Tanamkan Karater, Cinta Tanah Air, dan Etika untuk Lahirkan Generasi Emas UNAIR NEWS – Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Apalagi bila ia juga menjunjung tinggi nilai dan harkat martabat bangsanya secara turun temurun yang telah diperjuangkan oleh para leluhur bangsa. Demikian pula dengan bangsa Indonesia yang begitu kaya akan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal ini, seharusnya memiliki karakter dan jiwa nasionalisme yang mengakar kuat dalam jati diri setiap rakyatnya. Namun pada kenyataanya, generasi bangsa ini seakan melupakan jati diri bangsanya. Berangkat keprihatinan itulah, lima mahasiswa FISIP UNAIR menggagas progam mengenai pembekalan nilai-nilai karakter, rasa cinta tanah air, dan etika generasi muda saat ini melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Tim yang diketuai Awatar Wisya Fatwa dengan anggota Iga Ayu, Harijanti Puspa, Amrina Rosyada, dan Regita Yessy, ini menuangkan gagasannya dalam cabang PKM-Pengabdian Masyarakat(PKM-M) dengan judul “KARTIKA : Karater, Cinta Tanah Air dan Etika”. Proposal PKMM yang diajukan tahun 2015 ini akhirnya lolos dan mendapat pendanaan dari Dikti pada Kemenristek Dikti tahun 2016. Bentuk Kegiatan Menurut Awatar, KARTIKA merupakan kegiatan pembekalan karakter bagi generasi muda. Dikemas dalam bentuk bimbingan belajar dengan sasaran anak-anak usia Sekolah Dasar di daerah Bogen, Kelurahan Ploso, Kecamatan Tambaksari, Kota Surabaya. Tim KARTIKA kemudian rutin dalam satu minggu sekali memberikan kegiatan yang berseling. Dimulai dari pemberian wawasan
Karakter Kebangsaan, Jalan-jalan (study tour) hingga pembekalan nilai-nilai moralitas, keagamaan, dan pendidikan etika bagi generasi muda. Dijelaskan, tim sengaja mencari sasaran pada anak-anak usia sekolah dari kalangan menengah kebawah, karena menurutnya, anak usia sekolah sudah mampu mengolah pikir dan menerima materi yang disampaikan, kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama untuk hidup bermasyarakat. ”Anak usia sekolah sebagai generasi muda penerus bangsa ini harus dibekali pengetahuan tentang karakter kebangsaan supaya mereka tidak jadi generasi yang tak bermoral dan lupa akan jati dirinya,” katanya. Hal lain, penanaman rasa cinta terhadap tanah air juga penting mengingat kita sedang berpusar dalam arus globalisasi. Sedangkan etika harus diajarkan agar generasi muda tidak tumbuh menjadi generasi sembarangan, mengingat kayanya kearifan lokal dari kebudayaan kita yang menjunjung tinggi etika yang baik,” kata Awatar dan Harijanti, selaku pelaksana acara. Kegiatan KARTIKA ini telah berjalan sepuluh minggu, dan mampu menyadarkan serta menanamkan nilai-nilai karakter, cinta tanah air dan pentingnya etika bagi generasi anak-anak di daerah itu. Selain juga merangkul pemuda di daerah itu untuk dapat dikader agar meneruskan kegiatan ini selepas masa kerja anggota Tim KARTIKA usai. Ditanya tentang harapan dari kegiatan ini? Seluruh anggota Tim KARTIKA sepakat, “Kami mendambakan generasi muda Indonesia menjadi generasi emas yang mampu menjawab semua permasalahan negeri ini, serta mampu memajukan Indonesia yang diawali dengan hal-hal mendasar dan sederhana seperti ini. Apalagi setelah ini kita akan mendapatkan bonus demografi.” (*) Editor: Bambang Edy S
Kembangkan Minat dan Bakat Anak, Mahasiswa UNAIR Gagas Program Gubuk Panti UNAIR NEWS – Mengasah minat dan bakat anak selayaknya dilakukan di usia sedini mungkin. Hal tersebut guna menunjang sang anak untuk menguasai bakat dan minat yang mereka inginkan. Pasalnya, seringkali kita melihat anak-anak disekeliling kita yang tidak percaya diri dalam menunjukan minat dan bakat mereka, hal tersebut dipicu oleh kurangnya pengembangan minat dan bakat anak sejak dini. Berangkat dari hal tersebut, kelima mahasiswa Universitas Airlangga melakukan sebuah Program Kreatifitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKM-M) yaitu GUBUK PANTI (Gerakan Usaha Bersama Untuk Kesejahteraan Anak Panti). Kelima mahasiswa tersebut yaitu Rusyidina Firdausi (Fakultas Sains dan Teknologi / 2013), Muhammad Fahmi Abdillah (Fakultas Hukum/2013), Mohammad Thoha (Fakultas Ekonomi dan Bisnis/2013 ), Yuhanna Duhanita F (Fakultas Kesehatan Masyarakat/2014), dan Luthfiana Nur (Fakultas Kesehatan Masyarakat/2014). Program GUBUK PANTI ini merupakan salah satu program PKM yang telah disetujui dan didanai oleh Dikti. Tujuan utama kelompok PKM tersebut adalah meningkatkan kemandirian serta mengembangkan minat dan bakat anak panti. Alasan pemilihan anak panti sebagai objek, karena adanya anggapan bahwa anak panti seringkali kurang percaya diri dalam memperlihatkan minat dan bakat mereka yang disebabkan oleh latar belakang keluarga. Kegiatan GUBUK PANTI ini dilakukan di Panti Asuhan Nurul Huda
Bangkalan, Madura. Mereka memiliki empat bidang yang diimplementasikan dalam program kerja mereka di GUBUK PANTI ini, meliputi Budaya, Kesehatan, Pendidikan dan Kewirausahaan. Selain itu, anak- anak panti juga diajarkan tentang seni pencak silat dan tari tradisional. Program GUBUK PANTI ini berjalan mulai bulan Maret. “Sebelum adanya program ini, komunikasi mereka terlihat pasif, lalu kita mengadakan pendekatan dan pelatihan,”ujar Rusyidina Firdausi, saat diwawancarai Radio Unair. Sebagai tolak ukur kinerja mereka, Rusyidina dan kawan-kawan mengadakan sebuah pentas seni yang diadakan pada tanggal 22 Mei lalu. Acara ini sekaligus sebagai Closing program kerja mereka di Panti Asuhan Nurul Huda tersebut. Dalam pementasan tersebut, seluruh anak di panti asuhan diberi kesempatan untuk menampilkan bakat seni mereka, mulai dari tarian – tarian hingga laga pencak silat. Sebelum pementasan digelar, anak anak di Panti Asuhan Nurul Huda ini aktif berlatih kesenian walaupun tanpa bantuan dari kelima mahasiswa anggota PKM GUBUK PANTI. “Hal ini menunjukan bahwa anak – anak panti tersebut antusias dengan adanya program ini,” ujar Rusyidina. Mengingat program kerja PKM-M ini berakhir pada bulan Juni, mereka memilih kader – kader di setiap bidang, hal tersebut berfungsi sebagai leader dalam menjalankan pelatihanpelatihan yang telah diajarkan kedepannya meskipun tanpa kehadiran kelompok PKM dari UNAIR. “Kita ingin program ini tetap berjalan untuk meningkatkan kepercayaan diri anak – anak panti,” harap Rusyidina. “Semoga setelah pemberdayaan ini mereka bisa lebih mandiri lagi, lebih percaya diri, mereka tidak merasa sendirian, mereka harus positive thinking, percaya dirinya harus kuat dan bisa menggapai cita – cita,” imbuhnya sembari mengakhiri wawancara. (*)
Penulis : Faridah Hari Editor : Dilan Salsabila.
Mengedukasi Siswa ABK Menggunakan Boneka Boncabe UNAIR NEWS – Diantara Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM) 2016 yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) adalah PKM Pengabdian kepada Masyarakat (PKM-M). Berkenaan dengan itu, salah satu PKM-M karya mahasiswa Universitas Airlangga yang lolos dan memperoleh pendanaan dari Dikti adalah PKM-M “Boncabe” (Boneka Cerdas, Pandai dan Berbakat) dengan tema “Hidup Sehat dan Bersih Bersama Boncabe”. Boncabe ini sudah terbukti mengedukasi anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) ketika dipraktikkan di Yayasan Cita Hati Bunda, Sidoarjo. Tim PKM-M Boncabe tersebut terdiri dari Lidya Victoria (Ilmu Politik FISIP 2013), Fadhli Zul Fauzi (FISIP, Ilmu Politik 2013), Moch. Yazid Abdul Z.A (Fak. Vokasi, Hiperkes dan Keselamatan Kerja 2014), Yasdad Al Farisi (FISIP, Ilmu Politik 2013), dan M. Habib Hidayatulloh (FKM, Kesehatan Masyarakat 2014). Menurut Lidya Victoria, Ketua Tim PKM-M ini, boneka ini dalam praktiknya disertakan bersama alat peraga yang lain seperti gambar dan video untuk berkomunikasi dengan anak-anak ABK. Mengapa dipilih alat ini, karena alat peraga seperti boneka, gambar, dan video animasi itu sangat mudah dicerna dan menarik perhatian bagi anak-anak, khususnya ABK. Seperti diketahui, Yayasan Cita Hati Bunda ini sebelumnya bernama Pusat Pendidikan dan Terapi Anak Berkebutuhan Khusus
“Cita Hati Bunda”, berdiri pada 23 April 2004. Kemudian diresmikan menjadi badan hukum berupa yayasan dengan nama Yayasan Cita Hati Bunda berdasarkan Akta Notaris No. 25 tanggal 16 Maret 2006 oleh notaris Ony Septy Pontuanto SH. Dipilihnya Yayasan Cita Hati Bunda sebagai aplikasi Boncabe ini karena di yayasan yang memiliki 20 tenaga pengajar dan 39 murid anak dengan kebutuhan khusus yang berbeda diantaranya 29 anak Autisme, 5 anak ADHD, 2 anak Cereberal Palsy, 2 anak Tuna Rungu, 3 anak Slow Learner, dan 3 anak Down Syndrome. ABK yang ada di Yayasan Cita Hati Bunda ini rata-rata berusia tujuh hingga 15 tahun, dan diantaranya dari keluarga dengan ekonomi menengah kebawah. Dengan tema “Hidup Sehat dan Bersih Bersama Boncabe”, PKM-M Boncabe ini memiliki empat program kerja yang dilaksanakan dalam delapan kali pertemuan. Pada pertemuan pertama dan kedua dengan program “Boncabe Bersih”, disinilah siswa ABK di yayasan ini diajarkan tujuh langkah cuci tangan, membuang sampah pada tempatnya, mengganti baju kotor dan mandi.
Seusai kegiatan, Tim PKM-M Boncabe membaur bersama siswa ABK
di Yayasan Cita Hati Bunda, Sidoarjo. (Foto: Dok Tim) Pada pertemuan selanjutnya, yaitu pertemuan ke-3 dan ke-4, dengan program bernama “Senyum Ceria Boncabe”, anak-anak diajarkan pentingnya menjaga kesehatan gigi, cara menyikat gigi dengan benar, dan cara merawat gigi yang baik. Pada pertemuan ke-5 dan ke-6 dengan program bernama “Makanan Bergizi Pilihan Boncabe” diajarkan materi tentang pentingnya sarapan dan pilihan menu makanan yang bergizi. Kemudian pada dua pertemuan terakhir dengan tema “Olahraga Rutin, Aktivitas Sehat dan Tubuh Kuat” diberikan materi tentang anjuran untuk berolahraga secara rutin agar bisa selalu sehat dalam menjalani aktivitas sehari-hari. ”Konsep PKM-M Boncabe ini sasaran kami memang agar anak-anak ABK di sebuah sekolah bisa menerapkan pola hidup sehat pada setiap kegiatan dan keseharian mereka, agar kesehatan mereka juga bisa tetap terus terjaga,” kata Moch. Yazid Abdul Z.A menambahkan. Tim PKM-M Boncabe berharap dengan konsep dan materi Boncabe ini para guru yang ada di Yayasan Cita Hati Bunda dapat terus melanjutkan pelajaran terhadap anak-anak ABK siswanya, meskipun tim PKM-M Boncabe sudah tidak ada di yayasan ini. Dengan berakhirnya program-program yang sudah diberikan Tim PKM-M Boncabe diharapkan tim mahasiswa UNAIR ini mampu membuat modul dan CD program agar dapat diterapkan pada yayasanyayasan anak berkebutuhan khusus (ABK) lainnya. (*) Penulis : Bambang Bes
Mahasiswa UNAIR Kembangkan Skrup Tulang Anti Bakteri Berbasis Polimer dan Keramik UNAIR NEWS – Patah tulang merupakan cedera yang lazim dijumpai pada korban kecelakaan. Penanganan kasus ini adalah dengan dilakukannya fiksasi internal tulang menggunakan sekrup dan plat berbasis logam, yaitu platina dan stainstess steel. Namun, penggunaan kedua bahan ini bukanlah tanpa kendala. Kendala pertama, meskipun logam platina memiliki sifat mekanik yang baik, tetapi harganya relative mahal. Kedua, penggunaan stainless steel dalam jangka waktu lama bisa menyebabkan korosi yang membahayakan tubuh. Selain itu, metode ini dirasa kurang efektif karena skrup dan plat yang digunakan harus diambil setelah tulang tersambung kembali. Pengambilan sekrup inilah yang kemudian menyisakan lubang pada tulang dan menimbulkan permasalahan baru. Setelah mempelajari dari persoalan diatas, lima mahasiswa Teknobiomedik, Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Airlangga melakaukan upaya dan menawarkan alternatif solusi dalam penanganan kasus patah tulang dengan hasil penelitian eksakta yang didanai oleh DIKTI Kemenristek Dikti.
Salah seorang dari tim PKMP sedang meneliti di lab di FST. (Foto: Dok Tim) Penelitian berjudul “Biodegradable Bone Screw Anti Bakteri Berbasis Komposit Nano Hidroksiapatit Poly (1,8 Octadienol-CoCitrate)” itu dikerjakan oleh Imroatus (Teknobiomedik 2012), Andini (Teknobiomedik 2012), Nurul (Teknobiomedik 2014), Bagus (Teknobiomedik 2014), dan Rhisma (Teknobiomedik 2014) dengan dibawah bimbingan Dr. Prihartini Widiyanti, drg. M.Kes. Sekrup
tersebut
terbuat
dari
nano
hidroksiapatit
[Ca10(PO4)6(OH)2] dan POC [Poly (1,8-octanediol-co-citrate)]. Yang kedua, material ini dipilih sebagai kandidat biodegradable bone screw karena POC memiliki sifat nontoksik, biokompatibel, biodegradable, sintesisnya relative mudah, dan meningkatkan sifat mekanik. Sedangkan nano hidroksiapatit berfungsi sebagai filler karena kompatibel terhadap jaringan tulang. Kemudian kitosan sebagai coating yang bersifat antibakteri melalui kelompok amino bermuatan positif yang mengikat muatan negative membran bakteri. Hasil dari karakterisari sekrup tulang ini memiliki kekerasan 1482,68 MPa, sehingga sudah diatas kekerasan tulang manusia yakni 150-664 MPa dan kekuatan tekan sebesar 8,14 MPa sesuai
dengan kuat tekan tulang cancellous antara 2-12 MPa. Sedangkan dari uji anti bakteri, telah terbukti bahwa bahan kitosan sebagai coating ini mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus di sekitar luka. ”Keunggulan dari sekrup ini diantaranya: biodegradable karena setelah tulang terfiksasi, screw akan terdegradasi dalam sistem metabolisme tubuh, sehingga tidak perlu dilakukan pengambilan kembali,” tutur Imroatus, Ketua Tim PKM Penelitian Eksakta ini. “Semoga PKMPE (Proposal Kreativitas Mahasiswa Penelitian Eksakta) ini lolos hingga PIMNAS (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional) ke-29 mendatang, di IPB,” kata Andini berharap. (*) Penulis : Binti Quratul Masrurah Editor : Bambang Bes
Mahasiswa UNAIR Ciptakan Robot Medis Pensteril Kamar Operasi UNAIR NEWS – Lima mahasiswa Fakultas Vokasi Universitas Airlangga berhasil menciptakan robot medis yang mampu mensterilkan kamar operasi (kamar bedah). Tentu saja, ini suatu hal baru yang akan melengkapi robot-robot yang sudah tersiar melalui kontes-kontes robot sebelumnya, seperti robot penjinak api, robot Doraemon, robot penari Remo, robot pemindah bola, dsb. Lima mahasiswa Vokasi UNAIR itu adalah Akhmad Afrizal R. (Otomasi Sistem Informasi/OSI ’14), Mokhammad Deny B. (OSI
’13), Mokhammad Dedy B. (OSI ’13), Rizky Altryara (OSI ’13), dan Pratama Bagus B. (OSI ’13). Karya mereka itu diangkat dengan judul ”LUVIZER (Line Ultraviolet Sterilizer) Artificial Device Pengoptimalisasi Daya Germisidal Sinar UV (Ultraviolet Germicidal Irradiation) Sebagai Alat Pensteril Kamar Operasi”. Karena kreasi baru sehingga lolos penilaian dan berhasil menerima dana hibah bidang Karsa Cipta dari Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI) dalam ajang tahunan Program Kreativitas mahasiswa (PKM-KC) 2016.
Lima mahasiswa Fakultas Vokasi UNAIR yang merancang Robot LUVIZER (Foto: Dok Tim). Latar belakang digagasnya robot pensteril kamar operasi ini, menurut Akhmad Afrizal R yang mewakili timnya, karena berkembangnya isu-isu tentang patient safety akhir-akhir ini banyak disorot dalam dunia kesehatan. Sehingga perlu ditanggapi secara tepat demi untuk meningkatkan mutu pelayanan dan mengurangi resiko kecelakaan (malpraktik). Untuk itu, salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan strerilisasi ruangan. “Mengapa harus steril, karena alat-alat medis maupun ruangan
yang digunakan itu untuk proses perawatan pasien, seperti kamar pasien, dan ruang bedah/operasi. Dengan sterilisasi sekaligus sebagai upaya menghindarkan pasien dari kontaminasi bakteri maupun virus. Jika tidak steril maka dapat mengganggu kelancaran proses bedah yang dilakukan petugas medis serta meningkatkan resiko kegagalan dalam proses pembedahan, seperti terjadinya infeksi akibat bakteri udara,” kata Akhmad Afrizal. Seiring dengan perkembangan teknologi dibidang bio engineering, pilihan dengan robot medis bernama LUVIZER sungguh tepat. Robot sterilisasi ini merupakan gabungan dari robot line follower dengan alat sterilisasi manual yang dapat dikontrol jarak jauh secara digital menggunakan controller arduino, sehingga dapat melakukan desinfeksi ruang operasi. Metode desinfeksi ini dianut menggunakan cahaya ultraviolet (UV) yang memiliki panjang gelombang cukup pendek untuk membunuh mikroorganisme. Selain itu cahaya UV efektif untuk menghancurkan asam nukleat pada organisme ini yang menyebabkan DNA-nya terganggu oleh radiasi UV, sehingga organisme ini tak dapat melakukan fungsi-fungsi sel penting. Menurut Afrizal, robot LUVIZER yang dirancang ini sempat mengalami perubahan konsep berkali-kali, dan akhirnya dapat terwujud menjadi sebuah robot medis pensteril kamar operasi. Robot medis ini juga sangat aman dengan sensor Passive Infrared Receiver (PIR) yang mampu mendeteksi suhu manusia. “Karena lampu ultraviolet yang kami gunakan merupakan jenis UVC dengan panjang gelombang 260 nm yang radiasinya memiliki efek kimia dan efek germicidal yang mampu membunuh bakteri, kami menambah sensor PIR supaya jika terdeteksi ada orang di dalam ruang operasi, robot ini otomatis mati, sehingga petugas medis bebas paparan radiasi tersebut,” tambah Mokhamad Deny B, rekan se-timnya. Mereka mengakui, secara keseluruhan robot ini belum siap untuk diproduksi secara masal, jadi masih harus terus dikembangkan
dan diuji lagi. Namun kedepanya LUVIZER diharapkan dapat benar-benar diaplikasikan secara luas, sehingga mampu meningkatkan efektifitas paparan radiasi germicidal pada ruang operasi. (*) Penulis : Bambang ES
Hadirkan Varian Baru, Mahasiswa UNAIR Produksi Meises Berbahan Buah Naga UNAIR NEWS – Seringkali Orangtua kehabisan akal dalam memilih makanan pelengkap yang bergizi untuk anak dengan harga relatif terjangkau. Salah satu makanan yang menjadi favorit anak-anak adalah meises (butiran coklat) karena rasanya manis dan bisa diolah dengan berbagai makanan seperti susu atau roti. Sejauh ini, belum ada inovasi dari varian meises. Hal inilah yang kemudian menginspirasi lima mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Airlangga yaitu Riyantita Tunjung Sari (2014), Alfu Rahmawati (2014), Arnia Nurlitasari (2014), Pingkan Nasuke (2014), dan Citra Dewi Arum Pitaloka (2013) untuk menciptakan varian baru meises dengan bahan dasar buah naga. Mereka menggunakan buah naga sebagai bahan dasar karena memiliki kandungan vitamin yang banyak, antioksidan tinggi, dan vitamin C yang tiga kali lebih banyak dari buah jeruk. “Produk kami namanya Mera-mera. Diberi nama demikian karena warna meisesnya merah seperti buah naga,” jelas Riyantita, selaku ketua tim PKM. Komposisi dari meises ini terdiri dari buah naga sebagai bahan utama, gula sebagai pemanis, lesitin sebagai pengemulsi,
perisa vanili, dan pengawet natrium benzoate. Untuk mendapatkan kandungan gizi dari buah naga, buah terlebih dahulu dimasukkan oven dengan tujuan untuk mengurangi kadar air tanpa mengurangi kandungan vitamin. Selain itu, proses oven ini mengakibatkan warna yang dihasilkan pada meises lebih mencolok. Untuk rasa yang dihasilkan, meises ini memadukan antara rasa manis khas meises dan rasa masam dari buah naga. Dalam proses pembuatan meises, beberapa hambatan seringkali muncul, salah satunya adalah bentuk meises yang menggumpal karena suhu saat proses oven yang tidak tepat. Sejauh ini, target pemasaran “Mera-mera” adalah anak-anak. Untuk itu, tim PKM-K ini membuat kemasan yang unik untuk menarik perhatian anak-anak. Ruang lingkup pemasarannya sendiri tidak hanya di Surabaya, tapi sudah meluas ke Malang, Sidoarjo, Madura, bahkan sampai Thailand. “Kami berharap ide kami segera mendapatkan hak paten untuk kemudian bisa diproduksi dan dipasarkan lebih luas lagi,” imbuh Riyantita. (*) Penulis : Afifah Nurrosyidah Editor : Dilan Salsabila
Mahasiswa FST Bentuk Kader Lingkungan di MAN Surabaya UNAIR NEWS – Suasana sekolah yang rindang dan nyaman tentunya dibutuhkan untuk mendukung sarana belajar-mengajar yang kondusif di sekolah. Letak sekolah yang berada dekat dengan area mangrove dengan pengaruh cuaca yang panas, dibutuhkan adanya penghijauan agar lahan yang gersang bisa berubah rindang.
Permasalahan itulah yang melatarbelakangi mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi (FST) UNAIR melakukan pengabdian masyarakat di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Surabaya, sekolah yang terletak di Jalan Wonorejo Timur No.14, Surabaya. Pengabdian masyarakat tersebut merupakan implementasi dari Program Kreatifitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKM-M) dengan judul “ENVISCHO (Environmental School) Pemanfaatan Lahan Kosong Sebagai Integrasi Kepedulian Lingkungan dan Pendidikan Karakter Siswa-siswi MAN Surabaya”. “Sekolah ini memiliki lahan baru yang masih gersang, sehingga membutuhkan penghijauan supaya menjadi sekolah yang rindang dan nyaman bagi siswa-siswinya. Sekolah ini berada di dekat area mangrove Wonorejo, sehingga tak heran bila cuacanya panas, terlebih didukung oleh minimnya penghijauan di sekolah ini,” ujar Muhammad Yufansyah Purnama selaku ketua tim PKM-M. Yufansyah tidak sendirian dalam menjalankan program tersebut. Ia bersama keempat rekannya yakni Pradika Annas Kuswanto, Triadna Febriani Abdiah, Aulia Sukma Hafidzah, dan Shifa Fauziyah. Diantara mereka ada yang mengambil program studi Ilmu dan Teknologi Lingkungan (ITL) dan Biologi. Solusi minimnya lahan untuk penghijauan yang ditawarkan Yufansyah dan tim yaitu dengan menerapkan urban farming, pertanian khas perkotaan dengan memanfaatkan lahan sempit. Tanaman yang ditanam adalah tanaman lokal, seperti sayursayuran, obat-obatan, atau tanaman lain berbatang herba sehingga bisa dipanen dalam satu waktu. “Tanaman yang dapat ditanam dengan metode hidroponik ini antara lain bayam, selada, dan kangkung. Tanaman tersebut bernilai jual tinggi, karena merupakan sayuran yang sering dikonsumsi oleh masyarakat,” ujar Yufansyah.
Tim PKM dari kiri ke kanan M Yufansyah, Triadna Febriani, Shifa Fauziyah, Aulia Sukma, Pradika Annas. (Foto: Istimewa) Membentuk kader lingkungan yang berkomitmen dalam menjaga kelestarian lingkungan adalah misi besar tim PKM-M ini. Pembentukan kader tersebut tentunya terdiri atas berbagai tahap, terdiri dari brainstorming, pembekalan urban farming, pembekalan manajemen organisasi, serta pembekalan cara memasarkan produk dari urban farming. Sehingga program ini bukan hanya mengajak siswa untuk peduli lingkungan, namun juga melatih jiwa kewirausahaan mereka. “Mereka juga diberi pembekalan cara memasarkan produk dari urban farming sehingga bernilai ekonomi. Tim Envischo memberikan pelatihan untuk memanfaatkan produk daun kaca piring. Pelatihan enterpreneurship ini diberikan dengan tujuan membentuk kader lingkungan yang mandiri dan pandai memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia,” lanjut Yufansyah. Meskipun pengkaderan dilakukan di hari Sabtu, namun antusiasme siswa MAN Surabaya untuk bergabung dengan program ini sangat
tinggi. Terbukti dengan jumlah kehadiran mereka yang memenuhi ruang kelas saat pengkaderan. Hal ini juga karena sekolah dan para guru, utamanya guru mata pelajaran Biologi, mendukung penuh kegiatan ini. “Program ini sangat bermanfaat untuk menambah wawasan tentang lingkungan, tentang memanajemen organisasi, dan wawasan baru yang tidak kami dapat di kelas. Harapannya, program ini berlanjut hingga beberapa tahun ke depan, sehingga permasalahan lingkungan di sekolah bisa teratasi,” ujar Mawardi, siswa kelas XI MAN Surabaya yang menjadi anggota kader lingkungan dari Program Envischo. Yufansyah selaku ketua PKM berharap, kader lingkungan yang ia bentuk bersama tim bisa berkontribusi untuk masyarakat secara luas, tidak hanya di MAN Surabaya. Selain itu, ia juga berharap kader yang telah terbentuk bisa terus berjalan hingga tahun-tahun kedepan. (*) Penulis : Binti Q. Masruroh Editor
: Nuri Hermawan
Bawang Merah Jadi Bahan Dasar Obat Pembasmi Kutu UNAIR NEWS – Rambut adalah mahkota bagi setiap orang. Oleh karenanya, perlu menjaga kesehatan kepala sehingga bersih dari kutu rambut. Kutu rambut atau Pediculus humanus capitis adalah ektoparasit bagi manusia. Kutu rambut biasanya bersarang di bagian belakang kepala dan bagian leher sebelah belakang. Gigitannya dapat menyebabkan iritasi pada kulit yang disebabkan oleh air liur yang dikeluarkan saat menghisap darah si penderita.
Kasus penyakit gatal kutu atau Pediculosis capitis banyak terjadi di seluruh dunia dan tidak hanya menjadi masalah kesehatan di negara-negara miskin, namun juga terjadi di negara berkembang dan negara maju. Di Amerika, sekitar 10 hingga 12 juta anak terjangkiti penyakit gatal kutu setiap tahunnya. Usia penderitanya rata-rata berada pada kisaran 5 hingga 13 tahun, namun tidak menutup kemungkinan bagi orang dewasa juga dapat terjangkit parasit ini. Dewasa ini, obat gatal kutu yang populer di kalangan masyarakat umumnya mengandung permethrin yang merupakan salah satu produk dari paduan senyawa kimia. Permethrin ini dianggap dapat menyebabkan iritasi pada kulit manusia, sehingga diperlukan adanya alternatif lain yang berbahan alami dan lebih ramah lingkungan. Hal inilah yang kemudian mendorong lima mahasiswa program studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi (FST), Universitas Airlangga, untuk mencari solusi bahan alami yang berpotensi sebagai bahan pembuatan obat pembasmi kutu. Lima anggota yang termasuk dalam tim PKM-Penelitian Eksakta tersebut, yaitu Jefpry Supryanto Sianturi, Novia Faridatus Sholilah, Dina Lutfiana, Arini Sabil Haque, dan Hady Palgunadi. Program penelitian mereka berjudul “Optimalisasi Penggunaan Allium Ascolonicum dengan Konsep Liquid Pembasmi Kutu sebagai Solusi Penderita Gatal Kutu”. Program tersebut telah disetujui dan didanai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Proses pembuatan Bahan utama yang mereka gunakan adalah bawang merah. Bahan yang biasa digunakan masyarakat sebagai bahan penyedap makanan tersebut, ternyata memiliki kandungan senyawa yang dapat digunakan sebagai bahan untuk membunuh serangga. Kandungan senyawa yang disebut flavonoid tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk ekstrak (sari) dengan metode maserasi (pelunakan suatu benda karena suatu cairan). Pada akhirnya, didapatlah
ekstrak yang kemudian kandungan flavonoid.
dikarakterisasi
untuk
membuktikan
“Allium ascolonicum (bawang merah, red) direndam dengan metanol 99 persen selama 24 jam, nah, setelah itu masuk ke proses penyaringan. Hasil penyaringan kemudian dievaporasi (perubahan molekul zat, red) menggunakan penyaring Buchner. Dan akhirnya, didapatlah ekstrak dari bawang merah,” terang Jefpry. Hasil ekstrak kemudian memasuki proses uji coba dengan kutu sebagai kontrol ujinya. Proses uji coba dibagi menjadi dua tahap, yaitu uji kontrol positif dan uji kontrol negatif. Uji kontrol positif adalah perbandingan antara keadaan kutu saat diberikan ekstrak, dengan keadaan kutu saat diberikan peditox (obat kutu pada umumnya). Sedangkan uji kontrol negatif, membandingkan antara keadaan kutu saat diberikan ekstrak, dengan keadaan kutu saat normal (tanpa diberikan obat kutu). Jefpry dan kawan-kawan melakukan pengamatan selama 24 jam dalam uji coba ini. “Hasil uji menunjukkan bahwa waktu rata-rata yang dibutuhkan peditox untuk membunuh kutu sekitar 22 menit, dan esktrak bawang merah membutuhkan waktu sekitar 64 menit. Sedangkan jika kutu dibiarkan di udara terbuka, kutu akan mati dalam waktu kurang lebih 24 jam,” jelas Jefpry. “Hal ini membuktikan dengan jelas, bahwa pemberian ekstrak dapat mempengaruhi kutu dan berpotensi sebagai bahan pembasmi kutu rambut,” imbuhnya optimis.
Penulis : Dilan Salsabila Editor : Defrina Sukma S.
Cegah Perlekatan Organ Pascaoperasi, Mahasiswa UNAIR Ciptakan Agen Antiadhesi UNAIR NEWS – Pasca operasi bedah terbuka pada rongga perut, organ-organ dan daerah sekitarnya berpotensi mengalami perlekatan atau adhesi peritoneal. Padahal adhesi tersebut dapat membelit dan menarik organ dari tempatnya sekaligus merupakan penyebab utama penyumbatan saluran usus (obstruksi usus). Sehingga jika obstruksi usus ini tidak ditangani dengan benar maka akan sangat berbahaya, sebab isi usus tidak akan dapat melewati usus, lalu menyebabkan kram perut, mual, dan muntah, hingga kematian usus. Guna mencegah risiko terjadinya perlekatan tersebut, lima mahasiswa prodi Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Airlangga, berhasil membuat cairan antiadhesi yang diberi nama injectable hydrogel antiadhesi. Mahasiswa tersebut adalah Retno Witantri, Hervina Zaprilla, Agrippina Waya Rahmaning Gusti, Aisyah Ayu Rahmawati, dan Wilda Kholida Annaqiyah. Mereka kemudian mengajukan penelitian ini dalam Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian Eksakta (PKMPE) dan berhasil meraih hibah dana penelitian dari Kemenristek Dikti. Dibawah bimbingan Dr. Prihartini Widiyanti, drg., M.Kes., mereka menyusun proposal bertajuk ”Paduan Kitosan-hyaluronic Acid Sebagai Injectable Hydrogel untuk Agen Antiadhesi Peritoneal Pasca Operasi Terbuka”. ”Dalam aplikasinya, cairan antiadhesi akan disuntikkan tepat sebelum sayatan pada perut ditutup. Yang awalnya injectable
hydrogel itu berbentuk cair, namun setelah disuntikkan akan memadat menjadi gel. Jadi gel itu berfungsi sebagai penghalang fisik sementara pada dua permukaan organ yang luka, saat fase penyembuhan berlangsung,” kata Retno, Ketua Tim PKMPE kepada wartawan.
Sampel hidrogel yang dihasilkan. (Foto: Dok Tim) Injectable hydrogel tersebut dibuat dari hyaluronic acid (HA) dan kitosan. HA dipilih karena merupakan komponen utama dari ekstraselular matriks (ECM). Selain itu HA juga biokompatibel, biodegradabel, dan mampu mempengaruhi proses penyembuhan peritoneal (remesothelialisasi), dan pembentuk gel yang baik. Sedangkan kitosan, selain biokompatibel, juga diketahui sebagai material antibakteri, mudah dimodifikasi secara kimiawi dan bersifat hemostatik (menghentikan pendarahan). Hasil uji swelling menunjukkan hidrogel memiliki nilai rasio swelling 172-214% yang memenuhi standar rasio swelling untuk aplikasi pencegahan adhesi, yakni sebesar 123-225%. Kemudian dari uji degradasi, hidrogel mampu terdegradasi mencapai 85%
pada hari ke-9 dinilai cukup baik ketika dihubungkan dengan waktu penyembuhan membran rongga perut (peritonium) yang berlangsung antara 5-8 hari. Melalui uji sitotoksisitas, hidrogel tersebut juga terbukti tidak toksik dan aman disuntikkan dalam tubuh. “Melalui testimoninya kepada tim kami, dr. Herry Wibowo, Sp.B, M.Kes menuturkan meski setiap kali selesai operasi dan organ dalam perut dibersihkan, tetap saja risiko adhesi peritonial itu masih ada. Ini yang membuat kami semakin yakin bahwa Indonesia sangat membutuhkan antiadhesi ini,” kata Retno Witantri mengutip dokter ahli bedah tersebut. (*) Editor : Bambang Bes
Melatih Para Tuna Grahita agar Hidup Sehat dan Mandiri UNAIR NEWS – Barangkali sebagian masyarakat sudah mengetahui kampung tuna grahita di Kabupaten Ponorogo. Di Jawa Timur, populasi tuna grahita mencapai 500 orang, 323 diantaranya tinggal di Desa Sidoharjo, Kecamatan Jambon, Ponorogo. kemampuan yang terbatas baik dalam fungsi intelektual dan beradaptasi, menjadikan para tuna grahita menggantungkan diri kepada masyarakat sekitar dalam kehidupan sehari-hari. Meski keberadaan mereka dilindungi undang-undang dan mendapat dukungan dana dari berbagai pihak, para tuna grahita itu belum bisa memaksimalkan kemampuan diri mereka. Salah satunya di bidang kesehatan. Sekelompok mahasiswa program studi S-1 Pendidikan Ners, Fakultas Keperawatan, Universitas Airlangga mengajak para tuna
grahita itu untuk menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Keempat mahasiswa Ners itu adalah Fitria Budiarti (ketua tim/tahun angkatan 2013), Enis Rezqi Maulida (anggota/2013), Magita Novita Sari (anggota/2013), dan Putri Mei Sundari (anggota/2014). Implementasi PHBS itu mereka wujudkan melalui program kreativitas mahasiswa bidang pengabdian masyarakat dengan proposal berjudul “INSTING (Independent Skill Training) untuk Meningkatkan Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat Kampung Idiot di Desa Sidoharjo, Jambon, Ponorogo”. Proposal PKM – M ‘INSTING’ itu berhasil lolos pendanaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemenristekdikti tahun 2016. Tim INSTING memiliki delapan program kegiatan. Program-program itu diantaranya sosialisasi kegiatan, pembuatan buku sadar sehat, pemenuhan kebutuhan alat bahan sehat, pembelajaran dan pelatihan secara langsung oleh tutor, pemantauan melalui buklet, kunjungan ke rumah-rumah, dan pembuatan kaset dokumenter. Untuk
memudahkan
pelaksanaan
kegiatan,
tim
INSTING
mengaktifkan kembali kader-kader untuk mendampingi para tuna grahita. Menurut Fitria, para kader itu terdiri dari orang lanjut usia, dan anggota keluarga yang memiliki kerabat tuna grahita. Agar koordinasi dengan pejabat setempat berjalan baik dan metode pelaksanaan INSTING berjalan optimal, mereka menyasar tuna grahita dari Dusun Klitik, Sidoharjo.
Praktik bercocok tanam di salah satu tempat tinggal tuna grahita.(Foto: Istimewa) “Karena lebih banyak pejabat dan perangkat desa yang tinggal di Klitik, maka kami akhirnya memilih itu sebagai desa sasaran. Di sana, kami mendampingi sepuluh tuna grahita agar pelaksanaan lebih efektif. Kami matangkan sasaran ini. Kalau seandainya berhasil, kami berharap itu bisa menjalar ke desa lain,” tutur Fitria. Para tuna grahita itu diajari untuk menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, bercocok tanam dan memanen sayuran untuk memenuhi kebutuhan gizi individu dan keluarga. Dengan adanya rancangan kegiatan seperti itu, tim INSTING berharap rancangan kegiatan ini diharapkan dapat membentuk sikap dan tingkah laku tuna grahita yang berkarakter mandiri sehingga kehidupan yang layak pun terwujud. “Indikator keberhasilan program kami adalah ketika ketergantungan mereka (tuna grahita) terhadap keluarga berkurang. Kami selalu mengadakan evaluasi terkait dengan program INSTING. Selain itu, ada juga program kami yang telah
diadopsi oleh warga setempat. Karena kader juga terus melatih tuna grahita itu untuk menjadi mandiri. Dan, angka kesehatan juga meningkat,” imbuh Fitria. (*) Penulis: Defrina Sukma S. Editor: Nuri Hermawan