TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Kacang Hijau secara Umum
Tanaman kacang hijau termasuk famili Leguminosae yang banyak varietasnya. Secara morfologi tanaman kacang hijau tumbuh tegak. Batang kacang hijau berbentuk bulat dan berbuku-buku. Batangnya kecil, berbulu, berwarna hijau kecoklatan dan kemerahan. Tanaman ini bercabang banyak. Daunnya tumbuh majemuk dan terdiri dari tiga helai anak daun setiap tangkai. Helai daun berbentuk oval dengan bagian ujung lancip dan berwarna hijau muda hingga hijau tua. Letak daun berseling. Tangkai daun lebih panjang daripada daunnya sendiri (Purwono dan Purnamawati, 2007). Kacang hijau adalah tanaman tropis dataran rendah yang dapat dibudidayakan pada ketinggian 5 – 700 m dpl. Produksi kacang hijau menurun di daerah dengan ketinggian di atas 759 m dpl. Tanaman ini dapat tumbuh baik pada suhu udara optimal antara 25 – 27°C. Tanaman kacang hijau cocok ditanam di daerah yang memiliki kelembaban udara antara 50 – 80%. Selain itu, tanaman ini memerlukan cahaya matahari lebih dari 10 jam/hari. Daerah yang memiliki curah hujan 50 – 200 mm/bulan merupakan daerah yang baik untuk budidaya tanaman ini. Curah hujan tinggi menyebabkan tanaman mudah rebah dan terserang penyakit (Purwono dan Purnamawati, 2007). Biji kering kacang hijau mengandung 55-60% karbohidrat dan 23% protein (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Pulau Jawa merupakan penghasil utama kacang hijau di Indonesia, karena memberikan kontribusi 61% terhadap produksi kacang hijau nasional. Sebaran daerah produksi kacang hijau nasional adalah NAD, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, NTB dan NTT. Total kontribusi daerah tersebut adalah 90% terhadap produksi kacang hijau nasional dan 70% berasal dari lahan sawah. Tantangan pengembangan kacang hijau di lahan kering adalah peningkatan produktivitas dan mempertahankan kualitas lahan untuk berproduksi lebih lanjut (Kasno, 2011).
5
Toleransi Cekaman Kekeringan
Toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan dapat melalui beberapa mekanisme, yaitu melepaskan diri dari cekaman kekeringan (drought escape) yaitu tanaman menyelesaikan siklus hidupnya sebelum mengalami stres berat, dengan berbunga lebih awal atau daun menggulung, bertahan terhadap kekeringan dengan tetap mempertahankan potensi air yang tinggi dalam jaringan atau yang biasa dikenal sebagai mekanisme menghindar dari kekeringan (drought avoidance) dan bertahan terhadap kekeringan dengan potensi air jaringan yang rendah (Turner dalam Aryati, 2011). Pengujian benih terhadap cekaman kekeringan dilakukan dengan cara simulasi kondisi kekeringan menggunakan Polyethylen Glycol (PEG). Simulasi cekaman kekeringan banyak dilakukan dengan menggunakan larutan osmotikum yang dapat mengontrol potensial air dalam media tanaman. Asay dan Johnson (1983) menyatakan bahwa simulasi cekaman kekeringan dengan menggunakan larutan PEG dapat mendeteksi dan membedakan respon tanaman terhadap cekaman kekeringan serta tidak bersifat racun bagi tanaman. Polyethylen Glycol menyebabkan penurunan potensial air secara homogen sehingga dapat digunakan untuk meniru besarnya potensial air tanah (Michel dan Kaufman, 1973). Keunggulan sifat PEG tersebut memungkinkan PEG dapat digunakan sebagai alternatif dalam seleksi genotip jagung fase vegetatif dengan media pasir (Chazen dan Newman, 1994) dan jagung kondisi kekeringan pada fase perkecambahan (Ogawa dan Yamauchi, 2006). Penggunaan larutan PEG 6000 sebagai simulasi cekaman kekeringan dengan berbagai level tekanan osmotik memberikan respon yang berbeda antar varietas ditinjau dari variabel daya berkecambah, kecepatan tumbuh, indeks vigor dan panjang akar. Penelitian Aryati (2011) menyatakan bahwa PEG 6000 bertekanan osmotik -2 bar merupakan level yang tepat untuk mengidentifikasi toleransi benih padi terhadap cekaman kekeringan. Tiap komoditas memiliki level tekanan osmotik yang berbeda terhadap cekaman kekeringan. Seleksi in vitro untuk mendapatkan sifat toleransi terhadap cekaman kekeringan telah dilakukan pada kacang hijau (Gulati dan Jaiwal dalam Yunita, 2009) serta telah digunakan untuk menyeleksi genotipe kacang hijau dengan kondisi PEG 6000 tekanan
6
osmotik -0.5 bar, -2 bar, -5 bar dan -10 bar yang ditanam dalam media pasir (Zayed dan Zeid, 1997), identifikasi somaklonal beberapa varietas padi tahan kekeringan (Lestari dan Mariska, 2006) serta seleksi genotipe kacang hijau terhadap cekaman kekeringan pada tekanan osmotik -3 bar (Dutta dan Bera, 2008).
Vigor Benih dan Pengujian Vigor Benih
Menurut Sadjad et al.(1999) vigor benih dapat didefinisikan sebagai kemampuan benih untuk tumbuh normal pada kondisi yang tidak optimum atau suboptimum. Benih yang vigor akan menghasilkan tanaman di atas normal jika ditumbuhkan pada kondisi optimum. Karena kondisi alam/lapangan tidak selalu optimum, maka benih yang vigor sangat diharapkan. Benih vigor yang mampu menumbuhkan tanaman normal pada kondisi suboptimum dikatakan memiliki Vigor Kekuatan Tumbuh (VKT). Menurut Copeland dan McDonald (2001) terdapat tiga faktor yang mempengaruhi vigor benih. Faktor yang pertama yaitu faktor genetik benih meliputi tingkat kekerasan benih, vigor tanaman induk, daya tahan terhadap kerusakan mekanik dan komposisi kimia benih. Faktor yang kedua yaitu faktor lingkungan selama perkembangan benih yang meliputi kelembaban dan kesuburan tanah serta pemanenan benih dan faktor yang ketiga yaitu faktor lingkungan penyimpanan yang mencakup waktu penyimpanan, lingkungan penyimpanan (suhu, kelembaban dan persediaan oksigen) dan jenis benih yang disimpan. Menurut Sadjad et al. (1999) kekuatan tumbuh benih di lapangan selain ditentukan oleh faktor benihnya juga ditentukan oleh faktor dari luar benih, misalnya oleh penyakit, kesuburan lahan, kondisi kurang suplai air ataupun kelebihan air. Pengujian vigor benih sangat diperlukan untuk mengetahui kualitas benih yang akan digunakan. Uji vigor benih merupakan metode pengujian untuk mengevaluasi vigor benih. Copeland dan McDonald (2001) menyatakan bahwa metode uji benih yang dapat diterapkan harus memenuhi beberapa syarat diantaranya metode tersebut harus murah, mudah dilakukan, tepat guna, bersifat
7
objektif, dapat dikembangkan dan berkorelasi dengan pertumbuhan benih di lapang. Controlled deterioration test (CDT) atau uji pengusangan cepat terkontrol merupakan metode pengujian vigor benih untuk mengetahui kualitas benih yang akan digunakan. Metode CDT menggunakan peralatan yang lebih sederhana dan kadar air benih diketahui dengan jelas dan terkontrol selama penderaan. Kadar air awal benih dikendalikan dan disesuaikan ke tingkat yang sama sebelum terkena suhu tinggi dalam water bath (Rodo dan Filho, 2003). Metode CDT membutuhkan waktu, kadar air dan suhu pengusangan yang berbeda-beda antar komoditas. Uji CDT menggambarkan proses kemunduran suatu lot benih. Kadar air, suhu dan lama penderaan yang sering digunakan dalam metode CDT adalah 20% dengan suhu 45°C dan periode penderaan 24 jam. Tiap komoditi memiliki perlakuan kadar air, suhu dan lama penderaan yang berbeda dalam metode CDT (Powell dan Mattews dalam Aryati, 2011).
Dayaberkecambah
Dayaberkecambah
Lama penderaan
Sumber: Powell and Matthews dalam Aryati, 2011.
Lama penderaan Lama penderaan
Gambar 1. Teori dasar proses kemunduran benih pada CDT.
Gambar 1 merupakan modifikasi proses kemunduran benih pada metode CDT yang telah dikembangkan oleh Powell dan Matthews. Titik A, B dan C pada Gambar 1 (a) merupakan kondisi vigor awal lot benih. Ketiga titik berada pada nilai vigor yang hampir sama meskipun lot A terlihat memiliki nilai vigor yang
8
sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan lot B dan C. Ketiga lot benih mengalami penurunan vigor yang signifikan ketika diberi stres CDT dengan kondisi yang tepat seperti terlihat pada Gambar 1 (b). Nilai vigor ketiga lot benih berubah dan berada pada selang yang sangat lebar seperti yang terlihat antara lot A dengan lot C ketika benih didera selama periode tertentu yang tepat sesuai dengan spesies yang digunakan. Lama penderaan merupakan faktor utama yang menyebabkan perbedaan tingkat vigor benih (Powell dan Matthews dalam Aryati, 2011). Hasil penelitian metode CDT lainnya telah banyak dilaporkan. Kacang hijau merupakan tanaman legum. Metode CDT juga telah dilakukan pada legum lainnya seperti pada Phaseolus vulgaris dengan kondisi CDT suhu 40°C, kadar air 20% dan lama penderaan 48 jam untuk mengevaluasi vigor beberapa benih Phaseolus vulgaris (Santos et al., 2003), pada kedelai dengan kondisi CDT suhu 41°C dan lama penderaan 72 jam untuk menguji ketahanan benih kedelai terhadap deraan cuaca di lapang (Changrong et al., 2007). Metode CDT dengan kondisi yang berbeda juga dilakukan pada kedelai yaitu dengan kondisi suhu 45°C, kadar air 15% dan lama penderaan 24 jam untuk menguji vigor benih terhadap salinitas (Reninta, 2012). Metode CDT dengan kadar air 20% dan lama penderaan 48 jam merupakan kondisi yang sesuai untuk menguji vigor kekuatan pada benih padi gogo terhadap kekeringan (Aryati, 2011).