Stres dan Strategi Coping pada Tenaga Kerja Komuter (Penglaju) Pengguna Transportasi Bus TransJakarta TAHUN 2012 IRNAMIA SUGIANTI RINA ARTINING ANGGORODI
PROGRAM STUDI SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT DEPOK TAHUN 2013
ABSTRAK Penelitian ini membahas tentang stress dan strategi coping pada tenaga kerja komuter (penglaju) pengguna transportasi busway TransJakarta. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam kepada 7 tenaga kerja komuter, 9 orang informan pendukung seperti keluarga, teman dan rekan kerja, 1 orang petugas busway dan 1 orang supervisor tiketing busway serta observasi di lokasi penelitian. Hasil penelitian ini didapat Bahwa hampir semua tenaga kerja komuter mengalami stress dalam menjalani aktifitas penglajunya dikarenakan permasalahan manajemen transportasi Busway TransJakarta yang masih buruk dan kemacetan yang dianggap sebagai sumber pembangkit stress (stressor). Disamping itu, adanya perbedaan karakteristik dan persepsi invidu saat berinteraksi dengan stressor yang ada, menyebabkan pula adanya perbedaan pada respon stress dan pemilihan strategi coping yang dilakukan oleh tenaga kerja komuter dalam mengatasi stress mereka. This research discusses stress and coping strategies of commuters using public transportation “Busway TransJakarta”. This study used qualitative method such as in-depth interviews with 7 commuters, 9 supporter informans like family, friends and co-workers, 1 officer and 1 supervisor of busway ticketing and observations at the sites. The results are obtained that almost all commuters feel stress in doing their commuting activities due to problems of transportation management of Busway TransJakarta that is still bad and congestion are considered as a source of stress. In addition, the differences of individual characteristics and perceptions when interact with the existing stressors, also leading to the differences of response stress and coping strategies that choosen by commuter to overcome their stress. Keywords ; Commuting to Work, Busway TransJakarta, Congestion, Stress and Strategies Coping
Stres dan strategi …, Irnamia Sugianti, FKM UI, 2013
1.1 Latar Belakang Setiap individu menginginkan sebuah pemenuhan dan kecukupan atas segala kebutuhan yang diperlukan dalam kehidupannya. Seringkali hal ini yang mendasari berbagai macam perilaku manusia antara satu dengan lainnya. Bentuk usaha pemenuhan tersebut biasanya diwujudkan dalam bentuk pekerjaan, usaha perdagangan serta segala aktifitas yang dijalankan. Wujud pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang paling sering dijumpai di kalangan masyarakat Indonesia adalah menjadi tenaga kerja. Tenaga kerja merupakan penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut UU No. 13 tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Batas usia kerja yang berlaku di Indonesia adalah berumur 15 tahun – 64 tahun. (www.wikipedia.com) Indonesia merupakan negara berkembang dengan populasi terbesar ke-4 di dunia. Oleh karena itu, Indonesia memiliki banyak sumber daya manusia berupa tenaga kerja yang tersebar baik di daerah pedesaan maupun perkotaan, namun tidak meratanya pembangunan perekonomian membuat pembangunan perekenomian lebih terpusat di daerah perkotaan. Selain itu, upah yang lebih tinggi serta terbatasnya lapangan pekerjaan di pedesaan maupun kota pinggiran membuat sebagian tenaga kerja indonesia memilih untuk bekerja di daerah perkotaan. (Todaro, 2000) Ada sebagian dari sebagian yang memilih untuk tinggal menetap “migrasi permanen” di daerah pusat kota dekat dengan tempat mereka bekerja, namun karena masalah mahalnya harga sewa rumah atau tanah, sehingga mereka tidak mempunyai pilihan lain, kecuali tetap tinggal di tempat yang cukup jauh dari tempat bekerja mereka. Oleh karena itulah, mereka memilih untuk melakukan aktivitas pengglaju “commuter”. Saat ini, fenomena penglaju atau commuter semakin jelas terlihat terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Selain sebagai pusat pemerintahan, Jakarta juga menjadi pusat perekonomian dimana gedung-gedung perkantoran baik negeri maupun swasta banyak terpusat disini. Kondisi ini menjadikan Jakarta sebagai sentral bisnis dan niaga yang sangat maju di Indonesia. Hal ini sangat menarik perhatian para tenaga kerja khusunya yang berada di daerah pinggiran untuk melakukan aktivitas penglaju”commuter” guna mencari kehidupan dan pendapatan yang lebih baik. Commuter (kamus sosiologi, 80) berasal dari kata commutation adalah perjalanan yang dilakukan secara tetap antara daerah-daerah pemukiman di pinggir kota dengan pusat kota untuk kepentingan pekerjaan. Sedangkan menurut kamus bahasa inggris Webster Commuter is someone who travels regularly from home in a suburb to work in a city. Pengertian commuter diartikan sebagai orang yang melakukan aktifitas pulang pergi setiap hari dari daerah pemukimannya di pinggir kota menuju pusat kota untuk bekerja. Selain itu, definisi lain menurut konsep Antar Kerja Antar Lokal (AKAL), tenaga kerja commuter adalah mereka yang bekerja di lain kabupaten/kota dengan persyaratan waktu pulang pergi ditempuh dalam setiap hari. Mereka kebanyakan bekerja di wilayah sekitar pusat pertumbuhan seperti Jakarta, Surabaya dan Medan. Jumlah tenaga kerja Komuter di Jakarta berasal dari kota-kota satelit di sekitarnya seperti Depok, Bogor, Tangerang, BSD dan Bekasi dan kota-kota yang lebih kecil di sekitarnya. (Apriyani,2011) Jumlah tenaga kerja komuter pada tahun 2008 mencapai 6,9 juta orang. Dari total tenaga kerja komuter tersebut 75 persen (5,2 juta) berada di Pulau Jawa. Di wilayah Pulau Jawa, lebih
Stres dan strategi …, Irnamia Sugianti, FKM UI, 2013
dari separuh tenaga kerja komuter berada di wilayah Jabodetabeka (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Karawang). (SAKERNAS 2008) Dalam menjalankan aktifitas penglajunya di Jakarta, para tenaga kerja komuter sering kali menghadapi lingkungan fisik perkotaan yang tentunya bisa saja menggangu kondisi kesehatan baik fisik maupun psikologis. Lingkungan fisik perkotaan adalah sebuah wadah dimana berbagai peristiwa muncul dan dapat menjadi stressor. Stressor adalah penyebab stress yang nyata, Sedangkan stress adalah responnya. Beberapa Lingkungan fisik perkotaan yang sering dihadapi oleh masyarakat penglaju beberapa diantaranya merupakan masalah klasik perkotaan yang telah dirasakan sejak akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970 seperti meningkatknya polusi udara dan suara, kecelakaan lalu lintas, dan kemacetan lalu lintas yang merupakan masalah utama yang diteliti dari skripsi ini. Masalah kemacetan merupakan fenomena keseharian yang harus dirasakan oleh para tenaga komuter/penglaju di Jakarta terutama pada pagi dan sore hari. Kemacetan (Kamus Besar Bahasa Indonesia) merupakan sebuah keadaan yang tidak dapat bekerja dengan baik. Dengan kata lain, keadaan lalu lintas merupakan sebuah situasi dalam keadaan tersendat bahkan terhentinya lalu lintas yang disebabkan oleh banyaknya jumlah kendaraan yang melebihi kapasitas jalan raya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik sampai dengan tahun 2009, jumlah kendaraan bermotor di Indonesia, roda dua sampai roda empat sebanyak 70.714.569 unit. Sedangkan panjang jalan di Jakarta hanya mencapai 7.650 km dengan luas keseluruhan tak lebih dari 40,1 km2 (6,2% dari luas wilayah DKI). (SITRAMP). Upaya pemerintah dalam mengatasi kemacetan di Ibu kota salah satunya dengan menciptakan moda transportasi bus cepat atau Busway TransJakarta. Namun kenyataanya, upaya tersebut masih belum bisa mengurangi angka kemacetan lalu lintas di Jakarta yang sudah sangat tersohor. Hal ini disebabkan karena masih buruknya sistem manajemen busway dan belum mencukupinya armada transportasi serta masih banyaknya wilayah yang belum terjangkau. Padahal banyak sekali masyarakat, khususnya para pekerja menggunakan alat trasnportasi ini. Tidak heran jika sekitar 5,2 juta pekerja komuter di Jabodetabek yang menggunakan alat transportasi menuju tempat kerjanya, hanya 39,4 % menggunakan alat transportasi umum, sementara yang menggunakan alat transportasi pribadi jumlahnya mencapai 56, 1 % (SAKERNAS 2008). Kondisi masih kurangnya sarana transportasi yang aman dan nyaman ini membuat tenaga kerja komuter khusunya pengguna transportasi umum busway harus berjejal setiap harinya, mengalami antrian yang panjangnya mencapai ratusan meter sampai jembatan penyebrangan dan terjadi sepanjang hari membuat warga kota khusunya para komuter merasa sumpek luar biasa, ditambah lagi panas, bau badan yang menyengat, keterlambatan kedatangan, bahkan tindakan kriminalitas dan pelecehan seksual
seperti yang akhir-akhir ini diberitakan terjadi pada penumpang angkutan busway TransJakarta. (http://news.detik.com). Suasana diatas dialami setiap harinya minimal 5 hari dalam seminggu dan 52 minggu dalam setahun oleh masyarakat komuter ekonomi lemah atau yang belum mampu membeli kendaraan pribadi. Terjebak dalam kemacetan setiap hari dan menghadapi situasi transportasi yang sering tidak menyenangkan membuat mereka banyak menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran dengan tidak produktif. Stressor lingkungan diatas tentunya dapat berdampak buruk bagi kondisi kesehatan para tenaga kerja komuter. Dampak yang paling jelas dirasa tiap kalinya adalah dampak psikologis berupa stress. Walaupun tidak menyebabkan kematian langsung, stress menyebabkan tergangunya keseimbangan mental emosional yang dapat berakibat serius pada kesehatan fisik dan jiwa (Wahyu, 2006) Stress secara umum sebagai suatu sindrom/ kumpulan gejala yang merupakan respon nonspesifik dari individu terhadap suatu rangsangan dari lingkungan. Menurut Gatchel, Baum
Stres dan strategi …, Irnamia Sugianti, FKM UI, 2013
dan Richard (1989) stres merupakan sebuah proses dimana suatu kejadian dalam lingkungan yang mengancam atau menantang kesejahteraan individu serta bagaimana individu merespon terhadap ancaman tersebut. Koslowsky et al. (1995) menambahkan bahwa stres yang disebabkan karena keramaian juga diperburuk dengan perasaan untuk berkompetisi dengan orang lain. Dalam keadaan yang sangat sesak dan padat, tentunya setiap orang akan berusaha untuk tidak mau mengalah, tidak mau memberi jalan kepada orang lain dan saling menyerobot, dsb. Keadaan ini membuat pengguna transportasi semakin meningkat tekanannya. Tenaga kerja komuter khususnya pengguna busway memungkinkan mengalami kondisi diatas setiap harinya. Terutama pada mereka yang menggunakan koridor-koridor dengan rute perjalanan yang melewati titik jalan termecet di Jakarta seperti koridor 3 yaitu rute utama kalideres- harmoni yang melewati kawasan Daan Mogot, koridor 6 yaitu rute utama RagunanDukuh yang melintasi sepanjang jalan Pejaten dan Mampang Prapatan, selanjutnya koridor 8 dengan rute utama Lebak Bulus-Harmoni yang melewati jalan Kebayoran Lama dan Grogol yang merupakan rute busway terpanjang di Jakarta. Kemudian terakhir koridor 9 dengan rute utama Pinang Ranti Pluit yang melewati jalan Gatot Subroto. Jalan tersebut merupakan beberapa jalan dengan tingkat mobilitas transportasi yang tinggi baik umum maupun pribadi dikarenakan banyak terdapat gedung-gedung perkantoran baik negeri maupun swasta (http://www.transportumum.com/jakarta/transjakarta Keadaan diatas sangat bisa memicu timbulnya stress. Stress yang dibiarkan berlarut-larut tentu akan mengggangu aspek kehidupan tenaga kerja komuter seperti hubungan sosial dengan keluarga, teman atau bahkan lingkungan pekerjaan yang akhirnya menurunkan kinerja. Oleh karena itu, sumber-sumber stress tersebut harus diatasi dengan strategi coping. Strategi coping adalah usaha yang dilakukan seseorang untuk menangani beban emosional atau tuntutan yang membuat stress (Lazarus, 1976). Lazarus dan Folkman (1988) menyatakan bahwa bentuk penyesuaian diri terhadap stress terbagi dalam dua kategori besar yakni (1) problem focussed coping adalah berbagai macam usaha untuk mengatasi stress dan masalah yang ada dengan cara mengatur atau mengubah lingkungan yang berfokus terhadap masalah yang timbul dan menjadi tekanan seperti mencari informasi mengenai keadaan transportasi dan kondisi jalan; (2) emotion focused coping yang memfokuskan pada mengurangi tekanan dan emosional yang disebabkan situasi yang mengancam individu seperti mendengarkan musik, pasrah dan menerimaa situasi yang ada, bercerita kepada teman, telepon ke kantor, membaca koran, pergi jalan-jalan. 1.2 Masalah Penelitian Tenaga kerja komuter (penglaju) yang menggunakan transportasi umum sangatlah rentan terkena stress akibat dampak lingkungan berupa kemacetan dan kondisi transportasi yang buruk yang belum juga menujukan tanda-tanda membaik. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mencari tahu gambaran stress pada tenaga kerja komuter pengguna busway TransJakarta dan strategi Coping untuk mengatasi stressor tersebut. 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Ingin mengetahui gambaran stres yang dialami tenaga kerja komuter dalam menghadapi kemacetan dan kondisi transportasi busway yang buruk pada saat pergi dan pulang kerja.
Stres dan strategi …, Irnamia Sugianti, FKM UI, 2013
1.3.2 Tujuan Khusus 1. Ingin mengetahui gambaran stres yang dialami para tenaga kerja komuter dalam menjalani aktifitas penglajunya menggunakan sarana transportasi busway yang masih saja menemukan kemacetan(masa kerja, lama tempuh, jenis kelamin, motivasi, persepsi, jadwal melakukan aktifitas komuter, intensitas menemui kemacetan) 2. Ingin mengetahui penyebab terjadinya stres tersebut 3. Ingin mengetahui keluhan atau respon stres yang dialami para tenaga kerja komuter berupa respon emosi, fisik dan perilaku 4. Ingin mengetahui pengaruh atau dampak stres akibat dari aktifitas penglaju yang dijalani setiap harinya 5. Ingin mengetahui gambaran penyesuaian/ strategi coping stres pada tenaga kerja komuter 2.1 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut UU No. 13 tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Batas usia kerja yang berlaku di Indonesia adalah berumur 15 tahun – 64 tahun (www.wikipedia.com) Dalam pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat. Saat ini, fenomena penglaju atau commuter semakin jelas terlihat terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Selain sebagai pusat pemerintahan, Jakarta juga menjadi pusat perekonomian dimana gedung-gedung perkantoran baik negeri maupun swasta banyak terpusat disini. Kondisi ini menjadikan Jakarta sebagai sentral bisnis dan niaga yang sangat maju di Indonesia. Hal ini sangat menarik perhatian para tenaga kerja khusunya yang berada di daerah pinggiran untuk melakukan aktivitas penglaju”commuter” guna mencari kehidupan dan pendapatan yang lebih baik. Commuter dalam kamus sosiologi hal. 80 berasal dari kata commutation adalah perjalanan yang dilakukan secara tetap antara daerah-daerah pemukiman di pinggir kota dengan pusat kota untuk kepentingan pekerjaan. Sedangkan menurut kamus bahasa inggris Webster Commuter is someone who travels regularly from home in a suburb to work in a city. Dari pengertian tersebut, commuter diartikan sebagai orang yang melakukan aktifitas pulang pergi setiap hari dari daerah pemukimannya di pinggir kota menuju pusat kota untuk bekerja. 2.2 Permasalahan yang Dihadapi Para Tenaga Kerja Komuter 2.2.1 Kemacetan Lalu Lintas Jakarta sebagai ibukota negara mempunyai beberapa permasalah, satu dari berbagai permsalah yang klasik dan sudah tersohor adalah kemacetan lalu lintas. Kemacetan adalah
Stres dan strategi …, Irnamia Sugianti, FKM UI, 2013
Kemacetan adalah situasi atau keadaan tersendatnya atau bahkan terhentinya lalu lintas yang disebabkan oleh banyaknya jumlah kendaraan melebihi kapasitas jalan. Kemacetan banyak terjadi di kota-kota besar, terutamanya yang tidak mempunyai transportasi publik yang baik atau memadai ataupun juga tidak seimbangnya kebutuhan jalan dengan kepadatan penduduk, seperti di jakarta yang setiap harinya mengalami kemacetan. 2.2.2 Permasalahan pada Transpotasi Bus TransJakarta Upaya pemerintah dalam mengatasi kemacetan salah satunya dengan menciptakan moda saran transportasi cepat seperti Busway. Transjakarta atau umum disebut Busway adalah sebuah sistem transportasi bus cepat atau Bus Rapid Transit di Jakarta, Indonesia yang dijalankan sejak tanggal 25 januari 2004. Sistem ini dimodelkan berdasarkan sistem TransMilenio yang sukses di Bogota, Kolombia. Perencanaan Busway telah dimulai sejak tahun 1997 oleh konsultan dari Inggris. Busway mempunyai lajur khusus dijalan–jalan yang menjadi rutenya dan lajur tersebut hanya digunakan oleh busway tidak bisa digunakan oleh kendaraan lain. Tujuan dioperasikannya Busway adalah untuk memberikan jasa angkutan umum yang lebih cepat, nyaman, dan harga yang terjangkau bagi warga Jakarta, serta diharapkan dapat mengatasi masalah kemacetan yang sering terjadi. Dengan fasilitas yang mumpuni ini tidak juga menghindarkan busway dari masalah. Mendapatkan fasilitas transportasi yang mendukung, kenyamanan angkutan, serta keamanan adalah hak dari setiap warga DKI Jakarta, tetapi nyatanya saat ini masih saja banyak yang tidak mendapatkan haknya tersebut, hal ini disebabkan karena tidak mendukungnya fasilitas yang terdapat di busway. Masuk busway dengan berdesak–desakan dengan banyak orang bukanlah hal yang aneh, bahkan sudah menjadi hal yang biasa, hingga Oktober 2011 tercatat ada sebanyak 84.571.480 juta jiwa yang menggunakan jasa angkutan bus TransJakarta (transjakarta.co.id,2011). 2.3 Sumber-Sumber Stres (Stressor) Menurut Gatchel, Baum dan Krantz (1989) stressor merupakan kejadian lingkungan yang menimbulkan stres sehingga memunculkan reaksi terhadap stres seperti kecemasan, kemarahan dan ketakutan. Menurut Greenberg (2004) stressor adalah suatu kejadian yang berpotensi menimbulkan reaksi. Secara umum stressor merupakan sebuah keadaan yang menimbulkan stres. Seperti diungkapan di atas, stres yang dialami seseorang melibatkan interaksi dengan suatu kejadian yang dan di lingkungannya. dan setiap orang bereaksi berbeda-beda dalam satu kejadian yang sama, sehingga suatu kejadian dapat membuat stres bila diikuti oleh hambatan yang menghalangi kita melakukan sesuatu. Hambatan tersebut dapat berupa hal yang nyata atau hanya berupa khayalan (dalam Atwater, 1983 dan Powell, 1983) Lazarus dan cohen (dalam Sheridan & Radmaker, 1992) mengemukakan beberapa bentuk sumber stres, yaitu : Cataclysmic stressor, yaitu peristiwa-peristiwa yang menimpa beberapa orang atau seluruh masyarakat pada saat yang bersaam, contohnya perangm bencana alam, dan sebagainya. Sumber stres seperti ini sifatnya tidak bisa diprediksi, mempunyai dampak yang besar, dan membutuhkan tenaga yang besar untuk mengatasinya. Personal stressor, sifatnya sangat individual, seperti tidak lulus ujian, kehilngan pekerjaan, bercerai dan sebagainya. Sumber stres seperti ini bisa diprediksi bisa juga tidak, mempunyai dampak yang besar dan juga membutuhkan tenaga yang besar untuk mnegatasinya. Background stressor, sifatnya kecil tapi terus dan menggganggu, contohnya tempat kerja yang bising, pencahayaan yang minim, kunci mobil hilang padahal sudah terlambat,
Stres dan strategi …, Irnamia Sugianti, FKM UI, 2013
pulang pergi kerja (commuting to work). Kejadian-kejadian kecil ini disebut gangguan sehari-hari (daily hassles) dan didefinisikan sebagai “........... the irritating, frustating, distressing demands that to some extend characterize everyday transactions with the environment” (kanner et al., 1982 dalam Rowlison & Felner, 1988 : 433) Contohnya seperti cuaca buruk, pekerjaan rumah yang menumpuk, antrian yang panjang, kemacetan, berdesak-desakan, tekanan-tekanan yang berhubungan dengan sekolah, atau pertengkaran dengan orang-orang yang dianggap penting, pulang pergi kerja (commuting to work) yang merupakan topik yang dibahas dalam skripsi ini. Stokols dan Novaco (1981) menyebutkan tingginya gangguan pulang pergi kerja lebih sulit dan maka dari itu akan menjadi pemicu munculnya stress yang akan berpengaruh juga pada kesehatan fisik dan mental. Bukti-bukti yang menyebutkan bahwa pulang pergi kerja dapat menyebabkan stress, yang diasosiakan dengan kemacetan sebagai pembangkit. Kepadatan jalan yang tinggi dihubungkan dengan peningkatan laporan dari penyakit dada dan pengukuran kecepatan jantung, tekanan darah, ketidakteraturan denyut jantung, dan kulit. (Aronow et al, 1972; Michaels, 1962;Stokols et al, 1978; Taggart, Gibbons & Somerville, 1969). 2.4 Stres 2.4.1 Definisi Stres Setiap individu tidak dapat terlepas dari stres. Individu pasti memiliki pengalaman stres dalam kehidupan sehari-harinya. Secara umum stres diartikan sebagai suatu kejadian, baik secara internal maupun eksternal yang melebihi kemampuan individu untuk beradaptasi bahkan stres disadari sebagai keadaan yang tidak menyenangkan 2.4.3 Gejala/ Respon Stres Menurut Wilkinson (2002) berbagai gejala bahwa stres bisa mempengaruhi kesehatan akan berbeda pada setiap orang. Namun pada kebanyakan orang hal ini cenderung menununjukan respon atau “cirinya’ sendiri. Pada orang yang satu mungkin berupa sakit kepala, dan pada orang lain mungkin muncul eksim atau diare. Biasanya gejala awal stres adalah perubahan dalam emosi atau perilaku. Adapun reaksi/ gejala-tersebut adalah : 1. Respon Emosional a. Merasa tertekan b. Merasa tegang dan tidak bisa rileks c. Merasa lelah secara mental d. Terus merasa takut dan khawatir e. Meningkatknya kejengkelan dan keluhan f. Frustasi dan ingin marah g. Gelisah h. Sering menangis i. Menjadi lebih bawel, muram atau curiga 2. Respon Fisik a) Otot-otot tegang pada leher, bahu dan pundak b) Jantung berdebar-debar, lebih cepat atau tidak teratur c) Perubahan nafsu makan d) Rasa mual e) Sulit tidur
Stres dan strategi …, Irnamia Sugianti, FKM UI, 2013
f) Gugup g) Tangan basah dan berkeringat h) Sakit kepala i) Ganguan pencernaan j) Sesak dada k) Sembelit atau diare l) Sakit lama yang memburuk m) Lelah dan lemas 3. Respon Perilaku a) Lebih suka menyendiri b) Menjadi pendiam c) Tidak peduli pada orang lain d) Menjadi ragu-ragu e) Pikiran sering berubah-ubah f) Rewel dan suka mengeluh g) Menjadi kaku h) Menurunya produktivitas dan kualitas kerja i) Cenderung berbuat kesalahan j) Peningkatan absensi k) Sukar konsentrasi l) Mudah lupa, kurang perhatian terhadap detail m) Malas masuk kerja 2.5 Strategi Coping 2.5.1 Pengertian Coping Menurut Lazarus & Folkman (dalam Sarafino, 2006) coping adalah suatu proses dimana individu mencoba untuk mengatur kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi yang menekan dengan kemampuan mereka dalam memenuhi tuntutan tersebut. Menurut Taylor (2009) coping didefenisikan sebagai pikiran dan perilaku yang digunakan untuk mengatur tuntutan internal maupun eksternal dari situasi yang menekan. 2.5. 2 Klasifikasi dan Bentuk Coping Flokman & Lazarus (dalam Sarafino, 2006) secara umum membedakan bentuk dan fungsi coping dalam dua klasifikasi yaitu : a. Problem Focused Coping (PFC) adalah merupakan bentuk coping yang lebih diarahkan kepada upaya untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh tekanan. artinya coping yang muncul terfokus pada masalah individu yang akan mengatasi stres dengan mempelajari cara-cara keterampilan yang baru. Individu cenderung menggunakan strategi ini ketika mereka percaya bahwa tuntutan dari situasi dapat diubah (Lazarus & Folkman dalam Sarafino, 2006). Strategi ini melibatkan usaha untuk melakukan sesuatu hal terhadap kondisi stres yang mengancam individu (Taylor,2009). b. Emotion Focused Coping (EFC) merupakan bentuk coping yang diarahkan untuk mengatur respon emosional terhadap situasi yang menekan. Individu dapat mengatur respon emosionalnya dengan pendekatan behavioral dan kognitif. Contoh dari pendekatan behavioral adalah penggunaan alkohol, narkoba, mencari dukungan emosional dari teman – teman dan mengikuti berbagai aktivitas seperti berolahraga atau menonton televisi yang dapat mengalihkan perhatian individu dari masalahnya. Sementara pendekatan kognitif melibatkan bagaimana individu berfikir tentang situasi yang menekan. Dalam pendekatan kognitif, individu melakukan redefine
Stres dan strategi …, Irnamia Sugianti, FKM UI, 2013
terhadap situasi yang menekan seperti membuat perbandingan dengan individu lain yang mengalami situasi lebih buruk, dan melihat sesuatu yang baik diluar dari masalah. Individu cenderung untuk menggunakan strategi ini ketika mereka percaya mereka dapat melakukan sedikit perubahan untuk mengubah kondisi yang menekan (Lazarus & Folkman dalam Sarafino, 2006). 2.6. Psikologi Lingkungan 2.6.1 Definisi Baron dan Bryne (dalam Fattah, 2010) menyatakan bahwa psikologi lingkungan merupakan sebuah ilmu disiplin yang membahas hubungan antara dunia fisik dan tingkah laku manusia. Fisher, Bell dan baum (dalam Fattah, 2010) mendefinisikan psikologi lingkungan sebagai ilmu mengenai saling dan hubungan anatar tingkah laku dengan lingkungan buatan atau ataupn alamiah. Sarlito (1992) menyatakan bahwa psikologi lingkungan berusahan mempelajari bagaimana motivasi, sikap, perasaan dari manusia terhadap lingkungannya. pada akhirnya psikologi lingkungan diharapkan dapat meramalkan dan merekayasa perilaku manusia demi pembangunan yang berwawasan lingkungan. Selain itu, psikologi lingkungan merupakan sebuah bidang psikologi yang menggabungkan dan menganalisi transaksi serta tata hubungan dari pengalaman dan tindakan manusia dengan aspek-aspek dari lingkungan yang terkait(wibowo, 2009) 4.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk lebih memahami dan mengetahui lebih dalam mengenai stres yang dialami oleh tenaga kerja komuter pengguna transportasi busway TransJakarta dalam menghadapi stressor lingkungan perkotaan berupa kondisi trasportasi yang buruk dan juga kemacetan. Menurt Bogdan dan Taylor sebagaimana dikutip oleh Moleong L.J (1991), penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang dan perilaku yang diamati. 4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian mengenai stres dan Strategi coping pada tenaga kerja komuter pengguna sarana transportasi Busway TransJakarta ini dilaksanakan pada bulan Oktober-Desember 2012. Penelitian mengambil lokasi di 4 koridor busway terpadat di yang paling banyak digunakan terutama pada jam-jam sibuk pergi dan pulang kerja (peak hour) yaitu koridor 3 rute utama Kalideres-Harmoni, koridor 6 rute utama Ragunan-Dukuh Atas, koridor 8 rute utama Lebak Bulus-Harmoni dan koridor 9 rute utama Pinang Ranti-Pluit. Proses wawancara dilakukan setelah pulang kerja atau hari libur ditempat yang sudah disepakati seperti kafe atau rumah informan karena kesibukan dari beberapa informan yang tidak memungkinkan untuk diwawancarai pada hari kerja 4.3 Metode Penelitian 4.3.1 Observasi Pengamatan didefinisikan sebagai pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki. Peneliti selain mengamati masalah yang terjadi di tiap koridor baik kondisi di dalam maupun di luar bus serta mengamati respon yang ditunjukan oleh para informan saat berada diperjalanan dan ekspresi saat melakukan wawancara mendalam. Observasi ini dilakukan pada 4 koridor busway terpadat yaitu
Stres dan strategi …, Irnamia Sugianti, FKM UI, 2013
koridor 3 rute utama Kalideres-Harmoni, koridor 6 rute utama Ragunan-Dukuh Atas, koridor 8 rute utama Lebak Bulus-Harmoni dan koridor 9 rute utama Pinang ranti-Pluit karena menurut hasil wawancara dan data dari website transportasi umum menyebutkan bahwa koridor tersebut merupakan koridor terpadat dan paling sering digunakan oleh masyarakat karena koridor-koridor tersebut melewati beberapa jalan utama dan kawasan perkantoran di Jakarta, sehingga banyak dari para tenaga kerja menggunakan koridor ini saat akan menuju dan pulang kerja. 4.3.2 Wawancara Mendalam Data yang dikumpulkan adalah data primer yang dilakukan dengan menggunakan metode Indepth Interview (wawancara mendalam). Indepth Interview (wawancara mendalam) merupakan suatu teknik pengumpulan data kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam yang ditandai dengan penggalian mendalam mengenai topik-topik tertentu. Selanjutnya agar tidak ada informasi yang terlewatkan, maka jalannya wawancara direkam dengan menggunakan alat bantu voice recorder dan dicatat juga oleh peneliti. 4.4. Informan Penelitian 4.4.1 Kriteria Informan Informan penelitian dipilih dengan mengikuti asas kecukupan dan kesesuaian. Asas kecukupan dapat diartikan data yang diperoleh dari informan diharapkan dapat menggambarkan fenomena yang berkaitan dengan topik penelitian, sedangkan asas kesesuaian berarti informan dipilih berdasarkan keterkaitan dengan topik penelitian. Informan yang akan diteliti terdiri dari beberapa kelompok, yaitu : 1. Informan para tenaga kerja komuter baik laki-laki maupun perempuan berusia antara 20-35 tahun berasal dari daerah lingkar luar Jakarta seperti Depok dan Tangerang, dipilih usia 20-35 tahun karena kelompok usia ini merupakan kelompok usia tenaga kerja produktif 2. Selanjutnya, adapula informan orang terdekat informan seperti keluarga, teman, teman dekat, atau rekan kerja berjumlah kurang lebih 9 orang, minimal 1 orang dari tiap informan utama. Alasan pemilihan informan pendukung tersebut karena mereka merupakan orang-orang terdekat dari tenaga kerja komuter yang tentunya sering melakukan interaksi dengan mereka saat berada di kantor, rumah atau lingkungan pertemanan. Mereka dianggap dapat memberikan informasi terkait dengan perubahan emosi, fisik serta perilaku dari para tenaga kerja komuter yang setiap harinya melakukan aktifitas penglaju. 3. Sedangkan untuk informan yang mengetahui permasalahan yang terjadi dalam transportasi busway, peneliti mewawancarai 2 orang yaitu petugas busway pada koridor 9 Pinang RantiPluit tepatnya di halte Semanggi dan1 supervisor tiketing busway TransJakarta yang bekerja pada koridor 6, pemilihan informan ini dikarenakan koridor 6 dan 9 merupakan salah satu koridor terpadat yang tepat berada di pusat kota dan perkantoran dan juga melewati jalanjalan penguhubung antara Jakarta dengan daerah-daerah diluar Jakarta. 4.4.2 Jumlah Informan Peneliti menggunakan informan sebanyak 18 orang. Terdiri dari 7 orang tenaga komuter, 9 orang terdekat seperti keluarga, teman, teman dekat dan rekan kerja dari informan tenaga kerja komuter dan 1 orang petugas busway dan 1 orang Supervisor tiketing busway TransJakarta. hal tersebut dilakukan agar informasi yang bisa lebih dalam 4.5
Validitas Data Validitas data dilakukan agar data yang di dapat pada penelitian kualitatif ini dapat terjaga. Keabsahan dari data yang telah dikumpulkan, dilakukan dengan triagulasi sumber yaitu
Stres dan strategi …, Irnamia Sugianti, FKM UI, 2013
dengan crosscheck informan tenaga kerja komuter dan informan orang terdekat serta informan karyawan busway yang mengetahui banyak mengenai permasalahan yang terjadi pada manajemen bus TransJakarta. Dan triagulasi metode yaitu dengan observasi dan wawancara mendalam untuk mendapatkan informasi mengenai gambaran stres yang dirasakan. 4.6 Analisa Data Pengolahan dan analisa data dilakukan secara massal dengan menggunakan langkahlangkah sebagai berikut : 1. Membuat transkrip hasil wawancara 2. Kategorisasi data 3. Meringkas data dalam bentuk matriks 4. Menarik kesimpulan 5. Menganalisa data secara Content Analisys yaitu teknik yang digunakan untuk mencari gambaran dan menarik kecenderungan dengan menemukan karakteristik pesan yang dilakukan secara objektif dan sistematis. 5.2.1 Hasil Penelitian terhadap Informan FA beserta Orang Terdekatnya Informan pertama dengan inisial FA merupakan seorang tenaga kerja komuter yang berasal dari Tangerang berusia 24 tahun saat wawancara berlangsung, ia bekerja sebagai Help Desk di sebuah perusahaan Konsultan Manajemen Fasilitas di Jakarta tepatnya di jalan Kuningan Timur, Rasuna Said. Ia telah melakukan aktifitas komuter ini kurang lebih hampir 9 bulan. Sebelum ia ditempatkan di kawasan Kuningan, selama 2 bulan ia bekerja di kawasan Prapanca, Jakarta Selatan. Ini adalah kali pertamanya ia bekerja di Jakarta, sebelumnya ia bekerja di sebuah resort di Bali. Sehingga aktifitas komuter merupakan aktifitas yang baru dalam rutinitas hidupnya. Setiap hari ia melakukan aktifitas penglaju dari Tangerang ke Kuningan, Jakarta Selatan dengan menggunakan Bus TransJakarta. Dari Tangerang tempatnya tinggal, ia menggunakan angkot terlebih dahulu menuju terminal KaliDeres, dari sana ia baru memulai perjalanannya dengan menggunakan busway koridor 3 yaitu jurusan Kalideres-Harmoni, setelah itu ia turun di Halte Grogol 1 untuk kemudian transit di Halte Grogol 2 menuju kawasan Kawasan Kuningan Timur dengan menggunakan Busway koridor 9 yaitu rute utama Pinang Ranti – Pluit. Setelah itu, ia turun di halte kuningan Barat dan cukup berjalan kaki sekitar 100 meter menuju kantornya. Setiap pagi ia berangkat pukul 5.30 sampai sekitar pukul 8.00. Perjalanan yang ditempuh ketika jalanan sedang lancar dan tidak mengalami hambatan dalam menggunakan bus TransJakarta hanya sekitar 2,5 jam. Namun, apabila mengalami macet dan hambatan seperti antrian yang membludak saat menunggu busway, waktu yang ditempuh bisa hampir 3 sampai 4 jam. Hal seperti ini menurutnya sering terjadi pada jam- jam pergi dan pulang kerja (Peak Hour), dan yang paling parah terjadi pada saat jam pulang sehingga lama perjalanan yang ditempuh biasanya memakan waktu lebih panjang. Pada saat jam pulang kerja ia biasanya menggunakan busway sekitar jam 17.30 karena kantornya baru selesai kerja jam 17.00, namun apabila harus melakukan lembur biasanya ia naik busway sekitar jam 8 sampai dirumah biasanya jam 10.30 atau 11.00 malam. Aktifitas penglaju ini ia lakukan setiap hari dari hari senin hingga jumat. Informan selanjutnya yang merupakan orang terdekat dari FA diantaranya adalah ibu kandungnya SS berusia 63 tahun, kemudian MS wanita berusia 23 tahun yang telah menjadi teman dekat FA semenjak mereka masih berkuliah. Selanjutnya DW rekan kerja FA dalam satu divisi di kantor cabang Kuningan Timur.
Stres dan strategi …, Irnamia Sugianti, FKM UI, 2013
Dari hasil wawancara motivasi FA memutuskan untuk bekerja di Jakarta karena adanya permintan dari orang tua dan saran dari teman dekatnya agar bekerja di dalam kota saja sehingga ia mempunyai banyak waktu untuk menjaga dan merawat orang tuanya karena FA merupakan anak terakhir, sementara semua kakaknya sudah menikah dan tinggal di luar kota sehingga kedua orang tuanya hanya tinggal berdua di rumah dan merasa sangat kesepian tanpa ada anaknya yang menemani. Dari sini lah, sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Tangerang dan mencari pekerjaan di Jakarta. Hal ini juga dibenarkan oleh teman dekatnya MS yang sudah menjalin hubungan pertemanan lebih dari 4 tahun. Sebagaimana yang dimaksud dengan motivasi adalah usaha-usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok tertentu bergerak melakukan sesuatu karena keinginan mencapai tujuan yang dikendakinya atau mendapatkan kepuasan dengan perbuatannya. Hal ini dipengaruhi baik dari faktor eksternal maupun internal. Dari hasil wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa FA memutuskan bekerja di Jakarta awalnya atas dorongan dari keluarga dan teman dekatnya, yang kemudian mengubah pola pikirnya. Namun menurut FA, permintaan dan saran dari orang terdekatnya tidak menjadi beban baginya karena ia pun merasa bahwa dengan ia bekerja di Jakarta ia bisa lebih dekat dengan orangtuanya dan penghasilan yang ia dapat juga jauh lebih besar disini. Setelah ia bekerja di Jakarta hampir 9 bulan ada rasa keinginan untuk tinggal sementara (kost) akan tetapi, karena biaya tinggal di Jakarta yang dirasa cukup mahal baginya sehingga ia memutuskan untuk melakukan aktifitas penglaju Karena kendala keuangan yang tidak memungkinnya untuk kost akhirnya hal tersebut memotivasi dirinya untuk melakukan aktifitas penglaju, walaupun ia akhirnya harus menempuh jarak yang cukup jauh. Aktifitas penglaju tersebut harus ia jalani sebanyak 5 hari dalam seminggu. Berangkat dari hal ini lah FA memutuskan untuk menggunakan moda sarana Transportasi bus TransJakarta mengingat jam operasionalnya sudah dimulai pada pukul 5.00 pagi sampai 22.00. Selain itu, tarifnya yang murah juga memotivasi FA untuk menggunakan moda sarana Transportasi ini Untuk masalah interaksi antara individu dengan stressor yang ada di lingkungan berupa moda transportasi yang buruk dan kemacetan, dikarenakan jam kerja FA yang dalam seminggu minimal 5 hari kerja sehingga intensitas menggunakan busway pun cukup sering. Ia biasanya menggunakan busway pada jam-jam sibuk pulang dan pergi kerja mulai dari hari senin sampai jumat. Hal ini membuat interaksi FA terhadap stressor yanga ada cukup lah sering Rute yang ia lalui karena ia tinggal di Tangerang, maka ia harus menggunakan angkot terlebih dahulu menuju terminal Kalideres karena di Tangerang koridor busway masih sedang dalam proses. Dari terminal kalideres, ia baru menggunakan busway koridor 3 rute utama Kalideres-Harmoni. Lalu ia turun di Halte Grogol untuk melakukan transit di Halte Grogol 2 dan melanjutkan perjalanan dengan kordior 9 Pinang Ranti-Pluit menuju tempat kerjanya di Kuningan Timur. Dan menurutnya jumlah transit yang ia lalu tidak terlalu menjadi masalah karena ia cukup hanya 1 kali transit yaitu di Halte Grogol 2 Dalam menjalanan aktifitas penglaju FA biasanya menempuh perjalanan antara 2,5 sampai 4 jam. 2,5 jam perkiraan disaat tidak mengalami kendala apapun diperjalanan dan 3 sampai 4 jam saat mengalami masalah seperti antrian yang panjang dan lamanya kedatangan busway. Selain itu juga terjebak dalam kemacetan
Stres dan strategi …, Irnamia Sugianti, FKM UI, 2013
Akan tetapi situasi jalan yang lancar tersebut jarang sekali ia alami dikarenakan ia setiap harinya melakukan aktifitas penglaju di jam-jam sibuk pada pergi dan pulang kerja (peak hour) dimana itu merupakan jam puncak kendaraan baik umum maupun pribadi sehingga intensitas ia menemui kemacetan cukup sering bahkan menurutnya hampir setiap hari. Lamanya jam tempuh yang ia lalui menurutnya merupakan sebuah beban dan masalah karena jarak tempuh yang jauh membuat ia kurang mempunyai waktu untuk istirahat di rumah karena setiap hari ia selalu berangkat pagi-pagi dan pulang hampir larut malam. Hal ini didukung oleh penelitian Cristine Hoehnerm (2010), Profesor Illmu Kesehatan Masyarakat yang menyebutkan bawah jarak tempuh yang dilalui oleh komuter berpengaruh terhadap waktu tidur dan kualitas hidup mereka. Kemudian, setelah adanya interaksi yang cukup sering antara individu dengan stressor lingkungan yang ada maka akan memicu munculnya respon stress pada individu, namun sebelum akhirnya menghasilkan respon terlebih dahulu ada proses penilaian dimana dalam hal ini individu menilai sebuah stressor yang ada di sekitaranya. Hal ini lah yang dinamakan persepsi, Persepsi disini merupakan suatu proses aktivitas penumpang dalam memberikan kesan, penilaian, pendapat, merasakan dan menginterpretasikan sesuatu berdasarkan informasi yang ditampilkan dari sumber lain (Qohar, 2010). Persepsi merupakan komponen dari stres dimana stres muncul akibat adanya persepsi yang tidak tepat dari diskrepansi antara tuntutan dengan sumber daya yang dimiliki. Berikut merupakan pendapat FA mengenai manajemen busway TransJakarta yang ia gunakan. Pendapat negatif diatas merupakan salah satu pemicu munculnya persepsi negatif terhadap busway. Stressor yang terdapat pada manajemen busway tidak hanya terjadi di dalam bus saja, tetapi diluar busway saat menunggu bus pun banyak terdapat stressor (pembangkit stress). Pembangkit stres (stressor) yang dipersepsikan oleh informan FA pengguna busway dari koridor 3 Kalideres- Harmoni dan Koridor 9 Pinang Ranti-Pluit diantaranya adalah kualitas armadanya yang tidak memadai yang membuat antrian panjang sering terjadi sampai ratusan meter bahkan sampai ke jembatan pada jam pergi dan pulang kerja, contohnya di halte transit busway koridor 9 dimana ukurannya menurut FA sangat sempit hanya sekitar 2x10 meter, itu pun masih harus ditambah dengan adanya kursi dan papan pengumuman yang membuat makin sempit, sehingga sering terjadi kesesakan saat menunggu bus dan juga masalah kemacetan yang belum juga bisa diatasi di jalur busway yang seharusnya mempunyai lajur sendiri. Untuk permasalahan busway di koridor 3 dan 9, menurut hasil pengamatan saya memang terdapat beberapa macam masalah yang tentunya dapat menjadi stressor (pembangkit stres) pada para penggunanya. Dari hasil observasi di pagi hari memang halte Kalideres ini merupakan halte terpadat karena berada diperbatasan antara Tangerang dan Jakarta yang memang dibuat untuk mempermudah warga di.luar Jakarta yaitu Tangerang yang hendak berpergian ke Jakarta. Tidak mengherankan jika setiap harinya halte busway pada koridor ini selalu penuh dan ramai terutama pada jam-jam sibuk ditambah memang armadanya masih kurang sehingga para penumpang harus menunggu lama bahkan sampai 25 atau 30 menit dan untuk halte transit memang ukurannya sangat sempit hanya berukuran sekitar 2x10 meter dengan jumlah penumpang yang menungu sangat banyak, ditambah lagi di halte yang sempit seperti itu masih disediakan TV besar yang ditempatkan di tengah-tengah membuat orang yang antri menunggu busway menjadi kesulitan untuk bergerak. Hasil observasi yang peneliti amati juga didukung oleh pernyataan yang diutarakan oleh petugas busway FS yang bertugas di koridor 9 Pinang Ranti –Pluit tepatnya di Halte Semanggi.
Stres dan strategi …, Irnamia Sugianti, FKM UI, 2013
Sedangkan untuk stressor yang ada didalam busway FA mempersepsikannya diantaranya seperti busnya yang selalu penuh, AC yang tidak berfungsi , panas sehingga membuat ketidaknyaman pada dirinya. Permasalahan yang terdapat dalam busway pun beberapa dibenarkan oleh FS petugas busway bahwa untuk beberapa bus memang belum mengalami perawatan sehingga banyak busway yang Acnya mati namun tetap dioperasikan untuk mengatasi masalah antrian yang panjang terutama pada jam sibuk (peak hour) mengingat jumlah armada yang tersedia saat ini masih kurang Selain menemukan permasalahan pada manajemen busway, FA yang setiap harinya melakukan aktifitas penglaju di ibukota juga menemukan stressor lain yang membuatnya menjadi stres yaitu kemacetan. Seperti yang dikemukan oleh DK Halim bahwa stres lingkungan tidak hanya dipengaruhi oleh satu stressor melainkan gabungan dari beberapa stressor (multiple stressor) Sedangkan jalan-jalan kemacetan yang dianggap sebagai stressor oleh FA sebagai pengguna busway koridor 3 dan 9 adalah di Jalan Daan Mogot, halte Transit Grogol 2 menuju Kuningan sering terjadi kemacetan disekitaran pertigaan Taman anggrek, jalan S.Parman kemudian perempatan Slipi dikarenakan banyak lampu merah dan perempatan ditambah lajur busway sering digunakan oleh kendaraan lain sehingga menghambat perjalanan. Menurutnya, tiap kali melewati jalan-jalan tersebut saat jam padat, ia selalu merasa gelisah terutama bila ia disaat ia sedang dikejar waktu harus cepat sampai di kantor Hal ini pun didukung dan dibenarkan oleh pernyataan dari FS petugas busway bahwa kemacetan di jalur Grogol sampai Cawang merupakan kawasan terpadat karena sebagai tempat pertemuan kendaraan dari luar Jakarta yang merupakan urat nadi Jakarta, sehingga kemacetan di Jalur ini pun tidak bisa dihindari, apalagi untuk koridor 9 ini separatornya masih belum ada sehingga banyak kendaraan lain yang bisa masuk dan mempergunakan lajur busway ini. Dikarenakan seringnya FA mengalami kemacetan dan ini merupakan kali pertamanya bekerja di Jakarta dan merasakan situasi kota Jakarta yang demikian membuat FA mempunyai pendapat negatif mengenai kemacetan Dan menurutnya penyebab kemacetan yang sering terjadi itu dikarenakan angkutan lain masuk dan menggunakan jalur busway sehingga walaupun busway mempunyai jalur sendiri tetap saja kemacetan tidak bisa dihindari. Penyebab ini pun dibenarkan oleh petugas busway FS yang mengutarakan bahwa pada koridor busway terpadat belum tersedia separator yang tinggi baru pada koridor 1 Blok M-Kota dan Pulo Gadung – Dukuh Atas yang mempunyai jalur busway sendiri. Hal ini dikarenakan proses pembuatan separator masih dalam tahapan Permasalahan yang sering ditemui diatas setiap harinya dan adanya Interaksi individu terhadap stressor tersebut memicu munculnya stres seperti yang dikemukan oleh Novaco, Stokols and Milanesi (1990) serta Koslowsky et al. (1995) bahwa stres muncul karena adanya interaksi sosial dengan stressor yang dianggap berlebihan dan tidak dikehendaki. Namun, tiap individu memberikan respon yang berbeda-beda meskipun dihadapkan pada stressor yang sama, hal ini dikarenakan adanya persepsi terhadap stressor selain juga perbedaan karakteristik individu seperti yang dikemukan oleh Paul A. Bell yang menjelaskan bahwa setelah individu mempersepsikan rangsangan dari lingkungannya, akan terjadi dua kemungkinan. Kemungkinan yang pertama, rangsangan itu dipersepsikan berada dalam batas ambang toleransi individu yang bersangkutan yang menyebabkan individu berada dalam keadaan homeostatis, kemungkinan kedua, rangsangan itu dipersepsikan diluar ambang toleransi yang
Stres dan strategi …, Irnamia Sugianti, FKM UI, 2013
menimbulkan stress pada individu, kemudiaan toleransi terhadap stress dimana adanya pengalaman trauma yang dapat menyebabkan seseorang rentan terhadap stressor tertentu. Lalu sumber daya dan dukungan eksternal seperti intensitas dan durasi stres, kehadiran stres lain, pengalaman awal terhadap stress, karakter individu, dukungan sosial dan kontrol. Oleh sebab itulah, mengapa meskipun individu dihadapkan dengan stressor yang sama namun respon stress yang ditunjukan berbeda. Respon stress terdiri dari 3 indikator yaitu emosi, fisik dan perilaku. Respon stress yang terjadi pada FA ditunjukan dengan perubahan emosi seperti merasa lelah secara mental, ingin marah, dan mudah tersinggung. Respon emosi tersebut muncul ketika FA berada dalam kondisi transportasi busway yang penuh sesak dan panas. Hal ini pun dibenarkan oleh teman dekatnya MS yang merasakan adanya perubahan emosi yang terjadi pada FA saat ia berada dalam kondisi tranportasi yang membuatnya tidak nyaman. Respon ini ditunjukan saat mereka berkomunikasi melalui telepon seluler ketika MS menanyakan sesuatu padanya, FA meresponnya tidak ramah bahkan terkesan Jutek dan saat MS berkata sesuatu yang membuat FA kesal, ia pun menjadi mudah tersingung dan akhirnya sering mengakibatkan pertengkaran kecil diantara mereka. Respon stres yang dirasakan dan ditunjukan FA ketika berada di tengah-tengah kondisi yang sesak, panas, dan kemacetan merupakan hal yang wajar karena kondisi kepadatan dan suhu yang panas tersebut memacu tubuh seseorang memproduksi sekresi hormon stress berupa hormon kortisol dan adrenalin secara berlebihan yang mengakibatkan menurunnya kekebalan tubuh dan meningkatnya tekanan darah sehingga mempenagruhi emosi seseorang. Hal ini lah yang membuat seseoarang ketika terkena stress menjadi murah marah atau tersinggung karena suasana hatinya terganggu (Girdano, 2005, p.150)Dalam kondisi ini, respon emosi yang ditunjukan FA mempengaruhi hubungan sosialnya dengan MS teman dekatnya. Sementara untuk respon fisik yang ditunjukan FA berupa perubahan fisik yang terjadi ditunjukan FA adalah adanya keluhan seperti capek, sakit kepala, pegal-pegal, lemas, dan nafsu makan menjadi meningkat Hal ini pun didukung oleh pernyataan yang diutarakan oleh ibu kandung FA dimana semenjak ia bekerja di Jakarta, ibunya lah orang yang menurut FA sering melihat perubahan yang terjadi pada dirinya. Setiap hari saat FA berangkat kerja ibunya selalu menyiapkan sarapan untuknya. Menurut ibunya semenjak FA bekerja di Jakarta memang berat badannya semakin meningkat drastis dibandingkan saat kuliah dan bekerja di Bali dulu, akan tetapi FA pun menjadi sering mudah sakit. Hal ini menurut ibunya mungkin karena FA selalu berangkat pagi sekali dan pulang larut malam sehingga ia sering terkena masuk angin dan kurang istirahat Dari hasil wawancara diatas respon fisik yang muncul pada FA diakibatkan oleh aktifitas penglaju yang dilakukan FA, sehingga ia mengalami gangguan pencernaan yaitu radang usus yang merupakan bagian dari penyakit ringan akibat stres seperti yang dijelaskan oleh Stephen Williams (1997) bahwa stres yang berlebihan dapat menjadi penyebab berbagai penyakit baik ringan maupun berat. Kemudian respon perilaku yang dirasakan oleh FA. Menurutnya, sering ditunjukan pada saat sampai di kantor atau di rumah seperti rasa malas saat berangkat kerja karena kondisinya yang masih capek dan hanya tidur sekitar 4 sampai 5 jam sehingga waktu istirahat yang dirasa juga kurang. Perubahan perilaku yang ia rasakan ini menurutnya sedikit banyak menggagu kinerjanya di kantor. Respon perilaku dari FA juga dirasakan oleh teman dekatnya MS yang mengungkapkan bahwa selama FA bekerja di Jakarta dan menjalani aktifitas penglaju, ia sering mengeluh
Stres dan strategi …, Irnamia Sugianti, FKM UI, 2013
mengenai masalahnya saat menemui masalah diperjalanan, selain itu FA saat ini menjadi sering menolaknya saat diajak jalan-jalan oleh teman dekatnya dengan alasan capek dan ingin istirahat Hal yang sama juga dirasakan oleh orangtua FA di rumah, dimana orang tuanya merasa FA saat ini cenderung menjadi pendiam dan lebih senang menyendiri dari keramaian, saat sampai dirumah pun ia langsung masuk kamar dan jarang berkomunikasi banyak dengan keluarga. Seperti yang diungkap oleh Novaco, Stokols and Milanesi (1990) dan Koslowsky et al. (1995) bahwa aktiiftas penglaju dapat berakibat buruk pada suasana hati saat tiba di tempat kerja di pagi hari dan pulang ke rumah di malam hari, kemudian keterlambatan meningkat, absensi serta upaya menarik diri dari lingkungan sekitar dikarenakan banyak kehilangan waktu bagi diri sendiri untuk bersantai dan merasa tenang. Dalam hal ini respon fisik yang ditunjukan oleh FA berakibat buruk pada hubungan sosialnya dengan orang-orang terdekat dan pekerjaan, walaupun tidak berakibat parah tapi apabila dibiarkan akan berakibat lebih buruk lagi, sehingga diperlukan strategi coping stress untuk mengatasinya Strategi coping yang dilakukan FA dalam mengatasi respon stress yang dialaminya agar tidak terlalu berdampak buruk pada kehidupan sosial dan pekerjaannya yaitu dengan melakukan strategi coping dengan Emotion Focused Coping dan juga Problem Focused Coping secara bersamaan. Emotion focused coping digunakan saat berada di dalam transportasi dimana FA sebagai penumpang transportasi tidak bisa berbuat apa-apa selain menekan respon emosional terhadap situasi yang menekan dengan pendekatan Behavioral. Cara yang dilakukan oleh informan FA adalah dengan mendengarkan musik atau chatting dengan teman, browsing yang dapat mengalihkan individu dari masalah Selanjutnya, cara lain yang dilakukannya adalah dengan pulang lebih malam agar terhindar dari kemacetan dan antrian yang membludak . Cara ini merupakan bagian dari Problem Focused Coping dimana individu melakukan upaya untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh tekanan seperti yang diutarakan dibawah ini : 6.1 Keterbatasan Penelitian Pada saat pelaksanaan peneliti ada beberapa kendala atau hambatan serta yang keterbatasan tidak dapat dihindari baik dalam pelaksanan wawancara, observasi maupun hasil analisis dimana peneliti kesulitan mencari referensi jurnal indonesia mengenai masalah stress pada tenaga kerja komuter dikarenakan masih belum adanya penelitian kesehatan masyarakat yang membahas mengenai permasalahan pada tenaga kerja penglaju ini. Kemudian, proses pengambilan informasi yang memakan waktu cukup lama pada tenaga kerja komuter dikarenakan kesibukan para informan yang bekerja sehingga perlu mencari waktu yang tepat agar tidak menggangu aktifitas mereka. Hambatan lain yaitu adanya gangguan dari luar saat wawancara berupa suara-suara yang tidak diinginkan seperti suara musik, suara orang berbicara di kafe. Lalu, suara kendaraan di jalan raya serta penumpang yang berlalu lalang di sekitar koridor busway sehingga sedikit memecah konsentrasi peneliti. 6.2.1 Pembahasan Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian pada para tenaga kerja komuter pengguna busway karakteristik individu untuk umur 20 sampai 29 tahun memang terdapat adanya perbedaan terhadap respon stres yang ditunjukan dengan informan yang berumur 35 tahun dimana para informan yang berusia 20-29 tahun mereka cenderung lebih memunculkan respon emosi dalam
Stres dan strategi …, Irnamia Sugianti, FKM UI, 2013
mengungkapkan perasaan kekesalan, hal ini terbukti dari hasil wawancara meraka sering berbagi keluh kesah, mengeluarkan perasaan kesal dan stresnya melalui media sosial atau teman dekat. Sedangkan untuk informan usia 35 tahun, ia lebih cenderung menerima kondisi yang ada dengan tidak menunjukan respon emosi yang berlebihan. Sementara untuk jenis kelamin, pendidikan, motivasi tidak ada yang membedakan dalam persepsi dan respon stres kecuali masa kerja dimana dua informan yaitu MR, RA, YK yang sudah bekerja bertahun-tahun tidak terlalu menunjukan pendapat atau persepsi negatif terhadap stressor yang muncul saat menghadapi kemacetan. Mereka menggangap hal tersebut sudah merupakan hal yang biasa dan resiko yang harus dihadapi saat bekerja di Jakarta. Hal ini dipengaruhi oleh adanya pengalaman awal terhadap kehadiran stres. Mereka yang telah bekerja di Jakarta sudah lama tentu sudah sering mengalami dan merasakan kemacetan sebelumnya, sehingga pendapat yang ditunjukan pun sudah biasa dan sudah bisa menerima karena kontrol personal dalam dirinya sudah terlatih Sedangkan pada mereka yang baru menjalani aktifitas komuter dilihat dari respon saat wawancara mendalam dan observasi masih belum terbiasa dengan kondisi yang ada di Jakarta, sehingga respon stres yang ditunjukan juga masih berlebih dan cukup emosional. 6.2.2 Interaksi individu dengan Stressor Dari hasil wawancara dengan informan yang menjalani aktifitas penglaju 4 hari dalam seminggu dan menjalani jam kerja shift merasa aktifitas penglaju yang mereka jalani saat mendapat jadwal kerja siang sedikit lebih santai karena tidak perlu merasakan sesak, padat dan kemacetan saat di jam-jam sibuk (peak hour) sehingga stres lingkungan yang muncul pun tidak terlalu sering mereka rasakan, hanya biasanya di saat jam kerja pagi saja. 6.2.3 Persepsi terhadap stressor Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan dapat disimpulkan bahwa pendapat mereka terhadap manajemen busway masih belum seluruhnya memuaskan. Kondisi di luar busway yang dipersepsikan sebagai stressor oleh hampir seluruh informan tertuju pada armada busway yang masih kurang dan atau interval kedatangan bus yang tidak tepat karena sering lebih terlambat, sehingga membuat antrian menjadi panjang dan tidak terkendali serta kondisi halte yang buruk seperti jembatan penumpang yang atapnya sering hilang, sempitnya halte yang mengakibatkan antrian para penumpang menjadi sesak, lalu pintu halte yang dianggap berbahaya serta pelayanan petugas busway yang buruk yang tidak melakukan apapun untuk mengatur antrian yang panjang dan malah membiarkannya begitu saja saat para penumpang main serobot ketika ingin masuk ke dalam bus yang akhirnya memacu stres mereka 6.2.4 Perubahan emosi sebagai respon subjektif stres yang dialami oleh para tenaga kerja dalam menjalani aktifitas penglajunya di Jakarta Dari hasil wawancara mendalam dengan para informan didapat informasi bahwa respon subjektif stress yang berkaitan dengan emosi ditunjukan dengan perasaan mudah tersinggung, meningkatnya keluhan dan kejengkelan ketika berada pada situasi yang panas dan berdesakdesakan. Ditambah lagi pada saat terjebak dengan kemacetan memunculkan perasaan perasaan gelisah, cemas dan rasa ingin cepat sampai di tujuan. 6.2.5 Perubahan fisik sebagai respon subjektif stres yang dialami oleh para tenaga kerja dalam menjalani aktifitas penglajunya di Jakarta Respon subjektif stress akibat aktifitas perjalanan yang dijalani berkaitan dengan kondisi fisik adalah sakit kepala, tangan dan kaki berkeringat, peningkatan nadi dan nafas, tegang otot leher bahu atau punggung, pencernaan dan sulit tidur(Evayanti, 2003)
Stres dan strategi …, Irnamia Sugianti, FKM UI, 2013
6.2.6 Perubahan perilaku sebagai respon subjektif stres yang dialami oleh para tenaga kerja dalam menjalani aktifitas penglajunya di Jakarta Dari hasil uraian diatas, hampir semua perubahan perilaku subjektif yang dialami oleh para tenaga kerja komuter adalah rasa malas saat berangkat kerja terutama pada mereka yang baru menjalani aktifitas penglaju di pagi hari. Saat memulai kerja menjadi tidak fokus dan tidak bersemangat karena pikiran dan emosi terkuras saat harus menghadapi perjalanan yang cukup jauh yang akhirnya menggangu pekerjaan seperti meningkatnya absensi, konsentrasi dan kinerja menurun serta perubahan rumah seperti sikap menarik diri dan menjadi pendiam. 6.2.7 Strategi Coping Dari hasil wawancara yang dilakukan, hampir sebagian besar melakukan kedua strategi coping tersebut secara bersamaan untuk menghadapi respon stress akibat dari aktifitas penglaju yang mereka jalani yaitu Emotion Focused Coping dengan pendekatan behavioral dengan cara mendengarkan musik atau browsing, sharing dengan teman, melakukan aktifitas olah raga yang dapat mengalihkan individu dari masalah. 7.1 Kesimpulan 1. Alasan individu untuk bekerja di Jakarta dipengaruhi oleh adanya dorongan/motivasi eksternal (orang terdekat dan institusi) dan internal (diri sendiri) 2. Kebutuhan akan sarana transportasi yang aman serta nyaman pada tenaga kerja komuter dalam menunjang aktifitas penglajunya sangat lah tinggi 3. Kondisi transportasi dan kemacetan merupakan masalah fisik perkotaan Jakarta yang masih perlu mendapat perhatian pemerintah karena merupakan sumber stress (stressor) bagi para tenaga kerja yang melakukan aktifitas penglaju yang bisa berpengaruh terhadap suasana hati, emosi, fisik dan perilaku mereka saat di tempat kerja atau di rumah 4. Stressor yang dipersepsikan tenaga kerja komuter berhubungan dengan masalah manajemen transportasi busway baik di dalam bus maupun diluar bus seperti armada yang kurang, antrian yang panjang, halte yang sempit, kesesakan, panas dan juga jalan-jalan kemacetan 5. Gambaran stres lingkungan menurut (usia, jenis kelamin, masa kerja, jarak tempuh, intensitas menemui kemacetan, intensitas melakukan aktifitas komuter yang berinteraksi dengan stressor berupa saran transportasi dan kemacetan) ditunjukan dengan respon berupa emosi, fisik dan perilaku. 6. Respon stres yang muncul dipengaruhi oleh adanya persepsi terhadap stressor. Respon stres berbeda beda tiap individu hal ini juga dipengaruhi oleh karakteristik individu seperti usia, jarak tempuh, masa kerja intensitas beinteraksi dengan stressor seperti intensitas menggunakan busway, intensitas menemui kemacetan. respon stress emosi berupa rasa mudah, mudah tersinggung, perasaan kesal, lelah secara mental, gelisah, khawatir. Sedangkan respon fisik berupa nafsu makan meningkat dan mnurun, pegal-pegal otot tangan, kaki, bahu, sakit kepala. Untuk respon perilaku seringnya munculnya rasa malas untuk berangkat kerja, tidak konsentrasi dan tidak bersemangat saat memulai kerja sehingga kinerja menjadi menurun dan menarik diri dari keramaian dan lingkungan sehingga berpengaruh terhadap hubungan sosial dengan keluarga maupun teman. 7. Strategi coping, strategi yang dilakukan oleh tenaga kerja komuter untuk mengurangi rasa stress yang muncul adalah dengan Emotion Focused Coping yang berfungsi untuk mengontrol respon emosi terhadap stress . Emotion Focused Coping dengan
Stres dan strategi …, Irnamia Sugianti, FKM UI, 2013
pendekatan behavioral dengan cara mendengarkan musik atau browsing, sharing dengan teman, melakukan aktifitas olah raga yang dapat mengalihkan individu dari masalah. Lalu ada pula para informan yang melakukan strategi coping dengan pendekatan kognitif seperti menerima kondisi yang ada sebagai resiko bekerja di Jakarta dan adapula yang membandingkan dengan individu lain yang juga merasakan hal yang sama. Adapula informan yang melakukan strategi Emotion Coping namun bersifat maladiptif seperti merokok untuk menenangkan pikiran. Selanjutnya dengan cara Problem Focused Coping dimana individu melakukan upaya untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh tekanan.Seperti mencari alternative jalan lain untuk menghindari kemacetan dan kepadatan pada jam-jam sibuk (peak hour), menginap di rumah teman atau dengan cara pulang kantor lebih larut. Dari hasil yang didapat bahwa hampir seluruh informan melakukan kedua strategi coping secara bersamaan dalam menghadapi stress lingkungan yang mereka alami, tidak ada perbedaan Jenis kelamin yang mempengaruhi pemilihan strategi coping pada informan. 7.2 Saran 7.2.1 Kepada Manajemen Busway TansJakarta 1. Dengan diketahui gambaran stress yang dialami para penumpangnya terutama mereka yag bekerja diharapkan agar dapat meningkatkan fasilitas transportasi yang ada seperti menambah armada, membuat separator yang tinggi agar transportasi lain tidak masuk ke lajur busway, meningkatkan kebersihan dan kelayakan pada kondisi fisik di luar bus seperti Halte maupun di dalam bus seperti AC, GPS atau CCTV dan Pembatasan area khusus laki-laki dan perempuan. 2. Meningkatkan pelatihan terhadap karyawan untuk pelayanan yang lebih baik 3. Membuat peraturan yang tegas mengenai masalah yang terjadi di sarana transportasi busway seperti penumpang yang tidak tertib. 7.2.2 Kepada Departemen Perhubungan Dengan diketahuinya gambaran stres yang dialami para tenaga kerja hal ini diharapkan bisa menjadi pertimbangan bagi instansi dinas dan departemen perhubungan serta Badan Pembinaan Keamanan Polri Direktorat Lalu Lintas agar lebih memperhatikan masalah kemacetan yang terjadi di ibu kota dan menciptakan moda transportasi yang layak, aman, serta nyaman bagi masyarakat ibu kota. 7.2.3 Kepada Kementrian Kesehatan 1. Dengan diketahuinya permasalahan pada tenaga kerja komuter diharapkan kementerian kesehatan khususnya promosi kesehatan dan K3 dapat memperhatikan masalah kesehatan jiwa pada tenaga kerja penglaju yang setiap harinya terpapar oleh stressor-stesssor perkotaan dengan cara memberikan informasi berupa poster yang ditempel di dalam Busway TransJakarta yang isinya menjelaskan mengenai stres, cara mengatasi stres saat diperjalanan dan cara manajemen stress yang baik. 2. Adanya advokasi dan kerjasama lintas sektor ke berbagai pihak termasuk Departemen Perhubungan dan Manajemen Busway mengenai sarana Transportasi yang aman dan nyaman dan mengutamakan keselamatan serta kesehatan para penggunanya agar setidaknya dapat terhindar dari masalah stres lingkungan dalam bertransportasi 7.2.4 Kepada para tenaga kerja komuter 1. Disarankan untuk lebih dapat mengontrol rasa stres yang muncul dengan cara manajemen stres yang baik agar tidak mempengaruhi hubungan sosial baik lingkungan pekerjaan maupun teman dan kelurga
Stres dan strategi …, Irnamia Sugianti, FKM UI, 2013
2.
Diharapkan bisa mencari strategi coping yang sesuai dan adaptif dengan kondisi individu 7.2.5 Kepada Peneliti Perlu dilakukan penelitian kuantitatif sehingga jelas prosentase jumlah tenaga kerja komuter yang mengalami stres akibat aktifitas penglaju yang mereka dijalani tidak hanya pada pengguna Bus TransJakarta saja, namun pada mereka yang menggunakan sarana transportasi umum lainnya atau kendaraan pribadi.
Stres dan strategi …, Irnamia Sugianti, FKM UI, 2013