69 Jurnal Hukum, Vol. XVIII, No. 18, April 2010 : 69 - 86
ISSN1412 - 0887
TANGGUNG JAWAB BANK AKIBAT KERUGIAN DIDERITA OLEH NASABAH Suwardi, SH., MH1 Raga Taufani2
ABSTRAK Ada dua jenis hubungan hukum antara bank dan deposan yaitu hubungan kepercayaan dan hubungan hukum (contractual). Hubungan hukum antara nasabah dengan deposan didasarkan atas hubungan kontraktual dalam bentuk perjanjian pinjam meminjam sebagaimana Pasal 1754 KUH Perdata. Sehingga apabila terjadi kerugian terhadap deposan bank dapat dimintakan pertanggungjawaban sebagaimna yang tercantum dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Kata Kunci: Bank, Deposan (Nasabah), Ganti Rugi.
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem keuangan yang semakin maju, diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi, termasuk Perbankan, demikian Konsideran Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas undangundang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU No. 10 Tahun 1998 ). Perbankan yang dimaksud menurut pasal 1 angka 1 UU No. 10 Tahun 1998 adalah “segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya”. Sedangkan Bank menurut pasal 1 angka 2 UU No. 10 Tahun 1998 adalah “badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.
1 2
Dosen Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
70
Bank menjalankan usaha menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali pada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk lainnya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dana yang disimpan oleh masyarakat dalam bentuk simpanan tersebut didasarkan atas kepercayaan, maksudntya masyarakat percaya bahwa dana yang disimpan pada bank tersebut akan digunakan oleh bank sesuai dengan keperluannya. Meskipun demikian masyarakat tidak begitu saja percaya, melainkan harua ada mekanisme lain yang dapat menambah keyakinan masyaraklat tersebut atas jaminan keamanan dananya yang tersimpan pada bank. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 2 UU No. 10 Tahun 1998 di atas, bahwa bank dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik masyarakat penyimpan dana maupun masyarakat yang mendapatkan fasilitas kredit. Hal ini berarti bahwa pelaksanaan pembangunan ekonomi diarahkan kepada terwujudnya perekonomian nasional yang berpihak pada ekonomi kerakyatan, merata, mandiri, andal, berkeadilan dan mampu bersaing di kancah perekonomian internasional. Guna mendukung terwujudnya perekonomian nasional sebagaimana tersebut di atas dan sejalan dengan tantangan perkembangan dan pembangunan ekonomi yang semakin kompleks, sistem keuangan yang semakin maju serta perekonomian internasional yang semakin kompetitif dan terintegrasi, kebijakan moneter harus dititikberatkan pada upaya untuk memelihara stabilitas nilai rupiah. Untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter yang efektif dan efisien diperlukan sistem keuangan yang sehat, transparan, terpercaya, dan dapat dipertanggung jawabkan yang didukung oleh sistem pembayaran yang lancar, cepat, tepat dan aman, serta pengaturan dan pengawasan bank yang memenuhi prinsip kehati-hatian, sebagaimana Konsideran Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah dirubah oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia (selanjutnya disebut UUBI). Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia. Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihakpihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-undang ini (sebagaimana pasal 4 UUBI). Dijelaskan lebih lanjut oleh penjelasan pasal 4 ayat (1) UUBI, bahwa yang dimaksud dengan Bank Sentral adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan alat pembayaran yang sah dari suatu negara, merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi perbankan, serta menjalankan fungsi sebagai lender of the last resort. Bank Sentral dimaksud mempunyai tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dan tidak melakukan kegiatan intermediasi seperti yang dilakukan oleh Bank pada umumnya. Walaupun demikian, dalam rangka mendukung tugas-tugasnya Bank Sentral dapat melakukan aktifitas perbankan yang dianggap perlu. Bank Indonesia mempunyai tugas salah satu di antaranya yaitu memberikan pengawasan pada bank-bank, sesuai dengan pasal 34 ayat (1) UUBI, bahwa ”tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang”. Tugas Bank Indonesia untuk mengawasi bank menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 bersifat sementara. Namun demikian mengingat amanat pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa
71
keuangan yaitu selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2002 telah terlampaui, maka dengan Undang-undang ini ditegaskan kembali bahwa pengawasan terhadap bank akan dilaksanakan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen yang akan dibentuk selambat-lambatnya pada tanggal 31 Desember 2010. Pengunduran batas waktu pembentukan lembaga tersebut, ditetapkan dengan memperhatikan kesiapan sumber daya manusia dan infra struktur lembaga tersebut dalam menerima pengalihan pengawasan bank dari Bank Indonesia (Penjelasan Umum UUBI). Dibahasnya mengenai tugas pengawasan Bank Indonesia terhadap Bank-bank baik milik pemerintah maupun bank milik swasta ada kaitannya dengan permasalahan yang menimpa Bank Century, di mana kekacauan yang menimpa Bank Century disebabkan karena kurang ketatnya pengawasan Bank Indonesia terhadap Bank Century dan bank yang lainnya. Rumusan Masalah 1. Bagaimana hubungan hukum antara Bank dengan Nasabah ? 2. Bagaimana tanggung jawab Bank terhadap deposan ? Metode Penelitian a. Pendekatan Masalah Penelitian ini tergolong penelitian normatif. Pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif, dan masalah didekati secara statute approach dan conseptual approach. Statute approach yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengidentifikasi serta membahas peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan materi yang dibahas. Sedangkan pendekatan secara conseptual approach yaitu suatu pendekatan dengan cara membahas pendapat para sarjana sebagai landasan pendukung pembahasan skripsi. b. Sumber Bahan Hukum 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat dalam hal ini peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-undang Nomor 3 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan peraturan lain yang terkait dengan materi yang dibahas. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahaminya yaitu literatur maupun karya ilmiah para sarjana.
72
PEMBAHASAN A. HUBUNGAN HUKUM ANTARA BANK DENGAN NASABAH 1. Perbankan dan Bentuk Usahanya Pengertian Bank ditentukan dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 10 Tahun 1998, bahwa “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Di antara usaha Bank Umum sebagaimana di atas, terdapat usaha yang lain yaitu menerbitkan surat pengakuan hutang, membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan atas perintah nasabahnya. Usaha Bank Umum dalam menghimpun dana dari masyarakat berbentuk simpanan, pengertian simpanan ditentukan dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 10 Tahun 1998, bahwa “Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada Bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 UU No. 10 Tahun 1998 hubungan antara bank dengan nasabah penyimpan dana terdapat dua hubungan, yaitu: 1) hubungan yang didasarkan atas kepercayaan, dan 2) hubungan yang didasarkan perjanjian penyimpanan. Ronny Sautma Hotma Bako mengemukakan bahwa hubungan antara bank dan nasabah didasarkan pada 2 unsur yang saling terkait, yaitu hukum dan kepercayaan.3 Hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan dana maupun nasabah debitur berdasarkan atas suatu perjanjian. Dengan demikian hubungan antara bank dengan nasabah didasarkan pada hubungan kepercayaan dan hubungan hukum. Hubungan atas dasar kepercayaan maksudnya nasabah menyimpan uangnya pada bank didasarkan atas kepercayaan bahwa bank mampu mengelola sejumlah uang yang disimpan tersebut. Sedangkan hubungan hukum, yaitu hubungan yang menimbulkan akibat hukum yang mengikat antara pihak bank dengan pihak nasabah pengguna jasa bank yang bersangkutan. Hubungan hukum antara bank dengan nasabah menurut Munir Fuady terdiri dari dua bentuk, yaitu: 1) hubungan kontraktual, dan 2) hubungan non kontraktual.4 Hukum kontrak yang mengatur hubungan hukum antara bank dengan nasabah menurut Munir Fuady bersumber dari ketentuan-ketentuan buku III (Kitab Undang3
Ronny Sautma Hotma Bako, Hubungan Bank dan Nasabah terhadap Produk Tabungan dan Deposito (suatu tinjauan hukum terhadap perlindungan deposal di Indonesia), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, h. 32. 4
Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-undang Tahun 1998, Buku Kesatu, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h. 102.
73
undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUH Perdata), didasarkan atas ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, sebagai aturan yang bersifat umum. Selain itu didasarkan atas aturan-aturan yang bersifat khusus mengenai pinjam pakai habis Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769 KUH Perdata5. Hubungan antara bank dengan nasabah penyimpan dana dalam produk perbankan yang berupa tabungan tidak terdapat ketentuan khusus yang mengatur, sehingga hubungan hukum yang digunakan didasarkan atas kontraktual yang bersifat umum. Jadi hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana didasarkan atas perjanjian meminjam yang artinya bank menempatkan diri sebagai peminjam dana dari nasabah sehingga bank berhak memakai dana tersebut, dan bank mempunyai kewajiban kepada nasabah untuk mengembalikan dana apabila ditagih oleh nasabah atau telah jatuh tempo. Ketentuan tersebut di atas menunjukkan bahwa hubungan antara bank dengan nasabah yang berdasarkan hubungan kontraktual dapat terjadi dalam tiga jenis, yaitu: 1) sebagai hubungan debitur (bank) dan kreditur (nasabah); 2) sebagai hubungan kontraktual lainnya yang lebih luas dari hanya sekedar hubungan antara debitur dengan kreditur; 3) sebagai hubungan implied contract yaitu hubungan kontrak yang tersirat.6 Hubungan antara bank dengan nasabah dalam menjalankan kegiatan usahanya, menimbulkan dua sisi tanggung jawab, yaitu kewajiban yang terletak pada bank itu sendiri dan kewajiban yang menjadi beban nasabah penyimpan dana sebagai akibat hubungan hukum dengan bank. 7 Hak dan kewajiban antara bank dengan nasabah diwujudkan dalam suatu bentuk prestasi yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara bank dengan nasabah. 1)
2)
3)
4)
Kewajiban bank terhadap nasabah di antaranya sebagai berikut: kewajiban bank untuk tetap menjaga rahasia keuangan nasabah, yaitu “segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya (Pasal 1 angka 28 UU No. 10 Tahun 1998); kewajiban bank untuk mengamankan dana nasabah, yang dalam kaitannya dengan tanggung jawab mengamankan uang nasabah perlu mengadakan suatu jaminan simpanan uang pada bank. Kewajiban untuk menerima sejumlah uang dari nasabah, dengan mengingat fungsi utama perbankan sebagai penghimpun dana masyarakat, maka bank berkewajiban untuk menerima sejumlah uang dari nasabah atas produk perbankan yang dipilih, seperti tabungan dan deposito. Kewajiban untuk melaporkan kegiatan perbankan secara transparan kepada masyarakat. Adapun kewajiban yang dimaksud adalah bank wajib melaporkan
5
Ibid.
6
Ibid., h.103
7
Ibid., h. 52
74
kegiatan banknya kepada masyarakat secara transparan, artinya selama kurun waktu tertentu. 5) Kewajiban bank untuk mengetahui secara mendalam tentang nasabah-nya. Adapun yang dimaksud dengan kewajiban ini adalah bank wajib meminta keterangan bukti diri dari nasabah, dengan maksud mencegah hak-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari apabila seseorang akan mengambil atau menarik uangnya dari bank yang bersangkutan. Sedangkan yang berkaitan dengan hak-hak nasabah di antaranya: 1) nasabah berhak untuk mengetahui secara terinci tentang produk-produk perbankan yang ditawarkan. Hak ini merupakan hak utama nasabah, karena tanpa penjelasan secara terinci dari bank melalui customer servicenya, maka sangat sulit nasabah untuk memilih produk perbankan yang sesuai dengan kehendak nasabah, hak-hak yang akan diterima oleh nasabah apabila nasabah akan menyerahkan dananya kepada bank untuk dikelola; 2) nasabah berhak untuk mendapatkan bunga atas produk tabungan dan deposito yang telah diperjanjikan terlebih dahulu. Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa nasabah penyimpan dana perlu mendapatkan perlindungan hukum atas dana yang disimpannya tersebut, karena masyarakat menyimpan dananya hanya didasarkan atas kepercayaan bahwa nasabah percaya dana yang disimpan akan digunakan oleh bank sesuai dengan usaha bank dan tidak menyimpang dari maksud dan tujuan usaha bank. Pada kondisi yang demikian ini perlu ada suatu pengawasan terhadap bank tersebut agar dengan pengawasan tidak mengakibatkan timbulnya suatu kerugian bagi nasabah. 2. Hubungan Antara Bank dengan Nasabah Hubungan antara bank dengan nasabah tidak lepas dari adanya hubungan penyimpanan dana dan hubungan atas dasar perjanjian pemberian kredit.Hubungan hukum antara bank dengan nasalah yang didasarkan atas perjanjian pemberian kredit. Menurut Thomas Suyatno, “istilah kredit berasal dari bahasa Yunani (credere) yang berarti kepercayaan (truth atau faith). Oleh karena itu dasar dari kredit adalah kepercayaan”.8 Kredit didasarkan atas perjanjian pinjam meminjam, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1754 KUH Perdata, bahwa pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barangbarang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.
8
Thomas Suyatno et. all, Dasar-dasar Perkreditan, Edisi keempat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, h. 12.
75
Perjanjian pemberian kredit di dalamnya terkandung unsur-unsur sebagai berikut : 1) 2) 3) 4)
Kepercayaan Tenggang waktu Degree of risk Prestasi.9
Hal ini berarti bahwa terjadi suatu tenggang waktu antara perjanjian pinjam meminjam dibuat dengan saat pengembaliannya. Dengan adanya tenggang waktu tersebut, bank menanggung risiko dari kemungkinan debitur tidak mampu mengembalikannya. Oleh karena itu kreditur harus menerapkan suatu prinsip kehatihatian. Hal ini sesuai dengan yang ditentukan dalam Pasal 2 UU No. 10 Tahun 1998. Hal ini memang selayaknya demikian, karena uang yang dipinjamkan oleh bank kepada para debitur adalah uang atau dana masyarakat yang disimpan oleh bank, sehingga bank harus menjamin dana simpanan masyarakat tersebut dengan hanya memberikan kredit jika ada suatu kepastian atas kemampuan dan kesanggupan debitur dalam mengembalikan kreditnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 8 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 beserta penjelasannya. Sehubungan dengan pemenuhan kewajiban yang ditimbulkan dalam perjanjian pemberian kredit yang didasarkan atas perjanjian pinjam meminjam, peminjam jika dalam pelaksanaannya tidak mampu mengembalikan pinjamannya, seluruh harta kekayaannya baik barang bergerak, tidak bergerak, yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari digunakan sebagai pelunasan hutang-hutangnya sesuai dengan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata. Apabila hubungan antara bank dengan nasabah didasarkan atas perjanjian pemberian kredit, bank dalam mengamankan kredit yang diberikan kepada nasabah sebelum kredit diberikan melakukan penilaian secara sekmasa mengenai watak, modal usaha, kemampuan menjalankan usaha, adanya agunan dan propek usaha debitor. Hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan dana dalam bentuk simpanan yaitu dana yang dipercayakan oleh masyarakat berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu (Pasal 1 angka 5 UU No. 10 Tahun 1998), nasabah penabung tidak meminta jaminan atas dana yang disimpan, melainkan didasarkan atas kepercayaan, sehingga hubungan yang terjadi antara bank sebagai penyimpan dana dengan nasabah sebagai pihak yang menyimpan dananya pada bank didasarkan dua hubungan pokok, yaitu: a. hubungan yang didasarkan atas kepercayaan, dan b. hubungan yang didasarkan perjanjian penyimpanan. Dengan demikian hubungan antara bank dengan nasabah didasarkan pada hubungan kepercayaan dan hubungan hukum. Hubungan atas dasar kepercayaan maksudnya nasabah menyimpan uangnya pada bank didasarkan atas kepercayaan 9
370-371.
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h.
76
bahwa bank mampu mengelola sejumlah uang yang disimpan tersebut. Sedangkan hubungan hukum, yaitu hubungan yang menimbulkan akibat hukum yang mengikat antara pihak bank dengan pihak nasabah pengguna jasa bank yang bersangkutan. Apabila memperhatikan hal di atas menunjukkan bahwa hubungan antara bank dengan nasabah didasarkan pada hubungan pinjam meminjam. Dikatakan demikian didasarkan pada ketentuan bahwa dengan disetorkannya uang oleh nasabah kepada bank, maka berakhirlah pemilikan uang tersebut dan beralih pemilikan pada bank. Dengan demikian uang yang disimpan pada bank oleh nasabah termasuk suatu barang yang habis karena pemakaian sebagaimana perjanjian pinjam meminjam. Apabila perjanjian pemberian kredit merupakan perjanjian pokok, yaitu perjanjian pinjam meminjam, maka pengikatan barang melalui lembaga hak tanggungan merupakan perjanjian tambahan atau yang lebih dikenal accessoir. Perjanjian pengikatan barang sebagai perjanjian accesoir adalah sesuai dengan yang dikemukakan oleh Mariam Darus Badrulzaman sebagai berikut: “Sifat accesoir sesuai dengan sifat yang melekat pada hukum jaminan. Gadai dan hipotek. Lahir dan berakhirnya penyerahan hak milik bergantung pada hutang pokok”.10 B. TANGGUNG JAWAB BANK TERHADAP DEPOSAN 1. Pengawasan Bank Oleh Bank Indonesia Pada Pasal 8 huruf (c) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya disingkat UU No. 3 Tahun 2004) ditentukan bahwa “untuk mencapai tujuan yaitu memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia mempunyai tugas mengatur dan mengawasi bank”. Tugas mengatur dan mengawasi bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia termasuk pula dalam hal terjadi perubahan atas peralihan kepemilikan bank, khususnya, menyangkut masalah perizinan, di antaranya: Pemberian persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank yaitu menyangkut ke-lembagaan bank dalam hal pemilikan dapat berkaitan dengan merger, kon-solidasi dan akuisisi. Oleh karena merupakan suatu keharusan bagi setiap perubahan pemilikan bank dengan izin dari Bank Indonesia, maka jika peralihan pemilikan belum memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas seluruh bank, maka dianggap belum terjadi peralihan bank. Tugas mengatur dan mengawasi tersebut menurut Pasal 24 UU No. 3 Tahun 2004 “Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah UU No. 10 Tahun 1998 . Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 24 UU No. 3 Tahun 2004, bahwa “pengaturan dan pengawasan bank mengacu pada UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 ”. Pemeriksaan yang dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap bank, dapat secara berkala atau setiap waktu apabila diperlukan, sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (1) 10
Mariam Darus Badrulzaman, Bab-bab tentang Credietverband, Gadai, Fiducia, Alumni, Bandung, 1987, hal. 95-96.
77
UU No. 3 Tahun 2004, yang menentukan bahwa “Bank Indonesia melakukan pemeriksaan terhadap bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan”. Bank Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 menentukan bahwa “Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia”, hal ini berarti bahwa Bank Indonesia memegang otoritas atas bankbank yang menjalankan kegiatannya. Sebagai pemegang otoritas, maka “Bank Indonesia diserahi tugas, kewenangan dan tanggung jawab untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bank. Jadi otoritas sebagai pembina dan pengawas terhadap bank berada di tangan Bank Indonesia”.11 Bank Indonesia dalam menjalankan tugas pengawasan, jika menemukan hal yang dapat membahayakan bank atau pihak lain, maka Bank Indonesia dapat menghentikan kegiatan bank yang bersangkutan. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 37 UU No. 10 Tahun 1998 yang menentukan: (1) Dalam hal sautu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan agar: a. Pemegang saham menambah modal; b. Pemegang saham mengganti dewan komisaris dan/atau direksi bank; c. Bank menghapuskan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang macet, dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya; d. Bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain; e. Bank dijual kepada pembeli yang bersedia menambil alih seluruh kewajiban; f. Bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain; g. Bank menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban bank kepada bank atau pihak lain. (2) Apabila : a. Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi bank, dan/atau b. Menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat membahayakan sistem perbankan. Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank dan memerintahkan direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham guna membubarkan badan hukum bank dan membentuk tim likuidasi. (3)
Dalam hal direksi bank tidak menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank, penunjukan tim likuidasi, dan perintah pelaksana likuidasi sesuai engan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
11
Rachmadi Usman, Op. cit., h. 124.
78
Berdasarkan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa Bank Indonesia mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan pengawasan kepada bankbank di seluruh Indonesia. Pengawasan tersebut dimaksudkan agar dapat diketahui kondisi perbankan tersebut masuk dalam kondisi sehat atau tidak sehat. Apabila dalam pengawasan tersebut Bank Indonesia mengetahui bahwa kondisi keuangan perbankan tersebut sangat membahayakan bank itu sendiri atau perekonomian Bank Indonesia dapat melakukan tindakan agar: Pemegang saham menambah modal; Pemegang saham mengganti dewan komisaris dan/atau direksi bank; Bank menghapuskan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang macet, dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya; Bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain, dan tindakan lainnya. 2. Tanggung Jawab Bank Terhadap Nasabah Sebagaimana disebutkan pada uraian sebelumnya bahwa hubungan antara bank dengan nasabah tidak lepas dari hubungan keperdataan yang didasarkan atas perjanjian. Kasus yang dibahas menyangkut masalah tabungan nasabah pada suatu bank yang oleh pemerintah bank tersebut dinyatakan telah mengalami kesulitan sehingga dilakukan pengambilalihan bank tersebut. Membahas mengenai pengambilalihan bank tidak lepas dari 3 (tiga) Undangundang dan 1 (satu) Peraturan Pemerintah. Ketiga undang-undang yang dimaksud adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3587); dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608). Pengambilalihan disebut juga dengan akuisisi, menurut pasal 1 angka 27 UU No. 10 Tahun 1998 adalah pengambilalihan kepemilikan suatu bank. Sedangkan menurut pasal 1 angka 2 PP No. 28 Tahun 1999 Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank, adalah pengambilalihan kepemilikan suatu Bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Bank. Selain akuisisi dikenal pula merger dan konsolidasi. Merger menurut pasal 1 angka 2 PP No. 28 Tahun 1999 adalah penggabungan dari 2 (dua) Bank atau lebih, dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu Bank dan membubarkan Bank-bank lainnya tanpa melikuidasi terlebih dahulu. Sedangkan Konsolidasi menurut pasal 1 angka 3 PP No. 28 Tahun 1999 adalah penggabungan dari 2 (dua) Bank atau lebih, dengan cara mendirikan Bank baru dan membubarkan Bankbank tersebut tanpa melikuidasi terlebih dahulu. Mengenai maksud dan tujuan dari akuisisi adalah sebagaimana konsideran PP No. 28 Tahun 1999, sebagai berikut: a. bahwa untuk menciptakan sistem perbankan yang sehat, efisien, tangguh dan mampu bersaing dalam era globalisasi dan perdagangan bebas, diperlukan upaya
79
yang dapat mendorong bank memperkuat dirinya melalui Merger, Konsolidasi dan Akuisisi; b. bahwa mengingat Bank adalah badan usaha yang kegiatan utamanya menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat maka ketentuan Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank perlu diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah. Akuisisi bank adalah “pengambilalihan kepemilikan suatu bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap bank bersangkutan dengan kemampuan untuk menentukan, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan cara apapun, pengelolaan dan atau kebijakan bank”. Akuisisi di bidang perbankan dapat dilakukan atas inisiatif bank yang bersangkutan, permintaan bank Indonesia atau inisiatif badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan perbankan. Akusisi bank dilakukan dengan cara mengambil alih seluruh atau sebagian saham yang mengakibatkan beralihnya pengendalian bank kepada pihak yang mengakuisisi. Akuisisi tersebut dapat dilakukan secara langsung maupun melalui bursa efek, adapun pelakunya dapat dilakukan oleh warga Negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia, maupun oleh warga Negara asing dan atau badan hukum asing. Untuk memperoleh izin Akuisisi wajib dipenuhi persyaratan sebagai berikut, telah memperoleh persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham dari Bank yang akan diakuisisi atau rapat sejenis dari Bank yang berbadan hukum bukan Perseroan Terbatas, pihak yang melakukan akuisisi tidak tercantum dalam daftar orang yang melakukan perbuatan tercela di bidang perbankan. Dalam hal Akuisisi dilakukan oleh Bank, maka Bank wajib memenuhi ketentuan mengenai penyertaan modal oleh Bank yang diatur oleh Bank Indonesia (Pasal 10 PP No. 28 Tahun 1999) . Pengambialihan dalam dunia perbankan, selain harus memenuhi prosedur dan persyaratan sebagaimana di atas, juga perlu memperhatikan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum (selanjutnya disingkat PBI No. 5/8/ PBI/2003). Perlunya manajemen risiko ini ada kaitannya dengan kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan, sehingga perlu menghindari potensi terjadinya suatu peristiwa (events) yang dapat menimbulkan kerugian bank. Sedangkan mengenai manajemen risiko merupakan serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan Risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank. Perihal manajemen risiko, bank wajib menerapkan Manajemen Risiko secara efektif. Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurangkurangnya mencakup: a. pengawasan aktif dewan Komisaris dan Direksi; b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit;
80
c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko serta sistem informasi Manajemen Risiko; dan d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh sebagaimana pasal 2 PBI No. 5/8/PBI/2003. Risiko perbankan tersebut menurut Pasal 4 PBI No. 5/8/PBI/2003 meliputi: (1) Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mencakup: a. Risiko Kredit; b. Risiko Pasar; c. Risiko Likuiditas; d. Risiko Operasional; e. Risiko Hukum; f. Risiko Reputasi; g. Risiko Strategik; h. Risiko Kepatuhan. (2) Bank yang memiliki ukuran dan kompleksitas usaha yang tinggi wajib menerapkan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) untuk seluruh jenis risiko sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Mengenai pihak yang berwenang dan bertanggung jawab atas risiko yang terjadi adalah komisaris dan direksi. Menurut Pasal 6 PBI No. 5/8/PBI/2003 menentukan sebagai berikut: Wewenang dan tanggung jawab bagi dewan Komisaris sekurang-kurangnya: a. menyetujui dan mengevaluasi kebijakan Manajemen Risiko; b. mengevaluasi pertanggungjawaban Direksi atas pelaksanaan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
kebijakan
c. mengevaluasi dan memutuskan permohonan Direksi yang berkaitan dengan transaksi yang memerlukan persetujuan dewan Komisaris. Sedangkan kewenangan dan Tanggung Jawab Direksi diatur dalam pasal 7 PBI No. 5/8/PBI/2003 yang menentukan: (1) Wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 bagi Direksi sekurang-kurangnya: a. menyusun kebijakan dan strategi Manajemen Risiko secara tertulis dan komprehensif; b. bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko dan eksposur Risiko yang diambil oleh Bank secara keseluruhan;
81
c. mengevaluasi dan memutuskan transaksi yang memerlukan persetujuan Direksi; d. mengembangkan budaya Manajemen Risiko pada seluruh jenjang organisasi; e. memastikan peningkatan kompetensi sumberdaya manusia yang terkait dengan Manajemen Risiko; f. memastikan bahwa fungsi Manajemen Risiko telah beroperasi secara independen; g. melaksanakan kaji ulang secara berkala untuk memastikan: 1. keakuratan metodologi penilaian Risiko; 2. kecukupan implementasi sistem informasi manajemen; dan 3. ketepatan kebijakan, prosedur dan penetapan limit Risiko. (2) Dalam rangka melaksanakan wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Direksi harus memiliki pemahaman yang memadai mengenai Risiko yang melekat pada seluruh aktivitas fungsional Bank dan mampu mengambil tindakan yang diperlukan sesuai dengan profil Risiko Pengambialihan Bank Century ternyata mengganggu kelangsungan usaha bank, karena masih bermasalahan yaitu sebagian nasabah penyimpan dana belum memperoleh haknya atas dana yang disimpan tersebut, sehingga pengambialihan Bank Century tidak sejalan dan melanggar ketentuan manajemen risiko sebagaimana diatur dalam PBI No. 5/8/PBI/2003. Manajemen risiko merupakan suatu bentuk tugas pengawasan secara aktif oleh dewan komisaris maupun dewan direksi sesuai dengan yang dimaksud oleh pasal 2 ayat (1) PBI No. 5/8/PBI/2003. Pengawasan secara aktif tersebut meliputi beberapa hal salah satunya yaitu risiko likuiditas sebagaimana pasal 4 ayat (1) huruf c PBI No. 5/8/PBI/2003. Oleh karena manajemen risiko merupakan tugas aktif dewan komisaris dan dewan direksi, maka kedua organ PT sebagaimana pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1995 yang bertanggung jawab atas pengambilalihan Bank Century. Hal ini sesuai dengan pasal 6 dan pasal 7 PBI No. 5/8/PBI/2003. Apabila memperhatikan pembahasan di atas dapat dijelaskan bahwa Bank Century telah diambilalih. Mengenai pengambilalihan dijelaskan sebagai berikut: Sehubungan dengan kerugian yang diderita oleh nasabah, awalnya sebelum Bank Century dibentuk Bank Mutiara diambilalih oleh Bank Mandiri, maka yang terjadi adalah pengambilalihan manajamen dari Bank Century ke dalam manajemen Bank Mandiri. Pengambilalihan tersebut terjadi kesalahan dalam penerapan manajemen risiko sebagaimana diatur dalam PBI No. 5/8/PBI/2003. Sebagai penanggungjawab manajemen risiko adalah dewan komisaris dan dewan direksi yang merupakan organ perseroan terbatas. Direksi sebagaimana pasal 1 angka 5 UU No. 40 Tahun 2007 “bertanggung-jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta
82
mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar”. Dalam menjalankan tugas kepengurusan perseroan menurut pasal 92 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007 “dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan”. Direksi Bank Century dalam menjalankan kepengurusan tidak dengan itikad baik untuk kepentingan perseroan, maka kepadanya dapat dibebani tanggung jawab atas kerugian sebagaimana pasal 92 UU No. 40 Tahun 2007. Dalam pelaksanaannya pengambilalihan Bank Century tersebut merugikan pihak lain yang disebabkan karena direksi dan komisaris dalam menjalankan tugasnya tidak beritikad baik untuk kepentingan nasabah Bank Century. Pada kondisi yang demikian ini, maka direksi yang mempunyai tugas mengurus perseroan dengan pengawasan komisaris, dalam menjalankan tugas pengurusan, tidak dengan itikad baik untuk keperluan perseroan sesui dengan pasal 108 UU No. 40 Tahun 2007 yang telah menjalankan tugas menyimpang dari anggaran dasar perseroan maka dapat dikatakan telah melakukan perbuatan yang menyimpang dari maksud dan tujuan perseroan yang lebih dikenal dengan ultra virus. Terhadap direksi maupun komisaris baik secara pribadi maupun tanggung rentang bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh perseroan maupun pihak ketiga. Berdasarkan pembahasan di atas dapat dijelaskan bahwa Bank Century telah terjadi pelanggaran manajemen risiko sebagaimana diatur dalam PBI No. 5/8/PBI/2003. Oleh karena telah terjadi pelanggaran manajemen risiko, maka pihak-pihak yang bertang-gung jawab adalah dewan direksi maupun dewan komisaris. Dewan direksi maupun dewan komisaris yang melanggar ketentuan dalam PBI No. 5/8/ PBI/2003, maka dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melanggar hukum, karena menjalankan tugas tidak beritikad baik untuk kepentingan perseroan. Meskipun demikian dewan direksi maupun dewan komisaris hanya dapat dimintakan pertanggungan gugat berupa atas dasar telah melakukan perbuatan melanggar hukum apabila melakukan perbuatan yang memenuhi keseluruhan unsur pasal 1365 KUH Perdata, yaitu: 1) 2) 3) 4)
harus ada perbuatan yang melanggar hukum; harus ada kesalahan; harus ada kerugian yang timbul; harus ada hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian yang timbul.
Direksi dan komisaris yang melakukan perbuatan melanggar SEBI mengenai manajemen risiko berarti melakukan perbuatan melanggar ketentuan Pasal 92 jo pasal 108 UU No. 40 Tahun 2007 yaitu tidak dengan itikad baik menjalankan tugasnya. Sehingga unsur harus ada perbuatan melanggar hukum telah terpenuhi. Berdasarkan pembahasan di atas dapat dijelaskan bahwa baik direksi maupun komisaris Bank Century bertanggung gugat atas pengambialihan Bank Century atas dasar telah melakukan perbuatan melanggar hukum, karena keseluruhan pasal 1365 KUH Perdata telah terpenuhi. Mengenai bentuk ganti rugi dalam perbuatan melanggar hukum, menurut yurisprudensi “kerugian yang timbul karena perbuatan melanggar hukum, ketentuannya sama dengan ketentuan kerugian yang timbul karena wanprestasi
83
dalam perjanjian. Ketentuan tersebut diperlakukan secara analogi”.12 Kerugian yang timbul atas dasar wanprestasi bentuknya berupa biaya, rugi dan bunga sesuai dengan ketentuan Pasal 1246 KUH Perdata. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Hubungan hukum antara nasabah dengan deposan didasarkan atas hubungan kontraktual dalam bentuk perjanjian pinjam meminjam sebagaimana Pasal 1754 KUH Perdata. Pada perjanjian pinjam meminjam tersebut menempatkan bank sebagai pihak peminjam atau debitur dan nasabah penyimpan dana atau deposan sebagai kreditur atau yang meminjamkan.. 2. Tanggung jawab Bank jika timbulnya kerugian yang diderita oleh nasabah adalah wajib memberikan ganti kerugian atas dasar direksi bank yang bersangkutan melakukan perbuatan melanggar hukum sebagaimana pasal 1365 KUH Perdata. Pelanggaran hukum terjadi karena Direksi dan komisaris melakukan perbuatan melanggar SEBI mengenai manajemen risiko berarti melakukan perbuatan melanggar ketentuan pasal 92 jo pasal 108 UU No. 40 Tahun 2007 yaitu tidak dengan itikad baik menjalankan tugasnya. B. Saran 1. Pemberian pengawasan yang longgar atau tidak ketat dapat berakibat nasabah dirugikan, untuk itu hendaknya Bank Indonesia memberikan pengawasan yang ketat terhadap bank-bank tersebut dan jika oknum Bank Indonesia melakukan perbuatan yaitu karena kelalaiannya mengakibatkan nasabah menderita kerugian, hendaknya memberikan sanksi yang berat. 2. Hendaknya nasabah menggugat direksi bank yang bersangkutan selain melaporkan atas dasar perbuatan pidana. Gugatanb ganti kerugian atas dasar perbuatan melanggar hukum dimaksudkan agar bank tidak teledor dalam menjalankan usahanya, karena jika terjadi kekurang hati-hatian selain kepercayaan masyarakat untuk menyimpan dananya pada bank yang bersangkutan semakin menurun juga harus membayar penggantian biaya, rugi dan bunga.
12
Abdulkadir Muhammad, op. Cit., h. 146.
84
DAFTAR PUSTAKA
Buku Bako, Ronny Sautma Hotma, Hubungan Bank dan Nasabah terhadap Produk Tabungan dan Deposito (suatu tinjauan hukum terhadap perlindungan deposal di Indonesia), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. Badrulzaman, Mariam Darus, Bab-bab tentang Credietverband, Gadai, Fidusia, Alumni, Bandung, 1987. Djumhana, Muhammad, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. Fuady, Munir, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-undang Tahun 1998, Buku Kesatu, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. Hadhikusumah, Sutantya R., Pengertian Pokok Hukum Perusahaan, Rajawali Pers, Jakarta, 2001. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Kebendaan, Citra Adutya Bakti, Bandung, 1996. Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan Di Indonesia, Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980 Suyatno, Thomas et. all, Dasar-dasar Perkreditan, Edisi keempat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997. Tjoekam, Moh., Perkreditan Bisnis Inti Bank Komersial, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999. Usman, Rachmadi, Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001. Widjaja, Gunawan dan Kartini Mulyadi, Seri Hukum Perikatan, Jual Beli, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
Situs Internet : www.adln.lib.unair.ac.id. Akta pengakuan hutang merupakan perjanjian sepihak yang dibuat di hadapan
85
Peraturan Perundang-undangan : Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Undang-undang Nomor 3 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia