TEORI BATAS HUKUM ISLAM: STUDI TERHADAP PEMIKIRAN MUHAMMAD SHAHRUR DALAM WARIS
Disusun Oleh : SUNARDI PANJAITAN NIM: 103044128050
JURUSAN AHWALUSYAKHSHIYAH (PERADILAN AGAMA) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/ 2008 M
TEORI BATAS HUKUM ISLAM: STUDI TERHADAP PEMIKIRAN MUHAMMAD SHAHRUR DALAM WARIS SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam
Disusun Oleh : SUNARDI PANJAITAN NIM: 103044128050
Dibawah Bimbingan
(DR. H. A. Djuaini Syukri, Lc, MA)
(Drs. Umar Al Hadad, MA.g)
JURUSAN AHWALUSYAKHSHIYAH( PERADILAN AGAMA) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/2008 M
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillahirabbi ‘alamin, segala puja hanya bagi Allah. Dia-lah sangkan paran segala kehidupan. Shalawat serta salam hanya bagi Nabi Muhammad Saw, sang pelita alam semesta.. Selanjutnya kami menghaturkan banyak terimakasih kepada seluruh pihak yang turut serta dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “TEORI BATAS HUKUM ISLAM: STUDI TERHADAP PEMIKIRAN MUHAMMAD SHAHRUR DALAM WARIS”. Terimakasih ini kami persembahkan bagi : 1. Prof. Dr. HM. Amin Summa, SH., MA.,MM., selaku dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang kepadanya segala prestasi fakulas ditambatkan 2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., selaku ketua jurusan al-Akhwal al-Syakhsiyah, yang memberikan bimbingan dan arahan kepada kami. 3. Kamarusdiana, SH., MH., selaku sekretaris jurusan al-Akhwal al-Syakhsiyah yang kami anggap sebagai bapak dan sekaligus sahabat bagi kami. 4. Dr. H. A. Juaini Syukri, Lc., M.A dan Drs. Umar al Haddad, M.Ag., selaku pembimbing skripsi ini, yang telah memberikan waktu untuk mengoreksi serta memberikan bimbingan kepada kami. 5. Kepada seluruh dosen, di Fakultas Syariah yang selalu menyalakan bara api pengetahuan yang begitu mulia. 6. Kepada Ayahanda dan bunda yang kasih sayangnya tak pernah sirna dalam hidupku. Doa dan ridho mereka berdualah yang selalu menjadi obat penawar dan pelipur lara dalam segala gerak kehidupanku.
7. Kepada adik-adikku yang selalu memberikanku dorongan dan motivasi untuk bisa menyelesaikan studi ini secepatnya. Berkat Doa dan dorongannya saya bisa menyelesaikan skripsi ini. 8. Kepada seluruh keluarga besarku, Pamanku, Kakek dan Nenek, Bibi dan seluruhnya yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu yang selalu memberikan dorongan bimbingan selama saya menempuh studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 9. Kepada semua sahabatku yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu. Dari mereka saya belajar banyak dalam mengarungi kehidupan yang tiada terduga ini. Akhirnya penulis berharap kepada Allah Swt. Semoga skripsi ini bermamfaat bagi semua pihak. Jakarta, Medio Januari 2008
Penulis
DAFTARA ISI
Lembar Pengesahan Skripsi KATA PENGANTAR………………………………………………………………..i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………….iii BAB I PENDAHULUAN…..…..…………………………………………… 1
II
III
A.
Latar Belakang Masalah………………………………………2
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………………7
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………..8
D.
Metode Penelitian……………………………………………..9
E.
Sistematika Penulisan……………….………………………..10
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN MUHAMMAD SHAHRUR…...12 A.
Biografi Muhammad Shahrur dan Latar Belakang Sosialnya..12
B.
Dasar Pemikiran Muhammad Shahrur……………………….17
C.
Karir dan Karya Muhammad Shahrur………………………..19
TEORI BATAS HUKUM ISLAM…………………………………23 A.
Pengertian dan Latar Belakang Lahirnya Teori Batas Hukum Islam………………………………………………………….23
B.
Sumber-sumber Teori Batas…………………………………28
C. IV
V
Al-Istiqamah dan al-Hanifiyah……………………...………..32
IMPLEMENTASI TEOR BATAS DALAM HUKUM WARIS….44 A.
Ketentuan Umum Hukum Waris Dalam al-Qur’an…………..44
B.
Pemikiran Shahrur Dalam Waris………….………………….48
C.
Analisis……………………………………………………….55
PENUTUP…………………………………………………………...64 A.
Kesimpulan…………………………………………………...64
B.
Saran-saran...……………………………….…………………67
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….69
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Diantara sekian banyak ayat-ayat tentang hukum (ayat ahkam) dalam al-Qur’an yang menurut Abdul Wahhab Khallaf berjumlah 2281, hanya ayat tentang warislah yang secara riqid dan detail diterangkan oleh al-Qur’an dengan ad nauseum (secara panjang lebar). Beberapa ahli hukum meengakui bahwa tidak ada satu aspek hukumpun yang secara teknis menunjukkan keistimewaan hukum Islam selain dari pada hukum waris2, yang diyakini sebagai model hukum yang canggih dan lengkap. Karena hukum waris di dalam al-Qur’an telah dipresentasikan dalam teks-teks yang rinci, sistematis, konkret dan realistis sehingga menutup kemungkinan adanya multiinterpretasi3. Pembagian warisan yang telah ditentukan oleh al-Qur’an diatas, oleh para ulama dipahami sebagai sesuatu yang taken for granted sehingga memiliki signifikasi yang aksiomatik4 meminjam istilah Nasr Hamid Abu Zayd yaitu merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Konsepsi ini terbentuk karena teks (nash) yang mendasarinya dipandang sebagai qat’iyy as-subut dan qat’iyy ad-dalalah yang dalam
1
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam; (Ilmu Ushul Fiqih), (Jakarta: Rajawali pres, 1996),,Cet.ke-6 hal, 41-42 2 J.N.D Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, terj, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994) hal.72 3 A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997) hal 1 4 Nasr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi’i Modernitas Ekletisisme Arabisme, terj. (Yogyakarta: LKiS, 1997) hal.42
agama dianggap sebagai sesuatu yang wajib diterima sebagaimana adanya, yang berlaku secara mutlak (compulsory law). Secara spesifik, masalah waris adalah yang paling kontroversi. Adalah Munawir Sadjali yang telah menabuh genderang penggugatan terhadap hukum waris Islam. Ia pertama kali yang menggelindingkan “bola salju pemikiran” yang ia istilahkan dengan “Reaktualisasi Ajaran Islam”. Ia menawarkan peninjauan kembali mengenai ta’lil alahkam atau ratio legis meminjam istilah Fazlurrahman, terhadap formulasi 2:1 bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Menurutnya, legislasi ini mempunyai latar belakang sosiokultural dimana ketentuan ini disyari’atkan, sehingga dengan demikian dimungkinkan adanya modifikasi yang dirasa lebih adil5. Munculnya gagasan diatas, karena secara faktual Munawir Sadjali melihat ketentuan formulasi 2:1 sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut beliau banyak di berbagai daerah termasuk daerah-daerah yang Islamnya kuat seperti Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan bahkan Aceh yang menghendaki pembagian yang tidak sesuai dengan faraid dengan pergi ke Pengadilan Agama. Sedangkan dipihak lain, semakin membudayanya kebijakan mendahului
(pre-empetive)
seperti
hibah
yang
dianggap
Munawir
sebagai
“penyimpangan” secara tidak langsung atau meminjam istilah beliau menghindar secara tidak jantan dari hukum waris Islam6. Dan fenomena ini menurut beliau termasuk kategori helah atau bermain-main dengan agama.
5
M. Wahyu Nafis dkk. (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam; 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sadjali, MA,. (Jakarta: paramadina, 1995), hal.89 6
Munawir Sadjali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1997) hal. 62
Bak gayung bersambut, Komaruddin Hidayat justru melontarkan pendapat yang kelihatan lebih ekstrim dari tawaran formulasi 1:1. ia berpendapat lebih Qur’ani jika kita sekarang mengikuti tadisi orang Minang yang memberikan harta waris lebih banyak bagi wanita daripada kaum laki-laki7. Argumentasi yang dibangun adalah berangkat dari konsepsi bahwa secara historis-sosiologis semangat al-Qur’an adalah membela hak-hak martabat kaum wanita dari penindasan kaum laki-laki. Dengan demikian Komaruddin Hidayat menawarkan formulasi berbanding terbalik dengan formulasi 1:2. karena formulasi 2:1 yang ada dalam al-Qur’an menurut Komaruddin adalah merupakan respon sosiologis terhadap situasi sosial masyarakat Arab pada waktu itu yang menganggap wanita sebagai “something” bukan “someone”. Komaruddin Hidayat ternyata punya alasan tersendiri. Ia bahkan memandang sangat penting untuk segera melakukan dekontruksi pemahaman terhadap bahasan agama. Ada beberapa alasan yang dikemukakannya, Pertama, al-Qur’an sebagai firman Allah turun dalam konstrain sejarah, sehingga mau tidak mau ia terkurung oleh penggalan ruang dan waktu. Kedua, bahasa yang digunakan al-Qur’an memiliki keterbatasan yang bersifat lokal, karena bahasa merupakan cerminan realitas budaya yang menggunakan budaya tersebut. Ketiga, al-Qur’an merupakan rekaman dialog Allah dengan sejarah dimana kehadiran-Nya diwakili oleh rasul-Nya. Dan ketika dialog tersebut dikodifikasi, sangat mungkin terjadi reduksi dan kehilangan ruh setelah ratusan tahun kemudian hanya berupa teks8.
7
Komaruddin Hidayat , Tragedi Raja Midas; Moralitas Agama dan Krisis Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 121 8
Ibid, hal 97-98
Namun lain halnya lagi di wilayah Maghribi (Afrika Utara), sebahagian fuqaha justru pernah memfatwakan bahwa apabila seorang istri telah mampu memenuhi kebutuhannya sendiri terlepas dari suaminya, maka ia dinyatakan tidak berhak lagi memperoleh bagian warisan ayahnya. Pendapat ini justru dikomentari oleh Muhammad Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai suatu penafsiran yang kontekstual yang didesakkan oleh lingkungan sosialnya, walaupun secara lahiriah bertentangan dengan teks al-Qur’an itu sendiri.9 Argumentasi al-Jabiri dibangun di atas konsepsi bahwa kemaslahatan adalah prioritas utama, karena tujuan teks agama tiada lain untuk menjaga kemaslahatan umat manusia. Dan ketentuan fuqaha untuk tidak memberikan warisan kepada perempuan yang sudah bisa memenuhi kebutuhannya sendiri adalah untuk menghindari timbulnya kekacauan dan disequilibrium. Karena pada esensinya yang diinginkan oleh nash alQur’an pada saat diturunkannya ketentuan tentang warisan menurut al-Jabiri adalah demi harmonisasi dan keseimbangan, dimana tanpa keharmonisan tersebut kehidupan masyarakat tribal tidak akan berlangsung lama10. Disamping itu, dalam masayarakat modern kesadaran akan kesetaraan jender semakin memperkuat posisi tawar perempuan untuk berdiri sejajar dengan laki-laki. Hak dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan adalah seimbang termasuk didalamnya adalah masalah hak dalam warisan. Sampai disini timbul banyak permasalahan. Pertanyaan mendasar sehubungan dengan permasalahan teks al-Qur’an adalah bagaimana memahamai teks, terutama teks ayat hukum yang sarih dan dinilai qath’i sehingga tidak bertentangan dengan tuntutan
9
Muhammad Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, terj. (Yogyakarta: LkiS 2000) hal. 46 Ibid, hal. 44
10
kondisi obyektif yang dihadapi masyarakat. Bukankah al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam diturunkan untuk kepentingan manusia? Jika asumsi dasar ini diterima, maka perlu dicari sebuah model pendekatan dalam memahami teks tersebut sehingga tidak terjadi kontradiksi antara teks dan realitas. Pada dataran inilah perlu dieksplorasi lebih lanjut konsep-konsep radikal filosofis yang mendasari teks, yaitu bagaimana menjembatani antara teks dan konteks agar tidak terjadi paradoks dan kontradiktif, sehingga terbukti bahwa ajaran Islam adalah shallih li kulli zaman wa makan. Dalam kasus waris, ketika teks secara sarih menyebutkan perbandingan pembagian 2:1 antara anak laki-laki dan anak perempuan, sementara kondisi obyektif masyarakat menginginkan pembagian yang lebih adil, apakah teks tersebut bisa dipahami dengan konteks yang sesuai dengan kondisi tersebut? Dari sinilah tawaran Munawir Sadzali untuk membagi samaratakan antara laki-laki dan perempuan sebagai salah satu bentuk reaktualisasi hukum Islam di Indonesia perlu di eksplorasi lebih lanjut. Pada dataran metodologis, pendekatan yang digunakan para pembaharu hukum di Indonesia, seperti Hasbi as-Siddiqi, Munawir Sadzali dan Komaruddin Hidayat cenderung pada pendekatan kontekstual, dimana lebih mengedepankan rasa keadilan dan pembagian rasional. Baik Munawir maupun Komaruddin, menolak pendekatan tekstual untuk memahami nash yang berhubungan dengan fiqih atau hukum. Bagi mereka, tingkat peradaban manusia yang tercermin dalam kondisi sosio-kultural suatu masyarakat (masalih murshalah) yang merupakan alasan utama untuk memahami nas tersebut. Lantas seberapa kuat otoritas kondisi sosio-kultural masyarakat dalam menafsirkan teks? Bukankah kondisi sosio-kultural masyarakat cenderung berubah serta bersifat lokal dan temporal?
Jika pendekatan tekstual diangap selalu tidak relevan, sementara pendekatan kontekstual cenderung larut bersama relativitas dan kenisbian dinamika sosio-kultural masyarakat, lantas pendekatan apalagi yang dapat digunakan dalam menyelesaikan permasalahan warisan yang dianggap kurang memenuhi rasa keadilan? Berangkat dari pertanyaan inilah, Muhammad Shahrur menawarkan teori hukumnya, yang ia sebut dengan istilah Teori Batas (nazariyah al-hudud). Menurutnya, para ahli hukum perlu selalu berusaha mengembangkan teori-teori hukum baru sesuai dengan latar belakang sosio-kultural dan pengetahuan obyektif masyarakat kontemporer. Shahrur menganggap, kemandekan pemikiran Islam saat ini, lebih disebabkan tidak adanya gaya penafsiran baru yang bersifat rasional, tetapi juga tidak menentang teks. Shahrur berpendapat, bahwa dalam memahami al-Qur’an, ummat Islam hendaknya bersifat sebagai generasi awal Islam. Selanjutnya Shahrur menjelaskan bahwa dalam memahami ayat waris, tidak memahami teks (nash) sebagai pembuktian hukum yang hendak membatalkan atau menetapkan hukum syari’at, akan tetapi memahami ayat sebagai salah satu bentuk aturan yang mengatur proses perpindahan harta kepemilikan dari seorang kepada pihak lain11. Berlatar belakang pendidikan tehnik, Shahrur menawarkan suatu pendekatan metode dalam menafsirkan teks yang lebih rasional. Selain seorang Doktor Teknik Shahrur juga merupakan ahli bahasa, sehingga kajian-kajian keislaman yang dilakukannya berawal dari kajian kebahasaan yang kemudian dipadukan dengan ilmu eksakta
yang
dimilikinya.
Sehingga
munculnya
gagasan
teori
batas
(teori
limit/nazariyyah al-hudud) adalah perpaduan antara ilmu tafsir dengan ilmu eksakta yang
11
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terj. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004) Cet. Ke-2 hal. 318
dilakukan oleh Shahrur. Dan inilah alasan kuat penulis untuk mencoba mendalami pemikiran Shahrur yang penulis angkat dalam sebuah skripsi. Berangkat dari latar belakang inilah, penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh lagi pemikiran-pemikiran Muhammad Shahrur terutama dalam masalah waris. Untuk itulah, judul skripsi ini adalah : TEORI BATAS HUKUM ISLAM: STUDI TERHADAP PEMIKIRAN MUHANMMAD SHAHRUR DALAM HUKUM WARIS.
Pembatasan dan Perumusan Masalah Mengingat sangat luasnya cakupan teori batas yang digagas oleh Muhammad Shahrur, yakni mencakup hampir seluruh masalah hukum Islam, maka pembahasan skripsi ini, penulis akan membatasi pada permasalahan di sekitar bagian waris saja, namun tidak menutup kemungkinan, untuk memperjelas pembahasan ini, penulis akan menambahkan dengan permasalahan tersebut. Sebagai pembatas masalah, penulis akan mengarahkan pembahasan pada bagaimana teori batas ini dipergunakan menyelesaikan permasalahan waris yang selama ini menjadi polemik antara penganut tekstual dan kontekstual. Adapun masalah dalam pembahasan ini yang penulis jadikan acuan dalam penjabaran dan penguraian agar tidak keluar dari permasalahan dan pembahasan dari skripsi ini adalah Apa dan bagaimana sebenarnya konsep teori yang ditawarkan oleh Muhammad Shahrur serta mplemetasinya dalam permasalahan waris?.
Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian a.
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui alasan dan latar belakang pemikiran Muhammad Shahrur sehingga memunculkan teori batas tersebut. 2. Mengetahui pemikiran Muhammad Shahrur dalam hukum waris secara keseluruhan. 3. Untuk mengetahui apakah tawaran yang diberikan Muhammad Shahrur mampu mengetengahkan problematika antara tekstual dan kotekstual dalam permasalahan warisan.
b. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Bagi para akademisi dapat memberikan sumbangan pemikiran, ide atau gagasan untuk menambah literatur atau bahan, referensi pada Perpustakaan Fakultas Syari’ah UIN Syarif Hidayatullah dan tentunya sumbangsih dalam bidang pendidikan. 2. Bagi para desition maker dalam merumuskan hukum waris di Indonesia, dapat menambah referensi dalam menetapkan hukum. Bahwa dalam menetapkan hukum tidak hanya berpatokan pada teks (nash) semata, akan tetapi juga melihat sosio-kultural yang berkembang di masyarakat. 3. Manfaat bagi penulis adalah dapat menambah wawasan mengenai hukum waris serta teori-teoti yang dikembangkan oleh pemikir Islam.
Metode Penelitian Metodologi penelitian Dari jenis data penelitian yang digunakan bersifat kualitatif. Secara metodologis, metode yang digunakan dalam mengkaji masalah ini adalah metode penelitian kepustakaan (library research), dengan menggali sumber-sumber primer. Dan untuk lebih mempertajam yang dibahas, penulis menggunakan metode deskriptif-analaitis. Deskriptif disini dimaksudkan sebagai upaya untuk mendiskripsikan pemikiran-pemikiran Muhammad Shahrur tentang tema yang diangkat. Analitis berarti menganalisa pemikiran-pemikiran Shahrur apakah bisa dijadikan sebagai tawaran alternatif baru dalam menafsirkan teks waris. Teknik Pengumpulan data Pengumpulan data menggunakan studi dokumenter, yakni dengan memamfaatkan bahan-bahan primer dan sekunder. Adapun sumber primer dalam masalah ini adalah buku al-Kitab wa al-Qurán: Qiraáh Muashirah, Nahw Usul Jadidah Lil al-Fiqih al-Islami, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer dan Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer yang dikarang oleh Muhammad Shahrur. Adapun sumber sekundernya adalah data-data yang berhubungan dengan masalah yang dibahas. Teknik analisis data Analisis data menggunakan teknik analisis isi secara kualitatif (Qualitative Content Analysis). Dalam analisis ini semua data yang dianalisis berupa teks. Dalam hal ini berupa teks-teks pemikiran Muhammad Shahrur. Analisis isi kualitatif digunakan untuk menemukan, mengindetifikasi dan menganalisis teks atau dokumen untuk memahami makna, signifikansi dan relevansi teks atau dokumen tersebut.
Sistematika Penulisan Pembahasan dalam skripsi ini dituangkan dalam lima bab. Adapun rincian sistematika penulisan yang penulis susun adalah: BAB I adalah pendahuluan meliputi dari latarbelakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan ditutup dengan sistematika penulisan. BAB II akan mengulas profil dari Muhammad Shahrur. Dalam bab ini akan dijelaskan latar belakang kehidupan, pendidikan, karir akademik dan birokrasi serta karya-karya Muhammad Shahrur. BAB III akan membahas tentang teori batas, meliputi pengertian, konsep dan cakupan teori tersebut dalam hukum Islam. Serta bagaimana sebenarnya konsep teori batas yang digagas oleh Muhammad Shahrur. BAB IV akan mempertajam pembahasan ini, dengan mengolaborasikan pemikiran Shahrur dalam waris. Kemudian mencoba menggali tawaran Shahrur dalam masalah waris dengan menggunakan teori batas. Kemudian ditutup dengan sebuah analisis penulis. BAB V sebagai penutup. Seluruh pembahasan diatas kemudian diikat dalam beberapa kesimpulan dan “dibubuhi” beberapa saran yang penulis ajukan dalam bagian ini.
BAB II
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN MUHAMMAD SHAHRUR
A. Biografi Muhammad Shahrur dan Latar Belakang Sosialnya Syria dengan ibukota Damaskus, tercatat sebagai negara yang memiliki pengaruh luar biasa di blantika pemikiran dunia Islam, baik sosial, politik, budaya dan intelektual. Seperti umumnya yang dialami negara-negara Timur Tengah. Syria pernah mengalami problematika modernitas, khususnya benturan keagamaan dengan gerakan modernisasi Barat. Problema ini muncul disebabkan dampak dari invansi Prancis dan gerakan modernisasi Turki. Selain itu, Syria pernah menjadi region dari dinasti Utsmaniyyah. Problema ini pada gilirannya, memunculkan tokoh-tokoh semisal Jamal al-Din al-Qasimi dan Thahir al-Jaza’ri yang berusaha menggalakkan reformasi keagamaan di Syria12. Reformasi al-Qasimi berorientasi pada pembentangan umat Islam dari kecendrungan Tanzimat yang sekular dan penggugahan intelektual Islam dari ortodoksi. Untuk itu, umat Islam harus mampu meramu rasionalitas, kemajuan, dan modernitas dalam bingkai agama. Dalam hal ini, al-Qasimi mencanangkan untuk menemukan kembali makna Islam yang orisinil dalam al-Qur’an dan Al-Sunah dengan menekankan ijtihat13. Ide al-Qasimi kemudian dilanjutkan oleh Thaha al-Jaza’iri. Kali ini gagasannya lebih mengarah kepada upaya pemajuan di bidang pendidikan. Dari sinilah kemudian terlihat iklim intelektual Syria, setingkat lebih “maju” ketimbang negara-negara muslim Arab lainnya yang masih memberlakukan hukum Islam secara kaku, terutama dalam hal kebebasan berekspresi. Angin segar bagi tumbuhnya suatu imperium pemikiran di Syria
12 13
Lihat. http://www.islamensipatoris.com. Ibid
lebih nyata dan menjanjikan dibanding negara-negara Arab lainnya, karena tidak semua negara Arab menerima ide mengenai pembaharuan dalam Islam, misalnya yang harus diterima Fazlur Rahman14 dan Nasr Hamid Abu Zayd15 yang harus hengkang dari negaranya masing-masing. Kehadiran Muhammad Shahrur menjadi bukti bahwa Syria merupakan negara yang menerima ide-ide segar yang muncul dalam pemikiran Islam. Muhammad Shahrur yang bernama lengkap Muhammad Shahrur bin Daib Tahir dilahirkan di Damaskus, Syria, pada 11 April 1938 M16. Ayahnya bernama Deyb bin Deyb Shahrur dan Ibunya adalah Siddiqah binti Salih Filyun17. Dalam kehidupan pribadinya, Shahrur dinilai telah berhasil membentuk sebuah keluarga yang bahagia. Dari Istri tercintanya, Azizah, ia memperoleh lima anak dan dua cucu. Tiga anaknya yang sudah menikah adalah Tariq (beristrikan Rihab), Lays (beristrikan Olga), dan Rima (bersuamikan Luis). Sedangkan dua lainnya adalah Basil dan Mas’un dan dua cucunya bernama Muhammad dan Kinan. Kasih sayang Shahrur terhadap keluarganya, paling tidak, diindikasikan dengan selalu melibatkan mereka dalam lembaran persembahan karya-karyanya. Pendidikannnya diawali di sekolah dasar yakni Ibtida’iyah, I’dadiyah dan Tsanawiyah ditempuh di kota kelahirannya pada lembaga pendidikan ‘Abdurrahman alKawakibi. Ijazah Tsanawiyahnya ia peroleh dari sekolah itu pada tahun 1957. Pada bulan
14
Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 2003) hal. vii Nasr Hamid Abu Zayd, karena pemikiran kontroversialnya, harus hengkang dari negerinya ke Universitas Laiden, Belanda, Lihat. Hamid Abu Zayd al-Qur’an, Hermeutika dan Kekuasaan, terj. Dedi Iswandi, dkk ( Bandung, RqiS, 2003) hal. 18 16 Muhammad Shahrur, Al-Kitab wa AlQur’an; Qira’ah Mu’asirah. (Damaskus: al-Ahali li alTiba’ah wa al-Nasyr, 1999), hal.823 17 Ahmad Syarqawi Ismail, Rekontruksi Konsep Wahyu Muhammad Shahrur, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), hal.43. 15
Maret 1958 dengan beasiswa dari pemerintah ia pergi ke Uni Soviet untuk mempelajari Teknik Sipil (Hadanah Madaniyah) di Moskow. Pada tahun 1959 dan tahun 1964, Shahrur menyelesaikan diplomanya di bidang teknik tersebut dan kembali ke Syria pada tahun 1965 serta mulai mengabdi di Universitas Damaskus. Pada tahun yang bersamaan, Shahrur melanjutkan studi ke Irlandia tepatnya di Universitas College, Dublin dalam bidang studi yang sama. Pada tahun 1967, Shahrur berhak melakukan penelitian pada Imparsial College, London, Inggris. Karena pada tahun itu, terjadi konflik politik antara Syria-Inggris, lalu ia keluar dari Inggris18. Selanjutnya Universitas Damaskus mengirimkannya ke Irlandia untuk melanjutkan program Megister dan Doktoralnya di bidang teknik sipil konsentrasi Mekanika Pertanahan (Soil mechanich) dan teknik pembangunan ( Fondation Engineering) di Universitas Nasional Irlandia. Gelar Magisternya ia dapat pada tahun 1969 dan gelar Doktoralnya pada tahun 1972 dan sejak itulah Shahrur kembali ke Damaskus , kota kelahirannya. Setelah tercapainya gelar Doktor, Shahrur diangkat menjai dosen di fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus di Bidang Mekanika Tanah dan dasar bumi sejak tahun 1972 sampai sekarang. Dari hasil belajarnya diluar negeri, ia tidak hanya belajat teknik sipil, akan tetapi ia juga belajar ilmu Filsafat, Fiqih Lughah, dan ilmu Linguistik. Ia menguasai dua macam bahasa selain bahasa Ibunya sendiri (bahasa Arab) yaitu bahasa Rusia dan bahasa Inggris.
18
Data ini diperoleh dari makalah yang ditulis oleh Yusron Wahab, Reading al-Kitab Versi Shahrur, Makalah tidak diterbitkan.
Kemudian pada tahun 1995, Shahrur juga pernah di undang menjadi peserta kehormatan dan terlibat dalam debat publik mengenai pemikiran keislaman di Libanon dan Maroko. Meskipun dasar pendidikan Muhammad Shahrur adalah teknik, namun ia tidak berarti ia sama sekali kosong mengenai wawasan keislaman. Sebab akhirnya ia tertarik untuk mengkaji al-Qur’an dan Hadits secara lebih serius dengan pendekatan filsafat bahasa dan dibingkai dengan teori ilmu eksaktanya, bahkan ia juga menulis dan artikel tentang pemikiran keislaman19. Konsen Shahrur terhadap kajian ilmu keislaman sebenarnya dimulai sejak ia berada di Dublin, Irlandia pada tahun 1970-1980 ketika mengambil program Magister dan Doktoralnya. Di samping itu, peranan temannya DR. Ja’far Dik alBab juga sangat besar. Sebagaimana diakuinya, berkat pertemuannya dengan Ja’far pada tahun 1958 dan 1964, Shahrur dapat belajar banyak tentang ilmu-ilmu bahasa20. Dalam masa mengenyam studi di Moskow, antara tahun 1957-1964, Shahrur mulai merasakan “benturan peradaban” antara latar belakang ideologisnya sebagai seorang muslim dan fenomena sosial-intelektual di Moskow yang komunis. Di negara inilah, Shahrur mulai berkenalan dan kemudian mengagumi pemikiran Marxisme. Sungguhpun ia tidak mengklaim sebagai penganut aliran tersebut21. Namun demikian ia mengakui banyak berhutang budi pada sosok Hegel22 –terutama dialektikanya- dan Alfred North White Head23.
19
Abdul Mustaqim, Mempertimbangkan Metodologi Muhammad Shahrur, Dalam Shohiron Syamsuddin,dkk, (ed), Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Islamika, 2003), hal. 124. 20 Ibid. hal. 129. 21
Muhammad Shahrur, Islam dan Konferensi Dunia Untuk Perempuan” Dalam Charles Kurzman (ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam kontemporerTentang Isu-isu Global, terj. Bahrul Ulum (Jakarta: Paramadina, 2001), hal. 210. 22 Hegel adalah filsuf yang berasal dari Jerman, nama lengkapnya George Wilhelm Friedrich Hegel, dilahirkan pada tanggal 27 Agustus di Stuttgart dan meninggal pada tanggal 14 November 1831.
Sebuah proses yang wajar yang dialami seseorang ketika mengalami perbenturan kultural sebagaimana dialami oleh Shahrur adalah munculnya berbagai pandangan baru yang cenderung berbeda dan kontradiktif. Hal ini kemudian melahirkan berbagai pertanyaan yang berusaha mendobrak kemapanan prespektif dan keyakinan, baik terkait dengan moralitas maupun doktrin teologis. Kegelisahan ini juga dialami oleh Shahrur. Kegelisahan ini belanjut hingga ia menempuh program magister dan doktoralnya di Universitas Dublin Irlandia. Berdasarkan pengakuannya, sejak tahun 1970, Shahrur mencoba melakukan kajian ulang terhadap berbagai konsep yang selama ini sudah dianggap baku dalam doktrin teologi Islam. Ia mulai tertarik untuk mengkaji tema-tema terkait dengan al-Qur’an, antara lain konsep al-Zikr, ar-Risalah dan an-Nubuwah. Sepuluh tahun berlalu, Shahrur masih bergelut dengan berbagai pertanyaan yang belum terjawab secara memuaskan. Shahrur merasakan bahwa kajiannya sejak tahun 1970-1980 tersebut tidak membuahkan hasil. Pada tahun 1980 Shahrur bertemu dengan Ja’far Dikki al-Bab seorang Doktor ilmu bahasa lulusan Unversitas Moskow tahun 1973 sekaligus teman sejawatnya sebagai tenaga pengajar di Universitas Damaskus. Pertemuan yang dilanjutkan dengan rangkaian diskusi serius dan intensif hingga tahun 1986 ini, merupakan “fase pencerahan” dalam diri Shahrur yang secara konsekuen membentuk pola pikir Shahrur dan kecenderungannya untuk mendalami filsafat bahasa dan humanisme. Fase tersebut Pendidikan filsafat dan teologi di peroleh Hegel dari Universitas Tubingen, Jerman. Dari Tubingen, Hegel lalu pindah ke Switzerland dan memperdalam filsafat pengetahuan di Frankfurt. Karir akademisnya menanjak ketika ia mengajar di Universitas Jena dan pada tahun 1805 Hegel diangkat menjadi Profesor Filsafat. Lih. Donny Gahral Adian, Pilar-pilar Filsafat Kontemporer, (Yogyakarta: Jalasutra, 2002), hal. 26. 23 Ahmad Fawaid Sjadzali, M. Shahrur: Figur Fenomena Dari Syiria, Makalah dikuitp dari http://www.islamlib.com.
menunjukkan pengaruh besar yang diperoleh Shahrur dari pemikiran Ja’far tentang rahasia bahasa Arab. B.
Dasar Pemikiran Muhammad Shahrur
Mengetahui dasar pemikiran seorang tokoh merupakan hal yang mutlak untuk diketahui sebelum kita masuk untuk mengetahui pemikirannya. Karena dasar pemikiran merupakan pijakan yang dijadikan titik tolak yang sudah barang tentu sangat mempengaruhi seluruh kontruksi dan bangunan pemikiran seseorang. Shahrur dalam pola pemikirannya bertolak dari pada Landasan Metodologis. Dalam melakukan pembacaan terhadap al-Qur’an, Shahrur menjadikan linguistik sebagai dasar pandangan dalam membaca al-Qur’an (majhad lughawi), karena ia disamping sebagai eksak (teknik sipil), ia juga seorang ahli filsafat bahasa24. Memang pada dasarnya secara akademis Shahrur tidak memahami dan mendalami bahasa Arab, akan tetapi pengetahuannya tentang bahasa Arab tidak bisa diremehkan, terutama sejak pertemuannya dengan temannya yaitu Ja’far Dikki al-Bab. Shahrur dalam menyampaikan pemikirannya dalam al-Kitab al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah menggunakan suatu metode kebahasaan yang terilhami oleh ilmu linguistik modern. Metode tersebut dinamakan dengan al-manhaj at-tarikh al-ilmi (metode histories ilmiah)25. Akan tetapi Shahrur sendiri tidak membahas secara detail tentang manhaj yang dipergunakannya. Dan Ja’far Dikki al-Bab merupakan orang yang paling berperan dalam pemahaman metode yang dibawakan Shahrur.
24
Abdul Mustaqim, Op Cit. hal. 129 Muhammad Shahrur, Al-Kitab wa AlQur’an; Qira’ah Mu’asirah. (Damaskus: al-Ahali li alTiba’ah wa al-Nasyr, 1999), hal 741. 25
Metode Shahrur yang disebut sebagai al-manhaj at-tarikh al-ilmi merupakan sebuah metode yang digali dari teori linguistik Ibn Jinni dan a-Jurjani. Kristalisasi dari kedua tokoh tersebut meyatu menjadi teori Farisian yang dikembangkan oleh Abu al-Farisi26. Sintesa tersebut secara garis besar memberikan ketentuan-ketentuan bahwa bahasa adalah suatu tatanan, bahasa merupakan bentuk realitas sosial, dan struktur bahasa selalu berkaitan dengan fungsi iblaqh (fungsi penyampai), serta adanya korelasi antara bahasa dan pemikiran. Dari Abu al-Farisi, Shahrur menganut prinsip sebagai berikut : 1. Bahwa bahasa merupakan sebuah sistem (anna al-lughah nizam) 2. Bahasa merupakan fenomena sosiologis dan kontruksi bahasanya sangat terkait dengan kontek dimana bahasa itu disampaikan. 3. Ada keterkaitan (at-talazum) antara bahasa dan pemikiran27. Metode linguistik Shahrur secara utuh sebagai bahan pembacaan terhadap alQur’an secara keseluruhan memberikan aturan-aturan sebagai berikut: Bahasa sebagai medium komunikasi antara manusia sehingga menimbulkan adanya keterkaitan antara ucapan dan pikiran manusia. Maksudnya manusia sejak awal telah berbicara yaitu melalui suara untuk mengkomunikasikan tujuan-tujuan (pikirannya) kepada orang lain. Sementara proses pemikiran manusia tidaklah terbentuk sekali waktu, akan tetapi terbentuk secara bertahap dari ilmu pengetahuan inderawi kemudian meningkat menjadi pengatahuan abstrak.
26
Muhammad Shahrur, Dasar-dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer, terj. Sohiron Syamsuddin, dkk. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), hal. 26. 27
Abdul Mustaqim, Op Cit hal. 126
Begitu pula tatanan bahasa, ia tidak langsung terbentuk secara sempurna tetapi melalui proses benturan dengan peradaban yang sejalan dan sesuai dengan perkembangan pengetahuan manusia. Dengan menggunakan metode linguistiknya, Shahrur kemudian membangun teori batas (teori hudud), yang di dasarkan atas pemahaman terhadap dualitas yakni al-hanif dan alistiqamah. C.
Karir dan Karya Muhammad Shahrur a. Karir Akademis dan Pemeritahan Muhammad Shahrur
Setelah menyelesaikan program doktoralnya di Dublin, Shahrur menjadi salah satu staf pengajar di Universitas Damaskus di Syria. Di universitas inilah Shahrur memulai karir akademiknya. Disamping menjadi dosen, Shahrur juga menjadi konsultan teknik. Pada tahun 1982-1983, Shahrur dikirim pihak Universitas untuk menjadi staf ahli pada al-Saud Consult, Saudi Arabia. Selain itu, bersama beberapa rekannya di fakultas, Shahrur membuka biro konsultan teknik (an engineering consultancy/ dar al-istisyarat alhandasiyah) di Damaskus28. Tidak ada data dan penjelasan yang penulis dapatkan dari karir Shahrur dalam bidang pemerintahan. Karir Shahrur hanya berada dalam lingkup akademis, yakni sebagai dosen di Universitasnya. b. Karya-karyanya
28
Ahmad Fawaid Sjadzali, Op Cit.
Syria merupakan negara yang sangat kondusif dalam menyokong aktualisasi ideide dan pemikiran Shahrur sehingga ia menjadi muslim moderen yang cukup produktif. Produktifitasnya terlihat ketika Shahrur menghasilkan berbagai karya tulis yang dibukukannya. Buku pertama yang ia terbitkan adalah al-Kitab wa al-Qur’an: al-Qira’ah al-Mu’asirah pada tahun 1990. Buku tersebut merupakan hasil pengendapan pemikiran yang cukup panjang, sekitar 20 tahun. Pada fase pertama, yaitu tahun 1970-1980, Shahrur merasa kajian keislaman yang selama ini dilakukan kurang membuahkan hasil dan tidak ada teori baru yang diperoleh. Karena dirinya merasa terkungkung dalam kerangkeng literatur-literatur keislaman klasik yang cenderung memandang Islam sebagai ideologi, baik dalam bentuk pemikiran kalam atau fiqih. Sebagai implikasinya, pemikiran keislaman mengalami kejumudan dan tidak bergerak sama sekali, karena selama ini pemikiran keislaman dianggap final29. Menurut Eickelman-Piscatori, sebagaimana dikutif Bisri Efendi, buku tersebut secara umum mencoba melancarkan kritik terhadap kebijakan agama konvensional maupun kepastian radikal keagamaan yang tidak toleran30. Pada tahun 1994, Shahrur merampungkan buku keduanya dengan judul Dirasat Islamiyah Mua’sirah fi al-Daulah wa al-Mujtama. Dalam buku ini Shahrur secara spesifik menguraikan dan membahas tema-tema sosial-politik yang berkait erat dengan permasalahan masyarakat (al-mujtama’) dengan negara (al-Daulah), tetapi tetap pada tawaran metodologisnya dalam memahami al-Qur’an sebagaimana tertuang dalam buku pertamanya. Secara tegas dan konsisten Shahrur membangun konsep keluarga, masyarakat, negara, dan tindakan kesewenang-wanangan (al-Istibdad) dalam prespektif
29
Abdul Mustaqim Loc It hal 124 Bisri Efendi, Tak Membela Tuhan Yang Membela Tuhan, Dalam Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LKIS, 1999), hal.xviii. 30
al-Qur’an . Dalam buku inipun Shahrur menjelaskan dan menguraikan berbagai tanggapan terhadap buku pertamanya di samping menegaskan bahwa ia berbeda dengan mereka dalam metodologi. Di tahun 1996 Shahrur meluncurkan buku ketiganya yang berjudul al-Islam wa al-Iman: Manzumah al-Qiyam. Buku ini dicetak dan diterbitkan oleh al-Ahali Publishing House. Dalam buku ini Shahrur mencoba untuk mengkaji konsep-konsep klasik mengenai rukun Islam dan rukum iman, suatu yang penting dalam Islam. Setelah mengkaji cukup lama terhadap ayat-ayat al-Qur’an, yang berkaitan dengan kedua konsep diatas, Shahrur menemukan pemahaman yang berbeda dengan ulama terdahulu31. Selain kedua konsep di atas, buku ini berbicara tentang kebebasan manusia, perbudakan dan tentang ritual ibadah yang terangkum dalam konsep al-Ibad wa al-‘Abid. Hal lain yang menjadi kajian buku ini tentang hubungan anak dan orang tua dan terakhir tentang sejarah monoteisme dalam al-Qur’an32. Buku terakhir Shahrur adalah, Nahw Usul Jadidah LiI al-Fiqh al-Islami, ditulis pada tahun 2000. Khusus dalam buku ini, melalui refleksi yang sangat mendasar, ia menyuguhkan satu model pembacaan, khususnya yang terkait dengan isu-isu perempuan, soal waris, wasiat, poligami, dan kepemimpinan, yang masih aktual dan belum terpecahkan secara komprehensif hingga dewasa ini33.
31
Lima rukun Islam yang selama ini diyakini oleh umat Islam, seperti : membaca dua kalimat syahadat, mengerjakan sholat, membayar zakat, puasa di bulan ramadhan dan pergi haji bagi yang mampu ternyata dipahami Shahrur sebagai rukun iman bukan rukun Islam. Sedangkan rukun Islam oleh Shahrur adalah percaya kepada Allah, Percaya kepada hari akhir dan beramal soleh. Lih. Dr. Muhammad Shahrur, Islam dan Iman: Aturan-aturan pokok, terj. M. Zaid Su’di, hal. 22., 32 Ibid, hal. 23-24 33 Dr. Ir. Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), hal. Xv.
Dalam bidang teknik sipil sebagai latar belakan pendidikannya, Shahrur menerbitkan beberapa buku antara lain: Handasah al-Asasiyah (tiga Juz), Handasah al-Turabiyah. Selain dalam bentuk buku Shahrur juga menulis di majalah dan jurnal antara lain dapat dijumpai Muslim Politic Report (14 Agustus 1997) dengan judul : “The Devine Text and Pluralism in Moslem Socities” dan “Islam in The 1995 Beijing World Conference On Women” dalam Kuwait Newspaper. Artikel terakhir telah dimuat dalam buku Islam Liberal yang diedit oleh Charles Khuzman.
BAB III
TEORI BATAS HUKUM ISLAM A.
Pengertian dan Latar Belakang Lahirnya Teori Batas Hukum Islam Salah satu kontribusi baru dalam kajian fiqih kontemporer yang diusung Shahrur
dalam karyanya yang monumental sekaligus kontroversial, al-Kitab wa al-Qur’an: alQira’ah al-Mu’asirah adalah teori limit (Teori Batas/ Nazariyyat al-Hudud). Shahrur menegaskan bahwa teori batas merupakan salah satu pendekatan dalam berijtihat, yang digunakan dalam mengkaji ayat-ayat muhkamat (ayat-ayat yang berisi pesan hukum) dalam al-Qur’an. Abdullah Ahmed an-Naim menerangkan bahwa konsep hudud meskipun diambil dari al-Qur’an, tetapi masih memunculkan masalah definisi yang serius34. Al-Qur’an sebagai teks keagamaan hanya memberikan sedikit tuntunan dalam ayat-ayat yang relevan mengenai definisi yang sah dan unsur-unsur yang spesifik. Dalam persoalan hudud al-Qur’an telah menyebutkan terutama perilaku zina, pencurian dan tuduhan zina. Bagi pezina, hukuman itu berupa cambuk 100 kali, untuk pencuri hukumannya potong tangan, dan tuduhan zina hukumannya cambuk 800 kali35. Dalam “yuresprudensi” Islam, istilah hukuman tersebut adalah hadd yang secara literal berarti “batas, batasan, atau
34
Abdullah Ahmed an-Naim, ” Dekonstruksi Syariah” terj. Ahmad Suhaedy dan Nuruddin Arrani (Yogyakarta: LKiS, 1997) hal. 28 35 Asghar Ali Engineer, “Islam dan Teologi Pembebasan” terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) hal. 255
faktor-faktor yang membatasi”. Hukuman ini membatasi tindakan kejahatan, karenanya hukuman itu disebut hudud. Teori limit (hudud) yang digunakan Shahrur mengacu pada pengertian batas-batas ketentuan Allah yang tidak boleh dilanggar, tapi didalamnya terdapat wilayah ijtihat yang bersifat dinamis, fleksibel, dan elastis. Shahrur membangun teorinya berdasarkan pengalaman dalam dunia teknik. Latar belakang bagaimana ia menyusun teori batasnya berawal dari kuliah yang ia berikan kepada mahasiswanya. Ia menuturkan: “Suatu hari sebuah ide muncul dalam kepala saya ketika saya menyampaikan mata kuliah teknik jurusan di Teknik Sipil tentang bagaimana membuat jalan padat. Kami sedang melakukan apa yang disebut sebagai ‘uji keamanan’, yang kami gunakan sebagai contoh dan cara menguji tanah yang digunakan untuk mengisi tanggul. Dalam ujian ini kami mengeluarkan dan menambahkan (tanah). Kami mendapatkan sumbu x dan sumbu y, sebuah hiperbola. Kami menemui resiko yang mendasar. Lalu kami menggambarkan sebuah kurva dan meletakkan garis di atasnya. Garis ini adalah batas maksimum. Kemudian timbul ide dalam pikiran saya tentang ‘batas Tuhan’ (hududullah). Sampai disini, saya kembali kerumah dan membuka al-Qur’an. Dalam matematika kita hanya mendapatkan lima cara menyuguhkan batas (limit). Saya menemukan lima kasus dalam menampung ide tentang batas hukum Tuhan. Pemahaman yang sudah umum adalah bahwa Allah tidak menentukan aturan tingkah laku secara tepat, tetapi hanya menciptakan batas-batas yang di dalamnya masyarakat dapat menyusun aturan-aturan dan hukum mereka sendiri. Saya telah menulis ide tentang integritas/keutuhan (alistiqamah) dan aturan moral atau etika yang universal. Pada awalnya ide ini hanya
menjadi catatan saya dalam pembahasan terakhir dalam buku saya, tetapi saya melihat bahwa teori ini merupakan perwujudan ide utama saya, maka saya mengoreksi semua yang telah saya tulis tentang hududullah di buku agar pembahasan menjadi konsiten. Hingga saya menilai bahwa pendapat saya telah benar36.
Berawal dari pengalaman inilah kemudian Shahrur kemudian merumuskan teori batasnya. Shahrur menandaskan bahwa jalan lurus yang telah disediakan Tuhan bagi manusia agar mereka dapat bergerak sepanjang jalan lengkung di dalam teori batas Tuhan, sesuai dengan hukum manusia yang diperkenankan di antara batas-batas (hudud) bahwa al-kitab telah menetapkan seluruh tindakan manusia dan fenomena alam. Karena itu, dia menegaskan bahwa variasi hukuman yang secara rinci disebut dalam al-Qur’an menandaskan batas tertinggi, bukan menggambarkan hukuman yang mutlak. Demikian pula al-Kitab telah menetapkan sejumlah hukuman minimum bagi berbagai kejahatan. Shahrur merumuskan teori hududnya berangkat dari Q.S. an-Nisa: 13-14 yang terkait dengan pembagian waris. Pada ayat 13, terdapat kalimat tilka hududullah dan pada ayat 14 terdapat kalimat wa yata’adda hududahu. Kata “hudud” disini berbentuk jamak (plural) bentuk mufrodnya hadd artinya batas (limit). Pemakian bentuk plural di sini menandakan bahwa hadd yang ditentukan oleh Allah berjumlah banyak, dan manusia memiliki keleluasaan untuk memilih batasan-batasan tersebut sesuai dengan tuntutan dan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Selama ini masih berada dalam koridor batasan
36
Muhammad Shahrur, Dasar-dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer, terj. Sohiron Syamsuddin, dkk. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), hal. 17-18
tersebut, manusia tidak menanggung beban dosa. Pelanggaran hukum Tuhan terjadi jika manusia melampaui batasan-batasan tersebut37. Menurut Shahrur, ayat ini secara eksplisit menyebutkan bahwa masalah pembagian waris merupakan salah satu batasan dari sekian batasan (hudud) hukum syariat yang ditentukan oleh Allah. Redaksi tilka hududallah merujuk pada penjelasan ayat 11-12, dan pada saat yang sama juga menegaskan bahwa batasan hukum yang dimaksud berasal dari Allah. Pada ayat 14, kalimat wa yata’adda hududahu berarti melanggar batas-batas (hukum) Tuhan. Penggunaan terma “hudud” di sini dinisbatkan kepada damir mufrat (kata ganti tunggal) “hu” (dia) yang merujuk kepada Tuhan (Allah) saja. Sedangkan penggalan ayat sebelumnya yang berbunyi wa man ya’sillaha wa rasulahu wa ya ta’adda hududahu menegaskan bahwa perbuatan maksiat (menolak untuk melaksanakan) dapat dilakukan terhadap Allah dan Rasul-Nya, tetapi pelanggaran hukum hanya terjadi pada Tuhan saja, karena otoritas penentuan hukum syariat yang terus berlaku hingga hari kiamat itu hanya milik Allah. Dia tidak pernah memberikan otoritas ini kepada yang lain, bahkan kepada nabi Muhammad sekalipun. Karena jika Muhammad mempunyai otoritas penentuan hukum ini, niscaya ayat tersebut akan berbunyi wa man ya’sillaha wa rasulahu wa ya ta’adda hududahuma dengan menggunakan kata ganti huma, tetapi ternyata tidak demikian38.
37
Buranuddin, “Artikulasi Teori Batas (Nazariyyah al-Hudud) Muhammad Shahrur Dalam Pengembangan Epistemologi Islam Di Indonesia”, Editor, Sohiron Syamsuddin, dkk, Hermeneutika alQur’an Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Islamika, 2003) hal. 152. 38
Ibid, hal. 152-153
Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa semua syariat (ketentuan hukum) yang berasal dari nabi Muhammad bersifat temporal (marhali) dan tidak ada keharusan untuk memberlakukannya hingga akhir zaman. Pada tataran ini tersembunyi rahasia dan hikmah bahwa adanya Sunnah untuk diakui pada satu sisi, sedangkan pada sisi lain adanya posisi Nabi sebagai suri tauladan untuk berijtihat dalam lingkup batasan ketentuan Allah dan disesuaikan dengan kondisi obyektif sejarah manusia. Sebagaimana disebut di atas bahwa otoritas penentuan hukum (syariat) hanya dimiliki Allah saja, karena itu Allah adalah satu-satunya penentu hukum yang berlaku hingga akhir zaman. Asumsi ini meniscayakan bahwa hukum yang bersumber dari Tuhan memiliki sifat universal, berlaku untuk segala situasi dan kondisi, sesuai di setiap waktu dan tempat (shallih li kulli zaman wa makan). Konsekuensinya, hukum tidak boleh bersifat “tunggal” dengan satu pemahaman dan prespektif. Hukum Tuhan harus sesuai dengan kecenderungan manusia yang selalu berubah, maju, dan berkembang. Maka dalam al-Qur’an akan selalu dijumpai bahwa syari’at hanya menentukan batasan-batasan (hudud) saja, ada yang berupa batasan maksimal (al-had al-a’la) atau batasan minimal (al-had al adna) maupun variasi keduanya. Ajaran syariat yang disampaikan kepada Rasullah bersifat hududiyah, berbeda dengan syariat para rasul yang disampaikan sebelumnya yang a’iniyyah. Periode kerasulan Muhammad SAW merupakan babak baru syariat moderen bagi generasi kontemporer39.
39
Ibid, hal. 153
Berdasarkan presfektif diatas, Shahrur kemudian mengenalkan apa yang disebut dengan teori batas. Ia menyatakan bahwa Allah Swt. telah menetapkan konsep-konsep hukum yang maksimum dan yang minimum, al-istiqamah (straightness) dan al-hanifiyyah (curvature), sedangkan ijtihat manusia bergerak dalam dua batasan tersebut. Dalam batas-batas hukum ini, masyarakat manusia tidak hanya bebas, tetapi diwajibkan untuk mengembangkan dan mengadopsi hukum mereka menurut kesepakatan dan keadaan sosial politik masyarakat mereka. Shahrur melihat teori batasnya menampakkan sisi moderen dari apa yang dia pandang sebagai prinsip inti al-Qur’an: Syura (Musyawarah/konsultasi) sebagai contoh, adalah tuntutan untuk menjawab persoalan hukum bagi kebijakan moderen dalam batas yang ditentukan Allah. Hasil yang didapat dari proses musyawarah ini hendaknya bersifat relatif terhadap lingkup khusus –keadaan khusus secara sosial, ekonomi dan politik- pada masing-masing komunitas politik. Pendirian politik Shahrur secara jelas juga tampak sebagaimana yang dia simpulkan bahwa “pada masa kita, musyawarah yang asli berari dengan pluralisme dan demokrasi”40. B. Sumber-sumber Teori Batas Dalam merumuskan teori batas yang digagas oleh Shahrur, beliau mendasarkan teorinya pada dua hal, yaitu : a. Dalil ayat-ayat al-Qura’an
40
Muhammad Shahrur, al-Kitab Op Cit, hal. 18
Shahrur mendasarkan konsepnya dalam menyusun teori batas pada al-Qur’an surat anNisa ayat 13-14 yaitu:
! "#$%&'( )*+!, - './
+$'.12/3 4567$' '. 489: ;<⌧>?8 @AB'C?8 DE*F F1C H 'CI K' K
! L2 M7$' '.N OP⌧N O5Q7.R DEF Artinya: (Hukum-hukum tersebut) adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya serta melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah akan memasukkannaya ke dalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya, dan bagiannya siksa yang menghinakan (QS. An-Nisa: 13-14)
Shahrur mencermati penggalan ayat tilka hududallah yang menegaskan bahwa pihak yang memiliki otoritas untuk menetapkan batasan-batasan hukum adalah hanya Allah semata. Dia berpendapat bahwa otoritas penetapan hukum (haq at-tasyri’) hanya milik Allah, sedangkan Muhammad walau beridentitas sebagai nabi dan rasul, pada hakikatnya bukanlah seorang penentu hukum yang memiliki otoritas penuh (as-syari’). Dalam pandangan Shahrur, Muhammad adalah pelopor ijtihat dalam Islam. Pendapat ini didasarkan pada pemahaman penggalan ayat setelahnya wa ya ta’adda hududahu yang
berarti “dan melanggar batas ketetapan hukum-Nya”. Kata ganti (dhamir) “hu” pada penggalan ayat diatas menunjuk kepada Allah saja, dan penggalan ayat secara lengkap akan lebih menegaskan pemahaman ini “dan barang siapa yang bermaksiat kepada Allah dan rasul-Nya serta melanggar ketetapan hukum-Nya”41. Ayat ini harus dipahami bahwa otoritas penetapan hukum ada pada Allah saja. Seandainya nabi Muhammad berhak dan mempunyai otoritas tasyri’ tentulah ayat tersebut akan berbunyi “wa ya ta’adda hududahuma” yang artinya “ dan melanggar batas-batas hukum keduanya (Allah dan rasul-Nya). Dengan demikian haruslah dipahami bahwa ketetapan hukum yang bersumber dari nabi tidak semuanya identik dengan penetapan hukum dari Allah. Hukum yang ditetapkan nabi lebih bersifat temporal-kondisional sesuai dengan derajat pemahaman, nalar zaman, dan peradaban masyarakat waktu itu, maka ketetapan hukum tersebut tidak mengikat hingga akhir zaman. Dari sinilah menurut Shahrur, letak keutamaan Muhammad sebagai nabi, beliau adalah uswatun hasanah dengan pengertian teladan dalam berijtihat dan penerapannya. Shahrur mengajukan motivasi kepada para cendikiawan muslim untuk tidak ragu berijtihat meskipun masalah-masalah hukum tersebut telah diklaim memiliki justifikasi nash hadits nabi. Bagi Shahrur kondisi masyarakat yang dinamis dan selalu berubah sesuai ketentuan situasi dan kondisi yang di latarbelakangi kemajuan ilmu pengtahuan, merupakan alasan utama pemberlakuan ijtihat.
41
Buranuddin, “Artikulasi Teori Batas (Nazariyyah al-Hudud) Muhammad Shahrur Dalam Pengembangan Epistemologi Islam Di Indonesia”, Editor, Sohiron Syamsuddin, dkk, Hermeneutika alQur’an Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Islamika, 2003) hal. 157
b. Analisis Matematis (Mathematic Analisys) Shahrur juga merumuskan teori-teorinya dengan analisis matematis (at-tahlili arriyadi)42. Ia menggambarkan hubungan antara al-hanifiyyah dan al-istiqamah, bagai kurva lurus yang bergerak pad sebuah matriks.
Y
Kurva (al-Hanifiyah=Ruang Ijtihat X Sumbu X menggambarkan zaman atau konteks waktu, sejarah. Sumbu Y sebagai undangundang yang ditetapkan oleh Allah Swt. Kurva (al-hanifiyyah) menggambarkan dinamika ijtihat manusia, bergerak sejalan dengan sumbu X. Namun gerakan itu dibatasi dengan batasan hukum yang telah ditentukan oleh Allah Swt (sumbu Y). Dengan demikian, hubungan antara kurva dengan garis lurus secara keseluruhan bersifa dialektik, yang tetap dan akan berubah senantiasa saling terkait (intertwinet). Dialektika adalah kemestian untuk menunjukkan bahwa hukum itu adaptabel terhadap konteks ruang dan waktu.
42
Muhammad Shahrur, Al-Kitab wa AlQur’an; Qira’ah Mu’asirah. (Damaskus: al-Ahali li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1999), hal.579
Secara teoritis, Shahrur menggunakan analisis matematis sebagai landasan bangunan teorinya, yaitu rumusan-rumusan matematika yang dikembangkan oleh Isac Newton khususnya yang berkaitan dengan persamaan fungsi. Persamaan fungsi dirumuskan dengan Y=f(x) jika mempunyai satu variabel atau Y=f(x,2)43 jika mempunyai dua variabel atau lebih. Rumusan ini berbentuk suatu garis yang memanjang keatas yang disimbolkan dengan Y dan garis memanjang ke samping yang ditimbulkan X. Bagi Shahrur, persamaan fungsi ini dapat dijadikan basis teori pengembangan hukum Islam44, karena teori ini mencakup dua karakter dari hukum Islam. Pertama, karakter permanen (sabit) dalam arti tetap dan tidak berubah dan universal. Karakter ini disebut sebagai al-istiqamah, dalam arti berlaku secara umum dan terus menerus. Kedua, karakter dinamis dan cenderung pada perubahan (al-hanifiyyah). C.
al-Istiqamah dan Al-hanifiyah Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa, teori batas dibangun atas dua
pemahaman yakni al-istiqamah dan al-hanifiyah. Melalui analisis linguistik, Shahrur menjelaskan bahwa kata hanif berasal dari kata hanafa, yang dalam bahasa Arab berarti bengkok, melengkung, (hanafa) atau juga bisa dikatakan orang yang berjalan diatas dua kakinya (ahnafa). Kata ini juga dibandingkan dengan kata janafa, yang berarti condong kepada kebagusan. Adapun kata al-Istiqamah, derivasi dari kata qawm yang memiliki dua arti, yaitu kumpulan laki-laki dan berdiri tegak (al-istisab) atau kuat (al-‘azm). Dari kata al-intisab
43 44
Ibid hal. 450 Ibid hal. 449
muncul kata al-mustaqim dan al-istiqama, lawan dari melengkung (al-inhiraf). Sedangkan kata al-azm, muncul kata ad-din al-qayyim (agama yang kuat dalam kekuasaannya). •
Berbagai analisi linguistik terhadap term al-hanifiyyah dan al-istiqamah
inilah yang kemudian membuat Shahrur sampai pada surat al-An’am :161. Terdapat tiga terma pokok dalam ayat tersebut, yaitu: ad-din al-qayyim, al-mustaqim dan al-hanif yang kemudian menggelisahkannya. Bagaimana mungkin Islam menjadi kuat jika harus disusun dari dua hal yang kontradiktif? Setelah menganalisa surah al-an’am , Shahrur memperoleh pemahaman bahwa al-hunafa adalah sifat alami dari seluruh alam. Langit dan bumi yang nota bene sebagai susunan kosmos adalah bergerak dalam garis lengkung. Sifat inilah yang membuat tata kosmos menjadi teratur dan dinamis. Dengan demikian, ad-din al-hanif adalah agama yang selaras dengan kondisi ini, karena al-hanif merupakan pembawaan yang bersifat fitrah. Manusia sebagai bagian dari alam materi juga memiliki sifat pembawaan fitrah ini. Sejalan dengan fitrah alam tersebut, dalam aspek hukum juga terjadi. Realitas masyarakat senantiasa bergerak secara harmonis dalam wilayah tardisi sosial serta kebiasaan atau adat. Oleh karena itu, sebuah as-sirat al-mustaqim adalah keniscayaan untuk mengontrol dan mengarahkan perubahan tersebut. Itulah sebabnya, mengapa alQur’an tidak pernah ditemui ayat “ihdina ila al-hanifiyah” melainkan “ihdina as-sirat al-mustaqim”, karena memang al-hanifiyah adalah fitrah. Dengan demikian, as-sirat almustaqim menjadi batasan ruang gerak dinamika manusia dalam menentukan hukum. Dari hal inilah kemudian muncullah teori batas hukum.
Selanjutnya Shahrur menetapkan enam prinsip batas (hudud) yang dibentuk oleh daerah hasil (range) dari perpaduan kurva terbuka dan tertutup pada sumbu X dan sumbu Y. Perincian prinsip-prinsip tersebut sebagai berikut : Pertama, daerah hasil (range) yang berbentuk kurva tertutup yang memiliki satu titik balik maksimum berhimpit garis lurus yang sejajar dengan sumbu X. Posisi ini diistilahkan oleh Shahrur dengan halal al-had al-a’la ( posisi batas maksimum)45.
Pada posisi ayat-ayat hudud dalam umm al-Kitab hanya mempunyai batas maksimal saja sehingga penetapan hukum diperbolehkan bergerak tepat digaris batas atau dibawah garis batas maksimal dan tidak diperbolehkan melampauinya. Ayat-ayat hudud yang termasuk dalam kategori ini adalah ayat-ayat yang menjelaskan hukum-hukum bagi kasus pencurian dan pembunuhan. Q.S. al-Maidah: 38, Q.S. al-Isra’: 33, dan Q.S. al-Baqarah: 17846, Contoh:
TUVV8 CWXVV8 YZ C?X '☺. 1 \T ]'( '☺7^ _`V⌧a b⌧$c2 -d c e f]R gAc' D*OF Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (al-Maidah: 38)
45
Ibid hal.450
46
Ibid hal 455-457
Ayat diatas menegaskan bahwa hukuman bagi pencuri adalah potong tangan. Namun perlu diperhatikan potong tangan merupakan hukuman maksimal menurut Shahrur bagi pelaku pencurian. Tentunya alternatif hukuman disesuaikan oleh hukum yang berlaku disuatu negara yang melaksanakan hukuman itu. Kedua, range yang berbentuk kurva terbuka yang memiliki satu titik balik minimum yang berhimpit dengan garis lurus sejajar dengan sumbu X. Posisi ini diistilahkan dengan al-halah al-adna (posisi batas minimal)47.
Pada posisi ini ayat-ayat hudud dalam umm al-Kitab hanya mempunyai batas minimal saja, sehingga penetapan hukum hanya diperbolehkan bergerak tepat digaris dan diatas minimal dan tidak boleh melampauinya. Ayat-ayat hudud yang termasuk kategori ini adalah ayat-ayat tentang pakaian wanita Q.S. An-nur: 31, ayat-ayat tentang muharramat (orang-orang yang haram dinikahi) Q.S. an-Nisa: 22-23, ayat tentang jenis-jenis makanan yang haram dimakan Q.S. al-Maidah: 3, ayat tentang utang piutang Q.S. al-Baqarah: 283-28448, Contoh:
hi Yc& jBkT ^T 4d 47
48
Ibid hal 450 Ibid hal 453-455
'⌧c2 T `Vdl8
mi7n ! X 'K' o27n phk &Wq$ r/?n T ' s⌧N7t' DuuF !#*v+ <jBt?NK
<jTcI$'.%w <jTcCxl^ <jBtC9' <jTcI$H☺ <jTcI$K$' jxl^ uy/3 jxl^ #1 b3
jBt/$'.%w z{|\$8 <jTcxl1C`E< jBtC9' 4d W'C$`E}+8 B#$'.%w <jTc~ `V7
jBtto$^ {|\$8 7z jBkB, -d
jTc~ `V7W {|\$8 A/' ' H-7.7^ p7 <j8 Y2Tc A/' ' 7.7^ h⌧ ''xl ( <jBt?NK
o$K'
jBt~ xl<^ z6|N8 !- <jBt7_$K! p Y C'☺!, 451Q^ Fz1QI1 b3 mi7n ! X 'K' c m7n pX⌧a lB>⌧f M☺} Du*F Artinya: ”Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Seseungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudara yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-sauadara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, (al-Nisa’: 22-23).
Ayat diatas menjelaskan haramnya menikahi al-aqarib yang tertera dalam dua ayat di atas. Dalam kondisi apapun, dan dengan alasan apapun kita dilarang mengawini kelompok-kelompok al-aqarib tersebut. Karena hal tersebut merupakan batas legis minimal yang tidak bisa ditolerir lagi. Ketiga, range-nya berupa gelombang (gabungan antara kurva terbuka dan kurva tertutup) yang memiliki sebuah titik balik maksimum dan sebuah titik balik minimum, keduanya terhimpit pada garis lurus sejajar dengan sumbu X. Posisi ini diistilahkan dengan halah al-haddain al-a’la wa al-adna ma’an (posisi batas maksimal dan minimal bersamaan)49
Ayat-ayat hudud pada posisi ini mempunyai batas maksimal sekaligus batas minimalnya, sehingga penetapan hukumnya berkisar antara dua batas tersebut, atau mungkin saja bisa jadi produk hukum yang dihasilkan berada tepat pada garis dua batas tersebut. Ayat-ayat
49
Ibid hal 450
hudud yang termasuk dalam kategori ini adalah ayat tentang waris Q.S. an-Nisa’: 11-14 dan ayat tentang poligami Q.S. an-Nisa’: 350. Contoh :
@ATc e Z7z <jBk $81 Y *+⌧aX8
1M ' Fz1QNM2b3 p7 H-Ta ☯T `V7 U< Fz1QI?A H-.K MCCA ⌧+ Y p7n !#2X⌧a &x' 9 '.K d&8 1^\3 F
Tc8 _ K9 '☺1d % V8 H☺ ⌧+ p7n pX⌧a 8 { p7 A8 -Tc { >A K^ d` Cb8 p7 pX⌧a > x1 7n d` % V8 a- 1C^ _W}N {$
W 1 z?6' c <jTaT ^T <jTaT xl<^ hi p! <j.R +?X <^Tc8 lC?>2 &Whg*+ 4d c %p7n pX⌧a s☺7 M☺c' DEEF <jBt8 2 ⌧+ <jBt (9?; p7n A8 -Tc H-.8 { p7 phk .8 {
jBtK ^)+8 H☺ -k+ a- 1C^ _W}N 45Q
'.7^ 1 5?6' .8 ^)+8 H☺ A/?a+ p7n <j8 -Bt <jTc8 { 8 p7 phk <jBt8 { H-.K -☺M8 H☺ \Tk+ a-d 1C^ _W}N 4C
'.7^ 1 z?6' c p7n 4X⌧a
( $$Khk x+? > fy 1 #1 w F
Tc7 _ K9 '☺.1ld % V8 p7 YZ2Xhk lk - '_89: !#. T XhkB 7z Cb8 a- 50
Ibid hal 457-463
1C^ _W}N {`$ W 1 z?6' <+⌧f 8v hg &W}N -d c e A7 gA7' DEuF 4 ! "#$%&'( )*+!, - './
+$'.12/3 4567$' '. 489: ;<⌧>?8 @AB'C?8 DE*F F1C H 'CI K' K
! L2 M7$' '.N OP⌧N O5Q7.R DEF Artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. Yaitu: bahagian anak laki-laki sama dengan bahagian dua anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja, maka anak itu memperoleh separoh harta. Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta peninggalan, jika yang meninggal itu mempunyai anak, jika orang yang meninggal itu tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja) maka ibunya mendapat sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat dan lebih banyak mamfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah lagi Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isterimu-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu mempunyai anak maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Dan jika kamu mempunyai anak maka para isterimu memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati baik laki-laki atau perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasulnya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkan-Nyake dalam api
neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan (QS. AnNisa: 11-14) Ayat di atas menjelaskan bahwa bagian laki-laki dua kali lipat perempuan. Dalam konteks ini Syahrur menjelaskan bahwa bagian laki-laki adalah batasan maksimal dan tidak bisa ditambah lagi, sementara perempuan adalah batas minimal, jadi dalam kondisi tertentu seorang perempuan berpotensi mempunyai bagian lebih. Keempat, range yang dihasilkan berupa garis lurus sejajar dengan sumbu X. Karena berbentuk garis lurus posisi ini tidak memiliki titik balik mimimum, dengan aman, kedua titik tersebut berada pada satu titik secara bersamaan sehingga titik balik maksimum identik dengan titik balik minimum. Posisi ini diistilahkan dengan halat al-hadd al-adna wa halat a-hadd al-a’la ma’an fi nuqthatin wahidah (Posisi batas minimal dan maksimal berada pada titik secara bersamaan) atau diistilahkan dengan halat al-musthaqim (posisi lurus tanpa ada alternatif lain)
Maksud dari tipe ini adalah dalam ayat-ayat hudud terdapat ayat-ayat yang tidak mempunyai batas maksimal atau minimal, ayat tersebut berada pada posisi lurus dan harus berada pada batas itu sendiri, sehingga ia tidak mempunyai alternatif lain dalam penetapan hukumnya. Dengan demikian apa yang ada dalam ayat hudud itu sendirilah
yang nantinya akan menjadi penetapan hukum. Ayat-ayat hudud yang termasuk kategori ini adalah ayat yang menerangkan tentang hukuman bagi pelaku zina. Lihat an-Nur :251
CWN2%]8 7%]8 YB7!( %
Ta _ K9 '☺1d WY "x'( Y hi ^TaNC3 '☺ W 7z Fz6 p7n 1\T&Ta p &1C 7^ ¡<N?8 *+ /' Y ! W!¢?8 '☺⌧N
W⌧>~ -d zQ&1☺?8 DuF Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman” (QS. An-Nur: 2) Artinya dalam ayat diatas para pelaku zina wajib di cambuk sebanyak seratus kali tidak boleh kurang dan lebih karena hukuman tersebut dalam batas maksismal dan minimal. Kelima, rangenya berupa kurva terbuka dengan titik final yang cenderung mendekati sumbu Y, sehingga bertemu pada daerah tak terhingga (‘ala al-aibayah). Demikian pula pada titik pangkalnya yang terletak pada daerah tak terhingga terhimpit dengan sumbu X. Posisi ini di istilahkan dengan halat al-hadd al-‘ala li hadd al-muqarib duna al-mamas bi hadd abadan (Posisi batas maksimal cenderung mendekat tanpa ada persentuhan sama sekali kecuali di daerah tak terhingga)52.
51
Ibid hal 463
52
Ibid hal 450-451
Daerah hasilnya berupa kurva terbuka yang terbentuk dari titik pangkal yang hampir berhimpit dengan sumbu X dan titik final yang berhimpit dengan sumbu Y. Secara matematis, titik final hanya benar-benar berhimpit dengan sumbu Y pada daerah tak terhingga (‘ala la nihayah) Ayat-ayat hudud yang termasuk tipe ini adalah ayat tentang larangan mendekati zina. Q.S Al-Isra’:32. Tipe ini sangat terkait dengan kasus yang terjadi pada tipe keempat. Pada ayat tersebut menjelaskan larangan “mendekati” hal yang membuka peluang terjadinya zina. Mendekati “hal” tersebut merupakan batas legis minimal yang tidak boleh dilampaui.
hi Y^+?n x*v]8 Y o27n pX⌧a &Wq$ T ' b⌧N7t' D*uF Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah sesuatu yang keji dan sesuatu yang buruk. (QS. Al-Isra’ :32) Ayat diatas menjelaskan larangan mendekati hal yang berpeluang berbuat zina, mendekati merupakan batas legis minimal yang tidak boleh dilampaui. Keenam, rangenya berupa kurva gelombang dengan titik balik maksimal yang berada di daerah positif, berhimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu X dan titik balik minimum berada di daerah negatif berhimpit dengan garis lurus yang sejajar sumbu X. Posisi ini disebut halah al-hadd al-‘ala mujaban muqhallaqun la yajuzu tazawujuhu wa al-hadd al-adna saliban yajuzu tajawuzuhu (posisi batas maksimal positif
dan
tidak
boleh
melampaui
batas
terendah
negatif
yang
diperlukan
untuk
melampauinya53.
0
Pada posisi ini tergambarkan pada hubungan kebendaan dan kasus moneter. Dua batas akhir termuat dalam riba sebagai batas maksimal positif dan zakat sebagai batas negatif, batas tertinggi (riba) tidak boleh dilanggar, namun batas terendahnya bisa dilanggar yaitu dengan adanya shadaqah. Karena pada posisi ini memilih dua batas, yaitu batas maksimal pada daerah positif dan batas minimal pada daerah negatif, sebagai konsekuensi logisnya posisi ini pastilah mempunyai batas tengah (munqatul in’itaf) yang berada diantara keduanya. Batas tengah ini disimbolkan dengan titik nol pada pertemuan kurva terbuka dan tertutup. Hal yang dijadikan patokan Shahrur dalam membahas masalah adalah ayat tentang zakat dalam surat al-Tawbah:60
'☺o27n B#$X' ¤8 T +nB>8 FzQc$`V'☺?8 z¥7☺$'C?8 W<K W⌧>8⌧☺?8 <jCCX ¦7z |X*v+8 zQ*+$?8 ¦7z F
N7t' Fz? F
N7tVV8 Y &Whg*+ 4d c e A7 gANt' D|F
53
Ibid hal 451
Artinya: “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijakasana.” (Q.S. al-Tawbah:60) Ayat diatas menerangkan tentang konsep zakat, yang harus disalurkan kepada mereka yang disebutkan oleh Allah dalam ayat tersebut. Namun, bagi Shahrur, zakat merupakan batas minimum dari harta yang wajib dikeluarkan. Bentuk harta yang dapat melampaui batas zakat disebut dengan sedekah.
BAB IV
IMPLEMENTASI TEORI BATAS DALAM HUKUM WARIS
A. Ketentuan Umum Hukum Waris Dalam Al-Qur’an Waris adalah apa-apa yang ditinggalkan oleh orang-orang yang meninggal dunia yang dibenarkan oleh syariat untuk dipusakai oleh para hali waris54. Dalam Kompilasi Hukum Islam, menjelaskan bahwa kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris yang menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan beberapa bagian masing. Dalam al-Qur’an, menurut bahasa kata waris berasal dari kata “warasa”yang memiliki beberapa arti: 1. Berarti pengganti (QS. Al-Naml:16)
ææÑË Óáíãä ÏÇæÏæÞÇá íÇíåÇÇáäÇÓ ÚáãäÇ ãäØÞ ÇáØíÑ æÇæÊíäÇ ãä ßá ÔíÁ Çä åÐÇáåæÇáÝÖá ÇáãÈíä Artinya: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud dan dia berkata: “Hai manusia, kami telah diberi pengertian tentang sesuatu burung dan kami diberi segala sesuatu, sesungguhnya ini benar-benar suatu karunia yang nyata”(QS. Al-Naml: 16) 2. Berarti memberi (QS. Az-Zumar :74)
æÞÇáæÇÇáÍãÏááå ÇáÐí ÕÏÞäÇ æÚÏå æÇæÑËäÇ ÇáÇÑÖ äÊæÇãä ÇáÌäÉ ÍíË äÔÇÁ ÝäÚã ÇÌÑÇáÚáãíä
54
Faturrahman, Ilmu Waris, (Bandung, Al-ma’arif, 1971) hal 36
Artinya: “Mereka berkata: Puji-pjian bagi Allah yang telah menepati janjiNya dan telah mewariskan (memberikan) bumi kepada kami, kami tetap tinggal dalam surga, menurut kehendak kami, maka inlah sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal”(QS. Az-Zumar: 74 3. Berarti mewarisi (QS. Maryam :6)
íÑ Ëäí æíÑË ãä Çá íÚÞæÈ æÇÌÚáå ÑÈ ÑÖíÇ Artinya : “Yang akan mewarisi dan diwarisi keluarga Ya’kub, dan jadikanlah dia, ya Tuhanku, seorang yang disukai. (QS. Maryam, 19:16)
Sedangkan M. Idris Ramulyo mendefinisikan, warisan adalah harta kekayaan dari seseorang yang telah meninggal dunia, dapat berupa : 1. Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang serta piutang atau aktiva 2. Harta kekayaan yang merupakan hutang-hutang yang belum dibayar saat meninggal dunia atau pasiva55 Sedangkan dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) didefinisikan, harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat. Sedangkan ahli waris adalah orang yang mewarisi harta peniggalan muwarris lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mempusakai, seperti adanya ikatan perkawinan, hubungan darah (keturunan) dan hubungan hak perwalian dengan si muwaris56.
55
M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta, Ind. Hill Co, 1987), hal 48-49
56
Faturrahman, Loc. It
Hukum kewarisan, sering dikenal dengan istilah faraid, bentuk jama’ dari kata tunggal faridah, artinya ketentuan. Hal ini karena dalam Islam, bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah di bakukan dalam al-Qur’an. Dalam surat An-Nisa’ ayat 11-12, Allah dengan jelas mengatur tentang ketentuanketentuan warisan yang menjadi hal ahli waris. Adapun sebab turunnya ayat ini adalah untuk menjawab kesewenang-wenangan saudara Sa’ad ibn al-Rabi yang ingin menguasai kekeyaan peninggalannya ketika Sa’ad tewas di medan peperangan. ”Ata” meriwayatkan: ”Sa’ad Ibn Abi al-Rabi tewas (di medan peperangan sebagai syuhid) meninggalkan dua anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Kemudian saudara lakilakinya mengambil harta (peninggalannya) seluruhnya. Maka datanglah istri Sa’ad, dan berkata kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah SAW, ini adalah dua anak Sa’ad dan Sa’ad telah meninggal di medan peperangan, pamannya telah mengambil harta kedua anak tersebut seluruhnya”. Maka bersabda Rasulullah SAW : “Kembalilah kamu, barangkali Allah memberi keputusan dalam masalah ini”. Maka kembalilah istri Sa’ad tersebut setelah itu dan menangis. Maka turunlah ayat ini (QS. An-Nisa, 4: 11-12) maka Rasulullah SAW memanggil pamannya dan bersabda : “berilah kedua anak perempuan Sa’ad dua pertiga (al-sulusain), ibunya seperdelapan (al-sumua) dan sisanya untuk kamu”57.
57
Al-Nawawi, al-Tfasir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil, Juz I, (Semarang, Usaha Keluarga, terj) hal. 141-142
Turunnya ayat tersebut, merupakan awal penentuan bagian waris dalam Islam58. Memang jika melihat sejarah pada zaman jahiliyah sebab-sebab mempusakai ada tiga yaitu: 1. Adanya pertalian kerabat (Qarabah) 2. Adanya janji pra setia (Muhallafah), dan 3. Adanya pengangkatan anak (tabanny atau adopsi)59 Adapun tentang ketentuan dalam hukum waris Islam, sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an, bahwa laki-laki mendapat dua kali lipat bagian dari anak perempuan, Ash-Shabuni memberikan alasan yang berdasarkan banyak hikmah, diantaranya : a. Kebutuhan wanita sudah tercukupi, nafkahnya merupakan kewajiban kaum kerabatnya, ayah-ibunya, anak-anaknya dan lain sebagainya dari kerabat yang paling dekat dengannya, yang demikian ini di dasarkan pada banyak hikmah syariat yang agung, agar orang yang memiliki kelapangan mengeluarkan infaq dari kelapangan itu b. Wanita tidak dibebani memberikan infaq kepada seseorang. Hal ini berbeda dengan laki-laki yang berkewajiban memberikan nafkah kepada keluarga yang ada dalam tanggungannya, seperti anak, keluarga dan siapapun yang memang haru diberi nafkah c. Laki-laki harus menyerahkan mahar kepada istri dan berkewajiban memberikan makanan dan pakaian bagi istri dan anak-anaknya
58 59
Ibid Faturrahman, Op. Cit
d. Laki-laki harus menjamin biaya sekolah anak-anaknya, pengobatan istri dan anak-anaknya jika mereka sakit, yang berkewajiban semacam ini tidak dibebankan kepada istri60. B. PEMIKIRAN SHAHRUR TENTANG WARIS Pewarisan adalah proses pemindahan harta yang dimiliki seseorang yang sudah meninggal dunia kepada pihak penerima (waratha) yang jumlah dan ukuran bagian yang diterimanya telah ditentukan dalam mekanisme wasiat, atau jika tidak ada wasiat maka penentuan pihak penerima, jumlah dan ukuran bagiannya (hazz) ditentukan dalam mekanisme pembagian waris61. Dari defenisi diatas, Shahrur menjelaskan bahwa, prioritas utama dalam masalah waris terletak pada wasiat62, yaitu adakalanya pewaris sudah menentukan wasiat sebelum ia meningal dunia dengan menyerahkan seluruh hartanya kepada karib kerabatnya setelah meninggal dunia, berdasarkan bahwa Allah mensyaratkan bahwa pemberlakuan hukum-hukum waris terjadi setelah dilaksanakan wasiat dan dibayar hutang-hutangnya. Ayat pertama dari ayat-ayat waris dalam Al-Qur’an di mulai dengan kalimat : yusikumullahu fi auladikum (Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk ) anak-anakmu)(Qs. An-Nisa (4):11). Dan ditutup dengan firman Allah :
60
Muh. Ash-Shabuni, Cahaya Al-Qur’an, terj. (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2000) Cet. Ke-I, hal
191-192 61
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontempore, terj, (Yogyakarta, ElsaQ Press Cet : II, 2004) hal 334 62 Wasiat adalah penyerahan hak atas harta tertentu dari seseorang kepada orang lain secara sukarela yang pelaksanaanya di tangguhkan hingga pemilik harta meninggal dunia. Dasar hukum wasiat adalah surat Al-Baqarah (2) : 18. Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa wasiat merupakan sebuah kewajiban yang harus ditunaikan setelah mayit meninggal meninggal dunia. Lihat: Zainuddin, Hukum Perdata Islam Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006) hal 141-142)
Wasiyyatan min Allahi wa Allahu ‘Alimun hakim (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syarat yang benar-benar dari Allah ( Allah adalah Maha Mengetahui labi Maha Teliti (QS. An-Nisa (4):12) 63. Dari sini memahami satu hal yang sangat mengandung petunjuk yang dianggap sangat penting baginya, yaitu wasiat merupakan sebuah beban wajib (taklif) dari Allah kepada manusia seperti halnya sholat dan puasa. Bagi Shahrur wasiat merupakan sebuah kewajiban mutlak bagi setiap muslim. Belum bisa dilaksanakan proses pembagian harta waris jika wasiat belum dilaksanakan. Andaikan si pewaris tidak meninggalkan wasiat apapun, tetapi wasiat tetap diwajibkan, yang dalam hal ini wasiat diambil alih oleh Allah dan dimasukkan dan dimasukkan dalam mekanisme waris64. Shahrur menolak pandangan sebagaian ulama yang beranggapan bahwa wasiat dalam surat al-Baqarah ataupun dalam surat-surat lainnya telah dihapus oleh ayat-ayat waris dalam surat an-Nisa’. Dalam artian bahwa Shahrur menolak ilmu nasikh mansukh65 yang dimunculkan oleh para ulama-ulama fiqih. Bagi Shahrur, adanya ayat-
63
Dalam kondisi manusia tidak melakukan wasiat tersebut, maka Allah telah menetapkan wasiat umum demi terlaksananya maksud ini (kewajiban wasiat) yang mengungkapkan hukum universal demi tercapainya keadilan umum, bukan keadilan yang khusus dan individual. Wasiat ini memliki bentuk penyeimbangnya yang dapat kita saksikan dalam realitas sosial saat ini, yang tidak terkait dengan ideologi politik tertentu, dalam arti bahwa wasiat tersebut bukan merupakan produk hokum dari kekuasaan pemerintahan tertentu, namun ia semata-mata adalah hokum universal yang berlaku bagi pembagian harta kekayaan setiap orang-orang yang meninggal dimuka bumi. Wasiat ini diberlakukan bukan dengan tujuan atas dasar hubungan kekerabatan atau kewajiban keluarga dari seseorang, namun lebih berupa hokum yang ditetapkan oleh Allah bagi masyarakat manusia secara keseluruhan, bukan bagi keluarga atau pribadi individu. 64 Disinilah letak perbedaan pemahaman Shahrur dengan ulama fiqih lainnya, dimana menurut para ahli fiqih, waris adalah kewajiban, namun jika tidak ada wasiat yang ditinggalkan oleh pewaris maka waris bias langsung di bagikan tanpa diambil alih alih oleh Allah. 65
Nasikh Mansukh secara etimologi terbagi dalam dua pengertian yaitu pertama berarti pembatalan dan penghapus (peniadaan). Sesuatu yang membatalkan, membatalkan, dan menghapuskan atau memindahkan disebut dengan nasikh, sedangkan sesuatu yang dibatalkan, dihapuskan atau dipindahkan disebut dengan mansukh. Secara terminologi nasikh adalah pembatalan hokum syara’ yang
ayat dan hukum-hukum dalam al-Qur’an yang dihapus oleh ayat-ayat lain dan bahwa mereka menjadikan kitab Allah sebagai kitab yang temporal yang terikat dengan sebab dan peristiwa yang telah terjadi puluhan abad lalu, mereka bahkan beranggapan bahwa sunnah qawliyyah (sabda nabi) yang berwujud hadits Nabi –sebagaiman yang tercantum dalam kitab-kitab hadits ditangan umat Islam- memiliki otoritas untuk menghapus ayat dan hukum dalam kitab Allah. Bagi Shahrur, Mereka mengasumsikan bahwa Al-Qur’an lebih membutuhkan sunnah dari pada sunnah yang membutuhkan Al-Quran. Pada bagian lain, Shahrur memandang bahwa patokan utama dalam penentuan hak waris ada pada pihak perempuan, sementara laki-laki senantiasa mengikuti dan menyesuaikan dengannya. Lebih dari itu, kekerabatan adalah dasar bagi pembagian harta warisan66. Shahrur beralasan bahwa kehidupan aktual saat ini dimana kebutuhan seorang perempuan kepada seorang laki-laki yang diikutinya dalam seluruh aktivitas dan tempat tinggalnya (ayah/saudara laki-laki/paman/anak laki-laki paman) telah berkurang dan menyusut pulalah spirit patriarkhis dan hubungan-hubungan famili kekeluargaan yang telah menetapkan kedudukan perempuan dalam masyarakat dan tunduk pada pemahaman para ahli fiqih dan para penafsir terhadap ayat-ayat waris dan kesetaraan. Selain itu menurut Shahrur, bahwa saat ini perempuan bisa membuahi dirinya sendiri tanpa laki-laki dengan menggunakan kloning, dan sebaliknya laki-laki tidak bisa membuahi dirinya sendiri tanpa seorang perempuan. Serta perempuan di abad 21 ini, mempunyai posisi yang sama dengan laki-laki baik dalam propesi maupun dalam tingkatan intelektual. Hal ini bisa dibuktikan dengan hampir diseluruh tingkatan
ditetapkan terdahulu dari orang mukallaf dengan hokum syara’ yang sama yang datang kemudian. Lihat, Nasrun Haroen, Ushul Fiqih I, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997) hal 181-182 66 Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontempore, terj, (Yogyakarta, ElsaQ Press Cet : II, 2004) hal 442
perempuan mengambil peran, baik sebagai seorang dokter, pendidik, politisi, buruh dan lain-lain67. Dengan demikian, menurut Shahrur, sudah semestinya, setelah menyadari semuanya, umat Islam mengkaji ulang pembacaan ayat-ayat waris sesuai dengan pergeseran sejarah dan perubahan kebudayaan manusia, dan berangkat dari keuniversalan risalah Muhammad dan dari fakta bahwa kenyataan aktual (objektif) yang senantiasa tunduk kepada perubahan dalam pergeseran sejarah, yang merupakan satusatunya cara untuk membuktikan kebenaran Kalam Allah. Li adh-dhakari mithlu hazzi al-unthayayni (bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan). Ini adalah prinsip pertama dalam pembagian waris. Dalam prinsip ini, menurut Shahrur perempuan adalah dasar atau titik tolak dalam penentuan bagian masing-masing pihak. Bagi Shahrur, dalam ayat tersebut, Allah seakan-akan menyatakan: “ Perhatikan bagian (hazz) yang telah kalian tentukan untuk dua orang perempuan, lalu berikanlah semisal itu kepada pihak lakilaki”. Sangat tidak masuk akal mengetahui dan menentukan batasan sesuatu sebelum mengetahui dan menentukan batasan sesuatu yang dimisalkan tersebut68. Selanjutnya, lanjutan ayat diatas yakni : fa in kunna nisa’an fawqa ithnatayni fa lahunna thulusa ma taraka; wa in kanat wahidatan fa laha an-nisfu (...dan jika anak itu semuany perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
67
Alasan serupa juga disampaikan oleh Munawir Sjadzali ketika menggulirkan pemikirannya tentang reaktualisasi ajaran Islam, dimana dia melihat perempuan sudah mempunyai posisi yang sama dengan laki-laki. Lihat, Munawir Sadjali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1997) hal. 62, 68
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontempore, terj, (Yogyakarta, ElsaQ Press Cet : II, 2004) hal 340
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh setengah harta) (QS. An-Nisa (4):11). Ayat ini merupakan nass wasiat yang mencakup seluruh prinsip-prinsip waris secara terperinci. Shahrur berpendapat bahwa ayat ini merupakan penjelasan dari kasus-kasus spesifik dari ketiga kasus waris yang menggambarkan hudud Allah (batas-batas hukum Allah)69. Kasus-kasus warisan ini mencakup pihak-pihak berikut yaitu : keluarga menurut garis asal (al-usul), keluarga menurut garis cabang (alfuru’) pasangan suami-istri (az-azawaj) dan saudara (al-ikhwah). Dengan demikian, dalam pandangan Shahrur, pihak paman dari bapak (al-a’mam), pihak paman dari ibu (al-akhwat), anak laki-laki paman, dan seterusnya yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam ayat waris adalah pihak-pihak yang tidak berhak memperoleh bagian (hazz) apapun dari harta waris70. Ketiga kasus warisan yang menggambarkan hudud Allah (batas-batas hukum Allah) yakni : 1. Batas pertama hukum waris: li ad-dhakari mithlu hazzi al-unthayayi Batasan ini adalah batas hukum yang membatasi jatah-jatah atau bagian-bagian (huzuz) bagi anak-anak si mayit jika mereka terdiri dari seorang laki-laki dan seorang dua orang anak perempauan. Pada saat yang bersamaan ini merupakan kriteria yang dapat diterapkan pada segala kasus, dimana jumlah perempuan dua kali lipat dari anak laki-laki. Jumlah Pewaris
69
70
Ibid Ibid
Jatah bagi laki-laki
Jatah bagi perempuan
1 laki-laki + 2
Setengah (1/2) bagi satu
Setengah (1/2) bagi
perempuan
laki-laki
dua perempuan
2 laki-laki + 4
Setengah (1/2) bagi dua
Setengah (1/2) bagi
perempuan
laki-laki
empat perempuan
3 laki-laki + 6
Setengah (1/2) bagi tiga
Setengah (1/2) bagi
perempuan
laki-laki
enam perempuan
Pembagian pada kasus ini dapat dirumuskan dengan persamaan : F/M=2 F
: jumlah perempuan (female)
M
: jumlah laki-laki (male)
2. Batas kedua hukum waris: fa in kunna nisa’an fawqa inthnatayni Batasan hukum ini membatasai jatah warisan anak-anak jika mereka terdiri dari seorang anak laki-laki dan tiga perempuan dan selebihnya (3,4,5…dst). Satu laki-laki ditambah perempuan lebih dari dua, maka bagi anak laki-laki adalah 1/3 dan bagaian anak perempuan adalah 2/3 berapa pun jumlah mereka. Batasan ini berlaku untuk kondisi ketika jumlah perempuan lebih dari dua kali jumlah perempuan. Jumlah Pewaris
1 laki-laki + 3
Jatah bagi laki-laki
Jatah bagi perempuan
1/3 bagi satu laki-laki
2/3 bagi 3 perempuan
perempuan 2 laki-laki + 5
1/3 bagi dua laki-laki
2/3 bagi 5 perempuan
1/3 bagi satu laki-laki
2/3 bagi 7 perempuan
perempuan 1 laki-laki + 7 perempuan
Pembagian pada kasus ini dapat dirumuskan dengan persamaan : F/M>2 F
: jumlah perempuan (female)
M
: jumlah laki-laki (male)
Pihak laki-laki pada kasus-kasus yang termasuk kategori rumusan ini tidak mengambil bagiannya berdasarkan ketentuan “satu bagian laki-laki sebanding dengan dua bagian perempuan”. Pada dasarnya pembagian sama rata ini sangat alami, karena hukum batasan pertama hanya dapat diberlakukan pada satu kasus saja yang telah ditetapkan oleh Allah dan tidak dapat diterapkan pada kasus lainnya. 3. Batas ketiga hukum waris: wa in kanat wahidatan fa laha an-nisfu Batas hukum ketiga ini membatasi jatah warisan anak-anak dalam kondisi ketika jumlah anak laki-laki sama dengan anak perempuan, dengan rumusan persamaannya adalah : F/M=2 F
: Jumlah anak perempuan
M
: Jumlah anak laki-laki
Jumlah Pewaris
Jatah bagi laki-laki
Jatah bagi perempuan
1 laki-laki + 1
Setengah (1/2) bagi satu
Setengah (1/2) bagi
perempuan
laki-laki
satu perempuan
2 laki-laki + 2
Setengah (1/2) bagi dua
Setengah (1/2) bagi
perempuan
laki-laki
dua perempuan
3laki-laki + 3 perempuan Setengah (1/2) bagi tiga laki-laki
Setengah (1/2) bagi tiga perempuan
C. ANALISIS
Istilah yang tepat untuk menggambarkan pendekatan Shahrur terhadap studi Islam adalah penidakbiasaan (defamiliarisasi; defamiliaritation)71. Istilah ini menggambarkan sebuah proses yang di dalamnya bahasa digunakan dengan satu cara yang menarik perhatian dan secara langsung dipandang sebagai sesuatu yang tidak umum, sesuatu yang mengesampingkan proses otomisasi (automization). Defamiliarisasi adalah sebuah gerakan bawah tanah untuk menggambarkan sebuah objek seni sastra “seakan-akan seorang melihatnya untuk pertama kali”, tujuannya untuk melawan pembiasaan (habitualization) cara 71
Andreas Christmann, Modern Muslim Intellectual and the Al-Qur’an, (London, the Institute for Ismaili Studies: 2003) hal. 143
baca konvensional terhadap sebuah sistem sastra (art) sehingga objek yang sebelumnya sudah sangat dikenal menjadi objek yang tidak dikenal dan berada diluar dugaan pembaca. Pendekatan yang dilakukan oleh Shahrur mencitrakan kehendak nyata untuk meruntuhkan norma penafsiran yang sudah baku dan menawarkan jalan alternatif untuk membaca sebuah teks. Shahrur menginginkan pembacanya memahami “seakan-akan Rasulullah baru saja wafat dan menyampaikan kitab ini kepada kita”72, maksudnya seakan-akan para pembaca melihat teks atau menyaksikannya baru pertama kali. Hal ini merupakan program komprehensif untuk mengubah prespektif tradisional terhadap apa yang dinilai Shahrur telah ternodai oleh warisan aksioma yang menyesatkan yang terdapat dalam wacana keislaman. Dengan penafsiran baru ini, Shahrur ingin menunjukkan bahwa kebalikan dari penafsiran yang “telah diresmikan” atau telah diterima dengan penuh kewajaran adalah justru yang benar73. Lahir dari kondisi keluarga miskin di pinggiran Damaskus, Shahrur tidak pernah menempuh pendidikan formal yang berbasis agama Islam, bahkan sampai menperoleh gelar Doktor Teknik. Hal ini menunjukkan Shahrur belajar otodidak dalam mempelajari disiplin keilmuan keislaman. Sebagaimana dalam biografinya, Shahrur baru konsen dalam bidang keislaman setelah dia berada di Dublin dan bertemu dengan sahabatnya yakni Dr. Ja’far Dikk al-Bab. Namun, walau demikian, Shahrur sebagaimana di akui oleh Ja’far Dikk al-Bab adalah seorang ahli bahasa sehingga proyek besar Shahrur tentang kajian keislaman berawal dari kajian bahasa linguistik74.
72
Muhammad Shahrur, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Muashirah, (Damaskus: al-Ahali li alTiba’ah wa al-Nasyr, 1999), hal 44 73 Ibid. hal. 47 74 Ja’far Dikk al-Bab, Metode Linguistik Buku al-Kitab wa al-Qur’an, Pengantar dalam buku Hermeneutika al_Qur’an Kontemporer karya Muhammad Shahrur.
Kunci untuk memahami usaha Shahur dalam melakukan defamiliarisasi demi membuka sebuah pemahaman yang baru dan kontemporer adalah metode Shahrur terhadap istilah yang terkait dengan al-Qur’an. Pertama-tama dia mendekontruksi definisi umum dari terma tradisional dan mengungkapkannya sebagai definisi yang naif, tidak logis, bias dan rancu, dan akhirnya ia mengenalkan sebuah redefenisi terhadap istilah tersebut. Dalam karya-karyanya tidak ada satu pengertianpun yang dibiarkan tetap sebagaimana adanya. Dalam pembacaan Shahrur akan memporakporandakan paradigma kesarjanaan Islam yang selama ini tidak dipertanyakan lagi. Bahkan hadits yang dianggap sudah mapanpun. Contoh dari penolakan Shahrur terhadap hadits adalah penolakannya terhadap hadits yang diriwayatkan Ata bahwa Sa’ad ibn Ar-Rabi telah mati syahid. Dia meninggalkan dua anak perempuan, istri dan seorang saudara. Ketika saudaranya mengambil seluruh harta peniggalannya, maka pergilah istrinya mengadu kepada rasulullah: “wahai Rasulullah, kedua anak perempuan ini adalah anak Sa’d ibn ar-Rabi yang telah terbunuh. Paman kedua anak ini mengambil seluruh hartanya. “Rasulullah berkata: “Pulangla, semoga Allah menetapakan hukum dalam masalah ini.” Kemudian ia pulang dengan menangis, dan tak lama kemudian turunlah ayat tentang waris. Selanjutnya Rasulullah memanggil paman kedua anak tersebut dan bersabda: “Berikanlah pada dua anak perempuan Sa’ad ini 2/3 harta, bagi ibunya 1/8 dan sisanya untuk kamu”. Peristiwa ini menjadi awal pembagian hukum waris dalam Islam. Setelah melakukan analisis terhadap hadits tersebut, Shahrur menyimpulkan bahwa dalam hadits tersebut terdapat banyak hal yang meragukan dan hadits tersebut tuidak layak dijadikan pegangan dalam pembagian harta warisan.
Bagi Shahrur, Hadits akan ditolak jika bertentangan dengan makna teks al-Quran. Sehingga tidak mengherankan dimana istilah-istilah dan konsep-konsep barunya sulit dicerna bagi para sarjana tradisioal75. Salah satu kontribusi baru dalam kajian fiqih kontemporer yang disumbangkan oleh Shahrur adalah gagasannya tentang teori batas hukum (teori limit/nadzariyyat alhudud). Dalam karyanya yang sangat kontroversial, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Muashirah, Shahrur menegaskan bahwa teori limit merupakan salah satu pendekatan dalam berjihat, yang digunakan untuk mengkaji ayat-ayat muhkamat (ayat-ayat yang berisi pesan hukum) dalam al-Qur’an. Menurut Wael B Hallaq, teori limit Shahrur telah mengatasi kebuntuan epistimologis yang menimpa karya-karya sebelumnya76. Namun paling tidak teori batas yang digagas oleh Shahrur memberikan empat kontribusi dalam pengayaan fiqih77. Pertama, dengan teori limit, Shahrur telah berhasil melakukan pergeseran paradigma (paradigm shift) yang sangat fundamental di bidang fiqih. Selama ini pengertian hudud dipahami para ahli fiqih secara rigid sebagai ayat-ayat dan hadits-hadits yang berisi ketentuan sanksi hukum (al-uqubad) yang tidak boleh ditambah atau dikurangi dari ketentuan termaktub, seperti hukum potong tangan bagi pencuri, cambuk 100 kali bagi pelaku zina belum berkeluarga, dan lain sebagainya. Berbeda dengan itu, teori limit yang ditawarkan Shahrur cenderung bersifat dinamiskontektual, dan tidak hanya menyangkut masalah sanksi hukum (al-uqubat). Teori limit Shahrur juga menyangkut aturan-aturan hukum lainnya, seperti soal libasul mar’ah
75
Andreas Cristmann, Ibid, hal 172 Ja’far Dikk al-Bab, Metode Linguistik Buku al-Kitab wa al-Qur’an, Pengantar dalam buku Shahrur, Dasar-dasar Hermenuitika al-Qur’an Kontomporer, hal 24 77 Abdul Mustaqim, Shahrur dan Teori Limit, makalah diambil dari website//www.islamlib.com 76
(pakaian perempuan), ta’addud al-zawj (poligami), pembagian warisan, soal riba dan lain sebagainya. Kedua, teori limit Shahrur menawarkan ketentuan batas maksimum (al-hadd aladna) dan batas minimun (al-hadd al-a’la) dalam menjalankan hukum-hukum Allah. Artinya, hukum-hukum Allah diposisikan bersifat elastis, sepanjang berada diantara batas maksimum dan batas minimum yang telah ditentukan. Wilayah ijtihad manusia, menurut Shahrur berada diantara batas minimum dan maksimum tadi. Elastisitas dan fleksibilitas hukum Allah dapat digambarkan seperti posisi seorang pemain bola yang bebas bermain bola, asalkan tetap berada pada garis-garis lapangan yang telah ada. Pendek kata, selagi ijtihat masih berada dalam wilayah hududullah (batas-batas hukum Allah), maka dia tidak dapat dianggap keluar dari hukum Allah. Contoh, ketentuan hukum potong tangan bagi pencuri sebagaimana telah di firmankan Allah dalam surat al-Maidah ayat 38. Menurut Shahrur, potong tangan merupakan sanksi maksimum (al-hadd al-a’la) bagi seorang pencuri. Batas minimumnya adalah dimaafkan. Dari sini menurut Shahrur, hakim dapat berijtihad dengan memperhatikan kondisi si pencuri. Atau dalam waris, ketentuan pembagian 2:1 antara laki-laki dan perempuan, dimana dua bagian merupakan batas maksimum bagi laki-laki dan satu adalah batas minimum bagi anak perempuan. Ketiga, dengan teori limitnya, Shahrur telah melakukan dekontruksi dan rekontruksi terhadap metodologi ijtihad hukum, utamanya terhadap ayat-ayat hudud yang selama ini diklaim sebagai ayat-ayat muhkamat yang bersifat pasti dan hanya mengandung penafsiran tunggal. Bagi Shahrur, ayat-ayat muhkamat juga dapat dipahami, bahkan bagi Shahrur dipahami secara pluralistik, sebab makna suatu ayat itu dapat berkembang, tidak harus sesuai dengan makna (pengertian) ketika ayat itu turun.
Walhasil, penafsiran suatu ayat sesungguhnya bersifat relatif dan nisbi, sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan kata lain, melalui teori limit, Shahrur ingin melakukan pembacaan ayat-ayat muhkamat secara produktif dan prospektif (qira’ah muntijah) bukan pembacaan repetitive dan restrospektif (qira’ah mutakarrirah). Keempat, dengan teori limit, Shahrur ingin membuktikan bahwa ajaran Islam benar-benar ajaran yang relevan untuk tiap ruang dan waktu. Shahrur berasumsi, kelebihan risalah Islam adalah bahwa di dalamnya terkandung dua aspek gerak, yaitu gerak konstan (istiqamah) serta gerak dinamis dan lentur (hanifiyyah). Nah, sifat kelenturan Islam ini berada dalam bingkai teori limit yang oleh Shahrur dipahami sebagai the bounds or restriction that God has placed on men freedom of action (batasan yang telah ditempatkan oleh Tuhan pada wilayah kebebasan manusia). Kerangka analisis teori limit yang berbasis dua karakter utama ajaran Islam ini (aspek yang konstan dan lentur) akan membuat Islam tetap survive sepanjang zaman. Berkenaan dengan pembacaan al-Qur’an secara tekstual dan kontekstual, Shahrur adalah tokoh pemikiran Islam yang memadukan kedua kategori tersebut. Perpaduan itu, salah satunya di lakukan Shahrur melalui teori hududnya. Teori hudud yang di gagas Shahrur selalu merujuk kepada teks al-Kitab, untuk dikontektualisasikan dalam kontek kekinian atau modern. Pendekatan tekstual yang dilakukan oleh Shahrur melalui teori hududnya, sangat berbeda dengan logikan maenstream yang selama ini berkembang di kalangan kaum tekstualis, khususnya dengan nash al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah-masalah hukum. Bagi Shahrur, ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an bersifat hududiyyah, dengan pengertian Allah satu-satunya hakim yang berhak menentukan batas-batas hukum, tetapi
manusia diberikan kebebasan berijtihad dalam menentukan batas-batas hukum Allah sesuai dengan kondisi tertentu, misalnya ketika Allah mengharamkan untuk makan daging babi bagi umat Islam, namun pada kondisi darurat mereka diperbolehkan memakannya. Akan tetapi teori ini harus dianalisis secara mendalam terutama dalam implementasinya dalam hukum waris yang sudah di tentukan pembagiannya oleh Allah SWT. Apakah teori ini mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dalam persoalan pembagian waris atau bahkan menambah masalah dalam hukum waris itu sendiri. Secara umum teori batas memang perlu diapresiasi dalam perkembangan kajian fiqih kontemporer, namun pada sisi tertentu, teori ini haruslah dikaji lebih mendalam apakah layak untuk dijadikan alternatif penyelesaian dalam permasalahan-permasalahan hukum Islam terutama dalam permasalahan waris. Pertama, teori batas lahir dari metode linguistik yang digunakan oleh Shahrur dalam mengkaji ayat-ayat Tanzil al-Hakim (al-Qur’an), terutama dalam kajian dua istilah yaitu al-hanif dan al-istiqamah. Sebagaimana disebutkan oleh Dr. Ja’far Dikk al-Bab dalam pengantar bukunya Muhammad Shahrur, bahwa Muhammad Shahrur adalah seorang ahli bahasa disamping beliau juga seorang insinyur teknik. Metode linguistik Muhammad Shahrur bersumber dari teori linguistik Ibn Jinni dan Imam al-Jurjani. Shahrur merupakan tokoh intelektual yang menjadikan linguistik sebagai dasar kajiannya. Sehingga teks menjadi lebih hidup dalam kajian Shahrur. Pada tataran ini, teks bisa berjalan berkelindan dengan kondisi sosio-historis masyarakat dalam artian yang menjadi patokan utama adalah kondisi sosio-historis masyarakat yang cenderung berubah seiap saat dan teks harus ditafsirkan sesuai perubahan sosio-historis masyarakat tersebut.
Shahrur terlalu menjadikan teks sebagai pijakannya sehingga yang terjadi adalah teks menjadi relatif tergantung penafsiran teks serta tergantung kepada para penafsir. Akibat hukumnya adalah tidak adanya kejelasan dalam suatu masalah hukum. Disinilah problematika hermeneutika yang dibangun oleh Shahrur atau mungkin para hermeneuthermeneut lainnya yang menjadikan hermeneutika (kajian teks) dalam menafsirkan ayatayat al-Qur’an. Kedua, Shahrur dalam beberapa hal tidak menerima hal-hal yang menjadi pemahaman umum masyarakat Islam, misalnya tentang pandangannya tentang posisi nabi yang dianggap bukan sebagai sumber hukum, tetapi Shahrur memposisikan nabi sebagai mufassir awal yang menafsirkan al-qur’an yang sesuai dengan kondisi sosio-historis masyarakat Madinah pada waktu itu. Hukum yang di tetapkan oleh Nabi, bagi Shahrur hanya bisa di praktekkan pada masa itu, dan bisa diterapkan pada kondisi saat ini, apabila ketentuan itu sesuai dengan kondisi saat ini. Artinya, kondisi sosio-historis masyarakat harus menjadi patokan dasar dalam penetapan hukum. Maka, baginya teks harus di tafsir ulang sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini. Redaksi teks memang tidak berubah, tapi tafsirannya harus di sesuaikan dengan kondisi saat ini. Yang menjadi dasar atau pedoman pada umat Islam dari nabi dalam pandangan Shahrur hanyalah hal-hal yang bersifat ritualitas agama, seperti praktek sholat, puasa dan ibadah haji. Sedangkan ayatayat muhkamat yang dalam pandangan para ulama tidak bisa di tafsir ulang, bagi Shahrur bukanlah tafsir tunggal yang harus dituruti. Baginya, ayat-ayat muhkamat yang bagi umat Islam sudah jelas maksudnya, seperti masalah waris perlu ditinjau ulang bila tidak sesuai dengan kondisi masyarakat.
Ketiga, dalam permasalahan waris, teori limit yang digagas Shahrur tidak sempurna, hanya menyentuh permasalahan-permasalahan yang muncul antara anak lakilaki dan anak perempuan. Sedangkan masalah-masalah turunannya yang menyangkut paman, ibu, kakek, nenek, ayah dan lain sebagainya tidak mendapat bagian. Paradigma yang timbul adalah ahli waris yang ada hanyalah anak laki-laki dan anak perempuan semata. Sampai disini, penulis sampai pada sebuah kesimpulan bahwa proyek teori limit Shahrur terutama dalam persoalan waris tidak ada perbedaan mendasar dengan hukum waris sebagaimana adanya. Karena yang di lakukan Shahrur hanyalah defamiliarisasi, dimana sebenarnya Shahrur hanya menampilkan hal sebenarnya sudah mapan tapi dengan penampilan yang baru.
BAB V
PENUTUP Kesimpulan
Secara keseluruhan tulisan ini mencoba memahami pemikiran Shahrur tentang waris dengan menggunakan teori limit sebagai pijakannya. Pertama, teori batas (teori limit/nazariyyah al-hudud) adalah batas-batas ketentuan Allah yang tidak bisa dilanggar, tetapi didalamnya terdapat wilayah ijtihat yang bersifat dinamis, fleksibel, dan elastis. Manusia diperbolehkan melakukan ijtihat dalam menghadapi persoalan-persoalan agama baik itu yang bersifat ketetapan yang sudah mutlak, yang tidak bisa di ganggu gugat lagi maupun yang masih dalam perdebatan iktilafiyah. Asalkan tidak melewat batas-batas hukum yang sudah di tetapkan oleh Tuhan. Tuhan hanya menetapkan batasan-batasan dalam hukum dan oleh sebab itu manusia di haruskan untuk membuat aturan-aturan hukum sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat pada waktu itu. Dan pada konteks inilah hukum Tuhan bersifat universal. Kedua, Patokan utama dalam masalah waris dalam pandangan Shahrur adalah terletak pada wasiat. Artinya belum bisa dilaksanakan pembagian warisan jika mekanisme wasiat belum dilaksanakan oleh ahli waris. Kedudukan wasiat adalah wajib sama seperti sholat dan puasa. Walaupun si pewaris tidak meninggalkan wasiat kepada ahli waris, wasiat tetap dijalankan sebagai sebuah kewajiban. Shahrur menolak pandangan sebahagian ulama yang menyatakan bahwa kewajiban wasiat dalam surat al-Baqarah atau surat-surat lainnya telah dihapus oleh surat an-Nisa ayat 11-12, karena bagi Shahrur tidak ada nasikh mansukh dalam al-Qur’an. Jika di telurusi lebih mendalam sebenarnya pendapat Shahrur tidak bertentangan dengan pandangan ulama lainnya yakni wajib melaksanakan wasiat dalam hal menyelesaikan fardu
kifayah dan membayar seluruh hutang-piutang si mayit, setelah itu baru pembagian waris bisa dilaksanakan. Selain itu, patokan lain dalam pembagian waris dalam pandangan Shahrur adalah perempuan. Laki-laki hanya menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Artinya perempuan menjadi dasar dalam mekanisme pembagian waris. Ketiga, implementasi teori batas dalam permasalahan waris sebagaimana di gagas oleh Shahrur pada satu sisi merupakan tawaran baru dalam mekanisme pembaian warisan. Artinya Shahrur mencoba memberikan alternatif baru dalam pembagian waris dengan perempuan sebagai tolak ukurnya. Pembagian 2:1 antara anak laki-laki dan anak perempuan bagi Shahrur hanyalah batasan semata dari Allah bukan sebagai keputusan yang bersifat mutlak. Oleh karena itu, bagian masing-masing bisa berubah tergantung situasi yang ada. Jadi, bagian laki-laki bisa lebih kecil dari bagian perempuan dan bahkan sebaliknya. Keempat, Gagasan Shahrur tentang teori batas pada satu sisi harus di pandang sebagai bagaian dari usaha untuk melakukan pergeseran paradigma (paradigm shift) dimana difenisi hudud yang selama ini dipahami oleh ahli fiqih merupakan terma sanksi hukum yang tidak bisa di ganggu gugat lagi, seperti hukum potong tangan, razam bagi pezina dan lain-lain. Tapi hudud yang di gagas oleh Shahrur tidak semata-mata hanya sangsi hukum tapi hudud yang bersifat elastis dan dinamis. Namun pada sisi yang lain, usaha yang dilakukan Shahrur hanya defamiliarisasi (penidakbiasaan), dimana ia hanya mencoba menampilkan sesuatu dengan prespektif baru yang tidak ada perbedaan dengan pendapat yang sudah ada sebelumnya. Dengan tujuan bahwa seakanakan orang akan melihat hal itu untuk pertama kali.
Saran-Saran
Dari penelitin ini serta mengingat kajian tentang pemikiran Shahrur di Indonesia masih sedikit, disini penulis memberikan saran-saran, yaitu: Pembaharuan dalam keberagaman Islam hendaknya berangkat dari konsepsi yang terdapat dalam al-Qur’an. Namun perangkat ilmiah moderen tetap juga dibutuhkan untuk
memberikan
kontribusi
bagi
penafsiran
keagamaan Pendekatan Shahrur dalam pembacaan teks al-Qur’an dapat dijadikan rujukan untuk pembaharuan hukum Islam, khususnya eksplorasi mengenai teori hudud, bagaimanapun teori hudud yang di gagas Shahrur merupakan pijakan terhadap proses pembaharuan hukum Islam, karena proses pembaharuan merupakan keniscayaan. Untuk para pembuat hukum agar dalam menentukan satu hukum tidak hanya melihat dalam satu prespektif semata. Alangkah lebih baik bila prespektif lain di
gunakan agar hasilnya tidak hanya menyelesaikan satu aspek semata, tapi mampu menyelesaikan segala aspek yang mencakup hukum tersebut. Merujuk apa yang dilakukan
oleh
Shahrur
dalam
mengeksplorasi
pemahaman keagamaan sehingga mampu menghasilkan tawaran baru dalam perkembangan hukum Islam secara keseluruhan Pada tataran mahasiswa dan Universitas Islam Negeri (UIN) secara keseluruhan, menjadikan kajian-kajian yang bersifat linguistik dan filosofis dalam hukum Islam menjadi
sebuah
keharusan
proses
pemelajaran
mahasiswa agar mampu menjawab persoalan yang di hadapi oleh hukum Islam dengan menggunakan logika dan tidak terlalu dogmatis dalam pnyelesaian hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’anul al- Karim Abed al-Jabiri, Muhammad, Post Tradisionalisme Islam, terj. Ahmad Baso dan Imam Baihaqi (Yogyakarta: LkiS 2000) Abu Zayd, Nasr Hamid, Imam Syafi’i Modernitas Ekletisisme Arabisme, terj. (Yogyakarta: LKiS, 1997) --------, al-Qur’an, Hermeutika dan Kekuasaan, terj. Dedi Iswandi, dkk
(
Bandung, RqiS, 2003) Ahmed an-Naim, Abdullah, ” Dekontruksi Syariah” terj. Ahmad Suhaedy dan Nuruddin Arrani (Yogyakarta: LKiS, 1997) Ali Engineer, Asghar, “Islam dan Teologi Pembebasan” terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
al-Bab, Ja’far Dikk, Metode Linguistik Buku al-Kitab wa al-Qur’an, (Syiria: 1999) Al-Nawawi, al-Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil, Juz I, , terj (Semarang, Usaha Keluarga) Anderson, J.N.D, Hukum Islam di Dunia Modern, terj, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994) Ash-Shabuni, Muh., Qabas min Nurul-Qur’an, terj. Kathur Suhardi (Jakarta, Pustaka AlKautsar, 2000) Cet. Ke-I Burhanuddin, Artikulasi Teori Batas (Nazariyyah al-Hudud) Muhammad Shahrur Dalam Pengembangan Epistemologi Islam Di Indonesia, (ed). Shohiron Syamsuddin, Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Islamika, 2003) Christmann, Andreas, Modern Muslim Intellectual and the Al-Qur’an, (London, the Institute for Ismaili Studies: 2003) Efendi, Bisri, Tak Membela Tuhan Yang Membela Tuhan, (Yogyakarta: LKIS Faturrahman, Ilmu Waris, (Bandung, Al-ma’arif, 1971) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Pedoman Penulisan Skripsi, 2005 Fawaid Sjadzali, Ahmad, M. Shahrur: Figur Fenomena Dari Syiria, Makalah
1999)
Gahral Adian, Donny, Pilar-pilar Filsafat Kontemporer, (Yogyakarta: Jalasutra, 2002) Haroen, Nasrun, Ushul Fiqih I, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997) Hidayat, Komaruddin, Tragedi Raja Midas; Moralitas Agama dan Krisis Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1999) Ismail, Syarqawi, Rekontruksi Konsep Wahyu Muhammad Shahrur, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003) Kurzman (ed), Charles, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam
kontemporerTentang
Isu-isu Global, terj. Bahrul Ulum (Jakarta: Paramadina, 2001) Mustaqim Abdul, Mempertimbangkan Metodologi Muhammad Shahrur, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003) ________, Shahrur dan Teori Limit, (Jakarta: 2003) Nafis dkk, M. Wahyu, (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam; 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sadjali, MA,. (Jakarta: paramadina, 1995) Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 2003) Ramulyo, M. Idris, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta, Ind. Hill Co, 1987) Sarmadi, A. Sukris, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997) Sadjali, Munawir, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1997) Shahrur, Muhammad, Al-Kitab wa AlQur’an; Qira’ah Mu’asirah. (Damaskus: al- Ahali li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1999) --------, Nahw Usul Jadidah Lil al-Fiqih al-Islami, terj. Sohiron Syamsuddin (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004) Cet. Ke-2 --------, Al-Kitab wa AlQur’an; Qira’ah Mu’asirah Juz I, terj. Sohiron Syamsuddin, dkk. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004) --------, al-Islam wa al-Iman: Manzumah al-Qiyam , terj. M. Zaid Su’di
(Bandung:
2003( Syamsuddin,dkk,
Shohiron,
(ed),
Hermeneutika
al-Qur’an
(Yogyakarta: Islamika, 2003) Wahab, Yusron, Reading al-Kitab Versi Shahrur, Makalah
Mazhab
Yogya,
Wahhab Khallaf,
Abdul,
Kaidah-kaidah
Hukum Islam;
(Ilmu
Ushul
(Jakarta: Rajawali pres, 1996) Cet.ke-6 Wahid, Abdurrahman, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LKIS, 1999) Zainuddin, Hukum Perdata Islam Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006) http://www.islamensipatoris.com. http://www.islamlib.com.
Fiqih),