ISBN: 978-979-8636-19-6
UPAYA KONSERVASI TANAH DAN AIR DENGAN AGROFORESTRI DI SUBANG SELATAN Rizka Maria1, Hilda Lestiana1, dan Asep Mulyono2 1
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Kompleks LIPI, Gd 70, Jl Sangkuriang Bandung 40135 2 UPT LUTBMB Liwa LIPI Email:
[email protected]
Abstrak Daerah Subang bagian selatan memiliki sumber daya alam yang sangat potensial dan diusahakan secara maksimal untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pengelolaan sumberdaya alam untuk kepentingan ekonomi terkadang mengabaikan faktor lingkungan, salah satu contohnya adalah deforestasi yang menyebabkan lahan kritis. Masalah ini bertambah berat dengan meningkatnya luas areal hutan yang dikonversikan menjadi lahan usaha lain. Eksploitasi lahan yang berlebihan adalah perluasan lahan perkebunan yang menggeser luas hutan konservasi. Berdasarkan data tutupan lahan tahun 1999 – 2009 luas lahan hutan berkurang 6.05 % sedangkan luas lahan perkebunan bertambah 22.79 %. Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan perkebunan akan menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan iklim lokal. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan upaya konservasi dengan penekanan pada pemulihan kualitas lingkungan terutama konservasi tanah dan air, namun tetap memperhatikan kemajuan perekonomian masyarakat disekitarnya. Salah satu metode yang dapat diterapkan di daerah Subang bagian selatan adalah metode agroforestri. Agroforestri dalam konservasi tanah dan air dengan menerapkan perpaduan pola tanam dan kolaborasi berbagai macam kegiatan ekonomi yang mengarah pada perbaikan kondisi lingkungan. Kata kunci : konservasi lahan dan air, agroforestri, perekonomian masyarakat.
Abstract The Southern part of Subang has plenty of natural resources which has been utilized to its maximum for the welfare of the residents. The management of natural resources for economic interests sometimes ignore environmental factors. One example is the deforestation that causes land degradation. This problem becomes more severe with the increasing of total forest land area converted to other businesses. Excessive land exploitation is the expansion of plantation shifting the area of forest conservation. Based on the land cover data in 1999 – 2009, the forest land area decreases 6.05% while the plantation area increased 22.79%. Land conversion of forests into plantations causes many problems such as decreased soil fertility, erosion, extinction of flora and fauna, floods, droughts and even local climate change. To overcome these problems conservation Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI - 2012
167
ISBN: 978-979-8636-19-6
measures are required with an emphasis on the restoration of environmental quality, especially soil and water conservations. The implementation of conservation measures shall consider the economic development of the surronding community. A method that can be applied in the South Subang area is part of agroforestry method. Agroforestry in the conservation of soil and water mixing the cropping patterns and collaboration of a wide range of economic activities that lead to the improvement of environmental conditions. Keywords: soil and water conservation, agroforestry, community economy.
PENDAHULUAN Sumberdaya alam yang berupa hutan, tanah, dan air mempunyai peranan yang penting dalam kelangsungan hidup manusia sehingga dalam pemanfaatannya perlu dilakukan secara bijaksana. Kerusakan sumberdaya alam hutan yang terjadi saat ini telah menyebabkan terganggunya keseimbangan lingkungan hidup daerah aliran sungai. Kondisi seperti ini tercermin pada sering terjadinya erosi, banjir dan kekeringan (Asdak, 2004). Tekanan yang besar terhadap sumber daya alam oleh aktivitas manusia, salah satunya, dapat ditunjukkan adanya perubahan tutupan lahan yang begitu cepat. Kerusakan daerah aliran sungai sangat erat hubungannya dengan kelestarian hutan di daerah hulu sebagai daerah tangkapan hujan (Zulrasdi, 2005). Lahan kritis dan erosi tanah merupakan salah satu permasalahan yang timbul berkaitan dengan faktor penurunan kualitas lingkungan, sehingga mengakibatkan kesuburan tanah menurun, keseimbangan hidrologi terganggu serta peningkatan frekuensi banjir dan longsor. Menurut Arsyad (2000), konservasi tanah mempunyai hubungan yang erat dengan konservasi air. Sistem pengelolaan air dan lahan dengan pendekatan konservasi difokuskan pada penanggulangan erosi permukaan dan menjaga hilangnya kesuburuan tanah. Tanpa adanya teknik-teknik penanaman yang baik, maka akan semakin banyak lahan yang kritis yang menyebabkan produktifitasnya akan menurun. Daerah subang bagian selatan memiliki sumber daya alam yang sangat potensial sehingga perlu diberdayakan secara maksimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan sumberdaya alam untuk kepentingan ekonomi terkadang mengabaikan faktor lingkungan. Menurut Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Subang, Ir. H. Samsuddin, bahwa pada tahun 2006 kecamatan yang paling luas dan rawan terdapat lahan kritis di wilayah Kabupaten Subang Selatan terletak di wilayah Cijambe seluas 4.745 ha, Cisalak 1.631 ha, dan Sagalaherang mencapai 800 ha, sedangkan di daerah Subang lainnya di bawah 500 ha. Total luas lahan hutan yang digarap masyarakat sekitar 12.000 ha, sementara lahan hutan yang digarap Perhutani sekitar 20.000 ha. Dari 12.000 ha hutan yang dikelola masyarakat, 4.000 ha dalam kondisi kritis. Kebanyakan lahan yang mengalami kritis di daerah Subang bagian selatan adalah di Kecamatan Cijambe (www.kabarindonesia.com). Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik wilayah dan metode konservasi lahan dan air di kawasan Subang bagian selatan. Diharapkan dengan mengetahui karakteristik iklim, tanah, topografi dan tutupan lahan dapat menunjang keberhasilan usaha konservasi untuk mengatasi kekritisan lahan di kawasan Subang selatan.
168
Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI - 2012
ISBN: 978-979-8636-19-6
LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian di wilayah Subang bagian Selatan meliputi Kecamatan Jalancagak, Sagalaherang, Ciater, Cisalak, Tanjungsiang dan Cijambe (Gambar 1.).
Gambar 1. Daerah Penelitian di Wilayah Subang bagian Selatan
METODOLOGI Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap kegiatan yang meliputi: 1. Pengumpulan data sekunder, peta-peta tematik serta analisis data. 2. Survei lapangan berupa pengumpulan data primer terdiri dari ground check (pengamatan, pengukuran) dan pengambilan sampel tanah. 3. Kegiatan di studio berupa pengolahan data serta analisis berbagai peta tematik Data- data yang dipakai adalah data curah hujan, data kemiringan lereng, jenis tanah, jenis batuan, dan data penggunaan lahan. Data curah hujan dihitung berdasarkan empat stasiun curah hujan pada tahun 1999 dan 2009. Kemiringan lereng merupakan hasil ekstraksi dari peta kontur yang diperoleh dari peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:25.000. Jenis tanah diperoleh dari hasil pengambilan conto tanah di lapangan dengan mengacu pada peta tanah Kabupaten Subang skala 1:250.000 yang dikeluarkan oleh Puslittanak. Jenis batuan merupakan hasil pengamatan lapangan yang mengacu pada peta Geologi yang dikeluarkan oleh Pusat Survey Geologi skala 1:100.000. Penggunaan lahan diperoleh dari peta penggunaan lahan Bakosurtanal 2004 dan interpretasi visual citra ALOS tahun 2009. Dari beberapa data tersebut diatas kemudian dilakukan analisis untuk melihat kekritisan lahan, kemudian mencari metode konservasi tanah yang cocok diterapkan di daerah ini.
Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI - 2012
169
ISBN: 978-979-8636-19-6
HASIL PENELITIAN/DISKUSI Curah hujan Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang berperan terhadap kejadian erosi, tetapi yang sering terjadi justru dipercepat oleh tindakan manusia (Sutedjo, 2002). Selain pola hujan, jenis, dan pertumbuhan vegetasi serta jenis tanah juga mempengaruhi erosi di daerah tropis (Arsyad, 2000). Pengolahan data curah hujan daerah Subang selatan disusun dengan melakukan interpolasi spasial pada data-data stasiun pengamatan hujan yang ada di Subang pada tahun pengamatan 2008. Data-data stasiun hujan tersebut diperoleh dari berbagai instansi seperti PTPN VIII Ciater Jawa Barat dan BPLHD Subang. Sebagai langkah awal adalah menghitung curah hujan rata rata bulanan dan tahunan setiap stasiun dengan metode perhitungan aritmatik. Data curah hujan yang diperoleh dari masing-masing stasiun penakar curah hujan yang telah dihitung dengan metode aritmatik kemudian dilakukan analisis yang dilakukan dengan menggunakan metode Kurva Massa. Berdasarkan data curah hujan hujan tahun 1999 – 2009 terlihat bahwa kondisi curah hujan di Subang selatan relatif tinggi. Nilai curah hujan bulanan rata- rata 280 mm/bulan dan curah hujan tahunan rata- rata 2129 mm/thn (Gambar 2). Nilai curah hujan tahunan di Subang bagian selatan >2000 mm berpeluang besar menimbulkan erosi, apalagi di wilayah pegunungan yang lahannya didominasi oleh berbagai jenis tanah. Tingginya curah hujan sangat potensial memicu terjadinya banjir dan longsor apabila kondisi tutupan lahan tidak kuat menahan beban tanah. 1400
Curah Hujan Subang Selatan Tahun 2000 - 2009
1200 1000
2001
2000
800
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
600 400 200 NOP
JUL
SEP
JAN
MEI
MAR
JUL
SEP
NOP
MEI
JAN
NOP
MAR
JUL
SEP
JAN
MEI
MAR
JUL
SEP
NOP
MEI
JAN
NOP
MAR
JUL
SEP
JAN
MEI
MAR
JUL
SEP
NOP
MEI
JAN
NOP
MAR
JUL
SEP
JAN
MEI
MAR
JUL
SEP
NOP
MEI
JAN
NOP
MAR
JUL
SEP
JAN
MEI
MAR
JUL
SEP
NOP
MEI
JAN
MAR
0
Gambar 2. Grafik Pola Curah Hujan Tahun 1999 -2009
Topografi Peta kemiringan lereng diperoleh dari hasil ekstraksi data topografi (kontur) pada peta Rupa Bumi indonesia skala 1 : 25.000. Pada daerah penelitian, satuan geomorfologi dibagi menjadi lima satuan morfologi, dimana pembagian ini dibagi berdasarkan kemiringan lerengnya. Satuan lereng sangat curam dengan kemiringan lereng lebih besar dari 25%, satuan lereng curam dengan kemiringan lereng antara 15 - 25 %, satuan lereng agak curam dengan kemiringan lereng 8 - 15%, satuan lereng datar sampai miring dengan kemiringan dibawah 3 - 8%, dan satuan lereng datar dengan kemiringan dibawah 0 - 3% (Gambar 3). Topografi di daerah Subang selatan sangat beragam. Dimulai dari kemiringan lereng landai (3 - 8%) sampai kemiringan lereng sangat curam (>25%). Secara genetis satuan morfologi ini
170
Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI - 2012
ISBN: 978-979-8636-19-6
dibentuk oleh satuan batuan yang mempunyai sifat kekerasan yang tinggi. Proses yang berlangsung adalah denudasional, erosi intensif, dan gerakan tanah.
Gambar 3. Peta Kemiringan lereng daerah Subang selatan
Jenis tanah Sebagian besar jenis tanah yang terdapat di Subang selatan adalah berjenis asosiasi Andisol dan Entisol. Karakteristik tanah Entisol mempunyai konsistensi lepas tingkat agregasi rendah, peka terhadap erosi dan kandungan hara tesedia rendah. Sedangkan karakteristik tanah andisol mempunyai unsur hara yang cukup tinggi yang merupakan hasil pelapukan dan rombakan dari abu vulkanik. Tanah ini sangat subur sehingga tanah jenis ini baik untuk ditanami. Jenis tanah pada daerah Subang selatan adalah dari ordo Andisols dan Entisols (biasa ditemui pada ketinggian >1.000 m dpl) serta Inceptisols (700-1.000 m dpl). Sifat-sifat fisik tanah cukup baik, yaitu struktur tanah umumnya remah atau lepas dengan kedalaman tanah (solum) dalam, mempunyai aerasi baik dan porositas tinggi. Namun karena lahan-lahan tersebut terletak pada topografi yang berlereng, dengan curah hujan tinggi serta budi daya yang intensif, maka kepekaan tanahnya terhadap erosi sangat tinggi. Suganda (1997) membuktikan bahwa bedengan yang dibuat searah lereng dan setiap 4,50 m dibuat guludan memotong lereng nyata mengurangi jumlah tanah yang tererosi. Dalam tanah yang tererosi terbawa sejumlah unsur-unsur hara yang sangat penting untuk pertumbuhan tanaman. Teknik konservasi tanah dan cara-cara pencegahan erosi terbukti dapat mengurangi jumlah hara yang hilang dari dalam tanah (Sinukaban, 1990). Tutupan lahan Sebagai gambaran awal, digunakan peta penggunaan lahan yang diperoleh dari peta Rupa Bumi Indonesia. Penggunaan lahan di kawasan Jalancagak bervariasi dikelompokkan menjadi beberapa bagian sesuai dengan dengan penggunaannya. Variasi penggunaan lahan di Kawasan Jalancagak sangat beragam. Mulai dari kawasan konservasi yaitu hutan, kawasan budidaya berupa kebun, sawah, sawah tadah hujan, semak belukar, tanah berbatu, tanah ladang dan air tawar serta kawasan sosial yaitu pemukiman. Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI - 2012
171
ISBN: 978-979-8636-19-6
Dari peta penggunaan lahan peta RBI tahun 2004 dan hasil interpretasi visual citra ALOS tahun 2009, variasi penggunaan lahan di Subang Selatan sangat beragam. Mulai dari kawasan konservasi (hutan), kawasan budidaya (kebun, sawah, ladang), serta kawasan sosial (pemukiman). Selama kurun waktu 10 tahun (1999 - 2009) terjadi perubahan tutupan lahan signifikan dari kawasan konservasi menjadi kawasan budidaya (Tabel 1). Tabel 1. Perubahan tutupan lahan dari tahun 1999 - 2009
Tahun 1999 Luas (Ha) %
Penggunaan Lahan
Tahun 2009 Luas (Ha) %
Perubahan Luas (Ha) %
Hutan
63.42
15.39
36.84
9.34
-26.58
-6.05
Kebun
110.15
26.72
195.23
49.51
85.08
22.79
Tegalan
131.15
31.91
39.46
10.01
-92.05
-21.09
Persawahan
84.82
20.58
87.97
22.31
3.14
1.73
Pemukiman TOTAL
22.30 416.26
5.41 100.00
34.82 416.26
8.83 100.00
12.52
3.42
Berdasarkan data tutupan lahan tahun 1999 - 2009, perubahan luas lahan sangat menonjol pada kawasan konservasi (hutan) menjadi kawasan budidaya (kebun). Luas lahan hutan berkurang 6.05 % sedangkan luas lahan perkebunan bertambah 22.79%. (Gambar 4). Grafik Perubahan Luas Tutupan Lahan Tahun 1999 - 2009
Pemukiman Persawahan Tegalan Kebun Hutan
-150
-100
-50
0
50
100
Luas Lahan (Ha)
Gambar 4. Grafik Perubahan Luas Tutupan Lahan Tahun 1999 -2009
Alih fungsi lahan di kawasan konservasi menjadi lahan perkebunan disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan pemanasan global. Peran agroforestri dalam konservasi air dan tanah Salah satu metode yang dapat diterapkan di daerah Subang bagian selatan adalah metode agroforestri. Agroforestri adalah perpaduan pola tanam dan kolaborasi antara berbagai macam kegiatan ekonomi, yang mengarah pada perbaikan kondisi lingkungan, sehingga manfaat multi fungsi dapat dirasakan (Gambar 5).
172
Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI - 2012
ISBN: 978-979-8636-19-6
Sistem perbaikan lahan konservasi
Hutan Alami
Hutan Buatan Agroforestri
Perkebunan
Gambar 5. Diagram sistem perbaikan lahan konservasi
Pola agroforestry merupakan suatu sistem pola tanam yang memadukan berbagai jenis pohon dengan tanaman semusim, pola ini telah diterapkan oleh petani di berbagai daerah dengan berbagai iklim, jenis tanah dan jenis tanaman yang bervariasi sehingga bisa menghasilkan produk yang bernilai ekonomi, dengan mengoptimalkan dan meningkatkan produktivitas lahan di samping dapat mempertahankan aspek ekologi (Pambudi, 2008). Untuk menunjang keberhasilan program rehabilitasi suatu kawasan, salah satunya melalui budidaya agroforestri yang melibatkan masyarakat setempat. Dengan sistem budidaya agroforestri ini selain mengurangi lahan kritis juga menambah pendapatan masyarakat. Penerapan pola agroforestri dapat dipadukan dengan upaya-upaya konservasi lainnya, seperti pembuatan teras bangku, saluran pembuangan dan pembuatan bangunan lainnya, sehingga sedimentasi dapat ditekan. Selain tumpang sari tanaman tahunan dan tanaman semusim (pangan) juga dapat dimasukan tanaman hortikultura dan rumput pakan ternak. Peran agroforestri dalam mengatasi kekritisan lahan antara lain 1)Meningkatkan peresapan airtanah, 2)Mengurangi aliran permukaan, 3)Mencegah banjir di hilir, 4)Mengurangi laju evapotranspirasi, 5)Meningkatkan unsur hara dan memperbaiki struktur tanah, 6)Menjaga baseflow di musim kemarau, 7)Perlindungan terhadap ekologi daerah hulu, 8)Mengurangi suhu permukaan tanah, 9)Mengurangi erosi tanah. Jenis Tanaman Dalam Kegiatan Agroforestri Sebagai Upaya Konservasi Dalam pemilihan jenis tanaman selain memperhatikan faktor klimatis juga diupayakan menentukan vegetasi asli di tempat tersebut sebagai sumber jenis pohon yang dapat tumbuh baik di berbagai tempat. Hal ini dapat menghindarkan pemaksaan pengembangan jenis pohon yang kurang sesuai dengan iklim daerah Subang. Pertimbangan lain adalah penguasaan teknologi pengembangan dan penyediaan benihnya. Berdasarkan data iklim dan topografi, beberapa tanaman hutan yang dapat ditumpangsarikan dengan tanaman tahunan di kawasan Subang selatan seperti yang terlihat pada Tabel 2 dan 3.
Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI - 2012
173
ISBN: 978-979-8636-19-6
Tabel 2. Beberapa Jenis Tanaman Hutan dan karakteristik iklimnya
No
Jenis Tanaman
Ketinggian (m dpl)
1 2 3 4 5 6
Agathis Gamal Kaliandra Lamtoro Merah Pinus Sengon
1 - 1000 0 - 2200 0 - 1750 0 - 1200 200 - 2000 1 - 1500
Kebutuhan iklim Curah Hujan (mm/thn)
Suhu (oC)
Kelembaban (%)
2000 - 4000 500 - 2500 2000 - 4000 2000 - 2500 1500 - 4000 2000 - 4000
20 - 30 20 - 29 22 - 32 22 - 34
55 - 70 -
Sumber : Arsyad (1989)
Pemilihan jenis tamanan bukan hal yang sederhana. Selain faktor pengembangan iklim, pertimbangan faktor ekologis dan sosial ekonomi masyarakat sekitar juga berpengaruh dalam keberhasilan program konservasi air dan tanah. Dalam rangka mengembalikan kesuburan tanah diperlukan jenis-jenis dan pola perpaduan kegiatan yang mampu meningkatkan produktifitas lahan, seperti tanaman legume yang mampu mengikat N di udara, serta sistem agrosilvopasoral (kombinasi tanaman pertanian, kehutanan dan peternakan) yang dapat meningkatkan unsur hara tanah, dan porositas tanah yang memudahkan terjadinya infiltrasi, sehinggga memperbaiki sistem hidrologi. Tabel 3. Beberapa Jenis Tanaman Tahunan dan karakteristik iklimnya
No
Jenis Tanaman
Ketinggian (m dpl)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Cengkeh Durian Kakao Kopi Lamtoro Mangga Manggis Nangka Petai Sirsak Sukun Turi
600 – 900 0 – 1000 0 – 1000 500 – 2000 0 – 1000 0 – 500 0 - 800 0 – 700 0 – 1500 0 – 1000 0 – 700 0 – 1000
Kebutuhan iklim Curah Hujan Suhu Kelembaban o (mm/thn) ( C) (%) 2000 – 3000 21 - 32 1200 24 - 30 1250 – 3000 21 - 30 2000 – 3000 17 - 21 600 – 2500 20 - 34 1000 27 – 34 1000 22 - 32 1500 – 2500 24 - 30 600 – 2500 20 - 34 1500 – 3000 250-32 1500 – 2500 24 - 30 600 - 2500 22 - 32 -
Sumber : Kartasapoetra (1993) dan Setiawan (1995)
Dengan demikian pemilihan jenis tanaman sangat diperlukan pada sistem agroforestri. Kombinasi agroforestri dalam upaya konservasi lebih di konsentrasikan pada komposisi jenis, dan strata tajuk yang dibentuk. Hal ini terkait dengan penutupan lahan yang sangat berpengaruh terhadap hidrologi suatu lahan.
174
Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI - 2012
ISBN: 978-979-8636-19-6
KESIMPULAN Berdasarkan analisis iklim, topografi, jenis tanah dan tutupan lahan maka sistem agroforestri yang cocok diterapkan di wilayah penelitian adalah : 1. Budidaya tanaman menetap pada sebidang lahan. 2. Untuk memperbaiki sistem hidrologi maka pemilihan tanaman budidaya harus memiliki karakteristik tumbuh yang kuat terhadap kondisi tanah, topografi dan curah hujan yang tinggi, memiliki jenis perakaran yang kuat sehingga bisa mencegak longsor dan lahan kritis. 3. Mengkombinasikan pertanaman semusim dan tahunan secara berdampingan atau berurutan, tanpa atau dengan pemeliharaan ternak. 4. Menerapkan teknik konservasi yang sesuai dengan kebudayaan petani setempat. Penerapan dan pengelolaan agroforestri dapat mengatasi alih fungsi lahan sekaligus masalah ketersediaan pangan. Dengan penerapan agroforestri mampu mengembalikan fungsi konservasi tanah dan air sebagai sistem penyangga, sehingga dapat mengatasi permasalahan penurunan kualitas lahan dan peningkatan perekonomian masyarakat. Konservasi lahan merupakan upaya mempertahankan keaslian serta kelestarian lahan, serta untuk mendapatkan keberlanjutan produksi lahan dengan menjaga laju kehilangan tanah tetap dibawah ambang batas.
UCAPAN TERIMAKASIH Dengan selesainya tulisan ini kami sampaikan ucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, atas fasilitas dan kesempatannya untuk melakukan penelitian ini. Terima kasih juga di sampaikan dari Tim Penelitian untuk semua pihak yang telah memberikan bantuan masukan dan kerjasamanya semenjak dalam penelitian hingga penerbitan tulisan ini. Penelitian ini di biayai atas beban anggran DIPA Tematik, Pusat Penelitian Geoteknologi tahun anggaran 2012.
DAFTAR PUSTAKA Arsyad, S. 2010, Konservasi Tanah dan Air. UPT Produksi Media Informasi Lembaga Sumberdaya, IPB. Bogor. Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Penerbit Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Kartasapoetra, A.G, dan M.M. Sutedjo. 1985. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta Pambudi, A ., 2008. Agroforestry. BPDAS Jenneberang, Kabupaten Gowa. Rahim, E. S., 2003 . Pengendalian Erosi Tanah. Pustaka Buana, Bandung. Setiawan, 1995. Penghijauan Lahan Kritis. Penebar Swadaya. Jakarta Sinukaban, N. 1990. Pengaruh pengolahan tanah konservasi dan pemberian mulsa jerami terhadap produksi tanaman pangan dan erosi hara. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk, 9, 32-38.
Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI - 2012
175
ISBN: 978-979-8636-19-6
Suganda, H.M. S. Djunaedi, D. Santoso, dan S. Sukmana. 1997. Pengaruh cara pengendalian erosi terhadap aliran permukaan tanah tererosi dan produksi sayuran pada Andisols. Jurnal Tanah dan Iklim, 15, 38-50. Sutedjo, M.M., dan A.G Kartasapoetra. 2002. Pengantar Ilmu Tanah. Penerbit Bineka Cipta. Jakarta. www.kabarindonesia.com, Longsor di daerah Subang, diakses tanggal 1 Desember 2012 Zulrasdi, Noer Sjofjendi, 2005. Pertanian di Daerah Aliran Sungai, Lembaga Informasi Pertanian, BPPT Sumatera Barat.
176
Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI - 2012