TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Klasifikasi botani tanaman palem botol adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Sub divisio
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Ordo
: Arecales
Famili
: Arecaceae (Palmaceae)
Genus
: Mascarena
Spesies
: Mascarena lagenicaulis
(Nazaruddin dan Angkasa, 1997). Palem botol merupakan tumbuhan monokotil (berkeping satu) yang berbatang tunggal. Tinggi batangnya 2-10 meter digolongkan sebagai palem yang ber pohon sedang, dengan batang yang tumbuh tegak (Witono, et al, 2000). Daun hijau menjuntai, dengan pelepah daunnya berupa seludang yang saling menutup di ujung batangnya, dan memiliki tipe anak daun tegak. Bunga palem botol berwarna merah, kuning hingga oranye. Bunga ini memang jarang terlihat. Bila ada, ia akan muncul seperti tanduk di bawah pelepah daun terbawah. Buahnya berbentuk lonjong, jika masih muda berwarna hijau dan akan berubah menjadi oranye lalu hitam setelah amat tua (Nazaruddin dan Angkasa, 1997). Penampang buah palem botol (Gambar 1) terdiri dari bagian epicarp, mesocarp, endocarp yang agak keras, endosperm, dan embrio.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1. Penampang buah palem botol
Syarat Tumbuh
Tanaman palem adalah tanaman tropis dan subtropis sehingga selama pertumbuhannya diperlukan penyinaran matahari penuh. Pada waktu perkecambahan dan pembibitan sebaiknya jangan terkena sinar matahari yang langsung. Suhu udara yang diperlukan adalah 25-330 C, dan masih tumbuh baik di luar kisaran suhu udara tropis tersebut (BAPPENAS, 2009). Menurut Uhl dan Dransfield (1987 dalam Siregar, 2005), palem memerlukan curah hujan 2000 – 2500 mm/tahun dengan rata-rata hujan turun 120-140 hari dalam setahun dan kelembaban relatif 80%. Palem dapat tumbuh dengan baik pada tipe tanah yang berpasir, tanah gambut, tanah kapur, dan tanah berbatu. Palem juga dapat tumbuh pada berbagai kemiringan
dari
tanah
datar,
tanah
berbukit,
dan
berlereng
terjal
(Witono et al, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Pematahan Dormansi Benih
Proses perkecambahan benih merupakan suatu rangkaian kompleks dari perubahan-perubahan morfologi, fisiologi dan biokimia. Proses perkecambahan terjadi
dalam
beberapa
proses
berurutan
yaitu:
tahap
pertama
suatu
perkecambahan benih dimulai dengan proses penyerapan air (imbibisi), melunaknya kulit benih dan hidrasi dari protoplasma. Tahap kedua dimulai dengan kegiatan-kegiatan sel dan enzim-enzim serta naiknya tingkat respirasi benih. Tahap ketiga merupakan tahap dimana terjadi penguraian bahan-bahan seperti karbohidrat, lemak, dan protein menjadi bentuk-bentuk yang melarut dan ditranslokasikan ke titik-titik tumbuh. Tahap keempat adalah asimilasi dari bahanbahan yang telah diuraikan tadi di daerah meristematik untuk kegiatan pembentukan komponen dan pertumbuhan sel-sel baru. Tahap kelima adalah pertumbuhan dari kecambah melalui proses pembelahan, pembesaran dan pembagian sel-sel pada titik-titik tumbuh (Sutopo, 1988). Kendala berkecambah (dormansi) sering terkait pada tahap 1 dan tahap 2. Pada tahap 1 (masuknya air dan O2) diduga disebabkan oleh kulit biji yang impermeabel terhadap air dan O2. Ada juga kendala kekerasan kulit sehingga tidak dapat ditembus oleh titik tumbuh. Hal ini dapat diatasi dengan menipiskan kulit biji (skarifikasi). Pada tahap 2 kendala yang sering dijumpai adalah tidak terjadinya metabolisme karena tidak/belum aktifnya enzim-enzim. Hal ini terkait pada kematangan embrio. Ini dapat diatasi dengan penambahan hormon (ZPT) yang mengaktifkan proses enzimatis, misalnya giberelin (GA3). Dormansi benih dapat disebabkan antara lain adanya impermeabilitas kulit biji terhadap air dan gas (oksigen), embrio yang belum tumbuh secara sempurna,
Universitas Sumatera Utara
hambatan
mekanis
kulit
benih
terhadap
pertumbuhan
embrio,
belum
terbentuknya/aktifnya zat pengatur tumbuh atau karena ketidakseimbangan antara zat penghambat dengan zat pengatur tumbuh di dalam embrio. Dormansi yang penyebabnya terletak pada kulit benih lazim pula disebut dormansi struktural, dapat disebabkan oleh: kedapnya kulit benih terhadap air atau oksigen (O2) dan adanya zat penghambat. Kedapnya kulit benih terhadap air atau O2 karena kulit benih tersebut terlalu keras, terliputi gabus atau lilin. Tentang zat penghambat dapat berada disekitar kulit serta di bagian-bagian dalam benih itu, atau menempel pada kulit (semula zat ini berada dalam daging buah). Kerasnya kulit benih menyebabkan resistensi mekanis, dan ini menyebabkan embrio yang memiliki daya untuk berkecambah tidak dapat menyobek kulit yang berarti pula tidak dapat keluar untuk tumbuh sebagaimana mestinya. Perkecambahan biji tidak hanya ditentukan pada kemampuannya dalam menyerap air, tetapi juga kondisi selama imbibisi. Kelebihan air sering menyebabkan perkecambahan yang tidak baik dan bisa juga mendorong perkembangan dari mikroorganisme disekitar kulit biji, yang akan bersaing dengan embrio dalam mendapatkan oksigen (Villiers, 1972; Mayer and Poljakoff-Mayber, 1975; Kartasapoetra, 2003).
Skarifikasi
Perlakuan untuk pematahkan dormansi dapat dilakukan dengan skarifikasi mekanis, yakni melalui penusukan; penggoresan; pemecahan; pengikiran; atau pembakaran dengan bantuan pisau, jarum, kikir, pembakar, kertas gosok atau lainnya, yang merupakan cara paling efektif untuk mengatasi dormansi fisik.
Universitas Sumatera Utara
Dimana semuanya bertujuan agar kulit biji lebih permeabel terhadap air dan gas (Utomo, 2006). Skarifikasi biji palem meliputi menipiskan bagian tulang endokarp dari biji palem yang menghalangi proses penyerapan air. Skarifikasi telah meningkatkan perkecambahan (mempercepat perkecambahan) dari jenis spesies palem yang keras dan kulit biji yang tidak dapat ditembus oleh air. Bahaya dalam mekanis atau skarifikasi yang tajam adalah merusak embrio selama proses skarifikasi (Meerow, 2004).
Asam Giberelat (GA3) Tahap ke dua perkecambahan mulai terjadi pengaktifan enzim-enzim. Pengaktifan enzim-enzim hidrolase ini dirangsang oleh hormon zat pengatur tumbuh giberelin (GA). Kadang hormon GA dalam biji kurang sehingga dengan penambahan dari luar akan mencukupi. Beberapa perlakuan yang biasa digunakan untuk mempercepat perkecambahan palem adalah perendaman biji dalam GA3 100 ppm selama 72 jam pada Archontophoenix alexandrae (Nagao & Sakai 1979), kombinasi skarifikasi dan perendaman dalam GA3 100 ppm pada Archontophoenix alexandrae dan Ptychospermae macharthurii (Nagao et al, 1980), peretasan kulit dan perendaman biji dalam GA3 2000 ppm selama 48 jam pada Licuala grandis (Soedjono& Suskandari 1997). Hasil penelitian dengan perendaman dalam larutan hormon tumbuh GA3 dapat meningkatkan aktivitas enzim α- amylase dan protease yang diperlukan dalam perkecambahan biji. Perlakuan yang efektif dalam mempercepat perkecambahan palem adalah kombinasi skarifikasi dan perendaman dalam GA3 100 ppm.
Universitas Sumatera Utara
Perkembangan impermeable seed coats berpengaruh secara langsung terhadap fase istirahat. Impermeable seed coats bagi biji yang sedang mengalami dormansi, dapat mereduksi kandungan oksigen yang ada di dalam biji, sehingga dalam
keadaan
anaerobik,
terjadi
sintesa
zat
penghambat
tumbuh
(growth inhibiting subtance). Fase akhir dari dormansi adalah fase berkecambah. Setelah fase istirahat berakhir, maka aktivitas metabolisme meningkat dengan disertai meningkatnnya aktivitas enzim dan respirasi (respiration rate). Terkait aktivitas metabolisme, giberelin mempunyai peranan penting. Hormon tumbuh ini dihasilkan oleh embrio kemudian ditranslokasikan ke lapisan aleuron sehingga menghasilkan enzim α amylase. Proses selanjutnya yaitu enzim tersebut masuk ke dalam endosperm, maka terjadilah perubahan-perubahan yaitu berubahnya pati menjadi gula dan menghasilkan energi yang berguna untuk aktivitas sel dan pertumbuhan. Tahapan ini merupakan akhir dari dormansi biji (Abidin, 1983). Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya embrio memerlukan energi dan bahan baku, diantaranya untuk sintesa lemak; protein; dan senyawa penyusun lainnya. Energi dalam bentuk ATP (Adenosine triphosphate) atau dalam bentuk donor hidrogen NADH2/NADPH2 (Nikotin Amida Dinukleotida H2/ Nikotin Amida Dinukleotida Phosphate H2) dan bahan baku yang dihasilkan pada proses respirasi. Kegiatan enzim-enzim di dalam biji distimulir oleh adanya gibberellic acid (GA3) yaitu suatu hormon tumbuh yang dihasilkan oleh embrio setelah menyerap air. Proses pertumbuhan dan perkembangan embrio semula terjadi pada ujung-ujung tumbuh dari akar. Kemudian diikuti oleh ujung-ujung tumbuh tunas. Proses pembagian dan membesarnya sel-sel ini tergantung dari terbentuknya energi dan molekul-molekul komponen tumbuh yang berasal dari
Universitas Sumatera Utara
jaringan persediaan makanan. Dimana molekul-molekul protein dan lemak penting untuk pembentukan protoplasma, sedang molekul-molekul kompleks polisakarida dan asam poliuronat untuk pembentukan dinding sel (Sutopo, 1988). Selama terjadinya perkembangan dari zygot sampai ke perkecambahan biji, tumbuh vegetatif dan reproduktif, zat tumbuh memainkan peranan yang penting melalui pengaruhnya pada pembelahan sel, pembesaran sel, dan diferensiasi sel. Pembentukan zygot dan perkembangan embrio adalah periode saat terjadi aktivitas metabolisme yang tinggi disertai dengan sintesa protein; pembentukan lipid; polisakarida; dan komponen-komponen dinding sel, serta pembentukan organel-organel subselular. Pembelahan dan diferensiasi sel adalah aktivitas sel utama pada periode perkembangan. Bila dormansi berakhir dengan adanya imbibisi air dan pada keadaan-keadaan tertentu, dengan hilangnya inhibitor, biji kembali menjadi pusat aktivitas metabolisme yang tinggi. Sel-sel dalam embrio membesar, dan organel-organel subselular terorganisasi. Giberelin dapat memecahkan dormansi biji dan tunas pada sejumlah tananan. Giberelin juga terlibat dalam pengaktifan sintesa protease dan enzim-enzim hidrolitik lainnya. Senyawa-senyawa gula dan asam-asam amino, zat-zat dapat larut yang dihasilkan oleh aktivitas amilase dan protease, ditranspor ke embrio, dan di sini zat-zat ini mendukung perkembangan embrio dan munculnya kecambah (Heddy, 1989). Berbeda halnya dengan enzim β amylase yang sudah ada dari semulanya (pre-exist) di dalam scutellum dan aleurone pada biji kering angin, enzim α amylase ini belum atau tidak terdapat (not pre-exist) pada biji kering angin, tetapi enzim ini baru dibuat (synthesized) kemudian pada waktu permulaan perkecambahan biji (early stage of germination) oleh gibberellic acid (GA), atau
Universitas Sumatera Utara
asam giberelik. Jadi asam giberelik (GA) adalah suatu senyawa organik yang sangat penting dalam proses perkecambahan suatu biji karena ia bersifat pengontrol perkecambahan tersebut. Kalau GA tidak ada atau kurang aktif (belum teraktivir) maka α amylase tidak akan terbentuk yang dapat menyebabkan terhalangnya proses perombakan pati (amylose dan amylopectin), sehingga dapat mengakibatkan terhalangnya perkecambahan (Kamil, 1979). Giberelin mempunyai kemampuan khusus memacu pertumbuhan utuh pada banyak spesies, terutama tumbuhan kerdil atau tumbuhan dwitahunan yang berada dalam fase roseta. Giberelin biasanya lebih banyak mendorong pemanjangan batang yang utuh daripada potongan batang. Tumbuhan sekadangnya memang bereaksi terhadap GA3 dengan cara memanjang lebih cepat. Kalaupun giberelin lain memacu pemanjangan tumbuhan kerdil, barangkali dengan cara diubah terlebih dahulu menjadi GA1 (Salisbury and Ross, 1992). Tingginya tingkat giberelin yang ada dalam biji, biasanya meningkat selama proses penuaan, oleh karena itu biji yang kering mengandung level yang sangat rendah. Giberelin berasal dari embrio yang merangsang produksi αamylase pada aleuron. Daya kecambah biji (viability or germinability) erat hubungannya dengan pemasakan biji. Umumnya sewaktu kadar air biji menurun dengan cepat sampai sekitar 20%, maka biji mencapai masak fisiologis (physiological maturity) atau disebut juga masak fungsional (functional maturity). Setelah masak fisiologis ini tercapai translokasi zat makanan yang akan disimpan ke dalam biji (buah) dihentikan. Tidak terjadi lagi proses pertumbuhan pada biji (buah) sehingga ia tidak bertambah besarnya atau dengan kata lain biji (buah) telah mencapai ukuran besar maksimum (maximum size). Disamping itu pada saat
Universitas Sumatera Utara
masak fisiologis, biji mempunyai berat kering maksimum (maximum dry weight); daya tumbuh maksimum (maximum vigor); dan daya kecambah maksimum (maximum viability). Mutu biji tertinggi (maximum seed quality) juga diperoleh pada saat masak fisiologis. Tidak pernah diperoleh mutu biji yang lebih tinggi daripada mutu biji pada saat masak fisiologis. Untuk ini dianjurkan melakukan panenan pada saat masak fisiologis tercapai (Kamil, 1979; Davies, 1995).
Universitas Sumatera Utara