V. DAN PEMBAHASAN
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Indramayu Analisis
Data
Hasil
Wawancara
dengan
Responden
Masyarakat Kecamatan Indramayu, Sindang, dan Jatibarang Dari hasil pengolahan dan analisis data diperoleh gambaran responden dan/ atau faktor-faktor yang diteliti seperti tampak pada Gambar 8 dan 9.
Gambar 8. Grafik deskripsi responden dan faktor-faktor yang diteliti di Kecamatan Indramayu, Sindang, dan Jatibarang Jenis kelamin dan umur responden Jumlah responden adalah 335 orang; terdiri dari 295 orang (88,1%) lakilaki dan 40 orang (11,9%) perempuan. Umur responden termuda 22 tahun dan tertua 80 tahun, mode 46,30 tahun, dan standar deviasi 11,04 tahun. Responden dan/atau anggota keluarganya yang menderita penyakit demam berdarah dengue dalam tahun 2007/2008/2009 Jumlah responden dan/atau anggota keluarganya yang menderita penyakit DBD dalam tahun 2007/2008/2009 adalah 67 orang (20% responden). Umur
80 penderita termuda 6 bulan dan tertua 41 tahun, median 12 tahun, mode 8 tahun, dengan standar deviasi 9,76 tahun. Lama pengobatan/perawatan penderita di Rumah Sakit minimum 2 hari dan maksimum 16 hari, dengan mean 5,67 hari, median 5 hari, mode 5 hari, dan standar deviasi 2,69 hari. Jumlah tanggungan biaya pengobatan/perawatan per pasien, di luar subsidi/bantuan Pemerintah, berkisar antara Rp.700.000,-- dan Rp. 6.000.000,--; dengan mean Rp.1.488.060,-; mode Rp.1.000.000,-- dan standar deviasi Rp.1.203.596,--
Gambar 9. Grafik deskripsi responden dan faktor-faktor yang diteliti di Kecamatan Indramayu, Sindang, dan Jatibarang (lanjutan) Rumah tangga responden Dari 335 rumah tangga yang diteliti, ada 208 rumah (62,1%) yang masuk kategori “kurang sehat”. Penilaian kesehatan rumah didasarkan pada Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat (Depkes. R.I. 2002), yang mencakup penilaian kelompok komponen rumah, kelompok sarana sanitasi, dan kelompok perilaku penghuni. Proporsi ini berbeda dengan hasil pemeriksaan Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu yang menunjukkan bahwa proporsi rumah tangga yang belum memenuhi syarat kesehatan adalah 44,4%.
81 Gambaran lebih khusus kondisi 335 rumah responden tersebut yaitu: 95 rumah (28,4%) berdinding tidak memenuhi syarat kesehatan,
133 rumah
(39,7%) tidak memiliki langit-langit, 78 rumah (23,2%) berlantai tanah atau plesteran yang sudah retak, 39 rumah (11,6%) tidak memiliki jendela kamar tidur, 71 rumah (21,2%) kurang pencahayaan,
36 rumah (10,7%) tidak memiliki
kakus/WC sehat, dan 23 rumah (6,9%) dengan TPA berjentik nyamuk Aedes aegypti. Proporsi rumah tangga yang kurang sehat per kecamatan pada umumnya hampir sama, yaitu dalam kisaran 58,4%-64,2% (perincian pada Lampiran 1). Dari uji statistik diperoleh hasil bahwa dalam Alpha 0,05 tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kesehatan rumah tangga dengan kejadian penyakit DBD (p-Value=0,41). Disimpulkan bahwa kejadian DBD di Kecamatan Indramayu, Sindang dan Jatibarang tidak turut dipengaruhi tingkat kesehatan rumah tangga. Air bersih/minum Proporsi rumah tangga yang memperoleh air bersih/minum lebih dari 100 liter per orang per hari ada 89 keluarga (26,6%); selebihnya, 246 keluarga (73,4%) memperoleh air dalam kisaran 20 sampai dengan 99,9 liter per orang per hari. Hasil ini hampir sama dengan hasil RISKESDAS JABAR (2007), bahwa proporsi penduduk Kabupaten Indramayu yang menggunakan air bersih lebih dari 100 liter per orang per hari sebesar 48,2%; dan antara 20 hingga 99,9 liter sebesar 47,4%. Proporsi sumber air rumah tangga yaitu 1,5% dari tetangga/beli eceran; 2,4% sumur sendiri; 5,4% PDAM; dan 90,7% dari PDAM dan sumur. Dari uji statistik diperoleh hasil bahwa dalam Alpha 0,05 tidak tampak hubungan signifikan antara kejadian penyakit DBD dengan sumber air rumah tangga (p-Value = 0,53). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kejadian penyakit DBD di Kecamatan Indramayu, Sindang, dan Jatibarang tidak turut dipengaruhi oleh sumber air rumah tangga. Sampah rumah tangga Proporsi keluarga responden yang membuang sampah dengan cara sehat (memiliki tempat pembuangan sampah) sebesar 70,4%. Proporsi ini lebih besar dibandingkan dengan hasil pemeriksaan Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu yang menunjukkan bahwa proporsi keluarga yang memiliki tempat pembuangan sampah memenuhi syarat kesehatan sebesar 40,9%. Dari uji statistik diperoleh
82 hasil bahwa dalam Alpha 0,05 terdapat hubungan yang signifikan antara pengelolaan sampah rumah tangga dengan kejadian DBD (p-Value = 0,00 dan OR=3,103). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kejadian penyakit DBD di Kecamatan Indramayu, Sindang dan Jatibarang turut dipengaruhi oleh pengelolaan sampah rumah tangga yang tidak sehat; dan dapat diinterpretasikan bahwa penghuni rumah yang mengelola sampah secara tidak sehat berpeluang 3,103 kali terkena penyakit DBD dibandingkan dengan penghuni rumah yang mengelola sampah secara sehat. Air limbah rumah tangga Proporsi keluarga responden yang membuang air limbahnya ke selokan terbuka dan tergenang kotor di sekitar rumah (tidak memiliki SPAL) adalah sebesar 99,4%. Proporsi ini berbeda dengan hasil pemeriksaan Dinkeskab. Indramayu terhadap 168.795 rumah yang menunjukkan bahwa proporsi rumah yang tidak memiliki SPAL memenuhi syarat kesehatan sebesar 37,5%. Hasil penelitian ini juga tidak sama dengan hasil RISKESDAS JABAR (2007) yang menunjukkan bahwa proporsi rumah yang tidak memiliki SPAL di Kabupaten Indramayu adalah 9,5%. Dari uji statistik, dalam Alpha 0,05 diperoleh hasil bahwa hubungan antara pengelolaan air limbah rumah tangga dengan kejadian DBD tidak signifikan (p-Value = 0,19); walaupun demikian secara empiris hubungan antara keduanya sesungguhnya jelas, karena lingkungan kotor pada dasarnya cenderung mengakibatkan berkembangnya populasi kuman penyakit menular yang dapat menyerang dan melemahkan daya tahan tubuh seseorang. Tanaman anti nyamuk Aedes aegypti Dari 335 rumah responden yang diteliti, sebagian besar (95%) tidak ditanami tanaman anti nyamuk seperti: Zodia (Evodia suaveolens), Geranium (Pelargonium citrosa), Lavender (Lavendula angustifolia), dan Serai wangi (Cymbopogon nardus). Faktor penyebab utama ialah kurangnya pengetahuan sebagian besar anggota keluarga mengenai manfaat tanaman itu. Pengetahuan responden tentang demam berdarah dengue Proporsi responden dengan kategori “berpengetahuan DBD kurang” (jumlah jawaban yang benar ≤ median seluruh pertanyaan) adalah sebesar 65,1%. Sebagian besar jawaban yang benar masih terbatas pada jawaban atas pertanyaan
83 mengenai tanda-tanda/gejala penyakit DBD.
Selanjutnya dari uji statistik
diperoleh hasil bahwa hubungan antara pengetahuan kepala keluarga tentang penyakit DBD dengan kejadian DBD adalah signifikan (p-Value = 0,00 dan OR=3,788). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kejadian DBD di Kecamatan Indramayu, Sindang, dan Jatibarang turut dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan atau pemahaman kepala keluarga tentang penyakit DBD termasuk pengendaliannya. Sikap responden tentang demam berdarah dengue Proporsi responden yang bersikap positif terhadap upaya pengendalian penyakit DBD sebesar 100%. Semua responden menjawab sangat setuju dengan pernyataan-pernyataan yang diajukan, yaitu (1) bahwa Kabupaten Indramayu harus bebas penyakit DBD; (2) bahwa masyarakat harus jadi pelopor peningkatan PHBS; (3) bahwa masyarakat perlu meningkatkan kesehatan lingkungan; (4) bahwa masyarakat perlu meningkatkan pengembangan ikan pemakan jentik dan tanaman anti nyamuk Aedes aegypti; dan (5) bahwa masyarakat perlu memberantas jentik nyamuk Aedes aegypti di rumah tangga
masing-masing.
Dengan proporsi tersebut secara statistik tidak tampak hubungan signifikan antara kejadian DBD dengan sikap responden terhadap pengendalian DBD. Perilaku sehat responden Proporsi responden yang masuk dalam kategori “berperilaku kurang” dalam penyehatan rumah tangga sebesar 51%. Penilaian ini didasarkan pada Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat (Depkes. R.I. 2002), yang mencakup perilaku/kebiasaan membuka jendela kamar tidur, jendela ruang keluarga, kebiasaan membersihkan rumah dan halaman, kebiasaan membuang tinja bayi dan balita, kebiasaan pengeloaan sampah rumah tangga, kebiasaan membersihkan TPA, dan kebiasaan memanfaatkan PUSKESMAS dan RS untuk berobat dan/atau konsultasi kesehatan. Dari uji statistik diperoleh hasil bahwa hubungan antara perilaku sehat responden dengan kejadian DBD adalah signifikan (p-Value = 0,00 dan OR=6,773); dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kejadian DBD turut dipengaruhi oleh perilaku tidak sehat anggota keluarga. Anggota keluarga yang tidak berperilaku sehat berpeluang 6,773 kali terkena penyakit DBD dibandingkan dengan anggota keluarga berperilaku sehat.
84 Pekerjaan/mata pencaharian responden Proporsi responden menurut pekerjaan adalah sebesar 69,3% sebagai buruh/petani/nelayan; 15,8% sebagai pedagang/ pengusaha/ wiraswastawan; dan 14,9% sebagai PNS/TNI/POLRI/Pensiunan. Dari uji statistik diperoleh hasil bahwa hubungan antara pekerjaan responden dengan kejadian DBD adalah signifikan (p-Value = 0,00). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kejadian DBD di Kecamatan Indramayu, Sindang, dan Jatibarang turut dipengaruhi oleh pekerjaan/mata pencaharian kepala keluarga. Pendapatan/pengeluaran per kapita keluarga responden Sebagian dalam
besar
responden
dan
keluarganya
(80,9%)
termasuk
kategori berpengeluaran uang di bawah rata-rata minimum tingkat
Kabupaten Indramayu yaitu
Rp.367.263,-- per kapita keluarga per bulan.
Selanjutnya dari uji statistik diperoleh hasil bahwa dalam Alpha 0,05 terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan/pengeluaran per kapita keluarga responden dengan kejadian DBD (p-Value = 0,00). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kejadian DBD di Kecamatan Indramayu, Sindang, dan Jatibarang turut dipengaruhi oleh kurangnya tingkat pendapatan/ pengeluaran per kapita keluarga per bulan. Rendahnya tingkat pendapatan/ pengeluaran rata-rata per kapita keluarga per bulan cenderung menyebabkan lemahnya daya beli masyarakat untuk memenuhi kebutuhan penyehatan pribadi dan lingkungannya. Keadaan ini akan berdampak negatif terhadap daya tahan tubuh individu dalam masyarakat dari serangan penyakit DBD dan penyakit menular lainnya. Pendidikan formal responden Pendidikan formal terakhir sebagian besar responden (51,6%) adalah tamat SD dan tidak tamat SD. Dari uji statistik diperoleh hasil bahwa dalam Alpha 0,05 terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan formal responden dengan kejadian DBD (p-Value = 0,00). Disimpulkan bahwa kejadian DBD di Kecamatan Indramayu, Sindang, dan Jatibarang turut dipengaruhi oleh rendahnya tingkat pendidikan formal kepala keluarga. Rendahnya tingkat pendidikan formal masyarakat sedikit banyak akan mempengaruhi rendahnya wawasan, daya analisis dan kemampuan mereka dalam menerima perubahan-perubahan dalam rangka penyelesaian masalah yang berkaitan dan penyakit DBD.
85 Layanan penderita demam berdarah dengue Berdasarkan wawancara dengan pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten dan PUSKESMAS diperoleh hasil bahwa proporsi cakupan layanan penderita DBD oleh RS dan PUSKESMAS di atas 99%, mencakup layanan rawat jalan dan rawat inap. Dengan proporsi ini, secara statistik, tidak tampak hubungan signifikan antara kejadian DBD dengan layanan penderita DBD. Layanan penyuluhan dan bimbingan teknis kesehatan Proporsi
responden
dengan
kategori
“belum
pernah”
mengikuti
penyuluhan kelompok dan bimbingan teknis tentang penyakit DBD oleh PUSKESMAS adalah sebesar 100%. Selama ini keluarga responden pada umumnya memperoleh informasi tentang DBD dari media elektronik, terutama televisi, dari petugas kesehatan, dan dari tetangga dalam komunikasi perorangan. Pengelolaan tempat penampungan air (TPA) Proporsi
responden
dengan kategori “belum
teratur ≤ satu minggu
sekali” membersihkan TPA dan TPN di dalam dan di luar sekitar rumah adalah sebesar 63,3%. Selanjutnya dari uji statistik diperoleh hasil bahwa dalam Alpha 0,05 terdapat hubungan yang signifikan antara keteraturan pembersihan TPA dengan kejadian DBD (p-Value = 0,00 dan OR=5,543). Dapat disimpulkan bahwa kejadian DBD turut dipengaruhi oleh tidak terpeliharanya
kebersihan TPA.
Anggota keluarga yang tidak teratur memelihara kebersihan TPA berpeluang terkena penyakit DBD 5,543 kali dibanding dengan anggota keluarga yang membersihkan TPA secara teratur (setiap ≤ satu minggu sekali). Adapun kebutuhan responden dalam rangka pengendalian penyakit DBD di Kecamatan Indramayu, Sindang, dan Jatibarang antara lain :
cakupan air
bersih/air minum meningkat; layanan kesehatan semakin meningkat; status kesehatan rumah tangga meningkat; perekonomian masyarakat meningkat; pengetahuan, sikap, perilaku sehat masyarakat meningkat; serta limbah padat dan cair terkelola dengan baik/sehat. Analisis
Data
Hasil
Wawancara
dengan
Responden
Masyarakat Kecamatan Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana Dari hasil pengolahan dan analisis data diperoleh gambaran responden dan/ atau faktor-faktor yang diteliti seperti tampak pada Gambar 10 dan 11.
86
Gambar 10. Grafik deskripsi responden dan faktor-faktor yang diteliti di Kecamatan Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana Jenis kelamin dan umur responden Jumlah responden adalah 336 orang; terdiri dari 274 orang (81,5%) lakilaki dan 62 orang (18,5%) perempuan. Umur responden termuda 18 tahun dan tertua 83 tahun, dengan median 44,69 tahun, mode 40 tahun, dan standar deviasi 11,93 tahun. Responden dan/atau anggota keluarganya yang menderita penyakit demam berdarah dengue tahun 2007/2008/2009 Jumlah responden dan/atau anggota keluarganya yang menderita penyakit DBD pada tahun 2007/2008/2009 adalah 24 orang (7,1% responden). Umur penderita termuda 3 tahun dan tertua 45 tahun, median 10,5 tahun, mode 5 tahun, dengan standar deviasi 12,33 tahun. Lama pengobatan/perawatan penderita di Rumah Sakit minimum 2 hari dan maksimum 15 hari, dengan mean 5,33 hari, median 5 hari, mode 4 hari, dengan standar
deviasi 2,408 hari. Jumlah
tanggungan biaya pengobatan/perawatan per pasien, di luar subsidi/bantuan Pemerintah, berkisar antara Rp.1.000.000,-- dan Rp. 1.300.000,--; dengan mean Rp.1.012.500,--; mode Rp.1.000.000,--; dan standar deviasi Rp.61.237,24.
87
Gambar 11. Grafik deskripsi responden dan faktor-faktor yang diteliti di Kecamatan Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana (lanjutan) Rumah tangga responden Dari 336 rumah tangga yang diteliti, ada 238 rumah (70,8%) yang masuk kategori kurang sehat. Penilaian kesehatan rumah didasarkan pada Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat (Depkes. R.I. 2002), yang mencakup penilaian kelompok komponen rumah, kelompok sarana sanitasi, dan kelompok perilaku penghuni. Proporsi ini berbeda dengan hasil pemeriksaan Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu yang menunjukkan bahwa proporsi rumah tangga yang belum memenuhi syarat kesehatan adalah 44,4%. Gambaran lebih khusus kondisi 336 rumah responden yaitu: 110 rumah (32,8%) berdinding tidak memenuhi syarat kesehatan, 176 rumah (52,4%) tidak memiliki langit-langit, 72 rumah (21,4%) berlantai tanah atau plesteran yang sudah retak, 39 rumah (11,5%) tidak memiliki jendela kamar tidur, 52 rumah (15,5%) kurang pencahayaan, 90 rumah (26,8%) tidak memiliki kakus/WC sehat, dan 15 rumah (4,5%) dengan TPA berjentik nyamuk Aedes aegypti. Proporsi rumah tangga yang kurang sehat per kecamatan pada umumnya hampir sama, yaitu dalam kisaran 63,7%-77,7% (perincian tertera pada Lampiran 1).
88 Dari uji statistik diperoleh hasil bahwa dalam Alpha 0,05 terdapat hubungan yang signifikan antara kesehatan rumah tangga dengan kejadian penyakit DBD (p-Value=0,00). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kejadian DBD di Kecamatan Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana turut dipengaruhi oleh tingkat kesehatan rumah hunian/tangga. Selanjutnya variabel yang berhubungan signifikan dengan kesehatan rumah hunian/tangga yaitu: (1) pengetahuan responden tentang DBD (p-Value= 0,000 dan OR=5,950); (2) perilaku hidup sehat anggota keluarga responden (p-Value = 0,00 dan OR= 31,2); (3) pengeluaran per kapita keluarga responden rata-rata per bulan (p-Value = 0,00 dan OR=3,309); (4) pendidikan formal responden (p-Value = 0,00); dan (5) pekerjaan responden (p-Value= 0,00) (perincian pada Lampiran 3). Air bersih/minum Proporsi rumah tangga yang memperoleh air bersih/minum lebih dari 100 liter per orang per hari ada 295 keluarga (87,8%); selebihnya 41 keluarga (12,2%) memperoleh air dalam kisaran 20 sampai dengan 99,9 liter per orang per hari. Hasil ini tidak sama dengan hasil RISKESDAS JABAR (2007), bahwa proporsi penduduk Kabupaten Indramayu yang menggunakan air bersih lebih dari 100 liter per orang per hari sebesar 48,2%; dan antara 20 hingga 99,9 liter sebesar 47,4%. Proporsi sumber air rumah tangga yaitu 5,6% dari tetangga/beli eceran; 2,7% sumur sendiri; 0,6% PDAM; dan 91,1% dari PDAM dan sumur.. Dari uji statistik diperoleh hasil bahwa dalam Alpha 0,05 tidak terdapat hubungan signifikan antara kejadian penyakit DBD dengan sumber air rumah tangga (p-Value=0,47). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kejadian penyakit DBD di Kecamatan Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana tidak turut dipengaruhi oleh sumber air rumah tangga. Sampah rumah tangga Proporsi keluarga responden yang membuang sampah dengan cara sehat (memiliki tempat pembuangan sampah) sebesar 64,3%. Proporsi ini lebih besar dibandingkan dengan hasil pemeriksaan Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu yang menunjukkan bahwa proporsi keluarga yang memiliki tempat pembuangan sampah memenuhi syarat kesehatan sebesar 40,9%. Dari uji statistik diperoleh hasil bahwa dalam Alpha 0,05 terdapat hubungan yang signifikan antara
89 pengelolaan sampah rumah tangga dengan kejadian DBD (p-Value sebesar 0,00 dengan OR=6,176). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
kejadian
penyakit DBD turut dipengaruhi oleh pengelolaan sampah rumah tangga yang tidak sehat; dan dapat diinterpretasikan bahwa penghuni rumah yang mengelola sampah secara tidak sehat berpeluang 6,176 kali terkena penyakit DBD dibandingkan dengan penghuni rumah yang mengelola sampah secara sehat. Air limbah rumah tangga Proporsi keluarga responden yang membuang air limbahnya ke selokan terbuka dan tergenang kotor di sekitar rumah (tidak memiliki SPAL) adalah sebesar 97,3%. Proporsi ini berbeda dengan hasil pemeriksaan Dinkeskab. Indramayu terhadap 168.795 rumah yang menunjukkan bahwa proporsi rumah yang tidak memiliki SPAL memenuhi syarat kesehatan sebesar 37,5%. Hasil penelitian ini juga tidak sama dengan hasil RISKESDAS JABAR (2007) yang menunjukkan bahwa proporsi rumah yang tidak memiliki SPAL di Kabupaten Indramayu adalah 9,5%. Dari uji statistik, dalam Alpha 0,05, diperoleh hasil bahwa hubungan antara pengelolaan air limbah rumah tangga dengan kejadian DBD tidak signifikan (p-Value = 0,65); walaupun demikian secara empiris hubungan antara keduanya sesungguhnya jelas, karena lingkungan kotor pada hakekatnya cenderung mengakibatkan berkembangnya populasi kuman penyakit menular yang dapat menyerang dan melemahkan daya tahan tubuh seseorang. Tanaman anti nyamuk Aedes aegypti Dari 336 rumah responden yang diteliti, sebagian besar (95%) tidak ditanami tanaman anti nyamuk seperti: Zodia (Evodia suaveolens), Geranium (Pelargonium citrosa), Lavender (Lavendula angustifolia), dan Serai wangi (Cymbopogon nardus). Faktor penyebab utama ialah kurangnya pengetahuan sebagian besar anggota keluarga mengenai manfaat tanaman itu. Pengetahuan responden tentang demam berdarah dengue Proporsi responden dengan kategori “berpengetahuan DBD kurang” (jumlah jawaban yang benar ≤ median seluruh pertanyaan) sebesar 73,2%. Sebagian besar jawaban benar responden masih terbatas pada jawaban atas pertanyaan mengenai tanda-tanda/gejala penyakit DBD.
Selanjutnya dari uji
statistik diperoleh hasil bahwa hubungan antara pengetahuan kepala keluarga
90 tentang penyakit DBD dengan kejadian DBD adalah signifikan (p-Value = 0,00). Disimpulkan bahwa kejadian DBD di Kecamatan Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana turut dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan atau pemahaman kepala keluarga tentang penyakit DBD. Dapat diinterpretasikan pula bahwa kejadian DBD berhubungan dengan frekuensi dan mutu penyuluhan kesehatan. Sikap responden tentang demam berdarah dengue Proporsi responden yang bersikap positif terhadap upaya pengendalian penyakit DBD sebesar 100%. Semua responden menjawab sangat setuju dengan pernyataan-pernyataan yang diajukan, yaitu (1) bahwa Kabupaten Indramayu harus bebas penyakit DBD; (2) bahwa masyarakat harus jadi pelopor peningkatan PHBS; (3) bahwa masyarakat perlu meningkatkan kesehatan lingkungan; (4) bahwa masyarakat perlu meningkatkan pengembangan ikan pemakan jentik dan tanaman anti nyamuk Aedes aegypti; dan (5) bahwa masyarakat perlu memberantas jentik nyamuk Aedes aegypti di rumah tangga masing-masing. Berdasarkan proporsi ini dapat disimpulkan bahwa secara statistik tidak tampak hubungan yang signifikan antara kejadian DBD dengan sikap responden terhadap pengendalian DBD. Perilaku sehat responden Proporsi responden yang masuk dalam kategori “berperilaku kurang” dalam penyehatan rumah tangga sebesar 52,1%. Penilaian ini didasarkan pada Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat (Depkes. R.I. 2002), yang mencakup perilaku/kebiasaan membuka jendela kamar tidur, jendela ruang keluarga, kebiasaan membersihkan rumah dan halaman, kebiasaan membuang tinja bayi dan balita, kebiasaan pengeloaan sampah rumah tangga, kebiasaan membersihkan TPA, dan kebiasaan memanfaatkan PUSKESMAS dan RS untuk berobat dan/atau konsultasi kesehatan. Dari uji statistik diperoleh hasil bahwa hubungan antara perilaku sehat responden dengan kejadian DBD adalah signifikan (p-Value = 0,00 dan OR=11,431); dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kejadian DBD turut dipengaruhi oleh perilaku tidak sehat anggota keluarga. Anggota keluarga yang tidak berperilaku sehat berpeluang 11,431 kali terkena penyakit DBD dibandingkan dengan anggota keluarga berperilaku sehat.
91 Pekerjaan/mata pencaharian responden Proporsi responden menurut pekerjaan adalah sebesar 81,3% sebagai buruh/petani/nelayan; 9,8% sebagai pedagang/pengusaha/ wiraswastawan; dan 8,9% sebagai PNS/TNI/POLRI/Pensiunan. Dari uji statistik diperoleh hasil bahwa hubungan antara pekerjaan responden dengan kejadian DBD adalah tidak signifikan (p-Value = 0,89). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kejadian DBD tidak dipengaruhi oleh pekerjaan/mata pencaharian kepala keluarga. Pendapatan/pengeluaran per kapita keluarga responden Sebagian besar responden dan keluarganya (82,7%) termasuk dalam kategori berpengeluaran uang di bawah rata-rata minimum tingkat Kabupaten Indramayu yaitu Rp.367.263,-- per kapita keluarga per bulan. Selanjutnya dari uji statistik diperoleh hasil bahwa dalam Alpha 0,05 terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan/pengeluaran per kapita keluarga responden dengan kejadian DBD (p-Value = 0,01). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kejadian DBD di Kecamatan Indramayu, Sindang, dan Jatibarang turut dipengaruhi oleh rendahnya pendapatan/pengeluaran per kapita keluarga per bulan. Rendahnya tingkat pendapatan rata-rata per kapita keluarga per bulan cenderung menyebabkan lemahnya daya beli masyarakat untuk memenuhi kebutuhan penyehatan pribadi dan lingkungannya. Keadaan ini akan berdampak negatif terhadap daya tahan tubuh individu dalam masyarakat dari serangan penyakit DBD dan penyakit menular lainnya. Pendidikan formal responden Pendidikan formal terakhir sebagian besar responden (65,2%) adalah tamat SD dan tidak tamat SD. Dari uji statistik diperoleh hasil bahwa dalam Alpha 0,05 tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan formal responden dengan kejadian DBD (p-Value = 0,92). Disimpulkan bahwa kejadian DBD di Kecamatan Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana tidak turut dipengaruhi oleh tingkat pendidikan formal kepala keluarga. Walaupun demikian dalam kenyataan sesungguhnya tampak bahwa rendahnya tingkat pendidikan formal masyarakat sedikit banyak mempengaruhi rendahnya kemampuan dan daya analisis mereka dalam menerima inovasi/ ide-ide konstruktif baru dalam rangka penyelesaian masalah penyakit DBD di daerahnya.
92 Layanan penderita demam berdarah dengue Berdasarkan wawancara dengan petugas Dinas Kesehatan Kabupaten dan PUSKESMAS diperoleh hasil bahwa proporsi cakupan layanan penderita DBD oleh RS dan PUSKESMAS di atas 99%, mencakup layanan rawat jalan dan rawat inap menurut tata laksana yang ditetapkan. Secara statistik, tidak tampak hubungan signifikan antara kejadian DBD dengan layanan penderita DBD. Layanan penyuluhan dan bimbingan teknis kesehatan Proporsi
responden
dengan
kategori
“belum
pernah”
mengikuti
penyuluhan kelompok dan bimbingan teknis tentang penyakit DBD oleh PUSKESMAS adalah sebesar 100%. Selama ini keluarga responden pada umumnya memperoleh informasi tentang DBD dari media elektronik, terutama televisi, dari petugas kesehatan, dan dari tetangga dalam komunikasi perorangan. Pengelolaan tempat penampungan air (TPA) Proporsi
responden
dengan kategori “belum
teratur ≤ satu minggu
sekali” membersihkan TPA dan TPN di dalam dan di luar sekitar rumah adalah sebesar 69,3%. Selanjutnya dari uji statistik diperoleh hasil bahwa dalam Alpha 0,05 terdapat hubungan yang signifikan antara keteraturan pembersihan TPA dengan kejadian DBD (p-Value = 0,00). Dapat disimpulkan bahwa kejadian DBD turut dipengaruhi oleh tidak terpeliharanya kebersihan TPA. Dari uraian di atas diperoleh gambaran bahwa karakterisrik responden dan faktor-faktor yang diteliti di gabungan tiga kecamatan pertama, termasuk kategori IR DBD “tinggi” selama tahun 2004-2008 (Kecamatan Indramayu, Sindang, dan Jatibarang), tidak seluruhnya sama dibandingkan dengan karakterisrik responden dan faktor-faktor yang diteliti di gabungan tiga kecamatan kedua, termasuk kategori IR DBD “rendah” selama tahun 2004-2008 (Kecamatan Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana). Proporsi/persentase beberapa karakteristik responden dan faktor-faktor yang diteliti di gabungan kecamatan pertama ada yang hampir sama namun ada pula yang berbeda dengan proporsi/ persentase karakteristik responden dan faktor-faktor yang diteliti di gabungan kecamatan kedua. Perbedaan yang menonjol ialah proporsi/presentase rumah tangga dengan pemakaian air dan tingkat pengetahuan kepala keluarga tentang DBD perincian selengkapnya tertera dalam Tabel 11 atau Lampiran 1.
93 Tabel 11. Deskripsi responden dan faktor-faktor yang diteliti di Kecamatan Indramayu,Sindang, Jatibarang, Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana Proporsi/persentase di : Kecamatan Indramayu, Sindang, dan Jatibarang
Kecamatan Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana
Rumah tangga dengan kategori “belum sehat”
68,1%
70,8%
Rumah tangga dengan pemakaian air minum ≤ 99,9 liter per orang per hari
73,4%
12,1%
99,5% 95,0% 65,1% 100% 51,0%
97,3% 94,0% 73,2% 100% 52,1%
69,3%
81,3%
Keluarga dengan pengeluaran ≤ Rp.367.263,00 per kapita per bulan
80,9%
82,7%
Pendidikan formal kepala keluarga “tamat SD dan tidak tamat SD”
51,6%
65,2%
Layanan pengobatan penderita DBD oleh sarana kesehatan terdekat
99,0%
99,0%
Kepala keluarga yang belum pernah menerima penyuluhan/ bimbingan teknis kelompok untuk pengendalian DBD dari PUSKESMAS/RS
100%
100%
Keluarga dengan pembersihan TPA “>1minggu sekali”
36,7%
30,7%
Sumber air rumah tangga (sumur sendiri dan PDAM)
96,1%
91,7%
Variabel
Rumah dengan pembuangan air limbah “belum sehat” Rumah tangga tanpa tanaman anti nyamuk Responden dengan pengetahuan DBD”kurang” Responden dengan sikap pengendalian DBD “baik” Perilaku sehat penghuni rumah tangga “kurang” Pekerjaan kepala keluarga selain Pedagang/ pengusaha/ wiraswasta/PNS/TNI/POLRI/Pensiunan
Selain hasil analisis deskriptif, juga hasil uji bivariat menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian DBD di gabungan kecamatan pertama tidak seluruhnya sama dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian DBD di gabungan kecamatan kedua (perincian mengenai hal ini tertera dalam Tabel 12
atau
Lampiran 3). Di gabungan tiga kecamatan pertama,
hubungan kesehatan rumah hunian dengan kejadian DBD dalam Alpha 0,05 adalah tidak signifikan (p-Value = 0,41) tetapi di gabungan tiga kecamatan kedua hubungan keduanya signifikan (p-Value = 0,00). Di gabungan tiga kecamatan pertama, hubungan pekerjaan/mata pencaharian kepala keluarga dengan kejadian DBD adalah signifikan (p-Value = 0,00) tetapi di gabungan tiga kecamatan kedua hubungan keduanya tidak signifikan (p-Value = 0,89). Di gabungan tiga kecamatan pertama, hubungan pendidikan formal kepala keluarga dengan
94 kejadian DBD adalah signifikan (p-Value = 0,00)
tetapi di gabungan tiga
kecamatan kedua hubungan keduanya tidak signifikan (p-Value = 0,92). Adapun faktor-faktor yang berhubungan signifikan (p-Value ≤ Alpha 0,05) dengan kejadian DBD, baik di gabungan tiga kecamatan pertama maupun di gabungan tiga kecamatan kedua, ialah pengelolaan sampah rumah tangga, pengetahuan kepala keluarga tentang DBD, perilaku sehat penghuni rumah tangga, keteraturan pembersihan tempat penampungan air, dan angka curah hujan. Sedangkan faktorfaktor yang berhubungan tidak signifikan (p-Value > Alpha 0,05) dengan kejadian DBD, baik di gabungan tiga kecamatan pertama maupun di gabungan tiga kecamatan kedua, ialah sumber air minum rumah tangga dan pembuangan air limbah rumah tangga. Tabel 12. Faktor-faktor yang berhubungan secara statistik dengan penyakit DBD di Kecamatan Indramayu, Sindang, Jatibarang, Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana p-value Kecamatan Indramayu, Sindang, Jatibarang (n=335)
Kecamatan Terisi, Sukagumiwang, Tukdana (n=336)
Kesehatan rumah hunian
0,41
0,00*
Sumber air minum rumah tangga
0,53
0,47
Pembuangan/pengelolaan air limbah rumah tangga
0,19
0,65
Pengelolaan sampah rumah tangga
0,00*
0,00*
Pengetahuan kepala keluarga tentang DBD
0,00*
0,00*
-
-
Perilaku sehat penghuni rumah tangga
0,00*
0,00*
Pekerjaan/mata pencaharian kepala keluarga
0,00*
0,89
Pendapatan/pengeluaran per kapita keluarga
0,00*
0,01*
Pendidikan formal kepala keluarga
0,00*
0,92
Layanan pengobatan penderita DBD
-
-
Frekuensi penyuluhan/bimbingan teknis kelompok untuk pengendalian DBD dari PUSKESMAS/RS
-
-
0,00*
0,00*
Hubungan antara Kejadian DBD dengan :
Sikap kepala keluarga terhadap pengendalian DBD
Keteraturan pembersihan tempat penampungan air Keterangan : * = berhubungan sginifikan pada Alpha= 0,05 - = tidak diuji dengan Chi square
n = Jumlah responden
95 Berdasarkan hasil analisis deskriptif dan bivariat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa gambaran umum karakteristik responden dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian DBD di gabungan tiga kecamatan pertama (Indramayu, Sindang, dan Jatibarang) dan di gabungan tiga kecamatan kedua (Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana) berbeda atau tidak seluruhnya sama. Perbedaan faktor-faktor tersebut diduga turut mempengaruhi terjadinya perbedaan tingkat IR DBD antara kedua gabungan tiga kecamatan selama ini. Dengan demikian intervensi program dalam rangka pengendalian DBD di masing-masing gabungan tiga kecamatan juga berbeda atau tidak seluruhnya sama. Hasil penelitian ini pada dasarnya mengandung persamaan dan perbedaan dengan hasil penelitian para peneliti di lokasi lain. Hasil penelitian Fikri (2005) di kota Bandar Lampung menyimpulkan bahwa faktor sanitasi lingkungan yang berhubungan dengan kejadian penyakit DBD ialah peubah jenis sarana air bersih (p= 0,003),
tempat penampungan air (p = 0,000) dan sampah tergenang air
(p=0,011); faktor partisipasi masyarakat yang berhubungan dengan kejadian penyakit DBD; yaitu peubah kebiasaan 3M (p = 0,005) dan kebiasaan membersihkan rumah serta lingkungan (p = 0,016). Hasil penelitian Widyana (1999) menyimpulkan bahwa masyarakat yang berpendidikan rendah mempunyai peluang resiko terkena DBD 1,90 kali dibandingkan dengan yang berpendidikan tinggi. Hasil penelitian Bohra (2001) menunjukkan bahwa peran perilaku sangat penting dalam mengendalikan resiko terjadinya kejadian DBD. Fathi et al. (2005) menyimpulkan bahwa hanya variabel keberadaan kontainer air di dalam maupun di luar rumah yang berperan terhadap KLB DBD (Chi-square, p < 0,05) dengan relative risk (RR) sama dengan 2,96. Hubungan Curah Hujan, Suhu Udara, dan Kelembaban Udara dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Hubungan antara curah hujan dengan kejadian demam berdarah dengue (DBD) Hasil uji korelasi dan regresi menunjukkan bahwa pada Alpha 5% terdapat hubungan signifikan antara angka curah hujan dengan kejadian DBD (p-Value= 0,011) dengan derajat/kekuatan hubungan yang sedang (r=0,699) dan pola hubungan positif; artinya ada kecenderungan semakin besar angka curah hujan
96 maka semakin besar IR DBD. Dari analisis tersebut dirumuskan persamaan regresi (Y = a + bX) dengan nilai a sebesar 5,545, nilai b sebesar 0,607. Huruf Y sebagai kejadian penyakit DBD, dan huruf X sebagai angka curah hujan. Dengan persamaan regresi tersebut yakni kejadian DBD = 5,545 + 0,607 (angka curah hujan) maka peningkatan angka kejadian penyakit DBD dapat diperkirakan jika diketahui angka curah hujan. Angka kejadian penyakit DBD akan bertambah sebesar 0,607 orang setiap pertambahan satu mm angka curah hujan. Grafik persamaan regresi linier antara angka curah hujan dengan kejadian DBD di Kabupaten Indramayu tampak pada Gambar 12.
Gambar 12. Grafik persamaan regresi linier angka kejadian DBD dengan angka curah hujan di Kabupaten Indramayu tahun 2007 Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Sintorini (2006) dan Sumantri (2008) yang menyimpulkan bahwa curah hujan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam pengendalian penyakit DBD. Pada musim hujan semakin banyak tempat penampungan air alamiah yang terisi air hujan yang menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti.
Banyaknya
hari
hujan akan mempengaruhi kelembaban udara di daerah pantai dan mempengaruhi suhu di pegunungan (Depkes R.I. 2005). Di Kabupaten Indramayu angka curah hujan dan kejadian penyakit DBD yang relatif tinggi setiap tahun ialah pada bulan Oktober, Desember, Januari, Februari, dan
Maret. Gambaran angka
curah hujan dan hubungannya dengan kejadian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu tampak pada Gambar 13.
97
Gambar 13. Grafik hubungan antara kejadian DBD dengan angka curah hujan di Kabupaten Indramayu tahun 2007 Hubungan antara suhu udara dengan kejadian demam berdarah dengue (DBD) Hasil uji korelasi dan regresi menunjukkan bahwa hubungan antara suhu udara dengan kejadian penyakit DBD adalah lemah (r = 0,405) dengan p-Value = 0,192. Dari analisis tersebut dirumuskan persamaan regresi (Y = a + bX) dengan nilai a sebesar 505,237, nilai b sebesar -12,402. Huruf Y sebagai kejadian penyakit DBD, dan huruf X sebagai suhu udara. Dengan persamaan regresi tersebut, yakni y = 505,237 + (-12,402*suhu udara), maka peningkatan angka kejadian penyakit DBD dapat diperkirakan jika diketahui suhu udara. Hal ini mendukung hasil penelitian Sumantri (2008), bahwa di Jakarta setiap kenaikan suhu sebesar 1,54% akan memberikan perubahan peluang peningkatan 113 kejadian DBD. Grafik persamaan regresi linier antara suhu udara dengan kejadian DBD di Kabupaten Indramayu tampak pada Gambar 14.
Gambar 14. Grafik persamaan regresi linier antara kejadian DBD dengan suhu udara di Kabupaten Indramayu tahun 2007
98 Suhu udara merupakan salah satu faktor determinan atas perkembangan populasi nyamuk Aedes aegypti namun dalam kenyataan gambaran hubungan pengaruh suhu udara terhadap naik turunnya angka kejadian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu per bulan tidak tampak secara jelas. Tingkat suhu udara yang relatif datar setiap bulan tidak selaras dengan tingkat perkembangan kejadian penyakit DBD seperti tampak pada Gambar 15.
Gambar 15.
Grafik hubungan kejadian DBD dengan suhu udara di Kabupaten Indramayu tahun 2007
Hubungan antara kelembaban udara dan kejadian demam berdarah dengue (DBD) Gambaran hubungan kelembaban udara dan kejadian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu adalah seperti tampak dalam Gambar 16.
Gambar 16. Grafik hubungan kejadian DBD dengan kelembaban udara di Kabupaten Indramayu tahun 2007 Dari uji statistik disimpulkan bahwa hubungan antara kelembaban udara dengan kejadian penyakit DBD adalah lemah (r = 0,491 dan p-Value = 0,105) dengan persamaan regresi linier seperti tampak pada Gambar 17.
99
Gambar 17. Grafik persamaan regresi linier antara kelembaban udara dengan kejadian DBD di Kabupaten Indramayu tahun 2007 Dari analisis tersebut dirumuskan persamaan regresi (Y = a + bX) dengan nilai a sebesar -281,560 nilai b sebesar 4,680. Huruf
Y
sebagai
kejadian
penyakit DBD, dan huruf X sebagai suhu udara. Persamaan regresi tersebut yakni y = 505,237 + (-12,402*suhu udara). Lemahnya hubungan secara statistik antara kelembaban udara dengan kejadian penyakit DBD ditunjukkan pula oleh Sumantri (2008) dalam penelitiannya di wilayah Jakarta tahun 2008. Analisis Data Hasil Wawancara dengan Responden Dinas/ Instansi Umur dan pendidikan dikan Responden Jumlah responden Dinas/Instansi adalah 35 orang, terdiri dari 30 (85,7%) laki-laki dan 5 orang (14,3%) perempuan. Jabatan responden: 5 orang (pejabat Dinas/Instasi Kabupaten), 18 orang (pejabat Kecamatan,
Dinas/Instansi
Kecamatan, Kepala Puksemas), 12 orang (Kepala Desa/Kelurahan). Proporsi responden menurut pendidikan formal:
11 orang (31,4%) tamat SLTA dan
24 orang (68,6%) tamat Akademi /DIII ke atas. Pendapat dan Kebutuhan Responden dalam Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Indramayu Proporsi responden menurut jawaban atas pertanyaan faktor yang berhubungan dengan masih timbulnya penyakit DBD di Kabupaten Indramayu: 24 orang (68,6%) berpendapat berhubungan dengan perilaku masyarakat, 5 orang (14,3%) dengan pengetahuan masyarakat, 4 orang (11,4%) dengan sikap
100 masyarakat, dan 2 orang (5,8%) dengan pendapatan masyarakat serta kerjasama lintas program/sektoral. Proporsi responden menurut jawaban atas pertanyaan metode yang paling efektif meningkatkan pengetahuan dan sikap masyarakat dalam
pencegahan
DBD: 26 orang (74,3%) berpendapat dengan penyuluhan kesehatan, 5 orang (14,3%) dengan nasihat tokoh masyarakat, dan 4 orang (11,4%) dengan bimbingan teknis petugas kesehatan. Proporsi responden menurut jawaban atas pertanyaan cara paling efektif meningkatkan PHBS masyarakat dalam pencegahan penyakit DBD: 31 orang (88,6%) berpendapat dengan penyuluhan kesehatan, empat orang (11,4%) dengan penegakan hukum dan sistem ganjaran. Proporsi responden menurut jawaban atas pertanyaan faktor yang paling berkaitan dengan tingkat mutu layanan pengobatan penderita: 19 orang (54,3%) berpendapat faktor sumberdaya manusia, 9 orang (25,7%) faktor dana, dan 5 orang (14,3%) faktor sarana. Proporsi responden menurut jawaban atas pertanyaan cara meningkatkan frekuensi dan mutu layanan penyuluhan kesehatan lingkungan: 20 orang (57,1%) berpendapat dengan kerjasama lintas program/sektoral, 12 orang (34,3) dengan membentuk organisasi kesehatan tingkat desa secara swadaya dari hasil komitmen masyarakat, dan 3 orang (8,6%) dengan sistem penilaian. Proporsi responden menurut jawaban atas pertanyaan cara pengembangan dana operasional penanggulangan penyakit DBD: 15 orang (42,9%) berpendapat dengan mengajukan usul kepada Pemerintah Kabupaten Indramayu, 9 orang (25,7%) dengan pengajuan usulan anggaran ke Pemerintah Pusat dan Provinsi Jawa Barat, dan 11 orang (31,4%) dengan peningkatan sistem dana sehat di masyarakat dan cara lainnya. Proporsi responden menurut jawaban atas pertanyaan cara paling efektif untuk pengembangan kerjasama lintas program dan sektoral dalam rangka penanggulangan penyakit DBD: 21 orang (60%) berpendapat dengan pembagian tugas yang jelas disertai pendanaannya, 7 orang (20%) dengan pengembangan sistem kerjasama termasuk SOP, dan 7 orang (20%) dengan pertemuan berkala.
101 Proporsi responden menurut jawaban atas pertanyaan cara paling efektif menegakkan hukum kesehatan dan lingkungan hidup: 26 orang (74,3%) berpendapat dengan peningkatan penyebarluasan informasi tentang peraturan perundangan kesehatan dan lingkungan hidup, 4 orang (11,4%) berpendapat dengan membentuk tim khusus penegakan hukum kesehatan dan lingkungan hidup, dan 5 orang (14,3%) dengan suri tauladan dari petugas penyelenggara. Proporsi responden menurut jawaban atas pertanyaan cara paling efektif agar masyarakat dapat memanfaatkan PUSKESMAS atau sarana kesehatan secara optimal untuk penanggulangan penyakit DBD: 30 orang (85,7%) berpendapat dengan peningkatan mutu layanan kesehatan, 4 orang (11,4%) dengan membangun PUSKESMAS di lokasi yang mudah dijangkau masyarakat. Proporsi responden menurut jawaban atas pertanyaan cara meningkatkan dukungan tokoh masyarakat dalam rangka pencegahan penyakit DBD: 32 orang (91,4%) berpendapat dengan mengaktifkan dalam organisasi kesehatan desa, dan 3 orang (8,6%) dengan pendekatan perorangan. Adapun jawaban responden atas pertanyaan tentang strategi dan taktis operasional apa saja yang telah dikembangkan oleh Dinas/Instansinya dalam rangka implementasi kebijakan pencegahan penyakit DBD di wilayah kerjanya pada dasarnya cukup konsisten sesuai dengan kebijakan Pemerintah Pusat dan Provinsi Jawa Barat, yaitu: (1) perencanaan, monitoring dan evaluasi program, (2) penyuluhan PHBS atau sosialisasi gerakan waspada DBD, (3) meningkatkan pemantauan jentik berkala (PJB), (4) fogging fokus, (5) PSN, (6) penanganan penderita secara cepat, (7) pengembangan desa siaga, (8) menggiatkan anak didik dalam pemantauan jentik (9) peningkatan kerjasama lintas program dan lintas sektoral atau UKS, (10) abatesasi, (11) pengembangan atau pemberdayaan kader juru pemantau jentik (Jumantik), (12) gerakan rutin kebersihan lingkungan. Dari seluruh jawaban responden disimpulkan bahwa faktor-faktor penting dalam pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu: (1) perilaku hidup sehat masyarakat, (2) penyuluhan kesehatan, (3) mutu kerjasama lintas program/sektoral, (4) frekuensi dan mutu penyebarluasan informasi tentang peraturan perundang-undangan kesehatan dan lingkungan hidup, (5) mutu layanan sarana kesehatan, dan (6) partisipasi aktif tokoh masyarakat.
102 Kebutuhan responden untuk pengendalian DBD: (1) IR dan CFR DBD menurun, (2) perekonomian masyarakat meningkat, (3) pengetahuan, sikap dan PHBS meningkat, (4) anggaran program pencegahan DBD meningkat, (5) fasilitas umum dan sosial bersih dan sehat, (6) limbah padat dan cair dikelola dengan sehat, (7) TPA bersih, dan (8) populasi nyamuk Aedes aegypti terkendali. Analisis Elemen Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Indramayu dengan Pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP) Analisis elemen pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu dengan
pendekatan
AHP didasarkan pada pendapat para pakar dan struktur
hierarki antar elemen (Gambar 7). Analisis dilakukan untuk mengetahui urutan prioritas elemen aktor berdasarkan fokus, faktor berdasarkan aktor, tujuan berdasarkan aktor, kriteria berdasarkan aktor, strategi berdasarkan aktor, tujuan berdasarkan faktor, kriteria berdasarkan faktor, strategi berdasarkan faktor, kriteria berdasarkan tujuan, strategi berdasarkan tujuan, dan strategi berdasarkan kriteria. Tujuan akhir ialah untuk mengetahui
urutan prioritas dari elemen
strategi. Urutan Prioritas Aktor Berdasarkan Fokus Dari pengolahan terhadap pendapat pakar dalam kuesioner diperoleh hasil bahwa urutan peringkat relatif elemen dari aktor berdasarkan fokus pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu mulai dari yang terpenting ialah: Pemerintah Kabupaten Indramayu, Pemerintah Kecamatan, Pemerintah Desa/ Kelurahan, Lembaga Kemasyarakatan (perincian tertera dalam Tabe1 13). Tabel 13. Matriks perbandingan antar elemen Aktor berdasarkan Fokus pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu
Aktor
Fokus pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu
Urutan prioritas
Bobot
1,000
A
0,672
I
B
0,189
II
C
0,081
III
D
0,058 0,082
IV
Consistency ratio
103 Keterangan Tabel 13: A : Pemerintah Kabupaten Indramayu B : Pemerintah Kecamatan Sindang, Indramayu, Jatibarang, Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana C : Pemerintah Desa/Kelurahan di Kecamatan Sindang, Indramayu, Jatibarang, Terisi, Sukagumiwang, Tukdana D : Lembaga kemasyarakatan
Terpilihnya
“Pemerintah
Kabupaten
Indramayu”
sebagai
terpenting pada level “Aktor” pada hakekatnya sejalan dengan
elemen kebijakan
Pemerintah bahwa desentralisasi bidang kesehatan yang luas dan utuh diletakkan di kabupaten. Daerah diberi kewenangan seluas-luasnya untuk menyelenggarakan upaya dan pelayanan kesehatan dengan standar pelayanan minimal. Pemerintah Kabupaten bertanggungjawab mengelola sumberdaya kesehatan yang tersedia di wilayahnya secara optimal guna mewujudkan kinerja sistem kesehatan wilayah termasuk kebijakan pengendalian penyakit DBD. Urutan Prioritas Faktor Berdasarkan Aktor Urutan
peringkat
relatif
elemen
dari
faktor
berdasarkan aktor
pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu mulai dari yang terpenting ialah: lingkungan, kependudukan, vektor penyakit, dan layanan kesehatan (perincian tertera dalam Tabe1 14). Tabel 14. Matriks perbandingan antar elemen Faktor berdasarkan Aktor pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu Aktor
Faktor
Elemen
A
B
C
D
Global priority
Urutan
Bobot
0,672
0,189
0,081
0,058
E
0,441
0,477
0,445
0,432
0,448
I
F
0,395
0,332
0,376
0,380
0,380
II
G
0,070
0,109
0,103
0,106
0,082
IV
H
0,094
0,082
0,076
0,082
0,090
III
0,026
0,059
0,034
0,044
Consistency ratio Keterangan Tabel 14:
A : Pemerintah Kabupaten Indramayu B : Pemerintah Kecamatan : Sindang, Indramayu, Jatibarang, Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana C : Pemerintah Desa/Kelurahan di Kecamatan Sindang, Indramayu, Jatibarang, Terisi, Sukagumiwang, Tukdana
104 D : E: F: G: H:
Lembaga kemasyarakatan Lingkungan Kependudukan Layanan kesehatan Vektor penyakit
Terpilihnya “lingkungan” sebagai elemen terpenting pada level “Faktor” pada hakekatnya sejalan dengan pendapat para ahli bahwa faktor lingkungan berpengaruh paling besar terhadap kesehatan individu, keluarga dan masyarakat. Penyakit DBD adalah penyakit menular berbasis lingkungan; artinya timbul dan mewabahnya penyakit ini pada hakekatnya dapat dicegah dengan metode perbaikan kesehatan lingkungan oleh Pemerintah bersama masyarakat. Secara empiris kondisi kesehatan lingkungan Kabupaten Indramayu mencakup sanitasi ruang dan bangunan, pengelolaan sampah rumah tangga, pengelolaan air limbah rumah tangga, pengelolaan air bersih/minum belum sepenuhnya mencapai taraf yang diinginkan. Urutan Prioritas Tujuan Berdasarkan Aktor Urutan peringkat relatif elemen dari
Tujuan
berdasarkan
Aktor
pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu mulai dari yang terpenting ialah: Kabupaten Indramayu bebas penyakit DBD, meningkatnya produktivitas kerja masyarakat, dan meningkatnya kenyamanan/ ketenteraman masyarakat (perincian tertera dalam Tabe1 15). Tabel 15. Matriks perbandingan antar elemen Tujuan berdasarkan Aktor pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu
Tujuan
Aktor Elemen
A
Bobot
Global priority
Urutan
0,625
0,568
I
0,124
0,137
0,137
III
0,320
0,359
0,238
0,295
II
0,016
0,093
0,016
B
C
D
0,672
0,189
0,081
0,058
I
0,571
0,558
0,517
J
0,143
0,122
K
0,286
Consistency ratio
0,000
Keterangan Tabel 15: A : Pemerintah Kabupaten Indramayu B : Pemerintah Kecamatan Sindang, Indramayu, Jatibarang, Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana C : Pemerintah Desa/Kelurahan di Kecamatan Sindang, Indramayu, Jatibarang, Terisi, Sukagumiwang, Tukdana
105 D: I : J : K:
Lembaga Kemasyarakatan Kabupaten Indramayu bebas penyakit DBD Meningkatnya kenyamanan / ketenteraman masyarakat. Meningkatnya produktivitas kerja masyarakat
Terpilihnya “Kabupaten Indramayu bebas penyakit DBD” sebagai elemen terpenting pada level “Tujuan” pada hakekatnya sesuai dengan visi dan misi Pemerintah dan Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu yakni “Religius, Maju, Mandiri dan Sejahtera (REMAJA)” serta “Terwujudnya masyarakat Indramayu yang mandiri untuk hidup sehat tahun 2010”; dan mengacu pada target IR DBD nasional pada tahun 2010 adalah 2 (dua). Dengan terwujudnya tujuan utama ini akan menunjang perwujudan tujuan lainnya yaitu meningkatnya kenyamanan/ ketenteraman dan produktivitas masyarakat. Urutan Prioritas Kriteria Berdasarkan Aktor Urutan peringkat relatif elemen Kriteria berdasarkan Aktor pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu mulai dari yang terpenting ialah: jumlah dan mutu sumber daya manusia, edukatif, dana dan sarana, dan teknologi (perincian tertera dalam Tabe1 16). Tabel 16. Matriks perbandingan antar elemen Kriteria berdasarkan Aktor pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu
Kriteria
Aktor
Global priority
Urutan
0,150
0,152
IV
0,281
0,197
0,204
III
0,360
0,319
0,416
0,397
I
0,237
0,285
0,243
0,237
0,247
II
0,063
0,077
0,044
0,063
Elemen
A
B
C
D
Bobot
0,672
0,189
0,081
0,058
L
0,150
0,157
0,157
M
0,197
0,198
N
0,416
O Consistency ratio Keterangan Tabel 16:
A : Pemerintah Kabupaten Indramayu B : Pemerintah Kecamatan : Sindang, Indramayu, Jatibarang, Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana C : Pemerintah Desa/Kelurahan di Kecamatan Sindang, Indramayu, Jatibarang, Terisi, Sukagumiwang, Tukdana D : Lembaga kemasyarakatan L : Teknologi M: Dana dan sarana N : Jumlah dan mutu sumberdaya manusia O : Edukatif
106 Terpilihnya “jumlah dan mutu sumberdaya manusia” sebagai elemen terpenting pada level “Kriteria” pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu pada hakekatnya didasarkan pada visi dan misi Pemerintah dan Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu. Bahwa sumber daya manusia adalah makhluq Allah yang paling sempurna menjadi subyek dan obyek pembangunan di segala bidang kehidupan. Keberhasilan pengendalian penyakit DBD sangat tergantung pada tersedianya sumberdaya manusia di setiap administrasi pemerintahan sesuai dengan jumlah dan mutu yang dibutuhkan. Urutan Prioritas Strategi Berdasarkan Aktor Urutan peringkat relatif elemen dari Strategi berdasarkan Aktor pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu mulai dari yang terpenting ialah: peningkatan kesiapan hidup sehat masyarakat, peningkatan kesehatan lingkungan permukiman, peningkatan layanan kesehatan kepada masyarakat, dan pengendalian vektor penyakit DBD (perincian tertera dalam Tabe1 17). Tabel 17. Matriks perbandingan antar elemen Strategi berdasarkan Aktor pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu Aktor
Strategi
Elemen
Global priority
Urutan
0,308
0,332
II
0,488
0,415
0,431
I
0,165
0,158
0,163
0,138
III
0,099
0,094
0,103
0,114
0,099
IV
0,092
0,080
0,053
0,077
A
B
C
D
Bobot
0,672
0,189
0,081
0,058
P
0,351
0,308
0,251
Q
0,424
0,433
R
0,126
S Consistency ratio Keterangan Tabel 17:
A : Pemerintah Kabupaten Indramayu B : Pemerintah Kecamatan : Sindang, Indramayu, Jatibarang, Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana C : Pemerintah Desa/Kelurahan di Kecamatan Sindang, Indramayu, Jatibarang, Terisi, Sukagumiwang, Tukdana D : Lembaga Kemasyarakatan P : Peningkatan kesehatan lingkungan permukiman Q : Peningkatan kesiapan hidup sehat masyarakat R : Peningkatan layanan kesehatan kepada masyarakat S : Pengendalian vektor penyakit DBD
107 Terpilihnya “Peningkatan kesehatan lingkungan permukinan” sebagai elemen terpenting pada elemen “Strategi”
pada hakekatnya sejalan dengan
pendapat para ahli bahwa kesehatan lingkungan permukinan berpengaruh besar terhadap kesehatan individu atau masyarakat. Kesehatan lingkungan permukiman yang dimaksud ialah kesehatan sanitasi ruang dan bangunan rumah tangga/ fasilitas umum/ industri serta lingkungannya mencakup sistem pengelolaan air limbah dan sampah, pengelolaan air bersih/minum, pengelolaan kotoran manusia dan hewan, pengelolaan tanaman dan sebagainya. Lingkungan permukiman yang tidak sehat mendukung pesatnya perkembangan penyebab penyakit menular yang pada akhirnya akan merugikan individu, keluarga, dan masyarakat. Urutan Prioritas Tujuan Berdasarkan Faktor Urutan peringkat relatif elemen dari Tujuan berdasarkan Faktor pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu mulai dari yang terpenting ialah: Kabupaten Indramayu bebas penyakit DBD, meningkatnya produktivitas kerja masyarakat, dan meningkatnya kenyamanan/ ketenteraman masyarakat (perincian tertera dalam Tabe1 18). Tabel 18. Matriks perbandingan antar elemen Tujuan berdasarkan Faktor pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu Faktor
Tujuan
Elemen
Global priority
Urutan
0,634
0,693
I
0,105
0,192
0,145
III
0,193
0,258
0,174
0,162
II
0,008
0,033
0,008
E
F
G
Bobot
0,435
0,392
0,082
0,091
I
0,709
0,701
0,637
J
0,179
0,106
K
0,112
Consistency ratio
0,046
Keterangan Tabel 18 : E: F: G: H: I : J : K:
Lingkungan Kependudukan Layanan kesehatan Vektor penyakit DBD Kabupaten Indramayu bebas penyakit DBD Meningkatnya kenyamanan / ketenteraman masyarakat Meningkatnya produktivitas kerja masyarakat
Urutan Prioritas Kriteria Berdasarkan Faktor
H
108 Urutan peringkat relatif elemen dari Tujuan berdasarkan Faktor pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu secara berurut mulai dari yang terpenting ialah: edukatif, jumlah dan mutu sumber daya manusia, dana dan sarana, dan teknologi (perincian tertera dalam Tabe1 19). Tabel 19. Matriks perbandingan antar elemen Kriteria berdasarkan Faktor pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu Faktor
Kriteria
E
F
G
H
Global priority
Urutan
Bobot
0,435
0,392
0,082
0,091
L
0,102
0,091
0,102
0,102
0,098
IV
M
0,273
0,236
0,273
0,273
0,259
III
N
0,267
0,259
0,267
0,267
0,263
II
O
0,358
0,414
0,358
0,358
0,380
I
0,049
0,080
0,049
0,049
Consistency ratio Keterangan Tabel 19: E: F: G: H: L: M: N: O:
Lingkungan Kependudukan Layanan kesehatan Vektor penyakit Teknologi Dana dan sarana Jumlah dan mutu sumber daya manusia Edukatif
Terpilihnya “edukatif” sebagai elemen terpenting pada elemen “Kriteria” pada hakekatnya sejalan dengan pendapat para ahli bahwa dalam kontekstual faktor pengendalian penyakit DBD membutuhkan dukungan partisipasi aktif dari individu, keluarga, dan masyarakat yang dikembangkan melalui proses edukasi. Edukasi atau penyuluhan kesehatan perlu ditingkatkan secara sitematis dan kontinyu untuk hingga masyarakat benar-benar memiliki pengetahuan, sikap, dan perilaku yang memadai dalam mengidentifikasi menyelesaikan masalah kesehatan dengan memanfaatkan sumber dana dan sumberdaya secara efektif di daerahnya. Dampak positif perubahan perilaku seseorang melalui cara edukatif lebih baik dan lestari dibandingkan dengan cara paksaan, hukuman atau penghargaan semata. Urutan Prioritas Strategi Berdasarkan Faktor
109 Urutan peringkat relatif elemen dari Strategi berdasarkan Faktor pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu mulai dari yang terpenting ialah: peningkatan kesehatan lingkungan permukiman, peningkatan kesiapan hidup sehat masyarakat, peningkatan layanan kesehatan masyarakat, dan pengendalian vektor penyakit DBD (perincian tertera dalam Tabe1 20). Tabel 20. Matriks perbandingan antar elemen Strategi berdasarkan Faktor pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu
Strategi
Faktor Bobot P Q R S Consistency ratio
E 0,435 0,511 0,226 0,159 0,104
F 0,392 0,461 0,236 0,168 0,135
G 0,082 0,450 0,240 0,205 0,105
H 0,091 0,495 0,218 0,134 0,153
0,030
0,080
0,080
0,073
Global priority
Urutan
0,485 0,230 0,164 0,121
I II III IV
Keterangan Tabel 20 : E: F: G: H: P: Q: R: S:
Lingkungan Kependudukan Layanan kesehatan Vektor penyakit Peningkatan kesehatan lingkungan permukiman Peningkatan kesiapan hidup sehat masyarakat Peningkatan layanan kesehatan kepada masyarakat Pengendalian vektor penyakit DBD
Urutan Prioritas Kriteria Berdasarkan Tujuan Urutan peringkat relatif elemen penting dari Kriteria berdasarkan Tujuan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu mulai dari yang terpenting ialah: jumlah dan mutu sumber daya manusia, dana dan sarana, edukatif, dan teknologi (perincian tertera dalam Tabe1 21). Tabel 21. Matriks perbandingan antar elemen Kriteria berdasarkan Tujuan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu
Kriteria
Tujuan Bobot L M N O Consistency ratio
I 0,709 0,058 0,304 0,348 0,290
J 0,119 0,122 0,321 0,322 0,235
K 0,172 0,122 0,321 0,322 0,235
0,018
0,092
0,092
Global priority 0,077 0,309 0,340 0,274
Urutan IV II I III
110 Keterangan Tabel 21 : I : J : K: L: M: N: O:
Kabupaten Indramayu bebas penyakit DBD Meningkatnya kenyamanan/ketenteraman masyarakat Meningkatnya produktivitas kerja masyarakat Teknologi Dana dan sarana Jumlah dan mutu sumber daya manusia Edukatif
Urutan Prioritas Strategi Berdasarkan Tujuan Urutan peringkat relatif elemen dari Strategi berdasarkan Tujuan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ialah: peningkatan kesehatan lingkungan permukiman, peningkatan kesiapan hidup sehat masyarakat, peningkatan layanan kesehatan kepada masyarakat, dan pengendalian vektor penyakit DBD (perincian tertera dalam Tabe1 22). Tabel 22. Matriks perbandingan antar elemen Strategi berdasarkan Tujuan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu
Strategi
Tujuan Bobot P Q R S Consistency ratio
I 0,709 0,459 0,240 0,185 0,116 0,053
J 0,119 0,490 0,231 0,163 0,116 0,045
K 0,172 0,490 0,231 0,163 0,116 0,045
Global priority 0,467 0,238 0,179 0,116
Urutan I II III IV
Keterangan Tabel 22: I : J : K: P: Q: R: S:
Kabupaten Indramayu bebas penyakit DBD Meningkatnya kenyamanan/ketenteraman masyarakat Meningkatnya produktivitas kerja masyarakat Peningkatan kesehatan lingkungan permukiman Peningkatan kesiapan hidup sehat masyarakat Peningkatan layanan kesehatan kepada masyarakat Pengendalian vektor penyakit DBD
Urutan Prioritas Strategi Berdasarkan Kriteria Urutan peringkat relatif elemen penting dari Strategi berdasarkan Kriteria pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu mulai dari yang terpenting ialah: peningkatan kesehatan lingkungan permukiman, peningkatan kesiapan hidup sehat masyarakat, peningkatan layanan kesehatan kepada masyarakat, dan pengendalian vektor penyakit DBD (perincian tertera dalam Tabe1 23). Tabel 23. Matriks perbandingan antar elemen Strategi berdasarkan Kriteria pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu
111 Kriteria L 0,077 0,609 0,208 0,107 0,076 0,080
Strategi
Bobot P Q R S Consistency ratio
M 0,309 0,651 0,174 0,099 0,076 0,080
N 0,340 0,685 0,157 0,089 0,069 0,080
O 0,274 0,238 0,406 0,208 0,148 0,080
Global priority
Urutan
0,546 0,234 0,127 0,093
I II III IV
Keterangan Tabel 23 : L M N O P Q R S
: : : : : : : :
Teknologi Dana dan sarana Jumlah dan mutu sumber daya manusia Edukatif Peningkatan kesehatan lingkungan permukiman Peningkatan kesiapan hidup sehat masyarakat Peningkatan layanan kesehatan kepada masyarakat Pengendalian vektor penyakit DBD
Hasil skor keputusan seluruh elemen dalam level Aktor, Faktor, Tujuan, Kriteria, dan Strategi adalah seperti tampak pada Gambar 18. Level 1: Fokus
Level 2: Aktor
Level 3: Faktor
Level 4: Tujuan
Kebijakan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu
Pemerintah Kabupaten Indramayu (0,672)
Pemerintah Kecamatan: Sindang, Indramayu, Jatibarang, Terisi, Sukagumiwang dan Tukdana
Pemerintah Desa/ Kelurahan di Kecamatan Sindang, Indramayu, Jatibarang, Terisi, Sukagumiwang, Tukdana
(0,189)
(0,081)
Lingkungan
Kependudukan
(0,448)
(0,380)
Kabupaten Indramayu bebas penyakit DBD
(0,693)
Layanan kesehatan (0,082)
Meningkatnya kenyamanan / ketenteraman masyarakat
Level 6: Strategi
Teknologi
(0,077)
Peningkatan kesehatan lingkungan permukiman
(0,546)
Dana dan sarana (0,309)
Jumlah/mutu sumberdaya manusia (0,340)
Peningkatan kesiapan hidup sehat masyarakat
(0,234)
Peningkatan layanan kesehatan kepada masyarakat
(0,127)
(0,058)
Vektor DBD
(0,090)
Meningkatnya produktivitas kerja masyarakat
(0,145)
Level 5: Kriteria
Lembaga Kemasya rakatan
(0,162)
Edukatif
(0,274)
Pengendalian vektor penyakit DBD
(0,093)
112
Gambar 18. Struktur hierarki antar elemen pengendalian penyakit DBD Kabupaten Indramayu
di
Hasil akhir AHP menunjukkan bahwa nilai dan skor keputusan prioritas terbesar dalam strategi pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ialah peningkatan kesehatan lingkungan permukiman (Keslingkim), diikuti peningkatan kesiapan hidup sehat masyarakat (SiapHS), peningkatan layanan kesehatan kepada masyarakat (Yankes), dan pengendalian vektor penyakit DBD (Dalvektor) (gambaran grafis tampak pada Gambar 19).
Gambar 19. Grafik nilai dan skor kumulatif keputusan prioritas Strategi kebijakan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu Analisis Pendapat Pakar tentang Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Indramayu dengan Pendekatan Interpretative Structural Modelling (ISM) Pendapat Pakar tentang “Sub Elemen Tujuan” Hasil rekapitulasi nilai driver power dan nilai dependence “sub elemen tujuan” pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu menurut pendapat pakar adalah seperti tertuang dalam Tabel 24. Tabel 24. Rekapitulasi nilai driver power dan dependence “sub elemen tujuan” pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu Sub-elemen tujuan
Nilai driver power
Nilai dependence
ST-1 ST-2 ST-3
7 8 6
3 4 3
113 ST-4 ST-5 ST-6 ST-7 ST-8 ST-9 ST-10 ST-11 Keterangan Tabel 24: ST ST-1 ST-2 ST-3 ST-4 ST-5 ST-6 ST-7 ST-8 ST-9 ST-10 ST-11
4 7 2 7 3 2 4 2
7 3 8 4 4 7 4 5
: “Sub elemen tujuan” : Pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam rangka pencegahan penyakit DBD berkembang positif : Keadaan rumah tangga masyarakat dan lingkungannya bersih dan sehat : Tercukupinya kebutuhan air bersih dan air minum masyarakat sesuai dengan jumlah dan mutu yang diharapkan : Angka bebas jentik di semua desa 100% : Kerjasama lintas program dan sektoral dalam pencegahan penyakit DBD di semua tingkat administrasi pemerintahan berkembang positif : Terwujudnya sistem kewaspadaan dini dalam pencegahan penyakit DBD : Terwujudnya mutu layanan PUSKESMAS dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD sesuai dengan kebutuhan masyarakat : Berkembangnya lembaga sosial kesehatan masyarakat desa : Tingkat kesakitan umum masyarakat terkendali : Terwujudnya sistem dana sehat swadaya masyarakat di desa : Status gizi masyarakat berkembang baik
Dari hasil pemetaan (Gambar 20) diketahui ada lima sub elemen yang masuk dalam kuadran independent; tiga sub elemen masuk dalam kuadran dependent, dan tiga sub elemen masuk dalam kuadran autonomous.
Gambar 20. Matriks driver power-dependence “sub elemen tujuan” pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu
114 Untuk mengetahui faktor kunci dan urutan hierarki seluruh “sub elemen tujuan” maka disusun diagram hierarki dengan cara menempatkan sub elemen yang bernilai power-driver tertinggi dengan nilai dependence yang rendah di urutan paling bawah pertama atau yang paling mempengaruhi. Penentuan urutan sub elemen berikutnya dilakukan dengan cara perhitungan/penilaian yang sama hingga seluruhnya tersusun dalam rangkaian hierarki dari yang paling besar pengaruhnya sampai yang paling kecil pengaruhnya. Dari diagram yang disusun diketahui bahwa faktor kunci utama dalam kontekstual tujuan pengendalian DBD ialah keadaan rumah tangga masyarakat dan lingkungannya bersih dan sehat (ST-2) diikuti “sub elemen tujuan” lain seperti tampak pada Gambar 21. Level 1
Status gizi masyarakat berkembang baik (ST-11)
Level 2
Terwujudnya sistem dana sehat swadaya masyarakat di desa. (ST-10)
Level 3
Berkembangnya lembaga sosial kesehatan masyarakat desa. (ST-8)
Level 4
Tingkat kesakitan umum terkendali (ST-9)
Level 5
Terwujudnya sistem kewaspadaan dini dalam rangka pencegahan penyakit DBD (ST-6)
Level 6
Angka bebas jentik di semua desa 100% (ST-4)
Level 7
Tercukupinya kebutuhan air bersih dan air minum masyarakat sesuai dengan jumlah dan mutu yang diharapkan (ST-3)
Level 8
Terwujudnya mutu layanan PUSKESMAS dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD sesuai dengan kebutuhan masyarakat (ST-7)
Level 9
Pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam rangka pencegahan penyakit DBD berkembang positif (ST-1)
Level 10
Kerjasama lintas program dan sektoral dalam pencegahan penyakit DBD di semua tingkat administrasi pemerintahan berkembang positif (ST-5)
Keadaan rumah tangga masyarakat dan lingkungannya bersih dan sehat (ST-2)
115
Gambar 21. Diagram hierarki peringkat nilai “sub elemen tujuan” pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu Pendapat Pakar tentang “Sub Elemen Kriteria” Hasil rekapitulasi nilai driver power dan nilai dependence “sub elemen kriteria” pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu menurut pendapat pakar adalah seperti tertuang dalam Tabel 25. Tabel 25. Rekapitulasi nilai driver power dan dependence “sub elemen kriteria” pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu Sub-elemen Kriteria
Nilai driver power
Nilai dependence
SK-1
16
9
SK-2
10
9
SK-3
1
8
SK-4
15
9
SK-5
11
8
SK-6
4
3
SK-7
11
9
SK-8
12
6
SK-9
11
9
SK-10
1
11
SK-11
1
3
SK-12
3
9
SK-13
11
11
SK-14
11
12
SK-15
11
9
SK-16
12
11
SK-17
11
9
SK-18
10
11
SK-19
9
11
Keterangan Tabel 25: SK SK-1 SK-2
: “Sub elemen kriteria” : Dukungan teknologi penyuluhan kesehatan lingkungan. : Dukungan teknologi penyehatan lingkungan permukiman.
116 SK-3 SK-4 SK-5 SK-6 SK-7 SK-8 SK-9 SK-10 SK-11 SK-12 SK-13 SK-14 SK-15 SK-16 SK-17 SK-18 SK-19 SK-20
: Dukungan teknologi pengembangan ikan pemakan jentik nyamuk dan tanaman anti nyamuk Aedes aegypti. : Dukungan dana atau anggaran keuangan bantuan Pemerintah dalam rangka peningkatan penyuluhan kesehatan lingkungan. : Dukungan dana atau anggaran keuangan bantuan Pemerintah dalam rangka peningkatan penyehatan lingkungan permukiman. : Dukungan dana atau anggaran keuangan bantuan Pemerintah dalam rangka peningkatan pengembangan ikan pemakan jentik nyamuk dan tanaman anti nyamuk Aedes aegypti. : Sistem pendanaan swadaya masyarakat memadai untuk peningkatan kesehatan lingkungan. : Sarana penyuluhan kesehatan lingkungan memadai. : Sarana penyediaan air bersih dan air minum yang memadai. : Sarana pengolahan limbah padat dan limbah cair domestik memadai. : Dana dan sarana surveilans dan epidemiologi serta penelitian dan pengembangan pencegahan DBD memadai. : Dana dan sarana sistem komunikasi dan informasi kesehatan memadai. : Jumlah dan kualifikasi sumber daya manusia sektor kesehatan di tingkat kabupaten dan kecamatan atau desa memadai. : Jumlah dan kualitas dukungan tenaga sektor non-kesehatan dalam rangka pencegahan penyakit DBD memadai. : Jumlah dan kualitas dukungan individu, kelompok dan masyarakat umum memadai. : Penyuluhan kesehatan yang diselenggarakan bersifat gerakan pemberdayaan masyarakat melalui kemitraan; kesetaraan, keterbukaan, saling menguntungkan. : Penyuluhan kesehatan bersifat gerakan bina suasana melalui pendekatan individu, kelompok, dan masyarakat. : Penyuluhan kesehatan bersifat gerakan advokasi untuk mendapatkan komitmen dan dukungan dari stakeholder. : Penyuluhan kesehatan berdasarkan metode dan sarana komunikasi yang sesuai dengan budaya lokal masyarakat. : Penyuluhan kesehatan berdasarkan pada data dan informasi riil.
Dari hasil pemetaan (Gambar 22) diketahui ada delapan sub elemen yang masuk dalam kuadran independent; tiga sub elemen masuk dalam kuadran linkage; tiga sub elemen masuk dalam kuadran dependent dan enam sub elemen masuk dalam kuadran autonomous.
117
Gambar 22. Matriks driver power-dependence “sub elemen kriteria” pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu Dari diagram hierarki yang disusun (Gambar 23) diketahui bahwa faktor kunci utama dalam kontekstual kriteria pengendalian penyakit DBD ialah dukungan teknologi penyuluhan kesehatan lingkungan (SK-1). Level 1
Dana dan sarana surveilans dan epidemiologi serta penelitian dan pengembangan pencegahan DBD memadai
Level 2
Dana dan sarana sistem komunikasi dan informasi kesehatan yang memadai.
Level 3
Dukungan teknologi pengembangan ikan pemakan jentik nyamuk dan tanaman anti nyamuk Aedes aegypti.
Level 4
Dukungan dana atau anggaran keuangan bantuan Pemerintah dalam rangka peningkatan pengembangan ikan pemakan jentik nyamuk dan tanaman anti nyamuk Aedes aegypti
Level 5
Dukungan teknologi penyehatan lingkungan permukiman
Level 6
Sarana pengolahan limbah padat dan limbah cair domestik yang memadai
Level 7
Penyuluhan kesehatan berdasarkan pada data dan informasi riil
Level 8
Penyuluhan kesehatan berdasarkan metode dan sarana komunikasi yang sesuai dengan budaya lokal masyarakat.
Level 9
Penyuluhan kesehatan bersifat gerakan advokasi untuk mendapatkan komitmen dan dukungan dari stakeholders.
Level 10
Jumlah dan kualitas dukungan tenaga sektor non-kesehatan dalam rangka pencegahan penyakit DBD memadai.
Level 11
Jumlah dan kualifikasi sumber daya manusia sektor kesehatan di tingkat kabupaten dan kecamatan atau desa memadai.
Level 12
Penyuluhan kesehatan bersifat gerakan pemberdayaan masyarakat melalui kemitraan: kesetaraan, keterbukaan, dan saling menguntungkan.
Level 13
Sistem pendanaan swadaya masyarakat memadai untuk peningkatan kesehatan lingkungan
Sarana penyediaan air bersih dan air minum yang memadai.
Jumlah dan kualitas dukungan individu, kelompok, dan masyarakat umum memadai.
Penyuluhan kesehatan bersifat gerakan bina suasana melalui pendekatan individu, kelompok, dan masyarakat umum
Level 14
Dukungan dana atau anggaran keuangan bantuan Pemerintah dalam rangka peningkatan penyehatan lingkungan permukiman
Level 15
Sarana penyuluhan kesehatan lingkungan memadai
Level 16
Dukungan dana atau anggaran keuangan bantuan Pemerintah dalam rangka peningkatan penyuluhan kesehatan lingkungan.
118
Pendapat Pakar tentang “Sub Elemen Strategi” Hasil rekapitulasi nilai driver power dan nilai dependence “sub elemen strategi” pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu menurut pendapat pakar adalah seperti tertuang dalam Tabel 26. Tabel 26. Rekapitulasi nilai driver power dan dependence “sub elemen strategi” pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu
Sub elemen Strategi
Nilai driver power
SS-1
11
9
SS-2
0
11
SS-3
12
9
SS-4
7
8
SS-5
14
9
SS-6
9
9
SS-7
11
8
SS-8
12
9
SS-9
1
4
SS-10
2
4
SS-11
14
5
SS-12
11
6
SS-13
14
6
SS-14
3
5
SS-15
2
5
SS-16
2
3
SS-17
0
4
SS-18
11
11
SS-19
5
9
SS-20
1
8
Keterangan Tabel 26:
Nilai dependence
119 SS SS-1 SS-2 SS-3 SS-4 SS-5
: : : : : :
SS-6 : SS-7 : SS-8 : SS-9 : SS-10 : SS-11 : SS-12 : SS-13 : SS-14 : SS-15 : SS-16 : SS-17 : SS-18 : SS-19 : SS-20 :
“Sub elemen strategi” Peningkatan mutu sanitasi ruang dan bangunan perumahan. Peningkatan mutu pengelolaan limbah padat domestik Peningkatan mutu pengelolaan limbah cair domestik. Peningkatan mutu pengelolaan air bersih/minum. Peningkatan kesiapan masyarakat dalam menerima pengetahuan hidup sehat melalui penyuluhan kesehatan. Peningkatan kesiapan masyarakat dalam mengembangkan sikap positif menuju hidup sehat. Peningkatan kesiapan masyarakat untuk melakukan perubahan perilaku menuju hidup sehat. Peningkatan kesiapan masyarakat untuk menegakkan hukum kesehatan dan lingkungan hidup. Peningkatan mutu layanan pengobatan penyakit DBD oleh petugas kesehatan di RS dan PUSKESMAS. Pengembangan standard operating procedure pengobatan penyakit DBD di RS dan PUSKESMAS. Peningkatan frekuensi penyuluhan kesehatan lingkungan kepada masyarakat oleh Pemerintah, khususnya Dinas Kesehatan, RS, dan PUSKESMAS. Pengembangan standard operating procedure (SOP) penyuluhan kesehatan lingkungan di Dinas Kesehatan, RS, dan PUSKESMAS. Peningkatan frekuensi bimbingan teknis kesehatan lingkungan oleh Dinas Kesehatan dan PUSKESMAS. Pengembangan standard operating procedure (SOP) bimbingan teknis kesehatan lingkungan kepada masyarakat di Dinas Kesehatan dan PUSKESMAS. Peningkatan sistem kewaspadaan dini. Peningkatan kegiatan surveilans dan epidemiologi. Pengembangan ikan pemakan jentik nyamuk Aedes aegypti. Gerakan kebersihan TPA rutin di masyarakat Gerakan kebersihan TPA rutin di fasilitas umum dan sosial Pengembangan tanaman anti nyamuk
Dari hasil pemetaan (Gambar 24) diketahui ada delapan sub elemen yang masuk dalam kuadran independent; satu sub elemen
masuk dalam kuadran
dependent; satu sub elemen masuk dalam kuadran linkage dan sepuluh sub elemen masuk dalam kuadran autonomous.
120
Gambar 24. Matriks driver power-dependence “sub elemen strategi” pengendalian DBD di Kabupaten Indramayu Dari diagram hierarki yang disusun (Gambar 25) diketahui bahwa faktor kunci utama dalam kontekstual kriteria pengendalian DBD ialah peningkatan frekuensi penyuluhan kesehatan lingkungan kepada masyarakat oleh Pemerintah, khususnya Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, dan PUSKESMAS (SS-11). Level 1
Pengembangan ikan pemakan jentik nyamuk Aedes aegypti.
Level 2
Pengembangan tanaman anti nyamuk
Level 3
Peningkatan kegiatan surveilans dan epidemiologi.
Level 4
Peningkatan sistem kewaspadaan dini dan pengendalian DBD oleh tim lintas sektoral
Level 4
Peningkatan mutu layanan pengobatan penyakit DBD oleh petugas kesehatan di Rumah Sakit dan PUSKESMAS
Level 5
Pengembangan standard operating procedure (SOP) pengobatan penyakit DBD di Rumah Sakit dan PUSKESMAS.
Level 6
Pengembangan SOP bimbingan teknis kesehatan lingkungan kepada masyarakat di Dinas Kesehatan dan PUSKESMAS.
Level 7
Gerakan kebersihan TPA rutin di fasilitas umum dan sosial.
Level 8
Peningkatan mutu pengelolaan air bersih/minum.
Level 9
Peningkatan kesiapan masyarakat dalam mengembangkan sikap positif menuju hidup sehat.
Level 10
Peningkatan mutu pengelolaan limbah padat domestik.
Level 11
Gerakan kebersihan TPA rutin di masyarakat
Level 12
Peningkatan mutu sanitasi ruang dan bangunan perumahan.
Level 13
Peningkatan kesiapan masyarakat untuk melakukan perubahan perilaku menuju hidup sehat.
Level 14
Pengembangan SOP penyuluhan kesehatan lingkungan di Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, dan PUSKESMAS.
Level 15
Peningkatan mutu pengelolaan limbah cair domestik.
Peningkatan kesiapan masyarakat untuk menegakkan hukum kesehatan dan lingkungan hidup
Level 16
Peningkatan kesiapan masyarakat dalam menerima pengetahuan hidup sehat melalui penyuluhan kesehatan.
Level 17
Peningkatan frekuensi bimbingan teknis kesehatan lingkungan kepada masyarakat oleh Dinas Kesehatan dan PUSKESMAS.
Level 18
Peningkatan frekuensi penyuluhan kesehatan lingkungan kepada masyarakat oleh
121
Pendekatan Sistem dalam Pencegahan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Analisis Kebutuhan Dari hasil wawancara stakeholder atau pelaku sistem diperoleh sejumlah kebutuhan stakeholder dalam rangka pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu yakni seperti tertuang dalam Tabel 27. Tabel 27. Kebutuhan stakeholder dalam pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu
Formulasi permasalahan Berdasarkan analisis kebutuhan stakeholder diformulasikan permasalahan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu sebagai berikut:
122 1. Proporsi keluarga yang telah mengelola kebersihan dan kesehatan rumah tangga dan lingkungannya masih rendah. 2. Frekuensi layanan penyuluhan dan bimbingan teknis kesehatan lingkungan masyarakat oleh PUSKESMAS dan instansi sektor terkait masih kurang. 3. Mutu layanan penyuluhan dan bimbingan teknis kesehatan lingkungan belum sepenuhnya terukur menggunakan SOP. 4. Proporsi masyrakat yang memperoleh air bersih/minum sehat masih rendah. 5. Proporsi masyarakat yang memiliki pengetahuan dan sikap positif dalam rangka pencegahan penyakit DBD masih rendah. 6. Proporsi masyarakat ber-PHBS masih berkisar pada 5%-10%. Identifikasi Sistem Diagram lingkar sebab akibat Diagram lingkar yang dibangun adalah seperti tampak pada Gambar 26. Variabel yang terlibat dalam sistem pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu yakni penduduk, rumah, TPA,
curah hujan, TPN, suhu udara,
kelembaban udara, jentik, populasi nyamuk Aedes aegypti, vektor DBD, gigitan, penduduk rentan DBD, kejadian DBD, kasus DBD, kematian akibat DBD, sampah, air limbah domestik, air bersih/minum, mutu lingkungan, PUSKESMAS, penyuluhan kesehatan lingkungan melalui POSYANDU, penyuluhan kesehatan melalui kerjasama sektoral, penyuluhan kesehatan kepada penderita DBD, penyuluhan kesehatan lingkungan, PHBS, biaya pengobatan, fraksi biaya ratarata.
123
Keterangan: Dikkesling A.a. Puskesmas TPA
= = = =
Penyuluhan kesehatan lingkungan TPN Aedes aegypti PHBS Pusat kesehatan masyarakat Sanruba Tempat penampungan air
= Tempat perkembangbiakan nyamuk = Perilaku hidup bersih dan sehat = Sanitasi ruang dan bangunan
Gambar 26. Diagram sebab akibat pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu Diagram input-output Sebagai lanjutan interpretasi diagram lingkar sebab akibat kemudian dibangun diagram input-output seperti tampak pada Gambar 27.
Gambar 27. Diagram input-output model kebijakan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu.
124 Variabel output yang dikehendaki merujuk pada hasil analisis prospektif, khususnya yang masuk dalam kuadaran III Kartesius dan hasil analisis kebutuhan. Variabel input yang terkendali merujuk pada hasil analisis prospektif, khususnya yang masuk dalam kuadran I Kartesius. Variabel output yang tidak dikehendaki diduga muncul bersama-sama dengan output yang dikehendaki. Variabel input tak terkendali berasal dari dalam sistem, sementara input lingkungan dari luar sistem. Diagram alir model kebijakan pengendalian DBD di Kabupaten Indramayu Diagram alir model umum Diagram alir model kebijakan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu (Gambar 28) adalah gabungan dari diagram alir sub model kesehatan lingkungan, kependudukan, layanan kesehatan, dan vektor penyakit DBD.
Keterangan: ABM Dikkesling PKM TPN
= air bersih/ minum = penyuluhan kesehatan lingkungan = Pusat Kesehatan Masyarakat = tempat perindukan nyamuk Aa
CH = curah hujan PHBS = perilaku hidup bersih dan sehat TPA = tempat penampungan air Aa = nyamuk Aedes aegypti
125 Gambar 28. Diagram alir model pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu Variabel-variabel yang terlibat disini ialah jumlah penduduk, penduduk lahir, penduduk mati, penduduk datang, penduduk pergi, fraksi lahir, fraksi mati, fraksi datang, fraksi pergi, total rumah, fraksi tangga, total TPA, fraksi TPA, curah hujan, fraksi curah hujan, total TPN, fraksi TPN, suhu udara, fraksi suhu, kelembaban udara, fraksi kelembaban, total jentik, fraksi jentik, populasi nyamuk Aedes aegypti, fraksi nyamuk Aedes aegypti, vektor DBD, fraksi vektor, gigitan, fraksi gigitan, penduduk rentan DBD, fraksi rentan, kejadian DBD, fraksi kejadian DBD, kematian akibat DBD, fraksi kematian DBD, pengelolaan sampah, fraksi pengelolaan sampah, pengelolaan air limbah domestik, fraksi pengelolaan air limbah
domestik,
cakupan
air
bersih/minum,
mutu
lingkungan,
total
PUSKESMAS, fraksi PUSKESMAS, penyuluhan kesehatan lingkungan melalui POSYANDU, fraksi penyuluhan kesehatan lingkungan melalui POSYANDU, penyuluhan kesehatan melalui kerjasama sektoral, fraksi kerjasama sektoral, penyuluhan kesehatan kepada penderita DBD, fraksi penyuluhan kesehatan kepada penderita DBD, total penyuluhan kesehatan lingkungan, total masyarakat PHBS, penambahan PHBS, fraksi PHBS, biaya pengobatan, fraksi biaya rata-rata. Diagram alir sub model kesehatan lingkungan Diagram alir sub model kesehatan lingkungan (Gambar 29) disusun untuk menggambarkan secara garis besar keterkaitan variabel lingkungan (sampah rumah tangga, air limbah rumah tangga, air bersih/minum, sanitasi ruang dan bangunan, suhu udara, curah hujan, kelembaban udara, TPN, dan tanaman anti nyamuk) dengan variabel kependudukan (pertumbuhan, pengetahuan, sikap, PHBS masyarakat) dan kejadian DBD serta kematian karena DBD.
126
Gambar 29. Diagram alir sub model kesehatan lingkungan Variabel yang masuk dalam sub model ini ialah jumlah penduduk, penduduk lahir, penduduk mati, penduduk datang, penduduk pergi, fraksi lahir, fraksi mati, fraksi datang, fraksi pergi, total rumah, fraksi hunian, total TPA, fraksi TPA, curah hujan, fraksi curah hujan, total TPN, fraksi TPN, suhu udara, fraksi suhu, kelembaban udara, fraksi kelembaban, total jentik, fraksi jentik, populasi nyamuk Aedes aegypti, fraksi nyamuk Aedes aegypti, vektor DBD, fraksi vektor, gigitan, fraksi gigitan, penduduk rentan DBD, fraksi rentan, kejadian DBD, fraksi kejadian DBD, kematian akibat DBD, fraksi kematian DBD, pengelolaan sampah, fraksi pengelolaan sampah, pengelolaan air limbah domestik, fraksi pengelolaan air limbah domestik, cakupan air bersih/minum, dan mutu lingkungan. Diagram alir sub model kependudukan Sub model kependudukan yang disusun terbatas hanya menggambarkan secara garis besar keterkaitan variabel kependudukan (pertumbuhan, pengetahuan, sikap, PHBS, dan kerentanan masyarakat) serta variabel lain dengan kejadian dan kematian karena penyakit DBD. Adapun diagram alir sub model tersebut yaitu seperti tampak pada Gambar 30.
127
Gambar 30. Diagram alir sub model kependudukan Variabel yang masuk dalam sub model ini ialah jumlah penduduk, penduduk lahir, penduduk mati, penduduk datang, penduduk pergi, fraksi lahir, fraksi mati, fraksi datang, fraksi pergi, total rumah, fraksi hunian, total TPA, fraksi TPA, curah hujan, fraksi curah hujan, total TPN, fraksi TPN, suhu udara, fraksi suhu, kelembaban udara, fraksi kelembaban, total jentik, fraksi jentik, populasi nyamuk Aedes aegypti, fraksi nyamuk Aedes aegypti, vektor DBD, fraksi vektor, gigitan, fraksi gigitan, penduduk rentan DBD, fraksi rentan, kejadian DBD, fraksi kejadian DBD, kematian akibat DBD, fraksi kematian DBD, biaya pengobatan, fraksi biaya rata-rata, total masyarakat PHBS, tambahan PHBS, dan fraksi PHBS. Diagram alir sub model layanan kesehatan Sub
model
layanan
kesehatan
yang
disusun
adalah
terbatas
menggambarkan kondisi layanan PUSKESMAS (layanan penyuluhan kesehatan lingkungan dan pengobatan penderita) dalam rangka pengendalian penyakit DBD. Diagram alir sub model ini disusun seperti tampak pada Gambar 31.
128 Gambar 31. Diagram alir sub model layanan kesehatan Variabel yang masuk dalam sub model ini ialah jumlah penduduk, penduduk lahir, penduduk mati, penduduk datang, penduduk pergi, fraksi lahir, fraksi mati, fraksi datang, fraksi pergi, total rumah, fraksi hunian, total TPA, fraksi TPA, curah hujan, fraksi curah hujan, total TPN, fraksi TPN, suhu udara, fraksi suhu, kelembaban udara, fraksi kelembaban, total jentik, fraksi jentik, populasi nyamuk Aedes aegypti, fraksi nyamuk Aedes aegypti, vektor DBD, fraksi vektor, gigitan, fraksi gigitan, penduduk rentan DBD, fraksi rentan, kejadian DBD, fraksi kejadian DBD, layanan pengobatan DBD, fraksi layanan, kematian akibat DBD, fraksi kematian DBD, total PUSKESMAS, fraksi PUSKESMAS, penyuluhan kesehatan lingkungan melalui POSYANDU, fraksi penyuluhan kesehatan lingkungan melalui POSYANDU, penyuluhan kesehatan melalui kerjasama sektoral, fraksi kerjasama sektoral, penyuluhan kesehatan kepada penderita DBD, fraksi penyuluhan kesehatan kepada penderita, total penyuluhan kesehatan lingkungan, PHBS, dan fraksi PHBS. Diagram alir sub model vektor penyakit DBD Sub model vektor penyakit yang disusun adalah terbatas menggambarkan kondisi perkembangan populasi nyamuk Aedes aegypti serta vektor penyakit DBD. Diagram alir sub model ini adalah seperti tampak dalam Gambar 32.
129
Gambar 32. Diagram alir sub model vektor penyakit DBD Variabel yang masuk dalam sub model ini ialah
jumlah penduduk,
penduduk lahir, penduduk mati, penduduk datang, penduduk pergi, fraksi lahir, fraksi mati, fraksi datang, fraksi pergi, total rumah, fraksi hunian, total TPA, fraksi TPA, curah hujan, fraksi curah hujan, total TPN, fraksi TPN, suhu udara, fraksi suhu, kelembaban udara, fraksi kelembaban, total jentik, fraksi jentik, populasi Aedes aegypti, fraksi Aedes aegypti, vektor DBD, fraksi vektor, gigitan, fraksi gigitan, penduduk rentan DBD, fraksi rentan, kejadian DBD, fraksi kejadian DBD, kematian akibat DBD, fraksi kematian DBD. Pemodelan sistem Model umum kebijakan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu dibangun dengan dasar pemikiran bahwa tinggi rendahnya tingkat kejadian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tingkat mutu lingkungan, tingkat PHBS masyarakat, tingkat frekuensi dan mutu layanan kesehatan, dan tingkat populasi vektor penyakit DBD; atau jika diringkaskan yaitu: Kejadian DBD = f (KL, Pddk, Yankes, VP) Keterangan : f KL Pddk Yankes VP
= = = = =
fungsi kesehatan lingkungan kependudukan pelayanan kesehatan vektor penyakit
Analisis kecenderungan sistem dalam periode 2008 hingga 2018, dilakukan dengan simulasi model yang telah dibangun. Variabel-variabel yang disimulasikan dan asumsinya ialah: penduduk dengan fraksi pertambahan 0,46% per tahun, proporsi masyarakat ber-PHBS tahun 2008 sebesar 4,53% penduduk, fraksi kejadian DBD per tahun 43,10 per 100.000 penduduk, fraksi kematian karena DBD per tahun 2,76% penderita, fraksi layanan pengobatan penderita DBD sebesar 99%, cakupan layanan sasaran penyuluhan kesehatan lingkungan rata-rata 1.104 orang per PUSKESMAS per tahun, peningkatan mutu lingkungan (pengelolaan sampah, pengelolaan air limbah, pengelolaan air bersih/minum, dan
130 sanitasi ruang dan bangunan rumah) rata-rata 3% per tahun, fraksi TPN 1% dari jumlah TPA, dan fraksi vektor penyakit DBD 5% populasi Aedes aegypti. Hasil simulasi menunjukkan selama periode 2008 hingga 2018 IR DBD di Kabupaten Indramayu cenderung tetap dalam kisaran 80 dan 82. Pada tahun 2018 IR DBD adalah sebesar 80 dan CFR sebesar 2,73%. Gambaran perkembangan variabel per tahun adalah seperti tampak pada Gambar 33.
Gambar 33. Hasil simulasi IR DBD, mutu kesehatan lingkungan, tingkat PHBS, dan cakupan penyuluhan kesehatan lingkungan di Kabupaten Indramayu pada periode 2008-2018 Validasi Model Uji validitas model dilakukan melalui proses (a) validasi teoritis, (b) uji kestabilan struktur, dengan tujuan memperoleh keyakinan sejauh mana struktur model teoritis dapat menjelaskan struktur sistem, (c) memeriksa konsistensi unit analisis dan dimensi keseluruhan interaksi dari unsur-unsur yang menyusun sistem, dan (d) memeriksa konsistensi output model terhadap informasi/data aktual. Validitas teoritis didasarkan pada paradigma kesehatan masyarakat yang dikembangkan oleh Blum (1981) yang mengemukakan bahwa tinggi rendahnya derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, pelayanan kesehatan, perilaku, dan keturunan (hereditas).
Uji kestabilan struktur
131 dimaksudkan untuk menjamin adanya kesesuaian antara interaksi variabelvariabel dalam model dengan mekanisme kenyataan yang sebenarnya. Dalam Tabel 28 tampak bahwa secara eksponensial kenaikan jumlah penduduk diikuti dengan kenaikan jumlah rumah, jumlah TPA, jumlah TPN, jumlah vektor, dan kejadian DBD. Kenaikan penyuluhan kesehatan lingkungan diikuti oleh kenaikan proporsi masyarakat ber-PHBS, mutu lingkungan. Dengan demikian dapat diprediksi bahwa cepat lambatnya peningkatan proporsi masyarakat ber PHBS dan mutu kesehatan lingkungan, yang berimplikasi pada penurunan kejadian DBD, tergantung pada frekuensi dan mutu penyuluhan kesehatan lingkungan. Tabel 28. Prediksi perkembangan jumlah penduduk, rumah tangga, TPA, TPN, vektor, kejadian DBD, penyuluhan kesehatan lingkungan, PHBS masyarakat, dan mutu lingkungan di Kabupaten Indramayu tahun 2008–2018
Uji validitas kinerja terhadap model ini menggunakan uji Kalman Filter dengan tingkat kecocokan (fitting ) hasil simulasi dengan kenyataan berdasarkan statistik dalam kisaran 47,5% sampai 52,5%. Pengujian dilakukan terhadap variabel kependudukan dan kejadian DBD. Data empiris jumlah penduduk dan jumlah penderita penyakit DBD di Kabupaten Indramayu yang digunakan ialah data periode tahun 2004-2008 dengan perincian tertera dalam Lampiran 2. Hasil simulasi menunjukkan adanya kecocokan
antara hasil simulasi dengan data
empiris. Nilai kecocokan antara hasil simulasi dan data empiris penduduk adalah 0,499288 (49,93%) berada dalam kisaran kecocokan menurut Kalman. Nilai kecocokan antara hasil simulasi dan data empiris kejadian DBD adalah 0,491023 (49,10%) juga berada dalam kisaran kecocokan menurut Kalman. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data hasil simulasi perkembangan penduduk dan data hasil simulasi kejadian DBD cukup akurat.
132 Implementasi Dalam rangka implementasi model maka disusun rumusan skenario dan rekomendasi kebijakan yang diperlukan dalam rangka pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu. Dari keseluruhan faktor yang
tertera dalam
Gambar 22, 24 dan 26 ditetapkan 19 faktor kunci yang dianggap berpengaruh dalam pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu pada masa depan. Kesembilan belas faktor kunci itu ialah (1) keadaan rumah tangga masyarakat dan lingkungannya bersih dan sehat, (2) pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam rangka pencegahan penyakit DBD berkembang positif, (3) kerjasama lintas program dan sektoral dalam pencegahan penyakit DBD di semua tingkat administrasi pemerintahan berkembang positif, (4) terwujudnya mutu layanan PUSKESMAS dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD sesuai kebutuhan masyarakat, (5) tercukupinya kebutuhan air bersih dan air minum masyarakat sesuai jumlah dan mutu yang diharapkan, (6) angka bebas jentik di semua desa 100%, (7) dukungan teknologi penyuluhan kesehatan lingkungan, (8) dukungan dana atau anggaran keuangan bantuan Pemerintah dalam rangka peningkatan penyuluhan kesehatan lingkungan, (9) sarana penyuluhan kesehatan lingkungan memadai, (10) dukungan dana atau anggaran keuangan bantuan Pemerintah dalam rangka pendanaan
swadaya
peningkatan penyehatan lingkungan, (11) sistem
masyarakat
memadai
untuk
peningkatan
kesehatan
lingkungan, (12) peningkatan frekuensi penyuluhan kesehatan lingkungan kepada masyarakat
oleh
PUSKESMAS,
Pemerintah,
(13)
khususnya
peningkatan
frekuensi
Dinas
Kesehatan,
bimbingan
lingkungan kepada masyarakat oleh Dinas Kesehatan
teknis
RS,
dan
kesehatan
dan PUSKESMAS,
(14) peningkatan kesiapan masyarakat dalam menerima pengetahuan hidup sehat melalui penyuluhan kesehatan, (15) peningkatan mutu pengelolaan limbah cair domestik, (16) peningkatan kesiapan masyarakat untuk menegakkan hukum kesehatan dan lingkungan hidup, (17) pengembangan standard operating procedure (SOP) penyuluhan kesehatan lingkungan di Dinas Kesehatan, Rumah RS, dan PUSKESMAS, (18) peningkatan mutu sanitasi ruang dan bangunan perumahan, (19) gerakan kebersihan TPA rutin di masyarakat. Untuk melihat pengaruh langsung hubungan timbal balik antar faktor
133 tersebut dilakukan penilaian dengan skor 0 sampai 3. Nilai 0 berarti faktor X tidak berpengaruh terhadap faktor Y; nilai 1 berarti faktor X berpengaruh kecil terhadap faktor Y; nilai 2 berarti faktor X berpengaruh sedang terhadap faktor Y; nilai 3 berarti faktor X berpengaruh sangat kuat terhadap faktor Y. Rekapitulasi hasil penilaian pakar tersebut tertera dalam Tabel 29. Tabel 29. Rekapitulasi nilai pengaruh dan ketergantungan faktor kunci berdasarkan analisis prospektif
Keterangan Tabel 29: SG-1 : Keadaan rumah tangga masyarakat dan lingkungannya bersih dan sehat. SG-2 : Pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam rangka pencegahan penyakit DBD berkembang positif SG-3 : Kerjasama lintas program dan sektoral dalam pencegahan penyakit DBD di semua tingkat administrasi pemerintahan berkembang positif SG-4 : Terwujudnya mutu layanan PUSKESMAS dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD sesuai dengan kebutuhan masyarakat SG-5 : Tercukupinya kebutuhan air bersih dan air minum masyarakat sesuai dengan jumlah dan mutu yang diharapkan SG-6 : Angka bebas jentik di semua desa 100% SG-7 : Dukungan teknologi penyuluhan kesehatan lingkungan SG-8 : Dukungan dana atau anggaran keuangan bantuan Pemerintah dalam rangka peningkatan penyuluhan kesehatan lingkungan SG-9 : Sarana penyuluhan kesehatan lingkungan memadai SG-10 : Dukungan dana atau anggaran keuangan bantuan Pemerintah dalam rangka peningkatan penyehatan lingkungan SG-11 : Sistem pendanaan swadaya masyarakat memadai untuk peningkatan kesehatan lingkungan SG-12 : Peningkatan frekuensi penyuluhan kesehatan lingkungan kepada masyarakat oleh Pemerintah, khususnya Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, dan PUSKESMAS SG-13 : Peningkatan frekuensi bimbingan teknis kesehatan lingkungan kepada masyarakat oleh Dinas Kesehatan dan PUSKESMAS.
134 SG-14 : Peningkatan kesiapan masyarakat dalam menerima pengetahuan hidup sehat melalui penyuluhan kesehatan SG-15 : Peningkatan mutu pengelolaan limbah cair domestik SG-16 : Peningkatan kesiapan masyarakat untuk menegakkan hukum kesehatan dan lingkungan hidup SG-17 : Pengembangan standard operating procedure (SOP) penyuluhan kesehatan lingkungan di Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, dan PUSKESMAS SG-18 : Peningkatan mutu sanitasi ruang dan bangunan perumahan SG-19 : Gerakan kebersihan TPA rutin di masyarakat
Dari hasil pemetaan, seperti tampak pada Gambar 34, ada delapan faktor penting yang termasuk dalam kuadran I (kiri atas) dengan nilai pengaruh tinggi dengan nilai ketergantungan rendah terhadap keterkaitan antar faktor yaitu (1) kerjasama lintas program dan sektoral dalam pencegahan penyakit DBD di semua tingkat administrasi pemerintahan berkembang positif (SG-3),(2) dukungan teknologi penyuluhan kesehatan lingkungan (SG-7), (3) dukungan dana atau anggaran keuangan bantuan Pemerintah dalam rangka peningkatan penyuluhan kesehatan lingkungan (SG-8), (4) pengembangan standard operating procedure (SOP) penyuluhan kesehatan lingkungan di Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, dan PUSKESMAS (SG-17),
(5) sarana penyuluhan kesehatan lingkungan memadai
(SG-9), (6) terwujudnya mutu layanan PUSKESMAS dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD sesuai dengan kebutuhan masyarakat (SG-4), (7) peningkatan frekuensi penyuluhan kesehatan lingkungan kepada masyarakat oleh Pemerintah, khususnya Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, dan PUSKESMAS (SG-12), (8) peningkatan kesiapan masyarakat dalam menerima pengetahuan hidup sehat melalui penyuluhan kesehatan (SG-14). Faktor faktor penting yang termasuk dalam kuadran III (kanan bawah) ada empat yaitu (1) pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam rangka pencegahan penyakit DBD berkembang positif (SG-2),
(2) keadaan rumah tangga masyarakat dan
lingkungannya bersih dan sehat (SG-1), (3) peningkatan mutu sanitasi ruang dan bangunan perumahan (SG-18), (4) angka bebas jentik di semua desa 100% (SG-6). Faktor yang termasuk dalam kuadran IV (kiri bawah) ada tujuh, yaitu (1) peningkatan frekuensi bimbingan teknis kesehatan lingkungan kepada masyarakat oleh Dinas Kesehatan dan PUSKESMAS (SG-13), (2) dukungan dana atau anggaran keuangan bantuan Pemerintah dalam rangka
peningkatan
penyehatan lingkungan (SG-10), (3) tercukupinya kebutuhan air bersih dan air minum masyarakat sesuai jumlah dan mutu yang diharapkan (SG-5), (4) sistem
135 pendanaan
swadaya
masyarakat
memadai
untuk
peningkatan
kesehatan
lingkungan (SG-11), (5) peningkatan kesiapan masyarakat untuk menegakkan hukum kesehatan dan lingkungan hidup (SG-16), (6) gerakan kebersihan TPA rutin di masyarakat (SG-19),dan (7) peningkatan mutu pengelolaan limbah cair domestik (SG-15). Faktor-faktor yang termasuk dalam kuadran I, yang memberikan pengaruh tinggi terhadap kinerja sistem dengan ketergantungan rendah terhadap keterkaitan antar faktor, akan digunakan sebagai input dalam sistem yang dianalisis. Faktorfaktor yang termasuk dalam kuadran III, yang mempunyai pengaruh rendah terhadap kinerja sistem dengan ketergantungan tinggi terhadap keterkaitan antar faktor, akan menjadi output dalam sistem. Faktor-faktor yang termasuk dalam kuadran IV, yang mempunyai pengaruh dan ketergantungan rendah terhadap kinerja sistem.
Gambar 34. Matriks tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh dalam rangka penyusunan kebijakan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu Dari delapan faktor penting yang termasuk dalam kuadran I, ada tujuh faktor yang dipilih sebagai prediktor yang perlu dikelola dan dikembangkan dalam rangka pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu pada masa yang akan datang.
Ketujuh faktor penting tersebut dengan pokok-pokok
pengertian beserta kondisi-kondisinya adalah sebagai berikut.
136 1. Faktor penting pertama, kerjasama lintas program dan sektoral dalam pencegahan penyakit DBD di semua tingkat administrasi pemerintahan, yaitu kerjasama yang didasarkan pada pendekatan kesisteman; bahwa pengendalian penyakit DBD adalah bagian integral dari program pembangunan nasional. Kondisi kerjasama lintas program dan sektoral meningkat sesuai kebutuhan artinya kerjasama tersebut utuh terwujud sejak perencanaan sampai dengan pelaksanaan serta evaluasi program. Mekanisme atau SOP, termasuk sumber atau penyediaan dana serta perlengkapan yang berkaitan dengan kerjasama itu, jelas dan lengkap. Kondisi kerjasama lintas program dan sektoral tetap, artinya kondisi masih tetap seperti kondisi saat ini yakni bersifat parsial dan berlangsung hanya pada peristiwa atau waktu-waktu tertentu. Dalam kondisi ini wujud kerjasama ini belum seluruhnya dilengkapi dengan mekanisme atau SOP; termasuk sumber atau penyediaan dana dan perlengkapannya. 2. Faktor penting kedua, dukungan teknologi penyuluhan kesehatan lingkungan ialah teknologi tepat guna yang mutakhir sesuai dengan budaya lokal. Kondisi dukungan teknologi meningkat sesuai dengan kebutuhan artinya dukungan tersebut mengikuti dinamika kebutuhan penyuluhan kesehatan lingkungan dalam rangka mencapai tujuan secara efektif. Kondisi dukungan teknologi tetap artinya dukungan teknologi terhadap dinamika kebutuhan penyuluhan kesehatan, khususnya untuk mengembangkan efektifitas teknik atau cara-cara lama/konvensional, kurang memadai. 3. Faktor penting ketiga, dukungan dana atau anggaran keuangan bantuan Pemerintah dalam rangka peningkatan penyuluhan kesehatan
lingkungan,
ialah bantuan dana program langsung yang memadai setiap tahun hingga mencapai hasil yang ditetapkan. Kondisi dukungan dana atau anggaran meningkat sesuai kebutuhan artinya dukungan dana atau anggaran untuk mencapai tujuan program benar-benar memadai. Dukungan dana itu tidak hanya berasal dari Pemerintah dan masyarakat tetapi juga berasal dari pihak swasta dalam dan luar negeri. Dalam kondisi ini pengawasan penggunaan dan pertanggungjawaban keuangan benar-benar memadai berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Kondisi dukungan dana atau anggaran tetap artinya dana atau anggaran yang tersedia untuk mencapai tujuan program
137 belum memadai. Dalam kondisi ini ada kecenderungan kegiatan lebih penting dari tujuan, artinya pertanggungjawaban keuangan secara administratif adalah lebih penting daripada hasil pelaksanaan program. Dalam kondisi ini pengawasan penggunaan keuangan masih kurang efektif sampai ke lapangan. Kondisi dukungan dana atau anggaran turun artinya dana yang tersedia menurun setiap tahun akibat faktor tertentu. Di satu sisi kebutuhan dana untuk pelaksanaan program semakin meningkat namun di sisi lain jumlah nominal dana yang tersedia tetap sama, bahkan lebih kecil dari tahun sebelumnya. 4. Faktor penting keempat, standard operating procedure (SOP) penyuluhan kesehatan lingkungan di Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, dan PUSKESMAS, ialah mencakup antara lain visi, misi, tujuan, kebijakan, strategi, kriteria, prosedur kerja atau langkah-langkah operasional, indikator keberhasilan, sumber dana, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia penyelenggara dan kompetensinya. Kondisi SOP penyuluhan kesehatan lingkungan ada, lengkap, dan terinci artinya SOP telah dijadikan pedoman, diikuti dengan mudah, dilaksanakan secara sistematis dan seragam oleh setiap pelaksana serta berfungsi sebagai instrumen evaluasi program. Kondisi ada tidak lengkap, artinya SOP bersifat parsial dan tidak detail serta belum menyeluruh. Dalam kondisi ini langkah kegiatan para pelaksana tidak seragam, tidak sistematis serta sulit dievaluasi secara keseluruhan. 5. Faktor penting kelima, sarana penyuluhan kesehatan lingkungan, ialah segala alat dan perlengkapan yang diperlukan untuk mendukung pencapaian tujuan penyuluhan kesehatan lingkungan secara efektif. Kondisi sarana penyuluhan kesehatan
lingkungan sesuai dengan kebutuhan artinya jumlah dan jenis
sarana penyuluhan, seperti alat peraga, media cetak, elektronik tersedia secara memadai. Dalam kondisi ini semua desa/kelurahan telah memiliki dalam jumlah dan jenis yang sama. Kondisi sarana penyuluhan kesehatan lingkungan tidak sesuai dengan kebutuhan artinya jumlah dan jenis sarana penyuluhan kesehatan lingkungan belum cukup memadai. Dalam kondisi ini kegiatan dalam rangka penyuluhan kesehatan lingkungan kurang efektif. 6. Faktor penting keenam, mutu layanan PUSKESMAS dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD, ialah rasio hasil pelayanan dengan
138 SOP/kebijakan Pemerintah atau dengan harapan masyarakat. Kondisi mutu layanan tinggi, artinya tingkat mutu layanan mencapai di atas 89% SOP; kondisi mutu layanan sedang artinya tingkat mutu layanan berada pada kisaran antara 60-89% SOP; dan mutu layanan rendah artinya tingkat mutu layanan lebih kecil dari 60% SOP. 7. Faktor penting ketujuh, frekuensi penyuluhan kesehatan lingkungan kepada masyarakat oleh Pemerintah, khususnya Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, dan PUSKESMAS, ialah kekerapan kegiatan penyuluhan kesehatan lingkungan yang dilaksanakan oleh petugas Pemerintah terhadap masyarakat sasaran. Kondisi frekuensi penyuluhan kesehatan lingkungan tinggi artinya frekuensi penyuluhan oleh tenaga kesehatan PUSKESMAS dengan kader kesehatan paling sedikit tiga kali per Rukun Warga (RW) per tahun untuk perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program. Kondisi frekuensi penyuluhan kesehatan lingkungan tetap, artinya kondisi yang merujuk kepada keadaan saat ini, dimana frekuensi penyuluhan kesehatan lingkungan yang dilaksanakan oleh PUSKESMAS dengan kader kesehatan hanya mengikuti kegiatan jadwal POSYANDU yang jumlahnya lebih sedikit dari jumlah RW. Dalam kondisi ini kesempatan memberi penyuluhan kepada masyarakat sangat terbatas dan kurang efektif. Kondisi frekuensi penyuluhan kesehatan lingkungan turun, artinya frekuensi penyuluhan lebih sedikit dari apa yang telah dilakukan hingga saat ini. Dalam kondisi ini rasio petugas penyuluh dengan jumlah RW/Desa adalah kurang memadai sehingga kegiatan penyuluhan tidak menjangkau keseluruhan dalam waktu tertentu secara efektif. Untuk kepentingan pertimbangan bagi perumusan skenario yang akan ditetapkan, maka ketujuh faktor ini diberi nilai secara berurut: 7, 6, 5, 4, 3, 2, dan 1 sesuai urutan kepentingan relatifnya. Setelah itu diadakan pula pembobotan terhadap kondisi masing-masing faktor yang mungkin dihadapi pada masa yang akan datang, yaitu kondisi lebih baik dari kondisi saat ini (kondisi A) diberi nilai 1,5; kondisi relatif tetap seperti kondisi saat ini (kondisi B) diberi nilai 1,0; dan kondisi lebih buruk dari kondisi saat ini (kondisi C)
diberi
nilai 0,5. Adapun
uraian faktor-faktor beserta perkiraan kondisi masing-masing pada masa yang akan datang tertera dalam Tabel 30.
139 Hasil perkalian nilai dengan bobot diperoleh skor 1A sebesar 10,5; 1B sebesar 7; 1C sebesar 3,5; 2A sebesar 9; 2B sebesar 6; 2C sebesar 3; 3A sebesar 7,5; 3B sebesar 5; 3C sebesar 2,5; 4A sebesar 6; 4B sebesar 4; 4C sebesar 2; 5A sebesar 4,5; 5B sebesar 3; 5C sebesar 1,5; 6A sebesar 3; 6B sebesar 2; 6C sebesar 1; 7A sebesar 1,5; 7B sebesar 1; dan 7C sebesar 0,5. Tabel 30. Keterkaitan antar faktor dan kondisi untuk analisis prospektif No
Faktor
1
Kerjasama lintas program dan sektoral dalam pencegahan penyakit DBD di semua tingkat administrasi pemerintahan
2
3
4
5
6
7
Dukungan teknologi penyuluhan kesehatan lingkungan Dukungan dana atau anggaran keuangan bantuan Pemerintah dalam rangka peningkatan penyuluhan kesehatan lingkungan Standard operating procedure (SOP) penyuluhan kesehatan lingkungan di Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, dan PUSKESMAS Sarana penyuluhan kesehatan lingkungan Mutu layanan PUSKESMAS dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD Frekuensi penyuluhan kesehatan lingkungan kepada masyarakat oleh Pemerintah, khususnya Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, dan PUSKESMAS
Kondisi pada masa yang akan datang 1A
1B
1C
Tinggi
Sedang
Rendah
2A
2B
2C
Tinggi
Sedang
Rendah
3A
3B
3C
Besar
Sedang
Kecil
4A
4B
4C
Ada, lengkap, dan terinci
Ada, tidak lengkap
Tidak ada
5A
5B
5C
6A
Ada, tidak lengkap 6B
Tinggi
Sedang
Rendah
7A
7B
7C
Sering
Sedang
Jarang
Lengkap
Tidak ada 6C
Berdasarkan pertimbangan hasil penghitungan skor, yaitu nilai dikalikan bobot, maka dari kombinasi antar kondisi-kondisi ketujuh faktor tersebut didapatkan tiga skenario yang paling besar mungkin terjadi pada masa yang akan datang, yaitu: (1) skenario optimistik, (2) skenario moderat, dan (3) skenario pesimistik. Adapun perincian kombinasi kondisi faktor masing-masing skenario ialah tertera dalam Tabel 31.
140 Tabel 31. Skenario dan kombinasi keadaan faktor No.
Skenario
Kombinasi kondisi faktor
1
Pesimistik
1B/2B/3C/4C/5B/6C/7B
2
Moderat
1B/2B/3B/4A/5B/6B/7B
3
Optimistik
1A/2A/3A/4A/5A/6A/7A
Dari hasil penghitungan selanjutnya diperoleh skor kombinasi kondisi faktor yang tergabung dalam skenario pesimistik sebesar 22,5; skenario moderat sebesar 30; dan yang tergabung dalam skenario optimistik sebesar 42. Hasil ini merupakan gambaran kasar perbandingan antar ketiga skenario sebagai prediktor pada masa yang akan datang. Adapun uraian perbandingan ketiga skenario dalam hal pengendalian penderita DBD, dari sisi kematian akibat DBD, perkembangan PHBS masyarakat, TPN, frekuensi penyuluhan kesehatan lingkungan, dan tingkat mutu lingkungan di Kabupaten Indramayu sebagai berikut. Skenario pesimistik Skenario pesimistik dibangun berdasarkan faktor kunci dengan kondisi: (a) Kerjasama lintas program dan sektoral dalam pencegahan penyakit DBD di semua tingkat administrasi pemerintahan diperkirakan lebih kecil dari 50% kebutuhan program. Kondisi kerjasama masih bersifat parsial dan berlangsung hanya pada peristiwa atau waktu-waktu tertentu. Operasional pengendalian penyakit DBD di wilayah kerja pada umumnya masih didominasi oleh PUSKESMAS dan masyarakat; (b) Kondisi dukungan teknologi penyuluhan kesehatan lingkungan adalah sedang atau diperkirakan masih kurang dari 50% kebutuhan program, terutama dalam hal pengembangan efektifitas teknik atau cara-cara lama/ konvensional;
(c) Dukungan dana atau anggaran keuangan
bantuan Pemerintah dalam rangka peningkatan penyuluhan kesehatan lingkungan masih lebih kecil dari 50%
kebutuhan program; (d) Standard operating
procedure (SOP) penyuluhan kesehatan lingkungan, baik di Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, maupun di PUSKESMAS belum seluruhnya tersusun dengan detail, jika dikuantifikasi masih lebih kecil 50% kebutuhan seluruhnya; (e) Sarana penyuluhan kesehatan lingkungan yang tersedia dan dapat dipergunakan di Dinas Kesehatan Kabupaten dan PUSKESMAS lebih kecil dari 50% kebutuhan
141 minimal; (f) Mutu layanan PUSKESMAS dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD lebih kecil dari 50% SOP. penyuluhan kesehatan masyarakat dalam rangka pengendalian DBD pada umumnya belum terorganisir dengan baik, terutama dalam hal penentuan peserta, tempat, waktu, materi, alat peraga, indikator keberhasilan, dan lainnya; dan (g) Frekuensi penyuluhan kesehatan lingkungan kepada masyarakat oleh Pemerintah, khususnya Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, dan PUSKESMAS masih di bawah 50% target program sebagai akibat dari kurangnya tenaga, sarana, dan kesempatan penyuluhan; termasuk banyaknya kader kesehatan yang drop-out karena kurang pembinaan. Hasil simulasi model skenario pesimistik secara grafis adalah seperti tampak pada Gambar 35.
Gambar 35. Prediksi IR DBD, tingkat PHBS, dan cakupan penyuluhan kesehatan lingkungan dalam skenario pesimistik tahun 2008-2018 Dari hasil simulasi skenario tersebut dapat dikemukakan bahwa: 1. IR DBD di Kabupaten Indramayu dalam periode 2008 sampai 2018 menurun rata-rata sebesar 1,36 per tahun. IR DBD pada tahun 2008 sebesar 76,55 (1.315 orang) menurun menjadi 61,63 (1.132 orang) pada tahun 2018. CFR DBD relatif tetap yaitu rata-rata sebesar 2,74% per tahun. 2. Proporsi rumah tangga yang ber-PHBS strata IV di Kabupaten Indramayu dalam periode 2008 sampai 2018 meningkat setiap tahun. Pada tahun 2008
142 sebesar 11,44% penduduk (196.569 orang) meningkat menjadi 27,88% penduduk (511.987 orang) pada tahun 2018; atau rata-rata kenaikan sebesar 1,49% penduduk (28.675 orang) per tahun. 3. Hasil
cakupan
sasaran
penyuluhan
kesehatan
lingkungan
oleh
PUSKESMAS dan sektor non kesehatan dalam periode 2008 sampai 2018 meningkat dari tahun ke tahun dengan cakupan rata-rata per tahun adalah 55.948 orang. 4. Tingkat mutu lingkungan dalam periode 2008 sampai 2018 meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008 sebesar 28% naik menjadi 31% pada tahun 2018 atau rata-rata peningkatan sebesar 0,27% per tahun. Skenario moderat Skenario moderat dibangun berdasarkan faktor kunci dengan kondisi: (a) Kerjasama lintas program dan sektoral dalam pencegahan penyakit DBD di semua tingkat administrasi pemerintahan berkisar pada 50% sampai 80% kebutuhan program pengendalian DBD. Kondisi kerjasama berkembang dengan baik walaupun masih bersifat parsial dan tetapi frekuensinya tidak terbatas hanya pada peristiwa atau waktu-waktu tertentu saja. Operasional pengendalian penyakit DBD di wilayah kerja pada umumnya ditangani beberapa sektor terkait dan masyarakat; (b) Kondisi dukungan teknologi penyuluhan kesehatan lingkungan berada pada kisaran 50%-80% kebutuhan program pengendalian DBD, terutama dalam hal pengembangan efektifitas teknik atau cara-cara lama/konvensional; (c) Dukungan dana atau anggaran keuangan bantuan Pemerintah dalam rangka peningkatan penyuluhan kesehatan lingkungan berada pada kisaran 50%-80% kebutuhan program.
(d) Standard operating procedure (SOP) penyuluhan
kesehatan lingkungan di Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, dan PUSKESMAS yang telah tersusun detail mencapai 50%-80% target. Evaluasi program penyuluhan kesehatan lingkungan telah dilakukan dengan menggunakan SOP; (e) Sarana penyuluhan kesehatan lingkungan yang tersedia dan dapat dipergunakan di Dinas Kesehatan Kabupaten dan PUSKESMAS diperkirakan berada pada kisaran 50%80% kebutuhan program; (f) Mutu layanan PUSKESMAS dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD adalah sedang atau berada pada kisaran 50%-80% SOP. Penyuluhan kesehatan masyarakat dalam rangka pengendalian DBD pada
143 umumnya telah terorganisir dengan baik, terutama dalam hal penentuan peserta, tempat, waktu, materi, alat peraga, indikator keberhasilan, dan lainnya; dan (g) Frekuensi penyuluhan kesehatan lingkungan kepada masyarakat oleh Pemerintah, khususnya Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, dan PUSKESMAS berada pada kisaran 50% - 80% target program akibat keterbatasan tenaga, sarana, dan kesempatan penyuluhan. Hasil simulasi model skenario moderat secara grafis adalah seperti tampak pada Gambar 36.
Gambar 36: Prediksi IR DBD, tingkat PHBS, dan cakupan penyuluhan kesehatan lingkungan dalam skenario moderat tahun 2008-2018 Hasil penerapan skenario moderat menunjukkan bahwa: 1. IR DBD di Kabupaten Indramayu dalam periode 2008 sampai 2018 menurun rata-rata sebesar 3,44 per tahun. IR DBD pada tahun 2008 sebesar 68,28 (1173 orang) menurun menjadi 30,43 (559 orang) pada tahun 2018. CFR DBD relatif tetap yaitu rata-rata sebesar 2,72% per tahun. 2. Proporsi rumah tangga yang ber-PHBS strata IV di Kabupaten Indramayu dalam periode 2008 sampai 2018 meningkat setiap tahun. Pada tahun 2008 sebesar 22,31% penduduk (383.180 orang) meningkat menjadi 64,49% penduduk (1.184.501 orang) pada tahun 2018; atau kenaikan rata-rata per tahun sebesar 3,83% penduduk (72.847 orang).
144 3. Hasil cakupan sasaran penyuluhan kesehatan lingkungan oleh PUSKESMAS dan sektor non kesehatan dalam periode 2008 sampai 2018 meningkat dari tahun ke tahun dengan cakupan rata-rata per tahun adalah 153.861 orang. 4. Tingkat mutu lingkungan dalam periode 2008 sampai 2018 meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008 sebesar 29,17% naik menjadi 36,77% pada tahun 2018 atau rata-rata peningkatan sebesar 0,69% per tahun. Skenario optimistik Skenario optimistik dibangun berdasarkan faktor kunci dengan kondisi: (a) Kerjasama lintas program dan sektoral dalam pencegahan penyakit DBD di semua tingkat administrasi pemerintahan adalah berkembang baik dengan perkiraan di atas 80% kebutuhan program. Kondisi kerjasama lebih berkembang dengan baik tidak lagi bersifat parsial dan frekuensinya sesuai dengan jadwal yang disusun bersama. Operasional pengendalian penyakit DBD di wilayah kerja pada umumnya telah ditangani oleh semua sektor terkait bersama masyarakat; (b) kondisi dukungan teknologi penyuluhan kesehatan lingkungan adalah relatif tinggi yaitu di atas 80% kebutuhan program pengendalian DBD; (c) dukungan dana atau anggaran keuangan bantuan Pemerintah dalam rangka peningkatan penyuluhan kesehatan lingkungan mencapai di atas 80% kebutuhan program; (d) Standard operating procedure (SOP) penyuluhan kesehatan lingkungan di Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, dan PUSKESMAS telah ada, lengkap, dan terinci dan dijadikan pedoman oleh setiap pelaksana mencapai lebih dari 80% kebutuhan program; (e) Sarana penyuluhan kesehatan lingkungan yang tersedia dan dapat dipergunakan di Dinas Kesehatan Kabupaten dan PUSKESMAS telah mencapai lebih dari 80% kebutuhan program di seluruh wilayah kerja; (f) Mutu layanan PUSKESMAS dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD mencapai lebih dari 80% SOP. Penyuluhan kesehatan masyarakat yang dilaksanakan oleh PUSKESMAS dalam rangka pengendalian DBD pada umumnya telah terorganisir dengan baik, terutama dalam hal penentuan peserta, tempat, waktu, materi, alat peraga, indikator keberhasilan, dan lainnya; dan (g) Frekuensi penyuluhan kesehatan lingkungan oleh Pemerintah, khususnya Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, dan PUSKESMAS lebih besar dari 80% target program. Hasil penerapan skenario optimistik menunjukkan bahwa:
145 1. IR DBD di Kabupaten Indramayu dalam periode 2008 sampai 2018 menurun rata-rata sebesar 4,68 per tahun. IR DBD pada tahun 2008 sebesar 62,51 (1.074 orang) menurun menjadi 11,05 (203 orang) pada tahun 2018. CFR DBD relatif tetap yaitu rata-rata sebesar 2,74% per tahun. 2. Proporsi rumah tangga yang ber-PHBS strata IV di Kabupaten Indramayu dalam periode 2008 sampai 2018 meningkat setiap tahun. Pada tahun 2008 sebesar 30% penduduk (516.475 orang) meningkat menjadi 90,66% penduduk (1.665.106 orang) pada tahun 2018; atau rata-rata kenaikan sebesar 5,51% penduduk (104.421 orang) per tahun. 3. Hasil cakupan sasaran penyuluhan kesehatan lingkungan oleh PUSKESMAS dan sektor non kesehatan dalam periode 2008 sampai 2018 meningkat dari tahun ke tahun dengan cakupan rata-rata per tahun adalah 223.803 orang. 5. Tingkat mutu lingkungan dalam periode 2008 sampai 2018 meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008 sebesar 30% naik menjadi 41% pada tahun 2018 atau rata-rata peningkatan sebesar 1% per tahun. Hasil simulasi model skenario optimistik secara grafis adalah seperti tampak pada Gambar 37.
Gambar 37. Prediksi IR DBD, tingkat PHBS, dan cakupan penyuluhan kesehatan lingkungan dalam skenario optimistik tahun 20082018 Analisis perbandingan penerapan antar skenario
146 Untuk memperoleh gambaran skenario
yang paling sesuai dengan
kebutuhan kebijakan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu maka dilakukan pembandingan ketiga skenario menurut efektifitasnya rata-rata per tahun dalam menurunkan kejadian DBD, menurunkan jumlah TPN, meningkatkan cakupan sasaran penyuluhan kesehatan lingkungan, meningkatkan PHBS, dan mutu lingkungan. Uraian perbandingan hasil ketiga skenario selengkapnya tertera dalam Tabel 32. Tabel 32. Perbandingan hasil simulasi skenario pesimistik, moderat, dan optimistik dalam rangka pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu No
Faktor
Skenario Pesimistik
Skenario Moderat
Skenario Optimistik
1
Penurunan kejadian DBD (IR DBD) rata-rata per tahun
1,360/00
3,440/00
4,680/00
2
Kenaikan proporsi/ persentasi penduduk ber-PHBS rata-rata per tahun
1,49%
3,83%
10%
3
Cakupan sasaran penyuluhan kesehatan lingkungan rata-rata per tahun
55.948 orang
153.861 orang
223.803 orang
4
Kenaikan tingkat mutu lingkungan rata-rata per tahun
0,27%
0,72%
1%
5
IR DBD tahun 2018
61,63
30,43
11,05
Hasil simulasi skenario pesimistik menunjukkan proses pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu walaupun berhasil namun berjalan lamban; hingga tahun 2018 Kabupaten Indramayu belum bebas penyakit DBD, demikian pula dengan frekuensi dan mutu penyuluhan kesehatan lingkungan, tingkat PHBS, mutu kesehatan lingkungan, dan pengendalian vektor penyakit DBD relatif rendah atau kurang memadai. Hasil simulasi skenario moderat menunjukkan proses pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu berjalan lebih cepat dibandingkan dengan skenario pesimistik. Namun pada tahun 2018 Kabupaten Indramayu diperkirakan belum bebas penyakit DBD, demikian pula dengan frekuensi dan mutu penyuluhan kesehatan lingkungan, tingkat PHBS, mutu kesehatan lingkungan, dan pengendalian vektor penyakit DBD relatif belum optimal.
147 Hasil simulasi skenario optimistik menunjukkan proses pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu berjalan paling cepat dibandingkan dengan kedua skenario lainnya. Pada tahun 2018 Kabupaten Indramayu diperkirakan telah bebas penyakit DBD, demikian pula dengan frekuensi dan mutu penyuluhan kesehatan lingkungan, tingkat PHBS, mutu kesehatan lingkungan, dan pengendalian vektor penyakit DBD relatif optimal. Memperhatikan situasi dan kondisi daerah pada saat ini, maka peluang penerapan ketiga skenario dalam tahun-tahun mendatang adalah sama, hanya saja berbeda dalam intensitas pengerahan dan pengelolaan aspek dan sumber-sumber pendukungnya. Pemilihan skenario yang akan diterapkan akan sangat tergantung pada kebijakan Pemerintah dan kesiapan masyarakat untuk menyiapkan sumber daya manusia serta dana, sarana dan prasarana pendukung yang dibutuhkan. Penerapan skenario optimistik menuntut perhatian Pemerintah dan masyarakat lebih besar dan lebih cepat dibandingkan dengan kebutuhan bagi penerapan skenario moderat atau pesimistik. Kebijakan dan Strategi Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Indramayu Kebijakan Dari penelitian ini, diperoleh hasil bahwa kebijakan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu belum sepenuhnya berbasis pendekatan sistem yang mencakup sub sistem
kesehatan lingkungan, kependudukan, layanan
kesehatan, dan vektor penyakit DBD. Di samping itu implementasi kebijakan pengendalian penyakit DBD pada umumnya masih bersifat parsial dan reduksionisme. Akibatnya hasil yang dicapai belum sepenuhnya sampai pada taraf yang diinginkan yaitu menurunnya IR DBD dari tahun ke tahun secara proporsional dengan cepat dan tepat hingga akhirnya menjadi nihil. merupakan masalah yang
Hal ini
perlu diselesaikan dengan baik oleh Pemerintah
bersama masyarakat. Dalam rangka penyempurnaan perumusan dan implementasi kebijakan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu, maka selaras dengan kebijakan Pemerintah Pusat, Provinsi Jawa Barat, dan Pemerintah Kabupaten
148 Indramayu, serta merujuk pada skenario optimistik dari model yang dibangun, prinsip pokok yang perlu dipegang/diperhatikan ialah bahwa: 1. Pengendalian
penyakit
DBD
adalah
bagian
integral
dari
program
pembangunan kesehatan di Kabupaten Indramayu. Oleh karena itu perlu ditangani secara lintas program dan lintas sektoral di semua tingkat administrasi pemerintahan dengan dukungan partisipasi aktif seluruh masyarakat dengan pendekatan sistem; 2. Pengendalian penyakit DBD diselenggarakan dalam kerangka desentralisasi untuk mewujudkan otonomi daerah bidang kesehatan. Oleh karena itu pengendalian DBD perlu diarahkan kepada perwujudan kemampuan daerah dan masyarakat untuk mengelola dirinya sendiri dan pengembangan upaya kesehatan bersumber masyarakat
(UKBM) hingga tercapai tujuan:
(1) Kabupaten Indramayu bebas penyakit DBD, (2) kenyamanan/ketenteraman masyarakat meningkat, dan (3) produktivitas masyarakat meningkat; 3. Pengendalian penyakit DBD hendaknya berfokus pada faktor-faktor kesehatan lingkungan, kependudukan, layanan kesehatan, dan vektor penyakit DBD; 4. Pengendalian penyakit DBD hendaknya dikembangkan secara edukatif yang didukung oleh dana, sarana, sumber daya manusia, dan teknologi sesuai kebutuhan. Strategi Dalam rangka implementasi kebijakan pengendalian DBD secara efektif maka perlu disusun/dikembangkan berbagai strategi yang tepat dan realistis sesuai tujuan. Strategi disusun berdasarkan hasil akhir AHP dipadukan dengan hasil ISM dan hasil analisis data lainnya. Hasil AHP menunjukkan bahwa strategi utama pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ialah peningkatan kesehatan lingkungan permukiman (nilai skor = 0,546) diikuti peningkatan kesiapan hidup sehat masyarakat (0,234), peningkatan layanan kesehatan kepada masyarakat (0,126), dan pengendalian vektor penyakit DBD (0,093). Hasil ISM menunjukkan bahwa peringkat utama sub elemen “tujuan”, “kriteria”, dan “strategi” pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ialah berturutturut: keadaan rumah hunian masyarakat dan lingkungannya bersih dan sehat, dukungan teknologi penyuluhan kesehatan lingkungan, dan peningkatan frekuensi
149 penyuluhan kesehatan lingkungan kepada masyarakat oleh Pemerintah. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan signifikan dengan kejadian DBD di Kabupaten Indramayu ialah kesehatan rumah tangga, sumber perolehan air bersih/minum, pengelolaan sampah rumah tangga, pengetahuan kepala keluarga tentang DBD, perilaku hidup sehat, pendapatan/pengeluaran per kapita keluarga, pendidikan formal kepala keluarga, keteraturan pembersihan tempat penampungan air, dan curah hujan. Strategi peningkatan kesehatan lingkungan permukiman Kesehatan lingkungan permukiman ialah kesehatan rumah tangga/fasilitas umum/industri serta aspek lingkungannya mencakup sistem pengelolaan air limbah dan sampah, pengelolaan air bersih/minum, pengelolaan kotoran manusia dan hewan, pengelolaan tanaman dan sebagainya. Kualitas lingkungan permukiman yang sehat adalah keadaan lingkungan yang bebas dari risiko yang membahayakan kesehatan dan keselamatan hidup manusia. Lingkungan permukiman
yang
tidak
sehat
berpotensi
besar
mendukung
pesatnya
perkembangan penyebab penyakit menular yang pada akhirnya akan merugikan individu, keluarga, dan masyarakat. Fokus tujuan program ini ialah meningkatnya proporsi rumah penduduk dengan kategori “sehat” yang hingga akhir tahun 2008 baru mencapai sekitar 33,2%. Berdasarkan ISM dan analisis kebutuhan Stakeholder, program-program bagian integral dari strategi peningkatan kesehatan lingkungan permukiman ialah: 1. penyebarluasan informasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan bidang kesehatan dan lingkungan hidup oleh Pemerintah Kabupaten, Kecamatan, dan Desa/Kelurahan serta Dinas Instansi yang terkait bersama masyarakat; 2. peningkatan pengetahuan dan keterampilan penyelenggara program PUSKESMAS dan Dinas/Instansi lain yang terkait dalam hal penyuluhan dan bimbingan teknis kesehatan lingkungan kepada masyarakat; 3. peningkatan frekuensi dan mutu penyuluhan kesehatan lingkungan berdasarkan SOP yang telah ditetapkan. Materi penyuluhan prioritas utama ialah sanitasi ruang dan bangunan, pengelolaan air limbah dan
150 sampah, pengelolaan air bersih/minum, pengelolaan kotoran manusia dan hewan, pengelolaan tanaman bermanfaat; 4. pengembangan partisipasi aktif masyarakat dalam bentuk pengembangan desa binaan kesehatan lingkungan secara serentak di desa/kelurahan sesuai dengan hasil musyawarah masyarakat. Strategi peningkatan kesiapan hidup sehat masyarakat Peningkatan kesiapan hidup sehat masyarakat mencakup: kesiapan menerima peningkatan pengetahuan hidup sehat, kesiapan mengembangkan sikap positif menuju hidup sehat, kesiapan melakukan perubahan perilaku menuju hidup sehat, kesiapan mengusahakan penyediaan dana dan sarana secara swadaya dan gotong royong, serta kesiapan menegakkan hukum kesehatan dan lingkungan hidup. Fokus kegiatan ini ialah mewujudkan pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat dan aktif berperan serta dalam upaya kesehatan. Berdasarkan ISM dan analisis kebutuhan Stakeholder, program-program bagian integral dari strategi peningkatan kesiapan hidup sehat masyarakat ialah: 1. Penyuluhan kesehatan lingkungan masyarakat secara “perorangan” dan “kelompok” oleh Dinas/Instansi kesehatan dan non kesehatan sesuai dengan frekuensi dan mutu berdasarkan SOP; 2. Penyuluhan kesehatan lingkungan dengan cara titip pesan melalui media tradisional, cetak, dan elektronik oleh Dinas/Instansi kesehatan dan non kesehatan sesuai dengan frekuensi dan mutu berdasarkan SOP ; 3. pengembangan/peningkatan reward system dan law enforcement oleh Pemerintah Kabupaten, Kecamatan, dan Desa/Kelurahan. Strategi peningkatan layanan kesehatan kepada masyarakat Layanan
kesehatan
RS
dan
PUSKESMAS
dimaksudkan
mewujudkan kesehatan individu, keluarga, masyarakat, serta
untuk
lingkungan
perumahan/ permukinan secara optimal. Layanan pengobatan penderita DBD ditujukan untuk penyembuhan penderita atau menurunnya CFR yang hingga tahun 2008 masih berkisar pada 4,89. Layanan penyuluhan kesehatan lingkungan ditujukan untuk membantu masyarakat dalam mengembangkan pengetahuan, sikap, dan perilaku hidup sehat.
151 Berdasarkan ISM dan analisis kebutuhan Stakeholder, program-program bagian integral dari strategi peningkatan layanan kesehatan masyarakat ialah: 1. Peningkatan jumlah dan mutu sumber daya manusia, sarana penegakan diagnosis, dan sarana pengobatan/perawatan yang memadai di RS dan PUSKESMAS; 2. Pengembangan manajemen penanganan penderita penyakit DBD; 3. Pengobatan/perawatan/rujukan penderita
penyakit DBD berdasarkan
SOP; 4. Penyuluhan kesehatan lingkungan di dalam dan di luar gedung RS dan PUSKESMAS sesuai dengan frekuensi dan mutu berdasarkan SOP; 5. Pengembangan SOP penyuluhan kesehatan lingkungan sebagai penjabaran petunjuk pelaksanaan dari Pusat, Propinsi, dan Kabupaten, mencakup: kategori/kriteria sasaran, jumlah sasaran, materi, frekuensi, tempat, waktu, teknik/metode pelaksanaan, petugas dan pembimbing teknis, sarana, alat peraga, sumber dana dan indikator/ukuran keberhasilan termasuk instrumen penilaian penyuluhan. 6. Peningkatan frekuensi bimbingan teknis kesehatan lingkungan kepada masyarakat oleh Dinas Kesehatan dan Puskesmas. 7. Pengembangan SOP bimbingan teknis kesehatan lingkungan. 8. Pertemuan berkala antar petugas RS dan PUSKESMAS dalam rangka perencanaan dan evaluasi program pengendalian DBD. Strategi pengendalian vektor penyakit DBD Pengendalian vektor penyakit DBD pada dasarnya harus dilakukan secara simultan yakni pemberantasan nyamuk Aedes aegypti dewasa sekaligus pemberantasan telur/jentik/kepompongnya dengan cara membersihkan TPA dan TPN di dalam dan di luar sekitar rumah. Intensitas gerakan ini diatur secara rutin/periodik, setiap pagi atau sore hari, terutama sebelum dan setelah musim hujan. Angka curah hujan sedikit banyak mempengaruhi tingkat suhu dan kelembaban udara, serta jumlah kontainer yang potensil bagi perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Dengan demikian program yang penting dikembangkan ialah program pemberdayaan masyarakat agar mereka terhindar dari kontak/ gigitan nyamuk Aedes aegypti, seperti penggunaan tanaman anti nyamuk dan
152 kelambu; dan gerakan kebersihan atau kesehatan lingkungan di semua tingkat administrasi pemerintahan, seperti Jum’at Bersih (JUMSIH) yang rutin dilakukan selama ini. Agar kebijakan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu dapat diimplementasikan dalam program jangka pendek, menengah, dan panjang, maka perlu dikembangkan upaya pengelolaan terpadu di semua tingkat administrasi pemerintahan mulai Kabupaten sampai RW/Rukun Tetangga (RT) meliputi : 1. Peningkatan kerjasama lintas program dan lintas sektoral tingkat Kabupaten serta pengembangan Tim Koordinasi Pengendalian Penyakit DBD Tingkat Kabupaten Indramayu melalui forum pertemuan khusus seperti loka karya, rapat kerja, seminar dan sebagainya; 2. Perumusan/penegasan kembali pokok-pokok kegiatan Tim Koordinasi Pengendalian Penyakit DBD Tingkat Kabupaten Indramayu dan uraian tugas anggota; 3. Peningkatan kerjasama lintas program dan lintas sektoral tingkat kecamatan serta pembentukan/pengembangan Tim Koordinasi Pengendalian Penyakit DBD Tingkat Kecamatan melalui forum pertemuan khusus; 4. Perumusan / penegasan kembali pokok-pokok kegiatan Tim
Koordinasi
Pengendalian Penyakit DBD Tingkat Kecamatan serta uraian tugas anggota; 5. Pendekatan Tim Koordinasi Pengendalian Penyakit DBD Tingkat Kecamatan kepada Pemerintah Desa/Kelurahan serta pembentukan/ pengembangan Tim Koordinasi Pengendalian Penyakit DBD Tingkat Desa/Kelurahan; 6. Perumusan/penegasan kembali pokok-pokok kegiatan Tim Koordinasi Pengendalian Penyakit DBD Tingkat Desa/Kelurahan dengan uraian tugas; 7. Pembentukan/pengembangan Tim Pelaksana Pengendalian Penyakit DBD Tingkat RT/RW dan perumusan/penegasan kembali pokok-pokok kegiatan tim termasuk uraian tugas anggota; 8. Pelaksanaan pokok-pokok kegiatan seluruh tim tingkat Kabupaten sampai tingkat desa/kelurahan; 9. Monitoring dan evaluasi secara berjenjang mulai dari tingkat kabupaten; 10. Pengendalian dan pengembangan program.
153 Pada akhirnya, untuk mendukung penyuksesan upaya pengelolaan program yang telah dicanangkan itu secara keseluruhan maka perlu dialokasikan dana, sarana/fasilitas,
sumberdaya
manusia/petugas
penyelenggara
program
pengendalian DBD sesuai dengan jumlah dan mutu yang diperlukan.
Di Kecamatan Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana faktor-faktor yang tidak tampak berhubungan signifikan dalam Alpha 0,05 dengan kejadian DBD ialah sumber air rumah tangga (p-Value = 0,47), pembuangan air limbah rumah tangga (p-Value = 0,65), pekerjaan/mata pencaharian kepala keluarga (p-Value = 0,89), dan pendidikan formal kepala keluarga (p-Value = 0,92). Sementara itu faktorfaktor yang berhubungan signifikan dalam Alpha 0,05 dengan kejadian DBD ialah kesehatan rumah hunian (p-Value = 0,00), pengelolaan sampah rumah tangga (pValue = 0,00), pengetahuan kepala keluarga tentang DBD (p-Value = 0,00), perilaku sehat penghuni rumah tangga (p-Value = 0,00), pendapatan/pengeluaran per kapita keluarga (p-Value = 0,00), dan keteraturan pembersihan TPA (p-Value = 0,00). Kecamatan Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana.