20
TINJAUAN PUSTAKA Tanah Sulfat Masam Tanah sulfat masam di dunia terdapat sekitar 24 juta ha (Bosh et al. 1998), sedangkan yang masih tertutup lapisan gambut terdapat sekitar 20 juta ha (Breemen 1980), yang tersebar di beberapa negara. Terdapat 1,6 juta ha di delta Mekong Vietnam (Sterk 1993), 1,6 juta ha di Thailand (Cho et al. 2002); 6,6 juta ha di Afrika (Khouma dan Toure 1982), 200.000 ha diantaranya di Afrika Barat (Agyem-Sampong et al. 1988). Di Cina diperkirakan terdapat 67 ribu ha (Qifan 1981), sedangkan di Australia sekitar 40.000 km2 (Hick et al. 2002). Di Indonesia, tanah yang berpirit tersebut ada sekitar 6,7 juta ha (Nugroho et al. 1992), yang tersebar di dataran pantai Sumatera, Kalimantan, Irian Barat, Sulawesi,
dan sedikit di pulau-pulau lainnya. Sebagian tanah tersebut telah
dibuka untuk usaha pertanian, baik oleh petani lokal maupun untuk program transmigrasi.
Sebagian besar tanah tersebut diusahakan untuk tanaman
pangan, terutama tanaman padi dengan hasil yang bervariasi. Proses pembentukan tanah sulfat masam atau pirit tersebut telah banyak diuraikan, antara lain oleh Dent (1986), Wada dan Seisuwan (1988). Tanah tersebut pada kondisi aktual bervariasi baik antar tempat maupun kedalaman, tergantung proses pembentukan tanah yang terjadi. Tanah-tanah sulfat masam dicirikan oleh adanya lapisan sulfidik atau horison sulfurik. Menurut Soil Survey Staff (1998), bahan sulfidik merupakan bahan yang mengandung senyawa belerang dan dapat teroksidasi. Bahan tersebut dapat berupa bahan tanah mineral atau bahan tanah organik yang mempunyai nilai pH > 3,5, dan apabila suatu lapisan setebal 1 cm diinkubasi dalam kondisi aerobik dan lembab (pada kapasitas lapang) pada suhu kamar, selama 8 minggu, menunjukkan suatu penurunan pH ≥ 0,5 unit sampai mencapai nilai pH ≤ 4,0
21
(diukur dalam rasio air dan tanah 1:1, atau menggunakan jumlah air lebih sedikit yang memungkinkan pengukuran), sedangkan horison sulfurik merupakan horison yang mempunyai ketebalan ≥ 15 cm, dan tersusun dari bahan mineral atau bahan tanah organik, yang mempunyai nilai pH ≤ 3,5, serta menunjukkan tanda-tanda bahwa rendahnya nilai pH disebabkan oleh asam sulfat, yaitu dengan menunjukkan salah satu/lebih ciri berikut: (1) konsentrasi jarosit, (2) secara langsung berada diatas bahan sulfidik, dan atau (3) mengandung sulfat larut air ≥ 0,05 %. Tanah-tanah sulfat masam yang telah mengalami oksidasi disebut juga sebagai tanah sulfat masam aktual, sedangkan yang belum mengalami oksidasi disebut tanah sulfat masam potensial. Pada klasifikasi tanah PPT-P3MT tanah berpirit tersebut dimasukan kedalam macam tanah Gleisol Tionik atau Aluvial Tionik (Suhardjo et al. 1983). Menurut klasifikasi FAO-UNESCO (1985), tanah berpirit tersebut dimasukan kedalam Thionic Fluvisol. Tanah berpirit tersebut sering juga disebut dengan cat clay, mud clay atau pyritic soil .
Proses Kimia Tanah Sulfat Masam pada Suasana Oksidasi-Reduksi
Tanah sulfat masam umumnya berada pada lahan rawa. Pada lahan rawa pasang suru t, secara alamiah terjadi perbedaan topograpi lahan dari daerah pantai ke hulu sungai. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan jangkauan air pasang pada suatu kawasan sehingga memunculkan perbedaan tipe luapan. Adanya variasi luapan dan perbedaan curah hujan menyebabkan perbedaan ketinggian muka air tanah antara musim kemarau dan hujan.
Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya suasana oksidasi-reduksi atau oksidasi/reduksi saja, pada suatu lahan dengan lahan masing-masing.
tingkat yang bervariasi sesuai dengan karakteristik Konsekuensinya terjadi proses-proses kimia yang
22
berbeda antara kedua suasana tersebut.
Untuk mempercepat peningkatan
kualitas lahan maka proses-proses tersebut penting dipelajari.
Proses pada Kondisi Oksidasi Lahan berada dalam kondisi tanpa genangan sering dijumpai pada saat air laut/sungai
surut pada musim kemarau atau pada lahan-lahan yang sumber
utama airnya berasal dari curah hujan. Kondisi tersebut dapat menyebabkan terjadinya proses-proses oksidasi terhadap unsur/senyawa yang berada dalam tanah. Diantara proses oksidasi yang sangat penting pada tanah tersebut adalah oksidasi pirit. Proses oksidasi pirit telah banyak diuraikan, antara lain oleh Dent (1986), Alloway dan Ayres (1997). Mereka mengemukakan bahwa proses oksidasi pirit pada tanah sulfat masam terjadi dalam beberapa tahap dan melibatkan proses kimia serta biokimia. Mula-mula oksigen terlarut dalam air tanah bereaksi lambat dengan pirit, menghasilkan besi fero (Fe2+) dan sulfat atau unsur belerang. Reaksi tersebut adalah sebagai berikut :
FeS 2 + ½ O2 + 2 H +
Fe2+ + 2 S + H2 O
Oksidasi belerang oleh oksigen terjadi sangat lambat, tetapi dengan bantuan bakteri autotrop yang berperan sebagai katalisator proses berjalan lebih cepat, dengan reaksi sebagai berikut:
S + 3/2 O2 + H2O
SO4 2- + 2 H +
Kemasaman yang ditimbulkan ditambahkan dengan kemasaman yang terjadi oleh adanya oksidasi besi monosulfat amorf mengakibatkan tanah menjadi
23
masam. Jika pH tanah menjadi lebih rendah dari 4, Fe 3+ larut dan mengoksidasi pirit dengan kecepatan tinggi. Persamaan reaksi oksidasi pirit oleh Fe3+ sebagai berikut : FeS2 + 14 Fe 3+ + 8 H2 O
15 Fe2- + 2 SO4 2- + 16 H+
Dengan adanya oksigen, Fe 2+ yang dihasilkan dapat berubah menjadi Fe 3+. Namun pada pH kurang dari 3,5 oksidasi melalui proses kimia berlangsung lambat. Pada pH rendah, bakteri Thiobacillus ferrooxidans mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ dengan cepat dan selanjutnya Fe3+ yang dihasilkan terlibat lagi dalam proses oksidasi pirit. Wako et al. (1984) dan Jaynes et al. (1984 diacu dalam Mensvoort dan Dent 1998) menyebutkan bahwa kondisi optimum untuk oksidasi pirit sama dengan kondisi optimum untuk oksidasi besi oleh Thiobacillus ferrooxidans yaitu konsentrasi oksigen > 0,01 Mole fraksi (1%), temperatur 5-55 oC (optimal 30 oC), pH 1,5-5,0 (optimal 3,3). Reaksi oksidasi Fe2+ menjadi Fe 3+ dengan bantuan Thiobacillus ferrooxidans adalah sebagai berikut :
Thioba cillus ferrooxidans Fe
2+
+ 1/4 O2 + H
+
Fe 3+ + ½ H2O
Dari persamaan diatas, terlihat bahwa sebagian besar kemasaman (H+) yang dihasilkan dalam proses oksidasi pirit oleh Fe 3+, digunakan dalam proses oksidasi Fe2+ dengan bantuan Thiobacillus ferrooxidans. Reaksi oksidasi pirit yang terja di dalam beberapa tahap dengan hasil akhir feri hidroksida secara ringkas dapat dinyatakan dalam persamaan reaksi sebagai berikut :
FeS2 + 15/4 O2 + 7/2 H2 O
Fe(OH) 3 + 2 SO4 2- + 4 H+
24
Menurut
Breemen (1993), kecepatan penurunan pH akibat oksidasi pirit
ditentukan oleh jumlah pirit, kecepatan oksidasi, kecepatan perubahan hasil oksidasi, dan kapasitas netralisasi. Oksidasi pirit pada tanah sulfat masam akibat drainase telah banyak dipelajari. Pada penelitian kolom tanah sulfat masam
yang berasal dari
Nieuwikoop, Netherland dan Pulau Petak, Kalimantan Selatan, diketahui bahwa potensial redoks (Eh) meningkat setelah didrainase dan mengakibatkan pirit teroksidasi. Pada tanah dari
Nieuwikoop, pirit teroksidasi 1% bobot setelah
didrainase selama 450 hari dan pH tanah relatif konstan setelah didrainase 100 hari. Sedangkan pada tanah Pulau Petak, pH terus menurun segera setelah didrainase. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan kandungan karbonat, dimana tanah Nieuwikoop mengandung lebih banyak karbonat yang dapat menahan terjadinya penurunan pH (Ritsema et al. 1992). Hasil penelitian Le Ngoc Sen (1988) pada tanah sulfat masam dari Mijdrecht Polder, Netherland, menunjukkan bahwa kedalaman air tanah dan ada tidaknya lapisan bahan gambut diatas permukaan tanah mempengaruhi tingkat penurunan pH dalam penampang tanah.
Adanya lapisan bahan organik
(gambut) pada permukaan tanah mineral menurunkan kecepatan pemasaman yang diduga akibat kurangnya suplai oksigen, sedangkan kedalaman air tanah menaikkan ketinggian lapisan yang mengalami pemasaman.
Hasil penelitian
Yuliana (1998) pada tanah sulfat masam Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan menunjukkan bahwa semakin dalam penurunan muka air tanah dari permukaan lapisan pirit semakin turun pH tanah. Oksidasi pirit mengakibatkan perubahan kandungan ion-ion di dalam larutan tanah dan kompleks jerapan.
Selama proses oksidasi, SO42- dalam
larutan tanah meningkat cepat, dan sebaliknya Fe 2+ menurun. Penurunan kandungan besi tersebut karena terjadinya presipitasi besi dalam bentuk besi feri
25
yang sukar larut dan sebagian lagi terpresipitasi dalam bentuk jarosit. Setelah periode oksidasi, kompleks jerapan didominasi oleh Al3+ yang menggantikan Ca2+ dan Mg2+ (Ritsema et al. 1992). Hasil penelitian Yuliana (1998) menunjukkan bahwa drainase tanah sulfat masam meningkatkan Al-dd, dan Fe3+ serta menurunkan Fe 2+.
Proses pada Kondisi Reduksi Lahan sulfat masam dalam kondisi reduksi umumnya terjadi pada tanah tergenang, sering dijumpai pada lahan rawa tipe luapan A yang selalu diluapi oleh air pasang, tipe luapan B pada saat pasang besar dimusim hujan dan tipe C yang menggunakan sistim tabat pada musim hujan. Menurut Dent (1986), dalam proses reduksi, pH tanah dapat meningkat karena adanya penggunaan H+ dalam reaksi tersebut. Sebagai contoh penggunaan H+ oleh Fe(OH) 3 yang dihasilkan dalam oksidasi pirit, dengan persamaan reaksi sebagai berikut :
Fe(OH) 3 + 2 H+ + ¼ CH2O
Fe2+ + 1 ¼ H2 O + ¼ CO2
Reaksi reduksi tersebut berlangsung dengan bantuan bakteri anaerob dan adanya bahan organik sebagai penyumbang elektron. Oleh sebab itu, dibandingkan pada tanah biasa, kecepatan reduksi pada tanah sulfat masam yang digenangi lebih lambat karena kemasaman yang tinggi, rendahnya ketersediaan hara dan bahan organik yang mudah terdekomposisi, atau kombinasi dari kondisi-kondisi tersebut yang mengakibatkan bakteri anaerob kurang mampu berkembang. Peningkatan pH tanah menurunkan tingkat aktifitas Al3+. Penurunan aktivitas Al akan menurunkan tingkat toksisitasnya, tetapi dilain pihak kondisi
26
reduktif tersebut dapat mengakibatkan timbulnya ion atau senyawa lain yang juga dapat bersifat toksik (racun) bagi tanaman, yaitu Fe2+, H2S , asam organik, dan CO2 yang larut dalam jumlah tinggi dalam larutan tana h. Hasil penelitian Moore dan Patrick (1993) menunjukkan bahwa serapan Fe pada tanaman padi berkorelasi dengan aktivitas Fe 2+ dalam larutan tanah, sedangkan pertumbuhan tanaman berkorelasi dengan pH tanah dan A Fe (rasio aktivitas Fe 3+ terhadap jumlah aktivitas kation divalent). Keracunan H 2S tidak bersifat spesifik pada tanah sulfat masam.
Mitsui
1964 (diacu dalam Breemen 1993) menyebutkan bahwa pada konsentrasi 0,1 mg/l H2S sudah dapat meracuni tanaman padi.
Keracunan terjadi umumnya
pada tanah yang kaya bahan organik dan rendah besi. Keracunan H2S hanya muncul setelah pH mencapai 5, hal ini berkaitan dengan aktivitas bakteri pereduksi sulfat (Desulfovibrio). Timbulnya H2S tersebut menurut Dent (1986), Konsten et al. (1990) dan Breemen (1993) karena proses reduksi SO42- dan jumlah yang terbentuk berhubungan langsung dengan bahan organik dengan reaksi sebagai berikut :
SO42- + 2 CH 2O + H+
H2S + 2 CO2 + 2 H2 O
Reaksi reduksi sulfat tersebut selain membutuhkan bahan organik sebagai sumber elektron, juga pH yang sesuai agar berjalan cepat yaitu pH antara 4-5. Reduksi sulfat berjalan sangat lambat pada pH dibawah angka tersebut, karena itu pada tanah sulfat masam muda, reduksi sulfat berjalan lebih cepat dibanding pada tanah sulfat masam tua. Tanaman padi yang mengalami keracunan H2S sangat mudah terinfeksi penyakit dan akar kurang berkembang (Puslitbangtan Pangan, 2002).
27
Hasil
penelitian
Yuliana
(1998)
menunjukkan
bahwa
perlakuan
penggenangan 3 bulan setelah tanah sulfat masam didrainase 8 minggu dengan kedalaman air bawah tanah 40 cm dari lapisan pirit meningkatkan pH tanah dan kandungan Fe 2+, menurunkan Al-dd dan SO42-. Hasil penelitian Ritsema et al. (1992) dengan penggenangan kembali selama 300 hari pada tanah sulfat masam dari Pulau Petak setelah didrainase selama 450 hari mengakibatkan kandungan Fe 2+ pada tanah tersebut meningkat dengan cepat. Diduga peningkatan tersebut disebabkan oleh adanya proses reduksi Fe 3+ yang berbentuk amorf menjadi Fe2+.
Dampak Oksidasi-Reduksi pada Tanah Sulfat Masam
Permasalahan utama pada tanah sulfat masam adalah adanya oksidasireduksi senyawa -senyawa yang terdapat dalam tanah tersebut, terutama oksidasi senyawa pirit yang menghasilkan asam sulfat. Dihasilkannya asam sulfat tersebut, membuat pH tanah menjadi sangat rendah sehingga terjadi degradasi mineral liat oleh ion hidrogen tersebut. Gambaran reaksi degradasi mineral liat menurut Breemen (1976) sebagai berikut:
M.Al-silicate + (3+a) H+ + b H2O <==> Ma+ + Al3+ + cH4SiO 4o
Dalam suasana dengan konsentrasi ion hidrogen yang tinggi ini, sejumlah Al, Fe, dan Mn dibebaskan oleh proses degradasi tersebut diatas, sehingga logamlogam tersebut meningkat kelarutannya dan dapat meracuni tanaman. Hasil penelitian Phung dan Lieu (1993) menunjukkan bahwa pH yang rendah dan kelarutan
yang
tinggi
dari
unsur
meracun
tersebut
menurunkan
total
mikroorganisme dan membuat jumlah bahan organik tidak berkorelasi dengan total mikroorganisme. Menurut Breemen (1976), maksimum aktivitas Al3+ yang
28
larut tergantung langsung pada pH dan aktivitas ion sulfat. Aktivitas ion Al meningkat 10 kali tiap penurunan pH satu unit. Pada tanah sulfat masam di Thailand, konsentrasi Al3+ pada air tanah meningkat dari 0,4 ppm pada pH 5,5 menjadi
54 ppm pada pH 2,8, sedangkan Hicks et al. (2002) menyebutkan
bahwa aktivitas Al dikontrol oleh kelarutan berbagai Alunimium-hidroksi-sulfat. Ion Al dapat menjadi beracun pada konsentrasi rendah (1-2 ppm), tergantung toleransi
tanaman.
Menurut Rorison (1973) kelarutan Al yang
tinggi
menghambat perkembangan jaringan, pemanjangan akar, dan pembelahan sel akar. Selain itu, kelarutan Al yang tinggi mengakibatkan P terfiksasi menjadi bentuk yang lebih stabil dan sukar larut, sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Dent (1986) menyebutkan bahwa pada pH kurang dari 3,5,
ion H+ dapat
menghambat pertumbuhan tanaman, tetapi yang sangat prinsip adalah kelarutan ion Al. Adanya peristiwa oksidasi-reduksi pada tanah sulfat masam berdampak terhadap tanaman yang tumbuh diatasnya dan perairan yang dilalui air drainase dari kawasan tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sylla et al. (1993) menunjukan bahwa produksi padi pada tanah sulfat masam di Sierra Leone, Senegal dipengaruhi oleh kemasaman, salinitas dan tingkat keracunan besi. Dampak oksidasi pirit terhadap lingkungan telah menjadi perhatian banyak peneliti. Menurut hasil pengkajian Breemen (1993), dampak proses oksidasi pirit adalah (1) pelepasan unsur-unsur mikro Ni, Co, Cu, Zn, Pb, dan As. Menurut Alloway dan Ayres (1997) adanya pemasaman melarutkan logam-logam berat seperti Pb, Hg dan Cd.; (2) pelepasan Al3+, sehingga mempunyai potensi untuk meracuni akar tanaman dan ikan, tergantung kepada varietas/spesies dan tahap pertumbuhan; (3) pelepasan SO2,
gas ini ter lepas selama oksidasi sulphide,
karena itu merupakan sumber polusi udara melalui hujan asam; (4) Oksidasi besi (II) yang akan menghasilkan FeOOH(s) bila terlarut pada daerah kaya asam
29
organik menyebabkan munculnya karatan yang berwarna coklat pada tumbuhan air atau pinggir-pinggir tanggul saluran air. Hasil penelitian Callinan et al. (1993) di Australia menunjukkan bahwa adanya pencucian lahan sulfat masam pada saat hujan lebat menyebabkan pH air menjadi rendah dan meningkatnya konsentrasi Al terlaru t sehingga menyebabkan banyak ikan yang mati dan terkena penyakit akibat meningkatnya populasi jamur Aphanomyces sp.
Hasil pengukuran Hick et al. (2002) selama
20 tahun menunjukkan produksi rata-rata asam sebesar 7 x 105 mole H+/ha/th, sedangkan dampak pada proses reduksi adalah (1) reduksi besi (III) menjadi besi II sehingga terjadi peningkatan konsentrasi besi (II), akibatnya dapat meracuni tanaman, dan bila didrainase akan menambah kadar besi di badan perairan; (2) reduksi sulfat menghasilkan H2S, dalam konsentrasi tinggi bersifat racun bagi tanaman padi. Hasil pengukuran Anda dan Siswanto (2002) menunjukkan bahwa dampak oksidasi pirit pada lahan sawah di Kalimantan Tengah, selain menurunkan pH dan kandungan Ca serta Mg, juga meningkatkan kelarutan dan kejenuhan Al, serta menyebabkan berubahnya kimia saluran primer dan skunder, dimana pH menjadi lebih rendah, dan Al3+, EC, SO4 2-, dan Cl- meningkat dibanding inlet. Oksidasi tersebut berdampak terhadap tanaman dan merupakan faktor pembatas. Cho et al. (2002) menyebutkan bahwa faktor pembatas terhadap produksi pertanian (utamanya padi) di lahan sulfat masam Dataran Tengah Thailand adalah kemasaman yang tinggi, defisiensi P, dan kelarutan Al, Fe, dan Mn yang tinggi , dan menyebabkan tanaman keracunan. Tanpa perbaikan, produksi sangat rendah berkisar 1-1,5 t/ha, dan hanya pertanian tradisional dapat berkelanjutan. Penurunan kemasaman melalui pemberian kapur dan pencucian (melalui pengenangan) dapat memperbaiki produktivitas tanah.
30
Pada kondisi reduksi , besi ferro (Fe 2+) yang dominan (Dent 1986). Kelarutan Fe yang tinggi dapat meracuni tanaman padi. Kadar ion Fe 2+ yang dapat meracuni bervariasi, terjadi pada 20-40 mg/l.
Mensvoort et al. (1991)
menyebutkan angka 30 mg/l sebagai awal terjadinya keracunan besi. Munculnya gejala keracunan besi juga dipengaruhi kadar hara lain dalam tanah seperti P, K, Ca dan Mg. Selain itu tergantung kepada toleransi varietas padi yang ditanam.
Upaya Penanggulangan Dampak Oksidasi Pirit
Adanya proses oksidasi senyawa pirit dan proses reduksi dari hasil oksidasi tersebut membawa berbagai dampak negatif bagi pertumbuhan tanaman dan lingkungan sekitarnya. Karena itu perlu dilakukan upaya penanggulangan agar dampak negatif tersebut dapat ditekan seminimal mungkin tanpa banyak mengurangi tingkat produksi padi. Menurut Breemen (1993), beberapa tindakan yang dapat digunakan untuk menurunkan kemasaman, adalah (1) pencegahan oksidasi pirit, dengan jalan membatasi suplai oksigen atau mempengaruhi kecepatan satu atau lebih dari tahap oksidasi, misalnya dengan: (i) mengurangi kecepatan oksidasi Fe 2+ ke Fe 3+ melalui penambahan bakteri sida atau ligand pengkomplek Fe 2+;
(ii)
pengkomplekan
atau
pengendapan
Fe 3+ melalui
penambahan pengkelat organik atau fosfat. Pencegahan suplai O2 dapat dilakukan dengan penggenangan; (2) Pencucian, dilakukan sebelum pemberian amelioran. Pencucian dengan air segar sangat efesien mencuci H2SO4 bebas, Fe terlarut dan garam-garam Al. Pencucian dengan air payau atau garam menyebabkan Al-dd diganti oleh Na dan Mg dari air yang ditambahkan, dan hanya efisien dalam kondisi oksidasi, tidak pada kondisi reduksi. Pencucian tersebut dipengaruhi juga oleh kemudahan perkolasi (struktur tanah); (3)
31
pemberian kapur untuk menetralkan kemasaman.
Pemberian kapur hanya
efisien jika kemasaman terlarut telah dicuci. Hasil penelitian Murtilaksono et al. (2001) menunjukkan bahwa pencucian mampu meningkatkan pH dan menurunkan Al-dd, sulfat, Fe-dd dan Mn-dd, namun produksi padi menurun. Hasil penelitian Didi Ardi et al. (1992) menunjukkan bahwa pencucian dengan air pasang lebih efektif meningkatkan pH dibanding air hujan, hal ini diduga berkaitan jumlah air hujan yang relatif terbatas. Namun pencucian juga membawa dampak negatif, yaitu tercucinya basa-basa yang berguna bagi tanaman. Hasil penelitian Subagyono et al. (1997) menunjukkan bahwa pencucian menurunkan nilai DHL dan menaikkan Fe2+. Mensvoort
et al. (1991) melaporkan
bahwa air payau atau air laut mampu
mencuci/mengendapkan Al. Menurut
Dent
(1986),
pencucian
dengan
air
payau/laut
tersebut
menyebabkan Al dan Fe terdesak keluar komplek jerapan dan digantikan oleh Na dan Mg. Al tersebut kemudian dapat mengendap. Reaksi tersebut digambarkan sebagai berikut:
clay –Al(s) + Mg 2+ (aq) + Na + (aq) Al3+ (aq) + 3 H2 O
clay-Mg, Na(s) + Al3+ (aq) Al(OH) 3(s) + 3H+ (aq)
Pemberian kapur menurunkan kemasaman tanah.
Dari hasil penelitian
Anwar (1983 dan 1989) menunjukkan bahwa pemberian kapur dapat mengurangi aktifitas Al, Fe, Mn, S O42- dalam larutan tanah, serta meningkatkan pH tanah. Sedangkan hasil penelitian Oborn (1993) menunjukkan bahwa pemberian kapur sebesar 6 t/ha pada tanah sulfat masam di Swedia menaikan pH dari 4,8 menjadi 5,6, dan pemberian dolomit kurang memberi pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman karena terganggunya rasio Mg : K.
Upaya tersebut dinilai kurang
32
ekonomis, karena diperlukan jumlah kapur yang tinggi, apalagi kapur relatif sulit didapat pada lokasi tanah sulfat masam tersebut, khususnya di Indonesia. Berdasarkan hasil pengkajian Pulford et al. (1988) diketahui bahwa 1:10 phenanthroline,
fosfat,
silikat,
sitrat,
dan
EDDA
(Ethylenenediamine
di-
orthohydroxyphenylacetic acid) dapat digunakan sebagai agen pengkomplek/ pengendap ion besi ferro; dan panasida (2,2’ dyhydrpxy 5,5’ dichloropheny methante) merupakan bakterisida yang dapat digunakan untuk mencegah kerja dari bakteri pengoksidasi Thiobacillus ferooxidans Dalam menanggulangi dampak oksidasi pirit, selain melalui aspek tanah dan air, juga dilakukan dengan menanam varietas adaptif.
Para pemulia
tanaman telah mendapatkan beberapa varietas tanaman pangan yang relatif adaptif, baik padi maupun palawija. Varietas padi pasang surut yang dihasilkan selama kurun waktu 1996-2001, adalah Banyuasin, Dendang, Batang Hari, Punggur, Indra Giri, Margasari dan Martapura dengan potensi hasil 4-6 t/ha. Varietas Martapura dan Margasari merupakan varietas yang toleran terhadap keracunan besi, dan berumur 120-125 hari, hasil persilangan varietas lokal dengan varietas unggul (Puslitbangtan Pangan, 2002).
Peranan Bahan Organik sebagai Bahan Ameliorasi Tanah Bahan organik telah lama dikenal manfaatnya untuk memperbaiki sifat-sifat tanah, bahkan telah berkembang wacana untuk menciptakan pertanian organik untuk menjaga kelestarian lingkungan dengan mengembalikan bahan organik yang terbentuk di atas tanah ke tanah asalnya, yang selama ini terabaikan dengan pesatnya pengunaan pupuk anorganik. Di pertanian lahan rawa, potensi bahan organik adalah jerami padi, gulma dan bahan gambut. Selama itu, para petani jarang mengembalikan jerami padi
33
dalam bentuk organik, tetapi dalam bentuk anorganik melalui abu. Hal ini berarti telah menghilangkan kemampuan gugus fungsionalnya. Menurut Bohn et al. (1985) bahan organik berkontribusi terhadap unsur hara, dan dapat menurunkan reaktifitas kation-kation Al dan Fe. Penambahan bahan organik yang telah didekomposisi akan bereaksi dengan Fe dan Al membentuk ikatan atau komplek dengan asam organik melalui satu atau lebih mekanisme. Menurut Senesi (1994), hal ini terjadi karena Fe dan Al mampu menggantikan kedudukan ligan O, N maupun sulfida. Pada tanah sulfat masam yang mempunyai pH rendah, Fe memiliki kemampuan terikat relatif lebih kuat. Hal ini terlihat dari deret jerapan yang dikemukakan Schnitzer (1997), yaitu : pH 4,7 :
Hg= Fe= Pb=Al = Cr > Cu > Cd> Ni = Zn >Co> Mn
pH 3,7 :
Hg> Fe > Pb>Al > Cu > Cr > Cd = Zn=Ni=Co= Mn
pH 2,4 :
Hg> Fe > Pb>Al = Cu > Ni> Cr = Zn= Cd = Co = Mn
Pada tanah sulfat masam, bahan organik sangat berperan dalam proses oksidasi dan reduksi. Pada kondisi reduksi, bahan organik berperan sebagai sumber elektron bagi reaksi reduksi sulfat dan besi (III),
dan juga sebagai
sumber energi bagi bakteri-bakteri pereduksi yang mempercepat reaksi-reaksi reduksi. Stevenson (1982) menyebutkan bahwa asam humat mempunyai kemampuan me reduksi Fe 3+ menjadi Fe 2+, karena itu tanpa adanya bahan organik, reaksi reduksi akan terhambat. Pemberian bahan organik dapat dilakukan dengan pengembalian jerami padi ke tanah asalnya, secara tidak langsung turut serta menciptakan pertanian organik dan mengembalikan siklus alaminya. Menurut Ponnamperuma (1984), jerami banyak mengandung N, P, S, K, Si dan C, pemberian secara terus menerus akan meningkatkan kandungan hara tersebut dalam tanah. Selain itu akan meningkatkan pH dan DHL, serta kelarutan Fe, Mn, K, NH4 , asam-asam
34
organik, dan bahan-bahan yang mudah tereduksi. Pemberian dengan takaran 5 -10 t/ha tidak memunculkan efek racun bagi padi.
Menurut Subba Rao (1977)
dan Oh (1984), sebaiknya jerami diberikan dalam bentuk kompos, hal ini berguna untuk mengurangi munculnya efek rumah kaca dan defisiensi N, serta meningkatkan populasi mikroorganisme yang bermanfaat. Selain itu, pemberian kompos jerami meningkatkan hasil padi lebih besar (63%) dibandingkan bila diberikan dalam bentuk jerami (8%), dan jerami efektif bila diberikan pada pertanaman dengan kondisi kering.
Menurut Inoko (1984), kompos efektif
sebagai sumber hara, 25-30% N dari kompos dapat diserap oleh padi, selain itu juga sebagai penyumbang hara K yang cukup besar. Agar proses pembuatan kompos berjalan cepat, perlu memperhatikan beberapa faktor, menurut Dalzell et al. (1987), laju dekomposisi bahan organik tergantung kepada beberapa faktor, antara lain: ukuran partikel, nisbah C/N, suplai hara, kelembaban, aerasi, suhu, derajat kemasaman, dan ketersediaan mikroorganisme.
Khemofilter Penggunaan arang, kapur dan zeolit sebagai bahan penyerap/penetral ion yang terlarut dalam suatu larutan sudah lama diketahui. Bahan-bahan tersebut sering digunakan sebagai bahan dalam proses pengolahan air bersih dan dapat dikatakan sebagai khemofilter. Menurut Anonim (2002), khemofilter merupakan sebuah filter mekanik yang bekerja pada skala molekuler dengan menangkap bahan terlarut seperti gas, bahan organik terlarut dan ion-ion tertentu. Khemofilter dapat melakukan fungsinya dengan tiga cara, yaitu (1) serapan, (2) pertukaran ion, dan (3) jerapan.
35
Arang
kayu/serbuk.
Arang
kayu/serbuk
merupakan
arang
hasil
pembakaran kayu/serbuk, baik melalui sistem timbun maupun menggunakan drum. Menurut Pari (2002), secara morfologis arang memiliki pori yang efektif untuk mengikat atau menyimpan hara, dan dapat berfungsi untuk meningkatkan pH tanah dan menyerap kelebihan CO2. Arang yang diberikan pada tanah yang dijadikan sebagai campuran media tanam meningkatkan persentase tumbuh bibit Eucalyptus urophylla, Eucalyptus citriodora dan Acacia mangium. Adanya pori pada arang kayu tersebut diharapkan dapat berfungsi sebagai pengabsorpsi ionion meracun dan gas dari air drainase. Arang aktif. Arang aktif merupakan arang kayu dan arang lainnya yang mengalami aktivasi. Arang aktif memiliki ruang pori sangat banyak dengan ukuran tertentu, dengan luas permukaan 500 -1500 m2 sehingga sangat efektif menangkap partikel halus berukuran 0,1 µ - 0,01 mm.
Pori-pori ini dapat
menangkap partikel-partikel yang sangat halus (molekul) dan menjebaknya disana, dengan berjalannya waktu, pori-pori ini pada akhirnya
akan jenuh
dengan partikel-partikel yang sangat halus sehingga tidak berfungsi lagi. Lamanya kemampuan absorpsi sangat tergantung dari metode aktivasi sebelumnya. Dilihat dari kemampuannya dalam mengabsorbsi molekul, maka arang aktif mempunyai kemampuan yang sangat besar untuk mengabsropsi ion meracun air drainase dari tanah sulfat masam, termasuk gas-gas yang ada dalam larutan. Hasil penelitian Pari (1996) pada air sumur tercemar, arang aktif dari serbuk gergajian sengon mampu mengabsorpsi (menarik) logam Fe, Mn, Zn, dan anion SO42-, PO43-, dan Cl- serta menjernihkan air. Arang aktif dapat dibuat dari berbagai bahan organik yang ada di masyarakat, antara lain dari cangkang/sabut kelapa, serbuk gergaji kayu, batubara, dan lain-lain. Menurut Pari (2002), pada
36
tahun 1986 di Kalimantan telah berdiri pabrik arang aktif dari limbah serbuk gergajian kayu sebagai bahan baku utama. Zeolit.
Zeolit merupakan batuan yang memiliki ronga-ronga dan tahan
terhadap lingkungan asam sehingga kerusakan struktur dapat dihindari, dan reaktifitasnya dapat ditingkatkan dengan pengasaman. Menurut Astiana (1993), rongga zeolit merupakan permukaan aktif zeolit, terdapat basa-basa seperti K, Na, Ca dan Mg dan dapat dipertukarkan oleh kation-kation lain. Selektivitas pertukaran tersebut mengikuti deret berikut : K > NH4 > Na > Fe > Al > Mg > Li
Zeolit dapat berfungsi sebagai penyaring molekuler , mampu menyaring ion meracun seperti Al3+, Fe 2+ dan SO42- yang berada dalam air drainase sehingga konsentrasi ion tersebut dalam
air yang melewati zeolit akan lebih rendah.
Menurut Ming dan Mumpton (1989), peranan zeolit ini dapat ditingkatkan melalui dealuminasi, alkalinasi maupun dehidratasi Kapur sudah lama dikenal mempunyai kemampuan sebagai bahan penetral sumber kemasaman tanah dan air. Kapur dapat menaikan pH air sehingga kelarutan ion Al3+ , Fe2+ dan SO4 2- menurun.
Menurut Dent (1986),
kapur akan bereaksi dengan SO4 membentuk garam CaSO4.
Biofilter Biofilter merupakan tanaman/tumbuhan yang mampu mengabsorbsi atau memfilter unsur unsur beracun, baik yang larut dalam larutan tanah maupun air. Tanaman purun yang tumbuh dominan di lingkungan tanah sulfat masam dapat dipilah menjadi dua, yaitu purun tikus/kudung (Eleocharis dulcis) dan purun tikar (Eleocharis conesta). Purun tikus berkembang baik pada lahan sulfat masam yang tergenang cukup lama dalam setahun, misalnya pada saluran-saluran
37
drainase atau cekungan-cekungan, dan tahan terhadap pH air yang sangat rendah (< 3,2).
Hasil pengamatan
Suwardi et al. (1999) di UPT Barambai,
Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa purun kudung tumbuh bersama kelakai (Blechnum orientale L.) mendominasi pada lahan-lahan terlantar yang pH tanahnya turun sampai 3.
Menurut Mulyanto et al. (1999), tanaman tersebut
dapat menyerap Al dan Fe dalam jumlah besar dan diakumulasi di dalam jaringan tanaman.
Selain itu, tanaman purun dapat dijadikan tanaman
perangkap bagi hama penggerek batang putih.
Hasil penelitian Asikin dan
Thamrin (2001) menunjukkan bahwa hama tersebut lebih suka meletakan telurnya pada tanaman purun daripada tanaman padi, baik musim hujan maupun musim kemarau. Di kalangan masyarakat purun tikar dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan tikar dan topi. Hasil penelitian Krolak (2001) pada lahan basah sub tropika di selatan Podlasie, Polandia, menunjukkan bahwa tanaman sejenis rumput (Taraxacum offinalle Webb) merupakan penyerap logam-logam berat dan diakumulasi dalam jaringan tanpa menampakan efek fisiologi.
Tanaman tersebut merupakan
biofilter dan dijadikan sebagai indikator terjadinya pencemaran logam berat. Menurut Suriawiria (2003), kemampuan tanaman sebagai biofilter karena mempunyai mikroba rhizosfera yang mampu mengurai bahan organik dan anorganik di sekitar akar sehingga merubah pH air buangan, menurunkan kandungan logam-logam berat, dan mereduksi beberapa jenis logam. Beberapa biofilter yang sudah dikenal antara lain: enceng gondok (Eichornia crassipes ), kayambang (Lemna minor), ki apu (Spirodella polyrhiza ), cyperus , mendong (Fimbristylis), dan scirpus . Selain itu beberapa tumbuhan yang mempunyai mikroba rhizosfera sehingga bersifat sebagai biofilter adalah paku air (Azolla pinata), wawalingian (Typha domingensis), kangkung (Ipomoea aquatica), genjer (Limnocharis flava), dan selada air (Nosturfium offinale).