Stuktur komunitas lamun dan landak laut Struktur komunitas lamun dan landak laut didapatkan melalui perhitungan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener, Indeks Keseragaman Simpson, dan Indeks Dominansi. Indeks keanekaragaman menggambarkan keadaan suatu populasi secara matematis untuk mengetahui informasi jenis dan jumlah individu setiap jenis yang menyusun suatu komunitas menggunakan persamaan
0.00 < E ≤ 0.50 = Dominansi rendah 0.50 < E ≤ 0.75 = Dominansi sedang 0.75 < E ≤ 1.00 = Dominansi tinggi Hubungan kepadatan lamun dan landak laut Hubungan kepadatan lamun dan landak laut dianalisis menggunakan MINITAB 14 untuk mendapatkan nilai korelasi pearson dan signifikasi hubungan ditentukan pada selang kepercayaan 95%.
s
H' i 1
Pi log Pi (Krebs 1989)
Keterangan : H′ = Indeks keanekaragaman ShannonWiener Pi = ni/N Ni = Jumlah individu jenis ke-i N = Jumlah total individu seluruh jenis S = Jumlah jenis Kriteria (Krebs 1989) : H′ < 3.322 3.322 ≤ H′ ≤ 9.966 H′ > 9.966
= rendah = sedang = tinggi
Indeks Keseragaman menggambarkan komposisi tiap spesies dalam suatu komunitas. Persamaan yang digunakan adalah
E
H' Hmax
(Krebs 1989)
Keterangan : E = Indeks keseragaman H′ = Indeks keanekaragaman ShannonWiener H max = log2 S S = Jumlah jenis Kriteria (Krebs 1989) : 0.00 < E ≤ 0.50 = Komunitas tertekan 0.50 < E ≤ 0.75 = Komunitas labil 0.75 < E ≤ 1.00 = Komunitas stabil Indeks Dominansi menunjukkan dominansi suatu jenis dalam suatu komunitas dengan menggunakan persamaan, yaitu s
C
Pi i 1
C Pi ni N S
(Magurran 1988)
Keterangan : = Indeks dominansi Simpson = ni/N = Jumlah individu jenis ke-i = Jumlah total individu seluruh jenis = Jumlah jenis
Kriteria (Magurran 1988) :
HASIL Kondisi lokasi penelitian Pulau Barrang Lompo termasuk dalam gugusan pulau-pulau kecil yang terletak di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Secara geografis pulau ini terletak pada 50 03‟ S, 1190 20‟ E dengan luas 40 Ha dan jumlah penduduk sekitar 5000 jiwa. Sebelah Barat pulau berbatasan dengan Pulau Bone Tambun, Selatan dengan Pulau Barrang Caddi, Timur dengan gugusan pulau-pulau kecil, dan Utara dengan Pulau Bone Batang.Barrang Lompo memiliki padang lamun yang dapat dijumpai hampir di semua sisi pulau. Pengambilan sampel dilakukan di 3 stasiun pada sisi Barat, Utara, dan Selatan pulau. Sisi timur merupakan area darmaga dengan lalu lintas kapal yang padat dan perairannya relatif dalam sehingga pengambilan sampel sulit dilakukan. Tiap stasiun dibagi kedalam substasiun yang jumlahnya disesuaikan dengan panjang hamparan padang lamun. Gambar 3 menunjukkan posisi stasiun di Pulau Barrang Lompo. Stasiun Barat memiliki padang lamun sepanjang 325 m tegak lurus garis pantai. Kedalaman stasiun Barat pada saat pasang surut berkisar 150–50 cm dengan jenis sedimen lumpur dan pasir halus. Stasiun Selatan dengan padang lamun sepanjang 360 m di atas hamparan pasir kasar dan pecahan karang. Sedimen pada stasiun Utara berupa pasir bercampur pecahan karang dengan panjang 90 m. Kondisi fisik air laut Parameter air laut yang diukur meliputi: suhu, pH, salinitas, kekeruhan, dan kadar oksigen. Hasil pengukuran parameter air laut menunjukkan bahwa lamun dan landak laut hidup pada kondisi lingkungan yang relatif baik (Tabel 3).
5 Tekstur sedimen Tekstur sedimen di lokasi penelitian bervariasi dari lumpur hingga pasir kasar yang bercampur pecahan karang. Erftemeijer& Minddenburg (1993) melaporkan sedimen di Pulau Barrang lompo berupa pasir halus dengan pecahan foraminifera yang telah mati. Ukuran sedimen di tiap stasiun dapat diamati pada tabel 4.
Vegetasi lamun Tipe vegetasi lamun di Pulau Barrang Lompo termasuk vegetasi campuran yang terdiri dari lebih satu jenis lamun. Pada lokasi penelitian ditemukan 6 jenis lamun yaitu: E. acoroides, T. hemprincii, S. isoefolium, H. uninervis, C.rotundata, dan H. ovalis.
Tabel 3 Hasil Pengukuran Parameter Air Laut dan kisarannya Parameter Suhu Salinitas pH
Satuan 0 C ppt
St. Utara 33 27 7.85
St. Barat 33 27.67 7.74
St. Selatan 33 27.67 7.89
Kisaran Optimal 28-32 (Supriadi 2007) 29-34 (Dobo 2009) 7.5-8.0 (Supriadi 2007)
Kekeruhan DO
NTU mg/l
1.51 8.589
14.34 9.955
14.36 9.109
0.9-6.5 (Supriadi 2007) 7.0-8.5 (Husain 1983)
Tabel 4 Persentase tekstur sedimen tiap stasiun Ukuran sedimen
Golongan sedimen
> 3.360 1.410-3.360 1.190-1.410 0.279-1.190 0.149- 0.279 0.000- 0.149
Kerikil Kerikil kecil Pasir kasar Pasir sedang Pasir halus Lumpur
Stasiun Utara Bobot Persentase sedimen (%) (g) 43.248 14.685 12.764 4.334 29.480 10.010 41.015 13.927 140.472 47.697 27.528 9.347
StasiunBarat Bobot Persentase sedimen (%) (g) 24.857 8.287 19.926 6.643 40.858 13.621 62.364 20.791 110.483 36.832 41.5 13.827
StasiunSelatan Bobot Persentase sedimen (%) (g) 72.856 24.554 58.657 19.768 74.867 25.232 43.939 14.808 38.084 12.835 8.317 2.803
St. Utara
S elat Makassar
St. Barat
124
0
0
120
4
4
SULAWESI
#
St. Selatan
MAKASSAR
120
124
Gambar 3 Peta lokasi penelitian Pulau Barrang Lompo (Sumber : modifikasi dari google earth)
6 Kepadatan relatif (KRi), Penutupan Relatif (RPi), dan Frekuensi Relatif (FRi) yang besar menyebabkan lamun di Pulau Barrang Lompo didominansi oleh T. hemprinchii dengan Indeks Nilai Penting (INP) sebesar 131.86 dan E. acoroides 94.54 (Gambar 4 dan 5).
Analisis vegetasi lamun pada 3 tahap pertumbuhan dilakukan untuk mengetahui struktur kepadatan dan luas penutupan pada fase juvenil (fase I), adulensens (fase II), dan senesens (fase III). Hasil perhitungan didapat fase senesens dan adolesens INP 300 dan fase juvenil 286.34 yang masih didominasi oleh T. hemprinchii (Gambar 6).
140 120
T. hemprinchii E. acoroides H. uninervis C. rotundata S. isoefolium H. ovalis
100 80 60 40 20 0 KRi
FRi
PRi
INP
Gambar 4 Hasil analisis vegetasi lamun di Pulau Barrang Lompo 180 160 140
T. hemprinchii
120
E. acoroides
100
H. uninervis
80
C. rotundata
60
S. isoefolium
40
H. ovalis
20 0 KRi FRi PRi INP KRi FRi PRi INP KRi FRi PRi INP
Gambar 5 Hasil analisis vegetasi lamun di tiap stasiun 160 140 120
T. hemprinchii
100
E. acoroides
80
H. uninervis
60
C. rotundata
40
S. isoefolium
20
H. ovalis
0 KRi
PRi
INP
KRi
PRi
INP
KRi
PRi
INP
Gambar 6 Analisis vegetasi lamun pada 3 tahap pertumbuhan di Pulau Barrang Lompo
Pola permudaan bertujuan mengetahui kesinambungan pergantian alamiah lamun. Pola permudaan menggunakan jenis static life table, yaitu cara untuk memperkirakan struktur umur pada suatu populasi dalam sekali pengukuran. Cara ini memungkinkan untuk memonitor dan mengukur variabilitas alami tanaman yang tumbuh dan bertahan (Begon et al. 1996). Gambar 7 menunjukkan bahwa produksi tunas yang rendah bukan faktor pembatas regenerasi lamun untuk tumbuh hingga fase senesens. Pola permudaan dipengaruhi oleh pembungaan, vegetatif dari akar, struktur lamun dewasa yang tahan terhadap cekaman lingkungan, dan perumputan oleh herbivor.
Struktur komunitas lamun dan landak laut Keanekaragaman jenis (H′) lamun di Pulau Barrang Lompo termasuk rendah (H′ < 3.322) (Tabel 5). Rendahnya keanekaragaman jenis ini karena jumlah jenis lamun yang ditemukan hanya terdiri dari 6 jenis dari 58 jenis lamun di dunia, dan tidak semua jenis dapat ditemukan pada setiap stasiun pengamatan. Indeks Keseragaman jenis termasuk dalam kategori stabil dengan nilai mendekati 1 (0.835-0.894) kecuali pada stasiun Barat termasuk dalam kategori labil. Stasiun Barat memiliki jumlah spesies lamun yang terkecil dengan proporsi antar jenis memiliki rentang nilai yang lebar. Dominansi jenis (C) juga tergolong rendah, dengan nilai mendekati 0 (0.280-0.408) karena jumlah tegakan jenis lamun dominan tak beda jauh dengan jenis lamun lainnya.
Kepadatan (ind/m2)
Kepadatan landak laut Landak laut yang ditemukan di Pulau Barrang Lompo terdiri dari 6 jenis, yaitu Diadema setosum, Echinotrix diadema, Echinotrix calamaris, Echinometra mathaei, Tripneustes gratilla, dan Mespilia globulus yang termasuk dalam famili Toxopneustidae (T. gratilla), famili Diadematidae (D. setosum dan E.diadema ), famili Echinometridae (E. calamaris, E. mathaei), dan famili Temnopleuridae (M. globulus). Landak laut yang paling banyak ditemukan yaitu T. gratilla (335), D. setosum (132), E. calamaris (32), E. diadema (13), M. globulis (7), dan
7 E.matheai (7). Kepadatan landak laut (Gambar 8). Landak laut T. gratilla dan D. setosum yang terbanyak ditemukan di Pulau Barrang Lompo termasuk dalam jenis landak laut yang melakukan grazing (merumput lamun). Hasil pengukuran kepadatan landak laut di Pulau Barrang Lompo diperoleh landak laut jenis T. gratilla (63.688 ind/m2), D. setosum (23.095 ind/m2), E. calamaris (6.084 ind/m2), E.diadema (2.472 ind/m2), E. mathaei (1.331 ind/m2), dan M. globulus (1.331 ind/m2).
Gambar 7 Pola permudaan lamun 120 D. setosum
100 80
T. gratilla
60
E. calamaris E. diadema
40
M. globulis
20
E. mattheai
0 St. Barat St. Selatan St. Utara Gambar 8 Kepadatan landak laut tiap stasiun
Tabel 5 Nilai Struktur Komunitas Lamun dan Landak laut Stasiun Utara
Stasiun Barat
Stuktur Komunitas Lamun Jumlah Individu Keanekaragamananan (H‟) Keseragaman (E) Dominansi (C)
1250 0.650 0.835 0.280
Landak Landak Lamun laut laut 200 1029 194 0.064 0.460 0.306 0.083 0.658 0.438 0.942 0.408 0.562
Keanekaragaman landak laut tergolong rendah (H′ < 3.222), nilai Keseragaman (E≤ 0.500) menunjukkan bahwa komunitas landak laut tergolong tertekan, dan Dominansi termasuk dalam kisaran kategori sedang (0.65). Rendahnya keanekaragaman dan keseragaman karena jenis landak laut tidak tersebar merata pada setiap lokasi. Landak laut jenis D. setosum mendominasi wilayah pantai sedangkan wilayah tubir di dominasi oleh T. gratilla. Hubungan kepadatan lamun dan landak laut Analisis hubungan kepadatan lamun dan landak laut didapatkan kolerasi (r) = −0.111, P= 0.485. Hal ini menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara kepadatan landak laut dan lamun. Hubungan yang tidak signifikan juga terlihat pada kepadatan landak laut dan 3 fase pertumbuhan: fase juvenil (r = 0.272, P = 0.081), fase adolesens (r = −0.045, P = 0.777), dan fase senesens (r = −0.112, P = 0.480). T. gratilla dan D. setosum termasuk jenis herbivor yang terbanyak ditemukan di lokasi penelitian. Keterkaitan kedua landak laut terhadap padang lamun menunjukkan bahwa tidak ada hubungan signifikan (D. setosum : r= −0.091, P = 0.569; T. gratilla: r = −0.082, P = 0.604). E. calamaris, E. diadema, M. globulus, dan E. matheai termasuk termasuk herbivor pasif (menunggu hanyutan daun lamun di liang), omnivora, ditemukan dalam jumlah sedikit, dan hidup soliter. Keterkaitan keempat landak laut tersebut menunjukkan bahwa tidak ada hubungan signifikan (E. calamaris: r = 0.058, P = 0.714; E. diadema: r = −0.051, P = 0.340; M. globulus: r = 0.014, P = 0.929; E. matheai: r = 0.035, P = 0.827). PEMBAHASAN Lamun di Pulau Barrang Lompo didominansi oleh T. hemprinchii dengan
Kategori (Krebs 1989; Magurran 1988) Landak Landak Lamun Lamun laut laut 1429 125 0.538 0.404 Rendah Rendah 0.894 0.672 Stabil Tertekan 0.318 0.451 Rendah Sedang Stasiun Selatan
Indeks Nilai Penting (INP) sebesar 131.86 dan E. acoroides 94.54. INP menunjukkan peranan suatu jenis tertentu di sebuah ekosistem. Nilai tersebut berarti T.hemprinchii memiliki peran ekologis yang penting seperti pemanfaatan sumber daya secara optimum atau adanya penguasaan ruang tertentu dalam ekosistem padang lamun di Pulau Barrang Lompo. Hal serupa didukung oleh Erftemeijer (1993) bahwa padang lamun di Barrang Lompo merupakan campuran dominan antara T. hemprinchii dan E. acoroides. Kepadatan, komposisi, dan dominansi lamun ditentukan oleh sedimen, kekeruhan, dan struktur lamun. Sedimen mengandung nutrisi yang diserap melalui akar untuk pertumbuhan lamun. Sedimen halus mampu mengikat fosfat dan mempengaruhi standing crop lamun. Selain itu, kepadatan lamun tinggi ditemukan pada sedimen halus dan rendah pada sedimen kasar. Lamun E. acoroides dan T. hemprinchii cenderung membentuk kelompok besar pada daerah pantai (sedimen halus) dan membentuk kelompok yang lebih kecil atau jarang pada daerah mendekati tubir (sedimen kasar). Sedimen yang bervariasi mendukung untuk membentuk padang lamun campuran. Kekeruhan menghalangi penetrasi cahaya untuk fotosintesis yang berpengaruh pada pertumbuhan dan produksi lamun. Semakin jernih perairan, maka makin beragam pula jenisnya. Perairan yang keruh seperti di Stasiun Barat didominasi oleh Enhalus karena jenis ini tahan terhadap kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan. Struktur lamun seperti Syringodium yang memiliki bentuk daun silindiris dengan ukuran tubuh sedang memiliki kepadatan lebih tinggi dan penutupan rendah. Sebaliknya, Enhalus dengan helaian daun yang panjang dan lebar serta ukuran tubuh besar memiliki penutupan yang tinggi dan kepadatan rendah. Morfologi tersebut juga membuat Enhalus tahan terpapar sinar matahari pada saat laut surut dan tidak
9 terganggu oleh lalu lalang kapal yang padat. Berbeda dengan daun Thalassia dan Syringodium yang tidak tahan kekeringan dan mudah gugur. Lamun di Barrang Lompo banyak ditemukan pada fase adolesens dibandingkan fase lainnya. Hal ini berkaitan dengan laju pertumbuhan daun, kecepatan pulih, dan jangka hidup lamun. Pengukuran laju pertumbuhan, kecepatan pulih, dan jangka hidup lamun di Pulau Barrang Lompo menunjukkan jangka hidup T. hemprinchii 24-40 hari, laju pertumbuhan daun 0,6 cm/hari, dan kecepatan pulih 0.15 cm/hari (Supriadi 2007). Faktor tersebut mengakibatkan pada saat pengukuran lebih banyak ditemukan fase dewasa (adolesens dan senesens) dibanding fase muda (juvenil). Kehadiran T. hemprinchii sebagai spesies dengan dominansi tertinggi di Pulau Barrang Lompo disebabkan lamun ini memiliki daya adaptasi tinggi yang dapat hidup disemua jenis sedimen.T. hemprinchii hidup pada sedimen yang bervariasi dan menyukai sedimen pasir halus hingga kasar serta ditemukan sampai kedalaman 5 m (Den Hartog 1970). Sedimen yang berupa pasir hingga pecahan karang yang tersebar di Pulau Barrang Lompo ini memungkinkan T. hemprincii dapat hidup dengan baik. Kehadiran T. hemprinci di Kepulauan Spermonde merupakan species klimaks (Vonk et al. 2008). E. acoroides bisa ditemukan diseluruh lautan tropis, subtropis, dan beriklim sedang. Di Pulau Barrang Lompo, E. acoroides merupakan salah satu jenis lamun yang dominan (Supriadi 2007) dan dapat ditemukan hampir di tiap sisi pulau terutama tepi pantai dekat perumahan penduduk. Lamun ini hidup di zona intertidal hingga kedalaman 6 m. Kehadiran C. rotundata yang cukup tinggi di Pulau Barrang Lompo berkaitan dengan sedimenpasir hingga pecahan karang yang disukai C. rotundata. Tomasick et al. (1997) menyebutkan bahwa C. rotundata hidup didaerah dangkal dan tahan dalam keadaan tidak terbenam air. Lamun H. uninervis hidup pada sedimen pasir halus hingga kasar dan termasuk dalam jenis pembuka. Di lokasi penelitian, lamun ini hidup pada sedimen pasir kasar dan banyak ditemukaan di daerah mendekati batas tubir karang. Lamun H. ovalis dan S. isoefolium memiliki nilai kehadiran yang lebih kecil dibanding jenis lamun lainnya karena S. isoefolium tidak tahan dalam keadaan tidak
terbenam (Philips&Menez 1998). Di lokasi penelitian, lamun S. isoefolium hanya ditemukan di stasiun Utara yang relatif lebih dalam sehingga lamun tidak mengalami kekeringan pada keadaan surut. Lamun H. ovalis yang dikenal sebagai lamun perintis juga banyak ditemukan pada sedimen pasir hingga kedalaman 12 m, terutama di stasiun Utara yang memiliki daerah batas lamun dan karang terpendek. Behren&Lafferty (2004) mengungkapkan kepadatan landak laut dipengaruhi oleh kelimpahan alga atau lamun, penyakit bakteri vibrio dan parasit, serta predatornya seperti ikan dan kepiting. Di Pulau Barrang lompo, tidak ada pemanfaatan landak laut baik secara ekonomi maupun sebagai sumber makanan. Kepadatan landak laut dipengaruhi predator, kejernihan, sedimen, kesediaan makanan dan kesukaan pada lamun tertentu, serta musim. Saat laut surut, padang lamun terpapar matahari sehingga banyak landak laut yang mati atau sulit ditemukan. T. gratilla sebagai herbivor utama banyak ditemukan di stasiun Utara dan Selatan, terutama daerah mendekati tubir dan tidak ditemukan pada daerah pantai. Daerah tersebut mendukung landak laut untuk hidup karena memiliki tingkat kejernihan yang tinggi, sedimen berpasir bercampur pecahan karang, lamun yang beragam, tingkat aktivitas manusia rendah, dan kedalaman lebih tinggi. Tingkat kejernihan membuat lamun dilekati epifit yang sangat disukai landak laut. Faktor ketersediaan makanan turut mempengaruhi keberadaan landak laut. Landak laut juga menyukai lamun T. hemprinchii dan S. isoefolium (Bak&Nojima 1980). Aktivitas manusia seperti lalu lintas dan penambatan kapal, serta pembuangan limbah rumah tangga lebih rendah karena terpusat di pantai. Selain itu, kedalaman pada daerah ini relatif tinggi sehingga lamun dan landak laut selalu tergenang air laut pada saat surut. Suhu yang tinggi pada saat surut menyebabkan banyak landak laut yang mati (Aziz 1995). Kondisi berbeda pada stasiun Barat yang didominasi landak laut D. Setosum. Landak laut D. setosum banyak ditemukan di daerah pantai dengan pola hidup mengelompok. Supardi&Sugiarto (1995) menyatakan D. setosum dapat dijadikan sebagai indikator lingkungan karena keberadaannya yang sering ditemukan pada daerah tercemar limbah organik. Daerah pantai stasiun Barat dan Selatan sering dijadikan tempat pembuangan limbah organik dari rumah tangga dan frekuensi lalu lapang kapal yang sering
10 berakibat tingkat kekeruhan relatif tinggi sehingga kepadatan D. setosum di kedua stasiun cenderung tinggi. Landak laut memiliki kesukaan terhadap jenis lamun T. hemprinchii yang mendominasi di Pulau Barrang Lompo. Penelitian mengenai kesukaan T. gratilla terhadap lamun T. hemprincii dilaporkan oleh Kasim (1999). Berdasarkan analisis isi perut T. gratilla terdapat lamun jenis T. hemprichii rata-rata mencapai 55.6% dan E. acoroides 31,4% yang membuktikan bahwa landak laut melakukan perumputan lamun. Lamun ini disukai landak laut karena daun relatif pendek, lebar dengan serat lunak, dan kadar tanin yang rendah. Daun muda lebih sedikit ditemukan tanin (chicoric acid), asam p-coumaric, valinin, dan ferulic acid sedangkan daun tua mengandung gensiticacid, caffeic acid, dan cinnamic acid yang lebih tinggi (Haznedaroglu&Zeybek 2007). Tanin menghambat pencernaan herbivora dengan mengikat protein tanaman yang dikonsumsi sehingga lebih sulit dicerna. Lamun dapat dimanfaatkan sebagai habitat bagi berbagai organisme menetap dan bergerak karena tidak memiliki pertahanan kimia yang kuat seperti senyawa fenol. Pada siang hari T. gratilla sering kali ditemukan memanfaatkan daun lamun untuk menahan ultraviolet, berlindung dari hempasan ombak serta bersembunyi dari predator seperti kepiting, keong, dan ikan (Gambar 9).
Gambar 9 Landak laut memanfaatkan lamun sebagai tempat berlindung
Dobo (2009) melaporkan di Kepulauan Banda, Maluku, kepadatan landak laut yang tinggi ditemukan pada kepadatan lamun yang rendah. Di Pulau Barrang Lompo, kepadatan landak laut ditemukan pada kondisi lamun yang rapat, terutama pada padang lamun yang didominasi oleh T. hemprinchii. Kondisi lamun tidak terpengaruh banyaknya landak laut disebabkan tidak semua landak laut di Barrang Lompo bersifat herbivor. Penelitian merumput landak laut tidak sama pada setiap tempat. Di Pulau Bone Batang, Kepulauan Spermonde, peningkatan aktivitas merumput T. gratilla tidak berpengaruh pada kepadatan dan kemampuan tumbuhnya tunas baru di bagian meristem apikal lamun. Perubahan dominansi T. hemprinchii oleh landak laut disebabkan perbedaan kemampuan bertahan pada preferensi makanan (Vonk et al. 2008). Harrold&Reed (1985) dalam Behrens& Laferty (2004) menyebutkan aktivitas merumput dapat memicu tumbuhnya tunas baru dan dapat menumbuhkan kembali alga yang lebih resisten terhadap perumputan. Hubungan kepadatan landak laut pada fase pertumbuhan menunjukkan hubungan yang signifikan pada fase juvenil. Pernyataan yang sama disampaikan Valentine (1997) bahwa perumputan dapat menaikkan produksi tunas baru dibandingkan produksi daun baru. Pada area perumputan, produksi tunas baru mengakibatkan biomassa lamun bawah (rhizome, akar) tidak akan berkurang dan menghasilkan produktivitas yang sama dengan area yang tidak terkena perumputan. Hal ini disebabkan adanya perpindahan material agar lamun mengganti jaringan yang hilang dan bagian lamun yang bisa dimakan selama perumputan berlangsung (Valentine& Heck 1999). Herbivor berpengaruh negatif pada biomassa atas (daun) lamun yang dapat berkurang hingga 74% (Vonk et al 2008). Di Pulau Barrang Lompo, T. gratilla dan D. setosum berperan sebagai herbivor utama yang melakukan perumputan langsung. Sedangkan landak laut jenis lain merupakan herbivor pasif (menunggu hanyutan daun lamun yang jatuh ke liang). Herbivor berperan dalam perpindahan energi di habitat lamun dan ekosistem disekitarnya. Sekitar 3- 100% produktivitas primer lamun masuk dalam rantai makanan melalui jalur perumputan (Valentine&Heck 1995). T. gratilla memanfaatkan daun lamun sebagai tempat berlindung dan makanan. Jenis ini aktif merumput lamun pada siang hingga malam hari. T. gratilla dapat mengkonsumsi lamun 240-400 gr/m2/hari (Klumppet al. 1993).
Aktivitas merumput landak laut jenis T. gratilla menguntungkan untuk spesies klimaks namun membuat biodiversitas lamun menurun (Vonk et al. 2008). Pengaruh aktivitas merumput lamun dapat mengubah komposisi lamun akibat preferensi makanan tertentu. SIMPULAN Lamun di Pulau Barrang Lompo termasuk dalam vegetasi campuran yang terdiri dari E. acoroides, T. hemprincii, S. isoefolium, H. uninervis, C. rotundata, dan H. ovalis. Dominansi tertinggi diperoleh T. hemprinchii dengan INP 129. Landak laut yang ditemukan di Pulau Barrang Lompo terdiri dari 6 jenis, yaitu D. setosum, E. diadema, E. calamaris, E. mathai, T. gratilla, dan M. globulus. Landak laut jenis T. gratilla memiliki kepadatan tertinggi 63,69 ind/m2. Hubungan kepadatan lamun dan landak laut menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan disebabkan tidak semua landak laut berperan sebagai herbivor. Hal serupa terjadi pada hubungan landak laut pada tiga tahap pertumbuhan. Hubungan yang tidak signifikan bisa disebabkan pola pertumbuhan lamun dan adaptasi lamun (kandungan tanin) terhadap pemangsa. Landak laut jenis T. gratilla dan D. setosum termasuk herbivor utama di Barrang Lompo. Kehadiran landak laut tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap kepadatan lamun. T. gratilla yang memanfaatkan lamun secara langsung (makan dan tempat berlindung). D. setosum adaptif terhadap lingkungan. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2011. The Tectology Of Echinoderm. [terhubung berkala]. http://metafysica.nl./turing/tecto_3.html. [29 Maret 2011]. Alcovero T, Mariani S. 2002. Effects sea urchin grazing on seagrasses Thalassodendron ciliatum beds on Kenyan Lagoon. Mar. Ecol. 226: 255263. Aziz A. 1994. Tingkah laku landak laut di padang lamun. Oseana 19 (4) : 35-43. Aziz A. 1995. Kematian massal landak laut. Oseana XX no.1 : 31-39. Azkab MH. 2006. Ada apa dengan lamun. Oseana 31(3) : 45-55.
Bak HP, Nojima S. 1980. Immigration of a tropical sea urchin Astropiga radiata in a temperate eel grass Zostera marina L. Patch: its feeding habit and grazing effect of the patch. Amakusa Mar. Bio 5 (2) : 153-169. Begon M, Mortimer M, Thompson JD. 1996. Population Ecology: A Unified Study Of Animals And Plants Third Ed. Cambringe : Blackwell science Ltd. Behrens MD, Lafferty KD. 2004. Effects of marine reserves and urchin disease on Southern Californian Rocky Reef Communities. Mar Ecol 279: 129–139. Brower JE, Zar JH, Von Endo CN. 1977. Field And Labolatory Methods For General Ecology. Boulevard USA : Wm C. Brown Publ. Clark AM, Rowe FEW. 1971. Monograph Of Shallow Water Indo West Pasific Echinoderms. British Museum. London. Den Hartog. 1970. The Seagrass Of The World. North Holland : Amsterdam. Dobo J. 2009. Tipologi Komunitas Lamun Kaitannya dengan Populasi Landak laut Di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Erftemeijer PLA, Middelburg JJ. 1993. Sediment-nutrient interaction in tropical seagrass beds: a comparison between a terrigenous and a carbonate sedementary environment in South Sulawesi (Indonesia). Mar Ecol 102 : 187-198. Erftemeijer PLA. 1993. Differences in nutrient concentration and resources between seagrass communities on carbonate and terrigeneus sediments in South Sulawesi. Mar Sci 54 (1) : 403419. English S, Wilkinson C, Baker VJ. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australia : ASEAN-Australia Marine Project. Fortes MD. 1990. Seagrass : A Resource Unknown In The ASEAN Regions. ICLARAM education series 5. Haznedoroglu MZ, Zeybeck U. 2007. HPLC determination of chicoric acid in leaves of Posidonia oceanica. Pharmaceut Bio 45 (10) : 745-748. Heck KL, Valentine JF. 1995. Sea urchin herbivory : evidence for long-lasting effects in subtropical seagrass meadows. J Exp Mar Biol Ecol189 : 205-217.