“ Drought Management” Untuk Meminimalisasi Risiko Kekeringan Oleh : Gatot Irianto Fakta menunjukkan bahhwa kemarau yang terjadi terus meningkat besarannya (magnitude), baik intensitas, periode ulang dan lamanya. Karena itu, dampak dan risiko yang ditimbulkan cenderung meningkat menurut ruang (spatial) maupun waktu (temporal). Ilustrasinya dapat dilihat dari meningkat luasnya dan jumlah wilayah yag mengalami deraan kekeringan sejak sepuluh tahun terakhir. Wilayah yang sebelumnya berlimpah air seperti daerah aliran Sungai Citarum, Jawa Barat, kini setiap awal musim kemarau pengelola waduk yang ada di wilayah tersebut terpaksa mengalokasikan dananya untuk pembuatan hujan buatan agar volume air di reservoir dapat dijaga pada aras (level) yang dapat ditoleransikan. Teriakan terjadinya kekeringan juga terdengar pada wilayah seperti Kalimantan dan Sumatera yang secara faktual mempunyai curah hujan yang relatif tinggi bila dibandingkan dengan Jawa. Lalu pertanyaannya, bagaimana mengelola kekeringan ini agar masyarakat dapat meperoleh manfaat yang maksimal dan bukan menganggap kekeringan sebagai bencana seperti yang terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia ? Jawabannya sangat sederhana, yaitu pahami fenomena kekeringan drought management sesuai dengan konsepsinya. Untuk dapat memahami fenomena kekeringan (drought) secara utuh, maka representasi sistem pasokan air dan kecenderungan kebutuhan (trend of demand) dari pengguna harus dikuantifikasi. Berdasarkan informasi tersebut, maka peta status (status), dimensi (dimension), dan karakteristik kekeringan (drought characteristics), serta proyeksinya dapat ditampilkan secara lengkap seperti pada gambar. Apabila saat ini diasumsikan bahwa sumber utama pasokan air adalah air sungai dan air hujan, maka secara temporal kuantitasnya cenderung menurun karena meningkatnya pencemaran tubuh air (water body) akibat industri yang tidak ramah lingkungan sehingga volume air yang tidak layak untuk dimanfaatkan meningkat. Apalagi pengguna air dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu pertanian, domestik, Munipical, dan industri, maka kebutuhan air global dari masing-masing sektor dapat dihitung neraca airnya, yang dalam istilah irigasi dikenal sebagai water acounting. Pada gambar 1 terlihat bahwa meskipun awalnya kebutuhan air irigasi adalah yang terbesar (lebih dari 90 persen), pelan tapi pasti akan menyusutkan pasokannya karena kalah kompetisi dengan sektor lain, seperti air baku untuk air minum maupun untuk industri yang cenderung meningkat dan lebih powerfull dalam dana, akses teknologi,
maupun politik dibandingkan dengan pengguna iar untuk sektor pertanian yang sebagian masyarakatnya miskin dan marjinal. Ketimpangan kemampuan akses terhadap sumber daya air antar sektor dan tren peningkatan kebutuhan sektor industri dan domestik, menyebabkan pada posisi tertentu terjadi ketimpangan antara pasokan dan suplai sehingga terjadi kekeringan. Pada kondisi kekeringan ekstrem yang berkepanjangan, maka akan terjadi kelangkaan air (water scarcity). Masalah ini belum atau bahkan tidak mendapatkan perhatian yang memadai, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota sampai saat ini. Akibat menurunnya pasokan air untuk pertanian tidak disosialisasikan, petani menganggap pasokan air tetap. Dengan asumsi pasokan air tetap, apalagi di bagian hulu ada waduk raksasa, petani tetap menanam padi sawah yang boros air pada musim kemarau. Apa yang terjadi? Sebagian besar sawah mengalami kkeeringan akibat timpangnya pasokan air dibandingkan dengan kebutuhannya. Itulah salah satu jawaban mengapa terjadi kekeringan tanaman padi di wilayah pantura Jawa Barat yang belakangan ini sering terdengar. Maslah kekeringan menjadi lebih kompleks lagi karena pada musim kemarau laju kehidupan air melalui evapotranspirasi bisa meningkat hampir dua kali, dari 2,5-3 milimeter per hari menjadi 5-5,5 milimeter per hari. Sementara itu, pasokan air dimusim kemarau cenderung menurun sehingga masalah kekeringan akan semakin kompleks dimensi dan pemecahannya. Pada musim kemarauu, konsumsi air dimusim kemarau, konsumsi untuk keperluan domestik, municipal, dan industri relatif tetap karena sistem dan mekanisme kerja yang teratur. Melihat fakta tentang pola, kecenderungan, dan kuantitas pasokan dan kebutuhan air anatar sektor pada musim kemarau saat ini, maka dapat dipastikan kekeringan akan terus menjadi hantu yang ditakuti oleh semua orang, baik yang bermukim di wilayah relatif basah apalagi yang wilayahnya kering. Lebih jauh apabila water accaounting ini dilihat secara on trend, maka sektor pertanian adalah yang paling mengenaskan dalam memperoleh alokasi pasokan air baik secara kuantitas, kualitas, dan kontinuitasnya. Mengapa demikian? Karena secara faktual, penambahan areal relatif kecil, bahkan di Jawa justru terjadi sebaliknya, luas lahan sawah cenderung menyusut sehingga kemampuan produksi pertanian, utamanya pangan, akan sulit diandalkan lagi. Sementara itu, tuntutan penyediaan pangan nasional terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk yang masih relatif tinggi. Menyusutnya luas sawah baku dan
kemampuan pasokan air dalam jangka panjang diprediksi akan melemah kemampuan sektor pertanian dalam menyediakan pangan. Padahal, kita tahu kebutuhan pangan cenderung meningkat terus. Dampak jangka panjang sebagai konsekuensi melemahnya kemampuan pasokan pangan ini belum disadari secara penuh oleh pemerintah sampai saat ini, apalagi sampai saat ini peluang impor pangan masih terbuka. Indikatornya sangat jelas, antara lain sektor pertanian mendapatkan alokasi biaya pembangunan sangat terbatas dibandingkan dengan sektor lain. Bisa dilihat langsung dari indikator, seperti (1) berapa hektar lahan sawah baru yang berhasil dibangun lima tahun terakhir? (2) bagaimana pemerintah secara serius menyangga harga gabah petani dengan menekan keran impor saat panen raya? dan (3) bagaimana kecepatan dan ketepatan pemerintah menyalurkan kredit untuk petani tebu agar lebih berdaya? Kita tahu pasti kredit untuk petani selalu terlambat dengan berbagai alasan, mulai agunan sampai rumitnya prosedur selalu dijadikan alasannya. Masih banyak lagi kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada petani. Tetapi, apabila kondisis ini terus memburuk, maka malapetaka dalam bencana nasional tinggal menunggu waktu saja. Karena membengkaknya defisit pangan, pada saatnya tidak akan dapat dipenuhi oleh produsen pangan dunia. Implikasinya, dengan meningkatnya permintaan Indonesia, harga pangan dipasar dunia akan melonjak tajam. Pada saat ini kita akan merasa betapa besar peran pertanian terhadap perekonomian dan kondisi sosial politik nasional. “Drough Management” Kekeringan yang cenderung mengarah pada terjadinya krsis air ini tampaknya tidak dapat di atasi dengan cara klasik, parsial, dan sesaat karena besaran, intensitas, frekuensi, dan durasi kekeringan belakangan ini sangat berbedajika dibandingkan dengan periode sebelumnya. Untuk itu, diperlukan penerapan konsep drough management yang mensyaratkan agar penanganan kekeringan dilakukan dengan pendekayan sistem, yaitu masukan (input), sistem (system), dan keluaran (output). Masukan dalam drough management yang paling utama adalah sumber air, yaitu curah hujan, debit sungai, dan air bumi (ground water), sedangkan sistem meliputi daerah aliran sungai, sistem budidaya, dan manusia penghuninya. Keluarannya meliputi produk biomassa, seperti hasil pertanian, ternak ikan, dan sebagainya. Ada tiga prinsip dasar yang disyaratkan dalam drough management, yaitu optimasi, adaptasi, dan integrasi.
Optimasi dimaksudkan sebagai upaya pemanfaatan air dari sumber alam yang sudah given, seperti curah hujan sebagai sumber air utama untuk proses produksi. Dengan demikian, air irigasi digunakan hanya untuk tambahan apabila terjadi kekurangan. Untuk itu, kemampuan perkiraan curah hujan (forecasting) dan pemetaan masa tanam spatial-temporal harus diprioritaskan. Lebih jauh optimasi dimaksudkan agar air digunakan untuk proses produksi yang difokuskan pada upaya untuk menghasilkan nisbah masukan dan keluaran yang terbaik. Sementara itu, adaptasi di tekankan agar sistem budidaya dan pendayagunaan sumber daya air disesuaikan dengan kondisi ketersediaannya, bukan sebaliknya. Misalnya, musim kemarau petani dapat menanam palawijaatau tembakau sehingga air yang tersedia dapat mencukupi. Adapun integrasi ditekankan pada hubungan intra-ekstra users. Pada setiap wilayah perlu dirumuskan pola alokasi dan distribusi sumber daya air yang partisipasif agar air yang ada dapat dimanfaatkan secara maksimal. Masalah hubungan intra-ekstra users ini menjadi masalah besar yang belum terpecahkan sampai saat ini. Hubungan sektor pemukiman dan prasarana wilayah dengan sektor pertanian yang belum sejajar merupakan ilustrasi tentang rumitnya mengelola air untuk kepentingan nasional. Contoh konkretnya adalah terpisahnya pelaksanaan pembangunan sarana irigasi yang sampai saat ini di tangani Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, sementara pemanfaatannya dilakukan Departemen Pertanian. Sepanjang kondisi ini terus terjadi, maka masalah tidak berfungsinya saluran irigasi, sawah bukaan baru, dan alokasi air untuk pertanian akan terus mengemuka bahkan kompleksitasnya terus meningkat. Pemerintah mestinya konsisten dalam hal pengelolaan sumber daya air karena pemakaian air yang paling dominan adalah petani, maka sudah sepantasnya Direktorat Jendral Sumber Daya Air berada di Departemen Pertanian agar masalah institusional dan operasional pendayagunaan sumber daya air dapat dipecahkan secara menyeluruh. Bahkan, Menteri Pertanian dapat dengan mudah menyusun skenario jenis, jumlah, dan waktu untuk produksi komoditas pertanian karena jalur komando dan tanggung jawab menjadi lebih cepat, sederhana, dan jelas.
Gatot Irianto Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Litbang Pertanian (Dimuat pada harian Kompas, 12 Juli 2003)