UNIVERSITAS INDONESIA
TELUSURAN EKSPERIMENTAL PROSES REDUKSI LANGSUNG PELLET PASIR BESI MENJADI INGOT BESI
TESIS Diajukan sebagai syarat untuk mendapatkan gelar magister ilmu material Oleh : WAHYU FIRMANSYAH 0706171554
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BAHAN FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS INDONESIA 2009
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Wahyu Firmansyah NPM : 0706171554 Tanda Tangan :
Jakarta, 20 Juni 2009
ii Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh
:
Nama
: Wahyu Firmansyah
NPM
: 0706171554
Program Studi : Magister Ilmu Bahan Judul Tesis
: Telusuran Eksperimental Proses Reduksi Langsung Pellet Pasir
Besi Menjadi Ingot Besi
Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Bahan Fakultas MIPA Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI Ketua Sidang
: Dr. Bambang Soegijono
Pembimbing I
: Dr. Azwar Manaf, M.Met
Pembimbing II
: Dr. Nurul Taufiqu Rochman
Penguji I
: Dr. Rudi Subagja
Penguji II
: Dr. Iskandar Muda
Ditetapkan di : Tanggal
:
iii Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmatNya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Bahan pada Fakultas MIPA Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Azwar Manaf, M.Met, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan tesis ini. 2. Dr. Nurul Taufiqu Rochman, M.Eng, selaku dosen pembimbing yang juga telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam menyelesaikan penyusunan tesis ini. 3. Ibu yang telah memberikan segenap do’a dan kasih sayang tak terkira sehingga semua pekerjaan terasa mudah dan ringan. (Almarhum) Bapak yang telah memberikan dorongan sejak kecil kepada penulis untuk senantiasa menuntut ilmu dan bekerja keras. 4. Ibu dan Bapak di Cilegon yang telah memberikan do’a restu, terima kasih. 5. Keluarga dan saudara-saudara di Bandung dan Cilegon. 6. Sahabat yang telah membantu saya dalam menyelesaikan tesis ini. 7. Rekan-rekan mahasiswa master dan doktor material sains UI yang tak terlupakan. 8. Rekan-rekan mahasiswa sarjana kimia ITB yang tak tergantikan. Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penyusunan tesis ini. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Serpong, 20 Juni 2009
Wahyu Firmansyah iv Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama
: Wahyu Firmansyah
NPM
: 0706171554
Program Studi : Magister Ilmu Bahan Departemen
: Fisika
Fakultas
: Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Jenis Karya
: Tesis S2
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Telusuran Eksperimental Proses Reduksi Langsung Pellet Pasir Besi Menjadi Ingot Besi Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/ formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Serpong, Pada tanggal : 20 Juni 2009 Yang Menyatakan
Wahyu Firmansyah v Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
ABSTRAK
Nama
: Wahyu Firmansyah
Program Studi : Magister Ilmu Bahan Judul Tesis
: Telusuran Eksperimental Proses Reduksi Langsung Pellet Pasir Besi Menjadi Ingot Besi
Pada penelitian ini telah dilakukan pengolahan skala kecil pasir besi menjadi ingot besi dengan proses reduksi langsung menggunakan electric muffle furnace pada suhu 1350oC dengan variasi waktu pembakaran 5, 10, 15 dan 20 menit. Komposisi pellet yang digunakan adalah pasir besi : grafit : kapur : bentonit berturut-turut 74:20:5:1 wt %. Dengan komposisi pellet yang sama dilakukan penelitian dalam skala lebih besar dan digunakan electric arc furnace sebagai alat pembakaran. Telah didapatkan hasil dari penelitian ini ingot besi berupa pig iron dengan kandungan besi 96,58 % dan karbon 3,40 %. Persen metalisasi yang diperoleh adalah 49,15 %. Pada slag masih terdapat besi dalam bentuk senyawa Fe2TiO4 dan FeO, yang membuktikan bahwa proses reduksi belum berjalan sempurna. Kata kunci : Pasir besi, Ingot besi, Electric arc furnace, Slag.
vi Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
ABSTRACT
Name
: Wahyu Firmansyah
Study Program: Magister of Materials Sciences Thesis Title
: Experimentally Study of Direct Reduction Proses for Iron Sand Pellets into Iron Ingot.
In this experiment has been done laboratory scale processing of iron sand to be iron igot by direct reduction using electric muffle furnace at 1350oC by variying of burning time 5, 10, 15, and 20 minutes. The pellet was constituted by iron sand, graphite, limestone, and bentonite with composition of 74:20:5:1 wt % respectively. Using the similar composition, the experiment with larger scale has been conducted using electric arc furnace as a burning apparatus. From the experiments, iron ingot in the form of pig iron with iron content of 96,58 % and carbon content of 3,40 % has been yielded. The metallization process yielded 49,15 %. In the slag, there are still remain iron in the form of Fe2TiO4 and FeO compounds, which has proved that reduction process was still not conducted perfectly. Key word : Iron sand, Iron ingot, Electric arc furnace, Sludge.
vii Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
DAFTAR ISI
halaman HALAMAN JUDUL............................................................................................i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ...............................................ii HALAMAN PENGESAHAN............................................................................iii KATA PENGANTAR .......................................................................................iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS..............................................v ABSTRAK .........................................................................................................vi ABSTRACT......................................................................................................vii DAFTAR ISI....................................................................................................viii DAFTAR GAMBAR .........................................................................................ix DAFTAR TABEL..............................................................................................xi DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................xii BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................1 1.1. Latar Belakang ................................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah ...................................................................................3 1.3. Tujuan Penelitian.....................................................................................4 1.4. Manfaat Penelitian...................................................................................4 1.5. Batasan Penelitian ...................................................................................5 BAB 2 STUDI LITERATUR .............................................................................6 2.1. Teknologi Pembuatan Besi......................................................................6 2.2. Kandungan Mineral Magnetik Pasir Besi .............................................11 2.3. Reduksi Bijih Besi Menjadi Besi ..........................................................12 2.4. Penelitian Pasir Besi di Indonesia .........................................................18 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN............................................................22 3.1. Alat dan Bahan......................................................................................22 3.1.1. Peralatan....................................................................................22 3.1.2. Bahan ........................................................................................30 3.2. Diagran Alir Penelitian .........................................................................31 BAB 4 PEMBAHASAN ...................................................................................32 4.1. Persiapan dan Analisi Bahan Baku .......................................................35 4.2. Milling Campuran Pellet Pasir Besi......................................................40 4.3. Metalisasi ..............................................................................................41 4.4. Percobaan Pada Skala Lebih Besar .......................................................50 4.4.1. Perhitungan untuk Mencari Persen Metalisasi ............................53 4.4.2. Analisis Besi Hasil Pembakaran..................................................55 4.4.3. Analisis Slag Hasil Pembakaran..................................................61 BAB 5 KESIMPULAN.....................................................................................69 5.1. Kesimpulan ............................................................................................69 5.2. Saran ......................................................................................................69 DAFTAR REFERENSI ....................................................................................71 DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................75
viii Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.1. Aplikasi Penggunaan Baja dalam Kehidupan Manusia .................1 Gambar 2.1. Penggunaan Teknologi Pembuatan Besi di Dunia .........................6 Gambar 2.2. Diagram Dapur Tinggi ...................................................................8 Gambar 2.3. Mini Blast Furnace Untuk Mengolah Bijih Besi Kadar Tinggi Yang Ada Di Balai Pengolahan Mineral Lampung, Lipi ...............8 Gambar 2.4. Plant Reduksi Langsung yang Digunakan oleh PT. Krakatau Steel ........................................................................................................9 Gambar 2.5. Plant Reduksi Langsung Berbasis Gas Alam (a) MIDREX ® Process, (b) HOTLINK ® Process ................................................9 Gambar 2.6. Plant Reduksi Langsung Berbasis Gas Alam Fastmet ® Process Menggunakan Rotary Heart Furnace ............................................9 Gambar 2.7. ITmk3 ® Process Menggunakan Rotary Hearth Furnace.............10 Gambar 2.8. Patent ITmk3 ® Menggunakan Finisher-Hearth-Melter (FHM) Furnace ...........................................................................................10 Gambar 2.9. Diagram Fasa Segitiga Sistem Feo-Fe2O3-TiO2.............................11 Gambar 2.10. Ilustrasi Mekanisme Terjadinya Proses Reduksi Oksida Besi Oleh Karbon.............................................................................................13 Gambar 2.11. Hasil XRD Untuk 2:1 Molar Rasio Ilmenit:Si Yang Dimilling a). 100 Jam, b) 200 Jam Intensitas Rendah, c) Sampel B Yang Dianealing Selama 1 Jam Dlm Kondisi Argon, d). 50 Jam, e).100 Jam dan f). 200 Jam Intensitas Tinggi............................................15 Gambar 2.12. Furnace dengan Generator Gelombang Mikro...............................16 Gambar 2.13. Hubungan Antara % Berat Yang Hilang dengan Temperatur Pada Pellet Berdiameter 10, 15, Dan 20 Mm Yang Dipanaskan dengan Energi Gelombang Mikro...............................................................16 Gambar 2.14. Hasil XRD untuk Hasil Reduksi Pellet Magnetit Yang Direduksi Menggunakan Karbon Pada Suhu 800oC, 1050oC, 1150oC dan 1250oC ............................................................................................16 Gambar 2.15. Gravity Separator untuk meningkatkan kadar Fe pada pasir besi..19 Gambar 2.16. Proses benefiasi pasir besi untuk meningkatkan kadar Fe .............20 Gambar 3.1. Magnetic Separator........................................................................22 Gambar 3.2. Disc Mill.........................................................................................23 Gambar 3.3. Planetary Ball Mill (PBM 4A), jar dan bola bola milling ......24 Gambar 3.4. Alat Kompaksi Yang Digunakan dalam Penelitian .................24 Gambar 3.5. Electric Furnace Nobertherm ....................................................25 Gambar 3.6. Electric Arc Furnace......................................................................27 Gambar 3.7. Optical Pyrometer Model IR-U .....................................................27 Gambar 3.8. Micro Cutter...................................................................................28 Gambar 3.9. Polisher ..........................................................................................28 Gambar 3.10. HR-SEM (JEOL JSM-6510LA) tandem EDX...............................29 Gambar 3.11. Langkah Kerja Eksperimen Skala Laboratorium Secara
Skematik .................................................................................31
ix Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
Gambar 3.12. Langkah Kerja Eksperimen Skala Lebih Besar Secara
Skematik .................................................................................32 Gambar 4.1. Pasir Besi (a) Sebelum Separasi Dan (b) Setelah Separasi 3 Kali .36 Gambar 4.2. Pola Difraksi Sinar-X Pasir Besi Hasil Separasi Magnetik dengan Menggunakan GSAS ......................................................................38 Gambar 4.3. XRD Campuran Pasir Besi Yang Telah Dimilling Selama 100 Jam dengan PBM4A .......................................................................40 Gambar 4.4. Proses Pengeluran Sampel Yang Telah Dipanaskan......................41 Gambar 4.5. Metalisasi Pasir besi-Grafit dengan Suhu 1350°C (a) 5 menit, (b) 10 menit, (c) 15 menit dan (d) 20 menit ...................................42 Gambar 4.6. SEM dan EDS Dari Sampel Yang Dipanaskan Pada Suhu 1350°C Selama 5 Menit ..................................................................45 Gambar 4.7. SEM Dari Sampel Yang Dipanaskan Pada Suhu 1350°C Selama 10 Menit ..........................................................................................46 Gambar 4.8. SEM dan EDS Dari Sampel Yang Dipanaskan Pada Suhu 1350°C Selama 10 Menit ............................................................................. 47 Gambar 4.9. SEM dan EDS Dari Sampel Yang Dipanaskan Pada Suhu 1350°C Selama 15 Menit ............................................................................. 48 Gambar 4.10. SEM dan EDS Dari Sampel Yang Dipanaskan Pada Suhu 1350°C Selama 20 Menit ............................................................................. 49 Gambar 4.11. Pellet Yang Dipanaskan Pada Temperature 1350oC dan Lama Pemanasan 10 Menit....................................................................... 50 Gambar 4.12. Pellet dengan Ukuran Φ 3cm, Panjang 6cm ................................... 51 Gambar 4.13. Desain Awal Alat Arc Furnace, (a) Furnace (Tungku Pembakaran), dan (b) Elektroda Arc ..................................................................... 52 Gambar 4.14. Metal Besi Yang Diperoleh Dari Smelting Arc Furnace (Kiri) dan Setelah Dikumpulkan (Kanan) ....................................................... 53 Gambar 4.15. Sampel Hasil Pembakaran (a). Ingot Besi dan Slag, (b) Ingot Besi, (c) Slag............................................................................................ 55 Gambar 4.16. Grafik Hasil Analisis XRD Ingot Besi............................................ 57 Gambar 4.17. Mikrostuktur Ingot Besi.................................................................. 57 Gambar 4.18. Hasil Analisis EDS Ingot Besi........................................................ 58 Gambar 4.19. Diagram Fasa Sistem Fe-C ............................................................. 59 Gambar 4.20. Mikrostruktur Ingot Besi Pada Daerah Batas Antara 2 Fasa. (a) Perbesaran 300x dan (b) Perbesaran 1200x.................................... 59 Gambar 4.21. Hasil Analisis EDS Fasa Impuritas pada Ingot Besi....................... 60 Gambar 4.22. Hasil Analisis XRD pada Slag Menggunakan GSAS..................... 62 Gambar 4.23. Diagram fasa CaO-TiO2-SiO2 dari Muan dan Osborn.................... 64 Gambar 4.24. Struktur Mikro Slag ........................................................................ 65 Gambar 4.25. Analisis Fasa Gelap Menggunakan EDS ........................................ 66 Gambar 4.26. Hasil Analisis EDS Fasa Gelap....................................................... 67 Gambar 4.27. Analisis Fasa Terang Menggunakan EDS ...................................... 67 Gambar 4.26. Hasil Analisis EDS Fasa Terang..................................................... 68
x Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.1. Konsumsi Baja Dunia Tahun 2005-2007...........................................2 Tabel 2.1. Perbandingan Reduksi Ilmenit Menggunakan Dua Metode ....14 Tabel 2.2. Perbandingan Produk Hasil Reduksi Pellet .....................................19 Tabel 4.1. Hasil XRF Pasir Besi Sebelum dan Sesudah Separasi Magnetik ....36 Tabel 4.2. Hasil Identifikasi Puncak Difraksi Pasir Besi Hasil Separasi Magnetik...........................................................................................39 Tabel 4.3. Komposisi Campuran Pasir Besi Yang Digunakan dalam Penelitian ..........................................................................................39 Tabel 4.4. Komposisi Campuran Senyawa Yang Digunakan dalam Pembuatan Pelet ...............................................................................51 Tabel 4.5. Variasi Pada Saat Pembakaran Pellet ..............................................53 Tabel 4.6. Data Hasil Analalisis XRF Ingot Besi .............................................56 Tabel 4.7. Hasil Identifikasi Puncak Difraksi Ingot Besi Hasil Pembakaran ...57 Tabel 4.8. Hasil Identifikasi Unsur Pada Slag ..................................................61 Tabel 4.9. Hasil Identifikasi Puncak Difraksi Slag ...........................................63
xi Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Hasil XRF Pasir Besi Sebelum Diseparasi Magnetik.................75 Lampiran 2. Hasil XRF Pasir Besi Setelah Diseparasi Magnetik Sebanyak 3 Kali...........................................................................................76 Lampiran 3. Hasil XRF Bentonit Yang Digunakan ........................................77 Lampiran 4. Hasil XRF Pellet Yang Dibakar .................................................78 Lampiran 5. Hasil XRF Ingot Besi Yang Dihasilkan .....................................79 Lampiran 6. Hasil XRF Slag Yang Terbentuk................................................80 Lampiran 7. Hasil Analisis XRD Pasir Besi Menggunakan GSAS ................81 Lampiran 8. Data Referensi ICDD untuk Puncak-Puncak FeTiO3 dan Fe3O4 84 Lampiran 9. Data Referensi ICDD untuk Puncak-Puncak Fe.........................85 Lampiran 10. Hasil Analisis SEM & EDS untuk Ingot Besi yang Didapatkan 86 Lampiran 11. Hasil Analisis XRD Slag Menggunakan GSAS .........................89 Lampiran 12. Data Referensi ICDD untuk Puncak-Puncak Fe2TiO4, CaTiO3, TiO dan FeO ..............................................................................93 Lampiran 13. Hasil Analisis SEM & EDS untuk Slag yang Didapatkan .........95
xii Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Baja atau sering disebut besi baja adalah bahan baku vital dalam dunia industri. Sekitar 95% dari seluruh konsumsi produk yang terbuat dari logam didominasi oleh baja yang digunakan di hampir semua segmen kehidupan mulai dari peralatan dapur, kendaraan (seperti: mesin, bodi, lokomotif dll), generator pembangkit listrik, kerangka rumah, jembatan dan lain sebagainya. Gambar 1.1 menunjukkan aplikasi penggunaan baja dalam kehidupan manusia.
Gambar 1.1 Aplikasi Penggunaan Baja dalam Kehidupan Manusia Sumber : ”Telah diolah kembali” dari berbagai sumber.
Kebutuhan baja dunia dewasa ini semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pembangunan industri secara global hampir di semua negaranegara. Berdasarkan laporan dari International Iron and Steel Institute, produksi baja dunia meningkat dari 1028.8 juta metrik ton dalam tahun 2005 menjadi 1.120 juta metrik ton pada tahun 2006. Peningkatan ini diproyeksi akan terjadi dari tahun ke tahun seiring dengan peningkatan konsumsi baja dunia (lihat Tabel 1.1).
1
Universitas Indonesia
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
2
Pada tahun 2005-2006 terjadi peningkatan 8,9 % dari tahun sebelumnya. Peningkatan konsumsi baja di masing-masing negara mengindikasikan bahwa proses pembangunan dan pengembangan industri masih terus berlangsung.
Hingga saat ini, teknologi pengolahan baja skala besar yang digunakan di Indonesia masih menggunakan proses Direct Reduction dengan teknologi MIDREX. Teknologi dalam skala besar ini mensyaratkan penggunaan pellet yang bermutu tinggi dan penggunaan gas alam dengan jumlah yang besar. Sayangnya industri dalam negeri kita belum mampu menghasilkan pellet dan kokas bermutu tinggi sesuai yang dibutuhkan proses tersebut, disebabkan oleh bahan bakunya berupa bijih besi kadar Fe tinggi jumlahnya sangat sedikit di Indonesia.
Tabel 1.1 Konsumsi Baja Dunia Tahun 2005-2007
Sumber : International Iron and Steel Institute, 2006
Potensi sumber daya bijih besi Indonesia sangat mendukung untuk kemandirian industri baja nasional jika dilakukan pemilihan teknologi yang tepat. Dan salah satu kekayaan alam yang ada dalam jumlah melimpah di Indonesia adalah pasir besi. Mineral jenis ini tersebar luas disepanjang tepian Samudera Hindia, dari wilayah paling barat Pulau Sumatera hingga Pulau Bali, Lombok dan sekitarnya (Ratman et all., 1998). Hal ini tidak lepas dari kedudukan kepulauan Indonesia
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
3
yang dilewati oleh jalur sabuk vulkanik (Abidin, 20003), serta Indonesia merupakan negara yang memiliki gunung api paling banyak di dunia dan masih aktif (Tjetjep dan Wirakusumah, 2003). Berdasarkan keadaan ini dapat diduga bahwa pasir besi Indonesia memiliki variasi dan ciri yang khas. Para ahli geologi menggolongkan pasir besi sebagai endapan besi sekunder produk gunung api. Secara faktual beberapa gunung api di Indonesia masih terus memuntahkan material vulkaniknya, sebagai contoh adalah letusan Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Gunung Kelud di Jawa Timur. Dengan demikian pasir besi di Indonesia merupakan produk lokal yang dihasilkan secara berkesinambungan.
Pasir besi sampai saat ini hanya dimanfaatkan untuk beberapa keperluan yang bernilai ekonomi rendah, misalnya untuk bahan campuran semen atau bahan bangunan. Pemanfaatan seperti itu kurang optimal, sebab mineral oksida besi yang terkandung didalam pasir besi sebenarnya sangat potensial untuk diolah menjadi berbagai produk industri yang bernilai tinggi. Diantara produk industri yang dapat dihasilkan dengan menggunakan bahan dasar oksida besi adalah besi baja (Muta’alim et all., 1995), pewarna (Ozel et al., 2003), toner (Brezoi dan Ion, 2005), media rekam magnetik (Peng et al., 2003; Aso et al., 1999; Yamamoto et all., 2001), magnet ferit (Parkin et al., 2001). Dari berbagai produk tersebut, besi baja termasuk produk yang bernilai ekonomi tinggi dan sekaligus sangat strategis bagi kemandirian bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pengolahan pasir besi menjadi besi baja dipandang sebagai langkah yang tepat.
1.2 Rumusan Masalah Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, informasi tentang eksploitasi pasir besi mencuat dan menjadi topik berita yang sangat hangat. Pemerintah daerah yang wilayahnya terdapat kekayaan alam sejenis ini sangat berkeinginan untuk segera mengelolanya dan mengubahnya menjadi aset dana dengan cara menawarkan langsung produk pasir besi mentah kepada pembeli, yang umumnya berasal dari luar negeri. Penjualan pasir besi mentah tersebut menjadi bagian dari
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
4
sederetan cara yang kurang optimal dalam mengambil nilai manfaat pasir besi, sebab pasir besi sangat potensial untuk diolah menjadi berbagai produk yang bernilai ekonomi tinggi, salah satunya adalah produk besi baja. Masalahnya, saat ini data tentang pasir besi dan informasi mengenai cara pengolahannya menjadi berbagai produk industri masih sangat terbatas. Hal ini disebabkan karena hasil riset tentang pasir besi dan teknologi pengolahannya di beberapa negara (contohnya : Selandia Baru dan China) yang memiliki kekayaan alam jenis ini dipandang sebagai sesuatu yang strategis sehingga tidak banyak dipublikasikan. Dengan demikian untuk mengetahui peluang pengolahan pasir besi menjadi besi baja atau produk bernilai ekonomi tinggi lainnya, diperlukan kegiatan penelitian untuk menghasilkan informasi yang komprehensif yang dapat digunakan sebagai pijakan dalam pengolahan pasir besi.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji kemungkinan dari reduksi langsung pellet pasir besi menjadi ingot besi khususnya pig iron atau besi cor dan mengetahui optimalisasi proses reduksi dengan menghitung % metalisasi yang terjadi, serta memahami proses reduksi yang terjadi pada saat pembentukan logam besi.
1.4 Manfaat Penelitian Ditinjau dari beberapa segi, penelitian tentang pasir besi ini sangat perlu dilakukan karena memiliki beberapa nilai penting. Pertama, kajian tentang pasir besi ini bersifat unik dan memiliki nilai ilmiah yang tinggi, terutama dari sisi keaslian produk lokalnya. Pasir besi yang dijadikan bahan penelitian ini merupakan pasir besi yang berasal dari tanah air Indonesia, yang sudah tentu memiliki karakteristik berbeda dengan negara lain. Kedua, penelitian ini menghasilkan data informasi tentang pasir besi dan metode pengolahannya menjadi ingot besi. Ketiga, penelitian ini akan menghasilkan bahan hasil olahan pasir besi yang memiliki nilai ekonomi jauh lebih tinggi dibanding bahan aslinya. Dengan demikian, selain memberi kontribusi pada khazanah pengembangan ilmu
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
5
pengetahuan dan teknologi, hasil dari penelitian ini juga dapat dimanfaatkan oleh pihak pengambil keputusan dalam merumuskan kebijakan eksploitasi pasir besi di masa yang akan datang.
1.5 Batasan Penelitian Pada penelitian ini hanya akan dilakukan proses reduksi langsung pada pellet pasir besi dalam skala laboratorium dan kemudian pada skala yang lebih besar. Sebelum dibuat pellet pasir besi yang digunakan akan dibenefisiasi dengan menggunakan magnetik separator. Analisis terhadap ingot besi yang dihasilkan akan menunjukkan seberapa optimal proses reduksi langsung yang telah dilakukan dan analisis terhadap slag yang terbentuk akan menunjukkan jumlah besi yang masih belum dapat tereduksi dan dalam bentuk senyawanya.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
BAB 2. STUDI LITERATUR
2.1
Teknologi Pembuatan Besi
Teknologi yang banyak digunakan saat ini dalam proses pembuatan besi dari bijih besi ada dua yaitu Blast Furnace dan Direct Reduction Iron (DRI). Teknologi ini sudah cukup lama dan banyak digunakan di dunia. Gambar 2.1 menunjukan penggunaan teknologi pembuatan besi dengan teknologi DRI yang ada di dunia.
Gambar 2.1 Penggunaan Teknologi Pembuatan Besi di Dunia Sumber : International Iron and Steel Institute, 2006
Berdasarkan gambar diatas teknologi generasi kedua (direct reduction iron) seperti Midrex, Hyl dan Fastmet telah memproduksi total 55,9 metrik ton besi dunia pada tahun 2005. MIDREX teknologi merupakan teknologi yang paling banyak digunakan oleh perusahaan baja didunia. PT. Krakatau Steel juga mengunakan teknologi DRI ini yaitu Hyl yang berasal dari Meksiko. Teknologi banyak digunakan karena biaya investasi yang murah dibandingkan dengan teknologi generasi pertama dan bukan proses yang berkelanjutan. Bahan baku yang digunakan adalah Hematit/Magnetite dengan kadar Fe yang cukup tinggi sehingga tidak bisa dipenuhi oleh bijih besi lokal yang kadar Fe nya rendah.
6
Universitas Indonesia
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
7
Teknologi generasi pertama (blast furnace) adalah teknologi yang paling lama. Teknologi ini merupakan proses yang berkelanjutan sehingga sangat cocok digunakan pada daerah dengan ketersedian bahan baku yang melimpah. Kekurangan dari teknologi ini adalah membutuhkan bijih besi dengan kadar Fe yang tinggi dan juga kokas dengan spesifikasi yang bagus. Hal ini tidak bisa dipenuhi oleh dalam negeri dikarenakan rendahnya kadar Fe bijih besi Indonesia dan batubara Indonesia yang masih muda. Bagian-bagian dari dapur tinggi dapat dilihat pada Gambar 2.2. Sementara Gambar 2.3 menunjukkan mini blast furnace yang telah di-set-up di Balai Pengolahan Mineral Lampung, LIPI sejak tahun 1985. Teknologi ini merupakan peleburan reduksi (reduction smelting) dan masuk kategori reduksi tidak langsung. Pembuatan besi dengan dapur tinggi membutuhkan kokas yang sangat mahal dan temperatur tungku yang tinggi sekitar 1500-2000oC. Proses pembuatan besi dengan teknologi ini merupakan proses yang berkelanjutan sehingga membutuhkan jaminan ketersediaan bahan baku. Pellet besi yang digunakan memerlukan kualitas yang baik yaitu kadar Fe yang tinggi dan tidak adanya kandungan pengotor. Besi yang dihasilkan memiliki kandungan karbon 4-5% sehingga sangat getas.
Teknologi generasi kedua adalah pembuatan besi dengan menggunakan gas alam untuk mereduksi bijih besi sehingga didapat besi reduksi langsung (Direct Reduction Iron). Teknologi ini tidak sebesar dapur tinggi, investasinya lebih rendah dan sudah banyak dibangun di negara-negara berkembang. Teknologi ini juga digunakan oleh PT. Krakatau Steel yang disebut Hyl dari Meksiko. Teknologi lain yang dikembangkan pada generasi kedua ini adalah MIDREX® Process (ditunjukkan oleh Gambar 2.5.a) dan Fastmet® Process (ditunjukkan oleh Gambar 2.6). Teknologi lain yang dikembangkan adalah HOTLINK® Process (ditunjukkan Gambar 2.5.b) yang merupakan pengembangan dari MIDREX® Process. Penggunaan teknologi generasi kedua ini jika dibandingkan dengan dapur tinggi meningkat secara drastis dari 800.000 ton pada tahun 1970 menjadi 55.000.000 ton pada tahun 2005 (Negami, 2001). Bijih besi yang digunakan pada proses ini adalah hematit dan magnetit, sehingga tetap membutuhkan Fe dengan kadar yang tinggi dan tanpa banyak pengotor.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
8
1. Hembusan udara panas dari tungku 2. Daerah pencairan 3. Zona reduksi FeO (Ferrous Oxide) 4. Zona reduksi Fe2O3 (Ferric Oxide) 5. Daerah pemanasan awal 6. Tempat masuk Bijih besi, Kapur dan Kokas 7. Gas sisa pembakaran 8. Lajur Bijih besi, Kapur dan Kokas 9. Slag 10. pig iron 11. Saluran gas buang
Gambar 2.2 Diagram Dapur Tinggi
Mini Blast Furnace sejak 1985, di BPML, LIPI Lampung
Kapasitas: 10 rb ton/th
Gambar 2.3 Mini Blast Furnace Untuk Mengolah Bijih Besi Kadar Tinggi Yang Ada Di Balai Pengolahan Mineral Lampung, Lipi.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
9
Gambar 2.4 Plant Reduksi Langsung Yang Digunakan Oleh PT. Krakatau Steel.
a
b
Gambar 2.5 Plant Reduksi Langsung Berbasis Gas Alam (a) MIDREX® Process, (b) HOTLINK® Process.
Gambar 2.6 Plant Reduksi Langsung Berbasis Gas Alam Fastmet® Process Menggunakan Rotary Hearth Furnace.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
10
Teknologi generasi ketiga yang dikembangkan oleh Kobe Steel adalah IT Mark Three (ITmk3®) (Hoffman, 2004), seperti ditunjukkan pada Gambar 2.7 dan 2.8. Teknologi ini merupakan pengembangan dari Fastmet® process, yang merupakan reduksi langsung dengan menggunakan batu bara. ITmk3® adalah proses yang unik, karena Pellet direduksi dan dilelehkan pada suhu yang relatif rendah yaitu 1350oC. Pada proses ini besi dengan mudah terpisah dari slag. Reaksi pada ITmk3® berada pada fasa padat/ cair yang berbeda dengan teknologi pembuatan besi konvensional. Keunggulan lain dari teknologi ini adalah FeO sisa kurang dari 2% dan tidak merusak bata api. Bijih besi halus dan bijih besi kadar rendah bisa digunakan pada teknologi ini. Kobe steel dalam penelitiannya dalam waktu yang singkat (3-9 menit) telah berhasil mereduksi langsung bijih besi dengan teknologi ITmk3® dengan variasi temperatur. Seiring dengan penambahan waktu pada pemanasan 1350oC, metalisasi berjalan lebih sempurna dan terjadi pengumpulan/ pemisahan slag dari metal yang terbentuk.
Gambar 2.7 Itmk3® Process Menggunakan Rotary Hearth Furnace (Hoffman, 2004).
Gambar 2.8 Patent Itmk3® Menggunakan Finisher-Hearth-Melter (FHM) Furnace (Hoffman, 2003).
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
11
2.2
Kandungan mineral magnetik dalam pasir besi
Secara umum, mineral dalam pasir besi terdiri dari dua komponen dibedakan atas dasar sifat magnetiknya, yaitu mineral magnetik dan mineral non magnetik. Mineral magnetic menjadi primadona bagi sebagian besar orang dikarenakan jumlahnya yang sangat melimpah dan kegunaannya yang bernilai ekonomi tinggi. Oksida besi-titanium (FexTiyOz) adalah senyawa magnetik yang cukup dominan selain oksida besi lainnya. Kumpulan senyawa oksida besi-titanium ini terdiri dari mineral-mineral yang memenuhi diagram segitiga (ternery diagram) dengan anggota-anggota tepi (end members) terdiri dari TiO2, FeO dan Fe2O3, seperti terilhat dalam gambar 2.9 (Putnis, 1992).
Gambar 2.9 Diagram Fasa Segitiga Sistem Feo-Fe2O3-TiO2 (Putnis, 1992)
Sistem segitiga diatas menjelaskan berbagai komposisi kimia dari mineral-mineral oksida yang hampir selalu menjadi perhatian dalam mempelajari sifat kemagnetan batuan, yaitu FeO (wustite), Fe3O4 (magnetite), γ-Fe2O3 (maghemit), α-Fe2O3 (hematite), FeTiO3 (ilmenit), Fe2TiO4 (ulvospinel), Fe2TiO5 (pseudobrookite), dan FeTi2O5 (ilmeno-rutile atau ferropseudobrookite). Segitiga tersebut juga memuat informasi mengenai tiga deret sistem, yaitu titanomagnetite, titanohematite, dan pseudobrookite. Pada deret tersebut juga dapat ditambahkan deret titanomaghemit
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
12
yang diperoleh dengan oksidasi titanomagnetit pada temperatur dibawah 300oC. Dari keempat deret oksida besi titanium tersebut, yang membawa sifat magnetik paling menonjol adalah titanomagnetit. Sistem titanomagnetit, khususnya magnetit, merupakan komponen senyawa paling dominan yang terkandung dalam pasir besi (Yulianto, 2003). Secara alamiah keberadaan mineral besi oksida dalam pasir besi bercampur dengan berbagai mineral lainnya. Pasir besi merupakan salah satu produk dari batuan beku (Schon, 1998) sehingga komposisi mineral yang menyertai magnetit pasir besi sangat bervariasi bergantung pada batuan induk dan lokasinya. 2.3
Reduksi bijih besi menjadi ingot besi
Secara kimia proses reduksi terhadap senyawa besi oksida dapat dilakukan dengan reduktan C atau H2 yang akan menghasilkan produk gas CO atau uap air. FenOm + mC Æ nFe + mCO(g)
(1)
FenOm + mH2(g) Æ nFe + mH2O(g)
(2)
Proses reduksi diatas biasa disebut dengan proses reduksi langsung (Direct Reduction), dimana terjadi interaksi langsung antara Fe dan C atau H2. Khusus pada reaksi dengan C juga biasa disebut dengan reaksi interaksi padat-padat, karena FenOm dan mC pada awal reaksi (sebelum diberikan energi) berwujud padat. Proses reduksi langsung akan berjalan jika terjadi kontak antara oksida besi dan karbon. Kontak oksida besi dan karbon telah didefinisikan dalam tiga keadaan (Kashiwaya, 2004) seperti ditunjukkan pada Gambar 2.10. Keadaan pertama adalah oksida besi dan karbon terpisah. Pada keadaan ini reduksi langsung tidak akan terjadi dan reduksi tidak langsung akan mendominasi pada proses tersebut. Keadaan kedua adalah telah terjadi kontak antara oksida besi dan karbon tetapi kontaknya lemah. Hal ini dikarenakan kontaknya hanya terjadi pada tingkat makro dan tanpa tekanan sehingga keadaan pertama akan berulang dimana reduksi tidak langsung akan mendominasi. Keadaan ketiga adalah kontak yang kuat terjadi antara oksida besi dan karbon. Hal ini didapat dengan menggunakan mechanical alloying. Pada saat penghancuran dengan ball milling dimana ukuran partikel dan kristal mengecil seiring dengan lama waktu milling sehingga terjadi kontak area yang besar antara oksida besi dan karbon dalam level atom (Kashiwaya, 2004).
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
13
I. Oksida besi dan karbon terpisah
II. Terjadi kontak dalam level makroskopik
III. Terjadi kontak yang kuat antara oksida besi dengan karbon, sehingga reduksi langsung dimungkinkan terjadi
Gambar 2.10 Ilustrasi Mekanisme Terjadinya Proses Reduksi Oksida Besi Oleh Karbon (Kashiwaya, 2004)
Reduksi tidak langsung (3), dimana karbon monoksida (CO) sebagai reduktan digunakan dan reaksi reduksi dengan CO merupakan reaksi yang lebih cepat karena CO reduktan yang lebih kuat dari C. Gas CO ini didapatkan dari reaksi (4) yang disebut reaksi regenerasi CO. mCO + FenOm Æ nFe + mCO2
(3)
mCO2 + mC Æ 2mCO
(4)
Dan jika didalam bijih terdapat oksida besi-titanium (contoh: ilmenit) maka reaksi reduksi yang akan terjadi adalah FeTiO3 + C Æ Fe + CO(g) + TiO2
(5)
FeTiO3 + CO(g) Æ Fe + CO(g) + TiO2
(6)
Reaksi reduksi ilmenit dengan karbon pada temperatur dibawah 1200oC sudah dapat menghasilkan besi dan oksida titanium (TinO2n-1) dan (Fe, Ti)3O5 (Francis, 2008). Sedangkan pada suhu diatas 1300oC reaksi reduksi ilmenit dengan karbon telah diketahui dapat menghasilkan cairan besi karbon jenuh dan titanium oksikarbida (Francis, 2008). Selain itu dengan menggunakan gelombang mikro (microwave) (Kelly et all., 1995) proses reduksi ilmenit dapat dipercepat dan lebih banyak menghasilkan produk metalisasi. Hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1 dibawah ini.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
14
Tabel 2.1 Perbandingan Reduksi Ilmenit Menggunakan Dua Metode
Sumber : Kelly et all., 1995
Pada tabel diatas dapat diamati bahwa proses reduksi menggunakan metode konvensional dengan muffle furnace baru dapat menghasilkan besi pada suhu 900oC selama 4 jam waktu pembakaran, sedangkan dengan menggunakan gelombang mikro dengan daya 750 W selama 10 menit besi sudah dapat dihasilkan. Hal ini disebabkan karena dengan menggunakan gelombang mikro area permukaan dari pellet dapat diperbesar sehingga kontak dengan pereduksi akan lebih banyak yang pada akhirnya akan mempercepat reaksi. Metode lainnya untuk mereduksi ilmenit dilakukan oleh Welham, (1998). Ilmenit direduksi menggunakan silikon (Si) dengan bantuan ball mill, metode ini dinamakan metode mechanochemical karena memadukan reaksi kimia dengan gerakan mekanik dalam satu proses. Kemudian untuk mengontrol gerakan bola pada saat milling ditempatkan magnet pada vial. Digunakan dua magnet dengan intensitas berbeda (low/high intensity) untuk membedakan intensitas tumbukan bola pada saat milling. Perbandingan konsentrasi ilmenit dan silikon yang digunakan berturut-turut adalah 2:1, gambar 2.11 menunjukkan hasil analisis XRD penelitian tersebut.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
15
Gambar 2.11 Hasil XRD Untuk 2:1 Molar Rasio Ilmenit:Si Yang Dimilling a). 100 Jam, b) 200 Jam Intensitas Rendah, c) Sampel B Yang Dianealing Selama 1 Jam Dlm Kondisi Argon, d). 50 Jam, e). 100 Jam dan f). 200 Jam Intensitas Tinggi. (Welham, 1998)
Reaksi yang terjadi pada saat ilmenit direduksi oleh silikon:
2FeTiO3 + Si Æ 2Fe + SiO2 + 2TiO2 2FeTiO3 + 5Si Æ SiO2 + FeTiSi
(7) (8)
Pada penelitian yang dilakukan Welham ini juga dilakukan untuk 1:1 molar rasio ilmenit:Si dan reaksi yang terjadi adalah reaksi (8) karena pada analisis menggunakan XRD ditemukan fasa FeTiSi pada produk yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan konsentrasi silikon yang lebih banyak annealing pada suhu 600oC terjadi reaksi antara besi (Fe) dengan titanium silikat (TiSi) membentuk FeTiSi. B. Americ dan S.K. Kawatra (2006) telah berhasil mereduksi magnetit menjadi pig iron dengan menggunakan batubara, limestone dan bentonite. Komposisi yang
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
16
digunakan adalah bijih besi magnetit, batubara, limestone dan bentonite secara berturut-turut 71,84% :20,00%: 7,5%: 0,66%, yang dibakar dengan furnace pada suhu 1450oC selama 22 mnt. Anameric berhasil mendapatkan pig iron yang memiliki kadar total Fe 96,49 %, selain itu dianalisis juga kandungan senyawa di dalam slag yang menunjukkan hampir seluruh pengotor (impurities) terpisah dengan baik. Metode pembakaran pellet besi oksida juga dikembangkan dengan menggunakan gelombang mikro (microwave) (gambar 2.12) dalam gas N2 (Nagata et all., 2006). Dengan menggunakan generator gelombang mikro berkekuatan 5 kW (2,45 GHz) besi dapat dipisahkan seluruhnya dari Pellet pada suhu 1350oC. Hasil analisis XRD (gambar 2.14) pada sampel yang digunakan menunjukkan bahwa proses reduksi mulai terjadi pada suhu 850oC, dan pada suhu 1250oC logam besi sudah terbentuk tanpa oksida-oksida lainnya. Pada gambar 2.13 terlihat bahwa kecepatan pemanasan (reduksi) yang terjadi tidak tergantung pada massa pellet yang digunakan namun tergantung pada daya yang digunakan pada generator gelombang mikro. Reduksi besi oksida dengan menggunakan energi gelombang mikro juga dilakukan oleh Standish dan Huang (1990) yang melaporkan bahwa reaksi reduksi dengan karbon besi oksida magnetite atau hematite berjalan lebih optimal dan cepat dengan menggunakan pemanasan gelombang mikro.
Gambar 2.12 Furnace dengan Generator Gelombang Mikro (Nagata et all., 2006)
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
17
Gambar 2.13 Hubungan Antara % Berat Yang Hilang dengan Temperatur Pada Pellet Berdiameter 10, 15, Dan 20 Mm Yang Dipanaskan dengan Energi Gelombang Mikro. (Nagata et all. 2006)
Gambar 2.14 Hasil XRD untuk Hasil Reduksi Pellet Magnetit Yang Direduksi Menggunakan Karbon Pada Suhu 800oC, 1050oC, 1150oC dan 1250oC. (Nagata et all. 2006)
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
18
2.4
Penelitian Pasir Besi di Indonesia.
Karakteristik pasir besi Indonesia yang tersebar dan kadar Fe yang tidak terlalu tinggi menjadikan pasir besi Indonesia tidak efisien untuk diolah dengan menggunakan teknologi yang telah ada di Indonesia (Generasi pertama dan kedua). Pasir besi tersebut dapat digunakan tetapi membutuhkan proses yang panjang agar sesuai dengan karakteristik yang dipersyaratkan oleh teknologi tersebut. Selain itu harga kokas yang masih impor (generasi pertama) dan harga gas alam (generasi kedua) yang cenderung naik menjadi kendala lain dalam pengolahan pasir besi di Indonesia. Hal lainnya yang menyebabkan pengolahan pasir besi menjadi besi di Indonesia cukup sulit adalah jenis batuan oksida besinya berbentuk titanomagnetite (Fe2TiO4), Ilmenite (FeTiO3) dan Fe3O4. Ketiga bentuk senyawa oksida besi tersebut cukup sulit untuk direduksi menjadi besi dibandingkan dengan senyawa oksida besi lainnya seperti Fe2O3. Hal ini disebabkan karena ikatan antara oksigen dengan Fe lebih kompak, terlebih lagi ikatan antara Ti dengan oksigen. Selain itu kandungan titanium yang cukup tinggi sekitar 12-14% menyebabkan kandungan Fe relatif rendah sekitar 40-46%. Akan tetapi beberapa penelitian yang berkaitan dengan ekploitasi pasir besi telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti di Indonesia, baik dari kalangan industri, akademisi atau instansi pemerintah.
Peningkatan kadar Ferro dari dalam pasir besi diantaranya dipelajari oleh Azwar Manaf (2005) yang melakukan karakterisasi senyawa-senyawa di dalam pasir besi. Pemisahan pengotor yang digunakan adalah dengan metoda gravity separator (yang ditunjukkan oleh Gambar 2.15) dan pemisahan magnetis. Dengan metoda itu berhasil ditingkatkan kadar Fe pasir besi serta diidentifikasi bahwa sebagian Fe terikat sebagai senyawa FeTiO3 (16%) dan Fe3O4 (84%), prosentasi didasarkan atas total senyawa Fe. Walaupun ketelitian prosentasi unsur kimia masih kurang akurat karena tidak dilakukan analisa kimia, namun hasil studi ini yang didukung alat analisa X-ray Flourescence dan XRD, cukup memberikan petunjuk jenis senyawa Fe dan metoda pemisahan pengotor terutama Si guna meningkatkan kadar ferro dalam pasir besi.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
19
Tim BPPT (2005) telah mencoba memisahkan TiO2 dari pasir besi yang berasal dari Yogyakarta dengan cara benefisiasi atau pengolahan mineral untuk meningkatkan kadar Fe. Percobaan dilakukan dengan menghaluskan pasir besi sampai – 400 mesh, pemisahan gravitasi, hydrocyclone dan magnetic separator yang ditunjukkan oleh Gambar 4.16. Walaupun ukuran kehalusan pasir besi sampai – 400#, namun hasil yang didapatkan adalah Fe total 58,6% dan TiO2 berkisar antara 8,5 – 9%. Kemudian pasir besi ditambahkan bahan pengikat 4,1% batu gamping atau campuran kapur seduh 1% dan bentonit 1% untuk dibuat pellet (pelletasi). Pellet yang terbuat dari pasir besi lokal itu kemudian dicampurkan dengan pellet impor dengan variasi perbandingan 10-30% pellet lokal : 90-70% pellet impor dan dibakar atau dilebur. Hasil dari peleburan ini dapat dilihat pada tabel 2.2. Tabel 2.2 Perbandingan Produk Hasil Reduksi Pellet.
Pellet Yogya
Pellet Impor
Hasil Uji Reduksi
Hasil
Uji
Peleburan 10%
90%
Baik
Baik
20%
80%
Baik
Kurang Baik
30%
70%
Kurang Baik
Belum dilakukan
Sumber: Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pengembangan Sumberdaya Mineral, BPPT, (2005)
Gambar 2.15 Gravity Separator untuk meningkatkan kadar Fe pada pasir besi (Manaf, A., 2005)
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
20
Gambar 2.16 Proses benefiasi pasir besi untuk meningkatkan kadar Fe (BPPT, 2005)
Selanjutnya Pramusanto et all. (2000) melakukan percobaan peningkatan kadar Fe dengan magnetic separator intensitas rendah dan pencucian, sampai diperoleh konsentrat dengan Fe total 58% dan TiO2 12%. Hasil yang mirip dilaporkan oleh Woodcock, JT, untuk Industri baja di New Zealand. Komposisi pasir besi New Zealand mirip dengan komposisi pasir besi Yogya dan Cilacap. Kadar Fe ditingkatkan dari 45% ke 50% dengan magnetik separator intensitas 600 dan 300 gauss, selanjutnya dengan alat Reichart cone, dihasilkan konsentrat dengan kadar Fe 56 % s/d 58% dan TiO2 +/- 8%. Sebelumnya telah dicoba dibuat Pellet pasir besi sebagai umpan reduksi langsung di PT. Krakatau Steel namun hasilnya kurang menggembirakan sehingga usaha tersebut tidak dilanjutkan (Panggabean, 1997). Dari pengalaman itu usaha pemanfaatan pasir besi lebih baik diarahkan pada pengolahan sampai menghasilkan pig iron yang digunakan sebagai bahan baku “antara” pabrik baja. Pusat penelitian Metalurgi seperti dilaporkan Rudi Subagja pada lokakarya di tahun 2005, telah melakukan penelitian pasir besi skala laboratorium. Jalur
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
21
pengolahan yang dipilih adalah pellet komposit, reduksi pellet dan peleburan spons hasil reduksi. Pada tahap reduksi dipelajari pengaruh persentasi karbon dalam pellet terhadap reduksi dengan waktu reduksi tiga jam. Walaupun spons hasil reduksi berhasil dilebur menjadi hot metal, namun waktu reduksi selama tiga jam dirasakan masih terlalu lama untuk diterapkan dalam skala industri. Disamping itu penelitian tentang metode peleburan yang tepat dalam skala yang lebih besar juga belum dilakukan. Untuk mengejar informasi tersebut dipelajari dari literatur luar negeri, proses pembuatan hot metal dari bijih halus menggunakan kupola udara panas yang dikenal dengan proses Pelletech (Weiss et all. 1986). Dalam proses ini Pellet dikeraskan dengan tekanan tinggi pada autoclave sehingga kapur didalamnya mengalami perubahan fasa dan berfungsi sebagai binder. Peleburan dikupola menggunakan udara panas dan udara yang diperkaya dengan oksigen. Walaupun dapat menghasilkan pig iron, proses ini tidak berkembang, hal diperkirakan karena skalanya yang kecil juga kemungkinan terjadinya
peleburan
reduksi
yang
memerlukan
temperatur
tinggi
dan
mengkonsumsi bata tahan api yang lebih cepat dari kupola yang biasa. Studi pengolahan pasir besi di Mozambique (Gonzales et all., 2001) menekankan pada strategi pemisahan awal pada tahap benefisiasi dengan memperhatikan kandungan senyawa yang berharga seperti TiO2 yang cukup tinggi (19%), secara ekonomis akan dipertimbangkan jalur proses yang akan menempatkan TiO2 sebagai produk utama dan konsentrat besi sebagai produk samping. Jalur lain dalam reduksi Pellet komposit adalah menggunakan tungku putar sebagaimana digunakan di India dan New Zealand serta Afrika Selatan. Proses ini dikembangkan oleh SLRN dan telah terbukti dalam skala Industri. Proses yang lebih baru menggunakan Rotary Hearth Furnace yang diusulkan oleh Midrex (Tinnis et all., 1990) untuk mengolah bijih besi halus. Untuk meningkatkan efisiensi RHF, Lu dan Huang (2001) mempelajari proses reduksi di RHF dan mengusulkan ditambahnya ketinggian bed Pellet di RHF dari praktek saat ini setinggi 3 pellet ( 25 mm ) menjadi 120 mm. Diusulkan pula bentuk tungku yang lurus berpasangan sehingga dapat menurunkan biaya investasi dan efesiensi energi lebih baik.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Alat dan Bahan. 3.1.1
Peralatan
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah : 1. Separator Magnetik Separator atau pemisah magnetik ini dilengkapi dengan pengumpan getar yang berfungsi untuk meratakan dan mengatur jumlah pasir besi yang jatuh diatas sabuk pada bagian pemisah magnet yang menghubungkan antara rol penggerak dan rol magnet. Antara rol penggerak dan rol magnet dihubungkan juga oleh rol penghubung yang berfungsi untuk mengantarkan partikel magnetik dari rol magnet menuju tempat penampungan. Dengan sabuk penghubung tersebut, pasir besi diantarkan menuju rol magnet yang merupakan gabungan dari magnet magnet yang berdiameter sama pada posisi sejajar. Selama rol magnet berputar, partikel yang tidak bersifat magnet akan berjatuhan dan memisahkan diri dari partikel yang bersifat magnetik dengan utama adalah oksida besi. Pasir besi yang bersifat magnet akan terus melewati rol penghubung yang tidak bermagnet sehingga akan terjatuh pada tempat penampungan.
Gambar 3.1 Magnetic Separator
22
Universitas Indonesia
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
23
2. Diskmill Alat diskmill yang digunakan dalam penelitian ini adalah Siebtechnik GmbH Platanenallee 46 45478 Mülheim an der Ruhr buatan Jerman. Alat ini terdapat di Pusat Penelitian Fisika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2F LIPI) Serpong.
(a)
(b)
(c)
Gambar 3.2. Diskmill
3. Planetary Ball Mill (PBM 4A) Suatu alat planetary ball mill bersudut yang memiliki 4 buah jar dimana poros pusat yang digerakkan dengan motor, dihubungkan dengan sabuk pada salah satu jar yang telah dihubungkan juga dengan tiga jar yang lain sehingga keempat jar tersebut berputar secara rotasi pada sumbunya sambil berputar secara revolusi mengitari poros pusatnya. PBM4A ini merupakan instrumaten hasil kreasi Pusat Penelitian Fisika LIPI. Pengaturan dan karakteristik Planetary Ball Mill untuk penelitian ini : •
Putaran Perbandingan putaran plate dan jar : 1 : 26. Kecepatan putaran motor = 815 rpm, kecepatan putaran pulley bawah = kecepatan putaran pulley jar = 235 rpm, kecepatan putaran sumbu utama = 51.3 rpm, kecepatan putaran plate : 180.8 rpm dan kecepatan putaran jar = 470 rpm. Tipe putaran discontinue/hidup-mati, hidup : 12 menit, mati : 3 menit.
•
Jar Rechargerable atmosphere jar (gas Ar), volume max : 600 ml / jar. Jenis material jar: besi baja SKD 11.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
24
•
Milling Ball Material bola bola mill : Stainless chrome. Dengan ukuran bola besar ¾ inci dan bola kecil 3/8 inci. Perbandingan berat bola dan bahan (BPR) = 8 : 1.
Gambar 3.3 Planetary Ball Mill (PBM 4A), jar dan bola bola milling
4. Alat kompaksi Alat kompaksi ini digunakan untuk membuat material kompak dari campuran bubuk besi dan besi murni yang telah dimiling, yang nantinya akan digunakan untuk proses pembakaran. Dengan alat kompaksi ini, material akan dikompaksi sampai tekanan sebesar 10 MPa.
(a)
(b)
Gambar 3.4 Alat Kompaksi Yang Digunakan dalam Penelitian
5. Muffle (Electric) Furnace.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
25
Alat tungku listrik (Electric Furnace) yang digunakan untuk membakar pellet pada skala laboratorium terdapat di Pusat Penelitian Metalugi LIPI PUSPIPTEK Serpong. Electric furnace ini dapat diprogram bekerja dalam suasana bebas udara, buatan Jerman bermerk Nabertherm ini dapat beroperasi sampai dengan suhu 1600 oC.
Gambar 3.5 Electric Furnace Nobertherm
6. Electric Arc Furnace Alat tungku las (Arc Furnace) yang digunakan untuk membakar pellet terdapat di Pusat Penelitian Metalugi LIPI PUSPIPTEK Serpong. Electric arc furnace ini dibuat atas kerjasama dengan tim peneliti di Pusat Penelitian Metalurgi Serpong. Alat ini dapat beroperasi sampai dengan suhu 3000 oC. Alat ini terdiri atas dua bagian, yaitu: a. Elektroda arc. Tinggi total ± 150 cm dengan material berupa besi, terdiri dari 2 bagian yaitu penyangga yang panjangnya ± 150 cm dan elektroda grafit yang panjang totalnya ± 60 cm berbentuk silinder dengan ujung runcing. Elektroda grafit dan penyangga ini dihubungkan oleh material yang bersifat isolator, sehingga pada saat arc furnace ini dijalankan tidak akan terjadi kontak listrik secara langsung antara teknisi dengan elektroda grafit. Perlu juga diketahui arus listrik yang digunakan pada alat ini ± 250 ampere dengan beda votensial ± 50 V sehingga daya listrik yang ada adalah ± 12,5 KW. Ketinggian elektroda grafit ini dapat disesuaikan dengan cara memutar tuas yang terdapat pada
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
26
penyangga, hal ini dimaksudkan untuk dapat melakukan pembakaran pelet yang merata dan optimal. b. Furnace (Tungku pembakaran) Furnace atau tungku pembakaran ini adalah tempat terjadinya proses pembakaran pelet pasir besi. Didalam tungku ini terjadi juga proses reduksi oksida besi pada pasir besi oleh senyawa-senyawa pereduksinya, seperti karbon atau hidrogen. Tungku pembakaran ini terbuat dari tiga bahan dasar, yaitu grafit, castable alumina C-18 dan Glass wool. Grafit berfungsi sebagai elektroda kerja. Grafit ini dihubungkan dengan listrik bertegangan tinggi, dan saat bertemu dengan grafit pada elektroda arc maka akan menimbulkan percikan api (las) pada saat proses pembakaran pelet pasir besi, suhu yang dihasilkan sangat tinggi yaitu dapat mencapai 1800-2000oC, untuk mengetahui suhu tersebut digunakan Optical Pyrometer model IR-U.. Bentuk grafit pada tungku pembakaran ini berbeda dengan grafit pada elektroda arc, bentuk grafit pada tungku pembakaran ini berbentuk batang yang memiliki panjang ± 50 cm, ± 30 cm dan ± 40 cm. Ketiga ukuran grafit ini ditempelkan pada kedua sisi dinding tungku dan juga pada alasnya sehigga berbentuk menyerupai huruf ”U”. Castable alumina C-18 digunakan sebagai bahan dasar untuk membuat dinding tungku pembakaran. Bahan ini dipilih karena tahan pada suhu sampai 3000oC, selain juga mudah ditemukan dipasaran. Pada saat pembuatan dinding tungku pembakaran ini, castable C-18 dicampur dengan air kemudian dicetak sehingga berbentuk silinder mengerucut/menyempit ke bagian bawah dengan diameter atas dalam ± 25 cm, diameter bawah dalam ± 10 cm, tinggi ± 60 cm dengan ketebalan ± 6 cm. Glass wool digunakan sebagai bahan isolator antara castable alumina C-18 dengan rangka yang terbuat dari besi. Glass wool ini dipasang menyelimuti castable alumina C-18 agar tidak kontak dengan rangka besi, sehingga pada saat dilakukan pembakaran pelet pasir besi arus listrik yang ada dalam elektroda kerja tidak akan mengalir pada rangka besi. Ketebalan dari glass wool ini ± 5 cm.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
27
Gambar 3.6 Electric Arc Furnace
Gambar 3.7 Optical Pyrometer Model IR-U.
7. Microcutter Untuk memotong sampel pada ukuran yang diinginkan tanpa merusak morfologi dan diharapkan juga tidak merusak struktur mikronya maka digunakan microcutter yang terdapat di Pusat Penelitian Fisika LIPI Serpong.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
28
Gambar 3.8 Micro Cutter
8. Polisher Sebelum sampel dapat dianalisis lebih lanjut menggunakan XRF, XRD maupun SEM maka terlebih dahulu sampel tersebut dihaluskan morfologi permukaannya menggunakan mesin polisher yang terdapat di Pusat Penelitian Fisika LIPI Serpong.
Gambar 3.9 Polisher
9. Scanning Electron Microscope (SEM) Morfologi, permukaan dan mikrostruktur sampel ingot dan slag skala laboratorium dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan ESEM (XL30CP-Phillips), FE-SEM (S-4100H Hitachi) dan EDX (XL30CP-Phillips) yang terdapat di Kagoshima University Jepang. Sedangkan untuk morfologi
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
29
dan struktur ingot dan slag skala lebih besar dianalisis dengan menggunakan HR-SEM (JEOL JSM-6510LA) tandem EDX yang terdapat di PTBIN BATAN PUSPIPTEK Serpong.
Gambar 3.10 HR-SEM (JEOL JSM-6510LA) tandem EDX
10. X Ray Diffraction (XRD) Alat XRD yang digunakan pada penelitian ini adalah alat XRD yang terdapat di Jurusan Ilmu Material, Program Pascasarjana Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan, Universitas Indonesia. Spesifikasi dan pengaturan parameter alat XRD yang digunakan yaitu : Diffractometer type : PW370 BASED, Tube anode : Co, Generator tension [kV]: 40, Generator current [mA]: 30, Wavelength Alpha1 [Å]: 1.78896, Wavelength Alpha1 [Å]: 1.79285, Intensity ratio (alpha2/alpha1): 0.500, Divergence slit: ¼ o, Receiving slit: 0.2, monochromator used: NO, Start angle [o2θ]: 20.025, end angle [o2θ]: 99.925, Step size [o2θ]: 0.050, maximum intensity: 2735.290, Time per step [s]: 1.000, Type of scan: CONTINUOUS, Minimum peak tip width: 0.00, maximum peak tip width: 1.00, Peak base width: 2.00, Minimum significance: 0.75. 11. X-Ray Fluoresence (XRF) Alat uji XRF tipe JSX-3211 yang berada di Departemen Fisika UI dengan kapasitas voltasi tube 30 kV.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
30
3.1.2
Bahan
Bahan-bahan yang dipakai pada penelitian ini adalah : 1. Pasir Besi (dari Kec. Cidaun, Kab. Cianjur) 2. Grafit. 3. Bentonite. 4. NaF. 5. Kapur / CaCO3. 6. Tetes 7. Nital (2% HNO3 dalam pelarut Alkohol) Pasir besi yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan dari Kecamatan Cidaun, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Pasir besi tersebut terhampar disepanjang garis pantai selatan lautan Hindia. Grafit yang digunakan sebagai reduktan pada penelitian ini berbentuk serbuk, mengandung lebih dari 90 % karbon. Bentonit yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan dari Pusat Penelitian Metalurgi LIPI dan analisis unsur yang terdapat didalamnya dapat dilihat pada Lampiran 3. NaF yang digunakan pada penelitian ini mengandung 99.0 % NaF murni produksi MERCK. Kapur yang digunakan didapatkan dari daerah Gunung Sindur Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Nital yang digunakan dalam preparasi sampel sebelum dianalisis menggunakan SEM dan EDS adalah larutan HNO3 2 % yang dilarutkan dalam alkohol.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
31
3.2. Diagaram Alir Penelitian.
Bubuk Grafit
Sejumlah Pasir Besi
Magnetic Separator Pasir Besi dengan kandungan senyawa yang bersifat magnetik Dihaluskan dengan Diskmill selama 10 mnt
Campuran pasir besi, grafit, kapur dan grafit dengan komposis berturutturut 74, 20, 5 & 1% (wt%)
Pemaduan Mekanik (Planetary Ball Mill) Selama 100 jam Karakterisasi Bubuk Hasil Pemaduan Mekanik (XRD)
Sampel bubuk Dikompaksi dengan tekanan 70 Kg/cm2
Sampel Pellet Dibakar dengan electric furnace pada 1350ºC, dengan variasi waktu 5, 10, 15 & 20 mnt. Karakterisasi hasil pembakaran (XRD, XRF, Mikrostruktur dan EDX)
Gambar 3.11 Langkah Kerja Eksperimen Skala Laboratorium Secara Skematik.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
32
Bubuk Grafit
Sejumlah Pasir Besi
Magnetic Separator Pasir Besi dengan kandungan senyawa yang bersifat magnetik
Campuran pasir besi, grafit, kapur dan grafit dengan komposis berturutturut 74, 20, 5 & 1% (wt%)
Dihaluskan dengan Diskmill selama 10 mnt
Karakterisasi Bubuk Hasil Pemaduan Mekanik (XRD)
Sampel bubuk Ditambahkan tetes untuk membuat pellet yang kompak
Sampel Pellet Dibakar dengan arc furnace pada 1700ºC, dengan waktu 20 mnt.
Karakterisasi hasil pembakaran (XRD, XRF, Mikrostruktur dan EDX)
Gambar 3.12 Langkah Kerja Eksperimen Skala Lebih Besar Secara Skematik.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
33
Gambar 3.11 menunjukkan langkah kerja penelitian skala laboratorium secara skematik. Bubuk grafit dan pasir besi (setelah melalui pemurnian dengan pemisahan magnetik dan penghalusan menggunakan diskmill) dimasukkan bersama-sama dengan kapur dan bentonite dengan komposisi berturut-turut 74 : 20 : 5 : 1 % wt%. dua macam ukuran bola-bola penghancur, masing-masing berdiameter 12,71 dan 7,95 mm ke dalam jar dengan volume 600 ml. Bahan dari bola-bola penghancur dan jar adalah besi baja SKD 11. Perbandingan massa dari bola-bola penghancur terhadap massa campuran bubuk (Ball Powder Ratio, BPR) adalah 8:1. Sementara itu perbandingan volume di dalam pot dari bubuk, bola-bola penghancur dan ruang kosong adalah 1/3 : 1/3 : 1/3. Akhirnya didapatkan jumlah berat total bola yang digunakan adalah 1170 gr (perbandingan jumlah bola besar dan bola kecil 1:3) sehingga berat total sampel yang dapat dimasukkan ke dalam vial untuk sekali miliing adalah 146 gr. Milling dilakukan dengan menggunakan planetary ball mill selama 100 jam. Sampel bubuk hasil penghalusan secara mekanik kemudian disiapkan untuk proses
konsolidasi.
Bubuk
yang
tersedia
kemudian
dikompaksi
untuk
mendapatkan pellet dalam bentuk tablet dengan ukuran diameter 3 cm dan tebal 0,5 cm. Sampel kemudian dibakar menggunakan electric furnace pada suhu 1350oC dengan variasi waktu 5, 10, 15 dan 20 mnt. Sampel hasil pembakaran ini kemudian dianalisis mikrostrukturnya menggunakan SEM dan analisis unsur menggunakan EDS. Gambar 3.12 menunjukkan langkah kerja penelitian untuk skala lebih besar, secara keseluruhan prosesnya hampir sama dengan langkah kerja penelitian untuk skala laboratorium hanya terdapat beberapa perbedaan. Pada skala laboratorium digunakan PBM untuk menghaluskan sampel yang akan dijadikan pellet, namun pada skala yang lebih besar tidak dilakukan karena kurang efisien mengingat jumlah yang diharapkan sangat besar yaitu sampai pada skala 5-10 kg. Pada proses pembuatan pellet untuk skala lebih besar ditambahkan campuran tetes dan air (1:1) untuk membuat pellet yang kompak. Selain itu juga ditambahkan
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
34
senyawa NaF sebanyak 5 wt% dari total campuran pellet yang akan dibentuk/ dipeletasi. Proses pelletasi menggunakan pipa PVC berukuran diameter 3 cm dan tinggi 6 cm. Untuk proses pembakaran pellet digunakan electric arc furnace yang beroperasi pada tegangan 50 Volt dan arus 125 A selama 20 menit, suhu yang terukur dengan optical pyrometer adalah 1700-1800oC. Besi hasil metalisasi dan slag yang terbentuk dianalisis menggunakan XRF, XRD, SEM dan EDS.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
BAB 4. PEMBAHASAN
4.1. Persiapan dan analisis bahan baku Untuk mendapatkan teknologi yang dapat diulang-ulang (repeatable) dengan bahan menggunakan bahan baku pasir besi dari Cianjur, maka perlu dilakukan eksperimen skala laboratorium. Eksperimen ini sangat diperlukan untuk mengetahui mekanisme metalisasi dan pemisahan slag dari hot-metal/ pig iron serta mendapatkan komposisi bahan baku dan parameter lainnya yang efisien.
Pertama, pasir besi dipisahkan dari pengotornya dengan menggunakan magnetic separator. Sampel yang diseparasi sebanyak 20 kg. Separasi dilakukan sampai warna dari pasir besi tidak berubah lagi atau hitam pekat. Seperti terlihat pada Gambar 4.1, pasir besi setelah pemisahan 3 kali berwarna hitam pekat. Pembersihan pasir besi secara konvensional adalah dengan mengayak menggunakan saringan mesh -100. Kandungan Fe yang didapat dengan cara ini dibawah 50%. Pemisahan dengan magnet separator lebih baik dari pada proses konvensional karena pemisahan tidak berdasarkan besar partikel tetapi sifat magnetik dari pasir besi yang mengandung Fe3O4 (magnetite) atau senyawa lainnya yang memiliki sifat magnetik. Pada penelitian ini hanya digunakan satu magnet yang memiliki medan magnet rendah. Hasil dari proses separasi magnetik dapat dilihat pada Gambar 4.1
Analisis XRF pada pasir besi sebelum dan sesudah proses separasi magnetik ditunjukkan pada tabel 4.1.
35
Universitas Indonesia
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
36
a
b
Gambar 4.1 Pasir Besi (a) Sebelum Separasi Dan (b) Setelah Separasi 3 Kali.
Tabel 4.1. Hasil XRF Pasir Besi Sebelum dan Sesudah Separasi Magnetik.
No.
Nama
Pasir Besi Sebelum diseparasi
Pasir Besi Setelah diseparasi 3 kali
Atom
Atom
(wt %)
(wt %)
12
Mg
1.6856
1.6319
13
Al
1.4674
1.8889
14
Si
3.2633
1.3394
20
Ca
0.5941
0.1110
22
Ti
14.1864
9.8348
23
V
0.4766
0.5337
24
Cr
0.0493
0.0683
25
Mn
0.6780
0.8253
26
Fe
77.5112
83.3887
52
Te
0.0880
-
Berdasarkan perbandingan data XRF diatas dapat disimpulkan bahwa benefesiasi besi magnetik dengan menggunakan magnetik separasi memberikan hasil yang cukup baik, persentase berat besi dalam pasir besi meningkat sebanyak 5.8775 % dan diduga unsur besi merupakan bagian dari senyawa besi oksida yang memiliki sifat magnetik cukup kuat. Berdasarkan pada literatur (Yulianto, 2003 dan Manaf, 2005) senyawa besi oksida yang terdapat dalam pasir besi setelah proses
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
37
benefesiasi adalah magnetit (Fe3O4) dan ilmenit (FeTiO3). Masih bercampurnya senyawa FeTiO3 dalam pasir besi ini dikarenakan keterbatasan dari medan magnet yang digunakan, FeTiO3 dan Fe3O4 merupakan dua oksida besi yang memiliki sifat magnetik yang cukup dekat. Solusi untuk memisahkan kedua senyawa ini yaitu dengan menggunakan variasi magnet yang memiliki medan magnet yang berbeda namun tidak terlalu besar nilainya. Senyawa FeTiO3 yang mengandung logam Ti ini akan menjadi masalah pada saat proses pembakaran untuk menghasilkan ingot besi. Adanya logam Ti dalam bijih besi akan menyebabkan suhu metalisasi menjadi tinggi yaitu 1600oC (Gonzales et all, 2001).
Hasil analisis XRD pada pasir besi hasil separasi magnetik ini akan memperjelas senyawa besi oksida yang terkandung didalamnya. Pada Gambar 4.2 ditunjukkan pola difraksi pasir besi yang telah diolah dengan menggunakan GSAS. Parameter input untuk analisis GSAS yang digunakan adalah data kristalografi dari senyawa hasil identifikasi manual, antara lain senyawa Fe3O4 yang memiliki sistem kristal kubus dan space group Fd3m dengan parameter kisi a = 8,41 Ǻ, sesuai dengan PDF no. 02-1035 dan senyawa FeTiO3 yang memiliki sitem kristal rombohedral dan space group R3c dengan parameter kisi a = 5,123 Ǻ dan c = 13,760 Ǻ sesuai dengan PDF no 83-0192. Hasil fitting antara kurva pengukuran dan teoritik dari database ICDD memperlihatkan selisih yang kecil sekali mengindikasikan kesesuaian antara pola difraksi pengukuran dan teoritik. Hasil ini ditunjukkan pada tabel 4.2 yang membandingkan nilai d puncak-puncak difraksi setelah proses fitting dengan nilai d senyawa kimia dari PDF. Berdasarkan hasil pada tabel 4.2 tersebut, nilai d hasil fitting umumnya memiliki kesesuaian sampai 2 angka desimal dibelakang koma dengan nilai d senyawa FeTiO3 dan Fe3O4. Disamping
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
38
berhasilnya diidentifikasi jenis senyawa didalam pasir besi magnetik, melalui analisis GSAS juga berhasil ditentukan fraksi berat dari senyawa yang ada yaitu Fe3O4 91,04 wt% dan konsentrasi FeTiO3 sebesar 8,96 wt%. Hasil ini masih relevan dengan hasil yang dicapai oleh penelitian sebelumnya (Manaf, 2005) yang mendapatkan Fe3O4 sebesar 84,33 wt% dan FeTiO3 15,67 wt%.
Gambar 4.2 Pola Difraksi Sinar-X Pasir Besi Hasil Separasi Magnetik dengan Menggunakan GSAS.
Untuk mencampurkan dan menghaluskan pasir besi digunakan planetary ball mill PBM4A buatan PPF LIPI. Perbandingan berat bola dan sampel adalah 8 : 1. Bola yang digunakan adalah campuran bola besar (20 mm) dan kecil (10 mm) dengan perbandingan 1 : 3. Bola besar sebanyak 30 buah dengan berat total adalah 855 g dan bola kecil sebanyak 90 buah dengan berat total 315 g. Sehingga berat total
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
39
bola adalah 1170 g dan berat sampel campuran 146 gr. Pasir besi dicampur grafit, bentonit dan kapur dengan perbandingan berturut-turut 90:10:0:0 dan 74:20:1:5. Komposisi dari campuran pasir besi dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.2 Hasil Identifikasi Puncak Difraksi Pasir Besi Hasil Separasi Magnetik.
No. Peak
Titik dhkl ICDD
hkl
Senyawa
ICDD
Data
Reff. No
Penelitian 1
4,8479
4,9421
111
Fe3O4
021035
2
2,9800
3,0121
220
Fe3O4
021035
3
2,7186
2,7562
104
FeTiO3
830192
4
2,5400
2,5527
311
Fe3O4
021035
5
2,4300
2,4460
222
Fe3O4
021035
6
2.0900
2,1181
400
Fe3O4
021035
7
1,7100
1,7204
422
Fe3O4
021035
8
1,6037
1,6265
018
FeTiO3
830192
9
1,4800
1,4896
440
Fe3O4
021035
10
1,2808
1,2829
220
FeTiO3
830192
11
1,2600
1,2680
622
Fe3O4
021035
Tabel 4.3. Komposisi Campuran Pasir Besi Yang Digunakan dalam Penelitian.
Pasir Besi (g)
Grafit (g)
Bentonit (g)
Kapur (g)
Sampel 1
131.4
14.6
0
0
Sampel 2
108.04
29.2
1.46
7.3
Sebelum dihaluskan dan dicampurkan menggunakan PBM4A, ukuran pasir besi dikecilkan dengan menggunakan disk mill selama 20 menit. Hal ini bertujuan agar campuran pasir besi homogen dan penghancuran menjadi lebih efektif pada saat di PBM4A. Sampel yang telah di milling selama 100 jam dikompaksi dengan menggunakan alat kompaktor dengan tekanan 70 kg/cm2. Besar sampel hasil
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
40
kompaksi mempunyai diameter 3 cm dengan ketebalan 0.5 cm. Sampel kemudian dibakar dalam tungku selama 5 menit, 10 menit, 15 menit dan 30 menit pada temperatur 1350oC.
4.2. Milling Campuran Pellet Pasir Besi. Gambar 4.3 menunjukkan profil XRD dari campuran pasir besi dan grafit yang telah di-milling selama 100 jam dengan menggunakan PBM4A (Izzudin, 2007). Intensitas puncak besi oksida mengalami penurunan drastis dan melebar setelah 100 jam. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pengecilan ukuran kristal yang sangat signifikan selama proses milling. Diharapkan, pengecilan ukuran kristal oksida besi tersebut akan mempengaruhi proses metalisasi/ reduksi ketika dipanaskan. Hal ini karena partikel grafit dan oksida besi yang sangat halus mengalami kontak dengan area yang lebih luas sehingga memungkinkan terjadinya reaksi reduksi langsung selama proses pemanasan.
3000 2700 2400
= Fe3O4 =α-Fe2O3
Intensitas
2100 1800 1500 1200 900
0h
600
100h
300 0 20
30
40
50
60
70
80
2 Theta
Gambar 4.3 XRD Campuran Pasir Besi Yang Telah Dimilling Selama 100 Jam dengan PBM4A.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
41
4.3. Metalisasi Masuknya partikel karbon ke dalam pasir besi diyakini dapat memaksimalkan reduksi dibandingkan dengan cara konvensional dikarenakan area kontak menjadi lebih besar karena ukuran partikel yang kecil akibat dari penghancuran dengan ball mill (Nagata, 2001). Gambar 4.4 menunjukkan kegiatan pembakaran pellet pada tungku listrik.
Gambar 4.4 Proses Pengeluran Sampel Yang Telah Dipanaskan.
Pada proses pembakaran ini sampel 1 yang hanya terdiri dari campuran pasir besi dan grafit saja tidak memberikan hasil yang diharapkan. Hasil pembakaran pada suhu 1350oC untuk sampel 1 tidak menghasilkan logam besi. Sedangkan pada sampel 2 yang terdiri dari campuran pasir besi, grafit, kapur dan bentonite pembakaran pada suhu 1350oC bisa didapatkan logam besi, yang artinya sudah terjadi proses reduksi sekaligus metalisasi pada saat sampel tersebut dibakar dalam tungku listrik. Hasil metalisasi kompaksi campuran pasir besi dan grafit yang dibakar pada suhu 1350°C selama 5, 10, 15 dan 20 menit ditunjukkan
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
42
Gambar 4.5. Sementara foto SEM dan analisa EDS dari masing-masing sampel ditunjukkan Gambar 4.6 dan Gambar 4.7. Secara fisik, hasil metalisasi kompaksi campuran berjalan seiring dengan waktu pemanasan. Pada awal pemanasan saat 5 menit (Gambar 4.5 (a)), terlihat bahwa metalisasi belum berjalan sempurna dan ketika berjalan 20 menit, terlihat morfologi metal sempurna yang liat (Gambar 4.5 (d)).
a
b
c
d
Gambar 4.5 Metalisasi Pasir besi-Grafit dengan Suhu 1350°C (a) 5 menit, (b) 10 menit, (c) 15 menit dan (d) 20 menit.
Pada Gambar 4.6 ketika pemanasan berjalan 5 menit, terlihat bahwa partikelpartikel oksida besi masih belum banyak yang mengalami reaksi reduksi. Meskipun telah terjadi sintering yang membentuk butir-butir kristal, namun kandungan oksida besinya masih terlihat jelas seperti hasil analisa EDS. Proses reduksi oksida besi menjadi besi sudah berjalan, yang ditunjukkan oleh adanya puncak Fe yang relative tinggi. Namun, oksida-oksida pengotor lainnya, seperti
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
43
oksida titan, alumina, vanadium dan calsium masih muncul, khususnya pada batas butir yang agak gelap. Hasil ini menunjukkan bahwa proses reduksi sedang berjalan dan masing-masing slag sudah mulai memisahkan diri pada batas butir.
Pada Gambar 4.7-4.8 ketika pemanasan berjalan 10 menit, proses metalisasi telah berjalan mendekati sempurna, dimana telah terlihat jelas pemisahan antara slag dan metal besi yang terbentuk. Di sini terlihat jelas bahwa metal besi yang terbentuk dengan sendirinya berkumpul dan menjadi semakin besar. Pada bagian yang terang pada foto SEM, diperoleh hasil EDS yang menunjukkan puncak besi yang murni tanpa ada unsur lain. Ini menunjukkan bahwa metalisasi pada bagian ini telah berjalan sempurna. Namun, pada bagian butiran yang relatif sedikit terang, terlihat bahwa di samping puncak besi, juga diperoleh puncak unsur-unsur yang lainnya yang menunjukkan bahwa proses metalisasi pada bagian ini masih belum berjalan sempurna. Namun, pada bagian yang relative lebih gelap, ternyata puncak unsur-unsur selain besi, seperti Ti, Mn, Al, Mg relatif lebih tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa pada bagian ini merupakan kumpulan slag yang telah memisah dari metal besi.
Pada Gambar 4.9 ketika pamanasan berjalan 15 menit, metalisasi berjalan lebih sempurna dan pemisahan slag dari metal besi sudah semakin jelas. Terlihat bahwa butir metal besi yang terbentuk cenderang membulat yang menandakan bahwa telah terjadi pencairan selama proses pemanasan. Di sini semakin jelas bahwa butir yang bulat berwarna terang menunjukkan bagian metal besi yang terbentuk secara sempurna.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
44
Ketika pemanasan berjalan 20 menit, seperti ditunjukkan oleh Gambar 4.10, proses pengumpulan metal dan pemisahan slag sudah semakin sempurna sehingga dengan mudah slag tersebut dipisahkan secara fisik setelah mengalami pendinginan. Dengan demikian akan diperoleh hot-metal besi yang relatif sempurna dengan efisiesi yang tinggi.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
45
Butir-agak terang
Universitas Indonesia Gambar 4.6. SEM dan EDS Dari Sampel Yang Dipanaskan Pada Suhu 1350°C Selama 5 Menit. Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
46
Gambar 4.7. SEM Dari Sampel Yang Dipanaskan Pada Suhu 1350°C Selama 10 Menit. Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
Universitas Indonesia
47
Gambar 4.8. SEM Dan EDS Dari Sampel Yang Dipanaskan Pada Suhu 1350°C Selama 10 Menit. Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
48
Gambar 4.9. SEM dan EDS Dari Sampel Yang Dipanaskan Pada Suhu 1350°C Selama 15 Menit. Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
49
Gambar 4.10 SEM dan EDS Dari Sampel Yang Dipanaskan Pada Suhu 1350°C Selama 20 Menit. Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
50
Hasil penelitian ini memperkuat penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Kobayasi, Nagata dan lainnya yang menggunakan oksida besi dari bijih besi yang secara fisik ditunjukkan pada Gambar 4.11. Di sini, Nagata dkk melakukan penelitian membuat pig iron dari bijih besi magnetite dengan pemanasan pada suhu 1350oC selama 10 menit, dimana metal besi terpisah dengan sempurna dari slagnya. Dengan demikian pengembangan teknologi reduksi langsung dapat diterapkan untuk pasir besi Indonesia.
Gambar 4.11. Pellet Yang Dipanaskan Pada Temperature 1350oC dan Lama Pemanasan 10 Menit (Nagata, 2001).
4.4. Percobaan Pada Skala Lebih Besar Komposisi pellet yang dibuat untuk uji coba pembuatan hot-metal/ pig iron kapasitas 1 kg ditunjukkan oleh Tabel 4.4. NaF ditambahkan sebagai aggregation agent untuk tujuan memudahkan pemisahan slag dari metal besi dan memperbaiki viskositas hot metal. Nurul (2004) melaporkan bahwa dengan menambahkan aggregation agents dan sludge catcher dapat memisahkan pengotor-pengotor secara efektif dari hot-metal dengan metoda compound separation yang telah dipatenkan di Jepang. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, aggregation agents dan sludge cather ditambahkan pada pembuatan pellet pasir besi untuk mendapatkan pemisahan slag yang efektif. Penambahan bahan aggregation agents disamping berfungsi memudahkan pemisahan slag dari metal cair juga
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
51
memperbaiki viskositas metal cair. Beberapa variasi komposisi juga dibuat untuk menemukan parameter yang paling optimal untuk mendapatkan besi yang efisien. Namun hasil yang paling optimal didapatkan oleh komposisi pada sampel 1. oleh karena itu hanya percobaan dengan pellet sampel 1 yang akan dibahas dalam penelitian ini. Tabel 4.4. Komposisi Campuran Senyawa Yang Digunakan dalam Pembuatan Pelet.
Sampel pellet 1
Pasir Besi (g) 108.04
Grafit (g) 29.2
Bentonit (g) 1.46
Kapur (g) 7.3
NaF (g) 7.34
Sampel pellet 2
108.04
29.2
1.46
7.3
0
Dibuat pellet yang berukuran relatif besar berbentuk silinder dengan diameter 3 cm dan panjang 6 cm. Pellet yang cukup besar ini dicetak dengan menggunakan paralon yang telah ditambahkan tetes tebu. Penambahan tetes tebu ini dilakukan untuk memberikan kekuatan pada pellet yang terbentuk. Tetes tebu dicampurkan dengan air dengan perbandingan 1:1, kemudian diaduk dengan bahan yang akan dibuat pellet dan dicetak dalam paralon PVC berukuran diameter 3 cm dan panjang 6 cm.
Gambar 4.12. Pellet dengan Ukuran Φ 3cm, Panjang 6cm.
Ukuran pellet yang besar dan jumlah yang banyak membuat penggunaan electric muffle furnace menjadi alternatif yang sangat sulit. Oleh karena itu dalam tahap reduksi pellet pasir besi skala lebih besar ini digunakan electric arc furnace. Desain dari alat electric arc furnace yang digunakan pada penelitian ini ditunjukkan oleh Gambar 4.13.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
52
Gambar 2.13 Desain Awal Alat Arc Furnace, (A) Furnace (Tungku Pembakaran), Dan (B) Elektroda Arc
Dalam uji coba pembakaran, jumlah pellet yang dimasukkan kedalam furnace ditunjukkan oleh tabel 4.5
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
53
Tabel 4.5 Variasi Pada Saat Pembakaran Pellet
No 1 2 3 Rata-rata
Pellet 400 gr 400 gr 400 gr 400 gr
Besi 103 gr 95 gr 98 gr 99 gr
Waktu 20 mnt 23 mnt 25 mnt 23 mnt
Arus 125 A 125 A 125 A 125 A
Potensial 50 V 50 V 50 V 50 V
Suhu 1700 oC 1700 oC 1700 oC 1700 oC
Berdasarkan pada tabel 4.5 diatas, untuk setiap pembakaran 400 gr pellet akan didapatkan 100 gr logam besi. Produk hasil pembakaran pellet pasir besi ditunjukan oleh Gambar 4.14.
Gambar 4.14. Metal Besi Yang Diperoleh Dari Smelting Arc Furnace (Kiri) Dan Setelah Dikumpulkan (Kanan).
4.4.1 Perhitungan untuk Mencari Persen Metalisasi. Untuk menghitung persen metalisasi dari proses pembakaran pellet, maka akan digunakan perhitungan secara stoikiometri berdasarkan pada persamaan reaksi kimia (4.1) dan (4.2) Berat Pellet total
= 400 gr
Berat total pasir besi dalam pellet
= 281,84 gr
Wt % Pasir Besi dalam pellet
=
281.84 x 100 % 400
= 70,46% Fraksi Berat Fe3O4 (berdasarkan hasil GSAS)
= 91,04 %
Wt % Fe3O4 dalam pellet
=
91,04 % x 70,46% 100
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
54
= 64,15% 8,96 % x 70,46% 100
Fraksi berat FeTiO3 (berdasarkan hasil GSAS)
=
Berat FeTiO3 dalam pasir besi
= 6,31%
Jika: Dalam 100% Fe3O4 terdapat wt % Fe = 72,9% Dalam 100% FeTiO3 terdapat wt % Fe = 36,8% Maka Fe total dalam 400 gr pellet adalah: ={
72,9 36,8 x 0,64 x 400 } + { x 0,06 x 400 } 100 100
= 186,624 + 8,832 = 195,456 gr Sehingga berat besi yang dihasilkan (secara teori stoikiometri) dari reduksi pasir besi yang mengandung Fe3O4 dan FeTiO3 adalah 195,456 gram. Berdasarkan hasil analisis element dari pig iron yang dihasilkan menggunakan XRF (Lampiran 5), maka berat besi yang didapatkan dalam percobaan adalah: =
96,05 x 100 gr = 96,05 gr 100
Persen metalisasi proses total : wFePercobaan x 100 % w.Fe.Perhitungan
=
96,05 x 100% 195,456
Persen metalisasi proses pembakaran pellet pasir besi adalah 49,15 %
4.4.2 Analisis Besi Hasil Pembakaran
Sebelum sample ingot dan slag yang didapatkan setelah proses pembakaran pellet dengan electric arc furnace dianalisis menggunakan XRF, XRD dan SEM-EDS, sampel tersebut dipreparasi sesuai dengan kebutuhan untuk memudahkan pengukuran. Sampel hasil preparasi ditunjukkan oleh Gambar 4.15.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
55
Ingot Besi Slag
(a)
(b)
(c)
Gambar 4.15. Sampel Hasil Pembakaran (a). Ingot Besi dan Slag, (b) Ingot Besi, (c) Slag
Data XRF pada ingot besi yang dihasilkan pada penelitian ini ditunjukkan oleh tabel 4.6. Berdasarkan data XRF dapat diketahui bahwa ingot besi yang dihasilkan memiliki kandungan besi yang tinggi yaitu 96,05 wt %. Meskipun impuritasimpuritas seperti silika dan titanium masih tampak, namun persentasenya sangat kecil dan dapat diabaikan. Tabel 4.6 Data Hasil Analalisis XRF Ingot Besi
No. Atom
Nama
(wt %)
Atom 13
Al
0.5469
14
Si
1.7592
16
S
0.5106
19
K
0.1546
20
Ca
0.5381
22
Ti
0.4384
26
Fe
96.0523
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
56
Hasil analisis XRD pada ingot besi hasil proses metalisasi ditunjukkan oleh Gambar 4.16. Dapat diamati bahwa puncak-puncak yang muncul dalam grafik XRD tersebut merupakan puncak yang sangat khas dimiliki oleh besi. Hasil fitting antara kurva pengukuran dan teoritik dari database ICDD memperlihatkan selisih yang kecil sekali mengindikasikan kesesuaian antara pola difraksi pengukuran dan teoritik. Hasil ini juga ditunjukkan pada tabel 4.7 yang membandingkan nilai d puncak-puncak difraksi setelah proses fitting dengan nilai d senyawa kimia dari PDF. Berdasarkan hasil ada tabel 4.7 tersebut, nilai d hasil fitting umumnya memiliki kesesuaian sampai 2 angka desimal dibelakang koma dengan nilai d senyawa Fe. Data kristalografi dari senyawa hasil identifikasi manual, antara lain senyawa Fe memiliki sistem kristal kubus dan space group Im3m dengan parameter kisi a = 2,86 Ǻ, sesuai dengan PDF no. 01-1267. XRD Ingot Besi 800 700
I
600 500 400 300 200 100 0 20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
120
130
2 Theta
Gambar 4.16. Grafik Hasil Analisis XRD Ingot Besi. Tabel 4.7. Hasil Identifikasi Puncak Difraksi Ingot Besi Hasil Pembakaran.
No. Peak
Hkl
Titik dhkl ICDD
Senyawa
ICDD Reff. No
Data Penelitian
1
2,0100
2,0345
110
Fe
011267
2
1,4300
1,4366
200
Fe
011267
3
1,1700
1,1721
211
Fe
011267
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
57
Hasil analisis mikrostruktur sampel ingot besi menggunakan SEM ditunjukkan oleh Gambar 4.17.
(a)
(b) Gambar 4.17. Mikrostuktur Ingot Besi.
Gambar 4.18. Hasil Analisis EDS Ingot Besi.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
58
Pada Gambar 4.17(a) dapat dilihat bahwa hanya terlihat satu fasa mayor yang tampak pada analisis mikrostruktur menggunakan SEM. Warna abu-abu yang ditunjukkan dapat merepresentasikan unsur besi. Pernyataan ini diperkuat dengan pengambilan analisis elemen menggunakan EDS pada titik yang ditunjukkan oleh Gambar 4.17(b). Dari hasil analisis EDS yang ditunjukkan Gambar 4.18 dapat disimpulkan bahwa besi yang terbentuk ternyata masih mengandung karbon. Unsur karbon ini tidak akan terdeteksi jika menggunakan analisis XRF, dikarenakan atom karbon memiliki nomor atom yang kecil dan tidak dapat terdeteksi oleh detektor pada XRF. Berdasarkan diagram fasa antara Fe-C maka ingot besi yang dihasilkan pada penelitian ini adalah besi cor atau pig iron yang berasal dari proses reduksi sekaligus peleburan karena konsentrasi karbon sebesar 3,40 wt % termasuk pada komposisi pig iron pada diagram fasa sistem Fe-C , lihat gambar 4.19.
Gambar 4.19. Diagram Fasa Sistem Fe-C. (www.sv.vt.edu/classes)
Pada daerah lain dalam struktur mikro ingot besi yang sama ternyata dapat
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
59
diamati adanya fasa lain. Hal ini menunjukkan bahwa pada daerah tersebut proses reduksi belum selesai atau bisa dikatakan juga masih berjalan. Batas butir antara dua fasa yang terbentuk ditunjukkan oleh Gambar 4.20.
(a)
(b)
Gambar 4.20. Mikrostruktur Ingot Besi Pada Daerah Batas Antara 2 Fasa. (a) Perbesaran 300x dan (b) Perbesaran 1200x
Berdasarkan Gambar 4.20 (a) dapat diketahui bahwa pada ingot besi terdapat 2 fasa yang menunjukkan masih terdapatnya impuritas yang terperangkap diantara senyawa besi. Daerah yang berwarna abu-abu menunjukkan senyawa besi, sedangkan daerah yang berwarna hitam menunjukkan impuritas. Dengan melakukan analisis unsur menggunakan EDS pada titik yang ditunjukkan Gambar 4.20 (b) dapat diketahui unsur-unsur yang menjadi impuritas tersebut. Analisis EDS ditunjukkan oleh Gambar 4.21.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
60
Gambar 4.21. Hasil Analisis EDS Fasa Impuritas pada Ingot Besi.
Berdasarkan Gambar 4.21 dapat diketahui bahwa unsur-unsur pengotor dalam ingot besi yang terbentuk adalah logam-logam Ti, Mg, Al, V dan oksigen yang masih terperangkap dalam besi. Fasa impuritas tersebut bisa berbentuk senyawa oksida besi-titanium, oksida mangan atau oksida alumunium. Karena persentase atom Fe, Ti dan O merupakan persentase terbesar dibandingkan atom lainnya, maka dapat dikatakan bahwa senyawa oksida besi-titanium merupakan senyawa yang mayor pada fasa impuritas tersebut.
4.4.3 Analisis Slag Hasil Pembakaran
Data XRF pada slag yang dihasilkan pada penelitian ini ditunjukkan oleh tabel 4.8. Berdasarkan data XRF dapat diketahui bahwa slag yang dihasilkan memiliki kandungan besi yang masih tinggi yaitu sekitar 59 wt %. Unsur-unsur lain seperti Ti, Ca, Al dan Mg memiliki persentase yang cukup tinggi. Sedangkan unsur-unsur lainnya bisa diabaikan dan termasuk minor. Data unsur berdasarkan analisis XRF ditunjukkan oleh Tabel 4.8.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
61
Tabel 4.8. Hasil Identifikasi Unsur Pada Slag.
No. Atom
Nama
Pasir Besi Sebelum diseparasi
Atom
(wt %)
11
Na
6.4556
12
Mg
1.9490
13
Al
3.5792
14
Si
2.5375
16
S
1.0632
19
K
0.1462
20
Ca
6.0182
22
Ti
17.0514
23
V
1.0131
24
Cr
0.0444
25
Mn
1.1358
26
Fe
59.0065
Hasil analisis XRD pada slag hasil samping dari pembakaran pellet pasir besi ini akan memperjelas senyawa-senyawa yang terkandung didalamnya. Pada Gambar 4.22 ditunjukkan pola difraksi slag yang telah diolah dengan menggunakan GSAS. Parameter input untuk analisis GSAS yang digunakan adalah data kristalografi dari senyawa hasil identifikasi manual, antara lain senyawa Fe2TiO4 yang memiliki sistem kristal kubus dan space group Fd3m dengan parameter kisi a = 8,534 Ǻ sesuai dengan PDF no 75-1380. Senyawa TiO memiliki sistem kristal heksagonal dan space group P-6m2 dengan parameter kisi a = 3,031 Ǻ dan c = 3,237 Ǻ, sesuai dengan PDF no. 82-0803. Senyawa FeO memiliki sistem kristal kubus dan space group Fm3m dengan parameter kisi a = 4,309 Ǻ, sesuai dengan PDF no. 77-2355. Senyawa CaTiO3 memiliki sistem kristal kubus dan space group Pm3m dengan parameter kisi a = 3,795 Ǻ, sesuai dengan PDF no. 75-2100.
Hasil fitting antara kurva pengukuran dan teoritik memperlihatkan selisih yang kecil sekali mengindikasikan kesesuaian antara pola difraksi pengukuran dan teoritik. Hasil ini juga ditunjukkan pada tabel 4.9 yang membandingkan nilai d
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
62
puncak-puncak difraksi setelah proses fitting dengan nilai d senyawa kimia dari PDF. Berdasarkan hasil ada tabel 4.9 tersebut, nilai d hasil fitting umumnya memiliki kesesuaian sampai 2 angka desimal dibelakang koma dengan nilai d senyawa hasil penelitian.
Gambar 4.22. Hasil Analisis XRD pada Slag Menggunakan GSAS.
Senyawa FeO (wustit) yang terbentuk dalam slag merupakan hasil reduksi dari Fe3O4 yang belum sempurna menjadi besi. Persamaan reaksi kimia (4.3) Fe3O4 + C Æ 3FeO + CO(g)
(4.3)
Berdasarkan hasil analisis dengan GSAS persantase dari FeO dalam slag adalah 18,51 wt %. Tabel 4.9. Hasil Identifikasi Puncak Difraksi Slag.
No. Peak
Titik dhkl ICDD
Hkl
Senyawa
Data
ICDD Reff. No
Penelitian 1
4,9275
5,0231
111
Fe2TiO4
751380
2
3,0175
3,0309
220
Fe2TiO4
751380
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
63
3
2,6834
2,7312
110
CaTiO3
752100
4
2,5733
2,5767
311
Fe2TiO4
751380
5
2,4878
2,5117
111
FeO
772355
6
2,1910
2,2240
111
CaTiO3
752100
7
2,1545
2,1692
200
FeO
772355
8
2,1337
2,1313
400
Fe2TiO4
751380
9
2,0390
2,0383
101
TiO
820803
10
1,8975
1,9254
200
CaTiO3
752100
11
1,7421
1,7381
422
Fe2TiO4
751380
12
1,6425
1,6380
511
Fe2TiO4
751380
13
1,5493
1,5598
211
CaTiO3
752100
14
1,5234
1,5291
220
FeO
772355
15
1,5087
1,5023
400
Fe2TiO4
751380
16
1,2992
1,2944
311
FeO
772355
17
1,2163
1,2122
201
TiO
820803
Senyawa Fe2TiO4 (Titanomagnetit) yang terbentuk dalam slag merupakan senyawa yang terbentuk karena terjadinya reduksi terhadap senyawa Fe3O4 yang menyebabkan kation Fe3+ berubah menjadi Fe2+. Reaksi ionik yang ditunjukkan oleh persamaan reaksi (4.4) menunjukkan bahwa kation besi sisanya harus berubah dari Fe3+ menjadi Fe2+ setiap kali kemasukan Ti4+(Yulianto, 2006). Fe3+ Æ Fe2+ + Ti4+
(4.4)
Mekanisme dari reaksi magnetit menjadi titanomagnetit pada saat satu kation Fe2+ disubstitusi oleh satu kation Ti4+ dapat dilihat pada persamaan reaksi kimia (4.5) Fe3+[ Fe3+ Fe2+]O4 Æ Fe2+[ Fe2+ Ti4+]O4
(4.5)
Berdasarkan persamaan reaksi kimia (4.5) dapat disimpulkan bahwa pada saat kation Ti4+ mensubstitusi kation Fe2+ maka 2 kation Fe3+ akan mengalami reduksi menjadi kation Fe2+. Jika reaksi ini terus berlangsung, artinya akan ada substitusi lebih lanjut atom Fe oleh atom Ti maka pada akhirnya akan didapatkan senyawa FeO dan TiO2. Pada akhirnya reaksi reduksi pada FeO akan menghasilkan Fe, artinya proses reduksi telah berjalan sempurna dan dihasilkan Fe. Berdasarkan hasil analisis menggunakan GSAS persentase dari senyawa Fe2TiO4 dalam slag
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
64
adalah 35,08 wt %. Senyawa CaTiO3 yang terbentuk dalam slag merupakan senyawa yang terbentuk karena reaksi antara CaO dan TiO2 pada suhu tinggi sekitar 1800oC. Diagram tiga fasa dari Muan dan Osborn seperti ditunjukkan dalam Gambar 4.23 dapat menjelaskan proses terbentuknya senyawa CaTiO3 dalam slag.
Gambar 4.23 Diagram fasa CaO-TiO2-SiO2 dari Muan dan Osborn.
Berdasarkan Gambar 4.23 pada komposisi persen berat CaO 42 % dan TiO2 58 % jika dipanaskan pada suhu dibawah 1800oC maka akan terbentuk senyawa CaTiO3. Artinya pada suhu dan komposisi ini kedua senyawa CaO dan TiO2 dalam slag tidak akan terbentuk, karena senyawa ini lebih suka untuk bergabung menjadi senyawa CaTiO3. Berdasarkan pada Gambar 4.23 senyawa TiO2 akan terbentuk pada suhu 1840oC dan senyawa CaO akan terbentuk pada suhu 2570oC. Dengan menggunakan analisis GSAS senyawa CaTiO3 yang terdapat dalam slag adalah sebesar 46,40 wt %. Senyawa TiO yang terbentuk dalam slag merupakan senyawa oksida titan yang tidak stabil, artinya senyawa TiO ini akan berubah menjadi TiO2 namun karena suhu untuk membentuk TiO2 belum tercapai maka senyawa TiO yang terbentuk.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
65
Konsentrasi senyawa TiO dalam slag relatif sangat kecil jika dibandingkan dengan tiga senyawa sebelumnya (FeO, Fe2TiO4 dan CaTiO3) yaitu > 0,01 wt %. Hal ini menunjukkan bahwa logam Ti dalam bentuk TiO masih merupakan inisiasi atau embrio untuk membentuk senyawa TiO2 yang merupakan oksida titanium yang lebih stabil. Analisis struktur mikro pada slag ditunjukkan oleh Gambar 4.24 dibawah ini
Gambar 4.24 Struktur Mikro Slag.
Berdasarkan struktur mikronya dapat diamati bahwa fasa-fasa senyawa yang terbentuk dalam slag cukup banyak. Fasa-fasa tersebut tampak dalam perbedaan warna gelap-terang yang terlihat dalam Gambar 4.24 diatas. Pada instrumen SEM yang digunakan perbedaan warna yang menunjukkan perbedaan fasa tersebut dapat terjadi karena setiap inti atom yang terdapat dalam senyawa memiliki energi yang dapat memantulkan elektron yang menumbuknya, dan energi yang diberikan setiap inti atom pada elektron yang menumbuknya memiliki besaran yang berbeda-beda. Elektron yang menumbuk inti atom tersebut akan memantul kembali dan akan membawa energi tersebut, kemudian elektron tersebut akan dideteksi oleh detektor. Besaran energi yang dibawa oleh elektron tersebut akan divisualisasikan berupa warna gelap-terang tergantung pada besar energinya. Untuk dapat mengetahui unsur yang terdapat dalam slag pada fasa gelap, maka dilakukan analisis menggunakan EDS pada titik yang ditunjukkan oleh Gambar 4.25. Hasil analisis EDS terhadap daerah fasa ini ditunjukkan oleh Gambar 4.26
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
66
dan menunjukkan bahwa mayoritas unsur yang terdapat didalamnya adalah Fe dan O yang akan membentuk Besi oksida (FexOy). Unsur-unsur lain juga muncul dalam jumlah yang sedikit, seperti unsur Ti yang akan membentuk oksida titan (TixOy) dan unsur Mg yang akan membentuk oksida mangan (MgxOy).
Gambar 4.25 Analisis Fasa Gelap Menggunakan EDS
Analisis EDS juga dilakukan pada fasa terang yang ditunjukkan pada Gambar 4.27. Hasil analisis EDS pada titik yang diukur ditunjukkan oleh gambar 4.28. Berdasarkan hasil analisis tersebut pada fasa ini kandungan unsur Ti, O dan Ca merupakan unsur yang mayor. Unsur-unsur tersebut dapat berupa senyawa oksida titan (TixOy), oksida kalsium (CaxOy) atau oksida titan-kalsium (CaxTiyOz). Namun berdasarkan analisis XRD sebelumnya, fasa mayoritas yang mungkin dalam slag dengan unsur-unsur pembentuknya unsur Ti, Ca dan O adalah senyawa CaTiO3, sedangkan senyawa TiO muncul sebagai senyawa minor.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
67
Gambar 4.26 Hasil Analisis EDS Fasa Gelap.
Gambar 4.27 Analisis Fasa Terang Menggunakan EDS
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
68
Gambar 4.28 Hasil Analisis EDS Fasa Terang.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
BAB 5. KESIMPULAN & SARAN
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut. 1. Pada skala laboratorium proses reduksi langsung pellet pasir besi untuk mendapatkan besi dapat dilakukan dengan menggunakan komposisi pellet pasir besi yang terdiri dari pasir besi : grafit : kapur : bentonit berturutturut 74 : 20 : 5 : 1 wt % yang dibakar dalam electric muffle furnace pada suhu 1350oC. 2. Proses reduksi langsung pellet pasir besi telah berhasil di-scale up dengan menggunakan electric arc furnace dan mendapatkan ingot besi berupa pig iron dengan komposisi senyawa Besi 96,58 % dan mengandung 3,4 % Karbon. 3. Hasil perhitungan secara stoikiometri kimia menunjukkan hasil yang cukup baik pada proses metalisasi pembentukan pig iron yaitu sebesar 49,15 %. 4. Hasil Analisis pada slag yang terbentuk menunjukkan bahwa reaksi reduksi langsung belum berjalan sempurna, hal ini ditunjukkan dengan komposisi senyawa dalam slag berupa FeO (wustit) 18,51 wt %, Fe2TiO4 (titanomagnetit) 35,08 wt %, CaTiO3 (perovskite) 46,40 wt % dan TiO (oksida titanium) > 0,01 wt %.
5.2 Saran Adapun saran yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Perlu dicoba variasi lebih banyak pada komposisi bahan baku pembuat pellet, penggunaan grafit yang lebih banyak mungkin akan memberikan ingot besi yang lebih banyak dalam proses pembakaran, artinya persen metalisasi akan lebih besar dari hasil yang telah didapatkan dalam penelitian ini.
69
Universitas Indonesia
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
70
2. Pada proses pembakaran pellet bisa dilakukan dalam kondisi inert dengan menghembuskan gas argon pada saat pembakaran pellet dalam furnace, namun tentu saja hal ini bisa tercapai dengan merekayasa kembali bentuk furnace yang akan digunakan. Penambahan argon ini diharapkan dapat mencegah reaksi oksidasi kembali pada logam yang telah terbentuk, dan juga menjaga reaksi antara oksida-oksida yang terbentuk terutama TiO2 yang merupakan precursor dari logam Ti yang sangat bernilai tinggi. 3. Penelitian lanjutan bisa dilakukan dengan menambahkan grafit pada slag yang terbentuk. Diharapkan pada proses ini dapat dihasilkan logam besi yang berasal dari Fe2TiO4 dan FeO yang terdapat dalam slag, dan juga bisa mendapatkan TiO2. 4. Perlu dicoba tahap antara, yaitu pellet direduksi (dipanggang) terlebih dahulu dengan menggunakan gas CO. Setelah itu pellet dibakar menggunakan furnace. Diharapkan dengan proses dua tahap ini logam besi yang terbentuk menjadi lebih optimum.
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
DAFTAR REFERENSI
Abidin, H.Z., (2003). GPS Survey for Natural Hazard Mitigation in Indonesia, Country Report of International Union of Geophysics and Geodesy (Indonesian Committee), Sapporo, Japan, June 30th-July 11th, 22-27
Anameric, B., dan Kawatra, S. K. (2006) “Laboratory Study Related To The Production And Properties of Pig Iron Nuggets”, Minerals & Metallurgical Processing; 23,1. pp. 52
Aso, K., Sato, T., dan Ishibashi, M., (1999). “Magnetitc Force microscopic study of magnetic tapes recorded at MHz frequencies”, Journal of Magnetism and Magnetic Materials, 193, 430-433.
Brezoi, D.V., dan Ion, R.M., (2005). ”Phase evolution induced by polypyrrole in iron oxide-polypyrrole nanocomposite, Sensors and Actuators”, B: Chemical, 109 (1), 171-175.
Francis, A.A., dan El-Midany, A.A., (2008). “An assessment of the carbothermic reduction of ilmenite ore by stastitical design”. Journal of Materials Processing Technology, 199, P. 279-286.
Gonzales, L.M., dan Frossberg, K.S.E., (2001). “Utilization of a VanadiumContaining Titanomagnetite: Possibilities of a Benefication-Based Approach ”, Trans. Inst. Min. Mettal (sect. C: Mineral Process, Extr. Metall), 110, MayAugust.
Hoffman, G., dan Tsuge, O., (2004). ”ITmK3-Application of a New ironmaking technology for the iron ore mining industry”. Mining Engineering; 56, 10; ProQuest Science Journals. Pg. 35-39.
71
Universitas Indonesia
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
72
Hoffman; Glenn E., Klawonn; Robert M. “Method of direct iron-making / steelmaking via gas or coal-based direct reduction and apparatus”. US Patent No. 6648942 B2 tanggal 18 Nopember 2003.
Izzudin, H., (2007). “Pemaduan Padatan dari Campuran Pasir Besi-Grafit dengan Metoda Ball Mill untuk Meningkatkan Kadar Fe”, Tesis Program Master Universitas Indonesia, Jakarta.
Kashiwaya, Y., dan Ishii, K., (2004). “Analysis of the transition state of the carbon and iron oxide mixture activated by mechanical milling”. ISIJ International 44, 1981-1990.
Kelly, R. M., dan Rowson, N. A. (1995). “Microwave Reduction of Oxidised Ilmenite Concentrates”. Minerals Engineering, Vol. 8, No. 11, pp. 1427-1438.
Lu W.K., dan Huang, D.F., (2001). “The Evolution of Ironmaking Process Based on coal Containing Iron Ore agglomerates”, ISIJ International, Vol.41, No.8, pp.807-812.
Manaf, A. (2005). “Kegiatan Litbang Pasir Besi (Iron Sand) di Universitas Indonesia”, Seminar Lokakarya Pemanfaatan Bahan Baku Lokal untuk Industri baja Nasional, PT Krakatau Steel, Cilegon.
Muta’alim, Tahlili, L., Purwanto, H., dan Subiantoro, (1995). “Pembuatan Prereduced Pellet Pasir Besi”. Laporan Penelitian (in house research), PPTM, Bandung. Negami, T. (2001). “ITmk3®”. Proceeding Direct From MIDREX 1st Quarter 2001.
Nurul, T. R., Suehiro, S., Higashiiriki, K., Nakano, A., Yamada, K., Hamaishi, K., Nakamura, S., Sechi, Y., Matsuda, T., dan Sueyoshi, H., (2004). ”Pb-Free Brass
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
73
from Scrap by Compound-Separation Methode”, Transactions of the Materials Research Society of Japan, Vol. 29, No. 5.
Ozel, E., Unluturk, G., dan Turan, S., (2006). “Production of brown pigments for porcelain insulator applications”, journal of the European ceramic society, 26, 735-740.
Panggabean, L. (1997). “Utilization of Jogjakarta Iron Sand Deposit”, Indonesia Mining Association Symposium, Jakarta.
Parkin, I.P., Elwin. G., Kuznetsop, M.V., Pankhurst, Q.A., Bui, Q.T., Foster, G.D., Barquin, L.F., Komarov, A.V., dan Morozov, Y.G., (2001). “Selfpropagating high temperature synthesis of MFe12O19 (M=Sr,Ba) from the reaction of metal superoxides and iron metal”, Journal of Materials Processing Technology, 110 (2), 239-243.
Peng, Y., Park, C., dan Laughlin, D.E., (2003). “Fe3O4 thin film sputter deposited from iron oxide targets”, Journal of Applied Physic, 93 (10), 7957-7959.
Pramusanto, Tanjung F., Koesnadi, Muljono D., Satrio M.A. dan Subandi, A. (2000). ”Potensi Pemanfaatan Bijih Besi Lokal untuk Kemandirian Industri Baja Nasional”, Proseding Seminar Sehari bidang Logam MMI, Jakarta.
Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pengembangan Sumberdaya Mineral, BPPT, (Februari, 2005). “Pemanfaatan Pasir Besi sebagai salah satu alternatif Penyediaan Bahan Baku Industri Besi Baja Nasional”, makalah dalam Seminar Lokakarya Pemanfaatan Bahan Baku Lokal untuk Industri Baja Nasional, PT Krakatau Steel, Cilegon.
Putnis, A., (1992). ”Introduction to Mineral Sciences”, Cambridge University Press, Cambridge.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
74
Ratman, N., Suwarti, T., dan Samodra, H. (1988). ”Peta Geologi Indonesia Lembar Surabaya (edisi ke-2)”, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Schon, J.H. (1998). ”Physical Properties of Rocks”. Fundamentals and Principles of Petrophysics 2nd ed., Pergamon, Oxford, 583p.
Standish, N., dan Huang, W., (1990). “Microwave Application in Carbothermic Reduction of Iron Ores”. ISIJ International, Vol. 31, No. 3, pp. 241-245.
Tinnis, W.L., Lepinki, J.A., dan Copfle J.T., (1990). ”The Midrex RHF Process, A Simple, Economic Ironmaking Proc.”, Indonesia Seminar on Alternative Technologies, Jakarta, Nopember, halaman 3/1-18.
Tjetjep, W.S. dan Wirakusumah, D.A., (2003). “Activities related with IAVCEI in Indonesia”: a country report from Indonesia, International Union of Geophysics and Geodesy (Indonesian Committee), Sapporo, Japan, June 30th-July 11th, 52-70.
Weiss, F.J., Goksel, A., Kaiser, F.T., (1986). ”Production of hot metal from carbon-bearing iron okside Pellets by pellTech (PTC) process”, Iron and Steel Engineer, hal. 34-40.
Welham, N. J. (1998). “Mechanochemical Reduction of FeTiO3 by Si”. Journal of Alloys and Compounds, 274, pp. 303-307.
Yamamoto, S., Hirata, K., Kurisu, H., Matsuura, M., Doi, T., dan Tamari, K., (2001). ”High coercivity ferrite thin-film tape media for perpendicular recording”, Journal of Magnetism and Magnetic Materials, 235, 342-346.
Yulianto, A., Bijaksana, S., Loeksmanto, W., dan Kurnia, D. (2003). “Extraction and purification of magnetit (Fe3O4) from iron sand”, Proceeding of the Annual Physics Seminar, ISBN: 979-98010-0-1, 102.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
75
Yulianto, A., (2006). “Kajian Sifat Magnetik Pasir Besi dan Optimalisasi Pengolahan Menjadi Magnet Ferit”, Disertasi Program Doktor Institut Teknologi Bandung.
Universitas Indonesia Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil XRF Pasir Besi Sebelum Diseparasi Magnetik.
76
Universitas Indonesia
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
77
Lampiran 2. Hasil XRF Pasir Besi Setelah Diseparasi Magnetik Sebanyak 3 Kali.
Universitas Indonesia
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
78
Lampiran 3. Hasil XRF Bentonit Yang Digunakan
Universitas Indonesia
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
79
Lampiran 4. Hasil XRF Pellet Yang Dibakar
Universitas Indonesia
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
80
Lampiran 5. Hasil XRF Ingot Besi Yang Dihasilkan
Universitas Indonesia
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
81
Lampiran 6. Hasil XRF Slag Yang Terbentuk
Universitas Indonesia
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
82
Lampiran 7. Hasil Analisis XRD Pasir Besi Menggunakan GSAS a. Plot Analisis
b. Error Analisis
Universitas Indonesia
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
83
c. Probability Analisis
d. C Square, WPR, dan Komposisi Restraint data statistics: No restraints used Powder data statistics Fitted -Bknd Average Bank Ndata Sum(w*d**2) wRp Rp wRp Rp DWd Integral Hstgm 1 PXC 1 3991 4823.8 0.0819 0.0652 0.0905 0.0818 1.719 0.923 Powder totals 3991 4823.8 0.0819 0.0652 0.0905 0.0818 1.719 No serial correlation in fit at 90% confidence for 1.902 < DWd < 2.098 Cycle 757 There were 3991 observations. Total before-cycle CHI**2 (offset/sig) = 4.8238E+03 ( 9.3336E+00) Reduced CHI**2 = 1.209 for 1 variables Reflection data statistics Histogram 1 Type PXC Nobs= 140 R(F**2) = 0.1579 The value of the determinant is 1.0000*10.0**(
0)
Atom parameters for phase no. 1 frac x y z 100*Uiso 100*U11 100*U22 100*U33 100*U12 100*U13 100*U23 Calculated unit cell formula weight: 1852.296, density: 5.197gm/cm**3
Universitas Indonesia
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
84
Atom parameters for phase no. 2 frac x y z 100*Uiso 100*U11 100*U22 100*U33 100*U12 100*U13 100*U23 Calculated unit cell formula weight: 910.464, density: 4.787gm/cm**3 Phase/element fractions for phase no. 1 Hist Elem: 1 1 PXC Fraction : 3.09644 Sigmas : 0.233721E-01 Shift/esd: 0.00 Wt. Frac.: 0.91040 Sigmas : 0.615734E-03 Phase/element fractions for phase no. 2 Hist Elem: 1 1 PXC Fraction : 0.620020 Sigmas : 0.00000 Shift/esd: 0.00 Wt. Frac.: 0.89604E-01 Sigmas : 0.00000 Phase/element fraction sum(shift/error)**2 :
0.00
CPU times for matrix build 0.70 sec; matrix inversion 0.00 sec Final variable sum((shift/esd)**2) for cycle 757: 0.00 Time: 0.70 sec Convergence was achieved
Universitas Indonesia
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
85
Lampiran 8. Data Referensi ICDD untuk Puncak-Puncak FeTiO3 dan Fe3O4. a. Fe3O4 ICDD Reff. No. 021035
b. FeTiO3 ICDD Reff. No. 830192
Universitas Indonesia
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
86
Lampiran 9.Data Referensi ICDD untuk Puncak-Puncak Fe, ICDD Reff. No. 011267.
Universitas Indonesia
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
87
Lampiran 10. Hasil Analisis SEM & EDS untuk Ingot Besi yang Didapatkan.
Universitas Indonesia
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
88
Universitas Indonesia
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
89
Universitas Indonesia
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
90
Lampiran 11. Hasil Analisis XRD Slag Menggunakan GSAS. a. Analisis Pola Plot
b. Analisis Error
Universitas Indonesia
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
91
c. Analisis Probability
d. C Square, WPR, dan Komposisi Restraint data statistics: No restraints used Powder data statistics Fitted -Bknd Average Bank Ndata Sum(w*d**2) wRp Rp wRp Rp DWd Integral Hstgm 1 PXC 1 3991 7359.7 0.1341 0.1000 0.2435 0.1611 1.125 0.977 Powder totals 3991 7359.7 0.1341 0.1000 0.2435 0.1611 1.125 No serial correlation in fit at 90% confidence for 1.903 < DWd < 2.097 Cycle 182 There were 3991 observations. Total before-cycle CHI**2 (offset/sig) = 7.3597E+03 ( 3.7770E+01) Reduced CHI**2 = 1.846 for 4 variables Reflection data statistics Histogram 1 Type PXC Nobs= 417 R(F**2) = 0.5955 The value of the determinant is 0.9974*10.0**(
0)
Atom parameters for phase no. 1 frac x y z 100*Uiso 100*U11 100*U22 100*U33 100*U12 100*U13 100*U23 Calculated unit cell formula weight: 287.384, density: 5.870gm/cm**3 Atom parameters for phase no. 2 Universitas Indonesia
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
92
frac x y z 100*Uiso 100*U11 100*U22 100*U33 100*U12 100*U13 100*U23 Calculated unit cell formula weight: 638.990, density: 4.913gm/cm**3 Atom parameters for phase no. 3 frac x y z 100*Uiso 100*U11 100*U22 100*U33 100*U12 100*U13 100*U23 Calculated unit cell formula weight: 543.908, density: 4.040gm/cm**3 Atom parameters for phase no. 4 frac x y z 100*Uiso 100*U11 100*U22 100*U33 100*U12 100*U13 100*U23 Calculated unit cell formula weight: 1820.508, density: 4.928gm/cm**3 **** Phase/element fraction for histogram 1 phase 2 crystal 1 was 0.54414 ; now reset to 0.0001 **** Phase/element fractions for phase no. 1 Hist Elem: 1 1 PXC Fraction : 1.09689 Sigmas : 0.735362E-01 Shift/esd: 0.00 Wt. Frac.: 0.18507 Sigmas : 0.101111E-01 Phase/element fractions for phase no. 2 Hist Elem: 1 1 PXC Fraction : 0.100000E-03 Sigmas : 0.101843 Shift/esd: -5.34 Wt. Frac.: 0.37515E-04 Sigmas : 0.382053E-01 Phase/element fractions for phase no. 3 Hist Elem: 1 1 PXC Fraction : 1.45314 Sigmas : 0.592924E-01 Shift/esd: 0.00 Wt. Frac.: 0.46404 Sigmas : 0.101479E-01 1Slag 19 12:50:53 2009 Page 108
GENLES Version Win32 Jun
Phase/element fractions for phase no. 4
Universitas Indonesia
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
93
Hist Elem: 1 1 PXC Fraction : 0.328261 Sigmas : 0.657853E-02 Shift/esd: 0.00 Wt. Frac.: 0.35085 Sigmas : 0.456436E-02 Phase/element fraction sum(shift/error)**2 :
28.56
CPU times for matrix build 1.55 sec; matrix inversion 0.01 sec Final variable sum((shift/esd)**2) for cycle 182: 28.56 Time: 1.56 sec
Universitas Indonesia
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
94
Lampiran 12. Data Referensi ICDD untuk Puncak-Puncak Fe2TiO4, CaTiO3, TiO dan FeO. a. Fe2TiO4 ICDD Reff. No. 751380
b. CaTiO3 ICDD Reff. No. 752100
c. TiO ICDD Reff. No. 820803
Universitas Indonesia
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
95
d. FeO ICDD Reff. No. 772355
Universitas Indonesia
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
96
Lampiran 13. Hasil Analisis SEM & EDS untuk Slag yang Didapatkan.
Universitas Indonesia
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.
97
Universitas Indonesia
Telusuran eksperimental..., Wahyu Firmansyah, FMIPA UI, 2009.