TATA NIAGA, KELIMPAHAN DAN KARAKTERISTIK HABITAT ULAR JALI Ptyas mucosus (Linnaeus 1758) DI JAWA TENGAH
MUHAMMAD YUSUF SABARNO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Tata Niaga, Kelimpahan, dan Karakteristik Habitat Ular Jali Ptyas mucosus (Linnaeus 1758) Di Jawa Tengah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor,
September 2012
Muhammad Yusuf Sabarno NIM. E353100155
ABSTRACT MUHAMMAD YUSUF SABARNO. Trading System, Abundance and Habitat Characteristic of Oriental Rat-snake Ptyas mucosus (Linnaeus 1758) in Central Java. Under supervised by YANTO SANTOSA and NANDANG PRIHADI. The research of oriental rat-snake’s (Ptyas mucosus Linn 1758) abundance and its habitat is still rare. Oriental rat-snake is classified as a commerce species and is listed on Appendix II of CITES. This study was aimed at measuring the abundance and morphometric characteristic of oriental rat-snake in Central Java. In the present study, harvesting abundance was obtained from 7 major collectors, 3 medium collectors, 4 small collectors and 4 hunters/professional catcher. Information was also obtained by interviewing the managers of both of BKSDA and LIPI. The morphometric data collected from 159 living and 131 dead specimens from major collectors. Harvesting abundance derived from the average of rat-snakes that was received by major collectors. Descriptive analysis was used to process data morphometric. The multiple linier regressions were performed to determine the relationship between body mass and body size variables. In the trading system, there were traders, trade’s chain and price factors that influance its. The harvesting abundance of oriental rat-snake in Central Java were estimated annually a 132 000. Its abundance was mainly influenced by natural factor, especially paddy's crops cycles. Based on the descriptive analysis of morphometric data obtained, males had longer SVL and greater body masses than females of the same body length. Average of male’s snout-vent length was 142,67 (SD=14,09) and body mass is 0,95 kg, while for female’s SVL was 140,45(SD=12,99) and body mass is 0,93 kg. The analysis showed insignificant differences in body size between the sexes and in each collector’s level. At present, abundance of oriental rat-snake can support commercial harvesting. Habitat characteristic of oriental rat-snake’s nest were consisted of nine variables, i.e. hole and soil moisture, hole and soil temperature, soil pH, location altitude, distance from water and settlement, and slope. However, further studies are needed to assess sustainable levels of harvesting. Keywords: oriental rat-snake, trading system, relative abundance, morphometric, habitat charakteristic
RINGKASAN MUHAMMAD YUSUF SABARNO. Tata Niaga, Kelimpahan Dan Karakteristik Habitat Ular Jali Ptyas mucosus (Linnaeus 1758) Di Jawa Tengah. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA dan NANDANG PRIHADI.
Pemanfaatan ular jali di Indonesia telah berlangsung sejak tahun 1980-an, dan meruruhipakan komoditas ekspor yang membawa manfaat bagi masyarakat serta devisa negara. Perdagangan ular jali, dalam perkembangannya pernah diberlakukan larangan ekspor ular jali pada tahun 1993-2005. Pemberlakuan kuota tangkap dan edar oleh PHKA dengan rekomendasi LIPI untuk ular jali, diharapkan dapat menjadi kontrol pemanenan di alam sehingga populasinya tetap lestari. Dalam rangka mendukung pengelolaan ular jali yang lestari, diperlukan monitoring berkelanjutan terhadap populasi, sebaran dan pemanfaatannya. Guna memperoleh data-data tersebut maka diperlukan studi tentang aspek tata niaga, kelimpahan panenan dan karakteristik habitat ular jali di wilayah Jawa Tengah. Penelitian yang dilaksanakan pada Bulan April hingga Mei 2012 tersebut bertujuan untuk (1) mengidentifikasi beberapa faktor yang mempengaruhi tata niaga ular jali, (2) menduga kelimpahan relatif dari populasi ular jali, (3) mengukur karakteristik morfometri dan (4) mengidentifikasi karakteristik habitat ular jali di Jawa Tengah. Data diperoleh dari 2 eksportir, 6 pengumpul besar, 3 pengumpul sedang, 4 pengumpul kecil dan 4 pemburu/penangkap profesional. Informasi juga diperoleh dengan wawancara kepada para pengelola baik dari BKSDA maupun LIPI. Dalam tata niaga ular jali di Jawa Tengah, terdapat para pelaku yang berperan, yaitu eksportir, pengumpul besar, pengumpul antara (skala kecil dan sedang) dan pemburu/penangkap. Para pelaku tersebut saling berhubungan dan membentuk rantai tata niaga, akan tetapi tidak selalu sesuai hirarki. Nilai ekonomis dari ular jali cukup tinggi dibandingkan jenis ular lain per satuan ekornya, akan tetapi harga ular jali di pasar dipengaruhi kelas ukuran, yaitu 0.6 kg, 0.7 kg, 0.8 kg dan > 1 kg. Oleh karena itu para pemburu berusaha mendapatkan kelas ukuran terbesar dengan harapan mendapatkan nilai ekonomis yang tertinggi. Hasil penelitian ini diperoleh data sex ratio hasil ular jali tertangkap yaitu 1:1.12. Hal ini menunjukkan jumlah ular jali betina lebih banyak tetangkap. Diperlukan monitoring berkelanjutan agar hasil panenan tidak mengganggu tingkat reproduksi/perkembangbiakan ular jali di alam. Ukuran populasi dapat dilakukan dengan pendekatan kelimpahan relatif panenan. Rata-rata kelimpahan relatif panenan ular jali di tingkat pengumpul sebesar 132 186 ekor/tahun, berdasarkan luas pencarian adalah 1 ekor per 24.7197 ha dan berdasarkan waktu pencarian adalah 1 ekor per hari per orang (efektif 3.5–4 jam per hari). Faktor yang paling berpengaruh adalah faktor alam, yaitu adanya siklus tanam padi, yang mendorong para pemburu mencari ular disaat tidak ada pekerjaan di sawah (panen, olah lahan dan tanam padi). Salah satu aspek dalam bio-ekologi pelestarian ular jali yaitu dengan mengetahui karakteristik morfometri yang digunakan untuk mengetahui kecenderungan kelas ukuran ular yang dipanen. Hasil analisa dari 159 sampel
ular jali yang ditangkap, diperoleh bahwa ukuran morfometri di tingkat pemburu dan semua pengumpul sama, karena faktor kelas ukuran (berat) yang menentukan tingkat harga (nilai ekonomis) dari ular jali. Sebagai contoh, kelas ukuran > 1kg adalah kelas ukuran yang paling tinggi dengan harga sekitar Rp. 60 000.00 per ekor. Dengan menggunakan analisis regresi berganda, data morfometri tersebut dapat dilakukan pendugaan berat ular. Hasil analisa diperoleh persamaan Y = 1.462 + 0.017 SVL. Persamaan ini dapat memudahkan dalam monitoring maupun dalam kegiatan panenan. Hasil identifikasi terhadap karakteristik habitat ular jali meliputi beberapa peubah, yaitu: kelembaban lubang sarang dan kelembaban tanah diatas 80%; suhu lubang sarang dan suhu tanah berkisar 30-33 °C, pH tanah pada kondisi agak masam-netral, ketinggian tempat kurang dari 333 m dpl, jarak dari sumber air kurang dari 15 m, dan kelerengan lokasi pada kelas 3 (agak curam). Hanya peubah jarak dari pemukiman yang dipilih ular jali secara merata pada selang kelas yang ada yaitu tersebar pada kisaran 50-300 m. Kesimpulan dari hasil studi ini diantara lainnya yaitu diperoleh mekanisme tata niaga ular jali melibatkan eksportir, pengumpul besar, pengumpul antara (kecil-besar) dan pemburu, sehingga membentuk rantai tata niaga diantara para pelaku tersebut. Kelimpahan relatif panenan ular jali di Jawa Tengah berdasarkan jumlah ular jali yang ditangkap dan terkumpul di pengumpul besar, luasan pencarian (quadrat searches) dan lama waktu pencarian (time searches). Terkait dengan kondisi karakteristik habitat ular jali, menunjukkan bahwa lubang sarang ular jali mempunyai spesifikasi tertentu sehingga dipilih sebagai habitatnya. Kata kunci : ular jali, tata niaga, kelimpahan, morfometri, karakteristik habitat, Jawa tengah
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
TATA NIAGA, KELIMPAHAN DAN KARAKTERISTIK HABITAT ULAR JALI Ptyas mucosus (Linnaeus 1758) DI JAWA TENGAH
MUHAMMAD YUSUF SABARNO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Mayor Konservasi Keanekaragaman Hayati
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luas Komisi pada Ujian Thesis: Dr. Ir. Harnios Arief, Msc.
LEMBAR PERSEMBAHAN
Almamater ku tercinta Kampus Institut Pertanian Bogor
Orangtua ku terhormat Bapak H. MD Budhyrahardjo (Alm) Ibu Hj. Saminten (Alm) Bapak H. Widodo (Alm) Ibu Hj. Sri Rahayu
Istriku terkasih Hj. Hesti Noviasari
Anak ku tersayang Ahmad Salman Mubarak
PRAKATA Puji syukur Alhamdulillah kehadirat ALLAH SWT atas segala nikmat dan karunia-NYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tugas Akhir ini disusun berdasarkan hasil penelitian sejak April 2012 sampai dengan Mei 2012. Terima kasih disampaikan kepada Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA. dan Dr. Nandang Prihadi, S.Hut, M.Sc. selaku komisi pembimbing atas pencerahan, bimbingan, arahan, koreksi, masukan, dan saran yang sangat membangun selama penyusunan tugas akhir ini. Terima kasih disampaikan kepada Dr. Ir. Harnios Arief, M.Sc. yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi dan memberi sentuhan akhir untuk menyempurnakan tugas akhir ini. Terima kasih disampaikan kepada Bapak George Saputra (IRATA) yang telah mendukung pelaksanaan penelitian ini, Bapak Cristanto, M.Sc.For. selaku Ka.Balai KSDA Jawa Tengah, bapak-bapak Pemburu/penangkap ular, para Pengumpul dan Eksportir Reptil di wilayah Jawa Tengah serta mas Ragil (staf BPK Solo) atas petanya. Terima kasih disampaikan kepada Parjoni, S.Hut, Septi E.W., S.Hut.di tim ular dan tim labi-labi, beserta seluruh kawan Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati karyasiswa Ditjen PHKA – Dephut tahun 2012 lainnya untuk beragam dialog dan beraneka diskusi yang memberi banyak inspirasi kepada penulis untuk mengatasi rintangan dan hambatan dalam penyelesaian tugas akhir ini. Secara istimewa terima kasih disampaikan kepada istiku tercinta Hesti Noviasari, S.E. dan anakku tersayang Ahmad Salman Mubarak serta mami Hj. Sri Rahayu dan seluruh keluarga besar di Boyolali dan di Solo yang senantiasa memberikan dukungan, doa, dan limpahan cintanya sehingga menguatkan penulis melewati setiap perjuangan untuk menuntaskan tugas akhir ini. Disampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut membantu dalam segala hal sehingga pada akhirnya tesis ini dapat sampai di tangan setiap pembaca sekalian. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor,
September 2012
Muhammad Yusuf Sabarno
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 20 Juli 1976 di Surakarta, Jawa Tengah, merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara pasangan bapak H. M.D. Budhyrahardjo dan ibu Hj. Saminten. Pada tahun 1988 penulis menamatkan pendidikan sekolah dasar di SDN 49 Premulung, tahun 1991 menamatkan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 2 Surakarta, dan tahun 1994 menamatkan pendidikan menengah atas di SMA Batik Surakarta. Pada tahun 1994 melalui jalur PMDK, penulis diterima sebagai mahasiswa S-1 Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dan menyelesaikan studi dan lulus pada tahun 1999. Sejak bulan September 2000 sampai tahun 2010, sebelum mendapat tugas belajar karya siswa sekarang ini, penulis bertugas sebagai Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan di Balai Taman Nasional Baluran, Jawa Timut. Pada bulan Oktober 2010 penulis mendapat beasiswa S-2 dan ditugaskan sebagai karyasiswa Kementerian Kehutanan pada Program Mayor Konservasi Keanekaragaman Hayati, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada program tersebut, penulis melakukan penelitian dengan judul “Tata Niaga, Kelimpahan Dan Karakteristik Habitat Ular Jali Ptyas mucosus (Linnaeus 1758) Di Jawa Tengah” di bawah bimbingan Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Nandang Prihadi, S.Hut., M.Sc. selaku Anggota Komisi Pembimbing.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiv I.
PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang ................................................................................... 1.2 Tujuan Penelitian ............................................................................... 1.3 Manfaat Penelitian ............................................................................. 1.4 Perumusan Masalah ............................................................................
1 2 3 3
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tata Niaga Ular Jali ............................................................................. 2.2 Aspek Kelestarian Pemanfaatan Satwaliar .......................................... 2.3 Bio-ekologi Ular Jali ............................................................................ 2.4 Karakteristik Habitat ............................................................................
5 6 10 16
III. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 3.1 Kondisi Umum .................................................................................... 3.2 Kondisi Biofisik ................................................................................... 3.3 Kondisi Sosial Budaya .. ..................................................................... 3.4 Kondisi Spesifik Kabupaten Lokasi Penelitian .. ...............................
20 21 22 23
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu ............................................................................... 4.2 Alat dan Bahan .................................................................................... 4.3 Kerangka Pemikiran ........................................................................... 4.4 Jenis Data yang Dikumpulkan ............................................................ 4.5 Metode Pengumpulan Data ................................................................. 4.5.1 Pola Tata Niaga ......................................................................... 4.5.2 Data Kelimpahan Relatif ........................................................... 4.5.3 Data Morfometri ........................................................................ 4.5.4 Karakteristik Habitat ................................................................. 4.6 Analisa Data ........................................................................................ 4.6.1 Pola Tata Niaga ......................................................................... 4.6.2 Morfometri ................................................................................ 4.6.3 Analisa Kelimpahan .................................................................. 4.6.4 Karakteristik Habitat .................................................................
27 27 27 28 28 29 29 30 30 32 32 33 34 35
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Tata Niaga Ular Jali .............................................................................. 5.1.1 Pelaku Peredaran/Tata Niaga ..................................................... x
37 37
5.1.2 Rantai Tata Niaga ...................................................................... 5.1.3 Harga Ular Jali ......................................................................... 5.1.4 Wilayah Pencarian Ular Jali ...................................................... 5.2. Parameter Demografi .......................................................................... 5.2.1 Sex Ratio .................................................................................... 5.2.2 Kelimpahan Ular Jali ................................................................. 5.3. Morfometri Ular Jali ........................................................................... 5.3.1 Kelas Ukuran Panenan ............................................................... 5.3.2 Pendugaan Berat Berdasar SVL ................................................ 5.4. Karakteristik Habitat Ular Jali ............................................................ 5.4.1 Peubah-Peubah Karakteristik Habitat .........................................
41 46 47 49 50 51 59 63 65 66 66
VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan ... ......................................................................................... 6.2 Saran .... ..............................................................................................
80 81
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... .............. LAMPIRAN ..................................................................................................
78 83
xi
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Luas wilayah di beberapa kabupaten lokasi penelitian ................................. 23
2
Metode pengukuran dan analisa data ............................................................ 32
3
Pembagian kuota tangkap dan edar ular jali di Jawa Tengah ....................... 43
4
Harga ular jali di tingkat pengumpul besar dan sedang ................................ 46
5
Daftar pengumpul dan lokasi tangkap ular jali di Jawa Tengah .................... 48
6
Estimasi kelimpahan panenan ular jali per tahun di Jawa Tengah ............... 53
7
Hasil analisis deskriptif morfometri ular jali (gabungan) ............................. 60
8
Hasil analisis deskriptif morfometri ular jali (tiap jenis kelamin) ............... 60
9
Ukuran ular jali berdasarkan jenis kelamin periode tahun 1996-2012 ........ 62
10 Kelas kelerengan lahan (SK MenTan No. 837/Kpts/Um/11/1980) ............. 77
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Peta Provinsi di Jawa Tengah ......................................................................... 20 2 Diagram rantai perdagangan/peredaran ular jali di Jawa Tengah ................... 42 3 Telur dan bakal telur (folikel) di indivudi ular jali betina ............................... 51 4 Tanda-tanda keberadaan dan kondisi habitat (sawah) ular jali. ...................... 57 5 Perbandingan rata-rata ukuran ular jali ........................................................... 61 6 Persentase penerimaan ular jali berdasarkan kelas ukuran ............................. 63 7 Perbandingan persentase penerimaan ular jali ................................................ 64 8 Frekuensi sarang terhadap kelembaban lubang............................................... 68 9 Frekuensi sarang terhadap kelembaban tanah ................................................ 69 10 Frekuensi sarang terhadap suhu lubang ........................................................ 70 11 Frekuensi sarang terhadap suhu tanah ............................................................ 71 12 Frekuensi sarang terhadap pH tanah .............................................................. 72 13 Frekuensi sarang terhadap ketinggian tempat ................................................ 74 14 Frekuensi sarang terhadap jarak dari sumber air ............................................ 75 15 Lokasi lubang sarang dengan sumber air ........................................................ 75 16 Frekuensi sarang terhadap jarak dari permukiman ........................................ 76 17 Frekuensi sarang terhadap kelas kelerengan lokasi ...................................... 78
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Daftar pengumpul dan lokasi pencarian ular jali .......................................... 88
2
Rekapitulasi morfometri ular jali .................................................................. 89
3
Rekapitulasi penerimaan ular jali di pengumpul ........................................... 94
4
Hasil analisis T-test ....................................................................................... 97
5
Hasil analisis Kruskal Wallis ......................................................................... 99
6
Hasil analisis Regresi Linier Berganda ........................................................ 100
7
Hasil analisis korelasi Pearson .................................................................... 104
8
Hasil analisis Chi-square karakteristik habitat ........................................... 105
xiv
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Diantara kekayaan jenis reptil yang ada, Indonesia mempunyai sekitar 400 jenis dan anak jenis ular, dari sekitar 5000 jenis ular yang ada di seluruh dunia (Supriatna 1995), salah satunya yaitu ular jali (Ptyas mucosus). Ular jali masuk daftar satwaliar yang diperdagangkan sejak tahun 1980-an dan pada tahun 1990 masuk daftar CITES (Auliya 2010). Menurut KKH (2010), ular jali termasuk salah satu dari 49 jenis reptilia yang masuk dalam daftar Appendix II CITES. Menurut Kartikasari (2008) di Jawa Tengah dan Situngkir (2009) bahwa sebagian besar reptil yang dimanfaatkan diperoleh dari hasil tangkapan di alam sehingga berpengaruh terhadap tingkat panenannya Kegiatan ini tentunya membawa dampak terhadap kelestarian reptil di alam, apabila tidak ada monitoring dan upaya pengendalian. Eksploitasi yang terjadi terus-menerus tanpa menerapkan prinsip kelestarian akan mengancam populasi reptil di alam. Pada tahun 1993 Komite Satwaliar CITES mencatat adanya penurunan penentuan kuota perdagangan internasional untuk ular jali di Indonesia, akan tetapi volume ekspornya melampaui yang telah ditetapkan, sehingga Indonesia mendapat larangan ekspor dalam perdagangan internasional jenis ular tersebut (Auliya 2010). Larangan tersebut dicabut pada tahun 2005 dengan jaminan akan dilaksanakannya mekanisme perdagangan dengan prinsip Non-detriment finding (NDF). Menurut Shine (1998); Melisch (1998) dan Lee et al.(2011), dalam rangka melestarikan dan mengembalikan kondisi kelimpahan jenis-jenis reptil yang ada di alam, harus diketahui ekologi dasar dari jenis ular tersebut, termasuk di dalamnya informasi tentang distribusi, penggunaan habitat, fisik lingkungan, pola pergerakan dan ukuran populasi (Dodd Jr 1993). Hingga saat ini, walaupun ular jali masih banyak ditemukan di alam, sangat riskan apabila informasi tersebut diatas diabaikan sehingga akan mempengaruhi kelestarian panenan (Shine 1998). Pemanfaatan satwaliar di Indonesia, hingga saat ini masih didasarkan atas perhitungan-perhitungan ekonomi dan kurang memperhatikan kepentingan-
2
kepentingan ekologi dan lingkungan (KKH 2010a). Selain itu, penilaian terhadap sumberdaya yang diperoleh dari alam tersebut masih sangat rendah, sehingga mendorong masyarakat untuk memanfaatkan secara tidak terkendali tanpa memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian. Salah satu upaya pengendalian pemanfaatan satwa liar yaitu dengan penetapan kuota pemanenan di alam dan ekspor satwaliar. Hal tersebut menjadi pengontrol agar hasil yang diambil dari alam tidak melampaui daya reproduksinya (Semiadi & Sidik 2011). Menurut KKH (2010b) penentuan kuota didasarkan pada: (1) monitoring kondisi populasi dan habitat reptil, (2) informasi teknis dan ilmiah, (3) kuota tangkap aktual reptil dari tahun sebelumnya dan (4) pengetahuan tradisional. Namun demikian, hingga saat ini data dan informasi yang representatif untuk penentuan kuota tersebut, terutama ukuran populasi dan kondisi habitat masih minim (Iskandar & Erdelen 2006; Auliya 2010). Pertimbangan penentuan kuota juga seharusnya berpegang kepada prinsip kehati-hatian (precautionary principle) (KKH 2010a). Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, dalam
pemanfaatan ular jali di
Indonesia sebagai salah satu jenis satwa yang mempunyai nilai perdagangan yang cukup tinggi diharapkan tetap bepegang kepada prinsip-prinsip pemanfaatan lestari. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi tata niaga dan beberapa aspek bio-ekologi (kelimpahan, ciri morfometri dan karakteristik habitat) ular jali. 1.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian tentang tata niaga, kelimpahan dan karakteristik habitat ular jali (Ptyas mucosus Linn 1758) di Jawa Tengah ini adalah untuk : 1.
Mengidentifikasi dan menganalisis beberapa faktor yang mempengaruhi tata niaga ular jali di Jawa Tengah
2.
Menduga kelimpahan relatif dari populasi ular jali di Jawa Tengah
3.
Menganalisis karakteristik morfometri ular jali di Jawa Tengah
4.
Mengidentifikasi karakteristik habitat ular jali di Jawa Tengah.
3
1.3. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa: 1. Informasi tentang tata niaga, beserta mekanisme jalur niaga, para pelaku dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 2. Kelimpahan relatif yang didasarkan atas panenan di tingkat pengumpul besar, luas dan waktu pencarian di habitat ular jali. 3. Informasi berupa karakteristik habitat ular jali di wilayah Provinsi Jawa Tengah. 4. Informasi yang dapat digunakan sebagai salah satu dasar ilmiah dalam menduga kelas ukuran optimal panenan, menduga ukuran berat dengan model yang berdasarkan data morfometrik penentu. 5. Pertimbangan dalam upaya pengelolaan populasi dan habitat ular jali di habitat alaminya. 1.4. Perumusan Masalah Beberapa tantangan dalam pengelolaan ular jali sebagai satwa yang diperdagangkan yaitu perlunya data dan informasi yang memadai sebagai bahan monitoring dan evaluasi dalam pemanfaatannya. Menurut Iskandar dan Erdelen (2006), salah satu permasalahan utama dalam konsevasi reptil di Indonesia yaitu masih sedikitnya data dan informasi tentang kondisi habitat dan ukuran populasi masing-masing jenis, termasuk jenis-jenis ular yang hingga saat ini telah dimanfaatkan dan diperdagangkan. Data dan informasi tersebut meliputi aspek tata niaga, bio-ekologi (morfometri) dan karakteristik habitat dari ular jali. Informasi lain yang sangat penting dalam pengelolaan satwaliar adalah parameter populasi. Menurut Bailey (1984); Santosa (1993) dan Santosa (2008), harus diperoleh informasi parameter demografi dalam mempelajari perkembangan populasi satwaliar. Pengetahuan tentang perkembangan populasi akan sangat bermanfaat dalam penentuan kelestarian panenan satwaliar yang ada di alam. Secara teori, pemanenan satwaliar dilakukan pada saat maximum sustainable yield (MSY), yaitu suatu kondisi dimana panenan terbesar dapat dilakukan dari suatu populasi tanpa mengakibatkan kepunahan (Rosser & Haywood 2002). Penentuan nilai MSY untuk satwaliar di alam sangat sulit dilakukan, karena kesulitan
4
menentukan jumlah populasi sesungguhnya serta atribut-atribut lain (tingkat natalitas, mortalitas, fekunditas dll) yang berhubungan dengan populasi tersebut. Pada kenyataannya, ukuran populasi satwa liar di alam seringkali tidak dapat diketahui selama pemanenan berlangsung, sehingga nilai MSY jarang dapat dihitung. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan melihat tingkat kelimpahan relatif berdasarkan panenan/tangkapan tahunan (annual yield) dari alam. Nilai kelimpahan tersebut diharapkan dibawah dari nilai MSY dengan syarat populasi dapat dimonitoring secara terus menerus melalui indikasi dari kelimpahan panenan yang tidak mengalami penurunan (Rosser & Haywood 2002). Menurut Seber (1982), pemanenan adalah salah satu komponen dari tingkat kematian (mortalitas), disamping kematian yang disebabkan oleh sebab alami (tua), penyakit dan predator. Oleh karena itu, tingkat pemanenan dapat dijadikan ukuran untuk menduga tingkat kematian ular jali di alam yang diharapkan tidak melebihi tingkat kelahiran (natalitas), sehingga kelangsungan populasi di alam tetap lestari. Berdasarkan hal tersebut diatas, khususnya untuk ular jali, diperlukan upaya penggalian data dan informasi secara berkelanjutan untuk menjamin pemanfaatan berupa panenan di alam tetap lestari. Beberapa kajian dalam penelitian ini diharapkan dapat menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tata niaga ular jali.
2.
Bagaimana kondisi populasi (kelimpahan) ular jali di Jawa Tengah?
3.
Bagaimana karakteristik biologi (morfometri) hasil panenan saat ini?
4.
Apakah kondisi habitat di alam masih mendukung kelestarian ular jali? Untuk itu, dilakukan penelitian terhadap berbagai aspek yang dimungkinkan
berpengaruh terhadap tata niaga, jumlah panenan di beberapa tingkat pengumpul hingga pemburu/penangkap di beberapa lokasi kabupaten di wilayah Jawa Tengah serta dilakukan pengukuran karakteristik morfometri dan habitat ular jali tersebut. Pengamatan ini menggunakan pendekatan wawancara serta pengamatan langsung ke lapangan dengan harapan diperoleh data dan informasi yang cukup mewakili untuk dianalisa dan menjadi sebuah karya ilmiah yang bermanfaat bagi berbagai pihak.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tata Niaga Ular Jali Tata niaga atau sistem perdagangan reptil di Indonesia sudah sejak lama memegang peranan penting, Arifin (1998) menyatakan bahwa industri kulit, termasuk dari reptil, merupakan salah satu sektor terpenting dalam perekonomian Indonesia. Sektor tata niaga reptil menyangkut jutaan spesimen per tahun, juga merupakan sumber makanan dan nafkah untuk orang banyak, terutama masyarakat pedesaan (Webb & Vardon 1998). Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2002), perdagangan satwaliar dan bagian-bagiannya merupakan bisnis yang besar dengan nilai jutaan dolar setiap tahun dan terutama untuk reptil, dalam bentuk daging, kulit dan kegunaan lainnya telah berlangsung berabad-abad menjadi sumber ekonomi penting dan memperoleh harga tunai yang layak. Komponen utama dalam tata niaga reptil di Indonesia adalah perdagangan kulit dan pet (Yuwono 1998). Spesies yang ditangkap untuk perdagangan kulit lebih sedikit daripada untuk pet. Namun jumlah kuota untuk tiap spesies jauh lebih banyak daripada untuk pet. Mardiastuti dan Soehartono (2003) mengatakan bahwa beberapa tahun terakhir ini, kulit reptil mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan membanjiri pasar internasional, termasuk diantaranya dari Indonesia. Mulai tahun 1980-an, tujuh jenis reptil Indonesia mulai dimanfaatkan untuk skala besar perdagangan dunia Siregar (2011) menyampaikan bahwa saluran umum tata niaga kulit ular melibatkan empat pihak, yaitu penangkap ular, pengumpul kecil, pengumpul besar dan eksportir. Pengumpul dibedakan lagi menjadi pengumpul kecil dan pengumpul besar dikarenakan peran mereka dalam skala dan sistem pengumpulan yang berbeda. Berdasarkan pengamatan Auliya (2010), dari satu pengumpul reptil dapat mempunyai 20 pemburu/penangkap. Menurut Widagti (2007), pada perdagangan kura-kura di Kota Bangun-Kalimantan Timur, mempunyai struktur yang melibatkan 4 tingkatan, yaitu penangkap (trapper), pengumpul (collector), penampung (middleman) dan eksportir (exporter). Semiadi dan Sidik (2011) menyampaikan hasil pengamatan para pelaku pasar ular di Sumatera Utara terdiri
6
dari penangkap, pengumpul daerah, agen, sub-agen dan pengasong baik tetap maupun tidak tetap. Secara peran para pelaku dalan rantai tata niaga reptil di Indonesia hampir sama, hanya saja berbeda dalam pendefinisian. Para pelaku dalam perdagangan reptil, biasanya membentuk jaringan kerjasama, seperti yang disampaikan oleh Prasetyo et al. (2008), terutama di tingkat pengumpul apabila salah satu pengumpul tidak dapat memenuhi permintaan pasar, maka pengepul tersebut akan menawarkan kepada pengepul lain yang mampu memenuhi permintaan tersebut. Bagi pengumpul besar yang mendapat ijin edar dan ijin ekspor dari kantor BKSDA akan mendapat alokasi dari kuota tangkap yang diperoleh dari PHKA, sehingga mereka dengan jaringan pengumpul kecil (middle man) dan penangkap dapat mengumpulkan ular jali sesuai alokasi kuota yang dimiliki. Tata niaga reptil di Indonesia mempunyai rantai tata niaga yang secara umum berlangsung yaitu penangkap menjual satwa atau kulitnya ke kolektor (pengumpul) yang juga dikenal dengan penyalur (dealer), dan penyalur kembali menjual spesimen kepada pengrajin kulit (tanneries) atau kepada eksportir yang terdaftar. Namun terdapat juga keadaan dimana penangkap bertransaksi secara langsung dengan pengrajin atau eksportir (Soehartono & Mardiastuti 2002). Auliya (2010) juga menyatakan bahwa beberapa pengumpul besar menyembelih ular sendiri, sedangkan ular yang lainnya disetor ke pengumpul besar lainnya. Para pengumpul besar melakukan penyembelihan sendiri sejak mengetahui keuntungan yang dapat diperoleh dari hasil sampingan dagingnya. Terkait dengan harga, menurut Siregar (2011), para pengumpul besar maupun eksportir selalu memonitor perkembangan pasar dunia. Harga yang berlaku diinformasikan kepada para pengumpul kecil. Kisaran harga yang terdapat di masing-masing tingkatan pengumpul biasanya bervariasi hampir sama. 2.2. Aspek Kelestarian Pemanfaatan Satwaliar Salah satu aspek yang memegang peranan penting dalam menjamin kelestarian satwa liar yang dimanfaatkan secara komersil adalah aspek perdagangan, baik di dalam negeri atau internasional. Menurut Amir et al. (1998), satwaliar komersil harus dilakukan secara pemanfaatan lestari, sebagai cara
7
konservasi yang ideal. Perdagangan satwaliar seringkali dianggap membawa dampak yang negatif terhadap spesies dan habitatnya, akan tetapi apabila dikelola secara secara berkelanjutan, keuntungan dari perdagangan satwaliar tersebut dapat memberikan insentif yang positif untuk konservasi biodiversitas (Siregar 2012). Peningkatan populasi manusia membawa konsekuensi adanya kerusakan habitat berbagai satwaliar, sehingga meningkatkan derajat keterancaman dari jenis-jenis satwaliar tertentu (Amir et al. 1998). Ketergantungan manusia terhadap tumbuhan dan satwaliar untuk berbagai pemenuhan kebutuhan hidup juga semakin meningkat (Webb & Vardon 1998). Menyadari permasalahan tersebut, Pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi tentang CITES dalam Keputusan Presiden No. 43 tahun 1978. Sebagai implementasinya, ditunjuklah Direktorat Jenderal PHKA sebagai Management Authority (MA) dan LIPI sebagai Scientific Authority (SA), yang bertanggung jawab dalam mengatur dan mengelola perdagangan satwaliar baik nasional maupun internasional (Amir et al. 1998). Oleh karena itu, menurut KKH (2010a), konservasi keanekaragaman hayati harus mendapat prioritas utama dalam menghindari terjadinya kepunahan hidupan liar. Salah satu upaya untuk mencegah kepunahan jenis adalah dengan perlindungan dan pengendalian terhadap pemanfaatannya. Perdagangan makhluk hidup liar yang legal maupun ilegal mempunyai andil dalam menurunnya banyak populasi spesies (Indrawan et al. 2007). Pemanfaatan satwaliar secara berlebih biasanya menunjukkan pola yang sama. Ketika suatu satwaliar ditemukan mempunyai nilai komersial, selanjutnya terbentuk pasar dan terjadilah permintaan dari pasar yang menyebabkan eksploitasi untuk memenuhi permintaan tersebut.. Pemanfaatan tumbuhan dan satwaliar untuk kegiatan ekonomi yang komersial, diijinkan sesuai dengan Undang-undang No 5 Tahun 1990 (UU No. 5/1990) yang menyebutkan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan yang salah satunya adalah pemanfaatan secara lestari dan salah satu bentuk pemanfaatannya adalah untuk perdagangan (Sekditjen PHKA 2007a). Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 (PP No. 8/1999) juga menyebutkan bahwa pemanfaatan jenis TSL dilaksanakan dalam bentuk yang salah satunya adalah perdagangan (Sekditjen PHKA 2007b). Lebih
8
lanjut dalam PP No.8/1999 disebutkan bahwa TSL yang diperdagangkan bisa diperoleh dari penangkaran dan pengambilan atau penangkapan dari alam (Sekditjen PHKA 2007c). Perdagangann satwaliar telah diatur dan didukung dengan masuknya Indonesia sebagai anggota dari CITES. Menurut Siswomartono (1998) kebijakan Indonesia dalam implementasi CITES, dilaksanakan dengan beberapa tahap, yaitu: 1. Menetapkan
ketentuan
AAC
(Annual
Allowable
Catch)
yang
menunjukkan penetapan quota untuk ekspot dan perdagangan domestik. Kuota ini ditentukan oleh LIPI berdasarkan hasil dari studi biologi dari spesies,
populasinya,
distribusi
geografi,
biologi
reproduksi dan
kemungkinan ancaman terhadap spesies tersebut. Kuota ditetapkan dalam dua tipe, yaitu untuk quota ekspor dan perdagangan domestik. 2. Mengembangkan program penangkaran. Dua tujuan dari penangkaran ini, yaitu untuk re-stocking dan keperluan komersial. 3. Pengawasan. Kegiatan ini untuk mengawasi perdagangan satwaliar baik domestik maupun internasional serta dalam hal perijinannya. Berdasarkan
SK Menteri
Kehutanan
No. 447/Kpts-II/2003,
kuota
didefinisikan sebagai batas maksimum ukuran dan satuan tumbuhan dan satwaliar dari alam untuk setiap jenis yang dapat dimanfaatkan selama satu tahun kalender. Kuota pengambilan di alam ditetapkan oleh Dirjen PHKA dengan memperhatikan rekomendasi dari otoritas keilmuan (LIPI) untuk kurun waktu satu tahun kalender dari tanggal 1 Januari sampai 31 Desember (Sekditjen PHKA 2007c). Ketika kuota pengambilan sudah ditetapkan, bisa dilakukan peninjauan kembali kuota tersebut pada tahun berjalan dengan tetap memperhatikan rekomendasi dari otoritas keilmuan. Kuota pengambilan dari alam ditetapkan untuk jenis tumbuhan dan satwaliar yang termasuk maupun tidak termasuk dalam Appendix CITES, baik dilindungi maupun tidak dilindungi undang-undang. Khusus untuk jenis satwaliar yang dilindungi undang-undang, sebelum ditetapkan kuota pengambilannya, satwaliar tersebut harus ditetapkan sebagai satwa buru (Sekditjen PHKA 2007c).
9
Kuota yang sudah ditetapkan oleh Dirjen PHKA menjadi dasar untuk pemberian ijin pengambilan TSL oleh Kepala Balai KSDA untuk jenis dilindungi dan termasuk dalam Appendix CITES dan oleh Kepala Dinas propinsi setempat untuk jenis tidak diliindungi yang tidak termasuk dalam Appendix CITES. Kepala Balai KSDA dan Kepala Dinas dilarang menerbitkan ijin tanpa didasarkan pada kuota yang ditetapkan oleh Dirjen PHKA (Sekditjen PHKA 2007c). Perkembangan pemanfaatan ular jali di Indonesia mengalami banyak dinamika, sebelum dimasukkan dalam Appendix II CITES, pada tahun 1986 tercatat bahwa volume ekspor kulit ular jali sebesar 1.8 juta kulit, dan menurun menjadi 581 000 kulit pada tahun 1989 (Traffic 2008). Pada periode tahun 19932005 Indonesia mendapat larangan eksport ular jali, karena ditemukan ekspor ular jali melebihi kuota yang telah ditetapkan. Pada tahun 2007 ditetapkan kembali kuota tangkap di alam untuk ular jali sebesar 95 500 untuk kulit dan 500 untuk pets dan pada tahun 2008 menjadi 89 500 untuk kulit dan 450 untuk pets. (Traffic 2008). Periode Tahun 2012, untuk ular jali mendapat kuota tangkap sebesar 99 500 (kulit) dan 500 (hidup/pets) yang terbagi ke tiga propinsi, yaitu: Jawa Barat sebesar 10 000 (kulit) dan 100 (hidup); Jawa Tengah sebesar 40 500 (kulit) dan 200 (hidup); serta Jawa Timur sebesar 49 000 (kulit) dan 200 (hidup). Ijin pengambilan dari alam harus menjamin kelestarian populasi, maka lokasi pengambilan harus dirotasi. Jangka waktu rotasi didasarkan pada kondisi populasi, habitat dan sifat-sifat biologis serta perilaku jenis yang ditetapkan. Penetapan lokasi pengambilan harus memperhatikan status kawasan, kelimpahan populasi, kondisi habitat, rencana penggunaan lahan dan aspek sosial budaya masyarakat setempat (Sekditjen PHKA 2007c). Pemanfaatan berkelanjutan (Sustainable use) juga dapat didefinisikan sebagai upaya pemanfaatan yang tidak mengurangi potensi pemanfaatan pada masa mendatang atau merusak ketersediaan dalam jangka panjang, dari jenis-jenis yang mempunyai kemanfaatan jangka panjang yang dapat mendukung dan menyokong kelestarian ekosistem (Erdelen 1998). Menurut Webb & Vardon (1998), berdasarkan tiga kata kunci (use, sustainable, impact), maka “Sustainable use” diartikan sebagai upaya pemanfaatan hidupan liar yang berhubungan dengan
10
program dan tujuan pengelolaan lingkungan yang berkesinambungan di dalam batas waktu yang telah ditentukan. Secara khusus, beberapa hal yang perlu diketahui guna menunjang kegiatan sustainable use adalah sebagai berikut (Erdelen 1998) : 1. Analisis terhadap tingkat panen tahunan (perbedaan secara geografi, berhubungan dengan populasi individu). 2. Monitoring dari penangkapan atau unit usaha dan perubahan dalam kelimpahan relatif, jenis kelamin, jenis kelamin dan struktur umur. 3. Penggunaan regim pengelolaan konservatif 4. Top to buttom coorperation dari ilmuwan dan pemerintah dengan eksportir, pengumpul dan pencari lokal (tingkat yang berbeda dengan hirarki dari sistem perdagangan). 5. Menguji kelayakan dari penangkaran komersil berskala besar. 2.3. Bio-ekologi Ular Jali (Ptyas mucosus Linnaeus, 1758) Ular jali (Ptyas mucosus Linn. 1758) diklasifikasikan masuk dalam famili Colubridae dengan genus Ptyas. Nama lain (sinonim) dari P.mucosus ini adalah P.mucosa sedangkan dalam bahasa internasional disebut Dhaman atau Oriental Ratsnake, sedangkan menurut UNEP-WCMC (2001) dalam Sidik (2006), bahasa daerah untuk ular ini dikenal sebagai Ulo Priting, sedangkan dalam bahasa asing disebut Common/Oriental Rat Snake. Menurut van Hoesel (1959), terdapat kemiripan dengan spesies satu genus, Ptyas korros (Indochinese rat snake) (David et al. 2004). Menurut David dan Das (2004) dalam David (2004), penamaan Ptyas pada umumnya berhubungan dengan sifat feminim, sehingga seharusnya Ptyas mucosa, karena mucosus lebih bersifat maskulin. Apabila bertemu dengan kedua jenis ini pertama kali akan sulit membedakannya. P.mucosus di dalam famili colubridae termasuk dalam kelompok Old World Colubrids bersama dengan Elaphe longissima dan Coronela austriaca dengan ciri mempunyai pola ketinggian dari tubuh bagian depan (Ford & Burghardt 1993). Penyebaran jenis ular ini di Indonesia meliputi wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, serta Sumatera dan P. Bangka. Sedangkan di luar negeri tersebar mulai dari Iran, Afghanistan, Turkemenistan, Pakistan, India, Nepal,
11
Bangladesh, Srilanka, Myanmar, China, Taiwan, Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand hingga Malaysia (Rooij 1915; Smith 1935 dalam sidik 2006). Kebanyakan ular di daratan adalah tidak berbisa. Dari 10 suku ular yang menghuni kawasan Indonesia, ada 5 suku ular yang tidak bergigi bisa, yaitu suku Colubridae, anggotanya ada yang bergigi bisa tetapi ada juga yang tidak. Pada ular yang bertipe gigi aglypha, giginya ada yang besar, sedang dan ada juga yang tidak begigi sama sekali (Supriatna 1995). Menurut van Hoesel (1959), ciri-ciri lain yang dimiliki P.mucosus adalah memiliki panjang badan hingga 360 cm, dengan rata-rata 250 cm. Menurut Boeadi et al. (1998), ukuran tubuh jenis kelamin jantan lebih besar (dan panjang) dibandingkan betina. Kepala berbentuk oval sedikit segitiga, tubuh ramping dan ekor yang panjang. Tubuh bagian atas dan ekor berwarna coklat terang hingga gelap, sementara sebagian sisik memiliki batas coklat tua hingga hitam. Lidah besar dan panjang (van Hoesel 1959), berwarna hitam atau biru-hitam dengan ujung garpu. Pada bagian kepala terdapat sisik-sisik bibir bertepi hitam, bagian punggung lonjong dan berwarna dasar coklat tua kehitam-hitaman sertam terdapat beberapa palang hitam dibagian badan belakang. Pada bagian perut dan kepala di bawah terdapat perisai-perisai bertepi hitam. Ciri pada anak ular jenis ini mempunyai jalur-jalur melintang itu hanya nyata dibagian badan dimuka. Tiap satu cluth per individu betina dewasa terdapat telur antara 7–16 buah (van Hoesel 1959). Ular jali bermata besar dan bulat. Menurut van Hoesel (1959), mata ular tidak berkelopak, anak matanya berbentuk bulat pada jenis-jenis yang mencari pakan pada siang hari (diurnal) dan berbentuk oval apabila mencari pakan pada malam hari (nokturnal). Ular tidak mempunyai telinga dan lubang telinga, akan tetapi bisa merasakan adanya getaran. Ular ini bergerak cepat dan sangat bersemangat, aktif di siang dan malam hari (Sidik 2006). Menurut van Hoesel (1959), ular jali sangat gesit dan dapat bergerak sangat cepat, secepat orang pelari. Sebagai satwa predator ular jali menelan mangsanya secara pelan-pelan ke dalam mulutnya (Tweedie 1998). Ular jali dalam perilaku pakan dan aktivitas harian anakan dipengaruhi juga oleh suhu dan jenis pakan, yaitu akan lebih meningkat pada suhu tinggi dibandingkan dengan perilaku makan dan aktivitas harian pada suhu yang rendah (Aji 2011).
12
Menurut Shine 1998; Melisch 1998; Iskandar dan Erdelen (2006); Lee et al. 2011, dalam rangka melestarikan dan mengembalikan kondisi kelimpahan jenisjenis reptil yang ada di alam, harus diketahui ekologi dasar dari jenis ular tersebut. Termasuk didalamnya informasi tentang distribusi, penggunaan habitat, fisik lingkungan, pola pergerakan dan ukuran populasi (Dodd Jr 1993). Informasi ekologi yang sangat penting dalam pengelolaan satwaliar adalah parameter populasi. Menurut Bailey (1984); Santosa (1993) dan Santosa (2008), harus diperoleh informasi parameter demografi (tingkat kelahiran, kematian, sex rasio, dan ukuran populasi) dalam mempelajari perkembangan populasi satwaliar tersebut. Informasi tersebut juga merupakan data dasar dalam perencanaan dan penentuan kuota pemanenan (CEMAGREF 1984 dalam Santosa 1993). Populasi adalah kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang menempati suatu tempat tertentu pada waktu yang sama (Krebs 1978), serta mampu menghasilkan keturunannya yang sama dengan tetuanya (Alikodra 1990), sedangkan menurut Odum (1994) mendefinisikan populasi satwaliar sebagai kelompok kolektif organisme-organisme dari kelompok yang sama (atau kelompok-kelompok lain dimana individu-individu dapat bertukar informasi genetiknya) yang menduduki ruang atau tempat tertentu, memiliki berbagai ciri atau sifat yang menjadi milik kelompok dan bukan milik individu dalam kelompok itu. Populasi, menurut Tarumingkeng (1994), merupakan sehimpunan atau sekelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan. Populasi satwaliar berfluktuasi dari waktu ke waktu mengikuti keadaan fluktuasi lingkungannya (Alikodra 1990). Menurut Seber (1982), langkah pertama yang harus dilakukan untuk memahami struktur dan dinamika populasi di alam yaitu harus mengetahui ukuran populasi dan parameter-parameter yang mempengaruhinya, seperti tingkat kematian dan kelahiran. Ukuran populasi satwa dalam hal ini akan ditentukan oleh adanya proses-proses dari imigrasi (atau pergerakan kedalam suatu area), emigrasi (pergerakan keluar dari area), total mortalitas dan rekrutmen, dan menurut Alikodra (1990) juga dipengaruhi oleh struktur umur dan struktur jenis kelamin. Berdasarkan Seber (1982), untuk
13
populasi yang dieksploitasi, biasanya mortalitas total dibagi menjadi mortalitas akibat eksploitasi tersebut dan mortalitas karena proses alami (predasi, karena penyakit dan akibat kondisi iklim). Menurut Dodd Jr (1993) dan Garel et al. (2005), monitoring terhadap ukuran populasi merupakan suatu kegiatan yang sangat penting, akan tetapi sensus terhadap populasi satwaliar adalah tugas yang berat. Sebagai alternatifnya, pendekatan kelimpahan sebagai contoh perhitungan yang telah distandarisasi telah dikembangkan (Eberhardt and Simmons 1987; Link and Sauer 1997; Williams et al. 2002 dalam Garel et al. 2005). Menurut Krebs (1978); Seber (1982) dan PBC (1998), perhitungan untuk menduga kelimpahan absolut dapat diperoleh dengan metode capture-mark-recapture, akan tetapi secara prakteknya sangat sulit dilakukan pada jenis ular. Berdasarkan sifat ular yang seringkali mempunyai warna dan perilaku yang tidak jelas /sulit dideteksi, serta sulit ditemukan ketika dicari, sehingga menjadi masalah dalam hal pendugaan ukuran populasinya. Menurut PBC (1998), ular juga biasanya berkelompok kecil dan tersebar, baik secara spasial maupun temporal, sehingga sering ditemukan melimpah disuatu tempat pada kondisi waktu tertentu. Oleh karena itu diperlukan upaya dan tenaga yang intensif untuk mendapatkannya. Kelimpahan relatif digunakan untuk memperkirakan ukuran populasi ular walupun seringkali bias. Namun demikian apabila dilakukan dengan metode yang benar dan sesuai serta dengan sumberdaya yang intensif, pada data yang terkumpul banyak akan memberikan data dan informasi yang valid dan bermanfaat (PBC 1998). Pengambilan data untuk mendapatkan informasi kelimpahan relatif, juga dipengaruhi peubah lingkungan (waktu pencarian, musim, cuaca dll) dimana seharusnya dalam kondisi stabil, karena akan mempengaruhi aktivitas ular. Beberapa metode yang dapat digunakan sebagi penduga kelimpahan relatif menurut PBC (1998) adalah dengan metode (1) Trapping (mendeteksi ada atau tidak adanya ular di lokasi studi), (2) TimeConstrained Searches (pencarian berbatas waktu), (3) Quadrat Searches (pencarian dalam bentuk kuadrat/luasan) dan (4) Transect Searches (pencarian dalam transek). Menurut Krebs (1982); Haryono dan Tjakrawidjaja (2005)
14
pendugaan ukuran populasi dapat juga dilakukan dengan pendekatan CPUE (Cacth per unit effort) yang selama ini sering dilakukan terhadap populasi ikan. Hingga saat ini untuk data kelimpahan ular jali di alam masih sangat jarang, begitu juga dengan ular jenis lainnya di Indonesia. Data yang tersedia selama ini merupakan stok (jumlah yang terkumpul) di pengumpul ular yang sering dianggap sebagai kelimpahan panenan, padahal jumlah (stok) tersebut belum dapat menggambarkan hasil panenan sebenarnya di tingkat penangkap. Parameter utama yang berpengaruh terhadap ukuran populasi adalah natalitas (kelahiran), mortalitas (kematian), imigrasi dan emigrasi Krebs (1978), sehingga akan mempengaruhi kepadatan suatu populasi satwa. Populasi meningkat dengan adanya natalitas, yang ditandai dengan dihasilkannya individu baru dengan kelahiran (birth), penetasan (hacthing), perkecambahan (germination) atau pembelahan diri (fission) (Krebs 1978). Tingkat kelahiran merupakan jumlah organisme yang dilahirkan oleh individu betina per unit waktu. Ular jali, dalam satu cluth per individu betina dewasa terdapat telur antara 7–16 buah (van Hoesel 1959), sedangkan yang dipelihara di penangkaran, menurut Aji (2011) telah dapat matang kelamin pada umur 11–18 bulan dan dapat berkembangbiak selama 2–3 kali dalam satu tahun dengan ratarata satu cluth sebanyak 15 butir telur yang akan menetas dalam rentang waktu 56-69 hari (terutama dipengaruhi oleh suhu kandang/sarang). Mortalitas
akan
menentukan
populasi,
yang
akan
menyebabkan
berkurangnya kepadatan populasi (Krebs 1978; Odum 1994). Mortalitas (kematian) diartikan sebagai kematian individu-individu dalam populasi pada suatu kurun waktu tertentu (Odum 1994). Mortalitas terbagi menjadi (1) mortalitas minimun yaitu kematian pada kondisi yang ideal atau tidak ada faktor yang membatasi atau individu mati hanya karena faktor umur yang sudah tua dan (2) mortalitas ekologi (mortalitas saja) yaitu hilangnya individu dalam kondisi lingkungan tertentu. Menurut Seber (1982), didalam populasi yang dieksploitasi, biasanya mortalitas total dibagi menjadi mortalitas akibat eksploitasi tersebut dan mortalitas karena proses alami (predasi, karena penyakit dan akibat kondisi iklim). Berdasarkan teori dasar diatas, dapat disebutkan bahwa untuk di Indonesia kematian yang diakibatkan adanya pemanfaatan, mortalitas minimal dapat dilihat
15
dari adanya kuota tangkap sebesar 95 000 ekor (KKH 2011), disamping kebutuhan untuk konsumsi lokal dan kematian karena penyakit dan faktor alami lainnya. Informasi biologi dari suatu spesies yang mempunyai peran penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan sebagai pertimbangan, baik pertimbangan ekologis maupun ekonomis (dalam hal pemanfaatan) adalah informasi morfologi. Berdasarkan Campbell dan Lack (1985) dalam Nopiansyah (2007), menyatakan bahwa morfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuk pada spesies dalam populasi khususnya polimorfolisme. Morfologi anggota tubuh dari suatu jenis binatang merupakan hasil sebuah proses adaptasi terhadap lingkungan yang antara lain berupa seleksi terhadap ukuran tubuh bila mana terdapat beberapa tekanan seperti kelimpahan mangsa, kompetisi makanan secara interspesifik dam intraspesifik, seleksi ukuran mangsa dan sistem sosial intraspesifik (Kurniati et al. 1997). Di dalam cabang ilmu hayat terdapat pengukuran morfometri, yang merupakan pengukuran bentuk tubuh yang dilakukan pada spesies. Pengukuran panjang tulang-tulang mempunyai ketelitian yang lebih baik dalam pendugaan umur dibandingkan dengan pengukuran terhadap bobot badan (Campbell & Lack 1985 dalam Nopiansyah 2007). Pertambahan panjang dari ukuran-ukuran tubuh bisa dijadikan dasar untuk pendugaan umur lebih lanjut (Caughley 1977 dalam Nopiansyah 2007). Keragaman ukuran tubuh hewan disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan (Mansjoer et al. 1989 dalam Nopiansyah 2007). Parameter morfometrik yang digunakan merupakan bagian-bagian tubuh yang mudah terlihat dan mudah diukur, untuk jenis ular yang sering diukur adalah panjang kepala, SVL (snoutvent lenght), panjang ekor dan berat badan (Boeadi et al.1998; Auliya 2010). Berdasarkan pengamatan terhadap 174 ekor ular, yang terdiri dari 102 ekor jantan dan 72 ekor betina (Boeadi et al.1998), diperoleh informasi rata-rata ukuran SVL ular jali yang dipanen, untuk jantan: 1415.4 mm dan betina: 1329 mm; panjang kepala untuk jantan: 41.3 mm dan betina: 38.8 mm; panjang ekor untuk jantan: 481.3 mm dan betina: 465.2 mm; ukuran body mass untuk jantan: 884.9 mm dan betina: 657.5 mm
16
2.4. Kharakteristik Habitat Kegiatan pelestarian jenis satwaliar sangat erat kaitannya dengan upaya pelestarian dan perlindungan habitat dari satwaliar tersebut. Meningkatnya tekanan terhadap hidupan liar dan ekosistem alami erat kaitannya dengan kemiskinan, tekanan penduduk, pemanfaatan sumberdaya alam dan lahan hutan serta krisis ekonomi yang melanda Indonesia sangat berpengaruh dalam degradasi habitat satwa. Pada gilirannya faktor-faktor tersebut akan mendorong berlanjutnya kerusakan habitat, meningkatnya pemanfaatan yang tidak berazaskan pada prinsip konservasi (KKH 2010). Parameter lain yang juga sangat penting diketahui dalam pengelolaan satwaliar adalah karakteristik habitat. kawasan yang terdiri dari berbagai komponen, baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiak satwaliar disebut habitat. Habitat yang sesuai bagi satu jenis, belum tentu sesuai untuk jenis lainnya, karena setiap jenis menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda. Menurut van Hoesel (1959), berdasarkan perilaku ular jali yang suka berburu mangsa di sawah-sawah dan semak belukar dekat lahan pertanian lainnya, maka perlu diketahui berbagai karakteristik habitat yang berpengaruh sehingga dipilih oleh ular jali. Bailey (1984) menyatakan bakwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi habitat satwaliar, yaitu faktor biotik (kualitas dan kuantitas pakan, predasi, penyakit dll), faktor fisik (suhu, kelembaban, curah hujan dll) dan faktor edaphic/tanah(kedalaman, struktur, tekstur, kandungan kimia dll.). Alikodra (1990) juga menyatakan bahwa Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup satwaliar yaitu terdiri dari makanan, air, temperatur, kelembaban, tekanan udara dan tempat berlindung maupun kawin. Paramater tersebut perlu diketahui, terutama untuk melihat pemilihan habitat oleh ular jali yang menyukai tipe habitat sawah dan lahan pertanian lainnya. Suatu hal yang menjadi ancaman bagi kelangsungan kelestarian reptil dan amphibi adalah adanya perusakan dan hilangnya habitat satwaliar tersebut (Dodd Jr 1993; Iskandar & Erdelen 2006). Ancaman tersebut semakin meningkat dengan adanya alih fungsi lahan sawah dan pertanian ke peruntukan non-pertanian.
17
Alih fungsi lahan yang terjadi di Pulau Jawa kurun waktu tahun 1990-an diperkirakan mencapai 43 000 ha per tahun (Mawardi 2006), sedangkan hasil sensus pertanian tahun 2003 luas alih fungsi lahan sawah nasional selama periode 2000-2003 rata-rata sebesar 55 720 ha per tahun (Irawan 2008) dan menurut Mustopa (2011) selama periode tahun 2006 – 2009, terjadi di beberapa daerah di Jawa tengah sebesar (per tahun ): Kab. Demak 57.95 ha, Kab. Kudus 14.05 ha, Kab. Semarang 25.42 ha, Kab. Grobogan 17.65 ha, Kab. Kendal 29.91 ha dan Kab. Batang 10.54 ha. Hal ini terutama disebabkan karena peningkatan populasi manusia (Amir et al. 1993) yang membawa konsekuensi pesatnya laju pembangunan di sektor permukiman (Mawardi 2006), industri, perkantoran, jalan dan sarana publik lainnya (Irawan 2008). Dari aspek kelestarian ular jali dan satwaliar lainnya yang mempunyai ketergantungan dengan tipe habitat persawahan dan lahan pertanian lainnya, perlu monitoring lebih lanjut dari dampak alih fungsi lahan tersebut. Perilaku ular jali sering membuat sarang untuk meletakkan telur-telurnya didalam lubang atau dicelah-celah tanah yang basah, dibawah batu, dibawah akar pohon atau diantara sisa-sisa tumbuhan yang sudah busuk (van Hoesel 1959), maka kondisi-kondisi spesifik tersebut perlu dijaga untuk melestarikan jenis tersebut (Lee et al 2011). Berdasarkan beberapa hal tersebut, maka beberapa peubah lingkungan yang dianggap berpengaruh terhadap karakteristik lingkungan ular jali adalah : a. Suhu. Menurut Krebs (1978) dan Alikodra (1990), suhu dan kelembaban adalah faktor pembatas utama yang mempengaruhi penyebaran makhluk hidup di bumi. Faktor suhu berperan penting dalam setiap tahap dari siklus kehidupan makhluk hidup dan dapat membatasi distribusi suatu jenis dalam hal daya bertahan hidup (survival) dan dalam reproduksi. Menurut Aji (2011), dalam pengamatan terhadap ular jali diperoleh bahwa faktor suhu berpengaruh terhadap pertumbuhan panjang dan berat tubuh ular. Suhu dan jenis pakan juga berpengaruh terhadap jumlah pakan/perilaku pakan, dimana perilaku makan dan aktivitas harian anakan ular jali lebih meningkat pada suhu tinggi, dibandingkan dengan perilaku makan dan aktivitas harian pada suhu yang lebih rendah. Mendukung yang
18
disampaikan Krebs (1978), bahwa suhu berpengaruh dalam reproduksi, hasil pengamatan Aji (2011) mendapatkan interval suhu yang sesuai untuk penetasan ular jali di penangkaran adalah 30 oC–36 oC (optimal: 32 oC–34 o
C), dengan keberhasilan > 80 % menetas. Oleh karena itu, akan sangat
bermanfaat apabila dapat diketemukan sarang ular jali di habitat alaminya, sehingga dapat diukur suhu dan peubah lainnya, yang akan sangat berguna dalam hal pemanfaatan lebih lanjut. b. Kelembaban. Faktor ini bersama suhu merupakan faktor pembatas kehidupan makhluk hidup. c. Sifat fisik dan kimia tanah. Sifat fisik tanah disini dibatasi hanya terhadap jenis tanah dan kondisi tekstur tanah, sedangkan sifat kimia tanah hanya dibatasi pada pH tanah. Menurut Alikodra (1990), tanah mempunyai pengaruh terhadap penyebaran satwaliar. Tekstur dan komposisi tanah merupakan faktor fisik yang penting dalam pertumbuhan vegetasi, yang kemudian menentukan struktur kehidupan satwaliar yang menempatinya. Masih sangat terbatas informasi tentang pengaruh satwaliar terhadap kondisi tekstur tanah. Terkait dengan kondisi pH tanah, kandungan bahan kimia tanah juga bervariasi, beberapa jenis tanah ada yang bersifat alkalis (pH tinggi), yang lainnya asam (pH rendah) atau netral. d. Ketinggian tempat. Ular jali adalah jenis ular yang mempunyai kebiasaan tinggal dalam liang-liang tanah di sekitar lokasi pertanian dan belukar di perbukitan hingga mencapai ketinggian 800 m dpl (Sidik 2006). Jenis ular ini juga dapat ditemukan di ketinggian hingga 1000 m dpl. e. Jarak dari sumber air dan permukiman. Ular ini juga diketahui erat berhubungan dengan daerah perairan yang debit airnya berlimpah, seperti saluran irigasi. Ular Jali sering ditemukan di dataran rendah yang berparit, berarti ular tersebut sedang atau akan melakukan aktifitas mencari mangsa. Menurut van Hoesel (1959), habitat jenis ular ini sering ditemukan di sawah-sawah, tetapi sering juga dijumpai di tempat-tempat teduh diantara semak belukar pada tepi-tepi sungai yang curam. Ular ini tidak jarang terlihat di permukiman penduduk, seperti pekarangan atau kebun. Oleh
19
karena itu informasi jarak ditemukannya ular jali di habitat alaminya dengan sumber air dan pemukiman perlu diketahui. Faktor ekologi suatu satwa yaitu adanya interaksi dengan jenis satwa lainnya, baik yang bersifat asosiasi maupun predasi. Semua jenis ular adalah satwa predator (Tweedie 1998). Ular jali adalah jenis ular yang bersifat oportunistik dan dapat mengembara kemana-mana dalam mencari makanan yang telah tersedia di habitatnya (Sidik 2006). Selain tikus, jenis ular ini juga memangsa katak dan anak burung (van Hoesel 1959), kadal, mamalia kecil. Berdasarkan pengamatan isi lambung (Sidik 2006), diketahui bahwa bahwa kandungan isi perut ular jali mengandung unsur pati (14.7%), selulosa (30.85%), lignin (12.43%), serangga (12.76%) dan partikel-partikel yang tidak dapat teridentifikasi (29.26%). Kenyataan ini mendukung dugaan bahwa ular jali lebih banyak memakan kelompok hewan herbivora dan omnivora (hewan pengerat) dari pada hewan insectivora (hewan amfibia). Setelah dilakukan pengujian jumlah massa makanan yang dikonsumsinya, ternyata amfibia menjadi sumber utama makanan baik individu betina maupun jantan. Menurut Boeadi (1998), selama pengamatan isi perut dari 85 ular jali terdapat 65 ekor, yang masih ditemukan hewan mangsa yang belum hancur tercena didalam perutnya. Dari 65 ekor tersebut terdapat 71% mengkonsumsi jenis amphibi (katak) dan sisanya jenis tikus. Menurut Tweedie (1998), jenis-jenis yang masuk dalam suku Colubridae besar, memangsa tikus dan katak, oleh karena itu apabila banyak orang memburu dan membunuh ular-ular jenis ini, maka kita akan menanggung akibatnya. Meningkatnya populasi tikus dapat membawa penyakit yang membahayakan kesehatan manusia, karena akibat yang ditimbulkan oleh tikus dapat lebih bahaya dibandingkan oleh ular.
III. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN
3.1. Kondisi Umum Penelitian ular jali ini dilaksanakan di wilayah Jawa Tengah dan merupakan wilayah kerja dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Jawa Tengah. Lokasi penelitian yang terutama berada di Kabupaten Boyolali, Pati, Sragen, Cilacap dan Kabupaten Semarang (Gambar 1). Kondisi umum dari provinsi yang beribukota di Kota Semarang ini, berdasarkan administratif merupakan sebuah propinsi yang ditetapkan dengan Undang-undang No. 10/1950 tanggal 4 Juli 1950. Propinsi ini berbatasan dengan Propinsi Jawa Barat di sebelah barat, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Propinsi Jawa Timur di sebelah timur, dan Laut Jawa di sebelah utara. Secara geografis berada pada koordinat antara 5°40’- 8°30’ LS dan 108°30’ - 111°30’ BT. Propinsi Jawa Tengah dibagi ke dalam beberapa wilayah administrasi, meliputi: 29 Kabupaten, 6 Kota, 565 Kecamatan, 764 Kelurahan dan 7 804 Desa.
Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian di Propinsi Jawa Tengah.
21
3.2. Kondisi Biofisik Luas Wilayah Jawa Tengah sebesar 3 254 412 ha atau sekitar 25.04% dari luas pulau Jawa (1.70% luas Indonesia). Luas yang ada terdiri dari 1 juta ha (30.80%) lahan sawah dan 2.25 juta ha (69.20%) bukan lahan sawah (Anonim 2012). Lahan di Propinsi Jawa Tengah sebagian besar telah dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, industri, dan permukiman. Selain itu, wilayah ini memiliki sumber daya pertambangan dan kelautan yang potensial untuk dikembangkan, yang dewasa ini belum dimanfaatkan secara optimal. Pembagian luas wilayah berdasarkan topografi Propinsi Jawa Tengah, terdiri dari wilayah daratan sebagai berikut: 1. Ketinggian antara 0-100 m dpl yang memanjang di sepanjang pantai seluas 1 736 602 ha (53.3%). 2. Ketinggian antara 100-500 m dpl yang memanjang pada bagian tengah pulau seluas 891 709 ha (27.4%). 3. Ketinggian antara 500-1000 m dpl seluas 478 399 ha (14.7%). 4. Ketinggian diatas 1000 m dpl seluas 149 703 ha (4.6%). Menurut tingkat kemiringan lahan di Jawa Tengah, 38% lahan memiliki kemiringan 0-2%, 31% lahan memiliki kemiringan 2-15%, 19% lahan memiliki kemiringan 15-40%, dan sisanya 12% lahan memiliki kemiringan lebih dari 40%. Menurut Lembaga Penelitian Tanah Bogor tahun 1969, jenis tanah wilayah Jawa Tengah didominasi oleh tanah latosol, aluvial, dan grumusol, sehingga hamparan tanah di provinsi ini termasuk tanah yang relatif subur (Anonim 2012). Menurut Stasiun Klimatologi Klas 1 Semarang, suhu udara rata-rata di Jawa Tengah berkisar antara 18 oC sampai 28 oC. Tempat-tempat yang letaknya dekat pantai mempunyai suhu udara rata-rata relatif tinggi. Sementara itu, suhu rata-rata tanah berumput (kedalaman 5 Cm), berkisar antara 17 oC sampai 35 oC. Rata-rata suhu air berkisar antara 21 oC sampai 28 oC. Sedangkan untuk kelembaban udara rata-rata bervariasi, dari 73 % sampai 94 %. Curah hujan terbanyak terdapat di Stasiun Meteorologi Pertanian khusus batas Salatiga sebanyak 3 990 mm, dengan hari hujan 195 hari (Anonim 2012).
22
Terkait dengan habitat utama ular jali merupakan lokasi persawahan (van Hoesel 1959), menurut penggunaannya, luas lahan sawah 991 ribu ha (30.45%), luas bukan sawah 2.26 juta ha (69.55%) (Dishutprovjateng 2010). Luas lahan sawah terbesar berpengairan teknis (38.26%), selainnya berpengairan setengah teknis, tadah hujan dan lain-lain. Dengan teknik irigasi yang baik, potensi lahan sawah yang dapat ditanami padi lebih dari dua kali sebesar 69.56%. Berikutnya lahan kering yang dipakai untuk tegalan/kebun/ladang/huma sebesar 34.36% dari total bukan lahan sawah. prosentase tersebut merupakan yang terbesar, dibandingkan presentase penggunaan bukan lahan sawah yang lain (Anonim 2012). Berdasarkan SK Penunjukkan Menteri Kehutanan No 359/Menhut-II/2009 tahun 2004 luas kawasan hutan negara di Provinsi Jawa Tengah adalah 647 133 ha (19.88% terhadap luas daratan Jawa Tengah) dan luas kawasan konservasi perairan sebesar 110 117 hektar. Sementara itu luas hutan rakyat di wilayah Jawa Tengah seluas 469 195 ha, sehingga jumlah luas kawasan berfungsi hutan secara keseluruhan di Jawa Tengah adalah 1 226 445 ha atau sekitar 37.68% dari luas wilayah Jawa Tengah (Dishutprovjateng 2010). 3.3. Kondisi Sosial Budaya Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2005, jumlah penduduk Jawa Tengah tercatat sebesar 32 908 850 jiwa atau sekitar 15% dari jumlah penduduk Indonesia. Jika dibandingkan dengan tahun 2004 (32 397 431 jiwa) terjadi penambahan jumlah penduduk sebesar 511 419 jiwa (1.58%). Jumlah penduduk perempuan lebih besar daripada laki-laki, ditunjukkan oleh ratio jenis kelamin (rasio jumlah penduduk laki-laki terhadap jumlah penduduk perempuan) sebesar 98.96. Penyebaran penduduk Jawa Tengah belum merata, umumnya penduduk banyak menumpuk di daerah kota dibandingkan kabupaten. Rata-rata kepadatan penduduk Jawa Tengah tercatat 1011 jiwa setiap kilometer persegi dan wilayah terpadat adalah kota Surakarta dengan kepadatan 12 ribu orang setiap kilometer persegi (BPS Jateng 2006). Jumlah penduduk tahun 2008 sebanyak 32 626 390 jiwa, jumlah penduduk Laki-laki 16 192 295 Jiwa, jumlah penduduk perempuan 16 434 095 Jiwa, kepadatan penduduk 1002 jiwa setiap kilometer
23
persegi, rata-rata penduduk per rumah tangga 3.9 jiwa (Dishutprovjateng 2010). Jumlah penduduk ini, 47% diantaranya merupakan angkatan kerja. Mata pencaharian paling banyak adalah di sektor pertanian (42.34%), diikuti dengan perdagangan (20.9%), industri (15.71%), dan jasa (10.98%).
3.4. Kondisi Spesifik Kabupaten Lokasi Penelitian Tabel 1 Luas wilayah di beberapa kabupaten lokasi utama penelitian No Lokasi
Luas Luas Luas Non Wil.(ha) Sawah Sawah 1. Kab. Cilacap 213 851 63 092 150 759 2. Kab. Pati 149 120 58 348 90 772 3. Kab. Boyolali 101 507 23 070 78 437 4. Kab. Semarang 94 686 23 316 69 370 5. Kab. Sragen 94 649 40 339 54 310 Sumber: Statistik Dinas Kehutanan Povinsi Jateng 2010
Luas Hutan 49 720.58 22 703.28 17 493.00 12 174.75 5 244.40
3.4.1. Kabupaten Cilacap Kabupaten Cilacap merupakan daerah terluas di Jawa Tengah, dengan batas wilayah sebelah selatan Samudra Indonesia, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Banyumas, Kabupaten Brebes dan Kabupaten Kuningan Propinsi Jawa Barat, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kebumen dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar Propinsi Jawa Barat. Terletak diantara 10804-300 - 1090300300 garis Bujur Timur dan 70300 - 70450200 garis Lintang Selatan, mempunyai luas wilayah 225.360,840 Ha, yang terbagi menjadi 24 Kecamatan 269 desa dan 15 Kelurahan. Wilayah tertinggi adalah Kecamatan Dayeuhluhur dengan ketinggian 198 m dpl dan wilayah terendah adalah Kecamatan Cilacap Tengah dengan ketinggian 6 m dpl. Jumlah penduduk 1 860 240, terdiri dari laki-laki 941 527 dan perempuan 918.539. Luas
sawah
intensifikasi
127.823
ha
(http://cilacapkab.bps.go.id),
sedangkan luas Hutan Negara di Kabupaten Cilacap adalah 54 669.80 ha (terdiri dari Hutan Produksi 36 349.10 ha, Hutan Produksi Terbatas 10 601.70 ha, Hutan Lindung 6 386.20 ha dan Suaka Alam 1 332.80 ha). Luas Hutan Rakyat 22 743.08 ha. Total luas hutan di Kab. Cilacap (Hutan Negara + Hutan Rakyat) adalah 77 412.88 Ha. (http://www.cilacapkab.go.id).
24
3.4.2. Kabupaten Pati Kabupaten Pati merupakan salah satu dari 35 daerah kabupaten / kota di Jawa Tengah bagian timur, terletak diantara 1100, 50’ - 1110, 15’ bujur timur dan 60, 25’ – 70,00’ lintang selatan. Kabupaten Pati terletak di daerah pantai utara pulau jawa dan di bagian timur dari Propinsi Jawa Tengah. Secara administratif Kabupaten Pati mempunyai luas wilayah 150 368 ha yang terdiri dalam 21 kecamatan, 401 desa, 5 kelurahan, 1106 dukuh serta 1474 RW dan 7524 RT. Dari segi letaknya Kabupaten Pati merupakan daerah yang strategis di bidang ekonomi sosial budaya dan memiliki potensi sumber daya alam serta sumber daya manusia yang dapat dikembangkan dalam semua aspek kehidupan masyarakat seperti pertanian, peternakan, perikanan, perindustrian, pertambangan dan pariwisata. Sebelah utara dibatasi wilayah Kab. Jepara dan Laut Jawa. Sebelah barat dibatasi wilayah Kab. Kudus dan Kab. Jepara. Sebelah selatan dibatasi wilayah Kab. Grobogan dan Kab. Blora. Sebelah timur dibatasi wilayah Kab. Rembang dan Laut Jawa. Kabupaten Pati mempunyai luas wilayah 150 368 ha yang terdiri dari 58 448 ha lahan sawah dan 91 920 ha lahan bukan sawah. Jenis tanah, bagian utara terdiri dari tanah Red Yellow, Latosol, Aluvial, Hidromer dan Regosol. Sedangkan bagian selatan terdiri tanah Aluvial, Hidromer, dan Gromosol. Berdasarkan curah hujan wilayah di Kabupaten Pati terbagi atas berbagai type iklim (oldeman) antara type D hingga E, dengan rata – rata curah hujan pada tahun 2008 sebanyak 1.002 mm dengan 51 hari hujan, untuk keadaan hujan cukup, sedangkan untuk temperatur terendah 230C dan tertinggi 390C. Kabupaten Pati pada tahun 2008 mempunyai luas wilayah sebesar 1 503.68 km2. Dengan jumlah penduduk mencapai 1 256 182 pada akhir tahun 2008, maka Kabupaten Pati secara umum mempunyai kepadatan penduduk 830 jiwa per km2. Angka tersebut sama dibandingkan pada tahun 2007 sebesar 830 jiwa per km2. (http://www.patikab.go.id). 3.4.3. Kabupaten Boyolali Kabupaten Boyolali memiliki luas wilayah lebih kurang 101 510.0965 ha atau kurang 4,5% dari luas Propinsi Jawa Tengah. Wilayah Boyolali terletak
25
antara 110022’ BT – 110050’ BT dan 7036’ LS – 7071’LS dengan ketinggian antara 100 meter sampai dengan 1.500 meter dari permukaan laut. Sebelah timur dan selatan merupakan daerah rendah, sedang sebelah utara dan barat merupakan daerah pegunungan. Sebelah utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Semarang dan Kabupaten Grobogan. Sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sragen, Kabupaten Karanganyar, Kota Surakarta dan Kabupaten Sukoharjo. Sebelah selatan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Klaten dan DIY. Sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten Magelang dan Kabupaten Semarang. Luas wilayah Kabupaten Boyolali 101 510.0965 ha terdiri dari: lahan sawah 23 287.4945 ha (23,0 %), lahan kering 56 186.0830 ha (55,3 %), tanah lain 22 036.5190 ha (21,7 %) (http://www.boyolalikab.go.id). 3.4.4. Kecamatan Semarang Kabupaten Semarang merupakan salah satu Kabupaten dari 29 kabupaten dan 6 kota yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Terletak pada posisi 1100 14' 54,74" - 1100 39' 3" Bujur Timur dan 70 3’ 57” – 70 30’0” Lintang Selatan. Luas keseluruhan wilayah Kabupaten Semarang adalah 95 020.674 ha atau sekitar 2,92% dari luas Provinsi Jawa Tengah. Ibu kota Kabupaten Semarang terletak di kota Ungaran. Secara administratif Kabupaten Semarang terbagi menjadi 19 Kecamatan, 27 Kelurahan dan 208 desa. Batas-batas Kabupaten Semarang adalah sebelah utara berbatasan dengan Kota Semarang dan Kabupaten Demak. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Boyolali. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Magelang. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Magelang dan Kabupaten Kendal. Ketinggian wilayah Kabupaten Semarang berkisar pada 500 – 2000 m diatas permukaan laut (dpl), dengan ketinggian terendah terletak di desa Candirejo Kecamatan Pringapus dan tertinggi di desa Batur Kecamatan Getasan. Rata-rata curah hujan 1 979 mm dengan banyaknya hari hujan adalah 104 hari. Kondisi tersebut terutama dipengaruhi oleh letak geografis Kabupaten Semarang yang dikelilingi oleh pegunungan dan sungai. Secara Hidrologi, kekayaan sumber daya air yang tersedia di Kab. Semarang diantaranya yaitu Waduk Rawa Pening yang
26
memiliki volume air + 65 juta m3 dengan luas genangan 2 770 ha pada ketinggian muka air maksimal, sedangkan dengan ketinggian permukaan air minimal memiliki
volume
+
25
juta
m3
dengan
luas
genangan
1760
ha
(http://www.semarangkab.go.id) 3.4.5. Kabupaten Sragen Secara geografis, Kabupaten Sragen terletak pada 7º 15’ LS dan 7º 30’ LS dan 110º 45’ BT DAN 111º 10’ BT dan berada di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Batas batas wilayah Kabupaten Sragen: Sebelah Timur adalah Kabupaten Ngawi (propinsi jawa timur), Sebelah Barat adalah Kabupaten Boyolali, Sebelah Selatan adalah Kabupaten Karanganyar, Sebelah Utara adalah Kabupaten Grobogan. Luas wilayah Kabupaten Sragen adalah 941 55 km2 yang terbagi dalam 20 kecamatan, 8 kalurahan dan 200 desa. Secara fisiologis, wilayah Kabupaten Sragen terbagi atas: 40 037.93 ha (42,52%) berupa lahan basah(sawah) dan 54.117,88 ha (57,48%) berupa lahan kering. Luas lahan sawah di Kabupaten Sragen Tahun 2008/2009 mencapai 39 759 ha yang terdiri dari: sawah pengairan teknis 18 974 ha, setengah teknis 3 761 ha, sederhana 2 234 ha, non PU 800 ha, tadah hujan 13 739 ha dan lain-lain 251 ha (http://www.sragenkab.go.id). Wilayah Kabupaten Sragen berada di dataran dengan ketinggian rata rata 109 m dpl. Sragen menpunyai iklim tropis dengan suhu harian yang berkisar antara 19-31 ºC.Curah hujan rata-rata di bawah 3000 mm per tahun dengan hari hujan di bawah 150 hari per tahun. Jumlah penduduk Sragen berdasarkan data tahun 2005 sebanyak 865.417 jiwa, terdiri dari 427.253 penduduk laki laki dan 438.164 penduduk perempuan. Kepadatan penduduk rata rata 919 jiwa/km2. (http://www.sragenkab.go.id) .
27 IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di beberapa lokasi (kabupaten/kota) di Provinsi Jawa Tengah terutama di beberapa kabupaten sebagai berikut: Kabupaten Boyolali, Sragen, Pati, Cilacap, Semarang dan Sukoharjo. Penelitian ini dilaksanakan selama ± 2 bulan, yaitu pada bulan April s/d Mei 2012. 4.2. Alat dan Bahan Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu peta kerja, thermo-higrometer (digital), GPS, pita meter, termometer tanah, pH-moisture (stick) meter, timbangan pegas, kaliper, kamera digital, tambang plastik, kantong plastik, karung terigu/kain, alat tulis, tally sheet, software SPSS 19 serta komputer. 4.3. Kerangka Pemikiran Pemanfaatan satwaliar secara lestari dapat tercapai dengan adanya perlindungan spesies dan habitat serta pengendalian pemanenan. Secara umum, terdapat mekanisme yang telah disepakati secara internasional dalam hal pemanfaatan satwaliar, yaitu diatur oleh CITES. Terdapat 3 katagori di dalam mekanisme CITES terhadap pemanfaatan satwa liar, yaitu spesies yang masuk dalam Appendix I, Appendix II dan Appendix III. Ular jali (Ptyas mucosus) merupakan jenis satwaliar yang telah diperdagangkan secara internasional, baik berupa kulit, daging maupun hidup serta masuk dalam Appendix II CITES. Berdasarkan ketentuan, maka pemanfaatan dari alam masih dimungkinkan namun perlu pengendalian dan monitoring sehingga pemanfaatannya dapat berlangsung secara lestari. Bentuk pengendalian pemanfaatan satwaliar dalam Appendix II adalah dengan penetapan kuota. Oleh karena itu untuk menjamin kelestarian ular jali di alam diperlukan data dan informasi yang meliputi data pola tata niaga, populasi/kelimpahan, morfometri dan karakteristik habitat.
28 Data dan informasi terkait dengan ekologi dan biologi ular jali tersebut dijadikan dasar pertimbangan pengelolaan populasi dan habitat ular tersebut. LIPI sebagai Scientific authority dan PHKA sebagai Management authority bertanggung jawab dalam hal monitoring dan evaluasi secara berkelanjutan terhadap status populasi dan kondisi habitat ular jali agar tetap lestari. 4.4. Jenis Data yang Dikumpulkan Jenis data yang dikumpulkan yaitu data primer dan data sekunder. Data primer berupa: 1.
Data kelimpahan relatif ular jali di lokasi tangkap (habitat).
2.
Data kelimpahan relatif ular jali panenan di lokasi pengumpul.
3.
Data karakteristik habitat (habitat mikro) ditemukannya ular jali
4.
Data morfometri dari ular jali yang tertangkap dan panenan (pengumpul).
5.
Informasi faktor-faktor yang mempengaruhi tata niaga ular jali Data sekunder berupa: jenis ular yang ditemukan di habitat ular jali, literatur
yang mendukung, keadaan iklim dan topografi, peta kawasan, dan data pendukung lainnya. 4.5. Metode Pengumpulan Data Data sekunder diperoleh dari wawancara dengan pengelola kawasan Balai KSDA Jawa Tengah, baik yang berada di kantor balai (1 orang Ka.Balai dan 2 orang staf bidang pemanfaatan) di Semarang maupun yang ada di seksi wilayah (2 orang Ka. Seksi Wilayah), para pengumpul ular, para pemburu/penangkap ular, studi literatur berupa text book, data hasil penelitian sebelumnya, jurnal serta literatur yang relevan dengan penelitian ini. Data primer ekologi diperoleh dengan pendekatan pengamatan langsung (observational approach) di lapangan (Goodall 1970 dalam Jhonson dan Bhattacharyya 1987). Pertama, yaitu dengan mendatangi lokasi yang menjadi habitat ular jali untuk memperoleh data dan informasi tentang komponenkomponen yang merupakan bagian dari karakteristik habitat ular tersebut. Unit contohnya adalah titik lokasi berupa lubang sarang ular jali. Kedua, dengan melihat karakteristik morfometri di lokasi tangkap dan di tempat para pengumpul
29 ular, baik yang berskala kecil, sedang maupun besar. Unit contohnya adalah titik tangkap di lokasi pencarian ular jali tersebut. 4.5.1. Pola Tata Niaga Kebutuhan manusia akan satwa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah kehidupan manusia. Baik untuk keperluan asupan energi dan protein (daging, susu dll) maupun untuk kepentingan kesenangan (piaraan) dan bahan eksporasi bagi para peneliti. Peningkatan kebutuhan tersebut membentuk pasar perdagangan satwa (Yuwono 1998). Oleh karena itu, perlu diketahui kondisi tata niaga dan kondisi pasar reptil, khususnya ular jali, terutama di Jawa Tengah sebagai salah satu wilayah penghasil/penangkapan di alam. Informasi diperoleh dengan melakukan wawancara kepada asosiasi (1 orang), eksportir (2 orang), para pengumpul besar (6 orang), pengumpul sedang (3 orang), pengumpul kecil (4 orang) pemburu/penangkap
di
lapangan
(4
orang).
Beberapa
informasi
dan yang
dikumpulkan adalah : para pelaku, struktur dan rantai tata niaga ular jali di wilayah Jawa Tengah 4.5.2. Data Kelimpahan Relatif Populasi ular di suatu wilayah dapat diketahui dengan mengetahui kelimpahan satwa tersebut dalam suatu habitat. Kelimpahan ini ada dua kelompok, yaitu kelimpahan absolut dan kelimpahan relatif (PBC 1998). Masingmasing kelimpahan ini ada kelemahan dan kekuatan masing-masing, tergantung dari tujuan penelitian dan sumberdaya yang tersedia dalam pelaksanaannya. Masing-masing kelimpahan tersebut juga mempunyai metode pengambilan data yang berbeda-beda, yang disesuaikan dengan pendekatan tujuan penelitian, sumberdaya yang ada dan situasi serta kondisi lapangan. Kelimpahan relatif digunakan untuk memperkirakan ukuran populasi ular walupun seringkali bias. Namun demikian apabila dilakukan dengan metode yang benar dan sesuai serta dengan sumberdaya yang intensif, pada data yang terkumpul banyak akan memberikan data dan informasi yang valid dan bermanfaat (PBC 1998).
30 Pada penelitian ular jali ini digunakan pendekatan perhitungan kelimpahan relatif dengan metode Quadrat Searches dan Time-constained Search (berdasarkan Inventory Methods for Snakes – Standards for Components of British Colombia’s Biodiversity No. 38. Tahun 1998) (PBC 1998). Pemilihan metode ini dengan memperhitungkan karakteristik dan kondisi spesies ular yang diamati dan kemampuan pengamat, dengan keterbatasan waktu, tenaga pengamat dan biaya. 4.5.3. Data Morfometri Data morfometri ular jali tersebut diperoleh dengan metoda focal animal sampling, dengan mencatat berbagai karakteristik morfologi dari ular jali yang tertangkap atau diperoleh di pengumpul dengan kondisi ular masih hidup. Diperoleh 159 ekor ular yang dapat dicatat morfometrinya. Data yang dikumpulkan yaitu : 1.
Panjang Ular. Panjang ular yang diukur meliputi panjang total (yaitu panjang dari ujung kepala ke ujung ekor), SVL/Snout-vent length (yaitu panjang dari ujung kepala hingga lubang kloaka) dan panjang ekor (yaitu panjang total – SVL atau panjang dari kloaka hingga ujung ekor).
2.
Berat tubuh. Berat tubuh ini diukur dengan memasukkan ular ke dalam karung kain dan ditimbang menggunakan timbangan pegas.
3.
Jenis kelamin. Perbedaan jenis kelamin pada ular dapat diketahui dengan pemeriksaan keberadaan hemipenis dengan cara menekan tepi kloaka. Apabila kelihatan maka jenis kelamin jantan dan apabila tidak nampak berarti betina.
4.5.4. Karakteristik Habitat Data karakteristik habitat ini merupakan berbagai informasi yang terdapat di lokasi habitat ditemukannya ular jali tersebut. Diperoleh 48 lubang yang diidentifikasi merupakan sarang ular jali. Karakteristik habitat yang ingin diketahui yaitu kondisi kelembaban tanah dan lubang sarang, suhu tanah dan
31 lubang sarang, ketinggian tempat (m dpl), pH tanah, jarak dari pemukiman, jarak dari sumber air dan kelerengan. Metode pengumpulan data komponen habitat ular jali tersebut adalah sebagai berikut : 4.5.4.1. Kelembaban dan suhu lubang sarang. Digunakan alat Thermohigrometer (digital), dengan memasukkan ujung alat, berupa sensor yang terhubung kabel ke alat tersebut dan akan muncul pada layar nilai dari kelembaban dan suhunya. Satuan alat ini adalah Relative Humidity (RH) untuk kelembaban dan oC (derajat celsius) untuk suhu. 4.5.4.2. Kelembaban tanah dan pH tanah. Komponen habitat ini diukur dengan menggunakan pH-moisture meter, berupa stick ganda (panjang sekitar 25 cm), yaitu dengan menancapkan ke dalam tanah, maka akan terlihat jarum menunjukkan angka yang merupakan nilai dari kelembaban dan pH tanah. 4.5.4.3. Suhu tanah. Suhu tanah diukur dengan termometer air raksa khusus tanah, yaitu berupa tabung kaca kapiler berisi air raksa dengan penutup besi anti karat dengan bagian terbuka untuk membaca skala derajat celsius yang akan bergerak sesuai suhu tanah, ketika ditancapkan di tanah. 4.5.4.4. Ketinggian tempat. Pengukuran ketinggian tempat digunakan GPS receiver yang didalamnya terdapat pengukuran ketinggian tempat dari informasi GPS tersebut. GPS receiver sebelum digunakan telah dilakukan kalibrasi ke tepi pantai atau di lokasi yang telah distandarkan posisi koordinatnya, seperti lokasi Lapangan/Bandara Udara. Satuan dari ketinggian tempat ini adalah meter dari permukaan laut (m.dpl). 4.5.4.5. Jarak pemukiman dan jarak dari sumber air. Jarak tersebut diukur dengan meteran dan dibantu dengan perhitungan dengan GPS receiver dengan mengukur antar titik koordinat yang ditentukan di lubang sarang dan lokasi pemukiman terdekat. Satuan yang digunakan adalah meter (m). 4.5.4.6. Kelerengan. Pengukuran kelerengan dilakukan dengan bantuan peta DEM (Digital elevation model) dengan pengkelasan menurut SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/II/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung. Hasil pengamatan dan pengambilan data dicatat dalam tallysheet yang telah dipersiapkan.
32 Tabel 2. Metode Pengukuran dan Analisa Data Pada Tiap Peubah yang Diukur No
Tujuan
1.
Pola tata niaga
2.
a. Populasi di habitat tangkap
3.
3.
Peubah Yang Diukur Pelaku Rantai tata niaga Harga ular jali Kelimpahan tertangkap Jenis kelamin Nisbah kelamin
Unit Pengamatan Individu (orang) Individu (orang) Individu (orang) Lokasi tangkap Individu ditangkap Individu ditangkap
b. Populasi di pengumpul
Snout-vent length Panjang ekor Berat tubuh Jumlah Jenis kelamin Nisbah kelamin
Individu ditangkap Individu ditangkap Individu ditangkap Pengumpul Individu terkumpul Individu terkumpul
Morfometri
Nisbah kelamin
Individu terkumpul
Panjang total Snout-vent length Panjang ekor Berat tubuh Karakteristik Suhu lubang Habitat Suhu tanah Kelembaban pH tanah dan kelembaban tanah Ketinggian lokasi Jarak dari sumber air Jarak dari pemukiman Kelerengan
Metode Pengukuran Wawancara Wawancara Wawancara Time search/ quadrat searches Lihat ciri morfologi Perbandingan jantan : betina Meteran Meteran Timbangan pegas Hitung langsung Lihat ciri morfologi Perbandingan jantan : betina
Individu terkumpul Individu terkumpul Individu terkumpul Individu terkumpul Lokasi tangkap Lokasi tangkap Lokasi tangkap Lokasi tangkap
Perbandingan jantan : betina Meteran Meteran Meteran Timbangan pegas Thermohigrometer Termometer tanah Thermohigrometer pH-moisture meter
Lokasi tangkap Lokasi tangkap
Altimeter Meteran
Lokasi tangkap
Meteran
Lokasi tangkap
Peta DEM
Analisis Data Deskriptif Uji beda nilai tengah (T-Test ), Quadrat search dan time search
Uji beda nilai tengah Kruskal Wallis, Ekstrapolasi Deskriptif, Analisis regresi berganda,
Deskriptif Analisis Chi-square, Uji korelasi
4.6. Analisa Data 4.6.1. Analisa pola tata niaga ular jali di Jawa Tengah Analisis pola tata niaga ular jali di Wilayah Jawa Tengah dilakukan secara deskriptif bagaimana peran para pelaku, rantai dan pola tata niaga ular jali di wilayah Jawa Tengah.
33 4.6.2. Morfometri Ular Jali Data morfometri ular jali yang diperoleh di habitat langsung dan lokasi pengumpul dianalisis dengan statistik deskriptif untuk mendapatkan nilai rata2(mean), ragam dan simpangan baku. Walpole (1982) menuliskan rumus berikut : 1. Nilai rata2(mean)
2. Ragam
3. Simpangan baku
Selanjutnya dilakukan uji beda terhadap nilai tengah untuk mengetahui ada/tidaknya perbedaan morfometri ular jali antar-lokasi tangkap dan antarpengumpul besar. Uji beda berupa T-test tergantung jumlah kelompok data yang akan dibandingkan. 4.6.2.1. Analisis Penduga Berat Ular Jali Berdasarkan Ukuran Morfometri Data ukuran berat tubuh dan morfometri lainnya (panjang total, SVL dan panjang ekor) mempunyai hubungan yang dapat dibangun sebuah model persamaan. Oleh karena itu, dalam statistik parametrik dapat dilakukan analisis regresi berganda, dengan tujuan untuk memprediksi besar peubah bergantung (dependent variable) menggunakan data dari dua atau lebih peubah bebas (independent variable) yang sudah diketahui besarnya (Santoso 2012). Peubah tidak bebas (dependent) (Y) adalah berat (body mass) ular jali sedangkan peubah bebas (independent) (X) adalah peubah-peubah morfometri (panjang total, SVL dan panjang ekor). Analisa regresi berganda yang digunakan menggunakan metode stepwise. Y = bo + b1X1 + b2X2 + b3X3 keterangan: Y b0 b1.....b10 X1 X2 X3
= = = = = =
berat (body mass) ular jali nilai intersep nilai koefisien regresi parameter morfometrik ke-1... ke-3 panjang total snout-vent length panjang ekor
34
Hipotesis yang diuji adalah: H0: Peubah bebas ke-i tidak dapat digunakan untuk memprediksi berat ular jali. H1: Peubah bebas ke-i dapat digunakan untuk memprediksi berat ular jali. 4.6.2.2. Uji Korelasi dan Uji T Untuk membandingkan rata-rata dari dua group sampel (kelompok morfometri berdasarkan jenis kelamin) yang tidak berhubungan satu dengan yang lain digunakan uji t dua sampel independen (Independent Sample T-Test). Analisa kedua uji tersebut menggunakan bantuan perangkat lunak SPSS 19. 4.6.3. Analisa Kelimpahan Ular Jali Kelimpahan panenan yang diperoleh dari pengumpul dianalisa dengan pendekatan masing-masing lokasi pencarian (dengan titik konsentrasi posisi pengumpul besar). Perhitungannya dengan mencatat perolehan tangkapan masingmasing pengumpul kecil dari masing-masing lokasi penangkapan. Kelimpahan relatif ular jali yang langsung diperoleh di lapangan dengan Metode Quadrat searches, menggunakan quadrat sebagai unit contoh. Quadrat di sini adalah suatu luasan dari area yang merupakan habitat ular tersebut, yang ditetapkan secara acak dengan mewakili wilayah studi. Jumlah ular yang di ditangkap didalam quadrat tersebut diperoleh dengan penangkapan langsung (PBC 1998). Prosedur pelaksanaan metode ini adalah sebagai berikut : a. Tempatkan quadrat secara acak di lokasi yang potensial ditemukannya ular jali di wilayah studi yang telah ditetapkan. b. Catat berbagai karakteristik habitat yang ada. c. Para pencari mulai mencari ular jali di quadrat tersebut di berbagai kondisi (lubang, dibawah tumpukan batu, serasah dll). d. Ketika menemukan ular, catat beberapa ukuran yang diinginkan. Analisa dalam penentuan kelimpahan relatif dari ular jali di wilayah studi tersebut adalah (PBC 1998) : Kelimpahan relatif dari hasil pencarian ular dianalisa dengan cara:
35 a. Menghitung jumlah ular per waktu pencarian (Time-constained Search): Kelimpahan relatif = jumlah ular tertangkap Total pencari-waktu pencarian Untuk kelimpahan relatif ini satuannya adalah individu/waktu (menit/jam) b. Menghitung jumlah ular per unit area: Kelimpahan relatif = jumlah individu yang tertangkap Luasan pencarian Untuk kelimpahan relatif ini satuannya adalah individu/satuan luas (ha) 4.6.4. Analisis Karakteristik Habitat Hasil rekapitulasi data-data kondisi karakteristik lubang sarang ular jali ditabulasi dan dianalisa secara deskriptif, yaitu masing-masing peubah dibagi menjadi beberapa kelas selang kemudian dicari frekuensi masing-masing selang kelasnya. Hasil frekuensi tersebut ditampilkan dalam bentuk grafik (histogram). 4.6.4.1. Uji Chi-Square Untuk mengetahui hubungan antara frekuensi selang kelas keberadaan lubang sarang ular jali dengan peubah karakteristik habitat tersebut, digunakan Uji Chi-Square (Krebs 1978; Jhonson dan Bhattaacharyya 1987), dengan persamaan sebagai berikut :
Dimana : X2hit : Chi-square hitung O : Frekuensi keberadaan lubang ular jali yang diperoleh dari observasi. E
: Frekuensi keberadaan lubang ular jali yang diperoleh dari observasi.
Hipotesa yang dibangun adalah : H0
: Selang kelas suatu peubah yang ada disukai ular jali secara merata.
H1
: Setidaknya sebuah selang kelas suatu peubah lebih disukai ular jali dari
pada setidaknya sebuah selang kelas yang lain.
36 4.6.4.2. Uji Korelasi Antar Peubah Untuk mengetahui nilai koefisien hubungan antar peubah karakteristik lubang sarang ular jali dilakukan analisa korelasi menggunakan uji korelasi pearson (Pearson Correlation) Analisa uji tersebut menggunakan bantuan perangkat lunak SPSS 19. 4.6.4.3. Uji Kruskal Wallis Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan rata-rata kelas ukuran yang terdapat di tingkat pemburu, pengumpul sedang dan pengumpul besar ular jali, dilakukan uji Kruskal Wallis. Rumus yang digunakan adalah (Walpole 1993): H=
- 3(n-1)
Keterangan: H = statistik hitung n = jumlah total kelompok pengambilan data k = jumlah tipe pengumpul ri = jumlah individu yang ditemukan dalam tingkat pengumpul i ni = jumlah kelompok pengambilan untuk tingkat pengumpul i Hipotesis: H0 = tidak ada perbedaan antara tingkat pengumpul H1 = ada perbedaan antara tingkat pengumpul H0 ditolak pada taraf nyata () 0.05 bila H > (;k-1).
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Tata Niaga Ular Jali Di wilayah Jawa Tengah Tata niaga ular jali dan reptil secara umum merupakan sistem perdagangan yang mengatur komoditas berupa ular jali beserta hasil turunannya. Hasil penelitian dan pengamatan ular jali di Jawa Tengah ini, diketahui beberapa faktor yang mempengaruhi sistem tata niaga satwaliar, terutama di kelompok reptil, baik dari rantai tata niaga, para pelaku, harga dan faktor lainnya. Berdasarkan dari studi literatur dan wawancara, terdapat beberapa hal yang mempengaruhi sistem dan kondisi tata niaga, khususnya untuk ular jali di Jawa Tengah, diantaranya yaitu: 5.1.1. Pelaku Peredaran/Tata Niaga Ular Jali Pelaku disini merupakan pihak-pihak yang terlibat dalam rantai tata niaga ular dari berbagai tingkat. Para pelaku yang terlibat dalam perdagangan ular jali di Wilayah Jawa Tengah, adalah sebagai berikut : 1. Eksportir. Eksportir dalam sistem tata niaga reptil di sini merupakan pihak yang mempunyai ijin untuk eksport satwa liar dan bagian-bagiannya, baik dalam keadaan hidup maupun dalam keadaan mati (berupa kulit maupun daging). Eksportir di dalam tata niaga/peredaran ular jali biasanya juga berperan sebagai pengumpul besar. Di wilayah Jawa Tengah terdapat 3 (tiga) eksportir, yaitu: UD. Welang Sakti (daging), UD. Naga Jaya (daging) dan UD. Santoso (kulit). Mereka mendapat ijin sebagai eksportir satwa liar dari Dirjen PHKA, Kementerian Kehutanan atas rekomendasi dari BKSDA Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No: 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar (pasal 51; ayat 5) masa berlaku sebagai eksportir adalah selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. Para eksportir, baik kulit maupun daging, biasanya mempunyai pembeli (buyer) dan/atau “bos besar” yang berbeda-beda di luar negeri. Tujuan ekspor untuk daging yaitu ke Negara Hongkong, Cina dan Taiwan
38
(Auliya 2010), sedangkan untuk kulit biasanya ke beberapa negara di Eropa dan Amerika. TRAFFIC (2008) juga menyebutkan bahwa tujuan pasar utama untuk produk ular jali adalah Eropa, Singapura, Hongkong dan Taiwan. Menurut Auliya (2010) menyatakan bahwa dari tiga pelabuhan laut besar di Jawa melakukan pengiriman daging ular jali beku ke China dan Taiwan. 2. Pengumpul Besar Pengumpul besar merupakan pihak yang menerima berbagai jenis satwa reptil komersial yang tidak dilindungi oleh undang-undang, baik yang masuk appendix II CITES maupun jenis-jenis non-appendix. Pengumpul besar telah mendapat ijin usaha dan ijin tangkap/edar satwa dari BKSDA Jawa Tengah yang berlaku selama 1(satu) tahun sesuai dengan penetapan kuota secara nasional oleh Direktur Jenderal PHKA (sesuai KepMenHut No: 447/Kpts-II/2003). Pengumpul besar yang terdapat di Jawa tengah secara lengkap dapat dilihat dalam Lampiran 1. Para pengumpul besar mempunyai permodalan yang cukup kuat karena dapat menerima dan membeli hasil tangkapan dengan skala yang besar dan biasanya sekaligus melakukan proses penyembelihan hingga memisahkan kulit dengan daging atau proses selanjutnya sebelum pengiriman ke eksportir. Sama halnya yang disampaikan Semiadi dan Sidik (2011), para pengumpul daerah (pengumpul besar) pada umumnya telah terdaftar di Balai Konservasi Sumber Daya setempat. 3. Pengumpul Antara (Agen). Pengumpul antara
merupakan pihak yang berada di antara
pemburu/penangkap dengan pengumpul besar dalam sistem perdagangan reptil di Jawa Tengah. Pengumpul antara ini biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu pengumpul sedang dan pengumpul kecil. Pengumpul sedang. Pengumpul di tingkat ini, menerima dan atau membeli reptil hasil tangkapan dari pengumpul kecil dan atau ke pemburu/pencari secara langsung, akan tetapi skala pembelian dalam volume tidak begitu besar serta tidak menampung reptil lebih dari 3(tiga) hari dengan pertimbangan susut berat ular (terutama untuk jenis yang
39
penilaian harga dari berat satwa) sehingga segera menyetorkan ke pengumpul besar. Mereka tidak melaksanakan penyembelihan dan atau proses lainnya, sehingga menyetorkan ke pengumpul besar dalam kondisi hidup. Pengumpul Kecil. Seperti halnya tingkat pengumpul sedang, pengumpul kecil merupakan pihak yang menerima/membeli hasil tangkapan reptil dari pemburu/penangkap, biasanya karena faktor kedekatan tempat tinggal (tetangga sekitar) dan skala jumlah reptil yang diperoleh tidak banyak. Mereka biasanya tidak lebih dari 1(satu) hari menampung satwa yang ada dan segera menyetorkan kepada pengumpul sedang atau langsung ke pengumpul besar dengan pertimbangan jarak dan biaya transportasi. 4. Pemburu/penangkap. Pemburu/penangkap ular adalah orang atau pihak yang secara langsung mencari dan menangkap ular jali dan reptil lain secara langsung di lokasi yang merupakan habitatnya. Berdasarkan tingkat kemampuan dan mata pecaharian, terdapat dua kriteria pemburu ular: pertama; pemburu profesional, yaitu mereka yang telah mempunyai pengalaman, pengetahuan dan keterampilan khusus dalam berburu ular (sesuai dengan pengertian profesional dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menurut Poerwadarminta (2007)), serta menjadikan profesi pemburu ular sebagai sumber mata pencaharian utama (Siregar 2012). Kedua; pemburu sambilan, yaitu mereka yang hanya secara kebetulan bertemu dan menangkap jenis ular komersil (biasaya jenis yang tidak berbisa), serta kegiatan menangkap ular dijadikan sebagai sumber pendapatan tambahan, karena utamanya sebagai buruh tani. Bagi
para
pemburu
profesional,
mereka
mempunyai
pengalaman
pengenalan lokasi dan ciri-ciri keberadaan berbagai jenis ular serta waktu dan kondisi yang cocok untuk mendapatkan masing-masing jenis ular yang dicari, sedangkan bagi pemburu sambilan biasanya mendapatkan ular ketika beraktivitas di sawah dan mengetahui nilai komersil dari ular tersebut (tidak dengan sengaja/secara khusus mencari ular). Para pemburu ular akan meningkat jumlahnya (terutama pemburu sambilan) pada saat musim menunggu panen dan saat musim bero (sawah dibiarkan tanpa tanaman).
40
Menurut TRAFFIC (2008), di Jawa Tengah biasanya berlangsung pada Bulan Oktober-Desember dan Februari-April, akan tetapi tergantung juga oleh lokasi geografis dan perubahan musim. Pengurangan jumlah pemburu/penangkap ular jali pada masa banyak pekerjaan di sawah mencapai 50–60 %. Secara ekologis, pengurangan jumlah pemburu pada periode waktu tertentu tersebut menguntungkan bagi ular jali sehingga memberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembangbiak dengan tekanan yang berkurang. Walaupun tidak melakukan perhitungan secara khusus perbandingan jumlah pemburu profesional dan sambilan selama pengamatan, jumlah pemburu profesional ular di Jawa Tengah tidak sebanyak pemburu sambilan. Menurut KKH (2011), dari sejumlah pemburu ular secara keseluruhan yang tercatat oleh IRATA, yaitu sekitar 166 000 orang, hanya sekitar 10 % sebagai pemburu profesional, begitu juga hasil penelitian Siregar (2012), menyebutkan hanya 2 orang dari 29 (sekitar 7%) orang pemburu ular phyton di Sumatera Utara yang diwawancarai, sebagai pemburu profesional. Hal ini menunjukkan bahwa sebagai pemburu profesional dibutuhkan keahlian khusus, keberanian, ketelatenan dan fisik yang kuat untuk perjalanan jauh saat mencari ular, sedangkan hasilnya terkadang tidak seperti yang diharapkan (tidak sebanding dengan usaha dan resikonya). Selain hal itu, karena semakin banyak orang yang mengetahui nilai ekonomi dari ular jali, termasuk para petani, secara langsung menjadi “pesaing” para pemburu profesional yang ada. Pada pengamatan ini, hanya ditemui 4 pemburu profesional, , 3 pengumpul sedang, 4 pengumpul kecil, 6 pengumpul besar dan 2 diantaranya sekaligus sebagai eksportir. Hasil wawancara dengan pemburu ular di lokasi pengamatan, diperoleh
informsi
bahwa,
semakin
bertambah
banyaknya
para
pemburu/penangkap ular (khususnya ular jali) mengakibatkan hasil tangkapan per orang juga berkurang, walaupun di tingkat pengumpul besar merasa hasil yang diperoleh masih cukup stabil. Berdasarkan hasil pengamatan, di tingkat pemburu/penangkap, pada saat ini mereka hanya berhasil menangkap paling banyak 3 ekor ular jali/orang/hari, bahkan
41
diantarnya tidak berhasil mendapat tangkapan ular jali. Hal ini dapat dilihat pada tingkat pencari dalam Lampiran 2, yang merupakan beberapa rekap setoran harian dari pemburu ular ke pengumpul sedang (Pak DalmadiBoyolali). Berdasarkan
perilaku
pemburu
atau
metode
perburuan/cara
memperoleh ular, pemburu ular jali dapat dibagi dalam dua katagori, yaitu: pertama; pemburu ular (terutama yang profesional) yang mencari dan menangkap ular jali hanya tertuju pada ular yang sedang berada diluar sarang, biasanya tanpa menggunakan bantuan alat (tangan kosong), sedangkan katagori kedua; adalah pemburu yang selain menangkap ular yang berada di luar sarang, juga berusaha menangkap ular jali yang berada di dalam sarang dengan menggali sarang tersebut menggunakan cangkul atau alat lainnya. Perilaku pemburu tersebut sangat berpengaruh terhadap kelestarian ular jali, dimana katagori pemburu yang menggali sarang akan mengakibatkan rusaknya sarang ular jali, terlebih lagi apabila terdapat telur atau
anakan
ular
jali.
Hal
tersebut
dapat
mengurangi
potensi
perkembangbiakan dan tingkat kelestarian ular jali pada waktu mendatang. Perusakan sarang reptil oleh penangkap (collector) telah mengganggu kondisi kelimpahan dan habitat mikro reptil yang membutuhkan tingkat kelembaban yang tinggi (Goode et al. 1998). Para pemburu yang hanya menangkap
ular
yang berada
pemahaman/pengetahuan
secara
di luar
sarang,
tradisional
telah
mempunyai
(traditional
knowledge)
terhadap kelestarian dan keberlanjutan hasil apabila mencari ular tanpa merusak sarang sebagai tempat perkembangbiakan ular jali. Perilaku pemburu yang hanya menangkap ular dengan kelas umur optimal dan tanpa merusak sarang tersebut dapat menjadi rekomendasi bagi seluruh penangkap ular jali dan ular lain yang mempunyai habitat lubang sarang. Hal tersebut dapat menjadi faktor yang penting bagi kelestarian dan keberlanjutan populasi ular jali di alam, sekaligus sebagai salah satu faktor yang penting dalam penilaian berdasarkan prinsip Non-detriment finding. 5.1.2. Rantai Tata Niaga
42
Perdagangan ular jali dan reptil lainnya di Jawa Tengah melibatkan banyak pihak seperti telah dijelaskan sebelumnya sehingga membentuk rantai (saluran) perdagangan seperti pada Gambar 2. Berdasarkan rantai perdagangan tersebut, seperti yang dinyatakan Siregar (2012), terdapat pola umum dalam saluran tataniaga ular yang melibatkan empat tingkatan pelaku tata niaga, yaitu pemburu/penangkap ular (catcher), pengumpul antara (agen), pengumpul besar (supplier) dan eksportir.
Pengumpul antara (agen)
Pemburu/ penangkap
Gambar 2 Diagram rantai tata niaga/peredaran ular jali di Jawa Tengah. Berdasarkan diagram alur diatas, dapat dijelaskan bahwa tidak semua tingkat pelaku secara hirarki melakukan perdagangan ular jali sesuai tingkatannya, dimana terdapat beberapa “jalan pintas” antar tingkatan pelaku. Terdapat para pemburu yang langsung menjual ular ke pengumpul sedang dan besar, bahkan terdapat pengumpul besar yang mempunyai orang-orang yang bertugas “jemput bola” ke pengumpul antara dan pemburu. Kondisi serupa juga disampaikan oleh Soehartono dan Mardiastuti (2002), dimana terdapat keadaan para penangkap bertransaksi secara langsung dengan pengrajin atau eksportir. Beberapa pengumpul sedang dan besar mengeluh adanya penyimpangan kondisi tersebut, karena mengakibatkan penurunan pendapatan mereka. Hal ini terjadi karena ada orang/pihak yang merupakan perpanjangan tangan pengumpul
43
besar lain dan sekaligus eksportir, secara langsung mendatangi pemburu dan pengumpul kecil yang biasanya menjual ular ke pengumpul sedang. Kondisi ini terjadi karena adanya penawaran harga yang lebih tinggi dibandingkan harga yang sanggup dibayar oleh pengumpul sedang. Kondisi tersebut merupakan contoh kasus bagaimana persaingan pasar dalam peredaran ular jali di Jawa Tengah. Oleh karena itu, terdapat beberapa pengumpul antara (agen) dan besar yang mengalami penurunan perolehan ular dan jenis reptil lainnya karena terdapat persaingan diantara mereka. Hal tersebut didorong salah satunya faktor harga dan jarak lokasi antar pengumpul. Auliya (2010) juga menyatakan bahwa beberapa pengumpul besar menyembelih ular sendiri, sedangkan ular yang lainnya disetor ke pengumpul besar lainnya. Para pengumpul besar melakukan penyembelihan sendiri sejak mengetahui keuntungan yang dapat diperoleh dari hasil sampingan dagingnya. Tabel 3 Pembagian kuota tangkap dan edar ular jali di Jawa Tengah No
Nama Pengusaha
Alamat
Ijin Tangkap Ijin Tangkap 2011 2012 Ket. Kulit Hidup Kulit Hidup
1
UD. Indonesia Fauna
Cilacap
21 500
86
18 000
80
2
UD. Welang Sakti
Boyolali
9 113
12
7 000
10
3
UD. Naga Jaya
Pati
9 113
6
2 000
10
4
UD. Naga Puspa
Pati
0
6
0
10
5
UD. Santoso
Magelang
0
6
5 000
0
6
UD. Jari Asih
Pati
0
6
0
10
7
UD. Snake Centre
Kebumen
0
6
0
0
8 9 10
UD. Tukiran UD Reptil CV. Bumi Makmur
Cilacap Banyumas Semarang
0 0 0
6 6 6
0 0 0
0 0 0
11
PT. Manta Pratama Unggul Perkasa
Semarang
0
6
0
0
39 726
152
32 000
120
Jumlah
Eksportir Daging Eksportir Daging Eksportir Kulit
Dinamika yang terjadi dalam perdagangan reptil tersebut mempengaruhi perolehan/penerimaan jumlah ular jali di masing-masing pengumpul besar dan wilayah edar/tangkap. Hal ini dikarenakan adanya pembagian pembatasan
44
tangkapan oleh Balai KSDA Jawa Tengah, dengan dasar kuota yang ditetapkan oleh management authority. Beberapa
pengumpul
besar,
yang
merupakan
salah
satu
pelaku
peredaran/perdagangan di bidang reptil yang terdaftar di KSDA Prop. Jawa Tengah telah mengajukan ijin tangkap dan eksport di bidang reptil. Pada tahun 2011 terdapat 11 pengusaha yang mendapat ijin tangkap dan 3 (tiga) diantaranya juga mendapat ijin eksport, baik berupa kulit maupun daging, sedangkan pada tahun 2012 berkurang menjadi 8 perusahaan yang mendapatkan ijin tangkap. Selain yang tersebut Tabel 3, terdapat 2(dua) pengumpul besar yang pernah mendapat ijin tangkap, berakhir pada tahun 2010, yaitu: UD. Sumber Rejeki Subur (Desa Wasonorejo, Desa Gebang, Masaran, Sragen) dan UD. Minto rejo (Dk. Katukan Desa Gebang Kec. Masaran, Sragen). Kedua pengumpul besar yang merupakan kakak beradik tersebut hingga saat ini masih melakukan usaha sebagai pengumpul satwa reptil dan juga melakukan peredaran satwa liar, baik dalam keadaan hidup maupun berupa kulit dan atau daging. Selain pengusaha yang telah atau pernah mendapat ijin tangkap maupun peredaran satwa liar, terdapat banyak orang yang menjadi pengumpul hasil penangkapan satwa, terutama reptil, yang biasanya secara bebas melakukan penangkapan di alam dan melakukan kegiatan peredaran satwa, baik dalam satu propinsi maupun lintas wilayah. Dari 8 (delapan) pengumpul besar yang mendapat ijin tangkap dan edar reptil di Jawa Tengah, hanya 5 diantaranya yang mempunyai jatah kuota tangkap untuk ular jali, dengan ijin edar dalam bentuk kulit maupun hidup. Penetapan proporsi jatah tangkap dan edar tersebut, menurut petugas BKSDA Jawa Tengah, yaitu berdasarkan realisasi pengajuan SAT-DN (Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri) dan SAT-LN (Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Luar Negeri) oleh para pengusaha (pengumpul besar dan eksportir) tersebut pada tahun sebelumnya. Hal ini sebenarnya masih kurang, karena ada hal lain yang seharusnya menjadi pertimbangan penetapan proporsi jatah kuota tangkap masing-masing pengusul ijin, yaitu dalam Keputusan Menteri ut 447/KptsII/2003, Pasal 32; ayat 1 (a) dan (b), yang intinya perlu pengkajian dan monitoring
45
daerah tangkap, kondisi kelimpahan dan laporan realisasi produksi riil tahun sebelumnya. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal PHKA Nomor: SK.261/IVKKH/2011 tanggal 30 Desember 2011 tentang Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwaliar untuk Periode Tahun 2012, untuk ular jali mendapat kuota tangkap sebesar 99 500 (kulit) dan 500 (hidup/pets) yang terbagi ke tiga propinsi, yaitu: Jawa Barat sebesar 10 000 (kulit) dan 100 (hidup); Jawa Tengah sebesar 40 500 (kulit) dan 200 (hidup); serta Jawa Timur sebesar 49 000 (kulit) dan 200 (hidup) (KKH 2010b). Penetapan jatah kuota tangkap/edar untuk jenis reptil kepada para pengusaha di BKSDA Jawa Tengah pada tahun 2011-2012, tidak sepenuhnya terbagi habis. Dari total kuota wilayah Jawa Tengah untuk ular jali pada tahun 2011-2012 sebesar 40 500 (kulit) dan 500 (hidup) pada tahun 2011 masih ada sisa kuota 774 (kulit) dan 48 (hidup), sedangkan pada tahun 2012 terdapat sisa kuota 13 000 (kulit) dan 80 (hidup). Hal tersebut akan menjadi pertanyaan tersendiri, karena melihat kondisi di lapangan dengan kelimpahan panenan ular jali di tingkat pengumpul besar lebih dari 100 000 ekor per tahun. Salah satu unsur penting yang berpengaruh terhadap tingkat kelestarian pengelolaan satwa liar yaitu pihak pengelola yang mengatur sistem didalamnya. Oleh karena itu diperlukan perbaikan sistem monitoring, evaluasi dan adminstrasi dalam hal pengelolaan peredaran satwaliar di lingkup management authority, dalam hal ini BKSDA Jawa Tengah. Pengumpul besar yang tidak mempunyai jatah kuota tangkap/edar ular jali dari BKSDA, seperti UD. Sumber Rejeki Subur, UD. Mintorejo, UD. Naga Puspa dan beberapa lainnya (Tabel 1), akan menjual dan atau mengirim ular jali, baik dalam keadaan hidup maupun dalam bentuk daging dan kulit ke pengumpul besar lainnya atau eksportir baik yang berada di wilayah Jawa Tengah maupun keluar provinsi tanpa disertai dokumen resmi. Selain eksportir yang ada di wilayah Jawa Tengah para pengumpul besar mengirim barang lewat pengusaha/eksportir di Surabaya, Bandung dan Jakarta. UD. Indonesia Fauna-Cilacap biasanya mengirim daging ular jali dalam bentuk beku (frozen) ke Bandung, sedangkan untuk kulit ular jali lewat eksportir di Jakarta. Demikian juga untuk UD. Mintorejo, selain
46
mendapat pasokan ular jali hidup dari beberapa kabupaten di Jawa Timur (Ponorogo, Madiun, Ngawi dan Nganjuk), mereka mengirim daging beku dan kulit lewat eksportir di Surabaya. 5.1.3. Harga Ular Jali Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat permintaan ular jali adalah faktor harga. Harga ular jali juga “dikendalikan” oleh para pembeli (buyer) yang merupakan “bos besar” dari negara konsumen, terutama Hongkong sebagai tujuan ekspor daging. Hasil wawancara ke beberapa pengumpul, diperoleh informasi harga beli ular jali di tingkat pengumpul besar dan sedang dalam keadaan hidup dan masing-masing kelas ukuran. Tabel 4 Harga ular jali di tingkat pengumpul besar dan sedang No
Nama Pengumpul
Alamat
1 UD. Naga Jaya 2 UD. Naga Puspa
Pati Pati
Harga Per ekor Ular jali Berdasarkan Grade Berat > 1 kg 0.8 kg 0.7 kg 0.6 kg 60 000 35 000 20 000 7 000 60 000 41 000 20 000 13 000
Ket.
3 UD. Jari Asih UD. Indonesia 4 Fauna 5 UD. Welang Sakti 6 Pak Waluyo UD. Sumber 7 Rejeki 8 UD. Mintorejo
Pati
jual 35 000 25 000 15 000 10 000 hidup
Cilacap Boyolali Boyolali
50 000 30 000 15 000 10 000 60 000 40 000 15 000 10 000 65 000 44 000 23 000 15 000
Sragen Sragen
65 000 45 000 20 000 13 000 60 000 45 000 25 000 13 000
Kondisi harga ular jali di tingkat pengumpul besar untuk ukuran berat >1 kg per ekor, berkisar Rp 50 000.00 hingga Rp 65 000.00, sedangkan di tingkat agen atau pengumpul sedang sekitar Rp 35 000.00. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi permintaan pasar dan didorong oleh kelas ukuran ular jali yang bernilai ekonomis. Tingkat harga ular jali pada saat ini dianggap dalam kondisi yang bagus (harga tinggi) karena permintaan pasar ekspor masih terbuka. Faktor harga sangat dipengaruhi oleh pasar global, sehingga para pengumpul besar maupun eksportir selalu memonitor perkembangan pasar dunia. Harga yang berlaku diinformasikan
47
kepada para pengumpul kecil. Kisaran harga yang terdapat di masing-masing tingkatan pengumpul biasanya bervariasi hampir sama (Siregar 2011). Berdasarkan informasi beberapa pengumpul besar, ketika permintaan ular jali rendah, di tingkat pengumpul besar untuk ukuran >1 kg dibeli dengan harga Rp 25 000.00. Apabila dibandingkan dengan jenis ular komersil lainnya dan bernilai ekonomis, ular jali termasuk jenis ular yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi. Sebagai contoh apabila dibandingkan dengan jenis ular pucuk (Ptyas korros) yang dijual per kilo (komulatif jumlah ular per kilo) dengan harga beli saat ini di pengumpul besar Rp 30 000.00, dimana dalam 1 kg bisa terdapat 3–4 ekor ular pucuk. Selisih harga di beberapa pengumpul besar yang lokasinya tidak terlalu jauh, seperti antara pengumpul besar di Kabupaaten Boyolali dan Sragen, mendorong para pemburu dan atau pengumpul kecil berusaha mencari harga yang lebih tinggi. Hal ini berlaku bagi mereka yang tidak mempunyai hubungan tertentu, misalnya kekeluargaan atau terkait hutang-piutang. Demikian juga berlaku sebaliknya, menurut Siregar (2011), para pengumpul besar maupun eksportir mempunyai ikatan informasi dan selalu memonitor perkembangan pasar dunia. Harga yang berlaku diinformasikan kepada para pengumpul kecil. Kisaran harga yang terdapat di masing-masing tingkatan pengumpul biasanya bervariasi hampir sama. 5.1.4. Wilayah Pencarian Ular Jali Di Jawa Tengah Provinsi Jawa Tengah mempunyai keragaman jenis reptil yang cukup tinggi, terutama jenis ular. Selain ular jali (Ptyas mucosus), terdapat beberapa jenis ular yang bernilai ekonomis, baik yang masuk Appendix maupun non-appendix CITES, diantaranya yaitu: ular kobra (Naja sputatrix), ular king kobra (Ophiophagus hannah), ular lanang sapi (Elaphe radiata), ular air tawar (Homalopsis buccata), ular air asin (Boiga cynodon), ular koros/pucuk (Ptyas koros) dan beberapa jenis lainnya (KKH 2008). Jenis-jenis tersebut tersebar di hampir merata di wilayah Jawa Tengah, mulai bagian timur hingga barat, akan tetapi ada beberapa jenis yang mempunyai wilayah penyebaran tertentu misalnya ular air asin yang banyak terdapat di tambak-tambak di pesisir utara.
48
Keberadaan ular jali banyak ditemukan hampir merata di Jawa Tengah, akan tetapi terdapat beberapa wilayah dengan kelimpahan rendah dan ada wilayah yang mempunyai kelimpahan tinggi. Berdasarkan para pengumpul dan pemburu ular, apabila di suatu wilayah banyak ditemukan ular jali maka akan jarang ditemukan ular kobra, demikian juga sebaliknya. Belum ada keterangan secara ilmiah menjelaskan hal tersebut, asumsi sementara karena secara umum habitat ular tersebut hampir sama yaitu dominan di daerah persawahan. Lokasi tangkap atau daerah yang merupakan habitat ular jali di wilayah Jawa Tengah, secara umum dapat disampaikan seperti dalam Tabel 5. Secara administrasi, beberapa wilayah yang mempunyai kelimpahan ular jali cukup banyak berada di Kabupaten Sragen, Boyolali, Wonogiri, Purwodadi, Demak, Magelang, Cilacap, Banyumas, Tegal, Pemalang dan Brebes, sedangkan beberapa wilayah lainnya termasuk mempunyai kelimpahan relatif yang termasuk kurang. Tabel 5. Daftar pengumpul dan lokasi tangkap ular jali di Jawa Tengah
1
Nama Pengumpul UD. Naga Jaya
Pati
2
UD. Naga Puspa
Pati
3 4
UD. Jari Asih UD. Indonesia Fauna
Pati Cilacap
5
UD. Welang Sakti
Boyolali
6
Pak Waluyo
Boyolali
7
UD. Sumber Rejeki UD. Mintorejo
Sragen
No
8
9 10 11
UD. Bumi Makmur UD. Manta UD. Santoso
Alamat
Sragen
Lokasi Tangkap Ular Jali
Ket.
Jepara, Pati, Blora, Purwodadi, Cepu, Banjarnegara, Temanggung, Boyolali Sragen, Pati, Jepara, Blora, Purwodadi sekitar Pati Cilacap, Tegal, Brebes, Bumiayu, Ajibarang, Purwokerto, Rawaloh, Kebumen, Banyumas, Pekalongan, Banjarnegara, Pemalang, Purworejo Boyolali, Kebumen, Magelang, Purwodadi, Klaten Purwodadi, Demak, Sleman, Wonogiri, Ngawi Purwodadi, Kab. Semarang, Boyolali, Wonogiri, Sukoharjo Karanganyar, Klaten, Ponorogo, Ngawi, Purwodadi, Nganjuk, Sragen
Eksportir daging
Semarang
-tdk ada data-
Semarang Magelang
-tdk ada data-tdk ada data-
Eksportir daging
dari Wilayah Jawa Timur Dominan tokek Eksportir kulit
49
Pengamatan terhadap ular jali sebelumnya di wilayah Jawa Tengah oleh Boeadi et al. (1998), meliputi wilayah penyebaran di Purwodadi, Klaten dan Magelang; Mumpuni (2002) melakukan pengamatan di wilayah Wonogiri, Cilacap, Purwodadi dan Sragen; Sidik (2006) mengambil sampel di wilayah Demak dan Sragen. Menurut para pemburu ular di wilayah Kabupaten Boyolali dan Sragen, penyebaran ular jali hingga saat ini semakin berkurang, sedangkan jumlah para pemburu cenderung semakin meningkat. Hal ini ditandai dengan pertemuan di lokasi tangkap (wilayah Boyolali) dengan para pemburu ular lainnya yang berasal dari Purwodadi serta faktor perilaku pemburu yang berorientasi mendapatkan ular jali dengan menggali sarang sehingga merusak sarang. Hal ini selain mengakibatkan kerusakan habitat juga berpengaruh mematikan anakan dan merusak telur, apabila disaat musim mengerami atau menetas. Para pengumpul besar ular jali yang terdapat di bagian timur wilayah Jawah Tengah (Pati, Sragen, Boyolali), banyak menerima ular jali dari wilayah pencarian yang sama akan tetapi beda pemburu dan pengumpul kecil-sedang, sehingga terlihat adanya tumpang tindih daerah tangkap antar pemburu. Para pemburu yang berasal dari Purwodadi mencari ular jali hingga ke daerah Boyolali atau pemburu dari Sragen dan daerah lain mencari ular jali hingga ke Wonogiri. Para pemburu dan para pengumpul kecil-sedang bebas mencari ular di seluruh Jawa Tengah, tanpa ada pembagian wilayah tangkap masing-masing pemburu atau pengumpul. BKSDA Jawa Tengah sebagai management autority dalam hal peredaran satwa liar,
tidak
memberlakukan
pembagian
wilayah
tangkap
masing-masing
pengumpul yang tentunya mempunyai banyak agen berupa pengumpul kecilsedang dan para pemburu/penangkap. Hal ini berbeda dengan yang diberlakukan oleh BKSDA Jawa Timur dengan membagi wilayah tangkap masing-masing pengumpul besar dengan jejaring dibawahnya. 5.2. Parameter Demografi Permasalahan mendasar dari upaya konservasi jenis terletak pada data yang menyangkut parameter demografi (tingkat kelahiran, kematian, sex ratio dan ukuran populasi). Parameter tersebut merupakan komponen penting dalam
50
mempelajari perkembangan populasi satwaliar (Bailey 1984; Santosa 1993 & Santosa 2008). Pada pengamatan ular jali ini peubah dalam parameter demografi yang diamati adalah sex ratio dan ukuran populasi berupa kelimpahan panenan di tingkat pengumpul dan kelimpahan relatif tangkapan di lapangan. 5.2.1. Sex Ratio Salah satu aspek penting dari parameter demografi satwa liar adalah peubah sex ratio. Total ular jali yang dapat diamati jenis kelaminnya adalah 159 ekor, terdiri dari 75 jantan dan 84 betina, sehingga sex ratio ular jali yang diperoleh selama pengamatan adalah 1 : 1.12. Beberapa penelitian tentang ular, diketahui sex ratio untuk ular The black rat snake (Elaphe obselata obselata) di Canada adalah 1 : 1 (Brennan & Tischendorf 2004) dan untuk jenis the red rat snake (Pantherophis guttatus) di Florida adalah 5 : 6 (Hambold & Murphy 2011). Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa dari beberapa jenis rat snake di dunia mempunyai sex ratio yang hampir sama. Kondisi sex ratio yang optimal pada jenis ular tersebut berpengaruh terhadap efektivitas perkawinan/proses perkembangbiakan (Thohari et al. 2011). Berdasarkan sistem perkawinan pada reptil umumnya dan pada ular, yang cenderung poligami, yaitu satu jantan dapat mengawini beberapa betina, kondisi sex ratio tersebut harus dipertahankan sehingga keberlangsungan perkembangbiakan ular jali tetap terjaga. Kondisi sex ratio, dari sisi tingkat mortalitas akibat pemanenan, menunjukkan bahwa jumlah ular jali betina yang lebih banyak tertangkap dapat menjadi kecenderungan yang kurang baik, karena dengan kelas ukuran dewasa (> 0.7 kg) merupakan kelompok reproduksi produktif, sehingga semakin banyak ular jali betina tertangkap akan menurunkan potensi kelimpahan di habitatnya. Pada saat menyaksikan proses penyembelihan ular jali di UD. Walang Sakti-Boyolali, dari beberapa ular jali betina tersebut diketemukan telur yang belum ditetaskan dan bakal telur yang belum sempurna (folikel) (Gambar 3). Menurut beberapa pemburu dan pengumpul ular jali, pada periode waktu pengamatan berlangsung, merupakan periode mendekati musim bertelur dan mengerami. Oleh karena itu, untuk menjaga kelestarian ular jali disarankan
51
BKSDA Jawa Tengah melarang perburuan ular yang bersifat merusak sarang yang merupakan habitat dari ular tersebut.
Gambar 3 Telur dan bakal telur di indivudi ular jali betina yang disembelih.
5.2.2. Kelimpahan Ular Jali Keberhasilan reproduksi satwaliar sangat menentukan kepadatan populasi (Alikodra 1990), yang merupakan besaran populasi dalam suatu unit ruang. Hingga saat ini informasi terkait dengan kondisi populasi ular jali di Jawa Tengah masih sangat sedikit bahkan belum tersedia datanya. Menurut Auliya (2010) masih sangat sedikit data terkait dengan status populasi ular jali di Jawa dan wilayah lain di Indonesia, tidak ada data kuantitatif yang tersedia, tidak ada bukti atau keterangan terkait peningkatan populasi bahkan selama pelarangan ekspor ular jali pada periode 1993–2005. Salah satu kelemahan dalam pengelolaan populasi satwa liar, terutama jenis yang telah dimanfaatkan oleh manusia dengan pengambilan dari alam, dikhawatirkan tiba-tiba akan terjadi kelangkaan jenis tanpa ada pengendalian dalam pemanfaatannya karena tidak adanya data dan informasi yang memadai terkait kondisi populasinya. Pendugaan ukuran populasi ular jali sangat diperlukan, akan tetapi dengan metode sensus akan sangat sulit dilakukan karena merupakan tugas yang sangat berat (Dodd Jr 1993 & Garel et al. 2005). Berdasarkan kondisi tersebut, pada pengamatan ini diupayakan untuk dapat memperoleh data dan informasi terkait dengan kondisi populasi ular jali, walaupun masih bersifat kelimpahan relatif. Menurut (PBC 1998), seringkali hasil dari pengukuran kelimpahan relatif untuk memperkirakan ukuran populasi ular masih dianggap bias, akan tetapi apabila dilakukan dengan metode yang
52
benar dan sesuai serta dengan sumberdaya yang intensif, pada data yang terkumpul banyak akan memberikan data dan informasi yang valid dan bermanfaat. Oleh karena itu dilakukan pengumpulan data ukuran populasi dengan pendekatan kelimpahan relatif ular jali yang berasal dari hasil tangkapan/panenan di tingkat pengumpul dan di tingkat pencari yang diharapkan dapat memberikan gambaran terkait dengan kelimpahan di habitatnya. 5.2.2.1. Kelimpahan Panenan Kelimpahan panenan ini dikumpulkan dari para pengumpul, terutama yang berskala usaha sedang hingga besar. Proses menggumpulkan data dari pengumpul ternyata cukup sulit, karena sebagian besar dari mereka adalah orang tua yang menjalankan usaha mereka secara sederhana dan tradisional dalam hal administrasi. Para pengumpul belum terbiasa dengan pencatatan (recording data) dari ular yang masuk dan keluar. Meskipun mereka menghitung jumlah dan bobot satwa (sesuai spesifikasi satuan masing-masing jenis untuk menentukan harga), akan tetapi hanya dalam catatan nota yang sekali pakai yang kemudian dibuang atau disertakan kepada penyetor. Pengamat mencoba memberikan tally sheet yang sangat sederhana untuk diisi catatan harian penerimaan jumlah serta kelas ukuran ular jali yang masuk, akan tetapi mereka tidak mengisi catatan tersebut dengan berbagai kendala yang sifatnya teknis. Data dan informasi hasil panenan yang dapat dicatat secara rutin tersebut merupakan salah satu dasar pertimbangan dalam menentukan ukuran populasi ular jali dan penentuan kuota tangkap/edar di suatu wilayah. KepMenHut 447/KptsII/2003, Pasal 32; ayat 1 (a) dan (b), merupakan salah satu ketentuan menekankan perlunya pengkajian dan monitoring daerah tangkap, kondisi kelimpahan dan laporan realisasi produksi riil tahun sebelumnya. Demikian juga seperti yang disampaikan Seber (1982), pemanenan adalah salah satu komponen dari tingkat kematian (mortalitas), disamping kematian yang disebabkan oleh sebab alami (tua), penyakit dan predator. Oleh karena itu, tingkat pemanenan dapat dijadikan ukuran untuk menduga tingkat kematian ular jali di alam yang diharapkan tidak
53
melebihi tingkat kelahiran (natalitas), sehingga kelangsungan populasi di alam tetap lestari. Terdapat 3 pengumpul besar yang menyampaikan catatan rekapitulasi, walaupun kurang lengkap (hanya catatan jumlah), sedangkan yang lainnya merupakan hasil wawancara, sehingga diperoleh rata-rata jumlah ular jali yang mereka terima dari pemburu/penangkap langsung dan atau dari para pegumpul dibawahnya. Hasil rekapitulasi yang merupakan perkiraan kelimpahan panenan hasil perolehan ular jali tersaji pada Tabel 6, sebagai berikut: Tabel 6. Estimasi kelimpahan panenan ular jali per tahun di Jawa Tengah No 1 2 3 4 5 6
Nama Pengumpul
UD. Naga Jaya UD. Naga Puspa UD. Indonesia Fauna UD. Welang Sakti Pak Waluyo UD. Mintorejo Perkiraan Jumlah untuk wilayah Jawa Tengah
Alamat Pati Pati Cilacap Boyolali Boyolali Sragen
Jumlah rata2 terima ular jali Keterangan per tahun 63 000 1 710 40 032 7 884 8 400 11 160 132 186
per thn
Berdasarkan hasil pengamatan di beberapa pengumpul baik dengan pencatatan langsung maupun hasil wawancara dengan pengumpul, diperoleh data berupa jumlah ular jali yang diterima baik per hari, per minggu dan atau per bulan. Jumlah yang tercatat tersebut (minimal dari data 1–3 bulan) dihitung ratarata per bulan dan per hari. Diantara para pengumpul yang ada di Jawa Tengah, diperoleh 6 pengumpul yang mempunyai skala usaha pengumpul ular yang cukup besar. Sebagian besar (5 pengumpul) telah mempunyai ijin usaha, sedangkan 1 pengumpul belum mempunyai ijin usaha. Apabila perolehan ular jali yang diterima masing-masing pengumpul dari hasil rata-rata per bulan diasumsikan dalam satu tahun maka diperoleh kelimpahan panenan di tingkat pengumpul sebanyak 132 186 ekor ular jali per tahun untuk wilayah Jawa Tengah. Kelimpahan relatif berdasarkan panenan yang terkumpul di beberapa pengumpul besar tersebut lebih dari 2 kali lipat jatah kuota tangkap ular jali untuk
54
wilayah Jawa Tengah yang sebesar 40 700 ekor (40 500=kulit; 200=hidup). Menurut Sugardjito et.al. (1998), tingkat tangkapan dalam setahun ular jali di Jawa Tengah sekitar 24 671–117 551 ekor. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi management authority dan scientific authority, apakah meningkatkan jumlah kuota wilayah atau melakukan pengendalian pemanenan di alam. Penentuan kebijakan tersebut harus didukung kegiatan penelitian lanjutan yang lebih intensif dan mendalam. Menurut Seber (1982), hasil dari perhitungan kelimpahan relatif terutama berguna untuk membandingkan populasi jenis yang sama di lokasi pengamatan yang berbeda. Penerimaan ular jali rata-rata per bulan untuk masing-masing pengumpul dari 6 pengumpul besar di Jawa Tengah dapat dilihat pada Lampiran 3. Selain dari 6 pengumpul besar tersebut, sebenarnya terdapat beberapa pengumpul yang termasuk berskala usaha cukup besar, akan tetapi tidak banyak menerima ular jali, karena mereka mempunyai fokus jenis reptil lain (misalnya UD. Jari Asih-Pati terutama menerima jenis tokek; UD. Snake Center terutama menerima ular kobra) dan atau menjadi “posisi” agen dengan menjual hidup ular jali yang diperolehnya dalam jumlah sedikit ke pengumpul besar yang menerima dan memproses ular jali. Hasil wawancara dengan beberapa pemburu hingga pengumpul besar, diperoleh bahwa beberapa faktor mempengaruhi jumlah penerimaan jumlah ular jali di masing-masing pengumpul. Faktor-faktor tersebut adalah: 1. Faktor Harga. Faktor harga mempunyai kekuatan yang cukup besar untuk mengendalikan peredaran ular jali. Adanya kelas ukuran ular jali yang ditangkap juga dipengaruhi/didorong oleh faktor harga. Fluktuasi dan selisih harga diantara para pengumpul besar yang terdapat di wilayah Jawa Tengah mempengaruhi
tujuan
para
pengumpul
sedang,
agen
dan
pemburu/penangkap langsung untuk menjual ular jali yang mereka kumpulkan. Pada saat ini harga ular jali cukup tinggi, yaitu berkisar Rp 50 000.00–Rp 65 000.00 di tingkat pengumpul besar untuk kelas ukuran > 1 kg/ekor. 2. Faktor Lokasi Pengumpul. Keberadaan para pengumpul besar ular jali yang ada di Jawa Tengah tersebar di beberapa lokasi/wilayah kota/kabupaten,
55
yaitu di Kabupaten Cilacap, Boyolali, Sragen dan Pati. Beberapa pengumpul besar tersebut mempunyai jarak yang berdekatan (satu wilayah Kabupaten), terutama di Kabupaten Boyolali, Pati dan Sragen yang masing-masing terdapat pengumpul besar. Secara simultan terkait dengan harga pasar, para pengumpul sedang, agen dan atau para pemburu/penangkap langsung, berusaha mendatangi pengumpul besar yang berani membeli dengan harga tertinggi. Hal ini dijumpai langsung, seorang agen dari wilayah Kabupaten Boyolali (Kecamatan Simo) menjual ular jali ke pengumpul besar di Kabupaten Sragen (UD. Sumber Rejeki) padahal di Boyolali terdapat 2 pengumpul besar (UD. Welang Sakti dan Pak Waluyo). Sebaliknya dengan pengumpul di Pati, yang berjauhan dengan pengumpul besar lainnya, memperoleh ular jali dengan jumlah yang cukup banyak dari wilayah sekitarnya. 3. Faktor Keterikatan Hubungan Para Pengumpul. Keterikatan hubungan antar para pengumpul besar terjadi di dalam peredaran satwa liar, terutama ular jali, di Wilayah Jawa Tengah dalam bentuk hubungan kekerabatan (saudara sedarah atau karena pernikahan), akan tetapi hal ini tidak sepenuhnya berlaku secara umum. Contoh kasus yang dijumpai yaitu adanya alur peredaran satwa ketika terjadi hubungan pernikahan antar anak pengumpul besar (UD. Sumber Rejeki-Sragen dengan UD. Naga PuspaPati), dimana ular jali yang berasal dari UD. Sumber Rejeki dijual hidup ke UD. Naga Puspa semenjak adanya ikatan pernikahan tersebut, untuk diproses potong dan olah kulit dan daging, dimana sebelumnya UD. Sumber Rejeki menjual ke UD. Welang Sakti-Boyolali. Pada kondisi yang berbeda, walaupun ada beberapa pengumpul besar tersebut bersaudara, tapi karena permasalahan pribadi/keluarga, sehingga tidak saling berkomunikasi dan bahkan menjadi pesaing dalam peredaran/perdagangan reptil, hal ini terjadi antara UD. Sumber Rejeki-Sragen dengan UD. Mintorejo-Sragen dan UD. Welang
Sakti-Boyolali
dan
Pak
Waluyo-Boyolali
yang
keduanya
mempunyai hubungan kakak beradik. 4. Faktor siklus tanam padi. Faktor ini bisa disebut juga faktor alam, dimana para pemburu ular jali yang 80 % sebagai pemburu sambilan, dipengaruhi
56
oleh siklus tanam di sawah beririgrasi teknis. Pada masa-masa panen dan tanam padi, para pemburu sambilan fokus pada pekerjaan di sawah. Sawah di lokasi pengamatan biasanya panen dua kali setahun, dengan periode panen, mengolah lahan hingga menanam padi pada bulan April-Mei dan Oktober-November, sehingga pada periode tersebut perolehan tangkapan ular jali berkurang. Periode waktu sawah dengan tanaman muda (< 2 bulan), adalah waktu yang optimal para pemburu mencari ular jali di habitat sawah. Oleh kerena itu siklus tanam padi (faktor alam) merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi hasil kelimpahan panenan ular jali di tingkat pengumpul besar di wilayah Jawa Tengah. Berdasarkan hal tersebut, apabila perburuan dilakukan pada individu ular jali yang sedang beraktivitas di luar sarang saja, maka secara tidak langsung akan menjaga kelestarian populasi ular tersebut, karena ada waktu jeda yang cukup lama (2 x 2 bulan dalam setahun) dimana para pemburu sambilan fokus kepada pekerjaan di sawah sehingga ular jali juga mendapat kesempatan untuk tumbuh dan berkembang biak. 5.2.2.2. Kelimpahan Relatif Tangkapan Langsung Penentuan kelimpahan di habitat reptil dan khususnya jenis ular sangat sulit dilakukan. Hingga saat ini belum ditemukan metode yang secara umum dapat digunakan untuk menentukan kelimpahan jenis ular di alam. Beberapa jenis reptil telah berhasil (jenis kura-kura) untuk dilakukan perhitungan dengan CMR (Capture Mark-Recapture), akan tetapi untuk ular sangat sulit dilakukan, karena perbedaan kondisi/ciri fisik satwa, perilaku dan kondisi habitatnya (Krebs 1978; Seber 1982 & PBC 1998). Kesulitan lainnya karena jenis ular jali merupakan jenis komersil yang setiap waktu dapat tertangkap oleh pemburu ular. Pendekatan yang mungkin dilakukan yaitu dengan perkiraan kelimpahan relatif, dengan berdasarkan lama waktu pencarian dan luas areal pencarian, akan tetapi harus cermat dan disesuaikan dengan kondisi spesifik habitat dan perilaku dari jenis tersebut. Ular jali mempunyai habitat utama berupa sawah, terutama yang mempunyai sistem pengairan teknis dan atau yang menjamin keberadaan air hampir sepanjang tahun. Perilaku ular tersebut juga spesifik, yaitu aktif di siang
57
hari (diurnal), mempunyai kemampuan pergerakan yang sangat cepat dan gesit sehingga oleh van Hoesel (1959) sering menyebut ular jali sebagai ular pelari. Para pemburu/penangkap ular yang profesional telah paham dengan kondisi dan spesifikasi masing-masing jenis ular yang diburu, oleh karena itu mereka mempunyai teknik dan metode yang berbeda-beda dalam mengidentifikasi lokasi, mencari dan menangkap ular-ular tersebut. Beberapa hal yang mereka perhatikan adalah sebagai berikut : 1. Kondisi habitat. Habitat utama ular jali yaitu sawah, akan tetapi tidak semua kondisi sawah yang cocok untuk perburuan ular jali. Walaupun lokasi sawah tersebut diketahui merupakan habitat ular jali, bagi pemburu yang profesional akan memilih masa atau periode waktu pencarian dengan harapan optimal mendapatkan hasil, yaitu pada saat sawah dibiarkan setelah pengolahan sawah sebelum ditanami (kondisi tergenang air) dan kondisi tanaman padi muda (< 1 bulan), dimana tanaman belum tinggi dan rapat, sehingga memudahkan dalam pencarian dan penangkapan. Kondisi sawah seperti itu juga merupakan saat melimpahnya sumber pakan ular jali, terutama jenis katak dan kadal, sedangkan tikus biasanya banyak muncul saat tanaman padi sudah cukup tua (> 2 bulan). 2. Teknik identifikasi keberadaan ular jali. Para pemburu mengidentifikasikan lokasi yang dianggap habitat ular jali dengan melihat tanda-tanda yang ada, diantaranya yaitu (gambar 4) : keberadaan jejak yang ditinggalkan berupa jejak/jalur pergerakan, kulit bekas hasil pergantian kulit (jw: nglungsungi), kotoran ular jali dan suara (biasarnya bunyi katak dalam proses dimakan tapi belum mati/tertelan sepenuhnya). Apabila para pemburu telah
Gambar 4 Tanda-tanda keberadaan dan kondisi habitat (sawah) ular jali.
58
mendapati tanda-tanda tersebut, maka mereka berusaha mencari di sekitar tempat tersebut, baik dengan tujuan bertemu dengan lubang sarang dan atau menemukan ular yang sedang beraktivitas di luar sarangnya. 3. Teknik penangkapan. Pada saat mendapati tanda-tanda keberadaan ular jali, para pemburu mencoba menemukan individu ular jali tersebut, dengan kemungkinan di lobang, baik sarangnya maupun lubang mangsa (katak atau tikus). Ular jali, ketika beraktifitas mencari makan selain di tempat terbuka (sawah) juga mencari mangsa dengan memasuki lubang sarang katak dan atau tikus. Ketika melihat keberadaan ular jali tersebut, secara hati-hati akan tetapi dengan gerakan yang cepat, para pemburu akan menangkap/menarik ular yang sebagian tubuhnya masuk lubang atau mencoba menggali lubang tersebut apabila memungkinkan, tergantung keberadaan lubang, di pematang yang kecil atau cukup besar agar tidak merusak pematang sawah tersebut. Seringkali ular jali lolos dari tangkapan karena lebih cepat pergerakannya sehingga para pemburu kehilangan jejaknya dan atau karena masuk lubang yang tidak mungkin digali. Untuk memastikan keberadaan ular jali di lokasi tersebut, para pemburu biasanya mengitari lokasi yang sama hingga beberapa kali dengan jeda waktu tertentu dengan berharap akan menemukan ular jali yang dimaksud, sehingga dalam satu hari para pemburu akan mengkonsentrasikan wilayah pencarian pada hamparan sawah tersebut. 4. Kondisi cuaca. Ular jali selain sangat cepat dalam pergerakannya, aktivitas di luar sarang dipengaruhi kondisi cuaca setempat. Kondisi cuaca yang disukai oleh ular jali yaitu adanya mendung dan atau adanya hembusan angin yang sedang (jw: semribit), karena ular jali jarang keluar pada kondisi cuaca yang panas. Berdasarkan Webb et al. (2010), cuaca memiliki dampak yang besar terhadap pergerakan ular, sehingga menurut Cagle (2008), seringkali ular beradaptasi terkait dengan warna dan variasi perilaku. Ketika adaptasi
berupa
perubahan
warna,
misalnya
karena
suhu
tinggi
mengakibatkan kulit ular tampak kusam, sehingga meningkatkan kesulitan saat akan ditangkap (Webb et al. 2010) .
59
Beberapa hal tersebut diatas merupakan kondisi dan juga tantangan para pemburu dalam mendapatkan ular jali. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan kecermatan dan pertimbangan yang baik dalam penentuan metode untuk merumuskan dasar dari kelimpahan relatif yang akan digunakan. Kelimpahan relatif ular jali, berdasarkan hasil pengamatan ini, lebih didasarkan pada dua hal, yaitu : (1) luas areal sawah yang menjadi habitat ular jali dan (2) waktu pencarian efektif per hari per orang pada kondisi cuaca yang optimal. Hasil perhitungan berdasarkan luasan diperoleh bahwa dari luasan daerah perburuan dari 6 kali ulangan yaitu 247.197 ha, diperoleh total 10 ekor ular tertangkap, sehingga kelimpahan relatif 1 ekor per 24.7197 ha. Berdasarkan waktu pencarian efektif per hari, para pemburu ular mulai mencari ular jali pada pukul 09.00 WIB hingga 15.00 WIB, dikurangi waktu istirahat, sehingga diperoleh bahwa rata-rata setiap pemburu ular jali mendapatkan 1 ekor ular jali per hari dengan waktu efektif selama 3.5–4 jam perburuan. Menurut Chettri et al. (2009), memperoleh kelimpahan relatif untuk jenis Trachischium guentheri di HimalayaIndia dengan rata-rata tangkapan sebanyak 0.35 ekor per orang per jam. Pertemuan dengan ular tersebut meningkat pada saat musim hangat, disaat temperatur udara meningkat. 5.3. Morfometri Ular Jali Pengamatan morfometri pada ular jali dilakukan untuk mengetahui ukuranukuran yang ada pada individu tersebut, dengan harapan dapat diperoleh ukuran penciri dari ular jali dan juga untuk mengetahui kecenderungan kelas ukuran yang banyak ditangkap oleh para pemburu ular. Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya (Boeadi 1989; Mumpuni 2002; Sidik 2006), beberapa ukuran tubuh yang perlu diketahui adalah panjang total (PT), panjang snout vent lenght (SVL), panjang ekor (PE) dan berat ular (BB). Berdasarkan dari hasil pengukuran morfometri ular jali yang diperoleh selama pengamatan yaitu 159 ekor maka rata-rata panjang total(PT) ular jali yang diperoleh adalah 189.6478, seperti pada Tabel 7 dan 8 berikut.
60
Tabel 7 Hasil analisis deskriptif morfometri ular jali (gabungan)
1 2 3 4 5
Gabungan (N = 159) SVL PE 141.4969 48.1510 142 49 13.5277 8.5826 110 25 199 81
Ket.
No
PT 189.6478 193 18.7373 145 251
mean Median Standev Min Max
BB 0.9424 0.87 0.2696 0.4 1.71
Menurut van Hoesel (1959), ciri-ciri lain yang dimiliki ular jali (P.mucosus) adalah memiliki panjang badan hingga 360 cm, dengan rata-rata 250 cm. Berdasarkan pengamatan Boeadi et al.(1998), terhadap 174 ekor ular, yang terdiri dari 102 ekor jantan dan 72 ekor betina diperoleh informasi rata-rata ukuran SVL ular jali yang dipanen, untuk jantan: 141,54 cm dan betina: 132,9 cm; panjang ekor untuk jantan: 48,13 cm dan betina: 46,52 cm; ukuran body mass untuk jantan: 0,8849 kg dan betina: 0,6575 kg. Tabel 8 Hasil analisis deskriptif morfometri ular jali (tiap jenis kelamin) No
Ket.
1 2 3 4 5
mean median standev Min max
Jantan (N = 75) PT 191.987 194 20.120 145 251
Betina ( N = 84)
SVL PE BB PT SVL PE BB 142.667 49.320 0.954 187.560 140.450 47.107 0.932 145 49 0,87 191 142 48 0.885 14.092 112 199
9.737 0.284 25 0,45 81 1,71
17.285 149 230
12.999 110 174
7.304 0.257 30 0.4 75 1.55
Hasil analisis deskriptif dari morfologi ular jali yang tersaji pada Tabel 8, menunjukkan bahwa ular jali jantan mempunyai rata-rata ukuran (panjang total, SVL dan panjang ekor) yang lebih besar dibandingkan ular jali betina. Sesuai yang disampaikan Boeadi et al. (1998) dan Auliya (2010), bahwa salah satu ciri pembeda pada umur yang sama, ukuran ular jali jantan lebih panjang dibandingkan betina. Berdasarkan hasil uji T terhadap nilai rata-rata pada peubah morfometri ular jali menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara ukuran jenis kelamin jantan dan betina (p-value > 0.05). Out put hasil analisis tersaji dalam Lampiran 4. Hasil tersebut berbeda dengan yang disampaikan Boeadi et al. (1998), bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap panjang tubuh jantan dan betina ular jali. Hal ini menunjukkan bahwa
61
ular-ular jali yang tertangkap mempunyai rata-rata ukuran yang hampir sama (tidak berbeda nyata) antara jenis kelamin jantan dan betina. Pengukuran morfometri ini untuk melihat kecenderungan perubahan terhadap ukuran tubuh ular jali terhadap kondisi lingkungan/habitatnya. Menurut Kurniati et al. 1997, morfologi anggota tubuh dari suatu jenis binatang merupakan hasil sebuah proses adaptasi terhadap lingkungan yang antara lain berupa seleksi terhadap ukuran tubuh bila mana terdapat beberapa tekanan seperti kelimpahan mangsa, kompetisi makanan secara interspesifik dan intraspesifik, seleksi ukuran mangsa dan sistem sosial intraspesifik. Oleh sebab itu adanya variasi ukuran ular jali dapat dipengaruhi jumlah dan jenis pakan, kondisi suhu rata-rata lingkungan dan faktor lainnya. Menurut Dorcas et al. (2004), pentingnya mengetahui ukuran tubuh ular, terutama berat tubuh (body mass) dan suhu tubuh, karena dapat digunakan dalam memahami banyak aspek ekologi ular tersebut. Ukuran tubuh ular juga mempengaruhi tingkat metabolisme (tingkat kebutuhan pakan) dan perannya dalam sistem tropik (rantai makanan). Namun demikian, pada pengamatan ini tidak mendalam hingga hal-hal tersebut. Berdasarkan pengelompokan ular jali yang diukur di tingkat pemburu, pemburu sedang dan pemburu besar di salah satu jalur yang bermuara di UD. Welang Sakti-Boyolali (sebagai pengumpul besar), diperoleh perbandingan jumlah ular jali sebagai berikut (Gambar 5):
Gambar 5 Perbandingan rata-rata ukuran ular jali di tingkat pemburu-pengumpul Besar di Kabupaten Boyolali. Histogram diatas menunjukkan bahwa terdapat rata-rata dari ukuran ular jali yang hampir sama di tingkat pemburu, pengumpul sedang dan pengumpul besar.
62
Hasil analisa dengan uji Kruskal-Wallis (Lampiran 5) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan (p-value > 0.05) dari nilai rata-rata ukuran panjang total dan SVL di tingkat pemburu, pengumpul sedang dan pengumpul besar. Hal ini menunjukkan bahwa di semua tingkat pengumpul ukuran ular jali yang diperoleh hampir sama. Kondisi ini didorong oleh kelas ukuran ular jali yang telah distandarkan pada mekanisme pasar ular jali, yang ditetapkan secara konsensus, sesuai dengan tingkatan nilai ekonomis (harga pasar) yang berkembang. Di dalam beberapa pengamatan dan penelitian sebelumnya terkait dengan morfometri ular jali diperoleh data dan informasi nilai rata-rata SVL serta panjang total dan panjang ekor dari ular jali, apabila dibandingkan dengan hasil pengamatan pada saat ini, dapat disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Ukuran ular jali berdasarkan jenis kelamin periode tahun 1996-2012 Periode
okt - nov 96* Jtn Btn
juni 1998*
mei-juni 2007* Jtn Btn
Sex Jtn Btn Ukuran n=32 n=53 n=102 n=113 n=4 n=16 Contoh SVL (mean) 125.8 139 137.7 136.6 131.2 133.8 14.4 18.1 9.8 15.1 14.9 10.5 SVL (SD) 2.54 2.49 0.97 1.42 7.45 2.63 SE 44.6 48.2 45.7 48.2 46.7 47.4 PE (mean) 8.1 8.1 4.2 5.3 9.6 3.7 PE (SD) Ket: * Menurut Auliya (2010) ** Hasil Pengamatan (2012)
mei-juni 2007* Jtn+Btn
april-mei 2012** Jtn Btn
n=40 145.2 17.3 2.74 48.8 11.6
n=75 n=84 142.7 140.5 14.1 12.9 1.63 1.42 49.3 47.1 9.7 7.3
Pada Tabel 9 yang merupakan perbandingan ukuran ular jali dengan hasil penelitian sebelumnya, mempunyai kisaran rata-rata(mean) panjang SVL yang hampir sama, bahkan mengalami peningkatan ukuran panjang. Hal ini dimungkinkan karena banyak faktor, diantaranya yaitu semakin bertambah banyaknya pemburu/penangkap ular yang berusaha mendapatkan kelas ukuran yang maksimal walaupun jumlah tangkapan semakin berkurang, sedangkan pada periode sebelum tahun 2000, dengan pemburu yang relatif masih sedikit dan populasi masih banyak, kecenderungan diperoleh ular dalam jumlah yang cukup banyak dengan kelas ukuran yang lebih beragam.
63
5.3.1. Kelas Ukuran Ular Jali Tertangkap Para pelaku perdagangan baik para pemburu/penangkap hingga pengumpul besar dan eksportir telah menentukan kelas ukuran (grade) ular jali yang secara ekonomis bernilai di pasar. Kelas ukuran tersebut ditentukan dari berat/bobot ular jali hidup, yaitu kelas ukuran 0.6 kg, 0.7 kg, 0.8 kg dan > 1 kg. Di bawah ini disampaikan grafik perbandingan persentase ular jali tertangkap berdasarkan perbedaan kelas ukuran di tiga pengumpul di Jawa Tengah.
Gambar 6 Persentase penerimaan ular jali berdasarkan kelas ukuran (grade) di beberapa pengumpul. Berdasarkan
kelas
ukuran
ular
jali
yang
dicari
oleh
para
pemburu/penangkap di lokasi, tidak semua mendapatkan kelas ukuran yang sama sesuai harapan para penangkap dan keinginan pengumpul untuk mendapat kelas ukuran yang terbaik. Selama pengamatan di lapangan berlangsung, diperoleh data rekapitulasi perolehan ular jali dan ukurannya selama 3(tiga) bulan dari 2 pengumpul besar yaitu UD. Indonesia Fauna (Cilacap) dan UD. Naga Puspa (Pati), serta dari seorang pengumpul sedang, Pak Dalmadi (Boyolali) (Gambar 7). Sebagian besar ular jali yang diperoleh UD. Indonesia Fauna sebesar 70 %, merupakan ular dengan kelas ukuran > 1 kg, di Pak Dalmadi sebesar 40 %, sedangkan di UD. Naga Jaya hanya 17 % dari hasil tangkapan. Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kondisi kelas ukuran yang diperoleh dari
64
daerah tangkap di Cilacap dan sekitarnya (bagian barat wilayah Jawa Tengah) dan dari daerah Pati dan Boyolali (mewakili wilayah bagian timur dari Jawa Tengah). Hasil yang diperoleh UD Indonesia Fauna, dengan prosentase terbesar pada kelas ukuran >1 kg, adalah sesuai kondisi yang diharapkan. Jika perburuan ular dan pemanfaatan ular jali diutamakan pada kelas ukuran tersebut, maka dapat memberikan kesempatan individu-individu di kelas ukuran dibawahnya untuk tumbuh dan berkembang biak, sehingga kelimpahan populasinya di alam tetap terjamin. Hasil tangkapan atau perolehan ular jali yang berbeda proporsi kelas ukuran tersebut, dapat dijadikan suatu asumsi awal dari suatu kondisi struktur populasi ular jali di masing-masing wilayah penangkapan, akan tetapi akan bias apabila dihubungkan dengan upaya perolehan oleh pemburu yang berusaha mendapatkan ukuran ular sebesar-besarnya. Berdasarkan presentase hasil ular jali yang diperoleh di tingkat pemburu, pengumpul sedang dan pengumpul besar di satu jalur distribusi yang bermuara ke pengumpul besar UD Welang sakti–Boyolali diperoleh grafik pada Gambar 7. Kondisi proporsi yang hampir sama, persentase ular jali yang diterima di tingkat pengumpul sedang dan pengumpul besar, yaitu terbesar pada kelas ukuran > 1 kg, akan tetapi sedikit berbeda pada tingkat pemburu dengan persentase terbesar pada kelas ukuran 0.8 kg. Penangkapan ular dengan ukuran besar adalah terbukti sebagian besar (56%) ular jali yang ditangkap mempunyai kelas ukuran > 0.8 kg.
Gambar 7 Perbandingan persentase penerimaan ular jali berdasarkan kelas ukuran di tingkat pemburu–pengumpul besar.
65
Hal ini dikarenakan adanya dorongan nilai ekonomis (harga) yang semakin besar dari ukuran kelas yang semakin besar pula. Panenan di kelas ukuran lebih dari 0.7 kg perlu adanya monitoring terutama berdasarkan jenis kelamin ular jali yang tertangkap. Meskipun semakin besar akan semakin besar nilai ekonomisnya, pada kelas ukuran tersebut ular jali betina mempunyai tingkat reproduksi yang optimal, sehingga panenan di kelas ukuran tersebut harus tetap menjamin keberadaaan terutama dari ular jali betina. Seperti disampaikan oleh Aji (2011), bahwa ular jali dengan dengan berat > 0.7 merupakan masa produksi telur optimal (12-21 telur sekali masa bertelur). Apabila dilakukan pengumpulan data secara berkelanjutan dalam periode waktu tertentu, akan diperoleh suatu gambaran dari sebuah kecenderungan kondisi populasi ular jali di suatu lokasi, berdasarkan hasil tangkapan ular tersebut. 5.3.2. Pendugaan Berat Berdasarkan SVL Berat ular jali akan berkorelasi dengan panjang tubuh ular tersebut, sehingga dari data morfometri ular jali selama pengamatan dapat dibuat suatu model hubungan berupa regresi untuk menduga berat ular jali dengan adanya informasi dari panjang ular. Berat ular jali sebagai variabel dependen(Y) dan ukuran panjang (PT, SVL dan PE) sebagai variabel independen(X). Untuk mendapatkan model yang terbebas dari faktor mutikolineritas maka digunakan analisis regresi berganda metode stepwise. Hasil analisa menunjukkan bahwa peubah yang paling berpengaruh terhadap dan sebagai penentu berat ular jali adalah snout vent lenght (SVL). Persamaan regresi yang dihasilkan adalah sebagai berikut : Y = - 1.462 + 0.017 SVL Persamaan regresi di atas memberikan suatu indikasi, bahwa adanya kenaikan nilai panjang SVL sebesar 1 unit, akan meningkatkan ukuran berat ular jali sebesar 0.017. Berdasarkan hasil perhitungan nilai p (p-value = 0.000) dari persamaan regresi untuk peubah paling dominan tersebut menunjukkan bahwa peubah SVL memberikan pengaruh nyata terhadap berat dari individu ular jali. Tingkat hubungan dari peubah SVL dengan berat ular jali dapat diketahui dari hasil nilai koefisien determinasi (R-square) dan koefisien korelasi (r), dimana persamaan tersebut mempunyai nilai R-square sebesar 72.7 % (0.727). Hasil
66
analisis korelasi Pearson diketahui bahwa peubah yang paling mempengaruhi berat ular jali adalah SVL dengan nilai korelasi Pearson (r) sebesar 85.3 %. Hal ini menunjukkan semakin besar nilai SVL maka akan semakin meningkatkan berat ular jali. Hasil analisa regresi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6. Persamaan ini dapat digunakan untuk menduga secara cepat berat ular jali yang ditemukan dengan hanya mengukur SVL-nya, sehingga dapat memudahkan dalam monitoring maupun dalam kegiatan panenan. 5.4. Karakteristik Habitat Informasi kondisi spesifik karakteristik habitat sangat penting diketahui dalam pengelolaan satwaliar. Glandas et al. (2011), menyatakan bahwa pemilihan atau seleksi habitat merupakan salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi kemampuan suatu organisme satwaliar, karena kelangsungan hidup dan reproduksinya secara mendasar terkait dengan sumberdaya yang penting (tempat berlindung, pasangan untuk kawin, lokasi sarang) yang bervariasi dalam ruang dan waktu. Ular jali secara habitat makro sering ditemukan di sawah-sawah dan semak belukar dekat lahan pertanian lainnya, suka berburu mangsa berupa katak dan tikus sawah (van Hoesel 1959). Berdasarkan perilaku ular jali dilakukan pengamatan berbagai karakteristik habitat di lokasi persawahan sebagai habitat utama ular tersebut. 5.4.1. Peubah-Peubah Karakteristik Habitat Ular Jali Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi habitat mikro ular jali, yaitu faktor biotik (kualitas dan kuantitas pakan, predasi, penyakit dll), faktor fisik (suhu, kelembaban, curah hujan dll) dan faktor edaphic/tanah (kedalaman, struktur, tekstur, kandungan kimia dll.) (Bailey 1984). Campbell (2008) menyatakan bahwa seleksi reptil terhadap habitat mikro dapat dipengaruhi oleh sebuah hubungan antara faktor biotik dan abiotik. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup satwaliar yaitu terdiri dari makanan, air, temperatur, kelembaban, tekanan udara dan tempat berlindung maupun kawin (Alikodra 1990). Oleh karena itu perlu diamati faktor-
67
faktor mana sajakah yang mempunyai peran penting sehingga mempengaruhi kondisi habitat ular jali. Menurut Reinert (1993), beberapa komponen dalam habitat-mikro ular digunakan untuk menunjukkan lokasi spesifik dari habitat jenis tersebut atau faktor-faktor yang menunjukkan struktur internal atau pola dari variasi habitat di dalam suatu komunitas. Pada pengamatan karakteristik ular jali di wilayah Jawa Tengah ini, plot pengamatan yang diamati khusus pada kondisi lubang sarang ular jali yang secara langsung dijumpai di lapangan. Peubah-peubah yang diamati yaitu: (1) kelembaban lubang sarang, (2) kelembaban tanah, (3) suhu lubang sarang, (4) suhu tanah, (5) pH tanah, (6) ketinggian tempat, (7) jarak dari sumber air, (8) jarak dari pemukiman dan (9) kondisi kelerengan lokasi. Hasil pengamatan terhadap kondisi lubang sarang dengan peubah-peubah tersebut diatas, selanjutnya dilakukan analisa deskriptif untuk masing-masing peubah tersebut. 5.4.1.1. Kelembaban Lubang Sarang Kelembaban udara suatu tempat ditentukan oleh perbandingan kandungan uap air aktual dengan kapasitas udara untuk menampung uap air. Kandungan uap air aktual ditentukan oleh ketersediaan air serta energi (radiasi surya) untuk menguapkannya. Pada keadaan dimana uap air aktual relatif konstan, peningkatan suhu udara yang disebabkan peningkatan penerimaan radiasi surya akan menyebabkan peningkatan kemampuan udara untuk menampung uap air, sehingga
mengakibatkan
penurunan
kelembaban
udara
(kelembaban
nisbi/relative) (Rushayati & Arief 1997). Menurut Cagle (2008); Wishler (2006), pemilihan lokasi habitat mikro oleh ular terkait erat dengan kebutuhan mereka untuk sistem pengaturan suhu tubuh, karena sebagai satwa echotherm, yang berarti suhu tubuh internal bergantung pada suhu lingkungannya. Ular jali yang dominan ditemukan di lokasi persawahan yang masih aktif dan sebagian besarnya merupakan sawah dengan irigasi teknis, sehingga keberadaan lokasi sekitar hampir selalu basah dan atau tergenang air. Demikian juga untuk lubang sarang ular jali yang ditemukan di sekitar persawahan mempunyai tingkat kelembaban yang rata-rata relatif tinggi yaitu berkisar antara
68
71.6 % hingga 94.9 % (Gambar 8). Kelembaban yang diukur dalam pengamatan ini adalah kelembaban relatif (RH-Relative Humidity).
Gambar 8 Diagram sebaran data frekuensi keberadaan sarang ular jali terhadap kondisi kelembaban lubang. Frekuensi terbanyak dari kelembaban pada lubang sarang ular jali yaitu 30 lubang pada rentang kelembaban 79.5-87.1 %. Pada rantang kelembaban tersebut juga terdapat rata-rata (mean) dari data kelembaban lubang sarang ular jali yaitu 83.98 %. (Std.Dev.= 4.48), dengan nilai tengah (median) 84.2 %. Berdasarkan hasil perhitungan chi-square diperoleh bahwa tolak H0, yaitu setidaknya ada satu selang kelas yang disukai oleh ular jali dibandingkan setidaknya satu selang kelas yang lainnya. Menurut Goode et al. (1998), ular membutuhkan kelembaban yang tinggi, apabila terjadi perusakan sarang sehingga merubah kondisi kelembaban habitat mikro (sarang), maka ular tersebut akan berpindah lokasi. 5.4.1.2. Kelembaban Tanah Peubah kelembaban tanah ini diukur dengan alat yang berbeda dengan kelembaban lubang sarang ular jali, sehingga menghasilkan satuan yang berbeda, yaitu dengan skala 1-10 dengan katagori kering (dry), lembab(moist) dan basah (wet). Dari keseluruhan lubang sarang yang ditemukan rata-rata (mean) mempunyai kelembaban tanah sebesar 8.8 (Std.Dev.= 2.2) dan nilai tengah (median) 10.
69
Gambar 9 Diagram sebaran data frekuensi keberadaan sarang ular jali terhadap kondisi kelembaban tanah. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kondisi tanah di lubang sarang ular jali yang ditemukan sebagian besar dalam katagori basah (wet), dengan frekuensi terbanyak yaitu 39 lubang sarang dan mempunyai rentang kelembaban tanah sebesar 8 – 10. Seperti halnya pada kondisi kelembaban lubang sarang, walaupun diiukur dengan alat dan skala yang berbeda, nilai kelembaban yang diperoleh hampir sama yaitu 80 % lubang yang dijumpai berada di nilai >8 (skala 1-10) atau > 80% (skala persentase). Hasil analisis chi-square menunjukkan bahwa hipotesa menolak H0, yang berarti setidaknya ada satu selang kelas yang disukai oleh ular jali dibandingkan setidaknya satu selang kelas yang lainnya. Berdasarkan Orr (2006), faktor kelembaban tanah saja tidak berarti bagi kehadiran ular, akan tetapi memainkan peran dalam pemilihan habitat mikro ular tersebut. Contoh kasus di Virginia, pada tingkat kelembaban tanah yang rendah menyebabkan ular Carphophis amoenus berpindah pada kondisi yang lebih lembab atau lubang yang lebih dalam. 5.4.1.3. Suhu Lubang Sarang Suhu lingkungan mempengaruhi kondisi suhu tubuh ular sehingga mempengaruhi juga kinerja fisiologisnya. Ular mengatur suhu tubuh mereka dengan memilih habitat mikro dan periode aktivitas tertentu (Lelievre et al. 2011).
70
Gambar 10 Diagram sebaran data frekuensi keberadaan sarang ular jali terhadap suhu lubang. Kondisi suhu lubang sarang ular jali yang ditemukan berkisar antara 27.4– o
36.3 C, dengan suhu rata-rata (mean) 30.88 oC (Std.Dev.=2.15) dan nilai tengah (median) 30.65 oC. Frekuensi keberadaan lubang sarang berdasarkan kondisi suhu lubang terbanyak yaitu 24 lubang sarang pada rentang suhu 30.5-33.3 oC. Sebagai sesama hewan berdarah dingin, katak, menurut Goin et al. (1978), memiliki toleransi suhu antara 3 °C hingga 41 °C, sehingga kisaran suhu udara yang diperoleh dapat mendukung kehidupan ular jali. Suhu lingkungan sangat mempengaruhi suhu tubuh hewan berdarah dingin, sehingga menjadi faktor yang berpengaruh terhadap efisiensi pencernaan, kecepatan pergerakan, efisiensi perburuan mangsa dan keberhasilan perkembangbiakan (Reinert 1993). Menurut Aji (2011), di dalam pengamatan perkembangbiakan ular jali di penangkaran, suhu paling optimal dalam penetasan telur ular jali adalah kisaran 32–34 oC, dengan persentase penetasan hingga 100 %. Berdasarkan analisa korelasi antar peubah yang diamati, diperoleh hasil koefisien korelasi antara kelembaban lubang dengan suhu lubang adalah (-)0.608. Nilai tersebut menyatakan bahwa korelasi yang ada kuat (0.4-0.7 = kuat) akan tetapi bersifat negatif, yaitu semakin tinggi nilai kelembaban lubang maka semakin rendah suhu lubang sarang ular jali tersebut (Lampiran 7). Hasil perhitungan chi-square diperoleh bahwa tolak H0, yaitu setidaknya ada satu selang kelas yang disukai oleh ular jali dibandingkan setidaknya satu selang kelas yang lainnya.
71
5.4.1.4. Suhu Tanah
Gambar 11 Diagram sebaran data frekuensi keberadaan sarang ular jali terhadap suhu tanah. Keberadaan ular jali di dalam suatu lubang sarang dipengaruhi oleh kondisi suhu lingkungan. Selain kondisi suhu lubang sarang, perlu diketahui juga kondisi suhu tanah yang terdapat di lubang sarang ular tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh rentang suhu tanah yang terdapat di dalam lubang sarang tersebut adalah berkisar antara 27 oC hingga 34.5 oC. Dari tiga selang kelas yang ada, frekuensi tertinggi keberadaan sarang ular jali terhadap suhu tanah yaitu sebanyak 27 lubang sarang terdapat pada selang kelas 30.0–32.0 oC, dengan ratarata (mean) 29.86 oC (Std.Dev.= 1.44) dan nilai tengah (median) 30 oC. Hasil analisa korelasi antar peubah dari karakteristik habitat ular jali antara peubah suhu tanah dan suhu lubang (Lampiran 7), diperoleh koefisien korelasi sebesar (+) 0.857. Nilai tersebut menunjukkan adanya korelasi yang sangat kuat (07–0.9 = sangat kuat) dan bersifat positif, dimana apabila terjadi peningkatan suhu pada tanah maka akan meningkatkan suhu lubang dan demikian juga sebaliknya. Berdasarkan hasil perhitungan chi-square diperoleh bahwa tolak H0, yaitu setidaknya ada satu selang kelas yang disukai oleh ular jali dibandingkan setidaknya satu selang kelas yang lainnya. Suhu merupakan faktor yang penting di wilayah biosfer, karena pengaruhnya sangat besar pada segala bentuk kehidupan. Beberapa kegiatan organisme seperti reproduksi, pertumbuhan dan kematian dipengaruhi oleh suhu
72
lingkungannya (Alikodra 1990). Ular yang mempunyai ciri berdarah dingin (poikiloterm), sangat dipengaruhi oleh kondisi temperatur lingkungannya. Kondisi suhu tanah, lubang sarang ular jali dan lingkungan diluar lubang sarang mempengaruhi aktiviatas ular tersebut. Menurut Alikodra (1990), suhu pada umumnya mempengaruhi perilaku satwaliar serta berpengaruh terhadap ukuran tubuh serta bagian-bagiannya. Menurut Lelievre et al. (2011), suhu lingkungan ular dan faktor-faktor intrinsik seperti karakteristik morfologi (warna ular), fisiologi (sistem metabolisme) dan perilaku, akan mempengaruhi suhu tubuh ular tersebut. Oleh karena itu, baik kondisi suhu lubang maupun suhu tanah di sarang ular jali akan berpengaruh terhadap suhu tubuh dan kelangsungan hidup ular jali. 5.4.1.5. Kondisi pH Tanah Kondisi asam – basa lingkungan,terutama tanah, yang biasa disebut sebagai pH tanah, merupakan salah satu sifat kimia tanah yang ditengarai juga mempunyai pengaruh dalam
karakteristik habitat ular jali. Keasaman tanah (pH)
dikelompokkan dalam enam kriteria sbb : (1). Sangat asam untuk pH tanah < 4.5; (2). asam untuk pH tanah berkisar antara 4.5 s/d 5.5; (3). Agak asam untuk pH tanah berkisar antara 5.6 s/d 6.5; (4). Netral untuk pH tanah berkisar antara 6.6 s/d 7.5; (5). Agak Alkalis (basa) untuk pH tanah berkisar antara 7.6 s/d 8.5 dan (6). Alkalis untuk pH tanah 8.5.
Gambar 12 Diagram sebaran data frekuensi keberadaan sarang ular jali terhadap pH tanah.
73
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, diperoleh bahwa kisaran pH tanah di lubang sarang ular jali adalah 4.5 hingga 7,5 dengan rata-rata (mean) 6.42 (Std.Dev.= 0.49) dan nilai tengah (median) 6.5. Frekuensi terbanyak keberadaan lubang sarang ular jali terhadap kondisi pH tanahnya terdapat pada selang 5.6– 6.5 yaitu 23 lubang sarang dan selang 6.6 – 7.5 yaitu 19 sarang lubang. Nilai pH tanah dari lubang sarang ular jali di lokasi pengamatan cenderung bersifat agak asam dan netral. Hal ini merupakan kondisi pH yang dimiliki oleh sawah beririgasi teknis di Pulau Jawa pada umumnya. Berdasarkan hasil perhitungan chi-square diperoleh bahwa tolak H0, yaitu setidaknya ada satu selang kelas yang disukai oleh ular jali dibandingkan setidaknya satu selang kelas yang lainnya. Menurut Orr (2006), menyatakan bahwa hasil penelitian terhadap jenis-jenis pakan ular berupa 16 jenis amphibi, 11 diantaranya menghindari pH yang rendah. Oleh karena itu secara tidak langsung ular jali memilih habitat dengan pH ratarata agak asam dan netral, karena pada kondisi pH yang rendah dapat mengurangi ketersediaan pakan berupa jenis katak (amphibi) sebagai pakan utama ular jali. Kondisi pH juga penting untuk menentukan komposisi komunitas tumbuhan yang menentukan organisme yang lain untuk hadir, akan tetapi hal ini belum memberikan informasi yang cukup tentang batas-batas toleransi pH yang dipilih oleh ular (Orr 2006). 5.4.1.6. Ketinggian Lokasi Pengukuran ketinggian tempat ini menggunakan alat GPS (Global Positioning System),
untuk melihat sebaran ketinggian lokasi yang mungkin
ditempati oleh ular jali. Ketinggian tempat/lokasi yang merupakan habitat dari ular jali yang diamati berada pada kisaran 66 m dpl hingga 333 m dpl. Rata-rata (mean) ketinggian lokasi yang ditemukan lubang sarang ular jali adalah 224.1 m.dpl(Std.Dev.=63.87) dengan nilai tengah (median) 212 m.dpl.
74
Gambar 13 Diagram sebaran data frekuensi keberadaan sarang ular jali terhadap ketinggian tempat. Berdasarkan hasil pengukuran terdapat dua selang frekuensi keberadaan lubang sarang ular jali terbanyak yaitu selang ketinggian 156–244 m dpl dan 254– 333 m dpl dengan 23 lubang sarang. Menurut Sidik (2006), ular jali adalah jenis ular yang mempunyai kebiasaan tinggal dalam liang-liang tanah di sekitar lokasi pertanian dan belukar di perbukitan hingga mencapai ketinggian 800 m dpl. Oleh karena itu, selang ketinggian habitat dijumpai ular jali di Jawa Tengah masih masuk dalam selang tersebut (< 800 m dpl). Berdasarkan hasil perhitungan chisquare diperoleh bahwa tolak H0, yaitu setidaknya ada satu selang kelas yang disukai oleh ular jali dibandingkan setidaknya satu selang kelas yang lainnya. 5.4.1.7. Jarak Dari Sumber Air Habitat ular jali yang utama berupa sawah yang tentunya dengan siklus pertanian (terutama tanaman padi), erat kaitanya dengan kebutuhan sumber air dalam pengolahan lahan hingga untuk menjamin kelangsungan kehidupan tanaman tersebut. Hal ini didukung dengan dengan tingkat kelembaban yang dibutuhkan ular jali dalam menentukan habitat yang disukai. Oleh karena itu faktor keberadaan sumber air sangat penting dalam penentuan karakteristik habitat ular jali.
75
Gambar 14 Diagram sebaran data frekuensi keberadaan sarang ular jali terhadap jarak dari sumber air. Hasil pengamatan lubang sarang ular jali diperoleh kisaran jarak dari sumber air antara 1 hingga 40 meter. Hasil rata-rata (mean) adalah 5.85 m (Std.Dev.=6.3) dan nilai tengah (median) adalah 4 m. Frekuensi terbanyak (46 lubang sarang) keberadaan lubang sarang ular jali terhadap jarak dari sumber air adalah 1 hingga 14 m, yaitu pada kelas selang pertama.
Gambar 15 Lokasi lubang sarang ular jali dengan sumber air. Berdasarkan hasil perhitungan chi-square diperoleh bahwa tolak H0, yaitu setidaknya ada satu selang kelas yang disukai oleh ular jali dibandingkan setidaknya satu selang kelas yang lainnya. Ular jali diketahui erat berhubungan dengan daerah perairan yang debit airnya berlimpah, seperti saluran irigasi. Apabila ular Jali ditemukan di dataran rendah yang berparit, berarti ular tersebut sedang atau akan melakukan aktifitas mencari mangsa (Sidik 2006). Selama pengamatan berlangsung, sebagian besar lubang sarang berada sangat dekat sumber air. Sumber air ini dapat berupa sungai,
76
parit, saluran irigasi tersier, mata air dan saluran air yang terdapat di sekitar lokasi ditemukannya lubang sarang tersebut (Gambar 15). Hal ini mendukung pernyataan van Hoesel (1959) bahwa ular jali sering ditemukan di tepi-tepi sungai (sumber air). Hasil informasi dari para pemburu profesional menyatakan bahwa ular jali tidak tahan dalam kondisi kering, karena akan cepat lemas dan mati apabila tidak dibasahi atau berada di tempat yang lembab atau basah. Oleh karena itu tingkat ketergantungan ular jali terhadap keberadaan sumber air adalah tinggi. Disamping adanya kelimpahan pakan yang banyak ditemukan di sawah dan dekat dengan sumber air, yaitu berupa katak dan tikus sawah Tweedie (1998). 5.4.1.8. Jarak Dari Pemukiman Keberadaan habitat ular jali yang berupa sawah, mempunyai kecenderungan berada tidak jauh dari pemukiman penduduk, terlebih lagi dengan meningkatnya populasi manusia yang semakin banyak membutuhkan ruang untuk berbagai keperluan hidupnya. Perhitungan jarak lokasi lubang sarang ular jali dilakukan untuk melihat sebaran jarak dari pemukiman yang ada di sekitar sarang tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh kisaran jarak antara lokasi lubang sarang ular jali dengan pemukiman yaitu 50 hingga 300 m. Rata-rata (mean) jarak pemukiman tersebut adalah 159.27 m (Std.Dev.=66.19) dengan nilai tengah (median) 150 m.
Gambar 16 Diagram sebaran data frekuensi keberadaan sarang ular jali terhadap jarak dari pemukiman.
77
Frekuensi ditemukannya lubang sarang hampir merata pada jarak (Gambar 11) yang terbagi dalam 3(tiga) kelas selang dengan nilai tertinggi pada selang 50–133 m yaitu 21 lubang sarang. Berdasarkan hasil perhitungan chi-square diperoleh bahwa terima H0, yaitu selang kelas peubah jarak dari permukiman yang ada disukai ular jali secara merata. Keberadaaan sawah di lokasi pengamatan rata-rata tidak jauh dari pemukiman, bahkan menurut van Hoesel (1959) ular jali tidak jarang ditemukan di sekitar pemukiman terutama yang berdekatan dengan sawah sebagai habitat utama ular tersebut. Kondisi sawah di lokasi ditemukannya ular jali banyak berupa hamparan yang tidak begitu luas dan berada dikelilingi atau berdekatan dengan pemukiman. Lokasi habitat tersebut terutama lokasi persawahan terasering yang mempunyai kelerengan yang agak curam, seperti yang dijumpai di Kabupaten Semarang, Boyolali dan Cilacap. 5.4.1.9. Kelerengan Lokasi Keberadaan lokasi lubang sarang ular jali yang ditemukan selama pengamatan sebagian besar berada di sawah yang berteras-siring. Hal ini menujukkan bahwa kelas kelerengan berpengaruh terhadap karakteristik habitat ular jali. Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980, tentang kriteria dan tata cara penetapan hutan lindung, diperoleh pembagian kelas kelerengan sebagai berikut : Tabel 10 Kelas kelerengan lahan (SK MenTan No. 837/Kpts/Um/11/1980) Kelas lereng 1 2 3 4 5
Kelerengan 1% - 8% 8% - 15% 15% - 25% 25% - 45% 45% atau lebih
Keterangan Datar Landai agak curam Curam sangat curam
Hasil pengamatan diperoleh bahwa frekuensi tertinggi keberadaan lubang sarang terhadap kelerengan terdapat pada kelas kelerengan 3, yaitu 24 lubang sarang (gambar 12), sehingga dapat dinyatakan bahwa sebagian besar lubang sarang berada di lokasi yang “agak curam” (Tabel 10).
78
Berdasarkan hasil wawancara dengan para pemburu ular, keberadaan habitat ular jali di sawah-sawah yang berkontur (sistem teras siring), karena banyak ditemukan punggungan pematang sawah yang berpotensi sebagai lokasi lubang sarang ular jali tersebut, yaitu dengan memanfaatkan lubang tikus yang cukup dalam yang berada di punggungan pematang sawah. Ular jali membutuhkan ruang yang cukup besar dan lubang yang cukup dalam karena ukuran panjang ular jali dewasa hingga mencapai > 250 cm, dimana saat melingkar bisa membentuk diameter 30 cm.
Gambar 17 Diagram sebaran data frekuensi keberadaan sarang ular jali terhadap kelas kelerengan lokasi. Menurut
Alikodra
(1990),
ular,
katak
dan
tikus
menggunakan
tanggul/tanggul dan pematang sawah sebagai tempat bersembunyi dan bersarang. Kondisi sebaliknya tidak dijumpai pada lokasi sawah dengan kelas kelerengan yang landai (datar), potensi keberadaan lubang sarang hanya terdapat pada tanggul-tanggul saluran air yang cukup besar, sedangkan pematang sawah yang kecil dan tidak berpunggungan tidak memungkinkan tikus dapat membuat lubang di lokasi tersebut. Kalaupun ada hanya berupa lubang kepiting sawah (jw:yuyu). Berdasarkan hasil perhitungan chi-square diperoleh bahwa tolak H0, yaitu setidaknya ada satu selang kelas yang disukai dari peubah tingkat kelerengan ini oleh ular jali dibandingkan setidaknya satu selang kelas yang lainnya. Secara umum, karakteristik habitat ular jali yang diamati tersebut diatas merupakan sebagian dari peubah karakteristik habitat suatu satwaliar. Masih banyak komponen biotik maupun abiotik lainnya yang dapat menjadi peubah yang
79
mungkin lebih dominan, akan tetapi dari hasil pengamatan ini diharapkan dapat memperkaya informasi dan data awal terkait kondisi habitat ular dari aspek kondisi lubang sarang ular tersebut. Berdasarkan uji chi-square dari frekuensi keberadaan lubang sarang dari masing-masing karakteristik habitat yang diamati, menunjukkan hanya peubah jarak dari pemukiman yang menerima hipotesa H0, sedangkan peubah-peubah lainnya tolak H0 (Lampiran 8). Hal ini menunjukkan bahwa lubang sarang ular jali mempunyai kecederungan menempati lokasi habitat dengan spesifikasi tertentu. Oleh karena itu perlu studi lanjutan yang lebih detail dan mendalam terkait dengan karakteristik habitat ular jali tersebut. Keperluan untuk mengetahui lebih detail terkait kondisi karakteristik habitat ular jali merupakan hal yang sangat penting sebagai salah satu informasi dalam monitoring perkembangan kondisi populasi di alam. Menurut Cagle (2008), informasi habitat satwaliar sangat penting untuk perencanaan tindakan konservasi yang efektif, karena habitat tidak hanya mempengaruhi distribusi spesies akan tetapi juga mempengaruhi kelangsungan hidup spesies tersebut jangka panjang. Hal ini berguna untuk mengantisipasi semakin berkurang dan rusaknya habitat alami ular jali, khususnya di wilayah Jawa Tengah.
VI. SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan Simpulan dari hasil pengamatan terhadap ular jali di Jawa Tengah ini adalah sebagai berikut: 1. Pelaku dalam tata niaga ular jali di Jawa Tengah terdiri dari pemburu/penangkap,
pengumpul
antara
(skala
kecil
dan
sedang),
pengumpul besar dan eksportir, sehingga terbentuk rantai tata niaga antara pelaku tersebut. Didorong oleh beberapa maksud dan tujuan, terdapat beberapa penyimpangan jalur hirarki barang (misal: pemburu langsung menyetorkan hasil ke pengumpul besar) sehingga ada pelaku yang merasa dirugikan. Faktor harga didorong oleh adanya kelas ukuran ular jali yang ditangkap (0.6 kg, 0.7 kg, 0.8 kg dan > 1 kg), sehingga para pemburu berusaha mendapatkan kelas ukuran terbesar dengan harapan mendapatkan nilai ekonomis yang tinggi. 2. Rata-rata kelimpahan relatif panenan ular jali di tingkat pengumpul sebesar 132 186 ekor/tahun, berdasarkan luas pencarian adalah 1 ekor per 24.7197 ha dan berdasarkan waktu pencarian adalah 1 ekor per hari per orang (efektif 3.5–4 jam per hari). Faktor yang paling berpengaruh adalah faktor siklus tanam padi, yang mendorong para pemburu mencari ular disaat tidak ada pekerjaan di sawah (panen, olah lahan dan tanam padi). 3. Ukuran morfometri di tingkat pemburu dan semua pengumpul sama, karena faktor kelas ukuran (berat) yang menentukan tingkat harga (nilai ekonomis) dari ular jali. Kelas ukuran > 1kg adalah kelas ukuran yang paling tinggi dengan harga sekitar Rp. 60 000.00 per ekor. 4. Karakteristik habitat ular jali berupa lubang sarang dipengaruhi oleh peubah: kelembaban lubang sarang dan kelembaban tanah diatas 80 %, suhu lubang sarang dan suhu tanah berkisar 30-33 °C, pH tanah pada kondisi agak masam-netral, ketinggian tempat kurang dari 333 m dpl, jarak dari sumber air kurang dari 15 m, dan kelerengan lokasi pada kelas 3 (agak
81
curam). Hanya peubah jarak dari pemukiman yang dipilih ular jali secara merata pada selang kelas yang ada yaitu tersebar pada kisaran 50-300 m. 6.2. Saran Upaya untuk meningkatkan kelestarian ular jali, perlu dilakukan : 1. Pendataan lebih lanjut terhadap para pelaku tata niaga ular jali di Jawa Tengah sebagai sarana monitoring dan evaluasi. 2. Monitoring panenan secara berkelanjutan berdasarkan jenis kelamin, terutama di tingkat pemburu/penangkap, sebagai bahan pertimbangan evaluasi penentuan kuota tangkap dan eksport. 3. Penelitian lanjutan tentang selang umur reproduksi optimum ular jali di alam sebagai dasar kelas ukuran (berdasarkan umur) yang bisa dipanen. 4. Panenan ular jali dilakukan pada kelas ukuran optimal (> 1kg), sehingga memberikan peluang perkembangbiakan yang tinggi untuk kelas ukuran dibawahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aji FDN. 2011. Studi Pengaruh Suhu Terhadap Keberhasilan Tetas dan Perlakuan Pakan Terhadap Pertumbuhan Ular Jali (Ptyas mucosus) [skripsi]. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Malang: Institut Pertanian Malang. Anonim . 2012. Jawa Tengah. http://www.jatengprov.go.id [14 Agustus 2012]. Amir M, Sugardjito J, Boeadi. 1998. The Scientific Authority of CITES, The Indonesian Institute of Sciences, LIPI. Di dalam: Erdelen W. editor. Conservation, Trade and Sustainable Use of Lizards and Snakes in Indonesia.. Rheinbach, Germany: Mertensiella 7: 17-20. Auliya M. 2010. Conservation Status and Impact of Trade on The Oriental Rat Snake Ptyas mucosus in Java, Indonesia. Malaysia: TRAFFIC Southeast Asia. Bailey JA. 1984. Principles of Wildlife Management. Canada: Jhon Willey & Sons. [BPS Jateng] Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah. 2006. Jawa Tengah dalam Angka 2006. Semarang: BPS dan BAPPEDA Propinsi Jawa Tengah. Boeadi, Shine R, Sugardjito, Amir M, Sinaga M. 1998. Biology of the Commercially-Harvested Rat Snakw (Ptyas mocosus) and Cobra (Naja sputatrix) in Central Java. Di dalam: Erdelen W. editor. Conservation, Trade and Sustainable Use of Lizards and Snakes in Indonesia.. Rheinbach, Germany: Mertensiella 7: 99-110. Brennan JM, Tischendorf L. 2004. Population viability of the black rat snake (Glaphe obsaleta obsaleta) in the Frontenance Axis on Canada. ELUTIS Modelling and Consulting Inc. Canada: Enviroment Canada. Brodie ED, Garland T. Jr. 1993. Quantitative genetics of snake population. Dalam. R.A Siegel dan Collins JT (editor). Snake Ecology dan Behavior. McGraw-Hill. Inc. New York: 315-362. Cagle NL. 2008. A Multiscale Investigation of Snake Habitat Relationships and Snake Concervation in Illinois [Desertation]. Department of Ecology USA: Duke University. Campbell SR, Mackessy SP, Clarke JA. 2008. Microhabitat Use by Brown Treesnakes (Boiga irregularis): Effects of Moonlight and Prey. Journal of Herpetology. Vol. 42, No. 2, pp. 246–250.
83
Caughley G. 1978. Analysis of Vertebrate Population. A Wiley-Interscience Publication. New York : Jhon Wiley & Sons. David P, Cox MJ, Pauwels OSG, Chanhome L dan Thirakhupt K. 2004. Book Review: When a bookreview is not sufficient to say all: an in-depth analysis of a recent book on the snakes of Thailand, with an updated checklist of the snakes of the Kingdom. The Natural History. J.Chulalongkorn Univ. 4(1):47-80. [Dishutprovjateng] Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah. 2010. Statistik Kehutanan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009. Semarang: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah. Dorcas ME, Hopkins WA, Roe JH. 2004. Effects of Body Mass and Temperature on Standard Metabolic Rate in the Eastern Diamondback Rattlesnake (Crotalus adamanteus). Copeia, Vol.I, pp. 145–151. Erdelen W. 1998. Trade in Lizard and Snakes in Indonesia – Biogeography, Ignorance and Sustainable. Di dalam: Erdelen W. editor. Conservation, Trade and Sustainable Use of Lizards and Snakes in Indonesia.. Rheinbach, Germany: Mertensiella 7: 69-83. Glandas X, Robles JAR. 2011. A two problems: habitat selection in relation to prey abundance in an ambush predator, the spekled rattlesnake (Crotalus mitchellii). An International Journal of Bihavioral Biology. Vol. 184-Part 14. Pp: 1492-1524. Goode MJ, Swann DE, Schwalbe CR. 1998. The effect of microhabitat distruction on reptile abundance. Arizona: University of Arizona. Hambold EM, Murphy C. 2011. Supplemental Information for the red rat snake (Lower key population) Biological & Status Review Report. Florida: Florida Fish & Wildlife Conservation Commission. Indrawan M, Primarck RB, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi. Edisi revisi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Iskandar DT, Colijn E. 2001. Checklist of Southeast Asian and New Guinean Reptiles Part 1: Serpentes. Jakarta: Binamitra. Iskandar DT, Erdelen WR. 2006. Conservation of amphibians and reptiles in Indonesia: issues and problems. Journal Amphibian and Raptile Conservation; 4(1) : 60-81 Jhonson R, Bhattacharyya G. 1987. Statistics: Principles and Method. Revised Printing. Canada: Jhon Wiley & Sons.
84
[KKH] Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati. 2008. Handbook CITES. Jakarta: Departemen Kehutanan. [KKH] Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati. 2010a. Handbook CITES. Jakarta: Departemen Kehutanan. [KKH] Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati. 2010b. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar Dari Habitat Alam. Jakarta: Direktorat KKH, Direktorat Jenderal PHKA. Krebs JC. 1978. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. New York: Harper. Kurniati H, Tjakrawidjaja AH, Semiadi G. 1997. Ketiadaan Demorfisme Seksul Secara Morfometri dan Perbedaan Intraspesifik Relung Pakan Pada Kadal Mabuya multifascita. Berk. Panel Hayat.;3:73-79. Kusrini MD. 2009. Pedoman Penelitian dan Survei Amfibi di Alam. Bogor: Pustaka Media Konservasi. Lee HJ, Lee JH, Park D. 2011. Habitat Use and Movement Pattern of the Viviporous asquatic Snake, Oocatochus rufodorsatus, from Northeast Asia. Zoological Science 28: 593-599. Lelievre H, Demers GB, Pinaud D, Lisse H, Bonnet X, Lourdais O. 2011. Constrasted thermal preferens translate into divergence in habitat use and realized performance in two sympatric snakes. Journal of Zoology. 284: 265-275. Mardiastuti A, Soehartono T. 2003. Perdagangan Reptil Indonesia di Pasar Internasional. Prosising Seminar Hasil Penelitian Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Nopiansyah P. 2007. Penggunaan Parameter Morfometrik untuk Pendugaan Umur Siamang Sumatera (Hylobates syndactylus syndactylus Raffles, 1821) [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana IPB. Orr JM. 2006. Microhabitat use by the Eastern worm snake (Carphophis amoenus). Herpetological Bulletin. 97: 29-35. [PBC] The Province of British Columbia. 1998. Inventory Methods of Snakes. Victoria: Resource Inventory Comittee. [Pemkab.Boyolali]. Pemerintah Kabupaten Boyolali. 2012. Sekilas Kabupaten Boyolali. http://www.boyolalikab.go.id/index2.php?hlm=1. [28 Nov 2012]
85
[Pemkab.Cilacap]. Pemerintah Kabupaten Boyolali. 2012. Kondisi Umum Kabupaten Cilacap. http://www.cilacapkab.go.id/v2/index.php?pilih=hal&id=3. [28 N0v 2012] [Pemkab.Pati]. Pemerintah Kabupaten Pati. 2012. Kondisi Umum Kabupaten Pati. http://www.patikab.go.id/data-pokok/letak-geografis. [28 N0v 2012] [Pemkab.Semarang]. Pemerintah Kabupaten Semarang . 2012. Selayang Pandang Kabupaten Semarang . http://www.semarangkab.go.id/utama/selayangpandang/kondisi-umum/geografi-topografi.html. [28 N0v 2012] [Pemkab.Sragen]. Pemerintah Kabupaten Sragen. 2012. Selayang Pandang Kabupaten Sragen. http://www.patikab.go.id/v2/index.php?pilih=hal&id=3. [28 N0v 2012] Rosser A, Haywood M. 2002. Guidance for CITES Scientific Authorities. The IUCN Species Survival Commission. Cambridge: IUCN-The World Conservation Union. Rushayati SB, Arief H. 1997. Kondisi Fisik Ekosistem Hutan Di Taman Nasional Ujung Kulon. Media Konservasi. Edisi Khusus:67-74. Santosa Y. 1993. Strategi Kuantitatif untuk Pendugaan Beberapa Parameter Demografi dan Kuota Pemanenan Populasi Satwaliar Berdasarkan Perilaku: Studi Kasus Terhadap Populasi Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Tinjil [laporan penelitian]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Santosa Y, Sitorus F. 2008. Pendugaan Parameter Demografi Dan Pola Penyebaran Spasial Walabi Lincah (Macropus agilis papuanus) di Kawasan Taman Nasional Wasur, Studi Kasus di Savana Campuran Udi-udi Seksi Pengelolaan III Wasur-Papua. Media Konservasi 13(2) : 65 – 70. Santoso S. 2012. Aplikasi APSS pada Statistik Parametrik. Penerbit PT Alex Media Komputindo. Jakarta: Kompas Gramedia. Saputra G. 1998. IRATA’s Role in Conservation and Sustainable Use of Reptiles. Di dalam: Erdelen W. editor. Conservation, Trade and Sustainable Use of Lizards and Snakes in Indonesia. Rheinbach, Germany: Mertensiella 7: 2325. Semiadi G, Sidik I. 2011. Karakteristik Penangkapan Ular di Wilayah Sumatera Utara. Biota 16 (2): 206-213. Shine R, Harlow P, Ambariyanto, Boeadi, Mumpuni, Keogh JS. 1998. Monitoring Monitors: A Biological Perspective on the Commercial Harvesting of Indonesian Reptiles. Di dalam: Erdelen W. editor.
86
Conservation, Trade and Sustainable Use of Lizards and Snakes in Indonesia.. Rheinbach, Germany: Mertensiella 7: 61-18. Sidik I. 2006. Analisis Isi Perut dan Ukuran Tubuh Ular Jali (Ptyas mucosus). Zoo Indonesia : 15(2):121 - 127
Siregar J. 2012. Upaya Pelestarian Pemanfaatan Ular Sanca Batik (Phyton reticulatus) dan Ular Sanca Darah Merah (Phyton brongersmai) Ditinjau dari Aspek Penangkapan dan Permasarannya Di provinsi Smatera Utara [Thesis]. Sekolah Pasca Sarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Siswomartono D. 1998. Review of the Policy and Activities of Wildlife Utilization in Indonesia. Di dalam: Erdelen W. editor. Conservation, Trade and Sustainable Use of Lizards and Snakes in Indonesia.. Rheinbach, Germany: Mertensiella 7: 27-31. Supranto. 2004. Analisis Multivariat, Arti dan Interpretasi. Jakarta: PT Rineka Cipta. Supriatna J. 1995. Ular Berbisa Di Indonesia. Jakarta: Penerbit Bharatara. TRAFFIC. 2008. Case Study on Ptyas mucosus – A Proposed NDF Method for Indonesia (Java). Mexico: NDF Workshop Case Studies. Tweedie MWF. 1983. The Snakes of Malaya. Thrird Edition. Singapore: Singapura National Printers (Pte) Ltd. Tozzeti AM, Martins M. 2008. Habitat use by the South-America rattlesnake (Crotalus durissus) in South-eastern Brazil. Journal of natural History. Vol. 42 No: 19-20. pp: 1435-1444. van Hoesel JKP. 1959. Ophidia Javanica. Kementerian Pertanian, Lembaga Pusat Penjelidikan Alam. Museum Zoologicum Bogoriense. Bogor: Pertjetakan Archipel. Walpole RE. 1982. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Webb GJW, Vardon MJ. 1998. Reptil Harvest, Sustainable Use and Trade. Di dalam: Erdelen W. editor. Conservation, Trade and Sustainable Use of Lizards and Snakes in Indonesia. Rheinbach, Germany: Mertensiella 7: 4560. Webb R, Warner A, Keys R. 2010. Microhabitat distribution and selection among colubrid snake species of the Pierce Cedar. Corner Institut. Cornerstone University. Michigan.
87
Wisler C. 2006. Habitat requirements of the Grass snake (Natrix natrix L.) in a landscape dominated by intensive farmland: a first appreciation of conservation needs. Zoologisches Institut. German: Abteilung Conservation Biology.
Widagti, N. 2007. Coura amboinensis Doudin 1802 Di Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, Sulawesi Tenggara dan Di Kawasan Eksploitasi di Kecamatan Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur: Karakteristik Morfologi, Kelimpahan dan Panenan [tesis]. FMIPA. Depok: Universitas Indonesia. Yuwono FB. 1998. The Trade of Live Reptiles in Indonesia. Di dalam: Erdelen W. editor. Conservation, Trade and Sustainable Use of Lizards and Snakes in Indonesia. Rheinbach, Germany: Mertensiella 7: 9-16.
88
Lampiran 1. Pengumpul besar, pengumpul kecil dan lokasi pencarian ular jali di Wilayah Jawa Tengah No
Nama Pengepul
Alamat
1
UD. Naga Jaya
2
UD. Naga Pati Puspa UD. Jari Asih Pati UD. Indonesia Cilacap Fauna
3 4
Pati
Jumlah Pencari (orang) 15 - 20
Jumlah Pengepul Kecil (agen) 7 - 15 orang
10
8 orang
5 - 10 30 - 40
30 - 40 orang
5
UD. Welang Sakti
Boyolali
-
6
Pak Waluyo
Boyolali
10 - 15
7 - 15 orang
7
UD. Sumber Rejeki
Sragen
20 - 30
10 - 15 orang
8
UD. Mintorejo
Sragen
-
9
Semarang
10
UD. Bumi Makmur UD. Manta
11
UD. Santoso
Magelang
Semarang
- No info - No info - No info -
5 - 10 pengepul
4 - 10 orang
Lokasi Asal Ular Jali
Jepara, Pati, Blora, Purwodadi, Cepu, Banjarnegara, Temanggung, Boyolali Sragen, Pati, Jepara, Blora, Purwodadi sekitar Pati Cilacap, Tegal, Brebes, Bumiayu, Ajibarang, Purwokerto, Rawaloh, Kebumen, Banyumas, Pekalongan, Banjarnegara, Pemalang, Purworejo Boyolali, Kebumen, Magelang, Purwodadi, Klaten Purwodadi, Demak, Sleman, Wonogiri, Ngawi Purwodadi, Kab. Semarang, Boyolali, Wonogiri, Sukoharjo Karanganyar, Klaten, Ponorogo, Ngawi, Purwodadi, Nganjuk, Sragen
- No info -
- No info -
- No info -
- No info -
- No info -
- No info -
Ket.
Eksportir daging
Eksportir daging
dari Wilayah Jawa Timur, diambil sendiri Dominan tokek
Eksportir kulit
84
Lampiran 2 Rekapitulasi Morfometri Ular Jali No
Penyetor
SVL (cm)
Jml 4 1 1
5 200 178
6 160 138
1 3
206 231 180 151 178 160 230 161
1 1 2
2 Brewok Bagong
3 4 5 6 7 8 9 10
Ojeg Kenet
3 Jalinan, Teras, Byl Jalinan, Teras, Byl Methok, Mj.songo, Byl Simo, Byl
Darsan
Sawit, Byl
2
Mardi
Kr.gede, Byl
2
11 12 13 14
Ojeg Tono Darsan
Trayu, Bny.dono, Byl Teras, Byl Sawit, Byl
1 1 2
15 16 17 18 19
Bagong Siti
Methok, Mj.songo, Byl Kr.gede, Byl
20 21
Kenet Mul
22 23 24
Bagong
25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
Ojeg
PT (cm)
Lokasi Tangkap
Trayu, Bny.dono, Byl Teras, Byl Methok, Mj.songo, Byl
PE (cm)
Sex Jtn Btn
Ket.
40 40
8 1,38 0,91
9 1 0
10 0 1
155 155 130 115 125 112 155 112
51 76 50 36 53 48 75 49
1,25 1,21 0,78 0,58 0,72 0,55 1,27 0,55
1 1 1 0 0 0 0 1
0 0 0 1 1 1 1 0
163 176 200 180
120 137 156 127
43 39 44 53
0,58 0,91 1,28 0,78
1 0 1 1
0 1 0 0
Pemburu Pemburu Peng.kcl
1 4
145 200 190 251 175
115 160 150 171 123
30 40 40 80 52
0,58 1,3 1,1 1,7 0,75
1 0 1 1 1
0 1 0 0 0
Pemburu Peng.kcl
1 1
188 151
136 120
52 31
0,78 0,45
0 1
1 0
Pemburu Pemburu
2
200 188 206
150 136 155
50 52 51
1,38 0,78 1,25
1 1 0
0 0 1
Pemburu
204 193 200 204 200 187 173
156 142 151 152 150 138 128
48 51 49 52 50 49 45
1,31 0,86 1,29 1,3 0,87 0,72 0,68
1 0 0 0 1 1 1
0 1 1 1 0 0 0
Pemburu
201 198 190
150 145 140
51 53 50
1,3 1,2 1,15
1 0 1
0 1 0
Peng.kcl
1
Bagong
Jalinan, Teras, Byl Papringan, Kab. Semarang
Darsan
Sawit, Byl
5
Suradi
Taun, Bny.Dono, Byl
3
2
7
Berat (kg)
11 Pemburu Pemburu Pemburu Pemburu
Peng.kcl Peng.kcl
Pemburu
Peng.kcl
85
Lampiran 2 (lanjutan) 1
2
3 Papringan, Kab.Smg Kr.gede, Byl
4
1
35 36 37 38 39
Bagong Mardi
40 41 42 43 44 45 46
Kenet Tono Brewok
Sawit, Byl Teguhan, Kab. Semarang Jalinan, Teras, Byl Jalinan, Teras, Byl
Mardi
Kr.gede, Byl
2
Muji
1
47 48 49 50 51 52 53
Bagong Siti
Jalinan, Teras, Byl Methok, Mj.songo, Byl Kr.gede, Byl
54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65
6
7
8
9
10
11
145 206 180 160 191
115 157 136 123 142
30 49 44 37 49
0,61 1,37 0,87 0,64 0,8
1 0 0 1 0
0 1 1 0 1
Pemburu Peng.kcl
191 201 191 201 204 231 151
146 156 142 161 152 155 115
45 45 49 40 52 76 36
0,87 0,91 0,86 1,38 1,3 1,21 0,61
0 1 1 0 0 1 0
1 0 0 1 1 0 1
Pemburu Pemburu Pemburu
1 6
200 193 199 179 190 200 188
149 142 146 137 140 150 136
51 51 53 42 50 50 52
0,9 0,86 0,89 0,91 0,8 0,86 0,78
1 1 1 0 0 0 1
0 0 0 1 1 1 0
Pemburu Peng.kcl
Bagong Darsan
Gabahan, By.dono, Byl Sawit, Byl
1 6
Trayu, Byl
3
Suradi
Jalinan, Teras, Byl
2
123 151 150 139 151 135 130 135 199 115 150 142
38 45 50 52 50 51 52 49 41 35 51 51
0,65 1,09 0,87 0,8 0,9 0,69 0,7 0,71 1,71 0,6 1,2 0,82
0 0 1 1 1 0 0 1 1 0 1 0
1 1 0 0 0 1 1 0 0 1 0 1
Pemburu Peng.kcl
Ojeg
161 196 200 191 201 186 182 184 240 150 201 193
66 67 68 69 70
Tono Brewok
Gabahan, By.dono, Byl Jalinan, Teras, Byl
1 2
134 160 140 152 150
53 81 59 52 49
0,67 1,5 1,11 1,3 0,86
0 1 1 0 1
1 0 0 1 0
Pemburu Pemburu
1 1
187 241 199 204 199
71
Bagong
1
199
140
59
0,99
1
0
Pemburu
Darsan
Bagong Kenet
Kl.wungu. smg Jalinan, Teras, Byl Kl.wungu. Kab. Semarang
1 3
5
1 1 2
Peng.kcl
Peng.kcl Pemburu
Pemburu
Pemburu Pemburu
86
Lampiran 2 (lanjutan) 1
72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111
2
3
4
Mardi
Kr.gede, Byl
2
Siti
Kr.gede, Byl
2
Tono
Dlingo, Teras, Byl
2
Brewok Bagong Darsan
Jalinan, Teras, Byl Methok, Mj.songo, Sawit, Byl
1 1 3
Darsan
Sawit, Byl
3
Mardi
Kr.gede, Byl
6
Tono
Jalinan, Teras, Byl
2
Bagong Brewok
Methok, Mj.songo Jalinan, Teras, Byl
1 2
Bagong
Gn.Tugel, Simo
4
Darsan
Sawit, Byl
3
Ojeg
Sambi, Byl
2
Siti
Kr.gede, Byl
5
Mardi
Kr.gede, Byl
3
5
197 200 199 196 175 150 202 201 179 200 175 170 200 173 199 201 196 199 176 180 151 197 205 176 182 199 203 165 195 197 204 189 179 196 200 176 176 190 180 201
6
139 149 148 151 126 120 155 155 137 150 126 145 146 138 150 153 142 147 131 138 120 149 155 125 140 148 155 135 146 140 155 141 137 149 154 126 135 136 138 150
7
58 51 51 45 49 30 47 46 42 50 49 25 54 35 49 48 54 52 45 42 31 48 50 51 42 51 48 30 49 57 49 48 42 47 46 50 41 54 42 51
8
9
10
0,72 1,1 1,1 1,08 0,75 0,69 1,27 1,27 0,9 0,87 0,75 0,87 0,97 0,73 1,19 1,3 0,84 0,88 0,76 0,69 0,67 1,02 1,2 0,77 0,81 1,4 1,55 0,99 0,81 0,82 1,2 0,78 0,67 1,1 1,2 0,77 0,7 0,69 0,67 1,2
0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 0 1 0 1
1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 0 1 0 1 1 1 0 1 0 1 1 1 0 1 1 0 1 0
11
Peng.kcl Peng.kcl Pemburu Pemburu Pemburu Peng.kcl
Peng.kcl
Peng.kcl
Pemburu Pemburu Pemburu Pemburu
Peng.kcl
Pemburu Peng.kcl
Peng.kcl
87
Lampiran 2 (lanjutan) 1
112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152
2
3
4
Bagong
Jalinan, Teras, Byl
2
Darsan
Sawit, Byl
4
Tono
Krasak
2
Darsan
Sawit, Byl
3
Yatmo
Colomadu,
4
Siti
Kr.gede, Byl
6
Mardi
Kr.gede, Byl Teras, Byl Teras, Byl Teras, Byl Teras, Byl Teras, Byl Teras, Byl Teras, Byl Teras, Byl Teras, Byl Teras, Byl Teras, Byl Teras, Byl Teras, Byl Teras, Byl Cilacap Cilacap Cilacap
2
5
199 190 187 185 202 200 201 199 201 181 199 178 149 208 221 199 190 206 204 200 199 200 182 190 194 172 173 205 175 177 169 192 179 191 204 181 161 221 151 189 179
6
147 149 140 139 153 150 148 146 145 135 150 140 116 156 155 151 141 150 146 149 146 149 137 139 145 127 133 157 124 130 125 140 132 138 152 142 121 174 110 137 132
7
52 41 47 46 49 50 53 53 56 46 49 38 33 52 66 48 49 56 58 51 53 51 45 51 49 45 40 48 51 47 44 52 47 53 52 39 40 47 41 52 47
8
9
10
1,19 1,06 0,75 0,79 1,3 1,11 0,86 0,92 1,11 0,67 1,3 0,79 0,61 1,3 1,22 0,89 0,97 1,2 1,11 1,12 1 1,34 0,7 0,8 0,81 0,74 0,7 1,16 0,69 0,8 0,7 0,5 0,85 0,95 1,3 0,9 0,6 1,5 0,4 0,8 0,6
0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 1 1
1 1 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 0 1 1 0 0
11
Pemburu Peng.kcl
Pemburu Peng.kcl
Peng.kcl
Peng.kcl
Peng.kcl Ukur lngs
88
Lampiran 2. (lanjutan) 1
153 154 155 156 157 158 159
2
3
Cilacap Cilacap Cilacap Sragen Sragen Kr.gede Kr.gede N mean median standev min max SE
4
5
155 214 206 188 152 194 180
6
113 147 156 139 119 154 133
7
42 67 50 49 33 40 47
8
9
10
0,7 1,2 1,05 0,8 0,48 0,97 0,68
0 0 0 1 0 0 1
1 1 1 0 1 1 0
75
84
159 189,648 141,497 48,151 0,9424 193 142 49 0,87 18,7373 13,5277 8,5826 0,2696 145 110 25 0,4 251 199 81 1,71 1,4870 1,0730 0,6810 0,0214
11
94
Lampiran 3 Penerimaan ular jali di tingkat pengumpul I. UD. Welang Sakti, Boyolali No 1
2
3
4
5
6
Waktu
Penyetor
05/04/2012 Magelang I (Pardi) Magelang II (Agus) Purwodadi (Wito) 10/04/2012 Magelang I (Pardi) Magelang II (Agus) Purwodadi (Wito) 10/04/2012 Magelang I (Pardi) Magelang II (Agus) Purwodadi (Wito) 10/04/2012 Magelang I (Pardi) Magelang II (Agus) Purwodadi (Wito) 10/04/2012 Magelang I (Pardi) Magelang II (Agus) Purwodadi (Wito) --/04/2012 Dalmadi jumlah bln April
Jumlah 37 31 37 23 21 60 30 26 48 30 26 48 30 26 48 136 657
12
7884
Diasumsikan hasil ini merupakan jumlah minimal dan menjadi rata-rata penerimaan ular jali tiap bulan, maka dalam satu tahun mendapat ular sebanyak : 657 x 12 bulan = 7884 ekor ular jali per tahun.
II. Indonesia Fauna 1 --/02/2012 a. 1,2 kg up b. 1 - 1,2 kg c. 0,8 - 0,9 kg d. 0,6 - 0,7 kg 2
3
--/03/2012
--/04/2012
132 162 71 54
419
a. 1,2 kg up b. 1 - 1,2 kg c. 0,8 - 0,9 kg d. 0,6 - 0,7 kg
168 231 91 67
557
a. 1,2 kg up b. 1 - 1,2 kg c. 0,8 - 0,9 kg d. 0,6 - 0,7 kg
141 153 60 73
427
95
Lampiran 3 (lanjutan) Jumlah 1403 rata2 per bulan 467,66667 atau 468 jumlah (1 tahun) 5616 ket. Ind. Fauna mempunyai 2 tempat penampungan dengan penerimaan jumlah ular jali yang hampir sama, sehingga : jumlah (1 tahun) dr dua tempat penampungan 11232 4 Jumlah diatas belum termasuk setoran dari luar kota, kata pengusaha menerima sekitar 60 - 100 per hari, apabila rata2 80 ekor per hari, maka menjadi 2400 per bulan dan atau 28800 ekor per tahun. sehingg total
III. UD. Naga Puspa 1 Maret 2 April 3 Mei Jmlh rata2
40032 ekor/th
107 76 102 285 95
Diasumsikan, dari catatan diatas rata-rata sebulan terima jali sebanyak 95 ekor per bulan (kondisi sekarang bulan sepi jali), dan dari informasi pengusaha terdapat kondisi 6 bulan sepi setoran ular jali dan 6 bulan selanjutnya ramai dengan hasil hingga 2 x lipat pada bulan sepi , sehingga : 95 6 570 (kondisi sepi) 190 6 1140 (Kondisi ramai) Jumlah 1710 ekor/th
IV. UD. Naga Jaya Informasi dari pengusaha, dalam sehari bisa menerima 150 200 ekor ular jali per hari, apabila diasumsikan rata-rata 175 ekor per hari, maka : 175 per hari 5250 per bulan 63000 per tahun
V. UD. Mintorejo Catatan yang dapat tersimpan pada bulan April 2012, terima setoran ular jali dari para pengepul kecil, No Tanggal Jumlah 1 07/04/2012 10 2 08/04/2012 30
96
Lampiran 3 (lanjutan) 3 4 5 6 7 8 9 10 11
09/04/2012 12/04/2012 13/04/2012 17/04/2012 18/04/2012 19/04/2012 21/04/2012 22/04/2012 24/04/2012 Jumlah rata2
94 17 26 47 93 6 8 7 3 341 31 per hari 930 per bulan 11160 per tahun
VI. Pak Waluyo Informasi dari yang bersangkutan, dalam satu minggu mendapat 150 -200 ekor, apabila diasumsikan rata2 mendapat 175 per minggu, maka : 175 per minggu 700 per bulan 8400 per tahun
97
Lampiran 4 Output Analisis T-test (Independent Samples Test) Morfometri Ular Jali
T-Test Group Statistics Sex PT
SVL
PE
BB
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Jantan
75
191,99
20,120
2,323
Betina
84
187,56
17,285
1,886
Jantan
75
142,67
14,092
1,627
Betina
84
140,45
12,999
1,418
Jantan
75
49,32
9,737
1,124
Betina
84
47,11
7,304
,797
Jantan
75
,9536
,28440
,03284
Betina
84
,9324
,25706
,02805
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the
PT
Equal variances
F
Sig.
,143
,706
t
df
Sig. (2-
Mean
Std. Error
tailed)
Difference
Difference
Difference Lower
Upper
1,492
157
,138
4,427
2,967
-1,433
10,287
1,479
146,820
,141
4,427
2,992
-1,487
10,341
1,031
157
,304
2,214
2,149
-2,030
6,458
1,026
151,296
,307
2,214
2,159
-2,050
6,479
1,631
157
,105
2,213
1,356
-,466
4,892
1,606
136,348
,111
2,213
1,378
-,512
4,938
,494
157
,622
,02122
,04294
-,06359
,10603
assumed Equal variances not assumed SVL
Equal variances
,178
,674
assumed Equal variances not assumed PE
Equal variances
,091
,763
assumed Equal variances not assumed BB
Equal variances assumed
1,496
,223
98
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the
PT
Equal variances
F
Sig.
,143
,706
t
df
Sig. (2-
Mean
Std. Error
tailed)
Difference
Difference
Difference Lower
Upper
1,492
157
,138
4,427
2,967
-1,433
10,287
1,479
146,820
,141
4,427
2,992
-1,487
10,341
1,031
157
,304
2,214
2,149
-2,030
6,458
1,026
151,296
,307
2,214
2,159
-2,050
6,479
1,631
157
,105
2,213
1,356
-,466
4,892
1,606
136,348
,111
2,213
1,378
-,512
4,938
,494
157
,622
,02122
,04294
-,06359
,10603
,491
150,117
,624
,02122
,04319
-,06411
,10655
assumed Equal variances not assumed SVL
Equal variances
,178
,674
assumed Equal variances not assumed PE
Equal variances
,091
,763
assumed Equal variances not assumed BB
Equal variances
1,496
,223
assumed Equal variances not assumed
99
Lampiran 5
Output analisa Kruskal Wallis terhadap jumlah ular jali antar pengumpul
Kruskal-Wallis Test Ranks TP PT
SVL
PE
N
Pemburu
Mean Rank 27
118,57
Pengumpul sedang
136
151,91
Pengumpul besar
131
148,89
Total
294
Pemburu
27
111,76
Pengumpul sedang
136
148,57
Pengumpul besar
131
153,76
Total
294
Pemburu
27
136,19
Pengumpul sedang
136
162,92
Pengumpul besar
131
133,82
Total
294
Test Statisticsa,b PT Chi-Square df Asymp. Sig.
3,530 2 ,171
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: TP
SVL 5,510 2 ,064
PE 8,381 2 ,015
100
Lampiran 6 Hasil analisis regresi linier berganda dengan stepwise Variables Entered/Removeda Variables Variables Model Entered Removed Method 1 SVL . Stepwise (Criteria: Probability-of-Fto-enter <= ,050, Probability-of-F-toremove >= ,100). a. Dependent Variable: BB Model Summaryb Adjusted R Std. Error of the Model R R Square Square Estimate Durbin-Watson a 1 ,853 ,727 ,725 ,14140 1,664 a. Predictors: (Constant), SVL b. Dependent Variable: BB
Model 1
Sum of Squares Regression 8,349 Residual 3,139 Total 11,488 a. Predictors: (Constant), SVL b. Dependent Variable: BB
ANOVAb df 1 157 158
Mean Square 8,349 ,020
F 417,596
Coefficientsa Standardized Unstandardized Coefficients Coefficients Model B Std. Error Beta t 1 (Constant) -1,462 ,118 -12,370 SVL ,017 ,001 ,853 20,435 a. Dependent Variable: BB
Sig. ,000 ,000
Sig. ,000a
Collinearity Statistics Tolerance VIF 1,000
1,000
Excluded Variablesb
Model 1
Collinearity Statistics Partial Minimum Beta In t Sig. Correlation Tolerance VIF Tolerance a PT ,191 1,927 ,056 ,152 ,175 5,726 ,175 a PE ,087 1,927 ,056 ,152 ,833 1,200 ,833 a. Predictors in the Model: (Constant), SVL b. Dependent Variable: BB
101
Lampiran 6 (Lanjutan) Collinearity Diagnosticsa Model 1
Dimension Eigenvalue Condition Index 1 1,995 1,000 2 ,005 21,033 a. Dependent Variable: BB
Predicted Value Std. Predicted Value Standard Error of Predicted Value Adjusted Predicted Value Residual Std. Residual Stud. Residual Deleted Residual Stud. Deleted Residual Mahal. Distance Cook's Distance Centered Leverage Value a. Dependent Variable: BB
Variance Proportions (Constant) SVL ,00 ,00 1,00 1,00
Residuals Statisticsa Minimum Maximum Mean Std. Deviation ,4072 1,9195 ,9424 ,22987 -2,328 4,251 ,000 1,000 ,011 ,049 ,015 ,005 ,4075 -,41695 -2,949 -2,958 -,41963 -3,035 ,001 ,000 ,000
1,9483 ,37816 2,674 2,691 ,38298 2,747 18,069 ,171 ,114
,9422 ,00000 ,000 ,001 ,00019 ,001 ,994 ,007 ,006
,23082 ,14095 ,997 1,003 ,14278 1,008 1,815 ,016 ,011
Correlations Correlations
PT PT
SVL ,908** ,000 159 1
Pearson Correlation 1 Sig. (2-tailed) N 159 SVL Pearson Correlation ,908** Sig. (2-tailed) ,000 N 159 159 PE Pearson Correlation ,752** ,408** Sig. (2-tailed) ,000 ,000 N 159 159 BB Pearson Correlation ,808** ,853** Sig. (2-tailed) ,000 ,000 N 159 159 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
PE ,752** ,000 159 ,408** ,000 159 1 159 ,421** ,000 159
BB ,808** ,000 159 ,853** ,000 159 ,421** ,000 159 1 159
N 159 159 159 159 159 159 159 159 159 159 159 159
102
Lampiran 6 (Lanjutan) Charts
103
Lampiran 6 (Lanjutan)
104
Lampiran 7 Hasil Analisa Korelasi Antar Peubah Karakteristik Habitat Correlations KL
KT -,169 ,158
SL -,608** ,000
ST -,417** ,000
71 -,169 ,158
71 1
71 ,083 ,493
71 ,144 ,232
71 -,294* ,013
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
71 -,608** ,000
71 ,083 ,493
71 1
71 ,857** ,000
ST
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
71 -,417** ,000
71 ,144 ,232
71 ,857** ,000
PhT
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
71 -,107 ,372
71 -,294* ,013
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
71 ,269* ,023
JSA
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
JP
Slope
KL
JSA ,045 ,712
JP ,255* ,032
Slope ,365** ,002
71 -,010 ,937
71 ,077 ,521
71 -,261* ,028
71 -,182 ,129
71 ,111 ,356
71 -,123 ,305
71 -,126 ,294
71 -,336** ,004
71 -,230 ,054
71 1
71 ,100 ,408
71 -,017 ,886
71 -,149 ,214
71 -,275* ,020
71 -,146 ,225
71 ,111 ,356
71 ,100 ,408
71 1
71 -,127 ,292
71 -,031 ,796
71 -,168 ,163
71 ,044 ,719
71 -,010 ,937
71 -,123 ,305
71 -,017 ,886
71 -,127 ,292
71 1
71 ,184 ,125
71 ,385** ,001
71 ,486** ,000
71 ,045 ,712
71 ,077 ,521
71 -,126 ,294
71 -,149 ,214
71 -,031 ,796
71 ,184 ,125
71 1
71 ,281* ,018
71 ,015 ,903
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
71 ,255* ,032
71 -,261* ,028
71 -,336** ,004
71 -,275* ,020
71 -,168 ,163
71 ,385** ,001
71 ,281* ,018
71 1
71 ,246* ,039
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
71 ,365** ,002
71 -,182 ,129
71 -,230 ,054
71 -,146 ,225
71 ,044 ,719
71 ,486** ,000
71 ,015 ,903
71 ,246* ,039
71 1
71
71
71
71
71
71
71
71
71
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
1
KT
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
SL
Ket.Lo kasi
N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Keterangan : (Nugroho 2005) 1. 0,00 – 0,20 : keeratan kolelasi sangat lemah 2. 0,21– 0,40 : keeratan kolelasi lemah 3. 0,41 – 0,70 : keeratan kolelasi kuat 4. 0,71 – 0,90 : keeratan kolelasi sangat kuat 5. 0,91 – 0,99 : keeratan kolelasi sangat kuat sekali 6. 1 : keeratan kolelasi sempurna
PhT Ket.Lokasi -,107 ,269* ,372 ,023
105
Lampiran 8 Hasil Chi-square kondisi karakteristik habitat ular jali
Hasil Chi-square kondisi karakteristik habitat ular jali No
Keterangan
X² hitung
X² tabel
Ket.
1 Kelembaban lubang sarang
18,875
5,99 Tolak H0
2 Kelembabab tanah
49,875
5,99 Tolak H0
3 Suhu lubang
9,125
5,99 Tolak H0
4 Suhu tanah
7,625
5,99 Tolak H0
5 pH
9,875
5,99 Tolak H0
6 Ketinggian tempat
18,375
5,99 Tolak H0
7 Jarak dari sungai
84,375
5,99 Tolak H0
3,125
5,99 Terima H0
8 Jarak dari pemukiman 9 Kelerengan
42
9,48 Tolak H0
Keterangan : Kriteria penolak H0, jika X2 hitung > X2 tabel, maka tolak H0 H0 :
Selang kelas suatu peubah yang ada disukai ular jali secara merata
H1 :
Setidaknya sebuah selang kelas suatu peubah lebih disukai ular jali dari pada setidaknya sebuah selang kelas yang lain