Pringgitan Kiwa, Pendapa Wiyatapraja, Kompleks Kepatihan, Danurejan, Yogyakarta - 55213 tel: 0274 7460235, 562811 pes. 1231, fax: 0274 562632 email:
[email protected]
Peringatan HUT-III Ikrar Masyarakat Tionghoa Tahun 2012 bekerjasama dengan JCACC: Jogja-Chinese Art & Culture Centre diselenggarakan Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri-76:
Topik: “AKULTURASI BUDAYA TIONGHOA DENGAN BUDAYA JAWA MEMBENTUK BUDAYA INDONESIA”
SEBUAH
kebudayaan besar biasanya memiliki sub-kebudayaan atau akrab disebut sub-kultur. Dengan pengertian ini, kebudayaan Tionghoa adalah sub-kultur dari kebudayaan Indonesia. Dari persentuhan budaya, terbentuklah sebuah melting pot, di mana budaya Tionghoa berbaur dan bergabung dengan kebudayaan asli tanpa campur tangan pemerintah melalui akulturasi budaya. Awalnya budaya Tionghoa datang berabad-abad lalu dari Fujian, Tiongkok Selatan, dan berakulturasi menjadi budaya daerah setempat yang membumi di masyarakat. Proses akulturasi itu menghasilkan berbagai ragam masakan, kesenian serta hasil karya yang unik dan khas daerah. Akulturasi Budaya Akulturasi budaya itu bentuknya berupa bahasa, makanan, pakaian, seni tari dan seni musik. Contohnya, lumpia dan wingka Semarang, bakpya Pathook, baju kurung yang dikembangkan menjadi kebaya encim yang dikenakan dengan kombinasi sarung batik. Demikian juga seni musik gambang kromong di Semarang oleh Lie Hoo Soen di abad ke-19, yang kini menjadi gambang Semarang. Seperti juga seni lenong dan cokek yang merupakan kelengkapan gambang kromong, kini diakui sebagai seni khas Betawi. Istilah cokek sendiri berasal dari bahasa Hokkian, Cio Kek –penari muda yang diiringi musik gambang kromong. Musik tanjidor yang merupakan musik khas Betawi pun beberapa alat musiknya menggunakan alat musik khas China, seperti rebab, dan lain-lain. Jika kita perhatikan pakaian pengantin Betawi, tampak mirip pakaian pengantin di zaman dinasti Kaisar China abad ke-7. Di Sunda Kelapa, berbaur dengan penduduk asli yang kemudian menyebut dirinya sebagai suku Betawi. Bahasa Indonesia pun banyak yang berasal dari serapan bahasa China, misalnya becak dari bhe-chia, kue --koe, dan teh --tee. Makanan kegemaran masyarakat juga banyak yang berasal dari sana, seperti bakmie, bakpao, bakso, bakpya, bakwan dan lain-lain. Masyarakat kita tidak lagi mempermasalahkan dari mana asal makanan yang enak tersebut. Hal ini disebabkan sudah akrabnya jenis-jenis makanan itu di hati masyarakat Indonesia. 1
Kebebasan berekspresi itu merupakan titik tolak bagi warga Tionghoa untuk mendapatkan kembali jatidirinya. Meski budaya akan terus berkembang, namun nilai-nilai filosofis Tionghoa harus tetap dipertahankan, yakni penghormatan kepada leluhur serta sistem kekeluargaan yang erat dan tertata sangat menjunjung moralitas. Dengan menjunjung tinggi nilai-nilai filosofis budaya leluhur itulah, diharapkan warga Tionghoa bisa berinteraksi secara baik dengan warga lama. Mereka bisa saling terbuka, mengenal dan memahami budayanya masing-masing, sehingga muncul sikap saling menghargai. Dengan begitu, diharapkan tidak lagi terjadi ketegangan rasial atau keributan yang berbau SARA. Penyebar Islam Hadits Nabi menyebutkan: “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China”. Pertanyaannya, kenapa yang disebut China, bukan negara-negara Eropa atau lainnya? Padahal, negeri China ketika itu belum Islam. Lalu apa yang harus dipelajari di China? Jelas bukan soal agama, melainkan karena kebudayaan dan peradabannya yang tinggi. Sudah sejak 3.000 tahun sebelum kelahiran Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa China sudah demikian maju sehingga dikenal sampai ke tanah Arab. Mereka menguasai ilmu astronomi bahkan mempunyai tempat-tempat observasi, mampu membuat ramuan untuk mengawetkan mayat dan bahan peledak. Karena menguasai ilmu astronomi itu dengan mudah orang China bisa mengembara sampai ke Timur Tengah, dan membuka hubungan dagang sejak Islam mulai berkembang sekitar abad ke-7 yang dikenal dengan Jalur Sutra, karena awalnya yang diperdagangkan adalah sutera. Mereka memperkenalkan teknologi pembuatan kertas dan tinta serta ilmu cetak. Bangsa Arab menyambut baik kedatangan mereka beserta ilmu-ilmunya, khususnya ilmu cetak. Dengan teknologi cetak China itu, bangsa Arab mendapatkan kemudahan untuk menyatukan ayat-ayat Suci Al-Qur’an yang semula dicatat bertebaran di pelepah kurma, kulit unta dan lain-lain, yang mudah rusak, sukar dibaca, dan sukar didapat bahan bakunya. Sebaliknya orang-orang China kembali ke negerinya dengan membawa ajaran Islam, yang kemudian disebarluaskan dan ditulis di atas kertas dengan tinta serta dicetak dalam jumlah yang banyak. Sejarah mencatat, bangsa China termasuk pelopor penyebaran ajaran Islam ke wilayah Asia lainnya, termasuk Indonesia, khususnya ke Tanah Jawa. Melalui penyebaran mereka pada abad ke-7, ajaran Islam mulai dikenal di Jawadwipa --kini Jawa. Mereka mendarat di Banten dan di Caruban --kini Cirebon—lewat pelabuhan Muharajati yang adalah pelabuhan pusat perdagangan Kerajaan Pajajaran dan Pakuan. Di Jawa Tengah mendarat di Semarang dan menyebarkan Islam ke Glagahwangi, kemudian dikenal sebagai Kerajaan Demak yang dipimpin Raden Patah. Di Jawa Timur mendarat di Tuban dan Surabaya. Salah satunya dikenal sebagai Sunan Ampel, yang berputera Sunan Bonang. Kedua Wali itu lebih dikenal dengan nama pribumi, dengan maksud untuk mempermudah masuknya ajaran Islam di tanah Jawa. Suku Bangsa Indonesia Kini mereka disebut Suku Tionghoa, yang sama kedudukannya dengan suku-suku lain, karena sudah menghuni bumi Nusantara sejak abad ke-7. Disahkannya UU No. 12 tahun 2006, menggantikan UU No. 62 tahun 1958, serta dihapusnya kewajiban orang Tionghoa di Indonesia untuk memiliki SBKRI melalui Keppres No. 56 tahun 1996, memperkuat kedudukan Suku Tionghoa sebagai bagian yang tak terpisahkan dari bangsa Indonesia, dan ikut memperkaya kebudayaan Indonesia. Dalam hubungan ini, Bung Karno dengan bangga mengatakannya kepada Ho Chi Minh: 2
“Di Indonesia, kita tidak mengenal adanya kelompok minoritas. Suku Dayak, suku Jawa, suku Irian, suku Tionghoa bukanlah kelompok minoriti. Tidak ada minoriti, karena kalau ada minoriti tentu ada mayoriti. Kalau ada mayoriti akan timbul eksploitasi daripada minoritet oleh mayoritet. Suku berarti ‘sikil’, kaki. Jadi bangsa Indonesia itu banyak kakinya. Ada kaki Jawa, ada kaki Batak, ada kaki Sunda dan ada kaki peranakan Tionghoa. Kesemuanya adalah kaki-kaki dari satu tubuh, yaitu tubuh bangsa Indonesia”. Formulasi Bung Karno ini sejalan dengan “terapi” integrasi, karena setiap suku adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tubuh bangsa Indonesia dan “kaki-kaki” ini tidak perlu hilang identitasnya. Yang Batak bisa tetap mempertahankan kebudayaan Bataknya, yang Padang, Jawa, Ambon dan keturunan Tionghoa pun demikian, asal mereka berkembang “menyehatkan” dan “menguatkan” tubuh Bangsa Indonesia. Setiap kebudayaan dari semua golongan etnis yang ada merupakan sumbangan positif dalam memperkaya khasanah kebudayaan Indonesia. Proses Kesatuan Membangsa Di masa Demokrasi Terpimpin, Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa yang dipimpin K. Sindhunata mengusulkan konsep asimilasi, berarti golongan Tionghoa tidak lagi memiliki eksistensi sosial dan kultural. Asimilasi dapat dicapai jika orang Tionghoa mengganti namanya, menikah dengan orang Indonesia “asli” dan menanggalkan semua tradisi dan kebudayaan Tionghoa. Di lain pihak, Baperki yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan, menganjurkan jalan integrasi. Bagi Baperki, golongan Tionghoa seharusnya diterima sebagai salah satu suku bangsa Indonesia. Dengan demikian, orang Tionghoa bisa menjadi patriot Indonesia tanpa harus menanggalkan ciri-ciri etnis Tionghoanya. Bagi Baperki, nama, perkawinan serta adatistiadat adalah urusan pribadi yang tidak bisa dijadikan ukuran rasa cinta tanah air. Penggantian nama dan kawin campuran, menurut Baperki tidak akan menjamin lenyapnya rasialisme dari Indonesia. LPKB dalam jaman Orde Baru memang berhasil mendorong pergantian nama secara massal. Sebagian besar orang Tionghoa sekarang memiliki nama yang tidak mengandung keTionghoa-an. Kawin campuran pun secara statistik bertambah. Orang Tionghoa selama lebih dari 30 tahunan dipaksa menghentikan berlangsungnya tradisi China, bahkan merayakan Imlek pun dilarang. Tetapi “terapi” ini ternyata tidak menghilangkan rasialisme. Dalam belasan tahun belakangan ini, terminologi yang sering diutarakan adalah pembauran, yang memiliki konteks lebih luas, karena membaur tidak mengandung konotasi “menghilangkan ciri-ciri etnis”. Membaur bisa berarti mengasosiasi diri dan “mengawinkan”nya dengan masyarakat luas. Budaya Tionghoa yang berakulturasi dengan budaya suku-suku di Indonesia adalah juga budaya Indonesia. Yang penting dalam menginterpretasi definisi pembauran ini adalah adanya pengertian bahwa, pertama, berlangsungnya proses membaur harus bersifat wajar, natural, tanpa paksaan. Kedua, membaur tidak berarti pembauran biologis. “Perkawinan” yang dianjurkan adalah “perkawinan” sosial, perkawinan antara golongan minoritas Tionghoa dengan golongan mayoritas untuk membangun “Rumah Tangga Indonesia”. Perkawinan yang harmonis tidak bisa didasarkan atas hilangnya identitas dari salah satu pasangan dalam perkawinan.
3
Ketiga, dalam proses kesatuan membangsa itu suku Tionghoa harus berorientasi ke bumi Indonesia sesuai dengan semboyan “luo di sheng gen”, atau dalam pepatah kita: “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Konsekuensinya filosofi “luo ye gui gen” –yang artinya “daun gugur pasti kembali ke akarnya”-- harus diganti dengan filosofi “luo di sheng gen” tadi, yakni dari mainland Cina Daratan ke motherland Indonesia. Dalam konteks “perkawinan-perkawinan” dalam bidang sosial, ekonomi dan politik, pembauran adalah kelanjutan dan konsolidasi proses integrasi. Sedangkan pembauran yang bersifat biologis semata, tidak akan menghasilkan integrasi nasional. Perkawinan campuran antara orang Tionghoa dengan orang Minang misalnya, adalah hak pribadi yang tidak bisa dan tidak boleh dicampuri oleh organisasi maupun pemerintah. Dengan demikian, keinginan membaur bisa dimanifestasikan dalam kehidupan yang tidak eksklusif, bersatu dengan berbagai golongan etnis lainnya, menganggap dirinya bagian dari tubuh bangsa Indonesia, menjadikan aspirasi golongan mayoritas juga sebagai aspirasinya yang dilakukan tanpa harus menanggalkan keTionghoa-annya. Adanya kesadaran yang timbul di kalangan masyarakat luas, yang mengapresiasi seni Barongsai dan Liang Liong atau makanan khas Imlek dalam acara-acara umum, seperti misalnya pada Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta, diharapkan akan mempercepat proses pengintegrasian dan pembauran wajar yang menghilangkan adanya prasangka rasial di Indonesia. Tahun Kambing Kayu, Penuh Tantangan Ajaran Cina Kuna memberikan petunjuknya melalui wei-ji, yang konon merupakan gabungan dari aksara yang bermakna “bahaya” dan “peluang”. Jepang mempersepsikan sebagai ki-chi, bagaikan pedang bermata dua, bisa untuk “membunuh” (krisis) atau “bertahan” (survive). India dalam pengajaran Hindu menganggap di balik krisis selalu ada berkah. Maksudnya, mereka yang mendapat peluang untuk maju, harus mau menanggung risiko. Sebaliknya, dalam setiap risiko tersembunyi peluang. Orang yang pasif hanya bisa meratap kalau ditimpa kesulitan, tetapi orang yang kreatif dan produktif justru bisa memanfaatkan kesulitan sebagai peluang untuk bangkit kembali dengan strategi baru. Kemudahan memang tampak enak. Tetapi, kemudahan bisa membuat kita jadi terlena. Di mana seorang pengemudi mobil mengantuk? Bukan di jalan yang sulit dan sempit, melainkan di jalan yang mudah dan mulus. Kemudahan membuat kita lengah. Pepatah Jawa mengatakan: “kêsandhung ing râtâ, kêbêntus ing tawang”. Memang setiap krisis terasa menyakitkan dan membahayakan. Tetapi setiap krisis juga mengandung peluang untuk memperbaiki diri, memperbaiki perencanaan dan memperbaiki kebijakan. Kita bisa terpuruk akibat krisis, tetapi kita bisa juga bangun dari krisis itu dengan jiwa yang lebih tegar. Kemudahan membuat orang menjadi rapuh, kesulitan membuat orang jadi tangguh. Demikian juga tahun 2015 yang menurut Astroshiopedia di tahun kambing kayu ini, selain memberikan harapan dengan pepatah yang amat terkenal: “tiga kambing membawa harmoni dan kemakmuran”, tetapi di balik itu juga mengandung tantangan besar dan belajar untuk mengatasi kesulitan. Memang hal-hal terbaik dalam hidup tidak pernah dicapai dengan mudah. Kepercayaan dalam Islam juga mengajarkan, demi cinta kepada umat-Nya Allah tidak memberi kemudahan. Allah malah membawa kita berjalan melalui kesulitan dan krisis. Sebab itu musibah jangan dilihat sebagai hukuman, melainkan sebagai didikan-Nya. Adanya musibah bukanlah tanda bahwa Allah marah, melainkan bahwa Allah prihatin kepada kita. Dengan demikian, setiap pebisnis harus siap menghadapi pasang-surut, bahkan krisis. Bagi pelaku usaha hendaknya melihat dan mengekspos krisis dari sisi optimisme, munculnya peluang baru, yaitu beranjak dari pasar government ke corporate. 4
Dari menunggu captive market ke berburu market driven. Kemudian menghitung komponen biaya mana yang bisa dipangkas, dan pendapatan dari pos apa yang bisa ditingkatkan, yang sebelum ini tak terperhatikan! Juga, bagaimana pengembangan industri kreatif bisa menjadi marketing leverage. Jika kita men-forcasting outlook Ekonomi DIY Tahun 2015 ini, hendaknya dengan perspektif optimistik. Kita harus optimis, bahwa pembangunan infrastruktur yang digalakkan akan menjadi spending penghela pertumbuhan ekonomi, dan penciptaan lapangan kerja baru. Kita harus percaya, jika tindak korupsi bisa dihambat, maka akan ada saving untuk pembangunan menuju kesejahteraan yang lebih baik. Membangun optimisme, harus disertai membangun sumberdaya insani pelakunya dalam dua aspek: kerja keras, dan mendayagunakan otak kanan untuk kreatif-inovatif, dan mampu melakukan lompatan produktivitas. Lonjakan nilai-tambah hanya bisa terjadi, jika didukung oleh karakter kejujuran, kekuatan inovasi-imajinasi, dan keterkaitan erat dalam jaringan bisnis yang kokoh. Karena strategi efektif tidak dihasilkan dari analisis yang spesifik, tetapi dari wawasan dan dorongan imajinering yang acapkali memberi bahan bakar pada proses berpikir, yang pada dasarnya kreatif dan intuitif ketimbang rasional. Meski para ahli strategi tidak menolak analisis, tetapi mereka menggunakannya hanya untuk merangsang proses kreatif, menguji gagasan, menyusun implikasi strategis, dan menjamin pelaksanaan yang sukses. Ternyata, strategi-strategi besar yang menghasilkan masterpiece seni, invensi ilmiah yang brilian, atau inovasi industri yang unggul, memang memerlukan penguasaan teknis dalam penyusunannya. Tetapi karya besar selalu bermula dari wawasan, emosi dan imajinasi, yang berada di luar jangkauan analisis yang dirancang sebelumnya. Ikrar Masyarakat Tionghoa 1940 & 2012 Menurut catatan sejarah, orang Tionghoa sudah berada di Indonesia sejak Abad 7, sementara yang masuk Yogyakarta baru pada penghujung Abad 14. Bukti sejarah menunjukkan, sebagai Pengetan Jumeneng Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono IX, pada Selasa Pon, tanggal 8 bulan Sapar tahun Dal 1871, atau 18 Maret 1940 Masehi, para leluhur masyarakat Tionghoa menyatakan ikrar pernyataan terima kasih kepada Beliau yang telah memberi perlindungan dan menempatkan mereka di lokasi yang sesuai, sehingga usahanya bisa lancar. Yang menandatangani Prasasti Ikrar itu adalah: Kapiten Lie Ngo An, Tuan dr Siem Ki Ay, Tuan Ir Liem Ing Hwie (Ketua berbagai Perkumpulan Tionghoa), Tuan Thio Poo Kia (pedagang), Tuan Lie Gwan Ho (pemilik toko mas & arloji, pengurus Klenteng), Tuan Tan Khoo Liat (pedagang), Tuan Oen Tjoen Hok (pemilik Restoran “Oen”) dan Tuan Sie Kee Tjie (pedagang batik). Diingatkan oleh mereka, bahwa pernyataan tersebut hendaknya senantiasa diingat-ingat oleh generasi penerus selama dunia masih lestari. Fakta sejarah itu bisa menjadi bahan refleksi atas keberadaan dan peranan Etnis Tionghoa di Yogyakarta. Ikrar Tahun 2012 PENEGUHAN KEMBALI IKRAR TAHUN 1940 DARI GENERASI PENERUS MASYARAKAT TIONGHOA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ATAS berkat Tuhan YME, dalam rangka Peringatan 3 Tahun Ikrar Masyarakat Tionghoa Yogyakarta, dan mengingat Prasasti Leluhur yang terpahat di Timur Bangsal Trajumas, tempat dimana “pakerti baik dan tidak baik ditimbang seadil-adilnya”, yang berbunyi: 5
“Bangsa Tionghoa matur nuwun, hasaryeng-tyas tanpa pami, tan bangkit angucapna, mangkya kinertyeng sela mrih, kenget-enget salaminya, ratraya maksih lestari”, yang artinya “Bangsa Tionghoa berterima kasih, dengan suka hati yang tak terkira, dan tak terucapkan, maka kami memahat batu peringatan ini untuk pengingat-ingat selama jagat raya masih lestari”, maka kami generasi penerus Masyarakat Tionghoa Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 18 Februari 2012 sepakat menandatangani Ikrar Bersama dengan menyatakan: 1. Siap Membela dan Mempertahankan Eksistensi dan Kehormatan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Paku Alaman sebagai Daerah Istimewa setingkat Provinsi dalam bingkai NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 2. Siap Membela dan Mempertahankan Ciri Utama Keistimewaan DIY, dimana Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam yang bertahta ditetapkan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI sebagaimana Maklumat 5 September 1945. 3. Siap Menjunjung Tinggi Nilai-Nilai Ketuhanan YME, Mengabdi demi Kemanusiaan, Menjalin Persatuan dan Kesatuan Bangsa, Merajut Kebersamaan dalam Semangat Permusyawaratan dan Menolak Segala Bentuk Tindak Ketidakadilan dan Intoleransi. 4. Siap Bergotong-Royong Golong-Gilig Nyawiji, Saiyêg Saékâ Kapti, dengan semua unsur lapisan masyarakat DIY membangun masyarakat seutuhnya guna mendukung tercapainya misi Tahta Untuk Rakyat. Demikian IKRAR BERSAMA ini kami buat dengan niat untuk meneguhkan kembali Ikrar Leluhur kami. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan perlindungan, keselamatan dan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia. Yogyakarta, Sabtu Pahing, 18 Februari 2012 MASYARAKAT TIONGHOA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (diwakili oleh 14 Organisasi KeTionghoaan) Pertanyaannya: di ulang tahun ke-3 Ikrar tersebut bertepatan dengan tahun kambing kayu yang menawarkan tantangan sekaligus peluang ini, lalu apa yang akan diikrarkan oleh Masyarakat Tionghoa Yogyakarta Tahun 2015 dalam berpartisipasi dan berkontribusi dalam pembangunan keistimewaan DIY ini? Dialog Budaya & Gelar Seni Dari para narasumber diharapkan ditemukannya wujud nyata akulturasi budaya Tionghoa-Jawa membangun keIndonesiaan kita, termasuk kendala dan harapan serta ikrar Masyarakat Tionghoa Yogyakarta ke depan dalam rangka ikut mengisi keistimewaan DIY. Dalam hal ini, Dialog Budaya & Gelar Seni ini perlu dikembangkan pada kegiatan-kegiatan kesenian dan dialog budaya yang menyentuh kebutuhan riil di masyarakat, yang didukung dan mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat. Ada pun para Narasumber adalah Prof. Dr. Lasiyo, MA, MM, Guru Besar Filsafat China Fakultas Filsafat UGM, Dr. Suryo Adi Pramono, Sosiolog FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta yang mendalami akulturasi budaya Tionghoa-Jawa, dan KH. Muhammad Jazir ASP, Pemerhati Sejarah masuknya Islam ke Tanah Jawa yang dibawa oleh para Ulama Tiongkok, untuk kemudian bermukim sebagai Wali dengan mengganti nama pribumi, tinggal di Kampung Jogokaryan, Yogyakarta. 6
Dialog dipandu oleh moderator/host, Hari Dendi, Pengasuh “YogyaSemesta”, dan Co-Moderator Wibbie Maharddhika, SFil. Diselingi demonstrasi wushu dari “Sasana Wushu Indonesia”, Sinduadi oleh Ivana Ardelian Irmanto, dan Barongsai dan Liang Liong pimpinan Budi Irawan, digelar di halaman Kepatihan untuk menyambut kedatangan tamu. Ditutup dengan Gelar Seni bernuansa budaya Tionghoa, Tari Madumilad oleh SMKI Bugisan dpp. Drs. Sunardi, MPd. Digelar secara lesehan, Slasa Wage malam, 24 Februari 2015 jam 18:30-22:00 di Bangsal Kepatihan Yogyakarta, diawali makan malam bersama kuliner rakyat, dan terbuka untuk umum.
Yogyakarta, 24 Februari 2015 Komunitas Budaya “YogyaSemesta”,
Hari Dendi Pengasuh
7