4
TINJAUAN PUSTAKA Fruktooligosakarida (FOS) FOS
merupakan
fructofuranosyl)n-1.
FOS
campuran terdiri
dari dari
oligomer molekul
1F-(1-β-
sukrosa sukrosa
(glucose-
fructosedisaccharides, GF) yang satu, dua, atau tiga unit fruktosa tambahan telah ditambahkan dengan β-2-1 glycosidic yang berikatan dengan unit fruktosa dari sukrosa. Molekul GF2 (α-D-glucopyranoside-(1
2)-β-D-fructofiranosyl-(1Å
2)-β-D-fructofuranosyl atau 1-ketose), GF3 (α-D-glucopyranoside-(1
2)-β-D-
fi-uctofuranosyl-(1Å2)-β-D-fructofuranosyl-(1Å2)-β-D-fructofuranosyl atau nystose), dan GF4 (α-D-glucopyranoside-(1
2)-β-D-fructofuranosyl-(1Å2)-β-D-
fructofuranosyl-(1Å2)-β-D-fructofuranosyl-(1Å2)-β-D-fructofuranosyl atau 1F-βfructofuranosyl nystose) merupakan komponen dari FOS (Kamerling et al 1972 dalam FDA 2000). FOS juga merupakan serat terfermentasi yang mempunyai fungsi sebagai prebiotik. Menurut Gropper et al (2009), prebiotik berperan sebagai substrat untuk meningkatkan pertumbuhan bakteri menguntungkan atau yang bermanfaat bagi kesehatan. Konsumsi 10-15 g FOS per hari selama 14-21 hari dapat meningkatkan jumlah bakteri menguntungkan (populasi koloni Bifidobacteria) di dalam usus, sehingga dapat mencegah beberapa penyakit seperti diare. Menurut FDA (2000), sekitar 89% FOS yang difermentasi oleh mikroflora usus diubah menjadi gas dan short-chain fatty acids (SCFA). Gropper et al (2009) menambahkan bahwa pembentukan SCFA di dalam kolon menyebabkan terjadinya penurunan pH pada bagian luminal kolon. Kondisi pH yang rendah menyebabkan lebih banyak kalsium yang tersedia (larut) untuk mengikat cairan empedu dan asam-asam lemak, sehingga dapat mencegah kanker kolon. Asam lemak rantai pendek (short-chain fatty acids /SCFA) yang dihasilkan dari fermentasi bakteri usus, seperti b-hidroksibutirat, acetat, dan propionat dapat meningkatkan jumlah precursor GLP-1 (glucagon-like peptide-1). GLP-1 adalah sejenis hormon inkretin yang dapat memperbaiki produksi insulin dan menghambat pembentukan glucagon (Delzenne et al 2007). Menurut Alles (1999), pemberian 15 g FOS selama 20 hari kepada 20 pasien yang menderita DM tipe 2 tidak ada berpengaruh terhadap glukosa darah, lipid serum, dan asetat serum dari pasien tersebut.
5 FOS merupakan produk turunan dari inulin yang dihidrolisis menjadi bentuk oligofruktosa . Inulin dideskripsikan dalam British Pharmacopeia (1980) sebagai bubuk granula putih yang bersifat amorf, tidak berbau, higroskopik, agak larut dalam air panas dan agak larut dalam larutan organik. Secara alami FOS terdapat
dalam berbagai
asparagus,
dan
sayur
dan
buah
misalnya
bawang
merah,
chicory (mengandung inulin), pisang, oligosakarida pada
kedelai, dan artichoke (Tensiska 2008). Oligofruktosa lebih dapat larut dibanding inulin (sekitar 80% dalam air pada suhu ruang). Ketika murni, oligofruktosa memiliki tingkat kemanisan sekitar 35% dibandingkan sukrosa. Kemanisannya mirip dengan gula, rasanya sangat bersih tanpa adanya efek iritasi pada lidah , dan dapat pula menimbulkan aroma buah-buahan. Oligofruktosa menunjukkan stabilitas yang baik selama proses pemasakan, seperti perlakuan panas (Gibson&Fuller 1998). FOS, dikenal di Jepang sebagai sebagai pemanis, peningkat aroma, pengembang, dan humektan. Dalam industri pangan, FOS digunakan dalam pembuatan kue, roti, permen, produk susu, dan beberapa minuman sebagai pengganti sukrosa rendah kalori (Ekandini 2006). Bahan Tambahan Pangan Pengertian bahan tambahan pangan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.772/Menkes/Per/IX/88 No.1168/Menkes/PER/X/1999 secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan (Cahyadi 2008). Tujuan penambahan
food
menstabilkan
dan
additives
adalah
memperbaiki
untuk
tekstur,
meningkatkan
menahan
rasa,
kelembaban,
warna, sebagai
pengental, pengikat logam, mencegah terjadinya pelengketan, pengkayaan makanan dengan vitamin dan mineral, dan beberapa tujuan spesifik lain (Marliyati et al 1992). Bahan tambahan pangan yang digunakan dalam pembuatan produk minuman berbahan dasar FOS adalah pemanis buatan (sukralosa), penyedap rasa dan aroma (flavor powder), dan stabilizer (xanthan gum). Pemanis buatan (sukralosa) Sukralosa adalah triklorodisakarida yaitu 1,6-Dichloro-1,6-dideoxy-β-Dfructofuranosyl-4-chloro-4-deoxy-α-D-galactopyranoside
atau
4,1,6
trichloro-
galactosucrose dengan rumus kimia C12H19Cl3O8 merupakan senyawa berbentuk
6 kristal berwarna putih, tidak berbau, mudah larut dalam air, methanol dan alkohol, sedikit larut dalam etil asetat, serta berasa manis (Ambarsari et al 2009). Menurut Drummond (2007), sukralosa merupakan satu-satunya pemanis buatan yang terbuat dari gula meja. FDA pada tahun 1999 mengakui bahwa sukralosa dapat digunakan sebagai pemanis secara umum. Sukralosa memiliki tingkat kemanisan 600 kali dibandingkan dengan gula dan sesungguhnya mempunyai rasa yang sama dengan gula. Sukralosa tidak dapat dicerna, dan tidak menambah kalori pada makanan. Sukralosa mempunyai stabilitas yang sangat baik pada hampir seluruh jenis kondisi, termasuk panas. Penyedap rasa dan aroma (flavor powder) Bahan penyedap dalam bahan pangan dapat memperbaiki produk pangan, membuat lebih diterima, dan lebih menarik. Bahan penyedap ada yang berasal dari alami maupun buatan (sintetik). Ada senyawa sintetik yang digunakan untuk menimbulkan aroma, karena senyawa-senyawa ester tertentu (flavormatik) mempunyai aroma yang menyerupai aroma buah-buahan, misalnya amil asetat menyerupai aroma pisang, vanilin memberikan aroma vanili, amil kaproat menyerupai aroma apel dan nanas (Marliyati et al 1992). Stabilizer (xanthan gum) Menurut Arpah (1997), struktur xanthan gum memungkinkan untuk memberikan gel yang paling stabil terhadap asam. Molekul xanthan gum memiliki suatu back bone yang tersusun dari polimer sellulosa yang memiliki cabangcabang berantai pendek yang berhubungan dengan residu glukosa. Struktur ini menyebabkan molekul larut dalam air. Kelarutan xanthan gum sangat baik dalam air panas dan air dingin, dapat memberikan viskositas yang tinggi pada konsentrasi gum yang sangat rendah, yaitu 0,05 – 0,5%. Polimer ini di dalam industri pangan utamanya digunakan sebagai pengental, pensuspensi, dan stabiliser. Penyimpanan Pangan Kondisi lingkungan penyimpanan produk pangan dapat menyebabkan susut zat gizi bahan pangan, selain itu juga mempengaruhi spesies mikroorganisme yang mungkin berkembang dan menyebabkan kerusakan. Besarnya kerusakan yang terjadi tergantung pada lama atau waktu suatu bahan pangan disimpan. Menurut Labuza (1982) faktor kerusakan pangan antara lain suhu, kelembaban (RH), kadar oksigen, dan cahaya tempat penyimpanan.
7 Waktu Penyimpanan Pada kondisi optimal, hampir semua bakteri memperbanyak diri dengan pembelahan biner sekali setiap 20 menit.
Menurut Hayes (1998), mikroba
mempunyai tahapan atau fase pertumbuhan selama kurun waktu tertentu yang terdiri dari fase lambat (lag phase), logaritma (log phase), tetap (stationary phase), dan penurunan (decline phase). Stationary phase
Decline phase Log cell Of number
Lag phase Log phase
Time
Gambar 1 Kurva pertumbuhan mikroba yang terbagi dalam 4 fase Selama fase lag, sel melakukan metabolisme dengan cepat tetapi hanya menyebabkan sedikit kenaikan ukuran sel, bukan peningkatan jumlah sel. Selanjutnya, sel memperbanyak diri secara cepat tergantung pada organisme dan kondisi lingkungannya. Periode terjadinya perbanyakan yang cepat ini disebut fase log, karena nilai logaritmik jumlah organisme berbanding langsung dengan waktu. Koloni tersebut kemudian memasuki fase pertumbuhan stationer, jumlah sel yang hidup seimbang dengan jumlah yang mati. Akhirnya, laju pertumbuhan menurun disebut fase penurunan, biasanya disebabkan karena kekurangan faktor pertumbuhan (Gaman 1992). Suhu Penyimpanan Suhu penyimpanan dapat mempengaruhi aktivitas air dan potensial redoks. Aktivitas air dari bahan pangan dapat naik oleh keadaan penyimpanan yang lembab. Permukaan bahan pangan yang berhubungan dengan udara akan memungkinkan perkembangan jenis-jenis mikroorganisme oksidatif, sedangkan pengemasan secara vakum akan memungkinkan pertumbuhan mikroorganisme anaerob atau falkutatif anaerob. Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam laju pertumbuhan mikroorganisme. Suhu terendah dimana mikroba dapat tumbuh
disebut
suhu
minimum,
sedangkan
suhu
saat
pertumbuhan
mikroorganisme tidak mungkin terjadi disebut suhu maksimum. Antara kedua
8 suhu tersebut, terdapat suhu dimana laju pertumbuhan mikroba sangat cepat yang disebut sebagai suhu optimum (Hayes 1998). Menurut Buckle et al (1985), klasifikasi mikroorganisme berdasarkan reaksi pertumbuhannya terhadap suhu adalah sebagai berikut Tabel 1 Klasifikasi mikroorganisme berdasarkan suhu Kelompok Psikrofil Psikrotrof Mesofil Thermofil Thermotrof
Suhu pertumbuhan minimum (0C) -15 -5 5 smpai 10 40 15
Suhu pertumbuhan optimum (0C) 10 25 30 sampai 37 45 sampai 55 42 sampai 46
Suhu pertumbuhan maksimum (0C) 20 35 45 60 sampai 80 50
Mutu Pangan Mutu adalah gabungan dari sejumlah atribut yang dimiliki oleh bahan atau produk pangan yang dapat dinilai secara organoleptik. Atribut tersebut meliputi parameter kenampakan, warna, tekstur, rasa dan bau (Kramer&Twigg 1983 dalam Afrianto 2008). Menurut BPOM (2008), mutu pangan didefinisikan sebagai kelompok sifat atau faktor pada pangan yang membedakan tingkat pemuas atau aceptability (penerimaan) dari pangan tersebut bagi pembeli atau konsumen. Mutu pangan sangat dipengaruhi oleh karakteristik atau sifat yang dimiliki oleh bahan pangan tersebut. Kramer dan Twigg (1983) diacu dalam Afriyanto (2008) telah mengklasifikasikan karakteristik mutu bahan pangan menjadi dua kelompok, yaitu : (1) karakteristik fisik atau karakteristik tampak, meliputi penampilan (warna, ukuran, bentuk dan cacat fisik) tekstur, kekentalan dan konsistensi, flavor (sensasi dari kombinasi bau dan cicip), dan (2) karakteristik tersembunyi, yaitu nilai gizi dan keamanan mikrobiologis. Mutu dari bahan pangan sangat dipengaruhi oleh faktor, baik internal maupun eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari bahan pangan itu sendiri, sedangkan faktor eksternal berasal dari lingkungannya (Afrianto 2008). Penetuan mutu pangan dapat dilakukan dengan mengukur/ menilai sifat yang ada dimiliki bahan pangan. Berdasarkan jenisnya, sifat dari bahan pangan dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: (1) sifat fisik, yang memiliki hubungan erat dengan sifat dari bahan pangan yang nampak, seperti tekstur, kekentalan, ataupun warna.
Sifat fisik dari bahan pangan dapat diukur secara sensoris
(organoleptik) ataupun degan menggunakan alat analisis. Sifat fisik memiliki kaitan sangat erat dengan mutu bahan pangan karena dapat digunakan sebagai informasi dasar dalam menentukan tingkat metode penanganan, (2) sifat kimiawi,
9 yang ditentukan oleh senyawa kimia dalam bahan pangan sejak mulai dari bahan pangan dipanen/ditangkap hingga diolah. Sifat kimia yang biasa diukur dalam bahan pangan adalah air, kandungan gizi, dan derajat keasaman (pH), (3) sifat biologis, yang utama dari bahan pangan adalah kandungan mikrobanya (Afrianto 2008). Perubahan pada mutu pangan akibat pertumbuhan mikroorganisme, dapat membahayakan kesehatan manusia. Apabila makanan tersebut sampai mengakibatkan luka atau kematian, maka dapat dikatakan tidak aman. Penyakit yang disebabkan oleh makanan (foodborne disease) adalah gejala penyakit yang timbul akibat mengonsumsi makanan yang mengandung bahan/ senyawa beracun/ organisme pantogen (WKNPG 1993). Penyakit yang sering timbul dari makanan yang tercemar adalah diare. Menurut Muchtadi (1988), flatulensi merupakan gejala awal timbulnya diare, dan dianggap
masalah
yang
cukup
serius
meskipun
tidak
bersifat
toksik.
Oligosakarida tidak dapat dicerna karena mukosa usus halus mamalia tidak mempunyai enzim pencernaannya, yaitu α-galaktosidase. Bakteri yang ada di usus besar memetabolismenya dan menghasilkan gas-gas seperti CO2, H2, dan sedikit metan. Peningkatan tekanan gas dalam rektum dapat menyebabkan timbulnya tanda-tanda patologis flatulensi, sakit kepala, pusing, penurunan daya konsentrasi, dan oedem kecil. Toksisitas Pangan Menurut Omaye (2004), kemanan pangan berhubungan dengan tingkat toksisitas, dimana batas pangan/bahan makanan berbahaya bagi kesehatan manusia. Bahaya didefinisikan dapat mengakibatkan luka dan kematian. Zat racun dapat secara alami ada dalam bahan makanan, atau kontaminasi oleh mikroorganisme, yang terjadi saat persiapan dan proses pembuatan makanan. Tingkat toksisitas suatu bahan pangan dapat ditentukan dengan uji toksisitas. Uji toksisitas dimaksudkan untuk memaparkan adanya efek toksik dan atau menilai batas keamanan dalam kaitannya dengan penggunaan suatu senyawa. Pengukuran toksisitas dapat ditentukan secara kuantitatif yang menyatakan tingkat keamanan dan tingkat berbahaya zat tersebut. Salah satu metode pengujian yang sering dan mudah dilakukan adalah menggunakan larva udang (Artemia Salina Leach), disebut dengan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT).
10 Metode BSLT banyak digunakan dalam penelusuran senyawa bioaktif yang bersifat toksik dari alam. Metode ini dapat digunakan sebagai bioassayguided fractionation dari bahan alam, karena mudah, cepat, murah dan cukup reproducible. Tingkat toksisitas dinyatakan dalam LC50, yaitu konsentrasi yang menyebabkan 50% kematian organisme uji. Bila ekstrak sampel memiliki harga LC50 kurang dari atau sama dengan 1000 µg/ml, maka dikatakan toksik (Meyer et al 2002 dalam Baraja 2008). Umur Simpan Menurut National Food Processor Association (1978), suatu produk dikatakan berada pada kisaran umur simpannya jika kualitas produk secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan. Institute of Food Technologiest (1974) mendefinisikan umur simpan produk pangan sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, aroma, tekstur dan nilai gizi (Syarief et al 1989). Menurut Syarief dan Halid (1993), hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam produk makanan bersifat akumulatif dan irreversible (tidak dapat dipulihkan kembali) selama penyimpanan, sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu makanan tidak dapat diterima lagi. Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu makanan tidak lagi dapat diterima disebut sebagai jangka waktu kadaluarsa. Bahan pangan juga disebut rusak apabila bahan pangan tersebut telah kadaluarsa, yaitu telah melampaui masa simpan optimumnya dan pada umumnya makanan tersebut menurun mutu gizinya meskipun penampakannya masih bagus. Menurut Ellis (1994) diacu dalam Kusumaningrum (2002), penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan pada produk pangan menjadi dasar dalam menentukan titik kritis umur simpan. Penentuan umur simpan dilakukan dengan mengamati perubahan yang terjadi pada produk selama selang waktu tertentu. Syarief dan Halid (1993), menyatakan bahwa perubahan mutu makanan terutama dapat diketahui dari perubahan faktor mutu tersebut, oleh karenanya dalam menentukan daya simpan suatu produk perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut mutu produk tersebut.
11 Menurut Syarief et al (1989), secara garis besar umur simpan dapat ditentukan dengan menggunakan metode konvensional (extended storage studies, ESS) dan metode akselerasi (ASS atau ASLT). Penentuan umur simpan produk dengan ESS adalah penentuan tanggal kadaluwasa dengan cara menyimpan satu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga mencapai tingkat mutu kadaluwarsa (Herawati 2008). Metode ini sering digunakan untuk produk yang memiliki masa simpan kurang dari 3 bulan. Labuza (1982) menyatakan penentuan umur simpan dapat dilakukan pada kondisi dipercepat (accelerated shelf life test, ASLT) dan selanjutnya dapat diprediksi umur simpan yang sebenarnya. Salah satu pendekatan untuk bahan berbasis kering adalah dengan cara meningkatkan kelembaban udara lingkungan penyimpanan hingga mencapai kadar air kritisnya. Pendekatan tersebut sangat mempengaruhi laju penyerapan air antara bahan dengan lingkungan. Laju penyerapan air oleh produk pangan dipengaruhi oleh tekanan uap air pada suhu uadar tertentu, permeabilitas uap air dan luasan kemasan yang digunakan, kadar air awal, berat kering, kadar air kritis, kadar air kesetimbangan pada RH penyimpanan, dan slope kurva sorpsi isothermis. Kadar Air Bahan Pangan Peranan air dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim, mikroba, kimiawi, sehingga menimbulkan perubahan sifat organoleptik, serta nilai gizinya. Air dalam bahan pangan dinyatakan dalam persentase kadar air, aw, atau RH. Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan dapat dinyatakan dalam berat basah (wet basis) atau berat kering (dry basis). Aktivitas air atau water activity (aw) adalah jumlah air bebas atau tidak terikat dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi biologis dan kimiawi. Kelembaban relatif (RH) didefinisikan sebagai perbandingan antara tekanan parsial uap air terhadap tekanan uap jenuh suhu tertentu (Syarief et al 1993). Dalam keadaan setimbang, Kadar air awal produk diukur dari produk yang baru diproses (freshly processed product). Kadar air kritis adalah kadar air pada kondisi dimana produk pangan mulai tidak dapat diterima secara organoleptik (Syarief et al 1989). RH yang berbeda akan menghasilkan kadar air kesetimbangan yang berbeda pula. RH yang dipilih adalah RH pada kondisi penyimpanan produk. Dari kondisi ini
12 ditentukan kadar air kesetimbangan (Mc) dan tekanan uap jenuh (Po) (Kusnandar 2006). Kurva Sorpsi Isothermis Secara alami, bahan pangan memiliki sifat higroskopis, yaitu dapat menyerap atau melepaskan air dari atau ke udara. Secara umum sifat-sifat hidratasi digambarkan dengan kurva isothermis, yaitu kurva yang menunjukan hubungan antara kadar air bahan pangan dengan kelembaban relatif kesetimbangan ruang tempat penyimpanan (RHs) atau aktivitas air (aw) pada suhu tertentu. Istiah sorpsi berarti penggabungan air ke dalam bahan pangan, apabila proses dengan bahan kering disebut absorpsi, sedangkan bahan basah disebut desorpsi. Bentuk kurva sorpsi isotermik adalah khas pada setiap bahan pangan, namun biasanya berbentuk sigmoid (menyerupai huruf s) (Syarief & Halid 1993). Kadar Air Kesetimbangan Kadar air kesetimbangan merupakan kadar air bahan ketika tekanan uap air dari bahan tersebut dalam kondisi setimbang dengan lingkungannya dimana produk sudah tidak mengalami perubahan bobot produk. Bobot bahan dikatakan konstan bila selisih bobot antara 3 kali penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 2 mg/g untuk kondisi RH >90% dan tidak lebih dari 10 mg/g untuk kondisi RH >90% (Lievonen dan Ross 2002 di dalam Adawiyah 2006). Jika kelembaban relatif lingkungan lebih tinggi dibandingkan kelembaban relatif bahan pangan maka bahan tersebut akan menyerap air (adsorpsi). Sebaliknya jika kelembaban relatif udara lebih rendah dari bahan pangan maka bahan akan menguapkan air yang dikandungnya (desorpsi) (Brooker et al 1992). Permeabilitas Kemasan Permeabilitas kemasan (k/x) adalah laju transmisi uap air dibagi dengan perbedaan tekanan uap air antar permukaan bahan. Laju transmisi uap air merupakan jumlah uap air yang melewati satu unit permukaan luas dari suatu bahan (pengemas) selama satu satuan waktu pada kondisi suhu dan RH relatif konstan (ASTM 1980 dalam Fransisca 2010). Kemasan yang digunakan untuk produk serbuk minuman FOS adalah metalized plastic, yang merupakan kombinasi antara aluminium foil dan plastik. Metalizing adalah teknik untuk membentuk membran tipis dengan menyalurkan logam melalui permukaan kertas atau plastic film dalam kondisi vakum. Buckle et al. (1987) menjelaskan bahwa lapisan alumunium foil berguna untuk memberikan
13 perlindungan terhadap gas, uap air, bau, dan sinar. Plastik yang melapisi alumunium foil pada kemasan metalized dapat meningkatkan penampilan dan mengurangi laju transmisi, serta melindungi produk dari cahaya (Brown 1992). Kemasan metalized plastic yang diukur dengan alat WVTR (Water Vapor Transmission Rate), memiliki permeabilitas kemasan (k/x) sebesar 0,0180 g/m2/hari/mmHg (Vitria 2010).