-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
WUJUD KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA DALAM PERSIDANGAN PIDANA DI WILAYAH SURAKARTA Dwi Purnanto, Bakdal Ginanjar, Chattri Sigit Widyastuti, Henry Yustanto, Miftah Nugroho Prodi Sastra Indonesia, Universitas Sebelas Maret
Abstrak Penelitian ini mengkaji tentang wujud ketidaksantunan berbahasa dalam konteks persidangan pidana yang dilatarbelakangi perbedaan otoritas di antara pelibat persidangan. Data penelitian bersumber dari persidangan pidana dalam sejumlah kasus di Pengadilan Negeri Surakarta, Pengadilan Negeri Klaten, dan Pengadilan Negeri Boyolali. Data dianalisis dengan metode kontekstual. Ada tujuh wujud ketidaksantunan: (1) menyuruh, (2) memperingatkan, (3) mengancam, (4) memojokkan, (5) kekesalan, (6) merendahkan, (7) memprotes, dan (8) mengejek. (1) peminimalan keuntungan pada mitra tutur, (2) pemaksimalan penjelekan kepada mitra tutur, dan (3) pemaksimalan ketidaksetujuan kepada mitra tutur. Kata kunci: ketidaksantunan berbahasa, otoritas, persidangan pidana
Pendahuluan Dalam sebuah persidangan pidana terdapat adanya perbedaan otoritas yang dimiliki di antara partisipan yang terlibat, yakni majelis hakim, jaksa, penasihat hukum, saksi, dan terdakwa. Semakin besar otoritas yang dimiliki semakin leluasa pula kesempatan untuk bertutur. Sebaliknya, semakin kecil otoritas semakin sempit pula kesempatan untuk bertutur. Sehubungan dengan itu, hal yang menarik untuk ditelaah adalah bagaimana keleluasaan itu berpeluang mewujudkan ketidaksantunan berbahasa yang terjadi dalam tanya-jawab di persidangan pidana. Kemenarikan itu tecermin dari ketidaksetaraan relasi antarpartisipan di persidangan pidana. Hakim, jaksa, dan penasihat hukum berposisi sebagai penutur yang superior. Penutur superior berarti penutur yang memiliki kekuasaan. Di sisi lain, terdakwa dan saksi berposisi sebagai penutur inferior yang tidak memiliki kekuasaan. Pembahasan ketidaksantunan dapat dikatakan masih belum banyak dikaji secara mendalam dan komprehensif. Keprihatinan ini dinyatakan oleh Locher dan Bous ield (2008) melalui ungkapan “…seeks to address the enormous imbalance that exist between academic interest in politeness phenomena as opposed to impoliteness phenomena”. Kadar ketimpangan yang terjadi dikatakan sebagai enormous imbalance atau ketimpangan yang sangat besar antara studi kesantunan berbahasa dan ketidaksantunan berbahasa. Kerangka Teori Leech (1993) mendasarkan kesantunan berbahasa pada nosi-nosi: (i) biaya dan keuntungan, (ii) kesetujuan, (iii) pujian, (iv) simpati/antipati. Keempat nosi tersebut dipakai untuk menyusun prinsip kesantunan berbahasa yang terbagi atas enam maksim: (i) maksim kebijaksanaan: meminimalkan biaya bagi pihak lain dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain, (ii) maksim kedermawanan: meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri dan memaksimalkan biaya bagi diri sendiri, (iii) maksim pujian: meminimalkan penjelekan kepada pihak lain dan memaksimalkan pujian kepada pihak lain, (iv) maksim kerendahatian: meminimalkan pujian terhadap diri sendiri dan memaksimalkan penjelekan terhadap diri sendiri, (v) maksim kesetujuan: meminimalkan ketidaksetujuan kepada pihak lain dan memaksimalkan kesetujuan kepada pihak lain, (vi) maksim simpati: meminimalkan antipati terhadap orang lain dan memaksimalkan simpati terhadap orang lain. Pelanggaram terhadap salah satu atau beberapa maksim di atas memunculkan ketidaksantunan berbahasa. 62
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Culpeper (2008:28) menyatakan “Impoliteness, as I would de ine it, involves communicative behavior intending to cause the “face loss” of a target or perceived by the target to be so”. Culpeper menekankan bahwa ketidaksantunan berbahasa merupakan perilaku yang membuat orang benar-benar kehilangan muka atau setidak-tidaknya merasa telah kehilangan muka. Metodologi Data penelitian ini berbentuk tuturan-tuturan yang diperoleh secara alamiah dari jalannya sebuah proses persidangan pidana. Data penelitian disediakan dengan metode simak melalui teknik rekam. Data bersumber dari Pengadilan Negeri Surakarta, Pengadilan Negeri Klaten, dan Pengadilan Negeri Boyolali. Metode kontekstual digunakan untuk menganalisis data. Temuan Berdasarkan analisis data, ditemukan delapan maksud yang dituturkan secara tidak santun: (1) menyuruh, (2) memperingatkan, (3) mengancam, (4) memojokkan, (5) kekesalan, (6) merendahkan, (7) memprotes, dan (8) mengejek. Temuan itu dipaparkan di bawah ini. 1. Maksud Menyuruh Tuturan menyuruh mengandung maksud agar mitra tutur melakukan sesuatu sebagaimana keinginan penutur. Ketidaksantunan pada jenis tuturan ini mengacu atas tingkat kelangsungannya. Berikut ini disajikan contoh tuturan menyuruh yang tidak santun. (1) H 1 : Betul. Kalau Budi Santoso? Jangan nunduk terus! Lihat sini! Diajak ngomong kok! Ditanyain kok nunduk terus? Ha? Keberatan tidak? T 2 : ((menggeleng)) Pada data tuturan (1) di atas tampak jelas bahwa daya ilokusi yang terkandung adalah menyuruh. Hakim 1 (H1) menyuruh terdakwa 2 (T2) dalam bentuk kalimat bermodus imperatif. Tuturan Lihat sini! merupakan manifestasi ketidaksantunan berbahasa. Hal ini disebabkan tindakan menyuruh yang dilakukan secara langsung sehingga berakibat pada pemaksimalan keuntungan bagi penutur dan peminimalan keuntungan bagi mitra tutur. Ketidaksantunan ini semakin dipertegas oleh adanya pemakaian intonasi perintah yang cenderung naik. Berdasarkan konteks-situasi, tuturan (1) dilakukan antara hakim (H1) dan terdakwa (T2) pada persidangan pemalsuan uang di PN Boyolali. Saat sidang berlangsung, T2 selalu menundukkan muka atau tidak menatap muka H1 ketika diminta untuk menjawab pertanyaan. Hal inilah yang mendorong H1 menyuruh T2 untuk mengangkat muka dan melihatnya. 2. Maksud Memperingatkan Tuturan yang bermaksud memperingatkan terjadi bila penutur memberi ingat; memberi nasihat, termasuk teguran supaya ingat akan kewajibannya, dsb. Tuturan ini dapat dikategorikan tidak santun ketika mitra tutur dirugikan atas tindakan yang diberikan penutur seperti tuturan berikut. (2) H : “Oo, digadaikan. Alasan menggadaikan untuk apa?” T : “Itu untuk membeli susu.” H : “Kamu jangan anu lo ya! Tujuan awal kamu kenal Wahyuni itu kan mencarikan pekerjaan. Bukan untuk membeli susu.” Pada tuturan (2) yang tercetak tebal, daya ilokusi memperingatkan disampaikan secara langsung oleh hakim (H) kepada terdakwa (T). Tuturan ini terjadi dalam sidang penipuan di PN Klaten. Pada saat sidang dilangsungkan, terdakwa lebih sering menjawab beberapa pertanyaan hakim yang tidak sesuai dengan laporan dari kepolisian. Untuk itu, hakim memperingatkan terdakwa untuk menjawab dengan jujur. Aspek ketidaksantunan berbahasa dalam tuturan ini adalah usaha meminimalkan keuntungan pada pihak mitra tutur. 63
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
3. Maksud Mengancam Sebuah tuturan mengancam terjadi manakala penutur bermaksud atau berencana akan melakukan sesuatu yang merugikan, menyulitkan, menyusahkan, atau mencelakakan mitra tutur. Sesuatu yang merugikan, menyulitkan, menyusahkan, atau mencelakakan dipastikan sebagai wujud adanya ketidaksantunan sebagaimana tuturan berikut. (3) H1 : Ingin cepat pulang? Ingin cepat pulang? Ingin cepat pulangi koyo apa wae ingin cepat pulang. Justru kalau Kamu seperti ini, nggak akan cepat pulang, Mas. Ngendon di sana sepuluh tahun nanti Kamu, kalau terbukti. Ini temenmu sudah, sudah, Budi aja sudah ngakoni “Iya, Bu”. Dia aja uang palsu tahu. Sekarang tinggal Kamu aja. Tergantung Kamu nasibnya ini. Di sana nanti Kamu bisa lebih dua kali lipat hukumannya dengan Budi. Kalau modelnya seperti ini kamu. Apa waktu diperiksa kamu sama pak polisi dipukul? T : Ndak. Tuturan (3) yang bercetak tebal bermaksud mengancam terdakwa (T) agar tidak berusaha untuk berbelit-belit dalam memberikan jawaban atas pertanyaan hakim 1 (H1). Tuturan ini terjadi pada persidangan perkara uang palsu di PN Klaten. Pada saat sidang dilangsungkan, terdakwa sering menjawab pertanyaan hakim secara berbelit-belit dengan dalih dapat lepas dari dakwaan yang berat. 4. Maksud Memojokkan Memojokkan berarti tindakan mendesak ke keadaan (posisi) yang sulit. Tindakan ini dilakukan oleh hakim (H1) kepada terdakwa (T2) dalam tuturan yang ditebalkan pada (4). Tuturan ini merupakan salah satu realisasi ketidaksantunan berbahasa dalam persidangan. Hal ini ditandai dengan adanya penyerangan terhadap kebebasan yang dimiliki terdakwa sehingga kebebasan terdakwa semakin terbatas sebagaimana tuturan berikut. (4) H1 : Jujur? T2 : Iya. Kan ngasihnya malam itu, Bu. H1 : Lha iya, Kamu itu di jalan, malam-malam lagi, apa nggak ada waktu siang apa? Kamu juga terima juga. Kenapa waktu berangkat Kamu serahkan Pak Adam? Kenapa? Karena takut, kenapa? Takut itu, kenapa? Kan gitu. Kamu kan tahu, itu dilarang pemerintah? Melanggar hukum tho yo? Emang bener, takut dipenjara? Takut ketahuan? Iya tho? T2 : ((mengangguk)). Tujuan diucapkannya tuturan itu agar terdakwa (T2) segera mengakui kesalahan perbuatannya. Pada saat sidang dilangsungkan, terdakwa menjawab beberapa pertanyaan hakim (H) secara berputar-putar sehingga terkesan berusaha menutupi kebenaran fakta. Tuturan yang memojokkan ini berimbas pada terdakwa yang tidak bisa menampik kenyataan bahwa strategi jawabannya telah terbaca oleh hakim. 5. Maksud Kekesalan Tuturan yang bermaksud menyatakan kekesalan muncul ketika penutur meminta mitra tutur untuk mengatakan informasi yang sebenarnya, tetapi mitra tutur masih berusaha menutupnutupi informasi tersebut. Penutur yang menuturkan kekesalan ditambah pula dengan intonasi yang naik termasuk tuturan yang tidak santun, seperti tuturan berikut. (5) T2 : Saya buktiin bener. H : Buktiin-buktiin. Itu kan nipu! Kan begitu? Tuturan kekesalan pada (5) mengandung maksud kekesalan hakim (H) atas jawaban yang diberikan terdakwa (T2). Saat persidangan, terdakwa sering menjawab pertanyaan secara tidak jujur. Situasi ini membuat hakim kesal. Kekesalannya diutarakan dengan menyebutkan 64
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
kembali jawaban-jawaban yang sebelumnya telah diucapkan terdakwa. Untuk itulah, hakim mengutarakan berbagai ujaran yang menunjukkan bahwa terdakwa secara jelas memberikan jawaban yang tidak benar. 6. Maksud Merendahkan Tuturan yang bermaksud merendahkan terjadi manakala penutur memandang rendah (hina) mitra tutur. Dalam komunikasi, hal demikian dinilai sebagai tindakan yang tidak santun sebagaimana tuturan berikut. (6) H : “Itu biaya untuk apa katanya?”
S : “Katanya untuk .....................” H : “Ini sudah beberapa kali orang ini. Untung yang kemarin itu sudah digerayangi semua, sudah sampai ke puncaknya, mau masuk dia mens, terselamatkan. Jadi ya, memang bejat orang ini. Trus pertanggungjawaban dia apa mbak?” S : “Pertanggungjawaban gimana?” Tuturan (6) ditandai pemakaian kata bejat yang bermaksud merendahkan diri. Tuturan ini muncul karena hakim (H) memandang perbuatan yang dilakukan terdakwa terhadap korbannya tidak senonoh berdasar keterangan dari saksi (S). Dari sisi pragmatik, ketidaksantunan tuturan tersebut ditandai atas pemaksimalkan penjelekan terhadap Mt. 7. Maksud Memprotes Tuturan memprotes terjadi ketika penutur menyangkal atau menentang jawaban atau informasi yang diberikan mitra tutur. Berikut tuturan yang bermaksud memprotes mitra tutur. (7) J : Ketemu kan? Saya mbentak ndak waktu itu? T1 : Iya. J : Iya?! Saya mbentak?! J : Ketemu kan? Maksud tuturan memprotes pada (7) dilatarbelakangi atas jawaban yang diberikan terdakwa (T) tidak benar berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan. Mendengar jawaban itu, jaksa (J) secara tegas menggunakan intonasi yang menaik dan dalam bentuk tuturan pertanyaan yang beruntun. Dari sisi ketidaksantunan berbahasa, tindakan ini menyerang keinginan mitra tutur atau memaksimalkan ketidaksetujuannya terhadap mitra tutur. 8. Maksud Mengejek Mengejek dapat dimaknai sebagai mengolok-olok, mencemooh untuk menghinakan, mempermainkan dengan tingkah laku. Maksud penutur ini dituturkan karena mitra tutur tidak mengatakan jawaban secara benar sesuai fakta yang telah terjadi, seperti tuturan berikut. (8) H : “Dibengoki opo?” T : “Massa.” H : “E..e..e dibengoki opo kowe kuwi?” T : “Maling.” H : “Yo, maling wong kowe kuwi yo maling. Trus kecekel.” Tuturan (8) mengandung maksud hakim yang mengejek perilaku terdakwa (T). Aspek ketidaksantunan berbahasa dalam tuturan di atas ditandai dari penyerangan terhadap perilaku terdakwa. Artinya, hakim (H) melakukan pemaksimalan untuk menjelekkkan terdakwa. Temuan di atas menggambarkan bahwa ada kaitan antara ketidaksantunan dengan otoritas yang dimiliki penutur. Pada konteks tertentu, besarnya otoritas penutur akan membuka peluang lebih besar pula dalam mewujudkan ketidaksantunan berbahasa. Hal ini senada dengan pernyataan Bous ield (2008: 150) bahwa dalam sebuah konteks di mana hierarki otoritas tidak
65
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
dapat dinegosiasikan maka penutur yang memiliki otoritas atau kekuasaan (power) terbesar atau tertinggilah yang akan terus dapat memunculkan ketidaksantunan. Simpulan Ketidaksantunan berbahasa dalam persidangan pidana di wilayah Surakarta terjadi dalam delapan jenis tuturan: (1) menyuruh, (2) memperingatkan (3) mengancam, (4) memojokkan, (5) kekesalan, (6) merendahkan, (7) memprotes, dan (8) mengejek. Dimensi ketidaksantunan ditandai atas pelanggaran terhadap prinsip kesantunan berbahasa. Prinsip yang dilanggar berupa (1) peminimalan keuntungan pada mitra tutur, (2) pemaksimalan penjelekan kepada mitra tutur, dan (3) pemaksimalan ketidaksetujuan kepada mitra tutur.
Daftar Pustaka Bous ield, Derek Locher dan Miriam A. (eds.). 2008. Impoliteness in Language: Studies on Its Interplay with Power in Theory and Practice. New York: Mouton de Gruyter. Bous ield, Derek Locher. 2008. “Impoliteness in the Struggle for Power” dalam Impoliteness in Language: Studies on Its Interplay with Power in Theory and Practice. New York: Mouton de Gruyter. Culpeper, Jonathan. 2008. “Re lection in Impolitenes, Relational Work and Power” dalam Impoliteness in Language: Studies on Its Interplay with Power in Theory and Practice. New York: Mouton de Gruyter. Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik (edisi terjemahan oleh M.D.D Oka). Jakarta: UI Press.
66