suk ke dalam air,” kata Dinky. “Dinosaurus kan tidak bisa berenang.” “Betul,” ujar Henry sambil mengangguk. “Mereka hanya masuk ke air yang dangkal setelah tubuh mereka menjadi terlalu berat untuk berdiri tegak di darat. Tapi karena terlalu berat, mereka sering terbenam dalam lumpur. Karena itulah tulangbelulang dinosaurus sering ditemukan sebagai fosil.” Henry menghabiskan setengah jam untuk mengamati pecahan kulit telur serta jejak di pasir yang basah. Kemudian ia terpaksa mengaku bahwa ia juga kehabisan akal. “Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan,” Henry mengakui. “Aku cenderung berpendapat bahwa kita berhasil menetaskan seekor dinosaurus. Sayang sekali kita tidak bisa membuktikannya.” “Tapi... bagaimana kalau Harmon akhirnya berhasil mengalahkan kita?” tanya Dinky. Kami hanya bisa saling bertatapan sambil membisu.
3. Rahasia Meriam Kuno
KAMI semua merasa heran melihat Homer Snodgrass menghabiskan begitu banyak waktu bersama Daphne Muldoon di perpustakaan. Kami memang tahu bahwa Homer naksir gadis itu. Tapi apa yang bisa dilakukan di perpustakaan kecuali membaca buku? Mereka hampir setiap malam berada di sana sampai perpustakaan tutup, dan selama tiga minggu Homer tidak pernah menginjak markas kami. Pada pertemuan berikutnya, Jeff Crocker, ketua perkumpulan kami, merasa perlu untuk membicarakan hal itu. “Teman-teman,” ia berkata setelah membuka rapat, “kelakuan Homer tidak bisa dibiarkan begitu saja. Kalau dia masih belum muncul juga pada pertemuan minggu depan, maka kita terpaksa mengadakan penghitungan suara untuk menentukan apakah keanggotaannya perlu dicabut atau tidak.” Untung saja penghitungan suara itu tidak pernah terlaksana. Aku sedang membaca kesimpulan laporan pertemuan terakhir ketika Homer muncul di pintu. “Aku ingin mengemukakan sesuatu yang harus kita bicarakan,” ia berkata sambil tersengal-sengal. Jeff, yang berdiri di balik podium berupa tumpukan peti bekas, segera mengetukkan palu ketua, lalu menyuruh Homer duduk. “Kita harus menyelesaikan urusan yang lain dulu, Homer,” ia berkata dengan tegas. “Kalau masih ada waktu setelah itu, maka kau akan mendapat kesempatan pertama untuk bicara.” Homer tampak agak kesal. Ia duduk tanpa mengatakan apa-apa, kemudian menoleh ke luar jendela seakan-akan tidak tertarik pada pembicaraan kami. Kemudian kami mulai berdebat panjang-lebar mengenai bagaimana kami akan mengumpulkan uang untuk mengadakan riset. Tapi kelihatan sekali bahwa tak ada yang punya ide ‘panas’, sebab tak seorang pun mengeluarkan kepulan asap dari telinganya.
Akhirnya Homer tidak tahan lagi. Ia langsung berdiri dan berseru, “Aku tahu bagaimana kita bisa memperoleh uang! Bukan cuma sedikit, tapi dalam jumlah besar!” Jeff segera mengetokkan palunya dengan keras, lalu menghardik Homer. “Aku kan sudah bilang, kau harus menunggu sampai urusan lain selesai!” Homer duduk lagi, tapi dalam sekejap Jeff telah berubah pikiran. “Baiklah,” ia berkata pada Homer. “Coba jelaskan apa maksudmu.” “Aku tidak mengatakan apa-apa,” ujar Homer. Dengan acuh tak acuh ia kembali menoleh ke luar jendela. Rupanya ia tersinggung. “Aku mengajukan mosi agar Homer Snodgrass menceritakan apa yang sedang dipikirkannya,” ujar Dinky Poore, anggota termuda dalam perkumpulan kami. “Aku mendukung mosi itu,” kata Freddy Muldoon, si gendut. Setelah itu masih diperlukan berbagai upaya untuk membuat Homer berhenti memandang ke luar jendela. Tapi ia baru mau bicara setelah Jeff minta maaf karena telah menyuruhnya menunggu begitu lama. “Begini,” Homer mulai bercerita, “Daphne Muldoon harus membuat artikel untuk koran sekolah, dan karena itu dia minta bantuanku.” Mortimer Dalrymple mulai ketawa cekikikan, dan Homer langsung memelototinya. Jeff terpaksa mengetokkan palunya untuk menjaga ketenangan. “Kau boleh ketawa sesuka hatimu,” Homer melanjutkan sambil menahan kesal, “tapi aku yakin, kami berhasil menemukan setumpuk uang.” “Di mana?” tanya Jeff. “Di dalam meriam kuno di Memorial Point,” jawab Homer. Meriam yang dimaksudnya adalah meriam kuno yang merupakan peninggalan masa Perang Saudara. Meriam itu berada di lereng selatan Brake Hill, kurang lebih delapan kilometer di luar kota Mammoth Falls. Moncong meriamnya mengarah tepat ke aliran Lemon Creek, sungai kecil di dasar lembah. Senjata itu ditempatkan di sana untuk melindungi kota kami dari serangan dari arah selatan. Tapi sepanjang pengetahuan kami, meriam itu tidak pernah melepaskan satu tembakan pun. Seusai perang, tak ada yang memindahkannya. Soalnya meriam itu terlalu berat. Akhirnya Dewan Kota menjadikannya sebagai monumen sejarah, lalu membuat taman di sekitarnya. Taman yang diberi nama Memorial Point itu sering dimanfaatkan sebagai tempat piknik oleh para penduduk Mammoth Falls. Homer dan Daphne menghabiskan berhari-hari di perpustakaan untuk mempelajari sejarah meriam tua itu. Tanpa mengenal lelah mereka meneliti edisi-edisi lama Gazette, satu-satunya koran yang terbit di kota kami, dan akhirnya berhasil mengetahui tempat pengecoran meriam itu, berapa kuda yang diperlukan untuk membawanya ke atas bukit, berapa jarak tembaknya, dan berbagai keterangan menarik lainnya. Setelah Perang Saudara, meriam itu tampaknya dilupakan orang. Daphne dan Homer membaca ratusan edisi Gazette tanpa menemukan artikel yang menyinggung-nyinggung senjata tua itu. Berita mengenai meriam itu baru muncul lagi di edisi bulan Maret tahun 1910. Ketika itu Dewan Kota memutuskan untuk menyumbat moncong meriam dengan beton, agar anak-anak tidak bisa masuk ke dalamnya. Keputusan ini menimbulkan heboh besar, sebab anak seorang penduduk Mammoth Falls tiba-tiba menghilang dan orang-orang menyangka anak itu berada di dalam meriam pada saat mulutnya disumbat. Mereka hampir saja membongkar penyumbat yang baru dipasang, ketika ada berita bahwa anak itu ditemukan di Stasiun Kereta Api Cairo, Illinois. Rupanya ia tertidur di sebuah gerbong kereta api, lalu terbawa sampai
ke kota itu. Anehnya, anak itu bernama Alonzo Scragg, dan kini menjadi Walikota Mammoth Falls. Minggu itu merupakan minggu yang sangat sibuk bagi para penduduk Mammoth Falls. Terutama bagi keluarga Scragg. Tepat sebelum Alonzo kecil menghilang, seorang laki-laki bertopeng merampok Bank Mammoth Falls, lalu membawa kabur uang 75.000 dollar. Laki-laki itu melarikan diri ke arah selatan dengan menunggang kuda, dan tak pernah terlihat lagi. Namun banyak orang merasa yakin bahwa mereka mengenali kuda yang ditungganginya. Kuda itu berbulu coklat, dengan bercak putih pada keningnya. Di Mammoth Falls dan daerah sekitarnya, hanya ada satu kuda seperti itu, yaitu kuda jantan milik Elijah Scragg, kakek Alonzo. Menurut artikel tua yang dibaca oleh Homer dan Daphne, Kakek Elijah segera menjadi sasaran kecurigaan. Tapi ia bersumpah bahwa kudanya telah menghilang selama dua hari. Ia juga menduga bahwa kuda itu sengaja dicuri untuk mengambinghitamkan dia. Pihak polisi segera mengadakan penyelidikan besar-besaran, lalu membawa kasus itu ke pengadilan. Elijah menampilkan dua anak buahnya sebagai saksi, tapi tak seorang pun bisa memastikan bahwa mereka tidak bersekongkol dengannya. Pada waktu itu, Elijah Scragg sedang bersiap-siap untuk menghadapi pemilihan anggota Dewan Kota untuk kesepuluh kalinya. Hakim akhirnya memutuskan bahwa bukti-bukti yang ada tidak cukup kuat untuk membawa Elijah ke meja hijau. Tapi kenyataan bahwa namanya disebut-sebut dalam kasus perampokan bank menghancurkan harapan Elijah untuk dipilih kembali. Emory Sharpies, yang merupakan lawan utamanya, menarik keuntungan dari kejadian itu dan akhirnya diangkat sebagai pengganti Elijah. Keluarga Scragg dan keluarga Sharpies merupakan dua keluarga tertua di Mammoth Falls, dan sejak dulu mereka selalu bersaing dalam segala hal. Tetapi setelah kasus perampokan bank, persaingan mereka berkembang menjadi permusuhan. Pertikaian mereka dalam bidang politik sampai sekarang masih terus berlangsung. Setiap kali seorang anggota keluarga Scragg mencalonkan diri untuk suatu jabatan tertentu, keluarga Sharpies segera mengajukan calon mereka sendiri. Tahun ini pun begitu. Masa jabatan Alonzo Scragg sudah hampir berakhir, dan Abner Sharples langsung mengumumkan bahwa ia akan mencalonkan diri. Abner masih muda, tetapi dia salah seorang pengacara terkemuka di Mammoth Falls. Semua orang merasa yakin bahwa ia punya kesempatan menang, asal mau bekerja keras. Daphne dan Homer telah menyusun sebuah teori mengenai perampokan bank yang terjadi puluhan tahun lalu. Teori itu didasarkan atas keterangan seorang saksi mata, yang melaporkan bahwa ia melihat orang tak dikenal menunggangi kuda milik Elijah Scragg ke arah Brake Hill. Penunggang kuda itu dipastikan tidak kabur jauh-jauh, sebab ia tidak pernah terlihat di kota-kota tetangga Mammoth Falls. Dan keesokan paginya kuda yang ditungganginya telah kembali ke rumah Elijah Scragg. Ini berarti bahwa si perampok tinggal di sekitar Mammoth Falls. Kemungkinan besar ia menyembunyikan uang hasil rampokannya untuk diambil lagi setelah keadaan kembali aman. Daphne dan Homer menganggap bahwa meriam tua di Memorial Point merupakan tempat yang cocok. Mereka semakin curiga setelah menemukan tiga artikel di Gazette, yang menyesalkan para berandal yang terus berusaha membongkar penyumbat meriam tua itu. “Kenapa kau begitu yakin bahwa uangnya disembunyikan di sana?” tanya Jeff. “Perasaanku mengatakan begitu,” kata Homer. “Aku curiga, karena perampokan itu terjadi tepat sebelum meriamnya disumbat beton.” “Maksudmu, si perampok menyembunyikan uang itu di dalam meriam, tapi kemudian moncong meriamnya keburu disumbat sebelum ia bisa mengambil uangnya?”
“Kira-kira begitu,” jawab Homer. Tapi nada suaranya sudah tidak begitu yakin lagi. “Uang itu tidak pernah ditemukan. Kami sudah memastikan hal ini dengan menanyakannya pada Mr. Willis, Direktur Bank Mammoth Falls. Pokoknya, Daphne akan membeberkan hal ini di koran sekolah. Dan dia yakin, beritanya akan menggegerkan seluruh kota.” “Beritanya pasti lebih menarik lagi kalau ada yang bisa membuktikan bahwa uang itu memang ada di sana,” Mortimer berkomentar. “Kebayang deh,” ujar Freddy. “Si perampok pasti sudah menganggap dirinya sebagai orang yang kaya-raya. Tahu-tahu laras meriamnya sudah disumbat dengan beton!” “Tapi paling tidak dia memilih tempat yang aman,” kata Dinky. “Saking amannya, dia sendiri tidak bisa mengambil uang itu.” “Semuanya harap tenang!” Jeff berseru sambil mengetukkan palunya. “Daripada ribut tidak karuan, lebih baik kalian putar otak untuk menemukan cara bagaimana kebenaran dugaan Homer bisa dibuktikan. Ayo, dong! Masa orang-orang jenius seperti kalian tidak punya usul sama sekali?” Begitu ia mengucapkan kata jenius, kami segera menoleh ke arah Henry Mulligan. Henry sedang duduk di atas kursi kesayangannya sambil menyandarkan punggung pada dinding. Pandangannya tertuju pada tumpukan kayu di pojok ruangan. Seketika suasana di markas kami menjadi hening. Tak seorang pun berani ribut kalau Henry sedang berpikir. Akhirnya Henry kembali duduk tegak. Perlahan-lahan ia mengamati sekelilingnya. “Ada yang tahu jenis meriamnya?” ia bertanya. “Menurut ayahku, meriam itu buatan Parrott,” kata Freddy. “Ah, bukan!” Dinky memotong. “Meriam itu termasuk jenis Rodman. Aku punya buku di rumah, yang memuat segala macam keterangan mengenai Perang Saudara.” “Mana mungkin!” balas Freddy. “Ayahku pasti lebih tahu.” “Bentuk meriam Parrott lain sama sekali,” ujar Dinky. “Percayalah, meriam di Memorial Point adalah meriam Rodman!” “Rasanya aku tahu cara untuk memastikan apa yang di dalam larasnya,” kata Henry dengan tenang. Langsung saja kami terdiam. Soalnya Henry kembali menatap tumpukan kayu dan mengambil posisi berpikir lagi. Tiba-tiba seseorang bersendawa. Tanpa pikir panjang semua mata tertuju pada Freddy Muldoon. Soalnya dia merupakan juara sendawa di perkumpulan kami. Tapi kali ini Freddy merasa tidak bersalah. Sambil mengerutkan kening ia menatap kami. “Bukan aku, kok!” ia berkata. “Bunyi itu berasal dari luar.” Mortimer dan aku segera bergegas ke pintu. Ternyata Harmon Muldoon, sepupu Freddy yang selalu mengintai kegiatan kami, berada di luar. Ia sedang berlari menyusuri gang, lalu membelok ke Versey Street. Karena tak mungkin terkejar, Mortimer dan aku kembali masuk. “Brengsek,” Mortimer mengomel, “si Harmon selalu memata-matai kita.” “Wah, gawat!” seru Dinky sambil membelalakkan mata. “Berarti dia mendengar semua yang kita bicarakan.” “Dan itu berarti bahwa dia tahu tentang meriam tua itu serta uang yang ada di dalamnya,” Homer mendesah. “Ceritanya pasti akan menyebar ke mana-mana. Harmon mana bisa jaga rahasia, apalagi rahasia orang lain?!”
“Kalau begini caranya, kita harus bergerak cepat,” Mortimer mendesak. “Jangan sampai Harmon mendahului kita.” Secara otomatis pandangan kami beralih ke Henry Mulligan, ia masih duduk bersandar pada dinding sambil menggosok-gosok kacamatanya. Tidak lama kemudian ia berdiri, lalu berkata, “Jeff, sebaiknya kita temui Profesor Hendricks.” Profesor Hendricks adalah dekan fakultas kedokteran universitas negeri di Mammoth Falls. Dia juga salah satu teman dekat perkumpulan kami. Profesor Hendricks-lah yang membantu Henry mencari tempat yang cocok untuk menetaskan telur dinosaurus tahun lalu. “Bagaimana sih kau ini, Henry?” tanya Jeff. “Profesor Hendricks kan seorang dokter. Mana mungkin dia bisa membantu kita untuk mengetahui isi laras meriam itu?!” “Sambil jalan saja kujelaskan,” jawab Henry. “Apakah ibumu bisa mengantarkan kita ke kampus universitas?” “Aku akan menanyakannya,” kata Jeff. “Lalu, apa tugas yang lainnya?” “Aku harap kalian bisa berada di Memorial Point sekitar pukul delapan nanti malam,” ujar Henry pada Freddy, Mortimer, Dinky, dan aku. “Tapi jangan ramairamai ke sana! Sebaiknya kalian berangkat sendiri-sendiri saja. Kalau ada yang dibuntuti oleh Harmon Muldoon, jangan langsung pergi ke Memorial Point. Bawalah dia berkeliling-keliling dulu, sampai dia kehilangan jejak. Mulai sekarang, semakin sedikit dia tahu semakin baik untuk kita.” “Oke, Jenderal Mulligan!” kata Dinky sambil memberi hormat dengan gaya tentara. Malam itu kami berkumpul di kaki Brake Hill. Semua datang sebelum waktunya, kecuali Henry dan Jeff. “Kenapa sih kita harus datang ke sini malam-malam?” tanya Freddy Muldoon sambil melirik ke sekeliling. “Terus-terang saja aku agak ngeri di sini.” “Sst! Jangan keras-keras,” Mortimer berbisik. “Jangan sampai ada yang tahu bahwa kita ada di sini, terutama Elmer Pridgin. Kita harus berhati-hati terhadap dia. Elmer selalu berkeliaran di hutan sambil menenteng senapan berburu. Kata orang, dia menembak apa saja yang kelihatan bergerak.” “Ah, aku tidak percaya!” balas Dinky dengan suara tertahan. “Elmer orang baikbaik. Orang-orang saja yang tidak bisa memahami sifatnya.” “Elmer memang agak aneh, tapi dia bukan pembunuh berdarah dingin!” kata Freddy sambil mendekatkan wajahnya yang bulat ke muka Mortimer. “Oh, ya? Kalau begitu, kenapa dia tidak pernah datang ke kota? Dan apa yang dia makan selama berkeliaran di hutan?” tanya Mortimer dengan sengit. “Siapa bilang dia tidak pernah ke kota?” Freddy pun mulai agak sewot. “Dia selalu muncul pada pertemuan tahunan untuk memilih anggota Dewan Kota, dan sekalian pergi ke tukang cukur.” “Ya, Tuhan!” ujar Mortimer. “Berarti dia hanya belanja sekali setahun?” “Elmer tidak perlu belanja,” Dinky ikut bersuara. “Dia menanam sayur-mayur di depan pondoknya. Dia menangkap kelinci liar dengan perangkap kawat, dan dia bisa mengulitinya lebih cepat dibandingkan kau mengikat tali sepatu.” “Hebat benar,” kata Mortimer sinis. “Awas!” Homer tiba-tiba memperingatkan kami. “Ada yang datang!”
Kami langsung melompat ke balik semak-semak yang tumbuh di tepi jalan. Di kejauhan terlihat dua sepeda yang sedang mendekat dari arah kota. Freddy, yang agak lamban, paling belakangan bersembunyi. Ketika merebahkan diri, ia tanpa sengaja bersendawa dengan keras. “Halo? Kaukah itu, Freddy?” suara Jeff terdengar. “Bukan! Itu pamanku,” jawab Freddy. “Sudahlah, jangan bercanda melulu,” balas Jeff. “Masih banyak pekerjaan yang harus kita selesaikan.” Henry dan Jeff meletakkan sepeda masing-masing di balik semak-semak. Kemudian kami mulai mendaki bukit. Seperti biasanya, Henry membawa sejumlah peralatan misterius. Dan seperti biasanya, kami yang harus menggotong peralatan itu ke atas bukit. Setiap beberapa menit ia mewanti-wanti kami untuk berhati-hati, sebab peralatan itu sangat peka terhadap guncangan. “Ada yang melihat Harmon Muldoon?” Jeff bertanya. “Kali ini dia tidak memperlihatkan batang hidungnya,” ujar Dinky. “Barangkali dia menganggap pekerjaan kita sia-sia saja.” “Jangan terlalu yakin,” Henry menanggapinya. “Siapa tahu Harmon sudah menunggu di meriam kuno itu. Ada baiknya kalau kita mengirim seorang pengintai, lalu menempatkan beberapa penjaga. Bagaimana menurutmu, Jeff?” Jeff ternyata setuju. Kami meletakkan barang-barang bawaan, kemudian menunggu sampai Mortimer dan Homer selesai memeriksa daerah di sekitar Memorial Point. Setelah beberapa menit mereka muncul kembali, melaporkan bahwa keadaannya aman, dan kami pun melanjutkan perjalanan. Kabut tipis membatasi pandangan. Bulan berulang-ulang muncul, lalu menghilang lagi di balik awan. Suasana di sekitar meriam kuno jadi semakin seram. Bayangan tugu peringatan berupa patung tentara pemerintah dan tentara pemberontak nampak memanjang di permukaan tanah. Meriamnya sendiri mirip reptil prasejarah berperut gendut, yang siap menerkam mangsa yang lewat di hadapannya. Dalam cahaya bulan yang remang-remang, meriam itu kelihatan tiga kali lebih besar dibanding pada siang hari. “Gila! Beratnya pasti berton-ton!” ujar Mortimer dengan kagum. “Berat larasnya saja mencapai 25.000 kilo,” Homer menjelaskan, “tapi masih ada meriam yang dua kali lebih berat.” Tanpa diduga, Homer telah menjadi ahli dalam bidang ini. Jeff menugaskan Mortimer dan Dinky untuk berjaga di tempat-tempat di mana mereka bisa mengawasi jalan raya dan jalan setapak yang menyusuri punggung Brake Hill. Jika ada yang mendekat, mereka harus segera memberi isyarat dengan menirukan suara burung hantu. Sementara Mortimer dan Dinky mencari tempat yang cocok, yang lainnya mulai memasang peralatan yang dibawa Henry. Henry memanjat ke bagian belakang meriam yang bentuknya menyerupai botol raksasa selebar empat kaki. Ia meraba-raba permukaan logam sampai menemukan sebuah lubang, mengeluarkan lampu senter, lalu mengintip ke dalam lubang itu. Cahaya senter dihalangi dengan sebelah tangan, sehingga tidak menyebar ke segala arah. “Sedang apa dia?” tanya Freddy. “Cahaya senternya tidak mungkin bisa menembus logam setebal itu, bukan?” “Dia sedang memeriksa lubang yang digunakan untuk memasukkan sumbu peledak,” Homer menjelaskan sambil berbisik. “Tapi kemungkinan besar lubang itu sudah tertutup karat.”
Henry menjulurkan tangan kirinya. “Tongkat!” ia memerintah. Aku segera menyodorkan tongkat pembersih laras senapan yang kami bawa. Henry menusukkannya ke dalam lubang tadi. Tapi sepertinya tongkat itu tidak bisa masuk terlalu dalam, dan Henry segera mengembalikannya padaku. “Bor!” ia lalu berkata. “Mata bornya yang tiga per delapan!” Aku memasang mata bor yang diminta, dan memberikan bor bertenaga baterai itu pada Henry. Ia membungkus motornya dengan sepotong kain untuk meredam suara, kemudian mulai bekerja. Dalam sekejap ia telah berhasil menembus lapisan karat di dalam lubang tadi, dan kembali minta tongkat. Henry menyodokkannya berulang-ulang, sampai seluruh tongkat masuk ke dalam lubang. Lalu ia menarik tongkat itu keluar, dan sekali lagi menjulurkan tangan. “Tolong serahkan kotak yang panjang,” katanya. “Tapi hati-hati!” Aku menyerahkan sebuah kotak panjang berwarna hitam, yang merupakan salah satu peralatan yang dibawa Jeff dan Henry. Kotak itu mirip tempat penyimpanan pancing seharga 300 dollar. Henry meletakkannya di atas meriam, kemudian membuka tutupnya. Perlahan-lahan ia mengeluarkan sebuah benda panjang yang mirip selang air. Dengan hati-hati Henry memasukkan ujung benda itu ke dalam lubang pada meriam, terus didorong masuk, sampai ke bagian yang telah ia tandai dengan selotape. “Jepitan!” Henry berbisik. “Jepitan!” aku membalas, juga sambil berbisik, lalu menyerahkan barang yang diminta. Henry segera memasang jepitan itu sehingga menahan selang tadi tepat pada tempat yang diinginkannya. Kemudian ia berhenti sejenak dan mengusap alis. “Ada yang datang?” ia bertanya. “Tidak ada,” jawabku. “Jeff dan Dinky tidak membunyikan isyarat bahaya. Teruskan saja pekerjaanmu, Henry.” Sekali lagi Henry mengusap alis, lalu kembali bekerja. Berulang kali aku menyerahkan berbagai peralatan padanya. Semakin lama, Henry semakin bersemangat. Ujung slang yang dimasukkannya ke dalam meriam bercabang dua. Masing-masing dibungkus dengan sejenis bahan insulasi. Henry memisahkan kedua cabang itu, lalu memasang sebuah tabung logam pada salah satunya. Kemudian ia menyuruh aku menghubungkan sepotong kabel tembaga dengan accu yang telah dipersiapkan. Setelah itu ia meraih kotak hitam tadi, mengeluarkan sebuah kamera yang kelihatan canggih sekali, dan memasangnya pada cabang selang yang satu lagi. “Mudah-mudahan semuanya bekerja dengan balk,” Henry berkata sambil mengarahkan senter untuk memeriksa segala persiapannya. Akhirnya ia minta kabel accu dan memasangnya pada kamera. Freddy Muldoon, yang ikut-ikutan memanjat ke atas meriam, tak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya. “Alat apa sih ini, Henry?” ia bertanya sambil mengerutkan kening. “Apakah kau akan meledakkan meriam kuno ini?” Dari tangannya yang gemetaran aku bisa menebak bahwa Henry sedang berkonsentrasi penuh. Aku yakin, ia pasti terganggu oleh pertanyaan Freddy. Meskipun demikian, ia berusaha menjawab dengan sabar. “Alat ini dinamakan gastroskop,” Henry menjelaskan. “Para dokter memakai alat ini untuk mengambil foto di dalam perut pasien mereka. Nah, kalau, kau bisa diam sebentar saja, maka aku mungkin bisa memotret bagian dalam meriam ini.” Freddy pasang tampang masam, lalu merosot turun dari laras meriam. Aku sempat mendengarnya menggerutu mengenai orang-orang jenius yang terlalu cepat
tersinggung. Henry mengambil empat foto dengan kameranya. Setiap kali habis menekan tombol, ia mengatur panjang selang yang masuk ke dalam laras meriam dengan menggeser jepitan. Dengan demikian ia dapat memotret bagian lain di perut meriam. Dan setiap kali ia memotret, kami dapat melihat kilatan cahaya keluar dari lubang sumbu. “Bagaimana cara kerjanya?” aku bertanya sambil berbisik. “Sederhana sekali,” kata Henry. “Tabung logam ini sebenarnya sebuah lampu kilat. Dan selang yang masuk ke dalam meriam berisi dua buah serat optik. Yang satu mengalirkan cahaya lampu kilat untuk menerangi bagian dalam meriam. Yang satu lagi mempunyai lensa kecil pada ujungnya. Serat yang kedua ini mengalirkan pantulan cahaya untuk direkam oleh kamera.” “Wuaaah, hebat sekali!” aku terkagum-kagum. “Tidak lama lagi kita sudah tahu apa yang ada di dalam meriam ini,” ujar Henry, “asal semuanya berjalan sesuai rencana!” Tiba-tiba suara orang bersendawa memecahkan keheningan malam. Jeff Crocker muncul dari bawah pepohonan, dan langsung menghampiri Freddy Muldoon. “Hei, Freddy!” katanya dengan tegas. “Jangan ribut, dong! Kalau begini caranya, lain kali kau lebih baik tinggal di markas saja.” “Tapi... bukan aku yang bersendawa!” Freddy membela diri. “Sungguh, Jeff, aku sama sekali tidak buka mulut.” Jeff menoleh ke arah kami. “Oke, kalau begitu siapa, dong?” “Sepertinya bunyi itu berasal dari sana,” kata Freddy sambil menunjuk ke sebelah timur Memorial Point, ke arah patung tentara pemberontak. Jeff segera bergegas ke arah itu, lalu memeriksa semak-semak di sekitar patung. Kemudian ia balik lagi. “Rasanya di sana ada seseorang yang tidak seharusnya berada di sini,” Jeff berkata. Kemudian ia berpaling ke arah pohon-pohon tempat ia berjaga tadi. “Tunggu dulu, aku punya ide!” Tidak jauh dari meriam ada sebuah gudang peralatan, dan kami mendengar pintu gudang berderak ketika Jeff membukanya. Dalam sekejap ia sudah muncul kembali sambil membawa selang air. “Tolong hidupkan keran air di gudang,” ia berbisik pada Homer, Sesaat kemudian slang di tangan Jeff telah menyemprotkan air bertekanan tinggi. Kami terheran-heran ketika Jeff mengarahkan semburan air tepat pada patung tentara pemberontak. Semburan airnya tepat mengenai bagian samping wajah patung itu. Topi tentaranya terlepas dan terbang ke semak-semak di tepi hutan. Patungnya sendiri kehilangan keseimbangan dan jatuh ke tanah. Kejadian selanjutnya benar-benar di luar dugaan kami. Begitu membentur tanah, patung tadi sekonyong-konyong berdiri, mengeluarkan teriakan nyaring, lalu berlari menuruni bukit. Ketika rasa kaget kami hilang, patung itu sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Jeff ketawa terbahak-bahak dan melepaskan selang di tangannya. Kami sudah hampir basah-kuyup ketika Homer mematikan keran air di dalam gudang. “Gila, orang itu berlari sekencang sepupuku Harmon,” kata Freddy Muldoon. “Itu memang Harmon!” seru Jeff dari tempat ia terduduk di tanah. “Dia sudah
menunggu kita di sini sejak hari mulai gelap.” “Bagaimana kau tahu bahwa Harmon ada di sana?” aku bertanya. “Aku menemukan patung tentara pemberontak yang asli waktu memeriksa semak-semak tadi,” Jeff menjelaskan. “Karena tahu bahwa di sini hanya ada dua patung, aku menyimpulkan bahwa ada yang tidak beres dengan patung tentara pemberontak yang kita lihat!” “Cerdik sekali!” Freddy Muldoon berkomentar. “Gawat,” ujar Henry. “Kita sudah mengirim pengintai dan memeriksa setiap batu dan semak di sekitar sini, tahu-tahu Harmon malah berada di tengah-tengah kita. Hmm, harus diakui, si Harmon memang berotak cerdas.” “Yeah! Dan itu berarti bahwa dia mendengar segala sesuatu yang kita bicarakan, dan tahu semua yang kita kerjakan di sini,” Homer mendesah. “Kecuali satu hal,” ujar Henry sambil menepuk-nepuk kameranya. “Harmon tidak tahu apa yang terekam pada film ini!” Sebelum meninggalkan Memorial Point, Henry menyuruh kami memasang beberapa peralatan lain. Ia mengeluarkan dua benda bulat seukuran kancing besar, lalu menempelkan keduanya pada bagian bawah meriam sehingga tidak kelihatan. “Apa yang kautempelkan itu?” tanya Freddy. “Detektor infra merah yang terbuat dari silikon,” kata Henry. “Detektor jenis ini sangat peka terhadap perubahan suhu. Jika seseorang mendekati meriam, maka panas yang terpancar dari badannya akan menimbulkan aliran listrik di dalam detektor. Aliran listrik ini akan mengirimkan sinyal yang bisa kita tangkap melalui radio di markas. Kalau ada yang datang ke sini, maka kita bisa mengetahui kapan orang itu datang, dan berapa lama dia berada di sini.” “Tapi bagaimana kita bisa tahu siapa yang datang?” tanya Dinky. “Nah, untuk itu sudah kusiapkan film infra merah,” Henry menjelaskan. “Aku akan menghubungkan kamera dengan kedua detektor tadi. Dengan demikian kita bisa memperoleh foto orang itu, biarpun dalam keadaan gelap-gulita.” “Busyet!” Freddy berseru. “Para ilmuwan selalu memikirkan segala sesuatu.” Kami menghubungkan kamera dengan kedua detektor, lalu memasangnya di atas sebatang pohon di belakang meriam. Setelah itu kami kembali ke kota.
Begitu sampai di markas, Mortimer segera mencuci foto-foto yang diambil Henry. Kami semua mengerumuni Henry, ketika ia memeriksa negatif-negatif di atas lightbox (kotak dengan penerangan dari bawah). Kedua negatif pertama ternyata tidak menunjukkan apa-apa. Tetapi negatif ketiga memperlihatkan sesuatu bersandar pada dinding laras meriam. Benda itu mirip pegangan tas yang terbuat dari kulit. “Kita harus memperbesar foto ini, lalu mencetaknya dengan jelas,” kata Henry. “Sepertinya aku melihat sesuatu yang menarik di sini.” Mortimer menyelipkan negatif itu ke dalam alat pembesar, kemudian mematikan semua lampu. Ia memperbesar negatifnya sampai ukuran maksimum, dan kami semua menahan napas ketika ia mengatur fokus. Setelah fotonya tajam, kami bisa melihat apa yang dimaksud Henry. Bentuk pegangan tas itu nampak jelas sekali. Tepat di bawahnya terdapat pelat logam berukuran kecil, dengan inisial EMS.
Pagi berikutnya kami kembali berkumpul di markas untuk mengadakan rapat mengenai strategi selanjutnya. Mortimer duduk di pojok ruangan tempat kami memasang peralatan radio. Dengan cermat ia memeriksa alat pencatat yang terpasang pada radio kami. Tiba-tiba ia memanggil kami. “Hei!” Mortimer berseru sambil menunjuk garis zig-zag pada kertas pencatat. “Semalam ada yang mendatangi meriam tua di Memorial Point! Orang itu datang menjelang tengah malam.” “Pasti Harmon!” kata Jeff. “Dia kembali ke sana setelah kita pergi.” “Ayo, kita ke sana,” Henry mengusulkan. “Mudah-mudahan kamera kita berhasil memotret orang itu.” Pada detik berikutnya pena pada alat pencatat mulai bergerak lagi. Kami semua mengamatinya selama satu menit. Tiba-tiba ada perasaan aneh dalam diriku. Orang yang berada di meriam tua pasti menyangka bahwa ia sendirian di sana. Tapi pada saat yang sama, kami bisa memantau hampir setiap gerakannya, padahal kami berada sekitar delapan kilometer dari Memorial Point. Mortimer memutar tombol volume pada radio. Dengan jelas kami mendengar suara bip, bip, bip setiap kali orang itu mendekati meriam. “Ayo, apa lagi yang kita tunggu?!” Homer mendesak. “Kita harus tahu siapa dia.” “Mestinya kita sekalian pasang mikrofon semalam,” kata Mortimer. “Tapi bagaimana kalau yang datang ternyata cuma beberapa ekor sapi yang kesasar?” Dinky berkata pada Freddy Muldoon. “Tak jadi masalah,” Freddy berkomentar. “Mortimer mengerti bahasa sapi. Dia pasti tahu apa yang mereka bicarakan.” Hari masih pagi ketika kami sampai di Memorial Point dan menyembunyikan sepedasepeda kami di semak-semak. Kami membentuk dua kelompok, lalu mulai mendaki bukit. Dengan demikian kami bisa mendekati meriam tua dari dua arah. Jeff, Henry, dan aku sudah hampir sampai di puncak bukit, ketika kami mendengar suara tembakan, disusul bunyi peluru memantul pada logam. Kami langsung berhenti di tempat. Tak seorang pun di antara kami berani bernapas-apalagi bergerak! Akhirnya Henry berbisik, “Kedengarannya seperti senapan berkaliber besar.” Begitu kami merebahkan diri di tanah, dua sosok muncul dari arah meriam tua. Dengan langkah panjang mereka berlari menuruni bukit. Yang di depan adalah Harmon Muldoon. Ia disusul oleh Abner Sharpies. Dasi pengacara itu nampak melambai-lambai, dan ia harus memegangi topinya agar tidak terlepas dari kepalanya. Mereka lewat satu meter di hadapan kami. Tapi karena begitu terburuburu, keduanya sama sekali tidak mengetahui kehadiran kami. Dalam sekejap saja Harmon sudah tidak nampak. Dan hal terakhir yang kami lihat dari Abner Sharpies adalah topinya yang melayang-layang di udara, ketika ia terpeleset dan menggelinding menuruni jalan setapak. “Aneh,” ujar Jeff. “Untuk apa Abner Sharpies datang ke Memorial Point?” “Mungkin Harmon sudah menceritakan semuanya, dan Abner berharap untuk menemukan petunjuk yang bisa menghubungkan Alonzo Scragg dengan perampokan bank yang terjadi puluhan tahun lalu,” balas Henry. “Tapi untuk itu mereka masih harus mengeluarkan uangnya dari meriam tua,” kata Jeff. “Ayo, kita ke sana. Barangkali kita bisa mengetahui apa yang terjadi.” Kami merangkak menembus semak-belukar sambil berusaha untuk tidak menimbulkan suara. Setelah berada di dekat meriam, kami berhenti dan mengintip dengan hatihati. Seorang pria tinggi-kurus sedang berdiri di samping meriam. Ia memandang
ke arah jalan setapak yang menuju ke kota. Dengan tangan kiri ia melindungi matanya dari cahaya matahari pagi. Di tangan kanannya ada sebuah senapan berburu kuno. “Itu Elmer Pridgin!” bisik Jeff. “Pasti dia yang menembak tadi.” “Kalau begitu Mortimer benar, dong!” kataku. “Kenapa sih dia begitu tergila-gila terhadap meriam tua itu?” “Aku juga tidak tahu,” Jeff membalas, “tapi yang jelas, kita harus segera pergi dari sini. Aku rasa Elmer yang datang kesini semalam.” Kami mengelilingi lapangan, menemui teman-teman yang lain, kemudian kembali ke kota. “Kita tidak boleh buang-buang waktu lagi,” ujar Henry ketika kami menyusuri Old South Road. “Berita mengenai rahasia meriam kuno pasti segera tersebar ke manamana.” Dugaan Henry benar. Ketika kami sampai di markas, Daphne Muldoon ternyata sudah menunggu. Ia telah mencari Homer ke mana-mana, dan wajahnya yang cantik nampak berkerut-kerut. “Abner Sharpies sudah tahu segala sesuatu mengenai meriam tua dan uang yang ada di dalamnya,” ia mengeluh. “Ia akan menceritakan semuanya pada wartawan, dan aku kehilangan berita untuk koran sekolah.” “Itu semua gara-gara adikmu yang cerewet itu,” ujar Freddy Muldoon. “Tapi dia belum tahu semuanya,” Homer cepat-cepat berkata. “Aku yakin Harmon ingin sekali melihat foto ini,” ia lalu menambahkan sambil melambaikan fotocopy dari foto bagian dalam meriam. “Barangkali justru ada baiknya kalau dia melihat foto itu,” sebuah suara terdengar dari pojok ruangan. Kami semua menoleh dan melihat Henry duduk di kursi kesayangannya sambil menatap tumpukan kayu. Wajahnya dihiasi senyum simpul. Dua jam kemudian Daphne dan Homer ‘kebetulan’ berada di antara orang-orang yang berkerumun di depan ruang rapat Dewan Kota, ketika Abner Sharpies muncul dan mendesak Dewan Kota untuk membongkar rahasia meriam tua di Memorial Point. Secara ‘kebetulan’ juga Homer menjatuhkan foto bagian dalam meriam. Sambil melirik ia lalu melihat Harmon Muldoon memungut foto itu. Sesaat kemudian Harmon telah sibuk berkonsultasi dengan Abner Sharpies. Ketika Homer bergabung kembali dengan kami, Abner Sharpies sedang melancarkan salah satu siasat politiknya. Sambil melambai-lambaikan foto tadi di hadapan Dewan Kota, ia menegaskan bahwa fotonya membuktikan keterlibatan Elijah Scragg, kakek Alonzo Scragg, dalam kasus perampokan bank yang sampai kini belum terungkap. Sementara itu, kami sedang menyusuri Turkey Run Road di atas truk kecil butut milik Zeke Boniface. Turkey Run Road menyusuri sisi belakang Brake Hill, dan Henry berpendapat bahwa kami tidak akan menarik perhatian orang kalau melewati jalan itu. Zeke duduk di belakang kemudi. Dengan sigap ia melewati jalan yang berkelok-kelok dan penuh lubang. Abu cerutu yang jatuh menimpa bajunya, yang memang sudah penuh bercak oli, tak diperhatikan sama sekali. Dari dulu kami sudah mengagumi kemampuan Zeke untuk memindahkan cerutunya dari sudut mulut sebelah kiri, ke sudut mulut sebelah kanan tanpa menggunakan tangan sama sekali. Henry dan Jeff telah memutuskan untuk berterus-terang pada Zeke. Henry memerlukan peralatan berat untuk melaksanakan rencananya, dan Zeke Boniface memiliki semua peralatan yang kami butuhkan, antara lain sebuah derek yang bisa
dibongkar-pasang. Kecuali itu, Zeke juga sangat kuat dan bisa menyimpan rahasia. Begitu Jeff memberi tanda, Zeke langsung memberhentikan truknya. Dinky Poore serta Freddy Muldoon melompat turun dari bak. Jeff memberikan petunjuk terakhir, lalu menugaskan mereka untuk mencari Elmer Pridgin. Mereka harus membujuk Elmer agar mau mengajarkan cara menguliti kelinci. Dengan demikian ia tidak punya waktu untuk menembaki kami di Memorial Point. “Usahakan agar dia sibuk selama dua atau tiga jam!” Jeff berpesan pada Dinky dan Freddy. “Kalian harus berlagak bodoh dan pura-pura tidak mengerti bagaimana dia bisa menguliti kelinci secepat itu.” “Bersikap wajar saja, dan kalian pasti berhasil!” Mortimer berseru ketika keduanya menuju tepi hutan. Yang lainnya tetap duduk di atas truk, sampai Zeke akhirnya berhenti di ujung sebuah jalan setapak pada sisi belakang Brake Hill. Kami tinggal berjalan kaki sejauh seratus meter untuk mencapai meriam tua di Memorial Point. Tapi kami terpaksa mondar-mandir dua kali untuk menggotong semua perlengkapan yang kami bawa. Diam-diam aku bersyukur bahwa Henry dan Jeff mengajak Zeke. Tenaganya benar-benar luar biasa. Ia bisa membawa dua balok kayu besar sejauh beberapa kilometer tanpa merasa lelah. Kami sudah hampir selesai, ketika Homer datang naik sepeda dan melaporkan perkembangan di Balai Kota. “Kelihatannya Abner Sharpies akan membujuk Dewan Kota untuk membongkar sumbat beton pada moncong meriam tua,” ia berkata. “Para anggota Dewan Kota tertarik sekali dengan ceritanya.” “Bagus!” ujar Henry. “Persis seperti yang kuharapkan.” “Aku sangsi bahwa mereka akan mengirim orang hari ini juga,” Jeff berkomentar, “tapi sebaiknya kita jangan membuang-buang waktu. Ayo, Homer, bantu kami mengangkut barang-barang yang masih tersisa.” Dengan susah-payah kami membawa derek yang telah dibongkar ke puncak bukit, lalu merakit bagian-bagiannya di depan moncong meriam. Kemudian kami mencari kayu kering untuk membuat api unggun yang panas, tetapi tidak mengeluarkan asap banyak. Sementara itu Zeke mengebor sejumlah lubang menyilang pada sumbat beton, dan memasang jepitan besi yang akan menggigit tepi lubang-lubang itu dengan keras. Jepitan itu diikat dengan tali panjang. Ujung tali yang satu lagi dililitkan pada sebatang pohon. Mengeluarkan sumbat beton dari moncong meriam bukan pekerjaan yang sulit, sebab kami bisa mengandalkan otak Henry. Kami menyalakan api unggun di bawah meriam, dan Jeff serta Mortimer memanaskan moncong meriam dengan alat penyembur api. Henry duduk di atas sebongkah batu sambil mengawasi pengukur voltase yang berada di sebelahnya. Alat ukur itu dihubungkan ke sejumlah termokopel yang ditempelkan pada laras meriam. Dengan cara ini Henry dapat mengetahui penyebaran panas, kemudian menghitung pemuaian laras meriam. Beberapa kali ia memberi petunjuk pada Jeff dan Mortimer mengenai bagian-bagian mana saja yang perlu dipanaskan. “Aku rasa sudah cukup,” ia akhirnya berkata. “Zeke, sekarang giliranmu! Tarik pelan-pelan!” Zeke melilitkan ujung tali pada pergelangan tangannya, memperkokoh pijakan, lalu menggeram dengan suara tertahan. Otot-otot di bawah bajunya nampak mengencang ketika ia mulai menarik. Perlahan-lahan sumbat beton pada moncong meriam mulai bergerak. Semuanya bersorak dengan gembira, sekaligus memberikan petunjuk dan semangat pada Zeke. Ia kembali melilitkan tali, menjejakkan kaki pada tanah, kemudian
sekali lagi mengerahkan seluruh tenaganya. Tanpa sadar ia menggigit cerutunya sampai putus. Dalam waktu singkat sumbat beton pada moncong meriam telah tertarik keluar sejauh satu setengah jengkal. “Tambahkan kayu pada api unggun,” kata Henry. “Dan jangan berhenti menyemburkan api. Laras meriamnya pasti cepat dingin kalau sudah kemasukan udara.” Homer dan aku menambahkan kayu bakar, lalu mengipas-ngipas api unggun yang kembali berkobar dengan hebat. Kemudian kami berlari ke depan meriam untuk mengatur posisi derek. Kami menggeser kedudukannya sampai pengait utama dapat dipasang pada ujung sumbat beton. Kemudian, ketika Zeke mulai menarik lagi, kami mendorong dereknya ke depan. Tidak lama setelah itu kami sudah bisa memasang pengait kedua, dan selanjutnya tidak ada kesulitan lagi. Zeke Boniface mendekat dan hendak memasukkan kepalanya ke dalam mulut meriam. “Awas!” Henry langsung berteriak. “Laras meriam itu masih panas sekali. Kau bisa terpanggang hidup-hidup nanti.” Kami memadamkan api unggun, lalu menimbun dahan-dahan yang masih membara dengan tanah. Jeff mengambil selang air dari gudang, dan kami menyemprot laras meriam sampai cukup dingin untuk diperiksa. Jeff menyerahkan lampu senter pada Homer. “Kami akan mendorongmu masuk ke laras meriam, Homer. Kau akan menyelidiki apa yang ada di dalamnya.” “Wah, sayang Dinky tidak ada di sini,” Homer mendesah. “Tugas ini lebih cocok untuk dia.” “Kenapa? Kau takut?” tanya Mortimer. “Aku bukannya takut, tapi siapa yang tahu apa yang ada di dalam sana?!” balas Homer. “Bagaimana kalau aku menemukan tengkorak atau sejenisnya?” “Justru tengkorak itu yang seharusnya takut melihatmu,” ujar Mortimer sambil mengangkat Homer. Kami semua membantu mendorong Homer ke dalam meriam, dan dalam waktu singkat ia telah menghilang di dalam lubang yang gelap itu. Meriam tua di Memorial Point merupakan meriam Rodney ukuran 15 inci, sehingga Homer punya cukup tempat untuk merangkak. Setiap kali ia menyerukan sesuatu, suaranya terdengar menggema dengan nyaring. Dan ketika mencapai ujung belakang laras, Homer berteriak-teriak seperti orang gila. “Horeee! Aku menemukan tasnya! Cepat, keluarkan aku dari sini sebelum aku mati lemas! Panasnya seperti di neraka!” Gema suaranya merambat sampai ke dasar lembah, dan akhirnya memantul pada bukitbukit di seberang Danau Strawberry. Jeff dan Mortimer segera menarik tali yang kami ikatkan pada kaki Homer. Ketika muncul dari moncong meriam, pakaiannya penuh debu dan basah karena keringat. Tapi di tangannya ada sebuah tas kulit yang sudah hampir hancur dimakan waktu. “Masih ada barang lain di dalam?” tanya Henry. “Ya!” jawab Homer sambil meludah dan menggosok mata. “Sekitar selusin sarang tupai dan dua ribu labah-labah!” Kami mencoba membuka tas itu, namun ternyata tasnya dalam keadaan terkunci. Henry lalu berpaling pada Zeke Boniface, yang sedang bersandar pada laras meriam sambil memilih puntung cerutu mana yang akan ia nyalakan. “Zeke, kau bisa membuka tas ini, bukan?”
Zeke nampak agak tersinggung karena Henry menyangsikan kemampuannya. Ia menghampiri kami, lalu mengusap rambutnya yang tebal. Dari balik telinga kanan ia mengeluarkan sebuah alat sebesar jepitan rambut, dengan kait tegak lurus pada ujungnya. Sambil berjongkok Zeke memeriksa kunci pada tas, kemudian memasukkan kait pada lubang kunci. Dengan dua gerakan jari tas itu telah terbuka. Henry segera menumpahkan isinya, dan kami semua membelalakkan mata. Ratusan lembaran uang tergeletak di atas rerumputan di hadapan kami. “Wah, ini bukan uang benaran,” kata Homer. “Ini sih uang mainan! Lihat saja, mana ada lembaran uang sebesar ini?” “Ini uang benaran!” Henry langsung membantah. “Dulu ukuran lembaran uang memang seperti ini.” “Sebaiknya kita hitung uangnya, lalu pergi dari sini,” Jeff mendesak. Kami segera duduk dan mulai menghitung. Jumlah uangnya ternyata 75.000 dollar lebih sedikit. “Berarti ini uang yang dirampok dari bank,” Homer menyimpulkan. “Jumlahnya persis seperti dikatakan Mr. Willis.” “Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Mortimer. “Melarikan diri ke Amerika Selatan?” “Masih banyak yang harus kita kerjakan,” jawab Henry. “Sekarang acaranya baru mulai ramai.” Ia meraih ke dalam ransel perlengkapannya, ransel besar itu sepertinya berisi segala macam barang yang ada di dunia, lalu mengeluarkan sebuah tas kulit yang mirip sekali dengan tas kulit yang tergeletak di hadapan kami. “Aku menemukannya di loteng rumahku,” Henry menjelaskan sambil melemparkan tas itu ke dalam laras meriam. Rupanya ia telah menyusun rencana rahasia yang tak diketahui oleh siapa pun. Untuk mengembalikan sumbat beton ke tempat semula, kami terpaksa sekali lagi memanas kan laras meriam. Setelah sumbatnya terpasang, dan setelah kami membereskan sisa-sisa api unggun, meriam tua itu nampak seperti tak tersentuh sama sekali. Kami membongkar derek kepunyaan Zeke, lalu membawa segala peralatan ke truknya. Untung kami segera meninggalkan Memorial Point. Sebab begitu sampai di kota, kami mendengar bahwa Dewan Kota sudah mengirim regu pekerja untuk membuka sumbat meriam tua itu. “Seharusnya kita bisa menebak bahwa mereka pun takkan membuang-buang waktu,” kata Jeff. “Besok adalah hari pemilihan walikota. Jika Abner Sharpies ingin menggembar-gemborkan berita mengenai uang hasil rampokan bank, maka dia harus melakukannya hari ini juga.” Mortimer dan aku ditugaskan untuk menyusul regu pekerja ke Memorial Point. Kami berangkat bersama-sama serombongan penduduk Mammoth Falls yang ingin tahu apa yang sedang terjadi. Henry, Jeff, dan Homer langsung menuju bank untuk menemui Mr. Willis. Pada saat itu kami semua sama sekali tidak teringat pada Dinky dan Freddy. Kejadian di Memorial Point ternyata benar-benar menggelikan. Mortimer dan aku duduk di atas dahan pohon yang menggantung rendah di atas permukaan tanah. Dari sana kami bisa mengamati setiap perkembangan. Para pekerja berusaha keras untuk mencabut sumbat beton dari moncong meriam. Mereka membawa kompresor dari kota, lalu menggunakan semacam bor yang digerakkan oleh udara bertekanan tinggi untuk menghancurkan sumbat yang memisahkan mereka dari tas berisi uang hasil rampokan. Mortimer dan aku hanya bisa ketawa melihat mereka begitu ngotot. Jim Callahan, kepala dinas teknik, bertanggung jawab atas pekerjaan ini. Tetapi
Abner Sharples-lah yang nampak paling repot. Ia terus berjalan mondar-mandir sambil memberi perintah pada para pekerja. Setiap beberapa menit ia berpidato di hadapan para penonton, agar tak seorang pun lupa bahwa dialah yang mencetuskan gagasan untuk memeriksa meriam tua itu. Harmon Muldoon juga tidak mau ketinggalan. Anak itu sibuk membawa peralatan ke sana kemari, sambil memberikan petunjuk-petunjuk yang sebenarnya tak berguna sama sekali. Yang penting orangorang menyangka bahwa ia memegang posisi menentukan dalam operasi ini. Mortimer dan aku menyaksikan semuanya dari atas pohon. Kami harus berusaha keras untuk tidak ketawa, agar jangan sampai menarik perhatian. Tapi lama-lama tulang igaku mulai terasa sakit, karena Mortimer selalu menyikutku kalau Abner Sharpies mengatakan sesuatu yang konyol. Hari telah menjelang sore ketika para pekerja akhirnya berhasil menyelesaikan tugas mereka. Harmon Muldoon masuk ke dalam laras meriam untuk melihat apa yang ada di dalamnya. Waktu muncul lagi sambil menggenggam tas kulit, orang-orang telah berkerumun di depan moncong meriam. Abner Sharpies segera merebut tas itu lalu mengangkatnya tinggi-tinggi, agar semua orang bisa melihatnya. Kemudian ia memberikan pidato politik tersingkat dalam sejarah Mammoth Falls. “Ikut saya!” katanya dengan lantang. Penuh rasa bangga Harmon Muldoon memandang ke sekeliling. Ketika melihat Mortimer dan aku, ia segera tersenyum mengejek. Kami tetap duduk di atas pohon dan pura-pura tidak melihatnya. Orang-orang mengikuti Abner Sharpies, yang sudah mulai menuruni jalan setapak. Begitu juga Mortimer dan aku. Abner memimpin iring-iringan kendaraan ke Mammoth Falls sambil berdiri di bangku belakang jeepnya. Dengan gagah ia melambailambaikan tas kulit di atas kepalanya. Beberapa menit kemudian ia melambailambaikan tas itu di hadapan Dewan Kota. Orang-orang yang mengikutinya dari Memorial Point kini berdesak-desakan di ruang pertemuan. “Tuan-tuan yang terhormat,” Abner membuka pembicaraan. “Dengan bantuan detektif muda bernama Harmon Muldoon ini, saya berhasil mengamankan suatu barang bukti penting, yang akan memecahkan misteri perampokan bank yang terjadi pada tahun 1910.” Mendengar namanya disebut dalam forum sepenting ini, Harmon langsung cengarcengir. “Pertama-tama saya mohon agar para anggota Dewan Kota yang terhormat sudi memperhatikan inisial pada tas kulit ini.” Abner menatap tas di tangannya. Kemudian ia memandang Dewan Kota. Ternyata tak ada inisial pada tas yang sedang dipegangnya. Wajah Abner langsung pucat. Sambil mengerutkan kening ia menoleh ke arah Harmon. Tapi Harmon pun hanya bisa mengangkat bahu dengan heran. “Aneh, seharusnya ada inisial pada tas ini!” Abner Sharpies akhirnya berkata. “Saya yakin benar... Tapi tidak apa-apa! Yang lebih penting adalah apa yang terdapat di dalam tas ini!” Dengan sigap ia mengeluarkan pisau lipat, lalu, membuka tas kulit yang telah usang. Tanpa membuang-buang waktu untuk memeriksa isi tas, ia langsung menumpahkan semuanya ke meja di depan para anggota Dewan Kota. Beratus-ratus lencana kampanye berwarna merah, putih, dan biru berhamburan keluar. Seketika ruang pertemuan diguncang tawa yang seakan-akan takkan berhenti. Tangan Abner Sharpies gemetar ketika ia memungut salah satu lencana, lalu membaca, “Alonzo Scragg pilihan utama!” Alonzo Scragg sendiri nampak membelalakkan mata ketika meraih sebuah lencana. “Bagaimana lencana-lencana ini bisa berada di dalam sebuah tas yang telah berpuluh-puluh tahun tersembunyi di dalam laras meriam tua itu?” ia bertanya dengan heran.
“Ini... ehm... Saya rasa ini ulah oknum tak bertanggung jawab yang hendak mempermainkan Panitia Pemilihan Walikota!” Abner Sharpies berusaha menyelamatkan mukanya. Wajahnya nampak merah padam karena marah. “Kelihatannya justru Anda yang dipermainkan, Abner,” Mr. Snodgrass berkomentar dengan tenang. Mr. Willis, anggota Dewan Kota dan juga Presiden Direktur Bank Mammoth Falls, berdiri dari kursinya. “Tuan-tuan, saya bisa menjelaskan duduk perkaranya,” ia berkata setelah menenangkan para hadirin. “Beberapa jam yang lalu saya dikunjungi oleh Henry Mulligan dan dua rekannya yang tergabung dalam Klub Ilmuwan Edan. Saya percaya bahwa Anda semua telah mengenal perkumpulan tersebut lewat kegiatan-kegiatannya yang... ehm... kadang-kadang agak... ehm... agak menyimpang dari aturan yang berlaku. Tapi kali ini saya merasa bahwa mereka telah berjasa untuk kota kita.” Mr. Willis meraih ke bawah meja, lalu mengambil tas kulit yang asli. “Mungkin inilah tas yang Anda cari,” ia berkata pada Abner Sharpies sambil meletakkan tas di tangannya ke atas meja. “Tadi pagi Henry Mulligan mengantarkan tas ini ke kantor saya. Saya diberitahu bahwa tas ini berisi 75.000 dollar yang dirampok dari Bank Mammoth Falls pada tahun 1910. Sampai saat ini saya belum membukanya, karena saya tidak memiliki kuncinya. Selain itu, saya juga berpendapat bahwa tas ini sebaiknya dibuka di hadapan anggota-anggota Dewan Kota yang lain, sehingga tidak terjadi salah paham di kemudian hari.” Abner Sharpies segera menyambar tas itu. “Ya, tas inilah yang saya maksud!” ia berseru penuh semangat. “Anda bisa melihat inisial EMS di bawah pegangannya. Hmm, saya jadi bertanya-tanya... Mungkinkah ini inisial Elijah Scragg yang terhormat? Mungkinkah tas ini miliknya? Mungkinkah kemunculan tas ini akan membawa aib bagi anak-cucunya?” Kini giliran Alonzo Scragg untuk berwajah merah padam. Dengan geram ia berpegangan pada tepi meja. “Menurut saya, inisial itu juga bisa diartikan Emory Sharpies,” ujar Mr. Snodgrass tanpa berkedip. Pada detik yang sama terdengar kegaduhan dari arah pintu. Ternyata Dinky Poore dan Freddy Muldoon sedang bersusah-payah menembus kerumunan orang. Mereka diikuti oleh sosok yang tinggi-kurus, Elmer Pridgin! Seperti biasa, Elmer memakai topi bulu dan menggenggam senapan berburu di tangannya. Sambil menyikut ke kiri dan kanan, Dinky akhirnya berhasil menghampiri Jeff Crocker dan membisikkan sesuatu ke telinganya. Jeff lalu menarik lengan baju Mr. Willis. Bankir itu membungkukkan badan, dan mulai berkonsultasi dengan rombongan yang baru tiba. Abner Sharpies langsung mengajukan protes keras. Tapi Alonzo Scragg segera mengetokkan palu ketua sidang, dan menyuruhnya diam. Tidak lama kemudian Mr. Willis sekali lagi berdiri dari kursinya. “Tuan-tuan,” ia berkata, “saya rasa kita baru saja memperoleh bukti tambahan yang sangat penting. Anda tentu mengenal Elmer Pridgin, bukan? Elmer punya cerita yang perlu disampaikan pada Anda semua. Tapi karena tidak terbiasa berbicara di depan umum, Elmer meminta saya untuk mewakilinya.” Mr. Willis minta agar Elmer mendekat. Sambil menunjuk tas kulit di atas meja, ia bertanya, “Elmer, apakah Anda pernah melihat tas ini sebelumnya?” Elmer menggelengkan kepala. “Tentu saja Anda belum pernah melihatnya,” Mr. Willis melanjutkan. “Seseorang telah menyembunyikan tas ini di dalam meriam tua sebelum Anda lahir.” Mr. Willis
menunjuk kalung emas yang melingkar pada leher Elmer. “Apa yang tergantung pada kalung Anda itu?” “Ini sebuah kunci,” jawab Elmer sambil membuka kalungnya. “Boleh saya pinjam sebentar?” Elmer mengangguk. Mr. Willis mengambil kalung berikut kunci yang terpasang pada kalung Elmer, lalu menyerahkannya pada para anggota Dewan Kota yang lain. “Perhatikan bahwa inisial pada kunci itu ditulis dengan gaya yang sama seperti inisial pada tas di hadapan Anda.” Kemudian ia kembali berpaling pada Elmer. “Tolong sebutkan nama depan ibu Anda.” “Lisbeth!” Elmer menjawab dengan patuh. “Maksud Anda Elizabeth, bukan?” “Saya rasa begitu,” ujar Elmer. “Tuan-tuan,” kata Mr. Willis, “di antara Anda tentu ada beberapa orang yang masih ingat bahwa Jacob Pridgin menikahi seorang gadis bernama Elizabeth Margaret Sargent, anggota keluarga Sargent dari Hookers Point, kota tetangga kita. Sayangnya Elizabeth Margaret Sargent meninggal ketika melahirkan anaknya yang pertama, yaitu Elmer Pridgin yang kini berdiri di hadapan Anda.” Sekali lagi Mr. Willis mengajukan pertanyaan pada Elmer. “Apakah almarhum ayah Anda pernah berpesan, pesan khusus, sehubungan dengan kunci ini?” “Dia berpesan agar kunci ini jangan diberikan pada orang lain,” jawab Elmer. “Suatu hari, katanya, kunci ini akan menghasilkan uang dalam jumlah besar bagi saya. Ayah saya juga berpesan agar saya selalu mengawasi meriam tua di Memorial Point.” “Kenapa dia menginginkan agar Anda mengawasi meriam itu?” “Saya tidak tahu. Mungkin ayah saya tidak rela kalau meriam itu dirusak oleh tangan-tangan jail.” “Tuan-tuan,” Mr. Willis berkata pada para anggota Dewan Kota, “kelihatannya misteri perampokan bank pada tahun 1910, serta rahasia meriam tua di Memorial Point kini telah terungkap. Tas kulit berinisial EMS ini, yang selama berpuluhpuluh tahun tersembunyi di dalam meriam, merupakan kuncinya. Tas ini berhasil dikeluarkan oleh Henry Mulligan dan kawan-kawannya. Saya sendiri tidak tahu bagaimana mereka mengeluarkannya, tapi saya yakin mereka bersedia memberi penjelasan, asal saja tidak menyangkut rahasia perusahaan.” Mr. Willis lalu mengembalikan kalung beserta kuncinya pada Elmer. “Elmer,” katanya, “saya minta agar Anda mencoba membuka tas itu dengan kunci pada kalung Anda!” “Nanti dulu!” Abner Sharpies berseru, kemudian berdiri. “Sebaiknya Anda tetap duduk saja,” kata Mr. Snodgrass sambil menepuk punggung pengacara itu. Elmer Pridgin menggosok-gosok kunci dengan telunjuk dan jempol. Seakan-akan kebingungan, ia menatap ke sekeliling. Kemudian ia menyandarkan senapannya pada tepi meja, dan memasukkan kunci ke dalam lubang kunci. Dengan sekali putar tasnya sudah terbuka. Orang-orang bergumam dengan suara tertahan ketika Mr. Willis menumpahkan isi tas ke atas meja, lalu menyerahkan dua ikat lembaran uang untuk diperiksa oleh anggota-anggota Dewan Kota yang lain.
“Tak ada yang perlu diragukan lagi,” katanya dengan mantap. “Inilah uang yang dulu dirampok dari bank. Saya kira kita bisa memastikan bahwa Jacob Pridgin tahu di mana uang ini disembunyikan. Selain itu, ia juga memiliki kunci untuk membuka tas ini. Tuan-tuan, atas dasar itu, saya menarik kesimpulan bahwa Jacob Pridginlah yang merampok Bank Mammoth Falls pada tahun 1910, dan bahwa ia lalu melarikan diri dengan menunggangi kuda milik Elijah Scragg.” Secara mendadak Abner Sharpies bangkit dari kursinya. Dengan wajah merah padam ia bergegas ke pintu. Ledakan tawa mengantarkannya keluar ruangan. Tanpa disadarinya, sebuah lencana bertulisan “Alonzo Scragg pilihan utama!” menempel pada mantelnya. “Apakah ayah saya melakukan kejahatan?” Elmer bertanya ketika suasana di ruang pertemuan kembali tenang. “Kelihatannya begitu,” jawab Alonzo Scragg. “Tapi semuanya terjadi sebelum Anda lahir. Uangnya sudah ditemukan lagi, dan Anda sama sekali tidak bersalah dalam hal ini. Kami justru berterima kasih karena Anda telah bersedia datang ke sini dan membantu memecahkan misteri perampokan bank itu.” “Anak-anak inilah yang membujuk saya,” Elmer menjelaskan sambil menunjuk Dinky Poore dan Freddy Muldoon. “Si kecil itu yang melihat kunci di kalung saya, ketika saya membungkuk untuk melepaskan seekor kelinci dari perangkap yang saya pasang. Dan setelah itu dia tidak mau diam sebelum saya menceritakan riwayat kunci itu. Belum pernah saya menemui seorang anak yang begitu ngotot!” “Berarti tinggal satu hal yang harus diselesaikan,” ujar Mr. Willis sambil berdehem. “Miss Daphne Muldoon mengingatkan saya bahwa pemimpin bank pada waktu perampokan itu terjadi menjanjikan hadiah sebesar 5.000 dollar. Saya kira janji itu masih berlaku sampai sekarang.” Para hadirin segera mulai bersorak-sorai sambil bertepuk tangan. “Tenang! Tenang!” Mr. Willis berseru sambil mengangkat kedua tangan. “Saya ingin mengumumkan bahwa hadiah itu akan diberikan pada para anggota Klub Ilmuwan Edan, serta Miss Daphne Muldoon. Saya sudah membicarakan hal ini dengan mereka. Mereka telah bersepakat untuk menyerahkan setengah dari hadiah itu kepada Fakultas Kedokteran, dan setengahnya lagi kepada Elmer Pridgin. Saya tidak tahu bagaimana hubungan Fakultas Kedokteran dengan kasus ini, tapi saya jamin bahwa pihak bank tidak merasa keberatan.” Beberapa hari kemudian kami semua berjalan kaki menuju pondok Elmer Pridgin. Alonzo Scragg dan Mr. Willis lalu menyerahkan 2.500 dollar pada Elmer. Dan Henry memberikan foto infra merah yang diambil oleh kamera kami. Elmer memperhatikan foto itu sambil garuk-garuk kepala. “Saya tidak pernah pergi ke sana setelah gelap, soalnya tempatnya agak seram,” ia berkata. “Tapi ini merupakan foto yang bagus sekali dari almarhum ayah saya. Terima kasih banyak!” Kami saling berpandangan dengan mata terbelalak. Sejak itu, Memorial Point mulai jarang dikunjungi orang untuk berpiknik.
4. Manusia Terbang dari Mammoth falls
SUATU hari, Dinky Poore dan Freddy Muldoon muncul di markas perkumpulan kami
sambil membawa sebuah mannequin (boneka untuk memajang pakaian di etalase toko), yang mereka temukan di tempat pembuangan sampah Mammoth Falls. Sebuah department store telah membuang boneka itu karena wajahnya sedikit tergores. Tetapi selebihnya belum ada cacat sama sekali. Dinky dan Freddy menggotong boneka itu sampai ke markas kami, kemudian memberdirikannya di salah satu pojok ruangan. Henry Mulligan sebenarnya tidak setuju. Ia keberatan kalau markas kami dipenuhi oleh barang-barang tak berguna. Tapi ketika kami mengadakan pemungutan suara untuk menentukan nasib boneka itu, Henry ternyata kalah jauh. Homer Snodgrass, yang hampir sama cerdasnya dengan Henry dan Jeff, mengemukakan bahwa kami bisa menggunakannya untuk latihan ilmu anatomi. Ia lalu mengusulkan untuk menambahkan program tersebut pada daftar kegiatan perkumpulan kami. Freddy Muldoon dan Dinky Poore ditugaskan untuk menggambarkan sistem peredaran darah manusia pada boneka itu. Tetapi mereka tidak pernah merampungkan tugas itu. Selama berbulan-bulan boneka itu hanya berdiri di pojok ruangan, dan lamalama kami mulai muak melihatnya. Akhirnya Mortimer menutupi kepala boneka itu dengan kaus kaki wanita yang terbuat dari nilon, kemudian menamakannya Invisible Man (manusia tak kasat-mata). Karena merasa cocok dengan julukan itu, kami terus mempergunakannya, sampai suatu hari Henry mendapat ide yang gemilang. Pada hari itu, kami tiba di markas dan menemukan Henry sedang duduk di tengah ruangan. Sambil berkonsentrasi penuh ia menatap boneka di pojok. Lama sekali ia memandangnya. Kemudian ia melepaskan kacamata, mendongakkan kepala, dan menatap langit-langit. Kami tak berani bersuara. Henry selalu mengatakan bahwa dengan cara itu darah di kepala akan mengalir ke bagian belakang otak. Dan menurut Henry, ide-ide yang paling cemerlang justru terbentuk di bagian itu. Begitu juga kali ini. Apa yang diusulkan Henry ketika kembali ke posisi duduk normal adalah ide paling aneh yang pernah dicetuskannya. “Aku rasa kita bisa memodifikasi boneka ini agar sanggup terbang,” ia berkata dengan yakin. “Terbang?!” Dinky Poore berseru. “Mana mungkin?!” “Rencanaku sederhana saja,” Henry melanjutkan seakan-akan tidak mendengar komentar Dinky. “Kita bisa membuat si Invisible Man terbang. Kalau semuanya berjalan dengan lancar, kita akan menggemparkan Mammoth Falls dengan penemuan ini.” “Tapi kalau begitu kita harus mencari nama lain, dong!” ujar Mortimer. “Bagaimana dengan Flying Sorcerer, penyihir terbang?” “Hei, siapa tahu dia bakal dianugerahi medali penghargaan dari Angkatan Udara!” Freddy menambahkan. “Jangan bercanda saja!” Jeff Crocker berkata dengan tegas. “Begini,” Henry melanjutkan, “minggu depan ada acara peringatan ulang tahun Mammoth Falls. Dan seperti biasa Pak Walikota akan berpidato di depan Balai Kota. Pada saat itulah kita adakan pertunjukan yang akan membuat semua orang tercengang... Nah, kalian tahu Monumen Hannah Kimball, bukan?” Hannah Kimball adalah pahlawan kota kami. Beberapa orang berpendapat bahwa wanita itulah yang mendirikan Mammoth Falls. Tapi itu belum terbukti sampai sekarang. Yang pasti, Hannah Kimball merupakan wanita pemberani yang mempertahankan pondoknya terhadap serangan suku Indian, hanya dengan sebuah boneka pengusir burung yang biasa berdiri di tengah ladang gandum. Ia memasang boneka itu pada sebatang kayu, lalu mendorongnya lewat cerobong asap. Orangorang Indian, yang belum pernah melihat boneka semacam itu, segera menghujaninya dengan anak panah. Tetapi boneka itu terus melambai-lambaikan kedua tangan,
biarpun seluruh tubuhnya telah tertembus anak panah. Orang-orang Indian menduga bahwa mereka berhadapan dengan roh jahat, lalu melarikan diri. Setelah Henry menjelaskan garis besar rencananya, kami segera mulai bekerja. Selama beberapa hari berikutnya, kami membuat lubang pada punggung boneka dan memasang dua buah alat penerima gelombang radio. Kami juga memasang pengeras suara berukuran mini pada tenggorokannya, lalu mencari pakaian yang cocok. Mortimer akhirnya membawa overall usang milik ayahnya. Setelah selesai berpakaian, penampilan boneka kami tidak berbeda dari penduduk-penduduk Mammoth Falls yang lain. Pada malam sebelum peringatan ulang tahun Mammoth Falls, kami berkumpul di markas untuk membawa boneka kami ke lapangan di depan Balai Kota. Dinky Poore nampak mengerutkan kening. “Bagaimana caranya menaikkan boneka kita ke puncak monumen?” ia bertanya. “Pokoknya, aku tidak mau disuruh memanjat naik!” “Ah, dasar bodoh!” ujar Freddy Muldoon dengan nada melecehkan. “Itu sih gampang!” “Oh, ya?” balas Dinky dengan sengit “Kalau begitu tolong jelaskan bagaimana caranya, Tuan Otak Encer!” “Mudah saja!” Freddy bergumam. “Serahkan saja semuanya pada Henry, jenius kita.” Kami menatap Henry, dan Henry langsung menjabarkan rencana yang telah disusunnya. Monumen Hannah Kimball berada di tengah-tengah sebuah taman kecil di depan Balai Kota. Tugu peringatan itu berbentuk pilar marmer yang menjulang tinggi ke angkasa. Patung Hannah Kimball berdiri di atasnya. Tempat di samping patung itu masih cukup lebar untuk satu orang lagi, asalkan orang itu bisa naik ke atas monumen. Untung saja ada tiang-tiang telepon di kedua sisi taman, dan tiangtiang itu sedikit lebih tinggi dibandingkan tugu peringatan. Ketika malam telah larut, kami mendatangi taman itu dengan membawa tali sepanjang 250 meter. Kami mengikat ujung tali pada leher boneka, kemudian juga memasang tali jemuran sebagai tali pembantu. Dua orang di antara kami memanjat ke atas tiang telepon yang berdiri segaris dengan monumen, dan melewatkan tali pada tempat pijakan kaki di puncak tiang. Setelah itu talinya ditarik sampai kencang, sehingga boneka kami terangkat dari tanah. Dengan menarik tali pembantu, dalam waktu singkat kami telah berhasil menempatkan boneka itu di puncak pilar marmer, bersebelahan dengan patung Hannah Kimball. Kemudian kami menarik tali utama sampai terlepas. Pada pagi hari berikutnya, sebelum acara peringatan ulang tahun Mammoth Falls dimulai, si Manusia Terbang nampak berdiri dengan gagah sambil bertolak pinggang. Tapi karena monumen itu dikelilingi pepohonan, ia tak menarik perhatian sampai barisan marching band tiba sekitar pukul sepuluh. Marching band itu memimpin parade yang dimulai di Jembatan Lemon Creek. Mortimer, Henry, dan aku duduk di loteng di atas toko kelontong Snodgrass, toko milik ayah Homer. Kami membawa peralatan radio, dan dapat mengawasi lapangan di depan Balai Kota dengan leluasa. Homer berada di lapangan. Ia bertugas memantau perkembangan dan memberitahu kami jika ada kejadian di luar rencana. Kami menangkap laporannya dengan bantuan mikrofon-mikrofon. yang kami sembunyikan di sekitar monumen. Alonzo Scragg beserta panitia peringatan duduk di atas mobil dengan kap terbuka, yang berjalan di samping marching band. Pak Walikota berdiri di kursi belakang sambil melambaikan topi dan tersenyum cerah. Tiba-tiba sebuah suara mengalahkan musik dan sorak-sorai para penonton.
“Awas, Pak Walikota! Saya akan melompat!” Suara itu seakan-akan keluar dari mulut boneka kami. Namun sebenarnya Mortimer Dalrymple yang sedang berbicara. Mobil yang ditumpangi Pak Walikota mendadak berhenti, dan Pak Walikota hampir kehilangan keseimbangan. Para anggota panitia peringatan segera menahannya agar jangan sampai terjatuh. Ketika Pak Walikota kembali berdiri tegak, ia menoleh ke atas dan melihat boneka di puncak monumen. “Hei anak muda, bagaimana caranya kau bisa naik ke sana?” Pak Walikota berseru sambil menudingkan payungnya ke arah sosok itu. “Mudah saja! Saya terbang!” terdengar jawabannya. Terheran-heran Pak Walikota menatap para anggota panitia. Para anggota panitia mengerut-kan kening, lalu memandang Chief Harold Putney, Kepala Polisi Mammoth Falls. Kepala Polisi mengangkat bahu, kemudian menoleh ke arah Pak Walikota. Pak Walikota berdehem beberapa kali, lalu berbisik pada Chief Putney, “Sepertinya kita berhadapan dengan orang gila.” “Saya juga berpikiran seperti itu,” ujar Chief Putney. “Tapi barangkali dia akan pergi dengan sendirinya kalau kita tidak memperhatikan dia.” “Mana mungkin?” balas Pak Walikota. “Orang seperti itu tidak akan pergi begitu saja. Kita harus segera menurunkan dia dari atas sana. Jangan sampai upacara peringatan jadi kacau-balau” “Barangkali Pak Walikota punya usul?” “Anda Kepala Polisi di kota ini,” kata Pak Walikota. “Saya kira sudah waktunya Anda memperlihatkan bahwa Anda pantas menerima gaji kepala polisi.” Kemudian ia berpaling dan tersenyum serta melambaikan tangan pada para penonton. “Berani benar kalian menyebut aku orang gila!” terdengar suara dari atas monumen. Dengan geram Pak Walikota menoleh ke atas. “Saya bukan orang gila, saya manusia terbang dari Mammoth Falls!” boneka di samping patung Hannah Kimball berseru. “Eh, kalian mau melihat saya melompat?” Taman kecil di sekitar monumen telah dipadati oleh orang-orang yang ingin tahu apa yang sedang terjadi. Semuanya berebutan mencari tempat yang paling baik. Pak Walikota masih berdiri di atas mobil. Ia mengangkat kedua tangannya, dan berusaha menenangkan massa. “Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang terhormat,” ia berkata dengan lantang. “Bapak-bapak dan Ibu-ibu,” boneka di atas monumen menirukan. Pak Walikota memelototi boneka itu, lalu berseru, “Diam!” “Diam!” boneka itu mengulangi, dan seruannya disambut dengan tawa berderai. “Warga kota yang terhormat!” kata Pak Walikota. “Warga kota yang terhormat!” ujar boneka itu. “Saya mengimbau agar Anda semua tidak memperhatikan pemuda di atas monumen. Saya percaya bahwa kepala polisi kita, Harold Putney, dibantu oleh dinas pemadam kebakaran, sanggup mengamankan orang itu.”
“Awas, saya akan melompat kalau ada yang berani mendekati saya!” boneka itu berseru. Pak Walikota kembali mengerutkan kening. “Jangan perhatikan laki-laki malang itu,” katanya. “Dia memerlukan bantuan dan pengertian dari kita semua.” “Bukan aku tapi justru Anda yang butuh bantuan!” si Manusia Terbang berseru. Henry dan aku tidak kuat lagi, dan mulai ketawa terbahak-bahak. Mortimer pun ikut-ikutan, sehingga alat pemancar terpaksa dimatikan sampai kami kembali tenang. Para penonton kini mengelilingi mobil Pak Walikota. Semuanya memberikan usul tentang cara terbaik untuk menurunkan orang gila yang berdiri di atas monumen. Beberapa anak muda bersorak-sorai dan mendesak si Manusia Terbang untuk melompat. “Kapan kita membiarkan dia lepas landas?” aku bertanya. “Sebentar lagi,” kata Henry. “Setelah itu Pak Walikota kembali jadi pusat perhatian.” Kemudian ia menyalakan alat pemancar. “Aku mau menghubungi Jeff dan yang lain dulu.” Menurut rencana, Jeff, Dinky, serta Freddy Muldoon seharusnya berada di suatu tempat di sebelah barat Danau Strawberry. Ketika Henry berhasil menghubungi mereka, ketiga rekan kami itu sedang duduk di puncak sebuah bukit. Dengan bantuan teropong, mereka dapat mengikuti perkembangan di lapangan di depan Balai Kota. Henry mengamati bendera-bendera yang menunjukkan arah angin, lalu memberitahu Jeff agar pindah ke suatu bukit yang lebih ke selatan. Hal ini sangat penting bagi keberhasilan rencana kami. Kami kembali memperhatikan keramaian di sekitar tugu peringatan. Orang-orang masih bergerombol sambil menuding dan meneriaki boneka kami. Tapi si Manusia Terbang tetap tak ambil pusing. Kemudian kami mendengar suara sirene, yang menandakan bahwa mobil pemadam kebakaran sedang mendekat. Dengan sigap Pak Walikota turun dari mobil. Langsung saja ia memberi perintah dan petunjuk. Para petugas memarkir kendaraan mereka bersebelahan dengan monumen, lalu mulai menaikkan tangga. Pak Walikota berdiri di atas mobil pemadam kebakaran, dan berseru, “Silakan turun dari sana! Ini perintah!” “Apakah Bapak berjanji untuk tidak menggigit saya!” Ucapan itu kembali disambut dengan ledakan tawa. “Terus terang saja, Bung! Saya tidak punya kebiasaan menggigit orang. Nah, silakan turun lewat tangga. Saya menjamin bahwa Bung akan diperlakukan dengan baik.” “Saya tidak mau turun lewat tangga,” boneka di atas monumen membalas. “Saya tidak butuh tangga kalian! Saya seekor rajawali!” Pak Walikota mengumpat tertahan, lalu berusaha menenangkan massa. “Hei, kalian ingin melihat saya terbang?” teriak Mortimer berlagak histeris. “Jangan! Jangan!” Pak Walikota berusaha mencegah bencana yang bakal terjadi. “Tunggu dulu!” Pak Walikota menoleh ke arah panitia upacara peringatan, para anggota panitia menatap Chief Putney, dan Chief Putney memandang Sersan Billy Dahr. Sersan polisi itu berkumis lebat. Ia selalu mengenakan mantel panjang dan membawa tongkat kayu. Ketika menyadari bahwa semua orang memandang dirinya, ia langsung mulai salah tingkah.
“Sersan Dahr akan memanjat ke atas monumen dan menangkap laki-laki itu,” ujar Chief Putney. “Tidak ada orang yang lebih tepat, Mr. Putney,” Pak Walikota mendukung. Para anggota panitia upacara peringatan pun mengangguk-angguk. Billy Dahr pura-pura tidak mendengar apa-apa. Namun ia tidak bisa berkelit. Dengan berat hati ia akhirnya menaiki tangga. Tapi baru pada anak tangga ketiga petugas polisi itu sudah berhenti, lalu mengacungkan tongkatnya. “Turun, Bung!” ia berseru dengan lantang.