DEKRIT ALLAH ATAS ZAKAT “Dan dirikanlah shalat, keluarkanlah zakat serta ruku’lah beserta orangorang yang mengerjakan ruku’. (Al-Baqarah: 43)”.
Dua tahun setelah Rasulullah hijrah dari Makah ke Madinah, beliau mendapatkan perintah dari Allah SWT untuk melaksanakan perintah zakat. Ayat di atas adalah salah satu ayat pertama dimana diwajibkannya zakat bagi kaum muslimin. Zakat dalam pengertiannya yang sangat sederhana adalah: “mengeluarkan sebagian hartanya—baik berupa benda, maupun tumbuhan menurut kadar yang telah ditentukan syara’, kepada orang-orang yang telah ditetapkan Islam, pada waktu dan jumlah yang telah ditentukan pula—demi kemashlahatan umat”. Setelah ayat di atas turun kepada Rasulullah, maka sejak itu pulalah kaum muslimin wajib mengeluarkan sebagian hartanya untuk diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Firman Allah dalam Surat AtTaubah ayat 60 mengatakan: “bahwasanya sedekah (zakat) itu, adalah kepunyaan orang-orang fakir, orang-orang miskin, orang-orang yang mengurusi zakat, orang-orang yang dijinakkan hatinya (muallaf), buat penebus budak, buat orang-orang yang berhutang, buat di jalan Allah dan buat ibnu sabil. Itulah ketetapan Allah dan Allah itu Maha Mengetahui lagi Maha Hakim”. Sungguh mengesankan konsep zakat ini bila dipahami betul oleh kaum muslimin. Adakah syariat atau ajaran agama yang menyuruh para pemeluknya untuk membantu kaum fakir miskin? Adakah suatu syariat lain yang menyuruh warga pemeluknya untuk menolong orang yang punya hutang namun ia sudah tidak sanggup lagi membayar dan mewajibkan saudara lainnya untuk membayarkan hutangnya? Adakah suatu ajaran agama lain yang menyuruh pemeluknya untuk memerdekakan budak dan memebebaskannya dari tuannya? Sama sekali tidak ada. Namus Islam dengan konsep zakatnya ini mampu merevolusi tradisi arab menuju suatu peradaban modern, dimana budak atau hamba sahaya ditempatkan sejajar dengan manusia lain sebagai orang yang memiliki hak sama dihadapan Allah. Bila si budak tersebut sudah hendak dijual oleh tuannya, maka harta zakat tersebut adalah mediasi untuk digunakan sebagai alat pembeli kepada tuan 1
itu dan membebaskan budak tersebut. Begitu pula orang yang memiliki hutang. Apabila si pemilik hutang itu sudah benar-benar tidak mampu melunasi hutangnya, maka harta zakat tersebut adalah hak dia untuk dapat menjadi alat pembayar hutangnya. Sedemikian dahsyatnya konsepsi zakat ini bila kita cermati lebih dalam dan dalam lagi. Dengan demikian, “Celakalah bagi orang-orang musyrik, yaitu orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat hartanya” (Fushilat : 6-7). Zakat adalah bentuk ujian Allah terhadap keimanan seseorang. Dan seringkali ungkapan zakat ini diawali dengan perintah mendirikan shalat, hal itu menandakan begitu pentingnya pelaksanaan ibadah zakat di kalangan kaum muslimin. Seseorang yang beriman tidak akan pernah sempurna ibadahnya apabila ia tidak melaksanakan shalat. Begitu pula seorang muslim yang shalat, tidak akan pernah diridhai Allah sehingga ia bersegera melaksanakan zakat karena zakat adalah membersihkan diri dan hartanya. Dengan shalat, kaum muslimin diuji oleh Allah terhadap kemampuan ibadah fisiknya. Sedangkan dengan zakat, kaum muslimin di Uji Allah terhadap keikhlasan mengeluarkan sebagian harta yang dicintainya itu Zakat adalah cobaan dan ujian Allah terhadap penyakit jiwa. Karena dalam diri manusia terdapat ambisi untuk cinta dunia dan senang menumpuk harta. Sikap kikir adalah penyakit jiwa yang banyak dimiliki oleh manusia. Bila tidak dilatih untuk mengeluarkan sebagian hartanya itu, maka penyakit kikir akan tambah melekat dan berkembang menjadi suatu sikap dan karakter serta lambat laun akan menjadi penyakit masyarakat. Kejahatan dan kemungkaran akan merajalela akibat kekikiran tersebut. Orang miskin akan dengki dengan kekayaan yang dimiliki tetangganya yang kikir. Begitu pula orang kaya akan acuh terhadap kenistaan yang dialami oleh si miskin. Bila sikap individualistis ini dibiarkan bersarang di tengah-tengah masyarakat, maka bagaimana jadinya? Penjarahan, perampokan dan pencurian adalah hal yang niscaya bakal terjadi. Namun apabila sistem zakat ini lancar berjalan ditengah-tengah masyarakat kita, kedamaian, ketentraman dan tolong menolong saling membantu dan menjaga akan tercipta selamanya. Si miskin akan mencintai mutlak kepada si kaya. Si kaya akan perhatian penuh kepada si miskin. Si miskin akan membela, menjaga dan memelihara seluruh harta si kaya, karena si miskin paham bahwa di dalam harta si kaya tersebut ada bagian yang akan menjadi miliknya kemudian. Maka semakin banyak harta si kaya, akan semakin banyak pula bagian yang akan di dapatkan oleh si miskin. Bila sikap 2
tolong-menolong, bantu-membantu, dan jaga-memelihara kepentingan harta masing-masing ini dipahami secara benar oleh seluruh umat, tidak akan lama lagi kehidupan berjama’ah ini akan segera terwujud. Dan begitu pula sebaliknya, apabila nilai-nilai individualistik yang menjadi panglima kehidupan, tidak akan menunggu waktu lama, kehidupan akan segera porak poranda. Cobaan Allah terhadap harta benda (ZAKAT) sungguh lebih berat bila dibandingkan dengan ujian Allah terhadap tubuh (SHALAT dan PUASA). Untuk itu kita lebih banyak menjumpai orang-orang yang melakukan shalat dan puasa dibandingkan dengan orang-orang yang mengeluarkan zakat. Hal ini karena beratnya ujian Allah terhadap sebuah harta yang dimiliki. Bila shalatnya seseorang tidak mendorong orang untuk mengeluarkan zakat, shalat yang tidak mengingatkan kepada hak fakirmiskin, serta shalat yang tidak menyadarkan kepada harta yang dimilikinya itu adalah harta Allah yang didalamnya tersirat sebuah ujian, apakah ia mampu dengan hartanya itu menyelesaikan hak-hak hartanya atau tidak— shalatnya oramh tersebut, tidak ada harganya disisi Allah. Shalat seperti itu tidak Allah perdulikan karena termasuk shalatnya orang-orang yang lalai. Zakat itu tanda iman dan rasa syukur terhadap nikmat Allah. Zakat adalah ikatan hubungan kaya—miskin. Sesungguhnya orang yang benarbenar menegakkan shalat, dia tidak akan melupakan Allah dan keutamaan nikmat hartanya. Dia akan memberikan hartanya di jalan Allah menolong keluarganya, menegakkan kemashlahatan umat dan cinta fakir-miskin. Shalat disyariatkan untuk memperbaiki jiwa manusia. Sedangkan “ZAKAT” adalah untk memperbaiki pergaulan hidup ditengah-tengah masyarakat—tolong menolong. Untuk menjadikan anggota masyarakat berguna dan berfaedah bagi anggota masyarakat lainnya. Zakat diambil dari harta orang kaya yang telah cukup nishabnya, -- untuk mensucikan jiwanya dari penyakit kikir dan pedit. Kikir adalah penyakit yang membahayakan bagi masyarakat. Bila penyakit ini sudah mengakar ditengahtengah masyarakat maka akan segera muncul kemungkaran dan kejahatan dalam masyarakat. Zakat disyariatkan pula adalah “untuk mencabut rasa dendam dari orang-orang fakir miskin terhadap orang-orang kaya, tegasnya buat mencabut benih-benih kedengkian dari orang-orang miskin terhadap orang kaya”. Dengan zakat, orang kaya dicintai orang miskin. Dengan zakat, orang miskin mau mengkhidmati orang kaya. Orang fakir-mskin rela mengawal, membela dan menjaga harta orang kaya, karena mereka yakin 3
bahwa dalam tumpukan harta orang kaya itu ada bagiannya yang harus dijaganya. Makin bertambah banyak harta orang kaya itu, maka semakin bertambah banyak pula harta bagiannya. Inilah makna zakat—sebuah sistem ekonomi ‘ala Tuhan yang cukup mengesankan. Dengan sistem zakat, Islam menginginkan terbentuknya hidup berjama’ah. Zakat diambil dari berbagai jenis harta yang diperoleh secara halal: “ambilah olehmu sedekah dari harta-harta mereka, untuk mensucikannya dan membersihkannya dari penyakit jiwa (At-Taubah : 103). “Dan dalam harta-harta mereka terdapat hak yang sudah ditentukan kadarnya untuk orang yang hidup meminta-minta dan orang-orang yang tidak memperoleh belanja hidupnya” (Adz-Dzariyat: 19). Ayat pertama tegas, bahwa zakat itu diambil dari berbagai macam jenis harta yang diperoleh secara halal. Tidak ditentukan hanya cukup dari dua jenis harta saja yaitu emas dan perak. Zakat juga diwajikan dari berbagai jenis tetumbuhan. Tidak tertentu pada beberapa jenis tumbuhan saja. Selain mengeluarkan zakat atas jenis barang tambang dan tumbuhan, diharapkan pula mengeluarkan zakat atas barang-barang yang kita cintai dan kita pandang paling baik. Firman Allah, “Dan tidaklah kamu akan memperoleh kebaikan, sehingga kamu rela memberikan sebagian harta yang kamu cintai (Al-Imran : 92). Disamping zakat harta terdapat pula zakat fitrah yang diberikan sebelum hari raya ‘ied dilaksanakan. Firman Allah atas wajibnya zakat fitrah ini adalah “Sungguh telah bermenanglah orang yang mensucikan dirinya (mengeluarkan zakat fithrah) dan menyebut nama tuhannya serta mendirikan shalat” (Al-‘Ala : 14-15). Nabi telah memfardhukan zakat fithrah atas diri tiap-tiap orang muslim dan orang yang berada dalam tanggungannya, masing-masing satu sha’ bagiannya, untuk diberikan kepada fakir miskin pada pagi hari raya puasa itu. Perlu ditegaskan, bahwa Nabi memperuntukkan zakat fithrah ini buat para fakir miskin saja. Tidak kepada golongan-golongan lain yang terdapat dalam ayat pembagian zakat. Suatu kesalahan besar, bila berpegang terus kepada tradisi membagi fithrah kepada tujuh/delapan golongan itu, bila ternyata mengecewakan golongan fuqara dan masakin. Hikmah fithrah, untuk memberikan kelapangan kepada para fakir miskin, dan memungkinkan mereka tinggal di rumah beserta keluarganya buat mengecap kelezatan hari raya lebaran. Para sha’im (orang yang 4
berpuasa) sesudah menyelesaikan puasa sebulan lamanya tentulah telah dapat merasakan benar-benar kepedihan lapar orang-orang miskin. Dan tentulah telah timbul dalam jiwanya rasa belas kasihan kepada orang-orang yang lapar. Ringkasnya, memberikan fitrah kepada fakir miskin, memanglah untuk menghilangkan penderitaan-penderitaan pahit yang diderita oleh fakir miskin itu, dan untuk menghilangkan rasa kepapaan yang menyayat jantung orang lemah yang tidak mempu mereka untuk memikul beban itu. sabda Nabi terhadap pentingnya zakat fitrah agar bisa diberikan kepada orang fakir dan miskin saja yakni :“Cukupkanlah keperluan mereka pada hari yang berbahagia ini, supaya mereka tidak perlu pergi meminta-minta untuk memenuhi hajat hidupnya dan keluarganya” (HR. Ibn ‘Ady dan AdDaraquthny-Subulus Salam 2 : 191). Wallahu ‘alam bisshawwab.
5