Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik
25
Peace Education sebagai Resolusi Konflik Studi Kasus di Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) DIY Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
[email protected]
Abstrak Artikel ini mendeskripsikan peace education sebagai resolusi konflik dan bentukbentuk resolusi konflik berbasis keagamaan yang dilakukan oleh Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) di Daerah Istimewa Yogyakarta.Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan FPUB dalam resolusi konflik dilaksanakan melalui empat bentuk yaitu; Pertama, diskusi dan dialog antar umat beragama yaitu sebuah gerakan kultural yang berusaha menyelami, memahami, dan menumbuhkan saling pengertian terhadap persoalan-persoalan riil yang dihadapi oleh masyarakat. Kedua, aksi solidaritas sosial yaang dilakukan oleh FPUB berkaitan dengan keprihatinan atas situasi politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Ketiga,aksi damai dan do’a bersama.Keempat, pendidikan perdamaian yaitu proses menerima dan menghargai perbedaan sebagai bentuk deradikalisasi dan resolusi konflik (conflict resolution)dalam rangka membangun hubungan antar umat beragama yang terbuka, egaliter dan penuh kedamaian. Bentuk-bentuk pendidikan perdamaian dilakukan adalah kedamaian dan anti kekerasan, hak asasi manusia, demokrasi, toleransi, pemahaman antar bangsa dan antar budaya, serta pemahaman perbedaan budaya dan bahasa. [This article describes a peace education, as conflict resolution and other forms of conflict resolution based on religiousconducted by FPUB in Yogyakarta. The results showed that the activity FPUB in conflict resolution is carried out through four forms, namely; First, discussions and inter-religious dialogue is a cultural movement that is trying to explore, understand, and mutual understanding of the real problems faced by the community. Secondly, social solidarity that concern the political situation, social, economic, and cultural. Thirdly, peaceful action and prayer together. Fourth, peace education is the process of accepting and respecting differences as a form of de-radicalization and conflict resolution in order to build inter-religious relations are open, egalitarian and peaceful. Forms of peace education are peace and non-violence, human rights, democracy, tolerance, international and intercultural understanding, and cultural and linguistic diversity.] An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587
26
Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik
Kata Kunci: Peace Education, Resolusi Konflik, FPUB
A. Pendahuluan Peace education (pendidikan perdamaian) secara sederhana dapat dimaknai sebagai sebuah proses menerima dan menghargai perbedaan sebagai bentuk deradikalisasi dan resolusi konflik (conflict resolution) dalam rangka membangun hubungan antar umat beragama yang terbuka, egaliter dan penuh kedamaian.Pendidikan perdamaia ini sangat relevan di masyarakat yang plural dan multikultural seperti Indonesia. Dimana berbagai suku, bangsa, bahasa, ras, etnis, dan agama membaur dan bersinggungan, menjalin hubungan dan berinteraksi satu dengan yang lainnya. Hidayah1 dalam laporannya menyebutkan setidaknya terdapat 636 suku yang diketahui keberadaannya di berbagai daerah di Indonesia. Oleh karana itu, tidak mengherankan jika Indonesia dikenal sebagai Negara dengan tingkat pluralitas/kemajemukan suku, budaya, bahasa, adat terbanyak di dunia. Tidak salah pula jika para pendiri (founding fathers) bangsa ini memilih semboyan “Bhinneka Tunggal Eka” sebagai semboyan pemersatu bangsa yang sangat majemuk ini. Pluralitas ini, di satu sisi merupakan anugerah dan peluang penting bagi kreasi, pengembangan dan modal serta potensi berharga dalam membangun peradaban bangsa. Akan tetapi disisi lain pluralitas dapat menjadi potensi perpecahan, disintegrasi dan disharmoni yang dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.Tanpa kesadaran dan sikap menghargai, toleransi, dan sikap egaliter, sebuah Z. Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1997), hlm. 203. laporan lain menyebutkan bahwa di kawasan Papua Barat didapatkan lebih dari 100 bahasa daerah. Sehingga dapat dibayangkan bagaimana kemajemukan yang terjadi di sana dan peliknya hubungan antarbudaya yang ada. Tidak mengherankan jika masa lalu sering terjadi peperangan antarsuku akibat perbedaan-perbedaan budaya yang terjadi. Lihat Josep J. Darmawan, Multikulturalisme Membangun Harmoni Masyarakat Plural (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2005), hlm. 129. 1
An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587
Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik
27
pluralitas adalah bencana. Karena pluralitas akan menjadi pemicu konflik dan sumber perpecahan. Dalam konteks inilah pendidikan sedang menghadapi tantangannya, sebab pendidikan—lebih-lebih pendidikan agama—sering dipandang tidak mampu membebaskan peserta didik keluar dari ekslusivisme beragama. Materi-materi pelajaran yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan formal terkesan lebih banyak mengarah pada semangat misionaris dan dakwah yang menegaskan truth claim dan sikap prasangka (prejudices). Wacana iman-kafir, sesat-selamat, surga-neraka seringkali menjadi bahan pelajaran di kelas yang selalu diindoktrinasi. Pelajaran teologi diajarkan sekedar untuk memperkuat keimanan dan pencapaiannya menuju surga tanpa dibarengi dengan kesadaran berdialog dengan agama-agama lain. Paradigma pendidikan agama yang ekslusifdoktriner ini telah menciptakan kesadaran umatnya untuk memandang agama lain secara amat berbeda bahkan bermungsuhan.2 Kondisi inilah yang menjadikan pendidikan agama dan pendidikan pada umumnya sangat ekslusif dan tidak toleran. Padahal, pangkal mengentalnya (pejudices) sebagai faktor konflik dan disintegrasi adalah karena pendidikan selama ini masih bersifat ekslusif dan sarat indoktrinasi. Dengan kata lain, pendidikan saat ini belum berwawasan pluralismultikultural. Oleh karena itu, pendidikan perdamaian (peace education) yang mengajarkan toleransi(tasamuh), moderasi(tawassut), dan menghargai sangat penting bagi terciptanya masyarakat yang damai, harmoni dan jauh dari konflik, serta mampu meredam dan me-resolusi konflik yang ada. Salah satu lembaga yang fokus membangun dan mengembangkan dialog antar agama melalui pendidikan perdamaian (peace education)dan upaya resolusi konflik di Indonesia adalah Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) di Daerah Istimewa Yogyakarta.3 Forum ini lahir didasari 2 Imam Machali (ed), Pendidikan Multikultural, Pengalaman Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah dan Universitas, (Yogyakarta: Aura Pustaka, 2013), hlm. vi-vii. 3 Penelitian tentang Peace Education dan Deradikalisasi Agama pernah dilakukan oleh Imam Machali, lihat di Imam Machali, Imam Machali, “Peace Education Dan Deradikalisasi Agama,” Jurnal Pendidikan Islam 2, no. 1 (2013): 41–64, doi:10.14421/jpi.2013.21.41-64. Perbedaanya adalah penelitian ini fokus pada kajian peace education sebagai resolusi konflik
An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587
28
Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik
atas keprihatinan terhadap kondisi masyarakat dan bangsa yang mengalami berbagai konflik, pertikaian, tindak kekerasan, dan radikalisasi atas nama agama. Oleh karena itu, kiprah dan peranannya dalam membangun dialog antar umat beragama dalam rangka deradikalisasi agama dan Resolusi konflik di Indonesia khususnyadi daerah Yogyakarta menarik untuk ditelusuri dan dikaji. Artikel ini bertujuan mendeskripsikan peace education sebagai resolusi konflik dan bentuk-bentuk resolusi konflik berbasis keagamaan yang dilakukan oleh Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) di Daerah Istimewa Yogyakarta.
B. Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB)4 Berdirinya Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) berawal dari fenomena dan maraknya berbagai kerusuhan sosial-keagamaan bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) yang terjadi diberbagai daerah di Indonesia. Fenomena ini terjadi di akhir-akhir tahun 1996 dan kemudian nampak jelas dan semakin meluas menjelang pemilu tahun 1997. Beberapa daerah yang menjadi tempat konflik dan kerusuhan diantaranya adalah Situbondo, Tasikmalaya, Jakarta, Kupang dan terus menjalar di tempat-tempat lain di tanah air. Kerusuhan dan konflik ini berakibat kepada rapuhnya persatuan dan kesatuan bangsa yang telah di bina berathun-tahun lamanya. Hal ini mengundag kekhawatiran dan keresahan para tokoh agama dan masyarakat. Yogyakarta sebagai daerah yang menjadi rujukan persatuan, kesatuan dan kerukunan umat dengan berbagai latar belakang (Suku, Ras, Agama, Golongan, dan lain-lain) juga merasakan kekhawatiran dan keprihatinan atas berbagai kejadian tersebut. Masyarakat Yogyakarta juga khawatir jika berbasis keagamaan. 4 Sejarah berdirinya FPUB ini dirangkum dari hasil informasi dan wawancara dengan KH. Abdul Muhaimin, Ngatiyar, dan brosur FPUB. Dari data yang ada terdapat dua versi tentang waktu berdirinya FPUB. Pertama menyebutkan bahwa berdirinya FPUB pada tanggal 24 Maret 1997. Kedua menyebutkan pada tanggal 27 Pebruari. An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587
Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik
29
berbagai kejadian kerusuhan bernuansa SARA tersebut menjalar dan terjadi di Yogyakarta. Lebih-lebihdi Yogyakarta disinyalir telah terjadi beberapa teror dibeberapa tempat ibadah seperti gereja, pura, vihara dan masjid serta beberapa pesantren. Melihat hal tersebut maka DIAN/Interfidei (Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia) berinisiatif mengundang para tokoh masyarak, agama, mahasiswa, LSM, dan berbagai lembaga lain untuk membincangkan dan berdiskusi terkait dengan berbagai peristiwa kerusuhan, konflik, kekerasan, dan teror bernuansa SARA yang terjadi. Gayung pun bersambut, undangan interfidei tersebut direspon dengan baik oleh berbagai kalangan sehingga berkumpulah sekitar 23 orang yang terdiri dari para tokoh pelbagai agama dan kepercayaan, tokoh masyarakat, LKiS, PMKRI, aktivis mahasiswa dan lain-lain. Pertemuan ini menyepakati untuk terus mengadakan pertemuan secara rutin di pesantren, gereja, klenteng, vihara, pura dan dibeberapa balai desa serta tempat-tempat lain dengan agenda membahas masalahmasalah sosial, ekonomi, politik, budaya, kemanusiaan dan lain-lain dari sudut moral dan iman. Pada pertemuan yang dilaksanakan pada tanggal 27 Februari 1997 di pesantren putri Nurul Ummahat, Kotagede, pimpinan KH. Abdul Muhaimin dengan tema pertemuan adalah “menciptakan persaudaraan sejati” akhirnya mensepakati bahwa komunitas atau kelompok ini bernama “Forum Persaudaraan Umat Beriman”, sebuah forum bersama yang melibatkan umat pelbagai agama, termasuk penghayat kepercayaan dan Kong Hu Cu. Dengan demikian pada tanggal 27 Februari 1997 itulah secara resmi dinyatakan waktu kelahiran atau berdirinya FPUB Yogyakarta. Penggunaan kata “Umat Beriman”, bukan Umat Beragama—pada Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB)—karena kelompok ini berpandangan bahwa persaudaraan tidak dibatasi oleh lima agama, melainkan siapa saja dan dari mana saja yang berkehendak baik dan menyembah Tuhan—entah “Tuhan” disebut apa. FPUB sangat menaruh
An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587
30
Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik
hormat kepada semua orang yang beragama dan berkepercayaan yang menyembah Tuhan dengan tulus dan berlaku jujur. Sebagai sebuah “forum”, FPUB merupakan wadah kultural yang dapat menjadi wadah bersama dalam mendialogkan, mendiskusikan, dan memberikan solusi-solusi alternatif atas berbagai masalah yang dihadapi umat terkait dengan keberagamaan. Ditegaskan bahwa kehadirian FPUB bukanlah semata-mata bentuk reaksi atas situasi dan kondisi sosial yang diwarnai konflik bernuansa SARA, tetapi pada dasarnya merupakan upaya atau ikhtiar preventif dari berbagai komponen masyarakat yang memiliki keprihatinan dan tanggung jawab bersama atas ketentraman dan kenyamanan kehidupan masyarakat yang dipenuhi perdamaian. Perdamaian yang didasari persaudaraan sejati dan solidaritas sosial inilah yang menjadi spirit gerakan FPUB.
C. Visi dan Misi FPUB sebagai Perekat Gerakan FPUB pada dasarnya merupakan wadah kultural yang tanpa kepengurusan sebagaimana lembaga formal struktural, dan tanpa AD/ART. FPUB juga tidak di bawah naungan suatu lembaga, LSM, partai politik atau pemerintah. Forum ini merupakan bentuk alternatif dari lembagalembaga formal yang telah ada. Dengan kata lain bahwa FPUB sebenarnya merupakan forum non-struktural dan merupakan forum kultural yang bersifat komunitas. Alasan forum ini merupakan forum kultural adalah bahwa selama ini upaya pencarian hubungan antaragama lewat struktur seperti MUI, PGI dan sebagainya mengalami hambatan politis. Sebab seringkali digunakan untuk kepentingan hegemoni kekuasaan. Oleh karenanya lembaga-lembaga formal seperti itu tidak efektif, dan akan lebih efektif dengan forum-forum kultural.5 Sebagai forum kultural, bukan berarti FPUB tidak mempunyai visi, misi dan tujuan. Justru visi, misi dan tujuan FPUB inilah yang menjadi 5
Wawancara dengan KH. Abdul Muhaimin November 2011.
An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587
Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik
31
perekat, pemersatu, dan bergabungnya berbagai kelompok masyarakat dari berbagai latar belakang. Visi FPUB adalah “terwujudnya komunitas antariman yang penuh kedamaian dengan penghayatan/ keyakinan yang kuat kepada Tuhan dalam nilai kemanusiaan, solidaritas, dan penghargaan atas hakhak asasi manusia” (peaceful intefaith community with strong faithto God, solidarity and human rights appreciation). Visi FPUB tersebut kemudian dirinci lebih lanjut dalam empat misi FPUB. Lima misi tersebut adalah; pertama, menanamkan semangat kehidupan antarumat beriman yang penuh damai berdasarkan dimensidimensi universal dari iman dan agama-agama melalui aksi-aksi dan bertindak sebagai kekuatan moral untuk keadilan dan solidaritas. Kedua,memberdayakan masyarakat agar bebas dari keputusan etis dari iman-iman mereka masing-masing. Ketiga, mempromosikan komunitas anti kekerasan. Keempat, bergerak sebagai kekuatan moral dami negara yang damai dan adil menuju dunia yang lebih baik.6 Visi, misi,dan tujuan FPUB tersebut kemudian diwujudkan dalam berbagai kegiatan yang diformat dalam empat bidang atau divisi. Pembentukan bagian-bagian atau divisi ini dimaksudkan untuk mempermudah dan mengefektifkan dalam mengorganisir gerakan. Setiap bidang dipegang oleh seorang koordinator. Kempat bidang tersebut adalah bidang dialog agama, bidang Peace Campaign (kampanye damai), bidang Media dan Informasi, dan bidang Transformasi sosial.
D. Peace Education (Pendidikan Perdamaian) Peace education pada dasarnya adalah sebuah proses untuk mendapatkan pengetahuan, pengembangan sikap, dan tingkah laku untuk dapat hidup 6
Brosur FPUB dalam bahasa Inggris tahun 2002 dan diterjemahkan oleh Albertus Nugroho Widiyono dalam Tesisnya “Kerukunan Antarumat Beragama; Sebuah Studi Kasus Melihat Visi Dialog FPUB Yogyakarta dalam Perbandingan dengan Visi Dialog Korelasional Paul F. Knitter”, PPs Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2009. An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587
32
Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik
saling menghormati, toleran, penuh perdamaian, saling membantu dan anti kekerasan (non-violence).7 Kata “peace” dalam bahasa Indonesia berarti “damai”. Damai dalam pengertian ini adalah sebuah suasana tidak adanya perang atau konflik dan kekerasan. Faktor penyebab terjadinya suasana damai adalah ketika individu memiliki rasa kedamaian dalam diri sendiri, memiliki kemampuan untuk mengontrol emosi dan pikirannya agar tidak melakukan tindakan yang merugikan orang lain serta bisa memicu terjadinya konflik dan kekerasan. Perdamaian adalah konsep dan cara pandang yang positif baik terhadap dirinya maupun kepada orang lain. Aspek-aspek yang dikembangkan pada peace education adalah kedamaian dan anti kekerasan (peace and non-violence), hak asasi manusia (human rights), demokrasi (democracy), toleransi (tolerance), pemahaman antar bangsa dan antar budaya (international and intercultural understanding), serta pemahaman perbedaan budaya dan bahasa (cultural and linguistic diversity).8 Kedamaian dan anti kekerasan (peace and non-violence) merupakan aspek penting dalam mewujudkan harmoni, toleransi, dan perdamaian di tengah-tengah masyarakat yang sangat beragam. Hak Asasi Manusia (human rights) mengajarkan penghormatan terhadap kebebasan seseorang yang merupakan haknya yang diberikan Tuhan kepada manusia. HAM secara normatif dimengerti sebagai hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan. Demokrasi (democracy) mengajarkan terhadap kebersamaan dan kesamaan hak dan kuwajiban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemehaman terhadap demokrasi memberikan manfaat tentang kesetaraan dan kesamaan sebagai warga negara, memenuhi kebutuhan-kebutuhan Umum, pluralisme dan kompromi, menjamin hakhak dasar, dan pembaruan kehidupan sosial. Toleransi, tolerance (Inggris:); tasamuh (Arab) berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Pemahaman antar bangsa dan antar budaya (international and intercultural understanding) memberikan penyadaran bahwa 7 8
Imam Machali, “Peace Education dan Deradikalisasi Agama,”... hlm. 44. Imam Machali, “Peace Education dan Deradikalisasi Agama,”... hlm. 44.
An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587
Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik
33
pada setiap bangsa atau daerah mempunyai kekhasannya masing-masing. Bahkan seringkali saling bertolak belakang. Pemahaman perbedaan budaya dan bahasa (cultural and linguistic diversity) menghantarkan kepada kesadaran akan keanekaragaman budaya dan bahasa serta dialek. Keragaman budaya dan bahasa tersebut satu sisi merupakan kekayaan yang sangat berharga, akan tetapi di sisi lain dapat berpotensi sebagai pemicu konflik dan disharmoni. Sehingga pemahaman terhadap perbedaan budaya dan bahasa (cultural and linguistic diversity) dimaksudkan untuk menyadari keragaman dan dikelola sebagai kekayaan dan rahmat. Dengan demikian peace education mengajarkan rasa saling menghargai, mencintai, fairness, dan keadilan. Dengan prinsip dan ajaran inilah resolusi konflik dapat dilakukan.
E. Peace Education dan Resolusi Konflik Pendidikan perdamaian (peace education) dapat menjadi strategi dalam rangka proses resolusi konflik. Sebab dalam pendidikan perdamaian memberikan pandangan, wawasan dan keterbukaan terkait dengan realitas pluralitas umat manusia baik dari segi agama, budaya, ras, bahasa, dan lain-lain. Keragaman yang ada bukanlah hal yang harus ditolak, akan tetapi dikelola, disyukuri sebagai kekayaan dan potensi yang memberikan berkah kehidupan umat. Oleh karena itu, aspek-aspek yang dikembangkan dan diajarkan dalam peace education adalah kedamaian dan anti kekerasan (peace and non-violence), hak asasi manusia (human rights), demokrasi (democracy), toleransi (tolerance), pemahaman antar bangsa dan antar budaya (international and intercultural understanding), serta pemahaman perbedaan budaya dan bahasa (cultural and linguistic diversity). Pemahaman dan pandangan seperti inilah yang menjadi pemicu dan sangat berpotensi terjadi kerusuhan dan konflik. Oleh karena itu, melalui peace education yang mengajarkan tentang realitas keragaman (pluralisme) agama, ras, suku, budaya, dan bahasa yang harus dikelola dan dihormati akan dapat menjauhkan dari sikap dan tindakan-tindakan ekstrim, radikal An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587
34
Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik
yang berujung pada konflik.. Hal ini berarti bahwa pendidikan perdamaian (peace education) dapat menjadi proses resolusi konflik. Selain hal itu, peace education juga memberikan pemahaman dan penyadaran tentang pentingnya sikap “toleransi aktif” dalam kehidupan yang sangat beragam. Resolusi konflik yang dimaksud disini sebagaimana pendapat Alo Liliweriadalah tindakan yang bertujuan untuk menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan yang baru yang relatif dapat bertahan lama di antara pihak yang saling bermusuhan.9Oleh karenanya resolusi konflik berarti sebagai sebuah prakarsa mengatasi sumber-sumber konflik dengan mengalihkan kekuatan negatif dari sumber perbedaan kepada kekuatan positif. Resolusi konflik berkaitan erat dengan bagaimana cara pandang dan cara merespon masyarakat terhadap konflik dalam kehidupan sosialnya, untuk kemudian melakukan tindakan yang lebih produktif dengan menghindarkan kekerasan, meningkatkan keadilan, membangun interaksi sosial dan respon pada persoalan sosial dalam hubungan antar manusia. Jadi resolusi konflik mengandaikan adanya kesadaran masyarakat terhadap realitas kehidupan yang ada di sekitarnya.10 Pendekatan-pendakatan yang dapat dilakukan dalam upaya resolusi konflik adalah pendekatan dialog, negosiasi, mediasi dan pendidikan perdamaian.11Pertama, pendekatan dialog adalah pendekatan resolusi konflik yang melibatkan dua orang atau komunitas yang mendiskusikan atau membicarakan sautu isu tertentu untuk saling meningkatkan pemahaman. Dialog ini melibatkan pengalaman, persepsi dan keyakinan untuk memperdalam pemahaman terhadap persoalan tersebut yang
9 Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik. Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur, (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm.287-288. 10 Lihat John Paul Lederach, Conflict Transformation (Goodbooks, Intercourse, PA. 17534) hlm. 40. Lihat juga Sabian Ustman, Anatomi Konflik dan Solidaritas Masyarakat Nelayan: Sebuah Penelitian Sosiologis, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 16-17. 11
Lisa Schirch, Strategis Peace Building, (USA; Goodbook, Intercourse PA. 17534) hlm.
49-51. An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587
Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik
35
dibicarakan.12Pendekatan dialogis ini memungkinkan peseta yang terlibat dalam dialog mengalami perubahan, terbuka antara satu dengan lainnya, dapat merasakan atau berempati dengan mitra, dapat menanamkan kepekaan terhadap orang lain dan akan lebih memahami keyakinan, pemikiran dan masalah yang dihadapi oleh orang lain. Pendekatan dialog ini sangat ditentukan oleh adanya sikap keterbukaan atau transparansi, menyadari adanya perbedaan, sikap kritis, persamaan, kemauan untuk memahami kepercayaan, keyakinan, ritus, dan simbol-simbol agama tertentu. Kedua,negosiasi. Negosiasi adalah proses dialektika antara dua orang atau komunitas yang masing masing bisa saling berunding untuk mendapatkan kesepakatan yang saling untung menguntungkan. Dalam negosiasi masing-masing kelompok memiliki peran dan kesempatan yang sama dan memperoleh keuntungan yang sama, tidak ada yang kalah atau dikalahkan dalam proses negosiasi, keduanya sama-sama memperoleh keuntungan berdasarkan mufakat atau kesepakatan-kesepakatan yang buat bersama. tujuan dari negiosiasi adalah untuk mendapatkan penyelesaian masalah bersama dengan mengkompromikan perbedaan yang ada sehingga mendapatkan model penyelesaian yang saling menguntungkan (win-win solution) bukan solusi yang saling mengalahkan (lose lose solution). Ketiga, mediasi konflik. Mediasi adalah proses dimana pihakpihak yang bertikai, dengan bantuan dari seorang praktisi resolusi pertikaian (mediator) mengidentifikasi isu-isu yang di persengketakan, mengembangkan opsi-opsi, mempertimbangkan alternatif-alternatif dan upaya untuk mencapai sebuah kesepakatan. Mediasikonflik fokus pada upaya mengakhiri konflik dengan meminimalkan kekerasan, meningkatkan keadilan, dan pemenuhan terhadap hak dan kuwajiban.The structural dimension highlights the underlying causes of conflict, and stresses the ways in which social structures, organizations, and institutions are built, sustained, and changed by conflict. Oleh karena itu, mediasi konflik 12
Lisa Schirch, Strategis Peace Building..., hlm. 49.
An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587
36
Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik
mengacu pada analisis terhadap kondisi sosial yang bisa menimbulkan konflik dan memenuhi harapan, kebutuhan, dan keinginan kelompok. Praktik mediasi dalam resolusi konflik ini dapat berbentuk macam-macam diantaranya adalah setlement mediation (mediasi kompromi) yaitu mediasi yang bertujuan mendorong terwujudnya kompromi dari tuntutan kedua belah pihak yang sedang bertikai. Facilitative mediation yaitu mediasi yang bertujuan menghindarkan disputants(pembangkang) dari posisi mereka dan menegosasikan kebutuhan dan kepentingan para disputants.Transformative mediation atau mediasi terapi dan rekonsiliasi merupakan mediasi yang menekankan untuk mencari penyebab terjadinya permasalahan di antara disputants, dengan pertimbangan untuk meningkatkan hubungan di antara mereka melalui pengakuan dan pemberdayaan sebagai dasar dari resolusi (jalan keluar) dari pertikaian yang ada.Evaluative mediation atau mediasi normatif merupakan model mediasi yang bertujuan untuk mencari kesepakatan berdasarkan pada hak-hak legal dari para disputans dalam wilayah yang diantisipasi oleh pengadilan.13 Diantara model mediasi yang ada, model transformatife mediation atau mediasi terapi dan rekonsiliasi merupakan model yang paling luas memberikan kesempatan pada partisan untuk menyelesaikan konfliknya sendiri. Dari model ini peranan mediator adalah mendorong terjadinya proses memampukan masyarakat yang berkonflik, untuk kemudian mampu mengelola konfliknya sendiri. Aspek memampukan dirinya sendiri untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi adalah hal penting dari transformasi dan pemberdayaan, yaitu mengubah warga masyarakat dari posisi sebagai objek menjadi subjek, melibatkan secara penuh atau partisipasi masyarakat mulai dari merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, refleksi dan evalusi serta adanya kesinambungan atas perencanaan perdamaian dari konflik yang mereka sepakati.14Dengan model transformatif mediation 13 Muhsin Jamil, (ed.), Mengelola Konflik Membangun Damai, Teori, Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik, (Semarang, WMC IAIN Walisongo, 2007)hlm.113-114. 14 Peter Haris dan Ben Reily, (ed.), Demokrasi dan Konflik yang Mengakar; Sejumlah Pilihan untuk Negosiator, (Jakarta: International IDEA, 1998), hlm.101.
An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587
Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik
37
ini diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran dan perubahan sikap (grown and change). Dengan adanya pertumbuhan dan perubahan tersebut diharapkan mediasi akan menghasilkan konsensus yang produktif dalam kehidupan.15 Hal ini bisa diawali dari kesadaran dan perubahan cara pandang secara personal dalam melihat konflik. Dimensi personal ini mengacu pada perubahan dilakukan dan diinginkan secara individu, baik berkaitan dengan kognitif, emosional, persepsi, dan aspek-aspek spiritual dari pengalaman hidup. Dengan adanya kesadaran pada level personal ini akan mampu mendorong terjadinya dialog yang berkesinambungan sebagai jalan untuk menyelesaikan persoalan di antara pihak-pihak yang memiliki pandangan berbeda.16 Keempat, pendidikan perdamaian.Pendidikan merupakan sarana yang paling memungkinkan untuk menanamkan sikap hidup yang dewasa, dan toleran dalam menyikapi perbedaan dan konflik. Dengan pendidikan orang akan belajar mamahami pangalaman masa lalu dan merancang kehidupan di masa mendatang yang lebih baik. Pendidikan perdamaian dapat menjadi pendekatan dalam melakukan resolusi konflik. Pendidikan dalam hal ini bukan dalam pengertian sempit-formaslitik, akan tetapi bermakna luas yaitu sebuah upaya sadar membangun kehidupan yang lebih baik.
F. FPUB dan Peran Resolusi Konflik Sebelum upaya resolusi terjadap konflik dilakukan, kejadian yang mendahuluinya adalah adanya konflik. Konflik terjadi terjadi karena adanya perbedaan pandangan, persepsi, atau kepentingan antara dua orang atau kelompok dan tidak didapatkan alternatif untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dalam kondisi ini, tidak terbangun kepercayaan antar 15 Leonard Swidler, Trialogue Jews, Cristians and Muslim In Dialogue, (New London: Twenty Third Publication, 2000), hlm. 15-16. 16 TH Sumartana, (dkk.), Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama dI Indonesia, (Yogyakarta: DIAN/Interfidei, 2001). hlm. 79-87.
An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587
38
Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik
orang atau kelompok tersebut. Faktor adanya ketidakpercayaan ini menjadi pendorong kuat terjadinya konflik antar individu maupun kelompok. Dalam konteks konflik keagamaan yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat kita menunjukkan bahwa, konflik tidak pernah berdiri sendiri, akan tetapi selalu berkelindan dengan persoalan-persoalan lain yang mengiringinya seperti faktor sosial, politik yang lainnya.Amin Abdullah mengidentifikasi dua faktor kesenjangan penyebab konflik pertama, adanya pemahaman ajaran agama yang sempit. Agama dipahami hanya sebatas teks-teks semata tidak memahami konteks realitas sejarah yang melingkupinya, bahkan kelompok ini tidak bersedia memahami konteks kekinian bagaimana substansi teks akan diaplikasikan. Selain itu teks juga dimaknai secara parsial sehingga memunculkan bias pemahaman dan kurang tepat. Kedua, adanya pertarungan kepentingan yang memanfaatkan isu-isu sentimen agama. Pemahaman yang dangkal akan nilai agama seringkali dimanfaatkan oleh kelompok tertentu guna mendukung kepentingan mereka. Bahkan pada kasus tertentu hal tersebut tidak ada kaitannya sama sekali dengan kepentingan agama, yang dominan justru kepentingan kelompok tersebut. Dalam hal ini agama telah disandera oleh kepentingan politik dari kelompok tersebut guna mempermudah pencapaian tujuannya.17 Menurut Alo Liliweri persoalan yang sering mnjadi penyebab konflik antar etnik maupun agama adalahpertama, negara yang lemah. Hal ini dapt dilihat dari kegagalan negara dalma melakukan perubahan strktural. Faktor penyebabnya adalah korupsi, meningkatnya kejahatan, berkurangnya fungsi institusi politik dan pemerintahan, pelanggaran HAM, dan ketidakpastian hukum. Hal lain adalah kegagalan negara dalam mengelola perbedaan etnik yang muncul. Akibatnya pambauran antar etnik bisa menimbulkan konflik lokal, regional maupun nasional. Kedua, faktor politik. Berkaitan dengan faktor politik ini ada beberapa persoalan yang menimbulkan 17 Amin Abdullah "Kesadaran Multikultural;; Sebagai Gerakan 'Interes Minimalization Dalam Meredakan Konflik Sosial" dalam M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural; Cross Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta, Pilarmedia, 2005) hlm. Xx.
An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587
Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik
39
konflik antara lain : (1). Adanya diskriminnasi politik berdasarakan ras ataupun etnik. Akibatnya memunculkan rendahnya keadilan politik dan tumbuhnya nasionalisme yang di dasarkan pada sentimen etnik. (2). Mengahasilkan politik kaum elit yang berakibatkan para elit politik menjadi politisi yang oportunis dalam urusan politik, sosiial dan ekonomi. Ketiga, faktor sosial ekonomi. Hal ini berkaitan dengan adanya pendapatan yang tidak merata dan kebijakan ekonomi yang deskriminatif, dimana kelompok elit berkuasa menggunakan kedudukannya untuk mengakses sumberdaya ekonomi. Kempat, faktor kebudayaan dan persepsi terhadap kebudayaan. Dalam hasil ini konflik muncul disebabkan oleh adanya faktor deskriminasi terhadap budaya minoritas, adanya paksaan budaya dari mayoritas dan adanya sejarah konflik dari budaya yang ada.18 Dalam konteks konflik etnik-agama yang sering muncul di Indonesia faktor utama penyebab munculnya konflik adalah: (1) faktor sejarah seperti perlakuan istimewa yang diberikan pemerintah kepada kelompok (suku atau agama) tertentu yang bias menimbulkan perselisihan. (2) Faktor perorangan atau kelompok. Berupa rasa frustasi yang dirasakan setelah memendam rasa sakit hati yang berkepanajangan. Kondisi ini sering dimanfaatkan elit tertentu yang memperlakukan perasaan tersebut seakan akan merupakan kepentingan, nilai dan kebutuhan kelompok. (3). Faktor kebijakan yang berupa adanya janji yang tidak ditepati dan kebijakan yang memecah belah masyarakat, yang kemudian menimbulkan rasa sakit hati dan adanya korupsi, buruknya pengelolaan sumberdaya alam. (4). Faktor kelembagaan dan struktur lokal,yaitu adanya struktur yang memainkan peranan yang bisa menimbulkan konflik seperti perebutan kekuasaan dan perebutan sumberdaya alam. (5). Pengelolan sumberdaya alam. Eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan dengan pembagian yang tidak adil antara pusat dan daerah sangat mudah menyulut adanya konflik. (6) faktor dari luar. Adanya lembaga-lembaga yang giat malakukan advokasi dan pemberdayaan masyarakat serta meningkatkan kesadaran Lihat, Alo Liliweri Prasangka Dan Konflik…hlm. 316.
18
An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587
40
Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik
politik bagi rakyat. Dengan kegiatan ini masyarakat sering terpanggil untuk memperjuangkan hak-hak mereka.19 Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) adalah sebuah forum kultural yang concern terhadap persoalan-persoalan kerukunan antarumat beriman bukanlah satu-satunya di Yogyakarta. Terdapat beberapa lembaga lain seperti DIAN/Interfidei (Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia) yang juga mempunyai visi dan misi yang relatif sama. Selain itu juga terdapat FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama). Sekilas memang antara FPUB dan FKUB nampak sama, akan tetapi terdapat perbedaan. Dari proses berdirinya pun berbeda, FPUB berdiri berdasarkan kegelisahan bersama para tokoh agama dan masyarakat atas berbagai persoalan keberagamaan dan kebangsaan yang terjadi, sehingga secara kultural mereka berkumpul dan membentuk forum bernama FPUB. Sedangkan FKUB berdiri berdasarkan ketentuan PBM (Peraturan Bersama Menteri). FKUB dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi pemerintah dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan. Dari berbagai lembaga atau forum yang ada di Yogyakarta, mereka saling bersinergi dan mendukung guna tercapainya kehidupan umat beriman yang damai, saling menghormati dan penuh toleransi. FPUB dalam usaha mewujudkan visinya “terwujudnya komunitas antariman yang penuh kedamaian dengan penghayatan/ keyakinan yang kuat kepada Tuhan dalam nilai kemanusiaan, solidaritas, dan penghargaan atas hakhak asasi manusia” dilaksnakan dalam berbagai program kegiatan. Kegiata tersebut menjadi media atau yang dapat meredam dan bahkan resolusi konflik. Program kegiatan tersebut adalah diskusi dan dialog antar umat beragama, aksi solidaritas sosial, dan aksi damai dan do’a bersama.
19 Lihat Dewi Fortuna Anwar dkk,(ed) Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi, Politik dan Kebijakan di Asia Pasifik (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia-LIPI dan LASEMA-CNRS, 2004) hlm.88-89.
An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587
Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik
41
1. Diskusi dan Dialog Antar Umat Beragama Diskusi dan dialog antar umat beragama yang dilakukan oleh FPUB merupakan gerakan kultural yang berusaha menyelami, memahami, dan menumbuhkan saling pengertian terhadap persoalan-persoalan riil yang dihadapi oleh masyarakat. Diskusi dan dialog ini bukan dalam pengertian sempit yaitu sebuah forum berdebat, berargumentasi dan mengungkapkan, mendengar dan menerima pendapat pihak lain. Akan tetapi lebih dari itu, diskusi dan dialog yang dilakukan adalah melampaui hal-hal tersebut. Dalam pengertian bukan lagi mendiskusikan dan mendialogkan wacana, akan tetapi tindakan nyata yang dikemas dalam gerakan kultural. KH. Abdul Muhaimin menyebut diskusi atau dialog FPUB dengan dialog “kehidupan”. Banyak kita kenal dialog; dialog hidup, dialog karya, dialog sosial, dialog wacana, dialog tindakan (dialogue of actio), dialog pertukaran teologis (doalogue of teological exchange), dialog pengalaman keagaman (dialogue of religious experience), dan lain-lain, akan tetapi dialog dilakukan oleh FPUB adalah dialog kehidupan.20 Dalam dialog ini, peserta dialog diminta mengungkapkan pandangan, dan pengalaman-pengalaman agama sendiri. Selain itu juga diminta secara terbuka mendengarkan pandangan dan pengalaman mitra dialog secara terbuka.Diskusi dan dialog antar agama-antar keyakinan ini bukanlah ajang untuk berdebat, berpolemik, berapalogi, bahkan sampai dengan pemaksaan pandangan diri sendiri terhadap pihak lainnya. Sebaliknya, peserta dialog bisa saling belajar satu dengan lainnya mengenai pengalaman kehidupan keberagamaan mereka. Dengan dialog membuka kemungkinan masing-masing peserta dialog mengalami perubahan cara pandang dalam berinteraksi antara satu
20
Wawancara 14 Juli 2011.
An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587
42
Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik
dengan lainnya secara lebih terbuka, setidaknya akan bisa memahami keyakinan, pemikiran dan masalah yang dihadapi oleh mitra dialog.21 Latar belakang FPUB yang dibidani oleh berbagai macam tokoh dengan berbagai variasi pengalaman dan latar belakang menjadikan FPUB semakin dinamis. Mereka tidak hanya mendirikan, akan tetapi secara aktif ikut terlibat dan memikirkan untuk mewujudkan visi FPUB. Masing-masing tokoh tetap menjalankan fungsinya sebagai pemimpin masyarakat atau umatnya. Dari aktifitas dan fungsinya sebagai tokoh di komunitasnya masing-masing itulah kemudian muncul kreatifitas dan berbagai permasalahan yang menjadi bahan untuk berdialog. Kebutuhan untuk menanggapi berbagai masalah di masyarakat tersebut menjadi tempat belajar dan sekaligus sebagai praktik lapangan diskusi dan dialog. Fokus dialog terhadap persoalan-persoalan riil kehidupan masyarakat ini bukan berati menafikan pendekatan dialog lain seperti; dialog teologis atau dokmatis. Dialog yang menyentuh persoalan dokmatis atau teologis lebih bersifat informatif. Sebab menurut Muhaimin, dialog teologis membutuhkan kapasitas tertentu yang tidak bisa begitu saja dilakukan oleh setiap orang, lebih-lebih bagi yang masih mempunyai “fanatisme negatif” (saya benar, kamu salah) justru berdampak tidak bagus dan kontraproduktif. Dialog kehidupan bersifat universal dan secara riil dihadapi oleh semua orang dari berbagai latar belakang agama dan keyakinan, sehingga sangat efektif dalam mewujudkan misi perdamaian (peace) dan soalidaritas antarumat beriman. Dalam konteks ini diskusi dan dialog ini dapat memerankan fungsinya sebagai alat resolusi konflik. FPUB menyadari bahwa persoalan antarumat beragama berupa konflik, kekerasan, dan disharmoni yang sering kali terjadi di tengah masyarakat tidak banyak disebabkan oleh perdebatan teologis yang rumit, melainkan hanya semacam menggumpalnya kecurigaan 21 Baca Budiyono, Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beriman (Yogjakarta: Kanisisus, 1983) hlm. 80-81.
An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587
Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik
43
akibat kurangnya saling tegur sapa kultural di antara mereka22. Oleh karena itu, dialog antarumat beragama (interfaith) menurut FPUB perlu dikembangkan untuk menciptakan kebersamaan dan saling pengertian, bukan sekedar menciptakan kerukunan atau peaceful co-existence—hidup berdampingan secara damai tetapi tidak saling mengerti, akan tetapi lebih dari itu yaitu pro-eksistensi—tidak hanya berhenti pada membiarkan orang lain ada, tetapi juga ikut serta meng“ada”-kan secara aktif. Dengan pemahaman semacam ini semakin memperkecil kemungkinan konflik, dan jika sudah terjadi konflik maka dapat menjadi sarana rekonsiliasi konflik.
2. Aksi Solidaritas Sosial Aksi solidaritas sosial yang dilakukan oleh FPUB berkaitan dengan keprihatinan atas situasi politik, sosial, ekonomi, budaya dan juga keprihatinan segala bentuk bencana yang terjadi. Nilai pengikat aksi solidaritas sosial ini adalah nilai kemanusiaan. Dalam aksi solidaritas sosial ditekankan pentingnya nilai kemanusiaan yang diperjuangkan oleh semua agama. Dengan kesadaran akan nilai kemanusiaan maka tidak ada anggapan bahwa bentuk atau aksi-aksi sosial yang dilakukan FPUB sebagimana yang banyak diprasangkakan orang; bahwa bentukbentuk bantuan merupakan semacam promosi agama tertentu. Usaha mewujudkan misi kemanusiaan agama FPUB berbagai kegiatan solidaritas sosial, tidak sekedar diskusi wacana, FPUB juga bergerak di bidang kepedulian, kemanusiaan, ekologi, dan advokasi. Sebuah bukti nyata adalah mengadakan pelatihan berbagai ketrampilan (skills) bagi anak-anak korban Tsunami Aceh. Mereka dibawa ke Yogya dengan pesawat, melatih mereka dengan berbagai ketrampilan dan kemudian mengembalikannya. Dengan berbekal ketrampilan tersebut diharapkan dapat mengembangkan dan memberdayakan lingkungannya. Selain itu FPUB mengadakan gerakan menanam pohon di pelbagai tempat dalam kerja sama dengan WALHI dan 22
SULUH FPUB, Edisi Agustus-September, Th. II, 2003, hlm. 6.
An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587
44
Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik
Budha Tsu Tsi, kegiatan kemanusiaan di lereng G. Merapi dan di daerah gempa di pelbagai tempat di DIY dan Jawa Tengah. Kemudian FPUB mengajak masyarakat untuk memahami pahampaham kegamaan dalam rangka membangun pemahaman yang luas dan toleransi, misalnya pada bulan puasa FPUB mengapresiasikan makna puasa di berbagai tempat, puasa menurut agama-agama dan aliran kepercayaan. FPUB juga bergerak dengan mengadakan penyuluhan bahaya narkotika, AIDS, dan lain-lain. Hal ini dilakukan dalam rangka usaha mewujudkan masyarakat yang toleran, dan perdamaian atas dasar persaudaraan sejati. Langkah-langkah program ini secara langsung mauun tidak langsung juga menjadi media jresolusi konflik. Dengan solidaritas kemanusiaan ini bekas “dendam” akibat konflik teredam-termaafkan sebab masing-masing kelompok mengedepankan kemanusiaannya.
3. Aksi Damai dan Do’a Bersama Doa bersama lintas iman menjadi ciri khas FPUB dalam berbagai kegiatan dan aksi. Doa bersama lintas iman memang mendapat perhatian cukup FPUB. Hampir dalam setiap kegiatan dan aksiaksi sosial yang melibatkan berbagai pemeluk agama bisa dipastikan terdapat agenda doa bersama. Kegiatan do’a bersama yang dilakukan FPUB tidak selamanya dipandang positif oleh berbagai kalangan. Bahkan tidak sedikit doa bersama ini dipandang sebagai penyimpangan terhadap ajaran agama. Oleh karenanya, tidak heran jika pemeluk agama tertentu menentang keras kegitan doa bersama ini. Secara teknis dalam ritual doa bersama ini para hadirin secara bersama-sama di dalam suatu tempat/acara/kegiatan melakukan doa bersama dengan dipimpin oleh para tokoh agama masing-masing. Para tokoh agama tersebut secara bergantian (maju) meminpin doa sesuai dengan ajaran agama masing-masing dan dikuti atau diamini oleh An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587
Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik
45
peserta yang seagama pemimpin do’a—tetapi juga bayak dari pemeluk agama lain yang ikut juga mengamini do’a. Kalimat-kalimat atau isi do’a (mantra do’a) menggunakan bahasa sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Secara umum doa bersama lintas iman memohon kepada Tuhan untuyk memberikan anugerah-anugerah terbaik kepada umat manusia, mengampuni segala dosa, menjauhkan dari malapetaka, krisis, kekerasan dan segala musibah, menyatukan umat dengan rahmatNya, menjadikan masyarakat atau umat beriman di Yogyakarta khususnya, Indonesia Umumnya masyarakat atau negara yang damai, saling mengasihi, persatuan dan kesatuan yang kokoh, makmur, dan santausa di bawah lindunganNya (baldatun toyibatun warobbun ghafur), memohon kebaikan di dunia dan akherat, dan lainlain. Berbagai aksi yang dilakukan oleh FPUB adalah aksi damai, anti anarkisme dan anti kekerasan. Do’a bersama merupakan salah satu bentuk dari aksi damai tersebut. Dengan aksi damai dan doa bersama terbukti lebih efektif dalam rangka menyampaikan keperihatinan terkait dengan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara. Aksi damai dan do’a bersama merupakan salah satu bentuk dari resolusi konflik. Sebab dalam pandangan komunitas FPUB bentuk kekerasan yang mengatasnamakan dan atas dalih apapun tidak akan pernah menyelesaikan masalah, bahkan justru akan menumbuhkan masalah-masalah baru. Memaafkan, dan rekonsiliasi adalah jalan kedamaian untuk melangkah ke masa depan yang lebih baik.
4. Pendidikan Perdamaian Berbagai bentuk kegiatan FPUB dalam secara langsung maupun tidak langsung menjadi sarana resolusi konflik. Bentuk-bentuk pendidikan perdamaian dilakukan adalah pertama, kedamaian dan anti kekerasan (peace and non-violence). FPUB dengan berbagai kegiatannya didasarkan pada prinsip mewujudkan perdamaian dan antikekerasan. An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587
46
Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik
Bagi FPUB kedamaian difahami sebagai bentuk persaudaraan yang saling memahami, menghormati dan cinta kasih. Konsep kedamaian mencakup fisik dan non-fisik, internal dan eksternal, Kedamaina internal dapat dibangun dengan kualitas iman, pemenuhan sisi HAM dan budaya. Sedangkan anti kekerasan merupakan turunan dari damai akibat dari perdamaian maka yang mewujud adalah perilaku yang tidak mengundang kekerasan, apalagi melakukan kekerasan. Kegiatan FPUB dalam rangka mewujudkan perdamaian dan anti kekerasan secara formal adalah dialog antarumat beriman. Dialog ini merupakan sebuah usaha preventif untuk menjaga dan menghindari tindak kekerasan. Berbagai aksi kekerasan, konflik, anarkisme dan radikalisasi atas nama agama yang terjadi selama ini lebih banyak dipicu oleh tidak saling mengerti, prasangka (prejudice), dan kurangnya bertemu-berinteraksi. Kedua,Hak Asasi Manusia (human rights). Bagi FPUB pemahaman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) mempunyai peran penting dalam membangun masyarakat damai dan toleran. Lebih-lebih menyangkut tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dalam konteks ini penghormatan terhadap HAM dapat difahami sebagai tujuan dari ketentuan peraturan atau dalam bahasa lain adalah “maqosidus Syari’ah”. Program-program FPUB terkait dengan penyadaran dan pemahaman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) untuk kebebasan beragama dan berkeayakinan (religion belief and Human right) adalah mengadakan diskusi, dialog, pelatihan dan pewartaan melalui penerbitah majalah SULUH. Ketiga, demokrasi (democracy). FPUB memandang demokrasi sebagai pilar dalam menciptakan tata negera yang berkeadilan, menghargai hak, dan pemenuhan terhadap kewajiban baik dari pemerintah maupun warga negera. Pemahaman terhadap demokrasi sangat berhubungan erat dengan penghormatan dan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Semakin tinggi tingkat pemehaman warga negera terhadap demokrasi, maka penghargaan terhadap perbedaan An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587
Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik
47
agama sangat tinggi. Usaha FPUB dalam membangun masyarakat demokratis, menghormati perbedaan agama dan keyakinan, dan mencintai pedamaian dan menjauhi kekerasan dilakukan dengan berbagai. Sebagai contoh adalah FPUB memfasilitasi konfik ahmadiyah yang sedang diserang, ikut mengamankan natal, atau perayaan agamaagama. Proses pendidikan juga dilakukan dengan cara menggadakan perayaan hari-hari besar keagamaan bersamadengan tujuan agar orang saling faham, saling mengeti dan saling memahami. Semua itu dilakukan dalam rangka membangun masyarakat yang damai, toleran, dan anti kekerasan. Keempat,toleransi (tolerance). Program FPUB selalu diorientasikan pada pembentukan dan membangun sikap toleransi aktif antar umatberiman dan antarbudaya (cross culture). Dalam hal ini FPUB memandang bahwa pentingnya sebuah cara pandang multikultural. Cara pandang multikultural mengandaikan adanya kesepakatan bahwa di dalam masyarakat terhampar begitu banyak keragaman kultural, yang masing-masing entitasnya berdiri sendiri dan saling berinteraksi. Dalam konteks masyarakat multikultur semacam ini maka gerakan dialog antaragama musti ditopangkan pada toleransi kultural, yakni tata laku kehidupan yang bukan semata-mata didasarkan pada toleransi antarkeberimanan, namun dibingkai dalam toleransi antarkemanusiaan23. Sebab sebenarnya media budaya yang menampung varian agama itu telah sama-sama dipraktekkan dan dijalani dalam lakon kehidupan sosial. Oleh karena itu, gerakan interfaith (dialog antar agama) musti dirancang sebagai gerakan kultural yang mengakar di level masyarakat. Gerakan yang hadir oleh dan dari masyarakat. Ia harus mengakar dan tumbuh berkembang di dalam masyarakat. Kelima, pemahaman antar bangsa dan antar budaya (international and intercultural understanding). FPUB selalu mengintegrasikan 23
Wawancara KH. Abdul Muhaimin, tanggal 14 Juli 2011.
An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587
48
Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik
kegiatan penyadaran akan pentingnya keragaman dengan tradisi dan budaya setempat (local culture). Penghargaan terhadap lokalitas dengan pendekatan mulikultural. Sebab pemahan terhadap keberagamaan dan toleransi masyarakat sedikit-banyak dipengaruhi oleh sosiokulturalnya. Oleh karena itu Pemahaman antar bangsa dan antar budaya (international and intercultural understanding) sangat penting dalam mewujudkan kerukunan, perdamaian dan persaudaraan sejati antarumat beriman. Keenam,pemahaman perbedaan budaya dan bahasa (cultural and linguistic diversity). Dalam konteks ini FPUB melalui SULUH menampilkan berbagai rubik yang digali dari beraneka ragam budaya dan latar. SULUH memformat berita dan informasinya dalam bentuk rubrik. Rubrik di majalah SULUH meliputi tajuk, topk, wacana, bahasa, sosok, geliat, khasanah, pendapat, resensi, jeda dan refleksi. Rubrik-rubrik dalam majalah SULUH ini berusaha menyampaikan pesan-pesan khas FPUB yaitu toleransi, pluralisme, multikulturaslime, demokrasi, anti kekerasan, perdamaian, komunikasi antarumar beriman, dan hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain. Rubrik-rubrk SULUH ditulis dengan gaya penulisan yang sederhana seperti feature atau bercerita. Berbagai tulisan dan berita yang dibagi dalam berbagai rubrik dalam majalah SULUH dimaksudkan untuk memberikan pemahaman terhadap perbedaan budaya dan bahasa (cultural and linguistic diversity) yang harus disyukuri, dibina dan menjadikannya sebagai jalan untuk menjalin persaudaraan sejati.
G. Simpulan Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB)memiliki peran sebagai resolusi konflik. Program kegiatan FPUB dalam peranya resolusi konflik dilaksanakan melalui empat bentuk yaitu; Pertama, diskusi dan dialog antar umat beragama yaitu sebuah gerakan kultural yang berusaha menyelami, memahami, dan menumbuhkan saling pengertian terhadap persoalanAn-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587
Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik
49
persoalan riil yang dihadapi oleh masyarakat. Kedua, aksi solidaritas sosial yaang dilakukan oleh FPUB berkaitan dengan keprihatinan atas situasi politik, sosial, ekonomi, budaya dan juga keprihatinan segala bentuk bencana yang terjadi. Nilai pengikat aksi solidaritas sosial ini adalah nilai kemanusiaan. Ketiga,aksi damai dan do’a bersama. Do’a bersama merupakan salah satu bentuk dari aksi damai dan anti kekerasan yang dilakukan oleh FPUB. Aksi ini menjadi salah satu bentuk resolusi konflik. Sebab dalam pandangan komunitas FPUB bentuk kekerasan yang mengatasnamakan dan atas dalih apapun tidak akan pernah menyelesaikan masalah, bahkan justru akan menumbuhkan masalah-masalah baru. Memaafkan, dan rekonsiliasi adalah jalan kedamaian untuk melangkah ke masa depan yang lebih baik. Keempat, pendidikan perdamaian yaitu proses menerima dan menghargai perbedaan sebagai bentuk deradikalisasi dan resolusi konflik (conflict resolution)dalam rangka membangun hubungan antar umat beragama yang terbuka, egaliter dan penuh kedamaian. Bentuk-bentuk pendidikan perdamaian dilakukan adalah kedamaian dan anti kekerasan (peace and non-violence), hak asasi manusia (human rights), demokrasi (democracy), toleransi (tolerance), pemahaman antar bangsa dan antar budaya (international and intercultural understanding), serta pemahaman perbedaan budaya dan bahasa (cultural and linguistic diversity).
Daftar Pustaka Abdullah, Amin. “Kesadaran Multikultural;; Sebagai Gerakan ‘Interes Minimalization Dalam Meredakan Konflik Sosial” dalam M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural; Cross Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta: Pilarmedia, 2005. Anwar, Dewi Fortuna. dkk, (ed), Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi, Politik dan Kebijakan di Asia Pasifik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-LIPI dan LASEMA-CNRS, 2004. An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587
50
Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik
Budiyono, Baca. Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beriman, Yogyakarta: Kanisius, 1983. Darmawan, Josep J. Multikulturalisme Membangun Harmoni Masyarakat Plural, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2005. Department of International & Transcultural Studies, Fundamental Concepts of Peace Education, Columbia: Columbia Univerity, 2006. Furlong, Gary T. The Conflict Resolution Toolbox, John Wiley & Sons Canada, Ltd. 2005. Haris, Peter, dan Ben Reily, (ed.), Demokrasi dan Konflik yang Mengakar; Sejumlah Pilihan untuk Negosiator, Jakarta: International IDEA, 1998. Hidayah, Z. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1997. Jamil,Muhsin (ed.), Mengelola Konflik Membangun Damai, Teori, Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik, Semarang: WMC IAIN Walisongo, 2007. Lederach, John Paul. Conflict Transformation Goodbooks, Intercourse, PA. 17534. Liliweri, Alo. Prasangka dan Konflik. Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur, Yogyakarta: LKiS, 2005. Machali, Imam. (ed), Pendidikan Multikultural, Pengalaman Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah dan Universitas, Yogyakarta: Aura Pustaka, 2013. Machali, Imam. “Peace Education Dan Deradikalisasi Agama,” dalam Jurnal Pendidikan Islam, Vol 2, No. 1, 2013: 41–64, DOI:10.14421/ JPI.2013.21.41-64. Mahfud, Chirul. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Reardon, Betty A. Comprehensive Peace Education; Educationg for Global Responsibility, New York: Columbia University, Teacher College Press, 1988.
An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587
Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik
51
Ritzer, George. Teori Sosial Postmodern, terj. Muhammad Taufik, Yogyakarta: Juxtapose Research and Publication Study Club dan Kreasi Wacana, 2005. Schirch, Lisa. Strategis Peace Building, USA: Goodbook, Intercourse PA. 17534. SULUH (suplemen) edisi 19 Tahun V Januari-Februari 2005. SULUH FPUB, Edisi Agustus-September, Th. II, 2003. SULUH, Edisi Agustus-September, 2003. SULUH, Edisi Juni-Agustus, 2001. Sumartana,TH. (dkk.), Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama dI Indonesia, Yogyakarta: DIAN/Interfidei, 2001. Swidler, Leonard. Trialogue Jews, Cristians and Muslim in Dialogue, New London: Twenty Third Publication, 2000. Syah, Hakim, Membangun Komunikasi Antaragama; Kajian atas FPUB D.I. Yogyakarta. Yogyakarta: Penelitian Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004. Ustman, Sabian. Anatomi Konflik dan Solidaritas Masyarakat Nelayan: Sebuah Penelitian Sosiologis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Widiyono, Albertus Nugroho, “Kerukunan Antarumat Beragama: Sebuah Studi Kasus Melihat Visi Dialog FPUB Yogyakarta dalam Perbandingan dengan Visi Dialog Korelasional Paul F. Knitter”, dalam tesis PPs Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 2009. Yaqin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural: Cross Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587