STUDI ANALISIS PENDAPAT TM. HASBI ASH SHIDDIEQY TENTANG TIDAK DIPERLUKANNYA LAFADZ IJAB QABUL DALAM JUAL BELI
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh: Sulakhudin NIM: 052311036
JURUSAN MUAMALAH FAKULTAS SYARI’AH IAIN WALISONGO SEMARANG 2012
Ahmad Arif Budiman, M.Ag Perum Asri 1.19 Kramas Tembalang Semarang PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eksemplar Hal : Naskah Skripsi a.n. Sdr. Sulakhudin Kepada Yth Dekan Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo Di Semarang Assalamua’alaikum Wr.Wb. Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirimkan naskah skripsi saudara: Nama
: Sulakhudin
Nomor Induk
: 052311036
Jurusan
: MU
Judul Skripsi
: STUDI ANALISIS PENDAPAT TM. HASBI ASH SHIDDIEQY TENTANG TIDAK DIPERLUKANNYA LAFADZ IJAB QABUL DALAM JUAL BELI
Selanjutnya saya mohon agar skripsi saudara tersebut dapat segera dimunaqasyahkan Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Semarang,
ii
Mei 2012
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG JL. Prof. Dr. HAMKA KM.2 Ngalian Telp. (024) 7601291 Semarang 50185 PENGESAHAN Skripsi saudara NIM Fakultas Jurusan Judul
: : : : :
Sulakhudin 052311036 Syari’ah MU STUDI ANALISIS PENDAPAT TM. HASBI ASH SHIDDIEQY TENTANG TIDAK DIPERLUKANNYA LAFADZ IJAB QABUL DALAM JUAL BELI Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut
Agama Islam Negeri Walisongo Semarang dan dinyatakan lulus, pada tanggal: 28 Juni 2012 Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata1 tahun akademik 2010/2011. Semarang, 28 Juli 2011
iii
MOTTO
(1 :) اﳌﺎﺋﺪة... ِﻳَﺎ أَﻳـﱡﻬَﺎ اﻟﱠﺬِﻳﻦَ آﻣَ ﻨُﻮاْ أَوْ ﻓُﻮاْ ﺑِﺎﻟْﻌُﻘُﻮد Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu (QS.5: 1).
Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah/Pentafsir Terjemahnya, Jakarta: DEPAG, 1979, hlm. 156.
iv
Al-Qur’an,
Al-Qur’an
dan
PERSEMBAHAN
Dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat dan air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini teruntuk orang-orang yang selalu hadir dan berharap keindahan-Nya. Kupersembahkan bagi mereka yang tetap setia berada di ruang dan waktu kehidupan ku khususnya buat: o Bapak dan Ibuku tercinta yang telah mengenalkan ku pada sebuah kehidupan dengan sebuah kasih sayang yang tak bertepi Dalam diri beliau kutemui contoh sosok orang tua yang sangat hebat. o Istriku tercinta yang selalu menemaniku dalam suka dan duka o Kakak dan adikku serta seluruh keluarga ku tercinta, semoga kalian temukan istana kebahagiaan di dunia serta akhirat, semoga semuanya selalu berada dalam pelukan kasih sayang Allah SWT. o Teman-teman Fak Syariah Jurusan Muamalah.
Penulis
v
DEKLARASI Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 15 Mei 2012 Deklarator,
Sulakhudin NIM: 052311036
vi
ABSTRAK Kenyataan di masyarakat sering dijumpai dan dialami oleh setiap orang yaitu transaksi jual beli tanpa lafadz ijab qabul, sedangkan harga barangnya pun tidak kecil. Sebagai rumusan masalah yaitu bagaimana pendapat T.M.Hasbi Ash Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli? Bagaimana metode istinbath hukum T.M.Hasbi Ash Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli? Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Sebagai data primer yaitu Karya TM.Hasbi Ash Shiddieqy, Al-Islam, Pengantar Hukum Islam. Adapun sumber data sekunder, yaitu rujukan dalam penelitian ini digunakan beberapa kitab atau buku antara lain: Koleksi Hadits-Hadits Hukum; Pokok Pokok Pegangan Imam Mazhab; Hukum-Hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar Madzhab; Falsafah Hukum Islam.Kitab al-Fiqh ‘ala alMazahib al-Arba’ah, Al-Uum, al-Risalah, Sejarah Hukum dalam Islam; Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab; Riwayat Sembilan Imam Fiqih; Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’ii, Hanbali; Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab; Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab Hanafi-Maliki-Syafi’i-Hambali; Ensiklopedi Hukum Islam, Asyhadul Madarik, Syarkh Irsyad al-Syalik fi Fiqhi Imam al-Aimmah Malik, Aujazu alMasalik Ila Mu’attai Malik, Musnad Ahmad, Nail al–Autar, Syarkh alRizqany‘, Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid, al-Muwatta’alMuafaqat fi Ushulisy syari’ah, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Memasuki Dunia al-Qur’an, Ikhtisahar Musthalah al-Hadits, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, dll yang ada relevansinya langsung dengan judul tersebut. Dengan demikian peneliti menggunakan teknik library research yaitu suatu riset kepustakaan. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa menurut TM.Hasbi Ash Shiddieqy jual beli itu dianggap sah bila terjadi dengan persetujuan kedua belah pihak. Persetujuan dapat dilakukan dengan ucapan dan dapat pula dengan isyarat (sikap kedua belah pihak itu). Apabila seorang penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli, sebaliknya pembeli menyerahkan harga dan mengambil barang, maka muamalah jual beli sudah terlaksana. Penjual tidak perlu mengucapkan lafadz ijab. Bukti persetujuan tidak mesti diucapkan. Atas dasar inilah dapat dipandang sah penjualan tanpa lafazd ijab qabul. Metode istinbat hukum yang digunakan TM.Hasbi Ash Shiddiqie adalah al-Qur'an surat al-Maidah ayat 1 yang artinya: "Hai orangorang beriman, penuhilah aqad-aqad itu " (QS. 5 ; Al Maidah: 1), dan hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang artinya: "Mengapakah mereka menentukan berbagai syarat yang tidak disebut dalam Kitabullah. Segala syarat yang tidak tersebut atau tak ada dalam Kitabullah, batal; walaupun seratus syarat. Keputusan Allah lebih benar, syarat Allah lebih kokoh, hak kekuasaan (atas bekas budak) tetap bagi yang memerdekakannya". (H.R: Bukhari Muslim).
vii
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah yang maha pengasih dan penyayang, bahwa atas taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi yang berjudul: “STUDI ANALISIS PENDAPAT TM. HASBI ASH SHIDDIEQY TENTANG TIDAK DIPERLUKANNYA LAFADZ IJAB QABUL DALAM JUAL BELI” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang. Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Bapak Dr. Imam Yahya, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. 2. Bapak Ahmad Arief Budiman, M.Ag selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini. 4. Para Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, yang telah membekali berbagai pengetahuan sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi. 5. Seluruh Staff Fakultas Syari'ah yang telah banyak membantu dalam akademik. Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, dan semoga apa yang tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para pembaca pada umumnya. Amin.
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... ii HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii HALAMAN MOTTO ................................................................................ iv HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ v DEKLARASI ............................................................................................. vi ABSTRAK ............................................................................................... vii KATA PENGANTAR................................................................................ viii DAFTAR ISI ............................................................................................. ix BAB I :
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................. 6 C. Tujuan Penelitian ................................................................. 6 D. Telaah Pustaka .................................................................... 7 E. Metode Penelitian ................................................................ 10 F. Sistematika Penulisan ......................................................... 12
BAB II : TINJAUAN UMUM JUAL BELI MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengertian Jual Beli ............................................................. 14 B. Landasan Hukum Jual Beli .................................................. 17 C. Syarat dan Rukun Jual Beli .................................................. 19 D. Macam-Macam Jual Beli ..................................................... 35 1. Jual Beli Benda yang Kelihatan ...................................... 35 2. Jual Beli yang Disebutkan Sifat-Sifatnya dalam Janji ..... 37 3. Jual Beli Benda yang Tidak ada...................................... 38 E. Pendapat Para Ulama tentang Ijab Qabul dalam Jual Beli..... 39
ix
BAB III : PENDAPAT TM.HASBI ASH SHIDDIEQY TENTANG TIDAK DIPERLUKANNYA LAFADZ IJAB QABUL DALAM JUAL BELI A. Biografi dan Sketsa Pemikiran TM. Hasbi Ash Shiddieqy... 42 B. Pendapat T.M.Hasbi Ash Shiddieqy Tentang Tidak Diperlukannya Lafadz Ijab Qabul dalam Jual Beli................ 56 C. Metode Istinbat Hukum TM.Hasbi Ash Shiddieqy Tentang Tidak Diperlukannya Lafadz Ijab Qabul dalam Jual Beli...... 68 BAB IV: ANALISIS PENDAPAT TM.HASBI ASH SHIDDIEQY TENTANG TIDAK DIPERLUKANNYA LAFADZ IJAB QABUL DALAM JUAL BELI A. Analisis Pendapat TM.Hasbi Ash Shiddieqy Tentang Tidak Diperlukannya Lafadz Ijab Qabul dalam Jual Beli................ 72 B. Analisis Metode Istinbat Hukum TM. Hasbi Ash Shiddieqy Tentang Tidak Diperlukannya Lafadz Ijab Qabul dalam Jual Beli .................................................................... 80
BAB V :
PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................... 83 B. Saran-saran .......................................................................... 84 C. Penutup................................................................................ 84
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia pada umumnya dilahirkan seorang diri; namun demikian hidupnya harus bermasyarakat. Dalam hal ini Allah SWT telah menjadikan manusia masing-masing berhajat kepada yang lain, agar mereka tolong menolong, tukar menukar keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing, baik dengan jual beli, sewa menyewa, bercocok tanam, dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Keterangan di atas menjadi indikator bahwa manusia untuk memenuhi kebutuhannya memerlukan orang lain. Salah satu kebutuhan yang memerlukan interaksi dengan orang lain adalah akad jual beli. Peristiwa ini terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang menimbulkan akibat hukum yaitu akibat sesuatu tindakan hukum.1 Dalam hukum Islam, secara etimologi jual beli adalah menukarkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, sedangkan menurut syara’ ialah menukarkan harta dengan harta.2 Syekh Muhammad ibn Qasyim al-Gazzi menerangkan:
واﻟﺒﻴﻊ ﻟﻐﺔ ﻣﻘﺎﺑﻠﺔ ﺷﻴﺊ ﺑﺸﺊ ﻓﺪﺧﻞ ﻣﺎ ﻟﻴﺲ ﲟﺎل ﻛﺨﻤﺮ واﻣّﺎﺷﺮﻋﺎﻓﺎﺣﺴﻦ ﻣﺎﻗﻴﻞ ﰱ ﺗﻌﺮﻳﻔﻪ اﻧّﻪ ﲤﻠﻴﻚ ﻋﲔ ﻣﺎﻟﻴﺔ ﲟﻌﺎوﺿﺔ ﺑﺎذن 1
Surojo Wignyodipuro, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Gunung Agung, 1983, Cet ke-3,
hlm. 38. 2
Syekh Zainuddin bin Abd al-Aziz al-Malibari, Fath al- Mu’in Bi Sarkh Qurrah al‘Uyun, Semarang: Karya Toha Putra, tth, hlm. 66.
1
2
3
ﺷﺮﻋﻰ او ﲤﻠﻴﻚ ﻣﻨﻔﻌﺔ ﻣﺒﺎﺣﺔ ﻋﻠﻰ اﻟﺘﺄﺑﻴﺪ ﺑﺜﻤﻦ ﻣﺎﱃ
Artinya: Jual beli itu menurut bahasanya ialah suatu bentuk akad penyerahan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Karena itu akad ini memasukkan juga segala sesuatu yang tidak berupa uang, seperti tuak. Sedangkan menurut syara’, maka pengertian jual beli yang paling benar ialah memiliki sesuatu harta (uang) dengan mengganti sesuatu atas dasar izin syara’, atau sekedar memiliki manfaatnya saja yang diperbolehkan syara’untuk selamanya, dan yang demikian itu harus dengan melalui pembayaran yang berupa uang. Dalam kitabnya, Sayyid Sabiq merumuskan, jual beli menurut pengertian lughawinya adalah saling menukar (pertukaran), sedang menurut pengertian syari’at, jual beli ialah pertukaran harta atas dasar saling rela atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan.4 Jual beli dibenarkan oleh al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma umat. Landasan Qur’aninya, firman Allah:
(275 :) اﻟﺒﻘﺮة...وَأَﺣَاﻟﻠّﻞﱠﻪُ اﻟْﺒـَ ﻴْﻊَ وَﺣَ ﺮﱠمَ اﻟﺮﱢ ﺑَﺎ... Artinya: Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (al-Baqarah: 275)5 Landasan sunnahnya sabda Rasulullah SAW.
ﻋﻦ رﻓﺎﻋﺔ اﺑﻦ راﻓﻊ ان اﻟﻨﱯ ﺻﻠّﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠّﻢ ﺳﺌﻞ اى اﻟﻜﺴﺐ ﻋﻤﺎل اﻟﺮﺟﻞ ﺑﻴﺪﻩ وﻛﻞ ﺑﻴﻊ ﻣﱪور )رواﻩ اﻟﺒﺰار وﺻﺤﺤﺔ:اﻃﻴﺐ؟ ﻗﺎل 6 (اﳊﺎﻛﻢ 3 Syekh Muhammad ibn Qâsim al-Ghazzi, Fath al-Qarîb al-Mujîb, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, tth, hlm. 30. 4 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Kairo: Juz III, Maktabah Dâr al-Turas, tth, hlm. 147. 5 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI: Surabaya, 1980, hlm. 69. 6 Sayyid al-Imam Muhammad Ibn Ismail al-Kahlani Al-San’ani, Subul al-Salam, Kairo: Juz III, Dâr Ikhya’ al-Turas al-Islami, 1960, hlm. 4
3
Artinya: Dari Rifa’ah bin Rafi’ r.a. (katanya): Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. pernah ditanyai, manakah usaha yang paling baik? beliau menjawab : ialah amal usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan semua jual beli yang bersih. (HR. al-Bazzar, dan dinilai Shahih oleh al-Hakim). Landasan ijmanya, para ulama sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.7 Jual beli itu dihalalkan, dibenarkan agama, asal memenuhi syaratsyarat yang diperlukan. Demikian hukum ini disepakati para ahli ijma (ulama’ Mujtahidin) tak ada khilaf padanya. Memang dengan tegas-tegas al-Qur’an menerangkan bahwa menjual itu halal; sedang riba diharamkan.8 Sejalan dengan itu dalam jual beli ada persyaratan yang harus dipenuhi, di antaranya salah satu rukun dalam akad (perjanjian) jual-beli itu adalah ijab-qabul yaitu ucapan penyerahan hak milik di satu pihak dan ucapan penerimaan di pihak lain. Adanya ijab-qabul dalam transaksi ini merupakan indikasi adanya rasa suka sama suka dari pihak-pihak yang mengadakan transaksi. Transaksi berlangsung secara hukum bila padanya telah terdapat rasa suka sama suka yang menjadi kriteria utama dan sahnya suatu transaksi. Namun suka sama suka itu merupakan perasaan yang berada pada bagian dalam diri manusia, yang tidak mungkin diketahui orang lain. Oleh karenanya diperlukan suatu indikasi yang jelas yang menunjukkan adanya perasaan dalam tentang suka 7
Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, Bandung: CV.Pustaka Setia, 2001, hlm. 75. T.M Hasbi ash-Shiddiqi, Hukum-hukum Fiqh Islam, Tinjauan Antar Mazhab, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001, Cet ke-2, hlm. 328. 8
4
sama suka itu. Para ulama terdahulu menetapkan ijab-qabul itu sebagai suatu indikasi.9 Ibnu Rusyd dalam kitabnya menyatakan: 10
ِوَاﻟْﻌَﻘْﺪُ ﻻَﻳَﺼَﺢَ اِﻻﱠ ﺑِﺎَ ﻟْﻔَﺎظِ اﻟْﺒـَﻴْﻊ
Artinya: dan akad tidak sah kecuali dengan lafadz jual dan beli.
Dari pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa ijab dan qabul merupakan salah satu syarat sahnya jual beli. Namun, salah seorang ulama Indonesia kelahiran Lhokseumawe, Aceh Utara 10 maret 190411 TM.Hasbi ash Shiddieqy justru pendapatnya berbeda dengan pendapat di atas. TM.Hasbi Ash Shiddieqy dalam bukunya: Al-Islam, mengemukakan sebagai berikut: Jual beli itu dianggap sah bila terjadi dengan persetujuan kedua belah pihak. Persetujuan dapat dilakukan dengan ucapan dan dapat pula dengan isyarat (sikap kedua belah pihak itu). Apabila seorang penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli, sebaliknya pembeli menyerahkan harga dan mengambil barang, maka muamalah jual beli sudah terlaksana. Penjual tidak perlu mengucapkan lafadz ijab. Bukti persetujuan tidak mesti diucapkan.12 Pendapatnya ia perkuat lagi dalam bukunya: Pengantar Hukum Islam, antara lain dinyatakan: Sebagian ahli fikih menolak segala rupa akad (perjanjian-perjanjian) yang tidak diikrarkan dengan lidah. Mereka yang mewajibkan ijab (kata penyerahan) dan qabul (kata penerimaan) dengan perkataan "ucapan lidah" tidak mensahkan suatu penjualan atau sesuatu perjanjian yang dilakukan dengan jalan surat menyurat, karena tidak terjadi ijab dan qabul antara penjual dengan pembeli. Padahal jika
9
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, Bogor: Kencana, 2003, hlm. 195 Ibnu Rusyd, Bidayat al Mujtahid Wa Nihayat al Muqtasid, Juz 3, Beirut: Dar Al-Jiil, 1409 H/1989, hlm. 128. 11 TM.Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm. 241 12 TM.Hasbi Ash Shiddieqy, Al-Islam, Jilid 2, Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 193 10
5
dipikirkan benar-benar Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat alMaidah ayat 1:13
(1 :) اﳌﺎﺋﺪة... ِﻳَﺎ أَﻳـﱡﻬَﺎ اﻟﱠﺬِﻳﻦَ آﻣَ ﻨُﻮاْ أَوْ ﻓُﻮاْ ﺑِﺎﻟْﻌُﻘُﻮد Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu (QS.5: 1). 14 Nyatalah menurut TM.Hasbi Ash Shiddieqy bahwa jual beli tanpa lafadz ijab qabul adalah sah. Dari pendapat TM.Hasbi Ash Shiddieqy tersebut, penulis tertarik untuk meneliti apa yang menjadi latar belakang pemikiran TM.Hasbi Ash Shiddieqy sehingga berpendapat seperti di atas, dan apa pula yang menjadi metode istinbath hukumnya. Menariknya masalah ini adalah TM.Hasbi Ash Shiddieqy yang secara sosiologis ia lahir dari lingkungan keluarga dan masyarakat yang demikian kuat dan respeknya terhadap ulama salaf, tapi justru ia berseberangan dengan jumhur ulama. Adapun pentingnya masalah ini diteliti adalah karena kenyataan di masyarakat sering dijumpai dan dialami oleh setiap orang yaitu transaksi jual beli tanpa lafadz ijab qabul, sedangkan harga barangnya pun tidak kecil. Karena itu diharapkan dari penulisan ini dapat memberikan jawaban yang lebih mendekati kebenaran, yaitu apakah jual beli tanpa lafadz ijab qabul itu sah. Hal khusus melekat pada diri TM.Hasbi Ash Shiddieqy yang karena dia patut diangkat menjadi objek kajian, adalah karena ia orang pertama yang 13
TM.Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 471 – 475 14 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsir al-Qur’an, op. cit., hlm. 156.
6
menganjurkan agar fiqh yang diterapkan di Indonesia adalah berkepribadian Indonesia. B. Perumusan Masalah Perumusan masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya.15 maka yang menjadi rumusan masalah penulisan ini sebagai berikut: 1. Bagaimana
pendapat
T.M.Hasbi
Ash
Shiddieqy
tentang
tidak
diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli? 2. Bagaimana metode istinbath hukum T.M.Hasbi Ash Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli? C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis pendapat T.M.Hasbi Ash Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli. 2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis metode istinbath hukum T.M.Hasbi Ash Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli
15
Jujun S. Suria Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. VII, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Anggota IKAPI, 1993, hlm. 112
7
D. Telaah Pustaka Ada beberapa penelitian yang membahas persoalan jual beli, penelitian yang dimaksud di antaranya sebagai berikut: Skripsi yang berjudul: Tinjauan Hukum Islam terhadap Asas Kebebasan Berkontrak dalam Jual Beli (Studi Analisis Terhadap Pasal 1493 KUH Perdata) yang disusun Sulistiyono. Menurut penyusun skripsi ini bahwa asas kebebasan berkontrak dalam jual beli adalah suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) jual beli yang berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1493 KUH Perdata: Kedua belah pihak diperbolehkan dengan persetujuan-persetujuan istimewa memperluas atau mengurangi kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang ini; bahkan mereka diperbolehkan mengadakan persetujuan bahwa si penjual tidak akan diwajibkan menanggung sesuatu apapun. Dalam hukum Islam, para ulama menyatakan, jual beli dengan syarat berakibat batalnya jual beli itu. Di antara fuqaha yang berpendapat demikian ialah Imam Syafi’i dan Abu Hanifah. Dengan demikian perjanjian jual beli yang dibuat di luar ketentuan hukum Islam atau bertentangan dengan ketentuan hukum Islam, maka jual belinya menjadi batal. Jadi bila misalnya penjual meminta dikurangi kewajibannya seperti lepas tangan terhadap cacat barang atau kerusakan barang maka perjanjian jual beli dengan syarat seperti itu menjadi batal meskipun pembeli sepakat. Implikasinya maka bagi
8
produsen dan konsumen dapat menarik kembali perjanjian atau membatalkan perjanjian jual beli, manakala menyimpang dari ketentuan hukum Islam, apalagi jika hukum Islam melarangnya.16 Skripsi yang berjudul: Studi Analisis Pendapat Sayyid Sabiq tentang Persyaratan Suci bagi Barang yang Dijadikan Obyek Jual Beli yang disusun Khilmi Tamim. Menurut penyusun skripsi ini bahwa mengkomparasi pendapat berbagai ulama dengan Sayyid Sabiq ternyata ada ulama yang berbeda pendapatnya dengan Sayyid Sabiq, misalnya mazhab Hanafi dan Zahiri. Menurut kedua mazhab ini bahwa jual beli barang yang mengandung unsur najis boleh asalkan barang itu memiliki nilai manfaat bagi manusia. Sedangkan dalam perspektif Sayyid Sabiq bahwa meskipun barang itu mengandung manfaat namun jika najis maka barang itu tidak boleh dijual belikan. Dalam perspektif Sayyid Sabiq barang yang bernajis mengandung madarat yang lebih besar daripada manfaatnya.17 Skripsi yang berjudul "Studi Analisis Pendapat Sayyid Sabiq Tentang Jual Beli Jizaf'' yang dikaji oleh Tati Nurjanah, lebih memfokuskan pada pendapat Sayyid Sabiq tentang jual beli jizaf yaitu jual beli yang serampangan, tidak memakai timbangan atau ukuran (taksiran atau dikira-kira saja).18 Skripsi yang berjudul "Persepsi Ulama terhadap Jual Beli Kodok di Purwodadi Kabupaten Grobogan" yang dikaji oleh Slamet Sholikhin, lebih 16 Sulistiyono, Tinjauan Hukum Islam terhadap Asas Kebebasan Berkontrak dalam Jual Beli (Studi Analisis Terhadap Pasal 1493 KUH Perdata), (Tidak dipublikasikan. Skripsi IAIN Walisongo, 2004) 17 Khilmi Tamim, Studi Analisis Pendapat Sayyid Sabiq tentang Persyaratan Suci bagi Barang yang Dijadikan Obyek Jual Beli, (Tidak dipublikasikan. Skripsi IAIN Walisongo, 2005) 18 Tati Nurjanah, Studi Analisis Pendapat Sayyid Sabiq Tentang Jual Beli Jizaf, (Tidak dipublikasikan. Skripsi IAIN Walisongo, 2006)
9
memfokuskan pada pendapat ulama terhadap jual beli kodok yaitu menjualbelikan kodok hukumnya haram, karena memakannya haram, tapi ada kalanya Islam membolehkan terhadap sesuatu yang diharamkan, karena mengambil manfaatnya.19 Skripsi yang berjudul "Studi Analisis Pendapat Imam Syafi'i tentang Hukum Jual Beli Anjing dalam Kitab Al-Umm" yang dikaji oleh Fauzul Muna, lebih memfokuskan pada pendapat Imam Syafi'i tentang hukum jual beli anjing dan memelihara anjing adalah tidak boleh, namun Imam Syafi'i mengecualikan pada orang yang menggunakan anjing itu untuk menjaga ternak dan untuk berburu, dan apabila telah selesai kegunaan anjing itu untuk menjaga dan berburu maka tidak diperbolehkan memelihara anjing.20 Skripsi yang berjudul "Studi Analisis Pendapat Imam Nawawi tentang Syarat Manfaat Benda yang Diperjualbelikan" yang ditulis oleh Sawidi, dalam skripsi ini dijelaskan bahwa Imam Nawawi mengharuskan adanya manfaat dalam benda yang diperjualbelikan, tetapi benda yang bermanfaat itu juga harus suci, halal di makan, tidak menjijikkan, tidak sedikit jumlahnya dan manfaatnya tidak di larang oleh syara.21 Sejauh penelusuran penulis, belum ada penelitian yang membahas jual beli tanpa lafadz ijab qabul perspektif T.M.Hasbi Ash Shiddieqy.
19
Slamet Sholikhin, Persepsi Ulama Terhadap Jual Beli Kodok Di Purwodadi Kabupaten Grobogan, (Tidak dipublikasikan. Skripsi IAIN Walisongo, 2003) 20 Fauzul Muna, Studi Analisis Pendapat Imam Syafi'i Tentang Hukum Jual Beli Anjing Dalam Kitab Al-Umm, (Tidak dipublikasikan. Skripsi IAIN Walisongo, 2003) 21 Sawidi, Studi Analisis Pendapat Imam Nawawi Tentang Syarat Manfaat Benda Yang Diperjualbelikan, (Tidak dipublikasikan. Skripsi IAIN Walisongo, 2003)
10
E. Metode Penelitian Metode penelitian bermakna seperangkat pengetahuan tentang langkah-langkah sistematis dan logis dalam mencari data yang berkenaan dengan masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan selanjutnya dicarikan cara pemecahannya. Metode penelitian dalam skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut:22 Dalam usaha penulis memperoleh data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan seputar permasalahan di atas, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa metode sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif artinya datadata yang disajikan dalam bentuk kata, bukan dalam bentuk angka-angka. 2. Sumber Data a. Data primer: karya-karya ilmiah TM.Hasbi Ash Shiddieqy, Al-Islam, Pengantar Hukum Islam. b. Data sekunder: sebagai rujukan dalam penelitian ini digunakan beberapa kitab atau buku antara lain: Koleksi Hadits-Hadits Hukum; Pokok Pokok Pegangan Imam Mazhab; Hukum-Hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar Madzhab; Falsafah Hukum Islam.Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Al-Uum, al-Risalah, Sejarah Hukum dalam Islam; Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab; Riwayat Sembilan Imam Fiqih; Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab Hanafi, Maliki, 22
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991, hlm. 24.
11
Syafi’ii, Hanbali; Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab; Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab Hanafi-Maliki-Syafi’i-Hambali; Ensiklopedi Hukum Islam, Asyhadul Madarik, Syarkh Irsyad al-Syalik fi Fiqhi Imam al-Aimmah Malik, Aujazu
al-Masalik Ila Mu’attai
Malik, Musnad Ahmad, Nail al–Autar, Syarkh al-Rizqany ‘AlMuwattha al-Imam Malik, Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat alMuqtasid, al-Muwatta’al-Muafaqat fi Ushulisy syari’ah, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Memasuki Dunia al-Qur’an, Ikhtisahar Musthalah al-Hadits, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Ilmu Ushul al-Fiqh, Ushul Fiqh, AlMudawwanah al-Kubra, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq al-Shatibi’s Life and Thought, serta kitab atau buku-buku lain yang ada relevansinya langsung dengan judul tersebut. Dengan demikian peneliti menggunakan teknik library research yaitu suatu riset kepustakaan.23 3. Metode Pengumpulan Data Menurut Sumadi Suryabrata, kualitas data ditentukan oleh kualitas alat pengambil data atau alat pengukurnya.24 Berpijak dari keterangan tersebut, penelitian ini bersifat literer dengan menggunakan buku-buku yang terkait dengan tema skripsi tersebut.
23 24
hlm.84.
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid 1, Yogyakarta: Andi, 2001, hlm. 9. Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998,
12
4. Teknik Analisis Data Analisis data adalah proses menyusun data agar data tersebut dapat ditafsirkan.25 Dalam hal ini peneliti menggunakan analisis data kualitatif, yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara langsung (statistik).26 Sebagai pendekatannya, peneliti menggunakan metode deskriptif analitis. Penelitian analitis normatif tertuju pada pemecahan masalah yang dihubungkan dengan apa yang ada pada masa sekarang kemudian di analisisnya.27 F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab dan dalam satu kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi. Bab pertama, berisi pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua berisi landasan teori yang meliputi (pengertian jual beli, landasan hukum jual beli, syarat dan rukun jual beli, macam-macam jual beli, pendapat para ulama tentang ijab qabul dalam jual beli) Bab ketiga berisi pendapat TM.Hasbi ash Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli yang meliputi: biografi dan sketsa pemikiran TM.Hasbi ash Shiddieqy (latar belakang dan karya-karya
25
Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000, hlm.
102. 26 Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 134. 27 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metoda Teknik, Bandung: Tarsito 1989, hlm. 139.
13
TM.Hasbi ash Shiddieqy, sketsa pemikiran TM.Hasbi ash Shiddieqy). Pendapat T.M.Hasbi ash Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli. metode istinbat hukum TM.Hasbi ash Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli Bab keempat merupakan analisis terhadap pendapat TM.Hasbi ash Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli yang meliputi: (analisis pendapat TM.Hasbi ash Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli, analisis metode istinbat hukum TM. Hasbi ash Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli) Bab kelima berisi penutup yang meliputi kesimpulan; saran-saran dan Penutup.
BAB II TINJAUAN UMUM JUAL BELI MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Jual Beli Sebelum membahas lebih mendalam tentang jual beli, ada baiknya diketahui terlebih dahulu pengertian jual beli. Secara etimologis: jual beli berasal dari bahasa arab al-bai' yang makna dasarnya menjual, mengganti dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dalam prakteknya, bahasa ini terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata as-syira' (beli). Maka, kata al-bai' berarti jual, tetapi sekaligus juga beli.1 Sedangkan secara therminologis, para ulama memberikan defenisi yang berbeda. Di kalangan ulama Hanafi terdapat dua definisi; jual beli adalah: - Saling menukar harta dengan harta melalui cara tertentu - Tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat. Ulama Madzhab Maliki, Syafi'i dan Hanbali memberikan pengertian, jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan. Definisi ini menekankan pada aspek milik pemilikan, untuk membedakan dengan tukar menukar harta/barang yang tidak mempunyai akibat milik kepemilikan, seperti sewa menyewa. Demikian juga,
1
Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2012, hlm. 53.
14
15
harta yang dimaksud adalah harta dalam pengertian luas, bisa barang dan bisa uang.2 Menurut Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malîbary, jual beli adalah 3
وﺷﺮﻋﺎ ﻣﻘﺎﺑﻠﺔ ﻣﺎل ﲟﺎل ﻋﻠﻰ وﺟﻪ ﳐﺼﻮص
Artinya: menurut syara jual beli ialah menukarkan harta dengan harta dengan cara tertentu Menurut Syekh Muhammad ibn Qâsim al-Ghazzi, 4
واﻣﺎ ﺷﺮﻋﺎ ﻓﺄﺣﺴﻦ ﻣﺎ ﻗﻴﻞ ﰱ ﺗﻌﺮﻳﻔﺔ اﻧﻪ ﲤﻠﻴﻚ ﻣﺎﻟﻴﺔ ﲟﻌﺎوﺿﺔ ﺑﺎذن ﺷﺮﻋﻲ أوﲤﻠﻴﻚ ﻣﻨﻔﻌﺔ ﻣﺒﺎﺣﺔ ﻋﻠﻰ اﻟﺘﺄﺑﻴﺪ ﺑﺜﻤﻦ ﻣﺎﱄ Artinya: menurut syara, pengertian jual beli yang paling tepat ialah memiliki sesuatu harta (uang) dengan mengganti sesuatu atas dasar izin syara, sekedar memiliki manfaatnya saja yang diperbolehkan syara untuk selamanya yang demikian itu harus dengan melalui pembayaran yang berupa uang.
Menurut Sayyid Sabiq
اﻟﺒﻴﻊ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﻟﻐﺔ ﻣﻄﻠﻖ اﳌﺒﺎدﻟﺔ وﻟﻔﻆ اﻟﺒﻴﻊ واﻟﺸﺮأ ﻳﻄﻠﻖ ﻛﻞ ﻣﻨﻬﻤﺎ ﻋﻠﻰ ﻣﺎﻳﻄﻠﻖ ﻋﻠﻴﻪ اﻻﺧﺮ ﻓﻬﻤﺎ ﻣﻦ اﻻﻟﻔﺎظ اﳌﺸﱰﻛﺔ ﺑﲔ اﳌﻌﺎﱐ 5 اﳌﻀﺎدة Artinya:Jual beli menurut pengertian lughawinya adalah saling menukar (pertukaran), dan kata al-ba’i (jual) dan asy Syiraa (beli) dipergunakan biasanya dalam pengertian yang sama.
2
Ibid., hlm. 53 Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malîbary, Fath al-Mu’în, Beirut: Dâr al-Kutub alIlmiah, tth, hlm. 66 4 Syekh Muhammad ibn Qâsim al-Ghazzi, Fath al-Qarîb al-Mujîb, Dâr al-Ihya al-Kitab, al-Arabiah, Indonesia, tth, hlm. 30 5 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tth, Juz III, hlm. 147. 3
16
Dua kata ini masing-masing mempunyai makna dua yang satu sama lain bertolak belakang. Menurut pengertian syara, Sayyid Sabiq merumuskan yaitu pertukaran harta atas dasar saling rela atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan.6 Sementara menurut Ibrahim Muhammad al-Jamal, jual beli ialah tukar menukar harta secara suka sama suka atau memindahkan milik dengan mendapat pertukaran menurut cara yang diizinkan agama.7 Sedangkan Imam Taqi al-Din mendefinisikan jual beli adalah saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab dan kabul, dengan cara yang sesuai dengan syara.8 Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa pengertian jual beli ialah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima bendabenda dan pihak lain sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara' dan disepakati. Jual beli dalam perspektif hukum Islam harus sesuai dengan ketetapan hukum ialah memenuhi persyaratan-persyaratan, rukun-rukun dan hal-hal lainnya yang ada kaitannya dengan jual beli, maka bila syarat-syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara'. Yang dimaksud dengan benda dapat mencakup pada pengertian barang dan uang, sedangkan sifat benda tersebut harus dapat dinilai, yakni benda-benda yang
6
Ibid Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, Terj. Anshori Umar Sitanggal, “Fiqih Wanita”, Semarang: CV Asy-Syifa, 1986, hlm. 490. 8 Imam Taqi al-Din Abu Bakr ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifâyah Al Akhyâr, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, tth, Juz, I, hlm. 239. 7
17
berharga dan dapat dibenarkan penggunaannya menurut syara', benda itu adakalanya bergerak (bisa dipindahkan) dan adakalanya tetap (tidak dapat dipindahkan), ada benda yang dapat dibagi-bagi, adakalanya tidak dapat dibagi-bagi, harta yang ada perumpamaannya (mitsli) dan tak ada yang menyerupainya (qimi) dan yang lain-lainnya, penggunaan harta tersebut dibolehkan sepanjang tidak dilarang syara'.9 B. Landasan Hukum Jual Beli Apabila mencermati landasan hukum jual beli, maka jual beli disyariatkan berdasarkan Al-Qur'an, sunnah, dan ijma', yakni: 1. Al-Qur'an a. Al-Qur'an, surat Al-Baqarah ayat 275
(275 :وَأَﺣَ ﻞﱠ اﻟﻠّﻪُ اﻟْﺒـَ ﻴْﻊَ وَﺣَ ﺮﱠمَ اﻟﺮﱢﺑَﺎ )اﻟﺒﻘﺮة Artinya: Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli mengharamkan riba (QS. Al-Baqarah : 275).10
dan
b. Al-Qur'an, surat Al-Baqarah ayat 282
(282 :وَأَﺷْ ﻬِ ﺪُوْاْ إِذَا ﺗـَﺒَﺎﻳـَﻌْ ﺘُﻢْ )اﻟﺒﻘﺮة Artinya: Dan persaksikanlah apabila kamu berjual-beli. (QS. AlBaqarah: 282).11 c. Al-Qur'an, surat An-Nisa'ayat 29
(29 :إِﻻﱠ أَن ﺗَﻜُﻮنَ ﲡَِﺎرَةً ﻋَﻦ ﺗـَﺮَاضٍ ﻣﱢﻨﻜُ ﻢْ )اﻟﻨﺴﺎء Artinya: Kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka sama suka. (QS. An-Nisa': 29).12 9
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 69. Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: DEPAG RI, 1978, hlm. 69. 11 Ibid., hlm. 70. 10
18
2.Al-Sunnah, di antaranya: a. Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh HR. Bajjar
ﻋَﻦْ رِﻓَﺎﻋَﺔ ﺑْﻦ رَاﻓﻊٍ أَنﱠ اﻟﻨﱠﱮ ِ ﱠ ﺻَ ﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪ ﻋَﻠَﻴْﻪِ وَ ﺳَ ﻠﱠﻢَ ﺳُ ﺌِﻞَ أىّ اﻟْﻜﺴﺐ 13 ( َﺎلَ ﻋَﻤَ ﻞُ اﻟﺮﱠﺟُﻞِ ﺑِﻴَﺪِﻩِ وَﻛُ ﻞﱡ ﺑـَﻴْﻊٍ ﻣَ ﺒـْ ﺮُوْرٍ )رواﻩ اﻟﺒﺰار ﻴْﺐُ ؟ ﻗأﻃ Artinya: Rifa'ah bin Rafi', sesungguhnya Nabi SAW. ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Nabi SAW menjawab: seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual-beli yang mabrur. (HR. Bajjar). Maksud mabrur dalam hadiş di atas adalah jual-beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain, b. Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh HR. Baihaqi dan Ibnu Majjah
ْوَأَﺧْﺮَجَ اﺑْﻦُ ﺣِ ﺒَﺎن وَاﺑﻦ ﻣَﺎﺟَﻪ ﻋَﻨْﺻَﻪُﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪ ﻋَﻠَﻴْﻪِ وَ ﺳَ ﻠﱠﻢَ إِﳕﱠَﺎ اﻟْﺒـَ ﻴْﻊُ ﻋَﻦ 14 (ﺗـَﺮَاضٍ )رواﻩ اﻟﺒﻴﻬﻘﻰ واﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Hibban dan Ibnu Majah bahwa Nabi SAW, sesungguhnya jual-beli harus dipastikan harus saling meridai." (HR. Baihaqi dan Ibnu Majjah). 3. Ijma' Ulama telah sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.15
12
Ibid., hlm. 122. Muhammad bin Ismail al-Kahlani as-San'ani, Subul as-Salam, Kairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950, hlm. 4. 14 Ibid., 15 Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 147. 13
19
C. Syarat dan Rukun Jual Beli Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Untuk memperjelas syarat dan rukun jual beli maka lebih dahulu dikemukakan pengertian syarat dan rukun baik dari segi etimologi maupun terminologi. Secara etimologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rukun adalah "yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan,"16 sedangkan syarat adalah "ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan."17 Menurut Satria Effendi M. Zein, bahwa menurut bahasa, syarat adalah sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain atau sebagai tanda,18 melazimkan sesuatu.19 Secara terminologi, yang dimaksud dengan syarat adalah segala sesuatu yang tergantung adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum, namun dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum. 20 Hal ini sebagaimana dikemukakan Abd al-Wahhab Khalaf, syarat adalah sesuatu yang keberadaan suatu hukum tergantung pada keberadaan sesuatu itu, dan dari ketiadaan sesuatu itu diperoleh ketetapan ketiadaan hukum tersebut. Yang dimaksudkan adalah keberadaan secara syara’, yang menimbulkan efeknya.21 Hal senada dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, asy-syarth (syarat) adalah sesuatu
16
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2004, hlm. 966. 17 Ibid., hlm. 1114. 18 Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 64 19 Kamal Muchtar, Ushul Fiqh, Jilid 1, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 34 20 Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 50 21 Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kuwait: Dâr al-Qalam, 1978, hlm. 118.
20
yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Tidak adanya syarat berarti pasti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarath tidak pasti wujudnya hukum.22 Sedangkan rukun, dalam terminologi fikih, adalah suatu unsur yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut, dan ada atau tidak adanya sesuatu itu.23 Sebagai contoh, rukuk dan sujud adalah rukun shalat. la merupakan bagian dari shalat itu sendiri. Jika tidak ada rukuk dan sujud dalam shalat, maka shalat itu batal, tidak sah. Salah satu syarat shalat adalah wudhu. Wudhu merupakan bagian di luar shalat, tetapi dengan tidak adanya wudhu, shalat menjadi tidak sah. Rukun jual beli ada tiga, yaitu aqid (penjual dan pembeli), ma'qud alaih (obyek akad), shigat (lafaz ijab kabul). 1. aqid (penjual dan pembeli) yang dalam hal ini dua atau beberapa orang melakukan akad, adapun syarat-syarat bagi orang yang melakukan akad ialah: a. Baligh berakal agar tidak mudah ditipu orang maka batal akad anak kecil, orang gila dan orang bodoh, sebab mereka tidak pandai mengendalikan harta, oleh karena itu anak kecil, orang gila, dan orang bodoh tidak boleh menjual harta sekalipun miliknya, Allah berfirman:
(5 :) اﻟﻨﺴﺎء...ُوَﻻَ ﺗـُﺆْ ﺗُاﻟﻮاْﺴﱡ ﻔَ ﻬَﺎء أَﻣْﻮَاﻟَﻜُ ﻢ
22
Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, Cairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1958, hlm. 59. Abdul Aziz Dahlan, et. al, (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 5, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 1510. 23
21
Artinya:
Dan janganlah kamu berikan hartamu kepada orangorang yang bodoh (al-Nisa: 5).
Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa harta tidak boleh diserahkan kepada orang bodoh, 'illat larangan tersebut ialah karena orang bodoh tidak cakap dalam mengendalikan harta, orang gila dan anak kecil juga tidak cakap dalam mengelola harta, maka orang gila dan anak kecil juga tidak sah melakukan ijab dan kabul.24 b. Beragama Islam, syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam bendabenda tertentu, seperti seseorang dilarang menjual hambanya yang beragama Islam, sebab besar kemungkinan pembeli tersebut akan merendahkan abid yang beragama Islam, sedangkan Allah melarang orang-orang mukmin memberi jalan kepada orang kafir untuk merendahkan mukmin,25 firman-Nya;
(141 :) اﻟﻨﺴﺎء... ًﳚَْﻌَﻞَ اﻟﻠّﻪُ ﻟِﻠْﻜَﺎﻓِﺮِﻳﻦَ ﻋَﻠَﻰ اﻟْﻤُﺆْ ﻣِ ﻨِﲔَ ﺳَ ﺒِﻴﻼ...وَ ﻟَﻦ Artinya: Dan Allah sekali-kali tidak memberi jalan bagi orang kafir untuk menghina orang mukmin" (al-Nisa: 141). 2. Ma'qud alaih (obyek akad). Syarat-syarat benda yang menjadi obyek akad ialah: a. Suci atau mungkin untuk disucikan, maka tidak sah penjualan benda-benda najis seperti anjing, babi dan yang lainnya, Rasulullah SAW. bersabda:
24 25
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 75 Ibid, hlm. 76.
22
اﻧّﻪ ﲰﻊ:ﻋﻦ ﻳﺰﻳﺪ ﺑﻦ اﰉ ﺣﺒﻴﺐ ﻫﻦ ﻋﻄﺎء ﺑﻦ اﰉ رﺑﺎح ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ م ﻳﻘﻮل ان اﷲ ﺣﺮم ﺑﻴﻊ اﳋﻤﺮواﳌﻴﺘﺔ واﳋﻨﺰﻳﺮواﻻﺻﻨﺎم.رﺳﻮل اﷲ ص ﻓﻘﻴﻞ ﻳﺎرﺳﻮل اﷲ اراﻳﺖ ﺷﺤﻮم اﳌﻴﺘﺔ ﻓﺎﻧﻪ ﻳﻄﻠﻰ ﺑﻪ اﻟﺴﻘﻦ وﻳﺪﻫﺐ م. 26 ﻋﻨﺪ ذﻟﻚ ﻗﺎﺗﻞ اﷲ اﻟﻴﻬﻮد ان اﷲ ﳌﺎ ﺣﺮم ﺳﺤﻮﻣﻬﺎﲨﻠﻮﻩ ﰒّ ﺑﺎﻋﻮا Artinya: Dari Yaziz bin Abi Habib dari Ata bin Abi Rubah dari Jabir bin Abdillah ra, sesungguhnya dia pernah mendengar Nabi SAW bersabda: sesungguhnya Allah mengharamkan menjual khamr, bangkai, babi dan patung berhala. Ditanyakan: ya Rasulullah, bagaimana pendapat anda tentang lemak bangkai karena ia dipergunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit-kulit dan dijadikan penerangan oleh manusia? Beliau menjawab: ia adalah haram. Kemudian Rasulullah SAW bersabda saat itu: mudah-mudahan Allah memusuhi orang-orang Yahudi. Sesungguhnya ketika Allah mengharamkan lemak bangkai, mereka malahan mencairkannya lalu mereka jual kemudian mereka makan harganya (HR.Bukhari) Menurut riwayat lain dari Nabi dinyatakan "kecuali anjing untuk berburu" boleh diperjualbelikan. Menurut Syafi'iyah bahwa sebab keharaman arak, bangkai, anjing, dan babi karena najis, berhala bukan karena najis tapi karena tidak ada manfaatnya, menurut Syara', batu berhala bila dipecah-pecah menjadi batu biasa boleh dijual, sebab dapat digunakan untuk membangun gedung atau yang lainnya. Abu Hurairah, Thawus dan Mujahid berpendapat bahwa kucing haram diperdagangkan alasannya Hadits shahih yang melarangnya, jumhur ulama membolehkannya selama kucing
26
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah alBukhari, Sahih al-Bukhari, juz 2, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M, hlm. 29.
23
tersebut bermanfaat, larangan dalam Hadits shahih dianggap sebagai tanzih (makruh tanzih).27 b. Memberi manfaat menurut Syara', maka dilarang jual beli bendabenda yang tidak boleh diambil manfaatnya menurut Syara', seperti menjual babi, cecak dan yang lainnya. c. Jangan dikaitkan atau digantungkan kepada hal-hal lain, seperti; jika ayahku pergi kujual motor ini kepadamu. d. Tidak dibatasi waktunya, seperti perkataan saya jual motor ini kepada Tuan selama satu tahun, maka penjualan tersebut tidak sah, sebab jual beli adalah salah satu sebab pemilikan secara penuh yang tidak dibatasi apa pun kecuali ketentuan syara'. e. Dapat diserahkan dengan cepat maupun lambat, tidak sah menjual binatang yang sudah lari dan tidak dapat ditangkap lagi, barangbarang yang sudah hilang atau barang yang sulit diperoleh kembali karena samar, seperti seekor ikan jatuh ke kolam, maka tidak diketahui dengan pasti sebab dalam kolam tersebut terdapat ikanikan yang sama. f. Milik sendiri, tidaklah sah menjual barang orang lain dengan tidak seizin pemiliknya atau barang-barang yang baru akan menjadi miliknya.28 g. Diketahui (dilihat), barang yang diperjualbelikan harus dapat diketahui banyaknya, beratnya, takarannya, atau ukuran-ukuran 27
Hendi Suhendi, op. cit, 72. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Membahas Ekonomi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 72-73 28
24
yang lainnya, maka tidaklah sah jual beli yang menimbulkan keraguan salah satu pihak. Ditinjau dari segi benda yang dijadikan obyek jual beli dapat dikemukakan pendapat Imam Taqiyuddin bahwa jual beli dibagi menjadi tiga bentuk: ketiga bentuk jual beli sebagai berikut: 1) jual beli benda yang kelihatan 2) jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji dan 3) jual beli benda yang tidak ada.29 Jual beli benda yang kelihatan ialah pada waktu melakukan akad jual beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli, hal ini lazim dilakukan masyarakat banyak, seperti membeli beras di pasar dan boleh dilakukan. Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah jual beli salam (pesanan). Menurut kebiasaan para pedagang, salam adalah untuk jual beli yang tidak tunai (kontan), salam pada awalnya berarti meminjamkan barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu, maksudnya ialah perjanjian sesuatu yang penyerahan barangbarangnya ditangguhkan hingga masa tertentu, sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan ketika akad. Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat ialah jual beli yang dilarang oleh agama Islam, karena barangnya tidak tentu atau masih gelap, sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh
29
Imam Taqiyuddin Abubakar ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifayat Al Akhyar Fii Halli Ghayatil Ikhtishar, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 329.
25
dari curian atau barang titipan yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak. 3. Shigat (lafaz ijab kabul) Ijab dan kabul terdiri dari qaulun (perkataan) dan fi'lun (perbuatan). Qaulun dapat dilakukan dengan lafal sharih (kata-kata yang jelas) dan lafal kinayah (kata kiasan/sindiran). Lafal sharih ialah sighat jual beli yang tidak mengandung makna selain dari jual beli. Misalnya:
ﺑﻌﺘﻚ ھﺬه اﻟﺴﻠﻌﺔ ﺑﻜﺬا
(saya menjual
kepadamu ini barang dengan harga sekian), dan kemudian dijawab
( اﺳﺘﺮﯾﺘﮭﺎ ﻣﻨﻚ ﺑﻜﺬاsaya membelinya dari kamu dengan harga sekian).30 Lafal kinayah ialah lafal yang di samping menunjukkan makna jual beli juga dapat menunjukkan kepada arti selain jual beli. Misalnya perkataan si penjual اﻟﺜﻮب
اﻋﻄﯿﺘﻚ ھﺬا اﻟﺜﻮب ﺑﺬاﻟﻚ
baju ini dengan baju itu) atau
(saya memberi kamu
اﻋﻄﯿﺘﻚ ﺗﻠﻚ اﻟﺪﺑّﺔ ﺑﺘﻠﻚ
(saya memberi
kamu binatang itu dengan itu). Lafal ( )اﻋﻄﯿﺘﻚtersebut dapat mengandung makna "jual beli" dan makna "pinjam meminjam." Apabila lafal tersebut dimaksudkan jual beli, niat tersebut sah. Apabila lafal kinayah tersebut disertai penyebutan harga, maka lafal kinayah tersebut menjadi
lafal
وھﺒﺘﻚ ھﺬه اﻟﺪار ﺑﻤﺎﺋﺔ دﯾﻨﺎر
30
sharih.
Misalnya:
(saya beri kamu rumah ini dengan uang
Abd al-Rahman al-Jaziri, op. cit, hlm. 325
26
pengganti seratus dinar). Lafal
اﻟﮭﺒﮫ
di atas apabila tidak disertai
penyebutan harga, maka menunjukkan makna hibah, tetapi jika disertai penyebutan harga seperti di atas maka menunjukkan makna jual beli. Demikian juga setiap lafal yang mempunyai makna tamlik apabila disertai penyebutan harga, maka lafal tersebut menjafi lafal yang sharih.31 Adapun shighat berupa fi'lun (perbuatan) adalah berwujud serah terima yaitu menerima dan menyerahkan dengan tanpa disertai sesuatu perkataan pun. Misalnya: seseorang membeli sesuatu barang yang harganya sudah dia ketahui, kemudian ia (pembeli) menerimanya dari penjual dan dia (pembeli) menyerahkan harganya kepada penjual, maka dia (pembeli) sudah dinyatakan memiliki barang tersebut karena dia (pembeli) telah menerimanya. Sama juga barang itu sedikit (barang kecil) seperti roti, telur dan yang sejenis menurut adat dibelinya dengan sendirisendiri, maupun berupa barang yang banyak (besar) seperti baju yang berharga.32 Shighat berupa fi'lun (perbuatan) merupakan cara lain untuk membentuk 'akad dan paling sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, sorang pembeli menyerahkan sejumlah uang; kemudian penjual menyerahkan barang kepada pembeli. Cara ini disebut jual beli dengan saling menyerahkan harga dan barang atau disebut juga mu'athah. Demikian pula ketika seseorang naik bus menuju ke suatu tempat; tanpa
31 32
Ibid, hlm. 326 Ibid, hlm. 319
27
kata-kata atau ucapan (sighat) penumpang tersebut langsung menyerahkan uang seharga karcis sesuai dengan jarak yang ditempuh. Sewa menyewa ini disebut juga dengan mu'athah. Selanjutnya, dalam dunia modern sekarang ini, 'akad jual beli dapat terjadi secara otomatis dengan menggunakan mesin. Dengan memasukkan uang ke mesin, maka akan keluar barang sesuai dengan jumlah uang yang dimasukkan. Demikian juga, pembelian barang dengan menggunakan credit card (kartu kredit), transaksi dengan pihak bank melalui mesin otomatis, dan sebagainya. Perlu dicatat bahwa yang terpenting dalam cara mu'athah ini, untuk menumbuhkan akad maka jangan sampai terjadi pengecohan atau penipuan. Segala sesuatu harus diketahui secara jelas; atau transparan. Suatu 'akad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Dalam 'akad jual beli, misalnya, 'akad dipandang telah berakhir apabila barang telah berpindah milik kepada pembeli dan harganya telah menjadi milik si penjual. Sedangkan 'akad dalam pegadaian dan kafalah (pertanggungan) dianggap telah berakhir apabila utang telah dibayar.33 Rukun yang pokok dalam akad (perjanjian) jual-beli itu adalah ijab-kabul yaitu ucapan penyerahan hak milik di satu pihak dan ucapan penerimaan di pihak lain. Adanya ijab-kabul dalam transaksi ini merupakan indikasi adanya saling ridha dari pihak-pihak yang mengadakan transaksi. 33
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta: UII Press, 2000, hlm. 65.
28
Transaksi berlangsung secara hukum bila padanya telah terdapat saling ridha yang menjadi kriteria utama dan sahnya suatu transaksi. Namun suka saling ridha itu merupakan perasaan yang berada pada bagian dalam dari manusia, yang tidak mungkin diketahui orang lain. Oleh karenanya diperlukan suatu indikasi yang jelas yang menunjukkan adanya perasaan dalam tentang saling ridha itu. Para ulama terdahulu menetapkan ijab-kabul itu sebagai suatu indikasi.34
ﻻﻳﻔﱰﻗﻦ اﺛﻨﺎن اﻻ ﻋﻦ:ﻋﻦ اﰊ ﻫﺮﻳﺮة رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻋﻦ اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻌﻢ ﻗﺎل 35 ﺗﺮاض Artinya: “Dari Abi Hurairah ra. dari Nabi SAW. bersabda: janganlah dua orang yang jual beli berpisah, sebelum saling meridhai" (Riwayat Abu Daud danTirmidzi). Ijab-kabul adalah salah satu bentuk indikasi yang meyakinkan tentang adanya rasa suka sama suka. Bila pada waktu ini dapat menemukan cara lain yang dapat ditempatkan sebagai indikasi seperti saling mengangguk atau saling menanda tangani suatu dokumen, maka yang demikian telah memenuhi unsur suatu transaksi. Umpamanya transaksi jual-beli di supermarket, pembeli telah menyerahkan uang dan penjual melalui petugasnya di counter telah memberikan slip tanda terima, sahlah jual-beli itu.36 Dalam literatur fiqih muamalah terdapat pengertian ijab dan kabul dengan berbagai rumusan yang bervariasi namun intinya sama. Misalnya dalam buku fiqih muamalah susunan Hendi Suhendi dijelaskan bahwa ijab 34
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana, 2003, hlm. 195 Al-Imam Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abi Daud, Kairo: Tijarriyah Kubra, 1354 H/1935 M, hlm. 324. 36 Ibid 35
29
adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad, sedangkan kabul ialah perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab.37 Menurut madzhab Hanafi, ijab ialah sesuatu yang keluar pertama kali dari salah satu dari dua orang yang mengadakan akad. Baik dari si penjual, seperti ucapan: “saya menjual kepadamu barang ini” maupun dari si pembeli, seperti ucapan: “saya membeli barang ini dengan harga seribu”, kemudian si penjual menjawab: “barang itu aku jual kepadamu”. Sedangkan “kaul” ialah sesuatu yang keluar kedua (sesudah ijab).38 Dalam buku Etika Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam, terdapat penjelasan, dalam akad jual beli, ijab adalah ucapan yang diucapkan oleh penjual, sedangkan kabul adalah ucapan setuju dan rela yang berasal dari pembeli.39 Rachmat Syafe’i dengan mengutip ulama Hanafiyah dalam redaksi yang berbeda dengan di atas mengatakan: ijab adalah penetapan perbuatan tertentu yang menunjukkan keridaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan maupun yang menerima, sedangkan kabul adalah orang yang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukkan keridaan atas ucapan orang pertama.40 Dari rumusan-rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan
37
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 47. Abd al-Rahman al-Jaziri,, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Dar alKutub al-Ilmiah, 1970, hlm. 320. 39 Muhammad Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam, Yogyakarta: BPFE, 2004, hlm. 155. 40 Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2004, hlm. 45. 38
30
atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah suatu pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama. Dalam hubungannya dengan ijab kabul, bahwa syarat-syarat sah ijab kabul ialah: 1. Jangan ada yang memisahkan, janganlah pembeli diam saja setelah penjual menyatakan ijab dan sebaliknya. 2. Jangan diselangi dengan kata-kata lain antara ijab dan kabul. 3. Beragama Islam, Syarat beragama Islam khusus untuk pembeli saja dalam bendabenda tertentu, seperti seseorang dilarang menjual hambanya yang beragama Islam kepada pembeli yang tidak beragama Islam, sebab besar kemungkinan pembeli tersebut akan merendahkan abid yang beragama Islam, sedangkan Allah melarang orang-orang mukmin memberi jalan kepada orang kafir untuk merendahkan mukmin. Menurut fuqaha Hanafiyah terdapat empat macam syarat yang harus terpenuhi dalam jual beli: (1) syarat in'akad; (2) syarat shihhah; (3) syarat nafadz, dan (4) syarat luzum. Perincian masing-masing sebagaimana disampaikan berikut: Syarat in'akad terdiri dari: 1. Yang berkenaan dengan 'aqid: harus cakap bertindak hukum. 2. Yang berkenaan dengan akadnya sendiri: (a) adanya persesuaian antara ijab dan kabul, (b) berlangsung dalam majlis akad.
31
3. Yang berkenaan dengan obyek jual-beli: (a) barangnya ada, (b) berupa mal mutaqawwim, (c) milik sendiri, dan (d) dapat diserah-terimakan ketika akad. Sedangkan syarat shihhah, yaitu syarat shihhah yang bersifat umum adalah: bahwasanya jual beli tersebut tidak mengandung salah satu dari enam unsur yang merusaknya, yakni: jihalah (ketidakjelasan), ikrah (paksaan), tauqit (pembatasan waktu), gharar (tipu-daya), dharar (aniaya) dan persyaratan yang merugikan pihak lain. Adapun syarat shihhah yang bersifat khusus adalah: (a) penyerahan dalam hal jual-beli benda bergerak, (b) kejelasan mengenai harga pokok dalam hal al-ba'i' al-murabahah (c) terpenuhi sejumlah kriteria tertentu dalam hal bai'ul-salam (d) tidak mengandung unsur riba dalam jual beli harta ribawi. Adapun syarat Nafadz, yaitu ada dua: (a) adanya unsur milkiyah atau wilayah, (b) Bendanya yang diperjualkan tidak mengandung hak orang lain. Sedangkan syarat Luzum yakni tidak adanya hak khiyar yang memberikan pilihan kepada masing-masing pihak antara membatalkan atau meneruskan jual beli.41 Fuqaha Malikiyah merumuskan tiga macam syarat jual beli: berkaitan dengan 'aqid, berkaitan dengan sighat dan syarat yang berkaitan dengan obyek jual beli. Syarat yang berkaitan dengan 'aqid: (a) mumayyiz, (b) cakap hukum, (c) berakal sehat, (d) pemilik barang.
41
hlm. 149
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Juz, IV, Beirut: Dar al-Fkr, 1989,
32
Syarat yang berkaitan dengan shigat: (a) dilaksanakan dalam satu majlis, (b) antara ijab dan kabul tidak terputus. Syarat yang berkaitan dengan obyeknya: (a) tidak dilarang oleh syara', (b) suci, (c) bermanfaat, (d) diketahui oleh 'aqid, (e) dapat diserahterimakan.42 Menurut mazhab Syafi'iyah, syarat yang berkaitan dengan 'aqid: (a) alrusyd, yakni baligh, berakal dan cakap hukum, (b) tidak dipaksa, (c) Islam, dalam hal jual beli Mushaf dan kitab Hadis, (d) tidak kafir harbi dalam hal jual beli peralatan perang. Fuqaha Syafi'iyah merumuskan dua kelompok persyaratan: yang berkaitan dengan ijab-kabul dan yang berkaitan dengan obyek jual beli. Syarat yang berkaitan dengan ijab-kabul atau shigat akad: 1. Berupa percakapan dua pihak (khithobah) 2. Pihak pertama menyatakan barang dan harganya 3. Kabul dinyatakan oleh pihak kedua (mukhathab) 4. Antara ijab dan kabul tidak terputus dengan percakapan lain; 5. Kalimat kabul tidak berubah dengan kabul yang baru 6. Terdapat kesesuaian antara ijab dan kabul 7. Shighat akad tidak digantungkan dengan sesuatu yang lain 8. Tidak dibatasi dalam periode waktu tertentu Syarat yang berkaitan dengan obyek jual-beli: 1. Harus suci 2. Dapat diserah-terimakan
42
Ibid., hlm. 387 – 388.
33
3. Dapat dimanfaatkan secara syara' 4. Hak milik sendiri atau milik orang lain dengan kuasa atasnya 5. Berupa materi dan sifat-sifatnya dapat dinyatakan secara jelas.43 Fuqaha Hambali merumuskan dua kategori persyaratan: yang berkaitan dengan 'aqid (para pihak) dan yang berkaitan dengan shighat, dan yang berkaitan dengan obyek jual-beli. Syarat yang berkaitan dengan para pihak: 1. Al-Rusyd (baligh dan berakal sehat) kecuali dalam jual-beli barang-barang yang ringan 2. Ada kerelaan Syarat yang berkaitan dengan shighat 1. Berlangsung dalam satu majlis 2. Antara ijab dan kabul tidak terputus 3. Akadnya tidak dibatasi dengan periode waktu tertentu Syarat yang berkaitan dengan obyek 1. Berupa mal (harta) 2. Harta tersebut milik para pihak 3. Dapat diserahterimakan 4. Dinyatakan secara jelas oleh para pihak 5. Harga dinyatakan secara jelas 6. Tidak ada halangan syara.44
43 44
Ibid., hlm. 389 – 393. Ibid., hlm. 393 – 397.
34
Seluruh fuqaha sepakat bahwasanya jual beli bangkai, khamer dan babi adalah batal atau tidak sah. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Sabda Rasullullah SAW.
ٍﺣَ ﺪﱠ ﺛـَﻨَﺎ ﻗـُﺘـَ ﻴْﺒَﺔُ ﺣَ ﺪﱠ ﺛـَﻨَﺎ اﻟﻠﱠﻴْﺚُ ﻋَﻦْ ﻳَﺰِﻳﺪَ ﺑْﻦِ أَﰊ ِ ﺣَ ﺒِﻴﺐٍ ﻋَﻦْ ﻋَﻄَﺎءِ ﺑْﻦِ أَﰊ ِ رﺑََﺎح َﻋَﻦْ ﺟَﺎﺑِﺮِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِاﻟﻠﱠﻪِ رَﺿِﻲ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻨْﻪُ أَﻧﱠﻪُ ﲰَِ ﻊَ رَﺳُﻮلَ اﻟﻠﱠﻪِ ﺻَﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ وَ ﺳَ ﻠﱠﻢ ِﻳـَﻘُﻮلُ وَﻫُﻮَ ﲟَِﻜﱠ ﺔَ ﻋَﺎمَ اﻟْﻔَ ﺘْﺢِ إِنﱠ اﻟﻠﱠﻪَ وَرَﺳُﻮﻟَﻪُ ﺣَ ﺮﱠمَ ﺑـَﻴْﻊَ اﳋَْﻤْ ﺮِ وَاﻟْﻤَ ﻴْﺘَﺔِ وَاﳋِْﻨْﺰِﻳﺮ ُﺖ َ ﺷ ُﺤ ُﻮم َ اﻟ ْﻤ َﻴْﺘَﺔ ِ ﻓَﺈِﻧـ ﱠﻬَ ﺎ ﻳُﻄْﻠ َﻰ َِﺎ اﻟﺴﱡ ﻔُﻦ ْ وَاﻷِ ْﻓ َﻘِﺻْﻴﻞﻨَ َ ﻳَ ﺎ رَﺳ ُﻮل َ اﻟﻠﱠﻪ ِ أ َرَأَﻳ ﺎم 45 (ﺼ ْﺒِﺢُ َِﺎ اﻟﻨﱠﺎسُ ﻓـَﻘَﺎلَ ﻻَ ﻫُﻮَ ﺣَﺮَامٌ )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري َ وَ ﻳُ ﺪْ ﻫَﻦ ُ َِﺎ اﳉُْﻠ ُﻮدُ وَﻳَﺴ ْﺘ Artinya; Telah mengabarkan kepada kami dari Qutaibah dari al-Laits dari Yazid bin Abi Habib dari 'Atha' bin Abi Rabah dari Jabir bin 'Abdullah ra telah mendengar Rasulullah Saw. Bersabda: tahun pembukaan di Makkah: sesungguhnya Allah mengharamkan jual-beli khamer (minuman keras), bangkai, babi dan berhala" Kemudian seseorang bertanya: "Bagaimana tentang lemak bangkai, karena banyak yang menggunakannya sebagai pelapis perahu dan, meminyaki kulit dan untuk bahan bakar lampu?" Rasulullah SAW. menjawab: "Tidak boleh, semua itu adalah haram". (H.R. alBukhari) Mengenai benda-benda najis selain yang dinyatakan di dalam hadis di atas fuqaha berselisih pandangan. Menurut Mazhab Hanafiyah dan Dhahiriyah, benda najis yang bermanfaat selain yang dinyatakan dalam hadis di atas, boleh diperjualbelikan sepanjang tidak untuk dimakan sah diperjualbelikan, seperti kotoran ternak. Kaidah umum yang populer dalam mazhab ini adalah:
ان ﻛﻞ ﻣﺎﻓﻴﺔ ﻣﻨﻔﻌﺔ ﲢﻞ ﺷﺮﻋﺎ ﻓﺈن ﺑﻴﻌﻪ ﳚﻮز 45
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah alBukhari, Sahih al-Bukhari, Juz 3, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M, hlm. 35.
35 46
Artinya: Segala sesuatu yang mengandung manfaat yang dihalalkan oleh syara' boleh dijual-belikan. Dalam Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, mazhab Hanafi menegaskan:
ﳚﻮز ﺑﻴﻊ اﻟﺪﻫﻦ اﳌﺘﻨﺠﺲ و اﻻﻧﺘﻔﺎع ﺑﻪ ﰱ ﻏﲑ اﻷﻛﻞ ﻛﻤﺎ:اﳊﻨﻔﻴﺔ – ﻗﺎﻟﻮا اﻟﻌﲔ وإﳕﺎ اﻟﺬي ﳝﻨﻌﻮﻧﻪ ﺑﻴﻊ اﳌﻴﺘﺔ وﺟﻠﺪﻫﺎ ﻗﺒﻞ اﻟﺪﺑﻎ وﺑﻴﻊ اﳋﻨﺰﻳﺮ وﺑﻴﻊ اﳋﻤﺮ 47
Artinya: Mereka berkata: Boleh menjualbelikan minyak yang terkena najis dan memanfaatkannya selain untuk makan. Sebagaimana boleh memperjualbelikan kotoran yang tercampur dengan debu dan memanfaatkannya dan kotoran binatang atau pupuk meskipun dia najis barangnya. Bahwasanya yang mereka larang adalah memperjual belikan bangkai, kulit bangkai sebelum disamak, babi dan arak. D. Macam-Macam Jual Beli 1. Jual Beli Benda yang Kelihatan Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari segi hukumnya, jual beli ada dua macam, jual beli yang sah menurut hukum dan batal menurut hukum; dari segi obyek jual beli; dan dari segi pelaku jual beli. Ditinjau dari segi benda yang dijadikan obyek jual beli dapat dikemukakan pendapat Imam Taqiyuddin48 bahwa jual beli dibagi menjadi tiga bentuk: 1) jual beli benda yang kelihatan 2) jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji dan 3) jual beli benda yang tidak ada.
46
Muhammad bin Ismail al-Kahlani as-San'ani, Subul as-Salam, Jilid III, Cairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950, hlm. 17 47 Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz 2, Beirut: Dar al-Fikr, 1972, hlm. 137. 48 Imam Taqiyuddin Abubakar ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifayat Al Akhyar Fii Halli Ghayatil Ikhtishar, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 329.
36
Jual beli benda yang kelihatan ialah pada waktu melakukan akad jual beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli, hal ini lazim dilakukan masyarakat banyak, seperti membeli beras di pasar dan boleh dilakukan. Jual beli itu dihalalkan, dibenarkan agama, asal memenuhi syaratsyarat yang diperlukan. Demikian hukum ini disepakati para ahli ijma (ulama’ Mujtahidin) tak ada khilaf padanya. Memang dengan tegas-tegas al-Qur’an
menerangkan
bahwa
menjual
itu
halal;
sedang
riba
diharamkan.49 Sejalan dengan itu dalam jual beli ada persyaratan yang harus dipenuhi, di antaranya menyangkut barang yang dijadikan objek jual beli yaitu barang yang diakadkan harus ada di tangan si penjual, artinya barang itu ada di tempat, diketahui dan dapat dilihat pembeli pada waktu akad itu terjadi. Hal ini sebagaimana dinyatakan Sayyid Sabiq:
( اﻹﻧﺘﻔﺎع ﺑﻪ2) ( ﻃﻬﺎرة اﻟﻌﲔ1) :واﻣّﺎاﳌﻌﻘﻮد ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻴﺸﱰط ﻓﻴﻪ ﺳﺘﺔ ﺷﺮوط ( ﻛﻮن6) ( اﻟﻌﻠﻢ ﺑﻪ5) ( اﻟﻘﺪرة ﻋﻠﻰ ﺗﺴﻠﻴﻤﺔ4) ( ﻣﻠﻜﻴﻪ اﻟﻌﺎﻗﺪ ﻟﻪ3) 50 اﳌﺒﻴﻊ ﻣﻘﺒﻮﺿﺎ Artinya: Adapun tentang syarat barang yang diakadkan ada enam yaitu (1) bersihnya barang. (2) dapat dimanfaatkan. (3) milik orang yang melakukan akad. (4) mampu menyerahkannya. (5) mengetahui. (6) barang yang diakadkan ada di tangan. 2. Jual Beli yang Disebutkan Sifat-Sifatnya dalam Janji
49
T.M Hasbi ash-Shiddiqi, Hukum-hukum Fiqh Islam, Tinjauan Antar Mazhab, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001, Cet ke-2, hlm. 328. 50 Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 150
37
Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah jual beli salam (pesanan). Menurut kebiasaan para pedagang, salam adalah untuk jual beli yang tidak tunai (kontan), salam pada awalnya berarti meminjamkan barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu, maksudnya ialah perjanjian sesuatu yang penyerahan barang-barangnya ditangguhkan hingga masa tertentu, sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan ketika akad. Dasar hukum jual beli salam dapat dilihat dalam hadis sebagai berikut:
ْﺣَ ـﺪﱠ ﺛـَﻨَﺎ ﻋَﺒْـﺪُ اﻟﻠﱠـﻪِ ﺑْـﻦُ ﳏَُﻤﱠ ـﺪٍ اﻟﻨـﱡﻔَ ﻴْﻠِـﻲﱡ ﺣَ ـﺪﱠ ﺛـَﻨَﺎ ﺳُ ـﻔْ ﻴَﺎنُ ﻋَـﻦِ اﺑْـﻦِ أَﰊ ِ ﳒَِ ــﻴﺢٍ ﻋَـﻦ َﻋَﺒْ ـﺪِ اﻟﻠﱠـﻪِ ﺑْـﻦِ ﻛَ ﺜِ ـﲑٍ ﻋَ ـﻦْ أَﰊ ِ اﻟْﻤِ ﻨـْ ﻬَ ــﺎلِ ﻋَ ـﺑْـﻦِﻦِا ﻋَﺒﱠــﺎسٍ رَﺿــﻲ اﷲ ﻋﻨــﻪ ﻗَــﺎل ٍرَﺳُ ــﻮلُ اﻟﻠﱠـﻪِ ﺻَ ـﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠــﻪ ﻋَﻠَﻴْـﻪِ وَ ﺳَ ـﻠﱠﻢَ ﻣَ ـﻦْ أَﺳْ ـﻠَﻒَ ﰲ ِ ْ ﺷَ ـﻴْﺊٍ ﻓـَﻠْﻴُﺴْ ـﻠِﻒْ ﰲ ِ ﻛَ ﻴْــﻞ (ﻣَ ﻌْﻠُﻮمٍ وَوَزْنٍ ﻣَ ﻌْﻠُﻮمٍ إِﱃَ أَﺟَﻞٍ ﻣَ ﻌْ ﻠُﻮمٍ )رواﻩ اﺑﻦ ﻣﺎﺟﺔ
51
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Abdullah bin Muhammad al-Nufaily dari Sufyan dari Ibnu Abi Najih dari Abdullah bin Kasir dari Abi al-Minhal dari Ibnu Abbas ra. Telah berkata Rasulullah Saw: jika kamu melakukan jual beli salam, maka lakukanlah dalam ukuran tertentu, timbangan tertentu, dan waktu tertentu. (HR Ibn Majah).
Dalam salam berlaku semua syarat jual beli dan syarat-syarat tambahannya ialah:
51
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid ibnu Majah al-Qazwini, hadis No. 2065 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company)
38
1. Ketika melakukan akad salam disebutkan sifat-sifatnya yang mungkin dijangkau oleh pembeli, baik berupa barang yang dapat ditakar, ditimbang maupun diukur. 2. Dalam akad harus disebutkan segala sesuatu yang bisa mempertinggi dan memperendah harga barang itu, umpamanya benda tersebut berupa kapas, sebutkanlah jenis kapas saclarides nomor satu, nomor dua dan seterusnya, kalau kain, maka sebutkanlah jenis kainnya, pada intinya sebutkanlah semua identitasnya yang dikenal oleh orang-orang yang ahli di bidang ini, yang menyangkut kualitas barang tersebut. 3. Barang yang akan diserahkan hendaknya barang-barang yang biasa didapatkan di pasar. 4. Harga hendaknya dipegang di tempat akad berlangsung.52 3. Jual Beli Benda yang Tidak ada Menurut Abu Bakr al-Jazairi, seorang muslim tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada padanya atau sesuatu yang belum dimilikinya, karena hal tersebut menyakiti pembeli yang tidak mendapatkan barang yang dimilikinya.53 Dalam kaitan ini Ibnu Rusyd menjelaskan, barang-barang yang diperjual belikan itu ada dua macam: pertama, barang yang benar-benar ada dan dapat dilihat, ini tidak ada perbedaan pendapat. Kedua, barang yang tidak hadir (gaib) atau tidak dapat dilihat dan tidak ada di tempat akad itu terjadi, maka untuk hal ini terjadi perbedaan pendapat di antara 52
Hendi Suhendi, op.cit., hlm. 76. Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim: Kitab Aqa'id wa Adab wa Ahlaq wa Ibadah wa Mua'amalah, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, 2004, hlm. 297. 53
39
para ulama. Menurut Imam Malik dibolehkan jual beli barang yang tidak hadir (gaib) atau tidak dapat dilihat dan tidak ada di tempat akad itu terjadi, demikian pula pendapat Abu Hanifah. Namun demikian dalam pandangan Malik bahwa barang itu harus disebutkan sifatnya, sedangkan dalam pandangan Abu Hanifah tidak menyebutkan sifatnya pun boleh.54 Pandangan kedua ulama tersebut (Imam Malik dan Abu Hanifah) berbeda dengan pandangan Imam al-Syafi'i yang tidak membolehkan jual beli barang yang tidak hadir (gaib) atau tidak dapat dilihat dan tidak ada di tempat akad itu terjadi. Menurut Sayyid Sabiq, boleh menjualbelikan barang yang pada waktu dilakukannya akad tidak ada di tempat, dengan syarat kriteria barang tersebut terperinci dengan jelas. Jika ternyata sesuai dengan informasi, jual beli menjadi sah, dan jika ternyata berbeda, pihak yang tidak menyaksikan (salah satu pihak yang melakukan akad) boleh memilih: menerima atau tidak. Tak ada bedanya dalam hal ini, baik pembeli maupun penjual.55 E. Pendapat Para Ulama tentang Ijab Qabul dalam Jual Beli Pendapat para ulama tentang jual beli tanpa lafaz ijab yang dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat. Perbedaan ini jika dikelompokkan maka ada tiga pendapat. Pertama, pendapat ulama Syafi'iyah, kedua, pendapat Imam Nawawi, dan ketiga, pendapat para ulama kontemporer.
54 Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz II, Beirut: Dâr Al-Jiil, 1409 H/1989, hlm. 116 – 117. 55 Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 155.
40
Di zaman modern perwujudan ijab dan qabul tidak lagi diucapkan, tetapi dilakukan dengan shigat bentuk af'al (perbuatan) seperti sikap mengambil barang dan membayar uang dari pembeli, serta menerima uang dan menyerahkan barang oleh penjual, tanpa ucapan apa pun. Misalnya, jual beli yang berlangsung di pasar swalayan. Dalam fiqh Islam, jual beli seperti ini disebut dengan bai' al-mu'athah. Dalam kasus perwujudan ijab dan qabul melalui sikap ini (bai' almu'athah) terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh. Jumhur ulama berpendapat bahwa jual beli seperti ini hukumnya boleh, apabila hal itu sudah merupakan kebiasaan suatu masyarakat di suatu negeri; karena hal itu telah menunjukkan unsur ridla dari kedua belah pihak. Menurut mereka, di antara unsur terpenting dalam transaksi jual beli adalah suka sama suka (al-tara'dhi), sesuai dengan kandungan surat an-Nisa', 4: 29. Sikap mengambil barang dan membayar harga barang oleh pembeli, menurut mereka, telah menunjukkan ijab dan qabul dan telah mengandung unsur kerelaan. Dalam masalah ijab qabul, ulama Syafi'iyah berpendapat, bahwa transaksi jual beli harus dilakukan dengan ucapan yang jelas atau sindiran, melalui kalimat ijab dan qabul. Oleh sebab itu, menurut mereka, jual beli seperti kasus di atas (bai al-mu'athah) hukumnya tidak sah, baik jual beli itu dalam partai besar maupun dalam partai kecil.56 Alasan mereka adalah unsur utama jual beli adalah kerelaan kedua belah pihak. Unsur kerelaan, menurut mereka, adalah masalah yang amat tersembunyi di dalam hati, karenanya perlu
56
Nasroen Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000, hlm. 117
41
diungkapkan dengan kata-kata ijab dan qabul; apalagi persengketaan dalam jual beli boleh terjadi dan berlanjut ke pengadilan. Sebagian ulama Syafi'iyah yang muncul belakangan seperti Imam anNawawi, seorang fakih dan muhadis mazhab Syafi'i, dan al-Baghawi, seorang mufasir mazhab Syafi'i, menyatakan bahwa jual beli al-mu'athah adalah sah, apabila hal itu sudah merupakan kebiasaan suatu masyarakat di daerah tertentu.57 Akan tetapi, sebagian ulama Syafi'iyah lainnya, membedakan antara jual beli dalam jumlah besar dengan jual beli dalam jumlah kecil. Menurut mereka, apabila yang dijual-belikan itu dalam jumlah besar, maka jual beli almu'athah tidak sah, tetapi apabila jual beli itu dalam jumlah kecil, maka jual beli al-mu'athah hukumnya sah.58
57 58
Ibid Ibid, hlm. 117
BAB III PENDAPAT TM.HASBI ASH SHIDDIEQY TENTANG TIDAK DIPERLUKANNYA LAFADZ IJAB QABUL DALAM JUAL BELI
A. Biografi dan Sketsa Pemikiran TM. Hasbi Ash Shiddieqy Prof. Dr. Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dalam skripsi ini terkadang hanya disebut Hasbi termasuk untuk sebutan karya-karyanya— dilahirkan di Lhokseumawe, Aceh Utara, pada 10 Maret 1904, di tengahtengah keluarga ulama pejabat. Secara geneologis, Hasbi adalah keturunan campuran Aceh-Arab1 dan diketahui bahwa dia keturunan yang ke-37 dari Abu Bakar ash-Shiddiq2, khalifah pertama dalam deretan khulafa AlRasyidin.3 Itulah sebabnya Hasbi membubuhkan ash-Shiddieqy sebagai nama keluarganya.4
1 Ibunya, Tengku Amrah, adalah putri Tengku Abdul Aziz, pemangku jabatan Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi. la juga keponakan Abdul Jalil, bergelar Tengku Chik di Awe Geutah, seorang ulama pejuang yang bersama Tengku Tapa bertempur di Aceh melawan Belanda. Tengku Chik di Awe Geutah, oleh masyarakat Aceh Utara dianggap sebagai seorang wali yang dikeramatkan. Kuburannya masih diziarahi untuk meminta berkah. Pamannya yang lain, bernama Tengku Tulot, menduduki jabatan Raja Imeum di awal pemerintahan Sri Maharaja Mangkubumi. Ayah Hasbi, al-Haj Tengku Muhammad Husen ibn Muhammad Su'ud, adalah seorang Qadhi Chik, yang menempati posisi itu setelah mertuanya wafat (informasi lebih jauh lihat: Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. Lihat Sulaiman al-Kumayi, Inilah Islam, Yogyakarta: Pustaka Rizki Putra, 2006, hlm. 13-16. 2 Silsilah Hasbi: Muhammad Hasbi ibn Muhammad Husein ibn Muhammad Su'ud ibn 'Abdur-Rahman ibn Syati' ibn Muhammad Shalih ibn Muhammad Taufiqi ibn Fathimi ibn Ahmad ibn Dhiauddin ibn Muhammad Ma'sum (Faqir Muhammad) ibn Ahmad Alfar ibn Mu'aiyidin ibn Khawajaki ibn Darwis ibn Muhammad Zahid ibn Marwajuddin ibn Ya'kub ibn 'Alauddin ibn Bahauddin ibn Amir Kilal ibn Syammas ibn 'Abdul 'Aziz ibn Yazid ibn Ja'far ibn Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar ash-Shiddiq. 3 Abu Bakar, seorang pendukung dan teman setia Nabi Muhammad paling awal, yang percaya kepadanya dan memimpin salat jemaah selama sakit terakhir yang diderita Nabi, ditunjuk sebaga penerus Nabi (8 Juni 632) melalui pemilihan yang melibatkan para pemimpin masyarakat Islam yang berkumpul di Madinah. la melaksanakan semua tugas dan meneladani semua keistimewaan Nabi, kecuali hal-hal yang terkait dengan kenabiannya—karena kenabian berakhir seiring dengan wafatnya Nabi Muhammad (Philip K. Hitti, History of Arab: Rujukan Induk dan
42
43
Prof. Dr. Hamka menerangkan bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq berasal dari Banu Taim ibn Murrah ibn Ka'ab ibn Lubai ibn Ghalib Al-Quraisyi. Pada Banu Murrah nasabnya bertemu dengan nasab Nabi Muhammad. Gelar ashShiddiq diperolehnya dari Nabi, karena dia percaya sepenuh iman ketika Nabi memberitahukan bahwa dia telah di-i'sra-kan dari Masjidil-Haram ke BaitulMaqdis dan di-mi'rojkan ke Sidratul-Muntaha dalam satu malam pulang pergi, sedangkan orang lain ada yang meragukannya.5 Melihat latar belakang keluarga Hasbi, dapat diketahui bahwa darah keulamaan itu telah menjadi bagian integral dalam dirinya. Karena itu, pendidikan keagamaan Hasbi ditempa dari internal keluarganya sendiri, terutama ayahnya. Ditambah lagi, dia dianugerahi oleh Allah dengan otak yang cerdas sehingga tidak mengherankan dalam usia tujuh tahun ia telah mengkhatamkan Al-Qur'an. Masih dalam asuhan sang ayah, Hasbi mempelajari qiraah, tajwid serta dasar-dasar fiqh dan tafsir. Ilmu-ilmu dasar yang memang menjadi semacam kurikulum wajib bagi calon ulama, di mana keinginan terbesar sang ayah adalah agar Hasbi menjadi seorang ulama. Tampaknya, karena alasan inilah ayah Hasbi menolak tawaran seorang kontroler Lhokseumawe yang bermaksud menyekolahkan Hasbi karena khawatir anaknya nanti menjadi kafir. Mungkin jika dilihat dari perspektif modern, penolakan ini suatu kebodohan. Tetapi ayah Hasbi punya alasan Paling Otoritatif tentang Sejarah Peradaban Islam, penerj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: Serambi, 2005, hlm. 222. 4 Nourouzzaman Shiddiqi, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Perspektif Sejarah Pemikiran Islam di Indonesia, Disertasi Doktor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1987, hlm. 122. 5 Hamka, Sejarah Umat Islam, Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, cet. Ill, 2001), hlm. 200; Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, penerj. Ali Audah, Jakarta: Litera Antar Nusa, cet. 27, 2002, hlm. 159.
44
sendiri. Menurut M. Hasbi Amiruddin, alasan penolakan ini sebenarnya sangat logis dan kondisi saat itu memang mengharuskan demikian. Katanya: Karena sebuah kenyataan, di kala Belanda sedang berusaha penetrasi dan menaklukkan masyarakat Aceh dia mengambil simpati pribumi dengan memberi fasilitas-fasilitas tertentu. Lagi pula tujuan menyekolahkan anak negeri ketika itu bukan dengan tujuan ingin mencerdaskan bangsa Indonesia, akan tetapi agar menjadi tenaga kerja mereka dalam rangka memperlancar proses penaklukkan anak negeri. Menurut ulama Aceh ketika itu usaha penaklukkan Belanda terhadap orang Aceh dianggap perang meruntuhkan Islam dan umatnya, karena itu perang melawan mereka dianggap jihad fisabilillah. Karena itu pula kalau ada negeri yang membantu Belanda itu mereka menganggap berarti membantu kafir, mereka dapat dihukum sama dengan kafir.6
Penolakan ini sebenarnya memberi dampak yang positif bagi pengembangan dan kematangan ilmu-ilmu keislaman Hasbi. la lebih bisa berkonsentrasi "melahap" ilmu-ilmu keislaman di bawah asuhan ayahnya ini. Beberapa hal yang menarik pada diri TM. Hasbi Ash Shiddieqy, antara lain: Pertama, ia sangat menggemari buku, hampir pada setiap sudut ruangan rumahnya terdapat kamus bahasa, dan di ruangan tempat ia belajar tersusun kitab secara sistematis. Uniknya ia tidak pernah memberi pinjam buku, kecuali membaca di rumahnya. Di samping itu ia adalah seorang otodidak pendidikan yang ditempuhnya dari dayah ke dayah, dan hanya satu setengah tahun duduk di bangku sekolah al-Irsyad, 1926. Dengan basis 6
Lihat M. Hasbi Amiruddin, "Biografi Hasbi Ash-Shiddieqy: Menelusuri Jejak Sang Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia", makalah disampaikan dalam Simposium Nasional "Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia dalam Rangka Hari Jadi ke-40 IAIN Ar-Raniry, 5 Oktober 1963-5 Oktober 2003; M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah: Pengawal Agama Masyarakat Aceh, Lhokseumawe: Nadiya Foundation, 2003, hlm. 15-16; E. Gobee dan Adrianse, Nasihatnasihat C. S. Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1963, penerj. Sukarsih Qakarta: INIS, 1991, hlm. iii.
45
pendidikan formal seperti itu, ia memperlihatkan dirinya sebagai seorang pemikir. Kemampuan intelektualnya diakui oleh dunia international. Ia diundang dan menyampaikan makalah dalam international islamic qolloquium yang diselenggarakan di Lahore Pakistan, 1958. Selain itu, berbeda dengan tokoh-tokoh lainnya di Indonesia, ia telah mengeluarkan suara pembaruan sebelum naik haji atau belajar di Timur Tengah. Muhammad Hasbi menitik beratkan pembaruannya pada bidang hukum Islam dengan semboyannya yang terkenal “pintu ijtihad terbuka sepanjang zaman tidak pernah tertutup dan tidak ada manusia manapun yang berhak menutupnya” (Prof. H. Ali Hasyim, Waspada, Medan, 19 September 1983).7 Kedua, ia mulai bergerak di Aceh, di lingkungan masyarakat yang terkenal fanatik, bahkan ada yang menyangka “angker”. Namun Hasbi pada awal perjuangannya berani menentang arus. Ia tidak gentar dan surut dari perjuangannya kendatipun karena itu ia dimusuhi, ditawan dan diasingkan oleh pihak yang tidak sepaham dengannya. Ketiga, dalam berpendapat ia merasa dirinya bebas tidak terikat dengan
pendapat
kelompoknya.
Ia
berpolemik
dengan
orang-orang
Muhammadiyah dan Persis, padahal ia juga anggota dari perserikatan itu. Ia bahkan berani berbeda pendapat dengan jumhur ulama, sesuatu yang langka terjadi di Indonesia.
7
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan 1992, hlm. 852-853.
46
Keempat, ia adalah orang pertama di Indonesia yang sejak tahun 1940 dan dipertegas lagi pada tahun 1960, menghimbau perlunya dibina fiqh yang berkepribadian Indonesia. Himbauan ini menyentak sebagian ulama Indonesia. Mereka angkat bicara menentang fiqh (hukum in concreto) diindonesiakan atau dilokalkan. Bagi mereka, fiqh dan syari’at (hukum in abstracto) adalah semakna dan sama-sama universal. Kini setelah berlalu empat puluh lima tahun sejak 1960, suara-suara yang menyatakan masyarakat muslim Indonesia memerlukan “fiqh Indonesia” terdengar kembali. Namun sangat disayangkan, mereka enggan menyebut siapa penggagas awalnya. Mencatat penggagas awal dalam sejarah adalah suatu kewajiban, demi tegaknya kebenaran sejarah.8 Hasbi yang dilahirkan di lingkungan pejabat negeri ulama, pendidik dan pejuang – jika ditelusuri sampai ke leluhurnya, dalam dirinya mengalir campuran darah Aceh-Arab dan mungkin juga Malabar. Kendati ia dilahirkan ketika ayahnya dalam posisi Qadli Chik, masa kecilnya tertempa penderitaan seperti juga derita yang dialami oleh masyarakat. Selain faktor pendidikan, bawaan dari leluhur dan orang tuanyalah yang ikut membentuk diri Hasbi menjadi seorang yang keras hati, berdisiplin, pekerja keras, berkecenderungan membebaskan diri dari kungkungan tradisi dan kejumudan serta mandiri tidak terikat pada sesuatu pendapat lingkungannya. Hasbi sejak remaja telah dikenal dikalangan masyarakatnya karena ia sudah terjun berdakwah dan berdebat dalam diskusi-diskusi. Di Aceh ada 8
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Cet. 4, Semarang: PT Pustaka Rezki Putra, 2001, hlm. 220-221.
47
tradisi yang disebut dengan meuploh-ploh masalah, mengurai masalah agama yang dipertandingkan. Masalah yang disampaikan dalam bentuk syair harus dijawab oleh pihak lain. Kalau tidak bisa menjawab, kelompok tersebut dinyatakan kalah dalam pertandingan. Hasbi sering diminta untuk mengambil peran sebagai penanya atau penjawab atau setidak-tidaknya sebagai konsultan dalam diskusi-diskusi tersebut. Oleh karena itu, tidaklah mengheran jika Hasbi populer di kalangan masyarakat. Banyak orang menginginkan Hasbi bisa menjadi menantunya. Sejak remaja dia sudah dipanggil dengan sebutan Tengku Muda atau Tengku di Lhok. Di Aceh seseorang yang dihormati tidak lagi dipanggil dengan nama dirinya tetapi dengan nama akrabnya. Hasbi menikah pada usia 19 tahun dengan Siti Khadidjah, seorang gadis yang masih ada hubungan kekerabatan dengannya. Perkawinan dengan gadis pilihan orang tuanya ini tidak berlangsung lama. Siti Khadidjah wafat ketika melahirkan anaknya yang pertama. Anaknya yang dilahirkan itu, Nur Jauharah, segera pula menyusul ibunya kembali kerahmat Allah. Kemudian Hasbi menikah dengan Tengku Nyak Asyiyah binti Tengku Haji Hanum, saudara sepupunya. Tengku Haji Hanum atau lebih akrab dipanggil dengan Tengku Haji Nom adalah saudara kandung Tengku Amrah, ibu Hasbi. Dengan Tengku Nyak Asyiayah inilah Hasbi mengayuh bahtera hidupnya sampai akhir hayatnya. Dari perkawinannya ini lahir empat anak; dua orang perempuan dan dua anak laki-laki.9
9
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, edisi II, Cet. 2, Semarang: PT Pustaka Rizeki Putra, , 2001, hlm. 559-560.
48
Hasbi sangat menghargai orang berpendapat. Ia tidak gusar jika pendapatnya dibantah walaupun oleh anaknya sendiri. Bahkan dengan anaknya, ia mengajak berdiskusi yang kadangkala berlangsung seperti orang bertengkar tidak pula jarang terjadi ia mendiskusikan sesuatu yang sedang ditulisnya dengan anaknya yang bertindak sebagai juru ketik dan korektor uji cetak buku-bukunya. Jika pendapat anaknya dirasa benar, diakuinya. Jika salah, ia membetulkannya dengan menasehati agar belajar lebih banyak dengan membaca seperti yang diperbuatnya. Hasbi yang cerdas dan dinamis serta telah bersentuhan dengan pemikiran kaum pembaharu, dilihat oleh Syekh al-Kalali mempunyai potensi dikembangkan menjadi tokoh yang menggerakkan pemikiran pembaruan Islam di Aceh. Untuk keperluan itu, ia menganjurkan Hasbi pergi ke Surabaya belajar pada perguruan al-Irsyad yang diasuh oleh pergerakan al-Irsyad wal ishlah yang didirikan oleh Syekh Ahmad as-Surkati pada tahun 1926, dengan diantar oleh Syekh al-Kalali, Hasbi berangkat ke Surabaya setelah di tes ia dapat diterima di jenjang takhasus. Di jenjang ini Hasbi memusatkan perhatiannya belajar bahasa Arab yang memang mendapat kedudukan istimewa dalam kurikulum perguruan al-Irsyad. Percepatan penguasaan bahasa Arabnya didukung pula oleh pergaulannya dengan orang-orang Arab di Surabaya. Ia bemain bola bersama mereka. Ia juga mondok di rumah seorang Arab. Satu setengah tahun Hasbi belajar di al-Irsyad dengan perolehan kemahiran bahasa arab dan kemantapan berada di barisan kaum pembaru untuk mengibarkan panji-panji Islam serta semangat kebangsaan
49
Indonesia yang memang telah bersemi dalam dirinya sejak ia meudagang di Tunjungan Barat, di Samalanga. Pada waktu itu, rakyat samalanga yang telah memperlihatkan kepahlawanan melawan penjajah,
pada tahun 1916
mendirikan cabang SI.10 Perguruan al-Irsyad jenjang takhasus adalah pendidikan formal terakhir yang ditempuh Hasbi. Ia tidak pernah belajar ke luar negeri. Selesai belajar di al-Irsyad, ia mengembangkan dan memperkaya dirinya dengan ilmu melalui belajar sendiri, otodidak. Buku adalah guru terbaik. Berkat minat bacanya yang besar, semangat belajar dan menulisnya yang tinggi Hasbi menghasilkan lebih dari seratus judul buku dan ratusan pula artikel. Ia memperoleh dua gelar Doktor H.C., satu dari UNISBA (1975), dan satu dari IAIN Sunan Kalijaga (1975), dan menduduki jenjang fungsional pada tingkat guru besar pada tahun 1960.11 Setelah Hasbi melepas jabatan Dekan Fakultas Syari’ah di Aceh, sekitar tahun 1963 – 1966, ia merangkap pula jabatan pembantu Rektor III di samping dekan Fakultas Syaria’h di IAIN Yogyakarta. Di samping merangkap jabatan di IAIN, Hasbi juga mengajar dan memangku jabatan struktural pada perguruan tinggi – Perguruan Tinggi Islam Swasta. Sejak tahun 1964 ia mengajar di Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta Tahun 1967 sampai wafatnya pada tahun 1975. Ia mengajar dan menjabat dekan Fakultas Syari’ah Universitas Islam Sultan Agung
10 TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: PT Putaka Rizki Putra, 1997, hlm. 560-562. 11 TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Edisi II, Cet.2, Semarang: PT. Pustaka Rizky Putra, 1997 hlm. 241-242.
50
(UNISSULA) di Semarang. Pada tahun 1961 – 1971 dia menjabat rektor Universitas al-Irsyad Surakarta, di samping pernah pula menjabat rektor Cokroaminoto yang bermula dari Akademi Agama Islam (AAI) di Surakarta. Nama Hasbi dipasang pula sebagai pengajar siyasah syari’ah di IAIN Walisongo Semarang, di Universitas Islam Bandung (UNISBA) dan Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Ujung Pandang. Setelah itu Hasbi juga menjabat ketua lembaga fatwa IAIN Sunan Kalijaga dan pemimpin post graduate course (PGC) dalam ilmu fiqih bagi dosen IAIN se Indonesia. Ia juga menjabat ketua lembaga fiqih Islam Indonesia , ketua lembaga fatwa IAIN Sunan Kalijaga dan anggota Majelis Ifta’wat Tarjih DPP al-Irsyad.12 Adapun sketsa pemikiran TM. Hasbi Ash Shiddieqy dapat kita awali dengan bertitik tolak pada kurun waktu tahun 1359/1940, ketika itu Hasbi berumur 36 tahun, dalam polemiknya dengan Soekarno ia menulis: Fiqih yang kita junjung tinggi ialah fiqih Qurisany dan fiqih Nabawi. Adapun fiqih ijtihady, maka senantiasa kita lakukan nadzar, senantiasa kita jalankan pemerikasaan dan boleh kita mengambil mana yang lebih cocok dengan nusa dan bangsa kita. Duapuluh satu tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 2 Rabiul Awal 1381/1961, dalam orasi ilmiyah yang berjudul “Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman” yang diucapkannya pada upacara peringatan Dies Natalis IAIN yang pertama, Hasbi berseru: “maksud mempelajari syariat Islam di Universitas-universitas Islam sekarang ini, supaya fiqih/syari’at Islam dapat 12
Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-Jeram Peradaban Muslim, Yogyakarta, Pustaka Pelajar (Anggota LKAPL), 1996, hlm. 217-220. Cf. Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqih Indonesia Menggagas dan Gagasnnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Anggota LKAPL), 1907, hlm. 3-61.
51
menampung seluruh kemaslahatan masyarakat dan dapat menjadi pendiri utama bagi pembangunan hukum di tanah air kita yang tercinta ini. Maksud kita supaya dapat menyusun suatu fiqh yang berkepribadian kita sendiri.13 Dua pernyataan Hasbi di atas menjadi petunjuk, bahwa Hasbi menghimbau perlu dibina fiqh yang berkepribadian atau fiqh yang berwawasan ke-Indonesiaan. Maksudnya, fiqh yang cocok dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat Indonesia. Dengan demikian, fiqh yang oleh sebagian orang Indonesia mengangapnya sudah menjadi barang antik yang hanya layak untuk dipajangkan di musieum saja, mampu memecahkan permasalahan-permasalahan hukum yang timbul di kalangan masyarakat Indonesia. Bahkan diharapkan dapat menjadi tiang utama bagi pembinaan hukum nasional Indonesia. Sepanjang yang diketahui dalam catatan sejarah pemikiran Islam di Indonesia, sebelum tahun 1359/1940, bahkan sampai tahun 1381/1961, belum pernah terdengar suara yang menyampaikan gagasan seperti yang diajak oleh Hasbi. Karena itu, dapatlah dikatakan, Hasbi adalah orang pertaama dikalangan pemikir Islam di Indonesia yang mencetuskan gagasan seperti itu. Bahkan sampai sekarangpun, setidaknya sampai tahun 1405-6/1985, masih ada yang mempertanyakan dan bersikap “tak perlu ada fiqh yang berdimensi ruang dan waktu”14 Adapun tujuan kajian ini, dengan mendeskripsikan dan menganalisis fiiran-fikiran Hasbi dengan menggunakan pendekatan analisis teks dari 3
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman, Yogyakarta: IAIN, 1961, hlm. 41. 14 KH. Ali Yafie, Matarantai Yang Hilang, Pesantren, no. 2/Vol II/1985, hlm. 36.
52
tulisan-tulisan Hasbi sendiri, diharapkan dapat membantu memperjelas pemahaman dan pendirian Hasbi tentang fiqh pada umumnya dan fiqh yang berkepribadian Indonesia, fiqh yang diterapkan di Indonesia-, pada khususnya. Hal ini barangkali dapat pula membantu upaya Kompilasi Hukum Islam yang dikerjakan oleh Mahkamah Agung bekerjasama dengan Departemen Agama R.I. (pada saat Menteri Agama, Munawir Sadzali, dan sudah selesai dikerjakan). Peristiwa yang mendorong lahirnya ide Hasbi tentang fiqh yang berkepribadian
Indonesia,
ialah
gejala
historis
–
sosiologis
yang
menggambarkan tentang perlakuan fiqh di kalangan kaum muslimin Indonesia. Hasbi mengamati fiqh seakan lesu darah. Ibarat kitab tua yang sudah dimakan rengat, dibuang sayang tetapi sudah tidak dapat dibaca lagi. Pada tahun 1368/1948 dia menulis: “barang siapa di antara kita yang sudi melepaskan pemandangan keinsyafannya ke dalam kehidupan umat Islam dewasa ini, tentulah bakal terlihat olehnya dengan jelas dan nyata, akan lemahnya bekas-bekas hukum Islam atas pemeluk dan pergaulan kaum muslimin, istimewa di tanah Indonesia yang cantik molek ini.15 Pengamatan Hasbi pada tahun 1368/1948 tidak jauh berbeda, kalaupun tidak mau dikatakan lebih merosot -, dari keadaan kehidupan fiqh pada tahun 1381/1961, ketika dia menyampaikan orasi ilmiah “Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman”. Bagi Hasbi, keadaan fiqh yang lesu darah ini terasa aneh. Sebab, kaum muslimin di Indonesia yang berjumlah banyak, 15
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Menghidupkan Hukum Islam dalam Masyarakat, Aliran Islam, No. I, 1948, hlm 43.
53
lebih banyak dari kaum muslimin yang berada di timur tengah digabung menjadi
satu,
yang
sepatutnya
menjadi
pendukung
fiqh,
tetapi
mengabaikannya bahkan mencari hukum yang lain. Pada waktu itu, kedudukan Peradilan Agama tidak lebih dari sebuah lembaga pemberi fatwa. Keputusan-keputusanya tidak mempunyai kekuatan hukum yang memaksa. Dia baru mempunyai kekuatan yang memaksa jika dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri. Biasanya, Pengadilan Negeri sebelum memberikan pengukuhannya terlebih dahulu melakukan pemeriksaan ulang dengan mengambil hukum adat sebagai pedoman. Hasbi mempetanyakan pada dirinya sendiri, mengapa nasib fiqh menjadi begini. Tentu ada sesuatu pada diri fiqh yang telah menjadi fakor penyebab tidak mendapat perlakuan dan penghargaan yang layak. Hasbi melihat, salah satu penyebab fiqh tidak mendapat sambutan yang hangat di kalangan muslimin Indonesia, ialah karena ada bagian-bagian fiqh berdasarkan ‘‘urf di timur tengah yang tidak sesuai dengan rasa kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang telah melembaga dalam hukum adat. Bagian-bagian fiqh yang seperti ini tentunya terasa asing bagi mereka, akan tetapi dipaksakann juga berlaku atas dasar taqlid. Dalam kalimat Hasbi sendiri tertulis: “fiqh yang berkembang dalam masyarakat kita sekarang sebagiannya adalah fiqh Hijazi, fiqh yang terbentuk atas dasar adat istiadat dan ‘urf yang berlaku di Hijaz, atau fiqh Misry yaitu fiqh yang terbentuk atas dasar adat-istiadat dan kebiasaan Mesir, atau fiqh Hindi yaitu fiqh yang terbentuk atas ‘urf dan adat-istiadat yang berlaku di India.
54
Selama ini kita belum mewujudkan kemampuan untuk berijtihad, mewujudkan kaum fiqh yang sesuai dengan kepribadian Indonesia, karena itu kadang-kadang kita paksakan fiqh Hijaz atau fiqh Misry atau fiqh Iraki berlaku di Indonesia atas dasar taqlid. Adapun karya tulis Hasbi dapat disebutkan antara lain: 1. Hadits a. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta, Bulan Bintang, 1954; 1955; 1965; 1974; 1977; 1980, 420 p. b. 2002 Mutiara Hadits, 8 jilid, Jakarta, Bulan Bintang, 1954 – 1980, jilid I, 1954; 1955; 1961; 1975, 540 p. jilid II, 1956; 1975; 1981, 588 p. jilid III, 1962; 1977, 668 p. jilid IV, 1977, 692 p. jilid V, 1977; 628 p. jilid VI, 1980, 584 p. Jilid ke VIII belum diterbitkan . c. Koleksi Hadits-Hadits hukum, ahkamun Nabawiyah. 9j. Bandung: alMa’arif, 1970-1976 Jilid I: 1970;’72, ’81; 380 p. jilid II : 1972; 400p. jilid III : 1972; ? ‘81 493 p. jilid IV: 1972; 379 p. jilid VI : 1976: 307 p. jilid VII sampai dengan XI belum diterbitkan. Naskahnya sudah siap. d. Hukum-Hukum Fiqih Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1952: ’55; ’62; ’70; ’78 pada penerbitanya yang pertama yang diterbitkan oleh Pustaka Islam Jakarta buku ini berjudul pedoman Hukum Syar’i yang berkembang dalam kalangan Sunni. Buku ini memuat materi hukum dari semua madzhab Sunni (Madzhab empat)
55
e. Pengantar Hukum Islam, 2 jilid, Jakarta, Bulan Bintang, jilid I : 1953; ’58; ’63; ’68; ’75; ’80 jilid II: 1953; ’58; ’63; ’68; ’75; ’81. f. Sjari’at Islam Mendjawab Tantangan Zaman, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1961. Cet kedua diterbitkan di Jakarta : Bulan Bintang, 1966. g. Pengantar Ilmu Fiqih, Jakarta, Bulan Bintang, 1967; ’74. h. Beberapa Problematika Hukum Islam, Yogyakarta, Lembaga hukum Islam Indonesia, 1972. Pada cetakan kedua, buku ini diberi judul Beberapa Permasalahan Hukum Islam, Jakarta, Tintamas, 1975. i. Kumpulan Soal Jawab, Jakarta, Bulan Bintang, 1973. 2. Tafsir dan Ilmu al-Quran: a. Beberapa Rangkaian Ajat, Bandung: al-Ma’arif, tt. (1952 ?) Buku ini dimaksudkan sebagai buku pelajaran tafsir tingkat permulaan . (44 p) b. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/tafsir, Jakarta, Bulan Bintang 1954; 1955; 1961; 1965; 1972;1977; 1980 (308 p). buku ini sebuah refisi dari bukunya yang semula berjudul sejarah dan pengantar ilmu tafsir. c. Tafsir al-Qurnul Majied “an-Nur”, 30 Juz Jakarta, Bulan Bintang 1956-1973; 1956; 1965; 1976. Pustaka Rizki Putera (4 jilid). Setiap jilidnya antara 300-360 p. Sistem penafsirannya adalah paragraf per paragraf
(qith’ah)
seperti
yang
dilakukan
oleh
al-Maraghi.
Penafsirannya menggunakan metode campuran Ar-Riwayah (ma’tsur)
56
dan biad-dirayah (ma’qul). Di dalamnya termuat juga sebab-sebab turunnya ayat (asbab an-Nuzul). B. Pendapat T.M.Hasbi Ash Shiddieqy Tentang Tidak Diperlukannya Lafadz Ijab Qabul dalam Jual Beli Pada prinsipnya bahwa TM. Hasbi Ash Shiddieqy mendukung pendapat yang menyatakan bahwa sumber fiqih dalam bidang muamalat ialah al-Qur’an, Hadits/Sunnah Nabi, Ijma’, Qiyas, Ra’yu, Urf. Pertama, al-Qur’an16 adalah sumber utama dalam pembinaan hukum Islam. Namun al-Qur’an tidak banyak memberikan hukum-hukum yang terinci dan pasti terhadap masalah-masalah yang menyangkut bidang muamalah bahkan al-Qur’an melarang para sahabat banyak bertanya kepada Nabi mengenai hukum-hukum yang belum diperlukan. Sebab, jangan sampai terjadi karena banyak pertanyaan akan mengakibatkan timbul kesulitan dalam pelaksanaannya, seperti kasus seorang Yahudi yang banyak bertanya tentang bagaimana sapi yang harus mereka sembelih. Terhadap sesuatu yang menjadi penyakit masyarakat, beban-beban hukumnya pun diberikan secara bertahap, seperti hukum zina misalnya. Mengenai metode penafsiran, Hasbi sependapat bahwa dalam menafsirkan al-Qur'an pertama kali harus dicari penjelasannya pada al-Qur'an 16
Al-Qur’an menurut bahasa, ialah bacaan atau yang dibaca. Al-Qur’an adalah mashdar yang diartikan dengan arti isim maf’ul yaitu maqru = yang dibaca. Lihat TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, PT Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1997, hlm. 3. Menurut Subhi Shaleh al-Qur’an adalah firman Allah yang berfungsi sebagai mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang tertulis dalam mushab-mushab, yang diriwayatkan secara mutawatir, dan membacanya merupakan ibadah. Lihat Subhi Shaleh, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Dinamika Barakah Utama, Jakarta, tt, hlm. 21. dikutip dari Muhammad Nur Ihwan, Memasuki Dunia al-Qur’an, Lubuk Raya, Semarang, 2001, hlm. 37-38.
57
sendiri. Sebab, seringkali dijumpai ada ayat-ayat yang disebutkan secara ringkas di suatu tempat, sedangkan penjelasannya terdapat pada ayat di tempat lain. Mengapa penafsiran pertama kali harus dicari dalam al-Qur'an sendiri, karena Allah yang lebih mengetahui kehendak-Nya. Jika tidak diketemukan ayat atau ayat-ayat yang menjadi penjelas bagi sesuatu yang hendak ditafsirkan, barulah dicari penjelasannya pada Hadits. Sebab, Nabi lebih mengetahui tentang makna perintah atau berita yang disampaikan kepadanya. Jika tidak ada Hadits barulah dilihat pada penafsiran sahabat. Karena penafsiran Sahabat lebih dekat kepada kebenaran sebab mereka lebih mengetahui maksud-maksud ayat lantaran mereka mendengar sendiri dari Rasul dan menyaksikan sebab-sebab turun (asbab an-nuzul) ayat atau ayatayat itu. "Wajib kita yakini bahwa Nabi saw telah menerangkan kepada para sahabat makna-makna al-Qur'an," demikian kata Hasbi dengan mengutip Ibn Taimiyah. Perlu dicatat pula, bahwa para Sahabat Nabi mengetahui betul tentang bahasa Arab. Apalagi bahasa Arab yang dipakai pada saat ayat atau ayat-ayat itu diturunkan. Akhirnya Hasbi berpesan kepada orang yang hendak menerjemahkan al-Qur'an, agar mempelajari semua kitab tafsir, baik yang menggunakan metode riwayah (bi al-ma 'tsur/bi al- manqul), maupun yang menggunakan metode dirayah (bi ar-ra' yi/ bi al-ijtihadi/bi al-ma 'qui). Jika dia seorang Muhaqqi (Pemilih) hendaklah dia menjelaskan pula cara-cara pentahqiqkannya.17
17
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, PT Pustaka Rizki Putera Semarang 1997, hlm. 200-208
58
Kedua, mengenai sunnah dan hadits18 sebagai sumber hukum yang kedua, Hasbi memilih pendapat ahli ushul yang memformulasikan hadits dengan: segala perbuatan, ucapan dan taqrir (persetujuan/keputusan) Nabi saw yang berhubungan dengan hukum. Selanjutnya Hasbi mengingatkan, dalam menghadapi hadits ada dua hal yang disepakati jumhur: Pertama, hadits Rasul sebagai hujjah yang harus ditaati; kedua, hadits sebagai penjelas bagi nash al-Qur'an yang bersifat umum (mujmal). Karena itu, tidak mungkin ada hadits yang bertentangan dengan al-Qur'an. Akan tetapi dalam menggunakan Hadits sebagai hujjah atau penjelas al-Qur'an ada dua kenyataan yang membuat orang harus berhati-hati dalam menggunakan hadits. Pertama, tidak semua yang dikatakan Hadits adalah benar. Hadits dalam artian memang benar diucapkan, diperbuat atau ditaqrir Nabi. Banyak Hadits palsu yang diedarkan untuk maksud-maksud tertentu. Di samping itu, derajat Hadits pun bermacam-macam: mutawatir, hasan, dla'if dan sebagainya. Tidak semua ulama sepakat dalam menggunakan derajat yang mana boleh digunakan untuk menjadi dalil bagi sesuatu masalah tertentu. Katakanlah, dalam masalah 'akidah misalnya. Kadangkala terjadi pula perbedaan redaksi (matan) dari suatu Hadits yang jalur periwayatannya (sanad) berbeda. Hal ini telah pula menjadi sebab timbul selisih pendapat di kalangan ulama dalam menetapkan suatu hukum.
18 Hadits ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang sebagainya. Lihat Fatchur Rahman, Ikhtisahar Musthalah al-Hadits, Cet. 4, PT al-Ma’arif, Bandung, 1995, hlm. 6. TM. Hasbi Ash S Sejarah dan Pengantar Imu Hadits, Cet. 6, Bulan Bintang, Jakarta, 1980, hlm. 22-23.
59
Kedua, Hadits yang memang benar Hadits tidak pula semua menjadi syari'at yang berlaku umum yang harus dilaksanakan di sembarang tempat dan waktu. Harus diingat, Rasulullah, di samping berfungsi sebagai Rasul Allah, juga seorang manusia biasa. Ucapan atau perbuatan Rasulullah dalam kualitasnya sebagai manusia biasa tidak menjadi syari'at yang harus ditaati. Hanya ucapan, perbuatan dan taqrirnya dalam kualitasnya sebagai Rasul, yang memang berkewajiban menyampaikan wahyu dan menjelaskan syari'at, yang wajib diikuti dan ditaati. Berdasarkan pengertian ini, maka cara Rasul berjalan,
makan,
berpakaian,
berkendaraan
dan
sebagainya,
yang
dilakukannya sebagai seorang manusia, tidak menjadi aturan umum. Nabi suka berpakaian yang terbuat dari kain Yaman, suka makan buah labu tanah dan tidak suka daging dlab (sejenis kadal), semua itu tidak menjadi aturan umum. Sebab, hal itu hanyalah soal selera. Demikian juga ucapan dan perbuatan Nabi dalam masalah keduniaan, seperti mengatur taktik peperangan, obat yang diminum, bercocok tanam yang berdasarkan pertimbangan pikiran bukan berdasar wahyu, itu semua bukan aturan umum yang harus dipegang teguh. Contohnya, Rasulullah menyuruh seseorang penderita penyakit perut meminum madu dan Nabi berobat dengan berbekam atau digosokkan besi panas. Hadits-hadits ini bukan berarti bahwa madu adalah obat bagi segala macam penyakit perut dan berbekam adalah obat yang ampuh. Ketiga, sebagai sumber hukum yang ketiga ialah ijma’ 19 yaitu konsensus atau permufakatan terhadap penetapan sesuatu hukum. Kerena itu, 19
Menurut Abd Wahab Khalaf, ijma’ menurut istilah para ahli ushul fiqh adalah kesepakatan seluruh para mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah
60
dasar yang melahirkan ijma’ adalah permusyawaratan. 20 Nabi sendiri dalam mengambil sesuatu keputusan yang bersifat duniawi, seperti kasus tawanan Badr misalnya, melakukan permusyawaratan dengan para Sahabat. Dengan menggunakan ijma' sebagai sumber hukum, maka fiqh dapat terus diperkaya. Ijma' yang tidak bisa dilepaskan, kata Hasbi, ialah ijma' Shahabi dan ulama Salaf Mutaqaddimin yang sah dan jelas, teristimewa dalam soal akidah dan ibadat. Adapun terhadap sesuatu yang dikatakan sebagai hasil ijma' para ulama Mutaakhkhirin perlu diteliti keabsahannya. Sebab, seringkali apa yang dikatakan hasil ijma' para ulama Mutaakhkhirin, hanyalah ijma ulama di kalangan mazhab tertentu saja. Untuk menghindari berlanjutnya perbedaan paham tentang ijma', Hasbi menekankan perlu dikembalikan pengertian ijma' kepada makna harfiahnya seperti yang dipahami pada masa awal-awal Islam. Pada waktu itu, kata Hasbi, makna ijma' ialah "permufakatan para Uli al-Amri atau Ahl al-Halli wa al'Aqdi tentang urusan yang menyangkut kemaslahatan umum". Jadi, ijma' ialah hasil musyawarah bulat mufakat anggota Ahl al-Halli wa al-Aqdi. Masa wajib mentaati sesuatu hasil ijma' ialah, selama ijma' itu belum dibatalkan oleh ijma' yang lahir pada masa berikutnya. Dengan mengutip pendapat Muhammad "Abduh, Hasbi mengatakan, ijma' yang mengenai kemaslahatan rakyat yang belum diatur oleh nash dan ijma' itu lahir tanpa paksaan atau pengaruh siapa pun adalah ijma yang harus ditaati.
SAW wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian. Lihat Abd Wahab Khalaf, ‘Ilm Ushul alFiqh, Maktabah al-Dalam’wah al-Islamiyah Syabab al-Azhar, Jakarta, 1410 H/1990M. hlm. 45. 20 Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, hlm. 119
61
Keempat, qiyas21 sebagai sumber hukum terletak pada urutan keempat setelah al-Qur’an, Sunnah dan ijma’. Ini mengandung pengertian bahwa qiyas baru bisa dipergunakan jika tidak diperoleh ketetapan hukum dalam tiga sumber yang mendahuluinya. Dengan kata lain, qiyas dipergunakan dalam keadaan terpaksa. Kelima, urf mengenai sumber hukum urf, Hasbi menyebutkan bahwa urf adalah adat kebiasaan yang dipandang baik oleh akal dan diterima oleh tabiat manusia yang sejahtera. Dari pengertian urf seperti ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa urf yang dimaksud sebagai sumber hukum, bukan hanya adat kebiasaan Arab saja, tetapi semua adat kebiasaan yang berlaku di masing-masing masyarakat atau tempat.22 Dalam menggali hukum terhadap masalah-masalah baru yang bersifat mubah Hasbi menggunakan metode analogi deduksi rasional seperti yang dipakai oleh Abu Hanifah. Adapun terhadap masalah-masalah yang telah ada ketetapan hukumnya produk ijtihad fuqaha terdahulu, baik yang dihasilkan dari kalangan sunni semua mazhab yang ada dan pernah
ada juga dari
kalangan syiah, khawarij dan lain-lain, Hasbi menggunakan metode komparasi (muqarin). Yakni membandingkan antara satu pendapat dengan pendapat yang lain dan memilih mana yang lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran dan
21
Menurut Hanafie dari segi bahasa, qiyas ialah mengukurkan sesuatu atas lainnya dan mempersamakannya. Menurut istilah ialah menetapkan hukum sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya. lihat Hanafie. Ushul Fiqh, Cet. 14, Wijaya Jakarta, 2001, hlm. 128. Cf. Sobhi Mahmassani, falsafatut Tasyri’ afil Islam Muqoddimatun Filsafat ilmu Dirosatysy Syari’atil Islamiyyati ‘ala Dhau’I Madzhabiha Mukhtalifati Wa Dhau’il Qowa-ni-nil haditsati, terj, Ahmad Soejono, Filsafat Hukum Dalam Islam Mukaddimah Dalam Mempelajari Syari’at (Hukum) Islam Di Bawah Sinar MadzhabMadzhabnya Dan Hukum-Hukum Modern, PT. Al-Maarif, Bandung 1976, hlm. 167-177. 22 Nourouzaman Shidiq, Fiqih Indonesia Penggagas dan Gagasannya, Op. Cit, hlm. 105124.
62
didukung oleh dalil-dalil yang terkuat.23 Tentang hal anjurannya agar melakukan kajian komparasi dengan pendapat-pendapat dari aliran non sunni, ia beralasan, bukan saja metode ini digunakan juga oleh para muhaqiqin tetapi lebih dari itu, ulama mereka sebenarnya adalah golongan umat Islam yang berijtihad. Maka para mujtahid itu adakala benar, ada kala salah. Dan ijtihad itu sebagaimana berlaku dalam bidang hukum, berlaku pula dalam bidang aqidah. Mereka juga mendasarkan pahamnya kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Sungguh tidak layak mencela golongan-golongan yang lain dari golongan yang dinamakan ahlussunnah , karena bukan sedikit imam-imam hadits yang menerima riwayat dari tokohtokoh Mu’tazilah dan jami'yah itu. Bukhari dan muslim menerima riwayat dari orang-orang Mu’tazilah, dari orang-orang ibadiyah, golongan murji’ah, dan dari golongan syiah. Maka tidak ada alasan untuk memusuhi apalagi mengkafirkan orang-orang itu.24 Kajian komparasi dianjurkannya juga agar dilakukan antara fiqih dengan hukum adat dan hukum positif di Indonesia, serta dengan syariat-syariat agama lain, juga dengan hukum-hukum barat.25 Dari anjuran-anjuran Hasbi ini dapat ditarik konklusi bahwa ia menganut sistem berpikir eklektif. Karena itu, Hasbi membenarkan talfiq ia berpendapat, talfiq adalah salah satu pondasi pembangunan hukum, karena dia
23
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm.
34. 24 TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Ruang Lingkup Ijtihad Para Ulama Dalam Membina Hukum Islam, Unisba Bandung, 1975, hlm. 34-35. 25 TM. Hasbi Ash Shiddieqy. Fiqih Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap Bulat dan Tuntas, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 159.
63
dapat menghilangkan kesempitan dan kesukaran.26 Hasbi berpendapat, dalam mengkaji fiqih warisan fuqaha masa lalu, harus dilakukan kajian komparasi secara terpadu dari semua aliran. Sebab, kebenaran tidak hanya dimonopoli oleh salah satu aliran saja. Menurut pendapat Hasbi, dengan melakukan kajian perbandingan terpadu ini, maka problem hukum yang terus berkembang itu dapat diketemukan teori dan acuan dasarnya pada apa yang telah dikemukakan oleh para fuqaha terdahulu. Kaidah-kaidah fiqih yang diajukan mereka masih tetap relevan. Di samping itu, dengan menggunakan metode perbandingan terpadu ini, fiqih akan tetap selalu muda, mempunyai daya tumbuh dan berkembang tanpa perlu melepaskan diri dari acuan dasar yang telah digali oleh para fuqaha terdahulu, yang telah dikerjakan dengan susah payah, penuh ketekunan dan dengan cita-cita yang luhur serta ikhlas. Fiqih yang selalu muda pastilah dapat mengikuti perkembangan masyarakat modern dan memenuhi kebutuhan hukum mereka.27 Manfaat lain yang dapat diperoleh dengan melakukan kajian komparasi terpadu ialah pertama, mengetahui pendapat-pendapat yang disepakati dan yang diperselisihkan. Kedua, mengetahui sebab-sebab timbulnya perselisihan, karena mengetahui perbedaan metode dan pendekatan yang digunakan oleh masing-masing fuqaha. Ketiga memperoleh ketetapan hati terhadap hukum yang di istinbatkan, karena diketahui mana hukum yang dikutip dari al-Qur’an, mana 26
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Op.Cit, hlm. 58-61. TM. Hasbi Ash Shiddieqy , Fiqih Islam Mempunyai Daya Elastisitas, Bulat dan Tuntas, Op.Cit., hlm. 159-160. 27
64
yang dari hadits, mana yang melalui qiyas dan mana yang menggunakan kaidah-kaidah khusus dari suatu madhzab.28 Di samping itu, dengan menggunakan metode komparasi ini, dapat pula dijelaskan persamaan dan perbedaan antara hukum adat dan hukum positif di suatu negri pada satu pihak dengan fiqih pada pihak yang lain. Kemudian, akan diperoleh pula wawasan yang luas sehingga dimungkinkan untuk memilih secara tepat, mana yang lebih kuat dalilnya, lebih dekat kepada kebenaran dan dapat membawa kemaslahatan kepada umat dan mencerminkan kepada ruh syari’at.29 Dengan menggunakan kajian komparasi, maka usaha kompilasi hukum Islam, lebih mudah dapat dikerjakan. Sebab, mudah memilih mana materi hukum yang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi Indonesia.30 Ditilik dari sejarah pemikiran Islam usaha kompilasi atau kodifikasi hukum Islam sudah ada gagasannya sejak abad 2/8. Namun sayang sampai wafatnya Hasbi, belum lagi terwujud. Ibn al-Muqaffa (w. 144/761) dalam suratnya Risalat ash-Shahabah yang dikirim kepada Abu Ja’fal al-Masur (136/754-158/775) dari dinasti ‘Abasiyah, mengusulkan pemerintah agar mengundangkan sebuah kodifikasi hukum yang menjadi pegangan bagi seluruh aparat hukum. Maksudnya ialah untuk mengakhiri keberagaman hukum, agar masyarakat pencari keadilan memperoleh kepastian hukum.31 Sumbernya adalah al-Qur’an, as-Sunnah, dan ra’yu dengan memperhatikan 28 29
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Op.Cit., hlm.36-37. TM. Hasbi Ash Shiddieqy , Pengantar Ilmu Fiqih, Bulan Bintang , Jakarta, 1974, hlm.
92. 30 TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqih Islam Mempunyai Daya Elastisitas, Bulat dan Tuntas, Op.Cit, hlm. 39. 31 TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 44.
65
kaidah-kaidah umum dan kemaslahatan umat jika tidak ada nash yang telah mengaturnya terlebih dahulu. Bukan dengan menetapkan salah satu madzhab saja yang berlaku. Sayang usul al-Muqaffa ini tidak diterima oleh khalifah. Keinginan al-Manshur untuk menetapkan al-Muwwatta’ sebagi satu-satunya kitab hukum yang berlaku, ditolak oleh Malik. Kitab undang-undang hukum keluarga (Majallah al-Ahkam al-Ad-liyah) yang ditetapkan oleh pemerintah dinasti Osmani (Utsmani) pada tahun 1326/1908 dan kitab fatawa al-Hindia atau Fatawa alamgiri hasil susunan sebuah panitia yang dibentuk oleh Muhyiddin Aurangzeb Alam Giri (1068/1658-1118/1707), keduanya disusun atas dasar madzhab Hanafie.32 TM.Hasbi Ash Shiddieqy menguraikan tentang jual beli tanpa lafadz ijab qabul, maka jual beli yang demikian adalah sah. Menurutnya jual beli itu sah bila terjadi dengan persetujuan kedua belah pihak. Persetujuan dapat dilakukan dengan ucapan dan dapat pula dengan isyarat (sikap kedua belah pihak itu). Selanjutnya TM.Hasbi Ash Shiddieqy menegaskan jual beli sudah terlaksana, apabila seorang penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli, sebaliknya pembeli menyerahkan harga dan mengambil barang.33 Lebih jauh TM.Hasbi Ash Shiddieqy memaparkan, penjual tidak perlu mengucapkan lafadz ijab, seperti: "saya jual buku saya ini kepada tuan dengan harga Rp. 30,-." Demikian pula, pembeli tidak perlu menjawab lafadz ijab itu
32 33
TM. Hasbi Ash Shiddieqy , Pengantar Ilmu Fiqih,Op.Cit, hlm. 93-94. T.M.Hasbi Ash Shiddieqy, Al-Islam , jilid 2, Jakarta: Bulan Bintang, 1971, hlm. 193
66
dengan lafadz qabul, seperti: "Saya membeli buku Al Islam ini dari tuan dengan harga Rp.30,-". Menurut TM.Hasbi Ash Shiddieqy bukti persetujuan tidak mesti diucapkan. Atas dasar inilah dapat dipandang sah penjualan dengan tanpa lafadz ijab qabul. Namun demikian, para penjual wajib membuka cacat barangnya kepada para pembeli jika barang itu ada cacatnya. Kalau tidak diterangkan, maka para pembeli berhak membatalkan pembelian setelah nyata cacat terdapat pada barang itu. Selanjutnya dengan tegas TM.Hasbi Ash Shiddieqy menandaskan bahwa sesuatu barang yang dibeli dengan ada penipuan di dalamnya, pembeli boleh mengembalikannya.34 Lebih jauh T.M.Hasbi Ash Shiddiqy berpendapat bahwa satu hal lagi yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan, ialah jual beli tanpa lafadz ijab qabul. Sebagian ahli fiqh menurut Hasbi menolak segala macam akad (perjanjian-perjanjian) yang tidak diikrarkan oleh lidah. Mereka yang mewajibkan ijab (kata penyerahan) dan qabul (kata penerimaan) dengan perkataan ucapan lidah tidak mensahkan suatu penjualan atau sesuatu perjanjian yang dilakukan dengan jalan surat menyurat, karena tidak terjadi ijab dan qabul antara penjual dengan pembeli, demikian keterangan Hasbi.35 Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa unsur utama dari jual beli adalah kerelaan kedua belah pihak. Kerelaan kedua belah pihak dapat dilihat dari ijab dan qabul yang dilangsungkan. Menurut mereka, ijab dan qabul perlu
34
Ibid, hlm. 193 T.M.Hasbi Ash Shiddiqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang Pustaka Rijki Putera, 2001, hlm. 471-475 35
67
diungkapkan secara jelas dalam transaksi-transaksi yang bersifat mengikat kedua belah pihak, seperti akad jual beli, akad sewa menyewa, dan akad nikah. Terhadap transaksi yang sifatnya mengikat salah satu pihak, seperti wasiat, hibah, dan waqaf, tidak perlu qabul, karena akad seperti ini cukup dengan ijab saja. Bahkan, menurut Ibn Taimiyah, ulama fiqh Hambali, dan ulama lainnya, ijab pun tidak diperlukan dalam masalah wakaf.36 Di zaman modern perwujudan ijab dan qabul tidak lagi diucapkan, tetapi dilakukan dengan sikap mengambil barang dan membayar uang dari pembeli, serta menerima uang dan menyerahkan barang oleh penjual, tanpa ucapan apa pun. Misalnya, jual beli yang berlangsung di pasar swalayan. Dalam fiqh Islam, jual beli seperti ini disebut dengan bai' al-mu'athah. Dalam kasus perwujudan ijab dan qabul melalui sikap ini (bai' almu'athah) terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh. Jumhur ulama berpendapat bahwa jual beli seperti ini hukumnya boleh, apabila hal itu sudah merupakan kebiasaan suatu masyarakat di suatu negeri; karena hal itu telah menunjukkan unsur rida dari kedua belah pihak. Menurut mereka, di antara unsur terpenting dalam transaksi jual beli adalah rela sama rela (al-tara'dhi), sesuai dengan kandungan surat an-Nisa', 4: 29 di atas. Sikap mengambil barang dan membayar harga barang oleh pembeli, menurut mereka, telah menunjukkan ijab dan qabul dan telah mengandung unsur kerelaan.
36
Mustafa Ahmad az-Zarqa, al-'Uqud al-Musammah, Beirut: Dar al-Fikr, 1982, hlm. 43
68
C. Metode Istinbat Hukum TM.Hasbi Ash Shiddieqy Tentang Tidak Diperlukannya Lafadz Ijab Qabul dalam Jual Beli Dasar pijakan yang diambil oleh TM. Hasbi Ash Shiddieqy dalam menggunakan metode istinbat hukum terhadap jual beli tanpa lafadz ijab qabul adalah pertama berdasarkan dalil naqli dan kedua dalil aqli sebagai berikut: Pertama berdasarkan dalil naqli: a. Al-Qur'an surat al-Maaidah ayat 1 Allah swt., berfirman:
(1 :) اﳌﺎﺋﺪة... ِﻳَﺎ أَﻳـﱡﻬَﺎ اﻟﱠﺬِﻳﻦَ آﻣَ ﻨُﻮاْ أَوْ ﻓُﻮاْ ﺑِﺎﻟْﻌُﻘُﻮد Artinya: "Hai orang-orang beriman, penuhilah aqad-aqad itu " (QS. 5 ; Al Maidah: 1).37
Menurut T.M.Hasbi Ash Shiddieqy ayat di atas memberi petunjuk bahwa sempurnakanlah segala macam akad (janji, kontrak) yang telah kamu akadkan antara kamu dengan Allah, atau antara kamu dengan dirimu sendiri, atau antara kamu dengan sesama manusia, baik berupa perintah syara', ataupun larangannya atau akad di antara kamu seperti penjualan, pembelian dan nikah.38 b. Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim
37 Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 1986, hlm. 38 T.M.Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir al Qur’an al Majid an Nur, juz 2, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1995, hlm. 986.
69
ﻣﺎ ﻛﺎن ﻣﻦ ﺷﺮط.ﻣﺎﺑﺎل رﺟﺎل ﻳﺸﱰﻃﻮن ﺷﺮوﻃﺎ ﻟﻴﺴﺖ ﰱ ﻛﺘﺎب اﷲ ّﻟﻴﺲ ﰱ ﻛﺘﺎب اﷲ ﻓﻬﻮ ﺑﺎﻃﻞ وأن ﻛﺎن ﻣﺎﺋﺔ ﺷﺮط ﻗﻀﺄ اﷲ أﺣﻖ (وﺷﺮط اﷲ أوﺛﻖ أﳕّﺎ اﻟﻮﻷ ﳌﻦ اﻋﺘﻖ )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ Artinya: "Mengapakah mereka menentukan berbagai syarat yang tidak disebut dalam Kitabullah. Segala syarat yang tidak tersebut atau tak ada dalam Kitabullah, batal; walaupun seratus syarat. Keputusan Allah lebih benar, syarat Allah lebih kokoh, hak kekuasaan (atas bekas budak) tetap bagi yang memerdekakannnya". (H.R: Muslim). 39
Inilah menurut Hasbi dalil yang paling kuat untuk menolak segenap rupa syarat yang kita perbuat, jika syarat itu tak ada dalam Al Qur'an dan As Sunnah. Sebenarnya jika hadits ini kita renungkan benar-benar, nyatalah kepada kita, bahwa makna hadits itu begini: Mengapa kamu mengerjakan perbuatan-perbuatan (masyruth-masyruth) yang berlawanan dengan ketetapan Allah? Segala masyruth yang berlawanan dengan masyruth-masyruth yang telah ditetapkan Allah, batal; walaupun seratus masyruth. Jadi, tidak diambil harfiahnya (teks) saja, melainkan konteks. Tegas dikehendaki dengan syarat di sini, ialah masyruth (pekerjaan yang diberi persyaratan). Mensyaratkan sesuatu yang dibolehkan Allah, berarti ada dalam kitabullah. Pengertian yang ini, terpaksa dilakukan begitu; mengingat Nabi saw., menyabdakan hadits ini, yaitu:
ﺟــﺄﺗﲎ ﺑﺮﻳــﺮة ﻓﻘﺎﻟــﺖ إﱏّ ﻛﺎﺗﺒــﺖ أﻫﻠــﻰ ﻋﻠــﻰ ﺗﺴــﻊ اواق:ﻗﺎﻟــﺖ ﻋﺎﺋﺸــﺔ ﰱ ﻛـ ـﻞّ ﻋ ــﺎم اوﻗﻴ ــﺔ ﻓ ــﺄﻋﻴﻨﻴﲏ ﻓﻘﻠ ــﺖ إن أﺣ ــﺐّ أﻫﻠ ــﻚ أن أﻋـ ـﺪّ ﻫ ــﺎﳍﻢ 39
TM.Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 472.
70
وﻳﻜ ــﻮن وﻻؤك ﱃ ﻓﻌﻠ ــﺖ ﻓ ــﺬﻫﺒﺖ ﺑﺮﻳ ــﺮة إﱃ اﻫﻠﻬ ــﺎ ﻓﻘﺎﻟ ــﺖ ﳍ ــﻢ ﻓ ــﺄﺑﻮا :ﻋﻠﻴﻬــﺎ ﻓﺠــﺄت ﻣــﻦ ﻋﻨــﺪﻫﻢ ورﺳــﻮل اﷲ ﺻــﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴــﻪ وﺳـﻠّﻢ ﺟــﺎﻟﺲ اﱏ ﻗ ــﺪ ﻋﺮﺿ ــﺖ ذﻟ ــﻚ ﻋﻠ ــﻴﻬﻢ ﻓ ــﺄﺑﻮإﻻّ أن ﻳﻜ ــﻮن ﳍ ــﻢ اﻟ ــﻮﻷ:ﻓﻘﺎﻟ ــﺖ ﻓﺴــﻤﻊ اﻟﻨــﱮ ﺻــﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴــﻪ وﺳ ـﻠّﻢ ﻓــﺄﺧﱪت ﻋﺎﺋﺸــﺔ اﻟﻨــﱮ ﺻــﻠﻰ اﷲ ﺧﺬﻳﻬﺎ و اﺷﱰﻃﻰ ﳍﻢ اﻟﻮﻷ وأﳕﺎ اﻟﻮﻷ ﳌﻦ أﻋﻨﻖ:ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠّﻢ ﻓﻘﺎل Artinya: "Aisyah r.a berkata: "Barirah datang kepadaku lalu berkata: "Sesungguhnya aku telah membuat janji dengan pemilikku untuk membayar kepadanya sembilan uqiyah, pada tiap-tiap tahun satu uqiyah, maka tolonglah daku". , Maka aku (Aisyah) berkata: "jika pemilikmu menyukai, aku memberikan uqiyah-uqiyah itu kepada mereka dan wala'mu untukku niscaya aku akan melakukan", maka pergilah Barirah kepada pemiliknya menerangkan itu kepada mereka." Pemilik-pemilik tidak mau memberikan wala' kepada Aisyah. Kemudian Barirah datang dari sisi mereka kepada Aisyah, sedang Rasulullah saw. lagi duduk di rumah Aisyah, Barirah berkata : "Sesungguhnya aku telah mengemukakan yang demikian kepada mereka, lalu mereka enggan, terkecuali kalau wala' itu untuk mereka. Nabi mendengar pembicaraan itu, maka Aisyah mengkabarkannya Nabi saw,: Maka bersabdalah beliau; "ambillah Barirah dan syaratkanlah wala' untuk mereka, karena hanya saja wala' itu untuk yang memerdekakan".40 Anjuran Nabi itu disambut oleh Aisyah dengan girang. Kemudian Nabi bangun dari tempat duduknya pergi mendapati orang ramai, dan di sana Nabi berpidato menerangkan: mengapakah kiranya mereka menetapkan syaratsyarat yang tak ada (berlawanan) dalam Kitabullah ? Menurut Hasbi, tertolaknya syarat tuan budak itu, bukan karena syarat itu tak ada dalam Kitabullah, hanya karena berlawanan dengan yang telah ada dalam Kitabullah. Syara' telah menetapkan bahwa hak wala' itu dimiliki oleh 40
Ibid, hlm. 473-474
71
yang memerdekakan itu. Dan pula kejadian ini masuk golongan agama, masuk golongan pekerjaan agama, yaitu melepaskan atau memerdekakan budak. Maka dalam urusan agama, wajib kita menanti nash. 41 Adapun dalam urusan keduniaan, seperti jual-beli, tidaklah ditunggu kedatangan nash, kita diberi hak berpegang kepada uruf negeri dan kepada keridlaan kedua belah pihak.42 Kedua berdasarkan dalil aqli, TM.Hasbi Ash Shiddieqy beralasan sebagai berikut: 1. Di zaman yang makin maju terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, maka banyak jual beli yang dilakukan tanpa bertemu muka dan tanpa ijab. 2. Masyarakat selalu mengalami perubahan dan bergerak sesuai dengan zaman. Bersamaan dengan itu tuntutan manusia makin mengarah kepada cara yang lebih praktis misalnya jual beli dengan hanya menggunakan perantaraan fasilitas teknologi.43
41
Ibid, hlm. 474. Ibid, hlm. 474. 43 Ibid., hlm. 475. 42
BAB IV ANALISIS PENDAPAT TM.HASBI ASH SHIDDIEQY TENTANG TIDAK DIPERLUKANNYA LAFADZ IJAB QABUL DALAM JUAL BELI
A. Analisis
Pendapat
TM.Hasbi
Ash
Shiddieqy
Tentang
Tidak
Diperlukannya Lafadz Ijab Qabul dalam Jual Beli Apabila memperhatikan pendapat TM.Hasbi Ash Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli seperti telah penulis ketengahkan sebelumnya, maka pendapatnya dapat dianalisis seperti di bawah ini: Dalam hukum Islam, transaksi ekonomi telah terjadi dan mengikat kedua belah pihak pada saat mengucapkan 'aqd (baca: 'aqad} untuk mengadakan suatu perjanjian. Saat mengucapkan pernyataan untuk menjual suatu barang, begitu juga pihak lain, berarti ia telah menyatakan kesediaannya untuk membeli, terikatlah kedua belah pihak untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Transaksi ekonomi dianggap terjadi dan mengikat pada saat menyatakan keinginan untuk menjual dan menyatakan keinginan untuk membeli antara kedua belah pihak. Pernyataan tersebut mengandung komitmen untuk mengadakan suatu perjanjian sehingga berakibat mewajibkan penjual untuk menyerahkan barang dan berhak menerima harga penjualan, demikian juga pembeli berkewajiban membayar harga serta berhak menerima barang pembelian tersebut.
72
73
Dalam hukum Islam,1 yang menjadi dasar untuk adanya perjanjian adalah pernyataan-pernyataan yang diucapkan serta mengandung janji-janji antara kedua belah pihak untuk melaksanakan suatu perbuatan hukum tertentu. Setelah terwujudnya suatu janji, timbullah hubungan hukum yang mengikat, masing-masing pihak berkewajiban untuk melaksanakannya sebagaimana pernyataan yang telah diucapkan bersama. Hal ini dikarenakan dalam hukum Islam mewajibkan kepada umatnya untuk menunaikan setiap janji yang telah mereka buat secara suka rela. "Janji itu diumpamakan sebagai tali yang justru dapat putus dan dapat menjadi kuat". 2 Selanjutnya hukum Islam menetapkan bahwa setiap janji itu harus dipenuhi. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt.:
(1 :) اﳌﺎﺋﺪة... ِﻳَﺎ أَﻳـﱡﻬَﺎ اﻟﱠﺬِﻳﻦَ آﻣَ ﻨُﻮاْ أَوْ ﻓُﻮاْ ﺑِﺎﻟْﻌُﻘُﻮد Artinya: Hai orang-orang beriman, penuhilah janji-janjimu... (alMaidah: 1). 1
Kesepakatan ini dinyatakan dalam bentuk sighat 'aqad. Sighat 'aqad artinya pernyataan ijab dan qabul oleh kedua belah pihak. Ijab dan qabul ini termasuk salah satu rukun jual beli. Sighat 'aqad dapat dilakukan secara lisan, tulisan, isyarat, atau perbuatan. Yang disebut terakhir ini merupakan cara lain untuk membentuk 'aqad dan paling sering terjadi dalam kehidupan seharihari. Misalnya, sorang pembeli menyerahkan sejumlah uang; kemudian penjual menyerahkan barang kepada pembeli. Cara ini disebut jual beli dengan saling menyerahkan harga dan barang atau disebut juga mu'athah. Demikian pula ketika seseorang naik bus menuju ke suatu tempat; tanpa kata-kata atau ucapan (sighat) penumpang tersebut langsung menyerahkan uang seharga karcis sesuai dengan jarak yang ditempuh. Sewa menyewa ini disebut juga dengan mu'athah. Selanjutnya, dalam dunia modern sekarang ini, 'aqad jual beli dapat terjadi secara otomatis dengan menggunakan mesin atau otomat. Dengan memasukkan uang ke mesin, maka akan keluar barang sesuai dengan jumlah uang yang dimasukkan. Demikian juga, pembelian barang dengan menggunakan credit card (kartu kredit), transaksi dengan pihak bank melalui mesin otomatis, dan sebagainya. Perlu dicatat bahwa yang terpenting dalam cara mu'athah ini, untuk menumbuhkan 'aqad maka jangan sampai terjadi pengecohan atau penipuan. Segala sesuatu harus diketahui secara jelas; atau transparan. Suatu 'aqad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Dalam 'aqad jual beli, misalnya, 'aqad dipandang telah berakhir apabila barang telah berpindah milik kepada pembeli dan harganya telah menjadi milik si penjual. Sedangkan 'aqad dalam pegadaian dan kafalah (pertanggungan) dianggap telah berakhir apabila utang telah dibayar (Ed.). Informasi lebih lanjut mengenai 'aqad lihat Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta: UII Press, 2000. 2 Mohd. Dahlan, et.al., Tafsir Ayat-Ayat Hukum dan Uraian Perintah-perintah dalam alQur'an, Bandung: CV. Diponegoro, 1976, hlm.141.
74
Perintah ini merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan. Apabila diucapkan suatu janji untuk mengadakan transaksi ekonomi, terikatlah kedua belah pihak antara calon pembeli dan calon penjual. Janji itu harus dengan kata-kata jual dan beli, misalnya, penjual berkata, "Sudah saya jual kepadamu" dan pembeli menjawab, "Sudah saya beli darimu." Selanjutnya, Imam Malik menyebutkan bahwa perjanjian jual beli telah terjadi dan mengikat kedua belah pihak jika masih berada dalam suatu majelis atau tempat, kecuali ada alasan lain untuk itu. Sementara itu, menurut Imam al-Syafi'i transaksi ekonomi biasa telah terjadi dengan kata-kata yang jelas dan kata-kata kinayah (sindiran).3 Perjanjian jual beli telah terjadi dan mengikat apabila masih dalam suatu tempat terjadinya penawaran. Dalam suatu tempat pembicaraan untuk membuat suatu perjanjian itu, tidak boleh terpisah sebelum adanya suatu kepastian untuk membeli atau tidak terhadap suatu barang yang diperjualbelikan. Dasar terjadinya perjanjian menurut hukum Islam adalah janji-janji yang diucapkan oleh pihak-pihak dalam mengadakan transaksi. Pihak yang satu mengucapkan kemauannya untuk menjual barang; begitu juga pihak yang lain menyatakan kesediaannya untuk membelinya sehingga bertemulah dua kemauan, yaitu menjual dan membeli. Penjual berkewajiban menyerahkan barang kepada pembeli, sedangkan pembeli berkewajiban menyerahkan uang kepada penjual sebagai harga penjualan. Karena menurut hukum Islam, setiap perkataan yang diucapkan oleh seseorang harus dapat dipegang. Jadi, harus 3
Ibnu Rusyd, Bidayat al Mujtahid Wa Nihayat al Muqtasid, Semarang: Maktabah wa Matba'ah Karya Toha Putra, tth, juz 2, hlm. 128.
75
ada konsekuensi terhadap perkataan atau ucapan yang telah diucapkan. Memang hal ini merupakan suatu tuntunan yang diamanahkan Rasulullah SAW:
اﻳﺔ اﳌﻨﺎﻓﻖ ﺛﻼث إذا ﺣﺪث ﻛﺬب وإذاوﻋﺪ أﺧﻠﻒ وإذاؤﲤﻦ ﺧﺎن Artinya: Tanda orang munafik ada tiga, yakni apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia mengingkarinya, dan apabila dipercaya ia berkhianat.4 Dalam hadits tersebut, tampak bahwa setiap pernyataan yang diucapkan harus ditepati dan dinyatakan secara jujur.
(2 :ﻳَﺎ أَﻳـﱡﻬَﺎ اﻟﱠﺬِﻳﻦَ آَﻣَ ﻨُﻮا ﱂَِ ﺗـَﻘُ ﻮﻟُﻮنَ ﻣَﺎ ﻻَ ﺗـَﻔْ ﻌَﻠُﻮنَ )اﻟﺼﻒ Artinya: Hai orang-orang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan. (al-Shaf: 2). Pada saat mengucapkan janji yang berdasarkan kesukarelaan, terikatlah kedua belah pihak untuk menunaikan janji tersebut. Jika tidak dilaksanakan terhadap suatu janji yang telah diucapkan, berarti telah melakukan perbuatan tercela dan dosa, yang dalam hadits tersebut disebut sebagai salah satu ciri orang munafik. Demikian pengaturannya mengenai konsekuensi terhadap janji-janji yang telah diucapkan menurut ketentuan hukum Islam. Dengan begitu, akan terwujudlah ketentraman dalam masyarakat apabila setiap perkataan yang diucapkan itu dapat dipertanggung jawabkan pelaksanaannya. Dalam praktik sehari-hari, terlihat bahwa transaksi jual beli terjadi karena adanya ijab dan qabul. Hal ini merupakan perbuatan
4
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M, tth., hlm. 15.
76
serah terima antara penjual dan pembeli, meskipun harganya telah dibayar lunas. Ibnu Rusyd menyebutkan bahwa ijab dan qabul mempengaruhi terjadinya perjanjian jual beli. Salah satu pihak tidak boleh terlambat dari pihak lain. Penjual mengatakan maksudnya untuk menjual, tetapi pembeli diam saja dan tidak menerima jual beli sehingga kedua belah pihak berpisah kemudian pembeli datang dan berkata "Saya terima," kata-kata tersebut tidak mengikat bagi si penjual5 Dalam hukum Islam, memungkinkan juga terjadinya jual beli berdasarkan perantaraan atau alat komunikasi lainnya. Jika terjadi suatu tawaran terhadap suatu barang kepada pihak lain dengan mengucapkan atau menuliskan kehendaknya itu dan disampaikan kepada pihak lain, bagi dirinya (calon penjual) telah mengikat, begitu juga pihak lain setelah mengucapkan kehendaknya untuk membeli, terikatlah kedua belah pihak yang bersangkutan, rasa terikat itu masih terpisah antara satu dan yang lain. Hal ini lebih pantas saat terikatnya terhadap suatu perjanjian, jika pihak lain telah memberitahukan kepada pihak yang melakukan penawaran dan telah mengetahui bahwa tawaran itu telah disetujui oleh pihak lain. Kemudian, perjanjian jual beli telah terjadi dan telah mengikat kedua belah pihak sejak diucapkannya pernyataan untuk mengadakan suatu perbuatan hukum tertentu. Kedua belah pihak tersebut tidak boleh memungkiri ucapannya, kecuali pihak lain telah membatalkannya. Dalam hal ini, untuk
5
Ibnu Rusyd, loc. cit
77
terwujudnya suatu kedamaian dan ketentraman dalam masyarakat sudah sepantasnyalah hal tersebut merupakan pegangan karena hukum Islam merupakan hukum yang lebih akurat, ulet, dan fleksibel daripada hukum buatan manusia. Dalam pada itu, transaksi jual beli yang masih dalam suatu majelis, penjual dan pembeli bisa menarik kembali pernyataan tersebut sesudah menelitinya selama kedua belah pihak belum berpisah. Janji atau 'aqad adalah Pernyataan yang diucapkan oleh kedua belah pihak untuk melaksanakan suatu perbuatan hukum. Dalam kaitan ini, Adnan Lubis menyebutkan bahwa yang terpenting dalam hukum 'aqad adalah: 1. Sifat atau keadaan orang yang melakukan 'aqad. 2. Apa yang boleh dan tidak boleh disetujui atau di'aqad-kan. 3. Bagaimana mestinya tanda-tanda penyerahan dan penerimaan atau tanda kerelaan masing- masing yang ber'aqad. 4. Adanya kebebasan kedua belah pihak dalam melakukan 'aqad itu, menurut kemauan mereka dengan tidak terbatas seperti ditetapkan syarat-syarat yang disetujui mereka atau adanya batasan-batasan tertentu.6 Penjualan itu hukumnya sah jika telah ada kerelaan antara kedua belah pihak. Tanda rela dapat diwujudkan dengan ucapan atau dengan menandatangani suatu surat perjanjian. Kemudian, penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli dan pembeli menyerahkan harga dan mengambil barang tersebut. Dengan demikian, terwujudlah kerelaan kedua pihak, Sehubungan 6
Adnan Lubis, "Hukum Persetujuan", Majalah al-Islam, No. 3-4, Medan: Firman Islamiyah, 1959, hlm. 51.
78
dengan ini, Hasbi Ash Shiddieqy menjelaskan, di dalam perjanjian jual beli tidak perlu para penjual mewujudkan suka rela itu dengan mengucapkan kalimat ijab, begitu pula para pembeli menyahut lafaz qabul. Terwujudnya suka sama suka itu tidak mesti dengan ucapan.7 Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw.: 8
(أﳕﺎ اﻟﺒﻴﻊ ﻋﻦ ﺗﺮاض )روا اﰉ ﻣﺎﺟﺔ
Artinya: Hanya saja jual beli itu saling merelakan. (Hadis Riwayat Ibnu Majah). Dalam transaksi jual beli itu, harus adanya kerelaan antara kedua belah pihak. Dalam hal ini, Sulaiman Rasyid menyebutkan, "Suka sama suka itu, tidak dapat diketahui secara jelas melainkan dengan perkataan yang menunjukkan akan suka seseorang dengan seseorang.... Apabila adat telah berlaku yang seperti itu sudah dipandang jual beli, itu saja sudah cukup, karena tidak ada suatu dalil yang terang untuk mewajibkan lafaz". Sementara itu, jumhur ulama berpendapat bahwa pengucapan lafaz diwajibkan dengan syarat keadaan lafaz itu memenuhi beberapa ketentuan berikut ini: 1. Keadaan ijab dan qabul berhubung. Artinya salah satu keduanya pantas menjadi jawaban dari yang lain karena belum berselang lama. 2. Hendaklah mufakat (sama) makna keduanya walaupun lafaz keduanya berlainan.
7
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1970, hlm 193 Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid ibnu Majah al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Tijariyah Kubra, Kairo, tth., hlm 737. 8
79
3. Keadaan keduanya tidak disangkutkan dengan urusan yang lain, seperti katanya, "Kalau saya M jadi pergi; saya akan menjual barang itu dengan harga sekian". 4. Tidak dibatasi oleh waktu sebab jual beli yang dibatasi oleh waktu seperti sebulan atau setahun tidak sah. 9 Dengan terjadinya transaksi ekonomi secara suka rela dari kedua belah pihak, perjanjian jual beli tersebut sudah mengikat, meskipun belum ada ijab dan qabul. Hal ini juga dinyatakan dalam al-Qur'an:
َﻳَﺎ أَﻳـﱡﻬَﺎ اﻟﱠﺬِﻳﻦَ آﻣَ ﻨُﻮاْ ﻻَ ﺗَﺄْﻛُ ﻠُﻮاْ أَﻣْﻮَاﻟَﻜُ ﻢْ ﺑـَﻴـْ ﻨَﻜُ ﻢْ ﺑِﺎﻟْﺒَﺎﻃِﻞِ إِﻻﱠ أَن ﺗَﻜُﻮن (29: )اﻟﻨﺴﺎء... ً ْﲡَِﺎرَةً ﻋَﻦ ﺗـَﺮَاضٍ ﻣﱢﻨﻜُ ﻢ Artinya: Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan harta benda di kalanganmu secara batil, kecuali apabila hal itu dilakukan dengan jual beli yang saling rela di antaramu. (alNisa':29). Menurut analisis penulis bahwa pendapat TM.Hasbi ash Shiddieqy tidak bertentangan dengan dalil naqli karena tidak ada satupun dalil al-Qur'an dan hadits yang menyuruh jual beli harus dengan ijab. Hal itu dapat dimengerti karena teknis jual beli masuk dalam bidang muamalah yang lebih cenderung menyerahkan kepada manusia sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Karena itu pendapat TM.Hasbi Ash Shiddiqie sesuai dengan perubahan zaman. Dengan melalui kecanggihan fasilitas teknologi, maka orang bisa melalukan jual beli tanpa harus saling mengenal melainkan cukup lewat internet. Kenyataan ini tidak bisa dihindari karena zaman
9
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Jakarta: al-Thahiriyah, 1976, hlm. 272.
80
menuntut seperti itu. Karenanya konsep pemikiran TM.Hasbi Ash Shiddieqy sangat tepat dan realistis dengan situasi dan kondisi manusia. Penulis berpendapat bahwa dewasa ini banyak jual beli yang dilakukan tanpa Lafadz Ijab Qabul dengan menggunakan jasa elektronika seperti jual beli melalui via internet, melalui media elektronika dan sebagainya. Karena jual beli perantaraan jasa elektronika tidaklah menyalahi aturan hukum Islam. Karena tidak ada satu dalil pun yang mengharuskan jual beli dengan ijab qabul, yang penting jual beli itu dilakukan saling rida meridlai dan tidak adanya unsur menipu atau perbuatan curang. B. Analisis Metode Istinbat Hukum TM. Hasbi Ash Shiddieqy Tentang Tidak Diperlukannya Lafadz Ijab Qabul dalam Jual Beli Dengan memperhatikan dalil-dalil yang digunakan oleh TM. Hasbi Ash Shiddieqy, maka ia menggunakan metode istinbat hukum terhadap jual beli tanpa lafadz ijab adalah sebagai berikut: a. Al-Qur'an surat al-Maaidah ayat 1 Allah swt., berfirman:
(1 :) اﳌﺎﺋﺪة... ِﻳَﺎ أَﻳـﱡﻬَﺎ اﻟﱠﺬِﻳﻦَ آﻣَ ﻨُﻮاْ أَوْ ﻓُﻮاْ ﺑِﺎﻟْﻌُﻘُﻮد Artinya: "Hai orang-orang beriman, penuhilah aqad-aqad itu " (QS. 5 ; Al Maidah: 1).10 Ayat al-Qur'an ini mengisyaratkan bahwa jual beli merupakan bagian dari hukum perjanjian yang di dalamnya memuat janji antara pembeli dan penjual. Maka ketika ada pengiriman barang dari penjual dan 10
Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 1986, hlm.
81
pembeli kemudian menerima barang itu, maka sejak saat itu pembeli harus memenuhi janjinya yaitu membayar barang yang sudah diterimanya. Hal itu dianggap sudah terjadi ijab dan qabul meskipun ijab qabul itu tidak diucapkan. Dengan demikian penulis berpendapat bahwa dalil di atas sangat tepat dijadikan dasar pijakan untuk membolehkan jual beli Tanpa Lafadz Ijab Qabul, dan dengan demikian pula tepatlah istinbat hukum Hasbi b. Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim
ﻣﺎ ﻛﺎن ﻣﻦ ﺷﺮط.ﻣﺎﺑﺎل رﺟﺎل ﻳﺸﱰﻃﻮن ﺷﺮوﻃﺎ ﻟﻴﺴﺖ ﰱ ﻛﺘﺎب اﷲ ّﻟﻴﺲ ﰱ ﻛﺘﺎب اﷲ ﻓﻬﻮ ﺑﺎﻃﻞ وأن ﻛﺎن ﻣﺄﻳﺔ ﺷﺮط ﻗﻀﺄ اﷲ أﺣﻖ (وﺷﺮط اﷲ أوﺛﻖ أﳕّﺎ اﻟﻮﻷ ﳌﻦ اﻋﺘﻖ )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ Artinya: "Mengapakah mereka menentukan berbagai syarat yang tidak disebut dalam Kitabullah. Segala syarat yang tidak tersebut atau tak ada dalam Kitabullah, batal; walaupun seratus syarat. Keputusan Allah lebih benar, syarat Allah lebih kokoh, hak kekuasaan (atas bekas budak) tetap bagi yang memerdekakannnya". (H.R: Imam Muslim).11
Menurut analisis penulis bahwa hadis di atas memberi petunjuk bahwa syarat jual beli dengan ijab qabul tidak ada dalam al-Qur'an dan hadis. Karena tidak ada dalam al-Qur'an dan hadis maka ijab qabul bukan merupakan syarat sahnya jual beli. Dalam hadis di atas ditegaskan bahwa segala syarat apa saja yang tidak terdapat dalam al-Qur'an dan hadis maka itu bukan syarat yang bisa mempengaruhi keabsahan jual beli. Dengan demikian penulis berpendapat
11
TM.Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 472
82
bahwa hadis ini dijadikan dalil oleh Hasbi sebagaimana tertera dalam bukunya Pengantar Hukum Islam.12
12
Ibid., hlm. 472.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Mencermati uraian dari bab per-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Menurut TM.Hasbi Ash Shiddieqy jual beli itu dianggap sah bila terjadi dengan persetujuan kedua belah pihak. Persetujuan dapat dilakukan dengan ucapan dan dapat pula dengan isyarat (sikap kedua belah pihak itu). Apabila seorang penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli, sebaliknya pembeli menyerahkan harga dan mengambil barang, maka muamalah jual beli sudah terlaksana. Penjual tidak perlu mengucapkan lafadz ijab. Bukti persetujuan tidak mesti diucapkan. Atas dasar inilah dapat dipandang sah penjualan tanpa lafazd ijab qabul. 2. Metode istinbat hukum yang digunakan TM.Hasbi Ash Shiddiqie adalah al-Qur'an surat al-Maidah ayat 1 yang artinya: "Hai orang-orang beriman, penuhilah aqad-aqad itu " (QS. 5 ; Al Maidah: 1), dan hadits riwayat Imam Muslim yang artinya: "Mengapakah mereka menentukan berbagai syarat yang tidak disebut dalam Kitabullah. Segala syarat yang tidak tersebut atau tak ada dalam Kitabullah, batal; walaupun seratus syarat. Keputusan Allah lebih benar, syarat Allah lebih kokoh, hak kekuasaan (atas bekas budak) tetap bagi yang memerdekakannya". (H.R: Bukhari Muslim). 83
84
B. Saran-saran 1. Untuk Masyarakat Masyarakat yang melakukan jual beli dengan lafadz ijab harus didukung sebagai kebenaran sebaliknya bagi masyarakat yang tidak menggunakan lafadz ijab harus dihargai sebagai sebuah pendapat. Dengan demikian perbedaan perbedaan harus dihargai selama menggunakan kaidah-kaidah yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan 2. Untuk Perguruan Tinggi Kajian terhadap tokoh TM.Hasbi Ash Shiddiqie, cukup menarik karena tidak sedikit pendapatnya terasa aktual. Karena itu hendaknya kajian terhadapnya lebih dibuka lagi kemungkinannya untuk diteliti. C. Penutup
Alhamdulillah penulis mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, maka dari itu saran dan kritik dari para pembaca yang bersifat membangun sangat penulis harapkan
DAFTAR PUSTAKA
Abul Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayat al Mujtahid Wa Nihayat al Muqtasid, Semarang: Maktabah wa Matba'ah Karya Toha Putra, tth, juz 2 Syarifuddin, Amir, Garis-garis Besar Fiqh, Bogor: Kencana, 2003 Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 1986 Sumantri, Jujun S. Suria, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. VII, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Anggota IKAPI, 1993 Sayid al-Iman Muhammad ibn Ismail ash-San’ani, Subul as-Salam Sarah Bulugh al-Maram Min Jami Adillat al-Ahkam, Mesir: Mushthafa al babi al-Halabi Wa Auladuh, 1379 H/1960 M Sabiq, Sayid, Fiqh al-Sunnah, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tth, juz 3 Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: CV. Rajawali, 1982, Cet. Ke- 4 Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam, Jakarta: al-Thahiriyah, 1976 Wignyodipuro, Surojo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Gunung Agung, 1983, Cet ke-3 Ash Shiddiqy, T.M.Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Semarang Pustaka Rijki Putera, 2001 ____________________, Tafsir al Qur’an al Majid an Nur, juz 2, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1995 ____________________, Al-Islam, jilid 2, Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2001 _____________________, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 1999 Lubis, Adnan, "Hukum Persetujuan", Majalah al-Islam, No. 3-4, Medan: Firman Islamiyah, 1959T
DAFTAR RIWAYAT HIDUP belum Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Sulakhudin
Tempat/Tanggal Lahir
:,
Alamat Asal
:
Pendidikan
: - SDN lulus th 1998 - MTs lulus th 2001 - MA lulus th 2004 - Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang Angkatan 2005
Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Sulakhudin
BIODATA DIRI DAN ORANG TUA Nama
: Sulakhudin
NIM
: 052311036
Alamat
:.
Nama orang tua
: Bapak
Alamat
:
Pekerjaan
: