DUA BELAS PERJALANAN Berupa kumpulan cerita pendek yang berbeda. Dua belas latar belakang yang tidak sama. Namun semua memiliki kisah yang sama. Penolakan. Berkali-kali ditolak oleh majalah, tabloid, Koran, maupun media online. Berkali-kali pula tidak menang ketika diikutkan lomba. Ingin tahu bagaimana racikan cerita, bahasa, dan imajinasi dari dua belas cerita pendek yang selalu mengalami penolakan ? Pantaskah jika dua belas cerita pendek tersebut ditolak ? Silahkan membaca bukunya karena didalamnya adalah cerita tentang kita. Bisa tentang saya, kamu, teman, sahabat, maupun seseorang yang baru saja ditemui. Bebaskan pikiran anda untuk
berimajinasi dengan seluas-luasnya ketika membaca. Tafsirkan dengan jalan pikiran anda sendiri. Selamat datang di dunia kita sendiri. DIA Ketika bertemu dengannya, aku merasakan seperti ada sesuatu yang ajaib. Pertama kali bertemu dengan cowok itu ketika sedang melihat pameran lukisan yang diadakan di Balai Pemuda, dua hari yang lalu. “Kamu pelukis juga ?”, tanyanya ketika aku asyik berbicara dengan seorang pemilik stan lukisan yang sedang kudatangi. Aku menggeleng “Cuma penggemar lukisan dan tidak bisa melukis”. “Saya Tjokorda Gede Madra. Panggil saja Madra. Kalau mau, silahkan mampir ke stan saya. Tidak
jauh
dari
sini”,
katanya
sambil
menunjukkan stan-nya yang hanya terpisah dua stan dari tempatku berdiri.
2
Jantungku berdebar-debar. Terlebih, ketika kulihat lukisan yang berjudul “perempuanku”. Pada lukisan itu terlihat seorang perempuan dengan tatapan mata setajam peluru, kedua tangannya ditempelkan
menggenggam didekat
erat
janin
dadanya.
yang Melihat
perempuanku, membuatku merasakan energi dari Frida Kahlo sedang merasuki lukisan itu. “Namanya Julendra”. “Dia bernama Kadek Juwita”. “Jadi kamu tidak pernah membicarakan tentang mimpi-mimpimu dengan dia ? Hubungan macam apa itu ? Dan anehnya sampai berjalan hingga empat tahun ? Tidakkah kamu merasakan ingin meledakkan diri kamu ?”. “Seorang seniman harus punya imajinasi untuk menghasilkan karya yang hebat dan pemikiran yang jenius. Bilangan Mach tidak akan ditemukan kalau dia tidak bisa mengimajinasikan mana yang compressible dan incompressible flow”.
3
“Aku jatuh cinta sama kamu Bhertriza”.
Kumohon Sayangi Aku, Mama Siapa
sesungguhnya
perempuan
yang
berada satu rumah denganku itu, aku sendiri kurang paham. Dia selalu kupanggil mama, karena begitulah yang diajarkan oleh seorang perempuan tua yang menyebut dirinya nenek setiap kali berbicara denganku. Benarkah dia mamaku?. Kalau dia mamaku, mengapa aku kesulitan merengkuh sosoknya? Setiap dia ke kamarku untuk mengantarkan makanan, dia meneriakiku dengan kasar. Kemudian, perempuan yang biasa kusebut mama itu segera meninggalkan kamarku. Setelah kepergiannya, aku sama sekali tak menyentuh makanan pemberiannya. Aku tak membutuhkan makanan. Yang kubutuhkan hanyalah senyuman dari bibirnya kala melihatku. Sebenarnya aku tidak mengamuk. Aku hanya tak sengaja menumpahkan makananku sewaktu berusaha menyentuh perempuan itu. Saat kulihat kulit
4
putihnya
yang
mulus,
aku
tertarik
untuk
memegangnya. Aku juga ingin memegang sesuatu yang melingkar di leher dan tangannya yang membuat perempuan yang biasa kusebut mama itu terlihat begitu cantik. “Bapak bisa saja. Terimaksih lho oleholehnya”.
Fatamorgana Bagi orang lain mungkin tubuhku telah terkapar diantara keramaian dan gemerlap dunia tanpa mampu bangkit untuk kembali berjalan menuju tujuanku semula. Aku hanya dianggap orang tak berpunya yang menghadapi gerombolan tangan-tangan
penguasa
dengan
penampilan
gembel yang membuat orang menutup hidung. Tapi tidak demikian diriku bagi diriku sendiri. Kubiarkan saja mereka menganggap aku gila. Tanpa tahu bahwa mereka telah salah menilai karena jiwaku tak pernah sedetikpun mati.
5
Setiap kali aku mengucapkan Pancasila dengan lantang di jalan, orang-orang yang lewat memandangku dengan sinis karena aku tak memakai pakaian yang layak. Seolah dasar negara itu tidak pantas terlontar dari mulut orang tak berpunya. “Hei, kau! Laki-laki gembel! Kau ini benarbenar gila atau sedang menipu sekelilingmu”, tibatiba terdengar suara dari seorang laki-laki tua. Dia mengenakan
baju
serba
putih
dan
berdiri
dihadapanku. Kehadirannya membuatku beralih posisi. Sewaktu belajar agama, aku juga diajari jika Tuhan itu maha pengasih dan memiliki cinta yang berlimpah dimana-mana. Aku sungguh kegirangan ketika kutahu bahwa Tuhan selalu ada ketika aku sedang membutuhkan pertolongan. “Apa yang kau lakukan anak muda?”. Aku menoleh. Melihat laki-laki tua itu datang lagi. “Aku tak butuh bantuanmu pak tua”.
6
“Aku harus mencegahmu. Garis hidupmu tak harus berakhir sekarang”.
Aku Bukan Budakmu Lagi Awal cintaku kepadamu adalah kobaran api yang membara. Dengan lidah yang menjulur untuk menerima setiap panas yang kau alirkan kedalam tubuhku. Ragaku yang semula beku telah kau hangatkan dengan sentuhan lembutmu. Membuatku
tanpa
sadar
untuk
senantiasa
berlabuh kepadamu. Bergantung atas semua kekuranganku. Bersamamu aku merasa lemah. Tak punya daya. Kamu adalah pemimpin dan pelindungku. Semua yang kau katakan padaku adalah titah yang harus aku lakukan. Meskipun semua yang kuperbuat adalah hal yang kadang tak kuinginkan, namun aku merasa berkewajiban untuk berserah kepadamu. Penyesalan tak pernah membuatku menunjukkan sebuah jalan kembali. Karena aku senantiasa meminta untuk bersatu lagi denganmu. 7
Kesakitanku adalah ketagihanku. Cintaku yang begitu besar kepadamu adalah canduku. Meninggalkanmu adalah awal kehancuranku. Pengendalianmu atas diriku menjadikan aku sebagai
budakmu.
Atas
nama
cinta
telah
kuserahkan segalanya terhadapmu. Kutinggalkan harga diriku menjadi sesuatu yang tak punya harga jika menyangkut dirimu. Aku tak berhak mengambil keputusan atas jalan yang ingin kutempuh. Matamu dan mataku saling bersitatap. Aku bisa memandangmu penuh gairah dan dendam. Kusingkirkan semua rasa takut yang dulu biasa menghantuiku. Sedangkan dirimu, lihatlah. Sorot matamu terlihat memelas. Ketakutan.
Lukisan Perempuan Senja Aku tak punya ide untuk menciptakan momentum paling berharga dalam hidupku. Jemariku tak mampu lentur merangkai kata atau mengukir cerita seperti Pramoedya Ananta Toer 8
dan Jane Austen. Bahkan, sebuah kanvas enggan bersahabat denganku untuk mencipta goresan seperti Vincent van Gogh maupun Afandi. Aku terlahir tak memiliki bakat dan kecerdasan, sehingga sangat pantas jika dunia membuangku. “Kamu
terlalu
keras
dengan
dirimu
sendiri”, ujar seorang perempuan yang duduk disebelahku. Kala itu aku hanya berani melihatnya dibalik gundukan tanah seperti seorang penyusup untuk mengagumi kelincahan kakinya dan betapa gesit langkahnya mengejar kemenangan. Dengan baju dan sepatu sederhana dia terlihat pantang menyerah terhadap lawan-lawannya, sesuatu hal yang tidak pernah aku miliki selama ini. “Sejak
kapan
bermain
bulutangkis?”,
tanyaku. “Mulai umur sembilan tahun”, jawabnya dengan nafas memburu akibat lelah bermain. “Sekarang berapa umurmu?”. “Limabelas”.
9
Secangkir Kopi Terakhir Aku sengaja memilih cangkir yang paling bagus.
Alas
cangkir
yang
berwarna
coklat
keemasan itu kubersihkan secara berulang-ulang. Kali ini aku tak mau gagal lagi. Menyajikan kopi kepada suami dengan penampilan buruk seperti sebelumnya. Yang membuat suamiku selalu kehilangan selera. “Kamu lihat Ibu kalau mau buat kopi untuk Bapak. Selalu tahu selera Bapak. Ibu lihat kalau kamu membuatkan kopi untuk suamimu itu selalu terburu-buru. Kerja sih kerja, tapi sebagai seorang istri yang paling penting kan melayani suami”, ucap ibu mertuaku ketika sedang mengawasiku membuat kopi untuk anaknya. Aku hanya terdiam sambil terus menaruh beberapa sendok gula kedalam cangkir.
10