b. Komponen sumber daya kebudayaan yang bersifat intangibel yaitu: Nilai-nilai kehidupan manusia berbudaya, moral, budi pekerti, sosial budaya dan nilai-nilai sejarah masa lalu c. Komponen sumber daya kepariwisataan mencakup: Sumber daya alam berupa daya tarik wisata alam (natural attraction) yang berdasar pada keadaan dan keunikan lingkungan alam; daya tarik wisata budaya (cultural attraction) yang berdasar pada kegiatan manusia, dan daya tarik wisata khusus atau spesifik (special types of attraction) yang direkayasa manusia secara artifisial (articially created).
Sumber daya budaya (hasil karya manusia sebagai kekayaan budaya)
Pulau Bali atau yang juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata serta Pulau Seribu Pura, tercatat sebagai suatu wilayah yang kaya akan budaya dan tinggalan budaya, baik berupa tinggalan budaya masa lalu maupun budaya tradisi tinggalan nenek moyang yang masih eksis atau dipertahankan sebagai salah satu ciri masyarakat Bali hingga saat ini. Di Indonesia umumnya, Bali merupakan daerah tujuan wisata yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan, khususnya untuk daerah Indonesia bagian timur sudah sangat terkenal dan dapat ditempatkan sebagai tujuan wisata unggulan. Hal itu sangat dikenal oleh wisatawan baik yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri. Sebagai daerah tujuan wisata, tentulah ada hal-hal yang menarik yang menjadi tujuan oarang-orang untuk bewisata di daerah ini.
Pulau Bali menjadi terkenal disebabkan oleh banyak hal. Selain
keindahan alamnya yang tiada bandingnya di dunia, Bali juga mempunyai keanekaragaman budaya dan keunikan-keunikan baik dalam hal tinggalan budaya masa lampau maupun dalam pesona alamnya. Dengan keanekaragaman budaya serta berbagai keindahan alamnya inilah yang membuat Bali di kenal di seluruh dunia. Dari hasil penelitian yang dilakukan di Kawasan kabupaten Buleleng dalam rangka meningkatkan pemanfaatan hasil litbangyasa yang terterapkan sebagai kontribusi
ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek)
terhadap
perekonomian
masyarakat dan daerah serta dalam hal ini perekonomian masyarakat dan daerah melalui pengembangan teknologi informasi yang berkaitan dengan potensi-potensi 226
wilayah guna destinasi pariwisata, maka salah satu bentuk wisata yang dapat dikembangkan di Kawasan Pantai Utara Bali khususnya Kabupaten Buleleng adalah model wisata minat khusus, khususnya eco-tourism dan cultural tourism, yaitu wisata pertanian/agrowisata yang menjadi trade-mark pertanian bagi Kabupaten Buleleng; ekowisata yang berhubungan dengan keindahan alamnya (air terjun, air panas, pantai, dll), wisata budaya (situs-situs arkeologi, kampungkampung adat, pusat-pusat kerajinan, seni , dll); wisata agama dan sejarah (pura, mesjid kuno, patung-patung perlambang); wisata kuliner; dan sebagainya. Dari hasil survei yang dilakukan terhadap Potensi Sumberdaya Arkeologi dan Budaya lokal serta spesifik geografi di kawasan Pantai Utara Bali khususnya di wilayah Kabupaten Buleleng, maka telah didapatkan ; A. 45 situs arkeologi yang meliputi: 1. 14 situs Prasejarah yang tinggalannya berupa sarkofagus, lesung batu, lesung kayu. 2. 17 situs masa Klasik Hindu Buddha yang meliputi, pura, cadi dan vihara. 3. 14 situs masa Islam - Kolonial yang terdiri dari Perkampungan muslim, masjid, makam, Al Qur’an kuno, bangunan kolonial (Kantor bupati, pelabuhan, jembatan, sekolah, dan rumah bekas guru Mulo); B. Budaya lokal dalam bentuk : 1. Bangunan, yang meliputi, monumen, patung, pura, puri, tugu, vihara. 2. Kerajinan tradisional yang meliputi kerajinan emas, perak, gong, gamelan, tenun, kerajinan kayu seseh, tudung saji, inka, anyaman, kerajinan inovatif, dan angklung. 3. Seni yang meliputi, seni tari, seni lukis, seni ukir dan pahat serta seni musik. C. Spesifikasi geografis meliputi: 1. Pesona alam berupa teras-teras sawah, air terjun, air panas, sumber mata air (kolam renang), danau, bendungan, pantai dan atraksi lumbalumba serta kera-kera yang cukup jinak yang dapat berinteraksi dengan wisatawan. 2. Budidaya tanaman seperti, cengkeh, coklat, kopi, sawah, bunga, anggur dan budidaya penangkaran mutiara. 227
Ada beberapa aspek yang menjadi kajian dalam penelitian ini yaitu: 1. Aspek Prasejarah 2. Masa klasik Hindu Buddha 3. Masa Islam dan Kolonial 4. Budaya
lokal
seperti
bangunan-bangunan/monument
sebagai
peringatan/jasa pahlawan, seni kerajinan tradisional, lukis, tari dan ukir/pahat 5. Spesifik geografis berupa pesona alam dan hasil perkebunan
1. Aspek Masa Prasejarah Kehidupan masyarakat di Bali sudah ada sejak zaman prasejarah. Pada zaman prasejarah inilah awal dari sejarah masyarakat Bali, yang ditandai oleh kehidupan masyarakat pada masa itu yang belum mengenal tulisan. Walaupun pada zaman prasejarah ini belum mengenal tulisan untuk menuliskan riwayat kehidupannya, tetapi berbagai bukti tentang kehidupan pada masyarakat pada masa itu dapat pula menuturkan kembali keadaannya. Zaman prasejarah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang, bukti-bukti peninggalan masa prasejarah cukup banyak tersebar di Bali. Berbagai peneliti asing dan bahkan peneliti dalam negeri tidak habishabisnya melakukan penelitian guna mencari jejak jejak budaya prasejarah di pulau ini. Keberadaan budaya prasejarah di Bali pertama kali diketahui dari laporan yang ditulis oleh GE Rhumpius pada tahun 1704 tentang nekara perunggu dari Pejeng (Bali) (Heekeren, 1958; 12; Soejono, 1984:244). Secata tipologis, Van der Hoop memasukkan nekara Pejeng kedalam tipe Heger I. Berkat penelitian yang tekun dan terampil dari para ahli asing khususnya bangsa Belanda dan putra-putra Indonesia maka perkembangan masa prasejarah di Bali semakin terbuka keberadaannya. Perhatian terhadap kekunaan di Bali pertama-tama diberikan oleh seorang naturalis bernama G.E Rumphius, pada tahun 1705 yang dimuat dalam bukunya Amboinsche Reteitkamer. Sebagai pionir dalam penelitian kepurbakalaan di Bali adalah W.O.J Nieuwenkamp yang mengunjungi Bali pada tahun 1906 sebagai seorang pelukis. Dia mengadakan perjalanan menjelajahi Bali. Dan memberikan beberapa catatan antara lain 228
tentang nekara Pejeng, desa Trunyan, Pura Bukit Penulisan. Perhatian terhadap nekara Pejeng ini dilanjutkan oleh K.C Crucq tahun 1932 yang berhasil menemukan tiga bagian cetakan nekara Pejeng di Pura Desa Manuaba desa Tegallalang. Temuan lain yang memberi petunjuk adanya budaya prasejarah di wilayah ini dijumpai di Petang berupa sarkofagus yang ditemukan oleh Oleh Dinas Purbakala (Oudheidkundige Dienst) pada tahun 1930. Hal ini mendorong Van Stein Callenfels mengunjungi Petang (Bali) guna melakukan penelitian. Sarkofagus dalam keadaan utuh berisi rangka yang dikubur dalam sikap terlipat beserta artefak, seperti gelang, hiasan telinga dan pelindung jari sebagai bekal kubur telah ditemukan (Hoop, 1941: 246 dan 259). Sejak itu penelitian sarkofagus terus berlangsung hingga sekarang Situs-situs prasejarah yang telah diteliti seperti Kintamani, Cacang, Gua Selonding, Cekik, Gilimanuk dan Sembiran. Sisa-sisa budaya prasejarah yang ditemukan di pantai utara Bali cukup banyak, khususnya di Tejakula, Bali. Temuan tersebar dari bagian utara yag merupakan dataran alluvial yang landai hingga bagian selatan yang berupa dataran yang agak tinggi dengan ketinggian kurang dari 100 meter dpl. Temuan memperlihatkan keragaman jenis, mulai dari temuan gerabah (polos dan berhias), benda logam, sisa-sisa aktivitas penguburan (rangka manusia, wadah kubur dan sisa-sia hewan) dan temuan yang memperlihatkan corak megalit (menhir, arca batu, lumpang batu dan sarkofagus) Pada Bulan Mei 1961, Soejono telah menemukan pula alat-alat batu di Bukit Sembiran seperti kapak perimbas (Chopper), pahat genggam (Hand-adze), proto kapak genggam (proto hand adze), serut samping (side scraper), serut punggung (high back scraper) serut ujung (end scraper) dan batu pukul (hammer stone). Selain itu Soejono juga melaporkan keberadaan tradisi megalitik di Bukit Sembiran (Soejono, 1961: 225-232; Hadimuljono, 1992: 41-42). Keberadaan bangunan-bangunan yang becorak megalit di bukit Sembiran telah pula diteliti oleh I Made Sutaba pada tahun 1972 yang menghasilkan 17 buah bangunan bercorak megalit yang dikelompokkan kedalam:
Pura yang berisi sebuah batu tegak atau lebih, seperti Pura Sanghyang Kedulu
229
Pura yang berisi batu besar dan kecil, seperti Pura Dalem dan Pura Jampurana
Pura yang berbentuk teras pyramid, seperti Pura Pelisan dan Pura Janggotan
Pura yang berbentuk tumpukan batu kali atau susunankepingan batu yang tidak teratur, seperti Puta Tegalangin dan Pura Sanghyang Sakti (Sutaba, 1976; 1 – 7; 1980: 31-32)
Menurut Soejono et al, (1984) dalam kehidupan masyarakat megalitik. Lesung batu, lumpang batu atau batu dakon memiliki fungsi religius yaitu berhubungan dengan upacara kematian. Dugaan tersebut diperkuat oleh Teguh Asmar yang menyatakan bahwa batu dakon atau lupang batu banyak ditemukan dalam upacara kematian dan biasanya ditemukan di sekitar bangunan megalitik yang merupakan kuburan ( Asmar, 1975). Bertolak dari beberapa pendapat di atas, kiranya lesung batu di Kecamatan Tejakula memiliki fungsi yang lebih berkaitan dengan pertanian, Hal ini diperkuat dengan tidak ditemukannya bentuk-bentuk megalit lain yang mencerminkan aktivitas penguburan, seperti sarkofagus. tetapi berada / berkaitan dengan konteks arca. Berdasarkan konteks dengan temuan arca, maka lumpang batu di Tejakula memiliki fungsi yang berkaitan dengan kegiatan pertanian, kemungkinan upacara-upacara yang berhubungan dengan penentuan masa menanam atau masa menuai tanaman. Sisa-sia megalit yang berkaitan dengan aktifitas penguburan prasejarah di Tejakula terdapat di bagian barat berupa sarkofagus yang terdiri dari wadah dan penutup dalam keadaan pecah. Menurut Soejono (1984; 235), penggunaan sarkofagus berkembang pada masyarakat sudah mengenal logam, mengingat sebagian besar benda bekal kuburnya dibuat dari logam Disamping Tejakula, sisa-sisa budaya prasejarah ditemukan pula di Pantai Utara Bali, yaitu di situs Kalanganyar, desa Banjarasem, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng. Dipangkung paruk ditemukan juga Sarkofagus. Budaya masa prasejarah selanjutnya yang berkembang di Kabupaten Buleleng lebih didominasi oleh produk budaya akhir masa prasejarah atau masa perundagian
yang
ditandai
oleh
sisa-sisa
kegiatan
penguburan
yang
230
menggunakan media batu sebagai wadah penguburan yang masih termasuk dalam kelompok tinggalan tradisi budaya megalitik. Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang di Bali, kehidupan masyarakat ataupun penduduk Bali pada zaman prasejarah Bali dapat dibagi menjadi : 1. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana Kehidupan penduduk pada masa ini adalah sederhana sekali, sepenuhnya tergantung pada alam lingkungannya. Mereka hidup mengembara dari satu tempat ketempat lainnya. Daerah-daerah yang dipilihnya ialah daerah yang mengandung persediaan makanan dan air yang cukup untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Hidup berburu dilakukan oleh kelompok kecil dan hasilnya dibagi bersama. Tugas berburu dilakukan oleh kaum laki-laki, karena pekerjaan ini memerlukan tenaga yang cukup besar untuk menghadapi segala bahaya
yang
mungkin
terjadi.
Perempuan
hanya
bertugas
untuk
menyelesaikan pekerjaan yang ringan misalnya mengumpulkan makanan dari alam sekitarnya. Hingga saat ini belum ditemukan bukti-bukti apakah manusia pada masa itu telah mengenal bahasa sebagai alat bertutur satu sama lainnya. 2. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut Pada masa ini corak hidup yang berasal dari masa sebelumnya masih berpengaruh. Hidup berburu dan mengumpulkan makanan yang terdapat dialam sekitar dilanjutkan terbukti dari bentuk alatnya yang dibuat dari batu, tulang dan kulit kerang. Bukti-bukti mengenai kehidupan manusia pada masa mesolithik berhasil ditemukan pada tahun 1961 di Gua Selonding, Pecatu (Badung). Goa ini terletak di Pegunungan gamping di semenanjung Benoa. Di daerah ini terdapat goa yang lebih besar ialah goa Karang Boma, tetapi goa ini tidak memberikan suatu bukti tentang kehidupan yang pernah berlangsung disana.Dalam penggalian goa Selonding ditemukan alat-alat terdiri dari alat serpih dan serut dari batu dan sejumlah alat-alat dari tulang. Diantara alat-alat tulang terdapat beberapa lancipan muduk yaitu sebuah alat sepanjang 5 cm yang kedua ujungnya diruncingkan. 3. Masa bercocok tanam 231
Masa bercocok tanam lahir melalui proses yang panjang dan tak mungkin dipisahkan dari usaha manusia prasejarah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya pada masa-masa sebelumnya. Masa neolithik amat penting dalam sejarah perkembangan masyarakat dan peradaban, karena pada masa ini beberapa
penemuan
baru
berupa
penguasaan
sumber-sumber
alam
bertambah cepat. Penghidupan mengumpulkan makanan (food gathering) berubah menjadi menghasilkan makanan (food producing). Perubahan ini sesungguhnya sangat besar artinya mengingat akibatnya yang sangat mendalam serta meluas kedalam perekonomian dan kebudayaan 4. Masa perundagian Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan dapat diketahui bahwa dalam masyarakat Bali pada masa perundagian telah berkembang tradisi penguburan dengan cara-cara tertentu. Adapun cara penguburan yang pertama ialah dengan mempergunakan peti mayat atau sarkofagus yang dibuat dari batu padas yang lunak atau yang keras.Cara penguburannya ialah dengan mempergunakan tempayan yang dibuat dari tanah liat seperti ditemukan di tepi pantai Gilimanuk (Jembrana). Kebudayaan megalitik ialah
kebudayaan yang
terutama
menghasilkan
bangunan-bangunan dari batu-batu besar. Batu-batu ini tidak dikerjakan secara halus, hanya diratakan secara kasar saja untuk mendapat bentuk yang diperlukan. di daerah Bali tradisi megalithik masih tampak hidup dan berfungsi di dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Adapun temuan yang penting ialah berupa batu berdiri (menhir) yang terdapat di Pura Ratu Gede Pancering Jagat di desa Trunyan. Di Pura in terdapat sebuah arca yang disebut arca Da Tonta yang memiliki ciri-ciri yang berasal dari masa tradisi megalithik. Arca ini tingginya hampir 4 meter. Temuan lainnya ialah di desa Sembiran (Buleleng), yang terkenal sebagai desa Bali kuna, disamping desa-desa Trunyan dan Tenganan. Tradisi megalithik di desa Sembiran dapat dilihat pada pura-pura yang dipuja penduduk setempat hingga dewasa ini. dari 20 pura ternyata 17 di antaranya menunjukkan bentuk-bentuk budaya megalitik dan pada umumnya dibuat sederhana sekali. Di antaranya ada berbentuk teras berundak, batu berdiri dalam pelinggih dan ada pula yang hanya merupakan susunan batu kali. 232
Penelitian prasejarah di Bali dilanjutkan oleh Dr. H.A.R. Van Heekeren dengan hasil tulisan yang berjudul Sarcopagus on Bali tahun 1954. Pada tahun 1963 ahli prasejarah putra Indonesia Drs. R.P. Soejono melakukan penggalian ini dilaksanakan secara berkelanjutan yaitu tahun 1973, 1974, 1984, 1985. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap benda-benda temuan yang berasal dari tepi pantai Teluk Gilimanuk diduga bahwa lokasi Situs Gilimanuk merupakan sebuah perkampungan nelayan dari zaman perundagian di Bali. Di tempat ini sekarang berdiri sebuah museum untuk menyimpan koleksi temuan hasil penelitian khususnya penelitian yang dilakukan di wilayah pantai utara Bali dan wilayah Bali pada umumnya. Hingga sekarang, sisa-sisa peninggalan masa prasejarah tersebut masih banyak ditemukan, baik di pura-pura maupun di luar bangunan pura, seperti di sawah-sawah dan sebagainya. Di wilayah pantai utara Bali, khususnya kecamatan Tejakula, penduduk setempat masih menggunakan batu-batu tegak yang disebut “batu kukuk” sebagai sarana pemujaan untuk memohon kesuburan tanaman perkebunan, disamping itu juga memohon untuk keselamatan bagi penggarap kebun agar tidak diganggu oleh roh-roh halus penghuni batu tersebut (Yuliati, 1996: 1) Batu kukuk merupakan batu alam yang berbentuk pipih dengan lebar berkisar 20 – 25 cm atau batu-batu alam yang sedikit dibentuk menyerupai arca dengan tinggi sekitar 30 – 40 cm, ditempatkan pada salah satu sudut batas tanah perkebunan di pusat tanah perkebunan. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, kekuatan gaib yang menempati batu kukuk mempunyai fungsi menjaga kebun milik penduduk. Karena itu pada hari-hari tertentu, seperti hari raya Hindu yaitu “Tumpek Wariga (Sabtu), kliwon dan Wuku Wariga, pemberian sesaji dilakukan penduduk kepada kekuatan gaib yang menempati batu tersebut. Sementara sesaji kecil diberikan pada hari-hari lainnya. Pemberian sesaji dibarengi dengan permohonan keselamatan dan kesuburan. Peranan dan fungsi lesung batu dalam kehidupan masyarakat Tejakula pada masa prasejarah tidak bisa dipisahkan dari bentuk-bentuk megalit lainnya yang tersebar di wilayah ini.
Beberapa lesung batu yang diperkirakan merupakan
peninggalan megalit masih digunakan oleh penduduk setempat untuk tempat
233
menumbuk makanan ternak (babi), sedangkan lumping batu yang berulkuran kecil digunakan untuk menumbuk sirih. Lesung batu atau yang biasa disebut juga dengan lumpang batu adalah sebongkah batu yang diberi lobang sebuah atau lebih, dengan diameter lubang dan dalam rata-rata 15 cm. permukaan batu yang rata dibagi dalam empat ruang olh bingkai-bingkai. Tiap ruang berlubang. Penduduk setempat mengatakan bahwa batu tersebut pada zaman dahulu digunakan untuk menumbuk padi-padian (Poesponegoro, 1993) Dari survei yang dilakukan, peninggalan-peninggalan masa prasejarah tersebut dapat dijumpai berupa:
Lesung batu di Desa Pakraman Julah, Desa Pakraman Sembiran, Desa Nagasepaha, Desa Singsing,
lesung batu Pura Beji Sangsit, Pura
Jagaraga, Pura Jagaraga di Situs Julah, Situs Pacung, Situs Sangsit, Situs Singsing
Lesung kayu di Desa Sangsit.
Sarkofagus di pura Ponjok Batu, Situs Tigawasa, Pura Munduk Duur, Museum Buleleng
Pelinggih ditemukan Di Pura Kuno Malaka
2 Aspek Masa Klasik Hindu – Buddha. Peninggalan-peningalan Arkeologi sari masa klasik yang berlatar belakang agama Hindu dan Buddha, pada umumnya banyak tersebar di Pulau Bali. Di Kabupaten Daerah Tingkat II Buleleng tersimpan peninggalan dari masa klasik yang berlatar belakang agama Hindu dan Budha, seperti prasasti dan arca. Arcaarca yang ditemukan di daerah ini terdapat di Pura Ponjok Batu, Pura Puseh Tejakula, Pura Puseh Les dan Pura Sinabun. Dari pengamatan yang dilakukan tehadap pura-pura di Kabupaten Buleleng, tampak bahwa adanya masa Klasik Hindu dapat tercermin pada pahatan-pahatan yang terdapat pada pura-pura, seperti
Pura Beji Sangsit
Daya tarik dari pura ini adalah hampir semua bagian dari pura ini dihiasi oleh ukiran style Buleleng berbentuk tumbuh-tumbuhan merambat dan motif bunga ciri khas Bali Utara tidak ada bagian yang kosong tanpa ukiran dan yang 234
menonjol dari lingkungan pura ini adalah relief pada tembok luar pura yang menggambarkan
ceritera
"Bima
Swarga",
yang
pada
pokoknya
menggambarkan adanya hukuman imbalan yang diterima setiap orang setelah yang bersangkutan meninggal sesuai dengan perbuatannya. Misalnya hukuman yang harus diterima oleh seorang yang melakukan perbuatan zinah di saat hidupnya. Relief ini juga mengandung makna filosofis tentang hak dan kewajiban umat Hindu. Misalnya digambarkan seorang wanita yang harus menyusui seekor ulat raksasa karena tidak mampu memberikan keturunan. Relief ini karena umurnya dibeberapa bagian telah mulai kabur namun di beberapa bagian masih nampak jelas. Adapun patung patung yang berwajah seram sebagaimana umumnya terdapat pada setiap lingkungan Pura Dalem yang ada kaitannya dengan kematian, memberikan suasana seram dan menakutkan, menambah juga daya tarik lingkungan Pura ini bagi wisatawan
Situs Buddha Kalibukbuk Peninggalan-peninggalan
Buddhistis
lainnya
terdapat
di
Kabupaten
Buleleng yaitu di Situs Kalibukbuk. Situs ini terletak di Desa Kalibukbuk,, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng yang berjarak lebih kurang 1 km dari kawasan wisata Pantai Lovina. Dari bukti-bukti temuan yang ditemukan di situs ini telah diduga bahwa situs Kalibukbuk pada masa lalu merupakan situs pemujaan agama Buddha dengan beberapa bangunan. Dari sejumlah komponen bangunan yang terkumpul dapat diperkirakan bahwa bangunan pemujan agama Buddha yang pernah berdiri pada masa laludi situs Kalibukbuk adalah berbentuk stupa dengan dasar (kaki) segi empat
sehingga bangunan
pemujaan agama Buddha disitus ini disebut “Stupa Kalibukbuk”. Bangunan pemujaan ini dihias dengan makhluk gana, sulur-sulur dan relief gajah. Dari temuan arkeologis yang berbentuk artefak dan fitur itu berkaitan dengan agama Buddha yang diduga pernah berkembang sekitar abad 9 hingga 14 Masehi (Astawa, 1997/1998). 3 Masa Islam dan Kolonial Masa Islam di Bali tidak diketahui dengan pasti, tetapi walaupun demikian beberapa sumber sejarah mengatakan bahwa asal-usul umat Islam di Bali di setiap daerah berbeda-beda. Selain di Desa Gelgel Kabupaten Klungkung, ada 235
pula komunitas Muslim di Buleleng yang datang ke Bali pada abad ke-16, di Jembrana awal abad ke-17, juga Karangasem sekitar pertengahan abad ke-17. Peningkatan jumlah umat Islam di Bali tercatat terbanyak setelah kemerdekaan Republik Indonesia, baik yang datang ke Bali karena menjadi pegawai pemerintah maupun mengembangkan usaha atau berwiraswasta. Dalam tulisannya yang berjudul “Mula Pertama Masuknya Islam di Buleleng” (1979), Ketut Gunarsa dan Suparman HS menuliskan, sebagaimana halnya masuknya Islam di daerah lainnya di Bali, Islam di Buleleng juga disebarkan melalui jalur politik, bukan melalui jalur perdagangan. Jalur politik yang dimaksudkan Gunarsa dan Suparman adalah jalur pendekatan langsung ke pusat kerajaan, di mana hal itu disebabkan oleh banyaknya keluarga kerajaan di Pulau Jawa yang sebelumnya sudah terlebih dahulu memeluk Islam. Pada 1587, I Gusti Ngurah Panji yang menjadi Raja pertama Buleleng menyerang kerajaan Blambangan, Jawa Timur, yang saat itu dipimpin Santa Guna. Kendati salah seorang putra Ngurah Panji gugur dalam pertempuran itu, Ngurah Panji berhasil memenangkan pertempuran. Berita kemenangan Ngurah Panji itu pun terdengar sampai ke Kerajaan Mataram (Dalem Solo). Karena itu, Dalem Solo kemudian menawarkan persahabatan dengan I Gusti Ngurah Panji dengan memberikannya hadiah seekor gajah untuk kendaraan Ngurah Panji. Gajah tersebut diantarkan oleh tiga orang Jawa yang sudah memeluk agama Islam, yang selama ini bertugas menjadi penggembala gajah itu. Ngurah Panji pun menyambut hangat tawaran persahabatan itu dan membuatkan petak atau kandang
bagi
gajah
hadiah
Dalem
Solo.
Sementara,
tiga
orang
penggembalanya diberi tempat berbeda. Dua orang tinggal di sebelah utara kandang gajah dan hingga kini tempat itu disebut dengan Banjar Petak atau Banjar Jawa. Seorang lainnya tinggal di bagian sebelah barat daya kota Singaraja. Karena dia berasal dari kota Purba lingga atau Probolinggo Jwa Timur, maka tempat tinggalnya itu diberi nama Banjar Lingga. Di antara Banjar Jawa
dan
Banjar
Lingga,
gajah-gajah
itu
biasa
berguling-gulingan
(peguyangan), maka tempat itu diberi nama Pegayamanan. Umat Islam di Pegayaman ini adalah keturunan dari umat Islam yang sebelum nya tinggal di Banjar Jawa. 236
Saat ini, umat Islam di Desa Pegayaman menjadi salah satu komunitas Muslim yang sangat kental dengan adat istiadat Bali. Misalnya dalam hal penggunaan nama, di mana mereka tetap menggunakan embel-embel, seperti Wayan, Nengah, Nyoman, dan Ketut. Nama-nama itu diikuti dengan namanama Muslim, sperti Ketut Jamaludin, Nengah Robbihuddin, atau nama-nama lainnya. Dalam berkomunikasi sehari-harinya, seperti Muslim di Gelgel Klungkung,
Muslim
Pegayaman
juga
menggunakan
bahasa
Bali.
(http://agama-islam.dharmawangsa.ac.id/berita-159-muslim-gelgel-generasiislam-pertama.html) Beberapa Masjid yang tertua di Singaraja yaitu :
Masjid Kuno Singaraja yang terletak di Jalan Hasanuddin, Kelurahan Kampung Kajanan. Berdasarkan informasi yang berkembang di masyarakat Singaraja dan sekitarnya, Masjid Keramat Kuno merupakan masjid tertua di Kabupaten Buleleng, yaitu pada sekitar tahun 1639 Masehi. Masjid tersebut telah mengalami perbaikan beberapa kali dan terakhir diperbaiki pada tahun 1950-an. Kekunaan masjid yang tertinggal adalah dua daun pintu masuk ke ruang inti bangunan masjid , satu pintu masuk ruang inti bangunan masjid di sebelah tenggara bangunan ruang inti masjid dan satu mimbar. Empat pilar yang semula berasal dari kayu pohon kelapa telah diganti dengan pilar berbahan bata dan spesi atau lepa. Saat ini bangunan ini dimanfaatkan sebagai prasarana ibadah umat Islam Masjid Kramat merupakan bangunan masjid yang tertua di Kota Singaraja, diperkirakan dibangun pada tahun 1654 M. Beberapa bangunan sudah dipugar dengan gaya arsitektur Kolonial seperti tiang bangunannya.
Masjid Agung Jami’ Bangunan tersebut terletak di Jl. Imam Bonjol 65 Singaraja, Buleleng pada jarak sekitar 500 meter di sebelah Selatan kompleks pelabuhan Buleleng,
Bangunan masjid tersebut terdiri dari Bangunan Inti masjid,
serambi, mihrab dan menara. Bangunan masjid telah mengalami beberapa kali perbaikan. Kekunaan yang masih tersisa adalah daun pintu gerbang masjid yang terdapat di tepi jalan Imam bonjol. Mimbar, inskripsi dan angka tahun 1210 diambang pintu ruang inti bangunan masjid dan 8 eksemplar 237
naskah Al-Qur’an kuno tulisan tangan dan secara keseluruhan dalam kondisi tidak terawat. Tidak semua naskah lengkap tiga puluh juz tetapi ada dua naskah yang hilang satu juz (juz 1)dan hilang lebih dari satu juz Naskah ditulis diatas kertas Eropa dengan huruf dan berbahasa Arab. Bangunan ini dimanfaatkan sebagai tempat ibadah umat Islam dan belum ditetapkan sebagai BCB. Arsitektur bangunan masjid bergaya colonial terutama terlihat pada bangunan menara masjid yang lama dan kolom-kolom tiangnya. Dibagian pintu bangunan terdapat prasasti yang menyebutkan pembangunan tahun 1820 M. Pintu depan (gerbang) merupakan sumbangan Raja Buleleng yang diambil dari Puri buleleng. Menyimpan beberapa Al Quran kuno tulis tangan. Al Qur'an Kuna tulisan tangan tahun 1860-an, milik Masjid Agung Jami Singaraja Buleleng, Bali Utara. Ada sekitar 10-an Al Qur'an Kuna tulisan tangan di masjid ini, yang menurut info pengurus mesjid, salah satu Al Qur'an tersebut ditulis oleh Kerabat Raja Buleleng I Gusti Jelantik yang telah masuk Islam (mualaf). 4. Budaya Lokal
Manusia merupakan makhluk tertinggi ciptaan Tuhan. Bedanya dengan makhluk lain adalah manusia mempunyai akal dan pikiran. Manusia dapat mengembangkan gagasan-gagasan atau konsep-konsep yang makin lama makin tajam dalam usahanya untuk memilih alternatif yang terbaik untuk kelangsungan hidupnya.
Karena
mengembangkan
mempunyai
berbagai
sistem
akal, yang
menyebabkan bisa
mereka
membantu
dapat
menyambung
keterbatasan organismenya. Hal ini lah yang disebut dengan kebudayaan. Keseluruhan sistem yang terkandung dalam kebudayaan terdiri dari beberapa unsur seperti
sistem bahasa, sistem pengetahuan, sistem organisasi sosial,
sistem peralatan, sistem mata pencaharian hidup, sistem kesenian dan sistem religi. (Koentjaraningrat, 1985) Adat dan kebudayaan yang ada pada masyarakat Bali sangat erat kaitannya dengan agama dan kehidupan relijius masyarakat Hindu. Keduanya telah memiliki akar sejarah yang demikian panjang dan mencerminkan konfigurasi ekspresif dengan dominasi nilai dan filosofi relijius agama Hindu. Dalam
238
konfigurasi tersebut tertuang aspek berupa esensi keagamaan, pola kehidupan, lembaga kemasyarakatan, maupun kesenian yang ada didalam masyarakat Bali. Budaya lokal adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari (Arnold, Matthew. 1869). Budaya-budaya lokal itu dapat diperlihatkan dalam bentuk: a. bangunan-bangunan/monument Bangunan baik berupa pura, masjid, klenteng, vihara, museum, ataupun puri merupakan peluang besar untuk dijadikan objek wisata. Bagungan pura, masjid, klenteng, maupun vihara sebagai tempat peribadatan bayak dikunjungi oleh wisatawan baik wisatawan dari luar negeri maupun dalam negeri. Kunjungan-kunjungan ke bangunan-bangunan ini bukan hal yang baru. Mungkin ini bisa disebut juga dengan wisata religi. Wisata religi merupakan salah satu jenis wisata yan bertujuan untuk mendapatkan suatu nilai dan pengalaman secara khusus. Berbagai tujuan dan maksud para wisatan datang ke tempat-tempat ini, misalnya saja untuk memenuhi kebutuhan spiritual. Bagi masyarakat Indonesia yang mempunyai kebiasaan hidup membudayakan kehidupan spiritual. Beda halnya dengan kehidupan orang-orang manca negara, kehidupan masyarakat dunia timur sering diangap suatu misteri, sehingga banyak pihak asing yang ingin melakukan cara hidup seperti itu untuk melengkapi pengalaman hidupnya sendiri, yang sekaligus untuk mencari ketenangan dan kepuasan batin yang selama ini pola hidupnya telah disibukkan dengan kegiatan-kegiatan pekerjaannya. Di beberapa daerah di Indonesia peluang-peluang untuk pengembangan wisata religi sangat besar, mengingat masyarakat Indonesia yang selalu taat
239
dan patuh pada ajaran-ajaran agama yang dianutnya yang diturunkan oleh nenek moyang mereka. Mereka senantiasa mejalani kebiasaan-kebiasaan atau adat-istiadat yang selalu dijalankan oleh para orang tua pendahulunya. Di
Kabupaten
Buleleng,
tidak
sedikit
orang-orang
asing
maupun
masyarakat lokal yang mendatangi tempat – tempat peribadatan seperti, pura, vihara, masjid, maupun klenteng. Tujuannya dapat bermacam-macam, ada yang hanya sekedar melihat-lihat tetapi tidak sedikit yang datang untuk tujuan pemenuhan kebutuhan spiritual (kebutuhan rohani, mental dan ketenangan bathin). Hal ini dapat dilihat pada Vihara Brahma Amara
Banyak orang asing yang berkunjung ke Vihara ini. Disini disediakan juga asrama bagi pengujung yang ingin menenangkan bathin/semedi/yoga untuk kebutuhan spiritualnya. Sesuai dengan namanya Arama berarti Taman, sedangkan Brahmavihara artinya tempat leluhur. Di tempat ini jelas terlihat kunjungan wisatawan utuk tujuan keagamaan/religi. Saat ini Vihara ini dikepalai oleh Bhante Piyavano. Selain Vihara ini, beberapa bangunan religi juga dimanfaatkan untuk wisata religi, seperti Pura Ponjok Batu, Pura Meduwekarang, Pura Melanting, Pura Pulaki, Klenteng Tridharma Ling Gwan Kiong,
Komplek makam keramat
Karang Supit, dan lain-lain Selain bangunan-bangunan sebagai objek wisata religi, terdapat juga patung-patung atau monument yang berpusat di Singaraja, seperti Patung Catuspatha, Tugu Singa Ambara Raja, Patung sapi gerumbungan, Patung Panji Sakti, Monumen Yudha Mandalatama. Tugu, Patung maupun monument ini dibangun sebagai peringatan untuk mengenang pahlawan Buleleng, juga
240
sebagai identitas kota Buleleng. Begitu juga dengan museum Buleleng dan Museum lontar (Gedung Kertya) yang menyimpan sejarah Buleleng.
b. Seni kerajinan tradisional Usaha kerajinan adalah suatu pilar perekonomian yang masih eksis menyangga kehidupan sebagian masyarakat Kabupaten Buleleng. Dengan demikian sektor kerajinan sampai sekarang masih tetap diusahakan sebagai mata pencaharian, baik dilakukan secara perorangan, maupun kelompok. Di Bali bebagai jenis kerajinan telah ada sejak dulu dan berkembang sebagai etnik kerajinan rakyat. Berkembangnya seni kerajinan ini didorong oleh sistem mata pencaharian hidup penduduk yang sebagian besar sebagai petani.Perekonomian yang bercorak agraris memungkinkan adanya waktuwaktu luang untuk menumbuhkan seni kerajinan rakyat sebagai usaha sambilan. Kadang-kadang di beberapa tempat terutama bagi petani yang tidak memiliki lahan
garapan, hasil usaha
kerajinan
ini dijadikan
sumber
penghidupannya. Ada suatu kepercayaan di Bali yang sampai saat ini masih diterima dan dipercayai oleh masyarakat, bahwa semua jenis pekerjaan kerajinan diajarkan oleh para dewa. Berkenaan dengan kepercayaan ini , Friz A.Wagner (1959) mengatakan, bahwa adanya suatu gedong atau pelinggih tertentu tempat pemujaan Dewa Bagus Manca Gina. Dewa ini adalah dewa dari 5 jenis kerajinan yaitu kerajinan besi, kerajinan tembaga, kerajian emas, kerajinan ukiran dan kerajinan lukisan. Kepercayaan ini menimbulkan sikap tanggung jawab yang tinggi di dalam setiap berkarya. Membuat benda-benda kerajinan yang tinggi mutunya adalah cermin dari keinginan setiap pengrajin di Bali untuk berbakti. Di sinilah makna dari kepercayaan tersebut (Sunarya, 2007) Dalam bentuk usaha, ada yang dilakukan secara tradisional perorangan, kelompok masyarakat atau dengan manajemen yang lebih baik dalam bentuk perusahaan perorangan maupun asosiasi. Makin majunya dunia usaha serta taraf kehidupan masyarakat produsen maupun konsumen, tak pelak menuntut pencitraan bentuk-bentuk kerajinan, sehingga kerajinan dapat berkembang begitu dinamis. Tuntutan gaya hidup konsumen serta kemampuan desainer dalam merespon, dapat menyuburkan perkembangan mode kerajinan, dari 241
waktu ke waktu.Gambaran itu sangat jelas terbaca dalam peta perkembangan usaha kerajinan di daerah Buleleng saat ini. Bila di masa lalu kerajinan diusahakan sebagai pengisi waktu luang, dimana jiwa dan karakter pada setiap produk yang dihasilkan adalah penggambaran jiwa-jiwa sederhana, aplikatif sebagai kagunan dan milik masyarakat pendukungnya. Begitu pula usaha kerajinan itu sebagai anugerah potensi alamiah yang dimiliki masyarakat setempat, dan mencerminkan karakter masyarakat sebagai budaya lokal. Dari penelitian potensi budaya lokal di Kabupaten Buleleng, telah ditemukan berapa kerajinan lokal
yang dilakukan oleh pengrajin-pengrajin
seperti; Kerajinan tenun. Pekerjaan menenun telah dikenal sejak zaman Bali Kuno, dimana pada masa ini kegiatan dilakukan oleh kaum wanita sebagai pekerjaan sambilan. Pada zaman dulu ada suatu pandangan bahwa seorang gadis diwajibkan belajar menenun, sebelum berkeluarga.
Beda halnya dengan keadaan
sekarang yang mana para gadis lebih suka bekerja di luar rumah. Dan cendrung gadis-gadis sekarang tidak bisa mengerjakan / menggunakan alat tenun. Dari hasil survei yang dilakukan, belum ditemukan para
remaja
yang bekerja sebagai penenun. Yang ditemukan adalah satu orang tua di Desa Pakraman Sembiran yang hingga sekarang masih melakukan pekerjaan menenun. Orang tua ini bernama Nyi Ketut Landri berusia 83 tahun. Nyi Ketut Landri menenun kain tradisional Sembiran biasa disebut dengan tenunan cagcag yang mana kain ini hanya digunakan pada saat upacara adat, seperti Hari Raya Galungan dan Kuningan. Pemakaian kain ini berbeda antara laki-laki dan perempuan Pemakaian kain ini pada saat Galungan dan Kuningan sehingga sebagian besar mereka akan menggunakan pakaian tradisional. Untuk lakilaki menggunakan kain diselempangkan dan menggunakan endek di bawahnya, sedangkan perempuan mengalungkan kain yang kecil dan menggunakan endek bagian bawahnya. Tenunan cagcag ini berbeda dengan tenunan tradisional yang ditemukan di Desa Pacung maupun tenunan semi modern/modern yang 242
juga kami temukan di Singaraja. Hal ini dapat diihat dari perbedaan motif dan bahan. Tenunan ini umum digunakan pada perayaan-perayaan/acara-acara yang umum dilakukan di Kabupaten Buleleng khususnya, seperti acara piodalan, ataupun acara keramaian lainnya.
Foto 138. Perbedaan pemakaian kain cagcag antara perempuan dan laki-laki
Foto 139. Tenunan tradisional/semi modern/ modern di Pacung dan Singaraja
243
Pada kain tenunan Bali terdapat berbagai macam ragam hias yang tak terpisahkan dengan sistem kepercayaan, sosial, ekonomi, yaitu ragam hias tumbuh-tumbuhan antara lai berupa hiasan yang disebut patra (Sansekerta) artinya “daun”, ragam bentuk binatang disebut kekarangan atau karang dan ragam hias geometri Kerajinan logam (emas, perak, gamelan dan besi). Kemahiran untuk memandai logam sudah dikenal di Bali sejak zaman Dongson kira-kira 200 tahun sebelum masehi. Hal ini telah dibuktikan dengan adanya nekara perunggu yang sekarang disimpan di Pejeng yang diperkuat dengan terdapatnya cetakan nekara dari tanah liat. Pengetahuan memandai logam merupakan bagian kebudayaan Bali yang tersebar di beberapa desa yang dilakukan oleh suatu warga yaitu warga Pande. Menurut sistem kemasyarakatan Bali bahwa warga pande memiliki bharata (kewajiban) untuk melakukan pekerjaan memande logam. Atas dasar bharata inilah maka warga pande dimanapun berada akan melakukan pekerjaan memandai logam. Kerajinan logam yang berkembang di Bali abad IX sampai abad XI yang terdiri dari beberapakelompok pengrajin seperti pande mas, pande wsi/bsi, pande tambra, pande kangca. Jika dilihat perkembangan keterampilan mengerjakan benda-benda logam sudah tampak sejak zaman prasejarah. Hal ini dapat dilihat pada kuburan-kuburan prasejarah yang dimanfaatkan sebagai bekal kubur berupa alat dari perunggu, alat dari besi, perhiasan emas dan manik-manik (Sunarya, 2007). Di Kabupaten Buleleng, pusat kerajinan logam terutama emas dan perak terdapat di Desa Beratan. Desa Beratan terletak di sebelah selatan Kota Singaraja. Kurang lebih berjarak hanya 1 km dari Pusat Pemerintahan Kabupaten Buleleng. Desa ini dikenal sebagai pengrajin emas dan perak. Pengrajin setempat memiliki style unik yang terkenal dengan Style Beratan. Wisatawan dapat berkunjung ke tempat pengrajin bekerja sambil melihatlihat cara pengrajin mengolah bahan mentah menjadi bahan kerajinan emas dan perak. Hasil karya mereka juga dipajangkan dan bila berniat wisatawan boleh membeli. Tempat kerajinan logam lainnya yang ditemukan
244
ada
di
Desa
Sawan.
Di
Desa
ini
ditemukan
pengajin/pembuat
gong/gamelan. Di wilayah ini terdapat juga pengrajin pisau. . Gong, yang ditemukan pula di berbagai tempat di Nusantara, merupakan alat musik yang diperkirakan berakar dari masa perundagian Selain gong/gamelan, benda-benda yang terbuat dari logam di desa ini berupa golok, pisau, kapak, sabit, parang dan lain-lain
Foto 140. Bengkel kerja alat musik dari logam
Kelompok pande pada jaman kuno mempunyai kedudukan yang penting di masyarakat maupun di lingkungan kerajaan, karena hasil-hasil produksinya sangat dibutuhkan di dalam kehidupan sosial maupun keagamaan. Kerajinan seni (lukis, musik, tari, ukir dan pahat).
245
Pengertian seni disini adalah mencakup seni yang berorientasi untuk keindahan, selain seni mengandung nilai magis utuk kebutuhan pemujaan arwah maupun seni yang berfungsi dalam prosesi kegiatan penguburan yang dilakukan masyarakat Bali. Kehidupan seni terkait erat dengan kemajuan masyarakat, baik dalam pola pikir, teknologi, maupun ilmu pengetahuan. Seni memegang peranan penting dalam hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan praktis maupun yang berhubungan dengan magis religius atau kepercayaan dan keindahan. Perkembangan
seni
berjalan
paralel
dengan
kebutuhan
masyarakat,
khususnya yang berhubungan dengan dengan penyediaan benda-benda berkualitas dan indah untuk upacara dan penguburan Gejala adanya seni sudah tampak pada masa-masa paleolitik (prasejarah), tetapi belum mempunyai makna dan arti. Karya seni masa prasejarah, khususnya tradisi megalitik dan tradisi masa perunggu besi sangat menentukan kehidupan karya seni masa sekarang. Bahkan masa-masa berkembangnya agama Hindu – Buddha pun pengaruh seni masa prasejarah masih tampak. Hal ini dapat dikatakan telah terjadi akulturasi antara kedua udaya yang berbeda tersebut. Walaupun pengaruh hindu Budha begitu kuat, tetapi karya-karya seni tetap menunjukkan pengaruh seni masa prasejarah. Jadi berkembanganya bentukkarya seni masa prasejarah telah mempengaruhi dan memberikan inspirasi pada aktivitas masyarakat Bali Masa kini (Kusumawati, 1993). Mengukir pada dasarnya adalah membuat suatu hasil karya seni ukir. Di Bali seni ukir ini dibedakan menjadi 2 kelompok besar yaitu seni ukir patung (tiga dimensi) dan seni ukir rekief (dua dimensi) oran ang memiliki keterampilan mengukir disebut sangging atau tukang ukir.
Pada awalnya
kegiatan seni ukir mengutamakan nilai seni dibandigkan dengan unsur-unsur lainnya. Pengrajin akan mendapat imbalan dari orang-orang yang memesan kerajinan Pesatnya perkembangan pariwisata di Buleleng Khususnya memberi peluang kepada para sangging untuk lebih meningkatkan mutu hasil karyanya sehingga imbalan yang diperoleh akan lebih meningkat sehingga taraf hidup para seniman bisa terangkat. Pada zaman dulu, para sangging lebih 246
mengutamakan nilai seni leluhurnya, tetapi sejak ada imbalan dari pemesan, para sangging membuat kreasi-kreasi baru sesuai dengan imajinasinya baik berupa patung, ukiran atau pahatan lainnya. Kerajinan yang dihasilkan oleh para sangging akan dijual melalui galeri, pasar seni dan art shop. ukir/pahat.
Foto 141. (dari kiri ke kanan) Seni pada masa prasejarah, Hindu- Buddha dan Kolonial
Pahatan-pahatan berupa karya seni topeng, baik untuk sarana hiburan maupun sarana bisnis/perdagangan tetap mengandung pengaruh bentuk topeng prasejarah yang dipahat di sarkofagus, begitu juga dengan lukisanlukisan masih tetap mengandung seni masa lampau yang terus berkembang sesuai dengan pola pikir dan ilmu pengetahuan dari bentuk-bentuk seni yang paling sederhana sampai kepada karya seni yang sangat indah dan berkualitas tinggi.
247
Foto 142. Pelaku seni serba bisa: Bapak I Nyoman Suma Argawa
Foto 143. Pelaku seni I Ketut Samudrawan
248
Foto 144. Pelukis kaca I Ketut Santosa
Kerajinan anyaman/inovatif Kerajinan anyaman merupakan salah satu upaya manusia untuk memenuhi berkembang
tuntutan sejak
hidupnya. zaman
Bali
Kerajinan Kuno.
Hal
anyam-anyaman ini
dikaitkan
ditemukannya istilah seperti sarang, tiker pada prasasti
sudah dengan
pada abad IX
sampai dengan XI. Mengenai bahannya tidak diketahui dengan pasti, tetapi berdasarkan kebiasaan, kemungkinan sarang terbuat dari bambu dan tiker dari daun pandan dan daun lontar. Di kabupaten Buleleng umumnya kerajinan anyaman menggunakan bahan baku daun lontar, lidi daun lontar, bambu, rotan. Kerajinan ini tersebar luas dengan membawa identitas daerah sendiri-sendiri, seperti kerajinan inka, dibuat dari lidi daun lontar, Kerajinan inka ditemukan di Desa Pakraman Sembiran,
249
Foto 145. Anyaman lidi lontar dan anyaman kotak dari rotan
Foto 146. Kerajinan inovatif dari tangkai buah kolang kaling
Foto 147. Kerajinan inivatif dari sisa-sisa kayu dan tempelan kulit bawang putih
250
5. Spesifik geografis berupa pesona alam dan hasil perkebunan
Indonesia memiliki potensi sumber daya alam dan peninggalan sejarah, seni dan budaya yang sangat besar sebagai daya tarik pariwisata dunia. Ahli biokonservasi
memprediksi
bahwa
Indonesia
yang
tergolong
negara
megadiversity dalam hal keaneka ragaman hayati akan mampu menggeser Brasil sebagai negara tertinggi akan keragaman jenis, jika para ahli biokonservasi terus giat melakukan pengkajian ilmiah terhadap kawasan yang belum tersentuh. Keadaan ini disebabkan letak Indonesia yang berada di daerah tropis yang memiliki bentang lahan yang beraneka ragam serta tanahnya yang subur menyebabkan pemandangan alami serta pemanfaatan lahan oleh masyarakat terutama oleh penduduknya sebaik mungkin misalnya untuk objek wisata, ekowisata dan agrowisata. Dan tak jarang lahan yang spesifik ini dibiarkan tumbuh secara alami membentuk hutan-hutan kecil untuk kegiatan treking. Dari survei yang dilakukan tersebut dapat juga dilihat keanekaragaman pesona alam berdasarkan spesifik geogafis, yaitu:
A. Dataran rendah Pesona alam di daerah dataran rendah pada ketinggian 0 – 500 meter diatas permukaan laut banyak terdapat keindahan alam yang dapat dinikmati oleh wisatawan, misalnya pantai, persawahan, air panas dan objek rekreasi berupa kolam renang. 1. Pesona Laut/pantai. Beberapa pesona laut yang cukup terkenal di pantai utara Bali ini adalah: -
Pantai Lovina. Selain pantainya yang indah, atraksi lumba-lumba tak kalah menariknya. Wisatawan luar negeri maupun dalam negeri akan menyempatkan waktunya menuju ketengah laut agar bisa melihat lumba-lumba secara dekat serta dapat menikmati keindahan pemandangan bawah laut, seperti ikan yang beraneka warna, rumput laut serta terumbu karang. Pemandangan sunrise dan sunset dapat dilihat dari pantai ini.
251
Foto 148. Atraksi lumba-lumba dan sunrise di pantai Lovina
-
Pantai Pulaki. Pantai yang berada di depan Pura Pulaki ini tak hentihentinya dikunjungi wisman maupun wisatawan lokal. Wisatawan akan menyempatkan diri untuk melihat pemandangan pantai yang ditambah pula dengan adanya Pura Pabean Pulaki menambah keindahan pantai ini.
-
Pantai Panimbangan Desa Pamaron, merupakan pantai yang cukup indah dengan kumpulan nelayannya. Di Pantai Panimbangan Barat ini sudah dilengkapi dengan sarana hiburan berupa karaoke serta para nelayan yangselalu bergembira diatas perahu mereka. 252
Pemandangan indah dengan hamparan sawah ditepinya serta merupakan salah satu spot untuk pengambilan foto-foto sunset
Foto 149. Pantai Pulaki dikala senja
Foto 150. Pantai Panimbangan Barat dengan hamparan sawahnya yang menghijau
-
Pantai Batu Makecuh yang terletak di Desa Pacung ini merupakan pantai yang tenang yang belum tersentuh oleh kegiatan wisata.
253
Foto 151. Alam yang tenang di Pantai Batu Makecuh
-
Pantai Pemuteran dan Desa Penyabangan; dengan pemandangan penangkaran mutiara milik perusahaan ATLAS. Disini di peragakan juga teknik pemeliharaan kerang-kerang yang menghasilkan mutiara yang berkualitas tinggi
Foto 152. Pantai Pemuteran dengan penangkaran mutiara
-
Pantai Julah
Foto 153. Penangkaran mutiara di Desa Julah dengan Pantai Julah yang tenang
2.
Pesona Air terjun
254
Air Terjun Singsing. Air terjun yang berada ditengah hutan ini cocok sekali untuk kegiatan treking.
3. Bendungan Bendungan Gerokgak
4. Pesona Kolam renang
255
Kolam Renang Air Sanih/Yeh Sanih Yeh Sanih merupakan mata air yang sekarang difungsikan sebagai kolam pemandian dan merupakan objek wisata 5. Perkebunan Pesona perkebunan di dataran rendah dan atraksi keindahan pulau Bali umumnya dan Kabupaten Buleleng khususnya sudah tidak diragukan lagi. Disamping keindahan alam tersebut, yang tak kalah menariknya adalah perkebunan anggur yang cukup dikenal di Kabupaten Buleleng ini. Perkebunan Anggur yang ditanam yaitu anggur merah yang dapat kita lihat disepanjang jalan Seririt, Kecamatan Seririt dan Kecamatan Banjar. Tetapi sangat disayangkan, petani anggur saat ini kurang berminat untuk menanam anggur. Hal ini disebabkan karena banyaknya hama yang merusak pohonnya serta musim penghujan akan mempercepat pembusukan pohon anggur. Perkebunan coklat dan perkebunan cengkeh di Desa Munduk Bestale, perkebunan anggur di Desa Lokapasa, Kecamatan Seririt, Persawahan di Pantai Panimbangan Barat dan di Desa Panarukan, Terasering sawah di Desa
Foto 154. Terasering sawah di Desa Kekeran
Kekeran. Pesona perkebunan terletak pada daerah dataran rendah yaitu pada ketinggian lebih kurang antara 5 – 500 meter dari permukaan laut.
256
6. Air Panas Banjar
B. Dataran tinggi 1. Terasering sawah Pemandangan terasering sawah dapat dilihat di Desa Kekeran Kecamatan Busungbiu. Pada pemandangan ini dapat kita saksikan aktifitas petani mengolah sawahnya dengan sistim pengairan sawah yang dikenal di Bali adalah “subak”, dapat dilihat disini
2. Danau Danau yang dikenal di Kabupaten Buleleng ini yaitu Danau Tamblingan dan Danau Buyan. Karena letaknya yang berdampingan maka danau ini sering disebut juga danau kembar. Karena letaknya di daaran tinggi (1200 – 1400 meter dpl), maka wlayah danau ini mempunyai udara yang sejuk. Sepanjang jalan ini menuju Danau Buyan dan Tamblingan akan disajikan pemandangan danau yang indah serta tingkah polah yang lucu dari monyet-monyet disekitar danau ini. Wisatawan dapat berperahu
di Danau Tambligan dengan
menggunakan perahu tradisional menuju Pura Pande dan Pura Tamblingan.
257
Disekitar danau Tamblingan ini wisatawan dapat melakukan trekking sambil menikmati keindahan alam tanpa merusak lingkungan/ekosistem .
3. Air terjun - Air terjun Gitgit Air terjun ini terletak pada ketinggian lebih kurang 570 meter. Pengunjung dapat menikmati keindahan alam dengan lingkungan yang masih alami serta dapat melakukan trekking di hutan-hutan sekitarnya. Disepanjang jalan menuju air terjun ini pengunjung dapat meikmati perkebunan cengkeh dan coklat serta souveir berupa hasil bumi daerah ini, seperti, lerak, pala, kulitmanis, vanili dan sebagainya.
258
- Air Terjun Melanting/air terjun Munduk 940 meter
- Air terjun Campuhan/Twin Waterfall Berada pada ketinggian lebih kurang 813,5 meter dpl. Airnya bersih, jernih dan dingin. Lokasi ini dipercaya sebagai tempat pemandian Hyang Dedari da hingga sekarang tetap dipercaya sebagai tempat pembersihan dosa dan juga sebagai tempat mohon keselamatan terutama untuk ibu-ibu hamil yang mau melahirkan. Dari ketinggian ini para pengunjung dapat menikati pemandanagan kota Singaraja dan sekitarnya
259
4. Perkebunan Pesona perkebunan yang terletak di datran tinggi ini (500 – 1500 m dpl) tak kalah menakjubkan jika dibandingkan dengan pesona perkebunan yang terletak di dataran rendah (0 – 500 m dpl). Pemandangan ini akan menambah sejuknya mata yang melihatnya. Pohon yang menghijau menambah sejuknya hawa pegunungan. Di dataran tinggi ini lebih didominasi oleh perkebunan cengkeh, coklat dan kopi. Terutama terdapat di Kecamatan Busungbiu, Selain Cengkeh dan coklat , di Desa Munduk Benstale kecamatan Busung biu masyarakat setempat sudah sejak lama menanam tanaman buha-buahn seperti, salak, manggs, mangga durian dsbnya.itu, juga terdapat buah salak. Yang menarik dari salak ini adalah merupakan perkawinan silang antara salak lokal / salak Bali dengan salah pondoh dari Jawa. Hasil persilangan tersebut dinamai SALAK PASIR. Masing-masing mempunyai keunggulan. Salak pondoh rasanya manis, sedangkan salak Bali dasingnya tebal dan bijinya kecil. Dengan demikian dihasilkan salak jenis baru yang dagingnya tebal dengan biji yang kecil dan rasanya manis. Hasil penjualan salak ini cukup menjanjikan.
260
Bunga Indonesia sebagai salah satu produk agrowisata dinilai eksotis. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Mari Elka Pangestu, pada acara ";Awarding Night 2012, Say It With Flower"; di Gedung Sapta Pesona, Kantor Kemenparekraf pada Selasa (14/2). Bunga merupakan simbol yang memberi harapan, kebanggaan serta salah satu cara mengungkapkan perasaan.Pemanfaatan bunga ini dapat dilakukan dengan cara menggunakannya dalam keseharian atau kesempatan tertentu. Selain itu, pengenalan dan pelestarian bunga juga dapat dilestarikan dengan cara mengembangkan taman bunga
Dari hasil survey yang telah dilakukan di sepanjang pantai utara Bali Kabupaten Buleleng tampak bahwa keanekaragaman budaya sejak masa prasejarah hingga masa klasik (Hindu – Buddha) sampai masuknya agama Islam pada masa colonial banyak tersebar di wilayah ini dari dataran pantai hingga dataran tinggi dipedalaman. Keanekaragaman warisan budaya
ini banyak
dijumpai dalam kehidupan dan terus berlanjut hingga kini. Begitu juga dengan kehidupan seni/kerajinan yang sudah menyatu dengan tata cara kehidupan masyarakat Bali serta keadaan geografis wilayah Bali pada umumnya dan khususnya Kabupeten Buleleng di kawasan Bali Utara menambah suasana yang religius. Dari tinggalan-tingalan budaya di masa
lampau terutama pada masa
prasejarah tersebut memperlihatkan bahwa potensi kebudayaan dan pariwisata yang ada di Kabupaten Buleleng sangat besar, akan tetapi belum seluruhnya dikelola secara profesional, sehingga dapat bermanfaat dalam menunjang 261
penerimaan pendapatan daerah dan terutama dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat. Pemerintah Kabupaten Buleleng dalam hal ini sangat berkepentingan terhadap upaya pengembangan pariwisata daerah. Maka sebagai pihak yang memiliki peran sebagai fasilitator secara tidak langsung peran yang disandang tersebut sangat strategis dalam mewujudkan upaya-upaya ke arah pengembangannya.
262
Peta 4 Travel Pattern
263
6. Travel Pattern
Objek dan daya tarik wisata merupakan salah satu unsur penting dalam dunia kepariwisataan. Dimana objek dan daya tarik wisata dapat menyukseskan program pemerintah dalam melestarikan adat dan budaya bangsa sebagai asset yang dapat dijual kepada wisatawan. Objek dan daya tarik wisata dapat berupa alam, budaya, tata hidup dan sebagainya yang memiliki daya tarik dan nilai jual untuk dikunjungi ataupun dinikmati oleh wisatawan. Dalam arti luas, apa saja yang mempunyai daya tarik wisata atau menarik wisatawan dapat disebut sebagai objek dan daya tarik wisata. Menurut UU No. 9 Tahun 1990 Bab III Pasal IV tentang kepariwisataan menjelaskan perbedaan antara objek dan daya tarik wisata adalah : 1. Objek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang berwujud keadaan alam serta flora dan fauna, seperti : pemandangan alam, panorama indah, hutan rimba dengan tumbuhan hutan tropis serta binatang-binatang langka. 2. Objek dan daya tarik wisata hasil karya manusia yang berwujud museum, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, pertanian (wisata agro), wisata tirta (air), wisata petualangan, taman rekreasi, dan tempat hiburan lainnya. 3. Sasaran wisata minat khusus, seperti : berburu, mendaki gunung, gua, industri dan kerajinan, tempat perbelanjaan, sungai air deras, tempattempat ibadah, tempat-tempat ziarah, dan lain-lain. 4. Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut. Pengusahaan objek dan daya tarik wisata, seperti : kawasan wisata, taman rekreasi, kawasan peninggalan sejarah (candi, makam), museum, waduk, pagelaran seni budaya, tata kehidupan masyarakat. Dan yang bersifat alamiah, seperti : keindahan alam, gunung berapi, danau, pantai dan sebagainya. Menurut SK Menparpostel No. KM 98 PW. 102 MPPT – 87 yaitu : “Objek wista adalah suatu tempat atau keadaan alam yang memiliki sumber daya alam yang
264
dibangun dan dikembangkan sehingga mempunyai daya tarik yang diusahakan sebagai tempat yang dikunjungi wisatawan”. Dalam kepariwisataan faktor manfaat dan kepuasan wisatawan berkaitan dengan “Tourism Resourch dan Tourist Service. Objek dan atraksi wisata adalah segala sesuatu yang ada di daerah tujuan wisata yang mempunyai daya tarik tersendiri yang mampu mengajak wisatawan berkunjung. Hal-hal yang dapat menarik wisatawan untuk berkunjung ke daerah tujuan wisata antara lain : 1. Natural Amenities, adalah benda-benda yang sudah tersedia dan sudah ada di alam. Contoh; iklim, bentuk tanah, pemandangan alam, flora dan fauna, dan lain-lain. 2. Man Made Supply, adalah hasil karya manusia seperti benda-benda bersejarah, kebudayaan, dan religi. 3. Way of Life, adalah tata cara hidup tradisional, kebiasaan hidup, adatistiadat seperti pembakaran mayat di Bali, upacara sekaten di Jogjakarta. 4. Culture, adalah kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat yang tinggal di daerah objek wisata. Sapta pesona adalah unsur yang penting dalam mengembangkan suatu objek wisata. Citra dan mutu pariwisata di suatu daerah atau objek wisata pada dasarnya ditentukan oleh keberhasilan dalam perwujudan sapta pesona daerah tersebut. Sapta pesona merupakan tujuh kondisi yang harus diwujudkan dan dibudayakan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sebagai salah satu upaya untuk memperbesar daya tarik dan daya saing pariwisata Indonesia Unsur-unsur sapta pesona tersebut adalah : 1. Keamanan adalah suatu kondisi dimana wisatawan dapat merasa aman, yang artinya keselamatan jiwa dan fisik. 2. Ketertiban adalah kondisi yang mencerminkan suasana yang teratur, rapi dan lancar serta menunjukkan disiplin yang tinggi dalam semua segi kehidupan masyarakat. 3. Kebersihan
adalah
keadaan/kondisi
lingkungan
yang
menampilkan
suasana bebas dari kotoran, sampah, limbah, penyakit dan pencemaran. 4. Kesejukan adalah suasana yang memberikan kesejukan, nyaman, tenteram, rapi, dengan adanya penghijauan. 265
5. Keindahan adalah keadaan atau suasana yang menampilkan lingkungan yang menarik dan sedap dipandang mata. 6. Keramah tamahan adalah suatu sikap dan perilaku seseorang yang menunjukkan keakraban, sopan, suka membantu, suka tersenyum dan menarik hati. 7. Kenangan adalah kesan yang melekat dengan kuat pada ingatan dan perasaan
seseorang
yang
disebabkan
oleh
pengalaman
yang
diperolehnya. Untuk mewujudkan sapta pesona tersebut maka perlu dilakukan kebijakan yakni dengan memberikan pengertian kepada semua lapisan masyarakat dan dunia usaha, bahwa sapta pesona merupakan hal yang sangat penting dalam mengembangkan suatu objek wisata. Indonesia dengan kekayaan sumber daya alam yang luas dan unik mempunyai potensi besar untuk menarik keuntungan dari pengembangan ekowisata. Namun hasil-hasil tersebut tentu saja baru dapat diperoleh dengan melakukan pengorbanan. Pelaksanaan ekowisata memerlukan perencanaan dan persiapan matang dan hati-hati, agar tidak mendatangkan kerugian. Hal itu mengingat karena pada dasarnya ekowisata membuka peluang bagi para wisatawan untuk memasuki kawasan yang dilindungi dan rawan, yang selama ini memang tidak dijamah oleh tangan-tangan manusia. Oleh karena itu demi pelestarian kawasan tersebut perlu langkah-langkah guna melindungi kondisi asli dan keunikan kawasan lindung tadi. Ekowisata pada saat sekarang ini menjadi aktivitas ekonomi yang penting yang
memberikan
kesempatan
kepada
wisatawan
untuk mendapatkan
pengalaman mengenai alam dan budaya untuk dipelajari dan memahami betapa pentingnya konservasi keanekaragaman hayati dan budaya lokal. Pada saat yang sama ekowisata dapat memberikan generating income untuk kegiatan konservasi dan keuntungan ekonomi pada masyarakat yang tingal di sekitar lokasi ekowisata. Ekowisata dikatakan mempunyai nilai penting bagi konservasi dikarenakan ada beberapa hal antara lain: 1. Memberikan nilai ekonomi bagi daerah yang mempunyai tujuan kegiatan konservasi pada daerah yang dilindungi.
266
2. Mmemberikan nilai ekonomi yang dapat digunakan untuk program konservasi di aerah yang dilindungi. 3. Menimbulkan penambahan pendapatan secara langsung dan tidak langsung kepada masyarakat disekitar lokasi ekowisata. 4. Dapat mengembakan konstituen yang mendukung konservasi baik tingkat lokal, nasional dan internasional. 5. Mendorong pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan, dan mengurangi ancaman terhadap keanekaragaman hayati. Kegiatan ekowisata biasanya berada didaerah tropis yang mempunyai keanekaragaman yang tinggi dan banyak flora dan fauna yang bersifat endemik sehingga kondisi tersebut rentan untuk mengalami perubahan. Dari sisi nilai tambah ekowisata, ada kemungkinan dalam implementasi program tersebut apabila tidak direncanakan dengan baik
maka
asalnya
akan
sebaliknya
mendukung
yang
terhadap
kelestarian lingkungan hidup malah menjadi
mendorong
terjadinya
kerusakan lingkungan hidup di daerah tersebut.
Oleh
karena
itu
dalam
pengembangan ekowisata perlu adanya rencana pengelolaan yang mengacu kepada tujuan utama awalnya yaitu mendorong dilakukannya pengawetan
lingkungan hidup, sehingga ekowisata perlu di rencanakan pengelolaannya 267
dengan mengintergrasikan dalam pendekatan sistem untuk konservasi yang menggunakan desain konservasi. Berdasarkan hasil pendataan potensi kepariwisataan yang ada di kawasan Kabupaten Buleleng, dapat disimpulkan bahwa semua potensi dasar yang dapat menjadi daya tarik wisata seperti Natural Amenities, Man Made Supply, Way of Life,dan Culture, semuanya dimiliki oleh kawasan ini, dan sebagian telah banyak dikunjungi oleh wisatawan baik lokal maupun manca negara yang datang ke kawasan tersebut dengan beragam cara, seperti kapal laut, bis, kendaraan kecil, dan bahkan ada juga yang menggunakan kendaraan roda dua. Bila dilihat jalur pencapaian kawasan Kabupaten Buleleng yang terletak di wilayah bagian utara Bali yang secara topografis terdiri dari wilayah pegunungan, perbukitan, pendataran dan pantai yang menghadap ke arah pantai utara Pulau Bali, maka untuk sampai ke kawasan tersebut jalur transportasi yang dapat digunakan saat sekarang hanya dapat dicapai dengan menggunakan sarana transportasi laut dan sarana transportasi darat. Sementara itu untuk jalur udara belum berkembang karena belum tersedianya pelabuhan udara yang memadai. Bandara Letkol Wisnu satu-satunya sarana pelabuhan udara di Kabupaten Buleleng saat sekarang masih sangat terbatas, hanya dapat didarati oleh pesawat dengan daya angkut kecil karena masih berupa Air Strip. Jalur transportasi laut dari hasil wawancara dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten
Buleleng,
diperoleh keterangan bahwa jalur tersebut
jarang
digunakan.
Disebutkan, beberapa tahun yang lalu pernah bersandar kapal pesiar dari luar negeri. Pelabuhan laut yang ada di Kabupaten Buleleng umumnya
digunakan
untuk
pengangkutan barang atau komoditi, seperti Pelabuhan Celukan Bawang, di Kecamatan Grogak dan Pelabuhan Tradisional Sangsit di Kecamatan Sawan. Disamping itu juga ada beberapa dermaga tempat berlabuhnya perahu-perahu nelayan penangkap ikan seperti Penimbangan, Seririt, Pacung, Julah, dan lain sebagainya. 268
Sementara itu sejak tahun 2007 berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik, di Kabupaten Buleleng telah di dukung dengan sarana perhubungan darat berupa jalan raya sepanjang 1.139, 88 kilometer (km) dengan rincian Jalan Nasional sepanjang 155,75 km, Jalan Propinsi 105,88 km, Jalan Kabupaten 878,19 km. Dalam hal ini ke kawasan pelosok Kabupaten Buleleng saat sekarang sebagian besar sudah terhubung oleh jalan beraspal, sehingga dapat dicapai baik oleh kendaraan roda dua maupun roda empat. Merujuk pada konsisi geografis kawasan Kabupaten Buleleng, jalur darat merupakan jalur yang umum digunakan oleh para wisatawan baik wisatawan nusantara maupun mancanegara ke kawasan Kabupaten Buleleng. Untuk mencapai potensi destinasi wisata yang ada dan yang cukup menarik untuk dikembang sebagai destinasi wisata di kawasan ini dapat dicapai melalui 4 koridor yaitu 1 dari timur yang dicapai dari Denpasar melalui kawasan Kabupaten Klungkung dan Karang Asem, kemudian 2 dari dari arah tengah melalui kawasan Kabupaten Tabanan dan Kabupaten Gianyar, serta 1 jalur lagi dari daerah barat. Jalur dari daerah barat ini menampung dua pintu kedatangan wisatawan yaitu wisatawan yang datang dari arah Denpasar setelah melalui kawasan Kabupaten Jembrana dan wisatawan yang datang ke pulau Bali setelah melakukan penyeberangan dan berlabuh di pelabuhan Gilimanuk. Ke empat koridor tersebut berdasarkan kondisi geografisnya dapat dikelompokkan menjadi dua jalur. Kedua jalur ini memiliki potensi budaya dan keindahan alam kawasan Pulau Bali yang
sesuai
dengan
karakteristik
wiayahnya. Pertama adalah jalur yang menyuguhkan keindahan pantai pulau Bali baik dari arah barat maupun dari arah timur, dan kedua adalah jalur pegunungan dengan suguhan dengan menelusuri jalur pantai baik dari arah barat. Kedua adalah jalur dataran tinggi atau pegunungan dengan suguhan gunung dan danau yang terbentuk dari sisa kaldera di masa lalu.
269
Dari keempat koridor kedatangan ke kawasan Kabupaten Buleleng tersebut hanya satu yang dapat dilalui oleh jenis kendaraan bis dengan daya angkut besar (lebih dari 30 orang) yaitu jalur kedatangan dari arah Gilimanuk, sedangkan jalurjalur yang lain hanya separu perjalanan yang bisa ditempuh dengan kendaraan bis seperti dari Denpasar dengan jalur perjalanan kearah utara melalui Bedugul, di jalur ini kendaraan berukuran besar hanya sampai ke wilayah sekitar Bedugul karena jalur jalan raya setelah Bedugul menuju kawasan Kabupaten Buleleng agak sempit dan banyak memiliki tikungan yang sagat pendek dan tajam sehingga agak sulit ditempuh oleh kendaraan bis. Begitu juga dengan jalur pegunungan yang lain yang hanya dapat ditempuh oleh kendaraan bis sampai ke sikitar kawasan Gunung Batur. Dari kawasan ini jalan raya yang menghubungkan kawasan ini ke kawasan Kabupaten Buleleng juga hanya dapat ditempuh oleh
kendaraan
jenis
kecil
atau kendaraan keluarga. Sebagian besar objek atau potensi budaya dan pariwisata utama yang ada di kawasan Kabupaten Buleleng sudah terhubung dengan jalan yang cukup bagus dan nyaman
untuk dilalui oleh kendaraan roda dua dan roda empat, dan juga beberapa diantaranya sudah dilengkapi dengan sarana parkir seperti yang telah dibangun di sekitar purapura dan objek wisata alam (pantai) yang sering
dikunjungi
oleh
wisatawan.
Sementara itu untuk mencapai
objek
wisata lainnya seperti pesona air tejun yang
270
banyak terdapat di kawasan Kabupaten Buleleng ini harus ditempuh dengan berjalan kaki. Beberapa di antara dari titik pemberhentian kendaraan bermotor memiliki jarak tempuh yang bervariasi yaitu antara 600 meter hingga 1 kilometer. Di sepajang jalur tersebut sebagian di antaranya sudah dikelola oleh masyarakat sebagai lahan usaha dengan suguhan barang-barang cindera mata dengan corak khas Bali baik berupa benda kerajinan, lukisan, tenunan, dan benda-benda lain dengan corak yang khas. B. Potensi Pengembangan Ke Depan
1. Kerangka Pengembangan Ke Depan Hasil Litbangyasa ini dapat menjadi acuan pihak tekait (Pemda dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kabupaten Buleleng) untuk menerapkan/menjadikan program prioritas dalam pengembangan pariwisata di darahnya terutama dalam percepatan dan perluasan pembangunan berdomensi kewilayahan.
2. Strategi Pengembangan Ke Depan Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan dan data promosi pariwisata, penambahan area atau destinasi pariwisata bagi Kawasan Pantai Utara Bali umumnya, Kabupaten Buleleng khususnya, sehingga diharapkan akan terjadi penambahan bentuk, jenis, dan area wisata yang dalam segi kuantitas maupun kualitas semakin meningkat, guna pertambahan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) maupun wisatawan lokal, sehinga tentunya akan membantu menambah pemasukan dari segi finansial, membantu memperkenalkan potensi budaya dan alam Kabupaten Buleleng, serta dapat membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat yang berkaitan dengan kepariwisataan tersebut.
271