BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI TENTANG JUAL BELI KODOK
A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan Binatang yang diharamkan menurut Hukum Islam Pada prinsipnya sesuatu yang diciptakan Allah SWT. adalah tidak ada yang batil, dan hampir seluruhnya diproyeksikan untuk kebutuhan manusia, sehingga proses pengelolaan selanjutnya terhadap alam ini adalah tugas dan amanah Allah SWT. yang dilimpahkan kepada manusia. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Suharsono : “Interaksi yang terbentuk antara manusia dengan alam adalah interaksi subyek obyek, maka nilai yang ada menjadi obyektif. Manusia mempunyai hak untuk mengeksploitir dan memperalat nilai-nilai alamiah untuk keperluan hidupnya”.1 Dari pernyataan tersebut dapat kita lihat betapa manusia mempunyai keleluasaan atas isi alam ini, tidak terkecuali terhadap binatang yang telah diciptakan oleh Allah SWT., baik untuk digunakan sebagai kendaraan, dibuat obat maupun untuk dimakan, sebagaimana Firman Allah SWT. :
Artinya : “Dialah Allah yang telah menjadikan untuk kamu sekalian apa yang ada di bumi ini semuanya…”. (QS. Al-Baqarah :29) 2 1 2
1989, hlm. 13
Suharsono, Islam dan Rekonstruksi Jihad, Yogyakarta : Al-Arsy, 1992, hlm. 59 Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahnya, Semarang : CV. Toha Putra,
Dengan menilik keumuman ayat tersebut, maka menurut penulis asal dari segala sesuatu yang diciptakan Allah SWT. adalah halal dan mubah dan tidak ada satupun yang terlarng, kecuali ada dalil lain yang secara tegas menunjukkan atas keharamannya. Kalau tidak ada dalil yang secara tegas keharaman atas sesuatu tersebut, maka tetap dikembalikan pada hukum asalnya, yaitu mubah, sebab hukum asal dari segala sesuatu adalah sebagaimana diungkapkan Abdul Wahab Khallaf :
3
Kebolehan terhadap sesuatu tidak hanya terbatas dalam hal-hal yang berkaitan dengan kebendaan saja, melainkan juga tercakup di dalamnya masalah perbuatan dan pekerjaan baik dalam urusan ibadah, adat istiadat maupun muamalah. Di dalam perkembangannya Islam yang bersumberkan pada Al-Qur’an dan Hadis dituntut agar selalu relevan dengan perkembangan zaman yang ada. Satu sisi Islam telah memberikan aturan dalam hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan ini secara tegas dan jelas, tetapi pada sisi lain, belum. Akibat dari perkembangan zaman yang sangat pesat dan cepat menimbulkan adanya persoalan-persoalan baru yang belum pernah terjadi pada masa Rasul, sehingga pemecahan atas persoalan ini, tidak didapati di dalam Al-Qur’an
3
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Usul Fiqh, Darul Fikr, ttp, 1978, hlm. 91.
57
maupun Hadis secara langsung dan menuntut optimalisasi akal dan pemikiran dari umatnya untuk memecahkan dengan tetap menjadikan Al-Qur’an dan Hadis tersebut sebagai frame of referencenya. Pada situasi tertentu, kolaborasi para ulama (mujtahid) mutlak diperlukan guna mencari pemecahan terhadap permasalahan baru yang muncul yang secara implisit tidak didapati dalam Al-Qur’an maupun Hadis. Seperti kasus jual beli kodok yang terjadi di daerah Purwodadi. Sebelum penulis membahas makanan yang berasal dari katak secara spesifik, akan lebih dahulu penulis kemukakan makanan secara umum (luas). Makanan yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut dengan istilah “tha’am” yang berarti segala sesuatu yang dimakan atau dicicipi. Perhatian Al-Qur’an terhadap makanan sedemikian besar antara lain berbicara tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan makanan. Sebagaimana Firman Allah SWT : :
Artinya : “Dialah (Allah) yang menciptakan untuk kamu apa yang ada di bumi seluruhnya…”. ( QS. Al-Baqarah :29) 4 Dan dalam ayat lain dijelaskan :
Artinya : “Dan Dia (Allah) yang telah menundukkan untuk kamu segala yang ada di langit dan di bumi semua bersumber dariNya…”. (QS. Al-Jaatsiyah : 13)5
4 5
Departemen Agama RI, loc. cit. Ibid, hlm. 816
58
Bertitik tolak dari kedua ayat tersebut maka dapat dijelaskan dari keumuman dari soal yang dicakup ayat tersebut, dapat penulis simpulkan bahwa pada prinsipnya segala sesuatu yang ada di alam raya ini, halal untuk digunakan, sehingga makanan yang terdapat di dalamnya juga halal, selama tidak ada ayat-ayat lain yang secara spesifik menerangkan tentang keharaman dari sesuatu tersebut. Karena itu Al-Qur’an bahkan mengecam mereka yang mengharamkan rezeki yang halal yang disiapkan Allah untuk manusia, sebagaimana dalam Firman-Nya :
Artinya : “Katakanlah, terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah SWT. kepada kamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan sebagiannya halal. “Katakanlah, apakah Allah memberi izin kepada kamu (untuk melakukan itu) atau kamu mengada-ada saja terhadap Allah?. (QS. Yunus : 59) 6 Pengecualian atau pengharaman harus bersumber dari Allah baik melalui Al-Qur’an maupun Rasul, sedangkan pengecualian itu lahir dan disebabkan oleh kondisi manusia. Karena pada kenyataannya ada makanan yang dapat memberi dampak negatif terhadap jiwa dan raga manusia. Namun demikian rincian dari pengecualian itu tidak jarang diperselisihkan oleh para ulama disebabkan oleh perbedaan penafsiran ayat-ayat maupun penilaian kesahihan dan pemaknaan Hadis Nabi.
6
Ibid, hlm. 315-316
59
Makanan yang diuraikan dalam Al-Qur’an menurut Dr. Qurais Shihab dapat di bagi menjadi tiga kategori pokok, yaitu nabati, hewani dan olahan.7 Sedangkan penulis membedakannya hanya ke dalam dua kelompok yaitu nabati dan hewani. Nabati yaitu makanan berasal dari tumbuh-tmbuhan, buah-buahan, baik yang cair maupun yang beku. Terhadap jenis ini tidak didapat satu ayat pun yang secara eksplisit melarang makanan nabati tertentu, maka para ulama telah sepakat tentang kebolehannya. Seperti dalam firman Allah SWT. :
Artinya : “Maka hendaklah manusia memperhatikan makanannya. Sesungguhmya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian kami belah bumi dengan sebaikbaiknya. Lalu kami tumbuhkan biji-bijian di bumi tiu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenangan kamu dan untuk binatang ternakmu. (QS. ‘Abasa : 24-32) 8 Kalaupun ada tumbuh-tumbuhan tertentu yang kemudian terlarang, maka hal tersebut termasuk ke dalam larangan umum memakan sesuatu yang buruk atau terdapat unsur najis atau membahayakan dan merusak kesehatan. Adapun makanan jenis hewani jika dilihat dari segi kehidupannya maka dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hewan yang hidup di laut dan hewan yang hidup di darat.
7 8
Dr. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung : Mizan, 1996, hlm. 140 Departemen Agama RI, op. cit, hlm.1025-1026.
60
Hewan laut yang hidup di air asin dan tawar dihalalkan oleh Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT.
Artinya : “Dan Dia (Allah) yang menundukkan laut untuk kamu agar kamu dapat memakan darinya daging yang segar (ikan dan sebangsanya). (QS. An-Nahl : 14) 9 Untuk hewan yang hanya bisa hidup di laut dan tidak mampu bertahan hidup di darat kecuali sebentar, seperti ikan, maka halal dan tidak perlu disembelih. Untuk yang tidak berbentuk ikan terdapat tiga pendapat dan lebih sah menyatakan halal hukumnya, demikianlah menurut pandangan Syafi’i.10 Bahkan hewan laut/sungai yang mati dengan sendirinya (bangkai) tetap dibolehkan. Berdasarkan firman Allah SWT. :
Artinya : “Dihalalkan bagi kamu binatang buruan laut, dan makanan yang berasal dari laut, sebagai makanan yang lezat bagi kamu dan orang-orang yang dalam perjalanan ”. (QS. Al-Maidah : 96) 11 Yang dimaksud dengan “buruan laut” adalah binatang yang diperoleh dengan jalan usaha seperti mengail, memukat dan sebagainya. Sedangkan kata “makanan yang diperoleh dari laut” adalah ikan dan semacamnya baik yang diperoleh dengan mudah karena telah mati sehingga mengapung maupun ikan yang masih hidup, itulah pendapat Dr. Quraish Shihab.12 Makna ini sejalan dengan penjelasan Hadis :
9
Ibid., hlm. 405. Imam Taqyuddin, Kifayatul Akhyar, Juz II, tt, Nur Asy-Syifa, tth, hlm. 235. 11 Departemen Agama RI, op. cit, hlm. 178. 12 Dr. Quraish Shihab, op. cit., hlm. 141. 10
61
13
Artinya :“Dari Abi Hurairah r.a., Berkata : “Rasulullah SAW. Bersabda : “Di dalam laut suci airnya dan halal bangkainya”. (HR. Diriwayatkan oleh Imam empat dan Ibnu Abi Saebah dan di sahihkan oleh Ibnu Huzaimah dan Turmuzi) Adapun binatang yang hidupnya dua alam, adalah merupakan pengecualian para ulama dari bagian hewan laut, namun pengecualian oleh sebagian ulama tersebut diperselisihkan juga oleh ulama yang lain, karena pengecualian itu datangnya bukan dari Al-Qur’an, melainkan dari riwayat yang
datang
(dinisbatkan)
kepada
Nabi
SAW.
Mazhab
Malikiyah
menghalalkan semua jenis binatang laut dan bangkainya14, baik yang hanya hidup di laut maupun yang mampu hidup di darat. Sedangkan dari Mazhab Hambali menghalalkan semua binatang laut dan bangkainya kecuali katak, buaya dan ular.15 Berbeda pula dengan Mazhab Syafi’i di mana ia menghalalkan semua hewan laut kecuali katak16 dan sebagian dari mereka mengharamkan pula terhadap buaya dengan alasan karena suka makan manusia, sangat berbeda dengan Mazhab Hanafiyah dimana ia mengatakan bahwa yang halal hanyalah ikan dan selainnya adalah haram.17 Sayyid Abu Bakar Masyhar dalam I’anahnya menjelaskan tentang hewan laut yang
13
Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz I, ttp., tth., hlm. 14. Abdur-Rahman al-Jaziri, Al Fiqh ‘ala al Mazahibil Arba’ah, Juz III, Mesir : Al Tijatiah al-Kubra, tt., hlm. 9. 15 Ibid. 16 Farid Abdul ‘Aziz al-Jundi, Jami’ul-Ahkam al-Fiqhiyyah, Juz II, Beirut, Libanon : Darul Kitab al-Ilmiyyah, tth., hlm. 462. 17 Abdur-Rahman al-Jaziri, loc.cit. 14
62
diharamkan adalah yang tergolong ke dalam hewan yang mampu hidup di dua alam yakni katak, buaya, kura-kura dan kepiting. Persisnya ia kemukakan sebagai berikut :
18
Imam Taqyuddin mengelompokkan hewan ke dalam tiga kelompok : a. Yang tidak dimakan, maka bangkai atau yang disembelih sama. b. Binatang yang dimakan. Bangkainya haram kalau yang disembelih dengan cara yang ditentukan agama, adalah halal. c. Binatang yang dimakan dan bangkainya halal, yaitu belalang dan ikan.19 Adapun hewan yang hidup di darat, dihalalkan secara eksplisit dalam lafaz “al-an’am” (onta, sapi dan kambing) dan mengharamkan secara tegas babi. Dengan demikian bukan berarti semuanya (selain yang disebut) halal atau haram. Seperti yang penulis isyaratkan tentang pengecualian dari makanan yang dihalalkan, dalam soal ini ditemukan perbedaan pendapat ulama tentang hewan-hewan darat yang dikecualikan, namun sebelum penulis memaparkan perbedaan yang ada dari para mazhab khususnya, akan lebih dahulu penulis kemukakan macam binatang dilihat dari sisi pengelolaannya. Dari sisi kehidupan pengelolaannya, binatang dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu yang diternakkan seperti unggas, kambing, kerbau dan
18
Abu Bakar Masyhur, I’anatut Talibin, Juz II, Semarang : Maktabah Usaha Keluarga, tt, hlm. 352. 19 Imam Taqyuddin, Kifayatul Akhyar, Juz II, Semarang : Maktabah Usaha Keluarga:, tt., hlm. 234.
63
sebagainya, dan yang kedua, yang tidak diternakkan (liar) seperti kijang, kambing hutan, kancil dan sebagainya. Baik yang diternakkan maupun yang liar asalkan itu hanya hidup di darat, menurut kesepakatan para ulama yang rajih, yang halal hanyalah sebatas yang dihalalkan dalam Firman Allah SWT.
Artinya : “…dihalalkan bagimu binatang ternak…”(QS. Al-Ma’idah : 1)20 Juga dijelaskan pada ayat lain :
Artinya : “Dan Dia (Allah) telah menciptakan binatang ternak untukmu, padanya ada bulu yang menghangatkan dan berbagai manfaat dan sebagiannya kamu makan”. ( QS. An-Nahl : 5 )21 Dari dua ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya Allah SWT. telah membolehkan mengambil manfaat dari binatang ternak, baik untuk dimakan dagingnya, meminium air susunya, memanfaatkan bulunya maupun menjadikannya sebagai kendaraan selagi pada batas-batas kemanfaatan dan tidak melampaui batas. Adapun binatang yang diharamkan adalah merupakan pengecualian dari keumuman ayat yang menghalalkan secara keseluruhan. Keharaman binatang sebagaimana penulis maksud, bisa disandarkan kepada ayat-ayat AlQur’an lagi, bisa berupa Hadis, bisa juga berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama).
20 21
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 156 Ibid. ,hlm. 403.
64
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat, Imam Malik sangat membatasi pengecualian tersebut dengan berpegang pada ayat :
Artinya : “Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang-orang yang hendak memakannya kecuali kalau makanan itu bangkai, darah yang mengalir, daging babi, karena sesungguhnya semua itu rijs (kotor) atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah…”. (QS. Al-An’am : 145) 22 Ayat ini dipahami oleh Imam Malik sebagai membatasi yang haram dalam batas-batas yang disebut itu.23 Sedangkan Imam Syafi’i berpegang kepada banyak Hadis Nabi yang dinilainya tidak bertentangan dengan kandungan ayat tersebut. Karena walaupun redaksi ayat tersebut dalam bentuk “hasyr” (pembatasan atau pengecualian), namun itu tidak dimaksud sebagai pengecualian hakiki.24 Dari penjelasan tersebut penulis melihat dari sisi keharaman babi karena illat rijs, walaupn ilmuwan belum sepenuhnya mengetahui sisi-sisi rijs (kekotoran) baik lahiriyah maupun batiniyah yang diakibatkan oleh babi, namun dapat diambil kesimpulan bahwa segala macam binatang yang memiliki sifat rijs tentu saja diharamkan Allah SWT. Di situlah barangkali antara lain fungsi Rasul (Hadis) sebagai bayan pada Firman Allah yang berbunyi :
22
Ibid.,hlm. 212. Dr. Quraish Shihab, op. cit., hlm. 142. 24 Ibid. 23
65
Artinya : “…Dan dihalalkan bagi mereka (umatnya) yang baik-baik dan mengharamkan yang buruk…”. (QS. Al-A’raf : 157) 25 Adapun yang diharamkan berdasarkan Firman Allah SWT. pada ayat tiga Surat Al-Ma’idah terdapat sepuluh jenis binatang yang antara lain terangkum pada ayat
: Artinya : “Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, daging yang disembelih atas nama selain Allah, yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang dimakan binatang buas kecuali yang sempat kamu menyembelihnya dan yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan pula bagimu mengundi nasib dengan anak panah, karena itu sebagai kefasikan”. (QS. Al-Maidah : 3) 26 Pada ayat yang lain khamer dan bighal adalah termasuk bintang yang diharamkan, sebagaimana Firman Allah SWT. :
Artinya : “Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bighal dan keledai agar kamu menungganginya dan menjadikannya perhiasan…”. (QS. An-Nahl : 8 )27 Adapun identitas hewan yang keharamannya ditetapkan oleh Hadis Rasul antara lain adalah : a. Binatang yang hidup di dua tempat. b. Semua binatang yang bertaring dan buas, misalnya harimau, badak dan sebagainya, sebagaimana ditandaskan dalam Hadis : 25
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 246. Ibid., hlm. 157. 27 Ibid., hlm. 403. 26
66
28
Artinya : “Dari Abi Sa’labah r.a. Sesungguhnya Rasulullah SAW. mencegah dari semua binatang buas”. (HR. Muslim) Kata “syiba’” diartikan dengan hewan buas yang menerkam, sedangkan yang dimaksud dengan bertaring adalah yang menyerang dengan taringnya terhadap manusia dan harta miliknya seperti srigala, singa, anjing, harimau, macan tutul, dan kucing semua diharamkan berdasarkan ijma’.29 c. Semua binatang yang diperintahkan syara’ untuk membunuhnya yaitu : gagak, elang, kalajengking, tikus, dan anjing gila. Sebagimana Hadis :
30
Artinya : “Dari ‘Aisyah r.a. berkata, bersabda Rasulullah SAW. : “Ada lima macam binatang yang merusak dan boleh dibunuh di tanah haram yaitu burung gagak, elang, kalajengking, tikus dan anjing gila”. (HR. Muslim) d. Semua binatang yang dilarang syara’ membunuhnya. e. Binatang yang menjijikkan. 31 Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa untuk semua jenis binatang yang apabila tidak disebutkan keharamannya di dalam AlQur’an, di dalam hadispun tidak didapati, dilihat dari tanda-tanda jenis
28
Imam Bukhari, Matan Bukhari Masykul, Juz III, Darul Fikr, tth., hlm 313. Drs. Suparta, dkk, Materi Pokok Fikih I, Jakarta : Direktorat Jenderal Binbaga Islam dan Universitas Terbuka, 1992, hlm. 425. 30 Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz I, Darul Fikr, tt., 1993, hlm. 542. 31 Drs. Sujud Syarifuddin, Drs. Aceng Junaedi, Ibadah Syari’ah, Jilid IV, Bandung : Graha Arta Loka, 1992, hlm. 11-12. 29
67
binatang yang diharamkan pun tidak termasuk di dalamnya, serta para ulama tidak bersepakat atas keharamannya, maka hukum dari hewan tersebut adalah halal. Karena asal hukum dari segala sesuatu adalah pembolehan dan kaidah ini merupakan salah satu pokok dalam Islam. Menurut Al-Hakim, di dalam Islam semuanya telah jelas sebagaimana dijelaskan dalam Hadis Nabi :
32
Artinya : “…Apa-apa yang dihalalkan Allah di dalam Kitab-Nya adalah halal dan apa-apa yang diharamkan oleh-Nya adalah haram. Maka terimalah olehmu maaf dari Allah”. (HR. Ibnu Majah). B. Analisis terhadap Pendapat Ulama Purwodadi Kabupaten Grobogan Jual Beli Kodok Katak merupakan salah satu makanan yang cukup digemari baik di kalangan masyarakat atas maupun bawah. Makanan yang terbuat dari daging katak tersebut biasa dinamakan Swie Kee. Dengan munculnya makanan tersebut yang pada kenyataannya keberadaan hukumnya masih ikhtilaf, karena masing-masing dari mereka mempunyai argumentasi sendiri-sendiri. Pendapat mereka ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan makan daging katak. Berikut ini penulis akan mengkaji masing-masing dari pendapat mereka.
32
Imam Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz II, Semarang : Toha Putera, tth., hlm.
1117.
68
Menurut pendapat Bapak Bakri bahwa sesuatu yang diharamkan memakannya adalah hanya yang terdapat dalam nas, sedangkan yang tidak terdapat dalam nas beliau membolehkan memakannya.33 Sebagaimana yang terdapat Al-Qur'an, yaitu :
Artinya : “Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang-orang yang hendak memakannya kecuali kalau makanan itu bangkai, darah yang mengalir, daging babi, karena sesungguhnya semua itu rijs (kotor) atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah…”. (QS. Al-An’am : 145) 34 Apabila dalam keadaan seperti itu, di dalam kitab Naylul Awtar dijelaskan :
35
Artinya : “Kesimpulan, sesungguhnya ayat-ayat yang terdapat dalam AlQur’an dan Hadis yang sahih telah disebut dalam awal kitab dan dalil-dalil lain menyatakan bahwa segala sesuatu iu pada dasarnya halal, kecuali ada dalil yang mengharamkan. 33
Hasil wawancara dengan Bapak Bakri (Ketua PD. Muhammadiyah Kabupaten Grobogan), di kediamannya di Purwodadi . 34 Departemen Agama RI, loc. cit. 35 Muhammad Asy-Syaukani, Naylul-Awtar, Juz VIII, Mesir : Mustafa al Bab al Halabi, tt., hlm. 122.
69
Apabila tidak ada dalil sahih yang mengharamkan, maka hukumnya halal, dan hukum inilah yang benar. Demikian dalam hal keragu-raguan (tentang halal haram). Maka sudah terang bahwa hukum memakan sesuatu itu adalah halal, sebab dalilnya (mengharamkan) dianggap tidak ada dengan keraguraguan itu”. Dengan adanya dalil tersebut menunjukkan bahwa memakan makanan yang tidak diterangkan secara jelas oleh nas, maka dianggap halal. Berpijak dari keterangan tersebut, pada dasarnya memang makan daging katak tidak diharamkan maupun dihalalkan oleh nas, ini sesuai dengan kaidah usuliyyah yang berbunyi : 36
Artinya : “Asal dari segala permasalahan itu adalah boleh, sehingga adanya dalil yang menunjukkan atas keharaman”. Berangkat dari hal tersebut, memang kalau ditinjau dari kejelasan nas untuk mengharamkan daging ini (katak), jelas tidak ada, sehingga Bapak
Bakri
berpendapat
bahwa
jual
belinya
(kodok)
juga
halal/diperbolehkan.37 Menurut Bapak Munawir selain dari empat jenis binatang yang diharamkan dalam Al-Qur'an tersebut, Al-Qur’an juga mengharamkan terhadap sesuatu yang kotor, dan keharaman terhadap sesuatu yang menjijikkan,38 yaitu :
36
Jalaluddin Abdur-Rahman bin Abi Bakr as-Suyuti, al-Asybah wa al-Naza’ir, Mesir : Isa al-Bab al-Halabi, tt., hlm. 60. 37 Hasil wawancara dengan Bapak Bakri, loc. cit. 38 Hasil wawancara dengan Bapak Munawir, (Tokoh Masyarakat Muhammadiyah Kabupaten Grobogan), di kediamannya di Purwodadi .
70
Artinya : “(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamakan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orangorang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang, yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an) mereka itulah orangorang yang beruntung”. (QS. Al-A’raf : 57)39 Dengan demikian orang yang memakan selain yang disebutkan dalam nas tersebut, maka diperbolehkan tidak terkecuali memakan kodok, sedangkan menjualbelikan kodok menurutnya adalah diperbolehkan karena tidak diharamkan memakannya, sehingga jual belinya juga diperbolehkan.40 Dari ayat tersebut, menerangkan bahwa segala sesuatu yang menjijikkan itu diharamkan. Untuk itu perlu diketahui apakah kodok itu termasuk al-khabais atau tidak. Selanjutnya perlu diketahui dahulu tentang pengertian dari al-khabais sendiri. Menurut Syihab ad-Din Ramli :
41
Artinya : “Dan segala yang tidak ada nas padanya, apabila dianggap baik oleh orang yang berada dan bertabiat sehat dari bangsa Arab dalam keadaan makmur, maka halal hukumnya, dan apabila mereka menganggap jijik, maka haram”. 39
Departemen Agama RI., op. cit., hlm. 246-247. Hasil wawancara dengan Bapak Munawir, loc. cit. 41 Syihab ad-Din Ramli, Nihayatul-Muhtaj, Juz VIII, Tanpa Penerbit, tt., hlm. 147. 40
71
Dalam
menanggapi
ataupun
menafsirkan
al-khabais
ulama
lain
mengatakan :
42
Artinya : “Dan mengenai binatang selain yang telah disebutkan, baik dari jenis melata, maupum dari yang terbang, hendaklah ada pendekatan tentang keadaannya. Bila ia termasuk binatang yang dapat diterima oleh selera orang Arab, maka halal memakannya, dan sebaliknya jika mereka menganggap jijik, maka haram hukumnya. Berdasar ayat tersebut, baik jijiknya suatu makanan itu dikembalikan pada selera orang Arab yang dalam keadaan harmonis, sejahtera dan kecukupan. Bukan orang Arab yang bertabiat jorok yang dalam keadaan miskin. Apabila terjadi anggapan jijik oleh sebagian orang Arab, maka hukumnya diambil dari suara terbanyak”. Imam Syafi’i juga berkata :
43
Artinya : “Imam Syafi’i dan sahabatnya mengomentari dengan adanya firman Allah SWT. Diharamkan bagi segala sesuatu yang menjijikkan, yang maksudnya adalah apa yang dianggap menjijikkan bagi orang Arab”. Dari keterangan di atas menurut Bapak Mubari bahwa segala sesuatu yang dianggap jijik orang Arab itulah yang haram dan orang yang
42
249.
Abu Ishaq Ibrahim as-Syairazi, al-Muhazzab, Juz II, Beirut : Darul Fikr, tt., hlm.
43
Imam Abi Zakariyya Mahya ad-Din an-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Juz IX, Beirut : Darul Fikr, tt., hlm. 16.
72
menganggap tidak jijik, maka tidak haram, dan menjualbelikannya juga diperbolehkan.44 Tafsiran Ulama Salaf tentang lafaz al-khabais, yang didasarkan pada perasaan masyarakat pada umumnya sebagai berikut :
45
Artinya : “(Diharamkan bagi mereka segala yang menjijikkan) yang dimaksud adalah segala apa yang dianggap jijik oleh tabiat orang yang wajar, dan dianggap kotor oleh perasaan jiwa. Maka segala apa yang dianggap jijik oleh tabiat yang sehat, maka haram hukumnya, kecuali ada yang menunjukkan kehalalan”. Juga disebutkan yang lain :
46
Artinya : “Diharamkan bagi mereka segala yang menjijikkan. Atho’ menceritakan bahwa Abbas berkata : Yang dimaksud khabais ialah : bangkai, darah dan segala yang tersebut dalam surat Al-Maidah sampai kepada firman-Nya, (Yang demikian itu adalah fasiq). Atho’ berkata segala sesuatu yang dianggap keji dan jijik oleh perasaan yang sehat, pada dasarnya bisa menyebabkan sakit. Pada asalnya segala sesuatu yang dianggap jijik oleh perasaan yang sehat, pada dasarnya adalah haram, kecuali ada dalil khusus yang menghalalkannya”. 44
Hasil wawancara dengan Bapak Mubari, di kediamannya di Tawangharjo. Imam Nawawi al-Bantani, Marah Labid, Juz I, Surabaya : Maktabah Ahmad bin Sa’id bin Nabhan wa auladuhu, tt., hlm. 302. 46 Fakhrur-Razi, Tafsir al-Kabir, Juz XV, Teheran : Darul Kutub al ‘Alamiyyah, tt., hlm. 24-25. 45
73
Dalam hal ini Rasyid Ridha menjelaskan :
47
Artinya : “Dihalalkan bagi mereka segala yang baik dan diharamkan bagi mereka segala yang menjijikkan. Yang dimaksud halal bagi segala yang baik, adalah semua makanan yang dianggap baik oleh perasaan yang wajar dan mengandung gizi yang berfaedah dan Dia mengharamkan segala yang dianggap kotor oleh perasaan manusia”. Al Alusi berkata :
48
Artinya : “(Dihalalkan bagi mereka yang baik-baik dan diharamkan bagi mereka segala yang menjijikkan). (At-Tayyibat) ditafsirkan apa yang dianggap baik oleh perasaan yang wajar, seperti lemak. Sedang al-khabais ditafsirkan dengan segala apa yang menjijikkan seperti darah. Maka ayat ini menunjukkan bahwa pada dasarnya segala yang dianggap baik dan enak dirasakan oleh perasaan yang wajar, maka halal hukumnya dan segala yang dianggap jijik oleh perasaan yang wajar, maka haram hukumnya, kecuali ada dalil yang menghalalkannya”. Dalam hal ini Al Maraghi berkomentar :
228.
47
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Juz IX, Beirut : Darul Fikr, tt., hlm.
48
Sayyid Mahmud al-Alusi, Ruhul-Ma’ani, Juz IX, Beirut : Darul Ihya’, tt., hlm.71.
74
49
Artinya : “(Dihalalkan bagi mereka yang baik-baik dan diharamkan bagi mereka segala yang menjijikan). Yang dimaksud menghalalkan segala yang baik-baik adalah semua makanan yang dianggap baik oleh perasaan yang wajar dan mengandung gizi yang berfaedah dan Dia mengharamkan segala yang dianggap kotor oleh perasaan manusia. Dari fatwa-fatwa di atas berbicara bahwa segala sesuatu yang dianggap jijik oleh orang Arab itulah yang menjadi tolok ukur menjijikkan, karena yang ada pada waktu diturunkannya nas tersebut adalah orang Arab, sehingga yang menjadi contoh adalah orang Arab sedangkan masyarakat Grobogan khususnya di Kecamatan Purwodadi dan Tawangharjo berkiblat kepada orang Arab. Mengingat selera manusia itu relatif, maka selera suatu negara itu tidak bisa dijadikan tolok ukur, namun bisa dijadikan pertimbangan untuk mengkategorikan keberadaan hukum sesuatu yang tidak diterangkan nas. Kalau dilihat dari hasil ijtihad para Imam Mujtahid, bahwa segi kondisi sangat mempengaruhi penetapan hukumnya. Berbicara tentang permasalahan yang bisa dikatakan ada kaitannya dengan memakan daging kodok. Yang hewan tersebut sementara masyarakat ada yang mengkategorikan menjijikkan. Di sini telah diperoleh keterangan bahwa dalam memberikan keterangan menjijikkan yang bisa dimungkinkan menjadi tolok ukurnya adalah anggapan umat manusia pada umumnya khususnya di wilayah Kecamatan Tawangharjo dan Kecamatan
49
Al Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz I, Beirut : Darul Fikr, tt., hlm. 82-83.
75
Purwodadi Kabupaten Grobogan yang meliputi sebagian umat Islam. Satu contoh mengenai perasaan jijik Nabi kepada hewan dab, yaitu :
50
Artinya : “Nabi SAW. ditanya tentang makanan dab. Apakah makanan dab itu haram? Maka Rasulullah menjawab tidak, karena ditanahku tidak terdapat binatang tersebut. Jadi aku merasa jijik terhadap dab”. Jadi dengan berdasarkan keterangan yang dikemukakan oleh ulama yang menghalalkan katak mereka menjelaskan bahwa katak secara tegas tidak diharamkan dalam nas, sedangkan Al-Qur’an hanya menjelaskan keharaman terhadap bangkai, darah, daging babi, dan sesuatu yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah SWT. dan segala sesuatu yang dianggap kotor dan dianggap jijik (al-khabais) oleh perasaan yang wajar dan tabiat yang sehat dan kehalalan terhadap sesuatu yang dianggap baik (at-tayyibat) dan mengandung gizi yang berfaedah, maka penulis berkesimpulan, bahwa dalam keadaan demikian, tidak ada kepastian seperti disebutkan di atas, maka masalah katak dikembalikan kepada tolok ukur yang umum dalam Al-Qur'an yaitu halalnya setiap yang bersifat "tayyib" dan haramnya setiap yang bersifat khabis. Tentang apakah katak itu termasuk tayyib atau khabis diperlukan penelitian dari ahlinya. Bila ternyata tidak terdapat padanya sifat khabis maka hukumnya tidak haram. Bila sebagian jenis katak mengandung sifat 50
Ibnu Qayyim al-Jauziah, A’laamul-Muwaqqi’in, Juz III, Beirut : Darul Jil, tt.,
hlm.380
76
khabis, maka hukum yang berlaku untuk sebagian tersebut dan tidak berlaku untuk seluruhnya. 1. Analisis terhadap Pendapat Ulama Purwodadi yang mengharamkan kodok. Telah diketahui bahwa memakan kodok dari ulama yang berpendapat mengharamkan, beralasan karena hewan tersebut dianggap jijik, dan disamping itu penulis berpendapat selain makanan yang diharamkan telah disebut oleh nas, namun di dalam Surat Al-Baqarah ayat 173, yang menerangkan tentang makanan yang diharamkan, diawal kalimat dimulai dengan lafaz Innama (
). Di dalam ilmu fiqh, para
ulama menamakan dengan qasr, yang berarti penegasan yang kuat. Berdasarkan itu para ulama51 berbeda anggapan, yang terbagi dalam dua versi, yaitu : Golongan Pertama : Berpendapat bahwa adat qasr yang terdapat pada Surat Al-Baqarah ayat 173 itu adalah qasr. Yang terdapat pada Surat Al-A’raf ayat 157.,. itu adalah qasr hakiki, maksudnya mereka tidak mengharamkan hewan atau makanan yang tidak disebut Allah SWT. dan Rasul-Nya. Mereka berpendapat, nilai yang terdapat pada ayat tersebut adalah qat’i.
51
Hasil wawancara dengan beberapa Ulama Purwodadi dan Tokoh Masyarakat di kediamannya masing-masing .
77
Golongan Kedua
: Berpendapat bahwa qasr pada ayat tersebut, adalah qasr izafi. Jadi mereka menganggap Surat Al-A’raf ayat 157 itu bisa memasukkan hewan yang dianggap jijik oleh manusia, bisa dimasukkan haram. Karena nilai dari qasr izafi itu adalah zanni, yang bisa memasukkan kodok termasuk dalam kategori al-khabais.52
Dengan begitu mereka yang menganggap memakan daging katak itu halal, dalam memahami qasr dalam Al-Qur’an tersebut, seperti pandangan
golongan
pertama
di
atas.
Sedangkan
ulama
yang
mengharamkan, seperti pendapat golongan kedua. Berpijak dari kriteria-kriteria al-khabais yang telah dikemukakan ulama salaf, merupakan acuan bagi penulis dalam menganalisa permasalahan tersebut. Kalau ditelusuri lebih jauh, menurut kebanyakan nalar manusia yang wajar dan menurut alat pencernaan, hewan katak adalah menjijikkan. Bagi mereka yang memakan daging katak. Ini berarti mereka tidak memasukkannya ke dalam al- khabais. Jadi menurut analisa penulis, bahwa memakan sesuatu yang dianggap jijik dan kotor menurut perasaan yang wajar dan tabiat yang sehat, tidak tabiat yang jorok adalah haram, sedangkan katak menurut
52
Mahmud Effendi Umar dan Sultan, Kitab Qawa’idul-Lughah al-‘Arabiyyah, Tanpa Penerbit, tt., hlm. 114.
78
perasaan yang sehat dan wajar adalah dianggap jijik, maka hukumnya adalah haram. C. Analisis terhadap Jual Beli Kodok Kehidupan manusia di atas bumi ini merupakan suatu perjuangan, yang meliputi perjuangan untuk mempertahankan hidup di tengah-tengah pergulatan manusia semuanya ingin mempertahankan hidup. Di samping itu juuga manusia dituntut berbuat kebajikan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya
di
akhirat.
Untuk
selanjutnya
dalam
mempraktekkan
kehidupannya, praktis manusia memerlukan kode etik untuk mengatur jalur hidupnya. Di dalam Islam pembuat kode etik tersebut adalah Allah SWT dan Rasul-Nya. Juga apabila ada suatu permasalahan yang belum dijelaskan oleh Allah SWT. dan Rasul-Nya, maka hal semacam inilah yang menjadi lahan para intelektual muslim, dan hasil pemikirannya disebut Ijtihad, tentu itu dengan memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan yang menelurkan ijtihad disebut Mujtahid. Di dalam Islam para mujtahid yang dikenal sampai saat ini adalah, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Malik. Hasil-hasil dari ijtihad mereka menjadi panduan operasional ditetapkannya suatu hukum, walaupun hasil ijtihad mereka di dalam suatu masalah kadang-kadang berbeda. Justru itu yang membuat dinamika dunia ilmu pengetahuan. Tentunya perbedaan-perbedaan mereka itu tidak keluar dari rambu-rambu Islam yang telah dibuat Allah dan Rasul-Nya, tebukti dengan munculnya jual beli kodok.
79
Seperti yang telah penulis kemukakan di atas, ketika berbicara tentang jual beli dan makanan (binatang) yang boleh dan tidak boleh dimakan, bahwa asal dari makanan adalah halal, kecuali yang telah ditetapkan oleh Al-Qur'an dan Hadis tentang spesifikasi keharamannya, serta telah penulis deskripsikan tentang anjuran jual beli menurut Islam. Pada bab ini penulis akan menganalisis tentang jual beli kodok. Di dalam Al-Qur'an tidak secara langsung disebutkan tentang keharaman kodok, namun setidaknya illat dari kodok tersebut dapat penulis kategorikan karena memiliki sifat rijs baik lahiriyah maupun batiniyah yang diakibatkan oleh kodok tersebut. Dengan kata lain dapat penulis katakan bahwa segala macam binatang yang mempunyai sifat rijs adalah sudah barang tentu diharamkan oleh Allah SWT., sebagaimana dijelaskan dalam ayat : Artinya : “…Dan dihalalkan bagi mereka (umatnya) yang baik-baik dan mengharamkan yang buruk…”. (QS. Al-A’raf : 157) 53 Menilik ayat tersebut di atas, sebagaimana halnya telah penulis jelaskan pada sub bab terdahulu tentang makanan yang diperbolehkan menurut syari'at Islam, terdapat perintah agar manusia memakan makanan yang sifatnya halal dan tayyib serta menghindari yang kotor (khabis). Pengertian halal tidak selamanya persis dengan tayyib (baik, walaupun semua yang halal itu baik) dan begitu pula sebaliknya. Kedua pengertian itu dapat berbeda artinya, disebabkan berbeda sudut pandangan. Kata “halal” berarti lepas atau tidak terkait, lebih mengarah pada cara yang tidak terlarang
53
Departemen Agama RI, loc. cit.
80
dan tidak melanggar hak orang lain, sedangkan kata “tayyib” berarti lezat, baik, sehat, menentramkan dan paling utama, lebih mengarah pada materi atau zatnya. Setiap yang baik hukumnya halal artinya dapat dimanfaatkan atau dimakan, bahkan agama menyuruh memakan hal-hal yang baik-baik. Lawan dari kata tayyib adalah khabis yang hukumnya adalah haram. Khabis berarti sesuatu yang buruk atau menjijikkan untuk dimakan atau dapat membahayakan bagi yang memakannya.54 Komentar Imam Syafi'i tentang al-khabais adalah :
55
Artinya : "Imam Syafi'i beserta sahabat-sahabatnya berhujjah pada ayat-ayat Allah yang berbunyi : Diharamkan atas kamu sekalian sesuatu yang menjijikkan yaitu apa yang dianggap jijik oleh orang Arab. Dan sabda Nabi SAW. Lima dari binatang itu semuanya fasiq yang harus dibunuh, baik itu diwaktu halal maupun haram. Yaitu gagak, elang, kalajengking, tikus, dan anjing galak". Dalam kitab secara lugas Imam Syafi’i berbicara tentang katak, yaitu :
56
Artinya : “Binatang yang dianggap jijik oleh perasaan Yang wajar seperti hasyarat, katak, kepiting dan kura-kura……maka sesungguhnya Syafi’i mengharamkannya”.
54
H.Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad : Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, Jakarta : Ciputat Pers, 2002, hlm 227. 55 Imam Abi Zakariyya Mahya ad-Din an-Nawawi, op. cit., hlm. 15. 56
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz I, Singapura : Tab’ Bi Matabi’i, tt., hlm. 470
81
Dalam hal ini Imam Malik berkomentar : 57
Artinya : ”Imam Malik menghalalkan sesuatu yang menjijikkan seperti ular, kalajengking, kecoa, dan binatang yang sepadannya”. Berpijak dari komentar Imam Malik tersebut dalam kitab yang sama pun Imam Syafi’i berkomentar :
58
Artinya : “Adapun Firman Allah ( ) Syafi’i dan Ulama lain berpendapat, ayat ini berlaku terhadap apaapa yang biasa dimakan dan dianggap baik oleh orang banyak … sedangkan hadisnya Talib itu tidak bisa dijadikan dasar alasannya kata-kata “saya tidak mendengar” itu menunjukkan bahwa orang lain tidak mendengarnya, sedangkan Talib sendiri tidak mendengarnya”. Menilik hadis tersebut di atas yang menerangkan bahwa Nabi melarang membunuh katak, jadi menurut penulis larangan membunuh berarti larangan juga memakannya, dan hukum daripada jual beli katak adalah haram, karena di situ tedapat larangan dan pada asalnya larangan adalah menunjukkan haram sebagaimana ditegaskan dalam kaidah : 59
57
Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurtubi, al-Jami’ lil Ahkam Al-Qur’an, Juz VII, Kairo : Darul Kitab, hlm. 30. 58 Imam Abi Zakariyya Mahya ad-Din an-Nawawi, loc. cit. 59 Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan, Jakarta : Sa'diyyah Putra:, tt., hlm. 30.
82
Imam Taqyuddin berpendapat tentang haramnya katak, kepiting dan kura-kura.60 Berdasarkan fatwa-fatwa di atas yang mengatakan bahwa katak secara tidak langsung menurut perasaan dianggap menjijikkan, maka menjualbelikan katak, hukumnya adalah haram.. Sesuatu yang dimakan haram, maka jual belinyapun haram. Sesuai dengan kaidah usuliyyah : 61
Artinya : “Sesuatu yang diharamkan memakannya, berarti haram juga mengambilnya (menjualbelikan)”. Dengan adanya kaidah usuliyyah tersebut, maka jelaslah bahwa menjualbelikan katak hukumnya haram, karena memakannya haram. Adapun ada sebagian masyarakat yang berpendapat memakan kodok ataupun menjualbelikannya halal, mereka itu sebenarnya diilhami oleh pemikiran Imam Malik. Dengan demikian melihat kenyataan di lapangan, sebagaimana penulis paparkan di atas tentang berjalannya transaksi jual beli kodok menurut penulis adalah haram hukumnya, dan jika dilihat dari kaca mata hukum Islam tidak mempunyai dasar sama sekali, sebab transaksi yang terjadi di sana adalah jual beli kodok yang digunakan untuk dibuat makanan (swie kee). Sedangkan dari kacamata hukum Islam, pada prinsipnya dalam menetapkan sebuah hukum, syari'at Islam selalu mempertimbangkan situasi
60 61
Imam Taqyuddin, op. cit.,Juz II, hlm. 235. Jalaluddin Abdur-Rahman bin Abi Bakr as-Suyuti, op. cit., hlm. 167.
83
dan kondisi dari mahkum 'alaihnya, sehingga tujuan syari'at dalam melindungi hal-hal yang bersifat primer (daruriyah) bisa tetap terjaga sebagai suatu konsekuensi
logis
dari
idealisme
semacam
itu,
adakalanya
Islam
membolehkan terhadap sesuatu yang diharamkan, karena kondisi menuntut untuk melakukan langkah tersebut, dengan istilah yang memasyarakat karena kondisinya memaksa yang dalam istilah fikih disebut darurat. Adapun jembatan antisipatif untuk mengantisipasi kondisi semacam ini dalam istilah usul fiqih, adalah konsep 'azimah dan rukhsah, dimana rukhsah adalah ketentuan yang disyari'atkan Allah sebagai keringanan terhadap orang mukallaf dalam hal-hal yang khusus, sedangkan 'azimah ialah peraturan syara' yang asli yang berlaku umum, artinya ia disyari'atkan agar menjadi peraturan yang umum bagi seluruh orang mukallaf dalam keadaan biasa.62 Dengan demikian memanfaatkan (mengambil manfaat) dari kodok untuk apa saja adalah boleh, sebagaimaan firman Allah :
Artinya : "Allah telah menjelaskan kepadamu apa-apa yang telah Allah haramkan kepadamu, kecuali dalam keadaan terpaksa…". (QS. Al-An'am : 119)63 Dan pada ayat lain juga dijelaskan :
Artinya
:
"Barang siapa terpaksa, sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas,
62
Prof. Dr. Mukhtar Yahya, Drs. Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fikih Islam., Jakarta : Sa'diyah Putra, 1979, hlm. 165 63 DEPAG RI, op. cit., hlm. 207.
84
maka tisak ada dosa baginya, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang…". (QS. AlBaqarah : 173)64 Dari ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa betapa fleksibel dan elastisnya hukum Islam, di mana dalam kondisi darurat, demi tetap terjaganya kehidupan dan jiwa dari kematian, maka hal-hal yang asalnya haram diperbolehkan untuk dilanggar, bahkan untuk menyelamatkan jiwa dari kematian, jika memang tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh kecuali jalan haram tersebut, menurut penulis jauh hukumnya tidak hanya boleh melainkan wajib, sebagaimana termaktub dalam firman Allah yang berbunyi :
Artinya : "Dan janganlah kamu membunuh diri kamu sendiri, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu". (QS. An-Nisa : 29)65 Ayat tersebut memberikan pelajaran kepada kita agar kita berusaha untuk dapat menyelamatkan diri sendiri semaksimal dan seoptimal mungkin, dengan memanfaatkan berbagai fasilitas yang ada yang memang telah disediakan untuk manusia, bahkan sampai menggunakan "lam an-nahyi", yang di dalamnya terkandung makna larangan membunuh, berarti adanya perintah menyelamatkan diri, sebagaimana dijelaskan Abi Ishaq as-Saerazi : "Apabila adanya larangan terhadap sesuatu dan di sana terdapat lawan daripada larangan tersebut, maka diperintahkan mengerjakan lawan larangan
64 65
Ibid, hlm. 42. Ibid, hlm. 122.
85
tersebut.66 Dengan demikian adanya larangan membunuh terhadap dirinya sendiri, berarti lawannya adalah perintah menyelamatkan dirinya sendiri, dan pada ayat tersebut di atas, terdapat larangan membunuh terhadap dirinya sendiri, maka dicari jalan untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Kalau penulis amati larangan tersebut bersifat mutlak artinya tidak dengan syarat dan tidak dibatasi waktunya sehingga perintah menyelamatkan diri dan laarngan membunuh diri harus dilakukan kapan saja, dimana saja, tanpa batas ruang dan waktu. Dengan istilah lain melarang terhadap sesuatu berarti memerintahkan sesuatu yang menjadi kebalikannya.67 Brkaitan dengan batasan darurat, Jumhur Ulama berpendapat sampai pada batas kelaparan, seadngkan Ibnu Hazm memberikan alasan seseorang tidak makan dan tidak minum selama sehari semalam karena tidak ada yang akan dimakan, jika ia tahu kalau hal ini berkepanjangan dapat membawa kepada
maut,
atau
perjalanannya
menjadi
terputus,
demikian
juga
pekerjaannya menjadi terhenti. Dalam keadaan seperti ini, halal baginya memakan makanan maupun minuman yang mulanya terlarang.68 Sebagian yang lain mengatakan batasannya adalah sehari semalam dengan syarat ia tidak mendapati makanan itu kecuali yang diharamkan, itupun hanya boleh dimakan sekedarnya saja. Imam Malik memberikan batasan sekedar kenyang dan boleh menyimpannya sehingga mendapat makanan lain, begitu pula ahli fikih yang lain, berpendapat tidak boleh makan sama sekali melainkan sekedar
66
Abi Ishaq ibrahim, Alluma Fi Usul al Fiqh, Nur asia, ttp., tt., hlm. 13. Drs. Muh. Rifa'I, Usul Fiqh, Semarang : Wicaksono, 1984, hlm. 101. 68 Drs. Suparta, op. cit, hlm. 429. 67
86
dapat mempertahankan hidupnya.69 Sedangkan Abu Syari' memberi alasan : "Jika seseorang didorong kebutuhan dan kebutuhan itu memaksa dia memakan bangkai atau sejenisnya, apabila tidak memakannya dia takut dirinya atau sebagian anggota tubuhnya dalam bahaya. Dengan syarat dia tidak menemukan makanan yang halal yang dimilikinya atau yang diizinkan baginya. Jika dia menemukan makanan yang halal walaupun hanya sesuap, maka tidak halal bangkai baginya kecuali sesuap makanan halal tersebut tidak mencukupinya maka boleh baginya memakan bangkai.70 Dari batasan darurat sebagaimana penulis paparkan di atas, yang patut diambil hikmah daripadanya, menurut hemat penulis bahwa kebolehan menggunakan sesuatu yang haram dengan dalih darurat demi tujuan mempertahankan hidup atau apabila sudah pada tingkat kelaparan yang dimungkinkan
berakibat
kebinasaan
atau
timbulnya
penyakit
yang
mengakibatkan kematian seseorang, baik sebagai ahli taat maupun ahli maksiat, langkah seperti ini boleh dilakukan jika sudah tidak ada sama sekali orang yang mau menolongnya, maupun menggunakan sesuatu yang halal lebih dahulu. Orang tersebut hanya boleh memakai barang yang diharamkan hanya dalam ukuran yang diharapkan dapat menjaga kelangsungan hidupnya serta boleh membekali diri sesuai dengan kebutuhannya selama masih dalam keadaan terpaksa.
69 70
Yusuf Qardawy, halal dan Haram dalam Islam,1980, hlm. 65. Dr. Abu Syari' Muhammad Abdul Hadi, op. cit, hlm. 421.
87
Terhadap permasalahan yang dianggap memiliki keseimbangan antara maslahat dan mudaratnya saja kita dianjurkan mendahulukan menolak kerusakannya, apalagi jika dilihat dari berbagai aspek ternyata masalah tersebut justru labih banyak mudaratnya, tidak terkecuali jual beli swie kee (kodok), ternyata sisi mafsadat lebih banyak jika dibandingkan dengan manfaatnya, sehingga penulis memandang bahwa jual beli kodok adalah haram dilakukan dan haram hukumnya, alasan penulis adalah hal ini termasuk salah satu cabang dari kaedah yang telah penulis paparkan di atas yakni :"Menghilangkan kemafsadatan lebih didahulukan daripada mengambil nilai manfaatnya". Hal senada sebagaimana pernyataan Imam Ibnu Nujaim dalam Asybah
wan
Naza'irnya
:
”Jika
kemafsadatan
berbenturan
dengan
kemaslahatan, maka menolak kemafsadatan tersebut harus didahulukan, sebab perhatian syari'at Islam terhadap bentuk-bentuk larangan itu melebihi perhatiannya terhadap bentuk-bentuk perintah".71 Akhirnya sampailah pada kesimpulan penulis, bahwa upaya mencari dan menjual kodok yang kemudian disediakan untuk menyuplai pedagang swie kee adalah haram, sebab menjembatani jual beli yang haram adalah haram sebagaimana tersirat dalam kaidah : 72
Sehingga jual beli sesuatu yang haram dan dapat mendatangkan kerusakan (individu maupun masyarakat) adalah haram. Sebagaimana
71 72
Imam ibnu Nujaim, Asybah wan Naza'ir, hlm. 62. Abdul Hamid Hakim, op. cit., hlm. 21.
88
ditegaskan oleh Abi Yahya Zakariyya bahwa disyaratkan untuk sahnya jual beli harus bisa diambil manfaatnya barang tersebut, konkritnya dijelaskan dalam Fathul Wahab : “Maka tidak sah jual beli hewan yang tidak bermanfaat dan binatang buas yang tidak dapat diambil manfaatnya”.73 Adapun upaya mengambil manfaat berupa keuntungan, baik material maupun imaterial
dari jual beli swie kee (kodok) tersebut, sebagaimana
motifasi pedagang (untuk meraih penghasilan sebanyak-banyaknya dengan modal sedikit) adalah haram. Sedangkan mereka yang tergolong ke dalam alasan ikut-ikutan adalah penulis klasifikasikan ke dalam 'urf fasid, yakni kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang dan berlawanan dengan ketentuan syari'at
karena
membawa
kepada
menghalalkan
yang
haram
atau
membatalkan yang wajib.74 Sedangkan 'urf fasidah tidak boleh dilanjutkan maupun ditetapkan karena dengan menetapkannya atau menyetujuinya berarti telah melegalisasi sesuatu yang bertentangan dengan syara'. Pada dasarnya jual beli itu halal, kecuali jika di dalamnya terdapat beberapa anasir yang menjadikan haramnya jual beli itu sendiri, baik karena secara nyata-nyata barang diharamkan menurut syar'i maupun karena prosesnya. Hal ini sebagaimana pendapat Sulaiman Rasyid : "Bahwa binatang itu ada yang diharamkan karena nas Al-Qur'an, ada yang haram karena kita dilarang membunuhnya dan ada pula yang haram karena kotor dan keji".75
73
Abu Yahya Zakariyya, Fathul Wahab, Juz I, Indonesia : Darul Ihya’ al-Kitabil Arabiyyah, tt., hlm. 159. 74 Prof. Dr. Mukhtar Yahya, Drs. Fathurrahman, op. cit., hlm. 120. 75 Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Jakarta : At-Tahiriyyah, 1996, hlm. 440-441.
89
Dalam mencari keuntungan dari jalan menjualbelikan sesuatu yang haram/ najis, dalam hal ini kodok, menurut penulis, jika masih ada usaha lain yang halal dalam arti tidak bertentangan dengan norma syari'at maupun sosial, maka tidak boleh dalam tingkatan haram. Lain masalah jika kondisinya serba memaksa harus melakukan hal yang denikian, dalam arti jalan memperoleh uang satu-satunya hanyalah jalan itu maka demi menyelamatkan diri menjual swie kee (kodok) adalah boleh. Sebaliknya jika kondisinya normal maka jual beli kodok atau makanan dari kodok adalah haram hukumnya, dengan keharaman memperjualbelikan kodok tersebut berarti juga haarm menyimpan dan memberikannya kepada orang lain sebagaimana kaidah :
90