Perlindungan Hukum Terhadap HakHak Rakyat Atas Tanah Dalam Pembangunan (Kajian Atas Perpres No. 65 Tahun 2006); Kedudukan Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004; Kewenangan PTUN Dalam Penanganan Sengketa Pertanahan Berdasarkan UU PTUN; Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Hutang Menurut KUH Perdata; Sengketa Pegawai Negeri Sipil Akibat Terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara; Tinjauan Yuridis Terhadap Pasal 174 PP No. 44 Tahun 1993 Tentang Bea baliknama Kendaraan Bermotor; Perlindungan Hukum Advokat Sebagai Penerima Kuasa.
Volume 11, No.1 Mei 2011 Volume 11, No.1 Mei 2011
ISSN 1412-2928 i
JURNAL “YUSTITIA”
Pimpinan Umum/Penanggung Jawab Dekan Fakultas Hukum Universitas Madura Pimpinan Redaksi Muhammad, S.H.,MH. Wakil Pimpinan Redaksi Achmad Rifai, S.H., M.Hum. M.Amin Rachman, S.H., MH. Sekretaris Redaksi Sri Sulastri, S.H.,M.Hum. Konsultan Redaksi Drs. H. Kutwa, M.Pd. Drs. H. Abd. Roziq, MH. Dr. H. Akh. Munif, S.H.,M.Hum. Redaksi Pelaksana H. Gatot Subroto, S.H.,M.Hum. Dr. Ummi Supratiningsih, S.H.,M.Hum. Win Yuli Wardani, S.H.,M.Hum. Adrianana Pakendek, S.H., MH. Anni Puji Astutik, S.H., MH. Pembantu Umum Hj.Wasilaning Rahayu Toyyib Muniri Alamat Redaksi Jl. Raya Panglegur Km.3,5 Telp. (0324) 322231, Fax. (0324) 327417 Pamekasan E-mail:
[email protected] Yustitia diterbitkan satu kali dalam setahun, sebagai media komunikasi ilmu pengetahuan hukum dan pembangunan. Untuk itu, redaksi menerima sumbangan tulisan ilmiah yang belum pernah diterbitkan dalam media lain, dengan persyaratan seperti yang tercantum pada halaman sampul belakang.
ii
Volume 11, No.1 Mei 2011
EDITORIAL
Perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat atas tanah dalam pembangunan adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya, maka dalam surat pernyataan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang dibuat oleh pemegang hak atas tanah perlu dibuat klausula yang menyatakan bahwa apabila dikemudian hari diketahui ternyata pengadaan tanahnya bukan untuk kepentingan umum melainkan untuk kepentingan perusahaan dan lain-lain, , maka pengadaan tanah tersebut dianggap batal dan uang ganti rugi yang telah diterima akan dikembalikan kepada panitia pengadaan tanah atau pemegang hak atas tanah.Hal ini diangkat sebagai tulisan utama dalam volume ini. Tulisan ke dua memaparkan tentang kedudukan, tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) berasaskan pada kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum dan proporsionalitas. Kepastian hukum dalam negara hukum mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi. Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Pemberian Hak Atas Tanah yang dilaksanakan sendiri oleh Badan Pertanahan Nasional. Dalam kaitannya itu dengan implementasi wewenang BPN membatalkan pemberian Hak Atas Tanah berbenturan dengan wewenang mengadili Peradilan Tata Usaha Negara. Akibat hukum yang timbul dalam perjanjian hutang menurut Kitab Undangundang Hukum Perdata, selama ini perjanjian penanggungan merupakan jaminan perorangan maupun corporate guarantee, maka perjanjian penanggungan ini selalu diadakan antara kreditur dan pihak ketiga guna kepentingan kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya debitur bilamana debitur sendiri tidak memenuhinya Perlindungan hukum terhadap hak masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan jaminan terhadap hak masyarakat baik secara yuridis konstitusional maupun secara etika sosial. . Dalam transaksi jual beli sepeda motor, selain harus dilakukan penyerahan nyata atas sepeda motor dari tangan penjual kepada tangan pembeli, juga harus dilakukan penyerahan yuridis, dan akan melahirkan perobahan nama pemilik dalam BPKB dan STNK sepeda motor yang bersangkutan; Perlindungan hukum Advokat selaku penerima kuasa dalam pemberian bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 baru dalam batas tidak dapat dituntut secara pidana ataupun perdata adapun hak seorang advokat dalam rangka pengumpulan bukti baru dalam hak yang tidak diimbangi dengan kewajiban dan sanksi terhadap pihak lain untuk menyerahkan bukti yang dibutuhkan
Editor Volume 11, No.1 Mei 2011
iii
DAFTAR ISI
……………………………………………………
ii
1. Dr.H.Akh.Munif, S.H.,M.Hum. Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Rakyat Atas Tanah Dalam Pembangunan (Kajian Atas Perpres No. 65 Tahun 2006) ………………….
1
2. Nur Hidayat, S.H., M.Hum. Kedudukan Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004 ………………………………………..
26
3. H.Hofney Setyo Poernamo, SH.,M.Hum. Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Penanganan Sengketa Pertanahan Berdasarkan UU PTUN ..............................................
52
4. Sri Sulastri, SH.M.Hum. Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Hutang Menurut KUH Perdata .......
83
EDITORIAL
5. Win Yuli Wardani, SH.,M.Hum. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Masyarakat Dalam Memperoleh Pelayanan Publik ............................................................................................. 103 6. M.Amin Rachman, S.H.,MH. Tinjauan Yuridis Terhadap Pasal 174 PP No. 44 Tahun 1993 Tentang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ...........................................................
123
7. Achmad Rifai, SH.M.Hum. Perlindungan Hukum Advokat Sebagai Penerima Kuasa ……………........
147
iv
Volume 11, No.1 Mei 2011
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DALAM PEMBANGUNAN (Kajian Atas Perpres No. 65 Tahun 2006) Oleh: H. Akh.Munif.1* ABSTRAK Bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat atas tanah dalam pembangunan adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya, maka dalam surat pernyataan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang dibuat oleh pemegang hak atas tanah perlu dibuat klausula yang menyatakan bahwa apabila dikemudian hari diketahui ternyata pengadaan tanahnya bukan untuk kepentingan umum melainkan untuk kepentingan perusahaan dan lain-lain, maka pengadaan tanah tersebut dianggap batal dan uang ganti rugi yang telah diterima akan dikembalikan kepada panitia pengadaan tanah atau pemegang hak atas tanah. Kata Kunci:
Perlindungan Hukum – Hak-Hak Rakyat – Atas Tanah.
LATAR BELAKANG Peranan pembangunan dalam masa-masa sekarang ini, sangatlah dirasakan adanya peningkatan kebutuhan akan tanah untuk keperluan berbagai macam aspek dalam menumbuhkan pembangunan yang merata bagi lapisan masyarakat, terutama pembangunan dibidang fisik baik desa maupun kota. Tanah sebagai modal dasar pembangunan memegang peranan yang sangat penting untuk melaksanakan kegiatan pembangunan, seperti mendirikan gedung sekolah, pelebaran jalan dan lain sebagainya. Akan tetapi banyaknya tanah yang tersedia untuk keperluan pembangunan sangatlah terbatas. Adapun faktor yang melatarbelakangi penulis mengangkat judul di atas, berawal dari seringnya muncul sengketa mengenai tanah diantara kelompok-kelompok yang ada di masyarakat yang sangat mengharapkan suatu keadilan. Adapun ukuran keadilan itu subyektif dan relatif. Subyektif, karena ditentukan oleh manusia (hakim) yang mempunyai wewenang untuk memutuskan, namun tidak mungkin memiliki kesempurnaan yang absolut. Relatif, karena bagi seseorang dirasa sudah adil, tetapi bagi orang lain dirasa sama sekali tidak adil.
*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira. Volume 11, No.1 Mei 2011
v
Oleh kerena itu dalam setiap kegiatan pembangunan tidak saja menjadi tanggung jawab pemerintah, akan tetapi juga dibutuhkan peran aktif dari pihak swasta dan masyarakat pada umumnya. Untuk memenuhi kebutuhan akan tanah bagi pemerintah maupun perusahaan swasta, kecil sekali kemungkinannya menggunakan tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara dikarenakan persediaan tanahnya yang terbatas. Sebagai solusinya adalah menggunakan tanah-tanah hak rakyat dengan memberikan ganti rugi kepada pemegang hak atas tanah. Sebagaimana ditentukan dalam undang-undang pokok agraria (UUPA) pada pasal 6 telah disebutkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanah itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) sematamata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari haknya, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Tetapi dalam ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi sehingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya. Berhubungan dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu hal yang sewajarnya bahwa tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban pula dari setiap badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah itu. Dalam melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan kepentingan fihak yang ekonomis lemah.2 Pranata hukum yang mengatur pengambilan tanah-tanah penduduk untuk keperluan pembangunan, dilakukan dengan melalui : 1. Pengadaan tanah Pengadaan tanah ialah setiap kegiatan yang mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut. 2. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah Pelepasan adalah kegiatan melepaskan hubungan antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. Pengadaan tanah erat sekali hubungannya dengan pembebasan atau pelepasan hak atas tanah yang diperlukan baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan swasta, yang sering kali menimbulkan persoalan dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena adanya berbagai kepentingan yang saling bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya. 2
Arif, Undang-Undang Pokok Agraria, Cet. III, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, h. 45.
vi
Volume 11, No.1 Mei 2011
Menurut Soedharyo Soimin, pembebasan tanah adalah “melepaskan hubungan hukum semula yang terdapat diantara pemegang hak/penguasa atas tanah dengan cara pemberian ganti rugi.2 Namun dalam prakteknya, rakyat sering dijadikan akses para penguasa. Rakyat seringkali tidak diikutsertakan dalam musyawarah dan mengambil suatu kebijaksanaan yang menyangkut nasib dan masa depan mereka. Pada umumnya mereka hanya diberi pengarahan yang harus diterima dengan penuh kepatuhan, bahkan rakyat seringkali dibodohi dengan janji-janji yang menggiurkan, sehingga mereka merasa kecewa dan merasa dirugikan karena mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Bila persoalan semacam ini tidak mendapatkan perhatian yang serius, pada gilirannya akan menimbulkan masalah yang berdampak politik. Hal-hal tersebut di atas tentunya menimbulkan keresahan dalam masyarakat yang dirugikan secara moril dan materiil. Padahal dalam pelaksanan pengadaan tanah harus tetap berdasarkan prinsip-prinsip dan ketentuan hukum yang sesuai dengan prinsip bahwa negara kita adalah suatu negara hukum. Oleh karenanya, dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum atau pembangunan diperlukan suatu pendekatan yang bersifat terpadu melalui legal aprroach (pendekatan dari segi hukum), prosperty approach (pendekatan dari segi kesejahteraan), security approach (pendekatan dari segi ketertiban umum) dan humanity approach (pendekatan dari segi kemanusiaan). Dengan legal approach dimaksudkan bahwa prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan hukum tetap dijadikan landasan sesuai dengan prinsip bahwa negara kita adalah negara hukum. Prosperty approach dimaksudkan kita harus memperhatikan asas-asas ketertiban keamanan, sehingga stabilitas nasional akan tetap terpelihara.3 Pembangunan dari rakyat mengandung makna bahwa rakyat merupakan faktor dominan diberikan peranan sentral dalam menggerakkan pembangunan dan perlu ditingkatkan kemampuannya untuk berproduksi dengan baik melalui investigasi dibidang sumber daya manusia. Pembangunan oleh rakyat berarti memberikan setiap manusia Indonesia memperoleh kesempatan yang adil untuk dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan nasional. Pembangunan untuk rakyat berarti menjamin bahwa setiap kemajuan yang diperoleh sebagai hasil pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak. Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, maka dapat diangkat permasalahan sebagai berikut : a. Bagaimanakah hak dan kewajiban rakyat atas tanah ? 2
Soedharyo Soimin, Stutas Hak Dan Pembebasan Tanah, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, h. 76. 3 Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah, Pembebasan Tanah dan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum di Indonesia, PT. Citra Aditya, Bandung, 1995, h. 51. Volume 11, No.1 Mei 2011
vii
b.
Bagaimanakah perlindungan hukumnya terhadap hak-hak rakyat atas tanah dalam Pembangunan ?
HAK DAN KEWAJIBAN RAKYAT ATAS TANAH A. Pengertian Hak Penguasaan Atas Tanah Berbicara tentang masalah tanah, jika ditinjau dari hukum adat merupakan suatu hal yang cukup esensiil dalam kehidupan manusia. Menurut Suyono Wignjodipuro ada dua hak pokok yang menyebabkan tanah mempunyai kedudukan penting, yaitu : a.
b.
Karena sifatnya: Yakni merupakan satu-satunya benda kekayaan yang bagaimanapun keadaannya masih tetap bersifat tetap atau kadang-kadang bahkan menguntungkan. Karena fakta Suatu kenyataan bahwa tanah itu : - merupakan tempat tinggal persekutuannya; - merupakan penghitungan bagi warga persekutuan; - merupakan tempat warga dikebumikan; - dan juga merupakan tempat tinggal para roh dan dayang-dayang leluhur persekutuan.4
Untuk kedudukan tanah karena sifatnya dalam hukum adat, sebagaimana dimaksud di atas contohnya sebidang tanah yang dibakar atau di atasnya dijatuhkan bom, tanah tersebut tidak akan lenyap, sebab setelah api itu padam atau setelah pemboman selesai, sebidang tanah tersebut akan muncul kembali dan telah berwujud tanah seperti semula. Memandang betapa tanah mempunyai arti yang sangat penting, maka hal-hal yang berkaitan dengan tanah selalu mendapatkan perhatian khusus, terutama tentang transaksi-transaksi yang berhubungan dengan tanah termasuk juga persewaan tanah pertanian. Transaksi tanah, sejenis perjanjian timbal balik yang bersifat riil, di dalam lapangan hukum harta kekayaan, merupakan salah satu perbuatan tunai dan berobyek tanah. Intinya ialah penyerahan benda (sebagai prestasi) yang berjalan serentak dengan penerimaan pembayaran tunai (seluruhnya, kadang-kadang sebagian, selaku kontra prestasi). Perbuatan “menyerahkan” itu dinyatakan dengan istilah “jual”(Indonesia), “adol” (Jawa).
4
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1968, h. 197.
viii Volume 11, No.1 Mei 2011
Oleh karena itu transaksi tanah segi dua atau timbal balik tersebut di atas menyimpulkan pokok pikiran sebagai berikut : “saya melepaskan tanah setelah saya menerima sejumlah uang tertentu, dan anda menjadi pemegang hak atas tanah itu : 1. atau untuk selamanya; 2. atau selama saya tidak menebusnya; 3. atau untuk beberapa lama saja.5 Dengan demikian transaksi-transaksi semacam itu digolongkan ke dalam perjanjian riil atas tanah, berhadapan dengan perjanjian-perjanjian jenis lain yaitu: 1. perjanjian yang biasanya digolongkan kedalam transaksi yang bersangkutan dengan tanah, di mana tanah merupakan faktor penting, namun tidak dapat disebut obyek transaksi dan tidak bermaksud seperti pada transaksi jual; 2. perjanjian di mana tanah memegang peranan sangat penting dan didalamnya terdapat perbuatan tunai. B. Hak-Hak Rakyat Atas Tanah Dalam membicarakan hak dan kewajiban atas tanah ada beberapa hak atas tanah yang penting harus diketahui yang berasal dari hukum agraria sebelum adanya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Hak atas tanah menurut hukum Adat sebelum berlakunya UUPA yaitu : 1. Hak ulayat Hak ulayat ialah hak atas tanah yang dipegang oleh seluruh anggota masyarakat hukum adat secara bersama-sama (komunal). Dengan hak ulayat ini masyarakat hukum adat yang bersangkutan menguasai tanah tersebut secara menyeluruh. Adapun hak warga masyarakat atas tanah yang berwujud dalam hak ulayat ini pada dasarnya berupa : a. Hak untuk meramu atau mengumpulkan hasil hutan yang ada di wilayah/wewenang hukum masyarakat mereka yang bersangkutan. b. Hak untuk berburu dalam batas wilayah/wewenang hukum masyarakat mereka. Tetapi dalam konsepsi hak ulayat yang bersifat komunal ini pada hakikatnya tetap terdapat juga hak anggota masyarakat yang bersangkutan untuk secara perseorangan menguasai sebagian dari obyek penguasaan hak ulayat tersebut secara tertentu (dengan menggunakan tanda-tanda tertentu) agar diketahui para anggota masyarakat lainnya dalam waktu yang tertentu pula. 2. Hak milik dan hak pakai
5
Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, Yogyakarta, 1979, h. 177. Volume 11, No.1 Mei 2011
ix
Hak milik (adat) atas tanah ialah suatu hak atas tanah yang dipegang oleh perseorangan atas sebidang tanah tertentu yang terletak di dalam wilayah hak ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Contohnya tanah yang dikuasai dengan hak milik dalam hukum adat itu berupa sawah dan beralih turun temurun, sedangkan hak pakai (adat) atas tanah ialah suatu hak atas tanah menurut hukum adat yang telah memberikan wewenang kepada seseorang tertentu untuk memakai sebidang tanah tertentu bagi kepentingannya. Biasanya tanah yang dikuasai dengan hak pakai dalam Hukum Adat itu berupa ladang.6 Hak atas tanah menurut hukum (Perdata) Barat sebelum berlakunya UUPA yaitu :7 1. Hak Eigendom (pasal 570 KUHPer/BW). Hak eigendom atas tanah ialah suatu hak yang terkuat dalam hukum barat. Tidaklah sama hakikatnya hak “milik” atas tanah menurut konsepsi hukum (perdata) Barat ini dengan hakikat hak milik atas tanah menurut konsepsi UUPA kita dewasa ini. Dengan hak eigendom hak atas tanah, pemilik (eigenaar) tanah yang bersangkutan mempunyai hak “mutlak” atas tanahnya. Hal ini dapat kita mengerti mengingat konsepsi hukum Barat ini dilandasi oleh jiwa dan pandangan hidup yang bersifat individualistismaterialistis, yaitu suatu pandangan hidup yang lebih mengagungkan kepentingan perorangan dari pada kepentingan umum maupun kebendaan dari pada keahlakan. 2. Hak opstal (pasal 711 KUH Per/BW). Hak opstal ialah suatu hak yang memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk memiliki segala sesuatu yang terdapat di atas tanah eigendom orang lain sepanjang sesuatu tersebut bukanlah kepunyaan “eigenaar” tanah yang bersangkutan. Segala sesuatu yang dapat dimiliki itu misalkan rumah atau bangunan, tanaman dan sebagainya. Disamping wewenang untuk dapat memiliki benda-benda tersebut, hak opstal juga memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk : Memindahtangankan (benda yang menjadi) haknya itu kepada orang lain; -
Menjadikan benda tersebut sebagai jaminan hutangnya (dengan Hak Tanggungan, UU No. 4 Tahun 1996 );
-
Mengalihkannya kepada ahli warisnya sepanjang jangka waktu berlakunya hak opstal itu belum habis menurut perjanjian yang telah ditetapkan bersama pemilik tanah.
3. Hak erfpacht (pasal 720 KUHPer/BW). 6
Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Sendi-sendi Hukum Agraria, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 27. 7 Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Cet. III, Alumni Bandung, 1992, h. 128.
x
Volume 11, No.1 Mei 2011
Hak erfpacht ialah hak untuk dapat mengusahakan atau mengolah tanah orang lain dan menarik manfaat atau hasil yang sebanyak-banyaknya dari tanah tersebut. Di samping menggunakan tanah orang lain itu untuk dimanfaatkan hasilnya, pemegang hak atas tanah, pemegang hak erfpacht ini berwenang pula untuk memindahtangankan haknya itu kepada orang lain, menjadikannya sebagai jaminan hutang (dengan Hak Tanggungan) dan mengalihkannya pula kepada ahli warisnya sepanjang belum habis masa berlakunya. 4. Hak gebruik (pasal 818 KUHPer/BW). Hak gebruik ialah suatu hak atas tanah sebagi hak pakai atas tanah orang lain (gebruik = pakai). Hak gebruik ini memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk dapat memakai tanah eigendom orang lain guna diusahakan dan diambil hasilnya bagi diri dan keluarganya saja. Di samping itu pemegang hak gebruik in boleh pula tinggal di atas tanah tersebut selama jangka waktu berlaku hak itu. Hak atas tanah menurut hukum agraria Indonesia, setelah berlakunya UUPA yaitu : 1. Hak milik (pasal 20 sampai dengan 27 UUPA) Hak milik ialah suatu hak atas tanah yang terpenuh, terkuat dan paling sempurna di antara hak-hak atas tanah lainnya. Tetapi pengertian terkuat, terpenuh dan paling sempurna di sini tidaklah berarti bahwa si pemilik tanah itu boleh bertindak atau melakukan apa saja atas tanahnya itu. Hak milik menurut UUPA ialah hak milik yang mempunyai fungsi sosial seperti juga semua hak atas tanah lainnya (pasal 6 UUPA) sehingga hal ini mengandung arti bahwa : a. Hak milik atas tanah tersebut di samping hanya memberikan manfaat bagi pemiliknya, harus diusahakan pula agar sedapat mungkin dapat bermanfaat pula bagi orang lain atau kepentingan umum, bila keadaan memang memerlukan. b. Penggunaan hak milik tersebut tidak boleh mengganggu ketertiban dan kepentingan umum. Hakikat hak milik menurut UUPA adalah demikian karena UUPA sebagai hukum agraria nasional telah dijiwai dan dilandasi oleh Pncasila sebagai pandangan hidup bangsa, yang menempatkan kehidupan manusia dalam taraf keserasian antara demensi individual dan demensi sosialnya. Dengan demikian, maka hal ini tentu saja berarti bahwa di Indonesia pemenuhan kepentingan individu dan kepentingan sosial sama-sama dijamin dan dilindungi penuh oleh hukum dalam taraf keseraisian pula. Akibatnya hak milik sebagai suatu lembaga yang merupakan kepentingan individual seseorang atau suatu pihak, memang dilindungi oleh hukum (proteksi hukum) tetapi disamping itu tentu saja tetap dibatasi pula (restriksi hukum) sampai pada batas-batas kelayakan dan kewajaran tertentu. 2. Hak guna usaha (pasal 28 sampai dengan pasal 34 UUPA) Volume 11, No.1 Mei 2011
xi
Hak guna usaha ialah suatu hak yan memberikan wewenang kepada pemegfangnya untuk mengusahakan tanah yang langsung dikuasai oleh negara untuk kegiatan-kegiatan pertanian saja. Jadi apabila yang bnersangkutan tidak berkegiatan dalam bidang pertanian, hak guna usaha atas tanah ini tidak akan diberikan. Kegiatan pertanian sendiri pada asasnya mengandung pengertian pertanian dalam arti luas dan dalam arti sempit. Yang dimaksud dengan pertanian dalam arti luas ilah kegiatan pertanian yang disertai atau meliputi juga kegiatan-kegiatan peternakan, perkebunan, perikanan dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan pertanian dalam arti sempit ialah pertanian yang kegiatannya hanyalah pertanian semisim panen belaka. Disamping itu wewenang untuk mengusahakan tanah tersebut, pemegang hak guna usaha yang bersangkutan juga berhak untuk menjadikan hak guna usaha atas tanah ini sebagai jaminan hutang, atau memindahtangankannya dan mengalihkannya kepada ahli warisnya sepanjang jangka waktu berlakunya hak tersebut belum habis. 3. Hak guna bangunan (pasal 35 sampai dengan pasal 40 UUPA) Hak guna bangunan ialah suatu hak yang memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk dapat mendirikan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri, baik tanah itu merupakan milik orang atau pihak lain maupun berupa tanah yang langsung dikuasai negara. Disamping itu pemegang hak guna bangunan atas suatu tanah berwenang pula untuk memindahtangankan hak tersebut, menjadikannya sebagai jaminan hutang dan mengalihkannya epada ahli warisnya sepanjang belum habis jangka waktunya. 4. Hak pakai (pasal 41 sampai dengan pasal 43 UUPA) Hak pakai ialah suatu hak yang memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk menggunakan tanah pihak lain untuk keperluan penggunaan apa saja misalkan untuk ditanami atau didiami dan didrikan bangunan diatsnya dan sebagainya selama waktu tertentu menurut perjanjian. Sedangkan tanah yang dimaksud dalam hal ini bisa saja tanah milik orang lain atau taah yang langsung dikuasai negara. Dalam hal yang terakhir maka hak pakai UUPA analog dengan hak pakai Adat. 5. Hak sewa untuk bangunan (pasal 44 sampai dengan pasal 45 UUPA). Hak sewa untuk bangunan ialah suatu hak yang memberikan wewenang bagi pemegangnya untuk mempergunakan tanah milik orang lain guna keperluannya mendirikan bangunan di atas tanah tersebut. 6. Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara (pasal 53 UUPA). a. Hak gadai ialah suatu hak yang dipegang oleh seorang kreditur yang memberikan wewenang kepadanya untuk menguasai tanah debiturnya dan turut menikmati atau mengambil hasilnya selama si reditur itu belum dapat melunaskan hutangnya. Taah yang dibebankan hak gadai ini dapat tanah
xii
Volume 11, No.1 Mei 2011
pertanian atau dapat juga tanah untuk bangunan. (Hak gadai UUPA tidak analog dengan hak gadai Adat). b. Hak usaha bagi hasil, yaitu hak yang memberkan wewenang kepada seorang penggarap untuk dapat mengerjakan atau mengusahakan tanah milik orang lain dengan memberikan sebagian tertentu dari jumlah hasil tanah tersebut kepada pemiliknya menurut perjanjian. c. Hak menumpang, ialah suatu hak yang memberikan wewenang kepada seseorang atau suatu pihak untuk menumpang tinggal diatas tanah milik orang lain baik dengan menempati bangunan yang sudah ada maupun dengan membangun sendiri bila seandainya tanah tersebut masih kosong.8 C. Kewajiban Rakyat Atas Tanah Dalam Pembangunan Merupakan konsepsi yang hakiki dari pada hukum bahwa bila ada hak di situ ada kewajiban dan sebaliknya. Karena itu maka dengan adanya hak atas tanah lahirlah kewajiban atas tanah. Hal ini disebabkan karena pada hakikatnya dapat dikatakan bahwa “Takaran Hak ialah Kewajiban” sehingga hal ini mengandung arti bahwa “seseorang atau suatu pihak yang menggunakan haknya harus memenuhi kewajiban yang merupakan syarat baginya untuk dapat menikmati hak tersebut”. Karena itu maka sebanding dengan hak yang dapat diperoleh atas tanah, tentu saja ada pula kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Kewajiban atas tanah pendamping hak atas tanah, menurut Hukum Adat yaitu : 1. Kewajiban pemegang hak ulayat. Pemegang hak ulayat pada dasarnya berkewajiban untuk : a. Menggunakan haknya sebagaimana mestinya untuk meramu atau berburu dalam hutan wilayah hukum masyarakatnya itu; b. Menepati ketentuan dan kata sepakat yang telah tercapai antar warga dalam penggunaan hak ulayat tersebut baik secara bersama-sama maupun secara pribadi atas tanah yang bersangkutan; c. Menjaga dan memelihara dengan sebaik mungkin kondisi alam tempat mereka melakukan mata pencahariannya tersebut. 2. Kewajiban pemegang hak milik dan hak pakai. Pemegang hak milik adat pada dasarnya berkewajiban untuk : a. Menggunakan tanahnya secara semestinya menurut tujuannya; b. Menjaga agar penggunaan tanah tersebut tidak mengganggu atau merugikan kepentingan orang lain atau kepentingan umum, dan memelihara tanah tersebut dengan baik sehingga tanahnya dapat berfungsi sosial, sebagaimana hal ini sudah menjadi “jiwa asli” yang melandasi hukum adat Indonesia.
8
Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Op. Cit, h. 31.
Volume 11, No.1 Mei 2011
xiii
Pemegang hak pakai adat bila dipandang sebagai masing-masing individu yang menjadi bagian dari masyarakatnya, pada dasarnya berkewajiban untuk : a. Sedapat mungkin berusaha agar ia dapat menambah kegunaan dari tanah yang dipakai atau digarapnya itu. Peningkatan hasil tersebut tentunya berguna bagi dirinya sendiri sebagai orang yang berhak memungut hasilnya selaku penggarap. Disamping itu dengan adanya kewajiban ini, maka orang lain yang nantinya (menurut giliran berikutnya) menjadi pemakai/penggarap tanah tersebut tentunya akan beruntung pula karena ia mendapat tanah garapan yang sudah meningkat daya hasilnya. Dengan demikian maka sistem penggarapan tanah menurut hak ulayat ini dapatlah disimpulkan bahwa setiap orang atau kepala keluarga akan sedapat mungkin berusaha untuk meninggalkan tanah bekas garapan mereka dalam keadaan yang sebaik mungkin. b. Menjaga dan memelihara dengan sebaik mungkin kondisi tanah garapan yang telah baik dan sedapat mungkin pula meningkatkan kondisi tanah yang masih kurang daya hasilnya selama masa garapan mereka masing-masing. Kewajiban atas tanah pendamping hak atas tanah menurut Hukum Perdata Barat yaitu : 1. Kewajiban pemegang hak eigendom. Kalau diresapi secara mendalam dan dibandingkan secara cermat antara hak dan kewajiban atas tanah yang termaktub dalam hak eigendom ini bagi pemegangnya, maka dengan segera akan terkesan bahwa antara hak dan kewajiban yang ada dalam suatu hak eigendom tersebut sama sekali tidak berimbang. Hal ini disebabkan karena bila dibandingkan dengan haknya yang demikian besar dan demikian banyaknya melahirkan wewenang bagi pemegangnya, maka kewajiban pemegang hak tersebut dapat dikatakan sangatlah ringan dan bahkan hampir tidak ada kewajiban lain selain mungkin hanya membayar pajak milik atas tanah itu semata-mata. Para pemegang hak eigendom itu tidak wajib memperhatikan apakah penggunaan tanah yang dilakukan dengan seenaknya itu merugikan/mengganggu kepentingan orang lain atau tidak. Hal ini dapat dimengerti mengingat landasan dari pada hak eigendom ini ialah Hukum (Perdata) Barat yang tentu saja konsepsinya masih dilandasi pula oleh jiwa yang individualistis, yakni jiwa yang berpandangan bahwa kepentingan perorangan harus lebih diperhatikan dan didahulukan dari pada kepentingan umum. Karena itulah maka konsepsi hak eigendom ini sama sekali tidak terpakai lagi dalam pembentukan konsepsi hak milik atas tanah menurut UUPA. 2. Kewajiban pemegang hak opstal. Hampir sama halnya dengan hak eigendom, kewajiban pemegang hak opstal inipun hampir tidak ada selain hanya menggunakan hak tersebut selaras dengan perjanjian dan tujuannya selama jangka waktu berlakunya, dengan maksud tentunya agar hak opstal itu sendiri jangan terhapus karena kadaluwarsaan akibat tidak pernah digunakan selama masa berlakunya. 3. Kewajiban pemegang hak erfpacht. Pemegang hak erfpacht pun tidak banyak kewajibannya, selain hanya :
xiv Volume 11, No.1 Mei 2011
a. Menggunakan tanah yang bersangkutan secara baik, dalam arti tidak merusak keadaannya sehingga mendatangkan kerugian bagi pemiliknya; b. Membagi hasil tanah garapannya itu kepada pemiliknya dengan cara yang pantas dan jumlah yang adil, selama ia menjadi penggarap tanah tersebut menurut jangka waktunya; 4. Kewajiban pemegang hak gebruik. Kewajiban pemegang hak gebruik pada dasarnya hanyalah menjaga dan memelihara kondisi dan keadaan tanah yang garapannya itu selama masa berlakunya hak gebruik yang bersangkutan.9 Kewajiban atas tanah pendamping hak atas tanah berdasarkan Hukum Agraria Indonesia, setelah berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) bahwa kewajiban harus dipenuhi oleh pemegang hak milik atas tanah pada dasarnya ialah : a. Sebelum menjadi pemegang hak milik atas tanah, yang bersangkutan harus memenuhi syarat bahwa ia itu adalah orang yang berkewarganegaraan Indonesia secara tunggal atau badan hukum yang telah ditunjuk pemerintah sebagai badan hukum yang dapat atau boleh memegang hak milik atas tanah di Indonesia (pasal 21 ayat (1) dan (2) UUPA); b. Kalau yang bersangkutan adalah orang asing (termasuk didalamnya bekas warga negara Indonesia) yang telah menjadi warga negara lain atau orang Indonesia yang tidak berkewarganegaraan Indonesia secara tunggal tetapi telah terlanjur memiliki tanah di Indonesia, maka orang tersebut wajib melepaskan hak milinya atas tanah tersebut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun, terhitung sejak hak milik itu diperolehnya atau sejak ia kehilangan kewarganegaraan Indonesianya secara tunggal (pasal 21 ayat (3) dan 4 UUPA); c. Setelah menjadi pemegang hak milik atas tanah, yang bersangkutan harus mendaftarkan hak miliknya tersebut, lengkat dengan segala hal yang berkaitan didalamnya,misalkan ada tidaknya hak-hak lain yang dibebankan atas hak milik tersebut, peralihannya kepada pihak lain (kalau hak milik tersebut dialihkan kepada pihak lain baik sebagian maupun seluruhnya) dan sebagainya (*pasal 23 ayat (1) jo. Pasal 19 UUPA); d. Menggunakan hak miliknya atas tanah tersebut sebagaimana mestinya dalam arti : - Tanah miliknya itu tidak diterlantarkan; - Tanah miliknya itu tidak digunakan untuk kepentingan apa pun juga yang sifatnya merugikan atau mengganggu kepentingan umum. e. Menjaga dan memelihara tanah tersebut sedemikian rupa sehingga selalu ada fungsi sosialnya, dalam arti selalu dapat juga bermanfaat bagi orang lain (kepentingan umum) bila sewaktu-waktu diperlukan (pasal 6 UUPA).10 9
Ibid, h. 31-34. Simanjuntak, P.N.H., Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1999, h. 128. 10
Volume 11, No.1 Mei 2011
xv
Sedangkan kewajiban rakyat atas tanah dalam pembangunan, maka dapat diperoleh hak atas tanah rakyat dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah oleh pemegang hak atas tanah. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 6 Perpres No. 36 Tahun 2005 yang dimaksud dengan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. Sebelum memperoleh hak atas tanah, Instansi Pemerintah (pemerintah) yang memerlukan tanah terlebih dahulu melaksanakan musyawarah dengan pemegang hak atas tanah. Musyawarah tersebut dilaksanakan untuk menetapkan bentuk dan besarnya ganti rugi atas tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah. 11 Sedangkan pengertian dari musyawarah ialah kegiatan yang mengandung proses saling mendengar, saling memberi dan saling menerima pendapat, serta keinginan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan masalah lain yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan tanah atas dasar kesukarelaan dan kesetaraan antara pihak yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan bendabenda lain yang berkaitan dengan tanah dengan pihak yang memerlukan tanah. Rumusan musyawarah menunjukkan adanya proses pengambilan keputusan yang dilakukan secara demokratis. Prinsip mendengar dan saling mendengar (to give a little and to take a little) untuk mencapai kesepakatan yang bulat terhadap masalah yang menyangkut kepentingan seluruh masyarakat. Musyawarah diharapkan dapat dilaksanakan oleh pemegang hak atas tanah dengan instansi yang memerlukan tanah. Jika pemegang hak atas tanah berhalangan dapat menguasakan kepada wakil-wakilnya. Proses musyawarah akan berjalan seimbang manakala masing-masing pihak yang melakukannya dalam keadaan seimbang, baik dalam hal pengetahuannya, kekuatan bargainingnya, maupun sumber daya ekonomis serta politisnya. Salah satu prinsip yang penting dalam musyawarah dalam rangka pelepasan atau penyerahan hak atas tanah ialah prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah. Disini diperlukan kesamaan persepsi, apresiasi terhadap sesuatu hak yang memperhatikan prinsip kewajaran, kepatutan, keadilan, dan kemanusiaan. Prinsip fungsi sosial (pasal 6 UUPA) tidak dapat dipakai sebagai dasar melanggar bahkan melenyapkan hak individual secara tidak wajar, adil, patut, dan berperikemanusiaan. 12
11
Urip Santoso, Aspek Konsinyasi Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, PRO JUSTIA, tahun XVI No. 4, Oktober, 1998, Fak. Hukum UNPAR, Bandung, 1998, h. 32. 12 Achmad Sodiki, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Materi Penataran dan Lokakarya Hukum Perdata, Hukum Dagang dan Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Batu, 29-31-Juli, 1996, h. 6-8.
xvi Volume 11, No.1 Mei 2011
Apabila dalam musyawarah antara pemegang hak atas tanah dan instansi pemerintah yang memerlukan hak atas tanah tercapai kesepakatan dalam penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian, maka pemegang hak atas tanah mengisi surat pernyataan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang telah disiapkan oleh Panitia Pengadaan Tanah, dan bersamaan itu pula ganti kerugian tersebut diserahkan oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah langsung kepada pemegang hak atas tanah. Akan tetapi bilamana tidak terdapat kesepakatan dalam musyawarah antara pihak-pihak mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian walaupun keperluan akan tanah tersebut sifatnya mendesak untuk kepentingan umum sedangkan lokasinya tidak dapat dipindahkan ketempat lain, maka instansi pemerintah yang memerlukan tanah tidak dapat menggunakan konsinyasi, tetapi langsung mengajukan pencabutan hak atas tanah kepada pihak yang berwenang. BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DALAM PEMBANGUNAN A. Perangkat Peraturan Perundang-undangan Dibidang Pertanahan Peraturan mengenai pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum sebagaimana diatur dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 dinilai mengandung beberapa kelemahan. Oleh karena itu Pemerintah memandang perlu untuk menerbitkan Perpres No. 36 Tahun 2005 dan sekarang sudah dirubah dengan Perpres No. 65 Tahun 2006, penerbitan peraturan dalam bentuk Perppres di samping untuk meningkatkan legitimasi peraturan pengadaan tanah untuk pembangunan, juga memenuhi ketentuan dalam UU No. 10 Tahun 2004 yang mengatur tata urutan peraturan perundangundangan di Indonesia. Pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum menurut pasal 5 Perppres No. 65 Tahun 2006, hanya dibatasi untuk pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh pemerintah daerah serta tidak digunakan mencari keuntungan dalam bidang lain sebagai berikut : a. Jalan umum, jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang tanah, ataupun diruang bawah tanah), saluran air minum / bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi; b. Waduk, bendungan, irigasi dan bangunan pengairan lainnya; c. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal; d. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana; e. Tempat pembuangan sampah; f. Cagar alam dan cagar budaya; g. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik. Persoalan mengenai kepentingan umum secara konsepsional memang sulit sekali dirumuskan dan lebih-lebih kalau kita secara operasional. Akan tetapi dalam rangka penggunaan tanah masyarakat penegasan tentang kepentingan umum yang akan Volume 11, No.1 Mei 2011
xvii
menjadi dasar dan kreterianya perlu ditentukan secara tegas sehingga pengambilan tanah-tanah dimaksud benar-benar sesuai dengan landasan hukum yang berlaku. 13 Dalam konsinyasi instansi pemerintah yang memerlukan tanah menitipkan uang ganti kerugian kepada Pengadilan Negeri setempat, terserah kepada pemegang hak atas tanah mau mengambil atau tidak uang ganti kerugian tersebut di Pengadilan Negeri setempat. Instansi pemerintah menganggap bahwa dirinya telah melaksanakan kewajiban memberikan ganti kerugian yang dinilai telah memadai kepada pemegang hak atas tanah melalui penitipan uang di Pengadilan Negeri setempat. Untuk selanjutnya, tanah beserta benda-benda yang ada diatasnya dibebaskan oleh panitia Pembebasan Tanah, sehingga proyek pembangunan yang telah direncanakan tersebut segera dilaksanakan.14 Penggunaan cara konsinyasi dalam pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah diatur dalam pasal 10 Perppres No. 65 Tahun 2006 adalah sebagai berikut : (1). Dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak dapat dialihkan atau dipindahkan secara teknis tata ruang ketempat atau lokasi lain, maka musyawarah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal undangan pertama. (2). Apabila setelah diadakan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai kesepakatan, panitia pengadaan tanah menetapkan besarnya ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a dan menitipkan ganti rugi uang kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan. (3). Apabila terjadi sengketa kepemilikan setelah ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka panitia menitipkan uang ganti rugi kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan. Pelaksanaan asas musyawarah dalam rangka pengadaan tanah bagi peleksanaan pembangunan untuk kepentingan umum seperti yang disebut dalam ayat 2 Pasal 10 Perppres No. 65 Tahun 2006 dapat disimpulkan bahwa asas musyawarah merupakan prinsip yang harus dijunjung tinggi dalam rangka pelaksanaan pengadaan tanah bagi kepentingan pembangunan untuk kepentingan umum. Oleh karena itu peranan panitia dalam hal ini sangat menentukan kualitas wakil dalam pelaksanaan musyawarah ini dan perlu dihindari adanya wakil yang tidak aspiratif, tidak mampu menyuarakan keinginan yang diwakili, mempunyai sikap yang jelas tetapi tidak kau dan juga sebaliknya jangan sampai ditunjuk wakil yang sulit memehami maksud baik pemerintah. Tegasnya wakil tersebut diharapkan adalah mereka yang mampu menjembatani keinginan Panitia Pengadaan Tanah dan keinginan masyarakat. Penggunaan cara konsinyasi dalam pembebasan hak atas tanah untuk kepentingan pemerintah jelas sangat merugikan pemegang hak atas tanah, karena 13 14
Abdurrahman, Op. Cit, h. 51. Urip Santoso, Aspek Konsinyasi, Lok Cit,
xviiiVolume 11, No.1 Mei 2011
pemegang hak atas tanah tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan besarnya ganti kerugian dan pemegang hak atas tanah tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus menerima besarnya ganti kerugian yang telah dititipkan kepada Pengadilan Negeri setempat. Oleh karena itu untuk menjamin dan memberikan perlindungan hukum serta kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah dalam menentukan besarnya ganti rugi Panitia Pembebasan Tanah harus mengadakan musyawarah dengan pemilik/pemegang hak atas tanah berdasakan harga umum setempat, selain itu juga menentukan bahwa dalam menetapkan besarnya ganti rugi harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : a. Lokasi dan faktor strategi lainnya yang dapat mempengaruhi harga tanah. Demikian pula dalam menetapkan ganti rugi atas bangunan dan tanaman harus berpedoman ketentuan yang telah ditetapkan oleh Dinas Pekerjaan Umum/Dinas Pertanian setempat; b. Bentuk ganti rugi dapat berupa uang, tanah, dan fasilitas lain.15 Ketentuan tentang konsinyasi dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang diatasnya ada bangunan, tanaman atau benda yang berkaitan dengan tanah dimiliki bersama-sama oleh beberapa orang, sedangkan satu atau beberapa dari mereka tidak ditemukan, maka ganti kerugian yang menjadi hak orang yang tidak ditemukan tersebut, dikonsinyasikan di Pengadikan Negeri setempat oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah. Ketentuan diatas mengenai konsinyasi masih menimbulkan persoalan yuridis yaitu : 1. Jika beberapa pemilik yang secara bersama-sama memiliki tanah, bangunan, tanaman atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah telah diketahui tidak menyetujui besarnya ganti kerugian yang ditawarkan oleh instansi pemerintah yang membutuhkan tanah, apakah dapat dibenarkan ganti kerugiannya dikonsinyasikan di Pengadilan Negeri setempat ? 2. Bagaimanakah prosedur Konsinyasi atas ganti kerugian bagi seorang pemilik atau beberapa orang pemilik, bangunan, tanaman atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang tidak ditemukan oleh instansi pemerintah yang membutuhkan? Dengan demikian hal ini dapat menyulitkan dalam pelaksanaan konsinyasi. Oleh karena itu Soedalhar berpendapat bahwa uang ganti kerugian baru dapat dikonsinyasikan bilamana : a. Musyawarah mengenai ganti kerugian tercapai dalam arti beberapa pemilik tanah atas sebidang tanah menyetujui ganti kerugian, sedang satu atau beberapa orang pemilik atas sebidang tanah tadi tidak dapat ditemukan,
15
Muhadar, Viktimisasi Kejahatan Pertanahan, LaksBang, Yogyakarta, 2006,
h. 156. Volume 11, No.1 Mei 2011
xix
Yang memerlukan tanah adalah instansi pemerintah.16 Untuk memahami satu pasal dalam suatu peraturan harus dikaitkan dengan pasalpasal yang lain dalam peraturan tersebut. Atas dasar intepretasi ini, pengadaan tanah untuk kepentingan umum dapat dilaksanakan apabila pemegang hak atas tanah menyetujui besarnya ganti kerugian yang ditawarkan oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah. Dengan demikian konsinyasi dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum dapat diterapkan apabila beberapa pemilik tanah atas sebidang tanah, bangunan, atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah telah memberikan persetujuan mengenai besarnya ganti kerugian, sedangkan satu atau beberapa orang dari mereka tidak dapat ditemukan tempat tinggalnya. Mengenai prosedur konsinyasi atas ganti kerugian bagi satu atau beberapa pemilik sebidang tanah, bangunan, tanaman, atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah yang tidak ditemukan tempat tinggalnya oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah, maka hal ini dapat menimbulkan kesulitan dalam melaksanakan konsinyasi tersebut. Sebagai jalan keluarnya pihak instansi pemerintah berupaya untuk mencari tempat tinggal pemilik hak atas tanah dengan jalan memasang iklan namanama orang yang berhak atas tanah yang tidak diketahui tempat tinggalnya di media cetak dan elektronik dengan biaya pemasangan iklan ditanggung oleh isntansi pemerintah yang memerlukan tanah. Jika dalam waktu 30 hari setelah pemasangan iklan tersebut tetap tidak diketahui tempat tinggalnya atau tidak ada tanggapan, maka instansi pemerintah yang memerlukan tanah baru dapat menkonsinyasikan uang ganti kerugian kepada Pengadilan Negeri setempat. Namun sebaliknya jika ada tanggapan dalam waktu tiga puluh hari setelah pemasangan iklan, maka instansi pemerintah yang memerlukan tanah harus mengadakan musyawarah dengan para pihak dengan dipandu oleh Panitia Pengadaan Tanah untuk menetapkan bentuk dan besarnya ganti kerugian. Meskipun sebagian besar pemegang hak atas tanah dalam suatu kawasan telah menyetujui bentuk dan besarnya ganti kerugian yang ditawarkan oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah, namun demikian masih ada satu atau beberapa pemegang hak atas tanah yang berbeda bidang tanahnya dalam kawasan tersebut belum menyetujui bantuk dan besarnya ganti kerugian, maka terhadap satu atau beberapa pemegang hak atas tanah ini uang ganti kerugiannya tidak dibenarkan dikonsinyasikan oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah. Menurut AP. Parlindungan tidak mungkin lagi konsinyasi bagi orang yang tidak bersedia menerima uang ganti kerugiannya karena alasan-alasan tertentu b.
16
Soedalhar, Fungsi Hukum Mengendalian Pembebasan Tanah Dalam Pembangunan Berkesinambungan, Makalah, Seminar Hukum Sebagai Pengenadalian Kesinambungan Pembangunan Nasional, Surabaya, 24 Oktober 1993, h. 8.
xx
Volume 11, No.1 Mei 2011
sebagaimana praktek-praktek yang sudah banyak berlangsung dibanyak daerah dan telah dibenarkan pula oleh beberapa pengadilan tertentu.17 Upaya yang seharusnya ditempuh oleh instansi pemerintah yang membutuhkan tanah apabila dalam musyawarah untuk menetapkan bentuk dan besarnya ganti kerugian tidak tercapai kesepakatan dan lokasi pembangunan yang bersangkutan tidak dapat dipindahkan adalah mengajukan permohonan pencabutan hak atas tanah kepada Presiden berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas tanah dan Benda-benda Yang Ada diatasnya. Penerapan konsinyasi dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum memang dibuat tidak mudah dilakukan oleh instasi pemerintah yang memerlukan tanah. Hal ini dimaksudkan agar pemegang hak atas tanah mendapatkan perlindungan hukum terhadap hak-hak atas tanahnya dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang membutuhkan tanah. 18 Kegiatan pembangunan yang memerlukan tanah jenis yang pertama yakni untuk kepentingan umum diawali dengan pembentukan Panitia pengadaan Tanah. Panitia ini dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Propinsi, panitia ini juga dibentuk ditiap Kabupaten atau Kotamadya. Jika pengadaan tanah menyangkut dua wilayah Kabupaten/Kotamadya, maka panitia diketuai atau dibentuk oleh Gubernur yang susunan anggotanya mencerminkan instansi terkait dari propinsi maupun daerah tingkat II yang bersangkutan (pasal 6). Adapun susunan pantia terdiri dari seorang Ketua (Bupati/Walikota) merangkap anggota, enam anggota, dua sekretaris (I dan II) bukan anggota. Tidak dijelasklan mengapa dalam komposisi Panitia Pengadaan tanah tidak mengikut sertakan wakil rakyat pemilik/pemegang hak atas tanah. Dengan mengikutkan sertakan wakil rakyat diharapkan proses penentuan ganti kerugian maupun prosedur yang harus ditempuh akan berlangsung lebih transparan dan obyektif. Jika komposisi panitia ini benar-benar mencerminkan wakil-wakil mereka yang terlibat dalam proses pengadaan tanah, berarti aspirasi mereka lebih dapat diakomodasikan dengan lebih baik, sehingga dapat mengurangi bahkan menghilangkan jurang perbedaan yang mungkin timbul. Sedangkan tugas dari panitia berdasarkan pasal 7 Perppres No. 65 Tahun 2006 antara lain : a. Mengadakan penelitian dan inventarisasi tanah, bangunan, tanaman dan bendabenda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan;
17
AP. Parlindungan, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah dan Swasta, Makalah., Dialog Agraria HUT UUPA, Fak. Hukum USU, Medan, 24 September 1993, h. 7. 18 Urip santoso, Aspek Konsinyasi, Op.Cit, h. 35. Volume 11, No.1 Mei 2011
xxi
b. Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya; c. Menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan; d. Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan /atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik melalui tatap muka, media cetak, maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh seluruh masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah; e. Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi; f. Menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah; g. Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah; h. Mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang berkopeten. Tugas inventarisasi tanah, bangunan maupun status haknya adalah untuk19 memenuhi asas spesialitas dan legalitas hak tersebut. Keduanya mengarah kepada asas kepastian hukum. Kepastian hukum baik bagi subyek maupun obyeknya. Dengan demikian akan jelas siapa yang akan diundang dalam musyawarah untuk menetapkan atau menyetujui ganti rugi yang akan diberikan. Berkenaan dengan kepentingan umum dalam pengadaan tanah untuk kepentingan pemerintah masih dapat menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Misalnya dalam suatu pengadaan tanah Panitia Pengadaan Tanah menyampaikan kepada pemegang hak atas tanah bahwa tanahnya diperlukan untuk proyek pembangunan yang mempunnyai sifat kepentingan umum. Oleh karena itu pemegang hak atas tanah melepaskan atau menyerahkan hak atas tanahnya dengan pemberian uang ganti kerugian yang telah disepakati bersama. Ternyata, dikemudian hari, pemegang hak atas tanah mengetahui bahwa hak atas tanah yang sudah dilepaskan atau diserahkan tersebut digunakan bukan untuk proyek pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum, melainkan untuk kepentingan perusahaan swasta. Dalam keadaan seperti ini, apakah pemegang hak atas tanah dapat meminta tanahnya kembali dengan mengembalikan ganti kerugian yang telah diserahkan atau meminta tambahan ganti kerugian kepada Panitia Pengadaan Tanah.20 Oleh karena itu untuk mengantisipasi timbulnya praktek tersebut diatas dan memberikan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya, maka dalam surat pernyataan pelepasan atau 19 20
Achmad Sodiki, Op.Cit, h. 18-21. Urip Santoso, Aspek Kepentingan, Op.Cit, h. 47.
xxiiVolume 11, No.1 Mei 2011
penyerahan hak atas tanah yang dibuat oleh pemegang hak atas tanah perlu dibuat klausula yang menyatakan bahwa apabila dikemudian hari diketahui ternyata pengadaan tanahnya bukan untuk kepentingan umum melainkan untuk kepentingan perusahaan swasta, maka pengadaan tanah tersebut dianggap batal demi hukum dan uang ganti kerugian yang telah diterima akan dikembalikan kepada Panitia pengadaan Tanah, atau pemegang hak atas tanah meminta tambahan ganti kerugian kepada Panitia Pengadaan Tanah. Oleh karena itu latar belakang diterbitkannya Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 yang sekarang sudah dirobah dengan Pepres No. 65 Tahun 2006, karena dua alasan, yaitu pertama, meningkatnya pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah, maka pengadaannya perlu dilakukan secara cepat dan transparan dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Kedua, pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana yang ditetapkan dengan Keppres No. 55 Tahun 1993 dinilai sudah tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum bagi pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum. Penerbitan Perpres No. 36 Tahun 2005 yang sudah dirobah dengan Perpres No. 65 Tahun 2006 berdasarkan beberapa peraturan perundangundangan, yaitu : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahu8n 1945; 2. Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043); 3. Undang-Undang Nomor 51 /Prp./Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak Atau Kuasanya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 158. Tambahan Lembaran Negara Nomor 2106); 4. Undang-undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan hak Atas Tanah dan Bendabenda yang ada diatasnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 288. Tambahan Lembaran Negara Nomor 2324); 5. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara R.I Tahun 1992 Nomor 115. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501). 21 Peraturan perundang-undangan tersebut merupakan pelaksanaan pasal 18 UUPA, yaitu untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang. Kriteria kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum yaitu suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut : a. Kepentingan bangsa dan negara, dan/atau, 21
Muhadar, Op. Cit, h. 132.
Volume 11, No.1 Mei 2011
xxiii
b. Kepentingan masyarakat, dan/atau, c. Kepentingan rakyat banyak, dan/atau, d. Kepentingan pembangunan. Dalam pengajuan usul penyelesaian pengadan tanah untuk kepentingan umum dengan cara pencabutan hak atas tanah oleh Gubernur Kepala Daerah Propinsi kepada Presiden melalui Menteri Agraria/Kepala BPN. Usul ini penyelesaiannya dilakukan karena upaya penyelesaian yang ditempuh oleh Gubernur Kepala Daerah Propinsi tetap tidak diterima oleh pemegang hak atas tanah dan lokasi pembangunan yang bersangkutan tidak dapat dipindahkan. Pada acara perolehan hak atas tanah akan menemui masalah terhadap penerapan bidang-bidang kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum, maka untuk penyelesaiannyai dapat menggunakan salah satu asas perundangundangan, yaitu : “Lex Posteriori derogat Legi Priori”.22 Atas dasar asas ini, maka peraturan tentang bidang-bidang kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum maka peraturan yang lebih baru yang dijadikan dasar walaupun peraturan tersebut sama-sama dibuat oleh presiden dan materinya juga sama-sama mengatur tentang bidang-bidang kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum. B. Prosedur Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Untuk mempercepat proses perolehan hak atas tanah dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum, isntansi pemerintah yang memerlukan tanah mengajukan permohonan untuk mengkonsinyasikan uang ganti kerugiannya melalui Pengadilan Negeri setempat. Pengadilan Negeri setempat berkewajiban menerima berkas permohonan konsinyasi uang ganti kerugian dari instansi pemerintah yang memerlukan tanah untuk diperiksa lebih lanjut. Adalah kewajiban Pengadilan Negeri untuk menerima setiap perkara yang masuk seperti yang ditegaskan dalam ketentuan pasal 14 UU No. 04 Tahun 2004 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu : 1. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. 2. Ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian. Kewajiban memeriksa dan mengadili permohonan konsinyasi atas uang ganti kerugian dari instansi pemerintah yang memerlukan tanah oleh Pengadilan Negeri tidak berarti secara otomatis mengabulkan permohonan tersebut, akan tetapi Pengadilan 22
Hartono Hadisuprapto, Pengantar Tata Hukum Yogyakarta, 1982, h. 30.
xxivVolume 11, No.1 Mei 2011
Indonesia, Liberty,
Negeri sebelum mengambil keputusan atas permohonan konsinyasi tersebut harus mempelajari dengan baik ketentuan-ketentuan tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Tanpa adanya pemahaman yang baik terhadap ketentuan-ketentuan tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum maupun asas-asas, peraturan, dan hukum pertanahan, maka putusan Pengadilan Negeri tentang permohonan konsinyasi atas uang ganti kerugian dari instansi pemerintah yang memerlukan tanah dapat berakibat timbulnya kerugian bagi pemegang hak atas tanah dan tidak adanya penghormatan terhadap hak-hak rakyat atas tanah. Pengadilan Negeri seharusnya mengabulkan permohonan konsinyasi atas uang ganti kerugian dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum apabila unsur-unsur yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yaitu beberapa pemilik atas sebidang tanah telah menyetujui besarnya ganti kerugian, sedangkan satu atau beberapa pemilik tanah tersebut benar-benar tidak diketahui tempat tinggalnya setelah instansi pemerintah yang memerlukan tanah berupaya secara maksimal mengumumkan melalui media cetak dan elektronik. Sebaliknya kalau unsur-unsur tersebut tidak dipenuhi seharusnya Pengadilan Negeri menolak permohonan konsinyasi atas uang ganti kerugian dari instansi pemerintah yang memerlukan tanah.23 Putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan konsinyasi yang diajukan oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah walaupun belum tercapai kesepakatan antara para pihak mengenai besarnya ganti kerugian merupakan penyimpangan terhadap ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini karena tidak ada dalam satu pasal atau ayatpun yang membenarkannya adanya konsinyasi bilamana para pihak dalam musyawarah tidak tercapai kesepakatan. Boedi Harsono mengatakan bahwa dengan adanya praktek konsinyasi dalam pembebasan hak atas tanah (pengadaan tanah) timbul kesan seakan-akan bagi rakyat yang bersangkutan hanya ada satu pilihan, yaitu mengambil uang ganti rugi tersebut di Pengadilan Negeri, atau akan kehilangan tanahnya tanpa ganti rugi.24 Penerapan konsinyasi dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan bentuk pemaksaan, perlakuan secara sepihak oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah terhadap pemegang hak atas tanah. Upaya ini juga dapat dikatakan sebagai bentuk pencabutan hak atas tanah secara terselubung oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah. Praktek yang demikian dapat dikatakan telah melangkahi kewenangan Presiden, karena pengambilan tanah-tanah secara sepihak untuk kepentingan umum adalah kewenangan presiden melalui upaya pencabutan hak atas tanah. 25 23
Ibid, h. 36. Boedi Harsono, Aspek Yuridis Penyediaan Tanah, Majalah Hukum dan Pembangunan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,No. 2 Tahun XX,Jakarta, April 1990, h. 168. 25 Urip Santoso, Aspek Konsinyasi, Op Cit, h. 37. 24
Volume 11, No.1 Mei 2011
xxv
Menurut Ali Sofwan Husein, praktek konsinyasi dalam pengadaan tanah sebenarnya “tidak dibenarkan” oleh hukum karena lembaga konsinyasi itu mensyaratkan adanya hubungan hukum (perdata) terlebih dahulu antar pihak sebelum uang tersebut dititipkan di pengadilan. Sedangkan dalam pengadaan tanah tidak ada hubungan hukum yang dimaksudkan itu. Dari sini jelas bahwa penguasa hanya mengambil gampangnya saja untuk mencari keabsahan dan legalitas atas tindakannya, yaitu ketika tidak tercapai kesepakatan ganti rugi, maka uang yang dianggarkan itu langsung dititipkan di pengadilan dan kemudian menganggap masalah penggusuran tanah telah beres dan selesai.26 Penerapan konsinyasi dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan adalah tidak dapat dibenarkan. Dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, instansi pemerintah sebagai pihak yang memerlukan tanah harus memberikan ganti kerugian kepada pemegang hak atas tanah berdasarkan kesepakatan yang telah disepakati bersama mengenai besarnya ganti kerugian. Bersamaan dengan pemberian ganti kerugian, pemegang hak atas tanah membuat surat pernyataan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sehingga tanah tersebut menjadi tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Untuk selanjutnya instansi pemerintah yang memerlukan tanah mengajukan permohonan hak atas tanah yang baru atas tanah yang dilepaskan tersebut kepada Badan Pertanahan Nasional. C. Pemberian Konpensasi Ganti Rugi dan Konsinyasi Masalah pokok yang banyak mendapat perhatian dalam pelaksanaan pengadaan tanah itu adalah persoalan mengenai ganti kerugian, karena persoalan ganti kerugian adalah menyangkut masalah hak-hak dari si pemilik tanah yang tanahnya dibebaskan sehingga dapatlah dikatakan bahwa unsur yang mutlak harus ada dalam pelaksanaan pengadaan tanah. Dalam pasal 13 Perpres No. 65 Tahun 2006 ditentukan bentuk ganti kerugian berupa : a. Uang b. Tanah pengganti c. Pemukiman kembali d. Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana huruf b dan huruf c e. Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yangbersangkutan. Sesuai dengan Perpres No.65 Tahun 2006 pasal 15 ditegaskan bahwa dasar dan cara penghitungan ganti kerugian ditetapkan atas dasar :
26
Ali Sofwan Husein, Konflik Pertanahan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997, h. 94.
xxviVolume 11, No.1 Mei 2011
a.
Nilai jual objek pajak atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan nilai objek pajak tahun berjalan berdasarkan penetapan lembaga/tim penilai harga tanah yang ditunjuk oleh panitia. b. Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggungjawab dibidang bangunan c. Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab dibidang pertanian. Menurut pasal 6 ayat (1) pembebasan hak atas tanah Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975, juga menegaskan pula bahwa, didalam penafsiran atau penetapan mengenai besarnya ganti kerugian, oleh panitia pembebasan tanah harus mengadakan musyawarah dengan pemilik atau pemegang hak atas tanah dan benda atau tanaman yang diatasnya berdasarkan harga setempat.27 Berdasarkan uraian diatas untuk menetapkan besarnya ganti kerugian harus diperhatikan antara lain : a. Penetapan ganti kerugian haruslah didasarkan musyawarah antara panitia dengan para pemegang hak atas tanah. Didalam mengadakan penafsiran/penetapan besar ganti kerugian panitia pengadaan tanah hendaknya benar-benar mengusahakan tercapainya persetujuan antara kedua belah pihak berdasarkan musyawarah. b. Penetapan ganti kerugian haruslah dengan memperhatikan faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi harga tanah. Dalam menentukan besarnya ganti kerugian, panitia pengadaan tanah juga telah memakai cara penghitungan ganti kerugian yang telah ditetapkan, atas dasar pasal 15 (1) Perpres No. 65 Tahun 2006, yaitu : “Harga tanah yang didasarkan atas nilai nyata atau sebenarnya, dengan memperhatikan nilai jual objek pajak bumi dan bangunan yang terakhir untuk tanah yang bersangkutan. Selain itu panitia pengadaan tanah juga telah mempertimbangkan kerugian imaterial yang dipikul oleh pemegang hak atas tanah setelah tanahnya dibebaskan, misalkan kerugian karena mereka akan kehilangan sebagian dari tanah, yang menjadi mata pencaharian mereka. Dalam pertimbangan lainnya panitia pengadaan tanah dalam memberikan gati kerugian, dengan melihat harga tanah sekitarnya yang terjadi dalam tahun ang sama di wilayah yang digunakan untuk pembangunan. Setelah ada kata sepakat antara kedua belah pihak, maka panitia pengadaan tanah memberikan ganti kerugian tersebut kepada pemegang hak atas tanah dengan disaksikan oleh anggota panitia pengadaan tanah diantaranya Camat dan Kepala Desa yang wilayahnya terkena proyek pembangunan.
27
Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah, Kebebasan Tanah dan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum di Indonesia, PT. Citra Aditya, Bandung, 1995, h. 51. Volume 11, No.1 Mei 2011
xxvii
Pada intinya, tata cara pelaksanaan kongsinya dalam penyelesaian masalah ganti kerugian pengadaan tanah, dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) Instansi pemerintah yang memerlukan tanah membuat daftar nominatif pemberi ganti kerugian berdasarkan hasil inventarisasi. (2) Pemberian ganti kerugian dalam bentuk yang dibayarkan secara langsung kepada yang berhak dilokasi yang ditentukan oleh panitia, dengan disaksikan dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang anggota panitia. (3) Pemberi ganti kerugian dalam bentuk uang dibuktikan dengan tanda terima. Lebih jauh dalam pasal 29 peraturan yang bersangkutan diatur mengenai pembayaran ganti kerugian ini sebagai berikut : (1) Pemberi ganti kerugian selain berupa uang, dituangkan dalam berita acara pemberian ganti kerugian yang ditandatangani oleh penerimaan ganti kerugian yang bersangkutan dan ketua atau wakil ketua panitia serta sekurang-kurangnya 2 (dua) arang anggota panitia. (2) Pemberian ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk tanah wakaf dilakukan melalui nadzir yang bersangkutan (3) Untuk pemberian ganti kerugian tanah ulayat dilakukan dalam bentuk prasarana yag dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Namun belakangan dinyatakan oleh banyak pihak bahwa pengadaan tanah melalui lembaga konsinya merupakan kebijakan yang menyimpang dari konteks kelembagaan hukum yang ada, sebagaimana pernah dinyatakan oleh J. Prihatmoko seorang peneliti muda LIPI dan ketua LSPN (Lingkar Studi Pendidikan Nasional) Semarang (Jayakarta, 14 Januari 1993). Pengadaan tanah pada hakekatnya merupakan hubungan hukum jual beli, yang masuk dalam lingkup perdata. Kegiatan musyawarah antara pemegang hak atas tanah dengan panitia pengadaan tanah juga murni perdata. Ini membutuhkan suatu kesepakatan diantara para pihak. Oleh karenanya itu sebenarnya tidak diperlukan adanya kegiatan konsinya uang ganti rugi di pengadilan terhadap ketidaksediaan rakyat yang tanahnya dibebaskan. Jika kegiatan konsinya tersebut tetap dilaksanakan, itu berarti syarat kesepakatan tidak tercapai, akrena terjadi pemaksaan terhadap pemilik atau pemegang hak atas tanah yang mau tak mau diharuskan menerima keputusan dari pantia pengadaan tanah. KESIMPULAN Berdasarkan uraian dalam pembahasan permasalahan sebagaimana telah diketengahkan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : a. Hak dan kewajiban rakyat atas tanah merupakan konsepsi yang hakiki dari pada hukum bahwa bila ada hak disitu ada kewajiban, oleh karena itu apabila seseorang menggunakan haknya harus memenuhi kewajiban yang merupakan syarat baginya Volume 11, No.1 Mei 2011 xxviii
untuk dapat menikmati hak tersebut. Dengan demikian pemegang hak atas tanah rakyat agar menjaga penggunaan tanah tersebut tidak mengganggu atau merugikan kepentingan orang lain atau kepentingan umum. Sedangkan kewajiban rakyat atas tanah dalam pembangunan dapat diperoleh hak atas tanah rakyat dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah oleh pemegang hak atas tanah. b. Bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat atas tanah dalam pembangunan adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya, maka dalam surat pernyataan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang dibuat oleh pemegang hak atas tanah perlu dibuat klausula yang menyatakan bahwa apabila dikemudian hari diketahui ternyata pengadaan tanahnya bukan untuk kepentingan umum melainkan untuk kepentingan perusahaan dan lainlain, maka pengadaan tanah tersebut dianggap batal dan uang ganti rugi yang telah diterima akan dikembalikan kepada panitia pengadaan tanah atau pemegang hak atas tanah meminta tambahan ganti kerugian kepada Panitia Pengadaan Tanah. SARAN a. Hendaknya penyuluhan hukum terhadap masyarakat lebih ditingkatkan agar supaya pemegang hak atas tanah yang terkena proyek pembangunan benar-benar mengerti tentang arti pembangunan untuk kepentingan umum. b. Pihak Pemerintah yang memerlukan tanah hendaknya memberikan petunjuk kepada petugas yang melaksanakan pengadaan tanah dalam memberikan ganti kerugian terhadap pemegang hak atas tanah sesuai dengan prosedur yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, dengan demikian hak-hak atas tanah rakyat yang diperlukan untuk pembangunan dapat terlindungi.
Volume 11, No.1 Mei 2011
xxix
KEDUDUKAN JAKSA DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 Oleh: Nur Hidayat, S.H.,M.Hum.* ABSTRAK Tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) berasaskan pada kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum dan proporsionalitas. Kepastian hukum dalam negara hukum mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi. Kata Kunci: Kedudukan Jaksa – Penyidikan – Tindak Pidana Korupsi.
LATAR BELAKANG Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang di hadapi oleh Indonesia dewasa ini. Setiap penguasa baru pada awalnya selalu menjanjikan akan melakukan tindakan hukum yang tegas terhadap para koruptor. Termasuk dalam hal ini adalah penguasa baru Indonesia pada saat ini . Umumnya janji tersebut tidak pernah dilaksanakan dan dipenuhi secara sungguh-sungguh. Namun demikian janji-janji serupa yang dibuat oleh penguasa, tetap disambut dengan suatu harapan bahwa janji tersebut dapat dilaksanakan secara serius. Meski upaya pemberantasan korupsi semakin meningkat dalam tahun-tahun terakhir, harus diakui belum terlihat tanda-tanda yang meyakinkan bahwa masalah korupsi dapat segera diatasi . Indonesia masih tetap saja termasuk dalam peringkat lima negara tertinggi tingkat korupsinya di seluruh dunia. 1 Usaha pemberantasan korupsi jelas tidak mudah. Kesulitan itu terlihat semakin rumit, karena korupsi kelihatan benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat . Meski demikian, berbagai upaya tetap dilakukan, sehingga secara bertahap
*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira. 1 Hukum Online, Indonesia Masih Lima Besar Negara Terkorup , 20 Oktober 2004.
xxxVolume 11, No.1 Mei 2011
korupsi setidak-tidaknya bisa dikurangi, jika tidak bisa dilenyapkan sama sekali.Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan Pengadilan Khusus Korupsi. Pembentukan dua institusi ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan legislatif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun, dalam pelaksanaannya ternyata tidak semudah yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Karena dalam praktek, baik yang sudah terjadi atau baru diprediksikan akan terjadi, ternyata pelaksanaan kerja pemberantasan Korupsi terbentur banyak permasalahan. Permasalahan tersebut antara lain adalah hubungan kordinasi antara KPK dengan pihak Kepolisian dan Kejaksaan sebagai sub sistem dari Peradilan Pidana Terpadu dan juga tugas dan peranan KPK itu sendiri sebagai ‘super body’. Dalam rangka membangun kembali kepercayaan publik terhadap peran dan citra lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka salah satu mekanisme dalam sub sistem peradilan pidana yaitu penyidikan dan penuntutan, perlu untuk diberdayakan secara lebih optimal. Keberadaan ketiga lembaga yang masing – masing mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana Korupsi yaitu Kepolisian Negara Indonesia , Kejaksaan serta Komisi Pemberantasan Korupsi , dimana kewenangan dari ketiga lembaga itu didasarkan pada ketentuan Undang – Undang yaitu Undang – Undang Nomor 2 tahun 2002 , Undang – Undang Nomor 16 tahun 2004 , Undang – Undang Nomor 30 tahun 2002 serta Undang – Undang Nomor 8 tahun 1981 sebagai payung nya , justru akan menyebabkan timbulnya suatu tarik ulur dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Korupsi, serta akan menyebabkan pula saling berebut kue perkara diantara tiga lembaga tersebut . Tumpang tindihnya kewenangan yang ada pada ketiga lembaga tersebut dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Korupsi akan menyebabkan pula semakin sulit dan susahnya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.. Pernyataan bahwa sama – sama mempunyai kewenangan atau sebaliknya akan selalu dijadikan sebagai dasar untuk melemparkan tanggung jawabnya kepada pihak lain . Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana ( yang selanjutnya disingkat KUHAP ) sebagai hukum acara pidana yang bersifat unifikasi menyebutkan bahwa yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indoneia dan yang mempunyai kewenangan penyidikan adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia , serta pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang –undang . Akan tetapi ternyata ketentuan ini dapat dikesampingkan oleh ketentuan yang sifatnya khusus , yaitu dalam hal ini ketentuan yang ada dalam Undang – Undang Kejaksaan , dan Undang – Undang Komisi Pemberantasan Korupsi . Undang –Undang Kejaksaan didalam pasal 30 ayat 1d menyebutkan di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang Volume 11, No.1 Mei 2011
xxxi
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang , tindak pidana tertentu disini yang dimaksud adalah tindak pidana Korupsi seperti yang diatur didalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 , sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001. Selanjutnya dalam Undang –Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi pasal 6 huruf c menyebutkan Komisi Pemberantasan Korupsi ( selanjutnya disingkat KPK ) mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa permasalahan Korupsi diperlukan penangan secara khusus apalagi korupsi yang terjadi di Indonesia sudah merambah kesemua sektor baik ekonomi , hukum , sosial dan hankam dan bahkan korupsi seperti menjadi budaya dari bangsa Indonesia , hal ini dapat kita lihat dari hasil survie lembaga Internasional , dimana Indonesia sebagai peringkat ke 5 ( lima ) sebagai negara terkorup didunia . Penanganan secara sungguh – sungguh terhadap korupsi di Indonesia sangat diperlukan , dan pada saat ini sejak Susilo Bambang Yudoyono menjadi Presiden ada sedikit harapan untuk mengikis sedikit demi sedikit korupsi yang terjadi di Indonesia , terbukti pemerintah saat ini ada keberanian untuk menyeret pelaku – pelaku korupsi yang sebelumnya sulit dijerat dengan pidana , sekarang sudah banyak para koruptor kelas kakap yang menjadi penghuni baru lembaga pemasyarakatan mulai dari para Bupati , Anggota Dewan Perwakilan Rakyat , Gubenur dan bahkan para penegak hukumpun sudah ada yang dikenakan pidana berdasarkan Undang Undang Tindak Pidana Korupsi . Permasalahan yang ada dan timbul pada saat ini adalah dalam hal penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi , karena pada saat ini ada tiga lembaga yang mempunyai kompetensi melakukan tugas pemberantasan tindak pidana korupsi . Terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat KPK merupakan suatu komisi khusus yang dasar pendiriannya diatur dalam pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan secara lebih dalam diatur dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , menjadikan dua lembaga yang sudah ada sebelumnya yaitu Kepolisian dan Kejaksaan yang berdasarkan ketentuan undang – undang yang ada juga mempunyai kewenangan untuk melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi, seakan - akan tugas dan wewenangnya diambil alih sepenuhnya oleh KPK. Bertitik tolak dari penjelasan diatas, maka dapat penulis uraikan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kedudukan Penyidik Polri dalam Tindak Pidana Korupsi ? 2. Bagaimanakah tugas dan wewenang KPK dalam penyidikan tindak pidana korupsi ? Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxii
KEDUDUKAN PENYIDIK POLRI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Pengertian Penyidik Kepolisian Republik Indonesia , sebagai aparat penegak hukum yang merupakan bagian dari Criminal Justice System , menduduki posisi sebagai “ diferensiasi fungsional “ sebagaimana digariskan didalam KUHAP , sehingga Polisi diberikan “ peran “ ( role ) yang berupa “ kekuasaan umum menangani kriminal “ ( general policing authority in criminal matter ) di seluruh wilayah Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia3. Dalam melaksanakan kewenangan tersebut , Polri berperan melakukan kontrol kriminal ( crime control ) dalam bentuk “ investigasi penangkapan – penahanan – penggeledahan – penyitaan ” . Posisi sebagaimana yang telah digariskan didalam KUHAP tersebut harus “ dijaga kebebasan “ polisi dari “ politik “ ( police politically independent )4 , sehingga dalam pelaksanaan operasional dan penggunaan desisi maupun diskresi tidak boleh didiktekan oleh dan atau untuk kepentingan penguasa atau pemerintah , maupun oleh kepentingan partai politik tertentu , serta boleh kooperatif dan partisipatif secara saling menguntungkan ( mutual beneficiary ) dengan pihak manapun atas informasi kriminal yang diketahuinya . Dalam menegakkan hukum dan mendeteksi tindak pidana harus benar – benar bebas , dengan pEngertian menentukan sendiri tanpa pengaruh , apakah seorang tersangka diajukan untuk dituntut atau tidak , dan polisi tidak boleh menjadi “budak” ( servant ) dari siapa pun , karena polisi hanya bertanggungjawab terhadap law enforcement . Kebebasan yang dimiliki oleh polisi dalam penegakan hukum seperti yang diuraikan diatas akan terlaksana apabila polisi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya selalu berpedoman kepada ketentuan – ketentuan yang telah ada khususnya ketentuan yang diatur didalam KUHAP. Sesuai dengan tugas dan wewenang yang dimiliki oleh polisi dalam penegakan hukum , maka KUHAP menentukan bahwa apabila ada laporan dan atau pengaduan mengenai telah terjadi suatu tindak pidana , harus terlebih dahulu dilakukan penyelidikan yaitu berupa serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu 3
M . Yahya Harahap Pembahasan , Permasalahan , dan Penerapan KUHAP, Penyelidikan dan Penuntutan , Edisi kedua , Sinar Grafika, Jakarta, 2000 , h. 91. 4 Ibid , h. 93. Volume 11, No.1 Mei 2011
xxxiii
keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai tindak pidana , dengan maksud untuk menentukan sikap pejabat penyelidik , apakah peristiwa yang ditemukan dapat dilakukan penyidikan atau tidak sesuai dengan cara yang diatur oleh KUHAP . Jadi , sebelum dilakukan tindakan penyidikan , terlebih dahulu dilakukan penyelidikan oleh pejabat penyelidik untuk mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan penyidikan . Jika diperhatikan dengan seksama , motivasi dan tujuan penyelidikan merupakan bentuk tuntutan tanggungjawab kepada aparat penyidik , untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat dan martabat manusia , serta juga sebagai tuntutan dan tanggung jawab moral yang sekaligus juga sebagai peringatan bagi aparat penyidik untuk bertindak hati – hati . Penyidikan sebagai tindak lanjut dari penyelidikan hanya dapat dilakukan oleh pejabat Polri ataupun pejabat pegawai negeri sipil “ tertentu “ yang diberi wewenang khusus oleh undang – undang , dan hal ini sangat berbeda dengan penyelidikan yang dapat dilakukan oleh semua pejabat Polri . Pengertian Penyidikan sebagaimana disebutkan didalam pasal 1 butir 2 KUHAP menyebutkan “ Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan mnurut cara yang diatur dalam undang – undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya . Sedangkan pengertian “ Penyidik “ adalah sebagaimana disebutkan didalam ketentuan pasal 1 butir 1 KUHAP yaitu “ Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang – undang untuk melakukan penyidikan . Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penyidik itu dapat digolongkan kedalam dua bagian yaitu penyidik dari Polri yang telah diberi tugas khusus untuk melakukan penyidikan , serta penyidik dari pegawai negeri sipil tertentu ( seperti pegawai pada kantor Pajak , Imigrasi , Bea dan Cukai , Lingkungan Hidup , Kehutanan ) yang telah mendapatkan Surat keputusan sebagai penyidik dari Menteri Departemen yang bersangkutan .
B. Tugas dan Tanggung Jawab Penyidik Polri dalam Tindak Pidana KUHAP sebagai hukum acara pidana yang bersifat unfikasi merupakan undang-undang yang asas hukumnya berlandaskan asas Legalitas . Pelaksanaan dan penerapan KUHAP harus bersumber pada titik tolak the rule of law, dimana semua tindakan penegakan hukum harus didasarkan pada : - ketentuan hukum dan undang-undang, Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxiv
-
kepentingan hukum dan perundang-undangan diatas segala-galanya, sehingga terwujud suatu kehidupan masyarakat dan bangsa , yang takluk dan tunduk dibawah “supremasi hukum” yang selaras dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia . Jadi arti the rule of law dan supremasi hukum , adalah menguji dan meletakkan setiap tindakan penegakan hukum takluk dan tunduk di bawah ketentuan konstitusi , undang-undang dan rasa keadilan yang hidup ditengah-tengah kesadaran masyarakat . Memaksakan atau menegakkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dari bangsa lain , tidak dapat disebut the rule of law, bahkan mungkin berupa penindasan. Dengan asas legalitas yang berlandaskan the rule of law dan supremasi hukum , maka jajaran aparat penegak hukum ( Polisi ) tidak dibenarkan : - Bertindak diluar ketentuan hukum, atau (undue to law) maupun (undue process), - Bertindak sewenang-wenang (illegal abuse of power), Dan setiap orang , baik dia sebagai tersangka atau terdakwa mempunyai kedudukan : -
Sama derajat dihadapan hukum (equal before the law), Mendapatkan “perlindungan” yang sama oleh hukum (equal protection on the law), - Mendapat pengakuan keadilan yang sama dibawah hukum ( equal justice under the law ) 5. Penanggulangan kejahatan dalam bahasa kepolisian adalah fungsi “represif” jadi, tindakan “represif kepolisian” tidak sama artinya dengan “menggunakan kekerasan” yang sering dinyatakan oleh sementara orang akhir-akhir ini . Fungsi “represif yustisial kepolisian” merupakan bagian integral, bahkan sebagai ujung tombak dari sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) yang disemua negara demokrasi ditetapkan dengan undang-undang dan di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ). Disadari bersama bahwa perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat yang mengakibatkan arus informasi bergerak dengan cepat pula sehingga pengaruh globalisasi masuk ke setiap aspek kehidupan. Hal ini membawa konsekuensi logis bahwa penyidik dalam melaksanakan tugasnya akan menghadapi tantangan yang semakin berat dan kompleks serta juga dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi , tanpa harus kehilangan jati dirinya.
5
Ibid, h. 36.
Volume 11, No.1 Mei 2011
xxxv
Kemampuan penyesuaian diri tersebut akan dapat diwujudkan apabila sedini mungkin telah dipersiapkan gambaran tentang perkiraan ancaman ( tindak pidana ) yang akan dihadapi, sehingga dapat diperkirakan pula arah pengembangan kemampuan dan kekuatan yang dibutuhkan untuk menghadapi ancaman tersebut. Disisi lain, masih dirasakan bersama bahwa kualitas penyidik Polri masih relatif rendah, dimana hal ini ditandai dengan masih adanya beberapa masalah seperti terjadinya praperadilan , bolak-baliknya berkas perkara pidana yang dikirim ke Penuntut Umum , masih minimnya penyidik atau penyidik pembantu yang mengikuti pendidikan kejuruan Reserse, serta rendahnya tingkat penyelesaian perkara / kasus yang terjadi , belum lagi dihadapkan kepada kejahatan-kejahatan yang berdimensi baru dan bersifat transnasional seperti White Collar Crime (Kejahatan Kerah Putih), Money Laundring (Kejahatan Pencucian Uang), Kejahatan Komputer, Kejahatan Bidang Perbankan , Monoter , Pasar Modal , Korupsi , Subversi, Lingkunga Hidup, Perpajakan, Kehutanan , Terorisme dan kejahatan-kejahatan lainnya yang berintensitas tinggi yang diikuti dengan kekerasan dalam nuansa politik. Diatas sudah dijelaskan bahwa Penyidikan seperti halnya dengan penuntutan dan peradilan tidak boleh diintervensi oleh penguasa, apakah itu Presiden, Menteri, Gubernur, dan bahkan oleh Pejabat atasan penyidik itu sendiri, hal ini harus benar – benar dilaksanakan agar supaya proses penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik dapat menghasilkan suatu keadilan dan memenuhi rasa keadilan . Oleh karena itu maka kewenangan yang dimiliki oleh penyidik harus benar – benar dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundangan yang telah ada dan harus mendapatkan dukungan dari semua pihak . Didalam Pasal 7 KUHAP disebutkan bahwa Penyidik mempunyai kewenangan berupa : 1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana 2. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian 3. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka . 4. melakukan penangkapan , penahanan , penggeledahan , dan penyitaan . 5. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat 6. mengambil sidik jari dan memotret seseorang 7. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi 8. mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara . 9. mengadakan penghentian penyidikan 10. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Disamping kewenangan seperti diatas juga ada pembagian kewenangan menurut KUHAP, dimana dijelaskan bahwa kewenangan Polisi, yaitu : 1.
Dibidang penyidikan kepolisian mendapat porsi sebagai penyidik tindak pidana umum .
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxvi
2. 3.
Kepolisian mempunyai kewenangan melakukan penyidikan tambahan. Kepolisian berperan sebagai koordinator dan pengawas Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Dalam perkembangan selanjutnya, dengan lahirnya Undang-Undang Kepolisian yang baru yaitu Undang Undang Nomor 28 Tahun 1997 yang kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi karena sudah ada undang undang yang baru yaitu Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 , menyatakan Polisi dapat melakukan penyidikan untuk semua tindak pidana. Pernyataan ini seolah ingin menangkis anggapan bahwa untuk penyidikan tindak pidana khusus hanya Jaksa yang berwenang, padahal menurut Pasal 284 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, dimana wewenang Jaksa itu bersifat sementara. Polisi seolah juga ingin menyatakan bahwa mereka kini sudah mampu untuk menyidik perkara-perkara yang sulit seperti kasus tindak pidana korupsi, ekonomi, dan subversi. Keberadaan Kepolisian Negara yang profesional menuntut adanya sistem yang kondusif, untuk itu Kepolisian harus dikeluarkan dari “sistem yang membelenggu” dan tidak menguntungkan , karena keadaan seperti ini berimplikasi terhadap kerugian sosial ekonomis bagi masyarakat, khususnya masyarakat pencari keadilan. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) bisa terkatung-katung dan bolak-balik, karena ada trik tarikmenarik antara pelaksanaan kewenangan kepolisian dan kejaksaan. Menurut Alkostar, sistem yang menjepit kepolisian berupa antara lain : 1. Saat ini Polisi belum sepenuhnya menjadi penyidik tunggal, karena Jaksa masih sering melakukan penyidikan tambahan, belum lagi dalam perkara Pidana Khusus. 2. Polisi masih sering menanggung beban angkatan lain, misalnya seseorang dipukuli oleh angkatan lain lalu diserahkan kepada Polisi yang sebelumnya tidak tahu tentang penangkapan dan pemukulan tersebut. 6 Sebagai tindak lanjut Inpres Nomor 2 Tahun 1999, yang memisahkan Polri secara struktural dari ABRI, maka tanggal 1 Juni 2000 dengan Keppres Nomor 89 Tahun 2000, Polri dikeluarkan dari Departemen Pertahanan dan berada langsung di bawah Presiden. Sementara itu juga, amendemen UUD 1945 dan Tap-Tap MPR yang disahkan pada Agustus 2002 itu lebih mempertegas kedudukan dan peran Polri sebagai Kepolisian Nasional Indonesia. Harapan masyarakat, yang masih sukar untuk segera dapat dipenuhi ialah setelah Polri mandiri yaitu agar kemampuan dan budaya Polri yang seperti militer dapat berubah dan mampu menjadi penegak hukum yang profesional, sebagai pengayom, pelindung, dan pelayan masyarakat serta penanggulang kejahatan di seluruh wilayah Indonesia sesuai dengan motto Kepolisian Republik Indonesia.
6
Artidjo Alkostar, Membangun Kultur Polri yang Berorientasi Madani, UGM Yogyakarta, 1999. Volume 11, No.1 Mei 2011
xxxvii
Adapun hal-hal yang menyangkut penyidikan menurut KUHAP yang merupakan dasar, perlu dikemukakan dengan jelas dan pasti, karena hal ini langsung menyinggung dan membatasi kepada Hak Asasi Manusia (HAM) adalah sebagai berikut : 1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik. 2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik atau peristiwa. 3. Pemeriksaan di tempat kejadian. 4. Pemeriksaan tersangka atau terdakwa. 5. Penahanan sementara. 6. Penggeladahan. 7. Pemeriksaan atau interogasi. 8. Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan ditempat). 9. Penyitaan. 10. Penyampingan perkara. 11. Pelimpahan perkara kepada Penuntut Umum dan pengembaliaannya kepada penyidik untuk disempurnakan.7 Sedangkan yang dimaksud dengan profesi, dalam wujud profesi penyidik dapat dilihat dalam pelaksanaan tugas dan wewenang penyidik yang harus didukung oleh kecakapan taktis dan teknis penyidikan. Kecakapan teknis ini diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, pengalaman-pengalaman tugas dan didukung oleh ilmu pengetahuan (kepolisian). Hal tersebut merupakan landasan bagi profesi penyidik, karena : 1. Profesi penyidik berkaitan dengan jaminan hak dan kewajiban setiap warga negara yang berorientasi kepada kepentingan umum. 2. Pelaksanaan tugas profesi penyidik terkait dengan kepastian hukum dan keadilan. 3. Profesi penyidik dibatasi oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga memerlukan kemahiran dan penguasaan hukum. 4. Adanya pengawasan ketat atas perilaku pribadi penyidik melalui kode etik profesi.8 Adapun kegiatan-kegiatan pokok dalam rangka penyidikan tindak pidana dalam penggolongannya menurut KUHAP adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4.
Penyelidikan. Penindakan. Pemeriksaan. Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara.
7
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2000,
8
Nurfaizi, Polisi dan Masyarakat, Cipta Manunggal, Jakarta, 1998 ,h. 100.
h.118.
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxviii
Dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana dilaksanaakan setelah diketahui bahwa sesuatu peristiwa yang terjadi merupakan tindak pidana. Dan diketahuinya tindak pidana mempunyai dasar hukum yaitu : 1. Pasal 102 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP, 2. Pasal 106 KUHAP, 3. Pasal 108 KUHAP, 4. Pasal 109 ayat (1) KUHAP, 5. Pasal 111 KUHAP. Didalam KUHAP ada empat kemungkinan diketahuinya terjadinya delik yaitu sebagai berikut : 1. 2. 3. 4.
Kedapatan tertangkap tangan (Pasal 1 butir 19 KHUAP). Karena laporan (Pasal 1 butir 24 KUHAP). Karena pengaduan (Pasal 1 butir 25 KUHAP). Diketahui sendiri atau pemberitahuan atau cara lain sehingga penyidik mengetahui terjadinya delik seperti membacanya di Surat Kabar, mendengar dari radio atau orang bercerita, dan selanjutnya. Dan sasaran dalam penyelidikan ialah :
1. 2. 3.
Orang, Benda atau barang, Tempat. “Dalam melakukan penangkapan, penyelidik Polri harus memperhatikan halhal yang tidak boleh dilakukan penangkapan kecuali dalam kondisi atau keadaan “ondecking op heterdaad” atau keadaan tertangkap tangan (Pasal 1 Butir 19 KUHAP), yaitu : 1. Penangkapan tidak boleh dilakukan di ruang sidang Pengadilan yang sedang melakukan sidang walaupun sifatnya terbuka. 2. Tidak boleh melakukan penangkapan di ruang DPR/DPRD yang melakukan sidang. 3. Tidak boleh melakukan penangkapan di tempat-tempat ibadah yang sedang melakukan ibadah. Apabila terjadi tindak kejahatan dan pada saat itu pula dalam keadaan tertangkap tangan, maka dalam penyidikan deliknya lebih mudah dilakukan karena terjadinya baru saja. Dan hal itu berbeda dengan delik biasa yang kejadiannya sudah berselang beberapa waktu yang lalu. Satu hal yang perlu diperhatikan ialah dalam KUHAP ada definisi tentang delik tertangkap tangan, ialah tidak terperincinya tentang cara menyidik yang secara khusus tentang siapa saja (Who) yang dapat menangkap si pelaku. Hanya saja disebutkan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti kepada penyidik atau penyidik pembantu Tindakan selanjutnya adalah penangkapan, dimana pada tingkat penyidikan yang mempunyai wewenang adalah Polisi. Dan hal itu diatur dalam Pasal 20 sampai Volume 11, No.1 Mei 2011
xxxix
dengan Pasal 31 KUHAP, lamanya melakukan penangkapan ( 1 X 24 jam ) kecuali seperti yang diatur dalam Perpu No. 1 Tahun 2002 yang telah ditetapkan menjadi undang – undang dengan undang – undang nomor 15 tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme yaitu penangkapan bisa dilakukan sampai paling lama ( 7 X 24 jam ) sebagaimana disebutkan dalam pasal 28 .” Mengenai penyidik kaitannya dengan Penuntut Umum (Jaksa Penuntut Umum) yaitu : Berdasarkan Pasal 110 KUHAP, “ Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada Penuntut Umun “. Penyerahan berkas perkara dilakukan : (a). Tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara setelah sudah memenuhi syarat kelengkapan dalam berkas perkaranya ; (b). Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum. Lahirnya Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002, menjadi suatu momentum awal terciptanya suasana baru bagi keberadaan negara umumnya dan lembaga penegak hukum Kepolisian pada khususnya dibidang palaksanaan sistem keamanan bangsa dan negara Republik Indonesia. Tepatnya pada tanggal 1 Juli 2000 melalui Keppres Nomor. 89 Tahun 2000, POLRI dikeluarkan dari Departemen Pertahanan dan berada langsung di bawah Presiden, melalui amandemen UUD 1945 dan TAP MPR/RI No. VI/MPR/2000 dan TAP MPR/RI No.VII/MPR/2000 yang telah disahkan pada Agustus 2002 lalu mempertegas kedudukan dan peran Polri sebagai Kepolisian Nasional Indonesia. Didalam Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisiain Negara RI, Bab I Pasal 1, yang dimaksud Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara RI berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam Undang-Undang. Dalam melaksanakan tugas pokoknya dalam penyidikan dan penyelidikan, Kepolisian Negara RI “melakukan penyidikan dan penyelidikan terhadap semua tindak pidana semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”, menurut Undang-Undang No.2 Tahun 2002 bab III pasal 14 (ayat 1) butir (g), tentang Kepolisian. Menurut Pasal 16 ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian menyebutkan : (1). Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang Untuk : a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan ;
xl
Volume 11, No.1 Mei 2011
b.
melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan ; c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan ; d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri ; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat ; f. memanggil orang untuk mendengarkan dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi ; g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara ; h. mengadakan penghentian penyidikan ; i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum ; j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkalorang yang disangka melakukan tindak pidana ; k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum ; dan l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. (2). Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf 1 adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut : a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum ; b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan ; c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya ; d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa, dan e. menghormati hak asasi manusia. Berdasarkan pasal 16 ayat (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tersebut, merupakan dasar bagi penyidik kepolisian dalam melakukan tugas dan wewenangnya melakukan penyidikan. Dimana, seringkali tujuan polisi dalam melakukan penyidikan ialah supaya semua tersangka yang ditahan, dituntut, diadili, dapat dan dikenakan dipidana , karena menurut pandangan polisi setiap kegagalan penuntutan dan pemidanaan akan merusak kewajibannya dalam masyatakat. Penuntut umum pun tidak mampu menuntut manakala polisi memperkosa hak-hak tersangka dalam proses penyidikan, karena perkosaan demikian mengakibatkan bebasnya perkara itu di pengadilan. Hal itu merupakan awal dalam proses penciptaan profesionalisme kerja polisi sesuai dengan kewenangannya yang bersifat preventif dan kewenangan represif. C. Kedudukan Penyidik Polri Dalam Tindak Pidana Korupsi Volume 11, No.1 Mei 2011
xli
Korupsi merupakan kejahatan yang sangat sophisticated dan sudah masuk dalam katagori extra ordinary crimes , dan bahkan sudah dapat dikatakan sebagai kejahatan yang terorganisir , sehingga bukanlah pekerjaan yang mudah untuk membuktikan adanya kejahatan korupsi. Tentunya tantangan yang akan dihadapi oleh pihak kepolisian dalam hal ini para penyidiknya akan semakin berat . Profesionalisme terhadap penanganan kejahatan ini sangat dibutuhkan , karena kekeliruan sedikit saja dalam proses penyidikan akan mengakibatkan perkara tersebut tidak dapat dikenakan pidana , sehingga sia – sialah usaha penyidikan yang telah dilakukan oleh pnyidik yang telah banyak menyita waktu dan tenaga . Penanganan yang serius dan hati – hati sangat diperlukan mengingat tindak pidana korupsi akan selalu terkait dengan berbagai jenis tindak pidana lainnya dan pelakunya lebih banyak dari mereka yang mempunyai suatu kedudukan tertentu , oleh karena itu korupsi sering disebut sebagai white collar crime , sehingga keahlian dari penyidik sangat dibutuhkan dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi ini . Polisi sebagaimana disebutkan didalam KUHAP dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 , merupakan penyidik dalam segala tindak pidana , baik tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus . Dalam penyidikan tindak pidana umum sudah tidak terbantahkan lagi , karena polisi sudah menjalankan tugas dan wewenangnya sebagaimana digariskan oleh KUHAP , akan tetapi berlainan keadaannya terhadap tindak pidana khusus ( tindak pidana koupsi ) , karena pada saat ini terdapat dua lembaga lain selain kepolisian yang juga mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yaitu Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( KPK ) . KUHAP didalam ketentuan pasal 6 menyebutkan bahwa : Penyidik adalah : (1) pejabat polisi negara Republik Indonesia dan (2) pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang – undang . Apabila mendasarkan kepada ketentuan pasal diatas , maka jelas bahwa polisi adalah penyidik dalam segala tindak pidana baik yang bersifat umum , maupun yang bersifat khusus , karena KUHAP merupakan undang – undang hukum acara yang bersifat umum , dan merupakan hukum positif serta berkedudukan sebagai unifikasi dalam hukum acara pidana , artinya KUHAP dijadikan sebagai pedoman dalam hukum acara untuk semua tindak pidana yang terjadi di Indoneia . Begitu juga halnya didalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia didalam ketentuan pasal 14 ayat ( 1 ) e menyebutkan “ Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas: melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya “ , dengan mendasarkan kepada kedua ketentuan peraturan perundangan diatas , maka seyogyanya Polisi sebagai bagian dari criminal justice system harus melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai aparat penegakan hukum dalam bidang penyelidikan dan penyidikan pada semua jenis tindak pidana baik
xlii Volume 11, No.1 Mei 2011
umum maupun khusus , karena polisi sudah memiliki sarana dan prasarana berupa tenaga atau personel yang sudah tersebar sampai tingkat kecamatan ( Polsek ) , sehingga hal ini akan lebih mempercepat proses penegakan hukum atas suatu tindak pidana yang terjadi baik tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus , disamping itu polisi pada saat ini juga sudah banyak memiliki personel yang berlatar belakang pendidikan hukum . TUGAS DAN WEWENANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Tugas dan Wewenang Jaksa Dalam Penyidikan Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terdapat pembedaan pengertian antara Jaksa dalam pengertian umum dan Penuntut Umum dalam pengertian Jaksa yang menuntut suatu perkara. Dalam Pasal 1 butir 6 ditegaskan hal itu sebagai berikut : a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melakukan atau melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. b. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Dilihat dari perumusan Undang-Undang tersebut, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pengertian “jaksa” adalah menyangkut jabatan, sedangkan penuntut umum menyangkut fungsi. Mengenai hal penuntut umum diatur dibagian ke-tiga Bab IV KUHAP, wewenang penuntut umum pada bagian ini diatur dalam 2 (dua) pasal, yaitu pasal 14 dan pasal 15 antara lain, yaitu : Pasal 14 Penuntut Umum mempunyai wewenang : Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu ; b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik ; c. Memberikan perpaanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik ; d. Membuat surat dakwaan ; e. Melimpahkan perkara ke pengadilan ; a.
Volume 11, No.1 Mei 2011
xliii
f.
Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk dating pada sidang yang telah ditentukan ; g. Melakukan penuntutan ; h. Menutup perkara demi kepentingan hukum ; i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini ; j. Melaksanakan penetapan hakim. Pasal 15 “Penuntut umum menuntut perkara tindak pidana yang terjadi dalam daerah hukummnya menurut ketentuan Undang-Undang”. Dari perincian wewenang tersebut, dapat disimpulkan sebagai berikut : Bahwa jaksa atau penuntut umum di Indeonesia tidak mempunyai wewenang menyidik perkara, dari permulaan atau lanjutan. Hal ini berarti jaksa atau penuntut umum di Indonesia tidak pernah melakukan pemeriksaan terhadap tersangka ataupun terdakwa. Ketentuan pasal 14 KUHAP dapat dikategorikan kepada sistem tertutup, artinya tertutup yaitu ada kemungkinan jaksa atau penuntut umum melakukan penyidikan meskipun dalam arti insidentil dalam perkara-perkara berat khususnya dari segi pembuktian dan masalah teknis yuridisnya dan dalam penyidikan disini hanya dilakukan terhadap berkas perkara , jadi tidak kepada tersangkanya . Menurut KUHAP seperti yang telah dikemukakan tersebut, tertutup kemungkinan bagi penuntut umum Indonesia melakukan penyidikan sendiri dan mengambil alih pemeriksaan yang telah dimulai oleh polisi. Dalam hal pengawasan, masih tersirat secara samar peranan penuntut umum dalam penyidikan. Hal ini dapat disimpulkan dari bunyi beberapa pasal, antara lain Pasal 109 dan 110 KUHAP: Pasal 109 1.
Dalam hal penyidik telah mulai melakukan peyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana , penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. 2. Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum , tersangka atau keluarganya. 3. Dalam hal penghentian tersebut, pada ayat (2) dilakukan oleh penyidik sebagaimna dimaksudkan dalam pasal 6 ayat (1) huruf b pemberitahuan mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum. Pasal 110
xlivVolume 11, No.1 Mei 2011
1.
Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum. 2. Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera mngembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. 3. Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum. 4. Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik. Dalam Pasal 109 ayat (1) tersebut, hanya dikatakan memberitahukan, tidak wajib memberitahukan. Lagi pula tidak ada ketentuan yang memberi wewenang penuuntut umum untuk memerintahkan penghentian penyidikan, umpama kerena kurang alasan. Begitu pula ketentuan dalam pasal 110 ayat (2) hanya disebutkan ”……disertai petunjuk untuk dilengkapi. Jadi, tidak disebutkan kemungkinan penuntut umum memerintahkan untuk tidak meneruskan penyidikan karena tidak ada alasan.9 Akan tetapi mengacu kepada pasal 138 KUHAP yang berbunyi : Ayat 1 “Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum”. Ayat 2 “Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum”. Selanjutnya landasan hukum berlakunya UU tertentu yang memberikan wewenang kepada Jaksa untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan disebutkan dalam KUHAP dan dimuat di dalam Ketentuan Peralihan pasal 284 ayat 2. Ketentuan ini sifatnya sementara, mengingat UU tertentu tersebut akan “ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam waktu yang sesingkat singkatnya” penjelasan pasal 284 ayat 2 9
Andi Hamzah, S.H., op. cit., h.76.
Volume 11, No.1 Mei 2011
xlv
KUHAP Sampai saat ini, setelah KUHAP berlaku lebih dari 24 tahun, beberapa UU tertentu telah dicabut, antara lain UU Tindak Pidana Ekonomi dan UU Pemberantasan Subversi dan terakhir Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baru yaitu Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, ternyata masih memberi wewenang kepada Jaksa untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam perkara korupsi. Wewenang Jaksa di sini tidak lagi bersifat sementara, karena dengan dicabutnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 pada tanggal 16 Agustus 1999, maka wewenang Jaksa tersebut tidak lagi terkait dengan pasal 284 ayat 2 KUHAP. Dengan demikian dalam perkara korupsi terdapat dua aparat penyidik yaitu Jaksa (berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo UU Nomor 16 Tahun 2004) dan Polisi (berdasarkan KUHAP dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002). Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan ,yang merupakan suatu bentuk pembaharun terhadap peraturan perundangundangan yang mempunyai kekuatan mengikat kepada seluruh warga negara Indonesia. Dimana, dengan perkembangan jaman yang semakin maju membawa bangsa Indonesia kearah perkembangan kebutuhan hukum pada masyarakat yang signifikan dan mendasar dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang menyatakan fungsi dan hubungannya dengan badan-badan lainnya yaitu salah satunya adalah Kejaksaan Republik Indonesia. Adapun maksud dan tujuan atas perubahan Undang-Undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia tersebut dimaksudkan untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan penyidikan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yaitu yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasan lainnya. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh karena itu perlu dilakukan penataan kembali terhadap kejaksaan untuk menyesuaikan dengan perubahanperubahan tersebut diatas. Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan penyidikan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan,dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya, dalam proses pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila,
xlviVolume 11, No.1 Mei 2011
serta berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewajiban pemerintah dan negara serta melindungi kepentingan masyarakat. Dengan berlandaskan Pasal 30 ayat (1) butir (e) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menyebutkan bahwa : “melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik”. Apabila diteliti dalam pasal ini ada 2 (dua) batasan dalam ketentuan ini, yaitu : 1. Berkas perkara tertentu ; 2. Dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik ; Yang mempunyai maksud, bahwa : “perkara tertentu” adalah hanya nota bene terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiaannya dan atau dapat meresahkan masyarakat dan atau yang dapat membahayakan keselamatan negara; b. dalam hal pengkoordinasiannya tidak boleh dilakukan terhadap tersangka; c. harus dapat dilaksanakan dalam waktu 14 hari setelah dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 110 dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP; d. prinsip koordinasi dan kerja sama dengan penyidik. Dilanjutkan dengan ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yaitu : a.
“Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya”. Maksud dari Pasal 33 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004, adalah sejalan dengan prinsip koordinasi yang termaktub dalam Pasal 30 ayat (1) butir (e) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 baik dengan penyidik maupun berbagai badan penegak hukum dan atau instansi lainnya yang berkompetensi dalam melaksanakan dan menjalankan penegakan supremasi hukum di negara kesatuan RI. Mendasarkan kepada beberapa ketentuan yang telah diuraikan diatas , sudah jelas dan pasti bahwa tugas dan wewenang jaksa dalam penegakan hukum adalah sebagai penuntut untuk segala macam tindak pidana yang terjadi di Indonesia , jadi bukan sebagai penyidik kecuali untuk tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya , maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung , sehingga dari ketentuan ini dapat dipahami bahwa jaksa bisa berkedudukan sebagai penyidik, dan hal ini sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 30 ayat 1 d Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 dihubungkan dengan ketentuan Pasal 27 UU Nomor 31 Tahun 1999 .
B. Kedudukan Jaksa Dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Volume 11, No.1 Mei 2011
xlvii
Pada pembahasan didepan sudah dijelaskan bahwa Tindak Pidana Korupsi merupakan kejahatan yang sangat sophisticated dan sudah masuk dalam katagori extra ordinary crimes , dan bahkan sudah dapat dikatakan sebagai kejahatan yang terorganisir , sehingga bukanlah pekerjaan yang mudah untuk membuktikan adanya kejahatan korupsi , sehingga apabila bertitik tolak pada materi Tindak Pidana Korupsi , maka Tindak Pidana Korupsi itu adalah sebagai bagian dari Hukum Pidana Khusus ( Ius Speciale , Ius Singulare / Bijzonder Strafrecht ) dan mendasarkan pada pandangan yang demikian maka pihak Kejaksaanlah yang mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi . Akan tetapi KUHAP sebagai hukum acara yang dijadikan sebagai landasan hukum dalam proses beracara , menentukan bahwa penyidik itu adalah polisi atau pegawai negeri sipil tetrtentu yang diberi wewenang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat 1 KUHAP. Dualisme dalam penyidikan tindak pidana Korupsi itu terjadi disebabkan karena kurang jelasnya ketentuan pasal 26 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang hanya menentukan bahwa : “ Penyidikan , penuntutan , dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku , kecuali ditentukan lain dalam undang – undang ini “ , dari ketentuan ini tidak terdapat secara eksplisit ketentuan lembaga mana yang bertugas melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi . Asumsi dasar yang menentukan kejaksaan sebagai pihak yang berwenang melakukan penyidikan perkara tindak pidana korupsi didasarkan pada argumentasi sebagai berikut 10 : 1.
2.
bahwa sebagai bagian dari hukum pidana khusus (Ius Speciale , Ius Singulare / Bijzonder Strafrecht ) , maka modus operandi dan aspek pembuktian dari tindak pidana korupsi ditangani secara spesifik sehingga dibutuhkan ketrampilan dan profesionalisme tertentu . apabila bertitik tolak pada ketentuan yuridis , berdasarkan ketentuan Pasal 284 ayat 2 KUHAP yang berbunyi “ dalam waktu dua tahun setelah undang – undang ini diundangkan , maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang – undang ini , dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana disebutkan pada undang – undang tertentu , sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi , akan tetapi kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 beserta penjelasannya, serta ketentuan Pasal
10
Lilik Mulyadi , Tindak Pidana Korupsi Tinjauan khusus terhadap proses penyidikan , penuntutan , peradilan serta upaya hukumnya menurut Undang – Undang Nomor 31 tahun 1999 , Citra Aditya Bakti Bandung 2000 , h. 48-49 Volume 11, No.1 Mei 2011 xlviii
30 ayat 1d Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2004 beserta penjelannya , maka Jaksa adalah sebagai penyidik untuk tindak pidana korupsi . 3. ketentuan pasal 39 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menentukan bahawa : “ Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan , penyidikan , dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama – sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer “. Penegrtian mengkoordinasikan adalah merupakan kewenangan Jaksa Agung sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan . 4. Instruksi Presiden RI Nomor 15 Tahun 1983 dan Keppres RI Nomor 15 Tahun 1991 dimana pada pokoknya ditentukan bahwa dalam pedoman pelaksanaan pengawasan maka Menteri / Pinpinan Lembaga Pemerintah Non Departeman / Pimpinan Instansi lainnya yang bersangkutan setelah menerima laporan maka melakukan pengaduan tindak pidana dengan menyerahkan kepada Kepala Kejaksaan Republik Indonesia dalam hal terdapat indikasi tindak pidana khusus seperti korupsi dan lain- lain . 5. Bertitik tolak pada Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor : R-124/F/Fpk.1/7/1995 tanggal 24 Juli 1995 dalam angka 2 berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1604/K/Pid/1990 tanggal 10 Nopember 1994 dalam perkara Tindak Pidana Korupsi atas nama Nusrul Yasid bin Abu Yasid yang telah ditolak Majelis Hakim dengan alasan bahwa berkas perkara tidak sah , oleh karena perkaranya disidik Penyidik Umum / Polri dan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 55 Tahun 1991 tetntang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI di mana pada Bab II Bagian Pertama Pasal 4 angka 6 adanya Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus yang mana pada pasal 22 angka 3 Keppres 55 Tahun 1991 membawahi Direktorat Tindak Pidana Korupsi dan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor KEP 035/J.A/3/1992 tanggal 22 Maret 1992 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI pada Bab XVIII bagian pertama pasal 569 tentang Kejaksaan Negeri di mana Pasal 573 angka 6 Susunan Organisasi Kejaksaan Tinggi adalah Asisten Tindak Pidana Khusus yang terdiri dari Seksi Tindak Pidana Korupsi ( Pasal 627 ayat 1 angka 2 ). Sedangkan untuk tingkat Kejaksaan Negeri yang tergolong Tipe A Pasal 692 ayat 1 angka 5 salah satu bagian adalah seksi Tindak Pidana Khusus dan berdasarkan Pasal 708 ayat 1 angka 2 salah satu subseksi Tindak Pidana Korupsi adalah subseksi Tindak Pidana Korupsi dan pada Kejaksaan Negeri Tipe B berdasarkan Pasal 718 ayat 1 angka 5 adalah Seksi Tindak Pidana Khusus , Perdata dan Tata Usaha Negara . Apabila mengkaji ketentuan yang telah disebutkan diatas , maka dapat ditarik suatu pemahaman bahwa khusus Tindak Pidana Khusus ( Korupsi ) , Kejaksaan mempunyai kompetensi untuk melakukan penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi , mengingat Tindak Pidana Korupsi merupakan Tindak Pidana yang tergolong sebagai bagian dari hukum pidana khusus (Ius Speciale , Ius Singulare / Volume 11, No.1 Mei 2011
xlix
Bijzonder Strafrecht ) , maka modus operandi dan aspek pembuktian dari tindak pidana korupsi ditangani secara spesifik sehingga dibutuhkan ketrampilan dan profesionalisme tertentu , selanjutnya apabila Tindak Pidana Korupsi itu pelakunya adalah para pelaksana negara atau aparatur pemerintah.
C. Tugas dan Wewenang KPK Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan ketentuan Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, disebutkan bahwa dalam waktu paling lama 2 ( dua ) tahun sejak undang ini berlaku , dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , yang memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggung jawaban, tugas dan wewenang serta keanggotaannya diatur dengan Undang-undang. Undang-Undang ini dibentuk berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang tersebut di atas. Pada saat sekarang pemberantasan tindak pidana korupsi sudah dilaksanakan oleh berbagai institusi seperti kejaksaan dan kepolisian dan badan-badan lain yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, oleh karena itu pengaturan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam UndangUndang ini dilakukan secara berhati-hati agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan berbagai instansi tersebut. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang: 1. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; 2. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau 3. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Dengan pengaturan dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi: 1. dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai "counterpartner" yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif; 2. tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan; 3. berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism); 4. berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.
l
Volume 11, No.1 Mei 2011
Selain itu, dalam usaha pemberdayaan Komisi Pemberantasan Korupsi telah didukung oleh ketentuan-ketentuan yang bersifat strategis antara lain: 1. ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memuat perluasan alat bukti yang sah serta ketentuan tentang asas pembuktian terbalik; 2. ketentuan tentang wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dapat melakukan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap penyelenggara negara, tanpa ada hambatan prosedur karena statusnya selaku pejabat negara; 3. ketentuan tentang pertanggungjawaban Komisi Pemberantasan Korupsi kepada publik dan menyampaikan laporan secara terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan; 4. ketentuan mengenai pemberatan ancaman pidana pokok terhadap Anggota Komisi atau pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan korupsi; dan 5. ketentuan mengenai pemberhentian tanpa syarat kepada Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan tindak pidana korupsi. Dalam proses pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak kalah pentingnya adalah sumber daya manusia yang akan memimpin dan mengelola Komisi Pemberantasan Korupsi. Undang-Undang ini memberikan dasar hukum yang kuat sehingga sumber daya manusia tersebut dapat konsisten dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri dari 5 (lima) orang yang merangkap sebagai Anggota yang semuanya adalah pejabat negara. Pimpinan tersebut terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Berdasarkan ketentuan ini maka persyaratan untuk diangkat menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi, selain dilakukan secara transparan dan melibatkan keikutsertaan masyarakat, juga harus memenuhi persyaratan administratif dan harus melalui uji kelayakan (fit and proper test) yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang kemudian dikukuhkan oleh Presiden Republik Indonesia.Di samping itu untuk menjamin perkuatan pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat mengangkat Tim Penasihat yang berasal dari berbagai bidang kepakaran yang bertugas memberikan nasihat atau Volume 11, No.1 Mei 2011
li
pertimbangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Sedang mengenai aspek kelembagaan, ketentuan mengenai struktur organisasi Komisi Pemberantasan Korupsi diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan masyarakat luas tetap dapat ikut berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-langkah yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, serta pelaksanaan program kampanye publik dapat dilakukan secara sistematis dan konsisten, sehingga kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dapat diawasi oleh masyarakat luas. Untuk mendukung kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi yang sangat luas dan berat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, maka Komisi Pemberantasan Korupsi perlu didukung oleh sumber keuangan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara, dan jika dipandang perlu sesuai dengan kebutuhan masyarakat, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi. Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, Komisi Pemberantasan Korupsi di samping mengikuti hukum acara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga dalam Undang-Undang ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis). Di samping itu, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, maka dalam Undang-Undang ini diatur mengenai pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi di lingkungan peradilan umum, yang untuk pertama kali dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan tindak pidana korupsi tersebut bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh majelis hakim terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Negeri dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Demikian pula dalam proses pemeriksaan baik di tingkat banding maupun tingkat kasasi juga dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Untuk menjamin kepastian hukum, pada tiap tingkat pemeriksaan ditentukan jangka waktu secara tegas. Untuk mewujudkan asas proporsionalitas, dalam Undang-Undang ini diatur pula mengenai ketentuan rehabilitasi dan kompensasi dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan tugas dan wewenangnya bertentangan dengan Undang-Undang ini atau hukum yang berlaku. Dari gambaran yang telah disebutkan diatas , maka dalam rangka pemberantasan dan penegakan hukum terhadap Tindak Pidana Korupsi , KPK berdasrkan pada ketentuan pasal 5 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 , dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada: a. kepastian hukum; b. keterbukaan;
lii
Volume 11, No.1 Mei 2011
c. akuntabilitas; d. kepentingan umum; dan e. proporsionalitas. “Kepastian hukum” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi; “Keterbukaan” adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya; “Akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan Komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; “Kepentingan umum” adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif; “Proporsionalitas” adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketentuan diatas memberikan makna bahwa KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus berdasarkan pada hukum , kepatutan dan rasa keadilan , serta dilaksanakan secara terbuka , jujur , dan tidak diskriminatif , bersifat aspiratif , akomodatif serta selektif dengan mengutamakan kesejahteraan umum dan keseimbangan antara tugas , wewenang , tanggung jawab dan kewajiban . Sedangkan tugas dari Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 yaitu : a.
koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Dari tugas yang dibebankan , maka KPK mempunyai wewenang seperti yang diuraikan dalam ketentuan pasal 7 UU Nomor 30 Tahun 2002 yang meliputi antara lain : a.
mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
Volume 11, No.1 Mei 2011
liii
b.
menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait; d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi. Sedangkan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh KPK sebagaimana disebutkan dalam pasal 15 UU Nomor 30 Tahun 2002 yang berupa : a.
memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi; b. memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya; c. menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan; d. menegakkan sumpah jabatan; e. menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya berdasarkan asas-asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. Dalam melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan Tindak Pidana Korupsi , KPK tetap menggunakan KUHAP sebagai dasar untuk melaksanakan tugas tersebut , akan tetapi dalam pelaksanaan tugasnya sebagai penyelidik maupun sebagai penyidik , ketentuan pada pasal 7 ayat 2 KUHAP tidak berlaku pada penyelidik atau penyidik KPK , yaitu suatu ketentuan yang menentukan bahwa penyidik dalam melaksanakan tugasnya sesuai undang – undang yang menjadi dasar hukumnya masing – masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat 1 huruf a (dalam hal ini adalah penyidik Polri ) . Dari ketentuan ini sudah jelas bahwa penyidik KPK dalam menjalankan tugas penyidikan dikesampingkan dari ketentuan yang ada dalam KUHAP. Disamping ketentuan yang telah diuraikan diatas , KPK juga dapat berkedudukan sebagai super body dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu berupa suatu kewenangan untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada , dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan , penyidikan , dan penuntutan yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan atau kejaksaan . Sebagai super body dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , maka KPK sesuai ketentuan pasal 50 UU Nomor 30Tahun 2002 yang berbunyi : (1) Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib
liv
Volume 11, No.1 Mei 2011
memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan. (2) Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. (3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. (4) Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik suatu pemahaman bahwa Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( KPK ) , mempunyai wewenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan bahkan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi yang terjadi di Indonesia , serta tugas dan wewenang yang dimilikinya sangat luas jika dibandingkan dengan tugas dan wewenang yang dimiliki oleh Kepolisian maupun Jaksa , hal ini dapat kita lihat dari kedudukan sebagai super body dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi .
KESIMPULAN Berdasarkan dari pembahasan seperti yang telah diuraikan diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan dengan perumusan sebagai berikut : a
Kepolisian Republik Indonesia , sebagai aparat penegak hukum yang merupakan bagian dari Criminal Justice System , menduduki posisi sebagai “ diferensiasi fungsional “ sebagaimana digariskan didalam KUHAP , sehingga Polisi diberikan “ peran “ ( role ) yang berupa “ kekuasaan umum menangani kriminal “ ( general policing authority in criminal matter ) di seluruh wilayah Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam melaksanakan kewenangan tersebut , Polri berperan melakukan kontrol kriminal ( crime control ) dalam bentuk “ investigasi - penangkapan – penahanan – penggeledahan – penyitaan ” . Sebagai Lembaga yang diberikan peran dan kekuasaan dalam penegakan hukum, Polisi harus bebas dari segala macam intervensi dari pihak manapun juga Polisi sebagai Penyidik tunggal berdasarkan KUHAP , dapat melakukan penyidikan untuk semua tindak pidana baik umum maupun khusus. b. Tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) berasaskan pada kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum dan proporsionalitas. Kepastian hukum dalam negara hukum mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi. Demikian juga Keterbukaan yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh Volume 11, No.1 Mei 2011
lv
informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Sedangkan Akuntabilitas menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan Komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. SARAN Berdasarkan uraian dari pembahasan diatas , penulis ingin mengajukan beberapa saran sebagai berikut : a. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) menentukan bahwa Penyidik adalah Polisi tertentu dan Pegawai Negeri sipil tertentu yang diberi tugas atau wewenang berdasarkan undang – undang , maka dalam pelaksanaannya supaya tetap memperhatikan ketentuan dalam KUHAP tersebut , karena Lembaga Kepolisian ada dan tersebar sampai tingkat sektor , sehingga dengan demikian apabila penyelidikan dan penyidikan untuk semua macam tindak pidana diserahkan sepenuhnya kepada Kepolisian maka proses penyelesaian perkara pidana dapat cepat dilakukan sesuai dengan asas Spedy trial ( Contante Justicie ) , apalagi pada dewasa ini Kepolisian dari aspek Sumber daya manusia , sudah banyak memiliki anggota kepolisian yang berlatar pendidikan hukum ( Sarjana Hukum ) b. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mempunyai wewenang lebih luas dari dua lembaga penegak hukum lainnya ( Kepolisian dan Kejaksaan ) dalam penanganan tindak pidana Korupsi hendaknya hanya menangani perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para penyelenggara negara yang sulit tersentuh (untouchable ) oleh hukum , hal ini mengingat bahwa KPK langsung berada dibawah perintah Presiden.
lvi
Volume 11, No.1 Mei 2011
KEWENANGAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM PENANGANAN SENGKETA PERTANAHAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PTUN Oleh: H. Hofney Setyo Poernomo, S.H.,M.Hum. 3 ABSTRAK Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara, dan Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, sepanjang menyangkut Pembatalan Pemberian Hak Atas Tanah yang dilaksanakan sendiri oleh Badan Pertanahan Nasional. Dalam kaitannya itu dengan implementasi wewenang BPN membatalkan pemberian Hak Atas Tanah berbenturan dengan wewenang mengadili Peradilan Tata Usaha Negara. Kata Kunci: Kewenangan Pengadilan – Sengketa Pertanahan – Undang-Undang PTUN.
LATAR BELAKANG Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dipergunakan dan dimanfaatkan menurut hak serta kewajiban yang berimbang antara lain untuk memenuhi baik bagi kebutuhan diri pribadi maupun kebutuhan masyarakat. Realisasi pemenuhan kebutuhan akan tanah tersebut menurut hukum ditata dalam rangka hubungan yang serasi dan seimbang antara hak dan kewajiban agar terjamin pergaulan hidup yang tertib, aman dan damai serta kehidupan yang berkeadilan sosial. Eratnya hubungan antara manusia dengan tanah dilihat dari hubungan antar pribadi, pribadi dengan masyarakat dan perorangan dengan badan hukum serta antar bangsa secara keseluruhan dan pribadi dengan bangsa secara keseluruhan, tercermin dalam fungsi hak milik atas tanah ditentukan oleh tata susunan masyarakatnya. Didalam negara yang tata susunan masyarakatnya berdasarkan faham individualistis, maka hak milik atas tanah bersifat mutlak, artinya bahwa hak milik yang menurut terminologi hukum Belanda disebut eigendom, para eigenaarnya, pemilik, *Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira. Volume 11, No.1 Mei 2011
lvii
bebas menggunakan atau tidak menggunakan tanahnya sepanjang tidak dilarang oleh undang-undang. Sebaliknya di dalam negara yang tata susunan masyarakatnya menganut faham kolektivisme, maka hak milik atas tanah mempunyai fungsi sosial, artinya penggunaan hak atas tanah selalu harus memperhatikan kepentingan sosial atau kemasyarakatan. Dalam Second Treatises Of Government, John Locke mengatakan bahwa : Sesungguhnya Tuhan telah menciptakan bumi u\ini untuk diberikan kepada sesama manusia, agar bumi ini dikerjakan dan memberikan kesejahteraan bagi setiap orang. Tiada seorangpun mempunyai hak istimewa baik atas hasil alam maupun binatang yang diciptakan diatas bumi ini. Segalanya merupakan warisan kita bersama. Untuk dapat mencuptakan kesejahteraan tersebut, maka harus ada cara agar benda-benda tersebut dapat dimilki. Dengan kata lain, individu dapat memetik kegunaan secara konkret apabila dia mempunyai hak milik atas benda itu dan pekerjaannya sendiri.1 Asas Ketuhanan tersebut juga ditegaskan dalam pasal 1 ayat 2 UUPA yang berbunyi : “seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang akngkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”, disini dikedepankan bahwa kekayaan Indonesia merupakan rahmat dan karunia Tuhan, sedangkan dalam pasal 5 UUPA memberikan ketentuan bahwa hukum agraria dan peraturan perundang-undangan lainnya dengan “mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”. Hal yang demikian ini menunjukkan bahwa hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air serta ruang angkasa adalah merupakan hubungan yang bersifat pribadi sekali dan bahkan dalam pasal 1 ayat 3 menyebutkan bahwa hubungan itu merupakan suatu hubungan yang abadi. Sudargo Gautama menafsirkan hubungan sebagai abadi ini menunjukkan bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu masih ada pula, maka hubungan ini tidak dapat diputuskan, meskipun dalam keadaan yang bagaimanapun juga. 2 Berbeda halnya dengan negara yang menganut faham sekulerisme yang memisahkan antara kebendaan dengan agama, sebagaimana disebutkan Emeliana Krisnawati bahwa negara yang menganut faham sekulerisme seperti Belanda dalam menyusun peraturan perundang-undangan selalu memisahkan antara urusan agama dengan susunan negara dan meskipun ada dogma agama yang digunakan, namun
1
Achmad Sodiki, Konflik Pemilikan Hak Atas Tanah Perkebunan, Prisma, 1996, h. 4-5. 2 Sudargo gautama, Tafsiran Undang-undang Pokok Agraria (1960) dan Peraturan-peraturan pelaksanaannya (1996), Cet. Ke- X, PT. Citra Aditya Bakti, bandung, 1997, h. 51.
lviiiVolume 11, No.1 Mei 2011
penerumaannya sedemikian rupa sehingga menjadi hukum positif tanpa menyertakan agama lagi.3 Diberikannya temapt untuk mengkedepankan asas Ketuhanan dan tempat yang layak bagi hukum agama ini merupakan bukti bahwa masalah tanah sangat menentukan sekali bagi hidup dan penghidupan manusia, sedangkan secara filosofis Moh. Koesnoe memberikan pemahaman tentang makna tanah dengan adanya mitos4 yang dimulai dari adanya dua fenomena. Pertama ialah langit dan yang kedua ialah bumi atau tanah, dan menurutnya bahwa : Langit adalah merupakan bapak alam semesta dan bumi adalah merupakan ibunya dan perkawinan langit dengan bumi, sama artinya dengan perkawinan bapak dengan ibunya. Dari perkawian itu menghasilkan anak-anak. Siapa yang termasuk anak-anak ialah segala apa yang ada diatas bumi antara lain bendabenda mati, tumbuh-tumbuhan, segala macam dan jenis binatang yang diantaranya ialah yang berjenis manusia. 5 Dalam mitos itu dapat dijumpai adanya pandangan tentang bagaimana hubungan manusia dengan tanah, lingkungannya dimana dia hidup dan menjalani kehidupannya serta bagaimana hubungan manusia dengan segala apa yang ada di dalam lingkungan dimana manusi hidup dan menjalani kehidupannya, selanjutnya Koesnoe menerangkan tentang mitos tersebut bahwa : Mitos pada lahirnya merupakan cerita dan menurut ukuran pikiran biasa hal tersebut adalah hanya cerita khayal yang tidak masuk akal. Tetapi bila mitos itu diperhatikan dengan hati-hati, khayalan yang aneh isinya itu adalah hasil kemampuan berfikir yang sangat abstrak terhadap totalitas yang dihadapinya secara mendalam. Dalam kerangka hal termaksud, mitos yang dikemukakandan dihayati itu mengandung arti dan nilai kemanusiaan yang dalam. Atas dasar dan berpedoman pada nilai-nilai yang tersimpan didalam mitos itu, rakyat berusaha untuk melaksanakan didalam kehidupan sehari-hari sebagai idealnya.6 Pandangan masyarakat yang digambarkan dalam mitos dan filsafat tersebut dapat difahami bagaimana masyarakat memberikan makna tanah dimana mereka dilahirkan, dibesarkan dan menjalani kehidupannya. Hal yang demikian ini 3
Emelia Krisnawati, Problematik Asas Monogami Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya, 2000, h. 56. 4 Mitos dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Pusat bahasa Departemen pendidikan Nasional, balai Pustaka, jakarta, 2001, h. 479. 5 Moh. Koesno, Prinsip-perinsip Hukum Adat Tentang hak Atas tanah, Varia Peradilan, Majalah Hukum, tahun XIII, No. 150 Maret 1998, h. 89. 6 Ibid., h. 88. Volume 11, No.1 Mei 2011
lix
menunjukkan tentang sikap batin dan kemesraan hubungan antara masyarakat dengan tanah lingkungannya dimana mereka tinggal dan hidup diatasnya, sekaligus menunjukkan bahwa masalah tanah bersinggungan erat dengan faktor adat. Menurut Imam Sudiyat, bagi kehidupan dan penghidupan, tanah merupakan conditio sine qua nom, seperti halnya udara yang kita hidup7 dan dalam kaitannya dengan faktor adat tersebut, Boedi Harsono menyatakan bahwa : “ hukum adat dipakai sebagai dasar hukum tanah nasional adalah sesuai dengan kepribadian bangsa kita, karena hukum adat adalah hukum asli kita …. dst.”, oleh karena itu dalam penjelasan umum angka III ayat 1 UUPA dinyatakan secara tegas hubungan antara tanah dengan hukum adat, hal ini dapat dicermati pada kalimat “ ….. hukum agraria baru tersebut akan didasrkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat …. dst”; selanjutnya Pasal 5 UUPA menyebutkan “hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat …. dst”; penjelasan pasal 5 menyebutkan “ …. Hukum adat dijadikan dasar hukum Agraria yang baru”; penjelsan Pasal 16 menyebutkan “ ….. Hukum Pertanahan yang Nasional didasarkan atas Hukum Adat ….. dst.” Dan dalam Pasal 56 menyebutkan “selama Undang-undang mengenai hak milik ….. belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat ….. dst.”, sedangkan kalimat yang tidak menyebut hukum adat secara langsung namun apa yang disebut”peraturan yang tidak tertulis” mencakup juga hukum adat dapat dilihat pada Pasal 58, hal ini dapat dilihat juga pada pendapat Kusumadi Pudjosewojo yang menggunakan sebutan hukum adat sebagai “keseluruhan aturan hukum tidak tertulis”. 8 Menurut Ali Sofwan Husein, tanah merupakan investasi yang sangat menguntungkan, karena nilainya tidak akan pernah turun, demikian juga pemiliknya tidak perlu susah-susah memperbaiki mutu tanahnya, karena faktor alamiah, yaitu tekanan penduduk yang selalu bertambah dan kebutuhan manusia yang terus meningkat. Apalagi jika ada campur tangan manusia untuk mengupayakan naiknya nilai tanah tambah tanah, maka tanah akan menjadi basis dari tambang kekayaan siapa saja yang mempunyai akses terhadapnya. 9 Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis dapat mengemukakan rumusan masalah yang bertitik tolak dari judul dan latar belakang masalah adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah konsekuensi yuridis pembatalan pemberian hak atas tanah dimuka Peradilan Tata Usaha Negara dan Badan Pertanahan Nasional ? 2. Bagaimanakah Menyerasikan antinomi norma hukum pembatalan pemberian hak atas tanah ? 7
Iman Sidyat, Beberapa Masalah Penguasaan tanah di Berbagai Masyaraka Sedang Berkembang, Liberty, Yogyakarta, 1982, h. 7.t 8 Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Aksara Baru, jakarta, 1975, h. 79. 9 Ali Sofwan Husein, Ekonomi Politik Penguasaan Tanah, Pustaka Sinar harapan, Jakarta, 1995, h. 8.
lx
Volume 11, No.1 Mei 2011
KONSEKUENSI YURIDIS PEMBATALAN PEMBERIAN HAK ATAS TANAH DI MUKA PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL A. Wewenang Mengadili Peradilan Tata Usaha Negara dan Badan Pertanahan Nasional Dalam Penanganan Sengketa Pertanahan Dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 secara tegas dosebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum10 dan dalam sejarah ketatanegaraan R.I. konsep negara hukum ini dalam penjelasan UUD 1945 disebut dengan istilah Indonesia negara yang berdasar atas hukum “rechtsstaat”11 yang dilawankan dengan “machtsstaat” yang artinya negara tidak berdasarkan kekuasaan belaka. Negara hukum menghendaki segala tindakan semua orang maupun badan hukum wajib tunduk pada hukum, Martiman Prodjohamidjojo memberikan makna negara hukum itu berarti semua orang menjunjung tinggi hukum dan tidak ada tempat bagi orang yang mempertahankan haknya dengan kekuatan sendiri.12 Demikian juga Pemerintah tidak ada kecualinya wajib tunduk pada hukum, baik berdasarkan hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Arief Budiman menulis bahwa keabsahan negara memerintah karena negara merupakan lembaga yang netral, tidak berpihak, berdiri di atas semua golongan masyarakat dan mengabdi pada kepentingan umum. 13 Negara hukum pada prinsipnya terutama bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyatnya, oleh karena itu menurut Philipus M.Hadjon 14 perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak pemerintahan dilandasi oleh dua pihak, yakni , prinsip hak asasi manusia dan prinsip negara hukum. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia mendapat tempat yang paling utama, dan dapat dikatakan sebagai tujuan negara hukum. Berbeda dalam negara totaliter tidak ada tempat bagi hak-hak asasi manusia. Negara hukum yang disebutkan dalam UUD 1945 merupakan negara hukum dalam arti formal, oleh karenanya menurut Rochmat Soemitro harus diisi agar menjadi negara hukum dalam arti materiel15 dan adanya kekuasaan kehakiman yang merupakan kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan 10
Perubahan ketiga UUD 1945 yang diputuskan dalam rapat Paripurna MPR ke-7 dalam sidang tahunan tanggal 9 Nopember 2001. 11 Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, P.T. Bina Ilmu, Cetakan Pertama, Surabaya, 1987, h. 72-82. 12 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Pembuktian Dalam Sengketa Tata Usaha Negara, P.T. Pradnya Paramita, Cetakan Pertama, Jakarta, 1997, h. 1. 13 Arief Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, h. 1. 14 Op. Cit., h. 71. 15 Rochmat Soemitro, Peradilan tata Usaha negara, P.T. Eresco, Bandung, 1987, h. 1. Volume 11, No.1 Mei 2011
lxi
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia, hal ini menurut Soemitro merupakan langkah untuk menyempurnakan bobot negara hukum dan guna menjadikan negara hukum formal menjadi negara hukum materiel16. Kekuasaan kehakiman menurut Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum. Lingkungan Peradilan Agama, Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sebagai konsekuensi sebuah negara hukum, maka menurut pasal 27 ayat 1 UUD 1945 segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualinya, sehingga setiap orang menurut Pasal 28 D ayat 1 oerubahan kedua UUD 1945 berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Demikian juga pengakuan, jaminan dan perlindungan hukum terhadap warga masyarakat atas perbuatan yang dilakukan oleh pemerintah, maka ia dapat melakukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan melalui PTUN, oleh karenanya menurut Staablaad peradilan Tata Usaha Negara merupakan satu unsur mutlak negara hukum,17 sedangkan menurut Soerjono upaya hukum itu dapat dilakukan melalui tiga badan, yaitu sebagai berikut : 1). Badan Tata Usaha Negara, dengan melalui upaya administrasi; 2). Peradilan Tata Usaha negara, dan 3). Peradilan Umum, melalui Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau KUHPerdata.18 Memahami konsep negara hukum yang diamanatkan UUD 1945 tersebut menunjukkan bahwa keberadaan hukum merupakan suatu conditio sine quanom atau syarat mutlak untuk menganut semua tindakan, baik yang dilakukan oleh warga masyarakat maupun oleh Pemerintah. Demikian juga tindakan Pemerintah dalam mengelola negara dilarang untuk bertindak semena-mena, hal ini menurut Hobhouse yang mendukung rule of law atau tertib hukum mengatakan : syarat utama untuk pemerintah yang bebas yaitu pemerintahan tidak atas dasar kesewenang-wenangan kehendak penguasa, namun atas dasar rules of law yang mapan dan penguasa juga menundukkan diri. Kekuasaan dan wewenang merupakan dua kalimat yang tidak dapat dipisahkan. Dalam kaitannya itu Mochtar Kusumaatmaja mengungkapkan bahwa 16
Ibid., Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan Dan Peradilan Administrasi Negara, Penerbit Alumni, Cetakan Ketiga, Bandung, 1981, h. 85. 18 Soerjono, Perbuatan Melawan Hukum Yang Dilakukan Oleh Penguasa UUD dan Masalah ganti Rugi, dalam Himpunan Karangan di Bidang Hukum Tata Usaha Negara, Jakarta, 1993, h. 41. 17
lxii Volume 11, No.1 Mei 2011
kekuasaan sering bersumber pada wewenang formal atau formal authority yang memberikan wewenang atau kekuasaan kepada seseorang atau suatu pihak dalam suatu bidang tertentu, oleh karenanya dapat dikatakan kekuasaan itu bersumber pada hukum, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang pemberian wewenang.19 Demikian pula wewenang PTUN untuk mengadili bersumber dari UU No. 9 Tahun 2004, tentang Peradilan Tata Usaha Negara atau ditulis UU PTUN dan undang-undang ini dalam Pasal 144 dapat disebut juga Undang-undang Peradilan Administrasi Negara, namun demikian istilah Peradilan Administrasi Negara dikritisi oleh Sjachran Basah. Ia menulis, predikat negara menjadi berlebihan dan tidak perlu, sebab sesungguhnya hanyalah negara saja yang berhak membentuk peradilan yang ditetapkan dengan undang-undang.20 Pandangan itu sesuai dengan dengan Pasal 3 ayat 1 Undang-undang No. 35 tahun 1999, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa semua peradilan di seluruh wilayah Republik Indonesia yaitu Peradilan Negara dan ditetapkan dengan Undang-undang. Disamping itu menurut Philipus, arti istilah administrasi dalam hukum administrasi yaitu pemerintahan, oleh karena itu tidaklah ekonomis apabila sebutan peradilan administrasi ditambah dengan atribut negara, karena tidak ada pemerintahan yang tidak berkaitan dengan negara. 21 Wewenang PTUN memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara seperti disebutkan diats dan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara, baik di Pusat maupun di Daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan perundang-undangan yang berlaku. Keputusan TUN yang menurut pengertian Pasal 1 ayat 3 yaitu suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau pejabat yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final yang dapat merugikan orang atau badan hukum perdata. Tindakan hukum tata usaha negara menurut Philipus M.Hadjon tidaklah sama maknanya dengan tindakan pejabat atau tindakan badan tata usaha negara. Tidak semua tindakan pejabat merupakan tindakan hukum tata usaha negara.22 Indroharto menilai bahwa yang dapat dirugikan oleh kepusan TUN sebenarnya dapat digolongkan dalam tiga kelompok, yaitu : Kelompok Pertama,
19
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, P.T. Alumni Edisi Pertama, Cetakan ke-1, Bandung, 2002, h. 5. 20 Sjachran Basah, Eksistensi Dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi Di Indonesia, Penerbit Alumni, Cetakan ke-3, Bandung, 1997, 35. 21 Philipus M.Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, Pidato disampaikan pada enerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 10 Oktober 1994, h. 5. 22 Philipus M.Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah mada University Press, Cetakan ketujuh, Yogyakarta, 2001, h. 319. Volume 11, No.1 Mei 2011
lxiii
Orang-orang atau badan hukum perdata sebagai alamat yang dituju oleh suatu keputusan TUN. Dalam hal ini orang atau badan hukum perdata tersebut secara langsung terkena kepentingannya, oleh karena itu mereka berhak untuk mengajukan gugatan terhadap badan atau Pejabat TUN; KelompokKkedua, Orang-orang atau badan hukum perdata yang dapat disebut sebagai pihak ketiga yang berkepentingan yang meliputi : a. individu-individu yang merupakan pihak ketiga yang berkepentingan dan kelompok ini sangat luas variasinya. Mereka itu merasa terkena kepentingannya secara tidak langsung dengan adanya keputusan TUN yang sebenarnya dialamatkan kepada orang lain. Kepentingan mereka ini ada yang berlawanan dengan kepentingan dari si alamat yang dituju oleh keputusan TUN yang bersangkutan; b. kepentingan pihak ketiga bersifat pararel dengan kepentingan dari sialamat yang dituju oleh keputusan TUN yang bersangkutan; dan c. organisasi-organisasi kemasyarakatan sebagai pihak ketiga dapat merasa berkepentingan, karena keluarnya suatu keputusan TUN itu dianggapnya bertentangan dengan tujuan-tujuan yang mereka perjuangkan sesuai dengan anggaran dasarnya. Kelompok Ketiga, Badan atau Pejabat TUN lain yang terkena keputusan TUN23. Dalam proses di PTUN pihak yang berhak mengajukan gugatan sesuai Pasal 53 ayat 1 yaitu orang atau badan hukum perdata yang disebut sebagai tergugat, oleh karena itu kelompok ketiga yang disebutkan Indroharto tidak dapat menjadi pihak penggugat, mengingat UU PTUN tidak memberikan hak kepadanya untuk mengajukan gugatan. Berbeda dengan pihak-pihak dalam peradilan umum, kedudukan sebagai penggugat yaitu orang, badan hukum perdata maupun badan hukum publik, sedangkan yang dapat menjadi tergugat yaitu orang, badan hukum perdata maupun badan hukum publik. Keputusan Badan atau Pejabat TUN yang bagaimana menjadi wewenang PTUN untuk memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan sengketanya, yaitu terhadap : 1. keputusan TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata, Pasal 1 angka 3; 2. keputusan TUN tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Pasal 53 ayat 2 huruf a. Ada tiga hal pengertian :bertentangan
23
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan tata Usaha Negara, Buku II Beracara Di Pengadilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, h.35-36.
lxivVolume 11, No.1 Mei 2011
dengan peraturabn perundang-undangan yang berlaku” apabila keputusan yang bersangkutan itu : a. bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang bersifat prosedural/formal; b. bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang bersifat materiel/substansial; c. dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang tidak berwenang, penjelasan Pasal 53 ayat 2 huruf b . Menurut Philipus M.Hadjon tidak berwenangnya itu bila dikaitkan dengan ruang lingkup komptensi suatu jabatan, kemungkinan ada tiga macam bentuk tidak berwenangnya atau onbevoegheid, yaitu onbevoegheidratione materiae atau menyangkut kompetensi absolut, onbevoegheidratione loci ataumenyangkut kompetensi relatif dan onbevoegheidratione temporis yaitu tidak berwenang dari segi waktu.24 3. Badan atau Pejabat TUN yang pada waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut; 4. Badan tau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan telah mempertimbangkan semua kepentingan yang bersangkutan dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan keputusan tersebut, Pasal 53 ayat 2 huruf a, b dan c. Rumusan wewenang PTUN untuk mengadili sengketa TUN tersebut di atas oleh Philipus M.Hadjon,25 dipertegas sebagai berikut : a. Keputusan TUN tersebut bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pertentangan itu menyangkut prosedur, substansi dan wewenang keputusan; b. Keputusan TUN tersebut mengandung unsur penyalahgunaan wewenang; dan c. Keputusan TUN tersebut mengandung unsur sewenang-wenang. Mengkaji beberapa wewenang hakim PTUN dalam memutus sengketa dengan menggunakan Asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), seharusnya hakim berpedoman kembali kepada perintah Mahkamah Agung dimaksud yang secara tegas menyebutkan bahwa penerapan AUPB pada “akhirnya harus mengacu pada Pasal 53 ayat 2 UU. PTUN”, Kata harus merupakan kewajiban hukum yang tidak boleh disimpangi oleh hakim PTUN. Demikian juga dalam hal keputusan TUN yang bagaimana yang menjadi wewenang PTUN untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa pembatalan pemberian hak atas tanah. Keputusan BPN yang menerbitkan pemberian hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah dapat dibedakan
24 25
Philipus M.Hadjon, Pengantar Hukum …… Op. Cit, h. 326-327. Philipus M.Hadjon, Fungsi Normatif, ….. Op. Cit, h. 10.
Volume 11, No.1 Mei 2011
lxv
hak atas tanah yang timbul karena penetapan dan hak atas tanah yang timbul dari hukum adat. Sertifikat hak atas tanah yang bersal dari hukum adanya penetapan, yaitu pemberian hak atas tanah-tanah negara berupa hak milik, hak gunan usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan hak pengelolaan, termasuk tanah negara yang menjadi obyek landreform dan hak-hak yang diberikan menurut pasal 66 Permeneg Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997, tentang ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah. Penetapan yang kemudian menerbitkan sertifikat hak atas tanayh ini Philipus M. Hadjon disebut dengan keputusan Tata Usaha Negara konstitutif, sedangkan yang berasal dari hukum adat disebut sebagai keputusan tata usaha negara deklaratif 26. Indroharto mengartikan konstitutif yaitu keputusan tata usaha negara yang melahirkan atau menghapuskan suatu hubungan hukum dan deklarator yaitu untuk menetapkan mengikatnya suatu hubungan hukum.27 Terhadap keputusan BPN yang bersifat konstitutif bila terjadi sengketa yang wewenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan yaitu PTUN. Sedangkan yang bersifat deklaratif menjadi wewenang peradilan umum. Peradilan umum pada hakekatnya menurut Bernadus Sukismo berwenang menampung dan menyelesaikan segala persengketaan hukum, baik yang nyata-nyata merupakan kewenangannnya maupun sengketa-sengketa hukum lainnya yang bukan merupakan kompetensi lingkungan peradilan lainnya.28 Berbeda dengan wewenang PTUN, BPN juga mempunyai wewenang untuk menyelesaikan sengketa hukum di bidang pertanahan dengan cara membatalkan hakhak atas tanah yang meliputi pembatalan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak pengelolaan, hak penguasaan dan ijin membuka tanah yang tanahnya berasal dari tanah negara yang berakibat batalnya sertifikat. Landasan hukum pembatalan hak-hak atas tanah tersebut semula diatur oleh Pasal 12 Permendagri No. 6 Tahun 1972, tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah yang selanjutnya setelah dibentuknya lembaga Pemerintah non departemen dengan nama BPN, pembatalan hak-hak atas tanah itu diatur dalam pasal 16 huruf c Kepres No. 26 Tahun 1988, tentang BPN.Wewenang pembatalan hak atas tanah yang diatur oleh Kepres tersebut kemudian dijabarkan secara lebih specipik oleh Permeneg Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1999, tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara dan Permeneg Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999, tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan. 26
Philipus M. Hadjon, Masalah Pertanahan Dalam Peradilan Tata Usaha Negara, Yiridhika No. 4 Tahun VII, Juli-Agustus 1993, h. 3. 27 Indroharto, Usaha Memahami, ….Op. Cit, h. 181. 28 Bernadus Sukismo, Peradilan Pajak Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945, Disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, 2001, h. 427.
lxviVolume 11, No.1 Mei 2011
Peraturan pelaksanaan pembatalan pemberian hak atas tanah tersebut memberikan landasan hukum bagi BPN untuk mengatur tata cara pembatalan hak yang selama ini belum pernah ada ketentuan yang mengaturnya, kecuali pembatalannya dalam bentuk gugatan melalui PTUN dan sebelum ada lembaga PTUN, gugatan terhadap badan atau pejabat PTUN dilakukan melalui peradilan umum. Gugatan melalui peradilan umum ini dapat dilihat pada yurisprudensi Mahkamah Agung No. 421 K/Sip/1969 tertanggal 29 Oktober 1969 yang dalam pertimbangannya menyatakan : “sebelum ada undang-undang tentang PTUN, maka Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus gugatan-gutan terhadap Pemerintah Indonesia”.29 B. Penyelesaian Sengketa Pembatalan Pemberian Hak Atas Tanah Dimuka Pengadilan Tata Usaha Negara dan Di Badan Pertanahan Nasional Pengajuan gugatan dimuka PTUN dibatasi oleh tenggang waktu dan pasal 55 UU PTUN memberikan batas waktu sembilan puluh hari yang dihitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan PTUN. Hal ini berarti bila gugatan diajukan setelah lewat dari sembilan puluh hari, maka pengadilan tidak akan menerima gugatan tersebut. Rasionya menurut Wicipto Setiadi untuk menjaga agar kekuatan hukum dari keputusan TUN yang digugat itu tidak terlalu lama dalam keadaan yang tidak pasti. 30 Dalam hal tenggang waktu sembilan puluh hari belum dilewati, maka gugatan dapat dimajukan dan orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh keputusan pemberian hak atas tanah disebut sebagai : Penggugat, sedangkan Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten 31yang menerbitkan keputusan pembatalan pemberian hak atas tanah disebut sebagai : Tergugat. Proses penanganan sengketa sampai pelaksanaan putusan dimuka PTUN dirinci sebagai berikut : 1. Rapat Pemusyawaratan Proses rapat permusyawaratan ini merupakan kewajiban ketua pengadilan untuk memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbanganpertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu tidak diterima atau tidak berdasar sebelum pokok perkaranya diperiksa, Pasal 62 ayat 1. Proses ini oleh Indroharto disebut prosedur dismissal yang berarti ketua pengadilan telah memutus perkara dengan acara yang sangat singkat atau acara yang sangat sederhana32 dan A. Sudjadi menyebutkan rapat permusyawaratan itu merupakan suatu prosedur 29
Yurisprudensi Mahkamah Agung, RI., Penerbit Mahkamah Agung R.I., 1970 h. 441-452. 30 Wicipto Setiadi, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan, P.T. Raja Grafindo Persada, Ed. I, Cetakan kedua, jakarta, 1995, h. 173. 31 Kepala Kantor berwenang menerbitkan keputusan pemberian hak atas tanah sesuai Permeneg Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Hak Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan hak Pengelolaan. 32 Indiharto, Usaha Memahami ….. Op., Cit., h. 86. Volume 11, No.1 Mei 2011
lxvii
2.
3.
4.
penyelesaian perkara yang disederhanakan atau vereenvoudigde behandeling atau dismissal procedure33 , sebaliknya bila ketua berpendapat bahwa tidak terdapat alasan baginya untuk menyatakan gugatan tersebut tidak diterima atau tidak berdasar, maka gugatan tersebut dapat diperiksa dengan cara biasa. 34 Pemeriksaan Persiapan Proses pemeriksaan persiapan ini wajib dilakukan oleh hakim sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas, Pasal 63 ayat 1 dan pemeriksaan ini menurut Indroharto dilakukan hakim setelah proses rapat permusyawaratan persiapan menurut angka III.I. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1991 yaitu untuk mematangkan perkara. Pemeriksaan Dengan Acara Cepat Proses pemeriksaan dengan acara cepat dapat dilakukan bila terdapat kepentingan Penggugat yang cukup mendesak yang dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya dan bila permohonan pemeriksaan perkara dengan acara cepat ini dikabulkan oleh ketua pengadilan, maka pemeriksaan perkara dan putusannya dengan hakim tunggal tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan, Pasal 98 dan 99 Undang-undang Nomor 9 tahun 2004. Pemeriksaan Dengan Acara Biasa Proses pemeriksaan dengan acara biasa ini dilakukan dengan tiga orang hakim atau majelis hakim sesuai Pasal 68 ayat 1 dan proses pemeriksaan selanjutnya sebagai berikut : a. Setelah Tergugat atau BPN menerima surat gugatan Penggugat, Tergugat dapat menanggapinya dengan memberikan jawaban kepada penggugat, Pasal 74 dan kemudian Penggugat diberi kesempatan untuk memberikan replik, Pasal 75 ayat 1. Selanjutnya Tergugat dapat memberikan duplik kepada Penggugat, Pasal 75 ayat 2. b. Setelah para pihak menyampaikan tanggapan berupa jawaban, replik dan duplik, persidangan dilanjutkan dengan pemeriksaan alat bukti berupa surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan para pihak dan pengetahuan hakim, pasal 100. Kemudian para pihak diberi kesempatan untuk memberikan pendapat akhir berupa kesimpulan, Pasal 97 ayat 1 dan selanjutnya majelis hakim memberikan putusannya, Pasal 97 ayat 6. c. Dalam hal putusan pengadilan mengabulkan gugatan Penggugat berupa pembatalan atau pencabutan keputusan pemberian hak atas tanah, Tergugat dapat mengajukan upaya hukum banding sesuai Pasal 122 sampai Pasal 130 dan dalam hal putusan pengadilan dikuatkan oleh pengadilan Tinggi, maka Tergugat dapat mengajukan upaya hukum kasasi sesuai Pasal 131 dan Pasal 35 ayat 1 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, tentang Mahkamah Agung. 33
A.Sudjadi, Mengenai Peradilan tata Usaha Negara Dalam Negara Hukum Republik Indonesia, Varia Peradilan, Penerbitan VI No. 62, Nopember 1990, h. 102. 34 Indroharto, Usaha memahami ….. Op. Cit., H. 86. Volume 11, No.1 Mei 2011 lxviii
Dalam hal putusan Mahkamah Agung menguatkan putusan pengadilan tinggi, maka putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap. d. Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum telah dapat dilaksanakan sesuai pasal 115. Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yaitu putusan pengadilan tingkat pertama yang sudah tidak dapat dilawan atau dimuntakan pemeriksaan banding, putusan pengadilan tinggi yang tidak dimintakan pemeriksaan kasasi lagi, dan putusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi. Pelaksanaan putusan pengadilan ditentukan sesuai Pasal 116 yang bila dikaitkan dengan kajian karya ilmiah ini dapat dirinci sebagai berikut : 1). Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikirimkan kepada para pihak selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari; 2). Dalam hal empat bulan setelah putusan diterima Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sesuai Pasal 97 ayat 9 huruf a, maka keputusan Tergugat yang disengketakan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap; 3). Dalam hal tiga bulan setelah putusan diterima Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sesuai Pasal 97 ayat 9 huruf b dan c, maka Penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan agar Tergugat diperintahkan untuk melaksanakan putusan; 4). Dalam hal Tergugat tetap tidak melaksanakan putusan, ketua pengadilan mengajukan hal ini kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Propensi sebagai instansi atasan harus sudah memerintahkan tergugat untuk melaksanakan putusan pengadilan. Selanjutnya secara berjenjang ketua pengadilan mengajukan hal ini kepada BPN dan terakhir kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan tergugat melaksanakan putusan tersebut. Mengkaji pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sesuai perintah Pasal 116 tersebut, Paupuls Effendie Lotulung menulis bahwa sesungguhnya ada dua jenis eksekusi yang dianut PTUN, yaitu : a. eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi kewajiban, yaitu kewajiban berupa pencabutan keputusan TUN atau beschikking yang bersangkutan sesuai Pasal 97 ayat 9 huruf a. Terhadap eksekusi jenis ini ditetapkan Pasal 116 ayat 2, yaitu empat bulan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dikirimkan Tergugat tidak melaksanakan, maka keputusan tergugat tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi, dengan demikian tidak diperlukan lagi ada tindakan-tindakan ataupun upaya lain dari pengadilan, misalnya memberi surat peringatan, sebab keputusan TUN tersebut dengan sendirinya akan hilang kekuatannya hukumnya. Cara eksekusi ini disebut eksekusi otomatis; b. eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi kewajiban, yaitu kewajiban berupa pencabutan keputusan TUN atau beschikking yang baru sesuai Pasal 97 Volume 11, No.1 Mei 2011
lxix
ayat 9 huruf b dan c. Terhadap eksekusi jenis ini diterapkan Pasal 116 ayat 3 sampai ayat 6 yaitu ketua pengadilan memberi surat perintah kepada Tergugat dan seterusnya secara berjenjang. Cara eksekusi seperti ini disebut dengan eksekusi hierarkis.35 Lebih lanjut Paulus menulis bahwa pada dasarnya eksekusi di PTUN menekankan pada rasa self respecct dan berdasarkan hukum dari pejabat PTUN untuk melaksanakan dengan sukarela tanpa adanya upaya hukum pemaksaan atau dwang middelen yang langsung dapat dirasakan dan dikenakan oleh pihak pengadilan terhadap pejabat PTUN yang bersangkutan 36. Penerapan eksekusi dengan bersandar pada Pasal 116 dan hanya menunggu kesadaran hukum pejabat PTUN tentunya akan sangat merugikan Penggugat sebagai pencari keadilan, padahal pejabat TUN sebagai pegawai negeri sipil merupakan unsur aparatus Negara, Abdi negara dan Abdi Masyarakat yang wajib mentaati semua peraturan perundang-undangan, termasuk putusan pengadilan, sesuai PP No. 30 Tahun 1980, tetang Peraturan Disiplin Pegawai negeri Sipil. Terhadap Pelaksanaan putusan pengadilan yang secara normatif berpedoman pada Pasal 16 itu, Paulus memberikan kajian beberapa pemikiran sebagai berikut : Pertama, Pada eksekusi otomatis, bagaimana akibat hukumnya bagi pihak ketiga yang tidak ikut berperkara bilamana keputusan tata usaha negara atau sertifikat yang bersangkutan demi hukum tidak mempunyai kekuatan hukum lagi, sedangkan dalam hukum tata usaha negara atau hukum administrasi negara putusan pengadilan mengandung sifat erga omnes, artinya berlaku untuk siapa saja, siapapun harus terikat dengan putusan pengadilan, baik pihak yang berperkara maupun diluar itu. Bisa saja terjadi sertifikat tanah ketika dalam proses sebelumnya telah berada pada pihak ketiga atau pada suatu bank sebagai agunan kredit. Dalam hal ini pihak bank atau pihak ketiga yang beritikad baik akan sangat dirugikan, sedangkan ia tidak menjadi pihak daklam suatu sengketa, sehingga darimana ia mengetahui adanya keputusan TUN yang bersangkutan sudah tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.36 Makna asas erga omnes menurut Philipus M.Hadjon yaitu putusan berlaku bagi semua orang dan bukan mengikat para pihak yang bersengketa saja, hal ini merupakan pengejawantahan esensi peradilan administrasi yang pada dasarnya menegakkan hukum publik.37
35
Paulis Effendi Lotulung, Eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha negara Dan Problematiknya Dalam Praktik, dalam Machrup Elrick (Editor), Kapita Selekta Hukum, Mengenang Almarhum Prof. Oemar Seno Adji, S.H., h. 268-269. 36 Paulus Effendie Lotulung, Ibid., h. 268. 36 Paulus Effendie Lotulung, Ibid., h. 270. 37 Siparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi, Airlangga University Press, Cetakan Pertama, Surabaya, 1997, h. 75.
lxx Volume 11, No.1 Mei 2011
Kedua, Pada eksekusi hierarkis, bagaimana bila semua jalur instansi atasan sampai presiden ternyata tetap tidak melaksanakan putusan pengadilan, apakah kontrol lain dalam bentuk political control dari DPR dan social control dari masyarakat ataupun mass media control masih dapat diandalkan.38 Melihat sistem eksekusi dengan menerapkan Pasal 116 UU PTUN ternyata mengandung kelemahan tanpa adanya upaya pemaksaan dalam melaksanakan putusan pengadilan itu Zairin Harahap menulis bahwa ketentuan ini dapat saja sekaligus merupakan suatu kekurangan, kalau tidak boleh dikatakan sekedar memuat perintah dan larangan. Dibalik larangan terutama harus ada ketentuan sanksi atas ketidakpatuhan.39Kepatuhan hukum oleh siapa saja, baik pejabat umum maupun masyarakat merupakan suatu hal yang menjadi tolok ukur bagi dilaksanakannya asas supremasi hukum dalam negara hukum dan semua warga negara seyogyanya merasa dirinya terikat dan concern dengan asas tersebut. Sedangkan sengketa pembatalan pemberian hak atas tanah di Badan Pertanahan Nasional, dalam hal ini definisi sengketa pertanahan menurut BPN yaitu perbedaan pendapat mengenai keabsahan suatu hak, pemberian hak atas tanah.Pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihannya dan penerbitan tanda bukti haknya antara pihak-pihak yang berkepentingan yang merasa mempunyai hubungan hukum dengan bidang tanah tertentu, Pasal 1 Angka 1 dan 2 Permeneg. Agraria/kepala BPN No. 1 Tahun 1999, tentang Tata cara Penanganan sengketa Pertanahan. Untuk penanganan sengketa tersebut dilakukan oleh unit kerja prosedural yang keanggotaannya berasal dari unit kerja struktural di lingkungan kantor Menteri Negara Agraria/BPN, Pasal 2 . Dari definisi tersebut terlihat bahwa penyelesaian sengketa pertanahan dilakukan oleh BPN di luar lembaga peradilan dan sebelum ada lembaga BPN menurut Rusmadi Murad penanganan sengketa pertanahan dilakukan oleh team yang merupakan sekumpulan aparat fungsional antar departemen maupun aparat fungsional antar komponen departemen dalam negeri atau aparat teknis yang merupakan kelompok kerja lapangan antar sub-sub komponen direktorat jenderal agraria. 40 Tujuan dibentuknya team ini menurut Murad yaitu untuk mencapai sasaran penyelesaian secara koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simultan dengan maksud agar hasil penyelesaiannya dapat dilaksanakan secara baik, terpadu dan konsisten. 41 Penyelesaian sengketanya menurut Permeneg. Agraria/kepala BPN No. 1 Tahun 1999 dan No. 9 Tahun 1999 dapat ditangani oleh Kantor Menteri Negara Agraria/BPN, Kanwil BPN Propensi atau Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten. 38
Paulus Effendie lotulung, Op. Cit., h. 270. Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, P.T. Raja Grafindo Persada, Edisi Revisi, Cetakan Kedua, Jakarta, h. 153. 40 Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni, Cetakan Ke-1, Bandung, 1991, h. 39. 41 Rusmadi Murad, Ibid, h. 39. 39
Volume 11, No.1 Mei 2011
lxxi
Pelaksanaannya dilakukan karena adanya permohonan, tanpa adanya permohonan dan karena untuk melaksanakan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Proses penyelesaiannya dilaksanakan sebagai berikut : 1. Proses pembatalan karena permohonan a. permohonan diajukan oleh pemohon kepada menteri melalui kantor pertanahan dengan disertai alasan-alasannya, Pasal 108 dan pasal 110; b. kantor pertanahan meneliti kebenaran data yuridis dan data fisik permohonan serta memeriksa kelayakan permohonan sebelum diproses lebih lanjut, Pasal 112 ayat 1; c. dalam hal keputusan pembatalan hak dilimpahkan kepada kepala kantor wilayah, kepala kantor pertanahan menyampaikan berkas permohonan kepada kepala kantor wilayah disertai pendapat dan pertimbangannya, Pasal 112 ayat 2. Dalam hal keputusan pembatalan hak tidak dilimpahkan, kepala kantor pertanahan menyampaikan berkas permohonan kepada menteri, Pasal 114; d. setelah mengadakan penelitian berkas yang diterima, menteri atau kepala kantor Wilayah memperhatikan pendapat dan pertimbangan kepala kantor Pertanahan, kemudia ia menerbitkan keputusan pembatalan hak atas tanah yang dimohon atau menerbitkan keputusan penolakan disertai alasan penolaknnya, Pasal 115. Keputusan tersebut disampaikan kepada pemohon melaluio surat tercatat atau dengan cara lain yang menjamin sampainya keputusan tersebut kepada yang berhak, Pasal 118. 2. Proses pembatalan tanpa permohonan. a. pembatalan hak atas tanah yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang dilaksanakan apabila diketahui adanya cacat hukum administratif dalam proses penerbitan keputusan pemberian hak atau sertifikatnya tanpa adanya permohonan. Kepala kantor Pertanahan mengadakan penelitian data yuridis dan data fisik terhadap keputusan pemberian dan/atau sertifikat yang diketahui cacad hukum administratif dalam penerbitannya. Selanjutnya hasil penelitian itu disampaikan kepada kepala Kantor Wilayah atau kepada Menteri untuk diusulkan pembatalannya disertai pendapat dan pertimbangannya, Pasal 119 dan Pasal 120; b. setelah berkas diterima dan memeriksa pendapat serta pertimbangan Kepala Kantor pertanahan, menteri atau Kepala kantor Wilayah memutuskan dapat atau tidaknya diterbitkan keputusan pembatalannya atau keputusan penolakan disertai alasan penolakannya dan keputusan tersebut disampaikan kepada yang berhak, Pasal 121 dan Pasal 123. 3. Proses pembatalan karena melaksanakan putusan pengadilan a. keputusan pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap diterbitkan atas permohonan yang berkepentingan. Permohonan ini dapat diajukan langsung kepada Menteri atau kepala kantor Wilayah atau melalui Kantor Pertanahan, pasal 124 dan Pasal 125; b. permohonan diajukan pemohon dengan dilengkapi keterangan pemohon, keterangan mengenai tanahnya dan harus dilampiri fotocopy surat
lxxiiVolume 11, No.1 Mei 2011
keputusan/sertifikat, putusan pengadilan dan berita acara eksekusi apabila perkara perdata atau pidana, Pasal 126; c. setelah menerima berkas permohonan, Menteri atau Kepala Kantor Wilayah meneliti kebenaran data yuridis dan data fisik, kemudian memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya amar putusan pengadilan dilaksanakan, Pasal 129 ayat 1 dan ayat2; d. Menteri atau Kepala kantor Wilayah memutuskan permohonan tersebut dengan menerbitkan keputusan pembatalan hak atas tanah yang dimohon atau memberitahukan bahwa amar putusan pengadilan tidak dapat dilaksanakan disertai alasan dan pertimbangannya, Pasal 129 ayat3; e. dalam hal menteri atau Kepala kantor Wilayah berpendapat tidak dapat melaksanakan amar putusan pengadilan, Menteri atau Kepala Kantor Wilayah dapat mohon fatwa Mahkamah Agung dalam pelaksanaan amar putusan pengadilan tersebut, Pasal 129 ayat 4. C. Konsekuensi Yuridis Pembatalan Keputusan Pemberian hak Atas Tanah Dimuka Pengadilan Tata Usaha Negara dan Di Badan Pertanahan Nasional Disamping amar putusan PTUN yang memperoleh kekuatan hukum tetap belum tentu dilaksanakan BPN yang telah disebutkan di atas, proses penyelesaian pembatalan pemberian hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah dimuka PTUN mempunyai akibat hukum sebagai berikut : 1. putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut masih dapat digugat oleh pihak ketiga yang dirugikan oleh putusan itu di lembaga peradilan umum atau pengadilan negeri dan pihak ketiga yang dimaksudkan yaitu orang atau badan hukum perdata yang memegang surat keputusan pemberian hak atas tanah. Bila gugatan pihak ketiga diajukan dimuka PTUN dapat dipastikan gugatannya tidak akan diterima dengan berpedoman pada rapat permusyawaratan atau raadkamer sesuai Pasal 62, karena gugatannya bukan termasuk wewenang PTUN. Putusan PTUN yang membatalkan keputusan pemberian hak atas tanah menurut pasal 2 huruf e tidak termasuk dalam pengertian keputusan TUN. Dasar gugatan pihak ketiga itu dengan argumentasi sebagai berikut : a. selama proses sengketa berlangsung antara Penggugat dengan Tergugat atau BPN, pihak ketiga tersebut tidak pernah ikut serta atau diikutkan dalam proses sengketa; b. pihak ketiga yang dirugikan selain mengajukan gugatan dimuka lembaga peradilan umum, ia dapat mengajukan juga gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan PTUN tersebut. Pasal 118 yang pada pokoknya menentukan bahwa pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau diikutsertakan selama waktu pemeriksaan sengketa, sedangkan ia dirugikan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum Volume 11, No.1 Mei 2011
lxxiii
tetap itu, maka ia dapat mengajukan gugatan perlawanan kepada PTUN yang mengadili sengketa tersebut; 2. selama proses pembatalan, hak atas tanah tersebut tidak dapat dialihkan kepada pihak lain dan dijaminkan kepada pihak bank atau kreditur lainnya. Atas dasar kajian tersebut terlihat bahwa putusan PTUN yang memperoleh kekuatan hukum tetap masih dapat dipermasalahkan oleh pihak ketiga yang kepentingannya dirugikan dengan cara melalui upaya gugatan perlawanan di PTUN dan lembaga peradilan umum. Peradilan umum menurut Bernadus Sukismo pada hakekatnya berwenang menampung dan menyelesaikan segala persengketaan hukum, baik yang nyata-nyata merupakan kewenangannya maupun sengketa-sengketa hukum lainnya yang bukan merupakan kompetensi lingkungan peradilan lainnya 42, dengan demikian semua sengketa hukum yang bukan merupakan wewenang lembaga peradilan lainnya dapat diajukan di lembaga peradilamn umum. Tidak ikut sertanya pihak ketiga selama proses sengketa, meskipun Pasal 83 memberikan peluang baginya merupakan konsekuensi penerapan asas erga omnes dalam PTUN yang disebutkan diatas, yaitu putusan PTUN berlaku bagi siapapun dan bukan hanya mengikat para pihak yang bersengketa saja. Berbeda dengan putusan hakim perdata yang pada hakekatnya hanya mempunyai kekuatan mengikat para pihak yang bersengketa dan menurut Suparno Wijoyo dalam diktum putusan hakim perdata sering berbunyi : agar pihak-pihak tertentu, baik yang diikutsertakan pada salah satu pihak maupun yang tidak diikutsertakan, tunduk dan mentaati putusan pengadilan. 43 Demikian juga Indroharto membedakan kedua putusan itu dengan menegaskan bahwa kalau pada putusan pengadilan perkara perdata pada prinsipnya hanya mempunyai kekuatan hukum mengikat antara para pihak yang bersengketa, maka putusan PTUN mempunyai daya kerja seperti suatu keputusan hukum publik, yang bersifat umum yang berlaku terhadap siapapun.44Terhadap gugatan pihak ketiga pada PTUN dan peradilan umum tersebut atas putusan PTUN yang memperoleh kekuatan hukum tetap jelas bertentangan dengan asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Pasal 4 ayat 2 UU KPKK beserta penjelasannya menegaskan bahwa peradilan harus memenuhi harapan pencari keadilan dan tidak diperlukan pemeriksaan serta acara yang berbelit-belit yang dapat menyebabkan proses sampai bertahun-tahun, bahkan harus dilanjutkan oleh para ahli waris pencari keadilan, sehingga biayanya tidak dapat dipikul oleh rakyat. Upaya hukum tetap membuktikan semakin tidak adanya kepastian hukum bagi penyelesaian sengketa pertanahan, padahal perkara yang masih menumpuk
42
Bernadus Sukismo, Peradilan Pajak …..Op. Cit., h. 427. Suparto Wijoyo, Karakteristik …..Op. Cit., h. 75. 44 Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, Beracara Di Pengadilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Edisi Baru, jakarta, 1994, h. 29. 43
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxiv
di Mahkamah Agung sampai tanggal 30 Juni 2003 berjumlah 16.581 perkara sesuai penjelasan Bagir Mannan dalam sidang tahunan MPR masa persidangan tahun 2003. 45 Konsekuensi hukum atas putusan PTUN yang membatalkan keputusan pemberian hak atas tanah agaknya tidak berbeda dengan konsekuensi hukum atas keputusan BPN. Penerbitan keputusan pembatalan pemberian hak atas tanah olewh BPN masih dapat diajukan gugatan oleh pihak ketiga yang merasa dirugikan haknya atas keputusan tersebut, oleh karena keputusan BPN itu termasuk keputusan Tata Usaha negara yang dalam rumusan Pasal 1 ayat 3 UU PTUN disebutkan : Keputusan Tata Usaha negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dengan ketentuan pengajuan gugatan tenggang waktunya tidak lebih dari sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusannya BPN sesuai Pasal 55, namun bila tenggang waktu tersebut dilewati gugatan dapat diajukan melalui Peradilan Umum. Perbedaannya terletak pada penerapam Pasal 129 ayat 3 dan 4 yang merupakan wewenang BPN untuk tidak melaksanakan amar putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Perbedaan lainnya selama proses permohonan pembatalan melalui BPN, pihak yang memegang keputusan pemberian hak atas tanah atau sertifikat masih dapat mengalihkan hak atas tanhanya kepada pihak lain dan menjaminkan tanahnya kepada pihak bank atau kreditur lainnya. Konsekuensi hukum ini sebagai akibat pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah oleh dua lembaga negara yang berbeda. Disatu sisi pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah dapat diajukan gugatan dimuka peradilan dan disisi lain pembatalannya dapat melalui lembaga eksekutif, yaitu BPN, padahal corak sengketa pertanahan itu bervariasi. Litbang harian kompas mencatat tipologi sengketa tanah dapat berupa : (a). sengketa perkebunan, (b). sengketa kawasan hutan, (c). sengketa kawasan perumahan, (d). sengketa obyek landreform, (e). sengketa hak dan batas, dan (f). sengketa putusan pengadilan.46 ANTINOMI NORMA HUKUM TANAH
PEMBATALAN PEMBERIAN HAK ATAS
A. Antinomi Norma Hukum Dalam Penerapan Hukum Pembatalan Pemberian Hak Atas tanah
45
Bagir mannan, Varia Peradilan, Ukahi, Majalah Hukum Tahun XVIII, No. 216, Jakarta, 2003, h. 3. 46 Kompas, Minggu, 28 September 2003, h. 36. Volume 11, No.1 Mei 2011
lxxv
Langkah penerapan hukum yang diawali dengan identifikasi aturan hukum dalam bidang pertanahan seringkali dijumpai adanya antinomi atau konflik norma hukum.47 Konflik norma hukum yang dalam filsafat hukum disebut antinomi ini dijumpai pula dalam hal dua institusi melakukan kewenangan yang tumpang tindih. Terjadi dalam hal BPN menjalankan kewenangan yang merupakan kewenangan Badan Peradilan pada pembatalan pemberian hak atas tanah. Adanya antinomi dapat diilustrasikan dalam penerapannya sebagai berikut : 1. BPN atas permohonan pihak ketiga membatalkan keputusan pemberian hak atas tanah yang sudah diberikan kepada pihak lain. Alasan pembatalan yang diajukan bahwa surat keputusan pemberian haknya mengandung salah satu kreteria cacat hukum administratif dalam penerbitannya, yaitu adanya kesalahan subyek haknya; 2. Berdasarkan kewenangannya BPN setelah melakukan penelitian membatalkan keputusan pemberian hak atas tanah milik pihak lain itu dan kemudia tanah yang dibatalkan tersebut oleh BPN diberikan kepada pihak ketiga atau pemohon; 3. Pihak lain yang merasa dirugikan atau keputusan pembatalan itu kemudian mengajukan gugatan terhadap BPN dimuka PTUN, sedangkan pemohon yang memperoleh pemberian hak dari BPN dalam proses persidangan itu dapat ikut serta atau diikutsertakan sebagai pihak, atau mengajukan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap bila putusan PTUN merugikan kepentingannya. Dari ilustrasi di atas terlihat adanya antinomi antara norma hukum yang satu dengan norma hukum yang lainnya, sehingga dapat menjadi sengketa yang berkepanjangan di lembaga peradilan. Sengketa yang berkepanjangan ini dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. pembatalan pemberian hak atas tanah oelh BPN terhadap pihak lain atas permohonan pihak ketiga yang kemudian diikuti dengan pemberian hak kepada pemohon tersebut dapat menjadi sengketa di PTUN; 2. pihak lain yang dibatalkan hak atas tanahnya itu dapat mengajukan gugatan terhadap BPN dan PTUN, sedangkan pemohon yang diberi hak oleh BPN dapat ikut serta atau diikutsertakan dalam proses persidangan tersebut dan pemohon ini disebut tergugat II intervensi48; dan 3. jika semua proses persidangan pemohon tidak ikut serta atau diikutsertakan, maka ia dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan PTUN yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut. Mencermati kajian tersebut secara hukum apabila BPN diberi wewenang membatalkan pemberian hak atas tanah akan terjadi tumpang tindih kewenangan untuk
47
Philipus M.Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), dalam Majalah Yuridhika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, No. 6 Tahun IX, November-Desember 1994, h. 4. 48 Lihat Pasal 83 ayat 2 UU PTUN berikut Penjelasannya. Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxvi
menyelesaikan sengketa pertanahan. Antinomi norma hukum tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut : Pertama, Pengadilan sesuai Pasal 97 ayat 9 UU PTUN memiliki kewenangan untuk membatalkan keputusan pemberian hak atas tanah dan sekaligus memberikan kewenangan menetapkan kewajiban yang harus dilakukan BPN untuk menerbitkan keputusan yang barus berupa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga; Kedua, BPN sesuai Pasal 106 Permeneg Agraria/Kepala BPN tersebut berwenang untuk membatalkan keputusan pemberian hak atas tanah, baik atas permohonan maupun atas inisiatif BPN sendiri dan sesuai Pasal 129 BPN berwenang untuk tidak melaksanakan amar putusan pengadilan disertai dengan pertimbangannya kemudia meminta fatwa Mahkamah Agung. Apabila dikaji dari sudut pandang Hans Kelsen, antinomi kedua norma hukum itu sebagai suatu pertentangan norma yang lebih rendah dengan norma yang lebih tinggi dan dalam ilmu hukum dogmatik disebut sinkronisasi vertikal. Hans Kelsen menyatakan tentang sifat dinamis dari hukum yaitu : Karakter pilihan dari norma yang lebih tinggi menentukan norma yang lebih rendah untuk mencegah pertentangan nyata antara norma yang hierarkhinya lebih tinggi dengan norma yang hierarkhinya lebih rendah. Pertentangan antara norma yang lebih rendah dengan ketentuan pertama dari dua pilihan yang diberikan oleh norma yang lebih tinggi hanya relevan jika menetapkan keberadaan hukum dari pertentangan semacam ini dengan jalan membatalkan norma yang lebih rendah. Sebaliknya suatu pertentangan antara dua norma dari tata hukum yang berbeda tidak dapat terjadi. Kesatuan tata hukum tidak pernah dapat terancam oleh suatu pertentangan antara norma yang hierarkhinya lebih rendah.49 Lebih lanjut tentang tata urutan itu Hans Kelsen melihat juga dari segi pembentukannya, ia menegaskan pembentukan norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma yang lebih tinggi dan seterusnya. 50 Ajaran tata urutan pertingkatan peraturan perundang-undangan ini atau stufenbau des recht oleh Bagir mannan diberikan makna, yaitu : a. peraturan yang lebih rendah harus mempunyai sumber atau dasar pada peraturan yang lebih tinggi; b. peraturan perundang-undangan merupakan sebuah tertib hukum atau legal order; dan
49
Hans Kelsen, General Theory of Law And State, By Russell & Russell, New York, 1961, h. 161-162. 50 Hans Kelsen, Ibid., h. 124. Volume 11, No.1 Mei 2011
lxxvii
c.
peraturan perundang-undangan untuk menjamin tata urutan itu dalam suatu sistem yang tertib.51 Mencermati pandangan Hans Kelsen itu dapat disimpulkan bahwa norma yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma yang lebih tinggi dan bila norma yang lebih rendah bertentangan dengan norma yang lebih tinggi, maka norma yang lebih rendah itu batal demi hukum. Hal ini merupakan asas lex superior derogat legi inferiori 52. Bertitik tolak dari teori tersebut dan berkaitan dengan kajian ini, lembaga PTUN yang dibentuk berdasarkan Undang-undang dapat membatalkan keputusan pemberian hak atas tanah yang dibuat BPN yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden, namun jika dikaji dari tata hukum yang berbeda, pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah dari dua lembaga tersebut tidak dapat terjadi sesuai teori Hans Kelsen di atas. Antinomi norma hukum dalam pembatalan pemberian hak atas tanah seperti disebutkan di atas tidak dapat dihindari, mengingat kedua lembaga masing-masing memiliki wewenang yang sama, yakni sama-sama memiliki wewenang untuk membatalkan keputusan pemberian hak hak atas tanah, oleh karena itu dalam penulisan ini akan dijelaskan tentang sumber hukumnya dengan menekankan pada aspek yang hakiki atau mendasar serta mengkaji berbagai pandangan para ahli. Pandanganpandangan para ahli, baik ahli hukum maupun filsafat seringkali terdapat perbedaanperbedaan, namun ahli hukum maupun filsaat seringkali terdapat satu dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan pikiran mereka ternyata saling isi mengisi atau saling melengkapi wacana berfikir. Begitu pentingnya makna nilai bagi kehidupan manusia, Louis O. Kattsoff menulis macam-macam nilai sebagai berikut : a. mengandung nilai, artinya berguna; b. merupakan nilai, artinya, baik atau benar atau indah; c. mempunyai nilai, artinya, merupakan obyek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap menyetujui atau mempunyai sifat nilai tertentu; dan d. memberi nilai, artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu. Lebih lanjut kemudian ia membedakan nilai dalam dua macam, yaitu nilai instrinsik dan nilai insterumental. Nilai insrinsik yaitu nilai dari sesuatu yang sejak semula sudah bernilai, sedangkan nilai instrumental yaitu nilai dari sesuatu karena dapat dipakai sebagai sarana untuk mencapai tujuan sesuatu. Adanya pernyataan “berbuatlah yang baik, hindarilah yang jahat” merupakan ungkapan yang menunjukkan keputusan pikirang yang bernilai positif dan negarif yang
51
Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif Di Bidang Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu), Universitas Muhammadiyah, Malang, 2002, h. 23. 52 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu pengantar, Liberty, Edisi Keempat, Cetakan Kedua, Yogyakarta, 1999, h. 85. Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxviii
oleh Theo Huijbers disebut bonum est faciendum, malum est vitandum53dan pernyataan itu dalam ajaran Thomas Aquinas merupakan karakteristik manusia sebagai persona diwujudkan dalam aturan pertama hukum kodrat, dengan kata lin hukum kodrat pada dasarnya yaitu manifestasi nilai-nilai dasar kemanusiaan yang tercermin dalam aktivitas refleksi akal budi.54 Antinomi norma hukum penerapan pembatalan pemberian hak atas tanah dikaji dari nilai instrumental terlihat ada dua institusi yang berwenang membatalkan, yaitu Peradilan Tata Usaha Negara atau PTUN dan Badan Pertanahan Nasional atau BPN. Dikaji dari sumber hukumnya, pembatalan pemberian hak atas tanah yang dilakukan PTUN berasal dari Undang-undang, sedangkan pembatalan oleh BPN yang dibentuk dengan keputusan presiden berasal dari peraturan memnteri seperti yang disebutkan pada II diatas. Dikaji dari segi kelembagaan, lembaga PTUN yang berpuncak pada Mahkamah Agung merupakan pemegang kekuasaan yudikatif tertinggi yang kedudukannya sama dengan Presiden yang membentuk BPN yang merupakan lembaga non depertemen yang bertanggungjawab langsung kepadanya. Kedua-duanya sama sebagai lembaga tinggi negara. Uraian norma hukum untuk memperjelas adanya antinomi dalam pembatalan pemberian hak atas tanah dapat ditemukan sebagai berikut : Pertama, 1). Pada lembaga PTUN, Dalam Pasal 47 disebutkan pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha negara dan dalam Pasal 53 ayat 1 UU PTUN pada pokoknya disebutkan bahwa seseorang atau badan hukum perdata yang dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan dengan tuntutan agar keputusan tersebut dinyatakan batal atau tidak sah. Dengan demikian oleh karena surat keputusan pemberian hak atas tanah oleh BPN itu merupakan keputusan tata usaha negara, maka gugatan itu dapat diajukan dimuka lembaga PTUN; 2). Pada lembaga BPN, Dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 3, Pasal 108 dan Pasal 119 Permeneg Agraria/Kepala BPN di atas yang pada pokoknya disebutkan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah atau sertifikatnya dilakukan oleh menteri yang wewenangnya dapat dilimpahkan kepada kepala kantor wilayah propensi atau kepala kantor pertanahan kota/kabupaten dan pembatalannya itu atas permohonan atau tanpa permohonan. Dengan demikian terlihat bahwa pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah atau sertifikatnya dapat dilakukan oleh BPN tanpa melalui proses dimuka lembaga peradilan. Dalam hal BPN menerima permohonan 53
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Cetakan ke 15, Yogyalarta, 1982, h. 252. 54 E. Sumaryono, Etika & Hukum, Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisius, Cetakan ke-5, Yogyakarta, 2002, h. 250. Volume 11, No.1 Mei 2011
lxxix
untuk melaksanakan amar putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, BPN setelah meneliti putusan tersebut, ia dapat memberikan keputusan berupa pembatalan atau penolakan permohonan tersebut; Kedua, 1). Alasan hukum pembatalan oleh PTUN, Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah oleh PTUN didasari alasan-alasan sesuai Pasal 53 ayat 2 dan penjelasannya yang pada pokoknya disebutkan : a. keputusan BPN bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik bersifat prosedur formal dan bersifat materiel substansial; b. keputusan BPN dikeluarkan atas dasar enyalahgunaan wewenang atau de tounement de pouvoir, dan c. keputusan BPN dikeluarkan atas dasar perbuatan sewenang-wenang atau wullekeur. 2. alasan hukum pembatalan oleh BPN, Sesuai Pasal 107 keputusan pemberian hak atas tanah dapat dibatalkan bila keputusan itu mengandung cacat hukum administratif dalam penerbitannya yang meliputi : a. adanya kesalahan prosedur; b. kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan; c. kesalahan subyek hak; d. kesalahan obyek hak; e. kesalahan jenis hak; f. kesalahan perhitungan luas; g. terdapat tumpang tindih hak atas tanah; h. data yuridis atau data fisik tidak benar da i. kesalahan lainnya yang bersifat hukum administratif. Ketiga, 1). Proses pembatalan dimuka PTUN, Bahwa permohonan gugatan didaftarkan ke panitera PTUN yang kemudian dilakukan pemeriksaan dismissal yang dilanjutkan dengan pemeriksaan persiapan. Kemudian dilanjutkan dengan permulaan sidang berupa jawaban BPN sebagai tergugat atas surat gugatan seseorang atau badan hukum perdata sebagai penggugat, tanggapan penggugat atas jawaban BPN yang disebut replik, tanggapan BPN atas replik penggugat yang disebut duplik, proses pembuktian, kesimpulan selama sidang dan selanjutnya putusan majelis hakim PTUN. Dari putusan tersebut para pihak, baik penggugat maupun tergugat dapat mengajukan upaya hukum berupa banding ke pengadilan tinggi TUN dan kasasi ke Mahkamah Agung serta dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali ke Mahkamah Agung; 2). Proses pembatalan di BPN, Bahwa permohonan pembatalan dapat diajukan melalui kepala kantor Pertanahan Kota/kabupaten, kepala kantor Wilayah BPN Propensi atau dapat langsung kepada Kepala BPN. Setelah permohonan diterima dilakukan penelitian kebenaran
lxxxVolume 11, No.1 Mei 2011
permohonan dan kemudian menerbitkan keputusan pembatalan atau penolakan permohonan tersebut. Proses pembatalan ini dapat dilakukan BPN sendiri tanpa ada permohonan. Dalam hal BPN menerima permohonan untuk melaksanakan amar putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan ia menolak permohonannya, maka BPN minta fatwa Mahkamah Agung. Keempat, 1). Pelaksanaan putusan pembatalan oleh PTUN, Salinan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap yang membatalkan keputusan pemberian hak atas tanah dikirimkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten dan bila tidak dilaksanakan secara benjenjang akan dikirimkan kepada kepala Kantor Wilayah BPN Propensi, Kepala Badan Pertanahan Nasional dan bila putusan masih tidak tetap tidak dilaksanakan, Ketua Pengadilan mengirimkan surat kepada Presiden sebagai atasan langsung Kepala BPN. Dengan demikian pelaksanaan putusan PTUN menunggu itikad baik pejabat BPN yang oleh Paulus Effendie Lotulung disebut ai atas sebagai rasa self respect dan kesadaran hukum pejabat PTUN untuk melaksanakan putusan, hal ini dapat difahami mengingat PTUN menurut S.F. Marbun tidak memiliki lembaga eksekutorial yang secara khusus berfungsi melaksanakan putusannya, 55 dengan demikian putusan itu tidak dapat dieksekusi atau noneksekutabel56; dan 2). Pelaksanaan keputusan pembatalan oleh BPN, Keputusan pembatalan pemberian hak atas tanah dan sertfikat oleh Kepala BPN atau Kepala Kantor Wilayah BPN Propensi langsung dapat dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten. Dalam hal surat keputusan pemberian hak atas tanah atau sertifikat yang dibatalkan tidak diserahkan dan atau dikembalikan kepada kantor Pertanahan, maka Kepala Pertanahan mencatat batalnya surat keputusan dan sertifikat pada Buku Tanah dan daftar umum lainnya yang ada pada administrasi pendaftaran tanah serta mengumumkan surat keputusan pembatalan itu di surat kabar harian setempat.57 Dengan demikian pelaksanaan putusan pembatalan hak atas tanah pada PTUN menunggu itikad baik BPN, sedangkan pelaksanaan keputusan pembatalan pemberian hak atas tanah pada BPN langsung dapat dilaksanakan tanpa menunggu itikad baik yang dibatalkan. Mengkaji uraian tersebut diatas dapat ditemukan empat perbedaan antinomi norma hukum, yaitu :
55
S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif Di Indonesia, Liberty, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, 1997, h. 325. 56 M.Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Gramedia, Jakarta, 1988, h. 309. 57 Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3-v-2002, tanggal 17 Oktober 2002, Tentang Pembatalan Sertifikat. Volume 11, No.1 Mei 2011
lxxxi
1). Wewenang PTUN berbeda dengan wewenang BPN untuk membatalkan keputusan pemberian hak atas tanah dan atau sertifikat; 2). Alasan hukum PTUN dalam membatalkan keputusan pemberian hak atas tanah berbeda dengan alasan hukum BPN; dan 3). Proses pembatalan pemberian hak atas tanah pada PTUN berbeda dengan di BPN; dan 4). Pelaksanaan putusan atau eksekusi PTUN yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang membatalkan keputusan pemberian hak atas tanah berbeda dengan pelaksanaan keputusan pembatalam pemberian hak atas tanah oleh BPN. Dilihat dari segi asas hukum, baik lembaga PTUN maupun lembaga BPN pada prinsipnya memiliki asas yang sama, yaitu penyelesaian sengketa dilakukan dengan cara yang sederhana. Secara umum PTUN mengikuti asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan, sesuai Pasal 4 ayat 2 UU No. 35 tahun 1999, tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan secara khusu menerapkan asas hukum “pemeriksaan dengan secara singkat” serta “pemeriksaan dengan acara cepat” sesuai Pasal 62 ayat 4 dan 98 UU PTUN. Demikian juga BPN memiliki asas hukum “penyelesaian sengketa pertanahan dilakukan secara cepat dan tuntas” sesuai konsideran huruf c Kepres No. 26 Tahun 1998, tentang BPN dan konsideran huruf b Permeneg. Agraria/Kepala BPN No. 1 Tahun 1999, tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan, oleh karena itu asas hukum pada kedua lembaga tersebut tidak saling bertentangan, sedangkan dari segi norma hukum keduanya saling bertentangan dalam wewenang pembatalannya. B. Penyerasian Antinomi Norma Hukum Penerapan Pembatalan Pemberian hak Atas tanah Adanya antinomi norma hukum pembatalan pemberian hak atas tanah seperti yang dijabarkan diatas karena sistem hukum PTUN dengan BPN berbeda. Perbedaan pokoknya terletak pada kewenangan dan dasar atau alasan pembatalannya. PTUN memiliki wewenang mengadili sengketa pertanahan yang kemudian dapat menyatakan batal atau tidak sah keputusan pembatalan pemberian hak atas tanah yang diterbitkan BPN dan BPN memiliki wewenang mebatalkan keputusan pemberian hak atas tanah yang ia terbitkan sendiri oleh Ali Achmad Chomzah disebut penyelesaian secara administrasi yang merupakan koreksi serta merta dari pejabat PTUN 58, sedangkan Maria S.W. Sumardjono mengemukakan sengketa pertanahan dalam berbagai dimensi yang pada umumnya diselesaikan melalui keputusan administrasi. 59
58
Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2003,
h. 29. 59
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Anatara Regulasi & Implementasi, Buku Kompas, Jakarta, 2001, h. 48. Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxxii
Demikian pula dasar atau alasan pembatalannya juga berbeda antara PTUN dengan BPN. PTUN membatalkan keputusan pemberian hak atas tanah yang diterbitkan BPN itu dengan alasan, yaitu : a. keputusan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau b. adanya penyalahgunaan wewenang, atau c. adanya perbuatan sewenang-wenang; sedangkan BPN dalam membatalkan keputusannya sendiri berupa pemberian hak atas tanah dengan alasan adanya cacat hukum administratif dalam penerbitannya seperti disebutkan sebelumnya. Dasar pembatalan oleh PTUN dapat memandang argumentasi hukum, apakah BPN yang mengadakan koreksi administratif terhadap produknya sendiri berupa pembatalan pemberian hak atas tanah karena adanya cacat hukum administratif itu dapat dikategorikan PTUN sebagai keputusan BPN yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau BPN menyalahgunakan wewenangnya, atau BPN telah berbuat sewenang-wenang ?. Demikian pula dalam hal BPN membatalkan pemberian hak atas tanah dengan alasan telah ditemukan adanya cacat hukum administratif dalam keputusannya itu bukan termasuk sengketa pertanahan yang merupakan wewenang PTUN ?. Perbedaan norma hukum dalam pembatalan hak atas tanah ini yang mengakibatkan adanya antinomi, padahal suatu sistem hukum ini seharusnya merupakan kesatuan utuh dari aturan-aturan yang saling berhubungan, sistem hukum juga untuk menyelesaikan sengketa atau dispute settlement, dengan kata lain menurutnya sistem hukum itu merupakan agen penyelesaian sengketa. Jadi pada hakekatnya sistem hukum menurut Sudikno Mertokusumo merupakan suatu kesatuan hakiki dan terbagi-bagi dalam bagian-bagian yang di dalamnya setiap masalah menemukan jawaban atau penyelesaiannya. Di Dalam sistem hukum tidak dikehendaki adanya konflik dan jika terjadi konflik tidak akan dibiarkan,60 namun apakah PTUN yang pembentukannya dari undang-undang dan BPN yang pembentukannya dari Kepres itu merupakan suatu sistem hukum perlu dikaji lebih lanjut. Mengikuti pandangan sistem hukum yang dikemukakan di atas terlihat bahwa baik wewenang PTUN maupun wewenang BPN untuk membatalkan pemberian hak atas tanah masih belum memadai untuk disebut sebagai suatu sistem hukum, mengingat pembatalan pemberian hak yang ia laksanakan masih belum dapat menyelesaikan sengketa pertanahan dan bahkan dapat menimbulkan konsekuensi hukum berkelanjutan yang pada gilirannya merugikan masyarakat pencari keadilan, oleh karena itu perlu menyerasikan antinomi pada kedua norma hukum tersebut. Guna memecahkan masalah antinomi norma hukum tersebut ada tiga pilihan untuk mengatasinya yang oleh Dert Fredrik Malt disebut tiga pilihan penyelesaian secara tradisional. Ia mengatakan ketiga aturan umum atau prinsip umum ia sebutkan sebagai berikut : 60
Sudikno Mertokusumo, Mengenal …., Op. Cit., h. 116-119.
Volume 11, No.1 Mei 2011
lxxxiii
1.
The lex posterior principle : lex posterior derogat legi priori, yaitu Undang-undang yang kemudian mengalahkan yang terdahulu; 2. The lex posterior principle : lex specialis derogat legi generali, yaitu Undangundang khusus mengalahkan yang umum; dan 3. The lex posterior principle : lex superrior legi inferior, yaitu Undang-undang yang lebih tinggi mengalahkan yang lebih rendah.61 Pada prinsip lex posterior , antara PTUN dengan BPN tidak dapat diterapkan, oleh karena baik PTUN maupun BPN dalam pembatalan pemberian hak atas tanah norma hukumnya berbeda, artinya keduanya tidak dapat saling mengesampingkan dengan menyatakan norma hukum yang satu ada setelah norma hukum lainnya. Pada prinsip lex specialis , norma hukum PTUN secara umum bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, artinya tidak secara khusus menangani sengketa pertanahan, sedangkan BPN norma hukumnya secara khusu untuk membatalkan pemberian hak atas tanah. Dengan demikian norma hukum BPN yang secara khusus membatalkan pemberian hak atas tanah dapat mengesampingkan norma hukum PTUN yang bersifat umum berwenang menyelesaikan sengketa tata Usaha negara. Demikian pula pada prinsip lex superior , keputusan BPN membatalkan pemberian hak atas tanah, oleh karena BPN dibentuk oleh Kepres sedangkan PTUN dibentuk oleh Undang-undang yang susunan tata hukumnya lebih tinggi. Penerapan salah satu dari tiga prinsip umum tersebut tidaklah mudah, dengan argumentasi, siapakah yang berwenang menentukan pilihan ketiga prinsip umum itu dalam pembatalan pemberian hak atas tanah ?, oleh karena itu kemudian Gert Frederik Malt menyatakan penggunaan salah satu dari ketiga prinsip tersebut dapat menyesatkan dan menimbulkan akibat-akibat hukum, karena memilih salah satu prinsip dari ketiganya itu berarti meremehkan prinsip lainnya. 62 Kajian antinomi penerapan norma hukum pembatalan pemberian hak atas tanah ini menunjukkan bahwa tidak secara keseluruhan norma hukum yang ada pada PTUN bertentangan dengan seluruh norma hukum pada BPN, demikian juga sebaliknya. Dalam hal yang demikian itu Samsul Wahidin menyebutkan pertentangan aturan hukum ada dua, yaitu : 1. pertentangan secara keseluruhan dan 2. pertentangan pasal-pasalnya atau sebagaian.63 Sedangkan dalam kajian ini hanya sebagian saja norma hukum yang menjadi antinomi, oleh karena itu remedy ini dapat digunakan untuk menyerasikan antinomi norma hukum pembatalan pemberian haka atas tanah. Anotasi norma hukum yang dapat diserasikan sebagai berikut : 61
Gert Fredrik Malt, Coherence and Conflict in Law, Kluwer Law and Taxation Publishers Deventer/Boston, Amsterdam, 1992, h. 203. 62 Ibid, 63 Samsul Wahidin, Hak Mengiji Materiil Menurut UUD 1945, Cendana Press, Edisi Pertama. Cetakan Pertama, jakarta, 1984, h. 49. Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxxiv
1.
alasan atau dasar pembatalan yang digunakan BPN berupa cacat hukum administrasi dapat diadopsi atau diambil alih PTUN dalam membatalkan pemberian hak atas tanah. Dasar pembatalan adanya cacat hukum administratif dalam pemberian hak atas tanah lebih terinci atau spesifik yang didefisinikan BPN dibandingkan dengan dasar pembatalan yang digunakan yang sifatnya umum, yaitu : keputusan BPN bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, Pasal 53; 2. BPN meneliti adanya keputusan pemberian hak atas tanah yang mengandung cacat hukum administrasi, sedangkan proses penyelesaian pembatalan keputusan di BPN yang bersifat tertutup itu diserahkan kepada hukum acara PTUN yang merupakan lembaga peradilan sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman yang merdeka dan proses pemeriksaannya bersifat terbuka untuk umum; 3. pelaksanaan putusan PTUN atau eksekusi pembatalan pemberian hak atas tanah diserahkan kepada BPN untuk melaksanakannya. Pelaksanaan pembatalan di BPN berupa pengumuman di harian umum lebih sederhana dengan biaya iklan yang sudah pasti dibandingkan dengan pelaksanaan putusan pembatalan di PTUN dengan biaya tidak pasti dan belum tentu dilaksanakan oleh BPN. Penyerasian antinomi norma hukum tersebut diatas dengan remedy ini dapat menjadi sistem hukum dalam pembatalan pemberian hak atas tanah. Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa sistem hukum ini merupakan kesatuan yang saling berhubungan dan di dalam sistem hukum itu tidak dikehendaki adanya konflik.
KESIMPULAN Berdasarkan uraian-uraian pada bab pembahasan sebelumnya, maka dapat saya tarik kesimpulan dengan rumusan sebagai berikut: 1. a. Pembatalan pemberian hak atas tanah milik orang atau badan hukum perdata mengandung konsekuensi yuridis sebagai berikut : (a). selama proses sengketa hak atas tanahnya tidak dapat dijaminkan atau dipindah tangankan kepada pihak lain; (b). selama proses sengketa pihak lain yang merasa berkepentingan dapat mengajukan intervensi; (c). dalam hal putusan PTUN yang membatalkan pemberian hak atas tanah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak lain yang merasa dirugikan atas putusan PTUN itu dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan PTUN tersebut; dan (d). putusan PTUN yang memperoleh kekuatan hukum tetap belum tentu dilaksanakan BPN, oleh karena putusan PTUN tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. Volume 11, No.1 Mei 2011
lxxxv
b. pembatalan pemberian hak atas tanah melalui BPN : (a). keputusan pembatalan pemberian hak atas tanah oleh BPN masih dapat dipermasalahkan oleh pihak lain yang dirugikan melalui gugatan di PTUN; (b). apabila keputusan pembatalan oleh BPN diketahui pihak lain yang dirugikan lebih dari sembilan puluh hari, gugatan dapat diajukan dimuka lembaga peradilan umum atau pengadilan negeri; dan (c). selama proses pembatalan, hak atas tanahnya masih dapat dijaminkan dan dipindah tangankan kepada pihak lain. 2. Penerapan pembatalan pemberian hak atas tanah di dua lembaga, yaitu lembaga PTUN dan lembaga BPN dapat menimbulkan antinomi dan antinomi norma hukum tersebut mengakibatkan tidak adanya keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatannya bagi masyarakat pencari keadilan, sehingga bertentangan pula dengan tujuan ideal UUPA antara lain untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, keadilan dan kepastian hukum. Guna menghindari terjadinya antinomi norma hukum pembatalan hak atas tanah, penyelesaiannya melalui musyawarah melalui penyerasian, artinya norma hukum PTUN diserasikan dengan notma hukum BPN. Penyerasiannya dengan menggunakan konsep remedy atau pembetulan. Konsep ini tidak saling menyingkirkan norma hukum lainnya, namun saling melengkapi kelemahan masing-masing norma hukumnya. SARAN Mencermati adanya antinomi norma hukum penerapan pembatalan pemberian hak atas tanah dan penyelesaian alternatifnya dengan menggunakan remedy atau pembetulan, penulis menyampaikan saran sebagai berikut : 1. Wewenang BPN yang semula meneliti adanya pemberian hak atas tanah atau sertifikat yang cacat hukum administrasi dan selanjutnya melakukan proses untuk menerbitkan keputusan pembatalan, hendaknya dibatasi hanya pada penelitian saja yang menentukan cacat hukum administrasi, sedangkan proses pembatalannya menggunakan hukum acara PTUN. Disamping itu Alasan atau dasar pembatalan pemberian hak atas tanah yang dilakukan oleh PTUN dengan menggunakan Pasal 53 UU PTUN sebagai acuan hendaknya dikesampingkan dan mengadopsi saja alasan atau dasar pembatalan yang digunakan BPN yang mengacu pada cacat hukum administrasi. Anotasinya, definisi cacat hukum administrasi yang digunakan BPN lebih spesifik dan sampai sekarang sulit ditemukan sengketa pertanahan diluar definisi tersebut, dan pelaksanaan putusan PTUN yang mempunyai kekuatan hukum tetap hendaknya menghadapi pelaksanaan keputusan yang digunakan BPN, yaitu cukup dengan mencatat dan mematikan buku tanahnya serta mengumumkannya pada harian umum setempat. Anotasinya pelaksanaan keputusan pembatalan yang dilakukan BPN lebih konkrit, yaitu memenuhi asas sederhana, cepat dan biaya ringan, dan biaya yang dikeluarkan lebih pasti, yaitu biaya iklan pengumuman saja. Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxxvi
2.
Landasan hukum berpijak guna mewujudkan penyerasian antinomi tersebut tentunya tidak cukup dengan adanya political will lembaga pemerintah dan lembaga yudicial saja, namun lebih dari itu, yaitu harus ada kemauan hati dari kedua lembaga tersebut dengan semangat sebagai Abdi Rakyat. Kemauan hati itu dapat diwujudkan sebagai berikut : a. merevisi atau membuat remedy Kepres No. 26 Tahun 1998, tentang BPN jo Kepres No. 154 Tahun 1999, tentang Perubahan Kepres No. 26 Tahun 1988, tentang BPN; b. merevisi atau membuat remedy Permeneg Agraria/Kepala BPN No. 1 Tahun 1999, tentang Tata cara Penanganan Sengketa Pertanahan jo No. 3 Tahun 1999, tentang pelimpahan Kewenangan Pemberian Dan Pembatalan Keputusan Pemberian hak Atas tanah Negara jo. No. 9 Tahun 1999, tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan hak Atas tanah Negara Dan Hak Pengelolaan.
Volume 11, No.1 Mei 2011
lxxxvii
AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA Oleh: Sri Sulastri, S.H.,M.Hum.*4
ABSTRAK Masalah-masalah hukum yang timbul dalam perjanjian hutang menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, selama ini perjanjian penanggungan merupakan jaminan perorangan maupun corporate guarantee, maka perjanjian penanggungan ini selalu diadakan antara kreditur dan pihak ketiga guna kepentingan kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya debitur bilamana debitur sendiri tidak memenuhinya, seperti yang dijelaskan dalam pasal 1820 KUHPerdata. Kata Kunci : Akibat Hukum – Perjanjian Hutang – KUH Perdata.
LATAR BELAKANG Sampai saat ini perjanjian hutang atau perjanjian kredit yang dibuat antara bank dengan nasabah debitur telah dibuat dengan berlandaskan semata-mata hanya kepada asas kebebasan berkontrak. Sebagaimana lazimnya pada setiap pembuatan perjanjian yang semata-mata berlandaskan pada asas tersebut, maka juga pada perjanjian kredit, masing-masing pihak berusaha untuk merebut atau menciptakan dominasi terhadap pihak lainnya, jadi yang saling berhadapan ialah antara dua lawan janji bukan mitra janji. Dalam hal perjanjian hutang biasanya kedudukan bank sebagai kreditur dan nasabah sebagai debitur tidak pernah seimbang. Ada kalanya bank lebih kuat daripada nasabah debitur dalam hal nasabah debitur termasuk pengusaha golongan ekonomi lemah. Namun bila bank berhadapan dengan nasabah yang termasuk konglomerat, maka kedudukan bank lemah. Yang lebih memprihatinkan lagi para konglomerat ini adalah setelah memperolah bantuan hutang justru pemerintah memberi pengampunan kepada
*1 Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira. Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxxviii
para konglomerat yang berhutang, yang sangat dirasakan berat oleh masyarakat adalah bebasnya dari kewajiban pembayaran utang tersebut. Akibatnya, pada hakikatnya utang puluhan triliun untuk setiap konglomerat itu paling banyak hanya bisa tertagih 30%. Perbedaan sebesar 70% dari nilai utang merupakan kerugian negara dan dibebankan kepada rakyat, melalui pembebanan pajak.5 Lain halnya pada golongan ekonomi lemah, maka posisinya selalu lemah, terlebih pada saat pengajuan perjanjian kredit, hal tersebut dirasa karena pada saat pembuatan perjanjian itu calon nasabah debitur sangat membutuhkan bantuan kredit dari bank. Dalam hal demikian itu pada umumnya calon nasabah debitur tidak akan banyak menuntut karena mereka khawatir pemberian kredit tersebut akan dibatalkan oleh bank. Hal itu menyebabkan posisi tawar menawar bank menjadi sangat kuat. Sehingga perjanjian hutang atau kredit bank yang dilandaskan hanya pada asas kebebasan berkontrak semata-mata isi atau klausul-klausulnya dapat sangat berat sebelah, yaitu akan lebih banyak melindungi kepentingan pihak yang kuat. Di dalam praktek perbankan yang lazim di Indonesia, pada umumnya perjanjian kredit bank yang dipakai adalah perjanjian standar atau perjanjian baku yang klausul-klausulnya telah disusun sedemikian rupa oleh bank, dengan demikian maka calon nasabah sebagai calon debitur hanya mempunyai pilihan antara menerima seluruh isi dari perjanjian itu atau tidak bersedia menerima klausul-klausulnya itu sebagian atau seluruhnya yang berakibat nasabah tidak akan menerima kredit tersebut. Oleh karena perjanjian-perjanjian kredit bank di Indonesia dibuat dalam bentuk perjanjian baku atau dibuat dengan klausul-klausul baku, maka ada kemungkinan dapat menimbulkan hal-hal negatif dalam arti pihak yang mempunyai bargaining position yang kuat dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah, dan pihak yang kuat mendapat keuntungan dari tindakannya tersebut, padahal dalam perjanjian telah ditegaskan mengenai jaminan umum yang dimiliki oleh debitur, inipun masih dianggap kurang kuat. Dalam Pasal 1131 KUHPerdata dijelaskan bahwa segala kebendaan seorang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Meskipun demikian, jaminan secara umum itu sering dirasakan kurang cukup dan kurang aman oleh pihak kreditur, terlebih jika ada banyak kreditur, ada kemungkinan beberapa orang dari mereka tidak lagi mendapat bagian. Dengan adanya kemungkinan tersebut maka seringkali seorang kreditur minta diberikan jaminan khusus dan jaminan khusus ini bisa berupa jaminan kebendaan (hipotik, gadai, fiduciair) dan bisa juga
5
Catatan Redaktur, Aspek Pajak R&B, Harian Bisnis Indonesia, Jakarta, Senin, 2 Desember 2002, h. 5 Volume 11, No.1 Mei 2011
lxxxix
berupa jaminan perorangan. Yang terakhir inilah yang dinamakan penanggungan hutang atau sering disebut dengan “borgtocht atau quaranty”. 6 Jadi penanggungan hutang merupakan suatu bentuk jaminan yang bersifat pribadi dan dalam hal ini adanya akan menunjang setelah adanya jaminan kebendaan tersebut, sehingga penanggungan ini bersifat tambahan saja. Sedangkan munculnya kewajiban untuk memberikan penanggungan atau penjaminan pada umumnya kadangkadang timbul dari dalam undang-undang atau dari dalam suatu keputusan atau penetapan.7 Seperti diketahui dalam hukum perdata dikenal pembagian atas hak kebendaan yang memberi kenikmatan dan memberi jaminan. Atas hak kebendaan yang memberi jaminan pada dasarnya dapat ditujukan terhadap benda bergerak dan benda tetap. Dengan demikian yang dimaksud dengan jaminan kebendaan adalah jaminan yang objeknya adalah benda baik bergerak maupun tetap. Atas benda tetap lembaga jaminan yang disediakan dalam KUHPerdata adalah hipotik, kemudian dengan lahirnya Undang-undang No. 4 Tahun 1996 disediakan lembaga jaminan khusus atas tanah berupa hak tanggungan. Atas benda bergerak dalam KUHPerdata disediakan lembaga jaminan berupa gadai, namun karena kebutuhan masyarakat diadakanlah lembaga jaminan lembaga fidusia. Dalam praktek perjanjian hutang terkadang, tidak hanya adanya jaminan umum tersebut oleh kreditur sebagai benda jaminan sebagai salah satu persetujuan perjanjian hutang. Hal ini dimaklumi, sehubungan seringkali pihak kreditur harus mengalami kekecewaan dan kerugian karena debiturnya bukanlah orang yang beritikad baik sehingga dengan mudahnya memperalihkan objek jaminan yang ada dalam kekuasaannya. Fakta tersebut menyebabkan adanya ketidakpastian hukum khususnya bagi kreditur pemegang jaminan kebendaan tersebut, sementara fungsi jaminan sendiri sebenarnya adalah untuk memberikan kepastian hukum. Menyadari fungsi dan peranan jaminan dalam perjanjian hutang sangat menentukan maka, disamping jaminan umum yang bersifat kebendaan tersebut dalam KUHPerdata, khususnya pasal 1820 memberikan tambahan berupa jaminan perorangan atau yang sering disebut dengan penanggungan. Hal ini perlu terutama dalam mendukung kelangsungan dunia usaha, serta sejalan dengan keinginan untuk menegakkan supremasi hukum, yaitu adanya kepastian hukum kreditur atas kembalinya uang yang telah dihutangkan kepada debitur. Atas dasar pemikiran tersebut, kemudian adanya ketentuan seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendakinya, termasuk didalamnya dalam perjanjian hutang, maka para pihak bebas pula untuk memilih pihak mana yang layak sebagai kreditur begitu pula sebaliknya, pihak kreditur yang seringkali memiliki posisi yang kuat, bebas pula untuk memilih pihak mana yang layak sebagai 6
H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Jilid II, Rajawali, Jakarta, 1984, h. 445 7 Ibid, h. 444
xc
Volume 11, No.1 Mei 2011
debiturnya, sehingga permasalahan yang akan diangkat dalam penulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut : a. b.
Bagaimanakah sistem perjanjian hutang pada umumnya di Indonesia ? Bagaimanakah bentuk dan sifat penanggungan dalam perjanjian hutang menurut Kitab Unsdang-undang Hukum Perdata ?
PERJANJIAN HUTANG PADA UMUMNYA
A. Pengertian Perjanjian Perjanjian dirumuskan dalam pasal 1313 KUHPerdata, yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. Ketentuan dalam pasal ini dinilai kurang tepat, karena ada beberapa kelemahan-kelemahan, diantaranya adalah, hanya menyangkut sepihak saja, dengan kata “mengikatkan diri”, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara dua pihak. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan, tindakan melawan hukum, yang tidak mengandung suatu konsensus. Seharusnya dipakai istilah “persetujuan”, Pengertian perjanjian terlalu luas, karena mencakup juga perjanjian kawin yang diatur dalam bidang hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur mengenai harta kekayaan. Perjanjian yang diatur dalam buku III KUHPerdata sebenarnya hanya meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian (personal). Tanpa menyebut tujuan, dalam rumusan diatas tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.8 Berdasarkan alasan-alasan diatas, maka perjanjian sebenarnya dapat dirumuskan sebagai berikut : Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan. Sehingga apabila diperinci, maka perjanjian itu mengandung unsur-unsur sebagai berikut : a. ada pihak-pihak, paling sedikit dua orang, (subyek) b. ada persetujuan antara pihak-pihak itu ( konsensus) 8
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti,
2000, h. 224 Volume 11, No.1 Mei 2011
xci
c. ada obyek yang berupa benda, d. ada tujuan bersifat kebendaan, e. ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan.9 Kemudian untuk membentuk perbuatan hukum yang disebut perjanjian diatas, dalam pasal 1320 KUHPerdata menentukan empat hal syarat yang harus dipenuhi, syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut : a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, b. kecakapan untuk membuat perjanjian, c. suatu hal tertentu, d. suatu sebab yang halal.10 Selanjutnya mengenai perikatan merupakan hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut sesuatu tadi dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berutang. Dari kedua pengertian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa perikatan merupakan pengertian yang abstrak yaitu menyangkut hak dan kewajiban, sedangkan perjanjian merupakan pengertian yang konkrit yaitu perbuatan.11 Oleh karena itu, hubungan antara perjanjian dan perikatan dapat dibandingkan dengan kejadian dan akibat adalah kejadian merupakan perjanjian sedangkan akibat sebagai perikatan. Secara luas kejadian itu meliputi fakta hukum atau peristiwa hukum. Peristiwa hukum ini terdiri dari : a. Perbuatan hukum, yang terbagi menjadi : 1. Perbuatan hukum yang dilakukan dengan tujuan menimbulkan suatu akibat hukum tertentu, bisa bersifat sepihak atau timbal balik, dan dapat berbentuk lisan atau tertulis. Perjanjian termasuk dalam pengertian ini, 2. Perbuatan hukum yang dilakukan bukan dengan tujuan menimbulkan akibat hukum, perbuatan ini terbagi lagi menjadi 2.1. Perbuatan hukum yang sah ( sesuai pasal 1354 dan 1359 KUHPerdata ) 2.2. Perbuatan hukum yang tidak sah ( perbuatan melawan hukum, pasal 1365 KUHperdata )
9
Ibid, h. 225 Oey Hoey Tiong, Fiducia Sebagai Jaminan Unusr-unsur Perikatan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, h. 28 11 Ibid, h. 23 10
xciiVolume 11, No.1 Mei 2011
b.
Bukan perbuatan hukum, misalnya lahirnya anak (pasal 250 KUHPerdata), hidup bertetangga (pasal 625 KUHPerdata). Mengenai hal-hal ini, undang-undang menentukan adanya akibat hukum tertentu yaitu perikatan.12
Mengenai hubungan antara perjanjian dan perikatan dapat juga dikatakan bahwa perjanjian merupakan sumber dari perikatan, bahkan salah satu sumber yang terpenting disamping sumber-sumber yang lain. Dari pasal 1233 KUHPerdata dijelaskan bahwa sumber perikatan diantaranya adalah perjanjian dan undang-undang. Dari beberapa uraian diatas maka perjanjian hutang yang didasarkan atas penanggungan perorangan, segala kebendaan seorang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan, sesuai dengan pasal 1131 KUHPerdata.13
B. Pengelompokan Sistem Perjanjian di Indonesia Mengenai sistem yang dianut dalam Buku III KUHPerdata tentang hukum perikatan ini dikatakan menganut sistem terbuka dan sifatnya adalah sebagai pelengkap artinya bahwa Para pihak diperbolehkan membuat perjanjian apapun, asal isinya tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, sesuai dengan pasal 1337 KUHPerdata. Jika para pihak tidak mengatur perjanjian yang mereka buat secara lengkap, maka undang-undang akan melengkapinya.14 Mengenai sistem terbuka dan sifat pelengkap yang dianut dalam Buku III KUHPerdata itu sebagian kalangan menyimpulkan dari pasal 1338 ayat (1) yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya.15 Dengan menekankan pada perkataan “semua” maka pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja atau tentang apa saja dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang. Didalam hukum perjanjian berlaku juga asas konsensualisme, yang berarti untuk suatu perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan. Sehingga suatu perjanjian kadang juga dinamakan dengan persetujuan, berarti dua pihak sudah setuju atau bersepakat mengenai sesuatu hal. Arti asas konsensualisme, pada dasarnya perjanjian 12 13
Ibid, h. 24. R. Subekti, Aneka Perjanjian, Cet. X, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995,
h. 163 14 15
Oey Hoey Tiong, Op.Cit, h. 29 Ibid, h. 30
Volume 11, No.1 Mei 2011
xciii
dan perikatan yang timbul karenanya sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.16 Sedangkan perjanjian-perjanjian sendiri dapat dikelompokkan menurut berbagai cara, diantaranya adalah : a. Bila dipandang dari sudut hak dan kewajiban para pihak maka perjanjian dapat dibedakan atas : i. Perjanjian-perjanjian timbal balik adalah perjanjian-perjanjian dimana masingmasing pihak mempunyai hak dan kewajiban terhadap pihak lain. Contoh dalam perjanjian hutang, pihak debitur berhak atas uang yang disepakati dan berkewajiban membayar kembali hutang tersebut sesuai dengan jumlah yang diperjanjikan sedangkan kreditur berhak untuk menerima kembali uangnya dan berkewajiban untuk memberikan pinjaman kepada debitur sesuai yang disepakati. ii. Perjanjian-perjanjian yang sepihak, perjanjian ini dimana hanya salah satu pihak saja yang mempunyai hak sedangkan pihak lainnya hanya mempunyai kewajiban, seperti dalam perjanjian pemberian hadiah, hibah atau wasiat.17 iii. Perjanjian-perjanjian timbal balik yang tidak sempurna, merupakan perjanjian yang senantiasa timbul suatu kewajiban pokok bagi satu pihak, tetapi mungkin juga pihak lainnya wajib untuk melakukan sesuatu, tanpa disitu dengan tegas ada prestasi-prestasi yang satu dengan yang lain saling seimbang.18 b.
Bila dipandang dari sudut imbalan antar pihak, maka perjanjian itu dapat dibedakan atas : i. Perjanjian-perjanjian atas beban, yaitu perjanjian dimana kedua belah pihak masing-masing terbebani kewajiban terhadap pihak lain, perjanjian ini disebut juga dengan perjanjian imbalan. Contoh, dalam perjanjian jual beli, pergantian ganti rugi. ii. Perjanjian-perjanjian tanpa beban atau tanpa imbalan, yaitu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan sesuatu kepada pihak lain tanpa imbalan atau kewajiban apapun, jadi secara cuma-cuma.
c.
Bila dipandang dari sudut kemungkinan terlaksananya, maka perjanjian dapat dibedakan atas : i. Perjanjian biasa, yaitu perjanjian yang pada dasarnya akan ditepati oleh para pihak bila tidak ada sebab-sebab tertentu yang membatalkannya dan hal yang diperjanjikan sudah pasti, 16
Subekti, op.cit, h. 15 A. Ridwan Halim, Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, h. 155 18 H.F.A. Vollmar, op.cit, h.134 17
xcivVolume 11, No.1 Mei 2011
ii. Perjanjian untung-untungan, yaitu perjanjian yang belum pasti terjadi dan kalau terjadi dapat mendatangkan keuntungan atau mungkin juga kerugian atau resiko bagi salah satu pihak. d. Bila ditinjau dari sudut kekuatan yang mendasarinya, maka perjanjian itu dapat dibedakan atas, i. Perjanjian kesepakatan ( konsensuil ), yaitu perjanjian yang baru terjadi atas dasar kata sepakat atau persetujuan para pihak yang bersangkutan. ii. Perjanjian nyata ( riil ), yaitu perjanjian yang terjadi disamping berdasarkan kata sepakat juga telah terjadi suatu perbuatan hukum yang telah dilakukan, misalnya dengan penyerahan barang atau sejumlah uang sebelumnya dan sebagainya. e. Bila ditinjau dari sudut pandang tingkatan kepentingan maka perjanjian itu dapat dibedakan atas : i. Perjanjian primer (utama), yaitu perjanjian yang berisi hal-hal pokok yang mengikat kedua belah pihak untuk dipenuhi, seperti perjanjian hutang merupakan salah satu diantaranya, ii. Perjanjian sekunder (tambahan), yaitu perjanjian yang timbul kemudian sehubungan dengan akibat dari adanya perjanjian primer, jadi lahirnya sebagai akibat sampingan dari adanya perjanjian pokok diatas, contoh perjanjian penanggungan merupakan perjanjian tambahan dari perjanjian pokok sebelumnya yaitu perjanjian hutang. f. Bila dikaji dari sudut pandang pengaturan masalah yang disebutkan dalam perjanjian maka perjanjian itu dapat dibedakan atas : i. Perjanjian bernama, umpamanya perjanjian hutang, perjanjian jual beli, dan sebagainya, ii. Perjanjian tak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian lainnya yang tidak termasuk dalam perjanjian bernama dan diatur tersendiri (perjanjian-perjanjian khusus).19 Disamping pembedaan-pembedaan yang sudah disebut masih ada petunjukpetunjuk untuk kategori-kategori perjanjian khusus, yaitu sebagai berikut : a. Perjanjian liberator kebalikan dari obligator. Liberator ini merupakan perjanjian pembebasan hutang, sesuai dengan pasal 1474 KUHperdata, b. Perjanjian-perjanjian pembuktian dan perjanjian penetapan, c. Perjanjian yang bersifat hukum publik, yaitu perjanjian-perjanjian yang seluruhnya atau sebagian diliputi oleh hukum publik.20
19
A. Ridwan Halim, Op.Cit, h. 155-157
Volume 11, No.1 Mei 2011
xcv
C. Prestasi Yang Lahir Setelah Adanya Perjanjian Hutang Seperti dijelaskan diatas bahwa suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Hal yang harus dilaksanakan itu didalam perjanjian dinamakan prestasi. Yang dimaksud dengan prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Prestasi adalah obyek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai dengan jaminan harta kekayaan debitur. Dalam pasal 1131 dan pasal 1132 KUHPerdata dinyatakan bahwa semua harta kekayaan debitur baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan hutangnya terhadap kreditur. Tetapi jaminan umum ini dapat dibatasi dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang ditetapkan dalam perjanjian antara pihak-pihak. Sedangkan prestasi yang lahir setelah adanya perjanjian hutang ini dapat disimak pada pasal 1234 KUHPerdata, dinyatakan bahwa terdapat tiga kemungkinan wujud prestasi yaitu : a.
Memberikan sesuatu Dalam pasal 1235 KUHPerdata memberikan sesuatu ini adalah menyerahkan kekuasaan nyata atas suatu benda dari debitur kepada kreditur, misalnya dalam hutang piutang, dalam hal ini kewajiban si berhutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan sebagai barang jaminan kepada si berpiutang dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik sampai pada saat penyerahan. b. Berbuat sesuatu, Disini debitur wajib melakukan perbuatan tertentu yang telah ditetapkan dalam perjanjian, misalnya untuk mengosongkan rumah jika si berhutang tidak mampu lagi untuk membayar atau mengembalikan seluruh hutang-hutangnya kepada si berpiutang, c. Tidak berbuat sesuatu, Disini debitur tidak melakukan perbuatan yang telah ditetapkan dalam perjanjian, mislanya, tidak melakukan persaingan yang telah diperjanjikan, tapi jika debitur berbuat berlawanan dengan perjanjian ini ia bertanggung jawab karena ia telah melanggar perjanjian yang telah disepakatinya. Sedangkan prestasi yang lahir setelah adanya perjanjian hutang, akan bermasalah jika si berhutang (debitur) tidak menepati janjinya kepada si berpiutang 20
H.F.A. Vollmar, Op.Cit, h. 134-135
xcviVolume 11, No.1 Mei 2011
(kreditur) sehingga si berhutang tidak mampu lagi melaksanakan prestasinya dengan baik. Padahal seperti dijelaskan diatas, bahwa perjanjian yang dibuat secara sah dapat berakibat : a. dapat berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, b. perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang dan c. perjanjian itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik, dalam hal ini baik debitur maupun kreditur harus mampu melaksanakan prestasinya dengan baik. Dalam perjanjian hutang ini, jika salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya dan isi dari perikatan itu tentunya telah diketahui oleh kedua belah pihak. Dalam hal perjanjian hutang ini, agar terjamin bahwa debitur akan melunasi hutangnya tepat pada waktunya maka diadakan suatu perjanjian somasi (ancaman) bahwa bila debitur terlambat membayar hutangnya, maka untuk tiap bulan terlambat ia harus membayar bunga misalnya 10 % dari jumlah hutang yang masih tersisa. Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa si berhutang tidak dapat melaksanakan prestasinya dengan baik yaitu membayar hutangnya kepada si berpiutang maka si berhutang memiliki dua hal prestasi yaitu prestasi primair, yakni sejumlah tertentu yang ia pinjam dari si berpiutang ( utang pokok ) dan prestasi subsidair, yakni suatu ganti rugi atas keterlambatan pembayaran dari si berhutang kepada si berpiutang. Sedangkan barang yang subsidair ini tergantung dari isi perjanjian yang telah disepakati antara si berhutang dengan si berpiutang soal besarnya ganti rugi atau yang sering diebut dengan bunga ini.21 Menurut ketentuan pasal 1243 KUHPerdata ganti kerugian karena tidak dipenuhinya suatu perjanjian, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.
D. Tindakan Hukum Atas Wanprestasi Dari Salah Satu Pihak Wanprestasi merupakan kelalaian suatu pihak dalam memenuhi kewajibannya terhadap pihak lain yang seharusnya ditunaikannya berdasarkan perikatan yang telah dibuat, berarti jika salah satu pihak wanprestasi artinya pihak tersebut tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur dapat disebabkan oleh dua hal kemungkinan alasan yaitu : a. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun karena kelalaian, 21
Subekti, Op.Cit, h. 36
Volume 11, No.1 Mei 2011
xcvii
b.
Karena keadaan memaksa, overmacht, force majeure, jadi diluar kemampuan debitur, jadi debitur tidak bersalah.22 Sedangkan untuk menentukan apakah seorang debitur bersalah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi itu, ada 4 (empat) keadaan, yaitu : a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali, dalam hal ini tidak diperlukan penetapan lalai. Debitur dapat segera dituntut ganti rugi. Selain itu penetapan lalai tidak diperlukan dalam hal : i. Jika prestasi debitur yang berupa memberi atau berbuat sesuatu hanya mempunyai arti bagi kreditur, jika dilaksanakan dalam waktu yang sudah ditentukan, sesuai dengan pasal 1243 KUHPerdata, ii. Jika debitur melanggar perikatan untuk tidak berbuat.23 b. debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat. Dalam hal debitur terlambat memenuhi prestasinya, maka diperlukan penetapan lalai. Debitur baru dapat dibebani ganti rugi setelah ia diberi penetapan lalai, tetapi tetap lalai untuk memenuhi prestasinya. Penetapan lalai ini tidak diperlukan dalam hal : i. Debitur setelah terjadinya perikatan, baik secara tegas maupun diam-diam membebaskan kreditur dari kewajiban untuk memberikan penetapan lalai, ii. Debitur memberitahukan kreditur bahwa ia tidak akan memenuhi prestasi. 24 c. debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru, d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.25 Kemudian akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi hukum berikut ini : a. Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur, sesuai dengan pasal 1243 KUHPerdata, b. Apabila perikatan itu timbal balik, kreditur dapat menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan melalui hakim, sesuai dengan pasal 1266 KUHPerdata, c. Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada debitur sejak terjadinya wanprestasi, sesuai pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata, d. Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan atau pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian, sesuai pasal 1267 KUHPerdata, e. Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka pengadilan, dan debitur dinyatakan bersalah.26 22 23
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, h. 203 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra A. Bardin, Bandung,
1999, h. 19 24
Ibid, h. 20 Subekti, Op.Cit, h. 45 26 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, h. 204-205 25
Volume 11, No.1 Mei 2011 xcviii
Dengan demikian jika debitur melakukan wanprestasi maka kreditur berhak untuk : a. Tetap menuntut agar debitur melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang diharapkan semula, meskipun sudah terlambat, b. Menuntut agar debitur tetap melaksanakan kewajibannya yang sudah terlambat itu dengan ganti kerugian yang layak, c. Menuntut ganti kerugian saja seluruhnya, yang meliputi kerugian yang sudah diderita dan laba yang tidak jadi diterima karena lalainya pihak debitur, d. Menuntut agar perjanjian dibatalkan (berdasarkan asas lex commisoria yang berarti bahwa hukum membatalkan bila ada wanprestasi).27 Sehubungan wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah si berhutang melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya, maka harus dibuktikan di muka hakim. Terkadang juga tidak mudah untuk mengatakan bahwa seseorang lalai atau alpa, karena seringkali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan sesuatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang dijanjikan. Dalam perjanjian hutang misalnya, tidak ditetapkan kapan pelunasannya harus ditentukan atau berapa bunga bila terjadi keterlambatan atas pembayaran hutang tadi. Sehingga yang paling mudah untuk menetapkan seorang melakukan wanprestasi ialah dalam perjanjian yang bertujuan untuk tidak melakukan suatu perbuatan, apabila ia melakukannya berarti ia melanggar hukum. AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
A. Rumusan Penanggungan Seperti dijelaskan diatas sesuai dengan Pasal 1131 KUHPerdata bahwa segala kebendaan seorang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Meskipun demikian, jaminan secara umum itu sering dirasakan kurang cukup dan kurang aman, karena selainnya bahwa kekayaan si berhutang pada suatu waktu bisa habis, juga jaminan secara umum itu berlaku untuk semua kreditur, sehingga kalau ada banyak kreditur, ada kemungkinan beberapa orang dari mereka tidak lagi mendapat bagian. Jadi penanggungan merupakan suatu bentuk jaminan yang bersifat pribadi dan dalam hal ini adanya berhadapan dengan jaminan kebendaan. Suatu kewajiban untuk memberikan penanggungan atau penjaminan pada umumnya kadang-kadang timbul dari dalam undang-undang atau dari dalam suatu keputusan atau penetapan.28 27 28
A. Ridwan Halim, Op.Cit, h. 158-159 H.F.A. Vollmar, Op.Citt, h. 444.
Volume 11, No.1 Mei 2011
xcix
Oleh karena itu maka seringkali seorang kreditur minta diberikan jaminan khusus dan jaminan khusus ini bisa berupa jaminan kebendaan (hipotik, gadai, fiduciair) dan bisa juga berupa jaminan perorangan. Yang terakhir inilah yang dinamakan penanggungan hutang atau sering disebut dengan “borgtocht atau quaranty”.29 Selanjutnya penanggungan atau borgtocht ini ada dua pihak yang dapat berlaku sebagai penanggung dalam perjanjian hutang yaitu : a. Personal guarantee, yaitu penanggungan yang dilakukan oleh orang perseorangan, b. Corporate guarantee, yaitu penanggungan yang dilakukan oleh suatu badan hukum atau korporasi atau sebuah perusahaan.30 Sedangkan pengertian penanggungan atau borgtocht sendiri diatur dalam Buku III Bab XVII, khususnya dalam pasal 1820 KUHPerdata adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang, manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya. Jika dalam hal hipotik, gadai dan fiduciair sudah diletakkan suatu ikatan kebendaan (kreditor memperoleh suatu hak atas benda-benda tertentu), maka dalam hal penanggungan ini baru tercipta suatu perikatan perorangan. Kemudian dalam pasal 1821 KUHPerdata disebutkan bahwa tiada penanggungan jika tidak ada suatu perikatan pokok yang sah. Namun dapatlah seorang mengajukan diri sebagai penanggung untuk suatu perikatan , biarpun perikatan itu dapat dibatalkan dengan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya pribadi si berhutang, misalnya dalam hal orang belum dewasa.
B. Bentuk dan Sifat Penanggungan Dalam Perjanjian Hutang Sebenarnya sesuai dengan pasal 1338 KUHPerdata, bentuk perjanjian ini dapat dilaksanakan bebas sesuai dengan kehendak para pihak, namun guna kepentingan pembuktian maka bentuk perjanjian penanggungan dan perjanjian hutang ini dapat dibedakan kedalam beberapa bentuk, diantaranya : a. Dalam bentuk tertulis, ini dapat terbagi dalam : i. dalam bentuk standar atau baku sebagaimana perjanjian kredit pada umumnya, ii. akta baik notarial maupun dibawah tangan, iii. para pihak sendiri dalam bentuk sehelai surat b. Dalam suatu pernyataan lisan.31 29 30
Ibid, h. 445 A. Yudha Hernoko, Hukum Jaminan, PPS, Univ. Airlangga, Surabaya, 2000,
h. 23 31
c
Ibid, h. 5
Volume 11, No.1 Mei 2011
Sedangkan dalam pembuktian dari perjanjian penanggungan maka perjanjian penanggungan dalam perjanjian hutang yang paling kuat adalah dalam bentuk akta otentik yang definisinya diberikan dalam pasal 1868 KUHPerdata, suatu akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat mana akta itu dibuatnya, sedangkan akta dibawah tangan, dalam pasal 1874 KUHPerdata dijelaskan bahwa sebagai tulisan-tulisan dibawah tangan, surat-surat, register-register surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum. Disamping itu, pada asasnya setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjianperjanjian atau melakukan perbuatan-perbuatan hukum apa saja yang dikehendakinya dan orang lain tak dapat mencampuri ataupun menghalang-halangi perbuatanperbuatannya itu. Ketentuan diatas menunjukkan bahwa penanggungan itu adalah suatu perjanjian accessoir seperti halnya dengan perjanjian hipotik dan pemberian gadai, yaitu bahwa eksistensi atau adanya penanggungan itu tergantung dari adanya suatu perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang pemenuhannya ditanggung atau dijamin dengan perjanjian penanggungan itu. Sehingga masih adanya kemungkinan untuk diadakannya suatu perjanjian penanggungan terhadap suatu perjanjian pokok, yang dapat dimintakan pembatalannya, misalnya suatu perjanjian pokok yang diadakan oleh seorang yang belum cukup dewasa. Hal itu dapat diterima dengan pengertian, bahwa apabila perjanjian pokok itu dikemudian hari dibatalkan, maka perjanjiannya penanggungan juga ikut batal. Dari uraian diatas maka dapat dikatakan bahwa syarat-syarat daripada seorang penanggungan sebagaimana diatur dalam pasal 1822 KUHPerdata yaitu antara lain sebagai berikut : a. seorang penanggungan tidak dapat mengikatkan diri untuk lebih dari utangnya yang ada pada perjanjian pokoknya, b. seorang penanggung tidak dapat mengikatkan dirinya untuk lebih berat daripada syarat-syarat yang ada dalam perjanjian pokoknya, c. jika hal itu tetap dilaksanakan, maka perikatannya tidak sama sekali batal, melainkan penanggung hanya sah sesuai dengan apa yang ada di dalam perjanjian pokoknya itu saja. Persyaratan diatas berkaitan dengan sifat perjanjian penanggungan sebagai suatu perjanjian accessoir, sebagaimana diterangkan diatas. Perikatan-periktan dalam perjanjian yang sifatnya “tambahan atau mengabdi” kepada suatu perjanjian pokok, tidak bisa melebihi perikatan-perikatan yang diterbitkan oleh perjanjian pokok itu. Sehingga perjanjian penanggungan akan lahir setelah adanya perjanjian pokoknya terlebih dahulu yaitu perjanjian hutang antara debitur dengan kreditur, begitu pula sebaliknya, jika perjanjian hutangnya gugur atau batal atau tidak jadi maka
Volume 11, No.1 Mei 2011
ci
perjanjian penanggungannyapun secara otomatis juga ikut gugur, tetapi jika perjanjian penanggungannya yang gugur maka perjanjian pokoknya (hutang) belum tentu gugur.
C. Ketentuan Tentang Hapusnya Perjanjian Hutang Mengenai hapusnya perjanjian hutang ini secara umum telah ditegaskan dalam pasal 1381 KUHPerdata, bahwa perikatan-perikatan hapus dikarenakan beberapa hal diantaranya adalah : a. pembayaran, Dalam perjanjian hutang, maka jika si berhutang atau debitur atau seorang penanggung hutang atau dalam pasal 1332 dapat juga pihak ketiga bertindak dan atas nama debitur untuk melunasi utangnya dengan melakukan pembayaran sesuai dengan jumlah dari isi perjanjian hutang dengan kreditur maka secara otomatis perjanjian hutang tersebut akan hapus, b. penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan, Ini adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan jika kreditur menolak pembayaran. Misalnya kreditur tidak mau menerima pembayaran dari debitur dalam bentuk barang, maka debitur melakukan pelelangan atas barang tersebut, setelah laku baru dibayarakan kepada kreditur, namun seluruh biaya penyimpanan, penitipan dan pelelangan barang itu dibebankan kepada debitur. c. Pembaharuan hutang atau novasi Novasi adalah suatau persetujuan yang menyebabkan hapusnya suatu perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.32 Novasi ini terdiri dari 3 macam yaitu novasi obyektif, dimana perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain, kemudian novasi subyektif pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur lainnya dan novasi subyektif aktif, yaitu krediturnya diganti oleh kreditur lain.33 d. Perjumpaan hutang atau kompensasi Ini adalah suatu cara penghapusan hutang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan hutang piutang secara timbal balik antara kreditur dengan debitur. Misalnya A punya hutang B sejumlah Rp 1.000.000,-, kemudian B punya hutang A sejumlah Rp 800.000,- hal itu jika dikompensasikan maka A masih hutang kepada B sebesar Rp 200.000,e. Percampuran hutang, Hapusnya hutang dalam percampuran hutang ini benar-benar demi hukum dalam arti otomatis, seperti debitur dan kreditur akhirnya melakukan perkawinan dalam suatu kesatuan harta kawin. 32 33
cii
R. Setiawan, Op.Cit, h. 116 Ibid, h. 117
Volume 11, No.1 Mei 2011
f.
g.
h.
Pembebasan hutang, Pembebasan hutang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur. Jadi dengan sendirinya kreditur dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari debitur dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka hubungan hutang piutang itu dengan sendirinya juga hapus. Musnahnya barang yang terutang, Jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan atau hilang hingga sama sekali tak diketahui, apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perjanjiannya. Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan Kebatalan ini dapat berimplikasi pada dua hal yaitu batal demi hukum ini kebatalannya terjadi karena undang-undang dan dapat dibatalkan, kebatalan ini baru mempunyai akibat setelah ada putusan hakim. Suatu perbuatan hukum adalah batal, jika perbuatan hukum tersebut tidak menimbulkan akibat-akibat hukum yang dimaksud. Jadi perjanjian- perjanjian yang bertentangan dengan kesusilaan adalah batal secara mutlak, maka hapus pula perjanjian hutang yang dilaksanakan atas dasar itu.
D. Akibat Hukum Adanya Perjanjian Penanggungan Si penanggung tidaklah diwajibkan membayar kepada si berpiutang, kecuali jika siberpiutang lalai, sedangkan harta bendanya si berhutang ini harus lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi hutangnya, sesuai dengan pasal 1831 KUHPerdata. Dari ketentuan tersebut, maka tanggung jawab si penanggung merupakan suatu cadangan dalam halnya harta benda si debitur tidak mencukupi untuk melunasi hutangnya, barulah tiba gilirannya untuk menyita barang harta benda si penanggung. Tegasnya apabila seorang penanggung dituntut untuk membayar hutangnya debitur (yang ditanggung olehnya) ia berhak untuk menuntut supaya dilakukan lelang sita untuk melunasi hutangnya dalam hal : a. Jika ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut dilakukannya lelang sita lebih dahulu atau harta benda si berhutang tersebut, b. Jika ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan si berhutang-utana secara tanggung menanggung, dalam hal ini akibat-akibat perikatannya diatur menurut asas-asas yang ditetapkan untuk hutang-hutang tanggung menanggung, c. Jika si berhutang dapat mengajukan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya sendiri secara pribadi, d. Jika si berhutang berada dalam keadaan pailit, dan e. Dalam halnya dengan penanggungan yang diperintahkan oleh hakim.34 34
R. Subekti, Op.Cit, h. 168
Volume 11, No.1 Mei 2011
ciii
Kemudian dari pasal 1832 KUHPerdata dapat diurai sebagai berikut : Bahwa ada kemungkinan si penanggung melepaskan haknya untuk menuntut dilakukannya lelang sita lebih dahulu atas harta benda si berhutang utama, pelepasan hak istimewa itu dilakukan dalam perjanjiannya penanggungan yang diadakan dengan kreditur, tetapi juga dapat dilakukan kemudian, baik dalam suatu perjanjian lagi maupun dengan suatu pernyataan sepihak, b. Bahwa ada kemungkinan si penanggung mengikatkan dirinya bersama-sama (dalam satu perjanjian) dengan si berhutang utama secara tanggung menanggung atau sering disebut dengan “penanggung solieder” atau “solidaire borg”. Keadaan yang seperti itu memperkuat kedudukan kreditur, karena ia dapat menuntut baik debitur maupun penanggung masing-masing untuk seluruh hutang, menurut kehendaknya, c. Tangkisan yang hanya mengenai dirinya si berhutang sendiri secara pribadi adalah misalnya kalau hutang yang dituntut pembayarannya, yang telah ditanggung oleh si penangung, dibuat oleh debitur dalam kedudukannya sebagai direktur sebuah perseroan, sedangkan perusahaannya sudah tidak ada lagi dipegangnya kedudukan tersebut, gugatan itu oleh hakim dinyatakan tidak diterima. Jika tangkisan (eksepsi) itu diterima, maka bagi kreditur sudah tidak ada jalan lagi untuk mendapat uangnya kembali, d. Jika si debitur jatuh pailit, ia tidak lagi dapat digugat dimuka pengadilan dan tidak dapat dilakukan penyitaan lagi atas harta bendanya, e. Penanggungan yang diperintahkan oleh hakim adalah misalnya penanggungan yang diperintahkan kepada seorang wali sebagai jaminan atas pengurusan harta benda seorang anak yang belum dewasa, Si berpiutang tidak diwajibkan untuk menyita dan menjual lebih dulu harta benda si berhutang, kecuali jika hal itu diminta oleh si penanggung pada waktu pertama kali dituntut dimuka pengadilan. Dari berbagai uraian diatas maka mengenai hubungan hukum antara penanggung dan debitur dan mengenai hubungan hukum antar para penanggung. Seperti diketahui dalam perjanjian penanggungan terkadang tidak hanya melibatkan satu orang penanggung saja tetapi dimungkinkan lebih dari itu, hal ini diatur sedemikian rupa antara penanggung satu dengan lainnya agar tidak ada penanggung yang merasa dirugikan. Tetapi jika ada penanggung yang merasa dirugikan, seperti penanggung telah melunasi hutangnya si berhutang, baik secara terpaksa maupun dengan cara suka rela, diberikan hak untuk memperoleh pelunasan mengenai apa yang telah dibayarkan dari debitur utama tersebut. a.
E. Hambatan Atas Penanggungan Hutang
civ Volume 11, No.1 Mei 2011
Sehubungan perjanjian penanggungan ini merupakan jaminan perorangan maupun corporate guarantee, maka perjanjian penanggungan ini selalu diadakan antara kreditur dan pihak ketiga dalam perjanjian dengan mana pihak ketiga guna kepentingan kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya debitur bilamana debitur sendiri tidak memenuhinya, seperti yang dijelaskan dalam pasal 1820 KUHPerdata. Oleh karena itu penanggungan hutang ini diadakan untuk kepentingan kreditur, maka penanggungan hutang dapat diadakan baik dengan sepengetahuan debitur maupun tidak sepengetahuannya, hal ini sesuai dengan pasal 1823 KUHPerdata. Dengan mengadakan perjanjian penanggungan hutang ini, jika debitur lalai memenuhi perikatannya maka kreditur dapat menuntut pihak penanggung, tanpa mengurangi hak penanggung untuk menuntut agar barang-barang debitur bisa disita terlebih dahulu dan dijual untuk melunasi hutangnya. Dari beberapa uraian diatas maka terdapat kendala atau masalah dalam penanggungan hutang oleh perorangan ini dalam praktek perjanjian hutang selama ini, yaitu a. Adanya ketentuan bahwa kesediaan penanggung untuk menjadi penanggungan ini dapat dilakukan sepengetahuan debitur maupun tanpa sepengetahuan debitur. Jika hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan debitur maka dikhawatirkan terjadi kemungkinan dari pihak debitur sendiri, dengan alasan yang bersangkutan tidak memintanya, sehingga jika terjadi kerugian atas diri penanggung maka penanggung tersebut tidak dapat meminta ganti rugi kepada debitur; b. Adanya perjanjian penanggungan hutang ini, jika debitur lalai memenuhi perikatannya maka kreditur dapat menuntut pihak penanggung, tanpa mengurangi hak penanggung untuk menuntut agar barang-barang debitur bisa disita terlebih dahulu dan dijual untuk melunasi hutangnya.
KESIMPULAN a.
Sistem perjanjian pertanggungan hutang pada umumnya di Indonesia, sebagaimana dalam sistem yang dianut dalam Buku III KUHPerdata tentang hukum perikatan ini dikatakan menganut sistem terbuka dan sifatnya adalah sebagai pelengkap artinya bahwa para pihak diperbolehkan membuat perjanjian apapun, asal isinya tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, sesuai dengan pasal 1337 KUHPerdata. Jika para pihak tidak mengatur perjanjian yang mereka buat secara lengkap, maka undang-undang akan melengkapinya. Mengenai sistem terbuka dan sifat pelengkap yang dianut dalam Buku III KUHPerdata itu dari pasal 1338 ayat (1), maka semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Disamping itu perjanjian pertanggungan hutang ini bersifat accessoir. Perikatan-perikatan dalam perjanjian yang sifatnya “tambahan atau mengabdi” kepada suatu perjanjian pokok, tidak bisa melebihi perikatan-perikatan yang diterbitkan oleh perjanjian pokok Volume 11, No.1 Mei 2011
cv
b.
itu. Sehingga perjanjian penanggungan akan lahir setelah adanya perjanjian pokoknya terlebih dahulu yaitu perjanjian hutang antara debitur dengan kreditur, begitu pula sebaliknya, jika perjanjian hutangnya gugur atau batal atau tidak jadi maka perjanjian penanggungannyapun secara otomatis juga ikut gugur, tetapi jika perjanjian penanggungannya yang gugur maka perjanjian pokoknya (hutang) belum tentu gugur. Masalah-masalah hukum yang timbul perjanjian hutang menurut Kitab Undangundang Hukum Perdata, selama ini adalah bahwa perjanjian penanggungan merupakan jaminan perorangan maupun corporate guarantee, maka perjanjian penanggungan ini selalu diadakan antara kreditur dan pihak ketiga guna kepentingan kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya debitur bilamana debitur sendiri tidak memenuhinya, seperti yang dijelaskan dalam pasal 1820 KUHPerdata, namun sayangnya, ada beberapa kendala diantaranya adalah : - tidak sembarang orang dapat untuk menjadi penanggung, tetapi harus terlebih dahulu adanya persetujuan dari pihak kreditur, baik sepengetahuan debitur maupun tidak, - sehubungan dalam dunia perbankan, terdapat Daftar Orang Tercela, maka prinsip kehati-hatian dan kepercayaan kreditur dalam memberikan pinjaman kepada debitur nasabah, tetap tak terabaikan, sehingga meskipun ada pihak penanggung namun tidak semestinya pihak kreditur langsung menyetujui perjanjian tersebut, - Sehubungan perjanjian penanggungan hutang ini, pihak penanggung suatu saat harus mampu menanggung hutang pihak debitur maka, tidak sembarang orang pula mau untuk menjadi penanggung atas hutang- hutang debitur.
SARAN a.
b.
Perlu adanya profesionalisme kerja pada tataran perbankan, khususnya menyangkut perjanjian hutang, sebab tidak sedikit para debitur kelas kakap yang nyata-nyata sebagai debitur yang tidak baik, justru mereka inilah yang selalu mendapatkan kepercayaan dari pihak kreditur, maka jangan heran jika banyak perusahaanperusahaan besar justru cepat jatuh sehubungan pemiliknya berkaitan dengan ketidakjujuran ini, Perlu adanya perjanjian hutang yang sederajat, antara pihak debitur dengan kreditur sehingga mereka sama-sama memiliki posisi yang kuat sehingga pihak kreditur tidak merasa kuat atas posisi debitur yang dinilai paling membutuhkan kreditur, sehingga seharusnya yang terjadi adalah mitra janji bukan lawan janji.
cvi Volume 11, No.1 Mei 2011
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK MASYARAKAT DALAM MEMPEROLEH PELAYANAN PUBLIK OLEH PEMERINTAH DAERAH
Oleh: Win Yuli Wardani, SH., M.Hum35*
ABSTRAK Perlindungan hukum terhadap hak masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan jaminan terhadap hak masyarakat baik secara yuridis konstitusional maupun secara etika sosial yang merupakan cita-cita Negara hukum Indonesia yang sejak awal didirikan menghendaki perlindungan hak masyarakat warga Negara. Kata Kunci: Perlindungan Hukum - Hak Masyarakat – Pelayanan Publik.
LATAR BELAKANG Negara adalah sebuah lembaga yang terbentuk dari persekutuan manusia atau rakyat yang secara bersama-sama melakukan aktifitas dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya. Kehendak manusia untuk berkumpul dan berkelompok disebabkan disebabkan oleh kesadarannya akan kepentingan bersama yang kemudian terwujud dalam proses interaksi sosial. Dari interaksi sosial tersebut dihasilkan sitem nilai yang selanjut menghasilkan kaedah-kaedah yang teraktualisasi dalam bentuk hak dan kewajiban dalam masyarakat. Bertolak pada pengembangan prinsip-prinsip kehidupan masyarakat yang demokratis, unsur yang sangat menentukan pengembangan sistem hukum dan penegakannya adalah budaya hukum yang berlaku dalam masyarakat. Budaya hukum dalam konteks perkembangan perjalanan masyarakat Indonesia menuju masyarakat yang demokratis dapat menjadi faktor integral yang mempersatukan bangsa Indonesia di tengah-tengah tuntutan adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, sekaligus juga hak masyarakat. Salah satu konsekwensi pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak dasar oleh negara adalah diwujudkan dalam bentuk pembentukan peraturan perundangundangan. Dalam kaitan dengan hal ini, pemerintah wajib memberikan pelayanan 1*Penulis adalah
Dosen Fakultas Hukum Unira.
Volume 11, No.1 Mei 2011
cvii
terhadap masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya sebagai regulasi dan payung hukum dari hak masyarakat. Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa Negara wajib melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seluruh kepentingan publik harus dilaksanakan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara, yaitu dalam berbagai sektor pelayanan, terutama yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil dan kebutuhan dasar masyarakat. Pelayanan publik adalah salah satu hak yang dapat dinikmati oleh setiap masyarakat yang berkepentingan dengan apa yang mereka butuhkan. Karena pelayanan publik merupakan natural rights di mana mereka sejak lahir sudah memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan. Pelayanan publik perlu dilihat sebagai usaha pemenuhan kebutuhan dan hak-hak dasar masyarakat. Oleh karena itu pelayanan publik merupakan hak yang sudah selayaknya dapat dinikmati oleh segenap masyarakat. Dalam hal ini penyelenggaraan pelayanan publik tidak hanya yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, lebih dari itu juga pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah. Namun demikian semua peraturan yang mengatur tentang sistem pelayanan publik disemua institusi yang berada disetiap tingkatan daerah otonom secara hierarkhi tetap berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Hal ini tidak lain karena peraturan perundang-undangan yang lebih rendah juga merupakan implementasi dari peraturan tingkat di atasnya. Penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah masih dihadapkan pada beberapa kendala, yang antara lain adalah sistem pemerintahan yang belum efektif dan efisien yang disebabkan oleh kualitas sumber daya manusia dari aparatur ataupun sarana yang belum memadai. Hal ini terlihat dari masih banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat baik secara langsung maupun melalui media massa. Namun demikian upaya peningkatan terhadap kualitas dari sistim pelayanan publik harus tetap menjadi tujuan dalam rangka upaya pemenuhan hak-hak dasar manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat. Berdasarkan uraian dan latar belakang tersebut di atas, maka dapat diidentifikasi 2 (dua) rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah sistem pelayanan publik menurut hukum positif di Indonesia ? 2. Sejauhmanakah perlindungan hukum terhadap hak masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik oleh pemerintah? Penelitian ini mengambil judul “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Masyarakat Dalam Memperoleh Pelayanan Publik Oleh Pemerintah ”. Judul di atas terdiri dari beberapa sub pokok konsep/pengertian yang berkaitan dengan pelayanan publik di daerah seperti hak, perlindungan hukum, konsep pelayanan publik, prinsip pelayanan publik, dan teori kualitas pelayanan publik sebagai parameter analisis hasil penelitian di bab berikutnya yang akan penulis jelaskan sebagai berikut:
cviiiVolume 11, No.1 Mei 2011
Perlindungan hukum adalah suatu jaminan perlindungan pemerintah yang diberikan terhadap warga negara sebagai subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pengertian ini perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan ketertiban, keadilan, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian bagi masyarakat. Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.36 Pelayanan publik atau pelayanan umum dapat diartikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan BUMN atau BUMD baik dalam upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.37 Penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.38 SISTEM PELAYANAN INDONESIA
PUBLIK
MENURUT
HUKUM
POSITIF
DI
A. Transparansi Pelayanan Publik Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa jika dicermati dewasa ini penyelenggaraan pelayanan publik masih dihadapkan pada kendala - kendala yang menjadikan sebab sistem pelayanan publik tidak sesuai dengan kebutuhan dan perubahan di berbagai bidang kehidupan masyarakat khususnya di daerah. Keadaan tersebut diikuti dengan pergeseran nilai yang harus disikapi dengan bijak melalui langkah kegiatan yang terus-menerus dan berkesinambungan dalam berbagai aspek pembangunan untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan pelayanan publik. Menurut Ahmad Hidayat beberapa studi menunjukkan bahwa akar permasalahan yang menyebabkan buruknya kinerja pelayanan publik adalah 36
R I Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Pasal 1 angka 1. 37 Keputusan Menpan Nomor 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik 38 R I Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Pasal 1 angka 2. Volume 11, No.1 Mei 2011
cix
prosedur pelayanan publik yang berbelit-belit dan tidak transparan (tidak terbuka). Oleh karena itu, transparency (trans paransi/keterbukaan) pelayanan publik adalah merupakan salah satu hal yang harus segera diwujudkan demi untuk meningkatkan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan memenangkan persaingan di era globalisasi sekarang ini.39 Transparansi (transparency) merupakan salah satu prinsip dalam perwujudan good governance (pemerintahan yang baik). Good governance dan otonomi daerah adalah dua konsep yang saling berkaitan, dan berinteraksi dalam suatu korelasi yang bersifat positif. Keduanya saling menyediakan iklim kondusif yang berkembang satu sama lain. Akan tetapi, konsep good governance mudah diucapkan, namun sebenarnya agak sulit untuk merumuskan ke dalam satu bahasa yang bisa diterima khalayak karena di dalamnya ada unsur etika atau tata nilai.40 Dalam hubungannya dengan transparansi pelayanan publik di atas, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan pengembangan transparansi pelayanan publik. Kebijakan pemerintah untuk mengembangkan transparansi pelayanan publik diatur dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor. KEP/26/M.PAN/2/2004 Tanggal 24 Februari 2004 Tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Kebijakan tersebut berdasarkan pada alinea ke4 pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 telah mengamanatkan bahwa negara wajib melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka pelayanan umum dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, orientasi pada kekuasaan yang amat kuat selama ini telah membuat birokrasi menjadi semakin jauh dari misinya untuk memberikan pelayanan publik. Birokrasi dan para pejabatnya lebih menempatkan dirinya sebagai penguasa dari pada sebagai pelayan masyarakat. Akibatnya sikap dan perilaku birokrasi dalam penyelegaraan pelayanan publik cenderung mengabaikan aspirasi dan kepentingan masyarakat. Berkembangnya budaya paternalistik ikut memperburuk sistem pelayanan publik melalui penempatan kepentingan elit politik dan birokrasi sebagai variabel yang dominan dalam penyelengaraan pelayanan publik. Elit politik dan birokrasi, dan atau yang dekat dengan mereka, seringkali memperoleh perlakuan istimewa dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Akses terhadap pelayanan dan kualitas pelayanan publik sering berbeda tergantung pada kedekatannya dengan elit birokrasi dan politik. Hal seperti ini sering mengusik rasa keadilan dalam masyarakat yang nerasa diperlakukan secara tidak wajar oleh birokrasi publik.
39
Ahmad Hidayat, “Transparansi Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Indonesia”, artikel dalam www.untagjakarta.ac.id pdf diakses 10 Pebruari 2011, hal. 1 40 Ibid.
cx
Volume 11, No.1 Mei 2011
B. Aspek Hukum Pelayanan Publik Pelayanan publik merupakan program nasional untuk memperbaiki fungsi pada sistem pelayanan publik. Pelayanan publik diartikan sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah untuk memenuhi hak-hak warga masyarakat. Pelayanan publik dibatasi pada pengertian bahwa pelayanan publik merupakan segala bentuk pelayanan sektor publik yang dilaksanakan aparat pemerintah dalam bentuk barang dan atau jasa, yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelayanan publik merupakan sarana pemenuhan kebutuhan mendasar masyarakat untuk kesejahteraan sosial, sehingga perlu memperhatikan nilai-nilai, sistem kepercayaan, religi, kearifan lokal serta keterlibatan masyarakat. Perhatian terhadap beberapa aspek ini memberikan jaminan bahwa pelayanan publik yang dilaksanakan merupakan ekspresi kebutuhan sosial masyarakat. Dalam konteks itu, ada jaminan bahwa pelayanan publik yang diberikan akan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, masyarakat akan merasa memiliki pelayanan publik tersebut sehingga pelaksanaannya diterima dan didukung penuh oleh masyarakat. Pelaksanaan pelayanan publik erat kaitannya dengan kebijakan yang diturunkan kepada pejabat pelaksana pelayanan yang merupakan serangkaian petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang berlaku internal dalam birokrasi pelayanan publik. Sedangkan dari sisi masyarakat yang penting adalah adanya suatu standar pelayanan publik yang menjabarkan pada masyarakat tentang pelayanan apa yang menjadi haknya, siapa yang bisa mendapatkannya, apa persyaratannnya, juga bagaimana bentuk layanan itu. Untuk mewujudkan keinginan tersebut dan menjadikan kebijakan tersebut efektif, maka diperlukan sedikitnya 3 (tiga) hal: a. Adanya perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan sehingga dapat diketahui publik apa yang telah diputuskan; b. Kebijakan ini harus jelas struktur pelaksana dan pembiayaannya; dan c. Adanya kontrol publik, yakni mekanisme yang memungkinkan publik mengetahui apakah kebijakan ini dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan atau tidak.41 Upaya meningkatkan kualitas pelayanan tidak hanya ditempuh melalui keputusan-keputusan MENPAN sebagaimana tersebut di atas, namun juga melalui peningkatan kemampuan aparat dalam memberikan pelayanan. Upaya ini dilakukan dengan cara memberikan berbagai materi mengenai manajemen pelayanan dalam diklatdiklat struktural pada berbagai tingkatan. Sesuai dengan katentuan di atas, Pasal 2 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menegaskan bahwa undang-undang pelayanan publik
41
www.wikipedia.org 2008.
Volume 11, No.1 Mei 2011
cxi
dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara masyarakat dan penyelenggara dalam pelayanan publik. Selanjutnya Pasal 3 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mengatur/menetapkan tujuan undang-undang tentang pelayanan publik adalah: 1. Terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik. Perwujudan batasan dan hubungan mengenai hak, kewajiban serta tanggung jawab antara pemberi pelayanan dengan masyarakat sebagai pihak yang terlayani tidak boleh tidak harus diwujudkan dalam konsep sistem standarisasi pelayanan publik melalui pengaturan hukum pelayanan publik yang merespon semua kebutuhan masyarakat. 2. Terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik. Sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak akan mampu memberikan kepuasan masyarakat atas pelayanan yang diberikan bahkan mampu memberikan interes positif bagi masyarakat. 3. Terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ketika pelayanan publik sudah didasarkan pada standar pelayanan yang telah ditetapkan oleh masing-masing institusi pelayanan publik, maka optimalisasi pelayanan publik akan terwujud. 4. Terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat hanya dapat diperoleh apabila ada dan didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya bukan didasarkan pada kehendak pejabat institusi pelayanan publik. Jadi jika diamati dari Pasal 3 tersebut di atas, maka jelas bahwa aspek hukum pelayanan publik ini adalah adanya hubungan hak dan kewajiban antara birokrasi pelayanan publik dengan masyarakat sebagai penerima pelayanan publik, adanya jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam memperoleh hak pelayanan publik, adanya payung hukum bagi masyarakat dalam memperoleh hak pelayanan publik sebagai hak yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah, dan terciptanya standarisasi pelayanan publik melalui pengaturan hukum pelayanan publik yang merespon semua kebutuhan masyarakat. C. Efektivitas Pelayanan Publik Efektif tidaknya pelayanan publik disemua institusi pada tiap tingkatan daerah otonom sedikit banyak akan dipengaruhi oleh pengaturan hukum dan birokrasi sebagai pelayan publik yang akan penulis jelaskan di bawah ini. Di Indonesia upaya memperbaiki pelayanan publik sebenarnya juga telah sejak lama dilaksanakan oleh pemerintah, antara lain melalui Inpres Nomor 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha.
cxiiVolume 11, No.1 Mei 2011
Upaya ini dilanjutkan dengan Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Untuk lebih mendorong komitmen aparatur pemerintah terhadap peningkatan mutu pelayanan, maka telah diterbitkan pula Inpres Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat. Pada perkembangan terakhir telah diterbitkan pula Keputusan Menpan Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Kemudian lahirlah Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor. KEP/26/M.PAN/2/2004 Tanggal 24 Februari 2004 Tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Dalam kaitan ini, ada 2 (dua) badan yang mengelola pelayanan publik. Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPan) bertanggungjawab terhadap regulasi yang mengatur administrasi negara. Badan ini menjalankan fungsinya melalui pengumuman kebijakan dan surat keputusan menteri yang seringkali tidak dihiraukan oleh birokrasi lainnya. Badan Kepegawaian Nasional (BKN) secara formal bertanggungjawab terhadap implementasi perundangan pelayanan publik dengan mengeluarkan ”rule of the game”/aturan main dalam penerimaan, pemecatan dan promosi, dan meregulasi jumlah pelayanan ini. Departemen Keuangan juga memainkan peran penting, karena alokasi anggarannya menentukan jumlah ini. Departemen Dalam Negeri juga memegang peran penting melalui desentralisasi administrasi dalam pengelolaan pelayanan publik mereka. Standarisasi pelayanan adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur.42 Pejabat Pemerintah sebagai administrator publik adalah birokrat mempunyai kewenangan sebagai pelaksana kebijaksanaan yang telah dirumuskan oleh superior politiknya (pembuat kebijaksanaan). Dengan demikian, ia tidak memiliki peran politik, tetapi semata-mata instrumental yang mempunyai tanggung jawab administratif/administrative responsibility. Ia hanya pelaksana kepentingan publik dan bukan yang berperan dalam menerjemahkan/merumuskan kepentingan publik.43 Michael Mon Harmon menyatakan, bahwa tugas utama administrator publik mempunyai hubungan yang erat sekali dengan kepentingan publik, tetapi sayangnya
42
R I Undang-undang Nomor 25 tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik Pasal 1 angka 7 43 Irfan Ilamy, 1989. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bina Aksara hlm. 11 Volume 11, No.1 Mei 2011
cxiii
jarang sekali mereka mengenal teori tentang kepentingan publik.44 Krisis ini memberikan pelajaran betapa rapuhnya sistem birokrasi publik di Indonesia dalam menghadapi perubahan-perubahan yang cepat dalam lingkungannya. Mengenai permasalahan kurang efektif dan efisiensinya pelayanan publik oleh aparat sebagai dampak negatif yang disebabkan besarnya jumlah pegawai dan penambahan jumlah instansi. Saat ini pemerintah membutuhkan kinerja yang profesional dan orientasi pada kesejahteraan sosial. Melalui seleksi pegawai yang adil dan proposional dapat melihat permasalahan yang sebenarnya terjadi ditengah masyarakat baik dari segi ekonomi, politik, hukum dan budaya. Birokrasi yang rumit merupakan permasalahan klasik yang diturunkan melalui era orde baru status quo. Pengalaman yang terjadi adalah prosedur administrasi mulai dari bawah sampai ke-atas secara hierarkis tidak mampu menyelesaikan masalah melainkan menambah masalah baru, yaitu monopoli aparat penyelenggara pelayanan yang hanya dapat tunduk kepada atasannya. Tidak terbatasnya kewenangan aparat membuat kontrol masyarakat sulit dilakukan pada akhirnya cenderung menimbulkan patologi birokrasi. Birokrasi pada pemerintahan sebagai penyelenggara pelayanan publik sering atau selalu dikeluhkan karena ketidak efisien dan efektif, birokrasi sering kali dianggap tidak mampu melakukan hal-hal yang sesuai dan tepat, serta sering birokrasi dalam pelayanan publik itu sangat merugikan masyarakat sebagai konsumennya. Hal ini sangat memerlukan perhatian yang besar, seharusnya birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik itu memudahkan masyarakat menerima setiap pelayanan yang diperlukannya, seharusnya pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan terhadap masyarakat itu mempermudahkannya, bukan mempersulit. Studi-studi menunjukkan bahwa rendahnya kualitas dan efektifitas pelayanan publik telah melahirkan dampak multidimensional. Secara sosial-politik, buruknya pelayanan publik menimbulkan erosi kepercayaan dan sinisme warga terhadap pemerintah yang pada gilirannya meruntuhkan ketertiban dan kedamaian pada masyarakat.45 Pelayanan Publik di Indonesia cenderung memiliki beberapa permasalahan yang mendasar. Selain efektifitas pengorganisasian dan partisipasi publik dalam penyelenggaraan pelayanan masih relatif rendah, pelayanan publik juga belum 44
Robert H. Simmon dan Eugene P. Dvorin, Public Administration: Values Policy and Change, Port Washington; N.Y. 11050: Alfred Publishing Co, Ind., hlm. 470, dalam Irfan Islami, 1989, Prinsip-Prinsip Perumusan............................, Ibid. hlm. 14. 45 Edi Suharto, 2008, “Penerapan Kebijakan Pelayanan Publik Bagi Masyarakat Dengan Kebutuhan Khusus”, artikel Disampaikan pada Focused Group Discussion (FGD) “Kajian Penerapan Pelayanan Khusus (Service for Customers with Special Needs) pada Sektor Pelayanan Publik, Lembaga Administrasi Negara, Sahira Butik Hotel, Bogor 9-10 Oktober 2008, hlm. 3
cxivVolume 11, No.1 Mei 2011
memiliki mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa. Akibatnya, kualitas produk layanan juga belum memuaskan para penggunanya. Kemampuan dari suatu sistem pelayanan publik dalam merespon dinamika yang terjadi dalam masyarakatnya secara tepat dan efisien akan sangat ditentukan oleh bagaimana misi dari birokrasi dipahami dan dijadikan sebagai basis dan kriteria dalam pengambilan kebijakan oleh birokrasi itu sendiri. Akan tetapi birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelitbelit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan . Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik). Oleh karena itu, guna menanggulangi kesan buruk birokrasi seperti itu, birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya dalam rangka efektivitas pelayanan publik antara lain : Pertama, birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan. Kedua, birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat). Ketiga, birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu. Keempat, birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu (change of agent ) pembangunan. Kelima,birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK MASYARAKAT DALAM MEMPEROLEH PELAYANAN PUBLIK OLEH PEMERINTAH DAERAH A. Hak Asasi Manusia Masyarakat adalah kumpulan manusia yang mendiami suatu wilayah tertentu dan terikat oleh satu sistem hukum yang sama. Dengan kata lain masyarakat adalah komunitas yang didasarkan oleh adanya kesamaan geografis, kultur, sistem nilai tertentu yang mengikat setiap anggotanya. Sedangkan hak masyarakat merupakan akumulasi Volume 11, No.1 Mei 2011
cxv
yang berasal dari hak perseorangan baik sebagai individu ataupun sebagai oanggota masyarakat. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat dirinya serta keharmonisan lingkungannya. Disamping itu manusia juga mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia.Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, yang bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Pasal 3 Undang-Undang Nomer 39 Tahun 1999 menetapkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. Oleh karena itu mendapatkan pelayanan publik merupakan sesuatu yang sudah selayaknya didapat oleh masyarakat yang membutuhkan, karena pelayanan publik juga termasuk bagian dari hak asasi manusia. B. Pengertian Perlindungan Hukum Tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil. Untuk mencapai kedamaian Hukum harus diciptakan masyarakat yang adil dengan mengadakan perimbanagn antara kepentingan yang saling bertentangan satu sama lain dan setiap orang harus memperoleh apa yang menjadi haknya.46 Berkenaan dengan tujuan tersebut hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai, dimana hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antara perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum itu sendiri. Beranjak dari hal tersebut, berbagai pakar di bidang hukum maupun di bidang ilmu sosial lainnya mengemukakan pandangannya masing-masing tentang tujuan hukum itu sendiri berdasarkan sudut pandang mereka masing-masing. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tatacara Perlindungan Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat, Perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Dengan demikian berdasarkan pada konsep perlindungan di atas, maka dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum adalah suatu jaminan perlindungan pemerintah yang diberikan terhadap warga negara sebagai subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis 46
Van Apeldoorn, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, hlm.
10-11
cxviVolume 11, No.1 Mei 2011
maupun tidak tertulis dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pengertian ini perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan ketertiban, keadilan, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian bagi masyarakat. C. Asas-Asas Dalam Pelayanan Publik Oleh Pemerintah Sebagaimana penulis jelaskan di awal, bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan telah terjadi pergeseran paradigma dari rule government menjadi good governance, dalam paradigma dari rule government penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik senantiasa menyandarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) tidak hanya terbatas pada penggunaan peraturan perundangundangan yang berlaku, melainkan dikembangkan dengan menerapkan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang tidak hanya melibatkan pemerintah atau negara semata tetapi harus melibatkan intern birokrasi maupun ekstern birokrasi. Pemerintah yang demokratis tentu akan mengutamakan kepentingan rakyat, sehingga dalam pemerintahan yang demokratis tersebut penyediaan kebutuhan dan pelayanan publik merupakan hal yang paling diutamakan dan merupakan ciri utama dari good governance. Salah satu fungsi penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah adalah pelayanan publik. Peraturan perundangan Indonesia telah memberikan landasan untuk penyelenggaraan pelayanan publik yang berdasarkan atas Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB). Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme menyebutkan asas-asas tersebut, yaitu Asas Kepastian Hukum, Transparan, Daya Tanggap, Berkeadilan, Efektif dan Efisien, Tanggung Jawab, Akuntabilitas dan Tidak Menyalahgunakan Kewenangan sebagai berikut: Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme disebutkan beberapa asas umum penyelenggaraan negara, yaitu sebagai berikut: 1. Asas kepastian hukum, yaitu asas dalan negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara. Asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan pemerintah meskipun keputusan itu salah. Jadi demi kepastian hukum setiap keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut kembali sampai dibuktikan sebaliknya dalam proses peradilan. 2. Asas tertib penyelenggaraan negara, yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara. Asas Volume 11, No.1 Mei 2011
cxvii
ini menghendaki terciptanya penyelenggaraan negara yang tertib dan teratur dalam melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan. 3. Asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. Asas ini menghendaki agar pemerintah dalam menjalankan tugasnya selalu mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi maupun golongan. 4. Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memerhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. Asas ini menghendaki agar pemerintah dalam menjalankan tugasnya selalu memberikan akses informasi kepada masyarakat dalam setiap aktivitas penyelenggaraan pemerintahan. 5. Asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara. Asas ini menghendaki pemerintah dalam menjalankan tugasnya selalu mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara. 6. Asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Asas ini menghendaki pemerintah dalam menjalankan tugasnya selalu memberikan kepada para ahli yang memiliki keahlian di bidangnya sehingga tugas-tugas pemerintahan dapat berjalan dengan lancar. 7. Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Asas ini menghendaki pemerintah dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan hasil akhirnya harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) ini menjadi landasan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Asas tersebut digunakan oleh para aparatur penyelenggara kekuasaan negara dalam menentukan perumusan kebijakan publik pada umumnya serta pengambilan keputusan pada khususnya, jadi Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) ini diterapkan secara tidak langsung sebagai salah satu dasar penilaian. Sesuai dengan penjelasan di atas, menurut Philipus M. Hadjon, Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Layak (AAUPL) harus dipandang sebagai norma-norma hukum tidak tertulis, yang senantiasa harus ditaati oleh pemerintah, meskipun arti yang tepat dari AAUPL bagi tiap keadaan tersendiri tidak selalu dapat dijabarkan dengan teliti. Dapat pula dikatakan bahwa AAUPL adalah asas - asas hukum tidak tertulis,
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxviii
dari mana untuk keadaan – keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan.47 Senada dengan asas umum pemerintahan yang baik yang telah penulis sebutkan di atas, Koentjoro Purbopranoto dan SF. Marbun menyebutkan macam-macam Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Layak (AAUPL) adalah sebagai berikut :48 1. Asas Kepastian Hukum Asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan pemerintah, meskipun keputusan itu salah. Jadi demi kepastian hukum, setiap keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut kembali, sampai dibuktikan sebaliknya dalam proses pengadilan. 2. Asas Keseimbangan Asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman jabatan dan kelalaian atau kealpaan seorang pegawai. Asas ini menghendaki pula adanya kriteria yang jelas mengenai jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan yang dilakukan oleh seseorang sehingga memudahkan penerapannya dalam setiap kasus yang ada dan seiring dengan persamaan perlakuan serta sejalan dengan kepastian hukum. 3. Asas Kesamaan dalam Mengambil Keputusan Asas ini menghendaki badan pemerintahan mengambil tindakan yang sama (dalam arti tidak bertentangan) atas kasus-kasus yang faktanya sama. Meskipun demikian, agaknya dalam kenyataan sehari-hari sukar ditemukan adanya kesamaan mutlak dalam dua atau lebih kasus. Oleh karena itu, menurut Philipus M. Hadjon, asas ini memaksa pemerintah untuk menjalankan kebijaksanaan. 4. Asas Bertindak Cermat atau Asas Kecermatan Asas ini menghendaki agar pemerintah atau administrasi bertindak cermat dalam melakukan berbagai aktivitas penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi warga negara. Apabila berkaitan dengan tindakan pemerintah untuk mengeluarkan keputusan, pemerintah harus mempertimbangkan secara cermat dan teliti semua faktor dan keadaan yang berkaitan dengan materi keputusan, mendengar dan mempertimbangkan alasan-alasan yang diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, juga harus mempertimbangkan akibat-akibat hukum yang muncul dari keputusan tata usaha negara tersebut. 5. Asas Motivasi untuk Setiap Keputusan Asas ini menghendaki setiap keputusan badan-badan pemerintah harus mempunyai motivasi atau alasan yang cukup sebagai dasar dalam menerbitkan keputusan dan sedapat mungkin alasan atau motivasi itu tecantum dalam keputusan. Motivasi atau 47
Philipus M. Hadjon, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, hlm. 265-266 48 SF. Marbun, 2001, Menggali dan Menemukan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik di Indonesia, Tulisan Pada Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, UII Press, hlm. 29-39 Volume 11, No.1 Mei 2011
cxix
alasan ini harus benar dan jelas sehingga pihak administrabele memperoleh pengertian yang cukup jelas atas keputusan yang ditujukan kepadanya. Asas pemberiaan alasan ini dapat dibedakan dalam tiga sub varian berikut ini : 1. Syarat bahwa suatu ketetapan harus diberi alasan 2. Ketetapan harus memiliki dasar fakta tang teguh 3. Pemberian alasan harus cukup dapat mendukung 6. Asas tidak Mencampuradukkan Kewenangan Kewenangan pemerintah secara umum mencakup 3 (tiga) hal, yaitu kewenangan dari segi material (bevoegheid ratione materiale), kewenangan dari segi wilayah (bevoegheid ratione loci), dan kewenangan dari segi waktu (bevoegheid ratione temporis). Asas tidak mencampuradukkan kewenangan ini menghendaki agar pejabat tata usaha negara tidak menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain selain yang telah ditentukan dalam peraturan yang berlaku atau menggunakan wewenang yang melampaui batas. 7. Asas Permainan yang Layak (fair play) Asas ini menghendaki agar warga negara diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mencari kebenaran dan keadilan serta diberi kesempatanuntuk membela diri dengan memberikan argumentasi-argumentasi sebelum dijatuhkannya putusan administrasi. Asas ini juga menekankan pentingnya kejujuran dan keterbukaan dalam proses penyelesaian sengketa tata usaha negara. Asas keterbukaan ini mempunyai fungsi-fungsi penting, yaitu sebagai berikut: 1. Fungsi partisipasi 2. Fungsi pertanggungjawaban umum dan pengawasan keterbukaan 3. Fungsi kepastian hukum 4. Fungsi hak dasar 8. Asas keadilan dan Kewajaran Asas ini menghendaki agar setiap tindakan badan atau pejabat administrasi negara selalu memperhatikan aspek keadilan dan kewajaran. Asas keadilan menuntut tindakan secara proporsional, sesuai, seimbang, dan selaras dengan hak setiap orang. 9. Asas Kepercayaan dan Menanggapi Pengharapan yang Wajar Asas ini menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus menimbulkan harapan-harapan bagi warga negara. Oleh karena itu, aparat pemerintah harus memperhatikan asas ini sehingga jika suatu harapan sudah terlanjur diberikan kepada warga negara tidak boleh ditarik kembali meskipun tidak menguntungkan bagi pemerintah. 10. Asas Meniadakan Akibat suatu Keputusan yang Batal Asas ini berkaitan dengan pegawai, yang dipecat dari pekerjaannya dengan suatu surat ketepan (beschikking). Proses menempatkan kembali pada pekerjaan semula, pemberian ganti rugi atau kompensasi, dan pemulihan nama baik merupakan caracara untuk meniadakan akibat keputusan yang batal atau tidak sah.
cxx Volume 11, No.1 Mei 2011
11. Asas Perlindungan Atas Pandangan atau Cara Hidup Pribadi Asas ini menghendaki pemerintah melindungi hak atas kehidupan pribadi setiap pegawai negeri dan juga tentunya hak kehidupan pribadi setiap warga negara, sebagai konsekuensi negara hukum demokratis yang menjunjung tinggi dan melindungi hak asasi setiap warga negara. Dengan kata lain, asas ini merupakan pengembangan dari salah satu prinsip negara hukum, yakni perlindungan hak asasi. 12. Asas Kebijaksanaan Asas ini menghendaki pemerintah dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya diberi kebebasan dan keleluasaan untuk menerapkan kebijaksanaan tanpa harus terpaku pada peraturan perundang-undangan formal karena peraturan perundangundangan formal atau hukum tertulis itu selalu membawa cacat bawaaan yang berupa tidak fleksibel dan tidak dapat menampung semua persoalan serta cepat ketingggalan zaman, sementara perkembangan masyarakat itu bergerak dengan cepat dan dinamis. Oleh karena itu, pemerintah bukan saja dituntut untuk bertindak cepat, tetapi juga dituntut untuk berpandangan luas dan jauh serta mampu memperhitungkan akibat-akibat yang muncul dari tindakannya tersebut. 13. Penyelenggaraan Kepentingan Umum Asas ini menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan kepentingan umum, yakni kepentingan yang mencakup semua aspek kehidupan orang banyak. Penyelenggaraan kepentingan umum dapat berwujud hal-hal di antaranya : 1. Memelihara kepentingan umum yang khusus mengenai kepentingan negara, di mana contohnya tugas pertahanan dan keamanan 2. Memelihara kepentingan umum dalam arti kepentingan bersama dari warga negara yang tidak dapat dipelihara oleh warga negara sendiri yang contohnya adalah persediaan sandang pangan, perumahan, kesejahteraan, dan lain-lain. 3. Memelihara kepentingan bersama tidak seluruhnya dapat dilakukan oleh para warga negara sendiri, dalam bentuk bantuan negara. Contohnya pendidikan dan pengajaran, kesehatan, dan lain-lain. 4. Memelihara kepentingan dari warga negara perseorangan yang tidak seluruhnya dapat diselenggarakan oleh warga negara sendiri, dalam bentuk bantuan negara karena adakalanya negara memelihara seluruh kepentingan perseorangan tersebut yang contohnya adalah memelihara fakir miskin, anak yatim piatu, anak cacat, dan lain-lain 5. Memelihara ketertiban, keamanan, dan kemakmuran setempat, yang contohnya adalah perturan lalu lintas, pembangunan, perumahan, dan lain-lain. Berdasarkan macam-macam asas umum pemerintahan di atas, maka jika dikaitkan terhadap Pasal 4 Undang-undang Nomor 25 tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik bahwa Penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan: a. Kepentingan umum. Artinya Pemberian pelayanan tidak boleh mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau golongan. Volume 11, No.1 Mei 2011
cxxi
b. c. d.
e. f.
g. h.
i.
j.
k. l.
Kepastian hukum. Artinya jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pelayanan. Kesamaan hak. Artinya Pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi. Keseimbangan hak dan kewajiban. Artinya Pemenuhan hak harus sebanding dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi pelayanan maupun penerima pelayanan. Keprofesionalan. Artinya pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang tugas. Partisipatif. Artinya Peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat. Persamaan perlakuan/tidak diskriminatif. Setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan yang adil. Keterbukaan. Artinya setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan. Akuntabilitas. Artinya proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan. Artinya Pemberian kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam pelayanan. Ketepatan waktu. Artinya penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat waktu sesuai dengan standar pelayanan. Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan. Artinya Setiap jenis pelayanan dilakukan secara cepat, mudah, dan terjangkau.
D. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Masyarakat Dalam Memperoleh Pelayanan Publik Dalam konsideran Undang-undang Nomor 25 tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik menegaskan bahwa negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan norma hukum yang memberi pengaturan secara jelas sehingga lahirlah Undang-undang Nomor 25 tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
cxxiiVolume 11, No.1 Mei 2011
Publik adalah undang-undang yang mengatur tentang prinsip-prinsip pemerintahan yang baik yang merupakan efektifitas fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri. Sedangkan sebagai upaya untuk menjamin kualitas pelayanan publik maka diterbitkan pula Keputusan Menpan Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Kemudian lahirlah Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor. KEP/26/M.PAN/2/2004 Tanggal 24 Februari 2004 Tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik, bahkan di daerah kabupaten/kota lahir Peraturan daerah tentang pelayanan publik. Dalam konteks negara modern, pelayanan publik telah menjadi lembaga dan profesi yang semakin penting. Ia tidak lagi merupakan aktivitas sambilan, tanpa payung hukum, gaji dan jaminan sosial yang memadai, sebagaimana terjadi di banyak negara berkembang pada masa lalu.49 Sebagai sebuah lembaga, pelayanan publik menjamin keberlangsungan administrasi negara yang melibatkan pengembangan kebijakan pelayanan dan pengelolaan sumberdaya yang berasal dari dan untuk kepentingan publik. Sebagai profesi, pelayanan publik berpijak pada prinsip-prinsip profesionalisme dan etika seperti akuntabilitas, efektifitas, efisiensi, integritas, netralitas, dan keadilan bagi semua penerima pelayanan.50 Dalam konteks era desentralisasi ini, menurut Ismail Mohamad, pelayanan publik seharusnya menjadi lebih responsif terhadap kepentingan publik. Paradigma pelayanan publik berkembang dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan yang lebih memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan (customer-driven government) dengan ciri-ciri:51 1. Lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan melalui berbagai kebijakan yang memfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan pelayanan kepada masyarakat. 2. Lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan yang telah dibangun bersama. 49
Edi Suharto, 2008. “Penerapan Kebijakan Pelayanan Publik Bagi Masyarakat Dengan Kebutuhan Khusus”, artikel Disampaikan pada Focused Group Discussion (FGD) “Kajian Penerapan Pelayanan Khusus (Service for Customers with Special Needs) pada Sektor Pelayanan Publik, Lembaga Administrasi Negara, Sahira Butik Hotel, Bogor 9-10 Oktober 2008.hlm. 50 Edi Suharto, Ibid. 51 Ismail Mohamad, 2003, “Pelayanan Publik Dalam Era Desentralisasi, artikel Disampaikan dalam acara Seminar “Pelayanan Publik Dalam Era Desentralisasi” diselenggarakan oleh Bappenas, pada tanggal 18 Desember 2003, di Kantor Bappenas, Jakarta Pusat.diakses 20 Pebruari 2011. Volume 11, No.1 Mei 2011
cxxiii
3.
Menerapkan sistem kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas. 4. Terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi pada hasil (outcomes) sesuai dengan masukan yang digunakan. 5. Lebih mengutamakan apa yang diinginkan oleh masyarakat. 6. Pada hal tertentu pemerintah juga berperan untuk memperoleh pendapat dari masyarakat dari pelayanan yang dilaksanakan. 7. Lebih mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan pelayanan. 8. Lebih mengutamakan desetralisasi dalam pelaksanaan pelayanan, dan 9. Menerapkan sistem pasar dalam memberikan pelayanan. Namun dilain pihak, pelayanan publik juga memiliki beberapa sifat antara lain: (1) memiliki dasar hukum yang jelas dalam penyelenggaraannya, (2) memiliki wide stakeholders, (3) memiliki tujuan sosial, (4) dituntut untuk akuntabel kepada publik, (5) memiliki complex and debated performance indicators, serta (6) seringkali menjadi sasaran isu politik. Dalam hal perlindungan hukum terhadap masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik terkait adanya hubungan hak dan kewajiban yang harus dilindungi oleh pemerintah, di mana Pasal 18 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik memberikan hak kepada masyarakat untuk: a. Mengetahui kebenaran isi standar pelayanan; b. Mengawasi pelaksanaan standar pelayanan; c. Mendapat tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan; d. Mendapat advokasi, perlindungan, dan/atau pemenuhan pelayanan; e. Memberitahukan kepada pimpinan penyelenggara untuk memperbaiki pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan; f. Memberitahukan kepada pelaksana untuk memperbaiki pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan; g. Mengadukan pelaksana yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada penyelenggara dan ombudsman; h. Mengadukan penyelenggara yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada pembina penyelenggara dan ombudsman; dan i. Mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan. Menurut Philipus M. Hadjon terdapat 2 (dua) macam perlindungan hukum secara umum, yaitu:52 1. Perlindungan hukum preventif Pada perlindungan hukum preventif ini sebaiknya hukum diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapatkan bentuk yang definetif. Tujuannya adalah untuk mencegah 52
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Surabaya, Bina Ilmu, hlm. 3-5 Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxiv
Rakyat Indonesia,
terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan preventif ini pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Di Indonesia belum ada pengaturan secara khsusus mengenai perlindungan hukum preventif. 2. Perlindunghan hukum represif Perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa termasuk dalam perlindungan hukum represif adalah penanganan perlindungan hukum oleh peradilan administrasi di Indonesia. Jadi, perlindungan hukum bagi masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik oleh pemerintah daerah memiliki arti memberikan perlindungan kepada masyarakat agar terlindungi dengan perangkat-perangkat hukum. Dengan kata lain, perlindungan hukum bagi masyarakat merupakan upaya memberikan perlindungan secara hukum agar hak-hak maupun kewajiban masyarakat sebagaimana penulis jelaskan di atas dapat dilaksanakan pemenuhannya, sehingga di dalam perlindungan hukum bagi masyarakat dalam memperoleh hak pelayanan publik oleh pemerintah daerah yang terutama ialah perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat. Hukum merupakan salah satu instrumen yang dapat dipakai untuk tercapainya tujuan perlindungan tersebut baik dari segi hukum pidana, hukum perdata maupun hukum administrasi Negara/publik. J. Satrio menyebutkan bahwa setiap manusia, dalam arti hukum diakui sebagai pribadi atau subyek hukum yang mempunyai wewenang berhak yang dimulai dari saat lahirnya dan akan beralih kepada pewaris dengan meninggalnya.53 Kehadiran hukum dalam masyarakat di antaranya ialah untuk mengintegrasikan dan mengoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa berbenturan satu sama lain, sehingga bisa ditekan sekecil-kecilnya benturan itu. Pengorganisasian kepentingan-kepentingan dilakukan dengan membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat sesuai dengan keinginan dan hak masyarakat. KESIMPULAN Berdasarkan beberapa analisis yang telah penulis paparkan dalam hasil dan pembahasan di awal sebagai jawaban atas permasalahan yang telah ditetapkan, maka diakhir penelitian ini penulis menyimpulkan sebagai berikut: 1. Mengenai sistem pelayanan publik menurut hukum positif di Indonesia, telah diatur oleh beberapa peraturan peruturan perundang-undangan secara hierarkis dalam 53
J. Satrio, 1999, Hukum Pribadi Bagian I - Persoon Alamiah, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 13-20 Volume 11, No.1 Mei 2011
cxxv
2.
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Inpres Nomor 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha, Inpres Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat. Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Kemudian pada awal reformasi pemerintah melalui Keputusan Menpan Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/26/M.PAN/2/2004 Tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Perlindungan hukum bagi masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik oleh pemerintah melalui perlindungan hukum preventif maupun perlindungan hukum represif memiliki makna memberikan perlindungan kepada masyarakat agar terlindungi dengan perangkat-perangkat hukum. Perlindungan hukum bagi masyarakat merupakan upaya memberikan perlindungan secara hukum agar hakhak maupun kewajiban masyarakat dalam memperoleh pelayanan terpenuhi di antaranya hak atas kebenaran isi standar pelayanan; hak untuk mengawasi pelaksanaan standar pelayanan; hak mendapat tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan; hak mendapat advokasi, perlindungan, dan/atau pemenuhan pelayanan; hak atas memberitahukan penyelenggara untuk memperbaiki pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan; hak mengadukan pelaksana yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada penyelenggara dan ombudsman; dan hak untuk mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan.
SARAN 1.
2.
Perlu adanya penetapan “standar pelayanan publik” yang merupakan komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan berkualitas atas dasar akumulasi/perpaduan harapan masyarakat dan kemampuan sarana dan pra sarana pihak penyelenggara pelayanan. Agar perlindungan hukum bagi masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik oleh pemerintah daerah berjalan secara optimal, maka disarankan perlu adanya “penetapan dan pengembangan standar proses operasional” atau yang biasa dikenal standard operating procedures. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan proses pelayanan publik tersebut berjalan secara konsisten. Selain hal tersebut di atas, juga disarankan adanya karakter positif/komitmen kebijakan pemerintah daerah dalam mengembangkan pelayanan publik mengingat kebutuhan pelayanan publik tiap satuan tingkatan pemerintah daerah otonom tidak sama disebabakan perbedaan kultur masyarakat, letak dan kondisi geografis daerah, tingkat dan macam kebutuhan masyarakat serta kemampuan masing-masing daerah.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxvi
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PASAL 174 PP NO. 44 TAHUN 1993 TENTANG BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR Oleh: M..Amin Rachman, S.H.,MH.* ABSTRAK .
Dalam transaksi jual beli sepeda motor, selain harus dilakukan penyerahan nyata atas sepeda motor dari tangan penjual kepada tangan pembeli, juga harus dilakukan penyerahan yuridis, yaitu pendaftaran perobahan kepemilikan sepeda motor dari penjual kepada pembeli. Perobahan status kepemilikan sepeda motor yang didaftarkan, akan melahirkan perobahan nama pemilik dalam BPKB dan STNK sepeda motor yang bersangkutan; Kata Kunci: Tinjauan Yuridis – Bea Balik Nama – Kendaraan Bermotor.
LATAR BELAKANG Setiap penyerahan benda-benda terdaftar menghendaki adanya balik nama atau penyerahan secara yuridis yang memerlukan akta otentik. Benda-benda terdaftar pada perkembangan zaman sekarang ini tidak saja meliputi benda-benda tidak bergerak tetapi juga mencakup benda-benda bergerak. Pendapat-pendapat modern cenderung untuk mengakui perbedaan benda pada benda-benda atas nama dan tidak atas nama atau benda-benda terdaftar dan bendabenda tidak terdaftar daripada perbedaan secara lama yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak.54 Yang dimaksud benda-benda terdaftar ialah benda-benda dimana pemindahan dan pembebanannya disyaratkan harus didaftarkan dalam register. Tujuan diadakan pendaftaran ini penting dalam rangka kepastian hak dan kepastian hukum. Disamping itu juga harus diakui bahwa ketentuan melaksanakan pendaftaran juga terdapat kepentingan fiskal.
54
A. Yuda Hernoko, Diktat Hukum Perjanjian Kredit dan Jaminan – Aspek Hukum Jaminan dan Lembaga Jaminan, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2001, h.11 Volume 11, No.1 Mei 2011
cxxvii
Benda bergerak yang terdaftarpun dalam penyerahannya mendapat perlakuan yang sama dengan benda-benda tidak bergerak, yaitu memerlukan adanya penyerahan secara yuridis. Hanya dengan penyerahan nyata saja belum menimbulkan adanya pemilik baru. Dalam karya ilmiah ini, saya menunjuk pada peristiwa jual beli kendaran bermotor bekas yang dijumpai dalam masyarakat. Sengaja dipilih kendaran bermotor yang bekas karena penguasaan terhadap benda ini sering dilakukan tanpa balik nama. Kendaraan bermotor adalah benda bergerak, benda bergerak pada umumnya berlaku syarat penyerahan sekaligus, antara penyerahan nyata (feitelik levering) dan penyerahan yuridis (yuridische levering) jatuh bersaman pada waktu benda diserahkan. Anggapan ini sangat berpengaruh dalam masyarakat, sehingga penyerahan secara yuridis yang harus dilakukan terhadap benda bergerak terdaftar sering diabaikan. Di lapangan praktek asal barang sudah ditangan maka ia menjadi pemilik. Maksud ketentuan di atas, sebenarnya menghendaki agar setiap peralihan kendaran bermotor diikuti dengan penyerahan kekuasaan melalui balik nama. Namun dalam praktek, justru yang dinyatakan sebagai pemilik bukanlah orang yang tersebut sebagai pemilik dalam STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) atau BPKB (Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor), melainkan secara faktual yang menguasai kendaraan beserta surat-suratnya (dalam hal ini STNK dan BPKB). Ketentuan ini cenderung memberikan perlindungan kepada para pemegang kendaraan bermotor. Dalam sistem Eropa dikenal adanya lembaga bezitt. Pasal 1977 KUH Perdata menyabutkan bahwa “terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga, maupun piutang yang tidak harus dibayar kepada si pembawa, maka barang siapa yang menguasainya dianggap sebagai pemiliknya.55 Dalam teori-teori tentang basit, baik eigendoms theorie maupun legitimetie theorie, soal penyerahan tidak perlu dilakukan oleh orang yang berwenang, sebagaimana yang dikehendaki oleh pasal 548 KUH Perdata, tentang cara memperoleh hak milik.56 Sistem yang dibicarakan diatas sepanjang mengenai sistem yang dikenal dalam KUH Perdata. Mengenai sistem-sistem yang lain yang terdapat dalam hukum adat, maka ini menjadi pedoman dalam pembahasan karya ilmiah ini. Selaras dengan adanya suatu prinsip law is a tool of social engineering guna merintis jalan yang lapang untuk memungkinkan terlaksananya pembangunan ekonomi yang lancar, khususnya proses transaksi kendaraan bermotor dalam tradisi (hukum) adat, dengan jalan mengaplikasikan nilai-nilai yang kerap dipraktekkan dalam transaksi jual beli kendaraan bermotor melalui fungsi rechtsvinding (penemuan hukum).57
55
Soetojo Prawirohamidjojo R. dan Marthalena Pohan, Bab-bab Tentang Hukum Benda, Cet.I, bina ilmu, Surabaya, 1984, h..63. 56 Ibid., h..66. 57 Soetandyo Wignjosoebroto, Perkembangan Hukum Nasional dan Pendidikan Hukum Di Indonesia pada Era Pascakolonial, Karya Ilmiah Para Pakar Hukum Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, Cet.I, PT. Eresco, Bandung, 1995, h. 419. Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxviii
Alternatif lain tidak dilaksakannya penyerahan yuridis, adalah kemungkinan menghindari pengenaan bea balik nama. Alternatif-alternatif ini menjadi latar belakang permasalahan dalam karya ilmiah ini. Padahal dalam sisi lain, menghendaki adanya kepastian hak dan kepastian hukum. Agar tujuan ini tercapai pembuat undang-undang menghendaki adanya proses balik nama untuk memperoleh hak milik berdasarkan suatu alas hak. Sedangkan pembuat undangundang berpendapat tidak ada pemilikan yang sah terhadap pemilikan kendaraan bermotor tanpa dilakukan proses balik nama kepada pemilik yang terakhir sebagai pemilik yang sebenarnya dan sah secara hukum. Sedangkan kenyataan yang terjadi, masyarakat sudah dapat menganggap menjadi pemilik dan merasa mendapat kepastian walaupun penyerahan secara yuridis tidak dilaksanakan. Sejauh mana akibat hukum dari pemilikan terhadap benda-benda ini, menjadi pokok bahasan dalam karya ilmiah ini. Atas dasar uraian di atas, maka dapatlah ditarik permasalahan konkrit dengan rumusan sebagai berikut: a. Bagaimana perlindungan hukum atas jual beli kendaraan bermotor ? b. Bagaimana proses penyerahan yuridis atas benda-benda terdaftar dalam suatu transaksi? c. Bagaimana akibat hukum terhadap pemilikan kendaraan bermotor ? PERLINDUNGAN HUKUM ATAS JUAL BELI KENDARAAN BERMOTOR A. Jual beli harus dilaksanakan oleh orang yang berhak Sebagaimana diatur dalam pasal 584 KUH Perdata, salah satu cara memperoleh hak milik harus dilaksanakan oleh orang yang berwenang. Orang yang berwenang mempunyai kewenangan berhak (beschikkingsbevoegdheid) untuk memindahkan milik ketangan lain.58 Hanya ada dua persoalan yang ingin saya kemukakakan dari pasal ini, yaitu pertama pemindahan milik oleh orang berhak atas itu dan kedua titel (alas hak) yang menjadi alasan bagi pemindahan tadi. Persyaratan untuk kewenangan berhak adalah tidak lain dari suatu penerapan azas tiada seorang pun dapat memindahkan hak lebih dari pada apa yang ia miliki sendiri (Nemo plus juris ad alium transfere potest quam ipse haberet) atau dengan kata lain : “tidak seorangpun dapat menerima suatu hak dari tangan seseorang yang tidak berhak.”59 Mengenai benda bergerak dalam hal ini harus diperhatikan pasal 1977 KUHP Perdata yang berbunyi untuk benda bergerak yang tidak terdiri atas bunga atau piutang
58
Soetojo Prawirohamidjojo R. dan Marthalena Pohan, Loc.cit. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Ed.II, Liberty, Yogyakarta, 2000, h.122. 59
Volume 11, No.1 Mei 2011
cxxix
yang pembayarannya dapat dilakukan kepada pemegangnya (toonder papieren), berlaku ketentuan “bezit merupakan titel yang sempurna”60 Dalam teori kausal, alas hak menjadi alasan penting bagi pemindahan hak milik itu. Suatu yang menyebabkan pemindahan tersebut sama sekali tidak dapat dilepaskan dari titel tersebut. Jadi apabila perjanjian tersebut batal , maka pemindahan atas hak milik akan batal. Dalam jual beli kendaran bermotor bekas dari tangan ke tangan lain yang sering terjadi, kurang memperhatikan siapa orang yang berwenang. Sesuai dengan ketentuan di atas, bila jual beli demikian dilakukan oleh orang yang tidak berwenang seharusnya batal, karena sahnya perjanjian menjadi sumber pokok perpindahan milik. Pendapat ini sesuai dengan kehendak para pembuat undang-undang. Mereka memandang bahwa sahnya perjanjian jual beli harus dilakukan oleh orang yang berwenang, artinya orang itu dapat menunjukkan akta / surat-surat tanda pemilikan atas namanya. Agar pihak ketiga (pembeli barang) menjadi orang yang berwenang baru, maka setiap perpindahan hak milik harus disertai balik nama. Inilah seharusnya ketentuan yang berlaku terhadap benda-benda terdaftar. Antara orang yang berwenang, atas hak yang sah dan penyerahan yuridis merupakan suatu proses pemindahan hak milik. Jika salah satu diantaranya tidak sah, maka pemindahan milik itu batal demi hukum. Pada pokoknya, pemindahan benda-benda terdaftar menyerupai benda-benda tidak bergerak, seperti yang berlaku sebagai berikut: kesepakan kehendak saja kebanyakan belumlah untuk melakukan perpindahan hak milik. Acapkali disyaratkan bahwa persetujuan kebendaan (zakelijk overeenkomst) itu diikuti dengan formalitasformalitas tertentu. Demikian penyerahan pada benda-benda tidak bergerak adalah tidak cukup, bila hanya ada kehendak dari pihak-pihak saja. Untuk itu, di samping diperlukan pula adanya suatu akta notariil (617 KUH Perdata, yang dibalik nama dalm daftar umum pasal 616KUH Perdata). Penafsiran lain mengenai pasal 584 di atas dikenal dengan teori abstrak. Menurut ajaran abstrak, penyerahan dan atas hak itu merupakan hal-hal yang terpisah satu sama lain. Untuk sahnya penyerahan tidak tergantung pada alas hak nyata. Sehingga menurut abstrak yang murni konsekuensinya bisa terjadi bahwa penyerahan itu akan sah juga sekalipun titelnya tidak sah, bahkan sekalipun tanpa titel.61 Ajaran ini berlawanan dengan yang diuraikan sebelumnya, pendapat di atas cenderung mengatakan sah transaksi jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak berwenang. Seperti dikatakannya dalam teori ini, bahwa alas hak dan penyerahan merupankan hal yang terpisah. Dengan demikian transaksi jual beli dimaksud dianggap sudah dapat menimbulkan penyerahan yang sah. 60
Achmad Ichsan, Hukum Perdata IA, Cet.I, PT.Pembimbing Masa, Jakarta, 1969, h.174. 61
Soetojo Prawirohamidjojo R dan Marthalena Pohan, Op.cit., h..43.
cxxxVolume 11, No.1 Mei 2011
Disamping itu, terdapat cara-cara memperoleh hak milik diluar pasasl 584. Apakah cara ini menjadi lembaga baru untuk mengatur benda-benda terdaftar dan tidak terdaftar. Undang-undang mengatur tersendiri, walaupun pengaturannya tidak berdasarkan lembaga-lembaga yang dikenal dalam KUH Perdata. Namun lembaga penyerahan mempunyai peranan penting dalam pengaturan benda-benda semacam ini. Apabila kita berfikir sederhana, seperti kebanyakan anggapan masyarakat, orang yang berwenang terhadap benda-benda berupa kendaraan bermotor adalah pemegang sendiri. Mereka merasa dapat bebas mengadakan jual beli tanpa harus terikat kewajiban penyerahan secara yuridis, dan tanpa rasa khawatir jual beli akan dibatalkan. B. Status Pemilikan Para pembuat undang-undang sudah mengatur demikian rapat, agar jangan sampai terjadi terobosan-terobosan atau penyimpangan-penyimpangan, akan tetapi masyarakat selalu berkembang dan berubah. Ketentuan yang semula diatur secara rinci dan jelas ternyata pada akhirnya tidak mampu mengikuti perkembangan masyarakat. Ditinjau dari segi yuridis, setiap perbuatan yang menyimpang dari ketentuan, jelas hukum tidak akan memberikan kepastian hak dan kepastian hukum. Dalam hal kepastian hukum diberikan kepada mereka yang berhak atas milik. Artinya yang dimaksud dengan hak, tidak hanya penguasaan pada suatu benda, akan tetapi meliputi kepentingan hukum yang menyertainya. Terhadap penguasaan di sini saya juga menggunakan istilah pemilikan, karena dipandang lebih sesuai dengan keadaan dalam praktek. Dalam jual beli kendaraan bermotor bekas, masyarakat cenderung melupakan kepentingan hukumnya daripada pemilikannya, untuk tujuan-tujuan tertentu. Pemilikan dalam konteks ini dianggap lebih bermanfaat dari pada kepentingan hukumnya. Apakah karena tidak mempunyai arti ekonomis, kepentingan hukum selalu dikorbankan? Kedua aspek ini tidak harus dipertentangkan. Antara kebutuhan ekonomi dan kepentingan hukum memang berbeda. Tetapi perbedaan ini bukan untuk saling mengorbankan. Jika ekonomi berputar, maka hukumnya harus diterapkan. Peranan hukum yang sangat penting adalah kemampuannya untuk mempengaruhi tingkat kepastian dalam hubungan antar manusia di dalam masyarakat. Apabila kita berfikir yuridis antara kepentingan hukum dan pemilikan bendabenda itu adalah melekat pada suatu “hak”. Timbulnya kepentingan hukum adalah karena adanya penguasaan/pemilikan tehadap benda. Apabila pemilikan dipindahkan juga berarti kepentingan hukumnya juga harus dipindahkan. Dan pemilik pertama tidak lagi mempunyai kepentingan hukum. Benda-benda bergerak adalah pembagian yang sudah lama dikenal masyarakat, dan jumlahnya jauh lebih besar dari pada benda-benda serupa yang terdaftar. Bendabenda bergerak dalam lembaga-lembaga yang dikenal dalam hukum benda diperlakukan sangat berbeda dengan benda-benda tidak bergerak, yang menyerupai benda-benda terdaftar. Pergeseran kecenderungan dari pembagian benda-benda bergerak atau tidak Volume 11, No.1 Mei 2011
cxxxi
bergerak menjadi benda terdaftar atau tidak terdaftar, ternyata belum dapat meninggalkan lembaga-lembaga yang dikenal dalam mengatur benda-benda bergerak atau tidak bergerak. Seperti dapat dilihat dalam pasal 1977 KUH Perdata. Hukum ini menghapuskan persyaratan kewenangan berhak untuk memperoleh benda-benda bergerak yang berwujud, sepanjang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Dalam bezit, ada dua aspek penting yaitu aspek pembuktian dan aspek itikad baik. Benda-benda terdaftar yang menjadi kreteria baru pembagian benda masih berlindung pada ketentuan pasal 1977 KUH Perdata. Dalam praktek, pasal 1977 KUH Perdata sering dihadapkan dengan pasal 584 KUH Perdata. Pasal 1977 merupakan penyelesaian dan terobosan pertama terhadap pengesahan perolehan hak milik atas benda bergerak yang terdaftar. Untuk selebihnya mengenai hal-hal yang tidak dapat ditampung oleh ketentuan ini, maka perlu dipancangkan pasal 584 KUH Perdata. Di sini kembali kewenangan berhak menentukan sahnya penyerahan hak milik. Penyerahan yuridis terhadap benda-benda bergerak terdaftar, tetap harus dilakukan. Bilamana penyerahan yuridis atau balik nama tidak dilakukan, maka selama itu pula kepemilikan atas benda bergerak terdaftar adalah milik si empunya yang lama atau penjual. Transport akta (akta peralihan) memerlukan adanya pendaftaran, di mana dalam penyelenggaraan pendaftaran, dikenal adanya sistem negatif dan sistim positif. Sistim ini lazim digunakan dalam pemberian surat-surat tanda bukti hak atas tanah. Surat-surat tanda bukti hak yang dikeluarkan untuk benda-benda bergerak terdaftar dapat dikatakan menganut sistim positif. Sistem positif menganggap bahwa apa yang tercantum dalam pendaftaran merupakan alat pembuktian yang mutlak. Bila sistim ini berlaku atas tanah, maka bertujuan untuk kepentingan tentang bisa atau tidaknya di adakan pembuktian baru dalam gugat yang diajukan. Terhadap benda-benda bergerak yang terdaftar cenderung menganut sistim positif. Di sini tidak bisa digunakan sistim negatif karena tidak menghendaki adanya pembuktian baru. Dan sudah barang tentu apabila sistim ini digunakan tidak akan berjalan efektif. Dalam ilmu hukum sistim-sistim ini tidak digunakan terhadap bendabenda terdaftar. Hanya dapat dimengerti bahwa hak yang diberikan kepada pemilik mengandung kewenangan-kewenangan yang bersifat publiekrechtelijk. Semua hak-hak (subjectieve rechten), maksudnya kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh hukum, yang mempunyai sifat baik publiekrechtelijk itu maupun privatrechtelijk. Kewenangan-kewenangan publiekrechtelijk itu tidak dapat dipindahkan (niet overdrangbear). Demikian misalnya, hak pilih tidak dapat dipindahkan. Kewenangan-kewenangan yang diberikan kepada pemilik benda-benda bergerak terdaftar bersifat publiekrechtelijk, artinya hak itu tidak dapat dipisahkan dari bendanya sebab berkenaan dengan pengenaan pajak.62 Pajak hanya dapat dikenakan kepada orang 62
Moch. Isnaeni, Hipotek Pesawat Udara Di Indonesia, Cet.I, CV. Dharma Muda, Surabaya, 1996, h.127. Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxxii
yang langsung menikmati benda yang dalam penguasaannya. Hak wajib pajak ini tidak dapat dipindahkan atau dikenakan pada orang lain yang tidak langsung menikmati bendanya.
C. Bentuk Penyimpangan Hukum Para pembuat undang-undang sudah mengatur demikian rapat setiap ketentuannya, agar jangan sampai terjadi terobosan-terobosan atau penyimpanganpenyimpangan. Walaupun tidak bersifat statis, namun peerkembangan masyarakat lebih cepat dibandingkan dengan ketentuan hukum yang ada. Ketentuan yang dibuat tertinggal dan tidak dapat menampang kenyataan yang ada. Selama undang-undang ini belum dirubah atau diganti, maka ia akan tetap dipertahankan. Setiap perbuatan yang menyimpang dari ketentuan itu, jelas hukum tidak akan memberikan perlindungan yuridis berupa kepastian hak dan kepastian hukum. Sudah barang tentu pada waktu undang-undang dibuat, akan selalu menganggap bahwa setiap orang dapat bertindak jujur. Sebab undang-undang hanya dapat dilaksanakan dengan kejujuran serta membuat pagar agar setiap orang jangan bertindak tidak jujur. Tentang kejujuran sering dibicarakan dalam hukum perjanjian dan sering disebut dengan tegoeder trouw (itikad baik), yang dapat diartikan bahwa apa yang menjadi tujuan seseorang, bertindak akan sesuai dengan apa yang direncanakan dalam hati sebelumnya. Memperoleh hak kebendaan pada umumnya berasal dari suatu perjanjian, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban pernyerahan hak milik. Penyerahan hak milik benda-benda terdaftar dibebani proses balik nama dan dikenakan bea. Bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) merupakan bea langsung yang obyeknya adalah transaksi. Jadi dasar pelaksanaan balik nama adalah suatu transaksi. Transaksi dapat meliputi perhubungan hukum (titel), kewajiban dan penyerahan. Proses balik nama adalah ketentuan yuridis, yang selama ini hanya dikenal dalam penyerahan atau peralihan atau pemindahan hak milik. Di mana ketentuan ini seharusnya diletakkan, apabila hanya disebut transaksi, maka peristiwa jual beli kendaraan bermotor bekas sudah melalui perjanjian, pelaksanaan kewajiban dan penyerahan. Andaikata yang disebut transaksi ini lebih menitik-beratkan kepada titelnya, maka kemungkinan semua penyerahan yuridis dengan kewajiban membayar bea balik nama. Penyerahan terhadap benda-benda terdaftar semacam kendaraan bermotor bekas harus melalui pendaftaran, yaitu mengganti nama pemilik semula ke pemilik yang baru dengan dinyatakan dalam surat-surat otentik BPKB dan STNKB-nya. Kewajiban terhadap pendaftaran ini yang biasanya enggan dilaksanakan. Agar hukum tidak menjatuhkan sanki yuridis kepada pemilik kendaraan bermotor tanpa surat-surat yang dibalik nama, sering dijumpai para pihak mengadakan persepakatan tersendiri untuk tidak menggunakan jalur hukum. Misalnya tidak saling mengadakan tuntutan. Walaupun hukum perdata menitik-beratkan kepada kepentingan perorangan, namun hukum diselenggarakan oleh negara untuk kepentingan perorangan maupun Volume 11, No.1 Mei 2011
cxxxiii
masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian campur tangan negara adalah demi kepentingan negara. Agar kepentingan ini tidak dikorbankan, maka undang-undang menetapkan aturan-aturan membayar pajak setiap transaksi peralihan kendaraan bermotor agar dilaksanakan balik nama. Dalam hukum benda, tidak dapat diciptakan hak-hak baru kecuali yang telah ditentukan. Sedang dalam hukum perjanjian, karena sebagian besar merupakan regelen (pelengkap saja) dapat menciptakan hal-hal baru diluar ketentuan yang ada. Di sini ada dua sifat yang saling berhadapan, yaitu sifat tertutup pada hukum benda disatu pihak dan sifat terbuka pada hukum perikatan. Apabila ketentuan dalam hukum benda tidak dilaksanakan berarti masyarakat cenderung bergantung pada sifat dari ketentuan-ketentuan hukum perikatan. Dalam perjanjian dikenal adanya kebebasan berkontrak Kebebasan ini dianggap “menyelamatkan” dari ketentuan-ketentuan yang bersifat tertutup. Akan tetapi dalam suatu peraturan perundang-undangan tidak dikenal adanya perbuatan untuk melaksanakan suatu ketentuan untuk tidak melaksanakan suatu ketentuan yang lain. Dalam hukum perjanjian memang diakui bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (pasal 1338 KUH Perdata).63 Salah satu unsur syarat perjanjian yang sah adalah itikad baik, di sini peranan kejujuran setiap orang diperlukan untuk melaksanakan undang-undang. Apabila terjadi persepakatan untuk menyimpangi suatu ketentuan yang lain dari undang-undang, maka hukum memberi sanksi batal dan perjanjian tidak boleh dilaksanakan. Inilah pagarpagar yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undang. Namun pagar-pagar ini merupakan benda mati. Sedang yang berubah adalah manusianya sebagai pelaksana dari undang-undang, maka pagarpun tetap dapat diterobos. Jika azas dari pasal 1338 KUH Perdata ini dipergunakan untuk memperkuat pemilikan benda-benda terdaftar berupa kendaraan bermotor, ini berarti terhadap obyek, pemilik hanya mempunyai hak perorangan saja. Benda-benda ini hanya dapat dipertahankan kepada orang-orang tertentu atau pemilik sebelumnya. Ini hasil yang diperoleh dari pemilikan tanpa melaksanakan ketentuan yang ada. Padahal pemilikan atas benda-benda ini adalah untuk memperoleh hak-hak kebendaan, yaitu yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda, yang dapat dipertahankan terhadap tiap orang.64 Agar dapat dipertahankan undang-undang memerintahkan penyerahan yuridis terhadap benda-benda terdaftar. PROSES PENYERAHAN YURIDIS BENDA-BENDA TERDAFTAR A. Dasar Hukum
63
Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan dari Undang-undang, Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 1994, h.66-67. 64 Achmad Ichsan, Op.cit., h.154 Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxxiv
Dasar hukum kewajiban melaksanakan balik nama kendaraan bermotor adalah dikarenakan terdapat suatu kewajiban untuk selalu mendaftarkan, demikian pula bilamana terjadi perobahan kepemilikan karena penjualanan kendaraan bermotor diwajibkan pula untuk melaporkan terjadinya perobahan kepemilikan atas kendaraan bermotor tersebut. Hal ini mengacu pada: - Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992; - Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993; - Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993; - Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993.65 Kendaraan bermotor menurut pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 14 tahun 1992 adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu. Adapun kendaraan itu sendiri dalam angka 6 pasal yang sama didefinisikan sebagai suatu alat yang dapat bergerak di jalan, terdiri dari kendaraan bermotor atau kendaraan tidak bermotor. Setiap balik nama kendaran bermotor, diwajibkan membayar bea balik nama yang disebut bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 pasal 174 ayat 2. Ketentuan dalam pasal ini adalah bersifat imperatif, karena terimplementasikan dari kata “wajib”, namun dalam praktek setiap pelanggaran atas pasal di atas pengenaan sanksinya menjadi kabur, seolah tidak ada sanksi hukum terhadap pembeli kendaraan sepeda motor yang tidak melakukan balik nama. Kemudian dijumpai pula ketentuan yang tertera di balik Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNKB) bahwa STNK harus diadakan perubahan atau penggantian STNK di daerah yang bersangkutan bilamana: a. Identitas pemilik berobah; b. Spesifikasi tehnis kendaraan berobah; c. STNK hilang; d. STNK rusak; e. Dioperasikan 3 (tiga) bulan terus menerus di daerah lain;66 Memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas, timbulnya kewajiban penyerahan secara yuridis/balik nama hanya ditentukan oleh lima alasan di atas, selebihnya tidak ada ketentuan yang mengaturnya. Bagi pejabat yang berwenang melakukan balik nama kendaraan bermotor, dapat menentukan kapan terjadinya waktu atau saat timbulnya kewajiban tersebut. Hal ini adalah tidak mungkin ditetapkan secara pasti dan matematis, sehubungan terjadinya transaksi sepeda motor antar pedagang dengan konsumen atau 65
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Peraturan Pelaksanaannya 1993, Cet.I, BP. Tri Rasaki, Jakarta, 1993, h.3. 66 Penjelasan Kepala Unit Samsat Pamekasan , 04 April 2011. Volume 11, No.1 Mei 2011
cxxxv
antar pedagang dengan pedagang “tidak pernah diberitahukan”. Sedang bagi kendaraan bermotor bukan pemilik, masalah tersebut selalu dapat dibuat seakan-akan belum menimbulkan kewajiban balik nama sesuai ketentuan-ketentuan diatas. Ketentuanketentuan tentang jangka waktu yang berbeda-beda di atas, apabila kita hubungkan dengan masa berlaku herregistrasi yang ditetapkan satu tahun, menjadi kurang efektif. Karena pada saat herregistrasi, disamping membayar pajak kendaraan bermotor (PKB) dan sumbangan wajib dana kecelakaan lalu-lintas (SWDKL), langsung dapat dibayarkan /diselesaikan balik nama, apabila terjadi penyerahan hak milik. Sehingga jarang orang memberikan keterangan tentang balik nama sebelum STNK lama habis masa berlakunya. Mengingat STNK lama masih berlaku selama tidak dikeluarkan STNK lain/baru atau habis masa berlakunya. Pejabat yang bertugas melakukan balik nama kendaraan bermotor, dilarang untuk menyelenggarakan balik nama sesuatu kendaraan bermotor, atau memberi catatan tentang adanya penyerahan kendaraan bermotor, sebelum kepadanya diserahkan buktibukti bahwa bea balik nama kendaraan bermotor beserta dendanya kalau ada, telah dilunasi atau diserahkan sesuatu surat keterangan bahwa penyerahan kendaraan bermotor itu bebas balik nama kendaraan bermotor. Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan balik nama adalah : a. Penyerahan kendaraan bermotor kepada negara dan daerah otonomi; b. Penyerahan kendaraan bermotor kepada wakil Organisasi Internasional; c. Penyerahan kendaraan bermotor kepada wakil Diplomatik, konsuler dan wakil lain dari negara asing.67 Dari uraian diatas, kewajiban balik nama merupakan kewajiban para pemegang kendaraan bermotor dengan tidak mengurangi tanggung jawab terhadap pihak yang menyerahkan kendaraan bermotor itu. B. Proses Balik Nama Kendaraan Bermotor. Pelaksanaan balik nama kendaraan bermotor dilakukan melalui Sistim Administrasi Manunggal Di bawah satu Atap (SAMSAT) yang merupakan gabungan dari instansi-instansi : POLRI, Dinas Pendapatan Daerah dan PERUM Asuransi Kerugian Jasa Raharja. Sistim ini melayani penyelesaian kewajiban yang berkaitan dengan kendaraan bermotor yaitu : - Penyelesaian Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNKB) - Penyelesaian pembayaran Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) serta - Penyelesaian Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu lintas (SWDKL) Menyelesaikan pembayaran bea balik nama kendaraan bermotor berarti melakukan penyerahan secara yuridis. Dalam penyerahan secara yuridis akan terjadi mutasi terhadap pajak kendaraan bermotor. Sedang yang disebut mutasi kendaraan 67
Ibid.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxxvi
bermotor adalah pemindahan bagi mereka yang menguasai kendaraan bermotor yang dipindahkan dari wilayah lain baik atas nama tetap maupun yang dipindahkan tangan atau ganti pemilik, karena jual beli atau hibah. Adapun syarat-syarat bagi pemilik kendaraan bermotor bekas yang diperoleh dari pembelian atau pemindahan dari wilayah lain untuk mengajukan permohonan STNKB atas namanya antara lain : - Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) asli dan satu (1) foto copy. - STNK asli dan satu (1) foto copy - Kartu Tanda Penduduk (KTP) asli dan foto copy - Surat Keterangan Fiskal yaitu surat keterangan yang menyatakan bahwa pajak kendaraan bermotor terakhir telah lunas. - Gesekkan nomor mesin dan nomor rangka - Jika ganti pemilik kwitansi jual beli - Materai68 Persyaratan diatas hampir sama dengan persyaratan untuk mengadakan herregitrasi STNK setiap tahun, kecuali kwitansi jual beli atau segala keterangan yang harus diberikan tentang adanya balik nama kendaraan bermotor. Keterangan atau pemberi tahuan itu harus memuat : - Nama dan alamat lengkap baik dari yang menyerahkan atau yang menerima penyerahan kendaraan bermotor. - Tanggal penyerahan - Jenis, merk dan tahun pembikinan kendaraan bermotor, nomor chasis (landasan atau rangka) dan nomor mesin. - Dasar atas nama penyerahan dilakukan - Harga penjualan atau harga pembelian69 Karena kebesasan dalam jual beli kendaran bermotor bekas yang menyebabkan pemindahan hak milik secara nyata, tidak dapat diketahaui oleh pejabat yang berwenang melakukan balik nama kendaraan bermotor, apabila yang bersangkutan tidak memberikan keterangan tentang adanya balik nama kendaraan bermotor. Oleh karena sifat yang demikian ini, maka sering terjadi penyimpangan. Seperti diketahui kendaraan bermotor harus didaftar ulang (herregistrasi) setiap tahun, dengan persyaratan sebagaiman diatas, tetap dapat dilaksanakan walaupun telah ganti pemilik, dengan upaya tetap menggunakan pemilik sesuai yang diberikan STNKB/BPKB. Meskipun persyaratan itu mentetapkan kartu tanda penduduk pemilik yang asli (sesuai nama dalam STNKB/BPKB), dalam kenyataannya persyaratan ini dapat dilengkapi dengan cara meminjam kepada pemilik asli. Perjanjian ini adalah perbuatan yang mengesampingkan peraturan perundang-undangan. Sehingga pejabat yang 68 69
Ibid. Ibid.
Volume 11, No.1 Mei 2011
cxxxvii
berwenang tetap dapat mengeluarkan STNKB baru setelah STNKB yang lama habis masa berlakunya. Dapat juga dengan membuat kwitansi kosong, yang pengisiannya dapat diatur sendiri oleh pemegang kendaran motor bekas, yang seakan-akan belum timbul kewajiban adanya penyerahan yaitu mewajibkan pemegang kendaraan bermotor itu. C. Peranan Pendaftaran Terhadap Kendaran Bermotor Sebagaimana telah diuraikan di atas pada bab pertama, bahwa tujuan pendaftaran ini penting dalam rangka kepastian hak dan kepastian hukum. Demi kepentingan itu, maka setiap pemilikan kendaraan bermotor perlu didukung dengan pendaftaran dan diberikan STNK bagi pemiliknya. Dengan demikian STNK dapat berfungsi sebagai bukti pendaftaran, juga berfungsi sebagai surat kuasa untuk menyetor (SKUM) bea balik nama kendaran bermotor (BBNKB), SKP Pajak Kendaran Bermotor (PKB) dan tanda lunas sumbangan wajib dana kecelakan lalu-lintas (SWDKL). Sehingga setiap mengadakan pendaftaran harus membayar lunas pajak itu lebih dahulu untuk jangka waktu satu tahun. Karena pajak berlaku untuk waktu satu tahun, maka pendaftaran harus diulangi (herregitrasi) jika masa laku satu tahun telah habis dengan membayar pajak untuk tahun berikutnya. Kedua fungsi ini saling berkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Di satu pihak untuk kepastian hak dan kepastian hukum dan di satu pihak untuk kepentingan pajak. Mengingat semua urusan yang berkaitan dengan kendaraan diserahkan kepada Daerah Tingkat 1 serta penyerahan pajak-pajak negara kepada daerah otonom, maka setiap kewajiban pendaftaran selalu dituangkan dalam peraturanperaturan yang melaksanakan pajak. Sehingga kepentingan pajak lebih mendominasi dari pada sekedar melaksanakan pendaftaran. Namun setiap pemilikan kendaran bermotor tanpa STNK yang sesuai dengan pemilik, tetap akan merugikan pemerintah. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya transaksi jual beli yang tidak langsung diadakan balik nama. Pajak yang seharusnya menjadi inkam (pendapatan) daerah tidak dapat dipungut karena peraturannya tidak dilaksanakan. Padahal peraturan daerah diadakan dalam rangka mengadakan efisiensi di dalam bidang pemajakan, mengingat penjualan kendaran bermotor pada dewasa ini tidak rendah dari pada harga penjualan atau penjualan nilai benda tidak bergerak, sedangkan barang-barang yang berupa kendaran bermotor tersebut di dalam masyarakat dijadikan suatu obyek spekulasi oleh para pedagang kendaran bermotor. Benda-benda terdaftar berupa kendaran bermotor dalam penggunaannya selalu menyangkut kepentingan umum di jalan raya. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992, tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan Raya, mengatur kelancaran, keamanan dan ketertiban lalulintas dan ketentuan-ketentuan pokok tentang politik pemerintah di bidang angkutan jalan raya. Agar undang-undang ini dapat terlaksana dengan baik, pemerintah daerah harus mengadakan pengawasan, melaksanakan uji kendaran bermotor, memelihara keamanan serta pemberian fasilitas di bidang angkutan umum serta pemakai jalan. Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxxviii
Semua ini memerlukan pengaturan dalam pemilikan. Pemberian STNK atas nama pemilik, sebagai bukti adanya pelaksanaan pendaftaran mempunyai peranan penting bagi terselengaranya kepentingan-kepentingan di atas, di samping tanda lunas membayar pajak. Untuk itu ditetapkan bahwa peraturan membayar pajak dapat dilakukan sekaligus melaksanakan pendaftaran. Antara lain dengan membayar bea balik nama berarti telah melaksanakan peyerahan secara yuridis.
AKIBAT HUKUM TERHADAP PEMILIKAN KENDARAN BERMOTOR A. Akibat Hukum Kendaraan Bermotor Yang Dibalik Nama Akibat Hukum terhadap pemilikan kendaran bermotor yang tidak di balik nama yang ditetapkan oleh peraturan-peraturan tentang bea balik nama kendaran bermotor adalah akibatnya berupa sanksi hukum tidak melaksanakan kewajiban membayar pajak/bea balik nama kendaran bermotor, yang berupa denda. Seperti telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang bea balik nama kendaraan bermotor, bahwa dalam satu bulan dari saat penyerahan harus meminta surat kuasa untuk menyetor (SKUM) bea balik nama kendaraan bermotor. Sedang pembayaran bea balik nama ini harus dilakukan pada saat mengajukan SKUM dimaksud. Akan tetapi apabila dalam hal seorang akan mengajukan SKUM bea balik nama sebelum sampai pada batas waktu yang ditentukan dan belum dapat membayar lunas bea balik nama, maka yang bersangkutan dapat menunda pengajuan permintaan SKUM bea balik nama diatas selambat-lambatnya sampai pada batas waktu tersebut.70 Jika pada batas waktu itu, belum juga dilaksanakan pengajuan SKUM, dapat dikenakan denda sebesar 25 % ( dua puluh lima persen ) dari jumlah bea yang terutang. Gubernur Kepala Daerah dapat memperpanjang waktu yang dimaksud dengan waktu satu bulan, apabila untuk itu oleh yang berkepentingan diajukan permohonan pada waktu sebelum batas waktu itu lampau dan menurut pertimbangan terdapat alasan untuk dikabulkan. Atas permohonan tertulis dari yang berkepentingan Gubernur Kepala Daerah berwenang mengurangi atau membebaskan dari kewajiban dimaksud bila terdapat alasan untuk itu. Bila yang menerima penyerahan tidak setuju dengan jumlah yang dipakai sebagai dasar pengenaan bea, ia dapat mengajukan permohonan supaya nilai jual kendaraan bermotor ditetapkan oleh suatu komisi taksasi.71 Kewajiban balik nama merupakan beban bagi orang yang menerima penyerahan. Apabila orang tersebut tidak mampu membayar, maka orang yang 70 71
Penjelasan Kepala Unit Samsat Pamekasan , 4 April 2011. Ibid.
Volume 11, No.1 Mei 2011
cxxxix
menyerahkan kendaraan tersebut dapat pula dipertanggung jawabkan pembebanan pembayarannya. Berdasarkan ketentuan diatas, sebagai dasar pertama timbulnya kewajiban membayar bea balik nama adalah saat penyerahan, yang kemudian dari saat penyerahan pula terhitung batas waktu, yang apabila terlampaui akan dikenakan denda. Saat penyerahan adalah perbuatan hukum antara pihak yang menyerahkan dan yang menerima penyerahan dalam suatu perjanjian. Apabila pada saat penyerahan tidak dibuat secara tertulis, maka sesuai ketentuan yang ada, yang digunakan sebagai syarat penyerahan adalah kwitansi jual beli antara pihak yang mengadakan penyerahan. Walaupun sebenarnya tanggal yang tercantum dalam kwitansi adalah saat pembayaran, sedang yang diperlukan adalah saat Penyerahan. Padahal seperti dijelaskan dalam bab sebelumnya, yaitu sering kali terjadi jual beli dengan kwitansi kosong, sehingga tanggal saat penyerahan dapat diatur seakan-akan belum menimbulkan balik nama. Dengan demikian balik namapun dapat diatur dan beapun sulit dipungut. Perihal yang sama adalah akibat jual beli kendaraan bermotor yang dilakukan secara lisan. Para pihak dapat membuat sendiri suatu persepakatan yang mengatur penyerahan apabila pada suatu saat diminta saat penyerahan secara tertulis. Dalam hal ini balik nama masih dapat dilakukan. Terhadap penguasaan kendaraan bermotor bukan pemilik dalam waktu yang tidak ditentukan, balik nama dapat dihindari dengan dalih karena perjanjian pinjam meminjam atau perjanjian yang lain yang tidak untuk memperoleh hak milik. Dalam peraturan daerah tentang bea balik nama kendaraan bermotor, sudah berusaha untuk mencegah terjadinya penyelundupan hukum sebagai mana di atas. Perjanjian pinjam meminjam untuk jangka waktu yang lama, ditetapkan apabila lebih satu tahun dianggap sebagai penyerahan dalam hak milik. Menganggap penyerahan hak milik dengan cara tersebut diatas, merupakan ketentuan yang bersifat “pukul rata”. Sehingga akibat negatif berupa penguasaan kendaraan bermotor yang berasal dari perbuatan hukum yang tidak sah kurang menjadi pertimbangan. Mengenai bea balik nama ini Pemerintah Daerah mempunyai hak utama terhadap semua barang penanggung pajak. Hak utama ini mendahului segala hak lainnya kecuali terhadap piutang tersebut dalam pasal 1139 sub 1 dan 4 serta pasal 1149 sub 1 KUH Perdata demikian pula pasal 80 dan 81 KUH Dagang, terhadap ikatan panen hak gadai dan hipotik yang diatur oleh ketentuan-ketentuan KUH Perdata yang diadakan sebelum saat pajak terutang atau dalam hal diadakannya setelah saat itu, sepanjang untuk itu diberikan suatu surat keterangan sebagai berikut : a. Sebelum dan sesudah diadakan hipotik (saat ini bernama Hak Tanggungan) menurut KUH Perdata, maka pemberi hipotik dapat minta surat keterangan, bahwa hipotik itu mendahului hak utama sebagai mana dimaksud.
cxl Volume 11, No.1 Mei 2011
b. Gubenur Kepala Daerah memberi surat keterangan tersebut jika tidak ada bea balik nama yang mendahului hipotik atau menurut pendapatnya ada jaminan bahwa bea balik nama terserbut akan dilunasi. c. Dalam surat keterangan itu disebutkan tahun-tahun yang bersangkutan, dan dalam hal surat keterangan tidak diberikan, maka pemberi hipotik dapat mengajukan keberatannya kepada Gubernur Kepala Daerah, jika menurut pendapatnya ada alasan untuk itu, sedangkan terhadap ikatan kredit, diperlukan juga ketentuan ini. Terhadap tanah yang dimiliki menurut hukum adat, maka hak utama ini tidak mendahului ikatan kredit yang diadakan, sebelum saat wajib bayar bea balik nama terjadi atau dalam hal diadakannya sesudah saat itu, sepanjang sat itu diberikan suatu keterangan seperti dimaksud. Tanah atau barang yang digadaikan menurut hukum adat, maka hak Pemerintah Daerah tidak mendahului hak pemegang gadai atas pembayaran uang gadai. Hak utama akan hilang setelah dua tahun sejak tanggal surat kuasa untuk menyetor atau jika dalam waktu itu diberitahukan surat paksa untuk membayar dua tahun setelah diberitahukannya akta tuntutan yang terakhir. Dalam hal ini diberitahukan penundaan pembayaran, maka waktu tersebut, karena hukum dapat diperpanjang dengan waktu penundaan paling lama dua tahun. Walaupun pemilikan kendaraan bermotor dengan cara menyelundupkan hukum seperti dimaksud dalam uraian di atas, ketentuan yang ada tidak memberikan sanksi mencabut hak (onteigenen) yang diberikan. Ketentuan yang ada hanya menetapkan tidak berlaku suatu hak yang diberikan berupa BPKB/STNKB. Apabila ketentuan ini tidak ditaati, maka pemilikan itu tidak berdasarkan yuridis, sehingga tidak terdapat kepastian hak dan kepastian hukum. Seperti diketahui pada lembaga pencabutan hak hanya mungkin terjadi apabila terjadi penyalahgunaan. Pencabutan itu dapat berupa : a.
Pengambilan suatu benda oleh pemerintah dan untuk kepentingan umum, dengan penggantian kerugian dengan perantaraan hakim. b. Penyitaan (inbeslagneming) dalam soal-soal kriminil yaitu : pengambilan atau penahanan suatu benda yang dapat dijadikan bukti untuk menemukan kebenaran, atau benda-benda yang disita yang dapat diperintahkan pemusnahannya atau supaya tidak dapat dipakai lagi. c. Suatu nasionallisasi yaitu pengambilan suatu benda untuk dialihkan haknya kepada nagara.72 Kriteria penyalahgunaan hak dapat berupa : a. b.
Penggunaan hak milik itu tidak masuk kepentingan umum. Perbuatan itu dilakukan dengan maksud untuk merugikan orang lain. 72
Muqodim, Perpajakan Buku Dua, Ed.II, UII Press, Yogyakarta, 1999, h. 82.
Volume 11, No.1 Mei 2011
cxli
Terhadap kendaraan bermotor dikenal adanya lembaga tilang. Benda-benda tersebut dalam penggunaannya selalu menyangkut kepentingan umum di jalan raya. Setiap pemakai jalan selalu diatur dalam undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 Tentang Lalu-lintas Jalan Raya. Penyalahgunaan terhadap surat nomor, surat uji coba dan tanda uji kendaraan atau memberi keterangan tidak benar dalam permohonannya maka surat nomor, surat uji kendaraan yang bersangkutan dapat dinyatakan tidak berlaku. Pemilik kendaran bermotor yang tidak menyerahkan secara yuridis kepada pemilik baru, selalu dimintai pertanggungjawabannya apabila terjadi penyalahgunaan hak pada kendaraan bermotor yang seharusnya menjadi wewenang/haknya. Dilain pihak serung terjadi pembelian kendaraan bermotor yang masih diangsur pelunasannya oleh pemilik pertama. Hal ini selalu menimbulkan masalah yang rumit apbila ternyata pemilik pertama ini tidak melunasi harga pembeliannya yang telah diperjanjikan dengan pemilik asal. Sehingga kendaraan bermotor dapat dituntut pengembaliannya oleh pemilik asal kendaran bermotor. Benda-benda bergerak berupa kendaran bermotor merupakan suatu obyek yang dapat dijadikan suatu jaminan. Lembaga jaminan yang ada dalam pengaturannya, membedakan jelas antara benda-benda bergerak dan benda-benda tidak bergerak. Benda-benda tidak bergerak dapat dikenakan jaminan hipotik(saat ini diganti dengan Hak Tanggungan), sedang benda-benda bergerak dapat dibebani sebagai jaminan gadai (pand). Benda-benda bergerak terdaftar, sulit dimasukkan pada pembagian benda-benda diatas. Karena ia berdiri diantara kedunya. Pada perkembangan selanjutnya, dalam praktek muncul lembaga jaminan fudusia. Kita mengetai pula bahwa lembaga fidusia mengenai benda bergerak, meskipun diakui oleh yurisprudensi sangat mudah disalahgunakan oleh debitur pemberi fidusia dengan menjual lagi barang yang telah difidusiakan itu. Perlindungan yang diberikan di sini kepada pembeli yang beritikad baik berdasarkan pasal 1997 ayat 2 KUH Perdata, justru akan merugikan pihak pemberi fidusia. Pengaturan tentang lembaga jaminan, tidak dapat dilepaskan dari pengaturan benda itu sendiri. Adanya lembaga jaminan, berdasarkan hak-hak atas benda yang ditetapkan oleh undang-undang, seperti antara lain hak milik. Oleh karena itu tentang pemilikan yang diatur oleh undang-undangtidak dapat digunakan sebagai barang jaminan, seperti kendaran bermotor tanpa proses balik nama. Mengingat diadakannya tujuan pendaftaran terhadap benda-benda terdaftar, Memerintahkan agar dibuat suatu register umum (openbear register) dan supaya tiap-tiap orang dapat mengetahui tentang adanya hak milik. Adapun fidusia sendiri lahirnya dilatar belakangi oleh adanya kebutuhan dalam praktek, yaitu: a. b.
barang bergerak sebagai jaminan hutang; tidak semua hak atas tanah (dulu) dapat dihipotikkan;
cxliiVolume 11, No.1 Mei 2011
c. d.
barang obyek jaminan hutang yang bersifat khusus; barang bergerak obyek jaminan hutang tidak dapat diserahkan.73 Sebagaimana diketahui bahwa menurut sistem hukum kita, dan juga hukum di kebanyakan negera-negara Eropa kontinental, bahwa jika yang menjadi obyek jaminan hutang adalah benda bergerak, maka jaminannya diikat dalam bentuk gadai. Dalam hal ini, obyek gadai tersebut harus diserahkan kepada pihak yang menerima gadai (kreditur). Sebaliknya, jika yang menjadi obyek jaminan hutang adalah benda bergerak, maka jaminan tersebut haruslah (dulu) berbentuk hipotik (sekarang ada hak tanggungan). Dalam hal ini barang obyek jaminan tidak diserahkan kepada kreditur, tetapi tetap dalam kekuasaan debitur. Akan tetapi, terdapat kasus-kasus di mana barang obyek jaminan hutang masih tergolong barang bergerak, tetapi pihak debitur enggan menyerahkan kekuasaan atas barang tersebut kepada kreditur, sementara pihak kreditur tidak mempunyai kepentingan bahkan kerepotan jika barang tersebut diserahkan kepadanya. Karena itu, dibutuhkan adanya suatu bentuk jaminan hutang yang obyeknya masih tergolong benda bergerak tetapi tanpa menyerahkan kekuasaan atas benda tersebut kepada pihak kreditur. Akhirnya, muncullah bentuk jaminan baru di mana obyek benda bergerak, tetapi kekuasaan atas benda tersebut tidak beralih dari debitur kepada kreditur. Inilah yang disebut dengan jaminan fidusia. Sebaliknya, ada juga kasus-kasus di mana jaminan hutang diberikan atas benda tidak bergerak, tetapi ada kebutuhan atau para pihak sepakat agar barang tidak bergerak tersebut dialihkan kekuasaannya kepada pihak kreditur. Inilah yang mendorong munculnya gadai tanah yang banyak dipraktekkan dalam sistem hukum adat. Latar belakang lain yang memotivasi timbulnya atau berkembangnya praktek fidusia adanya hak atas tanah tertentu yang tidak dapat dijaminkan dengan hipotik atau hak tanggungan. Misalnya, dahulu hak pakai atas tanah tidak dijaminkan dengan hipotik, sehingga atas hak pakai tersebut diikat dengan jaminan fidusia. Sedangkan obyek jaminan hutang yang bersifat khusus adalah ada barangbarang yang sebenarnya masih termasuk barang bergerak, tetapi mempunyai sifat-sifat seperti barang tidak bergerak. Sehingga pengikatannya dengan gadai dirasa tidak cukup memuaskan, terutama karena adanya kewajiban menyerahkan kekuasaan dari benda obyek jaminan hutang tersebut. Karena itu jaminan fidusia menjadi pilihan. Misalnya, fidusia atas pesawat terbang dahulu sebelum berlakunya Undang-undang tentang penerbangan nomor 15 Tahun 1992. Dengan undang-undang tersebut, hipotik dapat diikatkan atas sebuah pesawat terbang. Atau terhadap hasil panen, yang juga tidak mungkin diikatkan dengan hipotik.
73
Munir Fuady, Jaminan Fidusia, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000,
h.1-3. Volume 11, No.1 Mei 2011
cxliii
Pekembangan kepemilikan atas benda-benda tertentu juga tidak selamanya dapat diikuti oleh perkembangan hukum jaminan, sehingga ada hak-hak atas barang yang sebenarnya tidak bergerak, tetapi tidak dapat diikatkan dengan hipotik. Misalnya, tidak dapat diikatkan dengan hipotik atas strata title atau atas rumah susun. Maka Undang-undang Rumah Susun Nomor 16 Tahun 1985, memperkenalkan fidusia terhadap hak atas satuan rumah susun tersebut. Akan tetapi, sekarang dengan berlakunya Undang-undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996, maka atas strata title dapat diikatkan hak tanggungan asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu. Barang bergerak obyek jaminan hutang tidak dapat diserahkan, artinya adakalanya pihak kreditur dan pihak debitur sama-sama tidak berkeberatan agar diikatkan jaminan hutang berupa gadai atas hutang yang dibuatnya, tetapi barang yang dijaminkan karena sesuatu dan lain hal tidak dapat diserahkan kepemilikannya kepada pihak kreditur. Misalnya, saham perseroan yang belum dicetak sertifikatnya. Karena itu, timbul fidusia saham atau fidusia atas benda bergerak, tetapi benda tersebut karena sesuatu dan lain hal masih di tangan pihak ketiga, sehingga penyerahan barang tersebut belum dapat dilakukan. Karena itu, gadai tidak dapat dilakukan. Mahkamah Agung Negeri Belanda dapat dipandang sebagai lembaga pengadilan yang memungkinkan dipergunakan fidusia sebagai lembaga jaminan melalui putusannya yang terkenal dengan nama Bierbrowery Arrest tanggal 25 Januari 1929, sekalipun sebenarnya lembaga jaminan yang demikian ini sudah lama dikenal sejak Jaman Romawi.74 Ada sementara pihak yang beranggaapan bahwa Arrest tersebut menyalahi ketentuan undang-undang mengenai gadai oleh karena ketentuan mengenai gadai sudah menentukan secara tegas bahwa barang yang dijadikan jaminan harus diserahkan kepada kreditur, akan tetapi dalam fidusia tetap dipegang oleh debitur, sedangkan sebaliknya ada pula ahli hukum yang memberikan dukungan terhadap Arrest tersebut, sehingga lembaga fidusia berkembang seperti sekarang ini. Ada yang berpendapat bahwa hal yang demikian dapat dibenarkan atas dasar tuntutan masyarakat karena membutuhkan adanya lembaga jaminan yang demikian, sehingga undang-undang harus menyingkir atas dasar prinsip bahwa undang-undang untuk manusia dan masyarakat, bukannya masyarakat untuk undang-undang. Sedangkan pendapat lain yang pro terhadap putusan Hoge Raad di atas, menyetujui dikembangkannya lembaga fidusia ini didasarkan pada asumsi bahwa jika fidusia ini diterima maka ketentuan pasal 1152 KUH Perdata yang mengharuskan adanya penyerahan benda yang digadaikan harus dihapuskan terlebih dahulu dan ada pula pendapat yang tidak mau mengkaitkannya dengan persoalan gadai serta menilai fidusia ini sebagai suatu lembaga jaminan baru yang dibutuhkan dalam praktek. 74
Abdurrahman dan Sasul Wahidin, Beberapa Catatan Tentang Hukum Jaminan dan Hak-hak Jaminan atas Tanah, Cet.I, Alumni, Bandung, 1985, h.39.
cxlivVolume 11, No.1 Mei 2011
Adanya pandangan yang demikian sangat banyak pengaruhnya terhadap perkembangan fidusia itu sendiri. Dan berbagai putusan pengadilan, baik di negeri Belanda maupun di negeri kita sudah terlihat adanya suatu kecenderungan untuk tetap mempertahankan dan mengembangkan lembaga ini sekalipun hanya dimungkinkan terhadap benda bergerak saja. Di kalangan para ahli hukum sudah ada yang melangkah lebih jauh untuk memungkinkan diadakannya fidusia terhadap benda tetap seperti untuk memberikan jaminan kepada penagih dengan jalan penyerahan hak milik. Pemberian jaminan secara demikian ini sebenarnya hanya merupakan “pengurangan kebebasan hak kepemilikan atas suatu benda”. Oleh karena itu, bisa saja terjadi “juridische levering” artinya dengan “zakelijk overeenkomst” pendaftaran pada kadaster dan adanya perjanjian bahwa penyerahan itu hanya atas dasar kepercayaan saja. Akan tetapi hal yang demikian adalah jarang terjadi disebabkan karena telah ada peraturan tentang hipotik. Keberadaan lembaga jaminan fidusia semula tidak lahir dengan kesepakatan bulan dari para ahli hukum, melainkan masih melalui pertentangan yang cukup tajam, seperti adanya pendapat bahwa benda tetap tidak dapat dibebani dengan lembaga jaminan fidusia. Di samping itu, banyak pula yang mengungkapkan beberapa kelemahan yang terkandung di dalam lembaga tersebut, karena terlalu banyak mengandung resiko antara lain seorang pemberi fidusia masih ada kemungkinan untuk main curang dengan menjual atau menggadaikan lagi benda jaminan yang sudah difidusiakan itu. Di samping hal tersebut berbeda dengan hipotik yang harus didaftarkan, maka fidusia tidak didaftarkan dan tidak mempunyai akta (pada saat timbul pengusulan semula) dari sertifikatnya, sehingga dari pihak ketiga akan mudah dengan begitu saja berdalih bahwa ia tidak tahu menahu mengenai adanya fidusia terhadap barang yang telah diserahkan kepadanya, oleh karena pihak ketiga yang beritikad baik yang telah membeli barang tersebut adalah dilindungi oleh hukum sekalipun penjual telah melakukannya dengan tipu muslihat dan penjual tersebut adalah untuk kedua kalinya. Saat itu dipersoalkan, apakah fidusia sebagai lembaga jaminan perlu untuk diatur dalam suatu ketentuan perundang-undangan tersendiri. Sebab pada saat itu fidusia masih belum ada undang-undangnya. Mengenai hal ini, di Belanda sedang dibahas mengenai masalah fidusia guna dicari wadahnya yang paling tepat. Bentuk pengaturan ini hanyalah dimaksudkan untuk mencari jalan keluar melalui jalan yang melingkar, di mana atas dasar ketentuan udnang-undang yang ada tidak diperkenankan. Bilamana pembentuk undang-undang menganggap perlu, dapat mencapai maksud yang sama secara langsung dengan cara mengubah jalan melingkar melalui fidusia ini. Setelah dilakukan penelitian secara mendalam, maka tentang praktek fidusia di negeri Belanda dengan mendasarkan pada nilai efektifitas lembaga fidusia Volume 11, No.1 Mei 2011
cxlv
yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, maka telah terbukti untuk memberikan wadah lembaga jaminan fidusia dalam suatu undang-undang. Perkembangan selanjutnya dari lembaga fidusia dalam praktek peradilan di negeri kita ternyata pula telah menetapkan bahwa penyerahan hak milik sebagai jaminan fidusia hanya sah sepanjang mengenai barang-barang bergerak saja. Dari perkembangan ini pulalah, kelahiran pembagian benda-benda terdaftar dan benda-benda tidak terdaftar menjadi semakin diperlukan, dengan maksud untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam proses kepemilikan benda terdaftar. Adapun untuk memperoleh benda terdaftar, dalam praktek dapat diperoleh dengan cara membeli (dalam transaksi jual beli), hibah, tukar menukar, hadiah ataupun bentuk transaksi lainnya yang menurut ketentuan pasal 1320 KUH Perdata tidak dilarang, baik secara obyektif maupun secara subyektif. Dalam seminar hukum mengenai lembaga-lembaga jaminan di Yogyakarta pada tanggal 9 Oktober 1984 sampai dengan 11 Oktober 1984 terdapat gagasan hukum kendaraan bermotor yang terdapat gagasan bahwa kendaraan bermotor yang terdaftar dapat digunakan lembaga jaminan hipotik (versi baru) atau bila tidak terdaftar lembaga jaminannya adalah gadai (pand). Suatu benda tidak berwujud (misalnya hak untuk menagih) ia dapat memakai lembaga gadai atau fidusia.75 Dengan mengetahui tentang arti pentingnya lahirnya suatu undang-undang yang mengatur benda-benda bergerak terdatar, di mana semula lahir dari perkembangan praktek penerapan lembaga jaminan fidusia. Maka pemberlakuan sanksi hukum dalam transaksi jual beli kendaraan bermotor roda dua, menjadi semakin jelas keberadaannya beserta aplikasinya. Sebagaimana telah diketahui bersama hukum adalah merupakan suatu sistem, hukum benda adalah merupakan suatu sub-sub sistem dari hukum perdata sebagai sub sistemnya. Adapun yang dimaksud dengan sistem adalah antara sub sistem dengan subsub sistem ataupun dengan sub sistem yang lain selalu berkait dan terikat dalam pengaplikasiannya dan tidak dapat dilepas satu persatu dan dioperasionalisasikan satu persatu dengan tanpa memfungsikan sistem atau sub sistem yang lain.
B. Akibat Hukum Kendaraan Bermotor Yang Tidak di Balik Nama Terhadap penguasaan kendaraan bermotor yang tidak di balik nama atau bukan pemilik dalam waktu yang tidak ditentukan, balik nama dapat dihindari dengan dalih karena perjanjian pinjam meminjam atau perjanjian yang lain yang tidak untuk memperoleh hak milik. Dalam peraturan daerah tentang bea balik nama kendaraan
75
Ibid.
cxlviVolume 11, No.1 Mei 2011
bermotor, sudah berusaha untuk mencegah terjadinya penyelundupan hukum sebagai mana di atas. Dengan demikian akibat hukum dalam transaksi sepeda motor atau kendaraan bermotor roda dua adalah masalah sanksi hukum yang tidak dapat dilepaskan dari kepastian hukum dan perlindungan hukum. Artinya ketika para pihak yang melakukan traksaksi jual beli sepeda motor sesuai dengan undang-undang, artinya para pihak mendaftarkan terjadinya perobahan kepemilikan sepeda motor sesuai dengan pasal 176 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993, maka pada saat itu pula telah tejadi kepastian hukum yaitu bahwa pemilik kendaraan atau sepeda motor telah beralih pada pembeli (baik secara nyata ataupun secara hukum) dus perlindungan hukum dapat diperoleh, baik oleh pihak penjual maupun oleh pihak pembeli. Bilamana dalam proses pendaftaran perobahan kepemilikan kendaraan itu, pembeli tidak mau membayar bea balik nama, maka ia akan memperoleh sanksi hukum yang dapat berupa denda. Sebaliknya, jika pembeli telah mendaftarkan perobahan status kepemilikan kendaraan tersebut, maka secara otomatis pembeli mendapat perlindungan hukum sebagai pemilik sepeda motor yang sah. Ia dapat dapat mempertahankan hak miliknya terhadap siapapun atas dasar hak kebendaan. Bagi pihak penjual perihal sanksi hukum, kepastian hukum dan perlindungan hukum juga dapat diberlakukan dan diperoleh, sepanjang pihak penjual juga mengikuti aturan main transaksi jual beli yang telah ditentukan dalam undang-undang di atas. Kita dapat membuktikan, bahwa perlindungan hukum bagi penjual kendaraan atau sepeda motor dapat diperoleh ketika penjual benar-benar mengikuti prosedur perjanjian jual beli sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang. Artinya penjual baru berkewajiban melakukan pemenuhan prestasi pada saat pembeli memenuhi kewajibannya melakukan kontra prestasi yang berupa pembayaran sejumlah uang. Hal ini dikarenakan, walaupun antara penjual dan pembeli telah terjadi kesepakatan dalam transaksi jual beli sepeda motor itu, namun perjanjian yang telah disepakati tersebut masih dalam taraf “obligatoir” dan belum menyebabkan terjadinya perpindahan hak kepemilikan. Proses perpindahan hak milik dari penjual ke pembeli akan terjadi, bilamana kedua belah pihak telah saling memenuhi “prestasi dan kontra prestasi”. Pada saat itulah kepastian hukum lahir sebagai akibat terjadinya perjanjian jual beli tersebut, artinya pada saat itu telah dapat ditentukan siapa yang berkedudukan sebagai pemilik atas sepeda motor yang telah diperjual-belikan tersebut. Tahap berikutnya, pemilik tinggal melakukan pendaftaran, dan bersamaan dengan proses pendaftaran dimaksud “perlindungan hukum” muncul dengan sendirinya. Artinya, kedudukan pembeli yang telah tercantum sebagai pemilik dalam Buku Pemilik Kendaraan Bermotor secara yuridis adalah sah hukumnya sebagai pemilik.
Volume 11, No.1 Mei 2011
cxlvii
B. Alasan-alasan Yang Memberatkan Kendaraan Bermotor Yang Tidak di Balik Nama Ditinjau dari proses penyelesaian balik nama seperti telah diuraikan pada bab sebelumnya, dapat diketahui tidak terlalu memberatkan atau menyulitkan. Mengingat sistim administrasi manunggal dibawah satu atap dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang meliputi : a.
Menyederhanakan, mempercepat dan dapat dipertanggung jawabkan dalam pelayanan penyelesaian balik nama kendaraan bermotor serta pajak lainnya. b. Menyelenggarakan urusan surat-surat yang ada hubungannya dengan kendaraan bermotor.76 Kemudian mengingat bahwa objek balik nama adalah transaksi, maka bea ini tidak dipungut secara pereodik seperti pajak-pajak lain terhadap kendaraan bermotor. Apabila bea pemilikan kendaraan bermotor (dalam balik nama) yang akan digunakan/dimiliki sendiri untuk seterusnya, maka bea akan dibayar sekali yang harusnya dibayar oleh pemilik. Sepanjang kendaraan bermotor itu tidak diserahkan kepada pihak lain, tidak pernah timbul kewajiban balik nama. Akan tetapi sebaliknya apabila kendaraan bermotor itu sering dilakukan penyerahan, maka sebanyak jumlah penyerahan itu kewajiban balik nama harus dilakukan. Walaupun prosedur dibuat sedemikian mudah, namun balik nama tetap saja dapat dihindari. Seperti diketahui ketentuan yang khusus berupaya mencegah penyimpangan ini terdapat pada peraturan daerah tentang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. Ketentuan ini bersifat menunggu, sampai adanya pemberi tahuan yang mengakibatkan kewajiban balik nama. Sehingga walaupun ketentuan-ketentuan yang diberikan bersifat kewajiban membayar pajak, tetapi kewajiban itu timbul setelah ada perbuatan yang mengandung unsur perdata. Ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata dapat berfungsi sebagai pelengkap (aanvullend recht) tetapi ketentuan balik nama tidak dapat dikatakan sebagai pelengkap. Walaupun cara memperoleh hak milik dapat berasal dari suatu perjanjian, akan tetapi dalam setiap perjanjian yang mengakibatkan penyerahan hak milik benda-benda terdaftar harus diikuti dengan balik nama. Dengan catatan bahwa perjanjian pokok yang dibuat tidak boleh menyimpang dari undang-undang. Maka berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata suatu perjanjian dinyatakan tidak sah apabila tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan undangundang. Kenyataan dalam praktek, perjanjian ini yang banyak dibuat tidak sah menurut undang-undang. Tidak lain dengan tujuan agar kewajiban berikutnya, berupa balik nama dapat dihindari. Oleh karena hukum mudah disimpangi, maka dapat digunakan alasan untuk tidak melaksanakan kewajiban balik nama. Bagi pedagang kendaraan bermotor bekas, yang sering mengadakan perjanjian jual beli pada umumnya menguasai sejumlah kendaraan bermotor. Sehingga 76
Penjelasan Kepala Unit Samsat Pamekasan, 6 April 2011.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxlviii
untuk melaksanakan kewajiban tersebut diatas, mereka mempunyai pertimbangan antara lain : a.
Benda-benda itu tidak untuk dimiliki sendiri, akan tetapi setiap saat akan dibeli dan diserahkan kepada orang lain. b. Menambah harga jual karena bea yang dikeluarkan untuk balik nama. c. Menghendaki penjualan yang cepat dengan harga bersaing serta segera memperoleh keuntungan yang diharapkan. d. Sebagai pedagang, apabila semua kendaraan bermotor yang dikuasainya harus dibalik nama, akan memakan waktu, biaya dan tenaga, dan atas pertimbangan ini mereka memilih untuk tidak melakukan balik nama kendaraan bermotor yang menjadi barang dagangannya.77 Adanya pemilikan tanpa proses balik nama, terdapat pula unsur untuk menghindari pengenaan bea. Dibanding dengan pajak lain, bea balik nama memang lebih besar pengenaannya. Hal ini lebih menyangkut tentang kendaraan sebagai wajib pajak serta usaha aparat yang berwenang dalam mengadakan pemungutan pajak. KESIMPULAN a. Setiap transaksi jual beli kendaraan bermotor pada dasarnya harus dilakukan, baik secara nyata ataupun secara yuridis, namun bilamana ketentuan ini tidak diikuti karena kebiasaan, maka kedudukan seorang pemegang sepeda motor yang sah (dengan cara membeli) dan yang tidak sah (dengan cara pencurian, dan penadahan) tidak dapat dibedakan. Apalagi ketentuan hukum dalam KUH Perdata khususnya pasal 1977 ayat 1 hanya berlaku terhadap benda bergerak yang tidak terdaftar, untuk itu pendaftaran perobahan kepemilikan sepeda motor menjadi wajib; b. Dalam transaksi jual beli sepeda motor, selain harus dilakukan penyerahan nyata atas sepeda motor dari tangan penjual kepada tangan pembeli, juga harus dilakukan penyerahan yuridis, yaitu pendaftaran perobahan kepemilikan sepeda motor dari penjual kepada pembeli. Perobahan status kepemilikan sepeda motor yang didaftarkan, akan melahirkan perobahan nama pemilik dalam BPKB dan STNK sepeda motor yang bersangkutan; c. Adapun akibat hukum terhadap transaksi jual beli sepeda motor dengan tanpa balik nama dengan maksud untuk menghindari pengenaan bea balik nama, adalah akan melahirkan sanksi hukum, tidak ada perlindungan hukum dan tidak ada kepastian hukum. Sanksi hukum akan timbul bilamana pihak pemilik yang terakhir mendaftarkan melewati tenggang waktu jatuh tempo penagihan pajak kendaraan bermotor. Dengan tidak dilakukannya perobahan status kepemilikan sepeda motor, maka bilamana kendaraan yang telah dibeli oleh pemegang terakhir “diakui atau digugat” oleh orang lain, maka perlindungan hukum bagi pembeli tersebut tidak 77
Penjelasan Pedagang Kendaraan Bermotor Roda Dua Bekas di Pamekasan, 9 April 2011. Volume 11, No.1 Mei 2011
cxlix
ada, artinya hukum akan tetap memberikan perlindungan hukum pada siapa yang tertera namanya dalam BPKB ataupun STNK-nya.
SARAN Dengan adanya fakta di atas, maka pihak pemerintah melalui institusi terkait untuk segera melakukan tindakan-tindakan: a. b. c.
cl
Penyuluhan hukum tentang arti penting perjanjian jual beli kendaraan bermotor yang harus dilakukan secara yuridis; Mewajibkan pembeli sepeda motor bekas untuk selalu mendaftarkan sepeda motor yang telah dibelinya; Memberikan sanksi berupa denda, kepada pembeli yang tidak mendaftarkan transaksi jual beli bendaraan bermotor, dengan cara melakukan balik nama;
Volume 11, No.1 Mei 2011
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PASAL 174 PP NO. 44 TAHUN 1993 TENTANG BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR Oleh: M..Amin Rachman, S.H.,MH.* ABSTRAK .
Dalam transaksi jual beli sepeda motor, selain harus dilakukan penyerahan nyata atas sepeda motor dari tangan penjual kepada tangan pembeli, juga harus dilakukan penyerahan yuridis, yaitu pendaftaran perobahan kepemilikan sepeda motor dari penjual kepada pembeli. Perobahan status kepemilikan sepeda motor yang didaftarkan, akan melahirkan perobahan nama pemilik dalam BPKB dan STNK sepeda motor yang bersangkutan; Kata Kunci: Tinjauan Yuridis – Bea Balik Nama – Kendaraan Bermotor.
LATAR BELAKANG Setiap penyerahan benda-benda terdaftar menghendaki adanya balik nama atau penyerahan secara yuridis yang memerlukan akta otentik. Benda-benda terdaftar pada perkembangan zaman sekarang ini tidak saja meliputi benda-benda tidak bergerak tetapi juga mencakup benda-benda bergerak. Pendapat-pendapat modern cenderung untuk mengakui perbedaan benda pada benda-benda atas nama dan tidak atas nama atau benda-benda terdaftar dan bendabenda tidak terdaftar daripada perbedaan secara lama yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak.78 Yang dimaksud benda-benda terdaftar ialah benda-benda dimana pemindahan dan pembebanannya disyaratkan harus didaftarkan dalam register. Tujuan diadakan pendaftaran ini penting dalam rangka kepastian hak dan kepastian hukum. Disamping itu juga harus diakui bahwa ketentuan melaksanakan pendaftaran juga terdapat kepentingan fiskal. Benda bergerak yang terdaftarpun dalam penyerahannya mendapat perlakuan yang sama dengan benda-benda tidak bergerak, yaitu memerlukan adanya penyerahan secara yuridis. Hanya dengan penyerahan nyata saja belum menimbulkan adanya
78
A. Yuda Hernoko, Diktat Hukum Perjanjian Kredit dan Jaminan – Aspek Hukum Jaminan dan Lembaga Jaminan, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2001, h.11 Volume 11, No.1 Mei 2011
cli
pemilik baru. Dalam karya ilmiah ini, saya menunjuk pada peristiwa jual beli kendaran bermotor bekas yang dijumpai dalam masyarakat. Sengaja dipilih kendaran bermotor yang bekas karena penguasaan terhadap benda ini sering dilakukan tanpa balik nama. Kendaraan bermotor adalah benda bergerak, benda bergerak pada umumnya berlaku syarat penyerahan sekaligus, antara penyerahan nyata (feitelik levering) dan penyerahan yuridis (yuridische levering) jatuh bersaman pada waktu benda diserahkan. Anggapan ini sangat berpengaruh dalam masyarakat, sehingga penyerahan secara yuridis yang harus dilakukan terhadap benda bergerak terdaftar sering diabaikan. Di lapangan praktek asal barang sudah ditangan maka ia menjadi pemilik. Maksud ketentuan di atas, sebenarnya menghendaki agar setiap peralihan kendaran bermotor diikuti dengan penyerahan kekuasaan melalui balik nama. Namun dalam praktek, justru yang dinyatakan sebagai pemilik bukanlah orang yang tersebut sebagai pemilik dalam STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) atau BPKB (Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor), melainkan secara faktual yang menguasai kendaraan beserta surat-suratnya (dalam hal ini STNK dan BPKB). Ketentuan ini cenderung memberikan perlindungan kepada para pemegang kendaraan bermotor. Dalam sistem Eropa dikenal adanya lembaga bezitt. Pasal 1977 KUH Perdata menyabutkan bahwa “terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga, maupun piutang yang tidak harus dibayar kepada si pembawa, maka barang siapa yang menguasainya dianggap sebagai pemiliknya.79 Dalam teori-teori tentang basit, baik eigendoms theorie maupun legitimetie theorie, soal penyerahan tidak perlu dilakukan oleh orang yang berwenang, sebagaimana yang dikehendaki oleh pasal 548 KUH Perdata, tentang cara memperoleh hak milik.80 Sistem yang dibicarakan diatas sepanjang mengenai sistem yang dikenal dalam KUH Perdata. Mengenai sistem-sistem yang lain yang terdapat dalam hukum adat, maka ini menjadi pedoman dalam pembahasan karya ilmiah ini. Selaras dengan adanya suatu prinsip law is a tool of social engineering guna merintis jalan yang lapang untuk memungkinkan terlaksananya pembangunan ekonomi yang lancar, khususnya proses transaksi kendaraan bermotor dalam tradisi (hukum) adat, dengan jalan mengaplikasikan nilai-nilai yang kerap dipraktekkan dalam transaksi jual beli kendaraan bermotor melalui fungsi rechtsvinding (penemuan hukum).81 Alternatif lain tidak dilaksakannya penyerahan yuridis, adalah kemungkinan menghindari pengenaan bea balik nama. Alternatif-alternatif ini menjadi latar belakang permasalahan dalam karya ilmiah ini.
79
Soetojo Prawirohamidjojo R. dan Marthalena Pohan, Bab-bab Tentang Hukum Benda, Cet.I, bina ilmu, Surabaya, 1984, h..63. 80 Ibid., h..66. 81 Soetandyo Wignjosoebroto, Perkembangan Hukum Nasional dan Pendidikan Hukum Di Indonesia pada Era Pascakolonial, Karya Ilmiah Para Pakar Hukum Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, Cet.I, PT. Eresco, Bandung, 1995, h. 419.
clii Volume 11, No.1 Mei 2011
Padahal dalam sisi lain, menghendaki adanya kepastian hak dan kepastian hukum. Agar tujuan ini tercapai pembuat undang-undang menghendaki adanya proses balik nama untuk memperoleh hak milik berdasarkan suatu alas hak. Sedangkan pembuat undangundang berpendapat tidak ada pemilikan yang sah terhadap pemilikan kendaraan bermotor tanpa dilakukan proses balik nama kepada pemilik yang terakhir sebagai pemilik yang sebenarnya dan sah secara hukum. Sedangkan kenyataan yang terjadi, masyarakat sudah dapat menganggap menjadi pemilik dan merasa mendapat kepastian walaupun penyerahan secara yuridis tidak dilaksanakan. Sejauh mana akibat hukum dari pemilikan terhadap benda-benda ini, menjadi pokok bahasan dalam karya ilmiah ini. Atas dasar uraian di atas, maka dapatlah ditarik permasalahan konkrit dengan rumusan sebagai berikut: d. Bagaimana perlindungan hukum atas jual beli kendaraan bermotor ? e. Bagaimana proses penyerahan yuridis atas benda-benda terdaftar dalam suatu transaksi? f. Bagaimana akibat hukum terhadap pemilikan kendaraan bermotor ? PERLINDUNGAN HUKUM ATAS JUAL BELI KENDARAAN BERMOTOR A. Jual beli harus dilaksanakan oleh orang yang berhak Sebagaimana diatur dalam pasal 584 KUH Perdata, salah satu cara memperoleh hak milik harus dilaksanakan oleh orang yang berwenang. Orang yang berwenang mempunyai kewenangan berhak (beschikkingsbevoegdheid) untuk memindahkan milik ketangan lain.82 Hanya ada dua persoalan yang ingin saya kemukakakan dari pasal ini, yaitu pertama pemindahan milik oleh orang berhak atas itu dan kedua titel (alas hak) yang menjadi alasan bagi pemindahan tadi. Persyaratan untuk kewenangan berhak adalah tidak lain dari suatu penerapan azas tiada seorang pun dapat memindahkan hak lebih dari pada apa yang ia miliki sendiri (Nemo plus juris ad alium transfere potest quam ipse haberet) atau dengan kata lain : “tidak seorangpun dapat menerima suatu hak dari tangan seseorang yang tidak berhak.”83 Mengenai benda bergerak dalam hal ini harus diperhatikan pasal 1977 KUHP Perdata yang berbunyi untuk benda bergerak yang tidak terdiri atas bunga atau piutang yang pembayarannya dapat dilakukan kepada pemegangnya (toonder papieren), berlaku ketentuan “bezit merupakan titel yang sempurna”84 82
Soetojo Prawirohamidjojo R. dan Marthalena Pohan, Loc.cit. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Ed.II, Liberty, Yogyakarta, 2000, h.122. 84 Achmad Ichsan, Hukum Perdata IA, Cet.I, PT.Pembimbing Masa, Jakarta, 1969, h.174. 83
Volume 11, No.1 Mei 2011
cliii
Dalam teori kausal, alas hak menjadi alasan penting bagi pemindahan hak milik itu. Suatu yang menyebabkan pemindahan tersebut sama sekali tidak dapat dilepaskan dari titel tersebut. Jadi apabila perjanjian tersebut batal , maka pemindahan atas hak milik akan batal. Dalam jual beli kendaran bermotor bekas dari tangan ke tangan lain yang sering terjadi, kurang memperhatikan siapa orang yang berwenang. Sesuai dengan ketentuan di atas, bila jual beli demikian dilakukan oleh orang yang tidak berwenang seharusnya batal, karena sahnya perjanjian menjadi sumber pokok perpindahan milik. Pendapat ini sesuai dengan kehendak para pembuat undang-undang. Mereka memandang bahwa sahnya perjanjian jual beli harus dilakukan oleh orang yang berwenang, artinya orang itu dapat menunjukkan akta / surat-surat tanda pemilikan atas namanya. Agar pihak ketiga (pembeli barang) menjadi orang yang berwenang baru, maka setiap perpindahan hak milik harus disertai balik nama. Inilah seharusnya ketentuan yang berlaku terhadap benda-benda terdaftar. Antara orang yang berwenang, atas hak yang sah dan penyerahan yuridis merupakan suatu proses pemindahan hak milik. Jika salah satu diantaranya tidak sah, maka pemindahan milik itu batal demi hukum. Pada pokoknya, pemindahan benda-benda terdaftar menyerupai benda-benda tidak bergerak, seperti yang berlaku sebagai berikut: kesepakan kehendak saja kebanyakan belumlah untuk melakukan perpindahan hak milik. Acapkali disyaratkan bahwa persetujuan kebendaan (zakelijk overeenkomst) itu diikuti dengan formalitasformalitas tertentu. Demikian penyerahan pada benda-benda tidak bergerak adalah tidak cukup, bila hanya ada kehendak dari pihak-pihak saja. Untuk itu, di samping diperlukan pula adanya suatu akta notariil (617 KUH Perdata, yang dibalik nama dalm daftar umum pasal 616KUH Perdata). Penafsiran lain mengenai pasal 584 di atas dikenal dengan teori abstrak. Menurut ajaran abstrak, penyerahan dan atas hak itu merupakan hal-hal yang terpisah satu sama lain. Untuk sahnya penyerahan tidak tergantung pada alas hak nyata. Sehingga menurut abstrak yang murni konsekuensinya bisa terjadi bahwa penyerahan itu akan sah juga sekalipun titelnya tidak sah, bahkan sekalipun tanpa titel.85 Ajaran ini berlawanan dengan yang diuraikan sebelumnya, pendapat di atas cenderung mengatakan sah transaksi jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak berwenang. Seperti dikatakannya dalam teori ini, bahwa alas hak dan penyerahan merupankan hal yang terpisah. Dengan demikian transaksi jual beli dimaksud dianggap sudah dapat menimbulkan penyerahan yang sah. Disamping itu, terdapat cara-cara memperoleh hak milik diluar pasasl 584. Apakah cara ini menjadi lembaga baru untuk mengatur benda-benda terdaftar dan tidak terdaftar. Undang-undang mengatur tersendiri, walaupun pengaturannya tidak berdasarkan lembaga-lembaga yang dikenal dalam KUH Perdata. Namun lembaga penyerahan mempunyai peranan penting dalam pengaturan benda-benda semacam ini. 85
Soetojo Prawirohamidjojo R dan Marthalena Pohan, Op.cit., h..43.
clivVolume 11, No.1 Mei 2011
Apabila kita berfikir sederhana, seperti kebanyakan anggapan masyarakat, orang yang berwenang terhadap benda-benda berupa kendaraan bermotor adalah pemegang sendiri. Mereka merasa dapat bebas mengadakan jual beli tanpa harus terikat kewajiban penyerahan secara yuridis, dan tanpa rasa khawatir jual beli akan dibatalkan. B. Status Pemilikan Para pembuat undang-undang sudah mengatur demikian rapat, agar jangan sampai terjadi terobosan-terobosan atau penyimpangan-penyimpangan, akan tetapi masyarakat selalu berkembang dan berubah. Ketentuan yang semula diatur secara rinci dan jelas ternyata pada akhirnya tidak mampu mengikuti perkembangan masyarakat. Ditinjau dari segi yuridis, setiap perbuatan yang menyimpang dari ketentuan, jelas hukum tidak akan memberikan kepastian hak dan kepastian hukum. Dalam hal kepastian hukum diberikan kepada mereka yang berhak atas milik. Artinya yang dimaksud dengan hak, tidak hanya penguasaan pada suatu benda, akan tetapi meliputi kepentingan hukum yang menyertainya. Terhadap penguasaan di sini saya juga menggunakan istilah pemilikan, karena dipandang lebih sesuai dengan keadaan dalam praktek. Dalam jual beli kendaraan bermotor bekas, masyarakat cenderung melupakan kepentingan hukumnya daripada pemilikannya, untuk tujuan-tujuan tertentu. Pemilikan dalam konteks ini dianggap lebih bermanfaat dari pada kepentingan hukumnya. Apakah karena tidak mempunyai arti ekonomis, kepentingan hukum selalu dikorbankan? Kedua aspek ini tidak harus dipertentangkan. Antara kebutuhan ekonomi dan kepentingan hukum memang berbeda. Tetapi perbedaan ini bukan untuk saling mengorbankan. Jika ekonomi berputar, maka hukumnya harus diterapkan. Peranan hukum yang sangat penting adalah kemampuannya untuk mempengaruhi tingkat kepastian dalam hubungan antar manusia di dalam masyarakat. Apabila kita berfikir yuridis antara kepentingan hukum dan pemilikan bendabenda itu adalah melekat pada suatu “hak”. Timbulnya kepentingan hukum adalah karena adanya penguasaan/pemilikan tehadap benda. Apabila pemilikan dipindahkan juga berarti kepentingan hukumnya juga harus dipindahkan. Dan pemilik pertama tidak lagi mempunyai kepentingan hukum. Benda-benda bergerak adalah pembagian yang sudah lama dikenal masyarakat, dan jumlahnya jauh lebih besar dari pada benda-benda serupa yang terdaftar. Bendabenda bergerak dalam lembaga-lembaga yang dikenal dalam hukum benda diperlakukan sangat berbeda dengan benda-benda tidak bergerak, yang menyerupai benda-benda terdaftar. Pergeseran kecenderungan dari pembagian benda-benda bergerak atau tidak bergerak menjadi benda terdaftar atau tidak terdaftar, ternyata belum dapat meninggalkan lembaga-lembaga yang dikenal dalam mengatur benda-benda bergerak atau tidak bergerak. Seperti dapat dilihat dalam pasal 1977 KUH Perdata. Hukum ini menghapuskan persyaratan kewenangan berhak untuk memperoleh benda-benda bergerak yang berwujud, sepanjang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Volume 11, No.1 Mei 2011
clv
Dalam bezit, ada dua aspek penting yaitu aspek pembuktian dan aspek itikad baik. Benda-benda terdaftar yang menjadi kreteria baru pembagian benda masih berlindung pada ketentuan pasal 1977 KUH Perdata. Dalam praktek, pasal 1977 KUH Perdata sering dihadapkan dengan pasal 584 KUH Perdata. Pasal 1977 merupakan penyelesaian dan terobosan pertama terhadap pengesahan perolehan hak milik atas benda bergerak yang terdaftar. Untuk selebihnya mengenai hal-hal yang tidak dapat ditampung oleh ketentuan ini, maka perlu dipancangkan pasal 584 KUH Perdata. Di sini kembali kewenangan berhak menentukan sahnya penyerahan hak milik. Penyerahan yuridis terhadap benda-benda bergerak terdaftar, tetap harus dilakukan. Bilamana penyerahan yuridis atau balik nama tidak dilakukan, maka selama itu pula kepemilikan atas benda bergerak terdaftar adalah milik si empunya yang lama atau penjual. Transport akta (akta peralihan) memerlukan adanya pendaftaran, di mana dalam penyelenggaraan pendaftaran, dikenal adanya sistem negatif dan sistim positif. Sistim ini lazim digunakan dalam pemberian surat-surat tanda bukti hak atas tanah. Surat-surat tanda bukti hak yang dikeluarkan untuk benda-benda bergerak terdaftar dapat dikatakan menganut sistim positif. Sistem positif menganggap bahwa apa yang tercantum dalam pendaftaran merupakan alat pembuktian yang mutlak. Bila sistim ini berlaku atas tanah, maka bertujuan untuk kepentingan tentang bisa atau tidaknya di adakan pembuktian baru dalam gugat yang diajukan. Terhadap benda-benda bergerak yang terdaftar cenderung menganut sistim positif. Di sini tidak bisa digunakan sistim negatif karena tidak menghendaki adanya pembuktian baru. Dan sudah barang tentu apabila sistim ini digunakan tidak akan berjalan efektif. Dalam ilmu hukum sistim-sistim ini tidak digunakan terhadap bendabenda terdaftar. Hanya dapat dimengerti bahwa hak yang diberikan kepada pemilik mengandung kewenangan-kewenangan yang bersifat publiekrechtelijk. Semua hak-hak (subjectieve rechten), maksudnya kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh hukum, yang mempunyai sifat baik publiekrechtelijk itu maupun privatrechtelijk. Kewenangan-kewenangan publiekrechtelijk itu tidak dapat dipindahkan (niet overdrangbear). Demikian misalnya, hak pilih tidak dapat dipindahkan. Kewenangan-kewenangan yang diberikan kepada pemilik benda-benda bergerak terdaftar bersifat publiekrechtelijk, artinya hak itu tidak dapat dipisahkan dari bendanya sebab berkenaan dengan pengenaan pajak.86 Pajak hanya dapat dikenakan kepada orang yang langsung menikmati benda yang dalam penguasaannya. Hak wajib pajak ini tidak dapat dipindahkan atau dikenakan pada orang lain yang tidak langsung menikmati bendanya.
86
Moch. Isnaeni, Hipotek Pesawat Udara Di Indonesia, Cet.I, CV. Dharma Muda, Surabaya, 1996, h.127.
clviVolume 11, No.1 Mei 2011
C. Bentuk Penyimpangan Hukum Para pembuat undang-undang sudah mengatur demikian rapat setiap ketentuannya, agar jangan sampai terjadi terobosan-terobosan atau penyimpanganpenyimpangan. Walaupun tidak bersifat statis, namun peerkembangan masyarakat lebih cepat dibandingkan dengan ketentuan hukum yang ada. Ketentuan yang dibuat tertinggal dan tidak dapat menampang kenyataan yang ada. Selama undang-undang ini belum dirubah atau diganti, maka ia akan tetap dipertahankan. Setiap perbuatan yang menyimpang dari ketentuan itu, jelas hukum tidak akan memberikan perlindungan yuridis berupa kepastian hak dan kepastian hukum. Sudah barang tentu pada waktu undang-undang dibuat, akan selalu menganggap bahwa setiap orang dapat bertindak jujur. Sebab undang-undang hanya dapat dilaksanakan dengan kejujuran serta membuat pagar agar setiap orang jangan bertindak tidak jujur. Tentang kejujuran sering dibicarakan dalam hukum perjanjian dan sering disebut dengan tegoeder trouw (itikad baik), yang dapat diartikan bahwa apa yang menjadi tujuan seseorang, bertindak akan sesuai dengan apa yang direncanakan dalam hati sebelumnya. Memperoleh hak kebendaan pada umumnya berasal dari suatu perjanjian, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban pernyerahan hak milik. Penyerahan hak milik benda-benda terdaftar dibebani proses balik nama dan dikenakan bea. Bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) merupakan bea langsung yang obyeknya adalah transaksi. Jadi dasar pelaksanaan balik nama adalah suatu transaksi. Transaksi dapat meliputi perhubungan hukum (titel), kewajiban dan penyerahan. Proses balik nama adalah ketentuan yuridis, yang selama ini hanya dikenal dalam penyerahan atau peralihan atau pemindahan hak milik. Di mana ketentuan ini seharusnya diletakkan, apabila hanya disebut transaksi, maka peristiwa jual beli kendaraan bermotor bekas sudah melalui perjanjian, pelaksanaan kewajiban dan penyerahan. Andaikata yang disebut transaksi ini lebih menitik-beratkan kepada titelnya, maka kemungkinan semua penyerahan yuridis dengan kewajiban membayar bea balik nama. Penyerahan terhadap benda-benda terdaftar semacam kendaraan bermotor bekas harus melalui pendaftaran, yaitu mengganti nama pemilik semula ke pemilik yang baru dengan dinyatakan dalam surat-surat otentik BPKB dan STNKB-nya. Kewajiban terhadap pendaftaran ini yang biasanya enggan dilaksanakan. Agar hukum tidak menjatuhkan sanki yuridis kepada pemilik kendaraan bermotor tanpa surat-surat yang dibalik nama, sering dijumpai para pihak mengadakan persepakatan tersendiri untuk tidak menggunakan jalur hukum. Misalnya tidak saling mengadakan tuntutan. Walaupun hukum perdata menitik-beratkan kepada kepentingan perorangan, namun hukum diselenggarakan oleh negara untuk kepentingan perorangan maupun masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian campur tangan negara adalah demi kepentingan negara. Agar kepentingan ini tidak dikorbankan, maka undang-undang menetapkan aturan-aturan membayar pajak setiap transaksi peralihan kendaraan bermotor agar dilaksanakan balik nama. Volume 11, No.1 Mei 2011
clvii
Dalam hukum benda, tidak dapat diciptakan hak-hak baru kecuali yang telah ditentukan. Sedang dalam hukum perjanjian, karena sebagian besar merupakan regelen (pelengkap saja) dapat menciptakan hal-hal baru diluar ketentuan yang ada. Di sini ada dua sifat yang saling berhadapan, yaitu sifat tertutup pada hukum benda disatu pihak dan sifat terbuka pada hukum perikatan. Apabila ketentuan dalam hukum benda tidak dilaksanakan berarti masyarakat cenderung bergantung pada sifat dari ketentuan-ketentuan hukum perikatan. Dalam perjanjian dikenal adanya kebebasan berkontrak Kebebasan ini dianggap “menyelamatkan” dari ketentuan-ketentuan yang bersifat tertutup. Akan tetapi dalam suatu peraturan perundang-undangan tidak dikenal adanya perbuatan untuk melaksanakan suatu ketentuan untuk tidak melaksanakan suatu ketentuan yang lain. Dalam hukum perjanjian memang diakui bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (pasal 1338 KUH Perdata).87 Salah satu unsur syarat perjanjian yang sah adalah itikad baik, di sini peranan kejujuran setiap orang diperlukan untuk melaksanakan undang-undang. Apabila terjadi persepakatan untuk menyimpangi suatu ketentuan yang lain dari undang-undang, maka hukum memberi sanksi batal dan perjanjian tidak boleh dilaksanakan. Inilah pagarpagar yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undang. Namun pagar-pagar ini merupakan benda mati. Sedang yang berubah adalah manusianya sebagai pelaksana dari undang-undang, maka pagarpun tetap dapat diterobos. Jika azas dari pasal 1338 KUH Perdata ini dipergunakan untuk memperkuat pemilikan benda-benda terdaftar berupa kendaraan bermotor, ini berarti terhadap obyek, pemilik hanya mempunyai hak perorangan saja. Benda-benda ini hanya dapat dipertahankan kepada orang-orang tertentu atau pemilik sebelumnya. Ini hasil yang diperoleh dari pemilikan tanpa melaksanakan ketentuan yang ada. Padahal pemilikan atas benda-benda ini adalah untuk memperoleh hak-hak kebendaan, yaitu yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda, yang dapat dipertahankan terhadap tiap orang.88 Agar dapat dipertahankan undang-undang memerintahkan penyerahan yuridis terhadap benda-benda terdaftar. PROSES PENYERAHAN YURIDIS BENDA-BENDA TERDAFTAR A. Dasar Hukum Dasar hukum kewajiban melaksanakan balik nama kendaraan bermotor adalah dikarenakan terdapat suatu kewajiban untuk selalu mendaftarkan, demikian pula bilamana terjadi perobahan kepemilikan karena penjualanan kendaraan bermotor
87
Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan dari Undang-undang, Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 1994, h.66-67. 88 Achmad Ichsan, Op.cit., h.154 Volume 11, No.1 Mei 2011 clviii
diwajibkan pula untuk melaporkan terjadinya perobahan kepemilikan atas kendaraan bermotor tersebut. Hal ini mengacu pada: - Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992; - Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993; - Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993; - Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993.89 Kendaraan bermotor menurut pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 14 tahun 1992 adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu. Adapun kendaraan itu sendiri dalam angka 6 pasal yang sama didefinisikan sebagai suatu alat yang dapat bergerak di jalan, terdiri dari kendaraan bermotor atau kendaraan tidak bermotor. Setiap balik nama kendaran bermotor, diwajibkan membayar bea balik nama yang disebut bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 pasal 174 ayat 2. Ketentuan dalam pasal ini adalah bersifat imperatif, karena terimplementasikan dari kata “wajib”, namun dalam praktek setiap pelanggaran atas pasal di atas pengenaan sanksinya menjadi kabur, seolah tidak ada sanksi hukum terhadap pembeli kendaraan sepeda motor yang tidak melakukan balik nama. Kemudian dijumpai pula ketentuan yang tertera di balik Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNKB) bahwa STNK harus diadakan perubahan atau penggantian STNK di daerah yang bersangkutan bilamana: f. Identitas pemilik berobah; g. Spesifikasi tehnis kendaraan berobah; h. STNK hilang; i. STNK rusak; j. Dioperasikan 3 (tiga) bulan terus menerus di daerah lain;90 Memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas, timbulnya kewajiban penyerahan secara yuridis/balik nama hanya ditentukan oleh lima alasan di atas, selebihnya tidak ada ketentuan yang mengaturnya. Bagi pejabat yang berwenang melakukan balik nama kendaraan bermotor, dapat menentukan kapan terjadinya waktu atau saat timbulnya kewajiban tersebut. Hal ini adalah tidak mungkin ditetapkan secara pasti dan matematis, sehubungan terjadinya transaksi sepeda motor antar pedagang dengan konsumen atau antar pedagang dengan pedagang “tidak pernah diberitahukan”. Sedang bagi kendaraan bermotor bukan pemilik, masalah tersebut selalu dapat dibuat seakan-akan belum menimbulkan kewajiban balik nama sesuai ketentuan-ketentuan diatas. Ketentuanketentuan tentang jangka waktu yang berbeda-beda di atas, apabila kita hubungkan 89
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Peraturan Pelaksanaannya 1993, Cet.I, BP. Tri Rasaki, Jakarta, 1993, h.3. 90 Penjelasan Kepala Unit Samsat Pamekasan , 04 April 2011. Volume 11, No.1 Mei 2011
clix
dengan masa berlaku herregistrasi yang ditetapkan satu tahun, menjadi kurang efektif. Karena pada saat herregistrasi, disamping membayar pajak kendaraan bermotor (PKB) dan sumbangan wajib dana kecelakaan lalu-lintas (SWDKL), langsung dapat dibayarkan /diselesaikan balik nama, apabila terjadi penyerahan hak milik. Sehingga jarang orang memberikan keterangan tentang balik nama sebelum STNK lama habis masa berlakunya. Mengingat STNK lama masih berlaku selama tidak dikeluarkan STNK lain/baru atau habis masa berlakunya. Pejabat yang bertugas melakukan balik nama kendaraan bermotor, dilarang untuk menyelenggarakan balik nama sesuatu kendaraan bermotor, atau memberi catatan tentang adanya penyerahan kendaraan bermotor, sebelum kepadanya diserahkan buktibukti bahwa bea balik nama kendaraan bermotor beserta dendanya kalau ada, telah dilunasi atau diserahkan sesuatu surat keterangan bahwa penyerahan kendaraan bermotor itu bebas balik nama kendaraan bermotor. Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan balik nama adalah : d. Penyerahan kendaraan bermotor kepada negara dan daerah otonomi; e. Penyerahan kendaraan bermotor kepada wakil Organisasi Internasional; f. Penyerahan kendaraan bermotor kepada wakil Diplomatik, konsuler dan wakil lain dari negara asing.91 Dari uraian diatas, kewajiban balik nama merupakan kewajiban para pemegang kendaraan bermotor dengan tidak mengurangi tanggung jawab terhadap pihak yang menyerahkan kendaraan bermotor itu. B. Proses Balik Nama Kendaraan Bermotor. Pelaksanaan balik nama kendaraan bermotor dilakukan melalui Sistim Administrasi Manunggal Di bawah satu Atap (SAMSAT) yang merupakan gabungan dari instansi-instansi : POLRI, Dinas Pendapatan Daerah dan PERUM Asuransi Kerugian Jasa Raharja. Sistim ini melayani penyelesaian kewajiban yang berkaitan dengan kendaraan bermotor yaitu : - Penyelesaian Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNKB) - Penyelesaian pembayaran Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) serta - Penyelesaian Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu lintas (SWDKL) Menyelesaikan pembayaran bea balik nama kendaraan bermotor berarti melakukan penyerahan secara yuridis. Dalam penyerahan secara yuridis akan terjadi mutasi terhadap pajak kendaraan bermotor. Sedang yang disebut mutasi kendaraan bermotor adalah pemindahan bagi mereka yang menguasai kendaraan bermotor yang dipindahkan dari wilayah lain baik atas nama tetap maupun yang dipindahkan tangan atau ganti pemilik, karena jual beli atau hibah.
91
clx
Ibid.
Volume 11, No.1 Mei 2011
Adapun syarat-syarat bagi pemilik kendaraan bermotor bekas yang diperoleh dari pembelian atau pemindahan dari wilayah lain untuk mengajukan permohonan STNKB atas namanya antara lain : - Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) asli dan satu (1) foto copy. - STNK asli dan satu (1) foto copy - Kartu Tanda Penduduk (KTP) asli dan foto copy - Surat Keterangan Fiskal yaitu surat keterangan yang menyatakan bahwa pajak kendaraan bermotor terakhir telah lunas. - Gesekkan nomor mesin dan nomor rangka - Jika ganti pemilik kwitansi jual beli - Materai92 Persyaratan diatas hampir sama dengan persyaratan untuk mengadakan herregitrasi STNK setiap tahun, kecuali kwitansi jual beli atau segala keterangan yang harus diberikan tentang adanya balik nama kendaraan bermotor. Keterangan atau pemberi tahuan itu harus memuat : - Nama dan alamat lengkap baik dari yang menyerahkan atau yang menerima penyerahan kendaraan bermotor. - Tanggal penyerahan - Jenis, merk dan tahun pembikinan kendaraan bermotor, nomor chasis (landasan atau rangka) dan nomor mesin. - Dasar atas nama penyerahan dilakukan - Harga penjualan atau harga pembelian93 Karena kebesasan dalam jual beli kendaran bermotor bekas yang menyebabkan pemindahan hak milik secara nyata, tidak dapat diketahaui oleh pejabat yang berwenang melakukan balik nama kendaraan bermotor, apabila yang bersangkutan tidak memberikan keterangan tentang adanya balik nama kendaraan bermotor. Oleh karena sifat yang demikian ini, maka sering terjadi penyimpangan. Seperti diketahui kendaraan bermotor harus didaftar ulang (herregistrasi) setiap tahun, dengan persyaratan sebagaiman diatas, tetap dapat dilaksanakan walaupun telah ganti pemilik, dengan upaya tetap menggunakan pemilik sesuai yang diberikan STNKB/BPKB. Meskipun persyaratan itu mentetapkan kartu tanda penduduk pemilik yang asli (sesuai nama dalam STNKB/BPKB), dalam kenyataannya persyaratan ini dapat dilengkapi dengan cara meminjam kepada pemilik asli. Perjanjian ini adalah perbuatan yang mengesampingkan peraturan perundang-undangan. Sehingga pejabat yang berwenang tetap dapat mengeluarkan STNKB baru setelah STNKB yang lama habis masa berlakunya. Dapat juga dengan membuat kwitansi kosong, yang pengisiannya dapat diatur sendiri oleh pemegang kendaran motor bekas, yang seakan-akan belum 92 93
Ibid. Ibid.
Volume 11, No.1 Mei 2011
clxi
timbul kewajiban adanya penyerahan yaitu mewajibkan pemegang kendaraan bermotor itu. C. Peranan Pendaftaran Terhadap Kendaran Bermotor Sebagaimana telah diuraikan di atas pada bab pertama, bahwa tujuan pendaftaran ini penting dalam rangka kepastian hak dan kepastian hukum. Demi kepentingan itu, maka setiap pemilikan kendaraan bermotor perlu didukung dengan pendaftaran dan diberikan STNK bagi pemiliknya. Dengan demikian STNK dapat berfungsi sebagai bukti pendaftaran, juga berfungsi sebagai surat kuasa untuk menyetor (SKUM) bea balik nama kendaran bermotor (BBNKB), SKP Pajak Kendaran Bermotor (PKB) dan tanda lunas sumbangan wajib dana kecelakan lalu-lintas (SWDKL). Sehingga setiap mengadakan pendaftaran harus membayar lunas pajak itu lebih dahulu untuk jangka waktu satu tahun. Karena pajak berlaku untuk waktu satu tahun, maka pendaftaran harus diulangi (herregitrasi) jika masa laku satu tahun telah habis dengan membayar pajak untuk tahun berikutnya. Kedua fungsi ini saling berkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Di satu pihak untuk kepastian hak dan kepastian hukum dan di satu pihak untuk kepentingan pajak. Mengingat semua urusan yang berkaitan dengan kendaraan diserahkan kepada Daerah Tingkat 1 serta penyerahan pajak-pajak negara kepada daerah otonom, maka setiap kewajiban pendaftaran selalu dituangkan dalam peraturanperaturan yang melaksanakan pajak. Sehingga kepentingan pajak lebih mendominasi dari pada sekedar melaksanakan pendaftaran. Namun setiap pemilikan kendaran bermotor tanpa STNK yang sesuai dengan pemilik, tetap akan merugikan pemerintah. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya transaksi jual beli yang tidak langsung diadakan balik nama. Pajak yang seharusnya menjadi inkam (pendapatan) daerah tidak dapat dipungut karena peraturannya tidak dilaksanakan. Padahal peraturan daerah diadakan dalam rangka mengadakan efisiensi di dalam bidang pemajakan, mengingat penjualan kendaran bermotor pada dewasa ini tidak rendah dari pada harga penjualan atau penjualan nilai benda tidak bergerak, sedangkan barang-barang yang berupa kendaran bermotor tersebut di dalam masyarakat dijadikan suatu obyek spekulasi oleh para pedagang kendaran bermotor. Benda-benda terdaftar berupa kendaran bermotor dalam penggunaannya selalu menyangkut kepentingan umum di jalan raya. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992, tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan Raya, mengatur kelancaran, keamanan dan ketertiban lalulintas dan ketentuan-ketentuan pokok tentang politik pemerintah di bidang angkutan jalan raya. Agar undang-undang ini dapat terlaksana dengan baik, pemerintah daerah harus mengadakan pengawasan, melaksanakan uji kendaran bermotor, memelihara keamanan serta pemberian fasilitas di bidang angkutan umum serta pemakai jalan. Semua ini memerlukan pengaturan dalam pemilikan. Pemberian STNK atas nama pemilik, sebagai bukti adanya pelaksanaan pendaftaran mempunyai peranan penting
clxiiVolume 11, No.1 Mei 2011
bagi terselengaranya kepentingan-kepentingan di atas, di samping tanda lunas membayar pajak. Untuk itu ditetapkan bahwa peraturan membayar pajak dapat dilakukan sekaligus melaksanakan pendaftaran. Antara lain dengan membayar bea balik nama berarti telah melaksanakan peyerahan secara yuridis.
AKIBAT HUKUM TERHADAP PEMILIKAN KENDARAN BERMOTOR A. Akibat Hukum Kendaraan Bermotor Yang Dibalik Nama Akibat Hukum terhadap pemilikan kendaran bermotor yang tidak di balik nama yang ditetapkan oleh peraturan-peraturan tentang bea balik nama kendaran bermotor adalah akibatnya berupa sanksi hukum tidak melaksanakan kewajiban membayar pajak/bea balik nama kendaran bermotor, yang berupa denda. Seperti telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang bea balik nama kendaraan bermotor, bahwa dalam satu bulan dari saat penyerahan harus meminta surat kuasa untuk menyetor (SKUM) bea balik nama kendaraan bermotor. Sedang pembayaran bea balik nama ini harus dilakukan pada saat mengajukan SKUM dimaksud. Akan tetapi apabila dalam hal seorang akan mengajukan SKUM bea balik nama sebelum sampai pada batas waktu yang ditentukan dan belum dapat membayar lunas bea balik nama, maka yang bersangkutan dapat menunda pengajuan permintaan SKUM bea balik nama diatas selambat-lambatnya sampai pada batas waktu tersebut.94 Jika pada batas waktu itu, belum juga dilaksanakan pengajuan SKUM, dapat dikenakan denda sebesar 25 % ( dua puluh lima persen ) dari jumlah bea yang terutang. Gubernur Kepala Daerah dapat memperpanjang waktu yang dimaksud dengan waktu satu bulan, apabila untuk itu oleh yang berkepentingan diajukan permohonan pada waktu sebelum batas waktu itu lampau dan menurut pertimbangan terdapat alasan untuk dikabulkan. Atas permohonan tertulis dari yang berkepentingan Gubernur Kepala Daerah berwenang mengurangi atau membebaskan dari kewajiban dimaksud bila terdapat alasan untuk itu. Bila yang menerima penyerahan tidak setuju dengan jumlah yang dipakai sebagai dasar pengenaan bea, ia dapat mengajukan permohonan supaya nilai jual kendaraan bermotor ditetapkan oleh suatu komisi taksasi.95 Kewajiban balik nama merupakan beban bagi orang yang menerima penyerahan. Apabila orang tersebut tidak mampu membayar, maka orang yang menyerahkan kendaraan tersebut dapat pula dipertanggung jawabkan pembebanan pembayarannya. 94 95
Penjelasan Kepala Unit Samsat Pamekasan , 4 April 2011. Ibid.
Volume 11, No.1 Mei 2011
clxiii
Berdasarkan ketentuan diatas, sebagai dasar pertama timbulnya kewajiban membayar bea balik nama adalah saat penyerahan, yang kemudian dari saat penyerahan pula terhitung batas waktu, yang apabila terlampaui akan dikenakan denda. Saat penyerahan adalah perbuatan hukum antara pihak yang menyerahkan dan yang menerima penyerahan dalam suatu perjanjian. Apabila pada saat penyerahan tidak dibuat secara tertulis, maka sesuai ketentuan yang ada, yang digunakan sebagai syarat penyerahan adalah kwitansi jual beli antara pihak yang mengadakan penyerahan. Walaupun sebenarnya tanggal yang tercantum dalam kwitansi adalah saat pembayaran, sedang yang diperlukan adalah saat Penyerahan. Padahal seperti dijelaskan dalam bab sebelumnya, yaitu sering kali terjadi jual beli dengan kwitansi kosong, sehingga tanggal saat penyerahan dapat diatur seakan-akan belum menimbulkan balik nama. Dengan demikian balik namapun dapat diatur dan beapun sulit dipungut. Perihal yang sama adalah akibat jual beli kendaraan bermotor yang dilakukan secara lisan. Para pihak dapat membuat sendiri suatu persepakatan yang mengatur penyerahan apabila pada suatu saat diminta saat penyerahan secara tertulis. Dalam hal ini balik nama masih dapat dilakukan. Terhadap penguasaan kendaraan bermotor bukan pemilik dalam waktu yang tidak ditentukan, balik nama dapat dihindari dengan dalih karena perjanjian pinjam meminjam atau perjanjian yang lain yang tidak untuk memperoleh hak milik. Dalam peraturan daerah tentang bea balik nama kendaraan bermotor, sudah berusaha untuk mencegah terjadinya penyelundupan hukum sebagai mana di atas. Perjanjian pinjam meminjam untuk jangka waktu yang lama, ditetapkan apabila lebih satu tahun dianggap sebagai penyerahan dalam hak milik. Menganggap penyerahan hak milik dengan cara tersebut diatas, merupakan ketentuan yang bersifat “pukul rata”. Sehingga akibat negatif berupa penguasaan kendaraan bermotor yang berasal dari perbuatan hukum yang tidak sah kurang menjadi pertimbangan. Mengenai bea balik nama ini Pemerintah Daerah mempunyai hak utama terhadap semua barang penanggung pajak. Hak utama ini mendahului segala hak lainnya kecuali terhadap piutang tersebut dalam pasal 1139 sub 1 dan 4 serta pasal 1149 sub 1 KUH Perdata demikian pula pasal 80 dan 81 KUH Dagang, terhadap ikatan panen hak gadai dan hipotik yang diatur oleh ketentuan-ketentuan KUH Perdata yang diadakan sebelum saat pajak terutang atau dalam hal diadakannya setelah saat itu, sepanjang untuk itu diberikan suatu surat keterangan sebagai berikut : a. Sebelum dan sesudah diadakan hipotik (saat ini bernama Hak Tanggungan) menurut KUH Perdata, maka pemberi hipotik dapat minta surat keterangan, bahwa hipotik itu mendahului hak utama sebagai mana dimaksud. b. Gubenur Kepala Daerah memberi surat keterangan tersebut jika tidak ada bea balik nama yang mendahului hipotik atau menurut pendapatnya ada jaminan bahwa bea balik nama terserbut akan dilunasi.
clxivVolume 11, No.1 Mei 2011
c. Dalam surat keterangan itu disebutkan tahun-tahun yang bersangkutan, dan dalam hal surat keterangan tidak diberikan, maka pemberi hipotik dapat mengajukan keberatannya kepada Gubernur Kepala Daerah, jika menurut pendapatnya ada alasan untuk itu, sedangkan terhadap ikatan kredit, diperlukan juga ketentuan ini. Terhadap tanah yang dimiliki menurut hukum adat, maka hak utama ini tidak mendahului ikatan kredit yang diadakan, sebelum saat wajib bayar bea balik nama terjadi atau dalam hal diadakannya sesudah saat itu, sepanjang sat itu diberikan suatu keterangan seperti dimaksud. Tanah atau barang yang digadaikan menurut hukum adat, maka hak Pemerintah Daerah tidak mendahului hak pemegang gadai atas pembayaran uang gadai. Hak utama akan hilang setelah dua tahun sejak tanggal surat kuasa untuk menyetor atau jika dalam waktu itu diberitahukan surat paksa untuk membayar dua tahun setelah diberitahukannya akta tuntutan yang terakhir. Dalam hal ini diberitahukan penundaan pembayaran, maka waktu tersebut, karena hukum dapat diperpanjang dengan waktu penundaan paling lama dua tahun. Walaupun pemilikan kendaraan bermotor dengan cara menyelundupkan hukum seperti dimaksud dalam uraian di atas, ketentuan yang ada tidak memberikan sanksi mencabut hak (onteigenen) yang diberikan. Ketentuan yang ada hanya menetapkan tidak berlaku suatu hak yang diberikan berupa BPKB/STNKB. Apabila ketentuan ini tidak ditaati, maka pemilikan itu tidak berdasarkan yuridis, sehingga tidak terdapat kepastian hak dan kepastian hukum. Seperti diketahui pada lembaga pencabutan hak hanya mungkin terjadi apabila terjadi penyalahgunaan. Pencabutan itu dapat berupa : d.
Pengambilan suatu benda oleh pemerintah dan untuk kepentingan umum, dengan penggantian kerugian dengan perantaraan hakim. e. Penyitaan (inbeslagneming) dalam soal-soal kriminil yaitu : pengambilan atau penahanan suatu benda yang dapat dijadikan bukti untuk menemukan kebenaran, atau benda-benda yang disita yang dapat diperintahkan pemusnahannya atau supaya tidak dapat dipakai lagi. f. Suatu nasionallisasi yaitu pengambilan suatu benda untuk dialihkan haknya kepada nagara.96 Kriteria penyalahgunaan hak dapat berupa : c. d.
Penggunaan hak milik itu tidak masuk kepentingan umum. Perbuatan itu dilakukan dengan maksud untuk merugikan orang lain. Terhadap kendaraan bermotor dikenal adanya lembaga tilang. Benda-benda tersebut dalam penggunaannya selalu menyangkut kepentingan umum di jalan raya. Setiap pemakai jalan selalu diatur dalam undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 96
Muqodim, Perpajakan Buku Dua, Ed.II, UII Press, Yogyakarta, 1999, h. 82.
Volume 11, No.1 Mei 2011
clxv
Tentang Lalu-lintas Jalan Raya. Penyalahgunaan terhadap surat nomor, surat uji coba dan tanda uji kendaraan atau memberi keterangan tidak benar dalam permohonannya maka surat nomor, surat uji kendaraan yang bersangkutan dapat dinyatakan tidak berlaku. Pemilik kendaran bermotor yang tidak menyerahkan secara yuridis kepada pemilik baru, selalu dimintai pertanggungjawabannya apabila terjadi penyalahgunaan hak pada kendaraan bermotor yang seharusnya menjadi wewenang/haknya. Dilain pihak serung terjadi pembelian kendaraan bermotor yang masih diangsur pelunasannya oleh pemilik pertama. Hal ini selalu menimbulkan masalah yang rumit apbila ternyata pemilik pertama ini tidak melunasi harga pembeliannya yang telah diperjanjikan dengan pemilik asal. Sehingga kendaraan bermotor dapat dituntut pengembaliannya oleh pemilik asal kendaran bermotor. Benda-benda bergerak berupa kendaran bermotor merupakan suatu obyek yang dapat dijadikan suatu jaminan. Lembaga jaminan yang ada dalam pengaturannya, membedakan jelas antara benda-benda bergerak dan benda-benda tidak bergerak. Benda-benda tidak bergerak dapat dikenakan jaminan hipotik(saat ini diganti dengan Hak Tanggungan), sedang benda-benda bergerak dapat dibebani sebagai jaminan gadai (pand). Benda-benda bergerak terdaftar, sulit dimasukkan pada pembagian benda-benda diatas. Karena ia berdiri diantara kedunya. Pada perkembangan selanjutnya, dalam praktek muncul lembaga jaminan fudusia. Kita mengetai pula bahwa lembaga fidusia mengenai benda bergerak, meskipun diakui oleh yurisprudensi sangat mudah disalahgunakan oleh debitur pemberi fidusia dengan menjual lagi barang yang telah difidusiakan itu. Perlindungan yang diberikan di sini kepada pembeli yang beritikad baik berdasarkan pasal 1997 ayat 2 KUH Perdata, justru akan merugikan pihak pemberi fidusia. Pengaturan tentang lembaga jaminan, tidak dapat dilepaskan dari pengaturan benda itu sendiri. Adanya lembaga jaminan, berdasarkan hak-hak atas benda yang ditetapkan oleh undang-undang, seperti antara lain hak milik. Oleh karena itu tentang pemilikan yang diatur oleh undang-undangtidak dapat digunakan sebagai barang jaminan, seperti kendaran bermotor tanpa proses balik nama. Mengingat diadakannya tujuan pendaftaran terhadap benda-benda terdaftar, Memerintahkan agar dibuat suatu register umum (openbear register) dan supaya tiap-tiap orang dapat mengetahui tentang adanya hak milik. Adapun fidusia sendiri lahirnya dilatar belakangi oleh adanya kebutuhan dalam praktek, yaitu: e. f. g.
barang bergerak sebagai jaminan hutang; tidak semua hak atas tanah (dulu) dapat dihipotikkan; barang obyek jaminan hutang yang bersifat khusus;
clxviVolume 11, No.1 Mei 2011
barang bergerak obyek jaminan hutang tidak dapat diserahkan.97 Sebagaimana diketahui bahwa menurut sistem hukum kita, dan juga hukum di kebanyakan negera-negara Eropa kontinental, bahwa jika yang menjadi obyek jaminan hutang adalah benda bergerak, maka jaminannya diikat dalam bentuk gadai. Dalam hal ini, obyek gadai tersebut harus diserahkan kepada pihak yang menerima gadai (kreditur). Sebaliknya, jika yang menjadi obyek jaminan hutang adalah benda bergerak, maka jaminan tersebut haruslah (dulu) berbentuk hipotik (sekarang ada hak tanggungan). Dalam hal ini barang obyek jaminan tidak diserahkan kepada kreditur, tetapi tetap dalam kekuasaan debitur. h.
Akan tetapi, terdapat kasus-kasus di mana barang obyek jaminan hutang masih tergolong barang bergerak, tetapi pihak debitur enggan menyerahkan kekuasaan atas barang tersebut kepada kreditur, sementara pihak kreditur tidak mempunyai kepentingan bahkan kerepotan jika barang tersebut diserahkan kepadanya. Karena itu, dibutuhkan adanya suatu bentuk jaminan hutang yang obyeknya masih tergolong benda bergerak tetapi tanpa menyerahkan kekuasaan atas benda tersebut kepada pihak kreditur. Akhirnya, muncullah bentuk jaminan baru di mana obyek benda bergerak, tetapi kekuasaan atas benda tersebut tidak beralih dari debitur kepada kreditur. Inilah yang disebut dengan jaminan fidusia. Sebaliknya, ada juga kasus-kasus di mana jaminan hutang diberikan atas benda tidak bergerak, tetapi ada kebutuhan atau para pihak sepakat agar barang tidak bergerak tersebut dialihkan kekuasaannya kepada pihak kreditur. Inilah yang mendorong munculnya gadai tanah yang banyak dipraktekkan dalam sistem hukum adat. Latar belakang lain yang memotivasi timbulnya atau berkembangnya praktek fidusia adanya hak atas tanah tertentu yang tidak dapat dijaminkan dengan hipotik atau hak tanggungan. Misalnya, dahulu hak pakai atas tanah tidak dijaminkan dengan hipotik, sehingga atas hak pakai tersebut diikat dengan jaminan fidusia. Sedangkan obyek jaminan hutang yang bersifat khusus adalah ada barangbarang yang sebenarnya masih termasuk barang bergerak, tetapi mempunyai sifat-sifat seperti barang tidak bergerak. Sehingga pengikatannya dengan gadai dirasa tidak cukup memuaskan, terutama karena adanya kewajiban menyerahkan kekuasaan dari benda obyek jaminan hutang tersebut. Karena itu jaminan fidusia menjadi pilihan. Misalnya, fidusia atas pesawat terbang dahulu sebelum berlakunya Undang-undang tentang penerbangan nomor 15 Tahun 1992. Dengan undang-undang tersebut, hipotik dapat diikatkan atas sebuah pesawat terbang. Atau terhadap hasil panen, yang juga tidak mungkin diikatkan dengan hipotik. Pekembangan kepemilikan atas benda-benda tertentu juga tidak selamanya dapat diikuti oleh perkembangan hukum jaminan, sehingga ada hak-hak atas barang 97
Munir Fuady, Jaminan Fidusia, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000,
h.1-3. Volume 11, No.1 Mei 2011
clxvii
yang sebenarnya tidak bergerak, tetapi tidak dapat diikatkan dengan hipotik. Misalnya, tidak dapat diikatkan dengan hipotik atas strata title atau atas rumah susun. Maka Undang-undang Rumah Susun Nomor 16 Tahun 1985, memperkenalkan fidusia terhadap hak atas satuan rumah susun tersebut. Akan tetapi, sekarang dengan berlakunya Undang-undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996, maka atas strata title dapat diikatkan hak tanggungan asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu. Barang bergerak obyek jaminan hutang tidak dapat diserahkan, artinya adakalanya pihak kreditur dan pihak debitur sama-sama tidak berkeberatan agar diikatkan jaminan hutang berupa gadai atas hutang yang dibuatnya, tetapi barang yang dijaminkan karena sesuatu dan lain hal tidak dapat diserahkan kepemilikannya kepada pihak kreditur. Misalnya, saham perseroan yang belum dicetak sertifikatnya. Karena itu, timbul fidusia saham atau fidusia atas benda bergerak, tetapi benda tersebut karena sesuatu dan lain hal masih di tangan pihak ketiga, sehingga penyerahan barang tersebut belum dapat dilakukan. Karena itu, gadai tidak dapat dilakukan. Mahkamah Agung Negeri Belanda dapat dipandang sebagai lembaga pengadilan yang memungkinkan dipergunakan fidusia sebagai lembaga jaminan melalui putusannya yang terkenal dengan nama Bierbrowery Arrest tanggal 25 Januari 1929, sekalipun sebenarnya lembaga jaminan yang demikian ini sudah lama dikenal sejak Jaman Romawi.98 Ada sementara pihak yang beranggaapan bahwa Arrest tersebut menyalahi ketentuan undang-undang mengenai gadai oleh karena ketentuan mengenai gadai sudah menentukan secara tegas bahwa barang yang dijadikan jaminan harus diserahkan kepada kreditur, akan tetapi dalam fidusia tetap dipegang oleh debitur, sedangkan sebaliknya ada pula ahli hukum yang memberikan dukungan terhadap Arrest tersebut, sehingga lembaga fidusia berkembang seperti sekarang ini. Ada yang berpendapat bahwa hal yang demikian dapat dibenarkan atas dasar tuntutan masyarakat karena membutuhkan adanya lembaga jaminan yang demikian, sehingga undang-undang harus menyingkir atas dasar prinsip bahwa undang-undang untuk manusia dan masyarakat, bukannya masyarakat untuk undang-undang. Sedangkan pendapat lain yang pro terhadap putusan Hoge Raad di atas, menyetujui dikembangkannya lembaga fidusia ini didasarkan pada asumsi bahwa jika fidusia ini diterima maka ketentuan pasal 1152 KUH Perdata yang mengharuskan adanya penyerahan benda yang digadaikan harus dihapuskan terlebih dahulu dan ada pula pendapat yang tidak mau mengkaitkannya dengan persoalan gadai serta menilai fidusia ini sebagai suatu lembaga jaminan baru yang dibutuhkan dalam praktek.
98
Abdurrahman dan Sasul Wahidin, Beberapa Catatan Tentang Hukum Jaminan dan Hak-hak Jaminan atas Tanah, Cet.I, Alumni, Bandung, 1985, h.39. Volume 11, No.1 Mei 2011 clxviii
Adanya pandangan yang demikian sangat banyak pengaruhnya terhadap perkembangan fidusia itu sendiri. Dan berbagai putusan pengadilan, baik di negeri Belanda maupun di negeri kita sudah terlihat adanya suatu kecenderungan untuk tetap mempertahankan dan mengembangkan lembaga ini sekalipun hanya dimungkinkan terhadap benda bergerak saja. Di kalangan para ahli hukum sudah ada yang melangkah lebih jauh untuk memungkinkan diadakannya fidusia terhadap benda tetap seperti untuk memberikan jaminan kepada penagih dengan jalan penyerahan hak milik. Pemberian jaminan secara demikian ini sebenarnya hanya merupakan “pengurangan kebebasan hak kepemilikan atas suatu benda”. Oleh karena itu, bisa saja terjadi “juridische levering” artinya dengan “zakelijk overeenkomst” pendaftaran pada kadaster dan adanya perjanjian bahwa penyerahan itu hanya atas dasar kepercayaan saja. Akan tetapi hal yang demikian adalah jarang terjadi disebabkan karena telah ada peraturan tentang hipotik. Keberadaan lembaga jaminan fidusia semula tidak lahir dengan kesepakatan bulan dari para ahli hukum, melainkan masih melalui pertentangan yang cukup tajam, seperti adanya pendapat bahwa benda tetap tidak dapat dibebani dengan lembaga jaminan fidusia. Di samping itu, banyak pula yang mengungkapkan beberapa kelemahan yang terkandung di dalam lembaga tersebut, karena terlalu banyak mengandung resiko antara lain seorang pemberi fidusia masih ada kemungkinan untuk main curang dengan menjual atau menggadaikan lagi benda jaminan yang sudah difidusiakan itu. Di samping hal tersebut berbeda dengan hipotik yang harus didaftarkan, maka fidusia tidak didaftarkan dan tidak mempunyai akta (pada saat timbul pengusulan semula) dari sertifikatnya, sehingga dari pihak ketiga akan mudah dengan begitu saja berdalih bahwa ia tidak tahu menahu mengenai adanya fidusia terhadap barang yang telah diserahkan kepadanya, oleh karena pihak ketiga yang beritikad baik yang telah membeli barang tersebut adalah dilindungi oleh hukum sekalipun penjual telah melakukannya dengan tipu muslihat dan penjual tersebut adalah untuk kedua kalinya. Saat itu dipersoalkan, apakah fidusia sebagai lembaga jaminan perlu untuk diatur dalam suatu ketentuan perundang-undangan tersendiri. Sebab pada saat itu fidusia masih belum ada undang-undangnya. Mengenai hal ini, di Belanda sedang dibahas mengenai masalah fidusia guna dicari wadahnya yang paling tepat. Bentuk pengaturan ini hanyalah dimaksudkan untuk mencari jalan keluar melalui jalan yang melingkar, di mana atas dasar ketentuan udnang-undang yang ada tidak diperkenankan. Bilamana pembentuk undang-undang menganggap perlu, dapat mencapai maksud yang sama secara langsung dengan cara mengubah jalan melingkar melalui fidusia ini. Setelah dilakukan penelitian secara mendalam, maka tentang praktek fidusia di negeri Belanda dengan mendasarkan pada nilai efektifitas lembaga fidusia Volume 11, No.1 Mei 2011
clxix
yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, maka telah terbukti untuk memberikan wadah lembaga jaminan fidusia dalam suatu undang-undang. Perkembangan selanjutnya dari lembaga fidusia dalam praktek peradilan di negeri kita ternyata pula telah menetapkan bahwa penyerahan hak milik sebagai jaminan fidusia hanya sah sepanjang mengenai barang-barang bergerak saja. Dari perkembangan ini pulalah, kelahiran pembagian benda-benda terdaftar dan benda-benda tidak terdaftar menjadi semakin diperlukan, dengan maksud untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam proses kepemilikan benda terdaftar. Adapun untuk memperoleh benda terdaftar, dalam praktek dapat diperoleh dengan cara membeli (dalam transaksi jual beli), hibah, tukar menukar, hadiah ataupun bentuk transaksi lainnya yang menurut ketentuan pasal 1320 KUH Perdata tidak dilarang, baik secara obyektif maupun secara subyektif. Dalam seminar hukum mengenai lembaga-lembaga jaminan di Yogyakarta pada tanggal 9 Oktober 1984 sampai dengan 11 Oktober 1984 terdapat gagasan hukum kendaraan bermotor yang terdapat gagasan bahwa kendaraan bermotor yang terdaftar dapat digunakan lembaga jaminan hipotik (versi baru) atau bila tidak terdaftar lembaga jaminannya adalah gadai (pand). Suatu benda tidak berwujud (misalnya hak untuk menagih) ia dapat memakai lembaga gadai atau fidusia.99 Dengan mengetahui tentang arti pentingnya lahirnya suatu undang-undang yang mengatur benda-benda bergerak terdatar, di mana semula lahir dari perkembangan praktek penerapan lembaga jaminan fidusia. Maka pemberlakuan sanksi hukum dalam transaksi jual beli kendaraan bermotor roda dua, menjadi semakin jelas keberadaannya beserta aplikasinya. Sebagaimana telah diketahui bersama hukum adalah merupakan suatu sistem, hukum benda adalah merupakan suatu sub-sub sistem dari hukum perdata sebagai sub sistemnya. Adapun yang dimaksud dengan sistem adalah antara sub sistem dengan subsub sistem ataupun dengan sub sistem yang lain selalu berkait dan terikat dalam pengaplikasiannya dan tidak dapat dilepas satu persatu dan dioperasionalisasikan satu persatu dengan tanpa memfungsikan sistem atau sub sistem yang lain.
B. Akibat Hukum Kendaraan Bermotor Yang Tidak di Balik Nama Terhadap penguasaan kendaraan bermotor yang tidak di balik nama atau bukan pemilik dalam waktu yang tidak ditentukan, balik nama dapat dihindari dengan dalih karena perjanjian pinjam meminjam atau perjanjian yang lain yang tidak untuk memperoleh hak milik. Dalam peraturan daerah tentang bea balik nama kendaraan
99
Ibid.
clxxVolume 11, No.1 Mei 2011
bermotor, sudah berusaha untuk mencegah terjadinya penyelundupan hukum sebagai mana di atas. Dengan demikian akibat hukum dalam transaksi sepeda motor atau kendaraan bermotor roda dua adalah masalah sanksi hukum yang tidak dapat dilepaskan dari kepastian hukum dan perlindungan hukum. Artinya ketika para pihak yang melakukan traksaksi jual beli sepeda motor sesuai dengan undang-undang, artinya para pihak mendaftarkan terjadinya perobahan kepemilikan sepeda motor sesuai dengan pasal 176 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993, maka pada saat itu pula telah tejadi kepastian hukum yaitu bahwa pemilik kendaraan atau sepeda motor telah beralih pada pembeli (baik secara nyata ataupun secara hukum) dus perlindungan hukum dapat diperoleh, baik oleh pihak penjual maupun oleh pihak pembeli. Bilamana dalam proses pendaftaran perobahan kepemilikan kendaraan itu, pembeli tidak mau membayar bea balik nama, maka ia akan memperoleh sanksi hukum yang dapat berupa denda. Sebaliknya, jika pembeli telah mendaftarkan perobahan status kepemilikan kendaraan tersebut, maka secara otomatis pembeli mendapat perlindungan hukum sebagai pemilik sepeda motor yang sah. Ia dapat dapat mempertahankan hak miliknya terhadap siapapun atas dasar hak kebendaan. Bagi pihak penjual perihal sanksi hukum, kepastian hukum dan perlindungan hukum juga dapat diberlakukan dan diperoleh, sepanjang pihak penjual juga mengikuti aturan main transaksi jual beli yang telah ditentukan dalam undang-undang di atas. Kita dapat membuktikan, bahwa perlindungan hukum bagi penjual kendaraan atau sepeda motor dapat diperoleh ketika penjual benar-benar mengikuti prosedur perjanjian jual beli sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang. Artinya penjual baru berkewajiban melakukan pemenuhan prestasi pada saat pembeli memenuhi kewajibannya melakukan kontra prestasi yang berupa pembayaran sejumlah uang. Hal ini dikarenakan, walaupun antara penjual dan pembeli telah terjadi kesepakatan dalam transaksi jual beli sepeda motor itu, namun perjanjian yang telah disepakati tersebut masih dalam taraf “obligatoir” dan belum menyebabkan terjadinya perpindahan hak kepemilikan. Proses perpindahan hak milik dari penjual ke pembeli akan terjadi, bilamana kedua belah pihak telah saling memenuhi “prestasi dan kontra prestasi”. Pada saat itulah kepastian hukum lahir sebagai akibat terjadinya perjanjian jual beli tersebut, artinya pada saat itu telah dapat ditentukan siapa yang berkedudukan sebagai pemilik atas sepeda motor yang telah diperjual-belikan tersebut. Tahap berikutnya, pemilik tinggal melakukan pendaftaran, dan bersamaan dengan proses pendaftaran dimaksud “perlindungan hukum” muncul dengan sendirinya. Artinya, kedudukan pembeli yang telah tercantum sebagai pemilik dalam Buku Pemilik Kendaraan Bermotor secara yuridis adalah sah hukumnya sebagai pemilik.
Volume 11, No.1 Mei 2011
clxxi
B. Alasan-alasan Yang Memberatkan Kendaraan Bermotor Yang Tidak di Balik Nama Ditinjau dari proses penyelesaian balik nama seperti telah diuraikan pada bab sebelumnya, dapat diketahui tidak terlalu memberatkan atau menyulitkan. Mengingat sistim administrasi manunggal dibawah satu atap dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang meliputi : c.
Menyederhanakan, mempercepat dan dapat dipertanggung jawabkan dalam pelayanan penyelesaian balik nama kendaraan bermotor serta pajak lainnya. d. Menyelenggarakan urusan surat-surat yang ada hubungannya dengan kendaraan bermotor.100 Kemudian mengingat bahwa objek balik nama adalah transaksi, maka bea ini tidak dipungut secara pereodik seperti pajak-pajak lain terhadap kendaraan bermotor. Apabila bea pemilikan kendaraan bermotor (dalam balik nama) yang akan digunakan/dimiliki sendiri untuk seterusnya, maka bea akan dibayar sekali yang harusnya dibayar oleh pemilik. Sepanjang kendaraan bermotor itu tidak diserahkan kepada pihak lain, tidak pernah timbul kewajiban balik nama. Akan tetapi sebaliknya apabila kendaraan bermotor itu sering dilakukan penyerahan, maka sebanyak jumlah penyerahan itu kewajiban balik nama harus dilakukan. Walaupun prosedur dibuat sedemikian mudah, namun balik nama tetap saja dapat dihindari. Seperti diketahui ketentuan yang khusus berupaya mencegah penyimpangan ini terdapat pada peraturan daerah tentang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. Ketentuan ini bersifat menunggu, sampai adanya pemberi tahuan yang mengakibatkan kewajiban balik nama. Sehingga walaupun ketentuan-ketentuan yang diberikan bersifat kewajiban membayar pajak, tetapi kewajiban itu timbul setelah ada perbuatan yang mengandung unsur perdata. Ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata dapat berfungsi sebagai pelengkap (aanvullend recht) tetapi ketentuan balik nama tidak dapat dikatakan sebagai pelengkap. Walaupun cara memperoleh hak milik dapat berasal dari suatu perjanjian, akan tetapi dalam setiap perjanjian yang mengakibatkan penyerahan hak milik benda-benda terdaftar harus diikuti dengan balik nama. Dengan catatan bahwa perjanjian pokok yang dibuat tidak boleh menyimpang dari undang-undang. Maka berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata suatu perjanjian dinyatakan tidak sah apabila tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan undangundang. Kenyataan dalam praktek, perjanjian ini yang banyak dibuat tidak sah menurut undang-undang. Tidak lain dengan tujuan agar kewajiban berikutnya, berupa balik nama dapat dihindari. Oleh karena hukum mudah disimpangi, maka dapat digunakan alasan untuk tidak melaksanakan kewajiban balik nama. Bagi pedagang kendaraan bermotor bekas, yang sering mengadakan perjanjian jual beli pada umumnya menguasai sejumlah kendaraan bermotor. Sehingga 100
Penjelasan Kepala Unit Samsat Pamekasan, 6 April 2011.
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxii
untuk melaksanakan kewajiban tersebut diatas, mereka mempunyai pertimbangan antara lain : e.
Benda-benda itu tidak untuk dimiliki sendiri, akan tetapi setiap saat akan dibeli dan diserahkan kepada orang lain. f. Menambah harga jual karena bea yang dikeluarkan untuk balik nama. g. Menghendaki penjualan yang cepat dengan harga bersaing serta segera memperoleh keuntungan yang diharapkan. h. Sebagai pedagang, apabila semua kendaraan bermotor yang dikuasainya harus dibalik nama, akan memakan waktu, biaya dan tenaga, dan atas pertimbangan ini mereka memilih untuk tidak melakukan balik nama kendaraan bermotor yang menjadi barang dagangannya.101 Adanya pemilikan tanpa proses balik nama, terdapat pula unsur untuk menghindari pengenaan bea. Dibanding dengan pajak lain, bea balik nama memang lebih besar pengenaannya. Hal ini lebih menyangkut tentang kendaraan sebagai wajib pajak serta usaha aparat yang berwenang dalam mengadakan pemungutan pajak. KESIMPULAN b. Setiap transaksi jual beli kendaraan bermotor pada dasarnya harus dilakukan, baik secara nyata ataupun secara yuridis, namun bilamana ketentuan ini tidak diikuti karena kebiasaan, maka kedudukan seorang pemegang sepeda motor yang sah (dengan cara membeli) dan yang tidak sah (dengan cara pencurian, dan penadahan) tidak dapat dibedakan. Apalagi ketentuan hukum dalam KUH Perdata khususnya pasal 1977 ayat 1 hanya berlaku terhadap benda bergerak yang tidak terdaftar, untuk itu pendaftaran perobahan kepemilikan sepeda motor menjadi wajib; b. Dalam transaksi jual beli sepeda motor, selain harus dilakukan penyerahan nyata atas sepeda motor dari tangan penjual kepada tangan pembeli, juga harus dilakukan penyerahan yuridis, yaitu pendaftaran perobahan kepemilikan sepeda motor dari penjual kepada pembeli. Perobahan status kepemilikan sepeda motor yang didaftarkan, akan melahirkan perobahan nama pemilik dalam BPKB dan STNK sepeda motor yang bersangkutan; c. Adapun akibat hukum terhadap transaksi jual beli sepeda motor dengan tanpa balik nama dengan maksud untuk menghindari pengenaan bea balik nama, adalah akan melahirkan sanksi hukum, tidak ada perlindungan hukum dan tidak ada kepastian hukum. Sanksi hukum akan timbul bilamana pihak pemilik yang terakhir mendaftarkan melewati tenggang waktu jatuh tempo penagihan pajak kendaraan bermotor. Dengan tidak dilakukannya perobahan status kepemilikan sepeda motor, maka bilamana kendaraan yang telah dibeli oleh pemegang terakhir “diakui atau digugat” oleh orang lain, maka perlindungan hukum bagi pembeli tersebut tidak 101
Penjelasan Pedagang Kendaraan Bermotor Roda Dua Bekas di Pamekasan, 9 April 2011. Volume 11, No.1 Mei 2011
clxxiii
ada, artinya hukum akan tetap memberikan perlindungan hukum pada siapa yang tertera namanya dalam BPKB ataupun STNK-nya.
SARAN Dengan adanya fakta di atas, maka pihak pemerintah melalui institusi terkait untuk segera melakukan tindakan-tindakan: d. e. f.
Penyuluhan hukum tentang arti penting perjanjian jual beli kendaraan bermotor yang harus dilakukan secara yuridis; Mewajibkan pembeli sepeda motor bekas untuk selalu mendaftarkan sepeda motor yang telah dibelinya; Memberikan sanksi berupa denda, kepada pembeli yang tidak mendaftarkan transaksi jual beli bendaraan bermotor, dengan cara melakukan balik nama;
Daftar Rujukan Abdurrahman dan Sasul Wahidin. 1985. Beberapa Catatan Tentang Hukum Jaminan dan Hak-hak Jaminan atas Tanah, Cet.I, Alumni. Bandung. Fuady, Munir. 2000. Jaminan Fidusia, Cet.I. Citra Aditya Bakti. Bandung. Hernoko, A. Yuda. 2001. Diktat Hukum Perjanjian Kredit dan Jaminan – Aspek Hukum Jaminan dan Lembaga Jaminan, Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Surabaya. Ichsan, Achmad. 1969. Hukum Perdata IA, Cet.I, PT. Pembimbing Masa. Jakarta. Isnaeni, Moch. 1996. Hipotek Pesawat Udara Di Indonesia, Cet.I, CV. Dharma Muda. Surabaya. Mertokusumo, Sudikno. 2000. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Ed.II, Liberty. Yogyakarta. 2000. Muqodim. 1999. Perpajakan Buku Dua, Ed.II, UII Press. Yogyakarta. Patrik, Purwahid. 1994. Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan dari Undang-undang, Cet.I, Mandar Maju. Bandung. Prawirohamidjojo R. Soetojo dan Marthalena Pohan. 1984. Bab-bab Tentang Hukum Benda, Cet.I, Bina Ilmu. Surabaya. Wignjosoebroto, Soetandyo.1995. Perkembangan Hukum Nasional dan Pendidikan Hukum Di Indonesia pada Era Pascakolonial, Karya Ilmiah Para Pakar Hukum Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, Cet.I, PT. Eresco. Bandung.
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxiv
PERLINDUNGAN HUKUM ADVOKAT SEBAGAI PENERIMA KUASA
Oleh: Achmad Rifai, S.H.,M.Hum.* ABSTRAK Perlindungan hukum Advokat selaku penerima kuasa dalam pemberian bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 baru dalam batas tidak dapat dituntut secara pidana ataupun perdata adapun hak seorang advokat dalam rangka pengumpulan bukti baru dalam hak yang tidak diimbangi dengan kewajiban dan sanksi terhadap pihak lain untuk menyerahkan bukti yang dibutuhkan Kata Kunci: Perlindungan Hukum – Advokat – Penerima Kuasa.
LATAR BELAKANG Satu hal yang menyebabkan proses penyelesaian krisis multi dimensi di negara kita menjadi berlarut-larut adalah terjadinya kekacauan hukum (judicial disarray). Karena itu salah satu jalan keluar dari masalah krisis multi dimensi ini adalah perlu dilakukan reformasi dalam bidang hukum.102 Yang dimaksud dengan reformasi hukum adalah perubahan dan pembaharuan total terhadap seluruh sistem hukum (legal system) dan penegakan hukum (law enforcement), terutama terhadap lembaga penegak hukum kita seperti hakim, jaksa, polisi dan advokat. Hal ini harus dilakukan mengingat selama ini merekalah yang sebenarnya sumber dan turut menjadi bagian dari terjadinya kekacauan hukum tersebut. Bangsa Indonesia memiliki masalah tidak berimbangnya akses hukum antara yang kaya dan miskin. Tidak semua warga masyarakat mempunyai kemampuan untuk menggunakan jasa advokat/penasehat hukum untuk membela kepentingan mereka dalam memperoleh keadilan. Hal ini karena masih sangat banyak warga masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan dan kurangnya pengetahuan mereka tentang hukum.
102
Achmad Ali, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), Cet.I, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, h.22. Volume 11, No.1 Mei 2011
clxxv
Kenyataan sehari-hari menunjukkan masih banyak warga masyarakat yang tersisih dari pembangunan, baik di kota maupun di desa. Masih kita dengar terjadinya tindakan semena-mena atas hak seseorang yang dapat dikategorikan melanggar hak asasi manusia oleh pihak yang kuat kepada yang lemah. Masih dijumpai tersangka yang diabaikan haknya dan diperlakukan tidak adil, bahkan mengalami penyiksaan dan direndahkan martabatnya sebagai manusia.103 Bantuan hukum adalah hak asasi semua orang, yang bukan diberikan oleh negara dan bukan belas kasihan dari negara. Seringkali bantuan hukum diartikan sebagai belas kasihan bagi yang tidak mampu. Selain membantu orang miskin bantuan hukum juga merupakan gerakan moral yang memperjuangkan hak asasi manusia. Oleh karena itu, hak tersebut tidak dapat dikurangi, dibatasi apalagi diambil oleh negara. Salah satu ciri dari faham negara hukum adalah tiada seorangpun karena ketidakmampuannya akan kehilangan haknya untuk memperoleh keadilan. Maka, apabila seseorang tidak mampu untuk membiayai usahanya memperoleh keadilan dalam membela diri akan tetap berhak untuk mendapatkannya antara lain melalui usaha bantuan hukum. Ketentuan yang mengatur pendampingan advokat atau penasehat hukum antara lain Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP khususnya Pasal 54 - 56. Pasal tersebut mengatur tentang tersangka atau terdakwa yang berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan. Bantuan hukum yang dilakukan oleh LBH sifatnya pro deo (demi Tuhan),104 tidak dipungut biaya karena disediakan terutama untuk warga masyarakat yang tidak mampu. Pembiayaan operasional lembaga bantuan hukum diharapkan berasal dari pemerintah dan warga masyarakat yang mampu. Dengan bekerjanya LBH yang didukung oleh masyarakat, organisasi profesi hukum, dan pemerintah, dapat diharapkan terjadi peningkatan jumlah pembela umum. Lembaga bantuan hukum berperan dalam pemerataan keadilan sehingga baik orang kaya maupun miskin dapat memperoleh bantuan hukum yang sama. Lembaga bantuan hukum diharap mampu menjadi alternatif untuk meredam segala keresahan 103
Poltak Hasiholan Hutadjulu, Bantuan Hukum pada Pemeriksaan Pendahuluan oleh Penyidik Polri, Polisi dan Hak Asasi Manusia dalam KUHAP (Bunga Rampai), Cet.I, Sibaya, Bandung, 1999, h.23 104 Simorangkir JCT et al., Kamus Hukum, Cet.VI, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, h.134 Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxvi
sosial yang berdampak buruk maupun gejolak sosial dengan memberikan pelayanan hukum kepada warga tidak mampu. Bantuan hukum tidak dapat dikatakan bersaing dengan advokat profesional karena pangsa pasar dan klien yang dibela berlainan. LBH lebih mengkonsentrasikan diri untuk membela orang miskin. Ketidakmampuan secara ekonomi orang miskin tidak memungkinkan untuk memperoleh pembelaan dan pelayanan hukum dari advokat profesional. Kondisi demikian menuntut dukungan kuat dari advokat baik berupa tenaga maupun dana untuk pelaksanaan bantuan hukum. Bantuan dana dikumpulkan melalui organisasi profesi untuk kemudian disalurkan kepada lembaga-lembaga bantuan hukum yang memang telah memenuhi syarat untuk mendapatkannya. Sumbangan ini menjadi alternatif pembiayaan pelaksanaan bantuan hukum, tanpa harus tergantung pada negara atau lembaga donor asing. Selayaknya setiap organisasi profesi advokat yang ada di Indonesia meningkatkan fungsi sosialnya di masyarakat dan turut berpartisipasi dalam memikirkan persoalan hukum yang ada dalam masyarakat. Organisasi advokat akan berwibawa bila mampu membela keadilan tanpa rasa takut atau memihak. Organisasi advokat harus mampu membela kehormatan, wibawa dan kebebasan lembaga peradilan. Tugas lain yang tidak kalah penting adalah mendorong reformasi hukum dengan memberi komentar atas isi, hakikat, penafsiran dan penerapan hukum yang berlaku dan akan diberlakukan terus menerus. Bantuan hukum bagi warga masyarakat yang miskin bukan semata-mata kedermawanan tetapi adalah suatu hak yang dapat dituntut pemenuhannya. Warga yang tidak mampu berhak mendapatkan bantuan hukum sebagaimana orang kaya mendapatkannya. Namun, disadari tidak setiap orang yang merupakan pemegang hak dapat menuntut pemenuhan hak yang ada padanya karena adanya berbagai keterbatasan, baik yang melekat pada dirinya sendiri, misalnya kebodohan, ketidakberanian, juga faktor eksteren seperti sistem peradilan, dan tenaga pemberi bantuan. Negara bertanggung jawab memberikan fasilitas baik infrastruktur maupun dalam bentuk pembiayaan. Namun, harus dihindari bentuk-bentuk campur tangan negara yang dapat mengurangi pelaksanaan bantuan hukum yang obyektif dan transparan. Hal ini juga ditentukan oleh peran pihak lain di luar negara seperti advokat, organisasi profesi dan peran masyarakat. Pemberian bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu oleh negara merupakan wujud perlindungan yang diberikan negara bagi warga negaranya. Volume 11, No.1 Mei 2011
clxxvii
Pelaksanaan bantuan hukum tidak hanya melibatkan advokat melainkan juga aparat penegak hukum yang ada di dalam seluruh proses peradilan, seperti hakim, polisi dan jaksa. Masing-masing aparat penegak hukum memiliki peran sendiri-sendiri dalam pelaksanaan bantuan hukum sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Selama ini, pelaksanaan bantuan hukum terkesan terhambat karena tidak ada koordinasi antara para pihak yang terkait. Bantuan hukum agar dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat, pelaksanaanya perlu dilakukan secara merata dengan penyaluran melalui berbagai institusi penegakan hukum yang ada seperti pengadilan, kejaksaan, organisasi advokat maupun organisasi masyarakat yang bergerak di bidang bantuan hukum. Pelaksanaan bantuan hukum kepada masyarakat tidak hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas pendampingan advokat dalam setiap proses hukum melainkan lebih jauh dari hal tersebut yaitu bagaimana menjadikan masyarakat untuk lebih mengerti hukum dan dapat mengkritisi produk hukum yang ada. Hal ini dilaksanakan dengan memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat. Oleh para ahli hukum Indonesia, bantuan hukum dibagi menjadi dua yaitu; bantuan hukum individual dan bantuan hukum struktural. Bantuan hukum individual merupakan bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu dalam bentuk pendampingan oleh advokat/pengacara dalam proses penyelesaian sengketa yang dihadapi dalam rangka menjamin pemerataan pelayanan hukum kepada seluruh lapisan masyarakat. Dalam bantuan hukum struktural segala aksi atau kegiatan yang dilakukan tidak semata-mata ditujukan untuk membela kepentingan atau hak hukum masyarakat yang tidak mampu dalam proses peradilan. Namun lebih luas lagi, bantuan hukum struktural bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan pengertian masyarakat tentang hukum. Tujuan bantuan hukum ini adalah pemberdayaan masyarakat untuk memperjuangkan kepentingannya terhadap penguasa yang melanggar hak-hak warga. Proses bantuan hukum struktural melalui pemberdayaan rakyat, penyadaran dan pendidikan hukum kritis yang ditujukan untuk membawa perubahan pada pemikiran dan motivasi rakyat agar mampu berjuang bagi hak-hak mereka. Konsep ini merupakan suatu pilihan yang didasari oleh keyakinan bahwa supremasi hukum yang disyaratkan dalam membangun Indonesia sebagai negara hukum, tidak mutlak dibenahi oleh kaum elit dan mereka yang berada di dalam struktur kenegaraan. Supremasi hukum dapat dibenahi melalui potensi yang ada di masyarakat.
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxviii
Tidak banyak orang yang tahu bahwa bantuan hukum adalah bagian dari tugas seorang advokat. Profesi ini dikenal sebagai profesi yang mulia atau officium nobile105karena mewajibkan pembelaan kepada semua orang tanpa membedakan latar belakang ras, warna kulit, agama, budaya, sosio-ekonomi, kaya/miskin, keyakinan politik, gender maupun ideologi. Tidak dapat dipungkiri terdakwa yang ditawari bantuan hukum ada yang menyatakan keinginannya untuk menghadapi perkara hukumnya sendiri tanpa bantuan advokat karena beberapa sebab, yaitu anggapan bila memakai jasa advokat membutuhkan waktu lebih lama terhadap proses peradilan, misalnya advokat sering mengajukan eksepsi atau mempermasalahkan surat dakwaan atau perbuatan terdakwa sudah jelas sehingga tidak ragu lagi akan posisi hukumnya. Namun di sisi lain, perlindungan terhadap advokat dalam rangka memberikan perlindungan hukum guna menciptakan law enforcement dalam Undang-Undang Advokat itu sendiri belum memadai. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak satupun yang mengatur tentang larangan mengintimidasi, mengintervensi dan tindakan lain yang mengganggu proses bantuan hukum yang diberikan Advokat. Ketiadaan ketentuan larangan mengintimidasi, mengintervensi dan tindakan lain yang mengganggu proses bantuan hukum yang diberikan Advokat memberikan peluang bagi Advokat untuk bekerja sambil menyelamatkan dirinya. Ini memberikan dampak penyimpangan terhadap proses penegakan hukum. Atas dasar kedua fakta tersebut di atas, maka saya memandang cukup relevan untuk mengangkat beberapa permasalahan hukum dengan rumusan kalimat: a. b. c.
Apakah yang dimaksud dengan bantuan hukum? Apakah hak dan kewajiban yang timbul dalam pemberian kuasa? Bagaimanakah perlindungan hukum Advokat selaku penerima kuasa dalam pemberian bantuan hukum?
BANTUAN HUKUM 1.
Bantuan Hukum dalam Penanganan Perkara Istilah bantuan hukum boleh dikatakan masih merupakan hal yang baru bagi bangsa Indonesia. Masyarakat baru mengenal dan mendengarnya di sekitar tahun tujuh
105
Frans Hendra Winarta, Advokat Indonesia, Cet.I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, h.10 Volume 11, No.1 Mei 2011
clxxix
puluhan.106 Aliran lembaga bantuan hukum yang berkembang di negara kita pada hakikatnya tidak luput dari arus perkembangan bantuan hukum yang terdapat pada negara-negara yang sudah maju. Di dunia Barat pada umumnya, pengertian, bantuan hukum mempunyai ciri dalam istilah yang berbeda. Legal aid, yang berarti pemberian jasa di bidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu kasus atau perkara pemberian jasa bantuan hukum dilakukan dengan cuma-cuma, bantuan jasa hukum dalam legal aid lebih dikhususkan bagi yang tidak mampu dalam lapisan masyarakat miskin. Dengan demikian motivasi utama dalam konsep legal aid adalah menegakkan hukum dengan jalan membela kepentingan dan hak asasi rakyat kecil yang tak punya dan buta hukum.107 Legal assistance, yang mengandung pengertian lebih luas dari legal aid. Karena pada legal assistance, di samping mengandung makna dan tujuan memberi jasa bantuan hukum, lebih dekat dengan pengertian yang kita kenal dengan profesi advokat, yang memberi bantuan baik kepada mereka yang mampu membayar prestasi, maupun pemberian bantuan kepada rakyat yang miskin secara cuma-Cuma.108 Bentuk ketiga adalah legal service, barangkali dalam bahasa Indonesia, legal service dapat kita terjemahkan dengan perkataan "pelayanan hukum". Pada umumnya kebanyakan orang lebih cenderung memberi pengertian yang lebih luas kepada konsep dan makna legal service dibandingkan dengan konsep dan tujuan legal aid atau legal assistance. Karena pada konsep dan ide legal service terkandung makna dan tujuan memberi bantuan kepada anggota masyarakat yang operasionalnya bertujuan menghapuskan kenyataan-kenyataan diskriminatif dalam penegakan dan pemberian jasa bantuan antara rakyat miskin yang berpenghasilan kecil dengan masyarakat kaya yang menguasai sumber dana dan posisi kekuasaan. Dengan pelayanan hukum yang diberikan kepada anggota masyarakat yang memerlukan, dapat diwujudkan kebenaran hukum itu sendiri oleh aparat penegak hukum dengan jalan menghormati setiap hak yang dibenarkan hukum bagi setiap anggota masyarakat tanpa membedakan yang kaya dan miskin. Di samping untuk menegakkan hukum dan penghormatan kepada hak yang diberikan hukum kepada setiap orang, legal service di dalam operasionalnya, lebih cenderung untuk menyelesaikan setiap persengketaan dengan jalan menempuh cara perdamaian. Dalam tinjauan ini akan dicoba memperlihatkan masalah bantuan hukum sesuai dengan apa yang dijumpai dalam kaidah hukum positif di Indonesia. Apakah hukum positif kita telah mengenal bantuan hukum, khususnya bantuan hukum bagi mereka yang sedang berhadapan dengan pemeriksaan perkara mulai dari taraf penyidikan sampai ke tingkat proses pemeriksaan peradilan. 106
Frans Hendra Winarta, Advokat Indonesia Citra, Idealisme dan Kepribadian, Cet.I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, h.10 107 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permsalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Cet.I, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, h.333 108 Ibid. Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxx
Bantuan hukum yang berhubungan dengan pemeriksaan perkara, hukum positif telah mengenal dua fase perkembangan di bidang bantuan hukum dalam perkaraperkara pidana: 1. Bantuan Hukum yang Dirumuskan dalam Pasal 250 HIR, sesuai dengan ketentuan Pasal 250 HIR, bantuan hukum yang diatur di dalam dapat dikatakan sekalipun dasar bantuan hukum pada pokoknya hanya tercantum pada pasal 250, tidak berarti adanya pembatasan hak terdakwa mendapatkan bantuan hukum, namun HIR hanya memperkenankan bantuan hukum kepada terdakwa dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan. Sedang kepada tersangka pada proses tingkat pemeriksaan penyidikan, HIR belum memberi hak untuk mendapat bantuan hukum. Demikian juga "kewajiban" bagi pejabat peradilan untuk menunjuk penunjuk Penasihat Hukum, hanya terbatas pada tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati. Di luar tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati, tidak kewajiban bagi pengadilan untuk menunjuk Penasihat Hukum memberi bantuan hukum kepada terdakwa. 2. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, diatur suatu ketentuan tentang bantuan hukum yang jauh lebih luas dengan apa yang dijumpai dalam HIR. Pada UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 terdapat satu bab yang khusus memuat tentang bantuan hukum, yang diatur dalam pasal 37 sampai dengan pasal 40. Pada penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dapat dibaca landasan pemikiran pembuat undang-undang tentang makna bantuan hukum, yang pada pokoknya menentukan bahwa seseorang yang terkena perkara mempunyai hak untuk memperoleh bantuan hukum. ini dianggap perlu karena ia wajib diberi perlindungan sewajarnya. Perlu diingat ketentuan pasal 8, di mana seorang tertuduh wajib dianggap tidak bersalah sampai keputusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan yang tetap. Karena, pentingnya, supaya diadakan undang-undang tersendiri tentang bantuan hukum. Demikian bunyi penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, yang memberi gagasan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara, berhak memperoleh bantuan. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang Volume 11, No.1 Mei 2011
clxxxi
Nomor 4 Tahun 2004 tersebut, dapat disimpulkan telah menetapkan, hak bagi setiap orang yang tersangkut urusan perkara untuk memperoleh bantuan hukum. Ketentuan ini memperlihatkan, asas bantuan hukum telah diakui sebagai hal yang penting seperti yang dijelaskan pada penjelasan Pasal 35. Akan tetapi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 belum sampai kepada taraf yang meletakkan asas "wajib" memperoleh bantuan hukum. Masih bertaraf "hak" mendapatkan bantuan hukum. Namun sekalipun asas memperoleh bantuan hukum bagi orang yang tersangkut perkara baru merupakan hak, tetapi hak memperoleh bantuan hukum dalam perkara pidana. Kalau diperhatikan lebih lanjut ketentuan bantuan hukum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 telah dibenarkan memperoleh bantuan hukum sejak saat dilakukan penangkapan atau penahanan. Tetapi sifat hak memperoleh bantuan hukum pada taraf penangkapan atau penahanan, baru bersifat "hak menghubungi dan meminta bantuan Penasihat Hukum". Bagaimana cara menghubungi dan cara meminta bantuan Penasihat Hukum Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 belum mengaturnya. Jika diperhatikan penjelasan Pasal 36, hanya berisi pengaturan umum saja. Belum mengatur tata cara hubungan dan permintaan bantuan Penasihat Hukum, seperti yang dapat dibaca "Sesuai dengan sila perikemanusiaan maka seorang tertuduh harus diperlakukan sesuai dengan martabatnya sebagai manusia dan selama belum terbukti kesalahannya harus dianggap tidak bersalah.109 Karena itu ia harus dibolehkan untuk berhubungan dengan keluarga dan Penasihat Hukumnya, terutama sejak ia ditangkap/ditahan. Tetapi hubungan ini dengan sendirinya tidak boleh merugikan kepentingan pemeriksaan yang dimulai dengan penyidikan. Untuk itu penyidik dan Penuntut Umum dapat melakukan pengawasan terhadap hubungan tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum acara pidana". Dari penjelasan Pasal 36 di atas, terutama kalimat alinea terakhir, memang menegaskan bahwa hubungan dan pengawasan antara tersangka/terdakwa dengan Penasihat Hukum akan diatur lebih lanjut dalam Hukum Acara Pidana. Malah Pasal 38 sendiri telah mempertegas lagi tentang apa yang disebut pada penjelasan pasal 36. Pasal 38 menentukan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Pasal 35, 36, dan 37 tersebut di atas diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Dengan demikian, ketentuan bantuan hukum yang terdapat pada Bab VII Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 sebagai dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, baru merupakan landasan dan 109
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Cet.I, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, h.3 Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxxii
asas umum, belum memuat aturan tata cara pelaksanaannya. Dan ketentuan umum ini terkatung-katung selama lebih kurang sepuluh tahun. Sehingga dalam masa periode yang tak menentu ini, sering terjadi saling pertentangan pendapat antara para pemberi bantuan hukum (pengacara, advokat) pada satu pihak dengan para aparat penegak hukum (Polri dan penuntut umum) pada pihak lain. Para Penasihat Hukum mendesak kepada para instansi penegak hukum untuk memberi hak seperti yang ditegaskan Pasal 35 dan 36 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, yakni dapat mengikuti jalannya pemeriksaan tersangka sejak penyidikan. Pada pihak lain instansi penyidik bertahan tidak memperkenankan dengan alasan peraturan pelaksanaan dan tata cara pemberian bantuan hukum yang dimaksud Pasal 35 dan 36 belum diatur. Akan tetapi dengan adanya aturan umum yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, telah membawa rangsangan bagi anggota masyarakat, terutama dari kalangan profesi hukum clan perguruan tinggi untuk menuntut dan mengembangkan lembaga-lembaga bantuan hukum. Gerakan lembaga-lembaga bantuan hukum yang berkembang tadi, merupakan aliran yang lebih menitik-beratkan konsep dan program bantuan hukum ke arah :pelayanan hukum bagi rakyat miskin yang tidak berpunya dengan jalan memberi bantuan secara cuma-cuma, menyadarkan hak-hak asasi manusia yang buta hukum, yang bertemakan penegakan hukum dan sekaligus penegakan hukum. Ketentuan pasal-pasal bantuan hukum yang diatur dalam KUHAP merupakan pelaksana daripada aturan umum yang digariskan dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang terdapat pada Bab VII, Pasal 35 sampai dengan Pasal 38. Sebagai peraturan pelaksana, pasal-pasal KUHAP merupakan penjabaran dari ketentuan pokok tersebut. Oleh karena itu, landasan dan orientasi pasal-pasal KUHAP tentang bantuan bertitik tolak dari ketentuan pokok yang digariskan pada Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Seperti halnya pada Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, KUHAP tidak begitu jelas memberi definisi bantuan hukum. Tidak dijumpai penjelasan yang membedakan pengertian bantuan hukum seperti apa yang dikembangkan pada negara-negara yang sudah maju. Siapa yang dimaksud dengan Penasihat Hukum yang berhak memberi bantuan hukum tersebut? Apakah hanya mereka yang tergolong pada kelompok Peradin atau pokrol? kedua, apakah arti Penasihat Hukum yang dimaksud dalam ketentuan ini sama dengan pengertian legal assistance atau legal service, atau legal aid. Dengan demikian, KUHAP sendiri belum memadai dan belum dekat sekali dengan rakyat yang memerlukan pelayanan bantuan hukum. Bantuan hukum yang diatur dalam KUHAP, lebih dekat kepada mereka yang kaya dan mampu memberi Volume 11, No.1 Mei 2011
clxxxiii
imbalan jasa kepada yang berprofesi sebagai advokat atau pengacara. Supaya bantuan hukum akrab dengan rakyat kecil yang tidak mampu membayar imbalan jasa, harus terdapat suatu ketentuan yang menegaskan adanya "kewajiban hukum" yang bersifat imperatif memberi bantuan hukum kepada setiap anggota masyarakat tanpa kecuali. Sedang yang diatur pada pasal 56 KUHAP hanya menegaskan hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dan pada setiap tingkat pemeriksaan. Sehingga bentuk bantuan hukum yang diatur dalam KUHAP masih bersifat diskriminatif antara orang yang kaya dan yang miskin. Masalah lain dari pengertian bantuan hukum dalam rumusan KUHAP ialah: Penasihat Hukum yang memberi bantuan hukum ialah seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang. 2. Pejabat yang Berwenang Memberikan Bantuan Hukum Sejarah hukum di Indonesia merupakan peninggalan kolonial Belanda. Pada waktu itu, peraturan dan perundang-undangan begitu banyak. Oleh karena itu, pada akhirnya dibuatlah Peraturan umum mengenai Perundang-undangan. Untuk Indonesia (Algemene Bepalingen Van Wetgeving Voor Indonesia) Staatsblad 1847 Nomor 23 yang diumumkan pada tanggal 30 April 1847.110 Inilah Dasar-dasar dan Pokok-pokok Hukum di Indonesia yang menganut “Sistim Hukum Eropa Kontinental” yang pada akhir-akhir ini masyarakat hukum kurang memperhatikannya, bahkan cenderung melupakannya. Indonesia memperoleh kemerdekaan tahun 1945 dengan Undang-undang Dasar yang bersifat singkat dan supel, yaitu hanya memuat 37 Pasal; sedangkan pasalpasal lainnya hanya memuat Peralihan dan Tambahan. Aturan Peralihan Undangundang Dasar 1945, Pasal II menyebutkan "Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Kita mengetahui bahwa keadilan yang hakiki sulit dicapai, kendati demikian dalam. kehidupan sehari-hari kita harus selalu mencoba secara maksimal untuk mencapainya. Sebagai suatu negara hukum yang berdasarkan konstitusi kita tentunya mendambakan bahwa segala aspek kehidupan di dalam masyarakat dapat diatur dengan undang-undang dan persoalan-persoalan yang timbul dapat diselesaikan secara hukum baik melalui pengadilan, arbitrase maupun melalui negosiasi dan mediasi atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah "Alternative Dispute Resolution" sehingga semua persoalan diharapkan dapat diselesaikan secara adil berdasarkan landasan hukum yang menyertainya. Untuk mencapai keadilan tersebut hanya dimungkinkan kalau saja para penegak hukum telah siap mental dan dapat bersikap profesional untuk melaksanakannya. Sebagaimana. kita ketahui bersama para penegak hukum kita belum 110
Kansil C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet.VIII, ?Balai Pustaka, Jakarta, 1989, h.49 Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxxiv
semua dapat bersikap profesional sehingga mengakibatkan tersendat-sendatnya penegakan hukum di negara kita. Berbagai peristiwa telah menandai tersendat-sendatnya penegakan hukum seperti kasus Gandhi Memorial School, kaburnya Edy Tansil dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, hakim dilempari sepatu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, advokat dipukuli massa di Pengadilan Negeri Bekasi, pemeriksaan ulang perkara Marsinah di Pengadilan Negeri Surabaya, dan contoh-contoh peristiwa lain. Peran undang-undang; badan peradilan, Di sisi lain tidak semua persoalan harus diselesaikan melalui badan peradilan, persoalan-persoalan dapat diselesaikan baik melalui pengadilan maupun diselesaikan di luar pengadilan. Untuk itu, peran para penegak hukum sangatlah vital di dalam, konteks suatu. negara hukum. Sering anggota masyarakat yang mengalami masalah atau problem tidak sadar bahwa untuk memecahkan masalah tersebut diperlukan jasa Seorang advokat dan biasanya kalau dia menyadarinya persoalan itu sudah menjadi rumit. Jarang sekali anggota masyarakat berkonsultasi kepada seorang advokat, terkecuali diketahuinya secara pasti alasan mengapa dia harus datang kepada seorang advokat dan minta jasa seorang advokat. Oleh karena itu, di dalam memenuhi kebutuhan akan jasa advokat dari masyarakat diperlukan beberapa kualifikasi yang memadai agar seorang advokat dapat memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut. Kebutuhan akan jasa hukum dari seorang advokat dapat berupa nasehat hukum, konsultasi hukum, pendapat hukum, legal audit, pembelaan baik di luar maupun di dalam pengadilan serta. pendampingan di dalam perkara-perkara pidana atau tidak menutup kemungkinan dalam arbitrase perdagangan dan perburuhan. Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam rangka memasuki era perdagangan bebas, kebutuhan akan jasa advokat khusus advokat yang bergerak di bidang hukum bisnis, investment law, cross-border acquisition dan merger sedemikian meningkat. Sehingga dunia bisnis membutuhkan dan menuntut kualitas advokat yang lebih profesional dan berwawasan internasional. Kita kenal advokat yang bergerak di bidang hukum bisnis sebagai apa. yang menamakan dirinya konsultan hukum. Perkembangan akan kebutuhan konsultan hukum bisnis adalah suatu kenyataan sebagai akibat dari perkembangan zaman. Persoalannya sekarang adalah apakah konsultan hukum ini termasuk dalam profesi advokat ataukah akan dipisahkan sebagai profesi tersendiri. Ada yang berpendapat bahwa konsultan hukum. bukanlah suatu profesi yang notabene sebenarnya pekerjaan tersebut sudah termasuk dalam profesi advokat sebagaimana dapat dilihat dari definisi "advocate" menurut Black's Law Dictionary. 111
111
Ropaun Rambe, Teknik Praktek Advokat, Cet.I, Gramedia, Jakarta, 2001,
h.11 Volume 11, No.1 Mei 2011
clxxxv
Juga kenyataan di negara kita sudah lama berpraktik pengacara praktek yang menamakan dirinya pada jaman kolonial sebagai procureur dan pertanyaannya sekarang apakah pekerjaan procureur akan diatur sendiri dan diawasi oleh organisasi tersendiri. Adapun advokat itu sendiri harus kualifikatif dan mempunyai karakter substantive, yaitu dia harus merupakan seorang diplomat dan inovatif dan dapat dipercaya. Tentunya, kualitas tersebut akan merupakan suatu yang sangat ampuh bagi seorang advokat dan dapat dikatakan bahwa seorang advokat dibentuk oleh kondisi dan karakteristik yang demikian itu. Masyarakat tentunya sangat membutuhkan advokat dengan kualitas dan hal ini dapat dijaga dan diawasi oleh suatu asosiasi advokat yang berwibawa dan berani. Suatu standar profesi hukum yang memenuhi karakteristik dan kualffikasi seperti di atas, hal yang tidak kalah penting adalah terjaminnya independensi profesi advokat. Karena. tanpa adanya independensi profesi, seorang advokat akan sulit membela kliennya dengan baik. Pengawasan terhadap advokat itu paling ideal kalau ada organisasi asosiasi advokat yang kuat dan berwibawa di mana semua pengawasan anggota dan putusan serta sanksi terhadap anggota yang melanggar kode etik advokat dapat mengikat anggotanya dan didengar oleh birokrasi. Dalam pada itu, kedudukan hakim di dalam sistem hukum belum dijamin, demikian pula belum adanya kebebasan profesi advokat sebagai komplimen terhadap independensi badan peradilan telah menyebabkan penegakan hukum (law enforcement) di negara kita belum berjalan semestinya sehingga pencapaian rule of law menjadi tersendat-sendat. Sementara cita-cita demokrasi: dan penegakan hak asasi manusia barulah bisa dicapai kalau terdapat rule of law. Apa yang terjadi sekarang adalah penyelesaian masalah acapkali dilakukan secara politis ataupun melalui jalur kekuasaan ketimbang diselesaikan melalui pengadilan secara. hukum. Selain karakteristik dan kualitas advokat, diperlukan oleh masyarakat juga integritas seorang advokat diperlukan dalam menjalankan tugasnya. Termasuk di dalamnya pengawasan terhadap dirinya (disciplinary supervision) khususnya tentang perilaku dan hubungannya dengan kliennya karena tanpa adanya pengawasan asosiasi advokat maka di dalam tugasnya dapat terjadi perbuatan atau sikap, yang menyimpang dari pada hakekat dari profesi advokat yang notabene sangat diperlukan masyarakat. Pengawasan terhadap profesi advokat ini dan segala tingkah laku dan sikapnya tidak cukup dilakukan oleh birokrasi tetapi sebaiknya diselenggarakan oleh organisasi profesi yang menaungi dan mengawasi perilaku dan sikap advokat. Untuk itu, diperlukan suatu perangkat peraturan atau etika profesi untuk mengatur perilaku dan sikap, yang korektif dari seorang advokat sebagaimana halnya juga etika profesi mengatur hubungan antara advokat dengan kliennya, hubungan dengan rekannya, hubungan dengan pengadilan, martabat advokat, imunitas advokat, bagaimana seorang advokat harus berpraktik, honor advokat, bagaimana menyelesaikan pelanggaran kode etik dan kualifikasi serta syarat untuk menjadi advokat. Ketentuan hukum yang berkaitan dengan kedudukan advokat dalam proses penyidikan hanyalah dijelaskan dalam pasal 50 hingga pasal 74 KUHAP. Di mana Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxxvi
dalam ketentuan tersebut memberikan hak kepada tersangka guna diperlakukan sama dalam proses penegakan hukum. Hal ini bersesuaian dengan adanya asas equality before the law, bahwa setiap orang bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Pasal 50 KUHAP berkenaan dengan hak tersangka atas hak tersangka guna memperoleh pemeriksaan untuk diadili sesegera mungkin. Hal ini bersesuaian dengan pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hak tersangka sebagaimana tersebut dalam pasal 50 hingga pasal 74 KUHAP dimaksud akan terselenggara dengan baik, bilamana dibantu oleh advokat selaku Penasihat hukum. Untuk itu kedudukan seorang advokat adalah salah satu pilar dari sisi hak-hak tersangka dalam rangka proses law enforcement. Seorang advokat harus benar-benar melakukan pembelaan sesuai dengan hak-hak tersangka sebagaimana diatur dalam undang-undang. Sebab di sisi lain tersangka akan diserang semaksimal mungkin oleh Jaksa Penuntut Umum guna dijerat sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan hasil pemeriksaan BAP (Berita Acara Pemeriksaan) penyidik. Adapun hakim sebagai catur wangsa terakhir akan mengadili berdasar pembuktian yang diajukan oleh Penuntut Umum dan pembelaan advokat selaku Penasihat Hukum. Sehingga proses peradilan tersebut sesungguhnya adalah benar-benar berimbang, mengingat hak tersangka dalam proses penyidikan hingga persidangan selalu memperoleh bantuan hukum dan advokat. Sejak awal dari proses penyidikan, tersangka didampingi oleh Penasihat Hukum. Pada saat tahap penuntutan, terdakwa juga mendapat bantuan hukum dari Penasihat Hukum. Tahap terakhir dalam pemeriksaan persidanganpun terdakwa juga mendapatkan bantuan hukum. Sehingga posisi hakim adalah mempertimbangkan pembuktian Penuntut Umum dan pembelaan Penasihat Hukumnya. Dengan demikian kedudukan advokat selaku Penasihat Hukum dalam proses law enforcement tidak dibenarkan ambigu (mendua), ia hanya bertugas untuk melakukan pembelaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pembelaan Penasihat Hukum terhadap terdakwa terlepas kepada terbukti tidaknya kesalahan terdakwa. Sehingga yang dimaksud dengan law enforcement dalam konteks pembelaan tersangka/terdakwa, pada posisi advokat selaku Penasihat Hukum tidak dibenarkan membantu penyidik ataupun Penuntut Umum. Artinya ketika hak-hak tersangka telah diberikan secara penuh tidak terkecuali bantuan hukum dari advokat, maka hakim tidak akan setengah hati untuk menjatuhkan hukuman sesuai dengan berat ringannya kesalahan tersangka/terdakwa. Menyimak dari pemahaman Pasal 56 ayat (1) KUHAP yang di dalamnya menegaskan hak dari Tersangka atau Terdakwa didampingi Penasihat Hukum apabila tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana 15 tahun atau lebih, atau bagi yang tidak mampu yang diancam pidana 5 tahun atau lebih yang tidak mempunyai Penasihat Hukum sendiri, di mana Pejabat Volume 11, No.1 Mei 2011
clxxxvii
yang bersangkutan dalam proses peradilan wajib menunjuk Penasihat Hukum bagi mereka. Di mana ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP dipandang dari pendekatan strict law atau formalitas legal thinking mengandung beberapa aspek permasalahan hukum, antara lain : 1. Mengandung aspek nilai Hak Asasi Manusia (HAM), di mana bagi setiap Tersangka atau Terdakwa berhak didampingi Penasihat Hukum pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan. Hak ini tentu sejalan dan/atau tidak boleh bertentangan dengan "deklarasi universal" yang menegaskan hadirnya Penasihat Hukum untuk mendampingi Tersangka atau Terdakwa merupakan sesuatu yang inherent pada diri manusia, dan konsekuensi logisnya bagi Penegak Hukum yang mengabaikan hak ini adalah bertentangan dengan nilai HAM. 2. Pemenuhan hak ini oleh Penegak Hukum dalam proses peradilan pada semua tingkat pemeriksaan menjadi kewajiban dari Pejabat yang bersangkutan apabila tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan : a. Diancam dengan pidana mati atau 15 ( limabelas ) tahun lebih, atau b. Bagi yang tidak mampu yang diancam dengan pidana 5 ( lima ) tahun atau lebih yang tidak mempunyai Penasihat Hukum sendiri. Jika kedua syarat di atas terpenuhi, maka Pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk Penasihat Hukum bagi mereka. Berdasarkan ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP ini tentu kehadiran dan keberadaan Penasihat Hukum mendampingi tersangka bersifat imperatif, sehingga mengabaikannya mengakibatkan hasil pemeriksaan atau hasil penyidikan tidak sah atau batal demi hukum. 3. Pasal 56 ayat (1) KUHAP sebagai ketentuan yang bernilai HAM telah diangkat menjadi salah satu patokan Miranda Rule atau Miranda Principle.112 Apabila pemeriksaan/penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan perkara Tersangka/ Terdakwa di persidangan tidak didampingi Penasihat Hukum maka sesuai dengan Miranda Rule, hasil penyidikan tidak sah (illegal) atau batal demi hukum (null and void). Standar Miranda Rule inilah yang ditegakkan dalam putusan Mahkamah Agung No. 1565 K/Pid/1991, tanggal 16 September 1993 yang menyatakan "apabila syarat-syarat permintaan dan atau hak Tersangka/Terdakwa tidak terpenuhi seperti halnya penyidik tidak menunjuk Penasihat Hukum bagi Tersangka sejak awal penyidikan, tuntutan Penuntut Umum dinyatakan tidak dapat diterima ". Berdasarkan uraian di atas jika dikaitkan dengan Miranda Rule seperti dimaksud dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Dalam tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan kepada Tersangka/Terdakwa harus diancam dengan pidana mati atau 15 (lima belas) tahun atau lebih atau yang tidak mampu diancam dengan pidana 5 ( lima ) 112
M. Yahya Harahap, Op.Cit., h.328
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxxviii
tahun atau lebih yang tidak punya Penasihat Hukum sendiri, maka pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan harus didampingi Penasihat Hukum; 2. Apabila Tersangka/Terdakwa tidak mampu menyediakan Penasihat Hukum sendiri, Pejabat yang bersangkutan pada setiap tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dibebani kewajiban untuk menunjuk Penasihat Hukum bagi Tersangka/ Terdakwa tersebut. Pemeriksaan penyidikan yang tersangkanya tidak didampingi Penasihat Hukum, sesuai dengan kerangka pasal 115 KUHAP, maka hasil pemeriksaan penyidikan tersebut adalah tidak sah atau batal demi hukum, karena bertentangan dengan hukum acara (undue process); Demikian gambaran sekilas penerapan yang harus ditegakkan dari sudut formalistic legal thinking tentang Miranda Rule yang telah diadopsi ke dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP. Perlu diketahui tujuan pokok yang ingin dicapai atas penegakan Miranda Rule dalam proses peradilan seperti dimaksud dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP adalah agar terjamin pemeriksaan yang fair dan manusiawi terhadap diri Tersangka/ Terdakwa, sebab dengan hadirnya Penasihat Hukum mendampingi Tersangka sejak dari proses penyidikan di tingkat Kepolisian dimaksudkan dapat berperan melakukan kontrol, sehingga pemeriksaan terhindar dari penyiksaan, pemaksaan dan kekejaman. Namun jika dipandang dari sudut pendekatan berdasarkan kepentingan umum (public interest) tentu akan berbeda dan bahkan selamanya cenderung berbeda atau cenderung pula berbenturan. Untuk mengatasi hal itu peran dan kemampuan Hakim saat memutuskan perkara sangat penting dan menentukan dalam melihat perlunya, keseimbangan dalam penegakan hukum yang menyangkut antara kepentingan hak asasi manusia yang bersifat individual dengan kepentingan umum (public interest) yang berorientasi pada perlunya ada, rasa aman dan ketertiban di tengah-tengah masyarakat. Sejalan dengan salah satu tujuan utama dari hukum pidana itu sendiri, dan kita semua tahu bahwa hukum pidana merupakan hukum publik yang bersifat imperatif yang mengatur perilaku individu dan masyarakat tentang perbuatan mana yang boleh dilakukan dan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dengan disertai pemberian sanksi yang tegas bagi siapa yang melanggarnya. Dimana pelaksanaan hukum tersebut dapat dipaksakan kepada semua subyek hukum dengan maksud agar tercipta suasana yang kondusif dalam tata hubungan antar individu dalam masyarakat agar tercipta kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang teratur, tertib dan aman. Pelanggaran Miranda Rule dalam praktik Peradilan dapat terjadi pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan mulai dari tingkat Penyidikan oleh pihak Kepolisian selaku Penyidik, proses Penuntutan di Kejaksaan selaku Penuntut Umum dan oleh pihak Pengadilan selaku pemeriksa dan pemutus perkara yang bersangkutan. Pasal 56 ayat (1) KUHAP telah mewajibkan kepada Pejabat yang bersangkutan untuk menunjuk Penasihat Hukum bagi Tersangka/Terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan. Adapun pengertian "Pejabat Yang bersangkutan" dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP adalah pejabat dalam lingkup pengertian dari The Criminal Justice System Volume 11, No.1 Mei 2011
clxxxix
yang dimulai dari proses penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara di sidang pengadilan terhadap diri Tersangka dan/atau Terdakwa, jadi di sini yang dimaksud pejabat yang bersangkutan adalah : a. Pejabat selaku Penyidik di Kepolisian; b. Pejabat selaku Jaksa/Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri dalam hal ini adalah Kepala Kejaksaan Negeri; dan c. Pejabat pengadilan di mana perkara terdakwa diperiksa dan diputuskan, dalam hal ini adalah Ketua Pengadilan. Dengan satu pengertian Penyidik wajib menunjuk Penasihat Hukum ketika Tersangka ada dalam proses penyidikan dan demi hukum dan batas kewenangan yang dimiliki Surat Penunjukan Penasihat Hukum tersebut dengan sendirinya berakhir jika penyidikan tidak diperlukan lagi terhadap diri Tersangka, kemudian setelah perkaranya dilimpahkan ke Kejaksaan (P.21) Jaksa/Penuntut Umum dalam hal ini Kepala Kejaksaan Negeri wajib pula menunjuk Penasihat Hukum bagi tersangka/terdakwa, hal ini dimaksudkan siapa tahu oleh pihak Jaksa/Penuntut Umum masih diperlukan pemeriksaan tambahan terhadap diri Tersangka yang perlu didampingi Penasihat Hukum, dan selanjutnya demi hukum dan batas kewenangan yang dimiliki Surat Penunjukan Penasihat Hukum tersebut dengan sendirinya berakhir pula jika berkas perkara telah dilimpahkan ke Pengadilan. Kemudian pejabat pengadilan bersangkutan dalam hal ini Ketua Pengadilan wajib pula menunjuk Penasihat Hukum bagi Terdakwa, begitu seterusnya jika Terdakwa masih melakukan upaya hukum terhadap putusan pengadilan negeri berupa Banding dan Kasasi. Kewajiban Pejabat yang bersangkutan untuk menunjuk Penasihat Hukum pada suatu tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan tersebut tidak berlaku/gugur dalam, hal-hal sebagai berikut: 1. Sebelum Pemeriksaan dimulai Tersangka / Terdakwa telah mempunyai Penasihat Hukum sendiri yang telah ia tunjuk sendiri atau atas tunjukan dari keluarga tersangka tersebut; 2. Tersangka atau Terdakwa tersebut diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 (lima) tahun; Sedangkan jika sudah terjadi Penunjukan Penasihat Hukum oleh Pejabat yang bersangkutan, Surat Penunjukan tersebut dapat berakhir bila : 1. Pemeriksaan terhadap Tersangka/Terdakwa tersebut telah selesai, sehingga dengan sendirinya Surat Penunjukan tersebut telah berakhir. 2. Setelah adanya Penunjukan Penasihat Hukum oleh Pejabat yang berwenang, misalnya kepada. Penasihat Hukum A, namun Tersangka/Terdakwa dan/atau keluarganya menunjuk sendiri Penasihat Hukum B untuk mendampingi Tersangka/Terdakwa tersebut. 3. Ketika Penasihat Hukum melakukan pendampingan terhadap Tersangka yang didasarkan Surat penunjukan dari Penyidik di sana telah terjadi hubungan hukum secara langsung antara Tersangka dengan Penasihat Hukum yaitu
cxc Volume 11, No.1 Mei 2011
dalam bentuk telah ditandatanganinya Surat Kuasa Khusus dari Tersangka kepada Penasihat Hukum bersangkutan sehingga pada saat Surat kuasa khusus dari Tersangka diterima oleh Penasihat Hukum, maka Surat penunjukan yang dimiliki Penasihat Hukum dari penyidik seketika itu berakhir selanjutnya pejabat di Kejaksaan dan pejabat di Pengadilan . tidak wajib lagi menunjuk Penasihat Hukum bagi Terdakwa; Ketika Penasihat Hukum akan melakukan pendampingan terhadap diri Tersangka yang didasarkan Surat penunjukan dari Penyidik, ternyata Tersangka menolak untuk didampingi Penasihat Hukum, maka Penyidik membuat berita acara dan/atau membuat Surat pernyataan dari Tersangka yang bersangkutan yang isinya Tersangka menolak adanya Penasihat Hukum dalam perkara yang dihadapinya dan surat pernyataan penolakan dari Tersangka tersebut diketahui dan turut ditandatangani oleh Penasihat Hukum yang bersangkutan. Konsekuensinya keberadaan berita acara atau Surat pernyataan tersebut yang dilampirkan dalam berkas perkara yang bersangkutan menghapuskan kewajiban pejabat yang bersangkutan untuk menunjuk Penasihat Hukum bagi Terdakwa, maka pejabat Kejaksaan dan pejabat Pengadilan tidak perlu lagi menunjuk Penasihat Hukum bagi Tersangka/Terdakwa bersangkutan kecuali jika yang bersangkutan memintanya. HAK DAN KEWAJIBAN HUKUM PEMBERIAN KUASA 1.
Hak dan Kewajiban Pemberi Kuasa
Sehubungan dengan wewenang yang diberikan kepada pemegang kuasa untuk melakukan suatu perbuatan hukum guna mengikatkan pihak pemberi kuasa dengan pihak ketiga, maka diisyaratkan bahwa perlu adanya perincian masalah-masalah yang akan dikuasakan. Dalam hubungan ini ada pendapat yang menyatakan, bahwa itu tidak lain bertujuan untuk mencegah timbulnya kerugian-kerugian di kemudian hari apabila pemegang kuasa melakukan perbuatan-perbuatan hukum di luar batas-batas wewenangnya.113 Pendapat lain juga menyebutkan, bahwa kewenangan pihak pemegang kuasa harus disebutkan secara tegas dalam surat kuasa itu, misalnya kewajiban-kewajiban apa saja yang harus dilakukan oleh pemegang kuasa, maka berlakunya surat kuasa itu batal dan sebagainya. Sebenarnya hal ini untuk menghindari perbuatan surat kuasa secara tidak benar atau untuk obyek yang menyimpang dari undang-undang. Masih berkisar pada wewenang pemegang kuasa ini, ada pendapat lain yang mengatakan, bahwa ada baiknya untuk menjamin kepastian hukum, maka harus disebutkan secara tegas dan terperinci tentang wewenang yang akan diberikan, sebab ini berhubungan dengan pertanggungan jawab pemegang kuasa kelak dikemudian 113
Subekti I Aneka Perjanjian, Cet. X, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995,
h.153. Volume 11, No.1 Mei 2011
cxci
hari. Jadi perincian masalah-masalah yang akan dikuasakan itu (misalnya kuasa khusus) adalah menyangkut hak dan kewajiban pemegang kuasa dalam menjalankan kuasanya,114 sehingga tidak merugikannya. Adanya alasan penting lainnya sehingga ditekankan bahwa perlu ada rumusan yang jelas dan tegas pada waktu dilakukan pemberian kuasa. Apabila timbul perselisihan di kemudian hari, diharapkan mampu ditarik garis pemisah tentang siapakah yang telah melakukan pelanggaran atas surat kuasa itu, sehingga akan dapat dengan mudah untuk menentukan pihak mana yang telah melakukan kesalahan. Sedangkan pendapat lain mensinyalir, bahwa supaya kepentingan pihak pemberi kuasa dapat terjamin dari tindakan pemegang kuasa yang melanggar batasbatas kewenangannya, juga dapat menghindari salah tafsir sehingga tidak menimbulkan konflik didalam pemberian kuasa itu, jadi patut diperhatikan, bahwa wewenang pihak pemegang kuasa adalah sejauh mana yang termuat dengan jelas dan terperinci dalam surat kuasa. Ia tidak dibenarkan untuk bertindak yang melampaui wewenangnya, 115 dan ini terjadi resikonya ia harus mempertanggung jawabkan tindakannya itu. Dari berbagai pendapat yang dikemukakan tersebut berikut ini dibeberkan rangkuman permasalahannya, yaitu : -
-
-
-
2.
Bahwa pada prinsipnya wewenang pihak pemegang kuasa dikehendaki untuk dirumuskan dengan jelas dan tegas didalam suatu pemberian kuasa, dan ini bertujuan untuk mencegah timbulnya kerugian-kerugian akibat perbuatanperbuatan hukum pemegang kuasa diluar batas-batas kewenangannya. Perincian masalah-masalah yang dikuasakan dalam surat kuasa sebenarnya mempertegas kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh pemegang kuasa, disamping itu untuk mencegah pembuatan surat kuasa yang menyimpang dari undang-undang. Perincian wewenang yang diberikan adalah berkaitan dengan pertanggungan jawab pihak pemegang kuasa, sehingga dapat menghindari perselisihan dikemudian hari, dan menjamin kepentingan pihak pemberi kuasa dari tindakan pemegang kuasa yang melampaui batas kewenangannya. Perincian wewenang dalam pemberian kuasa itu juga bertujuan untuk mencegah pihak pemegang kuasa itu agar tidak dirugikan apabila ia memberikan pertanggungan jawab.
Hak dan Kewajiban Penerima Kuasa
114 115
Subekti I, Loc. Cit., Yahya Harahap, Loc. Cit.,
cxciiVolume 11, No.1 Mei 2011
Dengan dilimpahkannya wewenang kepada pihak yang diberi kuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan bagi kepentingan pihak pemberi kuasa,116 maka pelimpahan wewenang ini juga didalamnya terkandung kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan atau dipenuhi, walaupun kewajiban-kewajiban ini tidak tersurat atau disebutkan dengan jelas dalam pemberian kuasa. Dalam hubungan ini, rumusan KUHPerdata mengisyaratkan ada beberapa kewajiban yang disebabkan kepada pihak pemegang kuasa didalam menyelenggarakan urusan yang dikuasakan. Kewajiban-kewajiban ini adalah merupakan bagian penting yang tidak dapat terelakan atau dikesampingkan begitu saja, tapi harus dipahami dan diperhatikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam mekanisme pemberi kuasa, terutama pihak pemegang kuasa itu sendiri. Adapun kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan antara lain : si kuasa diwajibkan selama ia belum dibebaskan, melaksanakan kuasanya, dan ia menanggung segala biaya, kerugian dan bunga yang sekiranya dapat timbul karena tidak dilaksanakannya kuasa tersebut. Begitu pula ia diwajibkan menyelesaikan urusan yang sudah mulai dikerjakannya pada waktu si pemberi kuasa meninggal, jika dengan tidak segera menyelesaikannya dapat timbul suatu kerugian (pasal 1800).117 Masih dalam kaitan dengan kewajiban-kewajiban pihak pemegang kuasa, bahwa si kuasa juga bertanggung jawab atas kelalaian dalam menjalankan tugasnya, yaitu apabila ia kurang waspada seperti yang dapat diharapkan dari padanya. Pertanggungan jawab ini dapat diperlunak, apabila si kuasa tidak mendapat upah. 118 Kewajiban untuk mempertanggung jawabkan perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sengaja jelas tidak dapat dipungkiri, dan perbuatan lain yang berupa kelalaian dalam menjalankan kuasanya, sehingga dengan demikian tercermin bahwa kewajiban seorang pemegang kuasa dengan pertanggung jawabannya menjadi amat penting dalam lalu lintas hubungan hukum. Jadi antara pembuatan yang dilakukan dengan sengaja dan adanya kelalaian, maka keduanya tidak luput dari jangkauan pasal tersebut diatas, kecuali dalam realitas bahwa praktek pemberian kuasa itu dilakukan dengan cuma-cuma, tetapi dapat diamati bahwa praktek pemberian kuasa dewasa ini menunjukkan lebih banyak memberikan upah. Kewajiban lain bagi pemegang kuasa, adalah memberikan laporan, 119 maksud dari pada laporan ini menunjukkan bahwa ia telah menjalankan kuasanya sebagaimana yang dikehendaki dan sebagai suatu bukti yang menandakan ia memenuhi kewajiban yang dibebankan pada dirinya, tetapi semuanya ini terlepas dari apakah laporan itu benar-benar merupakan laporan sebagai seorang yang bertindak dalam kedudukan
116
Wirjono Projodikoro, Op. Cit, h. 155. Subekti I, Op.Cit., h.146 118 Wirjono Prodjodikoro, Loc.Cit. 119 Subekti I, Op. Cit, h. 147. 117
Volume 11, No.1 Mei 2011
cxciii
mewakili pihak lain, atau laporan itu hanya bersifat fiktif, artinya laporan yang diberikan tidak berdasarkan keadaan yang sesungguhnya dihadapi. Namun keseluruhan laporan akan diberikan pada waktu berakhirnya pemberian kuasa, dengan memberikan perhitungan terhadap segala sesuatu yang telah diterimanya berdasarkan kekuasaan yang dilimpahkan, semua yang menjadi urusan akan dipertanggung jawabkan. Sesungguhnya laporan semacam ini memang sudah menjadi tanggung jawab seorang pemegang kuasa, dan ini secara tersurat telah dirumuskan dalam pasal 1802 KUHPerdata, antara lain menyebutkan si kuasa diwajibkan memberikan laporan tentang apa yang telah diperbuatnya dan memberikan perhitungan kepada si pemberi kuasa tentang segala apa yang telah diterimanya berdasarkan kuasanya, sekalipun yang diterimanya itu tidak seharusnya dibayar kepada si pemberi kuasa.120 Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Projodikoro, SH, maksud dari ketentuan tersebut yang belakangan ini, ialah bahwa si kuasa tidak boleh membayar kembali uang itu melainkan harus menunggu perintah dari si pemberi kuasa, dinyatakan tidak praktis, bahwa orang ketiga yang menuntut pembayaran kembali uang yang terlanjur dibayarkan tetapi sebetulnya tidak diwajibkan, tidak dapat menegur si kuasa melainkan hanya dapat menegur si pemberi kuasa, karena sudah dengan sendirinya dapat disimpulkan dari sifat perwakilan, yang membentuk suatu perhubungan langsung antara si pemberi kuasa dengan pihak ketiga.121 Bagian lain dari pemegang kuasa juga menyangkut tanggung jawabnya terhadap penunjukan pihak lain sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya, dinamakan “hak substitusi”, 122 yaitu si pemegang kuasa diperkenankan untuk menunjuk orang lain untuk melakukan kuasanya, dan kalaun orang yang ditunjuk itu ternyata tidak mampu melakukan tugasnya, maka si kuasa bertanggung jawab penuh atas kesalahannya.123 Akibat dari hak substitusi ini ialah bahwa antara pemberian kuasa baru hanya dapat dipersoalkan apakah ada perhubungan hukum langsung antara si pemberi kuasa semula dari orang yang ditunjuk itu.124 Tetapi dalam kaitan dengan persoalan di atas Prof. Dr.R.Wirjono Projodikoro, SH, masih mempertanyakan apakah sebaliknya orang yang ditunjuk itu, juga langsung menegur si pemberi kuasa,125 agaknya masalah ini masih terdapat perbedaan pendapat dikalangan para sarjana.
120
Ibid., Wirjono Projodikoro, Op. Cit, h. 156. 122 Subekti I, Loc. Cit., 123 Wirjono Projodikoro, Loc.Cit., 124 Ibid, h. 157. 125 Ibid., 121
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxciv
Pendapat yang satu seperti Hofmann dan Vollmar mengatakan bahwa orang yang ditunjuk langsung itu dapat menegur si pemberi kuasa,126 oleh karena adanya perhubungan ini berakibatkan bahwa orang tersebut tidak hanya mempunyai kewajiban saja terhadap si pemberi kuasa, melainkan juga memiliki hak, sedangkan pendapat yang lain seperti Van Brakel dan Asser berpendirian orang yang ditunjuk langsung itu tidak dapat menegur si pemberi kuasa, justru oleh karena tidak disebutkan dalam pasal tersebut, dan pendapat kedua ini menurut Wirjono Projodikoro adalah lebih memuaskan karena pada pokoknya tidak ada perhubungan langsung antara si pemberi kuasa dan orang yang ditunjuk oleh si kuasa.127 Dari berbagai pendapat yang dikemukakan kalangan sarjana tersebut, dapat diberi komentar bahwa ketentuan yuridis yang dipakai sebagai pegangan terutama menyangkut persoalan di atas, maka jelas bahwa orang yang ditunjuk langsung itu tidak dapat menegur pihak pemberi kuasa, karena pada dasarnya orang yang ditunjuk ini dalam melaksanakan kuasa yang diberikan pihak pemegang kuasa berkedudukan sebagai pengganti, ia lebih banyak berhubungan dengan pihak pemegang kuasa itu sendiri, hubungan ini bersifat langsung sedangkan dengan si pemberi kuasa menunjukkan tidak ada hubungan sama sekali, atau boleh disebut hubungan yang bersifat tidak langsung. Oleh karenanya, pendapat kalangan sarjana seperti yang dikemukakan di atas yang membolehkan orang yang ditunjuk dapat menegur pihak pemberi kuasa tidak dapat dibenarkan, mengingat bahwa didalam rumusan perundangan yang mengatur soal yang diperbincangkan ini, tidak mengisyaratkan dengan jelas dan tegas atau dalam pengertian bahwa tidak diatur sama sekali, sehingga lebih tepat kalau pendapat tersebut dijadikan landasan dalam menyimak dan memecahkan persoalan yang bersangkutan, dan memang pendapat tersebut setidak-tidaknya lebih memuaskan dan juga dalam literatur tidak begitu mendapat bantahan. Jadi dapat dikatakan bahwa rumusan pasal-pasal di atas lebih menitik beratkan pertanggungan jawab secara individu atau perorangan, walaupun dalam pemberian kuasa itu dikehendaki beberapa orang yang berkedudukan sebagai pemegang kuasa. Kewajiban lain si pemegang kuasa menurut pasal 1805 KUHPerdata menyebutkan ; si kuasa harus membayar bunga atas uang yang dipergunakan atau dipakainya untuk kepentingan sendiri, terhitung mulai saat ia dihitung mulai ia memakai uang itu dan mengenai uang yang harus diserahkannya pada penutupan perhitungan, bunga itu dihitung mulai hari ia dinyatakan lalai.128
126
Ibid., Ibid., 128 Subekti I, Op. Cit, h. 148. 127
Volume 11, No.1 Mei 2011
cxcv
Kewajiban-kewajiban pemegang kuasa juga tercantum dalam pasal 1806 KUHPerdata, yang menyebutkan bahwa penerima kuasa yang telah memberitahukan kepada pihak ketiga dengan siapa ia mengadakan perjanjian dalam kedudukannya sebagai kuasa, tidaklah bertanggung jawab tentang apa yang terjadi diluar batas kuasa nya, kecuali jika ia secara pribadi telah mengikatkan diri untuk itu.129 Rumusan pasal tersebut di atas pada pokoknya menyinggung tanggung jawab seorang pemegang kuasa yang berkisar pada kewenangan yang dimilikinya. Ia tidak bertanggung jawab terhadap masalah-masalah yang timbul diluar batas kuasanya, kecuali dalam kenyataan menunjukkan bahwa ia memang secara langsung menjalankan kuasanya diluar wewenang yang telah digariskan dalam pemberian kuasa, untuk hal ini secara yuridis tetap bertanggung jawab sebagaimana lazimnya. Dengan demikian pokok pembahasan tentang kewajiban-kewajiban pihak pemegang kuasa, yang secara yuridis diatur dengan jelas dalam beberapa rumusan pasal-pasal KUHPerdata sebagaimana telah dikemukakan di atas, sehingga setidaktidaknya memberikan gambaran ruang lingkup tentang kewajiban-kewajiban seorang pemegang kuasa selama ia belum dibebaskan diri melaksanakan kuasanya. Kewajiban yang dimulai dari menanggung segala biaya kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya, memberikan laporan, membayar bunga, mengganti kerugian dan kewajiban-kewajiban lainnya, semua yang menjadi tanggung jawab seorang pemegang kuasa ini sudah dirumuskan dalam pasal 1801 sampai dengan 1806 KUHPerdata, dan dalam hal ini dipakai sebagai landasan yuridis, guna menyimak persoalan yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban didalam suatu perjanjian pemberian kuasa. Pada prinsipnya pihak pemegang kuasa mempunyai tanggung jawab terhadap pelimpahan wewenang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum yang mengikat pihak pemberi kuasa dengan pihak ketiga,130 dalam kuasa umum maupun khusus masalah pertanggung jawaban ini meliputi segala sesuatu yang dikuasakan, tetapi dalam prakteknya agaknya kedua macam kuasa ini tidak dibedakan masalah tanggung jawabnya, ini masih berkaitan dengan ketentuan yuridis yang dimuat dalam KUHPerdata, dan juga tidak membedakan dengan tugas masing-masing kuasa dengan pertanggung jawabannya, perumusan KUHPerdata hanya secara umum dalam mengatur soal ini. Sejauh mana tanggung jawab pihak pemegang kuasa dalam menjalankan itu pada prinsipnya pemegang kuasa bertanggung jawab terhadap apa-apa yang dikuasakan,
129
Suryodiningrat R.M., Perikatan – Perikatan Bersumber Perjanjian, Cet. II, Tarsito, Bandung, 1991, h. 102. 130 Wirjono Projodikoro, Op. Cit, h. 151. Volume 11, No.1 Mei 2011 cxcvi
dan pemegang kuasa bertindak atas nama si pemberi kuasa,131 misalnya mencari seorang patner dalam usaha bersama dan sebagainya, yang jelas pertanggungan jawab itu dibatasi pada wewenang yang dilimpahkan. Namun tindakan pemegang kuasa yang mewakili pihak pemberi kuasa itu, sekiranya melebihi batas-batas kewenangan sebagaimana yang diberikan kepadanya,132 maka ia juga harus memberikan pertanggungan jawab terhadap pokok-pokok masalah yang dikuasakan sepanjang yang menjadi wewenangnya itu. Sejalan dengan pendapat di atas kalangan lain juga mengatakan bahwa pemegang kuasa bertanggung jawab penuh atas perbuatan-perbuatan itu yang dilakukan dengan sengaja itu. Sedangkan pendapat lain mengatakan pemegang kuasa bertanggung jawab sesuai dengan masalah-masalah yang dikuasakan. Ia tidak bertanggung jawab terhadap akibat yang timbul dari hubungan hukum yang telah dilakukan,133 misalnya adanya penipuan oleh pihak ketiga. Dan pertanggungan jawab seperti itu adalah atas kehendak yuridis, juga merupakan pertanggungan jawab yang bersifat etis. Dalam pemberian kuasa , diperkenankan juga untuk menunjuk beberapa orang kuasa mewakili pihak yang memberikan kuasa.134 Untuk itu pihak-pihak yang mewakili ini tidak dapat melepaskan diri dari beban pertanggung jawaban dalam konteks ini masih mengandung beberapa alternatif, ini menurut pendapat yang berkembang dikalangan praktisi hukum. Biasanya dalam pemberian kuasa, apalagi terdapat beberapa pihak yang bertindak sebagai kuasa mewakili, maka sudah disebutkan masing-masing tanggung jawab terhadap urusan-urusan yang dilimpahkan, pertanggungan jawab ini tegasnya lebih menekankan kepada individu, sebab ia yang bertindak dalam menyelenggarakan kepentingan-kepentingan pemberi kuasa.135 Berbeda dengan jawaban yang diberikan kalangan praktisi hukum lainnya, dalam hal ini ada yang berpendapat, bahwa pertanggungan jawab itu baik secara individu maupun bersama-sama jadi harus dipisahkan dalam mempertanggung jawabkan wewenang yang diberikan, dan dalam pernyataan dalam pemberian kuasa itu telah ditegaskan bahwa masing-masing individu memiliki wewenang untuk mewakili, maka itu jelas bahwa ia harus bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dikuasakan, begitu pula sebaliknya, pendapat lain mengatakan kasus seperti itu adalah
131
Yahya Harahap, Op. Cit, h. 306. Ibid, h. 309 133 Qirom Syamsudin Meliala, Pokok - pokok Hukum Perkembangannya, Cet. I, Liberty, Yogyakarta, 1985, h. 83. 134 Subekti I, Loc. Cit, 135 Qirom Syamsudin Meliala, Op. Cit, h. 82. 132
Volume 11, No.1 Mei 2011
Perjanjian
Beserta
cxcvii
pertanggungan jawab secara perikatan tanggung menanggung,136 atau secara kolektif bersama-sama. Bahwa didalam pemberian kuasa dikenal juga adanya hak substitusi,137 maka pertanggungan jawab itu harus ditentukan secara tegas.138 Baik itu individu maupun bersama-sama, tapi pendapat ini lebih menekankan pertanggungan jawab yang bersifat kolektif atau bersama-sama, kalangan praktisi hukum lain juga berpendapat, bahwa pertanggungan jawab pemegang kuasa yang terdiri dari beberapa pihak yang berkedudukan sebagai kuasa yang mewakili adalah bersifat kolektif atau bersama-sama, kecuali dalam surat kuasa itu ditegaskan bersifat individu. Berkaitan dengan pertanggungjawaban ini, maka atas kehendak pemberi kuasa dapat saja pemberi kuasa menarik kembali kuasa yang telah dilimpahkan dan sementara dilaksanakan pihak pemegang kuasa semula, dan dalam hal ini ketentuan yuridis (KUHPerdata) juga memperkenankan pemberi kuasa untuk melaksanakan pengangkatan seorang pemegang kuasa baru dalam menyelenggarakan kepentingankepentingannya sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya.139 Terhadap masalah ini, maka pihak pemegang kuasa lama hanya mempunyai kewajiban mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan hukum yang telah dilakukan sesuai dengan pelimpahan wewenang itu, dan dengan adanya pengangkatan kuasa baru, berarti pertanggung jawaban secara otomatis dilimpahkan kepada pemegang kuasa baru tersebut. Pemegang kuasa lama harus mempertanggungjawabkan kuasanya selama dalam mengurus kepentingan-kepentingan pihak pemberi kuasa, meskipun ada pengangkatan kuasa baru, ia bertanggung jawab sejauh wewenang yang diberikan dan telah dilakukan sebelum ada pengangkatan kuasa baru tersebut. Dengan demikian ia terhindar dari perbuatan-perbuatan yang merugikan pihak pemberi kuasa, apabila kuasa baru belum menjalankan kuasanya itu, dengan pengangkatan baru, maka tanggung jawab sepenuhnya dilimpahkan kepada pemegang kuasa yang bersangkutan. Memang penarikan kembali kuasa yang dibenarkan oleh ketentuan yuridis, tapi berlakunya surat kuasa itu harus ditegaskan, dalam konteks ini, pemegang kuasa yang sudah menggunakan kuasa itu serta melakukan kewajiban-kewajiban, kemudian dicabut, ia tetap bertanggung jawab dalam batas-batas kekuasaan yang diberikan,140 ia juga tidak dapat luput dari tanggung jawabnya, apabila ia tidak bertindak di luar batas-batas kewenangannya. 136
Suryodiningrat, Perikatan – Perikatan Tarsito, Bandung, 1991, h. 102-103. 137 Ibid, h. 101. 138 Yahya Harahap, Op. Cit, h. 321. 139 Subekti I, Loc. Cit, 140 Yahya Harahap, Loc. Cit,. Volume 11, No.1 Mei 2011 cxcviii
Bersumber Perjanjian, Cet. II,
Masalah lain yang berhubungan erat adalah dengan meninggalnya pihak pemegang kuasa, ada pendapat mengatakan, secara yuridis menunjukkan berakhirnya pemberian kuasa 141 atau tepatnya hubungan hukum itu putus, dan dengan sendirinya tidak ada beban pertanggungan jawab, tapi sebaliknya apabila ada kelalaian dan kerugian yang timbul dalam pemberian kuasa itu, berarti ahli warisnya yang mempertanggung jawabkan. Sedangkan kalangan lain mengisyaratkan, bahwa sesuai dengan ketentuan hukum perdata, ahli waris harus bertanggung jawab atas kelalaian dan kerugian yang timbul dalam pemberian kuasa meninggal, pertanggung jawaban ini ditujukan kepada ahli waris yang mengetahui maupun yang tidak mengetahui adanya pemberian kuasa itu. Menurut hukum gugurnya pertanggungan jawab ini apabila pemegang kuasa meninggal.142 Tapi masih dipertanyakan lagi apakah para ahli waris mengetahui adanya pemberian kuasa itu, namun yang dijelaskan pendapat ini menekankan bahwa pertanggungjawaban mesti harus dialihkan kepada segenap ahli warisnya, apabila pemberi kuasa itu mengakibatkan timbulnya kerugian-kerugian bagi pihak pemberi kuasa.143 PERLINDUNGAN HUKUM ADVOKAT 1.
Kewajiban Hukum Advokat
Tentang kewajiban dari seorang Advokat dalam menjalankan tugasnya tidak terlepas dari ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang Advokat yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 serta undang-undang terkait yang mengatur tentang tugas seorang Advokat, misalnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kehakiman. Pada pasal 14 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 ditegaskan bahwa Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini melahirkan konsekuensi yuridis bahwa apapun pernyataan dan pendapat seorang Advokat dalam rangka membela klientnya tidak dapat dijadikan dasar bahwa seorang Advokat telah melakukan tindak pidana ataupun perbuatan melawan hukum dalam perkara perdata. Walaupun Pasal 17 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 telah mengatur tentang hak advokat dalam memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Namun ketentuan ini tidak diikuti dengan kewajiban dari pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut. Sehingga 141
Subekti I, Op. Cit, h. 153. Yahya Harahap, Op. Cit, h. 314. 143 Ibid,. 142
Volume 11, No.1 Mei 2011
cxcix
ketentuan ini hanyalah merupakan isapan jembol belaka, dan tidak lebih hanya sekedar hiburan untuk menyejukkan hati seorang advokat dalam menjalankan tugasnya. Advokat dalam menjalankan profesinya berdasarkan pasal 18 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Klientnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sayangnya ketentuan ini tidak diatur secara imperatif, artinya bagi pihak terkait yang dapat memberikan informasi, data dan dokumen tidak dibarengi dengan pemberian sanksi hukum bilamana pihak terkait tersebut tidak memberikan informasi, data ataupun dokumen. Seharusnya seorang Advokat dalam menjalankan tugasnya dibekali dengan kekuasaan untuk melaporkan atau memanggil pihak kepolisian guna melaporkan pihak terkait tersebut karena menghalang-halangi tugas-tugas Advokat. Untuk itu, sesungguhnya kedudukan pasal 18 Undang-Undang Advokat tersebut hanyalah sekedar lip service yang tidak menimbulkan akibat hukum apapun bilamana pihak terkait yang dapat memberikan informasi, data ataupun dokumen tidak melaksanakan kewajibannya. Kewajiban lain dari seorang Advokat berdasarkan pasal 18 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap Klient berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya. Disamping itu Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Klientnya dalam membela perkara Klient oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat. Dalam kedudukannya sebagai seorang Advokat, oleh karena ia banyak mengetahui keadaan yang berhubungan dengan keberadaan klient, maka Advokat berdasarkan pasal 19 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Klientnya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang. Untuk kepentingan tersebut, maka Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klient, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat. Guna kemurnian penanganan perkara klient tersebut, maka Advokat berdasarkan pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya. Di samping itu Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya. Untuk itu, Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak diperkenankan melaksanakan tugas profesi Advokat selama memangku jabatan tersebut. 2. Perlindungan Hukum dalam Undang-Undang Advokat
cc
Volume 11, No.1 Mei 2011
Sesungguhnya hal terpenting dalam penanganan perkara klient adalah menyangkut pembuktian akan kebenaran perkara yang ditangani oleh seorang Advokat. Ketika seorang Advokat dapat memenangkan perkara yang ditanganinya, maka tingkat prestise ia akan semakin tinggi, sebaliknya bilamana perkara yang ditangani terlalu sering kalah, maka masyarakat akan memberikan penilaian negatif terhadap kualitas keadvokatannya, sehingga lambat laun prestisenya akan semakin menurun yang pada gilirannya tidak akan mendapat kepercayaan dari masyarakat dalam memberikan konsultasi atau bantuan hukum. Dalam rangka peningkatan kualitas advokat yang memberikan dampak positif terhadap tingkat prestise seorang advokat, hal terpenting sebagaimana dikemukakan di atas adalah kuantitas memenangkan perkara. Hal ini bergantung kepada kemampuan advokat dalam menganalisa kasus-perkasus, yang ditunjukkan oleh kemampuannya dalam melakukan legal audit dan legal opinion. Kemampuan advokat dalam melakukan legal audit akan memungkinkan advokat menemukan fakta hukum. Dari fakta hukum tersebut akan dapat ditentukan kepastian hukum akan perkara yang ditanganinya, yaitu perkara tersebut dapat ditentukan sebagai perkara hukum atau non hukum. Bilamana merupakan perkara hukum ataupun perkara non hukum secara legal opinion dapat ditentukan secara pasti tentang tindakan hukum yang harus dilakukan oleh seorang advokat. Fakta hukum dapat dihimpun dari bukti-bukti serta saksi dalam perkara tersebut, karenanya seorang advokat akan dapat menentukan dan menilai keberadaan perkara yang sedang ditanganinya tentang kemungkinan dapat dimenangkan atau tidak. Namun adalah merupakan pekerjaan yang tidak mudah guna menghimpun bukti ataupun saksi tersebut. Berbeda halnya jika bukti ataupun saksi tersebut berpihak pada klient yang kita bantu. Pekerjaan menghimpun bukti-bukti ataupun saksi-saksi akan menjadi sulit, bilamana bukti-bukti ataupun saksi-saksi tersebut tidak berada dalam penguasaan atau tidak berpihak pada klient yang ditangani oleh advokat dimaksud. Misalnya bukti-bukti perkara tersebut berhubungan dengan pihak ketiga, baik pihak ketiga tersebut berupa perorangan ataupun institusi. Hal ini dikarenakan ketika bukti-bukti ataupun saksi-saksi tersebut berada ataupun merupakan pihak ketiga, maka kita harus mengikuti prosedur permohonan yang dikehendaki oleh pihak ketiga itu. Kendati demikian kebebasan Advokat tersebut berdasarkan pasal 15 UndangUndang Nomor 18 Tahun 2003 dibatasi yaitu bahwa kebebasan tersebut haruslah dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan. Bilamana seorang Advokat telah melaksanakan kebebasan tersebut dengan berpegang pada kode etik profesi, maka ia berdasarkan pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tersebut dijamin dan diberikan perlindungan hukum yang cukup dalam bentuk Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klient dalam sidang pengadilan. Volume 11, No.1 Mei 2011
cci
Kesulitan lain dari seorang advokat dalam menghimpun bukti-bukti ataupun saksi tersebut akan muncul bilamana upaya pengumpulan bukti dan saksi itu menyangkut perkara rawan menimbulkan pertikaian, baik perdata maupun pidana. Maka seorang advokat kerapkali mendapatkan ancaman untuk tidak memberikan jasa ataupun bantuan hukum. Hal ini berbeda dengan keberadaan penyidik dalam rangka pengumpulan bukti ataupun saksi, seorang penyidik lebih-lebih polisi telah dibekali dengan senjata api untuk melakukan perlawanan terhadap siapapun yang dianggap merintangi proses penyidikan tersebut. Bahkan lebih bagus lagi fasilitas yang diberikan kepada penyidik dalam rangka pengumpulan bukti tersebut ia dibekali dengan fasilitas pemanggilan saksi yang bilamana seorang saksi yang dipanggil tidak memenuhi panggilan itu, saksi tersebut diancam dengan pidana dalam pasal 216 KUHP. Sehingga acapkali seorang advokat selalu dihadapkan kepada kesulitan dalam mengumpulkan bukti-bukti yang membawa dampak kalahnya perkara yang ia tangani. Oleh karenanya yang diperlukan advokat adalah perlindungan hukum atas pengumpulan bukti dalam penanganan perkara, bilamana ini merupakan sebuah fasilitas, maka kualitas penanganan perkara akan lebih baik. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat ditarik atas hasil pembahasan tulisan ini adalah sebagai berikut, yaitu: a. Bantuan hukum tiada lain adalah pemberian bantuan di bidang jasa dalam lingkup hukum, bantuan hukum tersebut dapat berupa konsultasi, selaku konsultan hukum, ataupun selaku Penasihat Hukum. Adapun bantuan hukum tersebut hanya dapat diberikan oleh advokat berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Bantuan hukum tersebut diberikan dengan tanpa diskriminasi; b. Hak dan kewajiban yang timbul dalam pemberian kuasa antara seorang advokat dengan klientnya adalah muncul bilamana keduanya telah melakukan kesepakatan di bidang pemberian jasa bantuan hukum. Bilamana kesepakatan tersebut telah tercapai, maka klilent berhak mendapat jasa hukum dari seorang advokat dan seketika itu pula advokat berhak untuk menerima fee atau honorariumnya; c. Perlindungan hukum Advokat selaku penerima kuasa dalam pemberian bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 baru dalam batas tidak dapat dituntut secara pidana ataupun perdata adapun hak seorang advokat dalam rangka pengumpulan bukti baru dalam hak yang tidak diimbangi dengan kewajiban dan sanksi terhadap pihak lain untuk menyerahkan bukti yang dibutuhkan.
ccii Volume 11, No.1 Mei 2011
Volume 11, No.1 Mei 2011
cciii