TANTANGAN MEWUJUDKAN KESETARAAN GENDER DALAM BUDAYA PATRIARKI Nanang Hasan Susanto Dosen STAIN Pekalongan
[email protected]
Abstract: Although the issue of gender equality tobe a demand in almost all countries, but the fact is not easy to achieve gender equality. This appearance infected the construc of cultural patriarchy since long time ago for discriminating roles of men and women. This Social Construct go on from generation to generation. Actually, there is still hope for realize the gender equality, although it requires a process. Among them is through education by providing adequate access to women, to exercise control over every policy of gender bias, involving women to provide participation, and provide equitable benefits between men and women. Keywords: Gender Equality, Cultural Patriarchy Abstrak: Meskipun isu kesetaraan Gender (genderequality) menjadi tuntutan hampir di semua Negara, namun faktanya tidak mudah untuk mewujudkan kesetaraan gender. Hal ini dikarenakan konstruk budaya masyarakat melalui budaya Patriarki yang membeda-bedakan peran laki-laki dan perempuan. Konstruk budaya ini sudah berlangsung lama dari generasi ke generasi. Sebenarnya masih ada harapan untuk mewujudkan kesetaraan gender, meskipun membutuhkan proses, karena merubah budaya membutuhkan waktu yang cukup lama. Diantaranya adalah melalui pendidikan dengan pemberian akses yang cukup kepada perempuan, melakukan kontrol terhadap setiap kebijakan yang bias gender, melibatkan perempuan untuk memberikan partisipasinya, dan memberikan benefit yang adil antara lakilaki dan perempuan. Kata Kunci: Kesetaraan Gender, Budaya Patriarki
berkembang atau sering disebut sebagai
PENDAHULUAN Diskursus
mengenai
kesetaraan
negara dunia ketiga, sering mengklaim
gender tetap faktual dan terus menguat dari
kalau
waktu ke waktu. Hal ini seiring dengan
kampanyekan isu kesetaraan gender sejak
tuntutan persamaan (equility) yang terus
14 abad yang lalu (Q.S. Al-Hujarat : 13),
menggema tidak hanya di negara-negara
namun faktanya berbagai ketidak adilan
yang memiliki peradaban tinggi, tapi juga
gender masih terus terjadi di berbagai
mulai merasuk ruang-ruang diskusi pada
sendi kehidupan negara muslim.
negara-negara
berkembang.
Meskipun
Negara Islam sebagai representasi negara
120 |
ajara
agamanya
Fenomena
sudah
masih
meng-
terjadinya
ketidaksetaraan (baca: bias) gender, lebih
MUWAZAH, Volume 7, Nomor 2, Desember 2015
disebabkan masih berlagsungnya budaya
konstruk
patriarkiyang dianut oleh sebagian besar
kenyataan, bahwa faktanya ada laki-laki
bangsa-bangsa di dunia. Pandangan bahwa
yang
laki-laki lebih kuat, lebih perkasa, lebih
Sementara itu,ada juga perempuan yang
berhak menduduki peran-peran penting
kuat, rasional dan perkasa. Pemahaman
telah mengkonstruk tatanan budaya yang
masyarakat yang mencirikan laki-laki dan
lebih
daripada
perempuan dengan bias gender itu dapat
perempuan. Konstruk budaya ini terus
terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat
berlangsung dari abad ke abad dan dari
ke tempat yang lain.
memihak
laki-laki
sosial,
emosional
dapat
dan
dilihat
lemah
pada
lembut.
generasi ke generasi, sehingga masyarakat
Berbeda dengan pengertian gender
kita susah membedakan antara apa yang
sebagai hasil konstruksi sosial budaya
disebut
“konstruk
masyarakat, Sex atau jenis kelamin lebih
budaya” sebagai produk hasil cipta karya
bermakna kodrati. Yakni perbedaan antara
manusia.
laki-laki dan perempuan dari aspekjenis
“kodrat”
dengan
Berkaitan
diferensiasi
kelamin dan berbagai ketentuan biologis
konstruk
yang tidak dapat dirubah. Misalnya saja
memberikan
laki-laki memiliki jakun, penis dan sperma.
pengertian gender sebagai suatu konsep
Sedangkan perempuan memiliki vagina,
yang digunakan untuk mengidentifikasi
payudara (asi), ovum, rahim, haid, hamil,
perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat
melahirkan dan menyusui.
antara
dengan
kodrat
dengan
budaya,Nasaruddin
Umar
Meskipun sudah menjadi konstruk
dari segi sosial budaya. (Nasarudin Umar dalam Gender
https://phierda.wordpress.com). meng-
lama, namun persoalan ketidaksetaraan
identifikasikan laki-laki dan perempuan
gender semakin menyita perhatian banyak
dari sudut nonbiologis. Tapi lebih kepada
kalangan untuk dicarikan solusi, hal mana
karakter, sebagai sifat yang bisa dikonstruk
merupakan
oleh budaya. Gender melekat pada kaum
mewujudkan
laki-laki maupun perempuan, dikonstruksi
seutuhnya. Tulisan ini merupakan bagian
secara sosial maupun kultural. Misalnya
dari upaya mewujudkan kesetaraan gender,
perempuan itu dikenal lemah lembut,
dengan
cantik, emosional dan keibuan. Sementara
mengenai
laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan
mewujudkan kesetaraan gender dalam
perkasa. Padangan bahwa sifat-sifat itu
budaya patriarki.
bukan
dalam
arti
merupakan
tersebut
sosial budaya masyarakat dan berlangsung
kodrat
tapi
cita-cita
mulia
keadilan
sosial
untuk yang
membedah
secara
teoritis
berbagai
tantangan
faktual
hasil
Tantangan Mewujudkan Kesetaraan Gender … (Nanang Hasan Susanto)
| 121
PEMBAHASAN
dibandingkan
Budaya Patriarki
dianggap
Menurut Bressler, Patriarki adalah
perempuan.
memiliki
Laki-laki
kekuatan
lebih
dibandingkan perempuan. Di semua lini
sebuah sistem sosial yang menempatkan
kehidupan,
masyarakat
memandang
laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang
perempuan sebagai seorang yang lemah
sentral dalam organisasi sosial. Ayah
dan tidak berdaya.
memiliki otoritas terhadap perempuan,
Menurut Masudi seperti yang dikutip
anak-anak dan harta benda. Secara tersirat
Faturochman, sejarah masyarakat patriarki
sistem ini melembagakan pemerintahan
sejak awal membentuk peradaban manusia
dan hak istimewa laki-laki dan menuntut
yang menganggap bahwa laki-laki lebih
subordinasi
kuat (superior) dibandingkan perempuan,
perempuan
(Charles
E,
Bressler, 2007). Lebih
jauh,
baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, Bressler
merinci
masyarakat, maupun bernegara. Kultur
Patriarki sebagai konsep yang digunakan
patriarki
dalam ilmu-ilmu sosial, terutama dalam
membentuk perbedaan perilaku, status, dan
antropologi dan studi referensi feminitas.
otoritas antara laki-laki dan perempuan di
Patriarki juga bermakna sebagai distribusi
masyarakat yang kemudian menjadi hirarki
kekuasaan antara laki-laki dan perempuan,
gender (Faturochman, 2002: 16).
di mana laki-laki memiliki keunggulan
Pada
ini
secara
kesempatan
turun-temurun
yang
lain,
dalam satu atau lebih aspek, seperti penen-
Muhadjir mengatakan bahwa permasalahan
tuan garis keturunan (keturunan patrilineal
marginalisasi yang dihadapi oleh perem-
eksklusif dan membawa nama belakang),
puan terletak pada budaya patriarki, yaitu
hak-hak anak sulung, otonomi pribadi
nilai-nilai yang hidup dimasyarakat, yang
dalam hubungan sosial, partisipasi dalam
memposisikan laki-laki sebagai superior
status publik dan politik atau agama atau
dan perempuan subordinat. Budaya patriar-
atribusi dari berbagai pekerjaan pria dan
ki seperti ini tercermin dalam kehidupan
wanita ditentukan oleh pembagian kerja
berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan
secara seksual(Charles E, Bressler, 2007).
bernegara, sekaligus menjadi sumber pem-
Rueda mengatakan bahwa patriarki adalah
terhadap
nangan, sistem pengambilan keputusan,
perempuan (Rueda dalam https://phierda.
sistem pembagian kerja, sistem kepemilik-
wordpress.com). Masyarakat yang meng-
an dan sitem distribusi resourcis yang bias
anut sistem patriarki meletakkan laki-laki
gender. Kultur yang demikian ini akhirnya
pada posisi dan kekuasaan yang dominan
akan bermuara pada terjadinya perlakuan
122 |
penyebab
penindasan
benaran terhadap sistem distribusi kewe-
MUWAZAH, Volume 7, Nomor 2, Desember 2015
diskriminasi,
marjinalisasi,
ekploitasi
lebih rendah dari pekerjaan laki-laki,
maupun kekerasan terhadap perempuan
dan seringkali berpengaruh terhadap
(Muhadjir, 2005: 166).
perbedaan gaji antara kedua jenis pekerjaan tersebut (Mansour Fakih, 2008: 76-77).
Dampak yang Ditimbulkan Budaya 2.
Patriarki Perbedaan
gender
Subordinasi
atau
penomorduaan,
sesungguhnya
pada dasarnya adalah keyakinan
tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak
bahwa salah satu jenis kelamin
melahirkan ketidakadilan gender (gender
dianggap lebih penting atau lebih
inequalities).
utama
Namun,
yang
menjadi
dibanding
jenis
kelamin
persoalan, konstruk sosial yang dibangun
lainnya. Sudah sejak dahulu ada
dalam budaya Patriarki dalam melihat
pandangan
perbedaan
melahirkan
kedudukan dan peran perempuan
berbagai ketidakadilan khususnya bagi
lebih rendah dari laki-laki. Sebagai
perempuan.
contoh dalam memperoleh hak-hak
gender
telah
Ketidakadilan gender termanifestasi-
yang
menempatkan
pendidikan, biasanya anak perem-
kan dalam pelbagai bentuk, yaitu:
puan tidak mendapat akses yang
1.
Marginalisasi atau proses peming-
sama dibanding laki-laki. Ketika
giran/pemiskinan, yang mengakibat-
ekonomi keluarga terbatas, maka hak
kan kemiskinan secara ekonomi.
untuk mendapatkan pendidikan lebih
Contoh marginalisasi dapat dilihat
diprioritaskan kepada anak laki-laki,
pada kasus program Revolusi Hijau
padahal kalau diperhatikan belum
pada masa orde baru, yang hanya
tentu anak perempuan tidak mampu
terfokus kepada laki-laki. Misalnya
(Mursyidah, 2013).
penyelenggaraan pelatihan pertanian
3.
Stereotipe.Yaitu citra baku tentang
yang hanya ditunjukkan untuk petani
individu atau kelompok yang tidak
laki-laki. Karenanya, banyak petani
sesuai dengan kenyataan empiris
perempuan yang tergusur dari sawah
yang ada. Pelabelan negatif secara
dan
dunia
umum selalu melahirkan ketidak-
pertanian, banyak sekali pekerjaan
adilan. Hal ini mengakibatkan terja-
yag dianggap lebih pantas dilakukan
dinya diskriminasi dan berbagai keti-
perempuan. Seperti pembantu rumah
dakadilan yang merugikan kaum
tangga, Guru TK, dan lain-lain.
perempuan.
Pekerjaan perempuan ini dianggap
terhadap perempuan yang tugas dan
pertanian.
Di
luar
Misalnya
Tantangan Mewujudkan Kesetaraan Gender … (Nanang Hasan Susanto)
pandangan
| 123
fungsinya hanya melaksanakan pe-
ketergantungan.
kerjaan
kekerasan terhadap perempuan yang
yang
berkaitan
dengan
sekali
pekerjaan domestik atau kerumah-
terjadi
tanggaan. Label kaum perempuan
gender. Banyak terjadi pemerkosaan
sebagai
tangga”
bukan karena kecantikan, namun
merugikan, jika hendak aktif dalam
karena kekuasaan stereotipe gender
“kegiatan
yang dilekatkan kepada perempuan
“ibu
rumah
laki-laki”
berpolitik,
bisnis
seperti
atau
birokrat.
Sementara label laki-laki sebagai
4.
Banyak
karena
adanya
stereotipe
(Mansour Fakih, 2008: 79). 5.
Beban ganda, adalah beban yang
pencari nafkah utama (breadwinner)
harus ditanggung oleh perempuan
mengakibatkan
secara
apa
saja
yang
berlebihan.
Berbagai
dihasilkan oleh perempuan dianggap
observasi menunjukkan perempuan
sebagai sambilan atau tambahan dan
mengerjakan
cenderung
pekerjaan
tidak
diperhitungkan
hampir
dalam
90%
rumah
dari
tangga.
(Mursyidah. 2013). Contoh seperti
Sehingga bagi mereka yang bekerja,
ini dapat kita lihat pada pekerjaan
selain bekerja di tempat kerja, juga
sebuah
masih harus mengerjakan pekerjaan
keluarga.
Supir
yang
dianggap sebagai pekerjaan laki-laki
rumah
seringkali
tinggi
gender seperti itu menimbulkan rasa
dibanding pembantu rumah tangga
bersalah dalam diri perempuan jika
yang dianggap sebagai pekerjaan
tidak menjalankan pekerjaan-peker-
perempuan. Meskipun tidak ada yang
jaan rumah tangga. Sedangkan bagi
menjamin, kalau pekerjaan supir
kaum laki-laki, tidak saja merasa
lebih berat dan lebih sulit dibanding
bukan taggung jawabnya, bahkan di
memasak dan mencuci.
banyak tradisi, laki-laki dilarang
Kekerasan (violence), adalah suatu
terlibat dalam pekerjaan domestik
serangan
(Mansour Fakih, 2008: 80).
dibayar
terhadap
lebih
fisik
maupun
tangga.
Sosialisasi
peran
integritas mental psikologis seseorang.
Kekerasan
mencakup
Menurut Mansour Fakih, berbagai
kekerasan fisik seperti pemerkosaan
manivestasi ketidakadilan gender tidak
dan pemukulan, sampai kekerasan
bisa
dalam bentuk yang lebih halus
berhubungan antara satu dan lainnya.
seperti
(sexual
Tidak ada satupun manivestasi ketidak-
penciptaan
adilan gender yang lebih penting, lebih
harassment), 124 |
ini
pelecehan dan
dipisah-pisahkan,
karena
saling
MUWAZAH, Volume 7, Nomor 2, Desember 2015
esensial dari yang lain. Misalnya, mar-
hierarki patriakal. Menurut teori sosial
ginalisasi ekonomi kaum perempuan justru
konflik, struktur yang vertikal tersebut
terjadi karena stereotipe tertentu atas kaum
sangat
perempuan dan hal itu menyumbang
konflik berkepanjangan di dalam keluarga.
kepada terwujudnya subordinasi, keke-
Karena sistem struktur yang hierarkis
rasan kepada kaum perempuan, yang
seringkali menciptakan situasi yang tidak
akhirnya tersosialisasikan dalam ideologi,
demokratis dimana pembagian sumberdaya
dan visi kaum perempuan sendiri. Dengan
yang terbatas (kekuasaan, kesempatan,
demikian, kita tidak bisa menyatakan
keputusan-keputusan
bahwa marginalisasi kaum perempuan
mutlak tanpa proses negosiasi antaranggota
adalah
keluarga.
yang
paling
menentukan
dan
potensial
untuk
menimbulkan
keluarga)
berlaku
terpenting dari yang lain, dan oleh karena itu
mendapat
sebaliknya,
perhatian
bahwa
lebih.
Atau
Mewujudkan Kesetaraan Gender dalam
kekerasan
fisik
Budaya Patriarki
(violence) adalah masalah paling mendasar
Menurut Koentjaraningrat, Budaya
yang harus dipecahkan terlebih dahulu
dan ideologi bukan satu hal yang turun dari
(Mansour Fakih, 2008: 13-14).
langit. la di bentuk oleh manusia dan
Berlangsungnya budaya Patriarki di
disosialisasikan dari satu generasi ke
lingkungan kehidupan kita memang tidak
generasi
terlihat, tapi bisa dirasakan dengan jelas.
mengatakan nilai budaya adalah faktor
Ketidakadilan sistem ini pada hakekatnya
mental
tidak hanya merugikan perempuan saja,
seseorang
tapi juga merugikan laki-laki, karena
(Koentjaraningrat, 1974).
berikutnya.
yang
Koentjaraningrat
menentukan atau
perbuatan masyarakat
dimanapun, ketidakadilan muaranya adalah
Berdasarkan tesis Koentjaraningrat
konflik, atau tatanan kehidupan yang tidak
di atas, maka mewujudkan kesetaraan
nyaman. Hal ini sebagaimana yang disebut
gender bukan hal yang tidak mungkin
dalam teori sosial konflik.
dilakukan oleh suatu kelompok atau suatu
Berbeda dengan pendekatan teori
Bangsa, meskipun budaya Patriarki sudah
struktural-fungsional yang menempatkan
berlangsung lama. Mewujudkan kesetaraan
keluarga sebagai institusi dengan sistem
gender merupakan agenda jangka panjang
struktur yang menempatkan kedudukan
yang tidak bisa dilakukan dalam waktu
suami, istri, dan anak-anak pada posisi
singkat. Karena merubah budaya yang
vertikal, sehingga peran, hak, kewajiban,
diawali dari perubahan mental dalam
tanggung jawab sangat ditentukan oleh
memandang sesuatu, membutuhkan waktu.
Tantangan Mewujudkan Kesetaraan Gender … (Nanang Hasan Susanto)
| 125
Pendidikan merupakan kunci terwu-
jenjang pendidikan, semakinlebar kesen-
judnya keadilan gender dalam masyarakat,
jangannya. Kesenjangan ini pada giliran-
termasuk yang menganut budaya patriarki.
nya membawa kepada berbedanya rata-rata
Karena pendidikan merupakan alat untuk
penghasilan laki-laki dan perempuan.
mentransfer
masyarakat,
Ketimpangan gender dalam pendi-
pengetahuan dan kemampuan mereka.
dikan dapat pula diamati dari segi isi buku
Dengan kata lain, lembaga pendidikan
pelajaran.
merupakan sarana formal untuk sosialisasi
pelajaran, khususnya Bahasa dan Sastra,
sekaligus transfer nilai-nilai dan norma-
IPS, PPKN, Pendidikan Jasmani, Kesenian
norma yang berlaku dalam masyarakat,
dan sejenisnya,yang membahas kedudukan
termasuk nilai dan norma gender. Untuk
perempuan dalam masyarakat cenderung
itu sejak awal perlu diupayakan terwujud-
masih
nya
gender.
keadilan
norma-norma
gender
dalam
lembaga
pendidikan.
Kebanyakan
menganut Perempuan
muatan
nilai-nilai dalam
buku
yangbias buku-buku
tersebut masih ditempatkan dalam peran-
Berawal dari miskin pendidikan,
peran
domestic
(domestic
roles),
dampaknya akan berpengaruh terhadap ke-
sebaliknya laki-laki diposisikan dalam
miskinan pada aspek yang lainnya, seperti
peran-peran publik (productive roles).
pada akses terhadap pekerjaan, politik dan
Dengan demikian, isi buku-buku tersebut
pengambilan keputusan. Pe-rempuan yang
masih mengakui adanya segregasi ruang
tidak mempunyai sumber daya pribadi
yang ketat antara laki-laki dan perempuan;
berupa pendidikan dengan sendirinya akan
laki-laki
sangat sulit untuk mengakses pekerjaan
perempuan di ruang domestik. Kurikulum
terutama di sektor formal yang relatif
dan materi pelajaran yang belum mengacu
berubah tinggi. Wilayah pekerjaan mereka
kepada
biasanya terbatas pada sektor informal
keadilan
yang berupah rendah seperti buruh kasar
perempuan
atau pembantu rumah tangga.
mentalitas sebagai warga masyarakat yang
Ketimpangan gender dalam pendi-
di
ruang
publik,
prinsip-prinsip gender tetap
sedangkan
kesetaraan
akan tidak
dan
menyebabkan mempunyai
produktif (Mursyidah,2013).
dikan, antara lain berwujud kesenjangan
Berbagai hasil penelitian mengung-
memperoleh kesempatanyang konsisten
kapkan, bahwa kesenjangan gender bukan
pada setiap jenis dan jenjang pendidikan.
diakibatkan oleh satu faktor tunggal,
Perempuan cenderung memiliki kesem-
melainkan terdapat beberapa faktor yang
patan pendidikan yang lebih kecil diban-
saling kait mengkait. Setidaknya, dapat
dingkan dengan laki-laki. Semakin tinggi
disebutkan empat faktor utama, yakni
126 |
MUWAZAH, Volume 7, Nomor 2, Desember 2015
faktor akses, kontrol, partisipasi dan
pendidikan, hal ini terlihat pada jenjang
benefit. Dalam pendidikan, faktor akses
pendidikan yang lebih tinggi, seperti SMK
terlihat nyata dalam proses penyusunan
dan PT. Setidaknya ada tiga alasan yang
kurikulum dan proses pembelajaran yang
sering dikemukakan berkenaan dengan hal
cenderung bias laki-laki (bias toward
ini. Pertama, tidak tersedianya sarana dan
male). Dalam kedua proses ini harus diakui
prasarana sekolah untuk jenjang pen-
proporsi
dominan.
didikan SLTP ke atas di daerah sekitar
Indikasinya dapat dilihat pada penulis
tempat tinggal. Karena alasan jarak dan
buku-buku
berbagai
keselamatan selama perjalanan menuju ke
bidang studi yang mayoritas adalah laki-
sekolah menyebabkan banyak orang tua
laki. Selain itu, jumlah tenaga pengajar,
keberatan menyekolahkan anak perem-
khususnya pada SLTP ke atas lebih
puannya ke jenjang pendidikan yang lebih
didominasi laki-laki. Akibatnya, proses
tinggi. Kedua, relative tingginya biaya
pembelajaran menjadi bias laki-laki (bias
pendidikan. Biaya pendidikan masih belum
against female). Kondisi ini semakin
terjangkau oleh kebanyakan penduduk,
diperburuk oleh kenyataan bahwa sensi-
khususnya yang tidak mampu. Ketiga,
tivitas gender masyarakat, baik laki-laki
masih dianutnya sejumlah norma yang me-
dan perempuan masih sangat rendah.
rugikan perempuan, misalnya pandangan
laki-laki
pelajaran
sangat
dalam
Selain akses, faktor kontrol juga turut
yang menyatakan bahwa anak perempuan
andil dalam mewujudkan bias gender. Pada
lebih diperlukan dalam membantu orang tua
aspek pendidikan, kontrol terhadap kebi-
menyelesaikan tugas sehari-hari di rumah,
jakan pendidikan lebih didominasi laki-
sedangkan anak laki-laki memiliki tanggung
laki, mengingat laki-laki lebih banyak
jawab yang lebih besar untuk membantu
berada pada posisi strategis dalam penge-
menambah penghasilan keluarga.
lolaan pendidikan, terutama dalam jabatan
Terakhir, faktor benefit terlihat dari
struktural, mulai dari tingkat pusat sampai
dominannya laki-laki dalam posisi sebagai
ke tingkat yang paling rendah. Hal itu me-
penentu
nyebabkan partisipasi perempuan dalam
lembaga birokrasi di bidang pendidikan,
proses
demikian
pengambilan
keputusan
dalam
kebijakan,
juga
khususnya
pada
dalam
jabatan-jabatan
bidang pendidikan relatif masih rendah.
akademis kependidikan. Karena itu, laki-
Akibatnya, sejumlah kebijakan dalam pen-
laki
didikan dipandang belum sensitif gender.
strategis dalam jabatan-jabatan struktural
Selanjutnya adalah faktor partisipasi
lebih
banyak
menikmati
posisi
(Mursyidah,2013).
perempuan yang rendah. Pada aspek Tantangan Mewujudkan Kesetaraan Gender … (Nanang Hasan Susanto)
| 127
Untuk
mewujudkan
kesetaraan
dikutip
Megawangi
mengakui
adanya
gender, keempat faktor diatas perlu segera
keragaman
dicari
upaya
biologis, aspirasi, kebutuhan, kemampuan,
sungguh-sungguh dari semua pihak untuk
ataupun kesukaan, cocok dengan para-
mewujudkan kesetaraan gender, hal mana
digma inklusif. Ia mengatakan bahwa
merupakan salah satu sendi mewujudan
konsep yang mengakui faktor spesifik
keadilan
seseorang dan memberikan haknya sesuai
solusinya.
sosial
Diperlukan
bagi
seluruh
rakyat
Indonesia sebagaimana cita-cita bersama.
pada
manusia,
entah
itu
dengan kondisi perseorangan, atau disebut
Perbedaan gender pada prinsipnya
“person-regarding equality”. Kesetaraan
adalah sesuatu yang wajar dan merupakan
ini bukan dengan memberi perlakuan sama
sunnatullah sebagai sebuah fenomena
kepada setiap individu agar kebutuhannya
kebudayaan. Perbedaan itu tidak akan
yang spesifik dapat terpenuhi, konsep ini
menjadi masalah jika tidak menimbulkan
disebut “kesetaraan kontekstual”. Artinya,
ketidakadilan. Namun pada kenyataannya
kesetaraan
perbedaan tersebut melahirkan berbagai
(sameness) yang sering menuntut per-
ketidakadilan baik bagi kaum laki-laki
samaan matematis, melainkan lebih kepada
terutama
kesetaraan yang adil yang sesuai dengan
kepada
kaum
perempuan
(Ridwan, 2006: 25)
adalah
bukan
kesamaan
konteks masing-masing individu (Ratna
Memperjuangkan kesetaraan bukan-
Megawangi, 1999).
lah berarti mempertentangkan dua jenis
Kesetaraan gender pada gilirannya
kelamin, laki-laki dan perempuan. Sekali
akan menghasilkan “deviden” ganda. Pe-
lagi bukanlah mempertentangkan laki-laki
rempuan yang sehat, berpendidikan, ber-
dan perempuan, tetapi lebih kepada upaya
daya akan memiliki anak-anak perempuan
membangun hubungan (relasi) yang setara.
dan laki-laki yang sehat, berpendidikan
Kesempatan harus terbuka sama luasnya
dan percaya diri. Pengaruh perempuan
bagi
sama
yang besar dalam rumah tangga, telah
mendapatkan
memperlihatkan dampak yang positif pada
laki-laki
dan
perempuan,
pentingnya
untuk
pendidikan,
makanan
kesehatan,
kesempatan
yang
bergizi,
kerja,
dan
gizi, perawatan kesehatan, dan pendidikan anak-anak mereka.
sebagainya. Upaya
Menurut
yang
dikutip
kesetaraan
Megawangi, bahwa keluarga yang ideal
gender tidak boleh diartikan juga sebagai
adalah yang berlandaskan companionship,
upaya untuk menyamakan secara sporadis
yang
antara laki-laki dan perempuan. Tawney
hierarkis
128 |
mewujudkan
Collins
hubungannya (Ratna
horizontal
Megawangi,
tidak 1999).
MUWAZAH, Volume 7, Nomor 2, Desember 2015
Keharmonisan keluarga sendiri merupakan
sudah berlangsung lama dan turun temurun
aspek utama solidnya kehidupan sebuah
dari generasi ke generasi.
masyarakat. Last but not least, mewujudkan
DAFTAR PUSTAKA
hakekatnya
Charles E Bressler,. Literary Criticism: An
merupakan kepentingan kemanusiaan, dan
Introduction to Theory and Practice
karenanya
4th-ed. Pearson Education, Inc. 2007.
kesetaraan
gender
pada
kepentingan
semua
pihak.
ISBN-13:978-0-13-153448-3)
Dalam skala mikro, kesetaraan gender akan mewujudkan keluarga yang bahagia,
Keadilan
Faturochman.
Perspektif
hal mana akan menghasilkan keturunan
Psikologi. (Yogyakarta: Pustaka dan
yang kuat, kreatif dan mandiri. Dalam
Fakultas Psikologi UGM), Tahun
skala makro, kesetaraan gender akan
2002.
mewujudkan iklim keadilan, memberikan
H.M.
Lips,
Sex
and
gender:
An
ruang yang sebesar-besarnya bagi semua
introduction.
anak
Publishing Company. Tahun 1993.
Bangsa
untuk
berkarya
dan
mengembangkan kreatifitasnya, Sehingga diharapkan akan terwujud Bangsa yang
London:
https://phierda.wordpress.com
Mayfield
(dilihat
tanggal 07 Oktober 2015) Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas
adil, mulia danbermartabat.
dan
Pembangunan,
(Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama), 1974
PENUTUP di
Mansour Fakih, Analisis Gender dan
antaranya dengan mewujudkan kesetaraan
Transformasi Sosial (Yogyakarta:
gender,
Insist Press) Tahun 2008
Mewujudkan
pada
keadilan
hakekatnya
sosial
merupakan
kepentingan bersama. Karena ketidakadilan,
dimanapun
muaranya
adalah
terciptanya tatanan sosial yang tidak nyaman, alienasi, bahkan bisa menim-
Muhadjir Darwin, Negara dan Perempuan: Reorientasi
Kebijakan
Publik.
(Yogyakarta: Media Wacana). 2005. Mursyidah.
Pendidikan
Berbasis
bulkan konflik. Oleh karena itu, diperlukan
Kesetaraan dan Keadilan Gender.
upaya sungguh-sungguh dari semua pihak
Jurnal Muwâzâh, Vol. 5, No. 2,
untuk mewujudkan kesetaraan gender,
Desember 2013
dengan merubah budaya Patriarki yang Nasarudin Umar, Argumen kesetaraan
Puspitawati, H. Modul Pendidikan Adil
gender dalam al-Qur’an. (Jakarta:
Gender Dalam Keluarga. Makalah
Paramadina), Tahun 1999.
(Tidak diterbitkan). Jakarta: Dirjen
Tantangan Mewujudkan Kesetaraan Gender … (Nanang Hasan Susanto)
| 129
Kelautan, Pesisir, Dan Pulau-Pulau
Gender, Bandung: Mizan), Tahun
Kecil DKP, Tahun 2007.
1999
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang BaruTentang Relasi
Ridwan,
Kekerasan
Berbasis
Gender,
(Yogyakarta: Fajar Pustaka), Tahun 2006
130 |
MUWAZAH, Volume 7, Nomor 2, Desember 2015