STRUKTUR KOMUNITAS MEIOFAUNA INTERSTISIAL DI SUBSTRAT PADANG LAMUN PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU
NOVI DWI INDRIYANI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Struktur Komunitas Meiofauna Interstisial di Substrat Padang Lamun Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014 Novi Dwi Indriyani NIM C54100093
ABSTRAK NOVI DWI INDRIYANI. Struktur Komunitas Meiofauna Interstisial di Substrat Padang Lamun Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh DIETRIECH GEOFFREY BENGEN dan ADRIANI SUNUDDIN. Meiofauna yang hidup dalam ruang interstisial memiliki peranan penting dalam berbagai proses ekologis di padang lamun. Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengetahui struktur komunitas meiofauna interstisial (2) Mengetahui keterkaitan antara kelimpahan meiofauna dengan karakteristik fisika-kimia lingkungan padang lamun. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret – Juli 2014 yang bertempat di Pulau Pramuka, sebelah Selatan (Stasiun 1) dan Tenggara (Stasiun 2) serta Laboratorium FPIK IPB. Pengambilan sampel meiofauna dilakukan dengan cara membenamkan pipa paralon (corer) dengan diameter 4.5 cm dan tinggi 15 cm di sekitar plot pengamatan lamun dengan menggunakan transek 1 x 1 m2. Analisis struktur komunitas meiofauna dan lamun menggunakan perhitungan indeks ekologi. Analisis Komponen Utama digunakan untuk mengetahui hubungan meiofauna dengan parameter fisika-kimia substrat dan vegetasi lamun. Kondisi kualitas perairan Pulau Pramuka secara umum dalam keadaan baik untuk menunjang kehidupan lamun dan meiofauna. Berdasarkan hasil penelitian, meiofauna interstisial yang ditemukan pada substrat pasir padang lamun terdiri dari 6 filum, 8 kelas, 22 ordo, 50 famili dan 55 genera. Komunitas meiofauna didominasi oleh Famili Oxystominidae, (Filum Nematoda). Substrat dengan karakteristik fisika-kimia lingkungan akan mempengaruhi keberadaan jenis meiofauna yang hidup diantara rongga-rongga sedimen. Kata kunci: Struktur komunitas, meiofauna, lamun, substrat, Pulau Pramuka
ABSTRACT NOVI DWI INDRIYANI. Community Structure of Meiofauna Interstitial in Substrate of Seagrass Bed at Pramuka Island, Kepulauan Seribu. Supervised by DIETRIECH GEOFFREY BENGEN and ADRIANI SUNUDDIN. Meiofauna are organism that lived in interstitial area which has important role in many ecological processes in marine seagrass plain. The purpose of this study are to (1) determine community structure of meiofauna interstitial, (2) find out the relationship between abudance of meiofauna with physical-chemical characteristics of the enviroment seagrass. This study was conducted in MarchMay 2014 at two stations in the South section (Station 1) and Southeast section (Station 2) of Pramuka Island, and also in FPIK IPB Laboratory. Sample had beeen with draw by sink 4.5 cm and 15 cm paralon pipe (corer) around the observation area with 1 x 1 m2 transek. Calculations of ecological index is used to analyse community structure of meiofauna and seagrass. Principal Component Analysis (PCA) method used to find out the relation between physical-chemical characteristics of substrate and seagrass vegetation. In general, the water quality of Pramuka Island were in good condition to support the lives of meiofauna and seagrass. The result of this study showed that meiofauna interstitial that is found
in the substrate of seagrass consisted of 6 phyla, 8 classes, 22 orders, 50 families, and 55 genera. Meiofauna family dominated Oxystominidae, which is a part of nematode phylum. Substrates with certain physical-chemical characteristics of the environment would affect the existence of the meiofauna who lived between sediment cavities. Keywords : Community structure, meiofauna, seagrass, substrat, Pramuka Island
.
STRUKTUR KOMUNITAS MEIOFAUNA INTERSTISIAL DI SUBSTRAT PADANG LAMUN PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU
NOVI DWI INDRIYANI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Struktur Komunitas Meiofauna Interstisial di Substrat Padang Lamun Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu Nama : Novi Dwi Indriyani NIM : C54100093
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Dietriech G Bengen, DEA
Adriani Sunuddin, SPi, MSi
Pembimbing I
Pembimbing II
Pembimbing I
Pembimbing II Diketahui oleh
Dr Ir I Wayan Nurjaya, MSc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah meiofauna, dengan judul Struktur Komunitas Meiofauna Interstisial di Substrat Padang Lamun Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Dietriech G Bengen, DEA dan Ibu Adriani Sunuddin, SPi, MSi selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Siti Nursiyamah laboran Laboratorium Bio Mikro I, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB atas bantuan saat menganalisis sampel di laboratorium. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014 Novi Dwi Indriyani
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
METODE
2
Lokasi dan Waktu
2
Bahan
4
Alat
4
Pengambilan Sampel dan Pengukuran Parameter Lingkungan
5
Prosedur Analisis Data
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
10
Karakteristik Fisika dan Kimia Perairan di Pulau Pramuka
10
Karakteristik Fisika – Kimia Substrat Padang Lamun di Pulau Pramuka
12
Karakteristik Vegetasi Lamun
15
Komunitas Meiofauna Interstisial di Pulau Pramuka
17
Hubungan Meiofauna dengan Karakteristik Fisika-Kimia Substrat dan Vegetasi Lamun SIMPULAN DAN SARAN
23 24
Simpulan
24
Saran
24
DAFTAR PUSTAKA
25
LAMPIRAN
28
RIWAYAT HIDUP
43
DAFTAR TABEL 1 Parameter fisika-kimia air laut dan sedimen yang diukur dan alat serta metode pengukurannya 2 Parameter fisika kimia di masing – masing stasiun penelitian
4 11
DAFTAR GAMBAR 1 Gambar Peta Lokasi Pengambilan Sampel Meiofauna di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu 2 Gambar Karakteristik Fisika Sedimen Padang Lamun 3 Gambar Karakteristik Kimia Sedimen Padang Lamun 4 Gambar Kerapatan Lamun di Pulau Pramuka, (a) Stasiun 1 (b) Stasiun 2 5 Gambar Penutupan Lamun di Pulau Pramuka, (a) Stasiun 1 (b) Stasiun 2 6 Gambar Grafik Kelimpahan Meiofauna di Pulau Pramuka 7 Gambar Indeks Keanekaragaman Meiofauna di Pulau Pramuka 8 Gambar Nilai Keseragaman Meiofauna di Pulau Pramuka 9 Gambar Nilai Dominasi Meiofauna di Pulau Pramuka 10 Gambar Hasil Analisis Komponen Utama (PCA) antara Kelimpahan Meiofauna dengan Karakteristik Fisika-Kimia Substrat dan Vegetasi Lamun
3 13 14 15 17 19 20 21 22
23
DAFTAR LAMPIRAN 1
Dokumentasi Alat dan Bahan yang digunakan untuk Penyaringan dan Mengawetkan Sampel Meiofauna 2 Dokumentasi Proses Pengambilan Sampel Meiofauna di Substrat Lamun 3 Dokumentasi Proses Penyaringan Sampel Meiofauna 4 Dokumentasi Proses Pengawetan dan Pemberian rose bangle pada Sampel Meiofauna 5 Parameter Fisika-Kimia Substrat di Pulau Pramuka 6 Hasil Perhitungan Kerapatan (Di), Frekuensi (Fi), Penutupan (Ci) dan Indeks Nilai Penting (INP) pada Lamun di Stasiun Penelitian, Pulau Pramuka 7 Kelimpahan Meiofauna di Lokasi Penelitian (Stasiun 1) 8 Kelimpahan Meiofauna di Lokasi Penelitian (Stasiun 2) 9 Hasil Analisis Komponen Utama (Principal Component Analisis) Kelimpahan Meiofauna dengan Parameter Fisika – Kimia Substrat dan Vegetasi Lamun 10 Dokumentasi Spesimen Meiofauna 11 Hasil Perhitungan Indeks Kesamaan Taksa (IS) Meiofauna di Stasiun Penelitian
28 28 29 30 30
31 31 33
37 38 41
PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagai ekosistem, laut terdiri atas komponen biotik dan abiotik yang saling mempengaruhi dan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dari seluruh komponen biotik yang ada, salah satu diantaranya yang dikaji adalah meiofauna interstisial, yang merupakan kelompok hewan yang berukuran antara 63-1000 µm yang lolos pada saringan 0.063-1 mm (Linhart et al 2002). Meiofauna hidup dalam ruang interstisial yang merupakan ruang di antara partikel sedimen atau di sela-sela butiran sedimen. Padang lamun merupakan salah satu ekosistem yang penting pada daerah pesisir yang ditumbuhi oleh lamun sebagai vegetasi yang dominan. Peranan padang lamun berperan penting sebagai produsen dalam jaring makanan di daerah pesisir (Susetiono 2004). Peranan lain dari padang lamun adalah sebagai tempat hidup bagi berbagai kelompok hewan seperti plankton, nekton, bentos, detritus dan meiofauna. Meiofauna memiliki peran ekologis yang berperan dalam keberadaan biota laut lain. Peranan penting dari meiofauna antara lain: (1) sumber makanan bagi meiofauna lainnya; (2) berperan aktif dalam penguraian bahan organik berupa serasah yang melimpah di lamun, terutama dalam proses biodegradasi sisa-sisa tumbuhan yang berlanjut ke proses mineralisasi oleh mikroorganisme (Metcalfe 2005); (3) sebagai makanan bagi tingkat trofik yang lebih tinggi. Luas tutupan dan kerapatan lamun juga berpengaruh pada kepadatan meiofauna interstisial yang menghuni substratnya. Kepadatan meiofauna interstisial cenderung menurun seiring dengan semakin kecilnya luas tutupan lamun. Kepadatan meiofauna tertinggi berada pada lokasi dengan luas tutupan padang lamun terbesar, sedangkan jumlah kepadatan terendah berada pada lokasi yang tanpa tutupan lamun (Pujiyanti 2008). Kondisi substrat yang berbeda akan mempengaruhi keragaman jenis serta struktur komunitas meiofauna interstisial yang hidup di dalamnya (Zulkifli 2008). Hal tersebut terkait dengan mekanisme adaptasi yang mereka lakukan terhadap lingkungan tempat tinggalnya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara jenis substrat padang lamun yang memiliki karakteristik berbeda dengan meiofauna interstisial yang hidup di padang lamun Pulau Pramuka.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang d iatas, masalah yang dirumuskan penelitian ini adalah (1) Bagaimana struktur komunitas meiofauna interstisial padang lamun ? (2) Bagaimana hubungan antara kelimpahan meiofauna dengan karakteristik fisika-kimia lingkungan padang lamun ?
2
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui struktur komunitas meiofauna interstisial pada substrat padang lamun Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu; (2) mengetahui keterkaitan antara kelimpahan meiofauna dengan karakteristik fisikakimia lingkungan padang lamun.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dasar tentang keanekaragaman hayati meiofauna interstisial di substrat padang lamun Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Penelitian ini dapat mengeksplorasi peranan penting meiofauna di dalam dinamika trofik di lingkungan ekosistem padang lamun.
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Stasiun penelitian terletak di sebelah Selatan (Stasiun 1) dan Tenggara (Stasiun 2) Pulau Pramuka. Penelitian ini dibagi kedalam tiga tahap, yaitu survey lapang, pengambilan sampel, pengolahan dan analisis data. Pengambilan sampel lamun, kualitas air dan sampling meiofauna di substrat padang lamun di lakukan pada tanggal 22-24 Maret 2014. Tahapan penyaringan dan identifikasi meiofauna dilaksanakan pada bulan April 2014 bertempat di Laboratorium Bio Mikro 1 Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan dan Laboratorium Bioprospeksi Kelautan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Gambar 1 Peta Lokasi Pengambilan Sampel Meiofauna di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu
3
4
Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel meiofauna interstisial, sampel air laut, sampel substrat, sampel lamun, gliserol, kertas label formalin dan rose bangle (Lampiran 1).
Alat Alat dan teknik pengukuran parameter fisika-kimia air laut dan sedimen, dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Parameter fisika-kimia air laut dan sedimen yang diukur dan metode pengukurannya. Parameter unit Alat dan Teknik Pengukuran Fisika Air - Kedalaman meter Tongkat berskala (cm) - Kecerahan meter Secchi disk o - Suhu C Termometer Hg
alat serta Keterangan In situ In situ In situ
Kimia Air - Salinitas - Oksigen terlarut - pH - Nitrat (NO3-N)
‰ ppm ppm
- Ortofosfat (PO4-P)
ppm
Fisika Sedimen - Tekstur / Fraksi sedimen
%
Saringan bertingkat,Segitiga Laboratorium Shepard
Kimia Sedimen - C-organik - Bahan Organik Total (TOM)
% %
Titrasi Titrasi
Biologi Sedimen - Kelimpahan Meiofauna Interstisial - Kerapatan Lamun
ind/m2 ind /m2
Hand Refractometer DO meter pH meter Spektrofotometer, Brucine Method Spektrofotometer,Titrimetrik, KMnO4
In situ In situ In situ Laboratorium Laboratorium
Laboratorium Laboratorium
Corer (pipa paralon) Laboratorium (diameter 4.5 cm, tinggi 15 cm), mikroskop binokuler Kuadran 1 x 1 m2 Laboratorium
5 Pengambilan Sampel dan Pengukuran Parameter Lingkungan Penentuan Stasiun Stasiun penelitian ditentukan melalui survei pendahuluan yakni dengan berjalan sejajar dengan garis pantai dan snorkling pada daerah yang telah ditentukan pada peta. Di dalam satu stasiun dibuat 3 plot berupa transek garis dan di dalam 1 transek garis terdapat 3 kuadran, dengan jarak antara transek garis yang satu terhadap transek garis berikutnya ± 50 m, sedangkan jarak kuadran satu terhadap kuadran berikutnya adalah 10 m. Pengambilan Sampel Meiofauna dan Pengamatan Lamun Pengamatan biologi yang dilakukan meliputi lamun, sampel substrat dan meiofauna yang dilakukan setiap stasiun pengamatan. Pengambilan sampel meiofauna diambil dengan cara membenamkan pipa paralon (corer) dengan diameter 4.5 cm dan tinggi 15 cm di sekitar plot pengambilan lamun dengan menggunakan transek 1 x 1 m2 (Lampiran 2). Contoh sedimen yang berisi meiofauna diambil dari tiga stasiun, pengambilan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan setiap plot/kuadran. Sampel yang berhasil diambil dimasukkan ke dalam kantung plastik sampel dan diberi larutan formalin 4% agar awet, kemudian diberi label dengan kode stasiun, plot tempat pengambilan sampel serta ulangan. Pengambilan Sampel Parameter Perairan dan Sedimen Pengukuran parameter fisika meliputi suhu, kedalaman, dan kecerahan. Pengukuran parameter kimia meliputi salinitas, oksigen terlarut, pH secara insitu. Untuk mendapatkan parameter kimia maka diambil 1 botol air sampel pada masing-masing stasiun. Sampel air yang dibawa kemudian dianalisis di laboratorim. Pengukuran suhu, pH dan salinitas air dilakukan sebelum pengamatan lapangan. Parameter fisika-kimia sedimen yang diukur dan dianalisa meliputi fraksinasi sedimen, kandungan bahan organik (C-organik dan TOM). Pengambilan contoh sedimen dilakukan dengan menggunakan corer dengan diameter 4.5 cm dan tinggi 15 cm, sedimen dasar diambil sebanyak ± 200 gram. Pengukuran bahan organik pada sedimen dianalisa di Laboratorium Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB. Perlakuan Sampel Meiofauna di Laboratorium Sampel yang telah diambil dilokasi kemudian diberi rose bengal untuk mengawetkan sampel tersebut serta memberi warna merah untuk mempermudah proses sortir dan identifikasi. Sampel yang telah diberi rose bengal kemudian dituang ke dalam gelas ukur yang berisi air tawar, kemudian sedimen disaring dengan saringan berukuran 1 mm (Susetiono 1995) bertujuan untuk memisahkan sampel dengan makrofauna, butiran pasir yang besar, serta potongan akar lamun. Sampel meiofauna dan pasir halus yang melayang-layang diatas permukaan air disaring menggunakan saringan 0.032 mm, tahapan ini diulang sebanyak lima kali (Lampiran 3). Sampel meiofauna dari hasil peyaringan kemudian diawetkan menggunakan larutan formalin 10% yang berisi rose bengal (Lampiran 4) Untuk mengetahui taksa dan jumlah meiofauna, maka dilakukan proses identifikasi. Mengidentifikasi sampel menggunakan mikroskop binokuler dengan perbesaran 4x10. Buku identifikasi yang digunakan adalah Introduction to the
6 study of meiofauna (Higgins dan Thiel 1988) dan Meiobenthology the microscopic fauna in aquatic sediments (Giere 1993). Setelah diidentifikasi dan dicacah sampel dimasukkan ke dalam botol sampel yang diisi larutan gliserol, dan diberi label untuk digunakan penelitian lebih lanjut.
Prosedur Analisis Data Struktur Komunitas Lamun a. Kerapatan Jenis Lamun Kerapatan jenis lamun adalah jumlah total individu suatu jenis lamun dalam satu unit area yang dihitung. Kerapatan jenis lamun dihitung berdasarkan rumus (English et al 1997) sebagai berikut:
Keterangan : Di = Kerapatan jenis ke-i (ind/m2) Ni = Jumlah total individu jenis ke-i (ind) A = Luas area total pengambilan contoh (m2) b. Persentase Penutupan Jenis Lamun Persentase penutupan jenis lamun yaitu luasan area yang tertutupi oleh tumbuhan lamun. Penutupan lamun ditentukan berdasarkan rumus (English et al 1997) sebagai berikut :
Keterangan : Ci = Penutupan jenis ke-i (ind/m2) Mi = Persentase nilai tengah kelas ke-i Fi
= Frekuensi (jumlah jenis ke-i) = Jumlah total frekuensi jenis ke-i
Struktur Komunitas Meiofauna Data hasil identifikasi dan perhitungan yang diperoleh kemudian ditabulasi untuk dianalisis serta mengetahui kelimpahan, keanekaragaman, keseragaman, dominasi, dan kesamaan taksa meiofauna. a. Kelimpahan Kelimpahan adalah jumlah individu dalam satuan luas (Brower et al 1989), dengan formulasi :
7 Keterangan : D = Kelimpahan meiofauna (ind/m2) a = Jumlah meiofauna yang di hitung (individu) b = Luas lingkaran corer (cm2) nilai 10.000 adalah nilai konversi dari cm2 ke m2 b. Indeks Keanekaragaman (H’) Keanekaragaman jenis digunakan untuk mengetahui keanekaragaman hayati biota yang akan diteliti. Bila nilai indeks semakin tinggi, berarti komunitas biota perairan itu makin beragam dan tidak hanya didominasi oleh satu atau dua taksa saja. Keanekaragaman jenis ditentukan dengan Indeks Shannon–Wiener (Krebs 1972) yang persamaannya adalah sebagai berikut :
Keterangan : H’ = Indeks Keanekaragaman pi = ni / N ni = Jumlah individu pada taksa ke-i N = Jumlah individu seluruh taksa S = Jumlah taksa Kriteria hasil indeks keanekaragaman menurut Brower et al 1989 yaitu sebagai berikut : H’< 3.32 = Indeks keanekaragaman rendah artinya penyebaran jumlah individu tiap spesies dalam kestabilan komunitas rendah 3.32 < H’ < 9.97 = Indeks keanekaragaman sedang artinya penyebaran jumlah individu tiap spesies dalam kestabilan sedang atau moderat. H’ > 9.97 = Indeks keanekaragaman tinggi artinya penyebaran jumlah individu tiap spesies dalam kestabilan komunitas tinggi c. Keseragaman (E) Keseragaman digunakan untuk mengetahui pola penyebaran individu tiap taksa. Rumus indeks keseragaman (Index Evenness) ditentukan dengan persamaan (Krebs 1972) sebagai berikut:
Keterangan : E = Indeks keseragaman (Index Evenness) H’ = Indeks keanekaragaman Shanon & Wiener H maks = Keragaman maksimum (ln S) S = Banyaknya taksa (jumlah individu yang ditemukan) Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0 sampai 1. Indeks keseragaman mendekati 0 berarti penyebaran jumlah individu tiap taksa tidak sama dan cenderung terjadi dominasi jenis. Bila indeks keseragaman mendekati nilai 1 menunjukkan kecenderungan jumlah individu tiap taksa relatif sama dan tidak
8 terjadi dominasi jenis (Brower et al 1977). Penggolongan nilai keseragaman menurut Pielou (1977) adalah sebagai berikut : a) 0.00 – 0.25 tidak merata b) 0.26 – 0.50 kurang merata c) 0.51 – 0.75 cukup merata d) 0.76 – 0.95 hampir merata e) 0.06 – 1.00 merata d. Indeks Dominasi (D) Ada tidaknya dominasi dari suatu taksa tertentu yang ditentukan dengan indeks Simpson (Brower et al 1989) dengan persamaannya sebagai berikut :
Keterangan : D = Indeks dominansi Pi = ni/N ni = Jumlah individu dari taksa ke-i N = Jumlah keseluruhan dari individu Nilai indeks dominasi berkisar antara 0 hingga 1. Jika indeks dominasi mendekati 0 berarti hampir tidak ada taksa yang mendominasi dan biasanya diikuti dengan indeks keseragaman yang besar. Apabila indeks dominasi mendekati 1 berarti ada salah satu taksa yang mendominasi dan diikuti dengan nilai keseragaman yang semakin kecil (Odum 1997). Kriteria indeks dominasi dibagi kedalam tiga bagian menurut Legendre (1983) sebagai berikut : C < 0.4 = Dominasi rendah 0.4 < C < 0.6 = Dominasi sedang C > 0.6 = Dominasi tinggi e. Indeks Kesamaan Taksa (IS) Indeks Kesamaan taksa menggambarkan kesamaan taksa meiofauna di dua daerah yang berbeda, dihitung berdasarkan indeks kesamaan jenis Sorensen (Magurran 1988) sebagai berikut :
Keterangan : IS = Indeks kesamaan taksa Sorensen A = Jumlah taksa di Stasiun 1 B = Jumlah taksa di Stasiun 2 C = Jumlah taksa yang sama di kedua Stasiun 1 dan 2 Penilaian indeks kesamaan dalam penelitian ini ditentukan dengan : Jika IS < 50% maka dinyatakan berbeda Jika IS > 50% maka dinyatakan sama
9 Data hasil perhitungan tersebut kemudian ditabulasi untuk dapat mengetahui pola struktur komunitas meiofauna interstisial seperti komposisi, nilai keanekaragaman, keseragaman, kesamaan serta jenis yang mendominasi pada habitat padang lamun. Asosiasi antara jenis substrat dan keseragaman kelompok meiofauna interstisial dapat diketahui dengan membandingkan sampel substrat dengan jumlah ragam kelompok meiofauna yang ditemukan dalam substrat. Sedimen Analisis TOM sedimen bertujuan untuk mengetahui kandungan total bahan organik yang terdapat pada sedimen. Cara kerja untuk analisis TOM adalah sebagai berikut : a. Timbang cawan kosong guna mengetahui berat dari cawan. b. Masukkan sampel sedimen ke dalam cawan. c. Cawan yang telah berisi sampel dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 70 0 C selama 24 jam. d. Dinginkan sampel, kemudian ditimbang untuk mendapatkan nilai berat kering sampel. e. Masukkan ke dalam tanur untuk proses pengabuan dengan suhu 600 0C selama 4 jam. f. Timbang kembali dan hasilnya dikurangi dengan berat cawan untuk mendapatkan nilai berat pengabuan. Selanjutnya hitung persentase berat TOM dengan rumus :
Analisis fraksi sedimen (grain size) dan TOM sedimen dilakukan di Laboratorium. Analisis ukuran fraksi sedimen ditujukan untuk mengetahui komposisi sedimen. Cara kerja untuk analisis fraksi sedimen adalah sebagai berikut: a. Sampel dikeringkan menggunakan oven 70 °C selama 24 jam. b. Sampel disaring menggunakan saringan bertingkat. c. Timbang sampel yang sudah disaring dari mulai ukuran 2 - 0.063 mm. d. Substrat yang telah diketahui persentasenya tersebut selanjutnya dianalisis dan ditentukan tipe substratnya. Hubungan Meiofauna dengan Karakteristik Fisika Kimia Substrat dan Vegetasi Lamun Adanya interaksi suatu organisme dengan karakteristik habitat tertentu dapat dipakai sebagai indikasi hadir tidaknya organisme tersebut pada suatu tempat dengan kepadatan yang tertentu pula. Untuk menentukan hubungan meiofauna dengan karakteristik fisika-kimia substrat dan vegetasi lamun digunakan suatu pendekatan analisis stastistik multivariabel yang didasarkan kepada Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) (Legendre 1983) ( Bengen et al 1998). Analisis komponen utama adalah metode statistik deskriptif yang digunakan untuk mempresentasikan data dalam bentuk grafik informasi maksimun yang terdapat dalam suatu matrik data. Matrik data yang dimaksud terdiri dari stasiun
10 penelitian sebagai individu (baris), meiofauna, karakteristik fisika-kimia substrat dan vegetasi lamun sebagai variabel (kolom). Analisis Komponen Utama menggunakan indeks yang menunjukkan ragam stasiunnya yang maksimum. Indeks ini disebut komponen utama pertama yang merupakan sumbu utama 1 (F1). Suatu proporsi tertentu dari ragam total stasiun yang dijelaskan oleh komponen utama pertama. Selanjutnya dicari komponen utama kedua (F2) yang memiliki korelasi nihil dengan komponen utama pertama. Komponen utama kedua memberikan informasi terbesar kedua sebagai pelengkap komponen utama pertama. Proses ini berlanjut terus hingga komponen ke-p, yaitu menuju pada bagian informasi yang semakin kecil. Prinsip Analisis Komponen Utama menggunakan pengukuran jarak Euclidiean, yaitu jumlah kuadrat antara stasiun untuk parameter yang berkoresponden pada data jarak Euclidan yang didasarkan pada rumus :
Keterangan : d2 = jarak Euclidiean i,i’ = dua stasiun pada baris j = kelimpahan meiofauna, parameter fisika-kimia substrat dan vegetasi lamun pada kolom (bervariasi dari 1 hingga p) Analisis komponen utama tidak menghasilkan dua grafik yang independen, akan tetapi hanya satu grafik unik dimana baris dan kolom dipresentasekan pada yang sama. Analisis komponen utama menggunakan software MiniTab.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Fisika dan Kimia Perairan di Pulau Pramuka Stasiun penelitian berada di Pulau Pramuka yang ada di Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Stasiun 1 terletak disebelah Selatan dan Stasiun 2 terletak di Tenggara Pulau Pramuka. Kondisi fisika-kimia perairan mempengaruhi segala bentuk kehidupan yang ada di dalamnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kondisi lingkungan di padang lamun Pulau Pramuka masih cukup baik. Nilai parameter fisika-kimia perairan yang tercatat di dua stasiun penelitian tidak memiliki kisaran perbedaan yang cukup signifikan dan dapat dikatakan cukup mendukung kehidupan meiofauna interstisial. Parameter fisika kimia pada stasiun penelitian meliputi kecerahan, kedalaman, suhu, salinitas, pH, Dissolved Oxygen (DO), nitrat, dan ortofosfat yang dapat dilihat pada Tabel 2.
11 Tabel 2 Parameter fisika kimia di masing – masing stasiun penelitian Lokasi NO Parameter Fisika Kimia Stasiun 1 Stasiun 2 1. Kecerahan (%) 100 100 2. Kedalaman (cm) 25 – 15 35 – 40 3. Suhu (oC) 28 – 30 27 – 29 4. Salinitas (‰) 31.7 31.4 5. pH 7 7 6. DO (mg/l) 7.5 5.5 7. Nitrat (mg/l) 0.105 0.087 8. Ortofosfat (mg/l) 0.021 0.019 Nilai kecerahan di stasiun penelitian memiliki nilai yang sama yaitu 100%, hal tersebut terlihat dari substrat dasar perairan yang terlihat dengan jelas. Hal ini juga yang menyebabkan penetrasi cahaya matahari masih dapat menembus hingga dasar perairan. Semakin rendah intensitas cahaya matahari yang masuk dalam kolom perairan mengakibatkan semakin rendah laju fotosintesis. Padang lamun membutuhkan intensitas cahaya matahari yang tinggi untuk membantu proses fotosintesis. Cahaya merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan produksi lamun di perairan pantai yang keruh (Hutomo 1997). Umumnya lamun membutuhkan kisaran tingkat kecerahan 4 – 29% untuk dapat tumbuh dengan rata-rata 11% (Hemminga dan Duarte 2000). Kedalaman perairan pada stasiun penelitian kurang dari 1 meter. Kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal. Lamun hidup pada daerah perairan dangkal yang masih dapat dijumpai sampai kedalaman 40 meter dengan penetrasi cahaya yang masih baik (Hemminga dan Duarte 2000). Semakin dalam suatu perairan maka intensitas cahaya matahari untuk menembus dasar perairan menjadi terbatas dan kondisi ini akan menghambat laju fotosintesis lamun di dalam air. Hasil pengukuran suhu perairan di masing – masing stasiun selama penelitian berkisar antara 27 – 30 ⁰C. Kisaran nilai tersebut memperlihatkan bahwa suhu perairan di stasiun penelitian berada dalam kisaran suhu normal untuk daerah tropis. Suhu yang optimum untuk perkembangan meiofauna adalah 20 – 30 ⁰C, hal ini menunjukkan bahwa kisaran suhu diperairan Pulau Pramuka dapat mendukung kehidupan meiofauna (Heip et al 1985). Suhu merupakan faktor penting bagi kehidupan organisme di perairan khususnya lautan, karena pengaruhnya terhadap aktivitas metabolisme dari organisme tersebut. Suhu mempengaruhi proses fisiologi yaitu fotosintesis, laju respirasi, dan pertumbuhan. Lamun dapat tumbuh pada kisaran 5 – 35 ⁰C, dan tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25 – 30 ⁰C (Marsh et al 1986) sedangkan pada suhu di atas 45 ⁰C lamun akan mengalami stres dan dapat mengalami kematian (McKenzie 2008). Hasil pengukuran salinitas pada stasiun penelitian berada pada kisaran nilai optimum yaitu 31.4‰ – 31.7‰. Besarnya nilai salinitas pada stasiun penelitian dapat dipengaruhi oleh faktor yaitu intensitas curah hujan, penguapan pada permukaan perairan dan pasang surut. Keberadaan meiofauna pada setiap stasiun dapat beradaptasi terhadap nilai salinitas yang tinggi yang dilakukan dengan cara mengubah cairan tubuhnya sesuai dengan konsentrasi garam di luar tubuhnya
12 (Zulkifli 2008). Kisaran nilai salinitas pada stasiun penelitian termasuk nilai yang optimum untuk pertumbuhan meiofauna. Nilai pH atau derajat keasaman pada stasiun penelitian tidak bervariasi yaitu 7. Derajat keasaman merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan meiofauna, hal ini sesuai dengan pernyataan Odum (1997) yaitu, umumnya derajat keasaman atau pH perairan berkisar antara 4 – 9 masih layak untuk kehidupan biota air termasuk meiofauna karena pH berperan dalam pengaturan respirasi dan sistem enzim. Fluktuasi pH dipengaruhi oleh fotosintesa dan dekomposisi bahan organik. Nilai pengukuran DO pada stasiun penelitian berkisar antara 5.5 - 7.5 mg/l. Kandungan DO di suatu peraiaran sangat terkait dengan proses fotosintesis dan sumberdaya lamun serta biota yang hidup di sekitar padang lamun. Parameter DO di lokasi penelitian dapat memenuhi kriteria yang baik bagi biota laut yaitu > 5 mg/l (Kep. MENLH No.51 Tahun 2004) Hasil pengukuran konsentrasi nitrat (NO3-N) dan ortofosfat (PO4-P) pada stasiun penelitian berkisar antara 0.087 – 0.105 mg/l dan 0.019 – 0.021 mg/l. Nitrat merupakan bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Menurut MenLH (2004) baku mutu untuk nitrat adalah sebesar 0.008 mg/l. Apabila kadar nitrat lebih dari 0.2 mg/l, maka akan terjadi pengayaan organik dalam perairan yang selanjutnya memicu pertumbuhan alga secara pesat (blooming). Jika kadar nitrat lebih dari 5 mg/l mengindikasikan bahwa terjadinya pencemaran antropogenik yang berasal dari aktifitas manusia dan tinja hewan, namun nitrat tidak bersifat toksik terhadap organisme akuatik (Effendi 2003). Ditinjau dari kadar zat hara fosfat di perairan Pulau Pramuka, dapat dikatakan bahwa perairan ini relatif subur karena masih berada pada kisaran zat hara fosfat di perairan laut yang normal yaitu 0.10 – 1.68 µg A/l (Sutamihardja 1978). Kep. MENLH No.51 Tahun 2004 menetapkan ambang batas kandungan ortofosfat untuk kehidupan biota laut sebesar 0.015 mg/l. Hal ini berarti nilai yang didapat menunjukkan bahwa nilai tersebut masih dapat atau masih memenuhi untuk kehidupan biota laut. Karakteristik Fisika – Kimia Substrat Padang Lamun di Pulau Pramuka Kehidupan organisme perairan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisika, kimia maupun biologi. Penyebaran hewan meiofauna erat sekali hubungannya dengan kondisi perairan dimana organisme ini ditemukan dan dipengaruhi oleh parameter fisika dan kimia lingkungan seperti tekstur sedimen dan kandungan bahan organik pada sedimen. Sedimen padang lamun mempunyai kandungan bahan organik, konsentrasi kloropigmen dan biomassa bakteri yang tinggi (Danovaro dan Gambi 2002 dalam Zulkifli 2008). Hasil pengukuran beberapa parameter fisika dan kimia sedimen dasar yang meliputi tekstur sedimen, C-organik dan TOM (Bahan Organik Total) disajikan pada Gambar 2 dan 3.
13
Gambar 2 Karakteristik Fisika Sedimen di Padang Lamun Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian, diketahui bahwa pasir sedang mendominasi komposisi sedimen di seluruh titik pada stasiun penelitian. Jenis sedimen di lokasi penelitian sangat penting diketahui, karena merupakan faktor pembatas penyebaran meiofauna. Jenis sedimen ini erat kaitannya dengan konsentrasi oksigen dan ketersediaan bahan organik dalam sedimen. Menurut Zulkifli (2008) pada sedimen berbutir kasar (berpasir), konsentrasi oksigen relatif lebih besar dibandingkan dengan sedimen yang lebih halus (berlumpur). Hal ini disebabkan oleh sedimen berbutir kasar terdapat pori udara yang memungkinkan terjadinya percampuran yang lebih intensif dengan air diatasnya. Pada tipe sedimen yang mendominasi Stasiun 1 adalah pasir berbutiran sedang sebanyak 49.03%, baru diikuti oleh pasir kasar (35.50%), pasir halus (10.43%), pasir (3.88% ) dan debu sebanyak 1.16%. Stasiun 2 memiliki komposisi sedimen yang tidak jauh berbeda dengan Stasiun 1 yaitu komposisi sedimen yang mendominasi adalah pasir sedang sebesar 47.78%, pasir kasar 25.60%, pasir halus 23.48%, debu 2.61% dan pasir 0.53% (Lampiran 5). Komposisi butiran sedimen juga mempengaruhi jenis meiofauna interstisial yang berada di padang lamun. Pada Stasiun 1 dan 2 jenis meiofauna yang paling banyak ditemukan adalah Filum Nematoda, hal ini dipengaruhi oleh komposisi sedimen. Stasiun 1 dan 2 mempunyai kandungan pasir sedang/kerikil yang paling tertinggi (Gambar 2). Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa keragaman Nematoda tinggi pada sedimen kasar (Gourbault et al 1995) (Steyaert et al 1999) Kandungan bahan organik (C-organik dan TOM) dalam sedimen erat kaitannya dengan jenis sedimen. Jenis sdimen yang berbeda akan mempunyai kandungan bahan organik yang berbeda pula. Hasil pengukuran karakteristik kimia sedimen yaitu C-organik dan TOM (Bahan Organik Total) dapat dilihat pada Gambar 3.
14
Gambar 3 Karakteristik Kimia Sedimen di Padang Lamun Berdasarkan hasil penelitian kandungan C-organik pada lokasi penelitian berkisar antara 0.24% - 0.32% (Lampiran 5). Keberadaan kandungan bahan organik terkait dengan ukuran partikel sedimen. Pada sedimen halus, persentase bahan organik lebih tinggi daripada sedimen kasar (Koster dan Meyer-Reil 2001). Kandungan C-organik yang paling tinggi berada pada Stasiun 1 sebesar 0.32%, hal ini dikarenakan kandungan sedimen di Stasiun 1 memiliki persentase paling tinggi dan kelimpahan meiofauna yang tinggi. Kandungan C-organik yang rendah berada pada Stasiun 2 dengan nilai C-organik sebesar 0.24%. Bahan organik yang tersedimentasi merupakan sumber makanan bagi meiofauna, jasad renik dan organisme bentos lainnya. Menurut Libes (1992) organisme tersebut mampu mengubah karakteristik fisika, kimia dan geologi sedimen. Hasil pengukuran TOM pada stasiun peneletian yaitu 0.41% - 0.55% (Lampiran 5). Bervariasinya nilai TOM sedimen pada stasiun penelitian berkaitan dengan tipe sedimen, kondisi lingkungan serta berhubungan dengan sumbernya. Keberadaan nilai TOM yang tinggi pada Stasiun 1 disebabkan oleh adanya faktor yang berperan sebagai pensuplai bahan organik dalam jumlah besar. Sumber utama bahan organik sedimen di ekosistem padang lamun adalah jaringan tumbuhan lamun, baik yang berupa serasah maupun sisa – sisa tumbuhan lamun yang setiap tahunnya dapat tersedia dalam jumlah besar, serta adanya suplai bahan organik dari sungai dan ekosistem mangrove di sekitarnya. Batang dan akar tumbuhan lamun akan terombak oleh meiofauna dan jasad renik yang akhirnya akan menjadi komponen sedimen. Dengan demikian jaringan tumbuhan lamun merupakan makanan bagi meiofauna dan jasad renik sedimen. Sementara, rendahnya nilai TOM sedimen di Stasiun 2 disebabkan oleh tidak adanya faktor – faktor yang berperan sebagai pensuplai bahan organik dalam jumlah besar ke lokasi tersebut. Nybakken dan Bertness (2005) menyatakan bahwa sedimen berpasir umumnya mempunyai kandungan bahan organik lebih sedikit dibandingkan dengan sedimen berlumpur.
15 Karakteristik Vegetasi Lamun Berdasarkan hasil pengamatan di stasiun penelitian ditemukan 5 jenis lamun yang tersebar di dua stasiun penelitian. Vegetasi lamun di Pulau Pramuka termasuk vegetasi campuran (mixed seagrass beds), hal ini terlihat adanya asosiasi antara dua atau tiga jenis lamun pada beberapa transek kuadran pengambilan data. Padang lamun di perairan Indonesia umumnya termasuk padang lamun vegetasi campuran (Nienhuis et al 1989). Jenis lamun yang ditemukan di perairan Pulau Pramuka yaitu Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Thalasia hemprichii, Halodule uninerys, Syringodium isoetifolium. Jenis lamun Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii paling mendominasi kerapatan lamun di Stasiun 1 dan 2. Hal ini sesuai dengan penelitian Azkab (2006) bahwa tercatat terdapat kurang lebih 12 jenis lamun di perairan Indonesia yang termasuk dalam 7 genera dan 2 famili. Jenis Cymodocea rotundata dan Thalasia hemprichii merupakan jenis lamun yang juga ditemukan di Pulau Pramuka. Kerapatan Lamun Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil kerapatan lamun dari setiap stasiun. Hasil Kerapatan lamun di Pulau Pramuka dapat disajikan pada Gambar 4.
(a)
(b) Gambar 4 Kerapatan Lamun di Pulau Pramuka, (a) Stasiun 1 (b) Stasiun 2
16
Dua jenis lamun yang ditemukan pada Stasiun 1, yakni Cymodocea rotundata dengan kerapatan paling tinggi sebesar 99% dan Enhalus acoroides dengan kerapatan hanya 1% (Lampiran 6). Jenis lamun Thalasia hemprichii, Halodule uninerys, Syringodium isoetifolium tidak ditemukan di Stasiun 1. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang berbeda, yakni pada Stasiun 1 kondisi perairannya dangkal dan komposisi substrat sedimen kasar yang mengandung banyak patahan karang. Menurut Kiswara (1997) bahwa lamun jenis Syringodium isoetifolium dapat tumbuh subur pada perairan yang selalu tergenang oleh air dan sulit tumbuh di daerah yang dangkal. Pada Stasiun 2 ditemukan 5 jenis lamun yaitu Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Thalasia hemprichii, Halodule uninerys, Syringodium isoetifolium, dengan kerapatan tertinggi pada jenis Thalassia hemprichii sebesar 50 % (Lampiran 6). Kerapatan rata-rata lamun terendah ditemukan di Stasiun 1, hal ini dikarenakan sedikitnya jenis lamun yang terukur pada plot pengambilan data di stasiun tersebut serta perbedaan kerapatan jenis lamun setiap stasiun yang disebabkan oleh perbedaan kondisi faktor lingkungan di setiap stasiun penelitian. Sedikitnya jenis lamun yang ditemukan pada Stasiun 1 juga disebabkan oleh jenis substratnya. Stasiun 1 didominasi oleh substrat hamparan karang mati dan rubble yang memungkinkan lamun sulit tumbuh, meskipun lamun dapat tumbuh pada dasar lumpur, pasir, dan kerikil karang diantara karang hidup, cekungan batu karang maupun pada dasar dan lumpur di bawah naungan mangrove (Kiswara dan Winardi 1994). Persentase Penutupan Lamun Persentase penutupan lamun menggambarkan luas daerah yang tertutupi oleh lamun. Nilai penutupan tidak hanya bergantung pada kerapatan jenis lamun, namun dipengaruhi juga oleh morfologi jenis lamun tersebut. Persentase penutupan lamun merupakan suatu metode untuk melihat status dan untuk mendeteksi perubahan dari sebuah vegetasi (Hemminga dan Duarte 2000). Hasil persentase penutupan lamun di Pulau Pramuka disajikan pada Gambar 5.
(a)
17
(b) Gambar 5 Penutupan Lamun di Pulau Pramuka, (a) Stasiun 1 (b) Stasiun 2 Berdasarkan hasil penelitian bahwa penutupan lamun di Stasiun 1 yang tertinggi adalah Cymodocea rotundata sebesar 98% dan Enhalus acoroides memiliki persentase penutupan relatif terendah sebesar 1% (Lampiran 4). Hal ini dikarenakan bahwa Cymodocea rotundata mempunyai pengaruh paling besar dan dominan di Stasiun 1. Menurut Tomascik et al (1997) jenis lamun Cymodocea rotundata mampu hidup pada daerah dangkal yang tertutup karang dan mempunyai toleransi yang tinggi pada daerah tidak terendam air. Oleh karena itu lamun jenis ini memiliki kerapatan dan penutupan yang cukup tinggi di Stasiun 1. Pada Stasiun 2 Thalasia hemprichii merupakan jenis lamun yang memiliki persentase penutup lamun tertinggi yaitu sebesar 53%. Penutupan relatif terendah di Stasiun 2 adalah jenis lamun Syringodium isoetifolium sebesar 5% (Lampiran 6), hal ini dikarenakan Thalassia hemprichii adalah jenis lamun yang paling dominan dan memiliki luas persebaran terbanyak di Stasiun 2. Secara umum, Thalassia hemprichii memiliki penutupan paling tinggi karena merupakan jenis yang umum ditemui dan tersebar luas di seluruh perairan Indonesia, termasuk di Pulau Pramuka serta kemampuan tumbuhnya di berbagai macam tipe substrat seperti pasir berlumpur, pasir berukuran sedang dan kasar, hingga pecahan karang mati (Taka dan Azkab 2010).
Komunitas Meiofauna Interstisial di Pulau Pramuka Berdasarkan hasil identifikasi meiofauna interstisial yang ditemukan pada substrat padang lamun Pulau Pramuka terdiri dari 6 filum, 8 kelas, 22 ordo, 50 famili dan 55 genera. Hasil yang diperoleh dari perhitungan total dari ke dua stasiun menunjukkan terdapat 8 kelas meiofauna dari 6 filum, yakni kelas Polychaeta dan Clitellta dari Filum Annelida masing - masing terdiri dari 13 jenis dan 1 jenis; Malacostraca dari Filum Arthropoda (7 jenis); Insecta dari Filum Hexapoda (1 jenis); Adenophorea dari Filum Nematoda (15 jenis); Ostracoda dan Maxillophoda dari Filum Crustacea (3 jenis dan 9 jenis), Acoelomorpha dari Filum Xenacoelomorpha (1jenis) (Lampiran 7 dan 8).
18 Nematoda merupakan kelompok meiofauna interstisial yang mendominasi baik jumlah jenis maupun kelimpahan jumlah individu di seluruh lokasi penelitian. Hal ini dikarenakan kesesuaian habitat dan adanya beberapa keunggulan yang dimiliki oleh Nematoda, seperti keunggulan morfologi, fisiologi dan perilaku. Nematoda hidup dengan tipe habitat yaitu habitat lumpur berpasir dan lumpur yang kaya akan bahan organik. Biasanya habitat lumpur berpasir dan lumpur kaya bahan organik memiliki kadar oksigen rendah atau miskin oksigen. Menurut Higgins dan Thiel (1998) dan Giere (1993), Nematoda cukup toleran dan dapat beradaptasi dengan baik dengan kondisi kadar oksigen rendah atau miskin oksigen. Selain itu, Nematoda juga banyak ditemukan di habitat berpasir, hal ini sesuai dengan melimpahnya jumlah individu yang terdapat di stasiun penelitian. Polychaeta merupakan kelompok meiofauna interstisial yang menempati urutan kedua komposisi terbanyak di lokasi penelitian. Komposisi Polychaeta yang cukup besar dikarenakan beberapa faktor yang mendukung keberadaannya, yakni bentuk tubuh, sistem pencernaan dan adaptasi fisiologi pada Polycaheta. Menurut Nybakken dan Bertness (2005) bahwa Kelas Polychaeta sebagai organisme penggali dan pemakan deposit cenderung melimpah pada sedimen lumpur lunak, dikarenakan habitat lumpur lunak merupakan daerah yang banyak mengandung bahan organik sehingga sumber makanan bagi Polychaeta mencukupi. Beberapa Polychaeta menempati celah-celah sedimen, yaitu dengan cara menggali sedimen lunak dengan mendorong partikel-partikel sedimen untuk membuat tempat tinggalnya (Westbeide 1988) (Funch et al 2002). Kelimpahan Meiofauna Kelimpahan merupakan perbandingan antara kelimpahan individu tiap jenis dengan keseluruhan individu yang ditemukan dalam suatu komunitas (Hawkes 1978). Hasil identifikasi meiofauna dari dua stasiun penelitian dalam kawasan perairan Pulau Pramuka terdiri atas 50 famili meiofauna dengan kelimpahan individu sebesar 68651 ind/m2. Dari jumlah total famili meiofauna yang ada di stasiun penelitian tidak semuanya ada di setiap stasiun. Famili Bathynellidae, Ampithoidae, Canuellidae, Expanathuridae, Hesionidae (Lampiran 10), Ingolfiellidae, Microcerberidae, Parergodrilidae, Pasiphaeidae, Tanaidae tidak ditemukan pada Stasiun 1 akan tetapi famili tersebut dapat ditemukan pada Stasiun 2, sedangkan Famili Desmoscolecidae, Oweniidae, Tripyloididae, tidak ditemukan di Stasiun 2 (Gambar 6). Perbedaan keberadaan famili meiofauna disetiap stasiun dipengaruhi habitat dari setiap famili meiofauna.
Gambar 6 Kelimpahan Meiofauna di Pulau Pramuka
19
20 Menurut Zulkifli (2008) tipe habitat, kedalaman sedimen dan musim berperan penting dalam menentukan komunitas meiofauna interstisial. Perbedaan kondisi padang lamun berpengaruh terhadap terjadinya perbedaan komunitas meiofauna interstisial di habitat tersebut. Komposisi genus dan kelimpahan individu meiofauna dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor fisika, kimia dan biologi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rosa dan Bemvenuti (2005) bahwa faktor-faktor tersebut di antaranya ukuran parikel sedimen, suhu, dan arus (faktor fisika), salinitas, oksigen, pH dan EH sedimen, dan bahan organik sedimen (faktor kimia), bioturbasi dan pemangsaan/predator (faktor biologi). Famili meiofauna yang memiliki kelimpahan famili yang tertinggi di Pulau Pramuka yaitu Famili Oxystominidae (Lampiran 10) dengan nilai kelimpahan sebesar 6960 ind/m2 (Gambar 6). Famili Oxystominidae memiliki kelimpahan meiofauna yang tinggi (Lampiran 7 dan 8), Famili Oxystominidae merupakan bagian dari Filum Nematoda. Menurut Danovaro et al (2002) bahwa laju produksi harian meiofauna mengalami peningkatan pada bulan Fabruari - Maret (21.3 mgC/m2/hari), Mei - Juni (31.4 mgC/m2/hari), dan Oktober - Desember (44.6-52.0 mgC/m2/hari). Jika dibandingkan dengan hasil penelitian lainnya di wilayah Indonesia, maka perairan pantai Kuta Lombok Tengah tercatat hanya 6 taksa dengan kelimpahan tertinggi adalah kelompok Nematoda, Foraminifera, Copepoda, Ostracoda, Turbellaria dan Polychaeta (Susetiono 1994 dalam Zulkifli 2008). Di perairan Pulau Pari pada substrat padang lamun ditemukan 8 kelompok meiofauna yaitu kelompok Nematoda yang memiliki kelimpahan terbanyak, kemudian diikuti oleh kelompok Polychaeta, Oligochaeta, Copepoda, Amphipoda, Foraminifera, Gnathostomulida dan Turbellaria (Trisnawati 2012) Keanekaragaman Meiofauna Indeks keanekaragaman merupakan perbandingan antara jumlah marga dengan jumlah total individu dalam suatu komunitas.
Gambar 7 Indeks Keanekaragaman Meiofauna di Pulau Pramuka
21 Indeks keanekaragaman yang digunakan dalam penelitian ini yaitu indeks keanekaragaman yang menggambarkan keadaan populasi organisme secara matematis agar mempermudah menganalisa informasi jumlah individu masingmasing jenis pada suatu komunitas. Stasiun 2 memiliki keanekaragaman meiofauna yang lebih tinggi dari pada Stasiun 1. Indeks keanekaragaman jenis meiofauna interstisial berkisar antara 4.371 – 4.753 ind/m2 (Gambar 7). Nilai keanekaragaman meiofauna pada Stasiun 2 sebesar 4.753 ind/m2 dan pada Stasiun 1 nilai keanekaragamannya sebesar 4.371 ind/m2. Indeks keanekaragaman meiofauna pada kedua stasiun penelitian dikategorikan sedang, karena nilai H’ yang diperoleh berada diantara 3.32 < H’ < 9.97 . Nilai H’ 3.32 < H’ < 9.97 menunjukkan keanekaragaman sedang (Brower et al 1989). Indeks keanekaragaman sedang artinya penyebaran jumlah individu tiap spesies dalam kestabilan sedang atau moderat. Hal ini terjadi karena jumlah jenis dari meiofauna di stasiun penelitian memiliki proporsi jumlah kepadatan sedang yang menyusun komunitas. Indeks Keseragaman Meiofauna Indeks keseragaman adalah indeks yang menunjukkan tingkat keseragaman individu tiap spesies di dalam suatu komunitas (Hawkes 1978). Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0 sampai dengan 1. Jika indeks keseragaman mendekati 0, maka semakin kecil pula keseragaman biotanya sehingga dalam ekosistem tersebut ada kecenderungan terjadi dominasi spesies tertentu. Semakin besar nilai keseragaman yaitu mendekati 1 dapat diartikan bahwa dalam komunitas tersebut tidak didominasi oleh satu spesies. Hal ini menunjukkan bahwa ekosistem dalam kondisi yang relatif baik, yaitu jumlah individu tiap spesies relatif sama (Odum 1997).
Gambar 8 Nilai Keseragaman Meiofauna di Pulau Pramuka Indeks keseragaman meiofauna pada kedua stasiun penelitian memiliki nilai kemerataan hampir merata dengan nilai E’ berada diantara 0.76 – 0.95 (Pielou 1977). Apabila nilai indeks keseragaman 1 atau mendekati 1, maka pada
22 komunitas tersebut memiliki persebaran jenis atau kelompok yang merata. Semakin tinggi nilai indeks keanekaragaman jenis atau kelompok, maka semakin merata persebarannya (Magurran 1988 dalam Trisnawati 2012). Dominasi Meiofauna Indeks dominasi merupakan indeks yang digunakan untuk memperoleh informasi mengenai jenis meiofauna yang mendominasi pada suatu komunitas pada setiap habitat. Berdasarkan nilai indeks dominasi pada stasiun peneltian berkisar antara 0.046 – 0.068 (Gambar 9).
Gambar 9 Nilai Dominasi Meiofauna di Pulau Pramuka Staiun 1 memiliki nilai dominasi sebesar 0.068 dan Stasiun 2 sebesar 0.046, Stasiun 1 memiliki dominasi yang lebih besar dibandingkan dengan stasiun 2 (Gambar 9). Indek dominasi meiofauna pada kedua stasiun penelitian memiliki nilai dominasi rendah, karena nilai C yang diperoleh adalah C < 0.4. Nilai indeks dominasi C < 0.4 menunjukkan nilai indeks dominasi rendah (Legendre 1983). Hal ini menandakan bahwa komunitas meiofauna di Pulau Pramuka berada dalam kondisi stabil dan tidak ada dominasi oleh suatu jenis spesies dalan komunitas. Nilai indeks dominasi berkisar antara 0 – 1, nilai indeks dominasi yang mendekati 0 berarti hampir tidak ada dominasi oleh suatu jenis spesies dalam komunitas. Nilai indeks dominasi yang mendekati 1 berarti ada dominasi oleh suatu spesies dalam komunitas tersebut (Odum 1997) Indeks Kesamaan Taksa (IS) Indeks kesamaan taksa digunakan untuk mengetahui kesamaan taksa meiofauna di dua daerah yang berbeda. Nilai indeks kesamaan taksa pada lokasi penelitian memiliki nilai sebesar 85.057% (Lampiran 11). Indeks kesamaan taksa meiofauna pada kedua stasiun penelitian dinyatakan sama, karena nilai IS yang diperoleh > 50%.
23 Hubungan Meiofauna dengan Karakteristik Fisika-Kimia Substrat dan Vegetasi Lamun Hubungan antara meiofauna dengan karakteristik fisika-kimia substrat dan vegetasi lamun menggunakan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) yang dapat dilihat hasilnya pada Gambar 10. Parameter yang digunakan dalam analisis PCA adalah kelimpahan meiofauna, kerapatan vegetasi lamun dan parameter fisika-kmia substrat (pasir, debu dan TOM). Hasil analisis ini dapat mengeksplorasi hubungan antara meiofauna dengan karakteristik fisika-kimia substrat dan vegetasi lamun di stasiun penelitian di perairan Pulau Pramuka.
Gambar 10 Hasil Analisis Komponen Utama (PCA) antara Kelimpahan Meiofauna dengan Karakteristik Fisika-Kimia Substrat dan Vegetasi Lamun Hubungan antara garis dengan parameter yang memiliki korelasi positif tinggi akan digambarkan sebagai dua buah garis dengan arah yang sama atau membentuk sudut kecil, sementara itu parameter yang memiliki korelasi negatif tinggi akan digambarkan dalam bentuk dua garis dengan arah berlawanan atau membentuk sudut lebar. Parameter yang tidak berkorelasi akan digambarkan dalam bentuk dua garis dengan sudut mendekati 90° (siku-siku). Berdasarkan hasil analisis PCA pada Stasiun 1, menunjukkan korelasi positif tinggi yaitu dengan adanya hubungan antara garis yang membentuk sudut kecil pada parameter kelimpahan meiofauna, kerapatan vegetasi lamun dan parameter fisikakimia substrat (pasir dan TOM) (Lampiran 9). Hal ini menunjukkan bahwa kelimpahan meiofauna memiliki hubungan yang erat dengan parameter fisikakimia substrat, yakni kelimpahan meiofauna yang tinggi dijumpai pada substrat berpasir dengan kandungan TOM yang tinggi, serta ditumbuhi lamun meskipun tidak rapat. Melimpahnya meiofauna pada Stasiun 1 juga disebabkan oleh adanya
24 faktor yang berperan sebagai pensuplai bahan organik dalam jumlah besar. Sumber utama bahan organik sedimen di ekosistem padang lamun adalah jaringan tumbuhan lamun, baik yang berupa serasah maupun sisa – sisa tumbuhan lamun. Sebaliknya pada Stasiun 2 menunjukkan korelasi negatif tinggi yaitu dengan adanya hubungan antara garis yang membentuk sudut melebar pada parameter fisika-kimia substrat (debu) (Lampiran 9). Pada Stasiun 2 tidak ada keterkaitan antara kelimpahan meiofauna dengan parameter fisika – kimia substrat dan vegetasi lamun, hal ini disebabkan oleh tidak adanya faktor – faktor yang berperan sebagai pensuplai bahan organik dalam jumlah besar ke lokasi yang berfungsi sebagai sumber makanan bagi meiofauna. Hal ini dikarenakan kondisi lapang yang berbeda ditinjau dari jenis substrat pada stasiun penelitian.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Meiofauna interstisial yang ditemukan pada substrat padang lamun di Pulau Pramuka terdiri dari 6 filum, 8 kelas, 22 ordo, 50 famili dan 55 genera. Famili meiofauna yang mendominasi di stasiun penelitian yaitu Oxystominidae yang merupakan bagian dari Filum Nematoda. Kelimpahan meiofauna memiliki hubungan yang erat dengan parameter fisika-kimia substrat, jika parameter fisikakimia substrat meningkat maka kelimpahan meiofauna meningkat pula. Substrat dengan karakteristik fisika-kimia lingkungan akan mempengaruhi keberadaan jenis meiofauna yang hidup diantara rongga-rongga sedimen.
Saran Perlu dilakukannya penelitian mengenai meiofauna berdasarkan tingkat kedalaman substrat lamun yang dipisahkan atas beberapa lapisan kedalaman, yaitu 0 - 5 cm, 5 - 10 cm dan 10 – 15 cm. Dengan demikian, dapat diketahui distribusi meiofauna di setiap kedalaman substrat. Selain itu perlu diteliti lebih lanjut mengenai taksonomi meiofauna hingga tingkat spesies dan karakteristik masingmasing dari jenis meiofauna interstisial.
25
DAFTAR PUSTAKA Azkab MH. 2006. Ada apa dengan lamun. Oseana. 31(3) : 45-55. Brower J, J Zar, CN von Ende. 1989. Field and laboratory methods for general ecology. Brown Company Publisher Brower JE, JH Zar. 1977. Fields and laboratory methods for general ecology. Wn. C. Brown Publs, Dubuque, USA. Danovaro R, Fraschetti S. 2002. Meiofaunal vertical zonation on hard-bottoms: comparison with soft-bottom meiofauna. Mar Ecol Progr Ser 230:159-169 Danovaro R, Gambi C, Mirto S. 2002. Meiofaunal production and energy transfer efficiency in a seagrass Posidonia oceanica bed in the Western Mediterranean. Mar Ecol Progr Ser 234:95-104 Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelola Sumberdaya dan Lingkungan Perairan.Yogyakarta (ID).Penerbit Kanisius EnglishS, Wilkinson, C, Baker V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources, 2nd Edition. Townsville: Australian Institute of Marine Science Funch P, Nielsen NEK, Graf S, Buttler F. 2002. Marine meiofauna. [Internet]. [Waktu dan tempat tidak diketahui]. [diunduh 2014 mei 2010]. Tersedia pada http://www.uft.uni-bremen.de/oekologie/Meiofauna Report.pdf Giere O. 1993. Meiobenthology: The microscopic fauna in aquatic sediment. Spinger- Verlag. Berlin. Gourbault A, Warwick RM, Helleouet MN. 1995. A survey of intertidal meiobenthos (especially Nematoda) in coral sandy beaches pf Moorea (French Polynesia). Bull Mar Sci. 57:476-488 Hawkes A. 1978. Invertebrate as Indicator of river Water Quality. In: A. James and L. Evinson (Eds). Biological Indocators of Water Qualiti John Wiley and Sons. Toronto. Heip C, M Vincx, G Vranken. 1985. The ecology of marine nematodes. Oceanogr Mar. Bio. Ann. Rev. 21: 67-175 Hemminga MA, CM Duarte. 2000. Seagrass ecology. Cambridge (UK).Cambridge University Press. Higgins RP, H Thiel. 1988. Prospectus. Dalam Higgins R.P, & Thiel, H. (ed). Introduction to the study of meiofauna. London: Smithsonian. Institution Pr Hutomo. H. 1997. Padang Lamun Indonesia: Salah Satu Ekosistem Laut Dangkal yang belum banyak dikenal. Jurnal Puslitbang Oseanologi – LIPI. Jakarta, Indonesia. Kiswara W, Winardi. 1994. Keanaekaragaman dan Sebaran Lamun di Teluk Kuta dan Teluk Gerupuk, Lombok Selatan. W Kiswara (eds.). Struktur Komunitas Biologi Padang Lamun di Pantai Lombok Selatan dan Kondisi Lingkungannya. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta (ID): hal 11-25 Kiswara W. 1997. Pertumbuhan dan Produksi daun Enhalus acoroides di Pulau Mapor, Kepulauan Riau. Prosiding Seminar Nasional Biologi XV. Lampung: Perhimpunan Biologi Indonesia Cabang Lampung – Universitas Lampung. Koster M, Meyer-Reil LA. 2001. Characterization of carbon and microbial biomass pools in shallow water coastal sediments of the Southern Baltic Sea (Nordrugensche Bodden). Mar Ecol Progr Ser. 214:25-41.
26 Krebs CJ. 1972. The Experimental Analysis of Distribution and Abudance. New York (NY). Harper and Row Publisher. Legendre L, P Legendre. 1983. Numerical ecology. Amsterdam. Elsevier Publishing Co. Libes SM. 1992. An Introduction to Marine Biogeochemistry. New York (NY): John Wiley & Sons Inc. Linhart J, Vickovd S, Uvira V. 2002. Moss-dweling meiobenthos and flow velocity in low-order streams. Biologica 39-40:111-122 Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and its Measurement. Princetown Press. New Jersey: 185 h. Marhaeni B. 1999. Ekostruktur dan Distribusi Meiofauna di Substrat Hutan Mangrove Tritih, Cilacap, Jawa Tengah. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Marsh JA, Dennison WC, Alberte RC. 1986. Effects of Temperature on Photosynthesis and Respiration in Eslgrass (Zostera marina L.) Journal Exp Mar Biol Ecol. 101: 257-267. Mc Kenzie. L. 2008. Seagrass Watch. Prosiding of Workshop for Mapping Seagrass Habitats in North East Arnhem Land, Northern Territory. 18-20 Oktober. Cairns, Australia. Hal : 9-16 [MENLH] Menteri Negara Lingkungan Hidup . 2004. Keputusan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep 51 / MENLH / 1 / 2004 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Jakarta (ID): Menteri Negara Lingkungan Hidup. Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Baku mutu air laut untuk biota laut. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004. Metcalfe WJ. 2005. Meiofauna abundance and distribution in Chesapeake Bay : Relationships with environmental stressors, sediment toxicity and macrofauna. [thesis]. Virginia : The Faculty of the School of Marine Science, The Collage of Willian and Mary in Virginia. Nienhuis PH, Coosen J, Kiswara W.1989. Community structure and Biomass distribution of seagrasses and macrofauna in the Flores Sea, Indonesia. Sea Research. 23(2): 197-214. Nybakken JW, Bertness MD. 2005. Marine Biology: An Ecological Approach. 3rd edition. New York (NY): Pearson Benjamin Cummings. Odum EP. 1997. Fundamental of Ecology, 3rd Edition. Saunders College Publishing: Philadelphia. 474p Pielou EC. 1977. Mathematical Ecology. John Wiley & Sons. Tronoto. Pujianti S. 2008. Distribusi vertikal meiofauna interstisial pada padang lamun di Pulau Kambing, Teluk Banten. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rosa LC, Bemvenuti CE. 2005. Effects of burrowing crab Chasmagnathus granulata (Dana) on meiofauna of estuarine intertidal habitats of Patos Lagoon, Southerm Brazil. J Braz Arch Biol Tech 48(2):267-274 Steyaert M, Garner N, Dirk VG, Vincx M. 1999. Nematode communities from the the North Sea: environmental controls om species diversity and vertical distribution within the sediment. J Mar Biol Ass UK 79:253-264
27 Susetiono 1994. Struktur dan kelimpahan meiofauna di antara vegetasi lamun Enhalus acoroides di Pantai Kuta, Lombok Tengah. Perairan Maluku dan sekitarnya 9:13-24 Susetiono. 1995. Meiofaunal Community Structure in the Kotania Bay, Seram Island, Indonesia. Perairan Maluku dan Sekitarnya, 9:35-47 Susetiono. 2004. Fauna padang lamun Tanjung Merah, Selat Lembeh. Jakarta (ID): Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI. Sutamihardja RTM. 1978. Kualitas Pencemaran Lingkungan. Sekolah Pascasarjana Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Bahan Kuliah. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Taka K, MH Azkab. 2010. Struktur komunitas lamun di Pulau Talise, Sulawesi Utara. Jakarta (ID): Oseanologi dan Limnologi Indonesia. Tomascik TAJ, Mah A Nontji, MK Moosa. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas, Part One. Periplus Edition. 656 h. Trisnawati N. 2012. Struktur komunitas meiofauna interstisial di substrat padang lamun Pulau Pari Kepulauan Seribu [skripsi]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Westbeide W. 1988. Polychaeta. In: Higgins RP, Thiel H, editors. Introduction to the Study of Meiofauna. Washington DC: Smithsonian Institution Press. Pp. 380-388 Zulkifli. 2008. Dinamika komunitas meiofauna interstisial di perairan Selat Dompak Kepulauan Riau. [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
28
Penyaringan sampel meiofauna
Botol sampel
Cawan petridis
Lampiran 2 Dokumentasi Pengambilan Sampel Meiofauna di Substrat Lamun
Formalin dan rose bangle
Lampiran 1 Dokumentasi Alat dan bahan yang digunakan untuk penyaringan dan mengawetkan sampel
LAMPIRAN
Lampiran 3 Dokumentasi Proses Penyaringan Sampel Meiofauna
29
1 2
Stasiun
Pasir 3,88 0,53
Tekstur sedimen (%) Pasir kasar Pasir sedang Pasir halus 35,50 49,03 10,43 25,60 47,78 23,48 Debu 1,16 2,61
0,32 0,24
C-organik (%)
0,55 0,41
TOM (%)
Lampiran 4 Dokumentasi Proses Pengawetan dan Pemberian rose bangle pada Sampel Meiofauna
Lampiran 5 Parameter Fisika-Kimia Substrat di Pulau Pramuka
30
Jenis Lamun (Spesies) Enhalus acoroides Cymodocea rotundata Thalasia hemprichii Enhalus acoroides Cymodocea rotundata Halodule unineyis Syringodium isoetifolium
Di 8 1104 263 32 121 72 36
Rdi (%) 0,72 99,28 50,13 6,11 23,16 13,74 6,87
Filum : Annelida Kelas Polychaeta
Famili Acrocirridae Capitellidae Ctenodrilidae Dorvilleidae Fauveliopsidae Nerillidae Oweniidae Phyllodocidae Questidae
Ordo
Canalipalpata Not assigned
Canalipalpata Aciculata Canalipalpata Aciculata Canalipalpata Aciculata Not assigned
Fi 0,01 0,71 0,31 0,08 0,16 0,08 0,05
0 18 0 0 3 0 9
0 5 0 0 0 0 4
Garis 1 T1 T2 1 2 2 1
Lampiran 7 Kelimpahan Meiofauna di Lokasi Penelitian (Stasiun 1)
2
Stasiun 1
0 16 0 0 0 0 11
T3 7 2 0 31 3 0 18 0 1
T1 2 3
RFi (%) 1,23 98,77 45,39 12,50 23,68 11,18 7,24
0 64 1 0 16 0 1
Garis 2 T2 6 1
0 29 5 0 12 0 1
T3 3 4
Ci 0,14 5,22 6,64 0,29 2,39 0,94 0,33
1 26 6 2 0 3 9
T1 2 0
1 15 3 1 0 1 12
Garis 3 T2 1 1
RCi (%) 2,59 97,41 62,64 2,75 22,54 8,91 0,15
1 10 1 0 0 0 7
T3 0 0
INP 4,55 295,45 158,16 21,36 69,38 33,84 14,26
Lampiran 6 Hasil perhitungan Kerapatan (Di), Frekuensi (Fi), Penutupan (Ci) dan Indeks Nilai Penting (INP) pada Lamun di Stasiun Penelitian, Pulau Pramuka
31
Filum : Hexapoda Kelas : Insecta
Filum : Crustacea Kelas : Ostracoda Maxillopoda
Lampiran 7 Lanjutan
32
Famili Sabellidae Sphaerodoridae Syllidae Tubificidae Bythocytheridae Cletodidae Cyprididae Cytherellidae Diosaccidae Harpacticidae Laophontidae Leptastacidae Loxoconchidae Miraciidae Paramesochridae Phyllodocidae Porcellidiidae Heleomyzidae Anticomidae
Ordo
Canalipalpata Aciculata Phyllodocida Haplotaxida Podocopida Harpacticoida Podocopida Platycopida Harpacticoida Harpacticoida Harpacticoida Harpacticoida Podocopida Harpacticoida Harpacticoida Harpacticoida Harpacticoida Diptera Enoplida
Garis 1 T1 T2 1 0 0 0 4 13 0 0 1 0 0 0 0 1 13 12 1 0 1 7 1 0 0 0 0 5 0 0 0 0 0 0 8 8 0 0 0 0 T3 1 1 15 0 4 0 5 42 1 7 0 0 6 0 0 0 5 0 0
T1 0 5 9 0 9 2 2 9 2 28 6 3 1 0 7 2 11 1 4
Garis 2 T2 0 14 39 0 39 21 8 62 14 13 11 9 0 1 19 3 4 1 17 T3 1 8 18 0 18 8 10 34 8 9 5 6 2 2 13 2 2 1 13
T1 1 0 4 0 4 0 7 5 3 8 1 4 4 5 0 0 1 6 4
Garis 3 T2 0 0 4 1 4 1 8 3 4 10 1 2 2 4 2 0 1 4 3 T3 0 0 4 2 4 2 10 5 10 11 0 1 4 6 1 0 1 7 5
Famili Anticomidae Chromadoridae Desmoscolecidae Enoplidae Leptolaimidae Leptosomatidae Linhomoeidae Microlaimidae Oncholaimidae Nemertodermatidae
Ordo
Enoplida Desmodorida Chromadorida Hologonia Araeolaimida Enoplida Monhysterida Desmodorida Enoplida Nemertodermatida
Filum : Annelida
Famili Acrocirridae Capitellidae
Ordo
Canalipalpata Not assigned
Lampiran 8 Kelimpahan Meiofauna di Lokasi Penelitian (Stasiun 2)
Filum : Xenacoelomorpha Kelas : Acoelomorpha
Filum : Nematoda Kelas : Adenophorea
Lampiran 7 Lanjutan
T3 0 12 0 6 0 6 57 3 27 0
Garis 1 T1 T2 T3 0 0 0 2 1 2
T1 0 7 4 6 2 5 10 3 1 0
Garis 1 T2 0 4 0 2 0 2 30 3 12 0
T1 2 0
T1 4 49 0 12 61 25 38 6 56 2
T3 13 43 0 8 39 17 36 14 30 3
Garis 2 T2 T3 1 0 1 0
Garis 2 T2 17 62 0 31 64 35 50 8 45 13
T1 1 0
T1 4 17 0 7 17 6 16 12 14 1
T3 5 12 0 3 17 1 14 11 14 0
Garis 3 T2 0 1
Garis 3 T2 3 16 0 6 24 5 17 7 15 1
T3 0 0
33
Filum : Annelida Kelas : Polychaeta Clitellata
Kelas : Polychaeta Clitellata
Lampiran 8 Lanjutan
34
Famili Ctenodrilidae Dorvilleidae Fauveliopsidae Hesionidae Nerillidae Parergodrilidae Phyllodocidae Questidae Sabellidae Sphaerodoridae Acrocirridae Capitellidae Ctenodrilidae Dorvilleidae Fauveliopsidae Hesionidae Nerillidae Parergodrilidae Phyllodocidae Questidae Sabellidae
Ordo
Canalipalpata Aciculata Canalipalpata Aciculata Aciculata Not assigned Aciculata Not assigned Canalipalpata Aciculata Canalipalpata Not assigned Canalipalpata Aciculata
Canalipalpata Aciculata
Aciculata Not assigned
Aciculata Not assigned Canalipalpata
0 6 0
3 1
0 1
T1 1 11 0 1 3 1 0 6 0 1 0 2 1 11
0 6 1
3 0
1 1
Garis 1 T2 0 5 1 1 3 0 0 6 1 1 0 1 0 5
0 5 0
3 0
0 1
T3 0 5 0 1 3 0 0 5 0 2 0 2 0 5
0 9 1
11 1
5 0
T1 0 31 5 0 11 1 0 9 1 6 2 0 0 31
1 10 0
5 1
5 1
1 3 0
2 1
0 1
Garis 2 T2 T3 1 0 19 2 5 0 1 1 5 2 1 1 1 1 10 3 0 0 4 1 1 0 1 0 1 0 19 2
1 6 1
2 0
1 0
T1 2 28 1 0 2 0 1 6 1 3 1 0 2 28
1 5 0
2 1
1 1
Garis 3 T2 0 10 1 1 2 1 1 5 0 1 0 1 0 10
1 2 0
0 1
0 0
T3 0 4 0 0 0 1 1 2 0 1 0 0 0 4
Filum : Crustacea Kelas : Ostracoda Maxillopoda
Filum : Arthropoda Kelas : Malacostraca
Lampiran 8 Lanjutan Famili
Sphaerodoridae Syllidae Tubificidae Ampithoidae Bathynellidae Expanathuridae Ingolfiellidae Microcerberidae Pasiphaeidae Tanaidae Bythocytheridae Canuellidae Cletodidae Cyprididae Cytherellidae Diosaccidae Harpacticidae Laophontidae Leptastacidae Loxoconchidae
Ordo
Aciculata Phyllodocida Haplotaxida
Amphipoda Bathynellacea Isopoda Amphipoda Isopoda Decapoda Tanaidacea Podocopida
Harpacticoida Harpacticoida
Podocopida Platycopida
Harpacticoida Harpacticoida
Harpacticoida Harpacticoida
Podocopida
2
3 2
1 2
5 10
1 3
0 1 1 1 1 1 1 2
1 4 7
1
1 1
1 0
7 7
1 1
1 1 0 1 1 1 1 6
1 4 1
1
1 1
0 3
6 7
1 3
0 1 0 1 1 0 1 3
2 3 1
Garis 1 T1 T2 T3
1
4 7
1 5
11 12
1 7
0 1 1 2 1 0 1 13
6 4 34
T1
1
4 1
2 3
8 9
1 5
1 0 1 0 1 1 1 7
4 8 7
1
1 0
0 2
14 13
0 4
0 1 1 0 0 0 0 5
1 2 7
Garis 2 T2 T3
0
9 3
3 7
13 12
1 3
0 1 0 1 1 1 0 10
3 8 12
T1
0
2 1
0 1
7 6
0 1
0 0 0 0 0 0 0 2
1 4 8
Garis 3 T2
1
5 3
1 2
9 7
1 0
0 0 0 1 1 0 0 5
1 3 1
T3
35
Filum : Hexapoda Kelas : Insecta Filum : Nematoda Kelas : Adenophorea
Lampiran 8 Lanjutan
36
Famili Paramesochridae Porcellidiidae Heleomyzidae
Anticomidae Chromadoridae Enoplidae Leptolaimidae Leptosomatidae Linhomoeidae Microlaimidae Oncholaimidae Oxystominidae Richtersiidae Xyalidae
Ordo
Harpacticoida Harpacticoida
Diptera
Enoplida Desmodorida Hologonia Araeolaimida Enoplida Monhysterida Desmodorida Enoplida
Enoplida Desmodorida
Monhysterida
11
14 1
8 18 7 19 16 17 9 16
1
4
11 0
6 12 0 12 4 12 8 9
1
4
8 2
11 12 5 10 3 7 6 8
0
Garis 1 T1 T2 T3 1 4 1 3 2 1
7
12 5
9 31 7 12 6 15 10 14
1
T1 9 4
12
12 4
9 20 11 18 7 15 12 19
1
15
17 3
18 30 12 23 14 18 14 18
1
Garis 2 T2 T3 5 6 3 0
12
2 21
23 11 20 9 18 12 20 14
16
T1 1 1
4
2 9
18 6 18 4 11 9 12 10
11
Garis 3 T2 0 1
3
3 15
21 10 14 5 16 11 15 10
16
T3 1 0
Famili
Nemertodermatidae
Ordo
Nemertodermatida
2
1
5
Garis 1 T1 T2 T3 11
T1 5
6
Garis 2 T2 T3 7
T1 4
Garis 3 T2 3
T3
Variabel Kelimpahan Meiofauna Kerapatan Lamun Pasir Debu TOM
Variabel Eigenvalue Proportion Cumulative
PC1 0.356 0.422 0.535 -0.357 0.530
PC1 3.2644 0.653 0.653 PC2 0.753 -0.606 -0.100 -0.226 -0.075
PC2 0.8116 0.162 0.815 PC3 -0.339 -0.032 -0.172 -0.906 -0.185
PC3 0.6598 0.132 0.947 PC4 0.438 0.671 -0.374 -0.021 -0.466
PC4 0.2641 0.053 1.000
PC5 -0.014 -0.056 0,731 0,007 -0.680
PC5 0.0001 0.000 1.000
Lampiran 9 Hasil Analisis Komponen Utama (Principal Component Analisis) Kelimpahan Meiofauna dengan Parameter Fisika – Kimia Substrat dan Vegetasi Lamun
Acoelomorpha
Filum : Xenacoelomopha Kelas :
Lampiran 8 Lanjutan
37
38 Lampiran 10 Foto – Foto Spesimen Meiofauna
Anticomidae
Oncholaimidae
Cytherellidae
Leptolaimidae
Dorvilleidae
Linhomoeidae
Fauveliopsidae
Microlaiminidae
39
Leptastacidae
Dorvilleidae
Tubificidae
Nemertodermatidae
Enoplidae
Paramesochridae
Richtersiidae
Phyllodocidae
40
Chromadoridae
Ctenodrilidae
Hesionidae
Dorvilleidae
Oxystominidae
Cyprididae
Xylidae
Heleomyzidae
41 Lampiran 11 Hasil Perhitungan Indeks Kesamaan Taksa (IS) Meiofauna di Stasiun penelitian ST 1 ST2 IS Acrocirridae Acrocirridae 85,057 Anticomidae Ampithoidae Bythocytheridae Anticomidae Capitellidae Bathynellidae Chromadoridae Bythocytheridae Cletodidae Canuellidae Ctenodrilidae Capitellidae Cyprididae Chromadoridae Cytherellidae Cletodidae Desmoscolecidae Ctenodrilidae Diosaccidae Cyprididae Dorvilleidae Cytherellidae Enoplidae Diosaccidae Fauveliopsidae Dorvilleidae Harpacticidae Enoplidae Heleomyzidae Expanathuridae Laophontidae Fauveliopsidae Leptastacidae Harpacticidae Leptolaimidae Heleomyzidae Leptosomatidae Hesionidae Linhomoeidae Ingolfiellidae Loxoconchidae Laophontidae Microlaimidae Leptastacidae Miraciidae Leptolaimidae Nemertodermatidae Leptosomatidae Nerillidae Linhomoeidae Oncholaimidae Loxoconchidae Oweniidae Microcerberidae Oxystominidae Microlaimidae Paramesochridae Miraciidae Phyllodocidae Nemertodermatidae Porcellidiidae Nerillidae Questidae Oncholaimidae Richtersiidae Oxystominidae Sabellidae Paramesochridae Sphaerodoridae Parergodrilidae Syllidae Pasiphaeidae Tripyloididae Phyllodocidae Tubificidae Porcellidiidae
42 Lampiran 11 Lanjutan ST 1 Xyalidae
ST2 Questidae Richtersiidae Sabellidae Sphaerodoridae Syllidae Tanaidae Tubificidae Xyalidae
IS 85,057
= 85.057 % Keterangan : A B C
jumlah taksa di Stasiun 1 jumlah taksa di Stasiun 2 taksa yang sama di kedua Stasiun 1 dan 2
40 47 37
43
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sumenep, Madura, Jawa Timur pada tanggal 5 November 1991 sebagai anak ke dua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Drs H M Nurhasan, MSi dan Ibunda Hj Nurhayati. Pada tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri I Sumenep, Madura, Jawa Timur. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada tahun 2010. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) mulai dari tahun 2012-2013 dan sebagai anggota BPH divisi Kesekretariatan. Penulis juga aktif menjadi asisten praktikum Dasar-dasar Penginderaan Jauh Kelautan 2014. Penulis juga pernah melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PPP Muncar, Banyuwangi. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan judul Struktur Komunitas Meiofauna Interstisial di Substrat Padang Lamun Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu di bawah bimbingan Prof Dr Ir Dietriech G Bengen, DEA dan Adriani Sunuddin, SPi, MSi