STUDI KOMPARATIF TERHADAP KEABSAHAN AKTA HIBAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Studi di Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, M.M.,)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 dalam Ilmu Syari’ah
Disusun Oleh : ARIFATUL KHULWA NIM 072111013
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAHSIYAH FAKULTAS SYARI'AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2011
ii
iii
MOTTO “]Œr& Iωuρ $xΨtΒ (#θà)xΡr& !$tΒ tβθãèÎ7÷GムŸω §ΝèO «!$# È≅‹Î6y™ ’Îû öΝßγs9≡uθøΒr& tβθà)ÏΖムtÏ%©!$# ∩⊄∉⊄∪ šχθçΡt“óstƒ öΝèδ Ÿωuρ óΟÎγøŠn=tæ ì∃öθyz Ÿωuρ öΝÎγÎn/u‘ y‰ΨÏã öΝèδãô_r& öΝçλ°; Artinya : Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, Kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S Al- Baqarah : 262)
iv
PERSEMBAHAN Dalam perjuangan meraungi ilmu yang ditempuh, dengan asa dan harapan ku persembahkan karya tulis skripsi ini saya persembahkan teruntuk orang-orang yang selalu hadir dalam susah, sedih dan bahagia dalam kehidupan ku khususnya buat :
Bapak dan Ibu ku tersayang (Bapak H. Hamami dan Ibu Hj. Muslimah). Kakak-kakakku tercinta yaitu Ahmad Hanif dan Rosyidah, Ahmad Nadhif dan Siti Komariyah, AH, Uswatun Khasanah, AH dan Khusnul Fuad serta Nur Af’idah, AH dan Ahmad Arwani S.Pdi.
Guru-guruku di seluruh jenjang pendidikan penulis. Mz Muhammad Zainul Anwar. Sahabat CORS’07 (Community Of Rayon Syari’ah 07), salam “Satu Rasya Satu Jiwa”.
Para sahabat-sahabat PMII, Wadyabala Justisia, dan Rekan- rekanita IPNU-IPPNU Kota Semarang.
Semua orang yang telah membantu penyusunan skripsi ini.
v
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain kecuali informasi yang terdapat dalam
referensi
yang
dijadikan
rujukan.
Semarang, Juni 2011 Deklarator
Arifatul Khulwa NIM: 072111013
vi
bahan
ABSTRAK Hibah merupakan institusi yang diakui oleh hukum Islam sebagai pranata yang menjadi alat perantara kepemilikan, hukum Islam dan hukum positif yang ada di Indonesia juga mengatur tentang bagaimana cara dan langkah-langkah untuk dapat mempermudah pemindahan hak atas suatu benda atau barang secara sah agar mendapat kekuatan hukum. Hal ini diperlukan karena apabila suatu saat terjadi perselisihan dan permasalahan dengan barang atau hak tersebut, orangorang yang bersangkutan bisa menjadikan hal tersebut sebagai bukti karena sudah adanya pengakuan hukum. Berangkat dari itu, ada tiga permasalahan yang dirumuskan, pertama, Bagaimana keabsahan akta hibah menurut hukum positif ? Kedua, Bagaimana keabsahan akta hibah menurut hukum Islam ? Dan ketiga, Apa peran Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H.,MM dalam Keabsahan Akta Hibah ? Skripsi ini menggunakan Jenis penelitian kepustakaan (library research ). mengenai persoalan yang berkaitan dengan keabsahan akta hibah. penelitian ini juga bisa disebut penelitian kasus/ studi kasus (case study) dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan yuridis-normatif. Disini penulis menggunakan sumber data Primer diantaranya, lapangan (field research), dan data akta hibah di kantor Notaris / PPAT Dina Ismawati, S.H., M.M kemudian sumber data sekunder memberikan keterangan yang bersifat mendukung sumber data primer antara lain Studi kepustakaan, Peraturan Perundang-undangan dan hasil penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti dalam penelitian ini. Selanjutnya menganalisa data tersebut secara logis dan sistematis untuk menguji tingkat akurasi data yang sudah ada. Hasil penelitian ini adalah, pertama, Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Positif merupakan kewajiban dalam kebijakan undang-undang, karena sudah terpenuhinya kebutuhan hukum masyarakat yang dimulai dari prosedur (Proses) pembuatan akta hibah, penghibahan harus melalui akta. Hibah barulah mengikat dan mempunyai akibat hukum bila pada hari penghibahan itu dengan kata-kata yang tegas telah dinyatakan diterima oleh penerima hibah, atau dengan suatu akta otentik telah diberi kuasa pada orang lain. Kedua, Ditinjau dalam hukum Islam tentang akta hibah, maka hukum Islam tidak menjelaskan secara tekstual tentang akta hibah. akan tetapi rukun dan syarat sudah dijelaskan secara eksplisit. Dan Ketiga, Keabsahan akta hibah yang dilakukan oleh Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, MM. Dalam Notaris mengenai benda bergerak maupun tidak bergerak persyaratannya adalah dengan menunjukkan KTP dan surat-surat benda yang akan dihibahkan sesuai dengan ketentuan. Key word : Hibah, Akta Hibah dan Notaris/PPAT
vii
KATA PENGANTAR Alhamdulillah rabb al-alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat
serta
hidayahn-Nya,
penulis
dapat
menyelesaikan
penyusunan skripsi ini. Sholawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang memberikan uswatun hasanah kepada umatnya bagaimana berperilaku seharihari, baik kepada Allah SWT, maupun kepada sesama manusia. Penulis tidak dapat memungkiri bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari peran serta orang-orang di sekitar penulis, oleh karena itu penulis haturkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag selaku Rektor IAIN Walisongo. 2. Bapak Dr. Imam Yahya, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. Bapak Abdul Ghofur M.Ag selaku PD I, Bapak Saifullah M.Ag selaku PD II, Bapak Arif Budiman M.Ag selaku PD III. 3. Ibu Anthin Lathifah M.Ag selaku Kepala Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah dan Ibu Nur Hidayati Setyani, S.H., M.H., selaku Sekretaris Jurusan Ahwal AlSyakhsiyah yang senantiasa memberi nasehat. 4. Bapak Drs. H. Eman Sulaiman, MH selaku pembimbing I, serta A. Syifaul Anam, S.Hi.,M.H. selaku pembimbing II, yang menyempatkan waktunya untuk menelaah dari bab perbab pembuatan skripsi ini. 5. Segenap dosen yang telah mendidik dengan tulus, terima kasih atas ilmu yang ditularkan, dan para pegawai di Fakultas Syari’ah yang telah memberi pelayanan administratif kepada mahasiswa. 6. Notaris dan PPAT Ibu Dina Ismawati, SH.,MM yang memberi kesempatan kepada penulis disela-sela kesibukaanya guna penelitian dikantor beliau.
7. Bapak dan Ibu ku tersayang (Bapak H. Hamami dan Ibu Hj. Muslimah) yang telah memperjuangkan ku hingga saat ini dari segi ekonomi dan kasih sayangnya. Ridlo dan kepercayaanmu adalah kunci masa depan ku. 8. Kakak-kakakku tercinta yaitu Ahmad Hanif dan Rosyidah, Ahmad Nadhif dan Siti Komariyah, Uswatun Khasanah dan Khusnul Fuad serta viii
Nur Af’idah dan Ahmad Arwani S.Pdi. Tanpa ridlo dan keikhlasan kalian, saya tidak bisa melanjutkan jenjang yang lebih tinggi dari kalian. Semoga kalian dan keluarga selalu dilindungi dan diberkahi oleh Allah. 9. Keponakan-keponakanku Iffatul Izza, Muhammad Abdurrahman Alhadi, Sholla Izzul Mutho’, Inayah, Abu Nawas, Fitrotul ‘Adawiyah, Alha Buluqiyah, Sekar Asyiqotillah, dan Sekar Sania Alfatimi yang selalu memberi warna dalam hidup penulis. Semoga menjadi anak yang sholeh sholekhah berbakti kepada orang tua, agama, nusa dan bangsa. 10. Serta semua keluarga ku tercinta yang selalu memberi semangat sehingga tersusun skripsi ini. 11. Mas Muhammad Zainul Anwar yang selalu mengisi hari-hari ku dalam suka maupun duka. Semoga Tuhan mempertemukan kita dalam RidloNya. 12. Sahabat-sahabat CORS (Community Of Rayon Syari’ah 07) diantaranya mz Zainul Anwar, Rina Rif’atin Ulfah, Nurul Fitriana, Titik Khasanah, Zumaroh, Nur Hayatun Nufus, Thoifatul Muashomah, Agus Lukman Fitrian, Ahda Zaki, Ibnu Qodir, Izzudin, Arif Karunia Rahman, Ahmad Nasron, Wuri Nur Aryanti, Sofil Mubarok, Nuril Huda, Masduki, Mei Ristikawati, Lutfi Hakim, Zein Asrori Ashiddiqi, Nur Izza Kholida, Ahmad Ihsan, Faqehuddin, Bahrul Amik, Anita Indra Prasta, Ainung Jariyah, Arif Herdianto, Picus dan Ubedul Mustofa. Kalian adalah mutiara dalam perjalananku. Jaga persahabatan kita karena kita “ SATU RASYA SATU JIWA” sampai akhir hayat nanti. Insyallah. 13. Sahabat-sahabat PMII Rayon Syari’ah (Senior mas Iman Fadhilah, Kakek Ibnu Thalhah, mas Khadek, mas Saefudin, mas Gepeng, mbak Evi Lestari )dari angkatan 2004 ( mas Heri, mas Koyen, mas Khosem, mas Saefudin, mas Yoni, mbak Firoh, mbak Ovi, mas Ali Kopleng ) angkatan 2005 (mas Ali Shodiq, mas Tomy Andrias, mas Jigug, mas Johan, mas Hamdani, mas Rifa’I, mas Rif’an, mbak Novi, mbak Via, mbak Lely, ix
mas Faizin, mbak Lina, mbak Ela, mas Waris) angkatan 2006 (mas Yayan M Royani, mas Badrut Tammam, mas Alfian Qodri Azizi, mas Taufik Robot, mas Suyanto, mas Khoirul Anam, mbak Aniqotus Saadah, mbak Aniqotur Rasyidah, mbak Ely Nur Rahmah, mbak Erma, mbak Hima, mbak Ifa, mas Jama’ Syari, mas Nafis, mbak Uswatun Khasanah, mbak Via, mas Yunus) angkatan 2008 (Arif Fajar, Aslamiyah, Endang, Aziz, Irham, Juki, Khudlori, Sofi, Nirma, Putri, Lia, Muhson, Aqil, Salamah, Sirot, Sulaiman, Mujab) angkatan 2009 (Arif Jundan, David, Faidhol, Iqbal, Hanif, Majid, Ridlo,Fuadi, Umam, Rosita, Ulfi, Wahib, Yohana, Dani, Zumi, Ulfa). Angkatan 2010 (I’anatul Afwa, Eni, Nadia, Nilna, Novi, dkk) yang tak bisa penulis sebut satu persatu semua, kalian adalah keluarga dan sahabat yang selalu memberi support. Semoga perjuangan kalian di beri rahmat oleh Allah SWT. Salam Pergerakan ! 14. Sahabat-sahabat PMII Komisariat Walisongo periode 2010-2011, Ahmad Junaidi, Nurul Watiqoh, Risma Nur Alifah, Aidris Saputro, Aisyah Ubaidillah, Zaqraf Maulida, Nur Hidayah (inok), M. Idris, Idrus, Ali Mahmudi, Sahid, Maftukin, Usfi, Jauharul Asror (acong), Rifqi, Qowimul Adib, Lefi, Luluk Eka Dini, Afroh, Indri, Nur Faidah, Faruq, Supri, Vina Inayatuzzulfa, Maftuh, Ana dan sahabat-sahabat semua yang tidak bisa penulis sebut semua. 15. Senior Justisia, Mas Tedi Kholiludin, Mas Ikrom, Mas Arif Mustafifin, Mas Sujiantoko, Mas Nasrudin, Mas Hendi, Mas Jojo, Mas Heri, Mbak Rofik, Mbak Ana, Mbak Lina, Mas Faizin, Mas Rouf, Mas Hamdani, Mbak Nikmah, Mas Ubed, Mas Khoirudin, Mas Munif, Mas Munif Bams, Mas Chambali. 16. Wadyabala angkatan 2008, Nasihin Alm, Ariyani Kemuning Jati, Siswoyo, Ceprudin, Muhammad Syafi’i, Muhammad Zainul Anwar, Nazar Nurdin, Irfain Amin, Putri Rahmi, Miftahul Farid, Anis, Rifiq dan wadyabala 2007, 2009 dan 2010.
x
17. Teman-teman kelas ASA angkatan 2007, M.Nur Huda, Annisa Lutfi Aryani, Ahmad Ghofur, Habib Ulin Ni’am, M. Khoirul Huda, Khozin, Noh Latif, Mahfud, Maksumah Nurbianti, Robby Al-Ghomi, Isadurrofik, Ahmad Rouf, Ahmad Sahal, Saifurrahim, Solhan, Umiyati, Asrof. 18. Rekan-rekanita IPNU-IPPNU Kota Semarang, Mbak Umul, Zida, Nurul, Dila, Mas Makruf, Mas Rahul, Mas Rahman, Riani, Ridwan, Mas Rifqi, Mas Saidin, dek aini, Mas Edi, dek Ela, Laila, Syifa’. Bersemilahbersemilah Tunas-tunas NU !! 19. Bapak lurah Wibisono dan Ibu Fatimah Hestiana beserta dek Galang, dek Satria, Simbah Putri dan Kakung , Pasukan Seneng Posko 35 Desa Pakis KKN IAIN Walisongo Angkatan ke-56 Tahun 2011, Kordes Nur Muhammad (Memet), Bendes Ainu Zumrudiana, Jauharotul Faridah (Chaca), Mas Bro Holil, Sie Jangkung M.Fariz Iskandar, Nusan Amelia, Mirza Rusdiana, Ianatur Rasyidah, mbak bro Kayisul Aroiyah dan Ahmad Baihaqi. Kalian adalah keluarga baruku. 20. Sahabat ku JABLAY, SA Krisa Apriliani, Siska Putri Patresia, Lailatun Nuha, Lina Hasnawati, dan Novi Lidyawati. Semoga persahabatan kita berjalan sampai akhir hayat nanti. 21. Dan semua insan di muka bumi yang pernah berinteraksi dengan penulis, yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Semarang, Juni 2011
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..............................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................
iii
HALAMAN MOTTO ............................................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ...........................................................................
v
HALAMAN DEKLARASI ...................................................................................
vi
HALAMAN ABSTRAK .......................................................................................
vii
HALAMAN KATA PENGANTAR......................................................................
viii
HALAMAN DAFTAR ISI ....................................................................................
xii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .......................................................................
1
B. Rumusan Masalah ................................................................................
9
C. Tujuan Penelitian..................................................................................
10
D. Telaah Pustaka .....................................................................................
10
E. Metode Penelitian .................................................................................
15
F. Sistematika Penulisan ...........................................................................
20
BAB II :A. TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA HIBAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF 1. Akta Hibah menurut Hukum Islam.................................................
22
a.
Definisi Akta Hibah ...............................................................
26
b.
Dasar Hukum Akta Hibah .....................................................
26
c.
Syarat dan Rukun Akta Hibah ...............................................
29
2. Akta Hibah menurut Hukum Positif ...............................................
32
a.
Definisi Akta Hibah ..............................................................
32
b.
Dasar Hukum Akta Hibah ....................................................
33
c.
Macam-macam Alat Bukti Tertulis .......................................
35
d.
Fungsi Akta Hibah .................................................................
42
B. KETENTUAN AKTA HIBAH MENURUT NOTARIS DAN PPAT 1. Akta Hibah menurut Notaris .......................................................... xii
53
a. Definisi Notaris ..........................................................................
54
b. Kewenangan Notaris ..................................................................
54
c. Akta Notaris ...............................................................................
55
d. Syarat Akta Hibah ......................................................................
58
2. Akta Hibah menurut PPAT ............................................................
59
a. Definisi PPAT ............................................................................
59
b. Tugas Pokok dan Kewenangan PPAT .......................................
60
c. Bentuk-bentuk Akta ...................................................................
61
BAB III : KEABSAHAN AKTA HIBAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Studi di Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, SH.,MM) A. Profil Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, SH.,MM ..................
63
B. Tata cara dan Syarat-syarat Akta Hibah ...............................................
64
C. Macam-macam Akta Hibah..................................................................
70
D. Bentuk Akta Hibah ...............................................................................
71
E. Prosedur Pembuatan Akta Hibah ........................................................
72
BAB IV : ANALISIS KEABSAHAN AKTA HIBAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Studi di Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, SH.,MM) A. Analisis Keabsahan Akta Hibah menurut Hukum Islam .......................
77
B. Analisis Keabsahan Akta Hibah menurut Hukum Positif ......................
85
C. Deskripsi Peran Notaris dan PPAT Dina Ismawati,SH.,MM dalam Keabsahan Akta Hibah ................................................................
87
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan...........................................................................................
90
B. Saran-Saran ..........................................................................................
92
C. Penutup .................................................................................................
92
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Allah mewajibkan beberapa ibadah menyangkut harta, supaya terpenuhi hajat orang dan tertolaklah kemelaratan dari para fakir.1 Salah satu cara mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam rangka mempersempit
kesenjangan
sosial
serta
menumbuhkan
rasa
kesetiakawanan dan kepedulian sosial adalah saling memberi, karena manusia selain sebagai individu juga sebagai makhluk sosial. Dalam Islam banyak cara untuk melakukan kebaikan atau menyalurkan hartanya kepada orang lain, ada beberapa macam nama pemberian dalam Islam, diantaranya: wasiat, hadiah, sedekah, hibah dan wakaf. Pemberian itu dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mewujudkan kasih sayang diantara sesama manusia dan maksud tersebut tidak akan terwujud kecuali dengan memberikan balasan serupa. Suatu hadiah dapat menjadikan kecintaan pada diri penerima hadiah kepadanya. Selain itu dijelaskan tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah.
1
Tengku Muhammad Hasbi Ashiddieqy, Kuliah Ibadah,Semarang: Pustaka Rizki Putra,2000, hlm 69
1
2
Dalam dasar hukum pemberian dalam ayat-ayat Al-Qur’an banyak yang menganjurkan penganutnya untuk berbuat baik dengan cara tolong menolong dan salah satu bentuk tolong menolong adalah memberikan harta kepada orang lain yang betul-betul membutuhkannya, firman Allah SWT:
( 3“uθø)−G9$#uρ ÎhÉ9ø9$# ’n?tã (#θçΡuρ$yès?uρ ¢ Artinya: “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa” (Al-Maidah : 2)2 Penafsiran dasar hukum pemberian yaitu Al-Qur’an (Q.S AlBaqarah : 262)
“]Œr& Iωuρ $xΨtΒ (#θà)xΡr& !$tΒ tβθãèÎ7÷GムŸω §ΝèO «!$# È≅‹Î6y™ ’Îû öΝßγs9≡uθøΒr& tβθà)ÏΖムtÏ%©!$# ∩⊄∉⊄∪ šχθçΡt“óstƒ öΝèδ Ÿωuρ óΟÎγøŠn=tæ ì∃öθyz Ÿωuρ öΝÎγÎn/u‘ y‰ΨÏã öΝèδãô_r& öΝçλ°; Artinya : Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, Kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S Al- Baqarah : 2623)
Islam mengizinkan seseorang memberikan sebagai hadiah semua harta miliknya ketika masih hidup, tetapi perlu diingat juga dalam 2
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemah, Jakarta, 1971, hlm. 56 3 Ibid, hlm. 70
3
pemberian harus ada sifat keadilan. Dalam pemberian hibah juga demikian. Dimana hibah
adalah pemilikan sesuatu benda melalui
transaksi (aqad) tanpa mengharap imbalan yang telah diketahui dengan jelas ketika pemberi masih hidup.4 Dalam rumusan Kompilasi Hukum Islam, hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki (ps. 171 huruf g KHI) Hibah merupakan institusi yang diakui oleh hukum Islam sebagai pranata yang menjadi alat perantara kepemilikan. Hibah juga mempunyai arti penting dalam kehidupan, dengan kata lain hibah adalah suatu pemindahan harta tertentu atas sebagian orang yang memberi dan penerimaan atas bagian orang yang diberi harta. Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hibah diatur dalam Pasal 1666 yaitu : “Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Undang-undang tidak mengakui lain-lain hibah-hibah diantara orang-orang yang masih hidup.”5
4
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grasindo Persada,1995,
hlm 466 5
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1992, hlm. 436
4
Menurut ketentuan pasal 1682 KUH Perdata tentang cara menghibah sesuatu yaitu : “Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaris yang aslinya disimpan oleh notaris itu.”6
Adapun rukun hibah ada 3 yang esensial, yaitu terdiri dari: Orang yang menghibahkan (al-wahib), orang yang menerima hibah (al-mauhublah), dan pemberian atau perbuatan hibah atau yang disebut juga alhibah.7 Adapun menyangkut pelaksanaan hibah menurut ketentuan syari’at Islam adalah dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Pelaksanaan hibah dilakukan semasa hidup, demikian juga penyerahan barang yang dihibahkan. 2. Beralihnya hak atas barang yang dihibahkan pada saat penghibahan dilakukan, dan kalau si penerima hibah dalam keadaan tidak cakap bertindak (misalnya belum dewasa atau kurang sehat akal), maka penerima dilakukan oleh walinya. 3. Dalam melaksanakan penghibahan haruslah ada pernyataan, terutama sekali oleh pemberi hibah. 4. Penghibahan hendaknya dilakukan dihadapan beberapa orang saksi (hukum sunat), hal ini dimaksudkan untuk menghindari silang sengketa dibelakang hari.8
6
Ibid, hlm 438 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana,2006, hlm. 133 8 Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 117 7
5
Terkait dengan hal tersebut hukum Islam dan hukum positif yang ada di Indonesia juga mengatur tentang bagaimana cara dan langkahlangkah untuk dapat mempermudah pemindahan hak atas suatu benda atau barang secara sah agar mendapat kekuatan hukum. Hal ini diperlukan karena apabila suatu saat terjadi perselisihan dan permasalahan dengan barang atau hak tersebut, orang-orang yang bersangkutan bisa menjadikan hal tersebut sebagai bukti karena sudah adanya pengakuan hukum. Ini artinya dalam pembuatan akta hibah sangat diperlukan di dalam hukum Islam maupun hukum positif. Adapun mengenai pengertian dari akta menurut Prof. R. Soebekti, S.H., adalah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani. Setiap akta hibah harus dibuat oleh seorang Notaris. Karena Notaris dalam pasal 1 huruf 1 Undang-undang No.3 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris adalah jabatan umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang. Setiap hibah yang dibuat dihadapan Notaris berbentuk Akta. Yang disebut dengan Akta Notaris dalam pasal 1 huruf 7 Undangundang No.30 tentang Jabatan Notaris tahun 2004 pengertian tentang Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris
6
menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang. Pertimbangan tersebut sangat penting karena menyangkut harta kekayaan seseorang. Dan dengan kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Notaris, maka akta hibah tersebut mempunyai kekuatan hukum yang pasti. Adapun kewenangan-kewenangan Notaris sebagaimana disebutkan dalam pasal 15 ayat (2) Undang-undang No.3 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Notaris berwenang : a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; g. Membuat akta risalah lelang.9 Dalam pembuatan akta hibah maka para pihak dapat mengerti dan dapat mengetahui dasar akibat perbuatannya itu dapat diatur sedemikian rupa sehingga kepentingan yang bersangkutan mendapat perlindungan yang wajar sebagaimana diketahui oleh Notaris, bukan hanya berkewajiban membuat akta yang diminta olehnya, tetapi juga harus memberikan nasehat hukum serta penjelasan yang diperlukan oleh orang yang memerlukan. 9
Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika, Yogyakarta : UII Press, 2009, hlm 229
7
Dalam suatu pembuatan akta hibah, seseorang diperbolehkan memberi dan menerima sesuatu sebagai hibah kecuali mereka yang oleh undangundang dinyatakan tak cakap untuk itu.10 Orang yang belum dewasa tidak diperbolehkan membuat akta hibah. Sedangkan kecakapan seseorang penghibah ditinjau bagaimana seseorang dapat menikmati keuntungan dari suatu hibah. Selain Notaris, pembuat akta hibah dapat dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), PPAT ini lebih focus kepada pelaksanaan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum. Perbuatan hukum yang dimaksud adalah sebagai berikut : a. Jual beli; b. Tukar menukar; c. Hibah; d. Pemasukan ke dalam perusahaan (Inbreng); e. Pembagian hak bersama; f. Pemberian Hak Guna Bangunan/ Hak Pakai atas Tanah Hak Milik; g. Pemberian Hak Tanggungan; h. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan;
10
R. Subekti dan R.Tjitrosudibio,Op. Cit, hlm 438
8
Sedangkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Berbeda dengan akta Notaris, akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu.11 Bentuk pemindahan hak hibah dilakukan oleh para pihak di hadapan Notaris/PPAT yang bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya perbuatan hukum yang bersangkutan di hadapan Notaris/PPAT, dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang “gelap”, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi). Akta yang ditandatangani para pihak menunjukkan secara nyata atau “riil” perbuatan hibah yang dilakukan. Dengan demikian ketiga sifat hibah, yaitu tunai, terang dan riil, dipenuhi. Akta tersebut membuktikan, bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum yang bersangkutan. Karena perbuatan hukum yang dilakukan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak, maka akta tersebut secara implisit juga membuktikan, bahwa penerima hak sudah menjadi pemegang haknya yang baru. Tetapi hal itu baru diketahui oleh dan karenanya juga baru mengikat
11
Biro Hukum dan Humas Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Jakarta: Koperasi Pegawai BPN “Bumi Bhakti”, 1998, hlm. 3-4
9
para pihak dan ahli warisnya karena administrasi Notaris/PPAT sifatnya tertutup bagi umum.12 Dalam suatu pembuatan akta hibah tidak terlepas adanya suatu kesepakatan dan perjanjian antara Notaris/PPAT dan si penghibah begitu juga antara si penghibah dengan yang mendapatkan hibah tersebut, karena itu adanya kepercayaan sangat diutamakan dan tiap-tiap Notaris/PPAT wajib menyimpan akta hibah tersebut diantara surat-surat lainnya. Dengan demikian jelas kiranya bahwa dalam pembuatan akta hibah seorang Notaris mempunyai peranan yang sangat penting. Pada pasal 934 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang mengatur bahwa setiap Notaris/PPAT menyimpan surat aslinya baik dalam bentuk apapun setelah si penghibah memberitahukan kepada semua kepentingan. Penelitian
yang
dilakukan
kali
ini
adalah
bagaimana
mengkomperasikan hukum Islam dan hukum positif yang ada di Indonesia tentang keabsahan akta hibah. Sebagai pendukungnya penulis akan meneliti peran Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H., MM. dalam mengabsahkan akta hibah. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis ingin mengangkat masalah 12
ini
dalam
bentuk
skripsi
yang
berjudul
:
“STUDI
Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia,Jakarta, Djambatan, 2007 hlm 330-331
10
KOMPARATIF
TERHADAP
KEABSAHAN
AKTA
HIBAH
MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF: Studi di Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H., MM ”.
B. Permasalahan Setelah melihat pemaparan latar belakang masalah di atas dapat dikemukakan pokok-pokok masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : 1.
Bagaimana Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Positif ?
2.
Bagaimana Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Islam ?
3.
Apa peran Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H.,MM dalam Keabsahan Akta Hibah ?
C. Tujuan Penulisan Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan penulisan skripsi ini adalah : 1.
Untuk mengetahui Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Positif.
2.
Untuk mengetahui Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Islam.
3.
Untuk mengetahui peran Notaris / PPAT dalam Keabsahan Akta Hibah
11
D. Telaah Pustaka Pada tahapan ini penulis berusaha memberi informasi tentang penelitian atau karya-karya ilmiah lain yang berhubungan dengan permasalahan, dengan mengambil langkah ini pada dasarnya bertujuan sebagai jalan pemecahan permasalahan penelitian dengan harapan apabila peneliti mengetahui apa yang telah dilakukan oleh peneliti ini. Sejauh penelusuran penulis, belum ditemukan tulisan yang lebih spesifik dan yang mendetail yang membahas tentang masalah Studi Komparatif Terhadap Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif studi di kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H., MM,. Namun demikian ada beberapa tulisan yang berhubungan dengan akta hibah, antara lain : Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, membahas pengertian hibah, dasar hukum hibah, dan hibah hubungannya dengan warisan. Dalam al-Qur’an, penggunaan kata hibah digunakan dalam konteks pemberian anugerah Allah kepada utusan-utusannya, doa-doa yang dipanjatkan oleh hamba-hamba-Nya, terutama para nabi, dan menjelaskan sifat Allah Yang Maha Memberi Karunia. Untuk itu mencari dasar hukum tentang hibah seperti yang dimaksud dalam kajian ini secara eksplisit,
12
digunakan petunjuk dan anjuran secara umum agar seseorang memberikan sebagian rezekinya kepada orang lain.13 As-sayyid Saabiq, Fikih Sunnah. Buku ini mengemukakan tentang definisi, legalitas, rukun, syarat hibah. Hibah itu sah melalui ijab dan qobul yang ditunjukkan oleh pemberian harta tanpa imbalan.14 Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika. Pada tulisan tersebut pada dasarnya membahas tentang segala bidang profesi kenotariatan, etika, landasan, perilaku etis, sampai pada peranan intitusi pendidikan kenotariatan dalam mewujudkan insan Notaris/PPAT yang menjunjung tinggi hukum dan etik. Keberadaan Notaris/PPAT adalah sebagai pejabat yang berwenang dalam membuat atau mengesahkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang dikehendaki oleh masyarakat. Disisi lain dalam memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat, ia perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum.15
13
Ahmad Rofiq, Op.Cit As-sayyid Saabiq, Fikih Sunnah,Bandung : PT Al-Ma’arif, 1986 15 Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika, Yogyakarta : UII Press, 2009 14
13
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. Buku ini menjelaskan tentang alat bukti tertulis yakni akta. Menurut beliau akta adalah surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.16 Biro Hukum dan Humas Badan Pertanahan Nasional,Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Buku ini merupakan buku pedoman para Pejabat Pembuat Akta Tanah di Indonesia. Dimulai dari Peraturan Jabatan PPAT yang merupakan pelaksanaan pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah telah memberikan kedudukan yang lebih kuat mengenai hak dan kewajiban PPAT yang selama ini hanya diatur setingkat dengan Peraturan Menteri. Buku pedoman ini juga melampirkan formulir akta hibah demi penunjang dalam penelitian penulis.17 Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia. Menerangkan bahwa perbuatan hukum pemindahan hak dalam Hukum Tanah Nasional, yang memakai dasar Hukum Adat. Dengan dilakukannya perbuatan hukum
16
Sudikno Mertokusumo, Hukum acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty,
2002 17
Biro Hukum dan Humas Badan Pertanahan Nasional,Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Jakarta: Koperasi Pegawai Badan Pertanahan Nasional “Bumi Bhakti” 1998
14
yang bersangkutan hak atas tanah yang menjadi obyek berpindah kepada penerima hak.18 Fajar Iskandar, dalam skripsinya “Studi Analisis terhadap Pengadilan Tinggi Agama Semarang No: 15/Pdt.G/2007/PTA.smg tentang Penarikan Hibah Orang Tua terhadap Anak” dalam penelitian ini, penulis menjelaskan bagaimana pandangan hukum Islam dalam penarikan kembali hibah, dan menceritakan bahwa hibah yang diberikan kepada orang tuanya terhadap anak-anaknya tersebut gugatannya ditolak, karena hibah yang diberikan oleh pemohon untuk semua anak-anaknya dan buktibukti yang diajukan tidak menguatkan permohonan sehingga ditolak. Dan karena menurut hukum Islam istilah pemberian hibah tersebut telah dilakukan secara adil.19 Tyas Prihatanika Herjendraning Budi Wijaya,”Kedudukan Notaris dalam Pembuatan dan Pencabutan Testament (Surat Wasiat) Studi Kasus di Kantor Notaris dan PPAT Eko Budi Prasetyo, SH di Kecamatan Bakti Sukoharjo”. dalam penelitian ini, penulis menjelaskan bagaimana kedudukan Notaris dalam pembuatan testament atau surat wasiat dan menceritakan bahwa dalam dunia pewarisan akan selalu timbul adanya 18
Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia,Jakarta : Djambatan 2007 Fajar Iskandar, dalam skripsinya “Studi Analisis terhadap Pengadilan Tinggi Agama Semarang No: 15/Pdt.G/2007/PTA.smg tentang Penarikan Hibah Orang Tua terhadap Anak”, Jurusan Al-Ahwal Al-Syasiyah Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang 2008 19
15
ketidak beresan dalam pengurusan, pemindahan, dan peralihan yang menyangkut harta kekayaan dari seseorang yang meninggal dunia sehingga memerlukan penanganan dan penyelesaian dari lembaga Notariat untuk menghindari sengketa yang timbul diantara ahli waris dengan ditinggalkannya testament, oleh karena hukum, ahli waris memiliki hak dari si peninggal warisan serta tuntutan hukum untuk memperoleh harta warisan. 20 Dari berbagai kepustakaan di atas menunjukkan bahwa penelitian terdahulu berbeda dengan permasalahan yang diangkat oleh penulis. Penelitian-penelitian yang secara umum membahas tentang penarikan hibah. sedangkan yang penulis teliti saat ini lebih spesifik dengan Studi Komparatif Terhadap Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif studi di kantor Notaris/PPAT Dina Ismawati, S.H., MM,. E. Metode Penelitian Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut : 1. Jenis penelitian
20
Tyas Prihatanika Herjendraning Budi Wijaya,”Kedudukan Notaris dalam Pembuatan dan Pencabutan Testament (Surat Wasiat) Studi Kasus di Kantor Notaris dan PPAT Eko Budi Prasetyo, SH di Kecamatan Bakti Sukoharjo” Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta 2008
16
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research ). Penelitian yang dilakukan untuk menelaah bahan-bahan dari buku utama yang berkaitan dengan masalah, dan buku penunjang berupa sumber lainnya yang relevan dengan topik yang dikaji.21 Dalam hal ini mengenai persoalan yang berkaitan dengan keabsahan akta hibah. sehingga penelitian ini juga bisa disebut penelitian kasus/ studi kasus (case study) dengan pendekatan kualitatif. 2.
Pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif, yaitu pendekatan ini dikembangkan berdasarkan sifat dasar (the nature) dari bahan kajiannya. Kendati ada perbedaan, kajian hukum bidang tertentu tetap memiliki kesamaan dengan kajian hukum bidang lain. Penetapan metode ini bergantung pada masalah / peristiwa hukum yang akan diteliti.
3.
Sumber data Sumber data adalah dari mana data diperoleh. Disini penulis menggunakan sumber data yang terbagi dalam dua jenis, yaitu : a.
21
Sumber Data Primer
P. Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991, Cet 1 , hlm 109.
17
Sumber data primer yaitu sumber literatur yang utama yang berkaitan langsung dengan obyek penelitian. Sumber data primer dikumpulkan dengan cara lapangan (field research) dan data hibah yang berhasil dikumpulkan dan disesuaikan dengan rumusan masalah yang digunakan pada penelitian ini antara lain: -
Data-data akta hibah di kantor Notaris / PPAT Dina Ismawati, S.H., M.M
-
Data-data dari dasar hukum yang digunakan dan dijadikan acuan dalam keabsahan akta hibah menurut hukum Islam dan hukum positif tersebut.
b. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak secara langsung memberikan keterangan yang bersifat mendukung sumber data primer antara lain : 1. Studi kepustakaan yaitu buku-buku: -
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia
-
As-sayyid Saabiq, Fikih Sunnah, Jilid 14
-
Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika
-
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia
18
-
Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia
2. Peraturan Perundang-undangan : -
Peraturan Jabatan Notaris
-
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
-
Kompilasi Hukum Islam
3. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku, misalnya: -
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW)
-
Undang-undang Agraria dan hasil penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan Akta Hibah Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif
4. Hasil penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti dalam penelitian ini. c.
Sumber Data Tersier Yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap sumber data primer maupun penjelasan terhadap sumber data sekunder, misalnya: kamus-kamus, ensiklopedi, indeks kumulatif , dan sebagainya. Agar diperoleh informasi yang terbaru dan berkaitan erat dengan permasalahannya.22
22
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hlm 114
19
4.
Pengumpulan Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik sebagai berikut : a.
Interview (wawancara) Wawancara yaitu mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung tatap muka dengan menggunakan daftar pertanyaan.23 Dengan hal ini penulis mengadakan Tanya jawab secara bebas dengan Notaris/PPAT yang merupakan pembuat akta hibah dalam penelitian ini, untuk mendapatkan keterangan-keterangan yang bersifat lebih mendalam yang berhubungan dengan penelitian ini.
b.
Dokumentasi Dokumentasi yaitu setiap bahan tertulis yang dijadikan sebagai sumber data yang dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan.24 Diantara dokumen yang penulis gunakan adalah keabsahan akta hibah menurut hukum Islam dan hukum Positif di Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H., M.M
c.
23
Observasi
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, Jakarta : PT Pustaka LP3ES Indonesia, 1995, Cet.II, hlm. 192 24 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2004, Cet XVIII, hlm. 161
20
Pengamatan yang dilakukan penulis secara langsung mengenai fenomena yang ada, yang berkaitan dengan obyek penelitian yang dilanjutkan dengan surat pencatatan secara sistematis terhadap semua gejala yang akan diteliti. 5.
Analisis Data Setelah data selesai terkumpul dengan lengkap, tahap yang harus dilakukan selanjutnya adalah analisis data. Pada dasarnya analisis adalah kegiatan untuk memanfaatkan data sehingga dapat diperoleh suatu hepotesa. Dalam analisis diperlukan imajinasi dan kreativitas sehingga diuji kemampuan peneliti dalam menalar sesuatu. Pada tahap ini data akan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga diperoleh kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan-persoalan yang diajukan dalam penelitian. Dalam penelitian ini menggunakan metode analisis data kualitatif. Maka data yang diperoleh akan dianalisis dengan metode deskriptif analisis, yaitu menggambarkan secara sistematik dan akurat dan karakteristik mengenai akta hibah.25
25
hlm 7
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001, Cet III,
21
Dalam hal ini yang dianalisis adalah Studi Komparatif Terhadap Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif studi di kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H., M.M. F. Sistematika Penulisan Dalam penulisan hasil penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab, dimana satu bab yang lainnya saling mendasari dan terkait. Hal ini guna memudahkan pekerjaan dalam penulisan dan memudahkan pembaca dalam memahami
dan
menangkap
hasil
penelitian.
Adapun
sistematika
penulisannya adalah sebagai berikut : BAB I Pendahuluan, dalam pendahuluan ini dijelaskan latar belakang masalah, selanjutnya dari latar belakang masalah tersebut dirumuskan masalah yang ada, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan. BAB II Tinjauan Pustaka. Bab ini merupakan landasan teori yang berisikan dua sub bab. Bab yang pertama membahas tentang akta hibah diantaranya pengertian, akta hibah menurut hukum positif, dan akta hibah menurut hukum Islam. Sedangkan bab yang kedua membahas tentang Notaris/PPAT dan akta Notaris/PPAT diantaranya pengertian, pengertian akta, jenis-jenis akta, tugas dan wewenang Notaris/PPAT.
22
BAB III Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif (Studi di Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, SH.,MM). pada bab ini akan disajikan hasil penelitian yang didahului oleh profil, tata cara dan syarat-syarat akta hibah,macam-macam akta hibah, bentuk, prosedur pembuatan formulir akta hibah di Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, SH.,MM dalam keabsahan akta hibah. BAB IV Analisis Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif (Studi di Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, SH.,MM). Bab ini akan menganalisis Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif serta menganalisis peran Notaris dan PPAT Dina Ismawati, SH.,MM dalam keabsahan akta hibah. BAB V Penutup hasil akhir dari penelitian ini sekaligus merupakan akhir dari rangkaian penulisan skripsi yang akan berisi kesimpulan dan saran.
23
BAB II AKTA HIBAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Tinjauan Umum Tentang Akta Hibah Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif 1. Akta Hibah Menurut Hukum Islam a. Definisi Akta Hibah Indonesia mempunyai berbagai macam suku, budaya, dan agama. Dan Indonesia merupakan Negara hukum yang menggunakan dasar hukum Islam dan hukum positif. Ada juga hukum adat akan tetapi yang menjadi acuan dasar hukum yang paling utama adalah hukum Islam dan hukum positif. Menurut hukum Islam, hibah memiliki berbagai definisi yang berbeda-beda. Hal tersebut dikarenakan perbedaan pendapat antara orang-orang ahli ilmu agama dan ahli hukum Islam. Sedangkan kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba artinya memberi.26 Dan jika subyeknya Allah berarti memberi karunia, atau menganugrahi (Q.S. Ali Imran, 3:8, Maryam, 19:5, 49, 50, 53). Dalam pengertian istilah, hibah adalah pemilikan sesuatu
26
A. W. Munawir, Kamus Al-Munawir, Surabaya, Pustaka Progresif, 1997, Cet. 14,
hlm. 1584
22
23
benda melalui transaksi (Aqad) tanpa mengharap imbalan yang telah diketahui dengan jelas ketika pemberi masih hidup.27 Pengertian hibah dalam Ensiklopedi Hukum Islam adalah pemberian yang dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT tanpa mengharapkan balasan apapun.28 Di dalam syara’, hibah berarti akad yang pokok persoalan pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya hak pemilikan, maka hal itu disebut i’aarah (pinjaman).29 Kompilasi Hukum Islam (KHI Pasal 171 huruf g), hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.30 Terdapat beberapa definisi hibah yang dikemukakan oleh para ulama :
27
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998, Cet. III, hlm 466 28 Abdul Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar van Hoeve, 1996, hlm 540 29 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 14 (Terjemah), Jakarta:Pena Pundi Aksara, 1997, Cet 9, hlm 167 30 Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokusmedia, 2007, Cet II, hlm 56
24
1. Abd al-Rahman al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah.31 menghimpun empat definisi hibah dari empat mazhab,
yaitu
menurut
mazhab
Hanafi,
hibah
adalah
memberikan sesuatu benda dengan tanpa menjanjikan imbalan seketika, sedangkan menurut mazhab Maliki yaitu memberikan milik sesuatu zat dengan tanpa imbalan kepada orang yang diberi, dan juga bisa disebut hadiah. Mazhab Syafi’I dengan singkat menyatakan bahwa hibah menurut pengertian umum adalah memberikan milik secara sadar sewaktu hidup. 2. Definisi yang lebih rinci dan komprehensif dikemukakan ulama mazhab Hambali. Ulama mazhab Hambali mendefinisikannya sebagai pemilikan harta dari seseorang kepada orang lain yang mengakibatkan orang yang diberi boleh melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut, baik harta itu tertentu maupun tidak, bendanya ada dan bisa diserahkan.32
31
Abd al-Rahman al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikr,t.th, Juz 3, hlm 289-292. 32 Ibid
25
3. Menurut Teungku Muhammad Hasbie Ash-Shiddieqy hibah ialah mengalih hak milik kepada orang lain secara Cuma-Cuma tanpa adanya bayaran.33 4. Menurut
As
Shan’ani
dalam
kitab
Subulussalam
yang
diterjemahkan oleh Abu Bakar Muhammad mengatakan bahwa hibah adalah pemilikan harta dengan akad tanpa mengharapkan pengganti tertentu pada masa hidup.34 5. Definisi dari Syekh Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi,35 hibah adalah memberikan sesuatu yang dilestarikan dan dimutlakkan dalam hubungannya dengan keadaan ketika masih hidup tanpa ada ganti, meskipun dari jenjang atas. 6.
Menurut M. Ali Hasan hibah adalah pemberian atau hadiah yaitu suatu pemberian atau hadiah, yaitu suatu pemberian yang dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah tanpa mengharapkan balasan apa pun.36
33
Teungku Muhammad Hasbie Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Cet.4, Semarang:PT Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm 98. 34 Abu Bakar Muhammad, Subulussalam (Terjemah), Surabaya: Al-Ikhlas , 1995, hlm 319 35 Syekh Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, Semarang: Pustaka Alawiyah, t.th, hlm 39 36 M. Ali Hasan, Berbagai macam transaksi dalam Islam, Cet.1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm, 76.
26
7. Senada dengan Drs. Hamid Farihi, M.A., juga berpendapat bahwa hibah didefinisikan sebagai akad yang dilakukan dengan maksud memindahkan milik seseorang kepada orang lain ketika masih hidup dan tanpa imbalan.37 b. Dasar Hukum Akta Hibah Dalam Al-Qur’an, penggunaan kata hibah digunakan dalam konteks pemberian anugerah Allah SWT kepada utusan-utusanNya, doa-doa yang dipanjatkan oleh hamba-hamba-Nya, terutama para nabi, dan menjelaskan sifat Allah Yang Maha Memberi Karunia. Namun ayat ini dapat digunakan petunjuk dan anjuran secara umum, agar seseorang memberikan sebagian rezekinya kepada orang lain. Misalnya, QS. Al-Baqarah ayat 262.38
$xΨtΒ (#θà)xΡr& !$tΒ tβθãèÎ7÷GムŸω §ΝèO «!$# È≅‹Î6y™ ’Îû öΝßγs9≡uθøΒr& tβθà)ÏΖムtÏ%©!$# öΝèδ Ÿωuρ óΟÎγøŠn=tæ ì∃öθyz Ÿωuρ öΝÎγÎn/u‘ y‰ΨÏã öΝèδãô_r& öΝçλ°; “]Œr& Iωuρ ∩⊄∉⊄∪ šχθçΡt“óstƒ Artinya : Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, Kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di 37
Chuzaimah dan HafiznAnshary AZ. (Editor), Problematika Hukum Islam kontemporer III, Cet.3, Jakarta: Pustaka firdaus, 2004, hlm. 105 38 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grasindo persada,1995, hlm 467
27
sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S Al- Baqarah : 262)39
Firman Allah juga :
tΑθà)u‹sù ßNöθyϑø9$# ãΝä.y‰tnr& š†ÎAù'tƒ βr& È≅ö6s% ÏiΒ Νä3≈oΨø%y—u‘ $¨Β ÏΒ (#θà)ÏΡr&uρ tÅsÎ=≈¢Á9$# zÏiΒ ä.r&uρ šX£‰¢¹r'sù 5=ƒÌs% 9≅y_r& #’n<Î) ûÍ_s?ö¨zr& Iωöθs9 Éb>u‘ ∩⊇⊃∪ Artinya : Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang Telah kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, Mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan Aku dapat bersedekah dan Aku termasuk orang-orang yang saleh?"(AlMunafiqun: 10)40
Jumhur fuqaha berpegang bahwa ijma’ (kesepakatan) telah terjadi tentang bolehnya seseorang dalam keadaan sehatnya memberikan seluruh hartanya kepada orang asing sama sekali di luar anak-anaknya. Jika pemberian seperti ini dapat terjadi untuk orang asing, maka terlebih lagi terhadap anak. Alasan mereka adalah hadits Abu Bakar yang terkenal, bahwa ia memberi ‘Aisyah pecahan-
39
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemah, Jakarta, 1971, hlm. 66 40 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemah, Op.Cit. hlm. 938
28
pecahan seberat 20 wasaq dari harta hutan. Pada saat menjelang wafatnya, Abu Bakar berkata:
+ ,%-. )* ' ( $ % "# ! : .;&< # * 9): 2# 7 8 6 * 453 3 ' 12# + ! / 0 HI G (&C 8 F D C E $ 1 6 + %1 C &A B @ )@ ? ( @ >,< >'< < O % G ! ! D %0@ ( + # :J N 4* + L& M < %# * 4D@K J ! G ! 8 F 7 ,# 1 U 6 )91P 47 ! S @ Q& * %)# >T 47 ! S @ "QR %)P J ! W 0 V %1P 47 6 + 0LT ,< + 0L8 F U 6 # * HI G (&C .Y X “Demi Allah, wahai anakku, tidak seorangpun yang kekayannya lebih menyenangkan aku sesudah aku selain daripada engkau. Dan tidak ada yang lebih mulia bagiku kefakirannya selain daripada engkau. Sesungguhnya aku dahulu memberimu pecahan (emas) 20 wasaq. Maka jika engkau memecah-mecah dan memilikinya, maka itu adalah bagimu. Hanya saja, harta itu sekarang menjadi harta waris.” 41 Mereka berpendapat bahwa maksud hadits tersebut adalah nadb (sunnah). Yang jelas al-Qur’an dan hadits banyak sekali menggunakan istilah yang konotasinya menganjurkan agar manusia yang telah dikarunia rezeki itu mengeluarkan sebagiannya kepada orang lain. Kendati istilah-istilah tersebut memiliki ciri-ciri khas yang berbeda,
41
Ibnu Rusyd, Bidayatul-Mujtahid, juz 4 , Semarang: Asy-Syifa’, 1990, hlm. 11٣
29
kesamaannya
adalah
bahwa
manusia
diperintahkan
untuk
mengeluarkan sebagian hartanya. c. Syarat dan Rukun Akta Hibah Adapun rukun dan syarat hibah, Ibn Rusyd dalam Bidayah alMujtahid mengatakan bahwa rukun hibah ada tiga, yaitu: 1) Orang yang menghibahkan (al-wahib) a. Pemilik sah dari harta benda yang dihibahkan. b. Dalam keadaan sehat, apabila orang yang menghibahkan dalam keadaan sakit, hibahnya dibatasi 1/3 saja dari bendanya itu. Riwayat ‘Imran ibn Husain menjelaskan tindakan Nabi SAW
+ %1 4X I G @ \ 0 N )1& :Z 4A[(& G @ G 40 : 1& :Z U , § :J ( 4'90] G @ U I :J ( 4H -B ! / I >):% ) L2* 45& 0 R J_ ! G B ( ` X : D %,I $_ _ & ! J N ` d# e c , 2* ` 0 @ & N 2* 7 8 )* ` #I + 0 # b a "#. h ! SF c , g & ! )* 7 8 6 :+ + # ) f >) * %C .+0* “Ketika (Imran ibn Husain) memerdekakan enam orang hamba dalam saat menjelang kematiannya, maka Rasulullah SAW.
30
Memerintahkan (agar dimerdekakan 1/3nya, dan menetapkan sebagai hamba yang lainnya)”42 Terhadap hadis ini, memang kontroversial. Mayoritas Ulama menetapkan hadis tersebut sebagai dasar hibah, karena itu jika orang yang menghibahkan dalam keadaan sakit, maka hibah yang diberikan paling banyak 1/3 hartanya. Ulama Ahli Zahir memahami hadis tersebut sebagai dasar hukum wasiat. Karena itu, hibah tidak ada batasan yang tegas. Dalam Kompilasi Hukum Islam, dijelaskan Pasal 210 ayat (1) berbunyi sebagai berikut: “Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk memiliki”.
Lebih jauh dikemukakan dalam Pasal 213 KHI bahwa: “Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya”.
42
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz 4, Semarang: Asy-Syifa’,1990. hlm 112
31
Pembatasan yang dilakukan Kompilasi Hukum Islam, baik dari usia maupun 1/3 dari harta pemberi hibah, berdasar pertimbangan bahwa usia 21 tahun telah dianggap cakap untuk memiliki hak untuk menghibahkan benda miliknya itu. Demikian juga batasan 1/3 harta kecuali jika ahli warisnya menyetujui.43 c. Memiliki kebebasan untuk menghibahkan bendanya itu. 2) Orang yang menerima hibah 3) Benda yang dihibahkan, harus milik si penghibah. Apabila milik orang lain maka tidak sah hukumnya. Adapun syarat-syarat hibah, selain yang mengikuti rukunrukun hibah tersebut, para ulama menyebutkan syarat utama adalah penerimaannya yaitu dengan cara memberi hibah ada dua macam: ucapan dan perbuatan. Ucapan meliputi ijab dan qabul sedangkan perbuatan dengan memberikan sesuatu yang menunjukkan makna hibah. Sedangkan pembuktian dalam hal hibah, dijelaskan menurut Sobhi Mahmasoni, yang dimaksud dengan membuktikan suatu perkara
43
Ibid, hlm. 471
32
adalah: “Mengajukan alasan dan memberikan dalil sampai kepada batas yang meyakinkan”. Yang dimaksud meyakinkan ialah apa yang menjadi ketetapan atau keputusan atas dasar penelitian dan dalil-dalil itu.44 Jadi akta hibah dalam hukum Islam tidak menjelaskan secara tekstual tentang akta hibah. akan tetapi rukun dan syarat sudah dijelaskan secara eksplisit. 2. Akta Hibah Menurut Hukum Positif a. Definisi Akta Hibah Dapat diketahui lebih jelas bahwa definisi dan pengertian hibah dalam hukum perdata adalah suatu benda yang diberikan secara cuma-cuma tanpa mengharapkan imbalan, dan hal tersebut dilakukan ketika si penghibah dan penerima hibah masih hidup. Menurut kamus ilmiah popular internasional hibah adalah pemberian, sedekah, pemindahan hak.45 Ada beberapa istilah lain yang dapat dinilai sama dengan hibah yakni “Schenking” dalam Bahasa Belanda dan “gift” dalam bahasa Inggris. Akan tetapi antara “gift” dengan hibah terdapat perbedaan 44
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2004, hlm 26 45 Budiono, Kamus Ilmiah Popular Internasional, Surabaya : Alumni, 2005, hlm 217
33
mendasar terutama di dalam cakupan pengertiannya. Demikian pula antara hibah dengan “Schenking” pun memiliki perbedaan mendasar, terutama yang menyangkut masalah kewenangan istri, kemudian yang terjadi antara suami dan istri. “Schenking” tidak dapat dilakukan oleh istri tanpa bantuan suami. Demikian pula “Schenking” tidak boleh antara suami istri. Adapun hibah dapat dilakukan oleh seorang istri tanpa bantuan suami, demikian pula hibah antara suami istri tetap dibolehkan.46 Dari beberapa pengertian, hibah dapat disimpulkan suatu persetujuan dalam mana suatu pihak berdasarkan atas kemurahan hati, perjanjian dalam hidupnya memberikan hak milik atas suatu barang kepada pihak kedua secara percuma dan yang tidak dapat ditarik kembali, sedangkan pihak kedua menerima baik penghibahan ini. Sedangkan akta hibah dalam hukum positif adalah akta yang dibuat oleh si penghibah yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti hibah dan untuk keperluan hibah dibuat. b. Dasar Hukum Akta Hibah
46
343
Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994, hlm.
34
Dasar hukum hibah menurut hukum positif diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hibah diatur dalam Pasal 1666 yaitu : “Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Undang-undang tidak mengakui lain-lain hibah-hibah diantara orang-orang yang masih hidup.”47
Prosedur (Proses) penghibahan harus melalui akta Notaris yang asli disimpan oleh Notaris bersangkutan dengan Pasal 1682, yaitu : “Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu” 48 Hibah barulah mengikat dan mempunyai akibat hukum bila pada hari penghibahan itu dengan kata-kata yang tegas telah dinyatakan diterima oleh penerima hibah, atau dengan suatu akta otentik telah diberi kuasa pada orang lain. Pada Pasal 1683 KUH Perdata menyebutkan : ”Tiada suatu hibah mengikat si penghibah, atau menerbitkan sesuatu akibat yang bagaimanapun, selain mulai hari penghibahan itu dengan 47 48
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm 436 Ibid, hlm 438
35
kata-kata yang tegas telah diterima oleh si penerima hibah sendiri atau oleh seorang yang dengan suatu akta otentik oleh si penerima hibah itu telah dikuasakan untuk menerima penghibahanpenghibahan yang telah diberikan kepada si penerima hibah atau akan diberikan kepadanya di kemudian hari. Jika penerimaan tersebut tidak telah dilakukan didalam surat hibah sendiri, maka itu akan dapat dilakukan didalam suatu akta otentik terkemudian, yang aslinya harus disimpan, asal yang demikian itu dilakukan di waktu si penghibah masih hidup; dalam hal mana penghibahan, terhadap orang yang belakangan disebut ini, hanya akan berlaku sejak hari penerimaan itu diberitahukan kepadanya.”49
c. Macam-macam alat bukti tertulis Guna mendapatkan suatu keputusan akhir perlu adanya bahanbahan mengenai fakta-fakta. Dengan adanya bahan yang mengenai fakta-fakta itu akan dapat diketahui dan diambil kesimpulan tentang adanya
bukti.
Kita mengetahui
bahwa
dalam setiap
ilmu
pengetahuan dikenal tentang adanya pembuktian. Dalam hal ini ada beberapa alat dalam perkara perdata yang bisa digunakan sebagai bukti, antara lain : a. Bukti dengan surat b. Bukti dengan saksi c. Persangkaan-persangkaan d. Sumpah 49
Ibid, hlm 438-439
36
Dari beberapa macam alat bukti di atas, sesuai dengan permasalahan penulis akan meneliti tentang alat bukti tertulis atau surat. Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Surat sebagai alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan surat bukan akta, sedangkan pengertian akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk membuktikan.50 Dan dalam hal akta masuk dalam kategori alat bukti dengan surat dalam HIR Pasal 165 disebutkan bahwa : “ Surat (akta) yang sah, ialah suatu surat yang diperbuat demikian oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk membuatnya, menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari padanya, tentang segala hal yang disebut didalam surat itu dan juga tentang yang ada dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, dalam hal terakhir ini hanya jika yang diberitahukan itu berhubungan langsung dengan perihal pada surat (akta) itu.51
50
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2006, hlm. 149 51 Ropaun Rambe, Hukum Acara lengkap, hlm, 255
37
Kemudian akta masih dapat dibedakan lagi dalam akta otentik, akta di bawah tangan dan surat bukan akta. Jadi dalam hukum pembuktian dikenal paling tidak tiga jenis surat, yaitu:
38
1.
Akta otentik Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1868 pengertian akta otentik adalah : “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.”52 Berdasarkan Pasal 1868 dapat disimpulkan unsur akta otentik yakni: 1. Bahwa akta tersebut dibuat dan diresmikan (Verleden) dalam bentuk menurut hukum; 2. Bahwa akta tersebut dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum; 3. Bahwa akta tersebut dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk membuatnya di tempat akta tersebut dibuat, jadi akta itu harus ditempat wewenang pejabat yang membuatnya.
Dan dalam Pasal 1869 “Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud diatas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ia ditanda tangani oleh para pihak.”53 Dapat disimpulkan bahwa akta otentik adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan seseorang pejabat umum yang mempunyai
52 53
Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm 475 Ibid, hlm. 475
39
wewenang membuat surat itu, dengan maksud untuk menjadikan surat itu sebagai alat bukti. Pejabat umum yang dimaksud adalah Notaris, pegawai catatan sipil, juru sita, panitera pengadilan dan sebagainya. 2. Akta di bawah tangan Akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat.54 Ada ketentuan khusus mengenai akta di bawah tangan, yaitu akta di bawah tangan yang memuat hutang sepihak, untuk membayar sejumlah uang tunai atau menyerahkan suatu benda, harus ditulis seluruhnya dengan tangan sendiri oleh yang bertanda tangan, suatu keterangan untuk menguatkan jumlah atau besarnya atau banyaknya apa yang harus dipenuhi, dengan huruf seluruhnya. Keterangan ini lebih terkenal dengan “bon pour cent florins”. Bila tidak demikian, maka akta di bawah tangan itu hanya dapat diterima sebagai permulaan bukti tertulis (Ps. 4 S 1867 No. 29, 1871 BW, 291 Rbg).
54
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 105
40
Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Pasal 1874 yang dalam ayat satu mengatakan: “Sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum.” 55 Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata terdapat kekhususan akta dibawah tangan, yaitu akta harus seluruhnya ditulis tangan si penanda tangan sendiri, atau setidaktidaknya, selain tanda tangan, yang harus ditulis dengan tangannya si penanda tangan adalah suatu penyebutan yang memuat jumlah atau besarnya barang atau uang yang terhutang. Apabila ketentuannya tidak dipenuhi, maka akta tersebut hanya sebagai suatu permulaan pembuktian dengan tulisan.56 3. Surat bukan akta Untuk kekuatan pembuktian dari surat yang bukan akta di dalam HIR maupun KUH Perdata tidak ditentukan secara tegas. Walaupun surat-surat yang bukan akta ini sengaja dibuat oleh yang bersangkutan, tapi pada asasnya tidak dimaksudkan sebagai alat
55
Subekti dan R.Tjitrosudibio, Op.Cit, hlm 476 Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Jakarta:Alumni, 1992, hlm. 45 56
41
pembuktian di kemudian hari. Oleh karena itu surat-surat yang demikian itu dapat dianggap sebagai petunjuk ke arah pembuktian. Yang dimaksudkan sebagai petunjuk ke arah pembuktian disini adalah bahwa surat-surat itu dapat dipakai sebagai bukti tambahan ataupun dapat pula dikesampingkan dan bahkan sama sekali tidak dapat dipercaya. Jadi dengan demikian surat bukan akta untuk supaya dapat mempunyai kekuatan pembuktian, sepenuhnya bergantung pada penilaian hakim sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1881 (2) KUH Perdata. Pasal 1881 ayat satu KUH Perdata menentukan sebagai berikut: “Register-register dan surat-surat urusan rumah tangga tidak memberikan pembuktian untuk keuntungan si pembuatnya; adalah register-register dan surat-surat itu merupakan pembuktian terhadap si pembuatnya: 1e. di dalam segala hal di mana surat-surat itu menyebutkan dengan tegas tentang suatu pembayaran yang telah diterima; 2e. apabila surat-surat itu dengan tegas menyebutkan bahwa catatan yang telah dibuat adalah untuk memperbaiki suatu kekurangan di dalam sesuatu alasan hak bagi seorang untuk keuntungan siapa surat itu menyebutkan suatu perikatan.
42
Pasal 1883 ayat satu KUH Perdata menentukan sebagai berikut : “Catatan yang oleh seorang berpiutang dibubuhkan pada suatu alas hak yang selamanya dipegangnya, harus dipercayai, biarpun tidak ditandatangani maupun diberikan tanggal, jika apa yang ditulis itu merupakan suatu pembebasan terhadap si berutang.” Maka dari itu dapat penulis simpulkan bahwa walaupun suratsurat yang bukan akta merupakan alat pembuktian yang bebas nilai kekuatan buktinya sebagaimana telah diuraikan diatas, tetapi ada juga surat-surat yang bukan akta yang mempunyai kekuatan bukti yang lengkap,antara lain surat-surat yang ditentukan dalam Pasal 1881 dan Pasal 1883 KUH Perdata. Sedangkan akta hibah menurut hukum positif dalam hukum perdata alat bukti tertulis atau surat tercantum dalam Pasal 138,165,167 HIR/Pasal 164, 285-305 R.bg dan Pasal 1867-1894 BW serta Pasal 138-147 RV. Pada asasnya di dalam persoalan perdata (hibah), alat bukti yang berbentuk tulisan itu merupakan alat bukti yang diutamakan atau merupakan alat bukti yang nomor satu jika dibandingkan dengan alat-alat bukti lainnya.57 Dengan demikian, Alat bukti surat merupakan alat bukti pertama dan utama. Dikatakan pertama oleh karena alat bukti surat
57
Teguh Samudera, hlm. 36
43
gradasinya disebut pertama dibandingkan dengan alat bukti lainnya sedangkan dikatakan utama oleh karena dalam hukum perdata (hibah) yang dicari adalah kebenaran formal. Maka alat bukti surat memang sengaja dibuat untuk dapat dipergunakan sebagai alat pembuktian utama. d. Fungsi Akta Hibah Di dalam hukum, akta mempunyai bermacam-macam fungsi. Fungsi akta termaksud dapat berupa, antara lain: a)
Syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum. Suatu akta yang dimaksudkan dengan mempunyai fungsi sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum adalah bahwa dengan tidak adanya atau tidak dibuatnya akta, maka berarti perbuatan hukum itu tidak terjadi. Dalam hal ini diambilkan contoh sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1681, 1682, 1683 (tentang cara menghibahkan), 1945 KUH Perdata (tentang sumpah di muka hakim) untuk akta otentik; sedangkan untuk akta di bawah tangan seperti halnya dalam Pasal 1610 (tentang pemborongan kerja), Pasal
44
1767 (tentang peminjaman uang dengan bunga), Pasal 1851 KUH Perdata (tentang perdamaian). Jadi,
akta
disini
maksudnya
digunakan
untuk
lengkapnya suatu perbuatan hukum. b)
Sebagai alat pembuktian Fungsi suatu akta sebagai alat pembuktian dimaksudkan bahwa dengan tidak adanya atau tidak dibuatnya akta, maka berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat terbukti adanya. Dalam hal ini dapat diambilkan contoh dalam pasal 1681, 1682, 1683 (tentang cara menghibahkan). Jadi disini akta memang dibuat untuk alat pembuktian di kemudian hari.58 Dari definisi yang telah diketengahkan dimuka jelas bahwa akta itu dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta itu tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti di kemudian hari.59
58 59
Ibid, hlm. 46-47 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 160.
45
Seperti telah disinggung di atas bahwa fungsi akta yang paling penting di dalam hukum adalah akta sebagai alat pembuktian,
maka
“daya
pembuktian
atau
kekuatan
pembuktian akta akan dapat dibedakan ke dalam tiga macam”60 yaitu: a. Kekuatan Pembuktian Lahir (pihak ketiga) Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir ialah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya: yaitu bahwa surat yang tampaknya (dari lahir) seperti akta, dianggap (mempunyai kekuatan) seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya.61 Jadi surat itu harus diperlakukan seperti akta, kecuali ketidakotentikan akta itu dapat dibuktikan oleh pihak lain. Misalnya dapat dibuktikan bahwa tanda tangan yang di dalam akta dipalsukan.
60
A Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, Cetakan Pertama, Jakarta: PT Intermasa, 1978, hlm. 56-57, Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 160, Subekti dan R.Tjitrosudibio, Op.Cit, hlm 476. 61 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 160
46
Dengan demikian berarti pembuktiannya bersumber pada kenyataan.62
62
Teguh Samudera, Op. Cit, hlm. 48
47
b. Kekuatan Pembuktian Formil Kekuatan pembuktian formil ini didasarkan atas benar tidaknya ada pertanyaan oleh yang bertanda tangan di bawah akta itu. Kekuatan pembuktian ini memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta. Misalnya antara A dan B yang melakukan hibah, mengakui bahwa tanda tangan yang tertera dalam akta itu benar jadi pengakuan mengenai isi dari pernyataan itu. Atau dalam hal ini menyangkut pertanyaan, “benarkah bahwa ada pernyataan para pihak yang menandatangani “? Dengan demikian berarti pembuktiannya bersumber atas
kebiasaan
dalam
masyarakat,
bahwa
orang
menandatangani suatu surat itu untuk menerangkan bahwa hal-hal yang tercantum di atas tanda tangan tersebut adalah keterangannya.63 c. Kekuatan Pembuktian Material 63
Ibid, hlm. 48
48
Kekuatan pembuktian material yaitu suatu kekuatan pembuktian yang didasarkan atas benar atau tidaknya isi dari pernyataan yang ditandatangani dalam akta, bahwa peristiwa hukum yang dinyatakan dalam akta itu benarbenar telah terjadi. Jadi memberi kepastian tentang materi akta. Misalnya A dan B mengakui bahwa benar hibah (peristiwa hukum) itu telah terjadi. Dengan demikian berarti pembuktiannya bersumber pada
keinginan
agar
orang
lain
menganggap
isi
keterangannya dan untuk siapa isi keterangan itu berlaku, sebagai benar dan bertujuan untuk mengadakan bukti buat dirinya sendiri. Maka dari sudut kekuatan pembuktian material, suatu akta hanya memberikan bukti terhadap si penanda tangan. Seperti halnya surat yang berlaku timbal balik juga membuktikan terhadap dirinya sendiri dari masing-masing si penanda tangan. 1)
Kekuatan Pembuktian Akta Otentik
49
Di dalam Pasal 165 HIR (Pasal 1870 dan 1871 KUH Perdata) dikemukakan bahwa akta otentik itu sebagai alat pembuktian yang sempurna 64 ) bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta otentik yang merupakan bukti yang lengkap (mengikat) berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar, selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. a. Kekuatan pembuktian lahir akta otentik Kekuatan pembuktian lahir dari akta, yaitu bahwa suatu surat yang kelihatannya seperti akta otentik, diterima/dianggap
seperti
akta
dan
diperlakukan
sebagai akta otentik terhadap setiap orang sepanjang tidak terbukti sebaliknya. b. Kekuatan pembuktian formal akta otentik 64
kata “sempurna” menurut hemat penulis sebaiknya diganti dengan kata “lengkap”, mengingat bahwa akta itu merupakan hasil karya manusia, tiada satu pun hasil karya manusia yang sempurna kecuali hasil ciptaan Tuhan. Maka untuk selanjutnya dalam skripsi ini penulis gunakan kata lengkap untuk kata sempurna menurut penulis-penulis yang bukunya penulis baca dalam skripsi ini. Di kutip dari buku Teguh Samudera, hlm. 49
50
Kekuatan pembuktian lahir dari akta, yaitu bahwa biasanya orang menandatangani suatu surat itu untuk menerangkan bahwa hal-hal yang tersebut di atas tanda tangannya adalah benar keterangannya. Karena bukan menjadi tugas pegawai umum (notaris) untuk menyelidiki kebenaran dari keterangan para penghadap yang dituliskan dalam akta. Maka dalam akta otentik yang berupa akta para pihak, apabila tanda tangan para penanda tangan telah diakui kebenarannya, berarti bahwa hal-hal yang tertulis dan telah diterangkan di atas tanda tangan para pihak adalah membuktikan terhadap setiap orang. Dan juga dalam akta otentik yang berupa akta berita acara, bahwa keterangan pegawai umum (notaris) itu adalah satusatunya
keterangan
yang
diberikan
dan
ditandatanganinya. Jadi dalam hal ini yang telah pasti adalah tentang tanggal dan tempat akta dibuat serta keaslian tanda tangan, yang berlaku terhadap setiap orang. Dengan demikian maka kedua akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian formal.
51
52
c. Kekuatan pembuktian material akta otentik Kekuatan pembuktian material dari akta, yaitu keinginan agar orang lain menganggap bahwa apa yang menjadi isi keterangan dan untuk siapa isi akta itu berlaku sebagai benar dan bertujuan untuk mengadakan bukti buat dirinya sendiri. Dengan kata lain, keinginan agar orang lain menganggap bahwa peristiwa hukum yang dinyatakan dalam akta adalah benar telah terjadi. Maka dalam akta otentik yang berupa akta para pihak, isi keterangan yang tercantum dalam akta hanya berlaku benar terhadap orang yang memberikan keterangan itu dan untuk keuntungan orang, untuk kepentingan siapa akta itu
diberikan.
Sedangkan
terhadap
pihak
lain
keterangan tersebut merupakan daya pembuktian bebas dalam arti kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Sedangkan untuk akta otentik yang berupa akta berita acara, karena akta tersebut
53
berisikan keterangan yang diberikan dengan pasti oleh pegawai umum saja (berdasarkan apa-apa yang terjadi, dilihat, dan didengar), dianggap benar isi keterangan tersebut, maka berarti berlaku terhadap setiap orang. Dengan demikian maka akta ini mempunyai kekuatan pembuktian material. 2)
Kekuatan Pembuktian Akta di Bawah Tangan Menurut ketentuan Pasal 1875 KUH Perdata, jika akta di bawah tangan tanda tangannya diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang lengkap (seperti kekuatan pembuktian dalam akta otentik) terhadap orang-orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya. Tentang pengakuan tanda tangan apabila dikemukakan di muka hakim, menurut Wirjono Prodjodikoro pengakuan itu berbunyi: “ tanda tangan ini betul tanda tangan saya dan isi tulisan adalah benar”
a. Kekuatan pembuktian lahir akta di bawah tangan
54
Menurut Pasal 1876 KUH Perdata seseorang yang terhadapnya dimajukan akta di bawah tangan, diwajibkan mengakui atau memungkiri tanda tangannya. Sedangkan terhadap ahli waris cukup dengan menerangkan bahwa ia tidak mengakui tulisan atau tanda tangan tersebut. Apabila tanda tangan tersebut diingkari atau tidak diakui oleh ahli warisnya, maka menurut Pasal 1877 KUH Perdata hakim harus memerintahkan agar kebenaran akta tersebut diperiksa di muka pengadilan. Sebaliknya apabila tanda tangan itu hendak dipakai maka akta tersebut dapat mempunyai alat pembuktian yang lengkap terhadap para pihak yang bersangkutan, akan tetapi terhadap pihak lain, kekuatan
pembuktiannya
adalah
bebas,
dalam
arti
bergantung kepada penilaian hakim. Dengan adanya pengakuan terhadap tanda tangan berarti bahwa keterangan akta yang tercantum di atas tanda tangan tersebut diakui pula. Hal ini dapat kita mengerti, karena biasanya seseorang yang menandatangani sesuatu surat itu untuk menjelaskan bahwa keterangan yang tercantum di atas tanda tangan adalah benar keterangannya.
55
Karena ada kemungkinan bahwa tanda dalam akta di bawah tangan tidak diakui atau diingkari, maka akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan bukti lahir. b. Kekuatan pembuktian formal akta di bawah tangan Seperti
yang
telah
diterangkan
pada
kekuatan
pembuktian luar akta di bawah tangan, yaitu apabila tanda tangan pada akta diakui berarti bahwa pernyataan yang tercantum di atas tanda tangan tersebut diakui pula, maka di sini telah pasti terhadap setiap orang bahwa pernyataan yang ada di atas tanda tangan itu adalah pernyataan si penanda tangan. Jadi akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian formal. c.
Kekuatan pembuktian material akta di bawah tangan Disini juga menyangkut ketentuan Pasal 1875 KUH Perdata yang telah dikemukakan di atas dan secara singkat dapat dikatakan bahwa diakuinya tanda tangan pada akta di bawah tangan berarti akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian lengkap. Jadi berarti bahwa isi keterangan
56
akta tersebut berlaku pula sebagai benar terhadap si pembuat dan untuk siapa pernyataan itu dibuat. Dengan demikian akta di bawah tangan hanya memberikan pembuktian material yang cukup terhadap orang untuk siapa pernyataan itu diberikan (kepada siapa si penanda tangan akta hendak memberikan bukti). Sedangkan terhadap pihak lainnya kekuatan pembuktiannya adalah bergantung kepada penilaian hakim (bukti bebas). Fungsi dari akta hibah adalah sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum, sebagai alat pembuktian dan sebagai alat pembuktian satu-satunya.65 Suatu akta hibah dapat memenuhi sekaligus lebih dari satu fungsi (seperti dikatakan tadi semuanya ada tiga fungsi). Akta di bawah tangan atau akta formalitatis causa (sebagai syarat pokok) mempunyai juga daya pembuktian, dan akta hibah yang ditentukan sebagai satu-satunya alat bukti hibah tentu saja mempunyai daya pembuktian. B. Ketentuan Akta hibah menurut Notaris dan PPAT 65
A. Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa Menurut KUH Perdata Belanda, Nederland: PT Intermasa, 1967, hlm. 54
57
1. Akta Hibah Menurut Notaris Di tanah air kita, notariat sudah dikenal semenjak Belanda menjajah Indonesia. Karena notariat adalah suatu lembaga yang sudah dikenal dalam kehidupan mereka. Tetapi lembaga ini terutama diperuntukkan guna mereka sendiri karena undang-undang maupun karena sesuatu ketentuan dinyatakan tunduk kepada hukum yang berlaku untuk golongan Eropa dalam bidang Hukum Perdata, ialah Burgerlijk Wetbook (B.W) atau sekarang umumnya disebut Kitab Undang-undang Hukum Perdata. a. Definisi Notaris Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN Nomor 30 Tahun 2004), notaris didefinisikan sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN. b. Kewenangan Notaris Kewenangan notaris, menurut Pasal 15 UUJN adalah membuat akta otentik mengenai perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
58
menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang. Notaris memiliki wewenang pula untuk: a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan. d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya. e. Memberikan
penyuluhan
hukum
sehubungan
pembuatan akta. f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau g. Membuat akta risalah lelang c. Akta Notaris
dengan
59
Akta notaris adalah akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis dengan kekuatan pembuktian sempurna. Dalam penjelasan umum UUJN disebutkan bahwa akta notaris yang merupakan akta otentik memiliki kekuatan sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh. Dengan demikian apa yang dinyatakan dalam akta notaris harus dapat diterima, kecuali pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal yang sebaliknya secara memuaskan di hadapan persidangan pengadilan.66 Dalam Pasal 38 Undang-undang No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, bentuk dan sifat akta terdiri atas: 67 (1) Setiap akta Notaris terdiri atas: a. Awal akta atau kepala akta; b. Badan akta; dan c. Akhir atau penutup akta. (2) Awal akta atau kepala akta memuat: a. Judul akta; b. Nomor akta; c. Jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan d. Nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris. (3) Badan akta memuat: a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, b. Kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;68 c. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap; 66
Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Yogyakarta: Ull Press, 2009, hlm. 19 67 Ibid, hlm 237 68 Yang dimaksud dengan “kedudukan bertindak penghadap” adalah dasar hukum bertindak.
60
d. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan e. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal. (4) Akhir atau penutup akta memuat: a. Uraian tentang pembacaan akta sebgaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf I atau pasal 16 ayat (7); b. Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemah akta apabila ada; c. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian. (5) Akta Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris, selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), juga memuat nomor dan tanggal penetapan pengangkatan, serta pejabat yang mengangkatnya.
Berbagai akta yang biasa atau sering dibuat di hadapan atau oleh Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, dalam persoalan akta hibah salah satunya akta-akta yang menyangkut hukum perorangan (personen recht), Burgerlijk Wetboek (BW) Buku I yaitu
hibah
yang
berhubungan
dengan
perkawinan
dan
penerimanya (harus otentik/Pasal 176 dan 177 BW), Kemudian akta-akta yang menyangkut hukum perikatan (verbintenissen recht), Burgerlijk Wetboek Buku III salah satunya membahas tentang berbagai hibah (Pasal 1666 dan seterusnya
61
BW), untuk tanah dengan akta PPAT (harus otentik/Pasal 1682 BW)
62
d. Syarat-syarat Akta Hibah Adapun syarat membuat akta hibah, dalam Pasal 39 UUJN tentang akta hibah adalah: (1) Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan b. Cakap melakukan perbuatan hukum. (2) Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya. (3) Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan secara tegas dalam akta.69
Saksi sebagaimana termaksud, harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; b. Cakap melakukan perbuatan hukum; c. Mengerti bahasa yang digunakan dalam akta; d. Dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf; dan e. Tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak.70
69 70
Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, hlm. 237-238 Pasal 39 ayat (2) UUJN Tentang Akta Notaris
63
2. Akta hibah menurut Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Di dalam pelaksanaan administrasi pertanahan data pendaftaran tanah yang tercatat di Kantor Pertanahan harus selalu sesuai dengan keadaan atau status sebenarnya mengenai bidang tanah yang bersangkutan, baik yang menyangkut data fisik mengenai bidang tanah tersebut, maupun mengenai hubungan hukum yang menyangkut bidang tanah itu, atau data yuridisnya. Dalam hubungan dengan pencatatan data yuridis ini, khususnya pencatatan perubahan data yuridis yang sudah tercatat sebelumnya, peranan PPAT sangatlah penting. Menurut ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, peralihan dan pembebanan hak atas tanah hanya dapat didaftar apabila dibuktikan dengan akta PPAT.71 a. Definisi PPAT Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak-hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. 71
Biro Hukum dan Humas Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, hlm. 24
64
Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. Oleh karena itu batal atau dibatalkan, akta PPAT yang bersangkutan tidak berfungsi lagi sebagai bukti perbuatan hukum tersebut. Dalam pada itu apabila suatu perbuatan hukum dibatalkan sendiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan sedangkan perbuatan hukum itu sudah didaftar di Kantor Pertanahan, maka pendaftaran tidak dapat dibatalkan. Perubahan data pendaftaran tanah menurut pembatalan perbuatan hukum itu harus didasarkan atas alat bukti lain, misalnya putusan Pengadilan atau akta PPAT mengenai perbuatan hukum yang baru.72 b. Tugas Pokok dan Kewenangan PPAT Pasal 2 UUJN tentang Tugas pokok dan kewenangan PPAT dalam ayat (1) dijelaskan: (1) Tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. (2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: 72
Ibid, hlm. 117
65
a. b. c. d. e. f.
Jual beli; Tukar menukar; Hibah; Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng); Pembagian harta bersama; Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik; g. Pemberian Hak Tanggungan; h. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.73
c. Bentuk-bentuk Akta Bentuk-bentuk akta yang dipergunakan di dalam pembuatan akta sebagaimana dimaksud dalam pasal 191 ayat (1) dan (2) dan cara pengisiannya sebagaimana tercantum pada lampiran 16 s/d 23, akta hibah terdapat pada lampiran 18. Adapun pelaksanaan pembuatan akta hibah dalam pasal 101 UUJN menyebutkan bahwa: (1) Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurangkurangnya 2 orang saksi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditujukan dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan.
73
Ibid, hlm 166
66
(3) PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang berlaku.74
74
Ibid , hlm. 170
BAB III KEABSAHAN AKTA HIBAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Studi di Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H.,MM)
C. Profil Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H.,MM Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, MM terletak di Ruko Ngaliyan Square, Jl. Prof. Dr. Hamka Nomor 17 Blok B.17 Semarang. Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, MM mempunyai luas 6 x 10 m2. Adapun letak Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, MM berbatasan dengan: a. Sebelah Utara berbatasan dengan Perpustakaan TPM b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Bimbel Kumon. c. Sebelah Barat berbatasan dengan Bimbel Lia. d. Sebelah Timur berbatasan dengan Lembaga Keuangan Perdagangan. Kantor Notaris Dina Ismawati, S.H, MM berdiri pada tanggal 14 Maret 2003 sesuai dengan Surat Keputusan sebagai Notaris: S.K. Men. Keh & HAM R.I Tgl 14-03-2003 No. C-320. HT. 03.03-Th. 2003. Sedangkan pengucapan sumpah Notaris pada tanggal 3 Juni 2003 sesuai dengan No. 181. 4/150/2003 tgl. 03-06-2003.
63
64
Adapun Kantor PPAT Dina Ismawati, S.H, MM berdiri pada tanggal 21 Juli 2005 sesuai dengan SK.Kepala BPN Tgl. 21 Juli 2005 No. 12-X.A2005. Sedangkan pengucapan sumpah PPAT sesuai dengan No. 640/172/PPAT/2005 Tgl. 20-09-2005.75 D. Tata Cara dan Syarat-syarat Akta Hibah Akta ialah tulisan yang sengaja dibuat dihadapan notaris namanya akta notarial, atau akta otentik atau akta notaris. Pertama, Orang datang kepada notaris minta akta yang ada tanda tangannya dan cap jempol para pihak, para saksi dan notaris. Dengan syarat membawa KTP ketika akan di notaris. Kemudian ketika melihat syarat akta hibah, kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, MM berpedoman pada Pasal 1320, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal;76
Sedangkan tata cara dan syarat akta hibah yang dibuat Notaris dan PPAT,adalah sebagai berikut: 75
Hasil Wawancara dengan Ibu Dina Ismawati, S.H, MM pada tanggal 30 Maret
76
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, hlm. 339
2011
65
66
a)
Syarat Pemberi Orang yang bermaksud menghibahkan dan si calon penerima hibah
datang
mengutarakan
ke
kantor
kehendaknya
Notaris untuk
dan
PPAT
menghibahkan
kemudian sesuatu,
sehingga disitu ada pemberi dan penerima hibah. kemudian ditanyakan apa yang akan dihibahkan. Kalau yang dihibahkan benda tidak bergerak atau tanah maka akan dibuatkan akta PPAT. Mereka harus menunjukkan bukti bahwa mempunyai kewenangan memberi hibah, dia adalah pemiliknya, misalnya bukti sertifikat. Jika ia bukan pemilik obyek hibah dan hanya bertindak selaku kuasa atau dalam jabatan dari orang atau badan hukum atau instansi yang diwakilinya, maka kualitas atau dasar hukum dari tindakannya harus disebutkan secara jelas (Kuasa Notariil). Surat kuasa tersebut harus dilekatkan atau dijahitkan pada akta yang disimpan oleh PPAT dan harus disebutkan dalam aktanya. Demikian pula nama-nama orang atau badan hukum atau instansi yang diwakilinya diuraikan secara lengkap; kemudian dengan
67
menunjukkan KTP guna mengecek umur sudah 18 tahun, karena sebagai syarat kecakapan hukum. Apabila pemilik obyek hibah tidak cakap hukum melakukan perbuatan hukum, maka bagi mereka yang warga Negara Indonesia diwakili oleh wali atau pengampu, dan bagi mereka yang tunduk pada hukum Perdata Barat diperlukan juga persetujuan Pengadilan Negeri setempat. b)
Syarat penerima hibah Umur minimal 18 tahun, kalau belum dewasa diwakili oleh wali atau pengampu. Untuk akta Notaris, Notaris membuat aktanya sesuai keinginan para pihak sesuai dengan format teknik pembuatan akta. Untuk akta PPAT teknik pembuatan akta sudah ada blangko akta hibah dari BPN. Setelah akta selesai dibuat, sebelum di tandatangani harus dibacakan oleh Notaris atau PPAT dihadapan para pihak atau saksi-saksi setelah itu baru di tandatangani oleh para pihak atau saksi-saksi dan Notaris atau PPAT. Khusus untuk akta PPAT sebelum akta diberi nomor atau tanggal harus dilakukan terlebih dahulu sebagai berikut:
68
Pengecekan sertifikat di kantor pertanahan Kabupaten atau Kota setempat. Dibayarkan pajak-pajak. Pemberi hibah tidak membayar pajak PPH atau Pajak Penghasilan, sedangkan penerima hibah kalau obyek hibah lebih dari Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) wajib membayar BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) tarifnya 5 %. Jadi NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) dikurangi Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) x 5 %. Pembayaran ke pemerintah kota atau kabupaten. Pembiayaan di kantor notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, MM., relatif, tergantung harga benda yang dihibahkan dan kemampuan seseorang. Sedangkan sistem pembiayaan pajak akta hibah adalah sebagai berikut: a) Hibah dari orang tua kepada anak • Pemberi hibah → tidak dikenai PPH • Penerima hibah → Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) = (Nilai Jual Obyek Pajak [NJOP]- Rp. 60.000.000,-) x 5% • Bisa mengajukan pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 5 % setelah BPHTB di bayar penuh dahulu
69
kemudian ajukan permohonan dilampiri surat keterangan bahwa yang bersangkutan adalah orang tua dan anak. b) Hibah kepada orang lain • Hibah kepada kakak atau adik sama dengan hibah kepada orang lain. • Pemberi hibah → tidak dikenai PPH • Penerima hibah → Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) = (Nilai Jual Obyek Pajak [NJOP]- Rp. 60.000.000,-) x 5 % • Tidak bisa mengajukan pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 5 %.77 Akta itu dikatakan otentik, kalau dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Otentik itu artinya sah. Karena notaris itu adalah pejabat yang berwenang membuat akta, maka akta yang dibuat di hadapan notaris adalah akta otentik, atau akta itu sah.78 Sering orang membuat perjanjian, ditulis sendiri oleh pihak-pihak, tidak dibuat di hadapan notaris. Tulisan yang demikian disebut akta di bawah tangan. Ada kalanya akta yang dibuat di bawah tangan itu, para pihak
77 78
kurang
puas
kalau
tidak
dicapkan
di
notaris.
Sebelum
Wawancara dengan Ibu Dina Ismawati, S.H,MM tanggal 23 Maret 2011 A. Kohar, Notaris dalam Praktek Hukum, Bandung: Alumni, 1983, hlm. 3
70
membubuhkan cap notaris, diberi nomor dan tanggal, nomor mana harus dicatat dalam buku yang telah ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Negeri, kemudian diberikan kata-kata, dan ditandatangani oleh notaris. Membubuhkan cap pada akta semacam itu ada dua macam, yaitu : a) Legalisasi atau pengesahan Untuk keperluan legalisasi itu, maka para penandatangan surat atau akta itu harus datang menghadap notaris, tidak boleh ditandatangani sebelumnya dirumah. Kemudian notaris memeriksa tanda kenal, yaitu KTP, atau tanda kenal lainnya. Pengertian kenal itu lain dengan pengertian sehari-sehari, yakni notaris harus mengerti benar sesuai dengan kartu kenalnya, bahwa orangnya yang datang itu memang sama dengan kartu kenalnya, dia memang orangnya, yang bertempat tinggal di alamat kartu kenal itu, gambarnya cocok. Sesudah diperiksa cocok, kemudian notaris membacakan surat atau akta di bawah tangan itu dan menjelaskan isi dan maksud surat di bawah tangan itu. Akta di bawah tangan yang dilegalisasi itu sah, jika : Isinya tidak bertentangan dengan Undang-undang yang berlaku.
71
Yang menanda tangani betul orangnya yang bersangkutan. Tanggalnya memang dibuat pada waktu ditandatangani itu, bukan tanggal lainnya.79 b) Diwaarmerking atau Didaftar atau Ditandai Untuk waarmerking akta di bawah tangan maka para penandatangan tidak perlu datang menghadap kepada notaris, cukup saja yang sudah ditandatangani itu dibawa ke notaris. Di dalam waarmerking ini notaris hanya mendaftar, jadi tidak menjamin: Bahwa isinya diperkenankan oleh hukum. Apa yang menandatangani memang betul orang yang bersangkutan. Apa tanggal yang ada pada akta di bawah tangan itu memang ditandatangani pada waktu itu. E. Macam-Macam Akta Hibah 1. Akta hibah benda bergerak Akta hibah benda bergerak meliputi benda yang dapat berpindah dari tempat satu ke tempat yang lain seperti hibah uang, hibah saham, hibah mobil dan lain sebagainya. Akta hibah benda bergerak ini yang 79
Ibid, hlm. 4
72
mempunyai wewenang dalam pengurusannya adalah notaris, karena notaris mempunyai wewenang dalam pembuatan akta otentik secara resmi dalam pembuktian. 2. Akta hibah benda tak bergerak Akta hibah benda tak bergerak meliputi hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang berwenang dalam perkara akta hibah adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Karena PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta hibah sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.80 F. Bentuk Pada asasnya bentuk sesuatu akta notaris yang harus berisikan perbuatan-perbuatan dan sebagainya yang dikonstatir oleh notaris, pada umumnya harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang dicantumkan dalam perundang-undangan yang berlaku mengenai hal itu, dan teknik
80
Biro Humas dan Humas BPN, hlm. 4
73
pembuatan akta antara lain KUH Perdata Indonesia dan Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia (PJN). Untuk menjamin perbuatan-perbuatan dan keterangan kehendak mereka untuk di kemudian hari dan dalam suatu bentuk demikian yang dapat dibuat, akan menghadap ke muka notaris dengan maksud supaya dibuatkan dalam bentuk tulisan mengenai perbuatan-perbuatan atau keterangan kehendak mereka itu dalam bentuk akta yang mempunyai kekuatan otensitisitas.81 G. Prosedur Pembuatan Formulir Akta Hibah 1)
Permulaan Akta
a. Pencantuman judul (nama) akta tidak diatur secara jelas dalam perundang-undangan (PJN), akan tetapi mengingat hal itu penting, antara lain mengenai penyelenggaraan/memasukkan ke dalam repertorium, buku akta dan lain-lain. (protokol), dalam akta-akta notaris judul akta ini selalu dimuat. b. Pencantuman nomor pada setiap akta notaris penting sehubungan antara lain dengan ketentuan pasal 36 dan 36a PJN
81
Muhammad Adam, Asal Usul dan Sejarah Akta Notarial, Bandung: Sinar Baru, 1985, hlm. 31
74
c. Penanggalan harus selalu dicantumkan dalam akta notaris, untuk memenuhi ketentuan pasal 25 ayat 2 huruf d jo pasal 1 PJN. d. Nama lengkap (kecil, keluarga/ vornamen en naam) demikian tempat kedudukan notaris harus dicantumkan. e. Saksi dalam penyelesaian akta hibah, harus dikenal oleh Notaris atau pejabat setempat. 2) Komparisi/tindakan menghadap a. Pencantuman nama lengkap, pekerjaan atau jabatan (sepanjang hal ini dapat diberitahukan) dan tempat tinggal setiap penghadap dan (bila ada) yang diwakilinya merupakan keharusan dalam akta hibah. b. Jika penghadap bukan pemilik obyek hibah beli dan hanya bertindak selaku kuasa atau dalam jabatan dari orang atau badan hukum atau instansi yang mewakilinya, maka kualitas atau dasar hukum dari tindakannya harus disebutkan secara jelas; Surat kuasa yang tidak otentik harus dilekatkan atau dijahitkan pada akta yang disimpan oleh pejabat (notaris, PPAT, pejabat umum) dan harus disebutkan dalam aktanya. Demikian pula nama-nama orang atau badan hukum atau instansi yang mewakilinya diuraikan secara lengkap.
75
c. Apabila pemilik objek hibah tidak cakap melakukan perbuatan hukum, maka bagi mereka yang warga Negara Indonesia diwakili oleh wali atau pengampu, dan bagi mereka yang tunduk pada hukum Perdata Barat diperlukan juga persetujuan Pengadilan Tinggi setempat. d. Sebutkan persetujuan yang diperlukan, misalnya persetujuan istri atau suami mengenai harta campur. e. Hal “renvooi”, berupa gantian, coretan atau tambahan itu menurut ketentuan pasal 32 PJN, yaitu: Bahwa semua perubahan dan tambahan (perkataan/bilangan) yang terdapat pada akta hibah harus ditulis di pinggir halaman akta hibah. Bahwa setiap renvooi itu hanya sah bila ditandatangani (dalam praktek kebanyakan di paraf) atau disahkan oleh para penghadap, para saksi dan notaris. Bahwa jika perubahan atau tambahan itu terlalu panjang untuk ditulis di pinggir akta, maka penulisan itu dilakukan di bagian akhir akta itu sebelum penutupan, dengan menunjuk pada halaman dan baris yang bersangkutan.
76
Bahwa bilamana renvooi itu tidak dilakukan secara demikian, maka perubahan dan tambahan itu tidak berharga (batal) f. Pencantuman, bahwa (para) penghadap “telah dikenal oleh” atau “diperkenalkan kepada” Notaris dapat ditempatkan baik segera setelah komparisi atau sebelum akhir akta. Apabila para pihak lebih dari dua, sebaiknya atau lebih praktis hal ini dicantumkan sebelum akhir akta, agar penyebutan kalimat itu cukup satu kali saja (tidak berkali-kali) 3) Premise atau preaemisse Hal ini dimaksud keterangan atau pernyataan pendahuluan yang merupakan dasar atau pokok masalah yang akan diatur dalam sesuatu akta guna memudahkan pengertian apa yang dimaksud dengan dibuatnya akta itu. Jadi semacam prolog atau muqadimah. 4) Isi akta Pada bagian ini diuraikan secara jelas atau terang bahan sesuai atau sehubungan dengan judul akta dan bila ada dengan premise tersebut, sebagaimana dikehendaki oleh: -
Notaris dalam akta-akta yang memuat risalah atau berita acara, dan atau
77
-
Para penghadap atau pihak-pihak yang menghendaki dibuat akta ini (Pasal 1 PJN)
-
Dalam
menyusun
pasal-pasal
atau
urutan
isi
mendahulukan apa yang merupakan esensialia
akta yaitu
mengutamakan dan selalu mencantumkan hal-hal yang pokok (tidak bisa dihilangkan atau ditiadakan), seperti dalam hibah “penyerahan benda atau kebendaan oleh pihak penghibah”. 5) Akhir akta - Penyebutan tentang nama lengkap, pekerjaan atau jabatan dalam masyarakat dan tempat tinggal dari para (masing-masing) saksi diatur dalam Pasal 25 ayat 2 huruf c PJN dengan sanksi sebagaimana tercantum dalam ayat 3 Pasal itu. - Keharusan para notaris membacakan akta yang dibuat di hadapannya kepada para penghadap, para saksi dan sebagainya. Dalam relaas-acte hanya kepada para saksi saja, demikian pula penanda tangannya tercantum dalam pasal 28 PJN, dengan sanksinya masih terdapat dalam Pasal itu.82 Penelitian kali ini penulis tidak bisa memaparkan secara eksplisit tentang data yang telah bertransaksi di Kantor Notaris dan PPAT Dina 82
Dokumen-dokumen Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, MM
78
Ismawati, SH.,MM., data hibah di PPAT yang telah dihimpun dari tahun 2008 sejumlah 6 akta , 2009 sejumlah 10 akta, 2010 sejumlah 6 akta dan 2011 sampai sekarang belum ada yang berakta hibah. sedangkan akta hibah yang melalui Notaris hanya sejumlah 1 akta sejak Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, SH.,MM., berdiri.83
83
Wawancara dengan Ibu Dina Ismawati, S.H,MM tanggal 23 Maret 2011
BAB IV ANALISIS KEABSAHAN AKTA HIBAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Studi di Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, MM)
H. Analisis Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Islam Seperti telah diuraikan dari bab satu, dua dan tiga skripsi ini bahwa dalam perspektif hukum Islam hibah sebenarnya hanyalah himbauan (anjuran) untuk saling membantu sesama manusia, karena hibah sebagai bentuk tolong menolong dalam kebajikan antara sesama manusia sangat baik dan bernilai positif. Ulama fikih telah sepakat, bahwa hukum hibah adalah sunat. Firman Allah :
tø⌠$#uρ tÅ3≈|¡yϑø9$#uρ 4’yϑ≈tGuŠø9$#uρ 4†n1öà)ø9$# “ÍρsŒ ϵÎm6ãm 4’n?tã tΑ$yϑø9$# ’tA#uuρ . . . ∩⊇∠∠∪
. . . È ≅‹Î6¡¡9$#
Artinya : “….dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) … (Al-Baqarah: 177)84 Sedangkan anjuran dalam pembuatan akta hibah menurut pendapat penulis merupakan kewajiban. Karena dengan akta otentik menjadikan dasar pembuktian yang sah dimata hukum ketika terjadi sengketa hibah. R. Subekti dalam bukunya Hukum Pembuktian mengatakan bahwa 84
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemah, Jakarta, 1971.hlm.43
77
78
membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalildalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.85 Keadilan sangat memerlukan pembuktian, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:
G 4A[(& G @ G 4A'V G @ 1& :Z 4Aj& I G @ & G @ < & V i @ )e%< "i ( §» :J N ` #I + 0 # b a "#. %):% 4AO%: G @ G 4DB 0 # ! )@ G @ «+ 0 # "% "# n 0 %GB 4` ! JA ml !3 O 1 "%3 4`V @ O % Artinya: “ Sekiranya kepada manusia diberikan apa saja yang digugatnya, tentu setiap orang akan menggugat apa yang ia kehendaki, baik jiwa maupun harta, akan tetapi sumpah itu dibebankan kepada Tergugat.”86 Cukup beralasan jika akta hibah dijadikan sebagai alat bukti di samping berdasarkan ayat Al-Qur’an tersebut diatas, sampainya Al-Qur’an dan Hadits kepada kita sekarang ini yang merupakan sumber dan pegangan pokok bagi ajaran Islam, tidak lain melalui tulisan. Adapun
korelasinya
apabila
hibah
tidak
diaktakan,
bisa
menggunakan alat bukti yang lain, macam alat bukti dalam hukum Islam, yaitu :87 Menurut Samir ‘Aaliyah, alat-alat bukti itu ada enam dengan urutan sebagai berikut:
85
Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2007, hlm.7 Muslim, Shahih Muslim ,Juz II, (Bandung: Ma’arif, tt), hal 59. 87 Op. Cit hlm. 56 86
79
a. b. c. d. e. f.
Pengakuan Saksi Sumpah Qorinah Bukti berdasarkan indikasi-indikasi yang tampak Pengakuan hakim. Menurut ‘Abdul Karim Zaidan, alat-alat bukti itu ada Sembilan dengan urutan sebagai berikut:
a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Pengakuan Saksi Sumpah Penolakan sumpah Pengetahuan hakim Qorinah Qosamah Qiyafah Dan Qur’ah. Menurut Sayyid Sabiq, alat-alat bukti itu ada empat, dengan urutan sebagai berikut:88
a. b. c. d.
Pengakuan Saksi Sumpah Surat resmi Menurut Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah, alat-alat bukti itu ada dua puluh enam dengan urutan sebagai berikut:89
1. Fakta yang berbicara atas dirinya sendiri yang tidak memerlukan sumpah. 2. Pengingkaran penggugat atas jawaban tergugat. 3. Fakta yang berbicara atas dirinya sendiri disertai sumpah pemegangnya. 88 89
Ibid, hlm. 57 Ibid, hlm. 58
80
4. 5. 6. 7. 8. 9.
Pembuktian dengan penolakan sumpah belaka. Penolakan sumpah dan sumpah yang dikembalikan. Saksi satu orang laki-laki tanpa sumpah yang dikembalikan. Saksi satu orang laki-laki dengan sumpah penggugat. Keterangan saksi satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Keterangan saksi satu orang laki-laki dan penolakan tergugat untuk bersumpah. 10. Keterangan saksi/dua orang perempuan dan sumpah penggugat. 11. Saksi dua orang perempuan tanpa sumpah. 12. Saksi tiga orang laki-laki. 13. Saksi empat orang laki-laki. 14. Kesaksian budak. 15. Kesaksian anak-anak di bawah umur (sudah mumayyiz) 16. Kesaksian orang yang fasiq. 17. Kesaksian orang non Islam. 18. Bukti pengakuan 19. Pengetahuan hakim 20. Berdasarkan berita mutawatir. 21. Berdasarkan berita tersebut (khobar istifadlon) 22. Berdasarkan berita orang perorang. 23. Bukti tulisan 24. Berdasarkan indikasi-indikasi yang Nampak 25. Berdasarkan hasil undian 26. Berdasarkan hasil penelusuran jejak. Menurut Nashr Fariid Waashil alat-alat bukti itu ada sebelas, dengan urutan sebagai berikut:90 a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
Pengakuan Saksi Sumpah Pengembalian sumpah Penolakan sumpah Tulisan Saksi ahli Qorinah Pendapat ahli Pemeriksaan setempat 90
Ibid, hlm. 59
81
k. Dan permintaan keterangan orang yang bersengketa. Dan menurut pendapat penulis hal ini merupakan cara penghibahan yang dilakukan secara sah. Meskipun di dalam persyaratan hibah tidak tercantum dalam pembuatan akta hibah secara tekstual, akan tetapi dalam hukum Islam bukti tertulis adalah merupakan akta yang kuat sebagai alat bukti dalam menetapkan hak atau membantah suatu hak. Ayat yang menunjukkan pentingnya bukti tulisan, firman Allah Q.S Al-Baqarah (2): 282 berbunyi :
4 çνθç7çFò2$$sù ‘wΚ|¡•Β 9≅y_r& #’n<Î) Aøy‰Î/ ΛäΖtƒ#y‰s? #sŒÎ) (#þθãΖtΒ#u šÏ%©!$# $y㕃r'¯≈tƒ çµyϑ¯=tã $yϑŸ2 |=çFõ3tƒ βr& ë=Ï?%x. z>ù'tƒ Ÿωuρ 4 ÉΑô‰yèø9$$Î/ 7=Ï?$Ÿ2 öΝä3uΖ÷<−/ =çGõ3u‹ø9uρ çµ÷ΖÏΒ ó§y‚ö7tƒ Ÿωuρ …çµ−/u‘ ©!$# È,−Gu‹ø9uρ ‘,ysø9$# ϵø‹n=tã “Ï%©!$# È≅Î=ôϑãŠø9uρ ó=çGò6u‹ù=sù 4 ª!$# ¨≅Ïϑムβr& ßì‹ÏÜtGó¡o„ Ÿω ÷ρr& $¸‹Ïè|Ê ÷ρr& $·γŠÏy™ ‘,ysø9$# ϵø‹n=tã “Ï%©!$# tβ%x. βÎ*sù 4 $\↔ø‹x© öΝ©9 βÎ*sù ( öΝà6Ï9%y`Íh‘ ÏΒ Èøy‰‹Íκy− (#ρ߉Îηô±tFó™$#uρ 4 ÉΑô‰yèø9$$Î/ …絕‹Ï9uρ ö≅Î=ôϑãŠù=sù uθèδ ¨≅ÅÒs? βr& Ï!#y‰pκ’¶9$# zÏΒ tβöθ|Êös? £ϑÏΒ Èβ$s?r&z5ö∆$#uρ ×≅ã_tsù È÷n=ã_u‘ $tΡθä3tƒ 4 (#θããߊ $tΒ #sŒÎ) â!#y‰pκ’¶9$# z>ù'tƒ Ÿωuρ 4 3“t÷zW{$# $yϑßγ1y‰÷nÎ) tÅe2x‹çFsù $yϑßγ1y‰÷nÎ) y‰ΖÏã äÝ|¡ø%r& öΝä3Ï9≡sŒ 4 Ï&Î#y_r& #’n<Î) #·FÎ7Ÿ2 ÷ρr& #·FÉó|¹ çνθç7çFõ3s? βr& (#þθßϑt↔ó¡s? Ÿωuρ ZοuÅÑ%tn ¸οt≈yfÏ? šχθä3s? βr& HωÎ) ( (#þθç/$s?ös? ωr& #’oΤ÷Šr&uρ Íοy‰≈pꤶ=Ï9 ãΠuθø%r&uρ «!$#
82
óΟçF÷ètƒ$t6s? #sŒÎ) (#ÿρ߉Îγô©r&uρ 3 $yδθç7çFõ3s? ωr& îy$uΖã_ ö/ä3ø‹n=tæ }§øŠn=sù öΝà6oΨ÷
óx« Èe≅à6Î/ ª!$#uρ 3 ª!$# ãΝà6ßϑÏk=yèãƒuρ Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”91 Ar-Rabi’ meriwayatkan bahwa ayat ini diturunkan ketika seorang lelaki mengelilingi beberapa kaum sambil meminta agar mereka bersedia
91
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemah, Jakarta, 1971. hlm. 70
83
menjadi saksi, tetapi tidak seorang pun menyanggupinya. Ada pula yang mengatakan bahwa pengertian wa la ya’bau, ialah jangan menolak dijadikan saksi, dan hendaknya mengabulkannya, karena menolak hukumnya adalah haram. Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa tulisan merupakan bukti yang dapat diterima apabila sudah memenuhi syarat, dan penulisan ini diwajibkan untuk urusan kecil atau besar. Sebab dengan adanya tulisan mengenai hak-hak ini, kesaksiannya, dan memegang prinsip keadilan antara kedua belah pihak yang bersangkutan, juru tulis dan para saksi, hal-hal tersebut merupakan penolak adanya kemungkinan keraguan dan hal-hal yang ditimbulkan akibat adanya keraguan, seperti permusuhan dan pertengkaran.92 Selain itu mengenai batasan umur akta hibah dalam Kompilasi Hukum Islam, dijelaskan Pasal 210 ayat (1) berbunyi sebagai berikut: “Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk memiliki”.
Lebih jauh dikemukakan dalam Pasal 213 KHI bahwa: 92
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Semarang: CV Toha Putra, 1985, hlm. 132
84
“Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya”. Pembatasan yang dilakukan Kompilasi Hukum Islam, baik dari usia maupun 1/3 dari harta pemberi hibah, berdasar pertimbangan bahwa usia 21 tahun telah dianggap cakap untuk memiliki hak untuk menghibahkan benda miliknya itu. Demikian juga batasan 1/3 harta kecuali jika ahli warisnya menyetujui.93 Maka menurut singkat pendapat penulis bahwa batasan memberi hibah 1/3 harta merupakan sifat penolong untuk dirinya sendiri yaitu si penghibah untuk mengurangi kemungkinan terburuk menimpa dirinya, akan tetapi jika ahli warisnya setuju dengan pemberian semua harta si pemberi hibah maka tidak ada masalah dilakukan. Sedangkan analisis pendapat penulis tentang penarikan kembali hibah yaitu apabila semua perhubungan atas dasar suka rela dapat dicabut kembali harta yang dihibahkan maka jatuhlah penarikan kembali hibah tersebut. Akan tetapi tidak semua pemberian dapat dicabut kembali suatu pemberian yang telah disempurnakan hanyalah dengan campur tangan orang yang diberi. Suatu pernyataan belaka dari pihak si pemberi tidaklah mencukupi.
93
Ibid, hlm. 471
85
I. Analisis Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Positif Undang-undang tidak mengakui bentuk-bentuk pemberian atau hibah selain hibah yang dilakukan diantara orang-orang masih hidup. Menurut pendapat penulis tentang kewajiban berakta hibah dalam kebijakan
undang-undang
sudah
terpenuhinya
kebutuhan
hukum
masyarakat karena dimulai dari prosedur (Proses) pembuatan akta hibah, penghibahan harus melalui akta Notaris yang asli disimpan oleh Notaris bersangkutan dengan Pasal 1682, yaitu : “Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaries itu” 94 Hibah barulah mengikat dan mempunyai akibat hukum bila pada hari penghibahan itu dengan kata-kata yang tegas telah dinyatakan diterima oleh penerima hibah, atau dengan suatu akta otentik telah diberi kuasa pada orang lain. Dapat disimpulkan bahwa akta otentik adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan seseorang pejabat umum yang mempunyai wewenang membuat surat itu, dengan maksud untuk menjadikan surat itu sebagai alat
94
Ibid, hlm 438
86
bukti. Pejabat umum yang dimaksud adalah Notaris, pegawai catatan sipil, juru sita, panitera pengadilan dan sebagainya. Ketika Kompilasi Hukum Islam mengatur batasan umur dalam hibah, sama halnya di dalam pasal 1676-1677 Hukum Perdata BW menjelaskan bahwa: “ Setiap orang diperbolehkan memberi dan menerima sesuatu sebagai hibah kecuali mereka yang oleh undang-undang dinyatakan tak cakap untuk itu.(1676)” “ Orang-orang yang belum dewasa tidak diperbolehkan member hibah, kecuali dalam hal yang ditetapkan dalam bab ke tujuh dari buku ke satu Kitab Undang-undang ini.”95 Ukuran dewasa
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
adalah, dijelaskan dalam pasal 424. Orang dikatakan sudah dewasa ketika berumur 21 tahun, sebelumnya belum dikatakan dewasa. Artinya umur 21 tahun dikatakan sudah cakap di dalam Undang-undang. Berbeda dengan analisis tersebut, dalam hukum positif perbedaan pembagian akta hibah terbagi menjadi dua yakni untuk benda bergerak bertransaksi dengan Notaris, sedangkan untuk benda tidak bergerak bertransaksi dengan PPAT. Ketika penulis mencermati adanya perbedaan karakter yuridis antara Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), maka suatu hal yang sangat tidak mungkin dua karakter berbeda dijadikan
95
Ibid, hlm.438
87
satu. Menyatukan dua karakter yuridis yang berbeda hanya merupakan upaya pemaksaan yang tidak dilandasi dasar hukum yang jelas. Tegasnya ditinjau dari segi kekuatan pembuktiannya, menurut pendapat penulis bahwa: a. Akta hibah mempunyai kekuatan pembuktian yang mutlak. (apabila timbul sengketa antara pihak, maka apa yang termuat dalam akta hibah merupakan bukti yang sempurna, sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dengan alat-alat pembuktian lain.) b. Arti penting suatu akta hibah terletak disitu, yang mana dalam praktek hukum memudahkan pembuktian dan memberikan kepastian hukum yang lebih kuat.96
J.
Deskripsi Peran Notaris dan PPAT Dina Ismawati,S.H, MM dalam Keabsahan Akta Hibah Menurut pendapat Ibu Dina Ismawati, S.H, MM, orang yang datang ke Notaris atau PPAT berarti orang itu patuh pada Hukum Perdata Indonesia, dalam hal ini adalah BW. Maka dasar hukum, bentuk dan kekuatan hukum sama persis dengan hukum positif di Indonesia. Kecuali pada tata cara 96
John Salindeho, Masalah Tanah dalam Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika, 1987, hlm. 60-61
88
pembuatan akta hibah di dalam hukum positif dengan Peraturan Jabatan Notaris (PJN) serta Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PJPPAT) berbeda. PJN dan PJPPAT mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh si penghibah maupun si penerima hibah yakni harus menunjukkan KTP, PBB tahun terakhir, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT), Surat Tanda Terima Setoran (STTS) ini bertujuan untuk menunjukkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) sebagai dasar Pengenaan PBB. Sedangkan dalam hukum positif dalam BW Hibah barulah mengikat dan mempunyai akibat hukum bila pada hari penghibahan itu dengan katakata yang tegas telah dinyatakan diterima oleh penerima hibah, atau dengan suatu akta otentik telah diberi kuasa pada orang lain. Pada Pasal 1683 KUH Perdata menyebutkan : ”Tiada suatu hibah mengikat si penghibah, atau menerbitkan sesuatu akibat yang bagaimanapun, selain mulai hari penghibahan itu dengan katakata yang tegas telah diterima oleh si penerima hibah sendiri atau oleh seorang yang dengan suatu akta otentik oleh si penerima hibah itu telah dikuasakan untuk menerima penghibahan-penghibahan yang telah diberikan kepada si penerima hibah atau akan diberikan kepadanya di kemudian hari. Jika penerimaan tersebut tidak telah dilakukan didalam surat hibah sendiri, maka itu akan dapat dilakukan didalam suatu akta otentik terkemudian, yang aslinya harus disimpan, asal yang demikian itu dilakukan di waktu si
89
penghibah masih hidup; dalam hal mana penghibahan, terhadap orang yang belakangan disebut ini, hanya akan berlaku sejak hari penerimaan itu diberitahukan kepadanya.”97 Menurut pendapat penulis, memang penting sekali apabila syarat penghibahan harus mengikuti syarat dari PJN ataupun PJPPAT. Bertujuan agar tanah atau benda tersebut tidak terikat dengan orang lain dan tidak dituntut dikemudian hari. Hal ini merupakan cara penghibahan yang telah dilakukan secara sah, karena dengan adanya bukti-bukti tertulis yang dikuatkan dengan adanya tanda tangan tersebut. Dalam hal ini penulis mendukung prosedur akta hibah yang dilakukan dengan model yang dibuat oleh Notaris maupun PPAT. Hanya saja diharapkan hukum Islam tetap ditegakkan bagi Notaris dan PPAT. Demi keabsahan hukum Islam maupun hukum positif.
97
438-439
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN 1. Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Positif merupakan kewajiban dalam
kebijakan
undang-undang,
karena
sudah
terpenuhinya
kebutuhan hukum masyarakat yang dimulai dari prosedur (Proses) pembuatan akta hibah, penghibahan harus melalui akta. Hibah barulah mengikat dan mempunyai akibat hukum bila pada hari penghibahan itu dengan kata-kata yang tegas telah dinyatakan diterima oleh penerima hibah, atau dengan suatu akta otentik telah diberi kuasa pada orang lain. 2. Ditinjau dalam hukum Islam tentang akta hibah, maka hukum Islam tidak menjelaskan secara tekstual tentang akta hibah. akan tetapi rukun dan syarat sudah dijelaskan secara eksplisit. Hukum Islam mengenai perkara hibah ini adalah, dalam hukum Islam dengan adanya ijab qobul yang diketahui oleh adanya saksi. Maka hibah itu dianggap sah. Meskipun demikian dalam hukum Islam bukti tertulis adalah merupakan akta yang kuat sebagai alat bukti dalam menetapkan hak atau membantah suatu hak.
90
91
3. Peran Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, MM dalam keabsahan akta hibah membedakan wilayah kerja antara Notaris dan PPAT. Notaris mengenai benda bergerak dan PPAT mengenai benda tidak bergerak. Persyaratannya dalam pembuatan akta hibah hampir sama, dengan menunjukkan KTP dan surat-surat benda yang akan dihibahkan yaitu harus menggunakan : c)
Sertifikat atas nama pihak pertama diberikan kepada pihak kedua. Pihak pertama beserta suami atau istri foto copy kartu keluarga dan KTP pihak kedua.
d)
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun terakhir, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dan Surat Pemberitahuan Pajak Setoran (SPPS). Surat Tanda Terima Setoran (STTS) bertujuan untuk menunjukkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) sebagai dasar pengenaan PBB.
Dalam hal keabsahan akta hibah, memang dalam pembuatan dan keabsahan akta hibah berbagai cara dan syarat. Yakni menurut hukum Islam dan hukum Positif, dalam hal keabsahan akta hibah kedua hukum tersebut sama-sama mempunyai dasar yang kuat.
92
B. SARAN Meskipun dalam hukum Islam bersifat klasik namun dalam masalah keabsahan akta hibah masih relevan dengan kondisi saat ini, karenanya tidak berlebihan bila dalam membentuk peraturan perundang-undangan khususnya di Indonesia mengkomparasikan dengan pikiran hukum Islam. C. PENUTUP Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayat dan ridlo-Nya tulisan yang diangkat dalam bentuk skripsi telah dilaksanakan. Penulis menyadari bahwa meskipun telah mengupayakan semaksimal mungkin tidak menutup kemungkinan terdapat kesalahan dan kekurangan baik dalam paparan maupun metodologinya. Namun demikian semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca.
93
DAFTAR PUSTAKA
A. Kohar, Notaris dalam Praktek Hukum, Bandung: Alumni, 1983. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000 A. Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa Menurut KUH Perdata Belanda, Nederland: PT Intermasa, 1967. A. W. Munawir, Kamus Al-Munawir, Surabaya, Pustaka Progresif, 1997, Cet. 14. Abd al-Rahman al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikr,t.th, Juz 3. Abdul Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar van Hoeve, 1996. Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika, Yogyakarta : UII Press, 2009. Abu Bakar Muhammad, Subulussalam (Terjemah), Surabaya: Al-Ikhlas , 1995. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grasindo persada,1995 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Semarang: CV Toha Putra, 1985
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2004. Asaf A.A Fyze, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta:Tintamas, 1966 Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia,Jakarta:FH UII Press, 2004.
94
Biro Hukum dan Humas Badan Pertanahan Nasional,Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Jakarta: Koperasi Pegawai Badan Pertanahan Nasional “Bumi Bhakti” 1998. Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia,Jakarta, Djambatan, 2007. Budiono, Kamus Ilmiah Popular Internasional, Surabaya : Alumni, 2005. Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 1994 Chuzaimah dan HafiznAnshary AZ. (Editor), Problematika Hukum Islam kontemporer III, Cet.3, Jakarta: Pustaka firdaus, 2004. Dokumen-dokumen Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, MM. Fajar Iskandar, dalam skripsinya “Studi Analisis terhadap Pengadilan Tinggi Agama Semarang No: 15/Pdt.G/2007/PTA.smg tentang Penarikan Hibah Orang Tua terhadap Anak”, Jurusan Al-Ahwal Al-Syasiyah Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 2008. Hasil Wawancara dengan Ibu Dina Ismawati, S.H, MM pada tanggal 30 Maret 2011. Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul-Mujtahid, Semarang: Asy-Syifa’, 1990. John Salindeho, Masalah Tanah dalam Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika, 1987. Kamar Andasasmita, Notaris II Contoh Akta Otentik dan Penjelasannya, Bandung: Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat, 1991 M. Ali Hasan, Berbagai macam transaksi dalam Islam, Cet.1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, Jakarta : PT Pustaka LP3ES Indonesia, 1995, Cet.II. Muhammad Adam, Asal Usul dan Sejarah Akta Notarial, Bandung: Sinar Baru, 1985.
95
Pengayoman, Masalah Hukum Jabatan Notaris Dalam Kegiatan Pertanahan, Jakarta Timur : Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, 2010 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya Paramita, 1999. Sa’di Abu Nabieb, Ensiklopedi Ijmak, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006. Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001, Cet III. Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 14 (Terjemah), Jakarta:Pena Pundi Aksara, 1997, Cet 9. Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2007 Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 1991. ----------------, Sepuluh Aspek Agama Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994. Sudikno Mertokusumo, Hukum acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 2002. Syekh Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, Semarang: Pustaka Alawiyah, t.th Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Jakarta:Alumni, 1992. Teungku Muhammad Hasbie Ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah,Semarang, Pustaka Rizki Putra,2000. ---------------------------------------------------------, Pengantar Fiqh Muamalah, Cet.4, Semarang:PT Pustaka Rizki Putra, 2001. Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokusmedia, 2007, Cet II. Tyas Prihatanika Herjendraning Budi Wijaya,”Kedudukan Notaris dalam Pembuatan dan Pencabutan Testament (Surat Wasiat) Studi Kasus di
96
Kantor Notaris dan PPAT Eko Budi Prasetyo, SH di Kecamatan Bakti Sukoharjo” Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2008. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2008 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemah, Jakarta, 1971.
97
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama
: Arifatul Khulwa
TTL
: Semarang, 13 September 1989
Alamat
: Jl. Sunan Kalijaga Raya RT 01 RW 02 Penggaron Kidul Pedurungan Semarang 50194
Pendidikan
: MI Infarul Ghoy Plamongan Sari Pedurungan Semarang, lulus tahun 2001 MTS
Infarul
Ghoy
Plamongan
Sari
Pedurungan
Semarang, lulus tahun 2004 MAN 1 Semarang, lulus tahun 2007 Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang sejak 2007 Pengalaman Organisasi : 1. Sekretaris HMJ AS (2009) 2. Bendahara PMII Rayon Syari’ah Kom.Walisongo (2009-2010) 3. Redaktur Justisia (2008 sampai sekarang) 4. Bendahara IPPNU PC.Kota Semarang (2010-2012) 5. Divisi Pendidikan dan Penelitian Karang Taruna Kecamatan Pedurungan (2009-2013)
Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Semarang, 9 Juni 2011
ARIFATUL KHULWA