TESIS
PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN RESORT BADUNG TERHADAP PELAKU PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DI KALANGAN NARAPIDANA
NI PUTU NONI SUHARYANTI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
TESIS
PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN RESORT BADUNG TERHADAP PELAKU PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DI KALANGAN NARAPIDANA
NI PUTU NONI SUHARYANTI NIM 1390561006
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN RESORT BADUNG TERHADAP PELAKU PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DI KALANGAN NARAPIDANA
Tesis Ini Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI PUTU NONI SUHARYANTI NIM 1390561006
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 16 APRIL 2015
Pembimbing 1
Pembimbing 2
Dr. Gde Made Swardhana, SH.,MH. NIP. 19590325 198403 1 002
Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, SH.,MH. NIP. 19620605 198803 1 020
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.,LLM. NIP.19611101 198601 2 001
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S (K) NIP. 19590215 198510 2 001
iii
Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 16 April 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor : 1057/UN14.4/HK/2015, Tanggal 16 April 2015
Ketua
: Dr. Gde Made Swardhana, SH.,MH.
Sekretaris
: Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, SH.,MH.
Anggota
: 1. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,MS 2. Dr. I Dewa Made Suartha, SH.,MH 3. Dr. I Gede Artha, SH.,MH
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertandatangan di bawah ini
:
Nama
: Ni Putu Noni Suharyanti
Program Studi
: Ilmu Hukum
Judul Tesis
: Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Resort Badung Terhadap Pelaku Peredaran Gelap Narkotika di Kalangan Narapidana
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundangundangan yang berlaku.
Denpasar, 20 April 2015 Yang menyatakan,
Ni Putu Noni Suharyanti
v
UCAPAN TERIMAKASIH
Om Swastyastu, Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), karena atas berkat rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan
tesis
yang
berjudul
“PENEGAKAN
HUKUM
OLEH
KEPOLISIAN RESORT BADUNG TERHADAP PELAKU PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DI KALANGAN NARAPIDANA”. Dalam penyusunan tesis ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Gde Made Swardhana, SH.,MH, Pembimbing I yang telah penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan, arahan, dan saran kepada penulis. Terimakasih penulis ucapkan juga kepada Dr. Ida Bagus Surya Darmaja, SH.,MH, Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan saran dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD KEMD, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister (S2) Ilmu Hukum di Universitas Udayana. Ucapan terimakasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister (S2) Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Penulis
juga
mengucapkan
terimakasih kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Prof. Dr. I
vi
Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH., atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program Magister (S2) Ilmu Hukum. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terimakasih kepada Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.,LLM, para penguji tesis, yaitu Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,MS, Dr. I Dewa Made Suartha, SH.,MH, dan Dr. I Gede Artha, SH.,MH yang telah memberikan masukan, saran, dan koreksi dalam penyempurnaan tesis ini. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada para Dosen Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah mengajar dan mendidik penulis selama mengikuti perkuliahan di Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana. Para pegawai administrasi Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah banyak membantu dalam pengurusan administrasi penulis selama perkuliahan, serta para pegawai perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membantu penulis dalam memperoleh literatur yang dibutuhkan selama penyusunan tesis ini. Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Kepala Satuan Reserse Narkoba Polres Badung, AKP Bambang I Gede Artha beserta jajarannya. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Denpasar, Sudjonggo, SH beserta jajarannya, atas ijin penelitian yang diberikan kepada penulis untuk kepentingan penyusunan tesis ini. Ayahanda dan Ibunda tercinta, adik-adik, serta kekasih yang sangat penulis cintai dan banggakan yang telah banyak memberikan semangat dan motivasi dalam penyusunan tesis ini. Teman-teman MH’13 seluruhnya, yang telah banyak
vii
memberikan masukan, saran, semangat, dan motivasi sehingga penyusunan tesis ini selesai tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa materi yang disajikan dalam tesis ini masih jauh dari
sempurna
mengingat
keterbatasan
kemampuan,
pengetahuan,
dan
pengalaman yang dimiliki penulis. Oleh karena keterbatasan tersebut, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna kelengkapan dan penyempurnaan tesis ini. Akhir kata, penulis harapkan semoga tesis ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi para pembaca. Om Shanti, Shanti, Shanti, Om
Denpasar, April 2015 Penulis,
viii
ABSTRAK
Peredaran gelap narkotika dengan modus operandi tinggi dan canggih saat ini, telah mampu menjangkau narapidana yang masih berstatus sebagai warga binaan. Aparat penegak hukum khususnya Kepolisian dalam melaksanakan fungsi penegakan hukumnya terhadap narapidana yang terlibat dalam peredaran gelap narkotika baik dalam hal pengungkapan (penyelidikan) maupun penyelesaian kasusnya (tahap penyidikan) ternyata tidaklah mudah mengingat narapidana adalah warga binaan yang berada di bawah naungan Lapas, sehingga rumusan masalah yang dapat dikemukakan terkait dengan fenomena hukum tersebut yaitu : 1) Bagaimanakah penegakan hukum oleh Polres Badung terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana, dan 2) Apa saja kendala dalam penegakan hukum oleh Polres Badung terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana dan upaya apa saja yang dilakukan oleh Polres Badung dalam mengoptimalkan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika khususnya di kalangan narapidana. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif kualitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik studi dokumen dan teknik wawancara. Teknik penentuan sampel penelitian menggunakan teknik non probability sampling, dan keseluruhan data-data yang terkait akan diolah dan dianalisis dengan cara menyusun data secara sistematis dan selektif, kemudian data tersebut akan dijabarkan secara deskriptif analitis dalam bentuk uraian-uraian yang disertai dengan penjelasan teori-teori hukum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana oleh Polres Badung belum berjalan maksimal karena dalam pelaksanaanya Polres Badung harus berhadapan dengan kode etik profesi lembaga lain dan status narapidana sebagai warga binaan Lapas sehingga tidak mungkin bagi Polisi untuk bisa langsung masuk ke dalam Lapas untuk menangkap para pelakunya. Kendala yang dialami oleh Polres Badung dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana meliputi faktor hukum, faktor penegak hukum, faktor masyarakat, faktor sarana atau fasiltas pendukung, faktor budaya hukum, kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan kegagalan sistem peradilan pidana di Indonesia. Optimalisasi penegakan hukum oleh Polres Badung terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana meliputi upaya intern dan ekstern, dimana upaya intern dilakukan dengan mengoptimalkan kemampuan serta keterampilan personel, sedangkan upaya ekstern meliputi peningkatan fungsi koordinasi dan kerjasama antar lembaga penegak hukum khususnya dengan pihak Lapas dan Rutan. Kata Kunci
: Narapidana, Pelaku Peredaran Gelap Narkotika, Penegakan Hukum, Polres Badung
ix
ABSTRACT
Drug smuggling by high and sophisticated operation mode recently was able reach the prisoner which is as society prison status. Law enforcement officer especially the Police in conducted their function as law enforcement to the prisoner that involved in drug smuggling, in disclosure and settlement their case (investigation step) did not easy because the prisoner was a society in prison environment. Therefore the problem that can formulated relate into those law phenomenon are : 1) How the law establishment for the drug smuggling in prisoner’s society by Badung Police Resort and 2) What kinds of the constraints of law enforcement to the doer of drug smuggling in prisoner’s society by Badung Police Resort and the kinds of efforts that was conducted by Badung Police Resort in optimize their law enforcement. The kinds of this research was empirical law research by qualitative descriptive. The research used primer and secondary data. The technique of collecting data used document study and interview technique. The technique of determine the research sample used non probably sampling technique. Therefore, all of the data was treated and analyze by arrange the data systematically and selective. Therefore, the data was described analytic descriptively in analysis form by law theoretical description. The result of this research show that the law enforcement to the doer drug smuggling by Badung Police Resort should faced ethic code profession other establishment and prisoners status as prison society, therefore it was impossible for the Police entered directly to catch the doer. The constraints that was occurred by the Police in Badung Resort in implementation of law enforcement to the doer of drug smuggling of prisoners such as law, law enforcement, society, facilities or support factor, law culture factor, legal awareness factor, legal compliance factor, and the failure of criminal justice system in Indonesia. The optimize of law enforcement by Badung Police Resort to the doer of drug smuggling in prisoner society such as intern and extern efforts, where the intern effort include increase the coordination function and cooperation between the law enforcement especially with the prison officers. Key words : Prisoners, Doer of Drug Smuggling, Law Enforcement, Badung Police Resort
x
RINGKASAN
Penelitian tentang penegakan hukum oleh Kepolisian Resort Badung terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana, disusun dalam lima bab yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut : Bab I menguraikan tentang hal-hal yang melatarbelakangi penyusunan penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian yang terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus, manfaat penelitian yang terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis, orisinalitas penelitian, landasan teoritis, kerangka berpikir penelitian, dan metode penelitian. Bab II menguraikan tentang tinjauan umum yang berupa tinjauan secara garis besar tentang konsep yang tertuang dalam judul penelitian, yakni penegakan hukum (meliputi pengertian penegakan hukum dan penegakan hukum oleh kepolisian), narkotika dan peredaran gelap narkotika (meliputi pengertian narkotika, pengertian peredaran gelap narkotika dan pelaku peredaran gelap narkotika, serta faktor-faktor penyebab peredaran gelap narkotika), serta narapidana (meliputi pengertian narapidana, hak dan kewajiban narapidana). Bab III adalah bab inti yang menguraikan tentang pembahasan rumusan masalah pertama yakni, peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana dan penegakan hukumnya oleh Polres Badung. Bab ini terdiri dari empat sub bab, dimana sub bab pertama menguraikan tentang penanganan kasus peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana oleh Polres Badung, sub bab kedua membahas tentang modus pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana, sub bab ketiga membahas tentang prosedur penanganan terhadap narapidana yang terlibat
xi
dalam kasus peredaran gelap narkotika, dan sub bab keempat membahas tentang penegakan hukum Polres Badung terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana. Bab IV adalah bab inti yang menguraikan tentang pembahasan rumusan masalah kedua yakni, kendala-kendala penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana dan upaya-upaya yang dilakukan untuk mengoptimalkan penegakan hukumnya khususnya terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana. Bab ini terdiri dari dua sub bab, dimana sub bab pertama membahas tentang kendala-kendala yang dialami oleh Polres Badung dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana, sedangkan sub bab kedua membahas tentang upaya-upaya Polres Badung dalam mengoptimalkan terhadap pelaku peredaran gelap narkotika khususnya di kalangan narapidana. Bab V adalah bab penutup yang terdiri dari sub bab simpulan dan saran. Simpulan merupakan hasil dari pembahasan penelitian baik terhadap rumusan masalah pertama maupun rumusan masalah kedua, sedangkan saran memuat halhal yang dapat direkomendasikan terkait dengan permasalahan dalam penelitian sebagai bentuk jalan keluar atas permasalahan yang dikemukakan, sehingga layak untuk dilaksanakan.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DALAM ................................................................
i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER .................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ..........................................................................
iii
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI ........................................
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ...............................................
v
UCAPAN TERIMAKASIH .........................................................................
vi
ABSTRAK ..................................................................................................
ix
ABSTRACT ................................................................................................
x
RINGKASAN ..............................................................................................
xi
DAFTAR ISI ...............................................................................................
xiii
DAFTAR TABEL ........................................................................................
xvi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xvii BAB I PENDAHULUAN ............................................................................
1
1.1. Latar Belakang Masalah ..........................................................
1
1.2. Rumusan Masalah ...................................................................
13
1.3. Ruang Lingkup Masalah ..........................................................
13
1.4. Tujuan Penelitian .....................................................................
14
1.4.1. Tujuan Umum ..............................................................
14
1.4.2. Tujuan Khusus .............................................................
15
1.5. Manfaat Penelitian ...................................................................
15
1.5.1. Manfaat Teoritis ...........................................................
15
1.5.2. Manfaat Praktis ............................................................
16
1.6. Orisinalitas Penelitian ..............................................................
16
1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir ................................
19
1.7.1. Landasan Teoritis ...........................................................
19
1.7.2. Kerangka Berpikir .........................................................
36
Metode Penelitian ...................................................................
38
1.8.1. Jenis Penelitian ............................................................
38
1.8.
xiii
1.8.2. Sifat Penelitian .............................................................
39
1.8.3. Data dan Sumber Data ..................................................
39
1.8.4. Teknik Pengumpulan Data ............................................
42
1.8.5. Teknik Penentuan Sampel Penelitian .............................
43
1.8.6. Pengolahan dan Analisis Data ......................................
44
BAB II TINJAUAN UMUM
TENTANG PENEGAKAN HUKUM,
PELAKU PEREDARAN GELAP NARKOTIKA, DAN NARAPIDANA ....
46
2.1. Penegakan Hukum ...................................................................
46
2.1.1. Pengertian Penegakan Hukum ......................................
46
2.1.2. Penegakan Hukum Oleh Kepolisian ...............................
49
2.2. Narkotika dan Peredaran Gelap Narkotika ...............................
56
2.2.1. Pengertian Narkotika ....................................................
56
2.2.2. Pengertian Peredaran Gelap Narkotika dan Pelaku Peredaran Gelap Narkotika ...........................................
63
2.2.3. Faktor-Faktor Penyebab Peredaran Gelap Narkotika ....
70
2.3. Narapidana ..............................................................................
75
2.3.1. Pengertian Narapidana .................................................
75
2.3.2. Hak dan Kewajiban Narapidana ...................................
78
BAB III PELAKU PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DI KALANGAN NARAPIDANA DAN PENEGAKAN HUKUMNYA OLEH POLRES BADUNG ....................................................................................................
85
3.1. Data Penanganan Kasus Peredaran Gelap Narkotika di Kalangan Narapidana Oleh Polres Badung ..............................
85
3.2. Modus Pelaku Peredaran Gelap Narkotika di Kalangan Narapidana ..............................................................................
94
3.3. Prosedur Penanganan Terhadap Narapidana yang Terlibat Dalam Kasus Peredaran Gelap Narkotika ................................ 103 3.4. Penegakan Hukum Polres Badung Terhadap Pelaku Peredaran Gelap Narkotika di Kalangan Narapidana ................................ 111 BAB IV KENDALA POLRES BADUNG DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU PEREDARAN GELAP NARKOTIKA
xiv
DI KALANGAN NARAPIDANA DAN UPAYA YANG DILAKUKAN UNTUK MENGOPTIMALKAN PENEGAKAN HUKUMNYA ................. 136 4.1. Kendala yang Dialami Polres Badung Dalam Pelaksanaan Penegakan
Hukum
Terhadap
Pelaku
Peredaran
Gelap
Narkotika di Kalangan Narapidana .......................................... 136 4.2. Upaya Polres Badung Dalam Mengoptimalkan Penegakan Hukum
Terhadap
Pelaku
Peredaran
Gelap
Narkotika
Khususnya di Kalangan Narapidana ........................................ 170 BAB V PENUTUP ...................................................................................... 184 5.1. Simpulan ................................................................................. 184 5.2. Saran ....................................................................................... 185 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xv
DAFTAR TABEL 1. Tabel 1. Data Pelaku Kasus Tindak Pidana Narkoba di Bali Berdasarkan Pekerjaan Periode 2010 - 2014 2. Tabel 2. Data Pengungkapan dan Penyelesaian Kasus Narkoba di Polres Badung Periode 2010 - 2014 3. Tabel 3. Data Penanganan Kasus Peredaran Gelap Narkotika di Kalangan Narapidana Oleh Polres Badung Periode 2010 - 2014
xvi
DAFTAR GAMBAR 1. Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian. 2. Gambar 2. Mekanisme Penjatuhan Hukuman Disiplin Terhadap Narapidana. 3. Gambar 3. Struktur Organisasi Satuan Reserse Narkoba Polres Badung.
xvii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Kejahatan tumbuh dan berkembang mengikuti dinamika masyarakat dan pembangunan. Berkenaan dengan hal tersebut, H.R Abdussalam dan DPM Sitompul mengemukakan bahwa “bertambahnya masyarakat dan gencarnya pembangunan, maka kejahatan akan semakin meningkat”.1 Pernyataan tersebut dapat diakui kebenarannya karena dewasa ini, muncul dan berkembangnya berbagai bentuk kejahatan dengan berbagai modus operandi atau dimensi baru, tidak terlepas dari pengaruh dinamika masyarakat dan pembangunan, khususnya pembangunan di bidang perekonomian serta ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Bonger dalam Yesmil Anwar Adang mengemukakan bahwa pengertian kejahatan secara kriminologis adalah “suatu perbuatan anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan (hukuman atau tindakan)”.2 Mien Rukmini mengemukakan bahwa “kejahatan merupakan bagian dari kehidupan sosial, hidup, dan tidak terpisahkan dari kegiatan manusia sehari-hari. Perampokan, pemerkosaan, penipuan, penodongan, dan berbagai bentuk perilaku sejenis, menunjukkan
1
H.R Abdussalam dan DPM Sitompul, 2007, Sistem Peradilan Pidana, Restu Agung, Jakarta,
h. 1. 2
W.A. Bonger, 1982, Pengantar Tentang Kriminologi, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 20, dikutip dari Yesmil Anwar Adang, 2013, Kriminologi, PT Refika Aditama, Bandung, h. 318.
1
2
dinamika sosial”.3 Berkenaan dengan pengertian kejahatan, Robert M. Bohm dan Keith N. Haley mengemukakan bahwa “a typical social definition of crime is behaviour that violates the norms of society, or more simply antisocial behaviour”4 (definisi sosial yang khas dari kejahatan adalah perilaku yang melanggar norma-norma masyarakat, atau lebih sederhana perilaku antisosial). Kejahatan diartikan juga sebagai pola tingkah laku yang merugikan masyarakat, baik secara fisik maupun materi, baik yang dirumuskan dalam hukum maupun tidak.5 Berdasarkan keseluruhan pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kejahatan adalah suatu bentuk perbuatan amoral dan merupakan perbuatan antisosial yang dapat menimbulkan kerugian baik secara fisik, psikis, maupun materi. Salah satu pendapat seorang Kriminolog, Erlangga Masdiono mengemukakan bahwa, “tingginya angka kriminalitas di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kemiskinan, disfungsi norma dan hukum, bergesernya karakter bangsa, serta sistem pendidikan yang tidak lagi mengajarkan nilai-nilai etika termasuk pendidikan agama yang menekankan pada aspek kognitifnya saja”. 6 Apabila dikaitkan dengan kasus-kasus
3
Mien Rukmini, 2009, Aspek Hukum Pidana Dan Kriminologi (Sebuah Bunga Rampai), PT. Alumni, Bandung, h. 81. 4
Robert M. Bohm dan Keith N. Haley, 2007, Introduction to Criminal Justice, edisi keempat, McGraw-Hill, New York, h. 31. 5
Muhammad Mustofa, 2013, Metodologi Penelitian Kriminologi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 9. 6
Novi Septiani, 2013, Hubungan Antara Problem Solving Appraisal Dengan Penyesuaian Diri Napi Anak, tersedia di website http:// repository.upi.edu/3819/4/S_PSI_0800930_Chapter 1.pdf, h. 2, diakses pada tanggal 15 Juli 2014.
3
kejahatan yang terjadi selama ini, maka faktor-faktor tersebut dapat dikatakan relevan dengan situasi dan kondisi saat ini di Indonesia, karena tidak dapat dipungkiri bahwa modernisasi dan globalisasi tidak hanya membawa implikasi positif, namun juga implikasi negatif terhadap kehidupan masyarakat. Munculnya berbagai pemberitaan di media massa terkait dengan kasus-kasus kejahatan yang terjadi di Indonesia setiap harinya menunjukkan bahwa, angka kriminalitas di Indonesia masih tergolong tinggi. Kejahatan konvensional seperti pencurian, penipuan, perampokan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak dan perempuan, pembunuhan, dan kejahatan kesusilaan yang merupakan karakteristik cerminan kondisi perekonomian, intensitasnya masih cukup tinggi dan semakin bervariasi di Indonesia. Di samping itu, pesatnya IPTEK dan semakin mengglobalnya dunia menyebabkan kejahatan yang berdimensi lintas negara (transnational crime) seperti peredaran gelap narkotika semakin kompleks dan tinggi intensitasnya di Indonesia. Kejahatan peredaran gelap narkotika masuk ke dalam kategori kejahatan lintas negara terorganisir dan bahkan sudah diatur jauh lebih lengkap dalam tiga konvensi terkait narkotika, sebelum disepakatinya UNTOC (United Nations Covention of Transnational Organized Crime).7 Peredaran gelap narkotika sebagai kejahatan transnasional terorganisir dipandang sebagai salah satu ancaman serius terhadap keamanan global, karena merupakan ancaman terhadap negara dan masyarakat yang dapat 7
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, 2012, Laporan Akhir Kompendium Hukum Tentang Kerjasama Internasional Di Bidang Penegakan Hukum, tersedia di website http://bphn.go.id/data/documents/kpd-2011/pdf, h. 9, diakses pada tanggal 15 Juli 2014.
4
mengikis human security (keamanan atau keselamatan manusia) serta kewajiban dasar negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban, karena peredaran gelap narkotika saat ini sudah tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang secara bersama-sama, berbentuk sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia. Narkotika pada dasarnya adalah obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Pengertian narkotika secara formakologis medis menurut Ensiklopedia Indonesia adalah obat yang dapat menghilangkan (terutama) rasa nyeri yang berasal dari daerah viresal dan yang dapat menimbulkan efek stupor (bengong, masih sadar tetapi harus digertak) serta adiksi.8 Di sisi lain, narkotika juga dapat menimbulkan ketergantungan dan akibat yang sangat
merugikan
apabila
disalahgunakan
atau
digunakan
tanpa
pengendalian dan pengawasan yang ketat. Oleh karena itu, untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, maka dibentuklah suatu perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang narkotika. Ketentuan hukum mengenai larangan penyalahgunaan, serta peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika di Indonesia diatur dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika). Pembentukan UU ini dapat 8
Hari Sasangka, 2003, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, CV Mandar Maju, Bandung, h. 35.
5
dikatakan sebagai salah satu bentuk reformasi di bidang hukum pidana khususnya dalam pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. Di samping itu, perkembangan pengaturan melalui instrumen hukum terhadap keberadaan narkotika tersebut, merupakan suatu siklus yang tidak terpisahkan dengan dinamika perkembangan sosial masyarakat dalam menyikapi keberadaan narkotika di Indonesia. Apabila dibandingkan dengan UU sebelumnya yang mengatur tentang narkotika yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika (UU RI No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika), UU RI No. 35 Tahun 2009 lebih kompleks dalam mengatur mengenai hal-hal yang berkenaan dengan tindak pidana narkotika, khususnya dalam hal pengaturan sanksi pidana misalnya ancaman sanksi yang jauh lebih berat jika dibandingkan dengan UU sebelumnya. Meskipun telah ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara tegas melarang penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dengan ancaman sanksi pidana yang berat, namun kenyataannya narkotika masih tetap beredar di masyarakat bahkan dilakukan dengan berbagai modus operandi baru dan canggih. Berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional (BNN), bahwa pada tahun 2013 jumlah kasus tindak pidana narkotika di Indonesia menduduki posisi tertinggi di Indonesia, dengan jumlah 21.119 kasus. Sedangkan tindak pidana bahan adiktif lainnya menduduki posisi kedua dengan jumlah 12.705 kasus, disusul dengan tindak pidana
6
psikotropika dengan jumlah 1.612 kasus. 9 Di samping itu, perkembangan kasus tindak pidana narkotika saat ini di Indonesia sudah tidak lagi mengenal batasan usia. Hal ini dibuktikan dengan adanya keterlibatan anak usia di bawah umur sebagai pelaku tindak pidana narkotika. Dimana pada tahun 2013, jumlah anak usia 16 - 19 tahun yang berstatus sebagai tersangka narkoba yaitu 2.377 orang, sedangkan jumlah tersangka narkoba pada usia anak < 16 tahun berjumlah 122 orang.10 Angka tersebut menunjukkan bahwa, perkembangan peredaran gelap narkotika di masyarakat saat ini sangat memprihatinkan karena anak sebagai generasi penerus bangsa yang diharapkan dapat meneruskan cita-cita bangsa kedepannya, telah ikut terjerumus ke dalam tindak pidana narkotika. Terlepas dari persoalan peredaran gelap narkotika yang telah sampai pada usia anak di bawah umur, bahwa definisi “peredaran gelap narkotika” menurut UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika adalah “setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika”. Di samping itu, UU tersebut juga menyebutkan bahwa “setiap kegiatan peredaran narkotika harus dilengkapi dengan dokumen yang sah”, sehingga tanpa adanya dokumen yang sah, peredaran narkotika dianggap sebagai peredaran gelap. Merujuk pada ketentuan tersebut, maka dapat disimpulkan
9
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, 2013, Jurnal Data Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) Tahun 2013 Edisi Tahun 2014,http://www.bnn.go.id.103.3.70.3/portal/_uploads/post/2014/08/19/Jurnal_Data_P4GN_2013 _Edisi_2014_Oke.pdf., h. 5, diakses pada tanggal 26 Oktober 2014. 10
Ibid, h. 6.
7
bahwa pengertian pelaku peredaran gelap narkotika adalah setiap orang yang melakukan perbuatan, kegiatan atau serangkaian kegiatan peredaran narkotika secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika menurut UU Narkotika. Orientasi dari kegiatan peredaran gelap narkotika tidak hanya terbatas pada penyaluran dan penyerahan narkotika secara tanpa hak atau melawan hukum, akan tetapi dapat berorientasi kepada perbuatan menjual, membeli untuk diedarkan, mengangkut,
menyimpan,
menguasai,
menyediakan,
mengeskpor,
mengimpor, dan lain-lain. Keberadaan
pelaku
peredaran
gelap
narkotika
semakin
mengkhawatirkan di Indonesia. Penjatuhan sanksi pidana yang berat tidak membuat para pelaku menjadi takut atau jera. Para pelaku baik pengedar, bandar, maupun kurir narkotika masih leluasa mengedarkan narkotika di daerah-daerah yang konsumen narkotikanya terbilang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian BNN yang datanya bersumber dari Kantor Kementerian Hukum dan HAM di seluruh wilayah Indonesia, jumlah keseluruhan narapidana dan tahanan kasus narkoba pada tahun 2013, didominasi oleh pengedar atau bandar narkoba yaitu sejumlah 30.132 orang, sedangkan jumlah pengguna narkoba hanya adalah 25.539 orang.11 Para penegak hukum di Indonesia telah berupaya penuh melakukan penegakan hukum terhadap para pelaku peredaran gelap narkotika meskipun belum secara tuntas. Penegakan hukum terhadap peredaran gelap narkotika tidaklah
11
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, op.cit, h. 23.
8
mudah, karena kejahatan ini memiliki modus operandi yang sangat canggih sehingga para pelakunya dapat bekerja dalam sebuah jaringan dengan sistem komunikasi terputus yang menyebabkan antara penjual maupun pembeli narkotika tidak bertemu sama sekali atau bahkan hampir tidak saling mengenal satu sama lain. Berkembangnya modus operandi peredaran gelap narkotika yang semakin modern dan meluas di Indonesia ternyata tidak hanya melibatkan peran serta warga sipil, namun melibatkan warga binaan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) khususnya narapidana. Hal ini tentu menjadi fenomena hukum yang sangat memprihatinkan karena narapidana yang semestinya menjalani pembinaan justru terlibat dalam jaringan peredaran gelap narkotika. Keterlibatan narapidana dalam kasus peredaran gelap narkotika di Indonesia merupakan sebuah masalah serius, sehingga dibutuhkan upaya pencegahan dan pemberantasan secara terpadu dan komprehensif melalui kerjasama para penegak hukum, keseriusan penegakan hukum terhadap pelakunya, penjatuhan sanksi yang berat terhadap para pelakunya, serta bekerjasama secara terpadu dalam usaha mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana. Dengan melakukan penegekan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika secara komprehesif diharapkan dapat membantu Lapas dalam menanggulangi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang selama ini melibatkan narapidana, sehingga secara tidak langsung akan mengefektifkan program Rencana Aksi Nasional (RAN) yang telah disusun oleh Direktorat Jenderal
9
Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia tentang Penanggulangan HIV-AIDS
dan Penyalahgunaan
Narkotika pada Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan Tahun 2010 2014 khususnya mengenai “bimbingan dan penegakan hukum”, karena dalam program tersebut telah disebutkan secara tegas bahwa, “jajaran Ditjenpas di semua tingkat mengendalikan pelaksanaan bimbingan dan penegakan hukum di UPT Pemasyarakatan dengan melibatkan peran aktif BNN/BNP/BNK dan Kepolisian”. Di samping itu, pentingnya melakukan penegakan hukum terhadap narapidana yang terlibat dalam jaringan peredaran gelap narkotika juga didasarkan atas pertimbangan bahwa narapidana sebagaimana ditentukan dalam UU RI No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, wajib menjalani program pembinaan yang pada dasarnya diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memiliki
wewenang
untuk
melakukan
penyalahgunaan dan peredaran gelap
pemberantasan
narkotika,
mengingat
terhadap fungsi
Kepolisian adalah fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan
10
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU RI No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian). Di samping itu, di dalam UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika telah disebutkan secara tegas mengenai kewenangan penegakan hukum yang dimiliki oleh Kepolisian dalam rangka memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Kepolisian yang dikenal dengan istilah the gate keeper of Criminal Justice System (penjaga pintu gerbang Sistem Peradilan Pidana) dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di bidang penegakan hukum12, telah berupaya semaksimal mungkin untuk mengungkap jaringan dan sindikat peredaran gelap narkotika yang melibatkan narapidana, meskipun dalam pelaksanaannya masih ditemukan beberapa
kendala
karena
semakin
canggihnya
modus
operandi
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika saat ini. Penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana bukanlah hal yang mudah, karena yang selama ini kita ketahui Kepolisian hanya menangani kasus tindak pidana narkotika pada masyarakat sipil biasa yang tidak ada dalam naungan lembaga lain. Lain halnya dengan narapidana yang berstatus sebagai warga binaan, berada di bawah naungan Lapas. Di samping itu, adanya peristiwan kericuhan yang disertai aksi pembakaran oleh para narapidana yang pernah terjadi beberapa 12
Romli Atmasasmita, tt, Independensi Kepolisian Republik Indonesia Dalam Penegakan Hukum,http://www.tu.bphn.go.id/substantif/Data/ISI%20KEGIATAN%20TAHUN%202005/44pe nulisan%20indepeden%20Polisi.pdf, h. 7, diakses pada tanggal 26 Oktober 2014.
11
tahun lalu, membuat aparat Kepolisian sangat berhati-hati dalam melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika yang melibatkan narapidana. Kepolisian Resort Badung (Polres Badung) sebagai salah satu institusi Kepolisian di Bali, beberapa tahun terakhir pernah menangani kasus peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana. Hal tersebut didasarkan atas beberapa pemberitaan dari situs berita online mengenai pemberitaan peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana yang ditangani oleh Polres Badung dan data awal yang bersumber dari instansi terkait seperti Kepolisian Daerah Bali (Polda Bali) untuk mengetahui tentang kebenaran adanya penanganan kasus oleh Polres Badung terhadap pelaku peredaran gelap narkotika yang melibatkan narapidana. Adapun data awal yang dimaksud dapat dilihat dalam tabel berikut ini : Tabel 1. Data Pelaku Kasus Tindak Pidana Narkoba di Bali Berdasarkan Pekerjaan Periode 2010 - 2014 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pekerjaan PNS/DPRD POLRI/TNI Swasta Wiraswasta Petani Mahasiswa Pelajar Buruh Narapidana Pengangguran Total
Tahun 2010 3 3 508 182 81 6 1 8 2 32 826
2011 5 2 590 211 83 7 8 10 2 23 941
Sumber : Dit Reserse Narkoba Polda Bali
2012 2 2 623 195 43 5 1 5 4 22 902
2013 7 0 588 183 57 5 6 7 1 23 877
2014 4 2 352 203 51 9 6 18 0 36 681
12
Data pada tabel di atas merupakan data yang bersumber dari Polda Bali yang peneliti gunakan sebagai data pendukung awal tentang penanganan kasus tindak pidana narkotika di kalangan narapidana oleh Polres Badung. Dari total sembilan kasus tindak pidana narkotika di kalangan narapidana yang terjadi selama kurun waktu lima tahun terakhir, empat diantaranya pernah ditangani oleh Polres Badung sehingga dalam hal ini peneliti memilih Polres Badung sebagai lokasi penelitian dan Lapas sebagai lokasi pendukung penelitian. Digunakannya Lapas sebagai lokasi pendukung dalam penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data pendukung tentang adanya keterlibatan narapidana dalam peredaran gelap narkotika. Di samping itu, dalam hal penanganan dan pelaksanaan penegakan hukumnya, Polres Badung juga berkoordinasi dengan pihak Lapas begitu juga sebaliknya, sehingga sangat penting untuk memilih Lapas sebagai lokasi pendukung dalam penelitian ini. Bagi peneliti sendiri, penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana penting untuk dikaji secara mendalam, karena nantinya dapat diketahui sejauhmana pelaksanaan fungsi penegakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian khususnya Polres Badung terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana selama ini, karena seperti yang sudah dikemukakan di atas bahwa penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika yang berstatus sebagai narapidana tidaklah mudah. Belum adanya kajian yang membahas secara mendalam mengenai penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap
13
narkotika di kalangan narapidana, juga menjadi alasan peneliti untuk menyusun penelitian ini. Oleh karena itu, judul yang dapat peneliti kemukakan terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini yaitu “Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Resort Badung Terhadap Pelaku Peredaran Gelap Narkotika di Kalangan Narapidana”.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang dapat peneliti kemukakan yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimanakah penegakan hukum oleh Polres Badung terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana? 2. Apa saja kendala Polres Badung dalam penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana dan upaya apa saja yang dilakukan oleh Polres Badung dalam mengoptimalkan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika khususnya di kalangan narapidana ?
1.3. Ruang Lingkup Masalah Berkenaan dengan ruang lingkup masalah, Bambang Sunggono menyatakan sebagai berikut : Ruang lingkup penelitian merupakan bingkai penelitian yang menggambarkan batas penelitian, mempersempit permasalahan, dan membatasi area penelitian. Lingkup penelitian juga menunjukkan secara pasti faktor-faktor mana yang akan diteliti, dan mana yang tidak, atau untuk menentukan apakah semua faktor yang berkaitan dengan penelitian akan diteliti ataukah akan dieliminasi sebagian.13 13
Bambang Sunggono, 2009, Metodelogi Penelitian, Rajawali Pers, Jakarta, h. 111.
14
Ruang lingkup dalam penelitian ini terbatas pada penelitian tentang permasalahan mengenai penegakan hukum oleh Polres Badung terhadap pelaku peredaran gelap narkotika yang masih berstatus sebagai narapidana, baik terhadap narapidana yang melakukan peredaran gelap narkotika dengan bantuan kurir narkotika di luar Lapas (narapidana sebagai pengendali peredaran gelap narkotika), maupun terhadap narapidana yang melakukan peredaran gelap narkotika di dalam Lapas. Namun, untuk menunjang pembahasan tentang adanya peredaran gelap narkotika yang melibatkan narapidana, peneliti menggunakan data pendukung yang bersumber dari Lapas. Ruang lingkup penegakan hukum dalam penelitian ini berkaitan dengan penegakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian baik dalam hal penyelidikan
(pengungkapan
kasus)
sampai
dengan
penyidikan
(penyelesaian kasus) khususnya oleh Polres Badung, terhadap pelaku peredaran gelap narkotika yang berstatus sebagai narapidana, serta prosedur penanganannya. Di samping itu, ruang lingkup penelitian ini juga membahas mengenai kendala yang dialami oleh Polres Badung dalam penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana serta upaya yang dilakukan oleh Polres Badung dalam mengoptimalkan penegakan hukumnya.
1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum pidana
15
mengenai penegakan hukum oleh Polres Badung terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana.
1.4.2. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian ini yaitu : 1. Untuk
mengetahui,
memahami,
dan
menganalisis
secara
mendalam mengenai penegakan hukum oleh Polres Badung terhadap pelaku peredaran gelap narkotika khususnya di kalangan narapidana. 2. Untuk
mengetahui,
memahami,
dan
menganalisis
secara
mendalam mengenai kendala Polres Badung dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana serta upaya yang dilakukan oleh Polres Badung dalam mengoptimalkan penegakan hukum khususnya terhadap pelaku peredaran gelap narkotika
di kalangan
narapidana.
1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan atau kontribusi dalam aspek teoritis (keilmuan) serta wawasan berpikir bagi para pembaca khususnya mengenai penegakan hukum oleh Polres Badung terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana. Di samping itu, hasil penelitian ini nantinya
16
diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian-penelitian berikutnya, terutama penelitian dalam bidang hukum pidana yang berkenaan dengan tindak pidana narkotika.
1.5.2. Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi atau kontribusi bagi aparat penegak hukum agar dapat mengoptimalkan penegakan hukum terhadap para pelaku peredaran gelap narkotika di Indonesia khususnya di kalangan narapidana sehingga
dapat
penyalahgunaan narapidana
membantu dan
adalah
Lapas
dalam
menanggulangi
peredaran
gelap
narkotika,
mengingat
orang-orang
yang
seharusnya
menjalani
pembinaan berdasarkan atas sistem pemasyarakatan yang diharapkan dapat kembali hidup normal di masyarakat, sehingga fungsi pembinaan terhadap narapidana dapat berjalan sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh UU.
1.6. Orisinalitas Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan oleh peneliti, diperoleh beberapa hasil penelitian berupa tesis yang juga membahas tentang permasalahan mengenai narapidana dan narkotika, dimana hal ini bertujuan sebagai pembanding untuk menunjukan orisinalitas penelitian ini dengan menjabarkan secara singkat tentang judul, rumusan masalah, dan hasil penelitian. Adapun tesis-tesis yang dimaksud yaitu sebagai berikut :
17
1. Tesis oleh Yohanes Dias Sanyoto dari Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas
Indonesia
Tahun
2008,
yang
berjudul
“Penanggulangan Peredaran Narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Narkotika Jakarta”. Adapun rumusan masalah yang dikemukakan dalam tesis ini meliputi : 1). Bagaimana penanggulangan peredaran narkoba di dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Narkotika Jakarta ? 2). Faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam penanggulangan peredaran narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Narkotika Jakarta ? Substansi tesis yang disusun oleh Yohanes Dias Sanyoto lebih terfokus pada pembahasan tentang upaya preventif atau pencegahan dalam menanggulangi peredaran narkotika di dalam, misalnya dengan cara melakukan penggeledahan dan pengetatan pengawasan terhadap modus-modus penyelundupan narkoba ke dalam Lapas tersebut, beserta faktor-faktor
yang
menjadi
kendala
dalam
penanggulangannya,
sedangkan substansi tesis peneliti sendiri lebih mengarah pada penegakan hukum oleh Polres Badung terhadap pelaku peredaran gelap narkotika khususnya di kalangan narapidana, dalam artian penelitian yang disusun terfokus pada tindakan aparat penegak hukum dalam mengaplikasikan norma-norma hukum positif terhadap penegakan hukum bagi pelaku peredaran gelap narkotika khususnya di kalangan narapidana.
18
2. Tesis oleh Ni Wayan Armashanti dari Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana Tahun 2011 yang berjudul “Perlindungan Hukum Narapidana Wanita Dalam Sistem Pemasyarakatan”. Adapun rumusan masalah yang dikemukakan dalam tesis ini meliputi : 1). Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap narapidana wanita dalam sistem pemasyarakatan ? 2). Apakah perlindungan terhadap narapidana wanita sudah sesuai dengan sistem pemasyarakatan ? Tesis yang disusun oleh Ni Wayan Armashanti, substansinya lebih mengarah pada permasalahan mengenai perlindungan hukum terhadap narapidana wanita dalam sistem pemasyarakatan khususnya dalam UU RI No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Berbeda dengan tesis yang disusun oleh peneliti yang lebih mengarah pada penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika, yang dalam hal ini adalah pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana, sehingga substansi yang dibahas oleh peneliti lebih mengarah pada penegakan hukum oleh Kepolisian yang dalam hal ini adalah Polres Badung, terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana. 3. Tesis oleh I Putu Darma dari Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana Tahun 2012, yang berjudul “Upaya Penanggulangan dan Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika di Wilayah Hukum Kepolisian Resor Kota Denpasar”. Adapun rumusan masalah yang dikemukakan dalam tesis ini meliputi :
19
1). Bagaimana upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana narkotika di wilayah hukum Kepolisian Resor Kota Denpasar ? 2). Apa
saja
hambatan-hambatan
dalam
penanggulangan
dan
pemberantasan tindak pidana narkotika di wilayah hukum Kepolisian Resor Kota Denpasar ? Tesis yang disusun oleh I Putu Darma lebih membahas tentang upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana narkotika khusus di wilayah hukum Kepolisian Resor Kota Denpasar (baik upaya penal dan non penal), sedangkan tesis yang disusun oleh peneliti lebih terfokus membahas tentang upaya represif berupa penegakan hukum oleh Kepolisian yakni Polres Badung terhadap pelaku peredaran gelap narkotika khususnya di kalangan narapidana, serta faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukumnya, sehingga berbeda substansi bahasannya dengan Tesis yang disusun oleh saudara I Putu Darma.
1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir 1.7.1. Landasan Teoritis Terdapat beberapa asas penting yang harus diperhatikan dalam hal penegakan hukum pidana. Asas-asas tersebut merupakan prinsip-prinsip hukum pidana yang menjadi pedoman, baik dalam menyusun peraturan perundang-undangan maupun digunakan dalam penegakan hukum. Adapun prinsip-prinsip hukum acara pidana yang tercantum dalam KUHAP dan
20
harus menjadi acuan dalam pelaksanaan serta penegakan hukum pidana antara lain : 1. Prinsip peradilan berdasarkan “demi keadilan berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana tertera dalam Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (UU RI No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana). Prinsip ini merupakan pencerminan bahwa peradilan di Indonesia berpijak pada dasar keadilan yang berdasarkan nilai-nilai religius, yang menjadi sendi kehidupan manusia Indonesia pada umumnya. 2. Prinsip “larangan campur tangan pihak luar (pihak lain di luar kekuasanaan kehakiman) terhadap dan dalam urusan peradilan”, kecuali yang telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Prinsip hukum ini menyatakan bahwa peradilan (pidana) di Indonesia dilaksanakan berdasarkan kemandirian sistem peradilan dan oleh karenanya, segala macam campur tangan yang bisa mempengaruhi proses peradilan adalah tidak dibenarkan. Dalam tataran praktis, prinsip kemandirian peradilan banyak mendapat ujian berat dan dalam wacana yang berkembang, yang dilontarkan oleh banyak pakar dan pengamat hukum, sehingga kemandirian sistem peradilan kita sangatlah rentan. 3. Prinsip “kesamaan di muka hukum (equality before the law)”, dimana prinsip hukum ini memberikan jaminan bahwa setiap manusia diberlakukan sama pada saat di muka hukum. Prinsip ini juga banyak
21
mendapatkan tantangan di lapangan, karena pelaksanaannya belum bisa sepenuhnya berjalan dengan ideal. Keluhan para pencari keadilan tentang diskriminasi perlakuan antara pelaku kejahatan yang satu dengan yang lain masih sering tidak sama. 4. Prinsip “praduga tidak bersalah (presumption of innocence)”, merupakan prinsip yang memberikan jaminan agar setiap orang yang berurusan dengan peradilan, sejak disangka, ditangkap, dituntut, serta dihadapkan di sidang pengadilan harus dianggap tidak bersalah sampai dengan putusan Pengadilan menyatakan demikian dan putusan itu telah berkekuatan hukum tetap. 5. Prinsip “pemberian bantuan hukum sebagai salah satu hak asasi manusia (HAM)”, dimana bantuan hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari prinsip jaminan atas perlindungan manusia oleh kesewenang-wenangan aparatur hukum dalam melaksanakan tugasnya.14 Seiring dengan permasalahan hukum yang semakin kompleks saat ini, maka penegakan hukum bukanlah merupakan tugas yang mudah. Sama halnya dengan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika yang melibatkan narapidana, mengingat peredaran narkotika saat ini dilakukan dengan modus operandi tinggi dan canggih oleh para pelakunya akibat pesatnya perkembangan IPTEK seperti yang dikutip dalam sebuah jurnal internasional, yaitu “.... In addition to sharing the same characteristics, the gobalization of licit goods and illicit narcotics share 14
Ilhami Bisri, 2012, Sistem Hukum Indonesia : Prinsip-Prinsip dan Implementasi Hukum di Indonesia, Cet. VII, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 47-49.
22
many of the same causes. Advances in communications technology constitute on such cause .... (.... selain berbagi karakteristik yang sama, globaliasi barang halal dan haram narkotika berbagi banyak penyebab yang sama. Kemajuan teknologi komunikasi merupakan penyebabnya seperti .... )”.15 Oleh karena itu, peredaran gelap narkotika saat ini tidak hanya menjadi perhatian nasional, namun juga dunia internasional. Dalam UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika beserta peraturan pelaksanaannya yakni Peraturan Pemerintah Republik Indonesa Nomor 40 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (PP RI No. 40 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan UU No. 35 Tahun 2009), telah
mengatur
berbagai
hal tentang
larangan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Aturan hukum yang dibuat tetaplah tidak berjalan efektif apabila dalam penegakan hukumnya tidak didukung oleh komponen yang lainnya, baik itu komponen struktur hukum budaya hukum maupun komponen lain yang dianggap berpengaruh terhadap pelaksanaan penegakan hukum. Dalam hal ini, peneliti menggunakan beberapa teori yang relevan untuk membahas permasalahan yang telah dikemukakan dalam penelitian ini. Adapun teori-teori yang dimaksud yaitu sebagai berikut : 1. Teori Sistem Hukum
15
Chantal Thomas, 2003, Disclipining Globalization : International Law, Illegal Trade, and The Case of Narcotics, Michigan Journal of International Law: Vol 24 : 549, available at traficckinggroundtable.org/wp-content/uploads/2012/10/Disclipining-Globalization-Thomas.pdf, p. 554, accessed on 1st August 2014.
23
Teori sistem hukum dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman yang dikenal dengan three elements of legal system. Tiga unsur sistem hukum tersebut terdiri dari : 1). Struktur hukum (legal structure), yaitu bagian-bagian yang bergerak di dalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang ada dan disiapkan dalam sistem, misalnya Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan. 2). Unsur substansi hukum (legal substance), yaitu hasil aktual yang diterbitkan oleh sistem hukum, misal putusan Hakim berdasarkan undang-undang. 3). Unsur budaya hukum (legal culture), yaitu sikap publik atau nilai-nilai komitmen moral dan kesadaran yang mendorong bekerjanya sistem hukum, atau keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat.16 Terkait dengan sistem hukum tersebut, Otje Salman menyatakan bahwa : Perlu ada suatu mekanisme pengintegrasian hukum, bahwa pembangunan hukum harus mencakup tiga aspek di atas, yang secara ilmuan berjalan melalui langkah-langkah strategis, mulai dari perencanaan pembuatan aturan (legislation planing). Proses pembuatannya (law making procces), sampai kepada penegakan hukum (law enforcement) yang dibangun melalui kesadaran hukum (law awareness) masyarakat.17 Kualitas keadilan tidak hanya berkaitan dengan kualitas ilmu hukum dan ilmu lain, namun yang sangat diharapkan masyarakat adalah kualitas tentang ilmu (pengetahuan) dan sikap tentang bagaimana
16
Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2004, Teori Hukum : Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 153. 17
Ibid, h. 154.
24
menegakkan keadilan itu sendiri.18 Mengenai konsistensi sistem hukum, dalam hal ini Mukthie Fadjar mengemukakan bahwa dalam sistem hukum harus ada ketentuan atau prinsip yang dianut untuk menentukan mana yang dianggap sah berlaku, yang umumnya : 1). Jika ada pertentangan antara suatu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain, maka yang berlaku adalah : a. Prinsip
peraturan
perundang-undangan
yang
lebih
tinggi
mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (lex superior derogat legi inferiori), sehingga lalu dikenal teori hierarki peraturan perundang-undangan (stuffen theorie). b. Prinsip
peraturan
perundang-undangan
yang
lebih
baru
mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lebih lama (lex posteriori derogat legi priori). c. Prinsip peraturan perundang-undangan yang lebih khusus mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lebih umum (lex specialis derogat legi generali). 2). Jika ada pertentangan antara undang-undang dengan hukum adat atau hukum kebiasaan, maka jika undang-undang itu merupakan hukum wajib, yang menang adalah undang-undang, jika undangundang hanya merupakan hukum pelengkap, hukum adat atau hukum kebiasaan yang menang. 18
Barda Nawawi Arief, 2010, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Cet. III, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief I), h. 7.
25
3). Jika ada pertentangan antara hukum buatan Hakim dengan undangundang, maka menurut doktrin hukum Belanda, Hakim harus selalu membuat putusan menurut undang-undang, putusan Hakim hanya merupakan penafsiran undang-undang, sehingga tidak boleh bertentangan
dengan
undang-undang.
Dalam
perkembangan
sekarang, berlaku prinsip res judicata pro veritate habetur (putusan Hakim harus dianggap benar). Lebih-lebih apabila undangundangnya bertentangan dengan konstitusi, maka di Korea Selatan Hakim akan mengajukan judicial review undang-undang ke Mahkamah Kostitusi lebih dahulu sebelum memutus pokok perkaranya.19
2. Teori Efektivitas Hukum Kata efektivitas berasal dari kata “efektif” yang artinya berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Pada umumnya, efektvitas sering dihubungkan dengan efisiensi dalam pencapaian tujuan organisasi, padahal suatu tujuan atau saran yang telah tercapai sesuai dengan rencana dapat dikatakan efektif, tetapi belum tentu efisien. Efektivitas merupakan gambaran tingkat keberhasilan atau keunggulan dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan dan adanya keterkaitan antara nilai-nilai yang bervariasi.
19
Mukthie Fadjar, 2013, Teori-Teori Hukum Kontemporer, Setara Press, Malang, h. 5-6.
26
Ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka kita pertama-tama harus dapat mengukur sejauhmana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati. Tentu saja, jika suatu aturan hukum ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya, kita akan mengatakan hukum yang bersangkutan adalah efektif. Namun demikian, sekalipun dapat dikatakan aturan yang ditaati itu efektif, tetapi kita
masih
tetap
dapat
mempertanyakan
lebih
jauh
derajat
efektivitasnya.20 Paul dan Dias sebagaimana dikutip dalam Derita Prapti Rahayu mengemukakan bahwa ada lima syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan hukum yaitu : 1). Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap dan dipahami. 2). Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan hukum yang bersangkutan hukum. 3). Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum. 4). Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, melainkan juga cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa. 5). Adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga masyarakat bahwa aturan-aturan hukum itu berdaya kemampuan yang efektif.21 Derita Prapti Rahayu juga mengemukakan bahwa agar suatu hukum efektif dan dapat mencapai sasarannya, beberapa elemen dasar dalam hukum haruslah berjalan atau berfungsi dengan baik yaitu sebagai berikut : 20
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta h. 375. 21
Derita Prapti Rahayu, 2014, Budaya Hukum Pancasila, Thafa Media, Yogyakarta, h. 37.
27
1). Aturan hukum harus lengkap dan up to date. 2). Penegakan hukum harus berjalan dengan baik dan fair. 3). Penegakan hukum harus bekerja dengan sungguh-sungguh, imajinatif, dan tidak memihak. 4). Budaya hukum dan kesadaran masyarakat harus mendukung pelaksanaan hukum.22 Berbicara mengenai efektivitas hukum, Soerjono Soekanto sebagaimana dikutip dalam Siswanto Sunarso berpendapat tentang pengaruh hukum, yaitu sebagai berikut : Salah satu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia. Masalah pengaruh hukum tidak hanya terbatas pada timbulnya ketaatan atau kepatuhan pada hukum, tapi mencakup efek total dari hukum terhadap sikap tindak atau perilaku baik yang bersifat positif maupun negatif.23 Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Friedman sebagaimana dikutip dalam Siswanto Sunarso mengemukakan bahwa : Pengaruh hukum terhadap sikap tindak atau perilaku dapat diklasifikasikan sebagai ketaatan (compliance), ketidaktaatan atau penyimpangan (deviance), dan pengelakan (evasion). Konsepkonsep ketaatan, ketidaktatan atau penyimpangan, dan pengelakan sebenarnya berkaitan dengan hukum yang berisikan larangan atau suruhan. Bilamana hukum tersebut berisikan kebolehan, perlu dipergunakan konsep-konsep lain, yakni penggunaan (use), tidak menggunakan (nonuse), dan penyalahgunaan (misuse), hal tersebut adalah lazim di bidang hukum perikatan.24 Efektivitas hukum menurut Scholars sebagaimana dikutip oleh Friedman dalam Siswanto Sunarso diakui bahwa “pada umumnya dapat 22
Ibid, h. 39.
23
Soerjono Soekanto, 1988, Efektivitas Hukum dan Peranan Sanksi, Remadja Karya, Bandung, dikutip dari Siswanto Sunarso, 2011, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum, Cet. IV, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Siswanto Sunarso I), h. 88. 24
Ibid, h. 89.
28
dikelompokkan dalam teori tentang perilaku hukum ialah aktualisasi kegiatan hukum”. 25 Selanjutnya Siswanto Sunarso mengemukakan bahwa “efektivitas penegakan hukum amat berkaitan erat dengan efektivitas hukum. Agar hukum itu efektif, maka diperlukan aparat penegak hukum untuk menegakkan sanksi tersebut. Suatu sanksi dapat diaktualisasikan kepada masyarakat dalam bentuk ketaatan (compliance), dengan kondisi tersebut menunjukkan adanya indikator bahwa hukum tersebut adalah efektif”.26
3. Teori Penegakan Hukum Fungsi integrasi hukum pada hakikatnya adalah menyelesaikan konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat secara teratur.27 Penegakan hukum sebagai bagian dari upaya pengintegrasian hukum tersebut saat ini dihadapkan dengan berbagai persoalan-persoalan yang pelik.
Demi terwujudnya pembangunan hukum yang dicita-citakan,
dibutuhkan tindakan yang komprehensif dan sungguh-sungguh dalam melakukan penegakan hukum. Secara konsepsional, inti dari penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto sebagaimana dikutip dari tesis Dewi Bunga, yaitu terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam 25
Ibid.
26
Ibid.
27
Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum dan Perubahan Sosial : Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-Pengalaman Di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Satjipto Rahardjo I), h. 27.
29
kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan serta sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.28 Dikutip dari sumber yang sama, Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundangundangan, namun juga sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan Hakim.29 Wayne La Favre dalam Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa, “penegakan hukum sebagai suatu proses pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi”.30 Joseph Goldstein sebagaimana dikutip oleh Sugeng Tiyarto membedakan penegakan hukum pidana menjadi tiga bagian yaitu : 1. Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (substantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan pendahuluan. Di samping itu, mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan (klacht delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai area of no enforcement. 28
Dewi Bunga, 2011, “Penegakan Hukum Terhadap Prostitusi Cyber (Suatu Kajian Dalam Anatomi Kejahatan Transnasional)”, (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, h. 23. 29
Ibid, h. 24.
30
Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cet. ke XI, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), h. 7.
30
2. Full enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement. Dalam penegakan hukum ini para penegak hukum diharapkan melakukan penegakan hukum secara maksimal. 3. Actual enforcement, dimana menurut Joseph Goldstein full enforcement ini dianggap not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat, investigasi, dana, dan sebagainya yang kesemunya mengakibatkan keharusan dilakukannya discretion dan sisanya inilah yang disebut dengan actual enforcement.31 Chambliis dan Seidman sebagaimana dikutip dalam Derita Prapti Rahayu mengemukakan bahwa “ada beberapa unsur dalam penegakan hukum yang meliputi unsur pembuatan UU, unsur penegakan hukum, dan unsur lingkungan.32 Selanjutnya, Soerjono Soekanto dalam konsep penegakan hukumnya mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu sebagai sebagai berikut : 1). Faktor hukumnya sendiri. 2). Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3). Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4). Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5). Faktor kebudayaan, dimana dalam hal ini, kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayan dalam ruang lingkup sistem hukum (budaya hukum).33 Budaya hukum menunjukkan tradisi hukum yang digunakan untuk mengatur kehidupan suatu masyarakat hukum. Apabila masyarakat hukum tersebut sederhana, maka kehidupan masyarakatnya terikat ketat oleh oleh solidaritas mekanis, persamaan kepentingan, dan kesadaran, sehingga
31
Sugeng Tiyarto, 2006, “Kebijakan Penegakan Hukum Pidana Dalam Rangka Penanggulangan Perjudian”, (tesis) Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, h. 17. 32
Derita Prapti Rahayu, op.cit, h. 38.
33
Soerjono Soekanto I, op.cit, h. 11.
31
masyarakat lebih menyerupai suatu keluarga besar, maka hukum cenderung berbentuk tidak tertulis.34 Kelima faktor di atas merupakan esensi penegakan hukum sekaligus sebagai tolak ukur efektivitas penegakan hukum. Bekerjanya hukum dalam masyarakat melibatkan beberapa unsur atau aspek yang saling memiliki keterkaitan sebagai suatu sistem. Bekerjanya hukum juga juga dapat diartikan sebagai kegiatan penegakan hukum, karena pada hakikatnya
penegakan
hukum
merupakan
suatu
proses
untuk
mewujudkan tujuan-tujuan hukum menjadi kenyataan. Berkenaan dengan hal tersebut, pendapat Robert B. Seidman sebagaimana dikutip dari tesis Heru Muljanto, yaitu sebagai berikut : Tindakan apapun yang diambil baik oleh pemegang peran, lembagalembaga pelaksana maupun pembuat undang-undang, selalu berada dalam lingkup kompleksitas kekuatan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Seluruh kekuatan-kekuatan sosial itu selalu ikut bekerja dalam setiap upaya untuk memfungsikan peraturan-peraturan yang berlaku, menerapkan sanksi-sanksinya, dan dalam seluruh aktivitas lembaga-lembaga pelaksanaannya.35
4. Teori Penanggulangan Kejahatan Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya
34
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung, h. 156. 35
Heru Muljanto, 2008, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Pelaksanaan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan (SPOPP) di Kantor Pertanahan Surakarta”, (tesis) Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, h. 34.
32
mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Selanjutnya, G. P Hoefnagels dalam Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan : 1). Penerapan hukum pidana (criminal law application). 2). Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment). 3). Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/mass media).36 Selanjutnya Barda Nawawi Arief juga mengemukakan bahwa secara garis besar dalam hal upaya penanggulangan kejahatan, dibagi menjadi dua jalur yaitu, jalur penal (hukum pidana ) dan jalur non penal (di luar hukum pidana). Upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat represif (penindasan atau pemberantasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan atau penangkalan serta pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.37 Mengenai konsep pencegahan kejahatan (crime prevention) itu sendiri menurut The National Crime Prevention Instititut yaitu “defines crime prevention as the anticipation, recognition, and appraisal of a crime risk and initiation of some action to remove or reduce it (definisi pencegahan kejahatan adalah proses antisipasi, identifikasi, dan estimasi resiko akan terjadinya kejahatan dan melakukan inisiasi atau sejumlah 36
G. Peter Hoefnagels, 1969, The Other Side of Criminology, h. 16-18 dikutip dari Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief II), h. 45. 37
Ibid, h. 46.
33
tindakan untuk menghilangkan atau mengurangi kejahatan)”.38 Lain halnya dengan Venstermark dan Blauvelt yang memiliki definisi lain tentang konsep pencegahan kejahatan yaitu, “crime prevention means, practically reducing the probality criminal activity (pencegahan kejahatan berarti mengurangi kemungkinan atas terjadinya aksi kejahatan)”.39 Pengertian pencegahan kejahatan secara umum pada dasarnya terdapat beberapa penataan sistem yang harus dilakukan yang bertujuan agar dapat bekerja dengan baik, seperti pendekatan terpadu atau metoda, hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang keduanya merupakan subjek dari segala aktivitas pengamanan, serta situasi aman sebagai objek pengamanan masyarakat. sedangkan pencegahan secara khusus pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan pengertian pencegahan kejahatan pada umumnya, karena yang membedakan hanya pada cara atau strategi yang digunakan, yang salah satunya adalah pencegahan kejahatan dengan pendekatan situasional (situational crime prevention) yang merupakan salah satu dari berbagai teori pencegahan yang menggunakan strategi dalam menjelaskan suatu bentuk strategi pencegahan yang diterapkan dalam suatu lingkungan atau kegiatan tertentu. Adapun pembagian strategi pencegahan kejahatan yang utama
38
Anonim, 2012, Konsep Pencegahan Terhadap Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan, http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/3hukumpdf/207711069/bab2.pdf., diakses pada tanggal 16 Juli 2014, h. 2. 39
Ibid, h. 3.
34
menurut Muladi sebagaimana dikutip dalam Tesis Iwan Sujarwadi dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu : 1). Pencegahan primer (primary prevention), yaitu suatu strategi yang dilakukan melalui kebijakan publik, khususnya untuk mempengaruhi sebab dan akar kejahatan dengan target masyarakat umum. 2). Pencegahan sekunder (secondary prevention), yaitu suatu strategi dengan target calon-calon pelaku. 3). Pencegahan tersier (tertiary prevention), yaitu suatu strategi dengan targetnya adalah mereka yang telah melakukan kejahatan.40
5. Teori Kesadaran Hukum Ewick dan Silbey dalam Achmad Ali mengemukakan bahwa “kesadaran hukum terbentuk dalam tindakan dan karenanya merupakan persoalan praktik untuk dikaji secara empiris. Dengan kata lain, kesadaran hukum adalah persoalan hukum sebagai perilaku, dan bukan hukum sebagai aturan, norma, atau asas”.41 Dengan kata lain, istilah kesadaran hukum mengacu kepada cara-cara dimana orang-orang memaknakan hukum dan institusi-institusi hukum, yaitu pemahamanpemahaman yang memberikan makna kepada pengalaman dan tindakan orang-orang. Kesadaran hukum dibagi menjadi dua macam :
40
Muladi, 2002, Demokratisasi Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum, The Habibi Center Bandung, h. 156, dikutip dari Iwan Sujarwadi, 2012, “Peran Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) Dalam Mencegah Kejahatan di Wilayah Hukum Polsek Tanjung”, (tesis) Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang, h. 21. 41
Achmad Ali, op.cit, h. 298.
35
1). Kesadaran hukum positif, identik dengan ketaatan hukum. 2). Kesadaran hukum negatif, identik dengan ketidaktaatan hukum. Soerjono Soekanto dalam Achmad Ali mengemukakan empat indikator kesadaran hukum yang meliputi pengetahuan tentang hukum, pemahaman tentang hukum, sikap terhadap hukum, dan perilaku hukum.42 Dalam kenyataannya, seringnya kesadaran hukum yang dimiliki oleh warga masyarakat belum menjamin bahwa warga masyarakat tersebut akan menaati suatu aturan hukum atau peraturan perundang-undangan, sehingga antara kesadaran hukum dan ketaatan hukum tidak persis sama meskipun sangat erat hubungannya dalam menentukan efektif atau tidaknya pelaksanaan hukum dan perundangundangan di dalam masyarakat.
6. Teori Ketataan Hukum Pendapat Weber sebagaimana dikutip oleh Hari Chand dalam tesis Dewi Bunga yang sudah diterjemahkan, menyatakan bahwa motif dari ketaatan mungkin banyak perbedaan jenisnya. Mereka sebagian besar adalah kemanfaatan, etis atau subyektif konvensional, yaitu, terdiri dari rasa takut ditolak oleh lingkungan. Menilik kebiasaan untuk menaati, Weber menemukan bahwa itu adalah fakta psikologis primer meskipun tidak mungkin untuk mengetahui pengalaman dari homo sapiens (manusia) pertama.43 42
Achmad Ali, op.cit, h. 301.
43
Dewi Bunga, op.cit, h. 29.
36
Mengenai kualitas ketaatan hukum, H. C. Kelman membedakannya menjadi beberapa bagian, yaitu sebagai berikut : 1). Compliance, is an overt acceptance induced by expectation of rewards and an attempt to avoid possible punishment-not by any conviction in the desirability of the enforced rule. Power of the influencing agens is based on “means-control” and, as a consequence, the influenced person conforms only under surveillance. 2). Identification, is an acceptance of a rule not because of its intrinsic value and appeal but because of person’s desire to maintain membership in a group or relationship with the agent. The source of power is the attractiveness of the relation which the persons enjoy with the group or agent, and his conformity with the rule will be dependent upon the salience of these relationships. 3). Internalization, is the acceptance by an individual of a rule or behavior because he finds its content intrinsically rewarding... The content is congruent with a person’s values either because it has been so from the start of the “influence”, or because his values changed and adapted to inevitable. Achmad Ali membuat formulasi dengan bahasa sendiri mengenai ketiga jenis-jenis ketaatan di atas, yaitu sebagai berikut : 1). Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, hanya karena ia takut terkena sanksi. Kelemahan ketaatan jenis ini , karena ia membutuhkan pengawasan terusmenerus. 2). Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang menaati semua aturan, hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak lain menjadi rusak. 3). Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, benar-benar karena ia merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya.44
1.7.2. Kerangka Berpikir Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka kerangka berpikir penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut : 44
Achmad Ali, op.cit, h.348.
37
Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian
Penegakan Hukum Oleh Polres Badung Terhadap Pelaku Peredaran Gelap Narkotika di Kalangan Narapidana
Canggihnya modus operandi peredaran gelap narkotika di Bali telah mampu menjangkau warga binaan khususnya napi. Demi memberantas peredaran gelap narkotika, Polres Badung melaksanakan fungsi penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan napi, sehingga penting untuk diteliti secara mendalam mengingat tidak mudahnya pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap di kalangan narapidana oleh karena napi berada di bawah naungan lembaga lain (Lapas).
Bagaimanakah penegakan hukum oleh Polres Badung terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan napi
Teori sistem hukum, teori penanggulangan kejahatan , teori efektivitas hukum, teori penegakan hukum
Kendala-kendala serta upaya Polres Badung dalam mengoptimalkan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan napi
Konsep faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, teori kesadaran hukum, dan teori ketaatan hukum
Sasaran Penelitian : Memberikan gambaran dan menganalisis pelaksanaan penegakan hukum oleh Kepolisian khususnya Polres Badung terhadap pelaku peredaran gelap narkotika yang melibatkan napi, serta kendala yang dialami oleh Polres Badung dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan napi dan upaya yang dilakukan dalam mengoptimalkan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika khususnya di kalangan napi.
38
1.8. Metode Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian Ronny Hanitijo Soemitro dalam Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad mengemukakan bahwa : Penelitian hukum dapat dibedakan antara ; penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal, yaitu penelitian hukum yang menggunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan, dan penelitian hukum empiris atau penelitian hukum sosiologis, yaitu penelitian hukum yang memperoleh datanya dari data primer atau data yang diperoleh langsung dari masyarakat.45 Berdasarkan pembagian penelitian hukum di atas, maka jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris. Penelitian tentang penegakan hukum oleh Polres Badung terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana berangkat dari pemikiran bahwa narapidana yang semestinya menjalani pembinaan di Lapas justru terlibat dalam peredaran gelap narkotika, sehingga pihak Kepolisian dalam menjalankan tugas dan fungsinya di bidang penegakan hukum berkewajiban melakukan pemberantasan terhadap peredaran gelap narkotika sampai dengan ke akar-akarnya. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui mengenai pelaksanaan penegakan hukumnya, sehingga dalam hal ini peneliti menentukan beberapa instansi atau lembaga sebagai lokasi penelitian seperti, Polres Badung, Lapas
45
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2007, Dualisme Penelitian Hukum, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta, h. 109.
39
Kelas II A Denpasar, dan instansi terkait seperti BNNP Bali, mengingat
BNN
juga
memiliki kewenangan dalam
bidang
penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
1.8.2. Sifat Penelitian Penelitian mengenai penegakan hukum oleh Polres Badung terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana adalah bersifat deskriptif kualitatif (bukan berupa angka-angka dengan rumus tertentu), yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan mengenai sifat-sifat individu, keadaan, maupun hubungan antara variabel satu dengan yang lain dalam hubungannya dengan penegakan hukum oleh Polres Badung terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana dan kendalakendala yang dialami oleh Polres Badung dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana serta upaya-upaya yang dilakukan dalam mengoptimalkan penegakan hukumnya.
1.8.3. Data dan Sumber Data Data yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Berkenaan dengan hal tersebut, Halim H.S dan Erlies Septiana mengemukakan bahwa “data primer adalah data yang berasal dari data lapangan, dimana data itu diperoleh baik dari
40
responden maupun informan, sedangkan data sekunder adalah data yang tingkatannya kedua, bukan yang utama”.46 Adapun sumber data primer dalam penelitian ini berasal dari hasil wawancara yang mendalam dengan pihak Kepolisian yakni Polres Badung khususnya di bagian Reserse Narkoba, pihak Lapas Kelas II A Denpasar (baik terhadap petugas Lapas Kelas II A Denpasar, narapidana atau mantan narapidana kasus narkotika (pengedar atau pengguna narkotika), dan pihak terkait seperti BNNP Bali. Data sekunder dalam penelitian ini adalah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan, dalam artian data tidak diperoleh secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari datadata yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Berkenaan dengan hal tersebut, Morris L. Cohen dan Kent C. Olson, mengemukakan bahwa “primary sources are the court decisions, statutes, and regulations that form the basis of the legal doctrine (sumber primer adalah keputusan-keputusan pengadilan, undang-undang, dan peraturan-peraturan yang membentuk dasar doktrin hukum)”.47 Di samping itu, beliau juga mengemukakan bahwa “works which are not themselves the law, but which discuss or analyze legal doctrine, are considered secondary sources. These 46
H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 25. 47
Morris L. Cohen dan Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group, ST Paul. Minn United States of America, h.7
41
include treaties, hornbooks, restatements, and practice manuals (karya yang bukan merupakan hukum, tetapi yang membahas dan menganalisis doktrin hukum, dianggap sumber sekunder. Ini termasuk perjanjian, buku pelajaran membaca, penyajian kembali, dan praktek manual)”. 48 Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut : 1. Bahan hukum primer Bahan hukum primer terdiri dari beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian ini, yaitu UU RI No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, PP RI No. 40 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, UU RI No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, dan UU RI No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 2. Bahan hukum sekunder Mengenai bahan hukum sekunder, bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari literatur atau buku-buku hukum dan juga non hukum yang berkaitan dengan penelitian ini, jurnal hukum baik jurnal nasional maupun jurnal internasional, hasil-hasil penelitian, artikel atau karya tulis
48
Ibid.
42
hukum yang termuat di media internet, dan pendapat para pakar hukum. 3. Bahan hukum tersier Dalam penelitian ini digunakan juga bahan hukum tersier seperti kamus hukum. Berkaitan dengan kamus hukum, Maureen F. Fitzgerald mengemukakan bahwa “legal dictionaries define legal terms and common words with special legal meaning”49 (kamus hukum mendefinisikan istilah hukum dan kata-kata umum dengan arti hukum khusus). Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti menggunakan kamus hukum agar mempermudah dalam mengartikan istilah-istilah khusus yang dipergunakan dalam hukum.
1.8.4. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : 1. Teknik studi dokumen Teknik studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam setiap penelitian ilmu hukum, baik dalam penelitian normatif maupun penelitian hukum empiris. Teknik studi dokumen ini dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan-
49
Maureen F. Fitzgerald, 2007, Legal Problem Solving : Reasoning, Research, and Writing, Edisi Keempat, LexisNexis, Canada, h. 111.
43
bahan hukum baik primer, sekunder, dan tersier yang terkait dengan penelitian ini. 2. Teknik wawancara Teknik wawancara merupakan salah satu teknik yang sering dan paling lazim digunakan dalam penelitian hukum empiris. Dalam hal ini, peneliti telah menentukan beberapa informan yang dapat menjadi sumber dalam mengkaji permasalahan dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik wawancara terstruktur (dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide)) dan wawancara tidak terstruktur. Wawancara dilakukan kepada informan kunci yang meliputi, Kepala Satuan Reserse Narkoba Polres Badung, Kepala Lapas Kelas II A Denpasar atau yang mewakili, beberapa petugas di Lapas Kelas II A Denpasar, dan narapidana atau mantan narapidana narkotika.
1.8.5. Teknik Penentuan Sampel Penelitian Teknik sampel (teknik sampling) adalah prosedur yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan karakteristik dari suatu populasi, meskipun hanya beberapa orang yang diwawancarainya.50 Adapun teknik penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik non probability sampling, dimana dalam teknik pengambilan sampel ini, tidak semua elemen dalam populasi
50
H. Zainuddin Ali, 2011, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta (selanjutnya disingkat H . Zainuddin Ali I), h.98.
44
mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Bentuk teknik non probability sampling yang digunakan adalah : 1. Judgmental atau purposive sampling, adalah penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu dimana sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh peneliti berdasarkan pertimbangan kriteria dan sifat tertentu.51 Teknik ini digunakan dalam hal menentukan lokasi penelitian yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, seperti Polres Badung dan Lapas Kelas II A Denpasar. 2. Snowball sampling adalah teknik penarikan sampel yang didasarkan pada rekomendasi dari sampel sebelumnya. Sampel pertama yang diteliti ditentukan sendiri oleh peneliti dengan mencari key informan (informan kunci) ataupun responden kunci yang dianggap mengetahui tentang penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Adapun informan kunci dalam penelitian ini meliputi Kepala Satuan Reserse Narkoba Polres Badung, Kepala Lapas Kelas II A Denpasar, dan beberapa petugas Lapas Kelas II A Denpasar.
1.8.6. Pengolahan dan Analisis Data Teknik pengolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil dari pengumpulan data sehingga siap untuk digunakan lalu kemudian
51
Soerjono Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III, Universitas Indonesia, Jakarta (UI-Press), (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II), h. 196.
45
dianalisis. Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis data kualitatif. Keseluruhan data-data yang terkait dengan penegakan hukum oleh Polres Badung terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana akan diolah dan dianalisis dengan cara menyusun data secara sistematis dan selektif. Setelah melakukan pengolahan secara sistematis dan selektif, maka data tersebut akan dijabarkan secara deskriptif analitis dalam bentuk uraian-uraian yang disertai dengan penjelasan teori-teori hukum, sehingga nantinya dapat diperoleh gambaran serta kesimpulan yang jelas dari permasalahan yang diteliti.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEGAKAN HUKUM, PELAKU PEREDARAN GELAP NARKOTIKA, DAN NARAPIDANA
2.1. Penegakan Hukum 2.1.1. Pengertian Penegakan Hukum Dalam arti luas, penegakan hukum mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum. Kegiatan penegakan hukum mencakup pula segala aktivitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaidah normatif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam arti sempit, penegakan hukum menyangkut
kegiatan penindakan
terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan.52 Apabila ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan
52
Frans Hendra Winarta, 2012, Membangun Profesionalisme Aparat Penegak Hukum, http://www.winartaip.com/ezpdf/Membangun%20Profesionalisme%20Aparat%20Penegak%20Hu kum%2030.5.12.pdf, h. 2, diakses pada tanggal 14 November 2014.
46
47
semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan atauran normatif atau melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma atau aturan hukum yang berlaku, berarti ia dapat dikatakan menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, penegakan hukum tersebut hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegak hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana harusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan aparatur penegak hukum diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.53 Penegakan hukum menurut Suparman Marzuki dipahami dan diyakini sebagai aktivitas menerapkan norma-norma atau kaidahkaidah hukum postif (ius constitutum) terhadap suatu peristiwa konkret.54 Hukum dilihat sebagai variabel yang jelas dan pasti yang harus diterapkan pada peristiwa yang juga jelas dan pasti, sehingga penegakan hukum dikonstruksikan sebagai hal yang rasional atau logis dan mengikuti kehadiran peraturan hukum. Hal serupa dikemukakan oleh Marjono Reksodiputro dalam Kusnu Goesniadhie, yang pada intinya mengemukakan bahwa penegakan hukum hanya dapat terlaksana apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu
53
Jimly Asshiddiqie, 2013, Penegakan Hukum, tersedia di website http:// www. academia.edu/4375428/Penegakan_Hukum, h. 1, diakses pada tanggal 14 November 2014. 54
Suparman Marzuki, 2012, Pengadilan HAM di Indonesia Melanggengkan Impunity, Erlangga, Jakarta, h. 7.
48
menjaga harmonisasi (keselarasan, keseimbangan, dan keserasian) antara moralitas sosial, moralitas kelembagaan, dan moralitas sipil warga negara yang didasarkan pada nilai-nilai aktual di dalam masyarakat, sehingga dalam hal ini kebersamaan sangat dibutuhkan, tidak hanya untuk membuat rambu-rambu pergaulan nasional, melainkan juga penegakannya.55 Di samping itu, berkenaan dengan persoalan penegakan hukum, Satjipto Rahardjo mengemukakan sebagai berikut : Membahas penegakan hukum tanpa menyinggung segi manusia yang menjalankan penegakannya, merupakan pembahasan yang steril sifatnya. Apabila membahas penegakan hukum hanya berpegang pada keharusan-keharusan sebagaimana tercantum dalam ketentuan-ketentuan hukum, maka hanya akan memperoleh gambaran stereotips yang kosong. Membahas penegakan hukum menjadi berisi apabila dikaitkan pada pelaksanaan yang konkret oleh manusia.56
Berdasarkan
beberapa
pendapat
mengenai
pengertian
penegakan hukum di atas, maka inti dari penegakan hukum itu sendiri adalah tindakan konkret terhadap suatu peristiwa yang konkret oleh aparatur penegak hukum sebagai wujud pengaplikasian dari ketentuan kaidah-kaidah normatif. Penegakan hukum hanya dapat terlaksana dengan baik apabila komponen-komponen yang 55
Mardjono Reksodiputro, 1999, Reformasi Hukum di Indonesia, Seminar Hukum Nasional ke VII, BPHN Departemen Kehakiman dan HAM, h. 73-87, dikutip dari Kusnu Goesniadhie S, 2010, Perspektif Moral Penegakan Hukum yang Baik, Jurnal Hukum : Vol.17.No. 2, tersedia di website http://law.uii/ac/id/images/stories/Jurnal Hukum/6 Kusnu Goesniadhie S.pdf, h. 2, diakses pada tanggal 14 November 2014. 56
Satjipto Rahardjo, 2011, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Satjipto Rahardjo II), h. 26.
49
berperan atau berpengaruh terhadap penegakan hukum dapat berfungsi dan bekerjasama secara harmonis tanpa adanya tumpang tindih atau konflik antar komponen-komponen tersebut. Dalam konsep negara hukum, ada dua fungsi penegakan hukum yaitu, fungsi pembentukan hukum (law making process) dan fungsi
penerapan
hukum (law applying
process).57
Fungsi
pembentukan hukum harus ditujukan untuk mencapai tegaknya supremasi hukum. Hukum yang dibuat tetapi tidak dijalankan tidak akan berarti. Demikian juga sebaliknya, tidak ada hukum yang dapat dijalankan jika hukumnya tidak ada, sehingga antara fungsi pembentukan dan penerapan hukum memiliki keterkaitan erat dalam rangka mencapai fungsi penegakan hukum.
2.1.2. Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Komponen-komponen atau sub sistem peradilan pidana di Indonesia, baik Kepolisian (Polisi), Kejaksaan (Jaksa), Pengadilan (Hakim), Lapas dan Advokat (Pengacara) memiliki fungsi dan peranannya masing-masing dalam penegakan hukum. Sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) di Indonesia, menghendaki adanya keselarasan dan keterkaitan antara sub sistem yang satu dengan yang lainnya meskipun masing-masing sub sistem memiliki fungsi dan peranannya masing-masing.
57
Frans Hendra Winarta, op.cit, h.7.
50
Keterkaitan dan keselarasan antara satu sub sistem dengan sub sistem yang lain merupakan mata rantai dalam satu kesatuan dengan satu tujuan yang sama, yakni penanggulangan kejahatan.58 Setiap masalah dalam salah satu sub sistem, akan menimbulkan dampak pada sub sistem-sub sistem yang lainnya, demikian pula reaksi yang timbul sebagai akibat kesalahan pada salah satu sub sistem akan menimbulkan
dampak
kembali
pada
sub
sistem
lainnya.
Keterpaduan antara sub sistem itu dapat diperoleh bila masingmasing sub sistem menjadikan kebijakan kriminal sebagai pedoman kerjanya. Oleh karena itu komponen-komponen sistem peradilan pidana, tidak boleh bekerja tanpa diarahkan oleh kebijakan kriminal. Kepolisian sebagai salah satu komponen atau subsistem penegak hukum dalam sistem peradilan pidana terpadu, merupakan ujung tombak penyelenggara keamanan dalam negeri dan disebut juga sebagai the gatekeeper of the criminal justice system.59 Tugas pokok Kepolisian dalam Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002, adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam rangka pelaksanaan tugas pokok Kepolisian khususnya di bidang penegakan hukum pidana,
58
Romli Atmasasmita, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Cet. I, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Romli Atmasasmita I), h. 3. 59
Mahmud Mulyadi dan Andi Sujendral, 2011, Community Policing : Diskresi Dalam Pemolisian Yang Demokratis, PT. Sofmedia, Jakarta, h. 13.
51
Kepolisian dalam hal ini bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Penyelidikan,
penyidikan,
penuntutan,
dan
persidangan
merupakan pemahaman awal proses hukum dalam perkara pidana dimulai dari proses yang ditangani oleh aparat penyelidik dan aparat penyidik serta aparat lainnya yang berwenang.60 Andi Hamzah dalam Mukhlis mengemukakan bahwa, “penyidikan merupakan suatu proses atau langkah awal yang merupakan suatu proses penyelesaian tindak pidana yang perlu diselidik dan diusut secara tuntas di dalam sistem peradilan pidana (SPP)”.61 Penyidikan menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP adalah “serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam UU untuk mencari serta mengumpulkan barang bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Proses penyidikan diawali dengan melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya tindak pidana, karena untuk mengetahui pada tahap awal apakah peristiwa itu merupakan peristiwa pidana, harus terlebih dahulu dilakukan tindakan hukum yang berupa penyelidikan. Proses penyelidikan dinamakan sebagai “tindakan
60
Hartono, 2010, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, h. 17. 61
Mukhlis R, 2013, Pergeseran Kedudukan dan Tugas Penyidik POLRI Dengan Perkembangan Delik-Delik di Luar KUHP, Jurnal Ilmu Hukum : Vol. 3 No. 1, tersedia di website http://download.portalgaruda.org/article., diakses pada tanggal 8 Desember 2014.
52
hukum”, karena dalam proses penyelidikan terdapat tindakantindakan yang ditujukan untuk pengungkapan peristiwa hukumnya, yang ditandai dengan adanya surat perintah dari Penyidik, yang di dalamnya juga terdapat kewenangan yang harus dihormati oleh setiap orang. Pengertian penyelidikan menurut Pasal 1 angka 5 KUHAP adalah “serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam UU”. Jadi, berdasarkan pengertian tersebut penyelidikan merupakan tindakan atas nama hukum untuk melakukan penelitian, apakah perkara dimaksud benar-benar merupakan peristiwa pelanggaran terhadap hukum pidana atau bukan merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana.62 Pasal 1 angka 5 KUHAP memberikan makna tentang penyelidikan yakni berupa mencari pembuktian dan keterangan tentang keterpenuhan tindak atau peristiwa pidana menurut hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keterpenuhan adanya peristiwa pidana tersebut antara lain dapat diukur sebagai berikut : 1. Adanya laporan dan/atau pengaduan tentang dugaan peristiwa pidana kepada aparatur negara penegak hukum.
62
Hartono, op.cit, h. 19.
53
2. Adanya dugaan peristiwa pidana yang terjadi pada waktu atau saat yang mudah dipahami oleh akal sehat (waktu tertentu). 3. Adanya pihak-pihak tertentu yang merasa dirugikan atas dugaan peristiwa pidana. 4. Adanya tempat atau lokasi kejadian yang jelas dan pasti atas dugaan peristiwa pidana.63 Mengenai wewenang Kepolisian, Pasal 16 UU No. 2 Tahun 2002 menyebutkan bahwa, dalam rangka menyelenggarakan tugas di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk : 1. Melakukan
penangkapan,
penahanan,
penggeledahan,
dan
penyitaan. 2. Melarang setiap orang meninggalkan tempat atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan. 3. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan. 4. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri. 5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat. 6. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
63
Hartono, op.cit, h. 21-25.
54
7. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara. 8. Mengadakan penghentian penyidikan. 9. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. 10. Mengajukan permintaan langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana. 11. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum. 12. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Terkait dengan penyelidik dan penyidik, beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan seperti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan UU RI No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, menyatakan sebagai berikut : 1. Penyelidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh UU untuk melakukan penyelidikan. 2. Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh UU untuk melakukan penyidikan.
55
3. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup UU yang menjadi dasar hukumnya masing-masing (Pasal 1 angka 11 UU RI No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian). 4. Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam UU (Pasal 1 angka 3 KUHAP). 5. Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam UU (Pasal 1 angka 12 UU RI No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian). Munculnya delik-delik khusus diluar KUHP, menimbulkan terbentuknya lembaga baru yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan disamping Kepolisian yang masih tetap berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan, seperti tindak pidana narkotika. Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, Pemerintah berdasarkan UU membentuk Badan
56
Narkotika Nasional (BNN). BNN merupakan lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui koordinasi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. BNN berkedudukan di ibu kota negara dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, sehingga BNN mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota (BNNP dan BNNK/Kota) yang merupakan instansi vertikal.
2.2. Narkotika dan Peredaran Gelap Narkotika 2.2.1. Pengertian Narkotika Secara umum, yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orangorang yang menggunakannya, yaitu dengan cara memasukkan ke dalam tubuh.64 Istilah narkotika yang dipergunakan bukanlah narcotics pada farmacologie (farmasi), melainkan sama artinya dengan drug, yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai. Sifat zat tersebut terutama berpengaruh pada otak sehingga menimbulkan perubahan pada perilaku, perasaan, pikiran, persepsi, kesadaran, halusinasi, di samping dapat digunakan untuk pembiusan.
64
Moh.Taufik Makarao, dkk, 2003, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 16.
57
Mengenai pengertian narkotika, Sudarto dalam Moh. Taufik Makarao mengemukakan bahwa “perkataan narkotika berasal dari perkataan Yunani “narke” yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa”. 65 Namun, ada juga yang mengatakan bahwa narkotika berasal dari kata narcissus, yang artinya sejenis tumbuhtumbuhan yang mempunyai bunga yang dapat membuat orang menjadi tak sadar. Selanjutnya Smith Kline dan Frech Clinical Staff dalam Moh. Taufik Makarao juga mengemukakan mengenai definisi tentang narkotika yaitu “narcotic are drugs which product insensibility or stuporduce to their depresant offer on the central nervous system, included in this definition are opium-opium derivativis (morphine, codein, methadone) (narkotika adalah zat-zat atau obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah termasuk morphin, codein, dan methadone)”.66 Kemudian dalam ketentuan UU yang secara khusus mengatur tentang narkotika yakni UU RI No. 35 Tahun 2009 khususnya pada Pasal 1 angka 1, merumuskan bahwa narkotika adalah “zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik
sintetis
maupun
semisintetis,
yang
dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
65
Ibid. h. 17.
66
Ibid. h. 18.
58
mengurangi
sampai
menghilangkan
rasa
nyeri,
dan
dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini”. Di dalam Pasal 7 UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika secara tegas disebutkan bahwa, narkotika hanya dapat digunakan
untuk
kepentingan
pelayanan
kesehatan
dan/atau
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya di dalam penjelasan Pasal 7 disebutkan bahwa : yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan adalah termasuk pelayanan rehabilitasi medis. Kemudian yang dimaksud dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah penggunaan narkotika terutama untuk kepentingan
pengobatan
dan
rehabilitasi,
termasuk
untuk
kepentingan pendidikan, pelatihan, penelitian, dan pengembangan serta keterampilan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang tugas
dan
penyidikan,
fungsinya dan
melakukan
pemberantasan
pengawasan, peredaran
penyelidikan,
gelap
narkotika.
Kepentingan pendidikan, pelatihan, dan keterampilan adalah termasuk untuk kepentingan melatih anjing pelacak narkotika dari pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia, Bea dan Cukai, BNN serta instansi lainnya. Mencermati isi ketentuan Pasal 7 tersebut di atas, apabila narkotika dipergunakan secara proporsional, dalam artian sesuai dengan asas pemanfaatan baik untuk kesehatan maupun untuk
59
kepentingan ilmu pengetahuan, maka hal tersebut tidak dapat disebut sebagai tindak pidana narkotika. Akan tetapi, apabila narkotika digunakan di luar dari kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka perbuatan itu dapat disebut sebagai tindakan penyalahgunaan narkotika dan peredaran gelap narkotika. Secara garis besar, jenis-jenis narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, terdiri atas 3 (tiga) golongan yaitu Narkotika Golongan I, Narkotika Golongan II, dan Narkotika Golongan III. Adapun penjelasannya masing-masing yaitu sebagai berikut : 1. Narkotika Golongan I Narkotika golongan ini terdiri dari 65 jenis. Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan
ilmu
pengetahuan dan
teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan
ilmu
pengetahuan dan
teknologi (Pasal 8 ayat (1), (2), dan Pasal 12 ayat (1)). Adapun jenis-jenis Narkotika Golongan I yaitu tanaman Papaver
60
Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya kecuali bijinya, opium mentah, opium masak yang terdiri dari candu, jicing, dan jicingko, tanaman koka yang merupakan tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya, daun koka, kokain mentah, kokaina, tanaman ganja, tetrahydrocannabinol dan semua bentuk stereo kimianya, delta 9 tetrahydrocannabinol dan semua bentuk stereo kimianya, asetorfina, acetil-alfa-metil fentanil,
alfa-metilfentanil,
hidroksifentanil, etorfina,
alfa-metiltiofentanil,
beta-hidroksi-3-metilfentanil,
heroina,
ketobemidona,
beta-
desformina,
3-metilfentanil,
3-
metiltiofentanil, MPPP, para-fluorofentanil, PEPAP, tiofentanil, brolamfetina, DET, DMA, DMHP, DMT, DOET, Etiksiklidina, etriptamina, katinona, lisergida, MDMA, meskalina, metkatinona, 4-metilaminoreks, MMDA, N-etil MDA, N-hidroksi MDA, paraheksil,PMA, psilosina (psilotsin), psilosibina, rolisiklidina, STP (DOM), tenamfetamina, tenosiklidina, TMA, amfetamina, deksamfetamina, levamfetamina, metamfetamina,
fenetilina,
fenmetrazina,
levometamfetamina, metakualon,
zipepprol,
fensiklidina, meklokualon,
opium
obat,
dan
campuran atau sediaan opium obat dengan bahan lain bukan narkotika.
61
2. Narkotika Golongan II Narkotika golongan ini terdiri dari 86 jenis. Narkotika Golongan II berkhasiat untuk pengobatan yang digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, juga berpotensi tinggi yang mengakibatkan ketergantungan.Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat memberikan Narkotika Golongan II dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (Pasal 53 ayat (1)). Adapun jenis-jenis Narkotika Golongan II yaitu alfasetilmetadol, alfameprodina, alfametadol, alfaprodina, alfentanil, alilprodina, anileridina, asetilmetadol, benzetidin, benzilmorfina,
betameprodina,
betametadol,
betaprodina,
betasetilmetadol, bezitramida, dekstromoramida, diampromida, dietiltiambutena,
difenoksilat,
difenoksin,
dihidromorfina,
dimefheptanol, dimenoksadol, dimetiltiambutena, dioksafetil butirat, dipipanona, drotebanol, ekgonina termasuk ester dan derivatnya
yang
etilmetiltiambutena,
setara
dengan
etokseridina,
ekgonina
etonitazena,
hidrokodona, hidroksipetidina, hidromorfinol, isometadona,
fenadoksona,
dan
kokaina, furetidina,
hidromorfona,
fenampromida,
fenazosina,
fenomorfan, fenoperidina, fentanil, klonitazena, kodoksima, levofenasilmorfan,
levomoramida,
levometorfan,
levorfanol,
62
metadona, metadona intermediat, metazosina, metildesorfina, metildihidromorfina, metopon, mirofina, moramida intermediat, morferidina, morfina-N-oksida, morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya termasuk bagian turunan morfina-N-oksida, salah satunya kodeina-N-oksida, morfina, nikomorfina,
norasimetadol,
norlevorfanol,
normetadona,
normorfina, norpipanona, oksikodona, oksimorfona, petidina intermediat A, petidina intermediat B, petidina intermediat C, petidina, piminodina, piritramida, proheptasina, properidina, rasemetorfan, rasemoramida, rasemorfan, sufentanil, tebaina, tebakon, tilidina, trimeperidina, dan garam-garam dari Narkotika Golongan II. 3. Narkotika Golongan III Narkotika golongan ini terdiri dari 14 jenis.Narkotika Golongan III berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, juga berpotensi
yang
mengakibatkan
ketergantungan
meskipun
sifatnya ringan.Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter juga dapat memberikan Narkotika Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (Pasal 53 ayat (1)). Adapun jenis-jenis Narkotika Golongan III yaitu asetildihidrokodeina,
dekstropropoksifena,
dihidrokodeina,
63
etilmorfina, kodeina, nikodikodina, nikokodina, norkodeina, polkodina, propiram, buprenorfina, garam-garam dari Narkotika Golongan III, campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika, dan campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika. Diantara jenis-jenis narkotika yang selama
ini sering
disalahgunakan adalah candu, morfin, heroin (putauw), codein, demerol, dan methadone.67 Semua jenis narkotika pada dasarnya membawa dampak yang sangat membahayakan terhadap tubuh manusia apabila digunakan secara terus-menerus karena sifat zat narkotika terutama berpengaruh pada otak sehingga menimbulkan perubahan pada perilaku, perasaan, pikiran, persepsi, kesadaran, halusinasi, di samping dapat digunakan untuk pembiusan. Oleh karena itu, penyalahgunaan terhadap narkotika sangatlah dilarang karena dampaknya yang sangat berbahaya pada keberlangsungan hidup manusia.
2.2.2. Pengertian Peredaran Gelap Narkotika dan Pelaku Peredaran Gelap Narkotika Mengenai pengertian peredaran gelap narkotika, Pasal 1 angka 6 UU RI No. 35 Tahun 2009 mendefinisikannya sebagai “setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak
67
Hadiman, 2005, Pengawasan Serta Peran Aktif Orang Tua dan Aparat Dalam Penanggulangan dan Penyalahgunaan Narkoba, Badan Kerjasama Sosial Usaha Pembinaan Warga Tama (BERSAMA), Jakarta, h. 87.
64
atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika”. Mengenai istilah “tindak pidana narkotika”, UU Narkotika tidak memberikan pengertian secara jelas, sehingga untuk memahami pengertian tindak pidana narkotika, maka harus dipahami terlebih dahulu mengenai pengertian dan unsur-unsur “tindak pidana” itu sendiri, dimana istilah “tindak pidana” berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit.68 Meskipun istilah tersebut terdapat dalam WvS Belanda, tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah strafbaar feit, meskipun sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat tentang pengertian istilah strafbaar feit tersebut. Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit yaitu, tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, dan perbuatan pidana.69 Dari berbagai terjemahan istilah strafbaar feit tersebut, istilah yang paling populer digunakan adalah tindak pidana. Bukubuku atau literatur hukum pidana serta peraturan perundangundangan hukum pidana pada umumnya mempergunakan istilah 68
Adami Chazawi, 2011, Pelajaran Hukum Pidana : Bagian 1, Rajawali Pers, Jakarta, h. 67.
69
Ibid, h. 68.
65
tindak pidana.70 Tolib Setiady mengemukakan bahwa alasan-alasan digunakannya istilah tindak pidana seperti di dalam KUHP terjemahan resmi dari Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman yaitu sebagai berikut : 1. Penggunaan istilah tindak pidana digunakan karena jika ditinjau dari segi sosio-yuridis, hampir semua perundangundangan pidana memakai istilah tindak pidana. 2. Semua instansi penegak hukum dan hampir seluruh penegak hukum menggunakan istilah tindak pidana. 3. Para mahasiswa yang mengikuti “tradisi tertentu” dengan memakai istilah “perbuatan pidana” ternyata dalam kenyataannya tidak mampu mengatasi dan menjembatani tantangan kebiasaan penggunaan istilah tindak pidana.71 Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan berdasarkan dua sudut pandang, yaitu dari sudut teoritis dan dari sudut undangundang. Batasan tindak pidana dari sudut teoritis diambil beberapa pendapat sarjana sebagai berikut : 1. Menurut Moeljatno, unsur-unsur tindak pidana meliputi : a. Unsur formil : 1). Perbuatan manusia. 2). Perbuatan itu dilarang oleh suatu aturan hukum. 3). Larangan itu disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu. 4). Larangan itu dilanggar oleh manusia. b. Unsur materiil : Perbuatan itu harus bersifat melawan hukum, yaitu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak patut dilakukan.72 2. Menurut R. Tresna, unsur-unsur tindak pidana meliputi : a. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia).
70
Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, h. 8.
71
Ibid.
72
Ibid, h. 10.
66
b. Yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan. c. Diadakan tindakan penghukuman.73 3. Menurut J. E. Jonkers, unsur-unsur tindak pidana terdiri dari: a. Perbuatan (yang). b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan). c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat). d. Dipertanggungjawabkan.74 Berdasarkan pengertian dan unsur-unsur dari tindak pidana di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian tindak pidana narkotika adalah suatu perbuatan, tindakan, atau kelakuan yang bersifat melawan hukum, bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan narkotika, dan diancam dengan sanksi pidana. Dalam hal ini, ruang lingkup tindak pidana narkotika meliputi seluruh bentuk kegiatan dan/atau perbuatan bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan narkotika dan prekursor narkotika, baik terhadap Narkotika Golongan I, Narkotika Golongan II, dan Narkotika Golongan III. Secara umum, bentuk-bentuk tindak pidana narkotika yang dikenal antara lain : 1. Penyalahgunaan/melebihi dosis. 2. Pengedaran narkotika. 3. Jual beli narkotika.75 Pengertian peredaran mencakup berbagai kegiatan dari awal sekali, yaitu mulai dari penanaman, produksi, penyaluran, lalu lintas, 73
74
Adami Chazawi, op.cit, h. 80.
Adami Chazawi, op.cit, h. 81.
75
Moh.Taufik Makarao dkk, op.cit, h. 45.
67
pengedaran, sampai ke pemakainya, termasuk untuk pemakaian pribadi.76 Dalam terminologi hukum, istilah pengedar narkotika dikategorisasikan sebagai “pelaku” (dader), akan tetapi pengguna atau pemakai dapat dikategorisasikan baik sebagai “pelaku dan/atau korban”. Oleh karena itu, tindak pidana narkotika dapat dirumuskan sebagai crimes without victim (kejahatan tanpa korban), dimana para pelaku juga berperan sebagai korban. Hubungan antara pelaku dan korban tidak terlihat akibatnya. Tidak ada sasaran korban, karena semua pihak terlibat dan termasuk dalam tindak pidana tersebut. Akan tetapi, apabila dikaji secara mendalam istilah kejahatan tanpa korban dianggap kurang tepat, karena setiap perbuatan yang masuk ke dalam ruang lingkup kejahatan pasti menimbulkan korban atau dampak baik langsung maupun tidak langsung, sehingga tindak pidana narkotika lebih tepat diistilahkan sebagai kejahatan yang disepakati (concensual crimes). 77 Mengenai pengertian dan kategori pelaku (dader), UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika tidak mengatur secara terperinci siapa saja yang dimaksud dengan pelaku tindak pidana narkotika,
76
Anonim, tt, Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1997 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konverensi Perserikatan Bangsa - Bangsa Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988), tersedia di website http://www.hukumonline.com/pusatdata/downloadfile/fl27573/parent/42, diakses pada tanggal 8 Desember 2014. 77
I Putu Darma, 2012, “Upaya Penanggulangan dan Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika di Wilayah Hukum Kepolisian Resor Kota Denpasar”, (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, h. 72.
68
namun kita dapat mengetahui pengertian dan kategori pelaku tindak pidana berdasarkan ketentuan Pasal 55 ayat (1) KUHP. Pasal tersebut menyebutkan bahwa “dipidana sebagai pelaku tindak pidana: 1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan. 2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan”. Menanggapi uraian serta pengertian istilah “peredaran gelap narkotika” dalam UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, maka dapat disimpulkan bahwa arti dari pelaku peredaran gelap narkotika adalah setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan atau kegiatan secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika dalam UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Di dalam Laporan Hasil Penelitian Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia disebutkan bahwa “secara implisit pengertian pengedar narkotika adalah orang yang melakukan kegiatan penyaluran dan penyerahan narkotika, sedangkan secara luas pengertian pengedar juga dapat dilakukan dan berorientasi kepada dimensi penjual,
69
pembeli untuk diedarkan, mengangkut, menyimpan, menguasai, menyediakan,
serta
melakukan
perbuatan
mengekspor
dan
mengimpor narkotika”78 Lilik Mulyadi mengemukakan bahwa ketentuan hukum bagi pengedar narkotika dalam UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika diatur dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, dan Pasal 126.79 Adapun perbuatan yang termasuk kategori pengedar narkotika dalam ketentuan pasal-pasal tersebut secara garis besarnya adalah sebagai berikut : 1. Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika secara tanpa hak atau melawan hukum. 2. Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika secara tanpa hak atau melawan hukum. 3. Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika secara tanpa hak atau melawan hukum. 4. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika secara tanpa hak atau melawan hukum.
78
Lilik Mulyadi, 2012, “Pemidanaan Terhadap Pengedar dan Pengguna Narkoba : Penelitian Asas, Teori, Norma, dan Praktik Penerapannya Dalam Putusan Pengadilan”, (laporan penelitian) Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung Republik Indonesia, h. 3. 79
Ibid.
70
5. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika secara tanpa hak atau melawan hukum. 6. Menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan otang lain secara tanpa hak atau melawan hukum. Mengenai ancaman sanksi pidana bagi pengedar narkotika yang tertinggi adalah pidana mati, pidana penjara tertinggi adalah seumur hidup dan terendah adalah dua tahun, sedangkan pidana denda tertinggi adalah Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan pidana denda terendah adalah Rp. 400.000.000.00 (empat ratus juta rupiah).
2.2.3. Faktor-Faktor Penyebab Peredaran Gelap Narkotika Pada
mulanya,
zat
narkotika
ditemukan
orang
penggunaannya ditujukan untuk kepentingan umat
yang
manusia,
khususnya dibidang pengobatan atau ilmu pengetahuan. Sejak zaman prasejarah, manusia sudah mengenal zat psikoaktif (termasuk di dalamnya narkotika, psikotropika, alkohol, dan zat-zat lainnya yang memabukkan). Berbagai dedaunan, buah-buahan, akar-akaran, dan bunga-bungaan dari berbagai jenis tanaman sudah lama diketahui manusia purba akan efek farmatologinya.80 Apabila dilihat dari sejarah penggunaannya, narkotika beserta obat berbahaya lainnya 80
Mardani, 2008, Penyalahgunaan Narkoba : Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 90.
71
sebenarnya merupakan satu jenis obat penghilang rasa sakit yang telah dikenal sejak 50.000 tahun lalu yang terbuat dari sari bunga opium (papauor samnifertium) yang ditemukan sekitar 2000 SM oleh bangsa Sumeria, dimana pada saat itu digunakan untuk membantu orang-orang yang saulit tidur serta meredakan rasa sakit.81 Seiring dengan perkembangan IPTEK, obat-obat semacam narkotika berkembang pula cara pengolahannya. Berkenaan dengan hal tersebut, Norman M. Garland mengemukakan bahwa klasifikasi berbagai obat di Negara Amerika Serikat baik yang resmi maupun tidak resmi telah berubah dari waktu ke waktu, dimana narkotika dan kokain adalah salah satu contoh yang baik. Berikut kutipan dari buku karya Norman M. Garland terkait dengan perkembangan narkotika di Negara Amerika Serikat : During the nineteenth century, it was legal to distribute, promote, and sell narcotics. Opium was used to treat everything from teething pain to tuberculosis, and it was also a potent source of recreational pleasure. it had been used in home remedies and patent medicines since the latter part of the eighteenth century. Morphine was isolated in the early nineteenth century, and it became widely used as an anesthetic. After using it as a painkiller on the battlefields of the Civil War, tens of thousands of soldiers returned home addicted to the drug. By the end of the nineteenth century, both physicians and the general public became concerned about the addictive potencial of opiates. Heroin, a powerful derivative of morphine, was first introduced by the Bayer Company in 1898 as a cough
81
Tri Septio N dan Widyabuana Slay (ed), 2012, Sejarah Narkoba dan Pemberantasannya di Indonesia, Serial Online 12 Mei 2012, http://www.tribunnews.com/tribunners/2012/05/12/sejarahnarkoba-dan-pemberantasannya-di-Indonesia, diakses pada tanggal 14 November 2014.
72
medicine. It was also seen as a cure for morphine addiction and alcoholism.82 (Selama abad kesembilan belas, adalah legal untuk mendistribusikan, mempromosikan, dan menjual narkotika. Opium (candu) digunakan untuk mengobati segala sesuatu dari sakit gigi ke tuberkolusis (TBC), dan obat itu juga merupakan sumber potensial dari kenikmatan rekreasi. Obat itu telah digunakan dalam pengobatan rumah dan obat-obatan paten sejak bagian akhir abad kedelapan belas. Morfin diisolasi pada awal abad kesembilan belas, dan menjadi banyak digunakan sebagai obat bius. Setelah menggunakannya sebagai obat penghilang rasa sakit di medan perang pada Perang Saudara, puluhan ribu tentara yang pulang kecanduan obat. Pada akhir abad kesembilan belas, baik dokter dan masyarakat umum menjadi prihatin tentang potensi adiktif opiat. Heroin, turunan kuat morfin, pertama kali diperkenalkan oleh Perusahaan Bayer pada tahun 1898 sebagai obat batuk. Hal itu juga terlihat sebagai obat untuk kecanduan morfin dan alkohol). Pada tahun 1906, guna mengatasi penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya lainnya, Amerika Serikat menerbitkan UU yang meminta farmasi memberikan label yang jelas untuk setiap kandungan dari obat yang diproduksi. Lalu pada tahun 1914, disusunlah suatu peraturan yang mengharuskan pemakai dan penjual narkotika untuk wajib membayar pajak, melarang memberikan narkotika kepada pecandu yang tidak ingin sembuh, serta menahan paramedis, dan menutup tempat rehabilitasi. Kemudian pada tahun 1923, Amerika Serikat melarang penjualan narkotika terutama dalam bentuk heroin. Pelarangan penjualan narkotika inilah yang menjadi awal penjualan atau perdagangan gelap narkotika yang kemudian menyebar ke seluruh dunia, dan pada akhirnya banyak orang yang
82
Norman M. Garland, 2008, Criminal Law for the Criminal Justice Professional, edisi kedua, McGraw-Hill, New York, h. 370.
73
menyalahgunakan narkotika tanpa pengawasan tertentu, sehingga akibatnya zat-zat narkotika tersebut mengakibatkan daya kecanduan yang dapat menimbulkan ketergantungan pada si pemakai secara terus menerus. Di Indonesia, sejarah perkembangan narkotika dan obat-obat berbahaya lainnya pertama kali ditemukan di Aceh, dimana tanaman ganja (canabis sativa) tumbuh dengan subur dan pernah digunakan sebagai bumbu masakan. Dengan kemajuan IPTEK terutama di bidang farmakologi, memunculkan berbagai bahan kimia dasar (prekursor) diproduksi atau dijual untuk berbagai kebutuhan seperti obat-obatan. Namun stelah diolah atau diberi campuran khusus lainnya, berubah menjadi sejenis zat yang disebut narkotika, psikotropika, dan bahan berbahaya lainnya, seperti : heroin/putaw, cocain, MDA (ectacy), MDMA (shabu), dan lain-lain, hingga pada akhirnya zat-zat tersebut disalahgunakan oleh orang-orang dengan berbagai faktor penyebab. Banyaknya kasus penyalahgunaan narkotika di masyarakat dewasa ini disebabkan oleh beberapa faktor. Graham Blaine dalam Hari Sasangka mengemukakan bahwa faktor-faktor penyebab penyalahgunaan narkotika adalah : 1. Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakantindakan yang membahayakan, seperti berkelahi kebutkebutan, dan lain-lain. 2. Sebagai tindakan untuk memprotes suatu kekuasaan/kewenangan, seperti terhadap orang tua dan para guru di sekolah, serta norma-norma yang berlaku.
74
3. Untuk menghilangkan kekecewaan dan melepaskan diri dari kesepian. 4. Sebagai rasa setia kawan. 5. Ingin coba-coba.83 Ditinjau dari sisi maraknya keberadaan pengedar atau bandar narkotika di masyarakat, lebih dominan disebabkan oleh faktor semakin meningkatnya kebutuhan atau permintaan dari pengguna narkotika itu sendiri dan faktor ekonomi. Keberadaan pengedar dan pengguna narkotika di masyarakat saling mempengaruhi satu sama lain. Para pengedar narkotika akan berusaha semaksimal mungkin menyelundupkan narkotika untuk memenuhi permintaan konsumen narkotika dengan cara atau modus apapun. Modus operandi yang digunakan para sindikat terus berubah-ubah untuk menghindari kejaran aparat petugas (penegak hukum). Kolaborasi antara pengedar dan konsumen narkotika tidak jarang membuahkan hasil yang sangat signifikan.
Banyak
para
peneliti
dan
pemerhati
narkotika
menyatakan bahwa sindikat jaringan peredaran gelap narkotika dan obat-obatan terlarang sudah tersebar dan memiliki jaringan yang cukup luas layaknya aktivitas perdagangan besar di pasar yang legal.84 Oleh karena itu, pemberantasan terhadap peredaran gelap
83
84
Hari Sasangka, op.cit, h. 56.
Sony Iriawan, tt, Transnastional Drugs Trafficking dan Problematisasi Pemerintah Indonesia Dalam Menanggulangi Peredaran Narkotika Nasional, tersedia di website http://www.academia.edu/5917192/Transnastional_Drug_Trafficking, h. 3, diakses pada tanggal 14 November 2014.
75
narkotika membutuhkan kerjasama dari berbagai instansi penegak hukum mengingat modusnya yang semakin modern dan canggih.
2.3. Narapidana 2.3.1. Pengertian Narapidana Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa narapidana sebagai
warga
pembinaan
binaan
berdasarkan
pemasyarakatan atas
sistem
wajib
melaksanakan
pemasyarakatan
yang
dilaksanakan secara terpadu dengan harapan dapat meningkatkan kualitas narapidana agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan
masyarakat,
dapat
aktif
berperan
dalam
pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Di samping itu, narapidana diwajibkan untuk mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan yang telah ditentukan di dalam Lapas. Pengertian narapidana pada dasarnya berasal dari dua suku kata yaitu “nara” yang artinya orang dan “pidana” artinya hukuman dan kejahatan (pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, narkoba, korupsi, dan sebagainya).85 Pasal 1 angka 7 UU RI No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, menyatakan bahwa “narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di 85
Heru Susetyo dkk dan Nandi Widyani (ed), 2013, Sistem Pembinaan Narapidana Berdasarkan Prinsip Resorative Justice, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta, h. 9.
76
Lapas”. Dalam Kamus Hukum, pengertian narapidana adalah “orang yang sedang menjalani pidana atau hukuman dalam penjara (lembaga pemasyarakatan)”.86 Kemudian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) juga disebutkan bahwa pengertian narapidana adalah “orang hukuman (orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana) atau terhukum”.87 Sistem pembinaan narapidana yang dikenal dengan nama “pemasyarakatan”, mulai dikenal pada tahun 1964 ketika dalam Konferensi Dinas Kepenjaraan di Lembang tanggal 27 April 1964, Bapak Sahardjo melontarkan gagasan perubahan tujuan pembinaan narapidana dari sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan. Sejak tahun 1964 sistem pembinaan bagi narapidana dan anak pidana telah berubah secara mendasar, yaitu dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Begitu juga dengan institusinya, yang semula disebut “rumah penjara dan rumah pendidikan negara” berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.G.8/506 tanggal 17 Juni 1964. Dalam penjelasan UU RI No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
disebutkan
bahwa
“sistem
pemasyarakatan
merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, oleh 86
R. Subekti dan R. Tjitrosoedibio, 2005, Kamus Hukum, Cet. XVI, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 77. 87
Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 774.
77
karena
itu
pelaksanaannya
tidak
dapat
dipisahkan
dari
pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan”. Di samping itu, dalam penjelasan UU Pemasyarakatan juga disebutkan bahwa “narapidana bukan saja obyek melainkan juga subyek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas, yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat
menyebabkan
narapidana
berbuat
hal-hal
yang
bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, atau kewajibankewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana”. Oleh karena itu, dengan adanya sistem pemasyarakatan, narapidana diperlakukan lebih manusiawi dimana narapidana tidak lagi sebagai obyek tetapi sebagai subyek pembinaan. Perkembangan tujuan pembinaan bagi narapidana berkaitan erat dengan tujuan pemidanaan. Pembinaan narapidana yang sekarang dilakukan pada awalnya berangkat dari kenyataan bahwa tujuan pemidanaan tidak sesuai lagi dengan perkembangan nilai dan hakekat hidup yang tumbuh di masyarakat. Membiarkan seseorang dipidana, menjalani pidana tanpa memberikan pembinaan, tidak akan merubah narapidana. Tujuan pembinaan adalah pemasyarakatan, dapat dibagai dalam tiga hal yaitu : 1. Setelah keluar dari Lapas tidak lagi melakukan tindak pidana.
78
2. Menjadi manusia yang berguna, berperan aktif dan kreatif dalam membangun bangsa dan negaranya. 3. Mampu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mendapatkan kebahagiaan di dunia maupun di akherat.88 Sesuai dengan tujuan untuk memasyarakatkan kembali (resosialisasi), maka narapidana selama berada di dalam penjara atau Lapas harus dipersiapkan untuk dapat kembali hidup normal dalam masyarakat. Konsekuensi dari adanya tujuan tersebut adalah selama ditahan, narapidana akan memperoleh pelatihan atau diberi pekerjaan yang memberikannya kesempatan mendapatkan keahlian yang akan berguna kelak dalam kehidupannya nanti di masyarakat sebagai warga biasa.89 Hal ini sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam Pasal 1 angka 2 UU RI No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yang pada intinya menyatakan bahwa narapidana setelah dibebaskan, diharapkan dapat kembali masuk ke dalam kehidupan masyarakat secara normal.
2.3.2. Hak dan Kewajiban Narapidana Setiap narapidana diwajibkan untuk mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu di Lapas. Di samping itu, narapidana juga memiliki hak-hak seperti yang dirumuskan dalam
88
89
Heru Susetyo dkk dan Nandi Widyani (ed), op.cit, 14.
Septa Candra dkk, 2012, Hukum Pidana Dalam Perspektif : Seri Unsur-Unsur Penyusun Bangunan Negara Hukum, Pustaka Larasan, Denpasar, h. 225.
79
Pasal 14 UU RI No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan sebagai berikut : 1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya. 2. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani. 3. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran. 4. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak. 5. Menyampaikan
keluhan,
dimana
yang
dimaksud
dengan
menyampaikan keluhan adalah apabila terhadap narapidana yang bersangkutan terjadi pelanggaran hak asasi dan hak-hak lainnya yang timbul sehubungan dengan proses pembinaan, yang dilakukan oleh aparat Lapas atau sesama penghuni Lapas, yang bersangkutan dapat menyampaikan keluhannya kepada Kepala Lapas. 6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang. 7. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan. 8. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya. 9. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). 10. Mendapatkan
kesempatan
berasimilasi
termasuk
cuti
mengunjungi keluarga. 11. Mendapatkan pembebasan bersyarat. Pembebasan bersyarat adalah bebasnya narapidana setelah menjalani sekurang-
80
kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari sembilan bulan. 12. Mendapatkan cuti menjelang bebas, yaitu cuti yang diberikan setelah narapidana menjalani lebih dari dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan harus berkelakuan baik dan jangka waktu cuti sama dengan remisi terakhir paling lama enam bulan. 13. Mendapatkan hak-hak lain (hak politik, hak memilih, dan hak keperdataan lainnya) sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Hak-hak di atas diberikan kepada narapidana sebagai bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM), karena sebagai hak kodrati HAM melebur dalam jati diri manusia, sehingga tidak dibenarkan siapapun mencabut HAM tersebut.90 Di samping itu, Pasal 28 J ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) telah merumuskan dengan tegas bahwa “setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”, sehingga terhadap narapidana sekalipun tetap harus dihormati hakhaknya sebagai warga negara. Akan tetapi, dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan UU dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan 90
Majda El Muhtaj, 2008, Dimensi-Dimensi HAM : Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 15.
81
orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis (Pasal 28 J ayat (2)). Oleh karena itu, narapidana dalam menjalani masa pidananya di Lapas di samping memiliki hak-haknya, juga harus mematuhi dan menaati tata tertib yang berlaku di dalam Lapas. Berkenaan dengan tata tertib narapidana, Pemerintah telah membentuk suatu peraturan untuk menjamin terselenggaranya tertib kehidupan di Lapas dan rumah tahanan negara (Rutan) serta menjamin terlaksananya pembinaan narapidana dan pelayanan tahanan. Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara (Permen Hukum dan HAM RI No. 6 Tahun 2013 Tentang Tatib Lapas dan Rutan). Dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Permen tersebut diatur mengenai kewajiban dan larangan narapidana serta tahanan, yaitu sebagai berikut : 1. Setiap tahanan atau narapidana wajib : a. Taat menjalankan ibadah sesuai agama dan/atau kepercayaan yang dianutnya serta memelihara kerukunan beragama. b. Mengikuti seluruh kegiatan yang diprogramkan. c. Patuh, taat, dan hormat kepada petugas. d. Mengenakan pakaian seragam yang telah ditentukan.
82
e. Memelihara kerapihan dan berpakaian sesuai dengan norma kesopanan. f. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan hunian serta mengikuti
kegiatan
yang
dilaksanakan
dalam
rangka
kebersihan lingkungan hunian. g. Mengikuti apel kamar yang dilaksanakan oleh Petugas Kemasyarakatan. 2. Setiap narapidana atau tahanan dilarang : a. Mempunyai hubungan keuangan dengan narapidana atau tahanan lain maupun dengan Petugas Kemasyarakatan. b. Melakukan perbuatan asusila dan/atau penyimpangan seksual. c. Melakukan upaya melarikan diri atau membantu pelarian. d. Memasuki Steril Area atau tempat tertentu yang ditetapkan Kepala
Lapas
atau
Rutan
tanpa
izin
dari
Petugas
Pemasyarakatan yang berwenang. e. Melawan atau menghalangi Petugas Pemasyarakatan dalam menjalankan tugas. f. Membawa dan/atau menyimpan uang secara tidak sah dan barang berharga lainnya. g. Menyimpan, membuat, membawa, mengedarkan, dan/atau mengkonsumsi narkotika dan/atau prekursor narkotika serta obat-obatan lain yang berbahaya.
83
h. Menyimpan, membuat, membawa, mengedarkan, dan/atau mengkonsumi minuman yang mengandung alkohol. i. Melengkapi kamar hunian dengan alat pendingin, kipas angin, televisi, dan/atau alat elektronik lainnya. j. Memiliki, membawa, dan/atau menggunakan alat eletronik, seperti laptop atau komputer, kamera, alat perekam, telepon genggam, pager, dan sejenisnya. k. Melakukan pemasangan instalasi listrik di dalam kamar hunian. l. Membuat atau menyimpan senjata api, senjata tajam atau sejenisnya. m. Membawa dan/atau menyimpan barang-barang yang dapat menimbulkan ledakan dan/atau kebakaran. n. Melakukan tindakan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun psikis,
terhadap
sesama
narapidana,
tahanan,
Petugas
Pemasyarakatan, atau tamu/pengunjung. o. Mengeluarkan perkataan yang besifat provokatif yang dapat menimbulkan terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban. p. Membuat tato, memanjangkan rambut bagi narapidana atau tahanan laki-laki, membuat tindik mengenakan anting, atau lainnya yang sejenis. q. Memasuki blok dan/atau kamar hunian lain tanpa izin Petugas Pemasyarakatan.
84
r. Melakukan
aktivitas
yang
dapat
mengganggu
atau
membahayakan keselamatan pribadi atau narapidana, tahanan, Petugas Pemasyarakatan, pengunjung, atau tamu. s. Melakukan perusakan terhadap fasilitas Lapas atau Rutan. t. Melakukan pencurian, pemerasan, perjudian, atau penipuan. u. Menyebarkan ajaran sesat. v. Melakukan aktivitas lain yang dapat menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban Lapas atau Rutan. Tata tertib yang telah diuraikan di atas merupakan suatu keharusan bagi narapidana untuk mematuhinya. Kepatuhan terhadap tata tertib yang berlaku di dalam Lapas dan Rutan menjadi salah satu indikator dalam menentukan kriteria berkelakuan baik terhadap narapidana. Oleh karena itu, dengan dibentuknya Permen Hukum dan HAM RI mengenai tata tertib Lapas dan Rutan, diharapkan dapat membantu pelaksanaan program pembinaan agar berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan.
BAB III PELAKU PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DI KALANGAN NARAPIDANA DAN PENEGAKAN HUKUMNYA OLEH POLRES BADUNG
3.1 Data Penanganan Kasus Peredaran Gelap Narkotika di Kalangan Narapidana Oleh Polres Badung Peredaran gelap narkotika di Bali telah masuk ke dalam tahap yang mengkhawatirkan, karena konsumen narkotika di Bali khususnya di kota-kota besar masih terbilang tinggi, sehingga banyak para pengedar atau bandar narkotika yang berkeliaran untuk membisniskan narkotika dengan harga yang sangat mahal. Demi kelancaran bisnis narkotika tersebut, para bandar atau pengedar narkotika memperluas jaringan dan mengembangkan pola serta menjaring orang-orang baru dari berbagai kalangan dan usia. Semakin canggihnya modus-modus sindikat peredaran gelap narkotika menyebabkan semakin tingginya tingkat kerawanan peredaran gelap narkotika di Bali, karena saat ini peredaran gelap narkotika sudah menjangkau seluruh lapisan masyarakat, bahkan jalur peredaran gelap yang digunakan pun telah sampai pada titik-titik pelabuhan-pelabuhan tidak resmi atau pelabuhan-pelabuhan tradisional yang notabene tidak dapat dijangkau seluruhnya oleh petugas. Kasubsi Pelaporan dan Tata Tertib Lapas Kelas II A Denpasar (Ibu Sarjiyem) mengemukakan bahwa, maraknya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di Bali dimulai sejak tahun 1980-an, dimana awalnya para pelaku berasal dari orang asing (WNA) yang pada saat itu datang berkunjung
85
86
ke Bali. Seiring berjalannya waktu, kasus-kasus narkotika semakin berkembang di masyarakat dan mencapai puncaknya pada awal tahun 2000. Mulai saat itulah narapidana kasus narkotika semakin meningkat tiap tahunnya.91 Meningkatnya peredaran gelap narkotika di Bali dibuktikan dengan munculnya fakta bahwa, Bali saat ini sudah tidak lagi menjadi tempat transit peredaran gelap narkotika, akan tetapi sudah menjadi pasar potensial bagi perdagangan gelap narkotika oleh para sindikat narkotika internasional. Bali dianggap sebagai daerah strategis dan cukup dikenal di dunia sebagai salah satu destinasi wisata terbaik di dunia, sehingga beberapa anggota sindikat narkotika internasional ada yang tinggal di Bali. Oleh karena itu, tidak mudah untuk mengungkap jaringan peredaran gelap narkotika. 92 Kasat Reserse Narkoba Polres Badung (Bapak Bambang I Gede Artha) dalam wawancaranya menyebutkan bahwa, tidak mudah untuk mengungkap jaringan peredaran gelap narkotika di Bali disamping manajemen dan pendanaannya yang sangat bagus, peredaran gelapnya juga melibatkan anggota sindikat narkotika internasional hingga melakukan kejahatan pencucian uang dari hasil bisnis peredaran gelap narkotika tersebut.93 Hasil yang diperoleh dari perdagangan gelap narkotika dapat mencapai angka
91
Wawancara dengan Kasubsi Pelaporan dan Tata Tertib Lapas Kelas II A Denpasar (Ibu Sarjiyem, SE), pada tanggal 21 Januari 2015, pukul 11.00 WITA, bertempat di Lapas Kelas II A Denpasar. 92
Maiwa News, 2012, Bali Pasar Potensial Sindikat Narkoba Internasional, Serial Online 2 Juli 2012, tersedia di website http://berita.maiwanews.com/bali-pasar-potensial-sindikat-narkobainternasional-27083.html, diakses pada tanggal 4 januari 2015. 93
Wawancara dengan Kasat Reserse Narkoba Polres Badung (Bambang I Gede Artha), tanggal 9 Februari 2015, pukul 11.30 WITA, bertempat di ruang Reserse Narkoba Polres Badung.
87
miliaran hingga triliunan rupiah, karena harga narkotika per gramnya dapat mencapai Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah), sehingga bisnis tersebut tentu akan menarik minat banyak orang, mengingat semakin meningkatnya jumlah permintaan (demand) akan narkotika oleh para pengguna atau pengkonsumsi narkotika di Bali. Tingginya jumlah konsumsi narkotika di Bali menyebabkan para pengedar atau bandar narkotika akan menggunakan berbagai cara untuk dapat menyelundupkan narkotika, baik melalui jalur transportasi darat, laut, dan udara, seperti penyelundupan melalui bandar udara, kapal laut, pengiriman via pos, via titipan kilat, dan lain-lain. Selanjutnya Kasat Narkoba Polres Badung (Bapak Bambang I Gede Artha) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor penyebab meningkatnya peredaran gelap narkotika di Bali yaitu : a. Kemajuan IPTEK, dimana semakin canggihnya perkembangan teknologi khususnya pada alat-alat komunikasi seperti handphone, menyebabkan handphone sering disalahgunakan sebagai sarana utama para sindikat narkotika dalam melancarkan peredaran gelap narkotika. Semakin canggih perkembangan teknologi maka semakin mudah juga para sindikat narkotika saling berkomunikasi satu sama lain hingga melampaui batas negara. b. Bali merupakan daerah pariwisata, sehingga Bali banyak dikunjungi oleh wisatawan baik wisatawan lokal maupun mancanegara. Tidak sedikit kedatangan wisatawan ke Bali yang terlibat dalam kasus peredaran gelap narkotika, dimana salah satunya dibuktikan dengan adanya wisawatan
88
yang ketika datang berlibur di Bali, tertangkap oleh petugas membawa narkotika atau obat-obat berbahaya lainnya. c. Banyaknya akses masuk ke Bali yang tidak semuanya bisa dipantau oleh petugas, khususnya jalur laut seperti pelabuhan-pelabuhan tradisional yang tersebar hampir di seluruh wilayah Bali. Pelabuhan-pelabuhan tradisional digunakan sebagai jalur penyelundupan narkotika karena tidak semua titiktitik pelabuhan tradisional di Bali berada di bawah pengawasan dan pengamanan petugas. Hal tersebut diakibatkan karena kurangnya personel petugas untuk melakukan pengamanan di titik-titik tersebut dan kurangnya partisipasi masyarakat dalam hal pelaporan atau pengaduan kepada pihak yang berwajib terhadap kegiatan yang menyangkut peredaran gelap narkotika. d. Kesadaran hukum masyarakat Bali akan bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika masih kurang. Terkadang ada masyarakat yang sadar dan tahu bahwa penyalahgunaan dan peredaran narkotika dilarang oleh UU, namun tetap tidak taat atau tidak patuh. Di samping itu, masih adanya sifat acuh tak acuh masyarakat terhadap adanya dugaan tindak pidana narkotika di sekitarnya, menyebabkan mudahnya narkotika diselundupkan ke Bali. e. Tingginya angka pengguna narkotika di Bali yang menyebabkan permintaan akan jumlah narkotika juga semakin meningkat. Oleh karena itu, peredaran gelap narkotika semakin sulit untuk diberantas, sehingga
89
membutuhkan peran serta masyarakat khususnya dalam hal pelaporan terjadinya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.94 Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh Polres Badung dalam rangka memberantas peredaran gelap narkotika meliputi, pengungkapan dan penyelesaian kasus (sampai di tahap penyidikan) baik yang dilakukan oleh Warga
Negara
Indonesia
(WNI)
maupun
terhadap
pelaku
yang
berkewarganegaraan asing (WNA). Adapun data pengungkapan dan penyelesaian kasus yang dilakukan oleh Satuan Reserse Narkoba Polres Badung dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2010 - 2014) dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
Tabel 2. Data Pengungkapan dan Penyelesaian Kasus Narkoba di Polres Badung Periode 2010 - 2014
No.
Tindakan Hukum
Jumlah Kasus Tindak Pidana Narkoba Tahun 2010 - 2014 2010
2011
2012
2013
2014
1
Pengungkapan Kasus
68
45
42
44
15
2
Penyelesaian Kasus
60
45
23
32
14
Sumber : Dit Reserse Narkoba Polda Bali Berdasarkan data di atas dapat dijelaskan bahwa, jumlah pengungkapan kasus narkoba oleh Reserse Narkoba Polres Badung selama kurun waktu lima
94
Wawancara dengan Kasat Reserse Narkoba Polres Badung ( AKP Bambang I Gede Artha), tanggal 9 Februari 2015, pukul 11.30 WITA, bertempat di ruang Reserse Narkoba Polres Badung.
90
tahun terakhir adalah 214 kasus. Dari jumlah pengungkapan kasus tersebut, Reserse Narkoba Polres Badung berhasil menyelesaikan kasus narkoba sebanyak 174 kasus yaitu, 60 kasus (tahun 2010), 45 kasus (tahun 2011), 23 kasus (tahun 2012), 32 kasus (tahun 2013), dan 14 kasus (tahun 2014). Jumlah pengungkapan kasus pada masing-masing tahun berbeda dengan jumlah penyelesaian kasus, dimana jumlah penyelesaian kasus ada yang lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pengungkapan kasus. Kondisi tersebut disebabkan karena tidak cukupnya barang bukti dan meninggalnya tersangka, sehingga penyelidikan harus dihentikan. Kondisi objektif menunjukkan bahwa pelaksanaan pidana penjara masih dianggap belum berhasil, yang secara empiris diukur oleh masyarakat dari intensitas kejadian-kejadian yang terjadi di Lapas.95 Masyarakat menganggap bahwa selama ini, hampir seluruh tindak pidana yang ditangani oleh Sistem Peradilan Pidana di Indonesia selalu berakhir di Lapas, padahal Lapas bukanlah solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah-masalah kejahatan. Fakta-fakta hukum seperti, peristiwa penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana maupun fakta lain seperti kerusuhan, unjuk rasa, dan bentuk konflik lain di dalam Lapas adalah bukti dari tidak efektifnya sanksi pidana penjara untuk memperbaiki pola perilaku dan memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana. Sistem pemasyarakatan seringkali dianggap tidak berjalan dengan baik oleh masyarakat karena masih saja dijumpai adanya pelaku “residivis”. Tidak maksimalnya pelaksanaan dari 95
Heru Susetyo dkk dan Nandi Widyani (ed), op.cit, h. 14.
91
konsep sistem pemasyarakatan itu sendiri, cenderung menyebabkan seorang pelaku kejahatan mengulangi lagi tindak kejahatannya, baik pengulangannya dilakukan setelah ia selesai menjalani pidananya di Lapas, maupun dilakukan ketika ia menjalani pidananya di Lapas. Jaringan peredaran gelap narkotika yang melibatkan narapidana yang masih berstatus sebagai warga binaan bukanlah merupakan fakta baru di Indonesia, dimana peristiwa masuknya narkotika ke dalam Lapas dimulai pada tahun 1970-an, sedangkan di Bali peristiwanya terjadi pada tahun 1995.96 Fenomena ini memang tidak masuk akal karena narapidana selama menjalani pembinaan di Lapas tentu berada di bawah pengawasan yang ketat. Dengan terlibatnya narapidana dalam peredaran gelap narkotika sudah cukup membuktikan bahwa kondisi pengamanan dan pengawasan yang ada di dalam Lapas saat ini masih belum maksimal. Sindikat narkotika dari dalam penjara memanfaatkan kemampuan teknologi komunikasi yang canggih dan mengatur secara rapi alur distribusi narkotika di dalam penjara. Para narapidana semakin pintar mengemas kejahatannya. Modus berganti-ganti, cara, trik, dan strategi disusun rapi, mulai dari cara-cara tradisional seperti kurir, penyelundupan melalui barang-barang kiriman, hingga menggunakan teknologi mutakhir (seperti handphone, jaringan internet). Sampai dengan saat ini, pemberantasan terhadap peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana masih dirasakan tidak mudah oleh Lapas dan juga aparat penegak hukum khususnya Kepolisian. Berbagai upaya telah 96
Wawancara dengan Kasi Minkamtib Lapas Kelas II A Denpasar (Hermanus Setyo Hartanto), pada tanggal 21 Januari 2015, pukul 11.30 WITA, bertempat di Lapas Kelas II A Denpasar.
92
dilakukan semaksimal mungkin untuk mencegah masuknya narkotika ke dalam penjara serta bertindak tegas terhadap narapidana yang terlibat dalam kasus peredaran gelap narkotika untuk diproses secara hukum. Di Bali, kasus peredaran gelap narkotika pernah melibatkan beberapa narapidana yang merupakan warga binaan Lapas Kelas II A Denpasar, Lapas Kelas II B Singaraja, dan Lapas Kelas II B Bangli. Khusus untuk Polres Badung, ada empat kasus peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana yang pernah ditangani dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2010 - 2014). Adapun data yang dimaksud dapat dilihat dalam tabel berikut ini : Tabel 3. Data Penanganan Kasus Peredaran Gelap Narkotika di Kalangan Narapidana Oleh Polres Badung Periode 2010 - 2014
No.
1
Nama Narapidana/Tahun Peristiwa/Asal Lapas Rudi Saputra Siregar/2011/Lapas Kelas II B Bangli
2
Cahaya Putra/2012/Lapas Kelas II A Denpasar
3
Kodir/2012/Lapas Kelas II A Denpasar
4
Riyanto Sukmo Suprapto/2012/Lapas Kelas II A Denpasar
No. Laporan Polisi
Pasal yang Dilanggar
BP/IX/2011/Res Narkoba
Pasal 114 ayat (1) atau Pasal 112 ayat (2) UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
LPB/128/VI/2012/ Bali/Spk Res Badung LPB/129/VI/2012/ Bali/Spk Res Badung LPB/130/VI/2012/ Bali/Spk Res Badung
Pasal 111 ayat (1) atau Pasal 115 ayat (1) UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Pasal 115 ayat (1) atau Pasal 111 ayat (1) UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2) UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Sumber : Reserse Narkoba Polres Badung (data tabel diolah sendiri oleh peneliti)
93
Mencermati uraian singkat kasus-kasus di atas, bahwa narapidana yang terlibat dalam kasus peredaran gelap narkotika dikenakan pasal yang berbedabeda tergantung dari unsur-unsur perbuatan serta jenis narkotika yang dibawa. Merujuk pada uraian yang sudah diungkapkan pada bab sebelumnya, bahwasannya peredaran gelap narkotika tidak hanya terbatas pada kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika secara melawan hukum, akan tetapi mencakup segala kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum mulai dari penanaman, produksi, membeli, membeli untuk dijual, menyimpan, menguasai, menyediakan, mengekspor, dan mengimpor sampai kepada pemakainya yang terlibat dalam siklus peredaran gelap narkotika. Akan tetapi, khusus bagi pemakai atau pengguna narkotika tertentu seperti pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika diberikan kebijakan oleh UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika untuk wajib mengikuti rehabilitasi medis dan sosial. Terhadap kasus-kasus peredaran gelap narkotika yang sudah diuraikan di atas, keempat narapidana yang terlibat tidak terbukti menggunakan zat narkotika berdasarkan hasil tes urine dari Laboratorium Forensik Polri Cabang Denpasar, sehingga tidak ada indikasi “penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri”. Penegakan hukum yang dilakukan oleh Polres Badung terhadap narapidana selama ini didasarkan atas dua laporan, yakni keterangan dari kurir-kurir narkotika yang tertangkap dan laporan dari Lapas tempat narapidana
yang
bersangkutan
menjalani
masa
pidana,
sehingga
94
terungkapnya kasus narapidana yang menjadi pengendali peredaran gelap narkotika dari dalam Lapas biasanya didapatkan dari keterangan kurir narkotika yang tertangkap sedangkan narapidana yang melakukan peredaran gelap narkotika di dalam Lapas terungkap dari hasil sweeping atau razia yang dilakukan oleh petugas Lapas dimana kemudian pelakunya (narapidana) diserahkan kepada Polres Badung. Keempat narapidana yang terlibat seperti yang sudah dipaparkan di atas menggunakan modus yang beraneka ragam dalam melancarkan peredaran gelap narkotika, mulai dari cara tradisional hingga menggunakan alat telekomunikasi (handphone). Modus-modus tersebut semakin berkembang sehingga Polisi terkadang membutuhkan proses penyelidikan dan penyidikan yang panjang dalam rangka mengungkap secara tuntas para pelaku lain yang diduga terlibat atau melancarkan narapidana dalam melakukan peredaran gelap narkotika.
3.2. Modus Pelaku Peredaran Gelap Narkotika di Kalangan Narapidana Mencermati data tentang kasus peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana yang telah dipaparkan pada sub bab sebelumnya, bahwasannya ada beberapa faktor penyebab keterlibatan narapidana dalam peredaran gelap narkotika, baik faktor internal maupun eksternal. Faktor internal berkaitan dengan masalah sarana dan prasarana serta pengawasan dan kontrol petugas di dalam Lapas itu sendiri, sedangkan faktor eksternal yang dihadapi berkaitan dengan kecenderungan yang sangat tinggi dijatuhkannya sanksi penjara/pengurungan atas pelanggaran hukum sehingga akibat dominasi penjatuhan pidana penjara tersebut, Lapas menjadi overcapacity. Sudirman
95
dalam A. Josias Simon mengemukakan bahwa “makin besar jumlah narapidana terisi penuh sesak dalam Lapas, berperan meningkatkan pelanggaran-pelanggaran aturan dan penyimpangan terhukum”.97 Hampir seluruh Lapas dan Rutan di Bali kelebihan daya tampung (over capacity), sehingga perlu segera diatasi seperti yang dialami oleh Lapas Kelas II A Denpasar, Lapas Kelas II B Tabanan, Lapas Kelas II B Singaraja, Rutan Kelas II B Negara, Rutan Kelas II B Gianyar, dan Rutan Kelas II B Klungkung.98 Berdasarkan data yang peneliti peroleh dari Divisi Pemasyarakatan Kemenkumham Kanwil Bali, bahwa pada periode Januari 2015 jumlah tahanan dan narapidana kasus narkotika tertinggi berada di Lapas Kelas II A Denpasar di Kerobokan dengan jumlah 439 orang, kemudian disusul oleh Rutan Kelas II B Bangli dengan jumlah 52 orang, Lapas Kelas II B Karangasem dengan jumlah 45 orang, Lapas Kelas II B Singaraja dengan jumlah 44 orang, Lapas Kelas II B Tabanan dengan jumlah 42 orang, Rutan Kelas II B Klungkung dengan jumlah 34 orang, Rutan Kelas II B Gianyar dengan jumlah 13 orang, Rutan Kelas II B Negara dengan jumlah 9 orang, dan Lapas Anak Kelas II B Gianyar di Karangasem dengan jumlah 6 orang. Tidak ada pemisahan blok bagi narapidana kasus tindak pidana narkotika 97
Didin Sudirman, 2007, Reposisi dan Revitalisasi Pemasyarakatan Dalam Sistim Peradilan Pidana di Indonesia, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (Pusjianbang) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, h. 205-230, dikutip dari A. Josias Simon R, 2012, Budaya Penjara : Pemahaman dan Implementasi, Karya Putra Darwati, Bandung, h. 11. 98
Sistem Database Pemasyarakatan, 2014, Data Terakhir Jumlah Penghuni per-UPT Pada Kanwil Bali Periode Desember 2014, tersedia di website http://smslap.ditjenpas.go.id, diakses pada tanggal 8 Januari 2015.
96
dengan narapidana kasus lainnya mengingat sebagian besar Lapas dan Rutan di Bali mengalami overcapacity. Di samping itu, belum difungsikannya Lapas khusus narkotika di Bangli hingga saat ini, juga menjadi faktor tidak adanya pengkhususan blok hunian bagi narapidana narkotika. Upaya untuk segera mengoperasikan Lapas khusus bagi narapidana narkotika di Bali masih terus dilakukan oleh Pemerintah, karena kondisi Lapas yang demikian justru akan sering memicu terjadinya berbagai keributan atau kerusuhan antar narapidana. Di samping itu, akibat dari kelebihan kapasitas isi/hunian yang menyebabkan tidak adanya pemisahan antara blok pengedar dan pengguna dengan blok yang lainnya (tindak pidana umum), cenderung menjadi pemicu utama terjadinya kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. 99 David J. Cooke mengemukakan bahwa “narapidana tidak hanya mengalami tekanan di Lapas sebab mereka juga mungkin mempunyai masalah di luar”.100 Dampak psikologis ketika narapidana berada di Lapas juga menjadi faktor pemicu terlibatnya narapidana dalam kasus peredaran gelap narkotika. Narapidana yang berada dalam situasi demikian, akan berusaha mencari ketenangan melalui narkotika karena efek penggunaan narkotika dianggap mampu memberikan ketenangan dan menjauhkan seseorang dari berbagai macam masalah dan bagi narapidana yang sedang berada dalam kesulitan ekonomi di Lapas akan berusaha mencari celah untuk melakukan peredaran gelap narkotika, sehingga ia mampu memenuhi 99
Achmad Rifai, 2014, Narkoba di Balik Tembok Penjara, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, h.
17. 100
David J. Cooke, dkk, 2008, Menyingkap Dunia Gelap Penjara, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 85.
97
kebutuhan hidupnya dan keluarganya selama berada di Lapas karena seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa penghasilan dari bisnis peredaran gelap narkotika dapat mencapai angka miliaran hingga triliunan rupiah. Faktor internal lain penyebab terjadinya peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana juga disebabkan oleh kurangnya pengawasan dan kontrol oleh petugas Lapas itu sendiri. Masih ditemukannya penggunaan alat telekomunikasi (handphone) di kalangan narapidana akan mempermudah narapidana berkomunikasi dengan orang-orang di luar Lapas (kurir narkotika), sehingga secara langsung akan memperlancar peredaran gelap narkotika. Keterlibatan oknum petugas Lapas juga menjadi pemicu peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana, seperti kasus yang terjadi pada awal bulan Januari 2015, dimana seorang oknum sipir Lapas Kelas II A Denpasar berinisial JES ditangkap oleh satuan Reserse Narkoba Polresta Denpasar yang diduga menjual narkotika di dalam Lapas. Penangkapan tersebut didasarkan atas laporan dari tersangka WBA pada hari yang sama memberikan informasi bahwa JES sering mengedarkan narkotika di sekitar Lapas Kelas II A Denpasar. Faktor eksternal penyebab terjadinya kasus peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana disebabkan karena masih banyak pengguna narkotika yang dijatuhi pidana penjara, sehingga narapidana yang sudah berada dalam keadaan ketergantungan sewaktu-waktu akan membutuhkan narkotika. Hal inilah yang akan menjadi pemicu maraknya penyelundupan narkotika ke dalam Lapas hingga terjadi peredaran gelap narkotika. Berkenaan dengan hal
98
tersebut, salah seorang mantan narapidana narkotika yang pernah menjalani pidana di Lapas Kelas II A Denpasar (inisial IGACP) dan saat ini menjalani rehabilitasi, mengemukakan bahwa seorang pengguna atau pecandu narkotika yang dijatuhi pidana penjara, tidak akan mampu mengembalikan kondisi pengguna narkotika kembali normal, karena rehabilitasi pun tidak bisa 100% memulihkan keadaan seorang pengguna narkotika untuk tidak ketergantungan atau menggunakan narkotika lagi.101 Beliau sendiri sudah menggunakan banyak jenis zat narkotika (seperti heroin, sabu, ganja, dan inex) sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga tahun 2014 dan pernah dua kali menjalani pidana penjara di Lapas Kelas II A Denpasar, namun beliau masih tetap ketergantungan terhadap narkotika. Oleh karena itu, beliau menganggap penjatuhan pidana penjara terhadap pengguna narkotika adalah kurang tepat. Hal serupa diungkapkan oleh salah satu petugas BNN Provinsi Bali di bagian deputi pemberantasan dalam wawancara tidak terstruktur yang peneliti lakukan, dimana beliau menghimbau agar para pengguna narkotika khususnya para pecandu tidak dijatuhi pidana penjara, akan tetapi lebih diarahkan untuk mengikuti program rehabilitasi, baik itu rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial. Faktor-faktor yang telah diuraikan di atas secara langsung telah berimplikasi pada kurang efektifnya upaya resosialisasi dan edukasi pada warga binaan. Program pembinaan bagi narapidana semakin jauh dari tujuan dan harapan, karena Lapas sudah tidak steril lagi dari keberadaan narkotika 101
Wawancara dengan Mantan Pengguna Narkotika Sekaligus Pasien Rehabilitasi di BNN Kota Denpasar (inisial IGACP), tanggal 7 Januari 2015, pukul 09.00 WITA, bertempat di BNN Kota Denpasar.
99
dan terlibatnya narapidana dalam kasus peredaran gelap narkotika. Para penyelundup narkotika melakukan berbagai cara untuk untuk dapat memasukkan narkotika ke dalam Lapas. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kasi Minkamtib Lapas Kelas II A Denpasar (Bapak Hermanus), bahwa modus atau cara-cara yang digunakan oleh para penyelundup narkotika ke dalam Lapas beraneka ragam, seperti : penyelundupan melalui barang-barang kiriman (makanan, minuman, pakaian, pasta gigi, bungkus rokok), sampai dengan menggunakan perantara anak kecil sebagai pengantar barang dimana digunakannya modus ini bertujuan untuk mengelabuhi para petugas sehingga tidak dilakukan pemeriksaan secara mendalam. Di samping itu, adanya keterlibatan oknum petugas dalam peredaran gelap narkotika di Lapas menyebabkan mudahnya barang-barang tersebut diselundupkan ke dalam Lapas. Dalam wawancara tersebut beliau mengungkapkan bahwa, sampai saat ini sudah ada kurang lebih lima oknum petugas Lapas yang dipecat karena terlibat dalam tindak pidana narkotika.102 Masuknya narkotika ke dalam Lapas juga disebabkan oleh minimnya peralatan yang dimiliki oleh petugas, baik sensor maupun sinar X (X-Ray) yang dapat mendeteksi keberadaan narkotika. Para pengunjung yang masuk ke dalam Lapas pun masih diperiksa dengan pemeriksaan manual. Hal tersebut sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP) Lapas Kelas II A Denpasar
102
Wawancara dengan Kasi Minkamtib Lapas Kelas II A Denpasar (Hermanus Setyo Hartanto, Bc.IP, SH), pada tanggal 21 Januari 2015, pukul 11.30 WITA, bertempat di Lapas Kelas II A Denpasar.
100
(Bapak Wayan Agus Miarda) dalam wawancara terstruktur yang peneliti lakukan, bahwa faktor penyebab masuknya narkotika ke dalam Lapas disebabkan oleh beberapa faktor seperti: a. Minimnya sarana dan prasarana penunjang keamanan, seperti tidak adanya alat-alat yang dapat mendeteksi keberadaan narkotika dan obat-obat berbahaya lainnya, seperti sensor dan mesin X-Ray. b. Keterbatasan jumlah petugas yang menjaga blok hunian tahanan dan narapidana, sehingga tingkat pengamanan dan pengawasannya menjadi tidak maksimal. Khusus untuk Lapas Kelas II A Denpasar, seluruh blok hanya dijaga oleh tiga orang petugas, sedangkan jumlah tahanan dan narapidana sudah mencapai kurang lebih 900 orang. c. Modus operandi penyelundupan narkotika ke dalam Lapas sudah sangat canggih. Para pelaku memiliki cara-cara yang terselubung dan rapi. Tingkat
ilmu
dan
pengetahuan
mereka
untuk
mencari
cara
menyelundupkan narkotika ke dalam Lapas, juga semakin pintar.103 Mencermati kasus-kasus peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana yang terjadi selama ini, bahwa modus yang digunakan oleh pelaku beraneka ragam. Bagi narapidana yang melakuan peredaran gelap narkotika di dalam Lapas, biasanya menggunakan beberapa cara untuk bisa menyelundupkan narkotika ke dalam Lapas seperti : bermufakat dengan seorang pengunjung atau orang-orang tertentu untuk melemparkan narkotika
103
Wawancara dengan Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP) Lapas Kelas II A Denpasar (Bapak I Wayan Agus Miarda), tanggal 21 Januari 2015, pukul 10.30 WITA, bertempat di ruang KPLP Lapas Kelas II A Denpasar.
101
dari luar Lapas atau meletakkan narkotika pada waktu dan lokasi yang sudah ditentukan di dalam Lapas, menyembunyikan narkotika di atas plafon blok hunian, di bawah selipan kasur atau tempat tidur, di dalam kardus kemudian ditutupi dengan kain, dan memasukkan narkotika ke dalam makanan, minuman, atau pakaian. Selanjutnya bagi narapidana yang menjadi pengendali peredaran gelap narkotika biasanya mengendalikan peredaran gelap narkotika melalui alat telekomunikasi seperti handphone dari dalam Lapas kemudian menyuruh kurir narkotika di luar Lapas mengedarkan narkotika kepada para pemesan. Dalam kasus peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana yang ditangani oleh Polres Badung, ditemukan satu fakta adanya narapidana Lapas Kelas II B Bangli yang mengedarkan narkotika sampai ke wilayah Denpasar bersama dengan kurir narkotikanya. Namun berdasarkan informasi yang peneliti dapatkan bahwa pada saat tertangkap, pelaku sedang mendapatkan pembebasan bersyarat sehingga mampu mengedarkan narkotika ke luar Lapas. Menanggapi persoalan hukum di atas, bahwasannya penanggulangan terhadap peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana memang tidak mudah. Berbagai cara sudah diupayakan oleh pihak Lapas untuk mencegah keberadaan narkotika di dalam Lapas, mulai dari inspeksi mendadak (sidak), penggeledahan, sweeping atau razia yang dilakukan secara rutin, dan penyuluhan hukum terhadap narapidana. Namun kenyataannya, masih saja terdapat narapidana yang terlibat dalam peredaran gelap narkotika, baik itu sebagai pengguna maupun pengedar. Bahkan, narapidana mampu melakukan
102
pemufakatan jahat dalam peredarannya dengan orang-orang yang berada di luar (kurir narkotika) dengan bantuan alat telekomunikasi (handphone). Berkenaan dengan hal tersebut, Achmad Rifai mengemukakan bahwa “Lapas dan Rutan menjadi pilihan para pelaku kejahatan narkotika untuk mengendalikan peredaran narkotika, oleh karena mereka yang berada di dalam Lapas maupun Rutan berpikir bahwa penjara merupakan tempat yang paling aman dari kejaran petugas Polisi atau BNN sehingga aktivitas para pelaku tidak akan terpantau oleh pihak di luar penjara”.104 Oleh karena itu, dukungan dan kerjasama dari pihak intern maupun ekstern Lapas dalam hal pencegahan harus lebih ditingkatkan, karena konsep pencegahan kejahatan itu sendiri pada hakikatnya bertujuan untuk mengurangi kemungkinan atas terjadinya aksi kejahatan, seperti apa yang diungkapkan oleh Venstermark dan Blauvelt dalam definisi pencegahan kejahatannya. Keterlibatan narapidana dalam kasus peredaran gelap narkotika merupakan fakta hukum yang harus mendapatkan penanganan secara serius dan komprehensif oleh aparat penegak hukum, apalagi jika narapidana telah sampai pada level “pengendali peredaran gelap narkotika”. Baik Lapas maupun aparat penegak hukum lainnya harus terus berperan aktif mengupayakan tindakan preventif dan represif untuk menekan atau memutus jaringan peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana karena apabila terjadi pembiaran, maka akan berakibat pada tidak efektifnya pelaksanaan UU No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan serta terhambatnya
104
Achmad Rifai, op.cit, h. 131-132.
103
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sebagaimana yang telah ditentukan dalam UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Segala jenis tindakan harus terus diupayakan untuk mensterilkan keberadaan narkotika di dalam Lapas dan mecegah keterlibatan narapidana dalam peredaran gelap narkotika, seperti dengan melakukan pengawasan yang lebih melekat, baik yang sifatnya internal maupun eksternal perlu terus dilakukan terhadap setiap kegiatan yang berlangsung di dalam Lapas atau Rutan. Disamping itu ketegasan petugas Lapas atau Rutan dalam dalam hal larangan penggunaan alat telekomunikasi seperti telepon seluler (handphone) akan meminimalisir keterlibatan narapidana dalam jaringan peredaran gelap narkotika.
3.3. Prosedur Penanganan Terhadap Narapidana yang Terlibat Dalam Kasus Peredaran Gelap Narkotika Prosedur merupakan rangkaian aktivitas atau kegiatan yang dilakukan berulang-ulang dengan cara yang sama. Prosedur penting dimiliki oleh suatu organisasi/lembaga agar segala sesuatu dapat dilakukan secara seragam, yang pada akhirnya prosedur akan menjadi pedoman bagi suatu organisasi dalam menentukan aktivitas apa saja yang harus dilakukan untuk menjalankan suatu fungsi tertentu. Dengan adanya prosedur yang memadai, dapat dilakukan pengendalian terhadap aktivitas dalam suatu organisasi/lembaga. Ketika suatu organisasi/lembaga tidak menerapkan prosedur yang sudah ditetapkan, maka dapat dianggap sebagai sebagai suatu pelanggaran. Pelanggaran terhadap sebuah prosedur adalah bentuk perilaku ketidaktaatan terhadap norma yang
104
telah ditentukan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi online/daring (dalam jaringan) disebutkan bahwa, arti kata “prosedur” adalah tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas atau metode langkah demi langkah secara pasti dalam memecahkan suatu masalah.105. Adapun pengertian “prosedur” menurut beberapa pakar atau ahli sebagaimana dikutip dari artikel karya Ira Quraisyin, yaitu sebagai berikut : 1. Azhar Susanto menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan prosedur adalah “rangkaian aktivitas atau kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang dengan cara yang sama. Prosedur penting dimiliki bagi suatu organisasi agar segala sesuatu dapat dilakukan dengan seragam”.106 2. Mulyadi berpendapat bahwa “prosedur adalah suatu urutan kegiatan klerikal, biasanya melibatkan beberapa orang dalam satu departemen atau lebih, yang dibuat untuk menjamin penanganan secara seragam transaksi perusahaan yang terjadi secara berulang-ulang”.107 Penanganan terhadap narapidana yang terlibat dalam kasus peredaran gelap narkotika harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan, baik prosedur internal maupun prosedur eksternal. Prosedur penanganan internal yaitu sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) untuk menjatuhkan sanksi hukuman disiplin terhadap narapidana yang terlibat dalam peredaran gelap narkotika dimana penanganannya bersifat internal oleh 105
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Arti Prosedur Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Versi Online/Daring (dalam jaringan), tersedia di website http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php, diakses pada tanggal 5 Januari 2015. 106
107
Ibid, h. 2.
Ibid.
105
Lapas, sedangkan prosedur penanganan eksternal yaitu koordinasi antara Lapas dengan pihak yang berwajib begitu juga sebaliknya tentang adanya dugaan keterlibatan narapidana dalam peredaran gelap narkotika sehingga narapidana tersebut dapat diproses secara hukum. Selain diproses secara hukum, narapidana juga akan mendapatkan hukuman disiplin sebagaimana yang sudah ditentukan di dalam UU RI No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dan Permen Hukum dan HAM RI No. 6 Tahun 2013 Tentang Tatib Lapas dan Rutan. Adapun bentuk-bentuk hukuman disiplin yang dimaksud yaitu sebagai berikut : 1. Hukuman disiplin tingkat ringan meliputi : memberikan peringatan secara lisan, memberikan peringatan secara tertulis. 2. Hukuman disiplin tingkat sedang meliputi : memasukkan dalam sel pengasingan paling lama enam hari, menunda atau meniadakan hak tertentu dalam kurun waktu tertentu berdasarkan hasil sidang Tim Pengamatan Pemasyarakatan. Menunda atau meniadakan hak tertentu dapat berupa penundaan waktu pelaksanaan kunjungan. 3. Hukuman disiplin tingkat berat meliputi : memasukkan dalam sel pengasingan selama enam hari dan dapat diperpanjang selama dua kali enam hari, tidak mendapatkan hak remisi, cuti mengunjungi keluarga, cuti bersyarat, asimiliasi, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat dalam tahun berjalan dan dicatat dalam Register F. Peredaran gelap narkotika masuk ke dalam kategori pelanggaran berat, sehingga terhadap narapidana yang terlibat dalam kasus peredaran gelap
106
narkotika, harus dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat, baik berupa tutupan sunyi paling lama enam hari atau peniadaan hak-hak tertentu dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (remisi, pembebasan bersyarat, asimilasi, cuti bersyarat, cuti mengunjungi keluarga, dan hak yang lainnya). Narapidana yang terlibat dalam peredaran gelap narkotika dianggap melakukan pelanggaran tata tertib selama menjalani masa pidananya, sehingga harus dijatuhi hukuman disiplin. Dalam menjatuhkan
hukuman
disiplin,
petugas
pemasyarakatan
wajib
memperlakukan narapidana yang bersangkutan secara adil dan tidak bertindak sewenang-wenang serta mendasarkan tindakannya pada peraturan tata tertib Lapas yang berlaku. Adapun mekanisme penjatuhan hukuman disiplin kepada narapidana dapat dilihat dalam gambar berikut ini :
Gambar 2. Mekanisme Penjatuhan Hukuman Disiplin Terhadap Narapidana
Pemeriksaan awal oleh Kepala Pengamanan Lapas
Hasil pemeriksaan awal disampaikan kepada Kalapas
Kalapas membentuk TP
Sidang TPP untuk penjatuhan Hukuman Disiplin
Penyerahan BAP oleh Kalapas kepada TPP
Hasil pemeriksaan dituangkan ke dalam BAP
SK Hukuman Disiplin
Dicatat dalam Register F
107
Berdasarkan gambar mekanisme di atas dapat dijelaskan bahwa, terhadap narapidana yang diduga melakukan pelanggaran tata tertib Lapas wajib dilakukan pemeriksaan awal oleh Kepala Pengamanan sebelum dijatuhi hukuman disiplin. Hasil pemeriksaan awal disampaikan kepada Kepala Lapas sebagai dasar bagi pelaksanaan pemeriksaan selanjutnya. Kemudian Kepala Lapas membentuk Tim Pemeriksa Hukuman Disiplin (TP) untuk memeriksa hasil pemeriksaan awal, dimana Tim Pemeriksa tersebut mempunyai tugas untuk memeriksa narapidana yang diduga melakukan pelanggaran tata tertib. Hasil pemeriksaan tersebut dituangkan ke dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan harus ditandatangani oleh Narapidana dan Tim Pemeriksa. Sebelum ditandatangani, terperiksa diberikan kesempatan untuk membaca hasil pemeriksaan. Setelah penyusunan BAP selesai, Tim Pemeriksa akan menyampaikan BAP tersebut kepada Kepala Lapas. Kepala Lapas wajib menyampaikan BAP kepada Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam jangka waktu paling lama 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam terhitung sejak tanggal BAP diterima. TPP melaksanakan sidang untuk membahas penjatuhan hukuman disiplin terhadap narapidana yang diduga melakukan pelanggaran dalam jangka waktu paling lama 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam terhitung sejak tanggal BAP diterima. Setelah sidang TPP selesai, barulah kemudian dikeluarkan SK hukuman disiplin terhadap narapidana yang melakukan pelanggaran tata tertib. Jenis pelanggaran, nama narapidana, beserta hukuman disiplin yang dijatuhkan tersebut kemudian dicatat dalam Register F (daftar
108
yang memuat tentang pelanggaran tata tertib yang dilakukan oleh warga binaan pemasyarakatan (narapidana atau anak didik pemasyarakatan) selama menjalani masa pidana). Pasal 17 Permen Hukum dan HAM RI No. 6 Tahun 2013 secara tegas menyebutkan bahwa “dalam hal pelanggaran yang dilakukan oleh narapidana atau tahanan diduga tindak pidana, Kepala Lapas atau Kepala Rutan meneruskan kepada instansi yang berwenang”. Ketentuan tersebut merupakan pedoman bagi setiap Kepala Lapas atau Kepala Rutan dalam hal penanganan adanya dugaan tindak pidana narkotika maupun tindak pidana lain yang dilakukan oleh seorang narapidana. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Kepala KPLP Lapas Kelas II A Denpasar (Bapak Wayan Agus Miarda) dalam wawancara terstruktur yang peneliti lakukan, dimana dalam wawancara tersebut beliau mengemukakan bahwa, terkait dengan narapidana yang kedapatan membawa atau memiliki barang-barang terlarang seperti narkotika di dalam Lapas, pihak KPLP atas perintah Kepala Lapas langsung mengadakan koordinasi dengan pihak yang berwajib (BNN atau Kepolisian) tanpa toleransi atau teguran lisan terlebih dulu terhadap narapidana yang diduga melakukan penyalahgunaan atau peredaran gelap narkotika. Sama halnya dengan para pengunjung Lapas yang kedapatan membawa narkotika, pihak Lapas juga akan langsung mengkoordinasikannya dengan pihak yang berwajib. Setelah melakukan koordinasi, pihak Lapas akan menyerahkan sepenuhnya wewenang kepada pihak Kepolisian untuk melanjutkan proses hukum terhadap narapidana yang bersangkutan.
109
Pelaksanaan penegakan hukum terhadap narapidana yang terlibat dalam kasus peredaran gelap narkotika, harus memperhatikan beberapa prosedur di dalam ketentuan Pasal 17 UU RI No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, yang secara tegas menyebutkan sebagai berikut : 1. Ayat (1) : “penyidikan terhadap narapidana yang terlibat perkara lain baik sebagai tersangka, terdakwa, atau sebagai saksi yang dilakukan di Lapas tempat narapidana yang bersangkutan menjalani pidana, dilaksanakan setelah penyidik menunjukkan surat perintah penyidikan dari pejabat instansi yang berwenang dan menyerahkan tembusannya kepada Kepala Lapas”. 2. Ayat (2) : “Kepala Lapas dalam keadaan tertentu dalam menolak pelaksanaan penyidikan di Lapas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. 3. Ayat (3) : “Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan di luar Lapas setelah mendapat ijin Kepala Lapas”. 4. Ayat (4) : “Narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibawa ke luar Lapas untuk kepentingan : a. Penyerahan berkas perkara ; b. Rekonstruksi ; c. Pemeriksaan di sidang Pengadilan” 5. Ayat (5) : “Dalam hal terdapat keperluan lain di luar keperluan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) narapidana hanya dapat dibawa ke luar Lapas setelah mendapat izin tertulis dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan”.
110
6. Ayat (6) : “Jangka waktu narapidana dapat dibawa ke luar Lapas sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5) setiap kali paling lama satu hari”. 7. Ayat (7) : “Apabila proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang Pengadilan terhadap narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan di luar wilayah hukum Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan pidana yang sedang dijalani, narapidana yang bersangkutan dapat dipindahkan ke Lapas tempat dilakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16”. Ketentuan Pasal 17 di atas merupakan pedoman dalam hal pelaksanaan penegakan hukum khususnya penyidikan oleh pihak yang berwajib terhadap narapidana yang terlibat dalam kasus peredaran gelap narkotika maupun tindak pidana lainnya. Apabila dicermati secara mendalam, penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika khususnya dalam hal penyidikan dapat dilakukan di Lapas (ruangan tertentu yang sudah disediakan) maupun di luar Lapas sesuai dengan situasi, kondisi, dan kesepakatan antara Lapas dengan pihak yang berwajib (Kepolisian atau BNN). Hal ini penting untuk dikoordinasikan mengingat narapidana masih menjalani masa pidana, sehingga diperlukan pengawasan dan pengamanan yang ketat untuk menghindari kemungkinan narapidana melarikan diri. Penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana tetap harus dilakukan melalui koordinasi. Koordinasi antara pihak yang berwajib dengan pihak Lapas diperlukan untuk
111
mensinergikan pelaksanaan penegakan hukum. Apabila berdasarkan hasil pengembangan kasus, pihak yang berwajib menemukan bukti permulaan adanya dugaan peredaran gelap narkotika yang melibatkan narapidana, pihak yang berwajib dapat berkoordinasi terlebih dahulu dengan pihak Lapas. Melalui koordinasi dan surat ijin resmi, pihak yang berwajib dapat melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap narapidana yang bersangkutan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Pihak Lapas, dimana apabila dari hasil kegiatan sweeping atau razia di dalam blok hunian narapidana ditemukan adanya barang bukti berupa narkotika, Lapas akan langsung mengkoordinasikannya dengan pihak yang berwajib. Terhadap laporan Lapas tersebut, pihak yang berwajib akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap narapidana beserta barang bukti narkotika yang diserahkan.
3.4. Penegakan Hukum Oleh Polres Badung Terhadap Pelaku Peredaran Gelap Narkotika di Kalangan Narapidana Lawrence M. Friedman sebagaimana dikutip di dalam Siswanto Sunarso menguraikan tentang fungsi dari sistem hukum yaitu sebagai berikut: 1.
Fungsi kontrol sosial (social control), dimana semua hukum berfungsi sebagai kontrol sosial dari pemerintah.
2.
Berfungsi sebagai cara penyelesaian sengketa (dispute settlement) dan konflik (conflct). Penyelesaian sengketa ini biasanya untuk penyelesaian yang sifatnya berbentuk pertentangan lokal berskala kecil (mikro). Sebaliknya pertentangan-pertentangan yang bersifat makro dinamakan konflik.
112
3.
Fungsi redistribusi atau fungsi rekayasa sosial (redistributive function or social engineering function). Fungsi ini mengarah pada penggunaan hukum untuk mengadakan perubahan sosial yang berencana yang ditentukan oleh pemerintah.
4.
Fungsi pemeliharaan sosial (social maintenance function). Fungsi ini berguna untuk menegakkan struktur hukum agar tetap berjalan sesuai dengan aturan mainnya (rule of the game).108 Berdasarkan empat fungsi yang telah dikemukakan di atas, bahwa
penegakan hukum merupakan bentuk pelaksanaan fungsi struktur hukum yang pada dasarnya bertujuan untuk mengaktualisasikan aturan-aturan hukum agar sesuai dengan yang dicita-citakan oleh hukum itu sendiri, yakni mewujudkan sikap atau tingkah laku manusia sesuai dengan kerangka pemikiran (frame work) yang telah ditetapkan oleh suatu hukum atau UU mengingat penegakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal). Tujuan akhir dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, penegakan hukum pidana yang merupakan bagian dari politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (politik sosial). Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, maka wajar apabila
108
Siswanto Sunarso I, op.cit, h. 69-70.
113
dikatakan bahwa usaha penanggulangan kejahatan (usaha penegakan hukum pidana) merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional. Perbincangan mengenai hukum dan penegakan hukum di Indonesia adalah sama dengan mempertautkan kedua sisi normatif dan sisi empiris yang merupakan pasangan replektif (membias) mulai dari proses pembuatan hukum, perwujudan, serta pelaksanaan fungsi hukum (penegakan hukum dan keadilan), dalam rangka merespon kebutuhan masyarakat di segala bidang, dalam mencapai tujuan hukum yakni mewujudkan keadilan, menciptakan kepastian hukum, dan memberikan kegunaan (kemanfaatan) bagi masyarakat. Penegakan hukum sebagai usaha sekaligus kekuatan bagi tiap bangsa, menjadikan penegakan hukum sebagai suatu kewajiban kolektif oleh semua komponen bangsa dalam rangka menciptakan ketertiban, keamanan, dan keamanan dalam kehidupan bermasyarakat. Berkenaan dengan hal tersebut, maka secara umum terdapat beberapa golongan yang berperan di dalam penegakan hukum, seperti : 1. Aparatur negara yang memang ditugaskan dan diarahkan untuk seperti itu, seperti Polisi, Hakim, dan Jaksa yang mempunyai fungsi penegakan dengan sifat yang berbeda-beda, akan tetapi bermuara para terciptanya hukum yang adil, tertib, dan bermanfaat bagi semua manusia. Polisi menjadi pengatur dan pelaksana penegakan hukum di dalam masyarakat, Hakim sebagai pemutus hukum yang adil, sedangkan Jaksa yang melaksanakan fungsi sebagai penuntut umum bagi para pelanggar hukum.
114
2. Pengacara yang memiliki fungsi advokasi dan mediasi bagi masyarakat, baik yang bekerja secara individual ataupun yang bergabung secara kolektif melalui lembaga-lembaga bantuan hukum, menjadi penuntun masyarakat yang awam hukum agar dalam proses peradilan tetap diperlakukan sebagai manusia yang memiliki kehormatan, hak, dan kewajiban, sehingga putusan Hakim akan mengacu pada kebenaran dan keadilan. 3. Para eksekutif, mulai dari pegawai pemerintah yang memiliki berbagai fungsi dan tugas kewajiban sampai kepada para penyelenggara yang memiiki kekuasaan politik (legislatif). 4. Masyarakat pengguna jasa hukum, yang dalam ini disebut sebagai para pencari keadilan.109 Dalam Sistem Peradilan Pidana, Polisi sebagai bagian dari komponen struktur hukum sekaligus bagian yang tidak terpisahkan dari sistem hukum memiliki tugas, kewajiban, dan tanggung jawab yang tidak mudah, karena dalam melakukan proses penegakan hukumnya tidak sesederhana seperti apa yang dituliskan dalam UU, misalnya saja dalam melakukan penangkapan dan penahanan.110 Dilihat
dari perspektif sosiologis,
maka Polisi akan
menghadapi dan mempunyai permasalahannya sendiri dalam (berusaha) melakukan penahanan tersebut. Pada saat memutuskan untuk melakukan penangkapan dan penahanan, Polisi telah menjalankan pekerjaan yang 109
110
Illhami Bisri, op.cit, h. 128-129.
Satjipto Rahardjo, 2007, Membangun Polisi Sipil, Buku Kompas, Jakarta, (selanjutnya disingkat Satjipto Rahardjo III), h. 7.
115
multifungsi, yaitu tidak sebagai polisi saja melainkan sebagai Jaksa dan Hakim sekaligus. Dalam artian, sebelum Polisi memutuskan untuk menangkap seseorang, ia harus yakin terlebih dahulu bahwa orang itu bersalah karena melakukan kejahatan berdasarkan atas bukti permulaan yang cukup yang diperoleh. Kepolisian adalah salah satu institusi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban dalam negeri memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik (good governance) dalam pelaksanaan tugas sebagai pelindung, pengayom, dan pelayanan masyarakat maupun sebagai aparat penegak hukum.111 Bahtiar dalam Mahmud Mulyadi dan Andi Sujendral mengemukakan bahwa, fungsi Kepolisian dalam struktur kehidupan masyarakat sebagai pengayom masyarakat dan penegakan hukum yaitu mempunyai tanggung jawab khusus untuk memelihara ketertiban masyarakat, dan menangani kejahatan baik dalam bentuk tindakan terhadap kejahatan maupun bentuk pencegahan kejahatan agar masyarakat dapat hidup dan bekerja dalam keadaan aman dan tenteram.112 Di samping itu, Bayley juga berpendapat bahwa untuk mewujudkan rasa aman itu mustahil dapat dilakukan oleh Polisi saja, mustahil dapat dilakukan dengan cara-cara bertindak Polisi yang konvensional, dan mustahil juga terwujud melalui perintah-perintah yang terpusat tanpa
111
H. Pudi Rahardi, 2014, Hukum Kepolisian : Kemandirian, Profesionalisme, dan Reformasi Polri, Laksbang Grafika, Surabaya, h. 11. 112
Mahmud Mulyadi dan Andi Sujendral, op.cit, h. 74.
116
memperhatikan kondisi setempat yang sangat berbeda dari tempat yang satu dengan tempat yang lain.113 Pada dasarnya, masing-masing penegak hukum dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum pidana memiliki tugas dan kewenangan yang telah ditentukan oleh UU. Masing-masing penegak hukum menjalankan tugas dan kewenangannya berdasarkan pada aturan hukum yang sudah ditentukan oleh UU, dimana keseluruhan fungsi penegakan hukum tersebut pada akhirnya bermuara pada terciptanya keadilan. Pada uraian bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa fungsi penegakan hukum oleh Kepolisian dalam proses peradilan pidana terletak pada kewenangannya dalam hal penyelidikan dan penyidikan. Makna dari penegakan hukum tidak hanya meliputi pelaksanaan keputusan-keputusan Hakim saja, akan tetapi meliputi juga pelaksanaan UU sebagaimana diungkapkan dalam konsep penegakan hukum yang diemukakan oleh Soerjono Soekanto, sehingga Polisi sebagai aparatur penegak hukum dalam melaksanakan kewenangan penyelidikan dan penyidikannya demi memberantas peredaran gelap narkotika merupakan bentuk pelaksanaan dari UU RI No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian dan UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pemahaman masyarakat awam tentang penegakan hukum selama ini hanya mengacu pada penerapan sanksi melalui putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Padahal penegakan hukum menyangkut juga proses awal penegakan hukum yang dimulai dari bawah, seperti tindakan-tindakan hukum oleh Kepolisian, baik itu penggeledahan, penyitaan,
113
Mahmud Mulyadi dan Andi Sujendral, op.cit, h. 75.
117
penangkapan, penahanan, hingga sampai pada tahap penyidikan, dimana kewenangan
tersebut
merupakan
penegasan
mengenai
kewenangan
Kepolisian dalam proses pidana. Polres Badung adalah salah satu Institusi Kepolisian di daerah Bali yang berlokasi di Jalan Raya Kebo Iwa Nomor 1 Mengwi, Kabupaten Badung. Polres Badung adalah pelaksana tugas Kepolisian di wilayah hukum Kabupaten Badung. Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, Polres Badung memiliki visi dan misi sebagai berikut : 1. Visi
:
“Terselenggaranya
penegakan
hukum
yang
profesional,
humanis,
transparan, akuntabel, dan selalu menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia guna mewujudkan pelayanan prima dalam hal penyidikan kepada masyarakat di wilayah hukum Polres Badung”. 2. Misi
:
a. Memaksimalkan upaya penangkapan dan penyelesaian kasus-kasus menonjol
dan
melanjutkan
upaya
pemberantasan
kejahatan
konvensional seperti premanisme, kejahatan jalanan, perjudian, sebagai kunci mencipatakan rasa aman bagi masyarakat. b. Melanjutkan pembenahan Reserse berupa peningkatan kompetensi penyidikan melalui pelatihan dan gelar perkara. c. Meningkatkan dan memaksimalkan upaya membangun kerjasama komponen Criminal Justice System (CJS) guna terciptanya sinergisitas antara aparat penegak hukum dalam mengatasi kejahatan terhadap
118
kekayaan negara dan transnational crime yang meliputi illegal loging, illegal mining, illegal fishing, dan tindak pidana korupsi. d. Memacu perubahan mind set dan culture set Polri terutama dalam hal penyidikan guna mencegah dan mengantisipasi timbulnya sikap dan perilaku negatif dan arogan anggota Polri serta memberikan penghargaan
dan
hukuman
(reward
and
punishment)
untuk
menciptakan harmonisasi dan rasa keadilan di lingkungan kerja Polri, sehingga
akan
menimbulkan
optimalisasi
kerja
sekaligus
menghilangkan perilaku yang melanggar kode etik profesi Kepolisian maupun UU lainnya. e. Terwujudnya pelayanan prima, responsif, dan tidak diskriminasi khususnya terhadap korban tindak kejahatan agar proses penegakan hukum dapat berjalan secara objektif. Upaya penanggulangan peredaran gelap narkotika dengan jalur penal dilakukan melalui penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika. Penegakan hukum Polres Badung dalam pemberantasan tindak pidana narkotika dilaksanakan oleh Satuan Reserse Narkoba Polres Badung. Reserse Narkoba Polres Badung yang saat ini berada di bawah kepemimpinan AKP Bambang I Gede Artha, mengungkapkan keprihatinannya terhadap meningkatnya jumlah kasus tindak pidana narkotika di Bali, apalagi tiga wilayah di Bali sudah masuk ke dalam zona merah daerah rawan peredaran gelap narkotika yaitu Kota Denpasar, Kabupaten Badung, dan Kabupaten Gianyar. Beliau sendiri mengakui bahwa motif yang dilakukan dalam
119
peredaran gelap narkotika sudah sampai dalam tahap atau level yang lebih tinggi, sehingga dibutuhkan banyak persiapan dan strategi yang matang. Trik pelaku peredaran gelap narkotika sangat beraneka ragam, sehingga Reserse Narkoba Polres Badung akan terus mengembangkan strategi-strategi dalam memberantas peredaran gelap narkotika. Adapun struktur organisasi dari Satuan Reserse Narkoba Polres Badung dapat dilihat dalam gambar berikut ini :
Gambar 3. Struktur Organisasi Satuan Reserse Narkoba Polres Badung
Kasat Reskrim Narkoba
Kaur Bin Opsnal
Kaur Mintu
Banum
Bamin
Bamin
Kanit Idik I
Banum
Kanit Idik II
Banit
Banit
Banit
Banit
Banit
Banit
Banit
Banit
Banit
Banit
Banit
Banit
Banit
Banit
Banit
Banit
120
Berdasarkan struktur organisasi di atas, dapat dijelaskan bahwa Satuan Reserse Narkoba merupakan unsur pelaksana tugas pokok yang berada di bawah
Kapolres,
penyelidikan,
yang
penyidikan,
bertugas
melaksanakan
pengawasan
pembinaan
penyidikan
tindak
fungsi pidana
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dan prekursor, serta pembinaan dan penyuluhan dalam rangka pencegahan dan rehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba. Reserse Narkoba Polres Badung dipimpin oleh Kasat Reserse Narkoba yang bertanggung jawab kepada Kapolres dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari berada di bawah kendali Wakapolres. Reserse Narkoba Polres Badung dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh : 1. Urusan Pembinaan Operasional (Urbin Opsnal) yang bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap administrasi serta pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkoba, pembinaan, dan penyuluhan
dalam
rangka
pencegahan
dan
rehabilitasi
korban
penyalahgunaan narkoba serta menganalisis penanganan kasus serta mengevaluasi efektivitas pelaksanaan tugas Sat Reserse Narkoba. 2. Urusan administrasi dan ketatausahaan (Urmintu)
yang bertugas
menyelenggarakan kegiatan administrasi dan ketatausahaan. 3. Unit, yang terdiri dari paling banyak tiga unit yang bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dan prekursor di daerah hukum Polres Badung. Kecanggihan teknologi dan modus operandi yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan terorganisir memang tidak dapat dipisahkan. Artinya,
121
kejahatan tersebut tidak berdiri sendiri, memerlukan pelaku lain bahkan sebuah jaringan besar (networking).114 Tidak jarang apabila jaringan peredaran gelap narkotika tersebut melibatkan narapidana yang masih berstatus sebagai warga binaan Lapas. Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan Kepala Bidang Operasonal (KBO) Reserse Narkoba Polres Badung (Bapak Nyoman Sudarma), bahwa masih adanya kasus penyalahgunaan narkotika di kalangan narapidana diakibatkan karena proses rehabilitasi yang tidak selesai. Para pelaku khususnya pengguna narkotika semestinya direhab dulu secara tuntas barulah di masukkan ke dalam penjara. Penegakan hukum janganlah hanya semata-mata hanya menjatuhkan sanksi pidana penjara kepada pelaku, akan tetapi perlu dipertimbangkan juga keadaan si pelaku khususnya pengguna narkotika yang sewaktu-waktu dapat kambuh
kembali
apabila
proses
rehabilitasinya
tidak
dijalankan.115
Menanggapi hasil wawancara tersebut, bagi peneliti sendiri penanganan terhadap pengguna atau pecandu narkotika pada dasarnya harus lebih mengutamakan fungsi dan peran rehabilitasi, baik itu rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial. Mengutamakan fungsi dan peran rehabilitasi bukan berarti pelaku pengguna narkotika dapat ditiadakan pidananya, karena hakikat dan tujuan dari pemidanaan adalah untuk memberikan efek jera
114
Alfitra, 2014, Modus Operandi Pidana Khusus di Luar KUHP : Korupsi, Money Laundering, dan Trafficking, Raih Asa Sukses, Jakarta, h. 3. 115
Wawancara dengan Kepala Bidang Operasional (KBO) Reserse Narkoba Polres Badung (Ipda I Nyoman Sudarma, SH), tanggal 9 Februari 2015, pukul 10.30 WITA, bertempat di ruang Reserse Narkoba Polres Badung.
122
kepada pelaku kejahatan. Di samping itu, perlunya pemidanaan terhadap pelaku pengguna narkotika didasarkan atas pertimbangan bahwa pengguna narkotika tetaplah seseorang yang “tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika”. Mengenai penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana, Kasat Reserse Narkoba Polres Badung (Bapak Bambang I Gede Artha) mengemukakan bahwa pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana selama ini sebagian besar masih didasarkan atas laporan dari Lapas meskipun ada juga yang didasarkan atas hasil pengembangan kasus narkotika dari kurir narkotika yang tertangkap. Meskipun pihak Kepolisian memiliki wewenang untuk melaksanakan fungsi penegakan hukumnya namun harus tetap menghormati dan menjaga kode etik Lembaga lain. Peranan Polisi sebagai penegak hukum dituntut melaksanakan profesinya secara baik dengan dilandasi etika profesi. Etika profesi tersebut berpokok pangkal pada ketentuan yang menentukan peranan Polisi sebagai penegak hukum. Di samping itu, Polisi dituntut untuk melaksanakan profesinya dengan adil dan bijaksana, serta mendatangkan dan keamanan.116 Oleh karena itu, Polisi tidak bisa begitu saja masuk menerobos ke dalam Lapas untuk menggeledah atau menangkap seorang narapidana yang diduga melakukan tindak pidana narkotika karena narapidana adalah warga binaan yang berada di bawah
116
Kelik Pramudya dan Ananto Widiatmoko, 2010, Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum : Hakim, Jaksa, Polisi, Notaris, dan Advokat, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h. 64.
123
naungan Lapas, sehingga pihak Polres Badung sangat berhati-hati dalam mengambil langkah-langkah yang berkaitan dengan penegakan hukum. Terkait dengan kode etik profesi yang dikemukakan di atas, bahwasannya kode etik profesi hukum akan selalu melekat pada masingmasing kelompok profesi hukum. Sejalan dengan hal tersebut, Bartens dalam Supriadi mengemukakan bahwa “etika profesi merupakan norma yang ditetapkan dan diterima oleh sekelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat. Oleh karena itu, kelompok profesi harus menyelesaikannya berdasarkan kekuasaannya sendiri”.117 Kode etik profesi merupakan hasil pengaturan diri profesi yang bersangkutan dan perwujudan nilai moral yang hakiki dan tidak dipaksakan dari luar. Kode etik profesi akan menjadi tolak ukur perbuatan anggota profesi dan merupakan upaya pencegahan berbuat yang tidak etis bagi anggotanya. Menurut Sumaryono sebagaimana dikutip dalam Supriadi mengemukakan bahwa “fungsi kode etik profesi memiliki tiga makna yaitu, sebagai sarana kontrol sosial, sebagai pencegah campur tangan pihak lain, dan sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik”.118 Bagi Reserse Narkoba Polres Badung, menjaga dan menghormati kode etik profesi lembaga lain sangat penting di dalam menjalankan fungsi penegakan hukum apalagi jika
117
Supriadi, 2010, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h. 23. 118
Ibid, h. 24
124
menyangkut narapidana yang secara jelas adalah tanggung jawab Lapas, sehingga harus benar-benar memanfaatkan fungsi koordinasi dengan baik. Dalam hal penyelidikan (pengungkapan) kasus peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana, Kanit I Reserse Narkoba Polres Badung (I Gusti Putu Suarjaya) dalam wawancaranya mengemukakan bahwa selama ini laporan tentang adanya keterlibatan narapidana dalam peredaran gelap narkotika didapat dari pengakuan kurir-kurir narkotika yang tertangkap, namum ada pula yang berasal dari laporan Lapas. Selama ini banyak pengakuan dari kurir narkotika tentang adanya keterlibatan narapidana dalam peredaran gelap narkotika yang diterima oleh Polisi. Namun, laporan tersebut perlu ditelusuri lagi secara mendalam, karena ada beberapa keterangan kurir narkotika yang sengaja mengatakan bahwa barang tersebut didapat dari narapidana, digunakan sebagai alibi untuk menghilangkan jejak atau menyembunyikan rantai peredaran gelap narkotika atau yang dikenal dengan teknik memutus jaringan. Selama ini sebagian dari kurir narkotika sudah mengetahui bahwa tingkat kesulitan untuk menangkap narapidana di dalam Lapas sangat tinggi. Setelah ditelusuri oleh Polisi, terkadang tidak ada bukti tentang adanya keterlibatan narapidana, sehingga modus-modus seperti itu seringkali digunakan oleh kurir narkotika. Selama ini, Reserse Narkoba Polres Badung belum pernah sampai masuk ke dalam Lapas untuk menggeledah
langsung
narapidana
di
dalam
Lapas dalam
rangka
menindaklanjuti laporan tentang adanya dugaan keterlibatan narapidana dalam peredaran gelap narkotika, karena beberapa alasan sebagai berikut :
125
1. Posisi narapidana di dalam Lapas. Banyaknya blok hunian dan jumlah narapidana di dalam Lapas tidak memungkinkan bagi Polisi untuk langsung menemukan dimana posisi narapidana dan tidak mungkin untuk menggeledah narapidana satu persatu. Oleh karena itu, dalam hal ini Polisi melakukan koordinasi dengan Lapas untuk membantu menemukan narapidana yang diduga terlibat dalam peredaran gelap narkotika, sehingga pelaksanaannya akan lebih efisien. 2. Apabila polisi langsung masuk ke dalam Lapas, kemungkinan informasi masuknya Polisi ke dalam Lapas untuk melakukan penyelidikan akan bocor sehingga menyebabkan barang bukti yang dicari akan hilang karena informasi dilakukannya penyelidikan oleh Polisi tentu akan sampai ke telinga narapidana. 119 Kasat Reserse Narkoba Polres Badung (Bapak Bambang I Gede Artha) dalam wawancaranya juga mengemukakan bahwa resiko keamanan yang ditimbulkan apabila Polisi langsung masuk ke dalam Lapas untuk menggeledah atau menangkap narapidana yang diduga terlibat dalam peredaran gelap narkotika cukup membahayakan, karena narapidana bisa saja mengamuk, melakukan kerusuhan, pengrusakan, atau tindakan lain yang membahayakan sehingga dapat menyebabkan kerugian material maupun immaterial. Hal tersebut sudah pernah terjadi sebelumnya pada tahun 2011, ketika pihak yang berwajib (BNN) akan menangkap salah satu narapidana
119
Wawancara dengan Kanit I Reserse Narkoba Polres Badung (Ipda I Gusti Putu Suarjaya, SH), tanggal 9 Februari 2015, pukul 10.30 WITA, bertempat di ruang Reskrim Narkoba Polres Badung.
126
Lapas Kelas II A Denpasar yang diduga terlibat dalam jaringan peredaran gelap narkotika. Puluhan narapidana Lapas Kelas II A Denpasar mengamuk dan seketika itu narapidana blok lain melakukan perlawanan, pengrusakan, hingga menyerang pertugas.120 Dengan adanya peristiwa tersebut, Polisi sangat berhati-hati dalam melaksanakan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap narapidana. Mencermati persoalan tersebut, maka secara tidak langsung akan berdampak pada terhambatnya pelaksanaan fungsi penegakan hukum oleh penegak hukum khususnya Kepolisian karena terbatasnya ruang gerak dan peran penegak hukum sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto berikut ini : Seorang penegak hukum, sebagaimana halnya dengan warga masyarakat lainnya lazimnya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan sekaligus, maka dengan demikian, tidaklah mustahil bahwa berbagai kedudukan dan peranan timbul konflik (status conflict dan role conflict). Kalau di dalam kenyataannya terjadi suatu kesenjangan antara peranan yang seharusnya dengan peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan aktual, maka terjadi suatu kesenjangan peranan (role distance).121 Demi menjaga keamanan dan keselamatan serta kelancaran pelaksanaan penegakan hukum, maka segala tindakan yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika yang melibatkan narapidana dilakukan melalui koordinasi dengan pihak Lapas. Lapas akan membantu menemukan narapidana yang diduga terlibat dalam peredaran
120
Gede Suardana, 2011, Dirazia Narkoba, Napi LP Kerobokan Mengamuk, tersedia di website http://news.detik.com/read/2011/06/25/115359/1668459/10/dirazia-narkoba-napi-lpkerobokan-mengamuk?nd771104bcj, Serial Online tanggal 25 Juni 2011, diakses pada tanggal 5 Januari 2015. 121
Soerjono Soekanto I, op.cit, h. 21.
127
gelap narkotika melalui hasil sweeping atau razia dan pemeriksaan secara berkesinambungan, dengan tetap berkoordinasi dengan pihak Reserse Narkoba Polres Badung. Begitu juga sebaliknya, apabila Lapas menemukan bukti tentang adanya dugaan keterlibatan narapidana dalam peredaran gelap narkotika, pihaknya juga akan berkoordinasi dan melaporkan narapidana yang bersangkutan kepada Reserse Narkoba Polres Badung untuk diproses secara hukum. Dalam hal ini fungsi koordinasi sangatlah penting dalam proses penegakan hukum karena koordinasi adalah integrasi dari kegiatan-kegiatan individual dan unit-unit ke dalam satu usaha bersama untuk mencapai keharmonisan kerja dalam melakukan proses kegiatan ke arah tujuan bersama.122 Dalam hal penyidikan terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana, Penyidik Reserse Narkoba Polres Badung juga berkoordinasi dengan Penyidik BNN dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Tertentu (PPNS). Hal tersebut didasarkan atas ketentuan Pasal 84 dan Pasal 85 UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang secara tegas menyebutkan bahwa dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, penyidik Polri, BNN, dan Penyidik PPNS harus saling berkoordinasi satu sama lain. Mekanisme penegakan hukum pidana baik terhadap pelaku yang berstatus narapidana dalam peredaran gelap narkotika pada dasarnya sama dengan penegakan hukum terhadap warga sipil lain yang tidak ada dalam 122
MYC. Marbun, 2013, Bab II Kerangka Teori Tentang Koordinasi, tersedia di website http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35076/4/Chapter%20II.pdf, h. 1, diakses pada tanggal 4 Januari 2015.
128
naungan lembaga lain, hanya saja terhadap narapidana tidak dilakukan penahanan karena masih menjalani pidana di dalam penjara sehingga tidak perlu dilakukan penahanan lagi. Teknik penyidikan yang digunakan oleh Polres Badung selama ini, terdiri dari teknik penelurusan sarana komunikasi yang dilakukan untuk mengungkap peredaran gelap narkotika yang melibatkan narapidana, teknik undercover buy yaitu dengan pembelian secara terselubung (aparat berpura-pura menjadi pengguna), dan controled delivery yaitu dengan penyerahan narkotika yang diawasi oleh aparat. Tidak ada perjanjian kerjasama atau MoU (Memorandum of Understanding) yang secara khusus dimiliki oleh Polres Badung dengan pihak Lapas maupun Kemenkumham terkait dengan penegakan hukum terhadap peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana. MoU adalah “dokumen yang memuat saling pengertian di antara para pihak sebelum perjanjian dibuat, isi dari Memorandum of Understanding harus dimasukkan ke dalam kontrak sehingga ia mempunyai kekuatan mengikat”.123 Tidak adanya perjanjian kerjasama tersebut dikarenakan masing-masing pihak, baik Lapas dan Polres Badung sudah mengetahui fungsi, tugas, dan kewajibannya masing-masing apabila menemukan adanya indikasi atau dugaan peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana. Pihak Lapas akan melaporkan narapidana kepada Polres Badung apabila terbukti terlibat dalam peredaran gelap narkotika di kalangan, begitu juga sebaliknya Polres Badung akan menjalankan fungsi penegakan
123
H. Salim HS dkk, 2007, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta, h. 46.
129
hukumnya untuk memberantas peredaran gelap narkotika apabila ditemukan adanya dugaan peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana. Mencermati ketentuan dalam UU RI No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yang telah dikemukakan sebelumnya, Reserse Narkoba Polres Badung dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap narapidana khususnya di bidang penyidikan harus berkoordinasi terlebih dahulu kepada Kepala Lapas tempat narapidana yang bersangkutan menjalani pidana, dengan menunjukkan surat perintah penyidikan. Kegiatan penyidikan terhadap narapidana yang terlibat dalam kasus peredaran gelap narkotika dapat dilakukan di Lapas (ruangan tertentu yang sudah disediakan) maupun di Kantor Reserse Narkoba Polres Badung. Hal tersebut tergantung dari situasi, kondisi, serta kesepakatan kedua instansi, sehingga jangan sampai dalam pelaksanaan penegakan hukumnya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan dapat mengancam keselamatan aparat penegak hukum atau petugas Lapas. Narapidana yang dibawa ke luar Lapas untuk dilakukan pemeriksaan, harus terlebih dahulu dibuatkan “surat ijin pengebonan” oleh Polisi kepada Lapas sebagai bentuk ijin tertulis. Oleh karena itu, pelaksanaan penegakan hukum oleh Reserse Narkoba Polres Badung terhadap narapidana yang terlibat dalam kasus peredaran gelap narkotika membutuhkan pengurusan administrasi yang cukup rumit, sehingga hal tersebut mengharuskan pihaknya untuk sering mengurus administrasi surat menyurat kepada Lapas. Berdasarkan keseluruhan data yang telah dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa, saat ini peredaran gelap narkotika di kalangan
130
narapidana masih sering terjadi. Berbagai modus operandi canggih dan tradisional digunakan dalam peredarannya, sehingga dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak untuk mengungkap keterlibatan narapidana dalam peredaran gelap narkotika. Pengungkapan kasus peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana selama ini didasarkan atas dua laporan, yakni keterangan yang bersumber dari pengakuan kurir narkotika yang tertangkap dan laporan yang berasal dari Lapas. Penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika yang melibatkan narapidana memang tidaklah mudah karena pada dasarnya
sindikat
atau
jaringan
peredaran
gelap
narkotika
dalam
kenyataannya memiliki tingkatan organisasi dengan fungsi dan tugas yang berbeda. Solidnya organisasi sindikat narkotika dan kejahatannya yang sangat terselubung, menyebabkan peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana sangat
sulit
diungkap
dan
mengharuskan
aparat
penegak
hukum
membuktikan peredaran gelap narkotika yang dikendalikan oleh narapidana melalui pendalaman dari para pelaku yang tertangkap di luar (kurir narkotika). Pengakuan dari kurir-kurir narkotika yang tertangkap juga harus diselidiki lagi secara mendalam, karena laporan tersebut belum pasti kebenarannya. Informasi dari kurir narkotika yang dianggap berkompeten akan ditelusuri lebih lanjut oleh Reserse Narkoba Polres Badung, yang dalam pelaksanaannya harus melalui koordinasi terlebih dahulu dengan Lapas karena tidak mungkin bagi Polisi untuk bisa langsung masuk ke dalam Lapas tanpa koordinasi untuk melakukan penyelidikan maupun tindakan-tindakan hukum lain yang berkaitan dengan penyelidikan dan penyidikan seperti,
131
menggeledah atau menangkap narapidana yang diduga terlibat dalam kasus peredaran gelap narkotika. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak mudah untuk melakukan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana, sehingga ketidakmudahan tersebut berujung pada belum maksimalnya penegakan hukum yang dilakukan oleh Polres Badung terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana. Keterbatasan ruang gerak aparat penegak hukum khususnya Kepolisian yang disebabkan karena dalam pelaksanaannya Polisi harus berhadapan dengan kode etik profesi lembaga lain (Lapas), faktor keamanan dan keselamatan serta status narapidana yang merupakan warga binaan Lapas, secara langsung telah menyebabkan tidak maksimalnya pelaksanaan penegakan hukum, baik dalam hal penyelidikan maupun penyidikan. Sama halnya dengan Lapas yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari rangkaian proses penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana, belum mampu secara maksimal menjalankan fungsi pembinaannya kepada warga binaan pemasyarakatan karena terbukti masih banyak narapidana yang terlibat dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Belum maksimalnya penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana menunjukkan penurunan kemampuan hukum dalam menanggulangi kejahatan sebagaimana dikemukakan oleh Arbi Samit bahwa, penurunan kemampuan hukum untuk menanggulangi kejahatan terjadi karena struktur hukum dengan fungsi hukum tidak berkembang secara
132
paralel sehingga penegakan hukum cenderung melemah.124 Terhadap persoalan-persoalan yang selama ini menjadi penyebab tidak mudahnya pelaksanaan penegakan hukum oleh Kepolisian khususnya dalam hal penyelidikan dan penyidikan secara langsung akan berpengaruh pada efektivitas hukum karena merujuk pada teori efektivitas hukum yang diungkapkan oleh Paul dan Dias yang kemudian disempurnakan kembali oleh konsep efektivitas hukum oleh Derita Prapti Rahayu bahwa, agar suatu hukum itu efektif dan dapat mencapai sasarannya maka beberapa elemen dasar dalam hukum haruslah berjalan atau berfungsi dengan baik. Apabila salah satu elemen dasar hukum tersebut tidak berfungsi dengan baik maka otomatis hukum tidak dapat berlaku secara efektif. Penegakan hukum yang sungguh-sungguh, tidak memihak, dan fair sebagai salah satu elemen dasar yang dibutuhkan dalam rangka mengefektifkan hukum semestinya tetap digunakan sebagai dasar oleh Kepolisian dalam menanggulangi peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana. Bagaimanapun kondisinya, penegakan hukum haruslah tetap dilaksanakan apalagi jika pelakunya adalah seorang narapidana yang semestinya menjalani pembinaan namun justru terlibat dalam peredaran gelap narkotika. Begitu juga dengan Lapas, dimana untuk menanggulangi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana, Lapas dapat berpartisipasi aktif dalam hal pelaporan tentang adanya dugaan narapidana yang terlibat mengingat adanya keterbatasan ruang gerak yang dimiliki oleh Polisi dalam melaksanakan 124
Heri Tahir, 2010, Proses Hukum yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Laksbang, Yogyakarta, h. 97.
133
penegakan hukumnya baik dalam hal penyelidikan maupun penyidikan, atau tindakan hukum lain yang berkaitan dengan penyelidikan dan penyidikan. Mengacu pada apa yang telah dikemukakan oleh Joseph Goldstein dalam teori penegakan hukum pidana, dimana beliau membagi penegakan hukum pidana menjadi tiga bagian, yaitu total enforcement, full enforcement, dan actual enforcement. Dalam teorinya beliau membenarkan adanya keterbatasan-keterbatasan dalam penegakan hukum pidana yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti hukum pidana substantif, hukum acara pidana (aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan pendahuluan), keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alatalat investigasi, dana dan sebagainya. Seluruh keterbatasan tersebut secara langsung akan membatasi ruang gerak aparat penegak hukum dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana. Jika dikaitkan dengan permasalahan penegakan hukum oleh Polres Badung terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana selama ini, maka teori Joseph Goldstein relevan untuk menjawab persoalan mengenai keterbatasan ruang gerak yang dialami oleh Polres Badung ketika dihadapkan dengan kode etik profesi lembaga lain (Lapas), posisi narapidana di dalam Lapas, status narapidana sebagai warga binaan, kondisi dan keamanan di lingkungan narapidana, serta ketentuan penegakan hukum (khususnya penyidikan) yang harus diperhatikan dalam Pasal 17 UU RI No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, di samping keterbatasan dalam bentuk anggaran dan sarana pendukung. Untuk memaksimalkan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap
134
narkotika di kalangan narapidana maka koordinasi dan kerjasama antara Kepolisian dengan pihak Lapas memang sangat dibutuhkan karena bagi peneliti sendiri peran Lapas justru lebih besar dalam mengungkap peredaran gelap narkotika yang dilakukan oleh narapidana di dalam Lapas. Dalam hal ini, peneliti cenderung melihat peran Polisi lebih besar ketika mengungkap jaringan peredaran gelap narkotika yang dikendalikan oleh narapidana dari dalam Lapas yang tentunya diperoleh dari hasil pemeriksaan yang mendalam terhadap kurir-kurir narkotika yang tertangkap. Terlepas dari persoalan besar kecilnya peran penegak hukum dalam mengungkap peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana, hal yang penting untuk dikedepankan adalah bagaimana mencegah agar narapidana tidak terlibat dalam peredaran gelap narkotika dan bagaimana mencegah keberadaan narkotika di dalam Lapas. Penegakan hukum terhadap narapidana yang melakukan peredaran gelap narkotika sebenarnya mengandung unsur pencegahan, karena dengan dilakukan penegakan hukum terhadap para pelaku yang terlibat dengan sanksi yang tegas akan memberikan efek jera dan rasa takut bagi calon-calon pelaku narapidana yang lain. Akan tetapi, penegakan hukum terhadap narapidana tidak saja cukup untuk menekan atau menghentikan peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana, dimana penegakan hukum terhadap oknum-oknum aparat yang terlibat atau membantu kelancaran peredaran gelap narkotika harus ditindak dengan tegas sesuai dengan asas equality before the law. Di samping itu pula, upaya penegakan hukum harus juga didukung dengan upaya preventif lainnya
135
pemisahan blok antara narapidana pengedar dengan pengguna narkotika, dan pengetatan hak-hak narapidana. Pengetatan terhadap hak-hak narapidana perlu dilakukan karena terbukti masih ada beberapa pengunjung yang bermufakat dengan narapidana untuk memasukkan narkotika ke dalam Lapas, serta adanya fakta dimana narapidana yang setelah diberikan pembebasan bersyarat ternyata melakukan peredaran gelap narkotika di luar Lapas. Oleh karena itu, segala jenis upaya penanggulangan terhadap peredaran gelap narkotika
di
kalangan
narapidana
harus
terus
dioptimalkan
demi
mengefektifkan tujuan pembinaan serta memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana.
BAB IV KENDALA POLRES BADUNG DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DI KALANGAN NARAPIDANA DAN UPAYA YANG DILAKUKAN OLEH POLRES BADUNG UNTUK MENGOPTIMALKAN PENEGAKAN HUKUMNYA
4.1. Kendala yang Dialami Polres Badung Dalam Pelaksanaan Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Peredaran Gelap Narkotika di Kalangan Narapidana Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan interaksi antara berbagai pelaku manusia yang yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Berkenaan dengan hal tersebut, Hamid S. Attamimi dalam Siswanto Sunarso mengemukakan bahwa penegakan
“penegakan
norma-norma
hukum,
hukum pada hakikatnya adalah baik
yang
berfungsi
suruhan
(gebot,command) atau berfungsi lain seperti memberi kuasa (ermachtigen to empower),
membolehkan
(erlauban,
to
permit),
dan
menyimpangi
(derogieren, to derogate)”.125 Oleh karena itu, penegakan hukum tidak semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum, akan tetapi proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas karena dalam pelaksanaannya akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Penegakan
125
Siswanto Sunarso, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Siswanto Sunarso II), h. 42.
136
137
hukum merupakan suatu proses sosial yang tidak bersifat tertutup, tetapi bersifat terbuka sehingga banyak faktor yang akan mempengaruhinya. Masalah pokok penegakan hukum pada dasarnya terletak pada faktorfaktor yang mempengaruhinya. Soerjono Soekanto dalam konsep penegakan hukumnya menyebutkan bahwa ada lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas pendukung, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan (budaya hukum). Faktor-faktor yang dimaksud mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktorfaktor tersebut. Keberhasilan penegakan hukum juga sangat dipengaruhi oleh kelima faktor tersebut. Oleh karena itu, untuk mengetahui kendala-kendala yang dialami oleh Polres Badung dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana harus diuraikan terlebih dahulu faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukumnya. Kendala-kendala penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana juga tidak terlepas dari faktor kesadaran dan ketaatan hukum karena efektivitas dari suatu perundangundangan pada dasarnya dipengaruhi oleh kedua faktor tersebut. Sama halnya dalam penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana yang dalam pelaksanannya juga tidak terlepas dari faktor kesadaran dan ketaatan hukum baik masyarakat maupun penegak hukum atau institusi yang terkait dengan ruang lingkup UU Narkotika (terkait dengan
138
profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang, dan fungsi dari penegak hukum). Adapun kendala-kendala yang dialami oleh Polres Badung dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana dapat dilihat dari uraian masing-masing faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum serta faktor kesadaran dan ketaatan hukum berikut ini : 1. Faktor Hukum Hukum bukan merupakan suatu karya seni yang adanya hanya untuk dinikmati oleh orang-orang yang mengamatinya. Hukum juga bukan suatu hasil kebudayaan yang adanya hanya untuk menjadi bahan pengkajian secara logis-rasional. Hukum diciptakan untuk dijalankan. Scholten dalam Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa “hukum yang tidak pernah dijalankan, pada hakekatnya telah berhenti menjadi hukum”.126 Agar hukum itu berfungsi, maka hukum harus memenuhi syarat berlakunya hukum sebagai kaidah, yaitu : a. Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan. b. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif, dalam artian kaidah itu dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori 126
Satjipto Rahardjo, 1984, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, (selanjutnya disingkat Satjipto Rahardjo III), h. 69.
139
kekuasaan) atau kaidah tersebut berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat. c. Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.127 Mengenai keberlakuan hukum, Meuwissen dalam Munir Fuady, yang mempersyaratkan validitas suatu norma hukum dalam arti “keberlakuan” suatu kaidah hukum, jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Keberlakuan sosial atau faktual. Dalam hal ini, kaidah hukum tersebut dalam kenyataannya diterima dan diberlakukan oleh masyarakat umumnya, termasuk dengan menerima sanksi jika ada orang yang tidak menjalankannya. b. Keberlakuan yuridis. Dalam hal ini, aturan hukum tersebut dibuat melalui prosedur yang benar dan tidak bertentangan dengan peraturan lainnya, terutama dengan peraturan yang lebih tinggi. c. Keberlakuan moral. Dalam hal ini, agar valid maka kaidah hukum tersebut tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai moral, misalnya kaidah hukum tersebut tidak boleh melanggar hak asasi manusia (HAM) atau bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum alam.128
127
H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat H. Zainuddin Ali II), h. 94. 128
Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 124.
140
Pernyataan bahwa “hukum adalah produk politik” adalah benar jika didasarkan pada das sein dengan mengkonsepkan hukum sebagai UU. Faktanya, jika hukum dikonsepkan sebagai UU yang dibuat oleh lembaga legislatif, maka tidak seorang pun dapat membantah bahwa hukum adalah produk politik, sebab ia merupakan kristalisasi, formalisasi, atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaing, baik melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik yang terbesar.129 Faktor hukum dalam hal ini memberikan konstruksi pengertian hukum sebagai norma atau kaidah atau diistilahkan juga dengan substansi hukum. Hukum yang memenuhi syarat keberlakuan filosofis, sosiologis, dan yuridis akan menjadi salah satu indikator penentu dari penegakan hukum yang baik. Soerjono Soekanto membatasi pengertian hukum dalam lingkup UU saja, dimana beliau mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan UU dalam arti materiil adalah “peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah”.130 Dengan demikian, maka UU mencakup peraturan pusat yang berlaku untuk semua warga negara atau suatu golongan tertentu saja maupun yang berlaku umum di sebagian wilayah negara dan mencakup pula peraturan setempat yang hanya berlaku di suatu tempat atau daerah saja. Ada kalanya suatu produk hukum atau UU dalam penyusunannya tidak memperhatikan ketiga syarat 129
ideal yang telah ditentukan.
Moh. Mahmud MD, 2010, Politik Hukum di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cet III, h. 5. 130
Soerjono Soekanto I, op.cit, h. 12.
141
Keterampilan, kemampuan, dan sikap profesionalisme pembentuk UU harus lebih dikedepankan daripada kepentingan-kepentingan tertentu. Jika UU yang dibentuk sarat dengan kepentingan tertentu, maka dalam pelaksanannya akan timbul berbagai gejolak di masyarakat karena dianggap tidak mampu mengakomodasi kebutuhan hukum masyarakat. Bagi peneliti sendiri, untuk melaksanakan penegakan hukum harus dimulai dari pembentukan suatu produk hukum atau UU yang baik. Perumusan perbuatan secara jelas dan tepat dalam suatu perundangan menjadi penting, karena dalam negara yang menggunakan UU sebagai sumber hukum, tentu saja tidak terlepas dari penafsiran. Apabila UU tidak memberikan suatu definisi yang jelas, maka akan banyak sekali penafsiran yang dapat digunakan dan akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, dengan adanya produk hukum yang memenuhi syarat filosofis, sosiologis, dan yuridis akan mempermudah penerapannya di lapangan. Pada dasarnya UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika telah mencakup seluruh aspek kebutuhan hukum masyarakat. Isi atau substansi pengaturannya telah mengikuti perkembangan hukum di Indonesia saat ini yang semakin rawan dengan kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Namun ternyata ada beberapa ketentuan yang dapat digunakan sebagai celah bagi pelaku peredaran gelap narkotika untuk menghindari ancaman sanksi yang berat di dalam UU Narkotika seperti yang diungkapkan oleh Kanit I Reserse Polres Badung (Bapak Gusti Putu Suarjaya), yaitu adanya fakta mengenai trik yang dilakukan oleh pelaku
142
peredaran gelap narkotika, dimana agar tidak dijatuhi pidana yang berat beberapa pelaku peredaran gelap narkotika biasanya menggunakan akal mereka untuk mengurangi jumlah barang bukti narkotika yang ada dalam penguasaannya atau menghilangkan barang bukti. Pelaku peredaran gelap narkotika sudah mengetahui dan memahami unsur-unsur perbuatan serta ketentuan tentang ancaman sanksi pidana dalam UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pelaku sebisa mungkin akan melakukan berbagai cara untuk menghindari ancaman pidana yang berat, seperti pidana penjara seumur hidup atau pidana mati, karena UU Narkotika secara tegas telah menentukan kriteria perbuatan apa saja yang diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana mati. Hal tersebut juga dilakukan oleh pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana, dimana berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan mantan pengguna narkotika (inisial IGACP) yang pernah menjalani pidana di Lapas Kelas II A Denpasar mengungkapkan bahwa biasanya pelaku peredaran gelap narkotika di dalam penjara akan membagi-bagikan narkotika kepada rekan-rekan narapidananya yang lain, untuk mengurangi jumlah sediaan narkotika yang ada dalam penguasaan dirinya, karena selama ini dalam pelaksanaannya yang dijadikan patokan berat ringannya hukuman atau adalah berdasarkan atas jumlah barang bukti narkotika yang ada pada penguasaan si pelaku. Faktor hukum juga berpengaruh terhadap penyebab tidak mudahnya Polres Badung melakukan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran
143
gelap narkotika di kalangan narapidana, karena selama ini belum ada instrumen hukum maupun nota kesepahaman (MoU) yang menjembatani koordinasi atau kerjasama antara Lapas dan Kepolisian untuk melakukan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana. Baik instrumen hukum maupun MoU, sebenarnya sangat penting dimiliki oleh Lapas dan Kepolisian untuk mensinergikan pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana, agar tidak lagi “kode etik profesi” dijadikan sebuah alasan tidak mudahnya melakukan penegakan hukum terhadap para pelakunya, karena hal penting yang perlu ditanamkan dalam mind set penegak hukum sebenarnya adalah bagaimana aparat penegak hukum sebagai sub sistem sistem peradilan pidana bersama-sama berupaya untuk memerangi kejahatan. Di samping itu, hal penting yang perlu ditanamkan dalam pola pikir aparat penegak hukum adalah kejahatan peredaran gelap narkotika
merupakan
kejahatan
yang
masuk
ke
dalam
lingkup
transnational organized crime serta dapat mengancam human security dan masa depan bangsa, sehingga tidak ada toleransi bagi para pelaku yang terlibat dalam jaringan peredaran gelap narkotika. Oleh karena itu, penegakan hukum terhadap setiap pelaku kejahatan peredaran gelap narkotika harus tetap dilaksanakan tanpa terkecuali mengingat dampak dari keberadaan narkotika yang dapat mengancam keamanan dan keselamatan bangsa dan negara.
144
Berdasarkan uraian di atas, maka faktor hukum dapat dikatakan berpengaruh terhadap pelaksanaan penegakan hukum oleh Polres Badung terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana. Adanya ketentuan beberapa pasal tertentu dalam UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika mengenai kategori perbuatan serta pencantuman jumlah sediaan narkotika khususnya dalam pasal yang memuat tentang ancaman pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dimanfaatkan oleh pelaku peredaran gelap narkotika untuk menghindari ancaman sanksi pidana yang dimaksud. Di samping itu, belum adanya instrumen hukum maupun MoU menjadi kendala dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana, karena sampai dengan saat ini Polres Badung masih belum pernah sampai masuk langsung ke dalam Lapas untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan maupun tindakan hukum lain yang berkaitan dengan penyelidikan dan penyidikan. Oleh karena itu, faktor hukum dapat dikatakan sebagai faktor yang berpengaruh sekaligus menjadi kendala dalam pelaksanaan penegakan hukum oleh Polres Badung terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana. 2. Faktor Penegak Hukum Penegak hukum merupakan bagian dari elemen struktur hukum yang berfungsi sebagai penggerak substansi hukum (UU). Ruang lingkup dari istilah “penegak hukum” adalah luas sekali, karena mencakup mereka yang secara langsung dan tidak langsung berkecimpung di bidang
145
penegakan hukum. Namun, dalam hal ini yang dimaksudkan dengan penegak
hukum
dibatasi
pada
kalangan
yang
secara
langsung
berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement (penegakan hukum), akan tetapi juga peace maintenance (pemeliharaan perdamaian). Kalangan tersebut mencakup Polisi, Jaksa, Hakim, Pengacara, dan Lapas. Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran, di samping mampu membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Halangan-halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan oleh penegak hukum menurut Soerjono Soekanto, dapat berasal dari dirinya sendiri ataupun lingkungan. Halangan-halangan yang dimaksud yaitu, keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi, tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi, kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi, belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu terutama kebutuhan materiil, dan kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.131 Siswanto Sunarso mengemukakan
131
Soerjono Soekanto I, op.cit, h. 23.
146
bahwa ada tiga faktor yang menentukan sikap responsif penegak hukum, yakni : a. Faktor moral Jika moral diartikan sebagai sesuatu yang menyangkut mengenai baik buruknya manusia sebagai manusia, maka moralitas adalah keseluruhan norma, nilai, dan sikap moral seseorang atau sebuh masyarakat. Jadi,
moralitas adalah kompleksitas moral dalam
kehidupan manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Pada hakikatnya, baik moral maupun moralitas memiliki dua fungsi yaitu, sebagai standar normatif untuk melalukan evaluasi dan aturan-aturan normatif dalam berperilaku.132 Penilaian moral menuntut penilaian manusia sebagai manusia secara keseluruhan. Perilaku baik sebagai manusia inilah yang dimaksud dengan nilai (moral). Masalah etika dan moral perlu mendapat perhatian yang saksama untuk memberikan jiwa pada hukum dan penegaknya. Dalam rangka revitalisasi hukum untuk mendukung demokratisasi, maka masalah moral dan etika mendesak untuk ditingkatkan fungsi dan keberadaanya, karena saat ini aspek moral dan etika telah menghilang dari sistem hukum di Indonesia. Oleh karena itu perlu pengaturan yang komprehensif mengenai etika profesi di kalangan penegak hukum, menciptakan kemandirian kelembagaan, berfungsinya dewan/majelis kehormatan, yang kesemuanya ini untuk membangun profesionalisme. 132
Sidharta, 2006, Moralitas Profesi Hukum : Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, PT Refika Aditama, Bandung, h. 43.
147
b. Faktor keterampilan Penguasaan ilmu pengetahuan hukum dapat dikaji dengan pengetahuan sosiologis, sebab hakikat permasalahan penegakan hukum terhadap peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana adalah menyangkut masalah perilaku menyimpang. Faktor keterampilan yang profesional khususnya penguasaan teknik penyelidikan dan penyidikan berdasarkan UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika beserta peraturan perundang-undangan lainnya perlu ditingkatkan. Di samping kemampuan profesional, juga tidak kalah pentingnya adalah wujud (performance) aparat penegak hukum yang bersih dan berwibawa agar tidak menyalahgunakan wewenangnya. c. Faktor transparansi penegakan hukum Secara filosofis, kejahatan adalah produk dari masyarakat itu sendiri, maka penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana harus melibatkan peran serta masyarakat, sehingga dalam penegakan hukumnya akan tercapai suatu keadilan hukum. Sikap penegak hukum diukur dari seberapa jauh kemampuan aparat penegak hukum dapat merespon laporan masyarakat tentang kejahatan. Kemampuan memberikan informasi yang mudah dan transparan akan memberikan motivasi kepada masyarakat untuk meningkatkan peran serta masyarakat.133
133
Siswanto Sunarso I, op.cit, h, 97-98.
148
Merujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, bahwa halangan-halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan oleh penegak hukum dapat berasal dari dirinya sendiri ataupun lingkungan. Berkenaan dengan pendapat tersebut, bahwasannya halangan atau kendala yang dialami oleh Polres Badung khususnya Reserse Narkoba Polres Badung dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana berasal dari diri penegak hukum itu sendiri (keterbatasan kemampuan Polisi) dan juga lingkungan Lapas. Saat ini pengungkapan kasus peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana oleh Polres Badung sebagian besar didasarkan atas laporan dari pihak Lapas terkait adanya dugaan peredaran gelap narkotika yang melibatkan narapidana, sehingga intensitas pengungkapan dan penyelesaian kasus terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana oleh Polres Badung masih sedikit. Seperti yang sudah dipaparkan pada bab sebelumnya, ada banyak laporan dari kurir narkotika yang mengaku bahwa mereka adalah suruhan narapidana. Akan tetapi laporan tersebut tidak dapat ditindaklanjuti begitu saja mengingat narapidana berada di dalam Lapas. Di samping itu, faktor situasi, kondisi, dan kemananan di Lapas, serta kode etik profesi Lapas yang juga harus diperhatikan oleh Polres Badung, sehingga dalam hal ini Polisi tidak bisa langsung masuk ke dalam Lapas untuk langsung menyelidiki tentang adanya dugaan
149
peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana maupun menangkap narapidana yang diduga terlibat dalam peredaran gelap narkotika. Bagi peneliti sendiri, kendala lingkungan yang dalam hal ini adalah lingkungan Lapas tempat narapidana menjalani masa pidana, secara
tidak
langsung
menjadi
faktor
penyebab
keterbatasan
kemampuan dari aparat Polisi dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana. Seperti yang sudah diungkapkan dalam hasil wawancara pada bab sebelumnya dengan Kanit I Reserse Narkoba Polres Badung (Bapak Gusti Putu Suarjaya), bahwasannya menindaklanjuti laporan dari kurir narkotika tentang dugaan keterlibatan narapidana sebagai pelaku peredaran gelap narkotika tidak bisa dilakukan dengan terjun langsung ke dalam Lapas untuk mencari narapidana yang diduga terlibat, karena banyaknya blok hunian dan jumlah narapidana. Kondisi demikian jelas akan membatasi ruang gerak Polisi untuk melaksanakan penegakan hukum sehingga akan berpengaruh juga pada keterbatasan kemampuan Polisi untuk mengungkap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana. Di samping itu, dalam kenyataannya perkembangan IPTEK yang menjadi penyebab canggihnya modus operandi peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana menyebabkan penegakan hukum tidak berjalan maksimal, seperti apa yang dikemukakan oleh Romli Atmasasmita,
yaitu
“kecepatan
pertumbuhan
teknologi
yang
meningkatkan kecanggihan modus operandi kejahatan belum dapat
150
diikuti dengan memadai pihak Kepolisian”.134 Jadi, dalam hal ini keterbatasan kemampuan Polisi tidak diakibatkan karena keterbatasan inovasi dalam hal mengungkap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana, akan tetapi justru lebih banyak dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di
lingkungan narapidana serta pesatnya
perkembangan IPTEK karena selama ini Polres Badung khususnya Reserse Narkoba Polres Badung terus mengembangkan strategi atau cara-cara baru dalam mengungkap pelaku peredaran gelap narkotika khususnya di kalangan narapidana. Meskipun dalam kenyataannya penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika masih dirasakan cukup sulit oleh aparat penegak hukum, upaya untuk memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap keberadaan narkotika di kalangan narapidana harus terus dioptimalkan. Namun bagi peneliti sendiri, peredaran gelap narkotika tidak cukup diberantas dengan melaksanakan penegakan hukum terhadap para pelakunya, akan tetapi harus diupayakan hal-hal lain yang dapat mencegah keberadaan narkotika itu sendiri. Kesadaran dan ketaatan hukum, baik aparat penegak hukum (kepolisian) dan petugas Lapas akan dampak dari peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana harus lebih ditingkatkan. Masing-masing lembaga harus menghilangkan egosentrisme masing-masing karena Sistem Peradilan Pidana terpadu (integrated 134
Romli Atmasasmita, 2007, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung (selanjutnya disingkat Romli Atmasasmita II), h. 118.
151
criminal justice system) menghendaki adanya hubungan yang harmonis antar lembaga penegak hukum dalam menanggulangi kejahatan. Di samping itu, apabila ada oknum-oknum petugas Lapas atau Rutan yang terlibat dalam kelancaran peredaran gelap narkotika harus ditindak dengan tegas sesuai dengan asas equality before the law (persamaan dihadapan hukum) dan jangan sampai ada pembiaran. Keterlibatan oknum petugas dalam peredaran gelap narkotika sangat bertentangan dengan etika dan moral profesi hukum di Indonesia, karena seperti yang kita ketahui bahwa etika moral berkenaan dengan kebiasaan berperilaku baik dan benar berdasarkan kodrat manusia dan apabila etika ini dilanggar, maka timbullah kejahatan, yaitu perbuatan yang tidak baik dan tidak benar.135 Oleh karena itu, dalam hal ini faktor penegak hukum berpengaruh dalam pelaksanaan penegakan hukum oleh Polres Badung terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana sekaligus merupakan kendala dalam pelaksanan penegakan hukumnya. 3. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung Sarana atau fasilitas pendukung secara sederhana diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat dipakai dalam mencapai maksud atau tujuan, sedangkan prasarana adalah perangkat penunjang utama suatu proses kegiatan agar tujuan dapat tercapai. Ruang lingkup fasilitas pendukung yang utama adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Fasilitas pendukung mencangkup tenaga manusia yang berpendidikan dan
135
Supriadi, op.cit, h. 9.
152
terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan sebagainya. Jika fasilitas pendukung tidak terpenuhi maka mustahil penegakan hukum akan mecapai tujuannya. Kepastian dan kecepatan penyelesaian perkara tergantung pada fasilitas pendukung yang ada dalam bidang pencegahan dan pemberantasan kejahatan. Tanpa adanya sarana atau fasilitas pendukung yang memadai, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Faktor sarana dan prasarana harus memperhatikan jumlah, kualitas, fungsi, dan pemanfaataannya. Peningkatan teknologi deteksi kriminalitas, mempunyai peranan yang sangat penting bagi kepastian dan penanganan perkaraperkara pidana, sehingga tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual di lapangan. Pemeliharaan terhadap sarana yang sudah ada juga memegang peran yang sangat penting. Memang sering terjadi bahwa, ketika peraturan sudah siap untuk difungsikan padahal fasilitas atau sarananya belum tersedia dengan lengkap. Peraturan yang semula bertujuan untuk memperlancar proses, justru tidak berjalan efektif. Ada baiknya apabila pada saat hendak menerapkan suatu peraturan secara resmi harus dipikirkan mengenai sarana yang berpatokan kepada : a. Apa yang sudah ada dipelihara terus agar setiap saat berfungsi. b. Apa yang belum ada, perlu diadakan dengan memperhitungkan jangka waktu pengadaannya. c. Apa yang kurang perlu dilengkapi.
153
d. Apa yang telah rusak diperbaiki atau diganti. e. Apa yang macet, dilancarkan. f. Apa yang telah mundur, ditingkatkan.136 Adanya keterbatasan dana operasional yang dialami oleh Polres Badung khususnya oleh Satuan Reserse Narkoba dalam hal pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan menjadi kendala dalam penegakan hukum terhadap peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana. Jaringan peredaran gelap narkotika yang tertutup dan tertutup mutlak memerlukan proses penyelidikan yang panjang. Proses tersebut dilakukan sejak pengintaian sampai
menemukan
barang
bukti.
Proses
ini tentu
membutuhkan dana yang cukup besar, namun dana tersebut sangat terbatas. Selama ini dana yang digunakan berasal dari dana yang sifatnya membantu, padahal pengungkapan kasus membutuhkan dana untuk membayar mata-mata, akomodasi, transportasi, hingga membeli narkotika (dalam penyamaran sebagai pengguna). Berkenaan dengan hal tersebut, Kanit I Reserse Narkoba Polres Badung (Bapak I Gusti Ngurah Suarjaya) dalam wawancaranya mengemukakan bahwa pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika merupakan sebuah pekerjaan yang berbasis anggaran. Akibat modus operandi peredaran gelap narkotika yang semakin canggih, mengharuskan Polisi untuk melakukan penyelidikan yang mendalam dan menghabiskan waktu yang lama, baik terhadap pelaku peredaran gelap narkotika yang dilakukan oleh warga sipil
136
H. Zainuddin Ali II, op.cit, h. 96.
154
maupun narapidana sehingga diperlukan anggaran dana operasional yang lebih untuk mendukung pelaksanaan penegakan hukum terhadap peredaran gelap narkotika. Dalam pelaksanaan penegakan hukum oleh Polres Badung khususnya dalam mengungkap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana yang menggunakan modus operandi tinggi dan canggih, tidak didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai untuk membongkar kegiatan para pelakunya. Sarana dan prasarana yang dimaksud adalah detektor yang dapat mengetahui keberadaan narkotika dan alat sadap telepon. Padahal keberadaan alat-alat tersebut sangat dibutuhkan oleh aparat penegak hukum khususnya Polisi untuk mengungkap
jaringan
peredaran
gelap
narkotika.
Terlepas
dari
keterbatasan sarana dan fasilitas pendukung yang dialami oleh Polisi, keterbatasan sarana atau fasilitas pendukung juga dialami oleh Lapas dalam menanggulangi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana. Sejauh ini, tidak seluruh Lapas dalam pelaksanaan tugasnya dilengkapi dengan alat yang mampu mendeteksi keberadaan narkotika karena mengingat beberapa kasus-kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika oleh narapidana dilakukan di dalam Lapas. Barang-barang kiriman seperti pakaian, makanan, minuman, dan sebagainya yang masuk ke dalam Lapas sebagian besar masih diperiksa dengan cara manual dan tidak dilengkapi dengan peralatan seperti X-Ray. Oleh karena itu, faktor sarana atau fasilitas pendukung merupakan faktor
155
yang berpengaruh terhadap penegakan terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana sekaligus menjadi kendala dalam pelaksanaan penegakan hukum oleh Polres Badung. 4. Faktor Masyarakat Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh sebab itu, masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum dimana peraturan hukum berlaku atau diterapkan. Bagian terpenting dari masyarakat yang menentukan penegakan hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Kesadaran hukum masyarakat yang dimaksud yaitu, adanya pengetahuan tentang hukum, adanya penghayatan fungsi hukum, dan adanya ketaatan terhadap hukum.137 Jika warga tidak taat pada hukum yang ditujukan untuk melindungi sesama warga dari pelanggaran atas kehidupan dan kepemilikan mereka, ini berarti negara gagal untuk mewujudkan fungsinya, yakni fungsi “perlindungan warga dari negara” dan fungsi “perlindungan warga dari warga lainnya” sehingga ada betulnya untuk melihat juga kepatuhan warga pada hukum ketika mencoba mengukur elemen-elemen negara gukum yang ditujukan untuk menjunjung fungsi dari dua negara negara hukum yang dimaksud.138
137
138
Derita Prapti Rahayu, op.cit, h. 44-45.
Adriaan Bedner, 2011, “Suatu Pendekatan Elementer Terhadap Hukum” dalam Myrna A. Safitri dkk (ed) : Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif : Urgensi dan Kritik, Epistema Institute dan Perkumpulan Untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA), Jakarta, h. 152.
156
Peran serta masyarakat adalah peran aktif masyarakat untuk mewujudkan upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk memberantas peredaran gelap narkotika, karena tanpa dukungan masyarakat maka segala usaha, upaya, dan kegiatan penegakan hukum akan mengalami kegagalan. Disinilah pentingnya mengubah sikap tingkah laku dan kepedulian masyarakat terhadap penanggulangan peredaran gelap narkotika. Di dalam Pasal 104 UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika disebutkan bahwa “masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika”. Kemudian di dalam Pasal 105 juga disebutkan bahwa “ masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika”. Bagi setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan tindak pidana narkotika sebagaimana yang telah ditentukan dalam UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, akan dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 131 yaitu, “setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1) Pasal 128 ayat (1) dan Pasal 129 dipidana
157
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)”. Hak masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika diwujudkan dalam bentuk : 1. Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika. 2. Memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika kepada penegak hukum atau BNN yang menangangi perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika. 3. Menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika. 4. Memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum atau BNN. 5. Memperoleh perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan melaksanakan haknya atau diminta hadir dalam proses peradilan. Pasal 107 UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menyebutkan bahwa “masyarakat dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang atau BNN jika mengetahui adanya penyalahgunaan atau peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika”. Dalam pemahaman umum, laporan atau pengaduan adalah tindakan seseorang untuk
158
memberitahukan kepada setiap yang lebih berhak akan adanya suatu persitiwa, dengan pemberitahuan itu diharapkan akan ada tindakan terhadap peristiwa yang dilaporkan atau diadukan. Pasal 1 angka 24 KUHAP menyebutkan bahwa laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena atau kewajiban berdasarkan UU kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadi peristiwa pidana. Partisipasi masyarakat dalam hal pelaporan adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika adalah sangat penting demi tercapainya kemanfaatan hukum sehingga dapat dicapai efektivitas hukum. Penegakan hukum yang optimal juga memerlukan kesadaran hukum dan kesadaran moral dari masyarakat. Pihak pelapor yang telah melaporkan tentang terjadinya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, perlu mendapat jaminan keamanan dan perlindungan dari pihak penegak hukum, karena melaporkan suatu jaringan tindak pidana narkotika merupakan suatu kegiatan yang mengandung resiko serta dapat mengancam jiwa dan raga pihak pelapor. Oleh karena itu, pihak pelapor harus mendapatkan jaminan keamanan. Keamanan yang berasal dari kata “aman” memberikan makna terbebas dari perasaan takut dari gangguan baik fisik dan psikis, adanya rasa kepastian dan bebas dari kekhawatiran, keragu-raguan, ketakutan, perasaan dilindungi dari segala macam bahaya dan perasaan kedamaian, ketenteraman lahiriah dan bathiniah. Perlindungan hukum terhadap pelapor berdasarkan Pasal 35 PP RI No. 40 Tahun 2013 Tentang
159
Pelaksanaan UU No. 35 Tahun 2009 wajib diberikan oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa atau hartanya, baik sebelum,
selama,
maupun
sesudah
proses
pemeriksaan
perkara.
Perlindungan sebagaimana dimaksud dapat diberikan dalam bentuk : 1. Pengamanan terhadap diri pribadi, keluarganya, dan hartanya. 2. Kerahasiaan identitas saksidan pelapor. 3. Pemberian keterangan saksi dan pelapor dalam proses pemeriksaan tanpa bertatap muka dengan tersangka atau terdakwa. Bagian terpenting dari masyarakat yang menentukan penegakan hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Kesadaran hukum masyarakat yang dimaksud yaitu, adanya pengetahuan tentang hukum, adanya penghayatan fungsi hukum, dan adanya ketaatan terhadap hukum.139 Muladi dalam Siswanto Sunarso mengemukakan bahwa peran serta masyarakat dalam proses penegakan hukum yang bersifat demokratis memiliki beberapa indikator kinerjanya, yaitu : 1. Adanya prinsip keterbukaan informasi serta aturan-aturan yang mengatur tentang kebebasan informasi (freedom of information act) termasuk aturan pengecualian sepanjang berkaitan dengan masalah keamanan nsional, catatan penegak huku, dan sebagainya.
139
Derita Prapti Rahayu, op.cit, h. 45.
160
2. Adanya jaminan ketaataan penguasa terhadap prinsip kedaulatan hukum atas dasar prinsip equality before the law. 3. Ditegakkannya asas kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggungjawab. 4. Adanya jaminan yang luas bagi warga negara untuk memperoleh keadilan (access to justice). 5. Diperlukan perundang-undangan yang demokratis dan aspiratif. 6. Adanya sarana dan prasarana yang memadai.140 Mencermati uraian di atas, maka peran serta masyarakat sangatlah penting dalam penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Sebagian masyarakat menganggap bahwa pelaporan terhadap adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika adalah sebuah kewajiban yang bisa dilakukan atau tidak dilakukan. Kurangnya pemahaman masyarakat akan pentingnya pelaporan atau informasi kepada pihak yang berwajib juga menjadi penyebab enggannya masyarakat berpartisipasi dalam memberikan laporan atau informasi terhadap adanya dugaan terjadinya peredaran gelap narkotika. Dalam kenyataannya ada faktor lain yang menyebabkan kurangnya partisipasi masyarakat, yaitu perasaan takut masyarakat untuk melaporkan adanya dugaan peredaran gelap narkotika di sekitarnya. Bagi peneliti sendiri, hal tersebut adalah wajar karena selama ini jaminan perlindungan hukum dan keselamatan pihak pelapor dirasakan tidak memadai oleh masyarakat. Terkadang ada juga
140
Siswanto Sunarso I, op.cit, h. 137.
161
masyarakat yang melaporkan akan tetapi tidak ingin dijadikan saksi, karena alasan takut akan akibat yang ditimbulkan nantinya. Bentuk-bentuk jaminan perlindungan hukum dan keamanan secara normatif belum diatur secara jelas oleh UU. Namun demikian, kenyataannya perlindungan itu sering dilakukan oleh petugas penegak hukum tapi hanya bersifat temporer. Pada dasarnya PP RI No. 40 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika telah mengatur secara tegas mengenai perlindungan hukum terhadap saksi atau pelapor, dimana dalam PP tersebut disebutkan bahwa negara wajib memberikan perlindungan yang dalam hal ini dilakukan oleh pejabat Polri. Di samping itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU RI No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban)
sebenarnya
juga
telah
mengakomodasi
tentang
jaminan
perlindungan hukum terhadap masyarakat yang melaporkan terjadinya peristiwa pidana melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), namun kenyataannya perasaan “takut” dalam diri masyarakat masih ada. Hal tersebut bisa saja disebabkan oleh kurangnya sosialisasi UU Tentang Perlindungan Saksi dan Korban atau PP RI No. 40 Tahun 2013 di masyarakat, serta peran LPSK atau negara (Polri) yang belum memadai dalam menjamin keamanan dan perlindungan terhadap pelapor. Sama halnya dengan peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana, partisipasi masyarakat luar dalam hal pelaporan sangat minim, karena yang dianggap paling mengetahui terjadinya peristiwa peredaran
162
gelap narkotika di kalangan narapidana adalah pihak Lapas sendiri, sehingga dalam hal ini Lapaslah yang memegang peran penting dalam hal pelaporan terhadap adanya dugaan peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana. Partisipasi Lapas dalam hal pelaporan kepada pihak yang berwajib tentang adanya dugaan peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana sudah berjalan cukup baik. Merujuk pada bab pembahasan sebelumnya tentang kasus peredaran gelap narkotika yang ditangani oleh Polres Badung, bahwa laporan tentang adanya dugaan keterlibatan narapidana dalam peredaran gelap narkotika selama ini juga didapatkan dari pengakuan kurir narkotika yang tertangkap meskipun tidak semua pengakuan tersebut ditindaklanjuti kebenarannya. Oleh karena itu, dapat peneliti simpulkan bahwa partisipasi masyarakat umum terhadap dugaan peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana masih sangat minim, bahkan kecil pengaruhnya terhadap penegakan hukum oleh Polres Badung karena pihak yang lebih berperan dalam hal laporan tentang adanya dugaan keterlibatan narapidana dalam peredaran gelap narkotika adalah Lapas dan kurir-kurir narkotika yang tertangkap di luar. 5. Faktor Kebudayaan Kebudayaan pada hakikatnya merupakan buah budidaya, cipta, rasa, dan karsa manusia dimana suatu kelompok masyarakat berada. Dengan demikian, maka kebudayaan di dalamnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, dimana nilai-nilai tersebut merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga
163
dituruti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).141 Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa “kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilainilai yang merupakan konsepsi-konsepsi asbtrak mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan.142 Oleh karena itu, faktor kebudayaan yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah mengenai faktor “budaya hukum”. Budaya hukum adalah nilai-nilai dan sikap-sikap yang berkaitan dengan hukum, yang menentukan kapan, mengapa, dan bagaimana masyarakat mematuhi atau menolak hukum, menentukan struktur hukum apa yang digunakan dan apa alasannya, peraturan hukum apa yang dipilih untuk diterapkan dan dikesampingkan serta apa alasannya. Budaya hukum merupakan gagasan, sikap-sikap, harapan, dan opini-opini tentang hukum yang dipertahankan oleh warga masyarakat. Budaya hukum adalah tidak lain dari keseluruhan sikap dari warga masyarakat dan sistem nilai-nilai yang ada dalam masyarakat yang akan menentukan bagaimana seharusnya hukum itu berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Budaya hukum (legal culture) yang merupakan bagian dari sistem hukum, diartikan sebagai sikap publik atau nilai-nilai komitmen moral dan kesadaran yang mendorong bekerjanya sistem hukum, atau keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat 141
Derita Prapti Rahayu, op.cit, h. 46.
142
Soerjono Soekanto I, op.cit, h. 59.
164
yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat. Kultur hukum atau budaya hukum merupakan salah satu komponen untuk memahami bekerjanya sistem hukum sebagai suatu proses, dimana budaya hukum berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku seluruh warga masyarakat. Tanpa didukung oleh budaya hukum yang kondusif, niscaya suatu peraturan atau hukum dapat direalisasikan sebagaimana diharapkan baik oleh pembuat hukum maupun masyarakat sebagai sasaran dari hukum.143 Satjipto Rahardjo dalam Erman Suparman mengemukakan bahwa, budaya hukum adalah “keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum, yang tidak sekedar himpunan fragmen-fragmen tingkah laku dan pemikiran saling terlepas akan tetapi diartikan sebagai keseluruhan nilai sosial yang berhubungan dengan hukum berikut sikap yang mempengaruhi hukum”.144 Budaya hukum dapat digunakan untuk memahami perilaku masyarakat baik pada tataran pembuat peraturan, penerap sanksi, dan pemegang peran, oleh karena itu budaya hukum dapat dibedakan menjadi menjadi dua kelompok yaitu, internal legal culture (budaya hukum penegak hukum) dan external legal culture (budaya hukum masyarakat). Budaya hukum penegak hukum dengan budaya hukum masyarakat adalah
143
Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru Utama, Semarang, h. 30 144
Erman Suparman, 2004, Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Hukum, Tatanusa, Jakarta, h. 19.
165
berbeda sebagaimana dikemukakan oleh Derita Prapti Rahayu.145 Secara garis besarnya, penegak hukum memiliki budaya hukum yang berdasar atas legitimasi sebagai wujud dari kekuasaan sehingga karena itulah penegak hukum menjalankan tugasnya. Legitimasi sebenarnya bersumber dari kehendak masyarakat melalui proses legislasi, jadi seharusnya tidak berbeda antara budaya hukum penegak hukum dengan budaya hukum masyarakat. Akan tetapi dalam kenyataannya berbeda, karena budaya hukum masyarakat cenderung kompleks dan dinamis. Di samping itu, pemahaman masyarakat terhadap hukum tidak hanya didasarkan atas legitimasi saja, melainkan sangat beragam. Segala peraturan yang berlaku di masyarakat adalah hukum. Pembahasan faktor budaya hukum pada penelitian ini lebih diarahkan pada budaya hukum masyarakat, karena budaya hukum masyarakat dalam memahami hukum tentang narkotika khususnya UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika masih kurang. Bali sebagai daerah tujuan wisata dalam perkembangannya mengalami globalisasi dan modernisasi yang cukup pesat, baik dalam hal gaya hidup, teknologi, pergaulan, dan lain-lain. Modernisasi dan globalisasi yang dialami oleh masyarakat Bali menyebabkan mudahnya akses masuk narkotika. Banyak masyarakat yang salah memilih pergaulan sehingga terjerumus ke dalam tindakan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Dalam hal ini
145
Derita Prapti Rahayu, op.cit, h. 93.
166
budaya hukum masyarakat akan bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika belum dimaknai dengan sungguh-sungguh. Larangan terhadap penggunaan dan peredaran narkotika secara tanpa hak atau melawan hukum sebenarnya secara tegas telah diatur dalam UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Akan tetapi, masih saja ada masyarakat yang tidak mengindahkan atau melaksanakan aturan-aturan yang sudah ditetapkan. Khusus mengenai peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana yang terjadi di dalam Lapas, keterlibatan pengunjung yang mencoba menyelundupkan narkotika ke dalam Lapas atau oknum petugas adalah bukti bahwa budaya hukum masyarakat saat ini masih sangat kurang. Perilaku seperti ini cenderung akan mengganggu pelaksanaan fungsi pembinaan terhadap narapidana di dalam Lapas. Oleh karena itu, meskipun unsur substansi dan struktur hukum memadai, tetap tidak dapat berlangsung secara efektif apabila tidak didukung oleh kesadaran dan ketaatan hukum. Kesadaran dan ketaatan hukum seseorang terhadap hukum merupakan indikator efektifnya hukum, karena kedua unsur tersebut sangat menentukan efektif atau tidaknya pelaksanaan hukum dan perundangundangan di dalam masyarakat. Terkadang ada masyarakat yang sadar akan hukum, namun belum tentu ia taat pada aturan hukum tersebut. Perilaku manusia sebagai respon terhadap suatu ketentuan hukum dapat berwujud ketaatan dan ketidaktaatan. Ketaatan meliputi unsur yang tidak disadari dan yang disadari, sedangkan ketidaktaatan meliputi ketidaktaatan
167
ringan (biasanya dalam bentuk perilaku pasif) dan ketidaktaatan berat (biasanya dalam bentuk perilaku aktif).146 Jadi, dampak dari ketentuan hukum, bukan sekedar berupa ketaatan, sebab dampak merupakan efek total darin suatu ketentuan hukum terhadap perilaku manusia, baik perilaku positif maupun perilaku negatif. Oleh karena itu, budaya hukum masyarakat juga berpengaruh terhadap pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana. Kendala dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana juga terletak pada faktor “kegagalan sistem” di Indonesia. Sistem peradilan pidana di Indonesia belum sepenuhnya mengarah pada sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Dalam artian belum ada keterpaduan di dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pokoknya sebagai penegak hukum. Kepolisian dan Lapas yang merupakan bagian dari sub sistem peradilan pidana di Indonesia masih belum memahami hakikat dan tujuan dari sistem peradilan pidana itu sendiri, terbukti dengan masih kentalnya persoalan kode etik profesi yang notabene menjadi sarana untuk mencegah adanya campur tangan pihak lain. Kegagalan sistem peradilan pidana tersebut menunjukkan bahwa belum ada kesamaan visi, misi, dan komitmen dalam memberantas secara tuntas peredaran gelap narkotika khususnya di kalangan narapidana. Berkenaan dengan tujuan sistem peradilan pidana, Romli Atmasasmita mengemukakan bahwa “tujuan 146
Achmad Ali, op.cit, h. 158.
168
sistem peradilan pidana yaitu mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan,
menyelesaikan kasus kejahatan
yang terjadi sehingga
masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya”.147 Selanjutnya terkait dengan tujuan sistem peradilan pidana, Mardjono dalam Romli Atmasamita mengemukakan bahwa “sistem peradilan pidana (criminal justice
system)
menanggulangi
adalah
sistem
kejahatan.
dalam
suatu
Menanggulangi
masyarakat diartikan
untuk sebagai
mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat”.148 Beroperasinya sistem peradilan pidana yang adil dan layak (due process ow law) di dalam sebuah negara hukum merupakan indikator terpenting untuk mengukur sejauhmana penghormatan negara terhadap hak-hak warga negaranya dan pelaksanaan konsep negara hukum itu sendiri. Dalam hal ini negara dianggap telah gagal dalam mempertahankan integritas sistem hukumnya secara keseluruhan. Muladi menegaskan bahwa makna integrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang terdiri dari : 1. Sinkronisasi
struktural
(structural
syncronization),
adalah
keserempakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum. 147
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana : Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bina Cipta, Bandung, (selanjutnya disingkat Romli Atmasamita III), h. 15. 148
Ibid.
169
2. Sinkronisasi
substansial
(substantial
syncronization),
adalah
keserempakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif. 3. Sinkronisasi kultural (cultural syncronization), adalah keserempakan dan keselerasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap, dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana. Berkenaan dengan tiga sinkronisasi yang diperlukan dalam sistem peradilan pidana terpadu sebagaimana dikemukakan oleh Muladi, maka sinkronisasi tidak hanya terbatas pada keselarasan antara masing-masing penegak hukum, akan tetapi mencakup juga keselarasan dalam hal substansi (hukum positif) serta budaya hukum. Sebuah sistem hukum akan berjalan dengan baik apabila semua unsur sistem hukum baik substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum berfungsi sebagaimana mestinya karena sistem hukum secara langsung akan berpengaruh terhadap efektivitas
penegakan
hukum
itu
sendiri.
Begitu
juga
dengan
pemberantasan terhadap peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana, yang pada dasarnya sangat membutuhkan penegakan hukum yang sungguh-sungguh dan responsif terhadap narapidana yang terlibat. Untuk mewujudkan penegakan hukum yang sungguh-sungguh dan responsif, maka tentu sangat dibutuhkan adanya aturan hukum yang baik (tidak ada norma konflik, norma kosong, atau norma kabur), penegak hukum yang
170
profesional dan terampil, serta budaya hukum (baik masyarakat maupun penegak hukum) yang menunjung tinggi supremasi hukum.
4.2. Upaya Polres Badung Dalam Mengoptimalkan Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Peredaran Gelap Narkotika Khususnya di Kalangan Narapidana Peredaran gelap narkotika merupakan jenis social pathology (patologi sosial) yang serius, sebab kejahatan ini telah menjangkau seluruh lapisan masyarakat luas dari berbagai kalangan, usia, dan profesi. Konsistensi penegakan hukum terhadap kejahatan ini perlu ditingkatkan, apalagi jika pelaku peredaran gelapnya melibatkan narapidana yang sedang menjalani masa pidananya di dalam Lapas. Keberadaan pelaku peredaran gelap narkotika di dalam Lapas akan merusak sistem pemasyarakatan yang selama ini bertujuan untuk membina narapidana agar kembali menjadi warga yang masyarakat yang baik. Dalam hal ini penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana perlu ditindak secara tegas agar narapidana yang lainnya tidak terkontaminasi atau ikut serta dalam peredaran gelap narkotika. Bagi peneliti sendiri, optimalisasi penegakan hukum oleh pihak Kepolisian khususnya Polres Badung dirasa sangat perlu dalam rangka memberantas secara tuntas peredaran gelap narkotika. Merujuk pada pendapat yang telah dikemukakan oleh G.P Hoefnagels dalam Barda Nawawi Arief, bahwa penegakan hukum adalah bagian integral dari upaya penanggulangan kejahatan dengan sarana pidana. Penegakan hukum dilaksanakan dalam rangka mengefektifkan
171
hukum atau perundang-undangan, karena di dalam pelaksanaan penegakan hukum, peran sanksi lebih difungsikan dalam memberantas kejahatan. Secara praktis, penegakan hukum memiliki beberapa arti penting baik bagi negara, bagi pembangunan nasional, bagi pelaku dan bagi korban, sehingga pelaksanaannya harus terus dioptimalkan. Adapun penjelasan arti penting penegakan hukum yang dimaksud yaitu sebagai berikut : 1. Penegakan hukum bagi negara Penegakan hukum bertujuan untuk mencapai tujuan hukum dari suatu negara. Melalui penegakan hukum, diharapkan tujuan hukum dapat tercapai sehingga dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Adapun fungsi hukum dapat dibedakan menjadi dua bagian yakni fungsi hukum secara klasik yang meliputi keadilan dan ketertiban serta fungsi hukum secara modern yaitu sebagai sarana pembaruan masyarakat.149 Kedua fungsi hukum tersebut saling bersinergi dalam kultur dan arah berhukum bagi masyarakat. 2. Penegakan hukum bagi pembangunan nasional Penegakan hukum memiliki esensi penting dalam memajukan pembanguna nasional. Muladi sebagaimana dikutip oleh Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom menjelaskan bahwa hubungan antara penegakan hukum dengan dengan pembangunan nasional dimana tujuan akhir dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, 149
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 12.
172
penegakan hukum pidana yang merupakan bagian dari politik kriminal, pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan hukum untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (politik sosial). Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan kebijakan untuk mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat, maka wajarlah apabila usaha penanggulangan kejahatan (termasuk usaha penegakan hukum pidana) merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional.150 3. Penegakan hukum sebagai bentuk perlindungan bagi pelaku Penegakan hukum bagi kepentingan pelaku memiliki arti penting dalam hal menjamin hak-hak tersangka atau terdakwa dalam setiap proses hukum yang dijalaninya serta mengubah perilaku jahat dari warga binaan melalui pemidanaan (apabila dijatuhi pidana penjara) terhadapnya. Dipidananya pelaku didasarkan atas dasar-dasar pembenar dari teori-teori pemidanaan, sehingga dengan dipidananya pelaku diharapkan ia dapat menyadari kesalahannya dan merasa jera. 4. Penegakan hukum sebagai bentuk perlindungan bagi korban Dilakukannya
penegakan
hukum
oleh
penegak
hukum
dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap korban, baik dengan pemberian restitusi, kompensasi, bantuan tenaga ahli, dan pelayanan medis. Di samping itu, korban juga memiliki peran strategis
150
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, op.cit, h. 8-9.
173
dalam penegakan hukum, dimana pelaporan korban akan menjadi langkah awal dari setiap pengungkapan kasus. Tidak dapat dipungkiri bahwasannya tindakan operasional aparat penegak hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di lapangan menunjukkan peningkatan frekuensinya, akan tetapi belum mampu menunurunkan intensitas kejahatan tersebut. Secara spesifik, penegakan hukum dengan menitikberatkan pada sanksi pidana adalah salah satu sarana yang paling aktif dipergunakan untuk menanggulangi kejahatan, meskipun sanksi pidana bukan satu-satunya sarana yang paling efektif, sehingga dibutuhkanlah upaya-upaya untuk mengoptimalkan penegakan hukum serta konsistensi penegakan hukum yang disertai dengan transparansi, profesionalisme, moralitas, serta akuntabilitas penegak hukum dalam rangka memberantas peredaran gelap narkotika. Pada dasarnya, optimalisasi penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana tidak bisa hanya dilakukan dengan mengoptimalkan satu aspek saja, namun harus mencakup kelima faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum baik faktor hukum itu sendiri (substansi hukum), faktor penegak hukum (struktur hukum), masyarakat, sarana dan fasilitas pendukung, serta kebudayaan (budaya hukum). Di samping itu menumbuhkan kesadaran dan ketaatan hukum baik masyarakat maupun penegak hukum yang dianggap berpengaruh dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana juga wajib untuk dioptimalkan.
174
Mencermati arti penting penegakan hukum yang telah dikemukakan di atas, maka sangat penting untuk mengoptimalkan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana ke depannya. Mengingat karateristik profesi Kepolisian yang bukan hanya mencakup tugas dan kewenangan sebagai pengak keamanan dan ketertiban masyarakat serta pelindung warga masyarakat, akan tetapi juga mencakup kewenangan untuk melaksanakan fungsi penegakan hukum, maka optimalisasi penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika dirasakan sangat penting. Pelaksanaan optimalisasi dalam penegakan hukum oleh Polres Badung terhadap peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana tidak terlepas dari kelima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yang sekaligus juga menjadi kendala dalam pelaksanaan penegakan hukum, baik itu faktor hukum, penegak hukum, masyarakat, sarana dan fasilitas pendukung, kebudayaan (budaya hukum), serta mengoptimalkan kesadaran dan ketaatan hukum. Optimalisasi penegakan hukum yang dilakukan oleh Polres Badung terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana meliputi dua upaya, yaitu upaya intern dan ekstern. Upaya intern dilakukan dengan mengoptimalkan kemampuan serta keterampilan personel, sedangkan upaya ekstern meliputi peningkatan fungsi koordinasi dan kerjasama antar lembaga penegak hukum khususnya dengan pihak Lapas dan Rutan. Optimalisasi pada aspek intern maupun ekstern akan mempermudah pelakasanaan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika
175
di kalangan narapidana ke depannya. Optimalisasi penegakan hukum pada aspek intern, meliputi beberapa kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan kemampuan dan keterampilan personel Polisi yang bertugas di bidang penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika (Sat Reserse Narkoba). Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Polres Badung dalam rangka meningkatkan kemampuan dan keterampilan yang berkaitan dengan optimalisasi penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana yaitu sebagai berikut : 1. Memberikan kemudahan akses masyarakat pencari keadilan dalam mendapatkan informasi tindak pidana narkoba yang sedang ditangani oleh Polres Badung melalui website Polres Badung dan desk telepon, sehingga dengan adanya fasilitas tersebut masyarakat bisa mengetahui perkembangan kasus tindak pidana narkoba saat ini. Melalui fasilitas tersebut, masyarakat bisa melaporkan adanya kejadian penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba disekitarnya dan mendapatkan akses informasi tentang penanganan kasus-kasus tindak pidana narkotika yang ditangani oleh Polres Badung, sehingga akses tersebut sangatlah penting seperti apa yang dikemukakan oleh Frederick Noronha dan Jeremy Malcolm yaitu, “access to government information is important not only for the value of the information itself (as in the case of cencus data and the like ), but also as a guarantee of democratic transparency
176
(in the case of information that forms part of the political process)”151 (akses ke informasi pemerintah sangat penting tidak hanya untuk nilai informasi itu sendiri (seperti dalam kasus data sensus dan sejenisnya), tetapi juga sebagai jaminan transparansi demokratis (dalam hal informasi yang merupakan bagian dari proses politik)). 2. Upaya pembenahan fungsi reserse narkoba melalui program “penguatan reserse” yang meliputi perbaikan dan penambahan peralatan, sistem dan prosedur, serta kompetensi personel yang bertugas di bidang penegakan hukum terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba mengingat Polisi mempunyai peran yang sangat besar di dalam penegakan hukum pidana yang bertugas sebagai penyelidik dan penyidik tindak pidana. 3. Peningkatan fasilitas dan teknologi yang memadai untuk menunjang pelaksanaan penegakan hukum terhadap kejahatan peredaran gelap narkoba. Di samping upaya optimalisasi dalam hal kemampuan dan keterampilan penegakan hukum, Polres Badung juga mengoptimalkan penegakan hukum melalui aspek ekstern, yaitu dengan meningkatkan fungsi koordinasi dan kerjasama dengan instansi terkait khususnya dengan UPT Pemasyarakatan (Lapas dan Rutan) dalam hal penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana. Koordinasi dianggap berperan penting dalam hal penanganan terhadap 151
Frederick Noronha dan Jeremy Malcolm, 2010, Access To Knowledge : A Guide For Everyone, Consumers International Regional Office for Asia Pacific and the Middle East, Kualalumpur, Malaysia, h. 20.
177
kasus peredaran gelap narkotika yang melibatkan narapidana. Tugas penegakan hukum terhadap peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana tidaklah ringan, sehingga mutlak diperlukan koordinasi dan kerjasama antar lembaga penegak hukum. Tanpa adanya kerjasama yang saling menunjang antara lembaga penegak hukum, maka upaya penegakan hukum akan gagal dan tingkat kriminialitas tidak akan tidak akan pernah bisa ditekan. Berkenaan dengan koordinasi dan kerjasama, setidaknya ada tiga syarat agar kerjasama itu dapat berlangsung baik yaitu, adanya saling percaya (trust), interaksi yang sinergis, dan kesadaran akan tujuan bersama untuk menegakkan kebenaran.152 Dengan dipenuhinya ketiga syarat tersebut, maka pelaksanaan penegakan hukum terhadap peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana akan berlangsung dengan baik tanpa adanya ketersinggungan atau ketidakharmonisan antara masing-masing lembaga penegak hukum. Adapun penjelasan masing-masing syarat yang dimaksud yaitu sebagai berikut : 1. Saling percaya (trust) Masyarakat Indonesia memiliki karakter tingkat kepercayaan yang relatif rendah (low trust society). Mungkin saja karakter ini juga ada pada aparatur yang penegak hukum yang mempengaruhi pula trust kepada lembaganya. Oleh karena itu, karakter dapat dipercaya ini harus perlu selalu ditingkatkan. Untuk dapat saling percaya, syarat utama 152
Yunus Husein, 2009, Kerjasama : Suatu Keharusan Dalam Penegakan Hukum, https://yunushusein.wordpress.com/, Serian Online tanggal 14 Juli 2009, diakses pada tanggal 6 Januari 2015.
178
yang harus dipenuhi adalah adanya aparatur penegak hukum yang memiliki integritas yang benar-benar baik. Integritas yang baik, itikad yang baik, dan komunikasi yang sinergis sangat dibutuhkan dalam mencapai tujuan bersama. 2. Adanya interaksi sinergis Untuk dapat bekerjasama harus ada komunikasi dan interaksi yang sinergis dan intensif, baik pada level pengambil kebijakan maupun pada level tim kerja. Komunikasi ini dapat berlangsung secara formal maupun informal dengan berbagai cara komunikasi seperti, surat, faksimile, telepon, email, dan
short message service (SMS).
Komunikasi yang baik dapat terjadi jika didukung oleh kompetensi yang baik dari tiap aparat penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Komunikasi dan interaksi yang sinergis ini dapat membuat penegakan hukum berjalan dengan efisien dan efektif dalam memecahkan masalah apapun yang ditemukan. Komunikasi yang baik juga dapat menghilangkan prasangka antar aparat penegak hukum. 3. Berpihak pada kebenaran Setiap aparatur penegak hukum harus selalu berpihak pada kebenaran. Setiap aparatus penegak hukum harus menegakkan hukum dengan profesional, akuntabel, dan transparan. Apabila ada oknum aparat penegak hukum yang melanggar ketentuan, maka sudah barang
179
tentu harus ditindak secara tegas. Jangan sampai ada pembelaan yang membabi buta oleh korps dari oknum petugas yang bersangkutan. Optimalisasi penegakan hukum oleh Polres Badung secara ekstern juga dilakukan dengan memberikan penyuluhan atau sosialiasi hukum di sekolah-sekolah maupun universitas tentang bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, serta pentingnya partisipasi masyarakat dalam hal pelaporan untuk mengungkap kejahatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Sosialisasi atau penyuluhan hukum sangat penting untuk dilakukan agar masyarakat umum semakin paham akan bahaya narkotika yang dapat merusak generasi penerus bangsa. Seiring dengan upaya tersebut, Aubert dalam Achmad Ali dan Wiwie Heryani melihat ada dua pandangan yang kontras tentang hubungan antara hukum dengan pola pikir dan tingkah laku publik, yaitu : 1. Pandangan pertama, memandang bahwa hukum ditentukan oleh perasaan keadilan dan perasaan sentimen moral dan populasi, disini hubungannya dengan proses sosialisasi tentunya kalaupun ada maka sedikit sekali. 2. Berbeda dengan pandangan kedua, yang memandang bahwa perundangundangan adalah alat perubahan sosial secara evolusi. Disini UU tentunya harus disosialisasikan secara baik sebelum dilaksanakan.153 Demikian juga tentang berbagai peraturan hukum atau UU yang mengancamkan sanksi terhadap berbagai jenis kejahatan, sehingga 153
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2013, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Kencana PrenadaMedia Group, Jakarta, h. 143.
180
masyarakat sebanyak mungkin mengetahui beratnya ancaman pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku kejahatan. Dalam memfungsikan hukum, maka proses sosialisasi perundang-undangan sangat penting agar UU atau aturan hukum tersebut benar-benar efektif berlakunya. Pentingnya proses sosialisasi hukum atau UU di masyarakat akan membantu aparat penegak hukum dalam melaksanakan fungsi penegakan hukumnya di bidang pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana maupun di kalangan umum, karena mustahil apabila fungsi tersebut dapat dilaksanakan oleh penegak hukum sendiri. Namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan bahwa proses sosialiasi hukum atau UU harus bertujuan : 1. Bagaimana agar warga masyarakat dapat mengetahui kehadiran suatu UU atau peraturan. 2. Bagaimana agar warga masyarakat dapat mengetahui isi suatu UU atau peraturan. 3. Bagaimana agar warga masyarakat dapat menyesuaikan diri (pola pikir dan tingkah laku) dengan tujuan yang dikehendaki oleh UU atau peraturan hukum tersebut.154 Di samping upaya-upaya yang telah dikemukakan di atas, ada juga upaya lain yang dilakukan oleh Polres Badung dalam mengoptimalkan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana, yaitu dengan melibatkan berbagai instansi/departemen secara
154
Ibid, h. 144.
181
integral, karena menyadari bahwa pemberantasan terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana tidaklah mudah. Untuk mengoptimalkan penegakan hukumnya, Polres Badung berkoordinasi dan bekerjasama dengan BNN dan juga Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu (PPNS) dalam melakukan penyidikan terhadap pelaku peredaran gelap narkotika. Hal tersebut merupakan amanat yang sudah ditentukan dalam UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika khususnya Pasal 84 yang secara tegas menyebutkan bahwa “dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia memberitahukan secara tertulis dimulainya penyidikan kepada penyidik BNN begitu juga sebaliknya”. Demikian juga Pasal 85 yang secara tegas menyebutkan “dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika, penyidik Pegawai Negeri Sipil Tertentu berkoordinasi dengan penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Hukum Acara Pidana”. Tidak hanya Kepolisian saja yang harus mengoptimalkan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana, akan tetapi Lapas juga harus mengoptimalkan penanggulangan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana karena tidak mungkin Polisi dapat bekerja sendiri dalam menanggulangi peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana. Lapas harus terus berupaya mensterilkan Lapas dari keberadaan narkotika. Bagi peneliti
182
sendiri, hal yang terpenting dilakukan oleh Lapas dalam menanggulangi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana adalah dengan mengoptimalkan pencegahan kejahatan melalui pendekatan situasional (situational crime prevention), dimana konsep pencegahan kejahatan dengan pendekatan situasional adalah salah satu dari berbagai teori pencegahan yang menggunakan strategi dalam menjelaskan suatu bentuk strategi pencegahan yang diterapkan dalam suatu lingkungan atau kegiatan tertentu, baik melalui strategi pencegahan primer (primary prevention), sekunder (secondary prevention), dan tersier (tertiary prevention). Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana, Lapas dapat memfokuskan ketiga klasifikasi strategi yang sudah disebutkan di atas, dimana pencegahan primer adalah suatu strategi yang dilakukan melalui kebijakan publik khususnya untuk mempengaruhi sebab dan akar kejahatan dengan target masyarakat umum (para pengunjung Lapas), pencegahan sekunder adalah strategi dengan target calon-calon pelaku, dan pencegahan tersier adalah strategi pencegahan yang targetnya adalah mereka yang telah melakukan kejahatan.155 Jadi, strategi pencegahannya tidak hanya terfokus pada mereka yang telah melakukan kejahatan saja, akan tetapi strategi pencegahannya juga difokuskan pada aspek caloncalon pelaku dan masyarakat umum juga harus diperhatikan.
155
Iwan Sujarwadi, op.cit, h. 22.
183
Demikianlah pembahasan mengenai kendala-kendala Polres Badung dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana beserta upaya-upaya yang dilakukan untuk mengoptimalkan penegakan hukumnya. Dari hasil penelitian yang diperoleh, dapat peneliti simpulkan bahwa upaya penanggulangan terhadap kejahatan hendaknya tidak terbatas pada tindakan dengan menghukum dan memasukkan pelanggar ke dalam penjara sebanyak-banyaknya. Septa Candra dkk menyebutkan bahwa “pidana penjara ternyata tidak terlalu berhasil. 70% dari mantan narapidana dalam periode enam tahun kembali bersentuhan dengan yustisi”.156 Kehidupan di penjara justru memperlemah ikatan dengan jejaring masyarakat dan tidak membuka kemungkinan untuk memperkuatnya. Kesimpulan umum demikian membenarkan pandangan bahwa pidana penjara dalam keseluruhannya tidak berhasil guna. Salah satu bukti tidak efektifnya pidana penjara yaitu adanya fakta hukum tentang peristiwa peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana. Hal yang lebih substansial yang perlu dilakukan adalah bagaimana upaya pemerintah dapat membimbing warga masyarakat agar tidak melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika serta bagaimana cara meningkatkan kesadaran dan ketaatan hukum masyarakat terhadap larangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
156
Septa Candra, dkk, op.cit, h. 235.
BAB V PENUTUP
5.1. Simpulan Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah yang diperoleh, serta pembahasan yang dilakukan, maka simpulan yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut : 1. Penegakan hukum oleh Polres Badung terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana selama ini masih belum berjalan maksimal karena dalam pelaksanaannya (baik penyelidikan maupun penyidikan), Polres Badung dihadapkan dengan beberapa persoalan seperti kode etik profesi lembaga lain (Lapas), status narapidana sebagai warga binaan Lapas, posisi narapidana di dalam Lapas, faktor keamanan, kerahasiaan informasi tentang penyelidikan, dan administrasi surat menyurat yang cukup rumit, sehingga menyebabkan penegakan hukum oleh Polres Badung terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana sebagian besar masih didasarkan atas laporan dari Lapas meskipun beberapa informasi tentang keterlibatan narapidana dalam peredaran gelap narkotika diperoleh dari kurir-kurir narkotika yang tertangkap. 2. Kendala Polres Badung dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana terdiri dari faktor hukum, faktor penegak hukum, faktor masyarakat, faktor sarana atau
184
185
fasiltas pendukung, faktor budaya hukum. Di samping itu, faktor kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan kegagalan sistem juga menjadi kendala dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana. Optimalisasi penegakan hukum oleh Polres Badung terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana meliputi upaya intern dan ekstern. Upaya intern dilakukan dengan mengoptimalkan kemampuan serta keterampilan personel, sedangkan upaya ekstern meliputi peningkatan fungsi koordinasi dan kerjasama antar lembaga penegak hukum baik dengan Lapas atau Rutan dan BNN.
5.2. Saran Adapun saran atau rekomendasi yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut : 1. Bagi aparat penegak hukum khususnya Kepolisian, diharapkan dapat terus meningkatkan fungsi penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana meskipun dalam pelaksanaanya tidak mudah, melalui koordinasi dengan lembaga lain khususnya Lapas atau Rutan dalam hal penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana, karena dengan koordinasi dan kerjasama yang baik akan memperlancar pelaksanaan penegakan hukum. Begitu juga sebaliknya, pihak Lapas diharapkan dapat meningkatkan peran sertanya dalam hal pelaporan terhadap adanya dugaan peredaran gelap narkotika di kalangan narapidana.
186
2. Bagi pemerintah, diharapkan dapat membantu mendukung pelaksanaan penegakan hukum dengan menyediakan sarana atau fasilitas pendukung seperti meningkatkan jumlah anggaran operasional dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, serta alat yang mampu mendeteksi keberadaan narkotika karena selama ini sarana dan fasilitas pendukung tersebut dirasakan belum memadai oleh aparat penegak hukum khususnya Kepolisian. Di samping itu, keterbatasan sarana atau fasilitas pendukung selama ini masih sering dianggap sebagai salah satu faktor yang menghambat penegakan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Abdussalam, H.R, dan DPM Sitompul, 2007, Sistem Peradilan Pidana, Restu Agung, Jakarta. Adang, Yesmil Anwar, 2013, Kriminologi, PT Refika Aditama, Bandung. Alfitra, 2014, Modus Operandi Pidana Khusus di Luar KUHP : Korupsi, Money Laundering, dan Trafficking, Raih Asa Sukses, Jakarta. Ali, Achmad, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi UndangUndang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Ali, Achmad, dan Wiwie Heryani, 2013, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Kencana PrenadaMedia Group, Jakarta Ali, H. Zainuddin, 2011, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. _________________, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Atmasasmita, Romli, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Cet. I, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. __________________, 2007, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung. __________________, 1996, Sistem Peradilan Pidana : Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bina Cipta, Bandung. Arief, Barda Nawawi, 2010, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Cet. III, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. __________________, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
i
ii
Bedner, Adriaan 2011, “Suatu Pendekatan Elementer Terhadap Hukum” dalam Myrna A. Safitri dkk (ed) : Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif : Urgensi dan Kritik, Epistema Institute dan Perkumpulan Untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA), Jakarta. Bisri, Ilhami, 2012, Sistem Hukum Indonesia : Prinsip-Prinsip dan Implementasi Hukum di Indonesia, Cet. VII, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Candra, Septa, dkk, 2012, Hukum Pidana Dalam Perspektif : Seri UnsurUnsur Penyusun Bangunan Negara Hukum, Pustaka Larasan, Denpasar. Chazawi, Adami, 2011, Pelajaran Hukum Pidana : Bagian 1, Rajawali Pers, Jakarta. Cohen, Morris L., dan Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group, ST Paul. Minn United States of America. Cooke, David J., dkk, 2008, Menyingkap Dunia Gelap Penjara, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Fadjar, Mukhtie, 2013, Teori-Teori Hukum Kontemporer, Setara Press, Malang. Fitzgerald, Maureen F., 2007, Legal Problem Solving : Reasoning, Research, and Writing, Edisi Keempat, LexisNexis, Canada. Fuady, Munir, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Garland, Norman M., 2008, Criminal Law for the Criminal Justice Professional, edisi kedua, McGraw-Hill, New York. Hadiman, 2005, Pengawasan Serta Peran Aktif Orang Tua dan Aparat Dalam Penanggulangan dan Penyalahgunaan Narkoba, Badan Kerjasama Sosial Usaha Pembinaan Warga Tama (BERSAMA), Jakarta. Hartono, 2010, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.
iii
HS, H. Salim, dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. HS, H. Salim, dkk, 2007, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta. Makarao, Moh. Taufik, dkk, 2003, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta. Marzuki, Suparman, 2012, Pengadilan HAM di Indonesia Melanggengkan Impunity, Erlangga, Jakarta. Mardani, 2008, Penyalahgunaan Narkoba : Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Mansur, Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, RajaGrafindo Persada, Jakarta. M. Bohm, Robert, dan Keith N. Haley, 2007, Introduction to Criminal Justice, edisi keempat, McGraw-Hill, New York. MD, Moh. Mahmud, 2010, Politik Hukum di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cet III. Muhtaj, Majda El, 2008, Dimensi-Dimensi HAM : Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Mulyadi, Lilik, 2012, “Pemidanaan Terhadap Pengedar dan Pengguna Narkoba : Penelitian Asas, Teori, Norma, dan Praktik Penerapannya Dalam Putusan Pengadilan”, (laporan penelitian) Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung Republik Indonesia. Mulyadi, Mahmud, dan Andi Sujendral, 2011, Community Policing : Diskresi Dalam Pemolisian Yang Demokratis, PT. Sofmedia, Jakarta. Mustofa, Muhammad, 2013, Metodologi Penelitian Kriminologi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
iv
ND, Mukti Fajar, dan Yulianto Achmad, 2007, Dualisme Penelitian Hukum, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta. Noronha, Frederick, dan Jeremy Malcolm, 2010, Access To Knowledge : A Guide For Everyone, Consumers International Regional Office for Asia Pacific and the Middle East, Kualalumpur, Malaysia. Pramudya, Kelik, dan Ananto Widiatmoko, 2010, Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum : Hakim, Jaksa, Polisi, Notaris, dan Advokat, Pustaka Yustisia, Yogyakarta R, A. Josias Simon, 2012, Budaya Penjara : Pemahaman dan Implementasi, Karya Putra Darwati, Bandung. Rahardi,
H. Pudi, 2014, Hukum Kepolisian : Kemandirian, Profesionalisme, dan Reformasi Polri, Laksbang Grafika, Surabaya.
Rahardjo, Satjipto, 2009, Hukum dan Perubahan Sosial : Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-Pengalaman Di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta. ________________, 2011, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta. ________________, 1984, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung. ________________, 2007, Membangun Polisi Sipil, Buku Kompas, Jakarta. Rahayu, Derita Prapti, 2014, Budaya Hukum Pancasila, Thafa Media, Yogyakarta. Rasjidi, Lili dan I.B. Wyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung. Rifai, Achmad, 2014, Narkoba di Balik Tembok Penjara, Aswaja Pressindo, Yogyakarta. Rukmini, Mien, 2009, Aspek Hukum Pidana Dan Kriminologi (Sebuah Bunga Rampai), PT. Alumni, Bandung. Salman, Otje dan Anton F. Susanto, 2004, Teori Hukum : Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, PT. Refika Aditama, Bandung.
v
Sasangka, Hari, 2003, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, CV Mandar Maju, Bandung. Setiady, Tolib, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung. Sidharta, 2006, Moralitas Profesi Hukum : Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, PT Refika Aditama, Bandung. Soekanto, Soerjono, 2012, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cet. ke XI, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. _________________, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III, Universitas Indonesia, Jakarta (UI-Press). Subekti, R., dan R. Tjitrosoedibio, 2005, Kamus Hukum, Cet. XVI, Pradnya Paramita, Jakarta. Sunarso, Siswanto, 2011, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum, Cet. IV, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. _________________, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Suparman, Erman, 2004, Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Hukum, Tatanusa, Jakarta. Supriadi, 2010, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Susetyo, Heru, dkk, dan Nandi Widyani (ed), 2013, Sistem Pembinaan Narapidana Berdasarkan Prinsip Resorative Justice, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta. Tahir, Heri, 2010, Proses Hukum yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Laksbang, Yogyakarta. Warassih, Esmi, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru Utama, Semarang.
vi
B. TESIS
Bunga, Dewi, 2011, “Penegakan Hukum Terhadap Prostitusi Cyber (Suatu Kajian Dalam Anatomi Kejahatan Transnasional)”, (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar. Darma, I Putu, 2012, “Upaya Penanggulangan dan Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika di Wilayah Hukum Kepolisian Resor Kota Denpasar”, (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar. Muljanto, Heru, 2008, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Pelaksanaan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan (SPOPP) di Kantor Pertanahan Surakarta”, (tesis) Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Sujarwadi, Iwan, 2012, “Peran Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) Dalam Mencegah Kejahatan di Wilayah Hukum Polsek Tanjung”, (tesis) Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Tiyarto, Sugeng, 2006, “Kebijakan Penegakan Hukum Pidana Dalam Rangka Penanggulangan Perjudian”, (tesis) Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.
C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3614. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Lembaran Negara
vii
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5419.
D. JURNAL ILMIAH
Chantal Thomas, 2003, Disclipining Globalization : International Law, Illegal Trade, and The Case of Narcotics, Michigan Journal of International Law Vol 24 : 549, available at traficckinggroundtable.org/wpcontent/uploads/2012/10/Disclipi ning-Globalization-Thomas.pdf, accessed on 1st August 2014. Paul Ricardo, 2010, Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba Oleh Kepolisian (Studi Kasus Satuan Narkoba Polres Metro Bekasi), Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No.III Desember 2010, tersedia di website http://journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewfile/1105/1013, diakses pada tanggal 1 Agustus 2014. Mardjono Reksodiputro, 1999, Reformasi Hukum di Indonesia, Seminar Hukum Nasional ke VII, BPHN Departemen Kehakiman dan HAM, h. 73-87, dikutip dari Kusnu Goesniadhie S, 2010, Perspektif Moral Penegakan Hukum yang Baik, Jurnal Hukum : Vol.17.No. 2, tersedia di website http://law.uii/ac/id/images/stories/Jurnal Hukum/6 Kusnu Goesniadhie S.pdf, h. 2, diakses pada tanggal 14 November 2014. Mukhlis R, 2013, Pergeseran Kedudukan dan Tugas Penyidik POLRI Dengan Perkembangan Delik-Delik di Luar KUHP, Jurnal Ilmu Hukum : Vol 3 No. 1, tersedia di website http://download.portalgaruda.org/article., diakses pada tanggal 8 Desember 2014.
viii
E. INTERNET
Novi Septiani, 2013, Hubungan Antara Problem Solving Appraisal Dengan Penyesuaian Diri Napi Anak, tersedia di website http:// repository.upi.edu/3819/4/S_PSI_0800930_Chapter 1.pdf, h. 2, diakses pada tanggal 15 Juli 2014. Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, 2012, Laporan Akhir Kompendium Hukum Tentang Kerjasama Internasional Di Bidang Penegakan Hukum, tersedia di website http://bphn.go.id/data/documents/kpd-2011/pdf, h. 9, diakses pada tanggal 15 Juli 2014. Anonim, 2012, Konsep Pencegahan Terhadap Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan, tersedia di website http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/3hukumpdf/207711069/bab2. pdf., diakses pada tanggal 16 Juli 2014. Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, 2013, Jurnal Data Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) Tahun 2013 Edisi Tahun 2014,http://www.bnn.go.id.103.3.70.3/portal/_uploads/post/201 4/08/19/Jurnal_Data_P4GN_2013_Edisi_2014_Oke.pdf., h. 5, diakses pada tanggal 26 Oktober 2014. Romli Atmasasmita, tt, Independensi Kepolisian Republik Indonesia Dalam Penegakan Hukum, tersedia di website http://www.tu.bphn.go.id/substantif/Data/ISI%20KEGIATAN% 20TAHUN%202005/44penulisan%20indepeden%20Polisi.pdf, h. 7, diakses pada tanggal 26 Oktober 2014 Frans Hendra Winarta, 2012, Membangun Profesionalisme Aparat Penegak Hukum, tersedia di website http://www.winartaip.com/ezpdf/Membangun%20Profesionalis me%20Aparat%20Penegak%20Hukum%2030.5.12.pdf, h. 2, diakses pada tanggal 14 November 2014. Jimly Asshiddiqie, 2013, Penegakan Hukum, tersedia di website http:// www. academia.edu/4375428/Penegakan_Hukum, h. 1, diakses pada tanggal 14 November 2014. Tri Septio N dan Widyabuana Slay (ed), 2012, Sejarah Narkoba dan Pemberantasannya di Indonesia, Serial Online 12 Mei 2012, http://www.tribunnews.com/tribunners/2012/05/12/sejarah-
ix
narkoba-dan-pemberantasannya-di-Indonesia, tanggal 14 November 2014.
diakses
pada
Sony Iriawan, tt, Transnastional Drugs Trafficking dan Problematisasi Pemerintah Indonesia Dalam Menanggulangi Peredaran Narkotika Nasional, tersedia di website http://www.academia.edu/5917192/Transnastional_Drug_Traffi cking, h. 3, diakses pada tanggal 14 November 2014. Anonim, tt, Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1997 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konverensi Perserikatan Bangsa - Bangsa Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988), tersedia di website http://www.hukumonline.com/pusatdata/downloadfile/fl27573/p arent/42, diakses pada tanggal 8 Desember 2014. Maiwa News, 2012, Bali Pasar Potensial Sindikat Narkoba Internasional, Serial Online 2 Juli 2012, tersedia di website http://berita.maiwanews.com/bali-pasar-potensial-sindikatnarkoba-internasional-27083.html, diakses pada tanggal 4 Januari 2015. Ditjenpas Kementerian Hukum dan HAM RI, Data Jumlah Penghuni per UPT Pada Kanwil Bali Periode Desember 2014, tersedia di website http://smslap.ditjenpas.go.id/, diakses pada tanggal 4 Januari 2015. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Arti Prosedur Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Versi Online/Daring (dalam jaringan), tersedia di website http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php, diakses pada tanggal 5 Januari 2015.
i
i
DAFTAR INFORMAN
1. Nama
: AKP Bambang I Gede Artha
Tempat/Tanggal Lahir
: Dompu, 1 Agustus 1964
Jabatan
: Kasat Reserse Narkoba Polres Badung
2. Nama
: Ipda I Nyoman Sudarma, SH
Tempat/Tanggal Lahir
: Tabanan, 20 Oktober 1973
Jabatan
: Kepala Bidang Operasional (KBO) Reserse Narkoba Polres Badung
3. Nama
: Ipda I Gusti Putu Suarjaya, SH
Tempat/Tanggal Lahir
: Abiansemal, 22 Februari 1973
Jabatan
: Kepala Unit (Kanit) I Reserse Narkoba Polres Badung
4. Nama
: I Wayan Agus Miarda, A.MD.IP., SH
Tempat/Tanggal Lahir
: Singaraja, 10 Agustus 1977
Jabatan
: Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP) Lapas Kelas II A Denpasar
5. Nama Tempat/Tanggal Lahir
: Sarjiyem, SE : Yogyakarta, 30 Maret 1962
ii
Jabatan
: Kasubsi Pelaporan dan Tata Tertib Lapas Kelas II A Denpasar
6. Nama
: Hermanus Setyo Hartanto, Bc.IP, SH
Tempat/Tanggal Lahir
: Semarang, 24 April 1961
Jabatan
: Kepala Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib Lapas Kelas II A Denpasar