Dr. Hj. St. Rodliyah, M.Pd
dalam pengambilan
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN DAN PERENCANAAN DI SEKOLAH Hak penerbitan ada pada STAIN Jember Press Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved Penulis: Dr. Hj. St. Rodliyah, M.Pd Editor: Muhammad Faisol Layout: Muhammad Faisol Cetakan I: September 2012 Penerbit: STAIN Jember Press Jl. Jumat Mangli 94 Mangli Jember Tlp. 0331-487550 Fax. 0331-427005 e-mail:
[email protected] ISBN: 978-602-8716-39-0
0 | St. Rodliyah
BAB I PENDAHULUAN
Era globalisasi ditandai dengan persaingan yang sangat ketat dalam semua aspek kehidupan, memberi warna/pengaruh terhadap tuntutan akan kualitas sumber daya manusia, termasuk pendidikan sebagai unsur yang mempunyai posisi sentral dan strategis dalam pembentukan SDM berkualitas. Hal tersebut diiringi dengan tumbuh dan berkembangnya tuntutan demokratisasi pendidikan, akuntabilitas, tuntutan kualitas serta jaminan mutu dari dunia kerja. Kondisi tersebut di atas mensyaratkan lembaga pendidikan untuk memiliki kualitas yang unggul sebagai jaminan mutu hasil proses pendidikan yang dilakukan. Seiring dengan berbagai tuntutan kualitas tersebut, pemerintah telah melahirkan berbagai peraturan perundangan yang pada dasarnya memberikan jaminan kualitas pendidikan ( Suryadi: 1995). Era reformasi di Indonesia membawa perubahan politik dari sentralistik ke desentralistik, tercermin dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, berarti pemerintah daerah memiliki kewenangan mengelola bidang pendidikan. Sebagai respon positif dari Undang-Undang di atas, seharusnya otonomi daerah diartikan sebagai kesempatan bagi daerah otonom untuk meningkatkan mutu pelayanan Bab I: Pendahuluan | 1
pada masyarakat dan demokratisasi yang lebih baik. Dalam bidang pendidikan misalnya lebih memberi- kan otoritas dan otonomi kepada kepala sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan di sekolah. Dalam pengembangan sumber daya manusia, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah strategis. Langkah yang dilakukan antara lain memfokuskan pembangunan pada bidang pendidikan. Mengingat, maju mundur nya atau berkualitas tidaknya sumber daya manusia sangat tergantung dari kualitas pelaksanaan pendidikan sebagai agen dan pencetak sumber daya manusia. Alasan lain pemerintah dengan mengedepankan pembangunan pendidikan karena melihat kenyataan bahwa berdasarkan data UNDP tentang Human Depelopment Index (HDI: 2010) menunjukan dari 178 negara, Indonesia berada pada posisi kurang menggembirakan yakni peringkat 111, sementara negara Asean lainya berada diatasnya, Japang berada di peringkat 11, Singapura berada peringkat 25, Korea berada pada peringkat 28 Brunei Darusalam peringkat 33, Malaysia peringkat 61, Tailand peringkat 73, Pilipina urutan 84, Cina pada peringkat 85,Vietnam di peringkat 108, Indonesia peringkat 111, Miyanmar peringkat 129, Kambodja pada peringkat 130. Tiga komponen peningkatan HDI yakni indeks kesehatan, indeks perekonomian, dan indeks pendidikan. (Source: UNDP - Human Development Report 2010 ) 2 | St. Rodliyah
Berbagai upaya peningkatan mutu telah banyak dilakukan, tetapi pendidikan masih dihadapkan kepada berbagai permasalahan antara lain yang paling krusial adalah rendahnya mutu pendidikan. Dari berbagai kajian, ternyata salah satu faktor penyebabnya antara lain adalah: minimnya peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan/kebijakan dan perencanaan di sekolah, sebagai akibatnya masyarakat kurang merasa memiliki, kurang bertanggung jawab dalam memelihara dan membina sekolah dimana anak-anaknya bersekolah. Untuk itulah salah satu kebijakan dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah adalah implementasi manajemen berbasis sekolah (MBS). Pendekatan ini sangat memerlukan partisipasi yang tinggi dari masyarakat. Menurut Fajar (2002), Manajemen Berbasis Sekolah pada dasarnya adalah pendidikan berbasis masyarakat, yaitu pemberdayaan sistem pendidikan di masyarakat dengan agenda: (1) memobilisasi sumberdaya setempat maupun dari luar dalam rangka peningkatan peran serta masyarakat untuk berpartisipasi lebih besar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan, (2) meningkatkan rasa kepemilikan masyarakat terhadap sekolah, (3) mendukung masyarakat, khususnya orang tua siswa untuk mengambil peran yang jelas dalam penyelenggaraan pendidikan, dan (4) mendorong peran serta masyarakat dalam mengembangkan inovasi kelembagaan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dengan kata lain, MBS merupakan pengelolaan sekolah Bab I: Pendahuluan | 3
yang bertujuan mengem- balikan sekolah kepada stakeholders asli yaitu masyarakat. Secara konseptual, Alisyahbana (2000: 30) mengidentifikasi ada dua jenis desentralisasi pendidikan yaitu desentralisasi kewenangan dalam hal kebijakan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, serta desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah. Dengan demikian penerapan otonomi atau desntralisasi pendidikan tidak semata-mata menjadikan isu pendidikan sebagai alat kepentingan politik tetapi menjadi isu politik (Bastian: 2002). Menjadikan pendidikan sebagai isu politik membutuhkan pranata sosial dan masyarakat yang memiliki partisipasi aktif dengan kemampuan untuk menyampaikan aspirasi. Kondisi itu merupakan hal yang utama dalam mendukung terwujudnya kebijakan yang adil dan demokratis. Indikator penting dalam Manajemen Berbasis Sekolah adalah ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan dan akuntabilitas. Selanjutnya direalisasikan melaui partisipasi atau peran serta masyarakat khususnya orang tua siswa dalam pengelolaan pendidikan di sekolah. Peran serta itu tidak hanya terbatas pada mobilitas sumbangan dana saja, tetapi lebih substansial pada fungsi-fungsi manajemen di sekolah. Menurut Kohen (1977), partisipasi merupakan keterlibatan di dalam proses pembuatan dan pengambilan keputusan, pelaksanaan program, pengambilan manfaat, dan evaluasi 4 | St. Rodliyah
hasil. Sedangkan Shaeffer (1992) partisipasi masyarakat terhadap sekolah bertujuan untuk: (1) menyediakan sumberdaya yang lebih, menjamin pemerataan dan efektifitas, (2) meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan perencanaan dengan menempatkan proses sedekat mungkin dengan budaya, kondisi, kebutuhan, dan adat istiadat masyarakat setempat. Pentingnya pengambilan keputusan dalam organisasi sekolah sebenarnya telah disadari oleh pakar administrasi/manajemen sejak pertengahan abad keduapuluh. Para pakar yang sangat peduli dengan pengambilan keputusan tersebut adalah Herbert Simon dan Daniel E. Griffiths (Owen: 1991). Simon, misalnya, mengamati bahwa sebuah teori umum administrasi sebenarnya meliputi prinsip administrasi yang akan menjanjikan perbaikan pengambilan keputusan. Sementara Griffiths mengajukan sebuah teori bahwa administarasi adalah pengambilan keputusan. Owen (1991) malah lebih menekankan bahwa pengambilan keputusan adalah “the heart of organization and administration”. Begitu pula dengan pendapat lain yang mengatakan bahwa pengambilan keputusan selain sebagai fungsi atau proses administrasi (Sutisna: 1983), juga dapat dipandang sebagai inti daripada kepemimpinan (Siagian: 1993) atau sebagai sentral dari manajemen (Perrone, dalam Salusu: 1996). Penelahaan tentang pengambilan keputusan sebagai suatu subsatansi penting dalam organisasi sekolah telah berkembang pesat. Pada awalnya kajian pengambilan Bab I: Pendahuluan | 5
keputusan di sekolah lebih banyak didominasi oleh pihak atasan. Artinya, keputusan yang diambil di sekolah merupakan tanggungjawab kepala sekolah karena itu apa yang akan diputuskan di sekolah seharusnya datang dari kepala sekolah. Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya yakni sejak munculnya isu-isu “human resources development’ (pengembangan sumber daya manusia) perhatian tentang pentingnya partisipasi bawahan (masyarakat) dalam pengambilan keputusan mulai mendapat tempat yang wajar (Owen: 1991). Sejalan dengan isu-isu pengembangan sumberdaya manusia tersebut, maka lahirlah pemikiran-pemikiran yang menempatkan pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di sekolah. Konsep partisipasi dalam pengambilan keputusan mula-mula diperkenal kan oleh French dkk. (Salusu: 1996) yakni ketika mengatakan bahwa partisipasi menunjukkan suatu proses antara dua atau lebih pihak yang mempengaruhi satu terhadap yang lainnya dalam membuat rencana, kebijakan, dan keputusan. Keputusan itu adalah sesuatu yang akan berpengaruh di kemudian hari bagi pihak pembuat keputusan, bagi pihak-pihak lain yang mereka wakili, dan sering kali bagi lingkungannya. Tuntutan partisipasi tidak hanya muncul dari perorangan, tetapi masyarakat, bahkan organisasi mensyaratkan bahwa keputusan-keputusan itu harus memperhitungkan pengetahuan dan pendapat dari orang-orang yang mengambil bagian di dalamnya. Jadi, partisipasi adalah 6 | St. Rodliyah
kegiatan, proses atau sistem pengambilan keputusan (Salusu: 1996). Menurut Owen (1991) penerapan pemikiran pengambilan keputusan partisipatif dalam organisasi sekolah memiliki dua keuntungan potensial, yaitu: (1) mendatangkan keputusan yang terbaik, dan (2) meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan daripada partisipasi masyarakat dan organisasi. Pernyataan tersebut sejalan dengan pemikiran Salusu (1996) yang berpendapat bahwa setiap kali terjadi partisipasi dalam pengambilan keputusan akan menghasilkan keuntungan ganda. Keuntungan pertama adalah bagi organisasi itu sendiri dan keuntungan kedua adalah bagi pihak yang berpartisipasi. Dalam pengambilan keputusan pasti ada sebuah rencana yang disepakati dan akan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah diambil untuk mencapai tujuan. Perencanaan pada hakikatnya merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengambilan keputusan tentang tindakan yang akan dilakukan pada waktu yang akan datang (Hamalik: 2000). Perencanaan mengandung rangkaian-rangkaian putusan yang luas dan penjelasanpenjelasan dari tujuan, penentuan kebijakan, penentuan program, penentuan metode-metode dan prosedurprosedur tertentu serta penentuan kegiatan berdasarkan jadwal sehari-hari. Untuk itu perencanaan pendidikan di sekolah memerlukan suatu pendekatan rasional ke arah tujuan yang telah ditetapkan. Setelah tujuan ditetapkan perencanaan berkaitan dengan penyusunan pola, Bab I: Pendahuluan | 7
rangkaian, dan proses kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Singkatnya efektivitas perencanaan dapat diukur dengan terpenuhinya faktor kerjasama perumusan perencanaan, program kerja sekolah, dan upaya implementasi program kerja tersebut dalam mencapai tujuan (Majid: 2011). Semakin pentingnya bawahan (masyarakat) dalam pengambilan keputusan dan perencanaan terlihat dari dampak yang diperoleh ialah akan mengurangi kekuasaan secara relatif dari pejabat eksekutif, tetapi sekaligus menciptakan suatu jalan menuju ke demokrasi dalam organisasi (Abraham dalam Salusu: 1996). Bahkan Salusu sendiri menekankan bahwa partisipasi tersebut akan membangkit-kan iklim kerjasama yang baik sekaligus meningkatkan saling pengertian dan toleransi antara karyawan sehingga dapat memperbaiki tingkat dan mutu produktivitas organisasi sekolah Pengaruh partisipasi masyarakat terhadap kualitas pendidikan di sekolah telah banyak dilakukan penelitian oleh beberapa pakar. Gibbon (1986) melapor- kan hasil penelitiannya yang dilakukan di sekolah-sekolah negeri Culumbus Ohio, menyatakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan mutu sekolah adalah adanya partisipasi orang tua dan masyarakat dalam program sekolah. Penelitian yang menggunakan instrumen effektive school consortion net work di negara bagian New York Amerika Serikat menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dan orang tua dalam kegiatan sekolah 8 | St. Rodliyah
mempunyai pengaruh terhadap prestasi akademik siswa. Murillo (2002) melaporkan hasil penelitian effective school improvement di spanyol, bahwa keterlibatan orang tua dan masyarakat sangat penting untuk meningkatkan kualitas sekolah. Model partisipasi masyarakat dalam manajemen pendidikan telah lama dikembangkan di negara maju. Salah satu model partisipasi masyarakat di Amerika Serikat dalam pendidikan diwujudkan dalam bentuk dewan sekolah. Dewan sekolah ini merupakan wujud tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan dan sekaligus sebagai wadah kontrol publik (Adam & Thut: 1984, Sagala: 2004). Tanggung jawab itu diwujudkan dalam kerjasama yang erat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang meliputi; perencanaan program, pelaksanaan program dan pengawasan sekolah. Cotton dkk. (1988) meneliti bermacam-macam bentuk patisipasi dalam pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan produktivitas dan kepuasan kerja. Dalam hasil penelitian tersebut ditemukan enam bentuk partisipasi yang berkontribusi terhadap produktivitas kerja dan kepuasan kerja, yaitu (1) partisipasi mengambil keputusan di bidang tugas, (2) partisipasi konsultatif, (3) partisipasi jangka pendek, (4) partisipasi informal, (5) hak milik karyawan, dan (6) partisipasi perwakilan (Salusu: 1996). Di samping penelitian tentang bentuk-bentuk partisipasi tersebut, telah pula diteliti oleh Hanson (1985) Bab I: Pendahuluan | 9
tentang kategori-kategori keputusan dalam latar sekolah. Kategori-kategori keputusan yang ditemukan dalam penelitian itu adalah (1) keputusan alokasi, (2) keputusan keamanan, (3) keputusan terbatas, (4) keputusan penilaian, dan (5) keputusan pembelajaran. Berangkat dari hasil penelitian tersebut bisa dikemukakan bahwa pendidikan adalah tanggungjawab bersama antara pemerintah, orangtua, dan masyarakat (stakeholder). Tanpa dukungan masyarakat, pendidikan tidak akan berhasil dengan maksimal. Sekarang hampir semua sekolah telah mempunyai komite sekolah yang merupakan wakil masyarakat dalam membantu sekolah, sebab masyarakat dari berbagai lapisan sosial ekonomi sudah sadar betapa pentingnya dukungan mereka untuk keberhasilan pembelajaran di sekolah. Masyarakat dalam tinjauan sosiologis adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kesinambungan, dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Kesatuan hidup manusia tersebut terdiri dari individu-individu ataupun kelompok baik kecil maupun besar yang bergaul antar sesamanya, saling tergantung dan terikat oleh nilai dan norma yang dipatuhi bersama untuk mencapai tujuan hidup berdampingan dengan yang lain secara harmonis dan bahagia (Ardana: 1986). Sedangkan ditinjau dari segi filosofis masyarakat merupakan makhluk yang dapat berpikir, sehingga manusia yang tersebar di seluruh muka bumi ini memiliki pengalaman hidup yang serupa yaitu 10 | St. Rodliyah
melahirkan dan memelihara anak serta mewariskan kebudayaan kepada anak-anaknya. Ada masyarakat yang memikirkan pendidikan anak secara rutin tradisional ada yang secara ilmiah. Pemikiran tentang pendidikan anak yang berbeda-beda tersebut dapat ditemukan dalam berbagai kebudayaan manusia baik yang terdapat dalam masyarakat yang sedang berkembang maupun dalam masyarakat yang maju. Untuk kelansungan hidupnya manusia butuh pendidikan, karena pendidikan merupakan unsur penting dalam peningkatan sumber daya manusia (SDM). Pendidikan yang terbaik bagi anak manusia adalah lembaga sekolah. Karena lembaga sekolah memiliki aturan yang telah ditetapkan dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS. Dengan peraturan tersebut semua stake holder mampu menjalankan peran dan tugasnya masing-masing. Untuk itu masyarakat berhak dan berkewajiban untuk mendapatkan dan mendukung pendidikan yang baik. Kewajiban mereka tidak sebatas pada bantuan dana, lebih dari itu juga pemikiran dan gagasan. Pemerintah berkewajiban membuat gedung sekolah, menyediakan tenaga/guru, melakukan standarisasi kurikulum, menjamin kualitas buku paket, alat peraga, dan lain sebagainya. Karena kemampuan pemerintah terbatas, maka partisipasi masyarakat sangat diperlukan, terutama dalam pengambilan keputusan dan perencanaan program di sekolah. Sementara itu Gorton (1976) telah lebih dulu Bab I: Pendahuluan | 11
menegaskan bahwa sekolah itu tidaklah berdiri sendiri atau sungguh terpisah kegiatannya dari konteks sosial. Sekolah merupakan elemen penting dalam masyarakat setempat, tempat berkumpulnya para pelajar dari berbagai tempat dan merupakan gambaran yang mengandalkan dukungan sosial serta keuangan dari masyarakat. Oleh karena itu program-program sekolah harus mendapat persetujuan dari masyarakat melalui komite sekolah. Lebih jauh Gorton (1976) menandaskan bahwa untuk membangun sekolah yang efektif perlu melibatkan masyarakat. Ada beberapa alasan mengapa masyarakat perlu ikut terlibat dalam menciptakan sekolah yang efektif yaitu (1) dalam masyarakat dimungkinkan adanya informasi yang bermanfaat dan patut di ajarkan oleh sekolah, (2) agar ada saling pengetian terhadap munculnya berbagai problem yang dihadapi sekolah, (3) agar ada dukungan dari masyarakat untuk melaksanakan berbagai program sekolah (4) keterlibatan masyarakat khususnya orang tua dapat membantu perbaikan sekolah, dan (5) keterlibatan yang tepat dari keluarga dan masyarakat akan sangat membantu dalam evaluasi terhadap efectivitas dan kegagalan sekolah. Berdasarkan UU nomer 25 tahun 2000 disebutkan bahwa dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat perlu dibentuk Dewan Pendidikan di tingkat Kabupaten/Kota dan Komite Sekolah/ Madrasah di tingkat satuan pendidikan. Aspirasi masyarakat dalam UU tersebut telah ditindaklanjuti dengan keputusan 12 | St. Rodliyah
Menteri Pendidikan Nasional no.044/ U/ 2002 tanggal 2 April 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dan Keputusan Direktur Jenderal kelembagaan Agama Islam no. Dj. II/409/2003 tentang pedoman dalam pembentukan Komite Madrasah. Selanjutnya dalam UU. No 20 tahun 2003 wadah itu diperkuat dan diperjelas lagi bahwa wadah partisipasi masyarakat dalam membantu peningkatan mutu pendidikan di sebut Dewan Pendidikan di tingkat Kabupaten/Kota dan Komite Sekolah/Madrasah di tingkat satuan pendidikan. Komite sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peranserta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan prasekolah, jalur pendi- dikan sekolah maupun jalur pendidikan di luar sekolah. Salah satu tujuan dibentuknya komite sekolah adalah untuk mewadahi dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan. Seiring dengan komitmen untuk menjadikan partisipasi masyarakat sebagai bagian penting dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, pada saat ini telah terjadi perubahan paradigma manajemen pemerintahan dari sentralisasi kekuasaan menjadi desentralisasi kewenangan. Untuk menjalankan perannya, Komite Sekolah/ Madrasah memiliki fungsi mendorong tumbuhnya komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan Bab I: Pendahuluan | 13
pendidikan yang bermutu, melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, penyelenggaraan, output lulusan siswa. Selain itu, Komite Sekolah/Madrasah diharapkan dapat menampung dan menganalisis aspirasi berbagai kebutuhan mutu pendidikan yang diajukan masyarakat. Berdasarkan peran dan fungsi Komite Sekolah/Madrasah tersebut, maka pada tahap awal pembentukannya, Komite Sekolah/Madrasah disambut dengan sangat positif oleh sebagian besar masyarakat, dengan harapan yang tinggi pula. Meskipun demikian, pada tahun-tahun pertama, harapan yang tinggi itu ternyata banyak yang pupus di tengah jalan. Penyebabnya antara lain karena pelaksanaan peran dan fungsi Komite Sekolah/Madrasah tidak selalu memenuhi harapan masyarakat. Menurut Danim (2003), kinerja Komite Sekolah masih menggunakan paradigma BP3 (Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan) dan wadah itu cenderung menjadi alat bagi sekolah untuk mendukung kepentingannya, sehingga peran dan fungsi Komite Sekolah/Madrasah belum optimal dan tidak efektif (Lampiran Perpres RI. No. 7 Tahun 2005). Dengan kata lain, secara kualitatif keberadaan dan kehadiran Komite Sekolah belum sepenuhnya dapat mendorong peningkatan mutu layanan pendidikan, sehingga masih cenderung dianggap masyarakat sebagai badan legalitas (setempel) yang mengesahkan berbagai pungutan dana dari pihak sekolah, dan stakeholders pendidikan tentang peran dan fungsi 14 | St. Rodliyah
Komite Sekolah masih rendah. Sebagai indikatornya, Komite Sekolah masih cenderung memakai peran yang dimilikinya hanya pada bidang dana saja, dan masyarakat masih ada yang memandang komite sekolah sebagai tangan kanan sekolah dalam menarik dana atau iuran dari orang tua siswa. Peran dari kelompok-kelompok masyarakat lainnya adalah membantu proses pendewasaan dan kematangan individu sebagai anggota kelompok dalam suatu masyarakat. Sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia, kita ingin menjadikan generasi masa depan bangsa Indonesia sebagai manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan adalah tanggungjawab bersama antara pemerintah, lembaga sekolah, dan masyarakat. Tanpa dukungan masyarakat, pendidikan tidak akan berhasil dengan maksimal. Sekarang semua sekolah telah mempunyai Komite Sekolah/Komite Madrasah yang merupakan wakil masyarakat dalam membantu sekolah, sebab masyarakat dari berbagai lapisan sosial ekonomi sudah sadar betapa pentingnya dukungan mereka untuk keberhasilan pembelajaran di sekolah dan untuk memperbaiki mutu pendidikan. Masyarakat, sebagaimana diamanahkan dalam UU No. 20 tahun 2003, memiliki hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pendidikan. Masyarakat berhak berpartisipasi dalam perencanaan, Bab I: Pendahuluan | 15
pelaksanaan, dan evaluasi program pendidikan. Adapun kewajibannya adalah memberikan dukungan sumber daya, dan sumber dana dalam penyelenggaraan pendidikan. Urgensi partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan di sekolah, diperkuat dengan hasil penelitian yang telah penulis lakukan di tiga lembaga sekolah lanjutan tingkat atas yaitu; MAN Jember 1, SMAN 1 Jember, dan SMKN 1 Sukorambi Jember. Tiga lembaga sekolah ini memiliki karakteristik yang berbeda dari segi kurikulum, visi, misi, dan tujuannya, yang satu bernafaskan agama, yang kedua umum, dan yang ketiga kejuruan. Fokus penelitiannya meliputi empat hal yaitu: pertama, wujud partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan, meliputi: (1) sumbangan tenaga /fisik, (2) sumbangan ide/ pemikiran, (3) sumbangan dana, dan (4) sumbangan moral, kedua, tingkat partisipasi msyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan, meliputi: (1) partisipasi aktifif, dan (2) partisipasi pasif, ketiga, faktorfaktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanan, meliputi: (1) tingkat pendidikan, dan (2) tingkat pekerjaan, dan keempat, proses pengambilan keputusan dan perencanaan yang melibatkan partisipasi masyarakat. Penelitiannya menggunakan pendekatan kualitatif dengan rancangan studi multi kasus, karena penelitiannya berupaya mengungkap tentang partisipasi masyarakat dalam pengmbilan keputusan dan perencanaan di sekolah secara alamiah sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada 16 | St. Rodliyah
di lapangan (Bogdan & Biklen: 1982). Dengan demikian peristiwa yang terjadi mampu diamati sampai dimana masyarakat itu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan di sekolah. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam, observasi partisipan, dan studi dokumentasi. Analisis data menggunakan analisis diskriptif kualitatif, dengan cara data yang telah terkumpul dinalisis dengan menggunakan tiga cara yaitu organisasi data dan reduksi data, penyajian data, dan analisis secara berulang-ulang, baik melalui analisis kasus individu maupun analisis lintas kasus guna menyusun konsep dan abstraksi temuan penelitian yang sekaligus menjadi verifikasi/penarikan kesimpulan akhir (Miles & Hubermen: 1992). Sedangkan pengecekan keabsahan data menggunakan (1) kredibilitas data dilakukan dengan teknik triangulasi (sumber dan metode), pengecekan anggota, dan diskusi teman sejawat, (2) dependabilitas, merupakan kriteria untuk mengetahui apakah data yang diperoleh dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah atau tidak. Hal ini ini dilakukan utnuk menanggulangi kesalahan-kesalahan dalam konseptualisasi proses penelitian, dengan cara peneliti melakukan uji keabsahan (dependability), dan (3) konfirmabilitas, digunakan untuk melihat tingkat konfirmabilitas antara temuan yang diperoleh dengan data pendukungnya Moleong: 2002). Ketiga teknik ini penulis lakukan dengan maksud agar data yang diperongleh benar-benar memiliki tingkat Bab I: Pendahuluan | 17
keabsahan yang tinggi dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
18 | St. Rodliyah
BAB II PENDIDIKAN PADA SEKOLAH MENENGAH ATAS
A.
Pendidikan di Madrasah Aliyah (MA). 1. Substansi Pendidikan
Madrasah adalah berasa dari bahasa Arab “darasa” yang mengandung arti wahana atau tempat untuk mengenyam pendidikan, dengan demikian secara teknis madrasah menggambarkan proses pembelajaran secara formal dan mempunyai konotasi spesifik, madrasah itu sendiri merupakan institusi peradaban Islam yang sangat penting (Alawi: 2000). Lahirnya lembaga pendidikan formal dalam bentuk madrasah merupakan pengembangan dari sistem pengajaran dan pendidikan yang pada awalnya berlangsung di masjid-masjid, dalam pandangan Ashari, bahwa madrasah merupakan hasil evolusi dari masjid sebagai lembaga pendidikan dan khan sebagai asramanya, hal ini di perkuat oleh Makdisi, antara lain bahwa masjid khan yang menjadi cikal bakal madrasah dan fiqh merupakan bidang studi uatama. Madrasah Aliyah (MA) merupakan lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran tingkat menengah atas yang berada di bawah naungan kementrian agama, dan menjadikan mata Bab II: Pendidikan pada Sekolah Menengah Atas | 19
pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar di samping mata pelajaran umum (Ukhbiyati: 1998). Madrasah Aliyah dapat didefinikan sebagai jenis pendidikan yang bercirikan agama Isalam yang dikelola oleh Kementerian Agama. Melalui SKB 3 Menteri, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, masing-masing dengan nonor 6 tahun 1975, nomor 037/U/1975 dan nomor 36 tahun 1975 tentang peningkatan mutu pendidikan madrasah, keberadaan madrasah sudah mulai mendapat perhatian dari pemerintah, sampai dengan dikeluarkannya SKB 3 Menteri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama pada tahun 1984 tentang pengaturan pembakuan kurikulum sekolah umum dan kurikulum madrasah, yang isinya antara lain penyamaan mutu lulusan madrasah yang dapat melanjutkan ke sekolah-sekolah yang lebih tinggi, inilah kemudian yang melahirkan kurikulum 1984, yang isinya menyamakan kurikulum sekolah umum sama dengan kurikulum madrasah, hanya muatan pendidikan agama lebih banyak dengan catatan tidak mengurangi porsi pelajaran umum yang banyak akibatnya, madrasah yang sejak awal kelahirannya identik dengan lembaga pendidikan Islam dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit. Satu sisi madrasah harus mempertahankan mutu pendidikan agama yang menjadi ciri khasnya, disisi lain dituntut untuk dapat menyelenggarakan umum secara baik dan berkualitas sejajar dengan sekolah-sekolah umum. Ini jelas beban sangat berat bagi madrasah, kegagalan 20 | St. Rodliyah
madrasah dalam memikul beban tersebut hanya membuat memperkuat anggapan orang bahwa madrasah adalah semacam sekolah serba tanggung (Nahidl: 2007). Pada awalnya Madrasah Aliyah mempunyai 5 (lima) jurusan yakni; jurusan IPA, IPS, Bahasa, Agama/ Syari’ah, dan Peradilan Agama/Qadlo. Akan tetapi dewasa ini Madrasah aliyah memiliki jurusan yang terdiri dari ; Fisika, Agama, Biologi, Ilmu Pengetahuan Sosial, dan Budaya. Hal ini dilakukan untuk mengikuti perkembangan Ilmu Pengetahuan dan tuntutan kebutuhan masyarakat yang mengarah kepada hal tersebut, sehingga Madrasah aliyah lebih banyak diminati oleh masyarakat. 2. Struktur Kurikulum
Setelah lahirnya UUSPN No. 2 tahun 1989 yang dijabarkan ke dalam PP. No. 28 dan 29 Tahun 1990 madrasah berkembang dengan predikat baru sebagai sekolah umum yang bercirikan khas agama Islam yang terdiri dari MI, MTs dan MA dan kemudian kurikulum madrasah diperbaharui pula dengan kurikulum 1994 dengan perbandingan alokasi waktu 16-18 % untuk mata pelajaran agama dengan catatn alokasi waktu untuk pelajaran umum muatan nasional diberlakukan 100 % sama dengan sekolah umum, kebijakan baru ini sebenarnya hanya mempertegas SKB 3 Menteri tahun 1975 di atas. Upaya peningkatan kualitas pendidikan madrasah kemudian diperkuat dengan lahirnya UURI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang tidak sama Bab II: Pendidikan pada Sekolah Menengah Atas | 21
sekali membedakan antara sekolah umum yang dibawah naungan Kementerian Agama, tiada lagi dokotomi antara keduanya. Secara teknis tidak ada bedanya antara sekolah umum dengan sekolah agama, hanya saja dalam konteks Indonesia, madrasah tidak bisa begitu saja dipahami sama seperti sekolah, melainkan diberi konotasi yang lebih spesifik yaitu sekolah agama, tempat dimana anak-anak didik memperoleh pembelajaran hal ikhwal agama dan keagamaan Islam memang ada madrasah yang didirikan oleh masyarakat yang menyediakan tempat bagi masyarakat untuk khusus belajar agama yang disebut madrasah diniyah, akan tetapi ada juga madrasah mengajarkan pelajaran umum disamping pelajaran agama. Dalam penyusunan kurikulum pada prinsipnya sama dengan penyusunan kurikulum pendidikan tingkat menengah atas lainnya, yaitu tetap merujuk kepada kurikulum tahun 2006 yaitu kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Sedangkan komposisi mata pelajarannya yaitu 30 % adalah mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan 70 % mata pelajaran pendidikan umum. 3. Masa Pendidikan
Masa pendidikan di Madrasah Aliyah pada prinsipnya sama dengan masa pendidikan tingkat menengah atas lainnya yaitu 3 (tiga) tahun. Kalau siswa dapat belajar dengan baik dan naik kelas terus maka siswa tersebut dapat menyelesaikan masa belajarnya selama 3 (tiga) tahun. Akan tetapi, kalau siswa pernah tidak naik kelas, maka siswa tersebut tidak bisa menyelesaikan masa 22 | St. Rodliyah
belajarnya selama tiga tahun, akan tetapi bisa 4 (empat) tahun atau sampai 5 (lima) tahun. 4. Pelaksanaan Pembelajaran
Di Madrasah Aliyah, pelaksanaan dituangkan dalam bentuk kegiatan kurikuler dan ekstra kurikuler. Kegiatan kurikuler merupakan kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan struktut kurikulum, ditujukan untuk mengembangkan kompetensi peserta didik sesuai dengan bidang keahliannya. Kegiatan kurikuler dilakukan melalui kegiatan pembelajaran terstruktur sesuai dengan struktur kurikulum. Sedangkan ekstrakurikuler merupakan kegiatan diklat di luar jam yang tercantum pada struktur kurikulum. Kegiatan ekstrakurikuler ditujuklan untuk mengembangkan bakat dan minat serta memantapkan pembentukan kepribadian peserta didik. Disamping bentuk pembelajaran tersebut, di Madrasah Aliyah menggunakan sistem klasikal dalam proses pembelajaran. Artinya siswa yang belajar dikelompokkan dalam beberapa kelas secara terpisah. Selain itu, Madrasah Aliyah yang berada di pondok pesantren ada yang menggunakan bentuk pembelajaran terpisah antara siswa laki-laki dan siswa perempuan menjadi kelas tersendiri (sgregasi ). 5. Evaluasi Pembelajaran
Di Madrasah Aliyah, pelaksanaan evaluasi pembelajarannya menggunakan sistem penilaian kelas yang dilakukan dengan ulangan harian, ulangan umum, Bab II: Pendidikan pada Sekolah Menengah Atas | 23
dan ujian akhir (Mulyasa: 2006). Ulangan harian dilakukan setiap selesai proses pembelajaran dalam kompetensi dasar tertentu. Ulangan harian ini terdiri dari seperangkat soal yang harus dijawab oleh para peserta didik, dan tugas-tugas terstruktur yang berkaitan dengan konsep yang sedang dibahas. Ulangan harian minimal dilakukan tiga kali dalam setiap semester. Ulangan harian ini terutama ditujukan untuk memperbaiki program pembelajaran, tetapi tidak menutup kemungkinan digunakan untuk tujuan-tujuan lain, misalnya sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan nilai bagi para peserta didik. Ulangan umum dilaksanakan setiap akhir semester, dengan bahan yang diujikan sebagai berikut: a. Ulangan umum semester pertama soalnya diambil dari materi semester pertama. b. Ulangan umum semester kedua soalnya merupakan gabungan dari materi semester pertama dan kedua, dengan penekanan pada materi semster kedua. Ulangan umum dilaksanakan secara bersama, baik dari tingkat kecamatan, kabupaten bahkan tingkat propinsi. Ujian akhir dilakukan pada akhir program pendidikan. Bahan-bahan yang diujikan meliputi seluruh kompetensi dasar yang dibahas pada kelas-kelas tinggi. Hasil evaluasi ujian akhir ini terutama digunakan untuk menentukan kelulusan bagi setiap peserta didik, dan layak tidaknya untuk melanjutkan pendidikan pada tingkat diatasnya. Penilaian kelas dilakukan oleh guru untuk 24 | St. Rodliyah
mengetahui kemajuan dan hasil belajar peserta didik, mendiaknosa kesulitan belajar, memberikan umpan balik untuk perbaikan proses pembelajaran, dan penentuan kenaikan kelas. B.
Pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA). 1. Substansi Pendidikan
Sekolah Menengah Atas merupakan satuan pendidikan setelah Sekolah Menengah Pertama (SMP). Artinya siswa yang belajar di Sekolah Menengah Atas berasal dari siswa yang lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sekolah Menengah Atas ini berada di bawah naungan Dinas Pendidikan Nasional. Lulusan dari sekolah dipersiapkan untuk melanjutkan ke studi yang lebih tinggi yaitu ke perguruan tinggi, bukan dipersiapkan untuk bekerja. Berbeda dengan sekolah kejuruan yang memang lulusannya itu dipersiapkan untuk bekerja. 2. Struktur Kurikulum
Dalam penyusunan kurikulum pada prinsipnya sama dengan penyusunan kurikulum pendidikan tingkat menengah atas lainnya, yaitu tetap merujuk kepada kurikulum tahun 2006 yaitu kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), dengan memperhatikan stadart isi, standar proses, dan standar kelulusan. 3. Masa Pendidikan
Masa pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Bab II: Pendidikan pada Sekolah Menengah Atas | 25
pada prinsipnya sama dengan masa pendidikan tingkat menengah atas lainnya yaitu 3 (tiga) tahun. Kalau siswa dapat belajar dengan baik dan naik kelas terus, maka siswa tersebut dapat menyelesaikan masa belajarnya selama 3 (tiga) tahun. Akan tetapi, kalau siswa pernah tidak naik kelas, maka siswa tersebut tidak akan mampu menyelesaikan masa belajarnya selama 3 (tiga) tahun, namun bisa lebih yaittu bisa empat tahun atau lima tahun. 4. Pelaksanaan Pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran di SMA dituangkan dalam bentuk kegiatan kurikuler dan ekstra kurikuler. Kegiatan kurikuler merupakan kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan struktutr kueikulum, ditujukan untuk mengembangkan kompetensi peserta didik sesuai dengan bidang keahliannya. Kegiatan kurikuler dilakukan melalui kegiatan pembelajaran terstruktur sesuai dengan struktur kurikulum. Sedangkan ekstrakurikuler merupakan kegiatan diklat di luar jam yang tercantum pada struktur kurikulum. Kegiatan ekstrakurikuler ditujuklan untuk mengembangkan bakat dan minat serta memantapkan pembentukan kepribadian peserta didik. Di samping untuk pembelajaran tersebut, di SMA menggunakan sistem klasikal dalam proses pembelajaran. Artinya siswa yang belajar dibagi dalam beberapa kelas, sehingga proses pembelajaran disesuaikan dengan jadwal per kelas. 5. Evaluasi Pembelajaran 26 | St. Rodliyah
Pelaksanaan evaluasi pembelajaran di Sekolah Menengah Atas (SMA), tidak jauh berbeda dengan evaluasi yang digunakan di MA yaitu menggunakan sistem penilaian kelas yang dilakukan dengan ulangan harian, ulangan umum, dan ujian akhir (Mulyasa: 2006). Hanya saja evaluasi pembelajaran di SMA dilaksanakan dalam 2 (dua) macam yaitu evaluasi proses dan evaluasi produk/hasil. Evaluasi proses dilakukan ketika proses pembelajaran berlangsung dengan memperhatikan keaktifan masuk sekolah siswa, keaktifan di kelas, ulangan harian dan sopan santun serta kepatuhan terhadap guru. Sedangkan evaluasi produk atau hasil dilakukan dengan cara melihat hasil nilai ulangan tengah semster dan ulangan akhir semester. C.
Pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 1. Substansi Pendidikan
SMK menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan dengan berbagai program keahlian yang disesuaikan dengan kebutuhan lapangan kerja. Program keahlian tersebut dikelompokkan menjadi bidang keahlian sesuai dengan kelompok bidang industri/profesi/usaha. Penamaan bidang keahlian dan program keahlian pada kurikulum di SMK mengacu pada kurikulum 2006. Jenis keahlian baru diwadai dengan jenis program keahlian baru atau spesialisasi baru pada program yang relevan. Jenis bidang dan program keahlian ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Bab II: Pendidikan pada Sekolah Menengah Atas | 27
Substansi materi yang diajarkan di SMK disajikan dalam bentuk berbagai kompetensi yang dinilai penting dan perlu bagi peserta didik dalam menjalani kehidupan sesuai dengan zamannya. Kompetensi dimaksud meliputi kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan untuk menjadi manusia Indonesia yang cerdas dan pekerja yang kompeten, sesuai dengan standar kompetensi yang ditetapkan oleh industri/asosiasi profesi/dunia usaha. 2. Struktur Kurikulum
Dalam rangka mencapai standart kompetensi yang telah ditetapkan oleh industri/dunia usaha/asosiasi profesi, maka struktur kurikulum SMK masuk dalam substansi diklat dikemas dalam berbagai mata diklat yang dikelompokkan dan diorganisasikan menjadi program normatif, adaptif, dan produktif. Program normatif merupakan kelompok mata diklat yang berfungsi membentuk peserta didik menjadi pribadi utuh, yang memiliki norma-norma kehidupan sebagai makhluk sosial. Program adaptif merupakan kelompok mata diklat yang berfungsi membentuk peserta didik sebagai individu agar memiliki dasar pengetahuan yang terjadi di lingkungan sosial. Program adaptif merupakan perubahan yang terjadi dilingkungan sosial. Program produktif merupakan kelompok mata diklat yang berfungsi membekali peserta didik agar memiliki kompetensi kerja sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Dalam hal ini SKKNI belum ada, maka digunakan standart kompetensi yang disepakati oleh forum 28 | St. Rodliyah
yang dianggap mewakili dunia usaha/industri atau asosiasi profesi. 3. Masa Pendidikan
Masa pendidikan di SMK pada prinsipnya sama dengan masa pendidikan tingkat menengah atas lainnya yaitu 3 (tiga) tahun. Kalau siswa dapat belajar dengan baik dan naik kelas terus, maka siswa tersebut dapat menyelesaikan masa belajarnya selama 3 (tiga) tahun. Akan tetapi, kalau siswa pernah tidak naik kelas, maka siswa tersebut tidak akan mampu menyelesaikan masa belajarnya selama 3 (tiga) tahun, namun bisa lebih yaittu bisa empat tahun atau lima tahun. 4. Pelaksanaan Pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran dituangkan dalam bentuk kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler. Kegiatan kurikuler merupakan kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan struktur kurikulum, ditujukan untuk mengembangkan kompetensi pserta didik sesuai dengan bidang keahliannya. Kegiatan kurikuler dilakukan melalui kegiatan pembelajaran terstruk- tur sesuai dengan struktur kurikulum. Kegiatan ekstrakurikuler merupakan kegiatan diklat di luar jam yang tercantum pada struktur kurikulum. Kegiatan ekstrakurikuler ditujukan untuk mengembangkan bakat dan minat serta menampakkan pembentukan kepribadian peserta didik. Pembelajaran berbasis kompetensi menganut prinsip pembelajaran tuntas (mastery learning) untuk dapat Bab II: Pendidikan pada Sekolah Menengah Atas | 29
menguasai sikap, ilmu pengetahuan, dan keterampilan agar dapat bekerja sesuai dengan profesinya. Sedangkan pola penyelenggaraan pendidikan yang dapat dilaksanakan secara terpadu, yaitu pola pendidikan sistem ganda (PSG), multi entry-multy exit (MEME), dan pendidikan jarak jauh. 5. Evaluasi Pendidikan
Sistem penilaian di sekolah kejuruan menitikberatkan pada penilaian hasil belajar berbasis kompetensi, dengan ciri: menggunakan penilaian acuan patokan, diberlakukan secara perorangan, keberhasilan peserta didik hanya dikategorikan dalam bentuk ”kompeten” dan ”belum kompeten”, dan dilaksanakan secara berkelanjutan.
30 | St. Rodliyah
BAB III PARTISIPASI MASYARAKAT
A.
Pengertian Partisipasi Masyarakat 1. Pengertian Partisipasi
Pengertian partisipasi secara formal adalah turut sertanya seseorang, baik secara mental maupun emosional untuk memberikan sumbangan kepada proses pengambilan keputusan mengenai persoalan dimana keterlibatan pribadi orang yang bersangkutan melaksanakan tanggung jawab untuk melakukannya (Talizuduhu: 1990). Lebih jauh dijelaskan oleh Keith Davis dalam Sastropoetro (1988) bahwa partisipasi adalah keterlibatan mental/pikiran dan emosi/perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan. Dengan kata lain, batasan dari partisipasi adalah keterlibatan komunitas setempat secara aktif dalam pengambilan keputusan atau pelaksanaannya terhadap proyek-proyek pembangunan (Sastropoetro: 1988). Selanjutnya Korten dalam Khadiyanto (2007) mendefinisi- kan partisipasi sebagai suatu tindakan yang mendasar untuk bekerjasama yang memerlukan waktu dan usaha, agar menjadi mantap dan hanya berhasil baik dan Bab III: Partisipasi Masyarakat | 31
terus maju apabila ada kepercayaan. Poerbakawatja (1976) memberikan batasan partisipasi sebagai suatu gejala demokrasi dimana orang diikutserta- kan dalam perencanaan suatu pelaksanaan dari gejala sesuatu yang berpusat pada kepentingannya dan juga ikut memikul tanggungjawab sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkatkewajibannya. Lain halnya dengan definisi partisipasi menurut Suherlan dalam Khadiyanto (2007). Menurutnya, partisipasi diartikan sebagai dana yang dapat disediakan atau dapat dihemat sebagai sumbangan atau kontribusi masyarakat pada proyek-proyek pemerintah. Selain itu, partisipasi juga diartikan sebagai keterlibatan masyarakat dalam penentuan arah, strategi dan kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah serta keterlibatan masyarakat dalam memikul dan memetik hasil atau manfaat pembangunan. Dari beberapa definisi diatas, maka partisipasi bisa diartikan sebagai keterlibatan mental dan emosi dalam situasi kelompok sehingga dapat dimanfaatkan sebagai motivasi dalam usaha mencapai tujuan organisasi. Selanjutnya partisipasi juga diartikan sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai dengan kemampuan setiap orang tanpa mengorbankan kepentingan diri sendiri. Partisipasi juga ditentukan oleh tingkat kemampuan masing-masing individu, di mana tingkat kemampuan seseorang dapat dilihat dari aspek pendidikan yang mencakup pengetahuan dan 32 | St. Rodliyah
keterampilan. 2. Pengertian Masyarakat Menurut Poerwadarminto (1996) Masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Masyarakat dapat diartikan sebagai sekumpulan dari sejumlah orang dalam suatu tempat tertentu yang menunjukkan adanya pemilikan norma-norma hidup bersama walaupun di dalam nya terdapat berbagai lapisan antara lain lingkungan sosial (Suparlan: 1990) Sedangkan menurut Wijaya (1985), masyarakat didefinisikan sebagai sekelompok orang yang mempunyai identifikasi sendiri yang membedakan dengan kelompok lain dan hidup di dalam wilayah atau daerah tertentu secara tersendiri. Kelompok ini, baik sempit maupun luas mempunyai perasaan akan adanya persatuan di antara kelompok itu. Sekelompok orang dapat dikatakan masyarakat apabila di dalamnya terdapat proses saling mempengaruhi satu sama lain. Selain itu, definisi masyarakat dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 dijabarkan sebagai kelompok Warga Negara Indonesia non pemerin- tah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan. Adapun istilah masyarakat menurut Purwanto (1987) merupakan konsep yang mengacu kepada semua individu, kelompok, lembaga atau organisasi yang berada di luar sekolah sebagai lembaga pendidikan. Jadi masyarakat itu merupakan sekumpulan dari Bab III: Partisipasi Masyarakat | 33
sejumlah orang dalam suatu tempat tertentu yang menunjukkan adanya pemilikan norma-norma hidup bersama walaupun di dalamnya terdapat berbagai lapisan antara lain lingkungan sosial. 3. Pengertian Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat menurut Bintoro (1989) adalah keterlibatan dalam memikul beban dan tanggungjawab dalam pelaksanaan program pembangunan. Sedangkan menurut Eko (2003) partisipasi masyarakat diartikan sebagai jembatan penghubung antara pemerintah sebagai pemegang kekuasaan, kewenangan, dan kebijakan dengan masyarakat yang memilih hak sipil, politik dan sosial ekonomi masyarakat. Partisipasi masyarakat juga diartikan keikutsertaan masyarakat baik secara aktif maupun pasif dalam peningkatan mutu pendidikan berupa pikiran, tenaga, dana serta mempunyai rasa tanggung jawab guna mencapai tujuan. Dari tiga pengertian di atas, maka dapat dikemukakan bahwa partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat dalam merencanakan, melaksanakan, mengendalikan, dan mengevaluasi serta mampu untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi, baik secara langsung maupun tidak langsung sejak dari gagasan, perumusan kebijaksanaan hingga pelaksanaan program.
34 | St. Rodliyah
B.
Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat
Untuk melibatkan masyarakat dalam peningkatan mutu sekolah, kepala sekolah sudah seharusnya aktif menggugah perhatian masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh agama dan sebagainya untuk bersama-sama berdiskusi atau bertukar pikiran untuk memecahkan berbagai permasalahan. Komunikasi tentang pendidikan kepada masyarakat tidak cukup hanya dengan informasi verbal saja, tetapi perlu dilengkapi dengan pengalaman nyata yang ditunjukkan kepada masyarakat agar timbul citra positif tentang pendidikan di kalangan mereka, sebab masyarakat pada umumnya ingin bukti nyata sebelum mereka memberikan dukungan (National school Public Relation Association). Bukti itu dapat ditunjukkan berupa pameran hasil produk sekolah, tayangan keberhasilan siswa sebagai juara cerdas cermat, juara olah raga, tayangan penemuan inovatif produktif siswa dan sekolah dan sebagainya. Di negara-negara maju, terutama yang menganut sistem desentralisasi sekolah dikreasikan dan dipertahankan oleh masyarakat (Walsh: 1979). Kesadaran mereka sebagai pemilik dan penangggung jawab pendidikan sudah sangat tinggi, sedangkan di negara yang sedang berkembang masyarakat masih sangat menggantungkan mutu pendidikan kepada pihak pemerintah, padahal pemerintah sendiri sangat kekurangan dana untuk hal tersebut. Beberapa contoh partisipasi masyarakat dalam pendidikan ialah. Bab III: Partisipasi Masyarakat | 35
a. Mengawasi perkembangan pribadi dan proses belajar putra-putrinya di rumah dan bila perlu memberi laporan dan berkonsultasi dengan pihak sekolah. Hal ini memang agak jarang dilakukan oleh orang tua murid, mengingat kesibukan bekerja atau karena alasan lain. b. Menyediakan fasilitas belajar di rumah dan membimbing putra-putrinya agar belajar dengan penuh motivasi dan perhatian. c. Menyediakan perlengkapan belajar yang dibutuhkan untuk belajar di lembaga pendidikan sekolah. d. Berusaha melunasi SPP dan bantuan pendidikan lainnya e. Memberikan umpan balik kepada sekolah tentang pendidikan, terutama yang menyangkut keadaan putra-putrinya. f. Bersedia datang ke sekolah bila diundang atau diperlukan oleh sekolah. g. Ikut berdiskusi memecahkan masalah-masalah pendidikan seperti sarana, pra sarana, kegiatan, keuangan, program kerja dan sebagainya. h. Membantu fasilitas-fasilitan belajar yang dibutuhkan sekolah dalam memajukan proses pembelajaran. i. Meminjamkan alat-alat yang dibutuhkan sekolah untuk berpraktek, apabila sekolah memerlukannya. j. Bersedia menjadi tenaga pelatih/nara sumber bila diperlukan oleh sekolah. k. Menerima para siswa dengan senang hati bila 36 | St. Rodliyah
mereka belajar di lingkungan masyarakat (praktikum misalnya). l. Memberi layanan/penjelasan kepada siswa yang sedang belajar di masyarakat. m. Menjadi responden yang baik dan jujur terhadap penelitian-penelitian siswa dan lembaga pendidikan. n. Bagi ahli pendidikan bersedia menjadi ekspert dalam membina lembaga pendidikan yang berkualitas o. Bagi hartawan bersedia menjadi donator untuk pengembangan sekolah. p. Ikut memperlancar komunikasi pendidikan. q. Mengajukan usul-usul untuk perbaikan pendidikan. r. Ikut mengontrol jalannya pendidikan (kontrol sosial) s. Bagi tokoh-tokoh masyarakat bersedia menjadi partner manajemer pendidikan dalam mempertahankan dan memajukan lembaga pendidikan. t. Ikut memikirkan dan merealisasikan kesejahteraan personalia pendidikan. Di samping pendapat di atas, ada pendapat lain yang dikembangkan berdasarkan beberapa hasil kajian, yang secara rinci menyebutkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang sangat diharapkan sekolah adalah sebagai berikut. 1) Mengawasi/membimbing kebiasaan anak belajar di
rumah Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dalam memberikan bimbingan kebiasaan anak belajar di rumah Bab III: Partisipasi Masyarakat | 37
adalah sebagai berikut: a. Mendorong anak dalam belajar secara teratur di rumah, termasuk dalam hal ini peranan orang tua membimbing dan memberikan pengawasan terhadap kegiatan belajar anak di rumah. b. Mendorong anak dalam menyusun jadwal dan struktur waktu belajar serta menetapkan prioritas kegiatan di rumah, pengawasan pelaksanaan jadwal belajar dirumah menjadi sangat penting bagi orang tua murid. Hal ini harus mendapat perhatian bagi sekolah untuk diberikan informasi yang jelas dan lengkap tentang apa dan bagaimana mereka bisa melakukan kegiatan tersebut. c. Membimbing dan mengarahkan anak dalam penggunaan waktu belajar, bermain dan istirahat. d. Membimbing dan mengarahkan anak melakukan suatu kegiatan yang menunjang pelajaran di sekolah. Orang tua diharapkan berperan aktif dalam membimbing anak dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang menunjang pembentukan dirinya kearah kedewasaan. 2) Membimbing dan mendukung kegiatan akademik
anak a. Mendorong dan menumbuhkan minat anak untuk rajin membaca dan rajin belajar (minat Baca). Penciptaan situasi yang kondusif iklim yang menumbuhkan minat baca sangat diperlukan di 38 | St. Rodliyah
b.
c. d.
e. f. g.
lingkungan keluarga agar ada kesamaan antara iklim yang tercipta di sekolah dengan di rumah. Hal ini akan mempercepat peningkatan mutu belajar anak. Memberikan penguatan kepada anak untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya. Pemberian hadiah, pujian dan lain-lain sangat diperlukan untuk memperkuat perilaku positif anak. Menyediakan bahan yang tepat serta fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan anak dalam belajar Mengetahui kekuatan dan kelemahan anak serta problem belajar dan berusaha untuk memberikan bimbingan Mengawasi pekerjaan rumah, aktivitas belajar anak Menciptakan suasana rumah yang mendukung kegiatan akademik anak Membantu anak secara fungsional dalam belajar dan menyelesaikan tugas-tugas sekolah tepat waktu.
3) Memberikan dorongan untuk meneliti, berdiskusi
tentang gagasan dan atau kejadian-kejadian aktual a. Mendorong anak untuk suka meneliti serta memiliki motivasi menulis analitis/ilmiah b. Menyediakan fasilitas bagi anak-anak untuk melakukan penelitian c. Mendorong anak untuk melakukan kegiatan ilmiah d. Berdiskusi dan berdialog dengan anak tentang ideide, gagasan atau tentang bahan pelajaran yang baru, aktivitas yang bermanfaat, masalah-masalah aktual dan sebagainya. Bab III: Partisipasi Masyarakat | 39
4) Mengarahkan aspirasi dan harapan akademik anak
a. Memberikan motivasi kepada anak untuk belajar dengan baik sebagai bekal masa depan. b. Mendorong dan mendukung aspirasi anak dalam belajar c. Mengetahui aktivitas sekolah dan aktivitas anak dalam mempelajari sesuatu. d. Mengetahui standar dan harapan sekolah terhadap anak dalam belajar e. Hadir pada pertemuan guru dengan orang tua murid yang diselenggarakan oleh sekolah f. Memberikan ganjaran positif terhadap performansi anak di rumah atau di sekolah yang mendukung belajar anak. Pelibatan masyarakat dalam pendidikan adalah dengan memberikan dukungan sumber daya yang ada. Hal ini berarti bahwa dukungan tersebut bersifat luas karena tidak hanya berupa pendanaan saja. Hal ini mempertegas pendapat Keith Davis (Sastropoetro: 1988) bahwa bentuk partisipasi masyarakat adalah berupa (a) konsultasi, biasanya dalam bentuk jasa, (b) sumbangan spontan berupa uang dan barang, (c) mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan donornya berasal dari sumbangan individu/instansi yang berada di luar lingkungan tertentu (pihak ketiga), (d) mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan dibiayai seluruhnya oleh masyarakat, (e) sumbangan dalam bentuk kerja, (f) aksi massa, (g) mengadakan pembangunan di kalangan kuluarga desa 40 | St. Rodliyah
mandiri dan (h) membangun proyek komuniti yang bersifat otonom. Selain itu, Konkon dan Suryatna (1978) memberikan tawaran bahwa partisipasi dapat diwadahi dalam (a) buah pikiran,dalam hal ini seperti rapat, diskusi, seminar, pelatihan dan penyuluhan, (b) tenaga, seperti gotong royong, (c) harta benda dan (d) keterampilan. Adapun bentuk partisipasi yang mungkin dari wadah tersebut menurut Konkon (1989) adalah sebagai berikut (a) sumbangan tenaga fisik, (b) sumbangan finasial, (c) sumbangan material, (d) sumbangan moral (nasihat, petuah, amanat) dan (e) sumbangan keputusan. Selanjutnya, Keith Davis dalam Sastropoetro (1988) mengemukakan beberapa jenis partisipasi masyarakat. Menurutnya jenis-jenis partisipasi masyarakat meliputi: (a) pikiran, (b) tenaga, (c) pikiran dan tenaga, (d) keahlian, (e) barang dan (f) uang. Selain itu bentuk-bentuk partisipasi masyarakat ada bermacam-macam tingkatannya dalam pembangunan pendidikan. Partisipasi tersebut dapat diklasifikasikan dalam 7 tingkatan, yang dimulai dari tingkat terendah ke tingkat tertinggi. Tingkatan tersebut terinci sebagai berikut: 1. Partisipasi dengan menggunakan jasa yang tersedia. Jenis PSM ini merupakan jenis paling umum. Masyarakat hanya memanfaatkan jasa sekolah dengan memasukkan anak kesekolah; 2. Partisipasi dengan memberikan kontribusi dana, bahan, dan tenaga. Masyarakat berpartisipasi dalam perawatan dan pembangunan fisik sekolah dengan Bab III: Partisipasi Masyarakat | 41
3.
4.
5.
6.
7.
menyumbangkan dana, barang dan atau tenaga; Partisipasi secara pasif. Artinya menyetujui dan menerima apa yang diputuskan oleh sekolah (komite sekolah), misalnya komite sekolah memutuskan agar orang tua membayar iuran bagi anaknya yang bersekolah dan orangtua menerima keputusan tersebut dengan mematuhinya. Partisipasi melalui adanya konsultasi. Orangtua datang ke sekolah untuk berkonsultasi tentang masalah pembelajaran yang dialami anaknya; Partisipasi dalam pelayanan. Orantua/masyarakat terlibat dalam kegiatan sekolah, misalnya orangtua ikut membantu sekolah ketika ada studi banding, kegiatan pramuka, kegiatan keagamaan, dan lain sebagainya. Partisipasi sebagai pelaksana kegiatan yang didelegasikan/dilimpahkan. Misalnya, sekolah meminta orangtua/masyarakat untuk memberikan penyuluhan tentang pentingnya pendidikan, masalah gender, gizi dan lain sebagainya. Partisipasi dalam pengambilan keputusan. orangtua/masyarakat terlibat dalam pembahasan masalah pendidikan (baik akademis maupun non akademis) dan ikut dalam proses pengambilan keputusan dalam rencana pengembangan sekolah. Menuju Otonomi pada Tingkat Sekolah; Ikhtiar Memberdayakan Komite Sekolah sebagi bentuk partisipasi masyarakat dalam pendidikan
42 | St. Rodliyah
“Komite Sekolah/Madrasah sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan”. (Pasal 56, ayat 3 UU Nomor 20 Tahun 2003) Paradigma MBS beranggapan bahwa, satu-satunya jalan masuk yang terdekat menuju peningkatan mutu dan relevansi adalah demokratisasi, partisipasi, dan akuntabilitas pendidikan. Kepala sekolah, guru, dan masyarakat adalah pelaku utama dan terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sehingga segala keputusan mengenai penanganan persoalan pendidikan pada tingkatan mikro harus dihasilkan dari interaksi dari ketiga pihak tersebut. Masyarakat adalah stakeholder pendidikan yang memiliki kepentingan akan berhasilan pendidikan di sekolah, karena mereka adalah pembayar pendidikan, baik melalui uang sekolah maupun pajak, sehingga sekolahsekolah seharusnya bertanggungjawab terhadap masyarakat. Namun demikian, entitas yang disebut “masyarakat” itu sangat kompleks dan tak berbatas (borderless) sehingga sangat sulit bagi sekolah untuk berinteraksi dengan masyarakat sebagai stakeholder pendidikan. Untuk penyelenggaraan pendidikan di sekolah, konsep masyarakat itu perlu disederhanakan (simplified) agar menjadi mudah bagi sekolah melakukan hubungan Bab III: Partisipasi Masyarakat | 43
dengan masyarakatitu. Penyederhanaan konsep masyarakat itu dilakukan melalui “perwakilan” fungsi stakeholder, dengan jalan membentuk Komite Sekolah (KS) pada setiap sekolah dan Dewan Pendidikan (DP) di setiap kabupaten/kota. DP-KS sedapat mungkin bisa merepresentasikan keragaman yang ada agar benar-benar dapat mewakili masyarakat. Dengan demikian, interaksi antara sekolah dan masyarakat dapat diwujudkan melalui mekanisme pengambilan keputusan antara sekolahsekolah dengan Komite Sekolah, dan interaksi antara para pejabat pendidikan di pemerintah kabupaten/kota dengan Dewan Pendidikan. Bukti tanggungjawab masyarakat terhadap pendidikan diwujudkan dalam fungsi yang melekat pada DP dan KS, yaitu fungsi pemberi pertimbangan dalam pengambilan keputusan, fungsi kontrol dan akuntabilitas publik, fungsi pendukungan (supports), serta fungsi mediator antara sekolah dengan masyarakat yang diwakilinya. Kemandirian setiap satuan pendidikan adalah salah satu sasaran dari kebijakan desentralisasi pendidikan sehingga sekolah-sekolah menjadi lembaga yang otonom dengan sendirinya. Namun tentu saja, pergeseran menuju sekolah-sekolah yang otonom adalah jalan panjang sehingga memerlukan berbagai kajian serta perencanaan yang hati-hati dan mendalam. Jalan panjang ini tidak selalu mulus, tetapi akan menempuh jalan terjal yang penuh dengan onak dan duri. Orang bisa saja mengatakan bahwa paradigma baru untuk mewujudkan pengelolaan 44 | St. Rodliyah
pendidikan yang demokratis dan partisipatif, tidak dapat dilaksanakan di dalam suatu lingkungan birokrasi yang tidak demokratis. Namun, pengembangan demokratisasi pendidikan tidak harus menunggu birokrasinya menjadi demokratis dulu, tetapi harus dilakukan secara simultan dengan konsep yang jelas dan transparans. Pelaksanaan desentralisasi pendidikan sebaiknya tidak dilakukan melalui suatu mekanisme penyerahan “kekuasaan birokrasi” dari pusat ke daerah, karena kekuasaan telah terbukti gagal dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu. Melalui strategi “desentralisasi pemerintahan di bidang pendidikan”, Depdiknas tidak hanya berkepentingan dalam mengembangkan kabupaten/kota dalam mengelola pendidikan, tetapi juga berkepentingan dsalam mewujudkan otonomi satuan pendidikan, Depdiknas memiliki keleluasaan untuk membangun kapasitas setiap penyelenggara pendidikan, yaitu sekolah-sekolah. MBS mengembangkan satuan-satuan pendidikan secara otonom karena mereka adalah pihak yang paling mengetahui operasional pendidikan. Sesuai dengan strategi ini sekolah bukan bawahan dari birokrasi pemerintah daerah, tetapi sebagai lembaga profesional yang bertanggung jawab terhadap klien atau stakeholder yang diwakili oleh Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. Keberhasilan pendidikan di sekolah tidak diukur dari pendapat para birokrat, tetapi dari kepuasan masyarakat atau stakeholder. Fungsi pemerintah adalah fasilitator untuk mendorong sekolahsekolah agar berkembang menjadi lembaga profesional Bab III: Partisipasi Masyarakat | 45
dan otonom sehingga mutu pelayanan mereka memberi kepuasan terhadap komunitas basisnya, yaitu masyarakat. C.
Tingkat Partisipasi Masyarakat
Ada bermacam-macam tingkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pendidikan. Menurut Prayitno (2008) partisipasi tersebut dapat diklasifikasikan dalam 7 tingkatan, yang dimulai dari tingkat terendah ke tingkat tertinggi. Tingkatan tersebut terinci sebagai berikut. 1. Peran serta dengan menggunakan jasa yang tersedia. Jenis peran serta masayarakat ini merupakan jenis paling umum. Masyarakat hanya memanfaatkan jasa sekolah dengan memasukkan anak ke sekolah. 2. Peran serta dengan memberikan kontribusi dana, bahan, dan tenaga. Masyarakat berpartisipasi dalam perawatan dan pembangunan fisik sekolah dengan menyumbangkan dana, barang dan atau tenaga. 3. Peran serta secara pasif. Artinya menyetujui dan menerima apa yang diputuskan oleh komite sekolah, misalnya komite sekolah memutuskan agar orang tua membayar iuran bagi anaknya yang bersekolah dan orangtua menerima keputusan tersebut dengan mematuhinya. 4. Peran serta melalui adanya konsultasi. Orangtua datang ke sekolah untuk berkonsultasi tentang masalah pembelajaran yang dialami anaknya. 5. Peran serta dalam pelayanan. Orantua/masyarakat terlibat dalam kegiatan sekolah, misalnya orangtua 46 | St. Rodliyah
ikut membantu sekolah ketika ada studi banding, kegiatan pramuka, kegiatan keagamaan, dan lain sebagainya. 6. Peran serta sebagai pelaksana kegiatan yang didelegasikan/dilimpahkan. Misalnya, sekolah meminta orangtua/masyarakat untuk memberikan penyuluhan tentang pentingnya pendidikan, masalah gender, gizi dan lain sebagainya. Arstein (1969) dalam makalahnya yang berjudul ” A Leader of Citizen Participation” dalam Journal of the American Planning Association, mengemukakan delapan tangga atau tingkatan partisipasi. Kedelapan tingkatan tersebut adalah sebagai berikut. a. Manipulation Dengan mengatasnamakan partisipasi, masyarakat diikutkan sebagai ’stempel karet’ dalam badan penasihat. Tujuannya adalah untuk dipakai sebagai formalitas semata dan untuk dimanfaatkan dukungannya. Tingkat ini bukanlah tingkat partisipasi masyarakat yang murni, karena telah diselewengkan dan dipakai sebagai alat publikasi oleh pihak penguasa. b. Therapy Pada tingkat therapy atau pengobatan ini, pemegang kekuasaan sama dengan ahli kesehatan jiwa. Mereka menganggap ketidakberdayaan sebagai penyakit mental. Dengan berpura-pura mengikutsertakan masyarakat dalam suatu perencanaan, mereka sebenarnya menganggap masyarakat sebagai sekelompok orang yang memerlukan Bab III: Partisipasi Masyarakat | 47
pengobatan. Meskipun masyarakat dilibatkan dalam berbagai kegiatan namun pada dasarnya kegiatan tersebut bertujuan untuk menghilangkan lukanya dan bukannya menemukan penyebab lukanya. c. Informing Dengan memberi informasi kepada masyarakat akan hak, tanggung jawab dan pilihan mereka merupakan langkah awal yang sangat penting dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat. Namun acapkali pemberian informasi dari penguasa kepada masyarakat tersebut bersifat satu arah. Masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk memberikan umpan balik dan tidak memiliki kekuatan untuk negosiasi. Apalagi ketika informasi disampaikan pada akhir perencanaan, masyarakat hanya memiliki sedikit kesempatan untukmempengaruhi program. Komunikasi satu arah ini biasanya dengan menggunakan media pemberitaan, pamflet dan poster. d. Consultation Meminta pendapat masyarakat merupakan suatu langkah logis menuju partisipasi penuh. Namun konsultasi ini masih merupakan partisipasi semu karena tidak ada jaminan bahwa pendapat mereka akan diperhatikan. Cara yang sering digunakan dalam tingkat ini adalah jejak pendapat, pertemuan warga dan dengar pendapat. Jika pemegang kekuasaan membatasi usulan masyarakat, maka kegiatan tersebut hanyalah merupakan suatu partisipasi palsu. Masyarakat pada dasarnya hanya dianggap sebagai abstraksi statistik, karena partisipasi hanya diukur dari 48 | St. Rodliyah
frekuensi kehadiran dalam pertemuan, seberapa banyak brosur yang dibawa pulang dan juga dari seberapa banyak kuesioner dijawab. Dengan demikian, pemegang kekuasaan telah merasa memiliki bukti bahwa mereka telah mengikuti rangkaian pelibatan masyarakat. e. Placation Pada tingkat ini masyarakat sudah memiliki beberapa pengaruh meskipun dalam beberapa hal pengaruh tersebut tidak memiliki jaminan akan diperhatikan. Masyarakat memang diperbolehkan untuk memberikan masukan atau mengusulkan rencana tetapi pemegang kekuasaanlah yang berwenang untuk menentukan. Salah satu strateginya adalah dengan memilih masyarakat miskin yang layak untuk dimasukkan ke dalam suatu lembaga. Jika mereka tidak bertanggung jawab dan jika pemegang kekuasaan memiliki mayoritas kursi, maka mereka akan dengan mudah dikalahkan dan diakali. f. Partnership Pada tingkat ini, kekuasaan disalurkan melalui negosiasi antara pemegang kekuasaan dan masyarakat. Mereka sepakat untuk sama-sama memikultanggung jawab dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Aturan ditentukan dengan melalui mekanisme take and give, sehingga diharapkan tidak mengalami perubahan secara sepihak. Partnership dapat berjalan efektif bila dalam masyarakat ada kekuasaan yang terorganisir, pemimpinnya bertanggung jawab, masyarakat mampu membayar honor yang cukup bagi pemimpinnya serta adanya sumber dana Bab III: Partisipasi Masyarakat | 49
untuk menyewa teknisi, pengacara dan organisator masyarakat. Dengan demikian, masyarakat benar-benar memiliki posisi tawar-menawar yang tinggi, sehingga akan mampu mempengaruhi suatu perencanaan. g. Delegated Power Negosiasi antara masyarakat dengan pejabat pemerintah bisa mengakibatkan terjadinya dominasi kewenangan pada masyarakat terhadap rencana atau program tertentu. Pada tingkat ini masyarakat menduduki mayoritas kursi,sehingga memiliki kekuasaan dalam menentukan suatu keputusan. Selain itu, masyarakat juga memegang peranan penting dalam menjamin akuntabilitas program tersebut. Untuk mengatasi perbedaan, pemegang kekuasaan tidak perlu meresponnya tetapi dengan mengadakan proses tawar menawar. h. Citizen Control Pada tingkat ini, masyarakat menginginkan adanya jaminan bahwa kewenangan untuk mengatur program atau kelembagaan diberikan kepada mereka, bertanggung jawab penuh terhadap kebijakan dan aspek-aspek manajerial dan bisa mengadakan negosiasi apabila ada pihak ketiga akan mengada- kan perubahan. Dengan demikian, masyarakat dapat berhubungan langsung dengan sumbersumber dana untuk memperoleh bantuan atau pin jaman tanpa melewati pihak ketiga Dari kedelapan tangga tersebut, Arstein (1969) mengelompokkannya lagi menjadi tiga tingkat, yaitu: a ). Nonparticipation b). Degree of tokenism dan c). Degree of Citizen Power. 50 | St. Rodliyah
Tingkat nonparticipation adalah tingkat partisipasi yang bukan dalam arti sesungguhnya. Tingkat ini terdiri dari jenjang terbawah dari tangga tersebut yaitu tingkat pertama (manipulation) dan tingkat kedua (Therapy). Tingkat Degree of Tokenism, yaitu tingkat partisipasi yang tidak serius, terdiri tiga jenjang yaitu tingkat ketiga (informing), tingkat keempat (consultation) dan tingkat kelima (placation). Selanjutnya tingkat ke 6 (partnership), ingkat ke 7 (delegated power) dan tingkat ke 8 (citizen control) masuk dalam tingkatan Degree of Citizen Power, atau tingkat dimana masyarakat telah memiliki kekuasaan. Pendapat lain diusulkan oleh Club Du Sahel (Khadiyanto: 2007). Menurutnya, terdapat pendekatanpendekatan untuk memajukan partisipasi masyarakat dengan terlebih dahulu mengetahui tingkat partisipasi. Tingkatan tersebut adalah sebagai berikut. a. Partisipasi Pasif, Pelatihan dan Informasi Partisipasi ini merupakan tipe komunikasi satu arah seperti arah antara guru dan muridnya. b. Partisipasi Aktif Partisipasi ini merupakan dialog dan komunikasi dua arah dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berinteraksi dengan petugas penyuluhan dan pelatihan di luar. c. Partisipasi dengan Keterkaitan Masyarakat setempat baik pribadi maupun kelompok Bab III: Partisipasi Masyarakat | 51
diberi pilihan untuk bertanggung jawab atas setiap kegiatan masyarakat maupun proyek. d. Partisipasi atas Permintaan Setempat Kegiatan proyek lebih berfokus pada menjawab kebutuhan masyarakat setempat, bukan kebutuhan yang dirancang dan disuarakan oleh orang luar.Untuk mengukur tingkat partisipasi, Chapin (Slamet: 1993) menawarkan dengan cara mengukur tingkat partisipasi individu atau keterlibatan individu dalam kegiatan bersama dengan skalanya. Menurut Chapin skala partisipasi dapat diperoleh dari penilaian-penilaian terhadap kriteria-kriteria tingkat partisipasi sosial, yaitu: 1. Keanggotaan dalam organisasi atau lembagalembaga sosial 2. Kehadiran dalam pertemuan 3. Membayar iuran/sumbangan 4. Keanggotaan di dalam kepengurusan 5. Kedudukan di dalam kepengurusan. Partisipasi yang tinggi tersebut nampaknya belum terjadi di negara berkembang (termasuk Indonesia). Hoyneman dan Loxley (Pidarta: 1992) menyatakan bahwa di negara berkembang sebagian besar keluarga belum dapat diharapkan untuk lebih banyak membantu dan mengarahkan belajar murid, sehingga murid di negara berkembang sedikit waktu yang digunakan dalam belajar. Hal ini disebabkan banyak masyarakat/orang tua murid belum paham makna mendasar dari peran mereka terhadap pendidikan anak. Bahkan Pidarta (1992) juga 52 | St. Rodliyah
menyatakan di daerah pedesaan yang tingkat status sosial ekonomi yang rendah, mereka hampir tidak menghiraukan sekolah dan mereka menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pendidikan anaknya kepada sekolah. Adapun hal-hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi orang tua dan masyarakat antara lain adalah: a. Sekolah harus benar-benar menunjukkan kesungguhan usahanya untuk memperoleh, memelihara, meningkatkan, atau memperbaiki citranya di mata masyarakat dan orang tua. Jika sekolah belum memiliki citra yang baik dari masyarakat, akan sulit sekali bagi sekolah untuk memperoleh yang maksimal dari masyarakat dan orang tua. Citra yang baik dapat diperoleh sekolah dengan cara melakukan kegiatan-kegiatan seperti misalnya sekolah melakukan kegiatan “open house’ yaitu mengundang orang tua dan masyarakat untuk melihat kemajuan atau keberhasilan anak-anak mereka di sekolah. Acara ini bisa dilakukan dengan cara yang sederhana, dan melibatkan semua siswa. Selain itu sekolah juga bisa melakukan publikasi, melalui selebaran, media masa cetak maupun elektronika. b. Sekolah melibatkan orang tua dan masyarakat dalam membuat perencanaan sekolah, bahkan jika perlu orang tua diberi kewenangan untuk mengatur beberapa kegiatan sekolah. Dengan kata lain, sekolah Bab III: Partisipasi Masyarakat | 53
harus memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam bentuk apa saja demi kemajuan sekolah, termasuk memberikan kritik dan saran. c. Sekolah harus terbuka. Ada beberapa hal yang menyangkut keterbukaan ini. Pertama, sekolah harus terbuka tentang kondisi keuangan sekolah, yaitu bersedia melaporkan pemasukan dan pengeluaran keuangannya kepada orang tua dan masyarakat, dan bersedia untuk diaudit oleh masyarakat, dan dimintai akuntabilitasnya. Kedua, sekolah harus bersedia setiap saat menerima orang tua dan masyarakat jika mereka ingin datang ke sekolah untuk melihat putraputri mereka belajar atau untuk memperoleh informasi tentang kegiatan putra-putri mereka di sekolah, atau masalah-masalah yang terjadi di sekolah, dan sekolah harus bersedia memberikan informasi yang dibutuhkan mereka. d. Sekolah juga perlu memberikan informasi kepada orang tua tentang apa yang perlu dilakukan oleh orang tua dalam membantu mensukseskan pendidikan putra-putrinya. Dalam hal ini sekolah harus bisa meyakinkan orang tua bahwa usaha yang dilakukan sekolah adalah untuk membantu keberhasilan pendidikan putra putri mereka, dan usaha ini tidak akan berhasil tanpa dukungan orang tua.
54 | St. Rodliyah
D.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat
Organisasi sekolah adalah organisasi yang menganut sistem tebuka, sebagai sistem terbuka berarti sekolah mau tidak mau, disadari atau tidak disadari akan selalu terjadi kontak hubungan dengan lingkungannya yang disebut sebagai supra sistem. Kontak hubungan ini dibutuhkan untuk menjaga agar sistem atau lembaga itu tidak mudah punah. Suatu organisasi yang mengisolasi diri, termasuk sekolah sebagai organisasi apabila tidak melakukan kontak dengan lingkungannya maka dia lambat laun akan mati secara alamiah (tidak dapat eksis), karena organisasi hanya akan tumbuh dan berkembang apabila didukung dan dibutuhkan oleh lingkungannya. Hanya sistem terbuka yang memiliki megantropy, yaitu suatu usaha yang terus menerus untuk menghalangi kemungkinan terjadinya entropy atau kepunahan. Ini berarti hidup matinya sekolah akan sangat tergantung dan ditentukan oleh usaha sekolah itu sendiri, dalam arti sejauhmana dia mampu menjaga dan memelihara komunikasinya dengan masyarakat luas atau dia mau menjadi organisasi terbuka. Karena itu sejak lama Dewantara (1962) menyatakan bahwa pendidikan itu berlangsung pada tiga lingkungan yaitu lingkungan Keluarga, Sekolah dan Masyarakat. Konsep ini diperkuat oleh kebijakan pemerintah bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, orang tua dan masyarakat. Artinya pendidikan tidak akan berhasil kalau ketiga komponen itu tidak saling Bab III: Partisipasi Masyarakat | 55
bekerjasama secara harmonis. Kaufman (1989) menyebutkan patner/mitra pendidikan tidak hanya terdiri dari guru dan siswa saja, tetapi juga para orang tua/masyarakat. Dari uraian di atas jelaslah bahwa sekolah bukanlah lembaga yang berdiri sendiri dalam membina pertumbuhan dan perkembangan putra-putri bangsa, melainkan ia merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat yang luas, dan bersama masyarakat membangun dan meningkat kan segala upaya untuk memajukan sekolah. Hal ini akan dapat dilakukan apabila masyarakat menyadari akan pentingnya peranan mereka dalam sekolah. Hal ini dapat tercipta apabila sekolah mau membuka diri dan menjelaskan kepada masyarakat tentang apa dan bagaimana masyarakat dapat berperan dalam upaya membantu sekolah untuk memajukan dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan. Partisipasi orang tua dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan sekolah adalah sangat penting karena dapat mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan proses pendidikan. Kita tahu bahwa proses belajar mengajar dari anak tidak hanya terjadi di sekolah saja, melainkan juga di rumah dan di lingkungan masyarakatnya. Ketiga unsur harus bisa bekerja sama sedemikian rupa sehingga proses belajar anak dapat berjalan dengan baik. Mochlan dalam Suriansyah (2000) menyatakan school public relation adalah kegiatan yang dilakukan 56 | St. Rodliyah
sekolah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Apa sebenarnya kebutuhan masyarakat terhadap sekolah (sekolah)? Masyarakat (lebih khusus lagi orang tua murid) mengirimkan anak-anaknya ke sekolah agar mereka dapat menjadi manusia dewasa yang bermanfaat bagi kehidupannya dan bagi masyarakat secara umum. Secara praktis sering kita dengar para orang tua menginginkan anaknya dapat berprestasi di sekolah (khususnya lulus ujian nasional) itu berarti kebutuhan masyarakat terhadap sekolah adalah penyelenggaraan dan pelayanan proses belajar mengajar yang berkualitas dengan out put yang berkualitas pula. Dengan tuntutan yang demikian akan menjadi beban bagi sekolah, dengan segala keterbatasan yang dimilikinya (tenaga, biaya, waktu dan sebagainya). Menurut Slamet (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat adalah jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan mata pencaharian (pekerjaan). a. Jenis Kelamin Partisipasi yang diberikan oleh seorang pria akan berbeda dengan partisipasi yang diberikan oleh seorang wanita. Hal ini disebabkan karena adanya sistem pelapisan sosial yang terbentuk dalam masyarakat yang membedakan kedudukan dan derajat antara pria dan wanita, sehingga menimbulkan perbedaan-perbedaan hak dan kewajiban. b. Usia Dalam masyarakat terdapat perbedaan kedudukan Bab III: Partisipasi Masyarakat | 57
dan derajat atas dasar senioritas, sehingga memunculkan golongan tua dan golongan muda yang berbeda-beda dalam hal-hal tertentu, misalnya menyalurkan pendapat dan mengambil keputusan. Usia produktif juga sangat mempengaruhi pola berpikir masyarakat dalam ikut serta meningkatkan kualitas pendidikan. c. Tingkat Pendidikan Faktor pendidikan mempengaruhi masyarakat dalam berpartisipasi karena dengan latar belakang pendidikan yang diperoleh, seseorang lebih mudah berkomunikasi dengan orang luar dan cepat tanggap terhadap inovasi pendidikan serta memiliki rasa tanggungjawab yang tinggi terhadap kualitas pendidikan. d. Tingkat Penghasilan Besarnya tingkat penghasilan akan memberi peluang lebih besar bagi masyarakat untuk berperan serta. Tingkat pendapatan ini mempengaruhi kemampuan finansial masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendanaan sekolah dan berinvestasi untuk kemajuan sekolah. e. Mata Pencaharian (Pekerjaan) Jenis pekerjaan seseorang akan menentukan tingkat penghasilan dan mempengaruhi waktu luang seseorang yang dapat digunakan dalam berpartisipasi, misalnya menghadiri pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh sekolah untuk membicarakan rencana program-program sekolah mulai dari jangka pendek, menengah sampai dengan jangka panjang. Selain itu juga mempengaruhi 58 | St. Rodliyah
kesanggupan masyarakat khususnya orang tua dalam menanggung biaya pendidikan anak. Semua faktor tersebut di atas sangat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan di sekolah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
Bab III: Partisipasi Masyarakat | 59
60 | St. Rodliyah
BAB IV PENGAMBILAN KEPUTUSAN
A.
Konsep Pengambilan Keputusan
Pada umumnya para penulis mengemukakan bahwa kata keputusan (decision) berarti pilihan, yaitu pilihan dari dua atau lebih kemungkinan. Pengambilan keputusan hampir tidak merupakan pilihan diantara yang benar dan yang salah, tetapi yang justru sering terjadi ialah pilihan antara yang “hampir benar” dan yang “mungkin salah” (Suryadi & Ramdhani: 1998) Keputusan yang diambil biasanya dilakukan berdasarkan pertimbangan. Pertimbangan itu adalah menganalisis beberapa kemungkinan atau alternatif, lalu memilih satu diantaranya (Salusu: 1996). Selain itu, keputusan dapat dilihat juga dalam kaitannya dalam proses, yaitu bahwa suatu keputusan adalah keadaan akhir dari suatu proses yang lebih dinamis yang diberi nama”pengambilan keputusan”. Dalam “Ensiklopedia Administrasi” yang disusun oleh The Liang Gie dkk, (1985) dikemukakan bahwa pengambilan keputusan adalah kegiatan dalam menejemen berupa pemilihan diantara berbagai kemungkinan untuk menyelesaikan persoalan, pertentangan, dan atau keraguan yang timbul dalam proses penyelesaian kerjasama. Bab IV: Pengambilan Keputusan | 61
Salusu (1996) mengemukakan bahwa pengambilan keputusan adalah proses memilih suattu alternatif cara bertindak dengan metode yang efesien sesuai situasi. Suryadi dan Ramdhani (1998) berpendapat bahwa pengambilan keputusan didalam suatu organisasi merupakan hasil suatu proses komunikasi dan partisipasi yang terus menerus dari keseluruhan organisasi. Selanjutnya Siagian (1992) secara luas juga mengemukakan bahwa pengambilan keputusan menunjukkan lima hal penting, yaitu: (1) dalam proses pengam- bilan keputusan tidak ada hal yang terjadi secara kebetulan, (2) pengambilan keputusan tidak dapat dilakukan secara “sembrono”, (3) bahwa sebelum sesuatu masalah dapat dipecahkan dengan baik, hakekat daripada masalah itu harus diketahui dengan jelas, (4) bahwa pemecahan masalah tidak dapat dilakukan melalui “ilham” atau dengan mengarang, tetapi harus didasarkan fakta-fakta yang terkumpul dengan sistematis, diperoleh dengan baik dan tersimpan secara teratur sehingga fakta atau data itu sungguh-sungguh dapat dipercaya dan bersifat up to date, dan (5) bahwa keputusan yang baik adalah keputusan yang telah dipilih dari berbagai alternatif yang ada setelah alternatif-alternatif itu dianalisa dengan matang. Wahjosumijjo (1994) mengemukakan pula bahwa konsep pengambilan keputusan mengandung dua hal pokok yang perlu diperhatikan, yaitu; (1) persyaratan dan rasional, dan (2) faktor alamiah dan faktor yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Persyaratan 62 | St. Rodliyah
yang dimaksud adalah tidakan-tindakan utama yang mendasari pengambilan keputusan. persyaratan dimaksud adalah: adanya gap antara situasi sekarang dengan tujuan yang akan dicapai, adanya kesadaran akan adanya gap tersebut, motivasi untuk mengurangi gap, dan tersedianya sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi gap (Helliegel & Slacum: 1982). Rasional yang dimaksud adalah berkenaan dengan langkah-langkah dasar dalam proses pengambilan keputusan. Langkah-langkah dasar tersebut adalah: perumusan hakekat permasalahan, perumusan alternatif-alternatif jalan keluar, implementasi alternatif terpilih, dan pengawasan alternatif terpilih. Faktor alamiah yang dimaksud adalah kondisi-kondisi yang muncul diluar jangkauan pengambilan keputusan untuk mangawasi. Sedangkan faktor-faktor lain yang mengelilingi situasi keputusan adalah: pengaruh lingkungan umum (pemerintah, konsumen, sistem nilai dan lain-lain), pengaruh lingkungan internal (perluasan saran organisasional dan sumber-sumber yang tersedia dengan situasi keputusan), karakter dari si pembuat keputusan, dan tingkat ketidak pastian dalam situasi keputusan. Mengambil keputusan tidak saja bagian dari hidup sehari-hari setiap orang, tapi juga suatu syarat intrinsik bagi kemungkinan hidup suatu organisasi. Memutuskan sebenarnya melibat proses memilih tindakan tertentu antara sejumlah tindakan alternatif yang mungkin. Suatu putusan pribadi yang sederhana, misalnya, bisa mengenai pilihan antara apakah akan pergi kerja dengan berjalan kaki Bab IV: Pengambilan Keputusan | 63
atau dengan menaiki kendaraan sendiri. Didasari dengan ramalan cuaca, tempat parkir, kesehatan, waktu, dan ekonomi, misalnya, maka dibuatlah suatu putusan. Tidak selalu jelas pertimbangan yang mana membawa kepada keputusan itu, tapi jelas pilihan harus dibuat untuk pergi ke tempat kerja itu. Pertimbangan ekonomi mungkin menjadi alasan mengapa orang memilih untuk berjalan kaki. Tapi kesehatan pun bisa menjadi alasan orang menaiki kendaraan sendiri. Berlawanan dengan pengambilan keputusan dalam kehidupan sehari-hari, pengambilan keputusan dalam situasi organisasi bisa cukup komplek karena melibatkan sejumlah orang, pendidikan, pengetahuan, dan mungkin masukan yang bersifat fakta. Untunglah, banyak keputusan pendidikan di sekolah bisa dicapai dengan agak mudah. Apakah keputusan dibuat oleh individu atau kelompok, sifat dari putusan itu sering ditentukan oleh peraturanperaturan, kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan, instruksi-instruksi yang telah diturunkan atau praktek yang berlaku. Sudah tentu, ini semua adalah hasil putusan-putusan terdahulu. Akan tetapi, sering pula putusan harus dibuat tanpa tersedianya pedoman yang dapat segera dipakai. Juga kadang-kadang terjadi bahwa kebijaksanaan opersional dan prosedur yang berlaku itu sendiri perlu ditinjau kembali untuk menentukan apakah keputusan-keputusan terdahulu itu perlu diperbaiki (Sutisna: 1989). Keputusan yang dibuat dengan memperhatikan 64 | St. Rodliyah
semua fakta yang relevan biasanya lebih baik dari pada keputusan yang dibuat atas dasar dugaan atau kecondongan pribadi semata-mata. Ada kalanya suatu keputusan harus dibuat sebelum semua fakta yang diperlukan bisa dibuat tersedia, tapi perlu disadari informasi apa yang tidak ada itu untuk dapat mempertimbangkan resiko yang bisa muncul karenanya. Keputusan yang baik ditandai oleh pembuatan yang bertujuan dan rasional. Perbuatan adalah bertujuan sejauh ia dibimbing oleh tujuan-tujuan dan maksud-maksud umum. Ia adalah rasional sejauh ia memilih alternatif yang membantu tercapainya tujuan-tujuan yang telah dipilih sebelumnya. Semua keputusan rasional dibuat dengan mempertimbangkan penuh nilai-nilai dan maksud-maksud yang dicari, serta kekuatan-kekuatan dan kondisi yang hadir. Keputusan tidak dapat dibuat dengan cerdas kecuali jika informasi yang berhubungan langsung dengan masalah yang akan dipecahkan itu tersedia. Ini berarti bahwa harus ada arus informasi yang diperlukan yang bebas kepada orang atau kelompok yang akan membuiat keputusan itu, apakah ia menteri, direktur jenderal, kepala kantor wilayah, pengawas, kepala sekolah, guru, atau masyarakat. B.
Dimensi-Dimensi Pengambilan Keputusan di Sekolah
Sehubungan dengan konsep pengambilan keputusan tersebut, Lipham, Hoe, dan Rankin (1985) Bab IV: Pengambilan Keputusan | 65
mengkonsepsikan tiga dimensi dalam pengambilan keputusan, yaitu: (1) dimensi isi, (2) dimensi proses, dan (3) dimensi keterlibatan. Dimensi isi mencakup programprogram pembelajaran, bawahan, sumber tenaga dan dana serta hubungan-hubungan yang bersifat organisasi- onal, dimensi proses mencakup identifikasi masalah, definisi masalah, memformulasikan dan menimbang alternatif, implementasi keputusan, dan penilaian keputusan. Sedangkan dimensi keterlibatan berkaitan dengan individu yang berpartisipasi dan tingkat partisipasi mereka. Tingkat keterlibatan dimaksud dikelompokkan menjadi: membuat keputusan, mengusulkan alternatif-alternatif, membantu merumuskan alternati-alternatif, memberikan informasiinformasi guna penyusunan, dan tidak ada keterlibatan sama sekali. C.
Kondisi-Kondisi Pengambilan Keputusan di Sekolah
Pengambilan keputusan dalam menetapkan suatu keputusan tidak akan bisa dilepaskan dengan kondisikondisi yang mempengaruhinya. Kondisi-kondisi tersebut perlu dipahami karena akan mempengaruhi kualitas keputusan itu sendiri. Demikian halnya dengan konteks sekolah, ada kondisi-kondisi tertentu tertentu yang perlu diantisipasi, sehingga keputusa-keputusan pendidikan yang diambil benar-benar memecahkan masalah pendidikan. Dalam kaitan ini, Sutisna (1989) mengusulkan tiga kondisi yang mempengarui keputusan, yaitu: (1) kepastian, (2) resiko, (3) ketidakpastian. 66 | St. Rodliyah
Pertama, kondisi kepastian. Pengambilan keputusan akan dapat mengambil keputusan ketika hakekat perubahan yang ada berada pada kondisi yang pasti. Kondisi kepastian merupakan kondisi dimana pengambilan keputusan mempunyai informasi sepenuhnya tentang masalah yang dihadapi, alternatif-alternatif pemecahan yang ada, dan hasil-hasil yang mungkin dari alternatifalternatif. Pengambilan keputusan berada pada kondisi yang pasti ketika dirinya dapat mengontrol dan mengantisipasi sepenuhnya terhadap kejadian-kejadian yang akan menjadi kenyataan. Kepastian berarti kondisi dimana pengambilan keputusan benar-benar menguasai masalah yang dihada- pi dan mengetahui kinsekuensi dari setiap alternatif pemecahan yang ada. Kedua, resiko. Resiko merupakan kondisi yang dapat diidentifikasikan, didefinisikan, diprediksi kemungkinan terjadinya, dan kemungkinan-kemungkinan dari setiap pemecahan yang akan dapat mencapai hasil yang diinginkan. Suatu resiko akan tejadi ketika pengambilan keputusan menghadapi keterbatasan informasi yang berkaitan dengan keputusan yang aka ditetapkan. Suatu resiko tidak akan terjadi jika pengambilan keputusan dapat merumuskan suatu kemungkinan secara obyektif,. Sebaliknya, resiko, kemungkinan akan terjadi ketika pengambilan keputusan harus menetapkan suatu keputusan yang melibatkan alternatif yang bersifat subyektif. Ketiga, ketidakpastian. Ketidakpastian merupakan Bab IV: Pengambilan Keputusan | 67
suatu kondisi dimana pengambilan keputusan tidak dapat menetukan suatu yang subyektif kedalam kemungkinan yang obyektif. Ketidakpastian juga merupakan kondisi di mana pengambilan keputusan tidak mempunyai informasi yang diperlukan dalam pengambilan keputusan atau ketidakmampuan unuk menetapkan kemungkinankemungkinan terhadap hasil suatu alternatif pemecahan. D.
Tipe-Tipe Keputusan di Sekolah
Upaya untuk mengambil suatu keputusan yang efektif merupakan salah satu langkah bagi keberhasilan suatu keputusan. Pengambilan keputusan dalam suatu organisasi senantiasa dihadapkan dengan berbagai masalah. Dengan demikian, untuk memecahkan masalah maksud manajer organisasi akan selalu diharuskan mengambil keputusan. Menurut Sujak (1990) keputusan manajerial diklasifikasikan kedalam tiga tingkatan, yaitu: (1) keputusan rutin, (2) keputusan adaptif, (3) keputusan inovatif. Pertama, keputusan rutin. Keputusan rutin adalah keputusan yang ditetapkan dalam rangka pemecahan masalah-masalah yang sudah diketahui dan dapat dengan jelas dibatasi ruang lingkupnya. Keputusan rutin dalam pemecahannya biasanya telah tersedia peraturan yang mapan serta telah ada prosedur operasi standar yang menjelaskan tahap-tahap atau tindakan- tindakan yang harus diambil untuk mencegah atau mengatasi masalah yang ada. Jadi, pengambilan keputusan tinggal mengikuti 68 | St. Rodliyah
apa yang ditentukan dalam peraturan atau prosedur yang ada. Kedua, keputusan adaptif. Keputusan adaptif merupakan keputusan yang ditetapkan untuk mengatasi masalah dan alternatif pemecahan yang agak membingungkan dan kurang dapat didefinisikan secara jelas. Pengambilan keputusan yang akan menetapkan suatu keputusan pada tingkat adaptif, dalam proses pemecahan masalahnya dapat dengan efektif mengikutsertakan para bawahan. Ketiga, keputusan inovatif. Keputussan inovatif adalah tingkatan keputusan yang melibatkan kombinasi pencarian dan pendiagnosaan masalah-masalah yang membingungkan dan tidak dapat dihadapi oleh suatu organisasi atau oleh pengambil keputusan. Keputusan inovatif menuntut alternatif pemecahan yang kreatif dan proses pemecahan masalah dengan cara berpikir kreatif pula. Di samping tipe-tipe keputusan yang ditemukan dalam latar organisasi umum tersebut, telah pula diteliti oleh Hanson (1985) tentang tipe-tipe keputusan dalam latar sekolah. Kategori-kategori keputusan yang ditemukan dalam penelitian itu adalah: (1) keputusan alokasi, yaitu keputusan yang berkenaan dengan distribusi manusia dan sumber-sumber material di srkolah, (2) keputusan keamanan, yaitu keputusan yang berkenaan dengan pemeliha- raan keamanan fisik dan psikologi guru dan siswa, (3) keputusan terbatas, yaitu keputusan yang Bab IV: Pengambilan Keputusan | 69
berkenaan berkenaan dengan determinasi dari yang mengontrol penerimaan material, informasi, dan orang dari suatu domain ke domain yang lain di dalam sekolah atau antara sekolah dan masyarakat, (4) keputusan penilaian, yaitu keputusan yang berkenaan dengan berlalunya penilaian tentang mutu kinerja (guru atau siswa), dan (5) keputusan pembelajaran, yaitu keputusan yang berkenaan dengan determinasi dari isi dan proses belajar-mengajar di kelas. E.
Aliran dan Model Pengambilan Keputusan di Sekolah
Pengambilan keputusan sebagai suatu teori telah berkembang pesat. Perkembangan itu ditandai dengan munculnya beberapa aliran, pendekatan dan model-modek pengambilan keputusan. a. Aliran-aliran Pengambilan Keputusan di Sekolah Menurut Brinckloe (Salusu: 1996) aliran pengambilan keputusan dapat dikelompokkan ke dalam 6 (enam) aliran yaitu: (1) aliran birokratik, (2) aliran manajemen, (3) aliran hubungan kemanusiaan, (4) aliran rasional ekonomi, (5) aliran satisficing, dan (6) aliran analisis sistem. Keenam aliran tersebut dijelaskan secara aplikatif dalam latar persekolahan. Aliran birokratik memberi tekanan yang cukup besar pada arus jalannya pekerjaan dalam struktur organisasi. Tugas dari masyarakat adalah memberi informasi tentang kebutuhan siswa, melaporkan masalah siswa, dan 70 | St. Rodliyah
menyiapkan fakta-fakta dan keterangan-keterangan lain kepada kepala sekolah. Dengan menggunakan segala pengetahuan, keterampilan dan kemampuannya, kepala sekolah membuat keputusan setelah mempelajari semua informasi tersebut. Keputusan kepala sekolah tersebut akan banyak bergantung pada kemampuannya sendiri dan pada lengkap tidaknya informasi yang diterima, dan apakah informasi itu benar-benar dapat dipercaya. Keputusan itu selalu dianggap benar, sungguhpun mungkin memiliki kelemahan-kelemahan. Aliran manajemen sintifik ini menekankan pada pandangan bahwa tugas-tugas itu dapat dijabarkan ke dalam elemen-elemen logis, yang dapat digambarkan secara saintifik. Sementara, kepala sekolah sebagai manajer sendiri memiliki kemampuan untuk menganalisis dan menyelesaikan masalah. Aliran hubungan kemanusiaan ini menganggap bahwa organisasi dapat berbuat lebih baik jika lebih banyak perhatian diberikan kepada manusia dalam organisasi itu seperti menimbulkan kepuasan kerja, partisipasi dalam pengambilan keputusan memberlakukan organisasi sebagai suatu kelompok sosial yang mempunyai tujuan. Selain itu, kebutuhan dan keinginan masyarakat selalu dipertimbangkan dalam membuat keputusan. Aliran rasionalitas ekonomi ini mengakui bahwa organisasi adalah suatu unit ekonomi yang mengkonversi masukan menjadi keluaran, dan yang harus dilakukan dengan cara yang paling efisien. Menurut aliran ini, suatu Bab IV: Pengambilan Keputusan | 71
langkah kebijaksanaan akan terus berlangsung sepanjang itu mempunyai nilai yang lebih tinggi dari pada biayanya. Aliran satisfying ini tidak mengharapkan suatu keputusan yang sempurna. Aliran ini yakin para kepala sekolah yang selalu dipenuhi berbagai masalah mampu membuat keputusan yang cukup rasional. Para kepala sekolah sesungguhnya bermaksud membuat keputusan yang rasional, tetapi karena keterbatasan kognitif, ketidakpastian, dan keterbatasan waktu, memaksa mereka mengambil keputusan dalam kondisi rasionalitas. Terakhir, aliran analisis sistem ini percaya bahwa setiap masalah berada dalam suatu sistem yang terdiri atas berbagai subsistem yang keseluruhannya merupakan satu kesatuan. Menurut Cornel (Salusu: 1996) bahwa tujuan utama dari analisis sistem adalah mendidik para pengambil keputusan untuk berpikir dengan cara yang teratur dan menyeluruh. b. Model-Model Pengambilan Keputusan di Sekolah Dalam buku ”Administrasi Pendidikan” yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (1983) dikemukakan pendapat Kohler dkk. (1976) tentang model-model pengambilan keputusan. Menurut mereka ada 3 (tiga) model pengambilan keputusan, yaitu: (1) model tingkah laku, (2) model informasi, dan (3) model normatif. Model tingkah laku adalah model pengambilan keputusan berdasarkan pola tingkah laku orang yang tetlibat dalam organisasi. Dalam konteks ini, pengambilan 72 | St. Rodliyah
keputusan menyangkut tiga hal: (1) tujuan yang ingin dicapai organisasi, (2) harapan tentang konsekuensi keputusan, dan (3) pilihan alternatif. Model informasi adalah model pengambilan keputusan yang didasarkan pada asumsi-asumsi: (1) informasi adalah kondisi yang harus dipenuhi dalam proses pengambilan keputusan, (2) informasi dari dalam organisasi yang diberikan oleh seseorang yang mempunyai posisi tinggi dan dikenal, akan lebih dipercayai sebagai bahan pengambilan keputusan, (3) informasi yang diperoleh untuk pengambilan keputusan selalu diuji dengan informasi yang sudah ada. Informasi yang diperoleh cenderung tidak dipakai dalam proses pengambilan keputusan kalau bertentangan dengan informasi yang telah ada. Model normatif adalah model pengambilan keputusan yang dimulai dari mengidentifikasi apa yang dilakukan oleh kepala sekolah yang baik, dan kemudian memberi pedoman tentang bagaimana seorang kepala sekolah harus mengambil keputusan. Kepala sekolah sebagai pengambil keputusan harus mengikuti proses dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut. (1) apakah ada syarat kualitas, misalnya suatu keputusan harus lebih rasional dari yang lain ?, (2) apakah si pengambil keputusan mempunyai cukup informasi ?, (3) apakah masalahnya berstruktur ?, (4) apakah diterimanya keputusan oleh masyarakat merupakan hal sangat penting dalam pengambilan keputusan ?, (5) apakah keputusan Bab IV: Pengambilan Keputusan | 73
harus di buat sendiri oleh kepala sekolah dan apakah dia yakin bahwa keputusan itu akan diterima oleh guru-guru dan masyarakat ?, (6) apakah bawahan merasa memiliki tujuan yang akan dicapai dengan pemecahan masalah tersebut ?, (7) apakah pemecahan masalah akan menimbulkan konflik di antara guru atau masyarakat ?, dan (8) apakah masyarakat mempunyai cukup informasi untuk mengambil keputusan yang didelegasikan kepadanya ?. Selain model-model tersebut di atas, Sergiovani, Burlingame, Coombs, dan Thurston (Rossow: 1990) mengemukakan 6 (enam) model pengambilan keputusan yang dikaitkan dengan setuju/tidak setuju partisipan pengambil keputusan terhadap ”means” (cara) dan ”ends” (tujuan) proses pengambilan keputusan. Untuk memperoleh kejelasan akan hal itu dapat divisualisasikan dalam gambar 4.1 berikut. NO.
MODEL
SITUASI
1.
Kalkulatif (rasional)
2.
Kolegial
3.
Inkremental
4. 5.
Tawar-menawar politik Karisma
6.
Keranjang sampah
Setuju terhadap cara dan tujuan. Tidak setuju terhadap cara, setuju terhadap tujuan. Setuju terhadap cara, tidak setuju terhadap tujuan. Setuju terhadap cara, tidak setuju terhadap tujuan Tidak setuju terhadap cara dan tujuan. Tidak setuju terhadap cara dan tujuan.
74 | St. Rodliyah
Gambar 4.1 Model Keputusan dan Setuju/Tidak Setuju terhadap Cara/Tujuan proses pengambilan keputusan. Sumber : Rossow (1990). Menurut Griffiths dalam Rossow (1990) ada 6 (enam) langkah yang perlu diikuti dalam pengambilan keputusan. Pendapat Griffiths ini penting dikemukakan karena menurut Rossow (1990) merupakan ,model pengambilan keputusan yang paling sering dikutip jika membicarakan wacana pengambilan keputusan. Langkah-langklah pengambilan keputusan dimaksud adalah: (1) memahami, mendifinikan, dan membatasi masalah, (2) menganalisis dan mengevaluasi masalah, (3) menetapkan kriteria atau standart, (4) mengumpul data, (5) seleksi suatu cara pemecahan masalah, dan (6) meletakkan cara pemecahan ke dalam pelaksanaan. Model-model tersebut di atas pada dasarnya merupakan pilihan-pilihan yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan di sekolah. F.
Proses Pengambilan Keputusan di Sekolah
Pengambilan keputusan dapat didefinisikan sebagai pemilihan satu alternatif dari beberapa alternatif yang ada (Arstin, 1993). Dari pengertian pengambilan keputusan tersebut nampak bahwa pengambilan keputusan merupakan suatu proses pemilihan alternatif terbaik dari beberapa alternatif secara sistematis untuk digunakan sebagai suatu cara pemecahan masalah. Tujuan pengambilan keputusan dibedakan menjadi Bab IV: Pengambilan Keputusan | 75
dua yaitu pengambilan keputusan yang bersifat tunggal dan pengambilan keputusan yang bersifat ganda. Tujuan pengambilan keputusan yang bersifat tunggal terjadi apabila keputusan yang dihasilkan hanya menyangkut satu masalah yang tidak akan ada kaitannya dengan masalah lain. Sedangkan tujuan pengambilan keputusan yang bersifat ganda dimana satu keputusan yang diambil sekaligus memecahkan dua atau lebih masalah yang bersifat kontradiktif atau tidak kontradiktif. Dasar-dasar yang digunakan dalam pengambilan keputusan tergantung dari permasalahannya. George R. Terry dalam Hasan (2004) menyatakan bahwa dasar-dasar dari pengambilan keputusan keputusan terdiri dari: (a) intuisi, (b) pengalaman, (c) fakta, (d) wewenang, dan (e) rasional. Pengambilan keputusan yang didasarkan pada intuisi atau perasaan memiliki sifat yang subyektif, sehingga mudah terkena pengaruh. Pada pengambilan keputusan yang didasarkan pada pengalaman memiliki manfaat bagi pengetahuan praktif. Karena pengalaman seseorang dapat memperkirakan keadaan sesuatu, seseorang akan menduga masalahnya walaupun hanya dengan melihat sepintas untuk kemudian dapat menduga cara penyelesaiannya. Dua dasar pengambilan keputusan diatas memiliki kelebihan cepatnya penyelesaian maslah, tetapi kekurangannya adalah sulitnya diukur keabsahannya. Selanjutnya dibahas dasar pengambilan keputusan yang lain yang lebih bisa diukur keabsahannya. 76 | St. Rodliyah
Pengambilan keputusan berdasar fakta dapat memberikan keputusan yang sehat, solid dan baik. Dengan menggunakan fakta, maka tingkat kepercayaan terhadap pengambil keputusan dapat lebih tinggi dan penerima keputusan lebih rela. Dasar pengambilan keputusan berikutnya adalah berdasar wewenang. Pengambilan keputusan berdasar wewenang biasanya dilakukan oleh pimpinan terhadap bawahannya. Dasar pengambilan keputusan yang terakhir adalah rasional. Pengambilan keputusan yang berdasar rasional adalah keputusan yang dihasilkan bersifat obyektif, logis, lebih transfaran, konsisten untuk memaksimalkan hasil. Pengambilan keputusan rasional ini berlaku sepenuhnya dalam keadaan yang ideal melalui prosese tertentu. Proses pengambilan keputusan merupakan tahaptahap yang harus dilakukan atau digunakan untuk membuat keputusan. Tahap-tahap ini merupakan kerangka dasar, sehingga setiap tahap dapat dikembangkan lagi menjadi beberapa sub tahap yang lebih spesifik dan lebih operasional. Menurut Herbert A. Simon dalam Hasan (2004) proses pengambilan keputusan di bagi menjadi 3 fase, yaitu fase intelegensia, fase desain, dan fase pemilihan. Selanjutnya dibahas masing-masing fase tersebut. Fase yang pertama dari proses pengambilan keputusan adalah fase intelegensi. Pada fase ini dilakukan penelusuran informasi untuk keadaan yang memungkinkan dalam rangka pengambilan keputusan. Data dan informasi Bab IV: Pengambilan Keputusan | 77
yang diperoleh, diproses dan diuraikan untuk mencari bukti-bukti yang dapat diidentifikasi. Fase kedua adalah fase desain atau biasa disebut sebagai fase pencarian/penemuan dilakukan pengambangan serta analisis kemungkinan suatu tindakan. Pada fase ini dilakukan identifikasi masalah dan formulasi masalah. Identifikasi masalah merupakan langkah pencarian perbedaan antara situasi yang terjadi dengan situasi yang ingin dicapai. Sedangkan formulasi masalah adalah mempertajam permasalahan dengan cara menentukan batasan maslah, menguji perubahanperubahan yang dapat menyebabkan permasalahan dapat dipecahkan, dan merinci masalah pokok ke dalam sub-sub masalah. Setelah itu masuk ke fase terakhir yaitu fase pemilihan. Fase ketiga yaitu fase pemilihan merupakan proses pengambilan keputusan dengan cara dilakukan pemilihan alternatif atau tindakan yang dilakukan terhadap altrnatifalternatif tersebut. Alternatif yang dipilih kemudian diputuskan dan terakhir dilaksanakan. Untuk memahami pengambilan keputusan di sekolah adalah bermanfaat untuk memandang pengambilan keputusan sebagai bagian dari keseluruhan proses administrasi. Fungsi khusus administrasi adalah mengembangkan dan mengatur proses pengambilan keputusan dengan cara yang seefektif mungkin. Artinya cara yang menghasilkan tercapainya suatu maksud yang telah dinyatakan. Pengambilan keputusan semakin diakui 78 | St. Rodliyah
sebagai jantungnya organisasi dan proses administratif di sekolah. Menurut Camy (1947) “Pencapaian suatu keputusan ialah intinya administrasi. Semua proses administrasi bergantung pada pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan ialah suatu usaha yang rasional dari administrator (kepala sekolah) untuk mencapai tujuan-tujuan dari unit yang menjadi tanggung jawabnya. Prosesnya, yang mulai dan berakhir dengan pertimbangan, memerlukan kreativitas, keterampilan kuantitatif, dan wawasan. Urutan langkah-langkahnya adalah sebagai berikut. 1. Identitas masalah 2. Analsis situasi dan perumusan masalah. 3. Pengembangan dan analisis alternatif-alternatif. 4. Pengambilan keputusan: memilih alternatif yang paling baik. 5. Implementasi dan evaluasi keputusan. Proses pengambilan mulai dengan identifikasi masalah adalah merupakan suatu perbuatan atau hasil akhir yang memerlukan perbaikan. Penting untuk diperhatikan bahwa penentuan masalah adalah suatu pertimbangan yang harus dibuat oleh administrator (kepala sekolah). Fungsi dari penentuan masalah adalah menjelaskan dan menguraikan masalah yang dibahas tersebut. Efisiensi dalam langkah-langkah berikutnya, jelas tergantung pada ketelitian yang dipakai pada kegiatan pertama. Analisis situasi adalah suatu usaha yang sistematis Bab IV: Pengambilan Keputusan | 79
untuk menyaji- kan fakta, opini, ide tentang situasi sekolah yang ada bila itu diketahui, dan perkiraan-perkiraan tentang siatuasi itu bila fakta, opini, dan ide itu sukar untuk diperoleh. Ini harus meliputi suatu pernyataan faktual tentang nilai-nilai yang lazim terdapat bila itu menjadi bagian dari situasi dan relevan bagi pilihan kemudian. Ada banyak teknik yang bisa membantu administra- tor (kepala sekolah) dalam melakukan kegiatan ini. Termasuk di dalamnya ialah accounting, operation recearsh, survey opini, analisa sekolah , dan masih banyak lagi alat analitis lain yang serupa. Pengembangan alternatif-alternatif yang mungkin dapat memecah- kan masalah yang telah ditetapkan itu. Untuk ini dari administrator (kepala sekolah) diminta kesanggupan untuk mengetahui cukup banyak alternatif yang mungkin. Ia bisa menimba dari pengalaman nya pribadi dulu atau dari pengetahuannya tentang tentang apa yang telah dilakukan oleh orang lain dalam keadaan yang serupa. Karena kebanyakan masalah adalah rutin atau setidaknya pernah dihadapi sebelumnya, apa yang telah menghasilkan di masa lalu itu mungkin bisa dijadikan indikasi tentang apa yang akan dihasilkan di masa datang. Akan tetapi, suatu masalah menjadi sulit bila pemecahannya meminta jawaban yang menyimpang dari yang biasa atau yang telah dipelajari sebelumnya. Ini adalah masalah non rutin atau unik, maka masalahnya meminta alternatif yang kreatif. Akhirnya setelah alternatif-alternatif dievaluasi satu 80 | St. Rodliyah
demi satu dan semua konsekuensi yang mungkin dipertimbangkan, dipilihlah alternatif yang memberi harapan paling baik. Langkah yang akhir ini meminta keterampilan yang sama seperti langkah pertama, yaitu pertimbangan yang baik. Perbandingan alternatif-alternatif dan pilihan tindakan yang paling disukai meminta suatu pandangan filosofis dari administrator (kepala sekolah). Pandangan serupa itu mengakui bahwa pilihan alternatif yang paling baik adalah berisi nilai dan meminta pertimbangan. “Paling baik” adalah langka, yang ada hanyalah jawaban-jawaban yang nampak paling baik pada waktu itu bagi orang atau kelompok tertentu. Dalam praktek, sebenarnya tidak banyak keputusan yang dibuat oleh kepala sekolah dengan memakai uraian tindakan yang lengkap dan sempurna ini. Masalahnya mungkin demikian jelas sehingga membuat perumusan tidak perlu. Sering tak banyak usaha dibuat untuk menyajikan atau mempertimbangkan fakta-fakta. Prasangka sering menghasilkan penaksiran alternatifalternatif yang sangat dangkal, dan pertimbangan mungkin diringi oleh nilai-nilai yang tidak dirincikan atau oleh ketidak sanggupan untuk berpikir secara strategis atau oleh pengaruh politik. Situasi yang luar biasa bisa membuat suatu langkah atau lebih tidak perlu. Walaupun diakui bahwa keputusan yang diambil dalam organisasi sekolah dipengaruhi oleh faktor-faktor politik, ekonomi, sistem nilai, tingkat pendidikan, dan seterusnya, konsep proses pembuatan keputusan yang Bab IV: Pengambilan Keputusan | 81
“rasional” itu tetap dijadikan dasar dari putusan-putusan (Herbert: 1976). Putusan yang “paling baik”, seperti yang dihasilkan oleh suatu model putusan, mungkin tidak dipilih oleh para pembuat putusan melainkan putusan yang “dapat diterima”. Putusan ini secara matematis, statistis atau finansial mungkin tidak benar, tapi ia lebih dapat diterima secara emosional, etis, dan politis, dan juga dapat mudah difahami di semua tingkat organisasi sekolah. Langkah terakhir adalah implementasi dan evaluasi keputusan. Implementasi melibatkan penentuan siapa yang akan berbuat apa, bilamana, dimana, dan bagaimana melakukannya. Evaluasi efektivitas keputusan melibat tindakan memperkirakan, menaksir, dan mempertimbangkan hasil-hasil dalam kata-kata seberapa jauh suatu masalah atau isu telah dipecah- kan. Mengingat sebagian besar keputusan yang diambil oleh para administrator sekolah itu mempengaruhi orang-orang dan bukan benda-benda, maka efektivitasnya hanya bisa diperkirakan. Perkiraan ini meminta penilaian proses dan produk keduanya. Efektiviatas akhir dari suatu keputusan dinilai atas dasar apakah masalah organisasi itu telah terpecahkan dengan memuas kan bagi orang-orang yang terlibat atau tidak. Dengan demikian konsep proses memutuskan itu hendaknya diartikan tidak hanya melibat keputusan nya, tetapi juga tindakannya yang perlu untuk menghidupkan keputusan itu sehingga bekerja dengan sebenarnya mempengaruhi jalannya suatu usaha.
82 | St. Rodliyah
BAB V PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN DI SEKOLAH A.
Pentingnya Partisipasi Masyarakat
Konsep partisipasi merupakan suatu konsep yang luas, dan penting, karena salah satu indikator keberhasilan suatu pendidikan adalah adanya partisipasi masyarakat penerima program. Pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan juga diakui oleh Alutto dan Belasco (Salusu: 1996), karena dengan demikian ada jaminan bahwa partisipasi masyarakat mempunyai kontrol atas keputusan-keputusan yang diambil. Apa yang dikemukakan Salusu, Alutto dan Balesco tersebut pada dasarnya merupakan dasar pemikiran bagaimana pentingnya masyarakat dalam pengambilan keputusan di sekolah. Dengan diikutsertakannya masyarakat dalam pengambilan keputusan ia akan merasa memiliki dan bertanggungjawab terhadap keputusan yang diambil serta dapat mengontrol implementasi keputusan tersebut. Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan merupakan suatu proses dalam memilih alternatif yang diberikan oleh semua unsur masyarakat, lembaga-lembaga sosial dan lain-lain ( Siagian: 1972) . Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dalam proses rencana program pendidikan di sekolah , biasanya dilakukan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat, bertujuan untuk Bab VI: Partisipasi Masyarakat Dalam Pengambilan Keputusan | 83
memilih alternatif dalam perencanaan pelaksanaan pembelajaran. Keikutsertaan dan kesadaran masyarakat untuk memikul tanggung jawab pendidikan merupakan suatu tuntutan yang harus diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam pendidikan. Karena hal ini sesuai dengan Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan dalam PP No 20/2003 yaitu: a. Demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi manusia. b. Memberi keteladanan, membangun kemauan dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. c. Memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di sekolah meliputi perencanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan. Keikutsertaan masyarakat ini dapat diwujudkan dalam bentuk Komite Sekolah atau Dewan Pendidikan. Dewan Pendidikan adalah lembaga mandiri yang dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan pada tingkat Kabupaten/Kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis (UU No. 20 tahun 2003). Adapun Komite Sekolah 84 | St. Rodliyah
adalah lembaga mandiri yang dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan , arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan (UU No. 20 tahun 2003). Dengan kata lain, komite sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peranserta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan baik pada pendidikan prasekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah (Kepmen No. 044/U/2002). Adapun tujuan dari Komite Sekolah adalah untuk mewadahi dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan, meningkatkan tanggung jawab dan peranserta masyarakat dalam pengambilan keputusan di sekolah serta menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan. Dalam menjalankan tugasnya, Komite Sekolah berperan sebagai: a. Advisory agency atau pemberi pertimbangan dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan; b. Supporting agency atau pendukung, baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam Bab VI: Partisipasi Masyarakat Dalam Pengambilan Keputusan | 85
penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan; c. Controlling agency atau pengontrol dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan; d. Mediator atau perantara antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan. Pembicaraan tentang partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di sekolah memerlukan pembedaan antara putusan tentang pembentukan kebijaksanaan dengan putusan tentang pelaksanaan kebijaksana- an. Dalam organisasi yang demokratis setiap orang yang berkepentingan hendaknya diberi kesempatan untuk menyatakan pandangannya mengenai soal-soal kebijaksanaan, tapi pelaksanaan kebijaksannaan adalah tanggung jawab dari pejabat-pejabat ekskutif. Jadi, implementasi putusan-putusan kebijaksanaan adalah terutama tanggung jawab seorang kepala sekolah sebagai administrator. Dalam organisasi sekolah yang modern administrator (kepala sekolah) harus membuat banyak keputusan. Ia sering membuat putusan pelaksanaan dengan memperhatikan kebijaksanaan yang berlaku. Bila suatu putusan melibatkan pertimbangan kebijaksaan, sedapatdapatnya ia mengadakan konsultasi sebelumnya, setidaknya dengan sampel dari mereka yang akan terkena keputusan tersebut. Dalam masalah-masalah kebijaksaan pokok kepala sekolah akan mencari dukungan kelompok. Kepala sekolah 86 | St. Rodliyah
akan menilai proses kelompok sebagai alat penting dalam pembuatan kputusan tapi tidak sebagai tujuan. Tujuantujuan organisasi sekolah dan konsiderasi yang jujur tentang personil yang terlibat akan menjadi dasar bagi putusan-putusan yang dicapai. Alasan-alasan pokok bagi putusan-putusan akan difahami oleh semua orang yang berkepentingan. Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan sangat penting, karena masyarakat dituntut untuk menentukan arah dan strategi dalam penca- paian tujuan pendidikan yang disesuaikan dengan sikap dan budaya masyara- kat setempat. Partisipasi dalam pengambilan keputusan merupakan suatu proses dalam memilih alternatif yang diberikan oleh semua unsur masyarakat, lembaga-lembaga sosial dan lain-lain. ( Siagian: 1972). Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dalam proses rencana pendidikan , biasanya dilakukan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat, bertujuan untuk memilih alternatif dalam perencanaan pelaksanaan pendidikan. Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di sekolah antara lain melalui pembahasan masalah peningkatan mutu pendidikan (baik akademis maupun non akademis) dan rencana pengembangan sekolah. Apabila kondisi tersebut tercipta, para siswa secara langsung mengetahui bahwa mereka mendapat perhatian yang besar dari kedua belah pihak, baik pihak orang tua/masyarakat maupun pihak sekolah. Hal ini Bab VI: Partisipasi Masyarakat Dalam Pengambilan Keputusan | 87
tentunya merupakan kartu kendali bagi sekolah untuk bersikap, berperilaku dan bertindak di luar aturan sekolah yang ada. Kendali/control yang dilakukan bersama antara sekolah dan masyarakat secara terpadu akan memberikan ruang sempit bagi siswa, maupun warga sekolah lainnya yang akan bertindak atau berperilaku tidak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. B.
Konsep Pengambilan Keputusan Partisipatif
Salah satu dinamika penting dalam organisasi adalah pengambilan keputusan. Para ahli administrasi dan manajemen melihat pembuatan keputusan merupakan pusat dari kegiatan administrasi dan manajemen (Owen: 1987, Robert: 1980, Sergiovani & Carvier: 1980). Pembuatan keputusan tersebut dilakukan dalam rangka membantu kegiatan perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan pengawasan (Bufford & Bedeian: 1988, Rubin: 1980). Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan kepala sekolah dalam pengambilan keputusan adalah tingkat keterlibatan atau partisipasi guru dan bawahan dalam pengambilan keputusan yang dilakukan (Caldewell & Spink: 1993, Owens: 1987). Artinya, bila guru dan bawahan terlibat secara penuh dalam pengambilan keputusan, maka tujuan pengambilan keputusan akan dapat dicapai secara optimal, sebaliknya jika guru dan bawahan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan 88 | St. Rodliyah
maka tujuan pengambilan keputusan tersebut akan kurang dapat tercpai secara optimal dan bahkan mengalami kegagalan. Cara pengambilan keputusan dengan melibatkan guru atau bawahan itu kemudian dikenal dengan model pengambilan keputusan partisipatif. Partisipasi guru dan bawahan dalam pembuatan keputusan di sekolah tersebut dapat dimengerti sebagai partisipasi guru dan bawahan dalam pembuatan keputusan tentang isu-isu yang mempengaruhi aktivitas tuga pekerjaan mereka. Menurut Symlie dan brownlee-Conyers (1996) partisipasi guru dan bawahan dalam pembuatan keputusan adalah menjadi komponen utama dalam upaya restrukturitasi dan reformasi sekolah. Sementara itu, Yetton (1992) menunjukkan pula bahwa perilaku pemimpin yang semakin melibatkan para anggotanya dalam proses pengambilan keputusan akan lebih memotivasi nggota untuk melaksanakan keputusan tersebut. Dengan demikian, komitmen guru dan anggota terhadap organisasi akan meningkat pula. Sementara itu, Mantja (2002) mengatakan bahwa salah satu faktor yang memainkan peranan penting untuk menciptakan semangat kerja tinggi adalah perilaku kepemimpinan kepala sekolah. Pengambilan keputusan partisipatif (Participative Decision Making) tersebut juga sebagai “shared decision making” (Kohler: 1976, Owen: 1987). Dikatakan demikian, sebab model ini dilakukan dengan mengikut sertakan bawahan dalam proses pengambilan keputusan. Bab VI: Partisipasi Masyarakat Dalam Pengambilan Keputusan | 89
Sedangkan model pengambilan keputusan non partisipatif disebut juga model pengambilan keputusan otoriter atau model leader oriented (Kohler : 1976 dan Owen: 1987). Dikatakan demikin, sebab pengambilan keputusan dilakukan sendiri oleh pimpinan atau paling tidak pimpinan sangat dominan. Meskipun ada masukan dari bawahan, namun nilai masukan tersebut tidak lebih dari sekedar masukan bagi pimpinan, dan pimpinan kan tetap melakukan pengambilan keputusan secara sendiri. Kajian tentang pengambilan keputusan partisipatif telah berkembang pesat. Sekarang ini telah dikembangkan sebuah paradigma proses pengambilan keputusan yang di sebut “shared decision making” (Owen: 1991). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 5.1 berikut.
Gambar 5.1 Paradigma untuk Pengambilan Keputusan Partisipatif di Sekolah. Sumber : Owen (1991 : 284). Dari gambar 5.1 tersebut menunjukkan bahwa proses 90 | St. Rodliyah
pengambilan keputusan partisipatif adalah sebagai berikut. a. Dalam proses pengambilan keputusan administrator membutuhkan informasi untuk keputusan. b. Adminidtrator menerima informasi yang dibutuhkan untuk pengambilan keputusan. Informasi yang diperoleh tersebut bisa diabaikan dan bisa juga digunakan. Apabila informasi tersebut digunakan, maka langkah-langkah yang harus dilalui sebagai berikut. Pertama, baik administrator maupun staf guru sama-sama mendefinisikan masalah. Kedua, baik administrator maupun staf guru sama-sama mengidetifikasi alternatif. Ketiga, baik administrator maupun staf guru sama-sama mengidentifikasi konsekuensi. Keempat, baik administrator maupun staf guru sama-sama mencari nasehat. Kelima, baik administrator maupun staf guru sama-sama membuat keputusan. Di samping telah dikembangkan suatu paradigma pengambilan keputusan secara partisipatif, ada juga yang telah mengembangkan proses pengambilan keputusan secara partisipatif Maier (Sujak: 1990). Menurut Maier proses pengambilan keputusan partisipatif mencakup empat langkah, yaitu: (1) perumusan masalah mencakup: rumusan tujuan umum dan tujuan khusus, beri kesempatan kepada bawahan merumuskan suatu masalah sesuai minat mereka, manajer jangan memberi saran pemecahan, dan arahkan ketentuan-ketentuan/prosedurprosedur yang dapat bermanfaat untuk pengambilan keputusan, (2) pengumpulan ide dari bawah (tetapi Bab VI: Partisipasi Masyarakat Dalam Pengambilan Keputusan | 91
manajer jangan bersifat evaluatif) mencakup: tulis nama ide bawahan yang muncul dan arahkan agar semua bawahan saling memahami naksud ide-ide yang muncul, (3) penilaian alternatif mencakup: upaya agar semua anggota kelompok terlibat aktif, hubungan setiap alternatif dengan masalah, buatlah ramalan-ramalan dari efek-efek alternatif, dan ciptakan kondisi agar anggota berpikir kritis, (4) tetapkan rencana tindakan mencakup: pilih salah satu alternatif yang berbobot dan diterima semua pihak dan tetapkan penanggung jawab setiap kegiatan, prosedurprosedur pelaksanaan dan tahap-tahap pelaksanaannya. Dalam kaitannya dengan konsep pengambilan keputusan partisipatif di atas, kemudian Owens (1987) membuat generalisasi dari hasil penelitiannya tentang “Participative decision making” di sekolah sebagai berikut. a. Partisipasi yang efektif dari guru-guru dan bawahan dalam pengambilan keputusan dapat lebih mengefektifkan pencapaian tujuan sekolah. b. Guru-guru dan dan bawahan tidak ingin dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan c. Tugas yang penting bagi seorang administrator adalah menentukan kapan guru dan bawahan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan kapan tidak. d. Peranan guru dalam proses pengambilan keputusan dapat bermacam-macam tergantung pada karakteristik masalah. e. Saat guru dilibatkan dalam proses pengambilan 92 | St. Rodliyah
keputusan tergantung pada masalah yang dipecahkan. Apabila dalam pengambilan keputusan dilakukan secara partisipatif atau dengan melibatkan anggota (masyarakat), maka proses pelibatan bawahan tersebut menurut para ahli manajemen mencakup indikatorindikator yang digunakan untuk mengukur variabel keterlibatan guru dan anggota dalam pengambilan keputusan adalah meliputi 6 indikator yakni melibatkan guru dan bawahan termasuk masyarakat dalam (1) mendefinisikan masalah, (2) mengidentifikasi masalah, (3) mencari alternatif solusi masalah, (4) menilai alternatif yang ada, (5) mengambil keputusan, dan (6) mengimplementasikan keputusan (owens: 1980). Keenam indiktor yang sekaligus menunjukkan langkah-langkah pengambilan keputusan tersebut dapat dijelasakan sebagai berikut. 1) Mendefinisikan masalah. Hal ini perlu dilakukan dengan baik agar pengambil keputusan dapat menentukan alternatif pemecahan masalah dengan baik, pemimpin mendiskusikan bersama anggota organisasi untuk membatasi dan memperjelas permasalahan sehingga semua anggota organsiasi memiliki kejelasan masalah yang dihadapi. 2) Menentukan pedoman pemecahan masalah. Pada fase ini pembatasan dan syarat-syarat pemecahan masalah perlu ditetapkan, misalnya: tujuan, kriteria pemecahan, dan waktu yang dibutuhkan untuk Bab VI: Partisipasi Masyarakat Dalam Pengambilan Keputusan | 93
pengambilan keputusan. Hal ini perlu juga dilakukan bersama antara pemimpin dan bawahannya sehingga kedua belah pihak memiliki persepsi yang sama dan memiliki pedoman yang sama dalam penyelesaian masalah yang dihadapi bersama. 3) Mengidentifikasikan alternatif. Langkah ini merupakan usaha untuk mendefinisikan sebanyakbanyaknya alternatif pemecahan masalah yang mungkin dapat dilaksanakan. Meskipun demikian sipengambil keputusan tidak perlu mencari semua alternatif sampai tuntas. Pencarian alternatif harus dihentikan manakala pemimpin dan anggota organisasi secara bersama-sama telah menemukan dan menyepakati suatu alternatif yang memuaskan berdasarkan pedoman pemecahan masalah yang telah ditetapkan. Dalam mengidentifikasi alternatif ini semua pihak harus berpedoman pada norma yang telah disepakati. 4) Mengadakan penelitian terhadap alternatif yang didapatkan. Untuk dapat mengadakan penilaian, diperlukan tersedianya informasi. Setiap alternatif yang ditemukan dikaji kelebihan dan kekurangannya dan kemungkinan akibatnya kalau alternatif tersebut dilaksanakan. Dalam kaitannya dengan hal itu, Kohler dkk (1980), mengemukakan tipe-tipe alternatif sebagai berikut. a. Alternatif yang baik adalah alternatif yang dapat dilaksnakan dan bila dilaksanakan akan dapat 94 | St. Rodliyah
menghasilkan dampak positif, baik bagi organisasi, maupun bagi anggota organisasi. b. Alternatif yang gampang adalah alternatif yang tidak memiliki dampak positif maupun negatif. Alternatif ini biasanya dipilih untuk sekedar menunjukkan adanya aktifitas organisasi, akan tetapi tidak mau terlalu repot dalam pelaksanaannya. c. Alternatif campuran adalah alternatif yang mempunyai kemungkinan menghasilkan dampak positif dan negatif bila dilaksanakan. d. Alternatif yang jelek adalah alternatif yang menyebabkan dampak negatif bila dilaksnakan. e. Alternatif yang tidak pasti yaitu alternatif yang mempunyai akibat tidak menentu jika dilaksanakan. 5) Memilih alternatif yang terbaik. Dalam memilih alternatif perlu dipertimbangkan kriteria yang telah ditetapkan. Oleh karena itu pemimpin bersama anggota organisasi perlu memilih alternatif “yang baik”. Dan bukan yang gampang serta dapat diterima oleh semua pihak. Namun perlu pula diperhatikan, bahwa seringkali alternatif yang dapat diterima bukan alternatif yang baik, karena tekanan-tekanan dari luar organisasi. Dalam hal ini pengambilan keputusan harus dapat mengadakan penyesuaian sehingga kriteria yang “baik” tersebut tetap diikuti secara maksimal. Bab VI: Partisipasi Masyarakat Dalam Pengambilan Keputusan | 95
6) Implementasi alternatif yang dipilih. Implementasi alternatif adalah melksanakan keputusan yang ditetapkan. Pelaksanaan ini menyangkut pemberian kekuatan legal terhadap keputusan yang telah diambil seperti menerbitkan surat keputusan, mengusahakan agar keputusan dapat diterima orang yang terkena keputusan dengan memberikan informasi, melakukan persuasi dan memberikan pengarahan bagaimana melaksanakan hasil keputusan tersebut. C.
Prilaku Kepala Sekolah dan Pengambilan Keputusan Partisipatif
Dilihat dari fungsi kepala sekolah sebagai manajer atau pemimpin sekolah, maka salah satu fungsi yang harus dilakukan adalah sebagai pengambil keputusan. Dalam kaitannya dengan fungsi tersebut, kepala sekolah memiliki pandangan tertentu dalam memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Teori kepemimpinan pendidikan yang dapat dijadikan acuan dalam mengkaji pengambilan keputusan dan partisipasi masyarakat adalah teori kepemimpinan kontinum yang dikembangkan oleh Robert Tannembun dan Warren Schmidt (Thoha: 1983). Kedua ahli ini mengembangkan bahwa ada dua bidang pengaruh yang ekstrim. Pertama, bidang pengaruh pemimpin dimana pemimpin menunjukkan gaya yang demokratis. Kedua, 96 | St. Rodliyah
bidang pengaruh ini dipergunakan dalam hubungannya kalau pemimpin melakukan aktivitas pengambilan keputusan. Menurut kedua ahli tersebut ada tujuh model gaya pengambilan keputusan yang dilakukan pemimpin. Ketujuh model tersebut masih dalam kerangka dua gaya yakni otokratis dan demokratis. Ketujuh model keputusan pemimpin itu adalah: a. Pemimpin membuat keputusan dan kemudian mengumumkan kepada bawahannya. Model ini terlihat bahwa otoritas yang dipergunakan atasan telalu banyak, sedangkan daerah bawahan sempit sekali. b. Pemimpin menjual keputusan. Dalam hal ini pemimpin masih terlalu banyak menggunakan otoritas yang ada padanya, sehingga persis dengan model yang pertama. Bawahan disini masih belum banyak terlibat dalam pengambilan keputusan. c. Pemimpin memberikan pemikiran-pemikiran atau ideide, dan mengundang pertanyaan-pertanyaan. Dalam model ini pemimpin sudah menunjukkan kemajuan, dibatasinya penggunakan otoritasnya dan diberi kesempatan bawahan untuk mengajukan pertanyaanpertanyaan. Bawahan sedikit terlibat dalam rangka pengambilan keputusan. d. Pemimpin memberikan keputusan bersifat sementara yang kemungkinaan dapat dirubah. Bawahan sudah mulai banyak terlibat dalam rangka pengambilan keputusan. Sementara otoritas pemimpin sudah mulai Bab VI: Partisipasi Masyarakat Dalam Pengambilan Keputusan | 97
dikurangi penggunaannya. e. Pemimpin memberikan persoalan, meminta saran-saran dan mengambil keputusan. Model ini sudah jelas otoritas pemimpin dipergunakan sedikit mungkin, sebaiknya kebebasan bawahan dalam berpartisipasi mengambil keputusan sudah banyak dipergunakan. f. Pemimpin merumuskan batas-batasnya dan meminta kelompok bawahan untuk mengambil keputusan. Partisipasi bawahan dalam kesempatan ini lebih besar dibandingkan dalam kelima di atas. g. Pemimpin mengizinkan bawahan melakukan fungsifungsinya dalam batas-batas yang telah dirumuskan oleh pemimpin. Di samping teori kepemimpinan kontinum dari Tannenbaum dan Schmidt, ada pula teori kepemimpinan yang dapat dijadikan rujukan adalah teori kepemimpinan situasional dari Hesey & Blanchard (1982). Menurut kedua ahli ini ada empat gaya dasar kepemimpinan dalam proses pengambilan keputusan. a. Perilaku pemimpin yang tinggi pengarahan dan rendah dukungan dirujuk sebagai “instruksi” karena gaya ini bercirikan dengan komunikasi satu arah. Pemimpin memberikan batasan peranan pengikutnya dan memberi tahu kepada bawahan tentang, apa, bagaimana, bilamana, dan di mana melaksanakan berbagai tugas. Inisiatif pemecahan masalah dan pengambilan keputusan semata-mata dilakukan oleh pemimpin. Pemecahan masalah dan keputusan 98 | St. Rodliyah
diumumkan dan pelaksanaannya diawasi ketat oleh pemimpin. b. Perilaku pemimpin yang tinggi dukungannya dirujuk sebagai “konsultasi” karena dalam menggunakan gaya ini, pemimpin masih banyak memberikan pengarahan dan masih membuat hampir semua keputusan, tetapi hal tersebut diikuti meningkatnya komunikasi dua arah dan perilaku mendukung dengan berusaha mendengar pandangan bawahan tentang keputusan yang dibuat serta ide-ide dan saran-saran bawahan. Meskipun dukungan ditingkatkan, pengarahan atas pengambilan keputusan tetap pada pemimpin. c. Perilaku pemimpin yang tinggi dukungan dan rendah pengarahan dirujuk sebagai partisipasi karena posisi kontrol atas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dipegang secara bergantian. Dengan penggunaan gaya partisipasi ini, pemimpin dan bawahan saling tukar menukar ide dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Komunikasi dua arah ditingkatkan dan peranan pemimpin adalah secara aktif mendengar. Tanggung jawab pemecahan masalah dan pengambilan keputusan sebagian besar berada pada pihak bawahan. Hal ini sudah sewajarnya karena bawahan memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas. d. Perilaku pemimpin yang rendah dukungan dan rendah pengarahan dirujuk sebagai delegasi karena pemimpin mendiskusikan masalah bersama-sama dengan Bab VI: Partisipasi Masyarakat Dalam Pengambilan Keputusan | 99
bawahan sehingga tercapai kesepakatan mengenai definisi masalah yang kemudia proses pengambilan keputusan didelegasikan secara keseluruhan kepada bawahan. Sekarang bawahanlah yang memiliki kontrol untuk memutuskan tentang bagaimana cara pelaksanaan tugas. Pemimpin memberikan kesempatan yang luas bagi bawahan untuk melaksanakan pertunjukkan mereka sendiri karena memiliki kemampuan dan keyakinan untuk memikul tanggung jawab dalam pengarahan perilaku mereka sendiri. Berdasarkan uraian perilaku kepala sekolah dalam kaitannya dengan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, baik yang berkenaan dengan perilaku kepala sekolah sebagai pemimpin maupun perilaku kepala sekolah sebagai supervisor, tampak bahwa untuk mengikutsertakan masyarakat dalam pengambilan keputusan tergantung dari pandangan kepala sekolah itu sendiri. Artinya, konsep pengambilan keputusan partisipatif itu sendiri bukan hanya dipandang dari aspek masyarakat, akan tetapi dapat pula dipandang dari aspek kepala sekolah sebagai leader, sebagai administrator, dan sebagai supervisor. Meskipun peran serta bersama kepala sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan itu penting dalam rangka mendapatkan keputusan-keputusan yang bermutu, akan tetapi satu hal yang harus dipahami bahwa secara organisatoris pengambilan keputusan di sekolah pada akhirnya tetap berada ditangan kepala sekolah. 100 | St. Rodliyah
BAB VI PERENCANAAN PROGRAM SEKOLAH
A.
Pengertian Perencanaan
Perencanaan adalah proses penentuan tujuan atau sasaran yang hendak dicapai dalam menetapkan jalan dan sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu seefesien dan seefektif mungkin (Hamalik: 2002). Karena itu dalam setiap kegiatan perencanaan tak dapat dilepaskan dari perumusan tujuan, pemilihan program dan identifikasi, serta pengerahan sumber yang jumlahnya selalu terbatas. Handoko dalam Fattah (2006) menyatakan perencanaan sebagai suatu pemilihan atau penetapan tujuan-tujaun organisasi, penentuan strategi, penentuan kebijakan, proyek, program, metode, sistem, anggaran, dan standar yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan.Tjokroaminoto (1982) menyatakan perencanaan sebagai suatu proses untuk mempersiapkan kegiatankegiatan secara sistematis yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Selain itu perencanan juga merupakan perhitungan dan penentuan tentang sesuatu yang akan dijalankan dalam rangka mencapai tujuan tertentu, yang berkaitan dengan 5 W dan 1 H yaitu siapa (who) yang melakukan, apa (what) , mengapa (whay), kapan (when) , di mana (where) , dan bagaimana (how) Bab VI: Perencanaan Program Sekolah | 101
cara melaku- kannnya. Siagian (1993) mengartiakan perencanaan sebagai keseluruhan proses pemikiran dan penentuan secara matang menyangkut hal-hal yang akan dikerjakan di masa datang dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentu- kan sebelumnya. Dior (Usman: 2006) berpendapat bahwa yang disebut perencanaan adalah suatu proses penyiapan seperangkat keputusan untuk dilaksanakan pada waktu yang akan datang, yang diarahkan untuk mencapai sasaran tertentu. Dari beberapa pengertian di atas, dapat ditarik benang merah bahwa perencanaan adalah sejumlah kegiatan yang ditentukan sebelumnya untuk dilaksanakan pada suatu periode tertentu dalam rangka mencapai tujuan yang ditetapkan. Sedangkan perencanaan di sekolah adalah penyusunan langkah-langkah kegiatan yang akan dilaksanakan di sekolah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sekolah. B.
Macam-Macam Perencanaan di Sekolah
Robbin (1988) mengemukakan perencanaan itu dapat dikelompokkan berdasarkan luas jangkauannya dan kerangka waktu yang ada serta sifatnya. Apabila berdasarkan jangkauannya perencanaan meliputi perencanaan strategik dan operasional. Apabila menurut kerangka waktunya perencanaan itu meliputi perencanaan jangka pendek dan jangka panjang, dan apabila berdasarkan sifatnya terdapat perencanaan spesifik dan direksional. 102 | St. Rodliyah
Perencanaan di sekolah dapat dilihat dari beberapa segi yaitu: berdasarkan jangka waktu, luas jangkauannya, dan di lihat dari telaahnya. 1. Berdasarkan Jangka Waktu a. Perencanaan Jangka Panjang
Rencana jangka panjang adalah perencanaan program sekolah yang meliputi kurun waktu 10, 20 atau 25 tahun. Parameter atau ukuran keberhasilannya bersifat sangat umum, global dan tidak terperinci. Makin panjang jangka waktunya makin banyak variabel dan parameter yang sulit diukur pencapaiannya. Namun demikian perencanaan jangka panjang dapat memberi arah untuk perencanaan jangka menengah maupun jangka pendek. b. Perencanaan Jangka Menengah
Perencanaan jangka menengah adalah perencanaan program sekolah yang dilaksanakan dalam kurun waktu antara 4-7 tahun. Perencanaan jangka menengah merupakan penjabaran dari perencanaan jangka panjang dan perlu dijabarkan dalam perencanaan jangka pendek. c. Perencanaan Jangka Pendek
Merupakan perencanaan program sekolah yang dilaksanakan dalam kurun waktu 1 sampai 3 tahun, dan merupakan penjabaran dari rencana jangka menengah. Perencanaan jangka menengah bersifat rutin dan siklus yang dikerjakan secara berulang. 2. Berdasarkan Luas Jangkauannya
Berdasarkan
luas
jangkauannya
perencanaan
Bab VI: Perencanaan Program Sekolah | 103
dibedakan menjadi dua macam. a. Perencanaan Makro
Perencanaan makro adalah perencanaan yang bersifat menyeluruh (umum) dan bersifat nasional. Perencanaan pendidikan nasional berusaha menjawab pertantayaan-pertanyaan sebagai berikut: (1) apa tujuan pendidikan nasional ? (2) pendekatan apa yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional ? (3) jenis dan jenjang lembaga pendidikan apa yang dapat dikembangkan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional ? (4) bentuk organisasi apa yang dapat dibuat dan dikembangkan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional ? (5) program-program apa saja yang perlu dibuat untuk mencapai tujuan pendidikan nasional ? (6) sumber daya apa saja yang diperlukan untuk tercapainya tujuan pendidikan nasional ? dan (7) apakah kriteria atau parameter keberhasilan pendidikan nasional. b. Perencanaan Mikro
Perencanaan mikro merupakan perencanaan yang memiliki ruang lingkup terbatas, hanya untuk satu institusi. Perencanaan ini lebih rinci, konkrit dan operasional dengan memperhatikan karakteristik lembaga pendidikan, namun tidak boleh bertentangan dengan perencanaan pendidikan makro (nasional). 3. Perencanaan dilihat dari Telaahnya dibedakan
menjadi: a. Perencanaan strategis merupakan rencana yang 104 | St. Rodliyah
berkaitan dengan kegiatan menetapkan tujuan, pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan sekolah. Perencanaan ini biasanya diambil oleh pucuk pimpinan (kepala sekolah) yang kadang kurang didukung oleh data-data statistik tetapi lebih kepada pertimbangan perencana. b. Perencanaan manajerial merupakan perencanaan yang ditujukan untuk menggerakkan dan mengarahkan proses pelaksanaan program sekolah agar tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai secara efektif dan efisien. Dalam perencanaan ini sudah lebih terperinci dan didukung oleh data-data statistik, namun dalam beberapa hal lebih banyak menggunakan pertimbangan akal rasio. c. Perencanaan operasional merupakan rencana program apa yang akan dikerjakan dalam tingkat pelaksanaan di sekolah. Perencanaan ini bersifat konkret dan spesifik serta berfungsi memberikan petunjuk teknis mengenai aturan, prosedur serta ketentuan-ketentuan lain yang bersifat teknik dan tidak memerlukan lagi penafsiran-penafsiran karena didasarkan pada data kuantitatif yang dapat diukur (Harjanto: 2000). Dari berbagai macam perencanaan di atas, maka perencanaan program di sekolah lebih menitik beratkan pada perencanaan jangka pendek, perencanaan mikro dan perencanaan operasional. Dengan demikian sekolah harus memiliki perencanaan yang matang dan lengkap dalam Bab VI: Perencanaan Program Sekolah | 105
pendidikan dan kurikulum. Rencana tersebut meliputi rencana tahunan, rencana triwulan, rencana bulanan, bahkan sampai rencana mingguan. Dan semua rencana tersebut harus menjadi perhatian administrator dengan melibatkan seluruh staf sekolah dan masyarakat. Handayaningrat (1988) menyatakan bahwa “fungsi perencanaan meliptui serangkaian keputusan yang berupa menentukan tujuan, kebijakan, membuat program, menentukan metode yang akan dipakai dan prosedur serta menyusun jadwal pelaksanaan”. Sedangkan Gordon, Mandy, Syarplin dan Premeaux (1980) mengartikan perencanaan sebagai “Process of determining in advance what should be accomplished and how is should be realized”. Pernyataan ini menggambarkan bahwa perencanaan mengandung arti penentuan tujuan serta penentuan prosedur dan strategi pencapaian tujuan yanh ditetapkan. Koonzi dan O’Donnel (1972) mengatakan bahwa perencanaan adalah fungsi seorang manajer yang berhubungan dengan memilih tujuan kebijakan, prosedurprosedur, program-program dan alternatif-alternatif yang ada. Dari sudut pandang organisasi Hicks & Gullet (1981) perencanaan berkaitan dengan penentuan rumusan dan maksud-maksud organisasi. Prakiraan-prakiraan lingkungan dimana tujuan hendak dicapai, dan penetapan pendekatan dimana tujuan dan maksud organisasi hendak dicapai. Dengan demikian maka administrator memiliki kesempatan untuk berinisiatif menciptakan situasi yang 106 | St. Rodliyah
menguntungkan organisasi. Tanpa perencanaan seorang administratror hanya sekedar mereaksi maslah yang muncul dalam organisasi, yang mengakibatkan kurang memiliki sifat antisipatif. Sejalan dengan hal tersebut, berkenaan dengan bagaimana kemampuan mengelola serta merencanakan seluruh program sekolah maka perencanaan mengandung pokok-pokok sebagai berikut. a. Perencanaan selalu berorientasi masa depan, maksudnya perencanaan berusaha meprediksi bentuk dan sifat masa depan siswa yang diinginkan berdasarkan situasi dan kondisi masa lalu dan sekarang. b. Perencanaan merupakan suatu yang sengaja dilahirkan dan bukan kebetulan, sehingga hasil dari pemikiran yang matang dan cerdas bersumber dari hasil eksplorasi terhadap penyelenggaraan pendidikan keterampilan sebelumnya. c. Perencanaan memerlukan tindakan dari orang-orang yang terlibat dalam pengelolaan program pendidikan, baik secara individu maupun kelompok. d. Perencanaan harus bermakna, dalam arti bahwa usaha-usaha yang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan diselenggarakannya pendidikan semakin efektif dan efisien. Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. a. Keberhasilan pelaksanaan suatu kegiatan sangat Bab VI: Perencanaan Program Sekolah | 107
ditentukan oleh baik buruknya perencanaan. b. Perencanaan harus dapat memandang atau meramalkan kegiatan-kegiatan dimana yang akan datang secara obyektif. c. Perencanaan harus diarahkan kepada tercapainya suatu tujuan, sehingga bila terjadi kegagalan dalam pelaksanaan kemungkinan besar penyebabnya adalah kurang sempurnanya perencanaan. d. Perencanaan harus memikirkan anggaran, kebijakan, prosedur, metode, dan kriteria-kriteria untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. C.
Dimensi-dimensi Perencanaan di Sekolah
Dimensi perncanaan di sekolah merupakan cakupan dan sifat-sifat dari beberapa karakteristik yang ditemukan dalam perencanaan pendidikan. Dimensi-dimensi tersebut memungkinkan perencanaan di sekolah dibuat secara komprehensif berdasarkan daya nalar serta efektif dan efisien dalam pelaksanaannya. Menurut Sa’ud (2005) dimensi Perencanaan pendidikan di sekolah meliputi. a. Signifikansi; merupakan tingkat kekuatan atau pengaruh serta ketergan- tungan antara tujuan pendidikan yang diajukan dengan kriteria-kriteria yang dibangun selama proses perencanaan. b. Fleksibilitas; maksudnya bahwa dalam perencanaan pendidikan harus disusun dengan pertimbangan realitas baik yang berkaitan dengan sumber-sumber pembiayaan serta pertimbangan-pertimbangan 108 | St. Rodliyah
c.
d.
e.
f.
g.
lainnya yang bersifat realistik untuk dicapai. Relevansi; maksudnya konsep ini berkaitan dengan jaminan bahwa perencanaan pendidikan di sekolah memungkinkan penyelesaian masalah-masalah secara lebih spesifik dan mendetail serta tercapainya tujuan spesifik secara optimal sesuai waktu yang telah ditetapkan. Kepastian; konsep ini mengarahkan agar dalam perencanaan pendidikan perlu mempertimbangkan serta memilih hal-hal yang sifatnya pasti dan dapat dilaksanakan, untuk meminimumkan faktor-faktor yang dapat menyebabkan ketidakpastian. Ketelitian; prinsip utama dalam ketelitian yang perlu diperhatikan ialah agar perencanaan pendidikan disusun dalam bentuk yang sederhana, dan ada keterkaitan antara komponen perencanaan pendidikan di sekolah dengan mempertimbangkan pengambilan keputusan dari alternatif yang terbaik dan efektif serta efisien untuk dilaksanakan. Adaptabilitas; maksudnya perencanaan pendidikan di sekolah harus dirancang fleksibel atau adaptable. Karena dunia pendidikan bersifat dinamis, sehingga perlu senantiasa mencari informasi yang terbaru sebagai umpan balik. Waktu; faktor yang berkaitan dengan waktu harus diperhatikan, baik untuk predeksi jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Perencanaan pendidikan yang dibuat harus dapat Bab VI: Perencanaan Program Sekolah | 109
mempredeksi masa depan berdasarkan validitas dan reliabilitas analisis yang dipakai, serta kapan untuk menilai kebutuhan kependidikan masa kini dalam kaitannya dengan masa mendatang. h. Monitoring; merupakan proses mengembangkan kriteria untuk menjamin bahwa berbagai komponen perencanaan pendidikan berjalan dan dikembangkan secara efektif dengan berbagai variasi. i. Isi perencanaan; merujuk pada hal-hal yang akan direncanakan. D.
Proses atau Langkah-Langkah Menyusun Perencanaan di Sekolah
Menurut Silalahi (1996) proses atau langkah-langkah menyusun rencana dalam manajemen meliputi: menetapkan misi dan tujuan, mendiagnosis hambatan dan peluang, menilai kekuatan dan kelemahan, mengembangkan tindakan alternatif, dan mengembangkan rencana strategis, serta mengembangkan rencana operasional. Walaupun konsep tersebut diterapkan dalam bidang manajemen tetapi dapat diterapkan juga dalam konsep pendidikan. a. Menetapkan Misi dan Tujuan Dalam pendidikan misi dan tujuan sekolah mengacu kepada tujuan pendidikan nasional yang kemudian dikembangkan sesuai dengan misi dan tujuan sekolah masing-masing.
110 | St. Rodliyah
b. Diagnosis Hambatan dan Peluang Diagnosis terhadap hambatan dan peluang merupakan bagian dari analisis SWOT. Analisis SWOT merupakan singkatan dari “Strenghs” (kekuatan) “Weakness” (kelemahan) “Opportunites” (peluang) “Threats” (ancaman) terhadap lingkungan stuasi dan kondisi yang dihadapi suatu lembaga atau organisasi. Analsisis SWOT didasarkan pada suatu asumsi bahwa suatu program kegiatan yang efektif akan memberikan kemampuan untuk memaksimalkan peluang dan kekuatan yang dimiliki lembaga serta meminumkan kelemahan dan ancaman terhadap lembaga. Analisis SWOT bila diterapkan secara akurat akan membawa keberhasilan suatu program kegiatan yang direncanakan. Peluang adalah situasi penting yang menguntungkan dalam lembaga sekolah. Situasi-situasi penting yang dapat memberikan peluang kepada suatu lembaga pendidikan antara lain status kelembagaan negeri atau swasta, kondisi makro dan mikro ekonomi, kebijakan pemerintah tentang peningkatan kualitas sumber daya manusia serta standar lulusan guru dan pegawai, perkembangan iptek serta kesadaran masyarakat akan pentingnya lembaga pendidikan sekolah. Ancaman merupakan situasi-situasi penting yang tidak menguntung- kan bagi lembaga dan merupakan gangguan terhadap eksistensi lembaga di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Ancaman terhadap lembaga sekolah bisa datang dari pesaing baru, kebijakan Bab VI: Perencanaan Program Sekolah | 111
pemerintah, kondisi makro dan mikro ekonomi yang sulit dan kesadaran yang rendah dari masyarakat tentang pentingnya pendidikan sekolah. Meskipun demikian ancaman bila dianalisis dengan baik akan membuat semakin tangguh, kreatif dan inovatif pemimpin, guru dan tenaga kependidikan yang ada di lembaga sekolah. c. Menilai Kekuatan dan Kelemahan Kekuatan bertumpu pada sumber daya yang dimiliki baik sumber daya personal, sumber daya material maupun sumber daya keuangan. Kekuatan lembaga pendidikan sekolah tercermin dari pemimpin, guru maupun tenaga kependidikan yang berkualitas serta didukung oleh input siswa yang baik dan didukung pula oleh sumber daya keuangan yang memadai. Kelemahan adalah kekurangan atau keterbatasanketerbatasan yang dimiliki lembaga yang berkaitan dengan sumber daya manusia dengan kualitas dan kapabilitasnya, sumber daya material yang terbatas baik kualitas maupun kuantitasnya, sumber daya keuangan yang terbatas, serta kecintaan dan loyalitas yang kurang baik dari guru, pegawai, maupun siswa terhadap keberadaan lembaga pendidikan sekolah. d. Mengembangkan Tindakan Alternatif Setelah analisis SWOT maka, kepala sekolah dan guru dalam membuat perencanaan di sekolah harus dapat memilih alternatif tindakan dan langkah-langkah yang terbaik yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. 112 | St. Rodliyah
Dalam perencanaan terdapat proses (langkahlangkah) pengambilan keputusan atas sejumlah alternatif (pilihan) mengenai sasaran dan cara-cara yang akan dilaksanakan di masa mendatang untuk mencapai tujuan pendidikan yang dikehendaki. Hal ini di ikuti dengan pemantauan dan penilaian atas hasilnya, dan dilakukan secara sistematis. Proses perencanaan menurut Usman (2006) merupakan hubungan tiga kegiatan yang berurutan, yaitu menilai situasi dan kondisi saat ini, merumuskan dan menetapkan situasi dan kondisi yang diinginkan atau harapan yang ingin dicapai (di masa yang akan datang), dan menentukan apa saja yang perlu dilakukan untuk mencapai keadaan yang diinginkan. Karena itu dapat disimpulkan bahwa yang disebut perencanaan adalah sebuah rencana kegiatan yang akan dilakukan di masa yang akan datang untuk mencapai tujuan. Hal ini menyimpulkan bahwa perencanaan mengandung unsur-unsur sejumlah rencana kegiatan yang ditetapkan sebelumnya; adanya proses; hasil yang ingin dicapai; dan menyangkut masa depan dalam waktu tertentu. Dalam perencanaan pendidikan di sekolah terdapat pula proses pelaksanaan, pengawasan, pemantauan, penilaian dan pelaporan. Pengawasan diperlukan dalam perencanaan agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan kegiatan. Pengawasan dalam perencanaan dapat dilakukan secara preventif dan represif. Pengawasan preventif merupakan pengawasan yang melekat dengan perencanaannya, sedangkan pengawasan Bab VI: Perencanaan Program Sekolah | 113
represif merupakan pengawasan fungsional atas pelaksanaan rencana, baik yang dilakukan secara internal maupun secara eksternal oleh aparat maupun oleh pengawasan yang ditugasi. Dalam proses perencanaan pendidikan di sekolah terdapat tujuan-tujuan umum sebagaimana dinyatakan Usman (2006), yakni sebagai berikut. 1. Standar pengawasan, yaitu mencocokan pelaksanaan dengan perencanaaannya. 2. Mengetahui kapan pelaksanaan dan selesainya suatu kegiatan pendidikan. 3. Mengetahui siapa saja yang terlibat (struktur organisasi pendidikan tersebut), baik kualifikasinya maupun kuantitasnya. 4. Mendapatkan kegiatan pendidikan yang sistematis termasuk biaya dan kualitas pendidikan. 5. Meminimalkan kegiatan-kegiatan yang tidak produktif dan menghemat biaya, tenaga, dan waktu. 6. Memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai kegiatan pendidikan yang akan dilaksanakan. 7. Menyerasikan dan memadukan beberapa sub kegiatan pendidikan yang akan dilaksanakan. 8. Mendeteksi hambatan kesulitan yang bakal ditemui dalam pelaksanaan pendidikan. 9. Mengarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan. Dengan sasaran dan tujuan pendidikan yang telah disebutkan diatas, maka proses perencanaan diharapkan dapat bermanfaat sebagai standar pelaksanaan pendidikan 114 | St. Rodliyah
dan pengawasan, pemilihan terhadap berbagai alternatif rencana program yang terbaik, penyusunan skala prioritas, baik sasaran maupun kegiatan pendidikan, menghemat pemanfaatan sumber daya manusia maupun sumber daya organisasi, membantu kepala sekolah untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan dimana mereka menjalankan tugasnya, alat memudahkan dalam berkoordinasi dengan pihak terkait, dan alat meminimalkan pekerjaan yang tidak pasti.
Bab VI: Perencanaan Program Sekolah | 115
116 | St. Rodliyah
BAB VII URGENSI PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN DAN PERENCANAAN DI SEKOLAH Urgensi partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan program di sekolah dibuktikan melalui temuan hasil penelitian yang telah dilakukan di tiga lembaga sekolah menengah tingkat atas yaitu MAN Jember 1, SMAN 1 Jember, dan SMKN 1 Sukorambi Jember sebagai berikut. A.
Temuan Penelitian Pada Kasus I (MAN Jember 1)
Temuan penelitian pada kasus I (MAN Jember 1) disajikan berdasarkan urut fokus penelitian yaitu : (1) Wujud partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan program di sekolah yang meliputi: (a) sumbangan tenaga/fisik, (b) sumbangan ide/pemikiran, (c) sumbangan dana, dan (d) sumbangan moral, (2) tingkat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan program di sekolah yang meliputi: (a) partisipasi aktif, dan (b) partisipasi pasif, (3) faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan program di sekolah yang meliputi; (a) tingkat pendidikan dan (b) tingkat pekerjan, dan (4) proses pengambilan keputusan dan perencanaan program sekolah yang melibatkan masyarakat. Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 117
1. Wujud Partisipasi Masyarakat dalam Pengambilan
Keputusan dan Perencanaan Program di Sekolah yang Meliputi: (a) Sumbangan Tenaga/Fisik, (b) Sumbangan Ide/ Pemikiran, (c) Sumbangan Dana, dan (d) Sumbangan Moral a. Sumbangan Tenaga / Fisik 1) Guru Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Arab telah meluangkan waktu, tenaga, dan fisiknya untuk mengajar dan membina siswa demi untuk terlaksananya tri lingual di sekolah. 2) Tenaga guru atau instruktur dari lembaga program tovel Inggris Course, juga buku-buku referensi berbahasa Inggris bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Jember (UNEJ). 3) Selain itu juga merekrut dosen-dosen bahasa Inggris dari luar negeri untuk mengajar di MAN 1. 4) Bekerjasama dengan lembaga bimbingan bahasa Head Englis Course (HEC) yang ada di Kabupaten Kediri. Yang kesemuanya itu sifatnya intensif 1 bulan penuh dan dilaksanakan secara berkala. 5) Adanya keterlibatan dari masyarakat (bapak RT, dan RW.) yang terjun langsung untuk ketertiban dan keamanan siswa yang kos di sekitar lingkungan MAN Jember 1. 6) Keterlibatan para petani yang turut ikut serta dalam membimbing siswa yang mengambil ekstrakurikuler berupa pertanian. 118 | St. Rodliyah
7) Sumbangan tanah dari pemerintah daerah seluas 6000 M2 yang sekarang dipergunakan untuk ekstrakurikuler praktek pertanian. b. Sumbangan Ide / Pemikiran 1) Usulan, masukan, dan saran dari wali murid agar sekolah memperbaiki dan mengusahakan sarana prasarana yang belum memadai kapasitasnya, atau bahkan belum ada sama sekali misalnya (1) kamar kecil yang belum memenuhi standart dan belum memenuhi proporsional dengan jumlah siswa, (2) tempat parkir yang sudah tidak muat atau mencukupi lagi dengan jumlah kendaraan yang ada, dan (3) tempat ibadah misalnya masjid yang representatif. 2) Kegiatan ekstrakurikuler mengenai pendalaman ibadah melalui kajian dan pemahaman Al-Quran. 3) Dalam upaya peningkatan kompetensi guru agar diadakan seminar, workshop, lokakarya yang berkaitan dengan strategi pembelajaran dan pengembangan kurikulum. 4) Dana pengembangan sekolah dijadikan satu dengan SPP di bayar dalam satu semester (enam bulan) sekali. c. Sumbangan Dana 1) Bantuan dana dari pemerintah pusat (Kementrian Agama) yang nominalnya mulai dari 200 juta sampai 500 juta untuk pengembangan infra struktur yang berupa bangunan aula, ruang kelas, Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 119
perkantoran dan lain-lain. 2) Dana dari wali murid yang nominalnya beragam sesuai dengan tahun masuknya sekolah, untuk tahun ajaran 2011/2012 sebesar Rp. 180.000,perbulan wajib dibayar satu semester di awal. 3) Dana khusus untuk kelas 3 dalam rangka tambahan jam pelajaran (les) mata pelajaran yang di ujikan nasional. 4) Biaya untuk siswa yang brestasi dalam rangka ikut lomba olimpiade tingkat nasional dan internasional. d. Sumbangan Moral 1) Masyarakat ikut bertanggung jawab terhadap keamanan sekolah dan keamanan siswa yang kos dilingkungan sekitar sekolah. Baik keamanan fisik maupun kemanan moral anak dari pengaruh budaya yang negatif. 2) Keterlibatan masyarakat dalam peringatan hari besar nasional (PHBN) dan peringatan hari besar agama (PHBI). Contohnya sebagian dari wali murid yang berprofesi sebagai Kyai atau ustadz telah mengisi siraman rokhani dan penyampaian pesan moral terhadap siswa juga kepada seluruh sivitas akademika di MAN Jember 1 dalam rangka PHBN dan PHBI. 3) Keterlibatan lembaga kepolisian dalam rangka sosialisasi berlalu lintas yang baik dan benar melalui upacara dengan pembina upacara dari 120 | St. Rodliyah
kepolisian, agar perjalanan siswa sekolah baik pergi maupun pulang selamat. 2. Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pengambilan
Keputusan dan perencanaan di sekolah meliputi; (1) partisipasi aktif, dan (2) partisipasi pasif. a. Partisipasi Aktif 1. Peran Komite Sekolah dalam hal (1) ikut menyusun visi misi madrasah, (2) ikut menyusun program sekolah berdasarkan visi dan misi madrasah, (3) memikirkan pendanaan madrasah untuk kelancaran program pendidikan, (4) memikirkan peningkatan mutu madrasah. 2. Peran wali murid dalam ikut serta mensukseskan program sekolah, kemajuan sekolah, dan peningkatan mutu sekolah ditunjukkan melalui kehadiran mereka dalam rapat formal yang diselenggarakan sekolah dalam satu tahun 4 kali yaitu (1) rapat persiapan penerimaan siswa baru, dengan tujuan ada kesepakatan antara Komite sekolah dengan sekolah untuk berapa jumlah siswa yang diterima, cara rekrutmennya, persyaratan pendaftaran, dan persyaratan diterima, dan lain-lain, (2) rapat rutin penerimaan rapot kenaikan kelas, (3) rapat khusus di awal tahun dengan agenda yang berbeda khusus untuk kelas 10 pengenalan profil madrasah, kelas 11 penguatan informasi pengembangan madrasah dan prestasi belajar siswa, dan kelas 12 informasi Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 121
persiapan mengahadapi ujian nasional (UN), dan (4) rapat penyerahan kembali siswa (kelulusan). 3. Peran serta Komite Sekolah dan wali murid dalam rapat penyusunan RKS dan RAPBS, kemudian menyetujui rencana program tersebut. 4. Peran serta masyarakat dalam menjaga keamanan sekolah dan keamanan siswa yang kos di sekitar lingkungan sekolah. 5. Peran serta masyarakat khususnya para petani dalam membantu siswa praktek di sawah. b. Partisipasi Pasif 1. Peran Komite Sekolah dalam memediatori antara sekolah dengan wali murid tujuannya adalah fungsi sosial dan diniatkan untuk ibadah. Dan selalu berdo’a khusus untuk MAN Jember 1 agar menjadi sekolah agama yang maju, berkembang dan diminati masyarakat, sehingga bisa menjadi sarana untuk dakwah Islamiah. 2. Peran Komite Sekolah dalam mengusahakan kesejahteraan guru. 3. Peran wali murid dalam ikut serta bertanggung jawab terhadap peningkatan prestasi belajar anaknya melalui mendampingi ketika belajar dan bila perlu diikutkan les di lembaga bimbingan belajar seperti primagama, teknos, dan lain-lain. 4. Peran wali murid yang selalu berkomunikasi dengan guru wali kelas untuk menanyakan bagaimana prestasi belajar anaknya. 122 | St. Rodliyah
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Masyarakat dalam
pengambilan Keputusan dan Perencanaan di Sekolah yang meliputi; tingkat pendidikan dan (2) tingkat pekerjaan. a. Tingkat Pendidikan 1. Adanya kepala sekolah yang selalu gencar mensosialisasikan kepada wali murid bahwa (a) pendidikan itu adalah tanggung jawab bersama antara sekolah, pemerintah dan masyarakat, (b) Karena sekolah itu juga milik masyarakat, maka baik-buruknya dan maju tidaknya sekolah itu juga menjadi tanggung jawab masyarakat. 2. Tingkat pendidikan Komite Sekolah mempengaruhi kepercayaan masyarakat khususnya wali murid kepada rencana program yang disosialisasikan oleh Komite Sekolah. Karena masyarakat menganggap jika Komite Sekolah berpendidikan tinggi seperti doktor pasti atau insya alloh beliau mampu menjalankan amanah tersebut. 3. Tingkat pendidikan wali murid memudahkan sekolah untuk mengambil sebuah keutusan karena bagi wali murid yang berpendidikan tinggi akan mudah memahami rencana program yang ditawarkan oleh sekolah dan dengan logika yang rasional mereka cepat menyetujui rencana program tersebut.
Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 123
b. Jenis Pekerjaan 1. Jenis pekerjaan Komite Sekolah sangat mendukung terhadap proses pengambilan keputusan dan perencanaan program yang ditawarkan sekolah, karena beliau sangat memahami betul kebutuhan sekolah dalam rangka peningkatan mutu, pengembangan dan kemajuan sekolah. 2. Jenis pekerjaan wali murid atau orang tua juga sangat mendukung proses pengambilan keputusan dan perencanaan program sekolah, karena beliau sudah memahami maka cepat menyetujui dan sekaligus bersedia menanggung konsekuensi pendanaannya, karena biasanya pekerjaan wali murid ada kaitannya dengan tingkat kemampuan ekonominya. 4. Proses Pengambilan Keputusan dan Perencanaan yang
Melibatkan Partisipasi Masyarakat. 1. Proses pengambilan keputusan dan perencanaan di MAN Jember 1 diambil ada kalanya tidak melibatkan masyarakat seperti masalah intern yang berkaitan guru dan siswa. 2. Ada kalanya yang melibatkan semua stake holder yaitu : (1) Kebijakan madrasah yang bersifat umum Komite Sekolah dan masyarakat terlibat. Contoh ; program MTDK itu pengambilan keputusannya dimusyawarahkan secara reguler lewat rapat resmi, (2) dibicarakan dengan Komite Sekolah ini berkaitan 124 | St. Rodliyah
dengan RPM dan RAPBM baru kalau sudah kesepakatan antara pihak sekolah dengan Komite Sekolah, maka (3) di sosialisasikan kepada masyarakat melalui rapat pertengahan tahun dengan seluruh wali murid, dan (4) di ambil keputusan dan kemudian ditetapkan sebagai sebuah kebijakan yang wajib diikuti oleh semua warga sekolah dan masyarakat (wali murid), (5) tembusan ke Kakamenag. Tentang hasil keputusan yang dikeluarkan sebagai kebijakan. Hasil temuan penelitian individu tentang partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan di MAN Jember 1, disajikan dalam gambar 7.1 berikut ini:
Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 125
Partisipasi Masyarakatyarakat Pengambilan Keputusan dan Perencanaan Program Wujud Partisipasi Masyarakat 1. Sumbangan Tenaga/Fisik : menjaga keamanan siswa dan lingkungan sekolah, petani membimbing praktek pertanian siswa, tanah 6000 m2. 2. Sumbangan Ide/Pemikiran : masukan, saran, dan kritik. 3. Sumbangan Dana : SPP+ pengembangan pendidikan dan 4. Sumbangan Moral; nasehat, siraman rohani, pembinaan berlalu lintas, pembinaan moral.
Tingkat Partisipasi Masyarakat 1. Partisipasi Aktif : menghadiri rapat dlm menyusun visi - misi, tujuan, program, pendanaan, peningkatan mutu pdd. 2. Partisipasi pasif ; keamanan sekolah, men dampingi belajar anak, mengikut kan les, meme- nuhi sarana belajar anak.
Mutu Sekolah
126 | St. Rodliyah
Faktor2 yg Mempengaruhi Partisipasi masyarakat 1. Tingkat Pendi dikan; orang tua yang ber pendi- dikan (S.1, S.2, dan S.3) mempu nyai rasa tgg jawab yang tinggi terhadap prestasi belajar anak, kepercayaan terhadapsekolah. 2. Tingkat Pekerjaan: kekuasaan dan kewenangan bisa membantu dan mensupport kebijakan dan pendanaan, berpengaruh terhadap mutu pendidikan.
Proses Pengambilan Keputusan 1. Intern di
putuskan di lembaga 2. Ekstern di sosialisasi kan kepada Komite Sekolah dilanjutkan ke masy. 3. Mendapat persetujuan dan pendanaan dari masyarakat. 4. Pengambilan keputusan dan dikeluar kan sebagai kebijakan. 5. Tembusan ke kakame nag.
Tujuan Pendidikan
Gambar 7.1 Diagram Konteks Partisipasi Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan dan Perencanaan : Analisis Kasus Individu pada MAN Jember 1. B.
Temuan Penelitian Pada Kasus II (SMAN 1 Jember)
Temuan penelitian pada kasus II ( SMAN 1 Jember ) disajikan berdasarkan urut fokus penelitian yaitu : (1) Wujud partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan program di sekolah yang meliputi : (a) sumbangan tenaga/fisik, (b) sumbangan ide/pemikiran, (c) sumbangan dana, dan (d) sumbangan moral, (2) tingkat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan program di sekolah yang meliputi ; (a) partisipasi aktif, dan (b) partisipasi pasif, (3) faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan program di sekolah yang meliputi; (a) tingkat pendidikan dan (b) tingkat pekerjan, dan (4) proses pengambilan keputusan dan perencanaan program sekolah yang melibatkan masyarakat. 1. Wujud Partisipasi Masyarakat dalam Pengambilan
Keputusan dan Perencanaan Program di Sekolah yang Meliputi : (a) Sumbangan Tenaga/Fisik, (b) Sumbangan Ide/Pemikiran, (c) Sumbangan Dana, dan (d) Sumbangan Moral. a. Sumbangan Tenaga Fisik 1. Orang tua siswa yang berpropesi sebagai tukang Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 127
bangunan telah menyumbangkan tenaganya untuk membantu terselesainya bangunanbangunan gedung yang ada di SMAN 1 Jember. Walaupun mereka telah kontrak kerja dengan pemborong gedung tersebut dan tentunya mendapatkan gaji yang standar. 2. Orang tua yang berprofesi sebagai dokter telah menymbangkan beberapa komputer dan printer kepada sekolah dan membiayai pendidikan anak asuk di SMN 1 Jember. 3. Orang tua dari kalangan pengusaha telah menyumbangkan sonsistem kepada sekolah yang biasanya di pergunakan untuk kegiatan upacara, rapat dan lain-lain. 4. Komite Sekolah telah merelakan tenaganya untuk ikut serta mengawasi dan mengontrol jalannya pembangunan gedung di sekolah agar kualitasnya bagus. b. Sumbangan Ide/Pemikiran 1. Orang tua siswa memberikan masukan, usulan, saran, dan bahkan kritik agar sekolah selalu memepertimbangkan kemampuan orang tua dalam pembiayaan sekolah anaknya. 2. Orang tua yang berprofesi sebagai ustadz telah memberikan nasehat melalui kegiatan peringatan hari besar Islam (PHBI). Ketika mengisi ceramah beliau selalu menyampaikan pesan agar semua siswa selalu amar ma,ruf nahi munkan yaitu 128 | St. Rodliyah
dengan cara menjaga perilaku dan perbuatan dari pengaruh lingkungan yang negatif, untuk itu seluruh siswa harus memahami benar-benar ajaran agama Islam dan berusaha untuk mengamalkannya. 3. Orang tua yang berprofesi sebagai dokter telah memberikan sosialisasi kesehatan melalui kegiatan pendidikan seks dan bahaya sex bebas. 4. Masyarakat dari lembaga kepolisian telah menyumbangkan ide/pemikiran untuk ikut serta bertanggungjawab terhadap keselamatan anak ketika berkendaraan dengan sosialisasi berlalu lintas yang benar disampaikan dalam upacara bendera dengan pembina upacaranya dari kepolisian. 2. Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pengambilan
Keputusan dan Perencanaan di Sekolah meliputi ; (1) Partisipasi Aktif dan (2) Partisipasi Pasif. a. Partisipasi Aktif 1. Wali murid datang ketika di undang rapat dalam rangka (1) orientasi siswa baru, (2) dalam rangka menentukan rencana program kerja sekolah (RKS) dan rencana anggaran program belanja sekolah (RAPBS), (3) penerimaan raport, (4) rapat wali murid kelas 3 yang agendanya membicarakan persiapan menghadapi ujian nasional (UN), (5) undangan bagi wali murid yang anaknya bermasalah baik masalah pribadi maupun masalah Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 129
yang berkaitan dengan prestasi belajar siswa, (6) acara sekolah khususnya peringatan hari besar agama (PHBI) , dan (7) undangan rapat penyerahan kembali kelulusan siswa. 2. Memberikan masukan/saran dan bahkan kritikan bila ada agenda rapat yang sekiranya memberatkan siswa dan wali murid. 3. Bersedia memenuhi pendanaan program sekolah asalkan bermanfaat dan meningkatkan prestasi belajar siswa. b. Partisipasi Pasif 1. Orang tua mendampingi belajar anaknya, mengontrol belajarnya, dan bahkan mengajari mengerjakan pekerjaan rumah (PR). 2. Merasa ikut bertanggung jawab terhadap keberhasilan belajar anaknya. 3. Rajin berkomukasi dengan guru wali kelas, untuk bertanya tentang belajar anaknya dan prestasi belajarnya. 4. Berusaha meningkatkan presatasi belajar anak dengan mengikutkan les mata pelajaran yang di anggap kurang. 3. Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat dalam Pengambilan keputusan dan Perencanaan di SMAN 1 Jember, Meliputi: (a) Tingkat Pendidikan, dan (b) Tingkat Pekerjaan. a. Tingkat Pendidikan
130 | St. Rodliyah
1. Pendidikan wali murid berpengaruh terhadap
proses pengambilan keputusan dan perencanaan di sekolah. Terbukti wali murid yang pendidikannya Sarjana (S.1) , Magister (S.2), dan (S.3) Doktor, dan bahkan Profesor kebanyakan mereka mudah faham dengan rencana program yang ditawarkan sekolah. 2. Semakin tinggi pendidikan wali murid kebanyakan mereka semakin mapan ekonominya. Untuk itu mereka dengan mudah untuk menyetujui rencana program dan bersedia menanggung pendanaannya. b. Jenis Pekerjaan 1. Jenis pekerjaan wali murid kebanyakan ada kaitannya dengan tingkat pendidikan. Semakin baik pekerjaan wali murid kebanyakan adalah mereka yang berpendidikan tinggi. Dengan pekerjaan yang mapan dan bahkan memiliki jabatan itu akan berpengaruh terhadap keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan di sekolah. 2. Jenis pekerjaan wali murid menentukan besar kecilnya faktor partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan di sekolah. Karena setiap rencana program pasti butuh pendanaan. Keterlibatan orang tua menentukan setuju tidaknya terhadap rencana program yang ditawarkan sekolah. Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 131
4. Proses Pengambilan Keputusan dan Perencanaan yang
Melibatkan Partisipasi Masyarakat. a. Di bahas secara internal dulu di tingkat pimpinan, baru kemudian di sosialisasikan kepada guru, jika semua guru sudah setuju, maka akan di bahas dalam rapat antara kepala sekolah dan Komite Sekolah. b. Rapat dengan Komite Sekolah membahas agenda rencana program sekolah baik jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Jika Konite Sekolah sudah setuju maka, diambil keputusan sementara. c. Rapat dengan wali murid, untuk mendapatkan masukan, saran, dan usulan, bahkan kritikan. Jika mereka semua sudah setuju dengan rencana program sekolah dan bersedia mendanai, maka kepala sekolah mengambil sebuah keputusan yang akan di ajukan ke kakandiknas. d. Kakandiknas menindaklanjuti hasil keputusan rapat kepala sekolah dengan Komite Sekolah dan wali murid, dengan cara diajukan ke kabupaten untuk mendapatkan SK persetuan dari bupati, yang berkenan atau membolehkan sekolah yang bersangkutan untuk melaksanan kebijakan tersebut. Hasil temuan penelitian individu tentang partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan di SMAN 1 Jember, disajikan dalam gambar 7.2
132 | St. Rodliyah
Partisipasi Masyarakat yarakat Pengambilan Keputusan dan Perencanaan Program
Wujud Partisipasi Masyarakat
a. Sumbangan Tenaga/Fisik : masyarakat: tukang/kuli, keamanan,computer , prin ter, Sonsis tem Komite Sekolah mengontrol pelaksanaan program skl. b. Sumbang Ide /Pemikiran : masy masu kan, saran, dan kritik, dokter sosialisasi pdd sex, kepolisiam sosialisasi berlalu lintas. c. Sumbangan Dana : APBD, SPP+ Dana pengemb. Pdd. Les kls 3 dan Pemerin tah pusat. d.Sumbangan Moral; tokoh agama nasehat dan pesan moral.
Tingkat Partisipasi Masyarakat
a. Partisipasi Aktif : Komite dan ortu siswa menghadi ri rapat kenaikan kls Penyu- sunan visi, misi, RKS, RAPBS, les mata pelj kls 3, dan serah terima kelulusan. b. Partisipasi pasif ; Masy; komunikasi dg guru, mendam pingi belj anak, menga jari mengerja kan PR, mengi kut kan les, memenuhi sarana belajar anak.
Mutu Sekolah
Faktor-Faktor yg Mempengaruhi Partisipasi Masy.
Proses Pengambilan Keputusan
a. Tingkat Pendi dikan; Ortu kebanyakan ber pendidikan (S.1, S.2, dan S.3) mudah memahami recana program sekolah, keperca yaan terhadap sekolah tinggi.
a. Scr internal dibahas
b.Tingkat Pekerjaan: Orang tua siswa rata-rata PNS. Kekuasaan dan kewenangannya bisa membantu, mensupport kebijakan dan pendanaan, berpengaruh thd mutu pdd.
dulu di dlm sekolah b. Rapat dg KS membahas rencana progr sekolah baik jangka pendek, menengah, dan panjang. Jika KS setuju maka diambil keputusan c. wali murid ( masukan, saran, dan usulan, kritikan dan persetujuan. d. Kepsek mengambil keputusan e. Diajukan ke kakadiknas. f. Kakandiknas mengajukan ke Kab, SK turun dari Bupati. g. Kepsek mengeluarkan sebuah kebijakan.
Tujuan Pendidikan
Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 133
Gambar 7.2 Diagram Konteks Partisipasi Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan dan Perencanaan : Analisis Kasus Individu pada SMAN 1 Jember. C.
Temuan Penelitian Pada Kasus III ( SMKN 1 Sukorambi Jember ).
Temuan penelitian pada kasus III ( SMKN 1 Sukorambi Jember) disajikan berdasarkan urut fokus penelitian yaitu : (1) Wujud partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan program di sekolah yang meliputi : (a) sumbangan tenaga/fisik, (b) sumbangan ide/pemikiran, (c) sumbangan dana, dan (d) sumbangan moral, (2) tingkat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan program di sekolah yang meliputi ; (a) partisipasi aktif, dan (b) partisipasi pasif, (3) faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan program di sekolah yang meliputi; (a) tingkat pendidikan dan (b) tingkat pekerjan, dan (4) proses pengambilan keputusan dan perencanaan program sekolah yang melibatkan masyarakat. 1. Wujud Partisipasi Masyarakat dalam Pengambilan
Keputusan dan Perencanaan Program di Sekolah yang Meliputi: (a) Sumbangan Tenaga / Fisik, (b) Sumbangan Ide/ Pemikiran, (c) Sumbangan Dana, dan (d) Sumbangan Moral. a. Sumbangan Tenaga / Fisik
134 | St. Rodliyah
1. Komite Sekolah selalu mengontrol pelaksanaan
program sekolah. Lebih-lebih yang berkaitan dengan pengembangan bangunan sekolah, ketika pembangunan gedung berlangsung Komite Sekolah sering datang ke sekolah karena beliau selaku ketua panitia pembangunan jadi merasa bertanggungjawab terhadap kesuksesan pembangunan tersebut. 2. Masyarakat khususnya petani sering ikut berpartisipasi dalam membimbing siswa yang lagi praktek menanam tanaman padi, jagung, kedelai, dan tumpang sari, karena kebetulan ada lahan sewa sekolah yang dekat dengan persawahan masyrakat. 3. Wali murid yang menjadi tenaga kerja di bangunan gedung sekolah. Mereka juga merasa ikut berpartisipasi dalam kesuksesan bangunan gedung tersebut, karena beliau merasa anaknya juga sekolah di situ, sehingga mereka senang jika sekolahan anaknya gedungnya bagus. 4. Para pengusaha (DUDI) bersedia menerima siswa magang dan bahkan merekrut siswa yang berprestasi untuk bekerja di perusahaan dan industri mereka. b. Sumbangan Ide/Pemikiran 1. DUDI memberi masukan agar sekolah selalu berkomunikasi dengan mereka agar siswa yang magang kelak betul-betul mendapatkan Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 135
pengalaman yang sesuai dengan keahlian dan keterampilannya. 2. Petani berharap pihak lembaga sekolah terbuka dengan masukan-masukan dari masyarakat khususnya untuk siswanya yang lagi prakter pertanian untuk bisa belajar banyak dari masyarakat yang sudah berpengalaman. 3. Komite Sekolah selalu memberikan pertimbangan terhadap semua rencana program agar semua program sesuai dengan kebutuhan siswa dan tuntuhan dunia kerja serta bisa diterima oleh wali murid karena pendanaannya terjangkau masyarakat. c. Sumbangan Dana 1. Masyarakat khususnya wali murid berupa pembayaran SPP setiap bulan yang didalamnya sudah inklud untuk dana pembiayaan pendidikan. Yang nominanlnya untuk kelas 1 sekarang ini sebesar RP. 190.000,-., dana tambahan jam pelajaran untuk menghadapi ujian nasional (UN) bagi kelas tiga. 2. Pemerintah sumbangan dana operasional sekolah (BOS) yang digunakan untuk pengembagan sekolah, peningkatan kualitas guru dan siswa, dan untuk bantuan SPP bagi siswa yang kurang mampu. d. Sumbangan Moral 1. Tokoh masyarakat dan tokoh agama memberikan 136 | St. Rodliyah
nasehat ketika diundang untuk mengisi ceramah pada peringatan hari besar keagamaan, dengan tujuan agar lulusan SMKN nantinya tidak hanya memiliki keterampilan dan keahlian dibidang pekerjaan saja, namun juga memiliki akhlak dan moral yang terpuji, sehingga menjadi para pengusaha yang jujur. 2. Kepolisian memberikan sosialisasi cara berlalu lintas yang baik dan benar, agar siswa selamat dalam perjalan pergi dan pulang sekolah melalui menjadi pembina upacara dan sekaligus memberikan amanat kepada siswa dan juga seluruh warga sekolah. 3. Badan Narkoba Nasional memberikan penyuluhan kepada siswa agar siswa tidak terjerumus kepada obat-obatan yang terlarang. 2. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pengambilan
keputusan dan perencanaan program di sekolah. a. Partisipasi Aktif. 1. Wali murid berusaha selalu datang jika diundang rapat ke sekolah entah itu rapat awal tahun bagi wali murid kelas satu untuk membahas proses pembelajaran yang berkualitas, rapat pembagian raport, rapat kenaikan kelas, rapat wali murid khusus kelas 3 untuk mempersiapkan ujian nasional (UN), dan rapat akhir tahun serah terima siswa (kelulusan). 2. Komite Sekolah selalu hadir jika diundang dan Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 137
dibutuhkan sekolah untuk mebahas rencana program sekolah. Selain itu juga selalu datang ke sekolah untuk mengontrol dan mengevaluasi pelaksanaan program sekolah khususnya pembangunan gedung sekolah. b. Partisipasi Tidak Aktif 1. Wali murid ikut bertanggungjawab terhadap presatsi belajar siswa, untuk itu mereka selalu berusaha mendampingi belajar anaknya di rumah. Dan bahkan jika perlu dan ada dana mengikutkan anaknya les di primagama, tecnod dan lain-lain. 2. Masyarakat secara umum ikut serta bertanggungjawab terhadap keamanan dan ketertiban sekolah seperti tukang becak ikut serta menjaga sekolah. 3. Kepolisian jika pagi hari sekitar jam 06.30 WIB ikut serta menertibkan penyebrangan siswa masuk sekolah, agar selamat dan masuk tepat waktu. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat ikut
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan perencanaan program di sekolah. a. Tingkat Pendidikan 1. Masyarakat yang berpendidikan tinggi selalu memberi motivasi kepada anaknya agar belajar yang rajin agar minimal bisa seperti bapaknya dan bahkan lebih tinggi pendidikanya dari bapaknya. 2. Masyarakat yang berpendidikan tidak tinggi juga 138 | St. Rodliyah
mendorong anaknya agar jangan seperti bapaknya, berusahalah bisa berpendidikan tinggi agar kehidupannya kelak tidak sengsara seperti orang tuanya. b. Jenis Pekerjaan 1. Kalangan dokter memotivasi anaknya agar belajar dengan rajin supaya bisa menjadi dokter seperti bapaknya. 2. Guru juga memotivasi anaknya agar belajar dengan giat supaya nanti bisa menjadi guru minimal kalau bisa menjadi dosen, dan bahkan menjadi dokter. 3. Pedangan dan petani juga berharap anaknya sukses mendapatkan pekerjaan yang layak entah jadi pegawai atau jadi pengusaha yang sukses agar lebih baik dari orang tuanya. 4. DUDI sangat tinggi partisipasinya, karena mereka sudah mengizinkan perusahaannya ditempati magang siswa untuk belajar tentang keahlian dan keterampilan sesuai dengan jurusan masingmasing. 4. Proses
pengambilan keputusan yang melibatkan masyarakat 1. Komite Sekolah diajak membahas terlebih dahulu tentang visi, misi, tujuan sekolah dan rencana program yang mau disosialisasikan kepada wali murid. Jika Komite sudah setuju dan tanda tangan maka rencana program tersebut disosialisasikan Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 139
kepada wali murid. 2. Wali murid diundang untuk membahas rencana program sekolah dan sekaligus pendanaannya. Jika wali murid sudah setuju, maka kepala sekolah dan wakilnya mengambil sebuah keputusan. 3. DUDI diundang rapat untuk membahas tentang kerjasama dalam hal magang siswa, karena DUDI adalah merupakan patner utama sebagai tempat magang bagi siswa SMK. Karena dengan langsung magang/praktek di perusahaan mereka diharapkan siswa memiliki pengalaman dalam hal pengetahuan dan keterampilan secara aplikatif. 4. Proses terakhir keputusan diambil oleh kepala sekolah dan dikeluarkan sebagai sebuah kebijakan. 5. Memberikan surat tembusan kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan tentang SK yang dibuat dan dikeluarkan sebagai sebuah kebijakan. Hasil temuan penelitian individu tentang partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan di SMKN 1 Sukorambi Jember, disajikan dalam gambar 7.3
140 | St. Rodliyah
Partisipasi Masyarakat Pengambilan Keputusan dan Perencanaan Program Wujud Partisipasi Masyarakat
a. Sumbangan Fisik/Tenaga: Komite Sekolah mengontrol dan mengevaluasi pelaks program skl Masy; kuli petani pembimbing praktek, pengusaha memberi izin siswa prakerin. b. Sumbangan Ide/Pikiran: Kimite, dan masy. masukan, usul, dan saran agar rencana prgram disesuaikan dg kemampuan dan kebutuhan siswa c. Sumbangan Dana; Masy ;SPP (dana les, pengem sekolah, dana UN, dan BOS. d. Sumbangan moral: Tokoh agama ; nasehat+moral, kepolisan; keamanan, dan berlalu lintas, BNN obat terlarang.
Tingkat Partisipasi Masyarakat
a. Partisipasi Aktif : masy hadir rapat awal th (proses pembel), pertengan tahun (raport) dan akhir tahun penyerakan kelulusan + penyusunan RKS, RAPBS, pendana annya. Komite Sekolah datang mengon trol dan mengevaluasi pelaksanaan progr sekolah. b. Partisipasi pasif masyarakat: (kepolisian) keamanan siswa berangkat skl, mendampingi belajar anak, mengikutkan les, memenuhi sarana belajar anak.
Mutu Sekolah
Faktor2 yg Mempengaruhi Partisipasi Masy.
a. Tingkat Pendi dikan; Orang tua yg ber pdd rata2 tidak tinggi, namun mpy rasa tgg jawab yg tinggi terhadap prestasi belajar anak, dan kepercayaan terhadap sekolah. b. Tingkat Pekerjaan: Orang tua (guru, petani pedagang) memotivasi belajar untuk sukses menjadi sesuai yang di cita-citakann. Para DUDI mengizinkan
Proses Pengambilan Keputusan
a. Masalah intern di bahas di dalam lembaga b. Ekstern: RKS, RAPBS dan pendanaannya di sosialisasikan kepada Komite Sekolah dilanjutkan ke masyarakat. c. Mendapat persetuan dan pendanaan dari masyarakat. d. Pengambilan keputusan dan dikeluarkan sebagai kebijakan. e. Tembusan ke Kakandiknas.
siswa prakrein.
Tujuan Pendidikan
Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 141
Gambar 7.3 Diagram Konteks Partisipasi Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan dan Perencanaan: Analisis Kasus Individu pada SMKN 1 Sukorambi Jember. D.
Temuan Penelitian Lintas Kasus
Berdasarkan paparan data dan temuan penelitian kasus individu, berikut ini dibahas tentang temuan penelitian dan proses analisis lintas kasus terhadap ketiga kasus penelitian yaitu MAN Jember 1, SMAN 1 Jember, dan SMKN 1 Sukorambi Jember. Analisis lintas kasus mengikuti tahap-tahap yang digambarkan dalam bab III dalam disertasi ini. Tahap pertama, temuan penelitian yang diperoleh dari MAN Jember 1 sebagai kasus pertama disusun kategori dan tema, dianalisis secara induktif konseptual, dan dibuat penjelasan naratif yang disusun menjadi proposisiproposisi dan dikembangkan menjadi teori substantif I. Kedua temuan penelitian dari SMAN 1 Jember sebagai kasus II disusun kategori dan tema, dianalisis secara induktif konseptual, dan dibuat penjelasan naratif yang disusun menjadi proposisi-proposisi dan dikembangkan menjadi teori substantif II. Ketiga temuan penelitian dari SMKN 1 Sukorambi Jember sebagai kasus III disusun kategori dan tema, dianalisis secara induktif konseptual, dan dibuat penjelasan naratif yang disusun menjadi proposisi-proposisi dan dikembangkan menjadi teori substantif III. Pada tahap 142 | St. Rodliyah
terakhir dilakukan analisis secara simultan untuk merekontruksi dan menyusun konsepsi tentang persamaan kasus I, II, dan III secara sistematis. Selanjutnya, dilakukan analisis lintas kasus antara kasus I, II, dan III dengan teknik yang sama dan hasilnya dirumuskan menjadi sebuah proposisi yang nantinya dijadikan temuan akhir atau kesimpulan. Hasil temuan penelitian lintas kasus tersebut dapat di lihat pada tabel 7.1 berikut ini. Tabel 7. 1 Rangkuman Hasil Analisis Temuan Penelitian Lintas kasus
Fokus
Temuan Penelitian di MAN Jember 1
Temuan Penelitian di SMAN 1 Jember
(1)Guru Bahasa Inggris, Indonesia, dan Arab tlh meluangkan waktu, tenga, dan fisiknya utk mengajar
(1) Orang tua siswa bekerja di proyek pembangun an gedung yang ada di SMAN 1 Jember. (2)Masyarakat/
Temuan Penelitian di SMKN 1 Sukorambi Jember
Temuan Penelitian Akhir
2. Wujud Partisipas Masy dlm Pengambilan Keputusan dan Perencanaan di sekolah a.Sumbangan Tenaga/ Fisik
(1) Orang tua siswa sebagai tukang dan kuli bangunan gedung SMAN 1 Jember. Tentunya kontrak kerja dengan
Partisipasi masyarakat yang berupa tenaga /fisik ( tanah tenaga guru/ instruktur, buku
Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 143
siswa demi utk Orang tua terlaksa nanya (dokter, dosen, tri lingual di pengusaha, sekolah. dan guru) telah (2)Instruktur menyumbangk dari lembaga an beberapa program tovel komputer, Inggris Course, printer dan juga bukusonsistem buku referensi kepada sekolah bekerja sama serta beasiswa dg Fakultas untuk anak Ilmu Pdd (FIP) asuh. UNEJ. (3)Masy umum (3)Merekrut guru disekitar bhs Inggris dan lingkungan Arab dari luar sekolah khusus negeri utk nya tukang menga jar di becak ikut MAN 1. serta menjaga (4)Bekerjasama keamanan dengan sekolah. lembaga (4)Komite bimbingan Sekolah bahasa Head langsung Englis Course mengawasi (HEC) yang dan Kabupaten mengontrol Kediri yang jalannya sifatnya program intensif 1 sekolah dan bulan penuh sebagai ketua dilaksanakan proyek ia juga secara berkala. mengontrol (5) Masyarakat dan (bapak RT, dan mengawasi RW.) yang jalannya terjun pembangunan langsung untuk gedung di keter tiban dan sekolah agar keamanan kualitasnya siswa yang kos bagus.
144 | St. Rodliyah
pemborong dan mendapatkan gaji yang standar. (2) Orang tua yang berprofesi sebagai petani membantu membinbing siswa praktek menaanam tanaman padi, jagung, kedelai dan campursari (3) Orang tua dari kalangan pengusaha (DUDI) telah memberikan kesempatan bagi siswa untuk magang gratis dan merekrut siswa yang berprestasi untuk bekerja di perusahaannya. (4) Komite Sekolah Mengontrol dan mengevaluasi pelaksanaan program sekolah dan ikut serta mengawasi dan mengontrol jalannya pembangunan gedung di sekolah agar kualitasnya bagus.
referensi, bimbingan prakerin, komputer, printer, sonsistem, jaga keamanan, kontrol terhadap pelaksanaan program sekolah, dan tenaga bangunan mampu meningkatka n kualitas pembelajaran dan tercapainya tujuan pendidikan di sekolah.
di sekitar ling kungan MAN Jember 1. b.Sumbang an Ide/ pemikiran
(1) Orang tua siswa mengajukan usulan, masukan, dan saran agar sekolah memperbaiki dan mengusaha kan sarana prasarana yang belum memadai kapasitasnya, atau bahkan belum ada misalnya (a) kamar kecil yang belum memenuhi standart dan belum memenuhi proporsional dengan jumlah siswa, (b) tempat parkir yang sudah tidak muat atau mencukupi lagi dengan jumlah kendaraan yang ada, dan (c) tempat ibadah misalnya
(1) Orang tua siswa memberikan masukan, usulan, saran, dan bahkan kritik agar sekolah selalu memepertimba ngkan kemampuan orang tua dalam pembiayaan sekolah anaknya. (2) Orang tua yg berprofesi sebagai ustadz telah memberikan nasehat amal ma’ruf nahi munkar mell kegiatan peringatan hari besar Islam (PHBI). (3) Orang tua yang berprofesi sebagai dokter sosiali sasi kesehatan melalui kegiatan pendidikan seks dan seks
(1) DUDI memberi masukan agar sekolah selalu berkomunikasi dengan mereka agar siswa yang magang betulbetul mendapat kan pengetahuan,pengalama n, dan keterampilan yang sesuai dengan keahlian nya. (2)Petani berharap pihak sekolah terbuka dengan masukan dan saran dari masyarakat untuk siswanya yang lagi prakter pertanian agar bisa belajar banyak dari masyarakat yang sudah berpengalaman. Karena tidak selamanya teori sesuai dengan kenyataan di lapangan. (3).Komite Sekolah memberi kan pertim bangan terhadap
Partisipasi masyarakat dalam yang berupa usulan, masukan, dan dan kritikan mampu menjadi bahan pertimbanga n dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan program di sekolah.
Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 145
c.Sumbangan Dana
masjid yang representatif. (3) Kegiatan ekstrakurikuler mengenai pendalaman ibadah melalui kajian dan pemahaman Al-Quran, Hadits, dan kitab kuning. (3) Dana pengembanga n sekolah dijadikan satu dengan SPP di bayar dalam satu semester (enam bulan) sekali.
bebas yang membahayaka n diri sendiri dan keluarga. (4) Masyarakat (kepolisian) sosialisasi pembinaan berlalu lintas yang baik dan benar dengan mentaati rambu-rambu lalu lintas, melalui kegiatan upacara bendera dengan pembina upacaranya dari kepolisian.
(1) Bantuan dana dari pemerin- tah pusat (Kementrian Agama) yang nominalnya mulai dari 200 juta sampai 500 juta untuk pengembanga n infra struktur yang berupa bangunan aula,
(1) orang tua siswa, namun besarnya tidak sama sesuai dengan kemampuan masingmsaing, bahkan ada yang bebas SPP, dana pengembangan sekolah yang jumlahnya
146 | St. Rodliyah
semua rencana program sekolah agar sesuai dengan kebutuhan siswa dan masyarakat serta tuntuhan dunia kerja. (4) Semua rencana program harus diterima dan disetujui oleh wali murid karena berkaitan dengan pendanaan. (5) Dalam upaya peningkatan kompetensi guru agar diadakan seminar, work shop, lokakarya yang berkaitan dengan strategi pembelajaran dan pengembangan kurikulum. (1) Masyarakat khususnya wali murid berupa pembayaran SPP setiap satu semester sekali (6 bulan) yang didalamnya sudah inklud untuk dana pembiayaan pendidikan. Yang nominanlnya untuk kelas 1
Sumbangan dana masyarakat yang berupa SPP, beasiswa bagi anak asuh, dana pengembang an sekolah, dan dana peningkatan kualitas guru dan belajar
ruang kelas, perkantoran dan lain-lain. (2) Dana dari wali murid yang nominalnya beragam sesuai dengan tahun masuknya sekolah, untuk tahun ajaran 2011/2012 sebesar Rp. 190.000,perbulan wajib dibayar satu semester di awal. (3) Dana khusus untuk kelas 3 dalam rangka tambahan jam pelajaran (les) mata pelajaran yang di ujikan nasional. (4) Biaya untuk siswa yang berprestasi dalam rangka ikut lomba olimpiade tingkat nasional dan internasional ditanggung bersama antara sekolah dan orang tua. (5) Masyarakat
sesuai dengan golongan pekerjaan orang tua siswa, gol. IV., gol. III, dan gol III sudah ditentukan. (2) APBD Bapekap. (3) pemerintah pusat setiap tahunnya tahun 2008 sebesar 300 juta, tahun 2009 sebesar 300 juta, tahun 2010 sebesar 500 juta, dan tahun 2011 200 juta karena sekolah ini termasuk RSBI, (4) Dewan guru dan masyarakat (orang yang mampu seperti dokter dan pengusaha) memberikan sumbangan beasiswa untuk anak asuh (5) pemerintah : dana untuk pengembangan sekolah dan beasiswa untuk anak yang tidak mampu.
sekarang ini sebesar RP. 190.000,-. Kelas 2 sebesar Rp. 180.00,dan kelas 3 sebesar Rp. 170.00,-. (2) Wali murid khusus kelas 3 ada dana tambahan les mata pelajaran yang ujikan nasional, uang ujian dan uang perpisahan (3) Pemerintah sumbangan dana operasional sekolah yang digunakan untuk pengembagan sekolah, peningkatan kualitas guru dan siswa, dan untuk bantuan SPP bagi siswa yang kurang mampu.
siswa mampu membuat pelaksanaan proses pembalajaran berjalan dengan baik dan berkualitas.
Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 147
yang tidak mampu bebas SPP (beasiswa). d.Sumbang an Moral
(1) kerjasama dengan badan narkoba nasional berkaitan dengan penyuluhan tentang obatobatan terlarang seperti heroin, kokain, ganja, dan lain-lain, (2) kerjasama dengan kepolisian dalam upacara dengan pembina upacara dari kepolisian dan memberikan sosialisasi tentang berlalu lintas baik yang benar, (3) kerjasama dengan para tokoh ulama melalui pengisian ceramah pada peringatan hari besar agama (PHBI), dan (4) kerjasama
148 | St. Rodliyah
(1) Masyarakat (orang tua) ikutserta dalam membina, mengontrol perilaku anak dari pengaruh lingkungan yang negatif. (2) Komite Sekolah mengusulkan diadakannya peringatan hari besar agama (PHBI) dan peringatan hari besar nasional (PHBN) yang kegiatannya mendatangkan tokoh agama (ustadh dan Kyai) untuk menyampaikan pesan-pesan moral dan akhlak yang mulia. (3) Masyarakat mengusulkan ada kegiatan ektrakuriku ler tentang pendalaman ajaran agama melalui kajian-
(1) Tokoh masyarakat dan tokoh agama memberikan nasehat ketika diundang untuk mengisi ceramah pada PHBI dan PHBN dengan tujuan agar lulusan SMKN nantinya tidak hanya memiliki keterampilan dan keahlian dibidang pekerjaan saja, namun juga memiliki akhlak dan moral yang terpuji. (2) Kepolisian memberikan sosialisasi berlalu lintas yang baik dan benar, agar siswa selamat dalam perjalan pergi dan pulang sekolah dengan cara menjadi pembina upacara dan sekaligus memberikan amanat kepada siswa dan juga seluruh warga sekolah.
Partisipasi masyarakat dalam sumbangan moral (keamanan sekolah, nasehat, pembinaan moral, pembinaan berlalu lintas, pembinaan narkoba,ekstr akurikuler pendalam agama, sosialisasi kesehatan/pe ndidikan sex dalam pengambilan keputusan dan perencanaan sekolah mampu menjadikan tercapainya tujuan pendidikan nasional.
2.Tingkat partisipasi masyara kat dalam pengam bilan keputusan dan perencana an sekolah. a. Partisipasi aktif
dengan masyarakat umum, tokoh masyarakat, RT, dan RW tentang keamanan, dan perilaku yang negatif di luar sekolah.
kajian keislaman. (4) kerjasama dengan Kepolisian untuk berlalu lintas yang benar. (5) Dokter sosialisasi pendidikan sex dan bahayanya. (6) BNN sosialisasi Narkoba dan bahayanya.
(3) Badan Narkoba Nasional memberikan penyuluhan kepada siswa agar siswa tidak terjerumus kepada obatobatan yang terlarang.
(1) Peran Komite Sekolah dalam hal (a) ikut menyusun visi misi madrasah, (b) ikut menyusun RKS, RAPBS berdasar kan visi dan misi madrasah, (c) memikirkan pendanaan
(1) Wali murid datang ketika di undang rapat dalam rangka (a) menyusun visi, misi, dan tujuan sekolah, (b) orientasi siswa baru, (c) menentukan rencana program kerja sekolah (RKS)
(1). Wali murid berusaha selalu datang jika diundang rapat ke sekolah entah itu rapat awal tahun, rapat pembagian raport, rapat kenaikan kelas, rapat wali murid khusus kelas 3 untuk mempersiapkan
Dengan partisipasi aktif masyarakat dalam menghadiri rapat penyusunan visi, misi, tujuan, RKS, RAKS, sumbangan dana, bimbingan
Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 149
madrasah untuk kelancaran program pendidikan, (d) memikirkan peningkatan mutu madrasah. (2) Wali murid memenuhi undangan rapat dalam satu tahun 4 kali yaitu (a) rapat Komite sekolah dengan sekolah untuk membahas rekrutmen siswa baru, (b) rapat rutin penerimaan rapot kenaikan kelas, (c) rapat khusus di awal tahun untuk kelas 1 pengenalan profil madrasah dan tata tertib, kelas 2 penguatan informasi pengembanga n madrasah dan prestasi belajar siswa, dan kelas 3 informasi
150 | St. Rodliyah
dan rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAKS), (d) penerimaan raport, (e) wali murid kelas 3 membicarakan persiapan menghadapi ujian nasional (UN), (f) wali murid yang anaknya bermasalah baik masalah pribadi maupun masalah yang berkaitan dengan kedisiplinan dan prestasi belajar siswa, (g) peringat an hari besar agama (PHBI) ,dan penyerahan kembali kelulusan siswa. (2) Memberikan masukan/saran dan bahkan kritikan bila ada rencana program sekolah yang sekiranya
ujian nasional (UN), dan rapat akhir tahun serah terima siswa (kelulusan). (2) Komite Sekolah selalu hadir jika diundang dan dibutuhkan sekolah untuk mebahas rencana program sekolah. Selain itu juga selalu datang ke sekolah untuk mengontrol pelaksanaan program sekolah khususnya pembangunan gedung sekolah.
praktek/ma gang, menjaga keamanan sekolah dan siswa dari pengaruh lingkungan negatif, Kedatangan Komite Sekolah untuk mengontrol, mengevalua si pelaksanaan program sekolah), mampu mendorong sekolah menjadi maju, berkem bang, dan berkualitas.
b. Partisipasi pasif
persiapan mengahadapi ujian nasional (UN), dan (d) rapat penye rahan kembali siswa (kelulusan) (3). Peran serta masy dlm menjaga keamanan sekolah dan keamanan siswa yg kos di sekitar lingk sklh. (3). Peran serta petani dlm membantu siswa praktek di sawah.
memberatkan siswa dan wali murid. (3) Bersedia memenuhi pendanaan program sekolah asalkan bermanfaat dan meningkatkan
(1) Peran Komite Sekolah dalam memediatori antara sekolah dengan wali murid tujuannya adalah fungsi sosial dan diniatkan untuk ibadah. Dan selalu berdo’a khusus untuk MAN Jember 1 agar menjadi sekolah agama yang maju,
(1) Orang tua merasa ikut bertang gung jawab terhadap keber- hasilan belajar anaknya, untuk itu mereka mendampingi dan mengontrol belajar anaknya, mengajari mengerjakan PR, bila perlu mengikutkan les di guru dan
prestasi belajar siswa.
(1) Wali murid ikut bertanggungjawa b terhadap presatsi belajar siswa, untuk itu mereka selalu berusaha mendampingi belajar anaknya di rumah. Dan bahkan jika perlu mereka mengikutkan anaknya les di sekolah. (2) Masyarakat secara umum ikut serta bertanggungjawa
Dengan partisipasi pasif masyara kat dalam pengambila n keputusan dan perencanaa n sekolah (me ngontrol belajar anak, mendampin gi belajar anak di rumah, mem- bantu
Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 151
berkembang dan diminati masyarakat, sehingga bisa menjadi sarana untuk dakwah Islamiah. (2) Peran Komite Sekolah dalam mengusahakan kesejahteraan guru. (3) Wali murid ikut serta bertanggung jawab terhadap peningkatan prestasi belajar anaknya melalui mendampingik etika belajar dan bila perlu diikutkan les di guru. (4) Wali murid yang selalu berkomunika si dgn guru wali kelas utk menanyakan prestasi belajar anaknya.
3. Faktor2 yg mem pengaruhi partisi-
152 | St. Rodliyah
lembaga belajar primagama, tecnos dll. (2) Orang tua rajin berkomukasi dengan guru wali kelas, untuk bertanya tentang belajar anaknya dan prestasi belajarnya. (3) Kepolisian jika pagi hari sekitar jam 06.30 WIB ikut serta menertibkan penyebrangan siswa masuk sekolah, agar selamat dan masuk tepat waktu. (4) Komite Skh berusaha mengkomunika sikan semua rencana program kepada masyarakat.
b terhadap keamanan dan ketertiban sekolah seperti tukang becak iukt serta menjaga keamanan sekolah. (3) Kepolisian jika pagi hari sekitar jam 06.30 WIB ikut serta menertibkan penyebrangan siswa masuk sekolah, agar selamat dan masuk tepat waktu.
mengajari mengerjaka n PR, mengantarkan dan menjemput sekolah, diikutkan les, komunikasi dengan guru), maka mampu menjadikan prestasi belajar anak meningkat.
pasi masy dlm pengam bilan keputusan dan perenca naansekola h. a.Tingkat pdd
((1) Kepala sekolah yang selalu gencar mensosi alisasikan kepada wali murid bahwa (a) pdd itu adalah tgg jawab bersama antara sekolah, pemerintah dan masy.(b) Sekolah itu milik masy, maka baikburuknya dan maju tidaknya sekolah itu menjadi tanggung jawab masyarakat. ((2)Tingkat pendidikan wali murid memudahkan sekolah untuk mengambil sebuah keutusan karena wali murid akan
(1) Pendidikan wali murid kebanyak an Sarjana (S.1) dan ada yang (S.2, S.3), dan bahkan Profesor mereka mudah memahami kebutuhan, tun-tutan, pengem bangan dan kenajuan pendidikan. (2) Tingkat pendidikan Komite Sekolah mempengaruhi kepercayaan masyarakat khususnya wali murid kepada rencana program yang disosialisasikan Sekolah.
(1) Wali murid yang berpendi dikan tinggi (S.1 ke atas memberi motivasi kepada anaknya agar belajar yang rajin supaya sukses. (2) Masyarakat yang berpendidikan tidak tinggi juga mendorong anaknya agar jangan seperti bapaknya, berusahalah bisa berpendidikan tinggi agar kehidupannya kelak tidak sengsara seperti orang tuanya.
Dengan pendidikan orang tua siswa tinggi (S.1, S.2, dan S.3) maka memotivasi mereka memiliki rasa tanggung jawab tinggi terhadap keberhasilan belajar anaknya. .
Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 153
mudah memahami dan menyetujui rencana program yang ditawarkan oleh sekolah . b.Jenis Pekerjaan
((1) Jenis pekerjaan Komite Sekolah sangat mendukung terhadap proses pengambilan keputusan dan perencanaan program yang ditawarkan sekolah, karena beliau sangat memahami betul kebutuhan sekolah dalam rangka peningkatan mutu, pengembanga n dan kemajuan sekolah. ((2) Jenis pekerjaan wali murid atau orang tua sangat mendukung proses
154 | St. Rodliyah
(1) Jenis pekerjaan wali murid (dokter, dosen, guru, dan pejabat) kebanyakan ada kaitannya dengan tingkat pendidik- an. Dengan pekerjaan yang mapan dan bahkan memiliki jabatan itu akan berpengaruh terhadap keterlibatanny a dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan di sekolah. (2) Jenis pekerjaan wali murid ada kaitannya tingkat ekonominya dan menentukan besar kecilnya
(1) Guru juga memotivasi anaknya agar belajar dengan giat supaya nanti bisa menjadi guru minimal kalau bisa menjadi dosen, dan bahkan menjadi dokter. (2) Pedangan dan petani juga berharap anaknya sukses mendapatkan pekerjaan yang layak entah jadi pegawai atau jadi pengusaha yang sukses agar lebih baik dari orang tuanya. (3) DUDI sangat tinggi partisipasinya, karena mereka sudah mengizin kan perusahaan nya ditem pati magang siswa untuk belajar
Jenis pekerjaan orang tua (guru, dosen, dokter, pejabat, petani, pengusa ha dan pedagang) mampu meningkatka n partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan yang berkualitas.
4. Proses pengambil an kepu tusan dan perencanaanyang melibat masyara kat
pengambilan keputusan dan perencanaan program sekolah..
faktor partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan di sekolah. Karena setiap rencana program pasti butuh pendanaan.
tentang keahlian dan keterampilan sesuai dengan jurusan masingmasing.
(1) Proses pengambilan keputusan dan perencanaan di MAN Jember 1 diambil ada kalanya tidak melibatkan masyarakat seperti masalah intern yang berkaitan guru dan siswa. (2) Ada kalanya yang melibatkan semua stake holder yaitu : (a) Kebijakan madrasah yang bersifat umum Komite Sekolah dan masyarakat terlibat. Contoh ;
(1) Di bahas secara internal dulu di tingkat pimpinan, baru kemudian di sosialisasikan kepada guru, jika semua guru sudah setuju, maka akan di bahas dalam rapat antara kepala sekolah dan Komite Sekolah. (2) Rapat dengan Komite Sekolah membahas agenda rencana program sekolah baik jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Jika
(1) Komite Sekolah diajak membahas terlebih dahulu tentang visi, misi, tujuan sekolah dan rencana program yang mau disosialisasikan kepada wali murid. Jika Komite sudah setuju dan tanda tangan maka rencana program tersebut disosialisasikan kepada masyarakat/wali murid. (2) Wali murid diundang untuk membahas rencana program sekolah dan sekaligus pendanaannya. Jika wali murid
Keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan (dukungan dan persetujuan terhadap RKS, RAKS, pendanaan sekolah) akan mempermud ah keberhasilan sekolah dalam mencapai visi, misi, dan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 155
program MTDK itu pengambilan keputusannya dimusyawarah kan secara reguler lewat rapat resmi, (b) dibicarakan dengan Komite Sekolah ini berkaitan dengan RPM dan RAPBM baru kalau sudah kesepakatan antara pihak sekolah dengan Komite Sekolah, maka (c) di sosialisasikan kepada masyarakat melalui rapat pertengahan tahun dengan seluruh wali murid, dan (d) di ambil keputusan dan kemudian ditetapkan sebagai sebuah kebijakan yang wajib diikuti oleh semua warga sekolah dan masyarakat (wali murid).
156 | St. Rodliyah
Konite Sekolah sudah setuju maka, diambil keputusan sementara. (3) Rapat dengan wali murid, untuk mendapat kan masukan, saran, dan usulan, bahkan kritikan. Jika mereka semua sudah setuju dengan rencana program sekolah dan bersedia mendanai, maka kepala sekolah mengambil sebuah keputus an dan mengajukan ke kakandiknas. (4) Kakandiknas menindaklanju ti dengan cara diajukan ke kabupaten untuk mendapatkan SK persetujuan. (5) Kepala sekolah mengambil
sudah setuju, maka kepala sekolah dan wakilnya mengambil sebuah keputusan. (3) DUDI sebagai mitra sekolah diundang rapat untuk membahas tentang kerjasama dalam hal magang siswa dan tempat kerja siswa setelah lulus, 4) Proses terakhir keputusan diambil oleh kepala sekolah dan dikeluarkan sebagai sebuah kebijakan. (5) Memberikan surat tembusan kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan tentang SK yang dibuat dan dikeluarkan sebagai sebuah kebijakan.
(3) Surat tembusan ke kepala kantor Kementrian Agama Kabupaten.
sebuah kebijakan.
Dari hasil analisis temuan penelitian lintas kasus tersebut di atas, dapat digambarkan dalam bagan 7.4 berikut ini.
Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 157
Wujud Partisipasi masyarakat. a. Sumb.tenaga/fisik:tenaga mns, brg, jasa & tanah. b.Sumb. ide/pemikiran: ma sukan saran & kritikan. c.Sumb. dana: SPP. Dana pengemb. Skl. peningk kualitas guru & siswa d.Sumb. moral; nasehat, petuah dan amant.
Partisipasi Masyarakat
Tingkat Partisipasi Masyarakat a. Partisipasi aktif: hadir rapat, mengontrol dan menevaluasi pelaks program. b. Partisipasi Pasif: mengontrol beljar anak di rumah, mengantar sekolah anak, dll. Faktor-faktror yg Mem pengaruhi Partisipasi Masyarakat. a.Tingkat pdd: Org tua yg berpendidikan tinggi motivasi thd blj anak tinggi.Gambar 4.4 b. Jenis pekerjaan: pekerjaan ortu berpengaruh thd keberhasilan belajar anak Proses pengambilan Keputusan yg Melibat- kan Partisipasi Masyarakat a. Intern: program yg berkaitan dg PBM b. Ekstern: RKS, RAKS, RPS, Pembuatan visi, misi, & tujuan skl, pendanaan, les, lomba. dll.
158 | St. Rodliyah
Pengambilan Keputusan dan Perencanaan
Peningkatan Mutu manajemen Humasy.
Peningkatan Mutu Sekolah
Tercapainya Tujuan Pendidikan
Bagan Temuan Penelitian Lintas Kasus Partisipasi Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan dan Perencanaan di Sekolah Dari temuan-temuan penelitian tersebut kemudian dirumuskan dan dirangkum dalam bentuk pernyataanpernyataan proposisi temuan penelitian. Pembahasan temuan disajikan mengikuti urutan fokus penelitian yaitu: (1) wujud partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanan program di sekolah meliputi; (a) sumbangan tenaga/fisik, (b) sumbangan ide/gagasan, (c) sumbangan dana, dan (d) sumbangan moral, (2) sumbangan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan program di sekolah meliputi; (a) partisipasi aktif, dan (b) partisipasi pasif, (3) faktorfaktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan program di sekolah meliputi; (a) tingkat pendidikan, dan (b) jenis pekerjaan, dan (4) Proses pengambilan keputusan dan perencanaan program di sekolah yang melibatkan masyarakat. A. Wujud Partisipasi Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan dan Perencanan program di MAN Jember 1, SMAN 1 Jember, dan SMKN 1 Sukorambi Jember. Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan di sekolah adalah sangat penting dalam keberhasilan pelaksanaan proses pembelajaran. Kita tahu bahwa proses belajar anak tidak hanya terjadi di sekolah saja, melainkan juga di rumah dan di lingkungan Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 159
masyarakatnya. Ketiga unsur ini harus bisa bekerjasama sedemikian rupa sehingga proses pembelajaran anak dapat berjalan dengan baik. Peluang bagi masyarakat khususnya orang tua untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan perencanaan program di sekolah adalah sangat banyak dan sudah mulai terbuka dengan dibentuknya Komite Sekolah. Partisipasi masyarakat yang berwujud (a) sumbangan tenaga/fisik berupa; tenaga guru bahasa Arab dan Inggris dari luar, komputer, printer, sonsistem, kedatangan Komite Sekolah untuk mengontrol, mengevaluasi pelaksanaan program sekolah, tenaga masyarakat ikut serta dalam menjaga keamanan sekolah, keamanan siswa dari lingkungan yang negatif, dan masyarakat menjadi tenaga bangunan di sekolah, (b) sumbangan ide/pemikiran berupa; masukan, usulan, saran dan kritikan masyarakat (orang tua siswa) dan Komite Sekolah dalam penyusunan visi, misi, tujuan, RKS, RAPBS, penentuan proses pembelajaran yang berkualitas, pengembangan dan kemajuan sekolah (c) sumbangan dana berupa; kesediaan orang tua dalam menbayar SPP, biaya pengembangan sekolah, les mata pelajaran bagi kelas 3, dan dana lomba bagi siswa yang berprestasi, dan (d) sumbangan moral berupa pembinaan moral dari para tokoh agama terhadap siswa, lembaga kepolisian sosialisasi berlalu lintas yang baik dan benar, BNN sosialsasi narkoba dan obat-obatan, dinas kesehatan sosiasasi pendidikan sex dan bahaya sex bebas. Kesimpulan ini didasarkan atas 160 | St. Rodliyah
formulasi proposisi temuan penelitian (disingkat P) dari ketiga kasus yang telah dirangkum sebagai berikut. P.1.a :
Wujud partisipasi masyarakat melalui sumbangan tenaga/fisik meliputi; tenaga manusia, barang, jasa dan tanah dalam pengambilan keputusan dan perencanaan di sekolah itu meningkatkan kualitas pembelajaran dan tercapainya tujuan pendidikan.
P.1.b :
Partisipasi masyarakat dalam sumbangan ide/pemikiran meliputi usulan, masukan, dan kritikan menjadi bahan pertimbangan, dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan program di sekolah. Sumbangan dana masyarakat berupa SPP, beasiswa, dana pengembangan sekolah, dan dana peningkatan kualitas guru dan belajar siswa, memudahkan pelaksanaan proses pembalajaran berjalan dengan baik dan berkualitas. Partisipasi masyarakat dalam sumbangan moral berwujud keamanan sekolah, nasehat, petuah, pembinaan moral, pembinaan berlalu lintas, pembinaan narkoba, dan ekstrakurikuler pendalaman agama dalam pengambilan keputusan dan perencanaan
P.1.c
:
P.1.d :
Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 161
sekolah memotivasi tercapainya visi, misi dan tujuan sekolah. Temuan penelitian di atas, sejalan dengan hasil penelitian Psacharopoulos (1987), bahwa pendidikan berkualitas tidak mungkin dicapai tanpa didukung dana yang memadai baik dari pemerintah maupun dari masyarakat, sebab ada tiga indikator pendidikan berkualitas yaitu mempunyai dukungan dana pendidikan, tingkat kelulusan siswa, serta kemampuan, keahlian, dan keterampilan siswa. Komite Sekolah yang ada sekarang ini sudah mampu memberikan masukan dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan program di sekolah, baik yang berkaitan dengan pengelalaan pendidikan, pengontrol dan pemberi dukungan serta menjadi mediator di antara masyarakat (wali murid) dengan lembaga pendidikan atau satuan pendidikan. Komite Sekolah telah mampu sebagai motivator tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan perencanaan program di sekolah. Komite Sekolah juga telah mampu memberi pertimbangan dan rekomendasi kepada lembaga pendidikan dalam pengambilan keputusan dan perencanaan di sekolah. Temuan penelitian di atas, sejalan dengan hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Yusuf dkk 162 | St. Rodliyah
(2005) ditemukan bahwa partisipasi masyarakat khususnya orang tua belum maksimal. Bahkan masih banyak masyarakat khususnya orang tua yang malas atau tidak mau berpartisipasi. Mereka beranggapan bahwa proses pembelajaran adalah tanggungjawab sekolah. Orang tua hanya menyediakan dana untuk biaya sekolah anaknya. Hal ini tidak bisa dibiarkan terus menerus. Pertanyaan kita, mengapa masyarakat khususnya orang tua masih banyak yang belum mau berpartisi- pasi dalam pengambilan keputusan dan perencanaan program di sekolah ? bagaimana caranya meningkatkan partisipasi masyarakat ? Faktor penyebab mengapa masyarakat khususnya orang tua malas atau belum mau untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan perencanaan program di sekolah mungkin bisa dilihat dari pengelaman yang kurang menyenangkan yang dialami orang tua saat berkunjung atau diundang rapat ke sekolah biasanya hanya untuk dimintai sumbangan dana atau untuk mendengarkan keluhan kepala sekolah dan guru tentang kenakalan-kenakalan yang dilakukan anaknya saja. Dari pengalaman itu bisa mengakibatkan hubungan yang kurang harmonis antara sekolah dengan masyarakat khususnya orang tua siswa. Jadi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan program di sekolah adalah dengan meningkatkan hubungan sekolah dengan masyarakat khususnya orang tua. Adapun hal-hal yang dapat dilakukan untuk Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 163
meningkatkan partisipasi masyarakat, antara lain adalah (1) sekolah harus benar-benar menunjukkan kesungguhan usahanya memperoleh, memelihara, meningkatkan, atau memperbaiki citranya di mata masyarakat khususnya orang tua siswa. Jika sekolah belum memiliki citra yang baik dari masyarakat, akan sulit sekali bagi sekolah untuk memperoleh partisipasi masyarakat yang maksimal dari masyarakat khususnya orang tua siswa. Citra yang baik dapat diperoleh sekolah dengan cara melakukan kegiatan-kegiatan, seperti misalnya sekolah melakukan ”open house” yaitu mengundang orang tua siswa untuk melihat kemajuan atau keberhasilan anak-anak mereka di sekolah. Acara ini bisa dilakukan dengan cara yang sederhana, dengan melibatkan semua siswa dan orang tua siswa. Selain itu sekolah juga bisa melakukan publikasi, melalui selebaran, buletin, media cetak, maupun elektronika, internet, dan mengadakan pameran atau pertunjukan dari hasil karya siswa yang mengundang masyarakat khususnya wali murid. Hal lain yang penting dan harus dilakukan sekolah adalah melibatkan masyarakat khususnya orang tua siswa dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan program sekolah, bahkan jika perlu orang tua diberi kewenangan untuk mengatur beberapa kegiatan sekolah. Dengan kata lain, sekolah harus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyara- kat untuk berpartisiasi dalam wjud atau bentuk apapun demi kemajuan sekolah, termasuk memberikan masukan, kritik 164 | St. Rodliyah
dan saran. Selain dari itu, sekolah harus terbuka. Ada beberapa hal yang menyang kut keterbukaan ini. Ertama (1995), sekolah harus terbuka tentang kondisi keuangan sekolah, yaitu bersedia melaporkan pemasukan dan pengeluaran keuangannya kepada masyarakat khususnya orang tua siswa dan Komite Sekolah, dan bersedia diaudit oleh masyarakat, dan mintai akuntabilitasnya. Kedua, sekolah harus bersedia setiap saat menerima masyarakat khususnya orang tua siswa dan Komite Sekolah jika mereka ingin datang ke sekolah untuk melihat belajar anaknya atau untuk memperoleh informasi tentang kegiatan anak mereka di sekolah, atau masalah-masalah yang terjadi di sekolah, dan sekolah harus bersedia memberikan informasi yang dibutuhkan mereka. Ketiga, sekolah juga perlu memberikan informasi kepada orang tua dan Komite Sekolah tentang apa yang perlu dilakukan oleh mereka dalam membantu mensukseskan pendidikan putraputrinya. Dalam hal ini sekolah harus bisa meyakinkan masyarakat khususnya orang tua dan Komite Sekolah bahwa usaha yang dilakukan sekolah adalah untuk membantu kepeberhasilan pendidikan putra-putri mereka, dan usaha ini tidak akan berhasil tanpa dukungan dari masyarakat khususnya orang tua dan Komite Sekolah baik yang berupa sumbangan tenaga/fisik, ide/pemikiran, dana, dan moral.
Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 165
B. Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan dan Perencaaan di MAN Jember 1, SMAN 1 Jember, dan SMKN 1 Sukorambi Jember. Keberhasilan Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMA, MAN, dan SMK) dalam meraih prestasi hasil belajar siswa yang menjadi indikator kualitas lulusan masih dipengaruhi atau bahkan ditentukan oleh tingkat partisipasi masyarakat khususnya orang tua, dan bahkan tingkat partisipasi masyarakat secara umum baik itu Komite Sekolah, para pengusaha (DUDI), para petani, dan lingkungan pendidikannya. Bahkan, apa yang terjadi terhadap peserta didik di dalam lingkungan keluarganya akan berpengaruh besar terhadap proses pendidikan di sekolah, dan seterusnya, apa yang terjadi di sekolah akan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Pendek kata, ketiga komponen tersebut tidak boleh tidak harus bergandeng tangan, bahu membahu, untuk melaksanakan tugas kemanusiaan yang berat dan mulia, yakni mencerdaskan generasi muda penerus masa depan bangsa ini. Hasil temuan penelitian tentang tingkat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan sekolah menunjukkan: (a) tingkat partisipasi aktif masyarakat khususnya orang tua berupa kehadiran dalam memenuhi rapat dari sekolah, Komite Sekolah aktif datang ke sekolah untuk ikut serta merencanakan program membuat RPS, RKS, RAKS, mengontrol, memonitoring dan mengevaluasi pelaksanaan program sekolah, mendukung, menyetujui, dan mengusahakan pendanaan semua 166 | St. Rodliyah
program sekolah, serta berperan sebagai pemberi pertimbangan dan mediator dengan pemerintah/ instansi lain, termasuk akuntabilitas sekolah sehingga masyarakat (wali murid) percaya kepada sekolah, dan (b) tingkat partisipasi pasif berupa pendampingan belajar, mengontrol belajar anak, mengajari mengerjakan PR, mengantar dan menjemput sekolah, dan mengawasi perilaku anak dari pengaruh lingkungan yang negatif. Kesimpulan tersebut didasarkan atas formulasi proposisi temuan penelitian yang diperoleh dari ketiga kasus sebagai berikut. P.2.a :
P.2.b :
Peran aktif masyarakat dalam menghadiri rapat penyusunan visi, misi, tujuan, RPS, RKS, RAKS, sumbangan dana, bimbingan prakerin, menjaga keamanan sekolah dan siswa dari pengaruh lingkungan negatif, dan keaktifan Komite Sekolah dalam mengontrol, serta mengevaluasi pelaksanaan program sekolah menjadikan semua program sekolah berjalan lancar. Peran pasif masyarakat dalam mengontrol belajar anak, mendampingi belajar anak di rumah, mengajari mengerjakan PR, mengantarkan dan menjemput sekolah, mengikutkan les, dan berkomunikasi dengan guru membuat prestasi belajar anak meningkat.
Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 167
Temuan penelitian diatas sejalan dengan pendapat Gorton (1976), masyarakat mempengaruhi sekolah secara informal melalui kelompok-kelompok orang tua siswa yang mengadakan kontak secara individual dengan sekolah. Jika hubungan ini terbangung dengan baik, maka diharapkan kemajuan prestasi akademik dan perilaku siswa akan dapat terpantau oleh orang tua. Dengan demikian orang tua dan sekolah dapat secara bersama-sama mencarikan jalan keluar demi kemajuan dan kebaikan siswa. Menurut Brookover (1982), bahwa pelibatan orang tua siswa di sekolah merupakan tawaran kesediaan orang tua siswa pada sekolah dalam memecahkan masalah-masalah sekolah di sekolah. Masalah-masalah itu dapat berkaitan dengan berbagai penyelenggaraan sekolah misalnya; proses pembelajaran, kedisi- plinan siswa dalam belajar, kedisiplinan guru dalam mengajar, supervisi, administrasi, koordinasi dan layanan yang lain. Temuan penelitian diatas sejalan dengan hasil penelitian Timan (2002) menyebutkan bahwa ada hubungan antara tingkat partisipasi masyarakat dengan kefektifan pelaksanaan program hubungan sekolah dengan masyarakat di SDN kota Malang. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Daresh (1983) bahwa hubungan sekolah dengan masyarakat bertujuan untuk memberdayakan warga masyarakat, terutama orang tua murid untuk berpartisipasi baik secara aktif maupun pasif dan mendalam dalam berbagai aktivitas sekolah; memberikan pengertian tentang kebutuhan dan 168 | St. Rodliyah
pelaksanaan pendidikan serta mendorong minat masyarakat untuk bekerjasama memajukan sekolah secara tepat (Ulfatin: 1996), dan agar pendidikan di sekolah itu berjalan dengan lancar dan berkembang dengan baik Haller (Indrafachrudi: 1994). Temuan penelitian di atas juga sejalan dengan penelitian Purnel dan Gotts (1983), yang menemukan bahwa orang tua dan masyarakat memberikan reaksi positif terhadap dua informasi yang diberikan sekolah, yaitu laporan berkala yang merinci program sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler, dan pengumuman bahwa muridmurid sedang mengalami kesulitan dan memerlu kan bantuan. Penelitian Brofenbrenner yang direview hoover, dkk (1987), juga menyimpulkan bahwa partisipasi masyarakat khususnya orang tua, sangat penting untuk keberhasilan program-program pendidikan anak, terutama pada peningkatan prestasi belajar anak, perbaikan perilaku, penurunan absensi murid, pemupukan sikap positif murid pada sekolah, dan peningkatan kebiasaan menyelesaikan pekerjaan rumah (PR). Hal senada dinyatakan oleh Husen (1988), dalam hasil penelitiannya bahwa siswa dapat belajar banyak karena dirangsang oleh pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru dan akan berhasil dengan baik berkat usaha orang tua mereka dalam memberikan dukungan. Beberapa penelitian tentang hubungan prestasi siswa dengan keterli-batan orang tua siswa telah banyak dilakukan oleh beberapa ahli seperti, gibbon (1986), Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 169
melaporkan hasil penelitiannya yang dilakukan di sekolahsekolah negeri Culumbus, Ohio, bahwa salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan mutu sekolah adalah adanya keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam program sekolah. Penelitian yang menggunakan instrumen efective School Corsortia Network di negara bagian New York Amerika Serikat (1987), menunjukkan bahwa, pelibatan orang tua dalam kegiatan sekolah memiliki pengaruh terhadap prestasi akademik siswa. Murillo (2002), melaporkan hasil penelitian effective School Improvement di sepanyol, bahwa keterlibatan orang tua siswa sangat penting untuk meningkatkan kualitas sekolah. Sedangkan hasil penelitian Levine dan Havigust menunjukkan lingkungan keluarga, cara perlakuan orang tua murid terhadap anaknya sebagai salah satu cara/bentuk partisipasi mereka dalam pendidikan, dan dapat meningkatkan ontelektual anak. Perbedaan dari hasil temuan penelitian ke sekolah tersebut hampir tidak ada karena tingkat partisipasi masyarakat bisa dikatakan hampir sama baik aktif maupun pasif. Sedangkan persamaan dari ketiga sekolah ini adalah sama-sama melibatkan masyarakat (Komite Sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat umum) dalam pengambilan sebuah keputusan dan perencanaan sekolah baik secara aktif maupun secara pasif, karena mereka percaya dengan melibat masyarakat semua persoalan sekolah khususnya yang berkaitan dengan pendanaan sekolah akan terpecahkan. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian 170 | St. Rodliyah
Moedjiarto (2003) tentang pelibatan orang tua siswa dalam kegiatan sekolah pada sekolah menengah atas (SMA) di Surabaya. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa sekolah tersebut selalu menduduki rengkin papan atas dalam lima besar penilaian ebtanas murni. Penelitian Goleman (Keith & Girling, 1991), menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat secara aktif maupun pasif membawa dampak yang positif bagi peningkatan prestasi siswa, penambahan sumber daya suplemen maupun komplemen bagi pelaksanaan program sekolah. C. Faktor-Faktor Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat dalam pengambilan Keputusan dan Perencanaan di MAN Jember 1, SMAN 1 Jember, dan SMKN 1 Sukorambi Jember. Ada hubungan yang saling menguntungkan antara sekolah dengan masyarakat, yaitu dalam bentuk hubungan saling memberi, saling melengkapi dan saling menerima sebagai patner yang memiliki kedudukan setara. Sekolah pada hakekatnya melaksanakan dan mempunyai fungsi ganda terhadap masyarakat, yaitu memberi layanan dan sebagai agen pembaharuan bagi masyarakat sekitarnya, yang oleh Stoop disebutnya sebagai fungsi layanan dan fungsi pemimpin (fungsi untuk memajukan masyarakat melalui pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas). Sebagai lembaga yang berfungsi sebagai pembaharu terhadap masyarakat maka sekolah mau tidak mau atau suka tidak suka harus mengikutsertakan masyarakat dalam Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 171
melaksanakan fungsi dan peranannya agar pekerjaan dan tanggung jawab yang dipikul oleh sekolah akan menjadi ringan. Setiap aktivitas pendidikan, apalagi yang bersifat inovatif, seharusnya dikomunikasikan dengan masyarakat khususnya orang tua siswa, agar merka sebagai salah satu penanggung jawab pendidikan menegrti mengapa aktivitas tersebut harus dilakukan oleh sekolah dan pada sisi mana mereka dapat berperan membantu sekolah dalam merealisasikan program inovatif tersebut. Hasil temuan penelitian tentang faktor- faktor yang mempengarui partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan di sekolah menunjukkan (a) tingkat pendidikan, masyarakat (orang tua) yang berpendidikan tinggi (S.1, S.2, dan S.3) akan selalu memberi motivasi terhadap belajar anak dan mendukung belajar anak dengan memenuhi semua fasilitas yang dibutuhkan oleh anak dalam belajar, dan (b) jenis pekerjaan, masyarakat yang memiliki pekerjaan (jabatan) tentunya akan mampu mendukung, menyetujui, dan mendanai semua program yang putuskan oleh sekolah, dengan sarat program tersebut sesuai dengan kebutuhan siswa dan peningkatan prestasi belajar anak yang akhirnya mampu meningkatkan kualitas pendidikan. Kesimpulan ini didasarkan atas formulasi proposisi temuan penelitian dari ketiga kasus yang telah dirangkum sebagai berikut. P.3.a :
Tingkat pendidikan orang tua siswa yang tinggi memudahkan mereka untuk
172 | St. Rodliyah
P.3.b :
memahami rencana program sekolah dan memotivasinya untuk memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap keberhasilan belajar anak. Jenis pekerjaan orang tua baik sebagai guru, dosen, dokter, pejabat, petani, pengusaha dan pedagang mendorong tingginya partisipasi masyarakat dalam mensukseskan kemajuan dan pengembangan sekolah.
Temuan penelitian di atas, sejalan dengan apa yang diekemukakan oleh Bernays seperti dikutip oleh Suriansyah (2000), yang menyatakan bahwa hubungan sekolah dengan masyarakat adalah: 1. Information given to the public (memberikan informasi secara jelas dan lengkap kepada masyarakat) 2. Persuasion directed at the public, to modify attitude and action (melakukan persuasi kepada masyarakat dalam rangka merubah sikap dan tindakan yang perlu mereka lakukan terhadap sekolah) 3. Effort to integrated attitudes and action of institution with its public and of public with the institution (suatu upaya untuk menyatukan sikap dan tindakan yang dilakukan oleh sekolah dengan sikap dan tindakan yang dilakukan oleh masyarakat secara timbal balik, yaitu dari sekolah ke masyarakat dan dari masyarakat ke sekolah. Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 173
Pengertian di atas memberikan gambaran kepada kita apa sebenarnya hakekat hubungan sekolah dan masyarakat. Hal terpenting dari pengertian di atas, adalah adanya informasi yang diberikan kepada masyarakat yang dampaknya dapat merubah sikap dan tindakan masyarakat terhadap pendidikan serta masyarakat memberikan sesuatu untuk perbaikan pendidikan. Dengan memahami dua pengertian hubungan sekolah dengan masyarakat di atas, kita dapat membuat suatu pengertian sederhana tentang hubungan sekolah dan masyarakat sebagai suatu “proses kegiatan menumbuhkan dan membina saling pengertian kepada masyarakat dan orang tua murid tentang visi dan misi sekolah, program kerja sekolah, masalah-masalah yang dihadapi serta berbagai aktivitas sekolah lainnya”. Pengertian ini memberikan dasar bagi sekolah, bahwa sekolah perlu memiliki visi dan misi serta program kerja yang jelas, agar masyarakat memahami apa yang ingin dicapai oleh sekolah dan masalah/kendala yang dihadapi sekolah dalam mencapai tujuan, melalui berbagai kegiatan yang dilakukan oleh sekolah. Dengan demikian mereka dapat memikirkan tentang peranan apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat/orang tua murid dan stakeholders lainnya untuk membantu sekolah. Pemahaman masyarakat yang mendalam, jelas dan konprehensip tentang sekolah merupakan salah satu faktor pendorong lahirnya dukungan dan bantuan mereka terhadap sekolah. Hal ini sejalan dengan apa yang 174 | St. Rodliyah
dikemukakan oleh Brownell seperti dikutip oleh Suriansyah (2001) yang menyatakan bahwa: Knowledge of the program is essential to understanding, and understanding is basic to appreciation, appreciation is basic to support. Bertolak dari pendapat yang diungkapkan Brownell tersebut di atas, dapat dipahami bahwa sekolah perlu melakukan beberapa aktivitas dalam melaksanakan manajemen peran serta masyarakat agar dapat mencapai hasil yang diharapkan dan memberdayakan masyarakat dan stakeholders lainnya. Beberapa aktivitas tersebut adalah: Selalu memberikan penjelasan secara periodik kepada masyarakat tentang program-program pendidikan di sekolah, masalah-masalah yang dihadapi dan kemajuankemajuan yang dapat dicapai oleh sekolah (berfungsi sebagai akuntabilitas). Agar pemahaman program oleh masyarakat menyentuh hal yang mendasar, maka harus dimulai dengan penjelasan tentang Visi dan Misi serta tujuan sekolah secara keseluruhan. Apa yang dimaksud dengan Visi dan Misi Sekolah anda dapat memperdalam pada buku-buku reference lain. Kenyataan selama ini tidak semua warga sekolah menghayati atau memiliki pemahaman yang mendalam tentang visi dan misi sekolah, sehingga pada saat masyarakat ingin mengetahui secara mendalam tentang hal tersebut warga sekolah (guru, murid, staf tata usaha dan lain-lain) tidak dapat memberikan penjelasan secara rinci. Hal ini akan memberikan kesan yang kurang baik kepada masyarakat. Apabila penjelasan-penjelasan tersebut dipahami Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 175
masyarakat dan apa yang diinginkan serta programprogram tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka penghargaan mereka terhadap sekolah akan tumbuh. Tumbuhnya penghargaan inilah yang akan mendorong adanya dukungan dan bantuan mereka pada sekolah. Dengan demikian maka program sekolah harus seiring dengan kebutuhan masyarakat. Karena memang pelanggan dan pengguna hasil lulusan sekolah adalah masyarakat. Atau dengan kata lain pelanggan sekolah itu pada hakekatnya adalah siswa dan orang tua siswa serta masyarakat. Karena itu kebutuhan dan kepuasan pelanggan merupakan hal pokok yang harus diperhatikan oleh lembaga sekolah. Sebagai contoh: Bagaimana masyarakat mau membantu sekolah apabila sekolah di tengah masyarakat religius dan fanatic, sekolah tidak pernah memprogramkan kegiatan sekolah yang bersifat religius, sehingga sekolah terisolir dari masyarakatnya. Sekolah menjadi menara gading bagi lingkungan masyarakat nya sendiri. Kondisi ini yang mendorong masyarakat untuk tidak terlibat apalagi berpartisipasi membantu sekolah. Dalam kenyataan yang ditemui di lembaga-sekolah sekarang ini nampaknya masih sedikit ditemukan pola-pola hubungan yang dapat mendorong terciptanya keempat hal pokok di atas. Hal ini disebabkan adanya persepsi bahwa peningkatan mutu sekolah dan peningkatan proses pembelajaran cukup dilakukan oleh pihak sekolah atau pihak pemerintah secara sepihak. Sedangkan pihak 176 | St. Rodliyah
masyarakat dan orang tua murid cukup dimintakan bantuannya dalam bentuk keuangan saja, atau ada semacam persepsi seolah-olah sekolah yang bertanggung jawab dalam peningkatan mutu. Sedangkan orang tua (masyarakat) tidak perlu terlibat dalam upaya peningkatan mutu di sekolah. Keterlibatan orang tua/masyarakat sering diinterpretasikan atau dipersepsi sebagai bentuk intervensi yang terlalu jauh memasuki kawasan otonomi sekolah. Keadaan ini juga turut berpengaruh terhadap terciptanya hubungan yang akrab antar sekolah dengan pihak masyarakat. Persepsi yang salah ini sebagai akibat dari kurangnya pemahaman masyarakat tentang pendidikan dan juga pemahaman warga sekolah tentang apa dan bagaimana harusnya pengelolaan hubungan sekolah dengan masyarakat dibangun. Di samping itu pemberdayaan masyarakat masih cenderung pada aspek pembiayaan pendidikan. E.
Proses pengambilan Keputusan dan Perencanaan yang Melibatkan Masyarakat di MAN Jember 1, SMAN 1 Jember, dan SMKN 1 Sukorambi Jember.
Berdasakan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada model proses pengambilan keputusan dan perencanaan di sekolah yaitu (a) secara intern dalam arti kebijakan yang berkaitan dengan masalah kedisiplinan belajar siswa, kedisiplinan mengajar guru, dan evaluasi, penentuan kelulusan siswa diambil keputusan oleh lembaga sekolah sendiri tanpa melibatkan masyarakat, (b) secara eksternal Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 177
dalam arti sekolah melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan yang berkaitan dengan perumusam visi, misi, tujuan pendidikan, RPS, RKS, RAKS, pendanaan les tambahan mata pelajaran khusus kelas 3, pendanaan lomba tingkat nasional dan internasional di tanggung bersama antara sekolah dan wali murid, penentuan proses pembelajaran yang berkualitas bagi siswa baru kelas 1 dengan cara kepala sekolah memberi peluang kepada masyarakat dan Komite Sekolah untuk memberi masukan, usulan, saran, dan bahkan kritikan jika perlu untuk product sebuah keputusan dan kebijakan yang benar-benar bisa diterima oleh seluruh warga sekolah dan mampu meningkatkan mutu sekolah. Kesimpulan tersebut didasarkan atas formulasi proposisi temuan penelitia yang diperoleh dari ketiga kasus sebagai berikut. P.4
:
Keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan baik itu berupa dukungan dan persetujuan terhadap RPS, RKS, RAKS, dan pendanaan sekolah mempermudah keberhasilan sekolah dalam mencapai visi, misi, dan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Hasil penelitian tersebut selaras dengan apa yang diekumkakan oleh Barnard dalam bukunya ”Fungsi Eksekutif”, Herbart A. Simon dalam bukunya ”Perilaku 178 | St. Rodliyah
Administrasi: Suatu Studi tentang Proses Pengambilan Keputusan”, dan Griffiths (owen: 1991) yang berkenaan dengan pengambilan keputusan. Simon misalnya, mengamati bahwa sebuah teori umum administrasi seharusnya meliputi prinsip administrasi yang akan menjanjikan perbaikan pengambilan keputusan. Griffiths mengajukan teori bahwa administarasi adalah pengambilan keputusan. Sedangkan Owen (1991) malah lebih menekankan bahwa pengambilan keputusan adalah ”the heart of organization and administration”. Perkembangan selanjutnya dapat ditelusuri dari penggunaan pendekatan perilaku dalam menganalisis kepemimpinan dalam pendidikan, diantaranya teori kepemimpinan kontinum dari Robert Tanembaun dan Warren H. Schmidt (Hoy dan Miskel, 1987, Owen, 1991). Menurut teori ini perilaku seorang pemimpin pada hakekatnya merupakan tingkahlaku pemimpin sampai sebarapa jauh hubungan dengan bawahan dalam proses pengambilan keputusan. Dikemukakan juga bahwa perilaku pemimpin mengacu pada dua kepentingan, yaitu (1) berorientasi kepada pemimpin yang disebut daerah otoritas atasan, dan (2) berorientasi kepada bawahan yang disebut dengan daerah kebebasan. Dalam teori ini ada tujuh perilaku pemimpin yang berhubungan dengan bawahan yaitu ; (a) pemimpin membuat dan mengumumkan keputusan terhadap bawahan, (b) pemimpin menjual dan menawarkan keputusan terhadap bawahan, (c) pemimpin menyampaikan ide dan Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 179
mengundang pertanyaan, (d) pemimpin memberikan keputusan tentative dan keputusan masih dapat dirubah, (e) pemimpin memberikan problem dan minta saran pemecahan kepada bawahan, (f) pemimpin menentukan batasan-batasan dan meminta untuk membuat keputusan, dan (g) pemimpin mengizinkan bawahan berfungsi dalam batas-batas yang ditentukan. Berdasarkan pada teori kepemimpinan kontinum dari Tanembaun dan Schmidt tersebut dapat dijelaskan bahwa perilaku pengambilan keputusan di sekolah dapat dianalisis dari dua orientasi kepemimpinan yang berbeda, yaitu : (1) kepemimpinan yang berorientasi kepada atasan yang merujuk pada daerah otoritas atasan (kepala sekolah) dalam pengambilan keputusan, dan (2) kepemimpinan yang berientasi kepada bawahan yang merujuk pada daerah kebebasan bawahan (masyarakat) dalam pengambilan keputusan. Daerah otoritas kepala sekolah ditunjukkan dengan makin meluasnya otoritas kepala sekolah, sehingga makin sempit atau makin dibatasi kebebasan masyarakat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan perencanaan di sekolah. Sedangkan daerah kebebsan masyarakat ditunjukkan dengan makin meluasnya kebebasan masyarakat, sehingga makin nyata masyarakat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan perencanaan di sekolah. Menurut Lipham, Hoe, dan Rankin (1985) bahwa ada tiga dimensi dalam pengambilan keputusan, yaitu: (1) dimensi isi, (2) dimensi proses, dan (3) dimensi 180 | St. Rodliyah
keterlibatan. Makna dimensi proses dalam pengambilan keputusan merujuk pada langkah-langkah atau tahapan dalam pengambilan keputusan. Pentingnya dimensi dalam pengambilan keputusan dalam hal ini sebenarnya sangat terkait dengan pandangan yang mengatakan bahwa tidak ada suatu model proses pengambilan keputusan yang paling baik. Oleh karena itu model proses pengambilan keputusan partisipatif yang ditemukan dalam penelitian merupakan suatu konsep yang dapat memperkaya khasanah pengetahuan tentang proses pengambilan keputusan atau sebagai pilihan yang dapat digunakan dalam pengambilan dan perencanaan di sekolah. Dalam penelitian ini ditemukan dua proses dalam pengambilan keputusan yaitu (1) secara internal dalam arti kepala sekolah akan mengambil keputusan secara intern dengan wakil kepala sekolah dan guru dalam masalah yang berkaitan dengan (a) (a) proses pembelajaran, (b) tata tertib sekolah terutama yang berkaitan kedisiplinan (guru dan siswa), (c) sangsi terhadap pelanggaran tata tertib, (d) evaluasi, (e) dan kelulusan, (2) eksternal yaitu proses pengambilan keputusan yang melibatkan masyarakat (Komite Sekolah, Orang tua dan masyarakat umum) langkahnya (a) kepala sekolah mempunyai sebuah konsep (program), (b) ditawarkan kepada Komite Sekolah, setelah setuju dan mendukung, (c) Komite Sekolah mensosialisasikan kepada orang tua siswa dan masyarakat secara umum melalui rapat awal tahun bagi siswa baru, pertengahan tahun pembagian raport Bab VII: Urgensi Partisipasi Masyarakat | 181
semester, dan diakhir tahun kelulusan dan kenaikan kelas, (d) masyarakat memberi masukan, usul, saran, dan bahkan kritikan, (e) masyarakat setuju dan mendukung pendanaannya, dan (f) kepala sekolah mengambil sebuah keputusan, (g) diajukan ke Kepala Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten atau langsung hanya pemberitahuan melalui tembusan surat keputusan (SK), (h) Kepala Kantor Pendidikan dan Kebudayaan mengajukan ke Bupati, dan (i) Bupati setuju keluarlah surat keputusan sekaligus sebagai sebuah kebijakan. Sebagai perbandingan berikut ini dikemukakan dua contoh proses pengambilan keputusan partisipatif. Pertama, Maier (Sujak: 1996) proses pengambilan keputusan partisipatif mencakup empat langkah, yaitu; (1) perumusan masalah, (2) pengumpulan ide dari bawah, (3) penilaian alternative, dan (4) penetapan rencana tindakan. Kedua, Owen (1991) mengembangkan suatu paradigma proses pengambilan keputusan partisipatif yang mencakup lima langkah, yaitu: (1) administrator dan staf mengidentifikasi alternative, (3) administrator dan staf mengidentifikasi konsekuensi, (4) administrator dan staf mencari nasehat, dan (5) administrator dan staf membuat keputusan. Dari kedua contoh tersebut tampak tidak ada persamaan mengenai langkah-langkah pengambilan keputusan partisipatif tergantung dari para pelakunya.
182 | St. Rodliyah
BAB VIII PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan tersebut diatas, maka partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan di sekolah adalah sangat urgen atau penting, terbukti dengan keterlibatan masyarakat program-progrm sekolah bisa berjalan dengan lancar terutama kegiatan proses pembelajaran yang tujuannya adalah untuk peningkatan prestasi belajar siswa menuju peningkatan kualitas pendidikan. Kesimpulan umum tersebut diuraikan secara rinci sebagai berikut. 1. Wujud Partisipasi Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan dan Perencanaan di MAN Jember 1, SMAN 1 Jember, dan SMKN 1 Sukorambi Jember. a. Sumbangan Tenaga/Fisik Partisipasi masyarakat yang berwujud sumbangan tenaga/fisik berupa sebidang tanah, bimbingan prakerin, komputer, printer, sonsistem, keamanan, kontrol komite terhadap pelaksanaan program sekolah, tukang dan kuli bangunan, sosialisasi narkoba, pendidikan sex dan bahayanya, serta sosialisasi berlalu lintas yang benar, dalam pengambilan keputusan dan perencanaan sekolah Bab VIII: Penutup | 183
mampu meningkatkan kualitas pembelajaran dan tercapainya tujuan pendidikan. b. Sumbangan Ide/Pemikiran Partisipasi masyarakat melalui sumbangan ide/pemikiran berwujud usulan, masukan, dan kritikan dalam pembuatan visi, misi, tujuan sekolah, RPS, RKS, RAKS, keamanan lingkungan sekolah, tambahan jam mata pelajaran bagi kelas 3, perbaikan prakerin sampai dengan memikirkan pendanaannya itu menjadi bahan pertimbangan, dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan program di sekolah. c. Sumbangan Dana Peran serta masyarakat dalam sumbangan dana meliputi: SPP, beasiswa bagi anak asuh, dana pengembangan sekolah, dana les mata pelajaran, dana bantuan lomba olimpiade mata pelajaran, dan dana peningkatan kualitas guru dan kualitas belajar siswa mendorong pelaksanaan proses pembalajaran berjalan dengan lancar. d. Sumbangan Moral Partisipasi masyarakat dalam sumbangan moral berupa keamanan sekolah dan keamanan siswa dari lingkungan yang negatif, nasehat, petuah, pembinaan akhlak dan moral, pembinaan berlalu lintas, pembinaan narkoba, pemberian amanat dalam PHBI dan PHBN, ekstrakurikuler pendalaman agama, sosialisasi kesehatan/pendidikan sex dan bahayanya 184 | St. Rodliyah
dalam pengambilan keputusan dan perencanaan sekolah memotivasi tercapainya visi, misi dan tujuan sekolah. 2. Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan dan Perencanaan Sekolah di MAN Jember 1, SMAN 1 Jember, dan SMKN 1 Sukorambi Jember. a. Partisipasi Aktif Peran aktif masyarakat dalam menyusun visi, misi, tujuan, kehadiran dalam rapat RPS, RKS, RAKS, sumbangan dana, sumbangan tenaga membimbing siswa prakerin, ikut menjaga keamanan sekolah dan siswa dari pengaruh lingkungan negatif, dan keaktifan Komite Sekolah dalam mengontrol, dan mengevaluasi pelaksanaan program sekolah, memotivasi sekolah menjadi maju, berkembang, dan berkualitas. b. Partisipasi Pasif Peran masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan sekolah dalam hal mengontrol belajar anak, mendampingi belajar anak di rumah, membantu mengajari mengerjakan PR, mengantarkan dan menjemput sekolah, mengikutkan les, berkomunikasi dengan guru, membuat prestasi belajar anak meningkat. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan dan Perencanaan di MAN Jember 1, SMAN 1 Jember, dan Bab VIII: Penutup | 185
SMKN 1 Sukorambi Jember. a. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan orang tua siswa yang tinggi memudahkan mereka untuk memahami rencana program sekolah dan memotivasinya untuk memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap keberhasilan belajar anak. b. Jenis Pekerjaan Jenis pekerjaan orang tua baik sebagai guru, dosen, dokter, pejabat, petani, pengusaha dan pedagang mendorong tingginya partisipasi masyarakat dalam mensukseskan kemajuan dan pengembangan sekolah. 4. Proses Pengambilan Keputusan dan Perencaan yang Melibatkan Partisipasi Masyarakat di MAN Jember 1, SMAN 1 Jember, dan SMKN 1 Sukorambi Jember. Proses pengambilan keputusan dan perencanaan yang melibatkan partisipasi masyarakat dimulai dari intern yaitu masalah yang berkaitan dengan tata tertib, proses pembelajaran, evaluasi, dan penentuan kelulusan siswa diputuskan oleh lembaga sendiri, sedangkan secara ekstern di mulai dari membahas rencana program dengan Komite Sekolah, sosialisasi ke wali murid melalui rapat untuk mendapatkan dukungan dan persetujuan, memberikan tembusan ke kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan Kakemenag. Kabupaten Jember, SK Bupati keluar, 186 | St. Rodliyah
selanjutnya kepala sekolah mengeluarkan sebuah kebijakan. B. Implikasi Implikasi dari hasil temuan penelitian ini mencakup dua hal, yaitu implikasi teoritis dan implikasi praktis. Implikasi teoritis berhubungan dengan kontribusi bagi perkembangan teori-teori manajemen pendidikan dan implikasi praktis berkaitan dengan kontribusi temuan penelitian terhadap partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan di sekolah aplikasinya di lapangan. 1. Implikasi Teoriitis Implikasi teoritis penelitian ini berkaitan dengan teori partisipasi masya- rakat dalam pendidikan merupakan bagian kajian ilmu sosiologi pendidikan. Selain itu, pengambilan keputusan dan perencanaan sekolah merupakan bagian kajian dari ilmu manajemen pendidikan. Di tinjau dari sisi ilmu sosiologi dan manajemen pendidikan, partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan sekolah diawali dengan (a) wujud partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan di sekolah, (b) tingkat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan di sekolah, (c) faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan di sekolah, dan (d) proses pengambilan keputusan dan perencanaan di sekolah yang melibatkan partisipasi masyarakat. Implikasi tersebut dapat Bab VIII: Penutup | 187
dijelaskan sebagai berikut. Pertama, implikasi teoritis kaitannya dengan wujud partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan sekolah. Sekolah merupakan lembaga formal yang berfungsi sebagai ”mitra kerja” keluarga dan masyarakat dalam melaksanakan tugasnya membentuk warga masyarakat yang diinginkan (Arikunto, 1990). Untuk itu sekolah tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Sudjiman dan Librata (1989), menjelaskan bahwa sekolah tidak dapat terpisahkan dari masyarakat, tetapi sekolah justru diurus oleh pemerintah saja. Sekolah yang mampu mengantisipasi programnya dengan baik akan menghasilkan lulusann yang berkualitas. Menurut Frymier, dkk (1987), satu hal yang tidak dapat dihindari yaitu sekolah melibatkan masyarakat, da masyarakat terlibat dalam sekolah. Oleh karena itu sekolah dikatakan sukses apabila mampu melibatkan masyarakat untuk memberikan dukungan, masukan, dan saran yang konstruktif. Di samping itu, keberadaan masyarakat merupakan sumber nilai yang memberikan arah normatif kepada pendidik (Joni: 1992). Untuk mencapai tujuan tersebut, pihak orang tua membentuk satu organisasi Komite Sekolah, dan masyarakat khususnya yang ada di lingkaran usaha membentu oranisasi yang bernana dunia usaha dan industri (DUDI) (Kamars: 1989). Organisasi ini berperan membantu program-program sekolah dan berdampak pada orang tua siswa untuk memahami apa yang dibutuh kan oleh anak, dan pendidikan yang terbaik 188 | St. Rodliyah
yang dapat diberikan terhadap anak. Stoop (Pidarta: 2004), mengusulkan bentuk-bentuk program kerjasama hendaknya memenuhi syarat-syarat antara lain : (a) jujur, (b) mulia, (c) mencakup segala yang diperlukan, (d) komprehensif, (e) sensitive terhadap masyarakat, dan (f) dapat dipahami oleh masyarakat. Seanjutnya, program sekolah yang melibatkan masyarakat dalam usaha meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah dapat bersifat mulia dan jujur, selama hal tersebut dikelola dengan baik dan terbuka. Oleh karena itu, keterbukaan ini sangat penting untuk mempertahankan kegairahan warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan perncanaan di sekolah. Kedua, tingkat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan di sekolah, menurut hasil penelitian Brofenbrenner yang direview Hoover, dkk (1987) menyimpulkan bahwa partisipasi orang tua sangat penting untuk keberhasilan program-program pendidikan anak, terutama pada peningkatan prestasi belajar siswa, perbaikan perilaku, penurunan absensi murid, pemupukan sikap positif murid pada sekolah, dan peningkatan kebiasaan menyelesaikan pekerjaan rumah (PR). Hal senada dinyatakan oleh Husen (1988), dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa siswa dapat belajar banyak karena dirangsang oleh pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru dan akan berhasil dengan baik berkat tingkat partisipasi masyarakat baik aktif maupun pasif dari orang tua dalam usaha memberikan dukungan kepada Bab VIII: Penutup | 189
progran sekolah. Keluarga merupakan masyarakat pendidikan yang pertama dan bersifat alamiah, serta dilingkungan keluargalah anak-anak disiapkan untuk memasuki dunia orang dewasa (Said: 1989). Keluarga sebagai pusat pendidikan dan pusat kebudayaan serta pusat agama, maka perilaku dan sikap anak disekolah akan dinilai oleh masyarakat. Sehingga masyarakat mampu memilih sekolah mana yang layak untuk anak-anaknya. Ketiga, Faktor-Faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan sekolah, dalam perkembangannya Musyaroh (2001) melihat ada lima hal penting yang harus diperhatikan oleh sekolah dalam rangka keterlibatan masyarakat terhadap sekolah, yaitu ; (a) fleksi- bilitas, artinya sekolah harus mengikuti perubahan-perubahan dan perkembangan tuntutan masyarakat, pengetahuan dan teknologi, (b) relevansi, artinya bahwa sekolah harus berusaha menyesuaikan peran dan fungsinya dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat yang menjadi latar peserta didik, (c) partisipatif, artinya program kegiatan dan layanan yang diberikan oleh sekolah hendaknya disusun bersama-sama dengan masyarakat, (d) komprehensif, artinya bahwa sekolah harus menjalin hubungan kerjasama dengan masyarakat yang lebih luas, baik lokal, regional, nasional, bahkan internasional, (e) melembaga, artinya bahwa dalam menjalin hubungan sekolah dengan masyarakat harus melalui organisasi pendidikan yang dikelola dengan baik. 190 | St. Rodliyah
Sekolah sebagai suatu organisasi tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh sistem-sistem lainnya itu yang secara terus menerus berubah. Hal ini berarti, organisasi sekolah berada dalam lingkungan yang selalu berubah (Stoner: 1982). Keadaan ini menuntut organisasi sekolah untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan itu. Upaya penyesuaian diri tersebut dapat dilakukan melalui pengembangan organisasi (organizational development). Keempat, proses pengambilan keputusan dan perencanaan sekolah yang melibatkan masyarakat ini menurut Vroom & Yetton (1992), menunjukkan bahwa perilaku pemimpin yang semakin melibatkan para anggotanya (masyarakat) dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan akan lebih memotivasi anggota untuk berkomitmen melaksanakan hasil keputusan tersebut. Dengan demikian, komitmen masyarakat terhadap organisasi sekolah akan meningkat pula. Sementara itu Mantja (2002) mengatakan bahwa salah satu faktor yang memainkan peranan penting untuk menciptakan semangat kerja yang tinggi adalah perilaku kepemimpinan kepala sekaolah. 2. Implikasi Praktis Implikasi praktis dalam penelitian ini berlaku bagi pengambil keputusan dan kebijakan, manajemen pendidikan dan dampak sosial partisipasi masyarakat akan berakibat terhadap hasil keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh sekolah sebagai berikut. Bab VIII: Penutup | 191
Pertama, temuan penelitian tentang wujud partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan sekolah meliputi: (1) wujud partipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan sekolah meliputi: (a) sumbangan tenaga/fisik berupa sebidang tanah, bimbingan prakerin, komputer, printer, sonsistem, keamanan, kontrol komite terhadap pelaksanaan program sekolah, tukang dan kuli bangunan, sosialisasi narkoba, pendidikan sex dan bahayanya, serta sosialisasi berlalu lintas yang benar, (b) sumbangan ide/pikiran berupa usulan perbaikan sarana prasarana sekolah (kamar mandi, tempat parkir, tempat ibadah, dan ruang kelas), usulan tambahan les mata pelajaran bagi kelas 3 untuk menghadapi ujian nasional (UN), usulan kegiatan ekstrakurikuler kesenian dan pendalaman agama Islam membekali kehidupan anak, (c) sumbangan dana berupa; SPP, dana pengembangan sekolah, dan dana peningkatan kualitas guru dan siswa, (d) sumbangan moral berupa: nasehat, petuan, pembinaan moral melalui penyuluhan, siraman rokhani dari tokok agama dalam rangka PHBI dan PHBN, dan pemupukan nilainilai nasionalisme melalui amanat pembina upacara. Kedua, temuan penelitian tentang tingkat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan di sekolah meliputi (1) tingkat partisipasi aktif berupa keaktifan orang tua siswa dalam menghadiri rapat sekolah, memberikan usulan, masukan, dan saran berkaitan dengan perencanaan program sekolah, ikut 192 | St. Rodliyah
dalam perumusan visi dan misi sekolah, mendukung, menyetujui program dan pendanaan sekolah, (2) tingkat partisipasi pasif berupa; mengontrol dan mendampingi belajar anaknya, mengikutkan les pelajaran anaknya, mengantarkan dan menjemput sekolah anaknya, dan memenuhi semua kebutuhan sekolah anak. Ketiga, temuan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan di sekolah meliputi; (1) tingkat pendidikan, tingginya pendidikan orang tua memotivasi tingginya partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan dan perencanaan di sekolah, (2) tingkat pekerjaan, pekerjaan orang tua siswa sebagai PNS dosen, guru, dokter, pengusaha, pedagang, petani, dan peternak ikan mendorong tingginya partisipasi masyarakat dalam mensukseskan kemajuan dan pengembangan sekolah. Keempat, temuan penelitian proses pengambilan keputusan dan perenca- naan di sekolah yang melibatkan partisipasi masyarakat meliputi, intern yaitu masalah yang berkaitan dengan kediplinan belajar siswa, kedisiplinan guru dalam mengajar, kenakalan siswa, dan prestasi belajar siswa di selesaikan secara intern sekolah, sedangkan ekstern diawali membicarakan dulu semua rencana program sekolah di intern pimpinan dan perwakilan dari guru dan kepala tata usaha baru di bicarakan dengan Komite Sekolah, kemudian disosialisakan kepada wali murid melalui rapat dengan agenda Bab VIII: Penutup | 193
membahas RPS, RKS, RAKS, tambahan les mata pelajaran bagi kelas 3 untuk mengahdapi UN, dan peningkatan kulaitas guru dan siswa melalui rencana program pelatihan, lokakarya, seminar, dan work shop. Berdasarkan temuan penelitian tentang partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan sekolah tersebut di atas, dalam implementasinya ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pengambil keputusan dan perencana program antara lain; (a) kepala sekolah diharapkan dalam implementasi program kebijakan sekolah, tetap menjalin kerjasama yang baik dengan masyarakat yang terdiri dari orang tua siswa, Komite Sekolah, DUDI, alumni dan instansi lain untuk kesuksesan program sekolah, (b) guru diharapkan meningkatkan hubungan silaturahmi dengan orang tua siswa karena orang tua berperan penting dalam mendukung peningkatan prestasi belajar anak, (c) Komite Sekolah diharapkan lebih meningkatkan sensitivitas terhadap persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat, sebagai bahan masukan bagi sekolah dalam menentukan rencana program yang akan ditetapkan oleh sekolah, begitu juga sebaliknya Komite Sekolah harus mampu mensosialisasikan rencana program sekolah sehingga masyarakat mampu memahami apa yang dikehendaki sekolah dan akhirnya mendukung serta menyetuju sekaligus bersedia mendanai program tersebut, (d) para penyelenggara pendidikan diharapkan mampu meningkatkan komitmennya dalam mengelola sekolah 194 | St. Rodliyah
karena mendapatkan amanah dari orang tua siswa, sehingga kualitas pendidikan secara makro akan sangat berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat, (e) pemerintah supaya kedepannya lebih berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan, misalnya statment ”sekolah gratis” jika pemerintah belum benar-benar mampu menyediakan pembiayaan pendidikan yang cukup, jangan sampai kebijakan itu dikeluarkan, karena mestinya pemerintah memprioritaskan pembangunan sarana prasarana pokok dulu seperti gedung-gedung sekolah diperbaiki dahulu, sehingga tidak ada informasi tentang gedung sekolah yang roboh, atap yang roboh dan lain-lain, (f) Dinas pendidikan dan Kebudayaan dan kantor Kementrian Agama Kabupaten diharapkan memberikan otonomi kepada sekolah dengan sepenuh hati, sesuai dengan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) dengan otonomi tersebut sekolah akan lebih leluasa untuk mengembangkan potensi yang dimiliki, sekaligus mendapatkan dukungan dan sumberdaya dari para stakeholder. Implikasi terhadap manajemen pendidikan bahwa sekolah yang dipercaya oleh masyarakat ternyata karena faktor pengelola dan warga sekolahnya yang bertnggungjawab terhadap mutu sekolahnya dan transfaran di dalam mengelola keuangan sekolah, baik keuangan yang dari pemerintah maupun sumbangan dari masyarakat yang berupa SPP dan dana pengembangan sekolah. Kunci dari adanya partisipasi masyarakat terletak Bab VIII: Penutup | 195
pada apakah suatu sekolah tersebut dipercaya masyarakat ataukah tidak. Oleh karena itu, pengelola sekolah dan warga sekolah, hendaknya berusaha secara optimal dalam membangun kepercayaan masyarakat melalui melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan di sekolah. Karena kepercayaa tersebut akan menentukan sampai dimana tingkat derajat partisipasi masyarakat dalam pengambialan keputusan dan perencanaan di sekolah. Implikasi terhadap dampak sosiologis bahwa hubungan sekolah dengan masyarakat akan berjalan dengan lancar apabila terdapat wadah yang terdiri atas wakil-wakil dari sekolah (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, dan guru), wakil-wakil dari orang tua siswa (Komite Sekolah), dan wakil-wakil dari masyarakat khususnya dari dunia usaha dan industri (DUDI), yang selalu mengadakan kegiatan komunikasi dan menjalin kerjasama secara berkelanjutan. Untuk membahas, mengontrol dan mengevaluasi kegiatan sekolah, partisipasi dari semua unsur-unsur tersebut sangat mempengaruhi kinerja organisasi sekolah. Hubungan yang baik dan harmonis antara lembaga pendidikan (sekolah) dengan masyarakat atas dasar common sense dengan komunikasi yang lancar memberi peluang yang besar kepada para perencana program sekolah untuk mampu mengimplentasikan program tersebut dengan optimal. Bentuk-bentuk hubungan sekolah dengan masyarakat dapat ditempuh melalui berbagai cara yaitu: 196 | St. Rodliyah
(a) mengadakan pertemuan/rapat dengan orang tua siswa minimal 4 kali dalam satu tahun, pertama rapat dengan wali murid siswa baru untuk perkenalan, sosialisasi program sekolah, dan membahas proses pembelajaran yang berkualitas bagi siswa, kedua rapat pembagian rapot semesteran dan temu konsultasi dengan wali murid untuk membahasa prestasi belajar siswa, ketiga rapat khusus untuk wali murid kelas 3 membahas persiapan pembelajaran menghadapi ujian nasional, dan keempat rapat pertemuan penyerahan siswa kepada wali murid khusus untuk kelulusan di akhir tahun, (b) mengadakan surat menyurat anatara sekolah dengan dengan orang tua siswa baik yang berkaitan dengan pemberitahuan, informasi, maupun pemanggilan yang berkaitan dengan prestasi belajar siswa dan kedisiplinan siswa dalam proses pembelajaran, (c) mengadakan daftar nilai atau raport, (d) kunjungan guru ke rumah orang tua siswa atau sebaliknya kunjungan orang tua ke sekolah untuk konsultasi mengenai prestasi belajar siswa maupun perilaku siswa, (e) mengadakan peringatan hari besar agama (PHBI) dan peringatan hari besar nasional (PHBN), pesta sekolah atau pameran hasil karya siswa yang dihadiri orang tua siswa dan masyarakat secara umum dan pengumuman peraih juara hasil karya terbaik sekligus pemberian sertipikat dan hadiah.
Bab VIII: Penutup | 197
198 | St. Rodliyah
DAFTAR PUSTAKA Adams, D. & Thut, I.N. 1984. Educational Patterns Contemporary Society. New York: Mc Graw-Hill Book Company. Amstrong, D.G., J.J. Denton, & JR. TV. Savage. 1978. Instructional Skills Handbook., Englewood Cliffs, NJ.: Prentice-Hall. Inc. Andrew, G.M. & R.E. Moir. 1973. Informational-Decision Systems in Education. Itasca. Illinois: F. E. Peacock Publisher. Inc. Ardana, W. 1986. Dasar-Dasar Kependidikan. Malang: IKIP. Argyris, C. 1957. Personality and Organization. New York: Harper and Brothers. Arikunto, S. 1989. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Bina Aksara. Arikunto, S. 1990. Manajemen Pengajaran Manusiawi. Jakarta: Rineka Cipta.
Secara
Alisyahbana, S. 2000. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan. Jurnal Analisis Sosial. Vol. 5 No. 1 Januari.. Alzarif, S.M. 1995. The Obstacles that Deter the Role of the School Social Specialist from Trying to Strengthen Social activities. Egyptian Association for Social Specialists, Nos. 34-35, July. Bafadal, I. 1995. Proses-Proses Perubahan di Sekolah: Studi Multi Kasus pada Tiga Sekolah Dasar yang Baik Sumekar. Disertasi tidak diterbitkan. Universitas Daftar Pustaka | 199
Negeri Malang : PPS Bastian, A R,. 2002. Reformasi Pendidikan. Yogyakarta: LAPPERA Pustaka Utama. Brownwll,. C.L., Gans, L., & Maroon T.Z. (1955). Public Relation In Education. Bogdan,.R.C., dan Biklen. 1982. Qualitative Research For Educational An Introduction To Theory And Method. Toronto: Allyn and Bacon Inc. Bogdan, R.C. & Taylor, S.J. 1992. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. Terjemahan oleh Arief Furchon. Surabaya: Usaha nasional. Carver, F.D. & Sergiovanni. 1969. Organization and human Resources. New York: Wm. C. Brown Company Publishers. Champman, J. (Ed.). 1990. School Based Decision Making and Management. Philadelphia: The Falmers Press. Cohen, M.D., & March, J.G. 1974. Leadership and Ambiguity. Boston: Harwad Business School Press. Chusnah, U. 2008. Evaluasi Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Program Peningkatan Kualitas Sarana Prasarana Pendidikan di SMAN 1 Surakarta. Tesis. Semarang. PPS Universitas Diponegoro. Depdikbud. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Jakarta: Balai Pustaka. Depdiknas, 2002. Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. 200 | St. Rodliyah
Dewantara, K.H. 1962. Karya Ki Hajar Dewantara. Pendidikan. Yogyakarta: Taman Siswa. Fattah, N. 2006. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Rosdakarya. Frymier, J., Combleth, C., Donmoyer, R., Gansneder, B.M., jeter, J.T., Klein, M.F., Schwab, M., & Alexander, W.M. 1984. One Hundred Good Schools. West Lavayette, Indiana: Kappa Delta Pi. Gibbons, R.A. 1986. School Improvement Program. Ohio: Culumbus Public Schools, Dept. of Evaluation Services. Gorton, R.A. 1976. School Administration. Mc Grow Hill. Company Publisher, Dubuque, Iowa. Gordon, JR., Moundy RW., Sharplin A. 1990. Majament and Organizational Behavior. Boston: Allyn and Bacon, Inc. Guba, E.G. 1978. Toward A Methodology of Naturalistic Inquiry in Education Evaluation. Los Angles: Centre for Study of Evaluation University of California. Hamalik, O. 2002. Perencanaan pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi Aksara. Handoko, T.H. 1998. Manajemen Edisi 2. Yogyakarta: BPFE UGM. Hanson, E.M. 1985. Educational Adminsitration and Organizational Behavior (2nd ed). Boston: Allyn and Bacon, Inc. Harjanto. 2000. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Daftar Pustaka | 201
Hasan, M.I. 2004. Pokok-Pokok Teori Pengambilan Keputusan. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hersey, P. & Blanchard, K.H. 1982. Management of Organizational Behavior: Utilizing Human resources. Englewood Cliffs. New Jersey: Prentice-Hall. Inc. Husen, T. 1975. Learning Society. Trans. Miarso (Ed) (1988). Jakarta : Rajawali Pers. Hoover, I. 1988. Leadership in the 21st Century. Principal, Volume 78, 32-34 (Report No. 3006), Austin, Texas: University f Texas at Austin, Research and Development Center for Teacher Education. (ERIC Document Reproduction Service No. ED 095 126). Hoy, W.K., Miskel, C.G. 1987. Educational Admistration: Theory, Research, and Practice. Second Edition. New York: Random House. Inc. Ibrahim, R. 2002. Kurikulum Pembelajaran. Bandung: Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan. FIP. UPI. Joni, T.R. 1992. Ketentuan-ketentuan Pokok Kurikulum Pendidikan Pra-jabatan Kependidikan dan Strategi Pengembangannya. Jakarta: P2LPTK, Ditjen Dikti, Depdikbud. Karisdi, R. 2003. Reaktualisasi Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Pendidikan di Indonesia. Surabaya: PKIP Universitas Smebelas Maret. Kohen, J.M. 1977. Rural Development Participation. USA: Cornel University. Koentjaraningrat. 1983. Metode-Metode Masyarakat. Jakarta: Gramedia. 202 | St. Rodliyah
Penelitian
Kumars, D. 1989. Sistem Pendidikan Dasar dan Menengah dan Pendidikan Tinggi suatu Perbandingan di Beberapa Negara. Jakarta : Depdikbud, Dikti, P2LPTK. Lipham, J.M., et Al. 1985. The Principalship Concept, Competencies and Cases. New York: Longman Inc. Lincoln Y. S. & E.G.L., Guba. 1985. Naturalistic Inquiry, Beverly Hills., CA : Sage Publication Inc. Majid, A. 2011. Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Bandung: Remaja Rosda Karya. Mantja, W. 1998. Etnografi: Desain Penelitian Kualitatif Manajemen Pendidikan. Malang: PPS IKIP Malang. Marks, SJ. R., & Stoop. J.K. 1985. Handbook of Educational Supervision. Third Edition. Boston: Allyn and Bacon, Inc. Maslow, A.H. 1954. Motivation and Personality. New York: Harper and Bros. Mataheru, F. 1984. A Study of Teacher Motivation at Work With Special Reference to Indonesia. A Dissertation Indiana University, Boomington. Miles, M. B & Huberman. 1992. A.M, Qualitative Data Analysis. A.Cource Book Of New Method Berverly Hills : sage publication Inc. Moleong. L.J..2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Moedjiarto. 2002. Sekolah Unggul, Metodologi untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan. Surabaya: Duta Graha Pustaka. Daftar Pustaka | 203
Murillo, J.J. 2002. Good Effective School Improvement in Spain. Educational Research and Evaluation. Vol. 8 N0. 4, pp 387-410 Nasution, S. 1988. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Ndraha, T. 1990. Pembangunan Masyarakat Jakarta: Bina Aksara. Ornstein, A.C. & Miller, H.L. 1980. Looking into Teaching: An Introduction to American Education. Chicago: Rand McNally College Publishing Company. Owens, R. G. 1987. Organizational Behavior in Education. Third Edition. Englewood Cliffs. N.J: Prentice-Hall., Inc. Patton, M.Q. 1980. Qualitative evaluation methodes. Beverly-Hills, CA: Sage Publication, Inc. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990 Tentang Pendidikan Menengah. Jakarta. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Biro Hukum Depdiknas. Peraturan Menteri Nomor 29 tahun 2005. tentang Badan Akreditasi Sekolah. Jakarta: Biro Hukum Depdiknas. Peraturan Menteri Nomor 18 tahun 2007. tentang Setifikasi Guru dalam jabatan. Jakarta: Biro Hukum Depdiknas. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: 204 | St. Rodliyah
Biro Hukum Depdiknas. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Biro Hukum Depdiknas. Pidarta, M. 1988. Manajemen Pendidikan Indonesia. Edisi Pertama, Jakarta : Bina Aksara. Poerwodarminto. W.J.S. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Prayitno, D. 2008. Parisipasi Masyarakat dalam Implementasi Kebijakan Pemerintah. ( Studi Kasus Pelaksanaan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun Di Distrik Semangga, Kabupaten Merauke). Tesis. Semarang: PPS Universitas Diponegoro. Rossow, L.F. 1990. The Principalship: Dimensions in Instructional Leadership. Boston: Allyn and Bacon. Inc. Rosyada, D. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Kencana. Sagala, S. 2006. Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Sahertian, P.A. 1994. Profil Yogjakarta: Andi Ofset.
Pendidik
Profesional.
Said, H.M. 1989. Ilmu pendidikan. Bandung: Alumni Salusu, J. 1996. pengambilan Keputusan Strategik: Untuk Organisasi Publik dan Organisasi Non Profit. Jakarta: Daftar Pustaka | 205
Raja Grafindo. Sa’ud, U.S. 2005. Perencanaaan Pendidikan Suatu Pendekatan Komprehensif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sawedi, M. 2002. Promoting Grass Root Democracy and Good Governance though Participatiory Local Development Planning. Media Partnership IPGI Volume 2 No. 2 Tahun 2002. Sergiovanni, T.J. 1987. The Principalship, A Reflective Practice Perspective. Boston: Allyn and Bacon. Sergiovanni, T.J. et al. 1987. Educational Governance and Administration. Second Edition. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, Inc. Shaeffer, S. 1992. School Based Management. New York: McGraw Hill. Siagian. S.P. 1993. Filsafat Administrasi. Jakarta: Gunung Agung. Silalahi, Ulbert. 1996. Asas-Asas Manajemen. Bandung: Mandar Maju. Slamet Y. 1993. Konsep-Konsep Dasar Partisipasi Sosial . Yogyakarta: Pusat Antara Universitas Studi Sosial UGM. Sonhadji, A.K.H. 1995. Misi, Strategi dan Kendala Penelitian Kualitatif. Makalah disajikan dalam Lokakarya di Lemlit. Jakarta. Souce, UNDP. 2010. Human Developmen Report. Bidang Ekonomi, Kesehatan dan Pendidikan. Spredly, J.P., 1990. Participant Observation, New York: 206 | St. Rodliyah
Holt Rine Hart and Winston. Stoner, J.A.F. 1982. Manajemen. Scond Edition. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc. Sulistyorini. 2009. Peranserta Masyarakat dalam Pengembangan Sekolah (Studi Multi Kasus di MIN Tegalasri, SDN Tangkil 1, dan SDN Babadan 1 di Kabupaten Blitar) Disertasi tidak dipublikasikan. UM: PPS. Suriansyah, A. 1987. Mutu Pendidikan di SLTP Kalsel “Analisis Partisipasi Orang Tua Murid dalam Pendidikan. Banjarmasin: FKIP Unlam. Suriansyah, A. 2001. Hubungan Sekolah Dengan Masyarakat. Diktat Bahan Kuliah pada Program Studi Administrai Pendidikan, FKIP Unlam. Banjarmasin: FKIP Unlam Suriansyah, A. Amka. 2002. Panduan Manajemen Berbasis Sekolah Di Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Dinas Pendidikan Propinsi Kalimantan Selatan. Suryadi, A. 1991. Indikator Mutu dan Efisiensi Pendidikan SD Di Indonesia (Laporan Analisis Tahap Awal). Jakarta : Balitbangdikbud, Pusat Informatika. Suryadi, A. & Wiana. 1993. Kerangka Konseptual Mutu Pendidikan dan Pembinaan Kemampuan professional guru. Jakarta: Cordimas Metropole. Suryadi, A. 1995. Improving the Educational Quality of Primary Schools. Jakarta: Pusat Informatika Balitbang Dikbud. (MOE). Suryadi, A. 2003. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah: Mewujudkan Sekolah yang Mandiri dan Otonom. Daftar Pustaka | 207
(Online). (htt:/www. Depdiknas, go. Id/serbaserbi/dpks/Pemberdayaan DPKS. Htm. Diakses Januari 2011. Sutisna, O. 1989.Administrasi Pendidikan Dasar Teoritis untuk Praktek Profesional. Bandung : Angkasa. The Liang Gie, dkk. 1977. Insiklopedia Administrasi. Jakarta: Gunung Agung. Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Tjokroamidjodjo, Bintoro. 1982. Perencanaan pembangunan. Jakarta: Gunung Agung. Thoha, M. 1983. Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: Rajawali. Thoha, M. 1999. Desentralisasi Pendidikan. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No. 17 Tahun ke-5 Juni 1999. Torsten, H. 1988. Masyarakat Belajar. Jakarta: Pusat Antar Universitas Terbuka bekerjasama dengan CV. Rajawali Pers. Universitas Negeri Malang. 2007. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Edisi keempat). Malang: Penerbit UM. Undang-Undang RI. Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Surabaya: Arcola. Undang-Undang RI. Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan nasional. Jakarta: Biro Hukum Depdiknas. Undang-undang RI. No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebagai Tenaga Profesi. Jakarta: Depdikbud Pusat. 208 | St. Rodliyah
Usman, H. 2006. Manajemen Pendidikan, Teori, Praktek dan Riset pendidikan. Jakarta: Bina Aksara. Wahjosumidjo. 1994.. Kiat Kepemimpinan: dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Harapan Masa PGRI. Yin, R. 1997. Studi Kasus: Desain dan Metode. (cetakan kedua). Diterjemahkan oleh Djauzi Mudzakir. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Daftar Pustaka | 209
210 | St. Rodliyah
TENTANG PENULIS
Dr. Hj. St. Rodliyah, M. Pd lahir pada tanggal 11 September 1968 di Dusun Kepuhsari Desa Kepuharum Kecamatan Kutorejo Kabupaten Mojokerto Propinsi Jawa Timur. Anak ke enam dari sembilan bersaudara. Ayahanda bernama H. Kholil dan ibunda Hj. Fathonah. Pendidikan formal yang telah diselesaikan adalah pendidikan Sekolah Dasar di Madrasah Ibtida’iyah (MI) pondok pesantren “Darul Muwahidin” Wonokusumo Payungrejo Kutorejo Mojokerto lulus pada tahun 1981. Pendidikan Sekolah Lanjutan Tinkat Pertama diselesaikan di Madrasah Tsanawiyah (MTs) pondok pesantren “Bidayatul Hidayah” Mojogeneng Jatirejo Mojokerto lulus pada tahun 1985. Pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas diselesaikan di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) pondok pesantren “Mambaul Ma’arif” Denanayar Jombang lulus pada tahun 1988. Pendidikan Sarjana (S.1) diselesaikan di IAIN “Sunan Ampel” Malang lulus pada tahun 1992 Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI). Pendidikan Magister (S.2) diselesaikan di Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang (UM) lulus pada tahun 2001, Program Studi Manajemen Pendidikan. Pendidikan Doktor (S.3) diselesaikan di Program Tentang Penulis | 211
Pascasarjana Universitas Negeri Malang dengan Program Studi yang sama yaitu Manajemen Pendidikan pada tahun 2012. Semasa di pondok pesantren “Mambaul Ma’arif” Denanyar Jombang aktif di kepengurusan pondok menjadi ketua pondok komplek “Al-Khodijah III”. Sedangkan ketika sekolah di MAN penulis aktif di OSIS sebagai koordinator bidang keputrian, semasa menjadi mahasiswa S.1 penulis aktif di kepengurusan Kosma dan Senat. Dalam organisasi ekstra, penulis aktif di Korp. PMII Putri sebagai ketua komisariat IAIN “Sunan Ampel “ Malang pada tahun 1991, dan berlanjut menjadi ketua 1 Korp PMII Putri Cabang Malang pada tahun 1992. Pengalaman bekerja mulai tahun 1994 menjadi dosen luar biasa di IAIN “Sunan Ampel” Jember. Kemudian pada tahun 1999 diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dosen di STAIN Ponorogo. Pada tahun 2004 penulis mutasi mengikuti suami ke STAIN Jember sampai dengan sekarang, selain itu pernah mengajar di Politeknik Jember pada tahun 2007 sampai dengan 2009 kemudian izin kuliah S.3 (program doktor). Pada tanggal 20 Oktober 1992 penulis di persunting oleh Prof. Dr. H. Moh. Khusnuridlo, M. Pd., putra dari bapak H. Abdurahman dan Ibu Hj. Siti Mahmudah Ponorogo, dan dikaruniai dua orang putra, yaitu bernama; (1) Fahmi Ziyyad Al-Afthoni sedang kuliah di Universitas Darus Salam Gontor Ponorogo, dan (2) Fero Ghifar Nafidz kelas 5 di SD “Al Baitul Amin” (Full Day Shool) Jember. 212 | St. Rodliyah
Tentang Penulis | 213