i
SUBSTITUSI TEPUNG TERIGU DENGAN TEPUNG BIJI ALPUKAT TERHADAP SIFAT FISIK COOKIES
SKRIPSI
Oleh WIWIN TRI JAYANTI
PROGRAM STUDI S-1 TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2017 i
ii
SUBSTITUSI TEPUNG TERIGU DENGAN TEPUNG BIJI ALPUKAT TERHADAP SIFAT FISIK COOKIES
Oleh WIWIN TRI JAYANTI NIM : 23020113140077
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknologi Pangan pada Program Studi S-1 Teknologi Pangan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro
PROGRAM STUDI S-1TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2017 ii
iii
iii
iv
iv
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Substitusi Tepung Terigu dengan Tepung Biji Alpukat terhadap Sifat Fisik Cookies”. Pada saat penelitian hingga penyusunan skripsi, penulis menerima banyak sekali bantuan, masukan, dan informasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat nama – nama sebagai berikut : 1.
Dekan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Ir. Mukh Arifin, M.Sc. yang telah memberikan izin dan kesempatan untuk melakukan penelitian dan menulis skripsi guna memperoleh gelar Sarjana.
2.
Ketua Departemen Pertanian Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Dr. Ir. Didik Wisnu Widjajanto, M.Sc. , Res., Ph.D. dan Ketua Program Studi S-1 Teknologi Pangan, Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro Dr. Yoyok Budi Pramono, S.Pt. M.P. atas bimbingannya dan kesempatan untuk melakukan penelitian.
3.
Dr. Ir. Nurwantoro, MS. selaku dosen pembimbing utama dan Prof. Dr. Ir. V. Priyo Bintoro, M.Agr. selaku dosen pembimbing anggota yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penelitian dan penyusunan skripsi.
v
vi
4.
Dosen penguji dan dosen panitia atas saran yang diberikan sehingga skripsi ini menjadi tulisan yang lebih baik.
5.
Pimpinan dan seluruh staf Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang atas bimbingan dan izin yang diberikan kepada penulis untuk melakukan penelitian.
6.
Kedua orang tua penulis, Bapak Drs. H. Suyanto dan Ibu Dra. Hj. Sustiwi, serta kedua kakak penulis Dyah Rahmawati S.Kom dan Sustika Permatasari S.T. yang senantiasa menjadi semangat dan memberikan dorongan materiil dan moril selama penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi.
7.
Teman-teman Teknologi Pangan 2013 yang melewati suka duka bersama selama empat tahun dalam menempuh pendidikan S-1 Teknologi Pangan.
8.
Teman-teman bermain di Semarang, teman-teman organisasi dan temanteman di Solo yang selalu memberikan hiburan dan motivasi. Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini belum sempurna baik dari segi
materi maupun penyajiannya, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Pada kesempatan terakhir penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang membutuhkan.
Semarang, Mei 2017
Penulis
vi
vii
RINGKASAN
WIWIN TRI JAYANTI. 23020113140077. 2017. Substitusi Tepung Terigu dengan Tepung Biji Alpukat terhadap Sifat Fisik Cookies. (Pembimbing : NURWANTORO dan VALENTINUS PRIYO BINTORO). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh substitusi tepung biji alpukat terhadap sifat fisik cookies. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro pada bulan November 2016. Materi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tepung biji alpukat, tepung rendah protein, margarin, gula bubuk, telur, susu skim dan baking powder. Desain percobaan dilakukan dengan 6 perlakuan dan 5 kali ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah T0 yaitu cookies tanpa substitusi tepung terigu dengan tepung biji alpukat, cookies substitusi tepung terigu dengan tepung biji alpukat 10 % (T1). cookies substitusi tepung terigu dengan tepung biji alpukat 20 % (T2), cookies substitusi tepung terigu dengan tepung biji alpukat 30 % (T3), cookies substitusi tepung terigu dengan tepung biji alpukat 40 % (T4), cookies substitusi tepung terigu dengan tepung biji alpukat 50 % (T5). Variabel pengujian pada cookies yaitu kadar air, aktivitas air, hardness, dan warna. Data kadar air, aktivitas air, hardness dan warna diolah dengan Analysis of Variance (ANOVA). Apabila hasil analisis berpengaruh signifikan dilakukan uji lanjut Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) dengan taraf signifikansi 5 % (P<0,05). Substitusi tepung biji alpukat tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kadar air dan aktivitas air cookies. Substitusi tepung biji alpukat dapat menurunkan hardness dan menyebabkan perubahan warna cookies menjadi lebih gelap.
vii
viii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR .............................................................................
v
RINGKASAN ...........................................................................................
vii
DAFTAR TABEL ....................................................................................
ix ix
DAFTAR ILUSTRASI .............................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
x xi
BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................
1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................
4
2.1. Tanaman Alpukat .......................................................................
4
2.2. Tepung Terigu ............................................................................
7
2.3. Cookies .......................................................................................
8
BAB III. MATERI DAN METODE ........................................................
15 15
3.1.
Materi Penelitian .......................................................................
15 15
3.2.
Metode Penelitian ......................................................................
16 16
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................
22 23
4.1.
Kadar Air Cookies Biji Alpukat ...............................................
22 23
4.2.
Aktivitas Air Cookies Biji Alpukat ..........................................
24 24
4.3.
Hardness Cookies Biji Alpukat ................................................
26 25
4.4.
Warna Cookies Biji Alpukat .....................................................
28 27
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN .......................................................
30 29
5.1. Simpulan .....................................................................................
29
5.2. Saran ...........................................................................................
29
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
30
LAMPIRAN .............................................................................................
36
RIWAYAT HIDUP ..................................................................................
41
viii
ix
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1.
Komposisi Kimia Biji Alpukat ......................................................
5
2.
Komposisi Kimia Tepung Biji Alpukat .........................................
6
3.
Syarat Mutu Tepung Terigu sebagai Bahan Pangan ......................
8
4.
Syarat Mutu Cookies …………………………………..................
9
5.
Perlakuan yang Diterapkan ………………………………….........
16
6.
Formulasi Bahan Masing-masing Perlakuan ................................
16
7.
Kadar Air Cookies dengan Perbedaan Substitusi Tepung Biji Alpukat ………………………………………………………….....
23
Aktivitas Air Cookies dengan Perbedaan Substitusi Tepung Biji Alpukat ………………………………………………………….....
24
Hardness Cookies dengan Perbedaan Substitusi Tepung Biji Alpukat ……………………………………………………………
25
Warna Cookies dengan Perbedaan Substitusi Tepung Biji Alpukat ……………………………………………………………
27
8. 9. 10.
ix
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1.
Output Analisis Statistik SPSS Kadar Air Cookies ........
36
2.
Output Analisis Statistik SPSS Aktivitas Air Cookies ....
37
3.
Output Analisis Statistik SPSS hardness Cookies ..........
38
4.
Output Analisis Statistik SPSS Warna Cookies ..............
39
5.
Dokumentasi Warna Cookies ...........................................
40
x
xi
DAFTAR ILUSTRASI
Ilustrasi 1. 2.
Halaman Diagram Alir Pembuatan Tepung Biji Alpukat (Purba dan Gultom, 2013 dengan modifikasi) ......................................
18
Diagram Alir Pembuatan Cookies (Visita dan Putri, 2014 dengan modifikasi) .............................................................
19
xi
1
BAB I
PENDAHULUAN
Buah alpukat (Persea americana Mill) bukanlah komoditas buah musiman sehingga mudah ditemukan dan selalu tersedia setiap waktu. Alpukat tumbuh subur pada daerah tropis dan memiliki kandungan antioksidan yang tinggi (Afrianti, 2010). Produksi buah alpukat di Indonesia cukup banyak dan telah dimanfaatkan untuk berbagai pengolahan produk. Pada umumnya, bagian buah yang dimanfaatkan yaitu daging buah alpukat sedangkan bagian lainnya dibuang dan menjadi limbah. Bagian yang terbuang tersebut masih dapat dimanfaatkan misalnya biji. Alpukat tergolong buah yang memiliki biji besar yang tersusun dari dua keping (cotyledon) dengan dilapisi kulit biji (Halimah et al., 2014). Biji alpukat memiliki kandungan pati yang cukup tinggi yaitu sebesar 80,1 % (Winarti dan Purnomo, 2006). Kandungan pati yang tinggi berpotensi untuk diolah menjadi produk pangan. Biji alpukat dapat diolah menjadi tepung biji alpukat. Tepung akan lebih mudah diaplikasikan untuk pengolahan berbagai produk. Tepung biji alpukat (TBA) tergolong tepung rendah protein sehingga dapat diolah menjadi cookies. Cookies terbuat dari tepung terigu, sehingga dengan adanya tepung biji alpukat dapat mensubstitusi tepung yang biasanya digunakan pada pembuatan cookies. Terigu di Indonesia diperoleh dari impor dan memiliki harga relatif mahal. Terigu merupakan produk impor karena gandum sulit tumbuh di Indonesia (Nurbaya
dan
Estiasih,
2013).
Penggunaan 1
tepung biji
alpukat
akan
2
memanfaatkan produk lokal yang belum banyak dimanfaatkan sehingga mengurangi impor terigu. Kelebihan dari tepung biji alpukat yaitu tidak mengandung gluten. Gluten pada tepung terigu dapat memicu berbagai penyakit, diantaranya obesitas, penuaan dini, gangguan pencernaan (Wijayanti et al., 2015). Hal ini juga memicu masyarakat untuk mengurangi produk yang mengandung gluten. Substitusi tepung terigu dengan tepung biji alpukat dapat mengurangi kandungan gluten pada tepung terigu. Pembuatan cookies dapat menggunakan tepung dengan kandungan gluten <1 % karena tidak memerlukan bahan baku yang komponennya dapat berkembang (Midlanda et al., 2014). Masalah dalam mengekstrak pati biji alpukat akan dihasilkan pati berwarna kecoklatan (Halimah et al., 2014). Pembuatan cookies dengan substitusi tepung biji alpukat diduga berpengaruh terhadap warna cookies. Kandungan amilosa biji alpukat lebih tinggi dibandingkan kandungan amilopektin. Tingginya kandungan amilosa maka daya serap air pada produk akan tinggi (Simamora et al., 2014). Kemampuan menyerap air berpengaruh terhadap kadar air dan aktivitas air cookies. Semakin tinggi kandungan air maka kadar air dan aktivitas air cookies tinggi. Aktivitas air (aw) menunjukkan jumlah air yang digunakan untuk pertumbuhan mikroorganisme (Winarno, 1992). Kandungan air cookies diduga berpengaruh terhadap hardness. Cookies dengan kandungan air tinggi memiliki tekstur yang lebih lunak. Adanya perubahan kadar air pada bahan pangan menyebabkan ukuran tekstur tidak pernah konstan (Winarno, 2004). Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dilakukan penelitian substitusi tepung terigu dengan tepung biji alpukat dalam pembuatan cookies bertujuan 2
3
untuk mengetahui pengaruh substitusi tepung terigu dengan tepung biji alpukat terhadap sifat fisik cookies. Manfaat dari penelitian ini adalah dapat mensubstitusi penggunaan tepung terigu dan memanfaatkan bahan yang belum banyak digunakan sehingga dapat mengurangi impor terigu.
3
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Alpukat
Tanaman alpukat memiliki nama botanis Persea americana, Mill (Rismunandar, 1986). Buah alpukat selalu ada pada setiap musim. Alpukat tergolong famili tanaman Lauraceae yang tumbuh pada daerah beriklim tropis dan subtropis (Katja et al., 2009). Bagian alpukat terdiri dari 65 % daging buah (mesokarp), 20 % biji (endocarp) dan 15 % kulit buah (perikarp) (Risyad et al., 2016). Buah ini memiliki kandungan gizi yang tinggi. Alpukat mengandung protein, mineral Ca, Fe, vitamin A, B, C serta memiliki kandungan minyak yang setara dengan minyak zaitun yaitu sebesar 3-30 % (Samson, 1980). Buah alpukat berbentuk lonjong dan memiliki biji yang tergolong besar. Pada umumnya daging buah alpukat tebal dan berwarna hijau kekuningan dengan bagian tengahnya terdapat biji berwarna kecoklatan (Marlinda et al., 2012). Proses pematangan alpukat perlu disimpan beberapa hari setelah dipetik. Terdapat komponen dari daun yang menghambat pelunakan buah sehingga proses pematangan alpukat tidak terjadi di pohon (Ozdemir dan Topuz, 2004). Kematangan buah ditandai dengan terdengarnya bunyi saat buah digoyang yang disebabkan biji terlepas dari daging buah dan rongga buah melebar. Perubahan warna dan ukuran buah serta meningkatnya kandungan minyak pada daging buah menjadi tanda pemetikan siap dilakukan (Ozdemir dan Topuz, 2004).
4
5
2.1.1. Biji Alpukat
Alpukat memiliki biji yang tergolong besar dan menjadi limbah karena belum banyak dimanfaatkan. Biji alpukat berbentuk bola dengan diameter 2,5-5 cm (van Steenis, 2002). Biji merupakan salah satu bagian penyimpan cadangan makanan tumbuhan. Biji alpukat tersusun dari dua keping (cotyledon) yang dilapisi kulit tipis biji. Biji alpukat memiliki kandungan gizi serta bermanfaat bagi kesehatan. Biji alpukat berkhasiat untuk mengurangi kadar gula darah (Hariana, 2004). Biji alpukat dapat dijadikan sebagai sumber minyak nabati karena mengandung minyak yang cukup tinggi (Prasetyowati et al., 2010). Kandungan pati biji alpukat sebesar 80,1 % (Winarti dan Purnomo, 2006). Pati merupakan polimer yang terdiri dari monomer-monomer glukosa sebagai substrat utama pada proses fermentasi selanjutnya di destilasi menghasilkan etanol (Muin et al., 2014). Kandungan gizi yang tinggi pada biji alpukat memungkinkan untuk diolah menjadi berbagai macam produk. Komposisi kimia biji alpukat dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia Biji Alpukat Komponen Kadar air Kadar pati : - Amilosa - Amilopektin Protein Lemak Serat kasar Sumber : Winarti dan Purnomo (2006).
Jumlah (%) 10,20 80,10 43,30 37,70 Tidak dianalisa Tidak dianalisa 1,21
5
6
2.1.2. Tepung Biji Alpukat
Tepung biji alpukat terbuat dari bahan baku biji alpukat. Biji alpukat memiliki kandungan gizi yang berpotensi untuk diolah menjadi produk pangan. Penepungan merupakan proses penghancuran bahan pangan melalui pengeringan menjadi bagian-bagian yang halus, kering dan memiliki masa simpan lebih lama (Asmarajati, 1999). Pengolahan biji menjadi tepung akan memudahkan dalam pengaplikasian menjadi berbagai produk pangan. Penepungan akan terjadi perubahan ukuran partikel menjadi lebih kecil dan halus. Penepungan dilakukan menggunakan mesin yang berfungsi untuk menggiling bahan. Mesin penepung akan menghancurkan bahan secara berkelanjutan menggunakan alat pemukul yang berputar pada porosnya (Leniger dan Baverloo, 1975). Menurut Brennan et al., (1990), mesin penepung berdasarkan gaya yang bekerja pada bahan dibedakan menjadi empat tipe yaitu penepung tipe palu (hammer mill), penepung tipe bergerigi (disc mill), penepung tipe silinder (roller mill), dan penepung tipe pisau (cutter mill). Kualitas tepung dapat dilihat melalui pengukuran partikel tepung, derajat kehalusan tepung dan kadar air tepung (Rangkuti et al., 2012). Komposisi kimia tepung biji alpukat dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi Kimia Tepung Biji Alpukat Komponen Jumlah (%) Kadar karbohidrat 63,24 Kadar abu 02,95 Lemak kasar 00,84 Serat kasar 15,34 Protein kasar 05,64 Sumber : Analisa Proksimat Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan (2017).
6
7
2.2. Tepung Terigu
Tepung terigu terbuat dari penggilingan biji gandum. Tepung terigu adalah tepung yang berasal dari endosperma biji gandum Triticum aestivum L. (Club wheat) dan / atau Triticum compactum Host atau campuran dari keduanya dengan penambahan fortifikan Fe, Zn, Vitamin B1, Vitamin B2 dan asam folat (SNI 3751-2009). Penggilingan bertujuan untuk memisahkan endosperma. Tepung terigu memiliki kandungan nutrisi 67-70 % karbohidrat, 10-14 % protein, dan 1-3 % lemak (Riganakos dan Kontominas, 1995). Fungsi tepung terigu yaitu membentuk adonan dan struktur kue, mempengaruhi warna dan aroma saat pemanggangan (Ghozali et al., 2013). Syarat mutu tepung terigu dapat dilihat pada Tabel 3. Protein terigu berpengaruh terhadap viscoelastik dengan membentuk jaringan yang saling berikatan pada adonan (Fitasari, 2009). Protein terigu mengandung gluten sehingga adonan dapat menjadi elastis. Gluten tersusun dari gliadin (20-25 %) dan glutenin (35-40 %) (Fitasari, 2009). Gluten akan terbentuk saat terigu bercampur dengan air. Menurut Astawan (2008) tepung terigu dibedakan menjadi 3 berdasarkan kandungan gluten (protein), yaitu : a. Hard flour. Memiliki kandungan protein sebesar 12-13 %. Dapat digunakan pada pembuatan mi dan roti. Contoh terigu cakra kembar. b. Medium hard flour. Memiliki kandungan protein sebesar 9,5-11 %. Dapat digunakan pada pembuatan mi, roti, kue serta biskuit. Contoh terigu segitiga biru. c. Soft flour. Memiliki kandungan protein sebesar 7-8,5 %. Dapat digunakan pada pembuatan kue dan biskuit. Contoh terigu kunci biru. 7
8
Tabel 3. Syarat Mutu Tepung Terigu sebagai Bahan Pangan No. 1
2 3
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
16 17
Jenis uji Keadaan a. Bentuk b. Bau c. Warna Benda asing Serangga dan semua bentuk stadia dan potongan-potongan yang tampak Kehalusan lolos ayakan 212 (mesh No.70) (b/b) Kadar air Kadar abu Protein Keasaman Falling number (atas dasar kadar air 14 %) Besi (Fe) Zeng (Zn) Vitamin B1 (Thiamin) Vitamin B2 (Riboflavin) Asam folat Cemaran logam a. Timbal (Pb) b. Raksa (Hg) c. Cadmium (Cd) Cemaran arsen Cemaran mikroba a. Angka lempeng total b. Escherichia coli
c. Kapang d. Basillus cereus Sumber : SNI 3751-2009.
Satuan -
Persyaratan Serbuk Normal (bebas dari bau asing) Putih khas terigu Tidak boleh ada Tidak boleh ada
%
Min. 95
% % % mg KOH/100 g Detik
Maks. 14,5 Maks. 0,70 Min. 7,0 Maks. 50 Min. 300
mg/Kg mg/Kg mg/Kg mg/Kg mg/Kg mg/Kg mg/Kg mg/Kg mg/Kg Koloni/g Angka Paling Mungkin/g Koloni/g Koloni/g
Min. 50 Min. 30 Min. 2,5 Min. 4 Min. 2 Maks. 1,0 Maks. 0,05 Maks. 0,1 Maks. 0,50 Maks. 1x106 Maks. 10 Maks. 1x104 Maks. 1x104
2.3. Cookies
Cookies merupakan jenis biskuit yang terbuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, relatif renyah dan penampang potongannya bertekstur kurang padat
8
9
bila dipatahkan (SNI 01-2973-1992). Pada umumnya cookies terbuat dari bahan baku tepung terigu (Nurbaya dan Estiasih, 2013). Cookies dengan bahan baku tepung non-terigu biasanya termasuk golongan short dough (Turistyawati, 2011). Pembuatan cookies menggunakan tepung terigu jenis soft wheat yang mengandung protein sebesar 8-9 % atau tepung tanpa kandungan protein karena pengembangan tidak diperlukan dalam pembuatan cookies (Fajiarningsih, 2013). Rendahnya kandungan protein menyebabkan adonan lebih mudah menyatu dengan bahan lainnya. Ciri khas dari cookies yaitu memiliki kandungan gula dan lemak yang tinggi serta kadar air kurang dari 5 % sehingga bertekstur renyah (Brown, 2000). Menurut Wijayanti et al., (2015), cookies digolongkan menjadi 2 berdasarkan cara pencampuran dan penggunaan resep yaitu jenis adonan meliputi cookies yang dapat disemprot atau dicetak dan jenis busa (better type dan foam type) terdiri dari meringue (schumpjes) dan kue sponge. Cookies yang dihasilkan harus memenuhi syarat mutu yang telah ditentukan. Syarat mutu cookies dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Syarat Mutu Cookies Kriteria uji Air (%) Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Abu (%) Logam berbahaya Serat kasar (%) Energi (kkal/100 g) Bau dan rasa Warna Sumber : SNI 01-2973-1992.
Syarat Maksimum 5 Minimum 9 Minimum 9,5 Minimum 70 Maksimum 1,5 Negatif Maksimum 0,5 Minimum 400 Normal dan tidak tengik Normal
9
10
2.3.1. Bahan Baku Cookies
Menurut Matz dan Matz (1978), bahan yang digunakan pada pembuatan cookies dibagi menjadi dua kelompok, yaitu bahan pengikat dan bahan pelembut. Bahan yang dapat mengikat adonan terdiri dari tepung, susu, dan putih telur. Bahan yang dapat melembutkan adonan terdiri dari gula, lemak, leavening agent (baking powder), dan kuning telur (Matz dan Matz, 1978). Bahan dasar pembuatan cookies yaitu tepung dan penambahan bahan lain yang membentuk suatu formula, sehingga cookies memiliki sifat struktur tertentu (Ghozali et al., 2013). Tepung merupakan bahan baku pembuatan cookies. Tepung berfungsi sebagai pembentuk struktur adonan, pengikat bahan dan pencampuran adonan secara merata (Ghozali et al., 2013). Pembuatan cookies menggunakan tepung rendah protein. Kandungan protein berpengaruh terhadap kekerasan cookies. Semakin keras jenis tepung maka penambahan lemak dan gula harus semakin banyak agar cookies memiliki tekstur yang baik (Matz dan Matz, 1978). Telur ditambahkan dalam pembuatan cookies. Telur mengandung zat gizi protein, lemak dan mineral. Kuning telur berpengaruh terhadap tekstur cookies menjadi lebih empuk (Manley, 1983). Kandungan lesitin pada kuning telur berfungsi sebagai emulsifier untuk mengikat lemak (hidrofob) dan mengikat air (hidrofil) (Rosida et al., 2014). Semakin banyak penambahan putih telur maka tekstur lebih keras, sedangkan semakin banyak penambahan kuning telur maka produk lebih empuk dan lembut (Desrosier, 1988). Penambahan telur akan meningkatkan nilai gizi cookies. 10
11
Susu skim merupakan bagian dari susu yang tertinggal setelah krim diambil sebagian atau seluruhnya (Buckle et al., 1985). Susu skim tidak mengandung lemak dan vitamin yang larut dalam lemak. Susu berfungsi untuk membentuk warna kerak, memberi flavor yang spesifik, membantu penyerapan air, mempertahankan gas dalam adonan dan meningkatkan nilai gizi (Sultan, 1981). Lemak sangat diperlukan dalam pembuatan cookies. Penambahan lemak dapat berasal dari lemak nabati yaitu margarin dan lemak hewani yaitu mentega. Penambahan lemak, minyak dan shortening pada pembuatan cookies berfungsi untuk memberi rasa berminyak, mengempukkan produk, memperbaiki eating quality product, menambah flavor, membantu pengembangan adonan dan sebagai emulsifier (Sultan, 1981). Selama pengadukan adonan, tepung akan dikelilingi lemak sehingga jaringan gluten terputus dan karakteristik setelah pemanggangan menjadi tidak keras dan lebih cepat meleleh di mulut (Manley, 1983). Penambahan jenis dan jumlah lemak akan berpengaruh terhadap kualitas akhir produk. Leavening agent merupakan senyawa kimia yang akan terurai dan menghasilkan gas dalam adonan (Winarno, 1992). Leavening agent yang sering digunakan yaitu baking powder. Leavening agent akan menghasilkan gas CO2 sehingga adonan mengembang. Penambahan leavening agent bertujuan untuk aerasi sehingga menghasilkan produk yang ringan dan berpori (Smith, 1972). Gula berasal dari penyulingan air tebu. Penambahan gula berfungsi untuk memberi rasa manis, melembutkan, membantu meratakan adonan dan memberi 11
12
warna cookies (Smith, 1972). Gula yang ditambahkan dapat berupa gula pasir maupun gula halus. Penambahan gula halus tidak menyebabkan kue melebar terlalu besar (Matz dan Matz, 1978). Terlalu banyak penambahan gula maka cookies terlalu manis dan terjadi browning. Garam memiliki cita rasa asin. Penambahan garam berfungsi untuk membangkitkan cita rasa dari bahan yang digunakan. Penambahan garam tergantung dari bahan yang digunakan pada adonan. Formulasi bahan yang lebih lengkap membutuhkan penambahan garam yang lebih banyak (Hanafi, 1999). Pembuatan kue sebaiknya menggunakan garam yang telah dihaluskan agar cepat larut dan meresap ke dalam adonan (Suryani et al., 2007).
2.3.2. Pembuatan Cookies
Menurut Smith (1972), prinsip pembuatan cookies dibagi menjadi 3 yaitu proses pencampuran, pencetakan dan pemanggangan. Pada proses Pencampuran, adonan diaduk hingga semua bahan tercampur dengan baik. Metode dasar dalam pencampuran adonan terdiri dari metode krim dan metode all in (Manley, 2000). Pada metode krim, pencampuran bahan baku dilakukan secara bertahap. Pencampuran metode krim lebih baik digunakan pada cookies karena adonan yang dihasilkan bersifat membatasi pengembangan gluten secara berlebihan (Matz dan Matz, 1978). Pada metode all in, pencampuran bahan dilakukan bersama dengan tepung hingga adonan cukup mengembang. Setelah adonan tercampur rata maka dilanjutkan tahap pencetakan. Pencetakan dilakukan sesuai selera yang diinginkan. Pencetakan berfungsi untuk menyeragamkan bentuk dan menambah 12
13
daya tarik produk. Adonan yang telah dicetak kemudian disusun dalam loyang yang telah diolesi lemak kemudian dipanggang dengan oven. Semakin sedikit gula dan minyak yang terkandung dalam adonan maka pemanggangan dapat menggunakan suhu yang lebih tinggi (177-204 oC) (Matz dan Matz, 1978). Cookies yang telah dipanggang harus segera didinginkan untuk mengurangi pengerasan cookies. Seluruh tahapan pembuatan cookies tersebut akan berpengaruh terhadap kualitas akhir produk.
2.3.3. Sifat Fisik Cookies
Sifat fisik yang dimiliki cookies meliputi kadar air, aw, hardness dan warna. Kadar air akan berpengaruh terhadap hardness cookies. Air dalam produk pangan berpengaruh terhadap lunak atau kerasnya produk (Apriliani, 2010). Berdasarkan SNI 01-2973-1992 mengenai syarat mutu cookies, kadar air cookies maksimal sebesar 5 %. Aktivitas air (aw) menunjukkan jumlah air yang digunakan untuk pertumbuhan mikroorganisme (Winarno, 1992). Semakin rendah nilai aw maka semakin sedikit pertumbuhan mikroorganisme. Kerenyahan tekstur cookies dipengaruhi oleh rendahnya kandungan air yang hilang saat pemanggangan (Hastuti, 2012). Adanya perubahan kadar air pada bahan pangan menyebabkan ukuran tekstur tidak pernah konstan (Winarno, 2004). Tekstur cookies akan menentukan kualitas produk. Warna merupakan salah satu aspek yang menjadi daya tarik produk pangan (Ekafitri et al., 2013). Warna cookies juga dipengaruhi reaksi maillard yang terjadi selama proses pemanggangan. Adanya reaksi maillard
13
14
yang disebabkan terjadinya reaksi antara gugus amino primer dengan gula pereduksi sehingga terbentuk warna yang lebih coklat (Midlanda et al., 2014).
14
15
BAB III
MATERI DAN METODE
Penelitian analisis sifat fisik cookies berbahan baku tepung terigu dengan substitusi tepung biji alpukat dilaksanakan pada bulan November 2016 di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan, Laboratorium Rekayasa Pangan dan Hasil Pertanian, Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan, Laboratorium Terpadu, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.
3.1. Materi Penelitian
Bahan yang digunakan pada pembuatan cookies adalah tepung rendah protein 40 %, margarin 32 %, gula bubuk 15 %, telur 8 %, susu skim 4,8 % dan baking powder 0,2 % (Wahjuningsih dan Kunarto, 2009). Bahan yang digunakan pada pengujian kadar air adalah sampel cookies. Bahan yang digunakan pada pengujian aktivitas air (aw) adalah sampel cookies. Bahan yang digunakan pada pengujian hardness adalah sampel cookies. Bahan yang digunakan pada pengujian warna adalah sampel cookies. Alat yang digunakan pada pembuatan cookies adalah timbangan analitik (Ohaus), gelas ukur, sendok, baskom, loyang, kuas, mixer, pisau, rolling pin, cetakan, dan oven. Alat yang digunakan pada pengujian kadar air adalah cawan aluminium, oven, desikator, neraca analitik dan penjepit. Alat yang digunakan pada pengujian aktivitas air (aw) adalah aw meter dan chamber. Alat yang
15
16
digunakan pada pengujian hardness adalah Texture Analyzer. Alat yang digunakan pada pengujian warna adalah Colour Reader.
3.2. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan terdiri dari rancangan percobaan, prosedur penelitian, pengujian variabel dan analisis data. Uraian tersebut disajikan sebagai berikut.
3.2.1. Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan dan 5 kali ulangan. Perlakuan yang diterapkan dapat dilihat pada Tabel 5. Formulasi bahan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 5. Perlakuan yang Diterapkan Perlakuan T0 T1 T2 T3 T4 T5
Tepung Biji Alpukat 0% 10 % 20 % 30 % 40 % 50 %
Tepung Terigu 100 % 90 % 80 % 70 % 60 % 50 %
Tabel 6. Formulasi Bahan Masing-masing Perlakuan Komposisi Bahan (%) Tepung biji alpukat Tepung terigu rendah protein Margarin Gula bubuk Telur Susu skim Baking powder
Perlakuan T2 T3 08 12 32 28
T0 00 40
T1 04 36
32 15 08 004,8 000,2
32 15 08 004,8 000,2 16
32 15 08 004,8 000,2
32 15 08 004,8 000,2
T4 16 24
T5 20 20
32 15 08 004,8 000,2
32 15 08 004,8 000,2
17
Hipotesis yang diuji pada penelitian ini adalah pengaruh substitusi tepung terigu dengan tepung biji alpukat terhadap sifat fisik cookies. H0 : Tidak terdapat pengaruh substitusi tepung terigu dengan tepung biji alpukat terhadap sifat fisik cookies H1 : Terdapat pengaruh substitusi tepung terigu dengan tepung biji alpukat terhadap sifat fisik cookies Kriteria pengujian analisis yang digunakan adalah sebagai berikut: F hitung < F tabel maka H0 diterima dan H1 ditolak F hitung
F tabel maka H0 ditolak dan H1 diterima
3.2.2. Prosedur Penelitian
Tahap pembuatan tepung biji alpukat (TBA) yaitu biji alpukat dicuci kemudian kulit arinya dipisahkan dari biji. Biji alpukat diiris tipis dan dijemur dibawah sinar matahari hingga kering. Selanjutnya ditumbuk sampai halus dan diayak sampai berbentuk powder (Muin et al., 2014). Pengeringan biji alpukat juga dapat dilakukan menggunakan oven dengan suhu 60 oC selama 6 jam kemudian ditimbang hingga massanya konstan (Purba dan Gultom, 2013). Pembuatan tepung dilakukan hingga sesuai dengan SNI tepung terigu. Kadar air maksimal pada terigu sebesar 14,5 % (SNI 01-3751-2009). Pengayakan tepung dilakukan menggunakan mesh No.70. Kehalusan terigu dapat lolos dengan pengayakan 212 µm (mesh No. 70) minimal 95 % (SNI 01-3751-2009). Diagram alir tahapan pembuatan tepung biji alpukat dapat dilihat pada Ilustrasi 1.
17
18
Biji alpukat
Pencucian dan pemisahan kulit ari
Pengirisan tipis biji alpukat, pisau
Pengeringan 60oC selama 6 jam, oven
Penimbangan, timbangan digital Pengayakan, mesh
Penggilingan, grinder
Tepung Biji Alpukat Ilustrasi 1. Diagram Alir Pembuatan Tepung Biji Alpukat (Purba dan Gultom, 2013 dengan modifikasi). Menurut Smith (1972), Tahapan pembuatan cookies dibagi menjadi 3 yaitu proses pencampuran, pencetakan dan pemanggangan. Menurut Visita dan Putri (2014, dengan modifikasi), tahapan pembuatan cookies yaitu menyiapkan bahan yang akan digunakan. Margarin dan gula dicampurkan dengan mixer kecepatan medium selama +8 menit. Ditambahkan kuning telur dan dicampurkan dengan mixer kecepatan medium selama 2 menit. Ditambahkan Tepung terigu, susu 18
19
bubuk dan baking powder selanjutnya dicampurkan dengan mixer kecepatan rendah selama 1 menit. Kemudian diaduk dengan sendok selama +5 menit. Adonan dicetak dan dioven dengan suhu +150 oC selama +20 menit. Diagram alir tahapan pembuatan cookies dapat dilihat pada Ilustrasi 2. Margarin dan gula
Pencampuran dengan mixer kecepatan medium selama +8 menit
Kuning telur
Tepung terigu, susu bubuk dan baking powder
Pencampuran dengan mixer kecepatan medium selama 2 menit
Pencampuran dengan mixer kecepatan rendah selama 1 menit
Pengadukan dengan sendok selama + 5 menit Pencetakan adonan
Peletakkan dalam loyang
Pengovenan suhu +150oC selama +20 menit
Cookies Ilustrasi 2. Diagram Alir Pembuatan Cookies (Visita dan Putri, 2014 dengan modifikasi). 19
20
3.2.3. Pengujian Variabel
Analisis yang dilakukan pada sampel tepung biji alpukat yaitu analisis proksimat meliputi pengujian kadar karbohidrat dengan metode by difference, pengujian kadar protein kasar dengan metode mikro Kjeldhal, pengujian kadar serat kasar dengan metode gravimetri, pengujian kadar abu dengan metode oven dan pengujian kadar lemak kasar dengan metode ekstraksi soxhlet. Analisis yang dilakukan pada sampel cookies adalah pengujian kadar air dengan metode oven, pengujian aktivitas air, pengujian hardness dan pengujian warna. Prosedur Pengujian yaitu sebagai berikut. a. Pengujian Kadar Air Cawan aluminium dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 15 menit kemudian didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang menggunakan neraca analitik. Sampel dihomogenkan dan ditimbang sebanyak 5 gram lalu dimasukkan ke dalam cawan. Cawan berisi sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 6 jam lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Selanjutnya cawan berisi sampel dikeringkan dalam oven kembali selama 15-30 menit dan ditimbang. Pengeringan diulangi hingga memiliki berat konstan (selisih berat < 0,0003 gram) (Apriyantono et al., 1989). Kadar air = [A-(C-B)] x 100 % A Keterangan : A = Berat sampel sebelum dioven (gram) B = Berat cawan setelah dioven (gram) 20
21
C = Berat cawan dan sampel setelah dioven (gram) b. Pengujian Aktivitas Air (aw)
Pengujian aktivitas air dilakukan menggunakan aw meter. Langkah pengujian yaitu aw meter dikalibrasi dengan NaCl dengan nilai kelembaban (RH) 75 %. Sampel dimasukkan ke dalam chamber pada aw meter kemudian ditutup rapat. Nilai aw dibaca saat indikator pada aw meter yaitu complete test (Belinda, 2009). c. Pengujian Hardness
Sampel dianalisis menggunakan Texture Analyzer. Kabel data Texture Analyzer disambung ke CPU komputer dan komputer dinyalakan. Probe dipasang dan posisinya diatur hingga mendekati sampel. Probe dijalankan dengan mengoperasikan dari program komputer. Sebelumnya dipastikan nilai pada monitor nol, kemudian pada komputer dipilih menu start test sehingga probe bergerak menusuk sampel dan probe kembali ke posisi semula. Hasil pengujian akan ditampilkan dalam bentuk grafik dan nilai (Kusnadi et al., 2012).
d. Pengujian Warna
Pengujian warna cookies dilakukan menggunakan alat Colour Reader. Sampel yang akan dianalisis dibungkus dengan plastik transparan. Sampel ditempelkan ke Colour Reader kemudian ditekan Power on. Diperoleh hasil skala nilai 0-100 meliputi L (lightness), a (redness) dan b (yellowness) (Francis, 1982).
21
22
3.2.4. Analisis Data
Data hasil uji kadar air, aktivitas air, hardness dan warna dianalisis statistik dengan Analysis of Variance (ANOVA). Apabila hasil analisis signifikan dilakukan uji lanjut Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) dengan taraf signifikasi 5 % (Gomez dan Gomez, 1995).
22
23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kadar Air Cookies Biji Alpukat
Berdasarkan penelitian diperoleh rata-rata kadar air cookies dengan perbedaan perlakuan substitusi TBA dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Kadar Air Cookies dengan Perbedaan Substitusi Tepung Biji Alpukat T0 Rerata± Standar Deviasi
5,92± 1,18
Kadar Air pada Perlakuan T1 T2 T3 T4 T5 ------------------------------------(%)----------------------------------5,13± 5,03± 4,83± 4,42± 4,27± 1,13 1,22 1,05 1,31 0,94
Keterangan : Tidak terdapat perbedaan nyata (P>0,05) T0 = Cookies tanpa substitusi TBA T1 = Cookies dengan substitusi TBA 10 % T2 = Cookies dengan substitusi TBA 20 % T3 = Cookies dengan substitusi TBA 30 % T4 = Cookies dengan substitusi TBA 40 % T5 = Cookies dengan substitusi TBA 50 % Berdasarkan Tabel 7, menunjukkan bahwa perlakuan substitusi TBA tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap kadar air cookies. Hal ini dikarenakan kandungan pati dan serat pada TBA dan terigu hampir sama sehingga tidak berpengaruh terhadap kadar air cookies. Menurut Departemen Kesehatan RI (1996), bahwa terigu memiliki kadar karbohidrat sebesar 77,3 %. Karbohidrat berkaitan erat dengan pati sehingga terigu memiliki kandungan pati tinggi yang terdiri dari amilosa dan amilopektin. Menurut Widaningrum et al., (2005), bahwa terigu mengandung serat kasar sebesar 1,9 %. Berdasarkan Tabel (6) Komposisi Kimia Tepung Biji Alpukat menunjukkan bahwa kandungan karbohidrat TBA sebesar 63,24 %. Kandungan karbohidrat berkaitan dengan pati sehingga 23
24
kandungan pati TBA lebih rendah dibandingkan tepung terigu. Kandungan pati dan serat TBA sebesar 78,58 % sedangkan kandungan pati dan serat tepung terigu sebesar 79,2 %. Sehingga jumlah kandungan pati dan serat pada terigu dan TBA hampir sama. Pati dan serat yang terkandung dalam adonan memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengikat air. Menurut Sarofa et al., (2011), yang menyatakan bahwa bahan pangan dengan kandungan pati dan serat tinggi memiliki kemampuan mengikat air yang lebih besar. Didukung pendapat Meyer (1980), kemampuan pati dan serat dalam mengikat air sulit dilepaskan meskipun dilakukan pemanasan.
4.2. Aktivitas Air Cookies Biji Alpukat
Berdasarkan penelitian diperoleh rata-rata aktivitas air (aw) cookies dengan perbedaan perlakuan substitusi TBA dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Aktivitas Air Cookies dengan Perbedaan Substitusi Tepung Biji Alpukat T0 Rerata± Standar Deviasi
0,46± 0,07
T1 0,42± 0,08
Aktivitas Air pada Perlakuan T2 T3 0,44± 0,07
0,42± 0,06
T4
T5
0,41± 0,08
0,42± 0,04
Keterangan : Tidak terdapat perbedaan nyata (P>0,05) T0 = Cookies tanpa substitusi TBA T1 = Cookies dengan substitusi TBA 10 % T2 = Cookies dengan substitusi TBA 20 % T3 = Cookies dengan substitusi TBA 30 % T4 = Cookies dengan substitusi TBA 40 % T5 = Cookies dengan substitusi TBA 50 % Berdasarkan Tabel 8, menunjukkan bahwa perlakuan substitusi TBA tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap nilai aw cookies. Hal ini dikarenakan cookies memiliki kadar air yang hampir sama sehingga tidak berpengaruh terhadap aw 24
25
cookies. Didukung pendapat Herawati (2008), bahwa aw berhubungan erat dengan kadar air yang terkandung dalam pangan. Menurut Syarief & Halid (1993), bahwa aw merupakan air bebas yang terdapat dalam bahan pangan yang dapat digunakan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Semakin tinggi nilai aw maka cookies memiliki masa simpan yang lebih pendek. Amilopektin dan serat juga berpengaruh terhadap nilai aw. Terigu memiliki kandungan amilopektin yang tinggi. Menurut Pradipta dan Putri (2015), bahwa terigu memiliki kandungan amilopektin 72% dan amilosa 28%. Amilopektin akan menyerap air dan menahan nya sehingga nilai aw menjadi rendah. Didukung pendapat Akubor (2003), bahwa amilopektin memiliki sifat mudah menyerap air dan air akan tertahan didalamnya. Pada TBA memiliki kandungan serat yang tinggi dimana serat memiliki daya ikat air yang kuat sehingga berpengaruh terhadap nilai aw. Didukung pendapat Rakhmawati et al., (2014), bahwa air yang terikat kuat pada serat pangan sulit diuapkan meskipun dilakukan pengeringan. Amilopektin dan serat yang terdapat dalam adonan akan mengikat air sehingga nilai aw cookies rendah.
4.3. Hardness Cookies Biji Alpukat
Berdasarkan penelitian diperoleh rata-rata hardness cookies dengan perbedaan perlakuan substitusi TBA dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Hardness Cookies dengan Perbedaan Substitusi Tepung Biji Alpukat T0
T1
Hardness pada Perlakuan T3 T2
T4
T5
-------------------------------------(g/mm)------------------------------------Rerata± Standar Deviasi
d
526,00 ± 128,29
470,20 d± 71,25
362,40 c ± 23,00
25
230,60 b ± 54,49
92,70 a ± 6,68
77,60 a ± 8,05
26
Keterangan : *Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda dan pada baris ratarata yang sama menunjukkan terdapat perbedaan nyata (P<0,05) T0 = Cookies tanpa substitusi TBA T1 = Cookies dengan substitusi TBA 10 % T2 = Cookies dengan substitusi TBA 20 % T3 = Cookies dengan substitusi TBA 30 % T4 = Cookies dengan substitusi TBA 40 % T5 = Cookies dengan substitusi TBA 50 % Berdasarkan Tabel 9, menunjukkan bahwa perlakuan substitusi TBA berbeda nyata (P<0,05) terhadap pengukuran hardness cookies. Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa substitusi TBA menyebabkan tingkat kekerasan cookies menurun. Menurut Sarofa et al., (2011), bahwa tepung dalam pembuatan cookies berperan dalam pembentukan struktur. Kandungan pati dalam bahan pangan berpengaruh terhadap hardness. Pada perlakuan T0 menunjukkan cookies paling keras dikarenakan kandungan pati pada tepung terigu lebih tinggi dibandingkan TBA. Menurut Whistler et al., (1984), bahwa gelatinisasi dan retrogradasi pati berpengaruh terhadap tekstur bahan pangan. Tepung terigu mengandung pati yang lebih tinggi dibandingkan TBA sehingga cookies memiliki tekstur yang lebih keras. Menurut Whistler et al., (1984), bahwa pati dapat memperkuat tekstur dan reologi bahan pangan. Didukung pendapat Wulandari et al., (2016), bahwa penyerapan air oleh pati menyebabkan granula pati menggelembung apabila dilakukan pemanasan maka terjadi gelatinisasi pati dan gel pati mengalami dehidrasi yang membentuk struktur kuat. Hardness cookies juga dipengaruhi oleh kandungan gluten. TBA tidak mengandung gluten yang berperan dalam membentuk tekstur. Cookies dengan substitusi tepung biji alpukat memiliki kandungan gluten yang lebih rendah. Gluten yang terbentuk dari adonan akan menahan udara dan gas CO2 sehingga 26
27
terbentuk struktur dari cookies. Menurut Prasetyo (1988), protein gluten yang terkandung dalam tepung terigu dapat meningkatkan kerenyahan cookies. Ditambahkan pendapat Rakhmawati et al., (2014), bahwa protein akan berinteraksi dengan air sehingga adonan menjadi keras karena berkurangnya kandungan air.
4.4. Warna Cookies Biji Alpukat
Berdasarkan penelitian diperoleh rata-rata warna cookies dengan perbedaan perlakuan substitusi TBA dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Warna Cookies dengan Perbedaan Substitusi Tepung Biji Alpukat T0 Rerata± Standar Deviasi
74,89 f ± 0,83
Warna pada Perlakuan T1 T2 T3 T4 --------------------------(L/Kecerahan)------------------------53,96 e ± 46,79 d ± 40,77 c ± 34,12 b ± 1,27 0,56 0,63 0,96
T5 28,06 a ± 0,46
Keterangan : * Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda dan pada baris ratarata yang sama menunjukkan terdapat perbedaan nyata (P<0,05) T0 = Cookies tanpa substitusi TBA T1 = Cookies dengan substitusi TBA 10 % T2 = Cookies dengan substitusi TBA 20 % T3 = Cookies dengan substitusi TBA 30 % T4 = Cookies dengan substitusi TBA 40 % T5 = Cookies dengan substitusi TBA 50 % Berdasarkan Tabel 10, menunjukkan bahwa perlakuan substitusi TBA berbeda nyata (P<0,05) terhadap pengukuran hardness cookies. Nilai yang lebih rendah menunjukkan warna yang lebih gelap dan sebaliknya. Didukung pendapat Fitriani et al., (2013), bahwa semakin cerah warna maka nilai L semakin tinggi. Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa substitusi TBA menyebabkan perubahan warna yang tidak sesuai dengan warna cookies pada umumnya. Menurut Winarno (2004), warna akan menentukan mutu bahan pangan secara 27
28
visual. Berdasarkan pengujian menunjukkan perlakuan T5 memiliki nilai rata-rata warna paling rendah. Penambahan TBA menyebabkan cookies berwarna lebih gelap. Perubahan warna yang terjadi pada cookies dengan substitusi TBA dikarenakan biji alpukat mengandung senyawa fenolik yang menyebabkan terjadinya reaksi pencoklatan (browning) enzimatik. Menurut Zuhrotun (2007), senyawa yang terkandung dalam biji alpukat meliputi polifenol, flavonoid, triterpenoid, kuinon, saponin, tanin dan monoterpenoid dan seskuiterpenoid. Didukung pendapat Winarno (1986), bahwa bahan pangan yang mengandung senyawa fenolik dapat mengalami pencoklatan enzimatik.
28
29
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Substitusi tepung biji alpukat hingga 50% tidak berpengaruh terhadap kadar air dan aktivitas air cookies. Namun substitusi tepung biji alpukat hingga 50% berpengaruh menurunkan hardness dan warna cookies lebih gelap. Substitusi tepung biji alpukat terbaik berdasarkan kadar air, aktivitas air, hardness dan warna cookies yaitu pada substitusi 30%.
5.2. Saran
Berdasarkan penelitian, substitusi tepung bij alpukat tidak berpengaruh terhadap kadar air dan aktivitas air cookies sehingga dapat mensubstitusi penggunaan tepung terigu.
29
30
DAFTAR PUSTAKA
Afrianti, L. H. 2010. Pengawet Makanan Alami dan Sintetis. Alfabeta, Bandung. Akubor, P., I., (2003). Functional Properties and Performance of Cowpea/ Plantain/ Wheat Flour Blends in Biscuits. Plant Food for Human Nutrition (Formerly Qualitas Plantarum). 58 (3): 1-8. Apriliani, M. W. 2010. Pengaruh penggunaan tepung tapioka dan carboxymethyl cellulose (CMC) pada pembuatan keju mozzarella terhadap kualitas fisik dan organoleptik. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya, Malang. Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari dan S. Budijanto. 1989. Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB : Bogor. Asmarajati, T. 1999. Pengaruh Blanching dan Suplementasi Bekatul Terhadap Kualitas Cookies. Skripsi. Fakultas Pertanian. UNSOED, Purwokerto. Astawan, M. 2008. Membuat Mie dan Bihun. Penebar Swadaya : Jakarta. Belinda. 2009. Evaluasi mutu cookies campuran tepung kacang hijau (Phaseolus radiatus, Linn) dan beras (Oryza sativa) sebagai bahan tambahan bagi ibu hamil. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor. Brennan, J.G., J. R. Butters., N. D. Cowell and A. E. V. Lilly. 1990. Food Engineering Operations 3th Ed. Elsevier Publishing Co., New York. Brown, A. 2000. Understanding Food: Principles and Preparation. Wadsworth Inc., Belmont. Buckle, K. A., R. A. Edward., G. H. Fleet and N. Woodon. 1985. Ilmu Pangan. Terjemahan Hari Purnomo dan Adiono. UI Press. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. 1996. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bhratara Karya Aksara, Jakarta. Desrosier, N. W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. UI Press. Jakarta. Ekafitri, R., A. Sarifudin dan D. N. Surahman. 2013. Pengaruh penggunaan tepung dan puree pisang terhadap katakteristik mutu makanan padat berbasis pisang. Penelitian Gizi dan Makanan. 36 (2) : 127-134.
30
31
Fajiarningsih, H. 2013. Pengaruh penggunaan komposit tepung kentang (Solanum tuberosum L) terhadap kualitas cookies. Food Science and Culinary Education Journal. 2 (1) : 36-44. Fitasari, E. 2009. Pengaruh tingkat penambahan tepung terigu terhadap kadar air, kadar lemak, kadar protein, mikrostruktur dan mutu organoleptik keju gouda olahan. J. Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak. 4 (2) : 17-29. Fitriani., Sugiyono dan E. H.Purnomo. 2013. Pengembangan produk makaroni dari campuran jewawut (Setaria italica L.), ubi jalar ungu (Ipomoea batatas var. Ayamurasaki) dan terigu (Triticum aestivum L.). J. Pangan. 22 (4) : 349-364. Francis, F. J. 1982. Anthocyanin as Food Colour. New York: Academic Press. Ghozali, T., S. Efendi dan H. A. Buchori. 2013. Senyawa fitokimia pada cookies jengkol (Pitheocolobium jiringa). J. Agroteknologi. 7 (2) : 120-128. Gomez, A. A., dan K. A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Diterjemahkan oleh E. Syamsuddin dan Justika S. B. UI Press, Jakarta. Halimah, A. D. N., Istiqomah dan S. S. Rohmah. 2014. Pengolahan limbah biji alpukat untuk pembuatan dodol pati sebagai alternatif pengobatan ginjal. J. Ilmiah Mahasiswa. 4 (1) : 32-37. Hanafi, A. 1999. Potensi Tepung Ubi Jalar sebagai Bahan Substitusi Tepung Terigu pada Proses Pembuatan Cookies yang Disuplementasi dengan Kacang Hijau. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor. Hariana, A. 2004. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Penebar Swadaya : Depok. Hastuti, A. Y. 2012. Aneka Cookies Paling Favorit, Populer, Istimewa. Cetakan Pertama. Dunia Kreasi, Jakarta. Herawati, H. 2008. Penentuan umur simpan pada produk pangan. J. Litbang Pertanian. 27 (4) : 124-130. Katja, D. G., E. Suryanto dan F. Wehantouw. 2009. Potensi daun alpukat (Persea americana Mill) sebagai sumber antioksidan alami. Chemical Prog. 2 (1) : 58-64. Kusnadi, D. C., V. P. Bintoro dan A. N. Al-Baarri. 2012. Daya ikat air, tingkat kekenyalan dan kadar protein pada bakso kombinasi daging sapi dan daging kelinci. J. Aplikasi Teknologi Pangan. 1 (2) : 28-31. 31
32
Leniger, H.A. and W. A. Baverloo. 1975. Food Prosess Engineering. D. Reidel Publishing Company, Dordreht. Holland. Manley, D. 2000. Technology of Biscuits, Crackers, And Cookies. Third edition. Woodhead Publishing Limited, Cambridge. Manley, D. J. R. 1983. Technology of Biscuit, Crackers And Cookies. Ellis Horwood Limited Publ, Chicester. Marlinda, M., M. S. Sangi dan A. D. Wuntu. 2012. Analisis Senyawa Metabolit Sekunder dan Uji Toksisitas Ekstrak Etanol Biji Buah Alpukat (Persea americana Mill.). J. MIPA UNSRAT ONLINE. 1 (1) : 24-28. Matz, S. A. dan T. D. Matz. 1978. Cookies and Crackers Technology. The AVI Publishing Co. Inc., Texas. Meyer,L.H. 1980. Food Chemistry. AVI Publishing Co., Wetport, Connecticut. Midlanda, H. M., L. M. Lubis dan Z. Lubis. 2014. Pengaruh metode pembuatan tepung jagung dan perbandingan tepung jadung dan tepung beras terhadap mutu cookies. J. Rekayasa Pangan dan Pertanian. 2 (4) : 20-31. Muin, R., D. Lestari dan T. W. Sari. 2014. Pengaruh konsentrasi asam sulfat dan waktu fermentasi terhadap kadar bioetanol yang dihasilkan dari biji alpukat. J. Teknik Kimia. 4 (20) : 1-7. Nurbaya, S. R dan T. Estiasih. 2013. Pemanfaatan talas berdaging umbi kuning (Colocasia esculenta (L.) Schott) dalam pembuatan cookies. J. Pangan dan Agroindustri. 1 (1) : 46-55. Ozdemir, F dan A. Topuz. 2004. Changes in dry matter, oil content and fatty acids composition of avocado during harvesting time and post-harvesting ripening period. Food Chem. 86 : 79–83. Pradipta, I. B. Y. V dan W. D. R. Putri. 2015. Pengaruh proporsi tepung terigu dan tepung kacang hijau serta subtitusi dengan tepung bekatul dalam biskuit. J. Pangan dan Agroindustri. 3 (3) : 793-802. Prasetyo, B. E. 1988. Analisis Suplementasi Tepung Beras dengan Tepung Kacang Gude dalam Pembuatan Cookies. Skripsi. Jurusan Pengolahan Hasil Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Yogyakarta. Prasetyowati., R. Pratiwi dan T. O. Fera. 2010. Pengambilan minyak biji alpukat (Persea Americana Mill) dengan metode ekstraksi. J. Teknik Kimia. 2 (17) : 16-24. 32
33
Purba, E. S dan T. Gultom. 2013. Pengaruh lama fermentasi terhadap kadar etanol dari biji alpukat (Persea Americana Mill). Artikel Skripsi. Jurusan Pendidikan Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Yogyakarta. Rakhmawati, N., B. S. Amanto dan D. Praseptiangga. 2014. Formulasi dan evaluasi sifat sensoris dan fisikokimia produk flakes komposit berbahan dasar tepung tapioka, tepung kacang merah (Phaseolus vulgaris L.) dan tepung konjac (Amorphophallus oncophillus). J. Teknosains Pangan. 3 (1) : 63-73. Rangkuti, P. A., R. Hasbullah dan K. S. U. Sumariana. 2012. Uji performansi mesin penepung tepi disc (disc Mill) untuk penepungan juwawut (Setaria italica (L.) P. Beauvois. AGRITECH. 32 (1) : 66-72. Riganakos, K. A and M. G. Kontominas. 1995. Effect of heat treatment on moisture sorption behavior of wheat flours using a hygrometric technique. G. Charalambous (Ed). Food Flavors : Generation Analysis and Process Influence Journal 37 : 995–1005. Rismunandar. 1986. Memperbaiki Lingkungan Dengan Bercocok Tanam Jambu Mede dan Alpukat. Sinar Baru : Bandung. Risyad, A., R. L. Permadani dan M. Z. Siswarni. 2016. Ekstraksi minyak dari biji alpukat (Persea americana Mill) menggunakan pelarut N-Heptana. J. Teknik Kimia. 5 (1) : 34-39. Rosida., T. Susilowati dan A. D. Manggarani. 2014. Kajian kualitas cookies ampas kelapa. J. Rekapangan. 8 (1) : 104-116. Samson, J.A. 1980. Tropical Fruits. Longman Inc : New York. Sarofa, U., T. Mulyani dan Y. A. Wibowo. 2011. Pembuatan cookies berserat tinggi dengan memanfaatkan tepung ampas mangrove (Sonneratiacaseolaris). REKAPANGAN. 5 (2) : 58-67. Simamora, A. S. K. Y., I. Suhaidi dan E. Yusraini. 2014. Pengaruh lama pengeringan kentang dan perbandingan tepung terigu dan tepung kentang terhadap mutu cookies kentang. J. Rekayasa Pangan dan Pert. 2 (3) : 1-10. Smith, W. H. 1972. Biscuit, Crakers and Cookies. Applied Science Publisher Ltd, London. Vol. 1. SNI (01-2973-1992). Syarat Mutu Cookies. Standar Nasional Indonesia, Jakarta.
33
34
SNI (3751-2009). Tepung terigu sebagai bahan makanan. Standar Nasional Indonesia, Jakarta. Sultan, W. J. 1981. Practical Baking. 3rd ed.,revised. The AVI Publishing Company, Inc. Westport Connecticut. Suryani, A., E. Hidayat., D. Sadyaningsih dan E. Hambali. 2007. Bisnis Kue Kering. Penebar Swadaya. Jakarta. Syarief, R dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Turistyawati, R. 2011. Pemanfaatan tepung suweg (Amorphopallus campanulatus) sebagai substitusi tepung terigu pada pembuatan cookies. Skripsi. Program studi teknologi hasil pertanian. Universitas sebelas maret. Van Steenis, C. G. J. 2002. Flora untuk Sekolah di Indonesia. Diterjemahkan oleh Moeso Sarjowinoto, Edisi Ke 6. Prodni Paramita : Jakarta. Visita, B. F dan W. D. R. Putri. 2014. Pengaruh penambahan bubuk mawar merah (Rosa damascene Mill) dengan jenis bahan pengisi berbeda pada cookies. J. Pangan dan Agroindustri. 2 (1) : 39-46. Wahjuningsih, S. B dan B. Kunarto. 2009. Aktivitas antioksidan β-Karoten ubi jalar yang dienkapsulasi menggunakan gum arab-maltodekstrin dan diaplikasikan pada cookies. AGRITECH. 29 (1) : 10-15. Whistler, L. R., B. N. James dan P. F. Eugene.1984. Starch: Chemistry And Technology. New York, London. Widaningrum., S. Widowati dan S. T. Soekarto. 2005. Pengayaan tepung kedelai pada pembuatan mie basah dengan bahan baku tepung terigu yang disubtitusi tepung garut. J. Pascapanen. 2 (1) : 41-48. Wijayanti, W., T. Mahfud dan D. K. Bambang. 2015. Acceptance test oatmeal cookies dengan substitusi dedak padi. Teknobuga. 2 (2) : 9-17. Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta. Winarno, F. G. 1986. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta. Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.
34
35
Winarti, S dan Y. Purnomo, 2006. Olahan Biji Buah. Trubus Agrisarana. Surabaya. Wulandari, F. K., B. E. Setiani dan S. Susanti, 2016. Analisis kandungan gizi, nilai energi, dan uji organoleptik cookies tepung beras dengan substitusi tepung sukun. J. Aplikasi Teknologi Pangan. 5 (4) : 107-112. Zuhrotun, A. 2007. Aktivitas antidiabetes ekstrak etanol biji buah alpukat (Persea Americana Mill.) Bentuk bulat. Karya Ilmiah. Universitas Padjadjaran, Bandung.
35
36
LAMPIRAN
Lampiran 1. Output Analisis Statistik SPSS Kadar Air Cookies ANOVA kadar_air Sum of Squares Between Groups
Df
Mean Square
8.715
5
1.743
Within Groups
31.349
24
1.306
Total
40.063
29
kadar_air Duncan perlakuan
Subset for alpha = 0.05
N
1 T5
5
4.274700
T4
5
4.415680
T3
5
4.826240
T2
5
5.028660
T1
5
5.127440
T0
5
5.924780
Sig.
.053
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
36
F 1.334
Sig. .284
37
Lampiran 2. Output Analisis Statistik SPSS Aktivitas Air Cookies ANOVA Aw Sum of Squares
Df
Mean Square
Between Groups
.010
5
.002
Within Groups
.113
24
.005
Total
.124
29
Aw Duncan perlakuan
Subset for alpha = 0.05
N
1 T4
5
.40560
T5
5
.41760
T3
5
.42160
T1
5
.42200
T2
5
.43560
T0
5
.46460
Sig.
.243
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
37
F
Sig. .441
.815
38
Lampiran 3. Output Analisis Statistik SPSS Hardness Cookies ANOVA Hardness Sum of Squares
Df
Mean Square
Between Groups
904579.175
5
180915.835
Within Groups
100566.200
24
4190.258
1005145.375
29
Total
F 43.175
Hardness Duncan Perlakuan
N
Subset for alpha = 0.05 1
2
3
4
T5
5
77.6000
T4
5
92.7000
T3
5
T2
5
T1
5
470.2000
T0
5
526.0000
Sig.
230.6000 362.4000
.715
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
38
1.000
.186
Sig. .000
39
Lampiran 4. Output Analisis Statistik SPSS Warna Cookies ANOVA Warna Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
Df
Mean Square
6937.760
5
1387.552
16.490
24
.687
6954.250
29
F
Sig.
2019.531
.000
Warna Duncan perlakuan
N
Subset for alpha = 0.05 1
T5
5
T4
5
T3
5
T2
5
T1
5
T0
5
Sig.
2
3
4
5
6
28.06140 34.12300 40.77240 46.78900 53.96452 74.88660 1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
39
1.000
1.000
1.000
1.000
40
Lampiran 5. Dokumentasi Warna Cookies
Warna cookies masing-masing perlakuan
40
41
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sukoharjo pada tanggal 5 Maret 1995. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara yang lahir dari pasangan Bapak Suyanto dan Ibu Sustiwi. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri Kemasan 1 Surakarta pada tahun 2007, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 9 Surakarta pada tahun 2009 dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 7 Surakarta pada tahun 2012. Tahun 2013 penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Diponegoro Semarang pada Program Studi S-1 Teknologi Pangan Departemen Pertanian Fakultas Peternakan dan Pertanian. Penulis berhasil menyelesaikan Laporan Praktek Kerja Lapangan yang berjudul ”Pengujian Efektivitas Pengawet pada Tepung Onggok sebagai Bahan Baku Saus di PT Lombok Gandaria Karanganyar” pada 25 Mei 2016.
41