TANAH SUPRESIF DALAM PRAKTIK PENGELOLAAN PENYAKIT TUMBUHAN (Suppressive Soil in Practices of Plant Disease Management) Hadiwiyono Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta 57126 e‐mail:
[email protected] ABSTRACT A lot of plant disease is caused by soilborne pathogens which various damage symptom and loss of the crop. In some fields, the disease intensity was severe, in some other fields however the disease was suppressive. The second phenomenon is called suppressive soil. The suppressive soil is a natural biological control that is usefull as basis in developing control of the soilborne pathogens. In the practice, the disease control based on the suppressive soil could be accomplished by habitat management through technique culture practices to enhance activity of the endogenous biological control agents and or introduction one or more antagonists from endogenouse or exogenous microbes. The disease control has many advantages such save in the environment and enhance the product value due to the acceptance in the global market. It implicats that the disease control approach is compatible with concept of the integrated pest management (IPM) and sustainable agriculture system. Keywords: biological control, integrated pest management, suppressive soil PENDAHULUAN alternatif pengendalian telah didorong oleh Banyak penyakit tumbuhan yang adanya kepedulian masyarakat tentang disebabkan oleh patogen bawaan tanah, dampak negatif tentang penggunaan fumigan menyebabkan kehilangan hasil besar pada seperti metil bromida pada lingkungan dan kesehatan manusia (Cook dan Baker, 1983; berbagai tanaman penting di dunia Lenteren, 2002). Lebih luas lagi, isu pasar (Alabouvette, 1993). Patogen bawaan tanah global yang menghendaki produk pertanian dapat menyebabkan berbagai tipe gejala yang aman, yang diusahakan melalui sistem penyakit seperti busuk akar, busuk pangkal pertanian yang ramah lingkungan batang, busuk leher akar, busuk umbi, busuk berdasarkan konsep pertanian berkelanjutan, rizom, puru akar, layu, dan rebah semai dan pengelolaan hama terpadu (Integrated (damping‐off). Patogen bawaan tanah Pests Management, IPM), telah mendorong umumnya sulit dikendalikan dengan pengembangan teknik‐teknik pengendalian menggunakan cara konvensional seperti penanaman varietas resisten dan baru yang ramah lingkungan dalam penggunaan fungisida sintetik sehingga sering mengatasi gangguan berbagai jasad membuat putus asa petani (Alabouvete, pengganggu (Sullivan, 2004; McCarty, 2004; 2004). Kurang ketersediaan cara Borneman dan Becker, 2007). Pengendalian hayati dan pengembangan praktik bercocok pengendalian secara kimia yang dapat tanam untuk peningkatan supresivitas tanah diandalkan, kemunculan galur resisten merupakan komponen penting dalam IPM terhadap fungisida sintetik, tidak atau kurang pada patogen bawaan tanah (Dijst et al., ketersedian varietas tahan, dan patahnya 2004). Borneman dan Becker (2007) resistensi oleh kemunculan galur virulen menambahkan bahwa tanah supresif patogen adalah sebagian faktor kunci yang berpotensi dipertimbangkan dalam mendasari upaya untuk mengembangkan cara‐cara pengendalian lain (Weller et al., pengelolaan penyakit tumbuhan. 2002). Disamping itu, pengembangan Sains Tanah – Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 7(1) 2010
31
Tanah Supresif dalam Praktik Pengelolaan Penyakit Tumbuhan….Hadiwiyono
Secara alami semua tanah memiliki kapasitas untuk bersifat supresif atau menekan penyakit tanaman (Roget dan Vadakattu, 2006). Fakta menunjukkan bahwa tingkat permasalahan dan kerugian yang ditimbulkan oleh patogen bawaan tanah pada suatu tanaman tersebut sangat bervariasi. Satu atau lebih patogen bawaan tanah pada daerah tertentu menjadi masalah dan merugikan tanaman, sedangkan di daerah lain tanaman tetap sehat meskipun varietas yang ditanam bersifat rentan terhadap patogen. Tanah dengan patogen bawaan tanah menjadi masalah disebut sebagai tanah kondusif, sedangkan tanah dengan patogen bawaan tanah tidak atau kurang menjadi masalah disebut tanah supresif. Fenomena yang terakhir ini, selama tiga dasa warsa terakhir menjadi perhatian peneliti fitopatologi dalam rangka mendapatkan teknik pengendalian patogen bawaan tanah yang efektif dan ramah lingkungan (Cook dan Baker, 1983; Weller, 1983; Alabouvete, 1993; Neate, 2004; Sullivan, 2004; de Bertoldi, 2009) Berdasarkan tinjauan pustaka, Alabouvette (1991) menyimpulkan bahwa kesupresivan tanah terhadap patogen/penyakit secara fundamental didasarkan pada interaksi mikrob antara patogen dengan semua atau sebagian mikrob saprofit. Baker (1991) mengemukakan bahwa kesupresivan tanah pada kebanyakan kasus, beratribut utama mikrob asli setempat. Apabila mikrob tersebut dieradikasi dengan perlakuan tertentu maka akan lebih cepat terinfestasi kembali oleh patogen. Kesupresivan tanah dapat ditingkatkan atau dikembalikan melalui pengimbasan dengan komponen antagonis spesifik mikrob tanah, secara tunggal atau kombinasi (Cook dan Baker, 1983; Roget dan Vadakattu, 2006; Mazzola, 2007). Oleh karena itu, fenomena kesupresivan tersebut merupakan fenomena pengendalian hayati 32
alami (Baker, 1991; Alabouvette, 1993). Berdasarkan penelitian dan pengetahuan tentang faktor‐faktor yang mempengaruhi aktivitas pengendalian hayati maka kesupresivan dapat ditingkatkan melalui pengelolaan berbagai mikrohabitat dengan memanipulasi lingkungan nutrisional, fisik, dan hayati tanah (Cook dan Baker, 1983; Baker, 1991). Melalui kajian kesupresivan tanah telah berkembang teknik‐teknik pengendalian hayati patogen bawaan tanah dengan menggunakan agens pengendalian hayati yang diperoleh dari tanah supresif tersebut (Cook dan Baker, 1983; Hornby, 1983; Campbell, 1989; Alabouvette, 1993; Mazzola, 2007), atau melalui sistem untuk pengelolaan agroekosistem meningkatkan komunitas mikrob pada supresivitas tanah (Cook dan Baker, 1983; Campbell, 1989; Mazzola, 2007). Sistem pengelolaan tersebut oleh Vilich dan Sikora (1998) diusulkan dengan istilah pengelolaan sistem hayati (biological system management). Tulisan ini mencoba mengulas tentang tanah supresif dalam praktik dan implikasinya pada pengendalian hama terpadu. KERUGIAN KEUNTUNGAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT BERBASIS TANAH SUPRESIF Menurut Neate (2004) pengendalian penyakit bawaan tanah berbasis tanah supresif memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah (1) memberikan legalitas pada lingkungan dan masyarakat; (2) tidak berisiko secara kimia; (3) pasti diterima sebagai pengendalian yang baik; (4) sekarang tersedia dengan berbagai metode; (5) dapat digunakan pada pertanian organik dan menurunkan volume penggunaan pestisida; dan (6) merupakan sebuah sistem yang dapat meningkatkan nilai tambah produk pertanian. Adapun kekurangannya adalah (1) tanah supresif memerlukan pengelolaan dan
Sains Tanah – Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 7(1) 2010
Tanah Supresif dalam Praktik Pengelolaan Penyakit Tumbuhan….Hadiwiyono
perencanaan yang intensif; (2) dapat membatasi fleksibilitas pada awal tahun musim tanam; (3) memerlukan ketrampilan baru; dan (4) pengendalian penyakit tidak diterima segera, karena sebagai teknologi pengendalian penyakit yang baru, memerlukan penyuluhan dan sosialisasi pada pengguna teknologi, yaitu petani. Secara alami setiap tanah memiliki potensi menjadi tanah supresif terhadap penyakit atau patogen tanaman (Neate, 2002). Diyakini bahwa banyak faktor terlibat pada supresivitas tanah terhadap suatu patogen atau penyakit tanaman yang meliputi faktor kondisi, fisika, kimia, dan hayati (Andrade et al. 1994; Broadbent dan Baker, 2004; Mrakami et al, 2000). Faktor yang paling berperan pada supresivitas tanah alami adalah faktor hayati, sedangkan faktor nonhayati lebih berperan secara tidak langsung sebagai faktor pendukung dengan memberikan kondisi yang sesuai untuk aktivitas hayati sebagian atau kompleks mikrob, memberikan sumber nutrisi dan energi yang mungkin penting pada aktivitas antagonisme (Hornby, 1983; Weller, 2002). Oleh karena itu, melalui pengelolaaan habitat dengan praktik budidaya tanaman, dengan tujuan meningkatkan aktivitas satu, beberapa, atau kompleks mikrob antagonis sangat memungkinkan untuk mendapatkan tanah supresif khususnya supresif terimbas (Cook dan Baker, 1983; Hornby, 1983). Kemudian bagaimana dengan tanah supresif yang telah lama ada yang oleh Hornby (1983) disebut long term suppresive. Pada tanah supresif ini, oleh karena supresivitas tanah telah berkembang secara alami maka pengelolaaan habitat dapat ditujukan untuk menjaga kesupresivan. Praktik budidaya tanaman diarahkan agar tidak menurunkan supresivitas tanah dengan cara menghindari praktik‐praktik budidaya yang merusak kesupresivan tanah, seperti penggunaaan fungisida ataupun bakterisida
yang kurang bijaksana, sehingga dapat membunuh atau menghambat perkembangan serta aktivitas mikrob yang berperan pada supresivitas tanah. PENGENDALIAN PENYAKIT TUMBUHAN BERBASIS TANAH SUPRESIF DALAM PRAKTIK Menurut Alabouvette (1993) ada dua strategi yang dapat digunakan pada pengendalian penyakit bawaan tanah berbasis tanah supresif. Strategi pertama adalah didasarkan pada peningkatan tingkat kesupresivan tanah yang telah ada. Strategi yang lain adalah dengan melakukan seleksi galur efektif dari mikrob antagonis yang diisolasi dari tanah supresif sebagai agens pengendalian hayati. Peningkatan tingkat supresivitas alami tanah Pemberian pembenah tanah organik Bahan organik dalam tanah merupakan sumber energi bagi kompleks mikrob saprofit untuk melakukan aktivitas hayati. Kandungan bahan organik dalam tanah akan menentukan keanekaragaman dan struktur komunitas mikrob dalam tanah. Oleh karena itu, pemberian pembenah tanah memberikan sumber bahan organik sebagai sumber energi bagi kompleks mikrob secara cukup sehingga diversitas dan aktivitas hayati meningkat. Banyak fakta membuktikan bahwa pada pengimbasan supresivitas tanah, peningkatan aktivitas hayati mikrob tanah linier dengan peningkatan aktivitas pengendalian hayati (Sullivan, 2004). Penggunaan pembenah tanah dalam pengendalian penyakit telah lama dipraktikan sejak sebelum fenomena tanah supresif dan pengendalian hayati penyakit banyak mendapat perhatian, sebelum tahun 1960‐an (Cook dan Baker, 1983; Hornby, 1983; Yuen et al. 2004). Pembenah tanah yang telah banyak dipelajari adalah kompos (de Bertoldi, 2009). Contoh pemberian kompos yang sekarang telah diteliti dan dipraktikan adalah
Sains Tanah – Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 7(1) 2010
33
Tanah Supresif dalam Praktik Pengelolaan Penyakit Tumbuhan….Hadiwiyono
untuk pengendalian penyakit layu Fusarium (Alabouvete, 1993; 1994; Hoitink dan Changa, 2004; Lozano et al., 2009), rebah semai Pythium (McKellar et al., 2003), Rhizoctonia solani (Tuitert et al., 1998), Phytophthora (Hoitink dan Boehm, 1999) dan Meloidogyne hapla (Lozano et al., 2009). Kitin juga telah dipelajari penggunaannya sebagai pembenah tanah untuk meningkatkan aktivitas pengendalian hayati oleh mikrob setempat terutama dari kelompok Actinomycetes. Kitin adalah penyusun utama dinding sel dari kebanyakkan jamur. Penambahan pembenah tanah kitin dalam tanah dapat meningkatkan populasi dan aktivitas mikrob kitinolitik seperti Actinomycetes, karena kemampuannya menghasilkan enzim kitinase. Meningkatkan pembebasan kitinase dalam tanah oleh mikroba kitinolitik ini akan menyebabkan pendegradasian dinding sel jamur patogen sehingga dapat menyebabkan sel patogen lisis (Campbell, 1989). Manipulasi kondisi fisik tanah Supresifitas tanah telah dilaporkan berhubungan dengan kondisi fisik tanah serperti tekstur dan struktur tanah, temperatur, serta kelembaban. Perubahan kondisi fisik tanah berpengaruh secara tidak langsung melalui pembentukan kondisi yang sesui untuk perkembangan, antagonisme atau pengimbasan resistensi tanaman oleh mikrob (Cook dan Baker, 1983; Hornby, 1983; Smith dan Goodman, 1999; Neate, 2004). Salah satu contoh pengelolaan habitat untuk memanipulasi kondisi fisik yang dapat meningkatkan supresivitas tanah adalah solarisasi tanah. Solarisasi tanah, inovasi pemanasan tanah dari panas matahari dengan cara menutup tanah menggunakan mulsa plastik polietilen transparan untuk mengendalikan penyakit bawaan tanah pertama dikembangkan di Israel. Teknik pengendalian 34
ini telah dipraktikan secara komersial untuk mengendalikan Verticillium pada pohon pistachio (semacam buah kenari hijau) di Kalifornia selatan (Campbell, 1989). Solarisasi tanah tersebut dapat meningkatkan suhu tanah bagian atas, pada kedalamam kurang dari 30 cm, 36‐50 oC. Supresivitas penyakit pada tanah yang disolarisasi melalui beberapa cara, termasuk pengaruh langsung panas terhadap kematian patogen, perubahan struktur komunitas dan aktivitas mikrob tanah, perubahan sifat fisika dan kimia tanah, dan akumulasi senyawa volatil yang dihasilkan oleh dekomposisi bahan organik secara kimia maupun fisika (Katan, 1987; Gamliel dan Stapleton, 1993). Elad et al. (1980) melaporkan bahwa Trichoderma mendominasi pada rizosfer kentang pada tanah yang disolarisasi. Peningkatan suhu tanah yang disolarisasi dapat menyebabkan patogen rentan terhadap serangan mikrob antagonis. Pada suhu tersebut menyebabkan banyak mikrob mati, tetapi actinomycetes, termofilik, dan termotoleran, Pseudomonas kelompok fluoressen dan Bacillus spp. kurang terpengaruh atau bahkan menjadi meningkat. Aktivitas antibiosis bakteri gram positip meningkat 20 kali pada tanah yang disolarisasi (Elad et al., 1980; Katan, 1987; Gamliel dan Katan, 1993; Grinstein et al., 1995). Penambahan pembenah takorganik Banyak penelitian lapangan dengan upaya mengendalikan penyakit melalui memanipulasi lingkungan nonhayati dengan penambahan suatu pembenah tanah takorganik untuk meningkatkan kesupresivan tanah telah gagal (Alabouvette, 1993). Banyak laporan penelitian yang menunjukkan bahwa supresivitas tanah berkaitan erat dengan kondisi kimia atau fisika tertentu. Dilaporkan bahwa ketersediaan kation besi dalam tanah sangat ditentukan oleh pH tanah
Sains Tanah – Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 7(1) 2010
Tanah Supresif dalam Praktik Pengelolaan Penyakit Tumbuhan….Hadiwiyono
yang menjadi terbatas pada pH yang tinggi. Supresivitas tanah oleh aktivitas Pseudomonas kelompok fluoresen bekerja melalui kompetisi kation besi dengan patogen, karena kemampuan bakteri tersebut menghasilkan siderofor, sehingga kompetisi meningkat pada pH tinggi, misalnya dengan pengapuran tanah (Weller, 1988; Capper dan Higgins, 1993; Poulitz, 1990). Pengapuran untuk meningkatkan supresivitas tanah kurang berhasil, karena kesupresivan tanah merupakan hasil interaksi kompleks faktor lingkungan hayati maupun nonhayati, mikrob kompleks, tanaman inang, dan patogen (Alabouvette, 1993). Elmer (2004) melaporkan bahwa tanah supresif terhadap busuk leher batang dan akar Fusarium pada asparagus dapat diperoleh dengan pemberian pembenah tanah NaCl ke dalam tanah. NaCl tidak berpengaruh langsung pada patogen, tetapi NaCl meningkatkan eksudasi akar asparagus dan kolonisasi akar oleh Pseudomonas. Bakteri ini diduga mengimbas ketahanan tanaman terhadap serangan Fusarium. Sistem tanam monokultur Umumnya penyakit meningkat pada tanaman monokultur secara terus menerus karena ketersediaan inang dalam waktu yang panjang menyebabkan patogen berkembang secara terus‐menrus. Kondisi demikian, peningkatan populasi patogen terjadi dari generasi ke generasi tanaman sehingga serangan patogen meningkat dari generasi ke generasi tanaman. Oleh karena itu, untuk pengendalian kebanyakan penyakit direkomendasikan dilakukan dengan rotasi tanaman untuk memutus siklus hidup penyakit (Agrios, 2005). Namun demikian dapat terjadi sebaliknya bahwa penanaman monokultur secara terus‐menerus pada beberapa tanaman telah dilaporkan mengalami penurunan serangan patogen. Sebagai contoh adalah penurunan intensitas
penyakit take‐all yang disebabkan oleh: Gaeumannomyces graminis var. tritici yang menurun setelah beberapa musim tanam gandum secara monokultur. Fenomena ini populer disebut take‐all decline. Take‐all decline merupakan fenomena tanah supresif terimbas. Tanah supresif ini terjadi pada tanaman monokultur gandum varietas rentan dan setelah sedikitnya terjadi sekali serangan berat. Supresif tanah disebabkan oleh peningkatan populasi Pseudomonas spp. yang berasosiasi dengan gamdum dan bersifat antagonis terhadap G.g.var. tritici (Capper dan Higgins. 1993; Sivasithamparam, 2002; Weller et al., 2002). Pada tahun 1959 Menzies melaporkan bahwa di Washington terjadi perbedaan insidens penyakit kudis kentang (Streptomyces scabies) antara tanah yang telah lama ditanam kentang selama puluhan tahun adalah sangat rendah, sedangkan pada daerah baru yang ditanam kentang kurang dari 15 tahun insidens penyakit tinggi (Weller et al., 2002). Lorang et al. (1995) juga melaporkan bahwa fenomena tanah supresif tersebut terjadi di Minnesota. Fenomena penurunan insidens penyakit kudis kentang ini disebut potato scab decline (Jacobsen, 2002; Weller et al., 2002). Pengimbasan supresivitas tanah oleh penanaman kentang monokultur secara terus‐menrus ini berhubungan dengan peningkatan populasi Streptomyces spp. nonpatogen yang bersifat antagonis melalui antibiosis terhadap patogen yang vorulen (Liu et al., 1995; Lorang et al. 1995). Hopkin et al. (1987) melaporkan bahwa tanaman supresif terhadap layu Fusarium (F.o. f.sp. niveum) dapat diperoleh dengan menanam semangka secara monokultur dengan varietas tertentu (Crimson Sweet) lebih dari 10 musim. Tanah supresif ini ternyata berbeda dengan tanah supresif penyakit layu Fusarium pada umumnya yang berhubungan dengan populasi tinggi
Sains Tanah – Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 7(1) 2010
35
Tanah Supresif dalam Praktik Pengelolaan Penyakit Tumbuhan….Hadiwiyono
kompleks mikrob antagonis, tetapi tanah supresif penyakit layu Fusarium pada semangka ini disebabkan oleh peningkatan populasi jamur F. oxysporum nonpatogen (Larkin et al., 1993). Rotasi tanam Phymatotrichum omnivorum merupakan patogen bawaan tanah pada lebih dari 200 tanaman dikotiledon. Patogen ini telah banyak dipelajari khususnya pada tanaman kapas dan alfalfa di Amerika Serikat bagian Selatan. Patogen ini dapat dikendalikan dengan rotasi tanaman monokotiledon seperti kacang‐kacangan. Pada kasus ini, penambahan pembenah tanah organik dan pembenaman tanaman hijau membantu pengendalian. Perlakuan tersebut memberikan peningkatan aktivitas Trichoderma tertentu menjadi meningkat, yang menyebabkan lisis sklerotia patogen dalam tanah (Bockus dan Shroyer, 1998; Campbell, 1989). Peningkatan penyakit kompleks pada apel yang disebut penyakit penanaman ulang apel (apple replant disease) pada penanaman kembali apel yang disebabkan oleh Cylindrocarpon destructans, Phytopthora cactorum, Pythium spp, dan Rhizoctonia solani, disebabkan oleh penurunan populasi Burkholderia cepacia dan Pseuodmonas putida serta peningkatan P. fluorescens biovar C. Pengimbasan supresivitas tanah dapat dilakukan melalui pananaman gandum tiga generasi sebelum tanam apel kembali. Penanaman ini dapat meningkatkan populasi B. cepacia dan P. putida yang mampu menghasilkan multipel antibiotik (Mazzola, 1998). Aplikasi galur mikrob antagonis terpilih Kebanyakan studi tentang tanah supresif memiliki tujuan untuk menyeleksi mikrob antagonis efektif sebagai agens pengendalian hayati (Cook dan Baker, 1983; Olatinwo, 36
2006; ). Seleksi galur antagonis efektif dapat didasarkan pada dua pendekatan; (1) pengujian in vitro yang dirancang untuk mengetahui interaksi antagonis dengan patogen seperti parasitisme, antibiosis, atau produksi siderofor seperti pada Pseudomonas; (2) pengujian in vivo yang dirancang untuk mengetahui efisiensi dalam bioasai dengan patogen dan inang pada lingkungan tanah (Alabouvette, 1993). Berikut ini beberapa contoh galur mikrob terpilih yang dikembangkan berbasis pada tanah supresif. F. oxysporum nonpatogen telah banyak diteliti untuk perlakuan tanah guna mendapatkan tanah supresif terhadap penyakit layu Fusarium pada berbagai tanaman seperti semangka, kemangi, carnation, cyclamen, dan asparagus (Alabouvette, 1993). Pseudomonas spp. Kelompok fluoresen untuk mengendalikan berbagai patogen tular tanah seperti layu Fusarium (Scher dan Baker, 1982; Weller et al, 2002) take‐all disease (G.g. var. tritici) (Cook dan Weller, 1987; Capper dan Higgins. 1993; Weller et al., 2002). Streptomyces spp. untuk mengendalikan busuk akar Rhizoctonia solani (Mazzola, 2007), Jamur Dactylella oviparasitica untuk mengendalikan nematoda Heterodera schachtii (Olatinwo, 2006). IMPLIKASI TANAH SUPRESIF DALAM PENGELOLAAN HAMA TERPADU Pengelolaan hama terpadu (PHT) telah diberikan definisi yang beragam, namun demikian menunjukkan makna yang sama, bahwa PHT merupakan suatu sistem yang dirancang berdasarkan pertimbangan kelanggengan (durability), ekonomi, dan lingkungan untuk mencegah kerusakan oleh hama (binatang, patogen penyebab penyakit, dan gulma) dengan menggunakan faktor‐ faktor alami yang membatasi pertumbuhan populasi organisme tersebut, jika diperlukan tindakan suplemen dengan langkah‐langkah pengedalian yang tepat (Lenteren, 2002).
Sains Tanah – Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 7(1) 2010
Tanah Supresif dalam Praktik Pengelolaan Penyakit Tumbuhan….Hadiwiyono
PHT merupakan sistem yang berfokus pada ekosistem untuk pengelolaan hama melalui pendekatan komprehensif dan pelaksanaan semua langkah yang kompatibel secara hayati, fisik, dan kimia (Hardy, 1993). PHT merupakan konsep pengelolaaan hama yang paling ideal saat ini. PHT merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan pada sistem budidaya tanaman saat ini, baik berdasarkan pertimbangan ekonomi maupun lingkungan (Hardy, 1993). Pengelolaan ekosistem untuk mengoptimumkan pengendalian alami menjadi fokus dalam PHT, karena melalui pendekatan ini dapat menjamin bahwa pengedalian hama bersifat langgeng (durable) atau berlanjut (sustainable). Tanah supresif merupakan fenomena ekosistem alami. Pengetahuan tentang tanah supresif sangat penting pada pengembangan pengendalian penyakit bawaan tanah (Mazzola, 2007). Roget dan Vadakattu (2006) menambahkan bahwa kapasitas tanah supresif dapat dikembangkan pada tingkat yang berarti melalui pengelolaan praktik sistem bertanam. Pendekatan secara holistik merupakan suatu kaharusan pada pengendalian penyakit seperti yang dikonsepkan pada PHT. Hal ini karena sebagai fenomena ekosistem maka tanah supresif dibentuk dan dipengaruhi oleh kompleks faktor hayati maupun nonhayati. Sebagai kesimpulan bahwa fenomena tanah supresif dapat dijadikan model dasar pengembangan pengendalian penyakit secara terpadu dalam konsep PHT. Di dalam praktik, pengendalian hayati penyakit berbasis tanah supresif dapat dilaksanakan melalui pengelolaaan habitat dan introduksi antagonis efektif terpilih dari mikrob setempat atau dari tempat lain. Pengelolaan habitat melalui pratik bertanam diarahkan untuk mengoptimumkan peran pengendalian hayati alami setempat. Introduksi antagonis terpilih harus disertai pengelolaan habitat melalui praktik bertanam yang kompatibel
(Cook dan Baker, 1983; Roget dan Vadakattu, 2006). Pengendalian penyakit berbasis tanah supresif adalah aman sehingga kompatibel dengan konsep PHT maupun sistem pertanian berkelanjutan. Secara ekonomi pengendalian penyakit berbasis tanah supresif akan meningkatkan nilai tambah produk pertanian, karena disamping peningkatan hasil oleh keberhasilan pengendalian penyakit, produknya menjadi diterima pasar global yang umumnya menolak produk pertanian yang diusahakan melalui sistem pertanian yang kurang ramah lingkungan (Hardy, 1993; Neate, 2004; Sullivan, 2004). DAFTAR PUSTAKA Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 4th Ed. Academic Press. San Diego California. 633p Alabouvette, C. 2004. Biotic Interaction in the Soil: an Overview. INRA‐CMSE. http://www.bspp.org.uk/icpp98/2.7/1S. html, diakses: 24 Nopember 2008. Alabouvette, C., B. Schipper, P. Lemanceau, and P.A.H.M. Baker. 1998. Biological control of Fusarium wilts toward development of commercial products. In: Boland, G.J. & L.D. Kuykendall, eds. Plant‐Microbe Interactions and Biological Control. Marcel Dekker, Inc. New York. pp.15‐36. Alabouvette, C. 1993. Naturally occurring disease‐suppressive soils. In: Lumsden, R.D. and J.L. Vaughn. Pest Management: Biologically Based Technologies. American Cahemical Society, Wahsington, DC. pp.204‐210. Andrade, O.A., D.E. Mathre, and D.C. Sands. 1994. Natural suppresion of take‐all disease of wheat in Montana soils. Plant Soil. 164:9‐18. Baker, R. 1991. Diversity in biological control. Crop Protection. 10:85‐94. Bockus, W.W. and J.P. Shroyer, 1998. The impact of reduced tillage on
Sains Tanah – Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 7(1) 2010
37
Tanah Supresif dalam Praktik Pengelolaan Penyakit Tumbuhan….Hadiwiyono
soilborne plant pathogens. Ann. Rev. Phytopathol. 36:485‐500. Borneman, J. and J.O. Becker. 2007. Identifying microorganisms involved in specific pathogen suppression in soil. Ann. Rev. Phytopathol. 45: 153‐172 Capper, A.L. and K.P. Higgins. 1993. Application of Pseudomonas fluorescens isolate to wheat as potential biological control agent against take‐all. Plant Pathol. 42:560‐567. Cook, R.J. and K.F. Baker. 1983. The Nature and Practice of Biological Control of Plant Pathogens. The American Phytopathological Society, St. Paul, Minnesota. 539 p. Elad, Y., J. Katan, and I. Chet. 1980. Physical, biological, and chemical control integrated for soilborne diseases in potato. Phytopathology. 70:418‐ 422. Elmer, W. 2004. Effect of NaCl of root exudation in asparagus and suppression of fusarium crown rot. The Connecticut Agricultural Experiment Station, New Heaven, Connecticut, USA. http://bspp.org.uk/icpp98/2.7, diakse: 19 Maret 2008. de Bertoldi, M. 2009. Production and utilization of suppressive compost: environmental, food and health benefits. In: H. Insam, I. Franke‐Whittle, and M. Goberna (eds.). Microbes at Work. Springer‐Verlag, Berlin Heidelberg. pp.153‐170. Gamliel, A. and J. Katan. 1991. Involvement of fluorescent pseudomonads and other microorganisms in increased growth response of plants in solarized soils. Phytopathology. 81:494‐502. Gamliel, A. and J.J. Stapleton. 1993. Effect of soil amemdement with chicken compost or ammonium phosphate and solarization on pathogen control, rhizospher microorganism and lettuce growth. Plant Dis. 77:886‐891.
38
Grinstein, A., G. Kritzman, A. Hetzroni, A. Gamliel, M. Mor, and J. Katan. 1995. The border effect of soil solarization. Crop Protect. 4(4):315‐320. Hardy, R.W.F. 1993. Biologically based pest management in m,anaged ecosystem: increasing acceptance. In: R.D. Lumsden and J.L. Vaughn, (eds.) Pest Management: Biologically Based Technologies. American Chemical Society, Wahsington, DC. pp.2‐9. Hoitink, H.A.J. and Changa. 2004. Prodduction and utilization guidelines for disease suppressive compost. Pages 87‐92 in: Vanachter A., ed. Managing Soil Born Pathogens. Can. Int. Dev. Agency. http://plantpath.osu.edu/Acta635‐ Hoitink.pdf, diakses: 24 Nopember 2008. Hoitink, H.A.J. and M.J. Boehm. 1999. Biocontrol within the contect of soil microbial communities: a substrate‐ dependent phenomenon. Ann. Rev. Phytopathol. 37:427‐446. Hopkin, D.L., R.P. Larkin, and G.W. Elmstrom.1987. Cultivar specfic induction of soil suppressiveness to Fuasrium wilt of watermelon. Phytopathology. 77:607‐611. Hornby, D. 1983. Supressive soil. Ann. Rev. Phytopatrhol. 21:65‐85. Jacobsen, B. 2002. Biological control of potato pathogens. In: S.S. Gnanamanickan (ed.) Biological Control of Crop Diseasees. Marcel Dekker, Inc. New York. pp.179‐190. Katan, J. 1987. Soil Solarization. In: I. Chet (ed.) Innovative Approaches to Plant Disease Control. John Wiley and Sons, New York. pp.77‐106. Larkin, R.P.; D.L. Hopkins; and F.N. Martin. Ecology of Fusarium oxysporum f.sp. niveum in soils suppressive and condosive to Fusarium wilt of Watermelon. Phytopathology. 83(10):1105‐1116.
Sains Tanah – Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 7(1) 2010
Tanah Supresif dalam Praktik Pengelolaan Penyakit Tumbuhan….Hadiwiyono
Liu, D., N.A. Anderson, and L.L. Kinkel. 1985. Biological control of potato scab in the field with antagonistic Streptomyces scabies. Phytopathology. 85:827‐831. Loper, J.E. 1990. Molecular and biochemical bases for activities on biological control agents: the role of siderophore. In: R.R. Baker and P.E. Dunn (eds.) New Direction in Biological Control. Alan R. Liss, Inc., New York. pp.735‐748 Lorang, J.M., D. Liu., N.A. Anderson, and J.L. Schottel. 1995. Identivication of potato scab inducing and suppressive species of Streptomyces. Phytopathology. 85:261‐ 268. Mazzola, M. 1998. Elucidation of microbial complex having a causal role in the development of apple replant disease in Washington. Phytopathology. 88:930‐ 938. Mazzola, M. 2007. Manipulation of rhizosphere bacterial communities to induce suppressive soils. J. Nematol. 39(3): 213–220. McKellar, M.E. and E.B. Nelson. 2003. Compost‐Induced Suppression of Pythium damping‐off is madiated by fatty‐acid‐metabolizing seed‐colonizing microbial communities. Appl. Environ. Microb. 69(1):452‐460. Neate, S. 2004. In Search of Recipe for Disease Suppressive Soil. A project of Agricultural Bureau of South Australia. http://www.betteroils.com,au/modul4/4 _5.htm, diakses: 24 Nopember 2008. Olatinwo, O., B. Yin, J.O. Becker, and J. Borneman. 2006. Suppression of the plant‐parasitic nematode Heterodera schachtii by the fungus Dactylella oviparasitica. Phytopathology 96:111‐ 114. Roget, D.K. and G.V.S.R. Vadakattu. 2006. Rhizoctonia Control through Management of Disease Suppressive Activity in Soils. 18th World Congress of Soil Science July 9‐15, 2006 ‐ Philadelphia, Pennsylvania, USA. http://iuss.colostate.edu/18wcss/
organizingcomm.html, diakses: 22 Maret 2009. Scher, F.M. and R. Baker. 1982. Effects of Pseudomonas putida and synthetic iron chelator on induction of soil suppressiveness to Fusarium wilt pathogen. Phytopathology 72:1567‐ 1573. Sivasithamparan, K. 2002. Biological control of Wheat Diseases. P.65‐86. In S.S. Gnanamanickan (ed.) Biological Control of Crop Diseasees. Marcel Dekker, Inc. New York. Smith, K.P. and R.M. Goodman. 1999. Host variation for interactions with beneficial plant‐associated microbes. Ann. Rev. Phytopathol. 37:473‐491. Sullivan, P. 2004. Sustainable Management of Soil‐borne Plant Diseases. NCAT Agriculture Specialist. ATTRA Publication. http://attra.ncat.org/attra‐ pub/PDF/soilborne.pdf, diakses: 19 Maret 2008. Weller, D.M., J.M. Raaijmakers, B.B.McS. Garderner, and L.S. Tomshow. 2002. Microbial populations responsible for specific Soil supressiveness to plant pathogens. Ann. Rev. Phytopathol. 40:309‐348. Weller; D.M., 1988. Biological control of soil borne plant pathogens in rhizosphere with bacteria. Ann. Rev. Phytopathol. 26:379‐407. Yuen, G.Y., L.E. Pyeatt, T.S. Besemer, A.H. McCain, and M.N. Schroth. 2004. Biological Control of Fusarium Wilt of Carnations; Progress and Prospects. University of California and U.S. Department of Agriculture Cooperation. http://ohric.ucdvis.ed/newsltr/ fn%5Freport/FNReport F 83.pdf. diakses: 19 Maret 2008. Zadocks, J.C. 1993. Biological control. In: J.C. Zadocks (ed.) Modern Crop Protection: Developments and Perspectives. Wageningen Pers, Wageningen. pp.211‐ 216.
Sains Tanah – Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 7(1) 2010
39
Tanah Supresif dalam Praktik Pengelolaan Penyakit Tumbuhan….Hadiwiyono
40
Sains Tanah – Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 7(1) 2010