Perkembangan Teknologi TRO 21 No. 2 Desember 2009 Hlm. 64-70 ISSN 1829-6289
TEKNOLOGI KONSERVASI EX SITU PLASMA NUTFAH TANAMAN OBAT DAN AROMATIK DI LAPANG Cheppy Syukur Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Jl. Tentara Pelajar No. 3, Bogor 16111 (Terima tgl. 15 /8/2009 - Disetujui tgl. 25/11/2009) ABSTRAK
PENDAHULUAN
Pengertian plasma nutfah adalah keanekaragaman genetik yang dimiliki oleh satu spesies tanaman atau seluruh kisaran keanekaragaman sifat di dalam satu jenis tanaman budidaya. Kekayaan plasma nutfah adalah banyaknya kultivar, strain, galur, kerabat liar, land races, mutan yang dimiliki oleh setiap spesies tanaman. Indonesia termasuk negara yang miskin plasma nutfahnya, karena pengelolaan plasma nutfah tanaman di Indonesia tersebar di berbagai instansi yang dilakukan secara terpisah dan sendiri-sendiri. Belum ada koordinasi dan kebijakan pengelolaan secara nasional. Permasalahan yang terjadi pada sistem pelestarian plasma nutfah nasional tidak mempengaruhi usaha pelestarian tanaman obat dan aromatik di Balittro. Usaha konservasi ex situ yang berkesinambungan telah dilakukan Balittro melalui penataan yang benar, dimulai dengan koleksi dasar dan koleksi kerja di kebun koleksi lingkup Balittro (Cimanggu, Cicurug, Gn. Putri, dan Manoko). Sistem pembaharuan koleksi di lapang dan pencocokan antara data yang diinventarisasi dengan koleksi di lapang dilakukan terus sebelum data dientry ke dalam sistem dokumentasi. Pemanfaatan koleksi yang terus di lestarikan dapat ditindaklanjuti menjadi varietas unggul.
Plasma nutfah adalah keanekaragaman genetik yang dimiliki oleh satu spesies tanaman atau seluruh kisaran keanekaragaman sifat di dalam satu jenis tanaman budidaya (Sastrapraja dan Rifai, 1989). Kekayaan plasma nutfah adalah banyaknya kultivar, strain, galur, kerabat liar, land races, mutan yang dimiliki oleh setiap spesies tanaman. Pengelolaan plasma nutfah tanaman di Indonesia tersebar di berbagai instansi tanpa ada koordinasi dan kebijakan pengelolaan secara nasional. (Sumarno, 2007). Banyaknya pulau-pulau yang subur dan hutanhutan yang penuh dengan tanaman-tanaman beragam, Indonesia secara alamiah menjadi salah satu pusat keragaman genetik (genetic diversity centre) tanaman, seperti Dioscorea sp. (uwi, yam), jeruk besar (pomelo), pisang, kelapa dan famili Palmae lain, salak, durian, rambutan, tebu, dan sebagian anggrek (Sastrapraja dan Rifai, 1989). Di samping itu, spesies baru asal introduksi terus berkembang dan beradaptasi di Indonesia. Lebih dari 85% tanaman ekonomis Indonesia (seperti tanaman pangan utama, sayuran, buah-buahan, bunga-bungaan, tanaman perkebunan dan rempah) merupakan spesies baru, asal introduksi. Hal ini diperkuat dengan teori Vavilov (1951) yang menyebutkan bahwa Pusat asal spesies tanaman adalah pada wilayah dimana ditemukan keragaman genetik (plasma nutfah) yang terbanyak, termasuk kerabat liar tanaman yang bersangkutan. Plasma nutfah tanaman ekonomis yang telah dilestarikan di seluruh dunia berjumlah sekitar 3,9 juta aksesi koleksi. Sekitar 53% dimiliki oleh negara-negara maju (Amerika, Eropa, dan Rusia), 16% dimiliki oleh lembaga penelitian pertanian internasional (seperti IRRI, ICRISAT, CIMMYT, CIAT, CIP), dan hanya 31% dimiliki oleh negara-negara sedang berkembang di Afrika, Asia, dan Amerika Latin (Fagi dan Soenaryo, 1996). India merupakan negara yang sangat memprioritaskan program pengelolaan plasma nutfah. Sejak 1946, India telah melakukan koleksi plasma nutfah tanaman penting, bahkan sejak 1976 membentuk Biro Sumberdaya Genetik Tanaman Nasional (NBPGR/National Bureau of Plant Genetic Resources), yang memiliki
Kata kunci : Teknology konservasi, ex situ , plasma nutfah, tanaman obat dan aromatik
ABSTRACT Ex Situ Conservation Technology of Aromatic Crops Germplasm in the Field Germplasm is defined as genetic diversity owned by a single species of plant or whole range of diversity in the nature of one type of cultivated plant. Genetic wealth is the number of cultivars, strains, strain, wild relatives, land races, mutants belonging to each species of plant. Indonesia is one of the poorest countries for germplasm, because the management of its plant germplasm spreads across many agencies that conduct it separately and independently, and there is no management and policy coordination at national level. Problems that occur in the system of national germplasm conservation do not affect the conservation efforts of aromatic and herbal plants in IMACRI (Balittro). Ex situ conservation efforts have been made continuously in IMACRI through proper structuring, starting with the basic collection and collection work in the garden collection scope (Cimanggu, Cicurug, Gunung Putri, and Manoko). Updating of field collection system and matching between inventory data and field collection have been carried out continuously before the data are entered into the documentation system. The collections are kept updated and continuously utilized in terms of producing superior varieties. Keywords : Conservation technology, ex situ, germplasm, medicinal and aromatic plants
64
Cheppy Syukur: Teknologi konservasi ex situ plasma nutfah tanaman obat dan aromatik di lapang.
30 Pusat Pengelolaan Plasma Nutfah Komoditas Spesifik. Sebanyak 165.403 aksesi plasma nutfah berbagai tanaman dikelola oleh NBPGR di New Delhi. Koleksi tanaman hidup dan benih dikelola di 30 pusat plasma nutfah yang tersebar di seluruh wilayah India (Rana, 1993). Adanya perkembangan dalam perlindungan hak kepemilikan terhadap varietas tanaman melalui hak-hak eksklusif seperti Breeder’s Right, Plant Variety Protection dari UPOV, dan berlakunya ketentuan TRIPs (Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights), maka pada penghujung abad XX, plasma nutfah tidak lagi menjadi komoditas gratis yang tersedia bagi masyarakat seluruh dunia. Teknologi Konservasi Plasma Nutfah Kerawanan dan erosi genetik merupakan fenomena yang perlu mendapat perhatian serius. Pengrusakan habitat, ledakan penduduk, perubahan iklim, penyakit, introduksi hewan-hewan eksotik seperti sapi, kambing, dan tikus terus terjadi. Badan dunia FAO melalui
International Plant Genetic Resources Institut (IPGRI)
bersama Pusat-pusat Penelitian Pertanian Internasional (International Agricultural Research Centre, IARC), dan pemerintah negara-negara di dunia merespon hal tersebut melalui bank gen pada tingkat nasional serta kerja sama regional. Perhatian yang serius dilakukan untuk merespon bahaya yang dihadapi sumber daya genetik, dan memenuhi kewajiban konvensi Rio, serta kewajiban mewariskan sumber daya alam dan genetik dalam penggunaan lahan termasuk bencana, baik alami maupun buatan manusia. Dalam menjamin kelangsungan hidup generasi mendatang setelah mencukupkan kebutuhan hidup generasi masa kini maka konservasi ex situ dan in situ melalui bank gen perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Teknik konservasi plasma nutfah secara umum terdiri dari konservasi in situ dan ex situ yang mengacu kepada Pedoman Pengelolaan Plasma Nutfah (2002), diterangkan bahwa konservasi in situ bersifat pasif, karena dapat terlaksana dengan hanya mengamankan tempat tumbuh alamiah sesuatu jenis dan jenis-jenis tersebut diberi kesempatan berkembang dan bertahan dalam keadaan lingkungan alam dan habitatnya yang asli, tanpa campur tangan manusia. Sedangkan konservasi ex situ disebutkan bahwa cara kedua dilakukan dengan lebih aktif, yaitu memindahkan sesuatu jenis ke suatu lingkungan atau tempat pemeliharaan baru. Keragaman plasma nutfah dapat dipertahankan dalam bentuk kebun koleksi, penyimpanan benih, kultur jaringan, kultur serbuk sari, atau bagian tanaman lainnya.
Menurut Ford Llyod dan Jackson (1986) konservasi plasma nutfah secara ex situ merupakan cara pelestarian yang aman dan efisien dan membuat sumber genetik selalu tersedia bagi para pemulia dan pengguna lainnya. Pada saat ini, kebun koleksi merupakan cara paling efektif di Indonesia untuk menyelamatkan dan mempertahankan keanekaragaman plasma nutfah tanaman. Plasma nutfah tersebut perlu dipelihara sesuai dengan cara budidaya untuk masing-masing tanaman. Tanaman koleksi tersebut diamati pertumbuhannya, diukur semua organ tanaman, dan dicatat sifat-sifat morfologinya berupa data deskripsi varietas. Jumlah tanaman tiap varietas yang ditanam di kebun koleksi tergantung pada besar tanaman dan luas kebun. Tanaman yang berasal dari biji perlu lebih banyak daripada yang dari bibit vegetatif. Tanaman pohon hasil eksplorasi perlu diperbanyak secara vegetatif kemudian ditanam di kebun koleksi sebanyak 4-6 tanaman tiap varietas. Konservasi ex situ dapat juga dilakukan secara in vitro dengan memanfaakan teknik kultur jaringan. Teknik ini digunakan untuk penyimpanan plasma nutfah dalam jangka panjang dengan jumlah hingga 10 botol setiap aksesi. Beberapa sistem konservasi ex situ bisa dilakukan seperti sistem konservasi yang memerlukan fasilitas ruang pendingin untuk penyimpanan jangka panjang (suhu −20 oC hingga −32 oC), ruang dingin (suhu −4 oC, RH 50−60%), dan ruang pengering secara perlahanlahan (suhu 10−14 oC, RH 40%). Sistem ini memerlukan sumber tenaga listrik PLN dengan cadangan (back up) generator listrik yang otomatis berfungsi bila PLN mati. Beberapa teknik konservasi dapat dipilih, termasuk in vitro preservation atau tissue culture, cyro preservation, dan lain-lain, tergantung dari sifat spesies yang dilestarikan. Kebun koleksi di lapang dapat dikelola untuk melestarikan koleksi-koleksi dari kelompok tanaman sejenis maupun kelompok jenis-jenis dengan seluruh kisaran keanekaragaman sifat di dalam satu jenis tanaman budidaya. Untuk dapat mengelola plasma nutfah secara efektif, bermanfaat, dan adil, diperlukan adanya sistem pengelolaan plasma nutfah nasional, yang mencakup enam sub sistem, yaitu: (1) Perundangan dan kelembagaan. (2) Inventarisasi dan Eksplorasi, (3) Konservasi, (4) Evaluasi dan utilisasi, (5) Rejuvinasi dan reproduksi, dan (6) Pelayanan dan pertukaran materi. Sistem pengelolaan Plasma Nutfah Nasional perlu dikoordinasikan oleh Pusat Pengelolaan Plasma nutfah Tanaman Nasional (Sumarno. 2007) Khusus pada plasma nutfah tanaman obat dan aromatik keragaman genetik, baik pada varietas budidaya maupun varietas liar merupakan aset bagi
65
PERKEMBANGAN TEKNOLOGI TRO VOL. 21 No. 2, Desember 2009: 64-70
perakitan varietas unggul dalam produksi, ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik, kesesuaian agronomis, kualitas nutrisi, kesesuaian pasar, dan lain sebagainya. Usaha pelestarian yang berkesinambungan terus dilakukan secara bertahap melalui kegiatan konservasi ex situ di rumah kaca, laboratorium in vitro dan kebun koleksi di lapang. Konservasi Ex Situ Plasma Nutfah Tanaman Obat dan Aromatik a. Perkembangan Konservasi Ex Situ Sistem pengelolaan konservasi plasma nutfah tanaman obat dan aromatik dimulai dari cara melestarikan dan memanfaatkan kekayaan plasma nutfah secara optimal. Usaha untuk memperkaya koleksi plasma nutfah yang memiliki nilai ekonomis dilakukan dengan mendapatkan koleksi dari berbagai sumber termasuk introduksi dari luar negeri. Konservasi ex situ, berusaha untuk melindungi koleksi-koleksi plasma nutfah yang sudah dimiliki agar tidak punah atau dimanfaatkan oleh pihak yang tidak mempunyai hak. Menyediakan materi plasma nutfah berupa informasi dan edukasi tentang pentingnya plasma nutfah bagi masyarakat dan membangkitkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pelestarian, perlindungan dan pemanfaatan plasma nutfah. Kegiatan penelitian konservasi tumbuhan obat adalah kegiatan penelitian di hulu yang amat sangat terbatas dan kurang mendapat perhatian. Tiga lembaga yaitu Hostus Medicus Tawangmangu, Balai penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) serta Kebun Raya dapat menjadi garda terdepan dalam kegiatan penyediaan plasma nutfah secara ex situ untuk menunjang pelestarian secara in situ yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan. Konservasi in situ pada sejumlah Taman Nasional, daerah yang dilindungi telah dilakukan seperti di Meru Betiri (Jawa Timur), Gn. Leuser di Aceh, Gn. Halimun dan Gn. Gede Pangrango di Jawa Barat, Kerinci-Seblat in Jambi, Gn Palung (Kalimantan), Gn. Rinjani (Nusa Tenggara), Rawa Aopa, Dumoga Bone (Sulawesi), Manusela (Maluku) dan Gn. Lorentz di Irian Jaya (Bermawie dan Sutisna, 1999). Perbaikan sistem pengelolaan konservasi ex situ di kebun-kebun koleksi Balittro terus dilakukan dengan memberikan sosialisasi-sosialisasi kepada kepala-kepala kebun lingkup Balittro, tentang prinsip-prinsip plasma nutfah dan sistem pengelolaannya termasuk dalam pemetaan koleksi dasar (base collection) dan koleksi kerja (working collection). Balittro dengan lima kebun yang dimilikinya sekarang sudah mulai menata dan membuat peta lokasi di lapangan dengan menentukan lahan-lahan yang diperuntukkan untuk melestarikan koleksi-koleksi yang ter-
66
masuk koleksi dasar atau koleksi kerja, dan membedakan juga antara koleksi plasma nutfah yang ada dikebun dengan visitor plot. Prioritas koleksi yang dikonservasi di kebun-kebun koleksi telah disesuaikan dengan mandat komoditasnya, seperti untuk Kebun koleksi Manoko telah ditentukan dan dikonservasi sebanyak 5 komoditas prioritas (nilam, sereh wangi, akar wangi, mentha, dan sereh dapur) dan koleksi tanaman obat dan aromatik dataran tinggi lainnya. Untuk Kebun koleksi Cicurug telah ditentukan dan dikonservasi sebanyak 5 komoditas prioritas (jahe, kunyit, temulawak, kencur, dan lengkuas) serta koleksi tanaman obat dan aromatik dataran sedang lainnya. Begitu pula dengan kebun lainnya. Semua telah disajikan dalam daftar koleksi plasma nutfah tanaman obat dan aromatik yang ada di database plasma nutfah Balittro. Data yang disajikan berupa data paspor yang meliputi: nomor aksesi, nama kultivar/varietas/galur/klon, kabupaten asal, provinsi asal serta negara asal. Data lengkap mengenai karakteristik hasil kegiatan karakterisasi dan evaluasi plasma nutfah tanaman pangan tersebut juga tersimpan dalam database plasma nutfah Balittro yang secara rutin dicetak dalam bentuk Katalog Tahunan Plasma Nutfah. Usaha pelestarian koleksi-koleksi plasma nutfah tanaman obat dan aromatik yang dilakukan melalui konservasi di lapang pada kebun-kebun lingkup Balittro sampai tahun 2009 telah berhasil mengkonservasi sebanyak 170 jenis dengan 326 aksesi di kebun koleksi Cimanggu, sebanyak 183 jenis dengan 846 aksesi di kebun koleksi Cicurug, sebanyak 173 jenis dengan 268 aksesi di kebun koleksi Manoko, dan sebanyak 59 jenis dengan 129 aksesi di kebun koleksi Gn. Putri (Gambar 1). Disamping itu ada dua jenis koleksi mengkudu dan ylang-ylang yang dikonservasi di kebun penelitian Sukamulya (milik Balittri) sebanyak 2 jenis dengan 404 aksesi (Tabel 1). Tabel 1.
Rekapitulasi data koleksi plasma nutfah yang dikonservasi di kebun koleksi lingkup Balittro sampai tahun 2009.
Table 1.
Recapitulation data of germplasm conservation in the Balittro research station until 2009. Jumlah spesies
Jumlah aksesi
Cicurug
Lokasi
183
846
Manoko
173
268
Cimanggu
170
326
Gn. Putri
59
129
Sukamulya
2
404
Rumah kaca
127
420
Jumlah
714
2393
Cheppy Syukur: Teknologi konservasi ex situ plasma nutfah tanaman obat dan aromatik di lapang.
Tabel 2.
Daftar koleksi plasma nutfah tanaman obat dan aromatik yang dikonservasi di kebun-kebun koleksi lingkup Balittro tahun 2009
Table 2.
List of germplasm collection of medicinal and aromatic crops in the conservation site of Balittro research stations in 2009 KP. Cimanggu
Jenis spesies Asam Cempaka Kuning Cempaka Putih Cengkeh Cengkeh Hutan Genteng Peujit Kapuk Kapuk Negri Kayu Manis Padang Kayu Putih Kedaung Kelapa Kemiri Kenanga Kibeusi Kola Kopi Makadamia Marasi Mimba Mindi Nangka Pala Pete Pinang Pongporang Prana jiwa Pule / Lame Saga pohon Species Lain* Jumlah
KP. Cicurug Jml record 3 3 5 5 4 5 3 3 7 4 4 5 5 3 5 5 4 3 6 5 4 3 8 3 6 4 3 4 3 163 326
Jenis spesies Akar Wangi Buah Merah Bangle Garut Handeuleum Hanjuang Honje Jahe Jawer Kotok Katuk Kencur Komandra Kelapa Kunyit Lempuyang Lengkuas Mentha Melati Pala Pegagan Puring Temulawak Temu Giring Temu Kunci Temu Putih Temu Ireng Temu Mangga Spesies lain*
KP. Manoko
Jml record 5 10 4 20 4 3 3 20 3 16 69 4 5 94 11 24 4 11 36 44 3 28 3 7 10 5 3 397
Jenis spesies Adas Akar Tuba Handeuleum Kumis Kucing Lidah Buaya Melati Gambir Mentha Pacing Pacing Pegagan Phyrethrum Serai Wangi Terong KB Species Lain*
846
b. Pemanfaatan hasil konservasi ex situ Dari koleksi-koleksi yang dilestarikan di kebunkebun koleksi, beberapa komoditas penting yang jumlah koleksinya cukup banyak, melalui kegiatan utilisasi dengan melakukan seleksi dari aksesi-aksesi yang telah terkarakterisasi dan terevaluasi, diperoleh aksesi-aksesi terpilih sesuai dengan target program pemuliaan untuk dijadikan aksesi-aksesi unggulan calon varietas unggul. Jenis-jenis tanaman obat dan aromatik yang telah menghasilkan aksesi-aksesi terpilih Beberapa jenis tanaman obat sudah menjadi varietas unggul antara lain jahe, kencur, kunyit, nilam (Gambar 2.) dan serai wangi, sedangkan jenis- jenis lain masih dalam proses pemuliaan seperti temulawak, pegagan, sambiloto, mentha, akarwangi, dan purwoceng. Jenis-jenis tanaman obat dan aromatik yang di koleksi di lapang tersebut terus dilestarikan dengan melakukan rejuvenasi setiap tahun bagi koleksi-koleksi
KP. Gn.Putri Jml record 5 3 5 3 4 17 16 3 5 20 7 7 3 170
268
Jenis spesies Sereh wangi Artemisia Kanola Ketumbar Kapolaga Adas Mentha Buah merah Spesies lain*
Jml record 3 3 4 6 3 3 3 43 47
129
semusim atau tumbuh setahun dan memutakhirkan data tentang keberadaan dan kondisi koleksi yang tumbuh di lapang dalam sistem database plasma nutfah Balittro (Tabel 2). Permasalahan dalam pengelolaan konservasi ex
situ
Plasma nutfah tanaman adalah sumber daya alam yang dapat dilestarikan (conservable) dan tak terhabiskan (renewable), tetapi sekali hilang maka plasma nutfah tidak dapat diketemukan kembali dan sekali mati tidak dapat dihidupkan kembali (non revivable). Beberapa faktor yang menyebabkan lemahnya sistem pengelolaan plasma nutfah secara nasional, menurut Sumarno (2007) adalah (1) Tidak tersedia informasi yang mudah diperoleh secara cepat tentang apa saja dan berapa kekayaan koleksi plasma nutfah nasional (informasi tersebar di banyak instansi) (2) Tidak jelas kepada siapa seseorang harus berhubungan dalam urusan
67
PERKEMBANGAN TEKNOLOGI TRO VOL. 21 No. 2, Desember 2009: 64-70
Gambar 1. Beberapa jenis koleksi plasma nutfah tanaman obat dan aromatic yang dikonservasi di lapang.
Figure 1. Some germplasm collection of medicinal and aromatic crops conserved in the field
plasma nutfah (pemasukan, pengeluaran, informasi, permintaan, dan penyerahan materi). (3) Kurang/tidak ada supervisi, pengawasan, dan evaluasi teknis terhadap pengelolaan plasma nutfah di setiap instansi. (4) Tidak terdapat program nasional yang terpadu dalam eksplorasi dan inventarisasi kekayaan plasma nutfah nasional. (5) Konservasi plasma nutfah sering diartikan dan dilaksanakan dalam bentuk kegiatan konservasi keanekaragaman hayati. (6) Plasma nutfah sering dijadikan proyek penting untuk mengajukan pendanaan, namun pelaksanannya tidak efektif dan tidak berkelanjutan. (7) Pemahaman pejabat, ilmuwan, dan masyarakat terhadap pengelolaan plasma nutfah spesies tanaman sering rancu. (8) Kekayaan koleksi plasma nutfah semakin menyusut, dengan pertanggungjawaban yang tidak jelas. (9) Dalam berhadapan dengan badan pengelola plasma nutfah internasional, (seperti IPBGR, IPGRI), tidak jelas siapa menjadi partner dan kontak point. (10) Sistem pengelolaan plasma nutfah tanaman di Indonesia termasuk yang paling terbelakang di dunia internasional. Indonesia sudah sejak lama menggunakan tanaman herbal obat sebagai obat alternatif, khususnya setelah terjadi krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Tanaman obat dipakai sebagai pengobatan alternatif/pilihan bagi ekonomi lemah. Tanaman obat ini sedang menjadi isu di negara-negara berkembang dan bagaimana memberikan perlindungan hukum terhadap tanaman obat. Maka negara-negara berkembang perlu untuk mempelajarinya (Yunus, 2000). Di dalam pemanfaatan tumbuhan obat dari alam, perlu pengaturan dalam penambangan dan membuat larangan pemungutan spesies tumbuhan obat yang terancam punah, serta perlu dilakukan pengontrolan terhadap perdagangan tumbuhan obat dan produkproduknya (Zuhud et al., 2001). Hal yang perlu diperhatikan dalam usaha pemanfaatan tumbuhan obat adalah kelestarian dari jenis
68
tumbuhan tersebut agar tidak punah. Upaya peningkatan budidaya, selain melestarikan sumber bahan OT (Obat Tradisional)/OAI (Obat Asli Indonesia), diharapkan dapat mengembangkan produksi tumbuhan obat dalam negeri, dan selanjutnya dapat diekspor sehingga memberikan nilai tambah dalam pertumbuhan ekonomi (Muharso, 2000). Menurut Sastrapradja (2000) bahwa kecenderungan baru untuk melestarikan keanekaragaman hayati pertanian secara lekat lahan memang belum dimulai di Indonesia. Untuk pelestarian tumbuhan obat, agaknya kecenderungan ini perlu dikaji manfaatnya. Berbicara mengenai pelestarian keanekaragaman hayati, usaha ini di negara–negara yang sedang berkembang seperti Indonesia memang menjumpai banyak tantangan. Tanpa mengkaitkannya dengan pembangunan nasional secara menyeluruh, pemerintah akan menganggap usaha pelestarian itu sebagai beban, bukan sebagai peluang. Permasalahan pelestarian Tumbuhan Obat Indonesia menurut Zuhud et al. (2001) disebabkan karena a) Kerusakan habitat, b) Punahnya budaya dan pengetahuan tradisional penduduk asli/lokal di dalam atau sekitar hutan, c) Pemanenan tumbuhan obat yang berlebihan. Adanya eksploitasi terhadap kayu yang sekaligus pohon tersebut yang juga merupakan spesies tumbuhan obat juga merupakan ancaman terhadap kelestarian tumbuhan obatnya. Sebagian besar areal konsesi HPH (areal eksploitasi kayu) yang sudah diusahakan saat ini terdapat di tipe hutan hujan dataran rendah, 44% spesies tumbuhan obat penyebarannya terdapat di formasi hutan ini dan di areal hutan konversi (areal hutan yang bisa diubah menjadi areal non-hutan seperti untuk perluasan lahan pertanian/perkebunan, areal transmigrasi dan areal industri dll). Ancaman kelestarian plasma nutfah tumbuhan obat hutan tropika saat ini menurut Zuhud et al. (2001) sangat serius karena formasi hutan tropika dataran rendah selama 2 dekade belakangan ini mengalami kerusakan yang sangat parah, akibat eksploitasi kayu, perambahan hutan, kebakaran hutan, konversi hutan, perladangan berpindah dan lain-lain. d) Ketidak seimbangan penawaran dan permintaan tumbuhan obat, e) Lambatnya pengembangan budidaya tumbuhan obat Indonesia, f) Rendahnya harga tumbuhan obat, g) Kurangnya kebijakan dan peraturan perundangan pelestarian, h) Kelembagaan pelestarian tumbuhan. Pengelolaan Plasma nutfah di kebun-kebun koleksi Balittro selama ini masih terus mengalami hambatan dan belum tertata dengan baik. Adanya pergantian pengelola kebun koleksi yang sering terjadi juga merupakan masalah internal yang menyebabkan terganggunya usaha pelestarian yang sudah dilakukan tahun-tahun sebelumnya. Juga masih adanya variasi di dalam menata dan
Cheppy Syukur: Teknologi konservasi ex situ plasma nutfah tanaman obat dan aromatik di lapang.
mengelola kebun koleksi di masing-masing kebun dengan idenya sendiri-sendiri. Disamping itu belum adanya koordinasi dari Badan Litbang Pertanian dalam sistem konservasi ex situ yang masih dilakukan berbeda-beda di setiap unit kerja. Tidak terdapat kebijakan Nasional yang jelas tentang pengelolaan plasma nutfah, dan tidak ada institusi yang bertanggung jawab atas menyusutnya jumlah koleksi plasma nutfah. Walaupun belum ada koordinasi dari pengambil kebijakan dalam pelaksanaan usaha konservasi ex situ di lapang, Balittro sudah mulai menata plasma nutfah TOA (Tanaman Obat dan Aromatik), baik untuk koleksi dasar maupun koleksi kerja. Pengelolaan operasional koleksi plasma nutfah TOA di kebun-kebun koleksi juga merupakan materi dasar bahan genetik yang dapat digunakan untuk mendukung program pemuliaan dalam merakit varietas unggul baru. Implikasi Kebijakan Menyadari potensi keanekaragaman hayati yang sangat strategis, pemerintah Indonesia berupaya mengembangkan berbagai kebijakan dan peraturan menyangkut pemanfaatan, perlindungan, dan pelestarian plasma nutfah. Pemanfaatan keanekaragaman hayati telah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan, papan, sandang, dan obat-obatan. Kecukupan pangan sangat tergantung pada tersedianya varietas unggul yang berproduksi tinggi dan tahan cekaman biotik, dan abiotik. Pada dasarnya varietas unggul itu adalah kumpulan dari keanekaragaman genetik spesifik yang diinginkan dan dapat diekspresikan. Keanekaragaman genetik spesifik tersebut ada pada plasma nutfah komoditas yang bersangkutan. Jadi plasma nutfah adalah keanekaragaman genetik di dalam jenis. Keanekaragaman genetik tersebut harus dipertahankan keberadaannya, bahkan harus diperluas agar supaya selalu tersedia bahan untuk pembentukan varietas unggul. Upaya mempertahankan keberadaan plasma nutfah adalah konservasi. Konservasi tersebut secara garis besar terdiri dari konservasi in situ dan konservasi ex situ. Kesediaan yang lestari dari plasma nutfah secara ex situ dilakukan antara lain dengan upaya rejuvenasi atau pembaharuan viabilitasnya. Sedangkan untuk memperluas keragaman dapat dilakukan dengan eksplorasi. Disamping itu, plasma nutfah yang sudah terkoleksi harus diberdayakan dengan cara dikarakterisasi (sifatsifat agronominya) dan dievaluasi (ketahanan cekaman biotik dan abiotik). Evaluasi bisa dilakukan secara morfologi/fenotipe atau secara molekular agar supaya dapat dimanfaatkan secara tepat. Untuk mempermudah mendapatkan informasi dari koleksi plasma nutfah yang kita koleksi maka perlu
dilakukan dokumentasi yang memadai, sebaiknya dilakukan secara komputerisasi sehingga membentuk suatu database yang dapat diakses secara mudah oleh para peneliti atau yang memerlukannya. KESIMPULAN Permasalahan yang terjadi pada sistem pelestarian plasma nutfah nasional tidak mempengaruhi usaha pelestarian tanaman obat dan aromatik di Balittro. Usaha konservasi ex situ yang berkesinambungan telah dilakukan Balittro melalui penataan yang benar, dimulai dengan koleksi dasar dan koleksi kerja di kebun koleksi lingkup Balittro (Cimanggu, Cicurug, Gn. Putri, dan Manoko). Sistem pembaruan koleksi dilapang dan pencocokan antara data yang diinventarisasi dengan koleksi di lapang dilakukan terus sebelum data dientry ke dalam sistem dokumentasi. Pemanfaatan koleksi yang terus dilestarikan dapat ditindak lanjuti menjadi varietas unggul. DAFTAR PUSTAKA
Bermawie, N. and U. Sutisna. 1999. Conservation and Productivity Improvement of Medicinal Plants in Indonesia. The second Meeting of The Asean Experts Group on Herbal and Medicinal Plants. Cisarua, Bogor, 13-15 July 1999. (tidak dipublikasikan) Conventioin on Biological Diversity/CBD. 1992. From Rio to Rome, Food for Action. Published by Dutch NGO Working Group. U.N. Convention and the World Food Summit, Switzerland 1994. Fagi, A.M. dan R.E. Soenarjo. 1996. Identifikasi status sistem konservasi plasma nutfah yang sudah ada berkaitan dengan pemanfaatan di bidang pangan. Sarasehan Penyusunan Sistem Konservasi dan Pemanfaatan Plasma nutfah Tanaman Pangan. Bandung 22 Oktober 1996: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. (tidak dipublikasikan) Ford-Llyod, B. and M. Jackson. 1986. Plant Genetic Resources; an Introduction to their conservation and use. Edward Arnold, London. Harlan, J.R. 1966. Plant Introduction and Biosystematics. p. 55−83. In: K.J. Frey (ed.) Plant Breeding. The Iowa State University Press. Ames, Iowa, USA. Junus, E. 2000. HaKI dalam Tanaman Obat. Makalah seminar Tumbuhan Obat di Indonesia, Kerjasama Indonesian Resource Centre for Indigenous Knowledge (INRIK), Universitas Padjadjaran dan
69
PERKEMBANGAN TEKNOLOGI TRO VOL. 21 No. 2, Desember 2009: 64-70
Yayasan Ciungwanara dengan Yayasan KEHATI. 2627 April 2000. (tidak dipublikasikan) Komisi Nasional Plasma Nutfah. 2002. Pedoman Pengelolaan Plasma Nutfah. Deptan. Badan Litbang Pertanian. 42 halaman. Muharso, 2000. Kebijakan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Indonesia. Makalah seminar “Tumbuhan Obat di Indonesia”, Kerjasama Indonesian Resource Centre for Indigenous Knowledge (INRIK), Universitas Padjadjaran dan Yayasan Ciungwanara dengan
Yayasan KEHATI. 26-27 April 2000. (tidak dipublikasikan) Rana, R.S. 1993. Indian National Plant Genetic Resources System. p. 1−18. In: R.S. Rana, R.K. Saxena, S. Saxena, V. Menuju Sistem Pengelolaan Plasma Nutfah Tanaman Nasional Secara Adil dan Bermanfaat 81 Mitter (Eds.): Conservation and Management of Plant Genetic Resources. NBPGR, Indian Council of Agric. Research, New Delhi, India. Sastrapraja, S.D. dan M.A. Rifai. 1989. Mengenal sumber pangan nabati dan plasma nutfahnya. Komisi Pelestarian Plasma Nutfah Nasional – Puslitbang, Bioteknologi – LIPI, Bogor.
70
Sastrapradja, S. D. 2000. Pengelolaan Sumber Hayati Indonesia. Kasus Khusus Tumbuhan Obat. Makalah seminar “Tumbuhan Obat di Indonesia”, Kerjasama Indonesian Resource Centre for Indigenous Knowledge (INRIK), Universitas Pajajaran dan yayasan Ciungwanara dengan Yayasan KEHATI. 2627 April 2000. (tidak dipublikasikan). Sumarno. 2007. Menuju Sistem Pengelolaan Plasma Nutfah Tanaman Nasional Secara Adil dan Bermanfaat. Zuriat, Vol. 18, No. 1, Januari-Juni 2007. 81.hal. Vavilov, N.I. 1951. The Origin, Variation, Immunity and Breeding of Cultivated Plants. (Transl. By. K. Starr Chester, Chronica Bot. 13 (1/6). 364 pp. Zuhud, E. A.M, S. Azis, M. Ghulamahdi, N. Andarwulan, dan L.K. Darusman. 2001. Dukungan teknologi pengembangan obat asli Indonesia dari segi budidaya, pelestarian dan pasca panen. Lokakarya Pengembangan Agribisnis berbasis Biofarmaka. Pemanfaatan dan Pelestarian Sumber Hayati mendukung Agribisnis Tanaman Obat. (tidak dipublikasikan)