Pengembangan Inovasi Pertanian 3(4), 2010: 319-331
STRATEGI PENINGKATAN PRODUKSI KEDELAI SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN DI DALAM NEGERI DAN MENGURANGI IMPOR 1) T. Adisarwanto Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Jalan Raya Kendal Payak, Kotak Pos 66 Malang 65101 Telp. (0341) 801468, Faks. (0341) 801496 e-mail:
[email protected]
PENDAHULUAN Permintaan kedelai menunjukkan kenaikan yang cukup besar seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat. Namun, di sisi lain kemampuan memproduksi kedelai di dalam negeri belum mampu mencukupi kenaikan permintaan tersebut (Manurung 2002). Meningkatkan produksi kedelai di dalam negeri merupakan upaya mutlak yang harus dilakukan untuk mengurangi kebergantungan pada impor yang sangat besar. Aspek swasembada kedelai lebih dititikberatkan pada pengurangan volume impor setiap tahun. Untuk jangka panjang, swasembada dapat dicapai apabila program peningkatan produksi dapat dilaksanakan dengan komitmen dan kerja keras yang berkesinambungan. Pemerintah terus berupaya meningkatkan produksi kedelai melalui beberapa program, yaitu pengapuran (1984), opsus kedelai (1990), dan gemapalagung (2000).
1)
Naskah disarikan dari bahan Orasi Ahli Peneliti Utama yang disampaikan pada tanggal 29 Maret 2004 di Bogor.
Namun, program-program tersebut tidak didukung sistem perencanaan yang baik dan tidak dilaksanakan secara keberlanjutan sehingga belum dapat mencapai sasaran produksi yang ditentukan. Kasryno dan Pribadi (1991) menyarankan empat kebijakan yang dapat ditempuh untuk meningkatkan produksi kedelai, yaitu: (1) kebijakan harga yang berorientasi pada produsen; (2) pengembangan paket teknologi; (3) subsidi sarana produksi; dan (4) pengendalian impor dan perdagangan dalam negeri.
KERAGAAN PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI
Keberhasilan peningkatan produksi kedelai yang telah dicapai tidak terlepas dari rekomendasi paket teknologi. Pada kurun waktu 1970-1980, paket teknologi kedelai ditekankan pada penanaman varietas unggul berbiji kecil dengan potensi hasil 1,0-1,5 t/ha, penggunaan rhizobium Legin, takaran pupuk urea 25-50 kg + TSP 50-75 kg + KCl 25-50 kg/ha, dan aplikasi pestisida 4-5 kali. Kemudian pada kurun waktu 1980-1990, ada sedikit perubahan yaitu
menggunakan varietas berbiji kecil hingga sedang dengan potensi hasil 1,5-2,0 t/ha serta aplikasi mulsa jerami padi dan pupuk cair, sedangkan takaran pupuk relatif tetap, hanya takaran pupuk KCl menjadi 75-100 kg/ha. Pada kurun waktu 1990-2000, teknologi yang direkomendasikan adalah varietas berbiji sedang hingga besar dengan potensi hasil 2,0-2,5 t/ha, penggunaan mulsa, saluran drainase, takaran pupuk anorganik tetap, serta pengendalian hama dengan pendekatan PHT. Dalam kurun waktu 30 tahun tersebut diharapkan produktivitas kedelai meningkat dari 1,0 mejadi 2,0 t/ha. Ketidakseimbangan antara kemampuan memproduksi kedelai di dalam negeri dan kenaikan permintaan sebenarnya telah terjadi dalam kurun waktu cukup lama. Selama periode 1969-1985, kenaikan produksi kedelai mencapai 4,75%, sedangkan lonjakan permintaan mencapai 5,74%/ tahun. Selanjutnya pada periode 1983-1989, walaupun produksi meningkat menjadi 6,44%/tahun, impor kedelai juga meningkat 9,20%/tahun (BPS 1986, 1990). Impor kedelai di Indonesia sudah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda pada tahun 1929, yaitu sebanyak 68.000 ton dari Manchuria, walaupun produksi dalam negeri sudah mencapai 127.000 t/tahun (Blokhuis dan van Libbenstein 1932 dalam Sumarno dan Adisarwanto 2000). Setelah kemerdekaan, impor kedelai dimulai lagi pada tahun 1971 sebesar 277 ton, kemudian meningkat menjadi 171.746 ton pada tahun 1976 dan naik lagi menjadi 400.000 ton pada tahun 1984 (Silitonga dan Purnomo 1987). Keberhasilan swasembada beras pada tahun 1984 melahirkan pemikiran apakah program swasembada dapat juga dilakukan pada kedelai. Oleh karena itu, pemerintah pada tahun 1984/85 melaksanakan program pengapuran pada tanaman kedelai di lahan
masam. Hasilnya terbukti pada tahun 19871993 produksi naik 6,03%/tahun, terutama karena meningkatnya areal panen 5,23% dan produktivitas 1,30%/tahun (Pasandaran dan Rusastra 2000). Keinginan berswasembada kedelai ini masih dilanjutkan melalui program gemapalagung pada tahun 2000. Namun, data menunjukkan produksi yang dicapai masih belum sesuai dengan harapan. Di sisi lain, membanjirnya kedelai impor dengan harga lebih murah dibanding kedelai dalam negeri sangat menekan usaha tani kedelai. Akibatnya, petani tidak tertarik lagi menanam kedelai sehingga terjadi penurunan areal panen yang cukup besar. Rendahnya harga kedelai impor terutama disebabkan adanya berbagai upaya negara pengimpor untuk melindungi para petani kedelainya, khususnya Amerika Serikat (AS). Pada tahun 1998/99, Departemen Pertanian AS (USDA) memberikan kredit ekspor kedelai dengan persyaratan lunak kepada para pengimpor kedelai Indonesia melalui program Pl-480 sebesar US$12 juta. Pada tahun 2000/2001, pemberian kredit dilanjutkan melalui program GSM-102 sebesar US$650 juta, dan pada tahun 2001/2002 naik menjadi US$750 juta. Namun, program ini tidak dapat dilaksanakan karena tidak dijamin oleh Pemerintah Indonesia. Namun, ada informasi bahwa saat ini negara pengekspor memberikan kelonggaran pembayaran LC mundur kepada para pengimpor kedelai sehingga kedelai impor tetap dapat bersaing di dalam negeri (Manurung 2003).
STRATEGI PENINGKATAN PRODUKSI KEDELAI Strategi umum untuk meningkatkan produksi kedelai dapat didekati melalui lima sumber pertumbuhan, yaitu menambah
luas panen, meningkatkan produktivitas, menekan senjang hasil, meningkatkan stabilitas, dan mengurangi kehilangan hasil (Puslitbangtan 1991). Kelima upaya tersebut harus sinergis satu dengan yang lain menjadi satu kesatuan untuk mencapai satu sasaran yaitu peningkatan produksi.
Penambahan Areal Panen Peningkatan produksi dengan melakukan penambahan areal panen telah sukses dilaksanakan di India dengan perbandingan 60% merupakan lahan bukaan baru dan 40% mengganti tanaman, sedangkan di Brasil hampir 100% tambahan areal merupakan lahan bukaan hutan. Pada saat ini, kedua negara tersebut telah menjadi negara penghasil utama kedelai di dunia. Di Indonesia, perkembangan areal panen memperlihatkan tren yang berbeda karena selama 10 tahun (1992-2001) terjadi penurunan areal panen sebesar 55,8%, yaitu dari 1,66 juta hektar pada tahun 1992 menjadi 678 ribu hektar pada tahun 2001. Untuk menutupi penurunan areal tanam tersebut, sasaran penambahan areal panen dapat dikonsentrasikan pada tiga jenis lahan yang potensial sebagai berikut.
mau menanam kedelai kembali. Persoalan harga masih menjadi alasan utama bagi petani untuk tidak menanam kedelai karena dipandang kurang memberi tambahan pendapatan, dan menanam tanaman lain lebih menguntungkan. Altemeier dan Bottema (1991) berpendapat bahwa proteksi harga merupakan cara yang lebih efektif dalam mendorong peningkatan produksi, adopsi teknologi pemupukan, dan penyerapan tenaga kerja dibandingkan dengan subsidi harga pupuk. Upaya menambah luas areal panen lebih dititikberatkan pada lahan sawah irigasi yang ditanami satu atau dua kali padi setahun, yaitu dengan cara memasukkan kedelai dalam pola tanam sehingga meningkatkan indeks pertanaman (IP) dari IP 120-150 menjadi IP 300. Khusus pada lahan sawah tadah hujan dengan pola tanam padi-kedelai, pendekatan tidak dilakukan dengan menaikkan indeks panen, tetapi dengan mengubah cara tanam dari semai basah untuk tanaman padi menjadi semai kering sehingga waktu tanam kedelai lebih cepat dan produktivitas meningkat dari 1,1 t/ha menjadi lebih dari 2,0 t/ha (Suyamto dan Indrawati 1992).
Lahan Kering Lahan Sawah Saat ini pertanaman kedelai di lahan sawah baru mencapai 65% dari total areal panen. Peluang untuk meningkatkan produksi kedelai terbuka luas karena tersedia areal potensial sekitar 800 ribu ha yang tersebar di 10 provinsi (Puslitbangtan 1991). Namun, masalah yang dihadapi adalah menanamkan kepercayaan dan minat petani agar
Peluang menambah luas areal panen kedelai di lahan kering masih besar karena ketersediaannya cukup luas di luar Jawa. Walaupun lahan kering yang tersedia untuk menambah areal tanam kedelai cukup luas, dari aspek kesesuaian secara teknis dan ekonomis, mungkin yang sesuai hanya ratusan ribu hektar. Menjalin kerja sama kemitraan dengan swasta untuk membuka lahan pertanaman kedelai dengan mene-
rapkan mekanisasi merupakan salah satu pendekatan yang tepat. Di samping itu, diperlukan sosialisasi dan keikutsertaan pemerintah daerah dalam pengembangan produksi kedelai, karena sejalan dengan otonomi daerah, dana pembangunan akan terkonsentrasi di daerah. Paket teknologi produksi kedelai di lahan kering masam telah tersedia dengan potensi hasil 1,5-2,0 t/ha, termasuk tiga varietas unggul baru yang sesuai untuk lahan masam, yaitu Nanti, Sibayak, dan Tanggamus dengan potensi hasil 1,2-2,0 t/ha (Arsyad et al. 2002).
Lahan Pasang Surut/Lebak Potensi lahan lebak di Kalimantan Selatan seluas 300 ribu hektar selama ini belum dimanfaatkan secara optimal. Paket teknologi kedelai untuk lahan ini telah tersedia dengan produktivitas 1,5-2,0 t/ha (Damanik 1993; Adisarwanto et al. 2000). Di samping itu, tersedia varietas kedelai unggul baru dengan nama Lawit dan Manyapa. Upayaupaya yang dilakukan untuk menambah areal panen kedelai di lahan lebak tetap harus mempertimbangkan faktor ekologi (biofisik) dan sosial ekonomi.
Peningkatan Produktivitas Berdasar fakta dan kondisi yang ada di lahan petani, upaya meningkatkan produktivitas kedelai di sentra produksi merupakan pendekatan jangka pendek yang paling tepat saat ini karena tidak memerlukan tambahan pengetahuan kepada petani mengenai cara menanam kedelai. Upaya lebih dititikberatkan pada pening-
katan adopsi atau penerapan teknologi produksi yang lebih baik dan unggul dibandingkan dengan teknologi saat ini, seperti penggunaan Rhizoplus, pupuk cair, dan pupuk hayati. Ada dua strategi penting dalam menaikkan produktivitas, yaitu meningkatkan potensi hasil genetik tanaman serta pengelolaan lahan, hara, dan air secara terpadu.
Meningkatkan Potensi Hasil Genetik Tanaman Meningkatkan potensi hasil genetik tanaman dapat dilaksanakan melalui persilangan galur-galur untuk memperoleh calon varietas unggul baru dengan potensi hasil biji lebih dari 3,0 t/ha. Potensi hasil varietas kedelai yang diperoleh sampai saat ini belum terlalu tinggi, yaitu masih berkisar antara 1,5-2,5 t/ha, sehingga pada saat ditanam di lapangan dengan tingkat pemeliharaan yang beragam, dan ditambah adanya cekaman biotik dan abiotik yang beraneka macam, potensi hasil biji yang dicapai hanya 50% dari potensi yang sesungguhnya, yaitu 0,75-1,25 t/ha. Potensi hasil genetik tanaman kedelai di daerah Bali dan Nusa Tenggara Barat secara teoritis dapat mencapai 3,5 t/ha apabila dihitung dari banyaknya produksi bahan kering tanaman kedelai dan intensitas sinar matahari (Sitompul dan Guritno 1990, 1993). Untuk mencapai produktivitas potensial tersebut, salah satu upayanya adalah melalui pendekatan tipe tanaman ideal yang cocok untuk masing-masing agroekologi tanaman kedelai. Pendekatan tipe tanaman ideal ini telah berhasil diterapkan pada tanaman padi dan jagung. Fenotipe kedelai tipe ideal ditandai dengan
sifat-sifat (1) tinggi tanaman >100 cm; (2) mempunyai batang utama yang kokoh sehingga tahan rebah; (3) mampu memproduksi polong >100 polong berbiji dua atau lebih, terutama pada batang utama dan tidak/sedikit bercabang; (4) berukuran biji besar (14-15 g/100 biji) dan berwarna kuning; (5) tipe pertumbuhan determinit; dan (6) umur masak 90-110 hari. Untuk keunggulan sifat fisiologis tanaman, Sinclair (1998) menyarankan agar varietas kedelai unggul memiliki nilai indeks panen yang tinggi (>50%). Sementara Kush (1998) menyarankan, strategi peningkatan produktivitas seyogianya dilakukan melalui pembentukan varietas baru dengan umur genjah, efisien dalam penggunaan hara, dan mempunyai kemampuan fiksasi N yang tinggi. Hasil pengamatan di lahan petani oleh Adisarwanto et al. (1989) menunjukkan bahwa jumlah tanaman yang dipanen setiap hektar hanya berkisar antara 100-200 ribu tanaman sehingga produktivitas yang dicapai beragam dan rendah. Penggunaan varietas kedelai tipe ideal dengan fenotipe berbatang kokoh dan tidak/sedikit bercabang bertujuan agar anjuran populasi tanaman optimal 400-500 ribu tanaman setiap hektar dapat ditingkatkan menjadi 600 ribu tanaman sehingga pada saat panen dapat dipenuhi jumlah 300-400 ribu tanaman dan produktivitas 3,5-4,0 t/ha akan tercapai. Kualitas benih yang ditanam masih merupakan masalah yang serius bagi petani sehingga jumlah optimal populasi tanaman selalu tidak dapat dipenuhi. Benih hasil panenan musim sebelumnya sering digunakan untuk tanam berikutnya. Upaya memperbaiki sistem perbenihan untuk memperoleh benih berkualitas tinggi di tingkat petani masih perlu digalakkan, baik melalui pembinaan kelompok tani maupun pengembangan penangkar benih swasta.
Pengelolaan Lahan, Hara, dan Air secara Terpadu Keterpaduan pengelolaan lahan, hara, dan air merupakan salah satu syarat untuk meningkatkan produktivitas. Pada saat ini, kondisi kesuburan lahan sawah pertanaman kedelai sangat memprihatinkan. Hasil penelitian Adisarwanto dan Riwanodja (2002) pada tanah Entisol di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan NTB menunjukkan lebih dari 75% memiliki kandungan C-organik tanah rendah sampai sangat rendah, demikian pula untuk kadar hara N, K, dan S. Untuk mengatasi kendala tersebut, penambahan bahan organik kotoran ayam sebanyak 10-20 t/ha sangat dianjurkan (Kuntyastuti 1998). Pada tanah Vertisol, penambahan kotoran ayam 20 t/ ha dapat menaikkan kadar C-organik tanah dan meningkatkan efisiensi pupuk P pada kedelai (Kuntyastuti 2000). Sampai saat ini, pemupukan masih merupakan penambahan input terpenting untuk meningkatkan produktivitas tanaman. Agar pemupukan memiliki efisiensi yang tinggi, diperlukan penetapan takaran anjuran pupuk untuk spesifik lokasi. Untuk itu, penetapan kebutuhan pupuk harus selalu didasarkan pada hasil penelitian di lokasi tersebut dalam jangka waktu tertentu. Analisis tanah dan tanaman merupakan metode yang praktis dan akurat dalam menunjang penetapan kebutuhan pupuk. Di lahan sawah dengan pola tanam padi-padi-kedelai atau padi-kedelai-kedelai, takaran anjuran pupuk harus mempertimbangkan efek residu pupuk dari tanaman padi. Adisarwanto et al. (1996) menyatakan bahwa tanaman kedelai setelah padi sawah yang dipupuk sesuai program intensifikasi khusus atau umum, tidak memerlukan tambahan pupuk NPK karena sudah di-
cukupi dari residu pupuk pada tanaman padi. Pendapat ini dikuatkan oleh Sumarno et al. (1989) yang menyatakan bahwa kedelai lebih respons terhadap residu pupuk yang ditinggalkan dari tanaman sebelumnya. Anjuran pemupukan secara umum untuk lahan sawah adalah urea 50 kg , SP36 50-75 kg, dan KCl 50-100 kg/ha (Adisarwanto et al. 1996). Aplikasi pupuk hayati untuk setiap sentra produksi kedelai diperlukan karena keanekaragaman kesuburan tanah yang ada di lahan petani. Aspek lain yang tidak kalah penting adalah pengelolaan air. Kekurangan maupun kelebihan air berpengaruh terhadap produktivitas kedelai. Kondisi cekaman kekeringan yang masih dapat ditoleransi oleh tanaman kedelai adalah lengas tanah pada awal pertumbuhan 50%, saat berbunga 75%, dan pembentukan biji 75% air tersedia (Rahmianna 2002). Sebaliknya, bila kondisi tanah mengalami kelebihan air maka tanah jenuh air yang dapat ditoleransi tanaman kedelai adalah apabila tanah tersebut masih berada sekitar 85% jenuh air (Savitri et al. 2003). Di samping itu, kondisi kejenuhan air pada 85% juga optimal untuk pemupukan P (Masudah et al. 2003). Teknologi produksi kedelai pada lahan basah (jenuh air) telah tersedia dengan produktivitas sekitar 2,0 t/ha (Adisarwanto 2001).
Menekan Senjang Hasil Pengertian senjang hasil adalah beda antara rata-rata hasil pertanaman kedelai di tingkat petani dibandingkan dengan hasil penelitian/demplot. Saat ini, senjang hasil masih besar sehingga masih terbuka peluang untuk meningkatkan produksi. Untuk menekan besarnya senjang hasil dapat
dilakukan dengan dua strategi, yaitu penerapan teknologi produksi spesifik lokasi dan meningkatkan penyuluhan tentang kedelai.
Penerapan Teknologi Produksi Spesifik Lokasi Besarnya senjang hasil di tingkat petani lebih banyak disebabkan oleh faktor biofisik dan sosial ekonomi. Proses alih teknologi budi daya kedelai kepada petani umumnya masih berjalan lambat karena tingkat adopsi teknologi juga masih rendah. Di lain pihak, paket teknologi produksi kedelai yang dianjurkan ke petani juga masih bersifat umum, padahal kondisi di lapangan mempunyai sifat lingkungan tumbuh yang spesifik. Hasil penelitian Adisarwanto et al. (1994a, 1994b) menunjukkan bahwa penerapan paket teknologi yang sama pada hamparan yang sama dapat memberikan hasil yang beragam. Hal ini disebabkan kemampuan individu petani yang berbeda, di samping karena kesuburan tanah dan skala usaha yang juga beragam. Ini mengindikasikan bahwa paket teknologi spesifik lokasi untuk masingmasing sentra produksi kedelai harus dibuat. Kondisi di lapangan juga menunjukkan bahwa penerapan komponen teknologi produksi kedelai oleh petani tidak lengkap. Penerapan saluran drainase, misalnya, ternyata kualitas saluran (lebar dan kedalaman saluran, jumlah, serta letak saluran) belum sesuai dengan anjuran. Demikian pula penggunaan jerami sebagai mulsa dalam petakan, belum memenuhi minimum takaran 5 t/ha. Selain itu, cara penempatan jerami sebagai mulsa masih belum merata sehingga gulma tumbuh subur. Evaluasi
paket teknologi produksi kedelai di daerah NTB menunjukkan adanya keragaman tingkat produksi yang dicapai petani antarwaktu tanam, lokasi, dan musim (Adisarwanto et al. 1992; Indrawati 1995; Rahayu et al. 2000). Aplikasi paket teknologi secara benar dan tepat mampu memperoleh hasil >2,0 t/ha (Adisarwanto et al. 1998).
Meningkatkan Penyuluhan tentang Kedelai Hasil penelitian pengembangan teknologi kedelai di sentra produksi di Jatim, Bali, dan NTB (Adisarwanto et al. 1993, 1994a, 1994b, 1995a, 1995b, 1996) menunjukkan bahwa dengan pengawalan yang ketat sejak awal pertumbuhan sampai panen, diikuti penjelasan kepada petani tentang cara penerapan komponen teknologi yang tepat dan benar serta dukungan instansi terkait (penyuluh), hasil kedelai di tingkat petani dapat naik menjadi 1,5-3,0 t/ha. Keberlanjutan pembinaan kepada petani seyogianya tetap dilakukan oleh penyuluh maupun instansi terkait agar paket teknologi diterapkan secara utuh.
Peningkatan Stabilitas Hasil Keragaan hasil tanaman kedelai di lapangan sering kali tidak sesuai dengan harapan akibat cekaman biotik dan abiotik. Penurunan hasil akibat cekaman kedua faktor tersebut berkisar antara 20-80%, bergantung pada saat, lama, dan tingkat cekaman yang terjadi. Strategi yang dapat dilaksanakan agar tanaman mempunyai tingkat stabilitas hasil biji yang tinggi diuraikan berikut ini.
Perbaikan Ketahanan Tanaman Terhadap Hama-Penyakit Utama Upaya perbaikan ketahanan tanaman bertujuan membuat varietas unggul baru kedelai tahan terhadap hama-penyakit. Untuk saat ini, pencarian induk/bahan tanaman sumber gen tahan menjadi prioritas utama dalam kegiatan pemuliaan tanaman. Evaluasi ketahanan terhadap hama wereng kedelai (Phaedonia inclusa Stall), lalat kacang (Ophiomyia phaseoli Tr.), dan pengisap polong (Riptortus linearis L.) baru dimulai pada tahun 1977 (Harnoto et al. 1977). Di Balitkabi, kegiatan tersebut dimulai tahun 1990 terhadap hama pengisap polong, dan telah ditemukan dua galur yang menunjukkan sifat tahan/toleran pengisap polong, yaitu IAC 80-5962 dan IAC 100 (Suharsono 2001). Selain itu juga ditemukan beberapa galur tahan hama ulat grayak (Adie dan Tridjaka 2000). Di masa mendatang, penggunaan varietas tahan dapat mengurangi biaya produksi dan tidak mencemari lingkungan.
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Jenis hama yang menyerang tanaman kedelai cukup banyak. Menurut Marwoto (2001), ada 11 jenis serangga hama utama yang berpotensi besar merusak tanaman kedelai. Cara pengendalian hama terpadu (PHT) merupakan pendekatan yang paling tepat dengan mengombinasikan beberapa komponen pengendalian untuk menekan serangan hama tersebut. Penerapan PHT dapat menekan intensitas dan luas serangan hama 50-60% (Marwoto 2001). Beberapa komponen biopestisida yang ramah lingkungan adalah NVP, feromon
seks, dan parasitoid Trichogrammatoidea bactrae-bactrae. Pembentukan sekolah lapang PHT merupakan salah satu upaya mensosialisasikan PHT kepada petani. Serangan penyakit pada tanaman kedelai tidak sebesar serangan hama karena jenis dan jumlah penyakit lebih sedikit dibanding hama. Penyakit utama pada tanaman kedelai yaitu karat daun. Penggunaan fungisida triadimefon pada umur 39, 63, dan 77 hari setelah tanam efektif menekan serangan penyakit tersebut (Hardaningsih 1995).
Pembentukan Tanaman Toleran Cekaman Abiotik Cekaman abiotik yang dimaksud antara lain adalah kekeringan, kelebihan air, tanah masam, dan tanah basa. Penurunan hasil akibat cekaman abiotik berkisar antara 4080% apabila tidak dikelola secara benar. Pembentukan varietas unggul toleran cekaman abiotik memerlukan waktu yang lama karena mekanisme toleransi bersifat kompleks dan belum dapat dimengerti dengan jelas. Namun, pada tahun 1995 telah dilepas dua varietas kedelai toleran lahan masam, yaitu Slamet dan Sindoro (Sunarto 1996). Selanjutnya, pada tahun 2001 dihasilkan tiga varietas unggul kedelai baru, yaitu Nanti, Tanggamus, dan Sibayak dengan potensi hasil biji 1,5-2,0 t/ha (Arsyad et al. 2002). Untuk toleransi terhadap cekaman kekeringan baru ditemukan beberapa galur harapan (Suyamto dan Soegiyatni 2002).
Teknologi Budi Daya Kedelai untuk Tanah Jenuh Air Kedelai memerlukan air untuk pertumbuhannya, tetapi apabila air terlalu ba-
nyak maka pertumbuhan menjadi terhambat dan hasil rendah. Pertanaman kedelai yang mengalami cekaman kelebihan air atau jenuh air banyak ditemukan di Jateng, Jatim, Bali, dan NTB pada areal 500 ribu ha (Sumarno 1986) dengan tingkat penurunan hasil beragam antara 20-75% (Sumarno et al. 1989; Adisarwanto et al. 1989). Untuk mengatasi kondisi tanah jenuh air, telah ditemukan teknologi produksi kedelai untuk kondisi tanah basah dengan produktivitas sekitar 2,0 t/ha. Komponen paket teknologi tersebut antara lain adalah membuat bedengan lebar 1,60 m dan ditanami empat lajur berjarak 40 cm x 10 cm, kedalaman saluran 30 cm, dan varietas kedelai yang cocok yaitu yang berbiji kecil sampai sedang (Adisarwanto 2001).
Menekan Kehilangan Hasil Saat dan Pascapanen Serangkaian kegiatan yang telah dilakukan secara sempurna sejak awal sampai panen akan sia-sia apabila penanganan panen dan pascapanen tidak optimal. Panen yang terlalu awal, yaitu pada saat masih banyak polong berwarna hijau, atau terlalu lambat sehingga banyak polong yang pecah menjadi penyebab sekitar 10-15% biji hilang/ tercecer. Untuk itu, panen harus dilakukan tepat waktu dengan ciri banyaknya daun yang masih ada pada tanaman sekitar 5% dan 95% polong berubah warna menjadi coklat kekuningan. Panen kedelai tepat waktu dapat menekan kehilangan hasil menjadi sekitar 5%. Memotong batang kedelai memakai parang/sabit bergerigi yang tajam dapat mengurangi kehilangan hasil. Panen dengan cara mencabut tanaman mempunyai banyak kelemahan karena banyak bintil akar yang ikut terbawa panen.
Membawa hasil panen berupa brangkasan dari lapangan ke rumah dengan menggunakan alat transportasi tradisional seperti dokar dan sepeda atau dipikul masih sering dilakukan petani. Hal ini akan berakibat banyak biji kedelai yang tercecer selama dalam perjalanan. Akhir-akhir ini berkembang sistem upah borongan menggunakan alat perontok yang dilaksanakan langsung di lahan petani, khususnya untuk panen musim kemarau. Penggunaan perontok dapat mengurangi kehilangan hasil 5-10% karena jumlah biji yang pecah dan hilang selama proses pembijian menjadi berkurang. Kadar air 13-15% dalam biji kedelai adalah yang optimal untuk proses pembijian menggunakan perontok agar biji tidak pecah. Untuk panen musim hujan, penggunaan alat pengering merupakan jalan keluar yang terbaik. Dari kelima strategi tersebut, kontribusi perluasan areal panen dan peningkatan produktivitas adalah yang paling banyak, diperkirakan mencapai 70-80%, dengan catatan apabila dilaksanakan terencana secara apik dan benar.
DUKUNGAN FAKTOR EKSTERNAL Di samping aspek kesiapan dan ketersediaan teknologi produksi, sumber daya, dan faktor lain, faktor pendukung eksternal yaitu kelembagaan dan kebijakan merupakan mata rantai penting dan tidak dapat dipisahkan dalam peningkatan produksi kedelai. Empat faktor pendukung yang diperlukan agar tujuan tersebut tercapai diuraikan berikut ini.
Petani dan Kelompoknya Jumlah petani kedelai saat ini lebih dari 75% berumur 45 tahun dengan pendidikan terbanyak sekolah dasar. Dengan SDM seperti tersebut, diperlukan pembinaan kemampuan petani dan kelompoknya agar partisipasi petani dalam proses produksi kedelai lebih meningkat dan bersifat mandiri. Selain itu juga diperlukan pengembangan kualitas kelompok tani agar terjadi kekompakan antaranggota dalam kelompok dan peningkatan kerja sama antarkelompok yang lebih baik. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa adopsi teknologi produksi kedelai oleh petani masih dihadapkan pada beberapa hambatan, antara lain persepsi petani terhadap teknologi, kemampuan modal petani yang terbatas, skala usaha yang sempit dan terpencar, risiko kegagalan panen yang besar, dan kecilnya insentif bagi petani.
Peningkatan Kerja Sama Antarinstansi/Departemen Terkait Kerja sama antarkementerian/instansi terkait, antara lain Kementerian Pertanian, Perdagangan, Bulog, Koperasi, dan Pemda perlu ditingkatkan. Kerja sama tersebut diperlukan untuk memantapkan keterkaitan sistem produksi yang lebih luas, yaitu antara industri dan perdagangan, sehingga akhirnya kedelai dapat dikelola secara optimal.
Penyuluhan Dalam era otonomi daerah, posisi penyuluh pertanian cukup sulit untuk melaku-
kan kegiatannya karena beragamnya kelembagaan penyuluh yang ada di setiap kabupaten. Di sisi lain, peran penyuluh pertanian tanaman pangan, khususnya kedelai, sangat diharapkan agar petani dapat berpartisipasi aktif tidak hanya dalam meningkatkan pengetahuan tentang teknologi produksi kedelai, tetapi juga aspek organisasi, permintaan, dan pasar kedelai. Untuk itu, pembinaan organisasi, tugas, dan wewenang penyuluh pertanian perlu dilakukan.
Kebijakan Dalam era perdagangan yang tidak menguntungkan antara negara pengekspor dan pengimpor kedelai, di mana pengimpor lebih dirugikan, pemerintah perlu meninjau kembali subsidi yang telah dikurangi/dihapus. Di India, pemerintah masih memberikan subsidi tidak langsung terhadap harga benih dan alsintan serta menetapkan tarif impor kedelai. Dalam beberapa pertemuan yang membahas masalah kedelai impor juga telah disarankan pemberlakuan tarif impor ini. Pelaksanaan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) melalui program Bangkit Kedelai 2003 oleh Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-umbian merupakan salah satu kebijakan yang menguntungkan petani dalam aspek permodalan. Namun, masih diperlukan pembinaan agar modal tersebut dapat terus berkembang di tingkat kelompok tani. Aspek kepastian harga yang layak bagi petani masih memerlukan campur tangan kebijakan pemerintah.
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Peningkatan produktivitas merupakan strategi utama dalam meningkatkan
produksi kedelai dan perlu didukung pengembangan varietas tipe ideal dengan potensi hasil biji >2,5 t/ha. 2. Strategi kedua adalah menambah areal panen dengan dukungan dan partisipasi aktif pemerintah daerah, BUMN, dan swasta. 3. Dalam kondisi sistem perdagangan yang tidak adil, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan harga yang lebih baik dan berpihak kepada petani kedelai. 4. Untuk memantapkan petani dalam upaya meningkatkan produksi kedelai, perlu dipikirkan kembali adanya kebijakan pemerintah berupa pemberian subsidi tidak langsung kepada petani melalui harga benih bermutu dan penggunaan alsintan.
DAFTAR PUSTAKA Adie, M.M. dan Tridjaka. 2000. Daya hasil galur-galur kedelai hasil seleksi tahan ulat grayak. hlm. 214-220. Prosiding Kinerja Teknologi untuk Meningkatkan Produktivitas Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Adisarwanto, T., Marwoto, B.S. Radjit, A.G. Manshuri, dan C. Floyd .1989. Survei budi daya kedelai di lahan petani Jawa Timur. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. 20 hlm. Adisarwanto, T., A. Kasno, N. Saleh, B.S. Radjit, Marwoto, dan Sumarno. 1992. Studi Pertumbuhan Baru Produksi Kedelai di NTB. Monograf Balittan Malang No. 10. 57 hlm. Adisarwanto, T. 1993. Pengembangan paket teknologi untuk meningkatkan produksi kedelai di NTB. hlm. 160-174.
Laporan Hasil Penelitian ARM 1992/ 1993. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Adisarwanto, T., B.S. Radjit, H. Kuntyastuti, Suhartina, dan Marwoto. 1994a. Paket teknologi kedelai di lahan sawah. Laporan ARM TA 1993/1994. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Adisarwanto, T., Sudjarwoto, B.S. Radjit, Marwoto, H. Kuntyastuti, dan Suyamto. 1994b. Penelitian pengembangan paket teknologi budidaya kedelai setelah padi sawah di Bali. hlm. 419-491. Hasil Penelitian Kacang-kacangan APBN 1993/1994. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Adisarwanto, T., B.S. Radjit, Suhartina, dan H. Kuntyastuti. 1995a. Perakitan paket teknologi kedelai di lahan produktivitas rendah. Edisi Khusus Balitkabi No. 1: 1-8. Adisarwanto, T., Marwoto, B.S. Radjit, H. Kuntyastuti, Suhartina, Nila P., dan Tridjaka. 1995b. Evaluasi paket teknologi yang sesuai untuk daerah sentra produksi kedelai Ponorogo. Edisi Khusus Balitkabi No. 1: 9-23. Adisarwanto, T., H. Kuntyastuti, dan Suhartina. 1996. Paket teknologi usaha tani kedelai setelah padi di lahan sawah. Edisi Khusus Balitkabi No. 8: 27-44. Adisarwanto,T., B.S. Santoso, and Sumarno. 1998. Technology package for soybean after wetland rice in Indonesia. p. 498-499. Proc. World Soybean Research Conference V. (Eds.). Banpot Napampeth. Bangkok, Thailand. Adisarwanto, T., N. Saleh, Marwoto, dan N. Sunarlim. 2000. Teknologi Produksi Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. 26 hlm. Adisarwanto, T. 2001. Bertanam kedelai di tanah jenuh air: Opsi inovatif penge-
lolaan air untuk kedelai di lahan sawah irigasi. Buletin Palawija 1: 24-32. Adisarwanto, T. dan Riwanodja. 2002. Keragaan tanaman dan status hara NPKS pada kedelai di lahan sawah pada pola padi-kedelai-kedelai. Laporan Teknis Hasil Penelitian TA 2001. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. hlm.20-30. Altemeier, K. and T. Bottema. 1991. Agricultural Diversification in Indonesia: Price responses and linkganes in the food crop sector, 1969-1988 on outlook to 2000. Working Paper Series No. 11. CGPRT Centre, Bogor. 21 pp. Arsyad, D.M., Purwantoro, H. Kuswantoro, dan M.M. Adie. 2002. Keragaan galur-galur kedelai toleran lahan kering masam. hlm. 109-120. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. BPS. 1986. Buku Saku Statistik Indonesia. BPS, Jakarta. 444 hlm. BPS. 1990. Produksi Padi dan Palawija. BPS, Jakarta. 224 hlm. Damanik, A. 1993. Teknologi Produksi Kedelai di lahan pasang surut tipe C. Hasil Penelitian Kedelai di Lahan Pasang Surut. Balai Penelitian Tanaman Pangan Banjarbaru. 35 hlm. Hardaningsih, S. 1995. Pengaruh pemberian pupuk KCl dan fungisida pada tanaman kedelai terhadap serangan jamur karat. hlm. 135-140. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Tahun 1994. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Harnoto, W. Tengkano, dan D. Soekarna.1977. Hama penting kedelai dan cara pengendaliannya. hlm. 677-648. Risalah Simposium I Peranan Hasil Penelitian Padi dan Palawija dalam Pembangunan
Pertanian, Maros, 26-29 September 1977. Indrawati. 1995. Keunggulan Kompetitif Usaha Tani Kedelai di Lahan Kering Kabupaten Sumbawa, NTB. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang. 20 hlm. Kasryno, F. dan N. Pribadi. 1991. Evaluasi kebijaksanaan kedelai di Indonesia dan alternatif pengembangannya. hlm.1-18. Risalah Lokakarya Pengembangan Kedelai: Potensi, kendala dan peluang. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Kuntyastuti, H. 1998. Efisiensi pupuk K, S dan pupuk organik pada tanaman kedelai. Laporan Teknis Hasil Penelitian TA 1997/1998. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbiumbian, Malang. 14 hlm. Kuntyastuti, H. 2000. Pemanfaatan pupuk alternatif organik dan anorganik pada kedelai di lahan sawah dan lahan kering. Kumpulan Makalah Unggulan. Balai Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian, Malang. 14 hlm. Kush, G. S. 1998. Strategies for increasing crop productivity. p. 19-44. In V.L Chopra, R.B. Singh, and A. Varma (Eds.). Crop Productivity and Sustainability-Shaping the future. Proceeding of the second International Crop Science Congress. Oxford & IBH Publ., New Delhi-Calcutta, India. Manurung, R.M.H. 2002. Tantangan dan peluang pengembangan tanaman kacang-kacangan dan umbi-umbian. hlm. 19-40. Risalah Seminar Teknologi Inovatif Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Ketahanan Pangan. Malang, 25-26 Juni 2003. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. hlm.19-40.
Manurung, R.M.H. 2003. Upaya Khusus Terobosan Pengembangan Produksi Agribisnis Kedelai 2003. Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Jakarta. 28 hlm. Marwoto. 2001. Pengendalian hama terpadu pada budidaya kedelai. Bulletin Parawija 1: 15-23. Masudah, F.Z., B. Guritno, M. Santoso, dan T. Adisarwanto. 2003. Respon Kedelai (Glycine max L.Merr) Terhadap Pemupukan Fosfor pada Kelengasan Tanah yang Berbeda. Tesis, Universitas Brawijaya, Malang. 107 hlm. Pasandaran, E. dan I W. Rusastra. 2000. Perspektif ekonomi kedelai di pasar domestik dan internasional. hlm. 1-10. Prosiding Lokakarya Penelitian dan Pengembangan Kedelai di Indonesia. BPPT, Jakarta. Puslitbangtan. 1991. Sumber Pertumbuhan Produksi Padi dan Kedelai. Potensi dan Peluang. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. 76 hlm. Rahayu, M., Sirajuddin, K. Wahyu, dan Dzanuri. 2000. Pengkajian Sistem Usaha Pertanian (SUP) Kedelai Mendukung Gerakan Kedelai Mandiri Tahun 2000. IP2TP Mataram. 29 hlm. Rahmianna, A.A. 2002. Produktivitas kedelai pada berbagai tingkat ketersediaan air pada beberapa fase pertumbuhan tanaman. hlm. 61-70. Prosiding Teknologi Inovatif Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Savitri, S.S., S. Bahri, Syekhfani, dan T. Adisarwanto. 2003. Respon Varietas Kedelai (Glycine max L. Merr.) pada Perbedaan Kondisi Lengas Tanah. Tesis, Universitas Brawijaya, Malang. 102 hlm.
Silitonga, C. and S. Purnomo.1987. Prospect of self sufficiecy in soybean and its implication for future impact. p. 29-36. In J.W.T. Bottema, F. Dauphin, and Gijsbers (Eds.). Soybean Research and Development in Indonesia. CGPRT Centre, Bogor. Sinclair, T.R. 1998. Perspective on physiological research advance in soybean and future research direction. p. 245-249. Proceeding of World Soybean Research V. (Eds.). Banpot Napampeth. Bangkok. Thailand. Sitompul, S.M. dan B. Guritno. 1990. Evaluasi potensi dan faktor pembatas produksi beberapa tanaman pangan di Nusa Tenggara Barat. hlm.8-17. Risalah Lokakarya Perbaikan Teknologi Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Sitompul, S.M. dan B. Guritno. 1993. Potensi produksi tanaman pangan di Bali. hlm. 42-52. Risalah Seminar Komponen Teknologi Budidaya Tanaman Pangan di Propinsi Bali. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Suharsono. 2001. Kajian Aspek Ketahanan Beberapa Genotipe Kedelai Terhadap Pengisap Polong Riptortus linearis F. (Hemiptera: Alydidae). Disertasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 166 hlm.
Sumarno. 1986. Response of soybean (Glycine max L.Merr.) genotypes to continues culture. Indones. J. Crop Sci. 2(2): 71-78. Sumarno, F. Daulphin, A. Rahim, N. Sunarlim, B. Santoso, and H. Kuntyastuti. 1989. Soybean Yield Gap Analysis in Java. A Report of the SYGAP Project, CGPRT Centre, Bogor. Sumarno dan T. Adisarwanto. 2000. Perkembangan penelitian budidaya kedelai di Indonesia. hlm. 17-38. Prosiding Lokakarya Penelitian dan Pengembangan Produksi Kedelai di Indonesia. BPPT, Jakarta. Sunarto. 1996. Pemuliaan kedelai untuk toleransi terhadap tanah masam dan keracunan aluminium. hlm. 95-100. Prosiding Lokakarya Penelitian dan Pengembangan Produksi Kedelai di Indonesia. BPPT, Jakarta. Suyamto, H. dan Indrawati. 1992. Penelitian pengembangan kedelai di Sumbawa (NTB). Laporan Bulanan. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. 20 hlm. Suyamto dan Soegiyatni S. 2002. Evaluasi toleransi galur-galur kedelai terhadap kekeringan. hlm. 218-224. Prosiding Teknologi Inovatif Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian.