STUDI POTENSI LANSKAP SEJARAH KAWASAN PECINAN GLODOK JAKARTA SEBAGAI KAWASAN WISATA SEJARAH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Oleh HENDRY A34203011
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
LEMBAR PENGESAHAN Judul
: Studi Potensi Lanskap Sejarah Kawasan Pecinan Glodok Jakarta Sebagai Kawasan Wisata Sejarah
Nama
: Hendry
NRP
: A34203011
Menyetujui, Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Nurhayati H.S. Arifin, MSc
Ir. Qodarian Pramukanto, MSi
NIP. 131 578 796
NIP. 131 669 948
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr. NIP 131 124 019
Tanggal disetuji
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ Studi Potensi Lanskap Sejarah Kawasan Pecinan Glodok Jakarta Sebagai Kawasan Wisata Sejarah” belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi atau lembaga mana pun untuk tujuan memperoleh gelar akademik tertentu. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2008
Hendry A34203011
STUDI POTENSI LANSKAP SEJARAH KAWASAN PECINAN GLODOK JAKARTA SEBAGAI KAWASAN WISATA SEJARAH
HENDRY A34203011
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya Skripsi dengan judul Studi Potensi Lanskap Sejarah Kawasan Pecinan Glodok Jakarta Sebagai Kawasan Wisata Sejarah ini dapat terselesaikan dengan baik. Studi mengenai potensi lanskap sejarah di Kawasan Pecinan Glodok ini dilakukan karena adanya dorongan untuk melestarikan nilai penting sejarah yang ada pada kawasan. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Dr. Ir. Nurhayati Hadi Susilo Arifin, MSc dan Bapak Ir. Qodarian Pramukanto, MSi selaku pembimbing skripsi atas segala arahan dan bimbingannya selama penyusunan skripsi ini. 2. Ibu Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA selaku dosen penguji atas saran-sarannya. 3. Ibu Ir. Indung Siti Fatimah, MSi selaku pembimbing akademik yang selalu sabar membimbing penulis selama melakukan kegiatan akademik. 4. Bapak Candrian Attahiyyat atas bantuan buku dan kesabarannya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang penulis ajukan. Kang Asep Kambali Mas Kartum Setiawan, Mba Rizka, serta Komunitas Historia atas bantuan dan informasinya. 5. Bapak Suhardjo dari Subdinas Tata Kota Jakarta Barat atas peta-petanya, seluruh staf Subdinas Pariwisata dan Kebudayaan Jakarta Barat, serta seluruh pihak pengelola masing-masing obyek atas informasi yang telah diberikan. 6. Mba Vera yang sudah banyak membantu dan memberikan masukan kepada penulis. 7. Ayu, Ribka, Puji, Suci, Mphiet, Wita, Shasa, Meidi, Allin, Baiq, Muti, Titi, Dwi, Irma-KPM, Icha-EPS, Alexander Fendiku, Ko Vincent, Ko Citeq, Aji serta teman-teman Lanskap 40 atas persahabatan yang penuh warna dan dukungannya. 8. Teman-teman di Wisma Galih serta berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala semangat dan dukungannya.
9. Mama, Papa, Rudy my bro, my cute sis Rona ‘Mimi’ dan seluruh keluarga atas segala kasih sayang, perhatian, doa, dan dukungannya baik moril maupun materil kepada penulis. Akhir kata semoga skripsi ini dapat berguna bagi Pemerintah Kotamadya Jakarta Barat dan pihak-pihak terkait dalam melestarikan Kawasan Pecinan Glodok dan mengembangkannya sebagai kawasan wisata sejarah, serta bagi pihak-pihak yang membutuhkannya.
Bogor, Januari 2008 Penulis
RIWAYAT HIDUP Hendry, dilahirkan di Palembang pada tanggal 6 Januari 1985. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak Supardi Angkasawan dan Ibu Paulina. Penulis menamatkan pendidikan dasarnya pada tahun 1997 di SD Xaverius Lubuk Linggau, kemudian meneruskan pendidikan ke SLTP Xaverius Lubuk Linggau dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan lanjutan atas di SMU Xaverius Lubuk Linggau dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2003, penulis diterima di IPB melalui jalur Penelusuran Minat, Bakat, dan Kemampuan (PMDK) sebagai mahasiswa Program Studi Arsitektur Lanskap, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
RINGKASAN HENDRY. A34203011. Studi Potensi Lanskap Sejarah Kawasan Pecinan Glodok Jakarta Sebagai Kawasan Wisata Sejarah. (Di bawah bimbingan NURHAYATI H.S. ARIFIN dan QODARIAN PRAMUKANTO). Kawasan Pecinan Glodok yang merupakan peninggalan masa kolonial Belanda memiliki nilai sejarah yang cukup penting dalam perkembangan masyarakat Tionghoa di Jakarta. Di dalamnya terdapat bangunan-bangunan bersejarah dengan keunikannya masing-masing. Akan tetapi banyak peninggalan bersejarah tersebut kurang mendapat perhatian dan terkesan tersisihkan akibat pertumbuhan ekonomi yang begitu pesat. Diharapkan dengan memberdayakan bangunan dan lanskap sejarah sebagai obyek wisata akan dapat membantu pelestarian bangunan dan lanskap sejarah itu sendiri, sehingga nilai-nilai sejarah yang ada pada Kawasan Pecinan Glodok dapat tetap lestari. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam studi ini adalah mengidentifikasi dan menganalisis potensi lanskap bersejarah Kawasan Pecinan Glodok untuk pengembangan wisata sejarah di Jakarta. Studi ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai nilai sejarah dan kondisi elemen lanskap sejarah yang ada di Kawasan Pecinan Glodok dan memberikan masukan kepada dinas terkait untuk upaya pelestarian lanskap dan pengembangannya sebagai suatu kawasan wisata sejarah. Penelitian dilaksanakan di Kawasan Pecinan Glodok, Kotamadya Jakarta Barat. Survei pendahuluan pada tapak mulai dilakukan pada bulan Februari 2007, dilanjutkan dengan pengumpulan data, pengolahan data, dan penyusunan laporan sampai dengan bulan September 2007. Tahapan studi yang dilakukan meliputi pengumpulan data dengan menggunakan metode survei, analisis dengan menggunakan metode deskriptif, serta sintesis untuk memformulasikan hasil analisis. Aspek-aspek yang menjadi pertimbangan dalam pengembangan wisata sejarah meliputi aspek pelestarian lanskap sejarah itu sendiri dan aspek wisata. Analisis terkait dengan upaya pelestarian lanskap sejarah mencakup faktor kesejarahan, kondisi fisik dan status perlindungan, pengelolaan lingkungan sekitar, serta kebijakan pemerintah. Sedangkan analisis aspek wisata meliputi faktor daya tarik lanskap sejarah sebagai obyek wisata, fasilitas interpretasi dan informasi, dan pengelolaan aktivitas wisata, serta aspek penunjang wisata yang meliputi penyediaan sarana dan prasarana transportasi, fasilitas pelayanan, informasi dan promosi, dan potensi wisatawan. Dari studi in teridentifikasi suatu area yang mempunyai karakter Pecinan yang kuat dan di dalamnya terdapat bangunan-bangunan bersejarah, yaitu Kelenteng Budhi Dharma, Kelenteng Toa Sai Bio, Gereja Santa Maria de Fatima, Kelenteng Jin De Yuan, Toko Obat Lay An Tong, Kelenteng Ariya Marga, Gedung Tiong Hoa Hwee Koan (SMUN 19), Rumah Keluarga Souw, Kelenteng Tanda Bhakti, dan Jalan Blandongan. Area ini ditetapkan sebagai zona inti. Di sekeliling zona inti ditetapkan sebagai zona penyangga. Zona penyangga ini masih mempunyai karakteristik Pecinan seperti Kawasan Pasar Pagi Lama dan Kawasan Pancoran. Sebagai zona penyangga diharapkan dapat berfungsi untuk
menyangga dan melindungi zona inti. Penetapan zona inti dan penyangga ini sangat penting untuk pengelolaan pelestarian dan pengembangannya. Pada studi ini diusulkan juga tindakan pelestarian pada obyek-obyek bersejarah serta tingkat pelestarian/ perlindungan pada zona inti dan zona penyangga. Seluruh kawasan baik lanskap, bangunan bersejarah, serta atmosfer kehidupan masyarakat di dalamnya mempunyai potensi tinggi dan sedang untuk dikembangkan sebagai obyek wisata. Konsep dasar yang dikembangkan adalah wisata sejarah untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman (learning by travelling) tentang keberadaan Kawasan Pecinan Glodok sebagai bagian penting dari perkembangan Kota Jakarta. Terbentuknya konsep ini didasarkan atas alasan untuk menjaga kelestarian bangunan dan lanskap sejarah di kawasan tersebut dengan meningkatkan wawasan dan kesadaran pengunjung. Konsep ini didukung dengan upaya peningkatan karakter lanskap sejarah sebagai obyek wisata serta peningkatan kualitas dan kuantitas fasilitas yang memadai. Konsep diaplikasikan dengan merencanakan pengembangan jalur interpretasi dengan pertimbangan letak bangunan/obyek sejarah sebagai komponen Kawasan Pecinan Glodok, karakter kawasan/ lanskap yang masih kuat, serta kondisi aksesibilitas dan sirkulasi yang ada.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL........................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR.......................................................................................x I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...................................................................................... 1 1.2 Tujuan Penelitian.................................................................................. 4 1.3 Manfaat Penelitian................................................................................ 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Sejarah.................................................................................... 6 2.2 Pelestarian Lanskap Sejarah................................................................. 6 2.3 Benda Cagar Budaya.............................................................................10 2.4 Lanskap Sejarah sebagai Obyek Wisata Sejarah.................................. 13 2.5 Wisata Sejarah...................................................................................... 13 2.6 Istilah Pecinan.......................................................................................15 III. METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Studi...................................................................... 17 3.2 Metode Penelitian................................................................................. 18 IV. KONDISI UMUM 4.1 Lokasi, Batas, dan Aksesibilitas Tapak................................................ 23 4.2 Tata Guna Lahan...................................................................................24 4.3 Iklim......................................................................................................25 4.4 Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat..............................27 4.5 Sejarah Kawasan Pecinan Glodok........................................................ 28 4.5.1 Asal dan Arti Nama Glodok..................................................... 28 4.5.2 Perkembangan Kawasan Pecinan Glodok................................ 28 4.6 Kondisi Lanskap Khas Pecinan Glodok............................................... 30 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Lanskap Sejarah.................................................................................... 31 5.1.1 Pasar Pagi Lama........................................................................31 5.1.1.1 Sejarah Singkat............................................................. 31 5.1.1.2 Kondisi Fisik.................................................................33 5.1.1.3 Pengelolaan Pelestarian................................................ 33 5.1.1.4 Lingkungan................................................................... 34 5.1.2 Toko Obat Lay An Tong............................................................35 5.1.2.1 Sejarah Singkat............................................................. 35
5.1.2.2 Kondisi Fisik.................................................................36 5.1.2.3 Pengelolaan Pelestarian................................................ 36 5.1.2.4 Lingkungan................................................................... 37 5.1.3 Kelenteng Budhi Dharma......................................................... 37 5.1.3.1 Sejarah Singkat............................................................. 38 5.1.3.2 Kondisi Fisik.................................................................38 5.1.3.3 Pengelolaan Pelestarian................................................ 39 5.1.3.4 Lingkungan................................................................... 39 5.1.4 Kelenteng Ariya Marga.............................................................39 5.1.4.1 Sejarah Singkat............................................................. 40 5.1.4.2 Kondisi Fisik.................................................................41 5.1.4.3 Pengelolaan Pelestarian................................................ 41 5.1.4.4 Lingkungan................................................................... 42 5.1.5 Gedung Tiong Hoa Hwee Koan (THHK)/SMU 19.................. 42 5.1.5.1 Sejarah Singkat............................................................. 43 5.1.5.2 Kondisi Fisik.................................................................43 5.1.5.3 Pengelolaan Pelestarian................................................ 44 5.1.5.4 Lingkungan................................................................... 45 5.1.6 Rumah Keluarga Souw..............................................................45 5.1.6.1 Sejarah Singkat............................................................. 45 5.1.6.2 Kondisi Fisik dan Status............................................... 46 5.1.6.3 Pengelolaan Pelestarian................................................ 46 5.1.6.4 Lingkungan................................................................... 47 5.1.7 Jalan Blandongan...................................................................... 48 5.1.7.1 Sejarah Singkat............................................................. 48 5.1.7.2 Kondisi Fisik dan Status............................................... 48 5.1.7.3 Pengelolaan Pelestarian................................................ 49 5.1.7.4 Lingkungan................................................................... 50 5.1.8 Kelenteng Tanda Bhakti........................................................... 50 5.1.8.1 Sejarah Singkat............................................................. 50 5.1.8.2 Kondisi Fisik.................................................................51 5.1.8.3 Pengelolaan Pelestarian................................................ 51 5.1.8.4 Lingkungan................................................................... 52 5.1.9 Kelenteng Toa Sai Bio.............................................................. 52 5.1.9.1 Sejarah Singkat............................................................. 53 5.1.9.2 Kondisi Fisik.................................................................53 5.1.9.3 Pengelolaan Pelestarian................................................ 54 5.1.9.4 Lingkungan................................................................... 54 5.1.10 Gereja Santa Maria de Fatima.................................................55 5.1.10.1 Sejarah Singkat........................................................... 55 5.1.10.2 Kondisi Fisik dan Status............................................. 56 5.1.10.3 Pengelolaan Pelestarian.............................................. 57 5.1.10.4 Lingkungan................................................................. 57 5.1.11 Kelenteng Jin De Yuan........................................................... 58 5.1.11.1 Sejarah Singkat........................................................... 58 5.1.11.2 Kondisi Fisik dan Status............................................. 59 5.1.11.3 Pengelolaan Pelestarian.............................................. 61 5.1.11.4 Lingkungan................................................................. 61
5.1.12 Pancoran/Glodokplein.............................................................62 5.1.12.1 Sejarah Singkat........................................................... 62 5.1.12.2 Kondisi Fisik...............................................................63 5.1.12.3 Pengelolaan Pelestarian.............................................. 63 5.1.12.4 Lingkungan................................................................. 64 5.1.13 Kebijakan Pelestarian..............................................................65 5.2 Keberlanjutan Lanskap Sejarah............................................................ 66 5.3 Upaya Pelestarian..................................................................................69 5.4 Lanskap Sejarah sebagai Obyek Wisata............................................... 74 5.4.1 Daya Tarik Wisata.................................................................... 74 5.4.2 Fasilitas Interpretasi.................................................................. 78 5.4.3 Aksesibilitas dan Sirkulasi .......................................................79 5.4.4 Pengunjung............................................................................... 83 5.4.5 Pengelolaan Wisata...................................................................85 5.5 Aspek Penunjang Wisata...................................................................... 86 5.5.1 Sarana dan Prasarana Transportasi........................................... 87 5.5.2 Fasilitas Pelayanan....................................................................88 5.5.3 Informasi dan Promosi..............................................................90 5.5.4 Potensi Wisatawan.................................................................... 91 5.6 Potensi dan Kendala Lanskap Sejarah sebagai Obyek Wisata............. 91 5.7 Potensi dan Kendala Aspek Penunjang Wisata.................................... 94 5.8 Konsep Pengembangan Wisata Sejarah................................................98 5.8.1 Konsep Dasar............................................................................ 100 5.8.2 Konsep Tata Ruang...................................................................100 5.8.3 Sirkulasi dan Jalur Interpretasi..................................................102 5.8.4 Peningkatan Daya Tarik Lanskap Sejarah sebagai Obyek Wisata............................................................................107 5.8.5 Peningkatan Aspek Penunjang Wisata......................................109 VI. KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................112 6.1 Kesimpulan........................................................................................... 112 6.2 Saran ...................................................................................................113 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................115
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman Text
1
Kriteria Penilaian Obyek Wisata Kawasan Pecinan Glodok................ 20
2
Kriteria Penilaian Kondisi Akses Keluar Masuk Obyek Wisata Sejarah...................................................................................... 21
3
Kriteria Penilaian Potensi Keberlanjutan Obyek/Lanskap Sejarah...................................................................................................22
4
Data Iklim Jakarta Barat Tahun 2006................................................... 26
5
Keadaan Iklim Wilayah Jakarta Barat.................................................. 27
6
Analisis Potensi Keberlanjutan Lanskap Sejarah................................. 67
7
Upaya Pelestarian Lanskap Sejarah...................................................... 72
8
Nilai Komponen Daya Tarik Obyek Wisata Sejarah............................75 ...............................................................................................................
9
Kondisi Akses Keluar Masuk Obyek Wisata Sejarah...........................81
10 Jumlah Hotel/ Penginapan di Kotamadya Jakarta Barat.......................89 11 Jumlah Rumah Makan, Kantin, dan Bakery Menurut Kecamatan di Kotamadya Jakarta Barat................................ 89 12 Potensi dan Kendala Obyek Wisata Sejarah.........................................92 13 Keadaan Jalan Sekitar Obyek Wisata Sejarah...................................... 96 14 Nilai Potensi Secara Komposit............................................................. 100 15 Upaya Peningkatan Daya Tarik Obyek Wisata Sejarah....................... 108 16 Upaya Peningkatan Fasilitas Penunjang Wisata................................... 109
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman Text
1
Kerangka Pikir Studi.............................................................................5
2
Lokasi Studi.......................................................................................... 17
3
Tahapan Studi....................................................................................... 18
4
Tata Guna Lahan Kawasan Kota Tua................................................... 25
5
Suasana Glodok Tahun 1930-an........................................................... 29
6
Glodok Tahun 2007.............................................................................. 29
7
Lokasi Obyek........................................................................................ 32
8
Kawasan Pasar Pagi Lama.................................................................... 33
9
Pertokoan Pasar Pagi.............................................................................34
10 Suasana di Kawasan Pasar Pagi Lama..................................................35 11 Toko Obat Lay An Tong........................................................................36 12 Kondisi Sungai di Depan Toko Obat Lay An Tong.............................. 37 13 Kelenteng Budhi Dharma..................................................................... 38 14 Kondisi di Sekitar Kelenteng Budhi Dharma....................................... 39 15 Kelenteng Ariya Marga.........................................................................40 16 Kondisi di Sekitar Kelenteng Ariya Marga.......................................... 42 17 Gedung Tiong Hoa Hwee Kuan (THHK)............................................. 44 18 Prasasti Penanda Berdirinya Gedung THHK........................................44 19 Rumah Keluarga Souw..........................................................................46 20 Model Pintu Rumah Keluarga Souw yang Masih Asli......................... 47 21 Kondisi di Sekitar Rumah Keluarga Souw............................................47 22 Bangunan Langgam Cina di Jalan Blandongan.................................... 49 23 Kondisi di Sekitar Jalan Blandongan....................................................50 24 Kelenteng Tanda Bhakti....................................................................... 51 25 Kondisi di Sekitar Kelenteng Tanda Bhakti......................................... 52 26 Kelenteng Toa Sai Bio.......................................................................... 53 27 Hiolow yang Berasal Dari Tahun 1751.................................................54
Nomor
Halaman Text
28 Kondisi di Sekitar Kelenteng Toa Sai Bio............................................ 55 29 Gereja Santa Maria de Fatima...............................................................56 30 Kondisi di Sekitar Gereja Santa Maria de Fatima................................ 58 31 Kelenteng Jin De Yuan......................................................................... 60 32 Tempat Pemujaan Bagi Dewa Tanah (Toapehkong)............................ 62 33 Pancoran Tahun 1940........................................................................... 63 34 Pancoran Sekarang (2007).................................................................... 64 35 Tampak Belakang Rumah Tradisional Cina yang Berbatasan Dengan Pusat Perbelanjaan Chandra.................................................... 64 36 Atmosfer Chinese Pada Kawasan Pecinan Glodok.............................. 66 37 Zonasi Kawasan.................................................................................... 71 38 Konsep Tata Ruang Wisata...................................................................101 39 Konsep Tata Ruang Wisata Pada Kawasan Pecinan Glodok................101 40 Pola Sirkulasi Jalur Interpretasi Kawasan Pecinan Glodok..................102 41 Pelukis dengan Karya-karyanya di Sepanjang Koridor Jalan Gajah Mada-Jalan Pintu Besar Selatan........................................105 42 Jalur Wisata...........................................................................................106 43 Contoh-contoh Penggunaan Setting Untuk Meningkatkan Daya Tarik Kawasan Pecinan............................................................... 107
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya dan masyarakat Tionghoa di Indonesia telah lama menjadi bagian dari budaya bangsa. Menurut Yuanzhi (2005) dalam bukunya Silang Budaya Tiongkok Indonesia menyebutkan adalah suatu kemungkinan bahwa bagian utama bangsa Indonesia berasal dari selatan Asia, sedangkan bukan mustahil daerah sekitar Yunnan, Tiongkok Barat Daya, merupakan salah satu tempat bertolak bagi orang Melayu purba yang menyebar dalam jumlah besar ke selatan, sampai di Kepulauan Nusantara sehingga terjalinlah hubungan darah antara bangsa Tionghoa dengan bangsa Indonesia. Heuken (1997) menyebutkan bahwa jung (perahu Tionghoa) sudah berlayar dalam perairan Nusantara sejak abad ke-5. Selama masa VOC mereka membawa barang-barang dagangan yang berharga serta para imigran ke Batavia. Purcell (1997) dalam buku Kelenteng Kuno di DKI Jakarta dan Jawa Barat yang diterbitkan Depkdiknas (2000) menerangkan bahwa migrasi bangsa Cina ke wilayah Nusantara dapat dibagi menjadi tiga tahap; pertama adalah masa kerajaan; kedua adalah masa kedatangan bangsa Eropa; dan ketiga adalah masa penjajahan Belanda. Pada tahap pertama masyarakat Nusantara masih diperintah oleh kerajaankerajaan setempat, migrasi bangsa Cina semata-mata didorong oleh hubungan perdagangan. Jumlah mereka masih sangat sedikit dan belum membentuk satuansatuan komunitas yang mapan. Mereka datang ke wilayah ini sesuai dengan musim angin yang merupakan sarana utama pelayaran dimasa itu dan bermukim di sekitar pelabuhan untuk jangka waktu yang tidak terlalu lama. Tahap pertama ini dikenal dengan istilah Chinese follow the trade atau kedatangan bangsa Cina untuk berdagang. Tahap kedua terjadi setelah bangsa Eropa muncul di wilayah Asia Tenggara pada abad 16. Walaupun masih didorong oleh perdagangan, jumlah imigran bangsa Cina semakin meningkat, sesuai dengan pesatnya tingkat perdagangan. Kehadiran orang-orang Eropa seperti Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda membuat wilayah Asia Tenggara semakin ramai. Mereka mulai menjadikan beberapa pelabuhan di kawasan tersebut sebagai pusat kegiatan
ekonomi. Situasi ini membuka peluang bagi Cina untuk turut berpartisipasi lebih aktif dan memungkinkan mereka untuk tinggal di wilayah Nusantara dalam waktu yang lama. Tahap ketiga terjadi ketika kekuasaan Nusantara berada di bawah pemerintahan Belanda, telah banyak ditemukan pemukiman Cina di beberapa daerah seperti Kalimantan Barat, pantai timur Sumatera, dan sepanjang pesisir utara pulau Jawa. Tahap ini menandai bangsa Cina dalam jumlah yang besar, mereka tidak hanya didorong kepentingan dagang, tetapi juga oleh kebutuhan ekonomi secara umum. Bahkan Belanda sengaja mendatangkan orang-orang Cina untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja bagi proyek pertambangan dan perkebunan. Seiring berjalannya waktu terutama beberapa tahun belakangan ini, perkembangan budaya masyarakat Tionghoa kembali muncul dan berlangsung begitu pesat setelah sekian lama terbelenggu dalam kekuasaan Orde Baru. Hal ini bermula sejak dihapusnya Inpres No.14/1967 yang dikeluarkan mantan Presiden Soeharto yang melarang segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa secara terbuka dan digantikan oleh Kepres No.6/2000 yang dikeluarkan oleh mantan Presiden Abdurrahman Wahid serta penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Raya Nasional oleh mantan Presiden Megawati. Sejak saat itulah rantai belenggu etnis Tionghoa terlepas, mereka bebas untuk mengekspresikan kebudayaan dan adat istiadat mereka dengan lebih leluasa. Masyarakat Tionghoa sebenarnya telah lama menjadi bagian dari bangsa ini. Keberadaan mereka, tradisi dari tanah leluhur serta bagaimana akulturasi budaya yang dimiliki oleh masyarakat Tionghoa berbaur dengan budaya lokal dari dahulu hingga sekarang dapat kita lihat apabila mengunjungi kawasan-kawasan pecinan. Salah satu kawasan pecinan yang terkenal di Jakarta dan sarat dengan nilai-nilai sejarah adalah Kawasan Pecinan Glodok. Kawasan Glodok menjadi salah satu saksi bisu perkembangan budaya masyarakat Tionghoa di Jakarta. Kawasan bisnis ini dipadati oleh warga keturunan Tionghoa dengan segala budayanya yang sangat kental, karena itu dalam perkembangannya kawasan ini disebut sebagai daerah pecinan. Geliat bisnis di daerah ini sudah terjadi sejak 200 tahun silam. Ketika itu, sama dengan
seperti sekarang, pelaku bisnis yang menguasai Glodok adalah warga keturunan Tionghoa. Kini Glodok yang sudah terkenal ke sejumlah negara sebagai pasar bursa barang-barang elektronik akan semakin terkenal dengan dikembangkannya kawasan tersebut sebagai lokasi wisata belanja. Selain menarik sebagai pusat perniagaan, Glodok juga menyimpan bangunan-bangunan yang bernilai sejarah yang juga sangat menarik dijadikan sebagai objek wisata sejarah. Beberapa peninggalan sejarah yang ada di kawasan Glodok bahkan ada yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah DKI Jakarta. Bukti-bukti peninggalan sejarah yang ada diantaranya Kelenteng Jin De Yuan, Kelenteng Toa Sai Bio, Pasar Pagi Lama, Rumah Keluarga Souw, Sekolah Tiong Hoa Hwee Kuan (THHK) yang kini menjadi gedung SMUN 19, dan Gereja Santa Maria de Fatima. Selain bangunan-bangunan tersebut,
suasana
perkampungan
Cina
dengan
segala
bentuk
bersejarah kegiatan
masyarakatnya pun juga menjadi daya tarik wisata tersendiri. Namun sangat disayangkan obyek-obyek yang bernilai sejarah tersebut kurang mendapat perhatian, padahal menurut Suryalaga (2002), sejarah adalah reperesentasi dari peradaban bangsa. Sedangkan menurut Toer (2001), kekacauan yang dialami oleh bangsa Indonesia saat ini disebabkan karena kurangnya kesadaran akan sejarah sehingga bangsa ini tidak tahu dari mana harus berangkat menata masa depannya. Di era globalisasi seperti sekarang ini dimana begitu mudahnya pengaruh luar masuk dan semakin pesatnya kegiatan perdagangan di kawasan Jakarta, khususnya di Kawasan Glodok membuat aspek-aspek sejarah semakin tersisihkan dan terlupakan sehingga dikhawatirkan pada akhirnya nanti generasi-generasi mendatang akan kehilangan sejarah mereka akibat begitu majunya peradaban manusia. Oleh karena itu, dibutuhkan kepedulian untuk melestarikan nilai-nilai sejarah yang masih tersisa di Kawasan Glodok ini, termasuk pelestarian berbagai macam obyek sejarah serta lanskap sejarah yang ada di dalamnya. Pelestarian elemen dan lanskap sejarah dapat dilakukan dengan cara mengembangkannya sebagai wisata sejarah. Pengelolaan pelestarian obyek dan lanskap sejarah yang baik akan membuat objek menarik untuk dikunjungi dengan segala keutuhan, keunikan, keaslian, dan daya tarik lainnya. Menurut Yoeti
(1997), selain faktor pengelolaan yang baik suatu pengembangan wisata juga perlu ditunjang dengan faktor-faktor lainnya, seperti atraksi/obyek wisata, transportasi, wisatawan, fasilitas pelayanan, informasi dan promosi, serta kebijakan pemerintah yang mendukung. Dengan adanya pengembangan wisata di suatu kawasan maka akan memberikan keuntungan bagi objek dan lingkungan sekitarnya. Selain itu, pengembangan wisata ini juga merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk dapat menjaga, melestarikan, serta menambah wawasan sejarah, khususnya sejarah Kawasan Glodok sebagai kawasan pecinan bagi masyarakat Tionghoa yang ada di Jakarta. Dengan adanya upaya pelestarian ini niscaya sejarah dan budaya akan tetap hidup dan dapat dinikmati oleh generasi-generasi mendatang. Kerangka pikir studi dapat dilihat pada Gambar 1. 1.2. Tujuan Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis potensi lanskap bersejarah Kawasan Pecinan Glodok Jakarta untuk pengembangan wisata sejarah. 1.3. Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Memberikan informasi tentang nilai sejarah, kondisi, daya tarik bangunan dan lanskap sejarah yang ada di Kawasan Pecinan Glodok Jakarta. 2. Memberikan masukan kepada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta serta pihak-pihak terkait untuk upaya pelestarian lanskap sejarah dan pengembangan wisata sejarah di Kawasan Pecinan Glodok Jakarta.
KOTA JAKARTA terbentuk dari mozaik-mozaik kawasan dengan karakter tertentu
Kawasan Lainnya
Kawasan Pecinan (Glodok) Pembangunan dan perkembangan tanpa kepedulian terhadap pelestarian lanskap sejarah
Semakin hilangnya bangunan/ karakter Pecinan
Kesadaran pelestarian
Kebijakan dan Rencana Pemerintah DKI Jakarta : • Revitalisasi Kota Tua • Pengembangan kawasan untuk wisata budaya dan belanja
Pelestarian melalui pengembangan wisata
Potensi bangunan/lanskap sejarah sebagai obyek wisata
Potensi aspek penunjang wisata
Konsep Pengembangan
Upaya pelestarian
Aspek wisata: • Konsep ruang • Sirkulasi dan jalur interpretasi • Peningkatan daya tarik • Peningkatan faslitas penunjang wsiata
Kelestarian dan keberlanjutan Kawasan Pecinan Glodok yang didukung aktivitas wisata sejarah/budaya
Gambar 1. Kerangka Pikir Studi
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Sejarah Menurut Goodchild (1990) sebuah lanskap dikatakan memiliki nilai sejarah apabila di dalamya memuat satu atau beberapa kondisi lanskap berikut : 1. Merupakan contoh yang menarik dari sebuah tipe lanskap sejarah, 2. Memuat bukti yang menarik untuk dipelajari terkait dengan sejarah tata guna lahan, lanskap dan taman, atau sikap budaya terhadap lanskap dan taman, 3. Memiliki keterkaitan dengan seseorang, masyarakat, atau peristiwa yang penting dalam sejarah, 4. Memiliki nilai-nilai sejarah dengan bangunan atau monumen sejarah. Sedangkan menurut Siti Nurisjah dan Pramukanto (2001), lanskap sejarah (historical landscape) adalah bagian dari suatu lanskap budaya yang memiliki dimensi waktu di dalamnya. Lanskap sejarah ini dapat mempunyai bukti fisik dari keberadaan manusia di atas bumi ini. Waktu yang tertera dalam suatu lanskap sejarah yang membedakan dengan design landscape lainnya adalah keterkaitan pembentukan essential character dari lanskap ini pada waktu periode yang lalu yang didasarkan pada sistem periodikal yang khusus (seperti sistem politik, ekonomi, dan sosial). Oleh karena itu lanskap sejarah akan memainkan peranan penting dalam mendasari dan membentuk berbagai tradisi budaya, ideologikal, dan etnikal dalam satu kelompok masyarakat. Attoe (1988) menyatakan bahwa nilai sejarah dari suatu kota selain pada penampakan bangunannya juga terdapat pada lingkungan sekitarnya yang mencakup kawasan alamiah yang berhubungan dengan kota tersebut seperti wajah jalan, lokasi-lokasi bersejarah, taman-taman, serta muka bangunan yang merupakan unsur penting dari bentuk dan sifat kota tersebut. 2.2. Pelestarian Lanskap Sejarah Menurut Attoe (1988) kawasan bersejarah merupakan elemen positif yang dapat menunjukkan kualitas suatu kota. Dengan semakin berkembangnya suatu kota akan dapat mengakibatkan penurunan kualitas suatu lanskap bersejarah. Hal ini dapat disebabkan karena perencanaan kota yang kurang tepat, misalnya dengan
penggantian karakter suatu kawasan bersejarah menjadi kawasan komersil atau kawasan pemukiman. Salah satu cara untuk melindungi suatu benda bersejarah adalah dengan menggunakan kembali daerah-daerah bersejarah tersebut. Menurut Goodchild (1990) pelestarian (conservation) adalah perlindungan dan pengelolaan terhadap sumberdaya yang bernilai penting. Tujuan utama dari konservasi terhadap benda cagar budaya adalah untuk melindungi, memelihara, dan meningkatkannya agar dapat terus berkelanjutan. Goodchild (1990) juga mengemukakan terdapat beberapa alasan untuk melestarikan lanskap bersejarah, yaitu : 1. Lanskap bersejarah merupakan sesuatu yang penting dan bagian integral dari
warisan
budaya.
Keberadaannya
dapat
membantu
dalam
mendefinisikan karakteristik dari warisan budaya, sebagai suatu referensi atau landmark yang bisa dimengerti dan juga memberi nilai penting. 2. Lanskap bersejarah memberikan fakta-fakta dan arkeologi tentang sejarah dari suatu warisan budaya. 3. Lanskap
bersejarah
memberikan
kontribusi
untuk
pengembangan
selanjutnya, keberadaannya dapat dimanfaatkan sebagai obyek yang dapat dikunjungi, dipelajari, dan didiskusikan. 4. Dapat memberikan kesenangan bagi banyak orang. Lanskap sejarah dapat dijadikan sebagai tempat bersantai, rileks, rekreasi, serta membangkitkan semangat dan menemukan inspirasi. 5. Dapat memberikan keuntungan karena dapat membangkitkan serta mendorong kepariwisataan. Sedangkan menurut Siti Nurisjah dan Pramukanto (2001), pelestarian lanskap sejarah dapat didefinisikan sebagai usaha manusia untuk memproteksi atau melindungi peninggalan atau sisa-sisa budaya dan sejarah terdahulu yang bernilai dari berbagai perubahan negatif atau merusak keberadaannya atau nilai yang dimilikinya. Upaya ini bertujuan untuk memberikan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik berdasarkan kekuatan aset-aset budaya lama, dan melakukan
pencangkokan
program-program
yang
menarik
dan
kreatif,
berkelanjutan, serta merencanakan program partisipasi dengan memperhitungkan estimasi ekonomi.
Masih menurut Siti Nurisjah dan Pramukanto (2001), tujuan pelestarian lanskap sejarah dan budaya secara lebih spesifik adalah : 1. Mempertahankan warisan budaya atau sejarah yang memiliki karakter spesifik suatu kawasan. 2. Menjamin terwujudnya ragam dan kontras yang menarik dari suatu areal atau kawasan tertentu yang relatif modern akan memiliki kesan visual dan sosial yang berbeda. 3. Memenuhi kebutuhan psikis manusia untuk melihat dan merasakan eksistensi dalam alur kesinambungan masa lampau, masa kini, dan masa depan yang tercermin dalam obyek atau karya taman atau lanskap untuk selanjutnya dikaitkan dengan harga diri suatu bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. 4. Menjadikan motivasi ekonomi, peninggalan budaya dan sejarah memiliki nilai yang tinggi apabila dipelihara dengan baik, terutama apabila dapat mendukung perekonomian kota atau daerah apabila ditujukan sebagai kawasan tujuan wisata (cultural and historical type of tourism). 5. Menciptakan simbolisme sebagai manifestasi fisik dari identitas suatu kelompok masyarakat tertentu. Dalam Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 9 Tahun 1999 Tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan dan Bangunan Cagar Budaya Bab 2 Pasal 2 bahwa tujuan dari pelestarian dan pemanfaatan lingkungan dan bangunan cagar budaya adalah : 1. Mempertahankan dan memulihkan keaslian lingkungan dan bangunan yang mengandung nilai sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. 2. Melindungi dan memelihara lingkungan dan bangunan cagar budaya dari kerusakan dan kemusnahan baik karena tindakan manusia maupun proses alam. 3. Mewujudkan lingkungan dan bangunan cagar budaya sebagai kekayaan budaya untuk dikelola, dikembangkan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya dan sebesar-besarnya untuk kepentingan pembangunan dan citra positif Kota Jakarta sebagai ibukota negara, kota jasa, dan tujuan wisata. Selanjutnya Goodchild (1990) menyatakan ada beberapa tindakan
pelestarian yang dapat diterapkan pada suatu kawasan atau bagiannya yang terdiri dari satu tindakan atau campuran dari beberapa tindakan dengan kombinasi yang berbeda. Tindakan pelestarian tersebut diantaranya : 1. Rekontruksi, yaitu mengembalikan keadaan suatu obyek atau tempat yang pernah ada, tetapi sebagian besar telah hilang atau sama sekali hilang. 2. Pemberian informasi, hal ini sebagai pedoman atau saran kepada pengelola, penghuni, dan pihak-pihak lain yang terkait, seperti perencana atau pemerintah. 3. Meningkatkan pengelolaan dan perawatan pada tapak. 4. Preservasi, merupakan tindakan menjaga suatu obyek pada kondisi yang ada dengan mencegah kerusakan dan perubahan. 5. Perbaikan obyek, yaitu memperbaiki atau menyelamatkan obyek yang telah rusak atau keadaannya telah memburuk dengan tidak merubah karakter atau keutuhan obyek. 6. Meningkatkan
karakter
sejarah
pada
tapak
melalui
perbaikan,
rekonstruksi, atau pembuatan disain baru berdasarkan nilai sejarah. 7. Stabilitas dan konsolidasi, yaitu memperbaiki dan menyelamatkan obyek dari segi struktur tanpa mengubah atau dengan perubahan yang minimal pada penampakan keutuhan sejarahnya. 8. Memperbaiki karakter estetis dari tapak melalui perbaikan, pembaharuan, rekonstruksi, atau disain baru berdasarkan nilai sejarah. 9. Adaptasi atau revitalisasi, yaitu penyesuaian suatu obyek pada suatu kawasan untuk keadaan atau penggunaan baru yang sesuai, yang dilakukan dengan pemahaman yang mendalam terhadap karakter sejarah yang dimiliki obyek sehingga karakter dan keutuhan kawasan asli tetap terpelihara. Sedangkan beberapa tindakan yang perlu dilakukan terhadap lanskap bersejarah menurut Harvey dan Buggey (1988) adalah : 1. Preservasi, yaitu mempertahankan tapak sebagaimana adanya tanpa diperkenankan adanya tindakan perbaikan dan perusakan pada obyek. Implikasi pada obyek rendah.
2. Konservasi, yaitu tindakan pelestarian untuk mencegah kerusakan lebih jauh dengan campur tangan secara aktif. 3. Rehabilitasi, yaitu memperbaiki lanskap ke arah standar-standar modern dengan tetap menghargai dan mempertahankan karakter-karakter sejarah. 4. Restorasi, yaitu meletakkan kembali sekuat mungkin apa yang semula ada pada tapak. 5. Rekonstruksi, yaitu menciptakan kembali apa yang dulunya ada di tapak tetapi sudah tidak ada lagi. 6. Meletakkan apa yang sesuai pada suatu periode, skala, penggunaan, dan seterusnya. Harris dan Dines (1988) mengajukan empat hal utama tindakan preservasi untuk pelestarian lanskap sejarah, yaitu : 1. Menyelamatkan karakter estetik dari suatu areal, wilayah, atau properti. 2. Mengkonservasi sumber daya. 3. Memfasilitasi pendidikan lingkungan. 4. Mengakomodasi perubahan-perubahan kebutuhan akan hunian, baik yang terdapat di dalam kawasan perkotaan, tepi kota, maupun di kawasan pedesaan. 2.3 Benda Cagar Budaya Di Indonesia, benda/bangunan/situs atau lanskap yang mempunyai nilai penting sejarah dan layak dilestarikan disebut sebagai benda cagar budaya. Undang-Undang yang mengatur perlindungan benda cagar budaya di Indonesia adalah Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1992. Menurut pasal 1, kriteria Benda Cagar Budaya (BCB) adalah sebagai berikut : 1. a) Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. b) Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
2. Situs adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar
budaya
termasuk
lingkungannya
yang
diperlukan
bagi
pengamannya. Peraturan mengenai pelaksanaan UU tersebut di atas dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 10 Tahun 1993. Peraturan ini menjelaskan mengenai kepemilikan, perlindungan dan pemeliharaan, serta pembinaan dan pengawasan Benda Cagar Budaya. Kepemilikan Benda Cagar Budaya dijelaskan pada Bab 2 Pasal 2 : 1. Perlindungan dan atau pelestarian Benda Cagar Budaya, benda yang diduga Benda Cagar Budaya, benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya baik bergerak maupun tidak bergerak, dan situs yang berada di wilayah Republik Indonesia dikuasai oleh Negara. 2. Penguasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pengaturan terhadap pemilikan, pendaftaran, pengalihan, perlindungan, pemeliharaan, penemuan,
pencarian,
pemanfaatan,
pengelolaan,
perizinan,
dan
pengawasan. 3. Pengaturan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diselenggarakan berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah dan atau peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Perlindungan dan pemeliharaan Benda Cagar Budaya diantaranya dijelaskan pada Bab 4 Pasal 23 : 1. Perlindungan dan pemeliharaan Benda Cagar Budaya dilakukan dengan cara penyelamatan, pengamanan, perawatan, dan pemugaran. 2. Kepentingan perlindungan Benda Cagar Budaya dan situs diatur batasbatas situs dan lingkungannya sesuai dengan kebutuhan. 3. Batas-batas situs dan lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan sistem pemintakatan (zoning) yang terdiri dari mintakat inti, penyangga, dan pengembangan. Sedangkan mengenai pembinaan dan pengawasan Benda Cagar Budaya dijelaskan dalam Bab 6 Pasal 41 :
1. Menteri bertanggung jawab atas pembinaan terhadap pengelolaan Benda Cagar Budaya. 2. Pembinaan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi : a) Pembinaan terhadap pemilik atau yang menguasai Benda Cagar Budaya berkenaan dengan tata cara perlindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya. b) Pembinaan peran serta masyarakat dalam upaya pelestarian. 3. Pembinaan dapat dilakukan melalui : a) Bimbingan dan penyuluhan. b) Pemberian bantuan tenaga ahli atau bentuk lainnya. c) Peningkatan peran serta masyarakat. 4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan pengelolaan Benda Cagar Budaya diatur oleh Menteri. Dalam Perda Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 9 Tahun 1999 Tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan dan Bangunan Cagar Budaya Pasal 7 ayat 2 penentuan bangunan cagar budaya ditetapkan berdasarkan kriteria nilai sejarah, umur, keaslian, kelangkaan, tengeran/landmark, arsitektur. Selanjutnya dijelaskan dalam Pasal 8 mengenai tolak ukur dari kriteria sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat 2 tersebut, yaitu : a. Tolak ukur nilai sejarah dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa perjuangan, ketokohan, politik, sosial, budaya yang menjadi simbol nilai kesejahteraan pada tingkat nasional dan atau Daerah Khusus Ibukota Jakarta. b. Tolak ukur umur dikaitkan dengan batas usia sekurang kurangnya 50 (lima puluh) tahun. c. Tolak ukur keaslian dikaitkan dengan keutuhan baik sarana dan prasarana lingkungan maupun struktur, material, tapak bangunan dan bangunan di dalamnya. d. Tolak ukur kelangkaan dikaitkan dengan keberadaannya sebagai satusatunya atau yang terlengkap dari jenisnya yang masih ada pada lingkungan lokal, nasional atau bahkan dunia. e. Tolak ukur tengeran atau landmark dikaitkan dengan keberadaan sebuah
bangunan tunggal monumen atau bentang alam yang dijadikan simbol dan wakil dari suatu lingkungan sehingga merupakan tanda atau tengeran lingkungan tersebut. f. Tolak ukur arsitektur dikaitkan dengan estetika dan rancangan yang menggambarkan suatu zaman dan gaya tertentu. 2.4. Lanskap Sejarah sebagai Obyek Wisata Sejarah Dalam melakukan kegiatan pelestarian obyek-obyek wisata diperlukan biaya yang besar untuk perbaikan, pemeliharaan, restorasi, dan pengembangan obyek serta atraksi wisata (promosi), dan semua biaya ini dapat diperoleh dari kegiatan wisata terhadap obyek yang bersangkutan. Benda-benda bersejarah, bangunan bersejarah, serta tempat-tempat bersejarah merupakan suatu daya tarik dalam mengunjungi suatu tempat (Yoeti, 1997). Sedangkan menurut Goodchild (1990), lanskap sejarah penting untuk dilestarikan karena lanskap sejarah dapat merupakan amenity dan dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata sejarah yang dapat dikunjungi, dipelajari, serta didiskusikan. Keberadaannya dapat memberikan kesenangan bagi banyak orang. Lanskap sejarah ini juga dapat dijadikan tempat untuk bersantai, rekreasi, rileks, dan membangkitkan semangat; sedangkan dalam kepentingan ekonomi akan dapat mendorong meningkatnya pariwisata. Di Indonesia undang-undang yang mengatur bidang kepariwisataan adalah UU RI No. 9 Tahun 1990, yang menjelaskan tentang ketentuan wisata secara asas, tujuan, obyek dan daya tarik wisata, usaha pariwisata, dan peran serta masyarakat. 2.5. Wisata Sejarah Wisata sejarah adalah suatu kegiatan wisata di kawasan bersejarah terutama menelusuri benda-benda hasil karya manusia masa lalu, baik benda yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Obyek peninggalan sejarah tidak hanya terbatas pada bentuk fisik tetapi juga termasuk di dalamnya aspek sosial masyarakat yang bersangkutan (Dinas Kebersihan dan Pertamanan Tk.1 Bali dan Univ. Udayana, 1989, dalam Maryanti 2001).
Dalam Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1990 Bab 1 pasal 1 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata. Wisatawan adalah orang yang melakukan kegiatan wisata; sedangkan segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata, serta usaha-usaha yang terkait disebut kepariwisataan; dan yang dimaksud obyek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata. Pada Bab 3 pasal 4 UU RI No. 9 Tahun 1990 dijelaskan bahwa obyek dan daya tarik wisata yang berkaitan dengan pengembangan wisata sejarah adalah hasil karya manusia yang berwujud museum, peninggalan purbakala, dan peninggalan sejarah. Sedangkan menurut Wiwoho, Pudjiwati, dan Himawati (1990), wisata adalah suatu proses bepergian sementara dari seseorang atau lebih menuju tempat lain di luar tempat tinggalnya. Motivasi dari kepergiannya adalah karena berbagai kepentingan, baik karena kepentingan ekonomi, kepentingan sosial, maupun kepentingan lain yang bersifat sekedar ingin tahu, menambah pengalaman, maupun untuk belajar. MacKinnon et al (1986) dalam Wulandari (2002) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang membuat suatu kawasan menarik bagi pengunjung, yaitu: 1. Letak/jarak kawasan terhadap kota. 2. Aksesibiitas ke kawasan tersebut mudah dan nyaman. 3. Keaslian, keistimewaan/kekhasan kawasan. 4. Atraksi yang menonjol di kawasan tersebut, misalnya atraksi yang berkaitan dengan kegiatan religi dan budaya. 5. Daya tarik dan keunikan serta penampilan kawasan. 6. Fasilitas, sarana, dan pasarana di lokasi yang mendukung bagi wisatawan. Suatu daerah tujuan wisata yang berkembang baik akan memberikan dampak positif bagi daerah yang bersangkutan, hal ini terkait dengan penyediaan lapangan pekerjaan yang cukup luas bagi penduduk di sekitarnya (Yoeti, 1997).
2.6. Istilah Pecinan Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia, dikatakan bahwa istilah Cina berasal dari nama dinasti Chin (abad ketiga sebelum Masehi) yang berkuasa di Cina selama lebih dari dua ribu tahun sampai pada tahun 1913. Bencana banjir, kelaparan, dan peperangan memaksa orang-orang bangsa Chin ini merantau ke seluruh dunia. Kira-kira pada abad ke tujuh orang-orang ini mulai masuk ke Indonesia. Pada abad ke sebelas, ratusan ribu bangsa Chin mulai berdiam di kawasan Indonesia, terutama di pesisir timur Sumatera dan di Kalimantan Barat. Bangsa Chin yang merantau dari Cina ini di Indonesia lalu disebut dengan Cina perantauan. Orang-orang Cina perantauan ini mudah bergaul dengan penduduk lokal sehingga mereka bisa diterima dengan baik. Para perantau yang membawa keluarga mereka kemudian membentuk perkampungan yang disebut dengan "Kampung Cina." Di kota-kota dimana terdapat banyak orang Cina bertempat tinggal, kampung ini lalu disebut dengan Pecinan. Orang-orang yang tinggal di Pecinan ini banyak yang menjadi pedagang. Ketika bangsa barat, terutama Belanda dengan perusahaan dagangnya (VOC) memasuki Indonesia dan memonopoli perdagangan di Indonesia, para pedagang dari negeri Chin yang sudah menguasai perdagangan selama beratus-ratus tahun ini bentrok dengan mereka. Akibatnya, VOC dan kemudian pemerintah Belanda memberikan beberapa konsesi berupa hak-hak istimewa kepada bangsa perantau dari Cina ini. Salah satunya adalah mereka dianggap sebagai penduduk Timur Asing yang dianggap mempunyai kedudukan setingkat lebih tinggi daripada warga penduduk asli. Status istimewa ini mengakibatkan warga asli atau penduduk pribumi menjadi tidak suka kepada Cina perantauan ini. Bukan hanya itu, tetapi kolaborasi mereka dengan penjajah Belanda dan praktek dagang yang bercorak koneksi dan kolusi yang merugikan masyarakat pribumi serta perilaku mereka sebagai pemadat dan penjudi membuat orang-orang Cina perantauan ini semakin tidak disukai. Akibatnya, istilah "Cina" menjadi stigma yang berkonotasi jelek yang berpengaruh terhadap semua orang Cina perantauan. Akibat dari stigmatisasi istilah "Cina" itu, banyak orang Cina di Indonesia menggunakan nama lain yaitu Tiongkok yang berasal dari kata "Chung Kuo."
Pada tahun 1901 mereka mendirikan sebuah organisasi yang bernama Tiong Hoa Hwee Kwan (TTHK). Lalu pada tahun 1939 mereka mendirikan Partai Tionghoa Indonesia. Sejak itulah istilah Tionghoa digunakan sebagai padanan dari Cina. Sedangkan dalam Wikipedia Indonesia1 (Ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia) yang dimaksud dengan pecinan adalah sebuah wilayah kota yang mayoritas penghuninya adalah orang Tionghoa. Pecinan banyak terdapat di kotakota besar di berbagai negara di mana orang Tionghoa merantau dan kemudian menetap seperti di Amerika serikat, Kanada dan negara-negara Asia Tenggara. Kawasan Pecinan ini terbentuk karena dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu : 1. Faktor politik berupa peraturan pemerintah lokal yang mengharuskan masyarakat Tionghoa dikonsentrasikan di wilayah-wilayah tertentu supaya lebih mudah diatur (Wijkenstelsel). Ini lumrah dijumpai di Indonesia di zaman Hindia Belanda karena pemerintah kolonial melakukan segregasi berdasarkan latar belakang rasial. Di waktu-waktu tertentu, malah diperlukan izin masuk atau keluar dari pecinan (Passenstelsel) semisal di Pecinan Batavia. 2. Faktor sosial berupa keinginan sendiri masyarakat Tionghoa untuk hidup berkelompok karena adanya perasaan aman dan dapat saling bantumembantu. Ini sering dikaitkan dengan sifat ekslusif orang Tionghoa, namun sebenarnya sifat ekslusif ada pada etnis dan bangsa apapun, semisal adanya kampung India di Medan, Indonesia; kampung Arab di Fujian, Tiongkok atau pemukiman Yahudi di Shanghai, Tiongkok (Cina).
1
http://www.wikipedia.com/wiki/pecinan (tanggal akses 20 November 2006) [terhubung berkala]
III. METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Studi Kegiatan penelitian dilakukan di Kawasan Pecinan di daerah Glodok, Jakarta Barat yang meliputi Kelurahan Glodok dan Kelurahan Tambora dengan luasan lokasi studi ± 763.077 m2. Survei pendahuluan kondisi tapak mulai dilakukan pada bulan Februari 2007 yang dilanjutkan dengan pengumpulan data, pengolahan data, dan penyusunan hasil studi sampai bulan September 2007. Gambar 2 menunjukkan lokasi studi.
Lokasi studi
U
NON SCALE
Gambar 2. Lokasi Studi 3.2. Metode Penelitian Penelitian dilakukan melalui tahap inventarisasi, analisis data, dan sintesis untuk memformulasikan hasil analisis. Tahapan-tahapan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3. Lanskap Kawasan Pecinan Glodok
Aspek Wisata
Aspek Lanskap Sejarah I N V E N T A R I S A S I
A N A L I S I S S I N T E S I S
• Sejarah perkembangan Kawasan Pecinan Glodok • Inventarisasi benda cagar budaya dan lanskap sejarah • Pengelolaan benda cagar budaya dan lanskap sejarah • Kebijakan pemerintah yang terkait dengan pelestarian benda cagar budaya dan lanskap sejarah
• • •
•
Obyek wisata Kawasan Pecinan Glodok • Sirkulasi, aksesibilitas, dan transportasi • Fasilitas penunjang wisata sejarah • Kebijakan pemerintah yang terkait dengan pengembangan wisata Kawasan Pecinan Glodok • Jumlah, Karakter, dan Persepsi Pengunjung
Kondisi dan penyebaran obyek/lanskap bersejarah Permasalahan pengelolaan dan pelestarian Potensi dan kendala pengembangan wisata
Konsep Pengembangan Wisata Sejarah Kawasan Pecinan Glodok • Konsep dasar • Konsep ruang wisata • Sirkulasi dan Jalur Interpretasi • Upaya pelestarian serta peningkatan kualitas lanskap sejarah sebagai obyek wisata • Peningkatan fasilitas penunjang wisata
Gambar 3. Tahapan Studi Penjelasan tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Inventarisasi Tahap inventarisasi dilakukan dengan metode survei melalui observasi lapang, wawancara, serta studi pustaka. a. Observasi lapang, dilakukan dengan tujuan untuk mengamati secara langsung kondisi tapak dan feel of the land, yang meliputi kondisi fisik lanskap yang bernilai sejarah, karakter lanskap dan lingkungan sekitarnya, aksesibilitas, serta fasilitas penunjang wisata sejarah. b. Wawancara, dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi dari pihak-pihak yang terkait mengenai keadaan obyek studi yang meliputi keadaan umum Kawasan Pecinan Glodok, lanskap yang bernilai sejarah, pihak pengelola, pengelolaan, rencana pengembangan, kebijakan, dan persepsi pengunjung. c. Studi pustaka, dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data dan informasi dari pustaka serta dokumen-dokumen yang bersangkutan mengenai obyek studi yang meliputi keadaan umum Kawasan Pecinan Glodok, lanskap yang bernilai sejarah, aspek kesejarahan, pihak pengelola, pengelolaan, rencana pengembangan, kebijakan, dan aspek penunjang wisata sejarah. 2. Analisis Tahap analisis dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dan deskriptif untuk menganalisis keterkaitan data yang ada dengan melihat potensi dan kendala yang mempengaruhi kegiatan wisata. Metode kuantitatif dilakukan dengan menggunakan teknik skoring sederhana berdasarkan kriteria MacKinnon et al. (1986) dalam Wulandari (2002) dan berdasarkan pada Perda Khusus Ibukota Jakarta No. 9 Tahun 1999 Tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan dan Bangunan Cagar Budaya dengan beberapa modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan penelitian untuk menilai potensi sebagai obyek wisata yang terdiri dari beberapa komponen, yaitu: a. Keunikan lanskap atau obyek.
b. Estetika/ arsitektur. c. Keutuhan lanskap atau obyek. d. Keaslian lanskap atau obyek. e. Kondisi fisik lanskap atau obyek. Berdasarkan beberapa kriteria di atas dan dengan modifikasi yang disesuaikan untuk keperluan studi ini, maka terbentuklah kriteria penilaian yang dapat dilihat pada Tabel 1. Nilai/ skoring komponen meliputi : 1 = kurang; 2 = sedang; 3 = baik. Peringkat potensi dilihat dari keseluruhan nilai total komponenkomponen yang dinilai, jumlah skor total 5-8 termasuk dalam kategori kurang potensial, 9-11 termasuk kategori potensial, dan skor total 12-15 termasuk dalam kategori sangat potensial. Tabel 1. Kriteria Penilaian Obyek Wisata Kawasan Pecinan Glodok No
Faktor
1 (kurang) Lanskap/ obyek mempunyai nilai keunikan (sejarah/ cerita di dalamnya, atraksi, dsb) yang sama dengan lebih dari 5 obyek lain pada satu kawasan yang sama
Nilai 2 (sedang) Lanskap/ obyek mempunyai nilai keunikan (sejarah/ cerita di dalamnya, atraksi, dsb) yang sama dengan 3-5 obyek lain pada satu kawasan yang sama
1.
Keunikan
2.
Estetika/ arsitektur
Memiliki estetik/arsitektur yang sederhana
Estetik/arsitektur secara umum masih menunjukkan kekhasannya
3.
Keutuhan
Keutuhan lanskap/ obyek sudah berubah dari aslinya (rusak/hilang) >50%
4.
Keaslian
Lanskap/ obyek sudah berubah sama sekali dari aslinya (fungsi dan arsitekturnya)
Keutuhan lanskap/ obyek ada yang berubah (rusak/hilang) akan tetapi tidak merubah struktur aslinya (<50%) Lanskap/ obyek mengalami asimilasi/renovasi (fungsi dan arsitekturnya) namun masih tetap nampak keasliannya
5.
Kondisi fisik
Kondisi lanskap/ obyek dalam keadaan yang sangat memprihatinkan (rusak, tidak terawat sama sekali)
Kondisi lanskap/ obyek dalam keadaan yang baik (terawat baik)
3 (baik) Lanskap/ obyek mengandung nilai sejarah/ cerita, atraksi, dsb) yang mewakili masanya dan hanya satu-satunya di kawasan tersebut
Memiliki estetik/arsitektur yang menyerupai arsitektur tipikalnya pada hampir semua bagian, termasuk detail ornamen (khas) Lanskap/ obyek mengalami tindakan pelestarian dan tetap dapat mempertahankan keutuhan lanskap/obyek aslinya Lanskap/ obyek tidak mengalami perubahan sama sekali dari aslinya (fungsi dan arsitekturnya) Kondisi lanskap/ obyek dalam keadaan yang sangat baik (terawat sangat baik)
Selain itu dilakukan juga penilaian terhadap akses yang meliputi kondisi dan kemudahannya. Dalam Kencana (2005) yang dimaksud dengan kondisi fisik adalah kondisi jalan dilihat dari segi fisiknya, apakah cukup layak sebagai akses keluar masuk obyek sejarah, apakah jalan tersebut dalam kondisi baik atau buruk (rusak) sehingga perlu diperbaiki. Yang dimaksud dengan kemudahan di sini adalah kemudahan dalam menuju dan menggunakan akses keluar masuk kawasan
tersebut, apakah terdapat rintangan dan kesulitan-kesulitan seperti jalan yang berliku, jalan yang menanjak, kemacetan, dan sebagainya. Kapasitas adalah kapasitas keluar masuk obyek, apakah cukup digunakan untuk pengunjung dalam jumlah besar atau hanya dalam jumlah kecil saja. Sedangkan yang dimaksud dengan kejelasan adalah apakah keberadaan akses keluar masuk obyek cukup jelas atau malah tersembunyi. Kejelasan disini dapat ditunjukkan dengan adanya papan penunjuk atau keterangan-keterangan lainnya. Berdasarkan definisi tersebut dan dengan melakukan penyesuaian sesuai dengan kondisi tapak maka dibuat tabel penilaian sebagai berikut. Tabel 2. Kriteria Penilaian Kondisi Akses Keluar Masuk Obyek Wisata Sejarah No.
Faktor
1.
Kondisi Fisik
2.
Kemudahan
3.
Kapasitas
4.
Kejelasan
Nilai 1 0 Kondisi fisik jalan layak dan tidak Kondisi fisik jalan buruk dan dalam kondisi rusak. Tidak terdapat rintangan/kesulitan
perlu perbaikan. Terdapat rintangan/kesulitan
(jalan menanjak, kemacetan, jalan
(jalan menanjak, kemacetan,
berliku,dsb.) untuk menuju objek
jalan berliku,dsb.) untuk
Kapasitas keluar masuk obyek
menuju objek. Kapasitas keluar masuk obyek
cukup digunakan untuk
hanya cukup digunakan untuk
pengunjung dalam jumlah besar
pengunjung dalam jumlah
maupun kecil. Keberadaan akses keluar masuk
kecil. Keberadaan akses keluar masuk
obyek jelas/cukup jelas.
obyek tidak jelas/tersembunyi.
Setelah dilakukan penilaian maka nilai pada setiap aspek pada masing-masing obyek dijumlahkan untuk melihat kondisi akses keluar masuk pada setiap obyek wisata sejarah. Untuk jumlah nilai 3-4 maka kondisi akses dalam kondisi baik, sedangkan untuk jumlah nilai 0-2 maka akses dalam kondisi kurang baik. Selain penilaian daya tarik dan aksesibilitas dilakukan juga penilaian terhadap
potensi keberlanjutan lanskap sejarah. Kriteria penilaiannya dapat
dilihat pada Tabel 3. Untuk jumlah nilai 2-3 maka potensi keberlanjutan dalam kategori tidak baik dan untuk jumlah nilai 4-6 maka potensi keberlanjutan dalam kategori baik.
Tabel 3. Kriteria Penilaian Potensi Keberlanjutan Obyek/ Lanskap Sejarah
No.
Faktor
1.
Kondisi Fisik
2.
Lingkungan
Sedangkan
1 Kondisi lanskap/ obyek dalam keadaan yang sangat memprihatinkan (rusak, tidak terawat sama sekali) Lingkungan di sekitar tidak mendukung keberadaan obyek/ lanskap sejarah sehingga dapat menghilangkan karakternya
metode
deskriptif
Nilai 2 Kondisi lanskap/ obyek dalam keadaan yang baik (terawat baik) Lingkungan di sekitar mendukung keberadaan obyek/ lanskap sejarah namun karakter tidak terlihat menonjol
dilakukan
dengan
3 Kondisi lanskap/ obyek dalam keadaan yang sangat baik (terawat sangat baik) Lingkungan di sekitar dapat mendukung keberadaan obyek/ lanskap sejarah (memperkuat karakter)
menjelaskan
(mendeskripsikan) potensi dan kendala pada setiap masing-masing faktor serta solusi untuk mengatasi kendala yang ada pada Kawasan Pecinan Glodok. Faktorfaktor yang dianalisis meliputi : a. Keberlanjutan lanskap sejarah, meliputi kondisi fisik, lingkungannya, serta pengelolaannya. b. Upaya pelestarian yang telah dilakukan, kelebihan dan kekurangannya, serta memberikan solusi upaya pelestarian yang sebaiknya dan seharusnya dilakukan. c. Potensi dan kendala lanskap sejarah sebagai obyek wisata. d. Potensi dan kendala aspek penunjang wisata. 3. Sintesis Tahap sintesis dilakukan dengan penyusunan konsep pengembangan wisata sejarah berdasarkan hasil analisis potensi obyek lanskap sejarah dan lingkungan sekitarnya serta aspek penunjang wisata sejarah di Kawasan Pecinan Glodok yang meliputi: a. Konsep dasar. b. Konsep ruang. c. Pengembangan jalur interpretasi. d. Upaya pelestarian dan peningkatan kualitas lanskap sejarah sebagai obyek wisata. e. Peningkatan fasilitas penunjang kegiatan wisata. IV. KONDISI UMUM
4.1. Lokasi, Batas, dan Aksesibilitas Tapak Jakarta Barat merupakan bagian dari ibu kota Jakarta yang mempunyai kekhususan, karena merupakan perpaduan kota tua dan metropolitan yang serba megah. Julukan ini didasarkan pada kenyataan bahwa di wilayah Jakarta Barat terdapat bangunan-bangunan tua/kuno dan gedung-gedung mewah seperti hotel, plaza, apartemen, dan sebagainya. Secara geografis Kotamadya Jakarta Barat terletak antara 106°22’42”BT sampai 106°58’18” BT dan 50°19’12” LS sampai 60°23’54” LS dengan permukaan tanah relatif datar, terletak sekitar 7m di atas permukaan laut dan luas wilayahnya 12.819 ha. Kotamadya Jakarta Barat terbagi menjadi 8 Kecamatan, 56 Kelurahan, 576 RW, 6.354 RT, dengan 439.357 Kepala Keluarga (KK), dan jumlah penduduk hingga tahun 2005 adalah 1.563.563 jiwa. Secara administratif batas-batas wilayah Kotamadya Jakarta Barat adalah sebagai berikut: •
Utara : Jakarta Utara
•
Timur : Jakarta Pusat
•
Selatan: Propinsi Banten
•
Barat : Tangerang Tapak yang menjadi batas studi terletak di wilayah administrasi Kota
Jakarta Barat, tepatnya di Kelurahan Glodok dan Kelurahan Tambora. Studi dilakukan pada kawasan pecinan dengan batas wilayah sebagai berikut: •
Utara : Kelurahan Pinangsia dan Pancoran
•
Timur : Jalan Gajah Mada
•
Selatan: Kelurahan Keagungan
•
Barat : Kali Krukut
Tapak Kawasan Pecinan Glodok ini termasuk dalam program Revitalisasi Kota Tua yang dilakukan oleh pihak Pemerintah Daerah Jakarta Barat, akan tetapi untuk sekarang ini program revitalisasi masih difokuskan hanya pada kawasan Kota Tua yang bernuansa Kolonial sedangkan pengembangan Kawasan Pecinan Glodok masih dalam proses pembahasan (baru dalam tahap legalitas) dan akan dimasukkan ke dalam RIPPDA ( Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah ) Jakarta Barat periode tahun 2008-2012.
Untuk mencapai Kawasan Pecinan Glodok dapat menggunakan berbagai alternatif sarana transportasi umum maupun pribadi. Untuk sarana transportasi pribadi dapat menggunakan mobil, motor, maupun bus-bus pariwisata. Sedangkan apabila menggunakan saran transportasi umum dapat menggunakan kereta api (dapat diakses dari Bogor, Bekasi, serta kota-kota lain di sekitar Jakarta), bus Trans Jakarta (Jalur Blok M- Kota), angkutan perkotaan (M12 dari Stasiun Senen, M15 dari Tanjung Priok), bus P2 (dari Kampung Rambutan) dan bus Kopaja 86 (dari arah Lebak Bulus). Alternatif transportasi ini didukung dengan adanya jalan tol lingkar luar Jakarta, jalan arteri, serta jalur kereta api yang melayani antar kota. Apabila menggunakan jalur laut, tapak dapat diakses melalui Pelabuhan Sunda Kelapa dan Pelabuhan Tanjung Priok. Untuk jalur udara didukung dengan adanya jalan tol ke Bandara Soekarno-Hatta. 4.2. Tata Guna Lahan Penataan dan penggunaan lahan di daerah Jakarta Barat cukup kompleks dan sering menimbulkan dampak negatif terhadap daya dukung lingkungan. Luas lahan Kotamadya Jakarta Barat sekitar 12.819 ha dengan peruntukan 6.479,72 ha untuk kawasan perumahan, 188,51 ha untuk perindustrian, 1.2480,00 ha untuk pertokoan/perkantoran, 192,38 ha untuk taman, 1.065,99 ha untuk pertanian, lahan tidur seluas 1.921,86 ha dan 1.722,54 ha peruntukkan lainnya. Penggunaan lahan pada Kawasan Pecinan Glodok ini sebagian besar digunakan sebagai area komersial (perdagangan ritel/eceran, perkantoran, jasa komersial, pusat grosir) dan campuran hunian dan komersil (ruko). Kawasan Pecinan Glodok ini direncanakan akan dijadikan sebagai kawasan wisata budaya dan belanja yang bertaraf internasional. Semakin banyak jenis penggunaan lahan pada kawasan, akan semakin banyak pula kepentingan yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan. Diharapkan nantinya kegiatan perekonomian yang berlangsung di sekitar kawasan tidak akan terganggu dengan adanya kegiatan wisata yang direncanakan. Tata guna lahan di kawasan dan sekitarnya dapat dilihat pada Gambar 4.
Lokasi studi
U
NON SCALE
Gambar 4. Tata Guna Lahan Kawasan Kota Tua (Sumber: Suku Dinas Tata Kota Jakarta Barat, 2006) 4. 3. Iklim Iklim merupakan faktor-faktor tidak tetap yang saling berhubungan yang meliputi suhu dan radiasi matahari, curah hujan, serta hujan serta kelembaban udara. Kondisi iklim terutama iklim mikro turut menentukan tingkat kenyamanan dalam kegiatan wisata pada tapak. Berikut merupakan data iklim Jakarta Barat tahun 2006 (Tabel 4)
Tabel 4. Data Iklim Jakarta Barat Tahun 2006 Bulan
Curah Hujan (mm)
Kelembaban (%)
Kecepatan
Temperatur
Angin
(°C)
(m/s)
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Rata-rata
282 291 246 90 36 99 12 0,0 0,0 12 93 117 106,5
83,8 83,8 79,9 79,2 80,7 79,1 79,1 76,2 77,2 75,9 79,1 84,2 79,85
3 2,78 2,04 2,93 2,16 2,16 3,70 2,93 2,78 2,72 2,47 2,57 3,10
26,6 27,1 27,7 27,8 28,1 27,8 27,6 27,3 26,0 28,1 27,5 27,8 27,45
(Sumber: BMG Ciputat, 2006)
Curah hujan tinggi terjadi pada bulan Januari hingga bulan Maret, sedangkan curah hujan rendah pada bulan Juli hingga Oktober. Kelembaban udara tinggi terdapat antara bulan Desember hingga Februari dan rendah pada bulan Agustus hingga Oktober. Tabel 5 memperlihatkan keadaan iklim wilayah Jakarta Barat yang terjadi pada tahun 2002 hingga tahun 2006. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa rata-rata curah hujan pada tapak tergolong tinggi yaitu melebihi 120 mm/ bulan, sedangkan kelembaban udara rata-rata cukup tinggi yaitu melebihi 75 %.
Tabel 5. Keadaan Iklim Wilayah Jakarta Barat Tahun
2002 2003 2004 2005 2006 Rata-rata
Curah Hujan
Kelembaban
Kecepatan
Temperatur
(mm)
(%)
Angin (m/s)
(°C)
190,7 113,8 175,5 180,9 106,5 153,4
82,37 79,37 80,13 79,94 79,85 80,33
2,88 2,93 2,55 2,42 3,10 2,77
27,45 27,55 27,83 28,26 27,45 27,71
(Sumber: BMG Ciputat 2006)
4.4. Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat Jakarta merupakan tempat titik temu antar budaya dimana banyak orang datang dari berbagai macam etnis dan budaya, kemudian berbaur dan menciptakan suatu kebudayaan baru yang unik dan menyenangkan. Salah satu contohnya dapat dilihat pada kebudayaan Betawi yang merupakan perpaduan antara budaya Tionghoa dan Arab. Jakarta Barat juga dikenal dengan sebutan China Town atau Daerah Pecinan. Hal ini dikarenakan banyak masyarakat keturunan Tionghoa yang bermukim di sekitar daerah Jakarta Barat seperti Glodok, Kota, Jembatan Lima, dan beberapa tempat lainnya. Pada daerah-daerah ini banyak terdapat rumah Cina yang mempunyai ciri khas arsitektur yang unik dan indah. Kehidupan sosial dan adat istiadat masyarakat Tionghoa ini masih dapat dipertahankan sampai sekarang dan beberapa atraksi dapat disaksikan pada waktu-waktu tertentu. Selain masyarakat keturunan Tionghoa, banyak juga masyarakat keturunan Arab yang tinggal di daerah Jakarta Barat. Mayoritas masyarakat Arab ini bermukim di daerah Krukut dan di sana banyak terdapat bangunan mesjid yang indah.
4.5. Sejarah Kawasan Pecinan Glodok 4.5.1. Asal dan Arti Nama Glodok Kawasan Glodok yang didirikan oleh penguasa VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) pada abad ke-18 ini menjadi pemukiman masyarakat Tionghoa sejak terjadinya peristiwa Tragedi Pembantaian Angke pada tahun 1740 yang memakan korban jiwa mencapai 10.000 orang Tionghoa yang terjadi di dalam benteng Kota dan sekitarnya (Heuken, 1997). Pembantaian terjadi dikarenakan populasi masyarakat Tionghoa yang datang dari Cina terlalu banyak dan keberadaannya mengancam pihak VOC dan lingkungan di dalam benteng
Kota (kriminalitas meningkat). Pada awalnya kawasan ini merupakan lapangan yang sering dijadikan pasar malam oleh warga dari etnis Tionghoa. Ketua Komunitas Peduli Sejarah dan Budaya Indonesia (KPSBI-Historia) Asep Kambali menyebutkan bahwa konon asal mula kata Glodok ini berasal dari pelafalan masyarakat Tionghoa di sana terhadap bunyi air yaitu ”grojok...grojok”, kata “glodok” sering dikaitkan dengan keberadaan pancoran atau pancuran air yang berada di sebuah kebun yang dikenal Kebon Terong. Air yang keluar dari pancuran mengeluarkan bunyi ”grojok-grojok” kemudian dilafalkan menjadi ”glodok-glodok” oleh masyarakat Tionghoa yang bermukim di kawasan tersebut. Versi lainnya menyebutkan bahwa asal kata Glodok berasal dari nama seorang tokoh terkenal asal Bali yang hijrah ke Batavia bernama I Gede Glodok. Namun, karena tokoh tersebut hidup jauh sebelum Glodok berdiri maka versi itu mulai dimentahkan orang, kemudian versi yang terakhir dikemukakan peneliti sejarah Universitas Indonesia, Maria Woworuntu, kata “glodok” berasal dari bunyi yang dihasilkan gesekan blek-blek atau kaleng berisi air yang dibawa dengan gerobak pengangkut air dari pancuran yang ada di Kebon Terong (www.kompas.com)2 4.5.2. Perkembangan Kawasan Pecinan Glodok Kawasan Glodok sekarang tidak berbeda jauh dengan keadaan kawasan Glodok yang dulu, kawasan ini masih dihuni mayoritas masyarakat Tionghoa, menjadi pusat perekonomian dengan mayoritas pebisnisnya adalah masyarakat Tionghoa, tradisi dan budaya masyarakatnya yang tetap dipertahankan, bangunanbangunan dengan arsitekturnya yang khas. Yang membuatnya berbeda adalah kawasan ini semakin berkembang dan semakin tidak tertata, bangunan-bangunan lama yang sudah mulai tergusur dengan bangunan baru, bangunan-bangunan lama yang sudah lusuh dan tidak terawat, dan sejumlah masalah lain yang timbul karena perkembangan kawasan yang tidak terencana dengan perencanaan pengembangan kawasan yang matang dan jangka panjang. Pada tahun 1973 Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan Surat Keputusan nomor D.III-bll/4/56/73 tentang Pernyataan Daerah Glodok (daerah dengan bangunan-bangunan yang bergaya arsitektur Cina) Jakarta Barat sebagai daerah 2
http/www.kompas.com/kompas-cetak/050303/metro/1598017.htm (tanggal akses 23 Desember 2006) [terhubung berkala]
dibawah pemugaran Pemerintah DKI Jakarta yang dilindungi Undang-Undang Monumen (STBL tahun 1931 No 238). Surat keputusan ini menunjukkan bahwa Kawasan Glodok adalah kawasan cagar budaya. Kawasan Pecinan Glodok ini merupakan kawasan pecinan yang masih asli, terbesar, dan terlengkap di luar negara Cina (Asia Tenggara), hal ini dikarenakan kawasan pecinan ini telah didiami oleh beberapa generasi sejak terbentuknya pada tahun 1740, dengan aktivitas yang sama dari dulu hingga sekarang (kegiatan perekonomian). Kawasan ini potensial untuk aktivitas wisata seperti wisata kuliner, wisata budaya, wisata sejarah, wisata belanja, dan sebagainya. Kawasan ini juga termasuk dalam program Revitalisasi Kota Tua yang sekarang sedang berlangsung. Gambar 5 menunjukkan suasana Glodok sekitar tahun 1930-an, sedangkan Gambar 6 merupakan keadaan Glodok pada tahun 2007.
Gambar 5. Suasana Glodok Tahun 1930-an
Gambar 6. Glodok Tahun 2007
(Sumber: www.kotatua.com)
4.6. Kondisi Lanskap Khas Pecinan Glodok Terbentuknya kawasan pecinan didasarkan atas dua faktor, yaitu faktor politik berupa peraturan pemerintah lokal yang mengharuskan masyarakat Tionghoa dikonsentrasikan di wilayah-wilayah tertentu supaya lebih mudah diatur (Wijkenstelsel) dan faktor sosial dimana adanya rasa saling membutuhkan dan senasib sebagai perantau di negeri orang. Biasanya kawasan pecinan ini terletak dekat dengan pasar pelabuhan ataupun sungai-sungai dikarenakan posisinya yang strategis untuk melakukan transaksi perdagangan. Menurut Widodo (1996:9) dalam Kelenteng Kuno di DKI
Jakarta dan Jawa Barat yang diterbitkan Depdiknas (2000), terbentuknya pemukiman masyarakat Tionghoa di Jayakarta berawal dari kegiatan perdagangan mereka di Pelabuhan Sunda Kelapa. Sambil menunggu angin muson yang akan membawa mereka pulang ke Cina setelah transit, para pedagang ini mengadakan transaksi dagang dan menetap sementara serta mengisi bahan makanan dan bahan bakar. Pemukiman mereka terletak di sebelah timur Sungai Ciliwung, sedangkan pemukiman penduduk asli terletak di sebelah barat yang merupakan pusat kota Jayakarta. Pada periode pemerintahan Belanda, pemukiman masyarakat Tionghoa, Portugis, dan Timur Asing ditempatkan di sebelah barat Sungai Ciliwung. Sedangkan di sebelah timurnya merupakan pemukiman orang-orang Eropa. Setelah terjadinya Pembantaian Angke pada tahun 1740, pemukiman masyarakat Tionghoa ditempatkan di luar benteng (kawasan Glodok sekarang). Kawasan Pecinan Glodok ini merupakan salah satu contoh lanskap pecinan perdagangan, hal ini dapat dilihat dari bentuk bangunan yang sebagian besar merupakan ruko dan posisinya yang dekat dengan pelabuhan dan sungai serta pemanfaatan pelabuhan dan sungai tersebut sebagai sarana dalam melakukan kegiatan ekonomi (dulu). Selain adanya kepentingan ekonomi, keberadaan kawasan pecinan yang dekat laut atau sungai juga didasari atas filosofi (fengshui) masyarakat Tionghoa yang percaya bahwa letak bangunan yang baik adalah tempat yang dekat dengan sumber mata air, bukit, gunung, dan lembah.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Lanskap Sejarah Latar belakang terbentuknya kawasan pecinan di daerah Glodok seperti yang telah dijelaskan sebelumnya menjadikan Kawasan Pecinan Glodok ini sebagai kawasan yang bernilai sejarah. Pada kawasan ini ditemukan bangunanbangunan bersejarah dan beberapa diantaranya telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai benda cagar budaya. Lanskap dan bangunan-bangunan bersejarah yang akan dijelaskan berikut ini merupakan tempat-tempat yang memiliki nilai sejarah
penting dimasanya. Letak bangunan dan lanskap sejarah tersebut dapat dilihat pada Gambar 7. 5.1.1 Pasar Pagi Lama Tempat ini dulunya juga merupakan kawasan Pecinan selain Glodok (yang sekarang). Apabila dilihat sekilas kawasan ini sepertinya hanya berupa kawasan pasar dengan barang-barang grosirnya yang murah dan lalu lintasnya yang semrawut. Akan tetapi bila dicermati maka akan terlihat bangunan-bangunan ruko lama khas masyarakat Tionghoa di jaman dulu dimana pemiliknya masih tetap mempertahankan arsitektur bangunan lama dengan penggunaan yang disesuaikan dengan perkembangan jaman sekarang (Gambar 8). 5.1.1.1 Sejarah Singkat Tidak diketahui dengan jelas bagaimana terbentuknya kawasan Pasar Pagi Lama ini, namun berdasarkan kutipan dalam buku Peringatan 429 Kota Djakarta disebutkan bahwa pasar ini dulunya hanya dibuka pada waktu pagi hari. Letaknya sejajar dengan Pintu Kecil yang dulunya merupakan tempat pusat perdagangan hasil bumi dan importir tekstil. Kawasan ini dulunya turut dibakar semasa kerusuhan Mei 1998, kemudian pada tahun 1999/2000 dibangun kembali dengan gaya bangunan arsitektural khas Cina (Pertokoan Pasar Pagi), hal ini berkaitan dengan program Pemerintah DKI Jakarta yang menjadikan Kawasan Glodok sebagai China Town.
Gambar 7. Lokasi Obyek
Gambar 8. Kawasan Pasar Pagi Lama 5.1.1.2 Kondisi Fisik Berdasarkan pengamatan di lapang, kawasan Pasar Pagi Lama dan sekitarnya terlihat kurang tertata dengan baik. Banyak penjual kaki lima yang berjualan dan kendaraan yang diparkir di badan-badan jalan sehingga menimbulkan kemacetan dan menambah kesemrawutan jalan. Lebar jalan yang terbatas ditambah dengan kepadatan para pedagang di sekitarnya membuat kawasan ini terlihat begitu sempit dan penuh sesak. Sepanjang jalan di Pasar Pagi lama ini terdapat rumah dan ruko tradisional khas Cina yang sebagian besar keadaannya mengkhawatirkan dan dalam kondisi yang rapuh. 5.1.1.3 Pengelolaan Pelestarian Pengelolaan bangunan-bangunan kuno/lama di area Pasar Pagi Lama dilakukan oleh masing-masing pemiliknya dan khusus pertokoan Pasar Pagi di kelola oleh PD. Pasar Jaya. Beberapa bangunan telah direnovasi menjadi bangunan modern maupun diubah sesuai dengan kebutuhan sang pemilik. Bangunan-bangunan lainnya yang masih mempunyai ciri dan karakter arsitektur bangunan Cina di kawasan ini kondisinya memprihatinkan dan tampaknya tidak ada upaya pelestarian baik dari pemerintah ataupun pemiliknya, sehingga wajah bangunan sudah tidak terlihat jelas bagaimana bentuk indahnya dulu meskipun bangunan-bangunan tersebut tetap terlihat sebagai ruko dengan arsitektur lama. Yang tersisa hanyalah bangunan-bangunan lama yang kumuh, suram, dan tidak terawat. Upaya Pemerintah DKI Jakarta dalam rangka membangun kembali Kawasan Glodok sebagai China Town salah satunya dengan membangun kembali pertokoan Pasar Pagi (yang rusak akibat kerusuhan Mei 1998) dengan arsitektur dan warna-warna khas Cina (Gambar 9) . Bangunan baru yang bergaya arsitektur Cina ini diharapkan semakin memperkuat karakter kawasan.
Gambar 9. Pertokoan Pasar Pagi 5.1.1.4 Lingkungan Lingkungan Pasar Pagi Lama ini didominasi ruko-ruko dengan situasinya yang padat, terutama disaat siang hari. Jalan dipadati oleh lapak-lapak para pedagang kaki lima, parkiran kendaraan-kendaraan, serta kerumunan orang-orang yang melaksanakan transaksi jual beli. Tidak jarang terjadi kemacetan di sana-sini karena kapasitas jalan yang tidak memadai, semua pihak harus ”berbagi” di sini. Kawasan ini perlu ditata dengan baik sehingga dapat tercipta kenyamanan, terutama penataan para pedagang kaki lima sehingga mereka tidak menggunakan jalan untuk menggelar dagangan dan akhirnya mempersempit jalan yang sudah sempit. Gambar 10 memperlihatkan suasana di Kawasan Pasar Pagi Lama.
Gambar 10. Suasana di Kawasan Pasar Pagi Lama 5.1.2 Toko Obat Lay An Tong Toko obat Lay An Tong ini merupakan salah satu bangunan dengan arsitektur bangunan khas Cina yang cukup terkenal dimasanya. Hal ini dapat dilihat dari besarnya badan bangunan dan tingginya atap. Toko obat Lay An Tog ini terletak di Jalan Perniagaan Barat dan masih tetap digunakan sebagai toko obat oleh generasi penerusnya (Gambar 11). 5.1.2.1 Sejarah Singkat Awal abad ke-18 Masehi kawasan ini terkenal sebagai kawasan “Las Vegas”nya Glodok, perjudian dan prostitusi merupakan hal yang biasa. Terdapat 26 bangunan yang digunakan sebagai tempat perjudian, madat, dan rumah bordil. Ketenaran bangunan-bangunan ini dulu membuatnya diabadikan menjadi nama jalan, yaitu jalan Ji Lak Keng yang artinya 26 bangunan, begitu juga dengan Sungai Angke yang mengalir di depannya menjadi Sungai Ji Lak Keng. Ruko ini merupakan salah satu bangunan yang letaknya di ujung jalan Ji Lak Keng. Seiring berkembangnya kawasan Glodok, pamor Ji Lak Keng setelah berjalan satu abad mulai menurun, kemudian kawasan ini berubah menjadi kawasan perdagangan produk logam seperti paku, seng, besi-besi beton, dan berbagai perkakas dari besi lainnya. Dahulu di seberang jalan, di tepi Sungai Ji Lak Keng, terdapat beberapa depot bahan bangunan. Pedagang dengan menggunakan perahu dan rakit yang membawa pasir dari Tangerang menjual pasir mereka ke depot tersebut. Dari 26 bangunan yang ada, sekarang hanya tersisa lima bangunan yang masih orosinil termasuk Toko Obat Lay An Tong ini. Sebagian besar pemilik rumah memilih untuk mengontrakkannya kepada orang lain sebagai tempat usaha dan pindah ke daerah lain, kawasan yang dulunya ramai setiap malam kini sepi. Tidak ada lagi jalan dan sungai Ji Lak Keng, sekarang hanya ada Jalan Perniagaan Barat
dan
Sungai
Angke.
Pemilik
toko
obat
ini
adalah
generasi
ketiga.(www.indonesiamedia.com)3 3
www.indonesiamedia.com/2007/04/early/sejarah/sejarah0407_jilakeng.htm (tanggal akses 9 Februari 2007) [terhubung berkala]
Gambar 11. Toko Obat Lay An Tong 5.1.2.2 Kondisi Fisik Bangunan ini merupakan ruko (rumah toko) dengan dua lantai. Bagian bawah digunakan sebagai toko obat, sedangkan bagian atas digunakan sebagai rumah tinggal. Toko obat ini sendiri terlihat sepi pengunjung, mungkin hal ini dikarenakan ”kalah pamor” dengan toko-toko obat di kawasan Pancoran. Penataan di dalam toko juga terlihat kurang menarik, gelap, dan suram. Bangunan ini terkenal bukan dikarenakan fungsinya sebagai toko obat melainkan karena sejarahnya dulu dan bentuk bangunannya yang masih asli. 5.1.2.3 Pengelolaan Pelestarian Secara keseluruhan bangunan masih terlihat dalam kondisi baik, hanya saja terkesan suram. Hal ini dikarenakan bangunan sudah “tua” dan minimnya pengelolaan yang dilakukan pemilik. Keberadaan bangunan yang lebih rendah dari jalan raya membuat bangunan ini sering terendam air disaat musim hujan. Mengenai hal ini pemilik tidak dapat berbuat banyak. Tampaknya pemilik memelihara bangunan ini hanya sebatas agar tetap berfungsi sebagai rumah tinggal dan toko obat. 5.1.2.4 Lingkungan Toko obat Lay An Tong ini terletak tepat di tepi jalan raya. Jalan raya ini sendiri merupakan jalan yang sangat padat terutama di saat jam kerja. Bangunan di sekitar toko obat ini sudah banyak yang berubah, hanya tersisa beberapa saja bangunan lama dengan kondisi yang tidak terawat. Tepat di depan toko ini
terdapat sebuah Sungai Angke yang dulu keberadaanya banyak dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk keperluan hidup sehari-hari dan kegiatan perdagangan pasir. Akan tetapi sekarang air sungai yang jernih sudah berubah menjadi hitam pekat dengan sampah bertebaran dimana-mana dan mengeluarkan aroma tidak sedap. Di dekat toko obat ini juga terdapat sebuah kelenteng. Gambar 12 memperlihatkan kondisi Sungai Angke di depan Toko Obat Lay An Tong.
Gambar 12. Kondisi Sungai di Depan Toko Obat Lay An Tong 5.1.3 Kelenteng Budhi Dharma Kelenteng ini terletak di Jalan Perniagaan Selatan No. 69, Kelurahan Tambora, Kecamatan Tambora, Kotamadya Jakarta Barat. Lingkungan kelenteng merupakan jalan raya dan pertokoan. Letaknya berseberangan dengan Toko Obat Lay An Tong. Bentuk bangunan ini sangat sederhana, satu-satunya tanda untuk mengenalinya adalah sebuat tungku pembakar kertas yang terdapat di sudut teras yang sempit serta arsitektur atap dengan warna merah menyala yang nampak dari kejauhan. (Gambar 13) 5.1.3.1 Sejarah Singkat Kelenteng ini dulunya bernama Kelenteng Li Tie Guai dan sekarang berganti nama menjadi Vihara Budhi Dharma. Kelenteng ini didirikan sekitar tahun 1811-1812 oleh perkumpulan Toapehkong Li Tiat Kway. Pada masa itu kota Batavia sering dilanda kekacauan akibat pergantian pemerintahan yang silih berganti dan pada tahun 1811 Batavia diduduki oleh Inggris. Menurut laporan
Lombard hanya kelenteng Li Tie Guai inilah yang dibangun pada masa itu, dan itu pun dengan ukuran kecil. Pada awalnya kelenteng ini merupakan kelenteng perserikatan para ahli obat-obatan lalu kemudian sering dikunjungi oleh sekelompok kecil para pandai besi keturunan Hakka.
Gambar 13. Kelenteng Budhi Dharma 5.1.3.2 Kondisi Fisik Kelenteng ini dibangun di atas lahan berukuran 6.5 × 36 m dengan luas bangunannya 36 × 4.2 meter. Bangunan dibuat memanjang ke belakang mengingat lahan yang terbatas. Dahulu di depan pintu masuk terdapat arca hewan qilin, namun akhirnya dicuri orang. Pada pojok kanan teras terdapat tungku pembakar kertas. Kelenteng ini sendiri hanya memiliki satu altar utama, yaitu altar pemujaan bagi Dewa Li Tie Guai (Dewa Pengobatan) mengingat dulunya kelenteng ini didirikan oleh perserikatan para ahli obat. 5.1.3.3 Pengelolaan Pelestarian Kelenteng ini masih digunakan sebagai tempat beribadah sampai sekarang. Kondisi kelenteng terawat dengan baik di bawah Yayasan Vihara Budhi Dharma. Konservasi bangunan dan pengelolaan dilakukan dengan pemeliharaan secara harian karena kelenteng sering dikunjungi oleh para umat dan pengunjung. 5.1.3.4 Lingkungan Kelenteng ini terletak di lingkungan pertokoan dan jalan raya yang cukup padat pada saat jam kerja (Gambar 14). Bangunan kelenteng ini terhimpit diantara
bangunan-bangunan baru yang arsiterkturnya sangat kontras dengan arsitektur kelenteng yang tradisional dan khas Cina sehingga keberadaannya sangat mudah terlihat.
Gambar 14. Kondisi di Sekitar Kelenteng Budhi Dharma 5.1.4. Kelenteng Ariya Marga Kelenteng ini terletak di Gang Lamceng, Tambora 8 Jakarta Barat. Keberadaan kelenteng ini kurang begitu terlihat karena terletak di sebuah gang kecil. Kelenteng ini didirikan untuk menghormati jenderal-jenderal “Sam Kok” pada masa ”The Three Kingdom”. Dewa utama yang dipuja di kelenteng ini adalah panglima perang Kwan Kong. (Gambar 15)
Gambar 15. Kelenteng Ariya Marga 5.1.4.1 Sejarah Singkat Kelenteng ini merupakan salah satu kelenteng tua yang telah berdiri ±187 tahun yang lalu. Didirikan oleh seorang Kapitain pada masa VOC masih berkuasa yang bernama Kapitain The Liong Hui. Beliau membangun kelenteng ini pada tahun 1824 secara pribadi. Kelenteng ini mungkin menjadi satu-satunya kelenteng di Jakarta yang dibangun secara individual oleh seorang hoakiau (masyarakat Tionghoa perantauan) yang berstatus sosial tinggi. Biasanya sebuah kelenteng dibangun dan dipelihara oleh komunitas biarawan-biarawati, kelompok marga, kelompok pengusaha, kongsi dagang, kelompok tukang, atau kelompok pekerja. Kapitain The Liong Hui ini tidak memiliki keturunan sehingga seluruh kekayaannya digunakan untuk membangun rumah ibadah ini. Pengelolaan rumah ibadah ini Beliau serahkan kepada Tjhung See Gan. Untuk biaya pemeliharaan diperoleh dari uang sewa 12 rumah petak sewa yang terdapat di sekeliling kelenteng ini yang dibangun pada tahun 1839. Sepeninggalan Tjhung See Gan pengelolaan kelenteng terbengkalai dan kelenteng menjadi tempat tinggal para pengemis. Kemudian pada tahun 1978 kelenteng kembali dibersihkan, dikelola, serta dirawat oleh kepala kelenteng Bapak Basri Oemar (Oey Sek Hai). Menurut Claudine Salmon dan Denys Lombard dalam bukunya Kelenteng-kelenteng dan Masyarakat Tionghoa di Jakarta (Cipta Loka Caraka, 2003) Kelenteng Ariya Marga ini merupakan salah satu diantara sembilan kelenteng yang menandai bangkitnya perekonomian masyarakat Tionghoa perantauan (hoakiau) setelah terjadinya peristiwa genosida hoakiau tanggal 9-10 Oktober tahun 1740. Dari sembilan kelenteng yang dibangun, tujuh diantaranya dibangun antara tahun 1820-1830. 5.1.4.2 Kondisi Fisik Kelenteng ini dibangun di atas tanah seluas 3.000 meter persegi. Kelenteng dikelilingi 12 rumah petak sewa milik yayasan pengelola kelenteng. Salah satu rumah petak ini disewakan menjadi sebuah gereja kecil. Pada sayap kiri bangunan terdapat sebuah patung Kwan Kong yang dibuat 50 tahun yang lalu
oleh seorang umat, sedangkan pada sayap kanan terdapat sebuat tungku besar tempat membakar kertas doa dan uang-uangan. Dua dari beberapa tiang kelenteng dililit pahatan seekor naga. Pada bagian tengah terdapat ruang altar. Pada beberapa bagian langit-langit dan kuda-kuda kelenteng dipenuhi ukiran berwarna. Kelenteng sendiri terbagi menjadi empat ruang besar. Pada bagian sisi kiri ruang tengah terdapat meja bertrap bersekat dengan tiap sekat tertera nama-nama donator tetap kelenteng dalam aksara Cina.Pada ruang tengah terdapat dua meja altar dan di atas altar utama terdapat patung Dewa Kwan Kong. Pada ruang belakang terdapat dua altar yang digunakan untuk menghormati mendiang Kapitain The Liong Hui. 5.1.4.3 Pengelolaan Pelestarian Kompleks kelenteng beserta 12 rumah petaknya terawat cukup baik. Kondisi kelentengnya sendiri masih sangat baik dan halaman sekitar kelenteng sangat bersih. Keberadaan kelenteng yang letaknya lebih rendah dari jalan (gang masuk) menyebabkan bangunan ini seringkali tergenangi air pada saat musim penghujan. Biaya pengelolaan kelenteng sampai sekarang masih mengandalkan uang sewa dari 12 rumah petak yang disewakan di sekitar kelenteng. Tindakan pelestarian yang digunakan adalah konservasi, dengan memanfaatkan kelenteng dan ke-12 rumah petak di dalamnya sesuai dengan fungsi
awalnya.
Dengan
tindakan
pelestarian
ini
maka
akan
dapat
mempertahankan nilai-nilai sejarah yang ada di dalamnya dan perjuangan Kapitain The Liong Hui dalam mendirikan kelenteng ini, sehingga ke depannya keberadaan Kelenteng Ariya Marga ini dapat tetap eksis. 5.1.4.4 Lingkungan Lokasi Kelenteng Ariya Marga ini terletak di sebuah gang kecil yang hanya dapat dilalui dengan sepeda motor. Di sepanjang gang ini terdapat warungwarung makan, gudang-gudang, serta kantor Kesekretariatan Kelurahan Tambora yang halamannya digunakan sebagai tempat parkir sepeda motor. Terdapat tempat pemujaan Dewa Tanah (Toapoehkong) sebelum pintu masuk kelenteng. Suasana sepanjang gang cukup sejuk karena terdapat beberapa tanaman peneduh dan gang
sendiri terlindungi oleh bayangan bangunan-bangunan di sekitarnya (Gambar 16). Letak Kelenteng Ariya Marga ini berdekatan dengan lokasi rumah Keluarga Souw dan Gedung Tiong Hoa Hwee Kuan.
Gambar 16. Kondisi di Sekitar Kelenteng Ariya Marga 5.1.5 Gedung Tiong Hoa Hwee Kuan (THHK) / SMUN 19 Beberapa meter dari rumah keluarga Souw, terdapat bangunan yang kini menjadi sekolah SMU Negeri 19 Jakarta. Di kalangan anak-anak muda Glodok, sekolah ini sangat populer dengan sebutan cap-kau artinya sembilan belas. Gedung ini sangat bersejarah, sebab di tempat inilah pertama kali berdiri sebuah organisasi Tionghoa modern di kota Batavia, bahkan di Hindia Belanda. Gedung ini terletak di Jalan Perniagaan No.31 Jakarta Barat. 5.1.5.1 Sejarah Singkat Pada 17 Maret 1900, berdirilah Tionghoa Hwee Kuan (THHK), atau Perhimpunan Tionghoa. Tahun berikutnya THHK mendirikan sekolah modern pertama yang disebut Tiong Hoa Hak Tong, disusul pembukaan cabang-cabang lain di seluruh Hindia Belanda. Ketika itu sekolah ini merupakan sekolah swasta modern pertama, bukan saja di Batavia tapi juga di Hindia Belanda. Berdirinya sekolah ini merupakan
reaksi masyarakat Tionghoa di Batavia terhadap pemerintah Belanda yang tidak pernah memberikan pendidikan
kepada
anak-anak
Tionghoa. Akibat
perkembangan yang pesat dari sekolah THHK, pemerintah kolonial Belanda yang khawatir anak-anak akan 'tersedot' ke sekolah ini segera mendirikan Hollandsche Chineesche School (HCS), yaitu sekolah berbahasa Belanda bagi anak Tionghoa. Pada perkembangan selanjutnya sekolah THHK Patekoan ini disingkat menjadi Pa Hua. Hingga tahun 1958, sekolah Pa Hua merupakan salah satu sekolah terbaik di Asia Tenggara dengan kurikulum Anglo-Chinese. Saat ini sekolah sejaman dengan kurikulum Anglo-Chinese seperti Pa Hua masih terdapat di Singapura dan Malaysia. Setelah terjadinya Gerakan 30 September (G30S), Pa Hua termasuk dalam sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa yang ditutup oleh pemerintah Orde Baru dan bangunannya diambil alih. Ketika itu ratusan sekolah Tionghoa diambil alih dengan adanya larangan pengajaran, penerbitan, dan brosur dengan aksara Cina. Pa Hua sendiri kini menjadi SMUN 19 (Gambar 17). 5.1.5.2 Kondisi Fisik Kondisi bangunan terawat dengan baik. Gedung ini sekarang digunakan sebagai sekolah. Arsitektural bangunan masih dipertahankan sesuai dengan arsitektur bangunan awal. Di sebuah dinding dekat pintu masuk terdapat sebuah prasasti penanda berdirinya bangunan (Gambar 18), akan tetapi keberadaan prasasti ini tertutupi oleh gerobak para pedagang kaki lima di sekitar gedung dan warnanya menyatu dengan warna cat dinding sehingga keberadaannya nyaris tidak terlihat apabila pengunjung tidak jeli. Kondisi halamannya terlihat kurang terawat, lahan yang direncanakan sebagai taman sekolah akhirnya terbengkalai. Beberapa bagian conblock sudah mulai rusak sehingga menimbulkan genangan air di beberapa tempat apabila hujan.
Gambar 17. Gedung Tiong Hoa Hwee Kuan (THHK)
Gambar 18. Prasasti Penanda Berdirinya Gedung THHK 5.1.5.3 Pengelolaan Pelestarian Gedung bersejarah ini cukup terawat dengan baik. Struktur bangunan lama tetap dipertahankan sesuai dengan bentuk awalnya. Tindakan pelestarian yang dilakukan untuk melestarikan gedung bersejarah ini adalah dengan tindakan konservasi berupa adaptive use. Dalam hal ini gedung dimanfaatkan sebagai gedung
sekolah
sehingga
akan
dapat
memperkuat
arti
sejarah
dan
mempertahankan nilai-nilai sejarah di dalamnya serta mengintegrasikan pemanfaatannya sesuai dengan kondisi sekarang yang lebih relevan. Pengelolaan gedung ini menjadi tanggung jawab Yayasan Pendidikan Jayakarya. 5.1.5.4 Lingkungan Gedung THHK ini terletak di tepi jalan raya sehingga cukup strategis dan mudah untuk diakses, letaknya juga berdekatan dengan rumah Keluarga Souw. Karena gedung ini digunakan sebagai sekolah maka di sekitar gedung terdapat beberapa lapak pedagang dan warung-warung sederhana. Situasi ini tidak begitu mengganggu keberadaan gedung dan aktivitas di dalamnya, hanya saja gedung
menjadi terlihat kurang monumental dan keberadaan prasasti bersejarah penanda berdirinya gedung ini terhalangi oleh gerobak-gerobak dari para pedagang. 5.1.6 Rumah Keluarga Souw Sekitar satu kilometer dari kelenteng Toa Sai Bio, terdapat gedung keluarga Souw (Gambar 19). Gedung yang berada di Jalan Perniagaan ini, hingga sekarang masih menjadi milik keluarga tersebut. Pada tahun 2005 Rumah Keluarga Souw ini mendapat penghargaan dari Dinas Permuseuman dan Kebudayaan DKI Jakarta sebagai ”Sadar Pelestarian Terhadap Bangunan Cagar Budaya di Jakarta”. 5.1.6.1 Sejarah Singkat Keluarga Souw dulu terkenal kaya raya, anggota keluarga Souw yang terkenal adalah kakak-beradik Souw Siauw Tjong dan Souw Siaw Keng. Souw Siauw Tjong merupakan orang terkaya di Batavia karena memiliki tanah yang luas, mulai dari Paroeng Koeda, Kadawoeng Wetan, hingga Katapang di wilayah Tangerang (saat ini). Souw Siauw Tjong terkenal sebagai orang yang berjiwa sosial dan selalu membantu masyarakat miskin. Salah satu bangunan yang didirikannya adalah sekolah-sekolah bagi anak-anak bumiputra di tanah miliknya. Namanya juga tercantum sebagai donor dalam pemugaran Kelenteng Boen Tek Bio Tangerang 1875 dan Kelenteng Kim Tek Ie Batavia tahun 1890. Sedangkan Souw Siauw Keng (1849-1917) diangkat menjadi Luitenant der Chineezen di Tangerang pada 1884.
Gambar 19. Rumah Keluarga Souw 5.1.6.2 Kondisi Fisik dan Status Saat ini bangunan yang masih tersisa dengan arsitektur Cina adalah bangunan rumah induk dan bagian sayap timur bangunan di atas lahan 5.000 meter. Sedangkan sayap barat bangunan telah tergusur untuk pembangunan Pasar Perniagaan. Rumah keluarga Souw ini sampai sekarang masih terawat dengan baik dan masih didiami oleh keturunan dari Souw Siauw Tjong. Bangunan ini merupakan salah satu benda cagar budaya di Kawasan Glodok. 5.1.6.3 Pengelolaan Pelestarian Rumah Keluarga Souw ini berada dalam kondisi yang baik. Struktur bangunan rumah masih sangat baik. Bentuk pintunya pun masih menggunakan arsitektural tradisional khas Cina (Gambar 20). Pengelolaan dilakukan secara pribadi dan dibawah pengawasan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta. Tindakan pelestarian yang digunakan adalah adaptive use, yaitu sebagian digunakan sebagai tempat praktek dokter dan rumah tinggal (sayap timur bangunan), sedangkan rumah utama penggunaannya sekarang bukanlah sebagai rumah tinggal melainkan digunakan sebagai tempat untuk menyimpan pasokan barang (gudang). Perbedaan penggunaan ini tidak merubah bentuk asli bangunan.
Gambar 20. Model Pintu Rumah Keluarga Souw yang Masih Asli 5.1.6.4 Lingkungan Rumah Keluarga Souw ini terletak di kawasan ruko yang cukup ramai pada saat jam kerja (Gambar 21). Terlihat beberapa rumah dan ruko tradisional lainnya yang juga terdapat di sekitar rumah ini. Rumah ini terletak persis di tepi jalan raya sehingga keberadaannya mudah ditemukan. Akan tetapi terkadang keindahan rumah ini terhalang oleh deretan kendaraan yang terparkir di depannya.
Gambar 21. Kondisi di Sekitar Rumah Keluarga Souw 5.1.7 Jalan Blandongan Di Jalan Blandongan ini masih terdapat rumah-rumah langgam Cina yang masih asli. Keberadaan rumah-rumah dan lanskapnya ini menunjukkan bahwa Pemerintah Belanda menempatkan masyarakat Tionghoa sebagai masyarakat kelas atas, setingkat di atas masyarakat pribumi sehingga mereka diperbolehkan untuk membangun wilayah pemukiman yang nampak sama dengan tanah leluhur mereka. Kawasan ini dulunya merupakan tempat penimbunan kayu, kata Blandongan berasal dari bahasa Jawa yaitu Belandong yang artinya penebang kayu (Saleh, 1956). Secara administrasi Jalan Blandongan ini termasuk ke dalam Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat.
5.1.7.1 Sejarah Singkat Bangunan-bangunan yang ada di Jalan Blandongan ini memiliki arsitektur bangunan bergaya Cina dan diperkirakan didirikan sekitar tahun 1779-an hingga abad ke-19. Keberadaannya mengukuhkan akan adanya pemukiman yang tampaknya khusus untuk masyarakat Tionghoa di jaman itu yang menjadi mitra Belanda (VOC). Salah satu bangunan yang menarik adalah rumah No.10 dengan arsitektur yang sangat unik, dikarenakan bentuknya yang memang berbeda pada masanya dan jarang ditemukan pada kawasan pecinan yang didominasi oleh bangunan ruko berlantai dua. Para arsitek memperkirakan bangunan ini merupakan perpaduan gaya bangunan klasik Eropa, Cina, dan Arab. 5.1.7.2 Kondisi Fisik dan Status Sepintas lalu kawasan ini seperti kawasan yang terdapat di Petaling Street Kuala Lumpur, George Town di Penang, Heeren Street di Kota Tua Malaka ataupun China Town Singapura. Apalagi di sejumlah bangunan masih terpasang keramik tua warna-warni mengikuti tren abad-19 yang menjadi acuan rumah Tionghoa masa itu di Asia Tenggara. Rumah-rumah yang memanjang ke belakang memang khas bangunan pecinan demi menyiasati menghindari pajak tinggi yang diterapkan oleh kolonial Belanda pada masa itu yang dihitung berdasarkan ukuran lebar rumah. Yang unik dari rumah-rumah ini adalah material yang digunakan untuk membantu merekatkan batu bata dan material lain pembangun struktur rumah, yaitu menggunakan putih telur. Batu bata yang digunakan pun lebih tebal dibanding batu bata modern saat ini (www.kompas.com)4. Sekarang kondisi bangunan-bangunan ini sangat mengkhawatirkan. Keberadaanya terhimpit dengan bangunan-bangunan baru, beberapa rumah bahkan tidak diketahui siapa pemiliknya. Rumah-rumah ini masih dimiliki oleh perorangan, ada yang tetap menggunakannya sebagai rumah tinggal, ada yang menyewakannya sebagai gudang, dan ada pemilik yang berniat untuk menjualnya. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah membuat peraturan daerah tentang lingkungan pemugaran di wilayah Jakarta dan sudah mendata bangunan-bangunan ini sebagai cagar budaya peninggalan abad ke-18 hingga ke-19. Surat Keputusan 4
www.kompas.com/kompas-cetak/0607/24/metro/2828190.htm (tanggal akses 9 Februari 2007) [terhubung berkala]
Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 475 Tahun 1993 mencatat rumah langgam Tionghoa di Jalan Blandongan ini sebagai cagar budaya (Gambar 22).
Gambar 22. Bangunan Langgam Cina di Jalan Blandongan 5.1.7.3 Pengelolaan Pelestarian Meskipun Pemerintah telah mengeluarkan surat keputusan dan peraturan terkait dengan pelestarian dan pengelolaan bangunan-bangunan langgam Cina ini akan tetapi kenyataannya aplikasi di lapang belum terlihat nyata. Pengelolaan yang dilakukan seadanya sebatas kemampuan dana yang dimiliki sang pemilik, karena kepemilikan rumah-rumah ini merupakan kepemilikan pribadi. Bahkan ada rumah yang tidak terawat sama sekali dan dibiarkan terbengkalai. Bagian yang asli masih dapat terlihat dari bagian façade dan di bagian dalam bangunan. Pemda DKI sendiri tampaknya belum memberikan bantuan untuk pengelolaan BCB ini. 5.1.7.4 Lingkungan Jalan Blandongan ini terletak di depan Sungai Angke dan berseberangan dengan Kelenteng Tanda Bhakti. Sungai Angke ini dulunya dijadikan sebagai saran transportasi dalam kegiatan perdagangan masyarakat sekitar. View yang ditampilkan pada lanskap dan bangunan-bangunan di sekitarnya sebenarnya sangat indah, akan tetapi kondisi bangunan yang kumuh, sungai yang kotor dan bau, serta jalan raya yang padat menutupi semua keindahannya. Apabila lokasi ini ditata sedemikian rupa maka akan dapat meningkatkan nilai estetiknya. Gambar 23 menunjukkan kondisi di sekitar obyek.
Gambar 23. Kondisi di Sekitar Jalan Blandongan 5.1.8 Kelenteng Tanda Bhakti Kelenteng ini terletak di Jalan Kemenangan III Gang 6 No. 97 Kelurahan Glodok, Jakarta Barat. Letaknya berhadapan dengan Jalan Blandongan (Gambar 24). 5.1.8.1 Sejarah Singkat Kelenteng ini merupakan kelenteng marga Chen atau Tan yang didirikan pada tahun 1757. Ruang utama pada kelenteng ini ditujukan bagi dewa pelindung marga Tan yaitu Chen Yuang Guang yang merupakan seorang Jenderal pada masa dinasti Tang dan berjasa dalam membuka daerah Zhang Zhou. Atas jasanya ini Kaisar menganugerahinya gelar Kaizhang Sheng Wang yang berarti ”Raja Suci Pembuka Daerah Zhang Zhou”. Menurut Claudine Salmon (1996: 185) dalam Arlisabetha (2005) sebuah kelenteng marga biasanya didirikan oleh keluarga-keluarga kaya saja. Kelentengkelenteng marga tertua yang ada di Jakarta didirikan oleh dua keluarga besar yaitu keluarga marga Tan dan marga Lin.
Gambar 24. Kelenteng Tanda Bhakti 5.1.8.2 Kondisi Fisik Kelenteng ini sudah beberapa kali mengalami renovasi dan renovasi terakhir dilakukan pada tahun 1976. Kompleks kelenteng ini terbagi menjadi dua bagian utama dengan halaman yang cukup luas dengan dua pintu masuk. Bagian utama merupakan kelenteng utama dan bagian lainnya merupakan sebuah paviliun kecil yang terletak di dekat pintu masuk. Arsitektur bangunannya sendiri merupakan arsitektur bangunan khas Cina. Yang unik adalah selain kelenteng, di bagian belakang terdapat altar pemujaan bagi Sang Buddha yang merupakan perwujudan ”tanda bakti”. 5.1.8.3 Pengelolaan Pelestarian Kondisi kelenteng ini masih sangat baik dengan pengelolaan di bawah Yayasan Vihara Tanda Bhakti. Pengelolaan yang dilakukan sama dengan kelenteng-kelenteng lainnya, yaitu dengan melakukan pengelolaan harian agar kelenteng/vihara tetap dalam keadaan yang bersih dan rapi ketika dikunjungi oleh para umat. Tindakan pelestarian Kelenteng Tanda Bhakti ini sendiri adalah konservasi, yaitu dengan tetap menjadikannya sebagai tempat peribadatan sesuai dengan fungsi awalnya. 5.1.8.4 Lingkungan Lingkungan di sekitar kelenteng cukup baik yaitu terletak di sekitar pemukiman penduduk. Akses untuk menuju lokasi pun sangat mudah. kelenteng sendiri langsung berhadapan dengan Sungai Angke dan Jalan Blandongan. Di sekitar pintu masuk terdapat beberapa pedagang kaki lima akan tetapi
keberadaannya tidak terlalu mengganggu meskipun sedikit mengurangi nilai estetik kelenteng ini dan lanskap di sekitarnya (Gambar 25).
Gambar 25. Kondisi di Sekitar Kelenteng Tanda Bhakti 5.1.9 Kelenteng Toa Sai Bio Kelenteng Toa Sai Bio (Kelenteng Duta Besar) terletak di Jalan Kemenangan III (dulu Jalan Toasaibio). Secara administrasi kelenteng ini berada di wilayah Kelurahan Glodok, Kecamatan Tamansari, Kotamadya Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta (Gambar 26).
5.1.9.1 Sejarah Singkat Kelenteng Toa Sai Bio ini dibangun oleh orang Hokkian dari Kabupaten Tiotha, Provinsi Hokkian yang dipersembahkan kepada Cheng-goan Cin-kun yang merupakan dewata di daerah tersebut. Di ruang altar utama kelenteng ini terletak sebuah hiolouw untuk menancapkan hio atau dupa lidi yang berasal dari tahun 1751. Hio-louw ini merupakan objek tertua kedua setelah Kelenteng Jin De Yuan (Gambar 27). Berada di dalam klenteng ini, kita akan disuguhi musik gambang kromong, musik ini menjadi musik wajib setiap merayakan ulang tahun dewa aliran Tao yaitu Cheng-goan Cin-kun selama dua hari. Di kelenteng ini pula tiap perayaan Cap Go Meh (hari kelima belas setelah Tahun Baru Imlek) diadakan
upacara kirab keliling Pecinan yang dinamakan Gotong Toapehkong. Tradisi ini sempat terputus pada tahun 1958 dan diteruskan kembali setelah masa reformasi.
Gambar 26. Kelenteng Toa Sai Bio 5.1.9.2 Kondisi Fisik Kelenteng Toa Sai Bio terletak ± 100 meter dari Gereja Santa Maria de Fatima. Bangunan kelenteng ini kurang lebih sama dengan kelenteng-kelenteng lainnya dengan arsitektur bangunannya yang khas dengan warna merah mencolok dan ornamen-ornamen khas lainnya. Pintu masuk berupa gerbang dengan atap berornamen naga. Pembagian ruang kelenteng ini tidak sekompleks pembagian ruang pada Kelenteng Jin De Yuan, mengingat kelenteng ini tidak seluas Kelenteng Jin De Yuan. Ruangan hanya terbagi atas tiga ruang utama, yaitu ruang altar sembahyang, ruang kebaktian vihara, dan kesekretariatan. Sedangkan sebagian halaman kelenteng digunakan sebagai tempat parkir motor. Ruang altar sendiri dibagi menjadi empat ruangan yang digunakan untuk pemujaan bagi dewadewi yang ada. 5.1.9.3 Pengelolaan Pelestarian Perawatan yang dilakukan oleh pengurus kelenteng hampir sama dengan kelenteng-kelenteng lainnya, yaitu perawatan harian. Para pengelola dan pengurus kelenteng akan lebih sibuk ketika perayaan pada hari-hari tertentu, seperti perayaan hari dewa-dewi tertentu, peringatan tanggal 1 dan 15 Imlek setiap bulannya, perayaan Imlek dan Cap Go Meh, dan perayaan-perayaan lainnya. Kelenteng ini terawat dengan baik di bawah pengelolaan Yayasan Dharma Jaya.
Gambar 27. Hiolow yang Berasal Dari Tahun 1751 Tindakan pengelolaan pelestarian bangunan yang dilakukan adalah konservasi melalui pemeliharaan secara rutin. Dengan tindakan pengelolaan ini diharapkan akan dapat mempertahankan fungsi kelenteng, objek-objek sejarah di dalamnya, serta budaya dan tradisi yang telah lama ada sejak kelenteng ini didirikan. 5.1.9.4 Lingkungan Kelenteng ini terletak berdekatan dengan Gereja Santa maria de Fatima dan pemukiman penduduk. Jalan menuju kelenteng cukup baik, yaitu berupa jalan aspal dengan lebar ± 3-4 meter sehingga dapat dilalui oleh kendaraan. Di sekitar lokasi tidak terdapat jalur pedestrian sehingga para pejalan kaki harus ”berbagi ruang” dengan kendaraan yang lewat. Terdapat beberapa penjual makanan dan minuman di sekitar kelenteng ini sehingga keberadaannya akan dapat mendukung kegiatan wisata di sekitarnya. Gambar 28 menunjukkan keadaan di sekitar Kelenteng Toa Sai Bio.
Gambar 28. Kondisi di Sekitar Kelenteng Toa Sai Bio 5.1.10 Gereja Santa Maria de Fatima Inilah gereja tua di Jakarta yang sangat unik, yang menjadi salah satu cagar budaya DKI Jakarta. Gereja ini dulunya merupakan rumah tradisional bangsawan Cina bergaya Fukien (Tiongkok Selatan) yang pada awal abad 19 kemudian digunakan untuk tempat misa. Gereja ini terletak di Jalan Kemenangan III dekat dengan Kelenteng Toa Sai Bio serta Kelenteng Jin De Yuan (Gambar 29). 5.1.10.1 Sejarah Singkat Tidak diketahui kapan gedung ini didirikan, hanya saja disebutkan bangunan ini didirikan dalam rumah besar tempat berdiamnya Luitenant der Chineezen bermarga Tjioe. Rumah ini kemudian dijual pemiliknya setelah Tiongkok jatuh ke tangan komunis pada 1949. Sebagaimana umumnya, rumah bangsawan tradisional Cina berpola tiga bangunan berderet ke belakang, antara bangunan pertama (utama) dengan banguan kedua terdapat ruang terbuka. Di tempat itulah keluarga berkumpul atau sembahyang bersama. Setelah dibeli oleh pihak gereja, ruang terbuka itu ditutup dijadikan ruang gereja, dan ruang sembahyang keluarga dijadikan altar gereja sampai sekarang. Apabila dilihat bangunan bergaya rumah tradisional Cina ini lebih mirip dengan vihara dibandingkan dengan
gereja. Kedua ujung
wuwungannya yang berwarna merah mencuat lancip dengan dua buah patung singa (bao gu shi) jantan dan betina terbuat dari batu di halaman teras, serta pintu depan dipenuhi motif Cina. Bangunan ini dikenali sebagai gereja dikarenakan adanya tiang salib besar di atas wuwungan dan tulisan Gereja Katolik Santa Maria de Fatima yang dipasang di atas pintu utama, atau karena di halaman terdapat menara lonceng yang dihiasi oleh patung Yesus mungil dan tiruan bukit kecil dengan patung Bunda Maria putih. Keistimewaan gedung gereja ini adalah adanya inskripsi aksara Tionghoa. Hiasan atap gereja ini menggambarkan ian boe heng (ekor
walet) yang dikawal sepasang cion sai (singa batu). Pada bagian bubungan atap tertera daerah asal pemiliknya yaitu di Kabupaten Lam-oa, Karesidenan Coan-ciu (Quanzhou), Provinsi Hokkian. Inskripsi di bubungan atap adalah hok siu khong leng yang berarti rezeki, umur panjang, kesehatan, dan ketentraman. Di depan altar gereja, terdapat beberapa patung dewa Tionghoa yang menunjukkan adaptasi yang dilakukan pastor gereja dengan tradisi masyarakat setempat.
Gambar 29. Gereja Santa Maria de Fatima 5.1.10.2 Kondisi Fisik dan Status Berdasarkan SK Gubernur No. Cb 11/ 1/ 12/ 72 tanggal 10 Januari tahun 1972 (Lembaran Daerah N0.60/ 1972) Gereja Santa Maria de Fatima ini ditetapkan sebagai gedung yang dilindungi (BCB) yang pengelolaannya di bawah pengawasan Pemerintah DKI Jakarta melalui Dinas Museum dan Kepurbakalaan DKI Jakarta. Dari segi gaya arsitektur gereja ini sangat khas dan mungkin satusatunya gereja dengan arsitektural bangunan rumah tradisional Cina. Gereja Katolik Santa Maria de Fatima mengalami renovasi selama tiga tahun yaitu pada tahun 1999-2002. Renovasi itu memperluas bagian dalam hingga gereja mampu menampung 700 orang dan dilakukan peninggian lantai. Peninggian ini dilakukan untuk mengimbangi ketinggian jalan yang terpaksa ditempuh untuk menghadapi banjir yang datang setiap tahun. Kini tampak lantai dalam gereja lebih tinggi dari jalan. 5.1.10.3 Pengelolaan Pelestarian
Kini kondisi gedung dalam keadaan terawat dengan baik. Terdapat pedestrian di sekitar jalan menuju gereja yang memberikan sedikit kenyamanan bagi para pejalan kaki. Pengelolaan gereja merupakan tanggung jawab yayasan gereja (paroki) di bawah pengawasan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta sesuai dengan SK Gubernur No.Cb 11/ 1/ 1972 tanggal 10 Januari tahun 1972. Pengelolaan dilakukan dengan perawatan harian. Tindakan pelestarian yang dilakukan adalah konservasi yaitu tetap menggunakan bangunan ini sebagai gereja sesuai dengan fungsi awalnya. Renovasi yang dilakukan pada beberapa waktu yang lalu tidak merubah bentuk fisik bangunan awal. Tindakan pengelolaan ini akan dapat memperkuat karakter objek dan lanskap di sekitanya serta warisan sejarah yang terkandung di dalamnya. 5.1.10.4 Lingkungan Letak Gereja Santa Maria de Fatima ini berdekatan dengan Kelenteng Toa Sai Bio dan berada di kawasan pemukiman penduduk. Keberadaannya di tepi jalan, dengan jalan aspal yang cukup lebar (± 3-4 meter) memudahkan pengunjung untuk mengunjungi gereja ini. Di sepanjang jalan menuju gereja ini juga terdapat jalur pedestrian sehingga pejalan kaki dapat lebih menikmati perjalanan, meskipun jarak jalur pedestriannya pendek (Gambar 30 ).
Gambar 30. Kondisi di Sekitar Gereja Santa Maria de Fatima 5.1.11 Kelenteng Jin De Yuan Diantara lebih dari seratus kelenteng yang ada di Jakarta, terdapat beberapa kelenteng tua yang terkenal. Salah satu di antaranya adalah Kelenteng Jin De Yuan / Kim Tek Ie yang berada di kawasan Pecinan Lama Glodok, Jakarta Barat. Dahulu kelenteng ini berada di bawah pengelolaan Gong Guan atau Dewan Opsir Tionghoa Batavia. Ketika institusi ini masih berjaya, Kelenteng Jin De Yuan bersama dengan Kelenteng Da Bo Gong di kawasan Ancol, Kelenteng Tanjung (telah musnah) dan Kelenteng Wan Ji Sie/ Wan Kiap Si di Jalan Lautze terkenal dengan sebutan “Empat Kelenteng Besar”. Kelenteng ini terletak di Jalan Kemenangan III nomor 13 Jakarta. Secara administrasi kelenteng ini berada di wilayah Kelurahan Glodok, Kecamatan Tamansari, Kotamadya Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta (Gambar 31). 5.1.11.1 Sejarah Singkat Claudine Salmon dan Denys Lombard dalam Les Chinois de Jakarta: temples et vie collectives (1977) yang dikutip Adolf Heuken dalam Historical Sites of Jakarta (1989) menyatakan bahwa dalam “Catatan Sejarah Tionghoa tentang Batavia” tercatat pada sekitar tahun 1650 Luitenant Tionghoa Guo Xun Guan (Kwee Hoen) mendirikan sebuah kelenteng untuk menghormati Guan Yin ( Dewi Kwan Im) di Glodok. Semula kelenteng ini disebut Guan Yin Ting (Kwan Im Teng) atau yang secara harafiah berarti Paviliun Guan Yin. Dalam perkembangannya hampir seabad kemudian kelenteng ini dirusak serta dibakar dalam peristiwa Tragedi Pembantaian Angke pada tahun 1740. Kemudian pada tahun 1775 seorang Kapitein Tionghoa memugar dan menamai kembali kelenteng ini dengan nama Jin De Yuan yang artinya Kelenteng Kebajikan Emas. Kelenteng ini memiliki luas sekitar 3.000 meter persegi. Kelenteng ini termasuk dalam kelenteng umum, artinya tidak secara khusus memuja salah satu agama atau aliran tertentu akan tetapi juga memuja berbagai agama atau aliran, seperti agama Buddha, Khonghucu, serta aliran Tao.
Benda-benda bernilai sejarah yang terdapat di dalam kelenteng ini diantaranya adalah dua buah patung singa (Bao Gu Shi) dan tungku pembakar kertas (Jin Lu) buatan tahun 1812 yang berasal dari Provinsi Kwantung di Tiongkok Selatan, patung San Yuan- Kaisar Tiga Dunia (Patung Dewa Tao) yang mungkin berasal dari abad ke-17, sebuah lonceng buatan tahun 1825 yang merupakan lonceng tertua dari semua kelenteng di Jakarta, papan pujian buatan tahun 1775 yang terletak di pintu utama, serta beberapa patung Buddha dan dewadewi yang berasal dari abad ke-18. 5.1.11.2 Kondisi Fisik dan Status Secara keseluruhan bangunan Kelenteng Jin De Yuan termasuk dalam satu kompleks dengan kelenteng lainnya, yaitu Kelenteng Hui Ze Miao (1964) yang merupakan tempat pemujaan roh nenek moyang suku Hakka, Di Cang Wang Miao (±1830) yang dipersembahkan untuk Raja Neraka, serta Xuan Tan Gong atau Vihara Dharma Sakti (1938) yang memuja dewa tertentu agar memperoleh kesehatan. Kompleks kelenteng ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu halaman I, halaman II, serta bangunan utama yaitu Kelenteng Jin De Yuan.
Gambar 31. Kelenteng Jin De Yuan
Pada halaman I terdapat tiga buah pintu gerbang sebagai akses keluar masuk dengan arsitektural khas Cina, halaman kelenteng ini dipergunakan untuk upacara pada hari-hari tertentu. Pada halaman II hanya terdapat satu buah pintu gerbang sebagai akses keluar masuk, terdapat juga satu buah hiolouw ( tempat untuk menancapkan dupa) yang berbentuk segi delapan dan dihiasi dengan ornamen bunga teratai, sepasang patung singa yang berfungsi sebagai penjaga di kiri dan kanan halaman, serta dua buah balai pengobatan milik Yayasan Dharma Bakti. Pada masa lalu halaman ini merupakan sebuah taman kecil dengan berbagai macam tanaman hias namun karena makin banyaknya umat serta pengunjung yang bersembahyang ke kelenteng ini maka taman ini diubah menjadi pelataran berlantai semen. Bangunan utama kelenteng ini sendiri terbagi lagi menjadi ruang-ruang sebagai tempat pemujaan dewa-dewi yang ada, yaitu ruang utama, ruangan samping (sayap) kanan, kiri, dan belakang. Ruang utama merupakan ruang bagi dewa-dewi utama sedangkan ruangan samping digunakan sebagai tempat pemujaan bagi dewa-dewi kedua. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur No. Cb 11/ 1/ 12/ 72 Tanggal 10 Januari 1972 (Lembaran Daerah No.60/ 1972) Kelenteng Jin De Yuan ini berstatus sebagai bangunan yang dilindungi oleh Undang-Undang Monumen STBL 1931 No. 238.
5.1.11.3 Pengelolaan Pelestarian Kawasan Kelenteng Jin De Yuan ini dikelola dengan cukup baik. Kondisi kelenteng cukup baik dan bersih. Pengurus kelenteng membersihkan kelenteng setiap hari mengingat tempat ini selalu dikunjungi setiap harinya. Para pengelola dan pengurus kelenteng akan lebih sibuk ketika perayaan pada hari-hari tertentu, seperti perayaan hari dewa-dewi tertentu, peringatan tanggal 1 dan 15 Imlek setiap bulannya, perayaan Imlek dan Cap Go Meh, dan perayaan-perayaan lainnya. Kelenteng ini dikelola oleh Yayasan Dharma Bakti bawah pengawasan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta. Tindakan pengelolaan dan pelestarian bangunan yang dilakukan adalah konservasi nelalui pemeliharaan secara rutin. Dengan tindakan pengelolaan ini
diharapkan akan dapat mempertahankan fungsi kelenteng, objek-objek sejarah di dalamnya, serta budaya dan tradisi yang telah lama ada sejak kelenteng ini didirikan. 5.1.11.4 Lingkungan Jalan menuju ke kelenteng ini cukup nyaman, dengan jalan aspal yang cukup lebar (± 3-4 meter) sehingga dapat dilalui oleh kendaraan. Hanya saja tidak disediakan jalur pedestrian bagi para pejalan kaki sehingga para pejalan kaki harus ”berbagi jalan” dengan kendaraan yang lalu-lalang di sekitarnya. Lokasi kelenteng ini berdekatan dengan pasar dan pemukiman penduduk sehingga di beberapa titik terlihat tumpukan sampah pasar yang belum sempat dibersihkan oleh petugas kebersihan dan agak menimbulkan bau tak sedap. Namun hal ini tidak mengganggu pengunjung yang berada di dalam kelenteng. Bau sampah tertutupi dengan bau harum dupa. Yang agak mengganggu pemandangan adalah kehadiran para pengemis di beberapa pintu masuk dan halaman kelenteng. Jumlah para pengemis ini meningkat pada hari-hari tertentu dimana jumlah pengunjung kelenteng juga meningkat, yaitu pada saat perayaan-perayaan besar seperti perayaan Imlek dan Cap Go Meh. Pengelola kelenteng sendiri tidak dapat berbuat banyak menghadapi keadaan ini. Pada saat menuju ke kelenteng ini di salah satu sudut jalan terdapat sebuah tempat pemujaan bagi Dewa Tanah (Toapehkong) yang keberadaan dan fungsinya menyerupai pura-pura kecil yang ada di Bali (Gambar 32).
Gambar 32. Tempat Pemujaan Bagi Dewa Tanah (Toapehkong) 5.1.12 Pancoran/ Glodokplein Kawasan Pancoran ini merupakan kawasan yang terkenal dengan jajanan dan PKL-nya (sebelum tahun 2005). Kawasan ini merupakan kawasan yang tepat untuk dijadikan kawasan jajanan bagi para pecinta kuliner dan obat-obatan tradisional Cina yang juga sudah terkenal di manca negara. 5.1.12.1 Sejarah Singkat Sebutan untuk Glodok dan Pancoran sering merujuk pada satu tempat yang sama padahal keduanya merupakan tempat yang berbeda, namun berada di satu kawasan yang sama. Menurut asal usulnya nama Pancoran berasal dari alat pancur (pancuran air) yang ada di sana dan dilafalkan penduduk sekitar menjadi ”pancoran”. Tempat ini merupakan tempat keran air minum yang ada di Glodok (Heuken, 1997). Dulunya kawasan Pancoran merupakan sebuah lapangan terbuka (plein) di Glodok dan akhirnya menjadi pusat aktivitas masyarakat Tionghoa sampai sekarang. Gambar 33 menunjukkan kondisi Pancoran di tahun 1940-an.
Gambar 33. Pancoran Tahun 1940 (Sumber: www.kotatua.com)
5.1.12.2 Kondisi Fisik
Setelah terjadinya Kerusuhan Mei 1998 Kawasan Pancoran, tepatnya di Jalan Pancoran dijadikan oleh para pedagang kaki lima sebagai areal berjualan. Pada tahun 2005 Pemerintah Daerah Jakarta Barat melakukan penertiban dan membersihkan areal ini dari para pedagang kaki lima dengan tujuan untuk mengembalikan fungsi semula kawasan yaitu sebagai jalur pedestrian dan jalur kendaraan. Penertiban ini didasarkan atas Perda No. 11 Tahun 1988 Tentang Ketertiban Umum serta Perda N0. 66 Tahun 1993 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DKI Jakarta. Pelaksanaan proyek ini selesai pada akhir tahun 2006. Pada saat pelaksanaan proyek banyak ditemukan keramik-keramik Cina asal Dinasti Ching abad 19 atau tahun 1800-an yang berupa benda-benda keperluan rumah tangga. Tempat penemuan ini diduga merupakan bekas saluran yang terurug dan merupakan situs Kota Tua. Gambar 34 menunjukkan kondisi kawasan Pancoran saat ini setelah penertiban. 5.1.12.3 Pengelolaan Pelestarian Kawasan Jalan Pancoran ini berada dalam keadaan yang cukup baik, jalan yang bersih, tertib, serta kanal buatan dengan tanaman-tanamannya membuat suasana sedikit lebih nyaman di tengah hiruk-pikuk kegiatan bisnis di dalamnya. Pengelolaan kawasan dilakukan di bawah pengawasan Pemda Jakarta Barat dengan melibatkan masyarakat sekitar.
Gambar 34. Pancoran Sekarang (2007)
5.1.12.4 Lingkungan Sebagian besar bangunan di Jalan Pancoran ini berupa ruko yang didominasi dengan ruko obat tradisional Cina, selain itu juga terdapat beberapa restoran dan hotel. Sebagian besar bangunan merupakan bangunan baru dengan arsitektur modern. Sulit menemukan bangunan dengan arsitektur lama di sepanjang jalan ini. Meskipun ada maka letaknya terhimpit atau bahkan terletak di dalam bangunan-bangunan tinggi dan megah. Hal ini terjadi pada sebuah rumah tradisional Cina yang sekarang dijadikan sebagai toko buku berbahasa Mandarin. Letak bangunan ini berbatasan dengan gedung pusat perbelanjaan Chandra dan masih terawat dengan baik (Gambar 35).
Gambar 35. Tampak Belakang Rumah Tradisional Cina yang Berbatasan Dengan Pusat Perbelanjaan Chandra 5.1.13 Kebijakan Pelestarian Upaya pemerintah dalam pelestarian obyek-obyek bersejarah adalah dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan mengenai pelestarian benda-benda bersejarah. Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya (BCB) yang mengatur mengenai kriteria-kriteria BCB yang harus dilestarikan dan acuan pelestariannya. Pelaksanaan dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 10 Tahun 1993 yang diantaranya berisikan mengenai kepemilikan, perlindungan dan pemeliharaan, serta pembinaan dan pengawasan benda cagar budaya.
Selain itu juga terdapat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 087/P/1993 Tentang Pendaftaran Benda Cagar Budaya, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 062/U/1995 Tentang Pemilikan, Penguasaan, Pengalihan, dan Penghapusan Benda cagar Budaya dan/ atau Situs, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 063/U/1995 Tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Benda Cagar Budaya, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 064/U/1995 Tentang Penelitian dan Penetapan Benda Cagar Budaya dan/ atau Situs. Sedangkan dari Pemerintah Daerah DKI Jakarta sendiri mengeluarkan Peraturan Daerah tahun 1999 Tentang Ketentuan dan Pelestarian Bangunan dan Lingkungan Cagar Budaya di DKI Jakarta serta penerbitan SK Gubernur No. 475 Tahun 1993 Tentang Bangunan-bangunan yang Dilindungi Oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Inti dari semua produk hukum ini adalah untuk melindungi, menjaga, serta melestarikan heritage yang masih tersisa. Meskipun banyak peraturan yang telah dibuat namun kenyataan pelaksanaan di lapang menemukan banyak kendala yang harus dihadapi. Masih banyak bangunan-bangunan tua yang terbengkalai dan memerlukan tindakan pemeliharaan, keberadaannya.
pengelolaan, Tidak
bahkan
jarang
perbaikan
untuk
bangunan-bangunan
tua
mempertahankan yang
bersejarah
dihancurkan dan diganti dengan bangunan baru hanya demi kepentingan ekonomi. Untuk menjaga kelestarian obyek-obyek bersejarah perlu penetapan batas pelestarian kawasan yang mempunyai karakter yang masih kuat termasuk obyekobyek bersejarah di dalamnya (terkait dengan program revitalisasi Kota Lama) serta tindakan yang nyata dari peraturan yang telah dibuat, kerja sama dan partisipasi aktif antara pemerintah, pemilik, dan masyarakat. 5.2 Keberlanjutan Lanskap Sejarah Kawasan Pecinan Glodok ini masih memiliki karakteristik Chinese yang masih terjaga. Keberadaan pemukiman dengan bangunan-bangunan lama berarsitektur khas Cina, keberadaan sungai yang dulunya dimanfaatkan sebagai sarana
transportasi
dalam
kegiatan
perdagangan,
suasana
kehidupan
masyarakatnya dan upacara-upacara budaya yang sering dilaksanakan pada hari-
hari tertentu (seperti pada saat perayaan Imlek dan Cap Go Meh) masih dapat dilihat pada kawasan ini (Gambar 36). Kondisi dan suasana Chinese ini dapat dilihat dan dirasakan terutama di sekitar Jalan Kemenangan, Jalan Blandongan, dan Kawasan Pancoran. Lanskap sejarah yang terdapat di Kawasan Pecinan Glodok, khususnya obyek-obyek yang dijelaskan dalam studi masing-masing memiliki nilai sejarah yang sangat penting untuk dijaga, oleh sebab itu keberlanjutan lanskap dengan obyek-obyeknya merupakan suatu syarat mutlak. Adapun potensi keberlanjutan lanskap sejarah secara sederhana dipengaruhi oleh pengelolaan yang tercermin dari kondisi fisik obyek dan kondisi lingkungannya. Berdasarkan skoring faktorfaktor yang mempengaruhinya tersebut diperoleh nilai yang mencerminkan kondisi keberlanjutan (Tabel 6).
Gambar 36. Atmosfer Chinese Pada Kawasan Pecinan Glodok
Tabel 6. Analisis Potensi Keberlanjutan Lanskap Sejarah Lanskap Sejarah Kawasan Pasar Pagi Lama Toko Obat Lay An Tong Kelenteng Budhi Dharma Kelenteng Ariya Marga Gedung Tiong Hoa Hwee Koan Rumah Keluarga Souw Jalan Blandongan
Status
-
Pengelola PD. Pasar Jaya dan Pemda Jakarta Barat Pribadi Yayasan Vihara Budhi Dharma Pribadi Yayasan Pendidikan Jayakarta
Faktor Keberlanjutan Kondisi Fisik Lingkungan Obyek
Keberlanjutan (∑ Nilai)
1
1
2
2
1
3
3
1
4
3
3
6
2
2
5
BCB
Pribadi
3
2
5
BCB
Pribadi
1
2
3
Kelenteng Tanda
Yayasan Vihara
-
Bhakti Kelenteng Toa
Tanda Bhakti Yayasan Dharma
-
Sai Bio Gereja St. Maria de Fatima Kelenteng Jin De Yuan Pancoran/
Jaya Paroki St. Maria de
BCB
Fatima Yayasan Dharma
BCB
Bakti
-
Glodokplein
Keterangan: baik
Pemda Jakarta Barat
=3
sedang
=2
kurang
=1
3
3
6
3
3
6
3
3
6
3
3
6
2
1
3
∑ Nilai 4-6 = potensi keberlanjutan baik 2-3 = potensi keberlanjutan tidak baik
Dari dua belas obyek ini hanya empat yang berstatus BCB yang keberadaanya dilindungi oleh pemerintah berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1992 tentang Bangunan Cagar Budaya. Meskipun demikian keberadaan delapan obyek lainnya tidak boleh diabaikan, pemerintah harus memberi perhatian yang serius untuk menjaga keberlanjutannya mengingat obyek-obyek ini juga berumur lebih dari 50 tahun dan sarat dengan nilai-nilai sejarah di dalamnya. Selain peran serta pemerintah, keberlanjutan lanskap sejarah ini juga tergantung pada kondisi fisik dan lingkungannya. Kondisi fisik ini mencakup keadaan bangunan, lanskap, dan elemen-elemen yang terdapat di dalamnya. Lanskap yang mempunyai kondisi fisik yang baik seperti Kelenteng Budhi Dharma, Kelenteng Ariya Marga, Gedung THHK, Rumah Keluarga Souw, Kelenteng Tanda Bhakti, Kelenteng Toa Sai Bio, Gereja Santa Maria de Fatima, dan Kelenteng Jin De Yuan dapat lebih terjaga keberlanjutannya dibandingkan dengan lanskap yang kondisi fisiknya kurang terawat seperti Kawasan Pasar Pagi dan Toko Obat Lay An Tong, rumah-rumah langgam Cina di Jalan Blandongan, maupun yang kondisi fisiknya cukup baik seperti Pancoran akan tetapi terancam dengan pertumbuhan ekonomi. Setiap lanskap ini dikelola oleh masing-masing pengelola, ada badan pengelola yang secara langsung mengelola obyek sejarah namun ada pula yang berperan sebagai pengontrol aktivitas pengelolaan seperti rumah langgam Cina di Jalan Blandongan dan rumah Keluarga Souw yang telah dikelola secara turun temurun oleh pemiliknya di bawah pengawasan Dinas Kebudayaan dan
Permuseuman. Tindakan pelestarian dan pengelolaan yang dilakukan pada masing-masing obyek berbeda-beda sesuai dengan kondisi fisik dan fungsinya saat ini. Untuk menjaga kelestarian obyek-obyek ini perlu adanya pengukuhan secara tertulis bahwa obyek-obyek yang ada dilindungi oleh negara dan dalam pengelolaannya pemerintah juga perlu turut serta. Masing-masing obyek pada studi ini memiliki kondisi lingkungan yang berbeda-beda.
Lingkungan
yang
dapat
mendukung
kelestarian
dan
keberlangsungan lanskap dan obyek sejarah sebaiknya adalah lingkungan yang dapat berfungsi juga sebagai daerah penyangga sehingga akan dapat menonjolkan nilai-nilai yang terkandung pada sebuah lanskap sehingga dapat diinterpretasikan dengan lebih baik dan dapat menjadi pembatas bagi pengaruh dari lingkungan di sekitarnya. Selain itu kondisi sosial lingkungan yang kondusif yaitu berupa dukungan dari masyarakat sekitar yang peduli akan keberadaan obyek juga dapat mendukung keberlanjutan sebuah lanskap sejarah. Lingkungan yang kondusif seperti ini dapat ditemukan di lingkungan sekitar Kelenteng Budhi Dharma, Kelenteng Ariya Marga, Kelenteng Tanda Bhakti, Kelenteng Toa Sai Bio, Gereja Santa Maria de Fatima, dan Kelenteng Jin De Yuan.
Kebijakan pelestarian yang ada sudah cukup untuk mendukung keberlanjutan lanskap kawasan dan obyek-obyek bersejarah yang ada di dalamnya, seperti Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya (BCB) yang mengatur mengenai kriteria-kriteria BCB yang harus dilestarikan serta peraturan-peraturan turunannya, termasuk Peraturan Daerah tahun 1999 Tentang Ketentuan dan Pelestarian Bangunan dan Lingkungan Cagar Budaya di DKI Jakarta serta penerbitan SK Gubernur No. 475 Tahun 1993 Tentang Bangunan-Bangunan yang Dilindungi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Meskipun berbagai kebijakan pelestarian telah dibuat namun dalam pelaksanaannya belum memperlihatkan hasil yang signifikan, salah satu contohnya adalah rumah langgam Cina di Jalan Blandongan yang kondisinya
memprihatinkan. Bangunan yang telah berstatus BCB pun belum tentu memiliki kondisi fisik yan baik. 5.3 Upaya Pelestarian Dalam melakukan upaya pelestarian diperlukan kerja sama dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, pihak pengelola, dan tentunya melibatkan masyarakat. Selain mengeluarkan berbagai kebijakan dan peraturan terkait pengelolaan pelestarian sebagai pedoman bagi pihak pengelola, pemerintah juga perlu membuat kebijakan terpadu seperti insentif pajak, pengembangan kawasan terpadu yang bebas kemacetan lalu lintas, promosi pariwisata dan penghentian ragam pungutan serta pemerasan di kawasan pecinan agar pelestarian lanskap sejarah di Kawasan Pecinan Glodok ini dapat berlangsung dalam jangka panjang (www.kompas.com)5. Untuk melindungi kawasan bersejarah pemerintah harus menetapkan land use yang sesuai. Rencana revitalisasi harus mencakup kawasan dengan obyekobyek penting. Berdasarkan peta rencana revitalisasi yang telah ada, revitalisasi tidak mencakup kawasan tempat terdapatnya obyek Gereja Santa Maria de Fatima, Kelenteng Jin De Yuan yang merupakan BCB, dan Kelenteng Tanda Bhakti. Oleh sebab itu perlu dilakukan perluasan kawasan perlindungan yang terintergrasi dengan program revitalisasi Kota Lama Jakarta. Selain itu bagi obyek-obyek yang memiliki nilai penting sejarah akan tetapi belum ditetapkan sebagai BCB sebaiknya diberi status BCB agar mempunyai legalitas perlindungan untuk menjaga kelestariannya. Berbagai tindakan pelestarian yang dilakukan secara langsung terhadap obyek juga perlu dilengkapi dengan adanya upaya pelestarian lanskap kawasan secara keseluruhan, untuk itu perlu ditetapkan zonasi pada kawasan. Penetapan zonasi ini bertujuan untuk melindungi Kawasan Pecinan Glodok secara keseluruhan. Gambar 37 menunjukkan penetapan zonasi pada kawasan. Zona inti merupakan zona yang lanskapnya masih memiliki karakter pecinan yang kuat dan terdapat obyek-obyek bersejarah di dalamnya. Zona ini diperuntukkan untuk upaya pelestarian lanskap dan obyek-obyek bersejarahnya. 5
http/kompas.com/kompas-cetak/060724/metro/2828190.htm (tanggal akses 5April 2007) [terhubung berkala]
Tindakan pelestarian yang dilakukan lebih ketat dibandingkan dengan area di luar zona inti. Upaya pelestarian pada zona inti dapat berupa tindakan rehabilitasi maupun rekonstruksi, terutama bagi obyek yang kondisi fisiknya sudah tidak baik. Sedangkan area di luar zona inti berfungsi sebagai area penyangga. Area penyangga ini berfungsi untuk mencegah kerusakan pada zona inti. Tindakan pelestarian yang dilakukan dapat berupa revitalisasi yang bertujuan untuk meningkatkan karakter kawasan dan melindungi zona inti itu sendiri. Upaya pelestarian pada zona inti dan zona penyangga ini harus terintegrasi dengan upaya revitalisasi Kota Lama Jakarta. Pembinaan dan penyuluhan juga penting untuk dilakukan secara periodik pada masing-masing lanskap sejarah untuk memantau tindakan pelestarian dan meningkatkan kerja sama antara pihak pengelola dengan pemerintah. Dalam Nurisjah dan Pramukanto (2001) disebutkan bahwa pengelolaan pelestarian untuk suatu kawasan budaya dan bersejarah selanjutnya akan menjadi suatu alat untuk menciptakan
keterlibatan
total
dari
masyarakat
dalam/untuk
mengelola
kepentingan dan kebutuhannya sendiri (people centered management). Aspirasi masyarakat yang tergabung dalam berbagai paguyuban dan organisasi untuk mendukung upaya pelestarian pun harus menjadi pertimbangan dan masukan bagi pemerintah. Adapun upaya pelestarian lanskap sejarah yang disarankan dapat
Zonasi Kawasan
Zona inti
dilihat pada Tabel 7.
Gambar 37. Zonasi Kawasan Tabel 7. Upaya Pelestarian Lanskap Sejarah Lanskap Sejarah
Kawasan Pasar Pagi Lama
Status
-
Pengelola
Saran Tindakan Pelestarian Revitalisasi kawasan, bantuan
PD. Pasar Jaya dan Pemda
rehabilitasi bangunan-bangunan
Jakarta Barat
dan fasilitas untuk memperkuat karakter, dan adaptive use Rehabilitasi bagian-bagian yang
Toko Obat Lay An Tong
-
Pribadi
rusak, konservasi dengan tidak merubah bangunan/façade, dijadikan sebagai BCB. Konservasi, dijadikan sebagai
Kelenteng Budhi Dharma
-
Yayasan Vihara Budhi Dharma
Kelenteng Ariya Marga
-
Pribadi
-
Yayasan Pendidikan Jayakarta
pemeliharaan dan adaptive use
Pribadi
serta dijadikan sebagai BCB. Konservasi dengan memperbaiki
Gedung Tiong Hoa Hwee Koan Rumah Keluarga Souw
BCB
BCB. Konservasi, dijadikan sebagai BCB. Konservasi dengan melakukan
bagian-bagian yang rusak, pemeliharaan ketat, dan adaptive
use Rehabilitasi bangunanJalan Blandongan
BCB
Pribadi
Kelenteng Tanda Bhakti
-
Yayasan Vihara Tanda Bhakti
Kelenteng Toa Sai Bio
-
Yayasan Dharma Jaya
Gereja St. Maria de Fatima Kelenteng Jin De Yuan Pancoran/ Glodokplein
BCB BCB -
bangunan/facade yang rusak dan konservasi Konservasi, dijadikan sebagai BCB. Konservasi, dijadikan sebagai
Paroki St. Maria de Fatima Yayasan Dharma Bakti
BCB. Konservasi Konservasi Revitalisasi kawasan, rehabilitasi
Pemda Jakarta Barat
bangunan/facade yang rusak, dan konservasi
Tindakan pelestarian seperti adaptive use dan konservasi masih relevan untuk dipertahankan apabila kondisi obyek masih baik, sedangkan apabila kondisi obyek kurang baik maka perlu tindakan rehabilitasi agar dapat meningkatkan karakter dan memperbaiki utilitas yang ada. Tindakan pelestarian pada Kawasan Pasar Pagi Lama berupa adaptive use sudah cukup tepat, akan tetapi dikarenakan banyaknya kondisi bangunan ruko yang memprihatinkan maka untuk menjaga keberlangsungan kawasan dengan ruko-ruko lamanya perlu campur tangan pemerintah untuk tindakan rehabilitasi sehingga karakter pecinan kawasan dapat diperkuat. Toko Obat Lay An Tong dilestarikan oleh sang pemilik dengan mempertahankan bangunan sebagaimana adanya. Tindakan ini sudah cukup tepat namun untuk keberlangsungan jangka panjang perlu perhatian Pemda agar bangunan ini menjadi BCB karena bangunan ini mempunyai nilai sejarah penting. Kelenteng Budhi Dharma dan Kelenteng Ariya Marga sebagai tempat ibadah melakukan tindakan pelestarian berupa konservasi. Kondisi kedua obyek ini cukup baik dan tindakan pelestarian yang telah dilakukan sudah cukup tepat. Tindakan pelestarian pada kedua obyek ini disarankan untuk tetap dipertahankan. Sedangkan pada Gedung Tiong Hoa Hwee Koan tindakan pelestarian yang telah dilakukan yaitu adaptive use dengan menjadikannya gedung sekolah umum. Kondisi bangunan dalam kondisi yang baik dan tindakan pelestarian yang dilakukan sudah cukup tepat. Disarankan tindakan pelestarian yang telah dilakukan dipertahankan agar kerusakan dan hilangnya bagian-bagian penting (seperti prasasti penanda) dapat dicegah.
Rumah Keluarga Souw yang merupakan BCB dilestarikan dengan adaptive use. Kondisi obyek dalam kondisi yang baik. Tindakan pelestarian yang dilakukan sudah tepat, akan tetapi untuk menghindari hilangnya bagian bangunan dan kerusakan seperti yang pernah terjadi sebelumnya disarankan tindakan konservasi yang lebih hati-hati dan ketat. Lanskap sejarah berikutnya adalah Jalan Blandongan. Tindakan pelestarian yang dilakukan terhadap rumah-rumah langgam Cina yang ada sangat kurang. Mengingat kondisi bangunan yang sudah sangat memprihatinkan, perlu upaya pro aktif Pemda untuk membantu rehabilitasi untuk memperbaiki bangunan sesuai arsitektur aslinya, serta kemudian dikonservasi untuk mencegah kerusakan. Kelenteng Tanda Bhakti, Kelenteng Toa Sai Bio, Gereja Santa Maria de Fatima, serta Kelenteng Jin De Yuan yang merupakan tempat ibadah dilestarikan dengan tindakan konservasi. Tindakan pelestarian yang dilakukan oleh pihak pengelola terhadap keempat obyek ini sudah tepat dan disarankan untuk tetap dipertahankan. Sedangkan untuk Kawasan Pancoran tindakan pelestarian yang dilakukan adalah revitalisasi kawasan dan rehabilitasi bangunan-bangunan yang masih mempunyai ciri khas arsitektur Cina. Mengingat kawasan ini adalah pusat aktivitas ekonomi, maka pemanfaatannya dapat secara adaptive use. 5.4 Lanskap Sejarah sebagai Obyek Wisata Terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan untuk menjadikan suatu kawasan lanskap sejarah sebagai obyek wisata diantaranya adalah daya tarik wisata masing-masing obyek, fasilitas interpretasi, aksesibilitas, pengunjung, dan pengelolaan wisata. Masing-masing hal tersebut akan dijelaskan dengan lebih rinci sebagai berikut. 5.4.1 Daya Tarik Wisata Lanskap Kawasan Pecinan Glodok secara keseluruhan dengan keberadaan sungai-sungai, bangunan-bangunannya, serta aktivitas/budaya masyarakat di dalamnya menjadi daya tarik tersendiri. Kondisi ini dapat terlihat terutama pada zona inti, dimana bangunan-bangunan langgam Cina, kelenteng-kelenteng, gereja, serta sungai-sungai membentuk satu kesatuan karakter khas pecinan.
Dengan adanya daya tarik wisata yang tinggi dari suatu obyek wisata akan membuatnya dikunjungi oleh banyak wisatawan. Daya tarik ini dapat berupa keunikan, estetika/ arsitektur, keutuhan, keaslian, dan kondisi fisik. Penilaian aspek-aspek tersebut terhadap obyek/lanskap yang terdapat pada Kawasan Pecinan Glodok dapat dilihat pada Tabel 8. Berdasarkan hasil pada Tabel 8 terdapat sembilan obyek/lanskap yang termasuk dalam kategori sangat potensial, yaitu Toko Obat Lay An Tong, Kelenteng Budhi Dharma, Kelenteng Ariya Marga, Gedung Tionghoa Hwee Koan, Rumah Keluarga Souw, Kelenteng Tanda Bhakti, Kelenteng Toa Sai Bio, Gereja St. Maria de Fatima, dan Kelenteng Jin De Yuan. Sedangkan Kawasan Pasar Pagi Lama, Jalan Blandongan, dan Kawasan Pancoran termasuk dalam kategori potensial.
Tabel 8. Nilai Komponen Daya Tarik Obyek Wisata Sejarah Nilai Komponen Daya Tarik Obyek
Obyek Wisata Sejarah Kawasan Pasar Pagi Lama Toko Obat Lay An Tong Kelenteng Budhi Dharma Kelenteng Ariya Marga Gedung Tiong Hoa Hwee
Nilai Sejarah dan Keunikan
Estetika/ Arsitektur
Keutuhan
Keaslian
Kondisi Fisik
3
2
1
2
1
9
3
3
3
3
2
14
3
3
3
3
3
15
3
3
3
3
3
15
3
2
3
3
2
13
3
3
2
3
3
14
3
3
1
3
1
11
3
3
3
3
3
15
3
3
3
3
3
15
∑ Nilai
Koan Rumah Keluarga Souw Jalan Blandongan Kelenteng Tanda Bhakti Kelenteng Toa
Sai Bio Gereja St. Maria de Fatima Kelenteng Jin De Yuan Pancoran/ Glodokplein
3
3
3
3
3
15
3
3
3
3
3
15
2
2
1
2
2
9
Keterangan: baik
=3
∑ Nilai 12-15 = sangat potensial
sedang = 2
9-11= potensial
kurang = 1
5-8 = kurang potensial
Kawasan Pasar Pagi Lama memiliki nilai keunikan baik didukung dengan keberadaan ruko-ruko yang masih dengan arsitektur lama, meskipun sebagian besar kondisi fisiknya memprihatinkan. Toko Obat Lay An Tong memiliki keunikan yang baik didukung oleh arsitektur bangunan yang masih asli dan aksesibilitas yang mudah dijangkau. Kondisi fisik bangunan bernilai sedang karena disebabkan pengelolaan yang dilakukan oleh pemilik masih kurang, terlihat dari kondisi bangunan yang suram dan penataan di bagian dalam yang kurang menarik. Sedangkan Kelenteng Budhi Dharma memiliki keunikan, arsitektur, keutuhan, keaslian, dan aksesibilitas yang baik. Kelenteng ini merupakan satusatunya kelenteng yang dibangun disaat Pemerintahan Inggris menduduki Batavia. Keberadaannya tepat di tepi jalan raya sehingga sangat mudah dijangkau. Kondisi fisik dari kelenteng ini cukup baik hanya saja penataan di dalam kelenteng kurang menarik, kelenteng terlihat suram dan kurang penerangan. Kelenteng Budhi Dharma ini terletak berseberangan dengan Toko Obat Lay An Tong. Kelenteng Ariya Marga mempunyai nilai keunikan yang baik dikarenakan kelenteng ini adalah satu-satunya kelenteng yang didirikan secara individu oleh seorang Kapitain Tionghoa yang mempunyai status sosial yang cukup tinggi di masa itu dan salah satu kelenteng penanda bangkitnya perekonomian masyarakat Tionghoa peranakan di Batavia setelah Pembantaian Angke 1740. Arsitektural, keutuhan, keaslian, dan kondisi fisik kelenteng juga bernilai baik karena pengelolaan kelenteng juga baik, sedangkan aksesibilitas bernilai sedang karena
keberadaanya kurang strategis dan kurang terlihat apabila tidak diberikan papan penanda. Obyek berikutnya adalah Gedung Tionghoa Hwee Koan yang sekarang menjadi gedung SMU 19. Keunikan bernilai baik karena di sinilah untuk pertama kalinya terbentuk organisasi modern pertama di Hindia Belanda, yang kemudian menjadi insipirasi bagi organisasi pemuda Budi Utomo. Arsitektural bangunan juga unik karena merupakan perpaduan gaya neoklasik dan neklitik terlihat dari bentuk jendelanya dan bagian tiang di sebelah kanan bangunan. Keutuhan dan keaslian objek masih terjaga dengan baik, akan tetapi kondisi fisiknya bernilai sedang dikarenakan pengelolaan yang masih kurang dan lingkungan sekitarnya yang membuat bangunan bersejarah ini menjadi kurang monumental. Sedangkan akses menuju objek bernilai baik dikarenakan objek terletak di tepi jalan sehingga mudah terlihat dan dikunjungi. Rumah Keluarga Souw mempunyai keunikan yang baik dikarenakan bangunan ini merupakan bangunan milik seorang saudagar kaya yang disegani karena kebaikan dan jasa-jasanya kepada masyarakat pada masa itu, dengan arsitektural yang masih asli dan kondisi fisik bangunan yang masih terjaga dengan baik. Sedangkan keutuhan bernilai sedang karena bagian sayap kanan bangunan sudah tidak ada dan tergantikan dengan bangunan baru. Akan tetapi hal ini tetap tidak mengurangi keindahan rumah ini. Akses menuju objek juga sangat mudah dikarenakan bangunan terletak di tepi jalan. Akan tetapi akses untuk masuk ke dalam rumah cukup sulit karena rumah selalu tertutup dan dibatasi oleh pagar besi. Lanskap Jalan Blandongan memiliki keunikan tersendiri dikarenakan di jalan ini masih terdapat rumah-rumah dengan keaslian arsitektur Chinanya, selain itu tapak ini menggambarkan masa kejayaan masyarakat Tionghoa di saat mereka bermitra dengan VOC. Sedangkan keutuhan dan kondisi fisik bernilai kurang karena keberadaan dan kondisi bangunan memang sudah sangat memprihatinkan meskipun sudah terdaftar sebagai benda cagar budaya. Berhadapan dengan Jalan Blandongan ini terdapat Kelenteng Tanda Bhakti yang memiliki nilai keunikan yang baik karena arsitektural bangunannya, dimana susunan keramik langitlangitnya menyimbolkan tiga hal yang selalu didambakan oleh masyarakat
Tionghoa yaitu kebahagiaan, kemakmuran, dan panjang umur. Kondisi fisik, keutuhan, dan keaslian obyek juga berniali baik karena pengelolaan yang dilakukan sudah cukup baik. Sedangkan akses menuju obyek kurang dikarenakan letak kelenteng yang kurang strategis dan tidak adanya papan penanda sehingga keberadaanya tidak begitu terlihat. Berikutnya adalah Kelenteng Toa Sai Bio, kelenteng ini memiliki nilai keunikan yang baik dikarenakan akulturasi kebudayaan yang ada di dalamnya. Hal ini dapat dilihat dari adanya kesenian gambang kromong yang diadakan pada perayaan-perayaan tertentu, selain itu adanya tradisi Gotong Toapehkong juga menjadi atraksi yang menarik setiap tahunnya. Sedangkan arsitektural, keutuhan, keaslian, dan kondisi fisik kelenteng juga bernilai baik karena pengelolaan kelenteng sudah cukup baik. Berdekatan dengan Kelenteng Toa Sai Bio terdapat sebuah bangunan cagar budaya, yaitu Gereja Santa Maria de Fatima. Keunikan gereja ini bernilai baik dikarenakan arsitekturalnya yang unik terkait dengan penggunaannya sebagai sebuah gereja. Kondisi fisik, keutuhan, serta keasliannya bernilai baik. Renovasi yang dilakukan secara besar-besaran pada tahun 1999 tidak menghilangkan keasliannya. Akses menuju objek juga sangat mudah karena letaknya di tepi jalan. Objek selanjutnya adalah Kelenteng Jin De Yuan yang juga terdaftar sebagai benda cagar budaya oleh Pemda Jakarta. Nilai keunikan kelenteng ini baik, dikarenakan kelenteng ini merupakan kelenteng tertua yang dibangun di Batavia. Arsitektur bangunan, keutuhan, keaslian, serta kondisi fisiknya bernilai baik dikarenakan pengelolaan yang dilakukan juga cukup baik sehingga semuanya dalam kondisi yang baik. Aksesibilitas menuju kelenteng juga cukup mudah dikarenakan terletak di tepi jalan dan keberadaanya juga sudah dikenal banyak orang dengan sebutan ”Kelenteng Petak Sembilan”. Selanjutnya adalah lanskap Kawasan Pancoran, nilai keunikan kawasan ini sedang karena suasana yang ditimbulkan hampir sama dengan Kawasan Pasar Pagi Lama, yang membuatnya berbeda hanyalah lebih tertib, nyaman, dan bangunan-bangunan barunya. Keutuhan bernilai kurang dikarenakan memang hampir sebagian besar bangunannya merupakan bangunan baru dan bangunan
dengan arsitektur lama sudah sangat jarang ditemukan. Aksesibilitas kawasan ini sangat baik dengan jalan aspalnya yang cukup lebar dan letaknya berbatasan langsung dengan Jalan Gajah Mada. Keberadaan kanal di Jalan Pancoran ini menjadi suatu view tersendiri. 5.4.2 Fasilitas Interpretasi Interpretasi adalah suatu kegiatan memahami dan merasakan penampilan, nuansa, ataupun pesan yang disajikan dari suatu obyek dan lingkungannya. Fasilitas interpretasi dan informasi sangat penting dalam kegiatan wisata sejarah untuk membantu para wisatawan memahami, merasakan, dan mendapatkan pengalaman dari obyek yang dikunjunginya. Fasilitas interpretasi bermacammacam seperti guide, leaflet, brosur, papan informasi, booklet, foto/gambar, museum, dan media elektronik. Keseluruhan obyek dan lanskap sejarah di Kawasan Pecinan Glodok ini tidak mempunyai fasilitas interpretasi berupa guide, leaflet, booklet, foto/gambar, media elektronik, maupun papan informasi yang dapat memberikan penjelasan dan informasi kepada para pengunjung mengenai hal-hal yang berkaitan dengan obyek-obyek sejarah yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena lanskap bersejarah di Kawasan Pecinan Glodok ini belum dikelola secara khusus sebagai obyek wisata sehingga belum memiliki fasilitas interpretasi. Informasi mengenai obyek dapat diperoleh para pengunjung apabila melakukan wawancara atau bertanya kepada pihak pengelola maupun pemiliknya langsung. Selain itu penjelasan dan informasi mengenai obyek juga dapat diperoleh para pengunjung ketika mereka mengikuti kegiatan wisata yang diadakan oleh komunitas-komunitas pecinta sejarah maupun oleh instansi pemerintah pada waktu-waktu tertentu, misalnya dalam rangka peringatan Hari Raya Imlek dan Cap Go Meh. Ketika mengikuti kegiatan ini para pengunjung secara khusus memperoleh informasi melalui guide dan booklet, sedangkan obyek-obyek yang dikunjungi tidak menyediakan media interpretasi sama sekali. Di Kawasan Pecinan Glodok ini belum terdapat Pusat Informasi Turis (Tourist Information Centre). Meskipun telah direncanakan di dalam Rencana Pengembangan Kawasan Kota Tua Jakarta Tahun 2004 bahwa Pusat Informasi
Turis (Tourist Information Centre) ini akan direncanakan ditempatkan di dalam Stasiun Kota (Pratiwi, 2005) akan tetapi sampai tahun 2007 rencana ini belum terealisasi. Papan informasi maupun signboard yang menyatakan bahwa kawasan ini memiliki nilai historis yang tinggi juga belum ada. Tidak adanya fasilitasfasilitas informasi baik di kawasan maupun obyek-obyek sejarah merupakan sebuah kendala dalam kegiatan wisata karena akan menyebabkan para pengunjung tidak dapat menangkap keseluruhan makna sejarah yang ada di dalamnya. 5.4.3 Aksesibilitas dan Sirkulasi Untuk mendukung kemudahan dalam melakukan kegiatan wisata faktor aksesibilitas merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan. Faktor aksesibilitas yang dilihat di sini meliputi kondisi fisik, kemudahan, kapasitas, dan kejelasannya yang disajikan pada Tabel 9. Dalam Kencana (2005) yang dimaksud dengan kondisi fisik adalah kondisi jalan dilihat dari segi fisiknya, apakah cukup layak sebagai akses keluar masuk obyek sejarah, apakah jalan tersebut dalam kondisi baik atau buruk (rusak) sehingga perlu diperbaiki. Yang dimaksud dengan kemudahan di sini adalah kemudahan dalam menuju dan menggunakan akses keluar masuk tersebut, apakah terdapat rintangan dan kesulitan-kesulitan seperti jalan yang berliku, jalan yang menanjak, kemacetan, dan sebagainya. Kapasitas adalah kapasitas keluar masuk obyek, apakah cukup digunakan untuk pengunjung dalam jumlah besar atau hanya dalam jumlah kecil saja. Sedangkan yang dimaksud dengan kejelasan adalah apakah keberadaan akses keluar masuk obyek cukup jelas atau malah tersembunyi. Kejelasan disini dapat ditunjukkan dengan adanya papan penunjuk atau keterangan-keterangan lainnya. Berdasarkan pada Tabel 9 dapat disimpulkan bahwa semua obyek/lanskap yang ada pada Kawasan Pecinan Glodok ini memiliki nilai akses yang baik, kecuali pada Kelenteng Ariya Marga yang memiliki nilai buruk. Kawasan Pasar Pagi Lama memiliki beberapa akses keluar masuk berupa Jalan Pintu Kecil, Jalan Petokangan, Jalan Pasar Pagi, dan Jalan Perniagaan. Semua akses ini dalam kondisi baik yaitu berupa jalan aspal yang rata dan tidak berlubang serta dapat dilewati oleh kendaraan. Kemudahan akses bernilai kurang dikarenakan sering
terjadi kemacetan di beberapa ruas jalan mengingat Kawasan Pasar Pagi Lama ini merupakan sebuah pasar yang ramai dan banyaknya lapak pedagang kaki lima di kiri-kanan jalan sehingga menambah kesemrawutan. Jalan akses cukup lebar sehingga bisa digunakan oleh pengunjung dalam jumlah besar maupun kecil. Posisi akses cukup jelas dengan adanya papan nama jalan disetiap ruas jalan sehingga pengunjung dapat dengan mudah menemukan akses keluar masuk ini dari jalan raya. Toko Obat Lay An Tong dan Kelenteng Budhi Dharma memiliki akses keluar masuk yang sama karena letak kedua obyek ini berdekatan (berseberangan) dan terletak di tepi jalan raya. Akses keluar masuk berupa jalan raya yaitu Jalan Perniagaan dan Jalan Perniagaan Barat. Kondisi jalan dalam keadaan baik dengan jalan aspal yang rata dan tidak berlubang. Penggunaan akses juga cukup mudah karena berupa jalan arteri. Jalan akses juga lebar sehingga dapat digunakan oleh pengunjung dengan jumlah besar maupun kecil. Posisi akses juga cukup jelas karena dilengkapi dengan papan nama jalan. Tabel 9. Kondisi Akses Keluar Masuk Obyek Wisata Sejarah Obyek Wisata Sejarah Kawasan Pasar Pagi Lama Toko Obat Lay An Tong Kelenteng Budhi Dharma Kelenteng Ariya Marga Gedung Tiong Hoa Hwee Koan Rumah Keluarga Souw Jalan Blandongan Kelenteng Tanda Bhakti Kelenteng Toa Sai Bio Gereja St. Maria de Fatima Kelenteng Jin De Yuan Pancoran/ Glodokplein
Keterangan:
Kondisi Fisik
Kemudahan
Kapasitas
Kejelasan
∑ Nilai
1
0
1
1
3
1
1
1
1
4
1
1
1
1
4
0
1
0
1
2
1
1
1
1
4
1
1
1
1
4
1
1
1
1
4
1
1
1
0
3
1
1
1
1
4
1
1
1
1
4
1
1
1
1
4
1
1
1
1
4
baik
=1
∑ Nilai 3-4
kurang = 0
0-2
= kondisi akses baik = kondisi akses kurang baik
Kelenteng Ariya Marga hanya mempunyai satu akses keluar masuk yaitu berupa gang kecil yang dilengkapi pintu gerbang terbuat dari besi bertuliskan nama kelenteng. Akses berupa jalan semen dengan kondisi jalan gang yang sudah berlubang di beberapa titik dan becek. Penggunaan akses cukup mudah karena berdekatan dengan Jalan Tambora 8. Jalan akses tidak cukup lebar sehingga hanya dapat digunakan oleh pengunjung dalam jumlah sedikit. Posisi papan nama gerbang terletak agak terlalu dalam dari jalan raya sehingga pengunjung harus memperhatikan lebih jeli untuk menemukan akses keluar masuk ini. Gedung Tiong Hoa Hwee Koan memiliki dua akses keluar masuk berupa pintu gerbang sederhana terbuat dari besi dalam kondisi yang baik. Penggunaan akses ini cukup mudah karena posisinya dekat dengan Jalan Perniagaan. Jalan akses cukup lebar sehingga dapat digunakan oleh pengunjung dengan jumlah besar dan kecil. Posisi akses juga mudah terlihat oleh pengunjung karena letaknya berdekatan dengan jalan raya meskipun tidak ada papan penunjuk. Akses keluar masuk Rumah Keluarga Souw berupa jalan raya yaitu Jalan Perniagaan. Akses berupa jalan aspal dengan kondisi yang baik, rata dan tidak berlubang. Penggunaan akses juga cukup mudah karena berupa jalan arteri. Jalan akses juga lebar sehingga dapat digunakan oleh pengunjung dengan jumlah besar maupun kecil. Posisi akses cukup jelas karena dilengkapi dengan papan nama jalan. Obyek sejarah di Jalan Blandongan mempunyai akses keluar masuk berupa jalan raya yaitu Jalan Blandongan. Akses berupa jalan aspal yang rata dan tidak berlubang dengan kondisi jalan dalam keadaan baik. Penggunaan akses juga cukup mudah karena berupa jalan arteri. Jalan akses juga lebar sehingga dapat digunakan oleh pengunjung dengan jumlah besar maupun kecil. Posisi akses juga cukup jelas karena dilengkapi dengan papan nama jalan. Kelenteng Tanda Bhakti hanya mempunyai satu buah akses keluar masuk yaitu Gang 6 Jalan Kemenangan III, sebuah gang kecil selebar 2 meter dengan jalan semen dalam kondisi yang baik. Penggunaan akses juga mudah dan terletak
berdekatan dengan Jalan Kemenangan III. Jalan akses cukup lebar sehingga dapat digunakan oleh pengunjung dalam jumlah besar maupun kecil. Hanya saja posisi akses tidak jelas karena tidak adanya papan penunjuk menuju ke kelenteng ini sehingga pengunjung akan kesulitan menemukan akses keluar masuk. Kelenteng Toa Sai Bio hanya memiliki satu akses keluar masuk yaitu berupa pintu gerbang terbuat dari kayu dengan lebar 2 meter dan lantai tegel, semuanya dalam kondisi yang baik. Penggunaan akses ini cukup mudah dan posisinya dekat dengan jalan raya. Jalan akses cukup lebar sehingga memungkinkan pengunjung dalam jumlah besar maupun kecil. Posisi akses cukup jelas karena dilengkapi dengan papan penanda. Akses keluar masuk Gereja Santa Maria de Fatima berupa sebuah gerbang besi dengan lebar 3 meter dan jalan bata press yang rata dan tidak berlubang. Penggunaan akses juga cukup mudah karena berdekatan dengan jalan raya. Jalan akses yang lebar ini dapat digunakan oleh pengunjung dalam jumlah besar maupun kecil, posisi akses cukup jelas karena dilengkapi dengan papan penanda. Kelenteng Jin De Yuan memiliki empat akses keluar masuk berupa pintu gerbang dengan arsitektur khas Cina dengan lebar 1-1,5 meter dan jalan tegel. Kondisi fisik semua akses dalam kondisi yang baik. Penggunaan akses juga cukup mudah karena berdekatan dengan jalan raya. Banyaknya akses keluar masuk ini memungkinkan kelenteng dikunjungi oleh pengunjung dalam jumlah besar maupun kecil, posisi akses cukup jelas karena bentuknya yang khas dengan warna yang mencolok. Kawasan Pancoran memiliki akses keluar masuk berupa Jalan Gajah Mada dan Jalan Kemenangan. Akses ini dalam kondisi baik yaitu berupa jalan aspal yang rata dan tidak berlubang serta dapat dilewati oleh kendaraan. Penggunaan akses mudah karena merupakan jalan arteri. Jalan akses yang lebar memungkinkan untuk digunakan oleh pengunjung dalam jumlah besar maupun kecil. Posisi akses cukup jelas dengan adanya papan nama jalan disetiap ruas jalan sehingga pengunjung dapat dengan mudah menemukan akses keluar masuk ini dari jalan raya. Sirkulasi yang dapat digunakan untuk mengunjungi obyek dan lanskap sejarah yang ada menggunakan sarana jalan dan gang yang telah ada. Karena
belum adanya program wisata khusus yang dicanangkan, maka belum ada sirkulasi khusus untuk wisata maupun jalur interpretasi pada kawasan ini. 5.4.4 Pengunjung Tidak terdapat data mengenai jumlah pasti kunjungan wisatawan pada kedua belas obyek sejarah yang dijelaskan pada studi ini dikarenakan memang ke dua belas obyek sejarah ini belum dijadikan sebagai obyek wisata resmi dari Pemda Jakarta Barat. Namun berdasarkan pengamatan di lapang, wawancara dengan pihak terkait, serta kuisioner didapatkan keterangan bahwa kedua belas obyek ini dikunjungi oleh pengunjung dengan berbagai karakter yaitu masyarakat umum, pelajar dan mahasiswa, serta turis asing. Dari data kuisioner 35 responden didapatkan bahwa sebanyak 58% pengunjung mengetahui keberadaan obyek melalui teman, 20% mengetahuinya dari media internet, sedangkan sisanya mengetahui dari keluarga (8%) dan brosur (14%). Sebagian besar responden belum mengetahui mengenai sejarah obyek/lanskap sejarah pada saat berkunjung (66%). Sebanyak 85% responden mengunjungi obyek karena tertarik terhadap obyek/lanskap sejarah, dan sebanyak 15% bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang obyek. Aktivitas utama yang dilakukan oleh responden saat mengunjungi obyek adalah melihat obyek sejarah (72%), rekreasi (14%), melihat pemandangan sekitar (12%), dan kegiatan fotografi (2%).
Pada obyek-obyek yang merupakan tempat ibadah seperti
Kelenteng Budhi Dharma, Kelenteng Ariya Marga, Kelenteng Tanda Bhakti, Kelenteng Toa Sai Bio, Gereja Santa Maria de Fatima, serta Kelenteng Jin De Yuan pengunjung yang datang sebagian besar bertujuan untuk beribadah. Terkait dengan aksesibilitas, sebagian besar responden berpendapat bahwa obyek mudah untuk diakses (72%). Pelayanan interpretasi yang didapatkan oleh responden terhadap obyek berasal dari seorang guide (80%), pelayanan interpretasi seperti ini hanya tersedia pada acara-acara tertentu. Sedangkan sisanya mendapatkan fasilitas interpretasi dari brosur (15%). Pengunjung merasa kurang puas terkait fasilitas dan pelayanan yang tersedia pada masing-masing obyek sejarah baik dari segi kualitas maupun kuantitas (63%).
Sebagian besar responden menyatakan bahwa tindakan pengelolaan yang terkait dengan obyek/lanskap sejarah sudah baik (57%), 40% menyatakan buruk, dan 3 % menyatakan sangat baik. Setelah mengunjungi obyek sebanyak 43% koresponden menjadi tahu mengenai sejarah obyek/lanskap sejarah, 31% menjadi lebih tahu, dan 26% lebih mengetahui dan dapat memahami. Semua responden (100%) berpendapat bahwa obyek/lanskap sejarah yang ada perlu dilestarikan keberadaanya agar nilai-nilai sejarah dan budaya yang ada di dalamnya tidak punah. Sebagian besar harapan responden terhadap keberlanjutan obyek/lanskap sejarah terkait dengan dengan peningkatan pengelolaan (47%), penambahan fasilitas penunjang (27%), perbaikan pelayanan (22%), dan sisanya berpendapat tetap dalam kondisinya sekarang (3%). Keinginan dan harapan yang disampaikan oleh beberapa responden cukup baik terkait dengan upaya pelestarian dan pengembangan wisata obyek/ lanskap sejarah pada Kawasan Pecinan Glodok ini. Keinginan dan harapan tersebut diantaranya adalah melakukan revitalisasi dengan segera, pengembangan wisata yang fokus dan terkonsep, pemberian insentif dari pemerintah kepada para pemilik bangunan bersejarah, perlunya information center, menata dan menjaga kebersihan di sekitar obyek, meningkatkan kualitas dan kuantitas fasilitas wisata, penataan transportasi yang lebih baik, serta memperbanyak informasi, publikasi dan promosi. 5.4.5 Pengelolaan Wisata Pengelolaan obyek-obyek wisata di wilayah DKI Jakarta berada di bawah pengawasan Pemerintah DKI Jakarta dan untuk kawasan Kotamadya Jakarta Barat pengawasan dilakukan oleh Suku Dinas Pariwisata Kotamadya Jakarta Barat. Upaya pemerintah dalam pengelolaan obyek wisata bersejarah adalah dengan membuat peraturan perundang-undangan tentang pariwisata. Dalam melakukan pengelolaan wisata pihak pengelola hendaknya mengacu pada undangundang dan peraturan-peraturan yang telah ada. Adapun undang-undang yang mengatur mengenai kepariwisataan adalah UU No. 9 Tahun 1999. Undangundang ini berisikan penjelasan mengenai ketentuan wisata secara umum, asas dan tujuan, obyek dan daya tarik wisata, usaha pariwisata, dan peran serta
masyarakat dalam kegiatan pariwisata. Selain itu juga terdapat beberapa peraturan lainnya terkait dengan UU No. 9 Tahun 1999, seperti PP No. 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan, Peraturan Daerah Propinsi No. 3 Tahun 1991 tentang Pariwisata Budaya, serta Peraturan Daerah Kabupaten / Kota No. 8 Tahun 2004 tentang Izin Usaha Kepariwisataan. Selain itu juga terdapat Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta No. 4486 Tahun 1999 tentang Pembentukan Tim Pengembangan Potensi Jalur Wisata di Daerah Khusus Ibukota Jakarta serta pada tahun 2006 terbit Surat Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 34 Tahun 2006 tentang Penguasaan Perencanaan Dalam Rangka Penataan Kawasan Kota Tua seluas ± 846 Ha yang terletak di Kotamadya Jakarta Utara dan Kotamadya Jakarta Barat. Kedua SK Gubernur ini menjadi dasar Pemda Jakarta Barat dalam rencana pengembangan Kawasan Pecinan Glodok sebagai Kawasan Wisata Budaya dan Belanja Bertaraf Internasional sehingga dapat mendukung pertumbuhan kepariwisataan di Provinsi DKI Jakarta. Rencana Pemda ini masih dalam tahap pembahasan (legalisasi) dan diharapkan dapat rampung awal tahun 2008. Upaya pemerintah kota untuk mengelola obyek-obyek wisata adalah dengan melakukan pembinaan dan pengembangan terhadap usaha, sarana pariwisata, objek dan daya tarik wisata, penyuluhan kepariwisataan kepada masyarakat, pemberian petunjuk teknis tentang kegiatan, usaha, sarana pariwisata, objek dan daya tarik wisata, pemberian perizinan dan atau rekomendasi terhadap kegiatan dan usaha pariwisata, serta melakukan pemantauan, evaluasi, dan pengendalian kegiatan dan usaha pariwisata. Hal ini dilakukan terutama pada obyek-obyek yang telah terdaftar sebagai obyek-obyek wisata Kotamadya Jakarta Barat bekerjasama dengan yayasan pengelolaan dan pemilik masing-masing obyek. Obyek yang telah terdaftar pada studi ini hanyalah Kelenteng Jin De Yuan, sedangkan sebelas obyek lainnya belum terdaftar dan belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah untuk pengelolaan wisata. Program promosi wisata yang dilakukan sampai saat ini hanyalah dengan membuat media promosi berupa booklet, brosur wisata, leaflet, serta melalui internet. Media promosi ini berisikan mengenai deskripsi mengenai Kotamadya
Jakata Barat secara umum, potensi-potensi wisata di Kotamadya Jakarta Barat, dan obyek-obyek wisata di Kotamadya Jakarta Barat dalam bentuk peta dan deskripsi secara umum. Selain itu juga terdapat booklet yang berisikan mengenai fasilitas-fasilitas penunjang kegiatan wisata di wilayah Kotamadya Jakarta Barat. Akan tetapi media promosi yang terkait dengan Kawasan Pecinan Glodok secara khusus belum ada. Untuk rencana jangka panjang Pemda Jakarta Barat akan mengembangkan Kawasan Pecinan Glodok sebagai kawasan wisata unggulan yang bertaraf internasional sebagai tempat wisata belanja dan budaya. 5.5 Aspek Penunjang Wisata Dalam kegiatan pengembangan pariwisata tidaklah cukup hanya sematamata memperhatikan obyeknya saja, aspek-aspek penunjang kegiatan wisata juga perlu mendapatkan perhatian agar tercipta kegiatan wisata yang berkelanjutan, efektif, efisien, serta nyaman. Aspek-aspek tersebut diantaranya prasarana dan sarana transportasi, fasilitas pelayanan, informasi dan promosi, serta potensi wisatawan. 5.5.1 Sarana dan Prasarana Transportasi Aksesibilitas menuju Kawasan Pecinan Glodok ini tergolong mudah karena dapat ditempuh dengan berbagai alternatif sarana transportasi umum maupun pribadi. Untuk sarana transportasi pribadi dapat menggunakan mobil, motor, maupun bus-bus pariwisata. Sedangkan apabila ditempuh dengan menggunakan saran transportasi umum dapat menggunakan kereta api (dapat diakses dari Bogor, Bekasi, serta kota-kota lain di sekitar Jakarta), bus Trans Jakarta (Jalur Blok M- Kota), angkutan perkotaan (M12 dari Stasiun Senen, M15 dari Tanjung Priok), bus P2 (dari Kampung Rambutan) dan bus Kopaja 86 (dari arah Lebak Bulus). Alternatif transportasi ini didukung dengan adanya jalan tol lingkar luar Jakarta, jalan arteri, serta jalur kereta api yang melayani antar kota. Apabila menggunakan jalur laut, tapak dapat diakses melalui Pelabuhan Sunda Kelapa dan Pelabuhan Tanjung Priok. Untuk jalur udara didukung dengan adanya jalan tol ke Bandara Soekarno-Hatta.
Jalan-jalan yang terdapat obyek-obyek wisata sejarah di Kawasan Pecinan Glodok adalah Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk yang merupakan jalan arteri yang melewati Kawasan Pancoran (Jalan Pancoran), Jalan Kemenangan yang melewati Kelenteng Toa Sai Bio, Gereja Santa Maria de Fatima, dan Kelenteng Jin De Yuan, Jalan Perniagaan yang melewati Toko Obat Lay An Tong, Kelenteng Budhi Dharma, Kelenteng Ariya Marga, Gedung Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), dan Rumah Keluarga Souw, Jalan Blandongan tempat terdapatnya rumah-rumah langgam Cina, Jalan Kemenangan III yang melewati Kelenteng Tanda Bhakti, dan Jalan Pasar Pagi dan Jalan Perniagaan Timur yang melewati Kawasan Pasar Pagi Lama. Kawasan Pecinan Glodok merupakan salah satu pusat aktivitas ekonomi sehingga hampir semua jalan sengat padat,terutama pada siang hari atau pada saat jam kerja. Berdasarkan pengamatan di lapang, Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk merupakan jalan arteri yang padat terutama pada saat jam kerja sehingga menimbulkan kemacetan di kedua ruas jalan ini. Jalan Kemenangan termasuk jalan dengan lalu lintas yang tidak begitu padat. Kepadatan hanya terjadi di saat jam sekolah karena di jalan ini terdapat sebuah sekolah. Sedangkan Jalan Perniagaan merupakan jalan arteri dengan lalu lintas yang cukup padat terutama di bagian pertigaan jalan antara Jalan Perniagaan Barat-Jalan Perniagaan-Jalan Tambora. Hal ini terjadi karena kurangnya rambu-rambu lalu lintas berupa lampu lalu lintas di pertigaan ini. Jalan Blandongan dan Jalan Kemenangan III termasuk jalan dengan lalu lintas yang cukup padat terutama pada saat jam kerja. Jalan Pasar Pagi dan Jalan Perniagaan Timur merupakan jalan dengan lalu lintas yang sangat padat terutama pada saat jam kerja, kemacetan terjadi di hampir setiap ruas jalan. Hal ini dikarenakan kapasitas jalan yang tidak sebanding dengan jumlah kendaraan ditambah lagi kurangnya rambu-rambu lalu lintas dan PKL yang memakai jalan sebagai tempat untuk berjualan. Untuk wisatawan yang menggunakan kendaraan bermotor dapat memanfaatkan area parkir yang tersedia di gedung parkir Pasar Asemka di Jalan Pintu Besar Selatan dan area parkir Pasar Glodok di Pancoran. Pada waktu mengunjungi obyek-obyek wisata sebaiknya dengan berjalan kaki atau
menggunakan sarana transportasi potensial seperti ojeg sepeda atau menggunakan transportasi khusus untuk wisata di kawasan tersebut. Dengan berjalan kaki, semua obyek (12 obyek) dapat ditempuh selama ± 3 jam. 5.5.2 Fasilitas Pelayanan Kotamadya Jakarta Barat memiliki 54 unit hotel yang terdiri dari 22 unit hotel berbintang dan 32 unit hotel non bintang. Rinciannya ditampilkan pada Tabel 10. Pada umumnya kondisi penginapan yang ada di Kotamadya Jakarta Barat ini dalam kondisi yang baik. Selain penginapan yang beragam, di Kotamadya Jakarta Barat juga terdapat berbagai macam fasilitas tempat makan seperti rumah makan, bakery, dan kantin. Pada berbagai tempat makan tersebut tersedia berbagai jenis makanan, mulai dari makanan tradisonal Indonesia, chinese food, hingga makanan cepat saji. Tabel 10. Jumlah Hotel/ Penginapan di Kotamadya Jakarta Barat. No. 1.
2.
Klasifikasi Hotel Hotel Berbintang
Jumlah
•
Bintang 1
1
•
Bintang 2
7
•
Bintang 3
6
•
Bintang 4
8
• Bintang 5 Hotel Non Bintang
0
•
Melati III
14
•
Melati II
12
•
Melati I Jumlah
6 54
(Sumber: Suku Dinas Pariwisata Jakarta Barat 2005)
Berdasarkan data dari Suku Dinas Pariwisata Jakarta Barat sebaran jumlah rumah makan paling banyak di Kecamatan Taman Sari dan Kecamatan Grogol Petamburan. Jumlah fasilitas tempat makan serta persebarannya dapat dilihat pada Tabel 11. Pada umumnya fasilitas-fasilitas tempat makan yang ada berada dalam kondisi yang baik dan dapat menunjang kegiatan pariwisata di sekitarnya. Tabel 11. Jumlah Rumah Makan, Kantin, dan Bakery Menurut Kecamatan di Kotamadya Jakarta Barat.
No.
Kecamatan
Rumah Makan 1. Kembangan 15 2. Kebon Jeruk 20 3. Palmerah 6 4. Grogol Petamburan 45 5. Tambora 7 6. Taman Sari 59 7. Cengkareng 3 8. Kalideres 1 Jumlah 153 (Sumber: Suku Dinas Pariwisata Jakarta Barat 2005)
Usaha Boga Kantin 15 11 2 26 2 10 1 1 86
Bakery 3 2 1 7 1 1 2 17
Sebagai pusat perekonomian dan kawasan pecinan, pada kawasan ini banyak terdapat pertokoan dan pedagang kaki lima yang menjual berbagai jenis barang, dan tentunya termasuk barang-barang khas budaya masyarakat Cina. Pertokoan dan para pedagang kaki lima ini dapat menjadi obyek/ atraksi penunjang wisata. 5.5.3 Informasi dan Promosi Informasi dan promosi mempunyai peranan penting dalam pengembangan wisata sejarah. Tanpa adanya media informasi dan promosi wisata sejarah tidak akan dapat berkembang secara optimal. Lembaga yang bertugas sebagai sumber informasi pariwisata di Kotamadya Jakarta Barat adalah Suku Dinas Pariwisata Jakarta Barat. Media interpretasi yang disediakan bagi para wisatawan berupa booklet, brosur wisata, leaflet, serta promosi melalui internet. Media promosi ini berisikan mengenai deskripsi mengenai Kotamadya Jakata Barat secara umum, potensi-potensi wisata di Kotamadya Jakarta Barat, dan obyek-obyek wisata di Kotamadya Jakarta Barat dalam bentuk peta dan deskripsi secara umum. Selain itu juga terdapat booklet yang berisikan mengenai fasilitas-fasilitas penunjang kegiatan wisata di wilayah Kotamadya Jakarta Barat. Sedangkan media informasi wisata seperti TIC (Tourism Information Center) khusus di wilayah Jakarta Barat belum ada. Sebagai ajang promosi lainnya serta untuk mengembangkan pariwisata, seni, dan budaya di Kotamadya Jakarta Barat, pemerintah juga membuat sebuah ajang pemilihan duta pariwisata yaitu acara Pemilihan Abang-None dan Koko-
Cici Jakarta Barat yang nantinya akan bertugas mempromosikan Jakarta Barat sebagai tempat wisata yang menarik. Acara ini telah menjadi agenda tahunan dari Pemda Kotamadya Jakarta Barat. Acara khusus yang diselenggarakan pada waktu-waktu tertentu, seperti Hari Raya Imlek maupun Cap Go Meh juga merupakan atraksi wisata yang mempromosikan kawasan tersebut. 5.5.4 Potensi Wisatawan Berdasarkan data Suku Dinas Pariwisata Jakarta Barat jumlah wisatawan yang menginap di hotel-hotel yang terdapat di wilayah Jakarta Barat pada tahun 2005 mencapai 1.174.736 orang dengan rincian wisatawan manca negara sebanyak 146.708 orang dan wisatawan domestik sebanyak 1.028.028 orang. Sebagian besar wisatawan menginap di hotel-hotel berbintang yaitu sebanyak 848.588 orang dan sebanyak 326.148 orang menginap di hotel-hotel non bintang. Rata-rata lama menginap wisatawan manca negara dan domestik di wilayah Jakarta Barat pada tahun 2004 adalah 1, 45 hari. Apabila diamati secara parsial wisatawan manca negara rata-rata menginap mencapai 2, 62 hari atau lebih tinggi apabila dibandingkan dengan wisatawan domestik yang rata-rata menginap hanya 1,35 hari. Apabila diamati secara klasifikasi, rata-rata wisatawan menginap paling lama pada hotel berbintang yaitu mencapai 1, 80 hari sedangkan pada hotel non bintang hanya 1, 14 hari. Jumlah wisatawan yang cukup besar ini merupakan suatu potensi untuk mengembangkan Kawasan Pecinan Glodok sebagai kawasan wisata bersejarah di wilayah Kotamadya Jakarta Barat sehingga pada akhirnya nanti jumlah wisatawan akan semakin meningkat dan dapat memberikan sumbangsih dalam perekonomian daerah dan nasional. 5.6 Potensi dan Kendala Lanskap Sejarah sebagai Obyek Wisata Untuk mengembangkan Kawasan Pecinan Glodok ini sebagai kawasan wisata sejarah di Kotamadya Jakarta Barat maka perlu dilakukan analisis potensi dan kendala. Potensi dan kendala ini dianalisis berdasarkan inventarisasi mengenai aspek lanskap sejarah, lanskap sejarah sebagai obyek wisata, dan aspekaspek yang menunjang wisata yang dirinci berdasarkan faktor daya tarik, fasilitas
interpretasi, aksesibilitas, pengunjung, pengelolaan. Analisis faktor daya tarik dan aksesibilitas merupakan uraian dari penilaian secara kuantitatif pada Tabel 8 dan Tabel 9. Analisis potensi dan kendala tersebut dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Potensi dan Kendala Obyek Wisata Sejarah Obyek Wisata Sejarah
Faktor Penting Obyek Wisata Sejarah Daya Tarik (9)
Lanskap pasar dan bangunan ruko menarik dengan barang-barang grosirnya yang murah
Fasilitas Interpretasi
-
*)
Kawasan Pasar Pagi Lama
Potensi
Aksesibilitas
**)
(3)
Kondisi baik
Pengunjung
Beragam
Pengelolaan
Dikelola secara resmi dan kontinu sebagai tempat berjualan
Daya Tarik *) (14) Fasilitas Interpretasi
Arsitektur bangunan yang masih asli -
Aksesibilitas **) (4)
Kondisi baik dan mudah diakses
Pengunjung
Pembeli obat
Pengelolaan
Pemilik memelihara bangunannya
Toko Obat Lay An Tong
Daya Tarik *) (15) Fasilitas Interpretasi Kelenteng Budhi Dharma
Kelenteng Ariya Marga
Keunikan dan Arsitektur bangunan -
Kendala Kondisi bangunan asli yang memprihatinkan/rusak Tidak ada fasilitas interpretasi sama sekali • Kapasitas akses kecil sebagai akibat dari keberadaan PKL • Sirkulasi tidak jelas Lebih banyak untuk berbelanja • Konservasi bangunan tua kurang • PKL yang semrawut Kondisi bangunan yang mulai kusam Tidak ada fasilitas interpretasi Kondisi lalu lintas yang padat Karena belum dijadikan sebagai obyek wisata resmi maka pengunjung hanya sedikit
Pengelolaan masih kurang karena secara pribadi
Solusi •
Memperbaiki kondisi fisik bangunan dengan arsitektur Cina, meningkatkan karakter obyek • Menyediakan fasilitas interpretasi • Menertibkan kawasan dari PKL • Meningkatkan pengelolaan
•
Memperbaiki kondisi fisik, meningkatkan karakter obyek • Menyediakan fasilitas interpretasi • Memaksimalkan rambu-rambu lalulintas • Menjadikannya sebagai BCB dan obyek wisata resmi
•
Penataan di dalam kelenteng yang kurang menarik Tidak ada fasilitas interpretasi Kondisi lalu lintas yang padat Lebih banyak yang bertujuan untuk beribadah
•
Aksesibilitas **) (4)
Kondisi baik dan mudah diakses
Pengunjung
Beragam
Pengelolaan
Dikelola secara kontinu oleh pihak pengelola
-
•
Daya Tarik *) (15)
Keunikan dan Arsitektur bangunan
-
•
Fasilitas Interpretasi
-
Aksesibilitas **) (2)
Kondisi cukup baik
Pengunjung
Beragam
Pengelolaan
Dikelola secara kontinu oleh pihak pengelola
Tidak ada fasilitas interpretasi Kapasitas akses kecil, sulit dilewati Lebih banyak yang bertujuan untuk beribadah -
• •
• • •
Meningkatkan pengelolaan dan ada bantuan insentif dari pemerintah Memelihara kondisi Fisik dengan mempertahankan pengelolaan dan meningkatkan karakter obyek Menyediakan fasilitas interpretasi Memaksimalkan ramburambu lalu lintas Menjadikannya sebagai BCB dan obyek wisata resmi Memelihara kondisi fisik dengan mempertahankan pengelolaan Menyediakan fasilitas interpretasi Memperbesar akses keluar masuk dan memperjelas signage Menjadikannya sebagai BCB dan obyek wisata resmi
• Daya Tarik (14)
Keunikan dan Arsitektur bangunan
Fasilitas Interpretasi
-
Aksesibilitas **) (4)
Kondisi baik dan mudah diakses
Pengunjung
-
Pengelolaan
Dikelola secara kontinu oleh pihak pengelola
Daya Tarik *) (14)
Keunikan dan Arsitektur asli bangunan
*)
Gedung Tiong Hoa Hwee Koan
Kurang monumental
Tidak ada fasilitas interpretasi • Lalu lintas padat • Obyek terhalang PKL Karena belum dijadikan sebagai obyek wisata resmi maka pengunjung hanya sedikit
•
Fasilitas Interpretasi Aksesibilitas **) (4) Rumah Keluarga Souw (BCB)
Pengunjung
Kondisi baik
-
Pengelolaan
Dikelola secara pribadi di bawah pengawasan Pemda
Daya Tarik *) (11)
Keunikan dan Arsitektur asli bangunan
Fasilitas Interpretasi
-
Aksesibilitas **) (4)
Kondisi baik
Pengunjung
-
Jalan Blandongan (BCB)
Memelihara kondisi fisik dengan mempertahankan pengelolaan dan meningkatkan karakter obyek agar lebih monumental • Menyediakan fasilitas interpretasi • Menjadikannya sebagai BCB dan obyek wisata resmi
Bagian sayap barat bangunan yang telah hilang • Obyek tertutup pagar besi yang tidak setetis Tidak ada fasilitas interpretasi Obyek tertutup kendaraan parkir Karena belum dijadikan sebagai obyek wisata resmi maka pengunjung hanya sedikit dan hanya bisa mengamati dari luar
•
-
•
Kondisi bangunan yang sangat memprihatinkan/rusak Tidak ada fasilitas interpretasi Kemacetan di beberapa titik Karena belum dijadikan sebagai obyek wisata resmi maka pengunjung hanya sedikit dan hanya bisa mengamati dari luar
•
• • •
•
•
• •
Pengelolaan
-
Pengelolaan masih kurang karena secara pribadi
•
•
Daya Tarik *) (15) Fasilitas Interpretasi Kelenteng Tanda Bhakti
Keunikan dan Arsitektur bangunan -
Aksesibilitas **) (3)
Kondisi baik
Pengunjung
Beragam
Pengelolaan
Dikelola secara kontinu oleh pihak pengelola
-
•
Tidak ada fasilitas interpretasi Keberadaan akses kurang jelas Lebih untuk beribadah
•
-
•
•
Memelihara kondisi fisik dengan mempertahankan pengelolaan Menyediakan fasilitas interpretasi Menjadikannya sebagai obyek wisata resmi Perlu adanya bantuan (insentif) dari pemerintah untuk membantu pengelolaan Membuka akses agar pengunjung bisa melihat dari dekat Menghilangkan/men gubah pagar besi agar lebih menunjang karakter obyek Memperbaiki kondisi fisik (rehabilitasi), meningkatkan karakter obyek Menyediakan fasilitas interpretasi, menata jalur dan titk pandang untuk menikmati view Memaksimalkan rambu-rambu lalu lintas Menjadikannya sebagai obyek wisata resmi Perlu adanya bantuan (insentif) dari pemerintah untuk membantu pengelolaan Membuka akses agar pengunjung dapat melihat dari dekat Memelihara kondisi fisik dengan mempertahankan pengelolaan Menyediakan fasilitas interpretasi Memperjelas akses keluar masuk Menjadikannya sebagai BCB dan obyek wisata resmi
Daya Tarik *) (15) Fasilitas Interpretasi Kelenteng Toa Sai Bio
Aksesibilitas **) (4) Pengunjung Pengelolaan Daya Tarik *) (15) Fasilitas Interpretasi Aksesibilitas **) (4)
Gereja St. Maria de Fatima (BCB)
Pengunjung
Keunikan atraksi dan Arsitektur bangunan Baik dan mudah diakses Beragam Dikelola secara kontinu oleh pihak pengelola Keunikan fungsi dan Arsitektur bangunan Baik dan mudah diakses Beragam Dikelola secara kontinu oleh pihak pengelola
Pengelolaan
Fasilitas Interpretasi Aksesibilitas
**)
(4)
Pengunjung
Keunikan dan Arsitektur yang baik Baik dan mudah diakses Beragam
Pengelolaan
Dikelola secara kontinu oleh pihak pengelola
Daya Tarik *) (10)
Keunikan dan kulinernya
Fasilitas Interpretasi
-
Aksesibilitas **) (4) Pancoran/ Glodokplein
Pengunjung
Pengelolaan
•
Tidak ada fasilitas interpretasi -
•
Lebih untuk beribadah
•
-
•
Tidak ada fasilitas interpretasi -
•
Lebih untuk beribadah
•
Memelihara kondisi fisik dengan mempertahankan pengelolaan Menyediakan fasilitas interpretasi Menjadikannya sebagai BCB dan obyek wisata resmi Memelihara kondisi fisik dengan mempertahankan pengelolaan Menyediakan fasilitas interpretasi Menjadikannya sebagai obyek wisata resmi
-
Daya Tarik *) (15)
Kelenteng Jin De Yuan (BCB)
-
Baik dan mudah Diakses Beragam
Dikelola secara resmi dan kontinu
-
•
Tidak ada fasilitas interpretasi -
•
-
Memelihara kondisi fisik dengan mempertahankan pengelolaan Menyediakan fasilitas interpretasi
-
-
•
Tidak ada fasilitas interpretasi Kemacetan di beberapa titik -
•
-
• • •
Memelihara kondisi fisik dengan mempertahankan pengelolaan Menyediakan fasilitas interpretasi Memaksimalkan rambu-rambu lalu lintas Meningkatkan promosi Menjadikannya sebagai obyek wisata resmi
Keterangan: *) Nilai berdasarkan Tabel 8; **) Nilai berdasarkan Tabel 9
5.7 Potensi dan Kendala Aspek Penunjang Wisata Akses untuk menuju Kawasan Pecinan Glodok ini tergolong mudah karena dapat ditempuh dengan berbagai alternatif sarana transportasi umum maupun pribadi. Untuk sarana transportasi pribadi dapat menggunakan mobil, motor, maupun bus-bus pariwisata. Sedangkan apabila ditempuh dengan menggunakan sarana transportasi umum dapat menggunakan kereta api (dapat diakses dari Bogor, Bekasi, serta kota-kota lain di sekitar Jakarta), bus Trans Jakarta (Jalur Blok M- Kota), angkutan perkotaan (M12 dari Stasiun Senen, M15 dari Tanjung Priok), bus P2 (dari Kampung Rambutan) dan bus Kopaja 86 (dari
arah Lebak Bulus). Alternatif transportasi ini didukung dengan adanya jalan tol lingkar luar Jakarta, jalan arteri, serta jalur kereta api yang melayani antar kota. Apabila menggunakan jalur laut, tapak dapat diakses melalui Pelabuhan Sunda Kelapa dan Pelabuhan Tanjung Priok. Untuk jalur udara didukung dengan adanya jalan tol ke Bandara Soekarno-Hatta. Semua sarana dan prasarana transportasi ini dalam kondisi yang baik sehingga akan dapat mendukung kegiatan wisata sejarah pada Kawasan Pecinan Glodok ini. Selain akses menuju Kawasan Pecinan Glodok, kondisi jalan menuju obyek-obyek wisata sejarah juga perlu diperhatikan baik dari kepadatan jalan, kenyamanan, view yang terdapat di sekitar jalan, dan kondisi jalan. Jalan-jalan yang melewati obyek-obyek wisata sejarah di Kawasan Pecinan Glodok seperti yang telah dijelaskan sebelumnya adalah Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk yang merupakan jalan arteri yang melewati Kawasan Pancoran (Jalan Pancoran), Jalan Kemenangan yang melewati Kelenteng Toa Sai Bio, Gereja Santa Maria de Fatima, dan Kelenteng Jin De Yuan, Jalan Perniagaan yang melewati Toko Obat Lay An Tong, Kelenteng Budhi Dharma, Kelenteng Ariya Marga, Gedung Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), dan Rumah Keluarga Souw, Jalan Blandongan tempat terdapatnya rumah-rumah langgam Cina, Jalan Kemenangan III yang melewati Kelenteng Tanda Bhakti, dan Jalan Pasar Pagi dan Jalan Perniagaan Timur yang melewati Kawasan Pasar Pagi Lama. Keadaan jalan sekitar masing-masing obyek memiliki kepadatan, kenyamanan, view, dan kondisi fisik yang berbeda (Tabel 13). Untuk perjalanan wisata pada Kawasan Pecinan Glodok ini disarankan sebaiknya menggunakan kendaraan pribadi, angkutan umum, atau bus khusus bagi rombongan wisatawan untuk mencapai kawasan. Kendaraan yang digunakan dapat diparkir di area parkir di Pasar Asemka dan Pasar Glodok. Sedangkan dalam mengunjungi obyek disarankan untuk berjalan kaki atau menggunakan sepeda (tersedia ojeg sepeda di beberapa tempat di sekitar tapak). Hal ini bertujuan untuk memberikan kenyamanan selama menikmati perjalanan wisata mengingat Kawasan Pecinan Glodok ini merupakan kawasan perekonomian yang sibuk.
Fasilitas pelayanan wisata yang ada terdiri atas akomodasi dan lembaga terkait. Fasilitas akomodasi yang ada sudah cukup memadai dari mulai penginapan dengan beragam kelas dan berbagai jenis tempat makan yang tersedia. Keseluruhan penginapan dan tempat makan yang ada di sekitar tapak umumnya berada dalam kondisi yang baik. Sedangkan untuk lembaga terkait sebagai penyedia informasi dan pelayanan pariwisata di Kotamadya Jakarta Barat hanyalah Suku Dinas Pariwisata Jakarta Barat dan belum terdapat Tourist Information Center. Belum adanya TIC ini dapat menjadi suatu kendala dalam pengembangan wisata sejarah. Selain itu promosi yang berkaitan dengan obyekobyek bersejarah pada tapak juga masih kurang.
Tabel 13. Keadaan Jalan Sekitar Obyek Wisata Sejarah Nama Jalan
Obyek Wisata yang Dilewati Pancoran
Kenyamanan
View
Kondisi Fisik
Termasuk jalan yang padat pada saat jam kerja
Kurang nyaman, sering terjadi kemacetan,kurang terdapat vegetasi, udara panas
Baik, jalan aspal bagus dan terdapat trotoar di kedua sisi jalan namun terjadi kepadatan di beberapa titik
Kelenteng Toa Sai Bio, Gereja Santa Maria de Fatima, dan Kelenteng Jin De Yuan Toko Obat Lay An Tong, Kelenteng Budhi Dharma, Kelenteng Ariya Marga, Gedung Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), dan Rumah Keluarga Souw
Termasuk jalan yang tidak begitu padat pada saat jam kerja
Cukup nyaman, kurang terdapat vegetasi, udara panas
Komplek pertokoan yang ramai, Gedung Arsip Nasional dan beberapa bangunanbergaya Belanda, pelukis jalanan Komplek perumahan dan ruko
Termasuk jalan yang cukup padat pada saat jam kerja
Kurang nyaman, kurang terdapat vegetasi, udara panas
Komplek pertokoan, Sungai Angke
Baik, jalan aspal bagus. Belum terdapat pedestrian walk
Jalan Blandongan
Rumah-rumah langgam Cina
Termasuk jalan yang cukup padat pada saat jam kerja
Komplek ruko, Sungai Angke
Jalan Kemenangan III
Kelenteng Tanda Bhakti
Jalan Pasar Pagi dan Perniagaan Timur
Kawasan Pasar Pagi Lama
Termasuk jalan yang cukup padat pada saat jam kerja Termasuk jalan yang sangat padat pada saat jam kerja
Kurang nyaman, sering terjadi kemacetan,kurang terdapat vegetasi, udara panas Kurang nyaman, kurang terdapat vegetasi, udara panas Kurang nyaman, sering terjadi kemacetan,kurang terdapat vegetasi, udara panas
Cukup baik, jalan aspal cukup bagus. Belum terdapat pedestrian walk Baik, jalan aspal bagus. Belum terdapat pedestrian walk Baik, jalan aspal bagus. Belum terdapat pedestrian walk
Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk
Jalan Kemenangan
Jalan Perniagaan
Kepadatan
Komplek ruko, Sungai Angke Komplek pertokoan yang ramai
Baik, jalan aspal bagus. Terdapat pedestrian walk namun jaraknya pendek
Obyek-obyek sejarah yang terdapat di Kawasan Pecinan Glodok ini sebaiknya dijadikan sebagai obyek wisata resmi oleh pemerintah dan dilakukan promosi dengan cara membuat program wisata dan media promosi yang menarik (booklet, brosur, leaflet, dan sebagainya) dan dibuatkan TIC mengenai Kota Tua dengan Kawasan Pecinan Glodok di dalamnya untuk semakin mengenalkannya kepada wisatawan. Fasilitas information center ini bisa ditempatkan pada tempattempat umum di sekitar kawasan yang bisa diakses oleh banyak orang, misalnya saja di Stasiun Kereta Api Kota. Selain itu perlu dibuat fasilitas interpretasi. Fasilitas interpretasi yang perlu dibuat dapat berupa peta interpretasi obyek wisata dan papan interpretasi pada masing-masing obyek. Untuk peta interpretasi obyek wisata penempatannya juga berdampingan dengan information center agar dapat dengan mudah diakses. Peta interpretasi ini dibuat semenarik mungkin, informatif dan jelas. Sedangkan untuk papan interpretasi pada masing-masing obyek diletakkan sesuai dengan obyek terkait dan dibuat menarik, jelas, dan informatif bagi para pengunjung. Media promosi yang memuat mengenai Kawasan Pecinan Glodok dengan obyek/lanskap sejarah di dalamnya seperti brosur, leaflet, booklet juga perlu dibuat, diperbanyak, serta disebarkan secara merata dan dibuat semenarik mungkin. Booklet, leaflet, dan brosur ini dapat dibuat dengan berbagai versi, ada yang diperuntukkan untuk wisatawan domestik dan wisatawan manca negara dengan versi tiga bahasa (Bahasa Inggris, Mandarin, dan Bahasa Indonesia). Papan penanda dan petunjuk arah juga sangat penting untuk disediakan, mengingat beberapa obyek terletak diantara pemukiman penduduk. Papan tersebut akan dapat mempermudah dan membantu para wisatawan untuk berkunjung ke obyek yang mereka inginkan dan meningkatkan wawasan masyarakat setempat akan keberadaan obyek bersejarah di sekitar mereka. Adanya papan interpretasi serta papan penanda dan petunjuk arah maka karakter suatu obyek wisata dan kawasannya juga akan menjadi lebih kuat, sehingga keberadaan obyek tidak hanya terasa pada obyek wisatanya saja tetapi juga terasa pada lingkup lanskapnya.
Untuk mengurangi kemacetan lalu-lintas pada kawasan, pengoptimalan gedung-gedung parkir yang telah dibangun dan penertiban pedagang kaki lima (PKL) di beberapa tempat merupakan suatu keharusan. Sedangkan untuk meningkatkan kenyamanan dan juga keselamatan selama berwisata dibuat pedestrian walk bagi para wisatawan. Beragamnya kriteria pengunjung yang datang merupakan suatu potensi tersendiri. Promosi dan pelayanan dapat disesuaikan dengan kriteria pengunjung, hal ini bertujuan untuk menarik lebih banyak pengunjung. Selain itu, pemanfaatan ojeg sepeda selama melakukan kegiatan wisata dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan seperti halnya pemanfaatan reksaw di Kota Shanghai atau delman di Kota Yogyakarta. Kegiatan touring dengan menggunakan ojeg sepeda ini akan dapat membantu masyarakat sekitar di bidang ekonomi.
5.8 Konsep Pengembangan Wisata Sejarah Memasuki abad ke-21 telah terjadi pergeseran kecenderungan pariwisata internasional yang lebih banyak disebabkan oleh gaya hidup di negara asal wisatawan. Beberapa kecenderungan pasar diantaranya adanya perubahan dari mass tourism ke niche tourism, yaitu kecenderungan melakukan perjalanan wisata secara masal menjadi perjalanan wisata secara individu dengan trend lebih ingin melihat dan menyaksikan obyek dan atraksi wisata minat khusus dan pariwisata berwawasan lingkungan (Yoeti, 2006). Menurut Yoeti (1997) terdapat tiga alasan utama perlunya pengembangan pariwisata pada suatu daerah tujuan wisata, baik secara lokal, regional, atau ruang lingkup nasional. Alasan pertama adalah pengembangan pariwisata pada suatu negara sangat erat kaitannya dengan pembangunan perekonomian daerah atau negara tersebut. Pengembangan pariwisata pada suatu daerah tujuan wisata akan selalu diperhitungkan dengan keuntungan dan manfaat bagi rakyat banyak Pariwisata harus dan dapat menjadi salah satu kekuatan pembangunan yang dapat diandalkan. Kegiatan pariwisata itu merupakan suatu mata rantai yang cukup panjang sebagai akibat dampak positif dari efect multiplier yang ditimbulkannya dalam kegiatan perekonomian. Dalam konteks ini dapat dikatakan
bahwa pariwisata sebagai suatu industri lebih bersifat padat karya (labor intensive) dan sekaligus berfungsi sebagai katalisator dalam pembangunan (agent of development) dan mempercepat proses pemerataan pendapatan masyarakat (redistribution of income). Pada periode tahun 1996-2002 ternyata devisa sektor pariwisata telah menduduki peringkat kedua setelah devisa minyak bumi dan gas alam (Yoeti, 2006). Masih dalam Yoeti (2006) disebutkan bahwa jajaran pariwisata Indonesia harus bertekad membenahi diri dan terus-menerus melakukan konsolidasi, introspeksi, dan koordinasi dengan semua sektor ekonomi terkait. Bila ingin mengembangkan pariwisata sebagai suatu industri sangat tidak mungkin dikembangkan
secara
sambilan,
melainkan
harus
dikembangkan
secara
profesional di semua sektor terkait. Ini berarti perencanaan dan pengembangan pariwisata harus dilakukan secara berkesinambungan sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Alasan berikutnya adalah pengembangan pariwisata yang bersifat non ekonomis. Dengan adanya kegiatan pariwisata akan dapat menimbulkan keinginan untuk memelihara semua aset wisata. Meskipun dalam kegiatan wisata dipengaruhi dengan kemajuan teknologi, transportasi, dan komunikasi tetapi tempat-tempat yang menjadi pemusatan wisatawan selalu menghendaki suasana yang bersih, nyaman, aman, dan dengan lingkungan yang terpelihara sehingga menciptakan suasana yang menyenangkan bagi semua pengunjungnya. Dengan adanya kegiatan wisata maka semua aset wisata dan lingkungan sekitarnya akan dapat terjaga kelestariannya. Kemudian alasan ketiga adalah untuk menghilangkan kepicikan berpikir, mengurangi salah pengertian, serta dapat mengetahui perilaku orang lain yang datang berkunjung, terutama bagi masyarakat di mana proyek kepariwisataan itu dibangun. Pertukaran pikiran dan adanya interaksi antara wisatawan dengan penduduk setempat akan membuka mata penduduk sekitar akan banyak hal yang positif. Hal ini dapat terjadi dikarenakan dalam bisnis pariwisata mereka yang melayani para wisatawan harus bersikap tanpa membedakan ras, suku, agama, bangsa, dan golongan.
Dari analisis potensi daya tarik kawasan dan aspek penunjang wisata, maka Kawasan Pecinan Glodok sangat potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata. Secara kuntitatif potensi ini dapat dilihat dari komposit tabel analisis potensi keberlanjutan obyek/lanskap sejarah, daya tarik, serta aksesibilitas (Tabel 6, 8, 9). Nilai komposit dapat dilihat pada Tabel 14. Berdasarkan Tabel 14, hanya Kawasan Pasar Pagi Lama, Jalan Blandongan, serta Kawasan Pancoran yang termasuk dalam kategori potensial sedang. Sedangkan kesembilan obyek lainnya termasuk dalam kategori potensial tinggi. Jalan Blandongan termasuk dalam kategori sedang tetapi mempunyai nilai sejarah penting dan berada dalam zona inti. Untuk dapat diberdayakan sebagai obyek
wisata
perlu
tindakan
perbaikan
kondisi
fisik
bangunan
(rehabilitasi/rekonstruksi). Dalam pengembangan kawasan wisata sejarah di Glodok ini perlu ditetapkan konsep dasar sebagai acuan. Dari konsep dasar ini dikembangkan konsep ruang wisata, sirkulasi, dan jalur interpretasi. Selain itu perlu dilakukan peningkatan daya tarik wisata dan fasilitas penunjang wisata. Tabel 14. Nilai Potensi Secara Komposit Obyek
Potensi
Daya Tarik
Aksesibilitas
Total
Tingkat Potensi
2
9
3
14
Sedang
3
14
4
21
Tinggi
4
15
4
23
Tinggi
6
15
2
23
Tinggi
5
13
4
22
Tinggi
5 3 6 6
14 11 15 15
4 4 3 4
23 18 24 25
Tinggi Sedang Tinggi Tinggi
6
15
4
25
Tinggi
6 3
15 10
4 4
25 17
Tinggi Sedang
Keberlanjutan
Kawasan Pasar Pagi Lama Toko Obat Lay An Tong Kelenteng Budhi Dharma Kelenteng Ariya Marga Gedung Tiong Hoa Hwee Koan Rumah Keluarga Souw Jalan Blandongan Kelenteng Tanda Bhakti Kelenteng Toa Sai Bio Gereja St. Maria de Fatima Kelenteng Jin De Yuan Pancoran/ Glodokplein
Keterangan: ∑ Nilai 19-25 = potensi tinggi 14-19 = potensi sedang 7-13 = potensi rendah 5.8.1 Konsep Dasar
Konsep dasar yang digunakan dalam pengembangan wisata sejarah di Kawasan Pecinan Glodok adalah pengembangan wisata sejarah untuk membangkitkan kesadaran akan pentingnya keberadaan Kawasan Pecinan Glodok sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan Kota Jakarta. Dengan adanya konsep dasar ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan apresiasi wisatawan maupun masyarakat setempat akan pentingnya kawasan bersejarah Glodok ini. Hal ini penting untuk mendukung kelestariannya. 5.8.2 Konsep Tata Ruang Ruang wisata dikembangkan berdasarkan tiga komponen utama, yaitu ruang inti wisata, ruang transisi, dan ruang penerimaan. Penataan ruang dalam kegiatan wisata sejarah bertujuan untuk melindungi obyek/ lanskap sejarah yang ada di dalamnya
dari kerusakan dan mendukung keberlanjutan serta
kelestariannya. Gambar 38 menunjukkan konsep tata ruang yang digunakan dalam kegiatan wisata sejarah, sedangkan Gambar 39 merupakan aplikasi konsep tata ruang wisata pada Kawasan Pecinan Glodok.
Area Penerimaan
Area Transisi
Area Inti
Gambar 38. Konsep Tata Ruang Wisata Area penerimaan merupakan area yang bersifat mengundang dan menyambut wisatawan yang datang ke kawasan wisata. Area penerimaan pada tapak adalah gedung parkir Pasar Glodok, gedung parkir Pasar Pagi Asemka, serta Stasiun Kereta Api Kota. Area transisi sebagai area peralihan yang mengarahkan wisatawan dari luar menuju ruang wisata utama. Pada tapak yang merupakan area transisi yang sebagian besar adalah zona penyangga (dalam konteks perlindungan) meliputi Jalan Gajah Mada-Pintu Besar Selatan, Kawasan Pancoran, serta
Kawasan Pasar Pagi Lama. Sedangkan area inti merupakan zona perlindungan inti yang di dalamnya terdapat obyek-obyek wisata sejarah yang akan dikunjungi.
Keterangan: Entrance
Akses antar
Area penerimaan
Area transisi
Area inti
Gambar 39. Konsep Tata Ruang Wisata Pada Kawasan Pecinan Glodok 5.8.3 Sirkulasi dan Jalur Interpretasi Pada kawasan telah terdapat sarana jalan yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk sirkulasi dalam aktivitas wisata. Jalur sirkulasi wisata ini ditentukan berdasarkan posisi akses keluar masuk kawasan, letak obyek, kondisi lanskap (karakter dan view), serta kondisi jalan/jalur jalan dan sarana transportasi. Sirkulasi yang dikembangkan disarankan bagi pejalan kaki dan sarana transportasi khusus (ojeg sepeda, reksaw, dsb) yang disediakan untuk kegiatan wisata di Kawasan Pecinan Glodok. Untuk mewujudkan tujuan wisata sesuai dengan konsep dasar yang telah ditetapkan, maka diusulkan konsep touring wisata ”Learning by Travelling” dengan mengikuti jalur interpretasi. Jalur interpretasi merupakan jalur yang disarankan untuk dilalui pengunjung dalam mengunjungi obyek-obyek secara sekuensial/berurutan, sehingga pengunjung dapat menginterpretasikan obyek Pancoran
Jl.Asemka
dengan benar, menangkap pesan/makna dari obyek, serta mencapai tujuan obyek Pasar Pagi Lamajalur interpretasi pada wisatanya. Gambar 40 menunjukkan pola sirkulasi dari
tapak.
parkiran pasar glodok
entrance
parkiran pasar pagi asemka
Jl.Gajah Mada-Jl.Pintu Besar Selatan
entrance Keterangan: sirkulasi mobil sirkulasi pejalan kaki jalur jalan
Stasiun KA Kota
Area penerimaan
Area inti
Area transisi
Obyek
Gambar 40. Pola Sirkulasi Jalur Interpretasi Kawasan Pecinan Glodok Berdasarkan akses keluar masuk Kawasan Pecinan Glodok, letak obyek/lanskap sejarah, kondisi kawasan lanskap sejarah, serta kondisi sirkulasi dan transportasi maka direncanakan jalur wisata dengan menggunakan dua akses keluar masuk Kawasan Pecinan Glodok, yaitu melalui Stasiun Kereta Api Kota dan Halte bus Trans Jakarta Kota (jalur Blok M-Kota) serta melalui Jalan Gajah Mada. Untuk perjalanan wisata pada jalur ini disarankan wisatawan berjalan kaki atau menggunakan ojeg sepeda mengingat perjalanan akan melalui gang-gang kecil dan perumahan penduduk yang padat sehingga tidak mungkin menggunakan kendaraan bermotor. Jalur yang menggunakan akses keluar masuk Stasiun Kereta Api Kota dan Halte bus Trans Jakarta Kota disarankan bagi pengunjung yang memanfaatkan jasa transportasi tersebut (kereta api dan busway) serta pengunjung yang menggunakan angkutan perkotaan M12 dan M15, bus P2 dan bus Kopaja 86. Sedangkan jalur yang menggunakan akses keluar masuk Jalan Gajah Mada lebih ditujukan bagi pengunjung yang menggunakan kendaraan pribadi atau bus pariwisata untuk menuju ke kawasan. Kendaraan yang digunakan dapat diparkir di gedung parkir Pasar Glodok di Pancoran dan Pasar Pagi Asemka yang terletak di Jalan Pintu Besar Selatan, kemudian para pengunjung dapat melakukan perjalanan wisata sejarah di Kawasan Pecinan Glodok dengan berjalan kaki atau menggunakan ojeg sepeda.
Perjalanan wisata di Kawasan Pecinan Glodok (Gambar 42) diawali dengan melalui Jalan Pintu Kecil menuju Jalan Pasar Pagi tempat terdapatnya Kawasan Pasar Pagi Lama, kemudian perjalanan dilanjutkan dengan melalui Jalan/Gang Pasar Gelap untuk menuju Jalan Perniagaan tempat terdapatnya Toko Obat Lay An Tong dan Kelenteng Budhi Dharma. Sepanjang Jalan/Gang Pasar Gelap ini banyak terdapat gerobak-gerobak dan kantin penjual Chinese food. Masih di Jalan Perniagaan, perjalanan diteruskan menuju Gang Lamceng tempat terdapatnya Kelenteng Ariya Marga. Setelah keluar dari Gang Lamceng dan kembali lagi ke Jalan Perniagaan obyek wisata sejarah berikutnya adalah Gedung Tiong Hoa Hwee Koan yang kini menjadi gedung SMU 19 serta Rumah Keluarga Souw yang merupakan bangunan cagar budaya masih di jalan yang sama. Di Jalan Perniagaan ini juga terdapat Restoran Bakmi Toko Tiga yang menghidangkan berbagai macam masakan Chinese food. Perjalanan dilanjutkan dengan tetap menyusuri Jalan Perniagaan menuju Jalan Blandongan dan Jalan Kemenangan III. Di Jalan Blandongan ini terdapat bangunan-bangunan langgam Cina yang juga merupakan bangunan cagar budaya. Setelah mengunjungi bangunan-bangunan langgam Cina di Jalan Blandongan, wisatawan dapat mengunjungi obyek wisata selanjutnya yaitu Kelenteng Tanda Bhakti yang letaknya di Jalan/Gang Kemenangan III berseberangan dengan Jalan Blandongan dengan menyeberangi Sungai Angke menggunakan jembatan. Perjalanan diteruskan dengan menyusuri Jalan Kemenangan III yang melewati pemukiman penduduk untuk menuju Jalan Kemenangan. Di Jalan Kemenangan ini terdapat tiga obyek sejarah yang letaknya berdekatan, yaitu Kelenteng Toa Sai Bio, Gereja Santa Maria de Fatima, serta kelenteng tertua di Jakarta yaitu Kelenteng Jin De Yuan. Gereja Santa Maria de Fatima dan kelenteng Jin De Yuan merupakan benda cagar budaya. Di Jalan Kemenangan ini juga terdapat fasilitas tempat makan dan bank (Bank BCA). Tujuan wisata terakhir yaitu Kawasan Pancoran yang terletak di Jalan Pancoran. Kawasan Pancoran ini dapat ditempuh dengan menyusuri Jalan Kemenangan dimana terdapat pasar tradisional yang menjual bermacam-macam barang, mulai dari makanan, pakaian, hingga perlengkapan sembahyang. Keluar dari areal pasar di Jalan Kemenangan maka wisatawan akan langsung memasuki
Kawasan Pancoran (Jalan Pancoran). Di sini banyak terdapat toko obat tradisional Cina dan di gang-gang kecil banyak penjual kue-kue, buah-buahan, serta kantinkantin makan yang ramai pembeli. Setelah puas berkeliling di Kawasan Pancoran yang merupakan akhir dari perjalanan wisata, wisatawan dapat kembali menuju Stasiun Kereta Api Kota atau Halte bus Trans Jakarta Kota (Jalur Kota-Blok M) dengan menyusuri koridor pedestrian sepanjang Jalan Gajah Mada hingga Jalan Pintu Besar Selatan. Pengunjung yang menggunakan kendaraan pribadi atau bus pariwisata juga dapat melalui jalur yang sama untuk menuju ke gedung parkir Pasar Pagi Asemka yang terletak di Jalan Pintu Besar Selatan. Yang unik di sepanjang koridor pedestrian ini adalah banyaknya pelukis yang memamerkan karya-karya mereka yang tidak kalah indah dengan hasil karya para pelukis di galeri seni (Gambar 41).
Gambar 41. Pelukis dengan Karya-karyanya di Sepanjang Koridor Jalan Gajah Mada-Jalan Pintu Besar Selatan
Gambar. 42 Jalur Wisata
Jalur Wisata
5.8.4 Peningkatan Daya Tarik Lanskap Sejarah sebagai Obyek Wisata Untuk lebih menarik dan meningkatkan jumlah pengunjung perlu dilakukan peningkatan daya tarik terhadap obyek-obyek wisata sejarah yang ada. Bentuk upaya daya tarik ini dapat berupa menjaga keutuhan dan keaslian obyek wisata maupun menambah elemen-elemen yang dapat menonjolkan nilai sejarah yang terkandung pada obyek wisata. Upaya peningkatan daya tarik yang disarankan terhadap obyek dapat dilihat pada Tabel 15. Selain itu upaya peningkatan daya tarik juga dapat dilakukan terhadap Kawasan Pecinan Glodok sendiri secara keseluruhan, misalnya saja sungai-sungai yang melintasi kawasan digunakan sebagai sarana touring dengan menggunakan sampan, jalan-jalan yang ada dapat dipercantik sedemikian rupa dengan menggunakan teknik pencahayaan dari lampu berwarna-warni dan penambahan ornamen-ornamen khas Cina di sudut-sudut kawasan agar terlihat lebih semarak (Gambar 43). Untuk menghidupkan Kawasan Pecinan Glodok di malam hari, Kawasan Pancoran yang merupakan kawasan kuliner bisa dimanfaatkan. Pada Kawasan Pancoran ini dapat dibuat pasar malam yang menyajikan berbagai kuliner khas masyarakat Tionghoa sama seperti suasana kawasan disaat pagi hingga siang hari. Sebagai daya tarik bisa diadakan pertunjukan-pertunjukan tradisional masyarakat Tionghoa yang bisa diadakan pada event-event tertentu, misalnya pada saat Festival Tiong Tjiu (Moon Cake), Festival Cheng Beng, Imlek, Cap Go Meh, dan peringatan-peringatan lainnya.
Gambar 43. Contoh-contoh Penggunaan Setting Untuk Meningkatkan Daya Tarik Kawasan Pecinan. Tabel 15. Upaya Peningkatan Daya Tarik Obyek Wisata Sejarah Obyek Wisata
Upaya Peningkatan Daya Tarik
• Kawasan Pasar Pagi Lama (sebagai area transisi)
• •
• • •
Toko Obat Lay An Tong
• • • •
Kelenteng Budhi Dharma
• • •
• Kelenteng Ariya Marga
• • • •
Gedung Tiong Hoa Hwee Koan
• • •
Memperkuat karakter dengan meningkatkan upaya pengelolaan dengan memperbaiki kondisi fisik bangunan agar lebih baik (misal:dicat ulang atau direhab, penggunaan setting). Menambahkan efek lighting agar obyek terlihat lebih menarik terutama di saat malam hari. Penataan jalan dan PKL sehingga dapat meningkatkan kenyamanan. Mengadakan event khusus misalnya bulan bazar pada moment tertentu. Menjual souvenir-souvenir yang menarik Meningkatkan upaya pengelolaan terutama pemeliharaan fisik bangunan (misal mengecat ulang). Menambahkan efek lighting agar obyek terlihat lebih menarik terutama di saat malam hari. Penataan display yang lebih menarik di dalam ruangan (bisa ditambahkan efek lighting) Mengadakan atraksi meracik obat untuk menarik perhatian pengunjung. Mempertahankan pengelolaan terutama pemeliharaan fisik. Mengadakan event khusus yang mengangkat sejarah dan nama Kelenteng Budhi Dharma misalnya dengan pertunjukan wayang Potehi. Menambahkan efek lighting di dalam ruangan agar lebih menarik. Mempertahankan upaya pengelolaan terutama pemeliharaan fisik. Mengadakan event khusus yang mengangkat sejarah dan nama Kelenteng Ariya Marga misalnya pertunjukan opera Cina. Menambahkan efek lighting agar obyek terlihat lebih menarik terutama di saat malam hari. Memperlebar akses. Mempertahankan upaya pengelolaan terutama pemeliharaan fisik. Memindahkan/menata PKL yang menutupi obyek maupun prasasti penanda berdirinya bangunan sehingga bangunan lebih monumental. Mengadakan event khusus yang mengangkat sejarah dan nama Gedung THHK sebagai organisasi modern pertama di Hindia Belanda. Membuat galeri sejarah terkait organisasi THHK. Menambahkan efek lighting agar obyek terlihat lebih menarik terutama di saat malam hari.
•
• Rumah Keluarga Souw
•
• •
• Jalan Blandongan
• • • •
• • Kelenteng Tanda Bhakti
• •
Kelenteng Toa Sai Bio
•
• • Gereja St. Maria de Fatima
•
• • Kelenteng Jin De Yuan
Mengadakan event khusus yang mengangkat sejarah dan nama Keluarga Souw yang dulunya banyak berjasa. Membuka akses bagi para wisatawan untuk masuk ke dalam bangunan dan mengamati lebih dekat. Menambahkan efek lighting agar obyek terlihat lebih menarik terutama di saat malam hari. Meningkatkan upaya pengelolaan terutama pemeliharaan fisik bangunan(misal: rehabilitasi). Mengadakan event khusus yang mengangkat sejarah dan nama Jalan Blandongan. Sungai yang melintasi obyek dibersihkan/ditata dan dimanfaatkan untuk touring. Menyediakan pedestrian walk dan area pandang untuk menikmati view. Menambahkan efek lighting baik pada bangunan maupun lanskap di sekitarnya agar terlihat menarik di malam hari. Mempertahankan upaya pengelolaan terutama pemeliharaan fisik. Mengadakan event khusus yang mengangkat sejarah dan nama Kelenteng Tanda Bhakti. Memperjelas keberadaan akses menuju obyek dengan bentuk gerbang bergaya oriental yang menarik. Sungai yang melintasi obyek dibersihkan/ditata dan dimanfaatkan untuk touring. Menambahkan efek lighting agar obyek dan lanskap sekitar terlihat lebih menarik terutama di saat malam hari. Mempertahankan upaya pengelolaan terutama pemeliharaan fisik. Mengadakan event khusus yang mengangkat sejarah dan nama Kelenteng Toa Sai Bio (misal kesenian gambang kromong dan acara gotong Toapehkong pada moment tertentu). Menambahkan efek lighting pada obyek dan ornamen khas Cina pada lanskap jalan agar terlihat lebih menarik terutama di saat malam hari. Mempertahankan upaya pengelolaan terutama pemeliharaan fisik. Mengadakan event yang mengangkat sejarah dan nama Gereja St. Maria de Fatima misalnya kegiatan bakti sosial pada moment khusus.
•
Menambahkan efek lighting pada obyek dan ornamen khas Cina pada lanskap jalan sehingga terlihat lebih menarik terutama di saat malam hari. Mempertahankan upaya pengelolaan terutama pemeliharaan fisik.
•
Mengadakan event khusus yang mengangkat sejarah dan nama Kelenteng Jin De Yuan (misal festival barongsai). Menertibkan para gepeng yang banyak terdapat di halaman kelenteng.
• • Pancoran/ Glodokplein (sebagai area transisi)
Mempertahankan upaya pengelolaan terutama pemeliharaan fisik.
• • •
Menambahkan efek lighting pada obyek dan ornamen khas Cina pada lanskap jalan sehingga terlihat lebih menarik terutama di saat malam hari. Memperkuat karakter dengan meningkatkan upaya pengelolaan (misal: pemeliharaan fisik, penggunaan setting). Mengadakan event khusus yang mengangkat sejarah Kawasan Pancoran (misal festival makanan khas Cina pada saat moment tertentu). Menambahkan efek lighting dan ornamen khas Cina pada lanskap jalan sehingga terlihat lebih menarik terutama di saat malam hari.
Upaya peningkatan daya tarik ini juga perlu didukung dengan pengelolaan wisata yang baik, rutin, dan kontinu oleh masing-masing pihak pengelola obyek wisata. Peran serta pemerintah juga mempunyai andil yang cukup penting,
mengingat sampai saat ini belum ada badan khusus yang dibentuk oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk mengelola pariwisata di Kawasan Pecinan Glodok. 5.8.5 Peningkatan Aspek Penunjang Wisata Dalam mengembangkan kegiatan wisata sejarah ini selain didukung dengan obyek wisata sejarah yang menarik juga harus didukung dengan aspek penunjang wisata yang memadai dan potensi wisatawan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya aspek penunjang ini terdiri dari sarana dan prasarana transportasi, fasilitas pelayanan, serta informasi dan promosi. Selain itu aspek kenyamanan lingkungan juga perlu mendapat perhatian. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dan memperlancar aktivitas wisata, memberikan kenyamanan kepada para wisatawan, serta untuk mendukung tercapainya tujuan wisata sehingga wisata sejarah di Kawasan Pecinan Glodok dapat berkembang. Upaya peningkatan aspek penunjang wisata yang disarankan dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Upaya Peningkatan Fasilitas Penunjang Wisata Aspek Penunjang Wisata • • Sarana dan Prasarana Transportasi
• • •
Fasilitas Pelayanan
Informasi dan Promosi
• • • • •
• • • Kenyamanan Lingkungan
• •
Upaya Peningkatan Menyediakan fasilitas bus wisata khusus untuk aktivitas wisata di Kawasan Pecinan Glodok. Pemanfaatan kembali gedung-gedung parkir yang telah dibangun. Menyediakan fasilitas transportasi lainnya untuk melakukan wisata pada kawasan, contohnya : ojeg sepeda atau becak. Menyediakan pedestrian walk. Fasilitas yang ada sudah cukup baik dan menunjang, upaya peningkatan yang dapat dilakukan misalnya saja menyediakan souvenir khusus di setiap fasilitas pelayanan bagi wisatawan sebagai kenang-kenangan. Sikap penerimaan masyarakat. Pelayanan yang profesional. Mengintegrasikan dengan paket-paket wisata lain. Membuat TIC mengenai Kawasan Pecinan Glodok beserta obyekobyek sejarah didalamnya dan ditempatkan di tempat umum yang mudah diakses. Melakukan promosi dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas media promosi. Membuat fasilitas interpretasi yang menarik dan informatif. Menyediakan stopping area di titik-titik tertentu. Penataan kawasan dan penanaman untuk meningkatkan daya tarik (estetik) dan kenyamanan. Pembersihan lingkungan dan sungai-sungai yang ada. Peningkatan keamanan (misal: penyediaan hidran-hidran air, penempatan pos polisi, dsb).
Fasilitas sarana dan prasaran transportasi ditingkatkan agar wisatawan dapat menjalankan kegiatan wisata dengan lancar, efektif, serta efisien. Peningkatan fasilitas tersebut berupa pengadaan sarana transportasi khusus berupa bus wisata khusus yang disediakan untuk menuju ke kawasan, pemanfaatan gedung-gedung parkir yang saat ini belum dimanfaatkan secara optimal, serta menyediakan alat transportasi alternatif berupa ojeg atau rental sepeda. Fasilitas pelayanan berupa penginapan dan tempat makan juga perlu ditingkatkan agar wisatawan semakin merasa nyaman dalam melakukan aktivitas wisata maupun ketika beristirahat di sela-sela aktivitas wisata. Peningkatan fasilitas dapat berupa penyediaan souvenir wisata yang berkaitan dengan fasilitas pelayanan agar dapat memberi kesan mendalam kepada para wisatawan yang berkunjung. Peningkatan fasilitas informasi dan promosi dilakukan agar wisatawan yang berkunjung dapat memperoleh informasi yang jelas dan menyeluruh mengenai kawasan dan obyek-obyek sejarah di dalamnya. Fasilitas informasi dan promosi ini tidak hanya semata-mata ditujukan kepada wisatawan saja, tetapi juga kepada masyarakat sekitar agar mereka mengetahui keberadaan obyek wisata sejarah yang ada di Kawasan Pecinan Glodok ini dan dapat turut serta dalam menjaga kelestariannya. Peningkatan fasilitas ini berupa membuat TIC, meningkatkan kuantitas dan kualitas media promosi, serta membuat fasilitas interpretasi yang menarik dan informatif. Potensi wisatawan baik wisatawan domestik maupun manca negara yang berkunjung ke Kotamadya Jakarta Barat cukup baik dan dengan keberagaman tujuan wisata. Peningkatan fasilitas untuk mendukung potensi wisatawan tersebut berupa peningkatan fasilitas di masingmasing obyek wisata sejarah untuk memfasilitasi tujuan wisata yang berbeda-beda dari wisatawan yang berkunjung.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Kawasan Pecinan Glodok merupakan kawasan yang memiliki nilai penting dalam perkembangan Kota Jakarta. Pada kawasan ini terdapat banyak peninggalan sejarah dan empat diantaranya merupakan Benda Cagar Budaya (BCB) yang dilindungi oleh pemerintah, yaitu Rumah Keluarga Souw, bangunan langgam Cina di Jalan Blandongan, Gereja Santa Maria de Fatima, dan Kelenteng Jin De Yuan. Upaya pengelolaan dan pelestarian bangunan/lanskap sejarah yang ada di kawasan ini belum semuanya baik. Pengelolaan bangunan yang merupakan tempat beribadah lebih baik jika dibandingkan dengan bangunan yang kepemilikannya pribadi, meskipun obyek tersebut merupakan BCB. Untuk pengembangan sebagai kawasan wisata perlu ditetapkan upaya perlindungan dan
pelestarian kawasan dan obyek-obyek di dalamnya. Dalam studi ini diusulkan zonasi perlindungan yang meliputi zona inti dan zona penyangga. Zona inti merupakan zona perlindungan intensif yang mencakup obyek-obyek bernilai sejarah penting dan lanskapnya yang masih mempunyai atmosfer Chinese yang kuat (kebudayaan, aktivitas kehidupan sehari-hari, sungai, tanaman, dsb). Berdasarkan hasil evaluasi terhadap aspek daya tarik dan aksesibilitas dapat dinyatakan bahwa Kawasan Pecinan Glodok ini mempunyai potensi pengembangan wisata sejarah dalam kategori tinggi dan sedang. Selain kawasan masih memiliki atmosfer dan kultur Chinese yang masih terjaga, di dalamnya juga terdapat dua belas lanskap sejarah yang potensial untuk dikembangkan sebagai obyek wisata sejarah, yaitu Kelenteng Budhi Dharma, Kelenteng Toa Sai Bio, Gereja Santa Maria de Fatima, Kelenteng Jin De Yuan, Toko Obat Lay An Tong, Kelenteng Ariya Marga, Gedung Tiong Hoa Hwee Koan (SMUN 19), Rumah Keluarga Souw, Kelenteng Tanda Bhakti, Kawasan Pasar Pagi Lama, Jalan Blandongan, serta Kawasan Jalan Pancoran. Aspek penunjang wisata yang ada di Kotamadya Jakarta Barat juga cukup berpotensi untuk mendukung kegiatan wisata sejarah di Kawasan Pecinan Glodok, seperti tersedianya fasilitas transportasi, fasilitas informasi dan promosi, fasilitas pelayanan, serta potensi wisatawan. Hanya saja masih terdapat kendala terkait dengan kondisi kepadatan jalan (kemacetan), belum adanya program wisata khusus pada kawasan, serta masih kurangnya promosi obyek wisata sejarah. Konsep pengembangan wisata sejarah yang diusulkan adalah wisata sejarah untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman (learning by travelling) tentang keberadaan Kawasan Pecinan Glodok sebagai bagian penting dari perkembangan Kota Jakarta. Berdasarkan akses keluar masuk Kawasan Pecinan Glodok, keberadaan lanskap sejarah, kondisi sirkulasi, transportasi, serta efisiensi waktu maka direncanakan jalur wisata dengan menggunakan dua akses keluar masuk Kawasan Pecinan Glodok yaitu Stasiun Kereta Api Kota atau Halte bus Trans Jakarta (jalur Blok M-Kota) dan Jalan Gajah Mada. Untuk pengembangan kawasan sebagai kawasan wisata perlu dilakukan tindakan pelestarian lanskap dan obyeknya secara konsisten sesuai ketentuan, peningkatan daya tarik kawasan tanpa merubah karakter aslinya, penyediaan
fasilitas interpretasi yang memadai, serta meningkatkan pelayanan dan fasilitas penunjang wisata. 6.2 Saran •
Perlu empowering pelaksanaan kebijakan dan peraturan yang telah ada yang terkait dengan pelestarian dan pengelolaan kawasan dan bangunan bersejarah.
•
Obyek penting yang berada di zona inti, sepertiv Toko Obat Lay An Tong, Kelenteng Budhi Dharma, Kelenteng Ariya Marga, Gedung Tiong Hoa Hwee Koan, Kelenteng Tanda Bhakti, dan Kelenteng Toa Sai Bio perlu ditetapkan sebagai BCB.
•
Seluruh kawasan perlindungan (zona inti dan penyangga) perlu diintegrasikan dalam rencana revitalisasi Kota Lama Jakarta.
•
Perlu penataan kawasan melalui perencanaan dan perancangan yang mendukung pelestarian dan aktivitas wisata, serta terintegrasi dengan upaya revitalisasi Kota Lama Jakarta.
•
Program wisata yang dirancang diiringi dengan peningkatan promosi dan pengelolaan secara profesional dan terintegrasi dengan programprogram wisata yang ada di wilayah DKI Jakarta.
•
Perlu keterlibatan dan kerja sama seluruh pihak untuk pengembangan wisata sejarah di Kawasan Pecinan Glodok, khususnya antara Pemda DKI Jakarta dan masyarakat Pecinan Glodok.