" "Aku ingin sekali berjumpa dengannya." "Tapi itu akan sulit, Sir. Bahkan bila ia masih hidup, tampaknya ia telah menghilang dari muka bumi. Saya tak ingin karier saya tergantung pada bisa-tidaknya saya menemukannya." "Mr. President," Lloyd menyela, "Anda telah terlambat tujuh belas menit untuk santap malam di Kedubes Rusia." Lawrence tersenyum dan berjabatan tangan dengan 448 Braithwaite. "Satu orang baik lagi yang tak dapat kuceritakan pada bangsa Amerika," katanya dengan senyum kecut. "Kupikir kau akan dinas lagi malam ini?" "Ya, Sir, saya telah ditugaskan khusus untuk mengamankan seluruh kunjungan Presiden Zerimski." "Kalau begitu aku mungkin bisa bertemu denganmu nanti, Bill. Jika memperoleh informasi baru mengenai Fitzgerald, aku ingin mendengarnya sesegera mungkin." "Sudah pasti, Sir," kata Braithwaite sambil berbalik pergi. Beberapa menit kemudian Lawrence dan Lloyd berjalan sambil membisu menuju deretan pilar sebelah selatan, di mana sembilan limusin dengan mesin telah dinyalakan sedang berderet menunggu. Begitu telah berada di jok belakang mobil keenam, Presiden berpaling pada Kepala Staf dan bertanya, "Menuiutmu di mana dia sekarang, Andy?" "Entahlah, Sir. Tapi bila tahu, kemungkinan besar aku akan bergabung dengan tim Braithwaite untuk menolongnya lolos." "Mengapa kita tak punya orang seperti dia sebagai direktur CIA?" "Sebenarnya kita telah punya, seandainya Jackson masih hidup." Lawrence berpaling untuk memandang ke luar jendela. Sejak ia meninggalkan stadion, ada sesuatu yang mengusik pikirannya, tetapi hingga ketika iring-iringan mobil memasuki gerbang Kedubes Rusia, ia belum juga bisa mengeluarkannya dari lubuk hatinya.
"Apa yang membuatnya kelihatan sangat marah?" tanya Lawrence saat melihat Zerimski mondar-mandir di luar Kedubes. 449 Lloyd melihat arlojinya. "Kau terlambat tujuh belas menit, Sir." "Itu tak bisa dikatakan persoalan besar, sesudah apa yang telah kita alami. Sejujurnya, orang sialan itu beruntung masih hidup." "Menurutku itu tak bisa kaugunakan sebagai dalih, Sir." Iring-iringan mobil berhenti di dekat Presiden Rusia. Lawrence keluar mobil dan berkata, "Hai, Victor. Maaf kami terlambat beberapa menit." Zerimski tidak berusaha menyembunyikan ketidaksenangannya. Setelah berjabatan tangan dengan dingin, ia mempersilakan tamu kehormatan itu menuju ke Kedubes dan menaiki tangga menuju ruang resepsi yang penuh sesak di Ruang Hijau tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Kemudian ia mengemukakan alasan asal-asalan dan membiarkan Presiden Amerika Serikat ditemani Duta Besar Mesir. Mata Lawrence mengitari ruangan sementara Dubes Mesir mencoba menumbuhkan perhatiannya terhadap pameran artifak Mesir yang baru saja dibuka di Museum Smithsonian. "Ya, saya telah mencoba menemukan waktu sela dalam jadwal saya untuk melihatnya," kata Presiden mengikuti kemudi yang telah ditentukan. "Semua orang yang telah melihatnya mengatakan bagus sekali." Duta Besar berseri-seri, sementara itu Lawrence melihat orang yang dicari-carinya. Setelah tiga duta besar, dua istri, dan koresponden politik Pravda, akhirnya ia bertemu dengan Harry Nourse tanpa menyebabkan kecurigaan yang tak perlu. "Selamat malam, Mr. President," kata Jaksa Agung. 450 "Anda pasti senang dengan hasil pertandingan siang tadi." 'Tentu saja, Harry," kata Lawrence dengan semangat meluap-luap. "Packers selalu bilang bisa mengalahkan Redskins kapan saja, di mana saja." Ia merendahkan suaranya, "Aku ingin bertemu
denganmu di kantorku tengah malam ini. Aku perlu nasihatmu berkenaan dengan suatu masalah hukum." "Tentu saja, Sir," kata Jaksa Agung pelan. "Rita," kata Presiden, sambil berpaling ke kanan, "sungguh senang bersamamu siang tadi." Mrs. Cooke balas tersenyum, sementara gong berbunyi di latar belakang dan seorang kepala pelayan mengumumkan bahwa santap malam segera disajikan. Obrolan mulai mereda, dan para tamu menuju ke ruang dansa. Lawrence ditempatkan di antara Mrs. Pietrovski, istri Duta Besar, dan Yuri Olgivic, kepala Delegasi Perdagangan Rusia yang baru saja diangkat. Presiden Lawrence langsung tahu bahwa Olgivic tak bisa berbahasa Inggris sepatah kata pun—isyarat tak langsung Zerimski lagi mengenai sikapnya terhadap pembukaan hubungan perdagangan antara kedua bangsa. "Anda pasti sangat senang dengan hasil pertandingan siang ini," kata istri Dubes Rusia ketika mangkuk sup bit Rusia disajikan di depan Presiden. "Tentu saja," jawab Lawrence. "Tapi menurutku kebanyakan orang tak berpihak padaku dalam hal itu, Olga." Mrs. Pietrovski tertawa. "Apakah kau bisa mengikuti jalannya pertandingan itu?" tanya Lawrence, sambil mengambil sendok sup. 451 "Sebenarnya tidak," jawab Olga. "Tapi saya ber untung ditempatkan di dekat Mr. Pug Washer, yang tampaknya tak keberatan menjawab pertanyaan sangar sederhana yang saya ajukan." Presiden melepaskan sendoknya sebelum mence-capnya. Ia memandang ke seberang ruangan pada Andy Lloyd, dan menopang dagunya dengan kepalan tangannya—isyarat yang selalu digunakannya bila mendesak perlu bicara dengan Kepala Staf. Lloyd menggumamkan beberapa kata kepada wanita di sebelah kanannya, kemudian melipat
serbet, meletakkannya di atas meja, dan berjalan menghampiri Presiden. "Aku perlu bicara dengan Braithwaite secepatnya," bisik Lawrence. "Kupikir aku tahu bagaimana menemukan Fitzgerald." Lloyd menyelinap keluar ruangan tanpa mengucapkan sepatah kata pun sementara mangkuk sup Presiden diangkat pergi. Lawrence mencoba berkonsentrasi pada apa yang dikatakan istri Dubes Rusia, tetapi tak dapat membuang Fitzgerald dari pikirannya. Sesuatu tentang bagaimana wanita itu akan merindukan Amerika Serikat begitu suaminya pensiun. "Dan kapan itu akan terjadi?" tanya Presiden, sama sekali tak tertarik dengan jawabannya. "Sekitar delapan belas bulan lagi," jawab Mrs. Pietrovski, sementara sepiring daging dingin disajikan di depan Presiden. Ia meneruskan pembicaraan itu ketika mula-mula seorang pelayan menyajikan sayuran, dan sesaat kemudian pelayan lain membawa kentang. Ia mengangkat pisau dan garpunya tepat 452 saat Lloyd kembali masuk ke ruangan itu. Sekejap kemudian ia telah berada di sebelah Presiden. "Braithwaite menunggumu di belakang 'Stagecoach'." "Kuharap tak ada masalah," kata Mrs. Pietrovski ketika Lawrence mulai melipat serbetnya. 'Tidak penting, Olga," Lawrence meyakinkannya. "Mereka tak bisa menemukan pidatoku. Tapi jangan khawatir, aku tahu di mana letaknya." Ia bangkit dari kursi, dan Zerimski mengikuti setiap langkahnya ketika ia meninggalkan ruangan. Lawrence keluar dari ruangan, menuruni tangga kayu, dan melewati pintu depan Kedubes, kemudian berlari-lari menuruni tangga dan masuk ke mobil keenam. Lloyd dan pengemudi berdiri di samping mobil sementara selusin agen Dinas Rahasia mengelilinginya sambil mengawasi ke seluruh penjuru. "Bill, jika Fitzgerald masih di stadion, ada satu orang yang tahu di mana dia
berada. Temukan Pug Washer, dan Fitzgerald pasti kautemukan." Beberapa saat kemudian Presiden membuka pintu mobil. "Oke. Andy," katanya, "ayo kita kembali sebelum mereka tahu apa yang akan kita lakukan." "Apa yang akan kita laksanakan?" tanya Lloyd sambil mengejar Presiden menaiki tangga. "Akan kuceritakan kelak," kata Lawrence sambil melangkah masuk ruangan dansa. 'Tapi, Sir," kata Lloyd, "kau masih memerlukan..." "Tidak sekarang," kata Lawrence sambil duduk di dekat istri Dubes dan tersenyum minta maaf. 453 "Sudah berhasil menemukannya?" tanya Olga. "Menemukan apa?" "Pidato Anda," sahut Mrs. Pietrovski, sementara! Lloyd meletakkan berkas di antara mereka berdua. < "Sudah tentu," kata Lawrence sambil menepuk berkas itu. "Omong-omong, Olga, bagaimana kabar putrimu? Natasha, ya kan? Apa dia masih kuliah Fra Angelico di Florence?" Ia memegang pisau dan garpunya. Presiden Lawrence memandang sekdas ke arah Zerimski, ketika para pelayan muncul kembali dan menyingkirkan piring-piring. Ia kembali meletakkan pisau-dan garpu, mengoleskan mentega ke roti gulung keras dan kering, serta berusaha mengetahui apa yang dilakukan Natasha Pietrovski selama tahun ketiga kuliahnya di Florence. Ia tak bisa tidak melihat bahwa Presiden Rusia tampak gugup bahkan cemas, ketika semakin mendekati waktu harus menyampaikan pidatonya. Ia langsung mengasumsikan bahwa Zerimski akan kembali memberikan bom yang tak terduga. Pikiran itu menjauhkannya dari raspberry souffle. Ketika akhirnya Zerimski berdiri untuk menyampaikan pidato kepada para tamu, bahkan para pengagum beratnya pun terpaksa harus mengakui bahwa usahanya itu tak lebih dari biasa-biasa
saja. Beberapa di antara mereka yang mengawasinya secara cermat, terheran-heran mengapa ia tampak menyampaikan begitu banyak ucapannya ke arah patung besar Lenin di galeri di atas ruang dansa. Lawrence menduga patung itu pasti baru-baru saja ditempatkan di situ, sebab ia tidak ingat pernah melihat patung itu pada pesta perpisahan Bori s. 454 Ia tetap menunggu Zerimski kembali menekankan amanatnya kepada Kongres hari sebelumnya, tapi ia tak mengatakan sesuatu yang kontroversial. Lawrence merasa lega karena Zerimski ternyata berpegang teguh pada naskah lunak yang telah dikirimkan ke Gedung Putih siang itu. Ia memeriksa pidatonya sendiri, yang seharusnya telah ia periksa bersama dengan Andy di dalam mobil. Kepala stafnya telah membubuhkan saran-saran di tepi naskah, namun tak ada kalimat lucu ataupun paragraf yang pantas diingat dari halaman satu hingga halaman tujuh. Tapi Andy memang sangat sibuk hari itu. "Izinkan saya mengakhiri dengan berterima kasih kepada bangsa Amerika atas keramah-tamahan yang melimpah dan sambutan yang hangat yang telah saya alami di mana-mana, selama kunjungan saya di negeri Anda yang besar ini. khususnya dari pihak presiden Anda, Tom Lawrence." Tepuk tangan yang menyambut pernyataan itu begitu meriah dan berkepanjangan hingga Lawrence mendongak dari catatan-catatannya. Sekali lagi Zerimski berdiri terpaku, sambil menatap patung Lenin. Ia menunggu hingga tepuk tangan berhenti, kemudian barulah duduk. Ia sama sekali tidak tampak senang, yang mana membuat Lawrence keheranan, sebab menurutnya sambutan pidato itu jauh lebih meriah daripada yang sepatutnya. Lawrence bangkit untuk menjawab. Pidatonya diterima dengan minat yang santun, tapi tak dapat dikatakan dengan bergairah. Ia mengakhiri dengan kata-kata, "Marilah kita berharap, Victor, ini
merupakan kunjungan pertama dari banyak kunjungan lagi yang 455 .ikan Anda lakukan ke Amerika Serikat. Atas nama seluruh hadirin, saya mengucapkan selamat jalan, semoga penerbangan Anda besok berlangsung dengan selamat." Lawrence mengakui dalam hati bahwa dua dusta dalam satu kalimat memang agak terlalu banyak, bahkan bagi seorang politisi, dan berharap ia punya lebih banyak waktu untuk membaca kalimatnya lebih dulu sebelum menyampaikan pidatonya. Ia duduk menerima tepuk tangan yang penuh hormat, tapi yang tak ada apa-apanya dibandingkan dengan sorak-sorai yang diterima Zerimski untuk sajian yang sama-sama dangkal. Ketika kopi telah disajikan, Zerimski bangkit dari kursi dan berjalan menuju ke pintu dua daun di ujung ruangan. Ia segera mengatakan, "Selamat malam," yang terdengar di seluruh ruangan. Jadi jelas bahwa ia menginginkan para tamu pergi dari tempat itu secepat mungkin. Beberapa menit sesudah dentang pukul sepuluh dari beberapa jam di Kedubes, Lawrence bangkit dan berjalan pelan menuju tuan rumah. Tetapi, bagaikan sang kaisar di Capitol, setiap kali ia dihentikan oleh berbagai warga negara yang ingin menyentuh tepi jubah sang kaisar. Ketika ia akhirnya sampai di pintu, Zerimski mengangguk singkat kepadanya, kemudian baru menemaninya menuruni tangga menuju lantai satu. Karena Zerimski tak berkata apa-apa, Lawrence memandang lama-lama ke patung Kristus di Salib karya Nzizvestni yang masih tetap di tempatnya di platform pertama. Kini setelah Lenin kembali, ia heran bahwa Yesus masih tetap bertahan. Di kaki tangga batu itu ia berpaling untuk melambai kepada tuan 456 rumah, tetapi Zerimski telah menghilang kembali ke dai am Kedubes. Seandainya ia mau menemani Lawrence keluar pintu depan, ia akan melihat SAIC yang menunggu Lawrence,
sementara ia memasuki limusinnya. Braithwaite tidak bicara hingga pintu tertutup. "Anda benar, Sir," katanya ketika mereka melewati gerbang Kedubes. Orang pertama yang dilihat Zerimski ketika ia berjalan kembali ke Kedubes adalah Duta Besar. Yang Mulia Duta Besar tersenyum penuh harap. "Apa Romanov masih ada di gedung ini?" sembur Zerimski, tak dapat menyembunyikan amarahnya lebih lama lagi. "Ya, Mr. President," jawab Duta Besar, sambil mengejar pemimpinnya. "Ia ada di..." "Bawa dia menghadapku secepatnya." "Anda akan berada di mana?" "Di tempat yang biasanya jadi ruang kerjamu." Pietrovski buru-buru pergi ke arah berlawanan. Zerimski bergegas ke ujung koridor pualam, nyaris tanpa menghentikan langkah ketika membuka pintu ruang kerja Dubes, mendorongnya keras-keras seolah sedang menonjok karung latihan tinju. Hal pertama yang ia lihat ialah senapan itu, yang masih tergeletak di meja. Ia duduk di kursi kulit besar yang biasanya diduduki Duta Besar. Sementara menunggu mereka bergabung dengannya dengan tak sabar, ia mengambil senapan itu dan mempelajarinya dengan lebih teliti. Ia mengamati laras dan melihat bahwa satu peluru masih berada di tempat. Ketika menumpangkan senapan itu di bahunya, ia me-457 rasakan keseimbangan sempurna, dan ia memahami untuk pertama kalinya mengapa Fitzgerald mau terbang melintasi setengah Amerika untuk menemukan kem-barannya. Saat itulah ia melihat bahwa pasak tembak telah diganti. Zerimski dapat mendengar dua orang bergegas melalui koridor pualam. Tepat sebelum mereka mencapai ruang kerja, ia menurunkan senapan dan meletakkannya di atas pangkuannya. Mereka nyaris berlarian memasuki ruangan itu. Zerimski tanpa basa-basi menunjuk ke dua kursi di seberang meja. "Di mana tadi Fitzgerald?" tanyanya sebelum Romanov sempat duduk. "Di dalam
ruangan ini kau telah memastikan bahwa ia akan berada di sini menjelang pukul empat sore tadi. Kau bahkan sesumbar, "Tak ada yang tak beres. Dia sudah menyetujui rencana." Begitu tepatnya kata-katamu." "Itu kesepakatan kami ketika aku bicara dengannya lewat tengah malam, Mr. President," kata Romanov. "Lalu apa yang terjadi antara tengah malam dan pukul empat?" "Sementara anak buahku mengawalnya ke kota tadi pagi, pengemudi terpaksa berhenti di depan deretan lampu lalu lintas. Fitzgerald melompat keluar dari mobil, lari ke seberang jalan, dan melompat ke dalam taksi yang sedang lewat. Kami mengejarnya sepanjang jalan ke Bandara Dulles, dan ketika kami telah menyusulnya di luar terminal, ternyata Fitzgerald tak ada di dalamnya." "Kebenarannya ialah bahwa kau membiarkannya 458 lolos," kata Zerimski. "Apakah bukan itu yang sebenarnya terjadi?" Romanov menunduk dan tak berkata sepatah pun. Suara Presiden merendah menjadi bisikan. "Aku tahu kalian punya peraturan dalam Mafya," katanya sambil menceklikkan gagang senapan, "bagi mereka yang gagal melaksanakan kontrak." Romanov mendongak ngeri ketika Zerimski mengangkat senapan hingga terarah tepat ke tengah dadanya. "Ya atau tidak?" tanya Zerimski tenang. Romanov mengangguk. Zerimski tersenyum kepada orang yang menerima vonis pengadilannya sendiri, dan pelan-pelan menarik picu. Peluru berekor perahu mencabik dada Romanov sekitar satu inci di bawah jantung. Tubuh kurus itu terpental ke belakang menabrak dinding, sempat terhenti di situ selama satu dua detik, lalu merosot ke karpet. Serpihan-serpihan otot dan tulang berhamburan ke segala arah. Dinding, karpet, setelan Duta Besar, dan kemeja putih berlipit,
semuanya berlumuran darah. Zerimski berputar hingga berhadapan dengan mantan wakilnya di Washington. "Jangan, jangan!" teriak Pietrovski, menjatuhkan diri berlutut. "Saya akan mengundurkan diri, saya akan mengundurkan diri." Zerimski menarik pelatuk untuk kedua kalinya. Saat mendengar bunyi ceklik, ia ingat bahwa hanya ada satu peluru di dalamnya. Ia berdiri dari kursinya, kekecewaan membayang di wajahnya. "Kau terpaksa mencucikan setelan itu ke binatu," katanya, seolah Duta Besar tak berbuat lain kecuali mengotori lengan bajunya dengan kuning telur. Presiden Zerimski meletakkan senapan kembali di meja. 459 "Pengunduran dirimu kuterima. Tapi sebelum membereskan kantormu, usahakan supaya jasad Romanov dikumpulkan dan dikirim ke St. Petersburg." Ia mulai berjalan menuju pintu. "Kerjakan dengan cepat. AkJ ingin berada di sana ketika ia dikuburkan bersama ayahnya." Pietrovski, sambil masih berlutut, tidak menjawab. Ia mual, dan sangat ketakutan untuk membuka mulut. Ketika tiba di pintu, Zerimski berpaling ke diplomat yang gemetaran itu "Dalam keadaan seperti ini, mungkin bijaksana kalau mengirim kembali jenazah^ itu dalam kantong diplomatik." 460
BAB TIGA PULUH LIMA SALJU turun lebat ketika Zerimski menaiki tangga menuju pesawat Ilyushin 62 yang telah menunggu. Karpet putih tebal tercipta di sekitar roda pesawat. Tom Lawrence berdiri di atas tarmak, mengenakan jas hitam panjang. Seorang ajudan
memayunginya. Zerimski menghilang melalui pintu, bahkan tanpa berpaling dan melambaikan tangan ke arah kamera yang merupakan tradisi. Semua saran bahwa inilah .waktunya untuk menunjukkan iktikad baik bagi semua orang jelas tidak termakan olehnya. Departemen Luar Negeri telah mengeluarkan pernyataan pers. Pernyataan itu membicarakan panjang-lebar tentang keberhasilan kunjungan Presiden Rusia selama empat hari. Merupakan langkah signifikan bagi kedua negara, dan harapan akan kerja sama lebih lanjut suatu waktu di masa depan. "Berguna dan konstruktif adalah kata-kata yang digunakan Larry 461 Harrington sebelum konferensi pers pagi, dan setelah dipikir kembali ditambah dengan "suatu langkah maju". Para wartawan yang baru saja menyaksikan keberangkatan Zerimski akan menjabarkan perasaan Harrington dengan "sia-sia dan destruktif, serta tanpa ragu lagi merupakan suatu langkah mundur". Begitu pintu pesawat kelabu itu menutup, Ilyushin mendadak bergerak maju, seolah seperti bosnya sudah tak sabar lagi untuk segera pergi. Lawrence-lah orang pertama yang memunggungi pesawat yang sedang berangkat, perlahan-lahan menuju landas pacu. Lawrence bergegas menghampiri helikopter yang telah menunggu, di mana ia menemukan Andy LIyod sedang menelepon. Begitu baling-baling mulai berputar, Lloyd cepat-cepat menyudahi teleponnya. Saat Marine One mengangkasa, ia duduk bersandar dan menjelaskan kepada Presiden mengenai hasil operasi darurat yang telah terjadi pagi itu di Rumah Sakit Walter Reed. Lawrence mengangguk sementara Kepala Staf menerangkan garis besar urutan tindakan yang direkomendasikan Agen Braithwaite. "Aku sendiri akan menelepon Mrs. Fitzgerald," katanya. Selama perjalanan pendek itu kedua orang tersebut mempersiapkan pertemuan yang akan segera dilaksanakan di Ruang Oval. Helikopter Presiden mendarat di Halaman Selatan, dan tak seorang
pun di antara mereka berdua berbicara sementara berjalan menuju Gedung Putih. Sekretaris Lawrence telah menunggu dengan cemas di dekat pintu "Selamat pagi, Ruth," kata Presiden untuk ketiga kalinya pagi itu. Mereka berdua terjaga hampir sepanjang malam. 462 Tengah malam Jaksa Agung datang tanpa diumumkan sebelumnya. Dan ia memberitahu Ruth Preston bahwa ia dipanggil untuk menghadiri pertemuan dengan Presiden, tetapi itu tak tercatat dalam agenda hariannya. Pukul 02.00 Presiden, Mr. Lloyd, dan Jaksa Agung pergi ke Rumah Sakit Walter Reed, lagi-lagi kunjungan ini tak disebutkan dalam buku agenda harian, bahkan nama pasien yang akan dikunjungi pun tak disebutkan. Mereka kembali sejam kemudian. Dan mereka berada di Ruang Oval selama satu setengah jam kemudian. Presiden telah memberikan instruksi bahwa mereka tidak dapat diganggu. Ketika Ruth tiba kembali di Gedung Putih pukul 08.10, Presiden sudah dalam perjalanan menuju Lanud Andrews untuk mengucapkan selamat jalan kepada Zerimski. Walaupun Presiden mengenakan setelan berbeda, demikian pula kemeja dan dasi yang lain daripada yang telah dilihatnya sebelumnya, Ruth bertanya-tanya apakah bosnya tidak tidur sama sekali malam itu. "Apa agenda berikutnya, Ruth?" tanyanya, meskipun ia telah tahu betul. "Orang-orang yang telah Anda beri janji pertemuan untuk pukul sepuluh sudah menunggu selama empat puluh menit di lobi." "Oh ya? Kalau begitu persilakan mereka masuk." Presiden berjalan menuju Ruang Oval, membuka laci meja, dan mengeluarkan dua lembar kertas dan sebuah kaset. Ia meletakkan dua lembar kertas itu di atas pengering tinta di meja di depannya,
sedangkan kaset itu ia masukkan ke tape di mejanya. Andy Lloyd masuk dari kantornya, sambil mengepit dua berkas. Seperti biasa ia duduk di samping Presiden. 463 "Kau sudah bawa surat-surat pernyataan itu?" tanya Lawrence. "Ya, Sir," jawab Lloyd. Terdengar ketukan di pintu. Ruth membuka pintu dan memberitahukan, "Direktur dan Wakil Direktur CIA." "Selamat pagi, Mr. President," kata Helen Dexter ceria, ketika memasuki Ruang Oval dengan diikuti Wakil Direktur selangkah di belakangnya. Wanita itu juga mengepit berkas. Lawrence tidak menjawab salam Helen Dexter. "Anda akan merasa lega," demikian lanjut Dexter sambil duduk di kursi yang berhadapan dengan Presiden, "bila tahu aku telah bisa menangani masalah yang kita khawatirkan akan timbul selama kunjungan Presiden Rusia. Ternyata, kita punya semua alasan untuk percaya bahwa orang tersebut tidak lagi merupakan ancaman bagi negeri ini." "Mungkinkah orang itu sama dengan yang kuajak bicara melalui telepon beberapa minggu lalu?" tanya Lawrence sambil bersandar di kursi. "Aku tak begitu mengerti maksud Anda, Mr. President," kata Dexter. "Kalau begitu biar kujelaskan," kata Lawrence. Ia membungkuk dan menekan tombol "Play" tape di meja. "Kurasa aku harus meneleponmu dan memberitahu betapa penting tugas ini menurutku. Sebab aku tak ragu sedikit pun bahwa kaulah orang yang tepat untuk melaksanakannya. Maka kuharap kau bersedia menerima tanggung jawab ini." "Saya sangat menghargai kepercayaan Anda pada 464 sava, Mr. President. Dan saya berterima kasih pada Anda karena berkenan menelepon saya secara pribadi.... "
Lawrence memencet tombol "Stop". "Tak diragukan lagi kau tentu punya penjelasan mengapa dan bagaimana pembicaraan itu terjadi," katanya. "Aku tak yakin mengerti maksud Anda sepenuhnya, Mr. President. CIA tidak tahu rahasia percakapan telepon pribadi Anda." "Itu mungkin benar atau mungkin juga salah," kata Presiden. "Tapi seperti kauketahui sendiri, percakapan itu tidak keluar dari kantor ini." "Apa Anda menuduh CIA..." "Aku tak menuduh CIA melakukan sesuatu. Tuduhan itu ditujukan padamu secara pribadi." "Mr. President, bila ini lelucon Anda..." "Apa aku kelihatan seperti sedang tertawa?" tanya Presiden. Kemudian ia memencet tombol "Play" lagi. "Dalam keadaan seperti ini, kurasa setidaknya itulah yang bisa kulakukan." "Terima kasih, M r. President. Meskipun M r. Gutenburg sudah meyakinkan saya mengenai keterlibatan Anda, dan Direktur sendiri kemudian menelepon saya siang itu, sebagaimana yang Anda ketahui, saya tetap belum juga bisa menerima tugas itu kecuali bila saya tahu pasti bahwa perintah itu datang langsung dari Anda." Presiden membungkuk dan sekali lagi menekan tombol "Stop". "Masih ada lagi jika kau mau mendengarkannya." "Dapat kupastikan," kata Dexter, "operasi yang 465 disebut agen itu tak lain daripada kegiatan rutin saja." "Apa kau minta aku percaya bahwa pembunuhan Presiden Rusia sekarang dianggap CIA sebagai kegiatan rutin?" kata Lawrence tak percaya. "Kami tak pernah bermaksud agar Zerimski dibunuh," kata Dexter tajam. "Hanya agar seseorang tak berdosa harus digantung untuk itu," tukas Presiden. Setelah hening lama, akhirnya Presiden menambahkan, "Dengan demikian setiap bukti bahwa kau juga yang
memerintahkan agar Ricardo Guzman di Kolombia dibunuh dapat dihilangkan." "Mr. President, bisa kupastikan bahwa CIA tak punya sangkut paut..." "Tapi itu bukanlah yang dikatakan Connor Fitzgerald tadi pagi," kata Lawrence. Dexter bungkam. "Mungkin kau mau membaca surat pernyataan yang telah ditandatanganinya di depan Jaksa Agung." Andy Lloyd membuka berkas pertama dari kedua berkas, lalu menyerahkan kepada Dexter dan Gutenburg salinan surat pernyataan yang telah ditandatangani Connor Fitzgerald dan disaksikan oleh Jaksa Agung. Ketika kedua orang itu mulai membacanya, Presiden tak bisa tidak melihat bahwa Gutenburg mulai berkeringat. "Setelah mendapat nasihat dari Jaksa Agung, aku telah memerintahkan petugas SAIC untuk menahan kalian berdua dengan tuduhan pengkhianatan. Bila kalian ternyata bersalah, kunasihatkan bahwa hanya ada satu hukuman." 466 Bibir Dexter tetap terkatup rapat. Wakilnya kini tampak jelas gemetaran. Lawrence berpaling kepadanya. "Tentu saja, Nick, mungkin kau tak menyadari bahwa Direktur tidak diberi otoritas eksekutif yang diperlukan untuk mengeluarkan perintah seperti itu." "Itu betul sekali, Sir," cetus Gutenburg. "Sebenarnya, ia membuat saya percaya bahwa instruksi untuk membunuh Guzman datang langsung dari Gedung Putih." "Sudah kuduga kau sebaiknya mengatakan demikian, Nick," kata Presiden. "Dan jika kau merasa bisa menandatangani dokumen ini"—ia menyodorkan sehelai kertas ke seberang meja —"Jaksa Agung telah memberitahuku bahwa hukuman mati akan diganti dengan hukuman penjara seumur hidup." "Apa pun itu, jangan tandatangani," perintah Dexter. Sesaat Gutenburg ragu, kemudian mengambil pulpen dari sakunya dan membubuhkan
tanda tangan di antara dua tanda silang pensil di bawah pernyataan pengunduran dirinya sebagai wakil direktur CIA, mulai efektif pukul 09.00 hari itu. Dexter memandangnya dengan penghinaan yang tak ditutup-tutupinya. "Jika kau menolak mengundurkan diri, mereka takkan punya keberanian untuk melanjutkan. Pria itu begitu lemah." Ia kembali berpaling kepada Presiden, yang lagi-lagi menyodorkan sehelai kertas ke seberang meja. Dan wanita itu memandangi pernyataan pengunduran dirinya sendiri sebagai direktur CIA, juga mulai efektif pukul 09.00 hari itu. Ia mengangkat muka kepada Lawrence dan berkata me-467 nantang, "Aku takkan menandatangani apa pun, Mr. President. Saat ini Anda harus memahami betul-betul bahwa aku tak mudah ditakut-takuti." "Nah, Helen, jika kau merasa tak mampu melaksanakan tindakan terhormat seperti Gutenburg," kata Lawrence, "begitu kau meninggalkan ruangan ini, kau akan bertemu dengan dua agen Dinas Rahasia di luar pintu dengan perintah untuk menahanmu." "Jangan menggertakku, Lawrence," kata Dexter sambil bangkit dari kursi. "Mr. Gutenburg," kata Lloyd ketika Dexter mulai berjalan menuju pintu dan meninggalkan lembar kertas yang tak tertandatangani itu di meja. "Aku menganggap hukuman seumur hidup tanpa ada kemungkinan pembebasan bersyarat dalam keadaan begini merupakan harga yang terlalu tinggi untuk dibayar. Khususnya bila kau dijebak dan bahkan tak tahu apa yang sedang terjadi." Gutenburg mengangguk ketika Dexter tiba di pintu. "Kuanggap hukuman enam, paling lama tujuh tahun, akan lebih sesuai dalam kasusmu. Dan dengan sedikit bantuan dari Gedung Putih, akhirnya kau hanya perlu menjalaninya tiga atau empat tahun." Dexter berhenti melangkah. "Tapi itu tentu saja berarti kau setuju..." "Aku akan menyetujui apa pun. Apa pun," kata Gutenburg dengan gugup. "...untuk memberikan kesaksian demi kepentingan penuntutan."
Gutenburg mengangguk lagi, dan Lloyd mengeluarkan surat pernyataan dua lembar dari berkas lain di pangkuannya. Mantan Wakil Direktur hanya perlu 468 beberapa saat nntuk membaca dokumen itu, kemudian membubuhkan tanda tangannya di bagian bawah halaman kedua. Direktur memegangi kenop pintu, ragu sesaat, lalu berbalik dan berjalan pelan kembali ke meja. Ia memandang mantan wakilnya untuk terakhir kali dengan muak. Ia mengambil pulpen dan membubuhkan tanda tangan di antara dua tanda silang pensil. "Kau tolol, Gutenburg," kata Dexter. "Mereka takkan mengambil risiko untuk menghadirkan Fitzgerald di pengadilan. Tiap pengacara yang kurang baik akan mencabiknya berkeping-keping. Dan tanpa Fitzgerald mereka takkan punya kasus. Aku yakin Jaksa Agung telah menerangkan hal itu pada mereka." Ia berbalik lagi akan meninggalkan ruangan. "Helen memang benar," kata Lawrence sambil mengeluarkan tiga dokumen dan menyerahkannya pada Lloyd. "Bila kasus ini sampai ke pengadilan, kami takkan pernah bisa menghadirkan Fitzgerald di boks saksi." Dexter berhenti melangkah untuk kedua kalinya. Tinta tanda tangan pengunduran dirinya itu pun belum kering. "Tapi celakanya," kata Presiden, "aku harus memberitahumu bahwa Connor Fitzgerald telah meninggal pukul 07.43 pagi ini." 469
BUKU EMPAT Yang Gesit dan yang Tewas BAB TIGA PULUH ENAM
Iring iringan pemakaman maju pelan-pelan melewati punggung bukit. Pemakaman Nasional Arlington penuh sesak bagi seseorang yang tak pernah mencari pengakuan publik. Presiden Amerika Serikat berdiri di salah satu sisi makam, diapit oleh Kepala Staf Gedung Putih dan Jaksa Agung. Berhadapan dengan mereka ada seorang wanita yang selama empat puluh menit lalu tak pernah mengangkat kepala. Di samping kanan berdiri putrinya; dan di samping kiri calon menantunya. Mereka bertiga terbang dari Sydney dua hari setelah menerima telepon pribadi dari Presiden. Banyaknya kerumunan orang yang berkumpul di pemakaman itu pasti membuat Maggie tak meragukan lagi betapa banyak sahabat dan pengagum yang ditinggalkan Connor. Dalam pertemuan hari sebelumnya di Gedung Putih, Tom Lawrence telah mengatakan kepada si janda bah473 wa kata-kata Connor yang terakhir adalah kata-kata sayang kepadanya dan putrinya. Presiden masih melanjutkan memberitahu bahwa walaupun ia hanya bertemu dengan suaminya satu kali, seumur hidup ia akan selalu mengingatnya. "Padahal ini ucapan seorang pria yang berjumpa dengan ratusan orang dalam seharinya," demikian tulis Tara dalam buku hariannya malam itu. Beberapa langkah di belakang Presiden berdirilah Direktur CIA yang baru saja diangkat. Dan sekelompok pria dan wanita yang tak berniat melapor kerja hari itu. Mereka telah mengadakan perjalanan dari empat penjuru bumi untuk berada di sana. Seorang pria tinggi-kekar tanpa rambut di kepala berdiri agak jauh dari para pelayat lainnya, sambil menangis tak terkendali. Tak seorang pun yang hadir di situ akan percaya bahwa kebanyakan para bandit kejam di Afrika Selatan akan senang kalau tahu Cari Koeter sedang berada di luar negeri, walau hanya beberapa hari.
FBI dan Dinas Rahasia juga hadir dalam jumlah banyak. Agen Khusus William Braithwaite berdiri mengepalai dua belas jago tembak, yang masing-masing akan puas bila mengakhiri kariernya dianggap sebagai penerus Connor Fitzgerald. Di lereng bukit lebih ke atas lagi, para kerabat dari Chicago, para akademisi dari Georgetown, para pemain bridge, para pedansa Irlandia, para pujangga, dan orang-orang dari setiap profesi kehidupan memenuhi pemakaman sejauh mata memandang. Mereka menundukkan kepala mengenang seorang pria yang mereka sayangi dan segani. Iring-iringan pemakaman berhenti di Sheridan 474 Drive, beberapa meter dari pemakaman. Delapan pengawal kehormatan mengangkat peti mati dari kereta meriam, memanggulnya, dan mulai berbaris pelan menuju makam. Peti mati diselubungi bendera Amerika dan di atasnya terdapat pita-pita penghargaan pertempuran Connor. Di tengahtengahnya ada Medali Kehormatan. Setelah tiba di sisi makam, para pengusung perlahan-lahan menurunkan peti mati ke tanah, kemudian bergabung dengan pelayat-pelayat lainnya. Pastor Graham, yang telah menjadi imam keluarga Fitzgerald selama tiga puluh tahun lebih, mengangkat tangan. "Sahabat-sahabatku," ia memulai. "Para imam sering diundang untuk melantunkan kidung pujian bagi umat yang telah meninggal, yang hampir tak dikenal para pelayat dan yang prestasinya tak selalu jelas. Tapi lain halnya dengan Connor Fitzgerald. Sebagai mahasiswa, ia dikenang sebagai gelandang terhebat yang pernah dimiliki Universitas Notre Dame. Sebagai prajurit, tak ada kata-kata lain yang dapat menandingi pujian yang ditulis Kapten Christopher Jackson, komandan peletonnya: 'Seorang prajurit yang tak gentar menghadapi bahaya, yang selalu lebih mementingkan kehidupan anak buahnya daripada hidupnya sendiri.' Sebagai seorang profesional, ia telah
mendarmabaktikan hampir tiga puluh tahun jasanya bagi negaranya. Anda hanya perlu melihat sekeliling untuk mengetahui penghargaan tinggi dari sesama rekannya. Namun lebih dari itu semua, sebagai suami bagi Maggie dan ayah bagi Tara, kita akan mengenangnya. Kita berdukacita bersama mereka berdua." Pastor Graham merendahkan suaranya. "Aku cu475 kup beruntung dapat menganggap diriku sebagai sahabatnya. Aku telah merindukan main bridge lagi dengannya selama liburan Natal—sebenarnya aku berharap dapat memperoleh kembali $10 kekalahanku dalam rubber set tepat sebelum ia pergi melaksanakan tugas terakhir. Ya Tuhan, dengan senang aku akan memberikan apa saja yang kumiliki hanya untuk sekali lagi bisa kalah main bridge dengannya. "Olahragawan, prajurit, profesional, kekasih, ayah, sahabat, dan bagiku—walau aku tak pernah akan berani menyebutnya di depannya, cuma karena ia akan menertawakanku— pahlawan. "Dimakamkan tak jauh darimu, Connor, ada seorang pahlawan Amerika yang lain." Pastor tua itu mengangkat kepalanya. "Seandainya aku John Fitzgerald Kennedy, aku akan bangga dimakamkan di pemakaman yang sama dengan Connor Fitzgerald." Para pengusung melangkah maju dan menurunkan peti mati ke dalam liang kubur. Pastor Graham membuat tanda salib, membungkuk, meraup segenggam tanah, dan menaburkannya di atas peti mati. "Abu kembali ke abu, dan debu kembali ke debu," imam itu mulai menyanyi, sementara seorang Marinir meniup trompet melantunkan lagu pemakaman. Para pengawal kehormatan melipat bendera dari peti mati membentuk segitiga rapi di tangan kadet termuda, seorang pemuda delapan
belas tahun, yang dilahirkan di Chicago seperti Connor. Menurut kebiasaan, ia akan memberikan bendera itu kepada sang janda sambil mengucapkan, "Ma'am, atas nama Presiden Amerika Serikat." Tapi tidak demikian hari ini. Hari ini ia melangkah tegap ke arah lain. Tujuh Marinir mengangkat senapan ke angkasa dan menembakkan salvo 21 kali, sementara kadet muda itu berdiri tegak di hadapan Presiden Amerika Serikat, dan menyerahkan bendera. Tom Lawrence menerimanya, pelan-pelan berjalan memutar ke sisi lain makam dan berdiri di hadapan sang janda. Maggie mengangkat kepala dan berusaha tersenyum ketika Presiden menghadiahkan panji bangsa. "Atas nama negara yang berterima kasih, saya menyerahkan kepada Anda bendera Republik. Anda dikelilingi oleh sahabat-sahabat yang mengenal suami Anda dengan baik. Saya hanya berharap saya dapat mempunyai hak istimewa itu." Presiden menunduk dan kembali ke sisi lain makam. Ketika band Marinir mulai memainkan lagu kebangsaan, ia menempatkan tangan kanannya di dadanya. Tak seorang pun bergerak hingga Maggie didampingi Tara dan Stuart menuju ke pintu gerbang makam. Ia berdiri di sana hampir selama sejam, berjabat tangan dengan semua pelayat yang menghadiri upacara itu. Dua orang yang tetap di puncak bukit selama upacara telah terbang dari Rusia sehari sebelumnya. Mereka tidak datang untuk berkabung. Mereka akan kembali ke St. Petersburg dengan penerbangan malam, dan melapor bahwa jasa-jasa mereka tidak diperlukan lagi. 477
BAB TIGA PULUH TUJUH
Air force one dikelilingi tank-tank ketika Presiden Amerika Serikat mendarat di bandara Moskwa. Tak diragukan lagi Presiden Zerimski tidak berminat sedikit pun memberi Tom Lawrence kesempatan ber-foto untuk orang-orangnya di tanah air. Juga tidak ada pidatopidato "Selamat datang di Rusia" seperti biasanya yang disampaikan dari podium di landas pacu. Ketika menuruni tangga pesawat dengan wajah muram, Lawrence disambut oleh kehadiran Marsekal Borodin yang berdiri di menara tank. Saat kedua Presiden akhirnya bertemu di Kremlin pagi ini, butir pertama dalam agenda ialah bahwa Presiden Zerimski meminta agar pasukan NATO yang melakukan patroli di perbatasan Rusia sebelah barat segera ditarik kembali. Sebagai akibat kekalahan telak RUU Pengurangan Senjata Nuklir, Biologis, Kimia, dan Konvensional di dalam Senat, dan kembalinya Ukraina dengan sukarela ke Uni Soviet, Presiden 478 Lawrence tahu bahwa ia tidak dalam posisi untuk mundur seinci pun dari peranan NATO di Eropa, khususnya sejak Senator Helen Dexter yang baru-baru ini terpilih tetap melukiskan Lawrence sebagai "kaki tangan merah". Sejak pengunduran diri Senator Dexter sebagai direktur CIA tahun lalu, supaya dapat "lebih terbuka beroposisi terhadap kebijakan luar negeri Presiden yang salah arah", telah ada perbincangan di Capitol Hill mengenai kemungkinan ia akan menjadi presiden wanita pertama. Pada pembicaraan pendahuluan di Kremlin pagi ini, Presiden Zerimski tidak berpura-pura... Stuart mendongak dari halaman depan Sydney Mor-ning Herald ketika Mnggie masuk ke dapur, mengenakan jins dan sweter. Mereka telah tinggal serumah selama enam bulan dan Stuart belum
pernah melihat Maggie dengan sehelai rambut pun yang tak pada tempatnya. "Selamat pagi, Stuart," katanya. "Ada yang menarik di koran?" "Zerimski masih tetap ngotot pada tiap kesempatan walau sekecil apa pun," jawab Stuart. "Dan presiden kalian menghadapinya dengan berani, setidaknya itulah pandangan koresponden Herald di Rusia." "Zerimski akan menjatuhkan bom nuklir ke Gedung Putih bila ia beranggapan bisa berhasil meloloskan diri," kata Maggie. "Apa tak ada berita yang lebih ceria untuk diceritakan padaku Sabtu pagi seperti ini?" "Perdana Menteri sudah mengumumkan tanggal pemilihan presiden pertama kami." 479 "Kalian sangat lamban di negeri ini," kata Maggie, sambil mengisi mangkuk dengan cornflakes. "Kami sudah lepas dari orang-orang Inggris dua ratus tahun lalu." "Kami juga tak perlu waktu lebih lama lagi," kata Stuart sambil tertawa ketika istrinya masuk ke ruangan itu dengan berkimono. "Selamat pagi," kata Tara dengan mengantuk. Maggie bangkit dari kursi dan mencium pipi putrinya. "Duduk saja di situ dan makan comflakes-mu ini Sementara kubuatkan omelette. Sebenarnya kau tak usah..." "Mom, aku hamil, bukannya kelaparan," kata Tara. "Aku cukup makan semangkuk cornflakes." "Aku tahu, tapi itu karena..." "...Mom tak pernah berhenti «emas," kata Tara sambil memeluk ibunya. "Akan kuungkapkan sebuah rahasia padamu. Tak ada bukti-bukti medis bahwa keguguran itu dari keturunan; hanya membikin repot para ibu. Apa berita besar hari ini?" tanyanya sambil mengalihkan pandangannya ke Stuart. "Kasusku di pengadilan jadi berita utama di halaman enam belas," sahut Stuart sambil menunjuk ke
tiga alinea yang tersembunyi di sudut kiri bawah halaman. Tara membaca laporan itu dua kali, kemudian berkata, "Tapi mereka bahkan tak menyebut namamu." "Tidak. Mereka tampaknya lebih berminat terhadap klienku saat ini," Stuart mengaku. "Tapi kalau aku dapat meloloskannya dari hukuman, itu bisa berubah." "Kuharap kau tak meloloskannya dari hukuman," kata Maggie seraya memecah telur kedua. "Kukira 480 klienmu itu penjilat, dan harus menghabiskan sisa hidupnya di penjara." "Cuma gara-gara mencuri $73?" tanya Stuart tak percaya. "Dari wanita tua yang tak berdaya." ^ "Tapi itu baru pertama kali." "Pertama kali ditangkap, itu maksudmu, kan," kata Maggie. "Tahukah, Maggie, kau pasti bisa jadi jaksa penuntut jempolan," kata Stuart. "Sebaiknya jangan kauambil cuti besarmu tahun ini—lebih baik kau mendaftarkan diri di fakultas hukum. Maaf ya, menurutku memenjarakan orang seumur hidup untuk pencurian $73 takkan membuat seseorang jadi sedemikian besar." "Kau akan terkejut karenanya, anak muda," tukas Maggie. Terdengar bunyi sesuatu yang terjatuh di keset dekat pintu. "Aku akan mengambilnya," kata Stuart sambil berdiri. "Stuart benar," kata Tara, sementara ibunya meletakkan omelette di depannya. "Sebenarnya Mom tak usah membuang-buang waktu dengan menjadi pengurus rumah tangga tanpa dibayar. Mom terlalu baik untuk itu." "Terima kasih, sayangku," kata Maggie. Ia kembali ke kompor dan memecahkan telur lagi. "Tapi aku menikmati tinggal bersama kalian berdua. Aku cuma berharap keberadaanku tak mengganggu." "Tentu saja Mom tak begitu," kata Tara. "Tapi kan sudah enam bulan lebih sejak..."
"Aku tahu. Sayang, tapi aku masih butuh waktu lebih lama lagi sebelum sanggup kembali ke Washing481 ton. Aku akan baik-baik saja menjelang dimulainya semester musim gugur." "Tapi Mom tak mau menerima undangan-undangan untuk hal-hal yang kausukai." "Misalnya?" "Minggu lalu Mr. Moore mengundang Mom untuk menyaksikan Fidelio di Opera House, dan Mom bilang sudah ada acara malam itu." "Sejujurnya, aku tak ingat lagi apa yang kulakukan malam itu," kata Maggie. "Aku ingat. Mom duduk di kamar membaca Ulysses." "Tara, Ronnie Moore itu baik, dan aku tak ragu dia melakukan apa pun di bank itu dengan baik sekali. Tapi dia tak perlu melewatkan malam denganku, hanya untuk mengingatkanku betapa aku sangat merindukan ayahmu. Dan tentu aku tak perlu melewatkan malam dengannya, hanya untuk diberitahu betapa dia memuja almarhum istrinya, siapa pun namanya." "Elizabeth," kata Stuart ketika kembali dengan membawa surat-surat. "Ronnie sebenarnya memang agak baik." "Jangan ikut-ikutan," kata,, Maggie. "Sudah tiba waktunya kalian tak perlu mencemaskan lagi kehidupan sosialku." Maggie meletakkan omelette yang lebih besar lagi di depan Stuart. "Mungkin lebih baik aku menikah denganmu, Maggie," katanya sambil menyeringai. "Kau jauh lebih cocok daripada kebanyakan pria yang coba-coba kaujodohkan denganku," kata Maggie sambil menepuk-nepuk kepala menantunya. Stuart tertawa dan mulai menyeleksi surat-surat, 482 kebanyakan untuk dirinya. Ia menyerahkan beberapa kepada Tara dan tiga kepada Maggie, lalu mendorong tumpukan kecil surat-suratnya ke tepi dan lebih suka membaca rubrik olahraga di Herald. Maggie menuangkan kopi ke cangkir kedua untuk dirinya sendiri, sebelum mengurusi surat-suratnya. Seperti biasa ia lebih dulu meneliti prangko surat-surat itu
sebelum memutuskan urutan surat-surat yang dibukanya. Dua surat berprangko sama, potret George Washington. Yang ketiga berprangko gambar burung kookaburra yang penuh. Mula-mula ia membuka surat dari Australia itu. Setelah membacanya, ia menyodorkannya kepada Tara di seberang meja. Sambil membaca alinea demi alinea surat itu, senyum Tara semakin melebar. "Sangat menggoda," kata Tara sambil meneruskan surat itu ke Stuart. Stuart membacanya dengan cepat. "Ya, sangat menggoda. Bagaimana tanggapanmu?" "Akan kubalas dan kujelaskan bahwa aku tak memasang iklan di bursa tenaga kerja," jawab Maggie. "Tapi lebih dulu aku harus tahu siapa di antara kalian berdua yang harus mendapat terima kasihku." Ia melambaikan surat itu. "Tak bersalah," kata Tara. "Mea culpa" Stuart mengaku. Sebelumnya ia telah tahu bahwa tak ada gunanya mencoba mengelabui Maggie. Akhirnya Maggie akan selalu mengetahuinya juga. "Aku melihat tawaran pekerjaan itu di Herald, dan kupikir kau sangat ideal memenuhi kualifikasinya. Pokoknya, lebih dari kompeten." 483 "Ada gosip bahwa Kepala Penerimaan akan pensiun akhir tahun akademik ini," kata Tara. "Jadi dicari penggantinya dalam waktu dekat ini. Siapa pun yang memperoleh pekerjaan ini..." "Sekarang dengarkan aku, kalian berdua," kata Maggie, sambil mulai membenahi piring-piring kotor. "Aku sedang cuti besar. Bulan Agustus yang akan datang, aku berniat kembali ke Washington dan melanjutkan pekerjaanku sebagai ketua Penerimaan di Universitas Georgetown. Universitas Sydney harus mencari orang lain." Ia duduk akan membuka surat kedua. Baik Tara maupun Stuart tidak berkomentar lebih lanjut ketika Maggie mengeluarkan cek sebesar $277.000, yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan. "Pembayaran penuh", demikian penjelasan
surat yang terlampir, santunan atas kehilangan suami yang sedang berdinas sebagai petugas dalam CIA. Bagaimana mereka dapat mulai memahami apa arti kata-kata "pembayaran penuh" ini? Cepat-cepat ia membuka surat ketiga. Ia memang sengaja menaruhnya di urutan terakhir, sebab ia mengenali bentuk huruf kuno itu dan tahu persis siapa yang mengirimnya. Tara menyentuh Stuart. "Surat cinta tahunan dari Dr. O'Casey, kalau aku tak salah," bisiknya menirukan adegan drama. "Harus kuakui, Mom. aku terkesan karena ia mampu melacakmu." "Aku juga," kata Maggie dengan tersenyum. "Setidaknya dengan dia aku tak perlu pura-pura." Dibukanya amplop itu. "Aku keluar dulu, kita siap berangkat sejam lagi," 484 kata Stuart sambil melihat jamnya. Maggie memandang melalui atas kacamata bacanya dan tersenyum. "Aku sudah memesan satu meja di kafe pantai buat pukul satu." "Oh, Mom hebat sekali," desah Tara penuh kekaguman. Stuart baru saja akan memukul kepala Tara dengan koran ketika Maggie berkala, "Ya ampun." Mereka berdua memandangnya dengan takjub. Itulah ucapan yang paling mendekati makian yang pernah mereka dengar. "Ada apa, Mom?" tanya Tara. "Apakah ia masih tetap melamar, atau setelah bertahun-tahun akhirnya ia menikah dengan orang lain?" "Kedua-duanya tidak. Ia ditawari pekerjaan sebagai ketua Jurusan Matematika di Universitas New South Wales. Dan dia akan datang menemui Wakil Rektor sebelum mengambil keputusan akhir." "Tak bisa lebih baik lagi," kata Tara. "Bagaimanapun* dia orang Irlandia, tampan, dan selalu memujamu. Dan seperti yang berulang kali kauingatkan pada kami, hanya Dad yang bisa mengalahkannya. Mau apa lagi?" Terjadi keheningan yang lama. Akhirnya Maggie berkata, "Aku khawatir itu tak sepenuhnya tepat."
"Maksud Mom?" tanya Tara. "Yah, yang benar ialah, dulu ia memang tampan dan ahli dansa', tapi juga agak membosankan." "Tapi Mom selalu bercerita padaku..." "Aku tahu apa yang telah kuceritakan," kata Maggie. "Dan jangan memandangku seperti itu, nyonya muda. Aku yakin kau kadang-kadang mengganggu Stuart dengan menceritakan pelayan muda dari Dublin itu yang..." "Mom, bagaimanapun sekarang dia..." "Dia apa?" tanya Stuart. "...dosen di Trinity College, Dublin," lanjut Tara. "Dan lebih-lebih lagi, dia sudah menikah dengan bahagia dan dikaruniai tiga anak. Itu lebih dari apa yang dapat dikatakan tentang kebanyakan mantan pacarmu." "Betul," Stuart mengaku. "Jadi katakan," ia berpaling pada Maggie, "kapan Dr. O'Casey tiba di Oz?" Maggie membuka surat itu kembali dan membaca keras-keras: "Aku terbang dari Chicago tanggal 14, tiba tanggal 15." "Lho, itu kan hari ini," kata Stuart Maggie mengangguk, lalu melanjutkan: 'Aku akan menginap di Sydney semalam dan menemui Wakil Rektor hari berikutnya sebelum kembali ke Chicago." Maggie mendongak. "Ia sudah akan pulang sebelum kita kembali dari berakhir pekan." "Itu sayang," kata Tara. "Sesudah bertahun-tahun, aku ingin bertemu dengan Dr. Declan CTCasey yang setia itu " "Dan itu masih bisa," kata Stuart sambil melihat jamnya. "Pukul berapa pesawatnya mendarat?" "Pukul 11.20 pagi ini," kata Maggie. "Aku khawatir kita akan ketinggalan. Dan dia tak mengatakan di mana akan menginap. Jadi tak ada cara untuk menghubunginya sebelum ia terbang pulang." 486 "Jangan cepat menyerah," kata Stuart. "Kalau kita segera berangkat, mungkin sepuluh menit lagi kita sudah sampai di bandara, tepat dengan mendaratnya pesawat itu. Kau bisa
mengundangnya santap siang bersama." Tara memandang ibunya. Maggie tak tampak bersemangat terhadap gagasan tersebut. "Bahkan bila kita bisa mengejarnya, kemungkinan besar ia akan menolak," kata Maggie. "Ia masih jetlag dan mau mempersiapkan diri untuk pertemuannya besok." "Tapi setidaknya Mom sudah berusaha," kata Tara. Maggie melipat surat itu, melepas celemeknya, dan berkata, "Kau benar, Tara. Setelah bertahuntahun, setidaknya itulah yang bisa kulakukan." Ia tersenyum kepada putrinya, cepat-cepat meninggalkan dapur, dan menghilang ke lantai atas. Di kamarnya, Maggie membuka lemari pakaian dan memilih pakaian kesayangannya Ia tidak ingin DeclJ^* menganggapnya setengah baya—meskipun itu agak konyol, karena ia memang setengah baya, demikian pula Declan. Ia mematut-matut diri di cermin. Boleh juga, demikian putusnya, untuk orang yang berumur 51. Ia tak bertambah gemuk, tetapi satu-dua garis telah muncul di dahinya selama enam bulan terakhir. Maggie tiba kembali di bawah dan menemukan Stuart hilir-mudik di ruang utama. Ia tahu pasti mobil sudah siap, bahkan mungkin mesinnya sudah dihidupkan. "Ayo, Tara," teriaknya ke lantai atas untuk ketiga kalinya. Beberapa menit kemudian Tara muncul, dan ketidaksabaran Stuart menguap saat Tara tersenyum. 487 Sambil naik ke dalam mobil, Tara berkata, "Aku sudah tak sabar lagi bertemu dengan Declan. Bahkan namanya saja sudah kedengaran romantis." "Begitulah persisnya yang kurasakan waktu itu," kata Maggie. "Apalah artinya nama?" kata Stuart dengan meringis, sambil mengeluarkan mobil dari jalur masuk dan membelok ke jalan. "Artinya banyak sekali jika kau dilahirkan sebagai Margaret Deirdre Burke," jawab Maggie. Stuart
tertawa terbahak-bahak. "Ketika masih sekolah, aku pernah menulis surat pada diriku sendiri dengan alamat kepada 'Dr. dan Mrs. Declan O'Casey'. Tapi itu tak membuatnya lebih menarik lagi." Maggie menyentuh rambutnya dengan agak gugup. "Apakah tak mungkin," kata Tara, "sesudah berta-Jiun-tahun, Dr. O'Casey mungkin berubah jadi menyenangkan, jantan, dan duniawi?" "Aku meragukannya," sahut Maggie. "Lebih mungkin ia akan jadi sombong, keriput, dan masih perjaka." "Bagaimana mungkin kau bisa tahu ia masih perjaka waktu itu?" tanya Stuart. "Sebab ia tak pernah berhenti mengatakannya pada setiap orang," jawab Maggie. "Gagasan Declan mengenai akhir pekan yang romantis adalah menyajikan makalah trigonometri pada suatu konferensi matematika." Tawa Tara meledak. "Tapi, terus terang, ayahmu pun tak begitu lebih berpengalaman daripada dia. Kami mengalami malam pertama bersama di atas bangku taman. Dan satu-satunya yang hilang adalah selopku." 488 Stuart tertawa terbahak hingga hampir menabrak pinggiran jalan. "Aku bahkan tahu bagaimana Connor kehilangan keperjakaannva," lanjut Maggie. "Dengan cewek yang terkenal dengan nama 'Jangan Pernah Bilang Tidak, Nancy'," bisik Maggie, pura-pura berbagi rahasia. "Tak mungkin ia menceritakannya padamu," kata Stuart tak percaya. "Memang tidak. Aku takkan pernah tahu jika ia tak pulang terlambat setelah latihan sepak bola suatu malam. Kuputuskan meninggalkan pesan di dalam locker-nya, dan kutemukan nama Nancy tercoret di balik pintu lemari. Tapi sebenarnya aku tak boleh mengeluh. Ketika kuperiksa locker teman-teman sekesebelas-annya, skor Connor jauh yang paling di bawah."
Tara kini tertawa terpingkal-pingkal hingga memohon ibunya menghentikan ceritanya. "Waktu ayahmu akhirnya..." Saat mereka tiba di bandara, Maggie telah menghabiskan semua ceritanya tentang persaingan antara Declan dan Connor, dan mulai merasa agak takut berjumpa dengan mantan partner dansanya setelah sekian lama. Stuart menghentikan mobil di pinggir jalan, melompat keluar, dan membukakan pintu belakang untuk Maggie. "Sebaiknya cepat-cepat," katanya sambil memeriksa jam. "Apa ingin kutemani, Mom?" tanya Tara. "Tidak Terima kasih," jawab Maggie, dan ia berjalan cepat menuju pintu otomatis sebelum sempat berubah pikiran. 489 Ia memeriksa papan pengumuman kedatangan penerbangan. Penerbangan 815 United dari Chicago mendarat tepat waktu pukul 11.20. Sekarang sudah pukul 11.40. Seumur hidup belum pernah ia terlambat begitu lama untuk menjemput seseorang dari pesawat terbang. Semakin dekat dengan area kedatangan, semakin lambat langkahnya, dengan harapan Declan punya waktu untuk menyelinap pergi. Ia memutuskan berada di situ selama seperempat jam untuk memenuhi kewajiban, kemudian akan kembali ke mobil. Ia mulai mengamati para penumpang yang datang ketika mereka melewati gerbang. Orang-orang muda, ceria, dan bergairah, sambil mengepit papan selancar; orang-orang separo baya, buru-buru dan penuh perhatian, sambil memegangi anak-anak mereka; orang-orang tua, berjalan pelan-pelan dan hati-hati, berada di urutan terakhir. Maggie mulai bertanya-tanya apakah ia akan mengenali Declan. Apakah Declan telah melewatinya? Bagaimanapun sudah tiga puluh tahun lebih setelah mereka bertemu terakhir kali, dan Declan tak berharap disambut seseorang di situ. Maggie memeriksa jamnya lagi—waktu seperempat jam sudah hampir habis. Ia mulai membayangkan sepiring gnocchi dan segelas Chardonnay untuk makan siang di Cronulla,
kemudian tidur-tiduran berjemur matahari siang sementara Stuart dan Tara berselancar. Tiba-tiba matanya menatap seorang pria berlengan satu yang sedang melewati gerbang kedatangan. Kaki Maggie terasa lemas. Ia menatap orang yang tak pernah berhenti dicintainya, dan mengira ia akan pingsan. Air matanya berlinangan. Ia tidak minta pen-490 jelasan. Itu bisa nanti, kelak. Ia berlari ke arah pria itu, melupakan semua orang di sekitarnya. Saat melihat Maggie, pria itu mengembangkan senyum yang tak asing lagi yang menunjukkan ia tahu ia telah dikenali "Ya Tuhan, Connor," kata Maggie, sambil mengembangkan kedua lengannya. "Katakan ini memang benar. Ya Tuhan, katakan ini benar." Connor memeluknya erat-erat dengan tangan kanan, lengan baju kirinya menjuntai di sisinya. "Memang benar, sayangku Maggie," katanya dengan logat Irlandia kental. "Sayangnya, meskipun Presiden bisa memperbaiki hampir segalanya, begitu mereka mematikanmu, kau tak punya pilihan lain kecuali menghilang sementara waktu dan memakai identitas lain." Ia melepas pelukannya dan memandang wanita yang ingin ia dekap setiap jam selama enam bulan terakhir ini. "Kuputuskan memakai identitas Dr. Declan O'Casey, akademis/; yang sedang mempertimbangkan untuk menerima tugas baru di Australia, sebab aku ingat kau pernah bilang yang kauinginkan dalam hidup ini ialah menjadi Mrs. Declan O'Casey. Aku juga yakin takkan diganggu oleh terlalu banyak orang Australia yang mengetes ke-pakaranku dalam matematika." Maggie mengangkat muka menatapnya. Air mata bercucuran membasahi pipinya. Ia tak yakin harus menangis atau tertawa "Tapi surat itu, sayangku," kata Maggie. "Huruf 'e'-nya yang bengkok. Bagaimana kau...?" "Ya, kupikir kau menyukai sentuhan itu," jawab Connor. "Itu sesudah aku melihat fotomu di
Washington Post, berdiri di dekat makam berhadapan dengan 491 3E? Presiden, kemudian membaca penghormatan kepada almarhum suamimu dengan berapiapi, hingga aku berpikir. Declan. mungkin inilah kesempatan terakhirmu untuk menikahi nona muda Margaret Burke dari East Side itu:' Connor tersenyum. "Jadi bagaimana sekarang. Maggie?" tanyanya. "Maukah kau menikah denganku?" "Connor Fitzgerald, masih banyak sekali yang harus kaujelaskan," kata Maggie. "Memang benar, Mrs. O'Casey. Dan seluruh sisa hidup kita ini perlu untuk menjelaskannya." Tamat