DPR/DPRD, DAN KAITANNYA DENGAN PERAN PARPOL DALAM ERA REFORMASI DI INDONESIA Oleh Benyamin Tungga Universitas Ngurah Rai Bali Email:
[email protected]
Franciscus Xaverius Wartoyo STKIP PGRI Sidoarjo Email:
[email protected]
Abstract The idea to highlight and expose the dualism and impartiality of parliament members, either regionally and/or at national level, against their main jobs, functions, and roles as the members of any given political party was the first that came to mind at the onset of writing this paper. Upon digging the necessary information and materials, the main theme of this paper shifts to reveal that the election has become a means to gain the position as the ruler that legalised and legitimate. Voters can choose directly their intended candidates as the winning one. As is the case, the unhappy loose ends of regional residents tend and prefer to cut ties with the central government. Faced with the threat and imminent danger of separation insurgencies equipped with military supplies, the central government has run out of option, but the military oppression. Lack of experiences, skills, and training surely can’t cope with the highly ones of the Indonesian military personnel, though with obsolete military weapons. The man behind the gun that matters. As the combatants are the same citizens, reconciliation between the brotherly belligerents must have been made. Power struggle must have been carried out in a humanly fashion as possible. Election in either national or regional scale have become the main battlefield. Today, it’s not the blood that shed, but money that must have been poured in a very large sum to win the election. As the members of any given political party, they must fully comply and obey with what have been set as the rules, objectives, and interests of their political party. Keywords Election, delegation, decentralisation, bureaucracy, legislation, executive body, conflict
Pendahuluan Latar Belakang Sebelum berlakunya UU No.12/2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, peran (elit, pejabat, dan/atau petinggi) parpol sangat dominan dalam hal (penempatan prioritas, peringkat) keterpilihan anggota menjadi (bakal) caleg (calon anggota legislatif, DPR/DPRD) dalam suatu DCS (Daftar Calon Sementara) dan/atau DCT (Daftar Calon Tetap). Di sisi lain, banyak anggota dan/atau kader (yang merasa memiliki massa pendukung yang lebih banyak) merasa lebih layak secara pribadi dan individu untuk mendapatkan kursi di parlemen, dibandingkan atas dasar anugerah, kebijakan, restu, atau pertimbangan dari (elit, pimpinan, pejabat) partai politik. Menjadi anggota parlemen merupakan satu prestise dan prestasi tersendiri bagi sebagian masyarakat yang berpunya. Status, akses, dan fasilitas yang diterima sebagai anggota dewan semasa dan setelah menjabat merupakan profesi dan pekerjaan impian bagi sebagian kalangan masyarakat umum. Sejalan dengan itu, keterpilihan menjadi anggota dewan menjadi ajang pembuktian dan pengakuan terhadap (keunggulan) seseorang. Pembuktian dan pengakuan yang dimaksud adalah pada statusnya sebagai individu yang populer, dipercaya sebagai wakil dan perwakilan rakyat, diberi amanah sebagai pemimpin bagi kaum yang memilihnya (dan yang tidak memilihnya), dampak keputusan dan kebijakannya bersifat populis dan menyeluruh. Rumusan Masalah Apa saja yang menjadi produk DPR/DPRD, dan kaitannya dengan peran parpol?
Pembahasan Parpol, Pemilu, dan Pemerintahan Daerah Dalam suatu komunitas, akan selalu ada strata dan penggolongan. Dasarnya bisa berupa apa saja, mulai dari umur, pekerjaan, profesi, keahlian, pengalaman, atau senioritas. Penggolongan bisa lebih mudah bila kita membaginya atas 2 kutub, seperti tua-muda, senior-junior; kelompok berpunya dan tidak berpunya; pemimpin dan yang dipimpin; atau lainnya. Dalam realitanya, pengklasifikasian apa pun bisa diibaratkan sebagai kebijakan pigeon-holing, penuh dengan kesemuan dan batasan yang tidak jelas, dan sangat subjektif, bahkan di setiap insan, apalagi orang per orang. Batasan yang tidak jelas bisa terlihat pada gradasi perubahan warna utama, dari merah ke hijau, merah ke biru, atau permutasi lainnya. Dalam konteks penguasa dan yang dikuasai, di suatu negara, kelompok penguasa bisa dibedakan menurut sektor ekonomi, profesi, atau lainnya. Dalam konteks politik dan hukum, klas penguasa bisa dibedakan menurut konsep yang disuarakan pertama kali oleh Montesquieu dengan nama trias politica. Klas penguasa (politik) terbagi atas bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pembagian atau pemisahan kekuasaan oleh Montesquieu didasari pada pengamatannya pada sistem yang diterapkan dalam sistem konstitusi Inggris. Kerajaan atau monarki berperan sebagai penguasa eksekutif, parlemen berperan sebagai penguasa legislatif, dan pengadilan hukum berperan sebagai penguasa yudikatif. Sebagai penentu benar atau salah, penguasa yudikatif diakui Montesquieu sebagai penguasa paling penting dan berpengaruh, mandiri, serta paling rentan dan berbahaya dalam hal tingginya potensi penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini terbukti pada kasus Akil Mochtar yang tertangkap tangan menerima suap di awal Oktober 2013, di bulan ke-7 saat menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi.
Dulu, hukum rimba berlaku bagi siapa saja yang memiliki keinginan dan kekuatan untuk berkuasa. Akibatnya, perebutan kekuasaan selalui diwarnai dengan pertumpahan darah. Seiring berjalannya waktu, perebutan kekuasaan kemudian dibuatkan aturan mainnya dan difasilitasi ke arah yang lebih beradab, manusiawi, dan melibatkan semua unsur masyarakat (demokratis). Beberapa masyarakat membentuk kelompoknya masing-masing. Kesamaan identitas sosial menjadi dan merupakan unsur yang menyatukan umat. Teori identitas sosial yang dipelopori oleh Henri Tajfel dan John Turner di era 1970-1980an banyak disandingkan dengan teori pengelompokan diri (self-categorisation theory). Kesamaan bisa bermula dari asal, bahasa, budaya, agama, dan lainnya. Kesamaan identitaslah yang banyak dieksploitasi oleh para calon penguasa masa kini dalam setiap kampanye politik yang dilakukan. Di masyarakat modern, preferensi kesamaan kolektif bisa berupa kesesuaian dalam hal visi, misi, sikap, prilaku, aksi, tujuan akhir, atau lainnya. Objeknya bisa berupa aspek kemanusiaan yang umum disingkat dengan istilah ipoleksosbud-hankamnas. Pada satu masa, masyarakat yang memiliki satu kesamaan untuk bersosialisasi ini kemudian ingin meningkatkan statusnya menjadi lebih terorganisir dan terasosiasi. Di bidang ekonomi, mereka berserikat membentuk serikat dagang, perusahaan, atau yang sejenis. Di bidang politik, mereka berserikat membentuk partai politik. Temu wicara dan tatap muka sebagai ajang sosialisasi masyarakat yang memiliki satu kesamaan biasanya penuh dengan sajian makanan, minuman, dan (kadang) hiburan. Dalam bahasa Indonesia, perhelatan demikian sering diasosiasikan dengan pesta. Ketika nuansanya beraroma politik, ajang tersebut lebih dikenal dengan sebutan partai politik. Pemilu kemudian menjadi ajang perebutan kekuasaan politik yang bersifat umum dan terbuka, setidaknya untuk 2 bidang, yakni penguasa eksekutif dan penguasa legislatif. Wilayah kekuasaan pun terbagi menurut teritorial dan/atau yurisdiksi yang sudah ada yang bersifat regional provinsi dan bersifat nasional. Oleh karena itu, pemilunya dibedakan menurut ‘jabatan’ penguasa daerah atau pusat di bidang eksekutif atau legislatif. Pemilu penguasa nasional disebut pilpres, pemilu penguasa daerah disebut pilkada (pemilu kepala daerah), dan pemilu penguasa legislatif disebut pileg atau pemilu legislatif yang sifatnya bisa regional provinsi atau nasional. Sementara perebutan kekuasaan di bidang yudikatif bersifat khusus dan tertutup; dalam artian hanya segelintir orang saja yang ‘dinilai’ layak untuk untuk menjadi penguasa yudikatif. Kekhususan dan ketertutupan pemilihan penguasa yudikatif berbeda dalam hal pemilih dan yang dipilih. Sederetan kriteria dan preferensi harus sudah disandang dan dimiliki oleh kedua pihak.
Penguasa Legislatif dan Eksekutif: Popularitas, Elektabilitas, dan Kelayakan Sebagian orang berminat jadi penguasa. Motifnya bisa bermacam-macam. Dulu, caranya sangat mudah. Dengan bermodalkan urat, senjata, dan/atau uang, banyak orang bisa menjelma menjadi penguasa. Bisa itu penguasa tanah, properti, atau lainnya secara de jure, de facto, dan/atau bersifat teritorial. Predikat sebagai jawara tentu memiliki ‘hak’ untuk memungut apa-apa yang dikuasainya. Di masa kini, untuk jadi penguasa legislatif atau eksekutif, modalnya tidak harus uang. Modal calon penguasa bisa berupa popularitas, yang sifatnya baik dan harum, atau buruk dan busuk. Di banyak kasus, popularitas seseorang banyak dieksploitasi oleh pihak-pihak ‘pencari bakat’, baik itu dari parpol dan/atau kapitalis.
Secara ringkas bisa dijawab bahwa produk DPR/DPRD adalah Undang-Undang/Perda dan APBN/APBD. Keputusan untuk menyatakan ketentuan/aturan hukum yang sudah dibuat sebagai suatu Undang-Undang/Perda harus dilakukan berdasarkan musyawarah yang dilakukan wakil-wakil rakyat di DPR/DPRD. Dalam banyak kasus, musyarawarah untuk mufakat merupakan suatu keniscayaan, hal yang relatif bisa tidak tercapai. Voting menjadi mekanisme terakhir dalam upaya pembulatan keputusan. Banyak pihak mengandalkan jumlah mayoritas melalui koalisi terbuka dan/atau kolusi terselubung. Ada pula sistem voting yang mengedepankan perwakilan, proporsionalitas, atau lainnya. Titik temu atau beberapa penyesuaian dan alternatif pada akhirnya bermuara pada 2 pilihan utama, ya atau tidak. Kevakuman pilihan memiliki dampak potensil pada perluasan konflik. Awal konflik bisa berasal dari sesama anggota di satu partai, meluas ke beda partai, dan mencapai puncaknya pada ‘ketidakpuasan’ penguasa eksekutif yang kehilangan dasar hukum untuk menjalankan aktivitas ekonomi, politik, dan lainnya. Di beberapa kasus, fail-safe mechanism untuk kasus dead-lock bisa dijalankan. Di kasus yang lebih ekstrim, konflik terbuka antara penguasa legislatif dan penguasa eksekutif bisa mewujud dalam bentuk pecat-memecat. Penguasa eksekutif membubarkan penguasa legislatif. Penguasa legislatif melengserkan penguasa eksekutif. Sejarah Indonesia menjadi objek studi yang sangat menarik karena menyimpan refleksi bablasnya 2 sistem kabinet yang ekstrim dan bertolakbelakang. Dua masa yang terkenal adalah Demokrasi Parlementer yang liberal dan Demokrasi Terpimpin yang otoriter. Dinamika keduanya berdampak pada semacam kekacauan politik, ekonomi, sosial, dan hankam (ipoleksosbud-hankamnas). Air yang keruh mengundang banyak pihak yang ingin ngelaba. Indonesia pernah menjadi kancah Perang Dingin antara AS yang liberal dan Soviet/Cina yang komunis. Beberapa puncaknya mencakup perang saudara yang penuh pertumpahan darah semasa PRRI/Permesta, G30S/PKI, dan lainnya. Pembebasan Irian Barat merupakan contoh konflik berdarah lanjutan antara Belanda dan Indonesia. Dalam banyak hal pula, anggota suatu parpol harus mengikuti dinamika para pimpinan dan pejabat parpol yang sedang berkuasa. Bila anggota parpol enggan untuk mengikuti apa saja keputusan dan kebijakan parpol, baik sebagian atau seluruhnya, sang anggota bisa langsung diberhentikan tanpa diberi hak untuk menyampaikan pembelaan. Produk DPR/DPRD adalah segala hal yang bersifat legislatif dan anggaran, regional provinsi dan nasional. Peran utama DPR/DPRD adalah mengawasi pelaksanaan Undang-Undang dan APBN/ APBD yang dijalankan oleh pemerintah pusat/daerah. Banyak parpol mewajibkan anggotanya untuk selalu mau tunduk dan patuh terhadap kebijakan pejabat teras, kecuali ingin di-recall. ART dan peraturan internal organisasi ini otomatis menjadi semacam pelembagaan struktural dan sah untuk ‘membreidel’ anggotanya yang mbalelo. Tidak jarang petugas parpol lebih diidentikkan dengan tukang stempel pimpinan dan/atau pejabat yang lebih tinggi hierarkinya. Persaingan sesama anggota parpol pun relatif sama dengan pihak luar, bisa memicu perang saudara dan pertumpahan darah yang tidak perlu. Di sisi lain, beberapa anggota diberi kelonggaran dan kebebasan untuk berbeda pendapat di depan publik. Komunikasi politik tipe ini bukannya tidak pernah dipraktekkan, tetapi bisa menjadi cara dan upaya yang ampuh untuk mengalihkan isu yang sebenarnya pokok, kritis, dan crucial. Pun
sebagai cara untuk mengkatrol dan aktualisasi kader yang sebelumnya aktif di belakang layar. Wajah-wajah baru yang tampil di muka publik bisa menjadi ajang pembuktian, promosi popularitas, dan elektabilitas anggota parpol yang potensil. Simpulan Posisi politisi sebagai petugas partai politik membuat statusnya akan selalu dan harus tetap underdog. Politisi tidak akan pernah bisa menjadi the upper-hand, ketika itu terkait dengan kebijakan dan program serta kepentingan partai politik yang mengusungnya. Sementara bukan tidak mungkin, pimpinan parpol bisa terbelah dan mengalami polarisasi. Sejarah Indonesia menjadi objek studi yang sangat menarik karena menyimpan refleksi bablasnya 2 sistem kabinet yang ekstrim dan bertolakbelakang. Dua masa yang terkenal adalah Demokrasi Parlementer yang liberal dan Demokrasi Terpimpin yang otoriter. Dinamika keduanya berdampak pada semacam kekacauan politik, ekonomi, sosial, dan hankam (ipoleksosbud-hankamnas). Air yang keruh mengundang banyak pihak yang ingin ngelaba. Indonesia pernah menjadi kancah Perang Dingin antara AS yang liberal dan Soviet/Cina yang komunis. Beberapa puncaknya mencakup perang saudara yang penuh pertumpahan darah semasa PRRI/Permesta, G30S/PKI, dan lainnya. Pembebasan Irian Barat merupakan contoh konflik berdarah lanjutan antara Belanda dan Indonesia. Dalam banyak hal pula, anggota suatu parpol harus mengikuti dinamika para pimpinan dan pejabat parpol yang sedang berkuasa. Bila anggota parpol enggan untuk mengikuti apa saja keputusan dan kebijakan parpol, baik sebagian atau seluruhnya, sang anggota bisa langsung diberhentikan tanpa diberi hak untuk menyampaikan pembelaan. Produk DPR/DPRD adalah segala hal yang bersifat legislatif dan anggaran, regional provinsi dan nasional. Peran utama DPR/DPRD adalah mengawasi pelaksanaan Undang-Undang dan APBN/ APBD yang dijalankan oleh pemerintah pusat/daerah. Banyak parpol mewajibkan anggotanya untuk selalu mau tunduk dan patuh terhadap kebijakan pejabat teras, kecuali ingin di-recall.
Rekomendasi Seberapa hebat dan rincinya aturan dan etika terkait manajemen dan birokrasi pemilu, loop-holes akan selalu ada. Faktor integritas, transparansi, standar tunggal, imparsialitas, dan berbagai nilai kebaikan yang positif merupakan suatu utopia, mimpi di siang bolong. Teori pertukaran sosial pada masa kini telah bergeser pada segala hal yang bersifat material. Individualisme dan individualisasi merupakan ajaran dan proses yang mematangkan dan merealisir konsep materialisme. Konsep materialisme hanya bisa terkalahkan oleh konsep non-materialisme seperti spiritualisme. Bentuk konkret dari konsep non-materialisme adalah politik identitas dan/atau ideologi, seperti yang digagas dalam konsep MICE. Nilai-nilai kebaikan (virtue) seharusnya tidak menjadi materi propaganda yang kontradiktif. Lain kata, lain perbuatan. Perbuatan yang sejalan dengan kata-kata yang diungkapkan membutuhkan integritas yang kokoh dan komitmen yang tidak kecil. Jalan panjang itu selalu berbatu dan penuh liku.
Referensi Abdul Malik Iskandar, Latar Belakang Individu dan Perilaku Politik, Prosiding Konferensi Nasional Sosiologi III, Konferensi Nasional Sosiologi III, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 20 – 22 Mei 2014, hal.137-145 (91). Alum Simbolon, Pendidikan Politik untuk Perwujudan Demokrasi yang Berkeadilan, Prosiding Konferensi Nasional Sosiologi III, Konferensi Nasional Sosiologi III, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 20 – 22 Mei 2014, hal.293-296 (247). Andi Burchanuddin, Rasyidah Zainuddin, Nurmi Nonci, Syamsul Bahri Rahman, Dramaturgi Aktor-Aktor Politik, Prosiding Konferensi Nasional Sosiologi III, Konferensi Nasional Sosiologi III, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 20 – 22 Mei 2014, hal.235-237 (189). Bagus Haryono, Pendidikan Demokratisasi untuk Mencerdaskan Rakyat Pemilih Menuju Pemilu yang Berkualitas, Prosiding Konferensi Nasional Sosiologi III, Konferensi Nasional Sosiologi III, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 20 – 22 Mei 2014, hal.279-281 (233). Fitri Ramdhani Harahap, Politik Identitas Berbasis Agama, Prosiding Konferensi Nasional Sosiologi III, Konferensi Nasional Sosiologi III, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 20 – 22 Mei 2014, hal.187-194 (141). I Wayan Juana, Politik Uang dKomodifikasi Suara dalam Sistem Penyelenggaraan Pemilihan Umum di Provinsi Bali, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Jurnal Etika & Pemilu, Vol.2 No.1, Jakarta, Maret 2016, hal.7-27. Mukhtar Sarman, Politik Uang dalam Sistem Penyelenggaraan Pemilu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Jurnal Etika & Pemilu, Vol.2 No.1, Jakarta, Maret 2016, hal.28-46. Wasisto Raharjo Jati, Politik Selebritas atau Selebritas Politik: Melacak Perspektif Baru Memahami Upaya Voting Getter dalam Demokrasi Elektoral Indonesia, Prosiding Konferensi Nasional Sosiologi III, Konferensi Nasional Sosiologi III, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 20 – 22 Mei 2014, hal.229-232 (184).