunjungi Manado. Jacobus Montanus, yang mengunjungi Manado-Wenang tahun 1674, mencatat cerita tentang Kerajaan Manado yang konon memiliki wilayah yang terbentang mulai dari pesisir utara Gorontalo sampai Tanjung Pulisan. Francois Valentijn, pendeta di Ambon yang terkenal dengan bukunya ‘Oud en Nieuw Oost Indie’ (1724), mencatat cerita tentang kemelut di Kerajaan Loloda, Halmahera Utara, yang berujung larinya salah seorang pangeran mereka ke Sulawesi Utara. Nicolaas Graafland (1868), pendeta di Tanawangko dan Sonder, mencatat sebuah dongeng yang mengatakan bahwa penduduk Manado (Manado Tua?) berasal dari pulau Bacan. Johann G.F. Riedel (1869) juga mencatat cerita tentang sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di pantai timur Minahasa, yang pusatnya terletak di sebuah tempat bernama Maadon - di daerah Lilang, Kema, sekarang. Apakah catatan-catatan ini menunjuk pada Babontehu, kami tidak bisa memastikan.Tapi sebagai pulau yang yang letaknya strategis, yang kemudian menjadi kosmopolit, Pulau Manado Tua pasti memiliki sejarah yang tidak sederhana. Penguasanya mungkin pernah berganti-ganti dan dengan begitu banyak suku menaruh klaim terhadapnya. Rekonstruksi yang dibuat oleh Bert Supit (dalam buku Minahasa, Dari Amanat Watu Pinawetengan Sampai Gelora Minawanua, 1986) mungkin menarik untuk disimak. Menurut dia, suatu waktu di masa yang lampau kerajaan Maadon (yang berlokasi di dekat Kema sekarang) telah diserang oleh kerajaan Bolaang. Serangan ini membuat penduduknya cerai-berai dan sebagian dari mereka ada yang mengungsi ke Manado Tua. Di pulau ini mereka tetap mempertahankan nama Maadon, tapi seiring dengan waktu, nama ini berubah menjadi Manado.Pertanyaannya sekarang, apakah keturunan pengungsi Maadon ini yang kemudian disebut orang Babontehu, ataukah orang Babontehu adalah etnis yang lain yang datang belakangan dan menggantikan para pengungsi ini di Manado Tua? Hanya penelitian ilmiah lah yang bisa memberi penerangan.
E X P O S E
the pride of an identity
10 22
Highlight
Kisah Menarik Tentang Manado Manado punya banyak kisah. Di usianya yang ke-392, Manado terus berkembang menjadi kota modern di Indonesia. Perkembangan bisnis juga sangat pesat, seiring dengan aktivitas pembangunan dan kemajuan teknologi. Berikut ini 10 kisah menarik tentang Manado yang banyak mengundang perhatian hingga saat ini.
Pusat Belanja Saling Berdekatan Kawasan Boulevard termasuk area unik dan memiliki nilai jual besar bagi Manado. Dulu kawasan ini merupakan areal pantai yang kemudian direklamasi oleh sejumlah pengembang. Kini, jalur jalan sepanjang 4,3 km tersebut dikenal sebagai pusat ekonomi utama di Manado. Aktivitas bisnis dan lifestyle, mulai dari perdagangan, jasa, kuliner, hiburan, olahraga, hingga properti, ada di kawasan ini. Lokasinya pun saling berdekatan, sehingga mudah dijangkau satu sama lainnya Foto : Hermundo Kasiadi
Taman Laut Berada di Wilayah Ibu Kota Umumnya area konservasi di Indonesia jauh dari perkotaan atau ibu kota provinsi. Namun berbeda halnya dengan Taman Nasional (TN) Bunaken, areanya langsung berada di wilayah Kota Manado (di samping tiga kabupaten lain yaitu Minahasa, Minut, dan Minsel) dengan luas 281.384. Keanekaragaman hayati dan keindahan bawah laut Bunaken ini pun sangat terkenal di seluruh dunia membuat banyak orang ingin datang dan menyelam di kawasan ini.
Foto : Hermundo Kasiadi
Tak Akan Tersesat Cari Makan di Manado Manado dikenal sebagai kota yang memiliki banyak tempat makan. Jumlah banyak, dan tersebar luas di ibu kota provinsi Sulut ini. Mulai di jalan-jalan utama kota sampai kompleks pusat perbelanjaan dan bisnis di Manado. Juga ada beberapa kompleks kuliner yang berlokasi di tepi pantai dengan pemandangan Teluk Manado. Karenanya, ada ungkapan yang mengatakan orang tidak akan tersesat ketika berkunjung dan mencari makan di Manado.
Foto : Hermundo Kasiadi
Jembatan Soekarno Jalan dan Jembatan Soekarno menjadi ikon Kota Manado yang paling gres saat ini. Beroperasinya jembatan Soekarno memang cukup lama dinanti warga Manado, karena pengerjaannya beberapa kali tersendat, dan baru bisa diresmikan setelah 12 tahun pada 26 Mei 2015. Kini, jalan dan Jembatan Soekarno bukan hanya jadi penghubung antara kawasan Manado utara dengan Manado tengah dan selatan, tapi juga menjadi kebanggaan dan ciri khas Manado. Jembatan Soekarno menjadi ikon kota yang Manado banget! Berada di atas jembatan, seakan melihat sekelumit potret Kota Manado dari dulu hingga kini. Foto : Hermundo Kasiadi
Harga Properti Termahal di Indonesia Manado disebut-sebut sebagai kota masa depan Indonesia. Tak heran hanya dalam waktu singkat banyak investor melirik Manado untuk berinvestasi dan mengembangkan bisnisnya. Manado pun disebut-sebut adalah kota yang paling maju perkembangan propertinya di Indonesia. Pergerakan harga tanah di Manado cepat bergerak naik hanya dalam kurun waktu singkat. Bahkan hasil survei yang dilakukan perusahaan properti online terkemuka di Indonesia, Lamudi, harga satuan per meter persegi properti mewah di Manado, membayangi harga properti di DKI Jakarta dan Surabaya. Di DKI Jakarta, harga properti mewah, khususnya hunian premium, mencapai Rp24.625.252 per meter persegi, disusul Surabaya Rp21.031.616 per meter persegi, sedangkan Manado menempati urutan ketiga dengan Rp16.724.792 per meter persegi.
E X P O S E
the pride of an identity
Foto : Hermundo Kasiadi
Highlight Pantai Malalayang Pencetak Rekor Dunia Manado punya pantai Malalayang yang mendunia. Sepintas lokasi wisata yang berada di Teluk Manado ini memang biasa saja. Namun di sinilah menjadi saksi sejarah tempat pemecahan rekor dunia. Tak tanggungtanggung, dua rekor dunia dipecahkan sekaligus dan yang dicatat Guinnes World Records pada 2009. Yaitu rekor menyelam massal yang diikuti oleh sekira 2000 penyelam Indonesia dan luar negeri, serta rekor upacara bendera Hari Kemerdekaan Indonesia di dalam air yang diikuti oleh jumlah peserta terbanyak di dunia. Kini pantai Malalayang masih menjadi lokasi wisata yang paling banyak pengunjungnya di Manado, sekaligus menjadi area kuliner khas favorit di kawasan selatan kota. Foto : Toar Pantow
Tiada Hari Tanpa Event Manado terus berkembang menjadi kota bisnis yang dinamis. Salah satu fenomena yang menarik dicermati, adalah, Manado telah menjadi kota kreatif dengan banyak event. Bahkan bisa disebut, tiada hari tanpa event di Manado. Catatan tim media ini selama enam bulan terakhir misalnya, diketahui rata-rata setiap bulan ada lebih dari 60 event digelar di Manado, baik berskala kecil, menengah, maupun besar. Event-event ini umumnya digelar kalangan swasta, dan sebagian besar tergelar pada hari Jumat, Sabtu, dan Minggu. Banyaknya event yang digelar ini, setidaknya mampu mengedukasi dan menghiburkan warga Manado, sekaligus memberikan dampak ekonomi besar bagi masyarakat dan pendapatan daerah. Foto : Hermundo Kasiadi
Surga Fotografi dan Banyak Lokasi Penyelaman Pesisir pantai dikenal khas dan indah. Keindahan ini diakui oleh banyak fotografer, termasuk dari luar Sulut, bahkan Manado disebut sebagai surga fotografi di Indonesia. Banyak di antara fotografer profesional sengaja datang ke daerah untuk melakukan pemotretan di kawasan pantai Manado. Selain itu, di area bawah laut di Teluk Manado pun sangat khas dan indah, sehingga menggiring banyak petualang bawah laut dari berbagai penjuru dunia untuk datang menyelam di sini. Diketahui, ada lebih dari 50 site penyelaman yang ada di Teluk Manado dan menjadi lokasi premium di Indonesia. Foto : Hermundo Kasiadi
Angkutan Kota yang Keren dan Full Music Kalau ingin menikmati angkutan kota yang keren dan full music, datanglah ke Manado. Dan itulah diakui banyak pelancong ketika mengunjungi Manado. Karena hanya di Manado (selain Padang), angkutan kota dimodifikasi penuh oleh pemiliknya. ‘Tradisi’ modifikasi angkutan ini sudah ada sejak era oplet ST-20 pada awal 1980-an, kemudian angkot ngetop dengan sebutan kaca bok. Dan kini di era mikrolet, angkot yang dimodifikasi semakin keren dan mengundang decak kagum. Apalagi setiap tahun, digelar auto contest untuk angkot hasil modifikasi. Jadi, tak heran, ketika di jalanan akan mudah menemukan mikro-mikro pemenang kontes modif dan diisi banyak penumpang Foto : Kaskus
Monumen Pluralisme Beragama di Indonesia Kerukunan umat beragama di Manado (dan Sulawesi Utara) diakui di tingkat nasional. Banyak daerah lain yang sengaja datang di daerah ini, sekaligus ingin menyaksikan dan belajar langsung, bagaimana jalinan kerjasama umat beragama ini terbangun di Manado. Termasuk pula peran BKSAUA –yang sudah hadir sejak tahun 1969, dan giatnya FKUB untuk memfasilitasi potensi konflik umat beragama, sekaligus menjaga kelanggengan hubungan antarumat beragama. Jadilah kemudian Manado sebagai monumen pluralisme di Indonesia. Foto : Marcos Budiman
23
24
Special Report
1
Para tukang ini kemudian membentuk satu perkampungan bergabung bersama dengan para pedagang Cina di sebelah timur dari lokasi benteng yang dikemudian hari disebut Kampung Cina. Endogami atau perkawinan di antara mereka, melahirkan anak cucu dan menjadikan Kampung Cina semakin luas. Dan oleh pemerintah kolonial rang Cina di masa itu diberi peran sebagai pedagang perantara antara penduduk pribumi (Minahasa) dan pemerintah kolonial. Selanjutnya, eksistensi Kampung Cina semakin jelas ketika penataan pemukiman dilakukan oleh pemerintah kolonial berdasarkan asalusul. Seperti adanya Kampung Belanda, Kampung Arab, dan Kampung Ternate. Pada umumnya orang Cina hidup sebagai petani di daerah asal. Tetapi di Indonesia sebaliknya. Hampir sepanjang sejarah bangsa Indonesia
Kampung China
mereka hidup terkonsentrasi dengan kokoh di kota-kota besar maupun kecil, dan menguasai perekonomian. Tidak terkecuali di Kota Manado. Modal utama yang dimiliki adalah tekad dan kemauan yang keras untuk mempertaruhkan
Pemukiman Lawas Pusat Niaga Kampung Cina adalah satu nama perkampungan di Kota Manado yang memiliki ciri khusus. Berlokasi di pusat peradaban dan perdagangan, tak bisa terlepas dari sejarah Kota Manado.
2
1 Kampung China Saat ini. Foto diambil pada hari libur 2 Kampung China tahun 1920an . Dikejauhan tampak klenteng Ban Hin Kiong.
Sumber foto : Citra Sulawesi Utara Dalam Arsip - ANRI
Rumah-rumah toko bertingkat dua tampak berhimpitan. Hanya beberapa gang yang memisahkan deratan toko-toko itu. Berbagai barang dagangan terlihat memenuhi ruangan-ruangan yang hanya memiliki lebar sekira lima meter itu.
Deretan toko-toko tak hanya di satu ruas jalan saja. Beberapa blok di jalanan utama dijejali rumah toko (ruko). Sepanjang jalan juga mobil-mobil parkir. Tak ada jeda untuk sekadar mobil berhenti sejenak. Antrean kendaraan pun mengular di jalan-jalan itu. Inilah gambaran khas pusat perdagangan di Manado: Kampung Cina. Sejak dulu kawasan ini terkenal sebagai pusaran perniagaan di
E X P O S E
the pride of an identity
Manado, bahkan Sulawesi Utara. Hingga kini ciri itu masih eksis.
nasib dengan harapan mendapatkan masa depan yang lebih baik.
Sejarawan Kawanua, Ivan RB Kaunang dalam nukilan singkatnya menggambarkan asal-usul, dan kehidupan kampung serta warganya. Masyarakatnya yang mobile menjadi perhatian pemerintah kolonial di masa lalu. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengumpulkan mereka di suatu tempat tertentu yang kemudian terbentuk masyarakat yang berkarakter tersendiri: Kampung Cina di Kecamatan Wenang.
Memasuki Kampung Cina Manado, sebagaimana ditulis Graafland (di abad 19) … akhirnya sampailah kami di perkampungan Cina. … orang Cina mendirikan dua buah pintu gerbang yang bagus. Gerbang terbesar bersusun tiga, dengan atap yang menjorok keluar membentuk spiral yang diberi berbagai kain dan kertas seperti yang lazim dipakai orang Cina. … terdapat berbagai lukisan berbagai mahluk mengerikan dan boneka dilukiskan dihiasi lampu-lampu.
Kampung Cina, disebut demikian karena umumnya didiami oleh orang-orang keturunan Tionghoa. Lahirnya Kampung Cina tidak bisa dilepaskan dari peran yang dimainkan pemerintah kolonial Belanda ketika mendirikan benteng di seputar pelabuhan Manado sekarang. Untuk mendirikan benteng, pemerintah kolonial memerlukan para pekerja tukang yang didatangkan dari berbagai penjuru Nusantara, di antaranya orang-orang Cina.
Kampung Cina memang mempunyai peranan dalam perkembangan dan pertumbuhan Kota Manado, baik dalam pembentukan karakter Kota Manado (rumah dan bangunan tua berciri khusus, seperti klenjteng dan vihara, serta tradisi). Dan terutama berperan di sektor ekonomi.(Ink)
Special Report
25
Manado. Turis-turis dari dalam dan luar negeri berdatangan menyaksikan upacara keagamaan 15 hari setelah Imlek itu. Tapi, iven ini bulannya sulit dipastikan dalam bulan Masehi karena penanggalannya mengikuti perhitungan bulan di langit. Makanya jangan hanya mengandalkan Cap Go Meh untuk menjaga identitas Cina di Manado, karena banyak hal yang bisa untuk itu. Misalnya, atraksi barongsai dan kung fu. Tersedianya sejumlah restoran, kue, mie lalo-lao, dan bakpao, toko obat, shines, dan apa saja yang dapat menguatkan identitas. Boleh diciptakan suasana yang sarat Tionghoa, atau kelokalan Tionghoa-Manado atau Tionghoa-Minahasa.
1
Identitas yang Hampir Punah
Kawasan pecinan dapat diciptakan juga semacam diorama, museum kecil yang dapat menggambarkan sejarah perjalanan orang-orang Tionghoa pertama kali tiba di Manado, termasuk lokasi foto tempo doeloe, dan berbagai kerajinan ekonomi kreatif tanda kecinaan berupa oleh-oleh atau souvenir. Seni Beladiri, Apa Kabarmu? Cina atau Tiongkok terkenal dengan seni beladiri. Ciri ini tak terkecuali ada di Manado. Identitas ini masih tersisa dan hampir punah serta belum dikelola dan dimanfaatkan sedemikian rupa untuk memperkaya khazanah kota wisata Manado.
2 1,2,3 Pelaksanaan Cap Go Meh tahun 2015.
Foto : Hermundo Kasiadi
4 Pelaksanaan Cap Go Meh tahun 1920an.
Sumber foto : Citra Sulawesi Utara Dalam Arsip - ANRI
Identitas menunjuk pada jati diri masyarakat Kampung Cina itu sendiri dan Manado sebagai satu kota peninggalan Belanda. Kampung Cina adalah bagian dari Kota Manado, yang dikhawatirkan pada generasi selanjutnya hanya tinggal nama. Pemerintah Kota Manado sepertinya tidak serius menata pecinan sebagai satu lokasi yang berkarakteristik khusus. Padahal masyarakatnya mampu untuk bekerjasama membangun sekitar lokasi. Seharusnya, lokasi pecinan menjadi lokasi wisata utama atau alternatif. Kampung Cina mestinya menjadi salah satu ikon wisata Manado yang bisa membuat wisatawan betah tinggal di Manado. Ada beberapa usul dan saran untuk menjaga identitas tersebut.
3
4
bawahnya diberi arti bahasa Indonesia. Mirip di beberapa daerah atau Negara seperti Malaysia atau Singapura. Di depan tokoh atau rumah diberi aksesori kecinaan untuk memberi kesan berbeda dengan pemukiman lainnya. Kenyamanan lainnya perlu difasilitasi, seperti tidak diperkenankannya mobil angkutan umum melintasi kawasan percontohan wisata ini, parkir hanya boleh di luar kawasan, sistem keamanan yang baik, kebersihan, dan tersedianya bermacam-macam kebutuhan Cina tempodoeloe.(**) Hanya Andalkan Cap Go Meh
Misalnya, kalau wisatawan ke daerah ini, kemudian mengunjungi Bunaken tanpa mengunjungi pecinan, berarti belumlah lengkap kunjungan wisatanya.
Sebenarnya tradisi Cina yang telah memberi khazanah di berbagai daerah dan negara cukup banyak. Upacara religi, tarian, hingga seni bela diri kerap ditampilkan.
Kelengkapan aksesori wisata perlu ditambah seperti nama tokoh dan nama jalan kawasan pecinan menggunakan kaligrafi Cina dan di
Di Manado, misalnya, selang beberapa tahun belakangan upacara Cap Go Meh, sepertinya, sudah menjadi kalender tetap wisata religi di
Identitas yang tersisa itu berupa olahraga Wu Shu (Kung-Fu). Di era tahun 1970 – 1990-an olahraga yang satu ini tumbuh subur bersaing sehat dengan olahraga sejenis lainnya seperti tinju, karate, tae kwondo. Sebenarnya, adalah beberapa perguruan yang lahir dan besar dari kawasan pecinan ini. Di antaranya perguruan Lo Pa Kong, Naga Kuning, Naga Hijau, Sakura Yudo Kwan, PORBISI Garuda Putih, dan sebagainya. Ada yang masih bertahan dengan tetap eksis walau latihannya tertutup dengan dunia luar, dan ada pula secara terbuka seperti Perguruan Garuda Putih (Guru Besarnya, alm. Ku-Seng). Seni beladiri yang satu inipun hampir punah. Sebenarnya, olahraga seni beladiri ini khas Manado karena lahir dan tumbuh dengan penyesuaianpenyesuaian, olah kreatif dan tidak sama persis bahkan jauh dari perkiraan master-master KungFu Tiongkok yang berkunjung ke Manado. Olahraga yang satu ini masih tumbuh, meski sudah langka, dan herannya masih ada di Manado. Semoga khazanah budaya, seni, dan religi itu tak tertelan modernitas zaman yang super cepat merangsek kehidupan saat ini..(Ink) E X P O S E
the pride of an identity
26
Special Report
JAUH sebelum terlihat sebagaimana yang ada saat ini, dulunya bentang alam pesisir pelabuhan Manado masih terhampar alami. Meski begitu dalam sejumlah catatan yang ditelisik media ini, sejak abad 19 kawasan tersebut telah menjadi salah satu muara niaga yang cukup ramai. Sebuah artikel yang dinukil dari Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Manado, mengulas perkampungan orang-orang Arab tidak terlepas dari keberadaan pelabuhan Manado di muara Sungai Tondano yang merupakan salah satu pusat perdagangan di Sulawesi Utara sejak abad ke-19. Mulanya beberapa pedagang asing yang datang di Manado setelah armada mereka membuang sauh di kitaran muara Sungai Tondano. Kaum pedagang dari Arab tertarik untuk menetap tidak jauh dari kota pelabuhan yang sesuai dengan mata pencahariannya sebagai pedagang. Pada akhirnya mereka memutuskan menetap bersama dengan masyarakat Islam Manado di wilayah Timur Benteng Amsterdam tak jauh dari pelabuhan. Kehidupan mereka selain berdagang juga menyebarkan agama Islam. Di antara orang-orang Arab yang datang menetap antara lain: Alan, Syawie, Bakhtiar Bin Thalib, dan Bachmid. Setelah mereka menetap terjadi perkawinan dengan penduduk setempat yang beragama Islam, sehingga terbentuk suatu perkampungan yang dikenal dengan Kampung Arab yang leteknya kurang lebih 1 km dari pusat kota.Setelah komunitasnya berkembang, akhirnya mereka memutuskan untuk pindah lokasi pemukiman yang sebelumnya dari Kampung Islam ke lokasi pemukiman yang baru (kemudian dikenal dengan Kampung Arab, sekarang Kelurahan Istiqlal). Mereka
pindah ke Kampung Arab karena letak tempat tinggal tersebut dekat dengan pusat perdagangan dan didukung oleh Pemerintah Hindia Belanda. Tujuannya agar pelabuhan Manado yang waktu itu terletak di muara Sungai Tondano akan lebih ramai dikunjungi para pedagang serta penduduk yang datang berdagang. Pada tahun 1804 orang-orang Arab mulai mendirikan masjid yang dinamakan Masjid Al Mashyur sesuai dengan nama pendirinya. Pembangunan masjid mengalami perkembangan setelah semakin berkembanganya penduduk muslim yang menetap di kawasan tersebut. Proses transisi tujuan para saudagar Arab ini ikut dibenarkan oleh Thaha Bachmid (62) seorang imam di masjid Masyhur Manadi. Kepada YunanHelmy Balamba dan Emon Kex Mudami yang mewawancarainya usai sembayang Dzuhur, pada akhir Mei (2015). Bachmid secara gamblang mengurai jejak mula-mula kampung Arab hingga keberadaan sebagaimana yang terwujud saat ini. ‘’Selain datang untuk berdagang juga dakwa agama, sehingga kemudian menetap dan dikenal seperti yang kita ketahui saat ini’’ kisah Imam saat ditemui di rumahnya depan kompleks masjid. Menurut Bachmid, satu hal yang selalu dipertahankan generasi turun temurun pada warga Arab ini adalah ketaatan dalam menjalankan ibadah mereka. Seakan tak tergerus oleh putaran jaman dan arus modernisasi. Nuansa berikut kebiasaan keislaman tetap terpelihara dengan baik di kehidupan warga sehari-hari.(Erkaem)
KAMPUNG ARAB Setelah Bersauh di Muara Sungai Tondano
1 Masyarakat Kampung Arab sepulang menjalankan Ibadah 2 Masjid Al Masyhur Kel. Istiqlal Kampung Arab. 3 Salah satu rumah tua di Kampung Arab 4 Imam Masjid Al Masyhur, Thaha Bachmid Foto - Foto : Hermundo Kasiadi
E X P O S E
the pride of an identity
1
Special Report
3
Penantian di Saat Sholat Dzuhur 2
MEMASUKI gang, mobil berjalan pelan. Selasa (26/05/2015) siang itu terik membakar langit Manado. Bertiga kami menyambangi Kampung Arab Manado. Tujuannya jelas, mewawancarai tokoh kunci yang masih bisa bertutur sejarah kampung ini.
Meski terletak tak jauh dari pusat keramaian Pusat Kota 45, namun bukan perkara mudah mencari figur yang dipercaya bisa merunut dengan baik. Mobil ditepikan dekat kantor lurah, tiga orang pegawai yang ditemui sama-sama menggeleng kepala berkait pertanyaan ada dokumen tertulis yang mungkin ‘ngendon’ di lemari-lemari kelurahan. ‘’Maaf Pak, kalau data sejarah kampung Arab, tak ada dalam bentuk tertulis, boleh tanya langsung tua-tua kampung’’ kata seorang pegawai yang kelihatan nanar. Mobil kembali melaju pelan-pelan di gang, kami bergerak dengan firasat yang baik dan berharap secepatnya mendapat ilham untuk minimal bertanya. Sebuah kedai duduk sejumlah anak muda juga ibu-ibu. Tak dinyana justru dari mereka kami mendapat jawaban yang dicari. ‘’Temui imam masjid, Aba Thaha boleh…’’ ujar mereka antusias. Mobil yang mengarah ke luar jalan besar akhirnya di balik secepatnya menuju gang
masjid yang tak jauh dari kedai itu. Waktu saat itu sudah jelang sholat dzuhur, pelataran masjid kelihatan dari jauh, umat banyak terlihat di dalam masjid untuk salat. Kami bertiga meriung di depan sebuah warung besar, duduk menikmati minuman dingin yang dibeli di warung itu. Tak lama, sang penjaga warung dengan wajah khas Arab buru-buru keluar warung dan menutup pintu. Kami mengatakan mau bertemu Imam masjid. Ia bertanya cepat maksud kami. Dijelaskan untuk keperluan wawancara. Ia tersenyum simpul dan mempersilahkan untuk menunggu usai salat, karena ternyata sang Imam masih termasuk keluarga dekatnya.
27
Wartawan Sempat Dikira Debt Collector
Bachmid berkisah cukup panjang dan mendalam, meski ia mengaku ada beberapa bagian dari histori kampung itu yang perlu dilengkapi lagi oleh lain sumber. Ia berkali menegaskan kebiasaan turun temurun yang selalu diajarkan para pendahulu tetap beribadah dan menjaga hubungan baik dengan sesama. Saat terik mentari masih garang, kami bertiga sambil tersenyum pamit dengan terlebih dulu meminta ijin mengambil sejumlah angle foto di rumah sang Imam. (erkaem)
Yang membuat kami bertiga kikuk, ia kemudian berterus terang awalnya mengira kami bertiga debt collector. ‘’Kita kira tadi kwa debt collector, mar tunggu jo sadiki nanti kita bilang,’’ ujarnya dalam logat Manado yang kental. Duduk tak lama sambil mengikuti dari jauh jamaah yang bersalat, akhirnya kami berkesempatan mewawancara sang Imam. Bernama lengkap Thaha Bachmid (62), ia mengundang kami ke arah bagian belakang warung, di sebuah rumah yang teduh, wawancara itu berlangsung hampir satu jam.
4 E X P O S E
the pride of an identity
28
Figure
SUASANA rumah itu tampak sejuk, Puluhan pot tanaman hias serta pohon buah indah tertata di halaman rumah yang dominan dicat dengan warna orange. Kicauan burung bersahutan terdengar di antara rimbunan pepohonan. Setelah beberapa kali sapaan Assalamualaikum dari kru Expose Manado, akhirnya sang tuan rumah membalasnya sambil membukakan pintu. Ratman Asrar, pemilik rumah nan asri itu. Sang koletor foto tua Manado dan barang-barang antik tempo dulu. Ratman merupakan generasi ketiga yang menjaga serta merawat barang-barang antik yang sudah berumur ratusan tahun. Suasana jadi berbeda di dalam rumah ketika terdengar lantunan Lagu Hey Jude milik The Beatles. “Hey jude, dont make it bad.Take a sad song and make it better.Remember to let her into your heart,Then you can start to make it better.” Lirik itu benar benar membawa kami pada masa tempo dulu. Tidak diputar lewat MP3 atau tape recorder, namun lagu
merdu milik The Beatles tersebut langsung diputar dengan turn table atau alat pemutar piringan hitam. Kami hanya bisa terdiam dan menikmati lantunan lagu dengan alat putar langka tersebut. Berada di ruang tamu berukuran 3 x 4 meter milik Ratman membuat kami terasa seperti berada di dalam galeri barang antik. Walaupun penasaran, kami agak sedikit takut menyentuh barang barang yang beberapa sudah berusia ratusan tahun itu. Di salah satu dinding terpajang foto hitam putih tentang pesisir Manado dengan dua buah kapal besar dengan backround Pulau Manado Tua. Tertulis foto tersebut diambil pada tanggal 11 Juli 1926. Di sisi lainnya terpajang foto besar kira-kira berukuran 80 x 40 cm yang memotret situasi Pasar Cita (area di depan Shopping Centre sekarang), foto tersebut diambil tahun 1952. Kebanyakan foto-foto tersebut diambil langsung oleh kekeknya dengan menggunakan kamera Yasica MatE X P O S E
the pride of an identity
124G yang memang terlihat sudah sangat tua dan juga terpajang di ruangan itu. Ada juga beberapa foto tentang dinamika kependudukan Belanda dan Jepang khususnya di Kota Manado. Di antara beberapa foto tersebut memuat gambar kakeknya yang memang dibilang dekat dengan petinggi Belanda dan mendapat kepercayaan untuk mengelola beberapa usaha perdagangan Belanda. Tidak hanya sejumlah foto dengan nilai yang tinggi, koleksi barang antik milik Ratman juga sangat beragam mulai dari kamera jaman dulu, uang kertas, uang koin, keramik, sampai dengan catatan harian dari sang kakek. “Ini catatan terakhir dari kakek saya. Kendati sudah sakit dia masih sempat menuliskan catatan hariannya namun dengan tulisan yag sudah sedikit berantakan,» ungkap Ratman. Koleksi sang kakek juga banyak terkait dengan dunia jurnalistik, di mana dalam beberapa sudut ruangan terdapat beberapa koran lokal Manado berumur ratusan tahun.
“Ini Koran Tjahja Sijang, terbitan tahun 1894, ini Koran Sinar Harapan asli terbitan hari Selasa tanggal 8 Februari 1965, dan ini jilidan rangkuman ‘Kemajuan Rakjat’ tahun 1937,“ tegasnya. Ratman mengatakan banyaknya barang yang terkait dengan jurnalistik karena sang kakek juga pernah menjadi bagian dari penerbitan yang ditandai dengan ‘Tanda Anggota’ wartawan harian Pahlawan Manado. Dari banyak koleksi barang antik yang tersimpan, Ratman mengakui ada beberapa koleksi yang disenangi dan sangat dijaga diantaranya alat hitung Sempoa yang merupakan pemberian Belanda kepada kakeknya. Adapula satu alat musik Gramafon milik kekeknya yang memang saat ini masih berada di tangan salah satu keluarganya. “Itu Gramafon tahun 1952 yang unik dan sangat bernilai. Yang pasti saya akan berusaha untuk mengembalikan barang tersebut di galeri keluarga. Selain itu ada buku tentang Ensiklopedia Indonesia yang diterbitkan oleh
pemerintah Belanda. Buku itu sudah ada yang menawar dengan harga jutaan tapi tidak saya berikan,” ujarnya. Sebagai salah seorang yan berkecimpung dengan Pemerintah Belanda, sikap disiplin sangat melekat ada pada sosok sang kakek. Lihat saja beberapa catatan kecil ukuran saku yang selalu dibawa dimana saja beliau pergi atau keluar daerah. “Ini catatan kecil yang selalu dibawa oleh kakek saya. Dia menulis dalam catatan buram, dan akan disalin lagi di buku besar yang sangat rapi. Isi catatan adalah semua yang terkait dengan dinamika hidup, jika ada yang tidak berpuasa, atau ada yang yang sakit pada hari itu pasti masuk dalam catatannya,” ujar Ratman. Ratman sendiri memiliki kerinduan untuk membuat museum kecil untuk koleksinya dan foto foto Manado tempo dulu milikinya. Selain itu
ada obsesi untuk membuka usaha bertema vintage. “Saya punya kerinduan untuk membuka usaha dengan tema tempo doeloe, sebab barang klasik dan tempo dulu ada pada saya, namun masih terkendala dengan modal,“ ujar suami dari Hanan Chadullah ini. Bagi ayah dari dua orang anak ini, menjaga barang- barang peninggalan keluarga sama dengan menghargai jasa orang tua, “Dan saya berharap ini akan diteruskan oleh anak anak saya,“ tegasnya. Masih banyak koleksi barang antik milikinya yang belum tertata rapi di vruangan ini. Masih banyak barang-barang yang berumur puluhan bahkan ratusan tahun disimpan dalam gudang samping rumahnya. Barangbarang itu antara lain alat cetak photo hitam putih asli beserta perangkatnya, kaset lagu yang berumur tua serta beberapa produk keramik dan tembaga yang merupakan barang berharga dan memiliki nilai yang sangat tinggi.(Jws)
Figure
29
E X P O S E
the pride of an identity
30
Special Report
E X P O S E
the pride of an identity
Special Report MATAHARI baru setengah menghabiskan perjalanannya menuju peraduan, Pak Herman sudah memarkir kendaraan ST-20nya di salah satu pojok Pasar Pinasungkulan Karombasan. Dia memilih untuk bergabung dengan beberapa temannya di sebuah warung kopi tak jauh dari tempatnya memarkir mobil usangnya itu. Sambil menunggu sore ia mampir menyeruput kopi sambil dan sekedar mengobrol santai setelah selesai menunaikan tugasnya sebagai sopir angkot tua. Waktu kerjanya memang hingga pukul 12.00. Bukan karena lelah, tapi memang hampir tidak ada penumpang lagi yang menggunakan jasa angkutannya jika lewat siang. Pelanggannya kebanyakan adalah orang yang pergipulang pasar, yang tepat tinggalnya di lorong yang jauh dari akses angkot mikrolet. Dan kebanyakan dari mereka adalah pelanggan setia yang tiap hari dilayaninya. Herman Sinaulan (55 tahun) –begitu nama lengkapnya, adalah satu dari sekian sopir angkot tua yang masih bertahan di tengah kemajuan Kota Manado. Melayani rute Pasar Pinasungkulan Karombasan - Jambore Bawah Winangun, pria ini melayani penumpang dari pukul 05.00 setiap harinya. Terkadang ia sekaligus menjadi «buruh angkut» untuk membantu penumpangnya jika membawa barang banyak. Mungkin ini juga yang membuat pelanggannya tetap setia menggunakan ST20-nya Pak Herman.
1
Ya.. memang harus ada service tambahan untuk tetap menjaga sikap loyal pelanggannya mengingat satu persatu trayek yang dilalui angkutan tua ini bertumbangan. Sebut saja rute Pakowa, Kampung Jawa atau Jalan Sea dan kompleks perumahan di daerah Malalayang yang menjadi salah satu benteng terakhir, kini tak ada lagi. Tersisa hanya rute Winangun, Jambore, dan Jalan Siswa. Itupun tidak banyak lagi. Menurut pak Arfi, sopir angkot tua lainnya, ada sekitar 15 mobil tua yang masih beroperasi di Pasar Pinasungkulan. Untuk jenis ST20 tersisa 5 unit dan 10 unit berjenis Hijet. Jenis Hijet yang terbilang lebih baru dibandingkan ST20 masih lebih banyak bertahan karena suku cadangnya masih bisa didapatkan walau agak sulit atau menggunakan suku cadang kendaraan lain yang dikira cocok. Sedangkan untuk jenis ST20 suku cadangnya sama sekali susah didapatkan. Tak pelak jika mengalami
2 1
Bagian dalam ST 20. Tampak kursi penumpang dengan posisi layaknya kursi di pesawat. 2 Versi Kaca Bok yang dulu paling digemari 3 Salah satu ST 20 yang masih beroprasi ditengah himpitan jaman.
3
31
kerusakan dan tidak bisa diperbaiki lagi, pemiliknya memilih untuk menjadikannya besi tua untuk dijual. Di era 80an, angkutan ini mejadi primadona masyarakat Manado karena dinilai efisien juga lebih modern kala itu. Semua jalur di Kota Manado dilaluinya, bahkan terkadang menyusuri lorong-lorong perkampungan atas permintaan penumpang. Bagi sebagian besar masyarakat Manado, angkutan ini tentunya melekat dalam ingatan. Mobil dengan tempat turun penumpang di pintu belakang menjadi bagian dari keseharian masyarakat Manado dan menjadi saksi sejarah perkembangan transportasi di kota ini. ST20 sendiri adalah mobil keluaran Suzuki dengan mesin 2 Tak yang diproduksi di Jepang tahun 1982. ST20 memiliki chasis dan jarak roda yang lebih panjang
Di era 80an, angkutan ini mejadi primadona masyarakat Manado karena dinilai efisien juga lebih modern kala itu.
apabila dibandingkan dengan saudara pendahulunya, ST10. Di pasaran dunia, ST 20 disebut juga dengan Suzuki Carry Wide 550. Suzuki memang dikenal sebagai produsen mobil yang kerap kali mengeluarka jenis moda transportasi kecil, yang di Jepang disebut Kei Jidosha. Di Indonesia ST20 meramaikan pasaran pada tahun 1983, Meskipun kecil mobil ini memiliki tenaga cukup besar, 26 Hp pada rpm 4.500. Dalam perkembangannya di Manado, mobil dengan mesin berkapasitas 539cc ini banyak dimodifikasi oleh tangan-tangan kreatif masyarakatnya. Mulai dari dipasangnya soundsystem, lampu kelap-kelip sampai memodifikasi body. Yang paling dikenal pada masa itu adalah jenis mobil ST20 «kaca bok». Yaitu ST20 yang kaca bagian belakang dikiri-kanan pintu masuk dipasang kaca melengkung sehingga berkesan futuristik di masa itu. Seiring perkembangan transportasi, ST20 mulai terpinggirkan. Semakin banyaknya angkutan kota jenis mikrolet dan makin agresifnya pertumbuhan ojek mulai mengurangi populasi mobil ini. Ditambah lagi dengan susahnya mendapatkan suku cadang dan tidak bisa diperpanjangnya izin jenis mobil ini menjadikan ST20 benar-benar berada di titik nadir keberadaannya. Primadona yang kini pudar. Tapi tidak bisa dipungkiri, ST20 telah menjadi bagian dari sejarah berkembangnya Kota Manado. Menjadi kisah yang melekat dalam ingatan setiap masyarakatnya. (yehabe) E X P O S E
the pride of an identity
32
Special Report
Tukang Pangkas Rambut Perlimaan Harga tetap
15Ribu
Walau BBM Naik
Sebagai kota lawas, Manado memang memiliki banyak kawasan bersejarah, dan unik. Kawasan Perlimaan di Kampung Cina, misalnya. Lokasi ini identik dengan tempat berkumpulnya tukang pangkas rambut khusus pria. Yang pasti dengan tarif murah meriah. Barber shop hingga salon kelas premium boleh saja banjir di Manado, tapi tukang pangkas rambut di Perlimaan ini tak pernah sepi order. Berada di gang buntu, lokasi agak kotor, tidak beraturan, dan banyak dinding yang kusam karena tak lagi dilaburi cat. Tapi kondisi itu tidak mengurangi minat orang untuk dating memangkas rambut. Ada puluhan tukang pangkas. Lokasi mangkal mereka berbeda-beda. Ada yang menempati ruangan kecil dengan kipas angin gantung, ada juga yang ‘terpaksa’ memanfaatkan dan bilik kosong untuk melayani para pelanggan mereka. Hasan Ma’ruf, misalnya. Dia satu dari belasan tukang pangkas rambut yang memilih tempat tanpa sekat di atas trotoar. Jangankan ruangan, kaca untuk pelanggan mengintip hasil E X P O S E
the pride of an identity
Berkali - Kali
guntingan pun hanya digantung di dinding salah satu took. Sedangkan kursi hanya diletakkan seadanya di trotoar, dan peralatan gunting di dalam tas. Di era sebelum 2006, memang di gang belakang toko di kawasan Perlimaan itu pernah dibuat sekat-sekat untuk tukang pangkas rambut. Namun di masa Wali Kota Jimmy Rimba Rogi, dengan alasan penataan kota, maka sekat-sekat itu ditertibkan. “Ya sekarang tinggal di atas trotoar, tapi sampah rambut dan kotoran selalu kami bersihkan,” ujar Hasan. Bagaimana omset? Hasan mengaku variatif. “Ya bergantung orang yang datang. Bersyukur jika sehari dapat sepuluh pelangan,” ucapnya. Hasan menuturkan akhir-akhir ini memang pendapatan sedikit menurun karena sudah banyak tukang pangkas rambut yang membuka
Biasanya torang so nda bapaksa mo minta lebih untuk orang orang pasar , kalu dorang kase 10.000 torang ambe,
lapak bisnisnya di lokasi ini. Jadi persaingannya semakin ketat. Namun yang pasti, kata Hasan, harga yang dipatok tetap sama seperti lima tahun lalu. “Tarif kami tetap 15 ribu per kepala, biar harga BBM sudah naik lima kali,” ungkapnya, berpromosi. Tidak hanya Rp15 ribu, menurut beberapa tukang pangkas, bisa berubah tergantung situasi. “Biasanya torang so nda bapaksa mo minta lebih untuk orang orang pasar. Kalu dorang kase 10 ribu torang ambe,” ujarnya. Hasan mengungkapkan paling banyak pelanggan adalah pedagang Pasar Bersehati atau buruh Pelabuhan Manado, yang memang pendapatnnya apa adanya.(jws)
Cover Story
Anda tentu penasaran dengan foto yang menjadi cover Expose Manado edisi ini. Sebuah foto tua yang menggambarkan suasana terminal yang dipenuhi bemo, mobil Toyota Hiace, orang orang yang berlalulalang dan polisi yang sedang berjaga. Ya, ini adalah terminal Calaca di pusat kota Manado. Tentunya anda tidak akan lagi menemukan terminal ini karena sudah berganti dengan pertokoan. Lokasi tepatnya berada di belakang Bank Sulut Calaca. Foto ini dijepret oleh seorang fotografer bernama Abdul Manaf Asrar pada tahun 1973. Manaf sendiri adalah seorang fotografer yang aktif mendokumentasikan kota Manado
33
diselang waktu tersebut. Rekaman visual hasil bidikannya sangat luar biasa dan tentunya kini mempunyai nilai sejarah tinggi. Beruntung sang anak, Ratman Asrar, menyimpannya dengan baik koleksi-koleksi foto tersebut. Bakat memotret Manaf diturunkan oleh sang ayah. Keahliannya memotret membawa dirinya terjun dalam dunia jurnalistik. Tercatat ia pernah bekerja sebagai wartawan Warta Utara pada masa itu. Manaf juga punya mempunyai studio foto bernama Mataram Photo Studio dan aktif sebagai anggota Foto Klub Manado dan Ikatan Penggemar Fotografi dan Perfilman Manado (yehabe).
E X P O S E
the pride of an identity
34
Flavour
Waktu menunjukkan pukul delapan pagi, seorang wanita kira-kira 30an tahun bergegas masuk ke rumah makan nasi kuning Saroja di bilangan jalan Diponegoro Manado. Ia kemudian memesan 10 bungkus nasi kuning dari warung itu. Tidak sampai 5 menit, dengan sigap pelayannya telah selesai menyiapkan pesanannya. Dari obrolan sepintas yang terdengar, nasi kuning yang dipesannya itu akan dibawa ke Jakarta karena dipesan sanak keluarganya di sana. Pesawat yang ditumpanginya akan berangkat jam sepuluh pagi ini sehingga menurutnya ia masih memiliki cukup waktu untuk membeli nasi kuning yang ber-packaging daun woka ini.
1 E X P O S E
the pride of an identity
Tiap hari rumah makan nasi kuning ini selalu ramai pembeli. Di waktu padat jam tujuh pagi sampai jam sebelas siang tak hentihentinya orang masuk keluar. Bagi yang ingin merasakan enaknya nasi kuning ini harus bersedia antre untuk mendapatkan
35
Flavour
Awalnya usaha ini diberi nama nasi kuning «Saraja» yang merupakan singkatan nama anak-anak dari pasangan ini yakni Saidah, Rafiah dan Jafar. «Tapi biar kedengarannya lebih enak dan kebetulan pak Abubakar menyukai lagu yang berjudul Saroja maka digantilah namanya menjadi Saroja
2
3 tempat duduk. Kecuali bagi mereka yang memilih untuk Take away seperti wanita tadi. Maklum rumah makan ini memang tidak terlalu besar. Terbagi dalam dua ruangan yang masih-masing memiliki 5 set meja kursi yang disiapkan untuk pembeli yang makan di tempat. Jauh sebelum rumah makan ramai di pagi hari, Rizal juru masak ikan cakalang, telah berjibaku mempersiapkan ikan yang menjadi padanan nasi kuning. Suwiran ikan cakalang nasi kuning Saroja memiliki rasa yang khas. Menurut Rizal, ikan cakalang dimasak dan dibumbui lengkuas, jahe, gula merah dan cabe keriting dengan takaran sesuai resep turun temurun. Yang unik, setiap memasak Rizal tak lupa bershalawat. Biar rasanya lebih enak. Selain ikan cakalang suwir dengan rasa yang khas, nasi kuning Saroja yang pulen ini juga dilengkapi potongan-potongan kecil
daging sapi yang dimasak dengan bumbu sambal goreng serta irisan bawang goreng yang gurih. Maka tak heran jika cita rasa nasi kuning Saroja terkenal paling enak di seantero Manado. Adalah sepasang suami istri Abubakar dan Salma Simen yang memulai usaha nasi kuning ini di tahun 70an. Awalnya usaha ini diberi nama nasi kuning «Saraja» yang merupakan singkatan nama anak-anak dari pasangan ini yakni Saidah, Rafiah, dan Jafar. «Tapi biar kedengarannya lebih enak dan kebetulan pak Abubakar menyukai lagu yang berjudul Saroja maka digantilah namanya menjadi Saroja,» kata Rafiah, salah satu putri pasangan Abubakar-Salma yang meneruskan usaha ini. Buah dari ketekunan dan kerja keras Salma dan Abubakar telah menjadikan Saroja tumbuh dan bertahan lebih dari 40 tahun. Berbeda dengan awalnya berdiri, rumah
4
5
makan yang berada di daerah Kampung Kodo, Kelurahan Lawangirung ini bisa memasak lebih dari 100 Kg beras dan 150 butir telur ayam. Ini bisa habis dalam sehari. Satu porsi nasi kuning dijual Rp15.000 dan Rp17.000 jika menambahkan telur. Cerita tentang enaknya nasi kuning Saroja pun telah menyebar kemana-mana. Tak ayal beberapa stasiun televisi nasional pernah membuat liputan khusus tentang rumah makan ini, yang kemudian menjadi ketertarikan wisatawan domestik yang bekunjung ke daerah ini untuk ikut mencicipi nasi kuning yang bercita rasa khas Manado. Tak lengkap rasanya bila berkunjung ke Manado tanpa singgah menikmati enaknya nasi kuning Saroja ataupun sekadar membawa pulang sebagai oleh-oleh. (yehabe)
1 Hidangan Nasi Kuning Saroja 2 Nasi Kuning Saroja dibungkus menggunakan daun woka 3 Rumah Makan Saroja 4 Melayani pesanan bungkus 5 Keluarga pemilik Rumah Makan Saroja
E X P O S E
the pride of an identity
36
Business Report
E X P O S E
the pride of an identity
Business Report
Selang beberapa tahun belakangan, denyut bisnis di Manado berdetak kencang. Salah satu pemicunya adalah kawasan multibisnis di Boulevard, yang cukup terkenal dengan Boulevard on Business. Adalah Mega Mas, kawasan yang terbesar dan terluas di antara enam kawasan yang menempati lahan reklamasi Pantai Manado, salah satu pemain bisnis retail dan properti. Bagaimana peluang dan tantangan bisnis di Manado ke depan? Simak wawancara Expose Manado bersama General Manager Megasurya Nusalestari, sebagai pengelola kawasan Mega Mas, Irawan Handoko. Bagaimana pandangan bapak terhadap prospek Manado sebagai kota bisnis?
Apakah Manado bisa menjadi destinasi kota belanja seperti Singapura?
Saat ini pun Manado sudah menjadi sasaran perusahaan skala nasional untuk berinvestasi, khususnya dalam bidang retail dan properti. Memang untuk sektor industri skala menengah dan besar masih ada beberapa kendala untuk dikembangkan di Manado, salah satunya adalah daya listrik yang belum memadai. Apakah birokrasi/perizinan selama ini mempengaruhi niat pelaku usaha?
Untuk saat ini masih belum, dan butuh usaha yang sangat besar untuk menjadikan Manado sebagai destinasi shopping city untuk masyarakat dari luar Sulut. Ini juga butuh peran aktif dari Pemkot untuk menggalakkan sektor wisata, karena sektor ini salah satu peran utama untuk mendongkrak Manado menjadi salah satu destinasi shopping city.
Selama ini belum ada masalah bagi kami, dan kami harapkan tetap demikian. Dan semoga lebih bagus lagi pelayanan publik dari Pemkot Manado.
Khusus Megasurya Nusalestari sendiri, berapa banyak serapan tenaga kerja di sektor yang Anda kelola? Saat ini kami mengaryakan sekitar 650 orang.
Sejauh mana prospek bisnis retail atau perdagangan di Kota Manado?
Pasti di antara mereka itu ada pekerja lokal. Penilaian Anda terhadap SDM pekerja lokal?
Bisnis retail saat ini sedang bertumbuh pesat di Manado dan sekitarnya. Hal ini dapat dilihat dari peritel modern yang cukup banyak membuka toko di beberapa titik di dalam maupun luar kota.
Memang beberapa belum memiliki standar berkarya yang tinggi. Namun kami yakin ke depan akan lebih baik karena jumlah penduduk yang bertambah, dan juga banyaknya pendatang yang ke Manado akan membuat
37
Kawasan Megamas Manado. Foto : Hermundo Kasiadi
persaingan untuk bertahan hidup. Dengan adanya persaingan tentunya semua akan menunjukkan sesuatu yang terbaik dalam dirinya. Soal MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), apakah pemain bisnis di Sulut Siap bersaing? Dunia bisnis memang dunia persaingan. Untuk pemain bisnis Sulut, khususnya kami, kami yakin mampu untuk bersaing dengan perusahaan dari luar negeri asalkan ditunjang dengan kualitas tenaga kerja lokal yang bagus. Bisnis properti Mega Mas sudah banyak, tapi masih adakah gebrakan dari pihak Mega Mas untuk ekonomi Manado? Masih tentunya. Ada beberapa persembahan dari kami untuk masyarakat Manado yang sedang direncanakan, salah satunya real estate.(yhb/jws)
E X P O S E
the pride of an identity
38
Entrepreneur
Usaha ini bermula dari sebuah keinginan memberikan sesuatu kegiatan positif antara anak muda di Kota Manado, serta kecintaan terhadap kuliner asli Indonesia (tahu). Tahu isi cakalang, adalah ide yang lahir dari keinginan memberikan manfaat untuk Kota Manado dari sekelompok anak muda yang tidak ingin terjebak dalam kegiatan yang kurang bermanfaat (negatif) . «Malam hari, kira-kira setahun yang lalu Tuang Tahu Isi Cakalang (TTIC) menjadi niat kami. Dengan bermodalkan dana 100.000 keesokan harinya mimpi ini dimulai,» ungkap Aryo Djatmiko, sang pemilik usaha. Selama tiga bulan TTIC dijajakan dari pintu ke pintu rumah penduduk, sambil terus mengalami perubahan rasa guna mencari rasa isi cakalang yang terbaik. Memasuki bulan ke tiga, TTIC akhirnya memberanikan diri membuka akun Facebook dengan nama Tuang Tahu Isi Cakalang. Dari produk gorengan yang dijajakan «door to door» selama tiga bulan, TTIC pada bulan ke empat akhirnya menjadi gorengan (tahu isi) pertama di Manado yang diminati melalui penjulan online dan pertama di Manado yang bisa «Pesan-Antar» (delivery) gratis.
E X P O S E
the pride of an identity
Memasuki bulan ke lima TTIC dipercaya menjadi salah satu (10 Besar ) se- Sulawesi Utara sebagai Finalis acara reality Show sebuah program yang mencari bakat entre preneurship Indonesia (Metro TV «Berani Jadi Miliarder») se Indonesia. Selanjutnya beberapa TV Nasional kemudian silih berganti meliput dan memberitakan TTIC sebagai salah satu «buah tangan» baru khas Kota Manado. «Kebanggaan kami belumlah dapat dinilai dengan rupiah. Tetapi sebuah kebanggaan yang kami dapatkan adalah bahwa TTIC saat ini sudah menjadi salah satu produk kuliner baru khas Kota Manado yang sudah sering dipesan sebagai oleh-oleh menuju Pulau Jawa, Bali, Kalimantan dan lainnya,» ucap Aryo, bangga. TTIC memang sampai saat ini belum memiliki outlet khusus di pusat kota. Sudah hampir setahun ini tetap konsisten melayani pesan antar dari dapur sederhana mereka. «Karena kualitas rasa dan pelayanan untuk konsumen kami adalah yang utama.» Tahu adalah kuliner asli Indonesia dan ikan cakalang adalah salah satu hasil laut Sulawesi Utara, khususnya Manado yang sangat dikenal. Dua perpaduan yang kaya akan protein dan vitamin ini kemudian dikombinasikan sampai saat ini tanpa menggunakan MSG (vetsin).
«Bagi kami stok hari ini wajib habis hari ini juga, sehingga masih banyak terkadang beberapa konsumen tidak dapat kami layani dikarenakan kami tidak memiliki (tidak berani) menyimpan stok,» tambah Aryo. 80% penjualan TTIC adalah pesanan via telepon satu hari sebelumnya, seperti yang sering dilakukan melalui nomor 082347301474. Dan, rasa bersyukur mereka karena saat ini sudah ada beberapa usaha gorengan yang meniru. Merekabangga dan senang, karena minimal dapat memberikan inspirasi dan sesuatu yang baru tidak hanya untuk membantu ekonomi masyarakat tapi juga Kota Manado. «Kami yakin masih banyak anak muda di Manado yang dapat terus memberikan inspirasi kreatif dan mendorong majunya Kota Manado, walaupun itu hanya gorengan seperti kami,» tutup Aryo. Tak heran, lewat usaha ini mereka mengusung motto «Manado Kreatif Manado Aman». Himbauan dan keinginan mereka adalah: MARI DUKUNG PRODUK KREATIF ASLI ANAK MANADO.(***)
Event
39
Festival Kuliner Ramadhan Menjalin Silaturahmi, Memperat Toleransi Alunan musik islami terdengar dari sound system yang dipasang di sekitar Pohon Kasih Megamas. Tenda-tenda berwarna orange berjejer dua baris di koridor samping kiri pohon buatan yang berkonstruksi baja itu. Dalam tenda itu terdapat kios menjual berbagai macam makanan untuk berbuka puasa. Ini tahun ketiga Festival Kuliner Ramadhan dilaksanakan di tempat ini dan selalu saja dijejali banyak pengunjung. Pengunjung pun bukan hanya umat Muslim yang melaksanakan ibadah puasa, tapi dari berbagai kalangan. Tempatnya yang strategis memang menjadi magnet tersendiri bagi para pengunjung untuk berbuka puasa ataupun untuk sekedar berkumpul bersama teman atau keluarga. Mauren, staf perusahaan provider yang berkantor di kawasan bisnis ini adalah salah satu pengunjung setia setiap event ini digelar. Walaupun bukan pemeluk Muslim yang menjalankan puasa, dia selalu saja meluangkan waktu untuk nongkrong di sini. «Saya sering janjian dengan teman-teman sambil menikmati makanan berbuka puasa yang dijual di sini. Ada juga kue-kue spesial Ramadhan yang jarang ditemui dan hanya ada di sini,« tutur Mauren. Begitu pun dengan Carlo, salah satu pehobi foto. Hampir tiap hari berkumpul bersama komunitas fotografinya di tempat ini untuk sekadar ngobrol dan sharing foto sambil menunggu beduk magrib tanda buka puasa. Bersama komunitasnya juga Wahab
1
menggagas hunting foto model bertemakan hijab sekaligus menggalang infaq yang akan disalurkan ke panti asuhan. «Banyak cara untuk beramal di bulan puasa, salah satunya dengan kegiatan seperti ini,» ujarnya. Dari tahun ke tahun event ini memang semakin ramai, walaupun di beberapa tempat juga dilaksanakan event yang sama. Deny, penjual nasi bakar yang sudah dua tahun berturut-turut ikut berjualan di sini mengaku bahwa ia bisa mengantongi pendapatan Rp1 juta hingga Rp2 juta dalam sehari. Baginya keuntungan ini cukup lumayan mengingat dia tidak mengeluarkan biaya sewa kios selama acara ini berlangsung. «Cukup dengan membayar biaya listrik, kebersihan, dan keamanan sebesar 1,5 juta selama sebulan acara ini berlangsung,» tegasnya. Selain kios nasi bakar milik Denny, ada 20 kios lagi yang menjual berbagai macam makanan. Dan setiap kios diharuskan menjual makanan yang berbeda. Makananmakanan yang dijual di antaranya, Sate Kambing, Siomay, Ikan bakar, Mie Titi, Nasi Goreng, Bakso, Bubur ayam, Sate Padang, dan banyak lagi. Kalau di sebelah selatan panggung berjejer kios makanan «berat», lain halnya dengan di sebelah utara panggung. Tempat ini diperuntukkan untuk tenda yang menjajakan kue-kue tradisional, makanan ringan, es buah, kolak, dan stand minuman. Anda akan
Aktifitas Hunting Foto di lokasi Festival Kuliner Ramadhan. Fotovz: Carlo 2 Suasana Festival Kuliner Ramadhan di lokasi Pohon Kasih Megamas
1 dengan mudah menemukan kue seperti Lampu-lampu, Balapis, Roti Maryam, Ondeonde, Panada, Lalampa, dan kue tradisional lainnya. Selain menyediakan tenda untuk berjualan, panitia acara ini juga menyiapkan mushala portable yang bisa digunakan pengunjung untuk menjalankan salat dan panggung hiburan bernuansa Islami. Di atas panggung berbagai macam acara digelar. Mulai dari ceramah agama, diskusi agama, musik Islami, dan kuis. Tentunya kegiatan-kegiatan ini lebih menyemarakkan suasana. Jika anda ingin berkunjung ke Festival Kuliner Ramadhan ini, Anda harus datang lebih awal. Kalau tidak, jangan berharap Anda kebagian kursi. Saking ramainya, 700 kursi yang disiapkan panitia setiap harinya penuh terisi. (yehabe)
2 E X P O S E
the pride of an identity
40
Opportunity
1
Manado Menjelma Jadi Kota Hiburan di Timur Indonesia
Manado kini berkembang menjadi kota yang penuh pesona. Dan pesonanya kini tidak sekadar keindahan bawah laut Bunaken. Perkembangannya yang begitu cepat menjadikan Manado tidak kalah dengan kota-kota lain di Indonesia. Kemajuan di bidang infrastuktur patut diacungkan jempol. Gedung-gedung seperti pusat perbelanjaan, hotel, dan convention centre mulai banyak berdiri seantero kota. Pelabuhan penumpang dan pelabuhan wisata dibenahi. Ring road dibangun untuk mengurai kemacetan yang mulai terasa. Begitupun dengan hadirnya landmark-landmark baru yang menjadi identitas Manado sebagai sebuah kota yang modern. Sebut saja salah satunya Jembatan Soekarno yang menjadi kebanggaan seluruh warga kota. E X P O S E
the pride of an identity
Opportunity Kemajuan di bidang infrastuktur ini tak lepas dari usaha Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara dan Pemerintah Kota Manado menjadikan Manado sebagai salah satu kota tujuan MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) di Indonesia. Walaupun masih berada di peringkat 8 di bawah Jakarta, Bali, Bandung, Jogyakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar seperti yang dirilis majalah Tourism Watch Magazine, Manado sudah mampu menunjukkan kelasnya. Terbukti event internasional seperti World Ocean Summit - Coral Triangle Initiative (WOC-CTI), Senior Official Meeting ASEAN, ASEAN Regional Forum Disaster Relief Exercise (ARF DIREX), World Coral Reef Confrence (WCRC) dan beberapa event tingkat nasional sukses digelar.
2
3
Tentunya dengan digelar event-event tersebut ikut menaikan tingkat kepercayaan wisatawan untuk menjadikan Manado sebagai daerah
Selain konser bertaraf internasional, banyak juga konser artis nasional yang digelar di Manado seperti Agnes Monica, Glen Friedly, Alexa Key, Tompi, Judika, Noah, Slank, Superman Is Dead dan banyak lagi. Konser tidak hanya digelar di tempat terbatas seperti club malam, tapi merambah ke ruang terbuka layaknya konser-konser besar di Ibu Kota (Jakarta).
4
tujuan wisata. Ditambah lagi dengan usaha pemerintah memperbaiki fasilitas publik dan pihak swata yang mulai melirik Manado sebagai kota masa depan untuk berinvestasi.
5
1 Michael Learns to Rock 2 FDJ Emily Scoot 3 Tompi
6
4 Judika 5 Glenn Fredly 6 Alexa Key 7
7
Agnes Monica
Seiring dengan perkembangan kotanya, gaya hidup masyarakatnya pun ikut berubah tak kalah dengan kota besar lainnya. Pusatpusat perbelanjaan dan hiburan banyak bermunculan. Malahan dalam satu periode muncul secara bersamaan. Pertandanya daya beli masyarakat mengalami peningkatan. Tempat-tempat hiburan seperti club malam dan karaoke bertebaran dan tidak pernah sepi pengunjung. Event-event hiburan nan bergengsi banyak digelar. Konser artis dan event regular seakan tanpa henti hadir memanjakan masyarakat Manado. Event organizer nasional mulai melirik Manado sebagai salah satu kota tempat dilaksanakan tur artis internasional. Sebut saja grup band dunia Michael Learns To Rock yang pada medio Januari 2015 juga menyambangi Manado selain Jakarta, Medan, Makassar dan Bali dalam turnya ke Indonesia.
41
Michael Learns To Rock merupakan band pop yang cukup populer di tahun 1990-an. Band asal Denmark yang berdiri pada 21 Maret 1988 ini telah menghasilkan delapan album studio dan mencetak beberapa hits terkenal seperti Paint My Love, That›s Why (You Go Away), You Took My Heart Away, Sleeping Child, Nothing to Lose, The Actor dll. Band ini beranggotakan Jascha Richter (vokal/ keyboard), Mikkel Lentz (gitar/backing vokal), dan Kare Wanscher (drum/perkusi). Konser MLTR di Manado terbilang sukses. Tiket pun ludes terjual walaupun harga tiket mencapai Rp750.000 per orang. Mini konser yang digelar di salah satu club malam di kawasan Boulevard itu menarik minat hampir 1.000 orang. Selain MLTR, Emilly Scoot, Female Disc Jockey (FDJ) dunia asal Australia juga sempat mampir dan unjuk kebolehannya di Manado. Sebelum mengawali kariernya sebagai DJ, Emily Scoot adalah model yang telah menghiasi 30 sampul majalah internasional. Dia juga terpilih sebagai salah satu wanita terseksi di dunia versi beberapa majalah di Amerika dan Inggris. Saat ini Emily memilih jalur Edge Music di karier Internasionalnya dan memegang residensi pada klub-klub utama di London dan Australia. Tahun 2014 Emily menggelar turnya di 9 kota di Indonesia, salah satunya adalah Manado. Selain konser bertaraf internasional, banyak juga konser artis nasional yang digelar di Manado seperti Agnes Monica, Glen Friedly, Alexa Key, Tompi, Judika, Noah, Slank, Superman Is Dead dan banyak lagi. Konser tidak hanya digelar di tempat terbatas seperti club malam, tapi merambah ke ruang terbuka layaknya konser-konser besar di Ibu Kota (Jakarta). Euforia masyarakat pun seakan tak terbendung setiap konser berlangsung. Dan perlu diacungkan jempol, tidak pernah terjadi kekacauan selama event-event tersebut digelar. Ini kemudian menjadi catatan bahwa Manado adalah salah satu kota yang aman untuk penyelenggaraan event-event berskala nasional dan internasional sekalipun. Tak heran bila masyarakat dari luar daerah seperti Ternate, Gorontalo, Makassar, Sorong, Ambon dan kota lain di Indonesia Timur selalu mengambil bagian dalam kemeriahan eventevent yang digelar di Manado. Manado kini telah menjelma menjadi ikon kota hiburan di Timur Indonesia.(yehabe)
Foto - foto : Raihan Faiz E X P O S E
the pride of an identity
42
Event
Music On The Street Waroeng Charity
bINTANG LOKAL YANG BERSINAR
The Favor
Tomohon Blues Authority
Harley Mangindaan
Gio Idol dan Om Stef
The Uncle Project E X P O S E
the pride of an identity
The Lezy dan suasana Waroeng Charity
Event Setelah beberapa saat mencari tempat parkir, kami akhirnya memutuskan untuk memarkirkan mobil di pelataran salah satu pusat perbelajaan di kawasan Boulevard Manado. Untung saja pusat perbelanjaan itu sudah tutup, sehingga kami dengan mudahnya memarkir mobil di sana. Di seberang jalan tampak keriuhan. Ada panggung kecil dengan tata lampu yang apik. Dari sanalah terdengar «Spinnin› around me»-nya Gugun and Blues Shelter. «Every night was killin› me. My heart so cold without you here. Oh baby please baby. Get inside my time is free». Begitulah penggalannya. Waroeng Charity yang menjadi menjadi sumber keriuhan malam itu dan tujuan kami adalah menghabiskan malam Minggu di sana . Saya dan beberapa teman memang agak penasaran dengan promo yang berseliweran di sosmed seminggu belakangan dan direspon baik oleh netizen . Bertajuk «Music on The Street» Raggae - Blues - Jazz Festival, Waroeng Charity menghadirkan lima grup musik yaitu The Uncle Project, The Favor, Tomohon Blues Authority, STB dan The Lezy yang di awal kedatangan kami memainkan
«Spinnin› around me». Selain itu, acara yang dilaksanakan pada tanggal 27 Juni 2015 itu menghadirkan juga Gio, jebolan Indonesia Idol 2014. Malam itu semua tempat terisi. Penonton pun meluber sampai keluar. Kami yang datang agak terlambat akhirnya hanya bisa berdiri di sisi kanan panggung tepat di pintu masuk. Stefanus Pusung, pemilik Waroeng Charity yang melihat kedatangan kami dengan sigap menghampiri. Sambil menunggu ada tempat yang kosong kami terlibat pembicaraan ringan di belakang panggung. Menurutnya event-event tematik seperti ini memang menjadi konsen dan ciri dari Waroeng Charity. «Kami berusaha untuk tetap memberikan ruang berkreasi kepada teman-teman musisi selama Waroeng ini ada» tegasnya. Ya benar, berdasarkan amatan kami, Waroeng Charity konsisten memberikan ruang berkarya tidak hanya kepada komunitas musisi tetapi juga komunitas yang lain. Maka tak heran setiap harinya tempat ini selalu ramai. Sudah jam 12 malam. Bukannya semakin sepi, penonton malah bertambah banyak. Kemacetan kecil pun tak terhindarkan dijalan tepat di belakang panggung. Para pengendara sengaja melambatkan kendaraannya karena penasaran. Sementara di atas panggung para bintang malam itu semakin menggila. Penonton seperti terhipnotis dan akhirnya sama-sama menyanyi. Dalam penampilannya The Favor yang turun dengan lagu-lagu cantik milik Kahitna dan Sandy Sandoro langsung mencuri
43
perhatian para kaum hawa. Disusul kemudian dengan penampilan dari Tomohon Blues Authority, yang digawangi oleh para musisi senior yang piawai memainkan blues. Dino, Vocalist dan Guitaris TBA malam itu tampil ekspresif dengan ulikan guitarnya. Tak pelak aplaus dan decak kagum berhamburan di setiap akhir penampilan mereka. Acara malam itu semakin meriah dengan tampilnya Giofanny Elliandrian atau yang lebih dikenal dengan Gio Idol. Jebolan Indonesia Idol ini membawakan beberapa lagu milik Noah dan lagu miliknya sendiri. Walaupun lagulagu yang dibawakan bukan jenis reggae, blues dan jazz sesuai tema malam itu, tapi tetap mendapat respon yang luar biasa dari penonton. Penampilannya yang komunikatif dengan penonton membuat suasana lebih hidup. Acara ditutup dengan penampilan The Uncle Project. Grup musik yang dimotori oleh Uncle Jack dan Harris malam itu tampil sempurna. Walaupun hanya membawakan lima lagu tapi aksi panggung mereka mampu menggerakkan penonton untuk bergoyang . No woman no crynya Bob Marley dan Anak Pantai-nya Imanez menjadi lagu pamungkas dari grup musik yang mempunyai banyak penggemar ini. Penonton sempat kecewa ketika Harris vocalist pamit menutup penampilan. Mereka meminta untuk tampil kembali. Sayangnya waktu sudah semakin larut dan acara harus berakhir. Gelaran acara yang dimulai dari pukul sembilan malam ini sukses luar biasa. Om Stef, sang owner tidak memprediksi penonton akan membludak seperti ini. Wakil Wali Kota Manado Harley Mangindaan pun menyempatkan diri untuk hadir malam itu. Penampilan grup musik yang luar biasa benar-benar menjadikan mereka bintang yang bersinar. (yehabe)
E X P O S E
the pride of an identity
44
Local Host
Local Host
Siang 20 Juni 2015, studio foto milik Expose Manado kedatangan tamu istimewa. Adalah The Uncle Project, grup band yang belakangan ini menjadi buah bibir di seantero Manado karena aksi panggung mereka yang selalu membuat banyak orang berdecak kagum. Ya, merekalah tamu istimewa hari itu. Grup band ini digawangi lima orang yaitu, Jack (Guitar), Harris (Vocal), Joel (Bass), Machir (Drum), dan Frangky (Keyboard). Walaupun The Uncle Project tergolong band baru, tapi para personelnya telah malang melintang di dunia musik baik di tingkat lokal maupun nasional. Banyak stage telah dijajal para personelnya, mulai dari stage cafe maupun stage-stage besar. Memenuhi undangan Expose Manado, grup band yang mengusung genre Raggae, Blues dan Rock Alternative ini menjalani sesi pemotretan dan wawancara eksklusif untuk majalah ini. Berikut petikan wawancara dengan Harris dan Jack yang menjadi motor dari grup band ini. Kenapa grup band ini dinamakan The Uncle Project dan bagaimana awalnya terbentuk? Harris : Awalnya band ini adalah band proyekan saya dengan uncle Jack (Panggilan untuk Jack-Guitar). Sebagai musisi kami punya kegelisahan yang sama untuk memainkan musik yang benar-benar mewakili jiwa kami. Musik yang penuh kebebasan. Kami merasa Raggae, Blues dan Rock adalah jiwa kami yang sebenar-benarnya. Hehehe. Soal nama, kami tidak mau terlalu terbebani. Bagi kami musikalitas yang baik jauh
lebih penting dari sebuah nama. Sayalah yang mengusulkan nama The Uncle Project. Nama yang sebenarnya diambil dari panggilan Uncle Jack. Kapan tepatnya band ini terbentuk? Dan di mana kali pertama tampil? Jack : Banyak kesempatan saya dan Harris berada dalam satu stage. Tapi kemudian kami bersepakat untuk membuat band proyekan dengan genre yang mewakili jiwa kami. Itu dimulai dari bulan November 2014. Awalnya kami menggandeng beberapa musisi untuk ikut keroyokan proyek ini. Kebetulan saat itu kami diberikan ruang untuk tampil di Waroeng Charity yang pemiliknya juga mempunyai konsen dan minat yang sama dengan musik yang kami usung. Ternyata The Uncle Project mendapat respon yang baik setelah kemunculannya. Apa pendapat kalian? Harris : Kami belum bisa mengatakan bahwa kami sukses. Mungkin saja mereka yang menyaksikan penampilan kami kebetulan menyukai musik raggae, Blues dan Rock. Hehehe.. Tapi d setiap penampilan selalu banyak pengunjungnya dan selalu meriah? Harris : Ah, itu kebetulan saja. hehehe. Tapi kami selalu bersyukur. Syukur-syukur penampilan kami bisa benar-benar dinikmati dan panggilan job semakin banyak. Hehehehe. Amin.
45
Selain tampil di stage, apa aktivitas keseharian personel The Uncle Project? Jack : Banyak waktu yang kami habiskan di belakang layar seperti mencipta lagu, music arangger. Teman-teman lain masih ada juga yang kerja kantoran. Di kota seperti Bandung dan Jakarta, perkembangan music yang diusung oleh musisi lokal berkembang pesat. Bagaimana dengan musisi Manado dan peluangnya? Jack : Musikalitas musisi Manado tidak kalah dengan kota lainnya. Genre pun sudah banyak dan konsisten. Mungkin yang dibutuhkan adalah lebih kreatif, open mind dan kerja keras tentunya. Tapi music perform adalah suatu sistem industri dimana ada musisi, produser, label, distributor dan pembeli tentunya. Yang harus dikerjakan adalah bagaimana perangkat itu bisa tersedia. Itu artinya sudah berpikir untuk bikin album sendiri? Harris : Ya, kita harus berpikir maju. Kami sementara proses kumpul materi dan membuka peluang kerjasama dengan perangkat lainya. Apa sebenarnya yang menjadi motivasi The Uncle Project untuk tetap bertahan didunia musik? Jack : Kami melihat teman-teman musisi di Manado punya kualitas yang baik. Sudah saatnya kita berpikir untuk mendobrak hegemoni metropolitan di industri musik. Kota lain sudah bisa membuktikan. Itu artinya musisi Manado juga bisa. (yehabe) E X P O S E
the pride of an identity
46
Destination
Mimpi Mirip Hong Kong di Teluk Manado Matahari tinggal sepenggalah lagi akan masuk ke peraduannya. Semburat jingga mulai memendar membentuk polanya di ufuk barat. Ratusan orang mulai sibuk dengan aneka kamera berebut golden moment—istilah para fotografer landscape—ini, di suatu sore. Mereka menempati berbagai lokasi di atas Jembatan Soekarno, Manado, mengabadikan momen dengan berbagai kamera, dengan berbagai pose, dengan rupa-rupa mimik wajah. Selfie kiteee! 12 tahun dinanti, Jembatan Soekarno yang menghubungkan utara (Sindulang) dan selatan (Boulevard I) akhirnya dibuka. Hampir selama masa penantian itu pula masyarakat hanya bisa menikmati perjalanan yang tertatih pembangunannya. Operasional perdana pada 26 Mei, dan diresmikan 28 Mei 2015 lalu menjadi pelipur lara masyarakat Sulawesi Utara. Sejak diresmikan hingga detik ini jembatan yang dibangun dengan dana APBN senilai Rp300 miliar itu seperti menjadi destinasi baru, dan alternatif wisata di Manado. Menjelma jadi ikon Manado yang tak pernah sepi dari jejak kaki para pelancong gratis. Cikal bakal jembatan yang dirancang untuk usia 100 tahun itu sebenarnya lahir sejak 1997. Jembatan Nyiur Melambai namanya, yang menghubungkan Boulevard I dan Boulevard II. Ada beberapa figur yang memiliki nostalgia dengan Jembatan Nyiur Melambai itu. Antara lain Ir Lucky Korah MSi (Wali Kota Manado saat itu) dan Ir Herry Untu (mantan Kadis PU Sulut yang saat itu ditunjuk sebagai Pimpro) “Saat pemancangan tiang pertama dilakukan di kawasan Pasar Jengki (sekarang Bersehati). Sudah ada maketnya tapi belum berbentuk cable stayed seperti
E X P O S E
the pride of an identity
yang ada saat ini,” ungkap Herry Untu.
Menurut Untu, konsep pembangunan Jembatan Nyiur Melambai itu merupakan ide dari Lucky Korah, yang saat itu menjabat Wali Kota Manado. “Pak Lucky mengemukakan ide soal Manado perlu memiliki ikon, misalnya, jembatan yang boleh dilihat indah dari laut. Mirip di Hong Kong,” ungkap Untu. “Ide itu diselaraskan dengan visi beliau: ‘Manado Kota Pantai Nyiur Melambai Abad 21’,” tambah Untu. Setelah melakukan perencanaan dan desain yang dituangkan dalam maket, sehingga terciptalah rancangan jembatan yang melintas dari Boulevard hingga Sindulang. Tapi, kata Untu, saat itu rancangan lantai jembatan rendah karena perencanaan sudah sekaligus dengan penataan kawasan Pelabuhan Manado yang akan dipindahkan ke bagian depan. “Dari desain awal yang dirancang Pak Lucky bersama Pemkot Manado, Pelabuhan Manado saat ini hanya untuk pelabuhan wisata, bukan untuk pelabuhan penumpang,” ujarnya. Tapi, kata mantan Kadis ESDM Sulut itu, di tahun 1997 itu Pemprov belum memiliki dana karena Jembatan Nyiur Melambai merupakan salah satu megaproyek yang harus dibiayai pemerintah pusat. Kondisi ini membuat
Pemprov Sulut dan Pemkot Manado, ‘bergerilya’ mencari dukungan dana dari pemerintah pusat. “Makanya sejak tahun itu rencana Jembatan Nyiur Melambai masuk dalam perencanaan nasional. Tapi, nanti terwujud 2003 setelah Ketua DPR RI Alm. Taufik Kiemas mendengarkan langsung rencananya,” katanya. “Golnya proyek tersebut tak lepas dari peran Wagub Sulut (2000-2005) Alm. Freddy Sualang yang dikenal dekat dengan Megawati Soekarnoputri (saat itu Presiden RI),” tutup Herry. Dan, bukan kebetulan bila jembatan itu diresmikan oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, sebab dinamai nama kakeknya (Dr Ir Soekarno), dan pemancangan tiang sebagai awal pembangunan pada tahun 2003 dilakukan oleh ibunya (Megawati Soekarnoputri). (ink)
Destination
1
1 Peresmian dimulainya pembangunan Jembatan Soekarno oleh Gubernur Sulut EE. Mangindaan Tahun 2003 2 Peresmian dibukanya Jembatan Soekarno oleh Menko Bidang Pembangunan Manusia RI Tahun 2015
2
47
50
Advertorial
Menanti Tambahan Listrik 125 MW dari PLTG dan PLTU
Upaya dan kerja keras PLN Suluttenggo untuk memberi pelayanan yang lebih sungguh kepada pelanggan telah terbukti. Dua pembangkit listrik segera beroperasi untuk melayani wilayah Sulutgo.
Hal ini diutarakan General Manager PLN Suluttenggo Ir. Baringin Nababan MBA dalam kunjugan kerjanya bersama tim media, baru baru ini. Dua pembangkit itu adalah Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Marisa Gorontalo 2 x 50 MW yang dijadwalkan beroperasi akhir tahun ini, dan PLTU Anggrek Gorontalo 2 x 25 MW yang satu unitnya akan beroperasi di akhir tahun ini juga.
“Semua ini terus kami genjot, agar banyaknya permintaan sambung baru dan tambah daya bisa kami layani. Dan ini komitmen PLN untuk melayani lebih sungguh,” ujar Baringin di lokasi pembangunan PLTG Marisa. Pekerjaan pembangunan PLTU Anggrek, Kecamatan Anggrek, Gorontalo Utara itu sedang dikebut. “Mesin sudah ada di lokasi pembangunan, dan sekarang sedang dalam pembangunan gedung untuk mesin tersebut,” tambah Baringin. Menurutnya, doa masyarakat selalu diharapkan agar semua perencanaan pasokan listrik, yang nantinya terealiasasi di tahun ini bisa sesuai dengan rencana. “PLN Suluttenggo harus bisa melayani kembali tambah daya dan sambung baru pada akhir tahun ini,” tukas Baringin yang ditemui di Gardu Induk Marisa. Di Sulut juga saat ini sementara juga dibangun PLTG 2 x 60 MW di Amurang, serta PLTU Amurang 2 milik swasta yang sudah mencapai tahap pelaksanaan pembangunannya.(ink)
Ocong, Si ‘Penunggu’ Pintu Air PLTM
Ocong, begitu dia akrab disapa. Lelaki ini sudah lupa berapa usianya saat ini. Dia sudah bekerja di PLTM Kolondom, Kotaraya sejak dibangunnya PLTM ini tahun 1994. Sekalipun waktu itu hanya sebagai pekerja sukarela,namun tak menghalangi niatnya untuk terus mengabdikan diri.
“Tahun 2002 PLN memberi insentif 250 ribu perbulannya kepada saya, dan pada tahun 2010 saya diangkat menjadi karyawan outsourching,” katanya. Dia mengaku tak pernah mengecap bangku pendidikan, di SD sekalipun. Untuk menandatangani daftar gaji pun Ocong hanya pakai cap jempol. Ketika awak media Tour PLN Manado-Tolitoli menanyakan suka dukanya menjadi penjaga pintu air di PLTM Kolondom, Ocong tampak bingung menjawab. “Karena baru pertama kali ini saya menghadapi media. Selama ini hanya tahu bekerja membersihkan pintu air yang ada di ketinggian 600 meter dari permukaan laut ini,” katanya. Menurut rekan-rekan sejawatnya di PLN Tolitoli, tugas Ocong seharihari membersihkan sampah di pintu air PLTM itu. Terkadang dia seharian berenang-renang di kolam dekat pintu air. Saking sudah menyatu dengan lokasi kerja itu, Ocong tak berasa letih meski bolak-balik dari kaki bukit ke puncak tempat pintu air itu berada. Di suatu hari medio Juni 2015 ayah dari enam orang anak ini begitu sumringah atas kehadiran General Manager PLN Suluttenggo Baringin Nababan. Dia mengaku, baru kali itu dia tahu yang datang itu adalah pimpinan PLN Suluttenggo. Ocong yang dikenal pendiam ini mengaku sangat puas dengan gaji yang diterima dari PLN. “Karena sudah lama, sampai saya sering disebut ‘Penunggu pintu air PLTM Kolondom’,” katanya, sumringah.(ink)
E X P O S E
the pride of an identity
52
1
Photography
1 Keindahan Sunrise dinikmati dari atas jembatan di jalan Ringroad Manado. Tampak aliran sungai Tondano dan Gunung Klabat. Foto : Angri Mokoagow 2 Kota Manado menjelang malam. Di kejauhan tampak Gunung Klabat. Foto : Angri Mokoagouw
2
3
3 Fenomena alam cincin matahari yang terjadi pagi hari memberikan keindahan tersendiri di Landmark Patung Yesus Memberkati di Kota Manado. Foto : Hermundo Kasiadi 4 Pasir putih di Pantai Siladen menjadi daya tarik wisata di Kota Manado. Foto : Stenly Pontolowokang 5 Suasana pagi di muara Sungai Tondano. Foto : Angri Mokoagouw
5 4
E X P O S E
the pride of an identity
6
Photography
53
7
6 Pemandangan sore di hiasi lampu lampu warna warni di Kawasan Bisnis Boulevard menjadi salah salah tempat untuk menikmati senja di Kota Manado. Foto: Armando Loho
Aktivitas nelayan di Pusat Pelelangan Ikan Pasar Bersehati Manado. Foto : Hermundo Kasiadi
7
11
Pemukiman padat Kota Manado dilihat dari daerah perbukitan Pakowa. Foto : Hermundo Kasiadi
Kapal penumpang dari Nusa Utara memasuki Pelabuhan Manado di pagi hari. Foto : Stenly Pontolowokang
8
12
Sunset di Teluk Manado. Foto : Armando Loho
Suasana Titik Nol Kota Manado pada malam hari. Foto : Stenly Pontolowokang
10
9 Salah satu hotel di Pesisir Teluk Manado menjelang malam. Foto Armando Loho
8
9
12 E X P O S E
the pride of an identity