TERAPAN ENDOSIMBIOSIS BAGI EVALUASI KUALITAS TERUMBU KARANG Oleh : Dian Perayanti Sinaga, S.Si, M.Sc Dosen USI, P. Siantar Abstrak Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui terapan endosimbiosis bagi evaluasi kualitas terumbu karang. Penulisan makalah ini menggunakan metode library research. Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa perlu dilakukan kajian tentang endosimbiosis sebagai salah satu indikator evaluasi kualitas ekosistem terumbu karang. Dengan mengkorelasikan diantara kajian tutupan karang hidup dan beberapa indeks biologi endosimbiosis dimungkinkan diperoleh kriteria klasifikasi kualitas ekosistem terumbu karang sekaligus sebagai informasi penting dalam menyusun indeks ancaman kualitas ekosistem terumbu karang. Kata kunci : endosimbiosis dan terumbu karang 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem dasar laut yang penghuni utamanya berupa karang batu. Berbagai spesies dan bentuk karang batu ini bersama-sama dengan makhluk hidup lainnya membentuk suatu ekosistem. Proses pembentukan terumbu karang memakan waktu yang lama dan selama itu pula ia dihuni oleh berbagai makhluk hidup lainnya. Arsitektur terumbu karang yang mengagumkan dibentuk oleh ribuan binatang kecil yang disebut dengan polip. Dalam bentuk sederhananya karang dapat terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Dalam banyak spesies karang, individu polip berkembang menjadi banyak individu yang disebut dengan koloni. Menurut Veron (1995), terumbu karang adalah ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah Indopasifik. Terbatasnya penyebar-an terumbu karang di perairan tropis dan secara latitudinal terbentang dari wilayah selatan Jepang sampai utara Australia dikontrol oleh faktor suhu dan sirkulasi permukaan (surface sirculation) air. Sementara itu, penyebaran secara longitudinal akan sangat dipengaruhi oleh adanya konektivitas berupa stepping stones. Kombinasi
antara faktor lingkungan fisik (suhu dan sirkulasi permukaan) dengan banyaknya jumlah stepping stones yang terdapat di wilayah indo-pasifik diperkirakan menjadi faktor yang sangat mendukung luasnya pemencaran terumbu karang di region tersebut. Kini, hampir 800 jenis karang yang tergolong kelompok schlerakctinia telah dideskripsikan. Dari sejumlah karang yang ditemukan ini 600 jenis berada di Asia Tenggara khususnya di Indonesia dan Philipina (Burke, Selig dan Spalding, 2002) dan dengan pertimbangan luasan kawasannya sebesar 34% (51% kontribusi kawasan terumbu karang Indonesia) dari total luas kawasan terumbu karang di dunia maka secara biogeografi kawasan ini dinyatakan sebagai center of origin karang di dunia (Veron, 1995). Menurut Burke et al. (2002), ekosistem terumbu karang yang ada di wilayah Asia Tenggara merupakan yang paling terancam di dunia. Besarnya ketergantungan manusia terhadap sumberdaya laut di seluruh Asia Tenggara telah menyebabkan eksploitasi yang berlebih sehingga banyak terumbu karang yang terdegradasi, khususnya di dekat pusat kepadatan penduduk. Sekitar 70% penduduk di kawasan ini hidup di sekitar 50 km pesisir. Ancaman-ancaman terhadap terumbu karang termasuk penangkapan berlebihan (over fishing), penangkapan ikan dengan metode
1
yang merusak, sedimentasi dan pencemaran dan pembangunan pesisir. Selain itu meningkatnya suhu global (global warming) juga telah menyebabkan sumberdaya yang sangat vital ini dalam bahaya. Secara umum terjadinya degradasi ekosistem terumbu karang ditimbulkan oleh dua penyebab utama, yaitu akibat kegiatan manusia (anthrophogenic causes) dan akibat alam (natural causes). Kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya degradasi terumbu karang antara lain: (1) penambangan dan pengambilan karang, (2) penangkapan ikan dengan menggunakan alat dan metode yang merusak, (3) penangkapan yang berlebih, (4) pencemaran perairan, (5) kegiatan pembangunan di wilayah pesisir, dan (6) kegiatan pembangunan di wilayah hulu. Sementara itu, degradasi terumbu karang yang disebabkan oleh alam antara lain oleh predator, pemanasan global, bencana alam seperti angin taufan, gempa tektonik, banjir dan tsunami serta bencana alam lainnya seperti El-Nino dan La-Nina (Westmacott, Teleki, Wells dan West, 2000; COREMAP, 2001; Burke et al., 2002). Menurut Moosa dan Suharsono (1995), kegiatan merusak yang dilakukan oleh manusia akan lebih bersifat kronis, tidak bersifat sementara seperti halnya yang disebabkan oleh musibah alami. Karena terumbu karang mempunyai arti ekonomis yang cukup penting, maka kepulihannya dalam waktu yang lama merupakan suatu hal yang perlu dipikirkan. Berkenaan dengan hal tersebut kiranya proses simbiosis antara zooxanthellae dengan karang dapat memberikan suatu support terhadap faktor penyesuai dalam hal ini adalah dari segi kriteria kerentanan alami. Pertimbangan yang diajukan adalah bahwa simbiosis antara karang dengan zooxanthellae memberikan konstribusi fenomenal dalam proses evolusi karang dan kedua bahwa kriteria yang dipergunakan saat ini dari analisis Gomez, Alcala and San Diego (1981) yang hanya didasarkan atas tutupan karang hidup. Teori evaluasi ini sampai sekarang menjadi acuan bagi evaluasi tingkat status
kesehatan terumbu. Teori ini dipandang mengalami kelemahan karena mengabaikan sifat hubungan intra dan ekstraspesifik dari biota karang itu sendiri. Atas dasar hal tersebut, maka penggunaan hubungan simbiosis zoxanthellae dan karang dipandang dapat melengkapi evaluasi kualitas terumbu karang oleh sebab informasinya dapat menjelaskan sifat hubungan intra dan ekstra spesifik, disamping atas dasar respon terhadap strees lingkungan. 1.2. Tujuan Penulisan Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui terapan endosimbiosis bagi evaluasi kualitas terumbu karang. 1.3. Metode Penulisan Penulisan makalah ini menggunakan metode library research. 2. Uraian Teoritis 2.1. Proses Simbiosis Dan Peran Fungsionalnya Antara Zooxanthellae dengan Karang Sejak berabad-abad lalu dan bahkan hingga saat ini, karang (Scleractinia) dianggap sebagai batu atau tumbuhan walaupun sesungguhnya mereka merupakan hewan. Karang itu sendiri merupakan salah satu kelompok Coelenterata berbentuk polyp yaitu semacam bentuk tabung dengan mulut di bagian atas yang dikelilingi oleh tentakel. Secara morfologis, binatang ini berbentuk mirip satu dengan lainnya (species); pembedanya adalah keragaman rangka yang dibentukkannya. Oleh sebab itu, taksonomi karang didasarkan kepada rangka bentukannya. Karena kemampu-annya ini maka karang bersifat menetap (sessile). Dengan tipe hidup ini membawa konsekuensi terhadap sifat konservatif dalam kehidupannya. Salah satu sifat konservatif dari biota karang adalah adanya proses simbiosis dengan zooxanthellae. Proses terbentuknya simbiosis atau yang dikenal dengan endosimbiosis ini mengundang perdebatan sejak awalnya, yakni apakah terbentuknya endosimbiosis sejak anakan karang (planula) mulai dilepaskan oleh
2
induknya atau melalui infeksi dari lepasan planula yang keluar tanpa pembekalan (Veron, 1995). Apabila teori pertama yang terjadi maka bagaimanapun juga awal evolusinya akan mengalami proses infeksi yang kemudian secara turun temurun mengalami proses pembekalan sebagaimana teori pertama diterima kebenarannya. Di sini tidak memperdebatkan keduanya, namun lebih ditekankan bahwa pada kenyataannya terdapat endosimbiosis dengan perannya yang besar dalam mekanisme kehidupan fungsional binatang karang. Pada kondisi awal evolusi dipahami bahwa simbiosis antara zooxanthellae dengan karang dalam ekosistem laut pada dasarnya merupakan suatu kejadian yang diawali oleh adanya bertemunya zooxanthellae dengan karang dengan peluang yang tinggi oleh sebab karang hidup menetap dan zooxanthellae bersifat planktonik. Bertemunya keduanya merupakan mendapat peluang yang besar oleh adanya kondisi dinamik air laut. Oleh Perez (1982) dikemukakan bahwa proses recognisi dan pada akhirnya relokasi zooxanthellae pada karang merupakan fenomena respon biotik sebagai turunan dari aktivitas fisik dinamik air laut dan proses interkoneksitas kimiawi. Dengan demikian peluang bertemunya keduanya sangat dimungkinkan terjadi di laut dengan dua pertimbangan tersebut. Pada kebanyakan karang, relokasi zooxanthellae umumnya terdapat pada jaringan mesoglea dan gastrodermis baik di tentakel maupun mesentrinya. (Veron, 1995). Untuk menempuh ini diperlukan tahapantahapan endosimbiosis. Tahapan endosimbiosis tersebut oleh Lenhoff dan Muscatine (1974) diterangkan melalui 4 mekanisme, yaitu : 1. Kontak dan Pengenalan (Recognition). Meskipun terdapat argumentasi bahwa infeksi zooxanthellae pada jaringan seluler inangnya terjadi pada saat pelepasan planula, namun tahap ini diperlukan pada setiap perkembangan dari binatang karang. Proses ini merupakan proses yang transport yang tidak saja mencakup proses fisik akan tetapi juga biokomiawi.
2.
Endocytosis. Merupakan proses pemasukan suatu algae selular ke dalam jaringan inang. Prosesnya dilakukan setelah mengalami tahap pengenalan dengan kecepatan dan jumlah yang bergantung kepada jenis dan kapasitas dari binatang karang. 3. Relokasi intraselluler dari simbiont, ini berkaitan dengan sistem endoskeleton dari binatang karang. Proses enzymatik yang membantu pelaksanaannya ditentukan oleh fluktuasi pH seluler. 4. Pertumbuhan dan regulasi kuantitasnya. Proses ini terjadi setelah relokasi dan berlangsung dengan bergantung kepada perubahan faktor-faktor eksternal penentu (khususnya faktor limiting) pertumbuhan. Bleaching merupakan salah satu fenomena regulasi dari zooxanthellae dalam jaringan binatang karang. Terapan fungsional simbiosis pertamatama dapat ditinjau dari kaitannya dengan transfer nutrisi diantara keduanya. Dalam memenuhi nutrisinya semua karang dapat menggunakan tentakel-nya untuk menangkap mangsa (plankton). Proses penangkapannya memper-gunakan bantuan nematocyte suatu bentuk protein spesifik yang mampu kemampuan proteksi dan melumpuhkan biomassa tertentu seperti zooplankton. Meskipun mempunyai kemampuan feeding active, akan tetapi kebanyakan proporsi terbesar makanan karang berasal dari simbiosis yang unik, yaitu zooxanthellae. Zooxanthellae ini merupakan algae uniselluler yang bersifat mikroskopik hidup dalam berbagai jaringan tubuh karang yang transparan dan menghasilkan energi langsung dari cahaya matahari melalui fotosintesis. Biasanya mereka ditemukan dalam jumlah yang besar dalam setiap polyp hidup bersimbiosis dan memberikan warna pada polyp, energi dari fotosintesis dan 90% kebutuhan karbon polyp (Sebens, 1997). Zooxanthellae menerima nutrisi-nutrisi penting dari karang (polyp) dan memberikan sebanyak 95% hasil fotosintesisnya (energi dan nutrisi) kepada polyp (Muscatine, 1990). Assosasi yang erat ini sangat efisien, sehingga karang dapat bertahan hidup bahkan di
3
perairan yang sangat miskin hara. Keberhasilan hubungan ini dapat dilihat dari besarnya keragaman dan usia karang yang sangat tua, berevolusi pertama kali lebih dari 200 juta tahun yang lalu (Burke et al., 2002). Berdasarkan transfer nutrisi ini maka dapat dinyatakan bahwa karang dapat menyediakan nutrisinya baik melalui feeding active dan feeding passive. Feeding active dilakukan dengan menembakkan nematocyte ke arah mangsa dan mentransfernya melalui mulut yang terdapat di bagian atas; sedangkan feeding passive diperoleh melalui transfer hasil fotosintesis zooxanthellae. Sejauh diketahui hampir semua karang dapat melakukan melalui feeding passive. Karang mempunyai bentuk rangka untuk menyokong badannya yang sederhana. Karang pembentuk terumbu mempunyai kerangka dari kalsium karbonat yang proses pembentukannya memerlukan waktu lama sebagai hasil dari simbiosisnya dengan zooxanthellae (Goreou, 1961 dalam Lenhoff dan Muscatine, 1974). Karang ini kebanyakan dari kelompok schleractinia yang dikenal sebagai hermatipik atau pembentuk terumbu. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa simbiosis mempunyai peran penting dalam proses kehidupan karang. Adanya simbiosis, maka secara phototropikal dapat memperpanjang kehidupan karang dalam suatu periode tertentu. Apabila dikaitkan dengan konsep spesiasi binatang karang (Veron, 1995), maka peran aktif simbiosis zooxanthellae dalam jaringan karang dan biogeografinya bahwa bersama dengan faktor lingkungan dapat dinyatakan sebagai penggerak dalam proses microevolusi dalam kehidupan karang. Ini dapat dipandang dalam beberapa skala : 1. Dalam skala ekologi : bahwa cahaya bertanggung jawab atas pembatasan kedalaman untuk semua karang dan terumbu karang sehingga secara prinsipil cahaya merupakan parameter lingkungan yang dapat mengendalikan morfologi serta hubungan intra spesifik yang pada gilirannya dapat menentukan diversitas species;
2.
Dalam skala geografis : bahwa ketergantungannya terhadap simbiosis menjadikan karang dengan mudah tumbuh melampaui makroalgae; faktor inilah yang kemungkinan besar menyebabkan terhalangnya karang/terumbu karang dari pengaruh faktor-faktor fisika lingkungan di lintang tinggi. 3. Dalam skala geologi : bahwa gangguan terhadap simbiosis oleh sebab kekurangan cahaya menjadikan suatu peranan pokok dalam kepunahan massa (yang dibentuk oleh karang dan terumbu karang). Secara nyata keadaan yang merugikan dari ketergantungan terhadap cahaya timbul karena kebutuhan dari simbiosis alamiah. Sejauh diketahui, hanya sedikit sekali species karang dapat eksis secara fakultatif (karang yang dapat hidup untuk jangka waktu tak terbatas dengan atau tanpa adanya zooxanthellae atau yang biasa disebut aposymbiosis), yakni hanya Astrangia danae (Jasques, 1983) dan mungkin Madracis Sp, nampaknya termasuk dalam kelompok ini. Kemudian memunculkan pertanyaan mengapa terjadi simbiosis fakultatif pada karang. Hal ini mungkin dapat dterangkan dalam kejadian dua tahap, yaitu pertama adanya hubungan yang sederhana dengan rantai secara fisiologis (kemungkinan masih dapat menggantungkan dari nutrisi eksternal), kedua adanya bentuk simpanan dari dasar genetis tiap jenis karang yang terjadi dari evolusi multispecies yang sinkron yang kemungkinan paralel dengan evolusi metochondria dari protozoa. Dengan demikian menjadi jelas bahwa konsep simbiosis menjadi demikian penting dalam kehidupan karang dan kelestarian ekosistem bentukannya. Hubungan intra maupun ekstraspesifik yang terus berlangsung dalam proses pembentukan kestabilan ekosistem terumbu karang secara filosofis termasuk dalam konsep microevolusi yang ditampilkan oleh hubungan simbiosis antara zooxanthellae dan binatang karang. 2.2. Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang merupakan kelompok organisme yang hidup di dasar
4
perairan dan di bentuk oleh batuan kapur (CaCO3) yang berfungsi menahan gelombang laut. Organisme yang dominan hidup di daerah ini adalah hewan yang mempunyai kerangka kapur dan alga yang banyak mengandung kapur. Terumbu karang dapat dibedakan antara binatang karang atau karang sebagai individu organisme atau komponen dari ekosistem dan terumbu karang sebagai suatu ekosistem, termasuk di dalamnya organisme-organisme karang (Dawes, 1981 dalam Supriharyono, 2000a). Menurut Nybakken (1988), ada 2 kelompok karang yang berbeda yaitu, karang hermatipik dan karang ahermatipik. Karang hermatipik dapat menghasilkan terumbu sedangkan yang ahermatipik tidak. Perbedaan utama antara kedua karang ini adalah bahwa di dalam jaringan karang hermatipik terdapat simbiosa mutualistik atau saling menguntungkan antara binatang karang dengan sejenis ganggang zooxanthellae. Zooxanthellae melalui proses fotosintesis membantu memberi suplai makanan dan oksigen bagi polip dan juga membantu proses pembentukan kerangka kapur, sebaliknya polip karang menghasilkan sisa-sisa metabolisme berupa karbondioksida, fosfat dan nitrogen yang digunakan zooxanthellae untuk fotosintesis dan pertumbuhannya sedangkan karang ahermatipik mendapatkan makanan dari berbagai jenis plankton dan bentos yang terdapat disekitar karang. Menurut Darwin (1942) dalam Monk et al. (2000) terumbu karang dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk utama yaitu: 1. Karang tepi adalah karang yang berada dekat dan sejajar dengan garis pantai. Terdapat celah yang sempit antara karang dan pantai, dimana biasanya merupakan laguna dangkal. 2. Atol merupakan karang tepi yang berbentuk cincin. Umumnya terdapat di Samudera Pasifik. Terumbu karang tumbuh ke arah permukaan laut, membentuk karang tepi sebagai pulau pada saat gunung api tenggelam dengan membuat jarak antara karang dengan daratan. Gunung api secara berangsur
menghilang dan atol terbentuk dengan laguna di bagian tengahnya yang disebut goba. 1. Karang penghalang sama dengan karang tepi, kecuali bahwa ada jarak yang cukup jauh antara karang dan daratan atau pantai. Celah ini terdiri dari perairan yang dalam. Distribusi karang dipengaruhi oleh beberapa kondisi. Faktor utama yang mempengaruhi adalah sebagai berikut: 1. Suhu Suhu yang dibutuhkan untuk pembentukan terumbu karang adalah sekitar 25-30 °C. Suhu mempunyai peranan penting dalam membatasi sebaran terumbu karang, oleh karena itu terumbu tidak ditemukan di daerah ugahari (temperate) dan di daerah dingin (Nontji, 1993). 2. Cahaya Cahaya diperlukan untuk fotosintesis alga simbiotik (zooxanthellae) yang berada dalam jaringan karang. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan bersama dengan itu kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat dan membentuk terumbu karang berkurang pula (Nybakken, 1988). 3. Sedimentasi Keberadaan karang polip sering dipengaruhi oleh sedimentasi, kendati tentakel karang ini menghasilkan mukus untuk melindunginya dari sedimentasi. Sedimentasi mengurangi intensitas cahaya dan menghalangi proses fotosintesis zooxanthellae (Monk et al., 2000). 4. Substrat Substrat sangat penting sebagai tempat menempel larva. Larva karang membutuhkan substrat keras sebagai tempat menempel karang (Monk et al., 2000). Substrat keras ini bisa berupa berbagai benda padat yang ada di dasar laut misalnya, batu, cangkang-cangkang moluska, potongan kayu, besi yang terbenam dan kapal yang tenggelam (Nontji, 1993). 5. Salinitas Karang mempunyai toleransi terhadap salinitas sekitar 27-40 ‰. Adanya aliran air tawar dari sungai secara terus-menerus yang
5
masuk ke perairan pantai akan menyebabkan salinitas air laut berkurang, sehingga akan menyebabkan kematian terumbu karang (Nontji, 1993). Ekosistem terumbu karang mempunyai manfaat yang bermacam-macam, di samping menunjang produksi perikanan, sebagai sumber makanan, objek wisata bahari, bahan bangunan dan penahan gelombang (Supriharyono, 2000b).
langsung sebagai sumber energi untuk proses fotosintesis tumbuh-tumbuhan yang menjadi tumpuan hidup mereka karena menjadi sumber makanan (Romimohtarto & Juwana, 2001). 3. Suhu Suhu merupakan faktor abiotik yang penting bagi kehidupan ikan. Ikan sangat bergantung pada suhu lingkungannya (poikilotermal). Ikan-ikan laut biasanya lebih stenotermal dibandingkan dengan ikan air tawar yang berarti daya toleransinya terhadap perubahan suhu adalah kecil (Rifai et al., 1993). Aktivitas pergerakan ikan sangat bergantung pada suhu optimum yaitu sekitar 28º C sampai 33º C di dalam air (Darmono, 2001). Suhu juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap kelarutan oksigen di dalam air, apabila suhu naik maka kelarutan oksigen dalam air menurun. Bersamaan dengan itu peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan aktivitas metabolisme organik akuatik, sehingga kebutuhan oksigen juga meningkat (Sastrawijaya, 1991). 4. Derajat keasaman (pH) Perubahan pH berkaitan dengan perubahan-perubahan faktor-faktor fisikkimiawi lain, tetapi air laut secara alami merupakan larutan penyangga yang sangat tinggi, maka pH tidak mempunyai pengaruh yang membatasi ikan yang hidup di laut. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme (Michael, 1994). 5. DO (Dissolved oxygen) Oksigen terlarut salah satu faktor penting dalam ekosistem akuatik, terutama dibutuhkan untuk proses respirasi bagi organisme air. Konsentrasi oksigen terlarut bervariasi antara 0-9 mg/l Di daerah permukaan agak berkombinasi karena adanya pertukaran gas-gas di udara dan kegiatan tumbuhan akuatik. Beberapa hewan akuatik, seperti ikan membutuhkan kadar oksigen tertentu khususnya dalam melakukan aktivitas metabolisme. Ikan akan mengalami stress pada kadar oksigen di bawah 3 mg/l, dan pada konsentrasi 2 mg/l ikan akan langsung mati, kecuali beberapa jenis ikan yang dapat hidup,
2.3. Faktor Pembatas yang Mempengaruhi Keberadaan Terumbu Karang Penyebaran ikan-ikan terumbu yang hanya terdapat di perairan tropis berhubungan dengan faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi kehidupan ikan-ikan terumbu. Beberapa faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi kehidupan ikan-ikan terumbu adalah sebagai berikut: 1. Salinitas Faktor yang terutama mempengaruhi konsentrasi cairan tubuh ikan adalah salinitas, yaitu kandungan garam-garam yang terdapat di lingkungan perairan. Kadar salinitas air laut di daerah tropis rata-rata sekitar 32-35 ‰ dan binatang karang hidup subur pada kisaran salinitas sekitar 34-36 ‰. Salinitas binatang karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat, pengaruh alam, seperti run off, badai, hujan sehingga kisaran salinitas bisa mencapai 17,5-52,5 ‰ (Supriharyono, 2000b). Garam-garam yang terlarut dalam air berpengaruh secara tidak langsung terhadap penyebaran ikan melalui proses asimilasi garam-garam tersebut oleh organisme penghasil, organisme penghasil inilah yang akan mempengaruhi ikan. Ikanikan di laut mempunyai konsentrasi kandungan garam di dalam tubuh ikan lebih rendah dari lingkungan perairan yang disebut hipotonik (Rifai et al., 1983). 2. Cahaya Cahaya merupakan unsur penting dalam kehidupan ikan, dan berperan baik langsung maupun tidak langsung. Cahaya dibutuhkan oleh ikan baik dalam menuju mangsanya, menghindarkan diri dari predator, atau dalam perjalanannya menuju suatu tempat (Rifai et al., 1983). Secara tidak
6
seperti jenis ikan sebelah dan ikan pari (Muchtar & Azkab, 1998).
Namun pada kenyataannya (mengacu kepada fenomena suksesi sebagaimana diinformasikan Colhan, 1981; Suharsono dan Kiswara, 1984 dan sebagainya) memunculkan beberapa kerancuan : 1. Pertama, apakah dibenarkan dari sisi ekologis bahwa dominansi menjadi ukuran kestabilan ekosistem; 2. Kedua, apabila nilai keragaman diperoleh, berapakan nilai nyata sebagai tolok ukur strata kesatuan kategori, mengigat bahwa sifat perkembangan ekosistem terumbu karang mengenal adanya suksesi; 3. Ketiga, dengan imbangan nematocyt yang berbeda antar biota karang (Lenhoff dan Muscatine, 1974) dapat diabaikan dalam penentuan penguasaan space oleh perkembangan masing-masing koloni karang dan 4. Keempat, dimungkinkannya terjadinya sibling species karena kenyataan ditemukannya sifat inbreding sehingga akan mengacaukan taksonomi dan perhitungan keragaman. Dengan adanya faktor-faktor tersebut maka menyebabkan penggunaan analisis tutupan karang hidup perlu diperlengkapi dengan kajian simbiosis. Peran endosimbiosis saat ini nampaknya menjadi unsur yang sering dipergunakan sebagai tolok ukur bagi penipisan penyebaran karang secara latitude. Dalam hal ini mempergunakan peubah pembatas (limiting factor) yaitu suhu dan cahaya. Oleh Veron (1995) diterangkan bahwa pandangan yang telah bertahan lama dimana saat ini tidak banyak didukung adalah bahwa distribusi terumbu karang dibatasi oleh distribusi karang; dan bahwa hal ini secara umum menyangkut proses fisiologi khususnya dalam hal penangkapan pakan dan reproduksi. Logika alternatifnya adalah bahwa temperatur membatasi keduanya baik terumbu karang dan karang melalui proses interaksi ekologi, dimana kebutuhan energi (cahaya dan hubungan simbiosis) dari terumbu karang secara progresif menjadi kurang kompetitif melawan dominasi makroalgae dalam ekosistem.
3. Pembahasan Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa ancaman terhadap ekosistem terumbu karang terjadi baik secara anthropogenic maupun secara alamiah. Turunan dari keduanya baik yang bersifat eksploitatif secara langsung maupun tidak langsung adalah adanya penurunan kualitas air laut di wilayah perairan ekosistem terumbu karang. Ini berarti bahwa air merupakan polutan bagi binatang karang. Di laut yang sangat dinamis penyebaran polutan menjadi efektif dengan cakupan wilayah dampak yang luas. Di pihak lain, karang sebagai binatang yang bersifat sessile; oleh adanya sebaran polutan menyebabkan karang sebagai biota dengan potensi kerentanan yang tinggi. Apabila karang tidak dapat bergerak secara bebas akibat tekanan lingkungannya, maka beberapa biota penghuni ekosistem bentukannya dapat berpindah ataupun tinggal bergantung kepada jenis biota. Di sini memunculkan pertanyaan, apakah ekosistem terumbu karang dapat pulih kembali Ini sangat bergantung kepada kemampuan mengendalikan sumber-sumber destruktifnya. Dengan asumsi dapat dikendalikannya faktor polutif/destruktif maka penentu perubahan ekosistem adalah biota karang itu sendiri, meskipun mengalami suksesi yang sangat lama dengan tahap-tahap dominasi oleh kelompok-kelompok lain non karang (Colhan, 1981; Suharsono dan Kiswara, 1984 dan sebagainya). Ini yang nampaknya menjadi dasar ditentukannya binatang karang sebagai tolok ukur dalam mengevaluasi kondisi ekosistem terumbu karang. Penggunaan analisis Cover life (tutupan karang hidup) dalam kaitan trsebut memang benar. Kriteria yang pada awalnya dimunculkan oleh Gomez et al. (1981) adalah : 1. Kategori miskin atau rusak adalah 0-24% 2. Kategori sedang adalah 25-49,9% 3. Kateori baik adalah 50-74,9% dan 4. Kategori sangat baik (excellent) adalah 75100%
7
Sejak diawali penelitian oleh Dana (1843); Vaughan (1918 dan 1919), Davis (1928) dan Yonge (1940) kemudian berturut-turut Vaughan dan Wells (1943), Wells (2954a dan 1957), Stoddart (1969), Rosen (1971 dan 1984) (kesemuanya disitir dalam Veron, 1995); temperatur 18oC yang terus menerus dalam periode waktu tertentu diidentifikasi sebagai temperatur minimum air laut yang secara fungsional terumbu masih dapat bertahan hidup normal. Korelasi ini baru-baru ini diuji ulang dalam cahaya dalam rentang temperatur dan dicatat di Jepang oleh Veron dan Minchin (1992) dan ditemukan benar. Temperatur rendah sering tercatat di lingkungan terumbu karang, tapi dalam sebagian kasus hanya ditemukan adanya kematian parsial (dimana bagian koloni karang mati) atau meliputi terumbu karang yang secara geologis merupakan hasil peninggalan lampau atau secara primer terdiri dari runtuhan yang tidak terkonsulidasi. Fluktuasi temperatur dalam jangka pendek di terumbu karang di Teluk Teluk (Arab dan Parsia) (Coles, 1988; Coles dan Fadlallah, 1991) diketahui sebagai suhu minimum secara global. Dalam hal ini sangat sedikit zooxanthellae diketahui mentolerir temperatur di bawah 11oC pada kondisi alamiah. Stress temperatur panas tidak seperti stress yang dialami oleh karang pada temperatur dingin, yakni bukan merupakan fenomena pembatasan dispersi karang dan juga tidak merupakan pengaruh batas-batas lintang. Secara prinsipil, pengaruh temperatur panas menyebabkan breakdown (kerusakan) simbiosis karang dengan zooxanthellae yang diekspresikan dalam bentuk keluarnya zooxanthellae dari jaringan sel karang atau yang lebih dikenal dengan istilah bleaching. Meskipun stress temperatur tinggi dapat terjadi di daerah terumbu karang lintang tinggi (seperti di Hawaii; Jokiel dan Coles, 1990; di Bermuda, Cook, 1990) itu cenderung terjadi dalam areal yang sempit di kawasan ekuator dimana secara umum ini berkaitan dengan saat surut atau surut yang tidak normal. Pada skala biogeografi, stress temperatur panas selalu berkorelasi dengan fluktuasi cuaca harian yang mana El Nino Southern Oscillation (ENSO)
telah diketahui pengaruhnya yang sangat penting (Glynn, 1990; Guzman dan Cortes, 1992). Dari kajian lain seperti dilakukan oleh Suharsono dan Kiswara (1984) bahwa pada saat karang mengalami tekanan ditemukan adanya indikasi pelepasan zooxanthellae. Pada kondisi dilepaskannya zooxanthellae maka akan dapat ditemukan adanya perbedaan signifikan rasio chlorophyl a : chlorophyl c serta adanya sock protein sebagaimana diinformasikan oleh Nganro (1992) pada biota simbion soft coral. Keduanya secara metodologis dapat dilakukan pengukurannya. Di samping itu, proses relokasi zooxanthellae dalam jaringan karang akan berbeda pembelahannya (mitotic indeks) pada kondisi alamiah maupun tertekan (Zamani, 1991 dan Nganro, 1992). 4. Penutup Kajian tentang endosimbiosis perlu dipertimbangkan sebagai salah satu indikator evaluasi kualitas ekosistem terumbu karang. Dengan mengkorelasikan diantara kajian tutupan karang hidup dan beberapa indeks biologi endosimbiosis dimungkinkan diperoleh kriteria klasifikasi kualitas ekosistem terumbu karang sekaligus sebagai informasi penting dalam menyusun indeks ancaman kualitas ekosistem terumbu karang. Daftar Pustaka Burke, L., E. Selig and M. Spalding. 2002. Reef at risk in South East Asia. www.wri.org/reefatrisk. Dikunjungi tanggal 2 Maret 2002. Coles,
S.L.1988. Limitation of reef coral development in the Arabian Gulf : temperatur or algal competition. Proc. 6th Int. Coral Reef Symp., Australia.
Coles, S.L. and Fadlallah Y.H. 1991. Reef coral survival dan mortality at low temperatures in arabian Gulf : a new species-specific lower temperature limits. Coral Reefs 9 : 231-7.
8
Colhan, M.W. 1981. Succession and Recovery of a coral reef after predation by Acanthaster planci (L). Proc. 4th Int. Coral Reef Symp., Philippines.
Muscatine, L.1990. The role of symbiotic algae in carbon and energy flux in reef coral. In. Dubinsky Z. (Ed). Coral Reefs, ecosystem in the world. Elsevier. Amsterdam.
Cook, C.B., 1990. Elevated temperaturs and bleaching on a high latitude coral reef : the 1988 Bermuda event. Coral reefs 9 ;45-9
Nganro, N.R. 1992. Development of a tropical marine water quality bioassay using symbiotic coelenterata. Ph.D. Thesis, the Univ. of Newcastle upon tyne, UK., 225p.
COREMAP. 2001. Kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang di Indonesia. Coral Reef Rehabilitation and Management Program, Jakarta. Glynn, P.W. 1990. Global ecological consequences of the 1982-1983 El Nino southern oscillation. Elsevier Oceanography Series 52.
Perez, J.M., 1982. Structure and dynamics of assemblages in the pelagial. Ed. By O. Kinne. In Marine Ecology : A comprehensive, integrated tretise on life in oceans and coastal waters Vol. 1. John Wiley & Sons, Ltd. New York.
Gomez, E.D., A.C. Alcala and A.C. San Diego. 1981. Status of Philippine coral reefs. Proc. 4th Int. Coral Reef Symp., Philippines.
Sebens, K.P.1987. Coelenterata. In T.J. Pandian and F.J. Vernberg (eds). Animal energetics. Academic Press, San Diego California.
Guzman, H.M. and J. Cortes, 1992. Coral reef community structure at Cano Island, Pacific Costa Rica. Mar. Ecol. 10 : 23-41. Jasques, T.G. 1983. Experimental ecology of the temperate schleractinia coral Astrangia danae. II. Effect of temperature, light intensity and symbiosis with zooxanthellae on metabolic rate and calcification. Mar. Biol. 76 : 135-48.
Suharsono dan W. Kiswara. 1984. Kematian alami karang di Laut Jawa. Oseana, X:3140. Veron, J. E. N. 1995. Coral in space and time. Australian Institute of Marine Science Cape Ferguson, Townsville, Quensland. Veron, J.E.N and P.R. Minchin. 1992. Correlation between sea surface temperature, circulation patterns and the distribution of hermatypic corals of Japan. Continental Self Res. 12 : 835-57.
Jokiel, P.L. and S.L. Coles, 1990. Response of Hawaiian and other Indo-Pacific reef corals to elevated temperaturs. Coral Reefs 8 : 155-62.
Westmacott, S., K. Teleki., Wells, S. and J. West. 2000. Pengelolaan terumbu karang yang telah memutih dan rusak. IUCN, Switzerland and Cambridge.
Lenhoff, H.M and L. Muscatine, 1974. Coelenterate biology : Review and new perspective. Academic Press. London. Moosa, M dan Suharsono. 1995. Rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang: suatu usaha menuju ke arah pemanfaatan sumberdaya terumbu karang secara lestari. Pros. Seminar Nasional Pengelolaan Terumbu Karang, Jakarta 10-12 Oktober 1995: 189-200
Zamani, N.P. 1991. The use and measurement of mitotic index of zooxanthellae as a bioassay tools. M.Sc. thesis in tropical coastal management. The Univ. Newcastle Upon Tyne, UK., 49 p.
9