DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA -------------------------------------------KUNJUNGAN KERJA RANCANGAN KUHAP PROVINSI JAWA TENGAH PADA MASA PERSIDANGAN III TAHUN SIDANG 2012 - 2013 I.
PENDAHULUAN Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang” dan juga Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan Fungsi Legislasi dilaksanakan sebagai perwujudan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. Komisi III DPR RI sebagai salah satu alat kelengkapan dewan yang memiliki ruang lingkup kerja di bidang Hukum, Hak Asasi Manusia dan Keamanan telah diberikan tugas oleh Badan Musyawarah (BAMUS) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. PW/ 01104/ DPR RI/ I/ 2013 tertanggal 31 Januari 2013 untuk melakukan pembahasan terhadap Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana sebagaimana dimaksud dalam Surat Presiden Republik Indonesia No. R-88/Pres/12/2012 dan surat No. R-87/Pres/12/2012, tertanggal 11 Desember 2012, yang pada intinya telah menyerahkan Draft Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana kepada DPR RI untuk dilakukan pembahasan bersama. Pembahasan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana ini pun akan disejajarkan dengan pembahasan Rancangan KUHP, Rancangan Undang-Undang Kejaksaan dan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung yang saat ini sedang dibahas di Komisi III DPR RI, sehingga akan tercipta penegakan hukum yang terintegrasi (integrated criminal justice system). Adapun terkait dengan proses perumusan dan penyusunan Rancangan UndangUndang tersebut, merupakan pernyataan sikap Komisi III DPR RI dalam melakukan upayaupaya perbaikan serta dukungan dari sisi legislasi mengenai penegakan hukum, penghormatan kepada Hak Asasi Manusia dan dalam rangka penerapan prinsip integrated justice system di Indonesia. Urgensi pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, adalah sebagai berikut: Bahwa sudah 31 tahun (tiga puluh satu) tahun Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merupakan ciptaan bangsa Indonesia menggantikan Herziene Inlands Reglement ciptaan pemerintah Kolonial. Dalam perjalanan lebih seperempat abad itu terjadi kemajuan teknologi terutama di bidang komunikasi dan transportasi yang membawa akibat di bidang sosial, ekonomi, dan hukum termasuk hukum pidana. 1
Dunia terasa makin sempit dan globalisasi di bidang ekonomi, keuangan, dan perdagangan memberi dampak pula di bidang hukum. Tidak satu Negara-pun dapat menutup diri rapat-rapat dari perubahan tersebut. Tercipta banyak konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia antara lain, United Nations Connvention Against Corruption, International Convention Against Torture dan International Covenant on Civil and Political Rights. Ikut pula hadir dalam penyusunan International Criminal Court. Semua konvensi tersebut lahir dan diratifikasi sesudah KUHAP dan berkaitan langsung dengan hukum acara pidana. Dalam covenant mengenai hak-hak sipil dan politik itu terkandung ketentuan yang berkaitan dengan hukum acara misalnya tentang hak-hak tersangka dan ketentuan mengenai penahanan yang diperketat. Berhubung dengan hal tersebut, ada Negara yang membuat KUHAP baru sama sekali seperti Italia, Rusia, Lithuania, Georgia, dan lain-lain. Ada pula yang mengubah KUHAP-nya selaras dengan perubahan yang mendunia tersebut seperti Australia. Sebagai perbandingan, pada tahun 2000, Perancis menyisipkan ketentuan baru mengenai hak asasi manusia, seperti “hukum acara pidana harus fair dan adversarial dan menyeimbangkan hak-hak para pihak”. Orang dalam situasi yang sama dan dituntut atas delik yang sama haruslah diadili berdasarkan aturan yang sama. Seseorang yang didakwa harus dibawa ke pengadilan dan mendapat putusan dalam waktu yang wajar, dan seterusnya. Perancis pun menciptakan hakim khusus untuk melakukan penahanan yang disebut juge des liberte at de la detention (hakim pembebasan dan penahanan). Italia misalnya membuat KUHAP baru sama sekali tahun 1989 yang mengeluarkan jaksa dari kekuasan kehakiman sehingga dianut system adversarial murni. Penuntut umum dan terdawa diberi kedudukan seimbang sehingga tidak ada lagi berita acara yang diibuat oleh penyidik yang diserahkan kepada hakim. Hakim hanya menerima dakwaan dan daftar terdakwa dan saksi. Jadi benar-benar hakim berada di tengah-tengah antara pertarungan penuntut umum dan terdakwa beserta penasihat hukumnya. Para pihak dapat mengajukan saksi-saksi dan bukti lain di sidang pengadilan. Jepang telah memperkenalkan system baru, yaitu hakim karir dicampur dengan orang awam (laymen) yang disebut system campuran (hakim dan juri). Disanalah kita dapat menyimpulkan bahwa KUHAP harus diperbaharui sesuai dengan tuntutan zaman. Ada konsekuensi akibat diratifikasinya beberapa konvensi internasional, misalnya tentang penahanan yang dilakukan oleh penyidik harus sesingkat mungkin dan segera dibawa kepada hakim. Amerika Serikat misalnya menafsirkan segera mungkin (promptly) adalah dua kali dua puluh empat jam. Di Eropa umumnya diartikan paling lama dua kali dua puluh empat jam kecuali untuk terorisme yang lamanya 6 (enam) hari atau 1 (satu) hari penangkapan ditambah 5 (llima) hari penahanan. Masalah asas legalitas perlu dijelaskan dalam KUHAP karena ada perbedaan antara asas legalitas dalam hukum pidana materiel dan hukum acara pidana. Perubahan penting dalam rancangan hukum acara pidana menyangkut lembaga baru yaitu komisaris menggantikan praperadilan. Praperadilan adalah lembaga yang khas KUHAP, yang ternyata kurang efektif karena bersifat pasif menunggu gugatan para pihak. Lagi pula bukan lembaga yang berdiri sendiri tetapi melekat pada pengadilan negeri. Ketua pengadilan negeri-lah yang menunjuk seorang hakim menjadi hakim praperadilan jika masuk suatu permohonan. Jadi ide hakim komisaris berbeda dari praperadilan akan tetapi tidak sama dengan rechtercommissaris di Belanda dan juge d’instruction di Perancis karena hakim komisaris versi rancangan hukum acara pidana sama sekali tidak memimpin penyidikan. Jadi merupakan revitalisasi praperadilan yang sudah ada di dalam KUHAP sekarang. Ada sebagian wewenang hakim pengadilan negeri seperti izin penggeledehan, penyitaan, penyadapan dan perpanjangan penahanan berpindah ke hakim komisaris agar proses menjadi cepat, tidak mengganggu hakim pengadilan negeri yang sibuk menyidangkan perkara pidana, perdata, dll. Ada pula 2
wewenang jaksa berpindah ke hakim komisaris, seperti perpanjangan penahanan yang empat puluh hari berpindah ke hakim komisaris menjadi dua puluh lima hari. Semestinya ada lembaga antara penuntut umum dan hakim, yaitu hakim komisaris. Beberapa masalah antara lain hubungan penyidik dan penuntut umum diatur sesuai dengan system peradilan terpadu bukan bersambung seperti sambungan domino. Masalah inilah yang paling sulit dirumuskan. Sekarang ini akibat bolak-baliknya berkas perkara antara penyidik dan penuntut umum, maka ribuan perkara tidak diketahui keberadaannya. Begitu pula tentang upaya hukum, yang pada prinsipnya adalah semua perkara yang masuk ke Mahkamah Agung terlebih dahulu melalui Pengadilan Tinggi. Aturan mengenai peninjauan kembali juga perlu disederhanakan. Di Indonesia setiap hari ada orang memohon Peninjauan Kembali. Putusan bebas dan bebas tidak murni yang dikembangkan oleh doktrin dan yurisprudensi di Belanda mestinya dijelaskan agar tidak timbul salah mengerti dalam praktek. Kecenderungan ke system berimbang diperkenalkan, antara lain kedua pihak, baik penuntut umum maupun terdakwa dan penasihat hukumnya dapat menambah alat bukti baru di sidang pengadilan (seperti saksi a charge dan a de charge). Dengan sendirinya tidak diperlukan P-21 karena penuntut umum walaupun sidang sudah dimulai, masih dapat meminta bantuan penyidik untuk menambah pemeriksaan seperti pengajuan saksi baru untuk melawan saksi yang diajukan penasihat hukum. Jadi, benar-benar system ini mengharuskan penuntut umum dan penyidik bekerjasama erat untuk suksesnya penuntutan. Berangkat dari permasalahan-permasalahan tersebut diatas, maka dipandang perlu untuk segera dirumuskan rancangan undang-undang hukum acara pidana. Adapun sasaran yang ingin dicapai dalam penyusunan rancangan undang-undang ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana menjalin ketentuan hukum acara pidana dengan konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia sehingga ketentuan dalam rancangan undang-undang hukum acara pidana selaras dengan situasi dan kondisi Indonesia dengan tidak mengabaikan ketentuan yang universal. 2. Bagaimana merumuskan ketentuan baru sebagai penambah dan perbaikan kitab undangundang hukum acara pidana tahun 1981 yang dapat diterapkan dalam penerapan hukum di Indonesia. 3. Menjamin kepastian hukum, menciptakan kemanfaatan dan keadilan dalam proses pemidanaan terhadap terpidana; 4. Proses pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia; 5. Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kesungguhan pemerintah dalam menyelesaikan konflik hukum di dalam masyarakat dengan tetap menegakan normanorma hukum; 6. Sebagai salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan penghormatan terhadap nilainilai hak asasi manusia; dan 7. Memperkuat penegakan dan supremasi hukum di Indonesia. Mencermati latar belakang, sasaran, dan materi perubahan atau pengaturan yang sangat luas dan signifikan, maka perlu pengkajian yang seksama oleh DPR-RI sehingga pembahasan Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana dapat dilakukan dengan baik dan cermat. Masukkan dari berbagai kalangan khususnya kalangan penegak hukum dan akademisi perlu dilakukan untuk mengetahui pola/mekanisme hukum acara/formiil para (penegakan hukum) yang sesuai dengan ketentuan standar internasional (best practices) yang diterapkan di negara lain dengan tetap memperhatikan situasi dan kondisi yang ada di Indonesia. Hal ini perlu dilakukan sehingga dapat selalu selaras dengan ketentuan standar internasional yang berlaku serta dapat menunjang peningkatan efektifitas penegakan hukum 3
dan undang-undang yang akan datang. Oleh karena itu, Komisi IIII DPR RI perlu untuk melakukan kunjungan ke daerah-daerah yang dilakukan secara random. Komisi III DPR RI kemudian mengambil sampel di 2 (dua) Provinsi yaitu Jawa Timur dan Jawa Tengah dalam rangka untuk mendapatkan masukan, data pembanding, dan pendalaman terhadap substansi Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana khususnya terkait dengan pengaturan mengenai mekanisme dan tata kerja penegak hukum dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum. II.
MAKSUD DAN TUJUAN II.1. Maksud Maksud dari kegiatan ini adalah untuk mendapat masukan secara menyeluruh terkait Rancangan KUHAP baik dari akademisi maupun penegak hukum dalam rangka penyempurnaan Rancangan KUHAP. II.2 Tujuan Kunjungan Kerja ini dilakukan dengan tujuan untuk melakukan pertemuan dengan instansi-instansi terkait di Provinsi Jawa Tengah seperti Kepala Kepolisian Daerah, Kepala Kejaksaan Tinggi, Ketua Pengadilan Tinggi beserta seluruh jajarannya dan Akademisi yang expert di bidang hukum acara pidana untuk memperoleh masukan dan informasi dalam rangka penyempurnaan penyusunan rancangan undang-undang hukum acara pidana.
III.
WAKTU DAN TEMPAT KUNJUNGAN LAPANGAN Hari/Tanggal : Jum’at, 15 Maret 2013 Waktu : 09.00 – 17.00 WIB Kegiatan : Pertemuan dan kunjungan ke instansi sebagai berikut: 1. Universitas Diponegoro, Universitas Sebelas Maret, dan Universitas Soedirman yang bertempat di Ruang Senat Universitas Diponegoro. 2. Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, Ketua Pengadilan Tinggi Semarang beserta jajarannya yang bertempat di Polda Jawa Tengah;
IV.
HASIL KUNJUNGAN KERJA 1. Kunjungan Ke Universitas Diponegoro Kunjungan Lapangan dalam Rangka Rancangan KUHAP, pada tanggal 15 Maret 2013, yang dihadiri oleh Civitas Academica dari Universitas Diponegoro, Universitas Sebelas Maret dan Universitas Soedirman. Dalam paparannya Pakar Hukum dari Universitas Diponegoro, Universitas Sebelas Maret dan Universitas Soedirman menjelaskan sebagai berikut : 1. Dalam Rancangan KUHAP banyak perubahan yang dilakukan, perubahan yang dibawa cenderung ingin melepaskan diri dari sistem Eropa kiontinental murni yang selama ini dianut dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. sebaiknya selain membawa ide-ide baru yang sudah dipraktekkan di beberapa negara lain, perlu juga dilakukan penyesuaianpenyesuaian dengan keadaan yang ada di Indonesia. 2. Sebelum melakukan pembahasan Rancangan KUHAP, sebaiknya dilakukan pembahasan mengenai Rancangan KUHP. Karena Indonesia belum pernah memiliki Kitab Hukum Pidana yang merupakan produk sendiri dan karena hukum acara pidana berfungsi sebagai tata cara beracara pidana, seharusnya hukum pidana materiil diatur terlebih dahulu. Tanpa didahului pembahasan mengenai 4
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9. 10.
11.
hukum pidana materiil maka dikhawatirkan akan terjadi pengulangan pembahasan Rancangan KUHAP sebab hukum pidana materiilnya belum menjadi baku. Perlu ditentukan apakah fungsi Rancangan KUHAP ketika disahkan nanti akan menjadi kodifikasi, hal tersebut akan menyebabkan gugurnya peraturan acara yang tidak terdapat ketentuannya dalam kodifikasi hukum acara pidana. konsekuensi lain adalah seluruh ketentuan hukum acara pidana lain yang tersebar dalam UU yang berlaku di Indonesia harus di masukkan dalam Rancangan KUHAP yang menyebabkan Rancangan KUHAP akan semakin melebar materinya. Sebaiknya Rancangan KUHAP tidak dijadikan sebagai kodifikasi sehingga pengaturan beracara yang terdapat dalam UU lainnya tetap dapat diberlakukan mengingat khususnya sifat kejahatan yang memiliki ketentuan beracara pidana masing-masing. Perlu ditentukan terlebih dahulu mengenai hierarki antara Asas lex specialis derogat legi generalis dengan Asas lex posterior derogat legi priori. Karena dalam praktik berlakunya undang-undang di Indonesia, sering kali ditemui pertentangan antara mana yang akan didahulukan apakah UU yang mengatur lebih khusus, atau UU yang mengatur lebih baru. RUU KUHAP merupakan Total Penal Reform, dalam Rancangan KUHAP ada ide besar mencoba keluar dari sistem eropa kontinental yang selama ini dianggap sebagai sistem hukum yang digunakan di Indonesia. Sebagai contoh penggunaan “adversary system” yang menyebabkan hakim bersifat pasif. Karena penuntut umum dan terdakwa dan/atau penasihat hukumnya yang berupaya membuktikan bahwa pihaknya yang benar. Perlu pengaturan yang lebih cermat mengenai “adversary system”. Karena dengan sistem adversary, hakim hanya bertugas menjaga peradilan agar berjalan sesuai dengan aturan main. Terdapat penambahan hal yang dapat dijadikan alat bukti yaitu pengamatan hakim, dengan diberlakukannya adversary system maka tidak akan dapat dicapai hal yang dimaksud dengan pengamatan hakim karena dalam adversary system sifat hakim dalam menjalankan tugasnya adalah pasif. Dengan dianutnya adversary system, maka Rancangan KUHAP membawa paradigma baru yaitu victim oriented. Karena selama ini titik tekan dalam penegakan hukum pidana di Indonesia terletak pada pelaku (offender oriented). Hal ini perlu dielaborasi kembali karena banyak hal baru yang akan timbul yang sama sekali berbeda dengan praktik yang telah berjalan selama ini. Cacat dalam proses acara dapat menjadi salah satu hal yang dapat menggugurkan perkara seperti yang telah diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Terdapat pergeseran paradigma dalam hukum pidana yang semula hanya mengakui tindak pidana yang sudah diatur dalam UU, menjadi selain tindak pidana yang diatur dalam UU juga mengakui keberadaan hukum pidana yang tidak tertulis secara formil namun diakui praktiknya dalam masyarakat. Pengakuan terhadap hukum adat tersebut belum ada ketentuannya dalam Rancangan KUHAP. Apakah akan dibiarkan saja praktiknya sama dengan praktek selama ini atau akan diatur lebih lanjut dalam Rancangan KUHAP. Karena dalam Rancangan KUHP, tidak ada kualifikasi antara kejahatan dengan pelanggaran. Harus ada standardisasi penilaian yang sama terhadap kategorisasi perbuatan yang dahulu pelanggaran dan kejahatan, yaitu dengan kategorisasi I, II, III dst. Hal tersebut akan berimbas dalam praktek penyelesaian perkara belum ada ketentuan khusus yang membimbing aparat penegak hukum, khususnya hakim 5
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
dalam menentukan kejahatan yang dilakukan tersangka/terdakwa merupakan kategori yang mana. Dalam Rancangan KUHAP telah dicantumkan obyek hukum korporasi. Namun belum diatur lebih lanjut mengenai pertanggungjawaban korporasi seperti siapa yang akan mewakili korporasi dalam perkara pidana, sanksi yang dijatuhkan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, dan siapa berkewajiban menjalankan sanksi yang dijatuhkan bagi korporasi. Dalam ketentuan KUHP terdapat ketentuan Permaafan oleh hakim (rechterlijke pardon), namun dalam ketentuan Rancangan KUHAP belum ada pengaturannya. Bagaimana permaafan hakim dapat dijatuhkan, dan jenis putusan pidana yang akan dijatuhkan, Karena produk hakim hanya putusan pemidanaan, putusan pembebasan, dan putusan lepas. Terdapat modifikasi dari asas “Apabila ada perubahan dalam undang-undang setelah peristiwa itu terjadi maka dipakailah ketentuan yang paling menguntungkan bagi si tersangka”. Modifikasi tersebut dapat terlihat dari kemungkinan seseorang baik dalam status tersangka, terdakwa atau terpidana dapat dibebaskan apabila terdapat ketentuan baru yang menyatakan hal tersebut. ketentuan ini juga berbenturan dengan asas non-retroaktif. Terdapat pemikiran baru lain yaitu penyelesaian sengketa di luar pengadilan (alternative disputes resolution), ketika telah tercapai penyelesaian perkara di luar pengadilan maka kewenangan melakukan penuntutan menjadi gugur. Hal ini belum ada ketentuan acaranya apakah akan diletakkan dalam kewenangan penghentian perkara yang dimiliki oleh jaksa agung atau cukup hanya menjadi bagian dari SP3 yang dilakukan oleh kepolisian. Perlu dilakukan diversifikasi fungsi dari setiap subsistem yang ada dalam sistem peradilan pidana terpadu. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa dengan berlakunya KUHAP menyebabkan adanya subsistem yang memiliki fungsi ganda seperti kejaksaan yang tugasnya melakukan penuntutan namun juga memiliki kewenangan penyidikan bagi tindak pidana tertentu. Praktek tersebut menyebabkan timbulnya rivalitas antar subsistem yang memiliki kewenangan yang sama. Perlu dibentuk lembaga yang hanya menjalankan kewenangan penyidikan seperti di Macedonia, terdapat lembaga yang hanya bertugas melakukan eksekusi terhadap putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap. Mengenai ide tersebut perlu dipikirkan kembali apakah lembaga penyidikan tersebut diletakkan di bawah kepolisian atau berdiri sendiri dan semua Aparat Penegak Hukum yang memiliki kewenangan penyidikan bernaung di bawahnya. Hakim Komisaris (dalam draft Hakim Pemeriksa Pendahuluan/HPP) merupakan materi yang sangat penting dalam perubahan hukum Acara pidana di Indonesia. namun, kewenangan HPP terlalu besar seperti menilai penahanan, menilai penuntutan. Hakim ini berdiri sendiri sedangkan fungsinya banyak sekali sehingga rawan diselewengkan. Bagaimana dengan rekrutmen, SDM, bagaimana kontrol terhadap HPP dalam menjalankan kewenangannya. Peradilan in absentia bagaimana pengaturan pelaksanaannya? Karena dalam praktik tidak terdapat ketentuan bagaimana peradilan in absentia, hanya ada pengecualiannya sehingga menimbulkan banyak praktik penegakan hukum yang berbeda, begitu juga di dalam draft. Terjadi pergeseran model hubungan koordinasi aparat penegak hukum, saat ini model pengawasan tidak dalam posisi setara antara penyidik, penuntut umum, dan hakim. sedangkan dalam Rancangan KUHAP diatur model hubungan koordinasi 6
21.
22. 23.
24.
25.
26.
27.
28.
menjadi berjenjang. Antara penyidik, penuntut umum, dan hakim. Belum diatur secara tegas dalam Rancangan KUHAP. Terdapat ketentuan baru yaitu, penyidik mendatangi kediaman tersangka atau saksi untuk mengirimkan pemberitahuan atau pemanggilan sebagai saksi, Bagaimana kalau yang bersangkutan tidak ada di tempat. Karena belum ada mekanismenya berapa kali harus diulangi dan bagaimana ketika tidak ditemukan. Belum ada pengaturan mengenai tempat penyimpanan benda sitaan. Rupbasan (rumah penyimpanan barang sitaan) bagaimana posisinya? Karena tidak ada pembedaan antara delik biasa dan delik aduan, maka dalam Rancangan KUHAP terdapat istilah baru yaitu “Pengadu”. Bagaimana posisi pengadu apakah sama dengan istilah pelapor yang selama ini digunakan, dan bagaimana perlindungannya karena tidak terdapat dalam UU perlindungan saksi dan korban. Dalam Rancangan KUHAP terdapat beberapa hal yang menyebabkan tuntutan tidak dapat diterima, namun belum ada ketentuan lebih lanjut mengenai tuntutan yang tidak dapat diterima seperti bagaimana status perkara. Karena kalau tidak ditentukan status perkara maka dikemudikan hari dapat dimunculkan lagi sehingga tidak menjamin kepastian hukum. Perlu dilakukan pembatasan terhadap penggunaan Penahanan. Sebaiknya ditentukan dalam Rancangan KUHAP bahwa penahanan merupakan upaya paksa, dan hanya dilakukan dalam keadaan terpaksa terhadap pelaku. Selain itu, jangka waktu penahanan harus dibatasi sampai dengan 355 hari. Keberadaan “Saksi Mahkota” yang dapat lepas dari segala pemidanaan. Hal ini cenderung dapat diselewengkan karena selain sulitnya menentukan besaran peranan seseorang dalam sebuah tindak pidana, belum ada ketentuan lebih lanjut mengenai saksi mahkota seperti batasan peranan paling ringan, dalam tindak pidana apa sajakah ketentuan saksi mahkota dapat diberlakukan, siapa yang mengawasi penuntut umum dalam menjatuhkan seseorang sebagai saksi mahkota. Pembacaan konklusi oleh Kajati dalam perkara banding tindak pidana korupsi, pelanggaran berat Hak Asasi Manusia, terorisme, pencucian uang, atau kejahatan terhadap keamanan negara dalam pasal 234 RUU KUHAP dianggap tidak efektif dan efisien, karena konklusi panjang dan akan membutuhkan waktu yang lama serta akan menghambat tupoksi Kajati. Terdapat hal yang dapat menjadi celah dalam penegakan hukum yaitu mengenai ketentuan izin penyadapan. Terdapat dua sisi di dalam pengaturan penyadapan ketika di lakukan dengan izin maka dikhawatirkan penyadapan yang akan dilakukan bocor sehingga tidak dapat dicapai tujuan dari penyadapan, namun di lain sisi ketika tidak melalui ijin maka penyadapan yang dijalankan akan cenderung dapat diselewengkan.
2. Kunjungan Ke Polda Jawa Tengah Kunjungan Lapangan dalam Rangka RUU KUHAP, ke Polda Jawa Tengah, pada tanggal 15 Maret 2013, yang dihadiri oleh Kapolda Jawa Tengah, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah dan Ketua Pengadilan Tinggi Semarang beserta jajarannya. Dalam paparannya, Polda Jawa Tengah memberi masukan sebagai berikut: 1. Perubahan Rancangan KUHAP diperlukan karena harus ada perbaikan dalam praktek acara pidana di Indonesia, namun perubahan tersebut perlu dilandasi dengan nilai filosofis yang sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. 7
2. Rancangan KUHAP membawa perubahan sebanyak 30 % jika dibandingkan dengan UU NO. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. selebihnya hanya perbaikan terhadap Hukum Acara pidana yang telah berlaku. 3. Belum ada batasan waktu audit penghitungan kerugian negara baik dalam KUHAP maupun Rancangan KUHAP. Hal tersebut menghambat proses penindakan perkara tindak pidana korupsi. 4. Dalam kejahatan polisi menghadapi penyimpangan masalah sosial yang kemudian menjadi tindak pidana. dengan adanya Hakim Pemeriksa Pendahuluan yang bertugas memberikan persetujuan atas tindakan yang di lakukan aparat penegak hukum dalam pemeriksaan awal, mampukah Hakim Pemeriksa Pendahuluan melaksanakan tugasnya? 5. Perlu diatur lebih tegas mengenai koneksitas. sebagai contoh bagi pengadilan militer. KUHAP berkemungkinan tidak berlaku bagi militer apabila koneksitas tidak diatur dalam Rancangan ini. 6. Sebaiknya tersangka gila/tidak waras/mengalami gangguan jiwa dimasukkan sebagai salah satu alasan penghentian penyidikan. 7. Karena kondisi geografis Indonesia yang tidak sama maka jangka waktu penangkapan tidak dapat disamakan antara daerah satu dengan daerah lainnya. 8. Keterangan terdakwa sebagai alat bukti yang sah menghambat proses pengumpulan alat bukti. Karena yang menentukan terdakwa adalah kewenangan Kejaksaan. Sebaiknya keterangan terdakwa dihapus sebagai salah satu alat bukti yang sah. 9. Jangka waktu penahanan pada tahapan penyidikan dalam Rancangan KUHAP adalah 10 hari. Hal tersebut sulit di terapkan karena terkadang terdapat beberapa perkara yang sulit pembuktiannya. 10. Dalam Rancangan KUHAP kewenangan Penyelidikan dihapuskan. hal tersebut menghambat penyidik dalam mengumpulkan bukti permulaan yang cukup. Dengan dihapusnya penyelidikan, maka polisi cenderung akan pasif bagaimana dengan perkara yang harus dilakukan penyelidikan agar dapat terungkap. 11. Sebelum melakukan penyidikan Penyidik harus mendapatkan ijin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan dan melaporkannya pada Jaksa Penuntut Umum. Hal ini memperpanjang sistem birokrasi dalam penyidikan. Bagaimana kalau ijin penyidikan langsung pada Hakim Pemeriksa Pendahuluan dan tidak perlu ada pelaporan pada Jaksa Penuntut Umum. 12. Penggeledahan harus dilakukan antara pukul 06.00 sampai dengan pukul 22.00, kecuali dalam keadaan mendesak. Hal ini memberikan celah hukum sehingga tindak pidana dapat dilakukan pada jam penggeledahan tidak dapat dilakukan kecuali terpaksa. Selain itu, sebelum melakukan penggeledahan penyidik harus memiliki ijin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan, hal tersebut tidak dapat dipraktekkan karena membuka peluang gagalnya proses penggeledahan. 13. Perlu pengaturan lebih lanjut mengenai Penyelesaian perkara ringan. Seperti batasan perkara yang disebut ringan, kemudian apakah perkara ringan masih perlu di bawa dalam proses pengadilan, karena Rancangan KUHAP telah menganut prinsip restorative justice. 14. Penangkapan dalam Rancangan KUHAP dapat dilakukan pada setiap orang. Sedangkan penangkapan seharusnya dibatasi pada tersangka atau terdakwa. 15. Perlindungan terhadap saksi dan korban juga merupakan salah satu materi yang diatur dalam Rancangan KUHAP. Perlu dirinci bentuk perlindungan terhadap saksi dan korban. Bentuk perlindungan, jangka waktu perlindungan apakah perlu sampai setelah sidang selesai. Kemudian bagaimana persinggungannya dengan UU 8
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23. 24.
25.
26.
Perlindungan Saksi dan Korban, dan bagaimana dengan status “pengadu” yang merupakan entitas baru dalam Rancangan KUHAP. Penyadapan dapat dilakukan hanya dengan ijin Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Ketentuan ini menyebabkan penyedapan rawan diketahui oleh publik sehingga menyebabkan gagalnya penyadapan. Sebaiknya penyadapan tidak perlu ijin sebelum pelaksanaanya. Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) memiliki kewenangan sangat luas yang hanya ditanggung oleh satu orang dan keputusan hakim tersebut merupakan putusan pertama dan terakhir. Hal tersebut rawan menimbulkan penyelewengan kewenangan. Jalur khusus yang terdapat dalam Pasal 199 Rancangan KUHAP, yaitu tentang pengaturan yang menetapkan bahwa “pengakuan” dapat dijadikan sebagai dasar bagi hakim dalam menjatuhkan putusan. Hal ini bertentangan dengan materi hukum acara pidana yang berlaku selama ini yang menitik beratkan pada pencarian kebenaran materil. Dalam hal hak tersangka atau penasihat hukumnya untuk mengajukan saksi yang menguntungkan, perlu terdapat pembatasan berapa banyak saksi tersebut dapat diajukan serta kualifikasi seseorang dapat disebut sebagai saksi yang menguntungkan. Jika tidak hal tersebut dapat digunakan sebagai alat bagi tersangka/ terdakwa untuk mengulur-ulur waktu pengadilan. Dalam pasal 240 Rancangan KUHAP, terdapat ketentuan pembatasan pengajuan permintaan kasasi oleh penuntut umum atau terdakwa terhadap putusan bebas. Hal ini berlawanan dengan yurisprudensi yang telah digunakan selama ini. Dalam putusan Jaksa Penuntut Umum. Sangat sulit melakukan eksekusi. Perlu dibatasi batasan waktu maksimal melakukan eksekusi. Karena surat putusan belum diterima oleh Jaksa Penuntut Umum. Sistem koordinasi antara PPNS dengan Penyidik Polri dalam Pasal 7 ayat (3) Rancangan KUHAP, memperpanjang sistem birokrasi yang menyebabkan lamanya masa penyidikan yang dilakukan oleh PPNS. Kemudian belum diatur lebih lanjut dalam hal JPU memberikan petunjuk terhadap berkas penyidikan PPNS, apakah mekanismenya harus berulang lagi kembali pada Penyidik Polri baru kepada PPNS. Hal ini tidak sesuai dengan asas pengadilan yang sederhana cepat dan hemat. Pengadilan Tinggi Jawa Tengah tidak sepakat dengan ide Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Karena ide Hakim Pemeriksa Pendahuluan sangat sulit untuk dilaksanakan, pengadilan pada dasarnya mengalami kekurangan SDM tanpa adanya beban Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Dengan adanya Hakim Pemeriksa Pendahuluan maka beban kekurangan SDM tersebut akan lebih tinggi. Dengan adanya Hakim Pemeriksa Pendahuluan akan menimbulkan proses birokrasi berlapis yang lebih memperlama proses penegakan perkara. Jika Hakim Pemeriksa Pendahuluan memang dirasakan sangat mendesak kebutuhannya maka sebaiknya Hakim Pemeriksa Pendahuluan merupakan seorang hakim tinggi yang menjabat sebagai hakim pengadilan tinggi. Bukan ditunjuk langsung dari Mahkamah Agung. Ketentuan jangka waktu Perkara banding yang terdapat dalam Pasal 62 dan Pasal 63 Rancangan KUHAP tidak mungkin dilaksanakan. Dan kewenangan perpanjangan penahanan bukan oleh hakim pengadilan tinggi namun merupakan kewenangan Ketua Pengadilan Tinggi. Tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai barang bukti pelanggaran lalu lintas yang tersangkanya tidak hadir saat pengadilan. Di mana barang bukti disimpan dan 9
bagaimana tersangka dapat mengambilnya. Karena pada dasarnya barang bukti merupakan milik pengadilan namun tidak demikian dalam praktek. 27. Terdapat ketentuan mengenai hakim pengawas dan pengamat (kimwasmat) dalam Pasal 275 Rancangan KUHAP, yang bertugas melakukan pengawasan dan pengamatan atas putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan. namun belum terdapat pengaturan lebih lanjut bagaimana Kimwasmat melakukan tugas dan wewenangnya. Bagaimana dengan pengadilan tinggi yang tidak ada LPnya, apakah kimwasmat boleh bersidang karena pada dasarnya tugas pengawasan dan pengamatan hanya bersifat insidental. 28. belum diatur mengenai berapa lama batasan waktu lamanya sebuah perkara. Sejak dimulainya penyidikan sampai dengan selesainya perkara di persidangan. 29. Perlu juga diatur mengenai batasan waktu maksimal eksekusi pidana bagi Terpidana yang sudah berkekuatan hukum tetap. Karena dapat menjadi celah hukum bagi eksekusi putusan pengadilan. Adapun masukan lain terkait Rancangan KUHAP adalah sebagai berikut : 1. Agar dimasukkan rumusan pengertian penyelidik, penyelidikan, penyidik pembantu, mengadili, keterangan saksi, keterangan ahli, sudah lewat waktu, perlindungan hukum, pidana umum, pidana khusus, pengadilan umum, pengadilan khusus, nebis in idem, penetapan hakim, dan restorative justice dalam ketentuan Pasal 1 draft RUU KUHAP. 2. Pemanggilan yang diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf f, masih bersifat umum. Jika yang dipanggil masyarakat tertentu (Pegawai, DPR, DPRD) yang mempunyai sifat khusu belum diatur. 3. Posisi penyidik dan penuntut umum harus berada pada posisi yang setara/sejajar karena penyidik bukan pembantu penuntut umum. Oleh karena itu Kata “meminta petunjuk” yang terdapat dalam Pasal 13 ayat (2) draft Rancangan KUHAP dihilangkan diganti dengan “koordinasi”. 4. Kata “terdakwa” dalam proses penyidikan sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf f draft Rancangan KUHAP tidak tepat, seharusnya “tersangka” 5. Ketentuan Pasal 15 ayat (3) draft Rancangan KUHAP yang berbunyi “Penyidik atas permintaan penuntut umum dapat melaksanakan tindakan hukum tertentu untuk memperlancar pelaksanaan sidang di pengadilan atau melaksanakan penetapan hakim”. 6. Makna “tindakan hukum tertentu” yang terdapat dalam ketentuan Pasal 15 ayat (3) draft Rancangan KUHAP perlu diperjelas supaya penyidik tidak diperalat oleh penuntut umum; atau a) Pasal ini dihapus; b) Anggaran untuk melaksanakan tugas itu dari siapa? Jadi ada definisi yang tegas dan jelas mengenai “tindakan hukum tertentu” serta keterangan yang jelas mengenai pendanaannya. 7. Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19 Ayat (1) draft Rancangan KUHAP belum mengatur mengenai massa tenggang waktu penangkapan terhadap pelaku tindak pidana tertentu (penangkapan kasus terorisme 7 x 24 jam, narkotika 3 x 24 jam). Dalam draft Rancangan KUHAP, massa tenggang waktu penangkapan hanya 1 x 24 Jam. Oleh karena itu massa tenggang waktu tersebut harus disinkronisasi. Selain itu supaya diadopsi dalam draft Rancangan KUHAP (misal terhadap anggota DPR, DPRD) harus patuh terhadap Undang-Undang yang berlaku baginya. 8. Ketentuan Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 22 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), serta Pasal 24 ayat (1), penahanan masih dibedakan antara yang diatur dalam Rancangan KUHAP dengan penahanan tindak pidana tertentu (teroris). Demikian juga terhadap wanita dan anak-anak sesuai aturan undang–undang yang berlaku. 10
9. Ketentuan Pasal 25 ayat (3) draft Rancangan KUHAP berbunyi “Jika ahli yang karena harkat dan martabat, pekerjaan, atau jabatan diwajibkan menyimpan rahasia, maka ahli dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta”. Agar diatur secara tegas mengenai tolok ukur rahasia yang wajib disimpan oleh ahli untuk menghindari perbedaan persepsi atau pasal ini dicabut. 10. Jangka waktu 7 (tujuh) hari sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 26 draft Rancangan KUHAP dihitung dari mana. Hal ini agar diatur secara tegas atau dicabut. 11. Pasal 28 ayat (5) Penyidik atau atasan penyidik dapat mengabulkan permintaan dengan atau tanpa syarat. a) Yang dimaksudkan permintaan pengajuan keberatan atau tetap ditahan atau tetap berada dalam tahanan ? b) Jika diberikan tanpa syarat, bagaimana konsekuensi hukumnya jika tersangka kemudian melarikan diri ? Agar diatur secara tegas atau ada aturan pengecualian atau tidak hanya dibatasi 24 jam saja, tetapi sesuai kondisi geografis setempat. 12. Pasal 29 ayat (3) Penggeledahan... dilaporkan kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam waktu paling lama 24 jam setalah dilakukan penggeledahan. a. Bagaimana mekanisme pelaporannya ? via surat resmi, SMS atau ketemu langsung ? b. Bagaimana jika jarak ke tempat Hakim Pemeriksa Pendahuluan sangat jauh dan melewati batas 24 jam ? Supaya lebih diatur permasalahan penyitaan benda benda yang mempunyai sifat khusus (waskat / surat surat bank). 13. Pasal 52 Tuntutan Penuntut Umum, tidak dapat diterima jika tindak pidana yang dituntut memenuhi salah satu alasan sbb : a) Ne bis in idem b) Apabila terdakwa meninggal dunia. c) Sudah lewat waktu d) Tidak ada pengaduan pada tindak pidana aduan. e) Undang–undang atau pasal yang menjadi dasar tuntutan sudah dicabut atau dinyatakan tidak mempunyai daya laku berdasarkan putusan pengadilan. - Bukan tindak pidana; atau - Terdakwa masih dibawah umur 12 tahun pada waktu melakukan tindak pidana. Pasal 54 untuk kepentingan penyidikan penyidik berwenang melakukan penangkapan. Belum ada batasan tentang seorang tersangka dapat dilakukan penangkapan, ini penting untuk dicantumkan mengingat permasalahan dalam praktek penyidikan,misal : a. Tersangka yang ditangguhkan melarikan diri b. Ditangkap untuk kepentingan penyerahan tersangka ke penuntut umum Di jelaskan dalam hal apa saja penangkapan dapat dilakukan. 14. Pasal 56 ayat (4) Dalam waktu paling lama 1 hari terhitung sejak penangkapan tersangka sebagaimna dimaksud pada ayat( 3) berikut barang bukti harus diserahkan kepada penyidik. a. Pembatasan waktu sangat terbatas Bagaimana jika tempat penangkapan tersangka karena factor geografis, transportasi atau sebab lain tidak memungkinkan dilakukan penyerahan dalam satu hari b. Mensiratkan bahwa ada pihak lain selain penyidik wenang melakukan penangkapan, bertentangan dengan Psl 54, yang secara tegas hanya penyidik yang wenang menangkapan c. Belum dirinci/secara tersendiri siapa yang saja yang wenang melakukan penangkapan Saran/Usulan: a. Ditambah pasal pengecualian b. Diperjelas dalam pasal tersendiri siapa saja yang wenang melakukan penangkapan 11
15. Pasal 56 ayat (5) Dalam waktu paling lama 1(satu) hari penyidik harus memberikan tembusan kepada keluarga, wali atau orang yang ditunjuk tersangka. Batasan waktu yang terbatas dengan kondisi geografis, transportasi akan mengalami kendala. Ditambah dalam rumusanya “tembusan dapan dilakukan dengan secara langsung atau dengan sarana jasa pengiriman. Satu hari dihitung dalam hal : a. Penyampaian langsung, sejak diterimanya surat b. Penyampaian melalui jasa pengiriman, sejak diserahkan kepada jasa pengiriman. 16. Pasal 57 ayat (1) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari. Batasan waktu yang terbatas dengan kondisi geografis, transportasi akan mengalami kendala.Masa penangkapan dapat dilakukan maksimal 2 (dua) hari. 17. Pasal 58 ayat (3) Untuk kepentingan pemeriksaan pada tahap penyidikan, Hakim Pemeriksa Pendahuluan atas permintaan penyidik melalui penuntut umum berwenang memberikan persetujuan perpanjangan penahanan terhadap tersangka. Tanggapan: a. Melalui penuntut umum, akan memperpanjang dan mempersulit dalam birokrasi sedang waktu penyidikan sangat terbatas. b. Penyidik akan semakin disibukkan keadministrasian dan birokrasi. c. Pada dasarnya keputusan persetujuan ada di Hakim Pemeriksa Pendahulu. Saran/Usulan: Permohonan dari penyidik langsung kepada hakim pemeriksa pendahuluan, kata – kata Melalui penuntut umum, diganti memberikan tembusan kepada penuntut umum. 18. Pasal 59 ayat (4) Dalam waktu paling lama 1(satu) hari terhitung sejak penahanan tembusan surat perintah penahanan atau penetapan hakim sebagaimana dimksud pada ayat (2) harus diberikan kepada : a, Keluarga .. dst b, c, d. Dengan faktor geografis dan transportasi penyidik akan mengalami kendala. Ditambah redaksi : a. Penyampaian dapat dilakukan secara langsung penyidik atau dengan jasa pengiriman. b. 1(satu) hari dihitung dari. 1) Saat diterimanya surat tembusan oleh… (pihak-pihak penerima). 2) Saat diterimanya surat tembusan oleh jasa pengiriman. 19. Pasal 60 Ayat (1) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan untuk waktu paling lama 5 (lima) hari oleh penyidik. Tanggapan: Dengan kegiatan penyidikan yang harus dilakukan oleh penyidik dibanding dengan waktu yang disediakan dalam bentuk melakukan penahanan yang 5 (lima) hari dan diperpanjang 5 (lima) hari oleh penuntut umum, dipastikan tidak cukup sehingga perpanjangan ini hanya menambah kegiatan administrative yang justru tidak akan mendukung percepatan penyidikan (penghambat, karena penyidik disibukkan kegiatan administrasi formal). Saran/Usulan: Masa penahanan dikembalikan sesuai dengan UU No 8 Tahun 1981. Pasal 60 ayat (2) Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 5 hari oleh penuntut umum. Tanggapan: Fakta pengalaman menujukkan banyak perkara yang memerlukan waktu yang panjang untuk proses suatu penyidikan. a. Penggeledahan untuk kepentingan penyidikan Bagaimana halnya pemeriksaan kendaraan/mobil dalam razia yang dilakukan polisi dalam rangka kegiatan preventif (razia handak). b. Yang wenang melakukan hanya penyidik. 12
Bagaimana halnya pemeriksaan kendaraan/mobil dalam razia yang dilakukan polisi dalam rangka kegiatan preventif. Saran/Usulan: Diberikan ruang dan kewenangan kepada polri untuk melakukan pemeriksaan ruang, badan dll dalam rangka pelaksanaan giat operasi kepolisian. 20. Pasal 68 ayat (2) Pelaksanaan penggeledahan dibatasi antara pukul 06.00 sd 22.00. Tanggapan: Telah memberi ruang kesempatan pelaku kejahatan untuk melakukan aktivitas tindak pidana dalam waktu yang tidak tersentuh (leluasa). Menghambat proses penyidikan. Saran/Usulan: Pembatasan waktu di hapuskan. 21. Pasal 69 ayat (1) Penyidik dalam melakukan penggeledahan harus mendapat izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan berdasarkan permohonan melalui penuntut umum. Tanggapan: Kewenangan izin ada pada Hakim Pemeriksa Pendahuluan, sehingga izin yang diajukan penyidik harus melalui penuntut umum hanya bersifat administratip yang memperpanjang birokrasi dan mempersulit penyidik, yang berwenang melakukan pengawasan pelaksanaan penggelesahan adalah Hakim Pemeriksa Pendahuluan, sehingga laporan penyidik atas telah dilakukan penggeledahan melalui penuntut umum hanya akan memperpanjang birokrasi dan administrasi. Saran/Usulan: Melalui penuntut umum, diganti tembusan disampaikan kepada penuntut umum. 22. Pasal 69 ayat (5) Penggeledahan yang dilakukan tanpa izin karena keadaan mendesak harus dilaporkan kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan melalui penuntut umum dalam waktu paling lama 1(satu) hari. Tanggapan: Pembatasan waktu 1(satu) hari tidak memperhatikan situasi geografis dan transportasi, dalam kondisi tertentu tidak akan dapat dilaksanakan. Saran/Usulan: Hendaknya ada pengecualian dalam keadaan situasi dan kondisi tertentu. 23. Pasal 70 ayat (6) Dalam waktu paling lama 2(dua) hari sejak tanggal penggeledahan rumah, penyidik memberikan tembusan berita acara kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan dan kepada hakim pemeriksa pendahuluan. Tanggapan: Belum disebut dalam hal tidak diketahui: a. Siapa pemilik rumah, b. Alamat pemilik rumah Saran/Usulan: Dalam hal tidak diketahui: a. Siapa pemilik rumah b. Alamat pemilik rumah tembusan berita acara disampaikan kepada Ketua lingkungan. 24. Pasal 72 ayat (1) Penyidik melakukan penggeledahan diluar daerah hukumnya, maka penggeledahan tersebut harus diketahui oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan dan didampingi penyidik daerah hukum tempat penggeledahan. 13
Tanggapan: Harus diketahui oleh Hakim Pemerikksa Pendahuluan Timbul keraguan, apakah melapor setelah menggeledah atau melapor sebelum menggeledah. Saran/Usulan: Untuk dipertegas dalam redaksi, “sebelum melakukan/ setelah melakukan penggeledahan diluar daerah dst…….”. 25. Pasal 75 ayat (1) Penyitaan harus mendapat izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan berdasarkan permohonan melalui penuntut umum. Tanggapan: Permohonan ijin penyitaan kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan melalui penuntut umum hanya akan memperpanjang birokrasi dan administrasi sedang kegiatan penyitaan adalah giat yang sifatnya selalu mendesak. Saran/Usulan: Permohonan izin langsung kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan, tembusan disampaikan kepada penuntut umum. 26. Pasal 75 ayat (4) Penyitaan dalam keadaan mendesak (tanpa izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan) paling lama 1(satu) hari harus melapor kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan melalui penuntut umum. Tanggapan: a. 1(satu) hari batasan yang rigid/ kaku belum mempertimbangkan faktor geografis dan transportasi. b. melalui penuntut umum yang wenang melakukan pengawasan pelaksanaan penyitaan adalah Hakim Pemeriksa Pendahuluan, sehingga laporan penyidik atas telah dilakukan penggeledahan melalui penuntut umum hanya akan memperpanjang birokrasi dan administrasi. Saran/Usulan: a. Harus ada batasan untuk dalam keadaan tertentu dimungkinkan cara penyampaian melalui 1) Secara langsung 2) Jasa pengiriman b. Melalui penuntut umum, diganti tembusanya disampaikan kepada penuntut umum. 27. Pasal 75 ayat (10) Dalam waktu paling lama 2(dua) hari terhitung sejakpenyitaan penyidik memberikan salinan Berita Acara penyitaan kepada pemilik atau pihak yang menguasai benda dan kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Tanggapan: a. Belum diatur dalam hal penyitaan terhadap benda yang tidak ada/diketahui pemiliknya/yang menguasai. b. Batasan 2 hari belum memperhatikan factor geografis dan transportasi. c. Belum di atur cara penyampaian. Saran/Usulan: a. Diatur tersendiri dalam hal tidak diketahui pemilik/yang menguasai salinan disampaikan kepada Ketua lingkungan. b. Harus ada batasan untuk dalam keadaan tertentu. c. Dimungkinkan cara penyampaian melalui 1) Secara langsung 2) Jasa pengiriman
14
28. Pasal 80 ayat (2) Pejabat yang melakukan penyitaan menyerahkan benda sitaan di Rubasan yang daerah hukumnya meliputi tempat benda sitaan tersebut. Tanggapan: Akan menimbulkan hambatan dalam proses penyidikan dalam hal secara geografis antara daerah hukum tempat proses penyidikan dilakukan dan keberadaan benda sitaan berada Saran/Usulan: a. Benda sitaan diserahkan di Rubasan didaerah hukum meliputi tempat penyidikan dilakukan. b. Dalam keadaan tertentu karena sifat benda yang tidak memungkinkan diserahkan kepada Rubasan yang daerah hukumnya meliputi tempat benda sitaan tersebut. 29. Pasal 81 ayat (1) Dalam keadaan tertentu benda sitaan tidak mungkin di simpan (mudah rusak, biaya tinggi, membahayakan dll) sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka/terdakwa atau kuasa hukumnya dapat dilelang, musnahkan diamankan dengan izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Tanggapan: a. Sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka/terdakwa atau kuasa hukumnya. b. Akan terjadi hambatan dalam pelaksanaan karena akan terjadi pertentangan antara kepentingan obyektif hukum dan kemauan subyektif tersangka/terdakwa atau kuasa hukum. Saran/Usulan: Cukup mendasari pada kepentingan secara obyektif untuk hukum dan untuk tersangka/terdakwa atau kuasa hukum cukup diberitahukan/menyaksikan dan tidak perlu adanya persetujuan. 30. Pasal 82 ayat (1) Benda yang disita dikembalikan kepada orang yang berhak. Tanggapan: Dikembalikan kepada yang berhak akan berpotensi terjadi perbedaan tentang pendapat mengenai siapa yang berhak, antara penyidk, pelapor, tersangka/kuasa hokum, meningat pengembalian ini adalah sebelum diputus oleh hakim Saran/Usulan: a. Diganti, dengan dikembalikan pada dari mana benda tersebut di sita, atau b. dikembalikan sesuai bunyi KUHAP yang lama. 31. Pasal 83 ayat (1) penyadapan pembicaraan melalui telpon atau alat komunikasi yang lain dilarang , kecuali dilakukan terhadap pembicaraan yang terkai dengan tindak pidana serius atau diduga keras akan terjadi tindak pidana serius tersebut yang tidak dapat diungkap jika tidak dilakukan penyadapan. Tanggapan: Untuk kasus judi diperlukan penyadapan. Saran/Usulan: Agar perkara atau kasus judi masuk dalam penyadapan dan masuk dalam tindak pidana serius. 32. Pasal 83 ayat (2) Tindak pidana serius sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. Terhadap keamanan Negara b. perampasan kemerdekaan /penculikan c. pencurian dengan kekerasan d. pemerasan e. pengancaman f. perdagangan orang g. Penyelundupan 15
h. Korupsi i. pencucian uang j. pemalsuan uang k. Keimigrasian l. mengenahi bahan peledak dan senjata api m. Terorisme n. pelanggaran HAM berat o. psitropika dan narkotika p. pemerkosaan q. pembunuhan r. penambangan tanpa ijin s. penangkapan ikan tanpa ijin diperairan t. pembalakan liar. Tanggapan: Bila setiap penyadapan harus ada perintah tertulis dari atasan penyidik dan setelah mendapat surat ijin dari hakim pemeriksa pendahuluan, justru akan menghambat tugas Polri dalam pengungkapan kasus-kasus serius, yang diperlukan penyadapan. Saran/Usulan: Agar Polri dalam melakukan penyadapan atas tindak pidana serius seperti yang ada dalam pasal 83 ( 2) tidak harus ada perintah atasan Penyidik dan tidak diperlukan ijin dari Hakim pemeriksa pendahuluan, namun setelah penyidik melakukan penyadapan, penyidik wajib melaporkan tertulis kepada atasan penyidik, selanjutnya penyidik melaporkan penyadapan tersebut kepada hakim pemeriksa pendahuluan guna mendapatkan penetapan persetujuan. 33. Pasal 83 ayat (3), penyadapan pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh penyidik atas perintah tertulis atasan penyidik setelah mendapat surat ijin dari hakim pemeriksa pendahuluan. Pasal 83 ayat (4) Penuntut Umum menghadap kepada Hakim pemeriksa pendahuluan bersama dengan penyidik dan menyampaikan permohonan tertulis untuk melakukan penyadapan kepada hakim pemeriksa pendahuluan dengan melampirkan pernyataan tertulis dari penyidik tentang alas an penyadapan. Tanggapan: Bahwa Polri/ Penyidik begitu mengetahui adanya infomasi tindak pidana serius seperti yang tertuang dalam pasal 83 ayat (2) tersebut tidak perlu melaporkan pada atasan akan tetapi Polri tersebut langsung melakukan penyadapan, hal tersebut memperpanjang birokrasi sehingga tidak sesuai dengan istilah bahwa hukum yang mudah murah dan cepat. Saran/Usulan: Agar penyidik dalam melakukan penyadapan tidak perlu menyampaikan permohonan tetulis dengan alasan dilakukan penyadapan kepada hakim pemeriksa pendahuluan, cukup penyidik memberitahukan kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan. 34. Pasal 86 ayat (1) Apabila sesudah dibuka dan diperiksa , ternyata bahwa surat tersebut ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa, surat tersebut dilampirkan pada berkas perkara. Tanggapan: Bahwa tidak serta merta surat di lampirkan pada berkas perkara. Saran/Usulan: 16
Surat tersebut dilampirkan pada berkas perkara setelah dimintakan penetapan dahulu kepada Hakim pemeriksa pendahuluan. 35. Pasal 101 Tersangka atau terdakwa berhak mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau orang yang memiliki keahlian khusus yang jumlah orangnya ditentukan oleh Hakim guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi tersangka atau terdakwa. Tanggapan: Di tingkat pemeriksaan penyidikan atau tingkat pemeriksaan sidang pengadilan tersangka atau terdakwa berhak mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau orang yang memiliki keahlian khusus yang jumlah orangnya ditentukan oleh Hakim guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi tersangka atau terdakwa tersebut tidak jelas. Saran/Usulan: Tersangka atau terdakwa berhak mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau orang yang memiliki keahlian khusus yang jumlah orangnya ditentukan oleh Hakim guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi tersangka atau terdakwa sejak dimulai tingkat pemeriksaan penyidikan dan tingkat pemeriksaan sidang pengadilan. 36. Pasal 104 ayat (2) Apabila penasihat hukum menyalahgunaan haknya dalam pembicaraan dengan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim atau petugas rutan dapat memperingatkan penasihat hukum. Pasal 104 ayat (4) Apabila peringatan tidak diindahkan, dan penasihat hukum masih menyalahgunakan haknya, maka yang bersangkutan / penasihat hukum tidak boleh berhubungan dengan tersangka. penasihat hukum dan tersangka atau terdakwa. Tanggapan: Belum diatur hal hal apa yang dilarang dalam hubungan antara penasihat hukum dan tersangka (apa saja yang dikatakan penyalahgunakan hak oleh penasihat hukum). Saran/Usulan: Diatur hal hal apa yang dilarang dalam hubungan antara penasehat hukum dan tersangka. 37. Substansi materi RUU secara keseluruhan bukanlah substansi materi baru karena dari 286 pasal hanya sekitar 30 pasal yang merupakan materi baru (± 10%). Materi pengaturan baru tersebut antara lain : a. Perlindungan pelapor, pengadu, saksi dan korban ( Psl. 40,41); b. Penyadapan (Psl 83,84); c. Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) (Psl 111 s/d 122); d. Jalur Khusus (Psl 199); dan e. Saksi Mahkota (Psl 200). 38. Belum sinkron substansi materi aturan dalam RUU KUHAP dengan UU atau antara pasal RUU KUHAP tidak konsisten menggunakan istilah. 39. Perlindungan pelapor, pengadu,saksi dan korban (psl 40,41). Perlu secara terinci dan terukur bentuk-bentuk perlindungan dalam UU atau peraturan pelaksanaannya. 40. Penyadapan (Psl 83,84). a. Tindakan penyadapan merupakan teknik penyidik mengungkap dan menangkap tangan pelaku tindak pidana dan karena merupakan sarana penyidikan bersifat sangat rahasia. b. Dengan sangat ketatnya pengaturan izin penyadapan maka tindakannya sangat mudah sudah diketahui (bocor) sebelum tindakan dilakukan. c. Seharusnya yang diatur adalah larangan membocorkan hasil penyadapan. 17
41. Hakim Pemeriksa Pendahuluan (Psl.111 s/d 122). a. Kewenangan terlalu besar yg dilakukan seorang Hakim yang relatif masih muda 35 tahun s/d 57 tahun dan minim pengalaman dikhawatirkan muncul masalah baru antara lain mudah dipengaruhi karena tidak ada mekanisme kontrol sedangkan putusannya pertama dan terakhir. b. Perlu diatur mekanisme kontrol / pengawasannya. c. Tempat kedudukan kantor diluar PN sangat rawan sarang KKN dan perlu bangun gedung baru membebankan keuangan negara. d. Sebaiknya HPP tetap berkantor dan sidang di PN dan diatur mekanisme kontrol pengawasan. Demikian laporan dalam kunjungan kerja ini untuk dapat dijadikan masukan bagi Pimpinan DPR dan Anggota Panitia Kerja. Ketua Tim Kunjungan Lapangan/ Wakil Ketua Komisi III DPR RI
IR. TJATUR SAPTO EDY, MT
18